Publikasi Online @2012 Ria Dwitka Januarti
Dialektika http://sosiologi.fisip.uns.ac.id/online-jurnal/
Sosiologi Universitas Sebelas Maret http://sosiologi.fisip.uns.ac.id | 1
Perilaku Keluarga Miskin Dalam Upaya Pemenuhan Kebutuhan Gizi Balita (Studi Deskriptif Kualitatif Terhadap Orang Tua Balita Keluarga Miskin di Kelurahan Kadipiro Kecamatan Banjarsari Kota Surakarta)
Ria Dwitka Januarti Abstract: This study aims to describe the behavior of poor families in fulfilling toddler nutritional requirements. In addition, this study also explained about what obstacles faced by poor families in fulfilling toddler nutritional requirements. Assumptions resulting from this study is the parents behavior that determines whether or not fulfilled the poor toddler nutritional requirements is the behavior in the economic and social dimensions. While the cultural dimensions does not contribute to the behavior of the parents in fulfilling toddlers nutritional requirements in the informant family. The method used in this study is qualitative descriptive with study location in the Kelurahan Kadipiro, Kecamatan Banjarsari, Surakarta. Sources of data obtained from primary and secondary data. The primary data is obtained based on information from a number of poor families who have toddler who serve as study samples. While secondary data in this study which include the the minutes that related with nutritional status of the toddler, Surakarta City Health Profiles in 2009, Kecamatan Banjarsari Monography data, Images of Kecamatan Banjarsari Year 2012, and articles as well as information from various electronic and print media. The technique of collecting data through direct observation, in-depth interviews and documentation. The sampling technique to the population which is purposive sampling. The validity of the data using triangulation sources. For the analysis of the data used interactive analysis model, including data collection, data reduction, data presentation, and conclusion.
Pendahuluan Pada Kesehatan merupakan salah satu indikator dari kesejahteraan, oleh karena itu pembangunan di bidang kesehatan sangat penting. Pembangunan kesehatan
merupakan
proses
pertumbuhan
dan
perubahan
yang
berkesinambungan yang dilakukan pemerintah dan masyarakat, menuju http://sosiologi.fisip.uns.ac.id | 2
kearah tercapainya hidup sehat agar dapat mewujudkan derajat kesehatan rakyat yang setinggi – tingginya. Arah pembangunan kesehatan adalah untuk mewujudkan generasi penerus yang berkualitas yang merupakan sumber daya manusia yang dapat menjadi modal dalam menunjang pembangunan nasional (Soekaryo, 1985:691). Berbicara tentang kesehatan, maka akan menyangkut berbagai faktor, salah satu faktor penting yang menentukan kesehatan adalah masalah gizi. Bila seseorang kekurangan gizi, maka kesehatannya akan terganggu, karena apa yang dikonsumsi tidak memenuhi kebutuhan gizi. Gizi sangat berperan dalam tumbuh kembang anak-anak, secara fisik dan mental serta inteligen. Seperti yang dikatakan Hurlock (1999: 38-39) bahwa kemampuan kognitif anak dapat meningkat, bila otak dan susunan saraf anak telah berkembang dan alat penginderaan yang digunakan untuk menangkap makna harus matang secara fungsional. Otak dan susunan saraf anak dapat berkembang apabila makanan anak pada masa pertumbuhan otak itu memenuhi zat gizi. Kemiskinan mengakibatkan kualitas daya beli untuk memenuhi kebutuhan dasar menurun, termasuk juga terjadinya penurunan kemampuan keluarga miskin dalam memenuhi kebutuhan makanan yang bergizi terutama bagi balita, semakin banyaknya orang yang masuk kategori keluarga miskin, maka semakin banyak keluarga miskin yang tidak lagi memikirkan kualitas pangan
http://sosiologi.fisip.uns.ac.id | 3
yang dikonsumsi, terutama kualitas makanan yang bergizi yang selayaknya dikonsumsi balita. Kenyataanya, tidak semua keluarga atau penduduk dapat menampilkan fungsi-fungsinya dengan baik, terutama fungsi ekonomi karena rendahnya daya beli. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar dalam suatu keluarga salah satunya disebabkan oleh kondisi ekonomi keluarga tersebut. Dengan demikian maka keberadaan keluarga miskin dan ketidakmampuan melaksanakan fungsi-fungsinya adalah merupakan kenyataan yang tidak dapat diabaikan. Kemampuan keluarga miskin dalam memenuhi kebutuhan gizi balita tidak hanya dipengaruhi oleh keberadaan kondisi sosial dan ekonomi saja, yang dalam hal ini ditandai dengan tingkat pendidikan, pekerjaan dan tingkat penghasilan serta jumlah tanggungan keluarga, tetapi juga dipengaruhi oleh factor lain yang layak dipertimbangkan seperti penerimaan dan pemanfaatan sumber-sumber yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan gizi balita oleh keluarga miskin. Di Kota Surakarta, jumlah Gakin dan masyarakat miskin menurut pendataan BAPPEDA pada Desember 2010 adalah 41.160 Kepala Keluarga (KK) atau 125.732 jiwa. Masyarakat miskin yang paling banyak terdapat di Kelurahan Kadipiro Kecamatan Banjarsari. Hal ini merupakan suatu fenomena sosial yang sangat bagus diteliti dari sudut pandang ssosiologi, mengingat sosiologi merupakan ilmu masyarakat. Untuk itu penulis ingin mengetahui bagaimana http://sosiologi.fisip.uns.ac.id | 4
perilaku orang tua (dalam hal ini terhadap orang tua balita keluarga miskin) di kelurahan Kadipiro Kecamatan Banjarsari Kota Surakarta. Upaya pemenuhan gizi balita tersebut tidak terlepas dari perilaku orang tua nya yang berkaitan dengan berbagai aspek, diantaranya aspek ekonomi, sosial dan budaya, apakah perilaku orang tua mencerminkan dukungan yang memadai atau bahkan tidak memberi perhatiam yang cukup terhadap gizi balitanya. Perilaku Keluarga Miskin dalam Memenuhi Kebutuhan Gizi Balita Perilaku. Selain dapat ditinjau secara sosiologis, perilaku juga merupakan suatu proses psikologis, dimana timbulnya suatu perilaku tidak terlepas dari adanya stimulus dan respon.Seseorang mendapatkan stimulus (rangsangan), yang mendorong nya untuk bereaksi dalam bentuk respon. Perilaku secara umum dapat diartikan sebagai suatu peristiwa psikologis dam bentuk tertentu, akibat adanya rangsangan yang berasal dari luar individu. Ini dimaksudkan bahwa perilaku dapat berbentuk suatu ide, konsep atau gagasan yang belum diaktualisasikan dalam bentuk aktifitas nyata. Perilaku dapat dijelaskan melalui gerak-gerak reflex yang dipelajari atau yang sudah menjadi kebiasaan. Melalui kebiasaan yang dilakukan seseorang dapat dianalisis perilakunya. Sedangkan kebiasaan menurut konsep Homans dalam Johnson menunjuk pada kegiatan-kegiatan dan pola-pola interaksi yang diulang-ulang (dalam Johnson, 1986 : 63).
http://sosiologi.fisip.uns.ac.id | 5
Keluarga.
Merupakan
satu-satunya
lembaga
sosial
yang
diberi
tanggungjawab untuk mengubah suatu organisme biologis menjadi manusia (Goode, 1983: 16). Pada saat seseorang ingin membentuk suatu kepribadian, maka keluargalah yang menjadi lembaga sosial pertama yang akan mengajarkan hal-hal penting dalam kehidupan kepadanya, termasuk mengajarkan kemampuan berbicara dan kemampuan untuk menjalankan fungsifungsi sosial lainnya. Keluarga merupakan kelompok primer yang terpenting dalam masyarakat. Secara historis, keluarga terbentuk paling tidak dari satuan yang merupakan organisasi terbatas, dan mempunyai ukuran yang minimum, terutama pihak-pihak yang pada awalnya mengadakan suatu ikatan. Dengan kata lain, keluarga tetap merupakan bagian dari masyarakat total yang lahir dan berada didalamnya, yang secara berangsur-angsur akan melepaskan ciri-ciri tersebut karena tumbuhnya mereka ke arah pendewasaan (Khairuddin, 1985:10) Kemiskinan. Menurut Mari’e Muhammad, mantan Menkeu RI, kemiskinan adalah ketidakmampuan individu, keluarga, maupun lembaga/kelompok masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, baik pangan atau pun non-pangan, khususnya pendidikan dasar, kesehatan dasar, perumahan, dan kebutuhan transportasi. Hal ini biasa disebut dengan kemiskinan absolut. Isu tentang seputar ketimpangan dalam pembagian pendapatan, mereka sebenarnya telah hidup diatas garis kemiskinan, namun masih berada dibawah kemampuan rata-rata masyarakat disekitarnya. Hal ini disebut http://sosiologi.fisip.uns.ac.id | 6
dengan Kemiskinan Relatif. Kemiskinan Kultural berkaitan erat dengan sikap seseorang atau sekelompok masyarakat yang tidak mau berusaha memperbaiki tingkat kehidupannya, walaupun banyak pihak lain yang berusaha membantunya. Sedangkan ketidakberdayaan
sekelompok
kemiskinan struktural adalah
masyarakat
dibawah
situasi
sistem
pemerintahanan atau politik, yang menyebabkan mereka berada pada posisi yang sangat lemah dan tereksploitasi (Basuki dan Prasetyo, 2007: 7 – 8). Status gizi balita. Gizi merupakan salah satu faktor penting yang menentukan pertumbuhan dan perkembangan serta tingkat kesehatan dan kesejahteraan manusia. Keseimbangan dan keserasian antara perkembangan fisik dan perkembangan mental adalah tanda-tanda bahwa keadaan gizi seseorang dikatakan baik. Kondisi gizi seseorang dapat dipengaruhi oleh kondisi gizi sebelumnya. Berkaitan dengan hal tersebut, Winarno mengemukakan pemikirannya sebagai berikut : “Keadaan gizi seseorang pada suatu masa bukan saja ditentukan oleh konsumsi pada saat itu saja, tetapi lebih banyak dityentukan oleh konsumsi zat-zat gizi pada masa yang telah lampau, bahkan jauh sebelumnya. Ini berarti bahwa konsumsi gizi masa kanak-kanak memberi andil terhadap status gizi masa dewasa” (dalam Winarno 1995 : 20). Penelitian ini menggunakan penelitian deskriptif, menurut Faisal (2005 : 18) penelitian deskriptif dimaksudkan sebagai upaya ekplorasi dan klarifikasi mengenai sesuatu fenomena atau kenyataan sosial. Pilihan pendekatan http://sosiologi.fisip.uns.ac.id | 7
kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini diperkuat oleh pendapat Moleong bahwa: “Untuk memahami perilaku, kita harus memahami definisi dan
proses
pendefinisiannya.
Manusia
terikat
secara
aktif
dalam
menciptakan dunianya, sehingga dengan demikian ia mengerti akan pemisahan antara riwayat hidup dengan masyarakat yang merupakan sesuatu yang esensial. manusia tidak dapat bertindak atas dasar respon yang telah ditentukan terlebih dahulu untuk mendefinisikan obyek, tetapi lebih sebagai penafsiran, pendefinisian “hewan simbolik” yang perilaku nya hanya dapat dipahami dengan jalan peneliti memasuki proses definisi melalui metode seperti pengamatan berperan serta“(dalam Moleong, 1998: 10).Penelitian deskriptif ini ditempuh dengan memusatkan diri pada pemecahan masalah yang ada. Mula-mula data dikumpulkan, disusun, dijelaskan dan dianalisis. Oleh karena itu penelitian ini sering disebut metode analitik. Selain itu, penelitian deskriptif bertujuan untuk menggambarkan konsep dan menghimpun data, tetapi tidak melakukan pengujian hipotesis (Singarimbun, 1995: 4-5).Informan menjadi sumber data yang penting dalam penelitian ini informan merupakan pembicara asli yang berbicara dalam bahasanya sendiri (Spradlye 2006: 39). Informan yang menjadi sumber data dalam penelitian ini antara lain: Enam pasangan orang tua dari balita yang tergolong keluarga miskin dan Petugas Posyandu di Kelurahan Kadipiro. Data sekunder dalam sumber data sekunder pada penelitian ini antara lain berupa notulensi-notulensi terkait status gizi balita, Profil Kesehatan Kota http://sosiologi.fisip.uns.ac.id | 8
Surakarta tahun 2009, data Monografi Kecamatan Banjarsari Tahun 2010, Potret Kecamatan Banjarsari Tahun 2010, , dan artikel serta informasi dari berbagai media baik elektronik maupun cetak. Pengetahuan Orang Tua Keluarga Miskin Mengenai Pentingnya Makanan yang Bergizi bagi Balita. Di antara enam keluarga informan, terdapat satu pasangan suami istri yang memiliki balita dengan kondisi sangat baik. Ibu balita sebelumnya bekerja sebagai pembantu rumah tangga yang bertugas merawat anak, sehingga ia telah memiliki pengetahuan mengenai gizi dari majikanya. Setelah menikah dan memiliki anak, ia menggunakan pengetahuan olah makanan bagi balita dengan sebaik-baiknya. Sehingga di samping mendapatkan pengetahuan mengenai gizi dari balita, ia juga menerapkan pengalaman sebelumnya. Pengalaman tersebut tidak dimiliki oleh keluarga informan lainnya, meskipun demikian terdapat satu keluarga yang juga memiliki anak balita dengan gizi baik, padahal pengetahuan mengenai gizi hanya diperoleh dari Posyandu karena si ibu merupakan kader posyandu. Di lain pihak, keempat balita lainnya memiliki kondisi gizi yang kurang. Keadaan ini menurut informan terjadi dengan alasan keterbatasan daya beli. Keluarga informan yang memiliki balita kurang gizi tersebut memandang bahwa makanan yang bergizi tersebut adalah makanan yang mahal. Pandangan demikian merupakan rasionalisasi dari keluarga informan untuk mendapat pengakuan bahwa keterbatasan ekonomi merupakan penyebab dari kondisi gizi anaknya. Tetapi terdapat dua keluarga lainnya yang http://sosiologi.fisip.uns.ac.id | 9
memiliki balita dengan kondisi gizi yang baik, meskipun keluarga tersebut juga mengalami keterbatasan ekonomi. Namun kesulitan memberi makanan yang bergizi dapat diatasi dengan memberikan makanan yang harganya murah tetapi tidak mengurangi nilai gizinya. Sehingga juga dikatakan oleh para informan bahwa makanan yang bergizi bagi balita adalah makanan yang mahal adalah keliru. Perilaku Orang Tua Keluarga Miskin dalam Memenuhi Kebutuhan Gizi Balita a. Pantangan Makanan bagi Balita Informan yang berada dalam kodisi serba kekurangan tidak dapat lagi bertahan dalam tradisi budaya yang tabu akan makanan tertentu, sehingga tradisi yang dulu diterapkan oleh orang tuanya masing-masing tidak dapat dipertahankan karena tidak sesuai lagi dengan sistem saat ini. Perubahan tersebut merupakan hasil dari upaya penyebaran informasi yang dilakukan oleh kader Posyandu dan pihak terkait lainnya mengenai adanya tabu yang merugikan kesehatan dan kondisi gizi ibu dan balita.Pandangan para keluarga informan merupakan suatu perubahan yang positif. Dari sistem yang kecil tersebut dapat diupayakan perubahan ke sistem yang lebih besar dan jangkauan wilayah perubahan yang lebih luas. Perubahan ini juga harus didukung oleh berbagai pihak yang bekerja secara simultan. b.
Pengelolaan Penghasilan untuk Memenuhi Kebutuhan Makanan yang Bergizi bagi Balita
Sumber penghasilan dari ke enam keluarga informan adalah hanya dari para suami, sementara mereka juga tidak memiliki penghasilan tambahan, seluruh http://sosiologi.fisip.uns.ac.id | 10
penghasilan diserahkan kepada istri atau ibu nya dan sepenuhnya dikelola oleh istri atau ibu . Peran istri dengan demikian memiliki posisi yang penting dalam keluarga, terutama dalam mengutamakan alokasi penghasilan. Tetapi para suami cenderung tidak mau tahu tentang banyaknya tuntutan kebutuhan-kebutuhan pokok yang harus dipenuhi, sementara penghasilan yang ada tidak memadai. Keadaan ini sangat besar kontribusinya terhadap pemenuhan kebutuhan makanan kebutuhan makanan bagi balita, dengan terbatasnya penghasilan, ibu sering mengabaikan pentingnya makanan bagi balita.Pada ke enam keluarga informan, seluruh penghasilan diberikan kepada istri atau ibu nya. Suami cenderung menyerahkan seluruh peran pengelolaan penghasilan tersebut kepada istrinya dan kemudian suami akan meminta uang sesuai dengan kebutuhannya.Alokasi penghasilan untuk kepentingan makan balita pada dua keluarga informan yang memiliki balita yang kurang gizi tidak diprioritaskan, sehingga tidak ada perbedaan konsumsi makanan untuk balita maupun untuk anggota keluarga, hal ini dilakukan dengan tujuan untuk menghemat pengeluaran.Pada dua keluarga informan lainya yang memiliki balita dengan kondisi gizi baik, ibu balitanya mengatur pengeluaran sebaik mungkin dan membuat prioritas makanan bagi balitanya. Balita diberi porsi makanan yang berbeda dengan harga yang terjangkau, misalnya ibu balita membuat bubur yang yang dicampur dengan wortel atau hati ayam. Untuk balita yang sudah mengkonsumsi nasi, ibu mengolah sayur-mayur, mengolah ceker ayam atau bahan makanan lainya http://sosiologi.fisip.uns.ac.id | 11
yang harganya terjangkau. Ibu-ibu balita hidangan yang lain dan berusaha menyisihkan penghasilan suaminya untuk menciptakan selera makan yang baik bagi anaknya. c. Perilaku Merokok Perilaku merokok yang ditampilkan oleh ayah dari balita merupakan perilaku yang negatif, meskipun menurut penuturannya lperilaku demikian adalah sebagai obat stress sehari-hari. Tanpa disadari sebenarnya biaya yang dikeluarkan setiap bulamnnya berkisar puluhan ribu. Keadaan ini ironisnya dengan kondisi gizi balitanya.Adanya hak-hak khusus terlihat sangat jelas pada keluarga miskin yang memiliki anak balita kurang gizi, dimana ibu tidak dapat mengelak dan tidak berdaya ketika para ayah meminta uang untuk membeli rokok, padahal ibu ingin mengalokasikan anggaran pembelian rokok tersebut untuk membeli makanan bagi balita. Dengan demikian ayah telah memiliki porsi alokasi pengeluaran keuangan yang besar sehariharinya dibandingkan dengan pemenuhan kebutuhan makanan untuk balitanya.Ternyata kebiasaan merokok merupakan kebiasaan yang sulit untuk dihentikan dan sangat mempengaruhi kondisi keuangan yang keadaannya terbatas. Banyaknya rokok yang dibakar berkisar sati sampai dua bungkus perhari. Jika dikonversikan ke dalam uang maka uang tersebut sesungguhnya dapat dimanfaatkan untuk membeli makanan yang bergizi bagi balita. d. Pengolahan Bahan Makanan bagi Balita http://sosiologi.fisip.uns.ac.id | 12
Para ibu pada dua keluarga informan yang memiliki anak kurang gizi tidak lagi menyukai kegiatan mengolah makanan karena kegiatan tersebut dipandangnya sia-sia karena anaknya tetap susah makan. Para ibu tersebut juga tidak memiliki kreatifitas yang baik dalam mengolah bahan makanan dan mudah menyerah pada kondisi anak, padahal balita adalah konsumen yang pasif yang hanya dapat menerima jatah yang diberikan ibunya. Para ibu cenderung mengikuti kemauan anaknya hanya agar anaknya mau makan, tetapi pilihan makanan anak adalah jenis makanan siap saji, makanan siap saji yang disukai anak-anak diantaranya adalah mie instan. Para ibu kemudian merasa tugas penyajian makanan telah selesai. Ibu balita berusaha selalu mengolah makanan sendiri, meskipun bahan pangan yang diolahnya adalah sayur mayur, tempe, tahu atau telur, dengan harapan hidangannya dapat menarik selera makan balita. Kreatifitas dalam mengolah makanan terbukti dapat memenuhi kebutuhan gizi balita. Perilaku ibu yang tidak peduli terhadap hidangan makanan bagi balita dapat menyebabkan balita semakin tidak memiliki nafsu makan, yang pada akhirnya mengakibatkan balita mengalami kekurangan kalori protein.Pada umunya seluruh keluarga informan menyajikan makanan yang tidak berbeda banyak ( tidak dibedakan secara khusus) dengan hidangan makanan bagi orang dewasa. Hal tersebut diperkenankan, tetapi makanan untuk konsumsi balita kurang memberikan rasa pedas.Sedangkan pada keluarga informan yang memiliki balita kurang gizi, balitanya tidak menyukai sayur mayur dan selera makannya rendah. http://sosiologi.fisip.uns.ac.id | 13
Para ibu sering membuatkan mie instan dan membelikan kuah bakso, padahal makanan tersebut memiliki kandungan gizi yang berbeda dengan sayur mayur segar. Para ibu merasa malas mengolah sayuran karena tidak dimakan oleh balitanya atau nasi dengan sayur mayur tersebut dimuntahkan.Tumbuh kembang dan kondisi gizi ke enam balita tidak dapat dipisahkan dari perilaku orangtunya dalam mengolah dan memberi makanan pada balita-balita tersebut. e. Pemanfaatan Sistem Sumber Pelayanan Kesehatan Masyarakat untuk Memenuhi Kebutuhan Makanan yang Bergizi bagi Balita. Masyarakat memerlukan sistem sumber yang dapat menjembataninya untuk dapat menyelesaikan tugad-tugas utama. Orang tua memerlukan sumbersumber yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan masyarakat, terutama sumber
yang
berhubungan
dengan
pemenuhan
kebutuhan
gizi
balitanya.Kebutuhan gizi balita dapat dipenuhi apabila keluarga memiliki penghasilan untuk membeli makanan setelah mampu membeli makananpun, orang tua harus mencari informasi agar penghasilan dapat memenuhi kebutuhan makanan yang bergizi bagi balitanya. Orang tua harus dapat mengelola penghasilan dengan baik karena di samping harus memenuhi kebutuhan akan makanan yang bergizi bagi balita, terdapat kebutuhan lainnya yang juga harus dipenuhi. Bagi keluarga dengan penghasilan yang rendah, maka ia harus mampu mengatur penghasilan tersebut sedemikian rupa sehingga dapat mencukupi kebutuhan lainya. Hambatan-hambatan http://sosiologi.fisip.uns.ac.id | 14
Hambatan-hambatan yang dihadapi orang tua dalam memenuhi kebutuhan gizi balita, yang dapat penulis kemukakan berdasarkan penelitian adalah hambatan yang dikelompokkan dalam dimensi sosial, budaya, dan ekonomi. Hambatan-hambatan tersebut adalah sebagai berikut : a. Dimensi Sosial Hambatan yang memiliki dimensi sosial adalah hambatan yang berkaitan dengan perilaku yang berkaitan dengan penerapan pengetahuan tentang gizi yang dimiliki oleh keluarga informan terhadap pemenuhan kebutuhan makanan yang bergizi bagi balita. Pada umumnya pengetahuan keluarga informan tentang gizi sudah cukup baik, namun mereka enggan melaksanakan kegiatan yang berkaitan dengan peningkatan kualitas gizi anaknya. Para ibu balita malas mengolah makanan, malas mengikuti berbagai kegiatan di posyandu. Padahal mereka telah mengetahui
manfaat-manfaat
dari
berbagai
fasilitas
tersebut
bagi
peningkatan status gizi anaknya. Perilaku ayah balita juga cenderung memenuhi kebutuhannya sendiri, terutama kebutuhan akan rokok. Hambatan sosialnya adalah bahwa mereka belum dapat melepaskan diri dari pengaruh rokok, meskipun sebenarnya mereka mengetahui tentang pentingnya makanan yang bergizi bagi balita. b. Dimensi Budaya Dimensi budaya dalam penelitian ini adalah perilaku berkaitan dengan hal tabu atau pantangan akan makanan tertentu dan perilaku yang http://sosiologi.fisip.uns.ac.id | 15
mengutamakan makanan bagi kepala keluarga dibandingkan dengan anggota keluarga lainnya. Perilaku yang berkaitan dengan dimensi budaya ini tidak lagi menjadi hambatan dalam pe.ningkatan status gizi balita. c. Dimensi Ekonomi Dimensi ekonomi berkaitan erat dengan kondisi ekonomi keluarga informan yang pas-pasan, perekonomian mereka ditandai dengan ekonomi gali lubang dan tutup lubang.
Kesimpulan Dari uraian di atas maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : Meskipun sebuah keluarga berada pada kondisi yang serba kekurangan, tetapi mereka mampu memenuhi kebutuhan gizi anak balitanya. Ternyata terdapat perilaku tertentu yang dapat menentukan terpenuhi atau tidaknya kebutuhan gizi balita. Perilaku keluarga informan berkaitan denagn dimensi sosial dan ekonomi, sedangkan dimensi budaya dalam penelitian ini tidak memberikan kontribusi terhadap upaya pemenuhan kebutuhan gizi balita. Dimensi sosial yang menentukan status gizi balita berdasarkan hasil penelitian adalah pengetahuan orang tua mengenai pentingnya makanan yang bergizi bagi balita. Pada umumnya keluarga miskin sudah memiliki pengetahuan mengenai pentingnya makanan yang bergizi bagi balitadengan http://sosiologi.fisip.uns.ac.id | 16
baik.Dimensi sosial ini akan berkaitan erat dengan dimensi ekonomi. Pengetahuan yang tidak diwujudkan dalam bentuk tindakan nyata dari perilaku orang tua dalam memenuhi kebutuhan gizi balita, akan memperburuk keadaaan gizi balita karena tidak dikelolanya penghasilan yang rendah tersebut dengan baik. Dimensi ekonomi dalam bentuk rendahnya penghasilan yang sering dipandang sebagai penyebab utama rendahnya status gizi balita di berbagai daerah, pada penelitian ini terbukti bukan merupakan penyebab utama yang mengakibatkan balita kurang gizi. Tetapi ada bagian lain dari dimensi ekonomi yang dapat menentukan status gizi balita yaiutu kemampuan keluarga dalam pengelolaan penghasilan yang rendah. Seluruh keluarga informan dalam penelitian ini memiliki penghasilan tetap setiap bulan yang jumlahnya rendah dan sebagian lagi jumlah penghasilannya tidak menentu. Keluarga informan yang tidak dapat mengelola penghasilan keluarga yang rendah dengan baik, tidak dapat memenuhi kebutuhan akan makanan yang bergizi bagi balitanya, sehingga kondisi gizi balitanya kurang baik. Sedangkan keluarga informan yang dapat mengelola penghasilan keluarga yang rendah dengan baik, dapat memenuhi kebutuhan gizi balitanya dengan baik. Pengeluaran keluarga laiinnya yang tidak dapat dielakkan oleh ibu adalah ketika ayah balita meminta uang untuk membeli rokok. Jumlah rokok yang dikonsumsi setiap hatinya mencapai satu sampai dua bungkus. Perilaku http://sosiologi.fisip.uns.ac.id | 17
merokok ini di kalangan ayah balita yang kurang gizi merupakan perilaku negatif yang merugikan kondisi gizi balita. Anggaran untuk membeli rokok sebenarnya dapat dialokasikan untuk membeli makanan yang bergizi bagi balita. Tetapi tingkat kesadaran ayah balita kea rah mengurangi jumlah rokok yang dibakar setiap harinya masih rendah. Dimensi budaya dalam pemberian makanan yang bergizi bagi balita yang masih banyak ditemui pada beberapa kelompok masyarakat di Indonesia adalah tabu/ pantangan terhadap makanan tertentu dan beberapa ahli gizi lainnya mengemukakan juga bahwa terdapat perilaku orang tua yang mengutamakan pemberian makanan kepada ayah sebagai pencari nafkah dan mengesampingkan pentingnya makanan yang bergizi bagi balita yang seharusnya diutamakan. Perilaku yang berkaitan dengan tabu pada makanan tertentu bagi balita dan perilaku mengutamakan pemberian makanan kepada ayah dari balita tidak lagi ditemukan lagi pada seluruh keluarga informan. Mereka sudah menyadari bahwa makanan yang dulu ditabukan ternayata adalah makanan yang mengandung nilai gizi tinggi, sedangkan mengenai perilaku yang mengutamakan pemberian makanan kepada ayah yang didahulukan daripada balita juga tidak ditemukan, ayah balita juga menyadari banwa aktifitasnya mencari nafkah adalah untuk kepentingan gizi balita. Indikasi ini menunjukkan adanya perubahan perilaku orang tua dalam memenuhi kebutuhan gizi balitanya kea rah yang lebih baik. Perubahna nilai http://sosiologi.fisip.uns.ac.id | 18
ini merupakan suatu perubahan perilaku orang tua dalam memenuhi kebutuhan gizi balitanya kearah yang lebih baik. Perubahan nialai ini merupakan suatu perubahan yang positif dalam upaya memenuhi kebutuhan gizi balita. Daftar Pustaka Aritonang, Irianton, 1996. Pemantauan Pertumbuhan Balita. Yogyakarta: Kanisisus. Bodgan, Robert & Steven J Taylor, 1993. Kualitatif Dasar-Dasar Penelitian. Surabaya: Usaha Nasional. Horton, Paul B & Chester L Hunt, 1992. (Alih bahasa oleh Aminudin Ram dan Tita Sobari). Sosiologi (Jilid 2). Jakarta : Erlangga. Horton, Paul B & Chester L, Hunt, 1996. (Alih bahasa oleh Aminudin Ram dan Tita Sobari). Sosiologi (Jilid 1). Jakarta: Erlangga. Hurlock, Elizabeth B. 1999. Perkembangan Anak, terjemahan dari Child Development,. Jakarta: Erlangga. Johnson, Doyle Paul, 1982. (Alih bahasa oleh Robert M.Z. Lawang). Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jakarta: Gramedia Junadi, Purnawan &, Atiek S Soemasto & Amelz Husna, 1982. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Universitas Indonesia. Kartono, Kartini, 1981. Psikhologi Abnormal Bandung : Alumni. Linton, Ralph. 1965. Latar Belakang Budaya daripada Kepribadian. Jakarta: Universitas Indonesia. Notoatmodjo, Soekijo, 1994. Pengantar pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku Kesehatan.Yogyakarta: Andi Offset. Moleong, Lexy J. 2001. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : Rosdakarya Mubyarto, 1991. Sistem dan Moral Ekonomi Indonesia. Jakarta: LP3ES. Peursen, Van. 1992. Strategi Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius. Poloma, Margaret M., 1979. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: CV Rajawali dan Yayasan Solidaritas Gajah Mada Yogyakarta. Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. 2009. Teori Sosiologi : Dari Teori Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern. Yogyakarta : Kreasi Wacana Salim, Agus. 2001. Teori dan Paradigma Penelitian. Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya Sediaoetama, Achmad Djaeni. 1996. Ilmu Gizi, untuk Mahasiswa dan Profesi (Jilid I). Jakarta: Dian Rakyat. Sediaoetama, Achmad Djaeni. 1999. Ilmu Gizi, untuk Mahasiswa dan Profesi (Jilid II). Jakarta, Dian Rakyat. Slamet, Yulius. 2006. Metode Penelitian Sosial. Surakarta: LPP UNS Press. http://sosiologi.fisip.uns.ac.id | 19
Soekanto, Soerjono, & Lestarini, Ratih, SH., 1988. Fungsionalisme dan Teori Konflik dalam Perkembangan Sosiologi. Jakarta: Sinar Grafika. Stein, Theodore J., 1981. Social Work Practice in Child Welfare. New Jersey : Prentice Hall Inc. Sumardi, Mulyanto & Evers, Hans Dieter (eds), 1982. Kemiskinan dan Kebutuhan Pokok. Jakarta : CV. Rajawali dan YHS. Winarno, F.G. 1995. Gizi dan Makanan. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Jurnal Denni Arli, Pamela D. Morrison, dan Mohammed A. Razzaque. Reinventing Poverty Alleviation Strategies through Corporate Social Responsibility Moeljarto, Vidhyandika. Jurnal CSIS, Tahun XXIII (3), 1994. Kemiskinan : Hakekat, Ciri, Dimensi dan Kebijakan. Jakarta: CSIS Rolls, Barbara J.PhD & Engell, Dianne PhD & Birch, Leann L.PhD. Journal of American Dietetic Association,100 (2), 2000. Serving Portion Size Influences 5 Years Old But Not 3 Years Chidrens Food Intake. Chicago : American Dietetic Association. Wiley. 2009. Causes and Effect of Poverty.
http://sosiologi.fisip.uns.ac.id | 20