III.
KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
3.1. Kecamatan Kota Jantho Kabupaten Aceh Besar yang menjadi target kawasan kegiatan Kampanye Bangga ini terbentuk menjadi daerah otonom melalui Undang-Undang No 7 Tahun 1956 dengan ibukotanya pada waktu itu adalah kota Banda Aceh. Baru pada tahun 1983 ibukota Aceh Besar dipindahkan ke Kota Jantho seiring pemindahan seluruh aktifitas perkantoran ke ibu kota Aceh Besar tersebut. Kabupaten Aceh Besar memayungi 22 kecamatan, 68 kemukiman, dan 596 desa (BPS 2004). Secara geografis Kabupaten Aceh Besar terletak pada 5.2° - 5.8° LU dan 95.0°-95.8°BT dengan luas kawasan sebesar 2.974.12 km2. Kabupaten ini berbatasan dengan Selat Malaka dan Kota Banda Aceh di sebelah Utara, Kabupaten Aceh Jaya di sebelah Selatan, Kabupaten Pidie di sebelah Timur, dan Samudera Hindia di sebelah Barat. Kecamatan Kota Jantho adalah juga sebagai Mukim Jantho yang memayungi 13 desa dengan luas wilayah 274.04 km2. Desadesa tersebut adalah Jantho Makmur, Barueh, Jantho Baru, Buket Meusara, Jalin, Sukatani, Awek, Weue, Bueng, Jantho Lama, Teureubeh, Cucum, dan Data Cut. Jumlah total populasi di kecamatan ini adalah 9.010 jiwa (BPS 2004). Kecamatan Kota Jantho berbatasan dengan beberapa kawasan lindung yaitu Cagar Alam Jantho seluas 16.640 ha dan Hutan Lindung Jantho seluas 28.000 ha. (BPS 2004). Cagar Alam Jantho dan Hutan Lindung Jantho merupakan bagian dari Kawasan Ekosistem Seulawah (KES) Aceh Besar. Berdasarkan hotspot keragaman hayati yang dirancang oleh lembaga konservasi Conservation International (CI) tahun 2001, KES merupakan bagian dari Hotspot Keragaman Hayati Sundaland dimana 1.9 juta km2 luas Sundaland didominasi oleh dataran Sumatera dan Kalimantan (http://www.conservation.or.id. Mei 2006). KES dalam periode tahun 2001-2005 merupakan fokus kerja proyek Critical Ecosystem Partnership Fund (CEPF) karena nilai keragaman hayatinya yang tinggi. Kawasan lindung yang berbatasan dengan Kota Jantho ini diusulkan oleh banyak pihak untuk menjadi kawasan konservasi karena selain nilai keragaman hayatinya, kawasan ini juga merupakan sistem daerah tangkapan air bagi Daerah Aliran Sungai (DAS) Krueng (Kr.) Aceh.
28
3.2. Gambaran Umum Masyarakat 3.2.1 Gambaran Umum Masyarakat Aceh Besar Penduduk di Kecamatan Kota Jantho terdiri dari suku Aceh dan suku Jawa dan umumnya menggunakan Bahasa Aceh dan Bahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-harinya. Penduduk Jantho sebagaimana penduduk Aceh lainnya semuanya menganut agama Islam dan nuansa keislaman terlihat dalam kegiatan sosial mereka. Suku Jawa yang telah lama berbaur dengan suku Aceh dalam kegiatan sosial telah mengikuti tradisi masyarakat Aceh pada umumnya. Secara umum, sebagian besar mata pencaharian utama masyarakat adalah sebagai petani. Sebagian lain mempunyai penghasilan dari beternak sapi, kambing, menjadi tauke/pedagang, menampung atau menjual hasil pertanian, menjadi pengrajin, mengembangkan industri kecil pengolahan hasil pertanian (keripik ubi dan ketela), dan menjadi buruh angkat ubi. Sebagian kecil mempunyai pekerjaan sebagai tukang, pekerja bengkel dan dukun (Mapayah 2006).
3.2.2.Kondisi Sosial Budaya Aceh sebagai identitas etnis dan wilayah memiliki ciri khas dimana masyarakatnya sangat pluralistis dan terbuka. Pada saat Aceh masih dalam bentuk kerajaan, yang dimaksud dengan Aceh adalah Aceh Besar atau dalam istilah Aceh disebut Aceh Rayeuk. Berdasarkan pendekatan historis, struktur masyarakat Aceh yang paling menonjol dapat dikelompokkan ke dalam 2 golongan yaitu golongan ulama dan golongan umara. Golongan umara adalah pemimpin pemerintahan, contohnya Sultan sebagai pemimpin tertinggi kerajaan; Uleebalang sebagai pemimpin unit pemerintahan negeri; Panglima Sagoe sebagai pemimpin pemerintahan sagi; dan Kepala Mukim yang memimpin unit pemerintahan mukim serta Geuchiek yang memimpin unit pemerintahan gampong (kampung). Sementara golongan ulama adalah pimpinan yang mengurusi masalah-masalah keagamaan dan syariat Islam. Yang termasuk ke dalam golongan ulama adalah: 1. Tengku Meunasah, yang memimpin masalah-masalah yang berhubungan dengan keagamaan pada satu unit pemerintah gampong (kampung).
29
2. Imum Mukim (Imam Mukim), yaitu yang mengurusi masalah keagamaan pada tingkat pemerintahan mukim, yang bertindak sebagai imam sembahyang pada setiap hari Jumat di sebuah mesjid pada wilayah mukim yang bersangkutan. 3. Qadli (kadli), yaitu orang yang memimpin pengadilan agama atau yang dipandang menerti mengenai hukum agama pada tingkat kerajaan dan juga pada tingkat Nanggroe yang disebut Kadli Uleebalang. 4. Teungku-teungku,
yaitu
pengelola
lembaga-lembaga
pendidikan
keagamaan seperti dayah dan rangkang, juga termasuk murid-muridnya. Bagi mereka yang sudah cukup tinggi tingkat keilmuannya, disebut dengan istilah Teungku Chiek. (Dinas Pariwisata Aceh 2004). Masyarakat memiliki kebiasaan mendamaikan perselisihan antar warga dengan kenduri potong kambing. Pada awal masa tanam padi masyarakat juga mengadakan upacara “kenduri blang”. Selain itu, Gunung Seulawah merupakan simbol yang melambangkan ciri khas Aceh Besar. Dalam prosesi acara adat yang paling sering digunakan adalah sirih (Piper betle) sebagai lambang kemulian. Sirih diberikan pada tamu-tamu yang datang sebagai tanda penghormatan.
3.2.3.Situasi Politik Masyarakat Kecamatan Kota Jantho turut juga merasakan dampak positif dari perjanjian damai antara pemerintah Indonesia (RI) dengan pihak Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada Agustus tahun 2005 lalu. Saat konflik berlangsung, sebagian besar penduduk di kawasan ini eksodus ke wilayah yang relatif lebih aman. Hal ini disebabkan karena tekanan dari pihak-pihak bersenjata sehingga masyarakat menghindari situasi yang tidak kondusif ini. Sejak penandatanganan naskah perdamaian antara RI dan GAM masyarakat sudah mulai kembali ke kampung. Mereka mulai melaksanakan aktivitas berkebun dan berladang dengan rasa aman. Bagi masyarakat Aceh yang sejak lama berada dalam situasi konflik berkepanjangan, musibah gempa dan tsunami pada 26 Desember 2006 dianggap sebagai katalisator dalam proses perdamaian antara TNI dan GAM. Sekarang, masyarakat sedang menikmati perdamaian di bumi Aceh dan mencoba
30
menggantungkan harapan baru di bawah kepala pemerintahan baru Nanggroe Aceh Darussalam (Mapayah 2006).
3.2.4.Hutan di Jantho Kawasan lindung yang berada di bawah administrasi pemerintahan Kota Jantho Aceh Besar adalah: 1. Cagar Alam Pinus Jantho Cagar Alam Pinus Jantho secara geografis terletak pada 5°6’ LU - 5°16.2’ LU dan 95°37.2’ BT - 95°45’BT. Dalam administrasi pemerintahan cagar alam ini terletak di Kecamatan Jantho Kabupaten Aceh Besar. Cagar Alam Jantho seluas 16.640 hektar telah ditata batas dan ditunjuk sebagai kawasan konservasi berdasarkan SK MenHut No.186/Kpts-II/1984 tanggal 4 Oktober 1984. Kawasan ini ditunjuk sebagai cagar alam karena merupakan perwakilan hutan alam Pinus merkusii strain Aceh dengan potensi tegakan pinus yang besar serta habitat satwa yang dilindungi seperti gajah sumatera dan harimau sumatera.
Cagar Alam
Jantho merupakan hulu dari sungai Krueng Aceh yang menjadi sumber air PDAM Kota Banda Aceh sehingga termasuk dalam DAS Krueng Aceh (BKSDA 2007).
2. Hutan Lindung Jantho Hutan lindung Jantho adalah salah satu kawasan penting yang ada di KES. Pentingnya melindungi keberadaan hutan lindung Jantho bukan hanya sematamata untuk menjaga keutuhan kawasan hutan KES akan tetapi karena kawasan hutan ini juga menjadi daerah jelajah beberapa satwa penting yang sudah langka termasuk diantaranya harimau sumatra. Selain itu, hutan lindung ini juga merupakan kawasan tangkapan air penting bagi DAS Kr. Aceh. Sebagai informasi tambahan, bendungan Jantho yang dibangun tahun 1984 juga terletak di Hutan Lindung Jantho. Tipe iklim di kawasan ini adalah tipe B dan C (lima sampai sembilan bulan berturut-turut hujan dan tiga bulan atau kurang berturut-turut kering). Curah hujan tahunan berkisar antara 1.750-2.000 mm dengan suhu udara rata-rata 27oC, sedangkan kelembaban udaranya 92.7% per tahun dan tekanan udara rata-rata 1.212.1 mB per tahun (BPS 2004).
31
3.2.5.Kearifan Tradisional dalam Pengelolaan Sumber Daya Hutan Dilihat dari sejarahnya, masyarakat Aceh telah memiliki kearifan tradisional mengenai pengelolaan sumber daya alam. Masyarakat Aceh sejak zaman dahulu telah memiliki hukum adat dalam pemanfaatan dan tata kelola sumber daya alam tersebut seperti laut, sawah, kebun, pasar dan hutan. Wilayah hutan telah sejak lama diatur oleh masyarakat adat di Aceh. Di hutan ada seorang Panglima Hutan (Panglima uteun). Pawang uteun
hanya bertugas
memberi nasehat dan petunjuk dalam perjalanan dalam hutan. Biasanya seorang Pawang uteun memiliki ilmu mantra untuk menangkal jin dan binatang buas. Perselisihan dalam pelanggaran hukum adat uteun diselesaikan oleh Keujreun namun dengan tetap mendengar pendapat dari para Pawang uteun . Beberapa larangan yang diatur adalah: 1. Orang dilarang menebang pohon tualang, kemuning, ketapang, geulumpang, beringin, dan kayu-kayu besar lainnya yang menjadi tempat sarang lebah. Menebang pohon ini bukan hanya dilarang tetapi menjadi pantangan karena diyakini menebang pohon-pohon besar tersebut dapat merugikan orang banyak, larangan baru terlepas jika telah mendapat izin dari Keujreun atau Raja. 2. Orang dilarang menebang pohon kayu meudang ara, bungo merbau, dan kayukayu besar lainnya kecuali hanya untuk membuat tongkang atau perahu. 3. Orang dilarang menebang pohon yang kulitnya sudak ditetak sedikit dan diatasnya dililit dengan akar kayu. 4. Orang dilarang mengambil kayu yang sudah ditumpuk dan di atasnya sudah diletakkan batu. Ini pertanda kayu tersebut sudah ada yang punya. 5. Orang dilarang atau pantang menyebutkan nama-nama hewan buas di dalam hutan. Jika terpaksa harus menyebutkan maka harus memakai nama samaran umpamanya Nek Kaum untuk harimau, Po Meurah untuk gajah, Nek Lubuk untuk buaya, Po Meucula untuk badak. 6. Orang juga dilarang lari ke kanan jika melihat binatang buas tapi harus mengambil jalan ke kiri. 7. Untuk berburu rusa alat yang digunakan adalah jaring. Tenaga yang digunakan adalah 4 – 5 orang dan diketuai oleh seorang Pawang. Bila rusa sudah
32
terjaring dan ada orang yang meminta sebagian daging rusa ketika perjalanan mereka pulang ke rumah maka harus diberikan (Zainuddin 1961).
3.2.6. Permasalahan Konservasi Secara umum, perusakan hutan selain mempengaruhi kepada menurunnya nilai keanekaragaman hayati di kawasan ini juga mempengaruhi keadaan DAS Krueng Aceh. Lebih lanjut, permasalahan pengelolaan lingkungan yang ada di KES terutama terkait dengan DAS Kr. Aceh adalah sebagai berikut: 1. Penebangan Liar Masalah lingkungan yang paling parah adalah kegiatan penebangan liar. Sebelum musibah tsunami, laju kerusakan hutan di Aceh berdasarkan Pusat Data dan Perpetaan Badan Planologi selama periode waktu 13 tahun sebesar 270.347 ha atau ± 20.796 ha/tahun. Laju kerusakan hutan semakin meningkat seiring meningkatnya kebutuhan kayu untuk kegiatan rekontruksi dan rehabilitasi pasca tsunami. Hasil survei Pokja Advokasi Hutan Aceh (2006) sekitar 15 m3 kayu keluar dari kawasan hutan ini setiap harinya. Sebelum tsunami produksi kayu dari Aceh hanya 47 ribu meter kubik per tahunnya. Di tahun 2006 (pasca tsunami) pemerintah mengaktifkan kembali 5 HPH dan memberi kuota 300 ribu meter kubik untuk mencapai kuota produksi sebesar 500 ribu meter kubik per tahun. Padahal angka ini melebihi kebutuhan kayu untuk kegiatan rekonstruksi yang hanya sebesar dua ratus ribuan meter kubik per tahun. Penebangan
di kawasan hutan lindung juga menyebabkan fragmentasi
habitat satwa yang mengakibatkan konflik satwa dengan manusia, menurunnya produksi panen karena sawah terendam banjir saat musim hujan tiba, kekeringan saat musim kemarau datang, menurunnya jumlah dan kualitas sumber daya air bersih (Mapayah 2006).
2. Konversi Lahan Departemen Kehutanan menyatakan bahwa banyak pengelola perkebunan yang tidak memandang hutan sebagai kesatuan ekosistem yang perlu dijaga kelestariannya. Tidak ada upaya untuk mempertahankan daerah aliran sungai sepanjang perkebunan bahkan tidak terlibat kegiatan penyelamatan satwa dengan
33
mempertahankan kawasan berupa koridor biologis. Hutan alam diubah menjadi hutan tanaman monokultur. Secara teoritis, hutan tanaman monokultur rentan terhadap hama dan penyakit tanaman. Akibatnya kondisi fisik dan biologis tanah berubah dan menyebabkan ketidakseimbangan biologis. (Yayasan Pasir Luhur 2006).
3. Kebakaran Hutan Permasalahan yang juga dipandang cukup serius adalah kasus kebakaran hutan. Kasus ini biasanya terjadi saat musim kemarau. Menurut BKSDA, kasus kebakaran hutan biasanya terjadi karena tindakan masyarakat yang membuka lahan pertanian (www.infoSumatera.com 2006). Masyarakat masih menggunakan cara membakar untuk membuka lahan pertanian. Kasus kebakaran juga ditimbulkan karena dalam kegiatan berburu masyarakat membakar lahan hutan agar tumbuh rumput muda sehingga mangsa lebih cepat diperoleh. Selain itu, tindakan membuang puntung rokok dengan sengaja atau tidak sengaja terutama di musim kemarau diduga memicu terjadinya kebakaran hutan (Mapayah 2006).
4. Konflik Satwa-Manusia Dampak dari kerusakan hutan bagi masyarakat Jantho adalah munculnya konflik antara penduduk lokal dengan harimau sumatera. Mapayah menerima laporan dari penduduk di Jantho bahwa konflik dengan harimau sumatera semakin meningkat. Dalam tahun 2006 ini hampir 20 ekor ternak warga yang menjadi mangsa harimau sumatera. Ada beberapa desa di Jantho yang tercatat sebagai desa yang rawan konflik satwa-manusia (harimau sumatera) yaitu: 1. Jantho Baru Pada akhir tahun 2006 Mapayah pernah melakukan pemetaan titik konflik satwamanusia di Kecamatan Kota Jantho. Menurut pengakuan salah satu warga Desa Jantho Baru (desa ini berbatasan dengan Hutan Lindung Jantho) kejadian konflik dengan harimau sumatera mulai meningkat pada awal tahun 1991. Mulai saat itu rata-rata ada 12 ekor sapi milik masyarakat yang menjadi korban harimau sumatera. Masyarakat biaanya melepas ternak pada siang hari tanpa pengawasan dan lokasinya dekat dengan hutan lindung.
34
2. Bueng Pada bulan-bulan terakhir dari tahun 2006 terdapat 1 sapi dan 2 kerbau yang menjadi korban harimau sumatera. Bahkan pada saat itu ada anggota masyarakat Desa Bueng yang melihat langsung harimau sumatera yang turun ke desa yaitu di lokasi N 05º 16’ 09.5” dan E: 095 º 38’ 22.8’’ dan di titik N 05 º 16’ 02.00” dan E 095 º 38’ 25.4” namun tidak memakan korban apa-apa. 3. Weue Desa Weue adalah salah satu desa yang memiliki tingkat konflik satwa tertinggi di Jantho. Pada saat survei dilakukan, masyarakat Desa Weue mengakui bahwa selama periode 1 tahun terakhir (Tahun 2006) ada 10 ekor sapi dan 50 ekor kambing yang menjadi korban harimau sumatera. Kejadian tidak hanya terjadi malam hari namun juga saat siang hari. Salah satu titik kejadian di desa ini adalah pada lokasi N 05 º 17’ 45.4” dan E 095 º 38’ 19.9”dan N 05 17’ 33.0”, E 095 37’ 20.0”. Kejadian konflik pada tahun 2006 tersebut terjadi pada bulan Maret, Juni, Juli, Agustus, dan Desember. Jarak kandang dengan rumah adalah sekitar 100 meter. Kandang yang digunakan oleh masyarakat Desa Weue dan juga masyarakat desa di Jantho lainnya adalah kandang yang terbuka. 4. Jantho Lama Desa Jantho Lama berbatasan dengan Desa Weue. Pada saat survei dilakukan sudah ada 3 ekor lembu yang menjadi korban harimau sumatera. Hampir setiap bulan, bahkan dalam sebulan lebih dari 1 kali
harimau sumatera turun ke
kampung atau mencari korban ternak masyarakat. Salah satu lokasi kejadian di Desa Jantho Lama adalah pada N 05 17’ 34.4” dan E 095 37’ 46”. 5. Awek Pada bulan-bulan akhir tahun 2006 ada 6 ekor sapi mati menjadi korban harimau sumatera dan berlangsung pada saat siang dan sore hari. Titik kejadian di desa ini adalah di N 05 16’34.9” dan E 096’ 38’ 08.8”. Upaya-upaya yang dilakukan oleh masyarakat mulai dari membuat perangkap, dan memancing dengan umpan belum pernah berhasil. Masyarakat juga melaporkan ke Dinas Kehutanan dan BKSDA Resort Jantho namun tindakan yang diambil belum berhasil mengatasi konflik dengan harimau sumatera (Mapayah 2006).
35
5. Perburuan Liar Penebangan liar yang memberi dampak sosial ekonomi menyebabkan masyarakat berburu satwa liar untuk menunjang pendapatan keluarga. Hasil survei Mapayah (2006) di Desa Jantho Baru, burung murai dijual seharga Rp 100.000 per ekor, harimau sumatera dijual hidup atau mati untuk diambil kulit dan giginya. Rusa juga diburu untuk dijual ke warung nasi karena daging rusa termasuk menu makanan yang disukai. Perilaku yang cenderung mengeksploitasi atau mengambil langsung dari hutan tanpa upaya penangkaran sangat berpotensi punahnya spesies tertentu. Punahnya potensi tumbuhan dan satwa yang belum diketahui manfaatnya merupakan salah satu bencana kemanusiaan karena apabila spesies itu punah maka tidak semua sumber daya alam hayati dalam ekosistem hutan bersifat dapat diperbarui tetapi sebagian besarnya adalah tidak dapat diperbarui, termasuk keanekaragaman tumbuhan dan satwa (Yayasan Pasir Luhur 2006).
6. Penambangan Bahan Galian C Penambangan pasir kerikil (bahan galian C) baik oleh masyarakat maupun pihak swasta telah berlangsung lama. Seiring meningkatnya laju pembangunan, kegiatan penambangan pun terus meningkat. Sebelum musibah tsunami 26 Desember 2004, kegiatan
penambangan pasir di kawasan larang tambang
sepanjang ruas badan Krueng Aceh dilakukan oleh 75 perahu oleh 250 orang penambang dan alat berat dengan volume pengambilan mencapai 600 m3 per hari. Pasca tsunami, eksploitasi sumber daya alam tersebut meningkat terutama sebagai bahan baku dalam masa rehabilitasi dan rekonstruksi. Selain dalam jumlah besar, uga menggunakan berbagai jenis alat berat, bahkan para pelakunya didominasi oleh pihak pengusaha papan atas (Mukhlisudin 2006).