Dewan Redaksi “SULUH PENDIDIKAN” Jurnal Ilmu-Ilmu Pendidikan IKIP Saraswati Tabanan Ketua Dr. Dra. Ni Nyoman Karmini, M.Hum. Sekretaris Drs. I Made Maduriana, M.Si. Bendahara Dra. Ni Putu Seniwati, M.Pd. Retribusi Ni Ketut Manik Arwati Penyunting Penyelia (Editor Pengawas) Dr. Drs. I Nyoman Suaka, M.Si. Drs. I Wayan Subaker, M.Hum. Peyunting Pelaksana Dr. Drs. Dewa Nyoman Oka, M.Pd. Dr. Drs. Made Kerta Adhi, M.Pd. Dr. Drs. I Nyoman Suryawan, M.Si. Drs. I Made Sudiana, M.Si. Drs. Ida Bagus Anom Sutanaya, M.Pd. Ni Putu Desi Wulandari, S.Pd., M.Pd. Penyunting Tamu Dr. I Gusti Ngurah Raka Haryana, MS (IKIP Saraswati Tabanan); Prof. Dr. Ir. Gede Mahardika, MS (UNUD); Prof. Dr. I Made Sutajaya, M.Kes (UNDIKSHA) Pengelola Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) IKIP Saraswati Tabanan Suluh Pendidikan terbit dua kali dalam setahun (Juni dan Desember), diterbitkan oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) IKIP Saraswati Tabanan (Saraswati Institut Press), sebagai media informasi ilmiah bidang pendidikan baik berupa hasil penelitian maupun kajian pustaka. Penerimaan Naskah Redaksi menerima naskah dari dosen, peneliti, mahasiswa atau praktisi dengan ketentuan seperti tercantum pada bagian belakang jurnal ini. Tulisan yang dimuat mendapat kompensasi 2 eksemplar. Alamat Redaksi IKIP Saraswati Tabanan Jalan Pahlawan Nomor 2 Tabanan – Bali 82113 Telp. (0361) 811267 Email:
[email protected]
ISSN : 1829 – 894X
SULUH PENDIDIKAN
(Jurnal Ilmu-ilmu Pendidikan)
Vol.12 No.2 Desember 2014 Pembelajaran Perkembangan Peserta Didik Berbasis Sains Teknologi Masyarakat Berorientasi Kearifan Lokal Meningkatkan Luaran Proses dan Hasil Belajar Mahasiswa Biologi FMIPA Undiksha (I Made Sutajaya) ..............................................................................................
79– 90
Harmonisasi Hubungan antara Etnik Bali dan Etnik Bugis sebagai Bentuk Pendidikan Multikulturalisme di Kelurahan Serangan, Denpasar Selatan (Nyoman Suryawan) .......................................................................................... 91– 100 Perempuan dalam Sastra Tradisional sebuah Kontemplasi Cara Berperilaku Sesuai Kearifan Lokal (Ni Nyoman Karmini ) ....................................................................................... 101– 112 Urine Sapi Meningkatkan Produksi Tanaman Sawi Hijau (Brassica Juncea L.) dan Implementasinya pada Pembelajaran Hortikultura (Dewa Nyoman Oka) ......................................................................................... 113– 122 Pengembangan Pola Sosialisasi Perilaku Demokrasi Pancasila di Sekolah Dasar Sathya Sai Denpasar (Dewa Nyoman Wija Astawa) ........................................................................... 123– 132 Pengaruh Pendekatan Kontekstual Berbantuan Asesmen Autentik Terhadap Hasil Belajar Matematika Ditinjau dari Kemampuan Numerik (Anak Agung Alit Puspawati, Nyoman Dantes, Made Candiasa).................. 133– 144 Upaya Meningkatkan Kemampuan Memahami Paragraf Deduktif dan Induktif dengan Menerapkan Metode Inkuiri (Ni Made Sueni dan I Gusti Ayu Puspita Kusuma Dewi) ............................. 145-154 Nasionalisme Terhimpit: Pembaharuan Terhadap Pembelajaran Sejarah suatu Kajian Pustaka (I Kadek Widya Wirawan) ................................................................................ 155-162
Lembaga Penelitian dan Pengabdian masyarakat (LPPM) Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Saraswati Tabanan
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (2): 79 - 90
ISSN : 1829 – 894X
PEMBELAJARAN PERKEMBANGAN PESERTA DIDIK BERBASIS SAINS TEKNOLOGI MASYARAKAT BERORIENTASI KEARIFAN LOKAL MENINGKATKAN LUARAN PROSES DAN HASIL BELAJAR MAHASISWA BIOLOGI FMIPA UNDIKSHA I Made Sutajaya Jurusan Pendidikan Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Pendidikan Ganesha ABSTRAK Tujuan penelitian adalah mengetahui pembelajaran Perkembangan Peserta Didik berbasis STM berorientasi kearifan lokal meningkatkan luaran proses dan hasil belajar mahasiswa biologi dan mengetahui kendala-kendala yang dihadapi dalam penerapan strategi pembelajaran tersebut. Penelittian eksperimentaal ini menggunakan rancangan randomized pre and posttest control group design dengan melibatkan 23 sampel pada kelompok kontrol dan 29 sampel pada kelompok eksperimen. Data yang diperoleh dianalisis dengan uji t group karena datanya berdistribusi normal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (a) luaran proses pembelajaran yang dinilai dari interaksi mahasiswa, motivasi, ketekunan dan kegairahan mahasiswa, partisipasi mahasiswa dalam PBM, keberanian dan kemampuan mahasiswa mengemukakan pertanyaan atau pendapat, hubungan antar mahasiswa dan efektivitas pemanfaatan waktu belajar berbeda bermakna antara kelompok kontrol dengan kelompok eksperimen (p<0,05), (b) hasil belajar pada kelompok eksperimen lebih tinggi 15,3% dibandingkan dengan hasil belajar pada kelompok kontrol. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pembelajaran Perkembangan Peserta Didik berbasis STM berorientasi kearifan lokal: (a) meningkatkan luaran proses belajar, karena rerata skor minimal pada kelompok konrol 2,18 dan pada kelompok eksperimen 3,01, sedangkan skor maksimal pada kelompok kontrol 3,14 dan pada kelompok eksperimen 4,26; (b) meningkatkan hasil belajar secara bermakna sebesar 15,3%; dan (c) kendalakendala yang dihadapi dalam penerapan strategi pembelajaran tersebut lebih bersifat teknis yang dapat ditanggulangi dengan sosialisasi dan pelatihan. Kata kunci: Pendekatan STM, Kearifan Lokal, Luaran Proses Belajar, dan Hasil Belajar. ABSTRACT The purpose of the study was to determine the learning output process and learning outcomes after involving teaching and learning of learner development based Science and Technology Society (STS) approach and local wisdom oriented. This experimental research used randomized pre and posttest control group design and involving 23 samples in the control group and 29 samples in the experimental group. Data were analyzed by t test group because the data are normally distributed. The results showed that: (a) assessed learning outcomes, student interaction, motivation, perseverance and enthusiasm of students, as well as participation in teaching and learning process, courage and ability to express questions or concerns of students, the relationship between students and the effective use of learning time significantly different between control groups and experimental group (p<0.05), (b) learning outcomes in the experimental group 15.3 % higher compared to the learning outcomes in the control group. It can be concluded that teaching and learning of learner development based Science and Technology Society approach and local wisdom oriented: (a) improving of learning output process, because the average score of at least 2.18 on control group and the experimental group was 79
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (2): 79 - 90
ISSN : 1829 – 894X
3.01, while the maximum score in the control group 3.14 and the experimental group was 4.26, (b) improving of learning outcomes significantly of 15.3%, and (c) constraints encountered in the application of learning strategies that are more technical nature can be overcome by socialization and training . Keywords: STS approach, Local Wisdom, Learning Output Process, and Learning Outcomes. PENDAHULUAN Kemajuan
ditemukan beberapa kearifan lokal yang ilmu
dan
tehnologi
memiliki kualitas dan keunggulan dengan
(IPTEK) yang sangat cepat membawa
kandungan nilai-nilai universal seperti
dampak penting dalam perkembangan di
historis, religius, etika, estetika, sains dan
semua bidang ilmu yang dipelajari oleh
teknologi yang disebut lokal genius.
mahasiswa, termasuk dalam pembelajaran Perkembangan
Peserta
Didik
Pembelajaran
Perkembangan
(PPD).
Peserta Didik diberikan di semester dua
Pada mata kuliah ini dipelajari tentang
dan sebagai prasaratnya adalah mata
perkembangan fisik, kognitif, emosional,
kuliah Pengantar Pendidikan. Hal ini
sosial, moral, dan neurosains peserta didik.
bertujuan agar informasi dari mata kuliah
Pembelajaran tersebut kurang bermakna
Pengantar Pendidikan dapat diterapkan
jika hanya dipelajari berdasarkan buku
dalam memahami Perkembangan Peserta
sumber yang cenderung mengacu kepada
Didik.
teori-teori barat yang belum tentu cocok
mahasiswa umumnya mengalami kesulitan
dengan kondisi peserta didik di Indonesia
di dalam memahami konsep-konsep dalam
pada umumnya dan di Bali pada khususnya.
Perkembangan Peserta Didik terutama
Untuk itu perlu inovasi pembelajaran yang
jika dikaitkan dengan kondisi nyata yang
lebih menekankan proses perkembangan
ada di masyarakat. Ini terlihat dari kurang
peserta didik yang mengacu kepada kearifan
mampunya mahasiswa menjelaskan atau
lokal yang relevan dengan pokok bahasan
memecahkan suatu permasalahan jika
yang dipelajari. Kearifan lokal adalah unsur
dihadapkan pada suatu contoh atau ilustrasi
kebudayaan tradisional yang telah memiliki
yang terjadi di masyarakat atau lingkungan
sejarah yang panjang dan hidup dalam
yang berkaitan dengan materi bahan ajar
kesadaran kesadaran kolektif manusia dan
yang sedang dibahas atau mengkaitkan
masyarakat sejagat, terkait dengan sumber
dengan pengetahuan awal yang sudah
daya alam, sumber daya kebudayaan,
dimiliki. Ini tercermin dari rerata nilai yang
sumber daya manusia, ekonomi, hokum dan
diperoleh pada tes awal yaitu kelas A rerata
keamanan (Geriya, 2007). Secara konseptual
nilainya 78,02 dan kelas B 75,05. Di samping
kearrifan lokal merupakan bagian dari sistem
itu motivasi belajar juga cukup rendah
pengetahuan sederhana (Sarna, 2008). Di
karena saat awal perkuliahan persentase
antara keanekaragaman jenis kearifan lokal, 80
Dari
pengalaman
pengajar,
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (2): 79 - 90
ISSN : 1829 – 894X
mahasiswa yang bertanya di kelas A yang
berbasis STM berorientasi kearifan lokal ?
jumlahnya 29 orang hanya 7 orang yang bertanya atau 24,14% sedangkan di kelas B yang jumlahnya 35 orang hanya 9 orang
METODE PENELITIAN Penelittian
yang bertanya atau 25,71%. Dilihat dari
eksperimentaal
ini
yang menjawab atau memberi sanggahan
menggunakan rancangan randomized pre
ternyata kondisinya sama yaitu di kelas
and posttest control group design dengan
A hanya 5 orang yang mau memberikan
melibatkan 23 sampel pada kelompok
jawaban atau sanggahan (17,24%) dan di
kontrol dan 29 sampel pada kelompok
kelas B hanya 8 orang yang mau menjawab
eksperimen.
dan memberikan sanggahan (22,86%). Ini
adalah
menunjukkan motivasi belajar mahasiswa
peserta didik berbasis sains teknologi
masih rendah dan ada kecenderungan
masyarakat berorientasi kearifan lokal.
mereka merasa bosan dengan materi yang
Variabel tergantungnya adalah luaran
diisajikan. Untuk itu diperlukan inovasi
proses belajar yang dinilai dari indikator:
baru dengan menyisipkan konsep-konsep
(a) interaksi mahasiswa selama kegiatan
yang terkandung di dalam kerifaan lokal
PBM (L1), (b) motivasi, ketekunan dan
yang ada di Bali yang relevan dengan
kegairahan mahasiswa dalam mengikuti
konsep-konsep
yang
pada
PBM (L2), (c) partisipasi mahasiswa dalam
pembelajaran
perkembangan
peserta
PBM (L3), (d) keberanian dan kemampuan
dipelajari
Vriabel
pembelajaran
bebas
penelitian
perkembangan
didik. Dengan demikian dapat dinarasikan
mahasiswa
rumusan masalahnya adalah: (a) Apakah
atau pendapat (L4), (e) hubungan antar
pembelajaran
Peserta
mahasiswa dalam PBM (L5), dan (f)
Didik berbasis STM berorientasi kearifan
efektivitas pemanfaatan waktu belajar (L6).
lokal dapat meningkatkan luaran proses
Data yang diperoleh dianalisis dengan uji
belajar mahasiswa biologi ?; (b) Apakah
t group pada taraf signifikansi 5%, karena
pembelajaran Perkembangan Peserta Didik
datanya berdistribusi normal.
Perkembangan
mengemukakan
pertanyaan
berbasis STM berorientasi kearifan lokal dapat meningkatkan hasil belajar mahasiswa
HASIL
biologi?; dan (c) Apakah kendala-kendala
Luaran Proses
yang dihadapi dalam penerapan strategi pembelajaran Perkembangan Peserta Didik
Hasil uji beda terhadap luaran proses belajar dapat dilihat pada Tabel 3.1
81
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (2): 79 - 90
ISSN : 1829 – 894X
Tabel 3.1 Hasil Uji Beda Luaran Proses Belajar No
Variabel
Kelompok Kontrol (N=29)
Kelompok Eksperimen (N=23)
Rerata
SB
Rerata
SB
Nilai t
Nilai p
% Peningkatan
1
Luaran1
2,34
0,398
3,31
0,342
7,03
0,0001
47,8%
2
Luaran2
2,76
0,303
3,71
0,447
6,07
0,0001
34,4%
3
Luaran3
2,52
0,145
3,72
0,330
5,96
0,0001
47,6%
4
Luaran 4
2,18
0,498
3,01
0,346
4,72
0,0001
38,1%
5
Luaran 5
2,53
0,356
3,50
0,327
6,96
0,0001
38,3%
6
Luaran 6
3,14
0,742
4,26
0,269
4,94
0,0001
35,7%
Hasil Belajar Hasil
belajar
bahwa perilaku mahasiswa dalam proses yang
dinilai
dari
tes
pembelajaran
adalah
pasif,
kurang
kemampuan awal pada kelompok kontrol
proaktif dalam berinteraksi dengan sesama
dan kelompok eksperimen yang digunakan
mahasiswa atau dengan dosen pengajar,
sebagai nilai pretest dan nilai ujian akhir
dan ada kecenderungan untuk memacahkan
semester (UAS) digunakan sebagai nilai posttest. Hasil uji beda terhadap hasil belajar antara kelompok control dengan kelompok eksperimen dapat dilihat pada Tabel 3.2.
Kelompok Kontrol (N=23) Rerata SB
Kelompok Nilai Nilai Eksperimenn t p (N=29) Rerata
SB
K e m a m 77,34 3,80 puan awal
75,72
4,76
1,33 0,1910
H a s i l 69,20 7,35 belajar
79,78
4,31
6,12 0,0001
PEMBAHASAN Interaksi mahasiswa dalam proses pembelajaran pada kelompok kontrol tampaknya belum memuaskan karena dari hasil penilaian diperoleh rerata nilai 2,24. Penilaian ini mencerminkan 82
masalah tersebut diterapkan pendekatan STM berorientasi kearifan lokal yang diberlakukan pada kelompok eksperimen. Ternyata dari hasil penilaian diperoleh
Tabel 3.2 Uji Beda Hasil Belajar antara Kelompok Kontrol dengan Kelompok Eksperimen Variabel
masalah secara individu. Untuk mengatasi
rerata nilai 3,31 atau ada peningkatan sebesar 47,8% pada kelompok ekpserimen. Penilaian ini mencerminkan bahwa interaksi mahasiswa semakin baik yang ditandai dengan munculnya perilaku mahasiswa yang lebih interaktif dilihat dari: (a) antusias mahasiswa dalam mencari permasalahan, (b) proses diskusi lebih interaktif, (c) perkuliahan umumnya berjalan dua arah, (d) mahasiswa tampak proaktif di dalam memecahkan setiap permasalahan yang muncul dari setiap kelompok diskusi, dan (e) intensitas interaksi antar mahasiswa, mahasiswa
dengan
dosen
dan
antar
kelompok diskusi seemakin meningkat. Hasil uji beda juga memberikan gambaran yang lebih meyakinkan karena diperoleh
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (2): 79 - 90
ISSN : 1829 – 894X
nilai p = 0,0001 (p < 0,05). Ini membuktikan
Hasil uji beda juga memberikan gambaran
bahwa interaksi mahasiswa selama kegiatan
yang lebih meyakinkan karena diperoleh
PBM pada kelompok kontrol berbeda
nilai p = 0,0001. Ini membuktikan bahwa
bermakna dengan interaksi mahasiswa
rerata nilai yang menggambarkan tingkat
pada kelompok eksperimen yang ditandai
motivasi,
dengan
pada
mahasiswa pada kelompok kontrol berbeda
kelompok eksperimen secara signifikan
bermakna dengan kelompok eksperimen,
sebesar 47,8% (p < 0,05).
di mana pada kelompok eksperimen terjadi
meningkatnya
interaksi
Motivasi, ketekunan dan kegairahan
ketekunan
dan
kegairahan
peningkatan rerata nilai secara signifikan
mahasiswa dalam mengikuti PBM pada
sebesar 34,4% (p < 0,05).
kelompok kontrol belum memuaskan
Partisipasi
mahasiswa
dalam
karena dari hasil penilaian diperoleh rerata
PBM pada kelompok kontrol belum
nilai 2,76. Penilaian ini mencerminkan
memuaskan,
bahwa:
mahasiswa
sebesar 2,52. Penilaian ini mencerminkan
dalam mengikuti PBM masih kurang, (b)
bahwa partisipasi mahasiswa dilihat dari
mahasiswa kurang responsif di dalam
kerjasama
memecahkan atau menggali permasalahan,
saling mengisi dan memberi dalam diskusi
(c) suasana PBM kurang ceria atau kurang
atau
mengasyikkan, dan (d) mahasiswa belum
mahasiswa
mampu
belajar
giatan PBM yang dirancang dosen dan
secara efektif dan efisien. Untuk mengatasi
kesungguhan mahasiswa secara mandiri
masalah tersebut diterapkan pendekatan
maupun kelompok dalam mengerjakan
STM berorientasi kearifan lokal yang
tugas tampaknya belum optimal. Untuk
diberlakukan pada kelompok eksperimen.
mengatasi masalah tersebut diterapkan
Ternyata dari hasil penilaian diperoleh
pendekatan STM berorientasi kearifan
rerata nilai 3,71 atau ada peningkatan
lokal yang diberlakukan pada kelompok
sebesar 34,4% pada kelompok ekpserimen.
eksperimen. Ternyata dari hasil penilaian
Penilaian
ini
bahwa
diperoleh rerata nilai 3,72 atau ada
motivasi,
ketekunan
kegairahan
peningkatan sebesar 47,6% pada kelompok
mahasiswa dalam mengikuti PBM semakin
ekpserimen. Ini membuktikan bahwa: (a)
baik yang ditandai dengan: (a) kesungguhan
kerjasama mahasiswa dalam mengerjakan
mahasiswa dalam mengikuti PBM, (b)
tugas semakin kondusif, (b) mahasiswa mau
mahasiswa lebih responsif di dalam
saling mengisi dan memberi dalam diskusi
memecahkan atau menggali permasalahan,
atau mengerjakan tugas, (c) spontanitas
(c) suasana PBM ceria dan mengasyikkan,
mahasiswa dalam melaksanakan kegiatan
dan (d) mahasiswa mampu memanfaatkan
PBM yang dirancang dosen semakin
waktu belajar secara efektif dan efisien.
meningkat, dan (d) mahasiswa semakin
(a)
kesungguhan
memanfaatkan
waktu
mencerminkan dan
karena
dalam
mengerjakan dalam
diperoleh
mengerjakan tugas,
nilai
tugas,
spontanitas
melaksanakan
ke
83
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (2): 79 - 90
ISSN : 1829 – 894X
bersungguh-sungguh baik secara mandiri
hasiswa semakin berani di dalam menge-
maupun berkelompok dalam mengerjakan
mukakan pendapatnya, (c) pertanyaan atau
tugas. Hasil uji beda juga memberikan
pernyataan (jawaban) mahasiswa semakin
gambaran yang lebih meyakinkan, karena
berkualitas, dan (d) kemampuan mahasiswa
diperoleh nilai p = 0,0001. Ini membuktikan
dalam memberikan argumentasi terhadap
bahwa rerata nilai yang menunjukkan
pandangan atau sanggahan yang diajukan
tingkat partisipasi mahasiswa dalam PBM
semakin meningkat. Hasil uji beda mem-
pada kelompok kontrol berbeda bermakna
berikan gambaran yang lebih meyakinkan
dengan rerata nilai tingkat partisipasi
karena diperoleh nilai p = 0,0001. Ini mem-
mahasiswa pada kelompok eksperimen di
buktikan bahwa rerata nilai yang menun-
mana pada kelompok eksperimen terjadi
jukkan tingkat keberanian dan kemampuan
peningkatan rerata nilai secara signifikan
mahasiswa dalam mengemukakan pertan-
sebesar 47,6% (p < 0,05).
yaan atau pendapat pada kelompok kon-
Keberanian dan kemampuan ma-
trol berbeda bermakna dengan rerata nilai
hasiswa mengemukakan pertanyaan atau
mahasiswa pada kelompok eksperimen di
pendapat pada kelompok kontrol belum
mana pada kelompok eksperimen terjadi
memuaskan karena diperoleh nilai sebesar
peningkatan rerata nilai secara signifikan
2,18. Penilaian ini mencerminkan bahwa:
sebesar 38,1% (p < 0,05).
(a) frekuensi dan ragam pertanyaan atau
Hubungan antar mahasiswa dalam
pendapat yang muncul selama PBM belum
PBM pada kelompok kontrol belum
memuaskan, (b) kurangnya keberanian
memuaskan karena diperoleh rerata nilai
mahasiswa dalam mengemukakan penda-
sebesar 2,53. Penilaian ini mencerminkan
pat dalam diskusi, (c) rendahnya kuali-
bahwa: (a) kurangnya kerjasama dan
tas pertanyaan atau pernyataan (jawaban)
sikap saling membantu pada mahasiswa
yang dikemukakan, dan (d) kemampuan
dalam melaksanakan tugas, (b) kurangnya
memberikan argumentasi terhadap pandan-
keakraban dan rasa kebersamaan di
gan atau sanggahan yang diajukan belum
antara mahasiswa dan (c) belum terjalin
memuaskan. Untuk mengatasi masalah
hubungan yang kompetitif dan koperatif.
tersebut diterapkan pendekatan STM ber-
Untuk
orientasi kearifan lokal yang diberlaku-
diterapkan pendekatan STM berorientasi
kan pada kelompok eksperimen. Ternyata
kearifan lokal yang diberlakukan pada
dari hasil penilaian diperoleh rerata nilai
kelompok
3,01 atau ada peningkatan sebesar 38,1%
hasil penilaian diperoleh rerata nilai 3,50
pada kelompok ekpserimen. Ini membuk-
atau ada peningkatan sebesar 38,3% pada
tikan bahwa: (a) frekuensi pertanyaan atau
kelompok ekpserimen. Ini membuktikan
pendapat yang muncul makin meningkat
bahwa: (a) kerjasama dan sikap saling
dan ragamnya makin bervariasi, (b) ma-
membantu dalam melaksanakan tugas
84
mengatasi
masalah
eksperimen.
tersebut
Ternyata
dari
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (2): 79 - 90
ISSN : 1829 – 894X
semakin kondusif, (b) mahasiwa semakin
Sarna, dkk. (1999) melaporkan bahwa
akrab sehingga muncul rasa kebersamaan,
pendekatan yang dapat meningkatkan
(c) terjalin hubungan yang kompetitif
keaktifan peserta didik adalah pendekatan
dan
juga
partisipatif yang merupakan suatu wujud
memberikan gambaran bahwa rerata nilai
proses pembelajaran, di mana guru atau
yang menyatakan tingkat hubungan antar
dosen
mahasiswa dalam PBM pada kelompok
dirinya sebagai pengayom, nara sumber,
kontrol berbeda bermakna dengan rerata
pembimbing dan teman belajar yang
nilai pada kelompok eksperimen, di
dilandasi pendekatan emosional yang
mana pada kelompok eksperimen terjadi
humanistik sesuai dengan filosofi tut
peningkatan rerata nilai secara signifikan
wuri handayani, yang ditunjang fasilitas
sebesar 38,3% (p < 0,05).
pembelajaran yang relevan dan memadai.
koperatif.
Hasil
uji
beda
selalu
berupaya
menempatkan
waktu
Dalam pendekatan ini guru atau dosen
belajar pada kelompok kontrol sudah me-
tidak terikat dengan satu metode saja, akan
muaskan, karena diperoleh rerata nilai
tetapi bebas memilih sesuai dengan strategi
sebesar 3,14. Akan tetapi pada kelompok
pembelajaran yang telah ditetapkan. Dalam
eksperimen diperoleh rerata nilai sebe-
hal ini Carl Rogers (dalam Sarna, dkk. 1999)
sar 4,26 atau terjadi peningkatan sebesar
memberikan pandangan tentang hakekat
35,7%. Dengan demikian dapat dikatakan
pendidikan
bahwa efektivitas pemanfaatan waktu be-
partisipatif yaitu: (a) manusia mempunyai
lajar baik pada kelompok kontrol maupun
potensi alami untuk belajar, (b) belajar yang
pada kelompok eksperimen sudah dalam
bermakna terjadi jika siswa memandang
kategori memuaskan karena setiap maha-
mata pelajaran yang relevan dengan tujuan
siswa berusaha menyelesaikan tugas sesuai
belajarnya, (c) sebagian besar belajar yang
dengan waktu yang dirancang dosen dan
bermakna diperoleh melalui berbuat, (d)
setiap mahasiswa sudah berusaha meman-
belajar dipermudah jika siswa berpartisipasi
faatkan waktu belajarnya secara efektif. Di-
dalam proses belajar, (e) belajar dengan
lihat dari uji beda ternyata diperoleh nilai p
inisiatif sendiri dengan melibatkan perasaan
= 0,0001. Ini membuktikan bahwa rerata
dan intelektual adalah paling meresap dan
nilai yang menunjukkan tingkat efektivitas
tahan lama, (f) kreativitas dalam belajar
pemanfaatan waktu belajar pada kelompok
dapat dipermudah jika yang diutamakan
kontrol berbeda bermakna dengan rerata
adalah kritik dan evaluasi terhadap diri
nilai pada kelompok eksperimen, di mana
sendiri, (g) belajar yang paling bermanfaat
pada kelompok eksperimen terjadi pening-
dalam dunia modern adalah belajar tentang
katan rerata nilai secara signifikan sebesar
proses belajar, adanya keterbukaan, sifatnya
35,7% (p < 0,05)
berkelanjutan sesuai dengan pengalaman
Efektivitas
pemanfaatan
Terkait dengan temuan tersebut,
berdasarkan
pendekatan
dan proses perubahan. 85
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (2): 79 - 90
ISSN : 1829 – 894X
Hasil belajar mahasiswa dalam
pembelajaran
perkembangan
peserta
akhirnya diketahui memang cukup banyak kearifan lokal yang relevan dikaji dalam
didik (PPD) dinilai dari dua kali tes
pembelajaran tersebut.
yang
diberikan.
Ternyata
antara
tes
Upaya
yang
dilakukan
pertama yang merupakan te kemampuan
pembelajaran
awal
STM berorientasi kearifan lokal adalah
mahasiswa
dalam
pembelajaran
melalui
dalam
pendekatan
perkembangan peserta didik dan tes kedua
berusaha
berupa ujian akhir semester. Dalam hal
mahasiswa, sehingga mereka lebih peka
ini ditemukan bahwa kemampuan awal
terhadap permasalahan yang ada dan
mahasiswa ternyata komparabel antara
selalu mengundang tanda tanya mengapa
kelomppok eksperimen dengan kelompok
demikian, apa penyebabnya, apa kaitannya,
kontrol (p>0,05). Dari hasil analisis
apa maknanya, dan lain-lain. Upaya ini
terhadap skor yang diperoleh pada posttest
diharapkan dapat meningkatkan wawasan
ternyata berbeda bermakna, dimana pada
mahasiswa dalam bidang perkembangan
kelompok eksperimen nilainya lebih tinggi
peserta didik yang selama ini kurang
15,3% (p < 0,05) dibandingkan dengan
dikembangkan terutama yang berkaitan
kelompok kontrol. Dimana rerata nilai yang
dengan kearifan lokal. Pengembangan
diperoleh 69,20 pada kelompok kontrol
materi
dan 79,78 pada kelompok eksperimen. Ini
meningkatkan
membuktikan bahwa proses pembelajaran
yang dinilai dari hasil belajarnya. Ini sesuai
Perkembangaan Peserta Didik
melalui
dengan pendapat Liliasari (2011) yang
pendekatan STM berorientasi kearifan
menyatakan bahwa pola baru pembelajaran
lokal dapat meningkatkan hasil belajar
sains adalah: (a) memahami konsep sains
mahasiswa biologi semester II tahun
dan mengembangkan kemampuan inkuiri;
pembelajaran 2012/2013. Itu bisa terjadi
(b) mempelajari materi subjek disiplin-
karena pembelajaran semakin bermakna,
disiplin sains dalam konteks inkuiri,
apalagi setelah dilengkapi dengan materi
teknologi, sains dalam pandangan pribadi
ajar yang berorientasi kearifan lokal.
dan sosial, sejarah dan hakikat sains; (c)
Model pembelajaran melalui pendekatan
mengintegrasikan semua aspek materi
STM juga menantang mahasiswa untuk
sains; (d) mempelajari sedikit konsep sains
kreatif
permasalahan
yang fundamental; dan (e) menerapkan
yang ada di sekitar tempat tinggal mereka.
inkuiri sebagai strategi pembelajaran,
Terlebih lagi ada beberapa permasalahan
kemampuan, dan ide yang dipelajari. Di
yang sebelumnya tidak diketahui berkaitan
samping itu Dasna (2011) meyatakan
dengan
perkembangan
bahwa
tetapi
setelah
konten harus memenuhi tiga fungsi utama
dijelaskan melalaui pendekatan tersebut
yaitu: (a) dapat memotivasi minat dan
peserta
86
mengeksplorasi
pembelajaran didik,
akan
meningkatkan
tersebut
kuriositas
diharapkan
kemampuan
prinsip-prinsip
dapat
mahasiswa
pengembangan
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (2): 79 - 90
ISSN : 1829 – 894X
tindakan (belajar); (b) dapat menyajikan
pembelajaran
sumber belajar (konstruksi konsep); dan (c)
didik
dapat memberi instruksi (self learning).
yang modelnya seperti itu ternyata dapat
menggugah motivasi belajar mahasiswa
Di
sisi
lain
pembelajaran
perkembangan
dengan
peserta
pertanyaan-pertanyaan
melalui pendekatan STM berorientasi
yang
kearifan lokal juga dapat meningkatkan
hasil belajar perkembangan peserta didik
kemampuan
mahasiswa.
secara bermakna antara kelompok kontrol
Dalam hal ini Sadia (2011) menyatakan
dan kelompok eksperimen (p < 0,05). Ini
bahwa kemampuan bereksistensi adalah
sejalan dengan pendapat Tilaar (2011)
kemampuan
yang
bereksistensi
menempatkan
diri
dan
dibuktikan
dengan
menyatakan
bahwa
peningkatan
pendidikan
menerobos ruang dan waktu. Kemampuan
berkarakter
sesungguhnya
sebagai
ini hendaknya dibina melalui pendidikan.
ungkapan perilaku seseorang berdasarkan
Peserta didik agar diajar untuk belajar dari
nilai-nilai yang diyakininya. Dalam hal ini
pengalamannya, belajar mengantisipasi
dikaji tentang hubungan seseorang dengan
suatu keadaan atau peristiwa, belajar
orang lain yang dapat berakar dari adat-
untuk melihat prospek masa depan,
istiadat di mana seseorang hidup, nilai-
serta mengembangkan daya imajinasi
nilai dalam kehidupan bersama, dapat
kreatifnya.
pula sebagai doktrin yang diterima dan
Pada penelitian ini, kemampuan
dipahaminya dalam hubungan dengan
bereksistensi ini diasah melalui pertanyaan-
sesamanya. Dengan demikian karakter
pertanyaan yang sifatnya menantang dan
merupakan suatu cara seseorang untuk
memerlukan jawaban dengan kemampuan
merealisasikan dirinya (self reaaalization)
berlogika yang tinggi. Misalnya pertanyaan
di dalam kehidupan bersama seperti
tentang: (a) lagu anak-anak di Bali (sekar
pengendalian diri, cara membawa diri
rare)
makna
di dalam kehidupan bersama, dan watak
pembelajaran yang terkandung dalam
yang baik dari seseorang. Inilah yang
syair lagu tersebut, (b) berbagai cerita atau
ingin dikembangkan dalam pembelajaran
dogeng yang menggambarkan tentang
perkembangan
pembelajaraan
peserta
pendekatan STM berorientasi kearifan
didik, dan (c) berbagai orrnamen ukiran
lokal seirama dengan upaya peningkatan
atau patung yang mengisyaratkan kepada
hasil belajar mahasiswa, sehingga perlu
masyarakat tentang makna pendidikan, dan
diungkap dalam pembelajaran tentang adat-
(d) berbagai pesan yang dibawakan oleh
istiadat di masyarakat yang terkait dengan
para pelaku seni tradisional seperti topeng,
materi pembelajaran yang sedang dibahas
arja, wayang, drama gong, prembon, joged,
dengan harapan agar tumbuh karakter yang
dan tarian lainnya yang sarat dengan pesan-
baik dalam diri mahasiswa.
yang
dikaitkan
dengan
perkembangan
pesan pendidikan . Pengembangan materi
Kendala
peserta
yang
didik
dijumpai
melalui
pada 87
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (2): 79 - 90
penerapan proses pembelajaran melalui
ISSN : 1829 – 894X
dengan kearifan lokal.
pendekatan STM berorientasi kearifan
Kendala ini diatasi dengan cara me-
lokal adalah: (a) mahasiswa belum terbiasa
maksimalkan peran serta mahasiswa dalam
dengan
melalui
setiap kegiatan pembelajaran. Di samping
pendekatan STM berorientasi kearifan
itu dosen selaku fasilitator dan motivator
lokal, sehingga pada awal pelaksanaannya
dalam pembelajaran tersebut berusaha se-
tampak kurang lancar atau mahasiswa
maksimal mungkin untuk membantu maha-
masih agak ragu-ragu dalam bertindak;
siswa dalam menggali berbagai permasala-
(b) pembelajaran ini memerlukan waktu
han yang ada di masyarakat yang berkaitan
yang lebih panjang sehingga kadang-
dengan materi PPD dengan cara menstimu-
kadang melewati waktu kuliah yang sudah
lir atau men-triger dengan contoh-contoh
dialokasikan; (c) mahasiswa masih terpaku
permasalahan yang ada kaitannya dengan
hanya pada materi bahan ajar yang ada
materi yang sedang dibahas. Dengan de-
sehingga pada awal perkuliahan mereka
mikian mahasiswa akan terbayang dengan
kurang bersemangat di dalam mencari
masalah lain yang sejenis yang berkaiatn
permasalahan yang ada di masyarakat
dengan materi tersebut.
proses
pembelajaran
di sekitar tempat tinggal mereka apalagi kalau dikaitkan dengan kearifan local
SIMPULAN
yang relevan; (d) mahasiswa belum
Bertolak dari hasil dan pembahasan
brainstorming
yang ditunjang dengan literatur yang
dengan menggunakan maksimal empat
relevan dapat disimpulkan sebagai berikut.
kata, sehingga pada awal pelaksanaan
1. Pembelajaran Perkembangan Peserta
pembelajaran ini mereka masih terlalu lama
Didik berbasis STM berorientasi
berpikir dan tampaknya sulit menemukan
kearifan lokal dapat meningkatkan
masalah yang bisa ditulis dalam empat
luaran proses belajar mahasiswa
kata; (e) beberapa fasilitator yang ditunjuk
biologi, karena rerata skor minimal
belum
tugasnya
pada kelompok konrol 2,18 dan
terutama pada awal kegiatan, karena mereka
pada kelompok eksperimen 3,01,
kadang-kadang masih sungkan menegur
sedangkan skor maksimal pada
temannya yang memonopoli waktu atau
kelompok kontrol 3,14 dan pada
pasif; (f) agak sulit memaksimalkan
kelompok eksperimen 4,26.
terbiasa
melakukan
optimal
melakukan
proses
2. Pembelajaran Perkembangan Peserta
pembelajaran, karena terbatasnya alokasi
Didik berbasis STM berorientasi
waktu perkuliahan; dan (g) permasalahan
kearifan lokal dapat meningkatkan
yang berkaitan dengan materi dalam mata
hasil belajar mahasiswa biologi
kuliah PPD memang sangat sulit ditelusuri
secara bermakna sebesar 15,3%.;
kontribusi
mahasiswa
dalam
di masyarakat apalagi kalau diorientasikan 88
3. Kendala-kendala
yang
dihadapi
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (2): 79 - 90
dalam
penerapan
ISSN : 1829 – 894X
strategi
pembelajaran Perkembangan Peserta
tersebut, karena telah berkontribusi dalam merealisasikan penelitian.
Didik berbasis STM berorientasi kearifan lokal lebih bersifat teknis yang dapat ditanggulangi dengan sosialisasi dan pelatihan tentang pembelajarn tersebut. SARAN Saran yang tampaknya penting untuuk disampaikan pada penelitian adalah sebagai berikut. 1. Disarankan agar tetap mencoba menggunakan
pembelajaran
berbasis STM berorientasi kearifan local, karena telah terbukti dapat meingkatkan luaran proses belajar dan hasil blajar mahsiswa. 2. Kepada Dinas terkait hendaknya mensosialisasikan
temuan
ini,
karena dinilai cukup bermanfaat dalam proses pengelolaan kelas baik pada pendidikan menengah maupun pendidikan tinggi. 3. Kepada
para
stakeholders
hendaknya secara proaktif mulai menerapkan
pendekatan
STM
berorientasi keariian local, karena pendekatan ini sangat efektif dalam proses pengelolaan kelas. UCAPAN TERIMA KASIH
Penelitian ini didanai dari dana
DIPA Undiksha melalui hibah pengajaran (Teaching Grant) LP3 Undiksha. Untuk itu peneliti mengucapkan terimakasih yang
setulus-tulusnya
kepada
pihak
DAFTAR PUSTAKA Dasna, W. 2011. Pengembangan Content E-Learning. (Makalah). Disampaikan pada Workshop E-Learning Universitas Pendidikan Ganesha. November 2011. 2007. Konsep dan Strategi Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Penataan Lingkungan Hidup di Bali. Denpasar: Universitas Udayana. Liliasari, 2011. Membangun Karakter Manusia Indonesia Melalui Pengembangan Keterampilan Generik Sains. (Makalah). Disampaikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam yang Diselenggarakan pada Tanggal 29 Kktober 2011. Geriya.
Sadia, W. 2011. Pendidikan Karakter Terintegrasi Pembelajaran Sains Menuju Bangsa yang Cerdas, Berdaya Saing dan Berbudaya. (Makalah). Disampaikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam yang Diselenggarakan pada Tanggal 29 Kktober 2011. Sarna, K, Rideng, M., Bawa, W. Maharta, K, Sumardika, N. 1999. Optimalisasi Penggunaan Sumber Daya yang Ada Pada Program Studi Pendidikan Biologi dan Penggunaan Waktu untuk Meningkatkan Kualitas Lulusan Guna Memenuhi Tuntutan Lapangan Kerja (Laporan Penelitian). Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan 89
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (2): 79 - 90
Singaraja Sarna, K. 2008. Pengembangan Bahan Ajar Biologi Berbasis Lokal Genius. Makalah disampaikan dalam Seminar Jurusan Pendidikan Biologi Undiksha, Singaraja. Tilaar, H.A.R. 2011. Pendidikan Berkarakter dan Berdimensi Kerakyatan Suatu Tinjauan Pedagogik Kritis. (Makalah). Disampaikan pada Seminar Nasional dengan Tema Pendidikan Berbasis Karakter dan Berdimensi Kerakyatan, 7 Mei 2011.
90
ISSN : 1829 – 894X
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (2): 91 - 100
ISSN : 1829 – 894X
HARMONISASI HUBUNGAN ANTARA ETNIK BALI DAN ETNIK BUGIS SEBAGAI BENTUK PENDIDIKAN MULTIKULTURALISME DI KELURAHAN SERANGAN, DENPASAR SELATAN Nyoman Suryawan
FP. IPS IKIP SARASWATI
Abstrak Globalisasi sebagai bentuk bersatunya elemen dunia secara integral yang dipicu oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi cenderung menggiring adanya saling ketergantungan antarnegara dan masyarakat. Globalisasi sendiri memiliki kecenderungan ke arah keseragaman dalam berbagai aspek kehidupan. Kondisi ini jelas kurang memperhatikan fakta keberagaman yang ada, termasuk keberadaan etnik dan agama yang sifatnya pluralistik sebagaimana yang dijumpai di Kelurahan Serangan. Tujuan dari penelitian ini selain untuk mengetahui sejarah keberadaan etnik Bugis di Kelurahan Serangan, juga memahami tentang kuatnya toleransi yang dilakukan di antara etnik Bugis dan etnik Bali di daerah tersebut. Penelitian ini mempergunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan budaya. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan wawancara mendalam, dan studi dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kelurahan Serangan yang mayoritas penduduknya beragama Hindu dari dahulu hingga sekarang masih tetap memandang etnik minoritas Bugis sebagai nyama (saudara) Bali. Harmonisasi hubungan dalam berbagai aspek kehidupan tersebut merupakan bentuk pendidikan multikulturalisme yang intinya saling menghargai satu sama lain yang diikat oleh latar belakang historis ketika kerajaan Badung masih berkuasa. Kata kunci : harmonisasi, etnik, pendidikan multikulturalisme. HARMONIZATION OF THE RELATIONSHIP BETWEEN BALI AND BUGIS ETHNIC AS AFORM OF MULTICULTURALISM IN SERANGAN VILLAGE, SOUTH OF DENPASAR ABSTRACT Globalization as a form of unification of the world as an integral element driven by advances in science and technology tends to lead the interdependence between state and society . Globalization itself has a tendency towards uniformity in the various aspects of life. This condition is clearly less attention to the fact that there is diversity, including the existence of ethnic and religious pluralistic nature as that found in Serangan Village. The purpose of this study in addition to know the history of the Bugis ethnic presence in Serangan Village, also understand that carried strong tolerance among ethnic Bugis and Balinese ethnic in the area. The study used qualitative research methods with a cultural approach. Data was collected using in-depth interviews, and documentation. The results showed that the Village Serangan predominantly Hindu from the first until now was still looking at Bugis ethnic minorities as a brother of Balinese. Harmonization of relations in various aspects of life is a form of multicultural education are essentially mutual respect for each other which is bound by the historical background was in power when the kingdom of Badung. Keywords : harmonized , ethnic , multicultural education 91
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (2): 91 - 100
PENDAHULUAN
ISSN : 1829 – 894X
Sabang hingga Meroke, menyebabkan pula
Dalam era globalisasi yang diawali
Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan
dengan perkembangan teknologi yang
terbesar di dunia
begitu cepat berakibat dunia ini semakin
Selain itu Negara Indonesia yang pluralis
menyempit seolah-olah
didukung
tidak ada lagi
(Bengen,1999:1).
pula oleh keberagaman suku
sekat atau batas antara negara satu dengan
(etnik) dan agama yang dianutnya. Hampir
lainnya. Globalisasi dalam salah satu
semua agama-agama besar yang ada di
seginya
(1994:73)
dunia terwakili di Indonesia seperti agama
adalah suatu proses maraknya penyebaran
Hindu, Budha, Kristen, Islam dan Kong
pengaruh budaya sedemikian rupa sehingga
Futsu. Kemajemukan Negara Indonesis
sifatnya tidak saja bilateral ataupun
sebagaimana yang digambarkan tersebut
multilateral akan tetapi benar-benar sudah
pada dasarnya memiliki dua sisi, artinya
bersifat mondial dalam arti menyangkut
di satu sisi jika kondisi tersebut dikelola
berbagai pihak yang ada di segala pelosok
dengan baik akan dapat memperkuat
bumi. Perbedaan mendasar di antara
persatuan dan kesatuan bangsa, sebaliknya
keduanya yaitu, pada kontak bilateral
jika dibiarkan begitu saja akan berpotensi
maupun multilateral masih dapat ditelusuri
menimbulkan konflik yang berbasis etnik
ataupun dibedakan dengan jelas sumber
maupun agama.
menurut
Supriadi
pengaruh dan sasarannya, sedangkan pada
Dalam mengantisipasi konflik yang
kontak yang sifatnya mondial (global) baik
terjadi, multikulturalisme sebagai gagasan
sumber dan sasaran pengaruhnya dapat
normatif mengenai kerukunan, toleransi
diidentikkan sebagai tangan-tangan gurita
dan upaya saling menghargai antara satu
yang mencengkram kemana-mana dalam
dengan
banyak aspek kehidupan manusia. Kondisi
Tidak ada oposisi biner yang melekat
yang demikian dapat terjadi berkat adanya
pada suatu sistem yang
teknologi komunikasi dan informasi yang
bahwa
semakin canggih dan menjadikan bagian-
dibandingkan dengan yang lain. Kondisi
bagian dari bumi ini menjadi sangat dekat
seperti ini jika dibiarkan tanpa kendali akan
antara satu dengan yang lain. Fenomena
berpengaruh terhadap terjadinya hukum
tersebut dikenal sebagai borderless world
rimba dimana yang besar dan merasa
atau global village.
kuat akan memenangkan pertarungan,
yang lain perlu diketengahkan. menjastifikasi
suatu kelompok lebih berkuasa
Negara Indonesia dilihat dari posisi
sedangkan yang kecil dan tidak berdaya
geografis sangatlah strategis karena terletak
akan kalah dan tergusur. Praktek-praktek
di antara dua samudra yang luas dan dua
seperti itu hendaknya perlu dihindari untuk
benoa yang mengapitnya. Banyaknya pulau
menghindari adanya perpecahan di antara
besar dan kecil yang menghuninya yakni
anak bangsa. Biarkanlah kondisi tersebut
sekitar 17.509 buah pulau yang tersebar dari
hanya terjadi di hutan sebagaimana yang
92
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (2): 91 - 100
ISSN : 1829 – 894X
berlaku dalam hukum rimba yakni struggle
METODE PENELITIAN
of the fittest. Manusia sebagai ciptaan tuhan
Lokasi Penelitian
yang dibekali dengan pemikiran dan hati
Penelitian ini menggunakan analisis
nurani haruslah dapat membedakannya
kualitatif untuk menghasilkan data yang
dengan
Perasaan
saling
bersifat diskriptif dari objek yang diteliti.
menjunjung
konsep
Lokasi penelitian dilakukan di Kelurahan
binatang.
menghargai
dan
kesetaraan dalam keberagaman dalam
Serangan,
hidup berbangsa
pertimbangan bahwa di daerah tersebut
dan bernegara di
Denpasar
selatan
dengan
hendaknya
terdapat fakta adanya toleransi antar etnik
tetap dijaga untuk menghindari adanya
yang amat kental antara etnik minoritas
perpecahan
terhadap Bangsa Indonesia
Bugis yang beragama Islam dengan etnik
yang secara susah payah telah dibentuk
mayoritas Bali yang beragama Hindu.
melalui perjuangan yang mengorbankan
Hubungan tersebut masih tetap terbina
jiwa dan raga oleh pahlawan-pahlawan
mulai zaman kerajaan hingga sekarang.
alam demokrasi seperti ini
yang telah gugur di medan laga.
Kelurahan Serangan sebagai salah
satu destinasi pariwisata di Bali selatan
Penentuan Informan
Informan dalam penelitian ini adalah
dengan keragaman budaya yang dimilikinya
masyarakat yang ada di Kelurahan Serangan
juga menyimpan fenomena yang unik.
baik yang beragama Islam maupun Hindu.
Di tengah penduduknya yang mayoritas
Penentuan informan dilakukan melalui cara
menganut agama Hindu terdapat komunitas
snow ball yang diawali dengan penunjukan
Bugis yang beragama Islam yang lokasinya
informan kunci sebagai informan utama.
berada di tengah-tengah daerah tersebut.
Selanjutnya informan ini akan memberikan
Keberadaan dari komunitas tersebut sudah
informasi terhadap informan berikutnya.
lama ketika
Oleh sebab itu besarnya informan tidak
pemerintahan
Kerajaan
Badung. Eksistensi kedua etnik baik Bali
dibatasi.
maupun Bugis di daerah tersebut hingga kini masih tetap rukun di tengah dinamika masyarakat
yang
terus
berkembang.
Teknik Pengumpulan Data
dilakukan melalui beberapa langkah
Sehubungan dengan itu permasalahan yang
tertentu yaitu, penggalian data, katagorisasi
coba ditelusuri adalah bagaimana sejarah
data, penyusunan data dan dialanjutkan
keberadaan etnik Bugis hingga mendiami
dengan interpretasi data melalui pendekatan
daerah Serangan, dan apakah bentuk
diskriptif kualitatif. Melalui cara tersebut
pendidikan multikulturalisme yang tampak
akan diperoleh gambaran riil tentang
dari kedua etnik yang ada sehingga tetap
praktek multikulturalisme yang dialami
eksis hingga sekarang.
dalam kehidupan masyarakat pluralistik di Kelurahan Serangan. 93
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (2): 91 - 100
ISSN : 1829 – 894X
yang memiliki prinsip di mana pun tanah HASIL DAN PEMBAHASAN
dipijak di situ langit dijunjung. Di samping
itu, mereka juga memiliki tanggung jawab
Tetua Bugis yang bernama Haji
Mansur,
keberadaan
Kampung
Bugis
berawal dari sekelompok nelayan Bugis yang terombang–ambing di lautan pada
untuk membela serta membantu daerah tersebut apabila ditimpa masalah.
Berbekal tekad yang kuat serta
abad XVII. Di tengah rasa putus asa,
memikul tanggung jawab yang besar,
mereka melihat sebuah pulau kecil,
akhirnya keempat puluh nelayan Bugis
yakni pulau Serangan. Akhirnya, mereka
tersebut ikut berperang bersenjatakan badik
memutuskan untuk berlabuh di pulau
(pisau kecil). Akhirnya, kemenangan ada di
tersebut. Selanjutnya, para nelayan Bugis
pihak Raja Badung. Atas jasa para nelayan
yang berjumlah empat puluh orang itu
Bugis, Raja Badung memberikan wilayah
tinggal sementara di daerah yang saat itu
kepada nelayan Bugis sebagai tempat
dikuasai oleh Cokorda Pemecutan III.
tinggal. Raja Badung mengetahui bahwa
Mendengar kedatangan nelayan yang tidak
para nelayan Bugis memiliki keahlian
dikenal, sang raja kemudian mengirim
di bidang pelayaran dan niaga. Melihat
utusan untuk menjemput nelayan tersebut.
potensi yang demikian Syekh Haji Mumin
Berdasarkan peraturan yang berlaku, siapa
beserta pengikutnya diberikan lahan di
pun yang menginjakkan kaki di bumi
bagian selatan Pulau Serangan. Semenjak
Serangan harus menghadap kepada raja,
itu hubungan antara nelayan Bugis yang
yakni Raja Badung. Berkenaan dengan
mayoritas beragama Islam semakin erat
hal itu nelayan Bugis yang dipimpin oleh
dengan Kerajaan Badung yang beragama
Syekh Haji Mumin kemudian menghadap
Hindu.
Raja Badung. Kedatangan mereka diterima
dipercaya oleh Raja Badung untuk menjadi
dengan baik oleh Raja Badung.
penghubung pelayaran. Para nelayan Bugis
Kedatangan etnis Bugis di Serangan
ketika itu, bersamaan dengan peristiwa Kerajaan Badung yang tengah berperang
Bahkan
para
nelayan
Bugis
pula yang mengajarkan para penduduk Serangan tentang cara–cara berlayar. Masyarakat
Serangan
meyakini
dengan Kerajaan Mengwi. Oleh karena
penyebutan Serangan untuk pulau kecil
merasa kewalahan menghadapi pasukan
ini berawal dari rasa sira angen (siapa saja
Kerajaan
Badung
merasa sayang/kangen). Artinya siapa pun
memutuskan untuk meminta bantuan kepada
menikmati keindahan Pulau Serangan, pasti
nelayan Kampung Bugis. Melihat tipikal
diliputi perasaan sayang dan senantiasa
masyarakat Bugis yang kuat, Raja Badung
mengangeninya. Mungkin, perasaan sira
merasa tidak ragu, apalagi didukung oleh
angen itu yang dirasakan nelayan-nelayan
rasa tanggung jawab para nelayan Bugis
Bugis
94
Mengwi,
Raja
sehingga
memutuskan
bahwa
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (2): 91 - 100
ISSN : 1829 – 894X
Serangan sebagai tempat mereka menetap.
sikap yang semakin terbuka terhadap
Nelayan-nelayan Bugis yang hidup di
adanya perbedaan. Sikap multikultural
sebelah selatan Pulau Serangan saat ini
berkeyakinan bahwa suatu perbedaan jika
sudah semakin berkembang. Kampung
tidak dikelola dengan baik akan dapat
seluas 2,5 hektar ini berjumlah 70 kepala
menimbulkan terjadinya konflik. Namun,
keluarga, yakni meliputi sekitar 300 jiwa
jika dikelola dengan baik, maka perbedaan
bermukim di sana. Kehidupan mereka
justru akan memperkaya khasanah budaya
dikelilingi perkampungan Hindu dengan
dan memperkuat kesatuan berbangsa dan
sejumlah pura. Salah satunya adalah
bernegara.
Pura Sakenan yang termasuk Pura Dang
Bali sebagai bagian dari kampung
Kahyangan di Bali (Madyapadma-online.
dunia juga tidak lepas dari adanya kontak,
com).
baik melaui perdagangan maupun pariwisata
Pendidikan
Multikulturalisme
di
Kelurahan Serangan
Negara
Indonesia
yang
terdiri
atas ribuan pulau besar dan kecil dihuni oleh beragam suku dan agama dengan wilayah
budayanya
masing-masing,
di samping memiliki keunikan
antara
daerah satu dengan yang lainnya. Proses globalisasi yang dipicu oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mengakibatkan bumi seolah-olah semakin sempit sehingga perjumpaan dan pergaulan antaretnik dilakukan secara lebih mudah. Proses tersebut dalam kenyataaannya, di satu sisi
menimbulkan kesadaran
akan perbedaan dalam berbagai aspek kehidupan. Sebaliknya, di sisi lain jikalau perbedaan tersebut tidak dikelola dengan baik justru akan dapat merugikan kita. Adanya kenyataan globalisasi seperti ini, menimbulkan kesadaran tentang perlu dan pentingnya dialog dalam kehidupan yang semakin terbuka saat ini. Dengan demikian, multikultural antaretnik yang terjadi selama ini dapat menumbuhkan
yang
menyebabkan daerah ini
kental
dengan beragam budaya yang dibawa oleh pendukungnya masing-masing. Sebagai akibatnya, Bali tidak hanya dihuni oleh etnik Bali, tetapi banyak etnik lain, seperti etnik Jawa, etnik Bugis, etnik Sasak, dan banyak lagi etnik lainnya. Apa pun bentukbentuk keberagam yang dimiliki akan erat kaitannya dengan multikulturalisme. Ada banyak pengertian yang terkait dengan istilah tersebut. Dalam pandangan Syaiffudin diartikan
(2006:4) sebagai
multikulturalisme gagasan
normatif
mengenai kerukunan, toleransi, dan upaya saling
menghargai
sehingga
dengan
demikian, akan terbentuk suatu masyarakat yang harmonis saling menghargai perbedaan dan
hak
masing-masing
kebudayaan
penyusun suatu bangsa. Dalam pandangan lain Soenarto (2005:222) mengatakan bahwa multikulturalisme adalah ide yang menekankan pentingnya penghormatan antarberbagai kelompok masyarakat yang memiliki kebudayaan berbeda atau suatu penghormatan yang memungkinkan setiap 95
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (2): 91 - 100
ISSN : 1829 – 894X
kelompok, termasuk kelompok minoritas
pulau kecil di tenggara Pulau Bali ini juga
untuk
kebudayaan
dihuni oleh etnik Bugis pemeluk Islam
mereka tanpa mengalami prasangka buruk
yang taat. Komunitas non-Hindu tersebut
dan permusuhan. Senada dengan hal
terkonsentrasi di kompleks permukiman
tersebut Binyamin Molan dkk. (2009:16)
di bagian selatan desa yang lebih dikenal
menyatakan
dengan Kampung Bugis.
mengekspresikan
bahwa
multikulturalisme
bukan merupakan cara pandang yang
Berdasarkan penuturan dari Mudana
menyamakan kebenaran-kebenaran lokal,
Wiguna yang menjabat sebagai bendesa
melainkan justru mencoba membantu
adat Serangan dikatakan bahwa meskipun
pihak-pihak yang saling berbeda pandangan
menganut kepercayaan yang berbeda,
agar membangun sikap saling menghormati
jalinan persaudaraan antara komunitas
antara satu dengan yang lainnya, untuk
Hindu dengan non-Hindu di daerahnya
menghargai perbedaan dan kemajemukan
tetap terjalin hubungan yang harmonis.
yang ada agar tercipta perdamaian sehingga
Belum pernah terjadi gesekan serius
kesejahteraan dapat dinikmati oleh seluruh
yang membuat mereka terpecah belah.
umat.
Masyarakat lokal di Serangan tidak pernah
Bertolak dari beberapa pandangan
tersebut maka multikulturalisme
dapat
menjadikan perbedaan itu sebagai sumber perpecahan. itu
penyadaran
kelompok
mengembangkan sikap toleransi, saling
terhadap keberagaman kebudayaan yang
menghargai, dan menghormati antara satu
pada gilirannya mempunyai kemampuan
dengan yang lain.
atau
untuk mendorong lahirnya sikap toleransi,
dijadikan
perbedaan
dikatakan sebagai suatu ajaran tentang individu
justru
Sebaliknya,
motivasi
dalam
Selanjutnya Mudana mengatakan
dialog, serta kerja sama di antara beragam
bahwa kerukunan beragama di Pulau
etnik dan ras. Kondisi tersebut sebagaimana
Serangan sudah terjalin dari generasi
pernyataan
bahwa
ke generasi. Lebih lanjut ditegaskan,
multikulturalitas tidak saja menyangkut
baik warga mayoritas maupun minoritas
keragaman kultur, tetapi juga menyangkut
tidak
kepentingan individu dan atau kelompok
eksklusivitas yang hanya akan memicu
sosial dalam struktur sosial (Liliweri,
tumbuhnya
2009:70).
Dalam
yang
menyatakan
pernah
mengembangkan benih-benih
menjalani
rutinitas
sikap
perpecahan. kehidupan
Desa Pakraman Serangan yang
sehari-hari, semua warga bisa berbaur dan
terletak di Kecamatan Denpasar Selatan
saling mendukung antara satu dengan yang
bisa dikatakan sebagai sebuah potret
lain tanpa ada perasaan saling curiga. Ada
desa di Bali yang sangat menghargai
tradisi unik yang terus berkembang sebagai
perbedaan. Selain didukung enam banjar
bukti begitu eratnya jalinan persaudaraan
adat yang penduduknya beragama Hindu,
antara umat Hindu dan non-Hindu. Saat
96
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (2): 91 - 100
ISSN : 1829 – 894X
hari raya besar Hindu, seperti Galungan
Sebaliknya, partisipasi aktif umat Hindu
dan Kuningan tiba, krama Hindu biasanya
juga terlihat saat umat Islam menyambut
ngejot (berbagi makanan) ke rumah-
hari-hari besar keagamaan mereka. Apabila
rumah saudaranya yang beragama Islam.
ada warga Islam yang pulang dari naik haji,
Sebaliknya, hal serupa juga dilakukan oleh
warga Hindu akan menyambut mereka
warga Islam pada saat hari raya Idul Fitri.
dengan tetabuhan baleganjur sebagai
tidak
pertanda ikut berbahagia. Demikian pula
diketahui secara pasti sejak kapan mulai
ketika malam takbiran yang dilakukan
berkembang.Akan tetapi, yang pasti leluhur-
menjelang hari raya idul fitri, warga Hindu
leluhur Serangan yang terbiasa hidup dalam
ikut serta keliling desa menyemarakkan
perbedaan itu sudah mengembangkan
takbiran yang kemudian diakhiri dengan
kearifan lokal itu sejak dulu sebagai
makan bersama di masjid setempat.
bentuk ikatan kekeluargaan. Sampai saat
Saat acara sunatan maupun perkawinan,
ini, tradisi yang terlihat sederhana itu tetap
menurut salah seorang warga muslim
dilestarikan dan justru difungsikan sebagai
Bugis Serangan yang bernama Nurhayati,
bentuk
biasanya disertai dengan pementasan atau
Fenomena
unik
pendidikan
tersebut
multikulturalisme ikatan
pertunjukan yang melibatkan umat Hindu
kekeluargaan di antara semeton (saudara)
dan muslim dalam bentuk kesenian tari
di Kelurahan Serangan.
joged dan kesenian qasidah. Sampai saat ini,
untuk
semakin
memperkokoh
Ketika umat Hindu mempersiapkan
tradisi-tradisi itu tetap berlangsung dengan
upacara keagamaan seperti pujawali di
baik. Masyarakat kedua etnik sepakat untuk
Pura Sakenan yang jatuh setiap Saniscara
terus melestarikan harmonisasi hubungan
Kliwon Kuningan, umat Islam ikut bekerja
yang sudah diwariskan para leluhur yang
secara ikhlas dalam kegiatan tersebut.
sudah berlangsung dari masa ke masa.
Mereka ikut aktif membantu umat Hindu
Hal yang tdak kalah menariknya
dalam mempersiapkan segala sesuatu
adalah bahasa yang digunakan oleh umat
yang berkaitan dengan pujawali. Bahkan,
muslim jika bercengkrama dengan umat
warga non-Hindu itu juga dilibatkan
Hindu, yakni bahasa Bali. Begitu kentalnya
dalam
hubungan tersebut mengakibatkan mereka
kepanitiaan.
Biasanya
mereka
diberi tanggung jawab untuk menjaga
sudah
tidak
memperkarakan
adanya
pemedek
perkawinan campur yang terjadi di antara
(umat yang sembahyang) serta menjaga
kedua etnik. Dalam penuturan lainnya,
kebersihan lingkungan Pura Sakenan.
Kadariyah seorang perempuan Hindu yang
Selain itu, masyarakat Bugis juga diberikan
sudah pindah agama muslim dan mengikuti
kesempatan ikut berjualan pada saat
suaminya tinggal di lingkungan kampung
pujawali untuk bersama-sama menangguk
Bugis mengatakan bahwa saat ini telah ada
rezeki yang datang setiap enam bulan sekali.
sekitar 20 orang melakukan hal yang sama
ketertiban
dan
kenyamanan
97
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (2): 91 - 100
ISSN : 1829 – 894X
baik dari Hindu menjadi muslim maupun
moral mereka pun harus turut membantu
sebaliknya dari muslim menjadi Hindu.
daerah tersebut apabila tertimpa masalah.
Meskipun terjadi perkawinan campuran,
Hal itu membuktikan bahwa masyarakat
mereka senantiasa hidup rukun dan saling
Islam Bugis peduli terhadap persoalan di
menghargai antara satu dengan yang
tempat mereka tinggal. Dengan demikian
lainnya.
sangat tidak etis apabila mereka merusak
Gambaran unik lainnya berkenaan
daerah tempat mereka tinggal karena itu
dengan multikulturalisme juga disampaikan
akan melanggar prinsip hidup yang mereka
oleh Muhadi kepala lingkungan Kampung
junjung.
Bugis, yaitu pada saat umat Hindu ada
Selain rasa patriotisme yang tinggi,
upacara kematian atau ngaben, umat muslim
adanya nilai keterbukaan warga Kampung
ikut berpartisipasi. Ketika malam hari
Bugis dapat dijadikan dasar bagi mereka
warga prianya ikut berpartisipasi di rumah
dalam mengatasi konflik sosial dan agama
duka hingga larut malam berbaur dengan
yang marak terjadi di beberapa daerah.
umat Hindu. Sedangkan warga perempuan
Sikap keterbukaan yang dibangun di antara
Bugis akan terlibat membantu bekerja apa
kedua etnik yang sudah tampak pada era
saja demi dapat meringankan keluarga yang
kerajaan masih diterapkan hingga kini yang
punya kematian. Kebersamaan tersebut
berguna dalam menyelesaikan masalah
kemudian
selesai
yang terjadi. Apalagi di tengah maraknya
prosesi penguburan atau pengabenan di
rasa curiga masyarakat Hindu Bali terhadap
kuburan setempat.
penduduk kampung Bugis. Dengan adanya
dilanjutkan
hingga
Kisah tentang nelayan kampung
keterbukaan antara masyarakat Kampung
Bugis yang memiliki ikatan erat dengan
Bugis dan masyarakat Hindu di sekitarnya
Kerajaan Badung dan umat Hindu umumnya
serta melalui interaksi sosial yang baik
mengandung nilai–nilai penting yang
akan dapat meredam rasa curiga yang ada.
mengakibatkan mereka semakin dewasa
Selain itu, sejarah tentang adanya
dalam memahami satu dengan lainnya.
nilai sosial juga tidak kalah penting dalam
Disharmonisasi hubungan di antara kedua
menjaga hubungan yang harmonis. Atas
etnik hampir dikatakan tidak pernah terjadi.
jasa para nelayan Bugis yang membantu
Adanya nilai kepahlawanan dalam sejarah
Kerajaan Badung dalam melawan Kerajaan
keberadaan Kampung Bugis yang terjadi
Mengwi,
saat para nelayan Bugis membantu Kerajaan
wilayah sebagai tempat mereka tinggal,
Badung melawan Kerajaan Mengwi juga
termasuk kepercayaan dalam menjalankan
memperkuat hubungan tersebut. Komunitas
roda pelayaran. Hal ini membentuk rasa
Bugis di Serangan memiliki prinsip di mana
timbal balik antara Kerajaan Badung dan
kaki berpijak disanalah langit dijunjung.
umat Hindu umumnya dengan nelayan
Bertolak dari prinsip tersebut, secara
Bugis sehingga menimbulkan hubungan
98
Raja
Badung
memberikan
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (2): 91 - 100
ISSN : 1829 – 894X
yang erat. Mengingat bahwa sejak dahulu
Fenomena tersebut telah lama ada dan
sudah tumbuh harmonisasi kehidupan
diperkirakan terjadi ketika Kerajaan Badung
multikultur yang saling bahu-membahu
masih eksis. Harmonisasi hubungan dalam
antara masyarakat Bugis dan masyarakat
balutan multikulturalisme diaplikasikan
Hindu Bali, maka sangat disayangkan
dalam bentuk saling menghargai antar
apabila hubungan itu dirusak begitu saja
kedua etnik dalam bergam aspek kehidupan
dengan rasa fanatisme yang berlebihan
baik di bidang ekonomi, sosial dan budaya
dan tindakan anarkis. Demikianlah cara
dalam arti luas.
masyarakat Bugis
mengatasi persoalan
konflik agama yang terjadi di sekitar kehidupan mereka, yakni dengan jalan saling menjaga daerah yang ditempati bersama. Saling terbuka dan menumbuhkan sikap toleransi beragama dalam masyarakat yang dapat membangun rasa percaya dan saling mengerti meskipun di lingkungan tersebut terdiri atas beberapa agama yang berbeda. Adanya interaksi sosial yang baik antara masyarakat yang berbeda agama dan sikap saling membantu antar satu dengan yang lainnya semakin mengharmoniskan hubungan antara masyarakat Islam Bugis dengan masyarakat Hindu Bali. SIMPULAN
Bali sebagai destinasi pariwisata
dunia selain dikenal dengan keindahan budayanya tetapi juga memiliki potensi terpendam di bidang sosial, yakni adanya toleransi yang tinggi antar etnik dengan keragaman agama yang dianutnya. Salah satu keunikan yang masih tampak diamati adalah adanya kontak budaya antar etnik Bali yang beragama Hindu dengan etnik Bugis yang beragama Islam di Kelurahan
UCAPAN TERIMA KASIH
Penelitian ini dapat terselesaikan
tentunya atas dorongan semua pihak, untuk itu ucapan terima kasih layak diberikan kepada informan yang telah membantu memberikan informasi yang dibutuhkan. Selain itu terimakasih juga diberikan kepada Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) dan Pengelola Jurnal Suluh Pendidikan atas terbitnya artikel ini. Semoga artikel ini akan ada manfaatnya bagi kita semua. DAFTAR PUSTAKA Bengen, D.G.1999. “Strategi Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan”. Makalah disampaikan dalam latihan pengelolaan hutan, kerjasama Puslit UNUD dengan Bapeda Bali Liliweri, Halo. 2009. Prasangka dan Konflik Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultur. Yogyakarta: PT LKis Printing Cemerlang. Molan, Benyamin dkk. 2009. Multikulturalisme Belajar Hidup Bersama dalam Perbedaan. Jakarta: PT. Indeks
Serangan, di Kecamatan Denpasar Selatan. 99
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (2): 91 - 100
Saifffudin, A.F. 2006. Membangun Multikulturalisme di Indonesia. Jurnal Antropologi Sosial Budaya Etnovisi,Vol.II,No.1, April 2006 Soenarto. 1993. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Fak. Ekonomi UI Supriadi, Dedi. 1994. Kreativitas Kebudayaan dan Perkembangan IPTEK. Bandung: Alfa Beta Yuniari. Ni Putu. 2011. Kisah Si Bugis di Tanah Serangan; Indahnya Semangat Multikultur. Mayapadaonline.com.
100
ISSN : 1829 – 894X
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (2): 101 - 112
ISSN : 1829 – 894X
PEREMPUAN DALAM SASTRA TRADISIONAL SEBUAH KONTEMPLASI CARA BERPERILAKU SESUAI KEARIFAN LOKAL NI NYOMAN KARMINI FPBS IKIP SARASWATI E-mail:
[email protected] Abstrak Perempuan dalam sastra tradisional dijadikan objek tulisan ini ditetapkan secara purposive. Permasalahan yang muncul adalah fenomena mengenai perempuan dalam sastra tradisional sebagai sebuah kontemplasi cara berperilaku sesuai kearifan lokal bagi perempuan Bali Hindu. Tujuan tulisan ini adalah untuk mendeskripsikan fenomena perempuan dalam sastra tradisional sebagai sebuah kontemplasi dalam berperilaku sesuai kearifan lokal bagi perempuan. Di dalamnya juga tergambarkan bahwa perempuan mampu menunjukkan esensinya serta bertanggung jawab dalam menghadapi permasalahan kehidupan. Kata kunci: perempuan, sastra tradisional, kontemplasi, kearifan lokal Abstract Women in tradisional literature made objects in this paper set by purposive. The Problem that arises is the phenomenon of women in traditional literature as a contemplation of how to behave according to local wisdom for women of Hindu Bali. The purposive of this paper is to discrible the phenomenon of women in tradisional literature as a contemplation in behaving accordance local wisdom for women. In it are also buffet that women able to demonstrate its essence and responsible in dealing with the problems of life. Key words: women. traditional literature, contemplation, local wisdom PENDAHULUAN
pada batin pembaca. Pada saat membaca
Membaca sebuah karya sastra, baik
karya sastra, pembaca merasakan berbagai
karya sastra tradisional maupun modern
keharuan rasa, seperti rasa marah, rasa
merupakan suatu kenikmatan luar biasa.
benci, rasa rindu, rasa dendam, rasa
Kenikmatan yang dialami saat membaca
sayang, rasa cinta, pembaca bisa menangis,
karya sastra memberi pengaruh luar biasa
tertawa terbahak-bahak, tertawa kecikikan,
pula kepada pembaca, baik secara fisik
tersenyum, tangan terkepal dan lain-lain.
maupun rohani/batin. Pada saat membaca
Semua itu mampu mengeluarkan toksin-
karya sastra, pembaca dapat merasakan
toksin yang mengendap pada batin setiap
kenikmatan secara langsung, yang secara
pembaca .
teori sastra disebut nilai hedonik. Pada
saat membaca, pembaca bisa tersenyum,
terjadi karena karya sastra merupakan
tertawa,
yang
satu produk masyarakat yang muncul
berdampak positif pada wajah pembaca
melalui proses penciptaan yang berkaitan
secara fisik serta berdampak positif pula
dengan sejumlah faktor, baik manusia
wajah
berbinar-binar
Hal-hal yang diuraikan di atas bisa
101
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (2): 101 - 112
ISSN : 1829 – 894X
maupun sosial budaya yang melatarinya.
karya sastra Bali yang bermanfaat bagi
Dalam penciptaan karya sastra, pengarang
kehidupan. Jenis dan isinya beraneka
dipengaruhi dan mempengaruhi masyarakat.
ragam. Karya sastra Bali dikelompokkan
Karya sastra dapat memberikan sumbangan
menjadi dua menurut zamannya, yakni
dalam membangun aspek-aspek rohaniah,
kesusastraan Bali Purwa (tradisional), dan
memberi kesenangan, manfaat tak langsung,
kesusastraan Bali Anyar (modern) (Bagus
serta memperluas wawasan pembacanya,
dan Ginarsa, 1978:3─7; Tinggen, 1994:15;
baik masalah manusiawi, sosial, maupun
Karmini, 2002:1; Karmini, 2008:2; dan
intelektual. Dengan demikian, sesuatu
Karmini, 2012:142).
yang disampaikan dalam karya sastra tetap
Purwa (tradisional) dipilah lagi menjadi dua
ada kaitannya dengan dunia nyata yang
bagian, yaitu sastra gantian (sastra lisan) dan
dapat dipahami dan diterima oleh pembaca
sastra sasuratan (sastra tulis). Kesusastraan
(Teeuw,
Bali Purwa (tradisional) memiliki bentuk
1984:219-230;
Luxemburg,
Kesusastraan Bali
1992:20-21; dan Ratna, 2005:502-503).
khas sebagai ciri kedaerahan, yakni
wahana
berbentuk puisi (tembang), berbentuk
penampung dan pengungkapan pikiran,
prosa (gancaran), dan berbentuk prosa
gagasan, perasaan, dan kepercayaan. Karya
liris (palawakia), sedangkan kesusastraan
sastra, baik tradisional maupun modern,
Bali Anyar (modern) meliputi: cerpen,
memberikan gambaran kehidupan budaya
novel, dan roman (Bagus dan Ginarsa,
pada masanya. Pengetahuan yang diperoleh
1978:3─7; Tinggen, 1994:14; dan Karmini,
lewat pemaknaan karya sastra dapat
2012:142).
membantu pembaca dalam membelajarkan
diri
Purwa (tradisional) adalah geguritan.
Karya
untuk
sastra
sebagai
peningkatan
kualitas
diri
Salah satu bentuk karya sastra Bali
(Karmini, 2010:6). Pengetahuan yang
Geguritan
diperoleh dari karya sastra dapat membantu
berbentuk puisi (tembang), yang dibentuk
dalam
oleh pupuh-pupuh, mengikuti persyaratan
mempelajari
dan
mengetahui
termasuk
karya
sastra
bangsa,
(padalingsa), dan biasanya menggunakan
yang bermanfaat bagi kehidupan ini dan
tembang macapat atau sekar alit dalam
bagi generasi berikutnya dalam rangka
penyampaiannya (Bagus dan Ginarsa,
pembangunan diri sendiri, masyarakat, dan
1978:6). Padalingsa meliputi: sejumlah
bangsa yang mandiri. Aspek budaya yang
silabel atau suku kata dalam tiap-tiap baris
tercermin pada karya sastra, antara lain:
(carik); jumlah baris pada tiap-tiap bait
agama, bahasa, sastra, seni, dan tradisi
(pada); dan bunyi akhir tiap-tiap baris
lingkungan karya sastra itu diciptakan
(Agastia,
(Karmini, 2008:2).
Tinggen, 1994:31, Depdikbud, 1996:799,
Medera, 1997: 34; dan Karmini, 2008:29).
perkembangan
budaya
suatu
Bali yang dijuluki pulau Seribu Pura
banyak memiliki dan menyimpan hasil 102
1987:13,
Sebagai
karya
Warna,
sastra,
1990:557,
geguritan
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (2): 101 - 112
ISSN : 1829 – 894X
sastra,
dikatakan sesuai dengan kearifan lokal Bali
Geguritan masih
Hindu yang dapat menimbulkan sebuah
berkembang pada masyarakat Bali dalam
kontemplasi dalam kehidupan. Sehubungan
arti masih dihayati (Karmini, 2011:46).
dengan itu, tulisan ini bertujuan untuk
Geguritan
pedoman-
mendeskripsikan perilaku yang sesuai
pedoman kehidupan, tentang etika, dan
dengan kearifan lokal Bali Hindu yang
moral. Pedoman-pedoman kehidupan yang
dapat menimbulkan sebuah kontemplasi
termuat di dalamnya dapat dipahami oleh
dalam
pembaca lewat pembacaan biasa, tetapi
masalah dan mencapai tujuan tulisan ini
menjadi semakin mudah diresapi oleh
digunakan teori gender.
pendengarnya apabila disampaikan lewat
tembang (dinyanyikan), baik dilakukan
METODE
oleh perorangan maupun oleh kelompok
santi (sekaa santi). Kebiasaan matembang
karena
melahirkan konsep “malajah sambilang
paradigma fenomenologis sebab dibangun
magending, magending sambilang malajah”
atas rumusan tentang situasi tertentu
(belajar
menyanyi
sebagaimana yang dihayati oleh individu
sambil belajar) (Karmini, 2008:3; Karmini,
atau kelompok sosial tertentu, dan relevan
2012:143).
dengan tujuan penulisan. Alsa (2004:31)
memuat dan
kode
bahasa,
kode budaya.
sarat
sambil
kode
dengan
menyanyi,
Geguritan memiliki sistem semiotik,
kehidupan.
Tulisan
ini
dan
sesuai
dengan
kualitatif,
bertolak
dari
menggolongkan fenomena seperti itu ke dalam kualitatif.
dimaknai
membedah
tergolong
objektivitasnya
sistem makna yang saling berhubungan, dapat
Untuk
Untuk mengkongkretkan tulisan ini
konteks situasi dan konteks budaya, yang
digunakan metode etik dan metode emik.
relevan
Metode dimaksud dalam penggunaannya
dengan
pernyataan
dan Hasan (1994:4, 62-63).
Halliday Geguritan
digabungkan
dengan
alasan
bahwa
yang dijadikan objek tulisan ini adalah
terhadap pandangan manusia hendaknya
Geguritan Diah Sawitri karya I Wayan
tidak lepas dari sistem sosial yang
Djapa. Dalam Geguritan Diah Sawitri
melingkupinya (Sudjarwo, 2001:45-46).
dikedepankan fenomena perempuan dan
Data dikumpulkan dengan teknik catat dan
perilaku sesuai kearifan lokal Bali Hindu.
wawancara (Muhadjir, 1998:28; Strauss
Perilaku perempuan yang berkearifan lokal
dan Corbin, 2003:4-5), dan dianalisis
dimaksud bila dihayati dapat menggugah
dengan metode hermeneutika. Metode
hati, menimbulkan sebuah kontemplasi diri,
hermeneutika disamakan dengan metode
dan memberi inspirasi bagi para perempuan
verstehen,
supaya dapat mandiri dalam menghadapi
metode pemahaman, serta identik dengan
masalah kehidupan. Permasalahan tulisan
metode kualitatif. Hermeneutika berarti
ini adalah perilaku yang bagaimanakah
menafsirkan
metode
atau
interpretasi,
dan
meng-interpretasikan 103
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (2): 101 - 112
(Ratna,
2004:39,
45-46).
Metode
ISSN : 1829 – 894X
Berkali-kali
Sang
Hyang
Yama
hermeneutika tidak mencari makna yang
menasihati Sawitri supaya tidak menyiksa
benar, melainkan makna yang
paling
diri, dan berkali-kali pula menyuruh Sawitri
optimal. Dengan demikian, penafsiran
pulang untuk membakar mayat suaminya,
dilakukan
tujuan menjelaskan
tetapi Sawitri tetap menolak, serta tetap
makna di balik teks karya sastra, karena
mengikuti perjalanan Sang Hyang Yama
setiap subjek memandang objek melalui
yang membawa roh suaminya. Betapa
horison dan paradigma yang berbeda.
pun sulitnya perjalanan itu, Sawitri tetap
dengan
berjalan
sambil
ANALISIS
hal-hal
kebaikan,
Sinopsis Geguritan Diah Sawitri
Sang Hyang Yama luluh hatinya dan
Sawitri
memutuskan
selalu
membicarakan
sehingga
akhirnya
memilih
memberikan lima anugerah kepada Sawitri.
Satyawan sebagai suaminya walau ia tahu
Anugerah pertama, kesembuhan mata bagi
usia Satyawan hanya setahun lagi. Sawitri
mertuanya; kedua, kerajaan mertuanya
tidak pernah lupa hari kematian suaminya.
kembali; ketiga, orang tua kandungnya
Empat hari menjelang Satyawan meninggal,
memperoleh keturunan; keempat, Sawitri
Sawitri melakukan tapa brata triratra, dan
dianugerahi mempunyai keturunan; kelima,
pada hari keempat, melaksanakan upacara
suaminya dihidupkan kembali. Sawitri
homa untuk Hyang Ageni.
dan orang-orang yang dicintainya beserta
semua keturunannya hidup berbahagia dan
Satyawan merasakan sakit luar biasa
di kepalanya, sehingga dibaringkan di
terhormat.
pangkuan Sawitri. Saat itu pula, Sawitri melihat Sang Hyang Yama (Dewa Pencabut
Gender
nyawa) datang mengambil nyawa Satyawan
dan dibawa pergi. Sawitri dapat melihat
yang membedakan peran laki-laki dan
dan berbicara dengan Hyang Yama karena
perempuan. Fungsi dan peran dimaksud
berhasil melaksanakan tapa brata.
dibedakan menurut kedudukan, fungsi, dan
Atas izin Hyang Yama, Sawitri dapat
peranan masing-masing dalam berbagai
mengikuti perjalanan Sang Hyang Yama,
bidang kehidupan dan pembangunan.
yang membawa roh Satyawan. Sepanjang
Gender adalah sifat yang melekat pada
perjalanan itu, Sawitri menyampaikan hal-
kaum laki-laki dan perempuan yang
hal tentang kebaikan, tentang persahabatan
dibentuk oleh faktor-faktor sosial maupun
budi,
budaya. Itu sebabnya lahir beberapa
tentang sang darmika, sehingga Sang
anggapan tentang peran sosial dan budaya
Hyang Yama sangat suka dan menyuruh
laki-laki dan perempuan. Gender adalah
Sawitri memohon anugerah, kecuali roh
suatu konsep kultural, berupaya membuat
Satyawan.
perbedaan (distinction) dalam hal peran,
sejati,
104
tentang
perilaku
sadhu
Gender merupakan konsep sosial
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (2): 101 - 112
ISSN : 1829 – 894X
perilaku, mentalitas, dan karakteristik
Satyawan, suaminya. Usia Satyawan hanya
emosional antara laki-laki dan perempuan
setahun lagi sesuai pesan Hyang Narada.
yang berkembang dalam masyarakat.
Sawitri tokoh satia, yakni satia pada apa
Gender sebagai harapan budaya antara laki-
yang diucapkan, apa yang dipikirkan, dan
laki dan perempuan. Misalnya, perempuan
apa yang dilakukannya. Satia dimaksud
dikenal dengan lemah lembut, cantik,
dalam ajaran agama Hindu disebut trikaya
emosional, dan keibuan, sedangkan laki-
parisudha. Sebagai contoh dikutipkan bait-
laki dianggap kuat, rasional, jantan, dan
bait yang mendukung pernyataan di atas.
perkasa. Ciri-ciri itu merupakan sifat yang
Taler ya wantah apisan, bebawose kengin mijil, pacang manyerahang angga, maring onengin ring kayun, maka tetiga punika, tan mindowin, wantah apisan punika (bait 31).
dapat dipertukarkan, misalnya ada lakilaki lemah lembut, ada perempuan kuat, rasional dan perkasa. Perubahan itu dapat terjadi dari waktu ke waktu, dari tempat ke tempat yang lain (Handayani dan Sugiarti,
Terjemahannya:
2002:5-6; Mufidah, 2003:3; Karmini,
Begitu juga perkataan hanya sekali ke luarnya, untuk menyerahkan diri, kepada yang berkenan di hati, ketiganya itu (tri kaya), tidak mendua lagi, hanya sekali.
2011:48; Karmini, 2012:144; Karmini, 2013:69).
Dengan demikian, gender adalah
konsep sosial dan konsep kultural yang membedakan peran antara laki-laki dan
Maring ida Sang Satyawan, mogi rahayune panggih, santikane nenten pasha, rehning putrin cening agung, ngemanggehang terikaya, Bapa mulih, mawali ke swargaloka (bait 35).
perempuan dilihat dari nilai dan tingkah laku. Perubahan ciri-ciri dari sifat itu dapat terjadi dari waktu ke waktu atau dari tempat ke tempat yang lain. Perbedaan fungsi dan peran tersebut tidak ditentukan karena antara keduanya terdapat perbedaan
Terjemahannya: Kepada Satyawan, semoga selamat, kedamaian selalu menyertai, semoga tidak terpisahkan sebab putrimu, melaksanakan tri kaya, saya pulang kembali ke Sorga.
biologis atau kodrat, tetapi dibedakan atau dipilah-pilah menurut kedudukan, fungsi, dan peranan masing-masing dalam berbagai bidang
kehidupan
dan
pembangunan
(Karmini, 2010:70). Analisis Perilaku Tokoh dalam Cerita
Penyebab utama terjadinya konflik
pada tokoh perempuan adalah kekuasaan dan kekuatan yang lebih tinggi (antagonistic force), yakni berupa “takdir” kematian
Sawitri adalah tokoh satia wacana,
satiyeng laki dan patibrata. Ia selalu mengingat hari yang telah ditetapkan sebagai hari kematian suaminya. Empat hari menjelang kematian Satyawan, Sawitri melakukan tapa brata siang dan malam 105
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (2): 101 - 112
ISSN : 1829 – 894X
selama tiga hari dengan penuh harapan
Mertua Sawitri meragukan keber-
bahwa “takdir” kematian bagi suaminya
hasilan Sawitri dalam melakukan tapa bra-
dapat terhindarkan. Sebagai contoh dikutip
ta yang sangat berat itu. Di sini, tercermin
bait 48, pupuh Sinom.
adanya penyangsian terhadap kemampuan
Dinan ida Sang Satyawan, pacang ninggal jagat iki, nenten mari kaelingang, kapetek jeroning ati, crita petang dina malih, Sang Satyawan pacang lampus, Diyah Sawitri sayaga, nangun brata dahat siddhi, wastan ipun, Brata Triratra tan liyan. Terjemahannya: Hari kematian suaminya selalu diingat, dan dihitung-hitung di hati, singkat cerita empat hari lagi, Satyawan akan meninggal, Sawitri bersiap-siap melakukan tapa brata, yang disebut Brata Triratra. Sawitri sangat yakin, bahwa tapa brata yang dilakukannya dapat menghindarkan bahaya yang akan menimpa suaminya, walaupun mertuanya menyangsikan keberhasilannya. Sebagai contoh dikutip bait 48, pupuh Sinom. Munggwing bratane punika, kinarya de patik haji, nyadia wantah linaksanan, mahabhaya tan nibenin, anggen titiang sraya kanti, panulak bhaya puniku, mogi sida mangawinang, tetibak brata puniki, siddhi nerus, labda karya sida jaya. Terjemahannya: Brata itu dilakukan, dengan harapan bahaya tidak menimpa, dijadikan sahabat dan penolak bahaya, semoga bisa berhasil dan memperoleh kemenangan. 106
seorang perempuan. Stereotip yang menyatakan perempuan lemah, perempuan perlu dilindungi, tidak sepenuhnya benar. Perempuan tidak lemah, hal itu dapat dlihat pada perilaku Sawitri dalam menjaga rumah tangga dan keluarganya. Pada hari keempat, Sawitri melakukan upacara untuk Hyang Ageni dan akan makan pada sore hari (bait 54 pupuh Sinom). Diah Sawitri alon nabda, bratane puput kinardi, inggian kadi sapunika, titiang wahu nunas jagi, sesampuning sore lingsir, kadi iku aptining hyun, keni sampun salit arsa, ring laksanan titiang haji, sok ne tuju, wantah rahayu punika. Terjemahannya: Diah Sawitri menjawab perlahan, bra-ta selesai dilakukan, benar seperti itu, saya baru makan setelah sore hari, be-gitulah keinginan di hati, ayah jangan salah paham, terhadap perilaku saya, sebab tujuannya hanyalah keselamatan itu. Setelah mengetahui Satyawan akan ke hutan, Sawitri mengikutinya. Sawitri dilarang karena kondisi masih lemah. Keraguan terhadap kemampuan perempuan juga tercermin di sini. Satyawan meragukan kemampuan Sawitri untuk dapat berjalan di jalan yang sulit
menuju hutan, dan
juga karena kondisinya masih lemah. Penyangsian
kemampuan
perempuan
(Sawitri) mencerminkan bahwa sang tokoh
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (2): 101 - 112
ISSN : 1829 – 894X
perempuan adalah orang yang satia, tokoh
melakukan tapa brata. Sang Hyang Yama
yang imannya kuat sebab dalam kondisi
dengan lembut menyebut Sawitri sang
seperti itu ia tetap mengikuti suaminya
pagehing patibrata. Dikutip pupuh Ginada,
pergi ke hutan. Hal itu dinyatakan dalam
bait 68 sebagai conotoh.
kutipan pada bait 56, pupuh Sinom berikut ini.
Sang Satyawan nabda nimbal, uduh adi Diah Sawitri, adi durung nanin ngalas, margi rungka jurang trebis, samaliha anggan adi, sujati ya dahat kuru, rehning nglarang upawasa, Diah Sawitri gelis nyawis, daging ipun, titiang nutug beli luwas.
Terjemahannya: Sang Satyawan menjawab, wahai adik Diah Sawitri, adik belum pernah ke hutan, jalannya sangat sulit, apalagi adik masih sangat lemah karena melaksanakan puasa, Diah Sawitri cepat menjawab, pokoknya saya ikut kakak pergi. Kutipan
di
atas
mencerminkan
bahwa Sawitri memiliki kemampuan yang sangat luar biasa dalam hal mengendalikan keinginan-keinginan dan mengatasi godaan yang dapat merugikan tapa brata yang dilakukannya. Kutipan ini mencerminkan bahwa Sawitri telah terlatih melakukan tapa brata, punya keinginan dan prinsip yang kuat.
Sawitri
menidurkan
Satyawan
dipangkuannya karena kepalanya sakit luar biasa. Saat itu pula ia melihat Sang Hyang Yama (Dewa pencabut nyawa) yang datang untuk mencabut nyawa Satyawan. Sawitri menaruh kepala suaminya di tanah lalu bangun dan bertanya dengan sangat hormat kepada tamu yang datang. Sawitri dapat izin berbicara sebab keberhasilannya
Sang Hyang Yama mangandika, uduh cening Diah Sawitri, sang pagehing patibrata, upawasa wus linaku, ento ane mangawanang, cening dadi, mabawosan ngiring Bapa. Terjemahannya: Sang Hyang Yama berkata, wahai anakku Diah Sawitri, yang taat patibrata, puasa telah dilakukan, itu sebabnya, anakku boleh, berbicara dengan Bapa Pada bagian ini tampak adanya saling menghormati yang terjadi antara Sawitri dengan Hyang Yama. Hal itu terjadi karena keberhasilan Sawitri melakukan ajaran agama, patibrata serta tapa brata. Selain itu, tampak pula bahwa takdir kematian tetap merupakan teka-teki alam dan rahasia Tuhan.
Roh Sang Satyawan telah dibawa
pergi. Sawitri disuruh pulang membakar mayat suaminya, tetapi Sawitri menolak dan terus mengikuti perjalanan Hyang Yama yang membawa roh suaminya. Sawitri melakukan tata krama sebagai istri, tidak dapat dihentikan oleh siapapun untuk mengikuti suaminya termasuk oleh Beliau. Sawitri terus berbicara tentang kebenaran sejati, dan arti persahabatan. Untuk
mencapai
paramartha
atau
kebenaran sejati, manusia harus mengikuti/ menjalankan brahmacari,
catur
asrama,
grehastha,
yakni
wanaprastha, 107
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (2): 101 - 112
dan bhiksuka.
Mendengarkan hal itu,
Hyang Yama tidak dapat mengelak dan membenarkan kata Sawitri. Oleh karena itu, Sawitri dianugerahi satu anugerah kecuali roh Satyawan. Anugerah pertama yang dimohon Sawitri adalah kesembuhan mata mertuanya yang buta akibat perang. Berikut dikutip bait 78 pupuh Sinom. Sang tan sida mitet dirya, nenten sida mituwasin, ngelarang catur asrama, Brahmacari kaping siki, Grehasthane kaping kalih, Wana-prastha kaping telu, Bhiksukane kaping empat, pikolih gama linewih, sida mangguh, sujatining kapatutan Terjemahannya:
ISSN : 1829 – 894X
Duhkitannya Sang Satyawan, dados pakewuhing diri, kija pacang bwat Bhatara, belin titiang sang kinasih, mrika titiang nutug pasti, mabawos ngiring I Ratu, sang maraga wicaksana, janten pikolihnya lewih, muwuh luhung, masampriti ring sang prajnyan. Terjemahannya: Kesedihan Satyawan menjadi kesusahan saya, ke mana Bhatara bawa, kakakku terkasih, ke sanalah saya pasti, berbicara bersama Ratu (Hyang Yama) yang bijaksana, pasti memperoleh yang utama, dan sangat baik bersahabat dengan orang yang pandai Sawitri disuruh pulang dan berhenti
Orang yang tidak bisa mengendalikan indera, tidak paham pelaksanaan catur asrama, yang pertama brahmacari, yang kedua grahastha, ketiga wanaprastha, yang keempat bhiksuka memperoleh jalan utama, berhasil menemukan kebenaran.
menyiksa diri. Sawitri menolak dan berkata
Perjalanan semakin susah. Sawitri
anugerah yang ketiga, kecuali roh Satyawan.
disuruh pulang membakar mayat suaminya,
Anugerah yang dimohon Sawitri adalah
Sawitri menolak sebab duka Satyawan
supaya orang tua kandungnya mempunyai
adalah kesusahan Sawitri. Sambil berjalan,
keturunan lagi. Berikut dikutipkan bait 89
Sawitri berbicara tentang persahabatan.
pupuh Smarandana.
Bersahabat dengan orang pandai dan bijaksana
termasuk bersahabat dengan
Hyang Yama tentulah sangat baik hasilnya, kata
Sawitri.
Ucapan-ucapan
Sawitri
menyebabkan luluh hati Hyang Yama sehingga Sawitri diberi anugerah yang kedua, kecuali roh Satyawan. Anugerah yang dimohon Sawitri adalah supaya kerajaan mertuanya dikembalikan. Sebagai contoh dikutip bait 83 pupuh Sinom. 108
lagi dengan menyatakan bahwa seseorang yang sadhu budhi pasti mau menolong tanpa mempertimbangkan kawan atau lawan. Perkataannya itu sangat menyenangkan Hyang Yama sehingga Sawitri diberi
Diah Sawitri matur nyawis, ajin titiang tan paputra, mogi Ratu sweca mangko, mangda sida ya maputra, satus diri gebogannya, Sang Hyang Yama gelis muwus, kasidan kadi pinunas. Terjemahannya: Diah Sawitri menjawab, orang tua saya tidak mempunyai anak, semoga Ratu berkenan supaya bisa berputra
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (2): 101 - 112
ISSN : 1829 – 894X
lagi, seratus orang banyaknya, Sang Hyang yama gelis berkata, terpenuhi sesuai permohonan. Perjalanan semakin jauh dan semakin sulit, namun Sawitri terus berbicara dan menyatakan bahwa tali pengikat persahabatan adalah welas asih. Cinta kasih terhadap semua makhluk merupakan hal
sahabat dunia. Hyang Yama kembali luluh hatinya dan menyatakan kata-kata Sawitri patut dijadikan pedoman dalam menjalankan kehidupan. Oleh karena itu, Sawitri diberikan anugerah yang kelima, yakni
Rehning ida wikan pisan, sang mangamong sadhu budhi, setata ngawe mudita, matiti lascaryan kayun, tan ngacep pratyupakara, tan nresangsi, nenten edot kaajumang
pernah ada orang lain yang menyatakan hal itu. Oleh karena itu, Sawitri diberikan
Terjemahannya:
adalah supaya ia mempunyai anak sebagai
Sebab ia pandai sekali, sang luhur budhi, selalu membuat senang, didasari keikhlasan, tidak berharap terima kasih, tidak mementingkan diri sendiri, tidak ingin dipuji-puji.
pelanjut keturunannya yang tercermin pada bait 94 pupuh Smarandana. Diah Sawitri awot sari, inggih Ratu panembahan, mogi ngelah putra kawot, satus diri wilangannya, panglantur sentanan titiang, nika lungsur titiang Ratu, mogi asung waranugra. Terjemahannya:
Sawitri
PEMBAHASAN
Peran
gender
sangat
jelas
diaktualisasikan dalamcerita. Peran itu tercermin dalam segala tindakan yang dilakukan Sawitri (perempuan) untuk
Diah Sawitri perempuan setia, ya Tuhanku, semoga punya putra setia, banyaknya seratus orang, sebagai pelanjut keturunan, itulah permohananku Tuhan, semoga dipenuhi. Diah
kembali.
Ginada bait 99
Yama kembali luluh hatinya karena belum
Satyawan. Anugerah yang diminta Sawitri
dihidupkan
Sebagai contoh, di bawah ini dikutip pupuh
yang utama. Mendengarkan hal itu, Hyang
anugerah yang keempat, kecuali roh
Satyawan
melanjutkan
lagi
perkataannya. Bersahabat dengan orang baik hasilnya kebaikan, karena orang yang baik memegang kebenaran. Orang yang baik selalu menyenangkan hati orang lain, tidak mementingkan diri sendiri, juga tidak ingin dipuji-puji. Orang seperti itu menjadi
menghindarkan
kematian
suaminya.
Setiap usaha Sawitri disertai kerja keras dan sepenuh hati, tekad yang bulat, iman yang kuat, tidak tergoda oleh apapun yang dapat membatalkan prinsip dan tujuan hidupnya. Semua itu hanya dapat dilaksanakan apabila didasari pemahaman, penghayatan, pelaksanakan ajaran agama, dan
pengejawantahan
konsep
satia,
patibrata. Tekad dan usaha keras Sawitri membuahkan hasil yang berupa lima anugerah dari Hyang Yama.
Tokoh yang berpendidikan tersurat 109
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (2): 101 - 112
ISSN : 1829 – 894X
dan tersirat dalam cerita. Tokoh adalah
kasih juga disampaikan kepada semua
perempuan yang tahan uji, kuat lahir
guru yang pernah mendidik penulis,
batin,
sikap,
baik formal maupun non-formal. Terima
mampu mengambil keputusan, mampu
kasih disampaikan pula kepada Lembaga
melaksanakan
mampu
menentukan berat,
mampu
Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
diri,
berjuang
(LPPM) dan Pengelola Jurnal Suluh
keras, sabar, dan satia,. Perilaku tokoh
Pendidikan atas terbitnya artikel ini.
membuktikan pula bahwa ia mampu
Semoga tulisan ini ada manfaatnya bagi
menjaga harga diri dan mampu menunjukkan
pembaca.
tugas
mempertahankan
citra
jati dirinya sebagai perempuan terhormat, yang tidak segera berbangga menerima setiap anugerah, sebab tujuan yang paling pokok adalah suaminya hidup kembali dan panjang umur. Itulah sebabnya, Hyang Yama menghormatinya sebagai perempuan satyeng laki, sadhu budhi, patibrata . SIMPULAN Dari
paparan
di
atas
dapat
disimpulkan bahwa peran gender sangat jelas diaktualisasikan di dalam cerita. Fenomena
yang
tergambarkan
dalam
cerita adalah fenomena perempuan yang mampu menunjukkan esensinya sebagai perempuan yang satia, patibrata, sadhu budhi, kuat imannya, tokoh berpendidikan. Perilaku subha karma tokoh menyebabkan orang-orang di sekitarnya hidup bahagia. Perilaku tokoh cerita patut dijadikan sebuah kontemplasi dalam kehidupan ini. UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih layak di
sampaikan kepada penulis cerita, Drs. I Wayan Djapa (almarhum), para informan yang
telah
membantu
memberikan
informasi yang dibutuhkan. Ucapan terima 110
DAFTAR PUSTAKA Agastia. I.B.G. 1987. Sagara Giri:Kumpulan Esei Sastra Jawa Kuna. Denpasar: Wyasa Sanggraha. Alsa, Asmadi. 2004. Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif serta Kombnasinya dalam Penelitian Psikologi: Suatu uraian singkat dan contoh berbagai tipe penelitian. Yogyakarta:Pustaka Pelajar. Bagus, I.G.N. dan I Ketut Ginarsa. 1978. Kembang Rampe Kesusastraan Bali Purwa. Buku I. Singaraja: Balai Penelitian Bahasa. Depdikbud. 1996. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Kedua. Jakarta: Balai Pustaka. Djapa. I.W. 1999. “Geguritan”. Tabanan. Handayani, dan Sugiarti. 2002. Konsep dan Teknik Penelitian Gender. Malang: Universitas Muhammadiyah. Halliday, M.A.K. dan Ruqaiya Hasan. 1994. Bahasa, Konteks, dan Teks: Aspekaspek Bahasa dalam Pandangan Semiotik Sosial. Terjemahan dari Language, Contex, and Text: Aspects
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (2): 101 - 112
of Language in a Social-semiotik Perspective. Penerjemah Drs. Asrudin Barori Tou, M.A. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Karmini, Ni Nyoman. 2002. “Geguritan Sarasamuscaya: Analisis Bentuk, Fungsi, dan Makna”. Tesis. Denpasar: Universitas Udayana. Karmini, Ni Nyoman. 2008. “Sosok Perempuan dalam Teks Geguritan di Bali: Analisis Feminisme”. Disertasi. Denpasar: Universitas Udayana. Karmini, Ni Nyoman. 2010. “Strategi Perempuan dan Maknanya dalam Geguritan Saci”. Dimuat dalam Aksara: Jurnal Bahasa dan Sastra. No. 35, thn. XXII, Juni 2010, ISSN 0854-3283. Denpasar: Balai Bahasa. Karmini, Ni Nyoman. 2011. “Geguritan Diah Sawitri: Inspirasi Kemandirian bagi Perempuan Bali”. Dimuat dalam Sawerigading: Jurnal Bahasa dan Sastra, hlm 45-56, Volume 17, Edisi Khusus, Oktober 2011. Makassar: Balai Bahasa Ujung Pandang. Karmini, Ni Nyoman. 2012. “Analisis Feminisme dalam Geguritan Saci”. Dimuat dalam Mudra: Jurnal Seni Budaya, hlm 141-154, Volume 27, No. 2, Juli 2012. ISSN 0854-3461. Denpasar: Institut Seni Indonesia. Karmini, Ni Nyoman. 2013. “Perempuan dalam Geguritan Tam Tam” Dimuat dalam Dharmasmrti: Jurnal Ilmu Agama & Kebudayaan, hlm 6879, Vol.XI Nomor 21 April 2013. Denpasar: Universitas Hindu Indonesia.
ISSN : 1829 – 894X
Luxemburg, J.V., Mieke Bal dan Willem G. Weststeijn. 1992. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Medra, N. 1997. Kakawin dan Mabebasan di Bali. Denpasar: Upada Sastra. Mufidah. 2003. Paradigma Gender. Malang: Bayumedia Publishing. Muhadjir, H.N. 1998. Metodologi Penelitian Kualitatif: Pendekatan Positivistik, Rasionalistik, Phenomenologik, dan Realisme Metaphisik, Telaah Studi Teks dan Penelitian Agama. Edisi III. Yogyakarta: Rake Sarasin. Ratna, I Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra: dari Strukturalisme hingga Postrukturalisme Perspektif Wacana Naratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ratna, I Nyoman Kutha. 2005. Sastra dan Cultural Studies:Representasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Strauss, Anselm. dan Juliet Corbin. 2003. Dasar-dasar Penelitian Kualitatif: Tatalangkah dan Teknik-teknik Teoretisasi Data. Terjemahan Muhammad Shodiq dan Imam Muttaqien, dari judul asli Basics of Qualitative Research Grounded Theory Procedures and Techniques. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sudjarwo, H. 2001. Metodologi Penelitian Sosial. Bandung: Mandar Maju. Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya. 111
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (2): 101 - 112
Tinggen, I Nengah. 1994. Aneka sari Gending-gending Bali. Denpasar: Rhika Dewata. Warna, I.W. 1990. Kamus Bali-Indonesia. Bali: Dinas Pendidikan Dasar Provinsi.
112
ISSN : 1829 – 894X
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (2): 113 - 122
ISSN : 1829 – 894X
URINE SAPI MENINGKATKAN PRODUKSI TANAMAN SAWI HIJAU (Brassica juncea L.) DAN IMPLEMENTASINYA PADA PEMBELAJARAN HORTIKULTURA Dewa Nyoman Oka Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Saraswati e-mail:
[email protected] Abstrak Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui (1) apakah pemberian urine sapi berpengaruh terhadap produksi tanaman sawi hijau?; (2) Apakah model ekperimerin ini dapat diimplementasikan dalam proses pembelajaran hortikultura. Jenis penelitian ini adalah eksperimental, dengan menggunakan rancangan eksperimen sederhana posttest only control group design. Jumlah sampel 90 tanaman dikelompokkan menjadi dua kelompok. Kelompok eksperimen diberi urine sapi yang sudah disimpan selama 2 minggu, sedangkan untuk kelompok kontrol tidak diberi urine sapi. Data yang diperoleh berupa produksi (berat basah) tanaman sawi hijau dianalisis dengan uji-t. Hasil analisis uji-t menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara produksi sawi hijau yang diberi urine sapi dengan yang tidak diberi urine sapi. Tanaman yang diberi urine sapi produksinya lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman yang tidak diberi urine sapi. Eksperimen ini sangat relevan untuk diimplementasikan dalam pembelajaran hortikultura, mengingat eksperimen ini selain mampu meningkatkan kreativitas peserta didik, biayanya relatif murah dan memerlukan waktu hanya 42 hari. Kata kunci: urine sapi, produksi, tanaman sawi hijau, hortikultura Abstract This study is to identify (1) whether the use cow urine affects the production of green mustard; (2) whether the model of this experiment can be implemented in horticulture learning process. This is an experimental study that uses the simple experimental design, posttest only control group. 90 sample plants were grouped into two groups. The experimental group was given cow urine which had been stored for 2 weeks while the control group was not given cow urine. The data obtained were in the form of production or wet weight of leaf mustard. The t-test analysis showed that there was significant difference between the production of leaf mustard that was fed with cow urine and the production of green mustard that was not fed with cow urine. The production of the plants that were given cow urine was higher than the production of those that were not given cow urine.This experiment is very relevant to be implemented in horticulture learning since this experiment can increase creativity of the learners, is relatively low cost, takes only 42 days. Keywords: cow urine, production, green mustard, horticulture PENDAHULUAN Hortikultura atau perkebunan rakyat adalah salah satu ilmu pengetahuan yang
menitikberatkan perhatiannya pada ilmu berkebun tanaman-tanaman yang memiliki nilai seni atau estetika, kesehatan dan 113
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (2): 113 - 122
ekonmi. Dikatakann mengandung nilai seni karena dapat memenuhi kebutuhan rohani, antara lain dapat menyebabkan ketenteraman jiwa dan pemuasan bagi yang melihatnya. Hortikultara dikatakan mempunyai nilai kesehatan karena hasilnya mengandung berbagai vitamin dan mineral yang sangat dibutuhkan oleh tubuh. Sebagai bagian dari tanaman yang menghasilkan bahan makanan, hortikultura juga memiliki nilai ekonomi karena hasilnya dapat diperjualbelikan, baik di pasaran dalam negeri maupun luar negeri. Hortikultura merupakan cabang dari agronomi. Berbeda dengan agronomi, hortikultura memfokuskan pada budidaya tanaman buah (pomologi/frutikultur), tanaman bunga (florikultura), tanaman sayuran (olerikultura), tanaman obat-obatan (biofarmaka), dan taman (lansekap). Salah satu ciri khas produk hortikultura adalah perisabel atau mudah rusak karena segar (Wikipedia, 2014). Sayuran merupakan tanaman yang dapat dikonsumsi baik secara segar maupun olahan. Sayuran sangat dibutuhkan oleh masyarakat karena mengingat pentingnya asupan makanan yang segar dan sehat demi menjaga kesehatan tubuh. Permintaan akan bahan pangan terus meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk. Di antara tanaman sayuran yang mudah dibudidayakan adalah tanaman sawi hijau. Tanaman sawi hijau digemari oleh semua orang sebagai bahan untuk membuat jenis masakan seperti sayur lodeh, sup, dan lalab. Sawi hijau memiliki rasa yang enak, segar dan banyak mengandung 114
ISSN : 1829 – 894X
protein, lemak, karbohidrat, Ca, P, Fe, vitamin A, dan vitamin C. Tanaman sawi hijau sangat baik untuk menghilangkan rasa gatal di tenggorokan. Di samping itu, juga berfungsi sebagai bahan pembersih darah, memperbaiki fungsi ginjal serta memperlancar pencernaan. Revolusi hijau (green revolution) telah merubah wajah budi daya tanaman hortikultura, tidak hanya di Indonesia tetapi di seluruh dunia. Perubahan yang nyata adalah bergesernya praktik budi daya tanaman hortikultura dari praktik budi daya secara tradisional ke praktik budi daya modern yang dicirikan oleh maraknya pemakaian pupuk buatan dan penggunaan pestisida atau herbisida yang berlebihan. Berubahnya wajah praktik budi daya tanaman hortikultura ini diikuti oleh berubahnya wajah lahan pertanian yang makin hari makin kritis sebagai dampak negatif dari penggunaan pupuk anorganik, pestisida dan herbisida (Zulkarnaen, 2010). Penggunaan pupuk anorganik dan pestisida sintetik dengan dosis tinggi tidak saja berpengaruh menurunkan tingkat kesuburan tanah, tetapi juga berakibat pada merosotnya keragaman hayati dan meningkatnya serangan hama, penyakit, dan gulma. Dampak negatif juga akan tampak pada timbulnya hama yang resisten, berkembangnya organisme parasit, meningkatnya ancaman bagi organisme predator, ikan, burung, bahkan bagi kesehatan dan keselamatan manusia. Pengaruh racun tidak hanya terbatas pada daerah pemakaian, tetapi dapat menjadi semakin luas melalui komponen rantai
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (2): 113 - 122
makanan, seperti air minum, sayuran, buah-buahan dan produk-produk lain yang terkontaminasi (Zulkarnaen,2010). Mempelajari komposisi kimia tanaman akan memberi petunjuk mengenai kebutuhan nutrisi tanaman. Dengan menggunakan metode budi daya hidroponik brhasil dildentifikasi 17 unsur yang merupakan nutrien esensial pada semua tanaman dan beberapa unsur lain yang esensial untuk kelompok tanaman tertentu. Unsur yang diperlukan oleh tanaman dalam jumlah yang besar disebut makronutrien. Terdapat sembilan makronutrien yang enam unsur penyusun utama senyawa organik: karbon, oksigen, hidrogen, nitrogen, sulfur dan fosfor. Tiga unsur makronutrien lainnya adalah kalium, kalsium dan magnesium. Unsur yang diperlukan oleh tanaman dalam jumlah yang sangat sedikit disebut mikronutrien. Kedelapan mikronutrien tersbut adalah besi, klorida, tembaga, mangan, seng, molibdenum, boron dan nikel. Nitrogen, fosfor dan kalium merupakan tiga unsur mineral yang paling umum kurang terdapat pada tanah ladang dan kebun (Campbell, 2000) Urine sapi mengandung berbagai senyawa dalam bentuk terlarut yang dihasilkan oleh ginjal. Urine merupakan produk uraian dari protein di dalam tubuh (Dwijoseputro, 1992). Urine sapi mengandung auksin sebagai salah satu zat yang terkandung di dalam makanan hijau yang tidak tercerna dalam tubuh sapi dan akhirnya terbuang bersama urine sapi. Kadar auksin urine sapi betina lebih tinggi daripada sapi jantan (Supriadji, 1985).
ISSN : 1829 – 894X
Supriadji (1985) menyatakan bahwa, urine sapi dapat digunakan sebagai sumber auksin. Air kemih ini harus diencerkan dengan air bersih sehingga diperoleh konsentrasi 5% - 10%. Pencelupan dilakukan selama 10 - 15 detik menjelang ditanam. Urine sapi ini dipakai sebagai perangsang perakaran pada setek kopi Robusta. Salah satu upaya untuk merangsang pertumbuhan akar tunas setek dapat dilakukan dengan menggunakan Zat Pengatur Tumbuh. Pupuk kandang cair (urine sapi) selain dapat bekerja cepat, juga mengandung hormon tertentu yang nyata dapat merangsang perkembangan tanaman. Dalam pupuk kandang cair kandungan N dan K cukup besar, sedangkan dalam pupuk kandang padat cukup kandungan P nya, sehingga hasil campuran antara keduanya di dalam kandang merupakan pupuk yang baik bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Aisyah, 2011). Urine sapi yang selama ini dianggap limbah sebenarnya dapat dimanfaatkan menjadi pupuk cair yang kualitasnya dapat diandalkan untuk menggantikan pupuk kimia. Pupuk cair organik itu memiliki kandungan unsur hara yang lebih lengkap dibandingkan dengan pupuk kimia. Dengan pengolahan sederhana urine sapi dapat diubah menjadi pupuk cair yang nilainya lebih tinggi. Pembuatan pupuk cair dapat dilakukan dengan cara sederhana. Teknologi pembuatan pupuk cair berbahan dasar urine mudah, murah, dan memberi banyak manfaat bagi petani dan peternak. Pupuk cair dibuat dengan bahan dasar urine, feses, starter, molasses, dan air (Hadi, 2013). 115
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (2): 113 - 122
Urine sapi bisa dimanfaatkan sebagai pupuk organik cair apabila kita olah, karena mengandung unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman di antaranya Nitrogen 1%, Phospor 0,5%, Kalium 1,5%, Carbon 1,1 %, Air 92%, dan fito hormon Auksin yaitu zat perangsang tubuh yang bisa digunakan sebagai zat pengatur tumbuh. Setelah pupuk cair urine diolah unsur-unsur hara tersebut meningkat. Nitrogen menjadi 2,7%, Phospor menjadi 2,4%, Kalium menjadi 3,8% dan karbon menjadi 3,8%. Warna yang semula kuning berubah menjadi kehitamhitaman, dan bau yang semula menyengat jauh berkurang. Keungulan lain dari pupuk cair urine ini adalah dapat mengusir hama tikus, wereng, walang sangit dan hama penggerek, sehingga tanaman terhindar dari serangan hama-hama tersebut. Urine sapi sebaiknya tidak digunakan urine secara langsung, dengan alasan ingin praktis. Yang langsung disemprotkan pada tanaman akan membahayakan tanaman karena mengandung gas amonia. Urine minimal didiamkan dahulu selama 2 minggu tanpa diolah atau lebih bagusnya diolah terlebih dahulu (Margono, 2014). Menurut undang-undang sistem pendidikan nasional nomor 20 Tahun 2003, tujuan pendidikan nasional adalah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
116
ISSN : 1829 – 894X
Kalau kita perhatikan tujuan pendidikan di atas jelas bahwa peningkatan kreativitas peserta didik menjadi salah satu prioritas. Indek kreativitas global kita sangat rendah. Berdasarkan laporan Martin Prosperity Institutdan Richard Florida, Indek kreativitas global kita nomor dua terrendah di dunia setelah Kamboja. Duapertiga dari kemampuan kreativitas seseorang diperoleh melalui pendidikan, sepertiga sisanya berasal dari genetik. Kebalikannya berlaku untuk kemampuan intelijensia, yaitu sepertiga diperoleh dari pendidikan, duapertiga sisanya diperoleh dari genetik. Ini berarti bahwa pembelajaran berbasis intelejensia tidak akan memberikan hasil signifikan dibandingkan yang berbasis kreativitas (Mendikbud, 2013). Pembelajaran yang baik adalah pembelajaran yang menuntut keaktifan peserta didik dan bermakna (meaningfulldiscovery learning). Dalam pembelajaran aktif (discovery learning), peserta didik tidak lagi ditempatkan dalam posisi pasif sebagai penerima bahan ajar yang diberikan guru/dosen, tetapi sebagai subjek yang aktif melakukan proses berpikir, mencari, mengolah, mengurai, menggabung, me nyimpulkan, dan menyelesaikan masalah. (Hanafiah & Sukana, 2009). Berdasarkan paparan di atas, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui (1) apakah pemberian urine sapi berpengaruh terhadap produksi sawi hijau? (2) Apakah model ekperimerin ini dapat diimplementasikan dalam proses pembelajaran hortikultura?
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (2): 113 - 122
METODE Jenis penelitian ini adalah eksperimental, dengan menggunakan rancangan eksperimen sederhana posttest only control group design. Populasi dalam penelitian ini adalah tanaman sawi hijau yang ada di kotak pesemaian, yang disemaikan dari biji yang berasal dari satu tanaman induk yang telah disiapkan sebagai tanaman bibit. Tanaman sawi hijau yang akan dipakai sampel diambil secara acak dari kotak pesemaian lalu ditanam dalam pot percobaan yang sudah disediakan. Setiap pot diisi satu tanaman. Sampel dikelompokkan menjadi dua, yaitu kelompok pertama sebagai kelompok kontrol dan kelompok kedua sebagai kelompok eksperimen. Tiap kelompok terdiri 15 tanaman, karena ada tiga kali ulangan (pengujian), maka jumlah total tanaman tiap kelompok adalah 45 tanaman. Jumlah tanaman sawi hijau yang dipakai sampel untuk kedua kelompok adalah sebanyak 2 x 45 tanaman = 90 tanaman. Kelompok eksperimen diberi urine sapi yang sudah disimpan selama 2 minggu dengan cara menyiramkan secara melingkar di sekitar tanaman. Jarak penyiraman tiga sentimeter dari batang, sedangkan untuk kelompok kontrol tidak diberi urine sapi Data yang diperoleh berupa produksi (berat basah) tanaman sawi hijau diuji normalitas dan homogenitasnya. Uji normalitas dilakukan dengan menggunakan statistik Kolmogorov-Smirnov dan ShapiroWilk. sedangkan uji homogenitas dilakukan dengan uji Levene. Tarap signifikansi (α) ditetapkan 0,05. Kriteria uji normalitas
ISSN : 1829 – 894X
dan homogenitas yang digunakan adalah apabila bilangan signifikansi (sig.) lebih besar daripada taraf signifikansi (α), maka bilangan statistik yang diperoleh tidak signifikan, artinya data sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal. Begitu juga sebaliknya. Jika persyaratan normalitas dan homogenitas telah terpenuhi baru diadakan analisis parametrik dengan uji-t. HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL Pemungutan hasil penelitian di lakukan 42 hari dari tebar benih di kotak pesemaian atau 28 hari setelah pemindahan bibit ke pot. Pemungutan hasil dilakukan dengan jalan memotong bagian tanaman tiga sentimeter di atas permukaan tanah. Rata-rata produksi (berat basah) tanaman sawi hijau setelah eksperimen dengan tiga kali pengujian disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Rata-rata Produksi Tanaman Sawi Hijau
Kelompok
Pengujian I
II
III
Eksperimen 61,25
60,96
79,87
Kontrol
29,58
31,04
30,75
Berdasarkan tabel di atas dapat dilukiskan rata-rata produksi tanaman sawi hijau setelah tiga kali pengujian untuk masing-masing kelompok seperti yang tampak pada gambar 1.
117
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (2): 113 - 122
ISSN : 1829 – 894X
dan kelompok kontrol = 0,244 atau > 0,05. Berdasarkan hasil uji homogenitas dengan uji Levene ternyata bahwa data homogen. Sebab nilai p dari uji Levene untuk kelompok eksperimen = 0,066 dan kelompok kontrol 0,066 atau > 0,05. Gambar 1. Rata-rata produksi tanaman Sawi Hijau setelah dilakukan tiga kali pengujian Uji Normalitas dan Homogenitas Normalitas data produksi sawi hijau diuji dengan uji KolmogorovSmirnov ZdanShapiro-Wilk, sedangkan homogenitasnya diuji dengan uji Leven. Hasil analisis normalitas dan homogenitas data disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Uji Normalitas Data dengan Uji Kolmogorov-Smirnov Z dan Uji ShapiroWilk serta Uji Homogenitas dengan Uji Levene Nilai p Kelompok
K o l m o g o r o v - S h a p i r o - Levene Smirnov Z Wilk
Eksperimen 0,200
0,979
0,066
Kontrol
0,244
0,066
0,123
Berdasarkan hasil uji normalitas dengan uji Kolmogorov-Smirnov Z maupun uji Shapiro-Wilk terhadap data produksi tanaman sawi hijau pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol ternyata bahwa data berdistribusi normal. Sebab nilai p dari uji Kolmogorov-Smirnov Z untuk kelompok eksperimen = 0,200 dan kelompok kontrol = 0,123 atau > 0,05. Sedangkan nilai p dai uji Shapiro-Wilk untuk kelompok eksperimen = 0,979 118
Uji-t Untuk mengetahui apakah pemberian urine sapi memberi pengaruh signifikan atau tidak terhadap produksi tanaman sawi hijau, data produksi tanaman sawi hijau dianalisis dengan uji-t. Hasil analisis uji-t disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Analisis Uji-t Kelompok
Nilai t
SD
Nilai p
Eksperimen
16,987
2,173
0,000
Kontrol
16,987
2,173
0,000
Hasil analisis uji-t menunjukkan bahwa t hitung sebesar 16,987 dengan signifikansi 0,000 yang lebih kecil dari tarap signifikansi (α) yang ditetapkan 0,05. Dengan demikian berarti terdapat perbedaan yang signifikan antara produksi tanaman sawi hijau yang diberi urine sapi dengan tanaman sawi hijau yang tidak diberi urine sapi. Tanaman sawi hijau yang diberi urine sapi produksinya lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman sawi hijau yang tidak diberi urine sapi PEMBAHASAN Hasil analisis uji-t terdapat perbedaan yang signifikan antara produksi tanaman sawi hijau yang diberi urine sapi dengan
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (2): 113 - 122
tanaman sawi hijau yang tidak diberi urine sapi. Tanaman yang diberi urine sapi produksinya lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman yang tidak diberi urine sapi. Hal ini disebabkan karena urine sapi mengandung unsur mineral yang dibutuhkan oleh tanaman di antaranya nitrogen, fospor, kalium, carbon, air, dan fito hormon auksin (Margono, 2014). Unsur nitrogen, fosfor, kalium, carbon merupakan unsur esensial dan merupakan makronutrien yang artinya diperlukan dalam jumlah yang sangat banyak oleh tanaman (Campbell, 2000). Nitrogen(N) sangat diperlukan untuk pertumbuhan, terutama pada fase vegetatif, yaitu pertumbuhan cabang, daun, dan batang. Nitrogen juga bermanfaat dalam proses pembentukan hijau daun atau klorofil. Klorofil sangat berguna untuk membantu proses fotosintesis. Selain itu, nitrogen bermanfaat dalam pembentukan protein, lemak, dan berbagai persenyawaan organik lainnya. Kekurangan nitrogen dapat menyebabkan pertumbuhan tanaman tidak normal atau kerdil. Daunnya akan menguning lalu mengering. Jika kekurangan nitrogennya banyak (parah) dapat menyebabkan jaringan tanaman mengering dan mati. Buah yang kekurangan nitrogen pertumbuhannya tidak sempurna, cepat masak dan kadar proteinnya kecil.Fosfor (P) berguna untuk membentuk akar, sebagai bahan dasar protein, mempercepat penuaan buah, memperkuat batang tanaman, dan meningkatkan hasil biji-bijian dan umbiumbian. Selain itu, fosfor juga berfungsi untuk membantu proses asimilasi dan respirasi. Kekurangan fosfor menyebabkan tanaman menjadi kerdil, pertumbuhan akar
ISSN : 1829 – 894X
tidak baik, dan pertumbuhan cabang atau ranting meruncing. Selain itu, kekurangan fosfor bisa menyebabkan pemasakan buah terlambat, warna daun lebih hijau daripada keadaan normalnya, daun yang sudah tua tampak menguning sebelum waktunya, serta hasil buah atau biji kurang. Kekurangan fosfor yang parah menyebabkan tanaman tidak berbuah. Kalium (K) berfungsi untuk membantu pembentukan protein dan karbohidrat. Selain itu, kalium berfungsi untuk memperkuat jaringan tanaman dan berperan dalam pembentukan antibodi tanaman yang bisa melawan penyakit dan kekeringan. Jika kekurangan kalium, tanaman tidak tahan terhadap penyakit, kekeringan, dan udara dingin. Kekurangan kalium dapat menghambat pertumbuhan tanaman serta daun tampak agak keriting dan mengkilap. Lama kelamaan daun akan menguning di bagian pucuk dan pinggirnya. Akhirnya, bagian daun antara jari-jari menguning, sedangkan jari-jarinya tetap hijau. Selain itu, kekurangan kalium menyebabkan tangkai daun lemah sehingga mudah terkulai dan kulit biji keriput. Karbon (C) berguna untuk membentuk karbohidrat, lemak, dan protein yang bermanfaat bagi pertumbuhan tanaman. Selain itu, berfungsi untuk membentuk selulosa yang merupakan dinding sel dan memperkuat bagian tanaman. Nitrogen, fosfor dan kalium merupakan tiga unsur mineral yang paling umum kurang terdapat pada ladang dan kebun (Campbell, 2000). Urine sapi justru mengandung ketiga unsur mineral tersebut. Ini berarti bahwa dengan pemberian urine sapi unsur mineral esensial menjadi berlimpah dalam tanah pada pot tanaman
119
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (2): 113 - 122
sawi hijau sebagai kelompok eksperimen, hal yang serupa tidak terjadi dalam tanah pada pot kelompok kontrol. Akibatnya tanaman sawi hijau pada kelompok eksperimen pertumbuhannya menjadi lebih optimal, sehingga produksinyapun lebih baik. Pupuk kandang cair (urine sapi) selain dapat bekerja cepat, juga mengandung hormon tertentu yang nyata dapat merangsang perkembangan tanaman (Aisyah, 2011). Urine sapi mengandung auksin sebagai salah satu zat yang terkandung di dalam makanan hijau yang tidak tercerna dalam tubuh sapi dan akhirnya terbuang bersama urine sapi (Supriadji dan Harsono, 1985). Auksin Auksin adalah hormon tumbuh yang tidak terlepas dari proses pertumbuhan dan perkembangan tanaman (plant growth and development). Auksin berasal dari bahasa Yunani, yaitu auxein yang berarti meningkatkan. Para peneliti menemukan pertumbuhan tidak akan terjadi tanpa adanya auksin. Selain itu, studi menunjukkan auksin dapat menaikkan tekanan osmosis, meningkatkan permeabilitas sel terhadap air, mengurangi tekanan di dinding sel, meningkatkan sintesis protein, meningkatkan plastisitas, dan pengembangan dinding sel. Kesemuanya ini merupakan penunjang dalam perkembangan tanaman. Auksin dapat mempercepat pembentukan dan perpanjangan batang serta daun. Auksin juga berperan dalam perpanjangan dan pertumbuhan awal akar. Dari uraian di atas jelas bahwa kandungan urine sapi baik yang berupa unsur mineral maupun fitohormon sangat diperlukan untuk pertumbuhan fase vegetatif tanaman sawi hijau, terutama pertumbuhan 120
ISSN : 1829 – 894X
cabang, daun, dan batang selain untuk pembentukan akar, memperkuat jaringan dan mencegah daun tidak keriting. Karena produksi tanaman sawi hijau dihitung dari berat basah tanaman yang dipotong tiga sentimeter di atas permukaan tanah, yang hanya terdiri dari batang dan daun saja, maka jelas pemberian urine sapi memberi pengaruh yang signifikan terhadap produksi tanaman sawi hijau. Menurut undang-andang sistem pendidikan nasional nomor 20 Tahun 2003, tujuan pendidikan nasional adalah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warganegara yang demokratis serta bertanggung jawab. Tujuan tersebut meliputi (1) aspek sikap yang terdiri dari sikap spiritual (beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa) dan sikap sosial (berakhlak mulia, sehat, mandiri, demokratis serta bertanggung jawab); (2) aspek pengetahuan (berilmu) dan aspek keterampilan (cakap dan kreatif). Rendahnya mutu pendidikan kita disebabkan oleh rendahnya kreativitas peseta didik. Padahal kreativitas merupakan basis inovasi. Tidak akan ada inovasi tanpa kreativitas. Duapertiga dari kemampuan kreativitas seseorang diperoleh melalui pendidikan, sepertiga sisanya berasal dari genetik. Kebalikannya berlaku untuk kemampuan intelijensia, yaitu sepertiga diperoleh dari pendidikan, duapertiga sisanya diperoleh dari genetik (Mendikbud, 2013). Dalam proses pembelajaran kemampuan kreativitas diperoleh melalui: observing (mengamati), questioning
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (2): 113 - 122
(menanya), associating (menalar), experimenting (mencoba) dan networking (membentuk jejaring). Oleh karena guru/dosen perlu merancang proses pembelajaran yang mengedepankan pengalaman personal melalui proses mengamati, menanya, menalar, dan mencoba (observation based learning) untuk meningkatkan kreativitas peserta didik. Di samping itu, dibiasakan bagi peserta didik untuk bekerja dalam jejaringan melalui collaborative learning. Dengan terbuktinya pemberian urine sapi memberi pengaruh yang signifikan terhadap produksi tanaman sawi hijau, maka eksperimen ini sangat relevan untuk diimplementasikan dalam pembelajaran hortikultura. Mengingat eksperimen ini selain mampu meningkatkan kreativitas peserta didik, biayanya relatif murah dan memerlukan waktu hanya 42 hari. SIMPULAN Terdapat perbedaan yang signifikan antara produksi tanaman sawi hijau yang diberi urine sapi dengan tanaman sawi hijau yang tidak diberi urine sapi. Tanaman yang diberi urine sapi produksinya lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman yang tidak diberi urine sapi. Eksperimen ini sangat relevan untuk diimplementasikan dalam pembelajaran hortikultura, mengingat eksperimen ini selain mampu meningkatkan kreativitas peserta didik, biayanya relatif murah dan memerlukan waktu hanya 42 hari. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih disampaikan kepada I Gede Sudirga Yasa, S.Pd., M.Pd. yang telah membantu dalam proses pengolahan
ISSN : 1829 – 894X
data sehingga tulisan ini segera dapat diwujudkan.
DAFTAR PUSTAKA Aisyah, S., Sunarlin, N., Solfan, B. 2011. “Pengaruh Urine Sapi Terfermentasi dengan Dosis Interval Pemberian yang berbeda terhadap Pertumbuhan Tanaman Sawi” (Brassica Junceal L.). Agroteknologi. 2 (1): 1-5 Campbel, N.A., Reece, J.B., Mitchell, L.G. 2010. Biologi Edisi Kedelapan. Jakarta: Erlangga. Dwijoseputro. 1992. Pengantar Fisiologi Tumbuhan. Jakarta: Gramedia. Hadi, B.S. 2013. UGM Memanfaatkan Urine Sapi untuk Pupuk Cair. (online), (http://www. antaranews.com/ berita/394415/ugm-manfaatkanurine-sapi-untuk-pupuk-cair), diakses 6 Mei 2014. Hanafiah, D. & Suhana, C. 2009. Konsep Strategi Pembelajaran. Bandung: PT Retika Aditama. Mendikbud, R.I. 2013. Pengembangan Kurikulum 2013: Peran dan Tantangan LPTK. Jakarta:Kemendikbud. Margono. 2014. Pembuatan Pupuk Cair Urin Sapi. (online), (http://bppgrabag. blogspot. com/2013/09/pembuatanpupuk-cair-urine-sapi.html) diakses 6 Mei 2014. Supriadji, G. 1985. Air Kemih Sapi sebagai Perangsang Setek Kopi. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 7(2): 11-12. Bogor. Wikipedia. 2014. Hortikultura. (online), 121
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (2): 113 - 122
( h t t p : / / i d . w i k i p e d i a . o rg / w i k i / Hortikultura), diakses 27 April 2014. Zulkarnaen. 2010. Dasar-dasar Hortikultura. Jakarta: Bumi Aksara.
122
ISSN : 1829 – 894X
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (2): 123 - 132
ISSN : 1829 – 894X
PENGEMBANGAN POLA SOSIALISASI PERILAKU DEMOKRASI PANCASILA DI SEKOLAH DASAR SATHYA SAI DENPASAR Dewa Nyoman Wija Astawa FP.IPS IKIP Saraswati ABSTRAK Demokratisasi dengan berbagai ragam penampilannya terus berkembang menembus segala bidang kehidupan kolektif manusia baik yang berskala lokal, nasional, maupun global serta adanya tuntutan untuk direalisasikan dalam berbagai kehidupan politik, sosial, dan ekonomi.Tuntutan ini memiliki kaitan yang erat dengan peran guru sebagai penyampai materi dan transformasi nilai di kelas. Selain itu, kelas merupakan sarana vital dalam proses demokratisasi, serta merupakan wadah yang tepat dalam pengembangan pola demokratisasi yang sarat dengan nilai-nilai ideologis (Pancasila) melalui kegiatan belajarmengajar yang dilakukan oleh guru. Fokus utama penelitian ini adalah: bagaimana mengembangkan pola sosialisasi perilaku demokrasi Pancasila melalui inovasi/improvisasi pengajaran dalam pembelajaran PPKn ditinjau dari unsur interaksi guru-siswa, interaksi siswa dengan siswa dan suasana kelas (classroom climate) di Sekolah Dasar Sathya Sai Denpasar. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan pola sosialisasi perilaku demokrasi Pancasila yang tepat dan sesuai, efektif dan efisien.Sekaligus sebagai metode unggulan dalam penanaman/pemasyarakatan nilai dan perilaku demokratis untuk anak sekolah dasar. Oleh karena itu, metode yang dipergunakan adalah penelitian tindakan kelas atau biasa disebut educational action research dengan empat kegiatan pokok, yaitu perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan refleksi. Temuan dari kegiatan penelitian ini menyatakan bahwa penggunaan pendekatan pembelajaran demokratis dan inovatif serta penuh improvisasi dalam pembelajaran PPKn merupakan langkah konstruktif untuk mengembangkan pola sosialisasi perilaku demokratis di kelas.Selain juga merupakan langkah yang efektif dan efisien dalam mengembangkan kehidupan demokratis sesuai dengan tatanan budaya masyarakat Indonesia. Kata kunci: nilai-nilai demokratis, transformasi, Pancasila, kewarganegaraan. ABSTRACT Democratization with various performances continue to evolveto penetrateall areasof human life bothlarge-scale collective local, national, and global levelsas well asthe demand tobe realizedin a variety of political, social, and economic. This demandhas a close connection with the role ofthe teacheras a transmitter of matter and transformation of values in the classroom. In addition, the classis avital tool in the process of democratization, as well asanappropriate containerin the development pattern of democratizationis loaded wit ideological values (Pancasila) through teaching and learning activities ar ecarried out by the teacher. The main focus of this studyis: how to develo socialization patterns of behavior Pancasila democracy through innovation/ improvisation of teaching in learning in term sofelements civics teacher-student interaction, student interaction with studentsandthe atmosphere of the class (classroomclimate) Sathya Sai Primary School in Denpasar. 123
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (2): 123 - 132
ISSN : 1829 – 894X
This study aimstofind patterns of behavior socialize Pancasila democracy properand appropriate, effective and efficient. As well as asuperior method in planting/ correction al democratic values and behavior for elementary school children. There fore, the method used was action research or so-called educational action research with fourmain activities, including planning, implementation, monitoring, and reflection. The finding soft hisresearch suggest that the use of innovative learning approachesanddemocraticandfullof improvisationin learningcivicsaconstructivestepto developing democratic socialization patterns of behavior in the classroom. As well asaneffective and efficient step in developing democratic life in accordance with the order of Indonesian culture. Keywords: democratic values, transformation, Pancasila, civics. PENDAHULUAN Demokrasi adalah suatu nilai (nilai sosial, politik, ekonomi), bukan hanya cara untuk mencapai tujuan. Sebagai suatu nilai, demokrasi tidak bisa secara build-up diberikan langsung kepada seseorang baik sebagai individu maupun sebagai kelompok. Demokrasi terbentuk dalam diri seseorang melalui proses sosial yang berlangsung relatif lama dan tergantung oleh saranadan prasarana serta suasana lingkungan pendukung individu atau kelompok masyarakat bertempat tinggal. Keterpaduan kondisi inilah yang membentuk nilai dan perilaku demokratis dalam manusia. Pendidikan adalah suatu atribut yang essensial dari suatu demokrasi, demikian dikatakan oleh Santoso (1992).Sedangkan sekolah sebagai wahan pendidikan nilai merupakan salah satu lingkungan vital dalam sosialisasi nilai-nilai dan perilaku demokratis serta berkembangnya kehidupan yang demokratis.Pentingnya sekolah sebagai sarana pendidikan politik dalam menanamkan nilai dan perilaku demokrasi Pancasila terletak pada pola hubungan gurumurid di kelas.Pola hubungan guru-murid 124
secara makro mempunyai korelasi yang signifikan dengan karakteristik sekolah yang bersangkutan (Santoso, 1995). Sosialisasi perilaku demokrasi Pancasila di sekolah dasar secara normatiflegalistik berada dalam tanggung jawab seluruh guru mata pelajaran di sekolah tersebut. Namun secara legal-akademik berada dalam lingkup tanggung jawab guru mata pelajaran PPKn. Oleh karena itu, kajian sosialisasi perilaku demokrasi di sekolah dasar lebih tepat dilakukan dalam pola pembelajaran mata pelajaran PPKn.Di sisi lain, proses demokratisasi dengan berbagai ragam penampilannya, terus merambah segala bidang kehidupan kolektif manusia baik yang berskala lokal, nasional, maupun global serta adanya tuntutan untuk direalisasikan dalam berbagai kehidupan politik, sosial, dan ekonomi semakin menguat. Untuk merealisasikan hal tersebut harus diletakkan dalam kerangka tatanan masyarakat yang mengizinkan tukar pikiran, saling koreksi, persamaan, mengakui adanya perbedaan, kebebasan menyatakan pendapat secara bebas dan bertanggung jawab.Setiap pengekangan
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (2): 123 - 132
kebebasan, pencekalan atau pelarangan berbicara dan mengeluarkan pendapat bertentangan dengan prinsip falsafah kenegaraan Pancasila. Suasana atau iklim kelas merupakan a sine qua non dalam mengembangkan pendidikan nilai demokrasi pada anak. Proses demokratisasi di kelas terletak pada pola interaksi dan komunikasi guru-murid dalam kegiatan belajar-mengajar. Hal ini tidak berarti bahwa materi (content) dalam kegiatan belajar mengajar tidak mempunyai andil dalam proses demokratisasi, tetapi porsi yang terbesar dalam pendidikan nilai demokrasi terletak pada hubugan gurumurid (Rosyidan; 1996, Iksan; 1996). Faktor-faktor inilah yang melatar belakangi diadakannya penelitian tentang bagaimana pola sosialisasi perilaku demokrasi Pancasila yang tercermin dalam proses pembelajaran PPKn di sekolah dasar, serta bagaimana mengembangkan pola sosialisasi perilaku demokrasi Pancasila yang intensif, efektif, dan efisien melalui inovasi kegiatan pembelajaran tanpa mengurangi kualitas proses pembelajaran tersebut. METODE Metode penelitian yang di pergunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kelas.Sedangkan desain penelitiannya disusun dalam bentuk penelitian tindakan kelas. Dalam penelitian model ini peneliti bukan hanya sekedar memecahkan masalah pembelajaran yang ada di kelas saja, tetapi juga berupaya meningkatkan kepemilikan profesionalisme guru melalui kegiatan reflektif dan kolaboratif.Prosedur penelitian yang
ISSN : 1829 – 894X
dipergunakan berbentuk siklus (cycle) yang mengacu pada model Elliot’s (Hopkins; 1985). Siklus ini tidak hanya berlangsung satu kali, tetapi beberapa kali hingga tercapai tujuan (harapan) yang diinginkan dalam pengembangan pola sosialisasi perilaku demokrasi Pancasila melalui proses pembelajaran di kelas. Setiap siklus terdiri dari empat kegiatan pokok, yaitu perencanaan (plan), pelaksanaan (act), pengawasan (observe), dan refleksi (reflect) (Waseso; 1995). Selanjutnya pada siklus kedua dan seterusnya jenis kegiatan yang dilakukan guru bersama peneliti pada dasarnya sama, tetapi ada modifikasi pada tahap perencanaan sebagaimana terlihat dalam gambar 01. Subyek dalam kegiatan penelitian ini adalah guru kelas V yang mengajar mata pelajaran PPKn dan siswa kelas V Sekolah Dasar Sathya Sai Denpasar. Pemilihan siswa kelas V sebagai subyek dalam penelitian ini dilandasi oleh suatu alasan bahwa tingkat perkembangan kognitif dan moral anak pada usia ini sudah berada dalam tahap operasi formal. Dengan demikian mereka dapat mengemukakan pendapatnya secara rasional dan wajar. Sedangkan pemilihan Sekolah Dasar Sathya Sai Denpasar sebagai obyek penelitian ini didasarkan pada suatu fakta sosial-akademis yang khas dimiliki oleh sekolah ini.Sekolah Dasar Sathya Sai Denpasar berdiri pada tahun 2007 di bawah naungan Yayasan Sri Sathya Sai Bali.Dengan demikian sekolah ini adalah sekolah swasta yang menerapkan sistem persekolahan dengan manajemen subsidi silang.Artinya, bahwa siswa-siswa yang 125
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (2): 123 - 132 IDENTIFIKASI MASALAH TEMUAN FAKTA DAN ANALISIS PENDAHULUAN
DISKUSI DAN REFLEKSI POKOK PERMASALAHAN DAN PEMECAHANNYA SERTA RENCANA TINDAKAN
PENYUSUNAN RENCANA TINDAKAN
SIKLUS 1 PELAKSANAAN TINDAKAN
REFLEKSI DAN TINDAKAN OBSERVASI PELAKSANAAN TINDAKAN
SIKLUS 2
PENYUSUNAN RENCANA TINDAKAN PELAKSANAAN TINDAKAN
REFLEKSI DAN TINDAKAN OBSERVASI PELAKSANAAN TINDAKAN PENYUSUNAN RENCANA TINDAKAN
SIKLUS 3 PELAKSANAAN TINDAKAN
REFLEKSI DAN TINDAKAN OBSERVASI PELAKSANAAN TINDAKAN
Gambar 01: Prosedur Penelitian Tindakan (adaptasi dari Elliot’s Model) bersekolah di sini tidak dipungut bayaran secara langsung seperti pungutan SPP, melainkan menerapkan sistem donasi dari warga masyarakat yang memiliki kepedulian terhadap pendidikan, termasuk orang tua siswa. Donasi yang diberikan tidak ditentukan jumlahnya karena bersifat sukarela dan tanpa ikatan. Secara akademik, Sekolah Dasar Sathya Sai 126
ISSN : 1829 – 894X
Denpasar menerapkan kurikulum nasional (Diknas), dikombinasikan dengan muatan lokal (budaya Bali), dan penerapan lima tehnik Pendidikan Nilai-nilai Kemanusiaan Sathya Sai (PNKSS) yang diadopsi dari Institut Sathya Sai, India. HASIL 1. Temuan Awal Penelitian Fokus utama penelitian ini adalah sosialisasi perilaku demokrasi Pancasila yang tercermin pada proses pembelajaran PPKn di kelas V Sekolah Dasar Sathya Sai Denpasar. Sedangkan indikator yang menandai proses sosialisasiperilaku demokrasi Pancasila melalui kegiatan pembelajaran tersebut adalah interaksi guru-siswa, interaksi siswa-siswa, dan suasana kelas yang dikembangkan oleh guru. Temuan hasil pengamatan yang dilakukan terhadap kegiatan pembelajaran yang dilakukan guru mata pelajaran PPKn di kelas V adalah: 1) pola pembelajaran yang dilaksanakan masih sarat dengan penggunaan metode ceramah., 2) komunikasi guru-siswa yang berpola “teachercenter”, 3) cara mengajukan pertanyaan dengan menyebut nama terlebih dahulu, 4) guru lebih mendominasi aktivitas pembelajaran, 5) pertanyaan yang diajukan bersifat pengetahuan, 6) guru berkomentar langsung atas jawaban siswa, dan 7) minimnya upaya melibatkan siswa secara aktif. Temuan ini mengindikasikan bahwa pola sosialisasiperilaku demokrasi Pancasila yang tercermin dalam pembelajaran PPKn di kelas V SD Sathya Sai Denpasar masih bercorak konvensional dengan pola interaksi guru-siswa yang satu arah,
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (2): 123 - 132
persaingan yang kurang sehat, dan suasana pembelajaran yang bernuansa otoriter. Namun demikian interaksi siswa-siswa yang akrab dan penuh rasa persaudaraan sangat membantu lebih cairnya suasana pembelajaran. 2. Temuan Hasil Penelitian Tindakan Tindakan 1: Hasil tampilan guru dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran dengan menggunakan metode tanya jawab dalam kaitannya dengan sosialisasi perilaku demokrasi Pancasila menunjukkan bahwa pola sosialisasi perilaku demokrasi Panca sila yang tercermin dalam pembelajaran PPKn di kelas V SD Sathya Sai Denpasar masih mengarah pada corak konvensional dengan pola interaksi guru-siswa yang satu arah (teachercentre), interaksi siswasiswa yang akrab, penuh rasa persaudaraan dan rasa persaingan yang tidak sehat, dan suasana kelas yang masih bernuansa otokratis. Pernyataan tersebut didasari pada temuan data penelitian dalam indikator: a. Interaksi guru-siswa Pola interaksi guru-siswa yang terjadi pada waktu kegiatan belajar mengajar PPKn berlangsung pola guru sentris, dalam pola dua arah terbatas (lihat gambar 02). Beberapa deskriptor yang ditemukan dalam tindakan 1 ini antara lain: 1) Kepemimpinan guru di kelas mengarah pada pola kepemimpinan otokratis, guru Nampak sangat menguasai kelas, memutuskan semua topic pembicaraan di kelas, tidak memberi penguatan, adanya pola dialog yang searah antara guru dan
ISSN : 1829 – 894X
siswa, mendominasi semua aktivitas di kelas, menunjuk nama siswa sebelum mengajukan pertanyaan; 2) Partisipasi belajar aktif siswa rendah, walaupun ratarata sekitar 50%-60% siswa mengacungkan tangan ketiga guru mengajukan pertanyaan, tetapi respon balik yang diberikan guru tidak merangsang siswa yang lain untuk lebih berpartisipasi secara aktif, bahkan cenderung putus asa, 3) Strategi belajar mengajar yang dikembangkan guru sebetulnya bagus dalam mengaktifkan siswa, tetapi guru kurang professional dalam melaksanakan strategi tersebut dalam pembelajaran, 4) Pendelegasian tanggung jawab yang terjadi hanya dalam wujud pemberian kesempatan kepada siswa untuk menjawab pertanyaan yang diajukan guru, 5) Tidak terdentifikasi kegiatan yang mengarah adanya kerjasama antara gurusiswa dalam proses belajar mengajar. Yang terjadi hanyalah guru melaksanakan tugasnya mengajar dan siswa mendengarkan penjelasan guru, 6) Suasana keterbukaan tidak terjadi dalam proses belajar mengajar. Proses dialog yang pasif antara guru-siswa. Guru bertanya, siswa menjawab, 7) Siswa tidak punya inisiatif, baik dalam bentuk pengajuan suatu pertanyaan maupun suatu ide, 8) Suasana kebebasan dalam berbicara dan berpendapat selama proses belajar mengajar nampaknya ada, tetapi tidak maksimal. Artinya suasana yang seperti itu tidak berkembang seperti yang diharapkan, karena praktek pembelajaran yang dilakukan guru, 9) Komunikasi yang terjadi antara guru-siswa selama proses belajar mengajar belangsung dalam pola komunikasi dua arah terbatas. Dalam 127
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (2): 123 - 132
komunikasi jenis ini guru berperan sebagai aksi dan siswa sebagai penerima aksi. Guru aktif siswa pasif.
GURU X
vv
v v v
v $
X
X
$
Gambar 02: Alur komunikasi guru-siswa di kelas. Keterangan: v = ditunjuk guru x $
= siswa angkat tangan lalu ditunjuk guru = siswa bertanya
b. Interaksi siswa-siswa Pola interaksi siswa-siswa pada waktu kegiatan belajar mengajar berlangsung kelihatan akrab dan penuh persaudaraan, tetapi juga sarat dengan persaingan yang tidak sehat dalam menggapai prestasi terbaik. Beberapa deskriptor yang bisa menjelaskan hal ini adalah: 1) Komunikasi antar siswa Komunikasi yang berlangsung antar siswa berlangsung secara akrab tetapi tidak intensif. Pola komunikasinya berlangsung dalam model banyak arah (dengan semua teman di kelas). 2) Partisipasi siswa dalam kerja 128
ISSN : 1829 – 894X
kelompok Partisipasi siswa dalam kegiatan kerja kelompok tidak kelihatan, walau guru mengajukan pertanyaan, spontanitas berkelompok dengan teman sebangku misalnya dalam mengkonfirmasikan jawaban guru tidak ada. 3) Kebebasn, keakraban, dan keterbukaan Antar siswa terdapat kebebasan dalam bergaul dan berhubungan.Siswa merasa bebas untuk berkelompok dan berhubungan dengan semua temannya di kelas. 4) Kerjasama antar siswa Kerjasama yang terjalin antar siswa dalam kegiatan nampak baik.
A
c. Suasana kelas Suasana kelas yang dikem bangkan guru selama kegiatan belajar mengajar berlangsung mengarah pada suasana otoriter. Beberapa deskriptor yang ditemukan adalah: adanya kepemimpinan guru yang otokratis, menggunakan strategi belajar “tanya jawab” tetapi terbatas. Siswa merasa tidak bebas dalam mengemukakan pendapat, guru yang berusaha untuk mendominasi arus pembicaraan dan pola komunikasi guru-siswa yang satu arah. Tindakan 2: Berdasarkan temuan penelitian hasil tampilan guru dalam proses pembelajaran dengan menggunakan metode Tanya jawab seperti yang dideskripsikan di atas dilakukan diskusi dan refleksi bersama antara guru dan peneliti. Dengan mencoba melakukan tindakan ke-2 ditemukan hasil yang
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (2): 123 - 132
menunjukkan tampilan guru dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran dengan menggunakan metode “Tanya jawab” dan “kerja kelompok” dalam kaitannya dengan sosialisasi perilaku demokrasi Pancasila, menunjukkan bahwa pola sosialisasi perilaku demokrasi Pancasila yang tercermin dalam pembelajaran PPKn di kelas V SD Sathya Sai Denpasar mengalami peningkatan, dengan indikator: 1) komunikasi anatar siswa; berlangsung secara akrab dan terbuka. Pola komunikasinya berlangsung dalam model banyak arah (lihat gambar 03); 2) partisipasi siswa dalam kegiatan kerja kelompok baik, 80%-90% terlihat aktif dalam kerja kelompok, walau tidak dalam kurun waktu yang kontinyu; 3) siswa bebas memilih anggota kelompoknya, bergaul dan berhubungan dengan semua temannya di kelas; 4) kerjasama yang terjalin antar siswa dalam kegiatan belajar Nampak cukup solid.Mereka mampu menyelesaikan pekerjaan yang cukup banyak untuk dikerjakan dalam kurun waktu yang relative singkat (30 menit). Tindakan 3: Berdasarkan temuan penelitian hasil tampilan guru dalam proses pembelajaran dengan menggunakan metode “Tanya jawab” dan “kerja kelompok” seperti yang dideskripsikan di atas, maka peneliti bersama guru melakukan diskusi sebagai refleksi atas kegiatan yang telah dilakukan dan sekaligus merencanakan untuk tindakan berikutnya. Dalam diskusi dan refleksi bersama ini peneliti menawarkan cara menyelesaikan masalah tersebut dengan
ISSN : 1829 – 894X
menggunakan pendekatan pengajaran generalisasi (generalization teaching models) dan penggunaan teknik broken square dalam proses pembelajaran di kelas. Penggunaan kedua model pendekatan ini ditujukan untuk meningkatkan intensitas dan kualitas interaksi guru-siswa, dan secara tidak langsung akan mengembangkan suasana kelas menjadi lebih demokratis. Dari pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan model pengajaran generalisasi dalam kaitannya dengan pengembangan pola sosialisasi perilaku demokrasi Pancasila di kelas ditemukan bahwa: 1) pola interaksi guru-siswa telah berubah menjadi pola banyak arah (sharing models), 2) interkasi siswa-siwa Nampak lebih akrab, terbuka, penuh persaudaraan, 3) suasana kelas (class room climate) yang dikembangkan guru Nampak lebih demokratis. Tindakan 4: Dari simpulan diskusi atas pelaksanaan penelitian tindakan 3 di atas diketahui bahwa penggunaan model pengajaran ter sbut ditujukan untuk meningkatkan intensitas interaksi antara guru-siswa, sedangkan untuk meningkatkan intensitas interaksi siswa-siswa diputuskan untuk menggunakan teknik broken square dengan menggunakan kerja kelompok seperti kesimpulan dalam diskusi sebelumnya. Ditinjau dari proses belajar mengajar, temuan dari pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan teknik broken square adalah: respon yang ditampilkan siswa terhadap pertanyaan guru tinggi, adanya dialog aktif guru-siswa, dan dialog antar siswa juga sangat dinamis, antusiasme siswa da129
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (2): 123 - 132
ISSN : 1829 – 894X
lam pembelajaran tinggi, terjadi kerjasama yang baik antar siswa, pertanyaan yang diajukan guru bersifat pemahaman tetapi meluas, ada tawaran untuk mengutarakan pendapat dan bertanya dari guru dan siswa merespon dengan mengajukan pertanyaan kepada guru. Sedangkan ditinjau dari proses sosialisasi pelaksanaan pembelajaran de ngan menggunakan teknik broken square menunjukkan bahwa pola sosialisasi perilaku demokrasi Pancasila yang tercermin dalam pembelajaran PPKn di kelas V SD Sathya Sai Denpasar sudah mengarah pada corak modern dengan pola interaksi gurusiswa yang banyak arah (sharing models), interaksi siswa-siswa yang akrab, terbuka, penuh rasa persaudaraan dan persaingan, dan suasana kelas yang demokratis. Selanjutnya mengenai suasana kelas dalam tindakan ini dapat dilihat dalam gambar berikut.
$ v
X
X
X
X
X
v
X
X $
X
v X X
$ X
$
X
X
v $ X
v
Gambar 03: Alur komunikasi guru-siswa di kelas. Keterangan: = ditunjuk guru untuk mencatat v hasil diskusi = siswa angkat tangan lalu x menyampaikan pendapatnya = siswa memimpin diskusi $ kelompok 130
adalah pola interaksi guru-siswa, interaksi siswa-siswa dan suasana kelas yang dikembangkan guru pada waktu kegiatan pembelajaran PPKn diselenggarakan. Temuan yang diperoleh dari kegiatan ini adalah guru yang bersangkutan masih mengajar dengan menggunakan cara konvensional yang biasa dilakukan sebelum dilakukan penelitian tindakan kelas, yaitu ceramah yang diselingi dengan lontaran pertanyaan-pertanyaan pada siswa. Namun demikian, interkasi guru-siswa dan siswa-siswa sudah terjalin banyak arah, adanya kebebasan serta keterbukaan dalam mengemukakan pendapat dan suasana kelas yang dikembangkan bernuansa semi demokratis.
A
GURU
X
Evaluasi : Untuk meningkatkan temuan penelitian serta untuk mengetahui dampak nyata dari perlakuan (action) yang telah dilakukan sebelumnya terhadap kegiatan instruksional yang dilakukan guru di kelas, peneliti melakukan kegiatan evaluasi dalam bentuk pengamatan ulangan di kelas.Tujuan utama kegiatan ini adalah untuk mengetahui kesinambungan pola sosialisasi perilaku demokrasi Pancasila yang tercermin dari kegiatan pembelajaran yang diselenggarakan guru pasca penelitian tindakan kelas. Focus dari kegiatan ini
PEMBAHASAN Proses penanaman perilaku demokrasi Pancasila kepada anak berlangsung secara tidak langsung. Artinyaanak mendapa dan memah serta melaksanakan nilai-nilai demokrasi Pancasila dalam ke-
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (2): 123 - 132
hidupannya sehari-hari berlangsung melalui aktivitas yang dilakukan anak seharihari, baik di sekolah, di rumah, maupun dalam lingkungan masyarakat.Di kelas, kedua hal tersebut dapat diwadahi melalui pelaksanaan/penggunaan pendekatan pengajaran dengan menggunakan metode mengajar yang memungkinkan terciptanya suasana demokratis di kelas, seperti metode inkuiri, model pengajaran generalisasi, CBSA, pengajaran dengan teknik broken square dan sebagainya. Sedangkan teknik mengajar yang dipergunakan dalam pelaksanaan pendekatan tersebut antara lain; tanya jawab, diskusi, kerja kelompok inkuiri dan sebagainya. Untuk bisa melaksanakan pola pembelajaran seperti tersebut di atas dengan sukses dan baik, dituntut adanya kemampuan professional dalam bentuk kepemilikan akan pengetahuan dan keterampilan instruksional serta kepribadian instruksional yang demokratis dari seorang guru. Dengan demikian berarti sebelum menggunakan metodologi tersebut, guru harus memiliki dan bersikap demokratis. Adapun rasional yang melandasi dilakukannya pengembangan (action) dalam pola pembiasaan perilaku demokrasi Pancasila adalah; 1) untuk meningkatkan/ mengembangkan kemampuan instruksional guru dalam menyelenggarakan kegiatan pembelajaran yang efektif, efisien dan berkualitas, 2) untuk meningkatkan kepemilikan nilai dan sikap demokratis dari anak didik, 3) bahwa setiap fenomena yang ada di sekitar kita bersifat konstruksionis, sehingga wajib hukumnya bagi kita
ISSN : 1829 – 894X
untuk melakukannya untuk suatu tujuan yang lebih baik. SIMPULAN Dalam kaitannya dengan pengembangan pola sosialisasi perilaku demokrasi Pancasila di kelas menyimpulkan bahwa penggunaan model pengajaran generalisasi dan teknik broken square telah menyebabkan terjadinya perubahan dalam pola sosialisasi perilaku dari yang bercorak konvensional berubah menjadi modern. Indikasi adanya perubahan ini ditandai oleh: 1) adanya perubahan pola interaksi gurusiswa yang bersifat “guru sentris” menjadi sharing models, 2) interaksi siswa-siswa berlangsung secara akrab, terbuka, penuh rasa persaudaraan dan tetap dalam suasana persaingan yang sehat, 3) suasana kelas (class room climate) yang dikembangkan guru menjadi bernuansa demokratis. Ada beberapa temuan penelitian yang menunjukkan adanya perubahan menjadi lebih baik pada diri guru maupun pada diri siswa dalam proses belajar mengajar setelah penelitian tindakan ini dilakukan. Temuan tersebut adalah: 1) meningkatnya kemampuan instruksional yang dimiliki guru, seperti: guru dalam mengajukan pertanyaan kepada siswa tidak lagi terlalu sering menunjuk sebelum pertanyaan diajukan,tetapi menawarkan kepada seluruh siswa, guru tidak lagi memutuskan secara langsung setiap jawaban siswa tetapi menawarkan kembali kepada siswa yang lain kemudian ditarik kesimpulannya, ada perhatian terhadap siswa, memberi kesempatan kepada siswa untuk bertanya; 2)
131
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (2): 123 - 132
kreatifitas dan aktifitas siswa meningkat, seperti bertanya pada waktu proses belajar mengajar berlangsung, ada upaya untuk konfirmasi pendapat dengan teman lain, ada upaya untuk berdiskusi; 3) suasana kelas yang dikembangkan guru berubah menjadi lebih demokratis. UCAPAN TERIMAKASIH Terima kasih disampaikan kepada I Nyoman Supertama, SE, M.Pd, Kepala Sekolah Dasar Sathya Sai Denpasar dan segenap jajaran manajemen Sathya Sai School yang telah memberikan izin dalam melakukan penelitian pada sekolah yang dikelolanya. Dr. Anuraga Duarsa, M.Rur.Sc yang telah memfasilitasi dan berkolaborasi dalam kegiatan penelitian ini, serta siswa SD Sathya Sai Denpasar yang telah terlibat secara aktif dalam kegiatan penelitian ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) IKIP Saraswati yang dengan seksama memberikan kesempatan kepada peneliti untuk belajar meningkatkan keterampilan peneliti.
ISSN : 1829 – 894X
DAFTAR PUSTAKA Hopkins, David. 1985. A Teacher’s Guide to ClassroomResearch. Milton Keynes, Philadelphia: Open University Press. Iksan, Ahmad. 1996. Demokrasi Pancasila sebagai Demokrasi yang Terbuka dalam Peran yang Mampu Menyerap dan Mengakomodir Seluruh Aspirasi Politik yang Tumbuh di Masyarakat.Seskoad, Bandung. Rosyidan.1996. Guru PKn di Masa Depan; Masalah, Kendala, Pemecahan dan Prospek. Bandung: PPS IKIP Bandung. Santoso Amir. 1992. Demokrasi dan Pergantian Kekuasaan secara Damai. Prisma.Edisi 4 tahun 1992. Jakarta. LP3ES. Santoso Amir. 1995. Perkembangan Politik Global dan Model Pembangunan Politik Bagi Indonesia. Makalah dalam Diskusi di Pusat Asia-Afrika Deplu. Bandung. Waseso, Iksan. 1995. Wawasan dan Konsep Dasar Penelitian Tindakan Pendidikan.Makalah dalam Lokakarya Penelitian Kelas. Yogyakarta: Proyek Pendidikan Tenaga Akademik, Depdikbud. UU No.2 Tahun 1989 Tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pelaksanaannya.
132
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (2): 133 - 144
ISSN : 1829 – 894X
PENGARUH PENDEKATAN KONTEKSTUAL BERBANTUAN ASESMEN AUTENTIK TERHADAP HASIL BELAJAR MATEMATIKA DITINJAU DARI KEMAMPUAN NUMERIK Anak Agung Alit Puspawati1, Nyoman Dantes2, Made Candiasa3 Program Studi Pendidikan Dasar, Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja, Indonesia e. mail:
[email protected], dantes. nyoman @pasca.undiksha.ac.id
[email protected] ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh model pembelajaran kontekstual berbantuan asesmen Autentik ditinjau dari kemampuan numerik terhadap hasil belajar matematika. Penelitian ini dilaksanakan di kelas V SD Negeri 6 dan SD Negeri 7 Gianyar dengan menggunakan rancangan Post Test Only Control Group Design. Sampel penelitian berjumlah 116 orang yang dipilih dengan teknik Random Sampling. Data yang diperoleh diolah dengan menggunakan analisis varians (ANAVA) dua jalur dan dilanjutkan dengan uji Tukey. Hasil penelitiannya adalah : (1) secara keseluruhan, hasil belajar matematika siswa yang belajar dengan model pembelajaran kontekstual berbantuan asesmen Autentik lebih tinggi daripada siswa yang belajar dengan model pembelajaran konvensional (FA = 4.68 dengan p < 0,05), (2) terdapat pengaruh interaksi antara model pembelajaran dengan kemampuan numerik terhadap hasil belajar matematika siswa (FAB = 35.36 dengan p < 0,05). (3) untuk siswa yang memiliki kemampuan numerik tinggi, hasil belajar matematika siswa yang belajar dengan model pembelajaran kontekstual berbantuan asesmen Autentik lebih tinggi daripada siswa yang belajar dengan model pembelajaran konvensional (Q = 8.10 dengan p < 0,05), (4) untuk siswa yang memiliki kemampuan numerik rendah, hasil belajar matematika siswa yang belajar dengan model pembelajaran konvensional lebih tinggi daripada siswa yang belajar dengan model pembelajaran asesmen Autentik (Q = 3.77 dengan p < 0,05). Kata-kata kunci : asesmen autentik, hasil belajar matematika, kemampuan numerik ABSTRACT This study aimed at finding out and analyzing the effect of Autentic Assesment based contextual learning modelon mathematic learning chievement as viewed from Numeric Aptitude in mathematic teaching and learning. This study was conducted at SD Negeri 6 and SD Negeri 7 Gianyar with Post Test Only Control Group Design. The sample of this study consisted of 116 students that were selected by using Random Sampling. The data obtained were analyzed by two-way ANOVA (Analysis of Varians) with post hoc test, which was followed by Tukey test. The result of the study show the followings : (1) on the whole, the achievement of mathematic of the students who studied by Autentic assessment was higher than those who studied conventionally (FA value of 4.68 .at p < 0,05, (2) there are was an interaction effect between the use of teaching learning model and numberic aptitude (FAB value 35.36 at p < 0,05). (3) the student who had high numberic aptitude and studied by Autentic assessment had higher on mathematic learning 133
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (2): 133 - 144
ISSN : 1829 – 894X
achievement than those who had high numberic aptitude and studied conventionally (Q value of 8.10 at p < 0,05), (4) and the student who had low numberic aptitude and studied conventionally had higher on mathematic learning achievement than those who had low numberic aptitude and studied by perfomance assessment (Q value of 3.77 at p < 0,05). Keywords : autentic assesment, mathematic learning outcome, numberio aptitude. PENDAHULUAN Penelitian ini dilatar belakangi pengamatan terhadap kondisi siswa di SD Negeri 6 dan SD Negeri 7 Gianyar yang menunjukkan indikasi penurunan baik yang berhubungan dengan kemampuan akademis maupun sikap terhadap pelajaran, khususnya pada mata pelajaran matematika. Tuntutan kurikulum yang diterapkan saat ini menuntut pada konsep belajar tuntas. Kondisi ini tentunya sangat menyulitkan guru dalam upaya menuntaskan siswa dalam penguasaan materi pelajaran. Rendahnya ketuntasan belajar siswa disebabkan oleh salah satunya karena rendahnya aktivitas siswa dalam proses pembelajaran, seperti misalnya kecenderungan siswa hanya menunggu instruksi dari guru tanpa mau berusaha untuk mencari penyelesaian dari suatu permasalahan. Akumulasi dari kondisi seperti itu akan berimplikasi terhadap rendahnya hasil belajar matematika siswa (Nurhadi, 2004). Penerapan model pembelajaran ini diidentifikasikan sebagai salah satu faktor yang bisa mempengaruhi hasil belajar siswa. Diharapkan dalam proses pembelajaran matematika siswa dihadapkan pada permasalahan yang dihadapi oleh siswa yang berkaitan langsung dengan kehidupan sehari-hari (Fowler dalam Muslich 2007.221).. Sehubungan dengan hal tersebut, dalam 134
penelitian ini diterapkan sebuah model pembelajaran untuk merangsang siswa agar mau mengaktualisasikan dirinya sehingga tujuan pembelajaran bisa dicapai. Model pembelajaran yang diterapkan adalah model pembelajaran berbantuan asesmen Autentikyaitu sebuah model pembelajaran yang menstrukturkan materi pelajaran dalam kurikulum pembelajaran yang mendorong siswa berhadapan dengan masalah-masalah dalam kehidupan sehari-hari yang memberikan sebuah stimulus untuk belajar sehingga dalam proses pembelajaran yang dilakukan masalah tersebut dijadikan sebagai basis pembelajaran (De Fina, 1994) . Guru tidak menyampaikan konsep secara langsung tetapi memberikan masalah kepada siswa dan siswa diharapkan membangun konsep dari permasalahan yang diberikan (Kemp dan Toperoff 1996). Pembelajaran berbantuan asesmen Autentik menjadikan pembelajaran berpusat pada siswa dan guru berperan sebagai fasilitator pembelajaran(Permen Diknas Nomor 22 Tahun 2006). Sehingga model pembelajaran yang diterapkan dalam upaya peningkatan hasil belajar matematika di kelas V SD Negeri 6dan SD Negeri 7 Gianyar adalah pendekatan pembelajaran Kontekstual berbantuan asesmen Autentik. Sebagai upaya meningkatkan prestasi belajar Matematika selain
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (2): 133 - 144
mempertimbangkan factor pendekatan pembelajaran yang diterapkan guru, guru juga perlu mempertimbangkan factor internal siswa yang salah satunya adalh kemampuan numeric. Kemampuan numeric merupakan kemampuan yang berkaitan dengan kecermatan dan kecepatan dalam penggunaan fungsi-fungsi hitung dasar. Jika dipadukan dengan kemampuan mengingat, maka kemampuan ini dapat mengungkap kemampuan intelektual seseorang terutama kemampuan menalaran berhitung dan berpikir secara logis (Silla,2010).Dengan demikian, kemampuan numeric siswa perlu diperhatikan dalam pembelajaran matenmatika mengingat pembelajaran matematika banyak melibatkan pengerjaan operasi hitung seperti penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian. Semakin tinggi kemampuan numeric siswa, memungkinkan siswa berkembang dan berprestasi di bidang matematika. alam kegiatan pembelajaran dan pesimis terhadap kemampuannya dalam memecahkan masalah. Berlandaskan pada uraian di atas perlu dilakukan pembuktian secara empiris dengan melaksanakan penelitian tentang pengaruh penerapan model pembelajaran denganasesmen Autentik terhadap prestasi belajar matematika ditinjau dari kemampuan numeric siswa kelas V SD Negeri 6dan SD Negeri 7 Gianyar tahun pelajaran 2013/2014. Adapun tujuan dari penilitian ini adalah: tujuan penelitian adalah sebagai berikut : 1) Untuk mengetahui perbedaan prestasi belajar matematika antara siswa yang mengikuti pembelajaran Kontekstual Berbantuan Asesmen Autentik dengan siswa yang mengikuti pembelajaran
ISSN : 1829 – 894X
konvensional. 2) Untuk mengetahui interaksi antara pendekatan pembelajaran Kontekstual Berbantuan Asesmen Autentik dengan kemampuan numerik terhadap prestasi belajar siswa. 3) Untuk mengetahui perbedaan prestasi belajar matematika antara siswa yang mengikuti pembelajaran Kontekstual Berbantuan Asesmen Autentik dengan siswa yang memiliki kemampuan numerik tinggi. 4) Untuk mengetahui perbedaan prestasi belajar matematika antara siswa yang mengikuti pembelajaran Kontekstual Berbantuan Asesmen Autentik dengan siswa yang mengikuti pembelajaran konvensional pada siswa yang memiliki kemampuan numerik rendah. METODE PENELITIAN Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah post test only control group design. Dalam rancangan ini, pengambilan sampel dilakukan dengan memilih kelas yang akan dijadikan sampel secara random. Rancangan ini dipilih karena selama eksperimen tidak memungkinkan untuk mengubah kelas yang ada (Cambell, 1996:47). Rancangan penelitian tersebut merupakan rancangan yang hanya memperhitungkan skor post-test yang dilakukan pada akhir penelitian atau dengan kata lain tanpa memperhitungkan skor pre-test. Tes kemampuan yang digunakan pada penelitian ini, yaitu tes kemampuan numerik (Psikotes) yang sudah dijudges, tujuannya untuk mengetahui kemampuan numerik siswa, apakah kemampuan numeriknya tinggi atau rendah. 135
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (2): 133 - 144
Rancangan penelitian yang digunakan adalah faktorial 2 x 2 (Fraenkel dan Wallen, 1993: Candiasa, 2002; Seniati dkk, 2005). Pemilihan metode ini disesuaikan dengan data yang diharapkan, yaitu perbedaan prestasi belajar matematika sebagai akibat perlakuan yang diberikan. Variabel dalam penelitian ini adalah model pembelajaran berbantuan asesmen Autentik dan model pembelajaran konvensional sebagai variabel bebas, hasil belajar matematika sebagai variabel terikat, dan kemampuan numerik sebagai variabel moderator. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas V SD Negeri 6 dan SD Negeri 7 Gianyar dan SD Negri 2 Gianyar yang berjumlah 116 siswa yang terdiri dari 59 siswa laki-laki dan 57 siswa perempuan. Dengan demikian sampel target dalam penelitian ini adalah seluruh siswa Kelas V SD Negeri 6 Gianyar dan SD Ngeri 7 Gianyar tahun pelajaran 2013/2014 yang berjumlan 116 orang. Penentuan sampel penelitian menggunakan teknik ramdom sampling yang menghasilkan empat kelas sampel dimana dua kelas sebagai kelas eksperimen dan dua kelas sebagai kelas kontrol yang ditentukan dengan cara diundi. Sugiyono (2009: 49) mengatakan bahwa sampel adalah sebagian dari populasi itu. Arikunto (dalam Riduwan, 2009: 56) mengatakan bahwa sampel adalah bagian dari populasi (sebagian atau wakil populasi yang diteliti). Rancangan penelitian menggunakan rancangan Post-test Only Control Group Design dimana kelompok eksperimen diberikan model pembelajaran berbantuan asesmen Autentik dan kelompok kontrol diberikan model pembelajaran 136
ISSN : 1829 – 894X
konvensional. Di akhir kegiatan kedua kelompok diberikan postes yang sama berupa tes hasil belajar matematika untuk mendapatkan data tentang hasil belajar matematika yang selanjutnya di analisis dengan menggunakan analisis ANAVA dua-jalur. Untuk mengumpulkan data kemampuan numerik siswa dipergunakan tes psikologi (psiko-tesf) yang disusun oleh Sujono Sumarjono, Sedangkan data tentang prestasi belajar siswa dikumpulkan dengan tes hasil belajar yang disusun peneliti, berdasarkan pokok bahasan Faktorisasi Suku Aljabar dan Fungsi. Data hasil pengukuran dianalisis secara bertahap sesuai dengan variabel masing-masing untuk menjawab permasalahan penelitian. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah Analisis Varian Dua Jalur (ANAVA 2 JALUR) dengan bagan sebagai berikut.
Tabel 1 Rancangan ANAVA 2 Jalur (factorial 2x2) Pembelajaran (A) Kemampuan Numerik (B) Kemampuan Tinggi (Bl)
Numerik
Kemampuan Rendah (B2)
Numerik
Total
Asesmen Autentik (Al)
Konvensional (A2)
A1B1
A1B1
A1B2
A2B2
A1B1 + A1B2
A1B1 + A2B2
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pengujian hipotesis pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan analisis varians (ANAVA) dua jalur.Uji ANAVA memprasyaratkan uji normalitas sebaran
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (2): 133 - 144
data da uji homogenitas varians. Untuk keperluan ini dilakukan uji persyaratan ANAVA, yaitu uji normalitas sebaran data dan homogenitas varians. Hasil perhitungan dan uji signifikan normalitas sebaran data dengan uji ChiKuadrat secara keseluruhan disajikan pada Tabel 2 berikut. Tabel 2. Rekapitulasi Hasil Uji Normalitas Sebaran Data Hasil Belajar Matematika untuk Semua Kelompok. ( fo − fe )2 Kelom Jumlah 2 c = ∑ pok Sampel fe
c 2 tabel
Kesim pulan
A1
40
7.52
11,070 Normal
A2
40
9.51
11,070 Normal
B1
40
6.42
11,070 Normal
B2
40
7.77
11,070 Normal
A1B1
20
2.73
11,070 Normal
A1B2
20
6.05
11,070 Normal
A2B1
20
6.63
11,070 Normal
A2B2
20
8.90
11,070 Normal
Penelitian ini ditabulasikan sesuai dengan keperluan analisis data yang tercantum dalam rancangan penelitian yang bertujuan untuk memberikan gambaran umum mengenai sebaran atau distribusi data. Sebagaimana telah dikemukakan, bahwa penelitian ini adalah penelitian eksperimen yang menggunakan rancangan analisis faktorial 2×2 sehingga berdasarkan rancangan tersebut maka deskripsi data yang akan disajikan pada bagian ini terdiri atas delapan kelompok distribusi, yaitu: (1) hasil belajar matematika kelompok siswa yang diajar dengan model pembelajaran assesmen Autentik , (2) hasil belajar matematika kelompok siswa yang diajar
ISSN : 1829 – 894X
dengan model pembelajaran konvensional, (3) hasil belajar matematika kelompok siswa yang memiliki kemampuan numerik tinggi, (4) hasil belajar matematika kelompok siswa yang memiliki kemampuan numerik rendah, (5) hasil belajar matematika kelompok siswa yang diajar dengan model pembelajaran asesmen Autentik pada siswa yang memiliki kemampuan numerik tinggi, (6) hasil belajar matematika kelompok siswa yang diajar dengan model pembelajaran asesmen Autentik pada siswa yang memiliki kemampuan numerik rendah, (7) hasil belajar matematika kelompok siswa yang diajar dengan model pembelajaran konvensional pada siswa yang memiliki kemampuan numerik tinggi, dan (8) hasil belajar matematika kelompok siswa yang diajar dengan model pembelajaran konvensional yang memiliki kemampuan numerik rendah. Masing-masing kelompok dari kedelapan kelompok distribusi tersebut disajikan dengan cara meyajikan rata-rata sebagai ukuran pemusatan, standar deviasi sebagai ukuran penyebaran, tabel frekuensi, dan histogram. Rekapitulasi hasil perhitungan skor hasil belajar matematika siswa dapat diikhtisarkan pada Tabel 3 berikut. Tabel 3. Rekapitulasi Hasil Perhitungan Skor Hasil Belajar Matematika Siswa x A1 A2 B1 B2 A1B1 A1B2 A2B1 A2B2
26.17 24.92 27.35 23.65 29.55 22.65 25.15 24.45
Mo
Me
S
S2
Skor Min
Skor Max
Range 14
27
26.5
4.18
17.48
19
33
25
25
2.28
5.2
21
32
32
25
26.5
2.9
8.43
23
33
27.35
23
23
2.5
6.3
19
32
13
32
30
2.35
5.52
26
33
7
23
22.5
0.54
0.3
19
26
7
25
25
1.26
1.6
23
28
5
23
23
2.94
8.7
21
32
11
137
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (2): 133 - 144
Pengujian homogenitas varians dalam penelitian ini dilakukan melalui uji Bartlett. Melalui uji Bartlett pada taraf signifikansi α = 0,05 dengan dk = 3 diperoleh nilai c 2 hitung 4.38 dan nilai c 2 tabel = 7.82 Karena nilai c 2 hitung < c 2 tabel berarti Ho diterima dan H1 ditolak, sehingga disimpulkan bahwa varians keempat kelompok data tersebut homogen, artinya keempat kelompok data berasal dari populasi yang homogen. Secara keseluruhan uji hipotesis penelitian dilakukan dengan menggunakan ANAVA dua-jalur dengan taraf signifikansi 5% dan dengan ketentuan sebagai berikut. a) Apabila antar A (model pembelajaran) nilai Fhitung> Ftabel maka dinyatakan ada perbedaan yang signifikan b) Apabila antar B (kemampuan numerik) nilai Fhitung> Ftabel maka dinyatakan ada perbedaan yang signifikan c) Apabila pada pengaruh interaksi (A x B) nilai Fhitung> Ftabel maka dinyatakan ada pengaruh interaksi yang signifikan. d) Bila hasil uji F menunjukkan terdapat pengaruh interaksi yang signifikan, maka pengujian dilanjutkan dengan Uji Tukey untuk menguji sel yang unggul pada hipotesis yang kedua dan ketiga. Hasil perhitungan dengan ANAVA dua-jalur dapat dilihat dalam Tabel berikut.
138
ISSN : 1829 – 894X
Tabel 4. Ringkasan Analisis Varians Dua Jalur Hasil Belajar Matematika untuk Semua Perlakuan Sumber Varians
JK
dk
RJK
Fhitung
Ftabel(0,05) Keterangan
A
27.6125
1
27.6125 4.681651
B
270.1125
1
270.1125
45.7971
Signifikan
AB
208.0125
1
208.0125 35.26815
Signifikan
Dalam
448.25 76
5.898026
Total
953.9875 79
3,96
Signifikan
Berdasarkan hasil analisis varians dua jalur sebagaimana disajikan pada Tabel, tampak bahwa nilai Fhitung = 4.681651 Hasil ini menunjukkan bahwa Fhitung> Ftabel. Oleh karena itu, hipotesis Ho ditolak dan H1 diterima. Ini berarti bahwa ada perbedaan hasil belajar matematika antara siswa yang mengikuti pelajaran dengan model pembelajaran asesmen Autentik dan model pembelajaran konvensional pada siswa Kelas V SD Negeri6 dan SD Negeri 7 Gianyar. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa hasil belajar matematika siswa yang mengikuti pelajaran dengan model pembelajaran asesmen Autentik dengan skor rata-rata 29.55 sedangkan kelompok siswa yang mengikuti pelajaran dengan model pembelajan konvensional memiliki skor rata-rata sebesar 22.65Ternyata skor rata-rata hasil belajar matematika siswa yang mengikuti pelajaran dengan model pembelajaran asesmen Autentik lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang mengikuti pelajaran dengan model pembelajaran konvensional. Jadi, terdapat pengaruh yang sangat signifikan antara penerapan model pembelajaran asesmen Autentik dan penerapan model pembelajaran
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (2): 133 - 144
konvensional dalam proses pembelajaran matematika terhadap hasil belajar matematika siswa. Berdasarkan hasil perhitungan uji Tukey pada kelompok siswa yang memiliki kemampuan numerik tinggi dalam belajar matematika, antara yang mengikuti pelajaran dengan model pembelajaran asesmen Autentik (kelompok A1B1) dengan skor rata-rata 29.55 dengan siswa yang mengikuti pelajaran dengan model pembelajaran konvensional (kelompok A2B1) dengan skor rata-rata 25,15 dengan rata-rata kuadrat dalam (RJKD) = 8.10 ditemukan Qhitung sebesar 6,945 sedangkan Qtabel dengan taraf signifikansi 0,05 sebesar 3.68 Ternyata nilai Qhitung > Qtabel sehingga Ho ditolak dan H1 diterima. Ini berarti bahwa siswa yang memiliki kemampuan numerik tinggi, hasil belajar matematikanya terdapat perbedaan yang signifikan antara siswa yang belajar dengan model pembelajaran asesmen Autentik dengan siswa yang belajar dengan model pembelajaran konvensional. Hasil perhitungan uji Tukey pada kelompok siswa yang memiliki kemampuan numerik rendah dalam belajar matematika, antara yang mengikuti pelajaran dengan model pembelajaran asesmen Autentik (kelompok A1B2) dengan skor rata-rata 29.55, dengan siswa yang mengikuti pelajaran dengan model pembelajaran konvensional (kelompok A2B2) dengan skor rata-rata 25.15dengan rata-rata kuadrat dalam (RJKD) 5.89 ditemukan Qhitung sebesar 3.68 sedangkan Qtabel dengan taraf signifikansi sebesar 0,05 Ternyata nilai Qhitung > Qtabel sehingga Ho ditolak dan H1 diterima. Ini berarti bahwa siswa yang me miliki kemampuan numerik rendah, hasil
ISSN : 1829 – 894X
belajar matematikanya terdapat perbedaan yang signifikan antara siswa yang belajar dengan model pembelajaran asesmen Autentik dengan siswa yang belajar dengan model pembelajaran konvensional. Hasil belajar matematika siswa yang belajar dengan model pembelajaran konvensional lebih tinggi daripada hasil belajar matematika siswa yang belajar dengan model pembelajaran asesmen Autentik pembelajaran asesmen Autentik lebih baik daripada hasil belajar siswa yang memiliki kemampuan numerik rendah yang belajar dengan model pembelajaran konvensional. Selanjutnya uji hipotesis ketiga menunjukkan bahwa hasil belajar matematika siswa yang memiliki kemampuan numerik rendah dan mengikuti pelajaran dengan model pembelajaran konvensional lebih baik daripada hasil belajar siswa yang memiliki kemampuan numerik rendah yang belajar dengan model pembelajaran asesmen Autentik. Hasil uji hipotesis kedua dan ketiga tersebut mengindikasikan adanya pengaruh interaksi antara model pembelajaran dan kemampuan numerik terhadap hasil belajar matematika siswa. Hal ini ditegaskan oleh hasil ANAVA 2x2 bahwa nilai FABhitung = 35.36 lebih besar daripada nilai Ftabel = 3.96 Hasil ini menunjukkan bahwa FABhitung signifikan. Oleh karena itu, hipotesis Ho ditolak dan H1 diterima. Jadi, ada pengaruh interaksi antara model pembelajaran dan kemampuan numerik terhadap hasil belajar matematika siswa Kelas V SD Negeri 6 dan SD Negeri 7 Gianyar. Untuk lebih mudah mencerna hasil pengujian tersebut, dapat divisualisaikan secara grafis pada Gambar sebagai berikut.
139
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (2): 133 - 144
32
Hasil belajar Matematika
25 40 00 4 16
Konvensional PBL berbantuan Konvensional asesmen Autentik
29,55 0 25,15
24,07 22,65 77 50
PBL
ber baberbant 8 uan asesmen 0 Gambarautentik 1. Interaksi Model Pembelajaran kontekstual
dengan Kemampuan Numerik
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis yang telah diuraikan, terlihat bahwa keempat hipotesis yang diajukan pada penelitian ini telah berhasil menolak hipotesis nol, rincian hasil hipotesis tersebut sebagai berikut. Pertama, hasil uji hipotesis pertama telah berhasil menolak Ho dan menerima H1, yang berarti bahwa ada perbedaan hasil belajar matematika antara siswa yang mengikuti pelajaran dengan model pembelajaran asesmen Autentik dan model pembelajaran konvensional pada siswa Kelas V SD6 dan SD Negeri 7 Gianyar. Skor rata-rata hasil belajar matematika siswa yang mengikuti pelajaran dengan model pembelajaran asesmen Autentik = 26.18 dan rata-rata skor hasil belajar matematika siswa yang mengikuti pelajaran dengan model pembelajaran konvensional = 24.93 Sehingga secara keseluruhan, hasil belajar matematika siswa yang mengikuti pelajaran dengan model pembelajaran asesmen Autentik lebih baik daripada model pembelajaran konvensional. 140
ISSN : 1829 – 894X
Hasil uji hipotesis tersebut menunjukkan bahwa model pembelajaran asesmen Autentik lebih unggul dalam meningkatkan hasil belajar matematika daripada model pembelajaran konvensional. Keunggulan penerapan model pembelajaran assesmen Autentikjuga dibuktikan dengan hasil penelitian Savoie & Andre (dalam Sutawa Redina, 2007: 47) yang menemukan bahwa penerapan asesmen Autentik dapat meningkatan motivasi untuk memberikan pemikiran kepada siswa tentang pemecahan masalah yang sedang dihadapi. Demikian pula hasil penelitian Wiswayana (2006), menunjukkan bahwa model asesmen Autentik merupakan model belajar yang mampu meningkatkan hasil dan konsep diri siswa dalam pembelajaran matematika. Sementara keunggulan peng gunaan asesmen Autentik dibuktikan dengan hasil penelitian Marhaeni (2005) pada pembelajaran Bahasa Inggris yang menemukan bahwa asesmen portofolio dapat secara langsung meningkatkan kemampuan menulis dalam Bahasa Inggris. Sementara Sumaratih (2006) menemukan hasil bahwa kemampuan menulis teks naratif Bahasa Inggris siswa yang mengikuti pembelajaran menulis dengan asesmen Autentik lebih tinggi daripada siswa yang mengikuti pembelajaran menulis dengan asesmen konvensional. Hal senada juga diungkapkan oleh Semiawan (dalam Surata, 2008: 100) yang mengatakan bahwa pembelajaran akan lebih efektif apabila kegiatan belajar sesuai dengan berkembangan intelektual anak dan dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari. Guru perlu mengenal setiap anak didik dan kemampuan-kemampuan
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (2): 133 - 144
khusus yang meraka miliki agar dapat memberikan pegalaman pendidikan yang dibutuhkan oleh masing-masing siswa untuk mengembangkan kemampuankemampuan mereka secara optimal sesuai dengan tujuan pendidikan. Oleh karena itu pembelajaran hendaknya di usahakan mengaitkan antara materi pelajaran, pengalaman siswa, perkembangan dan lingkungan di mana siswa berada melalui pemberian masalah sehingga pembelajaran menjadi bermakna. Kedua, hasil uji hipotesis kedua berhasil menolak Ho dan menerima H1 yang berarti bahwa untuk siswa yang memiliki kemampuan numerik tinggi, ada perbedaan hasil belajar matematika antara siswa yang mengikuti pelajaran dengan model pembelajaran asesmen Autentik dengan siswa yang mengikuti pelajaran dengan model pembelajaran konvensional pada siswa Kelas V SD Negeri 6 dan SD Negeri 7Gianyar. Skor rata-rata hasil belajar matematika siswa yang memiliki kemampuan numerik tiggi yang mengikuti pelajaran dengan model pembelajaran asesmen Autentik = 29.55 dan skor rata-rata hasil belajar matematika siswa yang mengikuti pelajaran dengan model pembelajaran konvensional = 25.15 sehingga dapat disimpulkan bahwa untuk siswa yang memiliki kemampuan numerik tinggi, hasil belajar matematika siswa yang mengikuti pelajaran dengan model pembelajaran asesmen Autentik lebih baik daripada siswa yang mengikuti pelajaran dengan model pembelajaran konvensional pada siswa Kelas V SD Negeri 6 dan SD Negeri 7 Gianyar.
ISSN : 1829 – 894X
Penerapan model pembelajaran asesmen Autentik pada siswa yang memiliki kemampuan numerik tinggi memberikan peluang kepada siswa untuk bisa mengeksplorasikan kemampuannya sehingga pada saat proses pembelajaran terjadi siswa mampu mengembangkan kemampuan yang mereka miliki secara optimal, karena pada proses pembelajaran dengan model pembelajaran asesmen Autentik mereka dilibatkan secara aktif untuk menemukan dan memahami konsep-konsep materi pelajaran yang dipelajari serta diberi kesempatan untuk melakukan penilaian terhadap apa yang sudah mereka lakukan. Dengan demikian, pembelajaran akan terasa lebih bermakna karena melibatkan siswa secara keseluruhan dalam proses pembelajaran. Ketiga, hasil uji hipotesis ketiga berhasil menolak Ho dan menerima H1 yang menyatakan bahwa untuk siswa yang memiliki kemampuan numerik rendah, ada perbedaan hasil belajar matematika antara siswa yang mengikuti pelajaran dengan model pembelajaran asesmen Autentik dengan siswa yang mengikuti pelajaran dengan model pembelajaran konvensional pada siswa Kelas V SD Negeri6 dan SD Negeri 7 Gianyar. Skor rata-rata hasil belajar matematika siswa yang memiliki kemampuan numerik rendah yang mengikuti pelajaran dengan model pembelajaran asesmen Autentik = 29.55 dan skor rata-rata hasil belajar matematika siswa yang mengikuti pelajaran dengan model pembelajaran konvensional = 25.15 sehingga dapat disimpulkan bahwa untuk siswa yang memiliki kemampuan 141
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (2): 133 - 144
numerik rendah, hasil belajar matematika siswa yang mengikuti pelajaran dengan model pembelajaran konvensional lebih baik daripada siswa yang mengikuti pelajaran dengan model pembelajaran pembelajaran asesmen Autentik pada siswa Kelas V SD Negeri6 dan SD Negeri 7 Gianyar. Penerapan model pembelajaran asesmen Autentik pada siswa yang memiliki kemampuan numerik rendah membuat siswa tertekan dalam mengikuti pelajaran karena pada model pembelajaran asesmen Autentik siswa dituntut mengembangkan kemampuan yang mereka miliki secara optimal. Siswa diorientasikan pada masalah yang berkaitan dengan kehidupan seharihari, dan berdasarkan pada masalah tersebut siswa diharapkan mampu untuk mengembangkan konsep-konsep yang berkaitan dengan permasahan yang sedang dihadapi. Keempat, hasil uji hipotesis keempat berhasil menolak Ho dan menerima H1. Ini berarti ada pengaruh interaksi antara model pembelajaran dengan kemampuan numerik terhadap hasil belajar matematika siswa Kelas V SD Negeri 6 dan SD Negeri 7Gianyar. Untuk siswa yang memiliki kemampuan numerik tinggi, skor ratarata hasil belajar matematika siswa yang mengikuti pelajaran dengan model pembelajaran asesmen Autentik = 29.65 dan skor rata-rata hasil belajar matematika siswa yang mengikuti pelajaran dengan model pembelajaran konvensional = 25.15sehingga dapat disimpulkan bahwa untuk siswa yang memiliki kemampuan numerik tinggi, hasil belajar matematika 142
ISSN : 1829 – 894X
siswa yang mengikuti pelajaran dengan model pembelajaran asesmen Autentik lebih baik daripada siswa yang mengikuti pelajaran dengan model pembelajaran konvensional Selanjutnya, untuk siswa yang memiliki kemampuan numerik rendah, skor rata-rata hasil belajar matematika siswa yang mengikuti pelajaran dengan model pembelajaran asesmen Autentik = 22.65 dan skor rata-rata hasil belajar matematika siswa yang mengikuti pelajaran dengan model pembelajaran konvensional = 24.07 sehingga hasil belajar matematika siswa yang mengikuti pelajaran dengan model pembelajaran konvensional lebih baik daripada siswa yang mengikuti pelajaran dengan model pembelajaran asesmen Autentik. PENUTUP Dari hasil analisis data diperoleh bahwa: 1) Ada perbedaan hasil belajar matematika antara siswa yang mengikuti pelajaran dengan model pembelajaran berbantuan asesmen Autentik dan siswa yang belajar dengan model pembelajaran konvensional pada siswa kelas V SD Negeri 6 dan SD Negeri 7 Gianyar. Hasil belajar matematika siswa yang mengikuti pelajaran dengan model pembelajaran berbantuan asesmen Autentik lebih baik daripada hasil belajar matematika siswa yang mengikuti pelajaran dengan model pembelajaran konvensional; 2) Untuk siswa yang memiliki kemampuan numerik tinggi, ada perbedaan hasil belajar matematika antara siswa yang mengikuti pelajaran dengan model pembelajaran berbantuan asesmen Autentik dan siswa yang mengikuti pelajaran dengan model
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (2): 133 - 144
pembelajaran konvensional pada siswa kelas V SD Negeri 6 dan SD Negeri 7 Gianyar. Hasil belajar siswa yang memiliki kemampuan numerik tinggi yang mengikuti pelajaran dengan model pembelajaran berbantuan asesmen Autentik lebih baik daripada siswa yang mengikuti pelajaran dengan model konvensional, 3) Untuk siswa yang memiliki kemampuan numerik rendah, ada perbedaan hasil belajar matematika antara siswa yang mengikuti pelajaran dengan model pembelajaran berbantuan asesmen Autentik dan siswa yang mengikuti pelajaran dengan model pembelajaran konvensional pada siswa kelas V SD Negeri 6 dan SD Negeri 7 Gianyar. Hasil belajar siswa yang memiliki kemampuan numerik rendah yang mengikuti pelajaran dengan model pembelajaran konvensional lebih baik daripada siswa yang mengikuti pelajaran dengan model berbantuan asesmen Autentik, dan 4) Ada pengaruh interaksi antara model pembelajaran dengan kemampuan numerik terhadap hasil belajar matematika siswa kelas V SD Negeri 6dan SD Negeri 7Gianyar. Untuk siswa yang memiliki kemampuan numerik tinggi, hasil belajar matematika siswa yang mengikuti pelajaran dengan model pembelajaran berbantuan asesmen Autentik lebih baik daripada model pembelajaran konvensional. Sebaliknya, untuk siswa yang memiliki kemampuan numerik rendah, hasil belajar matematika siswa yang mengikuti pelajaran dengan model pembelajaran konvensional lebih baik daripada model pembelajaran berbantuan asesmen Autentik. Dari temuan di atas, dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran
ISSN : 1829 – 894X
berbantuan asesmen Autentik berpengaruh terhadap hasil belajar matematika ditinjau dari kemampuan numerik pada siswa Kelas V SD Negeri 6 dan SD Negeri 7 Gianyar. Berdasarkan pembahasan hasil penelitian dan simpulan yang telah dikemukakan, ternyata faktor yang menyebabkan keberhasilan suatu proses pembelajaran adalah model pembelajaran yang diterapkan guru dan kemampuan numerik. Dengan demikian temuan penelitian ini dapat memberikan dampak positif pada pengelolaan pembelajaran, dan dapat memberikan sumbangan yang bermanfaat untuk meningkatkan proses pembelajaran yang bermuara pada kualitas hasil pembelajaran. Sehungga disarankan pada pengelola pembelajaran wajib memilih dan menyesuaikan model pembelajaran dengan memperhatikan faktor psikologis siswa terutama kemampuan numerik siswa guna meningkatkan prestasi belajar matematika. UCAPAN TERIMA KASIH Pada kesempatan ini disampaikan penghargaan dan terima kasih yang tulus kepada Rektor Undiksha Singaraja; Direktur Program Pascasarjana Undiksha; Ketua Program Studi Pendidikan Dasar (PENDAS); Prof. Dr. Nyoman Dantes; Prof. Dr. I Made Candiasa, MI.Kom.; Kepala Tata Usaha Pascasarjana Undiksha beserta staf, yang telah memberikan layanan dan bantuan dalam penyelesaian tesis ini. Ucapan terima kasih juga disampaikam kepada Kepala SD Negeri 6 dan SD Negeri 7 Gianyar di Kecamatan Gianyar dan seluruh staf Dewan Guru, atas segala dukungannya dalam proses pelaksanaan penelitian ini. 143
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (2): 133 - 144
DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsini. 2009. Dasar – Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta : Bumi Aksara. Candiasa Made, 2007. Statistik Multivariat. Disertasi Petunjuk Analisis dengan SPSS, Singaraja : Program Pasca Sarjana Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja. Dantes Nyoman, 1986. Analisis Varians : PENLOK Jurusan Ilmu Pendidikan FKIP-Universitas Udayana, Singaraja. Dantes Nyoman, 2007. Analisis Varians : Modul Metode Statistika Multivariat, Singaraja : Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja. Depdiknas, 2004. Materi Pelatihan Terintegrasi Matematika, Jakarta : Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah. Depdiknas, 2006. Model-Model Pembelajaran Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Jakarta: Direktorat Inderal Pendidikan Dasar dan Menengah.
144
ISSN : 1829 – 894X
Muslich Manur, 2007. KTSP, Pembelajaran Berbantuan KOmpetensi dan Kontekstual, Panduan bagi Guru, Kepala Sekolah, dan Pengawas Sekolah, Jakarta : Bumi Aksara. Nurhadi, 2004. Pembelajaran Kontekstual dan Penerapannya dalam KBK, Surabaya : Universitas Negeri Malang Surabaya. Riduwan, 2009. Metode dan Teknik Menyusun Tesis, Bandung: Alfabeta. Sudijono, A. 2001. Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta : Rajawali Pers. Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta Sugiyono. 2003. Undang – Undang No 20 Tentang Sisdiknas. Jakarta: Lembaran Negara. Sugiyono. 2005. Peraturan Pemerintah No.19 Tentang Standar Nasional Pendidikan. Jakarta: Lembaran Negara.
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (2): 145 - 154
ISSN : 1829 – 894X
UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMAHAMI PARAGRAF DEDUKTIF DAN INDUKTIF DENGAN MENERAPKAN METODE INKUIRI Ni Made Sueni dan I Gusti Ayu Puspita Kusuma Dewi FPBS IKIP Saraswati ABSTRAK Pengajaran bahasa Indonesia berisi usaha-usaha yang dapat membawa serangkaian keterampilan. Keterampilan ini salah satunya adalah keterampilan memahami paragraf deduktif dan induktif. Berdasarkan pengamatan langsung di kelas, dapat diketahui bahwa siswa mengalami kesulitan dalam memahami paragraf deduktif dan induktif. Hal ini terjadi karena guru masih menggunakan metode yang konvensional. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan kemampuan memahami paragraf deduktif dan induktif dengan menerapkan metode inkuiri siswa kelas VII H Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 Tabanan tahun pelajaran 2012/2013. Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas yang terdiri dari 4 ( empat ) tahap, yaitu perencanaan tindakan, pelaksanaan tindakan, observasi dan evaluasi, dan refleksi. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode observasi dan metode tes sebagai metode utama dan metode pencatatan dokumen sebagai metode pelengkap. Kemudian data ini dianalisis dengan metode analisis deskriptif. Berdasarkan analisis tersebut hasil yang diperoleh adalah kemampuan memahami paragraf deduktif dan induktif dengan menerapkan metode inkuiri siswa kelas VII H Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 Tabanan tahun pelajaran 2012/2013 mengalami peningkatan. Hal ini terbukti dari hasil pada siklus I yang diperoleh adalah 69,21 (14,58%), meningkat menjadi 81,05 (17,11%) pada siklus II. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa strategi pembelajaran yang diterapkan yaitu metode inkuiri cukup efektif untuk meningkatkan kemampuan belajar siswa. Respon siswa sangat positif terhadap strategi pembelajaran ini karena suasana belajar menyenangkan, adanya kesempatan untuk menemukan sendiri jawaban dari masalah yang dicarinya, mampu meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa agar lebih aktif, sehingga siswa lebih tertarik terhadap proses pembelajaran. Dengan demikian disarankan kepada guru-guru agar menggunakan metode yang bervariasi dalam pembelajaran, utamanya metode inkuiri. Kata kunci : Paragraf deduktif dan induktif, metode inkuiri ABSTRACT Indonesian language teaching is containing the efforts which can take many skills. One of the skills is the skill in understanding deductive and deductive paragraph. The direct view at the class shows that the students faced difficulties in understanding deductive and deductive paragraph. This matter happened because of the teacher is still using conventional method. The aims of this analysis is to know the ability increase in understanding deductive and deductive paragraph with using inquiry method to the VII H students, SMA N 2 Tabanan, 2012-2013. This analysis is belonging to the class action analysis which divided into four stages. First is the plan of the action, the second one is observation, next evaluation, and the last one is reflection. The collecting data method in this analysis are 145
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (2): 145 - 154
ISSN : 1829 – 894X
observation and test method as the main method, and the document registration method as the complement method. Then, the data is analyzing with using descriptive analysis method. Based on the analysis shows that the increasing of ability in understanding deductive and deductive paragraph with using inquiry method to the VII H students, SMA N 2 Tabanan, 2012-2013. It can be seen from the result of the first cycle is 69, 21(14, 85%), and then increasing become 81, 05 (17, 11%) on the second cycle. Analysis result shows that the inquiry teaching method is quite effective in increasing the study ability of the student. The respond of the student is so positive to this strategy because of the happy atmosphere at the class; there are chances to find the answer, able in increasing the thinking skill of the student in order to more active, therefore the student more interested in those processes of study. Finally, the teacher suggested using many variations in teaching process, especially inquiry method. Keyword : Deductive and Inductive Paragraph, Inquiry Method PENDAHULUAN Pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia haruslah diarahkan pada hakikat bahasa dan sastra Indonesia, yaitu sebagai alat komunikasi. Orientasi pembelajaran bahasa berubah dari penekanan pada pembelajaran aspek bentuk ke pembelajaran yang menekankan pada aspek fungsi. Proses komunikasi pada hakikatnya adalah proses negosiasi pesan dalam suatu konteks atau situasi. Tugas guru adalah melatih siswa agar mahir berkomunikasi, yaitu mahir menyimak, berbicara, membaca, dan menulis dalam berbagai ragam peristiwa komunikasi. Oleh karena itu, kemahiran dalam memahami paragraf sangat penting artinya untuk menunjang kelancaran komunikasi. Sehubungan dengan hal di atas, dalam pembelajaran bahasa Indonesia di Sekolah Menengah Pertama, tugas guru adalah membelajarkan siswa, bukan mengajar siswa. Siswa dimotivasi agar aktif dalam pembelajaran bahasa Indonesia sesuai dengan kaidah-kaidah yang berlaku. Tugas guru adalah menciptakan situasi dan kondisi agar siswa belajar secara optimal, 146
berlatih menggunakan bahasa Indonesia agar standar kompetensi yang diharapkan dapat tercapai. Untuk itu, pembelajaran bahasa Indonesia hendaknya diarahkan pada pendekatan kontekstual dengan jalan menerapkan metode inkuiri agar hasil belajar yang berupa pengetahuan, pengalaman, dan sikap diperoleh dengan menemukan sendiri. Dalam proses pembelajaran, guru harus memberikan kesempatan yang lebih banyak kepada siswa untuk mengalami, menemukan sendiri keterampilannya dalam menggunakan bahasa Indonesia untuk mencapai hasil belajar yang maksimal. Berdasarkan pengamatan dan wawancara lisan terhadap guru bahasa Indonesia di kelas VII H Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 Tabanan, masih ditemukan siswa yang mengalami kesulitan dalam memahami paragraf deduktif dan induktif. Nilai rata-rata kelas yang diperoleh adalah 60. Hal ini disebabkan oleh metode pembelajaran yang diterapkan oleh guru di sekolah tersebut kurang memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan kemampuannya secara mandiri untuk berlatih lebih banyak dalam
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (2): 145 - 154
memahami bahasa Indonesia umumnya dan memahami paragraf khususnya. Dalam memahami paragraf deduktif dan induktif, siswa tidak diberikan kesempatan untuk menemukan sendiri aspek-aspek yang harus ada dalam sebuah paragraf. Guru lebih banyak berteori, sehingga siswa merasa bosan, kurang berminat dan kurang bergairah dalam mengikuti pembelajaran bahasa Indonesia. Hal ini disebabkan bukan hanya kurang sempurnanya bahasa Indonesia, melainkan disebabkan juga oleh pemakai bahasa itu sendiri. Dengan keadaan ini, perlu dicarikan alternatif metode pembelajaran yang dapat mendorong siswa lebih aktif, kreatif, dan menyenangkan belajar, sehingga siswa terpacu untuk meningkatkan kemampuannya. Metode pembelajaran yang dimaksud adalah metode inkuiri. Sanjaya (2007:255) berpendapat bahwa metode pembelajaran ini merupakan salah satu dari metode pembelajaran kontekstual atau Contextual Teching and Learning (CTL). Metode kontekstual merupakan, “Teknik yang melibatkan siswa secara penuh dalam proses pembelajaran”. Dengan demikian, penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam melalui penelitian tindakan kelas. Yang menjadi masalah dalam penelitian ini adalah Bagaimanakah peningkatan kemampuan memahami paragraf deduktif dan induktif siswa kelas VII H Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 Tabanan tahun pelajaran 2012/2013 setelah menerapkan metode inkuiri? Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan peningkatan kemampuan memahami paragraf deduktif dan induktif siswa kelas VII H Sekolah Menengah
ISSN : 1829 – 894X
Pertama Negeri 2 Tabanan tahun pelajaran 2012/2013 setelah menerapkan metode inkuiri. LANDASAN TEORI Sebagai landasan dari penelitian, perlu dikemukakan beberapa teori yang ada relevansinya dengan penelitian ini. Teoriteori tersebut antara lain : (1) paragraf , (2) metode inkuiri, (3) kerangka berpikir. Paragraf Dalam buku Kemampuan Menulis yang ditulis oleh Tampubolon (1990:85) dikatakan, “Paragraf adalah satuan pengembangan terkecil dari suatu karangan yang mengandung suatu pikiran pokok.” Sedangkan Natia berpendapat, “paragraf adalah himpunan kalimat-kalimat yang bertalian dalam satu rangkaian untuk membentuk sebuah gagasan” (1987:19). Berdasarkan pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa paragraf itu merupakan bagian dari sebuah karangan. Sebuah karangan bisa saja mengandung beberapa pikiran utama atau pikiran pokok, tetapi paragraf hanya mengandung satu pikiran pokok. Pikiran pokok inilah yang dijabarkan atau dikembangkan sehingga menjadi paragraf yang bisa dikomunikasikan kepada pembaca sehingga pembaca bisa memahaminya dengan jelas dan mendetail. Pengembangan itu berupa kalimat-kalimat yang berfungsi sebagai penjelas dan disebut sebagai kalimat penjelas. Pikiran pokok paragraf biasanya terkandung dalam kalimat pertama atau kalimat terakhir dari paragraf itu. Kalimat pertama atau terakhir yang dimaksud 147
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (2): 145 - 154
ini adalah kalimat topik. “Jika pikiran pokok terdapat dalam kalimat pertama, maka dapat dipahami bahwa pengarang mempergunakan cara berpikir deduktif. Sebaliknya, jika pikiran pokok terdapat dalam kalimat terakhir, pengarang bersangkutan mempergunakan cara berpikir induktif” (Keraf, 1980 : 85). Dengan demikian, jelaslah bahwa dalam sebuah paragraf terdapat satu pikiran pokok. Lebih tegas dikatakan bahwa tidak ada sebuah paragraf yang mengandung lebih dari satu pikiran pokok. Pikiran pokok itu sering juga disebut sebagai pikiran utama, ide pokok, atau ada juga yang menyebutnya gagasan pokok. Walaupun disebutkan dengan cara berbeda, hal yang dimaksud adalah sama. Untuk kesepakatan dalam tulisan ini, penulis menyebutnya sebagai ide pokok. Ide pokok itu sendiri merupakan dasar terbentuknya sebuah paragraf. Tidak ada paragraf yang tidak mengandung ide pokok. Sesuai dengan apa yang telah diungkapkan oleh Keraf dalam kutipan di atas, ide pokok itu terletak dalam sebuah kalimat topik. Kalimat topik itu, juga disebut kalimat utama. Dalam menyusun paragraf, penulis dapat menggunakan cara berpikir induktif maupun cara berpikir deduktif. Manfaatnya bagi pembaca, agar pembaca dapat dengan cepat dan tepat memahami keseluruhan isi paragraf itu. Jadi, dengan kemampuan menentukan ide pokok paragraf, akan sangat membantu pembaca dalam menentukan atau menemukan isi paragraf itu. Jenis-jenis paragraf Tarigan (1986:30) menyebutkan 148
ISSN : 1829 – 894X
jenis-jenis paragraf dapat dibedakan menurut cara pengembangan kalimat utama menjadi suatu paragraf yang lengkap. Jenis-jenis paragraf antara lain : 1) paragraf deduktif, 2) paragraf induktif, 3) paragraf campuran, 4) paragraf deskriptif. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan sebagai berikut. Paragraf Deduktif Paragraf Deduktif adalah paragraf yang menempatkan kalimat utamanya pada awal paragraf, gagasan sentral tadi akan mendapat penekanan yang wajar. Mulamula mengemukakan pokok persoalan, kemudian menyusul uraian-uraian yang terperinci. Kalimat-kalimat lain dalam alinea tersebut harus dipusatkan untuk memperjelas ide atau gagasan sentral tadi. Cara ini merupakan metode yang paling baik dan dapat dilihat pada contoh berikut ini. Harga sebagian barang pokok bergerak naik. Beras seminggu lalu seharga Rp 200,00/liter kini berubah menjadi Rp 225,00/ liter. Gula pasir melonjak dari Rp 350,00/kg menjadi Rp 300,00/ kg. Minyak kelapa walaupun tidak seberapa naiknya tetapi secara nyata berangsur naik dari Rp 550,00/kg bulan yang lalu menjadi Rp 550,00/ kg sekarang. Terigu kini mencapai Rp 2500,00/zak sedang minggu lalu masih Rp 2250,00/zak. Famatek dari Rp 600,00/m berubah menjadi Rp 900,00/m minggu ini. (Tarigan, 1986 : 30) Kutipan di atas memperlihatkan bahwa kalimat pertama merupakan kalimat topik atau kalimat utama yang mengandung gagasan pokok harga sebagian barang
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (2): 145 - 154
pokok naik. Kalimat-kalimat selanjutnya hanya merupakan perincian dan penjelasan lebih lanjut dari gagasan pokok tersebut. Paragraf Induktif Tarigan (1986:30) berpendapat “paragraf induktif adalah paragraf yang dimulai dengan penjelasan bagian-bagian kongkret/khusus yang dituangkan dalam beberapa kalimat pengembang”. Pendapat lain menyatakan, “paragraf induktif ialah paragraf yang kalimat utamanya terletak di akhir paragraf” (Muchlisoh dkk., 1994:307). Jam meja yang biasanya berdering jam 8.00 untuk membangunkan saya, kali ini membisu karena lupa diputar. Akibatnya saya terlambat bangun. Cepat-cepat saya pergi ke kamar mandi. Ternyata sabun mandi pun sudah habis saya lupa membelinya kemarin sore. Mau sarapan nasi hangus. Mau berpakaian semua baju kotor sehingga terpaksa memakai baju bekas kemarin. Tambahan lagi sewaktu menunggu kendaraan umum untuk pergi ke kantor kendaraan selalu penuh. Akhirnya dapat yang kosong, malangnya mogok di tengah jalan. Turun dari kendaraan baru melangkah dua-tiga langkah disambut hujan lebat bagai dicurahkan dari langit. Amboi, tidak hanya terlambat dan badan basah kuyup tetapi di kantor dapat omelan dari bos. Sungguh sial benar nasibku hari itu. (Tarigan, 1986 : 30). Paragraf di atas, jelas memperlihatkan bahwa gagasan utama terdapat pada kalimat yang terakhir, yang sekaligus menjadi kalimat topiknya. Kalimat-kalimat sebelumnya merupakan penjelasan atau pokok-pokok pikiran yang lebih kecil yang disusun sedimikian rupa, sehingga
ISSN : 1829 – 894X
berangsur-angsur menuju kepada klimaks atau gagasan utamanya pada akhir kalimat, yaitu sungguh sial benar nasibku hari itu. Paragraf Campuran Tarigan (1986:31) menyatakan, paragraf campuran adalah paragraf yang dapat dimulai dengan kalimat topik disusul kalimat pengembangan dan diakhiri dengan kalimat penegas. Sebaliknya dapat pula kalimat pengembang terbagi dua, sebagaian di awal, sebagian di akhir paragraf, sedangkan kalimat topik di tengah. Sifat kodrati bahasa yang lain yang perlu dicatat di sini ialah bahwasanya tiap bahasa mempunyai sistem ungkapan yang khusus dan sistem makna yang khusus pula, masing-masing lepas terpisah dan tidak tergantung daripada yang lain. Sistem ungkapan dan sistem makna tiap bahasa dibatasi oleh kerangka alam pikiran bangsa yang memakai bahasa itu, kerangka alam pikiran yang saya sebut di atas. Oleh karena itu janganlah kecewa apabila bahasa Indonesia tidak membedakan jamak dan tunggal, tidak mengenal konyugasi dalam sistem kata kerjanya, gugus fonem juga tertentu polanya dan sebagainya.. Bahasa Inggris tidak mengenal ‘unggah-ungguh’. Bahasa Zulu tidak mempunyai kata yang berarti ‘lembu’, tetapi ada kata yang berarti ‘lembu putih’, ‘lembu merah’, dan sebagainya. Secara teknis para linguis mengatakan bahwa tiap bahasa mempunyai sistem fonologi, sistem gramatikal serta pola semantik yang khusus (Keraf, 1980 : 73). Kutipan di atas menunjukkan bahwa kalimat utama yang terdapat pada awal paragraf …tiap bahasa mempunyai sistem ungkapan yang khusus dan sistem makna yang khusus pula… diulang kembali pada 149
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (2): 145 - 154
akhir paragraf itu tetapi dengan sedikit perubahan, yaitu …tiap bahasa mempunyai sistem fonologi, sistem gramatikal serta pola semantik yang khusus. Apa yang disebut sistem ungkapan pada kalimat pertama sama artinya dengan sistem fonologi dan sistem gramatikal pada kalimat akhir, sedangkan sistem makna pada awal paragraf sama artinya dengan pola semantik pada kalimat terakhir dari paragraf tersebut. Paragraf Deskriptif Paragraf deskriptif adalah paragraf yang menempatkan kalimat utama atau kalimat topik dalam seluruh paragraf. Dalam hal ini tidak terdapat kalimat yang khusus yang menjadi kalimat topiknya. Enam puluh tahun yang lalu, pagipagi tanggal 30 Juni 1908, suatu benda cerah tidak dikenal melayang menyusur lengkungan langit sambil meninggalkan jejak kehitam-hitaman dengan disaksikan oleh paling sedikit seribu orang di pelbagai dusun Siberia Tengah. Jam menunjukkan pukul 7 waktu setempat. Penduduk Desa Vanovara melihat benda itu menjadi bola api menyilaukan di atas hutan cemara sekitar sungai Tungkuska. Kobaran api membentuk cendawan membumbung tinggi ke angkasa, disusul ledakan dasyat yang menggelegar bagaikan guntur dan terdengar sampai lebih dari 1.000 km jauhnya (Keraf, 1980 : 74). Sulit sekali untuk mencari sebuah kalimat topik dalam paragraf tersebut di atas, karena seluruh paragraf bersifat deskriptif. Tidak ada kalimat yang lebih penting dari yang lain. Semuanya sama penting dan bersama-sama membentuk kesatuan dari paragraf tersebut. 150
ISSN : 1829 – 894X
Syarat-syarat Paragraf Keraf (1990:67) menyatakan sebuah paragraf juga harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Paragraf yang baik dan efektif harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut. 1. Kohesi yaitu semua kalimat yang membina paragraf itu secara bersamasama menyatakan suatu hal, suatu tema tertentu. 2. Koherensi yaitu kekompakan hubungan antara sebuah kalimat dengan kalimat yang lain yang membentuk paragraf itu. 3. Perkembangan paragraf yaitu penyusunan atau perincian daripada gagasan- gagasan yang membina paragraf itu. Jadi, dapat dikatakan bahwa sistem penulisan paragraf yang baik harus mencakup satu kesatuan yang mencakup satu maksud yang ingin dikembangkan dalam paragraf yang mempunyai pertalian antara satu dengan lainnya. Hal ini harus terlihat pada hubungan kalimat satu dengan yang lainnya dan merupakan suatu pertalian atau hubungan yang padu dan utuh. Kebulatan dan kepaduan itu harus pula didukung dengan kemampuan memerinci secara maksimal gagasan utama alinea ke dalam gagasan-gagasan bawahan sehingga tampak adanya urutan gagasan bawahan ke dalam suatu urutan yang teratur. Metode Inkuiri Piaget (dalam Dahar, 1986: 25) memberikan definisi fungsional dari metode inkuiri, “metode inkuiri merupakan metode belajar yang mempersiapkan situasi bagi anak untuk melakukan kegiatan
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (2): 145 - 154
sendiri”. Dalam arti siswa ingin melihat apa yang terjadi, ingin melakukan sesuatu, ingin menggunakan simbol-simbol, mengajukan pertanyaan-pertanyaan, dan mencari jawaban atas pertanyaannya sendiri, menghubungkan penemuan yang satu dengan penemuan yang lain, membandingkan apa yang ditemukannya dengan apa yang ditemukan oleh siswa yang lainnya. Dahar (1986:25), proses belajar dengan metode inkuiri dapat membentuk dan mengembangkan konsep diri pada diri siswa. Apabila siswa mempunyai konsep diri yang baik, maka secara psikologis siswa tersebut akan merasa aman, terbuka terhadap pengalaman-pengalaman baru, berkeinginan unutuk mencoba dan menyelidiki, lebih kreatif, bermental sehat, dan akhirnya menjadi orang yang berguna. Untuk bisa memiliki konsep diri yang baik siswa perlu melibatkan diri dalam kegiatankegiatan penemuan konsep. Dalam metode inkuiri, siswa membutuhkan bimbingan untuk mengembangkan pikirannya. Bimbingan itu diberikan dalam bentuk pertanyaanpertanyaan yang diberikan oleh guru. Partisipasi penuh dari siswa hanya dapat dicapai apabila guru menciptakan suasana belajar ke arah itu dengan mengajukan pertanyaan. Dalam hal ini, pertanyaan yang diajukan mengarah pada kemampuan bahasa Indonesia siswa, karena pada tahap permulaan para siswa cenderung belum memiliki kemampuan ini. Dengan demikian peranan pertanyaan sangat penting dalam meningkatkan partisipasi siswa dalam belajar.
ISSN : 1829 – 894X
Dengan metode inkuiri diharapkan guru dapat menciptakan kegiatan yang menantang sehingga melahirkan interaksi antara gagasan yang diyakini siswa sebelumnya dengan suatu bukti baru untuk mencapai pemahaman baru yang lebih lama melekat, melalui proses eksplorasi untuk menguji gagasan baru. Roestiyah (2001: 75) menyatakan ”metode inkuiri merupakan suatu metode yang menuntut keterlibatan siswa secara penuh dalam proses pembelajaran”. Pelaksanaan metode inkuiri dijabarkan sebagai berikut. 1. Siswa siap menerima dan menguasai materi (pengembangan intelektual) 2. Siswa berinteraksi dalam kelompok, antarkelompok dan dengan guru 3. Siswa bertanya tentang materi yang diajarkan 4. Siswa belajar untuk berpikir 5. Siswa terbuka dalam mencoba mengungkapkan sesuatu Dengan mengkondisikan siswa seperti pemaparan di atas maka penerapan metode inkuiri dalam pembelajaran bahasa Indonesia akan memberikan hasil yang baik. Hasil tes yang baik dengan menggunakan metode inkuiri bisa dijadikan sebagai indikator keunggulan metode inkuiri. Keunggulan metode inkuiri adalah 1) dapat membentuk dan mengembangkan self consep” pada diri siswa, sehingga siswa mengerti tentang konsep dasar dan ide-ide lebih baik, 2) membantu dalam menggunakan ingatan dan transfer pada situasi proses belajar yang baru, 3) mendorong siswa untuk berpikir dan bekerja atas inisiatifnya sendiri, bersikap objektif, jujur, dan terbuka, 4) situasi pembelajaran 151
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (2): 145 - 154
menjadi lebih merangsang dan menarik, 5) mengembangkan bakat dan kecepatan individu, 6) memberikan kebebasan kepada siswa untuk belajar sendiri, 7) memberikan waktu kepada siswa secukupnya sehingga siswa dapat mengasimilasikan dan mengakomodasi informasi (Roestiyah, 2001: 76). Selain memiliki keunggulan, metode inkuiri juga memiliki kelemahan. Seperti dikutip pada (http://www.scribd.com/ doc/8772794/METODE-Pembelajaran) bahwa ”kelemahan metode inkuiri adalah jalannya pembelajaran agak lamban dan kelas yang besar dapat menimbulkan kegaduhan”. Dalam metode inkuiri siswa banyak melakukan diskusi untuk menemukan masalah sehingga terkadang waktu yang diperlukan lama sehingga jalannya pembelajaran menjadi lamban dan dalam proses diskusi bisa saja menimbulkan suasana yang gaduh. Hal ini tentu saja memerlukan peranan guru untuk mengkondisikan kelas agar suasana pembelajaran menjadi kondusif. Dalam metode inkuiri, guru berperan sebagai mediator dan fasilitator. Maksudnya, dalam proses pembelajaran guru bertugas untuk: (1) menantang siswa untuk berpikir, (2) memberikan kebebasan untuk berinisiatif, (3) membantu apabila ada kelompok yang mengalami kesulitan pada saat melaksanakan tugas, (4) menentukan diagnosa kesulitan siswa dan membantu mengatasinya (Roestiyah, 2001: 82). Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran dengan menggunakan metode inkuiri memerlukan peran aktif siswa dan guru agar pembelajaran dapat berlangsung dengan lancar dan hasil belajar yang didapatkan memuaskan. 152
ISSN : 1829 – 894X
METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas (PTK), yang dirancang dalam bentuk siklus. Penelitian tindakan kelas adalah suatu bentuk penelitian yang bersifat reflektif dengan melakukan tindakan-tindakan agar dapat memperbaiki atau meningkatkan praktik-praktik pembelajaran di kelas secara profesional. Aktivitas penelitian tindakan kelas digambarkan seperti tabel di bawah ini. Refleksi awal Perencanaan tindakan I Pelaksanaan Tindakan I Observasi dan Evaluasi I Refleksi I Rencana tindakan II Pelaksanaan Tindakan II observasi dan Evaluasi II Refleksi II Memutuskan Tindakan terbaik. Subjek penelitian ini adalah siswa ke las VII H sekolah Menengah Pertama Negeri 2 Tabanan tahun pelajaran 2012/2013. Objek penelitian ini meningkatkan kemampuan memahami paragraf deduktif dan induktif dengan menerapkan metode inkuiri. Sedangkan tempat penelitian ini adalah di Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 Tabanan. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah observasi dan tes. Metode Observasi Metode observasi adalah ”suatu cara memperoleh data yang dilakukan dengan mengadakan pengamatan dan pencatatan secara sistematis tentang suatu objek tertentu” (Agung,1996:68). Melalui observasi/ pengamatan dapat diketahui sikap dan perilaku siswa, kegiatan yang
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (2): 145 - 154
dilakukan siswa dan hasil yang diperoleh dari kegitan tersebut. Observasi dilakukan dalam proses kegiatan berlangsung. Hal- hal yang diobservasi: kemampuan menguasai materi; perhatian siswa terhadap pembelajaran; motivasi siswa terhadap pembelajaran; keaktifan siswa; interaksi siswa selama pembelajaran Proses pembelajaran dilakukan dengan skenario: membuka pelajaran dengan memberikan salam; melakukan absensi siswa; memberikan aperspesi; menyampaikan materi pelajaran; membagikan paragraf deduktif dan induktif; menjawab soal-soal yang telah disiapkan; memberikan penilaian atas pekerjaan siswa; melakukan tanya jawab; dan menutup pelajaran. Metode Tes Tes digunakan untuk mengukur kemampuan siswa dalam pembelajaran memahami paragraf deduktif dan induktif baik pada siklus I maupun siklus II. Metode tes adalah ”suatu cara memperoleh data yang berbentuk tugas yang harus dikerjakan oleh seseorang atau kelompok orang yang dites” (Agung, 1996:75). Tes yang diberikan berupa tugas memahami paragraf deduktif dan induktif. Kriteria penilaiannya seperti berikut. No.
Aspek-aspek yang dinilai
Skor
1
Menemukan ide pokok
20
2
Menemukan ide penjelas
20
3
Menemukan koherensi paragraf
20
4
Menemukan kolusi paragraf
20
5
Menemukan pilihan kata/ diksi yang kurang tepat dalam paragraf
20
Jmlh
100
ISSN : 1829 – 894X
Metode Analisis Data Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis deskriptif. Metode analisis deskriptif adalah suatu cara pengolahan data yang dilakukan dengan jalan menyusun data secara sistematis, sehingga diperoleh kesimpulan umum (Nurkencana,1986:77). HASIL PENELITIAN Hasil Penelitian Siklus I Pada siklus I ini, penelitian dilakukan sesuai rencana tindakan yang telah peneliti susun. Penelitian ini dilakukan di Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 Tabanan pada tanggal 17 Oktober sampai dengan 24 Oktober 2012. Dalam pelaksanaan penelitian diperoleh hasil observasi terhadap siswa dan tes. Sebelum penelitian diadakan, peneliti mengadakan wawancara terhadap guru bahasa Indonesia yang mengajar di kelas VII H SMPN 2 Tabanan. Peneliti menanyakan tentang keadaan kelas VII H untuk dikaitkan dengan observasi yang akan peneliti lakukan, juga peneliti tanyakan, tentang hasil belajar siswa dalam memahami paragraf. Hasil belajar siswa diperoleh bahwa siswa masih mengalami kesulitan dalam memahami paragraf. Nilai rata- rata kelas yang diperoleh adalah 60. Berdasarkan penelitian pada siklus I diperoleh hasil bahwa niali rata-rata kelas yang diperoleh dalam memahami paragraph deduktif dan induktif adalah 69,21 dengan predikat lebih dari cukup. Hasil penelitian siklus II Pelaksanaan pada siklus II ini sama dengan yang dilakukan pada siklus I, 153
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (2): 145 - 154
ISSN : 1829 – 894X
hanya saja diadakan penyempurnaanpenyempurnaan seperlunya baik di bidang metode yang digunakan maupun proses pembelajaran. Kemampuan memahami paragraf deduktif dan induktif dengan menerapkan metode inkuiri (siklus II) pada siswa kelas VII H Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 Tabanan tahun pelajaran 2012/2013 sebagai berikut.
SIMPULAN Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan dapat disimpulkan bahwa kemampuan memahami paragraf deduktif dan induktif dengan menerapkan metode inkuiri mengalami peningkatan dari siklus I ke siklus II. Pada siklus I memperoleh nilai rata-rata 69,21 dan pada siklus II nilai rata-ratanya 81,05, terjadi peningkatan 11,84 (17,11%).
Ketuntasan Klasikal Rata-rata kelas yang diperoleh siswa sebesar 81,05 termasuk dalam predikat baik. Nilai ini telah mencapai target yang ditentukan, yaitu siswa dikatakan tuntas secara klasikal jika telah mencapai nilai rata-rata sebesar 70,00 dan bahkan nilai ini telah melebihi 70,00.
UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih disampaikan kepada Kepala Sekolah dan Guru Bidang Studi Bahasa Indonesia di SMP Negeri 2 Tabanan yang telah membantu dalam proses pengumpulan data sehingga tulisan ini segera dapat diwujudkan.
Ketuntasan Individual Nilai 90 termasuk kategori baik sekali dengan persentase 18,42% diperoleh oleh 7 orang siswa; nilai 80 termasuk kategori baik dengan persentase 73,68% diperoleh oleh 28 orang siswa; dan nilai 70 termasuk kategori lebih dari cukup dengan persentase 7,90% diperoleh oleh 3 orang siswa. Dari perolehan nilai tersebut dapat dikatakan bahwa dalam memahami paragraf deduktif dan induktif semua siswa dinyatakan tuntas karena sudah memenuhi persyaratan yang ditentukan. Peningkatan kemampuan memahami paragraf deduktif dan induktif sebesar 11,84 (17,11%. Hal itu terlihat pada hasil siklus I adalah 69,21 dan pada siklus II sebesar 81,05.
154
DAFTAR PUSTAKA Agung, A.A. Gede.1996. ”Pengantar Evaluasi Pendidikan”. Singaraja: STKIP. Chaer dkk. 1994. Guru professional. Bandung: Alfa Beta. Dahar, R. W. 1986. Teori Belajar. Jakarta: Erlangga. Keraf, Gorys. 1980. Komposisi. EndeFlores : Nusa Indah Roestiyah, NK. 2001. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta Taringan, Jago. 1986 Membina Keterampilan Menulis Paragraf dan Pengembangannya. Bandung : Angkasa.
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (2): 145 - 154
ISSN : 1829 – 894X
NASIONALISME TERHIMPIT: PEMBAHARUAN TERHADAP PEMBELAJARAN SEJARAHSUATU KAJIAN PUSTAKA I Kadek Widya Wirawan FP IPS IKIP Saraswati Tabanan ABSTRAK Globalisasi dengan ideologi pasarnya melahirkan paham moneytheisme, yang membawa kita pada “pemujaan materi” dengan mengejar kebahagiaan duniawi. Nasionalisme bangsa Indonesia semakin terhimpit di antara globalisasi di satu pihak dan etnisitas di lain pihak. Ini ditandai dengan muncul gerakan separatis dan maraknya konflik bernuansa SARA yang mengancam eksistensi NKRI. Peran sejarawan pendidik (guru sejarah) sangat diharapkan untuk menyuburkan kembali semangat nasionalisme itu. Oleh karenanya, perlu dilakukan pembaharuan terhadap pembelajaran sejarah dengan mengembangkan pendekatan inovatif untuk menarik minat peserta didik belajar sejarah. Kata kunci: Nasionalisme terhimpit, pembaharuan pembelajaran sejarah ABSTRACT Globalization with its ideology gave birth to understand moneytheism, which brings us to the “cult of material” to the pursuit of worldly happiness. Indonesian nationalism increasingly sandwiched between globalization on the one hand and on the other ethnicity. It is marked by the rise of emerging conflicts and separatist movements that threaten the existence of SARA nuanced Homeland. The role of educators historian (history teacher) is expected to nourish the spirit of nationalism. Therefore, it is necessary to reform the teaching of history in developing innovative approaches to attract students learn history. Keywords: Nationalism oppressed, reform the teaching of history PENDAHULUAN Kini dunia memasuki era globalisasi, sehingga ruang dan waktu yang memisahkan antara negara satu dengan negara lainnya menjadi semakin sempit. Menurut Omahe antara negara satu dengan negara lainnya tidak lagi mengenal tapal batas, sehingga terjadi globalisasi dimana negara-negara di dunia menjadi satu membentuk “kampung global” (global village) (Atmadja, 2010:117-118). Sayang sekali pendidikan yang dianggap sebagai wahana penting untuk menjaga hakikat dari kemanusiaan ini justru menjadi mesin
industri bagi kepentingan pasar. Akibatnya membawa kita pada “penuhanan” materi, sehingga melahirkan manusia-manusia yang mementingkan kebahagiaan duniawi. Hal ini terlihat dari banyaknya pejabat publik diseret ke meja hijau gara-gara “menelan” uang rakyat demi kebahagiaan duniawi. Angka korupsi negeri ini pun semakin membubung tinggi. Sebagaimana dikatakan Windia dalam artikelnya berjudul “Korupsi: dari Jenderal sampai Profesor”, bahwa tampaknya semua lembaga dan semua proses pembangunan di Indonesia mengandung bau amis penyelewengan 155
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (2): 145 - 154
(Bali Express, 20/8/2013). Tidak itu saja, Indonesia dibangun dengan susah payah oleh para bapak bangsa (the founding father), kini menghadapi ancaman gerakan separatis dan konflik yang bernuansa SARA. Kalau ditelusuri lebih mendalam, sebagaimana dikemukakan Budiningsih (2005:2) bahwa kekacauan yang muncul di masyarakat ini diduga dari apa yang dihasilkan dunia pendidikan. Lebih lanjut menurut Gusdur (dalam Fitri, 2012:13) bangsa Indonesia telah gagal dalam proses pendidikan salah satunya yakni “gagal mengajarkan sejarah sehingga masyarakat tidak lagi menghargai jasa-jasa para pahlawan”. Sebagaimana dikatakan di atas, bahwa dalam bidang pendidikan (khususnya pendidikan sejarah) mendapat sorotan tajam dari berbagai kalangan. Pendidikan sejarah dianggap telah gagal mengajarkan sejarah sehingga masyarakat kurang menghargai nilai-nilai kesejarahan dari para pendahulunya. Akibatnya kesadaran sejarah masyarakat Indonesia pun mulai terkikis. Pelajaran sejarah mestinya mampu menanamkan rasa nasionalisme dikalangan generasi muda dan menjadi alat filter dari gempuran globalisasi, malahan tidak berdaya dan hanyut menghadapi kapitalisme yang semakin merebak di segala aspek kehidupan manusia. Ditambah lagi politik pendidikan yang diterapkan negara ikut memperkuat kematisurian pengajaran sejarah. Hal ini tidak terlepas dari kebijakan Ujian Nasional (UN) yang hanya ditujukan kepada beberapa mata pelajaran semata mengakibatkan sejarah yang tidak di156
ISSN : 1829 – 894X
UN-kan semakin matisuri. Peserta didik secara otomatis akan mengutamakan mata pelajaran yang di-UN-kan, ketimbang mata pelajaran yang tidak di-UN-kan. Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk mengkaji lebih mendalam rasa nasionalisme bangsa Indonesia semakin terhimpit dan upaya-upaya apa yang mesti dilakukan sejarawan pendidik dalam memupuk kembali rasa nasionalisme kepada generasi penerus bangsa. Melalui artikel ilmiah ini, diharapkan memberikan solusi kepada sejarawan pendidik dalam upaya melakukan pembaharuan terhadap pembelajaran sejarah agar nantinya mampu menyuburkan kembali semangat nasionalisme dalam rangka menjaga eksistensi berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). PEMBAHASAN Nasionalisme Bangsa Indonesia Terhimpit Kini sejarah umat manusia terus berkembang dan telah mencapai suatu tahapan yang disebut tahap masyarakat informasi. Tahap ini ditandai oleh kemajuan teknologi informasi dan komunikasi sehingga ruang dan waktu yang memisahkan antara negara satu dengan negara lainnya menjadi semakin sempit, yang menurut Mc. Luhan melahirkan “desa dunia” (Mulyana, 2007:3; Gunawan, 2011:167). Gencarnya pengaruh globalisasi telah membawa kita pada “penuhanan” materi, sehingga terjadi ketidakseimbangan antara pembangunan ekonomi dan tradisi kebudayaan masyarakat (Muslich, 2011:vii).
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (2): 145 - 154
Pandangan di atas sejalan dengan pandangan Atmadja (2006:222-23), yang menyatakan era globalisasi melahirkan agama pasar dengan ideologi pasar, mengidentifikasikan uang dengan Tuhan, sehingga melahirkan paham moneytheisme. Dengan adanya paham itu, telah membawa kita pada krisis spiritual dan kepribadian yang mencemaskan, sehingga memunculkan kesenjangan dan diskriminasi sosial, serta ketidakadilan demokrasi di Indonesia. Dengan meminjam istilahnya Ali Formen Yudha (dalam Ilahi, 2012:129), globalisasi telah mengantarkan kita pada apa yang disebut dengan “gagap spiritual”. Dengan menguatkan paham moneytheisme menyebabkan setiap orang berlomba-lomba mengejar materi untuk memperoleh kebahagiaan duniawi. Akibatnya melahirkan manusia yang menganggap uang begitu sangat penting bagi kehidupan, sehingga uang menjadi dewa yang dipuja-puja oleh manusia. Makanya dari itu melahirkan manusia Indonesia yang mementingkan kepentingan pribadi daripada mementingkan kepentingan umum. Pendek kata, melahirkan manusia Indonesia yang menuntut untuk “diberi” bukan untuk “memberi”. Sikap tersebut tentunya bertentangan dengan ungkapan bijak mantan Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy, bahwa “jangan tanyakan apa yang dapat negara berikan kepadamu, tapi tanyakan apa yang dapat kamu berikan untuk negara” (Hasim, 2012:109). Sebagaimana dikatakan Marzali, gejala ini semakin terlihat dimana kita masih dihadapkan pada persoalan menyangkut disintegrasi bangsa seperti adanya Gerakan
ISSN : 1829 – 894X
Aceh Merdeka (GAM), Organisasi Papua Merdeka (OPM), Republik Maluku Selatan (RMS) yang sudah barang tentu mengancam integrasi bangsa yang telah dibentuk oleh susah payah dan penuh pengorbanan oleh para pendiri bangsa kita (Marzali, 2005: 176). Termasuk sekarang sering muncul konflik bernuansa SARA yang melanda negeri ini. Misalnya bagaimana konflik di Sambas antara etnik Madura dan Melayu tahun 1999; konflik Ambon antara penduduk lokal melawan orang Bugis, Buton, dan Makassar; termasuk pula konflik Poso, konflik Aceh, konflik Papua, dan sebagainya (Atmadja, 2010:110). Berdasarkan fenomena di atas, menandakan rasa nasionalisme bangsa Indonesia terkikis, bahkan semakin terhimpit yang menjadi ancaman bagi tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Senada dengan yang dikatakan Widja (2002), bahwa nasionalisme yang terpepet atau terjepit (yang bisa mematikan) diantara globalisasi di satu pihak, dan etnisitas di lain pihak. Apabila hal ini dibiarkan berlarut, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berada dalam ancaman disintegrasi bangsa. Terkait fenomena di atas, menurut Gusdur (dalam Fitri, 2012:13) bangsa Indonesia telah gagal dalam proses pendidikan salah satu penyebab yakni gagalnya mengajarkan sejarah sehingga masyarakat tidak lagi menghargai jasajasa para pahlawan. Pendidikan sejarah pun mendapat sorotan tajam dari berbagai kalangan karena dianggap gagal menanamkan rasa nasionalisme bangsa Indonesia. Hal ini terlihat dari realita 157
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (2): 145 - 154
sejarawan pendidik hanya menekankan mencatat dan bercerita (chalk and talk). Dengan metode dan pendekatan yang kurang inovatif dari para sejarawan pendidik berimplikasi kepada peserta didik dalam proses belajar mengajar di kelas. Di tambah pula politik pendidikan yang diterapkan negara ikut memperkuat kematisurian pengajaran sejarah. Hal ini tidak terlepas dari kebijakan Ujian Nasional (UN) yang hanya ditujukan kepada beberapa mata pelajaran semata mengakibatkan sejarah mengalami matisuri. Peserta didik secara otomatis akan mengutamakan mata pelajaran yang di-UN-kan, ketimbang mata pelajaran yang tidak di-UN-kan. Dengan mengacu kepada gagasan Widja (2002), singkatnya gerak sejarah bangsa ini seperti berjalan terbalik dimana kekuatan yang telah dibangun oleh pendiri bangsa terdahulu malah dibongkar sedikit demi sedikit. Apakah ini bisa dikiaskan bahwa gerak gelombang sejarah kita telah mencapai titik puncak yang bila mengikuti pola sejarah Toynbee berarti kita mulai bergeser ke fase breakdown bahkan menjurus ke disintegration untuk balik ke titik dasar dari perkembangan. Pertanyaan yang muncul adalah masihkah ada harapan nasionalisme atau kesadaran nasional bisa diselamatkan atau masih relevan dalam mencegah disintegrasi bangsa? Pertanyaan tersebut memang sangat sulit dijawab, namun seorang Sejarawan Indonesia Sartono Kartodirdjo tidak sependapat dengan anggapan (terutama dari kalangan muda) bahwa nasionalisme tidak relevan lagi bagi kehidupan berbangsa baik sekarang maupun masa yang akan 158
ISSN : 1829 – 894X
datang. Meskipun diakuinya bahwa perlu nasionalime tersebut direvitalisasi. Senada dengan yang dikemukakan Ilahi (2012), bahwa semangat nasionalisme dalam era kapital saat ini, pada hakikatnya perlu dan sangat penting untuk direvitalisasi mengingat tantangan di masa depan akan semakin kompleks menggerogoti kehidupan bangsa Indonesia dengan ditandai kemajuan IPTEK. Terkait dengan upaya menyuburkan rasa nasionalisme tersebut, lantas apa yang bisa diperbuat oleh para sejarawan pendidik (guru sejarah)? Pembaharuan Terhadap Pembelajaran Sejarah Terkait pertanyaan di atas, memang tidaklah mudah untuk dijawab. Namun menurut penulis, peran dari sejarawan pendidik (guru sejarah) dalam menanamkan rasa nasionalisme (kesadaran sejarah) sangatlah penting di era globalisasi. Sebagaimana pernah ditegaskan Sejarawan Amerika J. Boorstin bahwa “justru dalam masyarakat yang semakin didominasi teknologi, semakin diperlukan sejarah (kesadaran sejarah) itu” (Latief, 2006:96; Pageh, 2010:xx ). Harus diakui menanamkan rasa nasionalisme di abad ke-21 memang tidaklah mudah, sehingga menjadi tantangan berat bagi sejarawan pendidik dalam menanamkan rasa nasionalisme kepada generasi muda. Untuk itu perlu adanya perubahan terhadap pembelajaran sejarah selama ini. Berdasarkan realita pembelajaran sejarah nampaknya belum berperan maksimal dalam menanamkan semangat nasionalisme terhadap para peserta didik. Ini nampaknya beralasan sebab selama ini sejarawan pendidik (guru
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (2): 145 - 154
sejarah) hanya menggunakan pendekatan konvensional dengan menekankan teacher oriented dibanding student oriented. Senada dengan yang dikemukakan Sanusi, bahwa: “pelaksanaan pengajaran sejarah selama ini hanya mengemukakan fakta-fakta sejarah saja, baik hal tersebut terjadi di sekolah dasar sampai ke sekolah menengah, sehingga animo untuk mempelajari sejarah sangat kurang”. Selain itu, Partington (dalam Widja, 1991:95-96) menyatakan sering datang kritikan yang ditujukan terhadap pembelajaran sejarah. Pembelajaran sejarah dianggap mempunyai kelemahan-kelemahan seperti sangat didominasi oleh pengajaran hafalan dengan terlalu banyak menekankan mencatat dan bercerita (chalk and talk) di kelas dan sangat lemah dalam hal mendorong keterlibatan murid dalam proses belajarnya; sejarah di sekolah juga dianggap terlalu menekankan memorisasi dengan mengabaikan usaha pengembangan kemampuan intelektual yang lebih tinggi; sejarah dianggap tidak relevan dengan kebutuhan serta minat murid karena murid sulit mengerti peristiwa sejarah yang terlalu memperhatikan tingkah laku orang dewasa yang ada di luar jangkauan pengalaman murid, ditambah lagi kesulitan murid untuk memisahkan antara fakta dan fiksi atau realitas dengan mitos; pengajaran sejarah kurang menekankan pengembangan konsep serta struktur peristiwa karena terlalu banyak memberi tekanan pada peristiwa khusus tertentu, sehingga konsep serta struktur yang lebih mencakup keseluruhan menjadi terabaikan. Berdasarkan uraian di atas, beralasan
ISSN : 1829 – 894X
sekali jika cara mengajar sejarah perlu mendapat perhatian dan penanganan yang baik sebab ternyata cara mengajar sejarah dapat memberi efek besar untuk mengatasi kekurangan menarikan peserta didik terhadap pelajaran sejarah. Untuk mewujudkan model pendidikan sejarah yang bermanfaat dalam menghadapi tantangan masa depan tidak menentu tersebut, perlu dipikirkan pembaharuan terhadap pembelajaran sejarah. Menurut penulis, sejarawan pendidik perlu melakukan terobosan baru dalam pembelajaran sejarah yakni: 1) Penggunaan media pembelajaran sejarah Keberhasilan belajar itu sangat dipengaruhi oleh banyak faktor salah satunya penggunaan media pengajaran yang berfungsi sebagai perantara, wadah, atau penyambung pesan-pesan pembelajaran. Sejalan dengan yang dikatakan Edgare Dale dengan teori Cone Experience (Kerucut Pengalaman), yang menjadi dasar pokok penggunaan media dalam pembelajaran. Menurut teori Kerucut Pengalaman, pengetahuan akan semakin abstrak apabila pesan hanya disampaikan melalui kata verbal. Salah satu cara agar siswa memiliki pengalaman yang konkret adalah menggunakan media pembelajaran dalam proses belajar dan mengajar seperti penggunakan peta sejarah, atlas sejarah, miniatur candi, film sejarah, dan sebagainya. 2) Penggunaan teknik “SMS” 159
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (2): 145 - 154
(Singkatan Materi Sejarah) Untuk memudahkan peserta didik dalam belajar sejarah, sejarawan pendidik hendaknya menggunakan teknik “SMS” (Singkatan Materi Sejarah) dalam mengajarkan materi sejarah yang banyak hafalannya. Misalnya mengingat peninggalan prasasti Kerajaan Tarumanegara dengan “CI CI PA KE TU JA MU” yakni CI (Ciaruteun), CI (Cidanghiang), PA (Pasir Awi), KE (Kebon Kopi), TU (Tugu), JA (Jambu), MU (Muara Cianten). 3) Selingan humor Selingan humor dalam proses pembelajaran akan mendorong peserta didik agar tidak merasa bosan dalam mengikuti pelajaran sejarah. Dengan suasana yang menyenangkan peserta didik akan mampu mengikuti dan menangkap materi pelajaran yang sulit menjadi mudah. Senada dengan gagasan Darmansyah (dalam Khanifatul, 2013:37), apabila peserta didik mendapat rangsangan yang menyenangkan dari lingkungannya akan terjadi berbagai sentuhan tingkat tinggi pada diri peserta didik yang membuat mereka lebih aktif dan kreatif secara mental dan fisik. 4) Pembelajaran sejarah berprinsip progresif Materi sejarah hendaknya diarahkan pada analisis ke depan. Prinsip ini menuntut kemampuan sejarawan 160
ISSN : 1829 – 894X
pendidik untuk tidak hanya mampu menjelaskan peristiwa masa lalu saja, namun harus mampu menganalisis gejala-gejala masa kini untuk dijadikan proyeksi di masa depan. Singkat kata, pembelajaran sejarah membuat analisis ke depan (melihat masa depan) dengan bertolak dari peristiwa masa lalu. Seperti ditegaskan Aswab Mahasin mestinya tidak menjadi sekadar lambang pemujaan masa lampau dimana generasi baru hanya bisa terpesona oleh masa lampau yang gemilang itu, tanpa pernah berpikir merencanakan bangunan masa depan mereka sendiri. 5) Pembelajaran sejarah seharunya mencakup pertanyaan analisis yakni “mengapa (why) dan bagaimana (how)”. Pembelajaran sejarah yang lebih menekankan analisis daripada fakta sejarah, yang akan membuat peserta didik lebih tertantang dan tertarik mengikuti pembelajaran sejarah. Bahkan terpenting mampu menumbuhkan nalar peserta didik, sehingga nantinya mampu membuat peserta didik berpikir kritis analitis melalui pembelajaran sejarah. 6) Penerapan PAKEM (Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan) dalam proses pembelajaran sejarah Seorang sejarawan pendidik idealnya tidak hanya menguasai materi saja, namun harus mengusai metode pengajaran yang kreatif inovatif. Oleh karena itu, seorang sejarawan
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (2): 145 - 154
pendidik harus pintar merancang pendekatan pembelajaran, metode pembelajaran, model pembelajaran, dan strategi pembelajaran dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran yang ditetapkan. 7) Mengembangkan pembelajaran luar kelas (outdoor learning) Dalam pembelajaran sejarah selama ini sebagian besar berlangsung di dalam kelas. Untuk itu sejarawan pendidik hendaknya mampu mengembangkan pembelajaran luar kelas (outdoor learning). Hal ini perlu dilakukan agar gairah peserta didik untuk belajar sejarah lebih menarik dan tertantang. Dengan mengajak berkunjung ke situs-situs bersejarah akan mampu memberikan pengalaman langsung kepada peserta didik, sehingga materi pelajaran akan semakin konkret. Misalnya ketika membahas materi upaya mempertahankan kemerdekaan Indonesia, seorang sejarawan pendidik mengajak peserta didik berkunjung ke Monumen Margarana di Kelaci, Marga, Tabanan. 8) Proses Pembelajaran Hendaknya Reflektif Proses pembelajaran sejarah hendaknya reflektif dilakukan dengan mengaitkan materi-materi yang dibahas dengan makna di belakang materi tersebut. Dengan kata lain, dalam proses pembelajaran guru menjawab pertanyaan “mengapa” suatu materi itu ada
ISSN : 1829 – 894X
dan dibutuhkan dalam kehidupan. Terlebih dengan adanya kebijakan pendidikan karakter, sejarawan pendidik hendaknya mengaitkan materi dengan suatu nilai karakter yang terkandung di belakang materi tersebut. PENUTUP Globalisasi telah membuat ruang dan waktu semakin sempit. Dengan ideologi pasar telah melahirkan agama pasar (moneytheisme). Hal tersebut membawa kita pada “penuhanan” materi, sehingga manusia dibuat berlomba-lomba mengejar kebahagiaan duniawi. Akibatnya rasa nasionalisme bangsa Indonesia semakin terkikis, bahkan kini terhimpit di antara globalisasi di satu pihak dan etnisitas di lain pihak. Ini ditandai dengan munculnya berbagai gerakan separatis dan gerakan bernuansa SARA, sehingga mengancam eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selama ini pembelajaran sejarah dianggap belum mampu menanamkan rasa nasionalisme kepada generasi penerus bangsa, malahan tidak berdaya menghadapi gempuran globalisasi. Di tambah lagi pelajaran sejarah tidak diUN-kan semakin mematisurikan pelajaran sejarah. Peran sejarawan pendidik sangat diharapkan dalam menyuburkan kembali semangat nasionalisme itu. Oleh karenanya, sejarawan pendidik hendaknya perlu melakukan pembaharuan terhadap pembelajaran sejarah agar menarik minat peserta didik belajar sejarah. 161
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (2): 145 - 154
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih kepada orang tua penulis I Nyoman Ukir dan Ni Ketut Wiji, Ni Wayan Eko Yuliyastuti, dan teman-teman dosen di lingkungan IKIP Saraswati Tabanan yang tidak dapat disebutkan satu-persatu atas arahan dan motivasinya selama ini. DAFTAR PUSTAKA Atmadja, N.B. 2006. “Kearifan Lokal dan Agama Pasar”, dalam Candra Sangkala Bali Dalam Perspektif. Edisi No.8 Th.18 Januari 2006, hlm.1-29 Atmaja, N.B, 2010. “Sejarah Sebagai Sekolah Moral Versus Supermarket Sekolah Abad XXI dan Memudarnya Kesejatian Hidup (Suatu Pendekatan Kajian Budaya)”, dalam Sejarah dan Kearifan Berbangsa (Penyunting I Made Pageh & Nengah Bawa Atmadja). Singaraja: FIS, Undiksha, hlm. 107-167 Budiningsih, C. Asri. 2005. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta Hasim, Abdul. 2012. “Antikorupsi, Nasionalisme Baru?”, dalam Cara Mudah Menulis Artikel Koran (Penyusun: Abdul Hasim&Daeng Nurjamal). Bandung: Alfabeta
162
ISSN : 1829 – 894X
Ilahi,
Mohammad Takdir. 2012. Nasionalisme dalam Bingkai Pluralitas Bangsa: Paradigma Pembangunan & Kemandirian Bangsa. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media
Khanifatul. 2013. Pembelajaran Inovatif. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media Latief, Juraid Abdul. 2006. Manusia, Filsafat, dan Sejarah. Jakarta: PT Bumi Aksara Marzali, Amri. 2005. Antropologi dan Pembangunan Indonesia. Jakarta: Kencana Mulyana, E. 2007. Menjadi Kepala Sekolah Profesional. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Muslich, Masnur. 2011. Pendidikan Karakter: Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional. Jakarta: Bumi Aksara Pageh, I Made 2010. Metodologi Sejarah: dalam Perspektif Pendidikan. Singaraja: Undiksha Widja, I Gede, 1991. Sejarah Lokal Suatu Perspektif dalam Pengajaran Sejarah. Bandung : Angkasa Windia, Wayan. “Korupsi: dari Jenderal sampai Profesor”. Bali Express. Edisi Selasa, 20 Agustus 2013, hlm.4
PEDOMAN PENGIRIMAN NASKAH 1. 2. 3.
4. 5. 6. 7. 8.
9. 10. 11. 12. 13.
Naskah dapat berupa hasil penelitian atau kajian pustaka yang belum pernah dipublikasikan. Naskah dikirim ke LPPM IKIP Saraswati IKIP Saraswati Tabanan, Jalan Pahlawan No. 2 Tabanan 82113 Bali atau lewat emai: ninyomankarmini@yahoo. com. Naskah diketik satu setengah spasi, kecuali abstrak, tabel, keterangan gambar, histogram dan kepustakaan diketik dalam satu spasi dengan batas 3,5 cm dari kiri, 3 cm masing-masing dari atas, kanan dan bawah tepi kertas. Naskah maksimum 12 halaman A4, diketik dalam program Microsoft Word for Windows huruf Time New Roman ukuran 12. Sebanyak dua eksemplar naskah cetak dan soft copy (CD) yang memuat berkas naskah tersebut diserahkan kepada Redaksi Pelaksana. Ilustrasi yang berupa grafik, gambar atau foto yang tidak masuk dalam berkas CD harus ditempel pada tempatnya dalam naskah cetak. Naskah yang ditulis dalam bahasa Indonesia menggunakan abstrak yang ditulis dalam bahasa Inggris. Sebaliknya naskah yang ditulis dalam bahasa Inggris menggunakan abstrak dalam bahasa Indonesia. Abstrak tidak lebih dari 400 kata. Pada pojok kiri bawah dari abstrak ditulis kata kunci (key words) tidak lebih dari 5 kata. Judul singkat (tidak lebih dari 12 kata), jelas, informatif dan ditulis dengan huruf kapital kecuali nama ilmiah. Untuk kajian pustaka (review) dibelakang judul ditulis: Suatu Kajian Pustaka. Nama penulis tanpa gelar, alamat dan instansi penulis ditulis lengkap. Susunan naskah hasil penelitian terdiri dari judul (title), nama penulis (author), alamat penulis (address), abstrak (abstract), pendahuluan (introduction), metode penelitian (research methods), hasil (results), pembahasan (discussion), simpulan (conclusion), ucapan terima kasih (acknowledgements), dan kepustakaan (literate cited). Naskah kajian pustaka terdiri atas judul, nama penulis, alamat penulis, abstrak, pendahuluan, pembahasan, simpulan (conclusion), ucapan terima kasih, dan kepustakaan. Setiap alenia baru diketik mundur tiga ketukan. Setiap tabel, grafik, histogram, sketsa dan gambar (foto) diberi nomor urut, judul singkat dan jelas, dibuat pada satu halaman (tidak terpotong). Hasil yang ditulis dalam tabel tidak perlu diulang dalam bentuk lainnya (misalnya histogram atau grafik). Dalam tata nama (nomeklatur) dan tata istilah, penulis harus mengikuti cara penulisan yang baku. Untuk istilah asing ditulis miring kecuali abstrak. Dalam mengutip pendapat orang lain dipakai sistem Nama-Tahun. Contoh kutipan langsung, Lansing et al. (2002:3); kutipan tidak langsung: Lansing et al. (2003). Kepustakaan ditulis menurut sistem Nama-Tahun dan disusun berdasarkan abjad. Berikut ini beberapa contoh penulisan pustaka. a. Abstrak Darnaedi D. 1991. Rheofite di sepanjang sungai Mahakam, Kalimantan Timur, abstrak.244, hlm.122. Di dalam Seminar Ilmiah dan Kongres Nasional Biologi X. 1991. Perhimpunan Biologi Indonesia dan Pusat antar Universitas Hayati, IPB, Bogor. b. Buku Auderisk T. and G Auderisk. 1999. Biology, Life on Earth. Ke-5.Edition. Printice Hall, New Jersey. c. Buku Terjemahan Mackinnon M. 1991. Panduan Lapangan Pengenalan Burung-burung di Jawa dan Bali (terjemahan). Ed. Ke-2. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. d. Disertasi, Tesis, dan Skripsi Wiguna IWAA. 2002. Kontribusi system usahatani padi sawah terhadap pengkayaan hara nitrogen, fosfor, dan kalium aliran permukaan pada ekosistem subak di Bali. Kasus daerah aliran sungai Yeh Sungi di Tabanan Bali. Disertasi (S3) pada PPs-IPB, Bogor. e. Hasil penelitian yang dipublikasikan tetapi belum terbit Surata SPK. Persepsi guru sekolah dasar terhadap subak sebagai model pendidikan lingkungan di Bali, submitted (belum disetujui redaksi). Surata SPK. Haemotological indices studies in four subpopulation of Java Sparrow (Pada oryzivora L.). Biota, in press. (sudah disetujui redaksi). f. Penelitian yang sudah dipublikasikan Jacobson SK. 1991. Profile evaluation model for developing, implementing, and assessing conservation education programs; examples from Belize and Costa Rika. Environmental Management, 15 (2):143-150. g. Kamus Depdikbud. 1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Ed. Ke-2. Balai Pustaka, Jakarta. h. Prosiding Surata SPK. 2003. Budaya padi dalam subak sebagai model pendidikan lingkungan, hlm.81-97. Di dalam F. Kasryno, E. Pasandaran dan AM Fagi (Penyunting). Subak dan Kerta Masa. Kearifan lokal mendukung pertanian yang berkelanjutan. Yayasan Padi Indonesia, Jakarta. i. Publikasi perusahaan atau lembaga Minitab Inc. 1991. Minitab Reference Manual V.8. State College, USA. j. Surat Kabar Khosman, A. 16 Januari 2004. Perlu kebijakan mikro yang memihak petani. Kompas, 39(196): 46. Kolom 1-6. k. Nama penulis tidak dicantumkan, yang ditulis nama lembaganya (bukan anonim) WHO (World Health Organization). 1993. Guidenlines for drinking-water quality, Vol. 1. Recommendations. Ed. Ke-2. Geneva. l. Sumber dalam internet Ingeg Z. 1997. Analyzing Educational Resource for Environmental and Development Education. Griffith University and the Deparment of Environment, Sport & Territories. Australian Government, Department of Environment and Herrtiage. http//www.deh.gov.auleducationsitsWmodeule/modeule25,html.