6
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi Mangrove Asal kata "mangrove" menurut Macnae (1968) dalam Noor et al. (1999) menyebutkan kata mangrove merupakan perpaduan antara bahasa Portugis mangue dan bahasa Inggris grove. Sementara itu,
menurut Mastaller (1997)
dalam Noor et al. (1999) kata mangrove berasal dari bahasa Melayu kuno mangimangi yang digunakan untuk menerangkan marga Avicennia dan masih digunakan sampai saat ini di Indonesia bagian timur. Melana et al. (2000) mendefenisikan mangrove adalah sebuah tipe hutan yang tumbuh disepanjang pantai, yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut, berada pada wilayah pantai yang dangkal serta meluas sampai pada sungai yang kadar airnya agak asin, serta saling berinteraksi dan berasosiasi dengan aquatic fauna, faktor-faktor sosial dan fisik dari lingkungan pantai. Kathiresan dan Bingham (2001) mendefinisikan hutan mangrove sebagai hutan yang terutama tumbuh pada tanah lumpur di daerah pantai dan muara sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut, dan terdiri atas jenis-jenis pohon Aicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Lumnitzera, Excoecaria, Xylocarpus, Aegiceras, Scyphyphora dan Nypa. Pada dasarnya,
menurut
Wightman (1989) yang lebih penting untuk diketahui tentang komunitas mangrove adalah menentukan mana yang termasuk dan mana yang tidak termasuk mangrove. Dia menyarankan seluruh tumbuhan vaskular yang terdapat di daerah yang dipengaruhi pasang surut termasuk mangrove. Selain itu Nybakken (1988), menyatakan hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa species pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Hutan mangrove disebut juga “Coastal Woodland” (hutan pantai) atau “Tidal Forest” (hutan pasang surut)
hutan
bakau,
yang
merupakan
karakteristiknya terdapat di daerah tropika.
formasi
tumbuhan
litoral
yang
7
2.2. Fungsi dan Manfaat Mangrove Menurut Mukhtasor (2007) secara ekologis hutan mangrove mempunyai banyak fungsi dalam kehidupan manusia baik secara langsung maupun tidak langsung. Ekosistem mangrove bagi bermacam biota perairan (ikan, udang, dan kerang-kerangan) berfungsi sebagai tempat mencari makan, memijah, memelihara juvenil, dan berkembang biak. Hutan mangrove merupakan habitat berbagai jenis satwa, baik sebagai habitat pokok maupun sebagai habitat sementara, penghasil sejumlah detritus, dan perangkap sedimen. Dari segi ekonomis, vegetasi ini dapat dimanfaatkan sebagai sumber penghasil kayu bangunan, bahan baku pulp dan kertas, kayu bakar, bahan arang, alat tangkap ikan dan sumber bahan lain, seperti tannin dan pewarna. Mangrove juga mempunyai peran penting sebagai pelindung pantai dari hempasan gelombang air laut serta penyerap logam berat dan pestisida yang mencemari laut. Akar mangrove, jenis Avicennia marina (biasa disebut dengan pohon apiapi), dapat digunakan sebagai indikator biologis pada lingkungan yang tercemar logam berat terutama tembaga (Cu), timbal (Pb), dan seng (Zn) melalui monitoring secara berkala
(MacFarlane et al. 2003). Spesies Avicennia
menunjukkan toleransi yang lebih besar dan dapat mengakumulasi banyak jenis logam berat daripada spesies mangrove yang lain (Thomas dan Eong, 1984; Peng, et al., 1997; dalam MacFarlane et al. 2003). Lebih lanjut dikatakan oleh MacFarlane et al. (2003), bahwa peningkatan akumulasi logam ini dikarenakan adanya translokasi penyerapan udara melalui lenti sel ke akar. Selain itu, penurunan pH sedimen ditemukan dapat meningkatkan akumulasi logam pada akar avicennia. Peningkatan konsentrasi logam berat pada sedimen menghasilkan tingkat akumulasi logam berat yang lebih besar juga pada akar dan daun avicennia. Yim dan Tam (1999) dalam MacFarlane et. al (2003), menemukan bahwa hanya sedikit logam berat yang terakumulasi pada daun dan banyak yang terserap dan terakumulasi di batang dan akar avicennia. Pada akar, Cu dapat terakumulasi 1,66 kali lebih besar daripada yang terkandung pada sedimen. Sedangkan Zn terakumulasi pada akar 1,21 kali lebih besar dari pada yang terkandung pada sedimen.
8
Liyanage (2004) mengemukakan bahwa nilai keuntungan (manfaat) tidak langsung dirasakan lebih tinggi jika dibandingkan dengan manfaat langsungnya, antara lain menurunkan tingkat erosi dipantai dan sungai, mencegah banjir, mencegah intrusi air laut, menurunkan tingkat polusi pencemaran produksi bahan organik, sebagai sumber makanan, sebagai daerah asuhan, pemijahan, dan mencari makan beberapa biota jenis biota laut. Menurut Melana et al. (2000)
terdapat 6 fungsi ekosistem mangrove
ditinjau dari ekologi dan ekonomi yaitu : 1) Mangrove menyediakan daerah asuhan untuk ikan ,udang dan kepiting serta mendukung produksi perikanan diwilayah pesisir. 2) Mangrove menghasilkan serasah daun dan bahan-bahan pengurai yang berguna sebagai bahan makanan hewan hewan estuari dan peraira pesisir. 3) Mangrove melindungi daerah sekitar dengan melindungi daerah pesisir dan masyarakat didalamnya dari badai, ombak, pasang surut dan topan. 4) Mangrove menghasilkan bahan organik (organic biomass) yaitu karbon dan menurunkan polusi bahan organik didaerah tepi dengan menjebak dan menyerap berbagai polutan yang masuk kedalam air. 5) Dari segi estetika mangrove menyediakan daerah wisata untuk pengamatan burung, dan pengamatan jenis satwa-satwa lainnya. 6) Mangrove merupakan sumber untuk bahan bakar kayu dan atap dari nipah untuk bahan bangunan serta tambak untuk budidaya perikanan. Benih dapat dipanen dan dijual, ikan, udang dan kerang juga dapat dipanen dari ekosistem mangrove. Akuakultur dan perikanan komersial juga tergantung pada untuk perkembangan benih dan ikan-ikan dewasa. Selain itu mangrove juga sebagai sumber tannin, alkohol dan obat-obatan.
2.3.
Zonasi dan Struktur Vegetasi Mangrove Menurut Noor et al. (1999) mangrove pada umumya tumbuh dalam 4
(empat) zona yaitu, pada daerah terbuka, daerah tengah, daerah yang memiliki sungai berair payau sampai hampir tawar, serta daerah ke arah daratan yang memiliki air tawar. Lebih jelasnya masing - masing zona diuraikan sebagai berikut :
9
a) Mangrove Terbuka, berada pada bagian yang berhadapan dengan laut.
Komposisi floristic dari komunitas di zona terbuka sangat tergantung pada substratnya. Contoh tanamannya adalah Sonneratia alba yang mendominasi daerah berpasir sementara Avicennia marina dan Rhizophora mucronata cenderung untuk mendominasi daerah yang berlumpur. b) Mangrove tengah, terletak di belakang mangrove zona terbuka. Di zona ini
biasanya didominasi oleh jenis Rhizophora. Jenis-jenis penting lainnya yang ditemukan adalah Bruguiera gymnorhiza, Excoecaria agallocha, Rhizophora mucronata, Xylocarpus granatum dan X moluccensis. c) Mangrove payau, berada di sepanjang sungai berair payau hingga hampir
tawar. Di zona ini biasanya didominasi oleh komunitas Nypa atau Sonneratia. Di jalur lain biasanya ditemukan tegakan Nypa fruticans yang bersambung dengan vegetasi yang terdiri atas Cerbera sp., Gluta renghas, Stenochlaena palustris, dan Xylocarpus granatum. Ke arah pantai campuran komunitas Sonneratia-Nypa lebih sering ditemukan. d) Mangrove daratan, berada di zona perairan payau atau hampir tawar di
belakang jalur hijau mangrove sebenamya. Zona ini memiliki kekayaan jenis yang lebih tinggi dibandingkan dengan zona lainnya. Jenis-jenis yang umum ditemukan pada zona ini termasuk Ficus microcarpus, Ficus retusa, Intsia bijuga, Nypa fruticans, Lumnitzera racemoza, Pandanus sp., dan Xylocarpus moluccensis. Menurut Bengen (2001)
penyebaran dan zonasi hutan mangrove
tergantung oleh berbagai faktor lingkungan. Berikut salah satu tipe zonasi hutan mangrove di Indonesia : -
Daerah yang paling dekat dengan laut, dengan substrat agak berpasir, sering ditumbuhi oleh Avicennia spp. Pada zona ini biasa berasosiasi Sonneratia spp. Yang dominan tumbuh pada lumpur dalam yang kaya bahan organik.
-
Lebih ke arah darat, hutan mangrove umumnya didominasi oleh Rhizophora spp. Di zona ini juga dijumpai Bruguiera spp. dan Xylocarpus spp.
-
Zona berikutnya didominasi oleh Bruguiera spp.
10
-
Zona transisi antara hutan mangrove dengan hutan dataran rendah biasa ditumbuhi oleh Nypa fruticans, dan beberapa spesies palem lainnya.
2.4.
Peranan Mangrove Bagi Biota Laut Clark (1996) mengemukakan bahwa secara ekologis,
ekosistem
mangrove memainkan peran penting di daerah pesisir. Peran yang sangat menonjol adalah mangrove dapat memproses makanan yang merupakan suplai pangan dari dataran lumpur ke bentuk yang tersedia dan dapat dimanfaatkan oleh berbagai jenis hewan laut seperti ikan, kepiting dan kerang-kerangan yang dapat dimakan oleh manusia. Mangrove disamping melengkapi pangan untuk biota laut, juga mampu menciptakan iklim yang cocok untuk biota tersebut, dimana sebagaian besar biota laut (ikan, udang dan kepiting) yang bernilai ekonomis penting hidup di daerah mangrove. Menurut Parawansa (2007)
gambaran umum mengenai peranan suatu
habitat mangrove bagi biota laut dapat dilihat dari suatu model jaringan pangan (food web). Pada dasarnya sumbangsih mangrove terhadap kehidupan biota laut adalah melalui guguran serasah vegetasi (termasuk kotoran sisa/ tubuh fauna yang mati) ke lantai hutan. Serasah ini akan terdekomposisi oleh cendawan dan bakteri menjadi detritus, yang mana detritus tersebut merupakan makanan utama bagi konsumer primer. Selanjutnya konsumen primer ini akan menunjang kehidupan biota tingkat konsumer sekunder dengan top-konsumer di suatu habitat mengrove. Kusmana (2000) mengemukakan bahwa Produktivitas primer habitat mangrove akan diperkaya oleh komunitas alga di lumpur dan akar, komunitas lamun, komunitas fitoplankton dan laut, dan limbah organik terlarut (dissolvedorganic compound) dari laut dan daratan. Kesemua fenomena ini akan mempertinggi produktivitas primer habitat mangrove. Tingginya produktivitas primer hutan mangrove salah satunya dapat dilihat dari produktivitas serasah hutan tersebut yang umumnya beberapa kali lipat produktivitas- Serasah tipe hutan daratan, yakni sekitar 5,7 sampai 25,7 ton/ha per tahun. Kondisi habitat mangrove seperti ini mengakibatkan ekosistem mangrove berperan sebagai feeding, spawning dan nursery ground bagi berbagai jenis biota laut (khususnya ikan dan udang) untuk menghabiskan sebagian bahkan seluruh siklus hidupnya.
11
Sebagian besar hutan mangrove mempunyai toleransi yang rendah terhadap garam, tetapi pada daerah mangrove mengalami setidaknya dua kali sehari pasang naik air asin. Bahkan ada spesies yang tahan sampai kadar garam 90%. Akar mangrove dapat melakukan fitrasi untuk dapat beradaptasi dari fluktuasi kadar garam (Ball et al. 1997) 2.5.
Asosiasi Mangrove Dengan Biota Laut Menurut Saravanan et al. (2008) mangrove adalah daerah perikanan yang
lebih subur, mangrove dapat memproses makanan yang merupakan suplai pangan dari dataran lumpur dan dapat dimanfaatkan oleh hewan-hewan laut seperti ikan kepiting dan kerang-kerangan yang dapat dimakan oleh manusia. Mangrove selain melengkapi kebutuhan pangan untuk biota laut, juga mampu untuk menciptakan iklim yang cocok untuk biota tersebut. Sebagian besar jenis biota laut (ikan udang dan kepiting) yang bernilai ekonomis penting hidup didaerah mangrove. Nontji (2007) juga mengemukakan bahwa daun mangrove yang gugur segera menjadi bahan makanan berbagai jenis hewan air atau dihancurkan terlebih dahulu oleh bakteri dan fungi (jamur) dan kemudian menjadi bahan penting bagi cacing, krustasea. Selain itu beberapa produk perikanan di indonesia yang mempunyai nilai ekonomis penting berhubungan erat dengan ekosistem mangrove, seperti udang (Penaeus), kepiting (Scylla serrata)
dan tiram
(Crassostrea) selain itu ikan komersial juga mempunyai kaitan dengan mangrove, misalnya bandeng dan belanak 2.6. Faktor Lingkungan Yang Mempengaruhi Kehidupan Mangrove Dahuri (2003) mengindentifikasi beberapa faktor penyebab kerusakan ekosistem hutan mangrove yaitu: 1) Konversi kawasan hutan mangrove secara tak terkendali menjadi tambak,
pemukiman, dan kawasan industri. 2) Terjadi tumpang tindih pemanfaatan kawasan hutan mangrove untuk
berbagai kegiatan pembangunan. 3) Penebangan mangrove untuk kayu bakar, bahan bangunan dan kegunaan
lainnya melebihi kemampuan untuk pulih (renewable capacity). 4) Pencemaran akibat buangan limbah minyak, industri, dan rumah tangga.
12
5) Pengendapan akibat pengelolaan kegiatan lahan atas yang kurang baik. 6) Proyek pengairan yang dapat mengurangi aliran masuk air tawar (unsur
hara) ke dalam ekosistem hutan mangrove. 7) Proyek pembangunan yang dapat menghalangi atau mengurangi sirkulasi
arus pasang surut. Sedangkan Kusmana (2005) bahwa terdapat beberapa faktor lingkungan yang mendukung ekosistem mangrove
(struktur, fungsi, komposisi dan distribusi
spesies, dan pola pertumbuhan) yakni sebagai berikut: 1)
Fisiografi pantai Topografi pantai merupakan faktor penting yang mempengaruhi karakteristik struktur mangrove, khususnya komposisi spesies, distribusi spesies dan ukuran serta luas mangrove. Semakin datar pantai dan semakin besar pasang surut maka semakin lebar mangrove yang tumbuh.
2) Iklim
a. Cahaya Umumnya tanamaan mangrove membutuhkan intensitas cahaya matahari yang tinggi dan penuh, sehingga zona pantai tropis merupakan habitat ideal
bagi
mangrove.
Kisaran
intensitas
cahaya
optimal
pertumbuhan mangrove adalah 3000 – 3800 kkal/m2/hari.
untuk
Pada saat
masih kecil (semai) tanaman mangrove memerlukan naungan. Beberapa hasil penelitian menunjukkan: – Intensitas cahaya 50% dapat meningkatkan daya tumbuh bibit
Rhizopora mucronata dan Rhizophora apiculata. – Intensitas cahaya 75% mempercepat pertumbuhan bibit Bruguiera
gymnorrhiza. – Intensitas cahaya 75% meningkatkan pertumbuhan tinggi bibit
Rhizopora
mucronata,
Rhizophora
apiculata
dan
Bruguiera
gymnorrhiza. b. Curah hujan Curah hujan mempengaruhi faktor lingkungan seperti suhu air dan udara, salinitas air permukaan tanah yang berpengaruh pada daya tahan spesies
13
mangrove. Dalam hal ini mangrove tumbuh subur di daerah curah hujan rata-rata 1500 – 3000 mm/thn. c. Suhu udara Suhu penting dalam proses fisiologi seperti fotosintesis dan respirasi. d. Angin Angin berpengaruh terhadap gelombang dan arus pantai, yang dapat menyebabkan abrasi dan mengubah struktur mangrove, meningkatkan evapotranspirasi dan angin kuat dapat menghalangi pertumbuhan dan menyebabkan
karakteristik
fisiologis
abnormal,
namun
demikian
diperlukan untuk proses polinasi dan penyebaran benih tanaman. 3) Pasang surut
Pasang surut menentukan zonasi komunitas flora dan fauna mangrove. Durasi pasang surut berpengaruh besar terhadap perubahan salinitas pada areal mangrove. Perubahan tingkat salinitas pada saat pasang merupakan salah satu faktor yang membatasi distribusi spesies mangrove terutama distribusi horizontal. Pada area yang selalu tergenang hanya Rhizophora Mucronata yang tumbuh baik, sedang Bruguiera spp. dan Xylocarpus spp. jarang mendominasi daerah yang sering tergenang. 4) Gelombang dan arus
Gelombang pantai yang dipengaruhi angin dan pasut merupakan penyebab penting abrasi dan suspensi sedimen. Pada pantai berpasir dan berlumpur, gelombang dapat membawa partikel pasir dan sedimen laut. Partikel besar atau kasar akan mengendap terakumulasi membentuk pantai pasir. Mangrove akan tumbuh pada lokasi yang arusnya tenang. 5) Salinitas
Salinitas air dan salinitas tanah rembesan merupakan faktor penting dari pertumbuhan, daya tahan dan zonasi spesies mangrove. Tumbuhan mangrove tumbuh subur didaerah estuaria dengan salinitas 10-30 ppt. beberapa spesies dapat tumbuh didaerah dengan salinitas yang tinggi. 6) Oksigen terlarut
Oksigen terlarut sangat penting bagi eksistensi flora dan fauna mangrove (terutama dalam proses fotosintesis dan respirasi) dan percepatan
14
dekomposisi serasah sehingga konsentrasi oksigen terlarut berperan mengontrol distribusi dan pertumbuhan mangrove. Konsentrasi oksigen terlarut bervariasi menurut waktu, musim, kesuburan dan organisme akuatik. Konsentrasi oksigen terlarut harian tertinggi dicapai pada siang hari dan terendah pada malam hari. Konsentrasi oksigen terlarut di mangrove berkisar antara 1,7 - 3,4 mg/l, lebih rendah di banding diluar mangrove yang besarnya 4,4 mg/1. 7) Tanah
Tanah mangrove dibentuk oleh akumulasi sedimen yang berasal dari pantai dan erosi hulu sungai. Mangrove terutama tumbuh pada tanah lumpur, namun berbagai jenis mangrove dapat tumbuh di tanah berpasir, koral, tanah berkerikil bahkan tanah gambut. 8) Nutrient
Nutrient mangrove dibagi atas nutrient in-organik dan detritus organic. Nutrient in-organic penting adalah N dan P (jumlahnya sering terbatas), serta K, Mg dan Na (selalu cukup). Sumber nutrient in-organik adalah hujan, aliran permukaan, sedimen, air laut dan bahan organik yang terdegradasi. Detritus organic adalah nutrient organic yang berasal dari bahan-bahan biogenic melalui beberapa tahap degradasi microbial. Detritus organic berasal dari authochathonous (fitoplankton, diatom, bakteri, algae, sisa organisme dan kotoran organisme) dan allochathaonous (partikulat dari air, limpasan sungai, partikel tanah dari pantai dan erosi tanah, serta tanaman dan hewan yang mati di zona pantai dan laut). 9) Proteksi
Mangrove berkembang baik di daerah pesisir yang terlindungi dari gelombang, yang kuat yang dapat menghempaskan anakan mangrove. Daerah yang dimaksud dapat berupa laguna, teluk, estuaria, delta, dll. Beberapa ahli ekologi mangrove berpendapat bahwa factor-faktor lingkungan yang paling berperan dalam pertumbuhan mangrove adalah tipe tanah, salinitas, drainase dan arus yang semuanya diakibatkan oleh kombinasi pengaruh fenomena pasang surut dan ketinggian tempat dari rata-rata muka air laut.
15
Zonasi mangrove berdasarkan salinitas, menurut De Hann (1981) dalam Bengen (2004) dibagi sebagai berikut: a) Zona air payau hingga air laut dengan salinitas pada waktu terendam air pasang berkisar antara 10-30 ppt: -
Area yang terendam sekali atau dua kali sehari selama 20 hari dalam sebulan hanya Rhizophora mucronata yang masih dapat tumbuh.
-
Area yang terendam 10-19 kali/bln, ditemukan Avicennia (Avicennia alba, Avicennia marinna), Sonneratia sp. dan Dominan Rhizophora sp.
-
Area yang terendam kurang dari 9 kali/bulan, ditemukan Rhizophora sp, Bruguiera sp.
-
Area yang tergenang hanya beberapa dalam setahun, Bruguiera gymnorrhiza dominan dan Rhizophora apikulata masih dapat hidup.
b) Zona air tawar hingga air payau, dimana salinitas berkisar antara 0 -10 ppt : -
Area yang kurang lebih masih dibawah pengaruh pasang surut, asosiasi Nipah.
-
Area yang terendam secara musiman, Hibiscus dominan.
2.7 . Faktor Pembatas Ekosistem Mangrove Menurut Supriharyono (2000) bahwa faktor-faktor pembatas lingkungan mangrove diantaranya adalah berupa faktor fisika kimia dan adanya aktivitas manusia baik secara langsung maupun tidak langsung, diantaranya yaitu: 2.7.1. Faktor Fisika Kimia Mangrove memiliki daya adaptasi fisiologi yang tinggi. Mereka tahan terhadap lingkungan dengan suhu perairan tinggi, fluktuasi salinitas yang luas dan tanah yang anaerob (tanpa udara). Salah satu faktor yang penting dalam adaptasi fisiologis tersebut adalah sistem pengudaraan di akarakarnya. Tidak semua tumbuhan memperoleh oksigen untuk akar-akarnya dari tanah yang mengandung oksigen, mangrove tumbuh di tanah yang tidak mengandung oksigen dan harus memperoleh hampir seluruh oksigen untuk akar-akar mereka dari atmosfer. Walaupun tumbuhan mangrove dapat berkembang pada kondisi lingkugan yang buruk, akan tetapi mangrove
16
mempunyai kemampuan yang berbeda untuk mempertahankan diri terhadap kondisi lingkungan fisik kimia di lingkungannya. 2.7.2. Aktivitas Manusia a. Pencemaran Pencemaran yang terjadi pada areal mangrove terutama disebabkan oleh minyak dan logam berat. Dua sumber utama pencemaran areal mangrove ini merupakan dampak negatif dari kegiatan pelayaran, industri serta kebocoran pada pipa/tanker industri dan tumpahan dalam pengangkutan. b. Konversi Lahan Hutan (1) Budidaya Perikanan Konversi mangrove untuk bididaya perikanan, terutama untuk tambak ikan menyebabkan terdegradasinya mangrove yang subur dalam skala yang cukup luas. (2) Pertanian Sebagian besar pertanian di areal mangrove terdiri atas sawah dan perkebunan kelapa. Ini
dilakukan oleh penduduk dikawasan
pesisir. (3) Jalan Raya, Industri serta Jalur dan Pembangkit Listrik Area mangrove banyak yang dikonversi untuk pembuatan jalan raya, pembangunan pembangkit dan jalur listrik guna mendukung arus transportasi hasil industri, perdagangan, penduduk dan hasil hasil lainnya yang melewati kawasan mangrove. Industri perikanan, industri tanaman dan hasil hutan kayu, pengeringan udang dan sebagainya yang didirikan di kawasan mangrove juga telah mengkonversi hutan ini dalain areal yang cukup luas. (4) Produksi Garam Garam dihasilkan dari air laut yang pembuatannya banyak dilakukan di areal mangrove. Tempat pembuatan garam ini
17
merupakan areal mangrove yang dikonversi yang tingkat kerusakannya bersifat bersifat irreversible. (5) Perkotaan Urbanisasi menyebabkan terjadinya konversi mangrove yang lokasinya berdekatan dengan perkotaan. Selain dijadikan lokasi pemukiman, mangrove tersebut dikonversi pula untuk keperluan jalan raya, tambak, pelabuhan, pembuangan limbah dan lain-lain. (6) Pertambangan Pertambangan, terutama minyak bumi cukup banyak dilakukan di areal mangrove. Lahan diperlukan untuk tempat penggalian sumur bor, tempat penyimpanan minyak mentah, pipa, pelabuhan, perkantoran dan pemukiman pekerja.
Minyak yang mencemari
mangrove dalam berbagai cara juga menyebabkan degradasi mangrove. (7) Penggalian Pasir Penggalian
pasir
menyebabkan
kerusakan
pada
ekosistem
mangrove. Penambangan pasir dalam skala luas c. Penebangan (Pemanenan Hasil Hutan) Yang Berlebihan Penebangan kayu mangrove secara legal maupun illegal dilakukan untuk produksi kayu bakar, arang, chips dan sebagainya telah berlangsung lama. Eksploitasi tersebut dilakukan secara berlebihan, sehingga telah menimbulkan kerusakan yang berat dan menurunkan fungsi serta potensi produksi sebagian besar mangrove. Uraian secara ringkas dampak kegiatan manusia terhadap ekosistem mangrove dapat dilihat pada tabel 1:
18
Tabel 1. Ikhtisar dampak kegiatan manusia terhadap ekosistem mangrove
No
Kegiatan
Dampak potensial
1.
Tebang habis
a. berubah komposisi tumbuhan mangrove b. tidak berfungsi daerah mencari makanan dan pengasuhan
2.
Penggalian alian air tawar, misalnya pada pembangunan irigasi
a. peningkatan salinitas mangrove b. menurun tingkat kesuburan hutan
3.
Konversi menjadi lahan pertanian, perikanan, pemukiman dan lain-lain.
a. mengancam regenerasi stok ikan dan
4.
Pembuangan sampah cair
a. Penurunan kandungan oksigen terlarut, timbul gas H2S
5.
Pembuangan sampah padat
a. Kemungkinan terlapisnya pneumatofora yang mengakibatkan matinya pohon mangrove b. Perembesan bahan-bahan pencemar dalam sampah padat
6.
Pencemaran minyak tumpahan Penebangan dan ekstraksi mineral, baik didalam hutan maupun didaratan sekitar mangrove
a. Kematian pohon mangrove
7.
Sumber: Bengen, (2001)
udang di perairan lepas pantai yang memerlukan mangrove b. terjadi pencemaran laut oleh bahan pencemar yang sebelumnya diikat oleh substrat mangrove c. pendangkalan perairan pantai d. erosi garis pantai dan intrusi garam.
a. Kerusakan total ekosistem mangrove sehingga memusnahkan fungsi ekologis mangrove (daerah mencari makanan dan asuhan). b. Pengendapan sedimen yang dapat mematikan pohon mangrove.
19
2.8. Kerusakan Ekosistem Mangrove Menurut Saparinto (2007) Beberapa hal utama yang menyebabkan terjadinya kerusakan ekosistem mangrove adalah: a. Tekanan penduduk yang tinggi sehingga permintaan konversi mangrove juga semakin tinggi. b. Perencanaan dan pengelolaan sumberdaya pesisir dimasa lalu yang bersifat sangat sektoral c. Rendahnya kesadaran masyarakat tentang konversi dan fungsi ekosistem mangrove d. Kemiskinan masyarakat pesisir. Lebih lanjut dikemukakan oleh Saparinto (2007)
tingkat kerusakan
ekosistem mangrove dapat dibagi dalam tiga kondisi yaitu: a. Rusak berat, yaitu ditandai dengan habisnya hutan mangrove dalam suatu wilayah, rusaknya keseimbangan ekologi, intrusi air laut yang tinggi dan menurunnya kualitas tanah. b. Rusak sedang, yaitu ditandai dengan masih sedikit hutan mangrove dalam suatu wilayah, keseimbangan ekologi dalam tingkatan sedang dan intrusi air laut yang terjadi tidak terlalu parah. c. Tidak rusak, yaitu kondisi hutan mangrove masih terjaga dengan baik dan lestari. Sedangkan sebab-sebab dan akibat perusakan mangrove yang terjadi secara fisik dan kimia adalah : a.
Penambangan mineral Penambangan mineral, telah berkembang di kawasan pesisir Penambangan dalam ekosistem mangrove mengakibatkan kerusakan total, sedangkan penambangan di daerah sekitarnya dapat menimbulkan berbagai macam efek yang merusak. Efek yang paling mencolok adalah pengendapan bahan-bahan yang dibawa air permukaan ke dan dalam mangrove. Pengendapan yang berlebihan akan merusak mangrove karena terjadinya penghambatan pertukaran air, hara dan udara dalam substrat dan air di atasnya. Bila proses pertukaran ini tidak berlangsung, kematian mangrove akan terjadi dalam waktu singkat. Terhentinya sebagian proses pertukaran menimbulkan tekanan
20
pada mangrove, yang terlihat pada penurunan produktivitas dan kernampuan. Selanjutnya jaringan makanan yang berlandaskan pada adanya detritus di mangrove terganggu pula dan secara keseluruhan dapat menurunkan pula produktivitas ikan. b.
Pembelokan aliran air tawar Mangrove untuk hidupnya tidak mutlak memerlukan air asin. Pada kenyataannya perkembangan mangrove yang baik terjadi di daerah yang mempunyai masukan air tawar yang cukup. Di daerah beriklim musiman masukan air tawar ke mangrove juga musiman. Tetapi justru di daerah seperti ini keperluan akan air tawar bagi manusia pun besar sekali. Aliran air tawar ke mangrove mungkin diubah oleh berbagai kegiatan di daerah hulu. Perubahan perubahan dalam pemanfaatan lahan pertanian dan lahan hutan (misalnya pembalakan) dapat mengubah volume, waktu dan kualitas air yang memasuki mangrove. Jalan - jalan yang dibuat tegak lurus terhadap arah aliran air tawar dapat mengganggu proses-proses yang berjalan dalam ekosistem mangrove.
Efek yang paling merusak adalah pengurangan
masukan air secara besar-besaran yang disebabkan oleh penggunaan air oleh manusia, seperti pembelokan aliran air dari daerah hulu melalui saluran irigasi. Sama halnya kegiatan manusia yang menyebabkan perubahan volume dan keteraturan aliran air secara besar-besaran (misalnya bendungan dan pengatur banjir) mempunyai dampak yang merusak. c.
Eksploitasi Hutan Eksploitasi hutan mangrove secara besar-besaran yang dilakukan untuk keperluan kayu, tatal dan bubur kayu. Biasanya eksploitasi ini dilakukan dengan tebang habis. Kegiatan eksploitasi hutan mangrove perlu dilakukan secara hati-hati guna memperkecil kerusakan yang mungkin terjadi, khususnya untuk menjamin kelangsungan mata rantai ekologi adalah ekosistem mangrove sehingga fungsinya sebagai sumber keanekaragaman hayati dan stabilisasi lingkungan dapat dipertahankan.
d.
Konversi Lahan Hutan rawa dalam lingkungan yang asin dan anaerob di daerah pesisir selalu dianggap daerah yang marginal atau sama sekali tidak cocok untuk pertanian
21
dan akuakultur. Namun karena kebutuhan lahan pertanian dan perikanan yang semakin meningkat maka hutan mangrove dianggap sebagai lahan alternatif. Reklamasi seperti itu telah memusnahkan ekosistem mangrove dan juga mengakibatkan efek-efek yang negatif terhadap perikanan di perairan pantai dan sekitarnya. selain itu kehadiran saluran-saluran drainase dapat mengubah sistem hidrologi air tawar didaerah mangrove yang masih utuh yang terletak kearah laut dan hal ini dapat mengakibatkan dampak negatif. e.
Tumpahan Minyak Angkutan minyak bumi dan hasil-hasil olahannya dengan kapal laut semakin meningkat. Kebocoran, tumpahan dan pembuangan bahan tersebut ke laut sudah sering terjadi. Di berbagai tempat, jalur-jalur angkutan ini berbatasan dengan kawasan mangrove (misalnya Selat Malaka) dan kebocoran serta pembuangan minyak dengan sengaja telah menunjukkan dampak negatif yang nyata terhadap mangrove. Efek kehadiran minyak di mangrove dapat dibedakan dalam dua kategori. Kategori pertama adalah efek yang akut, segera terlihat dan berkaitan dengan pelaburan oleh minyak pada permukaan tumbuhan (pepagan, akar tunjang, akar napas) yang mempunyai fungsi dalam pertukaran udara. Dalam kondisi pelaburan oleh minyak yang sangat kuat, tumbuhan mangrove dapat mati dalam waktu 72 jam. Pengguguran daun dan kematian pohon-pohon mangrove di tempat tempat yang paling berpengaruh terjadi 4 - 5 minggu. Kategori kedua berkaitan dengan peracunan kronik dalam jangka panjang tumbuhan mangrove dan fauna yang bersangkutan oleh komponen racunyang terkandung dalam minyak.
f.
Pembuangan Limbah Kegiatan pertanian, Agro industri, industri kimia dan rumah tangga menghasilkan limbah yang beraneka dan kemudian dibuang ke sungai atau pantai. Limbah cair terlarut akan membentuk suspensi dalam air. Sebagian limbah cair ini berupa bahan anorganik, yang terdapat didalam juga, tetapi kehadiran dalam jumlah yang berlebihan dalam lingkungan aquatik, menyebabkan bahan itu tidak dapat terurai secara alami, dan
g.
Kebakaran Hutan
22
2.9. Pentingnya Pengelolaan Ekosistem Mangrove Vannucci
(2004)
mengemukakan bahwa
pengelolaan sumber daya
ekosistem mangrove secara berkelanjutan sangat signifikan untuk dilaksanakan secara
serius.
Apabila hal ini tidak diperhatikan dengan baik maka akan
berdampak negatif tidak hanya pada ekosistem mangrove saja tetapi ekosistem pesisir sekitarnya serta dapat memepengaruhi sistem pesisir secara keseluruhan. Hal ini disebabkan karena mangrove merupakan komponen utama
yang
melindungi pesisir tropis serta mempunyai peranan fisik, kimia dan biologi yang sangat penting.
Selanjutnya menurut Moberg dan Ronnback (2003)
dalam
Alongi (2009), ekosistem mangrove menyediakan sejumlah besar barang dan jasa bernilai sosial ekonomi yang dimanfaatkan oleh manusia, baik secara komersial maupun untuk kepentingan langsung hidup manusia. 2.10. Masyarakat Pesisir 2.10.1.Karakteristik Masyarakat Pesisir Masyarakat pesisir berdasarkan hubungan, adaptasi dan pemahaman terhadap daerahnya menurut Purba (2002) dapat dibedakan menjadi tiga tipe yaitu: a) Masyarakat Perairan, yaitu kesatuan sosial yang hidup dari sumberdaya perairan, cenderung terasing dari kontak dengan masyarakat lain, lebih banyak hidup dilingkungan perairan daripada darat, berpidah- pindah dari satu teritorial perairan tertentu. Golongan ini cenderung egaliter dan mengelompok dalam kekerabatan setingkat dan kecil. b) Masyarakat nelayan, golongan ini umumnya sudah bermukim secara tetap di daerah yang mudah mengalami kontak dengan masyarakat lain, sistem ekonominya bukan lagi subsistem tetapi sudah ke sistem perdagangan yaitu hasil sudah tidak dikonsumsi sendiri namun sudah didistribusikan dengan imbalan ekonomis kepada pihak lain. Meski memanfaatkan sumberdaya perairan, namun kehidupan sosialnya lebih banyak dihabiskan di darat. c) Masyarakat pesisir tradisional. Meski berdiam dekat perairan laut, tetapi sedikit sekali menggantungkan hidupnya di laut. Mereka kebanyakan hidup dari pemanfaatan sumberdaya di daratan sebagai petani, pemburu atau
23
peramu. Pengetahuan tentang lingkungan darat lebih mendominasi daripada pengetahuan lautan. Sedangkan pengertian masyarakat pesisir menurut Sunoto (1997)
dibedakan
menjadi 2 kelompok berdasarkan jenis kegiatan utamanya, yaitu: nelayan penangkap ikan dan nelayan petambak. Nelayan penangkap ikan adalah seseorang yang pekerjaan utamanya di sektor perikanan laut dan mengandalkan ketersediaan sumberdaya ikan di alam bebas. Nelayan petambak didefeniskan sebagai nelayan yang kegiatan utamanya membudidayakan ikan atau sumberdaya laut lainnya yang berbasis pada daratan dan perairan dangkal di wilayah pantai. Kusumastanto
(2002)
memberikan
gambaran
karakteristik
umum
masyarakat pesisir adalah sebagai berikut: pertama, ketergantungan pada kondisi ekosistem dan lingkungan. Keadaan ini berimplikasi pada kondisi sosial ekonomi masyarakat pesisir yang sangat rentan terhadap kerusakan lingkungan khususnya pencemaran, karena dapat mengguncang sendi-sendi kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Kedua, ketergantungan pada musim, ini karakteristik yang menonjol di masyarakat pesisir, terutama bagi nelayan kecil. Pada musim paceklik kegiatan melaut menjadi berkurang sehingga banyak nelayan yang terpaksa menganggur dan ketiga, ketergantungan pada pasar. Karena komoditas yang mereka hasilkan harus segera dijual baru bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup, maka nelayan dan petambak harus menjual sebagian besar hasilnya dan bersifat segera agar tidak rusak. 2.10.2 Sosial Ekonomi Masyarakat di Sekitar Hutan Mangrove Menurut Raharjo (1999) dalam Tuwo (2011) kemiskinan adalah ciri yang sangat menonjol dari kehidupan masyarakat pesisir di Indonesia, khususnya nelayan. Secara umum
nelayan lebih miskin dibandingkan petani. Hal ini
terutama disebabkan oleh : 1) Tantangan alam yang dihadapai oleh nelayan sangat berat termasuk faktor musim 2) Pola kerja yang homogen dan bergantung hanya pada satu sumber penghasilan 3) Keterbatasan penguasaan modal, perahu dan alat tangkap 4) Keadaan pemukiman perumahan yang tidak memadai 5) Karakteristik sosial ekonomi belum mengarah pada sektor jasa lingkungan
24
2.10.3 Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove Menurut Wardojo (1992) partisipasi adalah keikutsertaan masyarakat baik dalam bentuk pernyataan maupun kegiatan. Keikutsertaan tersebut terbentuk sebagai akibat terjadinya interaksi sosial antara individu atau kelompok masyarakat yang lain dalam pembangunan. Partisipasi masyarakat dalam pembangunan merupakan kerjasama yang erat antara perencana dan masyarakat dalam merencanakan, melaksanakan, melestarikan dan mengembangkan hasil pembangunan yang telah dicapai. Tinggi rendahnya partisipasi masyarakat tidak hanya diukur dengan kemauan masyarakat untuk menanggung pembangunan, biaya pembangunan, tetapi juga dengan ada tidaknya hak
rakyat untuk ikut
menentukan arah dan tujuan pembangunan di wilayah mereka. Ukuran lain yang dipakai adalah ada tidaknya kemauan masyarakat untuk secara mandiri melestarikan dan mengembangkan hasil dari pembagunan. Tulungen et al. (2003) berpendapat bahwa dalam mengembangkan pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir berbasis masyarakat, rasa kepemilikan dan tanggung jawab masyarakat terhadap sumberdaya pesisir mereka perlu dikembangkan.
Pengalaman di berbagai negara menunjukkan bahwa sistem
pengelolaan yang sentralistik tidaklah efektif dalam mengelola sumberdaya pesisir pada suatu tatanan yang berkelanjutan.
Kepemilikan dan tanggung jawab
masyarakat atas sumberdaya mereka sendiri. Pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir berbasis masyarakat juga merupakan satu proses pemberdayaan masyarakat pesisir secara politik dan secara ekonomi sehingga mereka dapat mempertegas haknya dan memperoleh akses yang benar dan kontrol dalam pengelolaan atas sumberdaya pesisir mereka. Idealnya,
prakarsa dan usaha
menggerakkan proses ini haruslah datang dari masyarakat itu sendiri. Biasanya, dengan kondisi masyarakat yang tidak berdaya, mereka tidak memiliki kemampuan untuk mengawali suatu proses perubahan dari diri mereka sendiri. Beberapa contoh pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis masyarakat dapat dikenal di beberapa daerah di Indonesia seperti di beberapa desa pesisir di Kabupaten Minahasa,
yang telah
mengembangkan rencana pengelolaan
sumberdaya pesisir berbasis masyarakat, daerah perlindungan laut dan daerah perlindungan mangrove, serta aturan-aturan tingkat desa tentang pengelolaan
25
sumberdaya pesisir. Contoh lain juga dapat dikenal melalui pengelolaan mangrove di Sinjai, Sulawesi Selatan. 2.11. Alternatif Pengelolaan Ekosistem Mangrove Menurut Adrianto (2004) bahwa alternatif pengelolaan dapat diterapkan kepada ekosistem mangrove dengan mempertimbangkan karakteristik ekologi, kemungkinan dan prioritas pembangunan, aspek teknis, politis dan sosial masyarakat di kawasan mangrove. Alternatif dapat berupa kawasan preservasi hingga kawasan penggunaan ganda (multiple uses) yang mernberlikan ruang kepada pemanfaatan ekosistem mangrove untuk tujuan produktif. Contoh alternatif pengelolaan ekosistem mangrove terlihat pada Tabel 2
Tabel 2. Contoh Beberapa Alternatif Pengelolaan Ekosistem Mangrove
Pilihan Pengelolaan Kawasan lindung Kawasan kehutanan subsistem
Kawasan hutan komersial Akua-silvikultur
Budidaya perairan semi-intensif
Budidaya perairan intensif Pemanfaatan hutan komersial dan budidaya perairan semi intensif Pemanfaatan ekosistem mangrove subsisten dan budidaya perairan semi intensif Konversi ekosistem mangrove Sumber : Adrianto (2004).
Deskripsi Larangan pemanfaatan produktif Pengelolaan kawasan hutan mangrove oleh masyarakat; pemanfaatan hutan mangrove oleh masyarakat Pemanfaatan komersial produk hutan mangrove Konversi sebagian kawasan hutan mangrove untuk kolam ikan Konversi hutan mangrove untuk budidaya perairan dengan teknologi semi intensif Konversi hutan mangrove untuk budidaya perairan dengan teknologi intensif Pemanfaatan ganda dengan tujuan memaksimalkan manfaat dari hutan mangrove dan perikanan Pemanfaatan ganda dengan tujuan memberikan manfaat mangrove kepada masyarakat lokal dan perikanan Konversi kawasan mangrove menjadi peruntukan lain
26
Supriharyono (2000) mengemukakan bahwa pengelolaan sumberdaya alam harus dirumuskan dalam kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk optimasi fungsi ekosistem/sistem/habitat dengan kondisi perairan. Secara garis besar, kegiatan tersebut berupa kegiatan pelestarian, pengembangan dan rehabilitasi ekosistem. Kegiatan pelestarian ekosistem ditujukan terhadap ekosistem yang fungsinya dalam keadaan optimum agara fungsinya dapat lestari. Oleh sebab itu guna mencapai pemanfaatan secara berkelanjutan, untuk memenuhi kebutuhan manusia terhadap sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat diwilayah pesisir dan lautan.