STUDI OPTIMASI PROSES BIOSOLUBILISASI BATUBARA OLEH KAPANG HASIL ISOLASI DARI PERTAMBANGAN BATUBARA SUMATERA SELATAN BERDASARKAN KARAKTERISTIK ENZIM EKSTRASELULER DAN PRODUK YANG DIHASILKAN
HIDAYATI 106096003228
PROGRAM STUDI KIMIA FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2011 M / 1432 H
STUDI OPTIMASI PROSES BIOSOLUBILISASI BATUBARA OLEH KAPANG HASIL ISAOLASI DARI PERTAMBANGAN BATUBARA SUMATERA SELATAN BERDASARKAN KARAKTERISTIK ENZIM EKSTRASELULER DAN PRODUK YANG DIHASILKAN
SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains Pada Program Studi Kimia Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
HIDAYATI 106096003228
PROGRAM STUDI KIMIA FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2011 M / 1431 H
PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENARBENAR HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Jakarta, Maret 2011
HIDAYATI 106096003228
PENGESAHAN UJIAN Skripsi berjudul “ Studi Optimasi Proses Biosolubilisasi Batubara oleh Isolat Kapang dari Pertambangan Batubara Sumatera Selatan Berdasarkan Karakteristik Enzim Ekstraseluler dan Produk yang Dihasilkan” yang ditulis oleh Hidayati NIM 106096003228 telah diuji dan dinyatakan LULUS dalam sidang munaqosyah Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 25 Februari 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1) Program Studi Kimia.
Menyetujui Penguji 1,
Penguji 2,
Megga Ratnasari Pikoli, M.Si NIP. 19720322 200212 2 002
Sandra Hermanto, M.Si NIP. 19750810 200501 1 005
Pembimbing I,
Pembimbing 2,
La Ode Sumarlin, M.Si NIP. 150 408 693
Irawan Sugoro, M.Si NIP. 19761018 200012 1 001
Mengetahui,
Dekan Fakultas Sains dan Teknologi
Ketua Program Studi Kimia
DR. Syopiansyah Jaya Putra, M. Sis. NIP. 19680117 200112 1001
Drs. Dede Sukandar, M.Si NIP. 19650104 199103 1 004
ABSTRAK Studi Optimasi Proses Biosolubilisasi Batubara oleh Kapang Hasil Isolasi dari Pertambangan Batubara Sumatera Selatan Berdasarkan Karakteristik Enzim Ekstraseluler dan Produk yang Dihasilkan. Biosolubilisasi adalah proses pencairan batubara dengan memanfaatkan mikroorganisme. Mikroorganisme yang digunakan pada penelitian ini adalah tujuh isolat kapang hasil isolasi dari batubara dan tanah pertambangan batubara lignit di Sumatera Selatan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kadar protein ekstraseluler, mengkarakterisasi enzim ekstraseluler dan mengetahui produk biosolubilisasi batubara oleh kapang hasil isolasi dari pertambangan batubara. Medium yang digunakan adalah MSS dengan penambahan batubara lignit 5 %. Kandungan enzim ekstraseluler masing-masing isolat kapang relatif berbeda. Pada kapang B1, B2, dan B3 terdeteksi enzim lakase (BM=54,8 kDa dan 73, 12 kDa) dan mangan peroksidase (BM=38,12 kDa). Enzim lignin peroksidase (BM=45,76) hanya terdeteksi pada kapang B2 dan B3. Hasil analisis GCMS menunjukkan bahwa kapang B3 menghasilkan persentase senyawa terbesar dengan komposisi karbon yang setara dengan bensin yaitu 65,65% dan kapang B1 yang setara dengan solar yaitu 38,43%. Kata kunci : Biosolubilisasi, batubara lignit, enzim ekstraseluler, kapang.
xv
ABSTRACT Optimation Study of Coal Biosolubilization Process by Fungi the Result of Isolation from Coal Mining in South Sumatera Based on Extracellular Enzyme and the Product. Biosolubilization is coal liquefaction process by utilizing microorganisms. The microorganism used in this research was seven molds which has isolated from soil and coal South Sumatra in mining. The purpose of this research was to determine levels of extracellular proteins, characterization of extracellular enzymes and biosolubilization products by molds. MSS medium was used with the addition of 5% lignite. Extracellular enzyme content in each of the diffent relative mold isolated. In the B1, B2, and B3 molds was detected laccase (MW=54,8 kDa and 73, 12 kDa) and mangan peroxidase enzyme (MW=38,12 kDa). Lignin peroxidase enzyme (MW=45,76 kDa) only detected in B2 and B3 molds. GCMS analysis showed that the B3 mold has the largest percentage of compounds with carbon composition which was equivalent to gasoline 65,65% and B1 mold which was equivalent to diesel 38,43%.
Keywords: Biosolubilization, lignite, extracellular enzyme, mold.
xvi
xvii
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum wr. wb. Segala puji serta syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Studi Optimasi Proses Biosolubilisasi Batubara oleh Kapang Hasil Isolasi dari Pertambangan Batubara Sumatera Selatan Berdasarkan
Karakteristik
Enzim
Ekstraseluler
dan
Produk
yang
Dihasilkan”. Shalawat serta salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta segenap keluarga, para sahabat dan para pengikutnya hingga yaumul kiyamah. Terselesaikannya skripsi ini tidak lepas dari peranan berbagai pihak yang telah ikut secara langsung maupun tidak langsung. Penulis sadar sepenuhnya, bahwa bagaimanapun usaha yang ditempuh tanpa adanya bimbingan dan bantuan dari pihak lain, penulisan skripsi ini tidak akan terselesaikan dengan baik. Maka dalam kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada: 1. Bapak DR. Syopiansyah Jaya Saputra, M.Sis, selaku dekan Fakultas Sains dan Teknologi. 2. Bapak Drs. Dede Sukandar, M.Si, selaku ketua Program Studi Kimia. 3. Bapak Irawan Sugoro, M.Si, selaku dosen Pembimbing I yang telah banyak memberikan
dukungan, bantuan dalam penelitian maupun
penulisan.
vi
4. Bapak La Ode Sumarlin, M.Si, selaku dosen Pembimbing II yang telah banyak membantu dan memberikan kritik dan saran yang membangun dalam analisa hasil dan penulisan. 5. Ibunda dan Ayahanda tercinta serta kakak-kakak tersayang, yang kasih sayangnya sepanjang masa dan telah memberikan dukungan moril, materil serta spiritual. 6. Riska Suraya Dewi dan Miftahul Jannah, teman selama penelitian yang sudah banyak membantu penulis. 7. Teman-teman seperjuangan prodi kimia ’06 yang telah bersama-sama berjuang dari awal perkuliahan hingga sampai akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Tak ada gading yang tak retak dan tidak ada sesuatu apapun yang sempurna di dunia kecuali Allah SWT, sehingga penulis sangat menyadari akan masih banyak kekurangan dan kelemahan dalam penulisan skripsi ini. Saran dan kritik yang membangun demi perbaikan sangat diharapkan. Akhirnya, penulis hanya dapat berdo’a semoga semua amal baik yang telah diberikan tersebut mendapat balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT. Dan semoga skripsi ini dapat memberikan sumbangan pemikiran demi kemajuan dan keberhasilan bersama. Amin. Wassalamu’alaikum wr. wb. Jakarta, Maret 2011
Penulis
vii
DAFTAR ISI
Halaman LEMBAR PENGESAHAN KATA PENGANTAR .................................................................................
vi
DAFTAR ISI................................................................................................
viii
DAFTAR TABEL .......................................................................................
xi
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................
xii
DAFTAR LAMPIRAN................................................................................
xiv
ABSTRAK.......................................................................................................
xv
ABSTRACT....................................................................................................
xvi
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................
1
1.1. Latar Belakang .......................................................................................
1
1.2. Perumusan Masalah ................................................................................
3
1.3. Hipotesis ................................................................................................
3
1.4.Tujuan Penelitian .....................................................................................
4
1.5.Manfaat Penelitian ...................................................................................
4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................
5
2.1. Batubara .................................................................................................
5
2.1.1. Klasifikasi Batubara .....................................................................
5
2.2. Biosolubilisasi Batubara ........................................................................
8
2.3. Kapang ..................................................................................................
10
2.4. Enzim Ekstraseluler ...............................................................................
12
2.4.1. Lignin Peroksidase .......................................................................
15
2.4.2. Mangan Peroksidase ....................................................................
16
2.4.3. Lakase .........................................................................................
17
viii
2.5. Metode untuk Penentuan Protein Ekstraseluler.......................................
18
2.6. Elektroforesis Protein ............................................................................
19
2.7. Spektrofotometer UV-Vis ......................................................................
21
2.8. Kromatografi Gas Spektroskopi Massa ..................................................
22
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ...................................................
25
3.1.Waktu dan Tempat Penelitian ..................................................................
25
3.2. Alat dan Bahan .......................................................................................
25
3.2.1. Alat ..............................................................................................
25
3.2.2. Bahan...........................................................................................
25
3.3. Prosedur Kerja ........................................................................................
26
3.3.1. Persiapan dan Sterilisasi Alat .........................................................
26
3.3.2. Persiapan Serbuk Batubara.............................................................
26
3.3.3. Pembuatan Medium Potato Dextrose Agar (PDA) .........................
26
3.3.4. Pembuatan Medium MSS+ ............................................................
26
3.3.5. Uji Kualitatif Enzim Ekstraseluler ..................................................
27
3.3.5.1. Fenol Oksidase .................................................................
27
3.3.5.2. Lignin Peroksidase ............................................................
27
3.3.5.3. Mangan Peroksidase .........................................................
27
3.3.6. Kultur Inokulum Spora ..................................................................
28
3.3.7. Biosolubilisasi Batubara.................................................................
28
3.3.8. Pengukuran Kadar Protein Ekstraseluler ........................................
28
3.3.9. Profil Protein dengan Elektroforesis ...............................................
29
3.3.10. Analisis Hidrolisis FDA ...............................................................
30
3.3.11. Pengukuran Biosolubilisasi Batubara ...........................................
31
3.3.12. Analisis Hasil Solubilisasi Batubara oleh Kapang dengan Menggunakan GCMS...................................................................
31
ix
3.3.13. Analisa Data ................................................................................
32
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................
33
4.1. Hasil Analisa Enzim Ekstraseluler secara Kualitatif ................................
33
4.2. Perubahan pH Medium pada Masing-Masing Kapang selama Proses Solubilisasi……………………………………………………...………..
34
4.3. Tingkat Biosolubilisasi Batubara Berdasarkan Nilai Absorbansi .............
38
4.4. Kadar Protein Ekstraseluler dalam Biosolubilisasi Batubara .................... 43 4.5. Elektroforesis Protein ................................................................................ 45 4.6. Analisis Hidrolisis Fluorescent Diacetate (FDA) ...................................
47
4.7. Analisis GC-MS Hasil Solubilisasi Batubara oleh Kapang Menggunakan GCMS .................................................................................................... 51 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN........................................................
58
5.1. Kesimpulan ...........................................................................................
58
5.2. Saran .....................................................................................................
58
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................
59
Lampiran ....................................................................................................
63
x
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Enzim Ekstraseluler Pendegradasi Lgnin dari Kapang Pelapuk Putih ...................................................................................
13
Tabel 2. Jenis Perlakuan yang Digunakan……………………………………. 28 Tabel 3. Hasil Uji Kualitatif Enzim Ekstraseluler ..........................................
33
Tabel 4. Senyawa Hasil Biosolubilisasi Batubara Menggunakan GC-MS ...........................................................................................
52
xi
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Batubara Antrasit dan strukturnya ...............................................
5
Gambar 2. Batubara Bituminus dan strukturnya ............................................
6
Gambar 3. Batubara Subbituminus dan strukturnya ......................................
7
Gambar 4. Batubara Lignit dan strukturnya ..................................................
7
Gambar 5. Skema Sistem Degradasi Lignin oleh Phanerochaete chrysosporium ......................................................
14
Gambar 6. Reaksi Enzim Peroksidase dengan Metilen Biru ..........................
16
Gambar 7. Reaksi Oksidasi oleh Enzim Fenol Oksidase ................................
17
Gambar 8. Seperangkat Alat Elektroforesis 1 D ...........................................
19
Gambar 9. Denaturasi Protein oleh SDS …………………………………….
20
Gambar 10. Spektrofotometer UV-Vis...........................................................
21
Gambar 11. GCMS........................................................................................
23
Gambar 12. Grafik Perubahan Nilai pH Medium Selama Proses Solubilisasi Batubara pada Kapang.............................................
35
Gambar 13. Reaksi Dearomatisasi Piridin ......................................................
37
Gambar 14. Absorbansi pada Panjang Gelombang 250 nm pada Masing-Masing Kapang .............................................................
38
Gambar 15. Reaksi Degradasi Lignin oleh Enzim Lignin Peroksidase ……... 39 Gambar 16. Reaksi oksidasi unit non fenolik dan fenolik oleh enzim lakase dan MnP ....................................................................................
39
Gambar 17. Absorbansi pada Panjang Gelombang 450 nm pada Masing-Masing Kapang .............................................................
40
Gambar 18. Reaksi Degradasi Poli Aromatik Hidrokarbon ............................
41
Gambar 19. Kadar Protein Ekstraselular Selama Biosolubilisasi Batubara oleh Masing-Masing Kapang......................................................
44
xii
Gambar 20. Hasil Elektroforesis SDS PAGE .................................................
46
Gambar 21. Reaksi Hidrolisis FDA dan Ester ................................................
48
Gambar 22. Absorbansi FDA pada Masing-Masing Kapang ..........................
49
Gambar 23. Persentase Area Senyawa Komponen Bensin dan Solar Hasil Biosolubilisasi Batubara pada Masing-Masing Kapang………...
56
xiii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Komposisi Medium ...................................................................
62
Lampiran 2. Skema Kerja ..............................................................................
63
Lampiran 3. Komposisi Larutan Lowry .........................................................
64
Lampiran 4. Komposisi Larutan Elektroforesis………………………………. 64 Lampiran 5. Data Hasil Penelitian .................................................................
65
Lampiran 6. Kromatogram Hasil GC-MS Kontrol (Tanpa Isolat Kapang) ......
69
Lampiran 7. Kromatogram Hasil GC-MS oleh Kapang B1.............................. 70 Lampiran 8. Kromatogram Hasil GC-MS oleh Kapang B2 ............................
71
Lampiran 9. Kromatogram Hasil GC-MS oleh Kapang B3 ............................
72
Lampiran 10. Foto-Foto Penelitian ................................................................
73
xiv
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Batubara menjadi sumber energi yang penting di dunia, seiring dengan semakin terbatasnya cadangan minyak dan gas alam (Tanaka, 1999). Alternatif penggunaan batubara sebagai bahan bakar diperkirakan dapat menjadi solusi dari krisis kelangkaan BBM sampai ratusan tahun mendatang. Berdasarkan laporan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (2008), potensi sumber daya batubara di Indonesia pada akhir tahun 2008 sebanyak 105 miliar ton (Wahyuni, 2009). Setelah cadangan minyak dan gas alam habis, maka batubara akan mendominasi pasar energi fosil (Tanaka, 1999). Teknologi pencairan batubara sebagai bahan bakar yang hampir setara dengan output minyak bumi merupakan cara untuk meningkatkan kualitas batubara. Proses tersebut dinamakan liquefaksi. Terdapat berbagai metode pencairan batubara yang telah diterapkan di berbagai negara di dunia. Pada umumnya teknik yang digunakan adalah dengan metode kimia dan fisika yang memakan biaya operasional yang cukup tinggi dan juga memerlukan instalasi yang cukup rumit (Fakoussa and Hofrichter, 1998). Alternatif lain untuk proses pencairan batubara yaitu dapat dilakukan secara biologis dengan bantuan mikroorganisme. Proses pencairan batubara dengan memanfaatkan mikroorganisme dikenal dengan biosolubilisasi atau bioliquefaksi. Fakoussa (1981), menemukan bahwa beberapa mikroorganisme dapat menggunakan Low Rank Coal (LRC) sebagai energi sumber pertumbuhan 1
mereka sementara mereka mensolubilisasi LRC, solubilisasi lignit oleh mikroba telah banyak diselidiki di seluruh dunia. Mikroorganisme yang digunakan dalam penelitian ini ada tujuh isolat yang berasal dari Sumatera Selatan. Beberapa peneliti menyatakan bahwa enzim, kelat atau alkali terlibat dalam mekanisme biosolubilisasi lignit. Secara khusus, enzim adalah faktor kunci (Tao et al., 2009). Hasil penelitian sebelumnya oleh Sugoro et al., (2009) menyatakan bahwa batubara cair hasil biosolubilisasi kapang pada batubara subbituminus Sumatera Selatan dapat digunakan sebagai energi alternatif. Hasil biosolubilisasi batubara adalah produk dengan berat molekul tinggi, tidak mengandung komponen berbahaya karena mikroorganisme mampu membersihkan kandungan sulfur dan nitrogen dari batubara dan kandungan oksigen yang tinggi (Cohen et al., 1990). Proses biosolubilisasi terjadi karena adanya interaksi antara batubara dengan enzim ekstraseluler. Enzim ekstraseluler adalah enzim yang diekskresikan oleh kapang ke luar tubuhnya untuk mendegradasi substrat. Enzim ekstraseluler tersebut akan menghasilkan medium yang lebih gelap akibat dari degradasi batubara selama proses kultur cair atau cairan gelap pada permukaan kultur ketika ditumbuhkan pada permukaan kultur agar (Faison et al., 1989). Produk enzim ekstraseluler dapat diketahui dengan mengukur kadar protein bebas sel. Diasumsikan jika kadar protein tinggi maka jumlah enzim ekstraseluler juga tinggi. Karakterisasi enzim dilakukan dengan cara elektroforesis protein dengan menggunakan Sodium Dodecyl Sulphate Polyacrylamide Gel Electrophoresis (SDS-PAGE) untuk mengetahui profil protein bagi solubilisasi batubara dan pengukuran kadar protein ekstraselular dengan metode Lowry.
2
Enzim ekstraseluler berperan mendegradasi lignin sebagai substratnya. Enzim pendegradasi lignin secara umum terdiri dari dua kelompok utama yaitu lakase dan peroksidase. Enzim peroksidase terdiri dari lignin peroksidase (LiP) dan mangan peroksidase (MnP). Ketiga enzim tersebut bertanggung jawab terhadap pemecahan awal polimer lignin dan menghasilkan produk dengan berat molekul rendah, larut dalam air dan CO2 (Akhtar et al., 1997). Ketiga enzim tersebut memiliki nilai molecular weight (MW) sebesar 38-47 kDa (LiP), 38-50 kDa (MnP), dan 53-110 kDa (lakase) (Fakoussa and Hofrichter, 1998). Hasil degradasi enzim ekstraseluler selanjutnya dianalisis oleh GCMS dengan membandingkan komposisi senyawa hidrokarbon yang setara dengan bensin dan solar. 1.2. Rumusan Masalah 1. Bagaimana kadar protein ekstraseluler pada isolat kapang selama proses biosolubilisasi? 2. Bagaimana profil enzim ekstraseluler pada isolat kapang hasil isolasi dari prtambangan batubara? 3. Apakah hasil analisis GCMS terhadap biosolubilisasi batubara memiliki karakteristik senyawa hidrokarbon yang mendekati bensin atau solar? 1.3. Hipotesis 1. Kadar protein ekstraseluler pada isolat kapang berpengaruh terhadap biosolubilisasi batubara . 2. Terdapat perbedaan profil enzim ekstraseluler di antara kultur kapang hasil isolasi dari pertambangan batubara.
3
3. Hasil analisis GCMS terhadap biosolubilisasi batubara memiliki karakteristik senyawa hidrokarbon yang mendekati bensin dan solar. 1.4. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui kadar protein ekstraseuler pada isolat kapang yang berperan dalam proses biosolubilisasi batubara. 2. Mengetahui profil enzim ekstraseluler di antara kultur kapang hasil isolasi dari pertambangan batubara. 3. Mengetahui karakteristik senyawa hidrokarbon dari batubara hasil biosolubilisasi. 1.5. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini yaitu profil protein kultur kapang hasil isolasi dari pertambangan batubara diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan informasi tentang enzim yang mampu mengsolubilisasi batubara untuk memproduksi bahan bakar alternatif pengganti minyak bumi.
4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Batubara Batubara adalah sisa-sisa tumbuhan yang terakumulasi di dalam suatu cekungan dan kemudian mengalami proses pembatubaraan (coalification) yang disebabkan oleh faktor tekanan, suhu dan waktu geologi. Oleh karena itu, batubara termasuk dalam kategori bahan bakar fosil. Batubara dapat terbentuk berupa lapisan dengan ketebalan beberapa millimeter sampai dengan ratusan meter atau dapat pula berupa bahan organik yang tersebar pada suatu batuan sedimen (Rumidi, 1995). 2.1.1. Klasifikasi Batubara Menurut Speight (1994), secara umum batubara diklasifikasikan menjadi empat tipe utama berdasarkan kandungan karbon : 1. Batubara antrasit Batubara antrasit merupakan batubara dengan tingkat metamorfik paling tinggi (proses perubahan struktur batuan karena peristiwa tekanan atau pemanasan yang sangat tinggi), dikenal dengan batubara keras dan memiliki kilau berlian.
Gambar 1. Batubara antrasit dan strukturnya (American Coal Foundation, 2007).
5
Kandungan karbonnya mencapai 80-96 % dari beratnya sehingga dapat menghasilkan energi paling tinggi dari jenis batubara lainnya, yaitu mencapai 2028 juta British thermal unit (Btu)/ton. Biasanya dipakai untuk bahan pemanas ruangan di rumah, perkantoran dan untuk pembuatan briket tanpa asap. 2. Batubara bituminus Batubara bituminus berwarna hitam, agak keras, komposisi air sangat kecil, mengandung bahan yang mudah menguap seperti sulfur yaitu sekitar 15-20 %, karbon sebanyak 45-80 % dari beratnya dan energi hasil pembakarannya mencapai 19-32 juta Btu/ton.
Gambar 2. Batubara bituminus dan strukturnya (American Coal Foundation, 2007). Hasil pembakaran batubara bituminus berupa api berwarna kuning yang berasap dan berabu. Penggunaan batubara bituminus ditujukan untuk dikonversi menjadi arang (coke) yang digunakan dalam industri baja. 3. Batubara subbituminus Batubara subbituminus berwarna hitam, lunak, kandungan karbon sebesar 35-45 % dan energi yang dihasilkan berkisar antara 16-24 juta Btu/ton. Kandungan karbon batubara subbituminus lebih rendah dibandingkan batubara bituminus, akan tetapi menghasilkan pembakaran yang lebih bersih karena kandunga sulfurnya yang lebih rendah dibandingkan dengan batubara bituminus.
6
Gambar 3. Batubara subbituminus dan strukturnya (American Coal Foundation, 2007). Batubara ini merupakan batubara yang sering digunakan dalam industri karena di Indonesia jumlahnya sangat melimpah. Pemanfaatan batubara subbituminus terutama digunakan sebagai bahan bakar untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). 4. Batubara lignit Batubara lignit merupakan jenis batubara yang secara geologis tergolong jenis batubara paling muda, sangat lunak, memiliki warna mulai dari cokelat hingga hitam kecokelatan. Lignit sebagian besar terdiri dari material kayu kering yang terkena tekanan tinggi.
Gambar 4. Batubara lignit dan strukturnya (American Coal Foundation, 2007). Kandungan karbon berkisar antara 20-35 % dari beratnya dan energi yang dihasilkan berkisar antara 9-17 Btu/ton. Kandungan airnya lebih tinggi daripada batubara subbituminus sehingga perlu dikeringkan terlebih dahulu sebelum dibakar. Sebagian besar lignit digunakan untuk keperluan pembangkit listrik. 7
2.2. Biosolubilisasi Batubara Biosolubilisaasi batubara adalah proses pelarutan batubara dalam suatu medium dengan bantuan mikroorganisme. Biosolubilisasi dapat berupa upaya untuk mencairkan batubara yang nantinya dapat digunakan sebagai bahan bakar pengganti minyak bumi. Disamping untuk mencairkan batubara, biosolubilisasi dapat pula digunakan untuk mengurangi kandungan sulfur atau logam toksik pada batubara
(Speight,
1994).
Diketahui
bahwa
terdapat
beberapa
jenis
mikroorganisme dari jenis bakteri maupun fungi yang dapat mengubah batubara padat menjadi produk cair, dengan minimalisasi hilangnya kandungan energi total awal (Faison et al., 1989). Biosolubiliasi lignit adalah teknologi yang menjanjikan, memanfaatkan mikorba untuk mensolubilisasi padatan lignit sehingga diperoleh produk bersih, sebagai sumber energi dengan biaya efektif. Pada tahun 1982, Cohen pertama kali melaporkan bahwa lignit dari Amerika dapat disolubilisasi oleh jamur Polyporus versicolor dan Poria montico. Kemudian pada tahun 1991, Catcheside melaporkan bahwa lignit Australia dapat disolubiliasai oleh Coriolus versicolor, Phanerochaete chrysosporium, dan 4 spesies lainnya. Pada tahun 1992, biosolubilisasi dengan lignit Jerman menggunakan tujuh basidiomycetes telah diteliti dan dikonfirmasi oleh Resis (Yin et al., 2009). Pada tahun 2002, Machnikowska menemukan bahwa Polish lignite dapat disolubilisasi oleh strain P. putida. Pada tahun 2003, Basaran dan rekannya telah sukses menssolubilisasi lignit Turki ke bentuk cairan hitam dengan menggunakan jamur Corilous versicolor. Saat ini, Shi dan rekan-rekannya telah mensolubilisasi lignit dengan jamur. Produk biosolubilisasi (cairan hitam) menyimpan 97,5% dari 8
nilai pemanasan lignit mentah, yang mengemukakan bahwa hampir tidak ada energi hilang selama proses biosolubilisasi dan hal ini pun menunjukkan proses yang efisien dari transfer energi tersimpan dalam padatan lignit menjadi minyak cair (Yin et al., 2009). Dibandingkan dengan liquefaksi termal lignit, biosolubilisasi memiliki beberapa keuntungan, yaitu : 1. Proses dilakukan dalam kondisi suhu dan tekanan atmosfer 2. Konversi lignit menjadi produk fase tunggal tanpa menghasilkan sejumlah besar produk samping. 3. Fakta membuktikan bahwa mikroba dapat menggunakan hidrogen dari air dan tidak membutuhkan energi eksternal hidrogen untuk membentuk lignit tersolubilisasi. 4. Produk biosolubilisasi lignit tidak mengandung sulfur atau nitrogen, yang berarti tidak akan menghasilkan SOx dan NOx selama proses pembakaran dan itulah sumber energi bersih (Yin et al., 2009). Dengan alasan di atas, maka biosolubilisasi lignit menjadi menarik untuk diteliti lebih dalam di seluruh dunia. Akan tetapi, hasil solubilisasi yang rendah dan
dibutuhkannya
pengembangan
waktu
biosolubilisasi
konversi lignit.
yang
lama
menjadi
Sepengetahuan
autor,
penghambat maksimum
biosolubilisasi lignit hanya mencapai 34%. Waktu terpendek untuk konversi adalah 10 hari. Maksimum waktu biosolubilisasi membutuhkan sekitar 2 bulan. Karena biosolubilisasi lignit umumnya diinduksi oleh enzim yang disekresikan oleh mikroba, kebanyakan ilmuwan mencoba menemukan dan mengisolasi enzim pensolubilisasi lignit yang efisien (Yin et al., 2009). 9
2.3. Kapang Kapang adalah kelompok mikroorganisme yang tergolong dalam fungi. Selain kapang, organisme lainnya yang termasuk ke dalam fungi adalah khamir dan cendawan (mushroom). Kapang merupakan organisme multiseluler, eukariotik, tidak berklorofil, dinding selnya tersusun dari kitin, bersifat heterotrof, menyerap nutrien melalui dinding selnya, mengeksresikan enzim ekstraselular ke lingkungan, menghasilkan spora atau konidia, bereproduksi seksual dan atau aseksual (Hidayat et al., 2006). Tubuh kapang terdiri dari hifa. Hifa berfungsi menyerap nutrien dari lingkungan serta membentuk struktur reproduksi. Hifa adalah suatu struktur berbentuk tabung menyerupai seuntai benang panjang yang terbentuk dari pertumbuhan spora atau konidia. Kumpulan hifa yang bercabang-cabang membentuk suatu jala dan umumnya berwarna putih yang disebut miselium. Ada beberapa kapang dengan miselia longgar atau seperti bulu kapas sedangkan yang lainnya kompak. Penampakan miselia ada yang seperti beludru (velvet) pada permukaan atasnya, beberapa kering seperti bubuk, basah atau memiliki massa seperti gelatin (Hidayat et al., 2006). Pertumbuhan pada kapang adalah pertambahan volume sel, karena adanya pertambahan protoplasma dan senyawa asam nukleat yang melibatkan sintesis DNA dan pembelahan mitosis. Pada umunya, kapang mengekskresikan enzim ekstraselular
ke
lingkungan.
Enzim
ekstraseluler
tersebut
menguraikan
komponen-komponen kompleks pada substrat menjadi komponen-komponen sederhana yang dapat dengan mudah diserap kapang untuk mensintesis berbagai bagian sel, dan digunakan sebagai sumber energinya. Keberadaan kapang pada 10
suatu substrat dapat diketahui dengan adanya perubahan warna atau kekeruhan pada substrat cair (Gandjar et al., 2006). Pertumbuhan kapang pada substrat sebenarnya adalah suatu proses fermentasi, yaitu kapang mengurai komponen-komponen kompleks yang ada dalam substrat menjadi komponen-komponen sederhana yang dapat diserap sel dan digunakan untuk sintesis aneka bagian sel dan untuk energi aktivitasnya (Gandjar et al., 2006). Sifat-sifat fisiologi kapang sangat penting dipenuhi agar pertumbuhan kapang menjadi optimal. Gandjar et al., (2006) menerangkan sifat-sifat fisiologi kapang sebagai berikut : 1. Kebutuhan air Pada umumnya, fungi tingkat rendah seperti Rhizopus sp. dan Mucor sp. memerlukan lingkungan dengan kelembaban nisbi 90 %, kapang Aspergillus sp, Penicillium sp, Fusarium sp. dan banyak hypomycetes lainnya dapat hidup pada kelembaban yang lebih rendah yaitu 80 % sedangkan kapang xerofilik mampu hidup pada kelembaban 70 %. 2.
Suhu Kebanyakan kapang bersifat mesofilik yaitu tumbuh baik pada suhu kamar. Suhu optimum pertumbuhan untuk kebanyakan kapang adalah sekitar 25-30° C, tetapi beberapa kapang dapat tumbuh pada suhu 35-37° C atau lebih tinggi seperti Aspergillus sp. Beberapa kapang mampu tumbuh pada suhu dingin (bersifat psikrotrofik) dan juga pada suhu tinggi (termofilik).
11
3.
Kebutuhan oksigen Semua kapang bersifat aerobik yaitu membutuhkan oksigen yang cukup untuk pertumbuhannya.
4. Derajat keasaman (pH) Kebanyakan kapang mampu tumbuh pada kisaran pH yang luas, yaitu 2-8.5, akan tetapi pertumbuhannya akan lebih baik pada kondisi asam atau pH rendah. 5. Substrat Substrat merupakan sumber nutrien utama bagi kapang. Nutrien dalam substrat baru dapat dimanfaatkan apabila kapang telah mengekskresikan enzim-enzim ekstraseluler untuk menguraikan senyawa kompleks menjadi sederhana. 6. Komponen penghambat Beberapa kapang mengeluarkan komponen yang dapat menghambat organisme lainnya seperti bakteri, komponen tersebut disebut antibiotik. 2.4. Enzim Ekstraselular Sebagian besar mikroorganisme yang mampu mendegradasi lignin dapat diaplikasikan juga untuk mendegradasi batubara (Cohen et al., 1990). Kapang yang memiliki kemampuan paling baik dalam proses biosolubilisasi batubara adalah Trametes versicolor, Pleurotus florida, P. ostreatus and P. sajorcaju. Selain keempat isolat kapang tersebut, kapang lainnya seperti Trichoderma atroviride, Fusarium oxysporum, Penicillium sp, Candida sp, Aspergillus sp, Mucor sp, dan Sporothrix sp memiliki kemampuan mendegradasi batubara, akan tetapi dengan kemampuan yang lebih kecil (Reiss, 1992). Kapang tersebut 12
mendegradasi batubara menggunakan enzim ekstraselular, hal tersebut diperkuat dengan penelitian bahwa proses biosolubilisasi pada batubara dikatalis melalui aktivitas enzim ekstraselular (Ward, 1990). Tabel 1. Enzim ekstraseluler pendegradasi lignin dari kapang pelapuk putih (Akhtar et al.,1997). Enzim Lignin peroksidase Mangan peroksidase Lakase
Tipe Enzim Peroksidase Peroksidase Fenol oksidase
Peran dalam Degradasi Degradasi unit non fenolik Degradasi unit fenolik Oksidasi unit fenolik dan non fenolik
MW (KDa) 38-47
pH Optimum 2,5-3,0
38-50
4,0-4,5
53-110
3,5-7,0
Kapang Trichoderma atroviride menggunakan enzim lakase (Holker et al., 2002) dan enzim oksidatif (Dohse et al., 2002) dalam mendegadasi batubara. Kapang Fusarium oxysporum, Penicillium sp, Candida sp, Aspergillus sp, Mucor sp. dan Sporothrix sp. hanya menggunakan enzim oksidatif dalam mendegradasi batubara (Gupta & Crawford, 2000). Enzim ekstraseluler adalah enzim yang diekskresikan oleh kapang ke luar tubuhnya untuk mendegradasi substrat. Enzim ekstraseluler tersebut akan menghasilkan medium yang lebih gelap akibat dari degradasi batubara selama proses kultur cair atau cairan gelap pada permukaan kultur ketika ditumbuhkan pada permukaan kultur agar (Faison et al., 1989). Skema sistem degradasi lignin oleh Phanerochaete chrysosporium diperlihatkan pada gambar 5.
13
Gambar 5. Skema sistem degradasi lignin oleh kapang (Akhtar et al., 1997). Lignin peroksidase (LiP) merupakan enzim utama dalam proses degradasi lignin karena mampu mengoksidasi unit non fenolik lignin. Oksidasi substruktur lignin yang dikatalis oleh LiP dimulai dengan pemisahan satu elektron cincin aromatik substrat donor dan menghasilkan radikal aril. LiP memotong ikatan CαCβ molekul lignin, pemotongan tersebut merupakan jalur utama perombakan lignin oleh berbagai kapang pelapuk putih (Hammel, 1996). Mangan peroksidase (MnP) berperan dalam oksidasi unit fenolik, sehingga LiP dan MnP dapat bekerja secara sinergis. Siklus katalitik MnP dimulai dengan pengikatan H2O2 atau peroksida organik dengan enzim ferric alami dan pembentukan kompleks peroksida besi. Pemecahan ikatan oksigen peroksida membutuhkan transfer dua electron dari heme untuk pembentukan Fe oxoporphyrin-radikal kompleks (MnP I), kemudian ikatan dioksigen dipecah dan 14
dikeluarkan satu molekul air. Reaksi berlangsung sampai terbentuk MnP II, ion Mn2+ bekerja sebagai donor satu-elektron untuk senyawa antara porfirin dan dioksidasi menjadi Mn3+. Ion Mn3+ merupakan oksidator kuat yang dapat mengoksidasi senyawa fenolik tetapi tidak dapat menyerang unit non fenolik lignin (Perez et al., 2002). Lakase ditemukan pada kapang, khamir, dan bakteri. Enzim ini tidak membutuhkan H2O2 tetapi menggunakan molekul oksigen. Lakase mereduksi oksigen menjadi H2O dalam substrat fenolik melalui reaksi satu elektron membentuk radikal bebas yang dapat disamakan dengan radikal kation yang terbentuk pada reaksi MnP (Kersten et al., 1990). Aksi lakase pada aromatik fenolik menghasilkan pembentukan radikal fenoksi (Fakoussa and Hofrichter, 1998). 2.4.1. Lignin Peroksidase Lignin peroksidase (LiP) adalah enzim pemecah lignin yang paling banyak diselidiki dan
pertama kali
ditemukan dalam jamur Phanerochaete
chrysosporium (Glenn et al., 1983; Tien dan Kirk 1983). Kemudian, LiP ini juga ditemukan pada beberapa jamur basidiomycetes (misalnya Phlebia radiata, Hatakka et al., 1987; Trametes (Coriolus) versicolor, Dodson et al., 1987; Bjerkandera adusta, Kimura et al., 1991; Nematoloma frowardii, Hofrichter dan Fritsche 1997) dan satu ascomycota (Chrysonilia sitophila; Duran et al., 1987). LiP adalah sebuah glikoprotein yang mengandung besi protoporphyrin IX (heme) sebagai suatu kelompok prostetik dan membutuhkan H2O2 untuk aktivitas katalitik (Gold et al., 1984; Tien dan Kirk 1984). Ini dinyatakan dalam beberapa bentuk dengan MW dari 38 - 47 kDa (Fakoussa and Hofrichter, 1998). 15
Gambar 6. Reaksi enzim peroksidase dengan metilen biru (www. genchem.rutgers.edu) Reaksi positif LiP ditandai dengan adanya warna yang memudar pada medium jika diuji dengan metilen biru. Warna yang memudar terjadi karena enzim peroksidase mereduksi metilen biru menjadi leukometilen biru (Gambar 6). 2.4.2. Mangan Peroksidase Mangan peroksidase juga ditemukan dalam P. chrysosporium (Kuwahara et al., 1984). Menyerupai enzim LIP, yaitu ekstraselular, glikosilasi dan mengandung
heme
sebagai
gugus
prostetiknya.
Tapi
masing-masing
menggunakan Mn (II) dan Mn (III) sebagai substrat spesifik dan mediator. MnP juga dinyatakan dalam beberapa bentuk dengan MW dari 38-50 kDa. Di samping P. chrysosporium, MnP juga telah ditemukan di banyak jamur pelapuk putih lainnya dan basidiomycetes pembusuk sampah, tetapi tidak dalam jamur atau bakteri lain (Fakoussa and Hofrichter, 1998). Uji kualitatif enzim mangan peroksidase digunakan medium padat yang ditambahkan
MnCl2.4H2O.
Medium
yang
mengandung
MnCl2.4H2O
menunjukkan bintik-bintik coklat kehitaman setelah masing-masing kapang
16
diinokulasi beberapa hari. MnP mengkatalisis oksidasi MnCl2 menjadi MnO2 sehingga menghasilkan spot berwarna coklat hitam (TAO et al., 2009). 2.4.3. Lakase Lakase ditemukan pada kapang, khamir, dan bakteri. Enzim ini tidak membutuhkan H2O2 tetapi menggunakan molekul oksigen. Lakase mereduksi oksigen menjadi H2O dalam substrat fenolik melalui reaksi satu elektron membentuk radikal bebas yang dapat disamakan dengan radikal kation yang terbentuk pada reaksi MnP (Kersten et al., 1990). Aksi lakase pada aromatik fenolik menghasilkan pembentukan radikal fenoksi (Fakoussa and Hofrichter, 1998). Beberapa indikasi yang diberikan bahwa lakase terlibat dalam konversi lignit oleh T. versicolor dan enzim ini dianggap sebagai agen yang bertanggung jawab pada kemampuan jamur untuk solubilisasi batubara (pembentukan cairan hitam dari partikel batubara padat). Purifikasi lebih lanjut dari fraksi lakase menunjukkan terdapat dua protein, yang pertama menunjukkan aktivitas lakase, tetapi efeknya sedikit pada batubara, sementara yang lain memiliki sedikit lakase, tetapi aktivitas solubilisasi batubaranya tinggi (Fakoussa and Hofrichter, 1998). Aktivitas lakase pada medium padat yang ditambahnkan tannin ditandai dengan terbentuknya difusi warna cokelat pada medium.
Gambar 7. Reaksi oksidasi oleh enzim fenol oksidase (www.brsquared.org). Difusi warna coklat muncul setelah masing-masing kapang diinokulasi beberapa hari dengan medium PDA yang ditambahkan tanin. Tanin adalah 17
senyawa fenolik kompleks yang memiliki berat molekul 500-3000. Tanin berfungsi sebagai pengganti batubara, karena dalam batubara juga mengandung senyawa fenol. Difusi warna cokelat muncul karena adanya proses oksidasi dari tanin oleh enzim fenol oksidase (Gambar 7). 2.5. Metode untuk Penentuan Protein Ekstraseluler Protein yang berasal dari kata proteos (utama atau pertama) merupakan senyawa makromolekul yang memiliki peranan penting pada setiap makhluk hidup. Protein dihasilkan dari proses ekspresi genetik molekul DNA yang terdapat di dalam sel. Protein adalah suatu polipeptida dengan bobot molekul yang sangat bervariasi, dari 5000 hingga lebih dari satu juta. Disamping berat molekul yang berbeda-beda, protein mempunyai sifat yang berbeda-beda pula, dengan fungsi yang spesifik ditentukan oleh gen yang sesuai (Poedjiadi dan Titin, 1994). Pada penelitian ini, untuk menentukan kadar protein ekstraseluler digunakan metode Lowry. Metode Lowry dikembangkan pada tahun 1951 dengan menggunakan reagen pendeteksi Folin-Ciocalteu. Reaksi antara Cu2+ dengan ikatan peptida dan reduksi asam fosfomolibdat dan asam fosfotungstat oleh tirosin dan triptofan (merupakan suatu protein) akan menghasilkan warna biru. Warna yang terbentuk terutama dari hasil reaksi fosfomolibdat dan fosfotungstat. Oleh karena itu warna yang terbentuk tergantung pada kadar tirosin dan triptofan dalam protein. Metode Lowry mempunyai keuntungan karena 100 kali lebih sensitif dari metode biuret. Hasil reduksi ini dapat dianalisa lebih lanjut dengan melihat puncak absorpsi yang lebar pada daerah panjang gelombang sinar tampak (600800 nm) (Apriyanto et al., 1989). Dalam kadar analisa protein dengan cara Lowry, diperlukan protein standar sebagai pembanding misalnya BSA (Bouvine Serum 18
Albumin) yang memiliki rentang konsentrasi tertentu dimana konsentrasi sampel protein berada di dalam rentang tersebut. 2.6. Elektroforesis Protein Menurut Yuwono (2005), elektroforesis adalah suatu teknik pemisahan molekul selular berdasarkan atas ukurannya, dengan menggunakan medan listrik yang dialirkan pada suatu medium yang mengandung sampel yang akan dipisahkan. Kecepatan gerak molekul tergantung pada nisbah (rasio) muatan terhadap massanya, serta tergantung pula pada bentuk molekulnya. Elektroforesis dapat digunakan untuk keperluan preparatif, selain bersifat analitik, bentuknya ada yang bersifat kolom, ada pula yang lempengan. Salah satu jenis elektroforesis adalah elektroforesis SDS-PAGE (Gambar 8). Sodium Dodecyl Sulphate Polyacrylamide Gel Electrophoresis (SDS-PAGE) terutama dilakukan untuk menetapkan berat molekul protein. SDS-PAGE adalah suatu teknik biologi molekular yang digunakan untuk memisahkan protein sesuai dengan ukuran. Pada tahun 1998, Laborda et al., menganalisis enzim-enzim pengsolubilisasi batubara dengan menggunakan metode SDS PAGE. Enzim esterase, lakase, mangan peroksidase serta enzim lignin peroksidase terbukti ada atau terdeteksi setelah dilakukan karakterisasi dengan SDS PAGE.
Gambar 8. Seperangkat alat elektroforesis 1 D
19
Pada mekanisme SDS PAGE, protein bereaksi dengan SDS yang merupakan deterjen anionik membentuk kompleks yang bermuatan negatif. Protein akan terdenaturasi dan terlarut membentuk kompleks berikatan dengan SDS, berbentuk elips atau batang, dan berukuran sebanding dengan berat molekul protein. Protein dalam bentuk kompleks yang bermuatan negatif ini terpisahkan berdasarkan muatan dan ukurannya secara elektroforesis di dalam matriks gel poliakrilamid. Berat molekul protein dapat diukur dengan menggunakan protein standar yang telah diketahui berat molekulnya (Garfin, 2003). Gambar 9 menunjukkan gambar denaturasi protein oleh SDS.
Gambar 9. Denaturasi protein oleh SDS (Experimental Biosciences, 2007). Elektroforesis gel SDS dilakukan pada pH mendekati netral. Adanya SDS menyebabkan protein rantai ganda akan terdisosiasi menjadi rantai-rantai individual yang terdenaturasi oleh detergent ini, sehingga susunan yang tadinya teratur (struktur 3 dimensi) menjadi rusak membentuk konfigurasi “Random Coil”. Peristiwa ini dibantu oleh adanya merkaptoetanol yang memecah ikatanikatan disulfida antar ataupun dalam rantai (mereduksi ikatan disulfida menjadi gugus-gugus sulfihidril) (Hames, 1998). Oleh karena itu protein dapat dipisahkan hanya berdasarkan ukurannya (BM), di mana kompleks SDS protein yang lebih 20
besar mempunyai mobilitas yang lebih kecil dibandingkan dengan kompleks yang lebih kecil (Garfin, 2003). 2.7. Spektrofotometer UV-Vis Spektrofotometer sesuai dengan namanya adalah alat yang terdiri dari spektrometer dan fotometer. Spektrometer menghasilkan sinar dari spektrum dengan panjang gelombang tertentu dan fotometer adalah alat pengukur intensitas cahaya yang ditransmisikan atau yang diabsorpsi. Jadi spektrofotometer digunakan untuk mengukur
energi secara relatif
jika energi tersebut
ditransmisikan, direfleksikan atau diemisikan sebagai fungsi dari panjang gelombang (Khopkar, 2003).
Gambar 10. Spektrofotometer UV-Vis (Dokumentasi Pribadi, 2010).
Semua molekul dapat mengabsorpsi radiasi dalam daerah UV-Vis karena mereka mengandung elektron, baik sekutu maupun menyendiri, yang dapat dieksitasikan ke tingkat yang lebih tinggi. Panjang gelombang di mana absorpsi itu terjadi, bergantung pada berapa kuat elektron itu terikat dalam molekul itu. Gugus-gugus fungsional tertentu seperti karbonil, nitro, dan sistem terkonjugasi, benar-benar menunjukkan puncak karakteristik, dan sering dapat diperoleh informasi yang berguna mengenai ada atau tidaknya gugus semacam itu dalam molekul tersebut (Day and Underwood, 2002). 21
Pada penelitian ini analisis produk biosolubilisasi batubara dilakukan dengan menggunakan spektroskopi sinar ultraviolet-visible (UV-Vis) dengan merk Spectronic Genesys 2 (Gambar 10). Spektroskopi UV-Vis dapat menentukan apakah ada ikatan tak jenuh dalam produk biosolubilisasi (Shi et al., 2009). Panjang gelombang yang digunakan yaitu 250 nm (Shi et al., 2009) dan 450 nm (Laborda et al., 1998). Lignit cair yang dianalisis menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 250 nm bertujuan untuk mengetahui adanya gugs fenolik, sedangkan pada panjang gelombang 450 nm bertujuan untuk mengetahui apakah ada ikatan terkonjugasi atau tidak pada lignit cair tersebut (Selvi and Banerjee, 2007). Cara kerja spektrofotometer secara singkat adalah sebagai berikut. Larutan pembanding ditempatkan, misalnya blangko dalam sel petrtama sedangkan larutan yang akan dianalisis pada sel kedua. Kemudian dipilih fotosel yang cocok 200 nm-650 nm agar daerah yang diperlukan dapat terliputi. Dengan ruang fotosel dalam keadaan tertutup ”nol” galvanometer dengan menggunakan tombol darkcurent. Fotosel dibuka dan dilewatkan berkas cahaya pada blangko dan ”nol” galvanometer didapat dengan memutar tombol sensitivitas. Dengan menggunakan tombol transmitansi, kemudian diatur besarnya pada 100%. Berkas cahaya dilewatkan pada larutan sampel yang akan dianalisis. Skala absorbansi menunjukkan absorbansi larutan sampel (Khopkar, 2003). 2.8.
Kromatografi Gas-Spektroskopi Massa (GCMS) (Shi et al., 2009; Du et al., 2010 dan beberapa peneliti lainnya) melakukan
penelitian terhadap komponen-komponen yang terkandung dalam produk hasil biosolubilisasi batubara. Mereka menggunakan GCMS untuk memisahkan 22
senyawa-senyawa produk hasil biosolubilisasi batubara. Kromatografi gas (GC) digunakan untuk memisahkan komponen-komponen kimia dalam produk-produk hasil biosolubilisasi batubara . Struktur kimia dari masing-masing komponen kemudian diidentifikasi oleh spektroskopi massa (MS) (Shi et al., 2009). Dalam kromatografi gas, fase bergeraknya adalah gas dan zat terlarut terpisah sebagai uap. Pemisahan tercapai dengan partisi sampel antara fase gas bergerak dan fase diam berupa cairan dengan titik didih tinggi (tidak mudah menguap) yang terikat pada zat padat penunjangnya Sedangkan spektroskopi massa adalah suatu instrumen yang dapat menyeleksi molekul-molekul gas bermuatan berdasarkan massa atau beratnya (Khopkar, 2003).
Gambar 11. GCMS (Dokumen Pribadi, 2010) Massa dari molekul-molekul gas bermuatan tersebut dapat diukur berdasarkan hasil deteksi berupa spektrum massa. Pada GC hanya terjadi pemisahan untuk mendapatkan komponen yang diinginkan, sedangkan bila dilengkapi dengan MS (berfungsi sebagai detektor) akan dapat mengidentifikasi komponen tersebut, karena bisa membaca spektrum bobot molekul pada suatu komponen, juga terdapat reference pada software.
23
Cara kerja GCMS secara singkat adalah sebagai berikut. Sampel diinjeksikan melalui suatu sampel injection port yang temperaturnya dapat diatur, senyawa-senyawa dalam sampel akan menguap dan akan dibawa oleh gas pengemban menuju kolom. Zat terlarut akan teradsorpsi pada bagian atas kolom oleh fase diam, kemudian akan merambat dengan laju rambatan masing-masing komponen. Komponen-komponen tersebut terelusi menuju ruang spektroskopi massa yang berfungsi sebagai detektor (Khopkar, 2003). Kemudian senyawasenyawa yang terdeteksi ditampilkan pada komputer.
24
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilakukan selama 3 bulan, pada bulan April-Juni 2010 dan bertempat di Badan Tenaga Nuklir Nasional, Pasar Jumat, Jakarta dan di Pusat Laboratorium Terpadu UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3.2. Alat dan Bahan 3.2.1. Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah cawan petri, erlenmeyer, tabung reaksi, rak tabung reaksi, beaker glass, yellow tube, tabung Eppendorf, short plate, spacer plate, spatula, ose, inkubator, timbangan analitik, mikropipet, refrigerator, sentrifus, vortex, pH meter, laminar air flow, spektrofotometer Uvvis bermerk Ionic Genesys 2, GCMS bermerk Shimadzu dengan tipe QP2010S, mini tank horizontal elektroforesis system, sisir pembentuk sumuran (comb), aluminium foil, plastik tahan panas dan bunsen. 3.2.2. Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tujuh isolat kapang dari pertambangan batubara Sumatera Selatan, tisu, kapas, alkohol 75 %, minyak spiritus, batubara, akuades, NaCl 0,85%, medium Potato Dextrose Agar (PDA), medium Minimal Salt Solution+ (MSS+), larutan Lowry I dan II (Lampiran 3), larutan elektroforesis SDS PAGE (Lampiran 4), 25
3.3. Prosedur Kerja 3.3.1. Persiapan dan Sterilisasi Alat Alat-alat
yang
digunakan
dibersihkan,
lalu
disterilkan
dengan
menggunakan autoklaf pada suhu 121 oC dan tekanan 2 atm selama 15 menit. Peralatan yang tidak tahan panas dapat disterilkan dengan menggunakan alkohol 70%. 3.3.2. Persiapan Serbuk Batubara Batubara dihaluskan menggunakan mortar secara aseptik di dalam Laminar Air Flow Cabinet (LAFC), kemudian disaring menggunakan saringan berukuran 0,2 mm (200 mesh). Serbuk batubara yang telah siap disimpan di dalam cawan petri steril untuk digunakan sebagai sumber isolasi kapang indigenous batubara lignit Sumatera Selatan dan campuran untuk pembuatan medium isolasi dan seleksi kapang hasil isolasi tersebut (Silva et al., 2007). 3.3.3. Pembuatan Medium Potato Dextrose Agar (PDA) Sebanyak 7,8 g PDA bubuk dilarutkan dalam aquades 200 ml pada erlenmeyer. Kemudian dipanaskan dengan menggunakan hot plate dan magnetic stirer hingga larut. Medium PDA tersebut dimasukkan kedalam autoklaf 2 atm dengan suhu 121oC selama 15 menit setelah itu didinginkan dan dituang pada cawan petri. 3.3.4. Pembuatan Medium Minimal Salt Solution+ (MSS+) Pembuatan medium MSS+ dibuat dengan menyiapkan medium MSS sebanyak 250 ml kemudian ditambahkan sukrosa 2,5 g lalu dihomogenkan. Medium MSS+ dalam erlenmeyer dan tabung reaksi disterilisasi menggunakan autoklaf pada suhu 121oC dengan tekanan 2 atm selama 15 menit. Medium 26
Minimal Salt (MMS) dibuat dengan cara menimbang sebanyak 0,52 g MgSO4.7H2O ; 0,003 Zn SO4.7H2O pH 5,5; 5 g K2HPO4; 0,005 g FeSO4 dan 1 g NH4SO4, lalu ditambahkan 1 liter aquades kemudian dilarutkan sampai homogen (Silva et al, 2007). 3.3.5. Uji Kualitatif Enzim Ekstraselular 3.3.5.1. Fenol Oksidase Reaksi-warna Bavendamm secara luas digunakan untuk mengidentifikasi kapang. Kapang dikultur pada cawan petri yang mengandung tanin, terlihat difusi cokelat pada permukaan media kultur. Adanya difusi berwarna cokelat mengindikasikan adanya fenol oksidase. Tanin (4 mM / L) ditambahkan pada medium PDA dan pada diameter pertumbuhan miselium dan lingkaran cokelat tercatat setiap hari (Tao et al., 2009). 3.3.5.2. Lignin Peroksidase Metode memudar digunakan untuk mengidentifikasi adanya peroksidase. Metilen biru (0,1 g / L) ditambahkan ke dalam medium kultur PDA yang ditumbuhi dengan kapang. Warna yang memudar dari medium menunjukkan keberadaan enzim lignin peroksidase (Tao et al., 2009). 3.3.5.3. Mangan peroksidase (MnP) MnCl2 · 4H2O (0,1g / L) telah ditambahkan ke dalam medium kultur PDA dan kapang kemudian diinokulasi selama dua minggu. Selama waktu kultur dilihat perkembangan bintik hitam cokelat. MnP mengkatalisis oksidasi MnCl2 menjadi MnO2 sehingga menghasilkan spot berwarna coklat hitam (Tao et al., 2009).
27
3.3.6. Kultur Inokulum Spora Isolat kapang diremajakan menggunakan medium PDA pada cawan petri dan diinkubasi pada suhu ruang sampai menghasilkan spora. Sebanyak ± 10 ml NaCl 0,85% dimasukkan kedalam cawan petri inokulum spora kemudian miselia kapang dipecahkan menggunakan ose steril lalu dimasukkan ke dalam yellow tube kemudian divortex sampai kapang larut dalam NaCl. 3.3.7. Biosolubilisasi Batubara Kultur inokulum spora sebanyak 1 ml dimasukkan ke dalam tabung erlenmeyer yang berisi 200 ml medium MSS+ dengan jumlah spora yang diinginkan 10 8 sel/ml, lalu dihomogenkan. Kemudian dilakukan enam perlakuan, dimana perlakuan I, II, III digunakan sebagai kontrrol (tanpa batubara). Tabel 2. Jenis Perlakuan yang digunakan Perlakuan
MSS+ (ml)
I II III IV V VI
200 ml 200 ml 200 ml 200 ml 200 ml 200 ml
Kultur Inokulum Spora (1 ml) B1 B2 B3 B1 B2 B3
Batubara (%) 5% 5% 5%
Tahap selanjutnya, yaitu diinkubasi dengan menggunakan shaking incubator dengan kecepatan 120 rpm pada suhu ruang selama 28 hari. Pencuplikan sampel kultur dilakukan pada hari ke 0, 7, 14, 21, dan 28 untuk dilakukan pengamatan kolonisasi, pH medium, dan solubilisasi terhdap batubara. 3.3.8. Pengukuran Kadar Protein Ekstraselular Sebanyak 0,5 ml sampel ditambahkan 2,5 ml larutan Lowry I dan diinkubasi pada suhu ruang selama 10 menit. Kemudian ditambahkan 0,25 ml 28
larutan Lowry II, divortek dan diinkubasi pada suhu ruang selam 30 menit. Setelah itu absorbansi dibaca dengan Spektrofotometer UV/Vis pada panjang gelombang 750 nm dan dibandingkan dengan standar Bouvine Serum Albumin (BSA). 3.3.9. Analisis Profil Protein dengan Elektroforesis SDS-PAGE Pada penelitian ini menggunakan metode elektroforesis 1 dimensi SDSPAGE dengan sistem buffer Laemmli. Konsentrasi gel poliakrilamida yang digunakan adalah 10%. a. Preparasi sampel Kultur inokulum spora pada hari ke-21 untuk kapang B1 dan hari ke-7 untuk kapang B2 dan B3 diambil sebanyak 75 µl dengan mikropipet ke dalam tabung effendorf, lalu ditambahkan buffer sampel sebanyak 25 µl dan divortek hingga homogen, kemudian dipanaskankan selama + 5 menit, setelah itu disentrifugasi selama 5 menit. b. Preparasi gel elektroforesis -
Separating gel (10%) 30% Acrylamide solution 6 ml ditambahkan separating gel buffer (1,5 M Tris-HCl, pH 6,8) sebanyak 4,5 ml, kemudian aquabides 7,5 ml, SDS 50 µl dan 10% Ammonium persulfate 0,08 ml serta TEMED 0,01 ml.
-
Stacking gel (45%) 30% Acrylamide solution 0,9 ml ditambahkan stacking gel buffer (0,5 M Tris-HCl, pH 8,8) sebanyak 1,5 ml, kemudian aquabides 3,6 ml, SDS 25 µl dan 10% Ammonium persulfate 0,02 ml serta TEMED 0,01 ml.
29
c. Pembuatan kolom gel Setelah separating gel dibuat kemudian dimasukkan sedikit demi sedikit ke dalam alat elektroforesis dengan mikropipet, lalu ditambahkan aquabides untuk meratakan separating gel tersebut. Setelah separating gel membeku dimasukkan stacking gel sedikit demi sedikit, lalu pasang sisir pembentuk kolom biarkan hingga stacking gel membeku lalu diangkat sisirnya. Kemudian dipasang hasil gel tersebut pada perangkat elektroforesis. d. Loading sampel Larutan buffer dimasukkan ke dalam tangki elektroforesis. Kemudian sampel sebanyak 15 µl dimasukkan ke dalam kolom gel dengan hati-hati lalu dielektroforesis selama + 100 menit pada 200 Volt, 40 mA. e. Pewarnaan gel Gel diangkat lalu diwarnai dengan coomassie brilliant blue staining gel warna biru Coomassie R-250, selama + 1 jam. f. Pencucian gel Gel dicuci dengan larutan destain solution coomassie R-250, selama + 1 hari. Selanjutnya hasil pencucian discan dan dianalisis menggunakan LabImage 1D. 3.3.10. Analisis Hidrolisis FDA Dimasukkan 1 ml supernatan ke dalam tabung reaksi, kemudian ditambahkan 4 ml KH2PO4 buffer (pH 7,8) 60 nM. Reaksi dimulai dengan menambahkan 40 µg FDA kemudian divorteks dan diinkubasi selama 20 menit. Setelah penginkubasian segera ditambahkan aseton sebanyak 5 ml untuk menghentikan reaksi lalu ditutup dengan aluminium foil. Suspensi disaring dengan kertas Whatmann No. 1. Filtrat dimasukkan ke dalam tabung reaksi, 30
ditutup dengan parafilm dan disimpan dalam es batu untuk menguapkan aseton. Nilai absorbansi ditera dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 490 nm (Breeuwer, 1996). 3.3.11. Pengukuran Absorbansi Produk Biosolubilisasi Batubara Supernatan dari biosolubilisasi batubara disentrifugasi 5400 rpm selama 30
menit
kemudian
diukur
nilai
absorbansinya
dengan
menggunakan
Spektrofotometer UV-Vis Ionic Genesys 2 pada panjang gelombang 250 nm dan 450 nm untuk mengetahui tingkat solubilisasi batubara (Silva, 2007). Nilai absorbansi yang tinggi berbanding lurus dengan tingkat solubilisasi batubara yang tinggi pula, data tersebut digunakan sebagai dasar untuk menyeleksi isolat kapang. 3.3.12. Analisis Hasil Solubilisasi Batubara oleh Kapang Indigenous dengan Menggunakan GC-MS Supernatan dari biosolubilisasi batubara dan pelarut dicampurkan dengan perbandingan 1:1, pelarut yang digunakan adalah benzena : heksana : dietil eter dengan perbandingan 3:1:1. Campuran tersebut dimasukkan ke dalam corong Buchner lalu diaduk sampai bercampur kemudian didiamkan beberapa saat sampai terbentuk fase atas dan bawah, fase atas dipakai untuk mengidentifikasi jenis senyawa dan menentukan kadar hasil solubilisasi batubara dengan menggunakan GC-MS (Silva, 2007). Karakteristik produk biosolubilisasi dilakukan menggunakan alat GCMS merk Shimadzu dengan tipe QP2010S (Gambar 11), suhu injektor 280 oC, injektor mode split, waktu pengambilan sampel 1 menit, suhu kolom 40 – 270 oC dengan pengaturan suhu awal 40 oC ditahan selama 5 menit, dan waktu 10 menit untuk mencapai suhu 270 oC (23 oC/menit) ditahan selama 60 menit, sehingga total 31
waktu program 88 menit, suhu detektor 280 oC, suhu interval 250 oC, gas pembawa He, tekanan utama 500-900, Flow control mode pressure, tekanan 10,9 Kpa, total flow 58,8 ml/m, aliran kolom 0,55 ml/m, percepatan linier 26,0 cm/dt, aliran pembersihan 3.0 ml/m, split ratio 99,8, jenis kolom Rtx-5MS, panjang kolom 30.00 m, ketebalan 0.25 µm, diameter 0,25 mm, dan jenis pengion EI (Electron Impact) 70 eV (Whetstine et al., 2003). 3.3.13. Analisa Data Data penelitian ini dianalisis berdasarkan data visual dengan bantuan Microsoft Office Excel 2007.
32
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil Analisa Enzim Ekstraselular Secara Kualitatif Untuk uji kualitatif terhadap enzim ekstraselular, digunakan tujuh sampel kapang hasil isolasi dari pertambangan batubara yang digunakan yaitu dengan kode B1, B2, B3, B4, B5, B6, dan B7. Ketujuh sampel kapang tersebut diuji dengan menggunakan metilen biru, MnCl2.4H2O, dan tanin yang masing-masing untuk mengetahui adanya enzim peroksidase, mangan peroksidase, dan fenol oksidase. Hasil dari uji kualitatif enzim ini dapat dilihat pada tabel 3 berikut. Tabel 3. Hasil uji kualitatif enzim ekstraseluler. Lignin Mangan peroksidase Fenol Oksidase Peroksidase 1. B1 ++ ++ ++ 2. B2 ++ + + 3. B3 + + + 4. B4 + 5. B5 + 6. B6 + 7. B7 + Keterangan : (++) : positif kuat, (+) : positif lemah, (-) : negatif.
No.
Kode Sampel
Reaksi warna digunakan untuk menyelidiki enzim yang dikeluarkan oleh masing-masing kapang. Dari ketujuh sampel tersebut, lima diantaranya menunjukkan reaksi positif terhadap tanin (Tabel 3). Pada kapang B1 difusi coklat yang dihasilkan cukup banyak (++) dibandingkan dengan empat kapang lainnya yang hanya menunjukkan reaksi positif lemah ditandai dengan dihasilkannya sedikit difusi coklat pada medium. Reaksi negatif ditunjukkan oleh kapang B6 dan 33
B7. Hal ini menunjukkan bahwa kapang B1 menghasilkan enzim ekstraselular fenol oksidase yang lebih banyak dibandingkan kapang lainnya. Kapang B1 dan B2 menunjukkan reaksi positif yang kuat, sedangkan pada kapang B3 dan B7 menunjukkan reaksi positif lemah untuk uji kualitatif enzim lignin peroksidase (Tabel 3). Ini berarti pada kapang B1 dan B2 mengekskresikan enzim lignin peroksidase yang cukup banyak, sedangkan kapang B3 dan B7 hanya sedikit. Untuk kapang B4, B5 dan B6 menunjukkan reaksi yang negatif terhadap metilen biru. Kapang B1 menunjukkan reaksi positif yang kuat, sedangkan kapang B2, B3 dan B6 menunjukkan reaksi positif yang lemah, sementara ketiga kapang lainnya menunjukkan reaksi yang negatif. Dari ketiga hasil uji kualitatif ini, menunjukkan bahwa kapang yang menghasilkan enzim peroksidase, fenol oksidase, dan mangan peroksidase adalah kapang B1, B2, dan B3. Ketiga kapang ini yang selanjutnya akan digunakan untuk pengukuran parameter selanjutnya pada penelitian ini. 4.2. Perubahan pH Medium pada Masing-Masing Kapang Selama Proses Solubilisasi Perubahan pH merupakan hal yang menjadi salah satu faktor pengukuran dalam proses solubilisasi batubara. Perubahan nilai pH medium memiliki pola yang hampir sama pada masing-masing kapang (Gambar 12). Nilai pH medium selama proses solubilisasi berfluktuasi berkisar antara 3-4,5. Perubahan pH terjadi akibat adanya pertumbuhan atau metabolisme dari kapang.
34
Gambar 12. Grafik perubahan nilai pH medium selama proses solubilisasi batubara pada: (A) kapang B1, (B) kapang B2, (C) kapang B3. pH awal pada medium kontrol kapang B1 yaitu 4,55 sedangkan pada medium kapang yang ditambahkan batubara yaitu 3,845 (Gambar 12 A). Pada hari ke-7, pH keduanya mengalami penurunan. Penurunan pH pada hari ketujuh ini terjadi karena kapang masih mengkondisikan diri terhadap medium. Untuk medium kontrol, pH masih terus menurun hingga hari ke-14 dan mengalami 35
peningkatan yang tidak terlalu besar pada hari ke-21 dan ke-28. Untuk medium+batubara, pH meningkat pada hari ke 14 dan cenderung konstan hingga hari ke-28. Nilai perubahan pH pada isolat kapang B2 ditunjukkan pada Gambar 12 B. pH awal pada medium kontrol dan medium+batubara, yaitu 4,545 dan 3,795. Untuk medium kontrol, pH mengalami penurunan pada hari ke-7 dan meningkat lagi pada hari ke-14 dan cenderung konstan hingga hari ke-28. Untuk medium+batubara, pH juga mengalami penurunan yang cukup jauh pada hari ke-7 dan cenderung konstan hingga hari ke-28. Nilai perubahan pH pada isolat kapang B3 terlihat pada Gambar 12 C. pH awal pada medium kontrol, yaitu 4, 545 dan pada medium+batubara, yaitu 3,805. pH keduanya mengalami penurunan pada hari ke-7 dan meningkat kembali pada hari ke-14 dan cenderung konstan. Setelah hari ke-7 hingga hari ke-28, terlihat pada gambar bahwa pH kontrol lebih rendah dibandingkan pH sampel. Dari ketiga gambar tersebut, terlihat bahwa pH awal medium kontrol lebih besar daripada pH awal medium+batubara. Hal ini terjadi karena pada batubara terdapat senyawa-senyawa organik yang terlarut ke dalam medium, sehingga pH nya menjadi lebih asam. pH yang dihasilkan pada proses biosolubilisasi yang dilakukan oleh ketiga jenis kapang tersebut cenderung bersifat asam. Penurunan pH terjadi kemungkinan karena terbentuknya asam-asam organik seperti asam humat, asam fulvat, dan asam karboksilat (Cerniglia,1992). Selain itu, pada proses solubilisasi batubara juga terbentuk produk berupa fenol, aldehid dan keton (Shi et al., 2009). Fenol merupakan senyawa yang mengandung gugus benzen dan hidroksi, fenol bersifat asam dan mudah dioksidasi. Aldehid 36
terbentuk dari oksidasi alkohol primer, dan mempunyai kecenderungan untuk dioksidasi lebih lanjut menjadi asam karboksilat. Keton terbentuk dari oksidasi alkohol sekunder sehingga keton juga memiliki sifat asam Meningkatnya konsentrasi asam organik ini diduga terjadi karena batubara tersebut telah didegradasi oleh enzim lignin peroksidase, fenol oksidase, dan mangan peroksidase yang telah diuji pada uji kualitatif enzim pada tahap awal penelitian ini (Tabel 3). Selain terjadi penurunan pH, juga terjadi peningkatan pH selama proses biosolubilisasi. Peningkatan pH terjadi karena dihasilkannya senyawa ammonia dari hasil degradasi piridin pada batubara (gambar 13). Ammonia dihasilkan karena terbukanya cincin piridin menjadi pentanol dan ammonia (Du et al., 2010). Menurut Fakoussa dan Hofrichter (1998), senyawa alkali seperti ammonia dan amina berperan dalam proses biosolubilisasi karena senyawa alkali tersebut dapat meningkatkan hidrofilisitas sehingga batubara dapat bercampur dengan air dan medium.
Gambar 13. Reaksi dearomatisasi piridin (Du et al., 2010). Selain itu juga dihasilkan senyawa kimia alkali seperti amina dari kapang (Shi et al., 2009). Senyawa amina ini dihasilkan karena terjadi peningkatan jumlah sel kapang yang lisis. Sel yang lisis tersebut akan menyebabkan suasana medium menjadi lebih basa.
37
4.3. Tingkat Biosolubilisasi Batubara Berdasarkan Nilai Absorbansi Dalam proses pencairan (solubilisasi) batubara, tingkat solubilisasi diamati melalui absorbansi pada panjang gelombang 250 nm dan 450 nm. Pengukuran absorbansi pada panjang gelombang 250 nm dan 450 nm ini bertujuan untuk mengetahui produk hasil solubilisasi batubara oleh kapang (Selvi and Banerjee, 2007). Gambar 14 mempresentasikan performa masing-masing kapang dalam melakukan solubilisasi batubara melalui pendeteksian secara spektroskopik. Nilai absorbansi dari supernatan hasil fermentasi kapang pada panjang gelombang 250 nm bernilai antara 0 sampai 0,981 (Gambar 14). Pengukuran absorbansi pada panjang gelombang 250 nm ini bertujuan untuk mendeteksi adanya gugus fenolik (Selvi and Banerjee, 2007). Gugus fenolik merupakan gugus yang terdapat pada proses degradasi lignin.
Gambar 14. Absorbansi pada panjang gelombang 250 nm pada masing-masing kapang. Nilai absorbansi tertinggi pada λ 250 nm dimiliki oleh kapang B1 pada hari ke-28 yaitu 0,981. Pada hari ke-7 nilai absorbansi semua kapang meningkat, untuk kapang B1 nilai absorbansinya terus meningkat hingga hari ke-28. Peningkatan nilai absorbansi ini terjadi karena adanya proses biosolubilisasi batubara padat yang diurai menjadi batubara terlarut, dimana terbentuknya 38
senyawa fenol hasil solubilisasi senyawa lignin. Senyawa ini merupakan komponen terbesar penyusun batubara, dengan bantuan enzim lignin peroksidase yang mampu mengoksidasi unit non fenolik lignin dengan memotong ikatan CαCβ molekul lignin. Pemotongan tersebut merupakan jalur utama perombakan lignin oleh berbagai kapang pelapuk putih (Hammel, 1996) (Gambar 15).
Gambar 15. Reaksi degradasi lignin oleh enzim lignin peroksidase (Hammel, 1996). Untuk kapang B2 dan B3 nilai absorbansi menurun pada hari ke-14 hingga hari terakhir inkubasi. Penurunan absorbansi ini terjadi karena batubara yang sudah didegradasi dan melarut dalam bentuk senyawa yang lebih sederhana diurai kembali menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana (Perez et al.,2002). Penguraian menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana ini dilakukan oleh enzim lakase yang mengoksidasi unit fenolik dan mangan peroksidase (MnP) yang mendegradasi unit fenolik (gambar 16).
Gambar 16. Reaksi oksidasi unit non fenolik dan fenolik oleh enzim lakase (Lac) dan MnP (Perez et al., 2002).
39
Nilai absorbansi dari supernatan hasil fermentasi kapang pada panjang gelombang 450 nm bernilai antara 0 sampai 0,065 (Gambar 17). Pengukuran pada panjang gelombang 450 nm ini bertujuan untuk mengukur adanya ikatan terkonjugasi pada senyawa aromatik batubara (Selvi and Benerjee, 2007). Pada panjang gelombang 450 nm, senyawa yang terdeteksi adalah dengan sinar tampak. Nilai absorbansi tertinggi pada λ 450 nm dimiliki oleh kapang B1 pada hari ke-14, yaitu 0,065. Untuk kapang B1, nilai absorbansi sedikit meningkat pada hari ke-7 lalu meningkat tajam pada hari ke-14, yaitu dari 0,02 menjadi 0,065. Absorbansi pada kapang ini mengalami penurunan pada hari ke-21, lalu meningkat lagi pada hari ke-28. Pada kapang B3, nilai absorbansi terus mengalami sedikit peningkatan hingga hari ke-14 dan selanjutnya berfluktuasi hingga hari terakhir inkubasi. Untuk kapang B2, nilai absorbansi menurun pada hari ke-7 lalu mengalami peningkatan pada hari ke-14 dan berfluktuasi hingga hari inkubasi terakhir. Untuk panjang gelombang 450 nm, nilai absorbansi semua kapang meningkat pada hari ke-14.
Gambar 17. Absorbansi pada panjang gelombang 450 nm pada masing-masing kapang.
40
Nilai absorbansi yang meningkat terjadi karena senyawa-senyawa seperti humat yang ada pada permukaan batubara dilepaskan oleh kapang sehingga melarut ke dalam medium. Kemudian terjadi penurunan absorbansi yang terjadi karena senyawa-senyawa terkonjugasi tersebut didegradasi lebih lanjut menjadi fulvat dan senyawa alifatik (Arianto et al., 2005). Degradasi ini dilakukan oleh enzim lakase dan peorksidase yang mengakibatkan terputusnya ikatan-ikatan konjugasi pada senyawa tersebut (Cerniglia, 1992) (Gambar 18). Senyawa yang dihasilkan merupakan asam-asam organik, sehingga pH yang dihasilkan juga cenderung asam (Gambar 12).
Gambar 18. Reaksi degradasi poli aromatik hidrokarbon (Cerniglia, 1992). 41
Pada gambar terlihat jelas perbedaan nilai absorbansi hasil biosolubilisasi pada setiap kapang. Secara kualitatif terdapat perbedaan pada kekeruhan supernatan pada hari ke-0 dan seterusnya. Umumnya pada hari ke-0 supernatan berwarna lebih bening, pada hari selanjutnya menjadi cokelat lalu hitam. Hal tersebut menunjukkan telah ada batubara yang terlarut kemudian bercampur dengan medium (Sugoro et al., 2009). Pengujian
supernatan
dilakukan
secara
kuantitatif
menentukan nilai absorbansi. Perbedaan absorbansi
yaitu
dengan
menunjukkan adanya
perbedaan pada tingkat degradasi atau biosolubilisasi batubara oleh kapang melalui aktivitas enzim ekstraselular menjadi produk yang dapat larut atau mencair. Produk solubilisasi melalui depolimerisasi batubara adalah substansi campuran teroksidasi berwarna cokelat gelap bersifat larut dalam air yang memiliki berat molekuler menengah sekitar 30.000-300.000 Da (Selvi and Banerjee, 2007). Jika dibandingkan dengan kedua kapang lainnya, isolat kapang B1 memiliki nilai absorbansi tertinggi atau memiliki kemampuan tertinggi dalam mendegradasi batubara lignit. Kemampuan tersebut disebabkan kapang ini diduga menghasilkan tiga enzim ekstraselular yaitu peroksidase, fenol oksidase, dan mangan peroksidase yang lebih banyak dibanding dua isolat kapang lainnya. Namun, dalam prosesnya ternyata produk solubilisasi ini memiliki potensi untuk didegradasi lebih lanjut sehingga memungkinkan pula untuk terjadinya penurunan absorbansi (Ralph and Catcheside, 1994).
42
4.4. Kadar Protein Ekstraselular dalam Biosolubilisasi Batubara Kadar protein ekstraselular yang diukur dengan metode Lowry, sebagaimana tampak pada (Gambar 19) menunjukkan adanya perubahan kadar protein pada tiap jenis kapang. Kadar protein yang terukur adalah kadar protein ekstraseluler (mg/ml). Pengukuran kadar protein ekstraseluler bertujuan untuk mengetahui seberapa besar enzim ekstraseluler diekresikan oleh kapang. Kadar protein ekstraseluler pada kapang B1 (Gambar 19 A) memiliki nilai yang berfluktuasi. Pada medium kontrol, nilai kadar protein naik hingga hari ke14 inkubasi dan kemudian menurun hingga hari ke-28 inkubasi. Nilai kadar protein tertinggi terdapat pada hari ke-14. Untuk medium yang mengandung batubara, nilai kadar protein meningkat hingga hari ke-14 dan berfluktuasi hingga hari ke-28. Nilai kadar protein tetinggi pada medium yang mengandung batubara terdapat pada hari ke-28 inkubasi. Nilai kadar protein ekstraseluler kapang B2 (Gambar 19 B) pada medium yang mengandung batubara berkisar antara 0 sampai 0,21 mg/ml. Nilai kadar protein tertinggi terdapat pada hari terakhir inkubasi. Untuk medium kontrol, nilai kadar protein meningkat tajam pada hari ke-14 dan berfluktiatif hingga hari ke-28 inkubasi. Nilai kadar protein ekstraseluler pada kapang B3 (Gambar 19 C) bernilai antara 0 sampai 4,95 mg/ml. Nilai tertinggi pada medium yang mengandung batubara terdapat pada hari ke-21, yaitu sebesar 0,69 mg/ml. Pola yang hampir sama terlihat pada kedua medium, yaitu meningkat pada hari ke-7 dan 21 inkubasi lalu menurun pada hari ke-14 dan 28 inkubasi.
43
Gambar 19. Kadar protein ekstraselular selama biosolubilisasi batubara oleh (A) Kapang B1, (B) Kapang B2, (C) Kapang B3. Dari ketiga gambar di atas (Gambar 19), dapat dilihat bahwa nilai kadar protein ekstraseluler
masing-masing
kapang
mengalami
penurunan
dan
peningkatan. Untuk kadar protein yang nilainya besar menandakan bahwa kadar 44
protein yang terdapat pada sampel tersebut cukup besar dan juga sebaliknya. Secara kualitatif terdapat perbedaan kekeruhan warna pada masing-masing sampel yang telah ditambahkan larutan lowry. Warna yang dihasilkan mulai dari bening hingga biru pekat (Lampiran 10 gambar 6). Biosolubilisasi terbesar pada hari ke-21 untuk kapang B1 dan hari ke-7 untuk kapang B2 dan B3 (Gambar 14 dan 17) memiliki kadar protein ekstraseluler yaitu 0,2263 mg/ml, 0,1803 mg/ml, dan 0,3024 mg/ml (Gambar 19). Hal ini juga terlihat pada keadaan pH medium pada hari ke-21 untuk kapang B1 mengalami sedikit peningkatan yang menandakan dihasilkannya senyawa alkali (Gambar 12 A). pH medium pada hari ke-7 untuk kapang B2 dan B3 mengalami penurunan karea terbentuknya asam-asam organik (Gambar 12 B & 12 C). Senyawa alkali dan asam-asam organik ini terbentuk karena adanya proses biosolubilisasi batubara. 4.5. Elektroforesis Protein Analisis elektroforesis kandungan protein masing-masing supernatan diperoleh setelah adanya pertumbuhan jamur pada batubara yang menunjukkan beberapa spesifikasi protein ekstraselular, dimana protein-protein ini berperan dalam proses biosolubilisasi batubara. Ketika solubilisasi batubara tercapai, enzim lignin peroksidase (LiP), mangan peroksidase (MnP), dan fenol oksidase terdeteksi dalam kultur supernatan (Laborda et al., 1998). Hasil elektroforesis SDS-PAGE memperlihatkan gambaran karakteristik enzim masing-masing kapang.
45
Gambar 20. Hasil analisis elektroforesis. Karakteristik enzim ekstraseluler pada (1) medium+batubara kapang B1, (2) medium kontrol kapang B1, (3) medium+batubara kapang B3 , (4) medium kontrol kapang B3, (5) medium+batubara kapang B2, (6) medium kontrol kapang B2. Nilai kadar protein yang menunjukkan solubilisasi terbesar (Gambar 19) kemudian dikarakterisasi dengan elektroforesis SDS-PAGE. Karakteristik enzim masing-masing kapang pada medium yang mengandung batubara menunjukkan karakteristik enzim yang berbeda. Pada kapang B1 enzim yang dihasilkan yaitu lakase (BM=54,8 kDa), MnP (BM=38,21 kDa) dan enzim yang belum diketahui karakteristiknya (BM=134,96 kDa, 29,69 kDa dan 26,64 kDa). Pada kapang B2 enzim yang dieskresikan yaitu enzim lakase (BM= 54,8 dan 73,12 kDa), MnP (BM=38,21), LiP (BM=45,76 kDa), dan enzim yang belum diketahui karakteristiknya (BM=26,64 kDa). Pada kapang B3 enzim yang dihasilkan yaitu enzim LiP (BM=45,76 kDa), MnP (BM=38,21 kDa), lakase (BM=54,8 kDa), dan dua enzim lainnya yang belum diketahui karakteristiknya (BM=29,69 dan 26,64 kDa) (Gambar 20). Enzim-enzim ekstraseluler yang terlibat dalam proses biosolubilisasi batubara adalah LiP, esterase, fenol oksidase atau lakase, dan MnP (Laborda et 46
al., 1998; Fakuosa and Hofrichter, 1999). Intensitas protein yang berbeda, kemungkinan disebabkan jumlah protein yang dielektroforesis relatif rendah. Karakteristik enzim hasil elektroforesis dengan SDS PAGE berbeda dengan hasil uji kualitatif enzim pada kapang B1 (Tabel 3). Pada uji kualitatif enzim (Tabel 3) dihasilkan ketiga enzim ekstraseluler pada masing-masing kapang. Namun, pada hasil elektroforesis tidak semua enzim dihasilkan. Hal ini terjadi mungkin karena adanya perbedaan substrat pada saat uji kualitatif dengan saat elektroforesis. Penetapan enzim secara kualitatif tidak dapat memberikan indikasi yang tepat mengenai kemampuan produksi enzim yang sebenarnya (Artiningsih, 2006). Pada kontrol (tanpa batubara) (Gambar 20) juga terlihat adanya karakteristik enzim-enzim yang juga berperan dalam proses solubilisasi batubara. Untuk kapang B1 kontrol tidak terdeteksi ketiga enzim tersebut, tetapi hanya terdeteksi enzim pada BM=26,64 kDa, sedangkan pada kapang B2 dan B3 kontrol terdeteksi enzim LiP (45,76 kDa), MnP (38,21), dan lakase (54,8 ; 73,12 kDa). Jadi, masih harus dibuktikan apakah enzim ligninolitik bertanggung jawab langsung atas solubilisasi batubara. Kehadiran mikroorganisme sangat berperan dalam solubilisasi batubara. Selain enzim ekstraseluler yang larut, beberapa komponen dari dinding sel kapang juga bisa berperan dalam proses itu. Selain itu, kestabilan sel jamur pada partikel batubara bisa memberi sebuah keuntungan lebih dari enzim terlarut dalam proses biosolubilisasi. (Laborda et al.,1998). 4.6.
Analisis Hidrolisis Fluorescent Diacetate (FDA) Fluorescent Diacetate (FDA) adalah suatu senyawa yang memiliki
kemampuan untuk menghasilkan fluoresen pada saat terhidrolisis. Selain ketiga enzim seperti lakase, lignin peroksidase dan mangan peroksidase ternyata masih 47
ada enzim ektraseluler lain yang berperan dalam proses biosolubilisasi batubara seperti esterase. Prinsip penggunaan FDA adalah kemampuan FDA untuk berikatan dengan enzim esterase untuk menghasilkan fluoresensi yang dapat dibaca nilai absorbansinya. Aktivitas dari enzim ini akan menghasilkan senyawa yang berpendar berwarna kuning. (Breeuwer, 1996) (gambar 21).
(a)
(b) Gambar 21. (A) Reaksi hidrolisis FDA oleh enzim (Breeuwer, 1996), (B) reaksi hidrolisis ester oleh esterase (Robert Edward Groups, 2006). Untuk medium kontrol, nilai absorbansi FDA kapang B1 berkisar antara 0 sampai 1,12, sedangkan untuk medium+batubara nilai absorbansinya berkisar antara 0 sampai 0,55 (Gambar 22 A). Nilai absorbansi FDA pada kedua medium terus meningkat dari hari ke-7 hingga hari terakhir inkubasi. Jika dibandingkan dengan nilai solubilisasi (Gambar 17), juga terlihat perbedaan pola absorbansi antara FDA dengan solubilisasi pada hari ke-21. Pada hari ke-21 solubilisasi menurun, tetapi aktivitas FDA terus meningkat.
48
Gambar 22. Absorbansi FDA pada: Kapang B1 (A), Kapang B2 (B), Kapang B3 (C). Pola absorbansi FDA antara medium kontrol dan medium+batubara terlihat serupa yaitu terus meningkat hingga hari terakhir inkubasi (Gambar 22 B). Nilai absorbansi terendah terdapat pada medium+batubara, yaitu sebesar 0,053 dan nilai absorbansi tertinggi terdapat pada medium kontrol, yaitu 0,5. Jika 49
dibandingkan dengan nilai absorbansi solubilisasi (Gambar 17), terlihat bahwa ada perbedaan pola antara absorbansi FDA dengan solubilisasi. Misalnya saja pada hari ke-21, nilai absorbansi FDA meningkat sementara solubilisasinya menurun, kemungkinan hal ini terjadi karena enzim yang berperan dalam solubilisasi batubara pada hari tersebut adalah enzim esterase yang menghidrolisis FDA, bukan enzim-enzim oksidatif yang berperan. Nilai absorbansi FDA tertinggi pada kapang B3 dimiliki oleh medium kontrol, yaitu sebesar 1,59, dan nilai absorbansi terendah dimiliki oleh medium+batubara, yaitu sebesar 0,092 (Gambar 22 C). Absorbansi tertinggi pada medium+batubara terdapat pada hari ke-14, yaitu sebesar 0,68. Hasil yang diperoleh pada absorbansi FDA ini berbanding lurus dengan nilai solubilisasi tertinggi pada kapang B3, yaitu pada hari ke-14 (Gambar 17). Ini berarti enzim esterase juga berperan dalam proses biosolubilisasi batubara oleh kapang B3. Absorbansi FDA yang meningkat menandakan meningkatnya jumlah FDA terhidrolisis karena kapang mulai mengekskresikan enzim. Substrat batubara didegradasi menjadi molekul-molekul yang lebih kecil. Terhidrolisisnya FDA dapat dilihat pada panjang gelombang 490 nm yang menunjukkan jumlah enzim ekstraseluler seperti esterase yang dihasilkan oleh kapang (Breeuwer, 1996). Esterase adalah enzim yang memecah ikatan ester pada batubara dengan cara hidrolisis (Laborda et al.,, 1998). Absorbansi FDA yang menurun terjadi karena menurunnya jumlah FDA yang terhidrolisis. Penurunan ini diduga terjadi karena berkurangnya konsentrasi substrat yang terdapat dalam medium. Akibatnya enzim yang dikeluarkan oleh
50
kapang untuk memecah substrat batubarapun menjadi berkurang sehingga aktivitasnya menurun. Namun, aktivitas enzim dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya adalah pertumbuhan dari kapang itu sendiri dan pH media, sehingga dapat mempengaruhi tingkat solubilisasi batubara. Dilihat dari grafik, jumlah aktivitas enzim berfluktuasi karena batubara bersifat kompleks dan heterogen (Laborda et al., 1999), sehingga enzim yang dikeluarkan kapang berbeda-beda. Kemampuan dari setiap kapang dalam mendegradasi lignin berbeda-beda sehingga jumlah kapang yang tinggi belum bisa dipastikan bahwa enzim ekstraseluler pendegradasi lignin dapat dihasilkan aktivitas enzim tinggi juga. Hal ini dapat terlihat antara solubilisasi batubara dengan aktivitas enzim. 4.7. Analisis Hasil Solubilisasi Batubara oleh Kapang Menggunakan GCMS Identifikasi senyawa kontrol serta hasil biosolubilisasi kapang dinyatakan dalam persentase area. Persentase area tersebut diperoleh dari jumlah total sampel yang diinjeksi. Hasil identifikasi senyawa kontrol (tanpa kapang) menggunakan GCMS menunjukkan kontrol terdeteksi 17 senyawa, hasil biosolubilisasi kapang B1 terdeteksi 13 senyawa, B2 terdeteksi 34 senyawa, B3 terdeteksi 34 senyawa, (Tabel 4). Dalam pengujian ini, sampel yang digunakan adalah perwakilan dari setiap kapang yang memiliki hasil absorbansi solubilisasi terbesar pada berbagai waktu inkubasi, dimungkinkan pada absorbansi tertinggi tersebut akan mendapatkan hasil yang optimal untuk mendapatkan senyawa yang dibutuhkan dalam pembentukan bahan bakar seperti bensin dan solar. Puncak-puncak yang muncul pada kromatogram dari kontrol (tanpa isolat kapang) dibandingkan dengan perlakuan. Ada senyawa-senyawa yang mengalami 51
peningkatan, pengurangan persen area dan pembentukan senyawa baru karena proses degradasi batubara (Sugoro et al., 2009). Berdasarkan hasil identifikasi senyawa dari kontrol, diperoleh rantai karbon yang lebih panjang yang tidak terdapat pada perlakuan solubilisasi dengan jenis kapang yang berbeda, yaitu nHeneikosilsiklopentana (C26H52), 2,6,10,14-tetrametilheksadekana (C20 H42), dan n-Nonakosana (C 29H60). Tabel 4. Senyawa Hasil Biosolubilisasi Batubara Menggunakan GC-MS No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Nama Senyawa Toluene (C7H8 ) Stirena (C8H8) 4-metilheptana (C8H18) n-oktana (C8H18) 2,4-Dimetil-1-heptena (C9H18) 3-etil-2-metilheksana (C9H20) 2,3,3-trimetilheksana (C9H20) 2,3,4-trimetilheksana (C9H20) 2,3,5-trimetilheksana (C9H20) 4-Metiloctana (C9H20) Azulena (C10H8) Naftalen ( C10H8 ) 3,4,5-trimetilheptana (C10 H20) 2,4,6-trimetilheptana (C10 H22) 3,3,6-trimetilheptana (C10 H22) 3-etil-3-metilheptana (C10H22 ) 3,3-dimetiloktana(C10H22) 2,3,3-trimetiloktana (C11H24) 4,5,-dimetilnonana (C11H24) 2,4-dimetil-1-dekena (C12H24) 3,7-Dimetildekana (C12H26) n-Dodekana (C12H26) 5-Butilnonana (C13H28) 5-metil-5-propilnonana (C13H28) 5-isobutilnonana (C13H28 ) 5-etil-5-metildekana (C13H28) Nonilsiklopentana (C14H28) 4,6-Dimetildodekana (C14H30 ) n-Tetradekana (C14H30) Undesilsiklopentane (C16H32)
% Area Kontrol Perlakuan (tanpa kapang) B1 B2 B3 0,31 0,23 0,06 0,36 0,54 0,05 0,64 1,75 2,49 1,82 5,46 0,58 2,82 0,41 0,29 9,27 1,04 1,27 8,98 31,54 30,38 46,16 0,81 0,08 0,53 12,6 0,82 1,45 1,18 1,19 5,19 3,42 5,05 8,60 0,48 0,67 0,80 0,93 0,61 0,44 0,96 2,34 0,35 0,35 2,05 1,79 5,70 5,21 2,45 3,38 1,63 8,94 2,22
52
47
n-heksadekana (C16H34) 2-Metilheksadekana (C17H36 ) n-Heptadekana (C17H36 ) 2,6,10-Trimetiltetradekana (C17H36) 3-metilheptadekana (C18H38) 8-metilheptadekana (C18H38) n-Oktadekana (C18H38) 3-metiloktadekana (C19H40) n-Nonadekana (C19H40) 1-nonadekena (C19H38) 2,6,10,14-tetrametilheksadekana (C20H42) 2,6,11,15tetrametilheksadekana(C20H42 ) n-eikosan (C20H42) n-heneikosan (C21H44) 3-metileikosan (C21H44) 2,4-dimetileikosan (C22H46) n-dokosana (C22H46)
48
n-tetrakosan (C24H50)
49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60
n-Heneikosilsiklopentana (C26H52) n-Nonakosana (C29H60) n-heksatriakontana (C36H74) Tetrakontana (C40H82) Tetrapentakontana (C54H110) 8-heksilpentadekana (C21H44) n-tridekana (C13H28) 4-butil-2-metiloktana (C13H28) Etilbenzena (C8H10) β-terpinilasetat Metil trikloroasetat (C3H3Cl3O2) Etiltrikloroasetat (C4H5Cl3O2) 4-hidroksi-4-metil-2-pentanon (C6H12O2 ) Total % Area Jumlah senyawa
31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46
61
2,42 7,56 0,48 2,43 11,69 -
8,14 8,34 -
5,67 1,78 1,78 5,65 6,09 -
6,60
-
-
-
-
4,15
-
-
2,67 -
-
-
1,31
-
-
5,12
3,05 18,73 -
4,92 -
7,34 6,51 15,85 0,05 0,34 1,32 1,20
-
-
0,13
100 17
100 13
100 34
0,75 1,24 0,23 0,82 8,04 1,44 0,81 3,09 0,98 0,71 3,21 1,46 0,73 1,15 1,65 0,14 3,56 100 34
Keterangan : Kontrol : MSS+ + batubara Perlakuan : MSS+ + batubara + kapang Senyawa pada kontrol (tanpa isolat kapang) yang semula ada menjadi tidak ada setelah diberi perlakuan dan diinkubasi ini terjadi karena selama masa inkubasi, kapang menggunakan sumber karbon pada senyawa batubara tersebut 53
untuk proses metabolismenya dan terjadinya proses solubilisasi batubara. Dengan kata lain, senyawa tersebut telah didegradasi oleh kapang menjadi senyawa dengan rantai yang lebih pendek selama proses solubilisasi berlangsung. Senyawa hidrokarbon yang terbentuk selama proses biosolubilisasi adalah tiga sampai lima puluh empat atom karbon (C3-C54). Hasil analisis hidrokarbon pada kapang B1 yang mendegradasi batubara memiliki sembilan sampai dua puluh satu atom karbon (C9-C21). Senyawa baru yang terbentuk adalah 2,3,4-trimetilheksana (C9 H20), 4,5-dimetilnonana (C11H24), 2,3,3-trimetiloktana (C11H24), 5-isobutilnonana (C13H28), 8-heksilpentadekan (C21H44), 5-etil-5-metildekana (C13H28), dan undesilsiklopentana (C16H32). Selain terbentuk senyawa baru, pada kapang B1 ini juga terjadi penambahan persen area pada senyawa naftalena dari 30,38% menjadi 46,16%. Hasil analis senyawa GCMS pada kapang B2 yang mendegradasi batubara memiliki tiga sampai lima puluh empat atom karbon (C7-C54). Pada kapang ini tidak dihasilkan senyawa naftalena, sementara pada kontol senyawa ini dihasilkan dalam persen area yang paling besar. Hal ini terjadi karena senyawa naftalena ini telah didegradasi menjadi senyawa lain yang lebih sederhana oleh kapang B2. Pada hasil analisis GCMS, terlihat bahwa adanya senyawa-senyawa baru yang terbentuk selama proses solubilisasi batubara. Senyawa baru yang terbentuk sebanyak 23 senyawa (tabel 4). Pada kapang B3, hasil analisis GCMS menunjukkan senyawa hidrokarbon yang terbentuk selama solubilisasi batubara adalah tujuh sampai dua puluh empat atom karbon (C7-C24). Analisis pada kapang ini menunjukkan adanya peningkatan persen area pada senyawa naftalena dari 30,38% menjadi 31,54%. Senyawa baru 54
yang terbentuk pada solubilisasi oleh kapang B3 ini sebanyak 21 senyawa. Selain itu, juga terjadi peningkatan dan penurunan persen area pada senyawa-senyawa yang ada pada kontrol. Penurunan komposisi dan konsentrasi senyawa mengindikasikan terjadinya degradasi (Walker and Colwell, 1974). Degradasi senyawa-senyawa yang ada pada batu bara (kontrol) menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana terjadi karena adanya enzim-enzim ekstraseluler. Deradasi senyawa alifatik rantai panjang seperti 2, 6, 10-trimetil tertradekana (C17 H36), n-oktadekana (C18H38) dan senyawa lainnya kemungkinan terjadi karena adanya enzim lignin peroksidase (LiP) yang memtus ikatan-ikatan nonfenolik. Untuk senyawa-senyawa siklik dan siklik aromatik seperti naftalen (C10H8), n-heneisilsiklopentana (C26H52) dan senyawa lainnya menjadi senyawasenyawa yang lebih sederhana karena adanya aktivitas dari enzim lakase dan mangan peroksidase (MnP). Kapang B1, B2 dan B3 mengekskresikan enzim lakase yang mendegradasi senyawa fenolik (Gambar 20). Hal ini sesuai dengan karakterisasi produk biosolubulisasi batubara, dimana senyawa n-heneilsiklopentana didegradasi menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana. Untuk kapang B2 dan B3 terdeteksi enzim lakase, MnP, dan LiP. Diduga senyawa n-heneilsiklopentana didegradasi oleh enzim lakase. Enzim MnP mendegradasi senyawa naftalen, sedangkan enzim LiP mendegradasi senyawa-senyawa nonfenolik. Senyawa nonfenolik yang didegradasi oleh LiP antara lain n-nonadekana, 4-metiloktana dan senyawa lainnya menjadi senyawa yang lebih sederhana, seperti 5-etil-5metildekana (Tabel 4). Untuk kapang B1 enzim LiP tidak terdeteksi, mungkin
55
enzim ini dapat diproduksi di awal pertumbuhan, bertindak dalam tahap solubilisasi sebelum kehilangan kegiatannya (Gambar 20) (Laborda et al., 1998). Formulasi kimia yang masuk ke dalam fraksi bensin memiliki jumlah atom karbon sebanyak 4 sampai 12 (American Petroleum Institute, 2001). Tiga komponen utama bensin yaitu parafin (misalnya oktana), naften (CnH2n) misalnya sikloheksana, dan aromatik (misalnya benzen). Hasil degradasi batubara oleh kapang berpotensi sebagai energi alternatif penganti bahan bakar minyak yang setara dengan bensin karena kapang-kapang tersebut mampu mendegradasi batubara yang kompleks menjadi senyawa dengan rantai karbon 4 sampai 12 dengan persentase cukup tinggi. Kapang B3 menghasilkan persentase area yang lebih tinggi dibanding kedua kapang lainnya, yaitu 65,65% sedangkan kapang B1 menghasilkan persentase area dengan nilai 56,66% dan kapang B2 dengan nilai terendah yaitu 30,41% (Gambar 23).
Gambar 23. Persentase area senyawa komponen bensin dan solar hasil biosolubilisasi batubara pada masing-masing kapang. Selain dapat digunakan sebagai energi alternatif pengganti bensin, hasil biosolubilisasi batubara juga dapat dijadikan sebagai alternatif bahan bakar solar. Solar memiliki jumlah atom karbon 13 sampai 18 (Nolasari et al., 2007). 56
Komponen utama solar adalah heksadekan (C16H34) dan oktadekan (C18 H38) (Hidayat, 2007). Persentase area tertinggi dihasilkan pada biosolubilisasi oleh kapang B1, yaitu sebesar 38,43%. Selanjutnya kapang B2 menunjukkan persentase sebesar 14,04%, dan kapang B3 sebesar 10,03% (Gambar 23). Persentase area yang dihasilkan oleh senyawa yang setara dengan bensin jauh lebih besar daripada persentase area yang dihasilkan oleh senyawa yang setara dengan solar (Gambar 23). Kapang B3 memiliki persentase area tertinggi pada bensin, tetapi menghasilkan persentase area terendah pada solar. Dengan demikian, kapang yang paling baik untuk pembentukan senyawa bensin dari batubara adalah kapang B3. Akan tetapi, kapang B1 memiliki persentase area solar tertinggi dan persentase bensin yang cukup besar pula. Ini menunjukkan bahwa kapang B1 berpotensi untuk menghasilkan senyawa bensin dan juga solar. Kapang B2 menunjukkan potensi yang lebih kecil dibanding kedua kapang lainnya dalam menghasilkan senyawa yang setara dengan bensin dan juga solar. Hal ini menunjukkan bahwa senyawa kompleks yang terdapat pada batubara lebih banyak didegradasi menjadi senyawa yang setara dengan bensin dibandingkan dengan solar. Pemutusan rantai karbon dari senyawa polisiklik aromatik hidrokarbon pada batubara lebih banyak menghasilkan senyawa dengan rantai karbon yang pendek.
57
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan 1. Kadar protein ekstraseluler pada solubilisasi terbesar yaitu 0,2263 mg/ml (kapang B1), 0,1803 mg/ml (kapang B2), dan 0,3024 mg/ml (kapang B3). 2. Profil enzim ekstraseluler pada setiap kapang berbeda-beda. Pada kapang B1, B2, dan B3 terdeteksi enzim lakase (BM=54,8 kDa dan 73, 12 kDa) dan mangan peroksidase (BM=38,12 kDa). Enzim lignin peroksidase (BM=45,76 kDa) hanya terdeteksi pada kapang B2 dan B3. 3. Karakteristik senyawa hidrokarbon hasil biosolubilisasi batubara yang mendekati senyawa bensin dengan persentase terbesar terdapat pada kapang B3 (65,65%) dan mendekati senyawa solar terbesar pada kapang B1 (38,43%). 5.2. Saran Perlu dilakukan pengukuran kinetika enzim, analisis terhadap solar dan bensin murni serta penggunaan enzim murni dalam proses biosolubilisasi.
58
DAFTAR PUSTAKA Akhtar, M., R.A. Blanchette and T.K. Kirk. 1997. Fungal delignification and biomechanical pulping of wood. Advances in Biochemical Enginering Biotechnology. 57:138-144. American Coal Foundation. 2007. Coals journey. http://www.coaljourney.htm, 24 Februari 2009, pk. 17.00 WIB.
Apriyanto, A., D. Fardiaz, N.L. Puspitasari, Sedarnawati, S. Budiyanto. 1989. Analisis Pangan. Penelaah: D. Muchtadi. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor. Arianto, D.P., Indro W. dan Hery W. 2005. Pengaruh Jarak Buangan Air Limbah Industri di Daerah Jaten-Karanganyar terhadap Kadar Chromium dalam Air dan Tanah Permukaan Saluran Air Pungkuk. Caraka Tani 5(2):20-29. Arora, D.S. & D.K. Sandhu. 1985. Laccase Production and Woods Degradation by a white-rot-fungus Daedalea Flavida. Enzyme Microb. Technol. 7: 405408. Artiningsih, Typuk. 2006. Aktivitas Ligninolitik Jenis Ganoderma pada Berbagai Sumber Karbon. Bogor: balai Penelitian Mikrobiologi, Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Breeuwer, P. 1996. Assesment of Viability of Microorganism Employing Fluorescene Techniques. Wageningen. Cerniglia. 1992. Biodegradation of Polycyclic Aromatic Hydrocarbons, in: Biodegradation Journal, vol 3. Kluwer Academic Pub. Natherland. P. 227361. Cohen, S.M., B.W. Wilson and R.M. Bean. 1990. Enzymatic solubilization of coal. In: Wise, L.D. (editor). Bioprocessing and Biotreatment of Coal. Marcel Dekker Inc. New York. Day, R. A & Underwood, A. L. 2002. Analisis Kimia Kuantitatif. Jakarta : Erlangga. Deacon, J. W. 1997. Modern Micology. New York: Blackwell Science. Dohse, J., U. Holker and M. Hofer. 2002. Extracellular Laccases in Ascomycetes Trichoderma atroviride and T. harzianum. Folia Microbiol. 47(4): 423427.
59
Du Ying*, Tao Xiuxiang, Shi Kaiyi, LI Yang. 2010. Degradation of Lignite Model Compounds by the Action of White Rot Fungi. China: School of Chemical Engineering and Technology, China University of Mining & Technology, Xuzhou, Jiangsu. Faison, B.D., C.D. Scott and B.H. Davidson. 1989. Biosolubilization of coal in aqueous and non-aqueous media. Biotechnol. Bioeng. Fakoussa, R.M and Hofrichter, M. 1998. Biotechnology and Microbiology of Coal Degradation-Mini Review. Gandjar, I., W. Sjamsuridzal dan A. Oetari. 2006. Mikologi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Garfin, David E. 2003. Gel Electrophoresis of Proteins. Oxford UK: Oxford University. Glenn JK, Morgan MA, Mayfield MB, Kuwahara M, Gold MH. 1983. An Extracellular H2O2 – Requiring Enzyme Preparation Involved in Lignin Biodegradation by The White Rot Basidiomycete Phanerochaete chrysosporium. Arh Biochem Biophys 242: 392-341. Gupta, R.J. and D.L. Crawford. 2000. Microbial depolymerization of coal. In: Crawford, D.L. (editor). Microbial Transformations of Low Rank Coals. CRC Press. USA. Hatakka, A. 2001. Biodegradation of lignin. In: Steinbuchel, A. (editor). Biopolymers. 1: 129-180. Hammel, K. E. 1996. Extracelluler free radical biochemistry of ligninolytic fungi. New J Chem. 20: 195-198. Hames. B.D. 1998. Gel Electrophoresis of Proteins. Oxford University Press. New York. Hidayat, N., M.C. Padaga dan S. Suhartini. 2006. Mikrobiologi Industri. Yogyakarta: ANDI. Hidayat, R.P. 2007. Uji kinerja minyak pala, minyak gandapura, minyak cengkeh, dan dual komposisi antara minyak pala dengan minyak cengkih sebagai bioaditif untuk bahan bakar solar. Skripsi : Jurusan Kimia Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung.
60
Holker, U., H. Schmiers, S. Grobe, M. Winkelhofer, M. Polsakiewicz, S. Ludwig, J. Dohse and M. Hofer. 2002. Solubilization of low-rank coal by Trichoderma atroviride evidence for the involvement of hydrolytic and oxidative enzymes by using 14C-labelled lignite. Journal of Industrial Microbiology and Biotechnology. 28: 207-212. Ishihara, T. 1980. The Role of Laccase in Lignin Biodegradation. Microbial. Chem.Poten. App. 2: 17-30. Kersten, P.J., B. kalyanaraman, K.E. Hammel, B. Reinhamar and T.K. Kirk. 1990. Comparation of lignin peroxidase, horseradish peroxidase and laccase in the oxidation of methoxybenzenes. Biochem. J. (268):475-480. Khopkar, S.M. 2003. Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta : UI-Press. Laborda, F., I.F. Monistrol, N. Luna and M. Fernandez. 1998. Processes of Liquefaction or Solubilization of Spanish Coal by Microorganism. Appl. Microbiol. Biotechnol. 57: 49-56. Nolasari, Inti Paramita, Syafei, dan Ari Dipareza. 2007. Prediksi Jumlah Karbon yang Tidak Terserap oleh Pepohonan Akibat Penebangan Hutan dan Emisi Kendaraan pada Rencana Ruas Jalan Timikaenarotali. Surabaya : Institut Teknik Sepuluh November. Perez, J., J. Munoz-Dorado, T. de la Rubia and J. Martinez. 2002. Biodegradation and biological treatment of cellulose, hemicellulose and lignin. Introduction Microbial. (5): 53-63. Poedjiadi, Anna & Titin Supriyanti. 2007. Dasar-Dasar Biokimia. Jakarta: UI Press. Ralph,J.P. and D.E.A. Catcheside. 1994. Decolourisation and Depolymerisation of Solubilised Low Rank Coal by The White-rot Basidiomycete Phanerochate crysosporium. Appl Microbiol Biotechnol 42: 536-542. Reiss, J. 1992. Studies on the solubilization of German coal by fungi. Apply Microbiol Biotechnol. Apply Microbiol Biotechnol. 37:830-832. Robert Edwards Groups. 2006. Carboxylesterase activities toward pesticide esters in crops and weeds. http://www.dur.ac.uk/d.p.dixon/esterase.php. 11 Februari 2011, pk.10.00 WIB. Rumidi, Sukandar. 1995. Batubara dan Gambut. Yogyakarta: UGM Press. Selvi, V.A. and R. Banerjee. 2006. Coal Biotechnlogy : Bio-conversion of Different Rank Indian Coal for The Extraction of Liquid Fuel and Fertilizer 25: 1713-1720. 61
Shi Kai Yi, Tao Xiu-xiang, Yin Su-dong, Du Ying and Lv Zuo-peng. 2009. Bioliquefaction of Fushun Lignite : characterization of newly isolated ligite liquefying fungus and liquefaction products. The 6th International Conference on Mining Science & Tech. Procedia earth and Planetary Science (2009) 627-633 Silva, M.E., C.J. Vengadajellum, H.A. Janjua, S.T.L. Harrison, S.G. Burton and D.A. Cowan. 2007. Degradation of low rank coal by Trichoderma atroviride ES11. Journal of Industrial Microbiology and Biotechnology. 34:625–631. Speight, J.G. 1994. The Chemistry and Technology of Coal, 2nd edition, Revised and Expanded. Marcel Dekker Inc. New York. Sugoro, I., T. Kuraesin, M.R. Pikoli, S. Hermanto, P. Aditiawati. 2009. Isoloasi Seleksi Fungi Pelaku Solubilisasi Batubara Subbituminous. Jurnal biologi Lingkungan 3: 75-87. Tanaka. S. 1999. Bulletin of The Japan Institute of Energy, p.78 (798). Tao Xiu-xiang, Shi Kai-yi, Yin Su-dong. 2009. Bio-solubilization of Chinese Lignite I: Extra-Cellular Protein Analysis. China: School of Chemical Engineering and Technology, China University of Mining & Technology, Xuzhou, Jiangsu. Tien M, Krik TK. 1983. Lignin-Degrading Enzyme From The Hymenocete Phanerochaete chrysosporium. Burds. Science 221: 661-663. Wahyuni, D.N. 2009. Potensi batubara Indonesia 105 http://www.detikfinance.com, 28 Mei 2009, pk. 7.22 WIB.
miliar
ton.
Walker, J.D. and R.R. Colwell. 1974. Microbial petroleum degradation: Use of Mixed hydrocarbon substrates. Apply Microbiol. 27 (6): 1053-1060. Ward, B. 1990. Isolation and application of coal-solubilizing microorganism. In: Wise, L.D. (editor). Bioprocessing and Biotreatment of Coal. New York: Marcel Dekker Inc. Whetstine, M. E. C, J. Parker, M. A. Drake, and D. K. Larick. 2003. Determining flavor and flavor variability in commercially produced liquid Cheddar whey. J. Dairy Sci. 86 : 439-448. YIN Su-dong, TAO Xiu-xiang, SHI Kai-yi. 2009. Bio-solubilization of Chinese Lignite II: Protein Adsorption onto the Lignite Surface. Canada: Department of Mechanical Engineering, University of Calgary. China: School of Chemical Engineering and Technology, China University of Mining & Technology, Xuzhou. Yuwono, Triwibowo. 2005. Biologi Molekular. Jakarta: Erlangga 62
LAMPIRAN Lampiran 1. Komposisi Medium Tabel 1. Medium Potato Dextrose Agar (PDA) Bahan Jumlah PDA
7,8 g
Akuades
200 ml
Tabel 2. Medium Minimal Salt (MMS) Bahan Jumlah NH4(SO4)
1g
MgSO4.7H2O
0,52 g
KH2PO4
5g
FeSO4
0,005 g
ZnSO4.7H2O
0,003 g
Akuades
1 liter
Tabel 3. Medium Minimal Salt Solution+ (MSS+) Bahan
Jumlah
Medium MMS
250 ml
Sukrosa
2,5 g
63
Lampiran 2. Skema Kerja
Batubara Lignit
Kultur stok kapang
Peremajaan kultur spora kapang
Inokulum Spora
Inkubasi Suhu ruang, shaking inkubator 120 rpm
0 hari
7 hari
14 hari
21 hari
28 hari
Analisis hidrolisis FDA
Karakterisasi enzim
Parameter
pH
biosolubilisasi
Protein ekstraselular
Karakterisasi senyawa hasil biosolubilisasi dengan GC-MS
Analisis data
64
Lampiran 3. Komposisi Larutan Lowry 1. Reagen Lowry I 2 % Na2CO3 dalam 0, 1 NaOH 2,7 % K.Na Tartat 1 % Cu SO4
= 49 ml = 0,5 ml = 0,5 ml
2. Reagen Lowry II Folin Akuades
= 10 ml = 10 ml
Lampiran 4. Komposisi Larutan Elektroforesis Larutan
No. 1.
Jumlah
Larutan Poliakrilamid 30 %
Akrilamid BIS (Methylene Bis Acrylamide) Akuades
22,2 gr 0,8 gr 100 ml
2.
Larutan Ammonium Persulfat 10 %
3.
Ammonium persulfat Akuades
0,1 gr/ml 1 ml
Larutan Staining
Coomassie Brilliant Blue R-250 Metanol Asam asetat Akuades
1 gr 300 ml 100 ml 600 ml
4.
Larutan Destaining
Metanol Asam asetat Akuades
300 ml 100 ml 600 ml 65
5
Gel Separating Buffer (1,5 M Tris-HCl)
Tris (Hydroxymethyl aminomethane) SDS (Sodium Dedocyl Sulfate) pH Akuades
18,2 gr 0,4 gr 8,8 100 ml
6
Gel Stacking Buffer (0,5 M Tris-HCl)
Tris (Hydroxymethyl aminomethane) SDS (Sodium Dedocyl Sulfate) pH Akuades
6,1 gr 0,4 gr 6,8 100 ml
7.
Buffer Running
Tris (Hydroxymethyl aminomethane) SDS (Sodium Dedocyl Sulfate) Glisin Akuades
3 gr/l 1 gr/l 14,4 gr/l 1 ml
Lampiran 5. Data Hasil Penelitian 1.
Uji Kualitatif Enzim Ekstraselular
No. 1.
Kode Sampel B1
Peroksidase ++
Mangan peroksidase ++
Fenol Oksidase ++
2. 3. 4. 5. 6. 7.
B2 B3 B4 B5 B6 B7
++ + +
+ + + -
+ + + + -
66
2.
Rata-rata pH Medium
Hari ke 0 7 14 21 28
Kontrol B1 4,55 3,915 3,045 3,225 3,265
Kapang B1 3, 845 3,14 3,28 3,355 3,325
pH Kontrol Kapang Kontrol Kapang B2 B2 B3 B3 4,545 3,795 4,545 3,805 2,97 3,145 2,95 3,16 2,945 3,085 2,92 3,305 2,995 3,125 2,985 3,38 2,985 3,075 2,93 3,335
3. Rata-rata solubilisasi
Hari 0 7 14 21 28
B1 250 nm 0 0,724 0,871 0,954 0,981
450 nm 0 0,02 0,065 0,04 0,053
B2 B3 250 nm 450 nm 250 nm 450 nm 0 0 0 0 0,826 0,016 0,967 0,021 0,815 0,018 0,829 0,031 0,76 0,013 0,79 0,014 0,754 0,017 0,786 0,023
4. Kurva standar protein Kadar protein (mg/ml) 0,2 0,4 0,6 0,8 1 1,2 1,4
Absorbansi
0,123 0,238 0,354 0,4945 0,6395 0,7545 0,8495
Pembuatan kurva standar ditujukan untuk menentukan konsentrasi protein ekstraseluler kultur kapang. Hasil yang diperoleh berupa persamaan garis yaitu, y 67
= 0,6246× - 0, 0064 dan nilai R2 = 0,9973. Sumbu x menunjukkan kadar protein (mg/ml) dan sumbu y menunjukkan nilai absorbansi. 5. Kadar Protein Ekstraseluler
Hari 0 7 14 21 28
Kontrol B1 0 1,643292 1,851425 1,523215 0,870797
Kapang B1 0 0,126321 0,302434 0,226385 0,378482
Absorbansi Kontrol Kapang Kontrol Kapang B2 B2 B3 B3 0 0 0 0 1,631284 0,180355 4,949408 0,302434 1,106948 0,154339 2,747999 0,21838 1,23503 0,170349 4,95341 0,690682 0,714697 0,214377 3,380403 0,23439
6. Rata-Rata Analisis Hidrolisis FDA
Hari 0 7 14 21 28 7.
Kontrol 0,331 0,054 0,215 0,9 1,12
Kapang B1 0,265 0,073 0,167 0,525 0,55
Absorbansi Kontrol Kapang B2 B2 0,253 0,303 0,103 0,053 0,141 0,095 0,42 0,24 0,5 0,275
Kontrol B2 0,218 0,371 0,308 1,59 1,49
Kapang B2 0,292 0,092 0,68 0,525 0,65
Kurva Standar Marker
Berat Molekul (KDa) 116.3
RF
Log BM
0.142857
2.06558
97.4
0.357143
1.988559
66.2
0.428571
1.820858
45
0.571429
1.653213
21
0.857143
1.322219
68
Kurva standar marker dibuat untuk mengetahui berat molekul protein kapang B1, B2 dan B3 pengsolubilisasi batubara. Perhitungan berat molekul diperoleh dari persamaan garis, dimana hasil yang diperoleh adalah y = -1,096× + 2,2868 dan nilai R2 = 0,9615.
69
Lampiran 6. Kromatogram Hasil GC-MS Kontrol
Keterangan : 1. 3-etil-2-metilheksana (C9H20 ) 2. 2,4-Dimetil-1-heptena (C9H18 ) 3. 4-Metiloctana (C9H20) 4. 3,7-Dimetildekana (C12H26) 5. Naftalen ( C10H8 ) 6. n-Dodekana (C12H26) 7. 2,6,10-Trimetiltetradekana (C17H36) 8. 4,6-Dimetildodekana (C14H30 ) 9. 5-Butilnonana (C13H28)
10. n-Tetradekana (C14H30) 11. n-Oktadekana (C18H38) 12. n-Heneikosilsiklopentana (C26H52) 13. 2-Metilheksadekana (C17H36) 14. n-Heptadekana (C17H36 ) 15. n-Nonadekana (C19H40) 16. 2,6,10,14-tetrametilheksadekana (C20H42) 17. n-Nonakosana (C 29H60)
70
Lampiran 7. Kromatogram Hasil GC-MS oleh Kapang B1
Keterangan : 1. 2,3,4-trimetilheksana (C9H20) 2. 3,7-Dimetildekana (C12 H26) 3. 4,5,-dimetilnonana (C11H24 ) 4. Naftalen ( C10H8 ) 5. 4,6-Dimetildodekana (C14H30 ) 6. 2,3,3-trimetiloktana (C11H24 ) 7. 5-isobutilnonana (C13H28 ) 8. n-Tetradekana (C14H30) 9. 8-heksilpentadekana (C21 H44)
10. 5-etil-5-metildekana (C13H28) 11. Undesilsiklopentane (C16H32) 12. 2-Metilheksadekana (C17H36) 13. n-Heptadekana (C17H36 )
71
Lampiran 8. Kromatogram Hasil GC-MS oleh Kapang B2
Keterangan : 1. Toluene (C7 H8) 2. 4-metilheptana (C8H18) 3. n-oktana (C8H18) 4. 2,3,3-trimetilheksana (C9H20) 5. 4-hidroksi-4-metil-2-pentanon (C6H12O2) 6. 3-etil-2-metilheksana (C9H20) 7. 2,4-Dimetil-1-heptena (C9H18) 8. Etilbenzena (C8H10) 9. 2,3,5-trimetilheksana (C9H20) 10. 4-Metiloctana (C9H20) 11. Stirena (C8H8 ) 12. 2,4,6-trimetilheptana (C10H22) 13. Metil trikloroasetat (C3H3Cl3O2) 14. Etiltrikloroasetat (C4H5Cl3O2) 15. 3,3,6-trimetilheptana (C10H22) 16. β-terpinilasetat 17. 5-Butilnonana (C13 H28) 18. 5-isobutilnonana (C13H28 )
19. 3,7-Dimetildekana (C12H26) 20. Azulena (C10H8) 21. 2,6,11,15-tetrametilheksadekana(C20H42 ) 22. n-Oktadekana (C18H38) 23. n-Tetradekana (C14H30) 24. 8-metilheptadekana (C18H38) 25. 2,6,11,15-tetrametilheksadekana(C20H42 ) 26. n-heksadekana (C16H34) 27. Undesilsiklopentane (C 16H32) 28. 2-Metilheksadekana (C17H36) 29. n-Heptadekana (C17H36 ) 30. n-eikosan (C20 H42) 31. n-dokosana (C22H46) 32. n-tetrakosan (C24H50) 33. Tetrakontana (C40H82) 34. n-heksatriakontana (C36H74) 35. Tetrapentakontana (C 54H110)
72
Lampiran 9. Kromatogram Hasil GC-MS oleh Kapang B3
Keterangan : 1. Toluene (C7H8 ) 2. 4-metilheptana (C8H18) 3. 3,4,5-trimetilheptana (C10H20) 4. 4-Metiloctana (C9H20) 5. 2,4-Dimetil-1-heptena (C9H18) 6. 2,3,5-trimetilheksana (C9H20) 7. 4-Metiloctana (C9H20) 8. n-tridekana (C13H28 ) 9. 3,3-dimetiloktana(C10H22) 10. 5-isobutilnonana (C13H28 ) 11. 3-etil-3-metilheptana (C10H22) 12. 4-butil-2-metiloktana (C13H28) 13. 2,4-dimetil-1-dekena (C12H24) 14. 5-Butilnonana (C13H28) 15. 3,7-Dimetildekana (C12H26) 16. 5-metil-5-propilnonana (C13 H28) 17. Naftalen ( C10H8 ) 18. n-Dodekana (C12H26)
19. 2,6,10-Trimetiltetradekana (C17H36) 20. 5-etil-5-metildekana (C13H28) 21. 2,6,11,15-tetrametilheksadekana(C20H42 ) 22. 8-metilheptadekana (C18H38) 23. n-Oktadekana (C18H38) 24. 1-nonadekena (C19H38) 25. n-Nonadekana (C19H40) 26. n-Heptadekana (C17 H36 ) 27. 2-Metilheksadekana (C17H36) 28. 3-metilheptadekana (C18H38) 29. n-eikosan (C20H42) 30. 3-metiloktadekana (C19H40) 31. n-heneikosan (C21H44) 32. 2,4-dimetileikosan (C22H46) 33. n-tetrakosan (C24 H50) 34. 3-metileikosan (C21H44) 35. Nonilsiklopentana (C14H28)
73
Lampiran 10. Foto-Foto Penelitian
B1
B2
B3
Gambar 1. Uji Kualitatif Enzim Fenol Oksidase dengan Tanin (hasil positif ditunjukkan dengan difusi warna cokelat)
B1
B2
B3
Gambar 2. Uji Kualitatif Enzim Ligin Peroksidase dengan Metilen Biru (hasil positif ditunjukkan dengan memudarnya warna medium)
B1
B2
B3
Gambar 3. Uji Kualitatif Enzim Mangan Peroksidase dengan MnCl2.4H2O (hasil positif ditunjukkan dengan adanya spot warna coklat-hitam)
74
Hasil Biosolubilisasi Batubara
Medium+batubara
Medium Kontrol
Gambar 4. Biosolubilisasi batubara pada hari ke-0 inkubasi
Medium+batubara
Medium Kontrol Gambar 5. Hasil biosolubilisasi batubara pada hari ke-28 inkubasi
75
Hail Analisis Kadar Protein Ekstraseluler
Gambar 6. Hasil analisis kadar protein ekstraseluler dengan metode Lowry, warna biru merupakan adanya protein ekstraseluler pada sampel.
Proses Elektroforesis
Gambar 7. Prose elektroforesis Mini-Protein Gel Electrophoresis.
76
Batubara lignit
(a)
(b)
(c)
Gambar 9. Batubara lignit (a) dalam bentuk bongkahan, (b) setelah digerus, dan (c) setelah disaring.
Alat-alat yang Digunakan dalam Penelitian
(a)
(b)
(c)
(d) Gambar 10. Alat-alat utama yang digunakan selama penelitian (a) mikroskop molekuler, (b) spektrofotometer UV-Vis, (c) pH meter, (d) GCMS.
77