4 KONDISI UMUM LOKASI 4.1 Letak Geografis Desa Dabong terletak diantara Muara Sungai Kapuas dan Selat Padang Tikar yang berhadapan langsung dengan Laut Natuna. Secara geografis letak Desa Dabong berada pada titik koordinat 00o 33’ 57,2” LS - 109o 15’ 29,6” BT. Desa Dabong secara administrasi merupakan salah satu Desa Di Kecamatan Kubu Kabupaten Kubu Raya Provinsi Kalimantan Barat. Luas kawasan Desa Dabong mencapai 16.600 Ha (166 km2) dan merupakan Desa terluas kedua di Kecamatan Kubu setelah Desa Kubu (235,08 km2). Di dalam kawasan Desa Dabong terdapat kawasan pemukiman Dusun Mekar Jaya, Dusun Selamat Jaya (Sembuluk) dan Dusun Meriam Jaya (pemukiman Transmigrasi) dengan 1 Rukun Warga (RW) dan 13 Rukun Tetangga (RT). Secara administratif batas wilayah Desa Dabong adalah sebagai berikut: Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Olak-Olak Kubu. Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Seruat III dan Laut Natuna Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Kubu. Sebelah Selatan berbatasan dengan Selat Padang Tikar. 4.2 Kondisi Hidro-Oseanografi dan Kualitas Perairan 4.2.1 Kedalaman dan Pasang Surut Berdasarkan data Dishidros TNI-AL (1993), kawasan ekosistem mangrove di Muara Kubu (termasuk Desa Dabong) mempunyai kedalaman 1 - 3.7 m terhadap surut rata-rata air laut (arah laut lepas). Dan di lokasi studi memiliki kedalaman 7-8m. Hasil analisis data yang dilakukan oleh LIPI (1991) mengemukakan bahwa sifat pasang surut yang terjadi di Selatan Khatulistiwa Kalimantan Barat adalah campuran dengan dominansi diurnal, yakni kejadian pasang surut yang terjadi dalam satu hari (24 jam) hanya dua kali. Demikian juga keadaan pasang surut di wilayah studi adalah pasang surut diurnal (dua kali dalam 24 jam).
Sementara perbedaan tinggi air pasang tertinggi (High Water
Spring/HWS) dan surut terendah (Low Water Spring/LWS) di daerah studi berkisar 2.58 - 3.06 m. Keadaan pasang tertinggi akan terjadi bila posisi Bumi-Bulan dan
46
matahari tepat berada pada satu garis lurus yakni pada bulan baru atau bulan purnama, sedangkan keadaan surut terjadi pada kuartal terakhir setiap bulannya. Berdasarkan kondisi pasut dan tunggang pasut di wilayah tersebut menunjukan pada kondisi sesuai yaitu berada pada kisaran 2-4 meter.
4.2.2 Gelombang dan Arus Tiupan angin di permukaan laut di dunia ini sebagian besar dapat mengakibatkan terjadinya gelombambang laut. Selain itu gelombang laut dapat diakibatkan oleh pasang surut, gerakan tektonik dan vulkanik. Gelombang laut yang terjadi di sekitar parairan Kalimantan Barat pada umumnya disebabkan oleh angin sehingga tinggi gelombang dan periode gelombang akan bergantug dari kekuatan dan arah angin yang bertiup di sekitar perairan tersebut. Selain itu yang mempengaruhi karakter gelombang adalah kedalaman perairan dan bentuk topografi dasar perairan. Frekuensi tinggi gelombang di wilayah studi khususnya di Selat Padang Tikar atau Muara Kubu berkisar antara 10 – 60 cm dengan arah gelombang datang dari arah 60o (pagi hari) dan 325o (siang hari). Kondisi gelombang ini sangat mempengaruhi sarana transportasi yang digunakan masyarakat, biasanya menjadi hambatan pada musim-musim tertentu saja. Pola arus di Laut Cina Selatan, Jawa, Laut Flores sampai dekat Laut Banda mengalami perubahan total dua kali setahun sesuai perkembangan musim. Pada bulan Desember – Pebruari, arus musim barat mengalir menuju timur. Di Selat Karimata hingga Laut Flores dapat dijumpai arus dengan kekuatan lebih dari 75 cm/dt. Pada musim pancaroba, arus ke timur ini mulai melemah bahkan mulai berbalik arah hingga di beberapa tempat terjadinya pusar (eddies). Biasanya dalam musim pancaroba ini arus sudah mengalir ke barat di pantai selatan Kalimantan sedangkan di lepas pantai utara Jawa arus masih mengalir ke timur. Pada bulan Juni – Agustus barulah berkembang arus musim timur dan arah arus telah sepenuhnya berbalik arah menuju ke arah barat yang akhirnya menuju L. Cina Selatan. Arah arus di wilayah Selat Padang Tikar pada bulan AgustusNovember arah arus dominan dari Barat Laut dengan kecepatan maksimal pada kondisi pasang tinggi berkisar 0,196 – 0,256 m/dt (Lokasi Padang Tikar).
47
4.2.3 Sedimen Sedimentasi di muara-muara sungai/ selat seringkali membawa dampak bagi kawasan yang ada. Kadangkala dengan banyaknya sedimen yang mengendap akan membawa pendangkalan bagi alur pelayaran yang akhirnya dapat mengakibatkan terganggunya lalulintas air di kawasan tersebut.
Tetapi dengan banyaknya
sedimen yang mengendap juga akan membawa dampak yang baik bagi kelangsungan biota pesisir khususnya mangrove, dimana kawasan yang dangkal akan membuat subtrat bagi tanaman mangrove. Sedimen mengendap di muara karena adanya sirkulasi air di muara akibat pasang surut. Akumulasi sedimen akan bertambah karena berkurangnya kecepatan arus atau terjadi akibat penggumpalan akibat proses kimiawi, fisik maupun biologis. Pada umumnya sedimen yang terbawa dari dari daerah hulu DAS akan segera terbawa ke luar apabila kecepatan arus sungai lebih besar dari kecepatan arus akibat pasang surut air laut. Tetapi sebaliknya jika kecepatan arus dari daerah hulu DAS lebih kecil dari kecepatan akibat air pasang, maka sedimen akan stagnan dan tertahan di muara perairan. Di kawasan Muara Dabong jenis sedimen terdiri dari lanau (lumpur), dan pasir. Kondisi ini dipengaruhi oleh Muara Kubu dengan jenis sedimen yang dominan adalah pasir halus dengan kadar bahan organik rata-rata 2,56% dan kadar air 71,92% dengan
laju sedimentasi adalah 96,79 mm/thn (debit sedimen
206.870,73 ton/thn)..
4.3 Kualitas Lahan dan Tata Guna Lahan Berbagai kondisi yang ditemui di wilayah studi dalam kaitannya dengan kualitas lahan dan pemanfaatan kawasan hutan lindung mangrove tersebut terdapat beberapa aspek yang diidentifikasi sebagai berikut.
4.3.1 Tanah Berdasarkan Peta RePPROT (1987) kawasan studi terdiri dari satuan sistem lahan Kajapah (KJP) yang merupakan wilayah terluas dan satuan sistem lahan Kahayan (KHY). Satuan sistem lahan KJP merupakan satuan yang berada pada lahan yang datar dan dipengaruhi pasang surut air laut seeta mempunyai vegetasi
48
bakau dan nipah, sedangan satuan KHY merupakan satuan lahan yang tergabung dari daratan yang berasosiasi dengan sungai atau laut. Sebagian besar wilayah hutan mangrove merupakan wilayah dengan jenis tanah Aluvial Hidromorf kelabu dengan bahan induk dari bahan endapan liat debu, serta fisiografi berupa daratan pasang surut pantai/ pesisir. Disamping itu sebagian kecil merupakan jenis tanah Asosiasi alluvial kelabu dan coklat kelabu dari bahan endapan liat/debu. Tanahtanah di hutan mangrove Indonesia umumnya terdiri atas tanah yang bertekstur halus, mempunyai tingkat kematangan yang rendah, memiliki kadar garam dan alkalinitas yang tinggi dan sering mengandung lapisan sulfat asam atau bahan sulfidik (cat blay). Kandungan liat atau debu umumnnya tinggi, kecuali tanahtanah mangrove di pulau-pulau karang yang banyak mengandung pasir atau pecahan batu karang (Hilmi dan Kusmana. 1999). a. sifat fisik tanah Jenis tanah alluvial hidromorf kelabu di wilayah studi merupakan jenis tanah dengan drainase lambat, permeabilitas lambat, lapisan atas berlapisan bahan organik (endapan) dan sering mengandung kopal. Lapisan bawah lebih padat, berwarna kelabu tua sampai kelabu biru tua, bertekstur agak halus sampai halus, pejal dan teguh (dalam keadaan basah lekat). Jenis tanah asosiasi Aluvial kelabu dan coklat kelabu merupakan jenis tanah berdrainage lambat, permeabilitas lambat, daya menahan air baik, jika sering terjadi retakan. Tanah lapisan atas coklat sampai coklat kelabu, bertekstur agak halus sampai halus, struktur gumpal dan sangat teguh. Lapisan bawah coklat kelabu sampai kelabu, tekstur halus, struktur pejal, sangat lekat dan banyak mengandung karatan dan glei. b. sifat kimia tanah Jenis tanah Aluvial hidromorf kelabu merupakan jenis tanah agak masam, semakin ke bawah semakin netral. Kadar bahan organik dan N rendah sampai tinggi, P205 agak tinggi dan K20 tinggi. Sedangkan jenis tanah Asosiasi Aluvial kelabu dan coklat kelabu bereaksi agak masam sampai masam, miskin bahan organik, P205 dan K20 tinggi dibagian dekat laut.
49
4.3.2 Fisiografi dan Topografi Berdasarkan pembagian wilayah fisiografis, yaitu suatu wilayah yang memiliki ciri fisik dan geografis yang hampir sama RePPProT (1987) maka wilayah Kubu Raya termasuk dalam satuan wilayah fisiografis Dataran Rawa Pantai Kapuas. Wilayah ini mempunyai ketinggian berkisar antara 0-10 m dengan kemiringan lahannya berkisar antara 0-2 %. Secara fisiografis areal ini dicirikan oleh rawa-rawa sungai serta dataran aluvial dan pasang surut dari sungai Kapuas yang sangat luas. Hanya di beberapa tempat ditempati oleh “incelbergs”. Di bagian ini Sungai Kapuas menempati bagian-bagian rendah, alirannya mulai bercabang keluar melalui sistem komplek mendaun di atas dataran aluvial dan pasang surut delta S. Kapuas dan keluar ke arah barat di Laut Cina Selatan (Laut Natuna). Dataran aluvial sistem alirannya kurang berkembang akibatnya sebagian tempat diisi oleh rawa-rawa. Ditinjau dari bentang alamnya, areal studi termasuk group fisiografi aluvial dengan bentuk lahan rawa belakang pelembahan aluvial, datar dengan sedimen halus. Daerah studi, secara geomoforlogis merupakan dataran pasang-surut dengan bentuk permukaan datar. Berdasarkan klasifikasi Landform (Second Land Resource and Planning Project), di daerah studi dijumpai dua jenis landform yaitu : a. landform aluvial Landform Aluvial adalah landform muda yang terbentuk dari proses aluvial (aktifitas sungai) maupun koluvial (grafitasi) ataupun gabungan dari proses fluvial dan koluvial. Khusus di daerah studi, landform ini lebih dominan terbentuk melalui proses aktivitas sungai, yang tebentuk di sepanjang tepi Sungai Kapuas dan Sungai Terentang. Bentuk wilayah pada landform ini adalah datar dengan lereng 0 – 3%. b. landform gambut Landform Gambut adalah landform yang terbentuk di daerah rawa dengan akumulasi bahan organik yang cukup tebal. Di daerah studi, landform ini dijumpai daerah pedalaman yang terletak di selatan Sungai Kapuas. Bentuk wilayah pada landform ini juga datar dengan lereng 0 – 3%.
50
Seluruh wilayah Desa Dabong merupakan daratan rendah dengan ketinggian rata-rata 0 sampai dengan 2 meter dari permukaan laut (dpl). Pemukiman penduduk berada pada kawasan pematang, yang komposisi tanahnya adalah pada permukaan hingga kedalaman 1 - 1.5 meter berpasir, pada tingkat kedalaman lebih besar komposisi tanah terdiri dari tanah liat. Desa Dabong merupakan Wilayah pesisir yang sebagian besar merupakan tanah rawa asin sehingga areal pertanian tanaman pangan sangat sempit dan jauh dari pemukiman.
Desa Dabong
merupakan desa terpencil yang berada pada kawasan hutan lindung bakau. Adanya perkembangan penduduk dan kegiatan ekonomi masyarakat telahmerubah kawasan hutan bakau tersebut menjadi tambak udang rakyat yang dikelola dengan sistem tradisional.
4.3.3 Iklim Wilayah studi secara umum beriklim tropis dengan curah hujan rata-rata per bulan sebesar 209.4 mm, dan hari hujan terbanyak 22 hari per bulan dan terendah 8 hari per bulan. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Oktober dan curah hujan terendah pada bulan Januari. Temperatur udara rata-rata berkisar antara 25.5oC – 27.4 oC. Suhu udara terendah 21.2 oC terjadi pada bulan Agustus dan yang tertinggi 33.0oC pada bulan Juli. Kelembaban udara relatif 82 – 90 %. Di wilayah studi tidak pernah terjadi kondisi perubahan iklim yang ekstrim ( Stasiun Meteorologi Supadio Pontianak. 2010).
4.3.4 Ekosistem Mangrove Luas kawasan lindung mangrove di Desa Dabong diperoleh dari peta thematik SK MenHut No. 259/kpts-II/2000 tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan di Wilayah Kalimantan Barat Seluas 9.178.760 hektar. Luas hutan mangrove, tambak dan kawasan lindung mangrove di Desa Dabong dapat dilihat pada tabel 4.
51
Tabel 4 Luas hutan mangrove, tambak dan kawasan lindung mangrove di Desa Dabong No 1 2 3
Tutupan lahan
Luas (ha) 1991
2002
Hutan 2849.01 2432.34 Mangrove Tambak 328.52 Kawasan Lindung 4895.50* Mangrove
2007
2009
Penurunan Pertambahan luas luas (ha/thn) (ha/thn)
2346.24
-
31.42
-
522.08
555.35
-
32.63
4895.50*
4895.50*
-
-
Sumber : Nugroho (2009), *) Peta Kawasan Hutan SK MenHut No. 259/kpts-II/2000
Data luas hutan mangrove di Desa Dabong terlihat adanya perbedaan yaitu berdasarkan SK MenHut No. 259/kpts-II/2000 dan berdasarkan Nugroho (2009). Luas kawasan hutan lindung mangrove di Desa Dabong adalah seluas 4895.50 ha. Yaitu meliputi Area hutan mangrove, tambak dan kawasan pemukiman yang ada di Desa Dabong. Sehingga berdasarkan SK MenHut No. 259/kpts-II/2000 selain area hutan mangrove, tambak dan sebagian besar kawasan pemukiman, lahan garapan, sekolah, masjid dan bahkan pusat pemerintahan Desa Dabong juga masuk dalam kawasan hutan lindung mangrove. Sedangkan luas hutan mangrove tahun 1991 adalah 2.849.01 ha, dan luas hutan mangrove tahun 2007 adalah 2.346.24 ha. Dari luasan hutan mangrove tersebut diketahui bahwa dalam kurun waktu 16 tahun terjadi penurunan luasan 502.77 ha (17.65%) atau 31.42 ha/tahun (1.10 % per tahun). Hal ini menunjukan tingkat kerusakan mangrove di Desa Dabong sangat besar. Tingginya penurunan luas ekosistem mangrove pada tahun 1991 sampai tahun 2007 ini sebagian besar disebabkan oleh adanya konversi hutan mangrove menjadi tambak oleh masyarakat. Luas tambak di Desa Dabong sejak tahun 2009 sampai saat ini tidak terjadi perubahan yaitu 533,35 ha. Hal tersebut terjadi karena adanya upaya penegakan hukum yang dilaksanakan oleh aparat terkait. Dari hasil pengamatan diketahui bahwa vegetasi mangrove yang terdapat di kawasan pesisir Desa Dabong didominasi oleh jenis Rhizophora apiculata yang diikuti oleh Bruguiera gymnorrhiza. Di pesisir terbuka yang berhubungan dengan laut, komunitas perintis umumnya di dominasi oleh perepat (Sonneratia alba) dan api-api (Avicennia alba). Avicenia tumbuh di atas pasir berlumpur yang kokoh, sedangkan Sonneratia berasosiasi dengan lumpur yang lunak. Di belakang dua
52
asosiasi tersebut di ikuti oleh jenis pohon bakau (Rhizophora apiculata) dengan area penyebaran yang sangat luas (Gambar 6A). Kearah daratan lebih jauh ditemukan beberapa jenis Tumu (Bruguiera gymnorhiza) dan sedikit nyirih (Xylocarpus granatum & Xylocarpus moluccensis) yang berasosiasi dengan Rhizophora apiculata. Nyirih (Xylocarpus granatum), nyirih batu (Xylocarpus moluccensis) dan Buta-buta (Excoecaria agallocha) sedikit ditemui di pinggiran/pematang sungai. Selanjutnya asosiasi yang ada dan mengarah ke sumber air tawar adalah nipah, jenis ini tumbuh subur di pinggir-pinggir sungai kearah hulu sampai batas pasang surut maksimal (Gambar 6B).
(A)
(B)
Gambar 6 Vegetasi mangrove jenis Rhizophora apiculata (A), nipah tumbuh subur di pinggir-pinggir sungai (B). 4.4 Kondisi Sosial Masyarakat 4.4.1 Kependudukan Penduduk di Desa Dabong yang terdistribusi di tiga dusun pemukiman yaitu Dusun Mekar Jaya, Dusun Selamat Jaya dan Dusun Meriam Jaya (Satuan Pemukiman Transmigrasi) pada tahun 2011 berjumlah 2.474 jiwa (594 KK) yang terdiri dari 1.281 laki-laki dan 1.193 perempuan. Penduduk Kawasan pesisir Dabong tersebar di dua pusat pemukiman, yaitu Dusun Mekar Jaya (pusat desa) dan Dusun Selamat Jaya Sembuluk serta mayoritas bekerja sebagai nelayan dan petani (Gambar 7). Peningkatan penduduk di Desa Dabong terjadi setelah adanya program transmigrasi ke Desa Dabong pada tahun 2004, 2005 dan 2008. Sebelum adanya program ini yaitu pada tahun 2003 jumlah penduduk Desa Dabong baru mencapai 1.358 jiwa yaitu 719 orang
53
laki-laki dan 639 orang perempuan. Pola transmigrasi yang dilaksanakan adalah sistem penempatan berupa transmigrasi sisipan (50% pendatang dan 50% penduduk setempat/sekitar) dengan kegiatan usaha pertanian berupa Tanaman Pangan Lahan Basah (TPLB). Terkait dengan hal tersebut, khususnya dengan adanya peningkatan jaringan jalan dari Satuan Pemukiman Transmigrasi Dabung SP.1 (Dusun Meriam Jaya) ke Pusat Desa Dabong (Dusun Mekar Jaya) serta dengan adanya pembangunan tanggul-tanggul dan juga saluran-saluran irigrasi di Desa Dabong, maka telah mendorong masuknya penduduk (in-imigrasi) dari desa/wilayah sekitar ke wilayah desa Dabong.
(A)
(B)
Gambar 7 Pusat Desa Dabong Dusun Mekar Jaya (A) Dusun Selamat Jaya (B). 4.4.2 Pendidikan Penduduk Tingkat pendidikan formal masyarakat Desa Dabong tergolong masih rendah, ada sekitar 704 jiwa (28,4%) warganya yang tidak pernah bersekolah Sebagian besar yang lain adalah pernah Sekolah Dasar (tidak tamat) dan tamat Sekolah Dasar dengan jumlah masing-masing 334 (13,5 %) dan 973(39,3 %). Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) yaitu masing-masing sebanyak 1.289 jiwa (59.26%) dan 238 jiwa (10.94%). Sedangkan penduduk yang mengenyam pendidikan
Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) dan Perguruan Tinggi
masing-masing hanya sebesar 131 jiwa (6.02%) dan 11 jiwa (0.51%). Penduduk yang belum atau tidak sekolah tercatat sebanyak 506 jiwa (23.26%). Dari kondisi pendidikan seperti ini akan sangat berpengaruh terhadap pengetahuan, pandangan, pola pikir, ketrampilan, sikap dan tindakan yang dimiliki dalam kehidupan
54
keseharian. Distribusi penduduk Desa Dabong berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Distribusi penduduk Desa Dabong berdasarkan tingkat pendidikan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Tingkat Pendidikan Tidak/belum Sekolah Tidak Tamat SD Tamat SD Tidak Tamat SLTP Tamat SLTP Tidak Tamat SLTA Tamat SLTA Diploma 2 (D2) Diploma 3 (D3) Sarjana (S1) Jumlah
Jumlah (jiwa) 704 334 973 57 235 26 132 5 2 6 2.474
% 28.4 13.5 39.3 2.3 9.4 1 5.3 0.2 0.08 0.2 100.00
Sumber: Kantor Desa Dabong (2011). Desa Dabong merupakan salah satu desa yang masih terpencil di kabupaten Kubu Raya, sehingga sarana dan fasilitas pendidikan yang ada di Desa Dabong masih minim dan terbatas. Fasilitas pendidikan yang sudah tersedia di tingkat desa hanya Sekolah Dasar. Terdapat 4 Sekolah Dasar (SD) dengan jumlah guru tetap tiap sekolah yang sedikit yaitu 1 sampai 5 orang, dibantu beberapa orang tenaga honor. Masyarakat yang ingin melanjutkan pendidikan jenjang lebih lanjut seperti ke SLTP, SLTA dan perguruan tinggi umumnya harus keluar dari desanya ke daerah lain. Untuk melanjutkan pendidikan tingkat SLTP dan SLTA, biasanya masyarakat pergi ke ibukota kecamatan (Kubu) atau ke pusat ibukota provinsi (Pontianak).
4.4.3 Mata pencaharian penduduk Umumnya mata pencaharian penduduk Desa Dabong adalah bertani dan nelayan. Pada kawasan Pesisir Dabong sebagian besar penduduknya adalah sebagai nelayan dan pembudidaya ikan/udang. Sedangkan mata pencaharian lain yang digeluti penduduk kawasan Dabong adalah bertani/berkebun, swasta (pedagang, kuli bangunan/tukang dan lain-lain), pegawai negeri serta ibu rumah tangga (Tabel 6).
55
Tabel 6 Struktur penduduk di Dusun-Dusun Desa Dabong berdasarkan mata pencaharian Jumlah penduduk
RT
Dusun
1 2
Mekar Jaya (Muara Dabong) Mekar Jaya (Muara Dabong)
176 213
3 4
Mekar Jaya (Muara Dabong) Selamet Jaya (Sembuluk)
5 6
Pekerjaan Tani
Swasta
PNS
Rumah tangga
Total
59 33
2 6
14 26
2 1
42 55
119 121
290 177
58 27
4 39
51 8
1
64 44
177 119
Selamet Jaya (Sembuluk) Mekar Jaya (Muara Kubu)
110 136
8 40
14 2
39 13
-
37 33
98 88
7 8
Mekar Jaya (Muara Kubu) Meriam Jaya (Transmigrasi)
111 364
17 -
10 75
12 36
1
24 81
63 193
9 10
Meriam Jaya (Transmigrasi) Meriam Jaya (Transmigrasi)
217 150
2
46 42
48 15
-
50 40
144 99
11 12
Meriam Jaya (Transmigrasi) Mekar Jaya
179 184
17
39 50
14 22
-
38 43
91 132
13
Meriam Jaya (Transmigrasi) Total
Nelayan
167
-
42
10
-
39
91
2474
261
371
308
5
590
1535
17
24.1
20
0.32
38.4
100
%
Sumber: Kantor Desa Dabong (2011). A. Nelayan Aktivitas penangkapan ikan Di Desa Dabong masih merupakan usaha perikanan tangkap tradisional. Alat tangkap yang umum digunakan adalah: jaring udang rebon, pukat, jala, ambai dan togo. Untuk operasional
penangkapan
menggunakan sampan, sampan motor, kapal motor yang memiliki bobot rata-rata dibawah 5 GT. Operasional penangkapan ikan dan udang serta kepiting menggunakan perahu dayung dengan wilayah operasional sekitar 750 m – 4.000 m dari garis pantai, sedangkan motor tempel mencapai 1.000 – 9.000 m dari garis pantai. Alat tangkap andalan dan masih bertahan hingga saat ini adalah togo, jermal dan sero. Ikan sasaran adalah ikan teri dan udang untuk dijadikan udang ebi. Areal penangkapan terbatas pada daerah pesisir atau dengan jarak kurang dari 4 mil laut. Dengan kapasitas alat tangkap dan armada penangkapan yang kecil maka sangat tidak memungkinkan untuk mendapatkan ikan-ikan laut ekonomis penting dengan jangkauan yang lebih luas.
56
Dengan peralatan dan sarana penangkapan ikan yang ada, para nelayan berhasil menangkap ikan dengan berbagai jenis, seperti Tabel 7. Tabel 7 Produksi perikanan laut yang didaratkan Jenis Jumlah (ton) No. Jenis No. 1. Bawal 2.85 8. Petek/Peperek 2. Kembung 80.10 9. Pari 3. Udang Jerbung 6.70 10. Kakap 4. Udang Dogol 3.50 11. Kerapu 5. Udang Lainnya 217.29 12. Kurau 6. Teri 49.89 13. Lainnya 7. Tenggiri 13.85 Jumlah total Sumber: Kantor Desa Dabong (2011).
Jumlah (ton) 3.25 23.95 1.35 397.82 755.55
Hal ini sesuai dengan pendapat Sasekumar et al. (1992) bahwa kebanyakan ikan dan udang yang tertangkap pada kawasanmangrove adalah ukuran juvenil. Ikan yang banyak tertangkap adalah spesies Arius sagor, Gymnocephalus ambassis, Liza subviridis, Toxotes jaculator, Sphyraena barakuda dan Lates calcarifer. Beberapa jenis udang adalah ukuran juvenile Penaeus penicillatus, P. merguiensis, P. indicus, Metapenaeus brevicornis dan M. afinis. Peran mangrove sebagai nursery and feeding grounds bagi ikan dan udang terbukti dengan jelas dari hasil penelitian terbaru di Selangor. Hal ini jelas bahwa mangrove sangat berpengaruh pada perikanan dengan menyediakan habitat dan makanan. B. Pembudidaya ikan Kegiatan budidaya perikanan pada tambak dimulai sejak tahun 1992 dan berkembang dengan pesat sejak tahun 1998, sehingga menjadi mata pencaharian alternatif selain nelayan. Komoditas yang dibudidayakan adalah udang windu atau polikultur dengan bandeng, pola pemeliharaan yang diterapkan adalah dengan sistem tradisional plus yaitu dilakukan penebaran benur dan pemberian pakan. Pada awal masa pemeliharaan udang tidak diberi pakan tambahan, pakan utama dari udang tersebut hanya mengandalkan kesuburan lahan. Pakan tambahan yang diberikan berupa pelet diberikan ketika udang sudah mulai besar yaitu pada bulan kedua.
57
Kontruksi tambak berupa model empang parit berbentuk persegi panjang atau bujur sangkar, dengan jumlah tambak mencapai 127 petak dengan luas tiap petak berkisar 0.3–8.5 Ha (rata-rata per petak luasnya 2.19 Ha) total luas kotor lahan tambak yang sudah diusahakan di Desa Dabong adalah 555.35 Ha. Hasil panen per petak tambak bervariasi 400 – 1.500 kg rata-rata panen per petak 577,02 kg/siklus (Gambar 8).
(A)
(B)
Gambar 8 Tambak budidaya Desa Dabong (A) Pengeringan tambak udang setelah panen (B). Tingkat teknologi yang diterapkan umumnya adalah teknologi tradisional plus karena para petambak umumnya telah dibekali pengetahuan dari penyuluhan dan pembinaan yang dilakukan oleh Diskanlut Provinsi Kalimantan Barat, pengetahuan juga didapat dari petambak-petambak yang sudah berhasil di luar wilayah ini. Untuk wilayah Desa Dabong pemasaran ikan/udang hasil budidaya di tambak dibawa Ke Rasau Jaya/Pontianak, atau di antar langsung ke cold storage yang banyak terdapat di Kota Pontianak. Kegiatan usaha budidaya udang mengalami permasalahan pada tahun 2007 yaitu terjadinya serangan penyakit terhadap kegiatan budidaya udang yang dilaksanakan, dan sejak tahun 2009 kegiatan tambak di desa ini seolah berhenti karena adanya penegakan status kawasan lindung oleh pengelola kawasan. Selanjutnya setelah tahun 2007 beberapa petambak yang tetap melanjutkan kegiatan usahanya dengan komoditas udang windu, ataupun polikultur dengan ikan bandeng. Saat ini hanya tinggal belasan petak dari 127 petak yang masih berproduksi secara rutin. Komoditas yang di budidayakan adalah jenis udang
58
vaname, mereka sudah tidak lagi mengembangkan udang windu karena jenis ini memiliki resiko kegagalan yang lebih besar akibat serangan penyakit.