ISSN 2086-4256 DJM 12(1) 1-88 February 2013
DAMIANUS Journal of Medicine VOLUME 12, NOMOR 1, 2013
PUBLISHED SINCE 2002
February 2013
ARTIKEL PENELITIAN 1-7
KETEBALAN TUNIKA INTIMA-MEDIA ARTERI KAROTIS PADA DEWASA MUDA Poppy Kristina Sasmita, Herlina Uinarni, Tena Djuartina
8-15
UJI MIKROBIOLOGIS ES BATU KONSUMSI DI KANTIN SEKITAR LINGKUNGAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIKA ATMA JAYA Yulia Tanti Narwati, Ignatio Rika, Dicky Adi Putra, Maria Clarissa Wiraputranto
16-24 25-32
GAMBARAN KADAR KOLESTEROL TOTAL SERUM KARYAWAN RUMAH SAKIT ATMA JAYA DENGAN OBESITAS SENTRAL Andika Surya Atmadja, Sheella R Bororing, Nanny Djaja PENGARUH PENGETAHUAN, SIKAP, DAN PERILAKU IBU TERHADAP KELENGKAPAN IMUNISASI DASAR PADA BAYI DI KECAMATAN PENJARINGAN, JAKARTA Meiliyana Wijaya, Elsye Angella Wanda, Nelly Tina Widjaja
TINJAUAN PUSTAKA 33-41 potensi sel nk untuk imunosurveilans kerentanan, prognosis, dan tingkat keparahan penyakit kronis Daniel Edbert Liang, Yossico Ria Wibowo 42-52
STEM CELL SEBAGAI MODALITAS TERAPI SIROSIS HEPATIS Randy Adiwinata, Ana Lucia Ekowati, Tena Djuartina
53-60
PENGHAMBATAN SPHINGOSINE KINASE 1 PADA PENGOBATAN SEPSIS Sandy Vitria Kurniawan
61-67
PERAN ANGKAK DALAM MENURUNKAN KADAR KOLESTEROL DARAH Riki Tenggara, Alice Angelina, Marissa Gondo Suwito, Andika Surya Atmadja
LAPORAN KASUS 68-81 82-88
PENATALAKSANAAN ANESTESI KASUS SINDROM PRUNE-BELLY PADA BAYI PEREMPUAN USIA 6 BULAN DI RUMAH SAKIT CIPTO MANGUNKUSUMO Tommy Nugroho Tanumihardja SARKOMA STROMA ENDOMETRIUM: SEBUAH LAPORAN KASUS DAN RELEVANSI DIAGNOSTIK IMUNOHISPATOLOGIKNYA Dyonesia Ary Harjanti, Cyprianus Murtono, Matius Lesmana
Damianus Journal of Medicine; Vol.12 No.1 Februari 2013: hlm. 68-81
LAPORAN KASUS
PENATALAKSANAAN ANESTESI KASUS SINDROM PRUNE-BELLY PADA BAYI PEREMPUAN USIA 6 BULAN DI RUMAH SAKIT CIPTO MANGUNKUSUMO MANAGEMENT OF ANESTHESIA OF PRUNE-BELLY SYNDROME IN BABY GIRL AGED 6 MONTH AT CIPTO MANGUNKUSUMO HOSPITAL Tommy Nugroho Tanumihardja
Departemen Anestesiologi, Fakultas Kedokteran Unika Atma Jaya, Jalan Pluit Raya 2, Jakarta Utara 14440
ABSTRACT Introduction: Prune Belly Syndrome is characterized by three main features: Abdominal wall muscle defects, hydroureteronephrosis, and cryptochirdism. Inspite
Korespondensi: Tommy N. Tanumihardja. Departemen Anestesiologi, Fakultas Kedokteran Unika Atma Jaya. E-mail:
[email protected]
of its rare incidence, surgical interventions are indicated to correct undescended testicles, abdominal wall reconstruction either to improve respiratory function or cosmetic purpose, and decompression of the urinary tract by percutaneus nephrostomy up to pyeloplasty. Therefore, understanding of the physiological processes in these patient population is very important in order to plan and organize optimaly safe anesthesia and surgical management, to avoid severe morbidity and mortality. Case: Infant, 6 month postgestational age, presented with Prune Belly Syndromes will undergo laparatomy exploration and colonostomy. Physical findings includes signs of urosepsis and abdominal wall defect. Echocardiography reveals trivial tricuspid regurgitation and closed arteriosus duct. Anesthesia management was planned to anticipate difficulty in airway and ventilatory management, as well as optimal intraoperative and postoperative pain management. There was uneventful anesthesia and surgical procedure. Patient was transferred to pediatric intensive care unit post operatively. Conclusion: Understanding of the pathophysiology is a fundamental and important in planning the proper anesthesia in these patients. Careful preoperative assessment of the condition, optimization of anesthetic technique, and monitoring will provide a safe standard of care in patients with Prune Belly Syndrome. Key Words: Intraoperative management, multimodal analgesia, preoperative assessment, Prune Belly Syndrome
ABSTRAK Latar Belakang: Sindrom Prune Belly ditandai dengan tiga ciri utama: defek otot dinding perut, hydroureteronephrosis, dan cryptochirdism. Meskipun insiden sindrom ini langka, intervensi bedah diindikasikan untuk memperbaiki undescensus testis, rekonstruksi dinding perut, baik untuk meningkatkan fungsi pernafasan maupun tujuan kosmetik, dan dekompresi saluran kemih dengan percutaneus nefrostomi hingga pyeloplasty. Oleh karena itu, pemahaman tentang proses fisiologis dalam populasi pasien ini sangat penting agar dapat merencanakan 68
Vol. 12, No. 1, Februari 2013
Penatalaksanaan anestesi kasus sindrom prune-belly pada bayi perempuan usia 6 bulan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
dan mengatur manajemen anestesi dan operasi yang aman secara optimal, untuk menghindari morbiditas dan mortalitas berat. Kasus: Bayi, 6 bulan pascausia kehamilan, terlahir dengan Sindrom Prune Belly akan menjalani laparatomi eksplorasi dan colonostomy. Temuan fisik meliputi tanda-tanda urosepsis dan defek pada dinding perut. Pada echocardiography didapat regurgitasi trikuspid trivial dan ductus arteriosus tertutup. Manajemen anestesi direncanakan untuk mengantisipasi kesulitan dalam saluran napas dan manajemen ventilasi, serta intraoperatif dan manajemen nyeri pascaoperasi yang optimal. Anestesi dan prosedur bedah yang lancar. Pasien dipindahkan ke unit perawatan intensif pediatrik pascaoperasi. Kesimpulan: Pemahaman akan patofisiologi yang terjadi merupakan dasar yang penting dalam merencanakan anestesi yang tepat pada pasien-pasien ini. Penilaian kondisi praoperatif secara cermat, optimalisasi teknik anestesi, dan monitoring akan memberikan standar yang aman perawatan pada pasien dengan Sindrom Prune Belly. Kata Kunci: Analgesia multimodal, manajemen intraoperatif, penilaian praoperasi, Sindrom Prune Belly
PENDAHULUAN
Sindrom Prune Belly merupakan kasus yang
Sindrom Prune Belly diperkenalkan pertama
jarang terjadi. Angka kejadian diperkirakan
kali pada tahun 1901 oleh William Osler untuk
1:400.000 kelahiran hidup.1 Di Rumah Sakit
menjelaskan suatu penampakan dinding abdo-
Cipto Mangunkusumo (RSCM), belum ada data
men dengan defisiensi jaringan otot dinding
tentang insiden sindrom Prune Belly, namun
pasien (Gambar 1).1 Pada kulit biasanya tampak
pada tahun 2007-2009 dilaporkan terdapat 2
kerutan-kerutan iregular menyerupai buah prune.
kasus sindrom ini. Hampir semua pasien adalah
Kondisi ini juga dikenal dengan nama Sindrom
laki-laki, namun pernah dilaporkan adanya kasus
Eagle-Barrett atau sindrom trias karena memiliki
ini pada perempuan. Kasus pada perempuan
3 ciri utama, yaitu defisiensi otot-otot abdomen,
meliputi 3-5% dari seluruh kasus dan berkaitan
hidroureteronefrosis, dan kriptorkidisme.
erat dengan omfalokel dan lesi yang mengakibat-
Gambar 1. Penampakan klinis bayi dengan Sindrom Prune Belly Vol. 12, No. 1, Februari 2013
69
DAMIANUS Journal of Medicine
kan obstruksi outlet buli. Dari 40 pasien sindrom
yang sudah ada.4 Hal tersebut berakibat pada
Prune Belly yang pernah ditangani oleh Adams
meningkatnya risiko infeksi sistem respirasi,
dan Hendren sejak 1968, hanya 2 kasus yang
sehingga analgesia opiat harus digunakan
terjadi pada perempuan. Sebanyak 4% dari
dengan hati-hati dan anestesi regional diang-
seluruh kasus merupakan kasus kehamilan
gap sebagai pilihan terbaik. 4 Atresia laring
kembar.2 Etiologi kelainan ini belum diketahui
dan kesulitan intubasi telah ditemukan pada
jelas, namun diduga berkaitan dengan kelainan
pasien dengan sindrom ini. Jalan nafas harus
kromosom trisomi 18 dan 21. Prognosis pasien
diamankan secepat mungkin untuk mengurangi
ini bervariasi, mulai dari kematian dalam rahim
risiko regurgitasi.5-6 Defek kardiak dapat dijumpai
sampai dengan pasien yang dapat hidup dengan
pada sekitar 10% individu dengan sindrom ini.
normal. Kemampuan bertahan hidup tergantung
Defek yang paling sering ditemukan pada pasien
dari seberapa berat gangguan pada fungsi gin-
ini, serupa dengan yang sering ditemukan pada
jal dan paru-paru. Dua puluh persen pasien ini
anak-anak secara umum, misalnya Patent Duc-
meninggal dalam bulan pertama hidupnya dan
tus Arteriosus (PDA), Atrial Septal Defect (ASD),
50% meninggal dalam waktu 2 tahun.3
Ventricular Septal Defect (VSD), dan Tetralogy of Fallot (TOF). Oleh karena itu, disarankan untuk
Manifestasi Klinis
memberikan antibiotik profilaksis.
Sindrom ini bermanifestasi pada beberapa
Manifestasi Muskuloskeletal. Prevalensi
sistem organ, namun yang penting untuk di-
masalah muskuloskeletal yang membutuhkan
perhatikan karena berdampak besar terhadap
intervesi ortopedi pada sindrom ini mencapai
morbiditas dan mortalitas pasien ini ialah mani-
45%.7 Kelainan yang terjadi dapat ditemukan
festasi kardio-respirasi, muskuloskeletal, dan
sejak lahir maupun dalam masa perkembangan
genitourinari.
anak. Kelainan bawaan pada tungkai bawah an-
Manifestasi Kardio-Respirasi. Hipoplasia pulmonal dapat terjadi sebagai akibat dari oligohidramnion yang disebabkan oleh sumbatan saluran kemih distal saat masih dalam rahim. Jika terjadi hipoplasia pulmonal berat, dapat terjadi kelahiran mati ataupun kematian pada masa-masa awal neonatus. Bagi pasien yang akan menjalani operasi, komplikasi respirasi merupakan penyebab utama morbiditas pas-
tara lain kaki gada, defisiensi tungkai, displasia pinggul, dan malformasi vertebra. Mekanisme penyebab kelainan-kelainan tersebut diduga karena penekanan pada arteri iliaka yang disebabkan penyumbatan traktus urinarius. Kelainan yang terjadi pada masa perkembangan disebabkan karena kelainan ginjal yang terjadi (osteodistrofi ginjal) dan meliputi skoliosis, pektus karinatum, dan pektus ekskavatum.
caoperasi.2 Anak-anak tersebut tidak mampu
Manifestasi Genito-Urinari. Anak dengan sin-
batuk dengan efektif karena defisiensi otot din-
drom ini dapat mengalami kelainan, terutama
ding abdomen dan diafragma yang relatif rata.
pada ginjal, ureter, dan uretra. Pada anak terse-
Pectus excavatum dapat menyertai masalah
but akan mengalami sumbatan dan/atau dilatasi
70
Vol. 12, No. 1, Februari 2013
Penatalaksanaan anestesi kasus sindrom prune-belly pada bayi perempuan usia 6 bulan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
saluran kemih bagian atas yang dapat menye-
operasi, rencana tata laksana intraoperasi, dan
babkan hidronefrosis bilateral. Lokasi sumbatan
rencana perawatan pascaoperasi.
dapat bervariasi mulai dari setinggi sambungan pelvi-ureter sampai serendah uretra pars membranosus. Sumbatan tersebut dapat mengaki-
PRESENTASI KASUS
batkan refluks urin yang dapat menyebabkan
Bayi IS, berjenis kelamin perempuan, usia 6
infeksi saluran kemih berulang, sampai kehilang
bulan berat badan 4,5 kg dengan sindrom Prune
an fungsi ginjal. Untuk itu, evaluasi fungsi ginjal
Belly akan menjalani laparatomi eksplorasi
preoperatif penting dilakukan. Ukuran dan bentuk
dan kolostomi, pada tanggal 8 Oktober 2008
kedua ginjal seringkali kecil dan displastik. Tanda
di RSCM. Bayi tidak terdapat riwayat operasi
yang khas pada anak dengan sindrom ini ialah
sebelumnya. Lahir spontan oleh bidan di RS
testis yang tidak turun di kedua sisi.
BK tanggal 8 April 2008, langsung menangis,
Manifestasi Gastro-Intestinal. Pasien dengan sindrom ini dapat mengalami konstipasi kronik. Otot dinding perut yang lemah juga menyebabkan konstipasi karena anak tidak dapat melakukan manuver Valsava untuk membantu mendorong tinja keluar dari rektum saat defekasi. Masalah lain yang sering ditemukan ialah malrotasi usus dan anus imperforata. Refluks isi lambung dapat meningkatkan risiko anestesi pada pasien ini.
riwayat kuning dan biru disangkal. Cukup bulan, Berat lahir 2800 g, Panjang lahir 46 cm, langsung menangis, APGAR (Appearance, Pulse, Grimace, Activity, Respiration) tidak diketahui. Sejak lahir tidak ada genitalia eksterna. Usia 5 hari datang ke IGD RSCM dengan keluhan tidak memiliki jenis kelamin yang jelas sejak lahir. Air seni keluar dari lubang kecil di perut. Pasien dirawat di perina selama sekitar 3 bulan. Pada abdomen terdapat luka di daerah umbilikus, terdapat jaringan nekrotik dan jaringan granulasi,
Penatalaksanaan
tidak ada usus yang keluar melalui defek, dari
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan terkait
bawah defek tampak fistel. Urin keluar melalui
Sindrom Prune Belly terdiri dari dua macam,
fistel.
yaitu 1) penatalaksanaan bedah. Indikasi bedah
Selama perawatan di ruang rawat perinatologi
pada pasien tersebut dapat meliputi “undescen-
pasien dikonsultasikan ke departemen bedah un-
sus testis”, rekonstruksi dinding abdomen untuk
tuk perawatan defek pada dinding perut. Dilaku-
memperbaiki fungsi respirasi dan kosmetik,
kan pemasangan Nasogastric Tube (NGT) pada
dekompresi saluran kemih dengan nefrostomi
fistel di sebelah kanan umbilikus, yang kemudian
perkutaneus sampai pieloplasti; dan 2) pena-
diganti dengan kateter foley. Sering terdapat
talaksanaan anestesi. Pengetahuan mengenai
rembesan dari sekitar kateter. Produksi urin
patofisiologi sindrom ini sangat penting di dalam
sering tidak lancar, sehingga dilakukan spooling.
merencanakan dan melaksanakan tata laksana
Pasien mengalami infeksi saluran kemih dan
perioperatif yang baik dan aman. Persiapan me-
sepsis berulang, serta diterapi dengan berbagai
liputi pengetahuan tentang fakta klinis sebelum
antibiotik. Pasien juga pernah mendapat terapi
Vol. 12, No. 1, Februari 2013
71
DAMIANUS Journal of Medicine
antijamur sistemik berdasarkan kultur darah
Di kamar operasi telah disiapkan mesin anestesi
jamur dengan hasil Candida albicans. Pasien
dengan Semi Closed Circuit System ukuran
juga dengan riwayat kejang berulang pada usia
bayi, dilakukan pemeriksaan fungsi sistem me-
4 bulan. Pasien tidak terdapat gejala batuk, pilek,
sin anestesi, dan mengganti “CO2 absorber”.
demam, dan tidak ada riwayat alergi.
Disiapkan beberapa blade laringoskop jenis
Satu hari sebelum jadwal operasi, dilakukan pemeriksaan fisik, pasien tampak sakit berat, menangis merintih, namun tampak aktif. Didapatkan berat badan 4,6 kg. Nadi 160 kali/menit, laju pernafasan 44 kali/menit, suhu 35,6°C. Pemeriksaan telinga, hidung, dan tenggorokan didapatkan buka mulut lebar ±2 jari, ekstensi kepala normal, Mallampati sulit dinilai, tidak ditemukan tanda-tanda sumbatan jalan nafas atas. Pemeriksaan fisik jantung dan paru tidak ditemukan kelainan. Pada pemeriksaan labora-
“Miller” ukuran “1” dan “1,5”, beberapa ukuran “OPA”, Endotracheal Tube (ETT), dan sungkup muka. Monitor yang digunakan untuk memantau pasien terdiri dari “NIBP”, saturasi oksigen, EKG, suhu nasofaring, dan “ET CO2”. Alas penghangat untuk pasien juga sudah dioperasikan dengan target suhu pasien 37°C. Jalur intravena sudah terpasang pada pasien, yaitu di kulit kepala. Pengisian intravaskular dilakukan dengan cairan Asering sebanyak 100 cc sebelum dilakukan induksi.
torium didapatkan kadar Hb 9,1 dan lekositosis
Induksi dilakukan melalui jalur intravena. Sebe-
(12100). Pemeriksaan gas darah ditemukan
lum induksi dilakukan pemberian obat-obatan
kesan asidosis metabolik terkompensasi (pH:
koinduksi, yaitu Midazolam 1 mg dan Fentanyl 10
7,324; pCO2 24,7mmHg; pO2 56mmHg; HCO3
μg. Preoksigenasi dengan oksigen 100% dilaku-
22,8; BE -12,1; SaO2 85,9%).
kan dan NGT dialirkan. Kemudian dilanjutkan
Urinalisis: Sedimen leukosit penuh. Fistulografi: Fistel rektovesika, hidronefrosis dan hidroureter bilateral, atonia kandung kemih. Dari ekokardiografi ditemukan adanya TR trivial dan PDA sudah menutup. Berdasarkan pemeriksaan preoperatif, maka disimpulkan bahwa pasien ini mempunyai status fisik ASA (American Society of Anesthesiologist) 3 dengan penyulit: Sindrom Prune Belly dan Systemic Inflamation Response Syndrome (SIRS) karena Infeksi Saluran Kemih (ISK).
dengan pemberian Pentothal 12,5 mg. Setelah pasien terinduksi, anggota tim anestesi yang lain melakukan kanulasi intravena di kaki kanan dengan kateter intravena ukuran 24. Sementara itu, anestesi didalamkan dengan menggunakan Isofluran. Setelah dicapai kedalaman anestesi yang diinginkan, maka dilakukan intubasi orotrakeal dengan menggunakan ETT nomor 3,5 tanpa manset. Tidak ada kesulitan dalam melakukan intubasi. Setelah melakukan konfirmasi bahwa kedalaman ETT cukup, dilakukan fiksasi ETT
Kunjungan praanestesi dilakukan satu hari se-
pada level 9. Pemeliharaan anestesi dengan
belum rencana operasi. Keluarga pasien telah
Oksigen 50% dengan pengencer compressed
mendapat penjelasan tentang kondisi pasien,
air serta Isofluran. Ventilator diatur dengan pola
termasuk manfaat dan risiko yang berkaitan
Pressure Control 15, dan laju ventilasi 30 kali/
dengan tindakan anestesi perioperatif.
menit.
72
Vol. 12, No. 1, Februari 2013
Penatalaksanaan anestesi kasus sindrom prune-belly pada bayi perempuan usia 6 bulan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
Kemudian dilakukan pemasangan kateter epi dural pada segmen thorakal 11-12. Pungsi dilakukan dengan menggunakan jarum Tuohy ukuran 20G, menggunakan teknik lost of resistance. Setelah ujung jarum mencapai ruang epidural, dilanjutkan dengan memasukkan kateter epidural. Dilakukan aspirasi melalui kateter epidural untuk memeriksa apakah ujung kateter epidural tidak berada di ruang subarachnoid ataupun intravaskular. Kemudian dilanjutkan dengan pemberian Bupivacain 0,25% sebanyak 2 ml. Intraoperasi ditemukan bahwa usus halus dan
arterial 89-100%. Pemeriksaan penunjang dua jam setelah operasi ditemukan: Hb 8,9 gr/dl, Ht 30,6%, Leukosit 6800, Diff Count: 0/0/83/17/0, Netrofil batang 10%, Netrofil segmen 73%. Analisis gas darah: pH 7,285; pCO2 35,3mmHg; pO2 80,5mmHg; HCO3: 16,2; Base Deficit: -9,1. Saturasi oksigen arterial 91,2%. Kadar Natrium 142; Kalium 4,6; Klorida 110; Kalsium ion 0,84. Kesan pasien dalam keadaan asidosis metabolik terkompensasi karena anemia dan SIRS. Ventilasi dan oksigenasi kesan tidak ada masalah.
usus besar terkesan normal, tidak ditemukan fistel rektovesika intraperitoneal. Ditemukan genitalia interna, yaitu uterus dengan kedua
PEMBAHASAN
tuba fallopi, fimbriae, serta ovarium. Operator
Kasus Sindrom Prune Belly jarang ditemui. Na-
akhirnya memutuskan untuk melakukan divided
mun, pasien dengan kasus ini dapat mewakili
transversum colostomy, tanpa melakukan rekon-
keadaan pasien lain yang mungkin mempunyai
struksi dinding abdomen. Operasi berlangsung
sebagian gejala sama seperti yang dialami
selama 2 jam 15 menit. Perdarahan minimal,
pasien ini, antara lain faktor-faktor yang dapat
karena operator mampu melakukan hemostasis
memengaruhi penatalaksanaan perioperatif,
dengan baik. Produksi urin 1 cc/kg/jam. Kami
yang meliputi sistem respirasi, sistem kardio-
tidak memberikan tambahan analgesia apapun,
vaskular, sistem genitourinaria, dan lainnya.
karena diperkirakan blok epidural yang kami lakukan dapat melindungi pasien dari nyeri selama 6-8 jam. Bila diperlukan, kami memberikan anjuran untuk memberikan Metamizol 3x100 mg I.V. Pascaoperasi, pasien dipindahkan ke ICU anak dengan masih terintubasi.
Pertimbangan Sistem Respirasi. Pasien ini tidak dapat melakukan batuk dengan efektif, hal disebabkan karena kurang berkembangnya struktur otot abdomen dan diafragma yang relatif datar. Akibatnya, risiko infeksi saluran nafas juga meningkat. Namun, pada saat pasien ini
Dua jam setelah operasi, pasien diekstubasi
dikonsultasikan ke anestesi, kondisi parunya
oleh sejawat bagian anak. Warna kulit pasien
bebas infeksi. Pada pasien tidak ditemukan
tampak pucat, dengan nadi teraba lemah seba-
hipoplasia paru yang dibuktikan dari foto toraks
nyak 136-203 kali/menit. Tekanan darah terukur
yang memperlihatkan paru-paru berkembang
sistolik 73-120 mmHg, diastolik 38-84 mmHg,
penuh. Kemungkinan sulit intubasi diperkirakan
MAP 55-91 mmHg. Laju nafas spontan 28-68
men yertai sindrom ini, antara lain stenosis
kali/menit. Suhu 36,2-38,2°C. Saturasi oksigen
subglotik maupun atresia laring. Walaupun dari
Vol. 12, No. 1, Februari 2013
73
DAMIANUS Journal of Medicine
pemeriksaan fisik tidak ditemukan adanya tanda-
tidak dapat diidentifikasi, bentuk buli-buli tidak
tanda sumbatan atau penyempitan jalan nafas
normal, tampak kantung yang menonjol di kiri
atas, namun kita tidak dapat memastikan bahwa
dan kanannya ke arah posterior, sangat mung-
tidak akan ditemukan stenosis subglotik.
kin berhubungan dengan saluran cerna. Tidak
Pertimbangan Sistem Kardiovaskular. Pasien mempunyai riwayat PDA yang diketahui tiga bulan sebelum pasien dikonsultasikan ke anestesi, namun pada saat pasien dikonsultasikan ke anestesi, PDA diketahui sudah menutup. Dari anamnesis, pasien tidak pernah mengalami
dapat ditentukan apakah bentuk buli-buli yang bergelombang tersebut adalah sinus urogenitalis. Pemeriksaan fungsi ginjal saat kunjungan praoperasi ditemukan kadar ureum darah 22 dan kreatinin darah 0,5 dengan produksi urin yang lebih dari 2 ml/kgBB/jam.
riwayat kebiruan, tidak ada riwayat batuk-batuk
Pertimbangan Sistemik. Keadaan umum
lama, dan tidak ada riwayat tersedak saat mi-
pasien tampak sakit berat. Pasien masih tam-
num. Dari pemeriksaan fisik, tidak ditemukan
pak aktif, namun tangisannya merintih. Infeksi
adanya murmur ataupun gallop. Ekokardiografi
saluran kemih yang berulang dan sulit ditang-
menunjukkan adanya TR trivial dan PDA yang
gulangi meskipun telah menggunakan antibiotik
sudah menutup pada pasien ini.
sesuai kultur menyebabkan pasien beberapa kali
Pertimbangan Sistem Genitourinaria. Pasien mempunyai riwayat keluhan tidak memiliki jenis kelamin yang jelas sejak lahir, dan air seni keluar dari lubang kecil di perut. Saat pasien dikonsultasikan ke anestesi, kateter urin foley sudah terpasang di dinding perut, di sebelah kanan umbilikus. Produksi urin sering tidak lancar, sehingga sering dilakukan spooling. Oleh karena itu, pasien sering mengalami infeksi saluran kemih berulang dan sepsis yang disebabkan ISK. Dua bulan sebelum dikonsultasikan ke anestesi, hasil kultur urin pasien menunjukkan adanya E. aerogenes yang diterapi dengan Meropenem intravena dan Gentamisin intrabladder. Hasil kultur urin 1 bulan sebelum dikonsultasikan ke anestesi, ditemukan Candida albicans. Pada pasien dilakukan fistulografi, dan ditemukan fistel rektovesika, hidronefrosis, dan hidroureter
jatuh dalam keadaan sepsis. Pada saat kunjungan anestesi, pada pasien ditemukan kriteria sepsis, yaitu suhu <36°C, Takikardia 160 kali/ menit, Takipnea 44 kali/menit, dan leukositosis 12.100, infeksi yang sudah dibuktikan berasal dari saluran kemih. Pada pasien ini telah dilakukan fistulografi, dan ditemukan adanya fistel rektovesika. Adanya hubungan antara rektum dan vesika urinaria ini mungkin berkontribusi dalam infeksi saluran kemih yang persisten, sehingga perlu dilakukan fistulektomi. Meskipun intraoperasi, tidak ditemukan adanya fistel rektovesika, namun operator tetap melakukan kolostomi. Mungkin hal tersebut tetap dilakukan dengan harapan bahwa jalur eliminasi tinja tidak mencemari saluran kemih.
Pelaksanaan Anestesi
bilateral (refluks vesikoureter) grade III-IV. Dari
Premedikasi. Pasien telah terpasang jalur in-
USG abdomen ditemukan: genitalia interna
travena di kulit kepala. Namun, karena pasien
74
Vol. 12, No. 1, Februari 2013
Penatalaksanaan anestesi kasus sindrom prune-belly pada bayi perempuan usia 6 bulan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
tampak apatis, maka kami tidak memberikan
kepala harus dilakukan dengan sangat berhati-
premedikasi. Kemudian pasien dibawa masuk
hati dan sebelumnya diyakinkan bahwa aliran
dengan menggunakan kereta dorong.
melalui jalur intravena tersebut lancar.8 Alternatif
Induksi. Sesampainya di kamar operasi, pasien dipindahkan ke meja operasi. Monitor saturasi oksigen dipasang di telinga kanan pasien. Elektroda dipasang pada dada pasien untuk memantau irama dan gelombang jantung pasien. Manset pengukur tekanan darah noninvasif dipasang di lengan kanan atas pasien. Tekanan darah sebelum induksi 70/30, nadi 110 kali/menit, sesuai untuk bayi usia 6 bulan. NGT telah terpasang pada lubang hidung sebelah kanan, kemudian NGT dialirkan. Selanjutnya dilakukan pemberian premedikasi Midazolam 0,5 mg dan Fentany 10 μg. Tujuan utama pemberian
obat anestesi intravena yang dapat digunakan untuk pasien ini adalah Propofol. Dari keterangan yang didapatkan pada sediaan komersial Propofol yang beredar saat ini, Propofol tidak direkomendasikan penggunaannya untuk induksi anestesi umum pada anak di bawah usia 3 tahun, meskipun sudah ada data yang menunjukkan tidak adanya perbedaan keamanan penggunaan obat ini pada anak di bawah usia 3 tahun dengan yang lebih tua dari 3 tahun. Data yang lain menunjukkan bahwa bila dosis yang ditentukan untuk anak usia 3-16 tahun diterapkan pada neonatus, maka akan terjadi overdosis dengan
Fentanyl pada pasien ini hanya untuk menekan
manifestasi depresi kardiorespirasi. Penelitian
gejolak kardiovaskular pada saat intubasi, dan
yang dilakukan Westrin dengan membandingkan
bukan sebagai analgetika utama intraoperatif.
populasi bayi usia 1-6 bulan dan populasi anak
Selain itu, penggunaan opioid pada pasien ini
usia 10-16 tahun menemukan bahwa Effective
harus dilakukan sesuai kebutuhan, karena efek
Dose 50 (ED 50) untuk populasi bayi usia 1-6
depresi nafas yang disebabkan oleh opioid dapat
bulan sebesar 3 mg/kgBB, sedangkan ED 50 un-
memperberat fungsi respirasi pasien yang sudah
tuk populasi anak adalah 2,4 mg/kg BB.9 Westrin
terganggu. Namun sesungguhnya, kekhawatiran
juga menunjukkan bahwa insiden nyeri akibat
akan efek depresi nafas yang akan terjadi pada
penyuntikan intravena Propofol pada bayi usia
pasien ini, ialah bila opioid diberikan di luar
1-6 bulan ialah 50% dibandingkan dengan 18%
kamar operasi, di mana tidak dapat dilakukan
pada anak usia 10-16 tahun.9 Induksi anestesi
pengendalian ventilasi pada pasien ini. Kemu-
pada anak-anak dengan menggunakan Propofol
dian pasien dilakukan penyungkupan tanpa
menyebabkan penurunan tekanan darah dan laju
triple airway manuver untuk melakukan preok-
nadi yang bermakna, serupa dengan yang dia-
sigenasi. Kemudian dilanjutkan induksi dengan
mati bila menggunakan Thiopental. Dibanding-
menggunakan Thiopental 12,5 mg. Penyuntikan
kan Thiopental, Propofol memiliki efek antiemetik
beberapa obat yang tidak sengaja pada subku-
dan lebih jarang menyebabkan spasme laring.
tan kulit kepala, seperti thiopental atau kalsium,
Namun, Propofol memiliki beberapa kelemahan
dapat menyebabkan kehancuran jaringan dan
dibandingkan Thiopental, yaitu nyeri pada saat
pengelupasan kulit kepala, sehingga penyuntik-
penyuntikan, reaksi alergi, dan risiko infeksi kare-
an obat-obatan melalui jalur intravena di kulit
na Propofol merupakan media yang baik untuk
Vol. 12, No. 1, Februari 2013
75
DAMIANUS Journal of Medicine
pertumbuhan kuman.10 Kemudian dilakukan triple
menyebabkan risiko terjadinya trombosis. Per-
airway manuver pada pasien sambil dilakukan
mukaan volar pergelangan tangan juga dapat
ventilasi tekanan positif. Tidak didapati kesulitan
dipilih, tetapi vena-vena yang tersedia biasanya
ventilasi pada pasien ini. Anestesi didalamkan
berukuran kecil dan tangan harus difiksasi pada
dengan Isofluran 1 vol% dengan gas pembawa
posisi dorsofleksi. Kulit kepala bukanlah pilihan
oksigen dan udara terkompresi. Intubasi pada
pertama dalam pemasangan kateter intravena,
pasien ini tidak direncanakan menggunakan
namun sering dilakukan pada bayi-bayi baru lahir
pelumpuh otot. Hal ini dikarenakan adanya
di ruang perawatan. Walaupun jalur intravena
keterangan yang menunjukkan kemungkinan
pada kulit kepala dapat digunakan lebih lanjut
kesulitan intubasi pada pasien ini. Setelah anes-
selama di ruang operasi, namun vena-vena
tesi cukup dalam, maka dilakukan laringoskopi,
tersebut rapuh dan mudah terjadi infiltrasi sub-
epiglotis tervisualisasi dengan jelas, pita suara
kutan. Vena jugularis eksterna dapat dijadikan
terlihat sebagian (Cormack-Lehan II), dilanjutkan
alternatif lokasi pemasangan jalur intravena pada
dengan intubasi endotrakeal menggunakan ETT
saat lokasi vena yang lain tidak ditemukan.11
#3,5 tanpa manset. Saat melakukan intubasi
Pada awalnya, laparatomi ini diperkirakan akan
tidak dijumpai kesulitan. Kemudian dilakukan
mengalami banyak kehilangan darah. Seharus-
auskultasi untuk menentukan kedalaman ETT.
nya dilakukan satu jalur intravena berukuran 22G
ETT difiksasi pada level 9 cm pada batas bibir.
yang dipersiapkan untuk transfusi darah.
Kemudian ETT pasien disambungkan dengan sirkuit pernafasan mesin anestesi dengan pola ventilasi PC 15 dan RR 30. Volume tidal yang diharapkan pada pasien ini 30-40 ml.
Kemudian pasien diposisikan miring kiri untuk dilakukan pemasangan kateter epidural (Gambar 2). Sebelumnya telah disiapkan set blok epidural dengan jarum Tuohy ukuran 20G. Ke-
Setelah pasien terbius, dilakukan kanulasi in-
mudian dokter anestesi yang akan melakukan
travena pada kaki kanan pasien dengan kateter
blok epidural melakukan teknik asepsis dengan
vena #24G. Pemilihan lokasi pemasangan ka-
menggunakan sarung tangan steril. Seharusnya
teter vena biasanya tergantung pada pengala-
standar untuk melakukan blok epidural juga de-
man dan kesukaan pribadi. Lokasi yang populer
ngan melakukan Scrubbing dan menggunakan
untuk dilakukan pemasangan kateter vena pada
jas steril sebelum mengenakan sarung tangan
anak-anak biasanya di punggung tangan dan
steril, karena risiko infeksi pada susunan saraf
vena Safena. Walaupun pemasangan kateter
pusat. Lokasi pungsi dipilih ruang intervertebral
intravena pada vena Safena cukup besar ang-
Torakal 11-12. Pemilihan lokasi pungsi ini di-
ka keberhasilannya, namun perlu diperhatikan
pengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu rencana
penggunaannya untuk jangka panjang. Vena-
operasi di mana diduga laparatomi yang akan
vena pada tungkai bawah mempunyai banyak
dilakukan menghasilkan sayatan yang tinggi.
katup, sehingga aliran darah balik lebih lambat.
Kemudian, pilihan lokasi insersi kateter epidural
Adanya benda asing di dalam vena tersebut,
pada T11-12 akan mengurangi kebutuhan jumlah
ditambah dengan imobilisasi yang lama akan
anestesi lokal, sehingga risiko toksisitas dapat
76
Vol. 12, No. 1, Februari 2013
Penatalaksanaan anestesi kasus sindrom prune-belly pada bayi perempuan usia 6 bulan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
Gambar 2. Posisi Lateral Dekubitus untuk Pemasangan Kateter Epidural
dikurangi. Namun pemilihan lokasi pungsi torakal
penatalaksanaan nyeri pascaoperasi. Regimen
akan meningkatkan risiko trauma langsung pada
anestesi lokal yang digunakan pada pasien ini
medula spinalis. Ditambah lagi, struktur tulang
untuk blok epidural ialah Bupivakain 0,25%
belakang yang masih didominasi jaringan karti-
dengan epinefrin 1:200.000 sebanyak 2 ml atau
lago, akan menyebabkan penurunan resistensi
dosis 5 mg, atau sekitar 1 cc/kg berat badan.
terhadap penusukan jarum, akan menambah
Dari pemantauan selama operasi berlangsung,
risiko trauma. Oleh sebab itu, selain dibutuhkan
hemodinamik terjaga stabil antara 60-90 mmHg
keahlian dan pengalaman yang baik dari dokter
(sistolik) dan 30-60 mmHg (diastolik), dengan
anestesi yang akan melakukan blok epidural
laju nadi 105-110 kali/menit. Selama durasi
torakal pada bayi, pemilihan jenis jarum juga
operasi 2 jam 15 menit, tidak dilakukan penam-
penting. Hindari penggunaan jarum yang tipis
bahan opioid. Hal ini menunjukkan bahwa blok
dan tajam, sebaliknya gunakanlah jarum yang
epidural bekerja sesuai dengan yang diharapkan.
pendek dengan bevel yang pendek juga. Pada
Stabilitas hemodinamik selama blok epidural ini
saat melakukan pungsi, jangan melakukan
juga disebabkan karena sistem saraf simpatik
penekanan yang berlebihan pada jarum, jika
yang belum matang, kemampuan jantung untuk
dirasakan adanya hambatan, sebaiknya hentikan
merespons sistem otonom belum sempurna,
usaha untuk menusukkan jarum lebih lanjut.12-13
dan jaringan pembuluh darah yang lebih kecil
Blok epidural direncanakan pada pasien ini untuk mengurangi kebutuhan obat-obatan anestesi umum, pelumpuh otot, dan opioid. Pasien ini
pada ekstremitas bawah. Hal ini menyebabkan tidak diperlukannya pengisian cairan sebelum blok dan penggunaan obat-obat vasoaktif. Hal
memiliki kemampuan batuk yang buruk, dan
yang perlu diperhatikan di sini adalah bahwa
juga rentan terhadap infeksi paru. Kombinasi
tidak dilakukan tes dosis sebelumnya, padahal
kedua hal ini menyebabkan pasien berada
risiko injeksi anestesi lokal intratekal atau intra-
dalam risiko terhadap masalah ventilasi dan
vaskular pada pasien-pasien pediatrik sangat
oksigenasi pascaoperasi. Penggunaan blok
besar. Untuk melakukan tes dosis blok epidural
epidural diharapkan dapat digunakan untuk
pada pasien-pasien pediatrik, disarankan un-
Vol. 12, No. 1, Februari 2013
77
DAMIANUS Journal of Medicine
tuk menggunakan Lidokain 0,5-1% 3-5 mg/kg.
Isofluran 0,5 vol%, dengan campuran oksigen
Hindari melakukan uji coba dengan Bupivakain
40% dalam udara terkompresi. MAC Isofluran
0,25% karena bila masuk ke intravaskular akan
tergantung pada usia, berkisar dari 1,3% pada
menyebabkan kolaps kardiovaskular.8 Beberapa
bayi prematur sampai 1,7% pada bayi usia 6-12
penulis menyarankan untuk menggunakan Ropi-
bulan, dan menurun ke 1,6% pada anak usia
vakain, dengan risiko gangguan kardiovaskular
1-5 tahun, dibandingkan dengan 1,2% pada
yang lebih kecil dibandingkan Bupivakain, bila
dewasa. Kebutuhan MAC pada pasien ini dapat
terjadi penyuntikan intravaskular yang tidak di-
dikurangi menjadi hanya sepertiga dari seha-
inginkan. Penambahan opioid pada blok epidural
rusnya karena sudah dilakukan blok epidural.
dapat memberikan efek analgesia yang lebih
Secara klinis, hilangnya efek anestesi dengan
bertahan lama, tetapi juga meningkatkan potensi
Isofluran pada anak-anak serupa pada penggu-
depresi pernafasan, sehingga perlu dilakukan
naan Halothane, meskipun Isofluran mempunyai
pemantauan yang benar.
kelarutan yang lebih rendah. Ketimpangan yang
Pada pasien ini sebenarnya dapat dilakukan blok kaudal kontinu untuk anestesi intraoperasi dan penatalaksanaan nyeri pascaoperasi. Karena jaringan lemak epidural pada bayi masih longgar, maka kateter epidural yang dimasukkan melalui hiatus sakralis dapat dimasukkan lebih dari 3 cm untuk mencapai ketinggian torakal. Namun, teknik ini harus dipertimbangkan secara matang, dilakukan hanya oleh ahlinya, dan posisi akhir dari ujung kateter harus dikontrol, karena angka kejadian salah posisi sebanyak 28%. Teknik yang menjanjikan karena tidak invasif untuk meman-
jelas antara efek klinis dan kelarutan pada kedua agen ini mungkin berkaitan dengan perbedaan besarnya biotransformasi pada kedua agen ini, yang dapat memengaruhi konsentrasi alveolar dan pengeluarannya pada saat pasien bangun. Pada saat menggunakan Isofluran, tekanan darah arterial sitemik turun secara progresif seiring bertambah dalamnya anestesi. Dibandingkan Halothan, Isofluran dalam konsentrasi klinis tetap mempertahankan curah jantung. Hipotensi disebabkan oleh penurunan resistensi vaskular sistemik. Isofluran memiliki batas keamanan yang lebih lebar dari Halothan karena memiliki
tau posisi ujung kateter ialah dengan Ultrasound,
efek inotropik negatif minimal dan menurukan
namun teknik ini masih perlu diteliti. Kemudian
konsumsi oksigen miokardium. Sevofluran tidak
untuk mencapai blok setinggi abdomen atas
digunakan, karena secara in vivo menghasilkan
dapat digunakan anestesi lokal sebanyak 1 ml/
metabolit fluorida inorganik, yang berpotensi
kg. Sebenarnya bila diinginkan mencapai keting-
untuk menyebabkan toksisitas ginjal. Selain
gian blok sampai daerah midtorakal, dosis 1,25
itu, penggunaan Sevofluran relatif lebih mahal,
ml/kg dapat digunakan, namun dengan bahaya
terutama untuk penggunaan yang lama.
dapat terjadinya penyebaran obat anestesi lokal ke rostral yang berlebihan.
Pola ventilasi menggunakan mode kendali tekanan atau Pressure Control. Ventilasi diken-
Rumatan Anestesi dan Pemantauan In-
dalikan karena fungsi ventilasi pada pasien ini
traoperasi. Anestesi dipertahankan dengan
akan sangat berkurang karena anestesi umum.
78
Vol. 12, No. 1, Februari 2013
Penatalaksanaan anestesi kasus sindrom prune-belly pada bayi perempuan usia 6 bulan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
Pola ventilasi “PC” dipilih, karena berdasarkan
memadai. Cairan rumatan yang digunakan pada
literatur, tekanan di jalan nafas dapat meningkat
pasien ini adalah larutan garam seimbang (Aser-
saat dinding abdomen direkonstruksi. Bila dind-
ing) yang mengandung dextrosa 0,9% atau lebih
ing perut terlalu dikencangkan, maka pasien
dikenal dengan Polionique B66. Cairan rumatan
dapat menjadi tidak dapat bernafas spontan
perlu mengandung glukosa, karena penggunaan
sesudah pembedahan. Tekanan jalan nafas ha-
blok regional dapat menekan respons stres ter-
rus dipantau sejak awal operasi, dan tekanan ini
hadap pembedahan, sehingga bayi-bayi yang
harus dipertahankan selama dinding perut ditu-
dipuasakan akan rentan terhadap hipoglikemia.12
tup. Pada pasien ini tidak dilakukan rekonstruksi dinding abdomen, sehingga tekanan jalan nafas bukan merupakan masalah yang akan dihadapi pascaoperasi. Kami tidak menggunakan pelumpuh otot pada pasien ini karena dinding abdomen pasien ini kendur, sehingga diperkirakan tidak akan ada kesulitan bagi ahli bedah dalam melakukan tugasnya. Namun perlu diperhatikan, beberapa ahli mengemukakan pentingnya menggunakan obat-obat pelumpuh otot, terutama pada pasien yang disertai hipoplasia pulmonal,
Pascaoperasi. Ekstubasi tidak dilakukan di kamar operasi dengan pertimbangan pasien belum sadar sempurna. Durasi operasi sekitar 2 jam, namun karena dugaan bahwa ekskresi obat-obatan anestesi terganggu karena potensi penurunan fungsi ginjal pada pasien ini, maka diputuskan untuk menunggu sampai pasien betul-betul sadar. Namun, sebelum pasien ditranspor ke ICU anak, pasien diberikan antiemetik berupa Ondansentron 1 mg I.V.
untuk menghindari terjadinya pneumothoraks
Penatalaksanaan nyeri pada pasien ini perlu
dan pneumomediastinum. Dikatakan bahwa
mendapatkan perhatian serius. Berkurangnya
respons pasien terhadap pelumpuh otot normal,
respons hormonal dan meningkatnya hasil akhir
namun fungsi ginjal yang terganggu dapat meng-
klinis setelah pembedahan, mengarahkan pada
ganggu eliminasi obat-obatan anestesi.
kesimpulan bahwa bayi-bayi dan neonatus
Selama operasi berlangsung, hemodinamik dipantau menggunakan metode noninvasif setiap 5 menit. Pada pasien ini, dirasakan cukup karena diperkirakan tidak akan ada perubahan hemodinamik yang diperkirakan dapat berubah dengan mendadak. Irama jantung dipantau, suhu tubuh inti dipantau menggunakan termometer esofagus. Stetoskop esofagus digunakan untuk dapat memantau ventilasi dan detak jantung. ET CO2 juga digunakan untuk memastikan ventilasi berlangsung adekuat. Produksi urin intraoperatif dipantau untuk memastikan perfusi jaringan yang
memang mengalami nyeri dan nyeri tersebut perlu dikendalikan. Meskipun demikian, pada kenyataannya, nyeri yang dialami bayi dan anak sering tidak dikenali, bahkan ditelantarkan, karena definisi operasional “nyeri” membutuhkan pelaporan langsung. Nyeri yang tidak ditangani pada anak-anak, seperti sesudah vaksinasi dan pengambilan darah, pembedahan, nyeri kepala, atau prosedur menyakitkan yang berulang, dapat menyebabkan efek jangka panjang, seperti hipersensitivitas, hiperalgesia, dan allodinia. Pada pasien ini, telah direncanakan untuk meng-
Vol. 12, No. 1, Februari 2013
79
DAMIANUS Journal of Medicine
gunakan analgesia epidural sebagai modalitas
sistolik 73-120 mmHg, diastolik 38-84 mmHg,
utama penatalaksanaan nyeri dan mengurangi
MAP 55-91 mmHg. Laju nafas spontan 28-68
penggunaan opioid untuk mencegah efek depre-
kali/menit. Suhu 36,2-38,2°C. Saturasi oksigen
si pernafasan pada pasien ini. Namun, satu hal
arterial 89-100%. Gangguan pada pernafasan
yang perlu menjadi perhatian kita semua ialah
yang dikhawatirkan sejak awal tidak terjadi. Hal
penggunaan Metamizol dalam penatalaksanaan
ini disebabkan karena rencana pembiusan yang
nyeri, yang sering diberikan dan disarankan
sejak awal sudah berhati-hati terhadap kemung-
untuk menatalaksana nyeri pada pasien-pasien
kinan terjadinya masalah respirasi pada pasien
pascaoperasi di RSCM. Metamizol dapat me-
ini. Rencana yang telah dilakukan ialah dengan
nyebabkan efek samping yang tidak diinginkan
mengoptimalkan analgesia intraoperasi dan pas-
karena reaksi hipersensitivitas. Masalah paling
caoperasi menggunakan blok epidural. Sejawat
serius ialah syok dan kelainan darah (agranulosi-
yang bertugas di ruang perawatan intensif anak
tosis, leukopenia, trombositopenia). Walaupun
memberikan asetaminofen untuk menatalaksana
kedua reaksi ini jarang ditemukan, namun dapat
nyeri pascaoperasi.
mengancam jiwa, meskipun Metamizol pernah digunakan beberapa kali pada pasien yang sama tanpa komplikasi. Mengingat efek samping serius yang dapat ditimbulkan, maka sebaiknya kita mulai untuk menggunakan modalitas lain untuk menatalaksana nyeri akut pascaoperasi. Modalitas farmakologi meliputi opioid (Morfin) dan bukan opioid (Asetaminofen, “NSAIDs”, Klonidin, dan Tramadol), dan anestesi lokal. Prinsip yang berpotensi menguntungkan dalam menatalaksana nyeri akut pascaoperasi ialah dengan mengikutsertakan obat anestesi lokal se-
Pemeriksaan penunjang dua jam setelah operasi ditemukan: Hb 8,9gr/dl; Ht 30,6%; Leukosit 6800; Diff Count: 0/0/83/17/0; Netrofil batang 10%; Netrofil segmen 73%. Analisis gas darah: pH 7,285; pCO2 35,3 mmHg; pO2 80,5 mmHg; HCO3: 16,2; Base Deficit -9,1; Saturasi oksigen arterial 91,2%. Kadar Natrium 142; Kalium 4,6; Chlorida 110; Kalsium ion 0,84. Kesan pasien dalam keadaan asidosis metabolik terkompensasi karena anemia dan SIRS. Ventilasi dan oksigenasi kesan tidak ada masalah.
jak awal dalam rencana penatalaksanaan nyeri. Hal tersebut dapat dicapai dengan menggunakan teknik anestesi regional maupun perifer, blok neuraksial sentral, ataupun infiltrasi lokal pada lokasi pembedahan pada saat sebelum ataupun sesudah pembedahan.
KESIMPULAN Meskipun sindrom Prune Belly merupakan kasus yang jarang terjadi, namun pengetahuan akan patofisiologi yang terjadi merupakan dasar yang penting dalam merencanakan anestesi yang
Dua jam setelah operasi, pasien diekstubasi
tepat pada pasien-pasien ini. Penatalaksanaan
oleh sejawat bagian anak. Warna kulit pasien
perioperatif perlu dipersiapkan secara matang
tampak pucat, dengan nadi teraba lemah seba-
untuk mencegah morbiditas serius ataupun
nyak 136-203 kali/menit. Tekanan darah terukur
kematian. Penilaian kondisi praoperatif pasien
80
Vol. 12, No. 1, Februari 2013
Penatalaksanaan anestesi kasus sindrom prune-belly pada bayi perempuan usia 6 bulan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
perlu dilakukan dengan cermat mengingat
6. Baris S, Karakaya D, Ustun E, Tur A, Riza-
bahwa sindrom ini dapat menimbulkan kelainan
lar R. Complicated airway management of
pada berbagai sistem organ. Penatalaksanaan
prune belly syndrome. Paediatr Anaesth.
anestesi intraoperasi pada sistem respirasi, kar-
2001;11:501-4.
diovaskular dan genitourinaria perlu mendapat perhatian khusus mengingat bahwa terjadi kelemahan pada fungsi-fungsi vital tersebut, sedangkan pasien akan dihadapkan pada tindakan operatif yang besar, ditambah lagi kondisi pasien yang seringkali buruk. Penatalaksanaan
7. Loder RT, Guiboux JP, Bloom DA, Hensinger RN. Musculoskeletal aspects of prune belly syndrome. Am J Dis Child. 1992; 146:1224-9 8. Dalens BJ. Regional Anesthesia in Children. Miller’s Anesthesia 2009;VI;8.
nyeri pascaoperasi pada pasien ini juga perlu
9. Cohen IT, Motoyama EK. Pain management
diperhatikan karena sering kali tidak dikenali
in infants and children. In: Motoyama EK,
bahkan ditelantarkan.
Davis PJ, editors. Smith’s anesthesia for infants and children. 7th Ed. 2005; 13. 10. Cohen IT, Motoyama EK. Pediatric intraop-
DAFTAR PUSTAKA 1. Jennings RW. Prune belly syndrome. Semin Paediatr Surg.2000; 9:115-20. 2. Wheatley JM, Stephens FD, Hutson JM. Prune belly syndrome: ongoing controver-
erative and postoperative management. In: Motoyama EK, Davis PJ, editors. Smith’s anesthesia for infants and children. 7th Ed. 2005; 11: 359.
sies regarding pathogenesis and manage-
11. Holder JP. Pathophysiologic and anaesthetic
ment. Semin Paediatr Surg. 1996; 5: 95-106.
correlations of theprune belly syndrome.
3. Henderson AM, Vallis CJ, Sumner E. Anaesthesia and prune belly syndrome. Anaesthe-
AANA J 1989;57:137-41. 12. Cauldwell CB. Induction, maintenance, and emergence. Pediatric Anesthe-
sia. 1987; 42: 54-60. 4. Heisler DB, Lebowitz P, Barst SM. Pectus
sia.2002;10:218
excavatum repair in apatient with prune belly
13. Motoyama EK, Gronert BJ, Fine GF. Induc-
syndrome. Paediatr Anaes. 1994; 4:267-69.
tion of anesthesia and maintenance of the
5. Lyon AJ. Congenital atresia of the larynx
airway in infants and children.In: Motoyama
in association with prunebelly syndrome. J
EK, Davis PJ, editors. Smith’s anesthesia for
Army Med Corp. 1983;120:118
infants and children. 7th Ed. 2005; 10 :324.
Vol. 12, No. 1, Februari 2013
81