29
4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 4.1.1
Keadaan Fisik Letak dan Luas Wilayah Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Kabupaten Banjar (2011),
Kecamatan Karang Intan dengan luas wilayah 215,65 km2 secara administrasi termasuk dalam wilayah Kabupaten Banjar Provinsi Kalimantan Selatan. Secara administrasi batas-batas wilayah Kecamatan Karang Intan adalah, Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Pengaron, sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Aranio, sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Tanah Laut, dan sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Martapura dan Kota Banjarbaru. Secara geografis, Kecamatan Karang Intan terletak pada posisi 2049‟55” – 3043‟38” LS dan 114030‟20” – 115035‟37” BT. Kecamatan Karang Intan terdiri dari 26 Desa, dan 2 diantaranya merupakan lokasi yang dijadikan penelitian yaitu Desa Mandiangin Barat dan Desa Bi‟ih dengan luas masing-masing desa yaitu 5,64 km2 dan 4,63 km2. 4.1.2
Topografi Topografi Desa Mandiangin Barat dan Desa Bi‟ih secara umum datar
sampai bergelombang dengan ketinggian mencapai 49 – 55 m dpl. Untuk daerahdaerah perkebunan karet, dukuh, dan ladang yang terletak di bukit-bukit atau di gunung-gunung di belakang pemukiman masyarakat, topografinya dapat dikategorikan bergelombang, berbukit sampai bergunung-gunung dengan notasi kemiringan 15% sampai 25% (BPS 2011). Berdasarkan laporan Praktik Kerja Lapang (PKL) Fakultas Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat dikemukakan bahwa bukit-bukit atau gununggunung tersebut merupakan suatu sistem pegunungan dengan ketinggian lebih dari 300 m dpl, dan sebagian merupakan sistem perbukitan dengan ketinggian di bawah 300 m dpl. Kedua sistem tersebut sama-sama mempunyai lereng yang terjal dan puncak bukit yang sempit.
Di antara bukit dan gunung tersebut
mengalir sungai-sungai besar dan kecil yang berada di dalam Sub DAS Riam Kanan, DAS Barito.
30 4.1.3
Iklim Keadaan iklim di lokasi penelitian merujuk pada data sekunder dari Badan
Meteorologi dan Geofisika Banjarbaru, untuk Kecamatan Karang Intan berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Ferguson termasuk tipe iklim B dengan curah hujan tahunan rata-rata berkisar antara 2000 mm sampai 3000 mm pertahun. Temperatur udara rata-rata maksimal 33,750C dan rata-rata minimal 22,030C dengan kelembaban rata-rata maksimal 99,42% dan rata-rata minimal 56%. Sedangkan evaporasi rata-rata harian pada musim hujan adalah 3,4 mm dan pada musim kemarau 3,8 mm. Adapun kecepatan angin rata-rata maksimal 12,08 knot dan rata-rata minimal 1,35 knot, dengan tekanan udara rata-rata maksimal 1014,37 milibar dan rata-rata minimal 1009,85 milibar dan persentase lamanya penyinaran matahari rata-rata maksimal 60,00% dan rata-rata minimal 32,00% (BPS 2011). 4.1.4
Tanah Jenis tanah yang mendominasi Kecamatan Karang Intan adalah podsolik
merah kuning dan latosol, serta jenis tanah alluvial untuk daerah tepi sungai. Bahan induk tanah tersebut berasal dari batuan beku dan endapan (BPS 2011). 4.2 4.2.1
Keadaan Sosial Ekonomi Kependudukan Berdasarkan data statistik Kecamatan Karang Intan Dalam Angka Tahun
2011, jumlah penduduk Kecamatan Karang Intan adalah 30.679 jiwa yang terdiri dari 15.439 laki-laki dan 15.240 perempuan, dengan jumlah rumah tangga sebanyak 8.532 KK, dan rata-rata kepadatan penduduk adalah 142 jiwa per km2. Semua penduduk tersebut adalah warga Negara Indonesia yang didominasi oleh suku Banjar. Suku lainnya adalah Jawa dan Madura.
Adapun keadaan penduduk pada dua desa yang menjadi lokasi penelitian dapat dilihat pada tabel 5.
31 Tabel 5 Keadaan penduduk di Desa Mandiangin Barat dan Desa Bi‟ih No.
Jumlah Penduduk
Desa Mandiangin Barat
1. Laki-laki 1.105 2. Perempuan 1.037 3. Jumlah Penduduk 2.142 4. Sex Ratio 107 5. Jumlah Rumah Tangga 572 2 6. Rata2 Penduduk (Jiwa/km ) 380 Sumber: Kecamatan Karang Intan Dalam Angka Tahun 2011
Bi‟ih 826 795 1.621 104 503 350
Berdasarkan penggolongan usia produktif dan non produktif, diketahui bahwa sekitar 72% penduduk di Kecamatan Karang Intan termasuk dalam kelompok usia produktif (usia 15 – 59 tahun), sedangkan usia non produktif sekitar 28% (usia 0-14 tahun dan usia 60 tahun ke atas). Usia produktif di Desa Mandiangin Barat berjumlah 1.542 jiwa (71,99%), sedangkan usia produktif di Desa Bi‟ih berjumlah 1.183 jiwa (72,98%). 4.2.2
Tingkat Pendidikan Rata-rata tingkat pendidikan masyarakat di Kecamatan Karang Intan
umumnya serta Desa Mandiangin Barat dan Desa Bi‟ih khususnya relatif masih rendah karena masih banyaknya masyarakat yang tidak tamat SD atau hanya tamat SD.
Alasan utama masyarakat tidak melanjutkan pendidikan adalah
kebutuhan ekonomi. Mahalnya biaya pendidikan dan jarak sekolah lanjutan yang relatif jauh sehingga biaya transportasi menjadi mahal membuat masyarakat tidak menyekolahkan anggota keluarganya ke jenjang yang lebih tinggi. Kondisi tingkat pendidikan penduduk di Desa Mandiangin Barat dan Desa Bi‟ih adalah sebagaimana Tabel 6.
32 Tabel 6 Tingkat pendidikan penduduk di Desa Mandiangin Barat dan Desa Bi‟ih No.
Tingkat Pendidikan Penduduk
Desa Mandiangin Barat
1. Tamat SD 1.285 2. Tamat SLTP 193 3. Tamat SLTA 128 4. Tamat Akademi/Perguruan Tinggi 6 5. Tidak/Belum Tamat SD 385 6. Belum Sekolah 145 Sumber: Kecamatan Karang Intan Dalam Angka Tahun 2011
4.2.3
Bi‟ih 1.053 146 105 11 192 114
Mata Pencaharian Masyarakat di Desa Mandiangin Barat dan Desa Bi‟ih Kecamatan Karang
Intan sebagian besar (80-83%) bekerja sebagai petani, yaitu penggarap sawah dan pengelola kebun karet. Petani pada masyarakat Desa Mandiangin Barat dan Desa Bi‟ih Kecamatan Karang Intan berdasarkan jenis lahan garapan terdiri dari petani sebagai penggarap sawah saja, pengelola kebun karet saja serta penggarap sawah dan juga pengelola kebun karet. Lahan sawah dan kebun karet yang diusahakan masyarakat seluruhnya milik pribadi masyarakat. Tabel 7 Mata pencaharian masyarakat di Desa Mandiangin Barat dan Desa Bi‟ih No. Mata Pencaharian Pokok Penduduk
Desa Mandiangin Barat
1. Petani 1.279 2. Buruh 84 3. PNS/TNI 23 4. Pensiunan 15 5. Pedagang 49 6. Lainnya 92 Sumber: Kecamatan Karang Intan Dalam Angka Tahun 2011
Bi‟ih 958 63 18 12 35 97
Dari Tabel 7 tersebut diketahui bahwa yang memiliki mata pencaharian pokok sebagai petani di Desa Mandiangin Barat, sebanyak 1.279 jiwa (82,94%), sedangkan di Desa Biih sebanyak 959 jiwa (81,07%). Keadaan tersebut menunjukkan bahwa penduduk pada Desa Mandiangin Barat dan Desa Bi‟ih merupakan masyarakat agraris dengan klasifikasi sebagai desa swasembada pangan.
33 4.2.4
Penggunaan Lahan Penggunaan
lahan
di
Kecamatan
Karang
Intan
terdiri
dari
pemukiman/pekarangan/lahan untuk bangunan dan halaman, sawah, kebun/dukuh, ladang/huma, penggembalaan/padang rumput, kolam/tebat/empang, lahan kering yang tidak diusahakan, hutan negara, perkebunan, dan lain-lain dengan luas masing-masing sebagaimana tercantum pada Tabel 8. Tabel 8 Penggunaan lahan di Kecamatan Karang Intan Penggunaan Lahan
No. 1.
Pemukiman/pekarangan/lahan
Luas Hektar (ha)
Persentase (%)
894
4,14
untuk bangunan dan halaman 2.
Sawah
2.652
12,29
3.
Kebun/dukuh
5.994
27,77
4.
Ladang/huma
839
3,89
5.
Penggembalaan/padang rumput
279
1,29
6.
Kolam/tebat/empang
100
0,46
7.
Lahan kering yang tidak diusahakan
4.698
21,77
8.
Hutan Negara
230
1,06
9.
Perkebunan
550
2,55
10.
Lain-lain
5.349 21.585
24,78 100,00
Jumlah
Sumber: Kecamatan Karang Intan Dalam Angka Tahun 2011. Berdasarkan Tabel 8 diketahui bahwa penggunaan lahan untuk kebun/dukuh dan sawah merupakan dua penggunaan lahan terbesar di wilayah Kecamatan Karang Intan. Penggunaan lahan yang paling besar adalah untuk kebun/dukuh seluas 5.994 ha (27,77%) sedangkan yang kedua adalah untuk sawah seluas 2.652 ha (12,29%) dari total lahan keseluruhan seluas 21.585 ha. Data ini menunjukkan bahwa penggunaan lahan untuk kebun/dukuh di Kecamatan Karang Intan masih sangat luas, meskipun pengelolaan kebun/dukuh tersebut hanya sebagai pekerjaan sampingan, karena pekerjaan pokok mereka mayoritas adalah sebagai petani penggarap sawah dan atau petani pengelola kebun karet.
34
4.2.5
Sarana dan Prasarana Sarana dan prasarana yang terdapat di Kecamatan Karang Intan umumnya
serta Desa Mandiangin Barat dan Desa Bi‟ih khususnya masih sangat minim. Sarana dan prasarana yang terdapat di Desa Mandiangin Barat dan Desa Bi‟ih seperti rumah, kantor desa, balai pertemuan, sekolah, puskesmas pembantu, polindes, posyandu, Mesjid, Musholla/Langgar, serta jalan pada umumnya masih sangat sederhana. Adapun keadaan sarana dan prasarana di Desa Mandiangin Barat dan Desa Bi‟ih secara rinci dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Keadaan sarana dan prasarana di Desa Mandiangin Barat dan Desa Bi‟ih No. 1.
2.
3.
4.
5.
Sarana dan Prasarana Infrastruktur dan perumahan a. Rumah b. Kantor Desa c. Balai Pertemuan Fasilitas pendidikan (sekolah) a. TK b. SD c. SLTP d. SLTA Fasilitas Kesehatan a. Puskesmas b. Puskesmas Pembantu c. Polindes d. Posyandu Fasilitas Agama (Ibadah) a. Mesjid b. Musholla/Langgar c. Gereja d. Pura e. Wihara Jalan Umum (lebar ≥ 3 meter) a. Aspal (km) b. Kerikil (km)
Desa Mandiangin Barat
Bi‟ih
410 1 1
460 1 1
0 0 2 1
0 2 1 0
0 0 1 1
0 1 1 1
1 3 0 0 0
1 5 0 0 0
3 0
3 2
Sumber: Kecamatan Karang Intan Dalam Angka Tahun 2011.
Keterangan
Negeri & Swasta
Penduduknya 100% Beragama Islam
35
4.3 4.3.1
Karakteristik Responden Umur Rata-rata umur keseluruhan responden adalah 52,92 tahun dengan selang
antara 30 sampai 85 tahun. Khusus untuk Komunitas Dukuh Mandiangin Barat rata-rata umur responden adalah 46,77 tahun dengan selang antara 30 sampai 62 tahun, sedangkan pada Komunitas Dukuh Bi‟ih rata-rata umur responden lebih tinggi yaitu 59,07 tahun dengan selang antara 35 sampai 85 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden tergolong dalam umur produktif (15-59 tahun) sehingga responden di daerah penelitian masih potensial dan produktif untuk melakukan kegiatan pertanian dan kegiatan lainnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dari hasil ini dapat dilihat bahwa masyarakat yang memiliki dan mengelola dukuh adalah petani dari berbagai klasifikasi umur, tidak hanya yang berumur tua, tetapi juga yang masih berumur relatif muda (30 sampai 85 tahun). Tabel 10 Sebaran umur responden No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Komunitas Dukuh Mandiangin Barat Jumlah Persentase (responden) (%) 30 – 39 7 23,33 40 – 49 8 26,67 50 – 59 12 40,00 60 – 69 3 10,00 70 – 79 0 0,00 ≥ 80 0 0,00 Jumlah 30 100,00 Rata-rata 46,77 tahun Rata-rata umur keseluruhan responden Kelompok Umur Responden (Tahun)
Komunitas Dukuh Bi‟ih Jumlah Persentase (responden) (%) 1 3,33 4 13,33 12 40,00 7 23,33 1 3,33 5 16,67 30 100,00 59,07 tahun 52,92 tahun
Sumber: Hasil Analisis dari data primer, 2012. 4.3.2
Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan formal responden pada ke dua komunitas di lokasi
penelitian tersebut termasuk pada kategori rendah. Pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat sebagian besar responden (70%) hanya sampai pada tingkat SD, sedangkan pada Komunitas Dukuh Bi‟ih sebagian besar responden (53%) hanya
36 sampai pada tingkat SD. Tingkat pendidikan responden hingga SLTP pada
Komunitas Dukuh Mandiangin Barat sebanyak 20%, sedangkan pada Komunitas Dukuh Bi‟ih sebanyak 16,67%. Selanjutnya untuk tingkat pendidikan hingga SLTA pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat sebanyak 10%, sedangkan pada
Komunitas Dukuh Bi‟ih sebanyak 23,33%. Pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat
tidak
ada
responden
yang
memiliki
tingkat
pendidikan
hingga
Akademi/Perguruan Tinggi, sedangkan pada Komunitas Dukuh Bi‟ih terdapat 2 orang
responden
(6,67%)
yang
memiliki
tingkat
pendidikan
hingga
Akademi/Perguruan Tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa seluruh responden pernah mengecam pendidikan meskipun sebagian besar hanya sampai tingkat SD/SR. Tabel 11 Tingkat pendidikan responden
No. 1. 2. 3. 4.
Pendidikan Responden SR/SD SLTP SLTA AKADEMI/PT Jumlah
Komunitas Dukuh Mandiangin Barat Jumlah Persentase (responden) (%) 21 70,00 6 20,00 3 10,00 0 0,00 30 100,00
Komunitas Dukuh Bi‟ih Jumlah Persentase (responden) (%) 16 53,33 5 16,67 7 23,33 2 6,67 30 100,00
Sumber: Hasil Analisis dari data primer, 2012. 4.3.3
Jumlah Anggota Keluarga Besar kecilnya jumlah anggota keluarga akan memberikan kontribusi
dalam ketersediaan tenaga kerja dan akan mempengaruhi pemasukan keluarga serta mempengaruhi besar kecilnya konsumsi keluarga. Rata-rata jumlah anggota keluarga responden pada ke dua Komunitas secara keseluruhan adalah 3,12 jiwa, di mana untuk Komunitas Dukuh Mandiangin Barat rata-rata jumlah anggota keluarga responden adalah 3,20 jiwa sedangkan pada Komunitas Dukuh Bi‟ih rata-rata 3,03 jiwa. Pada Tabel 12 dapat dilihat bahwa responden yang memiliki jumlah anggota keluarga 4 orang ke bawah pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat adalah 26 responden (86,67%), pada Komunitas Dukuh Bi‟ih sebanyak 28 responden (93,33%). Hal ini menunjukkan bahwa jumlah anggota keluarga sebagai tenaga kerja responden pada kedua komunitas cukup kecil. Anggota
37 keluarga merupakan sumber tenaga kerja utama dalam kegiatan pertanian, baik untuk pengelolaan sawah, kebun karet, maupun untuk pengelolaan dukuh yang diusahakan oleh keluarga petani, apabila ketersediaan tenaga kerja dalam rumah tangga untuk pengelolaan kegiatan-kegiatan pertanian tersebut tidak ada atau kurang, maka masyarakat akan memanfaatkan tenaga kerja dari pihak keluarga terdekat, tetangga maupun tenaga kerja dari luar desa. Tabel 12 Jumlah anggota keluarga responden No. 1. 2. 3. 4.
Komunitas Dukuh Mandiangin Barat Jumlah Persentase (responden) (%) 1–2 10 33,33 3–4 16 53,33 5–6 3 10,00 ≥7 1 3,33 Jumlah 30 100,00 Rata-rata 3,20 jiwa Rata-rata keseluruhan responden
Jumlah Anggota Keluarga Responden (jiwa)
Komunitas Dukuh Bi‟ih Jumlah Persentase (responden) (%) 10 33,33 18 60,00 2 6,67 0 0,00 30 100,00 3,03 jiwa 3,12 jiwa
Sumber: Hasil Analisis dari data primer, 2012. 4.3.4
Mata Pencaharian Sebagian besar mata pencaharian pokok responden pada ke dua komunitas
adalah bertani (sawah dan karet) yaitu sebanyak 21 responden (70,00%) pada
Komunitas Dukuh Mandiangin Barat, dan 26 responden (86,67%) pada Komunitas Dukuh Bi‟ih. Adapun responden yang mempunyai mata pencaharian pokok bukan petani seperti PNS/Pensiunan, tukang, sopir, bidan kampung dan buruh, juga tetap melakukan kegiatan pengelolaan dukuh sebagai pekerjaaan sampingan. Kegiatan pengelolaan dukuh dilakukan oleh responden tersebut pada saat waktu senggang atau di luar jam kerja dari melakukan pekerjaan pokoknya, dan atau dibantu oleh anggota keluarga yang lain seperti isteri serta anak-anak mereka dalam kegiatan pengelolaan dukuh, yang pasti bahwa seluruh responden memiliki dukuh sebagai pekerjaan sampingan mereka.
38 Tabel 13 Mata pencaharian pokok responden
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Mata Pencaharian Pokok Responden Petani PNS/ Pensiunan Tukang Sopir Bidan kampung Buruh Jumlah
Komunitas Dukuh Mandiangin Barat Jumlah Persentase (responden) (%) 21 70,00 1 3,33 4 13,33 1 3,33 1 3,33 2 6,67 30 100,00
Komunitas Dukuh Bi‟ih Jumlah Persentase (responden) (%) 26 86,67 4 13,33 0 0,00 0 0,00 0 0,00 0 0,00 30 100,00
Sumber: Hasil Analisis dari data primer, 2012.
4.3.5
Luas Kepemilikan Dukuh Luas dukuh yang dimiliki oleh responden pada ke dua komunitas berkisar
antara 0,1 ha – 3,0 ha. Adapun rata-rata luas kepemilikan dukuh untuk seluruh responden pada ke dua komunitas adalah 0,73 ha, di mana untuk Komunitas Dukuh Mandiangin Barat rata-rata luas kepemilikan dukuh responden adalah 0,36 ha, sedangkan pada Komunitas Dukuh Bi‟ih rata-rata 1,10 ha. Data ini menunjukkan bahwa rata-rata luas kepemilikan dukuh masyarakat pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat lebih kecil daripada rata-rata luas kepemilikan dukuh masyarakat pada Komunitas Dukuh Bi‟ih. Secara umum rata-rata luas kepemilikan dukuh pada ke dua komunitas masih cukup luas, terutama pada Komunitas Dukuh Bi‟ih masih sangat luas. Luas kepemilikan dukuh ini tentunya akan sangat berpengaruh pada besarnya pendapatan yang akan diterima oleh masyarakat dari hasil dukuh tersebut. Tabel 14 Luas kepemilikan dukuh responden
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Komunitas Dukuh Mandiangin Barat Jumlah Persentase (responden) (%) 0,1 – 0,5 25 83,33 0,6 – 1,0 5 16,67 1,0 – 1,5 0 0,00 1,5 – 2,0 0 0,00 2,0 – 2,5 0 0,00 2,5 – 3,0 0 0,00 Jumlah 30 100,00 Rata-rata 0,36 ha Rata-rata keseluruhan responden
Luas Kepemilikan Dukuh (ha)
Sumber: Hasil Analisis dari data primer, 2012.
Komunitas Dukuh Bi‟ih Jumlah Persentase (responden) (%) 12 40,00 5 16,67 6 20,00 5 16,67 1 3,33 1 3,33 30 100,00 1,10 ha 0,73 ha
39 4.4 4.4.1
Sistem Pengelolaan Dukuh Proses Terbentuknya Dukuh Menurut Hafizianor (2002), Dukuh di Kecamatan Karang Intan mulai
terbentuk seiring terjadinya perubahan pola bercocok tanam dari pola perladangan bergilir ke pola perladangan menetap sejak tahun 1830. Dukuh yang merupakan peninggalan (warisan) dari kakek–nenek tersebut sampai sekarang masih terpelihara
keberadaannya.
Generasi
di
bawahnya
selalu
berusaha
mempertahankan keberadaan dukuh yang memiliki fungsi sosial-ekonomi dan lingkungan yang handal karena berdasarkan keyakinan mereka bahwa harta warisan berupa dukuh tersebut tidak boleh dijual kecuali dalam kondisi tertentu atau keadaan yang sangat terpaksa. Lahan yang menjadi lokasi dukuh awal mulanya hanya merupakan suatu hamparan luas yang terdiri dari semak belukar, padang alang-alang dan sedikit hutan alam dengan luasan yang relatif kecil. Di areal kosong yang penuh dengan padang alang-alang dan semak belukar tersebut secara berkelompok atau secara individual (keluarga) masyarakat suku Banjar dari Martapura yang berjarak sekitar 20 km dari lokasi berdatangan ke lokasi tersebut dengan tujuan untuk berladang atau berkebun. Tekanan ekonomi yang cukup berat akibat penjajahan Belanda mendorong masyarakat pada saat itu melanglang buana keluar masuk hutan untuk mencari daerah yang cocok sebagai ladang atau kebun. Sebagaimana masyarakat suku Bukit2 maka masyarakat suku Banjar pada saat itu juga mengembangkan aktivitas dan cara-cara memenuhi kebutuhan primernya dengan cara berladang. Menurut Radam (2001) pekerjaan berladang telah dipandang tinggi sehingga menjadi adat nenek moyang yang harus diikuti oleh setiap warga, terlihat oleh pemberian dasar dan pembenarannya bahwa berladang tersebut adalah usaha yang telah diajarkan oleh seorang tokoh pahlawan yang mempunyai sifat-sifat keilahian. Kesadaran berladang memiliki derajat yang tinggi yang diyakini sebagai pekerjaan orang langit. Maka oleh masyarakat suku Banjar pada saat itu di lahan-lahan kosong non-produktif tersebut didirikan lampau3. Di sekitar
2 3
Nama suku pedalaman di Kalimantan Selatan Pondok-pondok kecil sebagai tempat tinggal sementara
40 lampau tersebut masyarakat melakukan aktivitas perladangan dan sambil berladang mereka juga melakukan penanaman tanaman buah dan karet baik secara campuran ataupun secara terpisah. Dari waktu kewaktu dan secara turun temurun proses tersebut terus berlangsung yang pada akhirnya dengan motto parang kada lapas di awak4 areal kosong yang tidak produktif tersebut berubah menjadi pemukiman/perkampungan dengan tanaman buah-buahan dan karet yang terhampar luas menghijau. 4.4.2
Penanaman/Permudaan Sebagian besar pohon buah yang terdapat di dalam dukuh saat ini sudah
berumur tua hingga ratusan tahun, tetapi secara umum produksinya pada setiap musim buah masih tinggi. Berdasarkan kondisi tersebut kegiatan permudaan atau penanaman tanaman buah hanya dilakukan seperlunya. Proses permudaan hanya berlangsung secara alami dimana anakan yang terdapat di dalam dukuh berasal dari biji-biji buah yang tertinggal. Jika anakan tersebut tumbuh pada lokasi yang tepat, tidak ternaungi secara keseluruhan oleh tajuk pohon diatasnya maka anakan tersebut akan dipelihara oleh masyarakat, tapi jika tumbuh pada lokasi yang kurang tepat anakan tersebut akan dimatikan atau dipindahkan ke lokasi yang tepat. Masyarakat pemilik dukuh membuat dukuh-dukuh baru pada lahan kosong atau di bawah tegakan pohon karet yang sudah tua dan sebagian sudah ditebang. Kesadaran membuat dukuh baru di luar dukuh yang lama dilakukan masyarakat karena mereka menyadari akan arti penting dukuh sebagai sebuah investasi untuk anak cucu mereka. Proses pembuatan dukuh di areal tegakan pohon karet tua dilakukan dengan menanam bibit tanaman buah yang jenisnya sama dengan tanaman buah pada dukuh tua misalnya seperti durian, langsat, cempedak dan rambutan. Penanaman dilakukan pada awal musim hujan agar tanaman tidak mati kekeringan. Jarak tanamnya tidak beraturan, tetapi hanya mengikuti keadaan areal dimana ada lokasi kosong maka dilokasi tersebut akan dilakukan penanaman. Pada areal yang masih kosong proses pembuatan dukuh diawali 4
Motto atau semboyan yang dipegang oleh petani agar selalu bekerja keras, yang dalam bahasa Indonesia berarti “Parang Selalu Melekat di Badan”.
41 dengan penanaman pohon pisang yang dapat berfungsi sebagai naungan kemudian setelah itu baru dilakukan penanaman tanaman buah yang terdiri dari durian, langsat dan cempedak. Langsat ditanam di antara durian dan cempedak dengan jarak tanam 8 x 9 m2 atau 15 x 15 m2 diatur sedemikian rupa agar tidak terganggu dan tidak mengganggu tanaman pisang. Secara bertahap kalau pertumbuhannya sudah stabil pohon-pohon pisang sebagian akan dibuang. Dalam pembuatan dukuh ini bibitnya berasal dari bibit lokal dimana masyarakat menyemai sendiri dari biji yang berasal dari pohon buah unggul; dari segi rasa, aroma dan warna yang diperoleh dari dukuh tua.
Berdasarkan
pengalaman seorang responden jika dipelihara secara intensif durian akan berbuah pada umur delapan tahun dan cempedak akan berbuah pada umur lima tahun. Adapun yang menjadi pertimbangan masyarakat di dalam memilih jenis tanaman buah yang ditanam di areal dukuh yaitu (1) jenis tanaman buah tersebut cocok tumbuh dengan kondisi ekologis setempat yang dicerminkan oleh keberadaan jenis tanaman buah tersebut tumbuh di dalam dukuh (2) secara ekonomi menguntungkan karena permintaan pasar cukup tinggi. 4.4.3
Pemeliharaan Kegiatan pemeliharaan dukuh dapat berlangsung pada dukuh tua dan
dukuh muda yang baru dibuat. Pada dukuh tua intensitas pemeliharaan dukuh akan mulai dilakukan pada awal musim berbuah yaitu ketika tanaman buah mulai berbunga sampai kegiatan panen selesai.
Kegiatan pemeliharaan berupa
penyiangan tanaman bawah, pada pohon durian dilakukan sebelum kegiatan panen dengan tujuan untuk memudahkan pemungutan durian-durian yang jatuh, pada pohon cempedak dilakukan justru setelah panen selesai dimana sisa-sisa penyiangan tersebut dibiarkan membusuk di bawah tegakan cempedak, pada tanaman langsat penyiangan tanaman bawah tidak terlalu perlu dilakukan dengan alasan untuk menjaga kelembaban tanah. Bentuk pemeliharaan yang lain berupa pemberian garam ke dalam parit di sekitar pohon durian setelah panen selesai dan pengamanan bunga dan buah tanaman dukuh dari serangan binatang pengganggu. Dalam satu tahun kegiatan pemeliharaan dukuh tua pada dukuh gunung berlangsung satu sampai dua kali tapi pada dukuh rumah sebagian masyarakat
42 akan melakukan pemeliharaan rutin jika ada waktu senggang di luar pekerjaan pokok. Pemeliharaan pada dukuh muda yang baru dibuat dilakukan dengan cara penyiangan, pendangiran dan pemupukan seperlunya. Tujuan dari pendangiran dan penyiangan adalah untuk menggemburkan tanah, merangsang pertumbuhan tanaman dan memudahkan pemeliharaan. Sedangkan pemupukan bertujuan untuk memelihara kesuburan tanah dan memberikan unsur hara ke dalam tanah baik secara langsung ataupun tidak langsung.
Masyarakat biasanya lebih senang
menggunakan pupuk kandang atau kompos. 4.4.4
Pemanenan Buah yang dipanen biasanya jika mencapai kematangan optimum dan
memiliki sifat-sifat yang dapat diterima dari segi warna, bau aroma, tekstur dan sifat-sifat lainnya. Buah yang dipanen baik dalam keadaan tua (buah-buahan yang klimakterik) yang matang setelah dipetik maupun dalam keadaan matang (nonklimakterik) yang tidak akan menjadi lebih matang setelah dipetik. Kualitas buah yang dipanen sangat dipengaruhi oleh dua faktor: pertama, kemampuan pemetik untuk memilih buah yang tua, dan kedua, cara memanen yang dilakukan. Pemanenan pada setiap pohon buah menggunakan cara yang berbeda-beda menurut masing-masing jenis buahnya. Pemanenan pada pohon durian dengan cara membiarkan buah masak sampai jatuh ke tanah. Oleh karena itulah setiap pemilik dukuh pada musim buah akan berjaga di lampau-lampau kecil di dalam dukuh untuk memunguti buah durian yang jatuh. Banyaknya buah yang jatuh tergantung tingkat kelebatan pohon berbuah tapi biasanya ± 20 biji/pohon/hari yang dapat berlangsung selama satu bulan dan dalam satu pohon bisa menghasilkan buah sebanyak 200 sampai 300 biji tapi ada juga yang sampai 500 biji dalam satu pohon. Cara pemanenan seperti ini selain karena disebabkan pohon durian tersebut tumbuhnya terlalu tinggi, juga dalam rangka menjaga kualitas buah. Pohon durian yang pemanenannya dengan cara dipetik pada musim buah berikutnya akan menghasilkan kualitas buah yang kurang bagus.
43 Pemanenan buah langsat dilakukan dengan menggunakan galah5, bisa dipetik dari tanah atau dengan cara memanjat sebagian pohon langsat, dalam satu pohon dapat menghasilkan l – 2 pikul6. Pada pohon cempedak yang bisa berbuah dari ketinggian kurang lebih satu meter dari atas tanah agar tidak merusak buah yang belum matang masyarakat biasanya memanen dengan sigai7, alat panjat seperti tangga terbuat dari bambu yang diletakkan permanen di samping pohon cempedak. Kemudian agar buah yang dipetik tidak diserang lalat buah ketika masih berumur sekitar dua bulan buah dibungkus. Buah akan matang setelah 3 – 6 bulan dihitung mulai awal pembungaan, tergantung kepada genotipe dan iklim. Cempedak biasanya berbuah lebat seperti nangka, bergelayutan di batang dan di dahan dalam satu pohon buahnya dapat menghasilkan l00 – 300 biji, produk hasil utama dukuh berupa buah durian, cempedak, langsat dapat dilihat pada tabel 15. Tabel 15 Estimasi hasil produksi dukuh pada tiga jenis tanaman buah Jenis Tanaman buah Hasil Buah/Pohon Durian Panen I < 200 biji Panen II 200 – 300 biji Panen III < 200 biji Cempedak Panen I < 100 biji Panen II 100 – 200 biji Panen III < 100 biji Langsat Panen I < 1 pikul Panen II 1 - 2 pikul Panen III < 1 pikul Sumber: Hasil Analisis dari data primer, 2012.
Harga Jual Ditempat (Rp) 8.000 s/d 30.000/ biji 5.000 s/d 10.000/ biji 10.000 s/d 20.000/ biji 5.000 s/d 10.000/ biji 3.000 s/d 4.000/ biji 1.000 s/d 2.000/ biji 500.000 s/d 600.000/ pikul 600.000 s/d 800.000/ pikul 800.000 s/d 1.000.000/ pikul
Berdasarkan tabel 15 terlihat bahwa dengan tiga fase panen yang berbeda menyebabkan harga jual yang berbeda pula. Pada bulan Juli-September tanaman buah di dalam dukuh akan mulai berbunga secara bergantian pada jenis tanaman buah yang berbeda. Pada bulan Oktober – Desember akan mulai dilakukan kegiatan pemanenan. Secara berurutan kegiatan pemanenan akan dimulai pada durian kemudian cempedak dan terakhir langsat.
5
Alat pemetik buah langsat yang terbuat dari kayu. Satuan berat menurut istilah lokal, 1 pikul sama dengan 1 kwintal (100 kg). 7 Alat pemanjat pohon yang dibentuk seperti tangga yang dibuat dari bambu. 6
44 Panen pertama pada durian akan berlangsung ketika jenis tanaman buah yang lain belum siap untuk dipanen sehingga harga jual durian pada panen pertama jauh lebih tinggi dibanding panen kedua. Penurunan harga pada panen kedua disebabkan keberadaan buah durian melimpah karena terjadi panen buah durian secara serentak di dukuh-dukuh milik masyarakat ditambah dengan munculnya tanaman-tanaman buah lainnya yang sudah siap untuk dipanen. Pada panen ketiga harga jual durian kembali naik karena keberadaan buah durian sudah sangat berkurang. Keadaan tersebut berbeda dengan keadaan pemanenan cempedak. Pada cempedak dari panen pertama sampai panen ketiga harganya justru menurun. Hal ini karena disebabkan pada panen pertama cempedak masih sedikit ada di pasaran sehingga harganya mahal, sedangkan ketika dilakukan panen kedua dan ketiga cempedak dan buah-buahan lainnya melimpah di pasaran. Keadaan ini berlaku sebaliknya pada langsat yang dari panen pertama sampai ketiga harga jualnya justru menaik. Hal ini karena disebabkan pada saat panen pertama bersamaan dengan kegiatan pemanenan jenis tanaman buah yang lain sehingga harganya murah. Pada panen kedua dan ketiga harga jual langsat mulai naik seiring dengan berkurangnya keberadaan jenis tanaman buah lainnya di pasaran. Langsat memang merupakan jenis tanaman buah yang terakhir dapat dipanen dari dalam dukuh. 4.4.5
Pengaturan Hasil/Pemasaran Pengaturan hasil oleh masyarakat pemilik dukuh setelah kegiatan panen
melibatkan
praktek-praktek
pengangkutan
buah,
memilah-milah
atau
menggolongkan buah dan memasarkannya. Pengangkutan buah dari dukuh ke rumah pada dukuh rumah biasanya menggunakan kendaraan roda dua, sedangkan pada dukuh gunung yang cuma dapat ditempuh dengan jalan kaki karena lokasinya yang jauh dan berbukit-bukit maka pengangkutan buah dilakukan dengan tenaga manusia. Pengangkutan biasanya menggunakan ladung8. Upah
8
Alat angkut buah tradisional yang terbuat dari anyaman rotan yang digunakan dengan cara disandang di atas bahu seperti ransel.
45 angkut untuk satu ladung sekitar Rp 20.000,- dan dalam satu hari ada yang mampu mengangkat lima kali per-satu ladung. Proses pemilahan dan penggolongan buah ditujukan pada buah durian. Setiap pohon durian memiliki kekhasan tersendiri sesuai nama-nama yang diberikan. Durian panyangat dari desa Biih merupakan durian yang dari segi kualitas buah menjadi durian terbaik nomor satu se-Kalimantan Selatan. Setelah durian jatuh dari pohon pemilik dukuh akan mengelompokkan durian tersebut berdasarkan nama-namanya sehingga akan memudahkan transaksi dengan pembeli desa atau pedagang perantara dalam mematok harga setiap biji. Kegiatan pemasaran buah-buahan hasil dukuh berlangsung di dua tempat yaitu di dalam dukuh dan di rumah pemilik dukuh melalui pedagang perantara. Adapun proses pemasaran tersebut dapat digambarkan seperti diagram di bawah ini.
Pemilik Dukuh
Pedagang Perantara
Pasar
Konsumen
Gambar 3 Diagram pemasaran hasil-hasil dukuh. Berdasarkan diagram di atas terlihat bahwa pemilik dukuh tidak langsung menjual hasil produk dukuhnya ke konsumen tetapi melalui pedagang perantara yang langsung datang ke dukuh atau ke rumah pemilik dukuh. Pedagang perantara tersebut kebanyakan berasal dari desa yang bersangkutan dan desa-desa disekitarnya. Pedagang perantara tersebut adalah penduduk yang tidak memiliki dukuh. Transaksi biasanya berlangsung cepat karena antara pemilik dukuh dan pedagang perantara sudah memahami dengan baik standar harga yang telah menjadi kesepakatan bersama. Untuk menghindari terjadinya monopoli oleh pedagang perantara tertentu pemilik dukuh tidak pernah terikat dengan hanya satu orang pembeli melalui suatu perjanjian tapi setiap pedagang perantara bebas untuk membelinya. Harga jual buah-buahan tersebut menggunakan satuan biji atau pikul seperti disebutkan dalam tabel 13. Sistem pemasaran selain dengan cara di atas ada juga dengan cara borongan. Pemilik dukuh akan menawarkan harga buah yang masih di pohon kemudian pembeli akan menaksir harganya sesuai kuantitas dan kualitas buah-
46 buahan yang ada di dukuh. Sistem seperti ini sangat jarang dilakukan kecuali jika pemilik dukuh berhalangan untuk mengelola sendiri panenan di dukuhnya. Pengaturan hasil panen dukuh pemasarannya masih terbatas dalam bentuk buah segar dan belum ada upaya pengolahan buah segar menjadi makanan atau buahbuahan yang dapat diawetkan, namun sejauh ini masyarakat juga tidak terlalu dipusingkan dengan proses pengawetan tersebut karena hasil dukuh berupa buah segar selalu laku dijual.