Dewan Redaksi Majalah Ilmiah “SULUH PENDIDIKAN” IKIP Saraswati Tabanan Ketua Drs. I Made Sudiana, M.Si. Penyunting Penyelia (Editor Pengawas) Dr. I Nyoman Suaka, M.Si. Peyunting Pelaksana Dr. Dra. Ni Nyoman Karmini, M.Hum.; Dr. Drs. Dewa Nyoman Oka, M.Pd.; Drs. Ida Bagus Anom Sutanaya, M.Pd.; Drs. Made Kerta Adhi, M.Pd.; Drs. I Nyoman Suryawan, M.Si.; Drs. Wayan Mawa, M.Hum. Penyunting Tamu Dr. I Gusti Ngurah Raka Haryana, MS (IKIP Saraswati Tabanan); Prof. Dr. Ir. Gede Mahardika, MS (UNUD); Prof. Dr. I Made Sutajaya, M.Kes (UNDIKSHA) Pengelola Pusat Penelitian IKIP Saraswati Tabanan Suluh Pendidikan: diterbitkan oleh Pusat Penelitian IKIP Saraswati Tabanan (Saraswati Institut Press), sebagai media informasi ilmiah bidang pendidikan baik berupa hasil penelitian maupun kajian pustaka. Penerimaan Naskah Redaksi menerima naskah dari dosen, peneliti, mahasiswa atau praktisi dengan ketentuan seperti tercantum pada bagian belakang jurnal ini. Tulisan yang dimuat mendapat kompensasi 2 eksemplar. Langganan Suluh Pendidikan terbit dua kali dalam setahun (Juni dan Desember). Langganan untuk satu tahun termasuk ongkos kirim sebagai berikut: 1. Lembaga/instansi : Rp. 100.000 2. Individu/pribadi : Rp. 50.000 3. Mahasiswa : Rp. 20.000 Alamat Redaksi IKIP Saraswati Tabanan Jalan Pahlawan Nomor 2 Tabanan – Bali 82113 Telp. (0361) 811267 Email:
[email protected]
ISSN : 1829 – 894X
SULUH PENDIDIKAN
(Jurnal Ilmu-ilmu Pendidikan)
Vol.11 No.2 Desember 2013 Roman “Layar Terkembang” Ditinjau dari Aspek Pendidikan Wanita (Ketut Yarsama) ...................………….....………….................................
55– 64
Meningktakan Prestasi dan Ketuntasan Belajar Matematika Melalui Implementasi Metode Problem Posing Tipe Post Solution Posing (I Made Kadok) ...........................................................................................
65– 74
Meningkatkan Kinerja Guru dalam Pembelajaran dan Kemampuan Siswa Meneliti Serta Menulis (I Ketut Surata, I Made Sudiana, dan Tri Djoko Setyono) .....................
75– 80
Studi Evaluasi Implementasi Pembelajaran Tematik Pada Siswa Sekolah Dasar Gugus I Denpasar Timur (Ni Wayan Sadri) .........................................................................................
81– 89
Penilaian Enam Dimensi Sains: Suatu Kajian Pustaka (I Gede Sudirgayasa) ...................................................................................
90– 97
Kesetaraan IQ, EQ dan SQ Melalui Pendidikan Karakter Mencapai Tujuan Pendidikan Yang Sebenarnya: Suatu Kajian Pustaka (I Wayan Gata) ............................................................................................ 98– 107 Sinetron Sebagai Bahan Ajar Pembelajaran Sastra Berbasis Teknologi Informasi: Suatu Kajian Pustaka (I Nyoman Suaka)........................................................................................ 108-116
Pusat Penelitian Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Saraswati Tabanan
Suluh Pendidikan, 2013, 11 (2): 55 - 64
ISSN : 1829 – 894X
ROMAN “LAYAR TERKEMBANG” DITINJAU DARI ASPEK PENDIDIKAN WANITA Ketut Yarsama FPBS, IKIP PGRI BALI ABSTRACT This research intent to describe education point that consist in romance “Display most flower” S.T.A’S opus, and describes education aspect, woman that how consists in romance “Display most flower” S.T.A’S opus. Observational data source this is novel “Display most flower” S.T.A’S opus and another supporter books. Gathered data with bibliography method. dianalisis’s data by methodics hermeneutik. Conclusion is this research which is education point that consists in romance “Display most flower” which is, religion point, manner point, aesthetic point, and psikolgis’s point. Woman education aspect that consists in romance “Display most flower” be mark sense rights equation charge between woman’s clan with man. Keywords : Novel, education aspect, otority social agreement, woman, man ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan unsur pendidikan dalam novel percintaan “Tampilan yang paling flower” opus STA’S, khususnya bagaimana aspek pendidikan yang terjadi pada wanita. Data diperoleh melalui pengamatan terhadap novel “Tampilan yang paling flower” opus STA’S dan buku pendukung lain. Data dikumpulkan dengan metode kepustakaan dan dianalisis dengan metode hermeneutik. Kesimpulan yang diperoleh yaitu bahwa aspek pendidikan yang terdapat dalam novel percintaan “Tampilan yang paling flower” terfokus pada aspek agama, cara, estetika, dan aspek psikolgis. Aspek pendidikan tersebut menjadi clan mark terhadap persamaan perasaan dan persamaan antara wanita dan laki-laki. Kata kunci: Novel percintaan, aspek pendidikan, otoritas perjanjian sosial, wanita, laki-laki PENDAHULUAN Karya sastra yang diciptakan oleh pengarangnya sangat sarat dengan nilai-nilai pendidikan. Artinya dengan membaca karya sastra, maka seseorang akan memperoleh nilai-nilai pendidikan yang sangat berguna dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ini disebabkan karena pengarang di dalam menciptakan karya sastra tidak bisa lepas dengan kehidupan di masyarakat. Sebab
pengarang pada hakikatnya adalah juga anggota masyarakat. Hal ini sesuai dengan pendapat Sumarjo seperti di bawah ini. Pengarang adalah salah satu anggota masyarakat manusia. Ia hidup dan berelasi dengan orangorang yang ada disekitarnya, maka tidak mengherankan kalau terjadi interaksi, yaitu interkasi antara pengarang dengan masyrakatnya. Selalu ditarik relasi antara karya sastra dengan masyarakat di mana 55
Suluh Pendidikan, 2013, 11 (2): 55 - 64
pengarang itu hidup (1992:15). Dari uraian di atas, roman yang merupakan bagian karya sastra tentulah juga mengandung atau mengungkapkan tentang suatu proses perubahan dan tata nilai masyarakat. Perubahan itu dilakukan seirama dengan perkembangan zamannya. Pendapat ini diperkuat oleh Esten sebagai berikut. Dengan memahami novel In donesia kita akan mendapatkan suatu gambaran dari suatu proses (perubahan sosial dan tata nilai). Sementara itu juga akan dilihat bahwa perkembngan novel-novel Indonesia merupakan suatu proses yang berpangkalan dari proses sosial dan tata nilai tadi. Suatu hubugan yang timbal balik atau kait mengait antara karya sastra dengan nilainilai yang ada dalam masyarakat (1982:40). Dalam cakapan ini, hasil-hasil karya sastra yang akan dijadikan bahan pembicaraan adalah lahir di sekitar zaman angkatan baru, khususnya roman “Layar Terkembang” karya Sultan Takdir Alisjahbana (S.T.A), mengapa? Sebab karya sastra ini menampilkan proses perubahan tata nilai sosio budaya yang cukup radikal kalau tidak boleh dikatakan memberontak. Penulis sangat tertarik untuk mengkaji roman ini sebagai subjek penelitian, karena roman ini mencerminkan adanya perubahan tata nilai, yakni adanya tuntutan persamaan hak dan kewajiban antara kaum wanita dan pria. Hal ini dapat tergambar lewat pemeran tokoh wanita Tuti, seorang wanita yang sekian tahun 56
ISSN : 1829 – 894X
setelah R.A. Kartini yang direkayasa oleh S.T.A., menuntut kesamaan hak dengan kaum pria. Tetapi rupanya S.T.A. memiliki visi yang dapat menjangkau ke dalam dimensi-dimensi yang paling pelik, yang menganggap betapa pentingnya memajukan kaum wanita. Jika dilihat dari segi kandungan nilai roman “Layar Terkembang” ini cukuplah bermultidemnsi. Roman ini mengandung nilai intelektual, emosional, filsafat, relegius, dan nilai-nilai pendidikan yang didominasi oleh nilai-nilai pendidikan wanita. Dalam tulisan ini, hal utama yang mendapat perhatian adalah dari aspek pendidikan wanita Indonesia. Dasar pertimbanagn penulis untuk meneliti roman ini adalah sebagai berikut. (1) Sangat perlu untuk berupaya menjaga kelestarian karya sastra sehingga nantinya dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan pendidikan wanita guna meningkatkan harkat dan martabat kaum wanita. (2) Adanya usaha dari pihak pemerintah dalam upaya pemahaman terhadap peran dan keberadaan wanita serta perubahan status sosial wanita pada masa mendatang. (3) Roman “Layar Terkembang” adalah salah satu roman yang menyajikan cerita tentang perjuangkan wanita dan cita-citanya. Berdasarkan latar belakang yang tekah diuraikan di atas, adapun masalah yang dapat dipecahkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. (1) Nilai-nilai pendidikan apa saja yang terkandung dalam roman “Layar Terkembang”?, (2) Aspek pendidikan wanita yang bagaimanakah yang tercermin dalam roman “Layar Terkembang”? Bertitik tolak pada latar belakang
Suluh Pendidikan, 2013, 11 (2): 55 - 64
dan rumusan masalah di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. (1) Untuk mengetahui nilai-nilai pendidikan apa saja yang terkandung dalam roman “Layar Terkembang”. (2) Untuk mengetahui aspek penididikan wanita yang bagaimanakah yang tercermin dalam roman “Layar Terkembang”. Hasil penelitian diharapkan bermanfaat untuk. (1) Meningkatkan wawasan apresiasi sastra khususnya bagi guru dan siswa yang secara langsung terlibat dalam membina dan mengembangkan sastra Indonesia. (2) Dapat dipakai salah satu acuan dalam telaah karya sastra. Roman adalah suatu bentuk sastra Eropa yang tumbuh subur di sekitar abad ke-18 dan ke-19. Bentuk ini ternyata digemari juga di Indonesia (Rosidi,1988:8). Menurut Jassin, roman adalah cerita yang meliputi seluruh kehidupan baik kehidupan seseorang dalam suatu zaman, jalan pikirannya, pandangan hidupnya, cita-citanya maupun sikapnya (1985:54). Lubis memberikan definisi tentang roman adalah bentuk yang melukiskan naik turunnya pengalaman hidup manusia. Mereka bergerak dari suatu tempat ke tempat yang lain dan dari suatu kehidupan ke kehidupan yang lainnya (1980:15). Dari uraian di atas dapat disimpulkan yakni roman adalah suatu bentuk cerita yang melukiskan kehidupan manusia secara luas dan di dalamnya melukiskan keadaan pelakunya yang diawali dengan atau dari kehidupan masa kanak-kanak, dewasa, dan akhirnya meninggal. Retnaningsih menyebutkan unsurunsur roman yakni : tema, alur, perwatakan, gaya bahasa, (1983:23). Menurut Sumarjo,
ISSN : 1829 – 894X
unsur-unsur roman anatara lain: karakter, tema, plot, dan gaya bahasa (1962:9-11). Meskipun pokok cerita itu tidak dijelaskan oleh pengarang tetapi akan terasa dasar itu pada tiap-tiap bagian. Dasar cerita inilah yang disebut tema (Retnaningsih, 1983:21). Sumarjo dan Saini KM berpendapat bahwa tema merupakan ide sebuah cerita (1986:56). Sedangkan pakar lain berpendapat tentang tema seperti di bwah ini. Tema adalah suatu karakterisasi maupun unsur yang lain, karena ia merupakan masalah yang diselipkan dan diuraikan bahkan dipakai pegangan dalam cerita itu. Tema akan dijumpai apabila cerita itu dibaca keseluruhannya sambil mengungkapkan tentang kejadiankejadian yang terjadi dalam cerita tersebut (Semi, 1986:56-57). Benang-benang halus yang menghubungkan peristiwa-peristiwa atau pokok pikiran disebut plot (Retnaningsih 1983:21). Sukada mengatakan “Alur” adalah rangkaian kejadian-kejadian secara kesinambungan yang menimbulkan sebabakibat yang logis “(1986:49)”. Alur adalah struktur gerak yang terdapat dalam fiksi atau drama (Tarigan, 1984:126). Sumarjo mengatakan “Plot” adalah kejadian-kejadian yang merupakan cerita yaitu segi rohaniah dan kejadiankejadian” (1986:49). Menurut Semi yang dimaksud dengan gaya bahasa adalah sebagai berikut: Tingkah laku pengrang dalam menggunakan bahasa, ini merupakan salah satu asaran sastra yang amat penting. Tanpa gaya bahasa satra tidak ada artinya. 57
Suluh Pendidikan, 2013, 11 (2): 55 - 64
Betapapun dua atau tiga pengrang menggunakan suatu tema, alaur, akarter atau rasa yang sama, hasil karya sastra mereka akan berbeda (1986:31). Pendidikan merupakan usaha sadar untuk menyiapakan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran atau latihan yang memiliki peranan di masa yang akan datang (Depdikbud, 1989:6). Surakhmad berpendapat bahwa pendidikan itu adalah proses kegiatan antarmanusia yang saling pengaruh-mempengaruhi (1989: 17). Dalam hal ini komunikasi menjadi penting untuk menambah pengetahuan dan pergaulan masing-masing manusia baik sebagai pendidik maupun sebagai terdidik. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan mempunyai pengertian yakni suatu usaha yang disengaja dari seseorang kepada seseorang atau sekelompok orang agar pada dirinya terjadi perubahan ke arah yang lebih baik, yang harus dicapai oleh mereka yang telah mendapatkan pendidikan. Menurut Lengeveld (yang dikutip Saifulah), tujuan pendidikan adalah tujuan umum yang sempurna. Lebih lanjut dikatakan untuk menyampaikan kenyataan peristiwa khususnya yang berhubungan dengan faktor pendidikan lainnya, maka perlu diadakan pengkhususan dari tujuan umum yang sempurna. Kalau kita kembali kepada masalah pokok yakni tujuan pendidikan wanita, maka tersembullah suatu usaha untuk mengembangkan segala potensi dalam diri wanita tersebut. Dengan suatu harapan akan dapat terwujudnya impian menjadi kenyataan, yaitu pemanfaatan sumber daya manusia secara optimal sesuai dengan 58
ISSN : 1829 – 894X
apa yang telah digariskan dalam program pembangunan nasional. Status ketergantunagn di masa lalu dan mengabdi ala tradisonal itu masih berat menindas kaum wanita di mana-mana. Memang kaum wanita yang ingin memperbaiki nasib mereka sendiri dan nasib orang lain jumlahnya terus bertambah banyak, tetapi jumlah yang takut akan perubahan masih lebih besar lagi. Kelambatan seperti ini merupakan hal yang membutuhkan perhatian yang serius, karena hal ini kekuatan yang dapat menghambat kemajuan. Penghambatan seperti ini tidak hanya tampak pada kaum wanita saja, melainkan juga pada kaum pria. Kaum pria masih terlambat untuk mengikis rasa egoismenya untuk tidak menelantarkan nasib para kaum ibu ini. METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini digunakan empat macam metode yaitu : (1) Metode Penentuan Subjek Penelitian, (2) Metode Pendekatan Subjek Penelitian, (3) Metode Pengumpulan Data, dan (4) Metode Pengolahan Data. Berbicara tentang metode penentuan subjek penelitian, ada beberapa hal yang perlu dijelaskan antara lain : populasi penelitian dan situasi subjek penelitian. Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian. Sedangkan subjek penelitian adalah sumber untuk memperoleh data. Sehubungan dengan luas wilayah sumber data yang dijadikan subjek penelitian, Arikunto (1993:102) membagi penelitian menjadi tiga jenis penelitian yaitu : penelitian populasi, penelitian sampel, dan penelitian kasus. Hadi memberi penjelasan tentang
Suluh Pendidikan, 2013, 11 (2): 55 - 64
metode sampling sebagai berikut “Reduksi dan generalisasi adalah dua dasar penting dari riset ilmiah yang tidak menyelidiki semua objek, seluruh situasi, atau semua peristiwa melainkan sebagian saja dari objek, situasi-situasi, atau peristiwaperistiwa itu” (1991:70). Penelitian kasus adalah penelitian yang dilakuakn secara intensif, terinci, dan mendalam terhadap suatu organisme, lembaga atau gejala tertentu. Ditinjau dari wilayahnya, maka penelitian kasus hanya meliputi daerah atau subjek yang sangat sempit. Tetapi ditinjau dari sifat penelitian, penelitian kasus lebih mendalam (Arikunto, 1993:115). Sumber data atau subjek penelitian ini hanya berupa sebuah karya sastra karena itu penelitian ini tergolong penelitian kasus dan penentuan subjek penelitiannya disebut studi kasus. Keadaan atau situasi subjek penelitian yang menjadi sumber data yakni, berupa karya sastra ini dalam situasi yang utuh. Artinya penelitian tidak mengadakan perubahan sedikit pun terhadap isi dari karya sastra itu. Penulis melihat dan menganalisis secara cermat dan teliti, membaca karya sastra tersebut secara komprehensif. Dengan menganalisis secara komprehensif diharapkan data yang diperoleh lebih akurat atau valid serta dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini sesuai dengan pendapat Tarigan yakni di dalam menelaah atau meneliti suatu karya sastra haruslah dilakukan secara cermat, teliti, dan kritis serta dilakukan secara menyeluruh atau komptehensif (1993:29). Situasi yang diteliti yang berupa karya sastra tidak boleh dilakukan secara sepenggal-sepenggal. Artinya karya sastra
ISSN : 1829 – 894X
itu tidak boleh dipreteli begitu saja. Kalau hal ini dilaksanakan oleh peneliti, dia tidak mungkin dapat memperoleh amanat yang ada dalam karya sastra. Cara memandang dan mendekati suatu objek disebut pendekatan. Ber dasarkan pemikiran tersebut, sastra bisa didekati dari sudut moral dan pesan, stilistika, struktur yang membangunnya atau dapat pula dipandang dari sudut ilmu sejarah, sosial, psikologi dan lain-lain. Menurut Semi, ada beberapa metode yang dapat dipakai di dalam mengadakan pendekatan terhadap subjek penelitian yang berupa karya sastra antara lain pendekatan kesejarahan, pendekatan struktural, pendekatan moral, pendekatan sosiologis, psikologis, stilistika, semiotik, dan pendekatan arketipal (1996:63). Sehubungan dengan subjek yang diteliti, maka dalam penelitian ini digunakan pendekatan struktural sebagai pendekatan utama dan pendekatan moral serta sosiologis sebagai pendekatan pendukung. Keraf memberikan beberapa cara yang dapat dipergunakan untuk me ngumpulkan data sebagai berikut. “Ada bermacam-macam cara yang dapat digunakan untuk me ngumpulkan data, informasi, serta menguji data dan informasi tersebut.” Cara-cara tersebut adalah mengadakan wawancara, mengadakan angket (melaui daftar kuesioner), mengadakan observasi, penelitian lapangan atau penelitian kepustakaan” (1984:160). Penentuan metode penelitian yang akan digunakan sangat bergantung pada objek dan jenis data yang diperlukan dalam penelitian. Objek penelitian ini berupa 59
Suluh Pendidikan, 2013, 11 (2): 55 - 64
sebuah karya sastra, dan data yang diperlukan terurai dalam bentuk kata-kata. Karena itu metode yang dipakai untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah metode kepustakaan. Metode kepustakaan adalah suatu metode pengumpulan data dengan mencari data pada buku-buku yang ada kaitannya dengan masalah yang diteliti. Penelitian sastra yang objeknya adalah karya sastra, penulis dan pembaca tentu saja menyangkut suatu objek penelitian humaniora, yang didalamnya terkait pemberian arti dan interprestasi. Dalam hal ini tentulah metode kualitatif lebih serasi digunakan dalam penelitain sastra. Penelitian kualitatif bersifat deskriptif. Menurut Semi, penelitian yang deskriptif artinya data terurai dalam bentuk kata-kata atau gambar-gambar, bukan dalam bentuk angka-angka. Data pada umumnya berupa pencatatan, fotofoto, rekaman, dokumen, dan atau catatan resmi lainnya (1993:24). HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pada bagian ini secara berturut-turut akan disajikan : (1) analisis unsur cerita roman “Layar Terkembang”, (2) keberadaan kaum wanita dari zaman ke zaman, dan (3) analisis relevansi pendidikan kaum wanita dalam roman “Layar Terkembang” dengan pendidikan kaum wanita masa ini. Untuk lebih jelasnya hal tersebut akan diuraikan di bawah ini. 1.1 Analisis Unsur Cerita Roman “Layar Terkembang” Unsur intrinsik yang akan ditelaah sehubungan dengan roman “Layar Terkembang” antara lain : tema, latar, perwatakan, dan gaya bahasa. Untuk lebih 60
ISSN : 1829 – 894X
jelasnya hal tersebut akan diuraikan di bawah ini. 1.1.1 Tema Adapun tema roman yang berjudul “Layar Terkembang” adalah adanya tuntutan yang sama antara hak dan martabat antara kaum wanita dengan kaum pria. Artinya kedudukan kaum pria dan wanita haruslah sama. Tidak boleh gegabah kita mengatakan bahwa kaum wanita hanya berperan sebagai objek, tetapi seharusnya sekaligus sebagai subjek. Ini juga dapat diartikan bahwa wanita sudah sepantasnya ikut ambil bagian atau berpartisipasi secara aktif dalam berbagai aspek kehidupan. Kaum laki-laki haruslah memberikan kesempatan yang luas dan jangan selalu menganggap bahwa kaum wanita lemah, yang mesti dilindungi dan jangan dianggap wanita hanya cocok sebagai pengatur rumah tangga. Persepsi semacam itu tentu salah dan tidak perlu dipertahankan lagi. Untuk mengetahui dengan lebih pasti tentang tema roman “Layar Terkembang” dapat dibuktikan dengan kutipan di bawah ini. Sementara itu, Tuti yang sedang berada dalam kongres “Putri Sedar” berpidato tentang cita-cita “Putri Sedar” terhadap sikap perempuan atau wanita baru. Dalam pidato tersebut, Tuti menggambarkan dengan nyata bagaimana cita-citanya Putri Sedar tentang kedudukan wanita dalam masyarakat dan bagaimana seharusnya perempuan di masa yang akan datang yang dicita-citakannya. Tuti meng hendaki agar perempuan baru bangsa kita bukanlah merupakan perempuan yang berdiri dalam masyarakat sebagai hamba sahaya, tetapi sebagai manusia yang sejajar dengan laki-laki.
Suluh Pendidikan, 2013, 11 (2): 55 - 64
1.1.2 Latar atau Setting Latar atau setting yang dimaksud adalah tempat di mana cerita itu berlangsung. Setelah diteliti adapun latar cerita tersebut antara lain : di Banten, Pasar Ikan, Air Terjun Dago, di Kramat, dan di Pacet. Untuk membuktikan salah satu latar cerita roman “Layar Terkembang” dapat dilihat pada kutipan berikut ini. Tuti dan Maria, dua gadis bersaudara yang berlainan sifat-sifatnya. Kedua gadis tersebut putrid R. Wiriatmaja bekas Wedana di daerah Banten. Tuti lebih mengutamakan pikiran atau pertimbanagan….. 1.1.3 Perwatakan Dalam roman “Layar Terkembang” watak setiap tokohnya sudah tentu berbedabeda. Namun yang ingin ditonjolkan adalah tokoh utama yaitu Tuti yang mempunyai watak serius. Hal ini dapat dibuktikan melalui kutipan di bawah ini. Tuti adalah seorang gadis yang serius dan aktif. Segala permasalahan yang ia hadapi dicerna dan dipikirkan secara mendalam. Ia tidak mudah hanyut dalam arus perasaan yang cengeng. Dan dalam kerja atau tindakan ia selalu aktif yang bukan saja untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk kaumnya. Ia terus berusaha memacu semangat dan menyalakan api kesadaran bagi kaumnya. 1.1.4 Gaya Bahasa Dalam roman “Layar Terkembang” ini gaya bahasa yang sangat ditonjolkan adalah dalam bentuk personifikasi, repetisi, dan dipadu dengan gaya bahasa perbandingan. Untuk gaya bahasa personifikasi mari kita perhatikan kutipan
ISSN : 1829 – 894X
di bawah ini. ”Dalam sepi yang sepi-sepinya itulaj kedengaran suara Tuti membelah, saudara-saudaraku, kaum perempuan peserta rapat yang terhormat! Berbicara tentang sikap perempuan baru sebagian besar adalah berbicara tentang cita-cita bagaimnakah seharusnya kedudukan perempuan dalam masyarakat yang akan datang, janganlah sekali-kali disangka, bahwa berunding tentang cita-cita yang demikian semata-mata berunding tentang angan-angan dan pelamunan yang tidak mempunyai guna yang praktis sedikit pun” 1.2 Keberadaan Kaum Wanita dari Zaman ke Zaman Berbicara tentang keberadaan wanita dari zaman ke zaman akan diuraikan tentang : wanita sebelum zaman Kartini, wanita zaman Kartini, dan wanita Indonesia pada zaman sekarang. 1.2.1 Wanita Sebelum Zaman Kartini Pada zaman ini wanita dianggap tidak lebih dari seonggok barang yang dapat diperlakukan sekehendak hati oleh kaum laki-laki. Tentang hal ini tidak jelas penyebabnya. Apakah karena keegoan kaum laki-laki? Apakah karena kelemahan atau masalah kemauan kaum wanita itu sendiri? Akan tetapi, berbicara tentang kelemahan, tentu hanya dapat dilihat dari keadaan fisik belaka, atau mungkin karena kodrat?. Berbicara tentang kodrat itu hanya mengacu pada suatu penyerahan tanpa usaha, dan tentu ini tidak ccok sebagai alasan bagi manusia yang memiliki sifat selalu bergerak. Apapun pangkal masalah tidaklah akan dibicarakan dalam konteks ini, sebab penyajian ini lebih menyoroti realitas (kenyataan). 61
Suluh Pendidikan, 2013, 11 (2): 55 - 64
1.2.2 Wanita Zaman Kartini Angin segar penyingkap kabut penghalang fajar telah dihembuskan oleh seorang raden ayu, putri serang bupati dari Jepara. Kartini telah membentangkan benang merah sebagai pembatas masa wanita yang berada dalam kegelapan dengan zaman kebangkitan, menuju kemerdekaan, kemerdekaan adalah kebebasan untuk menentukan segala sesuatu yang berkaiatan dengan hak asasi yang tentunya pula kebebasan ini disalarasi dengan pertanggungjawaban. Kebangkitan itu yang dilakukan oleh Kartini bukannya tidak mendapatkan tantangan. Banyak sekali hambatan yang harus dihadapi. Bahkan ia sendiri harus dipingit. Tetapi Kartini adalah Kartini, seorang wanita yang tidak hanya mau menerima begitu saja atas segala perilaku nasib yang telah merampas segala hak asasinya. 1.2.3 Wanita Indonesia pada Zaman Sekarang Seperti halnya wanita-wanita di Negara lain, wanita Indonesia pun memiliki keinginan untuk maju, berkembang, dan mempunyai profesi sesuai dengan pilihan dan kesempatan yang ada dalam masyarakat. Sejak Indonesia belum memproklamsikan kemerdekaannya, wanita Indonesia telah memperlihatkan kemampuan mereka untuk maju dan berkembang sesuai dengan potensi yang dimiliki, dan kini kemauan tersebut masih tetap berkumandang dan diharapkan terus dengan makin luasnya berbagai perdebatan diberbagai forum dan seminar yang berkaitan dengan kaum wanita di dalam proses perkembanagan zaman dan bangsa.
62
ISSN : 1829 – 894X
3.3 Analisis Relevansi Pendidikan Kaum Wanita dalam Roman “Layar Terkembang” dengan Pendidikan Kaum Wanita Dewasa Ini. Berbiacara tentang nilai pendidikan kaum wanita dalam roman ini akan ditelaah : analisis dari segi nilai pendidikan agama, nilai etika, estetika, dan dari segi nilai kepribadian wanita. 3.3.1 Analisis dari Segi Nilai Pendidikan Agama Pemerintah Indonesia sangat menaruh perhatian terhadap kehidupan beragama yang dianut oleh warganya. Artinya kehidupan keagamaan di Indonesia sangatlah damai. Karena setiap pemeluk agama berkeyakinan bahwa semua ajaran agama tidak ada yang mengarahkan umatnya untuk berbuat yang tidak baik. Kerukunan hidup beragama sangat menopang pembangunan yang dilaksanakannya. Dengan kualitas keimanan yang tinggi dari pemeluknya, maka dapat dipastikan juga akan tercapainya pembangunan yang berkualitas. Untuk membuktikan bahwa roman “Layar Terkembang” mengandung nilai pendidikan agama dapat dilihat pada kutipan di bawah ini. Sejurus lagi mereka bercakapcakap dalam senja, Partadiharja pun hendak pulanglah. Dan ketika berbunyi beduk magrib sayup-sayup dibawa angin dari kampong jauh di sebelah timur, Wiriastmaja masuk pula meninggalkan anak-anak muda bertiga itu di halaman akan pergi sembahyang (S.T.A, 1990:29). 3.3.2 Analisis dari Segi Etika Tokoh Maria dalam roman ini memiliki perilaku yang menyimpang dari etika, ini dilihat dari kutipan berikut.
Suluh Pendidikan, 2013, 11 (2): 55 - 64
Ketika itu keluar pula Tuti. Setelah ia bersalaman dengan Yusuf, melihatlah ia kepada Maria seraya berkata dengan bencinya “Setinggi ini hari belum mandi lagi. Dan ia berani pula ke luar cis!”. Muka Maria marah mendengar kata saudaranya itu dan sambil tersenyum kemalu-maluan, katanya, “Temanilah Yusuf, saya pergi mandi dulu” dan ia pun lenyap ke dalam. Rukmah minta kepada Yusuf, karena ia harus pergi ke kantor. Setelah Rukamah turun duduklah Yusuf, di atas kusrsi berhadapan denan anak muda itu. Hatinya masih kesal memikirkan Maria, dan untuk melepaskan kesal hatinya itu berkatalah ia membuka bicara dengan Yusuf, “Saya benci benar kepada perempuan yang bangun tinggi hari”(S.T.A, 1990:49). 3.3.3 Analisis dari Segi Estetika Dalam roman yang dikarang oleh S.T.A. juga mengandung nilai estetika. Hal ini adapat dilihat pada kutipan berikut. “Tak saya sangka akan bertemu pula dengan Zus pagi-pagi ini”, katanya mencari perkataan akan berbicara menyambung tabiknya. Semenatara itu, sedangkan amatanya amat tajam mengamat-amati, sebab pada pagi itu Maria kelihatan kepadanya lebih cantik, jauh lebih cantik di akuarium kemarin. Gaunnya yang putih bersih amat rapat memalut badannya sampai melampaui lututnya sedikit. Kakinya yang agak panjang dan langkai ditutupi kaus sutra yang kuning kemerahmerahan warna sawo, sehingga dari jauh rupanya ia seolah-olah tidak berkaos. Rambutnya yang lebat itu terjalin menjadi dua anyaman yang terbuai-buai di belakangnya, sedangkan di sebelah mukanya mengeriting beberapa helai anak rambut (S.T.A, 1990:17).
ISSN : 1829 – 894X
3.3.4 Analisis Dari Segi Kepribadian Wanita Kemudian dengan menggunakan kepekaan dan kejelian serta keluasan pandangan dan pengetahuan Sultan Takdir Alisjahbana menjalin dan memaparkan amanatnya, bahwa wanita Indonesia dalam usahanya untuk menemukan jati dirinya yang utuh haruslah menyelaraskan atau mengharmoniskan segala permasalahan kehidupan yang kompleks yang ada di tengah-tengah masyarakat. Artinya kemajuan kaum wanita tidak dapat diraih tanpa harus membuka diri dari pengaruh dunia luar. SIMPULAN Dari uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut. 1. Nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam roman “Layar Terkembnag” yaitu nilai agama, nilai etika/moral, nilai estetika, dan nilai psikologis. 2. Aspek pendidikan wanita yang terkandung dalam roman “Layar Terkembang” yakni adanya persamaan hak antara kaum wanita dengan pria. Wanita harus berperan aktif dalam berbagi aspek kehidupan. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penelitian ini tidak mungkin dapat diselesaikan tanpa mendapat bantuan dari pihak lain. Untuk itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghragaan dan terima kasih kepada : 1. Bapak Rektor IKIP PGRI Bali yang telah memberikan motivasi untuk 63
Suluh Pendidikan, 2013, 11 (2): 55 - 64
mengadakan penelitian; 2. Teman-teman Dosen beserta tenaga administrasi di lingkungan IKIP PGRI Bali yang telah membantu dalam penyelesaian penelitian ini; 3. Istri dan anakku, Gede Sidi Artajaya serta sekeluarga yang telah memberikan dorongan moral dalam penyelesaian penelitian ini; 4. Semua pihak yang tidak sempat disebutkan namanya satu persatu.
DAFTAR PUSTAKA Ashami, Hafi. 1970. Mendidik dan Memajukan Wanita. Jakarta : Gunung Agung Ajip, Rosidi. 1986. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta : Bineka Cipta
ISSN : 1829 – 894X
Depdikbud. 1989. Garis-Garis Besar Program Pengajaran. Jakarta : Balai Pustaka Esten, Murshal. 1981. Sastra Indonesia dan Tradisi Sub Kultural. Bandung: Angkasa Jassin, H.B. 1983. Taifa Penyair dan Daerahnya. Jakarta : Gunung Agung Keraf, Gorys. 1984. Komposisi. Ende: Nusa Indah Retnaningsih, Aning. 1983. Roman dalam masa Pertumbyhan Kesusatraan Indonesia Modern. Jakarta: Erlangga Semi, Atar.M. 1993. Metode Penelitian Sastra. Bandung : Angkasa Sumarjo, Jacob. 1981. Segi Sosiologis Novel Indonesia. Bandung : Pustaka Prima
Alisjahbana, ST. 1990. Layar Terkembang. Cet XX Jakarta : Balai Pustaka
Surakhmad, Winanrno. 1980. Metodologi Penelitian. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada
Arikunto, Suharsismi. 1993. Prosedur Penelitian. Jakarta : Kineka Cipta
Tarigan, H.G. 1986. Prinsip-Prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa
64
Suluh Pendidikan, 2013, 11 (2): 65 - 74
ISSN : 1829 – 894X
MENINGKTAKAN PRESTASI DAN KETUNTASAN BELAJAR MATEMATIKA MELALUI IMPLEMENTASI METODE PROBLEM POSING TIPE POST SOLUTION POSING I Made Kadok SMA Negeri 1 Abiansemal Kabupaten Badung ABSTRACT This clasroom action research is conducted to know the effectiveness of the implementation of Problem Posing Type Post solution Posing to improve the students’ achivement and mastry in learning diferensial fungtion. To achieve that purpuse the method of Problem Posing Type Post Solution Posing was implemented to 49 students’ of grade elementh sicience III of SMA N1 Abiansemal in the academic year 2011/2012. The objects of this study are the mathematic learning achievement and student’ learning mastery. The mathematic learning achievement data was collected by using learning achievement test. Where as the data of student mastery was obtained from the percentase of student that heve passed the minimum standard or more than the minimum standard level ( KKM = 77) Then the collected data of this researh were analyzed descriptively. The result of this study shows that after implementing the Problem Posing Type Post Solution Posing method, the students learning achievement is increasing in the cycle I, the average is 76,02 and in the cycle II it is increasing to 81,73. Mean while, the students mastery in sycle I is 71,43 %. It is increasing in cycle II to 89,80%. Keywords : Problem posing type post solution posing method, mathematic learning achivement, mastery learning ABSTRAK Penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan bertujuan untuk mengetahui sejauh mana Implementasi Metode Pembelajaran Problem Posing Tipe Post Solution Posing Untuk Meningkatkan Prestasi Belajar dan Ketuntasan Belajar Siswa Dalam Pembelajaran Turunan Fungsi . Untuk mencapai tujuan tersebut, diimplementasikan metode Problem Posing tipe Post Solution Posing terhadap siswa kelas XI IPA-3 SMA Negeri 1 Abiansemal tahun pelajaran 2011/2012 yang terdiri atas 49 orang. Objek penelitian adalah prestasi belajar matematika dan ketuntasan belajar siswa. Data prestasi belajar matematika siswa dikumpulkan menggunakan tes prestasi belajar. Sedangkan data tentang ketuntasan belajar siswa diperoleh dari persentase siswa yang telah mencapai KKM atau lebih (nilai KKM=77). Selanjutnya data yang terkumpul dalam penelitian ini dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa setelah diimplementasikan metode pembelajaran Problem Posing tipe Post Solution Posing, terjadi peningkatan prestasi belajar matematika siswa yaitu pada siklus I dengan nilai rata-rata sebesar 76,02 dan pada siklus II meningkat menjadi 81,73. Sedangkan ketuntasan belajar siswa pada siklus I sebesar 71,43% meningkat pada siklus II mencapai 89,80%. Kata kunci: Metode problem posing tipe post solution posing, prestasi belajar matematika, ketuntasan belajar 65
Suluh Pendidikan, 2013, 11 (2): 65 - 74
PENDAHULUAN Salah satu isu penting dalam peningkatan mutu pendidikan di Indonesia adalah peningkatan profesionalisme guru dalam pembelajaran. Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru mengamanatkan bahwa kompetensi guru dikembangkan secara utuh dari empat kompetensi utama yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi profesional, kompetensi sosial dan kompetensi kepribadian. Matematika merupakan mata pelajaran yang dipelajari oleh semua siswa dari SD hingga SMA bahkan perguruan tinggi. Banyak alasan tentang perlunya siswa belajar matematika, yaitu (1) merupakan sarana berpikir yang jelas dan logis, (2) sarana memecahkan masalah kehidupan sehari-hari, (3) sarana mengenal pola-pola hubungan generalisasi pengalaman, (4) sarana mengembangkan kreativitas, dan (5) sarana untuk meningkatkan kesadaran terhadap perkembangan budaya. Mengingat begitu pentingnya matematika di sekolah seperti yang disebutkan di atas, diperlukan suatu metode yang tepat dalam pembelajaran agar tujuan yang diharapkan dapat dicapai sesuai dengan yang diinginkan. Semestinya matematika merupakan salah satu pelajaran yang digemari oleh siswa terkait dengan kegunaannya. Kenyataannya keluhan dan ke kecewaan terhadap sikap dan hasil yang dicapai siswa dalam pembelajaran matematika hingga kini masih sering diperbincangkan. Umumnya siswa me ngatakan matematika merupakan pelajaran yang sulit dan membosankan, tidak 66
ISSN : 1829 – 894X
menarik, dan bahkan penuh misteri. Ini disebabkan karena mata pelajaran matematika dirasakan sukar, gersang, dan tidak tampak kaitannya dengan kehidupan sehari-hari. Kondisi ini juga sangat dirasakan di lingkungan siswa SMA Negeri 1 Abiansemal. Pada umumnya siswa tidak senang belajar matematika dengan berbagai alasan, misalnya tidak akan melanjutkan ke perguruan tinggi, dipaksakan pada jurusan IPA atau sikap yang ditampilkan siswa dalam pembelajaran matematika sekadar untuk mengikuti pelajaran agar memperoleh nilai semata-mata. Hal yang diduga sebagai penyebab rendahnya prestasi belajar matematika siswa di SMA Negeri 1 Abiansemal adalah keterbatasan guru untuk memilih metode mengajar, yang lebih dominan menggunakan metode ceramah, sehingga komunikasi yang terjadi hanya satu arah yaitu dari guru ke siswa. Kebiasaan ini muncul karena pada umumnya guru kurang yakin dengan kemampuan yang dimiliki siswa untuk memecahkan permasalahan sendiri. Siswa kurang diberikan kesempatan untuk merumuskan sendiri cara-cara pemecahan masalah yang diajukan guru. Untuk mengatasi permasalahan di atas, pada penelitian ini akan di implementasikan metode pembelajaran Problem Posing tipe Post Solution Posing. Dengan penerapan metode pembelajaran Problem Posing tipe Post Solution Posing, siswa akan diberikan kesempatan untuk merumuskan sendiri langkah-langkah pemecahan masalah serta didorong untuk membuat permasalahan sendiri yang serupa dengan permasalahan yang diajukan oleh guru untuk diselesaikan sendiri. Hal ini diharapkan dapat membangkitkan semangat
Suluh Pendidikan, 2013, 11 (2): 65 - 74
belajar siswa, menumbuhkan budaya inovasi siswa dalam pemecahan masalah serta menumbuhkan budaya belajar di kalangan siswa, sehingga muara akhir yang ingin dicapai adalah meningkatnya prestasi belajar matematika siswa. Berdasarkan latar belakang per masalahan di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: Apakah Implementasi Metode Pembelajaran Problem Posing Tipe Post Solution Posing dapat meningkatkan prestasi belajar dan ketuntasan belajar siswa dalam pembelajaran Turunan Fungsi? Vygotsky berpendapat bahwa siswa membentuk pengetahuannya ber dasarkan apa yang diketahui siswa sebagai hasil dari pikiran dan kegiatan siswa sendiri, bukanlah salinan (copy) dari apa yang mereka temukan di dalam lingkungan. Dalam proses pembentukan pengetahuan, Vygotsky lebih menekankan pada pentingnya peranan pembelajaran dan interaksi sosial pada perkembangan matematika dan pengetahuan lain. Ada dua implikasi utama teori Vygotsky dalam pendidikan Pertama, adalah perlunya tatanan kelas dan bentuk pembelajaran kooperatif antar siswa, sehingga siswa dapat berinteraksi di sekitar tugas-tugas yang sulit dan saling memunculkan strategistrategi pemecahan masalah yang efektif di dalam masing-masing ZPD mereka. Kedua, pendekatan Vygotsky dalam pengajaran menekankan scaffolding, dengan semakin lama siswa semakin bertanggung jawab terhadap pembelajaran sendiri (Howe & Jones, dalam Widana, 2008:25). Problem posing adalah kegiatan perumusan soal atau masalah oleh peserta didik. Peserta didik hanya diberikan
ISSN : 1829 – 894X
situasi tertentu sebagai stimulus dalam merumuskan soal/masalah. Berkaitan dengan situasi yang dipergunakan dalam kegiatan perumusan masalah/soal dalam pembelajaran matematika, Walter dan Brown dalam Suyitno Amin (2006) menyatakan bahwa soal dapat dibangun melalui beberapa bentuk, antara lain gambar, benda manipulatif, permainan, teorema/konsep, alat peraga, soal dan solusi dari soal. Lebih lanjut dikatakan bahwa problem posing mempunyai tiga pengertian, yaitu: 1) Problem Posing tipe Pre Solution Posing yaitu perumusan soal yang berkaitan dengan syarat-syarat pada soal yang dipecahkan dalam rangka mencari alternatif pemecahan lain. 2) Problem posing tipe Within Solution Posing yaitu perumusan soal sederhana atau perumusan ulang soal yang ada dengan beberapa perubahan agar lebih sederhana dan dapat dipahami dalam rangka memecahkan soal yang rumit. Siswa diminta merumuskan kembali soal yang telah diberikan melalui tahapan-tahapan/langkah-langkah tertentu sehingga soal yang diberikan menjadi lebih sederhana. 3) Problem Posing tipe Post Solution Posing yaitu merumuskan atau membuat soal sejenis dari situasi yang diberikan. Siswa akan dilatih kemampuannya untuk menyusun soal sendiri, selanjutnya soal atau permasalahan tersebut diselesaikan sendiri sesuai dengan contoh-contoh yang diberikan oleh guru. Prestasi belajar merupakan hasil perubahan tingkah laku yang meliputi ranah kognitif, afektif dan psikomotor. Bloom menguraikan ranah kognitif terdiri dari: pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis dan evaluasi. Azwar (2002) mengemukakan bahwa prestasi belajar dapat 67
Suluh Pendidikan, 2013, 11 (2): 65 - 74
juga disebut abilitas atau kecakapan. Abilitas dapat dibagi menjadi dua yaitu: 1) abilitas aktual (actual ability) yang diterjemahkan dalam bentuk performansi nyata; abilitas ini diperoleh siswa setelah mengikuti pembelajaran; 2) abilitas potensial (potencial ability) yaitu suatu kemampuan dasar yang berupa disposisi yang dimiliki oleh individu untuk mencapai prestasi.
ISSN : 1829 – 894X
Refleksi Awal
Refleksi I Observasi Pelaksanaan Tindakan I
Perencanaan Tindakan II
Refleksi II Observasi Pelaksanaan Tindakan II
Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (Classroom Action Research-CAR), yang dilakukan di SMA Negeri 1 Abiansemal yang berlokasi di Jl. Majapahit Blahkiuh, Abiansemal Badung dilaksanakan selama kurang lebih 3 bulan. Subjek penelitian tindakan ini adalah siswa kelas XI IPA-3 SMA Negeri 1 Abiansemal semester 2 tahun pelajaran 2011/2012, yang berjumlah 49 orang. Objek penelitian tindakan ini adalah prestasi belajar matematika pada pokok bahasan Turunan Fungsi yang ditandai dengan nilai rata-rata ulangan harian dan persentase siswa yang telah mencapai KKM atau lebih. Rancangan Penelitian Rancangan penelitian tindakan kelas terdiri dari beberapa siklus, dimana setiap siklus terdiri dari empat langkah, yaitu: 1) perencanaan, 2) pelaksanaan tindakan, 3) observasi, dan 4) refleksi, yang dapat digambarkan sebagai berikut: 68
Perencanaan Tindakan I
Dst.
Gambar 1. Skema Penelitian Tindakan (Diadaptasi dari Kemmis & Taggart, dalam Santyasa 2005) Refleksi Awal Berawal dari pengamatan tentang lemahnya kemampuan siswa dalam memecahkan soal-soal matematika, berimplikasi pada menurunnya motivasi siswa untuk mendalami matematika, ini dapat dilihat dari rendahnya hasil ulangan harian yang dicapai siswa. Kondisi ini dapat disebabkan oleh rendahnya pemahaman siswa terhadap konsep-konsep matematika. Peneliti yang juga guru matematika di kelas XI IPA-3 berusaha mencarikan solusi-solusi agar permasalahan tersebut dapat segera diatasi. Upaya yang dapat ditempuh untuk memberikan solusi terhadap permasalahan ini adalah dengan
Suluh Pendidikan, 2013, 11 (2): 65 - 74
meningkatkan layanan dalam pembelajaran di kelas. Layanan itu dapat ditingkatkan dengan menerapkan multi metode sehingga pemahaman siswa tentang konsep matematika dapat ditingkatkan. Oleh karena itu, solusi yang dipandang tepat untuk mengatasi permasalahan ini adalah dengan mengimplementasikan metode Problem Posing tipe Post Solution Posing. Keunggulan metode Problem Posing tipe Post Solution Posing terletak pada langkahlangkah pembelajaran yang memberikan ruang kepada siswa untuk merumuskan soal-soal yang sejenis dengan contoh yang diberikan oleh guru, dimana soal yang disusun tersebut selanjutnya dikerjakan sendiri oleh siswa. Langkah pembelajaran ini akan memberikan keuntungan bagi siswa, karena secara tidak langsung akan menuntun pemahaman siswa terhadap konsep-konsep matematika yang tersirat dalam soal yang disusun oleh siswa. Secara operasional prosedur penelitian pada masing-masing siklus dapat diuraikan sebagai berikut. a. Siklus I Pada siklus I beberapa kegiatan yang dilakukan yaitu: 1) perencanaan yang meliputi: Menyusun jadwal penelitian; menganalisis SK/KD yang akan dicapai; mempersiapkan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP); membentuk kelompok-kelompok belajar heterogen dari sisi kemampuan akademik, jenis kelamin, suku dan agama yang berjumlah 4-5 orang; merancang materi pembelajaran sesuai dengan SK/KD yang dipilih; menyusun soal tes akhir siklus I
ISSN : 1829 – 894X
beserta pedoman penilaiannya. 2) Pelaksanaan, pada tahap ini diimplementasikan metode pem belajaran Problem Posing tipe Post Solution Posing. Secara operasional langkah-langkah pelaksanaannya sebagai berikut: Guru memberikan petunjuk/penjelasan teknis kepada siswa tentang metode pembelajaran Problem Posing tipe Post Solution Posing yang akan digunakan; Guru menyampaikan tujuan pem belajaran; Guru menjelaskan materi pelajaran kepada para siswa; Guru memberikan contoh soal secukupnya; Guru mengarahkan siswa menuju kelompok yang sudah ditentukan; Setiap kelompok diminta menyelesaikan soal pada lembar kerja kelompok yang telah disiapkan oleh guru; Setiap siswa dalam kelompok diminta membuat soal yang sejenis dengan soal yang diberikan guru, dan kelompok yang bersangkutan harus mampu menyelesaikannya; Secara acak guru meminta perwakilan kelompok untuk menyajikan soal temuannya di depan kelas; Guru memberikan penugasan secara individual; Pada akhir siklus I, siswa diberikan ulangan harian untuk mengetahui prestasi belajar matematika siswa dan persentase siswa yang telah mencapai KKM. 3) Observasi dilaksanakan selama pelaksanaan tindakan (proses pembelajaran berlangsung) dengan kegiatan sebagai berikut: Mengamati perilaku siswa dalam proses pem belajaran, setiap perilaku siswa yang tampak baik yang dilakukan secara 69
Suluh Pendidikan, 2013, 11 (2): 65 - 74
individual maupun klasikal dicatat; Mencatat kemajuan-kemajuan yang dicapai siswa dan kendalakendala yang muncul selama proses pembelajaran berlangsung. 4) Refleksi dilakukan dengan cara sebagai berikut: Menganalisis setiap perilaku yang ditampilkan oleh siswa selama proses pembelajaran berlangsung; Menganalisis ke majuan-kemajuan yang telah di capai siswa; Mengkaji penyebab terjadinya hambatan-hambatan yang muncul saat tindakan dilakukan, untuk dijadikan bahan pertimbangan dalam merancang dan melaksanakan tindakan pada siklus II; Kemajuankemajuan yang telah dicapai akan diberikan penguatan agar kondisi tersebut dapat dipertahankan dan ditingkatkan. Sedangkan untuk ken dala-kendala yang muncul selama proses pembelajaran berlangsung akan dicarikan solusi/alternatif pemecahannya, sehingga pada siklus berikutnya dapat diminimalkan. b. Siklus II 1) Perencanaan tindakan pada siklus II ini disesuaikan dengan rumusan hasil refleksi pada siklus I. Dalam upaya memperbaiki tindakan yang telah diberikan pada siklus I, peneliti mempersiapkan hal-hal yang pada dasarnya hampir sama seperti pada siklus I. 2) Pelaksanaan tindakan pada siklus II pada dasarnya sama dengan pelaksanaan tindakan pada siklus I. Tindakan yang dilaksanakan pada siklus II ini merupakan upaya 70
ISSN : 1829 – 894X
perbaikan hasil yang dicapai dari tindakan yang telah dilaksanakan pada siklus I, sehingga pada siklus II dilakukan penyempurnaan terhadap tindakan yang telah dilaksanakan pada siklus I. 3) Observasi/ pengamatan pada dasarnya sama dengan yang dilakukan pada siklus I, yaitu pengamatan terhadap kemajuan-kemajuan dan hambatanhambatan yang dialami selama kegiatan pembelajaran berlangsung. 4) Refleksi seperti pada siklus I, pada tahap ini guru/peneliti merefleksi kembali tindakan yang telah diberikan untuk mengkaji kekurangan-ke kurangan dan kendala-kendala yang dialami serta berbagai keunggulan dari keseluruhan tindakan yang telah dilakukan dengan harapan diperoleh hasil yang lebih optimal. Data tentang prestasi belajar matematika siswa diperoleh dari tes prestasi belajar yang berupa nilai ulangan harian pada setiap akhir siklus. Tes prestasi belajar ini disusun dan dikembangkan sendiri oleh peneliti, mengacu pada Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar sesuai dengan Permendiknas No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi. Data prestasi belajar matematika siswa dianalisis secara deskriptif yaitu dengan menentukan skor rata-rata kelas dengan rumus : ܺത ൌ σே ; Hasil ulangan harian pada akhir siklus akan dibandingkan dengan nilai KKM matematika kelas XI IPA tahun pelajaran 2011/2012 yaitu 77. Siswa yang telah mencapai KKM atau lebih dinyatakan tuntas, sedangkan siswa yang belum mencapai KKM dinyatakan belum tuntas.
Suluh Pendidikan, 2013, 11 (2): 65 - 74
Persentase siswa yang telah mencapai KKM (ketuntasan siswa) dihitung menggunakan rumus: KT =
ୠୟ୬୷ୟ୩ୱ୧ୱ୵ୟ୷ୟ୬୲ୣ୪ୟ୦୫ୣ୬ୡୟ୮ୟ୧
x 100%
Penelitian tindakan kelas ini dikatakan berhasil apabila dipenuhi kriteria sebagai berikut: Nilai rata-rata prestasi belajar matematika siswa kelas XI IPA-3 pada akhir siklus, secara klasikal minimal 77. Persentase Ketuntasan Klasikal siswa yang telah mencapai ketuntasan secara klasikal pada masing-masing siklus minimal 85%. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. Gambaran Umum Hasil Penelitian Rendahnya pemahaman siswa terhadap konsep-konsep matematika, berdampak pada rendahnya kemampuan siswa menyelesaikan soal-soal matematika. Oleh karena itu prestasi belajar matematika siswa kelas XI IPA-3 belum memenuhi harapan, sehingga persentase siswa yang mencapai KKM juga sangat rendah. Kondisi lain yang tampak adalah kebiasaankebiasaan siswa pasif dalam mengikuti pembelajaran, mereka cenderung menunggu penjelasan/informasi dari guru tanpa ada inisiatif untuk mencoba berinovasi dalam menyelesaikan soal-soal yang diberikan oleh guru. Berdasarkan kondisi awal di atas langkah yang diambil adalah memilih metode pembelajaran di kelas yang dapat melibatkan siswa lebih aktif dalam pembelajaran, memberi kesempatan kepada siswa untuk mendapatkan pengalaman merumuskan soal-soal yang sejenis dengan contoh yang diberikan oleh guru serta
ISSN : 1829 – 894X
memberikan ruang yang cukup bagi siswa untuk berinovasi berlatih mengerjakan soalsoal yang telah disusun sendiri oleh siswa. Sehingga kemampuan siswa memecahkan soal-soal matematika dapat ditingkatkan pula. Metode yang tepat untuk mengatasi permasalahan di atas adalah metode Problem Posing tipe Post Solution Posing. Setelah diimplementasikan metode Problem Posing tipe Post Solution Posing dalam pembelajaran matematika di kelas XI IPA-3, ternyata hasil yang diperoleh cukup signifikan untuk meningkatkan prestasi belajar matematika siswa seperti ringkasan hasil penelitiannya dapat dilihat dalam Tabel 1.
Tabel 1 Ringkasan Hasil Penelitian
Sebelum Tindakan Siklus I Siklus II
Rata-rata Nilai Ulangan Harian
Persentase Ketuntasan Klasikal
75,71
69,38%
76,02 81,73
71,43% 89,80%
Untuk melihat keberhasilan terhadap tindakan yang diberikan, selanjutnya hasil yang diperoleh pada masing-masing siklus dibandingkan dengan kriteria yang telah ditetapkan yaitu nilai rata-rata ulangan harian minimal 77 dan persentase ketuntasan siswa secara klasikal minimal 85%. Pada siklus I hasil yang dicapai belum memenuhi kriteria yang telah ditetapkan karena persentase ketuntasan belum mencapai 85% nilai ratarata ulangan harian baru mencapai 76,02 (di bawah kriteria yang telah ditetapkan), sehingga pelaksanaan tindakan perlu dilanjutkan pada siklus II. Pada siklus II ternyata hasil penelitian ini telah mencapai 71
Suluh Pendidikan, 2013, 11 (2): 65 - 74
kriteria yang telah ditetapkan yaitu ratarata nilai ulangan harian mencapai 81,73 dan persentase ketuntasan siswa secara klasikal mencapai 89,80%. Jadi penelitian tindakan ini telah berhasil mencapai kriteria keberhasilan setelah dilaksanakan dalam dua siklus. 2. Pembahasan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan baik pada siklus I dan siklus II, ternyata peneraparan metode pembelajaran Problem Posing tipe Post Solution Posing dapat meningkatkan prestasi belajar matematika dan ketuntasan belajar secara klasikal. Pada siklus I nilai rata-rata ulangan harian mencapai 76,02 dengan persentase ketuntasan 71,43%, sedangkan pada siklus II nilai rata-rata ulangan harian berhasil ditingkatkan menjadi 81,73 dengan persentase ketuntasan 89,80%. Hasil ini menunjukkan bahwa telah terjadi peningkatan nilai rata-rata ulangan harian sebesar 5,71 dan ketuntasan belajar sebesar 18,37% dari siklus I ke siklus II. Peningkatan prestasi belajar matematika dan ketuntasan belajar secara klasikal sebagai dampak dari implementasi metode Problem Posing tipe Post Solution Posing merupakan implikasi logis dari meningkatnya pemahaman siswa terhadap konsep-konsep matematika (turunan suatu fungsi, penggunaan turunan dalam menyelesaikan ekstrim fungsi). Meningkatnya pemahaman siswa terhadap konsep-konsep matematika tersebut di atas, tidak terlepas dari latihanlatihan yang intensif dalam merumuskan soal-soal yang sejenis dengan soal buatan guru. Selain merumuskan soal, siswa juga dituntut dapat menjawab soal-soal yang telah disusunnya itu. Dalam kegiatan 72
ISSN : 1829 – 894X
tersebut, sesungguhnya telah terjadi suatu proses pengkonstruksian pemahaman konsep matematika dalam pemikiran siswa melalui pengalaman belajar yaitu latihan merumuskan soal dan jawabannya. Semakin intensif latihan yang diberikan dalam menyusun soal dan jawabannya itu, semakin meningkat pula pemahaman siswa terhadap konsep-konsep yang diajarkan. Sebagai upaya nyata guru untuk meningkatkan pemahaman siswa terhadap konsep matematika telah ditempuh dengan jalan diskusi kelompok. Dengan diskusi kelompok, siswa dapat meningkatkan komunikasi dengan teman-temannya. Kerjasama dalam kelompok sangat menentukan keberhasilan kelompok untuk memahami konsep-konsep yang diajarkan guru. Mereka harus satu tujuan serta bertanggung jawab penuh terhadap tugastugas yang diberikan guru. Keberhasilan penerapan metode Problem Posing tipe Post Solution Posing juga tidak terlepas dari upaya guru dalam meningkatkan intensitas diskusi dalam kelompok. Pengawasan ketat guru terhadap diskusi yang dilakukan oleh kelompok sangat mempengaruhi kualitas diskusi dalam kelompok serta meminimalkan kebiasaan siswa bermain-main. Hal ini berdampak positif dalam upaya meningkatkan kesadaran siswa untuk mengkonstruksi pemahamannya melalui pengalam belajar yang dijalaninya. Berdasarkan paparan di atas, penerapan metode Problem Posing tipe Post Solution Posing memberikan kontribusi yang signifikan dalam upaya meningkatkan prestasi belajar matematika. Oleh karena itu pengembangan metode Problem Posing tipe Post Solution Posing
Suluh Pendidikan, 2013, 11 (2): 65 - 74
perlu dilakukan guru untuk meningkatkan kualitas pembelajaran di kelas. SIMPULAN DAN SARAN 1. Simpulan Berdasarkan analisis data dan pembahasan hasil penelitian ini, dapat dikemukakan simpulan sebagai berikut. 1) Implementasi metode pembelajaran Problem Posing Tipe Post Solution Posingdapat meningkatkan prestasi belajar dan ketuntasan belajar siswa dalam pembelajaran Turunan Fungsi di Kelas X1 IPA-3 SMA Negeri 1 Abiansemal semester 2 tahun pelajaran 2011/2012. Pada siklus I nilai rata-rata ulangan harian mencapai 76,02 dengan persentase ketuntasan 71,43%, sedangkan pada siklus II nilai rata-rata ulangan harian berhasil ditingkatkan menjadi 81,73 dengan persentase ketuntasan 89,80%. Hasil ini menunjukkan bahwa telah terjadi peningkatan nilai rata-rata ulangan harian sebesar 5,28 dan ketuntasan belajar sebesar 18,37% dari siklus I ke siklus II. 2) Implementasi metode Problem Posing tipe Post Solution Posing dapat meningkatkan kualitas pembelajaran matematika di kelas. Hal ini terlihat dari meningkatnya antusiasme siswa dalam pembelajaran, meningkatnya komunikasi antara siswa dan siswa, antara siswa dan guru dalam kegiatan presentasi di depan kelas. 2. Saran Berdasarkan temuan-temuan da lam penelitian ini dapat diajukan saran-
ISSN : 1829 – 894X
saran sebagai berikut. 1) Pengembangan metode Problem Posing tipe Post Solution Posing perlu dilakukan guru untuk meningkatkan kualitas pembelajaran di kelas, dapat pula dikombinasikan dengan metode pembelajaran lainnya. 2) Pengembangan metode Problem Posing perlu dilakukan oleh peneliti lain untuk tipe-tipe lainnya pada lokasi yang berbeda dengan subjek yang berbeda pula.
UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih disampaikan kepada Drs. I Made Sudiana, M.si, Ketua Dewan Redaksi dan semua anggota penyunting Jurnal Suluh Pendidikan IKIP Saraswati Tabanan yang telah menerima dan mengedit artikel ini sehingga layak untuk diterbitkan.
DAFTAR PUSTAKA Arikunto Suharsimi. 2008. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: PT. Bumi Aksara. Azwar, S. 2002. Tes Prestasi : Fungsi dan Pengembangan Pengukuran Prestasi Belajar. Yogyakart: Pustaka Pelajar. Depdiknas. 2006. Metode Penilaian Kelas. Jakarta: Puskur Depdiknas Depdiknas. 2006. Permendiknas Nomor 22 Tentang Standar Isi. Jakarta: Direktorat Pembinaan SMA. Depdiknas. 2007. Permendiknas Nomor 16 Tentang Standar Kualifikasi 73
Suluh Pendidikan, 2013, 11 (2): 65 - 74
Akademik dan Kompetensi Guru. Jakarta: Direktorat Pembinaan SMA. Depdiknas. 2007. Permendiknas Nomor 20 Tentang Standar Penilaian. Jakarta: Direktorat Pembinaan SMA. Santyasa, I.W. 2005. Teknik Penyusunan Proposal PTK. Makalah disajikan dalam seminar penyusunan proposal PTK untuk guru-guru SMP se-Provinsi Bali. Oktober 2005, di Jurusan Pendidikan MIPA STKIP Singaraja.
74
ISSN : 1829 – 894X
Suyitno, Amin. 2006. Pemilihan ModelModel Pembelajaran dan Penerapannya di Sekolah. Semarang : Universitas Negeri Semarang. Widana, I Wayan. 2009. Implementasi Metode Pembelajaran Problem Posing Tipe Post Solution Posing Untuk Meningkatkan Prestasi Belajar dan Ketuntasan Belajar Matematika Siswa Kelas X-2 SMA Negeri 1 Kerambitan Semester Genap Tahun Pelajaran 2008/2009. PTK (Tidak Dipublikasikan).
Suluh Pendidikan, 2013, 11 (2): 75 - 81
ISSN : 1829 – 894X
MENINGKATKAN KINERJA GURU DALAM PEMBELAJARAN DAN KEMAMPUAN SISWA MENELITI SERTA MENULIS I Ketut Surata1), I Made Sudiana1), dan Tri Djoko Setyono3) 1) dan 2) Prodi Pendidikan Biologi FPMIPA IKIP Saraswati Tabanan, 3) Prodi Pendidikan Matematika, FKIP Universitas Mahasaraswati Denpasar ABSTRACT SMP Negeri 5 Tabanan and SMP Negeri 2 Kediri have some problem obout quality learning process and result study, because most teachers have not been able to design and implement innovative teaching methods based learning and computer-based information technologies. Another capability that needs to be improved is to design and carry out class room action research. On the other hand, the ability of the scientific group of teenage student is still relatively low in developing research proposals and write research papers non scientific. The method is applied to solve the problem is through workshops and mentoring activities. Workshops and mentoring done for held for two days. Adjacent to the practice of applying the MPI-based learning and ICT as well as the implementation of class room action research performed during the six months. Results achieved successful implementation of the program is 83%, while the results of the implementation of the program reached 72.2%. The ability of teachers in designing and implementing innovative teaching methods reflected in increased student learning outcomes at an average of 78.7, 78.7% absorption and 87% mastery learning. The ability of teachers to applying class room action research assembles 58% successful, 65% managed to carry out, and 60% managed to put together a proposal relevan report. The ability of student to research and write scientific papers at an average of 76.6 against the idea oroginalitas criteria, systematic writing 89.4, 79.5 conformity with the title background, problem statements, goals, and benefits of the study, 78.9 compliance of title to review literature, and 79.4 according to the topic of research methods. All of them, 80.76 average performance. Key words: Inovatif learning methods, class room action research, researching, writing, the ability of teachers, students, ABSTRAK SMP Negeri 5 Tabanan dan SMP Negeri 2 Kediri menghadapi permasalahan rendahnya kualitas pembelajaran, karena sebagian besar guru belum mampu merancang dan melaksanakan pembelajaran berbasis metode pembelajaran inovatif (MPI) dan berbasis teknologi informasi komputer. Kemampuan lain yang perlu ditingkatkan yaitu merancang dan melaksanakan penelitian tindakan kelas (PTK). Pada sisi lain, kemampuan siswa kelompok ilmiah remaja (KIR) juga masih tergolong rendah dalam menyusun proposal penelitian dan menulis karya tulis ilmiah non penelitian. Metode pelaksanaan dalam mengatasi masalah tersebut yaitu melalui kegiatan workshop dan pendampingan. Workshop dan pendampingan dilakukan selama dilaksanakan selama dua hari. Pendampingan untuk praktik menerapkan perangkat pembelajaran berbasis MPI dan TIK serta pelaksanaan PTK dilakukan selama enam (6) 75
Suluh Pendidikan, 2013, 11 (2): 75 - 81
ISSN : 1829 – 894X
bulan.
Hasil yang dicapai yaitu pelaksanaan program berhasil 83%, sedangkan hasil pelaksanaan program mencapai 72,2%. Kemampuan guru dalam merancang dan melaksanakan metode pembelajaran inovatif meningkat tercermin dari hasil belajar siswa mencapai rata-rata 78,7, daya serap 78,7%, dan ketuntasan belajar 87%. Kemampuan guru melaksanakan PTK 58% berhasil meyusun PTK, 65% berhasil melaksanakan, dan 60% berhasil menyusun laporan sesusai proposal. Kemampuan meneliti dan menulis karya tulis ilmiah mencapai rata-rata 76,6 terhadap kriteria oroginalitas ide, 89,4 sistimatika penulisan, 79,5 kesesuaian judul dengan latar belakang, rumusan masalah, tujuan, dan manfaat penelitian, 78,9 keseuaian judul dengan kajian pustaka, dan 79,4 metode penelitian sesuai dengan topik penelitian. Rata-rata capaian 80,76. Kata-kata kunci: Metode pembelajaran inovatif, penelitian tindakan kelas, meneliti, menulis, kemampuan guru, siswa PENDAHULUAN Berdasarkan hasil survei, kuisioner, dan wawancara dengan kepala sekolah, guru serta siswa di SMP N 5 Tabanan dan SMP N 2 Kediri terungkap permasalahan, yaitu masih rendahnya kemampuan guru dalam (1) merancang dan melaksanakan pembelajaran berbasis metode pembelajaran inovatif (MPI) dan pembelajaran berbasis teknologi informasi komputer (TIK); dan (2) menyusun proposal penelitian tindakan kelas (PTK) dan melaksanakan PTK. Sementara itu, kemampuan siswa kelompok ilmiah remaja (KIR) dalam meniliti dan menulis karya ilmiah juga tergolong rendah. Hal ini terbukti dari siswa KIR SMPN 2 Kediri belum pernah memenangkan lomba karya tulis ilmiah tingkat provinsi Bali dan bahkan di SMPN 5 Tabanan belum terbentuk siswa KIR. Tenaga pustakawan
dan laboran belum mampu menerapkan manajemen perpustakaan dan lab IPA sesuai prosedur standar. Sehubungan dengan itu, perlu dicarikan solusi untuk mengatasi per masalahan tersebut agar kinerja guru dalam pembelajaran dan kemampuan siswa meneliti, menulis serta kemampuan tenaga pustakawan dan laboran meningkat. Peningkatan kinerja dan kemampuan siswa, tenaga pustakawan dan laboran dilakukan melalui pelaksanaan program penerapan ipteks bagi masyarakat (Ib.M). Program Kerja, Target Luaran, dan Metode Pelaksanaan Program yang dilaksanakan untuk mengatasi permasalahan di kedua sekolah diuraikan secara lengkap (Tabel 1).
Tabel 1. Program Kerja Penerapan Ib.M di SMP N 5 Tabanan dan SMP N 2 Kediri Program keRJA Kemampuan Guru I. Meningkatkan kemampuan guru dalam menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan melakasanakan kegiatan pembelajaran berbasis metode pembelajaran inovatif. 76
DASAR TAWARAN SOLUSI 1. Workshop pengembangan Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) berbasis metode pembelajaran inovatif disertai praktek penerapan terbatas untuk guru SMPN 5 Tabanan dan SMP N 2 Kediri
Suluh Pendidikan, 2013, 11 (2): 75 - 81 II.
Workshop Pembuatan Perangkat Pembelajaram Berbasis TIK
ISSN : 1829 – 894X 2.
III. Meningkatkan Kemampuan Guru dalam Melaksanakan Penelitian PTK
3. 4.
Workshop peningkatan kemampuan dalam penulisan rancangan pembelajaran berbasis TIK bagi guru, khususnya dalam mengembangkan animasi power point Mengadakan workshop dan pendampingan pelaksanaan penelitian PTK Memberikan buku panduan pelaksanaan PTK dan mendampingi praktik pelaksanaan PTK.
Kemampuan Siswa IV. Meningkatkan kemampuan menyusun Karya Tulis Ilmiah bagi siswa anggota KIR
5.
Metode pelaksanaan program dan target luaran dari pelaksanaan program Ib.M secara umum terjadinya peningkatan kemampuan guru dalam mernacang dan melaksanakan pembelajaran berbasis MPI dan TIK, serta mampu melaksanakan PTK. Terjadinya peningkatan kemampuan siswa dalam meneliti dan menulis (Tabel 2) Tabel 2. Target Luaran Penerapan Ib.M di SMP N 5 Tabanan dan SMP N 2 Kediri METODE PELAKSANAAN Kemampuan Guru I Workshop dan pendampingan Pembuatan Perangkat Pembelajaram Berbasis MPI dan TIK II Workshop dan pendampingan penyusunan proposal dan pelaksanaan PTK Kemampuan Siswa III Workshop dan pendampingan penyusunan Karya Tulis Ilmiah dan bagi siswa anggota KIR.
tARGET lUARAN Perangkat pembelajaran berbasis MPI dan TIK Proposal dan laporan hasil penelitian PTK
Workshop dan pendampingan pada siswa anggota KIR dalam pembuatan karya ilmiah serta mendampingi praktek penulisan karya ilmiah bagi siswa.
Dalam pelaksanaan program (Tabel 1) untuk mencapai target luaran yang ditetapkan melalui metode pelaksanaan seperti Tabel 2, menggunakan dana DIPA DP2M Dikti sebesar Rp. 50.000.000,dengan dana tahap pertama sebanyak RP. 35.000.000,- (70%). Tim pelaksana Ib.M terdiri dari tiga dosen dan dua dosen lain yang memiliki kemampuan IT dan perpustakaan, serta melibatkan empat orang mahasiswa. Waktu efektif kegiatan selama enam bulan mulai bulan Juni sampai Desember 2013. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Evaluasi Kegiatan Dilihat dari pelaksanaan program berhasil 83%, dan hasil pelaksanaan program mencapai keberhasilan sebesar 71,2%. 1) Indikator keberhasilan pelaksanaan program tampak pada Tabel 3.
Proposal penelitian dan karya tulis ilmiah non penelitian
77
Suluh Pendidikan, 2013, 11 (2): 75 - 81
ISSN : 1829 – 894X
Tabel 3. Indikator Keberhasilan Pelaksanaan Program Program keRJA
luaran
KEMAMPUAN GURU I. Peningkatan kemampuan guru melalui workshop dan pendampingan dalam mengembangkan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) berbasis Model Pembelajaran Inovatif (Cooperatif Learning dan CTL) II. Peningkatan kemampuan guru melalui workshop dan pendampingan dalam mengembangkan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) berbasis multi media (presentasi dengan power pont, pemanfaatan CD/DVD dalam pembelajaran, dan seputar e-learning)
•
Perangkat pembelajaran berbasis Model Pembelajaran Inovatif hasil workshop dan pendampingan yang siap diterapkan dalam pembelajaran
•
Perangkat pembelajaran berbasis Multi Media hasil workshop dan pendampingan yang siap diterapkan dalam pembelajaran
•
Karya tulis yang siap dipublikasikan
•
Kemampuan menulis proposal dan tata cara penulisan laporan PTK
•
Proposal PTK yang siap di laksanakan dalam PTK
•
Karya Ilmiah Siswa non penelitian Proposal penelitian Karya Ilmiah siswa.
III. Peningkatan kemampuan guru dalam menulis karya ilmiah melalui workshop dan pendampingan penulisan karya ilmiah sesuai dengan buku pedoman yang diberikan.
pencapaian 80%
Hasil workshop dan pendampingan (RPP MPI, RPP Power point, Propoposal PTK) belum diterapkan dalam pembelajaran, dilanjutkan Desember.
80%
Hasil workshop dan pendampingan (Karya Tulis dan proposal penelitian) belum dipublikasikan atau ditindaklanjuti.
IV. Peningkatan kemampuan guru dalam PTK melalui workshop penyusunan proposal dan pendampingan pelaksanaan PTK KEMAMPUAN SISWA V. Peningkatan kemampuan Siswa dalam pembuatan karya ilmiah (baik non penelitian atau proposal penelitian) melalalui wokshop dan pendampingan.
•
2) Indikator hasil pelaksanaan program Keberhasilan pelaksanaan program peningkatan kemampuan guru dilihat dari hasil yang dicapai digambarkan sebagai berikut. Dari 40 orang guru, 36 orang (90%) telah berhasil mengembangkan RPP sesuai bidang ilmunya dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD,
78
Jigsaw, dan pendekatan CTL, dan presentasi power point. Melalui pendampingan dan monitoring keberhasilan penerapan dalam pembelajaran, sebanyak 10 orang guru berhasil menerapkan metode inovatif dan TIK dengan rata-rata capaian sebesar 71,2%. Secara lengkap digambarkan pada Tabel 4.
Suluh Pendidikan, 2013, 11 (2): 75 - 81
ISSN : 1829 – 894X
Tabel 4. Prestasi Belajar Siswa SMP Negeri 5 Tabanan dan Negeri 2 Kediri Hasil Penerapan Metode Pembelajaran Inovatif dan TIK Guru
K e l a s / Semester
Produk
I Made Sudiarta, S.Pd I Made Sudiasa, S.Pd Drs. I Gusti Ngurah Anom Putra Wibawa I Ketut Metera, S.Pd.
VIII VII VII
I Wayan Suarka, S.Pd
VIII
Nengah Artama, S.Pd
VII
IPA CTL IPA STAD IPA Power point Matematika CTL Bahasa Inggris Jigsaw Bahasa Indonesia STAD
VII
Rerata-7 Rerata-2
Hasil Postes Siswa Rerata Daya serap Ketuntasan 80 80 90% 78 78 87% 76 76 86% 75
75%
85%
80
80%
89%
83
83%
86%
78,7
78,7%
87% 82,85
Sementara hasil pendampingan untuk menulis proposal dan instrumen PTK tergambar sebagai berikut. 23 guru dari 40 orang (58%) telah berhasil menyusun proposal dan instrumen PTK. 15 dari 23 (65%) guru telah berhasil melaksanakan PTK. 9 orng dari 15 (60%) guru teloah berhasil menyusun PTK sesuai dengan proposalnya.
Keberhasilan pelaksanaan program peningkatan kemampuan siswa dilihat dari hasil yang dicapai sebagai beikut. 30 orang siswa yang tergabung dalam 10 kelompok, sebanyak 8 kelompok (80%) telah berhasil menyusun proposal dan karya tulis ilmiah bukan penelitian. Gambaran lengkap keberhasilan digambarkan pada Tabel 5.
Tabel 5. Prestasi Siswa KIR SMP Negeri 5 Tabanan dan SMP Negeri 2 Kediri dalam Menyusun Proposal Penelitian Nama Siswa
Kelompok
1. Ni Luh Putu Dian Astari 2. Carolina Augi Widya Putri I (SMP 2) 3. Ni Putu Nita Indirianingsih 1. Ni Made Sari Rahayuningsih III (SMP 2. Ni Pt Putri Ayu Diptanin2) grum 3. Ni Made Yuni Lestari
Indikator Keberhasilan Kesesuaian judul Sistimati- dengan latar beOriginaliKajian ka penu- lakang, rumusan tas ide Pustaka lisan masalah, tujuan, dan manfaat
Metode Penelitian
80
90
85
80
85
75
90
80
83
80
79
Suluh Pendidikan, 2013, 11 (2): 75 - 81 1. Ayu Pradnya Dewi 2. Putu Gita Kristiana Prasanty 3. Novi Detri Astuti 1. I Dw Ayu Sasih Budiartini 2. Ni Ny Eisa Wahyu Pramudita 3. Gek Ayu Dhea Putri Kumala
ISSN : 1829 – 894X
V (SMP 2)
85
90
83
85
87
II (SMP 2)
78
90
80
80
85
75
90
78
75
75
70
90
75
78
70
80
90
80
80
78
70
85
75
70
75
613 76,6
715 89,4
631 78,9
635 79,4
1. Ni Made Ayu Listyawati 2. Gst Ayu Kade Anggita II (SMP Lestari 5) 3. Ni Putu Mita Adnyani 1. Putu Ayu Dilla Sri Lestari III (SMP 2. Ni Md Indah Rinita Sari 5) 3. Ayu Sukma 1. Putri Tri Andani 2. Ni Pt Wina Kartika Dewi IV (SMP 3. I Komang Agus Tri Wahyu 5) Wijaya 1. I Kadek Candra Andika Putra I (SMP 5) 2. Gst A Made Sundari Dewi 3. Ni Made Windi Sari Total Rerata-8 Rerata-1
Atas dasar Tabel 5 di atas, rerata seluruh prestasi keberhasilan sebesar 71,2%. Terdinya peningkatan kemampuan guru dalam merancang dan melaksanakan MPI, TIK, dan PTK karena selama kegiatan berlangsung guru dengan sungguh-sungguh mengikuti workshop dan guru mau belajar dan diajar. Hal yang sama juga terjadi terhadap kemampuan siswa dalam meneliti dan menulis karya ilmiah baik hasil penelitian maupun non penelitian juga mengalami peningkatan. Selain karena kesungguhan dari guru dan siswa dalam mengikuti workshop dan praktik, peningkatan kemampuan guru dan siswa juga tidak terlepas dari kesungguhan dari tim pelaksana dalam memfasilitasi, memberikan pengetahuan dan keterampilan, serta mendampingi guru dan siswa dalam praktik penerapannya. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih disampaikan kepada 80
636 79,5 80,76
semua pihak yang telah berkontribusi terhadap terlaksananya program penerapan Ib.M. Sehubungan dengan itu, pada kesempatan yang baik ini, penulis menyampaikan terima kasih yang tak terhingga kepada Direktur Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (Ditlitabmas) Dikti yang telah mendanai program ini. Ucapan yang sama juga disampaikan kepada Kepala SMP N 5 Tabanan dan SMPN 2 Kediri serta guru dan siswa peserta workshop dan pendampingan yang telah bekerjasama dengan baik dan berkomitmen menerima dan melaksanakan program ini.
DAFTAR PUSTAKA Surata, I K., I M Sudiana, Tri Djoko Setyono. 2013. Laporan Akhir Pelaksanaan Ib.M di SMP Negeri 5 Tabanan dan SMP Negeri 2 Kediri.
Suluh Pendidikan, 2013, 11 (2): 81 - 89
ISSN : 1829 – 894X
STUDI EVALUASI IMPLEMENTASI PEMBELAJARAN TEMATIK PADA SISWA SEKOLAH DASAR GUGUS I DENPASAR TIMUR Ni Wayan Sadri FPIPS IKIP Saraswati Tabanan ABSTRACT The aim of this research is to define the situation and condition in the implementary process of thematic study in the East Denpasar’s Gugus I Elementary School in Denpasar and the problems faced in terms of: context, input, process, and product. The evaluation of this program is formative, therefore disturbing factors and solutions done for appropriate program development were analyzed. This research was an evaluative research adopting CIPP evaluation model. Context, input, and process variables were measured with instruments such as questionnaire as the main data collector and provided with methods of interview, observation, and documentation while the product’s component was taken by analyzing the students’ scores. There were 32 samples which consisted of the school’s headmaster, teachers, and 837 students. The data of scores in context, input, process and product variables were analyzed with theoretical criteria that change the scores in T-score for confirmation with Glickman’s quadrant. The result of the analysis showed that the implementation of thematic study in East Denpasar’s Gugus I Elementary School in Denpasar is ineffective. It is proven with the negative results from all of the analyzed variables. The problems that encountered by teachers in implementing thematics study was generally found in all of the context, input, process and product components. The new effective thing is in governmental policy, curriculum and manpower. Based on the results, it can be concluded that the implementation of thematic study in East Denpasar’s Gugus I Elementary School in Denpasar seen from the context, input, process and product variables is ineffective. Therefore, changes should be made in terms of context, input, process and product.
Keywords: Evaluation study, thematics education, context, input, process, product
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk memaparkan situasi dan kondisi dalam proses implementasi pembelajaran tematik di Sekolah Dasar Gugus I Denpasar Timur di Denpasar dan kendalakendala yang dihadapi ditinjau dari: konteks, Input, proses, dan produk. Evaluasi program ini bersifat formatif oleh karenanya dianalisa faktor-faktor penghambat dan solusi yang dilakukan untuk pengembangan program sesuai hakekatnya. Penelitian ini termasuk jenis penelitian evaluatif yang mengadopsi model evaluasi CIPP. Variabel konteks, input dan proses, diukur dengan instrumen berupa kuesioner sebagai pengumpul data utama dan dilengkapi dengan metode wawancara, observasi dan dokumentasi sedangkan komponen produk diambil dengan menganalisa nilai yang diperoleh siswa. Sampel penelitian berjumlah 32 orang yang terdiri dari kepala sekolah, guru, dan 837 orang siswa. 81
Suluh Pendidikan, 2013, 11 (2): 81 - 89
ISSN : 1829 – 894X
Data berupa skor pada variabel konteks, input, proses, dan produk dianalisis dengan menggunakan kriteria teoretik dan mengubah skor tersebut ke dalam T-skor untuk dikonfirmasikan dengan kuadran Glickman. Hasil analisis menunjukkan bahwa implementasi pembelajaran tematik pada sekolah dasar gugus I Denpasar Timur di Denpasar tergolong tidak efektif. Hal ini dapat dilihat dari hasil analisis variabel konteks, input, proses dan produk dimana semuanya menunjukkan hasil negatif. Kendala-kendala yang dihadapi guru dalam mengimplementasikan pembelajaran tematik pada umumnya terdapat pada semua komponen konteks, input, proses dan produk. Hal yang efektif baru pada kebijakan pemerintah, kurikulum dan ketenagaan. Berdasarkan temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa implementasi pembelajaran tematik pada sekolah dasar gugus I Denpasar Timur di Denpasar dilihat dari variabel konteks, input, proses dan produk tergolong dalam kategori tidak efektif. Untuk itu perlu diadakan perbaikan-perbaikan, baik dari konteks, input, proses maupun produk. Kata kunci: Studi evaluasi, pembelajaran tematik, konteks, input, proses, produk
PENDAHULUAN Peserta didik kelas I, II, dan III merupakan subjek yang perlu mendapatkan perhatian sejak dini. Pada fase usia ini hampir seluruh aspek perkembangan kecerdasan, misalnya IQ, EQ, dan SQ sedang bertumbuh dan berkembang. Biasanya tingkat perkembangan pada anak tersebut merupakan suatu kesatuan yang utuh (holistik) dan hanya mampu memahami hubungan antara konsep secara sederhana. Begitu pula dalam proses pembelajaran, umumnya mereka masih bergantung pada objek-objek yang bersifat konkret dan pengalaman yang dialaminya secara langsung. Dantes (2008) mengatakan bahwa anak yang berada di kelas awal SD adalah anak yang berada pada rentangan usia dini. Masa usia dini ini merupakan masa yang pendek tetapi merupakan masa yang sangat penting bagi kehidupan seseorang. Oleh karena itu, pada masa ini seluruh potensi yang dimiliki anak perlu didorong sehingga akan berkembang secara optimal. Anak usia sekolah dasar berada 82
pada tahapan operasi konkret. Pada rentang usia tersebut anak mulai menunjukkan perilaku belajar sebagai berikut: (1) Mulai memandang dunia secara objektif, bergeser dari satu aspek situasi ke aspek lain secara reflektif dan memandang unsur-unsur secara serentak, (2) Mulai berpikir secara operasional, (3) Mempergunakan cara berpikir operasional untuk mengklasifikasikan benda-benda, (4) Membentuk dan mempergunakan keterhubungan aturan-aturan, prinsip ilmiah sederhana, dan mempergunakan hubungan sebab akibat, dan (5) Memahami konsep substansi, volume zat cair, panjang, lebar, luas, dan berat. Memperhatikan tahapan per kembangan berpikir tersebut, kecen derungan belajar anak usia sekolah dasar memiliki tiga ciri, yaitu: (1) Konkrit, mengandung makna proses belajar beranjak dari hal-hal yang konkrit yakni yang dapat dilihat, didengar, dibaui, diraba, dan diotak atik, dengan titik penekanan pada pemanfaatan lingkungan sebagai sumber belajar. Pemanfaatan lingkungan
Suluh Pendidikan, 2013, 11 (2): 81 - 89
akan menghasilkan proses dan hasil belajar yang lebih bermakna dan bernilai, sebab siswa dihadapkan dengan peristiwa dan keadaan yang sebenarnya, keadaan yang alami, sehingga lebih nyata, lebih faktual, lebih bermakna, dan kebenarannya lebih dapat dipertanggungjawabkan. (2) Integratif, pada tahap usia sekolah dasar anak memandang sesuatu yang dipelajari sebagai suatu keutuhan, mereka belum mampu memilah-milah konsep dari berbagai disiplin ilmu, hal ini melukiskan cara berpikir anak yang deduktif yakni dari hal umum ke bagian demi bagian. (3) Hierarkis, pada tahapan usia sekolah dasar, cara anak belajar berkembang secara bertahap mulai dari hal-hal yang sederhana ke hal-hal yang lebih kompleks. Namun saat ini, pelaksanaan kegiatan pembelajaran di SD kelas I – III untuk setiap mata pelajaran dilakukan secara terpisah, misalnya IPA 2 jam pelajaran, IPS 2 jam pelajaran, dan Bahasa Indonesia 2 jam pelajaran. Dalam pelaksanaan kegiatannya dilakukan secara murni mata pelajaran yaitu hanya mempelajari standar kompetensi dan kompetensi dasar yang berhubungan dengan mata pelajaran itu. Sesuai dengan tahapan perkembangan anak yang masih melihat segala sesuatu sebagai suatu keutuhan (holistik), pembelajaran yang menyajikan mata pelajaran secara terpisah akan menyebabkan kurang mengembangkan anak untuk berpikir holistik dan membuat kesulitan bagi peserta didik. Bila kita melihat kondisi pendidikan di lapangan, hingga saat ini proses pembelajaran belum dapat berlangsung secara efektif. Selama ini masih banyak digunakan paradigma pengajaran yang
ISSN : 1829 – 894X
lebih menitikberatkan peran pendidik (guru) dan belum banyak memberikan peran yang lebih besar kepada peserta didik. Kurikulum yang banyak digunakan secara nasional maupun institusi, masih bersifat sarat isi, dan karena itu menyiratkan agar peserta didik menghafalkan isi pelajaran. Selain hal tersebut dalam kegiatan belajar mengajar (KBM) yang telah berlangsung, terlihat beberapa atau sebagian besar peserta didik belum mampu mengikuti proses pembelajaran secara optimal. Selama proses pembelajaran, potensi para siswa kurang diberdayakan sehingga sebagian besar siswa belum mampu mencapai kompetensi individual yang diperlukan untuk mengikuti pelajaran lanjutan. Beberapa siswa belum belajar sampai pada tingkat pemahaman. Hal ini menunjukkan bahwa proses pembelajaran yang terjadi di dalam kelas selama ini masih menggunakan proses pembelajaran konvensional, belum mengarah kepada pembelajaran tematik. Tema-tema yang dipelajari siswa masih terpecah-pecah. Oleh karena itu melihat perma salahan di atas dilakukanlah penelitian untuk mengetahui “Bagaimana Implementasi Pembelajaran Tematik pada Sekolah Dasar Gugus I Denpasar Timur”? Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah studi evaluasi tentang implementasi pembelajaran tematik di Sekolah Dasar gugus satu Denpasar Timur, maka dapat dirumuskan dua jenis permasalahan yaitu masalah mayor dan masalah minor sebagai berikut. Permasalahan mayor dalam pe nelitian ini adalah bagaimana efektivitas implementasi pembelajaran tematik di sekolah dasar gugus satu Denpasar Timur? 83
Suluh Pendidikan, 2013, 11 (2): 81 - 89
Ada beberapa permasalahan minor yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1) Bagaimana tingkat efektifitas pelaksanaan pembelajaran tematik di Sekolah Dasar Gugus Satu Denpasar ditinjau dari komponen latar (konteks)? 2) Bagaimana tingkat efektifitas pelaksanaan pembelajaran tematik di sekolah Dasar Gugus Satu Denpasar Timur ditinjau dari komponen masukan (input)? 3) Bagaimana tingkat efektifitas pembelajaran tematik di Sekolah Dasar Gugug Satu Denpasar Timur ditinjau dari komponen proses? 4) Bagaimana tingkat efektifitas pelaksanaan pembelajara tematik di sekolah dasar gugus satu Denpasar timur ditinjau dari komponen produk? 5) Apakah ada kendala-kendala atau hambatan-hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan pembelajaran tematik di sekolah dasar gugus satu Denpasar Timur? METODE PENELITIAN penelitian ini menggunakan rancangan studi ex-post facto yang mengacu pada penelitian evaluasi dengan pendekatan deskriptif kuantitatif. Rancangan ini digunakan karena hanya terbatas untuk memaparkan pelaksanaan pembelajaran tematik pada Sekolah Dasar gugus I Denpasar Timur, dengan menganalisis terhadap variabel-variabel dalam model ”CIPP’ yaitu: konteks, input, proses dan produk. CIPP yang dimaksud 84
ISSN : 1829 – 894X
dalam penelitian ini sesuai dengan rumusan masalah adalah : (1) komponen konteks atau latar yang meliputi: aspek kebijakan pemerintah, misi dan tujuan pembelajaran tematik, (2) pada aspek input (masukan) terdiri dari: kurikulum, ketenagaan,peserta didik, sarana dan prasarana, fasilitas (3) pada aspek proses terdiri dari perencanaan pembelajaran dan pelaksanaan pembelajaran, (4) sedangkan pada aspek terdiri dari nilai raport semua mata pelajaran. Populasi dari penelitian ini meliputi kepala sekolah, guru-guru pengajar kelas I, II, dan III serta siswa kelas I, II dan III Sekolah Dasar gugus I (Gugus I Gusti Ngurah Rai) Denpasar Timur yang terdiri dari 8 Sekolah Dasar yang tersebar di wilayah Denpasar Timur. Metode pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian evaluasi ini adalah kuesioner, wawancara, observasi dan studi dokumen yang pelaksanaannya disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi di lapangan Data berupa skor pada variabel konteks, input, proses, dan produk dianalisis dengan menggunakan kriteria teoretik dan mengubah skor tersebut ke dalam T-skor untuk dikonfirmasikan dengan kuadran Glickman. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Suatu program termasuk program pembelajaran tematik pada kelas permulaan sekolah dasar khususnya sekolah dasar gugus I Denpasar Timur dapat dilihat dari berfungsinya secara efektif variabel konteks, input, proses dan produk yang semuanya mengacu pada kriteria pembelajaran yang telah ada. Pada variabel
Suluh Pendidikan, 2013, 11 (2): 81 - 89
konteks implementasi pembelajaran tematik pada kelas permulaan sekolah dasar gugus I Denpasar Timur dapat dilihat pada: kebijakan pemerintah, visi misi dan tujuan pembelajaran tematik. Pada komponen input, implementasi pembelajaran tematik pada kelas permulaan sekolah dasar gugus I Denpasar Timur sangat tergantung pada: kurikulum, ketenagaan, peserta didik, sarana dan prasarana. Demikian pula halnya dengan variabel proses, baik menyangkut perencanaan pembelajaran maupun pelaksanaan pembelajaran tematik juga berpengaruh terhadap implementasi pembelajaran tematik pada kelas permulaan sekolah dasar gugus I Denpasar Timur. Untuk meyakinkan bahwa implementasi pembelajaran tematik pada kelas permulaan sekolah dasar gugus I Denpasar Timur efektif dapat dilihat dari kualitas hasil. Apabila hasilnya tidak sesuai dengan kriteria pembelajaran tematik, berarti sekolah tersebut tidak efektif dalam mengimplementasikan pembelajaran tematik. Dengan demikian implementasi pembelajaran tematik pada kelas permulaan sekolah dasar gugus I Denpasar Timur di Denpasar dikatakan efektif, berarti harus memiliki unsur-unsur latar, masukan, proses dan produk samasama efektif (+ + + +). Berdasarkan hasil penelitian diten tukan bahwa implementasi pembelajaran tematik pada kelas permulaan sekolah dasar gugus I Denpasar Timur di Denpasar ternyata tidak efektif. Temuan studi evaluasi bahwa implementasi pembelajaran tematik pada kelas permulaan sekolah dasar gugus I Denpasar Timur ternyata tidak efektif itu dikarenakan variabel konteks ditemukan pada kategori tidak efektif (-), variabel
ISSN : 1829 – 894X
input tidak efektif (-), variabel proses tidak efektif (-), dan variabel hasil tidak efektif (-). Pada variabel konteks, secara umum belum mendukung keberhasilan implementasi pembelajaran tematik pada kelas permulaan sekolah dasar gugus I Denpasar Timur. Bila dilihat pada masingmasing dimensi, tampak bahwa pada kondisi dimensi kebijakan pendidikan hasil yang didapat dari analisis yang dilakukan terhadap implementasi pembelajaran te matik adalah positif (+) berarti pemerintah mendukung pelaksanaan dari pembelajaran tematik. Pada dimensi visi misi dan tujuan pembelajaran tematik, menunjukkan tidak mendukung implementasi pembelajaran tematik pada kelas permulaan sekolah dasar gugus I Denpasar Timur. Hal ini dapat dilihat dari analisis yang menunjukkan tidak efektif (-). Berdasarkan uraian di atas, tampak dengan jelas bahwa implementasi pembelajaran tematik pada kelas permulaan sekolah dasar gugus I Denpasar Timur sangat ditentukan oleh kebijakan pendidikan, visi misi dan tujuan pembelajaran tematik, dalam bentuk kebijakan-kebijakan stra tegis guna menyukseskan implementasi pembelajaran tematik. Dengan demikian faktor konteks sangat berpengaruh terhadap efektif tidaknya suatu sekolah dalam mengimplementasikan pembelajaran tema tik. Penetapan pendekatan tematik dalam pembelajaran di kelas rendah oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) tidak lepas dari perkembangan akan konsep pembelajaran terpadu. Pada dimensi visi misi dan tujuan pembelajaran tematik diperoleh hasil negatif 85
Suluh Pendidikan, 2013, 11 (2): 81 - 89
yaitu visi misi dan tujuan pembelajaran tematik tidak efektif hal ini disebabkan guru-guru kurang memahami visi misi dan tujuan pembelajaran tematik. Guru-guru masih terbawa dengan cara pembelajaran konpensional Pada variabel input secara umum tampak bahwa guru kelas permulaan Sekolah Dasar Gugus I Denpasar Timur di Denpasar tidak efektif mengimplementasikan pembelajaran tematik. Tidak efektifnya pada variabel input terletak pada dimensi peserta didik dan sarana prasarana, sedangkan pada dimensi kurikulum dan ketenagaan hasil yang diperoleh dari analisa data yang dilakukan adalah efektif. Salah satu komponen penting yang menentukan keberhasilan pembangunan pendidikan nasional adalah kurikulum. Kurikulum sebagai program pendidikan secara utuh mempunyai kedudukan yang cukup penting dalam keseluruhan program pendidikan dan pengajaran. Kurikulum merupakan syarat mutlak bagi pendidikan sekolah Guru sebagai sumber daya manusia atau ketenagaan yang ada di sekolah mempunyai peran yang sangat menentukan dan merupakan kunci keberhasilan dalam mencapai tujuan pembelajaran karena guru adalah pengelola pembelajaran bagi para siswa agar pembelajaran berjalan efektif dan efisien harus disediakan guru yang sesuai dengan kebutuhan sekolah, baik jumlah, kualifikasi maupun spesialisasi. Posisi strategis guru dalam meningkatkan mutu pendidikan sangat dipengaruhi oleh kemampuan profesionalnya. Mulyasa (2002: 12-56), menyatakan dalam pencapaian mutu pendidikan faktor kesiapan guru sangat menentukan, sebab 86
ISSN : 1829 – 894X
guru merupakan tokoh sentral dalam penyelenggaraan pendidikan. Seperti pendapat Zamroni (2000;51), bahwa untuk meningkatkan kualitas pendidikan sasaran sentral yang dibenahi adalah kualitas guru. Guru merupakan faktor penentu kesuksesan usaha pendidikan, sehingga setiap pembaharuan kurikulum selalu bermuara pada guru. Untuk hal ini pemerintah telah menetapkan guruguru harus meningkatkan kemampuannya lewat pendidikan yang lebih tinggi, dan hal ini telah dilakukan oleh guru sehingga memberikan hasil positif dalam penelitian ini yakni dalam dimensi ketenagaan diperoleh hasil efektif. Pada dimensi peserta didik di peroleh hasil dari implementasi pem belajaran tematik adalah tidak efektif. Hal ini disebabkan karena jumlah peserta didik dalam satu kelas sangat banyak melebihi dari aturan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemendiknas No. 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses bahwa jumlah maksimal peserta didik setiap rombongan belajar untuk SD/MI adalah 28 peserta didik. Pada dimensi sarana dan prasarana diperoleh hasil dari implementasi pembelajaran tematik adalah tidak efektif. Pelaksanaan pembelajaran tematik menuntut sarana prasarana yang lebih dari pelaksanaan pembelajaran konpensional. Hal ini disebabkan karena dalam pelaksanaan pembelajaran dengan model tematik menuntut ruangan yang lebih leluasa agar situasi belajar bisa dirubah rubah sesuai dengan tema, disamping anak mengenal apa yang dipelajari secara langsung dengan menggunakan panca indranya. Pada variabel proses diperoleh hasil dari implementasi pembelajaran tematik
Suluh Pendidikan, 2013, 11 (2): 81 - 89
pada kelas permulaan sekolah dasar gugus I Denpasar Timur tergolong tidak efektif dalam mengimplementasikan pembelajaran tematik. Dari aspek yang dinilai dalam variabel proses yaitu perencanaan pem belajaran tematik dan pelaksanaan pem belajaran tematik diperoleh hasil bahwa implementasi pembelajaran tematik pada sekolah dasar gugus I Denpasar Timur menunjukkan tidak efektif. Implementasi pembelajaran tema tik sangat tergantung dari perencanaan pembelajaran yang dibuat guru yang memenuhi kriteria yang ditetapkan. Selain perencanaan pembelajaran, proses belajarmengajar juga sangat penting dalam mewujudkan pembelajaran tematik yang berkualitas. Hal-hal yang menyebabkan dalam perencanaan pembelajaran tematik tidak efektif adalah guru sulit untuk menentukan tema, sulit melakukan pemetaan terhadap tema yang telah ditetapkan. Selain itu mengalokasikan waktu untuk masing-masing sangat sulit. Salah satu indikator keberhasilan sekolah dalam melaksanakan tujuan agar dapat menyiapkan tamatan yang memenuhi kebutuhan pembangunan masa kini dan masa yang akan datang adalah terlaksananya kegiatan belajar mengajar (KBM) yang efektif dan efisien. Guru sebagai sumber daya manusia yang ada di sekolah mempunyai peran yang sangat menentukan dan merupakan kunci keberhasilan dalam mencapai tujuan pembelajaran karena guru adalah pengelola pembelajaran bagi para siswa agar pembelajaran berjalan efektif dan efisien. Pada variabel hasil secara umum implementasi pembelajaran tematik pada kelas permulaan sekolah dasar tergolong
ISSN : 1829 – 894X
relatif tidak efektif (-). Evaluasi terhadap variabel hasil membantu mengambil keputusan yang digunakan untuk meninjau kembali suatu putaran rencana. Hasil apa yang telah dicapai, seberapa baik dilakukan penghematan dan apa yang dilakukan jika program tersebut telah mencapai hasil sesuai dengan harapan. Pada tataran produk evaluasi hasil tertuju pada penelaahan terhadap hasil yang diperoleh siswa setelah diberlakukan pembelajaran tematik. Berdasarkan atas acuan yang telah ditetapkan sebagai acuan keberhasilan program dilihat dari variabel hasil, tampaknya belum sesuai dengan harapan. Kualitas merupakan tuntutan bagi semua pihak, terutama bagi guru-guru pada tingkatan kelas diatasnya. Kualitas dalam hal ini tidak hanya berpatokan pada produk saja, melainkan kualitas itu juga dapat dilihat pada kualitas pelayanan, jasa, maupun produk. Apabila dikaitkan dengan pembelajaran tematik dan hasil penelitian yang dilakukan kwalitas yang dihasilkan adalah tidak baik hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian yang diperoleh negatif (-) yaitu tidak efektif. Hal ini disebabkan karena variabel konteks hasil yang di peroleh tidak efektif, variabel input tidak efektif dan variabel proses tidak efektif sehingga pada variabel hasil juga diperoleh tidak efektif. Adapun kendala-kendala yang di hadapi dalam implementasi pembelajaran tematik pada kelas permulaan sekolah dasar gugus I Denpasar Timur, dari hasil analisis data dapat diketahui secara umum kendala-kendala yang dihadapi dapat dikatakan ada, karena hasil analisis data diperoleh variabel konteks, input, proses dan hasil dengan hasil tidak efektif (- - - -). 87
Suluh Pendidikan, 2013, 11 (2): 81 - 89
Bila dirinci untuk masing-masing variabel beserta indikatornya, kendala-kendala yang dihadapi dalam implementasi pembelajaran tematik pada kelas permulaan sekolah dasar gugus I Denpasar Timur adalah : 1. Pada variabel konteks, secara umum kecenderungan yang mengakibatkan tidak efektifnya implementasi pembelajaran tematik pada kelas permulaan sekolah dasar gugus I Denpasar Timur terletak pada aspek visi misi dan tujuan pembelajaran tematik. Pada konteks visi misi dan tujuan pembelajaran tematik, guru dan kepala sekolah belum paham secara teoritik dan praktis visi misi dan tujuan pembelajaran tematik, sehingga dalam implementasinya menemukan masalah. 2. Pada variabel input secara umum kecenderungan yang mengakibatkan tidak efektifnya implementasi pembelajaran tematik pada kelas permulaan sekolah dasar gugus I Denpasar Timur adalah pada aspek: peserta didik dan sarana prasarana. Pada aspek peserta didik jumlah siswa dalam satu kelas terlampau banyak sehingga pembelajaran berjalan tidak efektif begitu juga halnya dengan keadaan sarana prasarana yang jumlahnya terbatas sehingga tidak memungkinkan pembelajaran berlangsung secara maksimal sehingga memperoleh hasil tidak efektif. 3. Pada variabel proses secara umum kecenderungan yang mengakibatkan tidak efektifnya implementasi pem belajaran tematik pada kelas permulaan sekolah dasar gugus I Denpasar Timur terletak pada proses perencanaan 88
ISSN : 1829 – 894X
pembelajaran dan pelaksanaan pem belajaran. Guru sulit menentukan tema dan pemetaan jaringan tema agar semua mata pelajaran bisa terakomodasi dalam satu tema yang dibuat. Dalam pelaksanaan pembelajaran guru masih terbawa ke dalam materi per bidang studi disamping sulit untuk beralih ke sub tema. Dalam pelaksanaan evaluasi masih dilakukan per bidang studi sehimgga membingungkan siswa. 4. Pada variabel hasil, secara umum kecenderungan yang mengakibatkan tidak efektifnya implementasi pembelajaran tematik pada kelas permulaan sekolah dasar gugus I Denpasar Timur adalah belum mampunya meningkatkan kemampuan akademik siswa. Hal ini dapat dilihat dari hasil analisa data yang diperoleh menunjukkan anak yang memperoleh nilai positif lebih sedikit jumlahnya dari pada anak yang memperoleh nilai negatif. SIMPULAN Berdasarkan hasil penghitungan dan analisis data variabel konteks, input, proses dan produk terhadap implementasi pembelajaran tematik pada sekolah dasar gugus I Denpasar Timur tergolong dalam katagori tidak efektif. Dari dua dimensi yang dilibatkan dalam variabel konteks yaitu kebijakan pemerintah, visi misi dan tujuan pembelajaran tematik, baru pada kebijakan pemerintah mendukung implementasi pembelajaran tematik pada sekolah dasar gugus I Denpasar Timur. Pada variabel input, seperti: kurikulum, ketenagaan, peserta didik dan sarana prasarana baru pada komponen kurikulum dan ketenagaan yang efektif, sedangkan
Suluh Pendidikan, 2013, 11 (2): 81 - 89
pada komponen peserta didik dan sarana dan prasarana tidak efektif. Pada variabel proses yaitu: perencanaan pembelajaran dan pelaksanaan pembelajaran belum mendukung implementasi pembelajaran tematik pada sekolah dasar gugus I Denpasar Timur. Begitu juga pada variabel produk hasil yang diperoleh belum optimal. Dari pembahasan hasil penelitian dan simpulan bahwa implementasi pembelajaran tematik pada sekolah dasar gugus I Denpasar Timur sangat tergantung dari kualitas fungsi konteks, input, proses dan produk. Dengan demikian temuan studi evaluasi ini dapat memberikan kontribusi yang positif bagi pemerintah Kodya Denpasar dan Sekolah Dasar Gugus I Denpasar Timur di Denpasar. Oleh karena itu, kedepan agar implementasi pembelajaran tematik efektif, variabel konteks, input, proses dan produk harus diperhatikan. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih disampaikan kepada bapak Drs I Ketut Sundia kepala UPT Dinas Dikpora Kecamatan Denpasar Timur yang telah memberi izin dalam melakukan penelitian pada Sekolah Dasar di lingkungan Gugus I Denpasar Timur, serta Kepala Sekolah Dasar yang berada di lingkungan Gugus I Denpasar Timur yang telah banyak membantu dalam pelaksanaan penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Badan Standar Nasional Pendidikan. (2006). Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta : BSNP.
ISSN : 1829 – 894X
Daniel L. Stufflebeam,1981. Standards For Evaluations Of Educational Program, Project And Material. New York : Mc Grow-Hill Book Company. Dantes, 2008, Beberapa Butir Konsep Dasar Implementasi Pembelajaran Tematik Di Kelas Awal Sekolah Dasar, Singaraja: Universitas Pendidikan Ganesha. Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta. 2003. Departemen Pendidikan Nasional. 2006. Model Pembelajaran Tematik Kelas Awal Sekolah Dasar. Jakarta : Puskumbalitbang. Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22 tahun 2006 Tentang Standar Isi Pendidikan, Jakarta. 2006. Dantes, 2008, Pengembangan Bahan Ajar Berbasis Tematik Dalam Kaitan Dengan Implementasi KTSP, Singaraja: Universitas Pendidikan Ganesha. Marhaeni, A. A. I. N. 2007. Evaluasi Program Pendidikan. Buku Ajar Program Pasca Sarjana Universitas Pendidikan Ganesha Mulyasa. 2002. Manajemen Berbasis Sekolah. Bandung : PT Remaja Rosdakarya. Zamroni. 2000. Paradigma Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta : BIGRAF Publishing. . 89
Suluh Pendidikan, 2013, 11 (2): 90 - 97
ISSN : 1829 – 894X
PENILAIAN ENAM DIMENSI SAINS: SUATU KAJIAN PUSTAKA I Gede Sudirgayasa FPMIPA IKIP Saraswati Tabanan ABSTRACT Science has a very broad relationship associated with human life. Science is very important in all aspects of life, because it needs to be studied so that all Indonesian people science literacy. Science education is responsible for the achievement of scientific literacy of the nation, because it needs to be improved. The process of science learning requires active involvement of learners and aims for mastery in the realm of knowledge, attitudes and skills formed on students. Science student learning outcomes assessment is not enough just to have relied on the results of the test. Assessment should be based on data that is able to accommodate a student’s mastery of the science as a whole according to the six dimensions of science. Thus, our goal is scored the next generation science literacy will be realized. Keywords: learning science, the six dimensions of science, assessment ABSTRAK Sains mempunyai hubungan yang sangat luas terkait dengan kehidupan manusia. Sains sangat penting dalam segala aspek kehidupan, karena itu perlu dipelajari agar semua insan Indonesia melek sains. Pendidikan sains bertanggung jawab atas pencapaian literasi sains anak bangsa, karena itu perlu ditingkatkan kualitasnya. Proses pembelajaran sains menuntut keterlibatan peserta didik secara aktif dan bertujuan agar penguasaan pada ranah pengetahuan, sikap dan keterampilan terbentuk pada diri siswa. Penilaian hasil belajar sains siswa tidak cukup hanya dengan berpatokan dari hasil tes. Penilaian hendaknya dilakukan berdasarkan data yang mampu mengakomodasi penguasaan siswa secara menyeluruh mengenai sains sesuai dengan enam dimensi sains. Dengan demikian, tujuan kita mencetak generasi penerus bangsa yang melek sains akan terwujud. Kata kunci: pembelajaran sains, enam dimensi sains, penilaian PENDAHULUAN Bidang pendidikan menjadi tum puan harapan bagi peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia untuk menghadapi proses globalisasi di hampir semua aspek kehidupan. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan sumber daya manusia adalah meningkatkan pelaksanaan pendidikan yang lebih baik terutama pada proses pembelajaran. Melalui pendidikan, setiap 90
individu seharusnya disediakan berbagai kesempatan belajar sepanjang hayat; baik untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap maupun untuk dapat menyesuaikan diri dengan dunia yang kompleks dan penuh dengan saling ketergantungan. Salah satu komponen dalam proses pembelajaran yang penting adalah penilaian (Suastra, 2009). Sampai saat ini, permasalahan penilaian hasil belajar menjadi masalah
Suluh Pendidikan, 2013, 11 (2): 90 - 97
yang perlu dipikirkan. Dalam melaksana kan penilaian hasil belajar di sekolah terdapat kecenderungan para guru untuk mengutamakan penggunaan tes (paper and pencil test) sebagai satu-satunya alat ukur yang terpenting dalam proses pendidikan. Kondisi seperti ini mendorong penggunaan tes secara berlebihan untuk mengukur semua tujuan pembelajaran yang telah direncanakan. Padahal tes itu sendiri memiliki keterbatasan, karena tidak mampu mengukur kemampuan peserta didik yang sebenarnya dan hanya terfokus pada beberapa aspek saja. Tes ini juga tidak memberi kesempatan kepada peserta didik untuk menunjukkan kemampuan atau potensi masing-masing. Karena itu pelaksanaan penilaian di persekolahan harus mencakup berbagai jenis alat ukur. Hal ini disebabkan semua alat ukur memiliki peranan tersendiri dan saling mendukung dalam pengukuran hasil belajar. Oleh karena itu, tolak ukur keberhasilannya tidak semata-mata pada UAN dan tes saja, tetapi juga terkait dengan keberhasilan seseorang dalam pengembangan aspek emosi, sikap dan keterampilannya. Pemahaman sains menuju manusia melek sains tidak cukup hanya dengan hapal mengenai segala hal yang termasuk ke dalam dimensi konsep sains. Masih ada lima dimensi sains lainnya yang wajib dikuasai siswa sehingga pemahaman mereka lebih menyeluruh dan bermakna. Apa serta bagaimanakah penguasaan keenam dimensi tersebut diases? Artikel ini akan mencoba mengkaji penilaian enam dimensi sains tersebut.
ISSN : 1829 – 894X
PEMBAHASAN Pengertian Tes, Pengukuran, Evaluasi dan Penilaian Pada hakikatnya tes adalah suatu alat yang berisi serangkaian tugas yang harus dikerjakan atau soal-soal yang harus dijawab oleh peserta didik untuk mengukur suatu aspek perilaku tertentu. Dengan demikian, fungsi tes adalah sebagai alat ukur. Sebagai alat pengumpul informasi atau data, tes harus dirancang secara khusus. Tes ini dapat berupa pertanyaan tertulis, lisan maupun tindakan (Poerwanthi, 2010). Pengukuran adalah membanding kan suatu objek dengan alat ukur dan bersifat kuantitatif. Oleh karena itu, hasil pengukuran berupa angka, maka hasil pengukuran memiliki sifat – sifat deskriptif, menggambarkan, melukiskan dan menyajikan. Jadi, pengukuran adalah suatu proses atau kegiatan untuk menentukan kuantitas “sesuatu”. Kata “sesuatu” bisa berarti peserta didik, guru, gedung sekolah, meja belajar, papan tulis, dll. Dalam proses pengukuran tentu guru harus menggunakan alat ukur (tes atau nontes). Hasil pengukuran adalah berupa angka yang memiliki makna atau skala pengukuran. Penilaian adalah suatu proses atau kegiatan yang sistematis dan berkesinambungan untuk mengumpulkan informasi tentang proses dan hasil belajar peserta didik dalam rangka membuat keputusan-keputusan berdasarkan kriteria dari pertimbangan tertentu. Keputusan yang dimaksud adalah keputusan tentang peserta didik, seperti nilai yang akan diberikan atau keputusan tentang kenaikan kelas dan kelulusan. Kegiatan penilaian
91
Suluh Pendidikan, 2013, 11 (2): 90 - 97
harus dapat memberikan informasi kepada guru untuk meningkatkan kemampuan mengajarnya dan membantu peserta didik mencapai perkembangan belajarnya secara optimal. Sementara evaluasi adalah suatu proses yang sistematis dan berkelanjutan untuk menentukan kualitas (nilai dan arti) dari sesuatu, berdasarkan pertimbangan dan kriteria tertentu dalam rangka pembuatan keputusan. Evaluasi dan penilaian lebih bersifat kualitatif. Kalau digambarkan hubungan antara tes, pengukuran, asesmen dan evaluasi seperti gambar di bawah. Hubungan dari istilah tersebut dapat dilihat dari hirarki pelaksanaannya serta ruang lingkupnya. Secara hierarkis pengukuran dilakukan dengan serangkaian tes baik lisan maupun tulisan. Jadi, pengukuran didahului dengan melakukan tes. Hasil dari pengukuran tersebut yang berupa data kuantitatif dikonversikan ke dalam suatu nilai yang menggambarkan objek yang diukur yang bersifat kualitatif dalam tindakan penilaian. Namun demikian tidak semua penilaian didahului dengan tes dan pengukuran. Misalnya penilaian melalui nontes (wawancara atau pengamatan). Selanjutnya evaluasi dilakukan beranjak dari hasil penilaian yang diberikan. Namun demikian evaluasi juga dilakukan secara menyeluruh tidak hanya terhadap hasil tetapi juga terhadap proses mulai dari evaluasi proses pengukuran beserta instrument yang digunakan. Begitu juga evaluasi pada proses penilaian yang dilakukan.
92
ISSN : 1829 – 894X
Enam Dimensi Sains dan Penilaiannya Dimensi Konsep Pembentukan pengetahuan yang dimiliki seseorang pada dasarnya berupa konsep-konsep. Konsep tersebut diperoleh siswa sebagai hasil interaksi dengan lingkungan. Millar (dalam Enger & Yager, 2001) mencatat bahwa tanpa adanya konsep sains, siswa tidak akan mampu mengikuti berbagai hasil diskusi tentang sains atau isu-isu kebijakan publik mengenai sains dan teknologi. Konsep-konsep itu dapat disusun menjadi suatu prinsip, yang dapat digunakan sebagai landasan dalam berpikir. Menurut Good (dalam Widyatiningtyas, 2010), konsep adalah gambaran dari ciriciri, yang dengan ciri-ciri itu beberapa objek dapat dibeda-bedakan. Menurut Yelon et al. (dalam Widyatiningtyas, 2010), konsep adalah elemen umum dari sekelompok objek, peristiwa atau proses. Salah satu contoh pengembangan teknik penilaian berdasarkan dimensi konsep yaitu menggunakan tes pemahaman konsep. Tes ini berguna untuk mengukur pemahaman konsep siswa terhadap materi sains. Tes pemahaman konsep yang dapat dikembangkan adalah jenis tes uraian (essay) atau pilihan ganda diperluas. Dimensi Proses Selaras dengan hakekat sains yan, maka pembelajaran sains seyogiyanya lebih menekankan pada proses. Artinya, siswa diharapkan aktif selama pembelajaran untuk membangun pengetahuannya melalui serangkaian kegiatan agar pembelajaran menjadi bermakna bagi siswa. Melalui pembelajaran sains, siswa berperan seolaholah sebagai ilmuan, menggunakan metode ilmiah untuk mencari jawaban terhadap
Suluh Pendidikan, 2013, 11 (2): 90 - 97
suatu permasalahan yang sedang dipelajari. Peran siswa seolah-olah sebagai ilmuan dalam pembelajaran sains mengandung arti bahwa dalam proses pembelajaran sains, siswa diberikan kebebasan untuk mencari pengalaman belajar sendiri melalui pendekatan “keterampilan proses sains”. Menurut Siahaan (2010), kete rampilan proses sains dapat digolongkan menjadi dua bagian, yaitu: Keterampilan Dasar (Basic Skills) yang meliputi beberapa aspek sebagai berikut: Mengamati (observing). Menggunakan indera untuk menga mati suatu objek atau fenomena tertentu dan karakteristiknya. Hasil pengamatan yang diperoleh dicatat dalam lembar observasi yang telah dibuat. Mengklasifikasikan (classifying) Mengelompokkan objek-objek atau kejadian berdasarkan persamaan maupun perbedaannya. Hasil pengelompokkan dibuat dalam bentuk daftar, tabel maupun grafik. Mengukur (measuring) Membandingkan kuantitas yang belum diketahui dengan ukuran standar tertentu, misalnya satuan panjang, waktu, dan suhu. Hasil pengukuran dicatat dalam tabel, kemudian dibuat grafiknya secara manual maupun menggunakan software. Menyimpulkan (inferring) Membuat kesimpulan berdasarkan data-data hasil pengamatan. Meramalkan (predicting) Meramalkan sesuatu yang belum
ISSN : 1829 – 894X
dibuktikan dengan keyakinan bahwa yang akan terjadi didasarkan pada pengetahuan, pemahaman, pengamatan dan kesimpulan yang diperoleh dinyatakan dalam tulisan dan atau lisan. Mengkomunikasikan (communicating) Mengkomunikasikan hasil secara lisan maupun tertulis. Secara lisan dapat berupa presentasi sedangkan tertulis berupa laporan, grafik, tabel, dan gambar. Keterampilan Terintegrasi (Integrated Skills) Membuat Model (Making Models) Mengkonstruksi model untuk mengklarifikasi gagasan. Mendefinisikan secara operasional Membuat definisi tentang apa yang dilakukan dan diamati. Mengumpulkan Data (Collecting Data) Mengumpulkan dan mencatat informasi hasil pengamatan dan pengukuran dengan sistematis. Menginterpretasi Data (Interpreting Data) Mengorganisasi, menganalisis, dan mensistesis data dengan menggunakan tabel, grafik, dan diagram sehingga terlihat pola yang dapat digunakan dalam mengkonstruksi kesimpulan, prediksi atau hipotesis. Mengidentifikasi dan Mengontrol Variabel (Identifying and Controlling Variables) Kemungkinan banyak variabel yang mempengaruhi hasil penyelidikan, 93
Suluh Pendidikan, 2013, 11 (2): 90 - 97
untuk itu perlu dimanipulasi variabel yang mempengaruhi sedangkan variabel lainnya dibuat konstan. Merumuskan Hipotesis (Formulating Hypotheses) Membuat dugaan sementara mengenai permasalahan yang dikaji berdasarkan bukti yang dapat diuji melalui percobaan. Melakukan Percobaan (Experimenting) Merancang sendiri percobaan dan melakukannya sesuai prosedur untuk memperoleh data yang terpercaya dan akurat, sebagai bahan untuk menguji hipotesis. Hal senada juga diungkapkan oleh Enger & Yager (2001), yang menyatakan bahwa keterampilan proses harus meliputi beberapa aspek, yaitu: 1) Observing, 2) Using space and time relationship, 3) Classifying, grouping, and organizing, 4) Using numbers and quantifying, 5) Measuring, 6) Communicating, 7) Inferring, 8) Predicting, 9) Identifying and controlling variables, 10) Interpreting data, 11) Formulating hypotheses, 12) Defining operationally, 13) Experimenting. Semua aspek keterampilan proses yang dimaksudkan tersebut hendaknya dapat dinilai selama siswa mengikuti proses pembelajaran, misalnya pada saat melakukan kegiatan praktikum. Pengembangan teknik dan instrumen penilaian berdasarkan dimensi proses berkaitan erat dengan penilaian unjuk kinerja. Rubrik dengan beberapa indikator kinerja siswa dapat dirancang untuk menilai kemampuan siswa dalam kegiatan praktikum, demonstrasi dll. 94
ISSN : 1829 – 894X
Dimensi Aplikasi Sains dapat dianggap sebagai aplikasi, artinya dengan memiliki penguasaan pengetahuan dan produk sains dapat dipergunakan untuk menjelaskan, mengolah, memanfaatkan, maupun memprediksi fenomena alam serta mengembangkan disiplin ilmu lainnya dan teknologi. Aplikasi pada dasarnya terletak pada sejauh mana siswa mampu mentrasnfer dan menggunakan ilmu yang telah dipelajari pada situasi yang baru, terutama dalam kehidupan mereka seharihari (Gronlund, dalam Enger & Yager, 2001). Suatu ilmu akan berguna ketika seseorang yang menguasai ilmu tersebut mampu menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Begitu pula dengan sains, sains akan lebih berguna ketika dapat diaplikasikan langsung dalam kehidupan sehari-hari. Kunci utama dimensi aplikasi pada pembelajaran sains adalah bagaimana seorang pebelajar mampu mengaplikasikan konsep yang telah dipelajari pada situasi baru yang lebih kompleks. Hal ini penting, karena pebelajar tidak hanya dihadapkan pada permasalahan yang monoton, tetapi mereka dihadapkan pada permasalahan yang unik. Hal ini diharapkan dapat memotivasi pebelajar untuk mengaplikasikan semua konsep yang dimiliki dan keterampilan proses sesuai dengan objek yang dikaji. Berikut ini disajikan beberapa aspek dimensi aplikasi dalam pembelajaran sains (Enger & Yager, 2001), yaitu sebagai berikut. Menggunakan cara berpikir kritis. Menggunakan pertanyaan-pertanyaan terbuka.
Suluh Pendidikan, 2013, 11 (2): 90 - 97
Menggunakan proses-proses ilmiah untuk memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Mampu menghubungkan ilmu pengetahuan yang termasuk dalam bidang sains (integrasi sains). Mampu untuk mengubungkan sains dengan ilmu pengetahuan lainnya (integrasi sains dengan ilmu lain). Membuat keputusan yang terkait dengan kesehatan diri, penyediaan nutrisi dan gaya hidup sehat berdasarkan konsep pengetahuan sains yang dimiliki. Memahami dan mengevaluasi laporan media masa mengenai perkembangan sains. Aplikasi dan keterampilan konsep sains untuk mengatasi msalahmasalah yang berhubungan dengan kemajuan teknologi. Pengembangan penilaian berda sarkan dimensi aplikasi melibatkan kemampuan siswa dalam bepikir kritis dan kemampuan memecahkan masalah. Ke delapan aspek tersebut membantu dalam mengembangkan rubrik serta indikatorindikator penilaiannya sehingga kete rampilan aplikasi siswa terpetakan seob jektif mungkin. Dimensi Sikap Sains dapat dianggap sebagai sarana untuk mengembangkan sikap dan nilai-nilai tertentu, misalnya: nilai religius, skeptisme, objektivitas, keteraturan, sikap keterbukaan, nilai praktis dan ekonomis, serta nilai etika atau estetika. Sains juga
ISSN : 1829 – 894X
diyakini dapat melatih atau menanamkan sikap dan nilai positif dalam diri siswa. Jujur, dapat bekerja sama, teliti, tekun, hati-hati, toleran, skeptis, merupakan sikap dan nilai yang dapat terbentuk melalui pembelajaran sains. Sikap mengandung tiga komponen yaitu komponen kognitif, afektif dan tingkah laku. Sikap selalu berkenaan dengan suatu obyek dan sikap terhadap obyek ini disertai dengan perasaan positif atau negatif. Secara umum dapat disimpulkan bahwa sikap adalah suatu kesiapan yang senantiasa cenderung untuk berperilaku atau bereaksi dengan cara tertentu bilamana dihadapkan dengan suatu masalah atau objek. Dengan demikian dibutuhkan suatu perencanaan penilaian untuk mengetahui dimensi sikap siswa dalam pembelajaran sains. Dimensi sikap berkaitan dengan indikator-indikator pengukuran ranah afektif sesuai dengan sikap ilmuwan secara umum. Sehingga instrumen dikembangkan pada lingkup tersebut. Dengan demikian siswa terpasilitasi dan terarah dalam upaya evaluasi dirinya menuju insan melek sains. Dimensi Kreativitas Hodson & Reid (dalam Enger & Yager, 2001), mengungkapkan bahwa kreativitas merupakan bagian integral dari sains dan proses ilmiah yang digunakan untuk meramalkan maupun menyelesaikan suatu permasalahan yang terencana hingga akhinya memunculkan aksi. Berpikir kreatif dapat didefinisikan sebagai ke seluruhan proses pemikiran yang terlibat dalam memproduksi sebuah ide, konsep, penciptaan, atau penemuan sesuatu yang baru, asli, bermanfaat atau memuaskan para pencipta atau orang lain. 95
Suluh Pendidikan, 2013, 11 (2): 90 - 97
Berbagai pengalaman ilmiah akan mendorong seseorang untuk berpikir kreatif sehingga memunculkan kreativitas tinggi. Anak kreatif akan memiliki sudut pandang berbeda dari umumnya yang bersifat khas dan fantastis dalam mencari solusi suatu permasalahan. Berikut disajikan 10 aspek dimensi kreativitas (Enger & Yager, 2001), yaitu 1) Visualization-production of mental images, 2) Divergent thinking, 3)Open-ended question, 4)Consideration of alternative viewpoints, 5)Generation of unusual ideas, 6)Generation of metaphors, 7)Novelty-combining objects and ideas in new ways, 8)Solving problems and puzzles, 9)Designing devices and machines, 10) Multiple modes of communicating results. Pengembangan penilaian ber dasarkan dimensi kreativitas, mengikuti karakteristik dan proses berpikir kreatif dengan indikatornya, yaitu 1) Berpikir lancar, 2) Berpikir luwes, 3) Berpikir orisinil, 4) Berpikir elaboratif. Masing-masing indikator memiliki karakteristik tertentu yang dapat dipakai dalam hal penyusunan rubrik untuk menilai kemampuan siswa dalam dimensi kreativitas sains. Dimensi Nature of Science (NOS) Salah satu aspek penting literasi sains seeorang adalah ditandai dengan keakrabannya terhadap hakikat sains (Nature of Science) dan memiliki sifat-sifat sebagai seorang ilmuwan. Nature of Scence (NOS) didefinisikan sebagai hakekat pengetahuan yang merupakan konsep yang kompleks melibatkan filosofi, sosiologi, dan historis suatu pengetahuan. Secara prinsip, pembelajaran NOS mengacu pada epistemology dan sosiologi pengetahuan, yaitu pengetahuan sebagai cara untuk 96
ISSN : 1829 – 894X
mengetahui, atau menilai dan keyakinan yang menjadi sifat pengetahuan ilmiah (Santyasa, 2006). Untuk membantu pebelajar memahami nature of science, seorang guru sains yang baik senantiasa menggali nilainilai nature of science untuk pembelajaran. Lederman (2006) menyatakan secara khas NOS mengacu pada epistemology dan sisiologi ilmu pengetahuan, ilmu pengetahuan sebagai jalan untuk menge tahui, atau nilai dan kepercayaan yang menjadi sifat pengetahuan ilmiah dan perkembangannya. Lebih lanjut Lederman (2006) menegaskan NOS dalam bagian yang berkenaan dengan pemahaman mengenai hakikat sains ilmiah. Pemahaman ini sesuai dengan sifat empiris ilmu pengetahuan, sifat kreatif dan imajinatif, menanamkan social dan budaya, dan nilai-nilai kebenaran yang bersifat tentatif. Sesuai dengan karakteristik dari NOS tersebut yang menuntut Multiple Assessments, materi penilaian hendaknya berorientasi pada pemahaman pebelajar terhadap NOS . Teknik-teknik asesmen yang dapat dilakukan adalah: asesmen kinerja, portofolio, dan tes. Aktivitas pebelajar yang diases adalah kemampuan merencanakan, kemampuan melaksanakan, kemampuan presentasi, kemampuan melaporkan secara tertulis, kemampuan melaporkan secara lisan, pembuatan jurnal berkala, fokus pemahaman terhadap NOS, sikap dan persepsi pebelajar terhadap pelajaran dan model pembelajaran yang diterapkan. Untuk meminimalisir subjektivitas penilaian, asesmen dilengkapi dengan rubrik, sehingga mampu menilai kemampuan siswa secara lebih akurat (Akcay, 2006).
Suluh Pendidikan, 2013, 11 (2): 90 - 97
SIMPULAN Sains sebagai kumpulan penge tahuan menggambarkan produk olah pikir dan olah tangan dalam pembelajaran sains. Oleh sebab itu, produk-produk sains sewajarnya diperoleh, dikembangkan ataupun dibangun melalui proses mindson dan hands-on science. Pembelajaran sains, terutama bagi peserta didik sewajarnya direncanakan, dilaksanakan dan dievaluasi secara matang, sehingga mampu menampilkan pembelajaran sains yang ektif dan mengoptimalkan minds-on dan hands-on siswa. Berdasarkan enam dimensi sains sebagai landasan menyusun penilaian, maka guru dituntut tidak hanya menilai aspek yang berkaitan dengan konsep dan teori belaka, melainkan mencakup keenam dimensi sains tersebut. Guru dituntut menjadi guru yang intensional yang menggunakan multiple assessments sesuai dengan dimensi-dimensi yang akan dinilai. Pemahaman siswa tentang realitas alam terbentuk bila siswa melek sains. Kemampuan literasi sains dapat diperoleh siswa melalui implementasi penilaian berdasarkan enam dimensi sains dalam pembelajaran sains menuju generasi bangsa Indonesia yang melek sains. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih penulis ucapkan kepada keluarga tercinta atas dukungan serta doanya selama ini. Ucapan yang sama juga penulis sampaikan kepada Dewan Redaksi Suluh Pendidikan (Jurnal Ilmuilmu Pendidikan) yang telah mereview isi artikel ini sehingga menjadi layak untuk diterbitkan.
ISSN : 1829 – 894X
DAFTAR PUSTAKA Akcay, B. 2006. The analisis how to improve student understanding of nature of science: A role of teacher. Asia pacific forum on learning and teaching.7 (2). 1-13. Tersedia pada: http://www.apfslt.com. Enger, S. R., & Yager, R. E. 2001. Assesing student understanding in science: A standards-based K-12 handbook. California: Corwin Press, INC. Lederman, N. G. 2006. Research on nature of science. Reflection on the past,antici pation of the future. Asia Pacific forum on learning and Teaching.7(1).1-11.tersedia pada http:// www.ihpst2005.leeds.ac.uk/ papers/Olson_ Clough_Bruxvoort_ Vanderlinden.pdf Poerwanthi. 2010. Konsep Dasar Asesmen Pembelajaran. Tersedia pada: http://staff.unila.ac.id/ngadimunhd/ files/2012/03/1-Konsep-Dasar Ases men- Pembelajaran.pdf Santyasa, I Wayan. 2012. Pembelajaran Inovatif. Singaraja: Undiksha Press Siahaan, P. 2010. Hakekat sains dan pembelajaran sains. Artikel. Tersedia pada: http://hakekat-sainsphp.pdf. Suastra, I W. 2009. Pembelajaran sains terkini. Singajara: Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja. Widyatiningtyas, R. 2010. Pembentukan pengetahuan sains, teknologi dan masyarakat dalam pandangan pendidikan IPA. Jurnal Pendidikan dan Budaya. Tersedia pada: http:// educare.e-fkinpula.net.
97
Suluh Pendidikan, 2013, 11 (2): 98- 108
ISSN : 1829 – 894X
KESETARAAN IQ, EQ DAN SQ MELALUI PENDIDIKAN KARAKTER MENCAPAI TUJUAN PENDIDIKAN YANG SEBENARNYA: SUATU KAJIAN PUSTAKA I Wayan Gata FPIPS, Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Sarawati Tabanan ABSTRACT UU Sisdiknas of 2003 mandated education not only build the Indonesian become the smart people, but personality/ humane, so that born the generation of people who breathe the noble values of the nation and religion. Education should develop learners as a whole, include: (1) if the heart (spiritual and emotional development), (2) if the thought (intellectual development), (3) sports (physical development), and (4) if the feeling and intention (affective and creativity development). But the practice of education in schools, it is more oriented to development the intelligence qoutien (IQ) and less developed the emotional quotien (EQ) and spiritual quotien (SQ). The misguided perspective impact the deviations that occurred in this nation, immorality, terorism, plagiarism, conflict, murder and corruption. In general, these deviations indicate a high moral degradation in Indonesia. Character education is seen as a way to develop the IQ, EQ and SQ thorough, proportionate and balanced through the internalization of the values character by learners. By consistently implementing character education, it will be realized the real goal of national education (born the smart learners and humane). Keywords: Intelligence qoutien, emotional quotien, spiritual qoutien, character education. ABSTRAK UU Sisdiknas tahun 2003 mengamanahkan pendidikan tidak hanya mencetak insan Indonesia yang cerdas, namun berkepribadian/ berkarakter, sehingga lahir generasi bangsa yang bernafas nilai-nilai luhur bangsa serta agama. Pendidikan harus mengembangkan peserta didik secara utuh, meliputi: (1) olah hati (spiritual and emotional development); (2) olah pikir (intellectual development); (3) olah raga (physical development); dan (4) olah rasa dan karsa (affective and creativity development). Namun praktik pendidikan di sekolah-sekolah, justru lebih berorientasi mengembangkan kecerdasan intelektual (IQ) dan kurang mengembangkan kecerdasan emosi (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ). Dalam perjalannya, perspektif yang salah arah tersebut berdampak besar terhadap penyimpangan-penyimpangan yang terjadi pada bangsa ini, maraknya tindakan asusila, terorisme, plagiarisme, tawuran, pembunuhan dan korupsi. Secara umum, penyimpanganpenyimpangan tersebut menunjukkan kemerosotan moral yang tinggi di Indonesia. Pendidikan karakter dipandang sebagai jalan untuk mengembangkan IQ, EQ dan SQ secara menyeluruh, proporsional dan seimbang melalui internalisasi nilai-nilai karakter oleh peserta didik. Dengan melaksanakan pendidikan karakter secara konsekuen, maka akan terwujud tujuan pendidikan nasional yang sebenarnya (lahirnya peserta didik yang cerdas dan berkarakter). Kata kunci: Kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual, pendidikan karakter. 98
Suluh Pendidikan, 2013, 11 (2): 98 - 108
PENDAHULUAN Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Pasal 3 menyebutkan, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehi dupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.” Hal tersebut menegasakan bahwa pengembangan peserta didik tidak terfokus pada satu aspek saja, melainkan harus bersifat utuh, meliputi: (1) olah hati (spiritual and emotional development); (2) olah pikir (intellectual development); (3) olah raga (physical development); dan (4) olah rasa dan karsa (affective and creativity development). Namun praktik pendidikan di sekolah-sekolah, justru lebih berorientasi pada pendidikan hard skill (keterampilan teknis), yang bersifat mengembangkan intelligence qoutien (IQ) dan kurang mengembangkan kemampuan soft skill, yang bersifat mengembangkan spiritual qoutien (SQ) dan emotional quotien (EQ). Hal itu terjadi karena penafsiran pendidik yang salah terhadap sasaran pengembangan peserta didik. Alasan tersebut diperkuat oleh Wibowo (2012:5960) yang menyatakan bahwa banyak guru yang memiliki persepsi, anak didik dengan kompetensi terbaik adalah mereka yang
ISSN : 1829 – 894X
memilki nilai hasil ulangan/ ujian yang tinggi. Sayangnya, praktik seperti itu didukung oleh orang tua siswa. Orang tua siswa cenderung lebih senang dan bangga apabila anak mereka pintar menghitung dan membaca, dibandingkan jika anak mereka unggul pada aspek emosional dan spiritual. Mereka akan merasa sangat malu, jika anak mereka tidak bisa menghitung dibandingkan jika anak mereka tidak rajin bersembahyang dan tidak mampu bersosialisasi dengan baik. Hal tersebut menunjukkan kecerdasan intelektual (IQ) masih menjadi primadona bagi guru dan orang tua. Sejatinya sistem pendidikan Indonesia sudah baik, mengkehendaki adanya pengintegrasian berbagai aspek kemampuan yang harus dikuasai peserta didik. Namun, kembali kepada permasalahan awal, yakni persepsi guru tentang arah pengembangan peserta didik yang masih keliru dan permasalahan konsistensi. Hal ini dapat dilihat dari: proses penerimaan, proses pendidikan, dan keluaran yang dihasilkan. Penerimaan siswa baru hanya di dasarkan pada tes potensi akademik (TPA) yang hanya menguji dimensi kognisi peserta didik. Kemudian dilihat dari proses pendidikan, proses pendidikan juga cenderung diarahkan pada pengembangan dimensi kognisi peserta didik semata. Hal ini dibuktikan dengan ketidakbijaksanaan pemaknaan rapor siswa oleh guru. Penentuan keberhasilan siswa dalam menempuh pendidikan hanya ditentukan dari aspek kognitif saja, aspek afektif terkesan dianaktirikan. Terakhir dapat dilihat dari keluaran yang dihasilkan. Kita sadari bersama bahwa Indonesia sedang dilanda oleh penyakit degradasi moral, yang salah satunya disebabkan oleh 99
Suluh Pendidikan, 2013, 11 (2): 98- 108
orientasi output yang salah arah. Faktafakta tersebut tentunya sangat bertentangan dengan amanah UU Sisdiknas tahun 2003 (dalam Wibowo, 2012) yang menyatakan bahwa pendidikan tidak hanya mencetak insan Indonesia yang cerdas, namun berkepribadian/ berkarakter, sehingga lahir generasi bangsa yang bernafas nilainilai luhur bangsa serta agama. Pernyataan tersebut menegaskan kembali, bahwa IQ, SQ dan EQ harus dikembangkan secara selaras dan seimbang kepada peserta didik. Ketidakseimbangan pengembangan IQ, SQ dan EQ memunculkan berbagai kasus penyimpangan moral. Pelaku dari kasus-kasus tersebut berasal dari berbagai kalangan, mulai dari anak usia sekolah sampai orang tua. Kasus-kasus tersebut di antaranya: tindak asusila, tawuran, plagiarisme, korupsi, terorisme, pembunuhan dan sebagainya. Pada tanggal 6 Agustus 2012 (sindonews.com) diberitakan lima orang pelajar SMK di Kecamatan Mojosari, Kabupaten Mojokerto memperkosa sesama pelajar lantaran sering menonton film porno. Berdasarkan hasil penelitian LSM Sahara Bandung antara tahun 2000-2002 menyatakan bahwa remaja yang melakukan seks pra nikah, 72,9 % hamil dan 91,5% di antaranya mengaku telah melakukan aborsi lebih dari satu kali (dalam Wibowo, 2012:9). Pada bulan Februari 2012, Indonesia dikejutkan dengan AMN, siswa kelas VI SD, menusuk teman sekelasnya Syaiful Munif, dengan pisau dapur sebanyak delapan kali di Perumahan Bukit Cinere Indah, lantaran AMN diketahui mencuri Hp Syaiful Munif (republika.co.id, 2012). Sepanjang 20042011 tercatat sebanyak 158 kepala daerah yang terdiri atas gubernur, bupati dan wali 100
ISSN : 1829 – 894X
kota tersangkut korupsi (Kemendagri dalam Efindari dkk., 2012:11). Pada tanggal 6 November 2012 (okezone.com) diberitakan seorang pelajar SMK di Bogor terpaksa dilarikan ke Rumah Sakit PMI akibat terkena sabetan gir motor saat tawuran antarpelajar. Kemudian diterangkan oleh salah satu pejabat Kopertis Wilayah V Yogyakarta, plagiarisme dilakukan oleh dua orang calon guru besar dengan menjiplak skripsi mahasiswa S1 guna melengkapi syarat mendapat gelar guru besar (dalam Wibowo, 2012:11). Terakhir, yang paling santer diberitakan adalah kasus terorisme yang terjadi berulang-ulang kali di Indonesia. Berdasarkan fakta-fakta krisis moralitas sebagaimana diuraikan, kalau kita sadari, bangsa ini sedang berada di sisi jurang kehancuran. Yang tinggal sedikit lagi tercebur ke dalam jurang kehancuran. Berbagai upaya memang telah dilakukan pemerintah dan stakeholder untuk menanggulangi masalah kemerosotan moral, yang dipercayai sebagai akibat ketidakseimbangan pengembangan IQ, SQ dan EQ, diantaranya adalah: (1) membuat peraturan; (2) membuat undang-undang; (3) penerapan hukum yang lebih ketat; (4) mebekali anak didik dengan pendidikan karakter melalui mata pelajaran yang relevan, yaitu: mata pelajaran Agama, PKn, dan Budi Pekerti. Namun sayangnya upaya tersebut belum efektif, karena mata pelajaran tersebut hanya berkonsentrasi pada bagaimana cara agar peserta didik dapat memahami nilai-nilai karakter bangsa, bukan bagaimana cara agar nilai-nilai karakter bangsa tersebut dapat diimplementasikan dan dapat terinternalisasi menjadi karakter peserta didik. Senada dengan hal tersebut Reza (dalam Wibowo,
Suluh Pendidikan, 2013, 11 (2): 98 - 108
2012) mengatakan bahwa pendidikan karakter dengan berbagai variasi namanya, selama ini terlalu berfokus pada pengisian dimensi kognisi manusia namun dimensi afeksi manusia tidak terjamah. Akibatnya lahirlah manusia yang pintar namun busuk, tajam akal namun mahal hati. Berbagai bentuk pembinaan moral mulai diperbincangkan, hingga muncul sebuah langkah strategis mengenai pendidikan karakter. Pendidikan karakter akan menggiring peserta didik untuk memahami dunia ini melalui multi perspektif, tidak hanya bersandarkan pada kecerdasan intelektual melainkan dengan kolaborasi kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual. Ruang lingkup pendidikan karakter adalah: (1) olah pikir, yang tergolong olah pikir, yaitu: cerdas, kritis, inovatif, rasa ingin tahu, berpikir terbuka, produktif, berorientasi IPTEKS dan reflektif; (2) olah hati, yang tergolong olah hati, yaitu: beriman dan bertakwa, jujur, amanah, adil, bertanggung jawab, berempati, berani mengambil resiko, pantang menyerah, rela berkorban,dan berjiwa patriotik; (3) olah raga, yang tergolong olah raga, yaitu: bersih dan sehat, disiplin, sportif, tangguh, handal, berdaya tahan, bersahabat, kooperatif, determinatif, kometitif, ceria dan gigih; dan (4) olah rasa/ karsa, yang tergolong olah rasa/ karsa, yaitu: ramah, saling menghargai, toleran, peduli, suka menolong, gotong royong, nasionalis, kosmopolit, mengutamakan kepentingan umum, bangga menggunakan bahasa dan produk Indonesia, dinamis, kerja keras dan beretos kerja (Kemendiknas, dalam Wibowo, 2012:4). Survei lapangan tahun 2002 yang dilakukan oleh National Association of
ISSN : 1829 – 894X
Colleges and Employee membuktikan bahwa kecerdasan intelektual (hard skill) seseorang tidak selalu menjadi tolak ukur utama kesuksesan. Namun terdapat faktor lain yang lebih mempengaruhi kesusksesan seseorang, yaitu karakter seseorang (soft skill). Bahkan, di negara maju seperti Amerika Serikat pendidikan karakter sangat ditekankan bagi masyarakatnya. Salah satu komisi di Departemen Tenaga Kerja Amerika Serikat pada 1991, merekomendasikan pentingnya internalisasi pendidikan karakter di sekolah-sekolah. Tujuannya, agar lulusan sekolah di AS dapat menyiapkan diri secara lebih baik dalam bidang pekerjaan. Berdasarkan uraian di atas, maka pendidikan karakter sangat tepat untuk diterapkan di Indonesia. Pendidikan karakter diyakini dapat menyetarakan pengembangan ketiga aspek kecerdasan manusia yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Keyakinan tersebut didasari oleh terakomodirnya ketiga aspek kecerdasan tersebut dalam ruang lingkup pendidikan karakter. Terjadinya kesetaraan antara ketiga aspek tersebut akan mempermudah pencapaian tujuan pendidikan yang sebenarnya, mencetak insan Indonesia yang cerdas dan berkarakter. PEMBAHASAN Kecerdasan Intelektual (IQ) Raven mendefinisikan kecerdasan intelektual sebagai kemampuan individu untuk menghadapi tuntutan kehidupan secara rasional (dalam Suryabrata, 1998:66). Wechsler mengemukakan bahwa kecerdasan intelektual adalah kemampuan umum yang dimiliki oleh individu agar bisa bertindak secara terarah dan berpikir secara bermakna serta bisa berinteraksi 101
Suluh Pendidikan, 2013, 11 (2): 98- 108
dengan lingkungan secara efisien (dalam Anastasi dan Urbina, 1997:220). Sehingga, dapat disimpulkan bah wa kecerdasan intelektual merupakan kemampuan analisa, logika dan rasio yang dimiliki individu agar bisa bertindak secara terarah dan berpikir secara bermakna serta bisa berinteraksi dengan lingkungan secara efisien. Wiramiharja (2003:73) menyebutkan terdapat tiga unsur kecerdasan intelektual, meliputi: (1) kemampuan figur, merupakan pemahaman dan nalar di bidang bentuk; (2) kemampuan verbal, merupakan pemahaman dan nalar di bidang bahasa; dan (3) kemampuan numerik, merupakan pemahaman dan nalar dibidang angka. Berdasarkan unsur-unsur tersebut, diketahui bahwa kecerdasan intelektual sangat penting untuk dikembangkan. Ke mampuan-kemampuan tersebut harus diasah secara terus menerus. Pengembangan kecerdasan intelektual dilaksanakan me lalui pengisian dimensi kognisi peserta didik. Kecerdasan Emosional (EQ) Goleman menjelaskan kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk mengenal perasaan kita sendiri dan orang lain, kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri, dan dalam hubungan dengan orang lain (dalam Patton, 2002). Senada dengan hal tersebut, Mustaqim (2001) menyatakan bahwa kecerdasan emosional menunjuk kepada suatu kemampuan untuk memahami perasaan diri sendiri dan perasaan orang lain. Goleman (2001:42-43) menyebutkan terdapat lima unsur kecerdasan emosi, me liputi: (1) Kesadaran diri (self awareness), 102
ISSN : 1829 – 894X
adalah mengetahui apa yang kita rasakan pada suatu saat, dan menggunakannya untuk memandu pengambilan keputusan diri sendiri, memilki tolak ukur yang ralistis atas kemampuan diri dan kepercayaan diri yang kuat; (2) Pengaturan diri (self management), adalah kemampuan menangani emosi sendiri, mengekspresikan serta mengendalikan emosi, memiliki kepekaan terhadap kata hati untuk digunakan dalam hubungan sehari-hari; (3) Motivasi (motivation), adalah kemampuan untuk menggunakan hasrat kita yang paling dalam untuk menggerakkan dan menuntun menuju sasaran, membantu kita mengambil inisiatif dan bertindak secara efektif, serta bertahan untuk menghadapi kegagalan dan frustasi; (4) Empati (empathy) adalah kemampuan merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain, mampu memahami perspektif mereka, menumbuhkan hubungan saling percaya dan menyelaraskan diri dengan orang lain; dan (5) Pengelolaan hubungan (relationship management) adalah kemam puan menangani emosi dengan baik ketika berhubungan dengan orang lain dan dengan cermat membaca situasi dan jaringan sosial. Berdasarkan unsur-unsur tersebut dapat diketahui betapa pentingnya kecerdasan emosional bagi peserta didik. Kecerdasan intelektual bukan merupakan satu-satunya aspek kecerdasan, yang perlu dikembangkan pada peserta didik. Kecerdasan intelektual barulah sebatas kriteria minimal untuk mencapai kesuksesan, namun kecerdasan emosionallah yang sesungguhnya mengantar kesuksesan pada peserta didik. Sebagai ilustrasi, A merupakan siswa pintar di kelas, sedangkan B merupakan siswa sedang di kelas. Suatu ketika A dan B mendapatkan nilai sedang
Suluh Pendidikan, 2013, 11 (2): 98 - 108
pada saat ulangan. A merasa sangat kecewa dan putus asa terhadap hasil yang diperoleh. A meluapkan kekecewaanya dengan mengeluarkan kata-kata kasar dan tidak mau belajar lagi. Di sisi lain B memaknai hasil yang diperoleh sebagai motivasi untuk diperbaiki pada pembelajaran berikutnya. A menjadi terpuruk dan B berangsur-angsur menjadi sukses. Dari ilustrasi tersebut dapat diketahui bahwa tanpa adanya kecerdasan emosional, kecerdasan intelektual yang tinggi tidak akan ada artinya. Kecerdasan Spiritual (SQ) Setelah beberapa lama kecerdasan intelektual (IQ) menjadi primadona, kemudian muncul kecerdasan emosional (EQ) yang diperkenalkan oleh Daniel Goleman. Orang-orang kemudian me nyadari bahwa kesuksesan dapat dicapai apabila ada keseimbangan antara kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional. Kemudian psikolog Zohar dan Marshall memunculkan istilah kecerdasan lain disamping kedua kecerdasan di atas, yaitu kecerdasan spiritual (SQ). Zohar dan Marshal (dalam Agustian, 2001:46) mendefinisikan kecerdasan spiritual sebagai kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna atau nilai, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain. Pengertian lain mengenai kecerdasan spiritual adalah kemampuan untuk memberi makna ibadah terhadap setiap perilaku dan kegiatan melalui langkah-langkah dan pemikiran yang bersifat fitrah (Agustian, 2001:57). Nggermanto (2002:123) mengatakan
ISSN : 1829 – 894X
bahwa sesorang yang memiliki kecerdasan spiritual tinggi adalah orang yang memiliki prinsip dan visi yang kuat, mampu memaknai setiap sisi kehidupan serta mampu mengelola dan bertahan dalam kesulitan dan kesakitan. Dari uraian tersebut, dapat diketahui bahwa kecerdasan spiritual merupakan kecerdasan yang paling utama dalam mententukan kesuksesan peserta didik. Kecerdasan spiritual berperan untuk menggerakkan kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional peserta didik menjadi lebih efektif. Hal senada juga diungkapkan oleh Agustian, (2001:46) kecerdasan spiritual berperan sebagai landasan yang diperlukan untuk memfungsikan kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional secara efektif. Hubungan Kecerdasan Intelektual (IQ), Kecerdasan Emosional (EQ) dan Spiritual (SQ) Pada masanya kecerdasan intelektual merupakan kecerdasan tunggal dari setiap individu, kecerdasan intelektual diyakini menjadi sebuah ukuran standar kecerdasan selama bertahun-tahun. Bahkan hingga hari ini pun masih banyak orang tua yang mengharapkan anak-anaknya terlahir dengan kecerdasan intelektual di atas tingkatan normal (> 100). Dalam perjalanan berikutnya, tidak sedikit orang dengan kecerdasan intelektual tinggi, yang sukses dalam studi, tetapi kurang berhasil dalam karir dan pekerjaan. Dari realitas itu, lalu ada yang menyimpulkan, kecerdasan intelektual penting untuk mendapatkan pekerjaan, tetapi menjadi kurang penting untuk menapak tangga karir. Untuk menapak tangga karir, ada sejumlah unsur lain yang lebih berperan. Misalnya seberapa jauh 103
Suluh Pendidikan, 2013, 11 (2): 98- 108
seseorang bisa bekerja dalam tim, seberapa bisa Ia menghargai perbedaan, dan seberapa luwes Ia berkomunikasi dan menangkap bahasa tubuh orang lain. Kemudian dari berbagai hasil penelitian, telah banyak terbukti bahwa kecerdasan emosi memiliki peran jauh lebih signifikan dibandingkan ke cerdasan intelektual. Kecerdasan inte lektual baru sebatas syarat minimal meraih keberhasilan, namun kecerdasan emosional yang mengantarkan seseorang menuju puncak prestasi. Terbukti banyak orang-orang yang memiliki kecerdasan intelektual tinggi, terpuruk di tengah persaingan. Sebaliknya banyak orang yang kecerdasan intelektualnya biasa-biasa saja, justru sukses menjadi bintang-bintang kinerja, pengusaha-pengusaha sukses, dan pemimpin-pemimpin di berbagai kelompok. Di sinilah kecerdasan emosional membuktikan eksistensinya. Setelah itu, ketika seseorang dengan kemampuan kecerdasan emosional dan kecerdasan intelektualnya berhasil meraih prestasi dan kesuksesan, acapkali orang tersebut diselimuti oleh perasaan kosong dan hampa dalam celah batin kehidupannya. Setelah prestasi puncak telah dipijak, ketika semua pemuasan kebedaan telah diraihnya, setelah uang hasil jerih payah berada dalam genggaman, Ia tak tahu lagi ke mana harus melangkah. Untuk apa semua prestasi itu diraihnya. Di sinilah kecerdasan spiritual muncul untuk melengkapi kecerdasan emosional dan kecerdasan intelektual. Dari ulasan tersebut, jelas kecerdasan spiritual saja tidak dapat menyelesaikan permasalahan yang telah dibahas sebelumnya, karena diperlukan keseimbangan pula dari kecerdasan emosinal dan intelektualnya. 104
ISSN : 1829 – 894X
Jadi IQ, EQ dan SQ pada diri setiap orang, harus dikembangkan secara menyeluruh, proporsional dan seimbang. Pendidikan Karakter Pendidikan karakter merupakan rang kaian pilihan panjang, yang diupayakan untuk mengembangkan ketiga aspek kecerdasaran yang sangat penting bagi setiap individu. Berbagai alasan mendasari mengapa pengembangan IQ, EQ dan SQ secara menyeluruh, proporsional dan seimbang harus ditempuh melalui pendidikan karakter. Berbagai alasan tersebut meliputi: (1) ruang lingkup pendidikan karakter yang terdiri dari olah hati, olah rasa, olah raga dan olah rasa dan karsa, berkesesuaian dengan tujuan pendidikan nasional yang tercantum dalam UU Sisdiknas tahun 2003, yaitu pendidikan tidak hanya mencetak insan Indonesia yang cerdas, namun berkepribadian/ berkarakter; (2) 18 karakter bangsa yang digali dari nilai-nilai luhur bangsa Indonesia sangat bertalian dengan pengembangan IQ, EQ dan SQ; dan (3) Didasari oleh fakta dan pengalaman terdahulu terhadap pengintegrasian IQ, EQ dan SQ melalui mata pelajaran yang dianggap relevan seperti: PKn, Budi Pekerti dan Pendidikan Agama yang hasilnya yang belum efektif. Nilai-nilai karakter bangsa yang hendak ditumbuhkembangkan pada peserta didik hanya diketahui dan dipahami oleh peserta didik, tetapi tidak diimplementasikan dan diinternalisasikan menjadi nilai karakter peserta didik. Menurut Elkind dan Sweet (dalam Zubaedi, 2011:15), pendidikan karakter adalah usaha sadar untuk membantu manusia memahami, peduli tentang, dan melaksanakan nilai-nilai etika keseluruhan.
Suluh Pendidikan, 2013, 11 (2): 98 - 108
Menurut Muchlas Samani dan Hariyanto (2011:46), pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter pada peserta didik yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik kepada Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi insan kamil. Sedangkan menurut Judiani (2010: 282) pendidikan karakter dimaknai sebagai pendidikan yang mengembangkan nilainilai karakter pada peserta didik sehingga mereka memiliki nilai karakter sebagai karakter dirinya, menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan dirinya sebagai anggota masyarakat warga negara yang religius, nasionalis, produktif, dan kreatif. Berdasarkan definisi-definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan karakter merupakan upaya-upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara sis tematis untuk membantu peserta didik memahami, menerapkan nilai-nilai karakter kepada peserta didik, sehingga mereka memiliki nilai-nilai karakter itu. Menurut Kemendiknas (dalam Wibowo, 2012:43-44), nilai-nilai luhur sebagai pondasi karakter bangsa, diantara nya sebagai berikut. (1) Religius; (2) jujur; (3) tolerasi; (4) disiplin; (5) kerja keras; (6) kreatif; (7) mandiri; (8) demokratis; (9) rasa ingin tahu; (10) semangat kebangsaan; (11) cinta tanah air; (12) menghargai prestasi; (13) bersahabat atau komunikatif; (14) cinta damai; (15) gemar membaca; (16) sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upayaupaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi; (17) peduli sosial; dan
ISSN : 1829 – 894X
(18) tanggung jawab. Memperhatikan nilai-nilai luhur tersebut, pendidikan karakter mengambil peran untuk memadukan hard skill (keterampilan teknis), yang bersifat me ngembangkan IQ dan sekaligus me ngembangkan kemampuan soft skill, yang bersifat SQ dan EQ. Hal tersebut dapat dicermati melalui pengelompokkan berikut ini. (1) Pengembangan kecerdasan intelektual tercermin dalam nilai kreatif, rasa ingin tahu dan gemar membaca; (2) Pengembangan kecerdasan emosional tercermin dalam nilai kejujuran, toleransi, disiplin, kerja keras, mandiri, demokratis, bersahabat, cinta damai, peduli lingkungan, peduli sosial dan tanggung jawab; dan (3) Pengembangan kecerdasan spiritual tercermin dalam nilai religius dan menghargai prestasi. Agar implementasi pendidikan ka rakter di sekolah dapat berhasil, maka syarat utama yang harus dipenuhi, diantaranya: (1) teladan dari guru, karyawan, pimpinan sekolah dan para pemangku kebijakan di sekolah; (2) pendidikan karakter dilakukan secara konsisten dan secara terus menerus; dan (3) penanaman nilai-nilai karakter yang utama. Karena semua guru adalah guru pendidikan, maka mereka memiliki kewajiban untuk memasukkan atau menyelipkan nilai-nilai pendidikan karakter dalam kegiatan pembelajarannya. Jadi, tanggung jawab pendidikan karakter tidak hanya tugas guru agama, guru PKn, atau guru-guru yang mengajar tentang moral, tetapi menjadi kewajiban semua guru di sekolah. Nilai-nilai pendidikan karakter juga harus ditumbuhkembangkan melalui kebiasaan kehidupan keseharian di sekolah, melalui budaya sekolah, karena budaya sekolah merupakan kunci dari keberhasilan 105
Suluh Pendidikan, 2013, 11 (2): 98- 108
pendidikan karakter itu sendiri. Kemendiknas (dalam Wibowo, 2012: 72) mengemukakan empat prinsip penting dalam pengembangan pendidikan karakter, yaitu: (1) berkelanjutan, pengembangan karakter merupakan sebuah proses panjang, dalam suatu satuan pendidikan; (2) melalui semua mata pelajaran, pengembangan diri dan budaya sekolah. Proses pengembangan nilai-nilai karakter dilakukan melalui setiap mata pelajaran, dan dalam setiap kegiatan kurikuler dan ekstrakurikuler; (3) nilai tidak diajarkan tetapi dikembangkan. Nilai-nilai itu tidak dijadikan pokok bahasan yang dikemukakan ketika mengajarkan suatu konsep, teori, prosedur ataupun fakta dalam IPA, IPS, matematika dan sebagainya. Materi pelajaran biasa digunakan sebagai bahan atau media untuk mengembangkan nilai-nilai pendidikan karaker yang dapat disispkan dalam pokok bahasan mata pelajaran; dan (4) proses pendidikan dilakukan dengan penekanan agar peserta didik secara aktif dan menyenangkan. Prinsip ini menyatakan bahwa proses pendidikan karakter dilakukan oleh peserta didik bukan guru. Memperhatikan prinsip-prinsip pe ngembangan pendidikan karakter, mengisyaratkan bahwa pendidikan karakter memang merupakan suatu upaya sekaligus jalan yang tepat untuk mengembangkan IQ, EQ dan SQ secara menyeluruh, seimbang dan proporsional. Pelaksanaan pendidikan karakter dalam pembelajaran tidak membutuhkan bahan ajar baru, dimensi kognisi (IQ) peserta didik tetap diasah sebagaimana mestinya. Kemudian, untuk mengasah dimensi afeksi (EQ dan SQ), peserta didik akan dibiasakan untuk menerapkan nilai-nilai karakter melalui aktivitas belajar, seperti: melatih siswa untuk dapat 106
ISSN : 1829 – 894X
bekerja sama dalam tim, kemudian disiplin dalam bekerja, jujur dalam menyampaikan hasil penemuan, bertanggung jawab dan sebagainya. Dengan memenuhi syarat-syarat keberhasilan pendidikan karakter dan mengimplementasikan prinsip-prinsip pengembangan pendidikan karakter secara konsekuen tidak sekedar mencantumkan nilai karakter pada silabus maupun RPP, maka harapan kita untuk mencapai tujuan pendidikan yang sebernarnya selangkah lagi akan terwujud. Peserta didik akan terlahir sebagai insan yang tidak hanya cerdas secara intelektual namun cerdas secara emosional dan spiritual (berkarakter). SIMPULAN Kederdasan intelektual merupakan jenis kecerdasan yang bersifat kognisi, sedangkan kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual merupakan jenis kecerdasan yang bersifat afeksi. Ketiga kecerdasan tersebut saling terkait dan tidak dapat dipisahkan. Kecerdasan intelektual berperan sebagai syarat minimal kesuksesan. Kemudian, kecerdasan emosional berperan untuk membangun ketahanan diri, kemampuan untuk bekerja sama, motivasi diri, pengelolaan diri dan beradaptasi. Terakhir, kecerdasan spiritual berperan sebagai landasan untuk memfungsikan kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional secara efektif. Pendidikan karakter merupakan upaya dan jalan untuk mengembangkan kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual secara menyeluruh, proporsional dan seimbang melalui internalisasi nilai-nilai karakter pada peserta didik. Dengan melaksanakan pendidikan karakter secara konsekuen,
Suluh Pendidikan, 2013, 11 (2): 98 - 108
akan terwujud tujuan pendidikan nasional yang sebenarnya, ditandai dengan lahirnya peserta didik yang cerdas dan berkarakter. Guru dalam melaksanakan pembelajaran, hendaknya konsekuen untuk membiasakan peserta didik untuk menerapkan dan menginternalisasi nilai-nilai karakter, sehingga lambat laun akan menjadi nilai karakter peserta didik sendiri. Kepala sekolah sebagai komando tertinggi di sekolah, hendaknya selalu melakukan monitroring dan pembenahan terhadap guru, karyawan, para pemangku kebijakan di sekolah agar mampu memberikan teladan/ panutan bagi peserta didik. UCAPAN TERIMAKASIH Kepala Perpustakaan Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja atas izin memberikan bantuan berupa peminjaman buku referensi yang berkaitan dengan penulisan makalah ini. Selanjutnya, kepada Drs. I Made Sudiana, M.Si. selaku Ketua Dewan Redaksi Suluh Pendidikan (Jurnal Ilmu-ilmu Pendidikan) yang telah banyak memberikan arahan serta masukan dalam penyusunan dan penerbitan tulisan ini, sehingga layak untuk dimuat.
DAFTAR PUSTAKA Agustian, A.G. 2001, Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual (ESQ), Arga Jakarta: Wijaya Persada. Anastasi, A. dan Urbina, S. 1997. Tes Psikologi (Psychological Testing). Jakarta: PT. Prehanllindo. Elfindari, dkk. 2012. Pendidikan Karakter: Kerangka, Metode dan Aplikasi untuk Pendidik dan Profesional. Jakarta: Baduose Media.
ISSN : 1829 – 894X
Mengapa Emotional Intelligence Lebih Tinggi daripada IQ, Alih Bahasa: T. Hermay. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Judiani,S.ImplementasiPendidikanKarakter di Sekolah Dasar melalui Penguatan Pelaksanaan Kurikulum, dalam jurnal pendidikan dan kebudayaan. Jakarta: balitbang kemdiknas, vol. 16 edisi khusus III, Oktober 2010. Nggermanto, A. 2002. Quantum Quotient (Kecerdasan Quantum): Cara Tepat Melejitkan IQ, EQ, dan SQ Secara Harmonis. Bandung: Nuansa. Okezone.com 2012. Pelajar Terkena Sabetan Gir Saat Tawuran. Tersedia pada:http://jakarta.okezone.com/ read/2012/11/06/501/714559/pelajarterkena-sabetan-gir-saat-tawuran. (diakses tanggal 1 Juni 2013). Patton, P. 1998. Kecerdasan Emosional di Tempat Kerja. Alih Bahasa: Zaini Dahlan. Jakarta: Pustaka Delaprata. Republika.co.id. 2012. Inilah Kronologis Peristiwa Penusukan Sesama Siswa SD Tersedia pada: http://www. republika.co.id/berita/nasional/ hukum/12/02/18/lzk9m5-inilahkronologis-peristiwa-penusukansesama-siswa-sd. (diakses tanggal 1 Juni 2013). Samani, M. dan Hariyanto. (2011). Konsep dan Model Pendidikan Karakter. Bandung: PT. Remaja Rosadakarya. tersedia pada:http://daerah.sindonews. com/read/2012/08/05/23/663206/ lima-pelajar-smk-perkosa-temannya. (diakses tanggal 1 Juni 2013). Suryabrata, S. 1998. Pembimbing Ke Psikodiagnostik II, Yogyakarta: Rake Sarasin. Wibowo, S. 2012. Pendidikan Karakter: Strategi Membangun Karakter Bangsa Berperadaban. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Zubaedi. 2011. Desain Pendidikan Karakter: Konsepsi dan Aplikasinya dalam Dunia Pendidikan. Jakarta: Kencana.
Goleman, D. 2000. Kecerdasan Emosi: 107
Suluh Pendidikan, 2013, 11 (2): 108- 116
ISSN : 1829 – 894X
SINETRON SEBAGAI BAHAN AJAR PEMBELAJARAN SASTRA BERBASIS TEKNOLOGI INFORMASI: SUATU KAJIAN PUSTAKA I Nyoman Suaka Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni, IKIP Saraswati Tabanan ABSTRACT This paper aims to reveal that television as an important element in the formation of postmodern culture . Postmodern era is characterized among other things by the growing influence of technology on the arts , including literature . At first literature only conveyed orally , then shifted by literary print media . Now the electronic literary soap operas on television like a very broad impact on students . Several approaches can help students master the negative impact of the TV show , reader -oriented theory . This theory departs from the belief that a work of fiction not only turned on by the reader ‘s imagination and reasoning . Reasoning in reading the text of the soap opera , the dominant reading , reading and negotiated appositional reading . Guide to watching soap operas in the violent scenes can be done with the following steps . First Instance , the children can dimita to examine , why is the main character in the soap opera stretcher to bear to commit acts of violence . Second , the children were trained to fight with the film discusses how the character incompatibility behavior to be applied to real life . Third , the children asked , is it possible we compromise (negotiated) with the behavior. Through the three stages sinetron can be used as teaching material for appreciative towards learning literature . Keywords : Literature, soaps opera, teaching materials ABSTRAK Tulisan ini bertujuan untuk mengungkapkan bahwa televisi sebagai unsur penting dalam pembentukan budaya pascamodern. Era pascamodern ditandai antara lain oleh meningkatnya pengaruh teknologi terhadap dunia seni, termasuk sastra. Pada mulanya sastra hanya disampaikan secara oral, kemudian digeser oleh sastra media cetak. Kini sastra elektronik lewat televisi seperti sinetron sangat luas pengaruhnya pada anak didik. Beberapa pendekatan yang dapat membantu anak didik menguasai dampak negatif tayangan TV yakni, reader oriented theory. Teori ini berangkat dari keyakinan bahwa sebuah karya fiksi tidak hanya dihidupkan oleh imajinasi dan penalaran pembaca. Penalaran dalam membaca teks sinetron yakni, dominant reading, appositional reading dan negotiated reading. Panduan untuk menonton tayangan sinetron dalam adegan kekerasan dapat dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut. Petama, anak-anak dapat dimita untuk menelaah, mengapa tokoh utama dalam sinetron terebut sampai tega melakukan tindakan kekerasan. Kedua, anak-anak dilatih untuk melawan film tersebut dengan mediskusikan, betapa tidak sesuainya prilaku tokoh itu untuk diterapkan pada kehidupan nyata. Ketiga, kepada anak-anak ditanyakan, apakah mungkin kita berkompromi (negotiated) dengan prilaku tersebut. Melalui tiga tahapan tersebut sienteron dapat dijadikan sebagai bahan ajar untuk menuju pembelajaran sastra yang apresiatif. Kata kunci: Sastra, sinetron, bahan ajar
108
Suluh Pendidikan, 2013, 11 (2): 108 - 116
PENDAHULUAN Kemajuan teknologi informasi membawa dampak positif bagi kemajuan dunia pendidikan. Keunggulan yang ditawarkan bukan saja terletak pada faktor kecepatan untuk mendapatkan informasi namun juga fasilitas multimedia yang dapat membuat belajar lebih menarik, visual dan interaktif. Dengan adanya perkembangan tersebut, maka proses pembelajaran tradisional konvensional yang terjadi dalam ruangan kelas pada era desentralisasi dan globalisasi ini pelan namun pasti akan mengalami perubahan bentuk. Berbagai teknologi dan aplikasi tercipta dalam mendukung kegiatan belajar mengajar. Dalam konteks yang lebih luas, teknologi informasi merangkum se mua aspek yang berhubungan dengan mesin komputer dan komunikasi serta teknik yang digunakan untuk menang kap, mengumpulkan, menyimpan, mema nipulasi, mengantar dan mempersembahkan suatu bentuk informasi. Komputer yang mengendalikan semua bentuk ide dan informasi memainkan peranan yang sangat penting (Munir dalam Sa’ud, 2009:1983). Teknologi informasi dan komunikasi yang sangat memasyarakat adalah televisi. Hampir semua rumah tangga di Indonesia memiliki pesawat televisi. Jumlah stasiun televisi di tanah air terus meningkat, terutama stasiun televisi lokal. Menu siarannya sangat variatif dengan jam siaran dari pagi sampai larut malam bahkan banyak tv nasional yang bersiaran 24 jam penuh setiap hari. Kalau dicermati dengan seksama, menu-menu siaran tersebut sangat menarik untuk dijadikan sumber belajar. Akan tetapi, peluang tersebut jarang dimanfaatkan oleh para guru dan
ISSN : 1829 – 894X
siswa padahal informasi yang ditayangkan di televisi dapat dijadikan bahan ajar, terutama dalam mata pelajaran bahasa Indonesia tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA). Permasalahan lain, seringkali tele visi dinilai mengganggu aktivitas belajar para siswa. Dengan siaran yang menarik, para siswa akhirnya lupa akan tugas-tugas belajar karena lebih sering berada di depan televisi dibandingkan membaca buku dan menyelesaikan tugas-tugas sekolahnya di rumah. Televisi membuat para siswa malas dan manja untuk belajar, apalagi menonton sinetron (sinema elektronika). Tayangan sinetron di televisi banyak mengambil latar percintaan di kalangan anak muda sebaya SMA. Penampilan para artis dan aktor yang canik, tampan, gagah, kaya, pakai mobil mewah sangat digandrungi oleh anak-anak muda. Tayangan seperti ini dapat mempengaruhi sikap dan mental para siswa yang ingin hidup mewah tanpa bersusah payah seperti dalam sinetron. Walaupun demikian, di sisi lain sinetron seperti ini perlu diapresiasi oleh para guru, orang tua dan siswa untuk dijadikan bahan ajar dalam mendukug pembelajaran sastra Indonesia. TINJAUAN PUSTAKA Klapper dalam tulisannya mengenai The Social Effect of Man Communications, mengemukakan bahwa setiap manusia yang hidup ditengah-tengah masyarakat, lembaga-lembaga sosial adalah subjek berbagai pengaruh termasuk mass com munications (pers, film, radio, dan televisi). Walaupun demikian, Klapper melaporkan hasil penelitiannya bahwa, media massa bukanlah agen f change 109
Suluh Pendidikan, 2013, 11 (2): 108- 116
dari pendapat dan sikap yang sudah ada pada audience, terutama bila hal itu sudah berurat-akar. Oleh karena itu, Klapper menegaskan pendapatnya bahwa media massa tidak mempunyai begitu kekuatan untuk merubah dan membentuk pendapat dan sikap. Media massa pengaruhnya lebih brsifat memperkuat pendapat, padangan dan sikap yang sudah ada (Suhandang, 1973:105-107). Menurut Jakob (1991:91), manusia makin dibebani oleh informasi yang diterimanya bertubi-tubi, baik disukai maupun tidak. Informasi datang terus menerus tanpa sempat dipilih, apalagi diproses. Sebaiknya dia lebih sukar menyampaikan informasi kepada pihak lain atau orang ramai. Televisi menjadi pusat kehidupan keluarga dan informasi yang diterima hanya dapat dipilih sampai batas tertentu. Semua mata dan perhatian ditujukan ke arah TV dan penggunaan waktu ditentukan oleh acara TV. Birokrasi dapat mengatur acara TV, tetapi tidak berdaya terhadap ruahan pesan dari TV atau negara tetangga atau negara lain yang jauh. Daya khayal menjadi kurang berkembang, karena televisi memberi gambaraan siapsuap. Pernyataan sedikit berbeda dari Klapper diungkapkan oleh Adhitama, penyiar senior TVRI, bahwa media massa umumnya termasuk media elektronik banyak mempengaruhi sikap dan tingkah laku masyarakat, lebih-lebih kalau jangkauan siaran itu demikan luas. Mutu kebudayaan dapat ditingkatkan atau sebaliknya dirusak olehnya (1983:303). Jameson pakar teori budaya populer menyebutkan, televisi sebagai unsur penting dalam pembentukan budaya pascamodern. 110
ISSN : 1829 – 894X
Era pascamodern ditandai antara lain oleh membesarnya pengaruh teknologi terhadap dunia seni, termasuk sastra. Pada mulanya sastra hanya disampaikan secara oral, digeser oleh sastra media cetak. Kini sastra elektronik lewat televisi mulai meluas pengaruhnya dengan kehadiran antena parabola dan satelit komunikasi (Kompas Minggu, 30 Mei 1993). Dalam teori kritik aliran pos modernisme dikenal beberapa pendekatan yang dapat membantu anak didik menguasai dampak negatif tayangan TV yakni, reader oriented theory. Teori ini berangkat dari keyakinan bahwa sebuah karya fiksi tidak hanya dihidupkan oleh imajinasi dan penalaran pembaca. Sehubungan dengan hal tersebut, John Fiske (dalam Wardoyo) dalam bukunya, Television Culture menyarankan tiga tahap yang patut dilaksanakan dalam membaca teks yakni, dominant reading, appositional reading, dan negotiated reading. Tahapan teori tersebut dapat di jadikan panduan untuk menonton tayangan sinetron adegan kekerasan dengan langkahlangkah sebagai berikut. Petama, anak-anak dapat dimita untuk menelaaah, mengapa tokoh utama dalam sinetron terebut sampai tega melakukan tindakan kekerasan? Kedua, anak-anak dilatih untuk melawan film tersebut dengan mediskusikan, betapa tidak sesuainya prilaku tokoh itu untuk diterapkan pada kehidupan nyata. Ketiga, kpada anak-anak ditanyakan, apakah mungkin kita berkompromi (negotiated) dengan prilaku tersebut? Televisi sebagai media pendidikan telah diakui secara luas oleh para pakar pendidikan karena tekevisi sebagai alat peraga dalam memperlancar proses
Suluh Pendidikan, 2013, 11 (2): 108 - 116
pembelajaran. Natawijaya (1979:217) mengatakan, TV dapat digunakan se bagai sumber belajar dengan beberapa keuntungan: 1. TV merupakan alat yang dapat menarik perhatian anak-anak. 2. Siaran TV umumnya sangat realistis terutama yang diambil dari kehidupan masyarakat dalam film. 3. Bersifat langsung dan banyak kejadian-kejadian mutakhir yang dapat disajikan. 4. TV dapat meningkatkan kemampuan guru dalam mengajar. Berangkat dari keuntungan-ke untungan tersebut dan tinjauan pusataka di atas, maka pembahasan dalam karya tulis ini akan difokuskan pada tayangan sinetron, sebab sinetron merupakan film televisi. Cerita sinetron tersebut merupakan karya sastra yang diauidovisualkan yang sering mendapat tanggapan pro dan kontra di hati pemirsa. Pembelajaran sastra Indonesia kurang menarik karena bersifat kognitif. Di sisi lain, sinetron banyak mengambil latar cerita tentang kehidupan anak-anak SMA/SMK sehingga menarik dijadikan bahan ajar utuk mendukung pembelajaran sastra Indonesia. PEMBAHASAN Kekhawatiran para orang tua dan guru tentang dampak negatif tayangan sinetron menjadi perhatian para pemegang kebijakan. Beberapa instansi pemerintah seperti Kanwil Depdikbud pernah mengeluarkan instruksi untuk menghindari dampak buruk tayangan televisi. Menyimak pemberitaan media masa baik pusat maupun daerah, sekitar tahun 1986 banyak
ISSN : 1829 – 894X
instansi yang mengeluarkan instruksi jam belajar. Kanwil Depdikbud Sumatera Barat pernah menyerukan agar orang tua berani mematikan pesawat televisi antara pukul 19.30 sampai pukul 21.30 setiap malam. Pada jam-jam seperti itulah biasanya paket tayangan TV swasta amat menarik sehingga memikat perhatian anak dan pelajar (Suaka, 2004:83). Lain di Sumatera Barat, lain pula di Lampung .Gubernur Lampung waktu itu langsung menginstruksikan kepada bawahannya dan masyarakat luas tentang JBA (Jam Belajar Anak). Instruksi tersebut berisi anjuran agar para orang tua dengan disiplin dapat mengarahkan, membimbing, dan mengawasi putra-putrinya untuk menggunakan waktu belajar dari pukul 19.30 sampai pukul 21.30 setiap malam. Hal ini dimaksudkan untuk memacu budaya belajar agar menjadi kebiasaan yang baku. Seruan Gubernur Lampung tertanggal 15 Juli 1996 ini bertujuan supaya ancaman yang mengganggu konsentrasi siswa belajar dapat dihindari dengan mematikan pesawat TV. Bagaimanakah hasilnya? Apakah orang tua seketika mematikan pesawat TVnya. Hasilnya kurang memuaskan. Sebab instruksi Gubernur Lampung yang digodok berdasarkan usulan Kanwil Depdikbud kurang disosialisasikan di tengah-tengah masyarakat, sehingga tak bisa dilaksanakan oleh para orang tua. Mereka tetap saja memutar pesawatnya pada saat anak anak seharusnya belajar. Sehubungan dengan hal tersebut, di Provinsi Jawa Timur sempat muncul pendapat pro dan kontra dengan aturan mematikan TV pada jam belajar anak. Akan tetapi, dengan niat yang baik dan tujuan 111
Suluh Pendidikan, 2013, 11 (2): 108- 116
yang mulia demi peningkatan kualitas sumber daya manusia, Pemda setempat dikabarkan terus maju pantang mundur. Di Bali, tidak terdengar adanya instruksi seperti itu. Namun, Kakanwil Depdikbud waktu itu, Berata Subawa sudah sering menghimbau agar para orang tua mengasuh anak-anaknya saat menonton acara televisi. Mana yang layak mereka tonton dan mana yang tidak pantas. Memperhatikan gebrakan para pejabat diatas, tentu sangat tidak diinginkan oleh para pengelola stasiun televisi. Sebab, mereka ingin menjaring pemirsa sebanyakbanyaknya dan seluas luasnya dengan menghadirkan mata acara yang menarik. Dalam bentuk iklan layanan masyarakat, salah satu stasiun televisi sering meng himbau agar orang tua mendampingi anak anaknya saat menonton. Iklan layanan tersebut kurang lebih berbunyi: ...Dampingi Putra-putri anda saat menonton televisi. Berilah penjelasan sehubungan dengan acara yang disaksikannya. PERAN ORANG TUA Maksud baik dan bijak pengelola TV tersebut, patutnya dihargai oleh para orang tua. Bukan dengan jalan menekan tombol supaya TV mati, hanya untuk memenuhi instruksi pejabat. Banyak juga orang tua yang enggan dan malas menjelaskan tayangan TV, padahal putranya bertanya sehubungan acara yang ditontonya. Antar anak dan orang tua justru sering ribut dalam menentukan dan memilih acara karena memiliki kesenangan yang berbeda. Orang tua tidak mau kalah. Wujud kekalahan itu, terpaksa digantikan dengan membeli pesawat TV baru sehingga sekarang, banyak rumah tangga yang memiliki TV 112
ISSN : 1829 – 894X
lebih dari satu. Terkait dengan keterlibatan orang tua saat anak menonton acara televisi, harian Kompas belum lama ini mengadakan survei tentang masalah tersebut. Dari 900 orang tua yang disurvei, ternyata 37,8 persen yang membiarkan anak-anaknya menonton, 27,4 persen kadang-kadang membiarkan anaknya menonton dan 34,8 persen orang tua mengatur anaknya menonton. Hasil survei itu juga menunjukkan bahwa anakanaknya suka menonton TV baik film khusus anak-anak maupun film untuk orang dewasa. Apa yang ditontonnya itu tidak mudah lenyap dari ingatannya. Mulai dari hal-hal yang lucu sampai yang bersifat sadisitis dan brutal. Berdasarkan hasil survei tersebut, peran orang tua perlu ditingkatkan lagi untuk mencegah dampak buruk tayangan “kotak ajaib” itu tidak saja sekedar menjelaskan tayangan itu, tetapi juga mendiskusikan bersama putra-putrinya. Misalnya, adegan kekerasan di TV. Diskusi dapat dilakukan dengan, pertama, anak-anak dapat di minta untuk memperhatikan, mengapa tokoh utama dalam film tersebut sampai melakukan tindakan kekerasan. Kedua anak-anak dilatih untuk mendiskusikan dan melawan karakter tokoh tersebut, betapa tidak sesuainya perilaku tokoh tersebut dengan kehidupan nyata. Ketiga, kepada anak anak ditanyakan, apakah mungkin kita menyetujui perilaku jahat seperti itu. Media televisi diharapkan mampu memberikan tontonan sekaligus tuntunan kepada anak-anak. Fugsi tuntunan yang bersifat mendidik ini, tidak bisa dicerna oleh anak-anak sehingga perlu didampingi oleh orang tua. Dengan demikian, tayangan televisi yang banyak digembar-gemborkan
Suluh Pendidikan, 2013, 11 (2): 108 - 116
berdampak buruk terhadap anak-anak, ternyata di sisi lain banyak manfaat positifnya. Paling tidak, anak-anak akan bertambah pengetahuan dan wawasannya, bersikap lebih kritis berdaya apresiasi, dan fantasi. Semua itu merupakan sesuatu yang mahal nilainya bagi anak-anak untuk bekal menapaki masa depannya. BAHAN AJAR ALTERNATIF Penayangan program sinetron di televisi sering mendapat sorotan dari pemirsanya karena dinilai kurang mendidik dan melanggar etika kesopanan. Sinetron tentang pendidikan sempat dikeluhkan oleh Yos Mare yang beralamat di Perumnas Monang-maning Denpasar Barat dalam kolom “Surat Pembaca” yang dimuat Bali Post, Rabu 30 Oktober 2002. Mare sangat kesal dengan sinetron sekolah, seperti “Pernikahan Dini”, “Gadis Penakluk”, “Cinta SMU”, dan lainnya. Mulai dari cara berpakaian, tubuh bertato dan sikap ugal-ugalan siswa yang sangat tidak sesuai dengan dunia pendidikan, ditampilkan dalam sinetron itu. Terlepas dari kritik terhadap penataan artistik sinetron tersebut, sebenarnya tayangan seperti itu dapat dijadikan media pengajaran sastra. Tulisan ini tidak ingin memperpanjang “Surat Pembaca” tersebut karena memang demikian adanya. Penulis ingin melihat bahwa tayangan sinetron itu sebenarnya sangat membantu guru bahasa dan sastra Indonesia di sekolahsekolah. Pengajaran sastra yang begitu lesu bisa dibangkitkan dengan mengimbau siswa agar menonton sinetron di televisi. Imbauan ini, akan disambut gembira oleh peserta didik karena mereka kesehariannya sudah terbiasa lama-lama di depan pesawat
ISSN : 1829 – 894X
televisi. Dalam pembelajaran sastra terdapat hal-hal yang prinsip yang harus diajarkan guru, seperti alur cerita, konflik tokoh, latar cerita, tema, amanat, dan gaya bahasa. Selain memahami materi-materi tersebut secara teoritis, siswa setingkat SMU diharapkan memahami secara analitis. Untuk itu, guru sastra dapat memancing siswa untuk menceritakan sinetron “Pernikahan Dini”, “Cinta SMU”’ dan “Gadis Penakluk” yang ditonton siswa. Berawal dari sini guru bisa melanjutkan dengan pertanyaanpertanyaan lain, seperti siapa pelaku cerita, bagaimana konflik antartokoh, konflik batin tokoh itu sendiri, dimana cerita itu terjadi, bagaimana alur ceritanya, apa tema serta amanat sinetron tersebut, dan banyak pertanyaan lainnya. Pertanyaan-pertanyaan di atas dapat mengarahkan siswa sesuai konsep CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif). Dalam kurikulum yang berbasis kompetensi, konsep CBSA masih relevan untuk ditetapkan. Dengan bimbingan guru, para siswa dapat berdiskusi serius terhadap pokok pembicaraan dalam sinetron. Misalnya, ketika membahas tentang alur dan tokoh cerita, guru sastra dapat menjelaskan bagaimana tokoh Gunawan dan Dini, serta tokoh ibu dan bapak mereka yang mereka tonton dalam sinetron “Pernikahan Dini” tersebut. Selain itu, guru juga dapat menjelaskan tentang macam-macm tokoh baik protagonis, tokoh figuran, karakter tokoh,dan penggambaran tokoh. Demikian juga untuk membicarakan alur cerita dan jenis-jenis alur. Hakikat belajar sastra adalah mengakrabi karya sastra jika dikaitkan dengan hakikat belajar itu yang apresiatif 113
Suluh Pendidikan, 2013, 11 (2): 108- 116
dengan karya sastra, program sinetron bisa menjadi alternatif yang baik untuk belajar sastra. Selain hemat juga mudah karena setiap hari tayangan sinetron pasti muncul di televisi. Menonton sinetron ini bukan hal yang prioritas, melainkan hanya sebagai alternatif media pengajaran sasstra sebab yang jauh lebih penting adalah siswa membaca karya sastra itu sendiri. Mengingat budaya baca siswa di tanah air sangat rendah, kegiatan menonton sinetron dapat membantu tugas guru sastra di sekolah. PEMBELAJARAN SASTRA INDONESIA Cerita sinetron berlatar Siswa SMA yang disinggung diatas merupakan cerita rekaan baru. Ditahun 1993 sampai 1996 bayak produser dan sutradara mengambil karya sastra roman dijadikan sinetron. Sebut saja roman Siti Nurbaya, Sengsara Membawa Nikmat, Salah Asuhan, dan Sukreni Gadis Bali. Roman-roman ini merupakan bacaan wajib siswa di sekolah dalam pengajaran sastra. Produksi sinetron ini pun mendapat dukungan dari Pemda setempat yang dijadikan latar cerita sinetron tersebut. Departemen Penerangan (kini di likuidasi) ketika itu memberi andil yang besar untuk membangkitkan khazanah kebudayaan melalui penayangan sinetron yang diangkat dari karya sastra. Pemda Sumatera Barat dikabarkan memberikan dana sebesar Rp 40 juta untuk menyukseskan produksi sinetron “Salah Asuhan” dana sejumlah itu amat besar saat itu. Berkat dukungan sutradara Ami Prijono,aktor Dolly Marten, aktris Ida Iasha, Shanas Haque, dan Pemda Sumbar, sinetron “Salah 114
ISSN : 1829 – 894X
Asuhan” meraih prestasi sebagai sinetron terbaik dalan Festival Sinetron Indonesia Tahun 1994 (Suaka, 2004:87). Sinetron yang berasal dari roman atau novel ini tentu lebih meringankan lagi tugas guru sastra. Bahkan banyak siswa belum membaca roman itu, akhirnya mengetahui melalui tayangan sisnetron. Kalau saja keduanya dapat dilakukan, membaca romannya dan menonton sinetronnya, apresiasi sastra siswa akan menjadi lebih utuh. Sayanganya tayangantayangan sinetron di era reformasi sekarang ini, hampir tidak ada mengangkat hasil kesusastraan Indonesia. Banyak buku roman, novel, dan drama yang beredar di pasaran sangat layak dijadikan sinetron untuk mengulang kesuksesan sinetron “ Salah Asuhan”, “Siti Nurbaya”, “Sengsara Membawa Nikmat”, dan lain-lain. Produser tidak perlu lagi mengeluarkan biaya yang mahal untuk membeli naskah sinetron karena ceritanya sudah tersedia dalam bentuk buku. Usaha seperti itu akan memberikan manfaat yang cukup positif. Secara tidak langsung sinetron tersebut akan menggairahkan pembelajaran sastra di ruang kelas. Televisi yang sering dijadikaan kambing hitam bagi menurunnya prestasi belajar siswa, justru dapt dijadikan media yang komunikatif untuk tumbuhnya apresiasi sastra siswa. Suasana komunikatif dalam pembelajaran sastra dikelas jarang sekali terjadi. Yang sering terjadi adalah proses belajar mengajar satu arah yang sifatnya monoton dari guru ke siswa saja. Kondisi ini sudah berlangsung sejak lama dan berlarut-larut sehingga melahirkan kejenuhan siswa di kelas. Untuk mencairkan suasana itu,
Suluh Pendidikan, 2013, 11 (2): 108 - 116
guru dapat mengalihkan perhatian siswa dengan tayangan sinetron. Siswa akan lebih responsif karena apa yang diajarkan guru bersinggungan dengan hiburan yang dinikmatinya di rumah. Penggunaan tayangan televisi sebagai alterntif pengajaran sastra, tentu saja membawa konsekuensi bagi guru. Guru sastra harus mengorbankan waktunya ikut serta menikmati tayangan sinetron. Tidak cukup itu saja, guru sastra juga harus membuat catatan-catatan kecil yang berkaitan dengan sinetron tersebut. Catatan-catatan ringan ini kemudian harus dihubungkan dengan materi yang akan diajarkan di kelas. Mengingat semaraknya tayangan sinetron, guru dan siswa harus membuat kesepakatan terlebih dahulu. Sinetron apa?, ditayangkan di stasiun TV mana?, jam berapa penayangannya?, dan kesepakatan lainnya. Dengan demikian, setelah mereka bertemu di ruang kelas, semua sudah siap menghadapi proses pembelajaran. Untuk guru bahasa dan sastra Indonesia, harus konsisten dengan kesepatakan yang telah dibuat sebelumnya dengan para siswa. Di luar sinetron yang ditayangankan televisi, bahan ajar sinetron dalam bentuk CD/DVD juga banyak terdapat di pasaran. Dengan demikian tidak diperlukan lagi kesepakatan, karena guru dapat mengisi jam-jam pelajaran bahasa dan sastra Indonesia dengan suasana kelas yang aktif, inovatif, kreatif dan menyenangkan. Tayangan sinetron dapat diputar di dalam kelas sehngga kosentrasi belajar siswa akan meningkat karena disuguhkan cerita yang visualisasianya menarik, sebagai pengganti gurunya bercerita. Apresiasi yang dapat dilakukan dengan menyimak secara baik, memberikan tanggapan atau
ISSN : 1829 – 894X
komentar terhadap tayangan tersebut serta menolak atau menyetujui tentang cerita yang disajikan. Terkait dengan teori sastra, guru dapat mengajukan pertanyaan tentang unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik pada cerita sinetron tersebut. SIMPULAN Pemanfaatan teknologi informasi baik sebagai sumber belajar maupun media pembelajaran merupakan salah satu cara yang diharapkan efektif menanggulangi kelemahan pembelajaran yang masih bersifat konvensinal. Dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indoensia di tingkat SMA, pemanfaatan tayangan sinetron televisi akan menimbulkan interaksi pembelajaran yang aktif, kreatif dan menyenangkan antara guru dengan siswa. Melalui interaksi tersebut akan mendukung pembelajaran sastra yang bersifat apresiatif. Guru dengan siswa dapat membuat kesepakatan untuk menonton sinetron yang sama di rumah masing-masing kemudian dibahas dan didsikusikan di ruang kelas keesokannya. Selain itu, kaset sinetron dalam bentuk CD/ DVD yang dapat dibeli dipasaran untuk diputar di kelas sebagai bahan ajar yang menarik bagi para siswa. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih ditujukan kepada Prof. Dr. I Made Candiasa, MI. Kom dan Prof. Drs. I Wayan Subagia, M.App.Sc. Ph.D. keduanya dosen Undiksha Singaraja yang telah memberikan inspirasi kepada penulis tentang bahan dan media pembelajaran. Ucapan yang sama juga ditujukan kepada Kepala Pusat Penelitian IKIP Saraswati Tabanan, Drs. I Made Sudiana, M.Si yang telah mengoreksi artikel ini sehingga layak 115
Suluh Pendidikan, 2013, 11 (2): 108- 116
dimuat. DAFTAR PUSTAKA Adhitama, Toeti. 1983. “Ragam Lisan Lewat Radio dan Televisi,” Dalam Kongres Bahasa Indonesia III. Jakarta : Depdikbud. Bali Post. 2002. ”Surat Pembaca”. 30 Oktober. Fiske, John. 2011. Understanding Popular Culture. Diterjemahkan Mahyudin. Yogjakarta : Jalasutra. Moeis, Abdoel. 1995. Salah Asuhan. Jakarta : Balai Pustaka. Rusli, Marah. 2008. Sitti Nurbaya. Jakarta : Balai Pustaka. Natawijaya, Rochman (ed.) 1979. Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum Alat Peraaga dan
116
ISSN : 1829 – 894X
Komunikasi Pendidikan. Jakarta : Depdikbud. Sati, Tulis Sutan. 2002. Sengsara Membawa Nikmat. Jakarta : Balai Pustaka. Suhandang, Kustadi. 1973. Public Relatios Perusahaan. Bandung : Karya Nusantara. Suaka, I.N. 2013. Sastra Sinetron dalam Ideologi Budaya Populer. Denpasar : Udayana University Press. Suaka, I.N. 2004. Dinamika Kesusastraan Indonesia. Denpasar : Pusat Bahasa dan Balai Bahasa. Susilana, Rudi dan Cepi Riyana. 2007. Media Pembelajaran. Bandung : Wacana Prima. Wardoyo, Subur. 1993. “Guru Sastra sebagai Penangkal Dampak TV”. Kompas, 30 Mei. Jakarta.
PEDOMAN PENGIRIMAN NASKAH 1. 2. 3.
4. 5. 6. 7. 8.
9. 10. 11. 12. 13.
Naskah dapat berupa hasil penelitian atau kajian pustaka yang belum pernah dipublikasikan. Naskah dikirim ke Drs. I Made Sudiana, M.Si (FP MIPA IKIP Saraswati Tabanan) atau dapat dikirim lewat pos ke PUSLIT IKIP Saraswati Tabanan, Jalan Pahlawan No. 2 Tabanan 82113 Bali. Naskah diketik satu setengah spasi, kecuali abstrak, tabel, keterangan gambar, histogram dan kepustakaan diketik dalam satu spasi dengan batas 3,5 cm dari kiri, 3 cm masing-masing dari atas, kanan dan bawah tepi kertas. Naskah maksimum 12 halaman A4, diketik dalam program Microsoft Word for Windows huruf Time New Roman ukuran 12. Sebanyak dua eksemplar naskah cetak dan soft copy (CD) yang memuat berkas naskah tersebut diserahkan kepada Redaksi Pelaksana. Ilustrasi yang berupa grafik, gambar atau foto yang tidak masuk dalam berkas CD harus ditempel pada tempatnya dalam naskah cetak. Naskah yang ditulis dalam bahasa Indonesia menggunakan abstrak yang ditulis dalam bahasa Inggris. Sebaliknya naskah yang ditulis dalam bahasa Inggris menggunakan abstrak dalam bahasa Indonesia. Abstrak tidak lebih dari 400 kata. Pada pojok kiri bawah dari abstrak ditulis kata kunci (key words) tidak lebih dari 5 kata. Judul singkat (tidak lebih dari 12 kata), jelas, informatif dan ditulis dengan huruf kapital kecuali nama ilmiah. Untuk kajian pustaka (review) dibelakang judul ditulis: Suatu Kajian Pustaka. Nama penulis tanpa gelar, alamat dan instansi penulis ditulis lengkap. Susunan naskah hasil penelitian terdiri dari judul (title), nama penulis (author), alamat penulis (address), abstrak (abstract), pendahuluan (introduction), metode penelitian (research methods), hasil (results), pembahasan (discussion), simpulan (conclusion), ucapan terima kasih (acknowledgements), dan kepustakaan (literate cited). Naskah kajian pustaka terdiri atas judul, nama penulis, alamat penulis, abstrak, pendahuluan, pembahasan, simpulan (conclusion), ucapan terima kasih, dan kepustakaan. Setiap alenia baru diketik mundur tiga ketukan. Setiap tabel, grafik, histogram, sketsa dan gambar (foto) diberi nomor urut, judul singkat dan jelas, dibuat pada satu halaman (tidak terpotong). Hasil yang ditulis dalam tabel tidak perlu diulang dalam bentuk lainnya (misalnya histogram atau grafik). Dalam tata nama (nomeklatur) dan tata istilah, penulis harus mengikuti cara penulisan yang baku. Untuk istilah asing ditulis miring kecuali abstrak. Dalam mengutip pendapat orang lain dipakai sistem Nama-Tahun. Contoh kutipan langsung, Lansing et al. (2002:3); kutipan tidak langsung: Lansing et al. (2003). Kepustakaan ditulis menurut sistem Nama-Tahun dan disusun berdasarkan abjad. Berikut ini beberapa contoh penulisan pustaka. a. Abstrak Darnaedi D. 1991. Rheofite di sepanjang sungai Mahakam, Kalimantan Timur, abstrak.244, hlm.122. Di dalam Seminar Ilmiah dan Kongres Nasional Biologi X. 1991. Perhimpunan Biologi Indonesia dan Pusat antar Universitas Hayati, IPB, Bogor. b. Buku Auderisk T. and G Auderisk. 1999. Biology, Life on Earth. Ke-5.Edition. Printice Hall, New Jersey. c. Buku Terjemahan Mackinnon M. 1991. Panduan Lapangan Pengenalan Burung-burung di Jawa dan Bali (terjemahan). Ed. Ke-2. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. d. Disertasi, Tesis, dan Skripsi Wiguna IWAA. 2002. Kontribusi system usahatani padi sawah terhadap pengkayaan hara nitrogen, fosfor, dan kalium aliran permukaan pada ekosistem subak di Bali. Kasus daerah aliran sungai Yeh Sungi di Tabanan Bali. Disertasi (S3) pada PPs-IPB, Bogor. e. Hasil penelitian yang dipublikasikan tetapi belum terbit Surata SPK. Persepsi guru sekolah dasar terhadap subak sebagai model pendidikan lingkungan di Bali, submitted (belum disetujui redaksi). Surata SPK. Haemotological indices studies in four subpopulation of Java Sparrow (Pada oryzivora L.). Biota, in press. (sudah disetujui redaksi). f. Penelitian yang sudah dipublikasikan Jacobson SK. 1991. Profile evaluation model for developing, implementing, and assessing conservation education programs; examples from Belize and Costa Rika. Environmental Management, 15 (2):143-150. g. Kamus Depdikbud. 1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Ed. Ke-2. Balai Pustaka, Jakarta. h. Prosiding Surata SPK. 2003. Budaya padi dalam subak sebagai model pendidikan lingkungan, hlm.81-97. Di dalam F. Kasryno, E. Pasandaran dan AM Fagi (Penyunting). Subak dan Kerta Masa. Kearifan lokal mendukung pertanian yang berkelanjutan. Yayasan Padi Indonesia, Jakarta. i. Publikasi perusahaan atau lembaga Minitab Inc. 1991. Minitab Reference Manual V.8. State College, USA. j. Surat Kabar Khosman, A. 16 Januari 2004. Perlu kebijakan mikro yang memihak petani. Kompas, 39(196): 46. Kolom 1-6. k. Nama penulis tidak dicantumkan, yang ditulis nama lembaganya (bukan anonim) WHO (World Health Organization). 1993. Guidenlines for drinking-water quality, Vol. 1. Recommendations. Ed. Ke-2. Geneva. l. Sumber dalam internet Ingeg Z. 1997. Analyzing Educational Resource for Environmental and Development Education. Griffith University and the Deparment of Environment, Sport & Territories. Australian Government, Department of Environment and Herrtiage. http//www.deh.gov.auleducationsitsWmodeule/modeule25,htrnl.