Publikasi Online @2013 Siti Hanifah
Dialektika http://sosiologi.fisip.uns.ac.id/online-jurnal/
Sosiologi Universitas Sebelas Maret http://sosiologi.fisip.uns.ac.id | 1
Identitas Cadar Bagi Perempuan Bercadar Siti Hanifah Abstract : This research has a purpose to explain the meaning of cadar (veil) as an identity for moslem woman and to explain every factor that influenced the using of cadar (veil) to moslem woman. The researcher hereby interested to research about veiled (cadar) woman’s life in Sukoharjo and its vicinity The method that used in this research is case study method. The technique of sample gathering in this research is purposive sampling with the technique of sample gathering based on two kinds that is to say primary data and secondary data. That obtained from interview, observation, and document. Triangulation that used in this research is source triangulation of data. Analysis of data within this research include data gathering phase, reduction of data phase, presentation of data phase and the drawing of conclusion phase. The result of the information gathering is that the using of cadar (veil) that consciously done by the moslem woman is one of the form of self guarding or protection either physical form or her measure. Else, there are some factor that influence the using of cadar at veiled woman that may come from domain’s factor, the contact with other culture, acculturation of knowledge, as well as appreciate of personality. In the other side, that veiled woman will make a lifestyle that it could be will become the distinguishing between herself with others. So that cadar may become part of efforts of identity construction within veiled women that had already been their life choice.
Pendahuluan Identitas merupakan perkembangan dari pertumbuhan hidup seseorang dalam cara untuk mendapatkan perasaan harga diri, tentang siapa dirinya, tentang apa yang ada pada dirinya, tentang sifat khasnya dan lain-lain. Pakaian merupakan penanda untuk membedakan dirinya dengan orang lain, sehingga penampilan luar sebagai sarana pembeda dan diskriminasi. Menurut Heru Prasetia (2010: 64), bahwa pakaian bukan semata kain pembungkus tubuh tapi juga menjadi tanda yang membangkitkan maknamakna sosial. Pakaian adalah ekspresi tentang cara hidup sekaligus mencerminkan pandangan politik dan keagamaan. Pakaian menjadi satu penanda paling gamblang tentang sikap hidup seseorang atau tentang http://sosiologi.fisip.uns.ac.id | 2
bagaimana orang mengidentifikasi diri sebagai individu maupun sebagai kelompok, kain pembungkus raga inilah yang menghubungan tubuh dengan dunia sosial. Selain itu Crawley juga berpendapat bahwa pakaian adalah ekspresi yang paling khas dalam bentuk material dari berbagai tingkatan kehidupan sosial. Sehingga periode biologis pun menjadi suatu periode eksistensi sosial dan individu tergabung ke dalam sebuah bagian fungsional dalam komunitas, (Fadwa El Guindi, 2005: 177-178). Semakin besarnya penekanan terhadap gaya hidup orang muslim dicerminkan dengan meningkatnya artikel-artikel, buku-buku, serta diskusi tentang aturan dalam berpakaian muslim, terutama bagi kaum wanita. Islam mengajarkan bahwa pakaian yang digunakan bagi seorang wanita harus menutupi seluruh tubuhnya, terutama rambutnya. Kemudian jilbab-lah yang dipilih oleh kaum wanita tersebut untuk menjadi sarana dalam berpakaian. Menurut Heru Prasetia (2010:68), penggunaan jilbab dalam pengertian kain penutup kepala yang ketat menutup rambut dan leher belum pernah menjadi jejak sejarah perempuan Indonesia. Jilbab diartikan sebagai khazanah berpakaian wanita muslim di Indonesia. Cadar merupakan bagian dari kontruksi identitas dikalangan wanita muslimah yang sudah menjadi pilihan hidupnya, sebab cadar dirasa bisa memberi ketenangan batin bagi yang menggunakannya. Bahkan sudah dijelaskan juga dalam syari’at Islam bahwa pakaian kaum wanita dimaksudkan untuk mewujudkan dua tujuan utama, yakni untuk menutup aurat serta menjauhi fitnah , pengistemewaan dan pemuliaan bagi kaum wanita itu sendiri. Tidaklah benar apabila pilihan hidup seseorang dikaitkan dengan perilaku yang ekstrim. Penggunaan cadar oleh beberapa kalangan muslimah di Sukoharjo pada saat ini merupakan fenomena yang semakin banyak dan semakin umum ditemui di Sukoharjo. Terlepas dari fungsinya sebagai sekedar fashion atau busana muslim, cadar yang digunakan oleh beberapa muslimah bercadar merupakan
http://sosiologi.fisip.uns.ac.id | 3
salah satu bentuk identitas mereka sebagai seorang muslimah yang dapat menjadi ciri khas atau pembeda dengan wanita lain atau muslimah lain. Dalam mengimplementasikan cadar sebagai sebuah penanda identitas muslimah, para muslimah bercadar tersebut melakukan proses interaksi dengan masyarakat. Hal ini, tentunya terdapat unsur pemaknaan secara pribadi dalam menggunakan cadar. Selain itu, tentunya ada pula banyak faktor yang mempengaruhi proses tindakan sosial yang dilakukan oleh para muslimah bercadar tersebut. Dari proses pemaknaan dan proses interaksi dan tindakan sosial yang dilakukan oleh para muslimah bercadar tersebut maka terbentuklah identitas muslimah melalui cadar yang mereka kenakan. Dengan demikian, cadar pada akhirnya berperan sebagai identitas bagi muslimah bercadar. Berdasarkan pemaparan latar belakang masalah tersebut, artikel ini menguraikan mengenai
hasil penelitian tentang Identitas Cadar bagi
Perempuan Bercadar. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan makna cadar sebagai identitas bagi penggunanya dan menjelaskan faktor apa saja yang mempengaruhi penggunaan cadar pada wanita muslimah. Identitas Identitas individu dalam interaksi sosial merupakan hal yang fundamental dalam setiap interaksi sosial. Pertanyaan ‘Siapakah Anda ?’, sebenarnya selalu tertuju pada upaya mengungkap identitas seseorang dan selanjutnya menentukan bentuk interaksi sosialnya. Lan (2000) mengatakan bahwa setiap individu memerlukan identitas untuk memberinya sense of belonging dan eksistensi sosial. Menurut teori identitas sosial (dalam Taylor dan Moghaddam, 1994) identitas individu yang tampil dalam setiap interaksi sosial disebut dengan identitas sosial, yaitu bagian dari konsep diri individu yang terbentuk karena kesadaran individu sebagai anggota suatu kelompok sosial, dimana didalamnya mencakup nilai-nilai dan emosi penting yang melekat dalam diri individu sebagai anggotanya. http://sosiologi.fisip.uns.ac.id | 4
Identitas adalah suatu keadaan, sifat, atau ciri-ciri khusus seseorang atau suatu benda. Identitas menyatakan suatu kontinuitas serta persamaan diri dalam waktu, dalam hubungan dengan eksistensi seseorang di dalam masyarakat, serta pengakuan timbal balik tentang kontinuitas eksistensi ke dua belah pihak (perseorangan dan masyarakat). Hary Wahyudi (2009:321) menganggap bahwa identitas itu dikonstruksi atau dibuat untuk melabelkan pada seseorang atau kepada tokoh. Identitas merupakan sesuatu yang bersifat dinamis dan lebih beragam, dimana identitas bukanlah merupakan suatu hal yang bersifat statis, namun ia akan berubah menurut pengalaman hidup seseorang. Tuner (dalam Alo Liliweri, 2010: 184) menjelaskan bahwa ada tiga kategori untuk menklasifikasikan identitas, yaitu: identitas manusia, identitas sosial, dan identitas pribadi, yang mana identitas manusia merupakan pandangan yang menghubungkan seseorang dengan seluruh manusia dan memisahkan seseorang dari kehidupan yang lain. Identitas sosial merupakan perwakilan dari kelompok dimana seseorang bergabung, seperti ras, etnisitas, pekerjaan, umur, kampung halaman, dan lain sebagainya. Identitas sosial ini merupakan produk dari perbedaan antara menjadi anggota dari kelompok sosial tertentu dan bukan anggota kelompok sosial yang lain (dikotomi kelompok dalam dan luar). Identitas pribadi timbul dari hal-hal yang membedaka seseorang dengan yang lainnya dan menandakan seseorang sebagai pribadi yang spesial dan unik. George Stone (dalam Rulli Nasrulloh. 2011) menggambarkan identitas sebagai lokasi dari sosial individu, dimana dia diletakkan sehubungan dengan orang lain. Sehingga kita merupakan apa yang dipikirkan oleh orang lain. Peter L. Berger (dalam Chris Barker, 2005) menjelaskan bahwa sebuah identitas
merupakan
definisi
yang
diberikan
secara
sosial
dan
ditransformasikan secara sosial pula. Identitas sudah dirancang sangat seksama dalam arti dapat mencerminkan sepenuhnya kenyataan objektif dimana identitas itu berada. Singkatnya setiap orang adalah benar-benar apa http://sosiologi.fisip.uns.ac.id | 5
yang diandaikan tentang dia. Dalam masyarakat seperti itu, identitas mudah dikenal secara objektif maupun subjektif. Definisi-definisi tandingan tentang kenyataan dan identitas tersebut akan menampilkan diri begitu individu-individu tersebut bergabung dalam kelompok secara sosial, maka kondisi tersebut akan bertahan lama. Sebab definisi diri ini merupakan hasil dari interaksi yang terjadi antara dirinya dengan orang lain. Sehingga identitas menjadi pusat bagi berlangsungnya sebuah interaksi. Sedangkan Giddens berpendapat bahwa, identitas tersesebut terbangun oleh kemampuan untuk melanggengkan narasi tentang diri, sehingga membangun suatu perasaan terus-menerus tentang adanya kontinuitas biografis. Jadi diri merupakan apa yang dipahami secara refleksif oleh orang lain terhadap konteks biografinya. Identitas diri adalah apa yang kita pikirkan tentang diri kita sebagai pribadi. (Chris Barker, 2005: 171) Pendekatan teoritis yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan pendekatan tentang konsep diri (self). Konsep diri merupakan salah satu definisi yang dihadapi oleh manusia untuk mendefinisikan dirinya sendiri, khususnya hubungannya dengan orang yang terlibat dengan dirinya. Menurut Mead diri tersebut muncul dimana orang bisa memberikan tanggapan atas apa yang ditunjukkan kepada orang lain dan dimana tindakkan tersebut menjadi bagian dari tindakannya. Dalam hal ini ia tidak hanya mendengarkan dirinya sendiri namun dia juga harus merespon atas dirinya sendiri juga. Sehingga konsep ini bisa diartikan sebagai kemampuan seseorang menjadikan dirinya sendiri sebagai objek. Diri adalah kemampuan khas untuk menjadi subjek sekaligus objek. Diri akan mengalami proses sosial. (Georger Ritzer, 2008: 385) Diri akan berkembang untuk mengambil peranan atas apa yang dihadapi oleh orang lain. Diri pada dasarnya adalah proses sosial yang berlangsung dalam dua fase yang dinamakan sebagai “I” dan “me”.
“I” merupakan respon
individu terhadap tanggapan orang lain. “I” bisa menempatkan individu atas http://sosiologi.fisip.uns.ac.id | 6
perwujudan dirinya, dimana dia bisa mengembangkan kepribadiannya. Unsur
“I”
mewakili
individualitas
seseorang,
mengungkapkan
ketunggalannya dan bersifat spontan dan orisinil. Sedangkan “me” merupakan respon dari pengamalan
individu tersebut, kemudian
digeneralisasikan dan diambil untuk menjadi sikapnya sendiri. Unsur “me” adalah unsur sosial yang mencakup generalized other, yakni semua sikap, symbol, norma, dan pengharapan masyarakat yang telah dibatinkan individu dan dipakai olehnya dalam menentukan kelakuannya. “Me” adalah masyarakat di dalam dirinya. (Irving M. Zeitlin, 1995: 353) Kelakuan manusia berasal dari I dan me bersama dalam suatu proses, dimana kedua unsur tersebut saling mempengaruhi. Dalam hal ini, bisa dikatakan bahwa I mengambil inisiatif untuk bertindak, kemudian me memberikan pengarahan sesuai dengan pengharapan dan definisi dari masyarakat. Secara dialektis, diri terkait dengan pikiran. Sehingga Mead berpendapat bahwa tubuh bukanlah diri dan baru menjadi diri ketika pikiran telah berkembang. Antara pikiran dan diri sulit untuk dipisahkan, sebab diri adalah proses mental, namun meskipun demikian kita bisa saja menganggap diri sebagai proses sosial. Diri juga membiarkan orang mengambil bagian dalam percakapan mereka dengan orang lain, (George Ritzer, 2008: 386). Bagi Mead pikiran dan kedirian menjadi bagian dari perilaku manusia yakni bagian dari interaksinya dengan orang lain. Interaksi inilah yang bisa membuat individu itu mengenal dunia dan dirinya sendiri. Hal inilah yang menjadi dasar bahwa pikiran (mind) dengan diri (self) berasal dari society (proses-proses interaksi). Sehingga secara konsekuen Mead lebih menyoroti corak sosial pikiran. Berpikir adalah interaksi oleh “diri” orang yang bersangkutan dengan orang lain. “Diri saya” mengatur di dalam kepala reaksi-reaksi atas gerak orang lain sedemikian rupa, sehingga reaksi-reaksi itu ditunjukkan kepada “saya”. Pikiran manusia menerobos dunia di luar dan seolah-olah
mengenalnya
dari
balik
penampilannya.
Cara
manusia
http://sosiologi.fisip.uns.ac.id | 7
mengartikan
dunia
dan
diri
sendiri
berhubungan
erat
dengan
masyarakatnya. Identitas sosial berperan dalam hubungan antar kelompok tergantung pada dimensi yang dapat diterima (aman atau tidak aman). Ketika identitas aman memiliki derajat yang tinggi, individu cenderung mengevaluasi out-groups lebih baik, lebih sedikit bisa bila membandingkan in-group dengan out-group, dan kurang yakin pada homogenitas in-group. Sebaliknya, identitas tidak aman dengan derajat yang tinggi, berhubungan dengan evaluasi yang sangat positif terhadap in-group, bisa lebih besar dalam membandingkan in-group dengan out-group, dan persepsi homogenitas in-group yang lebih besar. Tindakan Sosial Aspek pemikiran Weber yang paling terkenal mencerminkan tradisi idealis adalah tekanannya pada pemahaman subjektif sebagai metode untuk memperoleh pemahaman yang valid mengenai arti-arti subjektif dari tindakan sosial. Dalam hal ini kemampuan untuk menempatkan diri dalam kerangka berpikir orang lain yang perilakunya akan dijelaskan dan situasi serta tujuan-tujunnya akan dilihat menurut perspektif itu. Proses ini menunjuk
pada
konsep
“mengambil
peran”
yang
terdapat
dalam
interaksionisme simbol. Menurut Weber sosiologi mula-mula adalah ilmu pengetahuan tentang tindakan sosial. Ia yakin bahwa masyarakat adalah produk dari tindakan individu-individu yang terbuat dalam kerangka fungsi nilai, motif dan kalkulasi rasional. Konsep rasionalitas merupakan kunci bagi suatu analisa objektif mengenai arti-arti subjektif dan juga merupakan dasar perbandingan mengenai jenisjenis tindakan sosial yang berbeda. Rasionalitas dan peraturan yang biasa mengenai logika merupakan suatu kerangka acuan bersama secara luas dimana aspek-aspek subjektif perilaku dapat dinilai secara objektif. Tidak semua perilaku dapat dimengerti sebagai suatu manifestasi rasionalitas. Tindakan yang dilakukan seperti kemarahan, cinta, bahkan ketakutan http://sosiologi.fisip.uns.ac.id | 8
mungkin diungkapkan dalam perilaku yang nyata dalam bentuk yang sepintas lalu kelihatnya tidak rasional. Tetapi orang dapat mengerti perilaku seperti
itu jika orang tahu emosi
yang mendasar
yang sedang
diungkapkannya. Weber menjelaskan empat tipe tindakan sosial, antara lain: (a)
tindakan
berorientasi tujuan, (b) tindakan tradisional, (c) tindakan afektif,dan(d) tindakan berorientasi nilai, (Pip Jones, 2009:115). Kata “tindakan” dipakai oleh Weber (dalam K.J. Veeger, 1986: 171) untuk perbuatan-perbuatan yang bagi pelaku mempunyai arti subjektif. Tindakan bisa menjadi sosial jika arti dari makna subjektif dari tingkah laku membuat individu memikirkan dan memperhitungkan kelakuan orang-orang lain mengarahkannya. Pelaku individu mengarahkan kelakuannya kepada penetapan-penetapan atau harapan-harapan tertentu yang berupa kebiasaan umum atau dituntut dengan tegas atau bahkan dibekukan kedalam undang-undang. Jadi, menurut Weber tindakan sosial selalu berakar dalam kesadaran individual dan bertolak dari situ. Peran Cadar Sebagai Identitas Cadar sebagai Ekspresi Religi. Identitas pada dasarnya merujuk pada pandangan reflektif mengenai diri kita sendiri ataupun persepsi orang lain mengenai gambaran diri secara sadar. Pemakanaan cadar sebagai sebuah identitas ke-Islamaan seorang muslimah secara lebih sempit adalah dilihat dari sisi maslahatnya.Tujuan penggunaan cadar oleh pelakunya juga berkaitan dengan tujuan secara lebih umum atau berdasarkan kepentingan kelompok. Makna cadar dari sisi kemaslahatanya atau kebermanfaatannya seperti yang telah diungkapkan dalam kutipan-kutipan hasil wawancara sebelumnya,yaitu sebagai bentuk penjagaan diri. Selain itu, pemaknaan cadar secara sadar oleh pemakainya tidak hanya sebagai bentuk penjagaan diri melainkan merupakan identitas feminis yang bersifat religi bagi wanita muslim. Artinya, penggunaan cadar secara sadar yang dilakukan wanita muslim merupakan bentuk penjagaan kehormatan diri maupun agama. http://sosiologi.fisip.uns.ac.id | 9
Cadar akhirnya menjadi bagian dari kontruksi identitas dikalangan wanita muslimah yang sudah menjadi pilihan hidupnya, sebab cadar dirasa bisa memberi ketenangan batin bagi orang yang mengenakannya. Bahkan sudah dijelaskan juga dalam syari’at Islam bahwa pakaian pakaian bagi kaum wanita dimaksudkan untuk mewujudkan dua tujuan utama, yakni untuk menutup aurat serta menjauhi fitnah dan pengistemewaan serta pemuliaan bagi kaum wanita itu sendiri. Penggunaan cadar oleh beberapa kalangan wanita muslimah tampaknya juga dijadikan sebagai penanda status sosial tertentu. Berdasarkan temuan lapangan yang diperoleh peneliti, dapat diketahui bahwa penggunaan cadar merupakan penanda profesi pada instansi tertentu. Berdasarkan pemaparan di atas bahwa penggunaan cadar menjadi sebuah penanda atau symbol bagi beberapa penggunaan mengenai status pekerjaan. Dengan demikian, faktor lingkungan secara langsung berdampak terhadap kemauan seorang muslimah untuk menggunakan cadar. Dalam tahapan atau proses yang dilaui ketika sebelum dan sesuadh bercadar, para muslimah bercadar tentunya menghadapi berbagai problematika yang merupakan bagian dari interaksi mulai dari perkenalan sampai dengan pembiasaan. Hal ini dialami oleh para muslimah pengguna cadar dalam setiap tahap kehidupanya. Bagaimanapun perbedaan paham dalam masyarakat merupakan sebuah keniscayaan yang harus dihadapi. Konsep diri yang dibangun pun tentunya akan sedikit banyak bergeser dari konsep diri yang berdasarkan pada pemahaman masyarakat pada umumya, yang dalam hal ini adalah mengenai penggunaan cadar dalam menjaga aurat seorang wanita muslimah. Cadar sebagai Pelindung. Pemaknaan lain tentang cadar bagi muslimah bercadar adalah sebagai peindung. Proses penjagaan diri ini merupakan bentuk pemaknaan yang terkait dengan fungsi sebelumnya, yaitu sebagai identitas. Penggunaan cadar dalam hal ini berperan sebagai sarana
http://sosiologi.fisip.uns.ac.id | 10
mengkomunikasikan bahwa seorang muslimah yang menggunakannya adalah muslimah yang melindungi diri atau tubuhnya. Lebih dari itu, pemaknaan cadar sebagai bentuk penjagaan diri bagi perempuan bercadar lebih ditekankan pada unsur maslahatnya. Bentuk kemaslahatan yang diharapkan dari pemakaian cadar ini lebih menekankan pada penjagaan fisik, yaitu penjagaan wajah atau kecantikan yang dimiliki oleh seorang muslimah. Bagi para muslimah bercadar ini, wajah dapat diartikan sebagai sumber fitnah sehingga perlu dilakukan adanya proteksi lebih padawajah yang dimiliki. Penjagaan yang dimaksudkan bagi muslimah bercadar adalah berupa penjagaan kehormatan yang dimiliki. Dengan demikian, makna cadar sebagai bentuk penjagaan diri merupakan bentuk penjagaan diri baik secara lahir maupun batin. Interaksi Sosial Gaya yang dengan baik dilakukan oleh para wanita bercadar kepada siapa pun, baik yang sudah bercadar maupun yang belum bercadar. Prinsip Al Wada’ wal Bara’ yang dilakukan oleh muslimah bercadar dalam bergaul merupakan sebuah prinsip untuk saling tolong menolong, saling menyayangi, dan saling menguatkan. Dalam hal ini, secara sadar muslimah pengguna cadar memahami bagaimana mereka menunjukan identitas feminism religi mereka sebagai seorang muslimah dengan cara bergaul dengan baik. Para muslimah bercadar berkeyakinan bahwa dengan bergaul dengan baik maka identitas yang tersandang pada diri mereka akan diterima dengan baik juga oleh masyarakat lainya. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa sebuah identitas yang dimiliki seseorang akan menjadi identitas yang sebenarnya jika identitas tersebut dapat muncul di tengah masyarakat. Pemunculan identitas di masyarakat membuat pemilik identitas melakukan proses tindakan sosial berupa interaksi sosial. Jadi, tanpa interaksi sosial dan tindakan sosial yang dilakukan oleh para muslimah bercadar maka identitas http://sosiologi.fisip.uns.ac.id | 11
feminism religi yang dimiliki oleh muslimah bercadar tidak akan terbentuk dan tidak bermakana. Namun tak jarang dari pihak keluarga sendiri menentang penggunaan cadar terutama dari sosok ibu seperti yang dialami oleh muslimah bercadar. Kaum pengguna
cadar
yang
cenderung
minoritas
menjadikan
kebiasaan
menggunakan cadar dalam berpakaian tampak asing dan aneh bagi sebagian masyarakat. Meskipun terdapat anggota masyarakat yang menganggap penggunaan cadar menjadi sesuatu yang aneh dan ekstrim namun terdapat pula anggota masyarakat yang mendukung seseorang dalam menggunakan cadar. Hal ini bergantung dari cara pandang masyarakat dan pemahamannya terhadap penggunaan cadar. Pada dasarnya, dalam menggunakan cadar ada sebagian masyarakat yang menanggapi positif dan ada sebagian yang menanggapi negative. Hal ini disebabakan karena posisi kaum wanita bercadar tergolong kaum minoritas dan diperkuat dengan kurangnya pemahaman masyarakat mengenai penggunaan cadar dalam berpakaian. Beberapa upaya dilakukan oleh para wanita pengguna cadar dalam menanggapi atau menyikapi kendala-kendala yang ditemui di tengah-tengah masyarakat. Upaya-upaya yang dilakukan merupakan sebuah tuntutan untuk menjaga konsistensi para wanita pengguna cadar untuk tetap menggunakan cadar. Beberapa pengguna cadar menyikapi tanggapan masyarakat dari sudut pandang
pribadi
dengan
menjaga
keteguhan
hatinya
untuk
tetap
menggunakan cadar. Keputusan untuk bercadar merupakan keputusan yang didasari karena panggilan hati semata-mata karena Alloh. Jadi, bagaimana pun masyarakat memberikan tanggapan dia akan tetap konsisten dalam bercadar. Faktor-faktor Cadar Identitas merupakan sesuatu yang abstrak, konsep beraneka segi yang berperan penting dalam interaksi komunikasi antarbudaya. Pencapaian identitas itu tidaklah mudah, seringkali orang berada dalam kerumitan, http://sosiologi.fisip.uns.ac.id | 12
kejelasan akan siapa diri mereka, dan apa peranan mereka dalam hidup. Hal ini berarti bahwa perkembangan identitas berperan penting bagi kejiwaan seseorang. Sehingga ini menjadi bukti bahwa identitas itu penting. Terjadinya
perubahan
kebiasaan
dari
yang
pada
awalnya
belum
menggunakan cadar menjadi bercadar pada muslimah bercadar dipengaruhi oleh oleh beberapa faktor. Beberapa faktor yang memberikan pengaruh terhadap pengambilan keputusan untuk menggunakan cadar oleh para muslimah bercadar dalam penelitian ini akan dijelaskan lebih lanjut pada pemaparan di bawah ini. Lingkungan Aktivitas sosial yang dialami oleh seseorang tentunya dipengaruhi oleh beberapa hal. Faktor lingkungan menjadi salah satu faktor yang paling berpengaruh terhadap aktivitas sosial yang dialami oleh seseorang. Secara langsung, dapat dikatakan bahwa lingkungan merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan sebagai bagian dari segala bentuk aktivitas atau interaksi sosial yang dialamioleh manusia. Hal ini juga berlaku terhadap aktivitas sosial yang dialami oleh muslimah bercadar terkait dengan asal mula penggunaan cadar yang digunakannya. Lingkungan profesi menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi seseorang untuk menggunakan cadar. Secara lebih umum, dapat diartikan pulah bahwa lingkungan yang dihadapi oleh muslimah bercadar pada akhirnya membentuk kelompok-kelompok sosial tersendiridengan kebiasan-kebiasaanyang serupa,yaitu bercadar. Komunitas para muslimah pengguna cadar ini ditemukan peneliti pada beberapa pondok pesantren yang ada di Sukoharjo. Para muslimah bercadar yang ditemui peneliti mempunyai domisili, baik tempat tinggal maupun tempat studi tidak berjauhan dari
komunitas atau pondok pesantren
tersebut. Dalam penelitian ini, peneliti menemukan bahwa lingkungan bagi para muslimah bercadar mempunyai peranan tertentu. Lingkungan yang dihadapi para muslimah bercadar, baik sebelum maupun setelah bercadar http://sosiologi.fisip.uns.ac.id | 13
mempunyai peran sebagai media interaksi sosial. Interaksi sosial dalam hal ini pada akhirnya memberikan transformasi pemahaman dan pengetahuan bagi subjek-subjek yang berinteraksi di lingkungan ini. Selain itu, lingkungan pada akhirnya juga alasan atau pendorong untuk memposisikan diri atau menyesuaikan diri dengan lingkungan yang dihadapi. Hal ini ditunjukkan dengan hasil
penelitian yang telah disebutkan
sebelumnya bahwa seorang muslimah mengambilkeputusan bercadar karena adanya dorongan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan yang dihadapinya sehingga keputusan bercadar pun diambil karena menyesuaikan dengan individu lain yang terlibat dalam interaksi sosial. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa lingkungan, baik secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi seseorang dalam melakukan tindakan sosial selama nilai-nilai atau pemaknaan tindakan tersebut dipahami oleh pelakunya. Kontak dengan Budaya lain Berhubungan dengan budaya lain dapat pula mendorong munculnya perubahan kebiasaan dalam hal berpakaian yang dalam hal ini menggunakan cadar. Bila dua kebudayaan saling bertemu maka kedua kebudayaan tersebut akan saling mempengaruhi yang akhirnya membawa perubahan. Hubungan atau kontak dengan kebudayaan lain dapat dilakukan denga 3 cara yaitu difusi (pertukaran informasi), akulturasi (kebudayaan yang berbeda-beda bertemu dan mengadakan kontak secara langsung dan terus-menerus), asimilasi (proses sosial yang timbul bila ada golongan-golongan manusia dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda-beda saling bergaul langsung secara intensif untuk waktu yang lama, sehingga kebudayaan dari golongan-golongan manusia tersebut masing-masing berubah sifatnya yang khas dan juga unsur-unsurnya masing-masing berubah wujudnya menjadi unsur-unsur kebudayaan campuran. Proses akulturasi tampak lebih dominan dalam hal ini. Penggunaan cadar merupakan bentuk akulturasi paham baru dengan paham lama yang dimiliki oleh seorang muslimah. Pertemuan paham http://sosiologi.fisip.uns.ac.id | 14
yang berbeda ini pada akhirnya menuntut seorang muslimah mengambil sikap untuk menggunakan cadar. Dalam hal ini, perempuan-perempuan bercadar yang ditemui peneliti dalam penelitian ini mengalami kontak dengan budaya baru bagi mereka pada saat sebelum bercadar atau padasaat awal-awal ingin bercadar. Proses interaksi perempuan-perempuan bercadarini terhadap budya
baru yang mereka
temui (budaya menggunakan cadar dan kajian-kajian yang diikuti) membuat para muslimah bercadar ini secara sadar mereduksi penegtahuan dan pemahaman baru. Proses inilah yang pada akhirnya membentuk konsep diri pada diri masing-masing muslimah bercadaryang ditemui peneliti. Hasil kontak dengan budaya lain (budaya di luar kebiasaan mereka sebelumnya) pada akhirnya memberikan dorongan atau motivasi bagi para muslimah bercadar yang ditemui oleh peneliti untuk mengaktualisasikan pemahaman baru yang mereka peroleh dalam kehidupan mereka sehar-hari. Hal ini pun menandakan adanya penerimaan positif secara sadar dari diri masingmasing subjek yang peneliti temui. Selain hal di atas, kontak dengan kebudayaan lain (budaya bercadardan mengikuti kajian) memberikan dorongan baru bagi para muslimah bercadar yang ditemui peneliti terkait dengan kebutuhan paru mereka. Seperti yang telah disinggung pada bagian sebelumnya bahwa para muslimah bercadar menggunakan cadar karena adanya rasa aman, hal ini berarti menunjukan bahwa kontak dengan budaya lain menimbulkan kebutuhan-kebutuhan baru bagi para muslimah bercadar tersebut.Selain kebutuhan memperoleh rasa aman, kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri sesuai dengan pemahaman yang merekan miliki pun pada akhirnya menjadi sesuatau
yang sangat
berarti bagi mereka. Dengan menggunakan cadar, mereka mengganggap bahwa diri mereka menempatkan diri sesuai dengan porsi kehidupan mereka seperti apa yang mereka yakini dari pemahaman pengetahuan baru melalui kontak dengan budaya lain (budaya kajian dan bercadar).
http://sosiologi.fisip.uns.ac.id | 15
Selain itu, hasil dari kontak dengan
budaya lain (budaya kajian dan
bercadar) menimbulkan pemahaman baru kepada para muslimah bercadar tersebut
tentang kebutuhan mendapatkan penghargaan diri pada diri
mereka. Seperti yang telah dibahas pada bagian sebelumnya, secara tidak langsung dapat diketahui bahwa para muslimah bercadar tersebut memiliki kebutuhan untuk mendapatkan penghargaan diri. Penghargaan
diri yang disebutkan di atas mereka dapatkan dengan
menggunakan cadar. Kebutuhan penghargaan diri yang dipahami oleh para muslimah bercadar tersebut meliputi penghargaan dari diri sendiri dan penghargaan dari orang lain. Penghargaan dari diri sendiri tercermin pada niatan mereka untuk menjaga tubuh mereka dan menjaga diri dari fitnah. Sedangkan, kebutuhan penghargaan diri dari orang lain adalah penghargaan dari masyarakat sekitar dalam memperlakukan atau bergaul dengan mereka. Akulturasi Pengetahuan Penggunaan cadar oleh wanita muslim bercadar merupakan fenomena yang sudah semakin tampak umum pada saat ini. Penggunaan cadar oleh wanita – wanita bercadar dewasa ini tentunya dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor yang paling utama adalah karena tingkatan keilmuan atau pemahaman yang dimiliki oleh seorang wanita yang memutuskan untuk bercadar. Kajian-kajian keagamaan tampaknya menjadi faktor utama yang menyebabkan seorang wanita muslim memutuskan untuk bercadar. Selain itu para perempuan bercadar menjalani jenjang pendidikan formal yang memberikan pengaruh atau motivasi pada diri mereka untuk menggunakan cadar. Pendidikan formal yang dilalui oleh para muslimah tersebut secara langsung memberikan fasilitas kepada para muslimah tersebut untuk mendapatkan wawasan, ilmu, dan pemahaman-pemahaman baru secara terbuka, khususnya dalam hal keagamaan yang pada akhirnya membawa para muslimah tersebut memahami hakikat penggunaan cadar
http://sosiologi.fisip.uns.ac.id | 16
dan pada akhirnya berpengaruh pada pengambilan keputusan untuk menggunakan cadar. Di sisi lain, peneliti mendapati bahwa dalam perilakunya para muslimah bercadar telah menerapkan fungsi aksiologis terhadap pengetahuan yang dipakai. Berdasarkan
pengetahuan peneliti, aksiologi sendiri merupakan
ilmu yang mengaitkan antara pengetahuan yang diperoleh manusia dengan nilai-nilai atau norma-norma yang berlaku dalam menerapkan ilmunya. Aksiologi sendiri mempunyai dua wilayah, yaitu etikadan estetika. Dalam penelitian ini peneliti menemukan bahwa para muslimah bercadar menggunakan
cadar
dengan
alasan
etika,
baik
berupa
nilai-nilai
kemaslahatanya maupun sisi kesopanan, serta menerapkan fungsi estetika atau keindahan karena pada bagian sebelumnya telah disebutkan pula bahwa para muslimah bercadar menggunakan cadar untuk menjaga keindahan atau estetika tubuhnya. Menghargai Penemuan Baru Kajian diniyah merupakan hasil karya atau budaya baru yang dilakukan oleh sekelompok individu. Proses penghargaan terhadap nilai-nilai yang tersampaikan dalam kajian tersebut pada akhirnya membawa seorang muslimah yang terlibat di dalamnya berpikir atau berkeinginan mengambil sikap untuk menggunakan cadar yang pada akhirnya muslimah tersebut menggunakan cadar meski ada jeda waktu. Hal ini secara langsung menunjukan adanya penghargaan hasil karya atau budaya yang terbentuk di lingkungan pelaku. Selain itu, proses menghargai karya orang lain seperti yang telah disebutkan di atas secara tidak langsung menunjukan tindakan sosial yang dilakuakan oleh muslimah bercadar dengan kesadaran yang berorientasi pada nilai. Artinya, dalam menghargai karya orang lain, muslimah bercadar terbut dengan kesadarannya berupaya memahami nilai-nilai yang ada dan dianggap sesuai. http://sosiologi.fisip.uns.ac.id | 17
Kesadaran yang berorientasi nilai di sini ditunjukan dengan dijadikannya kajian-kajian dan sejenisnya menjadi sebuah rutinitas atau kebutuhan yang pada akhirnya membawa muslimah bercadar ini mempunyai pemahaman dalam beberapa hal, termasuk pemahaman tentang penggunaan cadar. Hal inilah yang pada akhirnya menjadi salah satu dorongan atau motivasi bagi muslimah bercadar untuk menggunakan dan mempertahankan penggunaan cadarnya. Penghargaan terhadap hasil karya orang lain yang ditampakan oleh para muslimah bercadar sebelum menggunakan bercadar inilah yang menjadi faktor atau jalan pembuka adanya toleransi pemahaman sampai pada akhirnya mewujudkan apresiasi aktif dan sadar untukmengikuti kebiasaan bercadar. Sikap menghargai ini tentunya
tidak terlepas dari karakter
individu-individu yang bersangkuatan dalam menerima sesuatu yang baru. Selain itu, sikap keterbukaan yang dimiliki oleh pelaku interaksi sosial ini juga menentukan sikap parapelakunya, baik yang memberi stimulus maupun yang memberikan tanggapan. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa proses atau interaksi sosial yang dilakukan oleh para muslimah bercadar tersebut khususnya saat transisi dari sebelum menggunakan cadar menuju ke menggunakan cadar menunjukan hasil yang positif. Gaya Hidup Muslimah Bercadar Praktek keagamaan perempuan Salafi atau para muslimah bercadar yang berbeda membangun sebuah perilaku sosial yamg eksklusif terhadap kelompok masyarakat di sekitar mereka. Sikap ini secara otomatis menunjukan identitas personal mereka sebagai seorang muslimah menurut ideologi kelompok mereka dan ini berarti orang lain atau perempuan lain tanpa identitas ini bukanlah bagian dari kelompok mereka. Selain itu, praktek beragama yang berbeda juga menyebabkan adanya sikap antipasti dari masyarakat di sekitar mereka terhadap kelompok mereka.
Di sinilah
toleransi dalam kehidupan yang multikultur dihadapkan dengan sikap yang http://sosiologi.fisip.uns.ac.id | 18
dipilih oleh muslimah bercadar sebagai dampak dari praktek beragama yang mereka terapkan.Simbol atau kekhasan yang dimiliki para muslimah bercadar pun pada akhirnya juga memebentuk proses eksklusifitas kelompok sosial mereka dengan kelompok lain. Karena secara otomatis kelompok lain yang tidak memiliki kekhasan seperti mereka berarti bukanlah bagian dari kelompok mereka. Para muslimah bercadar dalam hal ini mempunyai konsep tersendiri mengenai sosok perempuan yang ideal. Para muslimah bercadar ini pada umumnya merupakan perempuan-perempuan yang telah berniat mengabdikan diri mereka kepada suami dan agama mereka. Poladoktrinasi kelompok yang kuat menempatkan mereka sebagai wanita yang mulia kalau mereka berada di rumah dan menjalankan tugas-tugas sesuai dengan kodratnya. Menurut ajaran Salafi, tanggungjawab perempuan yang paling utama adalah menjadi istri dan ibu yang baik. Perempuan tidak diwajibkan untuk aktif di ruang publik. Cara-cara para muslimah bercadar dalam menunjukan feminitas mereka yang bersifat religi tersebut, yaitu (a) menggunakan jilbab lebar dan cadar, (b) berkarir, (c) proses pernikahan, (d) mengikuti kajian-kajian keagamaan, (e) pergaulan dalam komunitas, (f) pembatasan interaksil, (g) menggunakan bahasa khas komunitas, dan (h) menggunakan kosmetik dan obat-obat herbal. Simpulan Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa peran cadar sebagai identitas bagi para muslimah bercadar meliputi cadar sebagai identitas yakni cadar sebagai ekspresi religi dan sebagai pelindung. Tindakan sosial yang dilakukan oleh para muslimah bercadar dalam berinteraksi dengan lingkungan mereka, yaitu (a) mengembangkan diri dan beradaptasi bagaimana dia tampil bagi orang lain, (b) menerima bagaimana peniliaian masyarakat atas penampilan mereka, dan (c) mengembangkan sejenis perasaan-diri, berupa kebanggaan, prasangka potitif, dan mengambil sisi http://sosiologi.fisip.uns.ac.id | 19
positif sebagai akibat dari penilaian orang lain tersebut. Gaya hidup para muslimah bercadar dalam menunjukan identitas, yaitu (a) jilbab lebar dan cadar, (b) pekerjaan, (c) proses pernikahan, (d) intensitas kajian keagamaan, (e) pergaulan dalam komunitas, (f) pembatasan interaksi, (g) komunitas, dan (h) kosmetik dan obat-obat herbal. Terjadinya perubahan kebiasaan dari belum bercadar menjadi bercadar pada muslimah bercadar dipengaruhi oleh factor-faktor tersebut antara lain: (a) lingkungan; (b) kontak dengan budaya lain; (c) akulturasi pengetahuan; dan (d) menghargai penemuan baru. Daftar Pustaka Alo Liliweri. 2010. Komunikasi Lintas Budaya. Yogjakarta: LKiS Chris Barker. 2005. Culture Studies. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Emy Rubi Astuti. 2010. Perempuan-perempuan Ter-Ekslusi (Proses Ekslusi Sosial Perempuan-perempuan Salafi di Yogyakarta.Yogyakarta: Thesis Pusat Studi Lintas Budaya Sekolah Pascasarjana UGM. Erik H. Erikson. 1989. Identitas Dan Siklus Hidup Manusia, terj. Agus Cremers. Jakarta: Gramedia. Fadwa El Guidi. 2005. Jilbab: Antara Kesalehan, Kesopanan, dan Perlawanan. Jakarta: Serambi. George Ritzer. 2008. Teori Sosiologi. Yogyakarta: Kreasi wacana. Hary Wahyudi. 2009. Politik Identitas: Agama, Etnisitas, dan Ruang/ Space dalam Dinamika Politik Lokal di Indonesia dan Asia Tenggara. Salatiga: Percik. Heru Prasetia, dkk. 2010. Identitas Perempuan Indonesia: Status, Pergeseran Relasi Gender, dan Perjuangan Ekonomi Politik. Depok: Desantara Foundation. Irving M. Zeitlin. 1995. Memahami Kembali Sosiologi. Yogyakarta: GadjahMadaUniversity Press. K.J. Veeger. 1986. Realitas Sosial. Jakarta. PT. Gramedia Lan, T. J. 2000. Susahnya Jadi Orang Cina. Ke-Cina-an Sebagai Konstruksi Sosial. Dalam Wibowo, I (editor). Harga Yang Harus Dibayar. Sketsa Pergulatan Etnis Cina di Indonesia.Jakarta: Gramedia Pustaka Utama dan Pusat Studi Cina. Pip Jones. 2009. Pengantar Teori-Teori Sosial: Dari Teori Fungsional hingga Post-modernisme.Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Rulli Nasrulloh. 2011. “Konstruksi Identitas Muslim di Media Baru”, KOMUNIKA: Jurnal Dakwah dan Komunikasi. Purwokerto: Jur. Dakwah STAIN Purwokerto, Vol. 5 No. 2 Juli-Desember 2011 hal. 221-234 ISSN:1978-1261 http://sosiologi.fisip.uns.ac.id | 20
Sarwono, S.W.(1999). Psikologi Sosial: Individu dan Teori-Teori Psikologi Sosial. Jakarta: Balai Pustaka. Sutopo, HB. 2002. Metode Penelitian Kualitatif. Surakarta: UNS Press. Taylor, D.M. & Moghaddam, F.M.(1994). Theories of Intergroup Relations. London: Praeger. Yanu Endar Prasetyo. 2007. Individualisasi Kaum Bercadar. Skripsi. Jurusan Sosiologi, FISIP. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
http://sosiologi.fisip.uns.ac.id | 21