ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK PADA UNDANG-UNDANG PORNOGRAFI KOMISI VIII DPR RI DALAM PERSPEKTIF MODEL RASIONAL KOMPREHENSIF Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Saraja Ilmu Komunikasi (S.Kom.I)
Disusun Oleh:
DWI ILHAMI NIM. 107051002563
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2011 M/1432 H
ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK PADA UNDANG-UNDANG PORNOGRAFI KOMISI VIII DPR RI DALAM PERSPEKTIF MODEL RASIONAL KOMPREHENSIF Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Saraja Ilmu Komunikasi (S.Kom.I)
Disusun Oleh: DWI ILHAMI NIM. 107051002563
Dibawah Bimbingan
DR. Fatmawati, M.Ag NIP. 19760917 200112 2 002
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2011 M/1432 H
PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK PADA UNDANGUNDANG PORNOGRAFI KOMISI VIII DPR RI DALAM PERSPEKTIF MODEL RASIONAL KOMPREHENSIF telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pada tanggal 14 Juni 2011. skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I) pada Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam. Jakarta, 14 Juni 2011
Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota
Sekretaris Merangkap Anggota
Drs. Jumroni, M.Si NIP. 1963 0515 1992031006
Umi Musyaroffah, MA NIP. 19710816 199703 2002
Penguji I
Penguji II
Gun Gun Heryanto, M.Si NIP. 19760812 200501 1 005
DR. Suhaimi, M.Si NIP. 19670906 199403 1002
Pembimbing
DR. Fatmawati, M.Ag NIP. 19760917 200112 2 002
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penelitian ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil karya saya atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 30 Mei 2011
Dwi Ilhami
ABSTRAK
Dwi Ilhami Analisis Kebijakan Publik pada Undang-Undang Pornografi Komisi VIII DPR RI dalam Perspektif Model Rasional Komprehensif
DPR RI (Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia) sebagai lembaga pembuat kebijakan sering sekali melalaikan aspek substansi dari pada aspek kepentingan. Maka, tidak jarang kebijakan yang dibuat dalam hal ini undang-undang banyak menuai kontroversi. Komunikasi kebijakan sebagai bagian dari kegiatan politik yang dilakukan justru tidak efektif, hal ini terbukti dengan kontroversi RUU APP (Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi) yang berubah menjadi Rancangan Undang-Undang Pornografi pada tahun 2008. Konflik pro dan kontra tidak dapat terelakan, massa dari kedua kubu sama-sama menyuarakan aksinya secara eksplosif, tetapi kemudian DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) tetap melanjutkan pembahasan undang-undang tersebut meskipun kontroversi terjadi. Undang-Undang Pornografi tetap disahkan dan kontroversi tidak berhenti pula hingga kini. Kemudian timbul pertanyaan bahwa bagaimana sebenarnya komunikasi politik memandang Undang-Undang Pornografi ini sebagai studi kebijakan publik? dan bagaimana pula langkah-langkah yang dilakukan dalam komunikasi kebijakan melalui Model Rasional Komprehensif? Untuk menjawab pertanyaan diatas, dapat dijelaskan bahwa komunikasi kebijakan yang dilakukan mencakup opini kebijakan sebagai proses penggambaran penyajian cara-cara alternatif dari opini rakyat, massa, dan kelompok yang diperhitungkan oleh pemegang jabatan dalam membentuk kebijakan pemerintah. Langkah-langkah alternatif yang ditempuh secara “rasional” dalam memilih alat yang paling efektif untuk mencapai tujuan yang dinyatakan dan “komprehensif” dalam mempertimbangkan setiap faktor yang relevan dengan setiap pilihan. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah konseptualisasi dari Komunikasi Politik, Kebijakan Publik, Teori Komunikasi Kebijakan (Model Rasional Komprehensif), dan Hubungan Opini Publik dan Kebijakan Publik dalam menganalisis Undang-Undang Pornografi sebagai studi komunikasi kebijakan publik. Metodologi penelitian ini adalah metodologi kualitatif deskriptif dimana dalam menjawab permasalahan penelitian dikaji secara mendalam dan menyeluruh mengenai obyek yang diteliti, guna menghasilkan kesimpulan-kesimpulan penelitian dalam konteks waktu dan situasi yang bersangkutan. Dalam penelitian mengenai proses kebijakan publik ini diperlukan pengungkapan informasi secara mendalam. Sehingga dapat disimpulkan bahwa proses tarik ulur komunikasi politik yang dijalankan terdapat kompromi dan negosiasi dalam mencapai kesepakatan, tarik ulur kepentingan yang berbeda tidak mudah untuk dipersatukan dalam sebuah kebijakan publik. Maka, dapat diketahui pula langkah-langkah dalam Model Rasional Komprehensif dalam pembentukan Undang-Undang Pornografi berupa penetapan masalah, tujuan, nilai, sasaran, alternatif kebijakan, dan pengorbanan serta keuntungan dari Undang-Undang Pornografi serta pesan-pesan yang terorganisasi dari dukungan massa, media massa, partai politik, kelompok kepentingan, dan sesama pejabat.
i
KATA PENGANTAR
حمَــــــــنِ الّرَحِيــــــــم ْ َِبسْــــــــمِ الّلَــــــــهِ الّر Alhamdulillahirabbil ‘alamin, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala nikmat dan karunia yang diberikan, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Shalawat serta salam penulis haturkan kepada suri tauladan umat Rasulullah SAW, beserta keluarga, sahabat, dan umatnya yang tetap istiqomah di jalan Allah dan Rasul-Nya hingga yaumil akhir nanti. Skripsi yang berjudul “Analisis Kebijakan Publik pada Undang-Undang Pornografi Komisi VIII DPR RI dalam Perspektif Model Rasional Komprehensif” ini dibuat untuk memenuhi gelar Sarjana Ilmu Komunikasi Islam di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sangat diharapkan, sehingga dapat terwujud karya ilmiah yang lebih baik lagi di masa mendatang. Dalam kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihakpihak yang membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1.
Kedua orang tua saya (Keluarga Besar Ustadz Drs. Sudarsono dan Budi Suswanti), tempat limpahan kasih sayang yang rela mengerahkan segala kekuatan demi meraih cita-cita anak-anaknya. Sekaligus atas doa, motivasi, dan bantuannya baik secara moril maupun materil.
2.
Bapak Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak Prof. Komarudin Hidayat.
3.
Bapak Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Bapak Dr. H. Arief Subhan, M.A
ii
4.
Bapak Kepala Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, Bapak Jumroni, M. Si atas nasehat dan pengajarannya.
5.
Ibu Fatmawati Amir, Dosen Pembimbing atas bimbingan, nasehat serta semangatnya kepada saya dalam menyelesaikan skripsi ini. Maaf ya bu atas waktu yang sedikit tersita...
6.
Bapak Ahmad Zainuddin Lc (Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI), atas waktu dan informasinya dalam merampungkan skripsi ini. Terima kasih pak telah menyita waktunya.
7.
Pak Adi (Staf Ahli Bapak Ahmad Zainuddin) atas doa, semangat dan bantuannya dalam mendapatkan informasi yang saya butuhkan.
8.
Alm. Ibu Yoyoh Yusroh (Komisi I DPR RI) atas waktu dan informasinya bu...semangat dan perjuangan ibu tidak akan pernah padam untuk wanita dan anak-anak.
9.
Dosen-dosen pada mata kuliah yang ada di jurusan Komunikasi Penyiaran Islam, atas bimbingan dan pengetahuannya.
10. Kakak Siti Rubi Adni beserta Kak Asnawi yang selalu memberikan dukungan dan semangat pantang menyerah. 11. Adik-adik saya Muhammad Arba Syuhada dan Mutiah Marsitoh Sudaryanti yang mau mengalah untuk kakak tercinta. 12. Muhammad Hasbi Istaufa, keponakan ku imut dan lucu yang memberikan energi baru dalam kehidupan keluarga besar kami. 13. Sahabat sekaligus kakak terbaik Kak Handri dan Kak Stefanus Pratama M (Nenes), atas motivasi, semangat doa nya selalu untuk adik mu ini. 14. Teman-teman KPI 7 B, atas kebersamaan, dukungan serta perjuangannya selama ini.
iii
15. Para staf dan karyawan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta atas dedikasi dan bantuannya terima kasih. 16. Semua pihak yang membantu dalam penyusunan skripsi ini dengan tidak mengurangi rasa hormat, tidak dapat disebutkan satu persatu. Semoga Allah membalas kebaikannya dan semoga karya ini bermanfaat bagi pembaca untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan menjadikan kajian ini menambah khasanah ilmu kita. Amin.
Jakarta, Mei 2011
Dwi Ilhami
iv
DAFTAR ISI
ABSTRAK ................................................................................................................i KATA PENGANTAR .............................................................................................ii DAFTAR ISI ............................................................................................................v DAFTAR TABEL ...................................................................................................vii DAFTAR GAMBAR ...............................................................................................viii BAB I PENDAHULUAN........................................................................................ 1 A. Latar Belakang Masalah ............................................................................... 1 B. Batasan dan Rumusan Masalah .................................................................... 5 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ..................................................................... 6 D. Metodologi Penelitian .................................................................................. 7 E. Metode Penelitian ......................................................................................... 7 1. Subjek dan Objek Penelitian ................................................................... 8 2. Tempat dan Waktu Penelitian ................................................................. 8 3. Teknik Pengumpulan Data ...................................................................... 8 4. Teknik Analisis Data ............................................................................... 9 F. Tinjauan Pustaka ............................................................................................ 9 G. Kerangka Teori ..............................................................................................13 H. Pedoman Penulisan ....................................................................................... 14 I. Sistematika Penulisan ....................................................................................14 BAB II TINJAUAN TEORITIS ............................................................................. 16 A. Komunikasi Politik ........................................................................................16 B. Kebijakan Publik ............................................................................................20
v
C. Teori Komunikasi Kebijakan (Model Rasional Komprehensif) ....................29 D. Opini Publik dan Kebijakan Publik ...............................................................34 BAB III GAMBARAN UMUM DPR RI …………………………………....…...39 A. Sejarah DPR RI .............................................................................................39 B. Visi dan Misi DPR RI ...................................................................................41 C. Keanggotaan DPR RI Periode 2009-2014 ....................................................43 D. Tugas dan Wewenang DPR RI .....................................................................48 E. Hak dan Kewajiban DPR RI .........................................................................50 F. Masa Sidang dan Masa Reses DPR RI .........................................................52 G. Mekanisme Kerja DPR RI ............................................................................57 H. Pengambilan Keputusan DPR RI ..................................................................58 I. Pembuatan Undang-Undang (UU) ................................................................59 J. Komisi VIII DPR RI .....................................................................................67 K. Harapan terhadap Fungsi Legislasi DPR RI .................................................69 BAB IV ANALISIS DAN TEMUAN ……………………………………….….. 71 A. Latar Belakang Lahirnya Undang-Undang Pornografi .................................71 B. Undang-undang Pornografi sebagai Kebijakan Publik Komisi VIII DPR RI ..................................................................................................................74 C. Implementasi Model Rasional Komprehensif ..............................................81 D. Perkembangan dan Penerapan Undang-undang Pornografi .........................94 BAB V PENUTUP ………………………………………………………….……99 A. Kesimpulan ...................................................................................................99 B. Saran ............................................................................................................100
vi
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Klasifikasi Aktor Politik beserta Wewenangnya .................................26 Tabel 3.1 Struktur Kepemimpinan .......................................................................43 Tabel 3.2 Jumlah Kursi DPR Berdasarkan Fraksi ...............................................44 Tabel 3.3 Alat Kelengkapan DPR ........................................................................45 Tabel 3.4 Pengusul RUU Pada Periode 2004-2009 .............................................60 Tabel 3.5 Tingkat Pembahasan RUU dari Pemerintah ........................................62 Tabel 3.6 Tingkat Pembahasan RUU dari Inisiatif DPR .....................................65 Tabel 3.7 Keanggotaan Komisi VIII ..................................................................68 Tabel 3.8 Sekretariat Komisi VIII .......................................................................68 Tabel 3.9 Laporan Kerja Komisi VIII .................................................................69 Tabel 4.1 Kronologis Pembahasan RUU Pornografi di DPR RI Komisi VIII ...77
vii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Proses Opini Publik Menjadi Sebuah Kebijakan .................................36 Gambar 2.2 Proses Kebijakan sebagai Input dan Output ........................................37 Gambar 3.1 Skema Persidangan DPR .....................................................................53 Gambar 3.2 Prosedur Pendelegasian Aspirasi Masyarkat .......................................57 Gambar 3.3 Skema Prosedur Pembentukan UU ......................................................61
viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Menjalani kehidupan sebagai warga negara tidak terlepas dari segala aturan yang merupakan kewenangan dari pihak yang memiliki otoritas. Output dari kewenangan tersebut adalah sebuah kebijakan yang harus dijalankan oleh masyarakat. Pemerintah sebagai lembaga yang memiliki otoritas membuat suatu kebijakan sangatlah penting jika kebijakan tersebut melihat kepentingan masyarakat umum dengan baik. Aturan perundang-undangan dibuat guna untuk menjaga ketertiban dan keamanan masyarakatnya dalam kehidupan bernegara. Merumuskan sebuah undang-undang harus memperhatikan proses yang berlangsung, banyaknya kepentingan dalam sebuah proses politik juga menjadi hal yang harus dipertimbangkan agar undang-undang tersebut mencakup berbagai aspek kepentingan secara proposional. Undang-undang sebagai produk dari suatu kebijakan publik dirasa perlu untuk diteliti karena melihat selama ini setiap kebijakan publik yang dibuat oleh pemerintah
terkadang
kurang
memperhatikan
aspirasi
masyarakat
yang
seharusnya menjadi pertimbangan dalam merumuskan kebijakan publik. Hasil dari kebijakan publik itu sendiri nantinya akan dirasakan pula oleh masyarakat sebagai sasaran suatu kebijakan. Tema mengenai kebijakan publik ini diambil
1
2
dikarenakan studi mengenai kebijakan publik ini adalah kebijakan publik memiliki sasarannya yaitu masyarakat. Hal mengenai kebijakan publik merasa perlu untuk diteliti karena melihat selama ini setiap kebijakan publik yang dibuat oleh pemerintah terkadang kurang memperhatikan aspirasi masyarakat yang seharusnya menjadi pertimbangan dalam merumuskan kebijakan publik. Hasil dari kebijakan publik itu sendiri nantinya akan dirasakan pula oleh masyarakat sebagai sasaran suatu kebijakan. Alasan lain mengapa tema mengenai kebijakan publik ini diambil dikarenakan studi mengenai kebijakan publik ini adalah kebijakan publik memiliki sasarannya yaitu masyarakat. Bagi negara-negara yang menganut pemerintahan demokrasi seperti Indonesia, kebijakan yang diambil oleh pemerintah berupa undang-undang untuk kepentingan umum selalu memperhatikan suara dan kehendak rakyat. Umumnya kebijakan publik berkaitan erat dengan pendapat-pendapat yang disampaikan oleh orang-orang yang memiliki perhatian yang tinggi dan juga aktif secara langsung dalam aktivitas politik dibanding dengan orang-orang yang tidak punya perhatian atau bersikap pasif. Kebijakan publik merupakan keputusan politik yang dikembangkan oleh badan dan pejabat pemerintah. Dalam hal ini DPR RI sebagai lembaga otoritas membuat suatu kebijakan. Fungsi DPR RI sebagai lembaga suprastuktur dari sebuah kegiatan politik merupakan tanggung jawab yang diberikan melalui perwakilan rakyat yang mereka emban. Lembaga negara seperti DPR RI melaksanakan fungsi legislatifnya, selalu menjadi sorotan ketika membuat suatu undang-undang. DPR RI saat ini sedang
3
mengalami posisi yang menjadi pusat perhatian dari seluruh masyarakat. Kebijakan publik yang sering sekali mereka buat selalu mengundang kontroversi baik yang menolak atau pun menerima kebijakan tersebut, hal ini dapat terlihat dari opini publik yang berkembang dimasyarakat. Baik diketahui melalui media massa yang meliput suara publik maupun lembaga-lembaga non pemerintah seperti lembaga swadaya masyarakat yang menyampaikan aspirasinya kepada DPR RI. Fungsi DPR selaku badan legislatif lebih mengarah sebagai evaluator daripada pihak yang melakukan monitoring. Padahal sebagaimana disebutkan tadi, kegiatan monitoring merupakan langkah awal untuk mencapai proses evaluasi yang sesuai dan mengarah pada tujuan kebijakan. Tampaknya di beberapa lembaga tinggi negara di Indonesia, kegiatan monitoring belum dilakukan secara khusus, namun disamakan dengan proses pengumpulan data yang dilakukan sebagai bagian dari proses evaluasi kebijakan. DPR RI sebagai lembaga negara yang memiliki wewenang membuat suatu kebijakan, sering sekali langkah yang diambil cenderung tidak memihak kepada rakyat, sebagai salah satu contohnya ketika DPR RI Komisi VIII yang menangani bidang sosial, agama dan pemberdayaan perempuan membuat Undang-Undang Pornografi yang sempat menjadi polemik dan kontroversi dari berbagai pihak maupun kepentingan, maka hal tersebut merupakan faktor yang harus diperhatikan untuk mampu merumuskan suatu kebijakan yang mana harus mendengarkan pendapat dari publik yang berpolemik tersebut dan hal ini merupakan fenomena yang layak untuk diteliti.
4
Komisi VIII dalam hal ini merupakan bagian dari DPR RI yang juga aktif membuat kebijakan terutama kebijakan dalam bidang sosial, agama, maupun yang paling sensitif yaitu bidang pemberdayaan perempuan. Komisi VIII inilah yang bidangnya secara khusus dekat dengan kehidupan masyarakat, terutama kalangan masyarakat bawah yang sarat dengan berbagai konflik kehidupan yang menjadi sasaran tepat dalam sebuah kebijakan publik yang diatur oleh lembaga otoritas. Dalam Komisi VIII bidang sosial merupakan aspek yang sering menjadi polemik, dikarenakan peraturan perundang-undangan bidang sosial memiliki dampak yang paling besar dalam merumuskan kebijakan. Salah satu produk dari kebijakan publik Komisi VIII DPR RI adalah Undang-undang Pornografi yang pada awalnya Rancangan Undang-undang Anti Pornografi dan Pornoaksi. Undang-undang ini disahkan menjadi undang-undang dalam Sidang Paripurna DPR pada tanggal 30 Oktober 2008, setelah melalui proses yang cukup panjang dan alot. Pada mulanya undang-undang ini sudah diajukan semenjak tahun 1997 di DPR, namun dalam perjalanannya draf RUU APP terus mengalami tarik ulur karena banyaknya kepentingan. Kita menyadari pada saat bergulirnya undang-undang ini mendapat banyak sekali kontroversi yang terjadi. Banyak yang menyetujui, dan tidak sedikit pula yang menolak dari awal pembentukannya hingga disahkan menjadi undang-undang. Bagian yang menjadi kontroversi pada Undang-undang Pornografi ini adalah
mengenai
isi
pasal
RUU
APP
yang
disatu
sisi
dianggap
mendiskriminasikan dan disisi lain dianggap sebagai sesuatu yang harus diperjuangkan. Kelompok-kelompok yang mendukung antara lain, MUI, ICMI, FPI, MMI, Hizbut Tahrir, dan PKS, sedangkan kelompok yang menolak terdiri
5
dari aktivis perempuan (feminisme), seniman, artis, budayawan, dan akademisi. Jika aspirasi kedua kelompok tersebut tidak dijembatani oleh DPR RI selaku pembuat kebijakan, maka bisa saja pertikaian terjadi diantara kelompok-kelompok yang berseberangan. Pada akhirnya, kebijakan publik yang dibuat oleh DPR RI Komisi VIII ini harus melakukan proses secara baik, agar kebijakan tersebut tidak menjadi berat sebelah. Berdasarkan latar belakang di atas, saya tertarik untuk meneliti masalah kebijakan publik melalui Undang-undang Pornografi, dan penelitian ini diberi judul ” Analisis Kebijakan Publik pada Undang-undang Pornografi Komisi VIII DPR RI Bidang Sosial dalam Perpektif Model Rasional Komprehensif.” B. Batasan dan Rumusan Masalah Meskipun banyak perumusan kebijakan publik yang ditangani oleh Komisi VIII DPR RI yang mencakup bidang sosial, agama dan pemberdayaan perempuan, namun skripsi ini hanya membahas bidang sosial saja. Dalam bidang sosial pun juga banyak sekali permasalahan yang dibahas, seperti kebijakan publik mengenai penanganan fakir miskin, Program Keluarga Harapan (PKH), pornografi dan pornoaksi, serta kelompok usaha bersama, namun yang menjadi batasan hanyalah pada satu permasalahan saja, yaitu mengenai pornografi dan pornoaksi yang diimplementasikan melalui kebijakan publik dalam Undang-undang Pornografi. Mengetahui bagaimana proses pembuatan kebijakan itu dibuat, serta membatasi permasalahan pada penetapan masalah, tujuan dan cara, pencapaian hasil, dan penilaian terhadap hasil dari suatu kebijakan dalam perspektif Komunikasi Politik. Untuk memperjelas permasalahan yang akan diteliti, maka masalah tersebut dirumuskan sebagai berikut :
6
1. Bagaimana perspektif Komunikasi Politik dalam memandang UndangUndang Pornografi yang dibuat oleh Komisi VIII DPR RI sebagai kebijakan publik? 2. Apa saja yang menjadi langkah-langkah dari proses yang dilakukan dalam komunikasi kebijakan melalui model Rasional Komprehensif pada Undang-Undang Pornografi Komisi VIII DPR RI? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah: a. Untuk
mengetahui
perspektif
Komunikasi
Politik
dalam
memandang Undang-Undang Pornografi yang dibuat oleh Komisi VIII DPR RI sebagai kebijakan publik. b. Untuk mengetahui langkah-langkah dari proses yang dilakukan dalam
komunikasi
kebijakan
melalui
model
Rasional
Komprehensif pada Undang-Undang Pornografi Komisi VIII DPR RI. 2. Manfaat Penelitian Manfaat pada penelitian ini adalah: a. Manfaat Teoritis Penelitian ini erat kaitannya dengan mata kuliah komunikasi terutama komunikasi politik, maka diharapkan dapat membantu usaha pengembangan keilmuan tentang proses kebijakan publik dalam sebuah lembaga negara,
pada jurusan Komunikasi dan
Penyiaran Islam, maupun displin ilmu lain yang berkaitan.
7
b. Manfaat Praktis Diharapkan dalam penelitian ini bermanfaat bagi para pembuat kebijakan publik yang dalam hal ini adalah lembaga otoritas baik pada tingkat eksekutif, dan legislatif, serta pihak lain dalam hal ini masyarakat sebagai tujuan dari kebijakan publik itu sendiri. D. Metodologi Penelitian 1.
Metode Penelitian Pendekatan yang digunakan pada penelitian ini adalah pendekatan kualitatif, dimana dalam menjawab permasalahan penelitian dikaji secara mendalam dan menyeluruh mengenai obyek yang diteliti, guna menghasilkan kesimpulan-kesimpulan penelitian dalam konteks waktu dan situasi yang bersangkutan. Dalam penelitian mengenai proses kebijakan publik ini diperlukan pengungkapan informasi secara mendalam,
terutama
dalam
prosesnya
tersebut
menyangkut
kepentingan masyarakat secara luas pula. Desain yang digunakan adalah desain kualitatif deskriptif berdasarkan tujuannya dimana penelitian ini ingin mengungkap fakta gejala dari sebuah proses kebijakan publik, serta mampu memberikan gambaran tentang suatu masyarakat atau suatu kelompok. Dan melalui format penelitian studi
kasus yang merupakan penelitian untuk
meneliti suatu proses dalam sebuah lembaga, yang dalam hal ini adalah lembaga pemerintah DPR RI Komisi VIII dalam membuat suatu kebijakan publik.
8
2. Subjek dan Objek Penelitian Subjek dalam penelitian ini adalah DPR RI Komisi VIII Bidang Sosial, yakni Wakil Ketua Komisi VIII Ahmad Zainuddin, Lc, dan Ibu Yoyoh Yusroh selaku Wakil Ketua Pansus Undang-Undang Pornografi tahun 2008, dan yang menjadi objek dalam penelitian ini adalah mengenai proses kebijakan publik berupa Undang-Undang Pornografi yang dibuat oleh lembaga pemerintah dilihat dari segi prosesnya. 3. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Gedung Nusantara 1 dan 2 MPR/DPRRI, Jl. Jend. Gatot Soebroto, Jakarta Pusat, dan waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Februari – April 2011. 4. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan wawancara, dan dokumentasi. a. Wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara si penanya dengan yang ditanya (responden) dengan menggunakan alat yang dinamakan interview guide (panduan wawancara). Wawancara dilakukan dengan narasumber Wakil Ketua Komisi VIII Ahmad Zainuddin, Lc dan Ibu Yoyoh Yusroh selaku Wakil Ketua Pansus Undang-undang Pornografi tahun 2008. b. Dokumentasi adalah pengumpulan data yang diperoleh dari dokumen-dokumen baik berupa foto atau pun data-data pribadi
9
milik sendiri maupun data-data milik responden. Data agenda rapat dalam proses pembahasan sebuah undang-undang dibentuk, dalam hal ini Undang-undang Pornografi maupun situs resmi dari DPR RI pada website www.dprri.go.id dan www.jurnalparlemen.com 5. Teknik Analisis Data Data temuan ditafsirkan dan disimpulkan melalui Model Rasional Komprehensif dalam Ilmu Komunikasi Politik yang memiliki ruang lingkup Langkah-langkah “rasional” dalam memilih alat yang paling efektif untuk mencapai tujuan yang dinyatakan. Ia “komprehensif” dalam mempertimbangkan setiap faktor yang relevan dengan setiap pilihan.. 1 Model Rasional Komprehensif membuat kebijakan memilih suatu pilihan, mereka mengumpulkan dukungan dari lembaga-lembaga utama dan publik melalui propaganda, pemimpin kelompok, prosedur pemaksaan dan sebagainya. E. Tinjauan Pustaka Penelitian mengenai kebijakan publik dalam perspektif komunikasi politik memang belum begitu banyak seperti penelitian komunikasi pada umumnya, karena kebijakan publik merupakan tinjauan teori ilmu politik. Namun pada proses pengambilan keputusan atau kebijakan mengacu kepada ilmu komunikasi, seperti menyangkut opini publik melalui media massa.
1
Dan Nimmo, Komunikasi Politik: Khalayak dan Efek (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006), h. 226.
10
Penelitian sebelumnya yang sudah mulai mengenai kebijakan publik, yakni terdapat pada peneltian: 1.
Januar Azhari, Pola Komunikasi Organisasi Nur Mahmudi sebagai Walikota Depok dalam Implementasi Kebijakan Publik, KPI, 2007, UIN Jakarta, mengungkapkan bahwa kebijakan publik yang telah dibuat mampu diimplementasikan dan disosialisasikan kepada masyarakat serta Nur Mahmudi Ismail selaku walikota Depok mengupayakan bagaimana kebijakan publik tersebut bisa terlaksana dengan baik.
2.
Nurrohimah, Kebijakan Moneter BI terhadap Pengelolaan Bank-Bank Syariah di Indonesia, MD, 2009, UIN Jakarta, mengungkapkan bahwa kebijakan moneter sebagai kebijakan publik merupakan sebuah instrumen dalam menjalankan sebuah lembaga dengan melihat beberapa indikator yang dibuat sendiri oleh lembaga tersebut, bukan sebagai proses dalam mengambil sebuah kebijakan publik. Kebijakan moneter dipandang sebagai sebuah kebijakan pola keteraturan dalam manajemen sebuah lembaga pengelolaan sebuah bank.
3.
Iril Pramadhana Waty, Wacana Kontroversi Undang-Undang Pornografi, Jurnalistik (FIKOM), 2010, UNPAD, mengungkapkan bahwa adanya upaya pembentukan opini publik terhadap wacana kontroversi UndangUndang Pornografi media massa, yang dalam hal ini adalah koran Republika dan koran Media Indonesia. Penelitian tersebut dilakukan berdasarkan isu kontroversi Undang-Undang Pornografi yang diangkat menjadi tajuk koran tersebut, yang kemudian dianalisis melalui metode analisis wacana kritis model Teun A. Van Dijk yang meneliti sebuah
11
wacana pada tingkat teks, kognisi sosial penulis, dan konteks sosial. Hasil penelitian menunjukan mulai dari penggunaan kata, kesadaran mental pembuat tajuk, hingga kekuasaan dan akses yang digunakan kedua media merupakan hal yang disengaja dan merupakan upaya pembentukan opini publik terhadap wacana kontroversi UndangUndang Pornografi. 4.
Asharul Hakim, Konstestasi gagasan pluralisme dalam pembahasan RUU Pornografi, Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), 2010, UIN Jakarta, yang mengemukakan bahwa pembahasan Undang-Undang Pornografi sarat dengan polemik mengenai isu pluralisme, tidak hanya itu saja tetapi dalam pembahasannya undang-undang tersebut bagi yang kontra adalah suatu bentuk diskriminasi terhadap perempuan dan anakanak.
Dari keempat penelitian sebelumnya di atas dapat diketahui bahwa memiliki kesamaan pada penelitian ini, yaitu pada penelitian Januar memiliki kesamaan pada tinjauan teori yang diungkap yakni mengenai kebijakan publik, namun kajian kebijakan publik dalam konteks skrispsi tersebut lebih kepada hasilnya saja dari kebijakan yang telah dibuat oleh seorang pejabat, dalam hal ini adalah Walikota Depok. Peneliti tersebut sebenarnya lebih mengedepankan mengenai hal pola komunikasi yang menghasilkan kebijakan publik. Tetapi untuk metodologi penelitian memiliki kesamaan, yaitu menggunakan pendekatan kualitatif untuk menggali informasi yang diinginkan.
12
Seperti contohnya, salah satu kebijakan yang dibuat yakni dengan meluncurkan buku statistik dan perkembangan kota depok sebagai wadah birokrasi dan program. Jelas penelitian ini memiliki perbedaan dengan penelitan yang dilakukan pada proposal ini, yang lebih menekankan pada bagaimana proses sebuah kebijakan publik dibuat. Terlebih lagi kebijakan publik bukan sebagai kebijakan sosialisasi program dari sebuah pola komunikasi yang dijalankan. Kemudian pada penelitian kedua, Nurrohimmah memiliki persamaan dalam konteks kebijakan publik, namun dalam hal ini kebijakan publik yang diambil adalah kebijakan publik yang berupa kebijakan moneter dalam kajian ilmu manajemen. Sama halnya dengan penelitian yang dibahas sebelumnya, penelitian ini menggunakan pendekatan yang sama yaitu sama-sama melakukan penelitian dengan pendekatan kualitatif dan melihat kebijakan publik sebagai sebuah alat, bukan bagaimana kebijakan itu sendiri dibuat. Selanjutnya pada penelitian Iril dan Asharul Hakim, memiliki persamaan pada penelitian ini yaitu kajian objek mengenai Undang-Undang Pornografi. Yang membedakan penelitian ini dari keduanya adalah penelitian ini menitikberatkan pada UUP sebagai hasil negosiasi dan tarik ulur kepentingan dari sebuah kebijakan melalui proses yang dilalui, sedangkan pada penelitian Iril, kajian Undang-Undang Pornografi diteliti sebagai sebuah wacana dalam media massa dalam membentuk opini publik melalui analisis wacana kritis model Teun A. Van Dijk.
13
F. Kerangka Teori Komunikasi Politik
Komunikasi Kebijakan Publik
Analisis Komunikasi Kebijakan Publik
DPR (Lembaga Pembuat Kebijakan)
UUP (Undang-Undang Pornografi)
Rakyat
Dalam kajian ilmu komunikasi politik, kebijakan publik merupakan bagian dari konsep yang terdapat didalamnya. Komunikasi politik sangat diperlukan mengomunikasikan sebuah kebijakan yang telah dibuat untuk menghubungkan antara pemerintah dengan rakyatnya. Dengan kata lain, pemerintah mampu menjalankan proses sosialisasi politik melalui kebijakan publik. Kebijakan publik yang dibuat pun sebelum sampai kepada masyarakat, dalam prosesnya memerlukan proses komunikasi untuk dapat mencapai kesepakatan. Komunikasi yang dilakukan pun dalam lingkup komunikasi politik dengan proses dan tahapan-tahapan tertentu. Proses dan tahapan-tahapan dari suatu kebijakan publik dianalisis melalui teori komunikasi kebijakan.
14
G. Pedoman Penulisan Pedoman penulisan ini menggunakan buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah: Skripsi, Tesis, dan Disertasi. Nasuhi, Hamid dan kawan-kawan Jakarta: CeQDA, 2007. H. Sistematika Penulisan BAB I PENDAHULUAN, yang mencakup latar belakang masalah yang diteliti, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat dari penelitian ini, metodologi penelitian yang digunakan, tinjauan pustaka, pedoman, dan sistematika penulisan. BAB II KAJIAN TEORITIS, yang terdiri dari Komunikasi Politik mencakup pengertian, konsep-konsep yang terkait dengan komunikasi politik, supra struktur, infrastruktur politik, dan fungsi komunikasi politik. Kebijakan publik yang mencakup pengertian, sifat-sifat kebijakan publik, faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan, aktor kebijakan publik, dan proses kebijakan publik. Teori Komunikasi Kebijakan (Model Rasional Komprehensif) yang mencakup pengertian, langkah-langkah yang dibuat, dan faktor luar komunikasi kebijakan. Kemudian Opini Publik dan Kebijakan Publik yang mencakup pengertian, hubungan antara opini publik dan kebijakan publik, dan skema opini publik serta kebijakan publik. BAB III GAMBARAN UMUM, mencakup Sejarah DPR RI, Visi dan Misi DPR RI, Keanggotaan DPR RI Periode 2009-2014, Tugas dan Wewenang DPR RI, Hak dan Kewajiban DPR RI, Masa Sidang dan Masa Reses DPR RI, Mekanisme Kerja DPR RI, Pengambilan Keputusan DPR RI, Pembuatan
15
Undang-Undang (UU), Komisi VIII DPR RI, dan Harapan terhadap Fungsi Legislasi DPR RI. BAB IV ANALISIS PERUMUSAN UNDANG-UNDANG PORNOGRAFI SEBAGAI KEBIJAKAN PUBLIK KOMISI VIII DPR RI, mencakup Latar Belakang Undang-undang Pornografi, Undang-undang Pornografi sebagai Kebijakan Publik Komisi VIII DPR RI. Implementasi Model Rasional Komprehensif, Penetapan Masalah (Fokus Masalah) dalam merumuskan Undang-undang Pornografi, Tujuan, Nilai dan Sasaran Undang-undang Pornografi, Alternatif Kebijakan serta Konsekuensi Perumusan Undangundang Pornografi, Pengorbanan dan Keuntungan dari setiap Alternatif Pemecahan
Undang-undang Pornografi. Perkembangan serta Penerapan
Undang-undang Pornografi. BAB V PENUTUP, mencakup simpulan tentang hasil penelitian dan saran. LAMPIRAN
BAB II TINJAUAN TEORITIS
Dalam menganalisis sebuah kebijakan publik diperlukan beberapa teori yang menjadi rujukan dalam memahami konsep tersebut. Untuk itu hal yang berkaitan dengan proses kebijakan publik diantaranya, yaitu:
A. Komunikasi Politik Segala bentuk kegiatan manusia pastinya memerlukan komunikasi dalam menjalankan kegiatannya tersebut. Komunikasi masuk di segala bidang, dan salah satunya dalam kegiatan politik ini. Politik sendiri menurut Deliar Noer dapat diartikan sebagai aktifitas atau sikap yang berhubungan dengan kekuasaan dan yang
bermaksud
untuk
mempengaruhi
dengan
jalan
mengubah
atau
mempertahankan suatu bentuk susunan masyarakat.1 Komunikasi
dalam proses politik,
dimaknai
sebagai
upaya-upaya
pembentukan kesepakatan. Kesepakatan dalam hal ini adalah berupa kepentingankepentingan yang ada dalam segala proses politik, sehingga memerlukan komunikasi untuk mampu mengartikulasikannya dalam mencapai kesepakatan tersebut. Gabriel A. Almond, menyatakan bahwa komunikasi politik adalah salah satu fungsi yang selalu ada dalam setiap sistem politik. “All of the functions perfomed in the political system, political socialization and recruitment, interest 1
Gun Gun Heryanto, Komunikasi Politik di Era Industri Citra (Jakarta: PT. Lasswell Visitama, 2010), h. 3.
16
17
articulation, interest aggregation, rule making, rule application, and rule adjudication are performed by means of communication.” 2 Komunikasi politik merupakan proses penyampaian pesan-pesan yang terjadi pada saat keenam fungsi lainnya itu dijalankan. Konsep-konsep yang terkait dalam komunikasi politik, yaitu: a. Negara (State) Negara adalah suatu organisasi dalam suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyatnya. b. Kekuasaan (Power) Kekuasaan merupakan kemampuan seseorang atau kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan dari pelaku. c. Pengambilan Keputusan (Decision Making) Pengambilan keputusan adalah proses membuat pilihan di antara beberapa alternatif sehingga keputusan itu tercapai sebagai konsep pokok dalam politik dalam menyangkut keputusan-keputusan yang diambil secara kolektif dan mengikat seluruh masyarakat. d. Kebijakan (Policy) Kebijakan adalah kumpulan keputusan yang diambil oleh seorang pelaku atau kelompok politik dalam memilih tujuan-tujuan dan caracara untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. e. Pembagian (Distribution) atau Alokasi (Allocation)
2
Wikipedia, Komunikasi Politik: Dan Nimmo, artikel diakses pada tanggal 12 Maret 2011, pukul 11.40 WIB dari http://wordpress.com/2009/07/21/komunikasi-politik-dan-nimmo/ .
18
Pembagian dan pengalokasian dari nilai (values) dalam masyrakat, seperti pembagian dalam jabatan publik.3 Dalam kehidupan berpolitik, komunikasi politik biasa dilakukan oleh level pemerintah maupun orang-orang dalam lingkup kegiatan politik, yang mencakup supra struktur politik dan infra struktur politik, yaitu: a. Supra Struktur Politik Supra struktur politik merupakan struktur politik pemerintah atau struktur politik kenegaraan. Struktur ini meliputi kehidupan politik pemerintahan (the governmental political sphere). Seperti, MPR, DPR, BPK dan MA, komunikasi yang dijalankan mencakup: 1. Seluruh kebijakan yang menyangkut kepentingan warga. 2. Upaya meningkatkan loyalitas dan integrasi nasional. 3. Penerapan aturan dan perundang-undangan untuk menjaga ketertiban dan kehormatan dalam hidup bernegara. 4. Mendorong terwujudnya partisipasi masyarakat dalam mencapai tujuan nasional. b. Infra Struktur Politik Infra struktur politik merupakan struktur politik kemasyarakatan. Berkenaan dengan suasana kehidupan politik rakyat (socio political sphere) yakni berkaitan dengan pengelompokan warga negara dan anggota masyarakat ke dalam berbagai macam golongan yang biasanya disebut sebagai kekuatan sosial politik dalam masyarakat, yang meliputi: partai politik (political party), kelompok kepentingan (interest
3
Gun Gun Heryanto, Komunikasi Politik di Era Industri Citra, h. 4.
19
group), kelompok penekan (pressure group), media komunikasi politik (political communication media), dan tokoh politik (political figure). Komunikasi yang dilaksanakan oleh infrastruktur politik biasanya adalah: 1. Sosialisasi yang merupakan transmisi nilai-nilai politik. 2. Edukasi yang merupakan proses pendidikan untuk penyadaran hak-hak dan kewajiban politik masyarakat.4 Ada pun fungsi dari komunikasi politik yang dijalankan oleh para aktor politik adalah: 1. Fungsi artikulasi, agregasi, sosialisasi, dan rekrutmen dalam kegiatan politik para aktor politik.5 2. Fungsi sosialisasi politik kepada masyarakat, 3. sebagai penghubung antara pemerintah dengan rakyat, baik dalam rangka mobilisasi sosial untuk implementasi hubungan, memperoleh dukungan, kepatuhan, dan integrasi politik, 4. sebagai umpan balik (feed back) atas sejumlah output (kebijakan pemerintah), 5. menjadi cara atau teknik penyerahan tuntutan dan dukungan sebagai input dalam sistem politik, 6. sebagai kekuatan kontrol sosial guna memelihara idealisasi sosial dan keseimbangan politik,
4
Gun Gun Heryanto, Handout Perkuliahan Mata Kuliah Komunikasi Politik: Materi 2 (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2010), h. 2. 5 Gabriel A. Almond dalam Wikipedia, Komunikasi Politik: Dan Nimmo, artikel diakses pada tanggal 12 Maret 2011, pukul 11.40 WIB dari http://wordpress.com/2009/07/21/komunikasipolitik-dan-nimmo/ .
20
7. memberi ancaman (coertion) untuk memperoleh kepatuhan sebelum alat paksa digunakan, sekaligus hal ini juga memberikan batasan-batasan mengenai hal-hal yang ditabukan.6
B. Kebijakan Publik Kebijakan publik adalah apa yang dipilih oleh pemerintah untuk dikerjakan.7 Melalui definisi ini mendapat pemahaman bahwa terdapat perbedaan antara apa yang akan dikerjakan pemerintah dan apa yang sesungguhnya harus dikerjakan oleh pemerintah. Dalam Ilmu Komunikasi Politik, kebijakan publik (Public Policy), adalah kumpulan keputusan yang diambil oleh seseorang pelaku atau kelompok politik dalam memilih tujuan-tujuan dan cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut. Pada prinsipnya pihak-pihak yang membuat kebijakan itu mempunyai kekuasaan untuk melaksanakannya. Kebijakan publik menitikberatkan pada apa yang Dewey katakan sebagai “publik dan problem-problemnya,” dan kebijakan publik membahas soal bagaimana isu-isu dan persoalan-persoalan tersebut disusun (constructed) dan didefinisikan serta bagaimana kesemuanya itu diletakkan dalam agenda kebijakan dan agenda politik.8
6
Gun Gun Heryanto, Handout Perkuliahan Mata Kuliah Komunikasi Politik: Materi 2, h.
7-8. 7
Leo Agustino, Perihal Ilmu Politik: Sebuah Bahasan Mengenai Ilmu Politik (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007), h. 165-166. 8 Wayne Parson, Public Policy: Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan (Jakarta: Kencana, 2006), h. 11.
21
Kebijakan publik adalah tentang apa yang dilakukan pemerintah, mengapa pemerintah mengambil tindakan tersebut, dan apa akibat dari tindakan tersebut.9 Sebuah analisis kebijakan merupakan kajian terhadap kebijakan publik yang bertujuan untuk mengintegrasikan dan mengontekstualisasikan model dan riset dari disiplin-disiplin tersebut yang mengandung orientasi problem dan kebijakan. Harold D. Laswell menyebutkan bahwa orientasi kebijakan meliputi hal-hal berikut, yaitu: a. multi method, tidak cukup jika hanya menggunakan satu pendekatan tetapi melalui beberapa faktor untuk mengetahui proses suatu kebijakan publik, b. multi disciplinary, kebijakan publik terdiri dari berbagai disiplin ilmu sosial, c. berfokus pada problem (problem focused), d. berkaitan dengan pemetaan kontekstualitas proses kebijakan, opsi kebijakan, dan hasil kebijakan, dan e. bertujuan untuk mengintegrasikan pengetahuan ke dalam suatu disiplin yang menyeluruh (overarching) untuk menganalisis pilihan publik dan pengambilan keputusan dan karenanya ia ikut berperan dalam demokratisasi masyarakat.10 Dari definisi yang sudah berkembang, maka dapat disimpulkan beberapa karakteristik utama dari suatu definisi kebijakan publik, yaitu:
9
Wayne Parson, Public Policy: Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan. Wayne Parson, Public Policy: Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan, h. 12
10
22
a. Pada umumnya kebijakan publik perhatiannya ditujukan pada tindakan yang mempunyai maksud atau tujuan tertentu dari pada perilaku yang berubah atau acak. b. Kebijakan publik pada dasarnya mengandung bagian atau pola kegiatan yang dilakukan oleh pejabat pemerintah daripada keputusan yang terpisah-pisah. c. Kebijakan publik merupakan apa yang sesungguhnya dikerjakan oleh pemerintah dalam mengatur sebuah negara. d. Kebijakan publik dapat berbentuk negatif maupun positif. e. Kebijakan publik didasarkan pada hukum dan merupakan tindakan yang bersifat memerintah. Adapun sifat-sifat dari kebijakan publik, dapat dimengerti secara baik dengan melihat kategorinya. Leo Agustino dalam bukunya Perihal Ilmu Politik membaginya dalam beberapa kategori yaitu: 1. Policy Demand (Permintaan Kebijakan) Merupakan klaim yang dibuat oleh warga masyarakat secara pribadi atau kelompok dengan resmi dalam sistem politik oleh karena adanya masalah yang mereka rasakan. 2. Policy Decision (Putusan Kebijakan) Putusan yang dibuat oleh pejabat publik yang memerintahkan untuk memberi
arahan
pada
kegiatan-kegiatan
mengumumkan perintah eksekutif. 3. Policy Statements (Pernyataan Kebijakan)
kebijakan,
biasanya
23
Pernyataan secara formal atau artikulasi dari keputusan politik yang telah ditetapkan. Dalam hal ini merupakan ketetapan legislatif. 4. Policy Output (Hasil Kebijakan) Output kebijakan adalah apa yang dikerjakan pemerintah, yang merupakan kebijakan yang dititikberatkan pada masalah-masalah seperti pembangunan jalan, pedagang kaki lima, dan lain lain. 5. Policy Outcomes (Akibat dari Kebijakan) Akibat dari kebijakan adalah konsekuensi kebijakan yang diterima masyarakat, baik yang diinginkan atau yang tidak diinginkan, yang berasal dari apa yang dikerjakan atau yang tidak dikerjakan oleh pemerintah.11 Faktor-faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan a. Political Values, nilai-nilai atau standar-standar politik. Pembuat keputusan dapat mengevaluasi alternatif kebijakan untuk kepentingan partai politiknya atau kelompoknya, maka hal ini menggambarkan bagaimana nilai-nilai politis dapat merangsek masuk dalam setiap pengambilan keputusan yang dilakukan oleh pengambil keputusan. b. Organization Values, nilai-nilai atau standar-standar organisasional. hal yang paling menonjol adalah bagaimana, misalnya organisasi yang berorientasi berpandangan
konservatif
berhadapan
revolusioner
akan
dengan
organisasi
menghasilkan
yang
argumentasi-
argumentasinya yang berbeda dalam penetapan keputusan.
11
Leo Agustino, Perihal Ilmu Politik: Sebuah Bahasan Mengenai Ilmu Politik, h. 158.
24
c. Personal Values, atau nilai-nilai personal. Hal ini berkenaan dengan teori tentang ketidaksamaan manusia. Ketidaksamaan manusia ini bisa dilihat dari dua sisi, yang pertama adalah ketidaksamaan yang disebabkan oleh ketidakberpenuhan mental. Yang kedua, ketidaksamaan kemampuan yang berbeda dari masing-masing individu. d. Policy Values, adalah nilai-nilai atau standar-standar kebijakan yang berwarna kepentingan publik. Menyimpulkan bahwa keputusan politik yang dibuat hanya dipengaruhi oleh pertimbangan politik, organisasi, atau kepentingan pribadi. Pembuat keputusan dapat bertindak dengan baik berdasarkan persepsi mereka mengenai kepentingan publik atau kepercayaan pada kebijakan publik yang secara moral benar atau pantas. e. Ideological Values, nilai-nilai atau standar-standar ideologis. Ideologis adalah sekumpulan kepercayaan dan nilai yang berhubungan secara logis yang memberikan gambaran sederhana mengenai dunia dan cara bertindak sebagai petunjuk bagi seseorang untuk berperilaku.12 Di Indonesia, pada era reformasi para aktor kebijakan (lembaga-lembaga negara dan pemerintah yang berwenang membuat perundang-undangan atau kebijakan publik) itu adalah: 1. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) 2. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) DPR memiliki kedudukan yang strategis dalam membentuk sebuah Undang-Undang. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan pada pasal 21
12
164.
Leo Agustino, Perihal Ilmu Politik: Sebuah Bahasan Mengenai Ilmu Politik, h. 163-
25
ayat (1), bahwa DPR memiliki hak legislasi, hak mengajukan dan membuat Undang-Undang Dasar. 3. Presiden Dalam menjalankan pemerintahan negara, kekuasaan dan tanggung jawab ada di tangan Presiden (Concentration of power and responsibility upon the president). Presiden diberi wewenang mengatur sebagaimana dinyatakan dalam pasal 5 ayat (1) UUD 1945, pasal ini memberikan wewenang kepada presiden untuk membentuk undangundang dengan persetujuan DPR. Dalam pasal lain, yaitu Pasal 22 bahkan presiden diberikan kewenangan untuk menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perpu) dalam hal negara, jika dalam suatu keadaan genting yang memaksa. 4. Pemerintah; a. Presiden sebagai kepala pemerintahan (pemerintah pusat), b. Menteri, c. Lembaga Pemerintah Non-Departemen, d. Direktorat Jenderal (Dirjen), e. Badan-badan Negara Lainnya, (Bank Sentral, BUMN, dll), f. Pemerintah Daerah Propinsi, g. Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, h. Kepala Desa, 5. Dewan Perwakilan Daerah Propinsi, 6. Dewan Perwakilan Daerah Kabupaten/Kota,
26
7. Badan Perwakilan Desa (BPD). 13 Dibawah ini terdapat tabel mengenai aktor kebijakan publik beserta wewenang yang dilakukan, meskipun diketahui bahwa pasca reformasi kemungkinan akan terjadinya perubahan dan pergeseran dari aktor maupun perannya, Tabel 2.1 Klasifikasi Aktor Politik beserta Wewenangnya
Nama Lembaga (Aktor)
Peran (Wewenang) Aktor
MPR
a. Menetapkan UUD. b. Menetapkan TAP MPR. c. Menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara. Presiden a. Mengesahkan Undang-Undang Dasar b. Menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. DPR Membentuk Undang-Undang Dasar Pemerintah a. Menetapkan Peraturan Pemerintah (PP) untuk melaksanakan Undang-Undang. b. Menetapkan Keputusan Presiden (Keppres). c. Menetapkan Instruksi Presiden (Inpres) yang berisi petunjuk-petunjuk kepada instansi dibawahnya dalam rangka melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam UUD, TAP MPR, UU, dan PP. Menteri Menetapkan Peraturan Menteri (Permen) atau Keputusan Menteri (Kepmen) sebagai peraturan pelaksanaan. Lembaga Pemerintah Non Menetapkan peraturan-peraturan yang bersifat teknis, Depertemen yaitu peraturan pelaksanaan dari perundang-undangan yang lebih tinggi derajatnya. Direktorat Jenderal (Dirjen) Menetapkan/mengeluarkan peraturan-peraturan pelaksanaan yang bersifat teknis di bidangnya masingmasing. Badan-badan Negara Lainnya Mengeluarkan/menetapkan peraturan-peraturan pelaksanaan yang berisi perincian dari kententuanketentuan perundang-undangan yang mengatur dibidang tugas dan fungsinya masing-masing. Pemerintah Propinsi Menetapkan Peraturan Daerah Propinsi (Perda Propinsi) atas persetujuan DPRD Propinsi. Pemerintah Kabupaten/Kota Menetapkan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota (Perda Kabupaten/Kota) atas persetujuan DPRD 13
Ulul Albab, Aktor-aktor Kebijakan Publik (Surabaya: Universitas Dr. Soetomo, 2009) artikel diakses pada tanggal 12 Maret 2011, pukul 11.35 WIB dari http://www.unitomo.ac.id/ .
27
Kepala Desa DPRD Propinsi
DPRD Kabupaten/Kota
BPD
Kabupaten/Kota. Menetapkan Peraturan dan Keputusan Desa dengan Persetujuan Badan Perwakilan Desa (BPD). Menetapkan Peraturan Daerah Propinsi (Perda Propinsi) bersama dengan Pemerintah Daerah Propinsi. Menetapkan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota bersama-sama dengan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Menetapkan Peraturan Desa atau Keputusan Desa bersama-sama dengan Kepala Desa.
Sumber: http://www.unitomo.ac.id/
Dalam menganalisis sebuah kebijakan publik, sebenarnya cukup sulit dikarenakan dalam mencapai kesepakatan sebuah keputusan diperlukan masukan dari berbagai pihak yang mempunyai kepentingan dalam suatu permasalahan yang akan dirumuskan. Komunikasi yang dilakukan tidak cukup berhasil jika tidak adanya negosiasi, tarik ulur dari berbagai kepentingan di dalamnya, belum lagi para pemilik kekuasaan yang mempunyai otoritas terbesar dalam suatu kebijakan. Maka, diperlukan beberapa tahap untuk mengetahui proses suatu kebijakan bisa dirumuskan hingga mampu diimplementasikan di masyarakat. James Anderson sebagai pakar kebijakan publik, menetapkan proses kebijakan publiksebagai berikut: a. Formulasi masalah (problem formulation) Untuk dapat mengkaji sesuatu masalah publik diperlukan teori, informasi dan metodologi yang relevan dengan permasalahan yang dihadapi. Sehingga identifikasi masalah akan tepat dan akurat, selanjutnya dikembangkan menjadi policy question yang diangkat dari policy issues tertentu. b. Formulasi kebijakan (formulation)
28
Dimana formulasi untuk mengembangkan alternatif-alternatif untuk memecahkan masalah. Alternatif adalah sejumlah alat atau cara-cara yang dapat dipergunakan untuk mencapai, langsung ataupun tidak langsung sejumlah tujuan yang telah ditentukan. Alternatif-alternatif kebijakan dapat muncul dalam pikiran seseorang karena beberapa hal: (1) Berdasarkan pengamatan terhadap kebijakan yang telah ada. (2) Dengan melakukan semacam analogi dari suatu kebijakan dalam sesuatu bidang dan dicoba menerapkannya dalam bidang yang tengah dikaji, (3) merupakan hasil pengkajian dari persoalan tertentu. c. Penentuan kebijakan (adoption) Alternatif-alternatif yang ada perlu dinilai berdasarkan kriteria sebagaimana yang dimaksud pada point sebelumnya diatas. Tujuan penilaian adalah mendapatkan gambaran lebih jauh mengenai tingkat efektivitas dan fisibilitas tiap alternatif dalam pencapaian tujuan, sehingga diperoleh kesimpulan mengenai alternatif mana yang paling layak , efektif dan efisien. d. Implementasi (implementation) Menghasilkan informasi tentang konsekuensi sekarang dan masa lalu dari diterapkannya alternatif kebijakan. e. Evaluasi (evaluation) Evaluasi yang menyediakan informasi mengenai nilai atau kegunaan dari konsekuensi pemecahan atau pengatasan masalah. Mengetahui adakah tuntutan untuk melakukan perubahan atau pembatalan. 14 14
Trubus Rahardiansah, Pengantar Ilmu Politik: Paradigma, Konsep Dasar, dan Relevansinya untuk Ilmu Hukum (Jakarta: Universitas Trisakti, 2006), h. 296.
29
Pada dasarnya, memang tidak ada kebijakan yang akan mencapai kesempurnaan dan kepuasan sesuai dengan apa yang menjadi tuntutan yang masuk (input). Namun, baiknya sebuah kebijakan dibuat harus memperhatikan segala faktor, mau mendengarkan dari manapun aspirasi yang datang.
C. Teori Komunikasi Kebijakan (Model Rasional Komprehensif) Menskemakan garis-garis komunikasi dua arah menghubungkan warga negara dan pejabat, yakni apa yang disebut dalam komunikasi politik. Pertama bisa dilihat hubungan opini kebijakan sebagai proses penggambaran penyajian cara-cara alternatif dari opini rakyat, massa, dan kelompok yang diperhitungkan oleh pemegang jabatan dalam membentuk kebijakan pemerintah. Hal yang kedua, dapat diteliti komplikasi-komplikasi yang berkaitan dengan tipe-tipe utama komunikasi kebijakan. Langkah yang terakhir adalah dengan meninjau masalahmasalah dalam mempertaruhkan proses kebijakan dalam demokrasi. Model
rasional
komprehensif
bermaksud
melukiskan
suatu
cara
mengorganisasi komunikasi kebijakan untuk memperoleh keputusan. Langkahlangkah yang ditempuh antara lain: 1. Pembuat kebijakan memperhitungkan masalah yang memerlukan tindakan, masalah yang terpisah dari bidang masalah yang lain. 2. Pembuat kebijakan menjelaskan tujuan, nilai, dan sasaran yang harus dicapai dalam menangani masalah tersebut. 3. Pembuat kebijakan mengidentifikasi pemecahan dan meneliti masingmasing. Penelitian ini mempertimbangkan seluruh informasi mengenai konsekuensi yang diharapkan dari penerimaan pemecahan manapun.
30
4. Pembuat kebijakan mempertimbangkan pengorbanan dan keuntungan relatif dari setiap alternatif, membandingkan pilihan, dan memilih alternatif yang memaksimalkan tujuan, nilai, dan sasaran yang telah disepakati. 15 Langkah-langkah tersebut “rasional” dalam memilih alat yang paling efektif untuk
mencapai
tujuan
yang
dinyatakan.
Ia
“komprehensif”
dalam
mempertimbangkan setiap faktor yang relevan dengan setiap pilihan. Setelah membuat kebijakan memilih suatu pilihan, mereka mengumpulkan dukungan dari lembaga-lembaga utama dan publik melalui propaganda, pemimpin kelompok, prosedur pemaksaan dan sebagainya. Jadi, prosedur rasional komprehensif untuk merumuskan kebijakan mengandung hubungan yang erat dengan pendekatan kontrol sosial untuk mencapai tatanan. Dalam buku Dan Nimmo dikatakan, orang berkumpul untuk membahas arah tindakan bagi kesejahteraan mereka bersama, untuk berbagi gagasan, dan untuk membuat konsensus sehingga setelah cukup dipertimbangkan, mereka bisa bertindak secara kolektif. Tujuannya adalah mencapai konsensus yang sebagian besar disepakati oleh setiap orang.16 Akhirnya, dengan berasumsi bahwa kebijakan yang disepakati itu merefleksikan pemecahan yang “terbaik,” cukup mengetahui persuasi untuk menyadari bahwa meyakinkan penduduk terhadapnya (sehingga mereka akan memberikan
15
suara
kepadanya
dalam
plebisit
atau
sekadar
diam-diam
Dan Nimmo, Komunikasi Politik: Khalayak dan Efek (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006), h. 224. 16 Dan Nimmo, Komunikasi Politik: Khalayak dan Efek, h. 224.
31
menyetujuinya melalui perilaku patuh) melibatkan lebih daripada instruksi pemerintah atas kebaikan kebijakan dan keburukkan pilihan lainnya.17 Dalam membuat sebuah keputusan yang akhirnya disahkan menjadi sebuah kebijakan tidaklah mudah, banyak faktor yang harus diperhatikan meskipun sudah dianalisis melalui cara, metode, dan model komunikasi yang dilakukan. Faktor luar (external) dari komunikasi kebijakan antara lain: a. Dukungan massa kepada lembaga pembuat kebijakan Para pembuat kebijakan tidak hanya mengkhawatirkan popularitas mereka, tetapi juga mengkhawatirkan berapa banyaknya dukungan yang diberikan oleh rakyat kepada lembaga pembuat kebijakan. Konsensus massa
yang
dikomunikasikan
kepada
pembuat
kebijakan
itu
menunjukkan bahwa sekurang-kurangnya dalam arti abstrak dan tergeneralisir, rakyat memberikan dukungan yang cukup kepada lembaga-lembaga politik untuk pejabat pemerintah dalam menjalankan pemerintahannya sehari-hari. b. Peran media massa dalam komunikasi kebijakan Sekurang-kurangnya disebutkan ada dua hal yang dilakukan media massa sebagaisumber pesan bagi pembuat kebijakan dalam menaksir opini publik, yaitu: 1. kecendrungan beberapa pejabat kebijakan untuk melakukan kesalahan jurnalistik dengan menganggap bahwa isi berita dan isi editorial pers sinonim dengan opini publik,
17
Dan Nimmo, Komunikasi Politik: Khalayak dan Efek, h. 225.
32
2. tindakan media massa sebagai sumber pesan politik ialah melalui penetapan agenda dan pembuatan fungsi media, yakni memperbesar kontroversi politik, mengajukannya agar mendapat perhatian pembuat kebijakan, dan mengumpulkannya agar mendapat perhatian pembuat
kebijakan
serta
mengumpulkan
dukungan
melalui
kelompok kepentingan maupun kawan dan lawan. c. Pesan dalam gerakan massa Gerakan massa mengkomunikasikan tiga jenis tuntutan kepada pembuat kebijakan: 1. Gerakan yang ditujukan untuk memperoleh keuntungan material seketika bagi penganutnya. Contoh: gerakan mendukung rencana peredistribusian kekayaan Amerika bagi golongan tua. 2. Tuntutan tentang status. Contoh: gerakan yang mendukung untuk mempertahankan status penguasa dari kelas kulit putih. 3. Menyajikan jalan keluar bagi pengungkapan perasaan. Contoh: gerakan kebebasan wanita d. Pesan dari yang terorganisasi: mendengarkan partai politik Pandangan politik dari partai politik merupakan riwayat pemberian suara dari pemegang jabatan. Partai politik biasa digunakan untuk mengirimkan pesan kepada pejabat pembuat kebijakan. Dengan bertindak sebagai garis utama komunikasi antara warga negara dan pejabat.
33
e. Pesan dari yang terorganisasi: mendengarkan kelompok kepentingan Orang yang berpartisipasi dalam kelompok kepentingan politik jarang merupakan wakil opini rakyat ataupun opini massa rata-rata. Schttchneider menuduh sistem tekanan (istilah yang dipakainya untuk kelompok kepentingan khusus yang terorganisasi) memobilisasi orangorang dalam kelompok kepentingan dan mengorkanisasi prasangka (bias) untuk kelompok kepentingan yang berusaha memperoleh hak-hak istimewa. Kemungkinan komunikasi lobbyists dalam kelompok kepentingan, lobbying yaitu komunikasi dengan pembuat kebijakan oleh orang yang mengklaim
berbicara
atas
nama
kepentingan
dengan
tujuan
mempengaruhi keputusan pemerintah. f. Pesan dari yang terorganisasi: mendengarkan sesama pejabat Penting untuk diingat bahwa pembuat kebijakan biasanya memiliki jauh lebih banyak kesamaan satu sama lain sebagai sesama politikus dan pejabat ketimbang dengan para pemilih mereka, loyalitas partai, atau anggota golonga yang berpengaruh. Tidak mengherankan jika mereka berbalik satu sama lain untuk meminta tolong dalam menyusun citra tentang opini publik dan bagaimana bertindak sesuai dengan hal itu.18 Jika berbicara sesuai prosedural maupun idealis, sebenarnya banyak sekali faktor yang harus diperhatikan oleh pejabat pembuat kebijakan untuk mencapai sebuah kebijakan yang tepat sasaran. Memang tidak mudah, sehingga tidak jarang
18
Dan Nimmo, Komunikasi Politik: Khalayak dan Efek, h. 209-221.
34
kebijakan yang telah dibuat justru menjadi boomerang sendiri baik bagi si pembuat kebijakan maupun rakyat yang menjadi target dari kebijakan. Kebijakan baiknya diciptakan untuk dipatuhi karena dalam prosesnya sudah harus melalui pertimbangkan dari berbagai pihak. Dan tidak sedikit pula aspirasi yang ditampung. Pada akhirnya, kebijakan yang dibuat bisa menjadi baik atau tidak
tergantung
bagaimana
para
pejabat
pembuat
kebijakan
mampu
mengakomodir berbagai kepentingan dalam sebuah kebijakan.
D. Opini Publik dan Kebijakan Publik Opini publik merupakan pendapat sebagian besar rakyat dalam mengkritisi masalah publik. Dalam pengertiannya opini adalah suatu respon aktif terhadap stimulus, suatu respon yang dikonstruksi melalui interpretasi pribadi yang berkembang dari dan menyumbang imej. Sedangkan, publik merupakan kumpulan orang-orang yang sama minat dan kepentingannya terhadap suatu isu. Jadi,opini publik adalah suatu opini yang menyangkut isu, atau kejadian yang mengandung keprihatinan (concern) publik.19 Bagi sebuah negara demokrasi, seperti Indonesia, opini publik merupakan hal yang sangat mendasar. Karena, sebuah negara demokrasi merupakan pemerintahan yang berdasarkan oleh kehendak rakyat, dimana suara rakyat merupakan dasar dari sebuah pemerintah demokrasi yang dijalankan. Kekuasan terbesar berada ditangan rakyat, maka jika suara rakyat diabaikan tidak mungkin pula kekuasan akan dijatuhkan pula oleh rakyat.
19
h. 1-2.
Gun Gun Heryanto, Handout Perkuliahan Mata Kuliah Komunikasi Politik:Materi-6,
35
Hubungan antara opini publik dan kebijakan publik sangatlah erat, hal ini bisa dilihat dari siapa yang mengeluarkan pendapat dan struktur dari pendapat tersebut. Umumnya kebijakan publik berkaitan erat dengan pendapat-pendapat yang disampaikan oleh orang-orang yang memiliki perhatian yang tinggi dan juga yang aktif secara langsung dalam aktifitas politik dibanding dengan orang-orang yang tidak punya perhatian atau bersikap pasif.20 Pada umumnya, opini publik yang menjadi perhatian dari pembuat kebijakan terdapat dalam wawancara atau talk show di acara televisi, maupun di media-media yang memuat suara pembaca, suara pemirsa, artikel surat kabar, tulisan kolom, SMS, media online, dan sebagainya. Selain dari media, pendapat umum (opini publik) lain yang menjadi perhatian adalah pendapat umum yang diwadahi oleh organisasi kemasyarakatan seperti LSM yang biasa datang atau melakukan orasi dengan berdemo untuk menyuarakan pendapatnya, atau datang langsung ke lembaga pembuat kebijakan seperti DPR yang menyediakan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan mengundang atau datang sendiri untuk menyatakan pendapat. Kebijakan publik menunjuk pada keinginan penguasa atau pemerintah yang idealnya dalam masyarakat demokratis merupakan cerminan pendapat umum (opini publik). Untuk mewujudkan keinginan tersebut dan menjadikan kebijakan tersebut efektif maka diperlukan beberapa hal, yaitu: 1.
Adanya seperangkat hukum berupa peraturan dan perundang-undangan sehingga dapat diketahui publik apa yang telah diputuskan.
2.
Kebijakan juga harus jelas struktur pelaksanaan dan pembiayaannya. 20
Hafied Cangara, Komunikasi Politik: Konsep, Teori dan Strategi (Jakarta: Rajawali Press, 2009), h. 159-162
36
3.
Diperlukan adanya kontrol publik yakni mekanisme yang memungkinkan publik mengetahui apakah kebijakan ini dalam pelaksanaannya mengalami penyimpangan atau tidak. 21 Opini publik dalam sebuah kebijakan publik bisa berupa tuntutan atau
dukungan, berikut ini proses bagaimana sebuah opini baik berupa tuntuan maupun dukungan menjadi sebuah kebijakan (output), yang bisa dilihat dari pendekatan analisis sistem yang diungkapan oleh David Easton 22, yaitu:
Gambar 2.1 Proses Opini Publik Menjadi Sebuah Kebijakan
I N P U T
Tuntutan
Keputusan Konversi input
menjadi output Dukungan
Kebijakan
O U T P U T
Umpan Balik Lingkungan
Lingkungan
Sumber: Materi Pokok Opini Publik: 1-9 Universitas Terbuka
Penjelasan: 1. Bagi sebuah negara maju, apa yang menjadi kepentingan maupun kebutuhan diri dan kelompok dikemukakan lewat berbagai saluran atau kelompok baik kelompok kepentingan ataupun kelompok penekan. Kelompok yang mengartikulasikan kepentingan anggota masyarakat ini selanjutnya oleh Almond disebut dengan kelompok kepentingan. 21
Trubus Rahardiansah, Pengantar Ilmu Politik: Paradigma, Konsep Dasar, dan Relevansinya untuk Ilmu Hukum, h. 293. 22 Betty RFS. Soemirat dan Eddy Yehuda, Materi Pokok Opini Publik: 1-9: SKOM4321/3 SKS (Jakarta: Universitas Terbuka, 2007), h. 25-26.
37
2. Tahapan berikutnya adalah tahapan agregasi kepentingan, dimana proses pengubahan tuntutan yang disampaikan menjadi alternatif-alternatif kebijakan. 3. Tahapan ketiga adalah tahapan pembuatan kebijakan merupakan proses untuk mengubah tuntutan menjadi output. Output tersebut, berupa peraturan-peraturan
maupun
perundang-undangan
yang
mampu
menanggapi kepentingan dan tuntutan yang masuk ke dalam agenda pemerintah. 4. Tahapan yang terakhir adalah tahapan dimana tahapan artikulasi kepentingan, agregasi kepentingan dan tahapan pembuatan keputusan dimungkinkan terjadi tumpang tindih, hal ini terjadi selain karena batasan antara ketiga aktifitas tersebut sangatlah tipis dan terjadi karena para partisipan dalam pembuatan kebijakan sama. Selanjutnya, Gabriel A. Almond menambahkan dengan memberikan pengantar komprehensif mengenai input (artikulasi kepentingan), fungsi proses (agregasi kepentingan,pembuatan kebijakan, implementasi, dan keputusan kebijakan) dan fungsi kebijakan (extraction, regulasi, distribusi). Output kebijakan dikembalikan ke dalam sistem politik, yang berada dilingkungan domestik dan internasional.23
23
Wayne Parson, Public Policy: Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan, h. 26.
38
Gambar 2.2 Proses Kebijakan sebagai Input dan Output
INPUT
KEBIJAKAN
OUTPUT
Persepsi Organisasi Permintaan Dukungan Apathy
Regulasi Distribusi Redistribusi Kapitalisasi Kekuasaan Etis
Aplikasi Penguatan (Enforcement) Interpretasi Evaluasi Legitimasi Modifikasi (Penyesuaian) Penarikandiri / pengingkaran
Sumber: Parson (2006)
Versi ini berusaha lebih banyak menjelaskan peran institusi ketimbang di masa lalu, masa ketika ilmuwan politik cenderung mengabaikan fakta bahwa institusi, aturan dan konstitusi adalah sesuatu yang benar-benar penting. Konseptualisasi pada keempat teori tersebut merupakan konsep-konsep yang berkenaan dengan analisis mengenai kebijakan publik pada Undang-Undang Pornografi. Kebijakan publik yang dimaksud dalam hal ini Undang-Undang Pornografi merupakan bagian dari kegiatan komunikasi politik, yang dalam ilmu politik sendiri sebenarnya kebijakan publik sudah menjadi salah satu wacana yang sering diperbincangkan. Dalam komunikasi kebijakan, hal-hal yang mengenai produk kebijakan dikaitkan dengan opini publik yang berkembang, karena opini publik merupakan opini masyarakat yang wajib diperhatikan oleh negara demokrasi seperti Indonesia. Sebagai proses analisis pada bab IV (empat) konsep yang menjadi landasan berpikir adalah teori mengenai Model Rasional Komprehensif dan relevansi antara opini publik dan kebijakan publik yang akan dibahas secara mendetail.
39
E. Daftar Istilah Untuk memudahkan dalam membaca hasil penelitian ini, maka penulis memuat beberapa kata atau istilah yang menjadi rujukan umum dalam membaca penulisan ini, berikut ini diantaranya beberapa kata yang didasarkan pada istilah baku dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, maupun pengertian yang dipahami secara umum dan menyeluruh, yaitu: 1.
Pornografi Pornografi merupakan istilah dari bahasa Yunani pornographia, dari kata porne yang berarti gambar tentang pelacur atau wanita jalang (biasa disingkat porn). Dan secara istilah pornografi diartikan sebagai pernyataan atau saran mengenai hal-hal yang mesum atau kurang sopan di dalam sastra atau seni. 24 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pornografi adalah penggambaran tingkah laku secara erotis dengan lukisan atau tulisan untuk membangkitkan nafsu berahi; bahan bacaan yang dengan sengaja dan semata-mata dirancang untuk membangkitkan nafsu berahi dalam seks. Sinonim porno adalah , asusila, cemar, dan cabul.
2. Pornoaksi Istilah pornoaksi sendiri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tidak bisa ditemukan, alasan tersebut memungkin mengapa istilah pornoaksi dihapuskan dalam draf RUU APP. Karena pornoaksi sendiri merupakan kata baru dan belum mendapatkan konsensus umum,
24
Williams Hopkins, Oxford English Dictionary, artikel diakses pada tanggal 15 Juni 2011, pukul 11.40 WIB dari http://pd_oxford-dictionary.com/
40
sedangkan dalam draf RUU APP, pornoaksi diartikan sebagai perbuatan mengeksploitasi seksual, kecabulan, dan/atau erotika di muka umum. 3. Arti kata cabul adalah keji dan kotor; tidak senonoh (melanggar kesopanan, kesusilaan): ia suka sekali berkata (berbuat). 4. Arti kata asusila adalah tidak susila; tidak baik tingkah lakunya. 5. Arti kata erotis adalah berkenaan dng sensasi seks yg menimbulkan rangsangan; bersifat merangsang nafsu berahi. 6. Arti kata vulgar adalah kasar ( perilaku, perbuatan, dsb); tidak sopan. 7. Arti kata seks adalah jenis kelamin. 8. Arti kata erotika adalah karya sastra yg tema atau sifatnya berkenaan dng nafsu kelamin atau keberahian: karya, tidak sama dng pornografi. 9. Opini Publik Opini publik adalah pendapat sebagian besar rakyat dalam mengkritisi masalah publik. 10. Kebijakan Publik Kebijakan publik adalah kumpulan keputusan yang diambil oleh seseorang pelaku atau kelompok politik dalam memilih tujuan-tujuan dan cara-cara untuk mencapai tujuan tertentu. Kata-kata seperti cabul, vulgar, erotis, erotika, asusila dan seks adalah katakata yang disebutkan dalam pengertian pornografi pada draf awal RUU APP sebelum berubah menjadi RUU Pornografi, yakni Pornografi adalah substansi dalam media atau alat komunikasi yang dibuat untuk menyampaikan gagasangagasan yang mengeksploitasi seksual, kecabulan, dan/atau erotika.25 25
Pengertian ini merupakan pengertian pornografi yang terdapat pada RUU APP (Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi) draft awal Pasal 1 ayat 1 RUU APP.
BAB III GAMBARAN UMUM DPR RI
A. Sejarah DPR RI Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) adalah salah satu lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan lembaga perwakilan rakyat. 1 DPR terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan umum yang dipilih melalui pemilihan umum. Sejarah DPR sudah dimulai pada zaman penjajahan sampai dengan KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) tahun 1945. Berikut ini pembentukan DPR yang dibagi menjadi beberapa periodeterbentuknya, yaitu: a. Volksraad Pada masa penjajahan Belanda, terdapat lembaga semacam parlemen bentukan Penjajah Belanda yang dinamakan Volksraad. Pada tanggal 8 Maret 1942 Belanda mengakhiri masa penjajahan selama 350 tahun di Indonesia. Pergantian penjajahan dari Belanda kepada Jepang mengakibatkan keberadaan Volksraad secara otomatis tidak diakui lagi, dan bangsa Indonesia memasuki masa perjuangan Kemerdekaan. Kemudian pada tanggal 16 Desember 1916 diumumkan dalam Staatsblat Hindia No. 114 Tahun 1916 dan berlaku pada tangal 1 Agustus 1917 memuat hal-hal yang berkenaan dengan kekuasaan legislatif, yaitu Volksraad (Dewan Rakyat). 1
Yayasan API (Almanak Parlemen Indonesia), Panduan Parlemen Indonesia (Jakarta: Yayasan Api, 2001), h. 206.
41
42
b. KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) Sejarah DPR RI dimulai sejak dibentuknya Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) oleh Presiden pada tanggal 29 Agustus 1945 (12 hari setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia) di Gedung Kesenian, Pasar Baru Jakarta. Tanggal peresmian KNIP (29 Agustus 1945) dijadikan sebagai tanggal dan hari lahir DPR RI dalam Sidang KNIP yang pertama telah menyusun pimpinan yang terdiri dari, Ketua Mr. Kasman Singodimedjo Wakil Ketua I Mr. Sutardjo Kartohadikusumo Wakil Ketua II Mr. J. Latuharhary Wakil Ketua III Adam Malik2 Dibawah ini periode terbentuknya DPR dari waktu ke waktu: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17.
Komite Nasional Indonesia Pusat 29 Agustus 1945 - 15 Februari 1950 DPR dan Senat RIS 15 Februari 1950 - 16 Agustus 1950 DPRS 16 Agustus 1950 - 26 Maret 1956 DPR hasil Pemilu I 26 Maret 1956 - 22 Juli 1959 DPR setelah Dekrit Presiden 22 Juli 1959 - 26 Juni 1960 DPR GR 26 Juni 1960 - 15 November 1965 DPR GR minus PKI 15 November 1965 - 19 November 1966 DPR GR Orde Baru 19 November 1966 - 28 Oktober 1971 DPR hasil pemilu 2 28 Oktober 1971 - 01 Oktober 1977 DPR hasil pemilu 3 01 Oktober 1977 - 01 Oktober 1982 DPR hasil pemilu 4 01 Oktober 1982 - 01 Oktober 1987 DPR hasil pemilu 5 01 Oktober 1987 - 01 Oktober 1992 DPR hasil pemilu 6 01 Oktober 1992 - 01 Oktober 1997 DPR hasil pemilu 7 01 Oktober 1997 - 01 Oktober 1999 DPR hasil pemilu 8 01 Oktober 1999 - 01 Oktober 2004 DPR hasil pemilu 9 01 Oktober 2004 - 01 Oktober 2009 DPR hasil pemilu 10 01 Oktober 2009 - 01 Oktober 2014. 3
B. Visi dan Misi DPR RI
2
Wikipedia, Sejarah DPR RI, artikel diakses pada tanggal 12 Maret 2011, pukul 13.00 WIB dari http://wikipedia.com/. 3 Wikipedia, Sejarah DPR RI artikel diakses pada tanggal 12 Maret 2011, pukul 13.00 WIB dari http://wikipedia.com/.
43
Visi DPR RI sesuai dengan kedudukan Rencana Strategis sebagai pedoman antara untuk mengarahkan pencapaian tujuan jangka panjang pelaksanaan tugas konstitusional Dewan Perwakilan Rakyat RI, maka Rencana Strategis memuat Visi dan Misi jangka panjang sebagai landasan dalam menyiapkan arah kebijakan 5 (lima) tahun ke depan. Visi DPR RI yang menjadi acuan dalam penyusunan Rencana Strategis 2010 – 2014 adalah: 1.
Lembaga Perwakilan yang kredibel, merupakan nilai dasar dalam pelaksanaan tanggungjawab perwakilan rakyat yang efektif, akuntabel, transparan, aspiratif, responsif dan akomodatif.
2.
Masyarakat adil dan makmur, merupakan tujuan ideal pembangunan masyarakat madani yang berkualitas, sejahtera lahir dan batin, dan demokratis dalam karsa dan karya pembangunan Republik Indonesia.
Misi DPR RI pada hakekatnya merupakan upaya penjabaran Visi DPR RI agar lebih fokus dan terarah dengan mempertimbangkan kondisi dan perkembangan kebijakan, peraturan perundang-undangan, tanggung jawab pokok, dan kelembagaan DPR RI yang berlangsung selama ini. Dengan pertimbangan tersebut di atas, maka Misi DPR RI dirumuskan menjadi : 1. Mewujudkan penyelenggaraan fungsi legislasi yang efisien dan efektif. 2. Mewujudkan
penyelenggaraan
fungsi
penganggaran
negara
yang
akuntabel dan transparan, serta mewujudkan penyelenggaraan fungsi pengawasan yang transparan dan efektif. 4
4
Sekretariat Jenderal DPR RI, Rencana Strategis DPR RI, artikel diakses pada tanggal 15 Maret 2011, pukul 19.00 WIB dari http://dprri.go.id/.
44
Visi dan Misi DPR RI pada hakekatnya memberikan arah dalam perwujudan DPR RI yang kredibel menuju masyarakat yang adil dan makmur dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
C. Keanggotaan DPR RI Periode 2009-2014 Pada periode 2009-2014 jumlah yang ditentukan untuk mengisi kursi di DPR adalah sebanyak 560 orang yang terdiri dari 9 besar partai politik pemenang pemilu 2009. Hal ini telah diatur dalam tata tertib DPR yang terdapat pada Pasal 7 mengenai keanggotaan, berikut ini kutipannya: Pasal 7 (1) Anggota berjumlah 560 (lima ratus enam puluh) orang. 2) Anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebelum memangku jabatannya mengucapkan sumpah/janji secara bersama-sama yang dipandu oleh Ketua Mahkamah Agung dalam rapat paripurna DPR. (3) Anggota yang berhalangan mengucapkan sumpah/janji bersama-sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengucapkan sumpah/janji yang dipandu oleh pimpinan DPR. (4) Masa jabatan anggota adalah 5 (lima) tahun dan berakhir pada saat anggot yang baru mengucapkan sumpah/janji. 5
Secara umum kepemimpinan DPR dipimpin oleh seorang ketua dan wakil ketua yang dipilih berdasarkan jumlah suara terbesar pada urutan lima besar partai politik pada pemilu, berikut ini struktur kepemimpinan yang ada di DPR: Tabel 3. 1 Struktur Kepemimpinan
Nama Marzuki Alie Priyo Budi Santoso Pramono Anung Anis Matta 5
Partai Demokrat Golkar PDI-P PKS
Jabatan Struktur Ketua Wakil Ketua Wakil Ketua Wakil Ketua
Sekretariat Jenderal DPR RI, Rencana Strategis DPR RI, artikel diakses pada tanggal 15 Maret 2011, pukul 19.00 WIB dari http://dprri.go.id/.
45
Taufik Kurniawan
PAN
Wakil Ketua
Komposisi kursi yang terdapat di DPR pun telah diatur sebagaimana mestinya, yakni berdasarkan jumlah perolehan hasil pemilu yang dilakukan sebelumnya. Tabel dibawah ini menjelaskan jumlah kursi yang diperoleh tiap partai politik pemenang pemilu tahun 2009, Tabel 3.2 Jumlah Kursi DPR Berdasarkan Fraksi
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Fraksi Partai Demokrat Partai Golkar Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Partai Keadilan Sejahtera Partai Amanat Nasional Partai Persatuan Pembangunan Partai Kebangkitan Bangsa Partai Gerakan Indonesia Raya Partai Hati Nurani Rakyat
FPD FPG FPDI Perjuangan FPKS FPAN FPPP FPKB F-GERINDRA F-HANURA
Total
Jumlah % 148 26,40 106 18,92 94
16,78
57 46 38 28 26 17
10,17 8,21 6,78 5,00 4,64 3,04
560
100
Sumber: http://dprri.go.id/
Fraksi merupakan pengelompokkan anggota DPR RI berdasarkan konfigurasi Partai Politik dari hasil pemilu. Di gedung DPR RI setiap fraksi menempati ruang sesuai dengan fraksinya, diantaranya adalah: a. b. c. d. e. f. g.
6
Gedung Sekretariat Jenderal DPR RI, Lantai Dasar Gedung Nusantara I, Lantai Dasar Gedung Nusantara II Lama, Lantai Dasar Gedung Nusantara II Baru, Lantai Dasar Gedung Nusantara II Baru, Lantai 3 Gedung Nusantara III, Lantai Dasar Gedung Nusantara III, Lantai 3. 6
Yayasan API (Almanak Parlemen Indonesia), Panduan Parlemen Indonesia, h. 379.
46
Selain sarana berupa gedung dan peralatan lainnya, dalam melaksanakan tugasnya DPR RI juga dibantu melalui oleh beberapa lembaga yang termasuk dalam kategori alat kelengkapan DPR. Berikut ini tabel yang menjelaskan alat kelengkapan DPR tesebut, yaitu: Tabel 3.3 Alat Kelengkapan DPR
No 1.
Alat Kelengkapan Pimpinan
2.
Badan Musyawarah
3.
Komisi
4.
Badan Legislasi
5.
Badan Anggaran
Keanggotaan Diangkat berdasarkan urutan perolehan kursi terbanyak di DPR 1/10 dari jumlah anggota DPR berdasarkan pertimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi Berdasarkan perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiapfraksi pada permulaan sidang. Jumlah anggota ditentukan dalam rapat paripurna DPR
Sifat Tetap
Keanggotaan Badan Anggaran menurut perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiapfraksi pada permulaan sidang.
Tetap
Tetap
Tetap
Tetap
Tugas Utama Memimpin sidang, menyusun rencana kerja pimpinan, melaksanakan keputusan dan memasyarakatkan keputusan DPR. Menetapkan agenda DPR untuk 1 tahun sidang, 1 masa persidangan,atau sebagian dari suatu masa sidang, dan jangka waktu penyelesaian rancangan undang-undang. Tugas dalam pembentukan undang-undang dengan mengadakan persiapan, penyusunan, pembahasan, dan penyempurnaan rancangan undang-undang. Menyusun rancangan program legislasi nasional yang memuat daftar urutan dan prioritas rancangan undang-undang beserta alasannya untuk satu masa keanggotaan dan untuk setiap tahun anggaran di lingkungan DPR dengan mempertimbangkan masukan dari DPD Membahas bersama Pemerintah yang diwakili oleh menteri untuk menentukan kebijakan fiskalsecara umum dan prioritas anggaran untuk dijadikan acuan bagi setiapkementrian/lembaga dalam menyusun usulan anggran
47
6.
Badan Akuntabilitas Anggota BAKN Keuangan berjumlah paling sedikit 7 orang dan paling banyak 9 orang atas usul fraksi DPR dalam rapat paripurna. Badan Kehormatan Anggota Badan Kehormatan berjumlah 11 orang
Tetap
Melakukan penelaahan terhadap hasil temuan pemeriksaan BPK yang disampaikan kepada DPR.
Tetap
8.
Badan Kerjasama Jumlah anggota Antar Parlemen BKAP ditetapkan pada rapat paripurna
Tetap
9.
Badan Urusan Rumah Jumlah anggota Tangga BURT ditetapkan pada rapat paripurna Panitia Khusus Jumlah anggota ditetapkan pada rapat paripurna paling banyak 30 orang
Tetap
Badan Kehormatan bertugas melakukan penyelidikan dan verifikasi atas pengaduan pelanggaran kode etik anggota DPR RI Membina, mengembangkan dan meningkatkan hubungan persahabatan dan kerja sama antara DPR dan parlemen negara lain, baik secara bilateral maupun multilateral. Menetapkan kebijakan kerumahtanggaan DPR
7.
10.
Sementa ra
Melaksanakan tugas tertentu dalam jangka waktu tertentu yang ditetapkan oleh rapat paripurna
Sumber: Yayasan API (Almanak Parlemen Indonesia)
Setiap fraksi yang merupakan konfigurasi dari partai politik akan dibagi lagi menjadi komisi-komisi yang menangani bidang-bidang tertentu. Komisi merupakan unit kerja DPR dan keanggotaan berdasarkan latar belakang keilmuan atau penguasaan bidang tertentu. Saat ini komisi di DPR terbagi menjadi 11 Komisiyang terdiri dari, 1.
Komisi I menangani masalah bidang Pertahanan, Luar Negeri dan Informasi.
2.
Komisi II menangani masalah bidang Pemerintahan Dalam Negeri, Otonomi Daerah, Aparatur Negara dan Agraria.
48
3.
Komisi III menangani masalah bidang Hukum dan Perundang-Undangan, Hak Asasi Manusia dan Keamanan.
4.
Komisi IV menangani masalah bidang Pertanian, Perkebunan, Kehutanan, Kelautan, Perikanan dan Pangan.
5.
Komisi V menangani masalah bidang Perhubungan, Telekomunikasi, Pekerjaan Umum, Perumahan Rakyat, Pembangunan Pedesaan dan Kawasan Tertinggal.
6.
Komisi VI menangani masalah bidang Perdagangan, Perindustrian, Investasi, Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah, dan Badan Usaha Milik Negara.
7.
Komisi VII menangani masalah bidang Energi, Sumber Daya Mineral, Riset dan Teknologi, dan Lingkungan.
8.
Komisi VIII menangani masalah bidang Agama, Sosial dan Pemberdayaan Sosial.
9.
Komisi IX menangani masalah bidang Kependudukan, Kesehatan, Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
10.
Komisi X menangani masalah bidang Pendidikan, Pemuda, Olahraga, Pariwisata, Kesenian dan Kebudayaan.
11.
Komisi
XI
menangani
masalah
bidang
Keuangan,
Perencanaan
Pembangunan Nasional, Perbankan, dan Lembaga Keuangan Bukan Bank.7
D. Tugas dan Wewenang DPR RI 7
Wikipedia, Dewan Perwakilan Rakyat RI, artikel diakses pada tanggal 12 Maret 2011, pukul 13.00 WIB dari http://wikipedia.com/.
49
Dalam melaksanakan Fungsi Legislasi (membentuk Undang-Undang), Fungsi Anggaran (membahas Undang-Undang tentang APBN) dan Fungsi Pengawasan (pengawasan atas Undang-Undang dan APBN), DPR mempunyai tugas dan wewenang antara lain: a. Membentuk undang-undang yang dibahas dengan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. b. Membahas dan memberikan atau tidak memberikan persetujuan terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. c. Menerima dan membahas usulan Rancangan Undang-Undang yang diajukan oleh DPD yang berkaitan dengan bidang otonomi daerah, hubungan
pusat
dan
daerah,
pembentukan,
pemekaran,
dan
penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi Iainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah dan mengikut sertakan dalam pembahasannya dalam awal pembicaraan tingkat I. d. Mengundang DPD pntuk melakukan pembahasan rancangan undangundang yang diajukan oleh DPR maupun oleh pemerintah sebagaimana dimaksud pada huruf c, pada awal pembicaraan tingkat I. e. Memperhatikan pertimbangan DPD atas Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Rancangan UndangUndang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama dalam awal pembicaraan tingkat I. f. Menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara bersama Presiden dengan memperhatikan pertimbangan DPD.
50
g. Membahas dan menindaklanjuti hasil pengawasan yang diajukan oleh DPD terhadap pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, pajak, pendidikan, dan agama. h. Memilih anggota Badan Pemeriksa Keuangan dengan memperhatikan pertimbangan DPD. i. Membahas
dan
menindaklanjuti
hasil
pemeriksaan
atas
pertanggungjawaban keuangan negara yang disampaikan oleh Badan Pemeriksa Keuangan. j. Mengajukan, memberikan persetujuan, pertimbangan/konsultasi, dan pendapat. k. Menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat. l. Melaksanakan tugas dan wewenang lainnya yang ditentukan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan undang-undang. 8
E. Hak dan Kewajiban DPR RI Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, DPR mempunyai hak sebagai berikut:
8
Sekretariat Jenderal DPR RI, Kode Etik DPR RI, artikel diakses pada tanggal 15 Maret 2011, pukul 19.00 WIB dari http://dprri.go.id/.
51
1. Interpelasi, yaitu hak DPR untuk meminta keterangan kepada Pemerintah mengenai kebijakan Pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara. 2. Angket, yaitu hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis dan berdampak luas pada kehidupan
masyarakat,
berbangsa,
dan
bernegara
yang
diduga
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. 3. Menyatakan Pendapat, yaitu hak DPR untuk menyatakan pendapat atas kebijakan pemerintah/mengenai kejadian luar biasa di tanah air atau di dunia, tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket, serta dugaan bahwa Presiden atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum. Hak-hak anggota DPR RI adalah sebagai berikut: 1.
Mengajukan rancangan undang-undang
2.
Mengajukan pertanyaan
3.
Menyampaikan usul dan pendapat
4.
Memilih dan dipilih
5.
Membela diri
6.
Imunitas
7.
Protokoler
8.
Keuangan dan administratif
52
Kewajiban-kewajiban anggota DPR RI adalah sebagai berikut: 1.
Mengamalkan Pancasila.
2.
Melaksanakan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dan mentaati segala peraturan perundang-undangan.
3.
Melaksanakan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintah.
4.
Mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia.
5.
Memperhatikan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat.9
F. Masa Sidang dan Masa Reses DPR RI Tahun Sidang dibagi dalam 4 (empat) Masa Persidangan meliputi Masa Sidang dan Masa Reses, kecuali pada persidangan terakhir dari satu periode keanggotaan DPR, Masa Reses ditiadakan. Masa Sidang adalah masa dimana DPR melakukan kegiatan terutama didalam gedung DPR. Masa Reses adalah masa dimana DPR melakukan kegiatan diluar Masa Sidang, terutama diluar gedung DPR untuk melaksanakan kunjungan kerja, baik yang dilakukan oleh Anggota secara perseorangan maupun secara berkelompok. Pimpinan
DPR
menyampaikan
pidato
pembukaan
yang
terutama
menguraikan rencana kegiatan DPR dalam Masa Sidang yang bersangkutan dan masalah yang dipandang perlu, yang disampaikan dalam Rapat Paripurna pertama dari suatu Masa Sidang. Pimpinan
DPR
menyampaikan
pidato
penutupan
yang
terutama
menguraikan hasil kegiatan dalam Masa Reses sebelumnya, hasil kegiatan selama Masa Sidang yang bersangkutan, rencana kegiatan dalam Masa Reses berikutnya, 9
Sekretariat Jenderal DPR RI, Kode Etik DPR RI, artikel diakses pada tanggal 15 Maret 2011, pukul 19.00 WIB dari http://dprri.go.id/.
53
dan masalah yang dipandang perlu, yang disampaikan dalam Rapat Paripurna terakhir dari suatu Masa Sidang. Pimpinan DPR menutup Masa Sidang dan Tahun Sidang dengan pidato penutupan yang terutama menguraikan hasil kegiatan DPR selama Tahun Sidang yang bersangkutan dalam Rapat Paripurna penutupan Masa Sidang terakhir dari suatu Tahun Sidang. Pimpinan DPR menutup Masa Sidang dengan pidato penutupan yang terutama menguraikan hasil kegiatan DPR selama masa keanggotaan DPR yang bersangkutan dalam Rapat Paripurna penutupan Masa Sidang terakhir dari masa keanggotaan DPR. Pidato Pimpinan DPR disusun oleh Pimpinan DPR dengan memperhatikan saran dan pendapat Pimpinan Fraksi. 10 Berikut ini adalah Skema Persidangan DPR, baik yang terkait dengan Masa Sidang maupun Masa Reses: Gambar 3.1 Skema Persidangan DPR TAHUN SIDANG
MASA PERSIDANGAN I Masa Sidang
Masa Reses
MASA PERSIDANGAN II
MASA PERSIDANGAN III
MASA PERSIDANGAN IV
Masa Sidang
Masa Sidang
Masa Sidang
Masa Reses
Masa Reses
Sumber: Yayasan API (Almanak Parlemen Indonesia)
Di DPR terdapat berbagai jenis rapat yang dilakukan, diantaranya: 1. Rapat Paripurna 10
Yayasan API (Almanak Parlemen Indonesia), Panduan Parlemen Indonesia, h. 410.
Masa Reses
54
Rapat Paripurna adalah rapat anggota DPR yang dipimpin oleh Pimpinan DPR dan merupakan forum tertinggi dalam melaksanakan tugas dan wewenang DPR. 2. Rapat Paripurna Luar Biasa Rapat Paripurna Luar Biasa adalah rapat paripurna yang diadakan dalam Masa Reses, apabila: a. diminta oleh Presiden, b. dikehendaki oleh Pimpinan DPR dengan persetujuan Badan Musyawarah, c. diusulkan oleh sekurang-kurangnya 10 anggota DPR dengan persetujuan Bamus. 3. Rapat Fraksi Rapat Fraksi adalah rapat anggota fraksi yang dipimpin oleh pimpinan fraksi. 4. Rapat Pimpinan (Rapim) DPR RI Rapim DPR adalah rapat anggota Pimpinan DPR yang dipimpin oleh Ketua DPR. 5. Rapat Badan Musyawarah (Bamus) Rapat Badan Musyawarah (Bamus) adalah rapat anggota Bamus beserta anggota penggantinya, yang dipimpin oleh pimpinan Bamus. 6. Rapat Komisi Rapat Komisi adalah rapat anggota komisi yang dipimpin oleh pimpinan komisi. Sedangkan Rapat Pimpinan Komisi adalah rapat anggota
55
pimpinan komisi yang dipimpin oleh ketua komisi atau salah seorang wakil ketua komisi yang ditunjuk oleh ketua komisi. 7. Rapat Gabungan Komisi Rapat Gabungan Komisi adalah rapat bersama yang diadakan oleh lebih dari satu komisi, dan dihadiri oleh anggota komisi-komisi yang bersangkutan, dengan dipimpin oleh Pimpinan Rapat Gabungan Komisi. Pimpinan rapat dalam hal ini merupakan satu kesatuan kolektif yang mencerminkan unsur pimpinan komisi yang bersangkutan. 8. Rapat Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) Rapat Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) adalah rapat anggota BURT yang dipimpin oleh Pimpinan BURT. 9. Rapat Badan Legislatif (Baleg) Rapat Badan Legislatif (Baleg) adalah rapat anggota Badan Legislatif yang dipimpin oleh Pimpinan Badan Legislatif. 10. Rapat Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) Rapat Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) adalah rapat anggota BKSAP yang dipimpin oleh Pimpinan BKSAP. 11. Rapat Panitia Khusus (Pansus) Rapat Panitia Khusus (Pansus) adalah rapat anggota Pansus yang dipimpin oleh Pimpinan Panitia Khusus. 12. Rapat Panitia Kerja Rapat Panitia Kerja adalah rapat anggota Panitia Kerja yang dipimpin oleh Pimpinan Panitia Kerja. 13. Rapat Panitia Anggaran
56
Rapat Panitia Anggaran adalah rapat anggota Panitia Anggaran yang dipimpin oleh Pimpinan Panitia Anggaran. 14. Rapat Kerja Rapat Kerja adalah rapat antar komisi, beberapa komisi Rapat Gabungan Komisi, atau Panitia Khusus dengan pemerintah, dalam hal ini Presiden dan/atau Menteri yang ditunjuk datang, atas undangan Pimpinan DPR, yang dipimpin oleh Pimpinan Komisi, Pimpinan Rapat Gabungan Komisi atau Pimpinan Panitia Khusus. 15. Rapat Dengar Pendapat Rapat Dengar Pendapat adalah rapat antar komisi, beberapa komisi Rapat Gabungan Komisi, atau Panitia Khusus dengan pejabat pemerintah yang mewakili instansinya, atas undangan Pimpinan DPR, maupun atas permintaan pejabat pemerintah yang bersangkutan yang oleh Pimpinan Komisi, Pimpinan Rapat Gabungan Komisi atau Pimpinan Panitia Khusus. 16. Rapat Dengar Pendapat Umum Rapat Dengar Pendapat Umum adalah rapat antar komisi, beberapa komisi Rapat Gabungan Komisi, atau Panitia Khusus dengan perseorangan, kelompok, organisasi atau badan swasta, baik atas undangan Pimpinan DPR, maupun atas permintaan yang bersangkutan, yang dipimpin oleh Pimpinan Komisi, Pimpinan Rapat Gabungan Komisi atau Pimpinan Panitia Khusus. Pendelegasian masyarakat dari Rapat Dengar Pendapat Umum atas undangan pun tidak bisa sembarangan dalam menghadiri rapat,
57
terdapat
prosedur
pula
dalam
pendelegasiannya,
11
seperti
yang
digambarkan oleh skema berikut ini:
Gambar 3.2 Prosedur Pendelegasian Aspirasi Masyarkat Petugas pintu gerbang
Menyalurkan delegasi
ke Mengantar ke
Ruang Tunggi
Pos Kopan
Memberitahukan/ Mengantarkan ke
Melapor
Biro Umum/ Bagian Pamdal
Bagian Humas
Menghubungi Ke Menghubungi ke
Mengantar ke
Tempat Pertemuan 11
Unit-Unit Terkait
Komisi/Fraksi/ Anggota DPR
Yayasan API (Almanak Parlemen Indonesia), Panduan Parlemen Indonesia, h. 420.
58
Sumber: Humas DPR RI
G. Mekanisme Kerja DPR RI Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) adalah Lembaga Tinggi Negara sebagaimana dimaksud dalam TAP MPR No. III/MPR/1978 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/atau Lembaga Tinggi Negara dan merupakan wahana untuk melaksanakan Demokrasi Pancasila. Sebagai salah satu Lembaga Tinggi Negara, DPR mempunyai kedudukan yang sama dengan Lembaga Tinggi Negara lainnya, yaitu Mahkamah Agung (MA), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Presiden, dan Mahkamah Agung (MA). Maka kedudukan DPR kuat, karena tidak dapat dibubarkan oleh Presiden dan senantiasa mengawasi Presiden. 12
H. Pengambilan Keputusan DPR RI Pada dasarnya pengambilan keputusan di DPR selalu mengacu pada jalan bermusyawarah untuk mencapai mufakat. Namun kenyataan di lapangan terkadang tidak seperti yang diinginkan, maka keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak. Dalam peraturan yang terdapat Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia terdiri atas 25 Bab dan 313 Pasal, disebutkan bahwa dalam setiap agenda rapat DPR dapat mengambil keputusan apabila dihadiri oleh lebih dari separuh jumlah anggota rapat (kuorum), apabila tidak tercapai, rapat ditunda sebanyak-banyaknya 2 kali dengan tenggang waktu masing-masing tidak lebih 12
Yayasan API (Almanak Parlemen Indonesia), Panduan Parlemen Indonesia h. 403
59
dari 24 jam. Setelah 2 kali penundaan kuorum belum juga tercapai, cara penyelesaiannya diserahkan kepada Bamus (apabila terjadi dalam rapat Alat Kelengkapan DPR), atau kepada Bamus dengan memperhatikan pendapat Pimpinan Fraksi (apabila terjadi dalam rapat Bamus).13 Setidaknya terdapat dua jenis keputusan yang mungkin bisa ditempuh oleh DPR yaitu:
1. Keputusan Berdasarkan Mufakat Pengambilan keputusan berdasarkan mufakat dilakukan setelah kepada anggota rapat yang hadir diberikan kesempatan untuk mengemukakan pendapat serta saran, dan dipandang cukup untuk diterima oleh rapat sebagai sumbangan pendapat dan pemikiran bagi penyelesaian masalah yang sedang dimusyawarahkan Keputusan berdasarkan mufakat adalah sah apabila diambil dalam rapat yang telah mencapai kuorum dan disetujui oleh semua yang hadir. 2. Keputusan Berdasarkan Suara Terbanyak Keputusan berdasarkan suara terbanyak diambil apabila keputusan berdasarkan mufakat sudah tidak terpenuhi karena adanya pendirian sebagian anggota rapat yang tidak dapat dipertemukan lagi dengan pendirian anggota rapat yang lain. Pengambilan keputusan secara terbuka dilakukan apabila menyangkut kebijakan dan dilakukan secara tertutup apabila menyangkut orang atau masalah lain yang dianggap perlu. Pemberian suara secara tertutup dilakukan dengan cara tertulis, tanpa 13
409.
Yayasan API (Almanak Parlemen Indonesia), Panduan Parlemen Indonesia, h. 408-
60
mencantumkan nama, tanda tangan, fraksi pemberi suara atau tanda lain yang dapat menghilangkan sifat kerahasiaan, atau dapat juga dilakukan dengan cara lain yang tetap menjamin sifat kerahasiaan. 14
I. Pembuatan Undang-Undang (UU) Salah satu tugas dan wewenang DPR adalah bersama-sama dengan Presiden membentuk Undang-undang (UU). Dalam hal ini, Rancangan Undang-undang (RUU) dapat berasal dari Presiden (Pemerintah) atau DPR. Jadi, prosedur awal pembentukan UU berasal dari Pemerintah maupun DPR. Apabila ada dua RUU yang diajukan mengenai hal yang sama, maka yang dibahas adalah RUU yang diterima lebih dahulu. Sedangkan RUU yang diterima kemudian dijadikan sebagai bahan pelengkap pembahasan RUU. 15 Dalam konteks tersebut, yang dimaksud dengan RUU diterima lebih dahulu adalah: a. apabila RUU dari DPR diterima Presiden, atau b. apabila RUU dari Pemerintah diterima Pimpinan DPR. Berikut ini tabel yang menunjukan jumlah pengusul RUU yang telah berjalan saat ini, yaitu: Tabel 3.4 Pengusul RUU Pada Periode 2004-2009
Pengusul RUU DPR DPD Presiden Total
Jumlah UU Disahkan 97 0 96 193
Sumber: Data Arsip DPR RI
14
Sekretariat Jenderal DPR RI, Kode Etik DPR RI, artikel diakses pada tanggal 15 Maret 2011, pukul 19.00 WIB dari http://dprri.go.id/. 15 Yayasan API (Almanak Parlemen Indonesia), Panduan Parlemen Indonesia, h. 403
61
Skema berikut menggambarkan prosedur proses pembentukan UU, baik RUU yang berasal dari Pemerintah atau pun yang merupakan usulan dari DPR.
Gambar 3.3 Skema Prosedur Pembentukan UU
PRESIDEN
PIMPINAN DPR
Pemberitahuan/Pem bagian RUU Kepada Anggota Dewan
Pembahasan di DPR Tingkat I : Rapat Paripurna Tingkat II : Rapat Paripurna Tingkat III : Rapat Komisi, Gabungan Komisi, Pansus, bersama-sama Pemerintah Tingkat IV : Rapat Paripurna
Pengesahan oleh Presiden
Menjadi UU
Rapat Badan Musyawarah
Rapat paripurna
Usul RUU menjadi Inisiatif DPR
Penyempurnaan RUU inisiatif DPR
Anggota, min 10 orang Komisi Gabungan Komisi
62
Sumber: Yayasan API (Almanak Parlemen Indonesia)
Terdapat beberapa cara atau alternatif dalam pembentukan sebuah UndangUndang, dari sebelumnya berupa Rancangan Undang-Undang hingga menjadi sebuah UU, yaitu: a. RUU Dari Pemerintah Rancangan Undang-undang (RUU) dari pemerintah, disampaikan kepada pimpinan DPR dengan surat pengantar Presiden, disertai keterangan yang menyebutkan Menteri yang akan mewakili pemerintah dalam melakukan pembahasan RUU tersebut di DPR. Setelah RUU diterima oleh Pimpinan DPR, dalam Rapat Paripurna berikutnya, Ketua Rapat memberitahukan kepada anggota tentang masuknya RUU dari pemerintah, yang disertai dengan pendistribusian RUU tersebut kepada para anggota DPR. Proses pembahasan RUU di DPR dilakukan melalui empat tingkat pembicaraan, kecuali apabila Badan Musyawarah (Bamus) menentukan dengan prosedur singkat atau yang dikenal dengan terminologi short cut. RUU dari pemerintah itu dapat ditarik kembali sebelum sampai pembicaraan tingkat ketiga. 16 Berikut ini tabel yang dimaksud dengan empat tingkat pembahasan RUU di DPR dari pemerintah tersebut adalah: Tabel 3.5 Tingkat Pembahasan RUU dari Pemerintah
No 1.
Tingkat Pembahasan Pembicaraan 16
405
Jenis Rapat Rapat
Agenda Pembicaraan Pemerintah
memberikan
keterangan
Yayasan API (Almanak Parlemen Indonesia), Panduan Parlemen Indonesia, h. 404-
/
63
Tingkat I
Paripurna
2.
Pembicaraan Tingkat II
Rapat Paripurna
3.
Pembicaraan Tingkat III
4.
Pembicaraan Tingkat IV
Rapat Komisi Rapat Gabungan Komisi Rapat Panitia Khusus Rapat Paripurna
penjelasan mengenai RUU tersebut. Sebelum diadakan pembicaraan tingkat selanjutnya (II, III, IV) diadakan lebih dulu rapat fraksi. Pandangan umum anggota DPR, membawa suatu fraksi yang mempunyai hak penuh (anggota fraksi di atas 10 anggota) atas RUU dari penjelasan/keterangan pemerintah pada pembicaraan Tingkat I sebelumnya. Pemerintah memberikan jawaban terhadap pemandangan umum anggota DPR. Setelah selesai jawaban pemerintah, Badan Musyawarah menentukan alat kelengkapan DPR yang akan menangani RUU tersebut di Pembicaraan Tingkat III. Alat kelengkapan yang dimaksud adalah Komisi, Gabungan Komisi atau Panitia Khusus. Rapat tersebut dilakukan bersama pemerintah. Apabila dipandang perlu, dapat pula dilakukan pembahasan substansi secara intern dalam Rapat Komisi, Rapat Gabungan Komisi atau Rapat Panitia Khusus.
Laporan hasil pembicaraan Tingkat III. Pendapat akhir fraksi-fraksi yang mempunyai hak penuh, dan apabila dipandang perlu, dapat disertai catatan tentang pendirian masing-masing fraksi. Sambutan pemerintah terhadap pengambilan keputusan UU.
Sumber: Panduan Parlemen Indonesia yang diterbitkan oleh Yayasan API (Almanak Politik Indonesia)
Setelah melewati empat tingkat pembicaraan di DPR, RUU yang telah disetujui oleh DPR, kemudian dengan surat pengantar dari Pimpinan DPR disampaikan kepada Presiden untuk disahkan menjadi UU paling lambat dalam tempo 15 hari setelah UU tersebut diputuskan. b. RUU dari DPR
64
Rancangan Undang-undang (RUU) yang berasal dari DPR disebut juga RUU Usul Inisiatif DPR. RUU Usul Inisiatif ini dapat diusulkan oleh sekurang-kurangnya 10 anggota DPR, atau Komisi atau Gabungan Komisi. RUU tersebut disampaikan kepada Pimpinan DPR secara tertulis, yang disertai penjelasan, nama, tanda tangan pengusul, dan nama fraksinya. Setelah RUU diterima, dalam Rapat Paripurna berikutnya, ketua rapat memberitahukan dan membagikan kepada anggota tentang masuknya usul RUU tersebut. Kemudian badan Musyawarah (Bamus) mengadakan rapat untuk menentukan jadwal waktu pembicaraan. Proses selanjutnya adalah RUU Usul Inisiatif dibawa ke Rapat Paripurna berikutnya, di mana akan diputuskan apakah RUU tersebut diterima menjadi RUU Usul Inisiatif DPR. Dalam Rapat Paripurna ini diberikan kesempatan kepada pengusul untuk memberikan penjelasan tentang RUU yang disampaikan tersebut. Kemudian setiap fraksi memberikan pendapatnya terhadap RUU tersebut. Jika Rapat Paripurna memberikan persetujuan untuk dijadikan RUU Usul Inisiatif DPR, kemudian DPR menugaskan Komisi/Gabungan Komisi/Panitia Khusus untuk membahas dan menyempurnakan RUU Usul Inisiatif DPR tersebut. Selama RUU tersebut belum mendapat persetujuan Rapat Paripurna untuk dijadikan RUU Usul Inisiatif DPR, para pengususl berhak menarik usulannya kembali. Selanjutnya, RUU Usul Inisiatif DPR ini disampaikan oleh Pimpinan DPR kepada Presiden dengan permintaan agar Presiden
65
menunjuk
Menteri
yang
mewakili
Pemerintah,
dalam
melakukan
pembahasan RUU tersebut bersama-sama dengan DPR. 17 Dibawah ini terdapat prosedur yang dilakukan, yaitu:
Tabel 3.6 Tingkat Pembahasan RUU dari Inisiatif DPR
No 1.
Tingkat Pembahasan Pembicaraan Tingkat I
Jenis Rapat
Agenda Pembicaraan
Rapat Paripurna
Adanya keterangan atau penjelasan Pimpinan Komisi/Gabungan Komisi/Pansus atas nama DPR terhadap RUU Usul Inisiatif DPR. Adanya jawaban atau tanggapan pemerintah atas keterangan atau penjelasan Pimpinan Komisi/Gabungan Komisi/Pansus terhadap RUU Usul Inisiatif DPR. Pimpinan Komisi/Gabungan Komisi/Pansus atas nama DPR memberikan jawaban terhadap tanggapan pemerintah. Apabila dipandang perlu, dapat pula dilakukan pembahasan secara intern dalam Rapat Komisi, rapat Gabungan Komisi, dan Rapat Panitia Khusus.
2.
Pembicaraan Tingkat II
Rapat Paripurna
3.
Pembicaraan Tingkat III
4.
Pembicaraan Tingkat IV
Rapat Komisi, rapat Gabungan Komisi, dan Rapat Panitia Khusus bersama Pemerintah Rapat Paripurna Laporan hasil pembicaraan Tingkat III. Pendapat akhir fraksi-fraksi yang mempunyai hak penuh, dan apabila dipandang perlu, dapat disertai catatan tentang pendirian masing-masing fraksi. Sambutan pemerintah terhadap pengambilan keputusan UU.
17
407
Yayasan API (Almanak Parlemen Indonesia), Panduan Parlemen Indonesia, h. 405-
66
Sumber: Panduan Parlemen Indonesia yang diterbitkan oleh Yayasan API (Almanak Politik Indonesia)
Setelah melewati empat tingkat pembicaraan di DPR, RUU Usul Inisiatif DPR yang telah disetujui oleh DPR, kemudian dengan surat pengantar dari Pimpinan DPR disampaikan kepada Presiden untuk disahkan menjadi UU paling lambat dalam tempo 15 hari setelah UU tersebut diputuskan.
c. Proses Pembahasan RUU dari DPD di DPR RI RUU beserta penjelasan/keterangan, dan atau naskah akademis yang berasal dari DPD disampaikan secara tertulis oleh Pimpinan DPD kepada Pimpinan DPR, kemudian dalamRapat Paripurna berikutnya, setelah RUU diterima oleh DPR, Pimpinan DPR memberitahukan kepada Anggota masuknya RUU tersebut, kemudian membagikannya kepada seluruh Anggota. Selanjutnya Pimpinan DPR menyampaikan surat pemberitahuan kepada Pimpinan DPD mengenai tanggal pengumuman RUU yang berasal dari DPD tersebut kepada Anggota dalam Rapat Paripurna. Bamus selanjutnya menunjuk Komisi atau Baleg untuk membahas RUU tersebut, dan mengagendakan pembahasannya. Dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kerja, Komisi atau Badan Legislasi mengundang anggota alat kelengkapan DPD sebanyak banyaknya 1/3 (sepertiga) dari jumlah Anggota alat kelengkapan DPR, untuk membahas RUU Hasil pembahasannya dilaporkan dalam Rapat Paripurna.
67
RUU yang telah dibahas kemudian disampaikan oleh Pimpinan DPR kepada Presiden dengan permintaan agar Presiden menunjuk Menteri yang akan mewakili Presiden dalam melakukan pembahasan RUU tersebut bersama DPR dan kepada Pimpinan DPD untuk ikut membahas RUU tersebut. Dalam waktu 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya surat tentang penyampaian RUU dari DPR, Presiden menunjuk Menteri yang ditugasi mewakili Presiden dalam pembahasan RUU bersama DPR. Kemudian RUU dibahas dalam dua tingkat pembicaraan di DPR. 18 Setelah melalui pembicaraan RUU dalam beberapa tingkat yang telah dimaksudkan diatas, maka proses kesemuanya dari manapun RUU inisiatif berasal dilanjutkan lagi jika RUU sudah mendapatkan persetujuan, RUU akan berubah menjadi resmi mengikat. Kemudian,
atas perintah Presiden, Undang-undang
tersebut diundangkan dengan cara menempatkannya dalam registrasi Lembaran Negara dengan memberikan nomer registrasi dan pembuatan salinan oleh Sekretaris Negara, dan penerbitan Lembaran Negara yang bersangkutan sebagaimana mestinya.19
K. Komisi VIII DPR RI Komisi VIII DPR RI merupakan komisi yang terbentuk di badan legislatif yang berkenaan dengan ruang lingkup bidang agama, sosial, dan pemberdayaan perempuan, ketiga bidang tersebut secara langsung ditangani oleh komisi VIII
18
Sekretariat Jenderal DPR RI, Pembentukan Undang-Undang DPR, artikel diakses pada tanggal 15 Maret 2011, pukul 19.00 WIB dari http://dprri.go.id/. 19 Trubus Rahardiansah, Pengantar Ilmu Politik: Paradigma, Konsep Dasar, dan Relevansinya untuk Ilmu Hukum (Jakarta: Universitas Trisakti, 2006), h. 96-97.
68
DPR RI. Berkenaan dengan pembentukan Undang-Undang Pornografi yang menjadi objek penelitian ini, pada tahun 2008 Komisi VIII menangani perumusan undang-undang tersebut. Dalam menjalankan tugasnya, Komisi VIII bekerja sama dengan beberapa lembaga yang berkaitan sebagai sparing partner yang berkompeten dibidang yang sama-sama ditangani oleh Komisi VIII, diantaranya: a. Kementerian Agama b. Kementerian Sosial RI c. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak d. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) e. Badan Nasional Penanggulangan Bencana f. Badan Amil Zakat Nasional Berikut ini tabel keanggotaan yang ada di Komisi VIII, yaitu: Tabel 3.7 Keanggotaan Komisi VIII
Nama H. ABDUL KADIR KARDING, SPI Dra. Hj. CHAIRUN NISA, MA H. GONDO RADITYO GAMBIRO AHMAD ZAINUDDIN, LC HJ.DEWI CORYATI,MSI Dra. Hj. SOEMINTARSIH MUNTORO, M.Si ABDUL ROZAQ RAIS DRS.H. ACHMAD RUBAEI, SH.MH AMRAN, SE DR. H. ALI MASCHAN
Fraksi Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa Fraksi Partai Golongan Karya
Jabatan di Komisi
Fraksi Partai Demokrat
Wakil Ketua
Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Fraksi Partai Amanat Nasional Fraksi Partai Hati Nurani Rakyat Fraksi Partai Amanat Nasional Fraksi Partai Amanat Nasional Fraksi Partai Amanat Nasional Fraksi Partai Kebangkitan
Ketua Wakil Ketua
Wakil Ketua Anggota Anggota Anggota Anggota Anggota Anggota
69
MOESA, M.SI
Bangsa
Sumber: Data Arsip Komisi VIII
Tabel 3.8 Sekretariat Komisi VIII
Kepala Bagian Kepala Subbagian TU Kepala Subbagian Rapat Staf (P & P Data) Staf (Pencatat Rapat) Staf (P & P Data) Staf (Pencatat Rapat) Staf ( P & P Data) Staf (Operator Alat Rekam) Staf (Pencatat Rapat) Staf (Pengadministrasi Umum)
Yanto Supriyanto, SH Fauzi Hendarmin S.AP Tri Usmaniati, S.Sos. Bambang Wigijono Kalpika Hendra Elien Mulyani Husnul Latifah, S.Sos Sumarman, S.Sos. Didik Sri Haryanto Parino, SE Abdul Rodjak
Suratman, S.H.,M.H Iin Kandedes,S.Hum,M.A. Hj. Margareth Aliyatul Maimunah, S.S., M,Si
Tenaga Ahli
Miftahul Janah, M.Si Dr. Astriana Baiti Sinaga Sumber: Data Arsip Komisi VIII
Kontak Komisi VIII Email
[email protected] Telepon 021-5715399, 021-5715863, 021-5715344 Fax 021-5715512
RUU yang sedang ditangani: 1. RUU Tentang Pengelolaan Zakat, Infaq dan Sodaqoh (ZIS)
70
2. RUU Tentang Penanganan Fakir Miskin Tabel 3.9 Laporan Kerja Komisi VIII
No 1. 2.
3.
Tanggal 20-12-2010 s/d 24-122010 07-03-2010 s/d 11-032010
4.
15-12-2009 s/d 15-122009 09-03-2011
5. 6. 7.
09-03-2011 03-03-2011 28-02-2011
8. 9.
16-02-2011 10-02-2011
10.
09-02-2011
11. 12. 13.
07-02-2011 02-02-2011 01-02-2011
Judul/Lokasi Kunjungan Kerja DIY MS II TS 2010-2011 Laporan Kunjungan kerja Komisi VIII ke Prov. Kalimantan Selatan pada Reses Masa Persidangan II Tahun Sidang 2009-2010 Kunjungan Kerja MP I TS 2009-2010 Rapat Kerja Komisi VIII DPR RI dengan Menteri Sosial RI Rapat Kerja dengan Kemenag R.I. Rapat Kerja Komisi VIII dengan Kapolri RDP Komisi VIII DPR RI dengan Dirjen Pendidikan Islam, Kementerian Agama RI Rapat Kerja dengan Meneg PP dan PA RDP dengan UIN Jakarta, UIN Makassar, IAIN Sumatera Utara dan STAIN Bukit Tinggi. Rapat Kerja dengan Menteri Agama RI dan Kepala Polri Rapat Kerja dengan Kepala BNPB RDP dengan Komisi Perlindungan Anak Indonesia RDP dengan Sekretaris Utama BNPB
Sumber: Data Arsip Komisi VIII
K. Harapan terhadap Fungsi Legislasi DPR RI Ekspetasi
masyarakat
terhadap
DPR
RI
sebagai
lembaga
yang
mengatasnamakan kepentingan untuk rakyat sangatlah besar, maka setiap kebijakan baik berupa peraturan maupun Undang-Undang yang dibuat memberikan pengharapan yang cukup kepada rakyat. Sekarang ini, dimana DPR RI sering menjadi sorotan publik atas segala macam kasus maupun skandal yang berkembang di DPR, seharusnya DPR mampu membawa pengharapan rakyat sebagai lembaga tujuan utama dalam menjalankan tugasnya demi rakyat pula. Namun sayangnya, tidak ada kontrak
71
yang jelas antara rakyat dengan anggota DPR sehingga rakyat tidak menuntut atas itu. Maka, dalam hal ini ada beberapa hal yang perlu dibenahi, yaitu: a. Hukum harus diubah, ketika seorang anggota DPR harus lebih bertanggung jawab dan dekat terhadap pemilihnya. b. Hukum harus menjadi dasar dan pembatas tindakan setiap warga negara, termasuk anggota DPR dan presiden. c. Seluruh perangkat hukum, seperti MA dan Kejagung harus tetap menjaga netralitas dan independensinya terhadap penguasa. d. Harus ada batas kewenangan (baik dalam bentuk UU atau pun kode etik) yang jelas bagi setiap lembaga tinggi negara. 20 Setiap kebijakan yang dibuat di DPR sebenarnya sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun pada implementasinya terkadang hal tersebut tidak sepenuhnya diberlakukan. Ditambah lagi faktor lain yang menjadi penting adalah ketika kebijakan diintervensi oleh kepentingan-kepentingan sebagian orang atau pun kelompok. Hal tersebut biasanya tampak di DPR pada saat pembahasan sebuah undang-undang, sejak pembahasan dimulai di komisi, pansus sampai pada paripurna, dan pada paripurna yang dijadwalkan dua hari selesai akibat tarik ulur kepentingan, pada akhirnya selesai dalam waktu seminggu bahkan bisa saja sebaliknya. Hal ini yang pada akhirnya membuat kebijakan yang dibuat tidak efektif dan tidak mampu merangkul semua aspirasi masyarakat. Intinya, memang tidak ada peraturan yang sempurna seutuhnya namun, bagaimana menyikapi peraturan tersebut secara bijaksana dari setiap elemen yang terlibat. 20
Akhmad Bayhaqi dalam Bahaya Tirani DPR: Konflik DPR Vs Presiden: Kumpulan Analisis Para Pengamat Politik; Editor: Indra Surya Lubis (Jakarta: Lembaga Studi Politik Merdeka, 2001), h. 58-59.
BAB IV TEMUAN DAN ANALISIS
A. Latar Belakang Lahirnya Undang-Undang Pornografi Banyak hal yang melatarbelakangi lahirnya Undang-Undang Pornografi yang disahkan pada tanggal 30 Oktober 2008 dalam Rapat Paripurna di DPR tahun 2004-2009. Sebenarnya, Undang-Undang Pornografi ini yang sebelumnya adalah Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi sudah mulai dibahas pada tahun 1997. Namun, pembahasan tersebut sempat tersendat akibat kendala teknis di DPR pada tahun 1997 karena adanya kisruh di DPR sendiri akibat gejolak reformasi yang mulai dirasa. Yoyoh Yusroh selaku wakil ketua Pansus RUU Pornografi tahun 2008 mengatakan bahwa undang-undang ini terlahir akibat kecemasan negara menghadapi kasus pornografi dan pornoaksi yang kian marak setelah awal reformasi dimulai. Saat itu sedang marak sekali peredaran Blue Film dan penampilan-penampilan di televisi yang menampilkan bagian tubuh. Sehingga hal ini semakin memicu Komisi VI yang pada waktu itu menangani masalah bidang agama dan pemberdayaan perempuan untuk memunculkan lagi Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi sebagai pembahasan untuk disahkan. Namun sayangnya, pada waktu itu rancangan undang-undang tersebut tidak masuk prolegnas tahun 1999-2004. Pada masa tahun 2004-2009 DPR RI, Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi masuk melalui Komisi VIII yang kemudian dalam perkembangannya dibahas di Badan Musyawarah. Namun saat itu pembahasan Rancangan Undang-Undang Anti
71
72
Pornografi dan Pornoaksi ini sangat lamban dan tidak mengalami kemajuan yang signifikan, sehingga sempat terkatung-katung hampir tujuh tahun.1 Alasan lain yang menjadi pemicu semakin gencarnya DPR ingin mengesahkan rancangan undang-undang tersebut adalah ketika munculnya Inul Daratista yang disebut sebagai Ratu Ngebor menyulut berbagai kontroversi di masyarakat maupun di dunia hiburan. Sebagian masyarakat menganggap goyangan yang dilakukan Inul adalah sebuah pornoaksi yang merangsang sehingga perlu ditindak tegas melalui aturan hukum, dan sebagian masyarakat menganggap hal tersebut sebagai hal yang biasa dalam dunia seni terutama ketika bernyanyi dangdut. 2 Tidak dapat dipungkiri akibat timbulnya kontroversi Inul, masyarakat yang merasa resah dengan goyangan Inul kemudian mendesak DPR sebagai lembaga legislatif untuk membuat peraturan yang mengatur tentang pornografi. Ahmad Zainuddin selaku Wakil Ketua Komisi VIII Tahun 2009-2014 menambahkan maka sejak saat itu DPR semakin gencar pula membahas mengenai Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi untuk segera disahkan.3 Dikatakan oleh Yoyoh Yusroh, sebenarnya masih banyak lagi hal yang menjadi pemicu atau alasan dengan menerbitkan Undang-Undang Pornografi. Sekarang ini dunia sudah semakin gila, hal ini terbukti bahwa semakin meningkatnya kasus asusila yang sudah terjadi di masyarakat. Sebut saja yang
1
Kutipan wawancara pribadi dengan Ibu Yoyoh Yusroh pada tanggal 5 Mei 2011 pukul 11.17 WIB di Gedung Nusantara 1 DPR lantai 4. 2 Kutipan wawancara pribadi dengan Ibu Yoyoh Yusroh pada tanggal 5 Mei 2011 pukul 11.17 WIB di Gedung Nusantara 1 DPR lantai 4. 3 Kutipan wawancara pribadi dengan Bapak Ahmad Zainuddin pada tanggal 17 Januari 2011 pukul 12.10 WIB di Gedung Nusantara 1 DPR lantai 3 Ruang 308.
73
terbaru adalah munculnya video asusila milik artis yang kontroversi, video pejabat publik yang melakukan adegan porno, bahkan film-film horor yang memasukan unsur pornografi dalam alur ceritanya, seorang kakek yang memperkosa anak kecil, dan masih banyak lagi tindakan asusila yang sudah masuk dalam kehidupan sehari-hari. Undang-Undang Pornografi menuai banyak sekali kontroversi dalam pembahasannya. Kontroversi terjadi akibat beberapa pasal dalam draf Rancangan Undang-Undang Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP), diantaranya definisi dari kata pornografi yang banyak diprotes oleh beberapa kelompok masyarakat. Draf Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP) pertama kali diajukan pada 14 Februari 2006 dan berisi 11 bab dan 93 pasal. Namun, akibat terjadi kontroversi RUU APP tersebut kemudian direvisi lagi menjadi 8 bab dan 82 Pasal. Yang pada akhirnya RUU APP pun berubah menjadi RUU Pornografi yang kemudian dibahas dalam Rapat Paripurna DPR dan selanjutnya disahkan menjadi Undang-Undang Pornografi No. 44 Tahun 2008. Ibu Yoyoh dalam wawancara pribadi mengatakan bahwa Perubahan itu pun diikuti dengan adanya pendapat-pendapat yang masuk melalui tim Pansus dalam merumuskan RUU Pornografi, seperti tekanan dari Komnas Perempuan dan berbagai pihak lainnya sehingga draf baru pun dibuat pada masa reses yang dibicarakan tim Pansus bersama Pemerintah yang baru mengeluarkan surat pembahasan RUU Pornografi No 54 pada 20 September 2007. Kemudian, Presiden menugasi tiga menteri sebagai wakil pemerintah untuk membahas bersama-sama DPR. Ketiganya adalah Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalatta, Menteri Agama Muhammad Maftuh Basyuni, serta Menteri Komunikasi dan Informatika M. Nuh.
74
B. Undang-undang Pornografi sebagai Kebijakan Publik Komisi VIII DPR RI Undang-Undang Pornografi adalah salah satu produk hukum yang mengatur tatanan perilaku dalam bentuk undang-undang mengenai pornografi. 4 UndangUndang Pornografi dirancang oleh DPR sebagai landasan dalam mengatur perilaku masyarakat. Undang-undang merupakan kebijakan publik yang dibuat oleh DPR sebagai lembaga legislatif, setiap undang-undang yang akan dibuat harus
melalui
aturan
perundang-undangan
di
DPR.
Meskipun
dalam
perjalanannya Undang-Undang Pornografi mengalami kontroversi, namun pada akhirnya undang-undang tersebut disahkan pada tanggal 30 Oktober 2008 di Gedung DPR dalam Rapat Paripurna DPR. Draf RUU APP adalah warisan dari Komisi VI DPR Periode 1999-2004. Pada Periode 2004-2009 awalnya RUU APP ini tidak tercantum dalam prolegnas, tapi kemudian masuk lewat Komisi VIII DPR, lalu dibahas di Badan Musyawarah DPR (Bamus). Bamus kemudian menyepakati RUU tersebut untuk dibawa ke Sidang paripurna DPR. Paripurna kemudian menerima usulan tersebut dan menugaskan Panitia Khusus (Pansus) untuk membahas. RUU APP ditetapkan oleh Rapat Paripurna DPR periode 1999-2004 sebagai RUU usul inisiatif DPR tanggal 23 September tahun 2003 5 . Polemik yang berkembang di masyarakat antara mendukung dan menolak mampu menyulut kekerasan antara berbagai pihak dan kepentingan. Hal tersebut membuat DPR memutuskan untuk menarik dan menyusun kembali draf RUU APP.
4
Kutipan wawancara pribadi dengan Bapak Ahmad Zainuddin pada tanggal 17 Januari 2011 pukul 12.10 WIB di Gedung Nusantara 1 DPR lantai 3 Ruang 308. 5 Wikipedia, Undang-Undang Pornografi, artikel diakses pada tanggal 26 April 2011, pukul 11.40 WIB.dari http://wordpress.com/2009/07/21/undang-undang-pornografi/ .
75
Sebelumnya pada tanggal 24 Agustus 2007, draf RUU yang dikirimkan oleh DPR kepada Presiden hanya terdiri dari 10 bab dan 52 pasal. Judul RUU APP pun diubah sehingga menjadi RUU Pornografi dengan ketentuan mengenai pornoaksi dihapuskan. Pada September 2008, Presiden menugaskan Menteri Agama, Menteri Komunikasi dan Informatika, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, dan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan untuk membahas RUU ini bersama Panitia Khusus DPR. Dalam draf final yang awalnya direncanakan akan disahkan pada 23 September 2008, RUU Pornografi tinggal terdiri dari 8 bab dan 44 pasal. Pada tanggal 27 Maret 2005 terbentuknya Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi yang bertugas membahas sebuah rancangan berdasarkan substansinya. Panitia Khusus tersebut dibentuk pada masa DPR 2004-2009 yang kemudian ditetapkan dalam Rapat Paripurna dengan Masa kerja Panitia Khusus yang berlaku hingga pertengahan (15-24) Oktober 2008.6 Pansus dibentuk guna untuk menyempurnakan draf rancangan undangundang versi terdahulu untuk selanjutnya menyampaikan hasil penyempurnaan tersebut kepada Presiden bersama Menteri dan Pemerintah terkait untuk membahas Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi. Berikut ini adalah keanggotaan dari Panitia Khusus RUU APP, yaitu: Ketua
: Balkan Kaplale (Demokrat)
Wakil Ketua
: 1. Agung Sasongko (PDIP) 2. Chairunnisa (Golkar)
6
Kutipan wawancara pribadi dengan Ibu Yoyoh Yusroh pada tanggal 5 Mei 2011 pukul 11.17 WIB di Gedung Nusantara 1 DPR lantai 4.
76
3. Safriansyah (PPP) 4. Yoyoh Yusroh (PKS) Urutan berdasarkan fraksi, Demokrat Golkar
PAN
PBB PDIP
PDS PKB PKS
PPP
: Balkan Kaplale : 1. Chairunnisa 2. Irsyad Sudiro 3. Ismail Tajuddin 4. Rustam Tamburaka 5. Soedarmadi Wiryatmo 6. Yuddy Chrisnandi : 1. Jumanhuri 2. Latifah Iskandar 3. Tristanti Mitayani 4. Azlaini Agus : 1. Anwar Saleh 2. Ali Muchtar Ngabalin : 1. Agung Sasongko 2. Alfridel Jinu 3. Eva Sundari 4. Nadrah Izahari 5. Ni Gusti Ayu Sukmadewi Djakse 6. Wila Chandrawila S. : Tiurlan Hutagaol : 1. Badriyah Fayumi 2. Khofifah Indar Parawansa : 1. Hilman Rosyad Syihab 2. Jalaluddin as-Syatibi 3. Yoyoh Yusroh : 1. Ahmad Thoyfur 2. Safriansyah 4. Sulaeman Fadeli7
Berikut ini gambaran maupun kronologis dari tahap pembentukan yang terjadi di DPR,
7
Data Arsip Staf Ahli Ibu Yoyoh Yusroh.
77
Tabel. 4.1 Kronologis Pembahasan RUU Pornografi di DPR RI Komisi VIII
No. 1.
Tanggal 14 Februari 1996
Agenda Pembahasan Pertama kali RUU APP diajukan berisi 11 bab dan 93 Pasal
2.
Tahun 1997
Memulai Pembahasan RUU APP di DPR
3.
27 September 2005
Dibentuk Panitia Khusus (Pansus) RUU APP
4.
Maret 2006
10 Anggota Pansus RUU APP menandatangani pernyataan penolakan terhadap Ketua Pansus karena melakukan kebohongan publik, atas pernyataannya di media massa yang membuat masyarakat bingung.
5.
8 Juni 2006
Pansus melakukan koreksi atas redaksional RUU APP
6.
24-28 Maret 2007
Ketua Pansus Balkan Kaplale bersama 10 anggota Pansus RUU APP lainnya melakukan studi banding ke Amerika Serikat tepatnya di Washington dan New York.
7.
27 Maret 2007
Rombongan Pansus dijadwalkan bertemu dengan Federal Communication Commission dan National Association of Broadcasters.
8.
28 Maret 2007
Anggota Pansus melakukan pertemuan dengan Morality in the Media di New York, sebelum pada malam harinya, yaitu pukul 19:00 waktu setempat berangkat dari New York untuk kembali ke Jakarta. Sebelumnya Pansus Pornografi telah melakukan studi banding ke Turki. Setelah ke AS, mereka juga akan mengadakan kunjungan dengan tujuan serupa ke Kopenhagen (Denmark).
78
9.
4 Juli 2007
Pansus mengesahkan RUU APP (Rancangan UndangUndang Anti Ponografi dan Pornoaksi) dirubah menjadi RUU Pornografi (Rancangan Undang-Undang Pornografi).
10.
24 Agustus 2007
Draf RUU Pornografi dikirim oleh DPR kepada Presiden, RUU terdiri dari 10 bab dan 52 Pasal, dengan judul RUU APP menjadi RUU Pornografi.
11.
20 September 2007
Pengajuan Surat Presiden ke DPR
12.
23 September 2007
Laporan Tim Teknis DPR dan Pemerintah kepada Panja I (Panitia Kerja)
13.
8 Nopember 2007
Rapat Dengar Pendapat I dengan Pemerintah
14.
28 Nopember 2007
Rapat antara Pansus RUU Pornografi dengan Menteri Hukum dan HAM, sekaligus membuat MoU dengan Menteri Hukum dan HAM.
15.
13 Desember 2007
Tim Perumus merampungkan Naskah Akademik dan RUU Pornografi.
AKHIR MASA PERSIDANGAN IV TAHUN 2007-2008 AWAL MASA SIDANG I TAHUN 2008-2009 16.
18 Januari 2008
Rapat Dengar Pendapat Umum Pansus RUU Pornografi dengan mengundang Inul Daratista, Ruhut Sitompul, Titiek Puspa, Rhoma Irama dan artis lainnya.
17.
26 Januari 2008
Rapat Dengar Pendapat Umum Pansus RUU APP dengan Kurator Seni Rupa Jim Supangat, Dr. Naek L. Tobing dan Dr.Boyke Dian Nugraha yang tujuannya untuk
79
menghimpun masukan mengenai hubungan kebudayaan dan seksualitas dalam pembahasan RUU APP. 18.
29 Mei 2008
Dibentuknya Panja tentang RUU Pornografi Tahap II
19.
Awal Sidang I Tahun
Panja RUU tentang Pornografi bersama pemerintah
2008-2009
membahas RUU Pornografi secara efektif.
Bulan Juni 2008
Pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) oleh
20.
Panitia Kerja (Panja) yang sifatnya tertutup dan berlangsung selama kurang lebih satu bulan. 21.
18 September 2008
Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) di Ruang Rapat Komisi VIII DPR.
22.
23 September 2008
Draft final RUU Pornografi yang pada awalnya direncanakan akan disahkan. RUU Pornografi terdiri dari 8 bab dan 44 Pasal.
23.
24 September 2008
Panja melaporkan hasil kerja kepada Pansus serta penandatanganan draft RUU Pornografi antara DPR dan Pemerintah.
24.
9 Oktober 2008
Laporan Pansus kepada Bamus sekaligus menetapkan tanggal Rapat Paripurna untuk mengesahkan RUU Pornografi menjadi UU Pornografi.
25.
13 Oktober 2008
Tim Panitia Kerja RUU Pornografi melakukan uji publik RUU Pornografi ke sejumlah daerah yang masyarakatnya menolak RUU tersebut untuk mencari masukan dan pertimbangan.Daerah tersebut antara lain Bali, Daerah Istimewa Yogyakarta, Sulawesi Utara dan Papua. Di
80
Yogyakarta bertempat di Gedung Pracimosono, Kompleks Kantor Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta. 26.
15 Oktober 2008
Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Panja di Sulawesi Utara ditolak keras dan anggota Panja diusir dan RDPU dibatalkan, sedangkan di Bali RDPU berlangsung dengan gangguan masyarakat yang membuat kegaduhan.
27.
16-18 Oktober 2008
Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Pansus dengan empat departemen, yakni Depkumham, Depkominfo, Departemen Pemberdayaan Perempuan dan Depag. selain itu ditambah dua unsur baik pihak kejaksaan dan kepolisian.
28.
28 Oktober 2008
RUU Pornografi disepakati 8 Fraksi dan 2 Fraksi Walk Out dalam Rapat Paripurna.
29.
30 Oktober 2008
Keputusan rapat Paripurna DPR, RUU Pornografi disahkan.
Sumber : Data Arsip KomisiVIII DPR RI Tahun 2008
81
Pemerintah dalam hal ini DPR RI Komisi VIII melakukan proses membuat undang-undang berdasarkan ketentuan yang berlaku di dalam kode etik yang telah diatur. Sebagaimana yang telah dipaparkan Undang-Undang Pornografi ini merupakan undang-undang yang berasal dari Usul Inisiatif DPR dari Komisi VIII yang disampaikan kepada DPR untuk dibahas dan diundang-undangkan dalam daftar prolegnas DPR.
C. Implementasi Model Rasional Komprehensif 1. Penetapan masalah yang memerlukan tindakan dalam merumuskan Undang-Undang Pornografi Menurut Ibu Yoyoh Yusroh dalam wawancara yang dilakukan, mengatakan bahwa ada beberapa hal yang menjadi penetapan masalah yang memerlukan tindakan dalam perumusan Undang-Undang Pornografi ini, yaitu: a. Definisi pornografi yang tepat agar tidak ambigu Dalam Draf Rancangan Anti Pornografi dan Pornoaksi sebelumnya, pornografi mengandung pengertian yang substansi dalam media atau alat komunikasi yang dibuat untuk menyampaikan gagasan-gagasan yang mengeksploitasi seksual, kecabulan, dan/atau erotika. Dan pornoaksi adalah perbuatan mengeksploitasi seksual, kecabulan, dan/atau erotika di muka umum.8 Pengertian pornografi dan pornoaksi tersebut diataslah yang kemudian menjadi awal penolakan dari kalangan yang merasa definisi 8
Kutipan wawancara pribadi dengan Ibu Yoyoh Yusroh pada tanggal 5 Mei 2011 pukul 11.17 WIB di Gedung Nusantara 1 DPR lantai 4.
82
tersebut multitafsir, sehingga bisa diartikan secara subjektif sedangkan sebuah peraturan perundang-undangan harus dimaknai secara luas dan menyeluruh di masyarakat. Dikatakan multitafsir adalah ketika definisi pornografi, menunjukkan longgarnya batasan "materi seksualitas" dan menganggap karya manusia, seperti syair dan tarian (gerak tubuh) di muka umum, sebagai pornografi. Kalimat membangkitkan hasrat seksual atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat bersifat relatif dan berbeda di setiap ruang, waktu, maupun latar belakang. Dalam situs Wikipedia disebutkan masyarakat yang melakukan penolakan mengatakan bahwa pornografi yang merupakan bentuk eksploitasi berlebihan atas seksualitas, melalui majalah, buku, film dan sebagainya, memang harus ditolak dengan tegas. Tapi tidak menyetujui bahwa untuk mencegah dan menghentikan pornografi lewat sebuah undang-undang yang hendak mengatur moral dan akhlak manusia Indonesia secara pukul rata, seperti yang tertera dalam RUU APP atau RUU Pornografi ini, tapi seharusnya lebih mengatur penyebaran barangbarang pornografi dan bukannya mengatur soal moral dan etika manusia Indonesia.
b. Tindakan yang dilakukan Pansus RUU Pornografi Agar mampu mengakomodir segala bentuk aspirasi masyarakat, maka Pansus RUU Pornografi melakukan beberapa tindakan yang sekiranya agar RUU Pornografi ini bisa diterima oleh semua kalangan masyarakat, diantaranya:
83
1. Terkait kontroversi dari definisi pornografi, maka pansus mengubah pengertian pornografi yang awalnya adalah substansi dalam
media
atau
alat
komunikasi
yang
dibuat
untuk
menyampaikan gagasan-gagasan yang mengeksploitasi seksual, kecabulan, dan/atau erotika. Kemudian berubah yang kemudian menjadi Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Pornografi Nomor 44 Tahun 2008, yang berbunyi: Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau 9 eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.
2. Pansus merubah Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP) menjadi Rancangan Undang-Undang Pornografi (RUU Pornografi) dengan menghilangkan kata ”Anti” yang merepresentasikan seolah undang-undang ini tidak setuju dengan
pornografi
yang
sangat
kontradiktif.
Dan
juga
menghilangkan kata ”Pornoaksi” yang menurut pansus sudah cukup terwakili dengan definisi pornografi ditambah dengan banyaknya desakan untuk menghilangkan kata pornoaksi yang sangat tidak jelas batasannya. 3. Pemadatan bab dan pasal-pasal dalam draf sebelumnya, yakni draf yang dikirimkan kepada Presiden oleh DPR sebanyak 10 bab dan 52 pasal akhirnya pada tanggal 23 September 2008 hingga disahkan, RUU Pornografi terdiri dari 8 bab dan 44 pasal.
9
Sekretariat Jenderal DPR RI, Arsip Undang-Undang Pornografi No. 44/2008, artikel diakses pada tanggal 26 April 2011, pukul 11.40 WIB.dari http://dprri.go.id/.
84
4. Bab-bab pada draf lama berisi pasal-pasal larangan diubah menjadi bab pengaturan yang lebih mengatur pornografi itu bagaimana, batasan-batasannya serta larangannya. Namun Yoyoh Yusroh menjelaskan larangan di bab pengaturan yang baru tidak seperti draf versi lama. 5. Draf sebelumnya
yang menyangkut
masalah
Badan Anti
Pornografi dan Pornoaksi Nasional (BAPPN) pada Bab IV sepakat dihapus karena ada badan lain yang terkait seperti Badan Sensor. 2. Tujuan, nilai dan sasaran Undang-undang Pornografi Dalam kesempatan wawancara Yoyoh Yusroh mengatakan bahwa tujuan dari pembuatan Undang-Undang Pornografi adalah untuk melindungi hak-hak perempuan dan anak-anak yang sering sekali menjadi komoditas dari praktek-praktek pornografi. Tetapi sayangnya, banyak yang berpendapat bahwa undang-undang yang dibuat justru tidak memihak kepada kaum perempuan karena undang-undang tersebut lebih mengacu pada wanita sebagai korban sedangkan para pelaku bisnis yang memanfaatkan pornografi tidak disentuh. Tujuan yang dimaksud diatas juga tercantum dalam UU Pornografi pada Pasal 3 Butir (a, b, c, d, dan e) yang berbunyi: Undang-Undang ini bertujuan: a. mewujudkan dan memelihara tatanan kehidupan masyarakat yang beretika, berkepribadian luhur, menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, serta menghormati harkat dan martabat kemanusiaan; b. menghormati, melindungi, dan melestarikan nilai seni dan budaya, adat istiadat, dan ritual keagamaan masyarakat Indonesia yang majemuk; c. memberikan pembinaan dan pendidikan terhadap moral dan akhlak masyarakat; d. memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi warga negara dari pornografi, terutama bagi anak dan perempuan; dan
85
e. mencegah berkembangnya pornografi dan komersialisasi seks di masyarakat.
Berkaitan dengan tujuan maka terdapat nilai dari setiap tujuan yang ingin dicapai. Nilai dalam hal ini adalah ketika para pembuat kebijakan (Pansus DPR) menjalankan aktifitas fungsionalnya dengan baik. Dari segala proses yang sudah dijalankan oleh DPR maka nilai yang dilihat dari sudut
teknik penilaiannya adalah melalui jalan/cara seperti apa yang
dilakukan
dalam
mengumpulkan
data/alternatif
yang
diperlukan,
diantaranya adalah melalui Rapat Dengar Pendapat Umum dan Uji Publik. Rapat Dengar Pandapat Umum (RDPU) dilakukan DPR ketika Pansus DPR berkoordinasikan dengan pihak-pihak terkait seperti membicarakan pasal-pasal apa saja yang mungkin dibuat dalam Rancangan Undang-Undang Pornografi. Seperti, Depertemen maun Kementrian Hukum dan HAM, Pemberdayaan Perempuan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia, para ahli, seniman (artis), LSM, Komnas Perempuan, MUI, dan Ormas-ormas Islam lainnya. Sedangkan uji publik yang sudah dilaksanakan di Yogyakarta, Bali, dan Sulawesi Utara untuk mengetahui aspirasi di daerah mengenai rancangan yang akan diundangundangkan. Seperti apa yang diungkapkan dalam wawancara dengan Yoyoh Yusroh sasaran dari undang-undang ini adalah para pelaku pornografi yang secara aktif dan sengaja melakukan pornografi yang dapat mengganggu ketertiban serta keutuhan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang bermartabat. Dan secara tidak langsung Undang-Undang Pornografi
86
ini diharapkan bisa menyentuh para pebisnis pornografi dan pornoaksi yang mengambil keuntungan dari dua hal tersebut dengan perempuan sebagai komoditas utamanya. 3. Alternatif
kebijakan
serta
konsekuensi
rumusan
Undang-undang
Pornografi Dalam proses pembahasan Undang-Undang Pornografi yang sangat alot dan rentan dengan banyak protes, maka DPR RI dalam hal ini Pansus RUU Pornografi harus memiliki alternatif-alternatif yang dilakukan agar mampu mencapai kesepakatan dalam merumuskan suatu kebijakan berupa Undang-Undang
Pornografi.
Beberapa
alternatif-alternatif
beserta
konsekuensi yang terjadi pada saat pembahasan, diantaranya adalah: a. Pansus Rancangan Undang-Undang Pornografi merevisi draf RUU Pornografi yang sekiranya pasal-pasal dalam rancangan tersebut memicu konflik atau kontroversi. b. Dalam merevisi draf RUU Pornografi Pansus meminta pendapat serta masukan dari masyarakat maupun lembaga terkait dalam perbaikan rancangan undang-undang yang dibuat. c. Meskipun RUU Pornografi telah disahkan menjadi UndangUndang Pornografi jika ada masyarakat yang tidak puas atau pun kurang berkenan bisa menempuh proses uji materil (Judicial Review) ke Mahkamah Konstitusi dan DPR siap merevisi undangundang. Karena undang-undang tersebut masih mungkin untuk terus diperbaiki. 4. Pengorbanan dan keuntungan dari setiap alternatif pemecahan
87
Dalam melakukan alternatif yang tersedia, maka akan ada hal yang harus dikorbankan dalam mencapai kesepakatan. Melihat begitu banyaknya tekanan baik dalam DPR sendiri maupun dari luar yang datang dari masyarakat luas. Berikut ini beberapa pengorbanan maupun keuntungan dari alternatif adalah sebagai berikut: a. Dengan merevisi beberapa pasal, pengorbanan yang diterima oleh Pansus adalah merubah semua ketentuan awal draft RUU APP ini dibuat. Hal lain adalah ketika beberapa pasal yang sudah dirubah juga
belum
memuaskan
beberapa
pihak
sehingga
masih
menimbulkan kontroversi ditambah lagi terdapat kalangan masyarakat yang mengancam akan keluar dari NKRI jika RUU tersebut tetap diundang-undangkan. Seperti yang dilakukan oleh masyarakat Papua maupun di Bali. Sedangkan keuntungan yang diperoleh adalah sedikit meredam polemik yang berkembang di masyarakat dengan menampung aspirasi dari berbagai masyarakat. b. Setelah mengesahkan RUU Pornografi menjadi Undang-Undang Pornografi No. 44 Tahun 2008 tidak membuat DPR merasa lega, justru problemnya setelah itu adalah DPR harus menghadapi Judicial Review yang diajukan oleh Komnas Perempuan pada tanggal 25 Maret 2010. Rencananya Farhat Abbas juga akan melakukan hal yang sama dalam menggugat kasus video milik Ariel Peterpan. Hal lain yang membuat kebijakan dalam kaitannya adalah UndangUndang Pornografi bisa diterima dan sampai pada tahap pengesahan, maka
88
diperlukan beberapa faktor pendukung agar komunikasi kebijakan yang dilakukan oleh Pansus bisa mencapai titik kesepakatan, yakni: a. Dukungan massa kepada DPR dalam perumusan Undang-Undang Pornografi Perjalanan Undang-Undang Pornografi memang sangat panjang untuk sampai pada proses pengesahannya. Tidak sedikit yang memprotes rancangan undang-undang tersebut dan tidak sedikit pula yang mendukung. Mereka yang memprotes datang dari kalangan feminis, sekuler, maupun aliansi seni dan budaya. Dan massa pendukung dari RUU Pornografi datang dari ormas-ormas Islam seperti MUI (Majelis Ulama Indonesia), ICMI (Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia), FPI (Front Pembela Islam), MMI (Majelis Muhammadiyah Indonesia), Hizbut Tahrir, PKS dan masih banyak lagi yang tersebar di berbagai daerah. Sikap dukungan terhadap RUU Pornografi mereka aplikasikan dalam gerakan massa, yaitu dengan menggelar Aksi Sejuta Umat yang digelar pada tanggal 26 Mei 2006 umat Islam dari berbagai ormas, partai dan majlis taklim berkumpul di bundaran HI untuk mengikuti aksi sejuta umat dalam rangka mendukung RUU APP, memberantas pornografipornoaksi, demi melindingi akhlak bangsa, dan mewujudkan Indonesia yang bermartabat. Aksi dimulai dengan longmarch dari bundaran HI ke gedung DPR RI. Tampak hadir di tengah-tengah kerumunan massa sejumlah artis, tokoh dan ulama'. Di antaranya, KH Abdurrasyid Abdullah Syafii, Ketua MUI Pusat KH Ma'ruf Amien, Dra Hj. Tuty Alawiyah AS, Ustadz Hari
89
Moekti, Inneke Koesherawati, Astri Ivo, Henki Tornado, Prof. Dr. Dien Syamsuddin, KH Husein Umar, Habib Rizieq Shihab (FPI), H. Muhammad Ismail Yusanto (HTI), H. Mashhadi (FUI), KH Zainuddin MZ (PBR), H. Rhoma
Irama
(PAMMI),
Hj.
Nurdiati
Akma
(Aisyiyah),
Habib
Abdurrahman Assegaf, KH Luthfi Bashori (DIN) dan lain-lain. Dari jajaran pimpinan DPR RI, Agung Laksono (Ketua DPR), Zainal Maarif (Wakil Ketua DPR) dan Balkan Kaplale (Ketua Pansus RUU-APP).10 Selain dukungan berupa aksi massa, dukungan lain datang berupa fatwa MUI yang dikeluarkan pada tanggal 27 Mei 2006, berisi: fatwa tentang perlu segeranya RUU APP diundangkan dan fatwa yang berisi desakan kepada semua daerah untuk segera memiliki perda anti maksiat, miras serta pelacuran. 11 b. Peran media massa (Opini Publik) dalam komunikasi kebijakan Undang-Undang Pornografi Media massa dalam hal ini adalah menginformasikan berbagai perkembangan yang terjadi dalam pembahasan RUU Pornografi di DPR, maupun hal-hal yang relevan dengan RUU pornografi tersebut. Menurut Yoyoh Yusroh media massa juga bisa menjadi PR (Public Relation) dalam menyampaikan informasi tentang Undang-Undang Pornografi, tetapi jangan sampai memberitakan informasi yang berat sebelah. Hal lain yang perlu dilakukan oleh media adalah mampu mengawal dari implementasi Undang-Undang Pornografi ini kedepan, agar apa yang
10
Wikipedia, Undang-Undang Pornografi, artikel diakses pada tanggal 26 April 2011, pukul 11.40 WIB dari http://wordpress.com/2009/07/21/undang-undang-pornografi/ . 11 Wikipedia, Undang-Undang Pornografi, artikel diakses pada tanggal 26 April 2011, pukul 11.40 WIB dari http://wordpress.com/2009/07/21/undang-undang-pornografi/ .
90
diduga selama ini UU Pornografi sebagai undang-undang yang diskriminasi tidak terjadi dan diharapkan tidak mendeskriditkan kelompok-kelompok masyarakat tertentu, perempuan, anak-anak serta industri seni dan pariwisata. Menurutnya Balkan Kaplale sebagai Ketua Pansus yang dikutip dari Vivianews.com12, RUU ini nondiskriminasi tanpa menimbulkan perbedaan ras, suku, dan agama. Substansi RUU juga dirasa tepat dan definisi dirasa sangat jelas. RUU ini untuk melindungi masyarakat dan sebagai tindak lanjut UU perlindungan anak dan penyiaran. c. Pesan dalam gerakan massa Pesan dalam gerakan massa dalam hal ini adalah pesan-pesan yang secara implisit maupun eksplisit dari berbagai gerakan massa yang dilakukan. Baik massa yang mendukung maupun menolak RUU Pornografi ini pasti memiliki pesan dalam melakukan aksinya. Kelompok pendukung RUU pornografi menyuarakan bahwa rancangan tersebut perlu segera disahkan mengingat semakin maraknya praktek pornografi yang sudah masuk diberbagai bidang kehidupan masyarakat. Tidak hanya perempuan yang menjadi korban tetapi justru sudah merambah kepada anak-anak yang belum mampu melihat sesuatu secara bijaksana. Kelompok yang menolak mengatakan bahwa pornografi yang merupakan bentuk eksploitasi berlebihan atas seksualitas, melalui majalah, buku, film dan sebagainya, memang harus ditolak dengan tegas. Tapi tidak 12
Viva News, Kontroversi Undang-Undang Pornografi, artikel diakses pada tanggal 28 April 2011 pukul 18.45 WIB dari http://vivanews.com/.
91
menyetujui bahwa untuk mencegah dan menghentikan pornografi lewat sebuah undang-undang yang hendak mengatur moral dan akhlak manusia Indonesia secara pukul rata, seperti yang tertera dalam RUU APP atau RUU Pornografi ini, tapi seharusnya lebih mengatur penyebaran barang-barang pornografi dan bukannya mengatur soal moral dan etika manusia Indonesia. d. Pesan Partai Politik Pada tanggal 28 Oktober 2008, Pansus akan mengesahkan RUU Pornografi menjadi Undang-Undang Pornografi. Namun 2 dari 10 Fraksi di DPR melakukan Walk Out sebagai bentuk protes, yaitu fraksi PDIP dan fraksi PDS. Semua parpol (berikut fraksinya di DPR) akan menjaga pendapatnya
sampai
titik
penghabisan
demi
menjaga
soliditas
konstituen/pemilihnya. Dalam kasus ini aspek politis RUU lebih mengemuka dibanding pembahasan subtansial RUU. Dua kubu yang berseteru tetap dengan pendiriannya mempertahankan "Draft yang masih bisa direvisi" (PKS, PPP, Golkar, PAN, Demokrat, PKB, PBR) dan "Draft yang belum memuaskan" (PDIP, PDS), berikut asumsi-asumsi, dan kesalahpahaman. Menjelang masa reses yang akan dimulai pada tanggal 18 Julli 2008 sampai dengan bulan depan, tidak menghentikan proses pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pornografi yang pada tahun ini rencananya harus sudah menjadi Undang-Undang (UU). Tekanan politis yang begitu besar menjadikan rancangan produk Undang-Undang Pornografi hanya memenuhi target saja, ini dibuktikan oleh pernyataan
92
Khairunisa dari Fraksi Golkar dalam hearing dengan jaringan LSM pada 7 Juli lalu, yaitu: “kami tidak mungkin menghentikan pembahasan karena RUU ini sudah menjadi warisan periode lalu yang tidak terselesaikan”.13
e. Pesan dari kelompok kepentingan Kelompok yang pro yang datang dari organisasi massa Islam seperti MUI, kalangan ormas Islam, serta gabungan majelis taklim dan partai-partai Islam. Mereka ini merupakan wakil dari mayoritas bangsa ini yang ingin menyelamatkan moral generasi bangsa ini dari pengaruh pornografi dan pornoaksi. Dikutip dari berita online www.republika.com, Eva Kusuma Sundari sebagai anggota Pansus RUU Pornografi dari Fraksi Partai Demokrasi Perjuangan (FPDIP) mengatakan, “Saya melihat ada kepentingan di balik rencana pengesahan RUU Pornografi yaitu RUU Pornografi akan dijadikan payung hukum perda-perda syariah,” ujarnya dalam debat di sebuah TV swasta.14
Menanggapi tuduhan itu, Mochtar Ngabalin, anggota Pansus RUU Pornografi dari Fraksi Partai Bulan Bintang (FPBB) membantahnya. “Tidak ada urusannya antara RUU Pornografi dengan perda syariah. Sebelum RUU Pornografi ini ada Perda syariah sudah ada,” ujarnya.15
Hal yang sama disampaikan Ketua Pansus RUU Pornografi, Balkan Kaplale. Alasan PDIP dan PDS yang menganggap RUU Pornografi tersebut berbau syariah dan akan menimbulkan disintegrasi bangsa tidak berdasar.
13
Detik, 2 Fraksi WO, artikel diakses pada tanggal 28 April 2011 pukul 19.12 WIB. dari http://detiknews.com/. 14 Republika, Hukum Syariah Dibalik UUP?, artikel diakses pada tanggal 28 April 2011 pukul 19.15 WIB. dari http://republika.com/. 15 Republika, Hukum Syariah Dibalik UUP?, artikel diakses pada tanggal 28 April 2011 pukul 19.15 WIB. dari http://republika.com/.
93
“Jika ada daerah yang mengancam disintegrasi maka saya katakan itu tindakan makar, subversif, dan bisa dikenakan hukuman tembak,” ujar Balkan.16
f. Pesan sesama pejabat Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Meutia Hatta, yang mencoba menengahi pro dan kontra yang ada. Ia mendukung Rancangan Undang-Undang Pornografi (RUU Pornografi). Namun, RUU tersebut harus lebih diarahkan pada kalangan industri yang menjalankan bisnis pornografi dan pornoaksi dan menangguk keuntungan dari dua hal itu dengan perempuan sebagai komoditas. 17 Sebaliknya, menurut Meutia, RUU itu juga harus menjunjung hakhak perempuan. Jangan mendiskreditkan kaum perempuan, seolah-olah hanya mereka saja yang disalahkan. Ia melihat, isi RUU tersebut lebih melarang pelaku, sedangkan pihak produsen tidak pernah disinggung
16
. Republika, Hukum Syariah Dibalik UUP?, artikel diakses pada tanggal 28 April 2011 pukul 19.15 WIB. dari http://republika.com/. 17 Kutipan wawancara pribadi dengan Ibu Yoyoh Yusroh pada tanggal 5 Mei 2011 pukul 11.17 WIB di Gedung Nusantara 1 DPR lantai 4.
94
D. Perkembangan dan Penerapan Undang-undang Pornografi Setelah bergulir selama tiga tahun, Undang-Undang Pornografi ini tetap saja menjadi persoalan yang kontroversi dan jika dilihat dari realitasnya, UndangUndang Pornografi belum mampu menjadi peraturan yang mengikat, bahkan cenderung diabaikan. Mengapa? Hal itu dapat terlihat dalam kasus-kasus yang terjadi di Indonesia, seperti semakin maraknya bisnis pornografi, tindakantindakan asusila di berbagai wilayah. Bukankah seharusnya Undang-Undang Pornografi yang sudah ada ini mampu menjadi senjata untuk menindak berbagai pelanggaran pornografi. Di bidang perfilman saja masih bermunculan film-film yang menampilkan adeganadegan yang tidak pantas, kemudian video porno yang masih bebas diakses di internet. Kalau kita mau belajar dari negara lain seperti Cina mungkin hal-hal semacam itu bisa diminimalisir bahkan dihilangkan. Pemerintah Cina pada tahun 2007 secara serius mengambil tindakan tegas dengan memberantas penyebarluasan pornografi di Internet. Pemerintah Cina mengganggap masalah Pornografi merupakan masalah sosial yang perlu ditangani secara serius karena memicu berbagai tindak kriminal yang marak terjadi. Sikap Pemerintah Cina bukan hanya isapan jempol, sekitar 44.000 situs porno berhasil ditutup, menahan sekitar 868 orang dan memproses 524 kasus krimimal berkaitan pornografi di Internet. Dengan dibantu tenaga ahli komputer, Cina mampu menyensor isi situs di internet, dan memblokir akses situs porno dari luar negeri.18 Demikian pula, Pemerintah Singapura tidak ingin bermain-main dengan soal pornografi dengan keras menindak para pelaku penyebaran pornografi 18
Wordpress, Undang-Undang Pornografi di Luar Negeri, artikel diakses pada tanggal 28 April 2011 pukul 19.30 WIB dari http://wordpress.com/undang-undang_di-luar-negeri/html.
95
terutama foto-foto bugil dan memblokir akses situs porno. Bahkan, produk pornografi dalam kemasan VCD termasuk majalah Play Boy tidak akan dijumpai pada toko-toko di Singapura. Terkait belum maksimalnya Undang-Undang Pornografi di Indonesia, tampaknya hal tersebut tergambar dari beberapa hal yang dirasakan setelah Undang-Undang Pornografi disahkan, diantaranya: 1. Pelaksanaan Judicial Review Undang-Undang Pornografi ke Mahkamah Konstitusi Pada tanggal 25 Maret 2010 Mahkamah konstitusi menolak pengajuan uji materiil (judicial review) yang diajukan oleh Komnas Perempuan. Komnas Perempuan menganggap Undang-Undang Pornografi No. 44 Tahun 2008 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Undang-Undang Pornografi tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Justru UndangUndang Pornografi melindungi hak-hak perempuan agar jangan menjadi komoditi dari praktek pornografi. Dalam prosesnya dari sembilan hakim MK, hanya satu yang berbeda pendapat (dissenting opinion) dan menilai meski Undang-Undang Pornografi itu telah disahkan dan diundangkan, tapi efektivitas dan implementasinya susah dilasanakan. Menurut dia, Masih ada kerancuan dalam pasal-pasalnya. Karena itu, dia berpendapat, permohonan pemohon seharusnya dikabulkan.19
19
Yustina Rostiawati, UU Pornografi Diskriminasi Perempuan dan Anak-anak, artikel diakses pada tanggal 4 Mei 2011 pukul 13.25 WIB dari http://komnasperempuan.com.
96
2. Tidak adanya Peraturan Pemerintah (PP) sebagai pendukung UndangUndang Pornografi Herlini Amran, Anggota Komisi VIII Tahun 2004-2009 dalam situs resmi DPR jurnalparlemen.com mengatakan bahwa dari segi regulasi, DPR sudah mengesahkan Undang-Undang Pornografi, namun Pemerintah belum serius membuat Peraturan Pemerintah (PP) yang terkait dan turunan dari Undang-Undang Pornografi ini. Herlini menambahkan Undang-Undang Pornografi No. 44/2008 tentang pornografi belum optimal untuk diimplementasikan. Salah satu penyebabnya, tak didukung adanya Peraturan Pemerintah (PP). Padahal, PP ini merupakan bentuk keseriusan pemerintah dalam memberantas pornografi.
Pada dasarnya
PP
memberikan
penjelasan peraturan
perundang-undangan secara lebih detil. 3. Kasus video porno Ariel dijerat Undang-Undang Pornografi Terdakwa kasus video porno Nazriel Irham alias Ariel divonis 3,5 tahun penjara atas dakwaannya dalam pasal 29 UU No 4/2008 tentang Pornografi yang merupakan sanksi pidana terhadap perbuatan seperti pada pasal 4 ayat 1 dengan tuduhan yang digunakan adalah memproduksi materi pornografi. Menurut beberapa pakar IT video itu jelas dikategorikan sebagai pornografi menurut Undang-Undang Pornografi ini. 4. Kasus Arifinto, akankah terjerat Undang-Undang Pornografi? Arifinto seorang anggota DPR Fraksi PKS tertangkap basah saat sedang menonton video porno ketika di Gedung DPR sedang dilaksanakan rapat paripurna. Hal ini justru berbanding terbalik ketika Fraksi PKS ini
97
justru menggebu-gebu untuk mengesahkan Rancangan Undang-Undang Pornografi menjadi Undang-Undang Pornografi tetapi saat ini justru kadernya yang melakukan pelanggaran tersebut. Ray Rangkuti mengatakan hal ini cukup menjadi pengingat saja kepada PKS bahwa undang-undang tersebut bisa saja membatasi hak asasi manusia dan sangat tidak optimal.
20
Seolah-olah Undang-Undang
Pornografi menjadi senjata makan tuan bagi PKS sendiri. Apa yang dilakukan Arifinto itu pun sebenarnya belum mencukupi alat bukti jika ingin dipidanakan, penyidik masih meneliti lebih jauh bagaimana posisi kasus sebenarnya. Dalam kasus video porno, polisi harus menggunakan undang-undang yang saling terkait. Dijelaskan dalam Pasal 5 Undang-Undang Pornografi No. 44/2008 menyebutkan ”Setiap orang dilarang meminjamkan atau mengunduh pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1).”
Kemudian ditambah Pasal 6 menyebutkan, ” Setiap orang dilarang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), kecuali yang diberi kewenangan oleh peraturan perundangundangan.”
Ancaman pidana yang dikenakan adalah 4 (empat) tahun penjara dan/atau denda paling banyak Rp. 2 Miliar. Dalam kasus Arifinto, sebenarnya bisa saja dikenakan pasal diatas dalam Undang-Undang
20
Lauriencius Simanjuntak, Kasus Arifinto Ingatkan PKS Juga Bisa “Dimakan” UU Pornografi, artikel diakses pada tanggal 8 Mei 2011 pukul 14.00 WIB dari http://detiknews.com/read/2011/04/12/kasus-arifinto-ingatkan-pks-juga-bisa-dimakan-uupornografi.
98
Pornografi namun kenyataannya, polisi menganggap kasus tersebut masih minim alat bukti sehingga masih terus diselidiki. 5. Kepentingan negara asing dalam Undang-Undang Pornografi Hal lain yang mengejutkan dalam proses pembahasan Rancangan Undang-Undang Pornografi ini adalah ketika Ketua Pansus RUU Pornografi
Balkan
Kaplale
mengungkapkan,
meski
DPR
telah
menghilangkan kata ”anti” dan ”pornoaksi” dari Rancangan UndangUndang Pornografi negara-negara asing masih saja mengincarnya. Negara asing yang dimaksud adalah Australia dan Inggris. Selain
dua
negara
yang
mengungkapkan
bahwa
terdapat
disebutkan tujuh
diatas,
negara
Balkan
asing
lain
juga yang
ikut ”bermain” dengan Undang-Undang Pornografi, yaitu Swedia, Denmark, Uni Eropa dan Amerika Serikat. Hal ini diungkapkan oleh Balkan ketika diadakan Rapat Dengar Pendapat Umum Pansus RUU Pornografi dengan Hizbut Tahrir Indonesia pada tanggal 18 September 2008. Dikutip dari situs resmi www.hizbuttahrir.com Indonesia, Balkan mengatakan: ”Menurut negara-negara tadi, Indonesia adalah pasar yang paling empuk untuk industri seks. Berbeda dengan Malaysia yang agak kental aturan.” 21 Negara-negara asing tersebut menurut Balkan, sebenarnya mereka mengkhawatirkan jika Rancangan Undang-Undang Pornografi disahkan menjadi Undang-Undang Pornografi. Yang tentu saja, akibatnya jika 21
Abu Ziad, UU Pornografi: Islam Vs Sekularisme, artikel diakses pada tanggal 4 Mei 2011 pukul 13.18 WIB dari http://cakdur.com/index.php/archives/53.
99
aturan hukum tersebut berlaku justru akan menjadi benteng bagi bangsa Indonesia dari penghancuran moral lewat industri gaya hidup destruktif yang mereka produksi dengan kedok HAM dan kebebasan berekpresi. 22
Perjalanan Undang-Undang Pornografi yang begitu rumit, membuat berbagai pihak merasa tidak puas dan cenderung dipaksakan. Meluasnya aksi massa dihampir seluruh wilayah Indonesia pun tidak dapat dihindarkan akibat dibentuknya Undang-Undang Pornografi. Opini masyarakat memang harus menjadi landasan dalam membuat undang-undang, jangan sampai UndangUndang Pornografi yang dibuat berat sebelah. Tidak berhenti pada hal tersebut justru sampai saat ini pun Undang-Undang Pornografi masih sulit untuk diimplementasikan, Undang-Undang Pornografi yang sudah memang bertujuan baik, tetapi harus ada formulasi lain yang lebih tepat. Saat ini saja kita sangat mudah untuk menemukan majalah porno, situs/website porno, dan lapak CD/DVD yang bertebaran disudut-sudut kota Jakarta, sehingga setiap orang tidak mempunyai batasan untuk memperoleh hal-hal tersebut.
Yang terjadi kini adalah pornografi masih bebas berkeliaran di Indonesia, aturan prundang-undangan yang dibuat belum mampu dijadikan landasan pasti dalam menindak kasus pornografi. Undang-Undang Pornorafi yang sudah ada harus terus melakukan perbaikan sehingga mampu diterapkan secara baik, ditambah lagi imej yang sudah terlalu menempel pada Indonesia sebagai surganya pornografi dan negara tujuan untuk bisnis pornografi luar negeri harus segera diberantas secara serius. 22
Kutipan wawancara pribadi dengan Bapak Ahmad Zainuddin pada tanggal 17 Januari 2011 pukul 12.10 WIB di Gedung Nusantara 1 DPR lantai 3 Ruang 308.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Dari pemaparan bab sebelumnya dapat ditarik kesimpulan, bahwa: 1. Perspektif Komunikasi Politik dalam memandang Undang-Undang Pornografi yang dibuat oleh Komisi VIII DPR RI sebagai kebijakan publik adalah bagaimana melihat Undang-Undang Pornografi adalah proses tarik ulur komunikasi politik yang dijalankan. Terdapat kompromi dan negosiasi dalam mencapai kesepakatan, tarik ulur kepentingan yang berbeda tidak mudah untuk dipersatukan. Opini publik yang terbentuk dari kompromi dan negosiasi sangat jelas terlihat dalam proses pembahasan Rancangan Undang-Undang Pornografi, yang berupa, dukungan massa kepada DPR dalam perumusan Undang-Undang Pornografi, peran media massa dalam komunikasi kebijakan Undang-Undang Pornografi, pesan dalam gerakan massa, pesan Partai Politik, pesan dari kelompok kepentingan, dan pesan sesama pejabat. 2. Dan yang menjadi langkah-langkah dari proses yang dilakukan dalam komunikasi kebijakan melalui model Rasional Komprehensif pada UndangUndang Pornografi Komisi VIII DPR RI mencakup penetapan masalah, tujuan, nilai, sasaran, alternatif kebijakan, dan pengorbanan serta keuntungan dari Undang-Undang Pornografi, diantaranya penetapan masalah berupa definisi pornografi yang menjadi kontroversi serta menimbulkan penolakan di kalangan masyarakat, tujuan yang dimaksudkan yang tercantum dalam Pasal 3 Butir (a, b, c, d, dan e) Undang-Undang Pornografi No. 44 Tahun 2008, cara
99
100
yang ditempuh dalam menentukan alternatif kebijakan melalui Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dan Uji Publik, sasaran dari undang-undang ini adalah para pelaku pornografi yang secara aktif dan sengaja melakukan pornografi yang dapat mengganggu ketertiban serta keutuhan bangsa Indonesia. Dan alternatif kebijakan, DPR melakukan revisi beberapa bab dan melakukan pemadatan bab serta yang sebelumnya berisi 10 bab dan 52 pasal dirubah menjadi 8 bab dan 44 pasal, dan pengorbanan dan keuntungan dari alternatif yang dilakukan berupa ancaman keluar dari NKRI yang muncul diberbagai daerah yang menolak RUU Pornografi serta adanya pengajuan uji materil (judicial review) Undang-Undang Pornografi ke Mahkamah Konstitusi. B. Saran DPR sebagai salah satu lembaga pembuat kebijakan harus mensosialisasikan Undang-Undang Pornografi pada saat pembahasan maupun setelah disahkannya kepada masyarakat, siap menerima kritikan maupun masukan. DPR juga harus menyediakan alternatif-alternatif yang mungkin dilakukan jika dalam prosesnya menghadapi kebuntuan untuk mencapai mufakat. Dalam kaitannya dengan pembahasan Undang-Undang Pornografi yang menuai kontroversi, DPR seharusnya bisa menerima aspirasi dari massa yang mendukung maupun yang menolak UndangUndang Pornografi, karena Undang-Undang tersebut nantinya akan berlaku pada seluruh masyarakat bukan sebagian masyarakat tertentu saja, undang-undang tersebut pun harus terus melakukan perbaikan. Meskipun tidak ada peraturan yang sempurna, paling tidak DPR mampu menempuh jalan yang bijaksana dalam memutuskan suatu Undang-Undang.
DAFTAR PUSTAKA
Agustino, Leo. Perihal Ilmu Politik: Sebuah Bahasan Memahami Ilmu Politik. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007. API (Almanak Parlemen Indonesia),Yayasan. Panduan Parlemen Indonesia. Jakarta: Yayasan Api, 2001. Bayhaqi, Akhmad. Bahaya Tirani DPR: Konflik DPR Vs Presiden: Kumpulan Analisis Para Pengamat Politik; Editor: Indra Surya Lubis. Jakarta: Lembaga Studi Politik Merdeka, 2001. Cangara, Hafied. Komunikasi Politik: Konsep, Teori, dan Strategi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008. Efendy, Onong Uchjana. Dinamika Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 2004. ____________________. Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002. Heryanto, Gun Gun. Komunikasi Politik di Era Industri Citra. Jakarta: PT. Lasswell Visitama, 2010. _________________. Handout Perkuliahan Mata Kuliah Komunikasi Politik: Materi 2. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2010. Islamy, Muhammad Irfan. Prinsip-prinsip Perumusan Kebijakasanaan Negara. Jakarta: Bumi Aksara, 1992. J, A, Denny. Parliament Watch: Eksperimen Demokrasi Dilema Indonesia, editor; Fransiskus. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2006.
Nasir, Muhammad. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1993. Nasuhi, Hamid dan kawan-kawan. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah: Skripsi, Tesis, dan Disertasi. Jakarta: CeQDA, 2007. Nimmo, Dan. Komunikasi Politik: Khalayak dan Efek. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006. Parson, Wayne. Public Policy: Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan. Jakarta: Kencana, 2006. Rahardiansah, Trubus. Pengantar Ilmu Politik: Paradigma, Konsep Dasar, dan Relevansinya untuk Ilmu Hukum. Jakarta: Universitas Trisakti, 2006. Sanit, Arbi. Perwakilan Politik di Indonesia. Jakarta: CV. Rajawali, 1985. Soemirat, Betty RFS. dan Eddy Yehuda. Materi Pokok Opini Publik: 1-9: SKOM4321/3 SKS. Jakarta: Universitas Terbuka, 2007. Tankard, Werner J. Severin dan James W., Jr. Teori Komunikasi: Sejarah, Metode, Terapan di Dalam Media Massa, Edisi ke-5. Jakarta: Kencana, 2007. Varma, S, P. Teori Politik Modern. Jakarta: PT. Raja, 2005.
Internet:
Albab, Ulul. Aktor-aktor Kebijakan Publik (Surabaya: Universitas Dr. Soetomo, 2009). Artikel diakses pada tanggal 12 Maret 2011, pukul 11.35 WIB dari http://www.unitomo.ac.id/. Detik. 2 Fraksi WO. Artikel diakses pada tanggal 28 April 2011 pukul 19.12 WIB. dari http://detiknews.com/. Jurnal Parlemen. Artikel diakses pada tanggal 15 Maret 2011, pukul 19.52 WIB dari http://jurnalparlemen.com.
Republika. Hukum Syariah Dibalik UUP? Artikel diakses pada tanggal 28 April 2011 pukul 19.15 WIB. dari http://republika.com/. Rostiawati, Yustina. UU Pornografi Diskriminasi Perempuan dan Anak-anak. Artikel diakses pada tanggal 4 Mei 2011 pukul 13.25 WIB dari http://komnasperempuan.com. Sekretariat Jenderal DPR RI. Rencana Strategis DPR RI. Artikel diakses pada tanggal 15 Maret 2011, pukul 19.00 WIB dari http://dprri.go.id/. _______________________. Kode Etik DPR RI. Artikel diakses pada tanggal 15 Maret 2011, pukul 19.00 WIB dari http://dprri.go.id/. _______________________. diakses
pada
tanggal
Pembentukan 15
Maret
Undang-Undang 2011,
pukul
DPR.
19.00
Artikel
WIB
dari
http://dprri.go.id/. _______________________. Arsip Undang-Undang Pornografi No. 44/2008. Artikel diakses pada tanggal 26 April 2011, pukul 11.40 WIB.dari http://dprri.go.id/ Simanjuntak, Lauriencius. Kasus Arifinto Ingatkan PKS Juga Bisa “Dimakan” UU Pornografi. Artikel diakses pada tanggal 8 Mei 2011 pukul 14.00 WIB dari
http://detiknews.com/read/2011/04/12/kasus-arifinto-ingatkan-pks-
juga-bisa-dimakan-uu-pornografi. Viva News. Kontroversi Undang-Undang Pornografi. Artikel diakses pada tanggal 28 April 2011 pukul 18.45 WIB dari http://vivanews.com/. Ziad, Abu. UU Pornografi: Islam Vs Sekularisme. Artikel diakses pada tanggal 4 Mei 2011 pukul 13.18 WIB dari http://cakdur.com/index.php/archives/53.
Struktur Organisasi DPR RI
© Sekr et ar i at Jender al DPR RI
LAPORAN KERJA KOMISI VIII
29-03-2011 • Komisi VIII: Kunjungan Kerja DIY MS II TS 2010-2011 • Komisi VIII: Laporan Kunjungan kerja Komisi VIII ke Prov. Kalimantan Selatan pada Reses Masa Persidangan II • Komisi VIII: Kunjungan Kerja MP I TS 2009-2010 • Komisi VIII: Rapat Kerja Komisi VIII DPR RI dengan Menteri Sosial RI • Komisi VIII: Rapat Kerja dengan Kemenag R.I.
28-03-2011 • Komisi VIII: Rapat Kerja Komisi VIII dengan Kapolri • Komisi VIII: Rapat Kerja dengan Menteri Agama RI dan Kepala Polri • Komisi VIII: Rapat Kerja dengan Kepala BNPB • Komisi VIII: RDP dengan Komisi Perlindungan Anak Indonesia
23-03-2011 • Komisi VIII : RDP dengan Irjen dan Dirjen Bimas...
Narasumber
: Ibu Yoyoh Yusroh
Jabatan
: - Anggota Komisi I DPR RI Tahun 2009-2014 - Wakil Ketua Pansus RUU Pornografi Tahun 2008
Tanggal
: 4-6 April 2011 dan Kamis, 5 Mei 2011
Waktu dan Tempat
: 11.00 – 12.30 WIB di Gedung Nusantara I Lt. 4
Perihal
: Proses Kebijakan Publik Berupa UU Pornografi yang ditangani langsung Ibu Yoyoh pada tahun 2008.
Dwi Ilhami : Sebenarnya, sejak kapan wacana munculnya pembahasan RUU Pornografi ini bu? Ibu Yoyoh : Seperti yang kita ketahui, bahwa pembicaraan mengenai RUU APP ini sebelum menjadi RUU Pornografi dimulai pada tahun 1997 sesaat sebelum orde baru tumbang, draf RUU APP pertama kali diajukan pada 14 Februari 2006 dan berisi 11 bab dan 93 pasal. Mulai adanya wacana reformasi RUU APP ini pun sempat tertunda dengan agenda undang-undang lainnya yang lebih urgen pada saat itu, melihat keadaan pemerintahan yang sangat memerlukan perhatian. Dan pada tahun tanggal 24 Agustus 2007 dalam draf yang dikirimkan oleh DPR kepada Presiden pada, RUU ini tinggal terdiri dari 10 bab dan 52 pasal. Judul RUU APP pun diubah sehingga menjadi RUU Pornografi. Kemudian sejak saat itu Bamus mulai menjadwalkan kembali pembahasan mengenai RUU Pornografi hingga sampai pengesahannya pada tanggal 30 Oktober 2008. Dwi Ilhami
: Apa yang menjadi penetapan masalah pada RUU Pornografi?
Ibu Yoyoh : Sebenarnya ada banyak hal yang menjadi penetapan masalah dalam RUU Pornografi ini, mungkin yang bisa disebutkan yaitu, definisi pornografi yang tepat agar tidak ambigu. Dalam Draf Rancangan Anti Pornografi dan Pornoaksi sebelumnya, pornografi mengandung pengertian yang substansi dalam media atau alat komunikasi yang dibuat untuk menyampaikan gagasangagasan yang mengeksploitasi seksual, kecabulan, dan/atau erotika. Dan pornoaksi adalah perbuatan mengeksploitasi seksual, kecabulan, dan/atau erotika di muka
umum. Pengertian pornografi dan pornoaksi tersebut diataslah yang kemudian menjadi awal penolakan dari kalangan yang merasa definisi tersebut multitafsir, sehingga bisa diartikan secara subjektif sedangkan sebuah peraturan perundangundangan harus dimaknai secara luas dan menyeluruh di masyarakat. Dikatakan multitafsir adalah ketika definisi pornografi, menunjukkan longgarnya batasan "materi seksualitas" dan menganggap karya manusia, seperti syair dan tarian (gerak tubuh) di muka umum, sebagai pornografi. Kalimat membangkitkan hasrat seksual atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat bersifat relatif dan berbeda di setiap ruang, waktu, maupun latar belakang. UU Nomor 44/2008 tentang pornografi Pasal 4 ayat (1) menegaskan setiap orang dilarang memproduksi, menawarkan, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualkan, menyewakan, atau menyediakan pornografi. Secara eksplisit yang dimaksud pornografi itu memuat visual persenggaman, termasuk persenggamaan yang menyimpang, kekerasan seksual, masturbasl atauonani. ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan, alat kelamin dan atau pornografi anak. Dalam pasal 5 dan 6 ditegaskan lagi, setiap orang dilarang meminjamkan atau mengunduh pornografi. Selain itu setiap orang dilarang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi, kecuali yang diberi kewenangan oleh peraturan perundang-undangan. Namun, ketentuan pasal ini sepertinya masih belum diketahui dan dipahami kalangan masyarakat luas, tegas dia. Dwi Ilhami : Kemudian setelah adanya penetapan masalah, masalah apa yang mana saja yang memerlukan tindakan, dan tindakan seperti apa? Ibu Yoyoh : Terkait kontroversi dari definisi pornografi, maka kami (pansus) mengubah pengertian pornografi yang awalnya adalah substansi dalam media atau alat komunikasi yang dibuat untuk menyampaikan gagasan-gagasan yang mengeksploitasi seksual, kecabulan, dan/atau erotika. Kemudian berubah yang kemudian menjadi Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Pornografi Nomor 44 Tahun 2008. Tindakan yang terjadi antara lain, 1) Pansus merubah Rancangan UndangUndang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP) menjadi Rancangan UndangUndang Pornografi (RUU Pornografi) dengan menghilangkan kata ”Anti” yang merepresentasikan seolah undang-undang ini tidak setuju dengan pornografi yang sangat kontradiktif. Dan juga menghilangkan kata ”Pornoaksi” yang menurut pansus sudah cukup terwakili dengan definisi pornografi ditambah dengan banyaknya desakan untuk menghilangkan kata pornoaksi yang sangat tidak jelas batasannya. 2) Pemadatan bab dan pasal-pasal dalam draf sebelumnya, yakni draf yang dikirimkan kepada Presiden oleh DPR sebanyak 10 bab dan 52 pasal akhirnya pada tanggal 23 September 2008 hingga disahkan, RUU Pornografi terdiri dari 8 bab dan 44 pasal. 3) Bab-bab pada draf lama berisi pasal-pasal larangan diubah menjadi bab pengaturan yang lebih mengatur pornografi itu bagaimana, batasanbatasannya serta larangannya. Namun Yoyoh Yusroh menjelaskan larangan di bab pengaturan yang baru tidak seperti draf versi lama. 4) Draf sebelumnya yang menyangkut masalah Badan Anti Pornografi dan Pornoaksi Nasional (BAPPN) pada Bab IV sepakat dihapus karena ada badan lain yang terkait seperti Badan Sensor.
Dwi Ilhami
: Alasan RUU Pornografi dibuat?
Ibu Yoyoh :Alasan utama yakni pembahasan Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi ini sangat lamban dan tidak mengalami kemajuan yang signifikan, sehingga sempat terkatung-katung hampir tujuh tahun. Alasan lain yang menjadi pemicu semakin gencarnya DPR ingin mengesahkan rancangan undangundang tersebut adalah ketika munculnya Inul Daratista yang disebut sebagai Ratu Ngebor menyulut berbagai kontroversi di masyarakat maupun di dunia hiburan. Sebagian masyarakat menganggap goyangan yang dilakukan Inul adalah sebuah pornoaksi yang merangsang sehingga perlu ditindak tegas melalui aturan hukum, dan sebagian masyarakat menganggap hal tersebut sebagai hal yang biasa dalam dunia seni terutama ketika bernyanyi dangdut. Dwi Ilhami : Melalui model Rasional Komprehensif ini juga kan memerlukan tujuan, nilai serta sasaran yang harus dicapai dalam menangani masalah tersebut, seperti apa bu? Ibu Yoyoh : tujuan dari pembuatan Undang-Undang Pornografi adalah untuk melindungi hak-hak perempuan dan anak-anak yang sering sekali menjadi komoditas dari praktek-praktek pornografi. Tetapi sayangnya, banyak yang berpendapat bahwa undang-undang yang dibuat justru tidak memihak kepada kaum perempuan karena undang-undang tersebut lebih mengacu pada wanita sebagai korban sedangkan para pelaku bisnis yang memanfaatkan pornografi tidak disentuh. Tujuan yang dimaksud diatas juga tercantum dalam UU Pornografi pada Pasal 3 Butir (a, b, c, d, dan e). nilai dari setiap tujuan yang ingin dicapai. Nilai dalam hal ini adalah ketika para pembuat kebijakan (Pansus DPR) menjalankan aktifitas fungsionalnya dengan baik. Dari segala proses yang sudah dijalankan oleh DPR maka nilai yang dilihat dari sudut teknik penilaiannya adalah melalui jalan/cara seperti apa yang dilakukan dalam mengumpulkan data/alternatif yang diperlukan, diantaranya adalah melalui Rapat Dengar Pendapat Umum dan Uji Publik. Dwi Ilhami
: Siapa saja yang menjadi sasaran UUP?
Ibu Yoyoh : Seperti yang disebutkan sebelumnya, sasaran utama dari UU Pornografi yaitu para pelaku bisnis yang memanfaatkan pornografi tidak disentuh, justru memang yang selalu menjadi korban adalah anak-anak dan wanita. Dwi Ilhami
: Dan cara pemecahan masalah yang digunakan?
Ibu Yoyoh : ada beberapa alternatif yang sudah dilakukan oleh Pansus pada waktu itu, yaitu: a) Pansus Rancangan Undang-Undang Pornografi merevisi draf RUU Pornografi yang sekiranya pasal-pasal dalam rancangan tersebut memicu konflik atau kontroversi. b) Dalam merevisi draf RUU Pornografi Pansus meminta pendapat serta masukan dari masyarakat maupun lembaga terkait dalam perbaikan rancangan undang-undang yang dibuat. c) Meskipun RUU Pornografi telah disahkan menjadi Undang-Undang Pornografi jika ada masyarakat yang tidak puas atau pun kurang berkenan bisa menempuh proses uji materil (Judicial Review) ke
Mahkamah Konstitusi dan DPR siap merevisi undang-undang. Karena undangundang tersebut masih mungkin untuk terus diperbaiki. Dwi Ilhami : Pastinya dalam setiap pemecahan masalah yang sebelumnya telah disebutkan akan ada pengorbanan dan keuntungan yang timbul, adakah pengorbanan dan keuntungan dari proses tersebut? Ibu Yoyoh : pengorbanan atau konsekuensi yang bisa dikatakan yaitu, a) Dengan merevisi beberapa pasal, pengorbanan yang diterima oleh Pansus adalah merubah semua ketentuan awal draft RUU APP ini dibuat. Hal lain adalah ketika beberapa pasal yang sudah dirubah juga belum memuaskan beberapa pihak sehingga masih menimbulkan kontroversi ditambah lagi terdapat kalangan masyarakat yang mengancam akan keluar dari NKRI jika RUU tersebut tetap diundang-undangkan. Seperti yang dilakukan oleh masyarakat Papua maupun di Bali. Sedangkan keuntungan yang diperoleh adalah sedikit meredam polemik yang berkembang di masyarakat dengan menampung aspirasi dari berbagai masyarakat. b) Setelah mengesahkan RUU Pornografi menjadi Undang-Undang Pornografi No. 44 Tahun 2008 tidak membuat DPR merasa lega, justru problemnya setelah itu adalah DPR harus menghadapi Judicial Review yang diajukan oleh Komnas Perempuan pada tanggal 25 Maret 2010. Rencananya Farhat Abbas juga akan melakukan hal yang sama dalam menggugat kasus video milik Ariel Peterpan. Dwi Ilhami : Apakah pengorbanan tersebut berdampak sangat serius bagi proses yang sedang berlanjut pada waktu itu bu? Ibu Yoyoh : Jika dikatakan hingga berdampak serius tidak juga mungkin hal tersebut menjadi landasan atau tolak ukur oleh Pansus dalam memutuskan kebijakan. Dwi Ilhami : Bagaimana ibu menanggapi polemik yang sedemikian besarnya pada waktu itu terhadap RUU Pornografi? Ibu Yoyoh : Kami (Pansus) terutama saya dan pak Balkan selakuk ketua menanggapi hal ini sebagai sesuatu yang wajar karena setiap kebijakan pasti akan ada pro dan kontranya. Tetapi terbukti kita jalan terus hingga RUU ini disahkan. Dwi Ilhami
: Tekanan seperti apa yang ibu rasakan secara pribadi?
Ibu Yoyoh : tekanan yang terjadi lumayan cukup besar ya tetapi jika sampai mengganggu kehidupan pribadi sih tidak, semua masih dalam koridor yang wajar. Saya berusaha menempatkan diri saya sebagai orang yang siap kritik dan dukungan dari manapun, karena sekali lagi saya tidak bekerja sendiri tetapi bersama-sama untuk memberikan pencerahan secara tepat. Dwi Ilhami : Bagaimana mengakomodasi aspirasi masyarakat mengenai pro kontra RUU Pornografi? Dan pihak mana saja yang terlibat?
Ibu Yoyoh : Kami sudah bekerja maraton sejak September 2005. Diawali rapat pleno paripurna DPR, lalu keluarlah SK DPR No 10/IX/2005. Dalam lima bulan ini kami melakukan rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan 8 menteri, 62 lembaga, 19 tokoh dan 81 elemen masyarakat, termasuk kalangan LSM, organisasi agama, organisasi wanita, para seniman dan budayawan, pengelola bisnis jasa seperti karaoke dan pantipijat, dokter dan psikiater ahli dan para pejabat daerah. Mereka semua kami mintai pendapat dan pandangannya, sebagai masukan. Dwi Ilhami : Pada waktu itu antisipasi apa yang dilakukan oleh Pansus sendiri dalam menghadapi polemik? Ibu Yoyoh : Saya kira biasa saja, yang penting kita harus melakukan yang terbaik tetap berjalan sesuai prosedur dan menghargai setiapproses yang sudah berjalan,tidak perlu khawatir atau bahkan takut untuk menghadapi polemik. Dwi Ilhami
: Agenda Komisi VIII bersama Pansus seperti apa bu?
Ibu Yoyoh : agenda ini bisa dilihat dari laporan panja yang terlampir nanti, mungkin yang bisa dipaparkan, yaitu Tim Perumus merampungkan Naskah Akademik dan RUU Pornografi tanggal 13 Desember 2007. Panja RUU tentang Pornografi dibentuk pada akhir Masa Persidangan IV Tahun Persidangan 20072008, tepatnya pada tanggal 29 Mei 2008. Panja RUU tentang Pornografi bersama Pemerintah secara efektif baru melaksanakan tugasnya pada Awal Masa Persidangan I Tahun Persidangan 2008-2009. Panja telah melaksanakan Rapat pada tanggal 4 September 2008, 18 September 2008, 23 September 2008, 24 September 2008, 8 Oktober 2008, 16 Oktober 2008, 17 Oktober 2008, 22 Oktober 2008, 23 Oktober 2008, 27 Oktober 2008, dan 28 Oktober 2008. Ketentuan tentang pornoaksi kemudian dihilangkan dan RUU diganti menjadi RUU Pornografi. Panitia Khusus mengesahkannya pada tanggal 4 Juli 2007. Masa kerja Panitia Khusus berlaku hingga pertengahan (15-24) Oktober. Surat Presiden diajukan ke DPR pada tanggal 20 September 2007 dan rapat dengar pendapat pertama dengan pemerintah dilakukan pada 8 November 2007. Tanggal 23 September merupakan laporan tim teknis DPR dan pemerintah kepada Panitia Kerja (Panja). Daftar inventarisasi masalah (DIM) sandingan Pemerintah dan DPR tak dibahas dalam Pansus, terutama untuk pasal- pasal berbeda. Pembahasannya dilimpahkan ke Panitia Kerja (Panja) yang sifatnya tertutup dan berlangsung selama kurang lebih satu bulan (Juni 2008). Banyak rapat tidak memenuhi kuorum, artinya hanya diikuti kurang dari 50 persen anggota Pansus maupun panja. Tanggal 24 September hingga 8 Oktober 2008 adalah masa dimana Panja melaporkan hasil kerja kepada Pansus, serta penandatanganan draft RUU Pornografi antara DPR dan Pemerintah. Laporan Pansus kepada Badan Musyawarah (Bamus) DPR Tanggal dijadwalkan pada 9 Oktober 2008. Dalam Bamus ini kemudian akan ditetapkan tanggal Rapat Paripurna untuk mengesahkan UU Pornograf Dwi Ilhami
: Bagaimana dukungan massa terhadap Pansus bu?
Ibu Yoyoh : Alhamdulillah ya pada waktu itu kita bersyukur sekali karena memang banyak sebenarnya yang mendukung untuk segera mensahkan RUU
Pornografi, karena sekali lagi UU ini tidak sama sekali menyudutkan wanita tetapi melainkan memberi proteksi terhadap kaum wanita yang selalu menjadi korban. Maka sangat tidak benar jika ada LSM yang feminis mengira bahwa UU Pornografi sebagai legalitas menyudutkan perempuan. Kalau ditanya siapa saja pasti sudah terlihat ya...di telivisi maupun aksi-aksi yang terlihat pada waktu itu. Dwi Ilhami
: Peran media massa terhadap RUU Pornografi itu seperti apa bu?
Ibu Yoyoh : Sebenarnya, untuk mencegah peredaran pornografi ini mudah saja. Harus ada kesadaran tingkat tinggi dari kalangan pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat serta kalangan media massa. Media massa merupakan media penting dalam menyampaikan informasi terutama sebagai agen penyalur dari sebuah kebijakan ini. Dwi Ilhami : Bagaimana pula bu pesan dari partai politik, mengingat kebijakan itu sarat dengan kepentingan? Ibu Yoyoh : Pastinya dalam menentukan kebijakan perlu berbagai pertimbangan terutama partai politik yang selalu membawa pesan. Hal ini tercermin dari 2 fraksi yang melakukan WO kemudian disusul dari daerah mana saja yang menolak RUU Pornografi yang juga menjadi basis dari partai tersebut. Saya kira hal ini dapat terlihat jelas pesan-pesan dari partai politik yang secara tersirat. Dwi Ilhami : Ketika semua proses sudah dilakukan secara prosedur, namun secara praktis menghadapi kendala yang tidak sesuai dengan apa yang menjadi prioritas dari agenda Pansus. Yang menjadi pertanyaan bagaimana sikap pansus dalam menanggapi opini bahwa sebenarnya RUU Pornografi ini tidak sesuai prosedur dan yang penting menyelesaikan target saja? Ibu Yoyoh : Yang jelas kita sudah bekerja semaksimal mungkin, kalau memang mau di cek silahkan saja cek, saya pun masih punya laporan lengkapnya Pak Balkan juga punya bisa ditanyakan langsung, pada saat itu juga media selalu meliput. Segala prosedur yang ada sudah kami jalankan, jika memang ada yang berbicara seperti itu, coba diajukan saja ke Mahkamah Konstitusi jika memang itu tidak sesuai prosedur dan menyalahi aturan yang ada. Proses sudah dijalankan kalau hasilnya nanti maupun penilaiannya dirasa kurang, itu hal yang wajar tetapi sekali lagi tidak ada yang dipaksakan. Dwi Ilhami : Kapan kira-kira bu, sebuah kebijakan atau dalam hal ini RUU Pornografi ini sampai pada keputusan dan disahkan? Ibu Yoyoh : Dengan disahkannya RUU Pornografi ini, kami berharap perempuan lebih termuliakan. Dwi Ilhami : Kita tahu ya bu, pada saat pengesahan Fraksi PDI P dan PDS itu sempat WO. Kemudian bagaimana pansus pada waktu itu melakukan pendekatan terhadap 2 fraksi tersebut?
Ibu Yoyoh : meskipun 2 fraksi sempat WO tetapi UUD tersebutkan tetap disahkan karena ini bukan permainan menang kalah tetapi memang pemerintah menganggap UU ini baik dan mendukung untuk disahkan. Kalu berbeda pendapat itu wajar dan dalam menentukan sikap politik pun itu sah-sah saja jika merasa tidak setuju, itu semua sudah ada kode etiknya kok, jadi tidak masalah. Dwi Ilhami : Melihat sudah begitu besar polemik yang ditimbulkan hingga kini dari RUU Pornografi ini, kemudian bagaimana cara untuk meyakinkan masyarakat baik yang pro dan kontra bahwa UU Pornografi ini akan melahirkan kebaikan jika dilaksanakan? Ibu Yoyoh : Sosialisasi tetap dilakukan hingga kini kepada masyarakat di daerah, dan seperti itu menjadai otoritas Komisi VIII saat ini yang menangani langsung hal tersebut. Dwi Ilhami
: Sosialisasi terhadap UU Pornografi itu seperti apa bu?
Ibu Yoyoh : Terakhir yang saya ketahui, karena saya tidak tahu persis waktu saya sudah tidak menjadi Pansus dan tidak berada di Komisi VIII hal tersebut diserahkan langsung kepada Komisi VIII, UU Pornografi terus disosialisasikan di daerah-daerah, tidak hanya waktu itu komisi VIII tetapi bekerja sama juga dengan lembaga-lembaga terkait seperti Lembaga Sensor, MUI dan lainnya. Mendengarkan aspirasi dari berbagai kalangan masyarakat. Dwi Ilhami : Bagaimana pendapat ibu mengenai implementasi UU Pornografi saat ini terlebih dalam kasus Ariel dan Bapak Arifinto dari fraksi yang sama dengan ibu? Ibu Yoyoh : Wakil Ketua Komisi VIII DPR Yoyoh Yusroh mendesak pemerintah merealisasikan Undang Undang Pornografi sebagai upaya anstisipasi pencegahan pronograjl Dia menilai mencuatnya adegan mesum artis papan atas mirip Ariel dan Luna Maya itu membuktikan bahwa pornografi belum mendapat penanganan serius dari aparat. Terus terang kalangan DPR, khususnya komisi yang membidani lahirnya Undang-undang Pornografi itu tiga tahun yang lalu merasa prihatin atas kasus video porno Ariel dan Launa Maya itu. Kalau berbicara mengenai kasus Pak Arifinto, itu kita serahkan kepada DPP bagaimana mereka mengambil sikap, karena jujur saja hal ini bisa diketahui melanggar UU Pornografi atau tidak melihat hasil penyidikan polisi serta alat bukti yang ada, saya kira seperti itu. Interviewer
Narasumber
Dwi Ilhami
Hj. Yoyoh Yusroh, S.Pdi
Narasumber
: Bapak Ahmad Zainuddin, Lc.
Jabatan
: - Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Tahun 2009-2014 bidang Agama, Sosial dan Pemberdayaan Perempuan
Tanggal
: Senin-Selasa, 17 – 18 Januari 2011
Waktu dan Tempat
: 12.10 – 12.45 dan 11.30 – 12.00 WIB di Gedung Nusantara I Lt. 3 Ruang 30
Perihal
: Implementasi dari UU Pornografi dalam otoritas Komisi VIII yang menangani bidang Agama, Sosial, dan Pemberdayaan Perempuan.
Dwi Ilhami : Bagaimana sebenarnya UU Pornografi bisa masuk dalam Prolegnas dan disahkan pada tanggal 30 Oktober 2008? Pak Ahmad : Draf RUU APP adalah warisan dari Komisi VI DPR Periode 1999-2004. Pada Periode 2004-2009 awalnya RUU APP ini tidak tercantum dalam prolegnas, tapi kemudian masuk lewat Komisi VIII DPR, lalu dibahas di Badan Musyawarah DPR (Bamus). Bamus kemudian menyepakati RUU tersebut untuk dibawa ke Sidang paripurna DPR. Paripurna kemudian menerima usulan tersebut dan menugaskan panitia khusus (Pansus) untuk membahas. RUU APP ditetapkan oleh Rapat Paripurna DPR periode 1999-2004 sebagai RUU usul inisiatif DPR tanggal 23 September tahun 2003. Polemik keras dan aksi-aksi di masyarakat yang menyulut kekerasan antara pihak yang menolak dan menerima membuat DPR memutuskan untuk menarik dan menyusun kembali draf RUU APP. DPR periode 2005-2009 memasukkan RUU itu ke dalam Prioritas Prolegnas. RUU ini dibahas secara cepat. Pada tanggal 27 September 2005 terbentuk Panitia Khusus RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi.
Dwi Ilhami : Menurut Bapak, apakah UU Pornografi yang ada saat ini sudah memenuhi standar pornografi yang sesuai dengan apa yang dipahami oleh semua lapisan masyarakat? Pak Ahmad : Mungkin kalau di bilang sempurna sih belum ya...karena memang tidak ada aturan yang sempurna, apalagi UU Pornografi ini mengalami pro dan kontra. Pada saat pembahasan kan Pansus melalui tahapan RDPU yang meminta dari para ahli yang terkait masalah pornografi tersebut, sehingga secara logika standar pornografi itu pun seharusnya sudah mencapai kesepakatan dan standar yang benar sesuai bahasa bukan menurut pendapat seseorang atau kelompok. Saya tidak bisa memastikan iya atau tidak karena memang sudah ada bahasa yang baku tentang itu kan.. Dwi Ilhami : Bagaimana dengan implementasi UU Pornografi pak terutama terhadap kasus Ariel dan Bapak Arifinto? Pak Ahmad : Sampai saat ini sudah beberapa kasus yang saya ingat sudah mulai menerapkan UU Pornografi ini. Sebut saja para pelaku VCD bajakan yang tertangkap dan dikenakan UU Pornografi yang sudah banyak namun memang tidak tersorot oleh media, mungkin yang paling menonjol adalah ketika kasus asusila artis Ariel, Cut Tari dan Luna Maya dan memang yang terakhir kasus Bapak Arifinto. Seperti yang kita ketahui terdakwa kasus video porno Nazriel Irham alias Ariel divonis 3,5 tahun penjara atas dakwaannya dalam pasal 29 UU No 4/2008 tentang Pornografi yang merupakan sanksi pidana terhadap perbuatan seperti pada pasal 4 ayat 1 dengan tuduhan yang digunakan adalah memproduksi materi pornografi. Menurut beberapa pakar IT video itu jelas dikategorikan sebagai pornografi menurut Undang-Undang Pornografi ini. Apa yang dilakukan Arifinto itu pun sebenarnya belum mencukupi alat bukti jika ingin dipidanakan, penyidik masih meneliti lebih jauh bagaimana posisi kasus sebenarnya. Dalam kasus video porno, polisi harus menggunakan undang-undang yang saling terkait, yang terbaik biar kita serahkan saja kepada pihak penyidik. Dwi Ilhami Pornografi?
: Apakah Komisi VIII melakukan tugas evaluasi terhadap UU
Pak Ahmad : Ya...pasti kami selalu melakukan evaluasi karena kami di Komisi VIII pun punya tim pengawas dari setiap kebijakan yang dibuat. Saat ini tim pengawas kami bekerja sama dengan lembaga-lembaga terkait yakni lembaga sensor dan LSM. Interviewer
Dwi Ilhami
Narasumber
H. Ahmad Zainuddin, Lc
Pak Balkan Kaplale selaku Ketua Pansus RUU Pornografi
Suasana RDPU Komisi VIII bersama ORMAS Islam tahun 2008 mengenai RUU Pornografi
Gelar Rapat Komisi VIII dalam membahas RUU Fakir Miskin
Gelar Rapat Komisi VIII dalam membahas RUU Fakir Miskin
Laporan Pimpinan PANJA RUU Pornografi LAPORAN PIMPINAN PANITIA KERJA (PANJA) DISAMPAIKAN PADA RAPAT KERJA RUU TENTANG PORNOGRAFI SELASA, 28 OKTOBER 2008
Assalamu'alaikum Wr. Wb. Selamat malam dan salam sejahtera bagi Kita semua. -
Yang terhormat Yang terhormat Yang terhormat Yang terhormat Informasi RI; Yang terhormat
Saudara Saudara Saudara Saudara
Menteri Agama RI; Menteri Hukum dan HAM RI; Meneg Pemberdayaan Perempuan RI; Menteri Negara Komunikasi dan
Saudara Pimpinan dan Anggota Pansus DPR-RI;
Pertama-tama marilah kita mengucapkan rasa syukur, Alhmadulillah, bahwasanya pada hari ini kita semua dapat hadir dalam rangka penyampaian laporan hasil kerja Panja RUU tentang Pornografi. Semoga, semua usaha yang telah kita lakukan mendapatkan ridlo Allah Subhanahu Wata'ala. Amiin. Pada kesempatan ini kami menyampaikan terima kasih atas kesediaan Saudara Menteri dan para Anggota Tim Panja Pemerintah yang telah memenuhi undangan kami. Hadirin yang kami hormati, Panja RUU tentang Pornografi dibentuk pada akhir Masa Persidangan IV Tahun Persidangan 2007-2008, tepatnya pada tanggal 29 Mei 2008. Panja RUU tentang Pornografi bersama Pemerintah secara efektif baru melaksanakan tugasnya pada Awal Masa Persidangan I Tahun Persidangan 2008-2009. Panja telah melaksanakan Rapat pada tanggal 4 September 2008, 18 September 2008, 23 September 2008, 24 September 2008, 8 Oktober 2008, 16 Oktober 2008, 17 Oktober 2008, 22 Oktober 2008, 23 Oktober 2008, 27 Oktober 2008, dan 28 Oktober 2008. Sebagaimana dipahami bersama bahwa kerja Panja yaitu melakukan pembahasan terhadap DIM dari segi rumusan berdasarkan substansi yang diputuskan di tingkat Pansus (Panitia Khusus). Setelah pekerjaan pembahasan seluruh DIM selesai, dihasilkan Draf RUU hasil Panja yang selanjutnya Panja menyerahkan beberapa rumusan yang ditugaskan Panja untuk di lakukan sinkronisasi serta menyusun Penjelasan Umum dan Penjelasan Pasal demi Pasal diserahkan kepada Panja. Pada akhirnya Timus dan Timsin melakukan Rapat untuk melakukan sinkronisasi terhadap seluruh DIM sehingga menjadi suatu Rancangan Undang-Undang yang sistimatis berdasarkan sekuensi dan logika hukum. Hadirin yang kami hormati, Panja telah melakukan pembahasan DIM yaitu terhadap 218 DIM, yang dilakukan secara cermat dan bijak, karena beberapa substansi yang
telah disepakati sebelumnya masih diangap perlu dilakukan Rapat Dengar Pendapat Umum. Dalam hal ini Panja telah melakukan Rapat Dengar Pendapat Umum ke beberapa daerah, seperti Provinsi Kalimantan Selatan, Provinsi Sulawesi Selatan, Provinsi Maluku Utara dan DKI Jakarta. Selanjutnya, Panja masih memandang perlu melakukan RDPU ke Provinsi Bali, Sulawesi Utara dan Daerah Istimewa Yogyakarta guna penyempurnaan RUU ini. Hadirin yang kami hormati, Secara keseluruhan DIM yang sudah dibahas dalam Rapat Panja dan Timsin DPR-RI dan Pemerintah sebanyak 218 DIM. Panja telah melakukan pembahasan sehingga menjadi draf RUU berdasarkan 218 DIM yang sudah disahkan. Selanjutnya, Panja melakukan pembahasan dengan melakukan klasifikasi berdasarkan kategorisasi, serta disusun menjadi RUU lengkap. Secara sistematika, RUU tentang Pornografi konsideran, 8 bab, 2 bagian, dan 45 pasal.
terdiri
dari
judul,
Adapun Rapat Pansus pada malam hari ini merupakan kelanjutan pembahasan Draf RUU pada tanggal 17 Oktober 2008 dan forum loby Panja pada tanggal 27 Oktober 2008 yang mengamanatkan beberapa pasal untuk dibahas dalam Rapat Pansus. Dalam Rapat Panja tanggal 17 Oktober 2008 telah menghasilkan beberapa kesepakatan yaitu: 1. Rapat Panja menyepakati bahwa ada 2 (dua) alternatif definisi tentang pornografi yang dilaporkan dalam Rapat Pansus, yaitu sebagai berikut: a. Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.(definisi ini disepakati Panja yaitu F-PG, F-PP, F-PAN, F-PKB, F-PKS, F-PD, F-BPD, FPBR, dan Tim Panja Pemerintah). b. Catatan Rapat Panja tanggal 17 Oktober 2008 yaitu F-PDIP dan F-PDS, berpendapat bahwa frasa "gerak tubuh" dihapus, frasa "media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum" dirubah menjadi "media komunikasi dan dipertunjukkan di muka umum", sehingga rumusan definisi pornografi adalah sebagai berikut: Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan dipertunjukkan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat. 2.
Rapat Panja menyepakati Pasal 14 didrop dan selanjutnya dimasukkan ke dalam Penjelasan Umum Alinea 5 angka 2 dengan penyempurnaan rumusan sebagai berikut: "Menghormati, melindungi, dan melestarikan nilai seni dan budaya, adat istiadat, dan ritual keagamaan masyarakat Indonesia yang majemuk." Terkait dengan Pasal 14 tersebut, Catatan Rapat Panja
tanggal 17 Oktober 2008 untuk dilaporkan dalam Rapat Pansus yaitu : a. Rapat Panja berpendapat perlu adanya perlindungan bagi seni dan budaya, adat istiadat dan ritual keagamaan. Untuk itu Panja berpendapat perlindungan tersebut dimasukkan ke dalam Penjelasan Umum karena tidak lazim sebuah undang-undang memuat pasal pengecualian dan tentunya seni dan budaya, adat istiadat dan ritual keagamaan bukanlah pornografi. b. F-PDIP dan F-PDS berpendapat dan berpandangan bahwa perlindungan bagi seni dan budaya, adat istiadat dan ritual keagamaan diatur dalam Bab Ketentuan Lain-Lain dan Pasal tersendiri. Selanjutnya dalam Rapat Panja tanggal 22 Oktober 2008 menghasilkan beberapa kesepakatan sebagai berikut : 1. Menyepakati revisi Pasal 4 ayat (1) dengan menambah kalimat "secara ekplisit" setelah kata "yang" dan sebelum kata "memuat". Dengan demikian rumusan Pasal 4 ayat (1) menjadi sebagai berikut : Pasal 4 1) Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat: a. persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang; b. kekerasan seksual; c. masturbasi atau onani; d. ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; atau e. alat kelamin. (2). Menyepakati Rumusan sanksi pidana dalam Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38, dan Pasal 39 dirumuskan secara alternatifkumulatif yaitu menggunakan frasa dan/atau. Selanjutnya Rapat Panja tanggal 23 Oktober 2008 menghasilkan kesepakatan beberapa hal sebagai berikut : 2. menyepakati rumusan penjelasan Pasal 26 ayat (1) yang mengakomodir masukan hasil Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yaitu perlu mempertegas bahwa unsur penyidik yang dimaksud dalam Pasal tersebut adalah POLRI. Dengan demikian rumusan penjelasan Pasal 26 ayat (1) menjadi sebagai berikut : "Yang dimaksud dengan "penyidik" adalah penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia." 3. menyepakati ketentuan sanksi pidana dalam Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38, dan Pasal 39 dirumuskan secara alternatif-kumulatif yaitu menggunakan frasa dan/atau. 3. menyepakati perubahan rumusan Pasal 40 ayat (7) menjadi sebagai berikut: pornografi yang dilakukan korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, dijatuhkan pula pidana denda terhadap korporasi dengan ketentuan maksimum pidana dikalikan 3 (tiga)dari pidana denda yang ditentukan dalam setiap pasal dalam Bab ini."
Selanjutnya Rapat Panja tanggal 27 Oktober 2008 menghasilkan kesepakatan sebagai berikut : 1. Rapat Panja menyepakati untuk lebih mempertegas bahwa tindak pidana pornografi adalah kejahatan yang diletakkan setelah Pasal 39 yaitu dengan rumusan sebagai berikut : Pasal..... Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38, dan Pasal 39 adalah kejahatan. 2. Rapat Panja menyepakati untuk membentuk gugus tugas dengan Peraturan Presiden, yang ketentuannya diatur dalam pasal baru Bab VIII mengenai "Ketentuan Penutup" dengan rumusan sebagai berikut: Pasal ..... Untuk meningkatkan koordinasi pelaksanaan Undang-Undang ini dibentuk gugus tugas antar kementerian, departemen, dan lembaga terkait yang ketentuannya diatur lebih lanjut dalam Peraturan Presiden. 3. Rapat Panja dan Forum Loby Panja menyepakati beberapa hal terkait dengan Pasal 4, yaitu: a. menyepakati rumusan penjelasan Pasal 4, yaitu: yang dimaksud dengan "membuat" adalah tidak termasuk untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri. b. menyepakati penambahan huruf f pada Pasal 4 ayat (1), yaitu frasa "pornografi anak". Sehingga, frasa "atau" yang semula terdapat pada akhir kalimat huruf d, disesuaikan dan dipindahkan pada huruf e yaitu setelah kata "alat kelamin". Rumusan Pasal 4 ayat (1) menjadi sebagai berikut: Pasal 4 (1) Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang memuat: a. persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang; b. kekerasan seksual; c. masturbasi atau onani; d. ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; atau e. alat kelamin; atau f. pornografi anak. c. Penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf f, yaitu : Pornografi anak adalah segala bentuk pornografi yang melibatkan anak atau yang menampilkan orang dewasa yang bersikap atau berperan seperti anak. 4. Rapat Panja menyepakati rumusan Penjelasan Pasal 6 yaitu : Larangan "memiliki" dan "menyimpan" adalah tidak termasuk untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri. 5. Rapat Panja menyepakati rumusan Penjelasan Pasal 8, seperti pada rumusan di bawah ini, dengan catatan akan menanyakan pada ahli bahasa mengenai frasa "ditipu daya". Penjelasan Pasal 8: Ketentuan ini dimaksudkan bahwa jika pelaku dipaksa dengan ancaman atau diancam atau di bawah kekuasaan atau tekanan orang
lain, dibujuk atau ditipu daya, dibohongi oleh orang lain, maka pelaku tidak dipidana. 6. Rapat Panja menyepakati Pasal 9 seperti rumusan awal, tanpa penambahan penjelasan pasal, karena secara substansial telah termuat di dalam Penjelasan Pasal 4. Pasal 9 Setiap orang dilarang menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang mengandung muatan pornografi. 7. Rapat Panja menyepakati rumusan Penjelasan Pasal 22 ayat (2) yaitu: Yang dimaksud dengan peran serta masyarakat dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan adalah untuk mencegah masyarakat melakukan tindakan main hakim sendiri, tindakan kekerasan, sweeping atau tindakan melawan hukum lainnya. Catatan Rapat Panja (sebelum forum loby Panja): F-PDIP berpendapat agar Pasal 21 dan 23 dihapuskan dan rumusan Penjelasan Pasal 22 ayat (2) dijadikan norma pasal. Selanjutnya dalam Rapat Panja tanggal 27 Oktober 2008, Panja membentuk forum loby yang dihadiri oleh perwakilan dari F-PG, FPDIP, F-PKS, F-PPP, F-BPD, F-PAN, F-PD, dan F-KB, untuk membahas Pasal 1, Pasal 4, Pasal 14, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, dan Bab Ketentuan Pidana. Forum loby menyepakati beberapa hal sebagai berikut : 1. Mengenai definisi "pornografi" dalam Pasal 1 angka 1 sebagai berikut : a. Frasa "pertunjukan di muka umum" tetap dimasukan dalam rumusan pengertian pornografi sehingga pengertian pornografi adalah sebagai berikut : Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat. (Disepakati oleh seluruh perwakilan fraksi yang hadir yaitu F-PG, F-PKS, FPPP, F-BPD, F-PAN, F-PD, dan F-KB) b. Catatan forum loby Panja bahwa F-PDIP belum menyepakati mengenai frasa "gerak tubuh" sehingga perlu dibahas dalam Rapat PANSUS. 2. Mengenai ketentuan Pasal 14 forum loby Panja : a. menyepakati pentingnya ketentuan menghormati, melindungi, dan melestarikan nilai seni dan budaya, adat istiadat, dan ritual keagamaan. Ketentuan mengenai substansi ini diletakkan dalam Pasal 3 setelah huruf a (menjadi huruf b baru), dengan rumusan sebagai berikut : Menghormati, melindungi, dan melestarikan nilai seni dan budaya, adat istiadat, dan ritual keagamaan. b. menyepakati frasa "Pengaturan Pornografi" dalam Pasal 3 diubah menjadi frasa "Undang-Undang ini". c. menyepakati rumusan penjelasan Pasal 3 huruf b baru sebagai upaya untuk mengakomodir substansi mengenai perlindungan terhadap seni dan budaya, yang semula sebelum di drop terdapat dalam Pasal 14 yaitu sebagai berikut : Penjelasan Pasal 3 huruf b baru : Perlindungan terhadap seni dan budaya yang termasuk cagar budaya diatur berdasarkan undang-undang yang berlaku. Dengan demikian rumusan Pasal 3 menjadi sebagai berikut :
a.
b. c. d. e.
Pasal 3 Undang-Undang ini bertujuan: mewujudkan dan memelihara tatanan kehidupan masyarakat yang beretika, berkepribadian luhur, menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, serta menghormati harkat dan martabat kemanusiaan; Menghormati, melindungi, dan melestarikan nilai seni dan budaya, adat istiadat, dan ritual keagamaan. memberikan pembinaan dan pendidikan terhadap moral dan akhlak masyarakat; memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi warga negara dari pornografi, terutama bagi anak dan perempuan; dan mencegah berkembangnya pornografi dan komersialisasi seks di masyarakat.
Sedangkan penjelasan Pasal 3 huruf b baru adalah sebagai berikut : Perlindungan terhadap seni dan budaya yang termasuk cagar budaya diatur berdasarkan undang-undang yang berlaku. 3. Menyepakati substansi rumusan dalam Bab VII tentang Ketentuan Pidana yaitu dalam Pasal 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37, dan Pasal 39, sebagai berikut; a. Ketentuan sanksi pidana maksimal sebagaimana draf awal. b. Ketentuan sanksi pidana penjara minimal adalah 6 bulan kecuali pasal 34 (sebagaimana draf awal, yaitu minimal 2 tahun), Pasal 36 minimal 1 tahun), dan Pasal 39 (minimal 1 tahun). dengan uraian sebagai berikut: - Pasal 30: pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun diubah menjadi paling singkat 6 (enam) bulan; - Pasal 34: pidana penjara paling singkat, tetap seperti rumusan awal, yaitu 2 (dua) tahun; Pasal 36: pidana penjara paling singkat, tetap seperti rumusan awal, yaitu 1 (satu) tahun; - Pasal 39: pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan diubah menjadi paling singkat 1 (satu) tahun. 4. menyepakati frasa "Pengaturan Pornografi" dalam Pasal 2 diubah menjadi frasa "Undang-Undang ini". Dengan demikian rumusan Pasal 2 menjadi sebagai berikut : Pasal 2 Undang-Undang ini berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, penghormatan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan, kebhinnekaan, kepastian hukum, nondiskriminasi, dan perlindungan terhadap warga negara. Hadirin yang kami hormati, Selanjutnya, di dalam Rapat Panja pada tanggal 28 Oktober 2008 FPDIP menjelaskan mengenai keberatan F-PDIP terhadap Pasal 1 mengenai frasa "gerak tubuh" dalam rumusan pengertian pornografi serta Pasal 21 dan Pasal 23 tentang "peran serta masyarakat". Sehingga, sesuai dengan mekanisme dan tata tertib Dewan Perwakilan Rakyat, pembahasan mengenai hal-hal tersebut akan dilanjutkan dalam Rapat Pansus pada malam hari ini. Selain itu, Rapat Panja siang hari ini juga menyepakati dua hal, sebagai berikut:
a. Rumusan Penjelasan Pasal 8: Ketentuan ini dimaksudkan bahwa jika pelaku dipaksa dengan ancaman atau diancam atau di bawah kekuasaan atau tekanan orang lain, dibujuk atau ditipu daya atau dibohongi oleh orang lain, pelaku tidak dipidana. Perubahan pada Penjelasan Pasal 22 ayat (2), dengan menghilangkan frasa "untuk mencegah" dan diganti dengan frasa "agar", kemudian ditambahkan frasa "tidak" setelah frasa "masyarakat". Dengan demikian rumusan penjelasan Pasal 22 ayat (2) menjadi sebagai berikut: Yang dimaksud dengan peran serta masyarakat dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan adalah agar masyarakat tidak melakukan tindakan main hakim sendiri, tindakan kekerasan, sweeping atau tindakan melawan hukum lainnya. Hadirin yang kami hormati, Akhirnya, perkenankan kami atas nama Pimpinan Panja memberikan penghargaan yang setinggi-tingginya pada Pimpinan dan Anggota Panja DPR-RI dan Pemerintah yang telah menyelesaikan tugas dengan sebaikbaiknya. Berkat keseriusan, keihlasan dan partisipasi aktif Anggota Panja DPR-RI dan Pemerintah inilah, kita berhasil menyajikan Draft RUU tentang Pornografi beserta Penjelasannya kepada Panja DPR-RI dan Pemerintah. Apa yang dikerjakan selama ini semata-mata kita dedikasikan bagi kepentingan masyarakat, bangsa dan negara. Semoga, amal kita semua diridloi Allah Subhanahu Wata'ala. Amiin. Demikian laporan Panja RUU tentang Pornografi disampaikan. Pembahasan lebih lanjut, kami serahkan sepenuhnya kepada Pansus RUU tentang Pornografi untuk memutuskannya. Wassalamualaikum Wr. Wb.
Jakarta, 28 Oktober 2008 PIMPINAN PANJA RUU TENTANG PORNOGRAFI,
Dra. H. Yoyoh Yusroh
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dengan menjunjung tinggi nilai-nilai moral, etika, akhlak mulia, dan kepribadian luhur bangsa, beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, menghormati kebinekaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta melindungi harkat dan martabat setiap warga negara; b. bahwa pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi semakin berkembang luas di tengah masyarakat yang mengancam kehidupan dan tatanan sosial masyarakat Indonesia; c. bahwa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pornografi yang ada saat ini belum dapat memenuhi kebutuhan hukum serta perkembangan masyarakat; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang Pornografi; Mengingat: Pasal 20 Pasal 21, Pasal 28B ayat (2), Pasal 28J ayat (2), dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PORNOGRAFI. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat. 2. Jasa pornografi adalah segala jenis layanan pornografi yang disediakan oleh orang perseorangan atau korporasi melalui pertunjukan langsung, televisi kabel, televisi teresterial, radio, telepon, internet, dan komunikasi elektronik lainnya serta surat kabar, majalah, dan barang cetakan lainnya. 3. Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.
4. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun. 5. Pemerintah adalah Pemerintah Pusat yang dipimpin oleh Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 6. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Pasal 2 Pengaturan pornografi berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, penghormatan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan, kebinekaan, kepastian hukum, nondiskriminasi, dan perlindungan terhadap warga negara. Pasal 3 Undang-Undang ini bertujuan: a. mewujudkan dan memelihara tatanan kehidupan masyarakat yang beretika, berkepribadian luhur, menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, serta menghormati harkat dan martabat kemanusiaan; b. menghormati, melindungi, dan melestarikan nilai seni dan budaya, adat istiadat, dan ritual keagamaan masyarakat Indonesia yang majemuk; c. memberikan pembinaan dan pendidikan terhadap moral dan akhlak masyarakat; d. memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi warga negara dari pornografi, terutama bagi anak dan perempuan; dan e. mencegah berkembangnya pornografi dan komersialisasi seks di masyarakat. BAB II LARANGAN DAN PEMBATASAN Pasal 4 (1) Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat: a. persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang; b. kekerasan seksual; c. masturbasi atau onani; d. ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; e. alat kelamin; atau f. pornografi anak. (2) Setiap orang dilarang menyediakan jasa pornografi yang: a. menyajikan secara eksplisit ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; b. menyajikan secara eksplisit alat kelamin; c. mengeksploitasi atau memamerkan aktivitas seksual; atau d. menawarkan atau mengiklankan, baik langsung maupun tidak langsung layanan seksual. Pasal 5 Setiap orang dilarang meminjamkan atau mengunduh pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1). Pasal 6
Setiap orang dilarang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), kecuali yang diberi kewenangan oleh peraturan perundang-undangan. Pasal 7 Setiap orang dilarang mendanai atau memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4. Pasal 8 Setiap orang dilarang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi. Pasal 9 Setiap orang dilarang menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang mengandung muatan pornografi. Pasal 10 Setiap orang dilarang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya. Pasal 11 Setiap orang dilarang melibatkan anak dalam kegiatan dan/atau sebagai objek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 8, Pasal 9, atau Pasal 10. Pasal 12 Setiap orang dilarang mengajak, membujuk, memanfaatkan, membiarkan, menyalahgunakan kekuasaan atau memaksa anak dalam menggunakan produk atau jasa pornografi. Pasal 13 (1) Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi yang memuat selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) wajib mendasarkan pada peraturan perundang-undangan. (2) Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan di tempat dan dengan cara khusus. Pasal 14 Ketentuan mengenai syarat dan tata cara perizinan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan produk pornografi untuk tujuan dan kepentingan pendidikan dan pelayanan kesehatan dan pelaksanaan ketentuan Pasal 13 diatur dengan Peraturan Pemerintah. BAB III PERLINDUNGAN ANAK Pasal 15 Setiap orang berkewajiban melindungi anak dari pengaruh pornografi dan mencegah akses anak terhadap informasi pornografi. Pasal 16
(1) Pemerintah, lembaga sosial, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, keluarga, dan/atau masyarakat berkewajiban memberikan pembinaan, pendampingan, serta pemulihan sosial, kesehatan fisik dan mental bagi setiap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan, pendampingan, serta pemulihan sosial, kesehatan fisik dan mental sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. BAB IV PENCEGAHAN Bagian Kesatu Peran Pemerintah Pasal 17 Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melakukan pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi. Pasal 18 Untuk melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Pemerintah berwenang: a. melakukan pemutusan jaringan pembuatan dan penyebarluasan produk pornografi atau jasa pornografi, termasuk pemblokiran pornografi melalui internet; b. melakukan pengawasan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi; dan c. melakukan kerja sama dan koordinasi dengan berbagai pihak, baik dari dalam maupun dari luar negeri, dalam pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi. Pasal 19 Untuk melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Pemerintah Daerah berwenang: a. melakukan pemutusan jaringan pembuatan dan penyebarluasan produk pornografi atau jasa pornografi, termasuk pemblokiran pornografi melalui internet di wilayahnya; b. melakukan pengawasan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi di wilayahnya; c. melakukan kerja sama dan koordinasi dengan berbagai pihak dalam pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi di wilayahnya; dan d. mengembangkan sistem komunikasi, informasi, dan edukasi dalam rangka pencegahan pornografi di wilayahnya. Bagian Kedua Peran Serta Masyarakat Pasal 20 Masyarakat dapat berperan serta dalam melakukan pencegahan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi. Pasal 21 (1) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dapat dilakukan dengan cara: a. melaporkan pelanggaran Undang-Undang ini; b. melakukan gugatan perwakilan ke pengadilan; c. melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan yang mengatur pornografi; dan d. melakukan pembinaan kepada masyarakat terhadap bahaya dan dampak pornografi.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 22 Masyarakat yang melaporkan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf a berhak mendapat perlindungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB V PENYIDIKAN, PENUNTUTAN, DAN PEMERIKSAAN DI SIDANG PENGADILAN Pasal 23 Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap pelanggaran pornografi dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini. Pasal 24 Di samping alat bukti sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana, termasuk juga alat bukti dalam perkara tindak pidana meliputi tetapi tidak terbatas pada: a. barang yang memuat tulisan atau gambar dalam bentuk cetakan atau bukan cetakan, baik elektronik, optik, maupun bentuk penyimpanan data lainnya; dan b. data yang tersimpan dalam jaringan internet dan saluran komunikasi lainnya. Pasal 25 (1) Untuk kepentingan penyidikan, penyidik berwenang membuka akses, memeriksa, dan membuat salinan data elektronik yang tersimpan dalam fail komputer, jaringan internet, media optik, serta bentuk penyimpanan data elektronik lainnya. (2) Untuk kepentingan penyidikan, pemilik data, penyimpan data, atau penyedia jasa layanan elektronik berkewajiban menyerahkan dan/atau membuka data elektronik yang diminta penyidik. (3) Pemilik data, penyimpan data, atau penyedia jasa layanan elektronik setelah menyerahkan dan/atau membuka data elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berhak menerima tanda terima penyerahan atau berita acara pembukaan data elektronik dari penyidik. Pasal 26 Penyidik membuat berita acara tentang tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dan mengirim turunan berita acara tersebut kepada pemilik data, penyimpan data, atau penyedia jasa layanan komunikasi di tempat data tersebut didapatkan. Pasal 27 (1) Data elektronik yang ada hubungannya dengan perkara yang sedang diperiksa dilampirkan dalam berkas perkara. (2) Data elektronik yang ada hubungannya dengan perkara yang sedang diperiksa dapat dimusnahkan atau dihapus. (3) Penyidik, penuntut umum, dan para pejabat pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib merahasiakan dengan sungguh-sungguh atas kekuatan sumpah jabatan, baik isi maupun informasi data elektronik yang dimusnahkan atau dihapus.
BAB VI PEMUSNAHAN Pasal 28 (1) Pemusnahan dilakukan terhadap produk pornografi hasil perampasan. (2) Pemusnahan produk pornografi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh penuntut umum dengan membuat berita acara yang sekurang-kurangnya memuat: a. nama media cetak dan/atau media elektronik yang menyebarluaskan pornografi; b. nama, jenis, dan jumlah barang yang dimusnahkan; c. hari, tanggal, bulan, dan tahun pemusnahan; dan d. keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai barang yang dimusnahkan. BAB VII KETENTUAN PIDANA Pasal 29 Setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah). Pasal 30 Setiap orang yang menyediakan jasa pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Pasal 31 Setiap orang yang meminjamkan atau mengunduh pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). Pasal 32 Setiap orang yang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). Pasal 33 Setiap orang yang mendanai atau memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp7.500.000.000,00 (tujuh miliar lima ratus juta rupiah). Pasal 34 Setiap orang yang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dipidana dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Pasal 35 Setiap orang yang menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang mengandung muatan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah). Pasal 36 Setiap orang yang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Pasal 37 Setiap orang yang melibatkan anak dalam kegiatan dan/atau sebagai objek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dipidana dengan pidana yang sama dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 34, Pasal 35, dan Pasal 36, ditambah 1/3 (sepertiga) dari maksimum ancaman pidananya. Pasal 38 Setiap orang yang mengajak, membujuk, memanfaatkan, membiarkan, menyalahgunakan kekuasaan, atau memaksa anak dalam menggunakan produk atau jasa pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Pasal 39 Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, dan Pasal 38 adalah kejahatan. Pasal 40 (1) Dalam hal tindak pidana pornografi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya. (2) Tindak pidana pornografi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang, baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut, baik sendiri maupun bersama-sama. (3) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi, korporasi tersebut diwakili oleh pengurus. (4) Pengurus yang mewakili korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diwakili oleh orang lain. (5) Hakim dapat memerintahkan pengurus korporasi supaya pengurus korporasi menghadap sendiri di pengadilan dan dapat pula memerintahkan pengurus korporasi supaya pengurus tersebut dibawa ke sidang pengadilan. (6) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor.
(7) Dalam hal tindak pidana pornografi yang dilakukan korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, dijatuhkan pula pidana denda terhadap korporasi dengan ketentuan maksimum pidana dikalikan 3 (tiga) dari pidana denda yang ditentukan dalam setiap pasal dalam Bab ini. Pasal 41 Selain pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (7), korporasi dapat dikenai pidana tambahan berupa: a. pembekuan izin usaha; b. pencabutan izin usaha; c. perampasan kekayaan hasil tindak pidana; dan d. pencabutan status badan hukum. BAB VIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 42 Untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan Undang-Undang ini, dibentuk gugus tugas antardepartemen, kementerian, dan lembaga terkait yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Presiden. Pasal 43 Pada saat Undang-Undang ini berlaku, dalam waktu paling lama 1 (satu) bulan setiap orang yang memiliki atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) harus memusnahkan sendiri atau menyerahkan kepada pihak yang berwajib untuk dimusnahkan. Pasal 44 Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang mengatur atau berkaitan dengan tindak pidana pornografi dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini. Pasal 45 Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 26 November 2008 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 26 November 2008 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 181.
PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI I. UMUM Negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan menjunjung tinggi nilai-nilai moral, etika, akhlak mulia, dan kepribadian luhur bangsa, beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, menghormati kebinekaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta melindungi harkat dan martabat setiap warga negara. Globalisasi dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya teknologi informasi dan komunikasi, telah memberikan andil terhadap meningkatnya pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi yang memberikan pengaruh buruk terhadap moral dan kepribadian luhur bangsa Indonesia sehingga mengancam kehidupan dan tatanan sosial masyarakat Indonesia. Berkembangluasnya pornografi di tengah masyarakat juga mengakibatkan meningkatnya tindak asusila dan pencabulan. Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia telah mengisyaratkan melalui Ketetapan MPR RI Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa mengenai ancaman yang serius terhadap persatuan dan kesatuan bangsa dan terjadinya kemunduran dalam pelaksanaan etika kehidupan berbangsa, yang salah satunya disebabkan oleh meningkatnya tindakan asusila, pencabulan, prostitusi, dan media pornografi, sehingga diperlukan upaya yang sungguh-sungguh untuk mendorong penguatan kembali etika dan moral masyarakat Indonesia. Pengaturan pornografi yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang ada, seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pers, UndangUndang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak kurang memadai dan belum memenuhi kebutuhan hukum serta perkembangan masyarakat sehingga perlu dibuat undang-undang baru yang secara khusus mengatur pornografi. Pengaturan pornografi berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, penghormatan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan, kebinekaan, kepastian hukum, nondiskriminasi, dan perlindungan terhadap warga negara. Hal tersebut berarti bahwa ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini adalah: 1. menjunjung tinggi nilai-nilai moral yang bersumber pada ajaran agama; 2. memberikan ketentuan yang sejelas-jelasnya tentang batasan dan larangan yang harus dipatuhi oleh setiap warga negara serta menentukan jenis sanksi bagi yang melanggarnya; dan 3. melindungi setiap warga negara, khususnya perempuan, anak, dan generasi muda dari pengaruh buruk dan korban pornografi. Pengaturan pornografi dalam Undang-Undang ini meliputi (1) pelarangan dan pembatasan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi; (2) perlindungan anak dari pengaruh pornografi; dan (3) pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi, termasuk peran serta masyarakat dalam pencegahan.
Undang-Undang ini menetapkan secara tegas tentang bentuk hukuman dari pelanggaran pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi yang disesuaikan dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan, yakni berat, sedang, dan ringan, serta memberikan pemberatan terhadap perbuatan pidana yang melibatkan anak. Di samping itu, pemberatan juga diberikan terhadap pelaku tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi dengan melipatgandakan sanksi pokok serta pemberian hukuman tambahan. Untuk memberikan perlindungan terhadap korban pornografi, Undang-Undang ini mewajibkan kepada semua pihak, dalam hal ini negara, lembaga sosial, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, keluarga, dan/atau masyarakat untuk memberikan pembinaan, pendampingan, pemulihan sosial, kesehatan fisik dan mental bagi setiap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi. Berdasarkan pemikiran tersebut, Undang-Undang tentang Pornografi diatur secara komprehensif dalam rangka mewujudkan dan memelihara tatanan kehidupan masyarakat Indonesia yang beretika, berkepribadian luhur, dan menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, serta menghormati harkat dan martabat setiap warga negara. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Perlindungan terhadap seni dan budaya yang termasuk cagar budaya diatur berdasarkan undang-undang yang berlaku. Pasal 4 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "membuat" adalah tidak termasuk untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri. Huruf a Yang dimaksud dengan "persenggamaan yang menyimpang" antara lain persenggamaan atau aktivitas seksual lainnya dengan mayat, binatang, oral seks, anal seks, lesbian, dan homoseksual. Huruf b Yang dimaksud dengan "kekerasan seksual" antara lain persenggamaan yang didahului dengan tindakan kekerasan (penganiayaan) atau mencabuli dengan paksaan atau pemerkosaan. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan "mengesankan ketelanjangan" adalah suatu kondisi seseorang yang menggunakan penutup tubuh, tetapi masih menampakkan alat kelamin secara eksplisit. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Pornografi anak adalah segala bentuk pornografi yang melibatkan anak atau yang melibatkan orang dewasa yang berperan atau bersikap seperti anak. Ayat (2) Cukup jelas.
Pasal 5 Yang dimaksud dengan "mengunduh" (download) adalah mengambil fail dari jaringan internet atau jaringan komunikasi lainnya. Pasal 6 Larangan "memiliki atau menyimpan" tidak termasuk untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri. Yang dimaksud dengan "yang diberi kewenangan oleh perundang-undangan" misalnya lembaga yang diberi kewenangan menyensor film, lembaga yang mengawasi penyiaran, lembaga penegak hukum, lembaga pelayanan kesehatan atau terapi kesehatan seksual, dan lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan tersebut termasuk pula perpustakaan, laboratorium, dan sarana pendidikan lainnya. Kegiatan memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan barang pornografi dalam ketentuan ini hanya dapat digunakan di tempat atau di lokasi yang disediakan untuk tujuan lembaga yang dimaksud. Pasal 7 Cukup jelas Pasal 8 Ketentuan ini dimaksudkan bahwa jika pelaku dipaksa dengan ancaman atau diancam atau di bawah kekuasaan atau tekanan orang lain, dibujuk atau ditipu daya, atau dibohongi oleh orang lain, pelaku tidak dipidana. Pasal 9 Cukup jelas Pasal 10 Yang dimaksud dengan "pornografi lainnya" antara lain kekerasan seksual, masturbasi, atau onani. Pasal 11 Cukup jelas Pasal 12 Cukup jelas Pasal 13 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "pembuatan" termasuk memproduksi, membuat, memperbanyak, atau menggandakan. Yang dimaksud dengan "penyebarluasan" termasuk menyebarluaskan, menyiarkan, mengunduh, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, meminjamkan, atau menyediakan. Yang dimaksud dengan "penggunaan" termasuk memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan. Frasa "selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)" dalam ketentuan ini misalnya majalah yang memuat model berpakaian bikini, baju renang, dan pakaian olahraga pantai, yang digunakan sesuai dengan konteksnya. Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "di tempat dan dengan cara khusus" misalnya penempatan yang tidak dapat dijangkau oleh anak-anak atau pengemasan yang tidak menampilkan atau menggambarkan pornografi. Pasal 14 Cukup jelas Pasal 15 Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah sedini mungkin pengaruh pornografi terhadap anak dan ketentuan ini menegaskan kembali terkait dengan perlindungan terhadap anak yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak. Pasal 16 Cukup jelas Pasal 17 Cukup jelas Pasal 18 Huruf a Yang dimaksud dengan "pemblokiran pornografi melalui internet" adalah pemblokiran barang pornografi atau penyediaan jasa pornografi. Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas. Pasal 19 Huruf a Yang dimaksud dengan "pemblokiran pornografi melalui internet" adalah pemblokiran barang pornografi atau penyediaan jasa pornografi. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "peran serta masyarakat dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan" adalah agar masyarakat tidak melakukan tindakan main hakim sendiri, tindakan kekerasan, razia (sweeping), atau tindakan melawan hukum lainnya. Ayat (2) Cukup jelas.
Pasal 22 Cukup jelas Pasal 23 Cukup jelas Pasal 24 Cukup jelas Pasal 25 Yang dimaksud dengan "penyidik" adalah penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pasal 26 Cukup jelas Pasal 27 Cukup jelas Pasal 28 Cukup jelas Pasal 29 Cukup jelas Pasal 30 Cukup jelas Pasal 31 Cukup jelas Pasal 32 Cukup jelas Pasal 33 Cukup jelas Pasal 34 Cukup jelas Pasal 35 Cukup jelas Pasal 36 Cukup jelas
Pasal 37 Cukup jelas Pasal 38 Cukup jelas Pasal 39 Cukup jelas Pasal 40 Cukup jelas Pasal 41 Cukup jelas Pasal 42 Cukup jelas Pasal 43 Cukup jelas Pasal 44 Cukup jelas Pasal 45 Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4928.