ISSN : 1829 – 894X
SULUH PENDIDIKAN (Jurnal Ilmu-Ilmu Pendidikan) Volume 10
Nomor 1
Juni 2012
• Peningkatan Aktivitas dan Hasil Belajar Biologi Siswa SMP Melalui Penerapan Model Pendidikan Sains Lintas Budaya Terintegrasi Etnosains Subak (I Made Sudiana)..................................……...................
1–9
• Pengenalan dan Penerapan Pembelajaran Kooperatif Think-Pair-Share (TPS) pada Guru Jenjang Pendidikan Dasar Melalui Pendekatan Peta Konsep dengan Media Power Point (Ni Wayan Kari & Ni Wayan Ekayanti) .......................... 10–18 • Model Pembelajaran Matematika dengan Penilaian Portofolio Notebook di SMA (I Made Yasna) ...........…….......................................... 19–29
Mitos Naga, Bentuk Kearifan Lokal Pembelajaran Lingkungan Hidup Masyarakat Hindu Bali : Suatu Kajian Pustaka (Nyoman Suryawan)…………........................................ 30–37 Membangkitkan Profesionalisme Guru Melalui Penelitian Tindakan Kelas: Suatu Kajian Pustaka (I Made Maduriana)……………...................................... 38–44 English Teaching in Higher Education In Indonesia: An Bibliography Study (I Made Suka Merta)…………………….......................... 45–49 Peningkatan Prestasi Belajar IPS Sejarah Melalui Model Pembelajaran Kooperatif Berbasis Portofolio (Dewa Made Subrata) ................................................... 50–60
Pusat Penelitian Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Saraswati Tabanan
Dewan Redaksi Majalah Ilmiah “SULUH PENDIDIKAN” IKIP Saraswati Tabanan Ketua Drs. I Made Sudiana, M.Si. Penyunting Penyelia (Editor Pengawas) Dr. I Nyoman Suaka, M.Si. Peyunting Pelaksana Dr. Dra. Ni Nyoman Karmini, M.Hum.; Dr. Drs. Dewa Nyoman Oka, M.Pd.; Drs. Ida Bagus Anom Sutanaya, M.Pd.; Drs. Made Kerta Adhi, M.Pd.; Drs. I Nyoman Suryawan, M.Si.; Drs. Wayan Mawa, M.Hum. Penyunting Tamu Dr. I Gusti Ngurah Raka Haryana, MS (IKIP Saraswati Tabanan); Prof. Dr. Ir. Gede Mahardika, MS (UNUD); Prof. Dr. I Made Sutajaya, M.Kes (UNDIKSHA) Pengelola Pusat Penelitian IKIP Saraswati Tabanan Suluh Pendidikan: diterbitkan oleh Pusat Penelitian IKIP Saraswati Tabanan (Saraswati Institut Press), sebagai media informasi ilmiah bidang pendidikan baik berupa hasil penelitian maupun kajian pustaka. Penerimaan Naskah Redaksi menerima naskah dari dosen, peneliti, mahasiswa atau praktisi dengan ketentuan seperti tercantum pada bagian belakang jurnal ini. Tulisan yang dimuat mendapat kompensasi 2 eksemplar. Langganan Suluh Pendidikan terbit dua kali dalam setahun (Juni dan Desember). Langganan untuk satu tahun termasuk ongkos kirim sebagai berikut: 1. Lembaga/instansi : Rp. 100.000 2. Individu/pribadi : Rp. 50.000 3. Mahasiswa : Rp. 20.000 Alamat Redaksi IKIP Saraswati Tabanan Jalan Pahlawan Nomor 2 Tabanan – Bali 82113 Telp. (0361) 811267 Email:
[email protected]
ISSN : 1829 – 894X
SULUH PENDIDIKAN
(Jurnal Ilmu-ilmu Pendidikan)
Vol.10 No.1 Juni 2012 Peningkatan Aktivitas dan Hasil Belajar Biologi Siswa SMP Melalui Penerapan Model Pendidikan Sains Lintas Budaya Terintegrasi Etnosains Subak (I Made Sudiana)..............................………….....…………......................
1–9
Pengenalan dan Penerapan Pembelajaran Kooperatif Think-PairShare (TPS) pada Guru Jenjang Pendidikan Dasar Melalui Pendekatan Peta Konsep dengan Media Power Point (Ni Wayan Kari & Ni Wayan Ekayanti) ................................................. 10 – 18 Model Pembelajaran Matematika dengan Penilaian Portofolio Notebook di SMA (I Made Yasna) ......……………………………......…….......................... 19 – 29 Mitos Naga, Bentuk Kearifan Lokal Pembelajaran Lingkungan Hidup Masyarakat Hindu Bali : Suatu Kajian Pustaka (Nyoman Suryawan)……………………………………........................... 30 – 37 Membangkitkan Profesionalisme Guru Melalui Penelitian Tindakan Kelas: Suatu Kajian Pustaka (I Made Maduriana)……………………….............................................. 38 – 44 English Teaching in Higher Education In Indonesia: An Bibliography Study (I Made Suka Merta)……………………………...................................... 45 – 49 Peningkatan Prestasi Belajar IPS Sejarah Melalui Model Pembelajaran Kooperatif Berbasis Portofolio (Dewa Made Subrata) ............................................................................... 50 – 60
Pusat Penelitian Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Saraswati Tabanan
Suluh Pendidikan, 2012, 10 (1): 1 - 9
ISSN : 1829 – 894X
PENINGKATAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR BIOLOGI SISWA SMP MELALUI PENERAPAN MODEL PENDIDIKAN SAINS LINTAS BUDAYA TERINTEGRASI ETNOSAINS SUBAK I Made Sudiana FPMIPA IKIP Saraswati Tabanan ABSTRACT The science ability of junior high school in Indonesia is still low, due to the inability of teachers to develop and implement activities based on science skills process. It’s takes less meaningful science education, loss of orientation to the local environment and ignore the social and cultural demands. The study aims to determine (1) student activities, (2) student perceptions, and (3) the result study of biology to the application of cross-cultural model integrated etnosains subak. The experiment was conducted at SMP Madhya Widya Bangli Dharma. Student activity were collected by observation, student perceptions of the questionnaire, and the results study by test. Data were analyzed using descriptive and statistics t- tests and chi-square (X2 square). The results showed that increased student activity are less active befeore to the application of the model, becomes active after the application of the model. All students perceptions positive with good response and very good. The average value of result biology study increased significantly (39.40 t-count>2.660 t-table) than the value of 35.21 (pre test) to 66.38 (post test). Chisquare test results indicated that the biology students’ learning outcomes (X2 = 7.793, P = 0.649) is closely related to learning achievement exsact science (X2 = 29.034, P = 0.001), age of students (X2 = 10.586, P = 0.014), and the work parents of students (X2 = 47.034, P = 0.000), whereas the sex of students (X2 = 0.0034, P = 0.085) is not related to student learning outcomes. It was concluded that the application of cross-cultural model integrated etnosains subak can improve biological activity and student learning outcomes. Therefore, it is recommended that teachers use a model of integrated crosscultural science education etnosains subak in biology at school science lessons. Keywords: Science education, etnosains subak, learning activities, result study ABSTRAK Kemampuan sains siswa SMP di Indonesia masih tergolong rendah, disebabkan karena ketidakmampuan guru dalam menyusun dan melaksanakan kegiatan pembelajaran sains berdasarkan pendekatan keterampilan proses, sehingga pendidikan sains berlangsung kurang bermakna, kehilangan orientasi terhadap lingkungan lokal serta mengabaikan tuntutan sosial dan budaya. Penelitian bertujuan untuk mengetahui (1) aktivitas siswa; (2) persepsi siswa; dan (3) hasil belajar biologi siswa terhadap penerapan model pendidikan sains lintas budaya terintegrasi etnosains subak. Penelitian dilaksanakan di SMP Madya Widya Dharma Bangli. Aktivitas belajar siswa dikoleksi dengan lembar observasi aktivitas, persepsi siswa dengan kuisioner, sedangkan hasil belajar siswa dikoleksi dengan tes hasil belajar. Data dianalisis secara deskriptif dan statistik uji-t dan chi kwadrat (X2 square). Hasil penelitian menujukkan bahwa aktivitas siswa meningkat dari katagori kurang aktif sebelum penerapan model menjadi aktif setelah penerapan model. Semua siswa berpersepsi positif dengan respon baik dan sangat baik. Nilai ratarata hasil belajar biologi siswa meningkat signifikan (t-hitung 39,40 > t-tabel 2,660) dari 1
Suluh Pendidikan, 2012, 10 (1): 1 - 9
ISSN : 1829 – 894X
nilai 35,21 (pre tes) menjadi 66,38 (pos tes). Hasil uji chi-square menunjukkan bahwa hasil belajar biologi siswa (X2=7,793, P=0,649) berhubungan erat dengan prestasi belajar IPA (X2=29,034, P=0,001), umur siswa (X2 = 10,586, P=0,014), dan pekerjaan orang tua siswa (X2 = 47,034, P=0,000), sedangkan dengan jenis kelamin siswa (X2=0,0034, P=0,085) tidak berhubungan dengan hasil belajar siswa. Disimpulkan bahwa penerapan model pendidikan sains lintas budaya terintegrasi etnosains subak mampu meningkatkan aktivitas dan hasil belajar biologi siswa. Untuk itu, disarankan agar guru menggunakan model pendidikan sains lintas budaya terintegrasi etnosains subak dalam pembelajaran sains biologi di SMP. Kata kunci: Pendidikan sains, etnosains subak, aktivitas belajar, hasil belajar PENDAHULUAN Kulaitas pendidikan sains siswa SMP di Indonesia masih tergolong rendah, walaupun tak sedikit pelajar Indonesia memenangkan ajang bergengsi dalam berbagai olimpiade sains berskala internasional. Pada tahun 2006, untuk bidang sains (IPA) pelajar Indonesia berada pada peringkat 51 dari 56 negara (PISA 2006), disebabkan kelemahan mereka dalam memecahkan permasalahan, mulai dari mengenali, menformulasikan sampai mengkomunikasikan gagasan kepada orang lain (Samhadi 2007). Kelemahan mendasar dalam pendidikan sains di Indonesia yaitu ketidakmampuan guru dalam menyusun rencana pembelajaran berbasis keterampilan proses (Masjkur dkk. 2005 dan Hakim dkk. 2005) Akibatnya, siswa gagal mengimplementasikan pemahaman sains ke dalam kehidupan aktualnya sehingga pendidikan sains berlangsung kurang bermakna, kehilangan orientasi terhadap lingkungan lokal serta mengabaikan tuntutan sosial dan budaya (Cobern 1994, 1996, ICSU 2002, Portal Duniaguru 2007). Hal ini disebabkan pendidikan sains di negara berkembang termasuk Indonesia, cenderung hanya mengadopsi konsep sains 2
moderen yang berbasis kebudayaan Eropah tanpa diadaptasi dan diintegrasikan dengan kearifan tradisional yang terdapat dalam berbagai komunitas masyarakat. Hegemoni sains moderen telah mengabaikan kearifan tradisional sebagai bentuk berpikir yang bersifat anekdot, kualitatif dan tidak ilmiah (Sommer et al. 2004). Apabila keadaan ini dibiarkan, tujuan pendidikan nasional berbasis kompetensi untuk pengembangan kepribadian Indonesia yang kuat (Depdiknas 2004) terancam gagal dicapai. Pada lain pihak, kearifan tradisional juga semakin menghilang bersamaan dengan meninggalnya generasi yang lebih tua (World Wildlife Fund 2000). Padahal kearifan tradisional mengandung berbagai praktek ekologi-sosial dan mekanisme untuk daya lenting serta berkelanjutan, seperti penggunaan lahan, produksi makanan, manajemen komunitas, praktek kesehatan, keagamaan dan kegiatan pembelajaran (Folke et al. 1998, Reid et al. 2002, Millar 2004). Dengan demikian, kehilangan kearifan tradisional berarti hilangnya aset berharga pembangunan nasional. Untuk itu perlu dikembangkan sebuah model pendidikan sains lintas
Suluh Pendidikan, 2012, 10 (1): 1 - 9
budaya berbasis integrasi sains biologi dengan etnosains subak sebagai upaya meningkatkan aktivitas dan hasil belajar biologi siswa. METODE PENELITIAN Penelitian dilaksanakan di SMP Madya Widya Dharma Bangli pada bulan Juli 2010 terhadap siswa kelas VIII dan kelas IX. Pemilihan SMP ini didasarkan atas rendahnya prestasi akademik siswa dibandingkan sekolah lain karena seoklah ini menerima semua siswa tamatan SD yang tidak diterima di sekolah lain akibat rendahnya nilai UN atau tidak lolos seleksi ujian masuk sekolah negeri atau swasta favorit yang diinginkan (Kari, pers. comm: wakasek). Diasumsikan, jika penerapan model berhasil di sekolah ini, maka di sekolah lain akan berhasil lebih baik. Model pembelajaran yang digunakan adalah Conceptual Change Model (Driver, 1988, 1990), yang teridiri atas lima fase, yaitu fase orientasi, elisitasi, restrukturisasi, aplikasi, dan fase review. Fase orientasi memberi kesempatan siswa untuk mengidentifikasi konsep etnosains yang berkembang di dalam masyarakat; elisitasi memberi kesempatan pada siswa mengekspresikan etnosains; restrukturisasi: guru bersama-sama siswa membahas perbedaan dan persamaan antara konsep etnosains dengan konsep sains Barat; aplikasi memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengaplikasikan konsep yang telah direstrukurisasi melalui pemberian soal ataupun penyelesaian suatu masalah; review, guru bersama siswa melakukan evaluasi dan refleksi. Kegiatan pembelajaran
ISSN : 1829 – 894X
berlangsung di kelas dan lingkungan subak (ekosistem sawah) dengan melibatkan 29 orang siswa. Data aktivitas siswa dikoleksi dengan lembar observasi. Aspek yang diobservasi meliputi : kedisiplinan, melakukan observasi, menggali informasi, berdiskusi, mengajukan dan menjawab pertanyaan, serta membuat laporan. Persepsi siswa dikoleksi dengan menggunakan kuisioner meliputi aspek ketertarikan, minat, motivasi, dan perasaan siswa terhadap penerapan model pendidikan sains biologi terintegrasi etnosains subak. Hasil belajar siswa dikoleksi menggunakan tes hasil belajar bentuk pilihan ganda empat opsion sebanyak 30 soal pada materi hama dan penyakit tumbuhan. Pembuatan soal mengacu pada indikator capaian hasil belajar dengan harapan tercapainya tujuan pembelajaran sehingga siswa mempunyai kompetensi sesuai dengan kompetensi dasar dan standar kompetensi yang ditetapkan. Data dianalisis secara dekriptif dan statistik. Uji-t (t-test) digunakan untuk membandingkan hasil pre tes dan pos tes siswa. Hasil survei persepsi siswa dianalisis dengan chi kwadrat (X2 square) untuk membahas hubungan antar variabel (jenis kelamin, pekerjaan orang tua, prestasi IPA dan persepsi tentang sains lintas budaya).
HASIL Aktivitas Siswa Aktivitas siswa mengalami peningkatan dari katagori pasif dan cukup aktif sebelum penerapan model menjadi aktif dan sangat 3
Suluh Pendidikan, 2012, 10 (1): 1 - 9
ISSN : 1829 – 894X
aktif setelah penerapan model. Lebih dari setengah siswa atau 17 orang (58,62 %) sangat aktif dan 12 orang siswa (41,37 %) aktif dalam kegiatan pembelajaran (Tabel 1). Tabel 1 Aktivitas siswa dalam kegiatan pembelajaran biologi terhadap penerapan model pendidikan sains biologi lintas budaya terintegrasi etnosanis subak Jumlah siswa Sebelum
Sesudah
Persentase (%)
Pasif
15
0
51,72
Cukup aktif
14
0
48,27
Aktif
0
12
41,37
Sangat aktif
0
17
58,62
Jumlah
29
29
Katagori
Persepsi Siswa Semua siswa mempunyai persepsi cukup baik sampai sangat baik dan bahkan mayoritas siswa yaitu sebanyak 24 orang dari 29 siswa (82,76%) berpersepsi sangat baik. Persepsi yang baik ini tercermin juga dari sikap dan perilaku siswa, dimana lebih dari setengah siswa bersikap dam berperilaku baik (62%) dan 34,5 persen sangat baik. Berdasarkan hasil analisis statistik chisequare terhadap persepsi siswa terhadap hubungan antar variabel, ternyata prestasi belajar IPA (X2=29,034, P=0,001), berhubungan erat dengan hasil belajar siswa (X2=7,793, P=0,649) juga berhubungan dengan pekerjaan orang tua siswa (X2 = 47,034, P=0,000), sedangkan dengan jenis kelamin siswa (X2=0,0034, P=0,085) tidak berhubungan (Gambar 1).
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Prestasi IPA
Petani Petani Petani Sopir PNS Petani PNS Petani Petani Petani Pedagang Buruh Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Karyawan Wiraswasta Buruh Buruh Petani Sopir Petani Pengerajin Wiraswasta Petani
Prestasi belajar
Hasil belajar
1 2 1 1 1 1 1 2 2 2 2 1 1 2 2 1 1 1 2 1 2 1 2 2 2 2 2 1 1 16 14 14 14 13 13 13 14 14 14 14 13 16 13 13 16 14 15 13 15 14 15 13 14 13 14 14 13 14 umur, jenis kelamin, pekerjaan orang tua
Gambar 1 Hubungan antar variabel (umur, jenis kelamin, pekerjaan orang tua, prestasi belajar IPA dan pendidikan sains biologi lintas budaya
4
Suluh Pendidikan, 2012, 10 (1): 1 - 9
ISSN : 1829 – 894X
Hasil Belajar Siswa Hasil pre tes terhadap 29 orang siswa kelas VIII dan IX pada materi ”hama dan penyakit tumbuhan” hanya dua orang siswa yang mencapai ≥60 (0,69%). Mayoritas siswa yaitu sebanyak 27 orang memperoleh nilai kurang dari 60 yaitu mulai dari rentang nilai 5 – 55 (99,31%). Nilai ratarata pemahaman siswa terhadap matreri tersebut hanya 35,21 (54,17 %) dari KKM IPA Biologi sebesar 65. Setelah proses pembelajaran, nilai ratarata pos tes siswa meningkat hampir sebesar 31,17 (hampir 100 %) yaitu dari nilai pre tes 35,21 menjadi 66,38. Rentangan capaian hasil belajar siswa mulai dari terendah 40 (empat orang siswa/1,38%) dan tertinggi 90 dua orang (0,69%).
Pre tes
Ada kecenderungan bahwa peningkatan nilai pos tes masing-masing siswa sejalan dengan nilai pre tes siswa dengan sedikit variasi (Gambar 2). Ini menunjukkan bahwa pemahaman siswa di awal berpengaruh terhadap kemampuannya memahami konsep materi dalam kegiatan proses pembelajaran. Bila di awal nilai pre tes siswa rendah cenderung nilai pos tes siswa juga tidak terlalu tinggi. Hanya beberapa siswa yang mengalami peningkatan nilai pos tes yang sangat tinggi. Ini terjadi kemungkinan disebabkan keseriusan siswa dalam mengikuti kegiatan proses pembelajaran. Kecenderungan yang sama juga terlihat antara hasil pre tes – pos tes dan prestasi IPA siswa sejalan. Hanya sedikit sekali terjadi fluktuasi antara ketiganya (Gambar 2). Pos tes
Prestasi IPA
100
Nilai hasil belajar siswa
90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 1
3
5
7
9
11
13
15
17
19
21
23
25
27
29
Hubungan antara nilai pre tes, pos tes dan prestasi IPA
Gambar 2 Hubungan antara hasil pre tes dan pos tes dan prestasi IPA
5
Suluh Pendidikan, 2012, 10 (1): 1 - 9
ISSN : 1829 – 894X
PEMBAHASAN Peningkatan aktivitas siswa dari katagori
karena dengan kegiatan pembelajaran Conceptual Change Model (Driver, 1988, 1990), siswa memperoleh pengalaman belajar yang seluas-luasnya melalui fase orientasi, elisitasi, restrukturisasi, aplikasi, dan mereview pengetahuan sains biologi yang dipelajari sehingga siswa mampu mengkontruksi pengetahuannya sendiri dan mengaplikasikan dalam kehidupan kesehariannya. Siswa memperoleh sesuatu yang baru dalam proses pembelajaran sehingga siswa menajdi lebih aktif, kreatif, pembelajaran dirasa efektif, dan menyengangkan (PAKEM). Oleh karena
pasif ke aktif sampai sangat aktif (Tabel 1), disebabkan oleh antusiasme siswa dalam mengikuti kegiatan pembelajaran. Siswa sangat disiplin dan aktif dalam kegiatan observasi, diskusi, menggali informasi, memecahkan permasalahan, mengajukan dan menjawab pertanyaan, serta membuat laporan hasil observasi. Aktivitas siswa yang tinggi dalam kegiatan pembelajaran karena tingginya keingintahuan siswa tercermin dari persepsi siswa terhadap model pendidikan sains biologi lintas budaya berbasis etnosains subak. Mayoritas siswa mempunyai persepsi baik, karena siswa termotivasi oleh model pembelajaran yang diterapkan dan materi pembelajaran yang sangat kontekstual dengan kehidupan keseharian mereka. Persepsi yang baik ini tercermin juga dari perilaku siswa, dimana lebih dari setengah siswa mempunyai sikap dan perilaku baik (62%) dan 34,5 persen berpeliku sangat baik dalam kegiatan pembelajaran. Ini menunjukkan bahwa model pendidikan tersebut direspon baik oleh siswa. Respon yang baik ini terjadi
itu, model pembelajaran ini, menjadikan pembelajaran bersifat kontekstual dan lebih bermakna bagi siswa serta siswa tidak tercerabut dari akar budayanya. Model pembelajaran ini sesuai dengan konsep pembelajaran CTL (contextual teaching and learning) yang sangat disarankan oleh Depdinkas (Depdiknas 2005). Akativitas yang tinggi, persepsi, respon, sikap dan perilaku siswa yang baik terhadap penerapan model pendidikan sains lintas budaya terintegrasi etnosains subak berdampak terhadap peningkatan hasil belajar siswa. Hasil belajar siswa meningkat secara signifikan (t-hitung 39,40 >t-tabel 2,660) dari nilai rata-rata pre tes 35,21 (di bawah KKM 65) menjadi 66,38. Peningkatan hasil belajar siswa tidak terlepas juga dari minat dan motivasi siswa terhadap model belajar yang diterapkan. Sebab, model pembelajaran sains terintegrasi etnosains menjadi daya tarik yang tinggi bagi siswa. Ketertarikan siswa terjadi karena penggunaan etnosains pada pembelajaran sains, memberikan makna
Hasil uji-t terhadap hasil belajar siswa berupa nilai pre tes dan pos tes berbeda sangat nyata (taraf signifikasni 95%) dimana nilai t-hitung 39,40 > t-tabel 2,660. Nilai ini menunjukkan bahwa terjadi peningkatan nilai yang sangat nyata dari nilai pre tes ke nilai pos tes (Gambar 2). Nilai ini meberikan arti bahwa terjadi pemahaman yang baik terhadap materi hama dan penyakit tumbuhan setelah dilakukan proses pembelajaran.
6
Suluh Pendidikan, 2012, 10 (1): 1 - 9
terhadap konsep yang sulit, membangun komunikasi dan penghormatan kepada masyarakat serta menjadikan sains tidak terasing bagi siswa (Sommer et al. 2004). Melalui etnosains siswa belajar “mengenai” lingkungan (terfokus pada pengetahuan dan pemahaman), belajar “di” lingkungan” (penggunaan sumberdaya untuk penyelidikan, pengembangan keterampilan dan pengalaman), dan belajar “untuk” lingkungan (pengembangan nilai dan sikap) (Augustine 2007). Jadi, lewat penerapan model pendidikan sains lintas budaya terintegrasi etnosains subak, pengembangan kepribadian yang kuat sebagai salah satu tujuan pendidikan berbasis kompetensi kognotif, sikap, dan keterampilan (Depdiknas, 2004) bisa tercapai. SIMPULAN 1. Penerapan model pendidikan sains lintas budaya terintegrasi etnosains subak mampu meningkatkan aktivitas siswa dalam kegiatan pembelajaran biologi yang awalnya bersifat pasif (51,72%) dan cukup aktif (48,27%) menjadi aktif (41,27%) dan sangat aktif (58,62%) setelah penerapan model. 2. Persepsi siswa baik (17,24%) dan sangat baik (82,76%) terhadap penerapan model pendidikan sains lintas budaya terintegrasi etnosains subak, tercermin dari respon, sikap, dan perilaku siswa yang baik dan sangat baik dalam mengikuti kegiatan pembelajaran. 3. Hasil belajar biologi siswa meningkat signifikan (t-hitung 39,40 >t-tabel
ISSN : 1829 – 894X
2,660) dari nilai rata-rata pre tes 35,21 (di bawah KKM 65) menjadi 66,38 dan berhubungan erat dengan hasil belajar IPA (X2=29,034, P=0,001), dan pekerjaan orang tua siswa (X2 = 47,034, P=0,000), tetapi tidak berhubungan dengan jenis kelamin siswa (X2=0,0034, P=0,085). UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih tak terhingga disampaikan kepeda DP2M Dikti yang telah memberikan dana untuk terlaksananya penelitian ini. Ucapan yang sama juga disampaikan kepada Kepala Sekolah dan Ni Wayan Kari, S.Pd guru biologi, serta semua siswa SMP Madya Widya Dharma Bangli atas perkenannya memberikan kesempatan, memfasilitasi, dan keterlibatan secara aktif dalam kegiatan penelitian. Juga disampaikan terima kasih kepada Prof Dr. Sang Putu Kaler Surata, M.S, atas masukannya dalam kegiatan semiloka penyusunan kurikulum, buku panduan guru, dan buku ajar siswa serta Kepala Disdikpora Kabupaten Bangli yang telah mengizinkan peneliti melakukan penelitian di wilayah kerjanya.
DAFTAR PUSTAKA Augustine SJ. 1997. Traditional aboriginal knowledge and science versus occidental science. The Biodiversity Convention Office of Environment Canada, October 1997. [Online], h t t p : / / w w w. q u e c h u a n e t w o r k , diakses 24 November 2007.
7
Suluh Pendidikan, 2012, 10 (1): 1 - 9
Cobern WW. 1994. Constructivism and non-Western science education research. International Journal of Science Education 16, 1-16. Departemen Pendidikan Nasional [Depdiknas]. 2004. Kurikulum berbasis kompetensi mata pelajaran Biologi untuk Sekolah Menengah Tingkat Atas. [Online]. http:// isekolah.org/file/h_1091244911.rtf., diakses 19 Oktober 2006. Departemen Pendidikan Nasional [Depdiknas] Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama. 2005. Pendekatan Konstektual (Contextual Teaching And Learning (CTL). Jakarta: Depdiknas RI. Driver R. 1988. Theory into practice : A constructivist approach to curriculum development. Di dalam Fensham PJ (Penyunting), Development and dilemmas in Science education. London: Falmer Press. Folke C, Berkes F, Colding J. 1998. Ecological practices and social mechanisms for building resilience and sustainability, hlm 414-436. Di dalam Berkes F, Folke C (Penyunting). Linking Social and Ecological Systems. Cambridge: Cambridge University Press. Hakim L, Mukadis A, Ridwan MD, Martono. 2005. Pengembangan pengajaran IPA di Madrasah Ibtidalyah: Integrasi pendekatan agama dan keterampilan proses. Abstrak Hibah Bersaing V. DP2M Dikti Depdiknas. [Online]. www. dikti.org, diakses 3 Desember 2005.
8
ISSN : 1829 – 894X
International Council for Science. 2002. Science and traditional knowledge. Report from ICSU Study Group on Science and Traditional. www.icsu. org/Gestion/img/ICSU_DOC_DO. [Online], diakses 26 November 2007. Masjkur K, Susanto P, Prayito 2005. Pengembangan paket belajar IPA: buku siswa dan panduan guru berbasis keterampilan proses sains untuk meningkatkan untuk meningkatkan mutu pembelajaran IPA di sekolah Dasar. Abstrak Penelitian Hibah Bersaing V, DP2M Dikti (Online), www.dikti.org, diakses 12 Oktober 2006. Millar D. 2004. Interfacing two knowledge system: Local knowledge and science in Afrika. Paper for the Compas panel in the conference: Bridging scales and epistemologies: Linking local knowledge with global science in multi-scale assessments. Alexandria March 2004. [Online].
http://www.millenniumassessment. org/documents/bridging/papers/millar. david.pdf., diakses 26 November
2007. Portal
Duniaguru. 2007. Kurikulum IPA Berbasis Kebudayaan Lokal. Monday, 06 August 2007. (Online). http://www.duniaguru.com, diakses 12 Desember 2007.
Reid A, Teamey K, Dillon J. 2002. Traditional ecological knowledge for learning with sustainability in mind. The Trumpeter. Samhadi SH. 2007. Mengukur kualitas output sistem pendidikan. Kompas, senin 10 Desember 2007, hlm 53.
Suluh Pendidikan, 2012, 10 (1): 1 - 9
Sommer LC, Talus CE, Bachman M, Barnes F, Ebinger M, Lynch J, Maestas A. 2004. The Importance of Traditional Knowledge in Science Education: ARM Education Uses Interactive Kiosks as Outreach Tool. Fourteenth ARM Science Team Meeting Proceedings, Albuquerque, March 22-26, 2004, New Mexico.
ISSN : 1829 – 894X
World Wildlife Fund. 2000. Indigenous and Traditional Peoples of the World and Ecoregion Conservation: An Integrated Approach to Conserving the World’s Biological and Cultural Diversity, Gland: WWF.
9
Suluh Pendidikan, 2012, 10 (1): 10 - 18
ISSN : 1829 – 894X
PENGENALAN DAN PENERAPAN PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK-PAIR- SHARE (TPS) PADA PARA GURU JENJANG PENDIDIKAN DASAR MELALUI PENDEKATAN PETA KONSEP DAN POWER POINT Ni Wayan Kari1) dan Ni Wayan Ekayanti2) 1) SMPN 3 Bangli dan 2)Program Studi Pendidikan Biologi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Mahasaraswati Denpasar ABSTRACT The way teachers teach in the classroom is still using the old way, which is the dominant method-expository lectures. Seeing this fact, it is very important to do training and workshops on learning activities, the Student Learning Centre (SCL) at the level of basic education teachers. Research conducted to compare the assessment of teachers in assessing concept map to find an increased assessment of concept maps and to determine the assessment given to the behavior of group members and learning media power point. This research is the Classroom Action Research (TOD) by using a type of cooperative learning Think Pair Share (TPS), involving 22 people in Teacher Education Levels Basic at Kubu Village Cempaga Bangli. The research was carried out in SMP N 1 Bangli in July 2011. The results showed that all the devices the group has done a good job. For the assessment of the concept map shows that the range of ratings given by assessors to map the concept of cycle 1 and cycle 2 is not too much different. It is strengthened by the Z-test results that indicated no real difference between cycle I and cycle II, namely (Z22 = -1.483, P = 0.138). The results of the assessment power point shows that the range of assessments held by each group has a different percentage. It shows that the type of cooperative learning can enhance the ability teachers Cempaga basic education and Kubu Village Bangli in making a concept map. Keyword: Think-Pair-Share, concept map, powerpoints, basic education eeachers ABSTRAK Cara guru mengajar di kelas masih menggunakan cara lama, yang dominan menggunakan metode-ekspositori dominan kuliah. Melihat fakta ini, sangat penting untuk melakukan pelatihan dan lokakarya tentang aktivitas kegiatan belajar, Student Learning Centre (SLC) di tingkat guru pendidikan dasar. Penelitian dilakukan untuk membandingkan penilaian guru dalam menilai peta konsep untuk menemukan peningkatan penilaian peta konsep dan untuk menentukan penilaian yang diberikan terhadap perilaku anggota kelompok pebelajar dan bahan ajar power point. Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (PTK) dengan menggunakan jenis pembelajaran kooperatif Think-Pair-Share (TPS), yang melibatkan 22 orang guru jenjang Pendidikan Dasar di Kubu Desa Cempaga Bangli. Penelitian ini dilakukan di SMP N 1 Bangli pada bulan Juli 2011. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua perangkat kelompok telah melakukan pekerjaan yang baik. Untuk penilaian dari peta konsep menunjukkan bahwa kisaran peringkat yang diberikan oleh penilai untuk memetakan konsep siklus 1 dan siklus 2 tidak terlalu jauh berbeda. Hal ini diperkuat oleh Z-hasil tes yang menunjukkan ada perbedaan nyata antara siklus I dan siklus II, yaitu (Z22 = -1,483, p = 0,138). Hasil penilaian bahan 10
Suluh Pendidikan, 2012, 10 (1): 10 - 18
ISSN : 1829 – 894X
ajar power point menunjukkan bahwa kisaran nilai yang diperoleh masing-masing kelompok memiliki persentase yang berbeda. Ini menunjukkan bahwa jenis pembelajaran kooperatif TPS dapat meningkatkan kemampuan guru pendidikan dasar di kelurahan Cempaga dan Desa Kubu Bangli dalam membuat peta konsep dan bahan ajar power pont.. Kata kunci: Berpikir berpasangan, peta konsep, power point, guru pendidikan dasar PENDAHULUAN Pendidikan merupakan suatu hal yang sangat signifikan dalam sebuah kehidupan berbangsa. Pendidikan merupakan media strategis dalam memacu kualitas sumber daya manusia. Pendidikan memegang peranan penting dalam mempersiapkan sumber daya manusia yang berkualitas. Oleh karena itu pendidikan hendaknya dikelola, baik secara kualitas maupun kuantitas. Hal tersebut bisa tercapai bila pembelajar mampu menguasai materi pelajaran dengan baik, mampu mentransfer ilmu yang dimiliki dan mampu mengelola kelas dengan PAIKEM, selain itu faktor pebelajar juga berperan penting. Kualitas pendidikan bisa meningkat jika pebelajar dapat menyelesaikan pendidikan tepat pada waktunya dengan hasil belajar yang baik. Kurikulum 2004 berbasis kompetensi (KBK), yang diperbaharui dengan Kurikulum 2006 (KTSP), telah berlaku selama 4 tahun dan semestinya dilaksanakan secara utuh pada setiap sekolah. Namun pada kenyataannya, pelaksanaan pembelajaran di sekolah, masih kurang memperhatikan ketercapaian kompetensi siswa. Hal ini tampak pada RPP yang dibuat oleh guru dan dari cara guru mengajar di kelas masih tetap menggunakan cara lama, yaitu dominan menggunakan metode ceramah-ekspositori (Suherman, 2008). Guru masih dominan
dan siswa resisten, guru masih menjadi pemain dan siswa penonton, guru aktif dan siswa pasif. Paradigma lama masih melekat karena kebiasaan yang susah diubah, paradigma mengajar masih tetap dipertahankan dan belum berubah menjadi peradigma membelajarkan siswa. Padahal, tuntutan KBK, pada penyusunan RPP menggunakan istilah skenario pembelajaran untuk pelaksanaan pembelajaran di kelas, ini berarti bahwa guru sebagai sutradara dan siswa menjadi pemain, jadi guru memfasilitasi aktivitas siswa dalam mengembangkan kompetensinya sehingga memiliki kecakapan hidup (life skill) untuk bekal hidup dan penghidupannya sebagai insan mandiri. Namun kenyataannya kebanyakan guru belum mampu melaksanakan pembelajaran yang berpusat pada siswa (SCL), pembelajaran yang berpusat pada guru (TCL) masih terus dilaksanakan dikelas. Pembelajaran SCL merupakan pembelajaran yang berusaha meningkatkan keaktifan siswa dalam kegiatan belajar mengaja, ini karena dalam SCL siswa yang dituntut lebih aktif, sedangkan guru berperan sebagai fasilitator (Rosmaini dkk, 2004). Melihat kenyataan tersebut, sangat penting dilakukan pelatihan serta lokakarya mengenai kegiatan pembelajaran SCL pada para guru ditingkat pendidikan dasar. Guru 11
Suluh Pendidikan, 2012, 10 (1): 10 - 18
ISSN : 1829 – 894X
dipendidikan dasar perlu diperkenalkan tentang SCL sehingga nantinya para guru tersebut mampu menerapakan model pembelajaran SCL dikelas, selain itu guru juga harus mampu membuat peta konsep serta power point, agar mampu melakukan pembelajaran SCL dengan mempergunakan media pembelajaran berupa peta konsep dan media digital yaitu power point. Model pembelajaran kooperatif memiliki kelebihan dibandingkan dengan model pembelajaran biasa (ekspositori) dalam dua aspek yang menjadi sasaran pembelajaran, yaitu penguasaan, keteram-
Lemahnya kemampuan guru jenjang pendidikan dasar untuk membuat media pembelajaran berupa peta konsep dan power point dapat diperbaiki dengan pembelajaran kooperatif tipe TPS dimana semua anggota kelompok harus bekerja sama dalam merumuskan materi yang berkaitan dengan aspek pendidikan, ekonomi dan sosial yang berkaitan dengan kegiatan agrowisata Bukit Bangli yang nantinya akan dituangkan dalam bentuk peta konsep serta power point. Yang menjadi inti permasalahan yang ingin dipecahkan yaitu apakah dengan
pilan sosial dan pengetahuan (Ekayanti, 2010). Pembelajaran kooperatif untuk para guru dipendidikan dasar ini menggunakan pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share yang selanjutnya disebut TPS. TPS adalah kegiatan pembelajaran dalam kelompok dimana anggota dalam tersebut akan bekerja sama untuk mencapai tujuan dari kelompok tersebut (Alma dkk, 2009). Model Pembelajaran kooperatih tipe TPS menggunakan metode diskusi berpasangan yang dilanjutkan dengan diskusi pleno (Rudy, 2011). Model pembelajaran ini akan melatih bagaimana mengutarakan pendapat dan belajar menghargai pendapat orang lain dengan tetap mengacu pada materi/tujuan pembelajaran. Pembelajaran kooperatif tipe TPS diharapkan dapat membantu meningkatkan sikap positif dalam pembelajaran. Pembelajaran ini secara individu dapat membangun kepercayaan diri terhadap kemampuannya untuk menyelesaikan masalah pembelajaran, sehingga akan mengurangi atau bahkan menghilangkan rasa cemas yang banyak dialami.
penerapan pembelajaran kooperatif tipe TPS pada para guru jenjang pendidikan dasar di Kelurahan Cempaga dan Kubu Bangli mampu meningkatkan kemampuan membuat peta konsep untuk merumuskan keterkaitan aspek pendidikan, ekonomi dan sosial dengan kegiatan agrowisata Bukit Bangli? Bagaimanakah penilaian yang diberikan terhadap perilaku anggota kelompok dan media pembelajaran power point dari masing-masing kelompok? Penerapan pembelajaran kooperatif tipe TPS pada para guru dijenjang pendidikan dasar ini dilaksanakan sebagai upaya untuk meningkatkan kemampuan guru untuk melakukan pembelajaran SCL serta untuk melatih para guru dalam merancang media pembelajaran berupa peta konsep dan power point. Kegiatan ini dilaksanakan dengan menggunakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Penelitian ini dilakukan sebagai upaya meningkatkan keterampilan guru jenjang pendidikan dasar untuk merancang media pembelajaran berupa peta konsep dan power point, hal ini sangat
12
Suluh Pendidikan, 2012, 10 (1): 10 - 18
ISSN : 1829 – 894X
penting karena suatu proses pembelajaran sangat memerlukan media pembelajaran yang sesuai. Namun faktanya masih sangat banyak guru yang kurang terampil merancang suatu media pembelajaran. Dari hal tersebut maka penelitian PTK ini menekankan pada evaluasi pada produk yang dihasilkan dalam penelitian ini yaitu berupa peta konsep dan power point. Adapun tujuan dari PTK yang merupakan pembelajaran kooperatif tipe TPS adalah membandingkan penilaian para guru dari siklus I dengan siklus II dalam menilai peta konsep untuk mengetahui
Data yang dikumpulkan untuk dianalisis dalam penelitian ini meliputi data pengamatan peta konsep yang meliputi rancangan, warna, detail, ide inti, dan tingkat hierarki, data presentasi power point antara lain gambaran umum, latar belakang, teks (pemilihan huruf dan format), serta keakuratan isi dalam alat bantu, kemudian data lain yang dikumpulkan adalah data perilaku berkelompok yang mencakup partisipasi kelompok, pembagian tanggung jawab, kualitas interaksi dan peranan anggota dalam kelompok. Pengumpulan data tersebut dilakukan dengan penyebaran
adapakah ada peningkatan dalam penilaian produk berupa peta konsep dan untuk mengetahui penilaian yang diberikan terhadap perilaku anggota kelompok dan media pembelajaran power point.
rubrik penilaian yang disiapkan oleh Surata dkk (2009) pada penilai yaitu subyek penelitian itu sendiri (self reviewer). Penilaian dalam penelitian ini adalah penilaian diri sendiri dan penilaian oleh teman sejawat (peer reviewer). Dalam tiap lembar penilaian rubrik dilakukan dengan memberikan nilai sesuai dengan kriteria, misalnya baik dengan nilai 4, sedang dengan nilai 3, cukup dengan nilai 2, dan kurang dengan nilai 1. Data penelitian yang dihasilkan dari siklus I dan siklus II kemudian diolah dan dibandingkan. Analisis data ini dilakukan untuk mengetahui adakah peningkatan dalam penilaian produk berupa peta konsep dan untuk membandingkan penilaian yang diberikan oleh kelompok dalam menilai media pembelajaran digital berupa power point. Analisis yang digunakan untuk menganalisis data penilaian peta konsep adalah two related sample test sedangkan untuk data prilaku anggota kelompok serta penilaian power point dianalisis menggunakan statistik deferensial dengan
METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang merupakan suatu pencermatan dalam kegiatan belajar berupa sebuah tindakan yang sengaja dimunculkan dan terjadi dalam sebuah kelas secara bersamaan (Arikunto, 2002). Metode yang digunakan dalam PTK ini adalah pembelajaran kooperatif tipe TPS yang dilaksanakan dengan dua siklus. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli 2011 di Kelurahan Cempaga Kabupaten Bangli dengan melibatkan 22 orang guru dijenjang pendidikan dasar di Kelurahan Cempaga dan Kubu Bangli. Objek penelitian ini adalah penilaian terhadap perilaku berkelompok serta produk media pembelajaran berupa peta konsep dan power point.
13
Suluh Pendidikan, 2012, 10 (1): 10 - 18
menggunakan perbandingan persentase. HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini dilakukan dalam dua siklus dengan melibatkan 22 orang guru jenjang pendidikan dasar. Dalam penelitian ini dilakukan penilaian pada tiga aspek yaitu perilaku anggota kelompok, penilaian produk berupa peta konsep dan media pembelajaran digital power point. Perilaku anggota kelompok yang dianalisis menggunakan pendekatan statistik deferensial yaitu dengan membandingkan penilaian yang diberikan oleh para guru dijenjang pendidikan dasar yaitu penilaian diri sendiri dan juga penilaian oleh rekan sejawat. Hasil penilaian tersebut menunjukkan bahwa semua perangkat kelompok yang meliputi moderator, reporter, notulis, evaluator serta time keeper melakukan tugasnya dengan baik, hal itu karena rentang penilaian yang diberikan hanya berkisar antara baik sampai sedang, dan tidak ada perangkat kelompok yang termasuk dalam kriteria kurang. Hal tersebut dapat dilihat pada Gambar 1 dibawah ini.
ISSN : 1829 – 894X
Dari 22 orang penilai, 81,81% setuju bahwa moderator telah melaksanakan tugasnya dengan baik, dan sisanya 18,18% setuju bahwa moderator telah melaksanakan tugasnya dengan kriteria cukup. Demikian juga dengan reporter, 59% setuju bahwa reporter sudah melakukan tugasnya dengan baik, dan 40,9% juga setuju reporter telah melakukan tugasnya dengan baik. 63,63% penilai setuju bahwa notulis telah melaksanakan tugasnya dengan baik, 27,27% menyatakan bahwa notulis telah melakukan tugasnya dengan cukup baik dan 4,54% menyatakan bahwa notulis melakukan tugasnya dengan kriteria sedang. Dari seluruh penilai, 54,54% menyatakan bahwa evaluator sudah bekerja dengan baik, 36,36% menyatakan bahwa evaluator sudah melaksanakan tugasnya dengan cukup baik dan 4, 45% setuju bahwa evaluator melakukan tugasnya dengan kriteria sedang. Time keeper juga telah melaksanakan tugasnya dengan bertanggung jawab, hal itu terlihat dari penilaian yg diberikan yaitu 36,36% untuk kriteria baik dan cukup serta 22,72%
Gambar 1. Persentase Penilaian terhadap Perangkat Kelompok 14
Suluh Pendidikan, 2012, 10 (1): 10 - 18
ISSN : 1829 – 894X
untuk kriteria sedang. Perbedaan penilaian yang diberikan oleh para guru tersebut dapat terjadi karena faktor-faktor lain seperti umur, wawasan, pengalaman dan kecenderungan sosial penilai (Nuryani, 2006). Tentu saja antara guru yang satu memiliki wawasan, kemampuan dan pengalaman yang berbeda dengan guru yang lain dalam penerapan perangkat kelompok sehingga cenderung memiliki penilaian yang berbeda terhadap perangkat kelompok. Guru yang memiliki lebih banyak pengalaman menerapkan kegiatan berkelompok dengan menggunakan
menggunakan pendekatan statistik inferensial dengan menggunakan SPSS versi 16 dengan menggunakan two related sample test. Secara sepintas lalu maka hasil penilaian terlihat menunjukkan adanya peningkatan dari siklus 1 jika dibandingkan dengan siklus 2. Hal ini terlihat dari nilai terendah yg diberikan pada siklus 1 yaitu 58 sedangkan pada siklus 2 nilai terendah yaitu 64. Dalam penilaian peta konsep ini, cenderung ada peningkatan walaupun dengan rentang yang tidak terlalu jauh berbeda. Peningkatan dengan rentangan tertinggi diberikan oleh Ni Wayan
perangkat kelompok tentu akan lebih selektif dalam memberikan penilaian. Selain itu kecenderungan sosial penilai juga sangat berpengaruh dalam pemberian nilai mengenai perilaku berkelompok. Untuk penilaian mengenai produk yaitu peta konsep, dilakukan analisis
Sudiartini dari (79 ± 8,87) menjadi (95 ± 8,29). Namun selain ada peningkatan, ada beberapa guru yang memberikan nilai yang lebih rendah pada siklus 2 dari pada siklus 1 dan penurunan terbesar diberikan oleh Ni Nyoman Sudiasih (81 ± 8,87) menjadi (70 ± 8,29). Hal tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Perbandingan Nilai Peta Konsep Siklus I dibandingkan dengan Siklus II.
15
Suluh Pendidikan, 2012, 10 (1): 10 - 18
ISSN : 1829 – 894X
Terlihat bahwa rentang penilaian yang diberikan oleh penilai terhadap peta konsep dari siklus 1 dan siklus 2 tidaklah terlalu jauh berbeda. Hal tersebut diperkuat oleh hasil uji-Z yang menunjukkan tidak adanya perbedaan nyata antara siklus I dengan siklus II yaitu (Z22 = -1,483; P = 0,138). Hal itu berarti memang ada peningkatan dari siklus I ke siklus II namun tidak dengan peningkatan yang nyata. Yang berarti bahwa penilaian yang diberikan oleh penilai pada siklus I dan siklus II hampir sama. Ini karena dalam kegiatan pembelajaran sehari-hari yang dilakukan
comm, 2011). Hasil penilaian tersebut menunjukkan bahwa perlu dilakukan pelatihan dan lokakarya pada para pendidik jenjang pendidikan dasar agar para pendidik dapat lebih mampu dalam merumuskan dan membuat peta konsep yang nantinya akan digunakan sebagai media pembelajaran di kelas. Penilaian terhadap media pembelajaran digital yaitu power point menunjukkan bahwa media pembelajaran power point yang dibuat oleh para guru dijenjang pendidikan dasar sudah cukup bagus namun masih perlu ditingkatkan
oleh para guru jenjang pendidikan dasar, sangat jarang menggunakan peta konsep bahkan ada yang belum pernah menggunakan peta konsep sehingga para guru tersebut agak sulit dalam merumuskan dan membuat peta konsep (Sada, pers.
lagi. Hal tersebut karena penilaian tersebut menunjukkan bahwa lebih banyak kelompok yang memiliki nilai dengan kriteria cukup dari pada baik. Hasil penilaian pada media pembelajaran digital power point dapat dilihat pada Gambar 3.
16
Gambar 3. Persentase Penilaian Power Point masing-masing Kelompok
Suluh Pendidikan, 2012, 10 (1): 10 - 18
ISSN : 1829 – 894X
Gambar 3 menunjukkan bahwa rentang penilaian yang dimiliki oleh masing-masing kelompok memiliki persentase yang berbeda. Ada kelompok yang cenderung termasuk kriteria baik, ada yang cenderung termasuk kriteria cukup, ada pulang yang termasuk dalam kriteria sedang namun tidak ada yang mendapat nilai kurang. Kelompok yang memiliki nilai baik adalah kelompok E, karena dari 22 orang penilai 68,18% setuju bahwa power point yang dibuat oleh kelompok E sangat bagus, dan sisanya 31,81% menyatakan dengan kriteria cukup. Kelompok A
tentu saja akan sangat jauh berbeda dengan guru yang sudah fasih dalam membuat power point.
cenderung termasuk kriteria cukup, karena nilai baik (45,45%) lebih kecil dari pada nilai cukup (54,54%). Demikian juga untuk kelompok B, nilai tertinggi pada kelompok B cenderung berada pada kriteria cukup (59%), sedangkan kriteria baik hanya 36,36%, dan kriteria sedang hanya 4,54%. Untuk kelompok C nilai tertinggi juga berada pada kriteria cukup yaitu 68,18%, diikuti oleh nilai pada kriteria sedang sebesar 18,18% sedangkan nilai dengan kriteria baik hanya sebesar 13, 63%. Pada kelompok D nilai tertinggi pada kriteria cukup sebesar 68,18%, diikuti oleh nilai baik sebesar 27,27% dan terendah pada kriteria sedang 4,54%. Perbedaan ini dapat terjadi karena dalam masing-masing kelompok tersebut ada guru-guru yang telah mampu membuat media pembelajaran power point dan sering menggunakannya dalam kegiatan pembelajaran dikelas, namun ada juga guru yang belum pernah membuat dan memanfaatkan media pembelajaran power point, sehingga power point yang dihasilkan
antara nilai baik sampai sedang. Adanya rentang penilaian itu menunjukkan adanya perbedaan penilaian terhadap perilaku anggota kelompok oleh penilai.Para guru jenjang pendidikan dasar telah mampu membuat media pembelajaran power point namun kemampuan tersebut perlu untuk ditingkatkan lagi.
SIMPULAN Pembelajaran kooperatif tipe TPS dapat meningkatkan kemampuan para guru jenjang pendidikan dasar Kelurahan Cempaga dan Kubu Bangli dalam membuat peta konsep. Tugas individu sebagai perangkat kelompok dapat dipertanggungjawabkan oleh masingmasing individu, hal itu ditunjukkan oleh rentang penilaian yang berkisar
UCAPAN TERIMAKASIH Data yang diperoleh dalam penelitian ini merupakan sebagian data yang diperoleh dalam Ipteks bagi Wilayah (IbW) di Kelurahan Cempaga dan Kubu Kecamatan Bangli, Kabupaten Bali, Propinsi Bali 2010. Penulis mengucapkan terimakasih pada Kepala Sekolah SMPN 1 Bangli dan para Guru Jenjang Pendidikan Dasar di Kelurahan Cempaga dan Kubu Bangli yang telah berpartisipasi aktif, baik sebagai subjek, objek maupun penilai dalam penelitian ini.
17
Suluh Pendidikan, 2012, 10 (1): 10 - 18
DAFTAR PUSTAKA Alma B, Mulyadi H, Razati G & Nuryati L. 2009. Guru Profesional Menguasai Metode dan Terampil Mengajar. Bandung: Alfabeta Arikunto S. 2002. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara Ekayanti NW 2010. Upaya Peningkatan Keterampilan Sosial dalam Ekoliterasi Ketahanan Hayati melalui Pembelajaran Kooperatif Tipe Kelompok Investigasi pada Mahasiswa Pendidikan Biologi Semester III Tahun Akademik 2008/2009. Skripsi (tidak diterbitkan) Jurusan Pendidikan Biologi Universitas Mahasaraswati Denpasar Nuryani. 2006. Trend Penilaian Pembelajaran IPA. http://bullah10. blogspot.com/2009/06/trendpenilaian-pembelajaran-ipa-masa. html. Diakses 12 November 2009 Rosmaini S, Evi S dan Mariani N L. 2004. Penerapan Pendekatan Struktural
18
ISSN : 1829 – 894X
Think–Pair–Share (TPS) untuk Meningkatkan Hasil Belajar dan Aktivitas Siswa Kelas I.7 SLTPN 20 Pekanbaru pada Pokok Bahasan Keanekaragaman Hewan TA. 2002/2003, 1(1):9-14, 2004. Rudy. 2011. Pembelajaran Kooperatif tipe Think-Pair-Share. http:// rudy unesa.blogspot.com/2011/07/ pembelajaran-kooperatif-tipe-thinkpair.html. Diunduh tanggal 8 Agustus 2011 Suherman E. 2008. Model Belajar dan Pembelajaran Berorientas Kompetensi Siswa.http://pkab. wordpress.com/2008/04/29/ model-belajar-dan-pembelajaranberorientasi-kompetensi-siswa/. Diunduh 8 Agustus 2011 Surata K,Vipriyanti U & Martiningsih E. 2009. Pendekatan Artistik dalam Pendidikan Ketahanan Hayati: Pengembangan Model Literasi Ekologi-Sosial bagi Mahasiswa calon Guru. Hibah Penelitian UNMAS. Tidak diterbitkan.
Suluh Pendidikan, 2012, 10 (1): 19 - 29
ISSN : 1829 – 894X
MODEL PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN PENILAIAN PORTOFOLIO NOTEBOOK DI SMA I Made Yasna FPMIPA IKIP Saraswati Tabanan ABSTRACT This study originated from the desire of authors to apply other assessment mechanisms in the learning process of mathematics that have been rated less than satisfactory. Homework and tests that the teacher has not been able to monitor students’ skills in their entirety. Therefore we need a scoring mechanism that can monitor student progress on an ongoing basis, taking into account the work of each student. Portfolio assessment is the assessment of mathematics using a notebook, which includes all materials and the work accomplished by students, both at school and outside school to the assessment of learning outcomes. In the portfolio, students gather the results of his work from the beginning to the results of work that has been revised so that he can see the difference in the quality of his work every time. Assessment using portfolios can foster confidence in students so it would be motivated to seek knowledge and understanding of a specific mathematical topic, be creative and open to new ideas that they find in learning activities. The problem is how learning math with portfolio assessment using the notebook in high school? To answer the problem and test the hypothesis presented in this study, statistical analysis used descriptive and inferential analysis. From the analysis of the data obtained that there is an increase in students’ mathematics learning outcomes after attending a learning portfolio assessment using the notebook in high school. Keywords: Portfolio notebook assessment, learning outcomes ABSTRAK Penelitian ini berawal dari keinginan penulis untuk menerapkan mekanisme penilaian lain dalam proses pembelajaran matematika yang selama ini dinilai kurang memuaskan. Pekerjaan rumah dan tes yang diberikan guru belum mampu memantau kemampuan siswa secara utuh. Oleh karena itu diperlukan mekanisme penilaian yang dapat memantau kemajuan siswa secara berkelanjutan, dengan mempertimbangkan hasil pekerjaan setiap siswa. Penilaian portofolio adalah penilaian matematika menggunakan notebook, yang mencakup semua bahan yang dikerjakan oleh siswa, baik di sekolah maupun di luar sekolah sebagai bahan penilaian hasil belajar. Dalam portofolio, siswa mengumpulkan hasil karyanya dari awal sampai hasil kerja yang telah direvisi sehingga ia dapat melihat perbedaan dalam kualitas pekerjaannya setiap saat. Penilaian dengan portofolio dapat memupuk kepercayaan pada diri siswa sehingga akan termotivasi untuk mencari pengetahuan dan pemahaman tentang suatu topik matematika tertentu, menjadi kreatif dan terbuka untuk ide-ide baru yang mereka temukan dalam kegiatan belajar. Masalahnya adalah bagaimana pembelajaran matematika dengan penilaian portofolio menggunakan notebook di SMA? Untuk menjawab masalah dan menguji hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini, dilakukan analisis statistik deskriptif dan inferensial. Dari analisis data ternyata bahwa ada peningkatan hasil belajar siswa setelah pembelajaran dengan penilaian portofolio notebook di SMA. Kata kunci: Penilaian portofolio notebook, hasil belajar 19
Suluh Pendidikan, 2012, 10 (1): 19 - 29
PENDAHULUAN Isu tentang rendahnya pemahaman siswa terhadap pelajaran matematika selalu menjadi topic yang hangat untuk dibicarakan, tak terkecuali di negara-negara maju. Banyak hasil-hasil penelitian melaporkan bahwa kondisi proses pembelajaran sebagai salah satu penentu keberhasilan siswa dalam belajar matematika. Oleh karena itu proses pembelajaran masih perlu dibenahi. Berkaitan dengan itu Davis (1992) mengatakan bahwa kalau pada masa sebelumnya pembelajaran dimulai dengan pemberitahuan mengenai apa yang harus dipikirkan dan bagaimana menanamkan metode pada siswa, namun pada saat ini, harus dilihat dan diamati apa yang harus dipikirkan siswa tentang suatu topic. Guru diharapkan mengamati apa yang dipikirkan siswa tentang suatu topic tertentu dalam suatu diskusi dan kemudian mengembangkannya. Sehubungan dengan itu, hal yang harus dimiliki seorang guru adalah kemampuan untuk mengetahui bagaimana dan apa yang dipikirkan siswanya tentang matematika, serta mencari cara agar siswa dapat terlibat secara lebih aktif berkomunikasi tentang matematika. Guru harus menggunakan alat untuk mengumpulkan informasi tentang kinerja siswa serta berusaha menilai secara terus menerus kemajuan yang dialami siswanya. Alat yang selama ini sering digunakan oleh guru adalah tugas / pekerjaan rumah ataupun tes. Pemberian tes maupun pekerjaan rumah (PR) telah dilaksanakan oleh hampir semua guru. Berkaitan dengan 20
ISSN : 1829 – 894X
itu Posanmentier (1995) menyatakan bahwa guru terkadang lupa atau tidak memperhatikan tujuan dari diberikannya pekerjaan rumah kepada siswa. Oleh karena itu guru sering kehilangan aspekaspek untuk apa pekerjaan rumah itu diberikannya, sehingga hasil-hasil yang diharapkannya tidak memuaskan. Demikian pula dengan hasil tes yang diberikan tidak dapat menggambarkan kemampuan siswa yang sebenarnya. Hal ini disebabkan oleh soal-soal tes yang diberikan guru dalam ujian hanyalah sebagian dari seluruh topic yang telah diberikan kepada siswa. Karena waktu yang diberikan untuk memberikan ujian itu terbatas, maka guru tidak mungkin memberikan soal-soal yang mencakup seluruh topic untuk diujikan. Sehingga cara seperti ini tidak dapat digunakan untuk melihat kemampuan siswa secara utuh. Memberikan tes sebagai penilaian sesaat tentu hasilnya tidak dapat menggambarkan prestasi siswa secara utuh, sepanjang mengikuti pendidikan. Penilaian sesaat juga mengandung unsur spekulatif, karena menggunakan asumsi bahwa pada saat itu seluruh siswa dalam kondisi prima, baik fisik maupun psikologis. Padahal kondisi siswa pada saat ujian belum tentu dalam kondisi prima. Di samping itu banyak hasil belajar yang sulit didapat melalui ujian, misalnya kejujuran, kesetiakawanan, kreativitas, kemampuan menggali informasi, kemampuan memanfaatkan / mendayagunakan sumber daya dan sebagainya. Karena tes hanya mencakup sebagian dari keseluruhan topic yang telah diberikan kepada siswa, maka hasil yang
Suluh Pendidikan, 2012, 10 (1): 19 - 29
ISSN : 1829 – 894X
diperoleh tidak dapat menggambarkan kemampuan siswa yang sesungguhnya. Apalagi jika hasil tes tersebut dapat dimanipulasi. Oleh karena itu masih diperlukan suatu mekanisme penilaian lain yang dapat memantau kemajuan siswa secara terus menerus. Diperlukan suatu proses penilaian yang memperhatikan setiap hasil pekerjaan siswa. Hasil pekerjaan siswa didokumentasikan dan dimanfaatkan untuk melihat kemajuan belajarnya. Guru mengarahkan siswa untuk cermat dalam menyelesaikan tugas-tugas matematika, agar siswa mau memperhatikan kesalahan
Dalam bidang pendidikan portofolio mengacu pada kumpulan sistematis dari pekerjaan-pekerjaan siswa. Portofolio matematika siswa merupakan suatu alat yang potensial untuk mendapatkan informasi tentang kemajuan belajar siswa. Baker (Wade,1996) menyatakan bahwa “Portfolio represent student growth and learning over time”. Sejalan dengan hal itu, pendapat lain juga mengatakan bahwa “The key funcions of portfolio are to provide ways for students to formally self-asses their learning, gauge their growth on course objective and
- kesalahannya sekaligus memperbaikinya. Tugas-tugas matematika tersebut merupakan bahan yang sangat berharga dalam proses pembelajaran matematika. Suatu mekanisme penilaian yang dimaksudkan di atas adalah penilaian yang menggunakan portofolio mematematika siswa. Penilaian portofolio dalam pengukuran pendidikan telah menarik perhatian sebagian besar pendidik, sebab penilaian tersebut memberikan suatu alternatif yang jelas melebihi bentuk penilaian biasa. Penilaian portofolio memasukkan semua bahan yang dikerjakan dan yang dicapai siswa, baik di sekolah maupun di luar sekolah, sebagai bahan penilaian hasil belajar. Penilaian yang menggunakan portofolio berasumsi bahwa hasil belajar dapat berwujud berbagai hal, termasuk kegiatan-kegiatan di luar lingkungan sekolah. Misalnya, prestasi pada kejuaraan lomba karya ilmiah. Dengan cara seperti ini dapat diperoleh gambaran utuh hasil belajar siswa selama yang bersangkutan menempuh pendidikan.
document their strengths” (Krap,1997). Dalam portofolio, siswa menempatkan hasil awal dan hasil revisi dari pekerjaan mereka. Hasil pekerjaan-pekerjaan siswa itu dikumpulkan sehingga guru dan juga siswa dapat melihat perbedaan kualitas yang didapat setiap waktu. Jika seorang siswa ingin meninjau ulang serta ingin memperbaiki hasil pekerjaannya, maka siswa akan mengetahui bahwa usahanya dalam mengerjakan tugas menjadi lebih baik seiring dengan perbaikan yang dilakukannya. Jika hal ini terjadi maka dapat menumbuhkan rasa percaya diri pada siswa bahwa dia mampu untuk menyelesaikan tugas yang diberikan. Sehingga dapat dikatakan portofolio merupakan suatu cara untuk menumbuhkan kepercayaan diri siswa bahwa dia mampu mengerjakan suatu tugas. Dengan tumbuhnya kepercayaan diri pada siswa diharapkan dapat memotivasinya untuk mencari pengetahuan dan pemahaman dengan caranya sendiri serta berkreasi dan terbuka terhadap ide-ide baru yang mereka 21
Suluh Pendidikan, 2012, 10 (1): 19 - 29
ISSN : 1829 – 894X
temukan dalam kegiatan pembelajarannya. Dari uraian-uraian terdahulu dapat diduga bahwa pembelajaran matematika dengan penilaian portofolio menggunakan notebook efektif digunakan dalam proses pembelajaran matematika. Oleh karena itu, menggugah keinginan penulis untuk mengadakan penelitian tentang penerapan penilaian portofolio menggunakan notebook di SMA. Permasalahannya adalah bagaimana pembelajaran matematika dengan penilaian portofolio menggunakan notebook di SMA ? Berdasarkan permasalahan tersebut dapat diidentifikasi
perlakuan (treatment) kepada subjek penelitian, (2) pengamatan terhadap gejala yang muncul pada variabel tergantung sebagai akibat perlakuan, (3) pengendalian variabel lain bersama variabel perlakuan atau “treatment variable” yang ikut berpengaruh terhadap variabel respon atau variabel tergantung. Populasi dalam penelitian ini adalah semua siswa kelas X semester genap SMA Negeri 1 Penebel tahun pelajaran 2009/2010, yang terdiri dari 6 kelas paralel dengan jumlah siswa sebanyak 244 orang. Standar Kompetensi
beberapa pertanyaan seperti berikut : (1) Bagaimana kemampuan siswa sesudah mengikuti pembelajaran matematika yang penilaiannya dengan portofolio menggunakan notebook ? (2) Apakah terdapat peningkatan prestasi belajar setelah siswa mengikuti pembelajaran matematika yang penilaiannya dengan portofolio menggunakan notebook ? (3) Bagaimana respon siswa terhadap pembelajaran matematika dengan penilaian portofolio menggunakan notebook ?
yang dijadikan objek penelitian ini adalah Perbandingan dan Fungsi Trigonometri serta Ruang Dimensi Tiga. Selanjutnya dari 6 kelas yang ada, peneliti memilih satu kelas sebagai kelas eksperimen, satu kelas sebagai kelas kontrol dan satu kelas sebagai kelas uji coba instrumen. Pemilihan kelas eksperimen dan kelas kontrol dilakukan secara acak, dengan pertimbangan bahwa pendistribusian siswa pada tiap-tiap kelas dilakukan secara merata berdasarkan nilainilai ijazah pada saat mereka diterima di sekolah tersebut. Penetapan kelas eksperimen dan kelas kontrol dilakukan secara undian. Kelas yang terpilih pertama saat undian dijadikan kelas eksperimen, yang terpilih pada undian kedua dijadikan kelas kontrol dan kelas yang satu lagi dijadikan kelas ujicoba instrumen. Dari hasil undian didapatkan kelas X.3 sebagai kelas eksperimen dengan jumlah siswa sebanyak 40 orang, kelas X.5 sebagai kelas kontrol dengan jumlah siswa sebanyak 42 orang, dan kelas X.2 sebagai kelas uji coba instrumen dengan jumlah
METODE PENELITIAN Penelitian ini digolongkan sebagai penelitian eksperimen dengan rancangan “TheTwo-Group Pretest-Posstest (Soenarto, 1997), yang akan menyelidiki tentang sistem penilaian portofolio menggunakan notebook (sebagai perlakuan pada kelas eksperimen) dan sistem penilaian biasa (sebagai perlakuan pada kelas kontrol). Pengkatagorian penelitian ini kedalam penelitian eksperimen dengan ciri-ciri khusus seperti berikut : (1) pemberian 22
Suluh Pendidikan, 2012, 10 (1): 19 - 29
ISSN : 1829 – 894X
siswa sebanyak 45 orang. Untuk menjawab permasalahan penelitian dan untuk menguji hipotesis yang diajukan, maka data yang dikumpulkan dianalisa dengan menggunakan teknik analisis statistik deskriptif dan analisis statistik inferensial. Analisis statistik deskriptif mencakup rata-rata, standar deviasi, skor maksimum, dan persentase. Analisis statistik inferensial berfungsi menggeneralisasikan hasil penelitian yang dilakukan pada sampel. Hal ini sesuai dengan pendapat yang mengatakan bahwa analisis statistik
kontrol dan kelompok eksperimen harus homogen. Untuk memperoleh data tentang hasil belajar baik pada saat uji awal (tes awal) maupun untuk uji akhir (tes akhir) digunakan tes hasil belajar. Untuk menganalisa hasil belajar siswa digunakan acuan ketuntasan belajar sesuai dengan tes yang disusun. Ketuntasan belajar menurut pedoman teknis pelaksanaan mata pelajaran SMU 1994, seorang siswa dikatakan tuntas belajar apabila proporsi jawaban benar ≥ 65% dan suatu kelas dikatakan tuntas apabila 85% dari seluruh siswa di kelas
inferensial bertujuan untuk melakukan generalisasi yang meliputi estimasi (perkiraan) dan pengujian hipotesis berdasarkan suatu data (Agung, 1992). Statistik inferensial mencakup analisis kovarian (ANAKOVA), statistik-t, dan korelasi. ANAKOVA digunakan untuk menguji perbedaan karena dalam penelitian ini terdapat satu variabel tergantung yaitu hasil belajar siswa dan melibatkan satu variabel penyerta yaitu hasil pretes siswa. Menurut Neter (Yasna, 2001 : 55) dua syarat utama yang harus dipenuhi dalam melakukan analisis kovarian adalah : (a) Model regresi antara variabel tak bebas Y (hasil tes akhir siswa) dan variabel penyerta X (hasil pretes siswa) memenuhi hubungan linier sederhana dalam setiap katagori atau tingkat faktor yang diperhatikan. Untuk hal ini perlu diuji kecocokan model regresi linier yang diberikan untuk masing-masing kelompok kontrol dan kelompok eksperimen. (b) semua model regresi sederhana pada (a) sejajar. Artinya gradien garis regresi linier untuk kelompok
tersebut telah tuntas belajar (Depdikbud, 1994). Proporsi diperoleh dari skor total siswa untuk tiap butir dibagi dengan total skor maksimal tiap butir. Bentuk tes yang dipakai adalah tes obyektif pilihan ganda dengan lima option. Sedangkan data respon siswa terhadap pembelajaran dengan penilaian portofolio matematika menggunakan notebook diperoleh dengan angket respon siswa yang diberikan kepada siswa kelas eksperimen. Angket ini juga digunakan untuk mengetahui tanggapan siswa atas komentar-komentar guru pada lembar jawaban dan tugas-tugas siswa. Pada penelitian ini dalam proses pembelajaran dengan penilaian portofolio menggunakan notebook diperlukan beberapa petunjuk dan beberapa perangkat pembelajaran. Beberapa petunjuk tersebut antara lain : (a) petunjuk menggunakan portofolio, (b) petunjuk pembuatan notebook, (c) perangkat (format) tugas. Karena yang membedakan perlakuan pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol, hanya 23
Suluh Pendidikan, 2012, 10 (1): 19 - 29
aspek kegiatan menulis atau tidak menulis (untuk didokumentasikan dalam portofolio) maka intruksi tugas dibedakan untuk kedua kelas tersebut, sedangkan materi tugas tetap sama. Instruksi tugas untuk kelas eksperimen diarahkan agar siswa menulis jawaban tugas, baik menyangkut penyelesaian masalah matematika, atau perintah untuk menulis kesimpulan dari bahan yang telah atau yang belum dijelaskan guru. Pada kelas kontrol, instruksi tugas tidak ditekankan siswa untuk menulis, melainkan cukup mengemukakan secara lisan, atau cukup membaca bahan-bahan yang akan dipelajari pada pertemuan berikutnya. Selain pemberian tugas, kelas eksperimen juga diminta memberikan jawaban lebih dari satu kali. Artinya setelah jawaban pertama dikoreksi guru dan dikembalikan, maka siswa melakukan perbaikan terhadap jawaban tersebut sesuai dengan petunjuk yang diberikan guru sampai diperoleh jawaban yang memuaskan. Sedangkan pada kelas kontrol hanya menjawab satu kali, tidak tertulis, dan tanpa ada penekanan revisi setelah dikoreksi guru. Di samping beberapa petunjuk sepertii yang telah diuraikan di atas, diperlukan juga beberapa perangkat pembelajaran, yaitu : (1) kuis notebook, yang digunakan untuk memeriksa notebook
24
ISSN : 1829 – 894X
yang telah dibuat oleh siswa dan diberikan hanya pada kelas eksperimen, (2) Lembar Kerja Siswa (LKS), (3) Format observasi pembelajaran di kelas, (4) Slip evaluasi diri yang bertujuan agar siswa dapat melihat kemajuan belajarnya sendiri, (5) Rencana Persiapan Pembelajaran (RPP). HASIL Nilai rata-rata hasil belajar siswa pada kelas eksperimen yang diperoleh dari tes awal sebelum pembelajaran dimulai adalah 1,79 dan nilai rata-rata setelah pembelajaran adalah 25,59. Terjadi peningkatan nilai rata-rata pada kelas eksperimen sebesar 23,80. Sedangkan nilai rata-rata hasil belajar siswa pada kelas kontrol yang diperoleh dari tes awal sebelum pembelajaran dimulai adalah 2,26 dan nilai rata-rata setelah pembelajaran adalah 19,87. Terjadi peningkatan nilai rata-rata pada kelas kontrol sebesar 17,61. Untuk menganalisa hasil belajar siswa digunakan acuan ketuntasan belajar sesuai dengan tes yang disusun. Proporsi diperoleh dari skor total siswa untuk tiap butir dibagi dengan total skor maksimal tiap butir sesuai dengan pedoman teknis yang telah diuraikan terdahulu. Hasil dari proporsi skor siswa dapat dilihat pada Tabel 01.
Suluh Pendidikan, 2012, 10 (1): 19 - 29
ISSN : 1829 – 894X
Tabel 01 Ketuntasan Belajar Siswa Pada Pembelajaran Matematika Dengan Penilaian Portofolio Menggunakan Notebook NO.
KODE SUBJEK
1. 2.
PROPORSI %
KET
NO.
KODE SUBJEK
U1
U2
O1
0,13
0,87
T
21.
02
0,03
0,9
T
22.
3.
03
0,03
0,93
T
4.
04
0,07
0,97
5.
05
0,03
6.
06
7.
PROPORSI %
KET
U1
U2
21
0.07
0,93
T
22
0,03
0,87
T
23.
23
0,03
0,9
T
T
24.
24
0
0,93
T
0,87
T
25.
25
0.03
0,6
BT
0.1
0,9
T
26.
26
0,03
0,87
T
07
0,07
0,87
T
27.
27
0,07
0,57
BT
8.
08
0.07
0,9
T
28.
28
0,03
0,9
T
9.
09
0,03
0,87
T
29.
29
0,17
0,97
T
10.
10
0
0,57
BT
30.
30
0,13
0,97
T
11.
11
0
0,63
BT
31.
31
0
0,6
BT
12.
12
0,13
0,93
T
32.
32
0,07
0,87
T
13.
13
0,1
0,97
T
33.
33
0,07
0,83
T
14.
14
0,07
0,93
T
34.
34
0,03
0,6
BT
15.
15
0,03
0,63
BT
35.
35
0.13
0,97
T
16.
16
0,07
0,8
T
36.
36
0,03
0,93
T
17.
17
0,07
0.87
T
37.
37
0
0,97
T
18.
18
0,03
0,9
T
38.
38
0.1
0,97
T
19.
19
0,1
0,9
T
39.
39
0,07
0,87
T
20.
20
0,07
0,9
T RERATA
0.06
0,85
Keterangan : T : Tuntas BT : Belum tuntas
U1 U2
: Uji Awal : Uji Akhir
Respon siswa terhadap pembelajaran dengan penilaian portofolio matematika menggunakan notebook dapat didekripsikan sebagai berikut : (a) Dari 39 orang siswa yang diberi tugas menyusun portofolio, 20 orang siswa memberikan respon setuju atau sangat setuju dengan pernyataan bahwa menyusun portofolio matematika merupakan suatu pengalaman yang sangat berharga. Sedangkan sebagian besar siswa (75,67%) mengatakan bahwa pada awalnya mereka mengalami kebingunngan tentang bagaimana
menyusun suatu portofolio matematika. (b) Data yang diperoleh mengenai portofolio matematika membantu siswa dalam belajar melalui refleksi menunjukkan beberapa pengalaman yang berbeda dari beberapa siswa. Tetapi lebih dari separuh siswa (54,05%) mengakui bahwa tugas-tugas yang diberikan membantu mereka untuk memahami bahan pelajaran. (c) Siswa menggunakan portofolio matematika yang mereka susun sepanjang semester genap (kedua) untuk beberapa tujuan yang berbeda. Sebagian besar siswa (75,67%) setuju atau 25
Suluh Pendidikan, 2012, 10 (1): 19 - 29
ISSN : 1829 – 894X
sangat setuju dengan pernyataan saya menggunakan portofolio matematika untuk membantu saya dalam belajar matematika. Hanya sebagian kecil (18,92%) siswa yang mengatakan bahwa mereka menggunakan portofolio matematika yang disusunnya untuk mata pelajaran lain. Analisis inferensial terhadap tes hasil belajar ditujukan untuk menguji hipotesis yang berbunyi ada perbedaan hasil belajar siswa yang dalam pembelajarannya dengan penilaian menggunakan portofolio matematika dan hasil belajar siswa yang dalam pembelajarannya menggunakan penilaian biasa. Seperti telah dijelaskan pada bagian terdahulu, sebelum penerapan analisis kovarians perlu dilakukan uji apakah ada pengaruh hasil uji awal siswa sebagai variabel penyerta terhadap hasil uji akhir siswa. Kemudian diadakan uji linieritas apakah kedua model regresi untuk kedua kelompok itu sejajar. Jika kedua sayarat dipenuhi, maka uji perbedaan hasil belajar kedua kelompok dilakukan dengan ANAKOVA. Jika salah satu syarat tidak dipenuhi, maka uji hipotesis menggunakan uji-t, pada taraf signifikansi 5%. Hasil analisis varians untuk uji independensi pada kelas eksperimen maupun kelas kontrol diperoleh bahwa ada pengaruh yang positif dan signifikan hasil
uji awal terhadap hasil uji akhir. Sedangkan untuk uji linieritas persamaan regresi pada kedua kelompok diperoleh bahwa hubungan antara hasil uji awal dan hasil uji akhir pada kelas eksperimen dapat dinyatakan dengan model regresi linier Y = 23,129 + 1,370 X adalah cocok. Sedangkan pada kelas kontrol hubungan ini dinyatakan dengan model regresi linier Y = 18,604 + 0,562 X. Pada uji kesejajaran model regresi linier untuk kelompok eksperimen dan kelompok kontrol diperoleh bahwa kedua model regresi linier untuk kelompok eksperimen dan kelompok kontrol tidak sejajar. Kerana syarat kesejajaran pada ANAKOVA tidak terpenuhi, maka ANAKOVA tidak dapat digunakan. Dengan demikian untuk menguji hipotesis yang diajukan digunakan uji-t. Pada uji ini diawali dengan uji kesamaan kemampuan awal maupun kesamaan varians hasil belajar siswa kedua kelompok. Hasil dari uji kesamaan varians kemampuan awal diperoleh bahwa tidak ada perbedaan kemampuan awal siswa baik kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol. Sedangkan pada uji kesamaan varians hasil belajar diperoleh bahwa terdapat perbedaan varians hasil belajar antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Untuk analisis uji kesamaan rata-rata hasil belajar dapat disajikan pada Tebel 02.
Tabel 02. Analisis Uji Kesamaan Rata-rata Hasil Belajar Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol
26
Indikator
df
Rata-rata
Varians
t’
Eksperimen
39
25,5897
2,3090
10,4554
Kontrol
39
19,8205
4,7827
Suluh Pendidikan, 2012, 10 (1): 19 - 29
Hasil perhitungan dengan rumus v, diperoleh nilai v sebesar 363,2. Selanjutnya dari perhitungan nilai t (0,025; 363,2) diperoleh nilai t (0,025 ; 363,2) sebesar 1,96. Perbandingan nilai t hitung dengan nilai t tabel didapatkan bahwa nilai t’ t (0,025 ; 363,2), maka Ho ditolak. Hal ini berarti terdapat perbedaan rata-rata hasil belajar kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Dengan kata lain, hasil belajar siswa yang dalam pembelajarannya dengan penilaian portofolio menggunakan notebook berbeda dengan hasil belajar siswa yang dalam pembelajarannya menggunakan penilaian biasa. PEMBAHASAN Berdasarkan hasil analisis deskriptif diperoleh nilai rata-rata hasil belajar siswa kelas eksperimen sebelum pembelajaran sebesar 1,79 dan nilai rata-rata hasil belajar setelah pembelajaran sebesar 25,59. Jadi nilai rata-rata hasil belajar siswa kelas eksperimen meningkat sebesar 23,80. Sedangkan nilai rata-rata hasil belajar kelas kontrol sebelum pembelajaran sebesar 2,26 dan nilai rata-rata setelah pembelajaran sebesar 19,87. Jadi nilai ratarata hasil belajar kelas kontrol meningkat sebesar 17,61. Hasil analisis deskriptif ini menunjukkan bahwa peningkatan hasil belajar pada kelas eksperimen lebih tinggi dibandingkan dengan peningkatan hasil belajar pada kelas kontrol. Sedangkan untuk analisis inferensial diperoleh hasil model regresi sederhana yang menyatakan hubungan kemampuan awal dan hasil belajar siswa yang dalam kegiatan pembelajarannya dengan penilaian
ISSN : 1829 – 894X
portofolio matematika menggunakan notebook adalah Y = 23,129 + 1,370X. Model regresi sederhana yang menyatakan hubungan antara kemampuan awal dan hasil belajar siswa yang dalam kegiatannya menggunakan penilaian biasa adalah Y = 18,604 + 0,562X. Selanjutnya berdasarkan analisis keberartian koefisien regresi untuk kedua model regresi sederhana tersebut menunjukkan bahwa kemampuan awal siswa mempunyai pengaruh yang positif dan signifikans terhadap hasil belajar. Dan, dari analisis linieritas ternyata kedua model regresi di atas memenuhi model regresi linier. Hubungan antara kemampuan awal dan hasil belajar dapat dinyatakan dalam bentuk regresi linier. SIMPULAN 1. Banyaknya siswa yang mencapai ketuntasan belajar pada kelas eksperimen adalah 82,05% dan pada kelas kontrol 58,97%. Hal ini berrati daya serap secara klasikal pada kelas yang dalam kegiatan pembelajarannya dengan penilaian portofolio matematika menggunakan notebook telah mencapai ketuntasan, sedangkan daya serap secara klasikal pada kelas yang dalam kegiatan pembelajarannya menggunakan penilaian biasa belum mencapai ketuntasan. 2. Peningkatan hasil belajar siswa yang dalam pembelajaran dengan penilaian portofolio matematika menggunakan notebook lebih tinggi dibandingkan dengan peningkatan hasil belajar yang dalam pembelajarannya menggunakan penilaian biasa. 27
Suluh Pendidikan, 2012, 10 (1): 19 - 29
3. Berdasarkan hasil analisis inferensial terdapat perbedaan hasil belajar siswa yang dalam pembelajarannya dengan penilaian portofolio matematika menggunakan notebook dan hasil belajar siswa yang dalam pembelajarannya menggunakan penilaian biasa. 4. Dari analisis data respon siswa pada kelas eksperimen diperoleh hasil bahwa respon siswa terhadap kegiatan pembelajaran dengan penilaian portofolio menggunakan notebook adalah positif. UCAPAN TERIMA KASIH Terwujudnya penelitian ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, baik moril maupun materiil. Sehubungan dengan itu penulis menyampaikan terima kasih yang setulus-tulusnya, terutama kepada pihak sekolah SMA Negeri 1 Penebel yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengadakan penelitian di sekolah bersangkutan. Terrima kasih pula penulis sampaikan kepada staf redaksi Suluh Pendidikan yang telah menerbitkan tulisan ini.
DAFTAR PUSTAKA Airasian, Peter W, 1994, Classroom Assesment, Mc Graw- Hill, Inc, USA. Asturias, Harold, 1994, Using Students Portfolio to Asses Mathematical Understanding. Mathematic Teacher, Vol 87-9, NCTM, USA
28
ISSN : 1829 – 894X
Billstein, Rick, 1998, Assesment : The STEM Model, Mathematics Teaching in The Middle School, Vol. 4-4, NCTM, USA. Conrath, Patrice L, 1995, Mathematics Notebooks, Mathematics Teacher, Vol. 88-6, NCTM, USA Crowley, Mary L, 1993, Student Mathematics Portfolio : More than a Display Case, Mathematics Teacher, Vol. 86-7, USA : NCTM Depdikbud, 1994, Petunjuk Pelaksanaan Proses Belajar Mengajar Kurikulum SMU 1994, Direktorat Jenderal Dikdasmen, Direktorat Pendidikan Menengah Umum, Jakarta Davis, B. Robert, 1992, Reflection On Where Mathematics Education Now Stand and On Where It May Be Going, Handbook Of Research On Mathematics Teaching And Learning, Mac Millan Publishing Company, New York. Hudoyo, Herman, 1988, Mengajar Belajar Matematika, P2LPTK Dikti, depdikbud, Jakarta. Muthado dan Tambunan, 1995, Pengajaran Matematika, Karunika, Jakarta Marwanta dkk, 2009, Matematika 1 SMA Kelas X, Yudhistira, Jakarta. Pokay, Pattricia and Tayeh, Carla, 1996, Preservice Elementary Teacher; Buillding Portfolios Around Students Writings, Teaching Children Mathematics, Vol. 2-5, NCTM, USA. Posanmentier, Alfred S and Stepelman, Jay, 1995, Teaching Secondar School Mathematics Techniques
Suluh Pendidikan, 2012, 10 (1): 19 - 29
and Enrichment Units, Prentice Hall, New Jersey. Rusyan, T. Atang Kusnidar, Zainal Arifin, 1989, Pendekatan dalam Proses Belajar Mengajar Remaja Karya, Bandung. Soenarto, 1997, Dasar dan Konsep Penelitian, Program Pascasarjana, IKIP Surabaya.
ISSN : 1829 – 894X
Wade, C. Rahima and Yarbrougjh, D. 1996, Portfolios : A Tool for Reflective Thinking In Teacher Education, Teaching & Teacher Education,Vol.12, No.1, NCTM, USA. Yasna, 2001, Pembelajaran Matematika Melalui Penerapan Model Advance Organizer (Thesis), Program Pascasarjana, Universitas Negeri Surabaya, Surabaya.
29
Suluh Pendidikan, 2012, 10 (1): 30 - 37
ISSN : 1829 – 894X
MITOS NAGA BENTUK KEARIFAN LOKAL PEMBELAJARAN LINGKUNGAN HIDUP MASYARAKAT HINDU BALI: SUATU KAJIAN PUSTAKA Nyoman Suryawan FPIPS IKIP Saraswati Tabanan ABSTRACT Every society on the world of this generally will have a variety of myths that reveal about the phenomenon of life. For the community in Bali has grown dragon myth, the myth dragons and mythical dragon Ananta Boga, Taksaka. The myth is still a community of local wisdom in the learning environment, so that sustainability can be still be maintained obedience to the myth in reinforced by belief that environmental damage can lead to anger and ruler of the gods would give him disaster. Keywords : Myth, local wisdom, learning environment ABSTRAK Setiap masyarakat di dunia ini umumnya mempunyai berbagai mitos yang mengungkapkan tentang fenomena kehidupan. Pada komunitas masyarakat Bali telah tumbuh mitos naga yaitu mitos naga Ananta Boga dan Taksaka. Mitos ini merupakan kearifan lokal masyarakat dalam pendidikan lingkungan. Mitos ini lestari dalam memperkuat keberlanjutan pendidikan lingkungan, karena dipercaya bahwa kerusakan lingkungan bisa mendorong kemarahan sang naga dan para Dewa yang dapat memberikan bencana kepada manusia. Kata kunci: Mitos, kearifan lokal, pendidikan lingkungan PENDAHULUAN Manusia dilihat dari kedudukannya di alam ini memiliki peran yang sangat istimewa dibandingkan dengan mahluk hidup lainnya seperti binatang. Keberadaan binatang dari sejak awal sudah dilengkapi dengan kekuatan untuk dapat melindungi ataupun mempertahankan diri dari lingkungannnya. Manusia tidak dapat terbang seperti burung, tidak dapat berenang sekuat ikan, tidak memiliki taring sekuat harimau dan kekuatan lainnya. Meskipun demikian, manusia dapat bersyukur karena dikaruniai oleh Tuhan otak atau akal budi 30
yang luar biasa, sehingga dapat menguasai ketangguhan dari mahluk lainnya. Rasa keingintahuannya yang sangat besar terhadap lingkungan telah mendorong manusia untuk mencari jawaban atas berbagai persoalan yang muncul dari benak pikirannya. Proses tersebut terus berlanjut sehingga pada akhirnya memunculkan pengetahuan. Pengetahuan-pengetahuan yang diperoleh kemudian dirangkai secara sistematis dengan metode tertentu, sehingga akhirnya menjadi suatu ilmu yang berguna bagi kehidupannya.
Suluh Pendidikan, 2012, 10 (1): 30 - 37
ISSN : 1829 – 894X
Dilihat dari segi sejarah perkembangannya, manusia memulai memperoleh pengetahuan dengan cara yang sangat sederhana melalui penalaran yang sangat terbatas. Guna menganalisis keberadaan alam yang penuh dengan misteri, manusia lebih banyak menghubungkannya dengan adanya mitos-mitos tertentu. Jadi pengetahuan yang diperoleh masih bersifat irasional. Kemudian barulah pada perkembangan berikutnya yang lebih maju, manusia memperoleh pengetahuan melalui cara yang rasional dengan lebih banyak menggunakan kemampuan otak
memeperoleh pengetahuan sudah terjadi sejak zaman dahulu dan melanda hampir semua etnik di semua negara yang ada di muka bumi ini. Pada zaman modernisme sebagaimana yang dilakoni oleh umat manusia sekarang, mitos masih tetap eksis ditengah tengah kehidupan. Bila dicermati secara mendalam, mitos bukan hanya sekedar cerita tetapi didalamnya terkandung unsur falsafah, nilai humanisme, anjuran, larangan terhadap sesuatu dan sebagainya. Bali sebagai daerah yang mayoritas penduduknya memeluk agama Hindu tidak luput dari mitos. Eksisitensi mitos di Bali
atau rasionya. Proses untuk memperoleh pengetahuan seperti itu, sesuai pula dengan yang dinyatakan oleh A. Comte. Menurut nya, dikatakan bahwa pada dasarnya perkembangan pengetahuan yang dimiliki manusia akan berlangsung berdasarkan tiga tahap yaitu 1) tahap teologi atau metafisika, 2) tahap filsafat, dan 3) tahap positif atau ilmu. (Abdulah,1991). Pada tahap teologi, manusia akan menyusun mitos atau dongeng untuk mengenal realita atau kenyataan dari pengetahuan yang sifatnya tidak obyektif. Dalam alam pikiran manusia, ratio dan penelaran belum terbentuk karena yang bekerja hanyalah daya khayal atau imajinasi dan intuisi. Selanjutnya pada tahap berikut yakni tahap filsafat, ratio manusia sudah terbentuk tetapi belum ditemukan metode berfikir yang obyektif. Akhirnya barulah dalam tahap positip, berkat pengamatannya yang kritis dan dengan semakin banyaknya pengetahuan yang diperoleh manusia kemudian berusaha mencari jawaban secara rasional terhadap obyek yang diamati. Keberadaan mitos sebagai cara
tidak saja diatur dalam sumber tertulis, juga banyak yang sifatnya lisan dan berkembang dari waktu kewaktu. Ruang lingkupnya luas dan mencakup berbagai dimensi kehidupan, bahkan ada beberapa yang dikaitkan dengan ajaran agama Hindu itu sendiri. Mitos tentang Naga Basuki, Naga Ananta boga dan Naga Taksaka dipercaya oleh umat Hindu memiliki nilai kesucian tersendiri yang tidak boleh dilanggar. Penghargaan terhadap mitos tersebut diyakini akan dapat memberikan kesejahteraan bagi umat manusia sebagaimana yang tercermin dalam filsafat hidup trihita karana yang menghendaki adanya keselarasan atau harmonisasi antara manusia dengan tuhan, manusia dengan manusia maupun manusia dengan lingkungannya. Berkenaan dengan itu untuk mendapatkan kejelasan yang lebih mendalam tentang fenomena tersebut, maka yang menjadi permasalahan dalam tulisan ini adalah Bagaimanakah eksistensi mitos naga sebagai bentuk kearifan lokal dalam 31
Suluh Pendidikan, 2012, 10 (1): 30 - 37
pembelajaran lingkungan hidup di Bali ?
ISSN : 1829 – 894X
PEMBAHASAN Tinjauan tentang Mitos Setiap etnik yang ada di muka bumi ini niscaya akan memiliki suatu yang dinamakan mitos. Mitos menurut Bascom dalam Dananjaya (1991: 50 ) diartikan sebagai cerita prosa rakyat yang dianggap benar-benar terjadi serta sifatnya suci oleh yang empunya cerita. Pada umumnya mitos akan mengisahkan terjadinya alam semesta, dunia, manusia pertama, kehadiran sesuatu , bentuk khas binatang, bentuk topografi,
telah membanjiri dunia di Zaman globalisi ini. Mitologi seolah tidak lekang oleh zaman akan tetapi berkembang seirama dengan zaman sesuai dengan konteksnya. Mitos yang menghebohkan akhir-akhir ini adalah ramalan suku maya di pedalaman Mexico yang meyimpulkan bahwa dunia akan mengalami hari kiamat pada akhir perhitungan kalender akhir dari suku tersebut yaitu tgl 21-12-2012 Pada saat itu kiamat terjadi karena benda-benda langit akan keluar dari orbitnnya dan saling bertabrakan antara satu dengan lainnya. Mitos tersebut kemudian diangkat dalam
gejala alam dan sebagainya. Mitos juga mengkisahkan petualangan para dewa, kisah percintaan mereka, kisah perangnya, hubungan kekerabatan dan lainnya. Mitos meskipun ada kemiripan dengan legenda akan tetapi jika ditelusuri lebih lanjut akan dijumpai adanya. Perbedaan. Legenda menurut Sugiarta dalam Aron Meke Bete (2008) adalah suatu kisah yang dianggap faktual, namun tidak bersifat suci. Berbeda dengan dengan mitos, legenda lebih banyak ditokohi oleh mahluk biasa , tetapi sering digambarkan memiliki kekuatan supranatural. Bahkan dalam melakukan kegiatannya, tokoh suatu legenda bisa juga dibantu oleh aneka mahluk gaib. Latar atau tempat kejadiannya bukan di dunia niskala yang kasat mata melainkan dunia sekala, yang sifatnya nyata. Keberadaan mitos ditengah kehidupan manusia telah ada sejak zaman dahulu dan hingga sekarang masih tetap diyakini oleh beberapa kalangan meskipun proses rasionalisasi dalam bentuk pengagungan pengetahuan dengan berbagai teknologinya
sebuah film layar lebar yang penyebarannya meluas di seluruh dunia dengan judul “ 2012 “. Keberadaan film tersebut sangat menghawatirkan umat manusia termasuk yang berada di Indonesia. (SCTV , 20 Nop.2009) Keberadaan mitos dilihat dari perjalanannya menurut Eliade dalam Susanto (1987) mengklasifikasikan beberapa tipe mitos yaitu,1) mitos kosmogoni,2) mitos asalusul, 3) mitos mengenai dewa-dewa dan mahluk ilahi, 4) mitos androgini dan 5) mitos akhir dunia. Mitos kosmogoni akan mengkisahkan terjadinya alam semesta secara keseluruhan. Mitos ini dibedakan menjadi dua. Yang pertama mitos kosmogoni mengkisahkan penciptaan alam semesta melalui buah pikiran, perkataan atau dari tenaga panas dari sang pencipta. Kedua, mitos kosmogogi yang mengkisahkan penciptaan alam semesta dengan bantuan bahan dasar dan membutuhkan pertolongan si pelaku yang melaksanakan ciptaan tersebut. Contohnya si pelaku dalam menciptakan alam semesta
32
Suluh Pendidikan, 2012, 10 (1): 30 - 37
ISSN : 1829 – 894X
dilakukan dengan menyelam ke dalam air dan mengambil sedikit Lumpur, kemudian dari Lumpur tersebutlah dunia dibentuk. Dalam mitos tentang asal usul akan dikisahkan tentang asal mula dari penghuni alam ini baik yang menyangkut eksistensi dari manusia, hewan maupun tumbuhan. Mitos ini juga mengisahkan bagaimana manusia mengalami takdir kematian, manusia memiliki jenis kelamin, asal muasal nenek moyang dan lainnya. Dengan kata lain mitos asal usul ini adalah merupakan kelanjutan yang sifatnya melengkapi dari mitos kosmogoni itu sendiri.
pada bagian kanan laki-laki sedangkan bagian kirinya adalah perempuan. Tetapi kemudian Tuhan membelahnya menjadi dua , maka terjadilah adam dan hawa.
Mitos tentang dewa –dewa dan mahluk ilahi sebagaimana yang dipercaya oleh manusia mengkisahkan tentang keberadaan dewa –dewa lain yang merupakan bagian dari dewa tertinggi. Setelah selesai mencipta alam ini, dewa tertinggi menyerahkan tanggung jawabnya pada dewa-dewa lainnya seperti Dewa Angin, Dewa Matahari, Dewa Pertiwi dan dewa lainnya. Berkaitan dengan mitos dewa, juga dikenal pula adanya mitos androgini. Mitos ini dibedakan menjadi androgini ilahi dan androgini manusiawi. Dalam mitos androgin ilahi, dilukiskan bahwa para dewa mempunyai dua jenis kelamin (seks) sekaligus yaitu laki dan perempuan. Di Bali yang masyarakatnya sebagian besar beragama Hindu gambaran androgini tersebut tampak pada simbol Sang Hyang widhi sebagai predikat Sang Hyang Licin. Selain keberadaan dewa yang digambarkan pada mitos tersebut, juga dikenal tentang mitos manusia androgini. Dalam pandangan Yahudi disebutkan bahwa adam memiliki sifat androgini yaitu
pula yang menggambarkannya sebagai kadal bersayap yang dapat terbang. Di India, istilah naga merupakan kata serapan dari bahasa sanskerta atau India kuno yang bermakna ular. Dalam naskah Mahabharata dikisahkan bahwa para naga merupakan anak- anak dari Rsi Kasyapa dari perkawinannya dengan Dewi Kadru. Nama-nama mereka yang terkenal adalah Sesa, taksaka, Basuki, Karkotaka, Korawya, dan Dritarastra. Bangsa naga yang berjumlah ribuan memiliki dua orang sepupu berwujud burung yakni Aruna dan Garuda yang merupakan putra dari Dewi Winata yang juga dinikahi oleh Resi Kasyapa.. Dalam tradisi Bangsa Cina juga dikenal mahluk bernama Liong dan Lung yang umumnya diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi naga. Mahluk ini digambarkan sebagai ular berukuran raksasa, lengkap dengan tanduk, sungut, dan cakar. Secara mitos naga dianggap sebagai simbol kekuatan alam, khususnya angin topan. Pada umumnya mahluk ini
Mitos Naga dalam Konteks Pembelajaran Lingkungan Hidup Naga adalah sebutan umum untuk mahluk mitologi yang berwujud reptil berukuran raksasa. Mahluk ini muncul atau dikenal dalam berbagai kebudayaan di beberapa daerah di dunia termasuk tentu saja di Bali. Pada umumnya naga berwujud seekor ular besar, namun ada
33
Suluh Pendidikan, 2012, 10 (1): 30 - 37
ISSN : 1829 – 894X
dianggap memiliki sifat baik sehingga selalu dihormati. Naga sendiri di negeri Cina dianggap sebagai penjelmaan roh orang suci yang belum bisa masuk surga . Di Negara barat, mitos tentang naga juga telah tumbuh sejak berabad-abad silam. Naga di dunia barat digambarkan sebagai kadal besar dengan dua kaki dan tangan yang memilki sayap begitu besar dan punya kemampuan untuk menyemburkan lidahlidah api. (http//wikipedia.0rg/wiki/Naga) Mitos naga di Bali memiliki variasi yang banyak sesuai dengan sumber dari sastra yang mendasarinya. Naga sendiri bagi
tempat tersebut. Demikian pula di bagian jeroan pura tepatnya pada balai pesamuan terkadang ditemukan dua patung naga pada bagian tangga masuknya. Dalam kaitannya dengan pelestarian lingkungan alam di Bali, dikenal adanya mitos Naga Basuki, Naga Ananta Boga dan Naga Taksaka. Menurut lontar Siwagama disebutkan bahwa alam ini pada mulanya diciptakan sangat indah oleh Tuhan dan menjadi sumber kesejahteraan bagi semua mahluk hidup yang ada di dunia. Namun meskipun demikian karena keserakahan manusia yang mengekploitasi
masyarakat Hindu banyak dikenal dalam simbol-simbol baik melalui kober dengan gambar naga yang tampak pada prosesi melasti atau upacara besar keagamaan di pura. Dalam simbol lain penggunaan naga tampak dalam bangunan padmasana dimana pada bagian dasarnya dijumpai patung naga yang membelit kura-kura . Demikian pula dalam upacara ngaben tampak juga dibuat patung naga diletakkan sebagai penyanggah dari bade atau wadah yang akan diarak ke kuburan. Pada tingkat pengabenan utamaning utama yang melibatkan keturunan langsung dari Raja Batur Enggong, dijumpai juga sosok naga berukuran besar yang lebih dikenal dengan naga banda. Banda yang melekat pada kata naga tersebut berarti ikatan duniawi yang membelut atau membelenggu mendiang selama hidupnya dan sifat itulah yang akan dihilangkan dalam prosesi tersebut. ( Wiana : 2004:103) Selain itu pada tempat suci (pura) tertentu dijumpai pula pahatan patung naga yang mengapit pintu utama masuk ke areal
alam dengan sewenang-wenang akhirnya mengalami kerusakan yang hebat. Tanah tidak bisa lagi ditanami dengan baik. Padahal tumbuh –tumbuhan merupakan sumber makanan yang paling utama bagi manusia dan mahluk lainnya. Air sendiri tidak lagi berkasiat karena kehilangan mineral yang baik untuk pertumbuhan, demikian juga udara tidak lagi bersih dan telah terkontaminasi sehingga sangat tidak menyehatkan. Suatu ketika Rsi Manu sebagai pemimpin umat manusia di dunia menyampaikan masalah tersebut kepada Dewa Siwa sebagai penguasa. Oleh sebab itu, mengingat Dewa Siwa dan Dewi Uma sangat kasihan memperhatikan keadaan umat manusia dan mahluk hidup lainnya yang sangat menderita, maka permohonan Rsi Manu akhirnya dipenuhi. Dewa Siwa selanjutnya mengutus Dewa Tri Murti untuk menyelamatkan alam ini dari kemerosotan yang terjadi. Dewa Brahma turun ke dunia dan menjelma menjadi Naga Ananta Boga dan terus masuk kedalam tanah. Dewa Wisnu menjelma menjadi Naga
34
Suluh Pendidikan, 2012, 10 (1): 30 - 37
ISSN : 1829 – 894X
Basuki. Kepala naga tersebut kemudian menjadi laut, sedangkan ekornya menjadi gunung. Dewa Iswara sendiri menjelma menjadi Naga Taksaka yaitu naga bersayap yang terus terbang memasuki udara atau lapisan angkasa. Demikianlah dengan turunnya Dewa Brahma menjadi Naga Ananta Bhoga tanahpun berfungsi kembali menjadi sumber berkembangnya tumbuhtumbuhan dengan suburnya. Kata ananta dalam bahasa Sansekerta berarti tidak habis-habisnya dan bhoga berarti makanan. Keberadaan naga tersebut menyebabkan tanah kembali menjadi sumber makanan
memberikan pelajaran pada manusia agar tidak berbuat semena mena dalam memperlakukan alam lingkungannya. Manusia tidak boleh membuang sampah baik yang sifatnya organik atau kimia secara sembarangan ke laut, danau dan sungai, sehingga dapat menimbulkan terjadinya pencemaran air. Jika tindakan ini dilakukan berarti tidak menghormati Naga Basuki yang sebenarnya merupakan penjelmaan dari Dewa Brahma dan tindakan tersebut dapat mengakibatkan beliau murka. Dalam hubungannya dengan tanah sebagai tempat hidup dan berkembangnya
yang tidak habis-habisnya. Kepala Naga basuki masuk ke laut mengerakkan air laut sampai menguap, kemudian menjadi mendung dan akhirnya turun dalam bentuk hujan. Hujan tersebut ditampung oleh gunung yang merupakan perwujudan ekor dari Naga basuki selanjutnya dialirkan ke laut, menjadi danau, sungai, dan mata air. Setelah menjadi sumber air seperti itu barulah kemudian dapat dimanfaatakan oleh manusia maupun mahluk hidup lainnya. Naga Taksaka sebagai jelamaan dari Dewa Iswara akan terbang membersihkan atmosfir atau lapisan udara yang tercemar sehingga akhirnya dapat kembali dimanfaatakan dalam kehidupan ini. Keberadaan dari mitos tiga naga yakni Basuki, Ananta Bhoga dan Taksaka sebagaimana yang diuraikan tersebut pada dasarnya yang erat kaitannya dengan upaya pelestarian lingkungan alam yang bersumber dari kearifan lokal yang telah tumbuh secara turun temurun pada masyarakat Hindu di Bali. Makna yang terkandung dalam mitos tersebut adalah
organisme di bumi menurut mitos tersebut sangat melarang manusia untuk mengeksploitasinya secara berlebihan melalui aktivitas tertentu seperti penggundulan hutan melalui illegal logging, pengeboran air bawah tanah tanpa terkendali, penggunaan pupuk dan abatobatan kimia dalam bentuk insektisida, fungisida, herbisida yang mebihi dosis dan aktivitas lainnya. Kegiatan tersebut jika dilakukan secara terus menerus akan dapat mengabatkan terjadinya polusi tanah. Fenomena yang tampak dari proses tersebut adalah terjadinya kekeringan tanah, peristiwa banjir yang menimbulkan erosi yang menggerus bagian tanah bagian atas yang subur (top soil) dan matinya organisme bawah tanah atau micro organisme yang sebenarnya banyak berperan dalam proses penyuburan tanah. Tindakan semacam itu menurut mitos ini sebenarnya sangat bertentangan karena dianggap tidak menghargai jasa dari Naga Ananta Bhoga sebagai perwujudan dari Dewa Brahma. Jika hal itu tetap terjadi 35
Suluh Pendidikan, 2012, 10 (1): 30 - 37
ISSN : 1829 – 894X
beliau akan bisa marah besar dan akan membahayakan kelangsungan dari manusia itu sendiri. Berkaitan dengan lingkungan udara, berdasarkan mitos naga yang tumbuh di Bali, maka manusia diajarkan untuk tidak semena-mena malakukan tindakan yang dapat merusaknya. Tindakan yang dimaksud diantaranya adalah pembakaran sampah dalam skala besar, pendirian industri yang menghasilkan buangan asap dalam jumlah yang banyak, penggunaan alat transfortasi yang tidak ramah lingkungan yang mengeluarkan gas karbon monoksida (CO),
sebagai tabir surya bagi organisme di bumi. Jika ini terjadi maka pancaran infra merah dari matahari langsung dapat menerpa bumi sehingga dapat menyebabkan teradinya kanker kulit. Fenomena alam sebagaimana digambarkan tersebut hendaknya menjadi pelajaran bagi manusia untuk tidak merusak lingkungan atmosfir atau udara. Pelanggaran terhadap hal tersebut dikaitkan dengan mitos berarti tidak menghormati dan tidak menghargai Naga Taksaka sebagai perwujudan dari Dewa Iswara itu sendiri.
pembukaan lahan melalui pembakaran hutan akan dapat mencemari lingkungan udara. Banyaknya gas karbon di udara dari aktivitas tersebut dapat mengakibatkan terjadinya pemanasan global atau global warming. Menurut Wardana (1995:41) peristiwa tersebut dapat terjadi karena terperangkapnya sinar matahari oleh gas karbon yang ada di udara kemudian dipantulkan kembali ke permukaan bumi secara berulang –ulang sehingga kondisi yang demikian menjadikan suhu bumi terasa panas. Keadaan yang demikian jika dibiarkan tanpa ada tindakan yang berarti menurut Soemarwotto dalam Kompas (2009) dapat menyebabkan es di kutub akan mencair dan dapat menenggelamkan beberapa daratan yang ada di daerah pesisir. Selain itu penggunaan spray atau alat semprot (hair spray, body spray), pemanfaatan AC yang menggunakan bahan Freon yang mengeluarkan gas Chluro Fluro Carbon (CFC) secara berlebihan dapat merusak lapisan Ozon yang berguna
SIMPULAN Ditinjau dari perkembangnannya mitos yang pada mulanya diawali dari proses berfikir manusia yang masih sangat sederhana tentang berbagai objek yang menjadi perhatiannya pada zaman dahulu. Meskipun demikian keberadaan mitos sampai saat ini masih tetap dapat dipertahankan. Pada saat sekarang keberadaan mitos lebih banyak dipandang sebagai suatu kearifan lokal (local genius) dari suatu masyarakat dimana mitos itu dipercaya oleh pendukungnya. Dalam mitos Naga Basuki, Ananta Boga dan Taksaka yang berlaku pada masyarakat Hindu di Bali telah memberi pelajaran pada manusia untuk memperlakukan alam lingkungannya secara arif bijaksana. Manusia tidak boleh berperan sebagai subjek yang sifatnya menguasai akan tetapi posisinya merupakan bagian yang integral dari alam sehingga harus dapat menjaga dan melestarikannya.
36
Suluh Pendidikan, 2012, 10 (1): 30 - 37
ISSN : 1829 – 894X
UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih disampaikan kepada Drs. I Made Sudiana, M.Si, Ketua Dewan Redaksi dan semua anggota penyunting Jurnal Suluh Pendidikan IKIP Saraswati Tabanan yang telah menerima dan mengedit artikel ini sehingga layak untuk diterbitkan.
Sugiarta dkk. Narasi Agung Mitos, Legenda dan Ideologi. Dalam Aron Meko Mbete, Editor. Etnisitas, Pluralisme dan Multikulturalisme Perspektif Kajian budaya. Denpasar : Pasca Sarjana Kajian Budaya UNUD
DAFTAR PUSTAKA
Titib, M. 2009. Teologi dan Simbol-Simbol dalam Agama Hindu. Surabaya: Paramita Wardana,A.W. 1999. Dampak Pencemaran Lingkungan. Yogyakarta: Andi Offset.
Aly, Abdulah, Eny Rahma. 2008. Ilmu Alamiah Dasar. Jakarta : PT Bumi Akasara Dananjaya, James. 1991. Folklor Indonesia. Jakarta: Grafiti http://id.wikipedia.org/wiki/Naga Soemarwotto, Otto. 2004. “Efek Rumah Kaca dan Pemanasan Global”. Kompas, 17 April, Hal 14 Susanto, P.S Hary. 1986. Mitos Menurut Pemikiran Mercie Eliade. Yogyakarta: Kanisius.
SCTV : Mitos 2012 . 20 Nop. 2009
Wiana, K. 2006. Menyayangi alam Wujud Bhakti Pada Tuhan. Surabaya: Paramita Wiana, K. 2004. Makna Upacara Yadnya dalam Agama Hindu. Surabaya : Paramita
37
Suluh Pendidikan, 2012, 10 (1): 38 - 44
ISSN : 1829 – 894X
MEMBANGKITKAN PROFESIONALISME GURU MELALUI PENELITIAN TINDAKAN KELAS: SUATU KAJIAN PUSTAKA I Made Maduriana FPMIPA IKIP Saraswati Tabanan ABSTARCT As teacher educator a part important in the effort educating life of nation. Forwards they claimed the spirit of in executing duty and hold responsible as professional educator, along with make-up of prosperity. Professional teacher is teacher capable to work swiftly, precise have, ethics, as according to background their lecture and obtain get salary from its work. One of the such professional development component is ability to doing simple research in order to make up of the quality of professional learn specially the quality of learning. Class Action Research (CAR) is one of the research form able to be done by a teacher in class to find problem and weakness in their teaching process, and with awareness will repair for the improve of process and result of learning to teach. Class Action Research (CAR) can sharpen teacher skill and can be done at the same time with lesson without leaving from their duty. Class Action Research (CAR) can awaken professional teacher according teacher and lecturer code. Class Action Research (CAR) conducted by teacher to alter behavior learn by self, colleague behavior, and student, or alter framework, process study, which is on its innings yield change at way of teaching and its student. Basically Class Action Research (CAR) done if teacher find the existence of problems in its class school activity. Then learn to look for resolving to the problem by doing research of action. Effort improve the quality of educator to finish the problem. Ability in finishing the problem of real education will be progressively. Solving of the problem of study and education a investigation in control will be able to improve the quality of content, input, process, and result learn. Improvement of both will estuary make-up of educator professionalism and another educator. Key words: Professionalisme, class action research ABTRAK Sebagai tenaga pendidik guru memegang peranan penting dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Ke depan mereka dituntut semangat dalam melaksanakan tugas dan bertanggung jawab sebagai tenaga penidik profesional, seiring dengan peningkatan kesejahteraan. Guru profesional adalah guru yang mampu bekerja dengan cepat, tepat, beretika, sesuai dengan latar belakang pendidikannya dan memperoleh penghasilan dari pekerjaannya itu. Salah satu komponen pengembangan profesi dimaksud adalah kemampuan guru dalam melakukan penelitian sederhana dalam rangka peningkatan kwalitas profesional guru khususnya kwalitas pembelajaran.. Penelitian Tindakan Kelas (PTK) adalah salah satu bentuk penelitian yang dapat dilakukan seorang guru di kelasnnya untuk menemukan kelemahan dan kendala dalam proses belajar mengajarnya, dan dengan penuh kesadaran mau memperbaiki untuk meningkatan proses dan hasil belajar mengajar. Penelitian tindakan kelas dapat mengasah keterampilan guru dalam meneliti yang dapat dilakukan sambil bertugas tanpa meninggalkan jam pelajaran. Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dapat membangkitkan profesionalisme guru menurut Undang-Undang guru dan dosen. Penelitian tindakan kelas dilakukan oleh guru untuk mengubah perilaku guru sendiri, perilaku sejawat, dan siswa, atau mengubah kerangka kerja, proses pembelajaran, 38
Suluh Pendidikan, 2012, 10 (1): 38 - 44
ISSN : 1829 – 894X
yang pada gilirannya menghasilkan perubahan pada cara mengajar dan siswanya. Pada dasarnya penelitian tindakan kelas dilakukan jika guru menemukan adanya permasalahan di dalam kegiatan belajar mengajar dikelasnya. Lalu guru mencari pemecahan terhadap masalah tersebut dengan melakukan penelitian tindakan. Kemampuan memecahkan masalah sebenarnya dalam pembelajaran sangat diperlukan. Memecahkan masalah dalam pembelajaran dan pendidikan untuk menemukan permasalahan secara terkendaliakan meningkatkan kwalitas isi, proses, dan hasil belajar. Kata kunci: Profesionalisme, penelitian tindakan kelas
Salah satu bukti pembangunan di sektor pendidikan adalah perbaikan kurikulum, dan sarana-prasarana pendidikan. Menurut Hasan (2003), kemerosotan pendidikan kita selalu kurikulum dituding sebagai penyebabnya. Hal ini tercermin dengan adanya upaya mengubah kurikulum secara berkesinambungan. Pernahkah kita berpikir bahwa kemerosotan pendidikan bukan diakibatkan oleh kurikulum saja tetapi oleh kurangnya kemampuan profesionalisme guru dan keengganan belajar siswa. Guru merupakan tokoh sentral dalam dunia pendidikan yang sangat menentukan kearah mana sebuah bangsa sedang menuju. Barangkali semua dari kita setuju bahwa tenaga pendidik seperti guru, dosen, widyaiswara dan lain-lainya memegang peranan penting di bidang pendidikan dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Sudah sepatutnya kita mendukung
jasa ini. Dengan harapan ke depannya mereka akan lebih semangat dalam melaksanakan tugas dan bertanggung jawab sebagai tenaga penidik profesional. Keprofesionalan guru menjadi banyak topik belakangan ini seiring dengan peningkatan kesejahteraan yang dijanjikan. Berbeda dengan masa perintis kemerdekaan peranan guru bangsa pada waktu itu tidak mengenal istilah profesionalisme, yang ditumbuhkan dalam jiwanya adalah usaha menumbuhkan kesadaran akan kebangsaan, dalam usaha berjuang untuk melepaskan diri dari jeratan kebodohan kebangsaan yang membuat terjajahnya nurani bangsa (Marisi, 2008). Tuntutan terhadap profesionalisme guru juga telah dituangkan dalam keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 84 Tahun 1993 tentang penetapan jabatan fungsional guru dan angka kreditnya, serta keputusan bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Kepala BAKN Nomor 0433/P/1993, Nomor 25 Tahun 1993 tentang petunjuk pelaksanaan Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya adalah merupakan
segala kegiatan yang mengarah kepada peningkatan mutu, penghargaan, dan kesejahteraan para pahlawan tanpa tanda
bentuk pembinaan karir kepangkatan dan profesionalisme guru. Dalam aturan tersebut dinyatakan untuk keperluan
PENDAHULUAN Lewat pendidikan akan tercipta sumber daya manusia bermutu dan berdaya saing tinggi, sehingga prioritas pembangunan pada setiap negara diletakkan pada sektor pendidikan, tidak terkecuali Indonesia.
39
Suluh Pendidikan, 2012, 10 (1): 38 - 44
ISSN : 1829 – 894X
kenaikan pangkat/jabatan dari guru Pembina golongan IVa ke atas disyaratkan adanya angka kredit yang berasal dari pengembangan profesi (Arikunto, 2006). Salah satu komponen pengembangan profesi dimaksud adalah kemampuan guru dalam melakukan penelitian sederhana dalam rangka peningkatan kwalitas profesional guru khususnya kwalitas pembelajaran (Arikunto, 2006). Banyak guru terhambat kenaikan pangkatnya karena mereka belum mampu menghasilkan karya tulis ilmiah. Menyusun Karya Tulis Ilmiah (KTI) di bidang pendidikan merupakan salah
yang pola kerjanya bersifat kolaboratif (collaborative)( Dirjen Dikti, 2008).
satu bentuk kegiatan yang dapat dilakukan dalam mengembangkan profesi guru. Karya Tulis Ilmiah yang banyak diminati oleh guru adalah KTI hasil penelitian. Banyak jenis penelitian yang dapat dilakukan oleh guru seperti penelitian deskriptif, penelitian eksperimen, dan penelitian tindakan. Penelitian tindakan yang dapat dilakukan dan dekat dengan tugas guru sehari-hari adalah penelitian tindakan kelas. Dengan melakukan penelitian tindakan kelas mengasah keterampilan guru dalam meneliti yang dapat dilakukan sambil bertugas tanpa meninggalkan jam pelajaran. Penelitian tindakan kelas sangat kondusif untuk membuat guru menjadi peka terhadap permasalahan yang dihadapai di kelas yang diasuhnya. Dengan melaksanakan PTK guru memiliki peran ganda sebagai praktisi dan peneliti (Sunendar, 2008). PTK manawarkan peluang sebagai strategi pengembangan kinerja, sebab pendekatan penelitian ini menempatkan pendidik dan tenaga kependidikan lainnya sebagai peneliti, sebagai agen perubahan
guru yang menekuni pekerjaannya sebagai guru dan mendapatkan penghasilan yang layak daripekerjaannya itu. Guru profesional seharusnya memiliki empat kompetensi, yaitu kompetensi pedagogis, kognitif, personaliti, dan sosial (Riva, 2008). Sementara itu istilah profesional dinyatakan sebagai pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi (Dirjen DIKTI, 2008). Seseorang dianggap profesional apabila mampu mengerjakan tugasnya dengan selalu berpegang teguh pada etika kerja, independent (bebas dari tekanan pihak luar), cepat (produktif), tepat (efektif), efisien dan inovatif berdasarkan prinsipprinsip pelayanan prima sesuai dengan ilmu dan teori yang sistematis dan kode etik yang diakui masyarakat (Sulipan, 2007). Profesionalisme dalam arti dasar adalah ketika seseorang bekerja sesuai
40
PEMBAHASAN 1. Profesionalisme Guru Guru merupakan komponen pendidikan yang esensial dalam sistem pendidikan Indonesia. Peran tugas dan tanggung jawab guru sangat bermakna dalam mewujudkan tujuan pendidikan nasional yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Untuk mewujudkan peran yang strategis tersebut diperlukan guru yang profesional. Guru yang profesional adalah
Suluh Pendidikan, 2012, 10 (1): 38 - 44
dengan basis pendidikannya masingmasing. Seorang pengajar di lembaga pendidikan haruslah berpendidikan dari lembaga pendidikan tinggi keguruan (LPTK) (Kusmawan, 2009). Menurut Standar Nasional Pendidikan dalam Arikunto (2006), dalam sepuluh kompetensi dasar guru yang telah disempurnakan menjadi empat kompetensi meliputi (1) keperibadian; (2) profesional; (3) kependidikan dan (4) sosial. Adanya kompetensi profesional inilah dituntut agar guru senantiasa mengembangkan sikap profesional. Pengembangan profesi adalah kegiatan guru dalam rangka pengamalan ilmu dan pengetahuan, teknologi dan keterampilan untuk peningkatan mutu baik dalam proses belajar mengajar dan profesionalisme tenaga kependidikan lainnya maupun dalam rangka menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi pendidikan dan kebudayaan (Trimo, 2007). Bidang kegiatan guru untuk mengembangkan profesinya antara lain (1) melakukan kegiatan karya tulis/karya ilmiah (KTI) di bidang pendidikan; (2) membuat alat pelajaran/alat peraga atau alat bimbingan; (3) menciptakan karya seni; (4) menemukan teknologi tepat guna di bidang pendidikan; (5) mengikuti kegiatan pengembangan kurikulum (Sulipan, 2007, Trimo 2007). Karya tulis ilmiah dapat berupa hasil penelitian deskriptif, eksperimen dan penelitian tindakan kelas (PTK). 2. Penelitian Tindakan Kelas (PTK) Penelitian Tindakan Kelas (PTK) atau dalam bahasa asingnya dikenal sebagai
ISSN : 1829 – 894X
Classroom Action Research (CAR) adalah jenis penelitian tindakan yang dilakukan oleh guru di kelas. Pengertian penelitian tindakan kelas meliputi tiga kata yaitu : a. Penelitian : menunjuk pada kegiatan mencermati suatu obyek dengan menggunakan cara dan aturan metodologi tertentu untuk mendapatkan data atau informasi bermanfaat. b. Tindakan : menunjuk pada suatu gerak kegiatan yang sengaja dilakukan dengan tujuan tertentu. c. Kelas : tidak terikat pada suatu ruang kelas, tetapi lebih spesifik yaitu sekelompok siswa yang dalam waktu bersamaan mendapatkan pelajaran yang sama dari guru yang sama. Dengan demikian penelitian tindakan kelas merupakan pencermatan terhadap kegiatan belajar yang merupakan suatu tindakan yang sengaja dimunculkan yang terjadi pada sebuah kelas secara bersamasama (Arikunto, 2006). Menurut Hopkins dalam Trimo (2007) menyatakan Penelitian Tindakan Kelas adalah kajian sistematik tentang upaya peningkatan mutu praktik pendidikan oleh sekelompok masyarakat melalui tindakan praktis yang mereka lakukan dan merefleksi hasil tindakannya. Penelitian tindakan kelas dilakukan oleh guru untuk mengubah perilaku guru sendiri, perilaku sejawat, dan siswa, atau mengubah kerangka kerja, proses pembelajaran, yang pada gilirannya menghasilkan perubahan pada cara mengajar dan siswanya. Jadi penelitian tindakan kelas dilakukan untuk meningkatkan praktik pembelajaran (Madya, 2007). Secara garis besarnya ada empat 41
Suluh Pendidikan, 2012, 10 (1): 38 - 44
ISSN : 1829 – 894X
tahapan yang lazim dilalui dalam melakukan penelitian tindakan kelas yaitu (1) perencanaan; (2) pelaksanaan; (3) pengamatan dan (4) refleksi. Urutan keempat tahapan itu dalam penelitian tindakan kelas dikenal sebagai satu siklus. Pada dasarnya penelitian tindakan kelas dilakukan jika guru menemukan adanya permasalahan di dalam kegiatan belajar mengajar dikelasnya. Lalu guru mencari pemecahan terhadap masalah tersebut dengan melakukan penelitian tindakan. Alur penelitian mengikuti siklus seperti di atas. Jika siklus satu sudah dilalui maka
di bidang pendidikan, dapat berupa hasil penelitian, makalah ulasan ilmiah, tulisan ilmiah populer dalam media massa, ulasan ilmiah disampaikan dalam seminar ilmiah, buku, diktat, modul atau terjemahan. Karya ilmiah hasil penelitian dapat dibuat dengan melakukan penelitian yang tidak jauh dari tugas mengajarnya seharihari yaitu Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang berguna untuk memecahkan masalah yang timbul di kelasnya. Penelitian tindakan kelas dapat membangkitkan profesionalisme guru. Melalui PTK guru dapat mendiagnose apa permasalahan yang
guru merefleksi hasilnya apakah masalah yang ada sudah dituntaskan atau belum. Jika belum maka guru dapat melakukan siklus kedua yang tahapannya sama dengan siklus satu. Kembali guru merefleksi hasil siklus kedua apa masalahnya sudah tuntas atau belum. Jika sudah penelitian tindakan dihentikan dan jika belum dapat dilanjutkan dengan siklus ketiga demikin seterusnya. Setelah penelitian selesai guru dapat melaporkan secara rinci setiap kegiatan dan hasilnya dalam bentuk karya tulis yang disebut hasil penelitian tindakan kelas. Hasil penelitian bersifat kontekstual artinya tidak dapat digeneralisasikan kepada kelas lain.
ada lalu mengadakan terapi pemecahanya untuk dipakai pada proses belajar mengajar selanjutnya. Ada beberapa alasan mengapa PTK dapat dilakukan oleh guru : (1) PTK sangat kondusif digunakan untuk membuat guru menjadi tanggap terhadap proses pembelajaran di kelasnya dan menjadi kritis dan reflektif terhadap apa yang telah dilakukannya; (2) PTK dapat meningkatkan kerja guru sehingga menjadi profesional, dan tidak merasa puas dengan hasil kerjanya, dan selalu mau melakukan inovasi; (3) dalam melaksanakan PTK secara otomatis guru mampu memperbaiki proses pembelajaran berdasarkan kajian mendalam terhadap permasalahan yang terjadi di kelasnya; (4) Pelaksanaan PTK tidak mengganggu jam pelajaran karena dilakukan bersamaan dengan proses belajar mengajar berlangsung; (5) dengan melaksanakan PTK guru menjadi kreatif karena dituntut berinovasi serta mengadopsi teori-teori yang relevan; (6) penerapan PTK bertujuan memperbaiki proses belajar mengajar di kelasnya.
3. Profesionalisme Guru dan Penelitian Tindakan Kelas Dalam empat kompetensi guru disebutkan guru dituntut untuk memiliki sikap profesional seorang guru, maka guru dituntut untuk selalu mengembangkan profesinya. Pengembangan profesi dapat dilakukan dengan membuat karya ilmiah 42
Suluh Pendidikan, 2012, 10 (1): 38 - 44
PTK bukan sekedar menuntut guru mengajar, tetapi mempunyai makna sadar dan kritis terhadap proses pembelajaran dan menggunakan kesadaran yang kritis untuk menerima proses perbaikan dan perubahan dalam proses pembelajarannya. PTK mendorong guru bertindak kritis, berpikir rasional dan bertanggung jawab terhadap tugasnya secara profesional (Sunendar, 2008). Upaya meningkatkan kualitas pendidik (guru) untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi saat menjalankan tugasnya akan memberi dampak positif ganda. Pertama, kemampuan dalam menyelesaikan masalah pendidikan yang nyata akan semakin meningkat. Kedua, penyelesaian masalah pendidikan dan pembelajaran melalui sebuah investigasi terkendali akan dapat meningkatkan kualitas isi, masukan, proses, dan hasil belajar. Dan ketiga, peningkatan kedua kemampuan tadi akan bermuara pada peningkatan profesionalisme pendidik dan tenaga kependidikan lainnya. Dewasa ini para guru dituntut untuk mampu meneliti. Dengan adanya sertifikasi guru, tuntutan agar guru mampu meneliti semakin gencar dilakukan oleh pemerintah. Hal ini dibuktikan dari laporan portofolio guru yang mensyaratkan melampirkan karya tulisnya dalam sertifikasi guru dalam jabatan, Karena hal itulah maka guru-guru di sekolah harus dapat meneliti di kelasnya sendiri dengan tujuan memperbaiki kualitas pembelajarannya melalui Penelitian Tindakan Kelas (PTK). PTK sesungguhnya merupakan implementasi dari kreatifitas dan kekritisan
ISSN : 1829 – 894X
seorang guru terhadap apa yang sehari-hari diamati dan dialaminya sehubungan dengan profesinya untuk menghasilkan kualitas pembelajaran yang lebih baik sehingga mencapai hasil belajar yang optimal. SIMPULAN Dari uraian yang telah dikemukakan di atas maka dapat ditarik beberapa simpulan sebagai berikut : 1. Guru profesional adalah guru yang mampu bekerja dengan cepat, tepat, beretika, sesuai dengan latar belakang pendidikannya dan memperoleh penghasilan pekerjaannya itu.
dari
2. Salah satu komponen pengembangan profesional guru adalah kemampuan guru dalam melakukan penelitian sederhana dalam rangka peningkatan kwalitas profesional guru khususnya kwalitas pembelajaran. 3. Penelitian Tindakan Kelas (PTK) adalah salah satu bentuk penelitian yang dapat dilakukan seorang guru di kelasnnya untuk menemukan kelemahan dan kendala dalam proses belajar mengajarnya, dan dengan penuh kesadaran mau memperbaiki untuk meningkatan proses dan hasil belajar mengajar. 4. Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dapat dijadikan tempat bagi guru untuk melakukan penelitian dan membuat karya tulis ilmiah sebagai upaya membangkitkan 43
Suluh Pendidikan, 2012, 10 (1): 38 - 44
profesionalismenya. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih disampaikan kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam penulisan artikel ini, terutama kepada Dewan Redaksi yang telah menyunting dan menerima artikel ini untuk diterbitkan.
DAFTAR PUSTAKA Arikunto, S, dkk. 2006. Penelitian Tindakan Kelas. Bandung : Bumi Aksara. Akhmad, S. 2008. Penelitian Tindakan Kelas. Available from: http// Akhmad Sudrajat.files.wordpress. com/2008/01/2/penelitian tindakan kelas. Diunduh tanggal 9 Maret 2010. Dirjen DIKTI, 2008, Buku II Penyusunan Portopolio. Jakarta: Dirjen DIKTI. Hasan, A. M. 2003. Pengembangan Profesionalisme Guru di Abad Pengetahuan. Available from: http://re-searchengines.com/ amhasan.html. Diunduh tanggal 8 Juni 2010. Kusmawan, A. 2009. Profsionalisme Guru Di tahun 2009. Jakarta : Litbang Unit Kegiatan Studi Kemasyarakatan Universitas Pendidikan Indonesia
44
ISSN : 1829 – 894X
Madya, S. 2007. Penelitian Tindakan Kelas Bagian III. Jakarta: Direktorat Profesi Pendidik, Dirjen Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan, Depdiknas. Marisi, A.K. 2008. Profesionalisme Guru Di Abad Kebangkitan Bangsa.Available from: http://lpmpjogja.diknas.go.id Powered by Joomla. Diunduh tanggal 21 Juni 2009. Riva, D.M. 2008. Upaya Meningkatkan Profesionalisme Guru. Available from: http://beta. pikiran r a k y a t . c o m / i n d e x . php?mib= beritadetail&id=9232. Diunduh tanggal 20 Desember 2010. Sulipan. 2007. Kegiatan Pengembangan Profesi Guru. Available from: http:// www.ktiguru.org/index.php/profesi guru. Diunduh tanggal 22 Juli 2010. Sunendar, T. 2008. Penelitian Tindakan Kelas (Part II). LPMP Jawa Barat. Available from: http:// Akhmad Sudrajat.wordpress. com/2008/03/-Penelitian Tindakan Kelas-part ii. Diunduh tanggal 29 Mae 2009. Trimo. 2007. Penelitian Tindakan Kelas. Available from: Pendidikan Network re-searchingines. com/1207.trimo 1.html. Diunduh tanggal 20 Juni 2010.
Suluh Pendidikan, 2012, 10 (1): 45 - 49
ISSN : 1829 – 894X
ENGLISH TEACHING IN HIGHER EDUCATION IN INDONESIA : AN BIBLIOGRAPHY STUDY I Made Sukamerta STIBA Mahasaraswati Denpasar ABSTRAK Penguasaan bahasa Inggris tamatan perguruan tinggi di Indonesia masih tergolong rendah dibandingkan dengan negara tetangga. Akibatnya, daya saing tenaga kerja kita menjadi rendah, padahal banyak tenaga kerja kita yang cakap dan terampil, tetapi kalah dalam persaingan karena kemampuan bahasa Inggris yang terbatas. Tulisan ini mencoba mengidentifikasi masalah pengajaran bahasa Inggris di perguruan tinggi dan menawarkan solusi perbaikan pengajaran untuk meningkatkan penguasaan Bahasa Inggris para mahasiswa dan dosen di perguruan Tinggi. Pengajaran bahasa Inggris dipengaruhi oleh faktor non-linguistik seperti faktor mahasiswa, dosen, metode, material, fasilitas, frequensi perkuliahan, penutur asli, masyarakat, exposure, tujuan, maupun kebijaksanaan lembaga. Faktor- faktor tersebut harus mendapat perhatian dari para pengajar karena sangat mempengaruhi sukses tidaknya pengajaran bahasa Inggris. Kata kunci: Daya saing bangsa, pengajaran dan kemampuan bahasa Inggris. INTRODUCTION English is a compulsory foreign language taught from junior high through college or University level. English is now taught from the third grade in some primary schools at both State and private schools. There are even some Kindergarten schools that start giving English. In the era of globalization we feel the world is getting narrower as a result of the rapid flow of information through both printed and electronic media. To be able to take part in this era it is an evitable factor that being knowledgeable in foreign languages, especially English becomes very important if we want to align ourselves with the developed nations. It is no exaggeration to say the motto that mastering the English language means mastering the world. This statement seems to correspond with the reality of today where English is widely
used in various publications, especially books of science and technology. If we look at the world of higher education we can feel how important the mastery of English for college or university students is. Almost all of the science and technology books have been published in English. This clearly requires that the teachers and students should push themselves in mastering the English language properly. The fact shows that the students always have difficulties in doing the tasks for the material which is written English and eventually seek a translator to complete. Similarly, some teachers are not accepted at the level of S2 due to the requirements for the English skill. Even a friend who had graduated from S2 did not dare to continue to doctoral (S3) level because his English is very poor. Frankly speaking, the quality of 45
Suluh Pendidikan, 2012, 10 (1): 45 - 49
ISSN : 1829 – 894X
education in our college is not high, especially at lower levels. The fact now is that a lot of teachers are not capable of reading English literature. His knowledge has never increased from the time he left college a few years ago and now has become obsolete or outdated. We must also recognize that many scientific papers have been published in the Indonesian language, but compared with the advances in many scientific fields, scientific writings in the Indonesian language are not sufficient. Younger teachers are better equipped in their English skills, which is due to the
overwhelming majority of our professors are not able to read a text book which in fact is written in English.
easy access to the source of knowledge of research results in the form of journals and even through the internet or through other printed media which are mostly written in English. The lecturers are expected to follow the development of science and technology which is easily controlled if they are able to speak English. From the description above, we can say that the importance of English as a medium of communication ranks high in creating the Indonesian human resources for the interests of our country’s development. If we cannot train our workers to master good English, at least we should be able to provide power with basic knowledge of English to scholars so that they can develop their own knowledge. If this is difficult, then we can further narrow down our target to college professors who call themselves as scientists. We admit honestly that the quality of our education in general is still lower than the quality of education in our neighboring ASEAN countries. We are not ashamed to admit the fact that the
dialect and cultural background of the language. Linguistic factors were going to stand out clearly if we compare the system of the mother tongue and the system of the language that we are studying. These differences together with the elements which do not exist in the mother tongue must give rise to difficulties. These factors in the second language acquisition are better known as linguistic interference since the different elements or non-existent elements in the mother tongue would cause difficulties in learning the target language. The theory of “Error Analysis” says that people who learn a new language may not immediately master it, but must go through the process of “interlanguage” or the hodgepodge language between the mother tongue and the new language. At the beginning levels learners are still expected to make a lot of errors due to the mother tongue interference. They are reduced as learners more and more aware of how the target language works. When the learner has reached the advanced level then gradually
46
DISCUSSION Factor Affecting the Teaching of English Factors that influence the success or failure of the teaching of English can be divided into two, namely Linguistics and Non-linguistic factors. Linguistic factors are elements of the language itself that can cause difficulties for those who study it. Language elements are present in the sound system, grammar, vocabulary,
Suluh Pendidikan, 2012, 10 (1): 45 - 49
ISSN : 1829 – 894X
those mistakes will be reduced. The non-linguistic factors that affect language teaching are those of students, teachers, methods, materials, facilities, time spent, frequency, native speakers, community, exposure, objectives, and policies of government. Actually, the scopes of these factors are so broad that it becomes impossible to discuss them at length in this writing. What is important to note is that these factors greatly influence the success or failure of language teaching. Many of these factors are beyond the capability and the reach of the learners to
general better equipped to provide better educational facilities than poor families. A well-to-do family might be able to provide with a lot of reading, radio-TV programs, which can help and encourage learners to learn a foreign language. Exposure is a factor that determines the success of the learner. The more we rub the more polished it becomes. This rub can be a rub in listening, speaking, reading and writing; in other words, the higher the frequency of the rub then the better the result will become. It is therefore the most ideal to learn the language in the
understand. The most important of those factors are factors of the learner’s own flair, high or not the aspirations and needs of learners, motivation, native language, previous experience of learning another language, socioeconomic status of the family, and the use of language in the family. Another powerful factor is one’s own attitude toward the language itself, positive or negative. If you already have a negative attitude towards the language, or those who use that language, it is likely that he will have difficulty in learning. Motivation to learn the language is a crucial factor in the success of the learner to learn the language. This motivation can be divided into two, external or instrumental motivation and internal motivation. External motivation is motivation to make money, while the internal motivation is a natural impulse that led to the learner’s love of language. The socioeconomic status of the family is also partly responsible for determining the success of the learner. Families with economic capability are in
countries where the language could be used constantly. The speed children learn the language itself is due to continuous rubbing with the environment. If this can be practiced by older people in learning a language, then adults can learn a foreign language quickly. Teachers are the factors that determine the success of students. A good teacher can use a book or anything with a good method. But a good teacher is not easy to find, because not every teacher has the talent for being teacher. There are some requirements for being a good language teacher, like having a native-like mastery of the four language skills in the target language. Besides, he must also know the theory of language teaching, learning psychology, the cultural background of the language being taught. English in Higher Education Teaching English at the Indonesia universities cannot be categorized as being successful. Several studies have shown 47
Suluh Pendidikan, 2012, 10 (1): 45 - 49
ISSN : 1829 – 894X
that the lecturers’ mastery of the English language is very disappointing. They are actually the output of the application. If we highlight the problems from the factors that we have discussed previously, it is actually not surprising that this application is actually not of any good. The main factor is the lack of time being allocated and the frequencies are very low for the classroom activities. Besides, a large class is also a major obstacle. When a student could read a textbook in English, this might be an exception. Those who ccould read a text in English must
areas can and dare to teach English in their faculties. This should now be anticipated by the management of each college to take some policy measures of encouraging teachers to continually try to increase their ability in English to give reward those with high achievements. Another way is to make a regulation in which they are encouraged, for the purpose their promotion, to take English courses in their own campuses by taking the advantage of using the English professors from the English departments. Some time in 1985 the University had done it for awhile, but it lasted only
have worked extra hard to get that ability, either by taking a course outside, or study very diligently outside of the class hours. But the number of students is very small. Solving this problem is not easy, as this is a vicious circle. One of the best ways is to increase the allocation of time so that the frequensies for English language meetings per week may be added. This can be done in a college only by taking the opportunity given by the authority to implement the local content of 40%. Some existing private colleges and universities have taken this opportunity of giving more portions for English courses than the standard 2-4 credits as MKDU subjects. Another thing we can do is to have a team teaching between the English professor and the professors who teach content subjects so that the application of English learning may be more relevant. Another possibility is that the English application is given by professors of students’ area of specialization courses. The problem now is how many professors of specialized subject
a few weeks and then broke away. On this occasion I also beg to the Rectors of the University and the Dean to respond and take steps toward that direction, otherwise we will be left behind especially in the development of science and technology. The need for professors in any discipline to be able to speak English has been increasingly felt. Even now some private Universities or colleges in big cities have pioneered exclusive classes where English is used as the main medium of instruction. Such a policy is certainly welcomed by the public because a lot of parents wish that their children could speak English after earning an S1 degree. When the monetary crisis hit many parents who used to be able to send their children out of the country became helpless because the cost of education was also high due to the high dollar exchange rate. These people were actually a market share in the future. English professors of the English study programs are always ready to facilitate for a free English training as we have actually
48
Suluh Pendidikan, 2012, 10 (1): 45 - 49
ISSN : 1829 – 894X
often offered to do, but there has been no positive response from the leadership of the institution. Or, it might be that the one free course that we once did not make the audience felt encouraged to maintain their attendance for the fact that it is free and no responsibility to bear. That being so we are now offering courses for a fee so that the participants may actively participate, because they have to account for the money they have spent. Our hope is that with the current demands for teachers we will be able to continually provide with English services. When we look at some
We can voice this failure aloud, but the answer is ‘just ask the swaying grasses’. What we can probably do is always try to conduct a through research first, and the results and the solution are handed to the authorities. If our efforts fail, then we give it to anyone who wants to advance; let them try on their own by all means to the best of their capabalities.
universities in Java, both public and private, they have been implementing English language courses on campus with different frequencies depending on its needs. My question now is when our campus will lead to that direction. Once again I hope the Rector and her staff has been thinking about this so that our University some of whose study programs have been acreditated could maintain its respected place and progress steadily and be able to compete with other higher education institutions.
for publication.
CONCLUSION Looking at current conditions, we may say that teaching English at Colleges and Universities in Indonesia have failed. It is recognized by the English application teachers in general. The factors which cause the failure are numerous and complicated. Most of these factors are beyond our capabilities to tackle. Are we now trying to fix it and if we want to do it now, how?
ACKNOWLEGEMENTS Thank you very munch to the Editorial Board Jurnal Suluh Pendidikan IKIP Saraswati Tabanan, has accepted this article
REFERENCES Mackey, W.F. 1978. Language Teaching Analysis. London: Longman. Richards, Jack C., (ed) 1976. Teaching English For Science and Technology. Singapore: Singapore University Press. Sadtono, E. 1995. Perspektif Pengajaran Bahasa inggris di Indonesia. Malang: FPBS IKIP Malang. Rivers, W., M. 1971. Teaching ForeignLanguage Skills. Chicago: University of Chicago Press.
49
Suluh Pendidikan, 2012, 10 (1): 50 - 60
ISSN : 1829 – 894X
PENINGKATAN PRESTASI BELAJAR IPS SEJARAH MELALUI MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF BERBASIS PORTOFOLIO Dewa Made Subrata FP IPS IKIP Saraswati Tabanan ABSTRACT Student achievement in social studies (history) in junior high school is still relatively low. This is caused by an applied learning model is less effective at improving student achievement. Teaching of history in junior high when transmitted through the lectures will be difficult to be accepted by students and tedious. In this case the teacher needs to consider alternative models of learning more effective and appropriate so as to improve student achievement. One alternative learning model is the model portfolio. Through this model is expected that students have the ability to reveal and express themselves as individuals and groups, thus increased academic achievement. The purpose of this study (1) to determine the students’ activities, (2) know the learning outcomes through the implementation of portfolio-based learning model. This research is a class action is carried out in two cycles of class VIIIA in SMP Negeri 1 Gianyar. Action in each cycle is accomplished by providing solved problems in groups. The work group created in a portfolio of documents and impressions. The work presented in front of the class. Results of research showed that student’ activity increased from less active in the cycle I became active in the second cycle. Student’ learning achievement increased from an average value of 69 in cycle I to 85.5 in the second cycle. Cconcluded that the application of the model portfolio based learning can improve student learning outcomes. Accordingly, it is advisable to apply the model-based learning portfolio as an alternative model in the teaching of history in junior high school. Keywords: Learning achievement, portfolio-based learning model ABSTRAK Prestasi belajar siswa SMP pada ilmu pengetahuan sosial (IPS) sejarah masih relatif rendah. Hal ini disebabkan oleh model pembelajaran yang diterapkan guru kurang efektif untuk meningkatkan prestasi siswa. Mengajar sejarah di SMP bila ditransmisikan melalui kuliah akan sulit diterima oleh siswa dan membosankan. Dalam hal ini guru perlu mempertimbangkan model pembelajaran alternatif yang lebih efektif dan tepat sehingga dapat meningkatkan prestasi belajar siswa. Salah satu model pembelajaran alternatif adalah model portofolio. Melalui model ini diharapkan siswa memiliki kemampuan untuk mengungkapkan dan mengekspresikan diri sebagai individu dan kelompok, sehingga prestasi belajarnya meningkat. Tujuan dari penelitian ini (1) untuk mengetahui aktivitas siswa; (2) mengetahui prestasi belajar siswa melalui penerapan model pembelajaran berbasis portofolio. Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas yang dilaksanakan dalam dua siklus pada kelas VIIIA SMP Negeri 1 Gianyar. Tindakan dalam setiap siklus dilakukan dengan memberikan masalah yang diselesaikan secara kelompok. Hasil kerja 50
Suluh Pendidikan, 2012, 10 (1): 50 - 60
ISSN : 1829 – 894X
kelompok dibuat dalam dokumen portofolio dan tayangan yang diprensetasikan di depan kelas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aktivitas siswa meningkat dari katagori kurang aktif menjadi aktif dari siklus I ke siklus II. Pretasi belajar siswa meningkat dari nilai rata-rata 69 pada siklus I menjadi 85,5 pada siklus kedua. Dapat disimpulkan bahwa penerapan model pembelajaran berbasis portofolio dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Sehubungan dengan itu, disarankan untuk menerapkan model pembelajaran berbasis portofolio sebagai model alternatif dalam pengajaran sejarah di SMP. Kata kunci: Prestasi belajar, model pembelajaran berbasis portofolio PENDAHULUAN Sekolah sebagai tempat pengembangan budaya tidak terlepas dari nilai-nilai budaya yang dianut oleh suatu bangsa. Bangsa Indonesia memiliki nilai-nilai budaya yang bersumber dari Pancasila, sebagai falsafah hidup berbangsa dan bernegara, yang mencakup religius, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan. Nilai-nilai ini dijadikan dasar filosofis dalam pengembangan kurikulum sekolah. Sekolah sebagai bagian dari masyarakat tidak terlepas dari lokus, kewaktuan, kondisi social dan budaya. Kekuatan dan kelemahan dari hal-hal ini akan menjadi pertimbangan dalam penentuan Struktur Kurikulum sekolah ini. Perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut, membuka kemungkinan peserta didik (siswa) tidak hanya belajar di dalam kelas yang dibimbing oleh guru saja, akan tetapi peserta didik dapat belajar dari luar kelas seperti dari lingkungan masyarakat, pakar atau ilmuwan, birokrat, media cetak maupun media elektronik, serta saranasarana lain yang ada di sekitar kita. Suasana atau iklim belajar mengajar harus diciptakan dalam proses pembelajaran sehingga dapat memotivasi
siswa untuk senantiasa belajar dengan baik dan bersemangat. Sebagaimana diketahui bahwa metode mengajar merupakan sarana interaksi guru dengan siswa di dalam kegiatan belajar mengajar. Dengan demikian, yang perlu diperhatikan adalah ketepatan metode mengajar yang dipilih dengan tujuan, jenis, dan sifat materi pelajaran dengan kemampuan guru dalam memahami dan melaksanakan metode tersebut (Usman dan Setyawati 1993:120). Pendidikan sejarah yang diterapkan di sekolah sering kali berkesan kurang menarik bahkan membosankan. Guru sejarah sering kali hanya membeberkan urutan waktu, tokoh dan peristiwa belaka. Pelajaran sejarah dirasakan siswa hanyalah mengulangi hal-hal yang sama dari tingkat sekolah dasar sampai tingkat pendidikan menengah. Model serta teknik pengajarannya juga kurang menarik. Apa yang terjadi di kelas, biasanya guru memulai pelajaran bercerita, atau bahkan membacakan apa yang tertulis dalam buku ajar dan akhirnya langsung menutup pelajaran begitu bel akhir pelajaran berbunyi. Tidak mengherankan di pihak guru sering timbul kesan bahwa mengajar sejarah itu mudah. Akibatnya nilai-nilai yang terkandung dalam sejarah tidak 51
Suluh Pendidikan, 2012, 10 (1): 50 - 60
ISSN : 1829 – 894X
dapat dipahami dan diamalkan peserta didik (Soewarso 2000:1-2). Hal serupa juga dikatakan Suharya (2007:1) dalam www.duniaguru.com, yang menyebutkan bahwa pelajaran IPS, khususnya sejarah sering disebut sebagai pelajaran hafalan dan membosankan. Pembelajaran ini tidak lebih dari rangkaian angka tahun dan urutan peristiwa yang harus diingat kemudian diungkap kembali saat menjawab soal ujian, akibatnya pelajaran sejarah kurang diminati oleh siswa. Pembelajaran sejarah di SMP jika hanya disampaikan melalui ceramah akan sulit
membimbing siswa menjadi warga negara yang baik, yang bertanggung jawab baik secara pribadi, sosial/masyarakat, bangsa dan negara bahkan sebagai warga dunia. Untuk itu, salah satu model pembelajaran yang dapat mewujudkan tujuan tersebut adalah model pembelajaran kooperatif berbasis portofolio. Oleh karena model pembelajaran kooperatif berbasis portofolio merupakan suatu bentuk dari praktik belajar, yaitu suatu inovasi pembelajaran yang dirancang untuk membantu peserta didik memahami teori secara mendalam melalui pengalaman
diterima oleh siswa dan membosankan. Dalam hal ini diperlukan oleh seorang guru untuk mempertimbangkan model pembelajaran lain yang efektif dan tepat. Pengalaman yang diperoleh oleh siswa dari hasil pemberitahuan orang lain seperti hasil dari penuturan guru hanya akan mampir sesaat untuk diingat dan setelah itu dilupakan. Oleh karena itu, dalam konteks kurikulum yang berlaku saat ini di SMP, membelajarkan siswa tidak cukup hanya dengan memberitahukan akan tetapi mendorong siswa untuk melakukan suatu proses melalui berbagai aktivitas yang dapat mendukung terhadap pencapaian kompetensi. Model pembelajaran dalam pendidikan sejarah secara teoritis sebenarnya dapat dipilih dari sekian banyak model pembelajaran yang tersedia. Para guru hendaknya mempunyai kemampuan di dalam memilih model yang tepat untuk setiap pokok bahasan. Model pembelajaran yang dipilih hendaknya dapat mewujudkan tujuan Pendidikan IPS yaitu mendidik dan
belajar praktik-empirik. Praktik belajar ini dapat menjadi program pendidikan yang mendorong kompetensi, tanggung jawab, dan partisipasi siswa, belajar menilai dan mempengaruhi kebijakan umum, memberanikan diri untuk berperan serta dalam kegiatan antar siswa, antar sekolah, dan antar anggota masyarakat. Dengan demikian, melalui model pembelajaran ini, siswa terdorong berpikir cerdas, kreatif, partisipatif, prospektif dan bertanggung jawab.
52
METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (classroom action research) yang dilaksanakan dalam dua siklus. Setiap siklus teridiri dari empat tahapan kegiatan yaitu perencanaan (planning), pelaksanaan tindakan (action), obeservasi/evaluasi (observing/evaluating), dan refleksi (reflecting) (Arikunto, 2006: 91-92). Perencanaan tindakan sikulus I didasarkan atas refleksi awal terhadap aktivitas dan hasil
Suluh Pendidikan, 2012, 10 (1): 50 - 60
belajar subjek (siswa) pada kelas tindakan. Sedangkan hasil dari observasi/penilaian dalam siklus I digunakan untuk perbaikan tindakan di siklus II, jika aktivitas dan hasil belajar siswa belum sesuai dengan katagori yang ditetapkan berdasarkan standar ketuntasan belajar minimal (SKBM) pada sekolah bersangkutan. Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas VIIIA SMPN 1 Gianyar yang berjumlah 41 orang. Objek penelitian adalah model pembelajaran baru yang diterapkan guru untuk meningkatkan aktivitas dan prestasi belajar IPS Sejarah. Adapun jenis tindakan yang diteliti adalah partisipasi aktif siswa dalam proses belajar mengajar, kerja sama dalam mengomunikasikan hasil belajarnya, keseriusan dalam mengerjakan suatu tugas, dan sikap kooperatif siswa dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar. Materi pokok dalam kegiatan pembelajaran siklus I yaitu tentang peristiwa-peristiwa sekitar proklamasi dan proses terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berdasarkan materi pokok tersebut, siswa diminta untuk mengemukakan pendapatnya tentang hal-hal apasaja yang bisa dijadikan permasalahan untuk tugas portofolio kelas yang berhubungan dengan materi ini. Berikut ini beberapa permasalahan yang diambil dengan cara pengambilan suara terbanyak (Tabel 1).
ISSN : 1829 – 894X
Tabel 1 Pengambilan suara untuk menentukan permasalahan portofolio kelas pada siklus I Jumlah Permasalahan 1. Kondisi politik, sosial, ekonomi, masyarakat Indonesia masa proklamasi sampai sekarang. 2. Latar belakang terjadinya proklamasi 17 Agustus 1945 3. Proklamasi dan konstitusi Indonesia dari dulu sampai sekarang 4. Dampak globalisasi terhadap nasionalisme bangsa Indonesia menjelang peringatan proklamasi 17 Agustus
siswa 6
9 5
21
Dari permasalahan portofolio kelas yang telah ditentukan (Tabel 1), siswa dibagi menjadi 4 kelompok, masingmasing kelompok diberi sumber bacaan sebagai wacana/sumber dalam menjawab atau mencari solusi sementara terhadap isu masalah yang telah disampaikan siswa. Kelompok I bertugas menjelaskan masalah sehingga menjadi lebih jelas dan memudahkan menemukan solusinya (penjelasan masalah); kelompok II mendiskusikan kebijakan-kebijakan alternatif untuk mengatasi masalah; kelompok III membahas usulan kebijakan untuk mengatasi masalah, dan kelompok IV membahas tentang rencana aksi dalam mengatasi masalah. Pada siklus II, permasalahan yang diangkat sebagai isu sebagai berikut (Tabel 2)
53
Suluh Pendidikan, 2012, 10 (1): 50 - 60
Tabel 2 Pengambilan suara untuk menentukan permasalahan portofolio kelas pada siklus II Permasalahan Jumlah siswa 1. Apa yang melatarbelakangi 11 perbedaan pendapat antara golongan tua dan golongan muda serta sikap kita dalam menyikapi adanya perbedaan pendapat. 2. Peran media massa atau pers 21 dalam penyebaran berita pada era proklamasi sampai sekarang 3. Dukungan rakyat terhadap 9 pemerintah ada saat proklamasi dan saat sekarang Sama seperti siklus I, siswa yang terbagi menjadi empat kelompok heterogen, juga membahas masalah yang berbeda-beda. Kelompok I bertugas menjelaskan masalah sehingga menjadi lebih jelas dan memudahkan menemukan solusinya (penjelasan masalah); kelompok II mendiskusikan kebijakan-kebijakan alternatif untuk mengatasi masalah; kelompok III membahas usulan kebijakan untuk mengatasi masalah, dan kelompok IV membahas tentang rencana aksi dalam mengatasi masalah. Guna memperoleh hasil diskusi optimal sebagai solusi tiap permasalahan, setiap kelompok mengumpulkan data melalui wawancara, pencarian data dari buku, artikel, koran, majalah dan sebagainya. Untuk penyusunan laporan dokumentasi/ makalah, dan pembuatan portofolio tayangan, guru memberikan panduan sebagai pedoman. Hasil kerja portofolio kelompok I menjadi bab I, kelompok 54
ISSN : 1829 – 894X
II menjadi bab II, demikian seterusnya. Dengan demikian laporan portofolio kelas terdiri dari empat bab. Data aktivitas siswa dikoleksi dengan lembar observasi aktivitas, sedangkan data hasil belajar dengan memberikan nilai portofolio yang telah dibuat oleh siswa. Data tentang penerapan model oleh guru mulai dari perencanaan, pelaksanaan, observasi/evaluasi dan rfeksi dikoleksi dengan lembar observasi partisipasi (participant observation) (Rahayu dan Ardani 2004:11). Data yang dikoleksi dianalisis secara deskriftif. Sebagai indikator keberhasilan kinerja penelitian terjadi peningkatan prestasi belajar IPS Sejarah dengan nilai setiap siswa ≥ 75 dan ketuntasan kelas (KK) 100% (SKBM Mata Pelajaran Sejarah SMP N 1 Gianyar). HASIL Portofolio kelompok Hasil portofolio masing-masing kelompok dalam memperjelas isu/masalah dan mencari solusi terhadap masalah yang diberikan sudah cukup baik. Hal ini tampak dari penyajian laporan kerja portofolio masing-masing kelompok yang disajikan secara grafis dengan peta, gambar, foto, grafik, karikatur, kartun politik, judul surat kabar, tabel statistik, dan ilustrasi lainnya sudah cukup baik. Hanya kejelasan dari bentuk sajian masih perlu diperbaiki. Setelah dilakukan perbaikan tindakan pada siklus II, hasil portofolio semua kelompok mengalami peningkatan. Hal ini tercermin dari semakin meningkatnya kualitas ketajaman kajian terhadap masalah
Suluh Pendidikan, 2012, 10 (1): 50 - 60
yang dibahas. Kualitas penyajian hasil kerja juga meningkat terlihat dari kejelasan peta, gambar, foto, grafik, karikatur, kartun politik, judul surat kabar, tabel statistik, dan ilustrasi lainnya yang berkenaan dengan berbagai kebijakan alternatif untuk mengatasi masalah.
ISSN : 1829 – 894X
baik, merespons pertanyaan siswa, dan memberikan kesimpulan semakin baik.
Penerapan Model Pembelajaran Oleh Guru Hasil pengamatan terhadap penerapan model oleh guru pada siklus I menunjukkan bahwa (1) penguasaan materi pelajaran baik; (2) penyampaian materi pelajaran
Hasil pengamatan terhadap guru pada pelaksanaan pembelajaran di kelas pada siklus I dalam mengelola ruang, waktu, dan fasilitas belajar yaitu (1) sumber belajar, dalam hal ini artikel yang dibagikan pada siswa kurang, sehingga mengganggu proses belajar; (2) pengaturan waktu kurang efisien; (3) kemampuan pemberian bimbingan secara keseluruhan belum seimbang. Oleh karena masih banyak kekurangan yang terjadi pada siklus I, maka tindakan
cukup baik; (3) penggunaan metode pembelajaran cukup baik; (4) keterampilan dalam mengadakan variasi mengajar cukup baik; (5) pemberian bimbingan masih kurang menyeluruh terhadap siswa; (6) kemampuan mengoordinasi kelas cukup baik; (7) guru sudah baik dalam memotivasi siswa; (8) guru dalam mengaktifkan siswa cukup baik; (9) guru dalam merespons pertanyaan siswa cukup baik; (10) dalam membagi kelas dalam beberapa kelompok guru kurang efektif, karena pembagian kelompok dengan jumlah anggota yang banyak akan menimbulkan kegaduhan dan siswa tidak bisa terpusat pada tugasnya masing-masing; dan (11) dalam memberikan kesimpulan sudah baik. Pada siklus II, kemampuan guru dalam menerapkan model pembelajaran semakin baik. Hal ini terlihat dari kemampuan penguasaan materi, penyampaian, penggunaan metode, keterampilan mengadakan variasi mengajar, pemberian bimbingan, mengoordinasi kelas, memotivasi siswa, mengaktifkan siswa
pada siklus II diperbaiki. Aspek yang diperbaiki meliputi: (1) mengatur waktu sebelum mulai pelajaran, mempersiapkan pokok bahasan yang diajarkan agar waktu dapat digunakan secara efektif dan efisien; (2) membuat suasana yang lebih enak agar siswa berani mengemukakan pendapat, berani bertanya, serta dapat berpikir kritis; (3) sebelum membuat empat kelompok besar dalam tugas pembuatan portofolio kelas, guru membuat beberapa kelompok kecil dulu agar siswa dapat menjalankan tugas secara efektif dan efisien, dan tidak terjadi kegaduhan di dalam kelas. Sesudah tugas itu dibagi dalam kelompok kecil, selanjutnya kelompok-kelompok tersebut bergabung menjadi empat kelompok besar untuk mengerjakan portofolio tayangan dan dokumentasi; (4) guru memberikan bimbingan secara individual bagi siswa yang belummemahami tugasnya; (5) sedikit mengubah variasi belajar dengan lebih banyak melibatkan siswa agar mereka lebih terfokus pada penjelasan materi. Adanya perbaikan dalam penerapan 55
Suluh Pendidikan, 2012, 10 (1): 50 - 60
ISSN : 1829 – 894X
model pembelajaran menyebabkan aktivitas belajar dan hasil belajar siswa pada sikuls II mengalami peningkatan. Aktivitas belajar siswa Hasil pengamatan terhadap aktivitas siswa dalam mengikuti kegiatan pembelajaran pada siklus I, sebagian besar pasif dalam belajar (41,46%), dan hanya 9 orang siswa (21,95%) yang aktif belajar (Tabel 3). Hal ini menunjukkan bahwa (1) sebagian besar siswa belum siap untuk belajar; (2) suasana pembelajaran belum kondusif karena siswa belutm tertib dalam belajar; (3) antusiasme siswa dalam mengikuti pelajaran masih rendah; (4) keberanian siswa dalam mengemukakan pendapat belum terlihat; (5) kemampuan siswa dalam bertanya masih kurang; (6) masih banyak siswa yang terlihat tegang sehingga siswa takut menjawab pertanyaan yang diberikan oleh guru.
siswa (36,59%) yang cukup aktif belajar pada siklus I meningkat menjadi 19 orang siswa (46,34%) pada siklus II, sedangkan dari 9 orang siswa (21,95%) yang aktif pada siklus I meningkat menjadi 15 orang (36,59%) pada siklus II (Tabel 3). Hal ini memperlihatkan bahwa (1) sebagian besar siswa siap untuk belajar; (2) suasana pembelajaran kondusif karena siswa mulai tertib dalam belajar; (3) antusiasme siswa dalam mengikuti pelajaran semakin tinggi; (4) siswa mulai berani mengemukakan pendapat baik terhadap guru maupun dengan temannya sendiri; (5) kemampuan siswa dalam bertanya meningkat dan kualitas pertanyaan semakin baik; (6) siswa tidak lagi terlihat tegang dalam menjawab pertanyaan yang diberikan oleh guru dan temannya.
Tabel 3 Aktivitas siswa dalam kegiatan proses belajar mengajar Siklus I Katagori
Siklus II
Jumlah Siswa
Persentase
Jumlah Siswa
Persentase
Pasif
17
41,46 %
7
17,07%
Cukup aktif
15
36,59%
19
46,34%
Aktif
9
21,95%
15
36,59%
Jumlah
41
100%
41
100%
Pada siklus II, aktivitas belajar siswa mengalami peningkatan dari 17 orang siswa pasif pada siklus I berkurang menjadi hanya 7 orang siswa (17,07%) yang masih pasif dalam belajar. Lima belas (15) orang 56
Prestasi belajar siswa Pada siklus I, prestasi belajar siswa belum mencapai SKBM ≥ 75 dan KK 100%. Rata-rata capaian hasil belajar siswa 69, daya serap 69% dengan KK
Suluh Pendidikan, 2012, 10 (1): 50 - 60
belum mencapai 100%. Bila dibandingkan dengan hasil belajar pada refleksi awal, hasil belajar pada siklus I mengalami peningkatan sebesar 3 digit dari 66 menjadi 69 (Tabel 5). Walau hasil belajar pada siklus I meningkat dibandingkan dengan refleksi awal, akan tetapi belum mencapai SKBM, maka penelitian dilanjutkan ke siklus II dengan melakukan perbaikan tindakan berdasarkan hasil refleksi siklus I. Berkat perubahan-perubahan yang telah dilakukan dalam pelaksanaan kegiatan pembelajaran, hasil belajar siswa pada siklus II menjadi meningkat. Pada siklus II ini siswa terlihat semakin aktif dalam mengikuti pelajaran serta dalam membuat tugas portofolionya. Suasana pembelajaran semakin kondusif dan rasa tanggung jawab siswa terhadap tugas-tugasnya semakin meningkat. Hal ini menyebabkan nilai rata-rata hasil belajar siswa meningkat menjadi 85,5 dengan KK 100% (Tabel 5). Ini berarti semua siswa tuntas belajar. Oleh karenanya, tindakan dihentikan sampai pada siklus II.
ISSN : 1829 – 894X
PEMBAHASAN Penelitian penerapan model pembelajaran berbasis portofolio dimaksudkan untuk meningkatkan aktivitas dan prestasi belajar siswa pada mata pelajaran IPS Sejarah Berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui bahwa pada siklus I sebanyak 17 orang siswa (41,46%) pasif (acuh) belajar. Hanya 15 orang siswa yang cukup aktif dan 9 orang yang aktif belajar. Masih banyaknya siswa yang pasif dalam belajar kemungkinan disebabkan oleh siswa masih beradaptasi dengan model pembelajaran yang diterapkan, karena baru pertama kali dialami siswa. Siswa belum terbiasa membuat laporan kerja portofolio, sehingga siswa masih bingung mengerjakan. Selain itu, guru sebagai fasilitator belum efisien dalam mengatur waktu pembelajaran, sumber belajar (artikel) yang dibagikan pada siswa kurang, sehingga u proses belajar terganggu, dan pemberian bimbingan secara keseluruhan siswa belum seimbang.
Tabel 5 Hasil belajar siswa dalam kegiatan proses belajar mengajar Pra Siklus Partisipasi Siswa Jumlah Persentase siswa
Siklus I
Siklus II
Jumlah siswa
Persentase
Jumlah siswa
Persentase
Nilai ≤
16
39%
8
19,5%
0
0%
Nilai ≥
25
61%
33
80,5%
41
100%
Tuntas Belajar
25
61%
33
80,5%
41
100%
Tidak Tuntas Belajar
16
39%
8
19,5%
Nilai Rata-Rata Daya Serap
66
69
66%
69%
0% 85,5 85,5% 57
Suluh Pendidikan, 2012, 10 (1): 50 - 60
ISSN : 1829 – 894X
Setelah diadakan perbaikan berdasarkan rfeleksi siklus I, pada siklus II aktivitas siswa mengalami peningkatan. Dari 17 orang siswa (41,46%) yang pasif belajar menurun menjadi 7 orang (17,07%) saja yang masih pasif pada siklus II. Selebihnya sebanyak 19 orang cukup aktif dan 15 orang aktif belajar (Tabel 3). Berarti siswa yang cukup aktif dan aktif dalam belajar mengalami peningkatan. Meningkatnya aktivitas belajar siswa karena siswa mulai terbiasa dengan model pembelajaran yang diterapkan. Siswa tidak lagi bingung
berbasis portofolio merupakan hal baru bagi siswa, yang sebelumnya pembelajaran didominasi oleh metode ceramah. Dalam pembelajaran dengan metode ceramah tersebut, siswa tidak dilibatkan secara aktif dan kreatif dalam proses pembelajarannya, dan aktifitas siswa cenderung hanya mendengarkan dan mencatat. Kurangnya aktivitas siswa dalam proses pembelajaran akan berdampak pada hasil belajarnya, baik kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Hal ini sesuai dengan pendapat Biggs dan Telfer (1994:228) salah satu hal
mengerjakan tugas yang diberikan guru. Oleh karena, guru memfasilitasi secara baik kebutuhan belajar siswa seperti memberikan sumber belajar sesuai dengan jumlah siswa, bimbingam yang diberikan mampu mengakomodasi kesulitan siswa dalam membuat laporan kerja portofolio, pengaturan waktu membaik sehingga semua siswa memperoleh waktu cukup untuk belajar. Semua ini berdampak terhadap peningkatan hasil belajar siswa dari siklus I ke siklus II. Pada siklus I, rata-rata persentase daya serap siswa terhadap materi pelajaran termasuk dalam kategori cukup baik yaitu sebesar 69%. Walaupun termasuk dalam kategori cukup baik, akan tetapi peningkatan tersebut masih sangat kecil dan belum mencapai SKBM mata pelajaran Sejarah SMP Negeri 1 Gianyar. Peningkatan prestasi belajar siswa pada siklus I yang relatif kecil ini disebabkan karena pembelajaran dengan model pembelajaran kooperatif
yang berpengaruh pada kegiatan belajar adalah pengalaman. Karena siswa belum pernah mempunyai pengalaman melakukan kegiatan yang ada dalam model pembelajaran berbasis portofolio, maka mereka merasa kesulitan dalam melakukan kegiatan tersebut. Selain itu, mnurut Dewey dalam Sardiman (2005:97), bahwa aktifitas sangat diperlukan dalam belajar. Tanpa adanya aktivitas, proses belajar tidak mungkin berlangsung dengan baik. Hal inilah yang menyebabkan hasil belajar pada siklus I belum memenuhi indikator ketuntasan belajar klasikal. Berdasarkan hal tersebut, maka diadakan perbaikan-perbaikan dalam pelaksanaan pembelajaran pada siklus II, antara lain dengan menambah variasi kegiatan dalam mengatasi suatu masalah yang telah diambil kelas dan membagi kelas menjadi kelompok kecil terlebih dahulu sebelum mereka dibagi menjadi empat kelompok besar dalam satu kelas agar siswa lebih mempunyai
58
Suluh Pendidikan, 2012, 10 (1): 50 - 60
tanggung jawab terhadap tugas-tugasnya dan tidak menggantungkan diri kepada anggota kelompok yang lain. Rata-rata persentase daya serap siswa terhadap materi pelajaran pada siklus II mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan siklus I, yaitu sebesar 85,5 % dan termasuk dalam katagori sangat baik. Hal ini menunjukkan telah terjadi perubahan pada siswa ke arah yang lebih baik, karena siswa telah mengalami suatu proses belajar sehingga prestasi belajar mereka menjadi meningkat. Menurut Winkel (1991:162) “prestasi adalah bukti keberhasilan usaha yang dicapai”. Adanya peningkatan persentase daya serap siswa terhadap materi pelajaran menunjukkan bahwa dengan menerapkan model pembelajaran kooperatif berbasis portofolio dalam pembelajaran IPS Sejarah dapat meningkatkan prestasi belajar siswa. Hal ini menunjukkan bahwa melalui model pembelajaran berbasis portofolio, siswa akan mengalami proses belajar yang efisien dalam arti siswa tidak akan memperoleh ilmu pengetahuan yang statis dan otoriter, melainkan siswa diharapkan akan memperoleh kesempatan untuk mengembangkan berbagai keterampilan yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik, sesuai dengan apa yang dikatakan Budimansyah (2002:1) Sebagai suatu proses sosial pedagogis, portofolio adalah collection of learning experience yang terdapat di dalam pikiran siswa baik yang berwujud pengetahuan (kognitif), keterampilan (skill), maupun nilai dan sikap (afektif).
ISSN : 1829 – 894X
UCAPAN TERIMAKASIH Terimakasih penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Nyoman Dantes; Dr. Drs. Dewa Nyoman Oka, M.Pd; Drs. I Made Sudiana, M.Si; Drs. I Nyoman Suryawan, M.Si dan semua pihak yang telah berkenan memberi arahan dalam penyusunan dan penerbitan tulisan ini.
DAFTAR PUSTAKA Arikunto, S., Suhardjono, dan Supardi. 2006. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Bumi Aksara. Budimansyah, Dasim. 2002. Model Pembelajaran dan Penilaian Berbasis Portofolio. Bandung: PT. Genesindo. Suharya, T. 2007. http://www.duniaguru. com. Diakses 20 Agustus 2007. Soewarso. 2000. Cara-Cara Penyampaian Pendidikan Sejarah untuk Membangkitkan Minat Peserta Didik Mempelajari Sejarah Bangsanya. Proyek Pengembangan Guru Sekolah Menengah: Jakarta. Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Penelitian Tindakan Kelas (Classroom Action Reseach). Kurikulum 2004 Standar Kompetensi Mata Pelajaran Pengetahuan Sosial SMP dan MTs. Jakarta. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Usman, M. Uzer dan Lilis Setyawati. 1993.Upaya Optimalisasi Kegiatan Belajar Mengajar. Bandung: Remaja Rosdakarya.
59
Suluh Pendidikan, 2012, 10 (1): 50 - 60
Winkel. 1991. Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan. Jakarta: Grasindo.
60
ISSN : 1829 – 894X
PEDOMAN PENGIRIMAN NASKAH 1. 2. 3.
4. 5. 6. 7. 8.
9. 10. 11. 12. 13.
Naskah dapat berupa hasil penelitian atau kajian pustaka yang belum pernah dipublikasikan. Naskah dikirim ke PUSLIT IKIP Saraswati Tabanan, Jalan Pahlawan No. 2 Tabanan 82113 Bali atau lewat email:
[email protected]. Naskah diketik satu setengah spasi, kecuali abstrak, tabel, keterangan gambar, histogram dan kepustakaan diketik dalam satu spasi dengan batas 3,5 cm dari kiri, 3 cm masing-masing dari atas, kanan dan bawah tepi kertas. Naskah maksimum 12 halaman A4, diketik dalam program Microsoft Word for Windows huruf Time New Roman ukuran 12. Sebanyak dua eksemplar naskah cetak dan soft copy (CD) yang memuat berkas naskah tersebut diserahkan kepada Redaksi Pelaksana. Ilustrasi yang berupa grafik, gambar atau foto yang tidak masuk dalam berkas CD harus ditempel pada tempatnya dalam naskah cetak. Naskah yang ditulis dalam bahasa Indonesia menggunakan abstrak yang ditulis dalam bahasa Inggris. Sebaliknya naskah yang ditulis dalam bahasa Inggris menggunakan abstrak dalam bahasa Indonesia. Abstrak tidak lebih dari 400 kata. Pada pojok kiri bawah dari abstrak ditulis kata kunci (key words) tidak lebih dari 5 kata. Judul singkat (tidak lebih dari 12 kata), jelas, informatif dan ditulis dengan huruf kapital kecuali nama ilmiah. Untuk kajian pustaka (review) dibelakang judul ditulis: Suatu Kajian Pustaka. Nama penulis tanpa gelar, alamat dan instansi penulis ditulis lengkap. Susunan naskah hasil penelitian terdiri dari judul (title), nama penulis (author), alamat penulis (address), abstrak (abstract), pendahuluan (introduction), metode penelitian (research methods), hasil (results), pembahasan (discussion), simpulan (conclusion), ucapan terima kasih (acknowledgements), dan kepustakaan (literate cited). Naskah kajian pustaka terdiri atas judul, nama penulis, alamat penulis, abstrak, pendahuluan, pembahasan, simpulan (conclusion), ucapan terima kasih, dan kepustakaan. Setiap alenia baru diketik mundur tiga ketukan. Setiap tabel, grafik, histogram, sketsa dan gambar (foto) diberi nomor urut, judul singkat dan jelas, dibuat pada satu halaman (tidak terpotong). Hasil yang ditulis dalam tabel tidak perlu diulang dalam bentuk lainnya (misalnya histogram atau grafik). Dalam tata nama (nomeklatur) dan tata istilah, penulis harus mengikuti cara penulisan yang baku. Untuk istilah asing ditulis miring kecuali abstrak. Dalam mengutip pendapat orang lain dipakai sistem Nama-Tahun. Contoh kutipan langsung, Lansing et al. (2002:3); kutipan tidak langsung: Lansing et al. (2003). Kepustakaan ditulis menurut sistem Nama-Tahun dan disusun berdasarkan abjad. Berikut ini beberapa contoh penulisan pustaka. a. Abstrak Darnaedi D. 1991. Rheofite di sepanjang sungai Mahakam, Kalimantan Timur, abstrak.244, hlm.122. Di dalam Seminar Ilmiah dan Kongres Nasional Biologi X. 1991. Perhimpunan Biologi Indonesia dan Pusat antar Universitas Hayati, IPB, Bogor. b. Buku Auderisk T. and G Auderisk. 1999. Biology, Life on Earth. Ke-5.Edition. Printice Hall, New Jersey. c. Buku Terjemahan Mackinnon M. 1991. Panduan Lapangan Pengenalan Burung-burung di Jawa dan Bali (terjemahan). Ed. Ke-2. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. d. Disertasi, Tesis, dan Skripsi Wiguna IWAA. 2002. Kontribusi system usahatani padi sawah terhadap pengkayaan hara nitrogen, fosfor, dan kalium aliran permukaan pada ekosistem subak di Bali. Kasus daerah aliran sungai Yeh Sungi di Tabanan Bali. Disertasi (S3) pada PPs-IPB, Bogor. e. Hasil penelitian yang dipublikasikan tetapi belum terbit Surata SPK. Persepsi guru sekolah dasar terhadap subak sebagai model pendidikan lingkungan di Bali, submitted (belum disetujui redaksi). Surata SPK. Haemotological indices studies in four subpopulation of Java Sparrow (Pada oryzivora L.). Biota, in press. (sudah disetujui redaksi). f. Penelitian yang sudah dipublikasikan Jacobson SK. 1991. Profile evaluation model for developing, implementing, and assessing conservation education programs; examples from Belize and Costa Rika. Environmental Management, 15 (2):143-150. g. Kamus Depdikbud. 1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Ed. Ke-2. Balai Pustka, Jakarta. h. Prosiding Surata SPK. 2003. Budaya padi dalam subak sebagai model pendidikan lingkungan, hlm.81-97. Di dalam F. Kasryno, E. Pasandaran dan AM Fagi (Penyunting). Subak dan Kerta Masa. Kearifan lokal mendukung pertanian yang berkelanjutan. Yayasan Padi Indonesia, Jakarta. i. Publikasi perusahaan atau lembaga Minitab Inc. 1991. Minitab Reference Manual V.8. State College, USA. j. Surat Kabar Khosman, A. 16 Januari 2004. Perlu kebijakan mikro yang memihak petani. Kompas, 39(196): 46. Kolom 1-6. k. Nama penulis tidak dicantumkan, yang ditulis nama lembaganya (bukan anonim) WHO (World Health Organization). 1993. Guidenlines for drinking-water quality, Vol. 1. Recommendations. Ed. Ke-2. Geneva. l. Sumber dalam internet Ingeg Z. 1997. Analyzing Educational Resource for Environmental and Development Education. Griffith University and the Deparment of Environment, Sport & Territories. Australian Government, Department of Environment and Herrtiage. http//www.deh.gov.auleducationsitsWmodeule/modeule25,htrnl.