ISSN : 1829 – 894X
SULUH PENDIDIKAN (Jurnal Ilmu-Ilmu Pendidikan) Volume 9
Nomor 1
Juni 2011
• Kualitas Kesehatan, Luaran Proses dan Prestasi Belajar pada Pembelajaran Sains Biologi Siswa Sekolah Dasar Negeri 2 Kelating Tabanan (I Gusti Made Oka Suprapta) ...…………………………. 1 – 10 • Studi Evaluasi Penerapan Manajemen Berbasis Sekolah di Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Mengwi Kabupaten Badung (I Wayan Kandia).........…………………………………...11– 20 • Analisis Sosiobudaya dan Pendidikan Babad Dalem Sidakarya (Ni Putu Parmini) ...……………............………………... 21–27 • Geguritan Diah Sawitri: Model Perempuan Berkarakter (Ni Nyoman Karmini) .................................................... 28–38 • Strategi Promotif sebagai Fasilitas Membangun Atmosfir dan Karakter Demokrasi : Suatu Kajian Pustaka (Dewa Nyoman Wija Astawa)........................................ 39–46 • Peranan Sejarah di Era Globalisasi : Suatu Kajian Pustaka (I Kadek Widya Wirawan)..…………........……………… 47–54
Pusat Penelitian Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Saraswati Tabanan
Dewan Redaksi Majalah Ilmiah “SULUH PENDIDIKAN” IKIP Saraswati Tabanan Ketua Drs. I Made Sudiana, M.Si. Penyunting Penyelia (Editor Pengawas) Dr. Drs. I Nyoman Suaka, M.Si. Penyunting Pelaksana Dr. Dra. Ni Nyoman Karmini, M.Hum.; Dr. Drs. Dewa Nyoman Oka, M.Pd.; Drs. Ida Bagus Anom Sutanaya, M.Pd.; Drs. Made Kerta Adhi, M.Pd.; Drs. I Nyoman Suryawan, M.Si.; Drs. Wayan Mawa, M.Hum. Penyunting Tamu Dr. I Gusti Ngurah Raka Haryana, M.S. (IKIP Saraswati Tabanan); Prof. Dr. Ir. Gede Mahardika, M.S. (UNUD); Prof. Dr. I Made Sutajaya, M.Kes. (UNDIKSHA) Pengelola Pusat Penelitian IKIP Saraswati Tabanan Suluh Pendidikan: diterbitkan oleh Pusat Penelitian IKIP Saraswati Tabanan (Saraswati Institut Press), sebagai media informasi ilmiah bidang pendidikan, baik berupa hasil penelitian maupun kajian pustaka. Penerimaan Naskah Redaksi menerima naskah dari dosen, peneliti, mahasiswa atau praktisi dengan ketentuan seperti tercantum pada bagian belakang jurnal ini. Tulisan yang dimuat mendapat kompensasi 2 eksemplar. Langganan Suluh Pendidikan terbit dua kali dalam setahun (Juni dan Desember). Langganan untuk satu tahun termasuk ongkos kirim sebagai berikut: 1. Lembaga/instansi : Rp. 100.000 2. Individu/pribadi : Rp. 50.000 3. Mahasiswa : Rp. 30.000 Alamat Redaksi IKIP Saraswati Tabanan Jalan Pahlawan Nomor 2, Tabanan – Bali 82113 Telp. (0361) 811267 Email:
[email protected]
ISSN : 1829 – 894X
SULUH PENDIDIKAN
(Jurnal Ilmu-ilmu Pendidikan)
Vol.9 No.1 Juni 2011
Kualitas Kesehatan, Luaran Proses dan Prestasi Belajar pada Pembelajaran Sains Biologi Siswa Sekolah Dasar Negeri 2 Kelating Tabanan (I Gusti Made Oka Suprapta)............................................................................1 - 10 Studi Evaluasi Penerapan Manajemen Berbasis Sekolah di Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Mengwi Kabupaten Badung (I Wayan Kandia) ...................................…………………………………... 11 - 22 Analisis Sosiobudaya dan Pendidikan Babad Dalem Sidakarya (Ni Putu Parmini) ………………………………………………………….. 23 - 27 Geguritan Diah Sawitri: Model Perempuan Berkarakter (Ni Nyoman Karmini) ................................................................................... 28 - 38 Strategi Promotif sebagai Fasilitas Membangun Atmosfir dan Karakter Demokrasi : Suatu Kajian Pustaka (Dewa Nyoman Wija Astawa) .......................................................................39 - 46 Peranan Sejarah di Era Globalisasi : Suatu Kajian Pustaka (I Kadek Widya Wirawan) .…………………………………………………47 - 54
Pusat Penelitian Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Saraswati Tabanan
Suluh Pendidikan, 2011, 9 (1): 1 - 10
ISSN : 1829 – 894X
KUALITAS KESEHATAN, LUARAN PROSES DAN PRESTASI BELAJAR PADA PEMBELAJARAN SAINS BIOLOGI SISWA SEKOLAH DASAR NEGERI 2 KELATING TABANAN I Gusti Made Oka Suprapta FPMIPA IKIP Saraswati Tabanan ABSTRACT Long-term goal of this research is to improve the quality of students’ health through the application of ergonomics. If the quality of health care can be improved, the consequences of learning outcomes will also increase and it is believed will affect student achievement. The subjects in this study were elementary school students at Kelating, Kerambitan, Tabanan, amounting to 16 people. Determination of simple classes were randomly selected from two schools in the Kelating, Kerambitan, Tabanan. Research was conducted from May 7 to 9 January 2011. Methods The study used pre and post test design. Tools to collect data on (a) questionnaire Nordic Body Map (b) 30 items of the questionnaire rating scale (c) questionnaires boredom (d) assessment of student learning outcomes (e) learning achievement tests. Data before (pre) and after (post) of learning that include musculoskeletal disorders, fatigue, and boredom were analyzed using paired t-test with significance level of 95%. While the outcome of the teaching and learning process and student achievement of the mean and standard deviation sought.In this study, data showed students’ declining health care quality, namely: (a) the musculoskeletal disorder increased by 16.9% (p <0.05), (b) subjective fatigue increased by 15.8% (p <0.05); and (c) boredom increased by 16.8% (p <0.05). While the outcome of teaching and learning process is 22.61 ± 1.759 and student achievement is 40.43 ± 5.439. For musculoskeletal disorder, fatigue and boredom can be reduced, then the teaching and learning, needs to be changed to teaching and learning ergonomically-based. Keywords: Ergonomics, teaching, leearning, science biology
PENDAHULUAN Sejak ditetapkan dan diberlakukannya Undang-Undang Republik Indonesia nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen, serta dilandasi oleh Undangundang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, maka pendidikan di Indonesia, semakin mendapat perhatian yang serius dari pememerintah. Pengadaan sarana dan perasarana pembelajaran, penyetaraan atau peningkatan jenjang pendidikan guru dan dosen, perbaikan kurikulum, serta anggaran pendidikan merupakan suatu
prioritas. Anggaran pendidikan untuk APBN 2011 ditetapkan minimal 20% dari APBN dan minimal 20% dari APBD. Secara keseluruhan anggaran pendidikan dalam APBN 2011 sebesar Rp. 248,978 triliun atau sekitar 20,02% dari total belanja Negara (Koster, 2010). Walaupun pendidikan di Indonesia sudah dan sedang mendapat perhatian dari pemerintah kenyatataan di lapangan banyak siswa yang putus sekolah, tidak lulus ujian, tidak naik kelas, tidak dapat melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi, indek prestasi rendah, waktu tamat lebih 1
Suluh Pendidikan, 2011, 9 (1): 1 - 10
lama dari ketentuan sehingga hal ini merupakan salah satu parameter kualitas pendidikan masih rendah. Dilihat dari peringkat negara, kualitas pendidikan Indonesia berada di urutan ke-160 dari 194 negara di dunia dan urutan ke-16 dari 50 negara di Asia. Bahkan secara rata-rata, Indonesia masih berada di bawah Vietnam (Muhliz, 2009). Rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia merupakan implikasi dari rendahnya prestasi belajar. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi prestasi belajar, yaitu: faktor internal, berupa kebugaran fisik, gizi, intelegensi, genetik, bakat, minat, motivasi dan faktor psikologis lainnya seperti bosan, malas, emosi, sulit konsentrasi dan lainnya. Sedangkan faktor eksternal adalah teknik pembelajaran, lingkungan fisik, lingkungan sosial dan sarana pembelajaran (Sutajaya, 2005). Pembelajaran adalah suatu proses dengan tahapan aktivitas yang terprogram sehingga pada diri pebelajar terjadi perubahan prilaku. Dewasa ini pengajar dituntut untuk menciptakan dan mengembangkan pembelajaran inovatif agar peserta didik lebih mudah menemukan dan memahami konsep yang sulit, dengan jalan bekerja sama dan berdiskusi dengan temannya, bekerja dalam kelompok untuk saling membantu memecahkan masalah-masalah yang kompleks. Sehingga aspek utama dalam pembelajaran inovatif yaitu penggunaan pandangan kontruktivisme dimana belajar adalah kegiatan aktif pebelajar untuk membangun pengetahuannya (Trianto, 2007; Fachrurrazi, 2010). Pembelajaran Sains/ Biologi di tingkat Sekolah Dasar mengisyaratkan 2
ISSN : 1829 – 894X
agar materi pelajaran dikaitkan dengan situasi dunia nyata atau isu-isu sosial dan teknologi yang ada di masyarakat, sehingga ada hubungan antara pengetahuan dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Akibatnya pembelajaran menjadi bermakna atau disebut juga pembelajaran kontekstual (Dzaki, 2009; Nurohman, 2008; Sumintono, 2008; dan Widyatiningtyas, 2008). Pembelajaran ini akan menjadi pembelajaran PAKEM yaitu singkatan dari pembelajaran aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan (Direktorat Pembinaan TK&SD, 2009), bila dikaitkan dengan kaidah-kaidah ergonomi. Ergonomi adalah ilmu, teknologi dan seni untuk menyerasikan alat, cara kerja dan lingkungan pada kemampuan, kebolehan dan keterbatasan manusia, sehingga diperoleh kondisi kerja dan lingkungan yang sehat, aman, nyaman dan efisien dan akhirnya tercapai produktivitas yang setinggi-tingginya (Manuaba, 1996). Sekolah Dasar Negeri Nomor 2 Kelating, terdapat beberapa permasalahan yang berhubungan dengan aspek ergonomi, seperti faktor nutrisi, sikap kerja, pemanfaatan tenaga otot/ kontraksi otot, kondisi lingkungan, kondisi waktu, kondisi informasi, kondisi sosial. Dari aspek-aspek ergonomi tersebut ternyata kondisi di Sekolah Dasar Negeri Nomor 2 Kelating sebagian besar belum memenuhi persyaratan sehingga pembelajaran Sains/ Biologi dapat dikatakan belum memperhatikan aspek ergonomi. Pada penelitian ini akan dikaji beberapa permasalahan mengenai pembelajaran Sains/ Biologi tanpa memperhatikan aspek ergonomi, yang dikaitkan dengan kualitas kesehatan dengan indikator berupa
Suluh Pendidikan, 2011, 9 (1): 1 - 10
ISSN : 1829 – 894X
keluhan muskuloskeletal, kelelahan dan kebosanan serta luaran proses belajar dan prestasi belajar siswa. Dengan demikian dapat diuraikan tujuan penelitian sebagai berikut. (1) Mengetahui pembelajaran Sains/ Biologi tanpa memperhatikan aspek ergonomi dapat menurunkan kualitas kesehatan dilihat dari peningkatan keluhan muskuloskletal siswa. (2) Mengetahui pembelajaran Sains/ Biologi tanpa memperhatikan aspek ergonomi dapat menurunkan kualitas kesehatan dilihat dari peningkatan kelelahan siswa. (3) Mengetahui pembelajaran Sains/ Biologi tanpa memperhatikan aspek ergonomi dapat menurunkan kualitas kesehatan dilihat dari peningkatan kebosanan siswa. (4) Mengetahui pembelajaran Sains/ Biologi tanpa memperhatikan aspek ergonomi dapat menurunkan luaran proses belajar siswa. (5) Mengetahui pembelajaran Sains/ Biologi tanpa memperhatikan aspek ergonomi dapat menurunkan prestasi belajar siswa. METODE PENELITIAN Subjek adalah siswa kelas III Sekolah Dasar Negeri Nomor 2 Kelating, Kecamatan Kerambitan, Kabupaten Tabanan yang Tabel 1 Kelembaban relatif (%) 70.3
berjumlah 16 orang. Penentuan kelas dipilih secara acak sederhana dari dua sekolah yang ada di desa Kelating, Kecamatan Kerambitan, Kabupaten Tabanan. Penelitian ini dilakukan dari tanggal 7 sampai dengan 9 Januari 2011 dengan rancangan pre and post test design. Alat untuk mengumpulkan data pada penelitian ini adalah sebagai berikut. (a) Kuesioner Nordic Body Map yang dimodifikasi dengan empat skala Likert yang sudah valid dan reliabel serta sudah digunakan secara internasional untuk mendata keluhan musculoskeletal. (b) Kuesioner 30 items of rating scale dengan skala Likert yang sudah valid dan reliabel serta sudah digunakan secara internasional untuk mendata kelelahan. (c) Kuesioner kebosanan. (d) Asesmen luaran proses belajar siswa. (e) Tes prestasi belajar. Data sebelum (pre) dan sesudah (post) pembelajaran yang meliputi keluhan muskuloskeletal, kelelahan, dan kebosanan dianalisis menggunakan t-paired test dengan taraf signifikansi 95%. Sedangkan luaran proses belajar dan prestasi belajar dicari rerata dan simpangan bakunya. HASIL
Data Mikroklimat di Ruang Belajar
Suhu basah (0C) 26.00
Suhu kering(0C) 30.4
Tabel 2 Kondisi Lingkungan Ruang Belajar No. 1. 2. 3.
Jenisnya Kecepatan angin Pencahayaan Kebisingan
Rerata hasil pengukuran 0,1 meter/detik 200 lux 50 dB(A) 3
Suluh Pendidikan, 2011, 9 (1): 1 - 10
ISSN : 1829 – 894X
Tabel 3 Antropometri
Data Antropometri Siswa
Percentile 5 (cm)
Posisi duduk Tinggi mata Tinggi bahu Tinggi popliteal Tinggi siku Lebar pinggul *) Lebar bahu *) Panjang buttock popliteal Panjang Battock knee Posisi berdiri Tingi badan Jangkauan ke atas Tinggi mata Tinggi bahu Tinggi siku
Percentile 95 (cm)
88,70 65,50 31,00 14,00
33,00 34,50
33,00 39,40 120,70 142,00 110,00 95,20 73,00
*) = Menggunakan Persentil 95 Tabel 4
Data keluhan muskuloskeletal, kelelahan, dan kebosanan sebelum dan sesudah pembelajaran Sains/ Biologi rerata pre
No
Variabel
1.
Keluhan Muskuloskeletal Kelelahan Kebosanan
2. 3.
rerata post
Peningkatan (%)
Sig.
31
36,25
16,9%
p < 0,05
32 30
37,06 35,06
15,8% 16,8%
p < 0,05 p < 0,05
Tabel 5 Data Luaran Proses Belajar dan Prestasi Belajar Sains/ Biologi No. 1. 2.
Variabel
Rerata dan SD
Luaran proses belajar Prestasi belajar
22.61 ± 1,759 40,43 ± 5,439
PEMBAHASAN Status Gizi Siswa Status gizi siswa hendaknya dalam batas normal menurut IMT (indeks massa tubuh). Indeks massa tubuh menunjukkan keseimbangan antara asupan gizi dan 4
penggunaannya. Indeks massa tubuh di atas dan di bawah normal mempunyai risiko lebih besar terhadap berbagai keluhan dan penyakit, seperti cepat lelah atau kebugaran fisik menurun, dan gangguan berbagai penyakit (Adiatmika, 2007). Keseluruhan gangguan tersebut akan mempengaruhi
Suluh Pendidikan, 2011, 9 (1): 1 - 10
proses dan hasil belajar siswa. Status gizi pada penelitian ini dikaitkan dengan sarapan pagi yang belum dilaksanakan oleh siswa. Siswa hanya makan makanan camilan dan siap saji yang dibeli di sekolah. Masalah sarapan pagi, sekurangkurangnya ada dua manfaat yang bisa dipetik dari kebiasaan makan pagi yang baik yaitu: (1) Makan pagi dapat memberikan karbohidrat yang siap digunakan untuk meningkatkan kadar gula darah, dengan kadar gula darah yang mencapai normal, maka gairah dan konsentrasi belajar semakin membaik, sehingga prestasi juga membaik. (2) Pada dasarnya makan pagi dapat memberikan berbagai zat gizi penting seperti protein, lemak, vitamin dan mineral yang sangat dibutuhkan oleh tubuh untuk fungsi berbagai proses fisiologis dalam tubuh, sehingga dapat tumbuh dan berkembang dengan normal (Riyadi, 1994). Makan pagi sebaiknya minimal menyumbang 14% dari kebutuhan zat gizi seseorang dalam sehari. Jika makanan selingan antara pagi dan siang tidak ada, maka makan pagi seyogyanya lebih diperbanyak sehingga dapat menyumbang paling sedikit 25% dari kebutuhan zat gizi seseorang dalam sehari (Gsianturi, 2002). Sikap Kerja Siswa Sikap kerja siswa pada saat pembelajaran tidak alamiah, karena ukuran meja dan kursi belajar tidak sesuai dengan antropometri siswa. Tinggi tepi atas papan tulis tidak sesuai dengan tinggi mata pada posisi duduk (persentil 5), sehingga menimbulkan sikap kerja tidak alamiah.
ISSN : 1829 – 894X
Hasil pendataan terhadap sarana dan prasarana pembelajaran didapatkan rerata tinggi kursi belajar 40 cm, sedangkan tinggi popliteal pada posisi duduk (persentil 5) adalah 31,00 cm. Jika tinggi alas kursi terlalu tinggi dari lantai maka menyebabkan timbulnya hambatan dalam sikulasi darah. Selain itu juga menyebabkan telapak kaki tidak menapak di lantai dengan baik, sehingga menyebabkan berkurangnya keseimbangan duduk seseorang. Rerata tinggi meja belajar 75 cm, sedangkan tinggi siku pada posisi duduk (persentil 5) adalah 14 cm. Semestinya tinggi meja dari lantai adalah tinggi popliteal posisi duduk persentil 5 ditambah tinggi siku pada posisi duduk persentil 5 (31 cm + 14 cm = 45 cm). Bila meja belajar terlalu tinggi maka bahu akan lebih sering terangkat pada saat menulis atau meletakkan tangan di atas meja. Jadi stasiun kerja yaitu meja dan kursi belajar ukurannya belum disesuaikan dengan antropometri siswa. Tinggi tepi atas papan tulis 195 cm. Seharusnya tinggi tepi atas papan tulis adalah (tg 50 x 6,65) + tinggi mata posisi duduk persentil 5 (sebesar 113,50 cm) atau 58 + 88,70 cm = 146,7 cm. Dengan demikian penempatan papan tulis belum disesuaikan dengan antropometri pebelajar akibatnya posisi kepala tengadah dalam jangka waktu relatif lama. Sikap kerja yang bertentangan dengan sikap alami tubuh, akan menimbulkan kelelahan dan cedera otot-otot. Dalam sikap yang tidak alamiah tersebut akan banyak terjadi gerakan otot yang tidak fisiologis sehingga boros energi. Hal itu akan menimbulkan strain dan cedera otototot skeletal (Adiputra, 2008). 5
Suluh Pendidikan, 2011, 9 (1): 1 - 10
Pemanfaatan Tenaga Otot/Kontraksi Otot Manusia bekerja tidak lain terdiri dari proses memanjang dan memendeknya otot-otot tubuh. Semakin pendek otot itu dikerutkan akan semakin besar daya kerjanya. Dengan demikian diharapkan agar pemanfaatan tenaga otot dapat diwujudkan secara maksimal dan efisien. Penggunaan otot pada proses pembelajaran bersifat statis, karena proses tersebut bersifat teacher centered sehingga pembelajaran didominasi oleh guru. Pada proses pembelajaran di kelas dominan menggunakan metode ceramah. Siswa duduk statis dalam jangka waktu lama, aktivitas bersifat monoton dan tidak disertai dengan istirahat aktif. Kontraksi otot statis (isometrik) dalam waktu relatif lama menyebabkan sirkulasi darah tidak optimal, sehingga mengurangi asupan oksigen dan zat makanan. Dengan demikian asupan energi berkurang sehingga mempercepat timbulnya kelelahan. Disamping itu akumulasi asam laktat merangsang reseptor rasa nyeri sehingga dirasakan sebagai keluhan muskuloskeletal. Dengan demikian kerja otot statis mempercepat timbulnya kelelahan dan keluhan muskuloskeletal (Guyton & Hall, 2000). Kondisi Lingkungan Kondisi lingkungan, terutama penerangan di ruang belajar masih kurang dari ketentuan. Rerata intensistas penerangan pada proses pembelajaran di ruang belajar adalah 200 lux. Sehingga belum memenuhi persyaratan 350–700 lux untuk membaca dan menulis (Grandjean, 2000). 6
ISSN : 1829 – 894X
Aspek lingkungan kerja sangat menentukan prestasi kerja manusia. Lingkungan yang tidak kondusif untuk bekerja akan memberikan beban tambahan bagi tubuh, padahal tubuh sedang melaksanakan beban utama yaitu tugas yang sedang dilaksanakan. Demikian juga lingkungan dingin, kelembaban relatif, penipisan kadar oksigen, adanya zat pencemar dalam udara semuanya akan mempengaruhi penampilan kerja manusia. Penerangan tempat kerja, adanya kebisingan, lingkungan kimia, biologi dan lingkungan sosial di tempat kerja berpengaruh terhadap prestasi dan produktivitas kerja (Adiputra, 2008). Kondisi Waktu Waktu istirahat yang dijadwalkan oleh sekolah tidak dimanfaatkan dengan baik oleh siswa, karena masih digunakan untuk duduk-duduk di kelas atau di kantin. Demikian pula teknik pembelajaran yang dilaksanakan belum melaksanakan istirahat aktif, sehingga siswa duduk dalam jangka waktu lama dan kerja monoton. Teknik pembelajaran menggunakan pendekatan ergonomi menekankan istirahat aktif pada siswa, karena istirahat aktif dapat mempercepat waktu pemulihan (Stegemann, 1981). Kondisi waktu perlu diperhatikan agar pada diri siswa tidak terjadi kelelahan yang berlebihan, dan perlu penyesuaian antara lama pembelajaran dengan jumlah waktu istirahat. Kondisi Informasi Informasi yang disampaikan dalam
Suluh Pendidikan, 2011, 9 (1): 1 - 10
bentuk media pembelajaran oleh guru ke siswa belum memenuhi kaidahkaidah ergonomi, seperti ukuran huruf, warna dan penempatannya. Agar sebuah tulisan dapat dibaca dengan nyaman serta memperhatikan kemampuan mata orang yang akan membacanya maka, tulisan harus tersusun oleh huruf-huruf yang sesuai dengan rumus. Rumusnya adalah tinggi huruf (dalam mm) = jarak baca (dalam mm) dibagi 200. Dengan mengetahui tinggi huruf maka, ukuran dari huruf yang lainnya dapat diketahui, seperti: lebar huruf adalah 2/3 tinggi huruf; tebal huruf adalah 1/6 tinggi huruf; dan jarak antar huruf adalah 1/5 tinggi huruf (Grandjean, 2000). Kenyataan di lapangan jarak baca dari siswa yang duduk paling belakang dengan papan tulis adalah 6 meter. Ukuran huruf yang tertulis di papan tulis dengan ukuran tertinggi 2,5 cm dan ukuran terrendah 1,5 cm. Dari data tersebut, jika dihitung dengan rumus maka tinggi huruf seharusnya 3 cm. Demikian pula tinggi tepi atas papan tulis 195 cm, seharusnya 146,7 cm, sehingga tulisan di papan tulis penempatannya tidak sesuai dengan tinggi mata pada posisi duduk (persentil 5). Bila kondisi ini dibiarkan maka akan terjadi kelelahan dan kebosanan pada diri siswa (Pardede, 2008). Kondisi Sosial Kondisi sosial budaya, seperti hubungan antara sesama siswa dan hubungan antara siswa dengan guru pada saat pembelajaran belum harmonis. Pembelajaran didominasi oleh dosen, dan belum mengarah ke pembelajaran
ISSN : 1829 – 894X
kooperatif. Dengan demikian interaksi antara sesama siswa dan interaksi dengan guru masih sangat terbatas. Dalam rangka untuk membina dan meningkatkan motivasi kerja siswa dalam melaksanakan tugastugasnya, ternyata kondisi sosial seperti pemberian penghargaan bagi yang berhasil dan hukuman bagi yang salah belum dilakukan oleh guru, karena orientasinya hanya hasil pembelajaran. Kondisi sosial seharusnya banyak dimanfaatkan oleh pimpinan tempat kerja untuk membina dan membangkitkan motivasi kerja, seperti sistem penghargaan bagi yang berhasil dan hukuman bagi yang salah dan lalai bekerja (Adiputra, 2008). Pada penelitian ini, diperoleh data kualitas kesehatan siswa menurun yaitu: (a) keluhan muskuloskletal meningkat sebesar 16,9% (p < 0,05); (b) kelelahan subjektif meningkat sebesar 15,8 % ( p < 0,05); dan (c) kebosanan meningkat sebesar 16,8 % (p < 0,05). Sedangkan rerata luaran proses belajar siswa adalah 22.61 ± 1,759 dan prestasi belajar siswa adalah 40,43 ± 5,439. Agar keluhan otot, kelelahan dan kebosanan dapat diminalkan maka tugas (task), organisasi (organization) dan lingkungan (environment) perlu diserasikan dengan kemampuan, kebolehan dan keterbatasan siswa sehingga terwujud pembelajaran yang lebih manusiawi. Berdasarkan masalah yang dipertimbangkan dengan aspekaspek ergonomi tersebut di atas maka perlu perbaikan pembelajaran dengan memperhatikan sklala prioritas. Suatu perbaikan model pembelajaran, yang hanya dilaksanakan sebagian 7
Suluh Pendidikan, 2011, 9 (1): 1 - 10
atau hanya satu aspek saja dapat menimbulkan masalah baru pada aspek lain yang belum diperbaiki. Oleh karena itu diperlukan adanya perbaikan secara menyeluruh terhadap masalah ergonomi melalui pendekatan ergonomi total. Hal ini diperlukan untuk mencegah adanya dampak negatif dikemudian hari (Manuaba, 2003). SIMPULAN 1.
2.
Pada penelitian ini, diperoleh data kualitas kesehatan siswa menurun yaitu: (a) keluhan muskuloskletal meningkat sebesar 16,9% (p < 0,05); (b) kelelahan subjektif meningkat sebesar 15,8 % ( p < 0,05); dan (c) kebosanan meningkat sebesar 16,8 % ( p < 0,05). Sedangkan rerata luaran proses belajar siswa adalah 22.61 ± 1,759 dan prestasi belajar siswa adalah 40,43 ± 5,439. Agar keluhan otot, kelelahan dan kebosanan dapat diminalkan maka tugas (task), organisasi (organization) dan lingkungan (environment) perlu diserasikan dengan kemampuan, kebolehan dan keterbatasan siswa sehingga terwujud pembelajaran yang sehat, nyaman, aman dan efektif.
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada bapak kepala sekolah SD No 2 Kelating, Kerambitan, Tabanan, atas bantuan pasilitas penelitian ini.
8
ISSN : 1829 – 894X
DAFTAR PUSTAKA Adiatmika, IPG. 2007. Perbaikan Kondisi Kerja Dengan Pendekatan Ergonomi Total Menurunkan Keluhan Muskuloskeletal dan Kelelahan Serta Meningkatkan Produktivitas dan Penghasilan Perajin Pengecatan Logam di Kediri-Tabanan. (Desertasi). Denpasar: Program Pascasarjana Universitas Udayana. Adiputra, N. 2008. Pelatihan Upaya Kesehatan Kerja Tenaga Kesehatan Kabupaten/ Kota dan Puskesmas Propinsi Bali. Available from: http:// www.balihesg.org– balihesg, diakses 14 Nopember 2010 Admin. 2009. Konstruktivisme dalam Pembelajaran Sain dan Matematika Available from:http://lpmpjogja. diknas.go.id/index2.php?option= comcontent&dopdf=1&id = 328, diakses 4 Januari 2010 Direktorat Pembinaan TK&SD. 2009. Mengenal Metode Pembelajaran Pakem. Available from: http:// sekolahku.info/artikel/mengenalmetode-pembelajaran-pakem/, diakses 10 Pebruari 2010 Dzaki, M. F. 2009. Pendekatan Sains Teknologi Society (STS). Available from: http://penelitiantindakankelas. blogspot.com/ 2009 /03/pendekatan -sains-teknologi-society-sts.html. diakses 2 Desember 2009. Fachrurrazi, Aziz. 2010. Guru Harus Kembangkan Pembelajaran Inovatif. Bali Post, Kamis Pon, 4 Februari 2010. Grandjean, E., Kroemer, K.H.E. 2000. Fitting the Task to the Human.
Suluh Pendidikan, 2011, 9 (1): 1 - 10
A Textbook of Occupational Ergonomics. Fifth Edition. Piladelphie: Taylor & Francis. Gsianturi. 2002. Anda Sibuk? Jangan Lupa Sarapan. Available from: http://www. gizi. net, diakses 17 pebruari 2008. Guyton,A.C dan J.E. Hall. 2000. Fisiologi Kedokteran. Irawati Setiawan (ed). Edisi 10. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran. 101-112.
ISSN : 1829 – 894X
Pardede, B.D. 2008. Panduan Pengembangan Multimedia Pembelajaran-4. Available from: http://pakdesmart75.wordpress. com /2008/06/ 01/panduanpengembangan-multimediapembelajaran-4/. diakses 16 April 2009. Riyadi, H. 1994. Makan Pagi dan Prestasi Anak di Sekolah dalam Sadar Pangan dan Gizi Vol: 3.
Koster, W. 2010. Arah Kebijakan APBN 2011, Ketika Anggaran Pendidikan Menjadi Prioritas. Bali Post, Senin Paing, 15 Nopember 2010.
Stegemann, J. 1981. Physical Performance Capacity. Exercise Physiology. New York: Georg Thieme Verlag Stuttgart. 7-12.
Manuaba, A. 1996. Pemanfaatan Ergonomi dan Fisiologi Olahraga untuk Pembangunan Manusia dan Masyarakat Indonesia Seutuhnya. Denpasar: Program Pascasarjana Ergonomi dan Fisiologi Olahraga.
Sumintono, B. 2008. Mengemas Sains. Teknologi dan Masyarakat dalam Pengajaran Sekolah. Available from: http://netsains.com /2008 /01/ mengemas-sains-teknologi-danmasyarakat-dalam-pengajaransekolah/. Diakses 5 Desember 2009.
Manuaba, A. 2003. Holistic disign is a must to attain sustainable product. The National Seminar on Product Design and Development Industrial Engineering UK Maranatha. Bandung, 4-5 Juli 2003. Muhliz, 2009. Kualitas Pendidikan di Indonesia Available from: http:// www.topix. net/forum/world/ southeast-asia/, diakses 3 Nopember 2010 Nurohman, S. 2008. Penerapan Pendekatan Sains Teknologi Masyarakat (STM) dalam Pembelajaran IPA Sebagai Upaya Peningkatan Life Skills Peserta Didik. Available from: http:// shobruwordpress. compublikasi/ sains-teknologi-masyarakat/, diakses 2 Desember 2009.
Sutajaya, IM. 2005. Pembelajaran melalui Pendekatan Sistemik, Holistik, Interdisipliner, dan Partisipatori (SHIP) mengurangi Kelelahan, Keluhan Muskuloskletal, dan Kebosanan serta Meningkatkan Luaran Proses Belajar Mahasiswa Biologi IKIP Singaraja. Desertasi. Denpasar: Program Pascasarjana Universitas Udayana. Tamalene, M.N. 2009. Pendekatan Dalam Pembelajaran. Available from: http:// biotamalene.blogspot.com/, diakses 29 Desember 2009. Trianto. 2007. Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik. Jakarta: Prestasi Pustaka 41-62.
9
Suluh Pendidikan, 2011, 9 (1): 1 - 10
Widyatiningtyas. 2008. Pembentukan Pengetahuan Sains Teknologi dan Masyarakat dalam Pandangan Pendidikan IPA. Available from: http://educare.e-fkipunla. net/index2. php?option=comcontent&dopdf= 1&id= 43, diakses 25 Nopember 2009.
10
ISSN : 1829 – 894X
Suluh Pendidikan, 2011, 9 (1): 11 - 20
ISSN : 1829 – 894X
STUDI EVALUASI PENERAPAN MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH DI SEKOLAH MENENGAH ATAS NEGERI 1 MENGWI KABUPATEN BADUNG I Wayan Kandia FPIPS IKIP Saraswati Tabanan ABSTRACT This study focused on six main objectives. They were 1) to obtain a clearer description about the effectiveness of SBM at SMAN 1 Mengwi, Badung regency in terms of the context component in the school year 2007/2008. 2) to obtain a clearer description about the effectiveness of SBM at SMAN 1 Mengwi, Badung regency in terms of the input component in the school year 2007/2008, 3) to obtain a clearer description about the effectiveness of SBM at SMAN 1 Mengwi, Badung regency in terms of the process component, 4) to obtain a clearer description about the effectiveness of SBM at SMAN 1 Mengwi, Badung regency in terms of the product (output) component in the school year 2007/2008 and 5) to obtain a clearer description about the effectiveness of SBM at SMAN 1 Mengwi, Badung regency in terms of the context, input, process and output components in the school year 2007/2008. This study used an ex- post facto design and, in principle, tried to find out the degree of success or level of progress in the implementation of SBM based on the performance criterions determined by the Office of National Education. By using the CIPP model approach, the priority of data were elicited by census from 128 respondents, consisting of the school principal, teachers, administrative staff, school committee and leaders of the Student Intra-school Organization (OSIS) collected by questionnaire, interview, documentation and observation. The results of the analysis of the scores of the aspects showed that a) the score of the effectiveness of the implementation of the SBM at SMAN 1 Mengwi in terms of the input component was 3.21 or effective enough; b) the score of the effectiveness of the implementation of the SBM at SMAN 1 Mengwi in terms of the context component was 3.20 or effective enough ; c) the score of the effectiveness of the implementation of the SBM at SMAN 1 Mengwi was 3.14 or effective enough; d) the score of the effectiveness of the implementation of the SBM at SMAN 1 Mengwi was 3.18 or effective enough; e) the score of the effectiveness of the implementation of the SBM at SMAN 1 Mengwi in terms of context, input, process and output was 3.18 or effective enough; f) the constraints included the non-maximal active participation of the students’ parents and the stakeholders, the unrealized plan for building chemistry lab, the non-maximal autonomy and authority related to the new students recruitment system, evaluation and graduation system. It is recommended that 1) the school principal should improve coordination and socialization. The school principle should be more visionary and independent, mobile, should mobilize the school resources and strengthen commitment and improve partnership with the students’ parents/ school committee with the orientation toward the improvement of quality, students’ learning motivation with the intensity of visits to the library. 2) The Office of Education and Sports should give more room, intensify the SBM program evaluation, educational policies which focus on the cognitive ability should be reviewed. Key words: Effectiveness, school-based management 11
Suluh Pendidikan, 2011, 9 (1): 11 - 20
PENDAHULUAN Sesungguhnya, pendidikan merupakan salah satu faktor khas bagi hidup dan kehidupan manusia. Artinya, pendidikan merupakan gejala sepatutnya dalam upaya membangun jati diri, eksistensi, dan kualitas hidup manusia (Suwarno,1982:39), Sebaliknya, eksistensi pendidikan, sepenuhnya pula ditentukan oleh manusia. Karena tanpa manusia, pendidikan itu tidak pernah ada (Human life is just the matter of education) demikian dikatakan Suparlan Suhartono (2007:17). Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal, merupakan sebuah sistem yang memiliki berbagai unsur yang saling berkaitan, dan memerlukan pemberdayaan seluruh pendukung sistem tersebut. Untuk memperoleh hasil yang optimal, pendidikan sekolah sebagai suatu sistem tidak hanya berorientasi pada hasil, tetapi juga berorientasi pada proses (Nurul Zuriah, 2007:102). Sebagai proses sekaligus sistem, pendidikan diakui mampu mengubah pranata sosial, budaya, dan politik, bahkan peradaban sebuah bangsa. Pengakuan tersebut menyebabkan negara-negara maju, seperti Amerika, Jepang, Singapura, dan Malaysia, memilih pendidikan sebagai prioritas utama dalam pembangunan bangsanya (Husaini Usman, 2008:32-33). Terlebih lagi di era global seperti sekarang ini, demikian lebih lanjut Soedijarto (2008 : 297) menyatakan, bahwa pendidikan yang berkualitas sangat urgen, bukan saja untuk memungkinkan warga negara dapat secara cerdas berpartisipasi dalam politik, melainkan juga agar dapat survive dalam menghadapi era global 12
ISSN : 1829 – 894X
dewasa ini. Dengan demikian, kita adalah bagaimana meningkatkan daya saing dalam segala bidang. Tanpa daya saing yang cukup tinggi, kita akan habis ditelan oleh lawan-lawan pesaing. Satu-satunya peluang untuk melahirkan tenaga kerja yang siap bersaing dalam dunia global, adalah dengan mengoptimalkan mutu pendidikan (Mochtar Buchori, 2001:36). Walaupun patut diakui bahwa telah dilakukan berbagai upaya dalam mendongkrak mutu pendidikan kita, namun sampai pada era desentralisasi sekarang ini mutu pendidikan kita belum menampakkan hasil sesuai dengan harapan. Tengoklah fenomena hidup dan kehidupan manusia Indonesia dewasa ini, yang diwarnai oleh berbagai macam aksi kekerasan, kerusuhan, anarki, korupsi, dan tindakantindakan amoral lainnya (Donder, 2004:3032), sebagai bukti pendidikan kita yang tak mampu menghasilkan pribadi-pribadi yang unggul dalam ilmu pengetahuan, akhlak, dan kemanusiaan. Fenomena tersebut, harus kita sadari sebagai dampak dari kondisi dunia pendidikan kita secara umum dan sampai dewasa ini cukup memprihatinkan (Mochtar Buchori, 2001:36). Berdasarkan masalah di atas, dapat dinyatakan sedikitnya ada tiga faktor yang menyebabkan mutu pendidikan tidak mengalami peningkatan secara merata, yaitu ; 1) kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan nasional menggunakan pendekatan education production function atau input-output analysis yang tidak dilaksanakan secara konsekuen. Pendekatan ini melihat bahwa lembaga pendidikan berfungsi sebagai pusat produksi yang menganggap bahwa apabila input pendidikan
Suluh Pendidikan, 2011, 9 (1): 11 - 20
seperti pelatihan guru, pengadaan buku pelajaran, dan perbaikan sarana prasarana pendidikan lainnya dipenuhi, maka mutu pendidikan (output) secara otomatis akan terjadi. Tetapi, pada kenyataannya mutu pendidikan sebagaimana yang diharapkan tidak terjadi. Hal tersebut dikarenakan selama ini penerapan input-output analysis terlalu memusatkan pada input dan kurang memperhatikan proses pendidikan. Padahal proses pendidikan sangat menentukan output pendidikan ; 2) penyelenggaraan pendidikan nasional dilakukan secara birokratik sentralistik, yang menempatkan sekolah sangat tergantung pada keputusan birokrasi yang mempunyai jalur yang sangat panjang. Kebijakan yang dikeluarkan birokrasi tidak sedikit yang tidak sesuai dengan kondisi sekolah setempat. Dengan sistem ini ruang gerak sekolah dibatasi oleh peraturan-peraturan yang ketat, mulai dari perencanaan sampai evaluasi. Perencanaan dikerjakan berdasarkan topdown (perintah dari pusat ke bawah/daerah), pelaksanaan sampai evaluasi berdasarkan pada instruksi dan petunjuk pusat. Dengan demikian sekolah kehilangan kemandirian, motivasi, dan inisiatif untuk mengembangkan serta memajukan sekolahnya terutama dalam upaya peningkatan mutu pendidikan sebagai salah satu tujuan pendidikan nasional ; 3) peranserta masyarakat, khususnya orang tua siswa dalam penyelenggaraan pendidikan selama ini sangat minim. Partisipasi masyarakat pada umumnya lebih banyak bersifat dukungan dana, bukan pada proses pendidikan (pengambilan keputusan, monitoring, evaluasi, dan akuntabilitas). Berkaitan dengan akuntabilitas, sekolah tidak mempunyai
ISSN : 1829 – 894X
beban untuk mempertanggungjawabkan hasil pelaksanaan pendidikan kepada masyarakat, khususnya orang tua siswa, sebagai salah satu unsur utama yang berkepentingan (stakeholder) dengan pendidikan (Depdiknas, 2001:2). Di era desentralisasi ini pemerintah mengeluarkan kebijakan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS), yang esensi aslinya adalah manajemen berbasis sekolah (MBS), merupakan hasil studi banding pada beberapa negara yang telah berhasil meningkatkan mutu pendidikannya. Manajemen berbasis sekolah merupakan model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah dan mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang melibatkan secara langsung semua warga sekolah (kepala sekolah, guru, tata usaha, personel lainnya), dan masyarakat (orangtua siswa, tokoh masyarakat, ilmuwan, pengusaha) untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional. Namun, realitas di lapangan tidak selamanya linier dengan harapan. Nyaris sepuluh tahun manajemen berbasis sekolah telah digulirkan, tetapi dalam implementasinya sampai sekarang tetap saja tidak luput dari kekurangan dan kendala, seperti masih banyak personalia sekolah yang belum memahami substansinya. Banyak sorotan tajam yang mengarah pada karakteristik dan pelaksanaannya menyimpang dari konsep yang sebenarnya sehingga evaluasi terhadap penerapannya perlu dilakukan secara intensif, sistematis, sistemik, efektif ,dan bersifat kontinyu. Demikianlah penelitian ini dilakukan, 13
Suluh Pendidikan, 2011, 9 (1): 11 - 20
untuk mengetahui bagaimana efektivitas penerapan manajemen berbasis sekolah di Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Mengwi, Kabupaten Badung, terutama ditinjau dari komponen konteks, input, proses, dan output, pada tahun ajaran 2007/2008 METODE PENELITIAN Secara metodologis, penelitian evaluasi ini dirancang sebagai penelitian expost facto, yaitu berusaha mengungkap atau mengumpulkan data apa adanya, sesuai dengan apa yang memang terjadi dan dilakukan sekolah/pihak lain yang terkait (Rohiat, 2008:116). Penelitian ini berorientasi pada analisis penerapan manajemen berbasis sekolah di SMAN 1 Mengwi, Kabupaten Badung, Tahun Pelajaran 2007/2008, dengan menggunakan pendekatan CIPP Evaluation Model, yang dikembangkan oleh Stufflebeam dkk., sehingga dapat diketahui suatu program berjalan efektif atau sebaliknya. Berkenaan dengan hal tersebut, maka data yang diperlukan dalam penelitian ini meliputi data efektivitas penerapan manajemen berbasis sekolah yang dilihat berdasarkan komponen konteks, input, proses, dan output. Untuk memperoleh hasil yang optimal, penelitian ini diupayakan sebagai penelitian sensus studi, artinya semua subyek penelitian diteliti. Berdasarkan penjajagan awal penulis ke SMAN 1 Mengwi, Kabupaten Badung, jumlah responden sebagai subyek penelitian sebanyak 128 orang (SMA N 1 Mengwi, 2008). Dari jumlah sebanyak itu, guru termasuk kepala sekolah berjumlah 68 orang, 40 laki-laki 14
ISSN : 1829 – 894X
dan 28 orang perempuan. Pegawai sebanyak delapan belas (18) orang dan delapan (8) orang laki-laki. Komite sekolah berjumlah sembilan (9) orang, depalan orang lakilaki dan hanya satu (1) orang perempuan. Sedangkan pengurus OSIS sebanyak 33 orang, lima belas (15) laki-laki dan delapan belas (18) orang perempuan. Digunakan dua jenis variabel yaitu variabel terikat dan bebas. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah efektivitas penerapan Manajemen Berbasis Sekolah (Y). Sedangkan empat variabel bebas sebagai prediktornya masing-masing adalah : Konteks (X1), Input (X2), Proses (X3), dan Output (X4). Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini, terutama untuk menjaring data tentang variabel-variabel yang diteliti, baik variabel terikat maupun variabel bebas adalah metode kuesioner/ angket. Sedangkan metode dokumentasi, wawancara, dan observasi dipergunakan sebagai alat cross check. Kuesioner dalam penelitian ini menggunakan format item model skala Likert, dan selanjutnya dibuat kisi-kisi serta penulisan butir-butir soal sebagai indikator, dimulai dari pernyataan soal sampai dengan alternatif jawaban. Alternatif jawaban pada masing-masing butir bergerak dari nilai 4 sampai dengan nilai 1 yang disusun menurut alur pernyataan positif. Dengan demikian pilihan Sangat Baik (SB) mendapat nilai 4, Baik (B) mendapat nilai 3, Kurang Baik (KB) mendapat nilai 2, dan .pilihan Tidak Baik (TB) mendapat nilai 1. Validasi isi instrumen menggunakan teknik validasi dari Gregory, (dalam Candiasa, 2004:131-133). Teknik
Suluh Pendidikan, 2011, 9 (1): 11 - 20
ISSN : 1829 – 894X
validasinya yaitu 1) menunjuk dua orang pakar yang terpercaya (ahli) untuk menilai instrumen perbutir dengan menggunakan skala 1-2-3-4; 2) dilakukan pengelompokan skala, yaitu skor 1-2 dikelompokkan menjadi kurang relevan dan skor 3-4 dikelompokkan menjadi sangat relevan. Penilaian dari dua orang pakar tadi dibandingkan dengan cara penilaian silang antara kedua pakar tersebut (Tabel 1).
Data yang terkoleksi dianalisis dengan menggunakan teknik analisis nilai aspek (Depdiknas, 2000). Adapun rumus untuk menentukan nilai aspek (Nas) sebagai berikut. ∑ ( Sik X Bik ) Nas = ________________ ∑Bik
Tabel 1 Tabulasi silang penilaian para pakar Tabel 1 Tabulasi silang penilaian para pakar Kurang Relevan (Skor 1-2) Penilai 2
Kurang Relevan (Skor 1-2) Sangat Relevan (Skor 3-4)
Validasi isi sebagai hasil penilaian silang kedua pakar terhadap setiap butir instrumen yang dibuat dihitung dengan rumus berikut. Validasi Isi
D = ___________ A+B+C+D
Keterangan : A = Sel yang menunjukkan ketidaksetujuan antara ke dua penilai B dan C = Sel yang menunjukkan perbedaan pandangan antara penilai D = Sel yang menunjukkan persetujuan yang valid antara kedua penilai.
Penilai 1 Sangat Relevan (Skor 3-4)
(A)
(B)
(C)
(D)
Keterangan : Nas = Nilai aspek Sik = Skor indikator pendukung Bik = Bobot indikator ∑ = Total Nilai-nilai aspek ditentukan dari nilai masing-masing komponen (Depdiknas, 2001) dengan rumus seperti berikut. ∑( Nas X Bas ) NK = ____________ ∑Bas Keterangan : NK = Nilai Komponen Nas = Nilai aspek Bas = Bobot aspek ∑ = Total 15
Suluh Pendidikan, 2011, 9 (1): 11 - 20
Dari nilai masing-masing komponen, kemudian dicari nilai tentang efektivitas kinerja sekolah (Depdiknas, 2001), dengan menggunakan rumus seperti berikut. ∑( NK X BK ) Ne = _____________ ∑BK Keterangan : Ne = Nilai efektivitas kinerja sekolah NK = Nilai Komponen BK = Bobot Komponen ∑ = Total
Penentuan katagori kualitas efektivitas penerapan manajemen berbasis sekolah didasarkan atas nilai dari hasil penilaian masing-masing komponen. Berdasarkan dari nilai hasil penilaian tersebut ditentukan kurang (<1,5), kurang (1,5 – 2,49), cukup (2,5–3,49), baik (3,5–3,99), amat baik (40– 4,49), dan istimewa (4,5–5,0) (Depdiknas 2000, dalam Suparwa, 2002: 34). Berdasarkan gambaran efektivitas tersebut, lalu diakomodasi faktor-faktor yang menjadi kendala dalam optimalisasi pencapaian target MBS untuk disampaikan alternatif pemecahannya. HASIL DAN PEMBAHASAN Dari 128 responden diperoleh nilai aspek untuk komponen pada masingmasing indikator seperti tampak pada Tabel 2 di bawah.
ISSN : 1829 – 894X
Tabel 2 Katagori nilai aspek konteks untuk masing-masing indikator No Indikator A. B. C. D. E. F. G.
Kebijakan Pemerintah Keadaan geografis Keadaan sosial ekonomi masyarakat pendukung Aspirasi masyarakat terhadap pendidikan Dukunngan/partisipasi masyarakat Tuntutan masyarakat terhadap pendidikan Visi & misi sekolah
Nilai Katagori aspek 3,31 cukup 3,56 baik 3,00 cukup 3,10
cukup
3,14
cukup
3,31
cukup
3,12
cukup
Atas dasar Tabel 2 di atas, maka nilai rata-rata sebesar 3,21 yang berarti bahwa efektivitas kinerja sekolah tergolong cukup (Depdiknas 2000, dalam Suparwa, 2002 : 34). Nilai rata-rata aspek komponen input pada masing-masing indikator adalah sebesar 3,20. Nilai sebesar ini bila dikaitkan dengan efektivitas kinerja sekolah juga tergolong cukup (Tabel 3). Tabel 3 Katagori nilai aspek komponen iput No Indikator
Nilai aspek
Katagori
A. Tujuan dan sasaran mutu sekolah
3,12
cukup
B. Kurikulum
3,24
cukup
C. Kesiswaan
3,22
cukup
D. Keuangan
3,04
cukup
E. Harapan berprestasi
3,27
cukup
F.
3,14
cukup
3,24
cukup
Fokus pada pelanggan/ pengguna
G. Manajemen
Pada nilai aspek untuk komponen proses pada masing-masing indikator 16
Suluh Pendidikan, 2011, 9 (1): 11 - 20
ISSN : 1829 – 894X
diperoleh nilai rata-rata sebesar 3,14. Nilai sebesar ini dihubungkan dengan efektivitas kinerja sekolah berada dalam katagori cukup (Tabel 4). Tabel 4 Katagori nilai aspek komponen proses No
Indikator
Nilai Katagori aspek
A.
Pembelajaran
3,20
cukup
B.
Kepemimpinan sekolah
3,17
cukup
C.
Pengelolaan iklim sekolah
3,33
cukup
D.
Pengelolaan kependidikan
tenaga 3,17
cukup
E.
Pengelolaan budaya mutu 3,21 sekolah
cukup
F.
Kerja sama partisipasi
dan 3,08
cukup
G.
Kemandirian sekolah
3,14
cukup
H.
Partisipasi warga sekolah 3,18 dan masyarakat
cukup
I.
Keterbukaan
2,98
cukup
J.
Evaluasi
3,30
cukup
K.
Responsibiliti antisipatif sekolah
dan 3.07
cukup
L.
Akuntabilitas sekolah
2,88
cukup
M.
Sustainabilitas sekolah
3,14
cukup
Untuk komponen luaran (output), nilai pada masing-masing indikator sebagai berikut (Tabel 5). Tabel 5 Katagori nilai aspek komponen luaran (output) siswa No
Indikator
Nilai aspek
Katagori
A.
Prestasi akademik
3,08
cukup
B.
Prestasi non akademik
3,28
cukup
Nilai rata-rata komponen output adalah sebesar 3,18. Nilai komponen ini dikaitkan
dengan efektivitas kinerja sekolah tergolong cukup. Semua aspek komponen (konteks, input, proses, dan luaran) dihubungkan dengan nilai aspek efektivitas kinerja sekolah berada dalam katagori cukup (Depdiknas 2000, dalam Suparwa, 2002 : 34). Berdasarkan hasil wawancara dengan perwakilan dari masing-masing kelompok responden diketahui bahwa, ada beberapa kendala, terkait implementasi Manajemen Berbasis Sekolah di SMA N 1 Mengwi, Kabupaten Badung, antara lain adalah : 1) status sosial ekonomi para orang tua siswa mayoritas masih tergolong menengah ke bawah. Kenyataan tersebut menjadi klop ketika dukungan partisipasinya baik secara finansial maupun pertisipasi aktifnya dalam bidang immaterial, seperti sumbangan pemikiran, terlebih lagi dalam bentuk pengawasan proses pendidikan, sangat minim. 2) kebiasaan masyarakat, termasuk warga sekolah yang terbiasa dituntun dan dibimbing, sehingga di era desentralisasi sekarang ini mereka merasa kelabakan dan kalau tidak mau dibilang tidak siap mereka umumnya kurang siap untuk mandiri. 3) kebiasaan masyarakat (stakeholder) yang kurang perhatian dan kurang tanggap terhadap lembaga sekolah, sehingga dukungannya pun tidak optimal. 4) SMAN 1 Mengwi, belum memiliki lab. kimia. Kenyataan ini dirasakan menjadi kendala yang sangat signifikan terhadap penyelenggaraan proses pembelajaran kimia. 5) sistem perekrutan siswa dan sistem evaluasi terutama berkaitan dengan pelulusan siswa yang sampai sekarang belum menjadi kewenangan sekolah 17
Suluh Pendidikan, 2011, 9 (1): 11 - 20
merupakan salah satu kendala juga bagi kemandirian sekolah untuk mendapatkan raw input sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan sekolah, masyarakat pelanggan. SIMPULAN Studi evaluasi dengan pendekatan model CIPP ini mengiformasikan bahwa efektivitas penerapan manajemen berbasis sekolah khususnya di SMAN 1 Mengwi, Kabupaten Badung, tergolong cukup. Artinya masih banyak komponenkomponen sekolah beserta dengan aspekaspeknya perlu ditingkatkan, seperti pada; a) komponen konteks, misalnya belum maksimalnya dukungan dan partisipasi aktif stakeholder termasuk pula komite sekolah memberikan kontribusi yang cukup berarti terhadap belum optimalnya efektifitas penerapan manajemen berbasis sekolah, dalam upaya meningkatkan mutu sekolah dan mutu pendidikan; b) komponen input, misalnya sumber dana, yang belum maksimal, belum komplitnya sarana prasarana terutama yang terkait dengan belum tersedianya lab kimia; c) komponen proses, misalnya belum maksimalnya solidaritas dan kekompakan teamwork, belum maksimalnya kemandirian/ kewenangan sekolah, baik menyangkut masalah perekrutan dan pelulusan siswa; d) komponen output, misalnya komitmen untuk ikut berperan aktif dalam karya ilmiah tingkat Nasional, Asean, dan Internasional. Beranjak dari simpulan di atas, direkomendasikan kepada: (a) Kepala sekolah, guru-guru, dan seluruh komponen yang terkait agar lebih meningkatkan 18
ISSN : 1829 – 894X
mutual system of reinforcement, solidaritas, kebersamaan, dan memperjuangkan otonomi nyata dari sekolah, terutama yang berkaitan dengan sistem penerimaan siswa baru, dan sistem evaluasi siswa termasuk menentukan pelulusan siswa. Hal tersebut perlu diperjuangkan karena sesungguhnya kebijakan manajemen berbasis sekolah yang semangat dan ruhnya adalah menekankan kemandirian sekolah dalam era desentralisasi, oleh karenanya sangat tidak relevan dengan sistem perekrutan siswa baru yang diatur Dikdispora, serta bertolak belakang dengan standarisasi ujian akhir nasional; (b) Kepada Masyarakat (stakeholder) hendaknya lebih meningkatkan perhatian, kerjasama, pengawasannya dan terutama sekali lebih meningkatkan partisipasi aktif tidak saja dalam bentuk materian tetapi juga dalam bentuk sumbangan pikiran. UCAPAN TERIMA KASIH Penyelesaian penelitian ini, baik fisik maupun psikis tak luput dari bantuan dan motivasi berbagai pihak. Untuk itu tak lupa saya haturkan terima kasih yang sedalamdalamnya terutama kepada yang terhormat Kepala sekolah, guru, karyawan, Komite Sekolah, dan seluruh siswa SMAN 1 Mengwi, atas segala informasi terkait.
DAFTAR PUSTAKA Candiasa, I Made. 2004. Analisis Butir Disertai Aplikasi dengan Iteman, BIGSTEPS dan SPSS. Singaraja : Unit Penerbitan IKIP Negeri Singaraja. Depdiknas. 2001. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah Buku I Konsep
Suluh Pendidikan, 2011, 9 (1): 11 - 20
dan Pelaksanaan. Dikdasmen.
Jakarta:
ISSN : 1829 – 894X
Dirjen
Depdiknas. 2001. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah Buku 2 Panduan Penyusunan Proposal dan Pelaporan. Jakarta : Dirjen Dikdasmen. Depdiknas. 2001. Manajemen Peningkatan Mutu berbasis Sekolah Buku 3 Panduan Monitoring dan Evaluasi. Jakarta: Dirjen Dikdasmen. Depdiknas. 2001. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah Buku 4 Tata Krama. Jakarta : Dirjen Dikdasmen. Donder, I Ketut. 2004. Sisya Sista Pedoman Menjadi Siswa Mulia Dalam Perspektif Relegiososiolenguistikedukatif. Denpasar : Pustaka Bali Post Koster, Wayan. Jumat, 24 Maret 2006. Membangun Peradaban Melalui Pendidikan. Bali Post, Margono. 2007. Metodologi Penelitian Pendidikan Komponen MKDK. Jakarta: PT Rineka Cipta Mochtar Buchori. 2001. Pendidikan Antisipatoris. Yogyakarta : Kanisius Nurul Zuriah. 2007. Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan Teori-Aplikasi. Jakarta : PT. Bumi Aksara.
Sudarwan Danim. 2002. Menjadi Peneliti Kualitatif, Ancangan Metodologi, Presentasi,dan Publikasi Hasil Penelitian untuk Mahasiswa dan Peneliti Pemula Bidang Ilmu-Ilmu Sosial, Pendidikan, dan Humaniora. Bandung : Pustaka Setia.
Sudarwan Danim. 2007. Visi Baru Manajemen Sekolah Dari Unit Birokrasi ke Lembaga Akademik. Jakarta: Bumi Aksara Sugiyono. 2008. Statistika untuk Penelitian. Bandung : Alfabeta. Suharsini Arikunto. 1990. Manajemen Penelitian. Jakarta : Rineka Cipta. Suparlan Suhartono. 2007. Filsafat Pendidikan. Jogjakarta: AR-Ruzz Media Suparwa. 2002. Studi Evaluatif Pelaksanaan Program Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (Studi Kasus Pada tiga SLTP Negeri di kota Denpasar) Tesis. Tidak dipublikasikan. Suryosubroto. B. 2004. Manajemen Pendidikan di Sekolah. Jakarta : PT. Rineka Cipta Syafaruddin. 2002. Manajemen Mutu Terpadu dalam Pendidikan. Jakarta : Grasindo. Tilaar, H.A.R. 2006. Standarisasi Pendidikan Nasional Suatu Tinjauan Kritis. Jakarta : Rineka Cipta. Tim Peneliti STKIP Singaraja. 1996. Laporan Penelitian Studi Evaluatif tentang Penyelenggaraan Program Pengalaman Lapangan (PPL) dan Proses Belajar Mengajar (PBM) di STKIP Singaraja. Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003. 2003. Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Bandung : Fokusmedia, Undang-Undang RI No.14 tahun 2005, 2006, Tentang Guru dan Dosen. Bandung : Citra Umbara. 19
Suluh Pendidikan, 2011, 9 (1): 11 - 20
Usaini Usman dan Purnomo Setiady Akbar. 2008. Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta : Bumi Aksara.
20
ISSN : 1829 – 894X
Suluh Pendidikan, 2011, 9 (1): 21 - 27
ISSN : 1829 – 894X
ANALISIS SOSIOBUDAYA DAN PENDIDIKAN BABAD DALEM SIDAKARYA Ni Putu Parmini FPBS IKIP Saraswati Tabanan
ABSTRACT This study aims to know the description of the social, cultural and educational stories Dalem Sidakarya and to provide knowledge and add review Dalem Sidakarya story. By revealing the social factors, culture and education in general about the Dalem Sidakarya story (the problem of community life, social, cultural and education), will provide benefits of culture and education in the community. The approach used in this research is sociological approach to literature, the structural approach and socio-cultural approach. The primary data source of this research is in the form of a Dalem Sidakarya story, and secondary data sources in the form of documents relating to the social, cultural and educational. In the stage of data collection used in the document collection methods. The results showed that the story has relevance Dalem Sidakarya with social life, culture and education. This is evident from the unfolding situation in the form of social values, culture and education. The values revealed in the story are: (1) the social value of education and, (2) cultural values. These values were reflected through stoicism Dalem Sidakarya and social nature and always receive forgiveness from others. Nature Dalem Waturenggong who always fought for the welfare of the people. Keywords: Sociocultural, educational, chronicle PENDAHULUAN Di dalam karya sastra dilukiskan keadaan dan kehidupan sosial suatu masyarakat, peristiwa-peristiwa, ide atau gagasan serta nilai-nilai yang diamanatkan penciptanya lewat tokoh-tokoh cerita. Sastra mempersoalkan manusia dalam berbagai aspek kehidupannya, sehingga karya sastra berguna untuk mengenal manusia, kebudayaan dan zamannya. Sumardjo (1988 : 8) lewat Zulfahnur Z.F dkk. Mengungkapkan sebagai berikut: Bagi masyarakat peminat, sastra juga mewarnai pengalaman hidup mereka. Sejak masa prasejarah masyarakat Indonesia telah menggunakan bentukbentuk mantra dan mitos dalam upacaraupacara religius dalam berbagai sektor kehidupan, misalnya apabila dalam suatu
masyarakat ada orang yang sakit maka dipanggillah sang pawang untuk mengobati sakit dengan mantra-mantranya. Di dalam lingkungan masyarakat tradisional berbagai dongeng diceritakan oleh ibu-ibu tatkala mereka menidurkan buah hatinya. Di dalam pergaulan masyarakat berbagai jenis pantun kerap didendangkan orang baik sebagai nasihat, hiburan maupun curahan hati. Sementara pelipurlara selalu menembangkan pantun, balanda ataupun melantunkan cerita-cerita untuk menghibur masyarakat di kala senang sehabis penat bekerja di ladang dan di sawah. Berdasarkan kutipan di atas dapat dikatakan bahwa dari karya sastra kita memperoleh pengetahuan yang mendalam tentang manusia, dunia dan kehidupan. Sastra juga berkaitan dengan sejumlah 21
Suluh Pendidikan, 2011, 9 (1): 21 - 27
faktor sosial, budaya dan pendidikan seperti tipe dan tarap ekonomi masyarakat tempatnya berkarya, kelas atau kelompok sosial yang mempunyai hubungan langsung dengannya, sifat-sifat pembacanya, sifat sponsor, sistim pengayoman, tradisi sastra yang telah mempengaruhi karya-karyanya, dan keadaan kejiwannya sendiri (Damono, 1979:58). Aspek sosial, budaya dan pendidikan sastra merupakan hal yang sangat perlu dikaji secara mendalam diawali oleh pemikiran bahwa dewasa ini para peminat dan pemikat sastra cendrung tidak memperhatikan aspek sosiologis tersebut. Peminat sastra hanya mengutamakan unsur hiburannya, padahal bila dikaji lebih dalam, babad mengandung nilai atau makna lebih yang bermanfaat bagi pembinaan tatanan nilai-nilai kehidupan sosial, nilai budaya dan pendidikan. Sehubungan dengan hal tersebut nilai sosial, budaya dan pendidikan yang terkandung dalam Babad Sidakarya belum ditemui seluruhnya, sedangkan babad tersebut sering dijadikan sumber materi pembelajaran sastra. Untuk memperoleh gambaran yang jelas tentang situasi sosial, budaya dan pendidikan Babad Dalem Sidakarya, perlu ditinjau fungsi sosio-budaya sastra yang mempermasalahkan sampai seberapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial dan sampai beberapa jauh nilai sastra dipengaruhi oleh nilai sosial. Di sini ada tiga hal yang harus diperhatikan yaitu: (a) Sudut pandang ekstrim kaum Romantik yang menganggap bahwa sastra sama derajatnya dengan karya pendeta atau nabi. Dalam hal ini tercakup pendirian bahwa sastra harus berfungsi sebagai 22
ISSN : 1829 – 894X
pembaharu dan perombak; (b) Sudut pandang yang lain mengatakan bahwa sastra berfungsi sebagai penghibur belaka dan bersifat melariskan dagangan untuk mencapai best seller; (c) dari kedua sudut pandangan di atas maka dapat dicapai suatu kompromi yang menyatakan bahwa sastra harus mengajarkan sesuatu dengan cara menghibur. Persoalan sosial memang berpengaruh kuat terhadap dunia sastra. Selain itu, sastra juga dihubungkan dengan dunia sosial manusia, adaptasinya dan keinginan untuk mengubahnya. Jadi, semacam reaksi pengarang terhadap kondisi sosial masyarakat. Bertolak pada uraian di atas maka dapat dikatakan bahwa karya sastra memang diciptakan pengarang untuk orang lain, dan bukan untuk dirinya sendiri. Sastra adalah produk masyarakat. Ia berada di tengah masyarakat karena dibentuk oleh anggota masyarakant berdasarkan desakan-desakan emosional atau rasional dari masyarakat. Dengan demikian, jelas bahwa sastra bisa dipelajari berdasarkan disiplin ilmu sosial juga. METODE PENELITIAN Pelaksanaan suatu penelitian sematamata bukan untuk mencapai hasil, tetapi yang tidak kalah pentingnya ialah bagaimana proses yang dilakukan untuk mencapai hasil itu. Hal inilah yang oleh Arikonto dikatakan sebagai penanggungjawaban tentang cara-cara yang dipilih peneliti untuk memperoleh jawaban permasalahan penelitian akan dikemukakan hal-hal yang berkaitan dengan metode penelitian, seperti (1) pendekatan subjek penelitian, (2) sumber data penelitian, (3) metode
Suluh Pendidikan, 2011, 9 (1): 21 - 27
pengumpulan data, dan (4) metode analisis data. Secara deskriptif data diuraikan dan digunakan pendekatan struktural (pendekatan objektif), dan pendekatan sosiologi dan pendekatan sosio-budaya. Pendekatan struktural sering disebut juga dengan pendekatan objektif. Pendekatan ini membatasi dari pada telaah karya sastra itu sendiri, terlepas dari soal pengarang dan pembaca. Dalam hal ini pendekatan struktural memandang dan menelaah karya sastra seperti: tema, alur, latar, penokohan dan gaya bahasa (Atar Semi, 1994 : 4445). Sedangkan pendekatan sosiologi adalah pendekatan terhadap sastra yang mementingkan segi-segi kemasyarakatan (Damono, 1989:2-10). Dengan demikian, penelitian ini hanya mendeskripsikan (menggambarkan) struktur yang membangun karya sastra Babad “Dalem Sidakarya” dari aspek sosio-budaya dan pendidikan. Data penelitian ini adalah data kualitatif (data nonangka), berupa aspek intrinsik, situasi, sosial, budaya, amanat, pengarang lewat karya sastranya. Adapun langkah-langkah pengumpulan data pada Babad “Dalem Sidakarya”, dapat diuraikan sebagai berikut. Untuk memudahkan pengumpulan data, sebelumnya melalui tahapan pemahaman objek yang dikaji. Data yang dikumpulkan dicatat dalam kartu yang berukuran 15 cm x 15 cm. Setiap kartu berisi tentang situasi sosial, budaya, dan amanat pengarang. Data yang telah dikumpulkan melalui kartu-kartu tersebut, kemudian dianalisis dengan metode analisis kualitatif-sintesis dan disajikan secara deskriptif. Analisis
ISSN : 1829 – 894X
kualitatif deskriptif digunakan dalam analisis data dengan cara melakukan analisis dari hal yang sebesar-besarnya sampai dengan yang sekecil-kecilnya, kemudian diungkapkan dalam bentuk tulisan melalui cara memberikan uraian atau gambaran menurut apa adanya kemudian menarik suatu kesimpulan. HASIL DAN PEMBAHASAN Nilai Sosio-budaya dan Pendidikan Sehubungan dengan nilai sosial, budaya dan pendidikan, maka di bawah ini diuraikan kutipan-kutipan yang merefleksikan nilai tersebut. Nilai-nilai itu akan dapat kita simak melalui tokoh-tokoh (Brahmada Keling, Dalem Waturenggong dan Dang Hyang Nirartha), semuanya itu mempunyai tekad dan semangat yang tinggi untuk menciptakan kesejahteraan dan keamanan masyarakat dan membina pendidikan keagamaan/moral kepada umatnya. Tokoh Brahmanda Keling (Dalem Sidakarya) dalam babad ini sebagai seorang sakti, di samping ia aktif dalam kegiatankegiatan sosial lainnya, sebagai pemimpin karya yang pada mulanya macet akibat sifat dendam beliau yang diperlakukan secara hina oleh saudara dan prajuritnya. Menurut pengamatan penulis bahwa image pengarang tampak jelas yaitu masyarakat akan mampu menciptakan ketentraman apabila semua masyarakatnya memiliki pengetahuan lewat pendidikan dan pengalaman dalam berprilaku. Apabila hal itu tercapai, maka dengan jelas pola pikir masyarakat pada umumnya akan maju dan modern serta mengubur sikap jelek dan mudah berprasangka buruk. Dalem Sidakarya mempunyai tekad dan prinsip mendidik masyarakat menuju 23
Suluh Pendidikan, 2011, 9 (1): 21 - 27
kemajuan pada pola pikir dan kewaspadaan. Dengan pendidikan yang tinggi, dan keyakinan pada kawisesa Betara di Pura Besakih. Melalui pendidikan yang maju pula kita akan dapat membentuk manusia baru dan dunia baru, dengan kata lain kita harus meningkatkan sumber daya manusia yang berkualitas. Sumber daya manusia berkualitas tinggi akan mampu meningkatkan kebudayaan masyarakat yang menyangkut identitas pemerintah. Kebulatan tekad Dalem Sidakarya menciptakan ketidaktentraman rakyat merupakan upaya mendidik sikap menghormati sesama walaupun tampil sebagai orang yang tidak berpenampilan elit serta sikap waspada. Apa yang diperjuangkan Dalem Sidakarya demi suksesnya karya merupakan sikap Dalem Sidakarya yang mau menerima maaf orang lain serta tidak mempunyai sikap balas dendam. Dengan berbekal ilmu pengetahuan dan pengalamannya, mereka (tokoh cerita) memperjuangkan kebudayaan (karya Eka Dasa Ludra di Pura Besakih). Image pengarang tersirat pada nilai sosial, budaya, dan pendidikan di atas menunjukkan bahwa jika kita memiliki pengetahuan pengalaman serta kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang cukup tinggi, niscaya kita akan mampu mengatasi masalah yang ada di sekitar kita (masalah sosial) mengenai pengembangan kebudayaan melalui pengalaman dan usaha keras masyarakat, mengabdikan ilmu yang kita miliki demi kepentingan sosial. Dengan demikian pendidikan dapat berfungsi sosial merupakan sikap yang diharapkan pengarang. Keadaan masyarakat tentram selanjut24
ISSN : 1829 – 894X
nya tercermin dalam upaya Dalem Sidakarya memohon agar apa yang dimohon sebelumnya terhapus dan kembali tentram. Menurut pengamatan, nilai sosial pendidikan yang lainnya terefleksi juga melalui tokoh Dalem Waturenggong dan Dang Hyang Nirartha. Citra yang muncul dalam babad di atas adalah semangat Dalem Waturenggong, Dang Hyang Nirartha dan Dalem Sidakarya sama-sama prajurit yang begitu menggelora, sehingga dapat menyukseskan karya Eka Dasa Ludra di Pura Besakih sebagai wujud yadnya atau terima kasih kepada Tuhan atas berkat rahmat-Nya. Nilai Budaya, Sosial dan Pendidikan Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995 : 690) disebutkan mungkin nilai kebudayaan adalah konsep abstrak mengenai masalah dasar yang sangat penting dan bernilai dalam kehidupan manusia. Dalem Waturenggong, Dalem Sidakarya dan Dang Hyang Nirartha mempunyai peradaban yang tinggi dan akan mampu menciptakan sesuatu yang berguna bagi dirinya sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Dari segi pendidikan untuk mencapai kesempurnaan lahir dan batin, sangat didukung oleh kehidupan beragama. Agama memegang peranan penting dalam setiap kehidupan manusia. Agama hendaknya dijunjung tinggi sesuai dengan kepercayaan masing-masing. Sebagai umat beragama, hendaknya mengetahui dan mendalami hakikat agama yang sebenarnya. Agama mendapat kedudukan paling atas (paling tinggi) dalam kehidupan manusia. Dalam kehidupan masyarakat, agama menjadi
Suluh Pendidikan, 2011, 9 (1): 21 - 27
pusat dari segala aktivitas kehidupan. Segala sesuatu dimulai dengan agama dan upacara-upacara, agar manusia dapat rakhmat, kebaikan dan kekuatan-kekuatan. Dalam usaha memperbaiki kehidupan masyarakat maka kaum prajurit membawa pembaharuan serta pengetahuan dan pandangan demi terwujudnya masyarakat yang sejahtera. Kaum prajurit dapat mempengaruhi orang-orang desa dibidang pengetahuan keagamaan dan budi pekerti. Kaum prajurit pun dapat mengajak masyarakat berusaha dan bekerja sama dengan menjaga keselamatan sehingga dengan berusaha dan bekerja keras, niscaya mereka akan mendapat hasil yang baik sehingga mampu mengubah kehidupan. Secara umum Babad Dalem Sidakarya menampilkan keberhasilan Dalem Sidakarya sebagai pejuang suksesnya karya menanamkan pendidikan, budi pekerti pada rakyat. Dari uraian di atas Babad Dalem Sidakarya menunjukkan bahwa betapa tingginya idealisme pengarang tentang nilai pendidikan budi pekerti dan kebudayaan dalam upacara agama Hindu. Dalam Babad Dalem Sidakarya mengemukakan visi kebudayaan (H.B Yassin, 1985 : 82), di antaranya: Bagaimana harusnya masyarakat menghadapi malapetaka akibat sikap meremehkan orang yang berpenampilan tidak elite (company camping) dan berjuang untuk mendapatkan penghargaan dan kesejahteraan. Tujuan hidup bukan semata-mata berpenampilan, tetapi juga mengejar pengetahuan, turut menyusun dan mengemudikan kehidupan masyarakat menjelmakan jiwa dalam seni, turut bekerja
ISSN : 1829 – 894X
dan memimpin macam-macam pekerjaan dan perusahaan, pemimpin karya/upacara keagamaan. Tentang agama Dalem Sidakarya berpandangan rasional. Ia memegang agama sesuai dengan yang terasa di hati dan sesuai dengan akal. Ia mengeritik sikap meremehkan orang miskin. Meskipun dalam babad menggagaskan Dalem Sidakarya, nyatanya si pengarang lebih menyukai Dalem Waturenggong yang perkasa dengan kepribadian yang berpengaruh pada rakyat yang disenangi dan dicintai. Babad Dalem Sidakarya Jika diteliti secara mendalam Babad “Dalem Sidakarya” banyak mengandung petuah-petuah, pesan-pesan (amanat), ide (gagasan) yang disampaikan kepada pembaca pada umumnya, dan kita generasi muda pada khususnya. Pesan-pesan itu atau amanat serta petuah-petuah yang ditujukan kepada kita berkisar pada masalah-masalah sosial seperti kebudayaan, pendidikan, politik dan sebagainya. Amanat yang kita jumpai dari awal cerita sampai dengan berakhirnya cerita itu (Babad) “Dalem Sidakarya”, kebanyakan disampaikan secara implisit, (tersirat) melalui tingkah laku tokoh cerita. Amanat tersebut antara lain tentang perjuangan Dalem Sidakarya dan kaum prajurit melalui usaha keras demi kesejahteraan rakyat dan mempunyai wawasan yang lain, berpikir, jauh ke depan. Dan tidak ingin direndahkan oleh kaum bangsawan. Ia berjuang lewat kerja sama antarprajurit dengan keyakinan yang tebal terhadap Tuhan. Amanat yang lain juga ditujukan kepada masyarakat. Masyarakat mempunyai 25
Suluh Pendidikan, 2011, 9 (1): 21 - 27
tujuan yang pasti di dalam hidupnya, harus mampu berjuang keras untuk mendapat penghargaan dan kedudukan yang layak di masyarakat. Amanat atau pesan-pesan serta petuahpetuah yang berikutnya ditujukan kepada generasi muda umumnya agar melanjutkan kebudayaan yang telah dimiliki, serta mengembangkan menuju kebudayaan modern. Amanat atau pesan-pesan yang lain ditujukan kepada kaum muda dan kaun intelek khususnya. Mereka harus mampu berjuang demi memajukan pendidikan bangsanya, yang dapat dilaksanakan melalui implementasi budaya, agama dan pendidikan. Simpulan Simpulan yang dapat dirangkum adalah semua permasalahan yang muncul dalam Babad “Dalem Sidakarya” merupakan image penyusun yang ditulis dalam bentuk karya babad. Image pengarang tampak jelas lewat peran tokoh seperti Dalem Sidakarya, Dalem Waturenggong dan Dang Hyang Nirartha yang disampaikan oleh pengarang baik secara analitik maupun secara dramatik. Babad ini terwujud sebagai hasil penggambaran dari penyusun tentang situasi sosial masyarakat pada zaman kerajaan. Aspek ekstriksik (nilai sosial, budaya dan pendidikan yang terefleksikan lewat tokoh-tokoh seperti Dalem Sidakarya, Dalem Waturenggong dan Dang Hyang Nirartha merupakan cita-cita (ideologi) pengarang yang begitu tinggi untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Penyusun berhasil menggambarkan situasi sosial sedemikian rupa melalui 26
ISSN : 1829 – 894X
tokoh-tokoh (Dalem Sidakarya, Dalem Waturenggong dan Dang Hyang Nirartha). Ketiga tokoh tersebut merupakan tokoh penting yang dijalin dalam hubungan pertentangan dan persamaan watak kaum bangsawan. Penyusun merefleksikan perjuangannya menuju pembaharuan (modernisasi) melalui kegiatan-kegiatan sosial dan agama. Pendidikan dan kebudayaan yang diperoleh masyarakat melalui implementasi budi pekerti dan ajaran agama. Amanat penyusun lebih banyak ditujukan kepada kaum bangsawan dan kaum masyarakat khususnya. Berkaitan dengan pembahasan tersebut disarankan kepada guru mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah khususnya, di dalam memberikan pelajaran apreasiasi sastra Indonesia dan Daerah, siswa diberikan tugas meringkas atau membuat resensi karya sastra yang bermutu serta bervariasi sehingga bermanfaat atau mempunyai nilai praktis dalam kehidupan sosial. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih disampaikan kepada kepala perpustakaan IKIP Saraswati Tabanan atas bantuannya berupa peminjaman buku-buku sehingga tulisan ini terwujud.
DAFTAR PUSTAKA Aminuddin. 1990. Pengembangan Penelitian Kualitatif: dalam Bidang Bahasa dan Sastra. Malang: Penerbit YA 3. Aminuddin. 1991. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Jakarta: Penerbit Sinar Baru.
Suluh Pendidikan, 2011, 9 (1): 21 - 27
Bagus, I Gusti Ngurah (Ed). 1986. “Sumbangan Nilai Budaya Bali dalam Pembangunan Kebudayaan Nasional”. Damono, Sapardi Djoko. 1979. Sosiologi Sastra : Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta : Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Danu Jaya, Budiarto. 1994.”Sang Rajawali Telah Membumbung Pergi”. Dalam Kompas, 18 Juli 1994. Jakarta.
ISSN : 1829 – 894X
Eneste,
Pamusuk. 1987. Ikhtisar Kesusastraan Indonesia Modern. Jakarta: Djambatan.
Eneste, Pamusuk. (Ed). 1983. Proses Kreatif: Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang. Jakarta : PT. Gramedia. Zulfahnur. 1996. Teori Sastra. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
27
Suluh Pendidikan, 2011, 9 (1): 28 - 38
ISSN : 1829 – 894X
GEGURITAN DIAH SAWITRI: MODEL PEREMPUAN BERKARAKTER Ni Nyoman Karmini FPBS IKIP Saraswati Tabanan Abstract The truth of literary works is the human activity and creativity based on the imagination of life and human life. It contains the value of the beauty, attitude, and moral, so it has a great advantage for life. This paper is focused on the geguritan of Diah Sawitri, which contains the illustration of life has to be followed. The attitude of the figure (Sawitri) reflect the Hindu’s values, such as tri hita karana, tri kaya parisuda, the part of gender, and the sense of feminism that’s focused on the essence of woman (womanly). The attitude of the figure can create and strengthen the self character. Keyword: Geguritan, education, character PENDAHULUAN Pada hakikatnya karya sastra merupakan salah satu aktivitas dan kreativitas manusia yang didasarkan atas imajinasi. Hasil aktivitas itu sendiri merupakan salah satu ciptaan atas dasar belajar dari hidup dan kehidupan manusia itu sendiri, yang sudah tentu didukung oleh kemampuan yang dimiliki seorang pencipta sastra. Karya sastra merupakan wujud dari imajinasi dan kreativitas emosional penulisnya, yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Dalam karya sastra dapat diketahui gambaran kehidupan budaya pada masanya serta nilai-nilai sebagai hasil aktivitas manusia, yang berfungsi untuk meningkatkan kehidupan (Kutha Ratna, 2005:9). Aspek budaya yang tercermin pada karya sastra, antara lain: agama, bahasa, sastra, seni, dan tradisi lingkungan karya sastra itu diciptakan (Karmini, 2008:1). Pengetahuan yang diperoleh dari membaca karya sastra dapat membantu pembaca dalam mempelajari dan mengetahui perkembangan budaya suatu bangsa, dan diyakini bermanfaat pula bagi generasi 28
berikutnya dalam rangka mempertinggi kualitas diri dan membentuk karakter anak bangsa. Hal ini terjadi karena sastra merupakan media untuk menyampaikan ide, teori, dan sistem berpikir manusia serta mampu menjadi wadah penyampaian ide-ide yang dipikirkan dan dirasakan oleh sastrawan (Karmini, 2011:3). Geguritan merupakan salah satu karya sastra tradisional Bali, yang sampai sekarang terus dipahami dan dihayati karena nilainilai yang terkandung di dalamnya masih sangat relevan dengan kehidupan masa kini. Kenyataan ini menunjukkan bahwa karya sastra tradisional Bali (geguritan) tidak mungkin dilepaskan dari kehidupan orang Bali terutama yang beragama Hindu, karena karya dimaksud selain memberi kepuasan batin pembacanya juga memberikan manfaat yang tidak ternilai bagi kehidupan. Geguritan disampaikan melalui medium bahasa Bali dan sangat menarik untuk dikaji. Kalau geguritan dikaji secara mendalam, banyak hal yang dapat digali dari dalamnya yang bermanfaat bagi kehidupan. Manfaat dimaksud di
Suluh Pendidikan, 2011, 9 (1): 28 - 38
antaranya adalah adanya penggambaran perempuan yang mampu menunjukkan esensi keperempuanannya yang bertolak belakang dengan anggapan stereotip bahwa perempuan sangat lemah, hanya sibuk di urusan domestik, dan hanya bersifat nerimo. Geguritan berisi pemikiran yang relevan dengan gerakan kesetaraan gender yang sedang marak diperbincangkan akhir-akhir ini. Berkaitan dengan hal itu, pembahasan dalam makalah ini difokuskan hanya pada satu objek, yaitu teks Geguritan Diah Sawitri (GDS). Berdasarkan isi GDS, ada sesuatu yang dapat dipetik yang dapat dipergunakan untuk memperkuat kepribadian sehingga menjadi manusia berkarakter. METODE PENELITIAN Objek tulisan ini adalah karya sastra, yakni GDS. Hakikat karya sastra sebagai dunia otonom, dan sebagai aktivitas imajinasi, maka data diperoleh melalui penelitian lapangan dan penelitian perpustakaan (Arikunto, 1991). Data diperoleh di perpustakaan sebagai data utama dan juga di lapangan sebagai data penunjang. Geguritan yang dijadikan objek ditetapkan secara purposive. GDS memunculkan fenomena utama mengenai perempuan. Objektivitas tulisan ini bertitik tolak dari paradigma fenomenologis sebab dibangun atas rumusan tentang situasi tertentu sebagaimana yang dihayati oleh individu atau kelompok sosial tertentu, dan relevan dengan tujuan penulisan, tergolong kualitatif (Alsa, 2004). Kualitatif identik dengan metode pemahaman, verstehen, dan interpretasi (Kutha Ratna, 2004). Untuk mengkongkretkan tulisan ini digunakan
ISSN : 1829 – 894X
metode etik dan emik (Sudjarwo, 2001). Teknik pengumpulan datanya dapat dilakukan dengan pengamatan dan wawancara (Muhadjir, 1998; Strauss dan Corbin, 2003). Berdasarkan hal itu, maka metode yang digunakan dalam tulisan ini adalah hermeneutika, yang sama dengan verstehen, interpretasi, pemahaman, yang identik pula dengan kualitatif. HASIL DAN PEMBAHASAN Perempuan Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) (Depdikbud, 1996:262), dipaparkan bahwa kata perempuan, dinyatakan dari kata ‘empu’. Empu (kata benda dalam kesusastraan Melayu klasik), yang artinya gelar kehormatan yang berarti ‘tuan’. Mengempu artinya: menghormati, memuliakan; mengasuh, membimbing. Di sini ditekankan bahwa perempuan memangku tugas mulia, yakni mengasuh, membimbing anggota keluarganya. Jadi, yang dimaksud perempuan di sini adalah penggambaran pribadi perempuan yang mampu menghormati keperempuanan, mampu memangku tugas mulia. Berbicara tentang perempuan tidak dapat dilepaskan dari paham feminisme, yakni suatu gerakan kemanusiaan yang memperjuangkan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki. Feminisme bukanlah idieologi monolitik, yang berarti bahwa feminisme tidak berpikiran sama, sebab pemikiran feminis mempunyai masa lalu, masa kini, dan masa depan. Label pemikiran ini membantu menandai cakupan pendekatan, perspektif, dan bingkai kerja yang berbeda untuk membangun penjelasannya tentang opresi perempuan 29
Suluh Pendidikan, 2011, 9 (1): 28 - 38
dan juga cara penghapusannya (Karmini, 2008:42; 2011: 127). Salah satu label feminisme adalah feminisme radikal, yang di dalam tubuhnya muncul pemikiran feminis esensialisme. Hal ini berarti bahwa komunitas feminisme radikal terbagi menjadi dua kubu, yaitu yang pertama adalah kubu feminis radikallibertarian yang menganggap bahwa seks “berbahaya” dan “reproduksi” natural penyebab utama opresi terhadap perempuan; dan kedua adalah feminisme radikal-kultural yang menganggap bahwa seks “penuh kenikmatan” dan memandang bahwa “reproduksi” merupakan sumber paripurna kekuatan perempuan (Tong, 1998: 70-71; Karmini, 2008:48-49; 2011:130-131). Feminisme yang diacu berkaitan dengan makalah ini adalah feminisme radikal-kultural dengan komentator Alice Echols dan Linda Alcoff. Paham ini menolak androgini dan menggantinya dengan esensial perempuan “keperempuanan”. Perempuan yang terbebaskan adalah perempuan yang menunjukkan sifat dan perilaku, baik maskulin maupun feminin. Feminisme radikal-kultural menekankan: (1) setiap perempuan harus lebih menguatkan keperempuanannya (esensi perempuan) dengan tidak mencoba untuk menjadi seperti laki-laki; (2) setiap perempuan menekankan nilai-nilai dan sifat-sifat, yang secara kultural dihubungkan terhadap perempuan, seperti saling kebergantungan, komunitas, hubungan, berbagi, emosi, kepercayaan, ketiadaan hierarki, perdamaian, dan kehidupan; dan (3) di dalamnya ditekankan pula untuk meninggalkan nilai-nilai dan sifat-sifat yang secara kultural dihubungkan dengan 30
ISSN : 1829 – 894X
laki-laki, yakni independensi, otonomi, intelek, kehati-hatian, hierarki, dominasi, produk. Gender Gender sejak dua dasawarsa terakhir telah memasuki setiap analisis sosial. Perdebatan mengenai perubahan sosial menjadi topik penting akhir-akhir ini dan selalu dikaitkan dengan usaha emansipasi kaum perempuan. Untuk memahami kaitan antara konsep gender dengan kaum perempuan dan sistem ketidakadilan sosial, kiranya sangat perlu dipahami pengertian gender dan seks atau jenis kelamin. Seks adalah pembagian jenis kelamin yang ditentukan secara biologis dan melekat pada jenis kelamin tertentu. Misalnya, lakilaki adalah manusia yang memiliki penis, jakun, memproduksi sperma, sedangkan perempuan adalah manusia yang memiliki alat reproduksi, seperti rahim, saluran untuk melahirkan, memproduksi telur, memiliki alat vagina, mempunyai alat menyusui, dan lain-lain. Dengan demikian, seks berarti perbedaan jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan secara biologis yang bersifat kodrati, memiliki ciri-ciri khas tersendiri serta memiliki fungsi-fungsi organisme yang berbeda. Alat-alat biologis tersebut melekat pada laki-laki maupun perempuan selamanya dan fungsinya tidak dapat dipertukarkan, tidak berubah dan merupakan ketentuan biologis atau ketentuan Tuhan (kodrat) (Handayani dan Sugiarti, 2002:4-5). Gender adalah sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dibentuk oleh faktor-faktor sosial maupun budaya. Itu sebabnya lahir beberapa anggapan tentang peran sosial
Suluh Pendidikan, 2011, 9 (1): 28 - 38
dan budaya laki-laki dan perempuan. Gender dapat diartikan sebagai konsep sosial yang membedakan (dalam arti: memilih atau memisahkan) peran lakilaki dan perempuan. Perbedaan fungsi dan peran antara laki-laki dan perempuan tidak ditentukan karena antara keduanya terdapat perbedaan biologis atau kodrat, melainkan dibedakan atau dipilah-pilah menurut kedudukan, fungsi, dan peranan masing-masing dalam berbagai bidang kehidupan dan pembangunan (Handayani dan Sugiarti, 2002:5-6). Gender merupakan konsep kultural yang berkembang dalam masyarakat sebagai upaya membuat perbedaan (distinction) peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional serta sebagai harapan budaya antara laki-laki dan perempuan. Dengan kata lain, gender merupakan perbedaan yang tampak pada laki-laki dan perempuan apabila dilihat dari nilai dan tingkah laku. Misalnya, perempuan dikenal: lemah lembut, cantik, emosional, dan keibuan, sedangkan lakilaki dianggap: kuat, rasional, jantan, dan perkasa. Ciri-ciri itu merupakan sifat yang dapat dipertukarkan, misalnya ada lakilaki lemah lembut, ada perempuan kuat, rasional dan perkasa. Perubahan itu dapat terjadi dari waktu ke waktu, dari tempat ke tempat yang lain (Mufidah, 2003:3). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa gender adalah konsep sosial dan konsep kultural yang membedakan (dalam arti memilih atau memisahkan) peran antara laki-laki dan perempuan dilihat dari nilai dan tingkah laku. Perubahan ciri-ciri dari sifat itu dapat terjadi dari waktu ke waktu atau dari tempat ke tempat yang lain. Perbedaan fungsi dan peran tersebut tidak
ISSN : 1829 – 894X
ditentukan oleh perbedaan biologis atau kodrat, tetapi dibedakan atau dipilah-pilah menurut kedudukan, fungsi, dan peranan masing-masing dalam berbagai bidang kehidupan dan pembangunan. Gender dalam Masyarakat Bali Dengan melihat kenyataan dalam masyarakat Bali, perempuan Bali mempunyai kedudukan sentral dalam masyarakat dan kebudayaan Bali. Peranan perempuan tampak dalam hampir seluruh aspek kehidupan masyarakatnya. Persoalannya adalah bahwa peran itu memang tidak selalu ditonjolkan dan dibuat tidak menonjol. Ada kalanya peran perempuan tampak di depan, ada kalanya surut di belakang. Peranan perempuan Bali yang terlihat pada seluruh aspek kehidupan, dipaparkan oleh Wayan Kejit Arnaya (Darma Putra, 2003: iii), menimbulkan pendapat (terutama orang yang berasal dari luar Bali) bahwa perempuan Bali hidup dalam ketertindasan kaum laki-laki. Kaum perempuan sibuk bekerja di dalam atau di luar rumah, sedangkan laki-laki asyik menyabung ayam. Selain itu, ada juga yang menggambarkan laki-laki dinomorsatukan dalam segala hal, sedangkan perempuan dinomorduakan. Pandangan orang luar Bali seperti dipaparkan oleh Kejit Arnaya di atas, belum tentu benar. Perempuan dalam sistem kemasyarakatan di Bali memang memegang peranan sangat penting. Dalam komunitas banjar misalnya, ada istilah banjar luh dan banjar muani. Pengelompokkan ini didasarkan atas jenis kelamin yang berkaitan erat dengan pembagian kerja, tugas, dan wewenang warga suatu banjar. Dalam kaitan dengan 31
Suluh Pendidikan, 2011, 9 (1): 28 - 38
pembagian tugas dan pekerjaan, para anggota banjar muani (banjar pria) bertugas mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang memerlukan kekuatan fisik yang besar, sedangkan anggota banjar luh (banjar perempuan) dibebankan tugastugas yang dari ukuran kerja fisik dinilai lebih ringan. Misalnya dalam membangun balai banjar. Para anggota banjar muani bertugas mengerjakan fisik bangunan, seperti membuat tembok dan bertindak sebagai tukang kayu, sementara anggota banjar luh bertindak menyiapkan makanan atau membantu mengangkut pasir atau batu bata sesuai dengan kemampuan fisiknya. Dalam contoh lain, yakni persiapan upacara di tempat persembahyangan atau pura, pembagian kerja itu pun tampak jelas antara tugas laki-laki dan tugas perempuan. Para anggota banjar muani akan mengerjakan tugas yang berkaitan dengan persiapan fisik, misalnya membuat tempat untuk upakara, membuat hiasan, dan bahkan juga menyiapkan masakan. Sementara anggota banjar luh menyiapkan sajen untuk keperluan upacara. Meskipun demikian, sesungguhnya dalam masyarakat Bali tidak ada pembagian kerja yang terlalu ketat antara pekerjaan laki-laki dengan perempuan. Bila tidak ada tenaga laki-laki yang dapat mengerjakan, maka perempuan siap melakukan tugas dalam pekerjaan yang selama ini dianggap sebagai tugas laki-laki. Demikian pula sebaliknya. Contoh lain dalam pekerjaan di sawah. Misalnya bila tidak ada tenaga laki-laki yang siap mengerjakan pekerjaan di sawah, maka perempuan pun siap melakukannya. Bila ada kegiatan di masyarakat dan misalnya seorang suami berhalangan 32
ISSN : 1829 – 894X
hadir, maka istrinya dapat menggantikan kehadiran suaminya. Selain itu, dalam masyarakat dan budaya Bali, perempuan dapat berfungsi sebagai kepala rumah tangga bila suaminya sudah meninggal. Bahkan dalam kasus-kasus tertentu yang biasa disebut dengan perkawinan nyeburin (nyentana), justru perempuanlah yang bertindak atau dianggap sebagai laki-laki. Semua hal yang dipaparkan di atas, berkaitan erat dengan etos nilai yang dianut oleh perempuan Bali pada umumnya, yaitu bahwa perempuan itu harus membangun harga dirinya sendiri dengan jalan bekerja keras dan tidak menyimpang dari ajaran agama. Banyak perempuan dalam rumah tangga tidak hanya sebagai ibu yang mendidik anak-anaknya, tetapi ia juga pemimpin di rumahnya, yakni mengatur seluruh kehidupan rumah tangga, baik mengatur suaminya, mengatur pekerjaan di rumahnya, mengatur keuangan, dan lainlainnya. Peranan perempuan sangat besar di rumah. Bagi mereka jauh lebih baik mengambil pekerjaan kasar daripada mengambil pekerjaan yang tampaknya halus, tetapi tidak lebih daripada bentuk pelacuran diri, yaitu misalnya dengan menjadi pelacur. Kedudukan sebagai nomor dua setelah laki-laki justru memacu perempuan Bali untuk secara terus-menerus memperjuangkan harga dirinya agar tidak selalu bergantung pada laki-laki. Praktik dalam menjalankan kehidupan yang dilakukan perempuan dalam masyarakat dan kebudayaan Bali sesuai dengan norma. Dikatakan demikian, karena secara normatif, peranan perempuan Bali cukup tinggi dalam hukum Hindu. Dalam Rgveda, perempuan sangat
Suluh Pendidikan, 2011, 9 (1): 28 - 38
dihormati bahkan diberikan kehormatan yang lebih besar daripada laki-laki. Ada konsep ardhanareśvari dan perempuan dianggap sebagai ardhāngani. Konsep ardhanareśvari adalah kekuatan setengah laki-laki dan setengah perempuan yang dikenal berkaitan dengan Dewa Çiwa. Tanpa perempuan, laki-laki tidak sempurna, demikian pula sebaliknya, tanpa laki-laki, perempuan tidak sempurna. Perempuan sebenarnya seorang sarjana dan pembimbing. Perempuan berkedudukan sebagai guru pertama bagi anaknya, guru kedua adalah ayahnya, dan guru ketiga adalah guru spiritualnya (Somvir, 2001:163). Dengan demikian, pandangan Weda terhadap perempuan adalah sangat jelas bahwa perempuan bukan saja sebagai pemimpin rumah tangga tetapi ia juga bisa sebagai pemimpin masyarakat, pelaksana ritual keagamaan, karena itulah Dewa Agni akan mengusir para bhūta, dan bahkan perempuan pun turut pula dalam medan perang. Dalam pandangan Rsi Manu, bila para perempuan dihormati di sanalah para dewa tinggal, dan bila para perempuan tidak dihormati, rumah akan seperti neraka (Somvir, 2001:164). Hakikat perempuan dinyatakan dalam Yajurveda: 14.21 sebagai berikut. Mūrdhā asi rād dhruvā asi dharunā dhārtryasi dharanī, Āyuse tvā varcase tvā krsyai tvā ksemāya tvā Artinya: Wahai para perempuan, yang berumah tangga, engkaulah yang tertua di rumah ini, engkaulah yang cerdas dan seimbang di rumah ini, dan engkau pendorong dan sebagai perawat yang memberikan ketenangan. Engkau
ISSN : 1829 – 894X
yang menetapkan peraturan seperti ibu pertiwi yang melindungi dunia. Oleh karena itu, Aku memberimu umur panjang dan cahaya keberhasilan dalam pertanian (usaha) dan untuk kemakmuran di rumah in (Somvir, 2001:165) Tanpa kehadiran perempuan dalam rumah tangga, sebuah rumah tidak dapat dikatakan sebagai rumah yang utuh. Ibu rumah tangga atau perempuanlah sebenarnya rumah itu sendiri, dan dialah yang terpenting bagi kemakmuran keluarga. Dalam mantra tersebut dijelaskan bahwa posisi perempuan dalam rumah tangga paling tinggi. Untuk itu ia disebut mūrdhā dhruvā. Perempuan juga sebagai penyeimbang (dhruva bintang), pemegang tanggung jawab rumah tangga serta perempuan seperti perawat yang menolong pasien (dhārtri dan Dharani). Karena itu Tuhan memberikan panjang umur kepada perempuan (Somvir, 2001:166). Apa yang telah diuraikan di atas, juga praktik dalam kehidupan perempuan dalam masyarakat dan kebudayaan Bali tidak lain adalah suatu kebudayaan yang didasarkan atas nilai-nilai atau sistem gender. Perbedaan-perbedaan yang terjadi antara perempuan dan laki-laki dalam kehidupan masyarakat disebabkan oleh proses pembudayaan yang panjang, bukan karena suatu kodrat yang telah ditetapkan sedemikian rupa, baik terhadap laki-laki maupun perempuan. Perbedaan gender sesungguhnya tidak menjadi masalah sepanjang tidak menimbulkan ketidakadilan gender. Namun, menjadi persoalan karena perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan, baik bagi laki-laki maupun perempuan. 33
Suluh Pendidikan, 2011, 9 (1): 28 - 38
Isi GDS Teks GDS dibagi menjadi lima bagian dengan menggunakan pupuh yang bervariasi, seperti pupuh Sinom, Durma, Ginada, Pangkur, dan Smarandana. Bagian pertama, cerita diawali dengan memuja dan memohon anugerah Tuhan supaya berhasil dalam membuat karya sastra dan dapat dijadikan pedoman dalam menjalani suka duka kehidupan di dunia ini (pupuh Sinom, bait 1). Om Hyang Nara Narayana, miwah Dewi Saraswati, jaya namostu manggala, mogi Ratu manglugrahin, nuli sida nganggit gurit, tur sida kanggen panuntun, jroning nyanggra suka duhka, maring jagate puniki, kang pinupuh, Dewi Sawitri carita. Memuja Tuhan, memohon keberhasilan dalam berkarya, dan hasilnya supaya bermanfaat bagi pembacanya, merupakan tradisi dalam penulisan sastra tradisional Bali. Bagian kedua, berisi nasihat Resi Markandeya kepada Yudhistira tentang kemuliaan perilaku raja kerajaan Madra, Sang Aswapati. Beliau memperoleh seorang putri atas anugrah Hyang Sawitri. Putrinya diberi nama Diah Sawitri, yang cantik fisik dan cantik rohani. Setelah dewasa, putrinya disuruh mencari calon suaminya. Setelah menemukan calonnya, Sawitri menyampaikan kepada orang tuanya, yang saat itu di hadap oleh Hyang Narada. Mengetahui pilihan Sawitri, Hyang Narada melarang sebab Satyawan usianya hanya masih setahun (pupuh Sinom, bait 2-10). Berikut hanya dicontohkan bait 2 dan 10 saja) Resi Markendeya nabda, uduh Yudhisthira cening, durus mangkin 34
ISSN : 1829 – 894X
piarsayang, critan ida sri nrepti, maparab Sang Aswapati, maring Madra madeg agung, prabhu dahat wicaksana, linging aji pinrakanti, buddhi luhur, seneng nangun yajnya punia (pupuh Sinom, bait 2) Manut bawos sang sujana, sang manados biyang haji, tan rungu ring putrin ida, nenten mangrerehang swami, kabawosang nenten becik, sang manados putra iku, nenten rungu ring biyangnya, sesampun katinggal haji, iwang langkung, laksana letuh punika (pupuh Sinom, bait 10) Pada bait di atas, ada persuasif penulis kepada pembaca yang diangankannya agar mau memanfaatkan hidup ini sebaik mungkin. Kehidupan ini harus dimanfaatkan sebab setiap saat manusia diincar oleh kematian. Persuasinya mengandung makna bahwa manusia harus melaksanakan kebaikan, manusia harus bermakna bagi dirinya maupun bagi sesamanya. Bagian ketiga, berupa inti cerita tentang perilaku Diah Sawitri. Walau telah dilarang memilih Satyawan sebagai suaminya, karena usia Satyawan hanya tinggal setahun, tetapi Sawitri tetap pada pilihannya. Sejak pernikahannya, Sawitri selalu mengingat hari yang ditetapkan sebagai hari kematian suaminya. Empat hari sebelum hari kematian Satyawan, Sawitri melakukan tapa-brata tiga hari tiga malam walaupun telah dilarang oleh suami dan mertuanya, sebab hal itu sangat berat apalagi dilakukan oleh perempuan. Sawitri tetap pada tekadnya, tapa-brata yang dijalankan pun berhasil. Saat Satyawan dan Sawitri di hutan, yakni pada hari kematian suaminya, nyawa Satyawan diambil oleh
Suluh Pendidikan, 2011, 9 (1): 28 - 38
Hyang Yama untuk dibawa pergi. Saat itu pula, Sawitri mendapat anugrah untuk dapat melihat dan berbicara kepada Hyang Yama berkat keberhasilan tapa-brata-nya. Banyak pembicaraan tentang “kebenaran” disampaikan oleh Sawitri selama dalam perjalanan menyebabkan Hyang Yama sangat senang sehingga menganugerahkan lima macam anugerah kepada Sawitri. Setelah Satyawan hidup kembali (salah satu anugerah), mereka kembali ke rumah (bait 11-121). Manusia pada hakikatnya adalah makhluk sosial, yang padanya terdapat dorongan untuk bergaul, dan hasrat untuk meniru. Manusia mempunyai tiga kemampuan yang disebut tri sakti, yaitu iccha-sakti (kemauan), krya-sakti (prana) dan jenana-sakti (intelek), yang biasanya disebut cipta, rasa dan karsa atau bayusabda-idep (Adia Wiratmadja, 1988:66). GDS menonjolkan perilaku tokoh perempuan, yakni tokoh Diah Sawitri. Tujuan hidup Sawitri adalah keserasian, keseimbangan dan kebahagiaan hidup, baik di dunia ini maupun di dunia yang lain. Oleh karena itu, apa yang dilakukannya sejalan dengan kemampuan yang dimilikinya, yang disebut dengan tri sakti . Dalam penceritaan GDS, Sawitri mencari sendiri calon suaminya. Ia memilih Sang Satyawan, putra Raja Dyumatsena dari Negara Salwa. Raja Dyumatsena buta dan tinggal di hutan sebagai pertapa karena negaranya dikuasai oleh musuh. Tindakan Sawitri sesuai pernyataan dalam Rgveda, yakni perempuanlah yang harus memilih suaminya sendiri jika ia ingin bahagia dalam hidup ini (Somvir, 2001:167). Contoh bait yang menyatakan pilihan Sawitri, yakni bait 18 pupuh Durma.
ISSN : 1829 – 894X
Sarawuhe ring telening wanantara, tapa bratane kinardi, manados sannyasa, putran ida wus jejaka, punika cumponin patik, maka swamiya, sapunika sri nrepati. Sawitri dinyatakan salah pilih oleh Hyang Narada dan disarankan supaya membatalkan pilihannya, karena Satyawan hidupnya hanya setahun lagi. Sawitri tetap pada keputusannya, karena ia taat pada ajaran tri kaya parisudha (tiga laksana baik), yaitu kayika, wacika, dan manacika. Pernikahan pun dilaksanakan. Setelah menikah, yakni empat hari menjelang kematian Satyawan, Sawitri melakukan tapa brata tiga hari tiga malam. Sehari menjelang kematian Satyawan, Sawitri meningkatkan brata-nya. Pada hari kematian suaminya, pagi-pagi sekali Sawitri telah melakukan upacara homa untuk dipersembahkan kepada Hyang Ageni. Dikisahkan pagi-pagi sekali Satyawan minta izin untuk pergi ke hutan mengambil kayu bakar. Walaupun dilarang oleh mertua dan suaminya, Sawitri tetap turut pergi ke hutan, karena ia tahu bahwa suaminya meninggal hari itu. Singkat cerita, roh Satyawan telah diambil oleh Betara Yama. Keberhasilan tapa brata yang dilakukan Sawitri mengakibatkan ia mendapat anugerah untuk bisa melihat dan berbicara serta dapat mengikuti perjalanan Betara Yama yang sedang membawa roh Satyawan ke sorga. Sawitri selalu melaksanakan subha karma (berprilaku yang baik). Oleh karena itu, setiap perkataannya sangat menyenangkan Betara Yama sehingga Betara Yama menganugerahkan lima macam anugerah, yakni kesembuhan dari 35
Suluh Pendidikan, 2011, 9 (1): 28 - 38
sakit buta mertuanya dan kerajaannya kembali, orang tua Sawitri menerima anugerah keturunan, Sawitri juga menerima anugerah Satyawan dihidupkan kembali, dan menerima anugerah keturunan untuk Sawitri. Bait-bait yang menyatakan tindakan Sawitri adalah pupuh Sinom, bait 48 dan bait 51; pupuh Ginada, bait 63 ─ 75; pupuh Sinom, bait 76 ─ 87; pupuh Smarandana, bait 88 ─ 95; pupuh Ginada, bait 96 ─ 104; pupuh Sinom, bait 105 ─ 107; pupuh Durma, bait 115─121. Berikut ini disajikan hanya beberapa contoh, yang kutipan disesuaikan dengan ejaan yang berlaku. Dinan ida Sang Satyawan, pacang ninggal jagat iki, nenten mari kaelingang, kapetek jeroning ati, crita petang dina malih, Sang Satyawan pacang lampus, Diyah Sawitri sayaga, nangun brata dahat siddhi, wastan ipun, brata triratra tan liyan (pupuh Sinom, bait 48). Crita mangkin dalu kala, benjang Sang Satyawan mati, tumuli sang patibrata, nincapang bratane lewih, benjang pasemengan raris, suryane sampun umetu, nuli ida nangun homa, katur maring Hyang Ageni, sampun puput, raris nunas pangastutiya (pupuh Sinom, bait 51). Diah Sawitri gegelisan, ngabin sirahnya sang swami, eling bawos Hyang Narada, maring dinane mangkeku, Sang Satyawan nandang pejah, nuli kaksi, wenten anak wahu prapta (pupuh Ginada, bait 64). Bapa wantah Sang Hyang Yama, Sang Satyawan swamin cening, sangkukalanya wus prapta, awanan ya Bapa rawuh, ngambil atman Sang Satyawan, kal talinin, keto dewa 36
ISSN : 1829 – 894X
apang tatas (pupuh Ginada, bait 69). Majalaran tapa brata, bhakti ring sang lingsir malih, teleb ngamong patibrata, bhakti asih ring siniwi, antuk swecan Ratu malih, pamargin titiang manutug, nenten sida kaandegang, antuk sapasira ugi, liyan iku, wenten malih panggih titiang (pupuh Sinom, bait 76). Sang Hyang Yama mangandika, pragatang amonto cening, Bapa suka mamirengang, atur cening dahat lewih, matiti luhuring budhi, durusang cening ngalungsur, waranugra maring Bapa, wantah asiki ya dadi, len ring iku, jiwatmannya Sang Satyawan (pupuh Sinom, bait 80). Pelukisan yang panjang pada bagian ini berisi uraian tentang tradisi yang dilakukan sang tokoh yang bersumber pada nilai-nilai Hindu. Nilai-nilai dimaksud berupa ajaran tri hita karana dan trikaya parisuda. Pelukisan dimaksud dalam bentuk perilaku, yang dapat dikatakan sebagai rekaman budaya, dalam hal ini budaya Hindu. Tindakan Sawitri mencerminkan seorang perempuan terdidik yang sangat memahami sastra (ajaran agama), perempuan yang mampu mengambil sikap, mampu membuat keputusan, mampu melaksanakan tugas berat, mampu mempertahankan citra diri, tahan uji, sabar, dan setia. Tindakannya itu sesuai dengan yang dinyatakan dalam Rgveda (Somvir, 2001:166), yakni perempuan sebagai penyeimbang (dhruva bintang), pemegang tanggung jawab rumah tangga serta perempuan seperti perawat yang menolong pasien (dhārtri dan Dharani). Oleh karena
Suluh Pendidikan, 2011, 9 (1): 28 - 38
itu, Tuhan memberikan panjang umur kepada perempuan. Bagian keempat, berisi paparan bahwa Resi Markandeya menekankan kembali kepada Sang Dharmawangsa tentang usaha-usaha yang dilakukan oleh Sawitri sehingga banyak orang di sekitarnya memperoleh kebahagiaan. Demikian juga yang dilakukan oleh Dewi Kresna (Drupadi) untuk kebahagiaan Pandawa. Oleh karena itu, Dharmawangsa tidak perlu merasa khawatir (bait 122-123). Bagian kelima, berisi saran penulis kepada pembaca terutama pembaca perempuan untuk meniru perilaku sang tokoh cerita (bait 124). Persuasi penulis diulang lagi pada bagian ini sebab ia mempunyai harapan yang sangat besar kepada pembaca yang diangankannya untuk berbuat baik dan memberi arti bagi kehidupannya demi tercapainya kebahagiaan hidup. Dari paparan di atas, dapat diperoleh gambaran mengenai usaha-usaha dan perilaku Sawitri dalam menjalankan kehidupan rumah tangganya, sehingga memberi kebahagiaan bagi banyak orang di sekitarnya. SIMPULAN Tokoh Sawitri merupakan gambaran perempuan yang berpendidikan, berkemampuan luar biasa, dan setia. Sawitri memiliki prinsip dan tujuan hidup yang pasti, yakni keserasian, keseimbangan dan kebahagiaan hidup, baik di dunia ini maupun di dunia yang lain. Itu sebabnya, ia melaksanakan tri hita karana dan trikaya parisuda, yang menyebabkan banyak orang di sekitarnya menjadi bahagia. Karena prinsip dan tujuan hidupnya,
ISSN : 1829 – 894X
Sawitri melakukan semuanya dan ia pun mampu melakukannya. Semua tindakan dan perilaku tokoh Sawitri merupakan cerminan peran gender, dan cerminan perjuangan feminisme radikal-kultural. Teks GDS ini memberikan gambaran bahwa perempuan tidak lemah, tidak hanya bergantung pada laki-laki, dan juga tidak hanya nerimo. Tokoh Sawitri dapat dijadikan model pembelajaran untuk memperkokoh kepribadian dan karakter diri.
DAFTAR PUSTAKA Adia Wiratmadja, 1988. Etika: Tata Susila Hindu Dharma. Denpasar: IHD. Darma Putra, I Nyoman. 2003. Wanita Bali Tempo Doeloe: Perspektif Masa Kini. Gianyar-Bali: Yayasan Bali Jani. Depdikbud. 1996. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edis Kedua. Jakarta: Balai Pustaka. Djapa, I Wayan. 1998. Geguritan Diah Sawitri. Handayani, dan Sugiarti. 2002. Konsep dan Teknik Penelitian Gender. Malang: Universitas Muhammadiyah. Karmini, Ni Nyoman. 2008. “Sosok Perempuan dalam Teks Geguritan di Bali: Analisis Feminisme”. Disertasi. Denpasar: Universitas Udayana. Karmini, Ni Nyoman. 2011. Teori Pengkajian Prosa Fiksi dan Drama. Denpasar: Pustaka Larasan dan Saraswati Institut Press. Kutha Ratna, Nyoman. 2005. Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan 37
Suluh Pendidikan, 2011, 9 (1): 28 - 38
Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Mufidah. 2003. Paradigma Gender. Malang: Bayumedia Publishing. Somvir, 2001. 108 Mutiara Weda: untuk Kehidupan Sehari-hari. Surabaya: Paramita.
38
ISSN : 1829 – 894X
Tong, Rosemarie Putnam. 1998. Feminist Thought: A More Comprehensive Introduction, Second Edition. Terjemahan oleh Aquarini Priyatna Prabasmoro. Yogyakarta: Jalasutra.
Suluh Pendidikan, 2011, 9 (1): 39 - 46
ISSN : 1829 – 894X
STRATEGI PROMOTIF SEBAGAI FASILITAS MEMBANGUN ATMOSFIR DAN KARAKTER DEMOKRASI : Suatu Kajian Pustaka Dewa Nyoman Wija Astawa FPIPS IKIP Saraswati Tabanan ABSTRACT Psychologically, control and restraint that is too strong against the individual in society will bring people to the congestion and deterioration. Weakening the power production and creation, weakening the will to give effect to the world, as well as low self-reliance makes the individual a passive, loss of power of motion and a desire to grow. Individuals in a society like that are just waiting for directed and driven, had no aspirations and ambitions to promote themselves and their environment, loss of vitality and spirituality, loss of motion of civilization and culture. Key words: prompt strategy, democracy, social & culture politics
PENDAHULUAN Sudah banyak yang mendeteksi bahwa pesoalan-persoalan sosial yang dihadapi masyarakat Indonesia kini memiliki kompleksitas yang tinggi serta punya akar sejarah yang dalam dan panjang. Apa yang terjadi di masa lalu tak begitu saja hilang jejaknya di masa kini. Membongkar persoalan sosial masa kini berarti juga membongkar sejarah masa lalu. Kepribadian manusia Indonesia adalah produk dari masa lalu, kehidupan masa kini yang berinteraksi dengan masa lalu dan harapan di masa depan. Artinya, kepribadian manusia juga dipengaruhi oleh faktor sosial dan budaya, baik di masa kini maupun masa lalu. Faktor sosial dan budaya dalam kepribadian manusia dapat digali dari ketidaksadaran kolektif (collective unconsciousness) dalam kepribadian manusia yang menampung bekas-bekas ingatan laten warisan masa lampau leluhurnya (Jung, 1953). Di sana dapat
ditemukan arkhetipe, ide-ide yang diturunkan oleh nenek-moyang manusia yang sangat penting dan besar pengaruhnya terutama terhadap perkembangan sejarah manusia. Arkhetipe menjadi aktif dengan dipicu oleh peristiwa-peristiwa yang secara emosional membangkitkan ingatan akan ide-ide yang dikandungnya. Secara umum, ada arkhetipe yang mendukung nilai-nilai sosial seperti ide tentang kepahlawanan, kerja sama, kebijaksanaan, peduli pada orang lain dan sejenisnya. Ada juga arkhetipe yang bertentangan dengan nilai-nilai sosial seperti penyelesaian masalah dengan agresi, perasaan terancam, mementingkan diri sendiri, menjajah, menindas dan sebagainya. Sejarah Indonesia menunjukkan lebih banyak penguatan untuk arkhetipe yang bertentangan dengan nilai-nilai sosial. Sejak jaman pra-kolonial hingga awal abad ke-21, kekerasan banyak digunakan dalam penyelesaian masalah (Nordholt, 2002). Dari sejarah juga dapat diketahui bahwa 39
Suluh Pendidikan, 2011, 9 (1): 39 - 46
sejak zaman prakolonial masyarakat Indonesia lebih banyak hidup dalam kekangan penguasa politik, tidak bebas menentukan diri sendiri, hidup di bawah kekuasan raja-raja, dijajah pemerintah kolonial, gejolak politik masa Orde Lama dan menjalani represi pada masa Orde Baru. PEMBAHASAN Ketahanan Diri dan Kekuatan Karakter Seorang ibu tidak mungkin membentuk diri dan mengembangkan kepribadian anaknya dengan mengisolasi si anak dari dunia. Begitu pula negara tidak mungkin mengembangkan rakyatnya dengan mengisolasi mereka dari berbagai hal buruk yang ada di dunia. Pengisolasian berarti pengasingan dan penghentian perkembangan kepribadian yang mempersempit dan mengerdilkan diri. Dunia yang bergerak cepat dan kompleks tak terhindarkan oleh setiap orang. Mengatasi masalah akibat pergerakan dan kompleksitas dunia yang tinggi bukan dengan isolasi dan pengasingan, melainkan dengan membentuk kemampuan diri, memilah dan mengolah informasi, mengatasi sendiri pengaruh negatif yang mengepungnya, menghadapi berbagai hal yang terjadi sambil tetap menegaskan diri secara produktif dan kreatif tanpa kehilangan harmoni dan kepekaan sosial. Pembentukan ketahanan dan kemampuan diri untuk menghadapi berbagai persoalan yang datangnya tak menentu jauh lebih bermanfaat ketimbang melindungi individu dengan proteksi dan isolasi dari dunia. Ketahanan dan kemampuan diri mencakup aspek kognitif, afektif dan konatif diperlukan untuk menghadapi 40
ISSN : 1829 – 894X
dunia yang terus bergerak pesat dengan kompleksitas yang tinggi. Apa yang terjadi di dunia tak dapat dihindari semuanya tetapi dapat dihadapi dan ditangani individu secara memadai jika ia memiliki bekal kepribadian yang memadai. Selain itu, kekuatan karakter juga perlu dikembangkan. Seligman (2002) dalam bukunya Authentic Happiness memaparkan apa saja keutamaan dan kekuatan manusia, lalu di tahun 2004 bersama Peterson, ia perinci dalam buku setebal 800 halaman berjudul Character Strengths and Virtues; A Handbook and Classification. Ada enam kelompok keutamaan dan kekuatan manusia: (1) kebijaksanaan dan pengetahuan; (2) kesatriaan (courage); (3) kemanusiaan dan cinta; (4) keadilan; (4) pengelolaaan diri (temperance); serta (6) transendensi. Kebijaksanaan dan pengetahuan merupakan keutamaan yang berkaitan dengan fungsi kognitif, yaitu tentang bagaimana mendapatkan dan menggunakan pengetahuan. Keutamaan ini terdiri dari enam kekuatan, yaitu (1) rasa ingin tahu atau minat terhadap dunia, (2) mencintai pembelajaran, (3) berpikir kritis dan keterbukaan, (4) orisinalitas dan kecerdasan praktis, (5) kecerdasan sosial atau kecerdasan emosional, dan (6) perspektif atau kemampuan memahami beragam perspektif yang berbeda dan mensinergikannya untuk pencapaian hidup yang baik. Kesatriaan merupakan keutamaan emosional yang melibatkan kemauan kuat untuk mencapai suatu tujuan meskipun mendapat halangan atau tentangan, baik eksternal maupun internal. Keutamaan ini mencakup tiga kekuatan, yaitu (1)
Suluh Pendidikan, 2011, 9 (1): 39 - 46
keberanian, (2) ketabahan atau kegigihan, dan (3) integritas, jujur dan menampilkan diri apa adanya. Kemanusiaan dan cinta merupakan keutamaan yang mencakup kemampuan interpersonal dan bagaimana menjalin pertemanan dengan orang lain. Kekuatankekuatan yang tercakup dalam keutamaan ini adalah (1) kebaikan dan kemurahan hati; selalu memiliki waktu dan tenaga untuk membantu orang lain, dan (2) mencintai dan membolehkan diri sendiri untuk dicintai. Keutamaan keadilan mendasari kehidupan yang sehat dalam suatu masyarakat. Ada tiga kekuatan yang tercakup dalam di sini: (1) kewarganegaraan atau mampu mengemban tugas, berdedikasi dan setia demi keberhasilan bersama, (2) fairness dan kesetaraan; memperlakukan orang lain secara setara atau tidak membedabedakan perlakuan yang diberikan pada setiap orang; serta (3) kepemimpinan. Pengelolaan diri adalah keutamaan untuk melindungi diri dari segala akibat buruk yang mungkin terjadi di kemudian hari karena perbuatan sendiri. Di dalamnya tercakup kekuatan (1) pengendalian diri atau kemampuan menahan diri; (2) kehatihatian; dan (3) kerendahan hati. Transendensi merupakan keutamaan yang menghubungkan kehidupan manusia dengan seluruh alam semesta dan memberi makna pada kehidupan. Dalam keutamaan ini ada (1) penghargaan terhadap keindahan dan kesempurnaan; (2) rasa syukur atas segala hal baik; penuh harapan, optimis dan berorientasi ke masa depan; (3) spiritualitas; memiliki tujuan yang menuntun kepada kebersatuan dengan alam semesta; (4) pemaaf dan pengampun; (5) menikmati
ISSN : 1829 – 894X
hidup dan punya selera humor yang memadai; serta (6) memiliki semangat dan gairah besar untuk menyongsong hari demi hari. Pembekalan ketahanan dan kemampuan diri serta kekuatan karakter sejak dini dapat dilakukan melalui pendidikan berbasis berpikir kritis, etika berbasis kepedulian dan keakraban, pembinaan spiritualitas yang mementingkan keterbukaan diri dan harmoni, serta pembiasaan dialog dengan beragam pihak. Pembiasaan sejak kecil lebih efektif daripada pengubahan di masa dewasa. Memang butuh waktu yang panjang untuk melakukan perbaikan bangsa dan negara Indonesia melalui pembiasaan dan pembinaan karakter sejak dini. Namun, perbaikan bangsa memang makan waktu dan tidak hanya diperuntukkan bagi hari ini. Masa depan sangat penting untuk dipertimbangkan dan dipersiapkan sejak dini. Secara psikologis, jauh lebih penting mempersiapkan pembekalan bagi masa depan daripada perubahan kepribadian di masa kini. Orientasi ke depan juga merupakan salah satu ciri manusia dan masyarakat yang sehat. Letargi Kebudayaan Segi tak terlihat dari kebudayaan, kita sebut ”daya cipta”. Itulah energi yang mengaktifkan kemanusiaan. Energi ini tumbuh dari proses adaptasi suatu bangsa terhadap sejarah alamiahnya, sejarah politiknya, dan sejarah intelektualnya. Berturut-turut itu berarti upaya mempertahankan hidup dengan mengolah sumber daya alam, mengolah kesosialan individu, dan mengolah kritisisme pikiran. Daya cipta inilah yang menghasilkan 41
Suluh Pendidikan, 2011, 9 (1): 39 - 46
sistem ekonomi, sistem politik dan sistem imajinasi. Jadi, bila kini kita menemukan bahwa tendensi kebudayaan kita justru menjauh dari ide keadilan (dalam ruang ekonomi), ide kedaulatan (dalam ruang politik) dan ide kebebasan (dalam ruang imajinasi), maka kita dapat memperkirakan bahwa ”daya cipta” itu sudah dalam kondisi letargi. Artinya, sudah terjadi immobilitas mental dalam cita-cita kebudayaan di semua sektor kehidupan. Letargi bukan sekadar kehilangan keaktifan karena kelelahan psiko-sosial, tapi kehilangan motif dan daya tempuh. Diam menunggu, fatalistik dalam visi, pasif dalam harapan, tapi sambil menelan apa saja, menggapai apa saja, berharap dapat menimbun materi dalam semua kesempatan sosial. Kondisi inilah kini marak tumbuh di mana-mana. Kita dapat menemukan kondisi ini di ruang kuliah sampai ruang sidang parlemen. Para pengajar pengumpul sertifikat seminar, tanpa terlibat dalam debat akademis, adalah para koruptor pikiran yang sesungguhnya. Pejabat universitas yang sekedar hidup dari koneksi birokratis, membuat kehidupan kampus menjadi letargis. Universitas membengkak menjadi tumpukan ”sarjana tanpa sujana”, karena koneksi birokratik mendahului koreksi akademik. Kita misalnya tidak lagi melihat sidang atau seminar “proposal” sebagai forum koreksi pikiran, melainkan sekedar forum koneksi birokratik, politik dan bahkan ekonomistik. Pikiran kini dapat dihargai secara ekonomis karena kebutuhan pragmatik para pejabat kampus. Inspirasi kebudayaan tidak lagi datang dari kampus karena refleksi dan kritisisme bukan lagi energi akademis utama pendidikan tinggi. 42
ISSN : 1829 – 894X
Situasi letargis itu tampil sempurna di parlemen kita. DPR menjadi semacam gudang besar tempat tubuh-tubuh politisi menggeletak, menunggu musim pemilu berikutnya. Kita tidak mendengar suara kebudayaan di ruang-ruang sidang parlemen. Gedung parlemen menjadi ajang lomba suara dengkur para politisi. Parlemen lebih tampak sebagai ruang pamer tubuh-tubuh demagogis, ketimbang ruang debat pedagogis. Sehari-hari gedung DPR hanya dihiasi oleh lalulalang tubuh, bukan lalulalang pikiran. Letargi dalam politik tumbuh karena kita tidak memahami politik sebagai keahlian mendistribusikan keadilan. Dari pilkada sampai pilpres, politik berarti ”jualbeli langsung”. Secara kongkrit publik harus melihat ”uang dalam bentuk fisik”, sebelum ia memberi sedikit perhatian pada politik. Maka politik berarti bergerombol di sekitar pemilik uang. Tanpa visi, tanpa arah, tanpa dignitas, politik bergerak dari satu kerumunan uang ke kerumunan uang berikutnya. Itulah rutinitas politik kita. Sedangkan secara samar-samar, kita sering mendengar istilah “oposisi”. Namun disayangkan, karakter oposisi kita penuh warna ”marah tanpa arah”. Politik oposisi kita sekedar diselenggarakan karena dendam dan kekecewaan personal, bukan karena perselisihan visioner dalam politik ideologi. Akibatnya perhitungan politik oportunistik dengan mudah membatalkan politik oposisi. Pada akhirnya penyelesaian personal elitislah yang meredam politik oposisi itu. Mentalitas oportunisme inilah yang sesungguhnya menjadi dasar kurikulum politik kepartaian kita hari-hari belakangan ini. Kebudayaan tidak tumbuh dalam
Suluh Pendidikan, 2011, 9 (1): 39 - 46
tubuh politik kita. Apa artinya itu? Artinya, visi tentang keadilan tidak lagi memukau sebagai nilai kebudayaan karena semua transaksi sosial dapat diselesaikan secara koruptif. Tetapi ada hal yang lebih berbahaya dalam cara kita berbangsa sekarang ini, yaitu pemicikan nilai-nilai republik. Di dalam urusan publik, kedaulatan individu sebagai ”warganegara” dilampaui oleh visi komunal-isme, kelompokisme dan partai-isme. Artinya, konsep ”warganegara” bukan lagi kategori primer dalam kehidupan publik karena ambisi agama jauh menundukkan ide ”republikanisme”. Seolah-olah kesolehan religius harus menjadi pertanda ”kesolehan warganegara”. Politik tidak lagi diukur berdasarkan tanggung jawab kesosialan (bayar pajak, pluralisme), tapi ditentukan oleh norma kesolehan yang didasarkan pada insentif-insentif akhirat. Politik tidak lagi diolah berdasarkan keperluan ”kini dan di sini” tetapi diiming-imingkan pada proposal-proposal moral ”nanti dan di sana”. Obsesi pada akhirat telah menutup kritisisme politik terhadap ketidakadilan sosiologis. Kita terus mendengar jargon dan semboyansemboyan religi dalam rapat politik partai sampai pada iklan-iklan komersial. Nuansa religioisasi ini menimbulkan sugesti pada generasi baru bahwa kehidupan akhiratlah yang menentukan partisipasi warganegara dalam politik. Akibatnya kepicikan relasi sosial makin terasa justru dalam suasana ”demokratis” sekarang ini. Artinya, identitas komunal seseorang hadir lebih dominan di ruang publik ketimbang status kewarganegaraannya. Kesolehan telah menjadi ukuran utama relasi publik.
ISSN : 1829 – 894X
Akibatnya, kondisi kewarganegaraan kita tidak lagi ditentukan oleh tingkat partisipasi horisontal kita dalam merawat kemajemukan, tetapi oleh tingkat adaptasi vertikal kita pada doktrin kesolehan. Ide republik tentang kebersamaan dan kesetaraan sosial warganegra diganti dengan ide kepatuhan moral dan hirarki kesolehan berdasarkan sistem teologi. Hierarki kesolehan ini kemudian bahkan berubah menjadi dasar pembuatan hukum publik, dasar pelaksanaan pilkada, dasar pengendalian seksualitas, dasar kurikulum sekolah, dasar penyensoran informasi, dan seterusnya. Pendeknya, kesosialan manusia tidak lagi diselenggarakan untuk menghormati otonomi diri, melainkan untuk memelihara komunalisme otoriter. Semua alasan kepublik-an dalam bernegara berangsur diubah mengikuti kondisi hegemonis mayoritas moral agama, yaitu dalam upaya mengembalikan politik menjadi urusan ”para orang soleh”. Di sini, kemerosotan ”public person” berarti hilangnya forum debat publik. Argumentasi publik yang seharusnya menghidupi debat kebudayaan, debat keadilan dan debat hukum, tidak dapat lagi diselenggarakan karena kondisi perdebatan publik telah dikuasai oleh aksioma-aksioma teologis yang tidak mungkin dibantah tanpa menimbulkan ”perang iman”. Artinya, kemajemukan pikiran individu, yaitu dasar untuk menyelenggarakan percakapan demokratis, tidak dapat lagi tumbuh dalam taman warganegara. Jadi, kondisi politik semacam itulah yang mendisiplinkan imajinasi kebudayaan, sehingga kita sekarang mengalami kekeringan nilai-nilai publik, 43
Suluh Pendidikan, 2011, 9 (1): 39 - 46
dan keretakan relasi sosial. Kekerasan, intoleransi dan kepicikan pikiran, kini makin meluas menjadi praktik sehari-hari di berbagai lapisan masyarakat kita. Konstitusi tidak lagi ditafsirkan sebagai pedoman kebudayaan, yaitu tempat menggali prinsip-prinsip kemajemukan dan keadilan, tetapi justru dipakai secara teknislegal oleh Mahkamah Konstitusi untuk meloloskan pikiran-pikiran fundamentalisintoleran, atas alasan ”kehendak mayoritas adalah kedaulatan rakyat”. Di sinilah bahaya ketatanegaraan utama kita, yaitu ketika ide ”kedaulatan rakyat” ditafsirkan sebagai ”kehendak mayoritas”, dan ”mayoritas” itu identik dengan ”kaum beragama”. Kuantifikasi ide kedaulatan rakyat melalui konsep ”mayoritarianisme” sesungguhnya telah melanggar ide paling dasar dari demokrasi dan konstitusi, yaitu ”perlindungan minoritas”. Dalam demokrasi, ide ”kedaulatan rakyat” justru dimaksudkan untuk mencegah demokrasi berubah menjadi ”mayoritarianisme”. Oleh karena itu, kedaulatan rakyat tidak boleh ”dihitung secara statistik”. Jadi, demi kemajemukan pikiran dan kemerdekaan imajinasi, kebudayaan harus memahami konstitusi sebagai dokumen semiotis yang harus memperkaya kemanusiaan, berbeda dengan politik agama yang menghendaki penundukan hegemonis konstitusi terhadap kekuasaan akhirat. Letargi Kebudayaan ini tidak dapat diselesaikan melalui APBN. Kebudayaan bukan fungsi birokrasi. Kebudayaan juga bukan aturan tingkahlaku yang dibakukan dalam tradisi. Kebudayaan 44
ISSN : 1829 – 894X
adalah semangat warga negara merdeka. Maka memulihkan kemerdekaan adalah perjuangan kebudayaan yang sesungguhnya. Daya cipta kebudayaan memerlukan otonomi individu, ia hanya tumbuh dalam suatu masyarakat terbuka. Kita menyelenggarakan kebudayaan untuk memungkinkan percakapan egaliter di antara warganegara merdeka. Jadi, bila kesetaraan, kemajemukan dan kemerdekaan itu kita ucapkan hari ini, maka mulai besok kita harus menempuh secara konsekwen jalan politiknya. Mengembangkan Strategi Promotif Strategi yang perlu dikembangkan di Indonesia dengan mempertimbangkan proses demokratisasi adalah strategi promotif yaitu memasukkan hal-hal yang dianggap baik ke dalam ruang publik dan mempromosikannya. Strategi promotif dipertentangkan dengan strategi preventif yang mengutamakan usaha-usaha menghambat hal-hal yang dianggap tidak baik. Strategi preventif akan mengembalikan ruang publik ke tangan-tangan otoriter, bahkan merebut ruang-ruang privat dari individu dan menyeragamkan setiap orang dengan dasar kepatuhan. Indonesia sudah pernah mengalami kondisi dikuasainya rakyat oleh negara secara otoriter-totaliter dan itu adalah pengalaman pahit. Belajar dari pengalaman, sudah selayaknya kita hindari strategi preventif. Strategi promotif untuk memfasilitasi terjadinya hal-hal produktif dan kreatif jauh lebih efektif daripada strategi preventif untuk melarang orang melakukan tindakantindakan negatif demi mencegah terjadinya hal-hal negatif. Promosi berbagai hal
Suluh Pendidikan, 2011, 9 (1): 39 - 46
yang dianggap baik di ruang publik secara psikologis akan menghasilkan keragaman alternatif bagi rakyat, terutama anak dan remaja dalam pembentukan produktivitas, kreativitas dan identitas unik mereka. Keragaman pilihan model dan dialektika berbagai pandangan juga akan menunjang pertumbuhan karakter demokratis serta pembentukan atmosfer demokrasi. Menampilkan beragam acara yang menggambarkan apresiasi terhadap susah-payahnya proses menjadi sukses, penayangan beragam pilihan profesi, beragam karya, dan diskusi-diskusi yang mempertemukan beragam sudut pandang merupakan contoh-contoh dari kegiatan yang didasari oleh strategi promotif. Pada prinsipnya, strategi promotif merupakan strategi untuk mengoptimalkan keragaman alternatif pilihan produksi, kreasi, dan identitas dalam ruang publik. Strategi promotif sejalan dengan proses perkembangan kepribadian yang sehat. Dengan strategi promotif, masyarakat mempertemukan individu dengan banyak alternatif hal-hal positif yang bisa menjadi masukan baginya untuk melakukan identifikasi di dalam dunia bersama. Masukan yang positif dan konstruktif itu memberikan perbendaharaan bahan yang kaya bagi pengembangan dan perluasan kepribadian yang kemudian dapat menggugahnya menampilkan tindakan-tindakan produktif dan kreatif. Perluasan kepribadian juga meningkatkan keterbukaan diri terhadap dunia, meningkatkan derajat diferensiasi dan integrasi diri, meleluasakan manusia untuk terus menerus melampaui diri dan dunia. Perluasan kepribadian dengan tindakantindakan produktif dan kreatif sekaligus
ISSN : 1829 – 894X
merupakan pengembangan masyarakat, pengembangan peradaban dan kebudayaan manusia. SIMPULAN Pada akhirnya keadaan harus disimpulkan: Indonesia sedang menuju ke arah politik yang berbahaya. Kemajemukan kita berangsur hilang. Sebaliknya, pikiranpikiran konservatif sudah menguasai ruang-ruang publik. Semangat Republik tidak lagi tumbuh dalam institusi-institusi publik. Sebaliknya, peralatan demokrasi justru digunakan untuk menyelundupkan nilai-nilai feodal. Pendeknya, absolutisme pandangan hidup sedang menutup ruang argumentasi publik. Kondisi kita hari ini adalah hasil keragu-raguan kepemimpinan politik. Keragu-raguan untuk menyelenggarakan sebuah ”masyarakat bebas”, yaitu masyarakat yang percaya pada pikiran terbuka, masyarakat yang terlatih berselisih tanpa kekerasan, masyarakat yang berani menuntut hak hanya atas alasan konstitusi. Itulah masyarakat yang tumbuh dalam ide ”kesosialan manusia”. Sesungguhnya, kesosialan manusia memerlukan kebebasan individu. Kebebasan individu, bukan kepentingan individu yang mengatur kesosialan manusia. Kepentingan individu menghalangi keadilan sosial dan memanipulasi demokrasi. Sebaliknya, hanya individu bebas yang mampu menghormati perbedaan manusia, dan hanya individu yang menghormati perbedaan manusialah yang mampu menyelenggarakan politik kemajemukan. Kesosialan manusia hanya dapat tumbuh dalam politik kemajemukan. 45
Suluh Pendidikan, 2011, 9 (1): 39 - 46
Oleh karena itu, Indonesia harus berubah. Etika Publik adalah alasan untuk memulai perubahan. Etika Publik adalah tatakrama sebuah Republik. Ia tidak memerlukan pengaturan oleh hukum. Etika Publik adalah energi yang mengaktifkan warganegara bekerja memelihara kesetaraan politik, menghormati kemajemukan individu, dan mengutamakan keadilan sosial. Etika Publik adalah dasar etis sebuah Republik. Membangkitkan “etika publik” dalam sebuah politik Republik adalah kata kunci menembus kebuntuan kehidupan politik Indonesia. Dengan dasar inilah kita menempuh sebuah Indonesia yang bermutu, Indonesia pusaka abadi nan jaya.
DAFTAR PUSTAKA Berndt, Hagen. 2006. Agama yang Bertindak, Kesaksian Hidup dari Berbagai Tradisi. Yogyakarta. Kanisius. Fukuyama, Francis. 1996. A Foreign Policy Expert and Proponent of Liberal Democracy. Washington, Hopkins University Research Centers Publications. Isa, Ibrahim. 2001. Indonesia Negara Nasion dalam Perjuangan Mencari Identitas dan Struktur, Ceramah Dr. Nico S.Nordholt, 27 Juni 2001, http:// www.Indopubs.com.
46
ISSN : 1829 – 894X
Jung, C.Gustav. 1953. Psikologi Analitik. Yogyakarta. Forum Diskusi Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada. Koentjaraningrat, 1993. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Nordholt, Nico Schulte. 2002. Realitas Kekerasan di dalam Masyarakat. Jakarta. Pustaka Larasan. Seligman, Martin E.P. 2002. Authentic Happiness, Mihaly: MAPP Faculty & Students Press. Seligman, Martin E.P. and Peterson, 2004. Character Strengths and Virtues: A Handbook and Classification. Mihaly:MAPP Faculty & Students Press. Takwin, Bagus. 2005. Kesadaran Plural, Yogyakarta. Jalasutra. Takwin, Bagus. 2009. Akar-akar Ideologi, Yogyakarta. Jalasutra. Tilaar, H.A.R. Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia, Strategi Reformasi Pendidikan Nasional.Bandung. PT. Remaja Rosdakarya. Wija Astawa, Dewa Nyoman. 2007. Diktat Kuliah Sosiologi Politik. Tabanan. IKIP Saraswati.
Suluh Pendidikan, 2011, 9 (1): 47 - 54
ISSN : 1829 – 894X
PERANAN SEJARAH DI ERA GLOBALISASI: Suatu Kajian Pustaka I Kadek Widya Wirawan FP IPS IKIP Saraswati Tabanan ABSTRACT Many societies consider that history useless for life in this time and in the future. Besides that the history is really needed as the historian said, although make step to the front, it also will more farsighted if we see back. It is used as manual of life in this time and in the future. This writing analyze about the role of history in era globalization with hope can be used as: 1) means to build the national identity, and 2) depend the nation morality of Indonesia. For those all, the spirit of history need to be forward because this nation is attacking with morality and culture degradation which very threaten the existence of the Republic of Indonesia which have built with sacrifice of the heroes. Keywords: History, globalization PENDAHULUAN Kita mungkin pernah mendengar masyarakat Bali kini banyak sibuk menelusuri sanggah kawitannya atau pura yang mereka sungsung (puja); ada yang mencari asal-usul tempat tinggalnya; pembuatan jalan atau gang yang diambil dari nama para pahlawan seperti Jalan Sudirman atau Jalan A. Yani; pengusulan warganya menjadi pahlawan; pembuatan monumen di suatu daerah; dan sekarang banyak kepala pemerintahan tingkat satu maupun tingkat dua yang ingin menelusuri sejarah kotanya. Semuanya tersebut di atas mengandung sifat-sifat kesejarahan sebab semua itu tadi mempertanyakan sesuatu yang telah terjadi atau menanyakan masa lampau kita. Secara populis maupun istilah sejarah memang begitu populernya (Sardiman, 2004: 1-2). Begitu pentingnya sejarah dalam kehidupan dapat kita dengarkan dari sebuah ungkapan “Bangsa besar adalah bangsa yang bisa menghargai sejarahnya” (Syafiie dan Azhari, 2008: 28; Ruslan dan Nurhayati, 2007: 127). Bangsa yang tidak
pernah menoleh ke belakang atau tidak mau mempertimbangkan masa lampaunya tidak akan dapat mencapai tujuan (Abdurahman, 2007). Bahkan kalau kita sempat berkunjung ke Museum Nasional di Mexico City tertulis kata-kata mutiara: “Anda dapat meninggalkan museum, tetapi anda tidak dapat meninggalkan sejarah. Sejarah adalah cerminan kejujuran bangsa. Begitu banyaknya distorsi sejarah sedikit banyak merupakan gambaran betapa carut marutnya wajah sebuah bangsa” (Lembaga Analisis Informasi, 2006: 88). Meskipun demikian, kenyataannya masih ada masyarakat yang menganggap sejarah itu tidak terlalu penting terlebih di era globalisasi dengan kemajuan teknologi dan informasi. Bahkan diantara kita ada beranggapan untuk apa kita mempelajari sejarah yang telah lewat-lewat tidak ada gunanya apalagi kita hidup di era modern dengan kecanggihan teknologinya. Menurut penulis hal tersebut kurang tepat mengingat sejarah mempelajari perkembangan dalam dimensi waktu (termasuk sejarah kontemporer atau terbaru). Terlebih lagi 47
Suluh Pendidikan, 2011, 9 (1): 47 - 54
mengacu pendapat Sejarawan Amerika J. Boorstin mengatakan “Justru dalam masyarakat yang semakin didominasi teknologi semakin diperlukan sejarah (kesadaran sejarah) itu” (Widja, 2002: 28; Widja dan Pageh, 2006). Di era global ini generasi muda kita kesadaran sejarahnya meluntur ini terlihat dari munculnya gerakan separatisme seperti gejolak Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Organisasi Papua Merdeka (OPM), Republik Maluku Selatan (RMS) yang sudah barang tentu mengancam integrasi bangsa yang telah dibentuk oleh susah payah dan penuh pengorbanan oleh para pendiri bangsa kita (Marzali, 2005: 176). Bahkan sedang dilanda degradasi moral dan budaya seperti seks bebas, pemerkosaan, pelacuran (Wirawan dalam Nusa Bali, edisi Selasa 29 Juni 2010: hlm. 3); sikap nasionalisme dari generasi muda semakin menipis, cinta tanah air semakin meluntur; dan lebih suka meniru budaya asing. Hal tersebut pula terlihat di Bali yang terkenal dengan kedamaiannya kini terusik dengan konflik-konflik mengarah kepada perpecahan. Lihat saja kasus adanya bentrokan di Pengastulan Buleleng antara warga di Dusun Pala dengan warga di Dusun Kauman (Singaraja); konflik adat yang terjadi di Pakuduwi (Gianyar); kasus Lemukih yang menyebabkan beberapa rumah terbakar dan menimbulkan ketakutan (Singaraja); bahkan baru-baru ini konflik adat terjadi di Desa Cemagi, Canggu, Badung antara Banjar Cemagi dengan Banjar Balai Agung; dan di Gianyar antara Banjar Ketanda, Buruan dengan Banjar Tegalinggah, Bedulu (Wirawan dalam Bali Post, edisi 27-10-2010, hlm.6). Bila hal ini terus berlarut-larut terjadi tentunya sangat 48
ISSN : 1829 – 894X
membahayakan bagi keutuhan bangsa Indonesia sendiri. Melihat fenomena tersebut sudah barang tentu sejarah menduduki fungsi yang sangat vital untuk mencegah disintegrasi bangsa, mencegah degradasi moral budaya, dan mempertahankan jati diri bangsa. Bukan malahan menganggap sejarah tidak terlalu penting seperti ungkapan di atas tadi atau mempertanyakan peranan sejarah di era modern sekarang. Yang mesti kita pertanyakan adalah maukah kita semua belajar dari sejarah? Pertanyaan ini perlu dikedepankan mengingat masih banyak diantara kita yang belum mengetahui sesungguhnya sejarah itu, sehingga menganggap tidak berguna dalam kehidupan sehari-hari padahal dalam kenyataannya sadar atau tidak sadar kita sering belajar dari sejarah. Kegunaan sejarah hendaknya tidak perlu disanksikan sama seperti ilmu-ilmu lainnya. Bury (dalam Supardan, 2008) mengatakan “History is science, no less and no more” (Sejarah itu adalah ilmu, tidak kurang dan tidak lebih). Sementara Cicero (dalam Sjamsuddin dan Ismaun, 1996: 113) sebuah ungkapannya sangat terkenal mengatakan “Historia Magistra Vitae” (Sejarah Guru Kehidupan) dimana sejarah akan menjadi guru yang akan menuntun kita semua dalam menapaki kehidupan dan membantu memecahkan segala problema yang dihadapi. Bahkan kalau ditinjau dari usia, sejarah termasuk ilmu sosial tertua yang embrionya telah ada dalam bentukbentuk mitos dan tradisi dari manusiamanusia yang hidup paling sederhana (Supardan, 2008: 292). Hal ini menjadi bukti bahwa sejarah itu sangat diperlukan
Suluh Pendidikan, 2011, 9 (1): 47 - 54
dan ada gunanya dalam kehidupan seharihari seperti pepatah mengatakan “Kalau tidak kenal, maka tidak sayang”. Dengan mengetahui apa sesungguhnya sejarah itu dan peranannya bagi kehidupan berbangsa dan bernegara diharapkan memunculkan kesadaran sejarah bagi keluarga besar IKIP Saraswati Tabanan baik mahasiswa, dosen, dan pegawai. Terdorong oleh hal tersebut di atas, penulis membuat artikel berjudul “Peranan Sejarah di Era Globalisasi” yang mana akan dibahas dalam pembahasan di bawah ini. PEMBAHASAN Zaman sekarang kita memasuki era globalisasi. Hal ini membuat batasbatas atau sekat-sekat antarnegara luluh. Berbagai berita terkait politik, sosial, ekonomi, budaya, dan IPTEK di suatu negara hanya sekian menit diketahui oleh negara lain sehingga dunia ini terasa sangat sempit. Dalam era global ini masyarakat mulai bergaya hidup global terlihat dalam mode pakaian dimana banyak generasi muda kita yang memakai pakaian-pakaian seksi, pola makan yang mengkonsumsi ala Amerika: pizza, hamburger, kentucky, mc. donald, coca cola, dll; gaya pergaulan yang mementingkan materialistis, individualistis, konsumtif; dan dalam dunia hiburan lebih suka dengan film disney, film hollywood, film bollywood, dan sebagainya ketimbang film lokal (Indonesia) (Wirawan dalam Bali Express, edisi Jumat 27 Agustus 2010, hlm. 4). Memang suatu bangsa di dunia tidak dapat mengelak dari yang namanya globalisasi. Oleh karena itu, modernisasi dalam segala aspek kehidupan merupakan suatu keharusan yang dilakukan oleh
ISSN : 1829 – 894X
Indonesia agar tidak ketinggalan jauh dari negara-negara maju Amerika Serikat, Eropa Barat, Jepang, serta negara-negara lainnya. Namun perlu diingat modernisasi itu pun harus disesuaikan dengan budaya dan kepribadian bangsa Indonesia. Modernisasi dengan teknologi canggihnya mampu membuat kita hidup di zaman sekarang lebih maju, efisien, dan praktis. Namun disisi lain kemajuan IPTEK juga membawa dampak negatif yang perlu ditanggulangi. Kita ketahui pengetahuan setiap orang berbeda-beda, sehingga dalam menyerap pengetahuan dari modernisasi tersebut banyak salah ada yang menganggap diri modern berperilaku ala Barat bebas: pakai tindik di lidah, bertato, rambut disemir, minum-minuman, seks bebas, dll. Jadi cukup jelas nampaknya yang terlihat pada generasi muda kita yang ingin menunjukkan dirinya modern hanya dengan meniru gaya hidup orang Barat tanpa melakukan seleksi terlebih dahulu mana yang perlu ditiru dan mana hendaknya tidak perlu ditiru. Pokoknya dengan berperilaku ala Barat saya menjadi modern (gaul). Bahkan degradasi moral dan budaya yang melanda generasi muda semakin menjadi-jadi, ini terlihat dari: pertama, banyak generasi muda kita yang melakukan seks bebas dengan pasangannya, sehingga banyak hamil diluar nikah yang berakibat putus sekolah bahkan ada yang sampai menggugurkan kandungannya. Oleh sebab itu, memunculkanlah ungkapan “Kawin dulu, nikah belakangan”, berhubungan intim dulu baru upacara pernikahan belakangan. Padahal dulu sangat aib di masyarakat apabila sampai hamil sebelum menikah; kedua, menurunnya etika dan sopan santun pada generasi muda dimana mereka acuh 49
Suluh Pendidikan, 2011, 9 (1): 47 - 54
tak acuh terhadap orang lain dengan tidak merasa malu bermesraan di tempat umum; ketiga, semakin berkembangnya budaya sekulerisme, materialisme, hedonisme, konsumerisme; keempat, gotong royong semakin menipis; kelima, wawasan kebangsaan yang merosot dimana banyak terjadi gerakan separatis di berbagai daerah; keenam, tindakan kriminalitas semakin banyak seperti kasus kenakalan remaja, pelacuran, banyak pemerkosaan terhadap anak kecil yang pelakunya orang dekat (teman, kakek, kakak, bapaknya sendiri), dan masih banyak lagi permasalahanpermasalahan sosial budaya lainnya. Jadi, kelihatan sekali ada gejala proses penurunan nilai moral dan erosi kultural yang sudah tentu bertentangan dengan filsafat Dunia Timur yang mengutamakan humanis, komunal, menjaga keseimbangan mikrokosmos dengan makrokosmos. Seperti yang disampaikan oleh Amri Marzali kita ketahui tujuan pembangunan tidak cukup hanya pada pertumbuhan dan pemerataan pendapatan, tetapi juga pembinaan masyarakat yang bermoral tinggi dan pembinaan nilai kultural nasional. Kerusuhan-kerusuhan terjadi di negara kita semakin meningkat bernuansakan SARA dan gerakan-gerakan disintegrasi bangsa. Apabila hal tersebut dibiarkan kita takut bangsa Indonesia akan hancur dan tinggal kenangan nama saja seperti negara Yugoslavia. Padahal NKRI ini dibentuk dengan susah payah oleh para the founding fathers dan proses sejarah yang sangat panjang. Untuk itu sudah semestinya dilestarikan dan dijaga terutama dari generasi muda sebab kita semua sudah ketahui masa depan bangsa Indonesia ada ditangan generasi muda. Generasi muda 50
ISSN : 1829 – 894X
kitalah yang nantinya sebagai agent of change (agen perubahan) untuk membawa bangsa ini ke arah yang lebih baik, maju, serta mampu bersaing di era global. Hal ini sejak dini harus ditanggulangi dengan menanamkan kesadaran sejarah serta nilai-nilai kesejarahan lewat belajar dari sejarah. Seperti kita ketahui manusia adalah makhluk menyejarah yang mana sadar akan kewaktuan tentang waktu yang lampau, tentang kekinian, dan masa depan (Gulo, 2002: 21). Oleh karena itu, sejarah adalah urusan kita semua seluruh bangsa Indonesia (Soedjatmoko dalam Widja, 1991: 104). Bahkan begitu pentingnya sejarah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara bapak bangsa kita Bung Karno mengatakan “Jas Merah” (Jangan sekalikali melupakan sejarah) (Sutedja, 2006: 54; Wirawan dalam Swins, 2007). Dengan demikian sejarah sangatlah memegang peranan penting dalam pembentukan identitas nasional dan pendidikan moral, sehingga kita semua sudah selayaknya di era globalisasi sekarang ini tetap belajar dari sejarah. Peranan Sejarah sebagai Pembentukan Identitas Nasional Setiap bangsa di dunia memiliki identitas dan kepribadiannya masingmasing. Identitas dan kepribadian merupakan ciri khas yang dimiliki suatu bangsa dimana membedakannya dengan bangsa lainnya. Nilai-nilai identitas dan kepribadian bangsa terbentuk tidak lain melalui proses perjalanan sejarah (Latief, 2006: 67). Bahkan Widja (2000) mengatakan “Sejarah adalah dasar bagi terbinanya identitas nasional yang merupakan salah satu modal utama dalam membangun masa
Suluh Pendidikan, 2011, 9 (1): 47 - 54
kini maupun di waktu yang akan datang”. Sejarah dalam hubungannya dengan fungsi dan peranannya sebagai pembentuk identitas dan kepribadian nasional dapat diibaratkan sebagai cerminan dalam mana sebuah bangsa mampu melihat secara jelas diri sendiri, sehingga terjadi proses pengenalan mendalam terhadap berbagai anasir yang ada di dalamnya. Dengan demikian, sejarah dapat membantu setiap individu, masyarakat, bangsa dan negara untuk mengenal diri sendiri, masyarakat dan warisan luhur masa silam untuk ditampilkan secara kritis dan kreatif di masa sekarang dan menjadi pola anutan di masa depan. Jadi sejarah dapat dipertanggungjawabkan sebagai faktor pembentuk identitas dan kepribadian bangsa yang di dalamnya termasuk pula integrasi nasional. Dengan cermin, manusia dapat melihat secara utuh dan apa adanya manusia. Cermin memantulkan citra diri. Jati diri yang utuh akhirnya hanya dapat diselami melalui “cermin sejarah” karena tidak hanya memantulkan dari depan (masa akan datang), cermin belakang (masa silam), dan cermin samping (masa kini) secara integral. Dengan begitu tampak sejarah sungguh-sungguh dapat menjadi media penemu diri. Inilah esensi jati diri manusia di dalam sejarah. Manusia menemukan dirinya dalam sejarah (Latief, 2006: 68). Kuatnya ikatan generasi itu tidak dapat dilepaskan oleh tali sejarah. Jika sebuah bangsa tidak bersikap serius terhadap sejarahnya, cepat atau lambat akan terjadi keterputusan generasi. Seolaholah tidak ada kesinambungan antara generasi satu dengan generasi yang lain. Bila hal ini terjadi maka isyarat petaka besar menghadang di depan. Ini akan
ISSN : 1829 – 894X
menimbulkan gugatan antargenerasi. Generasi yang terdahulu akan mengklaim generasi kini sebagai generasi yang gagal melanjutkan keluhuran generasi terdahulu, sebaliknya generasi kini melakukan gugatan kepada generasi dahulu sebagai generasi yang gagal melakukan kaderisasi nilai. Oleh karena itu, eksistensi kekinian terbentuk dari eksistensi kelampauan. Peranan Sejarah sebagai Pendidikan Moral Kuntowijoyo (dalam Sardiman, 2004) mengatakan bahwa ”Orang tidak akan belajar sejarah kalau tidak ada gunanya. Kenyataan bahwa sejarah terus ditulis orang setiap peradaban dan sepanjang waktu, sebenarnya cukup menjadi bukti bahwa sejarah itu perlu”. Hal ini menjadi bukti bahwa sejarah itu sangat diperlukan dan ada gunanya. Beliau pula mengatakan kegunaan sejarah ada dua yaitu guna intrinsik dan guna ekstrinsik. Salah satu guna ekstrinsik yaitu sejarah sebagai pendidikan moral. Banyak peristiwa sejarah yang menunjukkan pada pelajaran baik dan buruk. Bahkan Wang Gungwu menegaskan bahwa sejarah sangat terkait dengan dimensi moral, mana yang dapat dipekerjakan dan mana yang tidak boleh dikerjakan (Sardiman, 2004: 28). Walaupun demikian, sejarah tidak boleh bersikap hitam putih seperti itu. Kalau pendidikan moral harus berbicara benar salah, sastra hanya tergantung pada imajinasi pengarang, maka sejarah harus berbicara dengan fakta. Tanpa fakta sejarah tidak boleh bersuara (Kuntowijoyo, 2005: 27). Lebih lanjut mengutif pendapatnya Colingwood (dalam Atmadja, 2010: 116) bahwa sejarah adalah “Sekolah moral dan 51
Suluh Pendidikan, 2011, 9 (1): 47 - 54
kebajikan politik”, atau” menurut Hanafi, sejarah adalah “Media bagi pelajaran moral dari masa lalu”. Penggunaan sejarah sebagai sekolah moral tidak saja berkaitan dengan sejarah Indonesia, tetapi bisa pula mengacu kepada sejarah Dunia. Peristiwa yang terjadi di negara Eropa Timur melahirkan Balkanisasi dimana terpecah menjadi negara-negara kecil merupakan sekolah moral yang sangat penting bagi Indonesia. Mengingat bahwa negara Indonesia adalah negara multietnik, kejadian di Eropa Timur tersebut dapat dijadikan pelajaran yang berarti untuk menghindari adanya Balkanisasi. Pendek kata, karena sejarah sebagai sekolah moral belum digunakan secara optimal sehingga tidak mengherankan jika masyarakat Indonesia sering kali menghadapi kesalahan yang sama bahkan mengarah kepada Balkanisasi seperti OPM (Organisasi Papua Merdeka), RMS (Republik Maluku Selatan) (Atmadja, 2010: 137). Berdasarkan uraian di atas sangatlah jelas sejarah memegang peranan yang sangat penting bagi kehidupan berbangsa dan bernegara apalagi di era globalisasi sekarang ini begitu pesatnya pengaruh budaya asing tidak hanya berdampak positif saja tetapi negatif pula seperti degradasi moral dan budaya yang melanda bangsa kita akhir-akhir ini. Oleh sebab itu, generasi muda sekarang hendaknya mau mewarisi budaya leluhur di masa lampau untuk dipakai pedoman kehidupan di masa kini dan masa depan, bukan malahan meninggalkan budaya leluhur yang telah kita miliki sejak dahulu. SIMPULAN Manusia adalah makhluk menyejarah, 52
ISSN : 1829 – 894X
sehingga sejarah merupakan urusan kita semua, seluruh bangsa Indonesia, dan bukan kewajiban eksklusif dari pada ahli sejarah saja. Seperti yang disampaikan Carl Becker, bahwa “Setiap orang adalah sejarawan untuk dirinya sendiri” (everyman his own historian) yang berarti setiap orang “normal” mengenal sejarah dan karena itu dapat dikatakan “sejarawan”. Sebagai makhluk menyejarah sudah barang tentu kita hendaknya tetap belajar dari sejarah karena memegang peranan vital bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Di era global dengan dinamika yang begitu cepat, apabila tidak ditanggulangi akan melunturkan kebudayaan lokal (nasional) dari gempuran budaya luar (asing), sehingga bisa membuat bangsa kita kehilangan jati diri. Untuk itu sejarah dapat digunakan sebagai penyelamat bangsa dalam mempertahankan jati diri bangsa atau kepribadian bangsa dari gempuran globalisasi yang semakin gencar. Demikian pula sejarah dapat dikedepankan dalam menyelamatkan bangsa dari berbagai problema yang menimpa seperti degradasi moral budaya melanda para generasi muda kita akhir-akhir ini yang tampak pada kasus konflik-konflik di berbagai daerah, gerakan separatisme, free sex, maraknya video mesum, perampokan, pencurian dan sebagainya. Dengan memanfaatkan sejarah sebagai sekolah moral kita dapat nantinya menjadi generasi penerus bangsa yang memiliki moral kuat. Dengan belajar dari pengalaman masa lampau kita memperoleh cermin perbuatan baik dan buruk. Perbuatan yang tidak baik kita tinggalkan, sebaliknya perbuatan yang baik kita lanjutkan sebagai spirit dalam menghadapi kehidupan di masa kini dan
Suluh Pendidikan, 2011, 9 (1): 47 - 54
masa depan. Oleh karena itu, marilah kita tumbuhkan kesadaran sejarah dan terus belajar dari sejarah dalam rangka memecahkan berbagai permasalahan dalam kehidupan sehari-hari, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. UCAPAN TERIMA KASIH Kajian ini bisa terwujud tidak terlepas dari semangat yang terus diberikan semua pihak. Untuk itu penulis ucapkan terima kasih kepada Bapak Ketua Yayasan Perguruan Tinggi Saraswati Tabanan Dr. Ir. I Gusti Ngurah Raka Haryani, M.S; Bapak Rektor IKIP Saraswati Tabanan Drs. Dewa Nyoman Oka, M.Pd; Bapak Dekan FP IPS Drs. I Ketut Ardana, M.Pd; Bapak Sekretaris Dekan Drs. I Ketut Sukanta, M.Pd; Bapak Ketua Jurusan Pendidikan Sejarah I Nyoman Suryawan, M.Si; Bapak Drs. I Wayan Sudhita, dan teman-teman dosen FP IPS lainnya yang penulis tidak dapat sebutkan satu-persatu atas semangatnya yang telah diberikan selama ini mengingat penulis pengajar baru yang memerlukan tuntunan dari para senior penulis dalam melangkah ke depan. Ucapan yang sama penulis sampaikan kepada keluarga besar, terutama bapak tercinta I Nyoman Ukir yang telah memasuki purnabakti tahun 2011 ini. Dan tidak lupa juga penulis sampaikan kepada Ni Wayan Eko Yuliyastuti, S.Pd yang tidak henti-hentinya memberikan motivasi untuk menulis di media massa dan majalah ini, setia membantu penulis dalam mencari sumber yang relevan, serta saran-sarannya yang sangat berguna sehingga tulisan ini mampu diselesaikan.
ISSN : 1829 – 894X
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, T. 1995. “Masalah Ilmu Sejarah dan Pengajaran Sejarah yang Reflektif dan Inspiratif”, dalam Pengajaran Sejarah : Kumpulan Makalah Simposium. Jakarta: Depdikbud. Abdurahman, D. 2007. Metodologi Penelitian Sejarah. Jogjakarta: ArRuzz Media. Atmadja, N.B. 2010. “Sejarah Sebagai Sekolah Moral Versus Supermarket Sekolah Abad XXI dan Memudarnya Kesejatian Hidup (Suatu Pendekatan Kajian Budaya)”, dalam Sejarah dan Kearifan Berbangsa (Penyunting I Made Pageh). Denpasar: Pustaka Larasan dan FIS, Undiksha. Bali Express. “Benang Kusut Persepsi Modernisasi”. Edisi Jumat, 27 Agustus 2010, hlm. 4. Bali
Express. “Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah”. Edisi Selasa, 31 Agustus 2010, hlm. 4.
Bali Post. “Konflik di Bali”. Edisi Rabu, 27 Oktober 2010, hlm. 6. Gulo, W. 2002. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: PT. Gramedia Widia-Sarana Indonesia. Kuntowijoyo. 2005. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Bentang. Kompas. “Dalangisasi Pengajaran sejarah”. Edisi Sabtu, 11 November 2006 Latief, A. J. 2006. Manusia, Filsafat, dan Sejarah. Jakarta: PT Bumi Aksara. Lembaga Analisis Informasi. 2006. Kontroversi Supersemar: Dalam Transisi Kekuasaan Soekarno53
Suluh Pendidikan, 2011, 9 (1): 47 - 54
Soeharto. Pressindo.
Yogyakarta:
ISSN : 1829 – 894X
Media
Marzali, A. 2005. Antropologi dan Pembangunan Indonesia. Jakarta: Kencana. Moeljono. 1981. “Abdul Rahman Awad Baswedan”, dalam Risalah Sejarah dan Budaya. Yogyakarta: Depdikbud. Ruslan & Nurhayati, F. 2007. Di Balik Pesona Tujuh Keajaiban (Baru) Dunia. Yogyakarta: Ombak.
Wardaya, B.T. 2006. Bung Karno Menggugat: Dari Marhaen, CIA, Pembantaian Massal ‘65 hingga G30S. Yogyakarta: Galangpress. Widja, I Gde. 1988. Dasar-Dasar Pengembangan Strategi serta Metode Pengajaran Sejarah. Singaraja: Universitas Udayana. Widja, I G. 1991. Sejarah Lokal: Suatu Perspektif dalam Pengajaran Sejarah. Singaraja: Universitas Udayana.
Sardiman AM. 2004. Mengenal Sejarah. Yogyakarta: Bigraf.
Widja, I G. 2002. Menuju Wajah Baru Pendidikan Sejarah. Yogyakarta: Lappera Pustaka Utama.
Sjamsuddin, Helius & Ismaun, H. 1996. Pengantar Ilmu Sejarah. Jakarta: Depdikbud.
Widja, I G.; Pageh, I.M. 2006. Metodelogi Sejarah (buku ajar). Singaraja: IKIP Negeri Singaraja.
Sutedja, M. 2006. Dharmayana: Leluhur ke Purwa Bumi Kemulan-Amerika. Surabaya: Paramitha.
Wirawan, Widya. “Belajar dari Waktu”. Swins. Singaraja: Undiksha. Edisi Minggu I-II Januari 2007.
Tabloid Wiyata Mandala. “Pentingnya Belajar dari Sejarah”. Edisi Jumat, 7-20 Mei 2010, hlm. 13.
54
PEDOMAN PENGIRIMAN NASKAH 1. 2. 3.
4. 5. 6. 7. 8.
9. 10. 11. 12. 13.
Naskah dapat berupa hasil penelitian atau kajian pustaka yang belum pernah dipublikasikan. Naskah dikirim ke PUSLIT IKIP Saraswati Tabanan, Jalan Pahlawan No. 2 Tabanan 82113 Bali atau lewat email:
[email protected]. Naskah diketik satu setengah spasi, kecuali abstrak, tabel, keterangan gambar, histogram dan kepustakaan diketik dalam satu spasi dengan batas 3,5 cm dari kiri, 3 cm masing-masing dari atas, kanan dan bawah tepi kertas. Naskah maksimum 12 halaman A4, diketik dalam program Microsoft Word for Windows huruf Time New Roman ukuran 12. Sebanyak dua eksemplar naskah cetak dan soft copy (CD) yang memuat berkas naskah tersebut diserahkan kepada Redaksi Pelaksana. Ilustrasi yang berupa grafik, gambar atau foto yang tidak masuk dalam berkas CD harus ditempel pada tempatnya dalam naskah cetak. Naskah yang ditulis dalam bahasa Indonesia menggunakan abstrak yang ditulis dalam bahasa Inggris. Sebaliknya naskah yang ditulis dalam bahasa Inggris menggunakan abstrak dalam bahasa Indonesia. Abstrak tidak lebih dari 400 kata. Pada pojok kiri bawah dari abstrak ditulis kata kunci (key words) tidak lebih dari 5 kata. Judul singkat (tidak lebih dari 12 kata), jelas, informatif dan ditulis dengan huruf kapital kecuali nama ilmiah. Untuk kajian pustaka (review) dibelakang judul ditulis: Suatu Kajian Pustaka. Nama penulis tanpa gelar, alamat dan instansi penulis ditulis lengkap. Susunan naskah hasil penelitian terdiri dari judul (title), nama penulis (author), alamat penulis (address), abstrak (abstract), pendahuluan (introduction), metode penelitian (research methods), hasil (results), pembahasan (discussion), simpulan (conclusion), ucapan terima kasih (acknowledgements), dan kepustakaan (literate cited). Naskah kajian pustaka terdiri atas judul, nama penulis, alamat penulis, abstrak, pendahuluan, pembahasan, simpulan (conclusion), ucapan terima kasih, dan kepustakaan. Setiap alenia baru diketik mundur tiga ketukan. Setiap tabel, grafik, histogram, sketsa dan gambar (foto) diberi nomor urut, judul singkat dan jelas, dibuat pada satu halaman (tidak terpotong). Hasil yang ditulis dalam tabel tidak perlu diulang dalam bentuk lainnya (misalnya histogram atau grafik). Dalam tata nama (nomeklatur) dan tata istilah, penulis harus mengikuti cara penulisan yang baku. Untuk istilah asing ditulis miring kecuali abstrak. Dalam mengutip pendapat orang lain dipakai sistem Nama-Tahun. Contoh kutipan langsung, Lansing et al. (2002:3); kutipan tidak langsung: Lansing et al. (2003). Kepustakaan ditulis menurut sistem Nama-Tahun dan disusun berdasarkan abjad. Berikut ini beberapa contoh penulisan pustaka. a. Abstrak Darnaedi D. 1991. Rheofite di sepanjang sungai Mahakam, Kalimantan Timur, abstrak.244, hlm.122. Di dalam Seminar Ilmiah dan Kongres Nasional Biologi X. 1991. Perhimpunan Biologi Indonesia dan Pusat antar Universitas Hayati, IPB, Bogor. b. Buku Auderisk T. and G Auderisk. 1999. Biology, Life on Earth. Ke-5.Edition. Printice Hall, New Jersey. c. Buku Terjemahan Mackinnon M. 1991. Panduan Lapangan Pengenalan Burung-burung di Jawa dan Bali (terjemahan). Ed. Ke-2. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. d. Disertasi, Tesis, dan Skripsi Wiguna IWAA. 2002. Kontribusi system usahatani padi sawah terhadap pengkayaan hara nitrogen, fosfor, dan kalium aliran permukaan pada ekosistem subak di Bali. Kasus daerah aliran sungai Yeh Sungi di Tabanan Bali. Disertasi (S3) pada PPs-IPB, Bogor. e. Hasil penelitian yang dipublikasikan tetapi belum terbit Surata SPK. Persepsi guru sekolah dasar terhadap subak sebagai model pendidikan lingkungan di Bali, submitted (belum disetujui redaksi). Surata SPK. Haemotological indices studies in four subpopulation of Java Sparrow (Pada oryzivora L.). Biota, in press. (sudah disetujui redaksi). f. Penelitian yang sudah dipublikasikan Jacobson SK. 1991. Profile evaluation model for developing, implementing, and assessing conservation education programs; examples from Belize and Costa Rika. Environmental Management, 15 (2):143-150. g. Kamus Depdikbud. 1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Ed. Ke-2. Balai Pustka, Jakarta. h. Prosiding Surata SPK. 2003. Budaya padi dalam subak sebagai model pendidikan lingkungan, hlm.81-97. Di dalam F. Kasryno, E. Pasandaran dan AM Fagi (Penyunting). Subak dan Kerta Masa. Kearifan lokal mendukung pertanian yang berkelanjutan. Yayasan Padi Indonesia, Jakarta. i. Publikasi perusahaan atau lembaga Minitab Inc. 1991. Minitab Reference Manual V.8. State College, USA. j. Surat Kabar Khosman, A. 16 Januari 2004. Perlu kebijakan mikro yang memihak petani. Kompas, 39(196): 46. Kolom 1-6. k. Nama penulis tidak dicantumkan, yang ditulis nama lembaganya (bukan anonim) WHO (World Health Organization). 1993. Guidenlines for drinking-water quality, Vol. 1. Recommendations. Ed. Ke-2. Geneva. l. Sumber dalam internet Ingeg Z. 1997. Analyzing Educational Resource for Environmental and Development Education. Griffith University and the Deparment of Environment, Sport & Territories. Australian Government, Department of Environment and Herrtiage. http//www.deh.gov.auleducationsitsWmodeule/modeule25,htrnl.