ISSN : 1829–894X
SULUH PENDIDIKAN (Jurnal Ilmu-Ilmu Pendidikan) Volume 12
Nomor 1
Juni 2014
• Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA Berbasis Industri Kreatif (I Nyoman Suaka, Ni Made Sueni, I Wayan Subaker)
1 – 12
• Integrasi Pendidikan Karakter Berbasis Tradisi Lisan dalam Pembelajaran IPA di SD (I Made Maduriana dan Ni Putu Seniwati) ................. 13 – 22 • Implementasi Ajaran Agama Hindu dalam Teks Geguritan Sidha Yoga Krama (Ni Putu Parmini) ....................................................... 23 – 32 • Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Sastra Melalui Revitalisasi Kompetensi Pedagogik (I Wayan Nardi dan Ni Nyoman Karmini) ................... 33 – 46
• Pengembangan Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi Pendidikan IPS Dalam Konstruksi Kurikulum Sekolah Dasar (Dewa Nyoman Wija Astawa, I Ketut Ardana, dan I Wayan Gata) ............................................................. 47 – 54 • Analisis Materi Sains IPA SD Berpendekatan Kearifan Lokal Berbasis Ergonomi (I Made Sudiana dan Nyoman Suryawan) ................. 55 – 64 • Karakter Kearifan Lokal Masyarakat Bali Terhadap Pemanfaatan Tumbuhan Tinggi dalam Kehidupannya: Anilisis Etnobotani pada Aspek Etnoritual dan Etnofarma (I Ketut Surata, Nyoman Suryawan, dan I Wayan Gata) 65 – 78
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Saraswati Tabanan
Dewan Redaksi “SULUH PENDIDIKAN” Jurnal Ilmu-Ilmu Pendidikan IKIP Saraswati Tabanan Ketua Dr. Dra. Ni Nyoman Karmini, M.Hum. Sekretaris Drs. I Made Maduriana, M.Si. Bendahara Dra. Ni Putu Seniwati, M.Pd. Retribusi Ni Ketut Manik Arwati Penyunting Penyelia (Editor Pengawas) Dr. Drs. I Nyoman Suaka, M.Si. Drs. I Wayan Subaker, M.Hum. Peyunting Pelaksana Dr. Drs. Dewa Nyoman Oka, M.Pd. Dr. Drs. Made Kerta Adhi, M.Pd. Dr. Drs. I Nyoman Suryawan, M.Si. Drs. I Made Sudiana, M.Si. Drs. Ida Bagus Anom Sutanaya, M.Pd. Ni Putu Desi Wulandari, S.Pd., M.Pd. Penyunting Tamu Dr. I Gusti Ngurah Raka Haryana, MS (IKIP Saraswati Tabanan); Prof. Dr. Ir. Gede Mahardika, MS (UNUD); Prof. Dr. I Made Sutajaya, M.Kes (UNDIKSHA) Pengelola Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) IKIP Saraswati Tabanan Suluh Pendidikan terbit dua kali dalam setahun (Juni dan Desember), diterbitkan oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) IKIP Saraswati Tabanan (Saraswati Institut Press), sebagai media informasi ilmiah bidang pendidikan baik berupa hasil penelitian maupun kajian pustaka. Penerimaan Naskah Redaksi menerima naskah dari dosen, peneliti, mahasiswa atau praktisi dengan ketentuan seperti tercantum pada bagian belakang jurnal ini. Tulisan yang dimuat mendapat kompensasi 2 eksemplar. Alamat Redaksi IKIP Saraswati Tabanan Jalan Pahlawan Nomor 2 Tabanan – Bali 82113 Telp. (0361) 811267 Email:
[email protected]
ISSN : 1829 – 894X
SULUH PENDIDIKAN
(Jurnal Ilmu-Ilmu Pendidikan)
Vol. 12 No. 1 Juni 2014 Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA Berbasis Industri Kreatif (I Nyoman Suaka, Ni Made Sueni, I Wayan Subaker) .........................
1 – 12
Implementasi Pendidikan Karakter Berbasis Tradisi Lisan dalam Pembelajaran IPA di SD (I Made Maduriana dan Ni Putu Seniwati) ........................................... 13 – 22 Implementasi Ajaran Agama Hindu dalam Teks Geguritan Sidha Yoga Krama (Ni Putu Parmini) ..................................................................................... 23 – 32 Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Sastra Melalui Revitalisasi Kompetensi Pedagogik (I Wayan Nardi dan Ni Nyoman Karmini) ............................................ 33 – 46 Pengembangan Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi Pendidikan IPS dalam Konstruksi Kurikulum Sekolah Dasar (Dewa Nyoman Wija Astawa, I Ketut Ardana, danI Wayan Gata) .... 47 – 54 Analisis Materi Sains IPA SD Berpendekatan Kearifan Lokal Berbasis Ergonomi (I Made Sudiana dan Nyoman Suryawan) ............................................. 55 – 64 Karakter Kearifan Lokal Masyarakat Bali Terhadap Pemanfaatan Tumbuhan Tinggi dalam Kehidupannya: Anilisis Etnobotani pada Aspek Etnoritual dan Etnofarma (I Ketut Surata, Nyoman Suryawan, dan I Wayan Gata) ………….... 65 – 78
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Saraswati Tabanan
ii
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (1): 1 - 12
ISSN : 1829 – 894X
PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DI SMA BERBASIS INDUSTRI KREATIF I Nyoman Suaka, Ni Made Sueni, I Wayan Subaker Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP Saraswati Tabanan
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan model pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di SMA yang berbasis industri kreatif. Data diambil secara purposive sampling dan area sampling pada SMA di dua kabupaten dan satu kota madya dari delapan kabupaten yang ada di Bali. Sampel sekolah berjumlah enam sekolah yang sudah menerapkan kurikulum 2013 yang berada di Kabupaten Badung, Kabupaten Tabanan dan Kota Madya Denpasar. Dilihat dari area sampling, Kabupaten Tabanan sebagai area pedesaan, Kabupaten Badung sebagai area urban dan Kodya Denpasar sebagai area perkotaan. Data diperoleh dari metode observasi, dokumen, kuisener dan wawancara. Observasi dilakukan secara langsung ke sekolah. Metode dokumen dilakukan melalui bahan-bahan cetakan seperti kurikulum, rencana pembelajaran, modul dan bahan ajar. Metode wawancara dilakukaan secara langsung dan tertulis dengan mengedarkan kuisener kepada 12 orang guru bahasa dan sastra Indonesia kelas X. Responden siswa berjumlah 48 orang siswa, tiap-tiap sekolah 4 orang siswa. Hasil penelitian menunjukkan keterkaitan yang sangat tinggi antara materi pelajaran bahasa dan sastra Indonesia dengan produk industri kreatif. Dalam penerapan materi sastra, sinergitas itu mencapai (27 %), menyimak (25 %), berbicara (23 %), membaca (12 %), menulis (8 %), dan pemakaian bahasa (5%). Secara kualitas, respoden baik di lingkungan guru maupun siswa. menjawab sangat setuju dan setuju sinergitas dua variabel tersebut, tidak ada yang menjawab netral, tidak setuju dan sangat tidak setuju sesuai dengan 5 skala Likert. Kata Kunci : Pembelajaran, bahasa dan sastra Indonesia, industri kreatif Abstract This study aims to develop a model of learning Indonesian language and literature in high school-based creative industries. Data taken by purposive sampling and the sampling area high schools in the two districts and one municipality of the eight districts in Bali. School sample of six schools that have implemented the curriculum in 2013 which was in Badung, Tabanan Regency and Municipality of Denpasar. Judging from the sampling area, Tabanan regency as rural areas, as urban areas Badung regency and Denpasar municipality as urban areas. Data obtained from observation, documents, questionnaires and interviews. Observations are made directly to the school. Method of documents is done through printed materials such as curriculum, lesson plans, modules and teaching materials. Dilakukaan direct interview method and written by distributing questionnaires to 12 teachers from Indonesian language and literature classes students amounting X. Respondents 48 students, each school 4 students. The results showed very high association between the subject matter Indonesian language 1
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (1): 1 - 12
ISSN : 1829 – 894X
and literature with creative industry products. In the application of literary material, synergy was reached (27%), listening (25%), speaking (23%), reading (12%), writing (8%), and the use of language (5%). In quality, both within the respondent teachers and students. answered strongly agree and agree the synergy of two variables, no one answered neutral, disagree and strongly disagree pursuant to 5 Likert scale. Keywords: Learning, Indonesian language and literature, creative industries
Pendahuluan Pembelajaran Bahasa dan sastra Indonesia sering menjadi momok bagi siswa SMA di beberapa daerah, khususnya di Bali karena pernah menjadi “mesin pembunuh” dalam kelulusan siswa (hasil UN tahun 2012). Momok yang sangat menakutkan ini menjadi sesuatu yang kontroversial karena bahasa Indonesia adalah bahasa nasional, bahasa negara sekaligus sebagai bahasa persatuan. Para siswa sudah diajarkan bahasa Indonesia sejak Sekolah Dasar, akan tetapi nilai yang diperoleh masih kurang dari Standar Ketuntasan Minimal (SKM). Di samping itu, ada kecenderungan para siswa tidak tertarik dengan bahasa Indonesia, karena kurang menjanjikan akan mendapat pekerjaan. Mereka lebih tertarik dengan bahasa asing seperti bahasa Inggris karena peluangnya lebih besar untuk mendapatkan penghasilan. Dengan demikian, kalau tidak dicarikan solusinya, maka dikhawatirkan kondisi pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia akan terpuruk. Abad ke-21 merupakan abad ilmu pengetahuan yang berkembang dengan pesat. Penguasaan ilmu penegetahuan dan keterampilan merupakan syarat mutlak bagi seluruh masyarakat termasuk guru untuk bisa hidup dalam persaingan global. Guru abad ke-21 harus banyak menguasai 2
pengetahuan akademik, pedagogik, sosial dan budaya) dan memiliki keterampilan, tanggap terhadap setiap perubahan, mampu berpikir krtis, dan mampu meyelesaikan masalah. Guru diharapkan bertanggung jawab atas pengemmbangan profesi mereka sendiri secara terus menerus, tidak “gaptek” (gagap teknologi), menguasai Informastion Communications Tecnologi (ICT) atau Teknologi Informasi Komunikasi (TIK) untuk proses belajar mengajar dan pengembangan profesi. Peran guru profesional pada abad ilmu pengetahuan adalah sebagai pendamping, fasilitator, mentor dan motivator untuk memberikan layanan belajar secara profesional, membantu akselerasi belajar peserta didik dan mengembangkan potensinya sehingga menjadi manusia yang cerdas, kompetitif, adaptif, kreatif dan produktif. Meler (2002) menguraikan beberapa prinsip akselerasi beajar seperti berikut, 1) diperlukan keterlibatan total pebelajar dalam meningkatkan pembelajaran, 2) belajar bukanlah mengumpulkan informasi secara pasif, melainkan menciptakan pengetahuan secara aktif, 3) kerjasama di antara pebelajar sangat membantu meningkatkan hasil belajar, 4) belajar yang berpusat pada aktivitas sering lebih berhasil daripada
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (1): 1 - 12
belajar berpusat pada presentasi, dan 5) belajar yang berpusat pada aktivitas dapat dirancag dalam waktu yang lebiih singkat daripada waktu yang diperlukan untuk merancang dalam waktu yang lebih singkat daripada waktu yang diperlukan untuk merancang pengajaran dengan presentasi. Pendekatan dan model penanganan pembelajaran berbasis teknologi informasi atau industri kreatif selama ini menemui banyak kendala. Pihak Depdiknas pernah bekerja sama dengan Televisi Pendidikan Indoensia (TPI) sekarang menjadi MNC TV untuk menayangkan program-program pendidikan, baik untuk siswa tingkat SD, SMP maupun SMA/SMK. Pada awalnya tayangan pendidikan itu disiarkan pagi hari, saat sebagaian besar peserta didik sedang berada di kelas, sehingga tayangan tersebut mubazir. Akhirnya jam tayang siaran pendidikan itu di pindahkan ke sore hari. Hasilnya, juga tidak menggembirakan, sebab peserta didik dalam kondisi lelah setelah datang dari sekolah, sehingga tidak tertarik megikuti siaran tersebut. Stasiun Televisi Republik Indonesia (TVRI), nampaknya sampai sekarang tetap bertahan dengan program mencerdaskan bangsa melalui siaran khusus pendidikan di sore hari. Siaran kedua media TV itu hasilnya kurang memuaskan karena tidak ada keterlibatan guru secara langsung di sana. Usaha seperti itu perlu dievaluasi kembali dengan melibatkan peran guru bersamasama siswa sehingga materi siaran yang bagus dengan biaya tinggi itu menjadi media pembelajaran yang menyenangkan.
ISSN : 1829 – 894X
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah penelitian ini adalah, 1. Bagaimanakah kondisi pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di SMA dilihat dari aspek keunggulan dan kelemahan pembelajaran. 2. Bagaimanakah peran industri kreatif dalam menunjang pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di SMA. Tujuan Penelitian Berdasarkan fokus masalah pe nelitian di atas, maka tujuan khusus dari penelitian ini dapat diformulasikan sebagai berikut : a. Mengidentifikasi, menganalisis, dan memetakan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia yang dimiliki oleh masing-masing sekolah. b. Mengidentifikasi, menganalisis, dan memformulasikan potensi kekuatan dan potensi kelemahan yang dimiliki oleh masing-masing sekolah c. Mengembangkan model pembelajaran inovatif kreatif sebagai antisipasi kelas pasif yang membosankan di sekolah d. Mengembangkan model pembelajaran berbasis industri kreatif untuk lebih memberdayakan siswa dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan. Manfaat Peenelitian Berdasarkan latar belakang dan tujuan dari penelitian sebagaimana dipaparkan di atas, maka nilai guna
3
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (1): 1 - 12
(manfaat) dari penelitian ini dapat diformulasikan sebagai berikut : (a) Menciptakan pembelajaran yang kondusif yang berpusat pada siswa, (b) Memudahkan dalam pengelolaan kelas yang ada di sekolah, (c) Membangun sinergi antar materi pelajaran dengan produk-produk industri kreatif (d) Penanganan pengelolaan kelas yang berbasis teknologi dan informasi secara lebih efektif. (e) Memudahkan partisipasi peserta didik dalam upaya meningkatkan kegairahan belajar. (f) Mempersempit ruang gerak siswa dalam pemanfatan media teknologi informasi yang bersifat negatif. (g) Bagi pelaku industri media, penelitian ini diharapkan mem bantu dalam menciptakan pro gram-program yang bermuatan pendidikan, dan menciptakan model pembelajaran yang ber sinergis karena industri kreatif seperti media televisi dan radio juga berperan untuk mendidik, di samping bersifat informatif dan hiburan. Tinjauan Pustaka Menurut konteksnya, industri kreatif dapat juga disebut industri budaya. Dalam istilah ekonomi disebut, ”industri berorientasi masa depan”, sedangkan dalam istilah teknik disebut “content industries”. Pengertian industri kreatif umumnya meliputi percetakan, 4
ISSN : 1829 – 894X
penerbitan dan produksi multimedia, audiovisual, fonografi (rekaman suara), dan sinematografi termasuk pula kerajinan dan desain. Di negara-negara tertentu konsep ini juga mecakup arsitekturr, seni pertunjukkan dan visual, olah raga, industri alat musik, periklanan dan wisata budaya. Cano dkk (2000) mengatakan, industri kreatif menambah nilai pada produk dan menciptakan nila-nilai bagi individu dan masyarakat. Industri kreatif bersifat padat pengetahuan dan padat karya, menciptakan lapangan kerja dan kesejahteraan, me numbuhkembangkan kreativitas sebagai bahan mentah pembuatannya dan mendorong pembaharuan proses produksi dan komersialisasi. Pada masa yang sama, idustr kreatif berperan sangat penting dalam pegembangan dan pelestarian dalam keragaman budaya serta dalam upaya memastikan akses yang demokratis terhadap budaya. Sifat ganda (kultural dan ekonomi) ini membentuk profil yang khas industri budaya. Pada tahun 1990, industri ini berkembang pesat dalam menciptakan lapangan kerja maupun kontribusinya pada GNP. Dewasa ini, globalisasi menawarkan tantangan dan peluang baru bagi perkembangan industri kreatif. Industri kreatif atau ekonomi kreatif di Indonesia tergolong baru karena ide-ide yang cerdas, cemerlang, kreatif dan inovatif baru terwadahi secara birokratis dalam Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf). Namun belakangan ini kreativitas seseorang dengan dorongan teknologi, kondisinya bergeser menjadi produk yang lebih kompetitif menjadi bagian dari
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (1): 1 - 12
ekonomi kreatif. Mengingat perkembangan yang begitu pesat, maka pemerintah RI di bawah pimpinan Presiden Susilo Bambang Yudoyono memberikan porsi yang sangat besar bagi perkembangan industri ini. Sumbangan industri kreatif di tanah air terhadap pendapatan negara cukup besar. Dengan demikian, pemerintah mendorong perkembangan industri kreatif ini sebagai bagian dari ekonomi kreatif yang mampu melibatkan tenaga kerja dalam jumlah yang besar. Penelitian yang terkait dengan industri kreatif terutama media cetak dan media elektronik pernah dilalukan oleh beberapa peneliti sebelumnya, seperti Santosa (2010), Suaka (2011), Pawito (2001) dan Suhadi (1985) Penelitian tersebut lebih banyak menyoroti program siaran televisi seperti kampanye di televisi, sinetron dan infotaimen. Khusus Suhadi, meneliti pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di Sekolah Dasar di Kodya Kediri Jawa Timur. Hasil penelitian Suhadi yang menekankan pembelajaran sastra menemukan bahwa, sastra tidak memiliki nilai evaluasi sendiri. Kuantitas pengajaran sastra Indonesia di setiap kelas SD dasar rata-rata hanya 6 %, jumlah yang relative kecil, dibandingkan aspek kebasaan lainnya (1985:95). Dalam penelitian ini lebih menekankan, industri kreatif sebagai media alternatif terutama dari persepektif pendidikan khususnya sebagai media pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Hal ini dinilai penting karena perkembangan industri kreatif di tanah air sangat pesat
ISSN : 1829 – 894X
dan terkait dengan perkembangan pendidikan yang berbasis teknologi informasi dan komunikasi. Selain itu, pada prinsipnya belajar bahasa adalah belajar berkomunikasi. Penelitian ini difokuskan pada: (1) pengembangan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia berbasis industri kreatif. (2) mengembangkan model pengelolaan kelas yang aktif kreatif dan inovatif, dan (4) mengembangkan model pembelajaran yang menarik. Pada sisi lain, peneliti juga akan membangun relasi pendidikan dengan industri kreatif dalam konteks bangunan ilmu-ilmu sosial, yang senantiasa berfokus pada pengembangan pendekatan kepada siswa dan antisipasi terhadap pembelajaran yang bersifat pasif. Pengembangan model pembelajaran ini akan dilakukan melalui “pemberdayaan dan pemberian kewenangan lebih luas kepada guru dan siswa termasuk guru non bidang studi bahasa dan sastra Indonesia. Untuk pengembangan model pembelajaran ini, akan dilakukan melalui pengembangan kegiatan yang bersifat rutin di setiap sekolah sampel, sehingga secara alamiah akan tertanam dan terkoordinasikan kegiatan dan aktivitas pemebalajaran berbasis industri kreatif. Adapun fase-fase pengembangan model dalam penelitian ini, secara rinci akan melalui tahapan sebagai berikut: (1) fase identifikasi kondisi pembelajaran, (2) fase identifikasi kunggulan pembelajaran (3) fase identifikasi kelemahan pembelajaran, dan (4) evaluasi, pembelajaran berbasis industry kreatif, (5) desiminasi model lesson study.
5
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (1): 1 - 12
Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode survey dan wawancara (interview). Penggabungan dua atau lebih metode dalam suatu penelitian ilmiah sosial sering dikenal sebagai multiple research strategies atau multiple methods (Pawito, 2007:261) Metode survey dilakukan dengan melibatkan 60 orang responden yang terdiri atas 12 orang guru bidang studi bahasa dan sastra Indonesia, dan 48 orang siswa dari enam sekolah SMA (SMA Negeri 3 Denpasar, SMA Negeri 5 Denpasar, SMA Negeri 1 Kuta Utara, SMA Negeri 1 Mengwi, SMA Negeri 2 Tabanan dan SMA Negeri 1 Kerambitan). Data diperoleh dari metode observasi, dokumen, kuisener dan wawancara. Observasi dilakukan secara langsung ke sekolah dengan guru dan siswa. Metode dokumen dilakukan melalui bahan-bahan cetakan seperti kurikulum, rencana pembelajaran, modul dan bahan ajar. Metode wawancara dilakukaan secara tertulis dengan mengedarkan kuisener kepada para guru bahasa dan sastra Indonesia kelas X, dan wawancara secara langsung kepada siswa.
Pengumpulan data
ISSN : 1829 – 894X
Fokus utama dari penelitian ini adalah mengembangkan model pembelajaran yang berbasis industri kreatif. Potensi industri kreatif di masyarakat sangat banyak dan beragam variasinya terutama mata acaramata acara televisi, radio, film, VCD dan DVD. Potensi tersebut tidak digarap secara maksimal oleh para guru, kepala sekolah, jajaran dinas pendidikan, padahal acaraacara tersebut sangat relevan dengan kurikulum mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Model berbasis indutri kreatif ini akan menggunakan pembelajaran model lesson studi pada SMA di Propinsi Bali. Berdasarkan rasional tersebut, maka penelitian ini menggunakan teknik analisis interkatif Miles dan Hubermen. Miles dan Hubermen menawarkan suatu teknik analisa yang lazim disebut dengan interactif model. Teknik analisis ini pada dasarnya terdiri dari tiga komponen yakni reduksi data (data reduction), penyajian data (data display) dan penarikan serta pengujian kesimpulan (drawing and verifying conclucion) (Pawito, 2007 :104). Langkah analisis model interkatif tersebut seperti gambar berikut.
Penyajian data
Reduksi data
Penarikan/Pengujian Kesimpulan
Gambar 1. Analisis Data Model Interaktif dari Miles dan Hubermen (1994:12) 6
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (1): 1 - 12
ISSN : 1829 – 894X
Pembahasan Pengembangan model pem belajaraan dimaksudkan untuk men cegah terjadinya suasana kelas yang menjenuhkan, pasif dan tidak bergairah. Kondisi tersebut dirasakan oleh siswa karena kurangnya variasi mengajar para guru. Siswa dari pagi sampai sore berada di sekolah yang dibatasi oleh tembokNo.
Unsur
1.
Guru
2.
3.
4.
5.
tembok kelas yang menimbulkan kesan membosankan dan mengerikan. Ruangan kelas itu ibarat tembok penjara yang memasung kreativitas siswa. Hal ini dipandang mendesak dilakukan perubahan, mengingat semakin menurunnya gairah belajar siswa. Berdasarkan data penelitian diperoleh beberapa keunggulan dan kelemahan dalam proses pembelajaran.
Keunggulan
Keterangan
1. Guru telah diberikan pelatihan kurikulum 2013 dan menerapkannya dalam proses belajar mengajar 2. Guru memiliki kemampuan merealisasikan pembelajaran dengan program-program industri kreatif. 3. Guru tertarik dengan program tv, radio, internet, surat kabar, majalah untuk dijadikan media pembelajaran. 1. Siswa mendapat pembelajaran dengan kurikulum 2013 Siswa 2. Siswa tertarik dengan program-program televisi, radio dan internet 3. Siswa menilai program TV, radio, internet dapat menunjang pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Sarana, 1 Sekolah memiliki sarana TV, radio, tape, LCD, kaset prasarana pembelajaran 2 Ruang kelas cukup representatif, sekolah memiliki jaringan internet 1. Buku teks, penunjang, dan pengayaan cukup tersedia. Media 2. Koleksi perpustakaan cukup memadai. Pembelajaran 1. Evaluasi menekankan pada apektif siswa (sikap), kognitif Sistem Evaluasi (pengetahuan) dan psikomotor (keterampilan)
Pemetaan kondisi sekolah dan pembelajaran pada sekolah sampel juga menunjukkan unsur kelemahan/kekurangan seperti tabel berikut. Tabel 2. Unsur kelemahan Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia No.
Unsur
1
Guru
Kelemahan
Keterangan
1. Belum sepenuhnya memahami kurikulum 2013 bidang bahasa dan sastra Indnesia. 2. Memerlukan waktu yang cukup untuk penyesuaian dengan kurikulum baru 3. Diklat guru sangat terbatas dibandingkan luasnya cakupan materi kurikulum 2013. 4. Guru kurang mengaitkan materi pembelajaran dengan program-program industri kreatif
7
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (1): 1 - 12 2.
Siswa
3.
Sarana, prasarana
4.
Media Pembelajaran
5.
Sistem Evaluasi
ISSN : 1829 – 894X
1. Siswa kurang menerima sosialisasi kurikulum 2013 2. Siswa belum siap karena penjurusan/peminatan sudah dimulai kelas X dan lintas minat 3. Siswa menilai program TV, radio, internet lebih bersifat hiburan dan kurang memperhatikan dari unsur pendidikan yang menunjang pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia 1.Tidak semua kelas dilengkapi LCD, televisi, radio, tape. 1. industri kreatif sebagai media alternatif sulit ditangani oleh guru bidang studi, memerlukan operator 1. Penilaian selama ini cendrung lebih bersifat kognitif/pengetahuan. 2. Penilaian berbasis industri kreatif sangat kompleks, mulai dari planning (perencanaan), do (pelaksanaan) dan see (refleksi).
Upaya mengatasi hal tersebut dengan model pembelajaran berbasis industri kreatif yaitu memanfaatkan tenkologi komunikasi dan informasi berkolaborasi dengan kurikulum pelajaran bahasa dan sastra Indonesia berbasis lesson study. Terdapat tiga tahapan penting dalam kerangka lesson study yakni, planning (perencanaan), do (pelaksanaan) dan see (refelkesi). Model pembelajaran berbasis industri kreatif ini memiliki nilai lebih,
dibandingkan dengan model-model lainnya, karena kedua variabel yakni mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia dengan industri media memiliki kesamaan prinsip yakni komunikasi. Sinergi ini dapat dioptimalkan dengan lembaga-lembaga penyiaran radio, televisi, baik televisi pemerintah maupun swasta. Belajar bahasa pada prinsipnya adalah belajar berkomunikasi. Berdasarkan tahapan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat diketahui respon para guru, sebagai berikut.
Tabel 03 Peran Industri Kreatif sebagai Media Pembelajaran Alternatif. 1.
Pelajaran Bahasa dan sastra Indonesia Menyimak
2.
Membaca
Program industri kreatif (TV, radio, media cetak) Berita, debat, dialog, prokontra, infotaimen. Surat kabar, majalah, tabloid .
3.
Berbicara
Debat, dialog, prokontra
4.
Menulis
5.
Sastra
Surat kabar, majalah, tabloid (berita, artikel, tajuk rencana) Sinetron, film, karton, animasi
6.
Pemakaian bahasa
No.
8
Surat kabar, majalah, tabloid, televisi, radio
Respon, frekuensi dan prosentase Sangat setuju, 15 orang (25 %) Setuju, 7 orang (12 %) Sangat setuju,14 orang (23 %) Setuju , 5 orang (8 % ) Sangat setuju, 16 orang (27 %) Setuju, 3 orang (5 %).
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (1): 1 - 12
Berdasarkan data dalam tabel 3, dapat dikatakan bahwa sebagian besar responden 27 persen (16 orang dari 60 responden) sangat setuju program televisi seperti sinetron film, animasi, (film kartun) sebagai media pembelajaran sastra. Program televisi tersebut dinilai sangat menarik dan memiliki relevansi dengan materi sastra terutama membahas cerita dalam novel, cerita pendek dan drama. Bahkan, menurut responden, banyak sinetron diambil dari cerita novel baik sinetron remaja maupun sinetron dewasa. Program televisi berupa film dan sinetron yang bersifat menghibur, mendidik dan informatiif, ternyata sesuai dengan tujuan penciptaan karya sastra. Beberapa guru responden menilai tayangan sinetron di televisi dijadikan bahan diskusi untuk meningkatkan apresiasi sastra siswa. Siswa disuruh menonton sinetron itu di rumah, kemudian dibahas di ruang kelas. Selain materi sastra, prosentase yang cukup tinggi juga diraih materi menyimak (25%) yakni 15 orang dari responden. Hal ini didukung juga oleh kebiasaan anakanak yang setiap hari menonton televisi di rumah. Materi pembelajaran yang amat terkait dengan menyimak adalah mendengarkan siaran berita (televisi dan radio), dialog, talk show, infotaimen. Beberapa program tersebut dinilai cukup berat dari segi materi siaran bagi siswa kelas X seperti debat dan dialog, kecuali program infotaimen (infomasi selebritis) yang amat disenangi siswa karena sangat mengibur mengisahkan tentang artis yang cantik, seksi, konflik rumah tangga, dan pacaran para artis. Hampir setiap televisi memiliki program infotaimen dengan nama
ISSN : 1829 – 894X
yang berbeda-beda dan ditayangakan, pagi, siang, sore dan malam hari. Dari unsur pendidikan, menyimak infotaimen ini cenderung kurang baik, tetapi tayangan itu disenangi oleh remaja. Hal ini merupakan ciri-ciri budaya populer yang dikemas melalui budaya massa atau budaya media. Menurut Baudrillard (dalam Kushendrawati, 2011:105), hubungan antara media massa dengan budaya populer bersifat linear. Secara singkat dapat dikatakan bahwa yang menciptakan budaya pop adalah media massa dengan produksi dan bahka reproduksi tanda-tadanya. Lebih jauh Kushendrawati (2011:106) mengatakan media massa memproduksi dan menyebarkan dunia konsumerisme yang penuh de ngan keindahan, eksotisme, serta kehidupa harmoni dan sejahtera. Dengan kata lain, media massa mendramatisasi kenyataan. Jenis acara infotaimen yang ada di seluruh stasiun televisi swasta meliputi 53 buah acara. SCTVmerupakan stasiun televisi yang mempunyai jenis acara infotaimen terbanyak yaitu 1 jenis acara atau meliputi 23 % dengan judul yang berbeda, Waswas, Otista, Poster, Halo Selebritis, Bibir Plus, Hot Shot Seru, Hot Shot Heboh, Hot Shot Ekstra, Portal, Potret, Kasak-Kusuk, Kasak-kusuk Investigasi. Trans TV dan TV 7 masing-masing mempunyai 7 jenis acara infotaimen atau 13% dari keseluruhan jenis infotaimen di televisi (Santosa, tth:117). Prosentase yang juga cukup tinggi memiliki keterkaitan antara materi bahasa dan sastra Indonesia dengan industri kreatif adalah materi berbicara (23%). Materi ini diambil dari program dialog, debat, wawancara, talk show di televisi. Menurut 9
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (1): 1 - 12
responden, beberapa acara televisi, seperti Kick Andy, Mata Najwa, Indonesia Lawyer Club memberikan pelajaran tentang bagaimana berdiskusi, bertanya, menjawab, menyanggah, mengomentari tentang suatu topik persoalan. Acara tersebut dinilai oleh guru responden sangat tepat dijadikan media pembelajaran untuk mendukung materi berbicara. Namun, siswa responden, karena wawasannya masih terbatas materi tersebut dinilai kurang tepat. Berbeda halnya, kalau di tingkat mahasiswa karena acara tersebut kecuali Kik Andy, didominasi oleh pembahasan hukum dan politik. Peran industri kreatif yang kurang memiliki keterkaitan dengan materi bahasa dan sastra Indonesia, menurut responden adalah menulis, membaca dan pemakaian bahasa. Rata-rata prosentase yang diperoleh di bawah 15 persen yakni membaca 12 persen, menulis, 8 persen dan pemakaian bahasa 5 persen. Materi membaca lebih banyak diperoleh dari surat kabar dan majalah. Rendahnya keterkaitan membaca ini disebabkan minat baca siswa tergolong rendah, apalagi dibandingkan dengan dengan menyimak siaran televisi yang bersifat audio visual (mendengar dan memandang). Bagi siswa, membaca memerlukan kosenterasi tinggi, terlebih lagi membaca buku, sedangkan menonton televisi deangan suasana rileks dan santai. Dengan demikian, televisi benar-benar memanjakan pemirsanya sebagai ciri budaya populer yang dikemas melalui budaya massa atau budaya media. Materi menulis hanya 8 persen terkait dengan industri kreatif. Hasil ini diperoleh karena materi pembelajaran 10
ISSN : 1829 – 894X
menulis di kelas lebih banyak menulis karya ilmiah seperti makalah, surat dan laporan perjalanan. Berbeda dengan menulis dalam surat kabar atau majalah yang tidak terpaku dengan bahasa ragam ilmiah. Produk industri kreatif seperti surat kabar, majalah, tabloid memiliki ragam khusus yakni ragam bahasa jurnalistik dengan ciriciri, singkat, padat, jelas dan menarik. Dari ciri-ciri tersebut terkadang aturan penulisan baku sesuai dengan bahasa standar dan ejaan, diabaikan dalam surat kabar dan majalah. Akan, tetapi sekolah yang membuka ekstrakurikuler jurnalisitik (bagian dari pengembangan bahasa Indoneia), keterkaitan produk industri kreatif dengan ekstrakurikler tersebut sangat tinggi seperti di SMA Negeri 3 dan 5 Denpasar. Mengenai pemakaian bahasa yang hanya meraih 5 persen, sangat terkait dengan permasalahan ragam bahasa. Teoriteori pemakaian bahasa baku, bahasa yang baik dan benar sesuai dengan ejaan yanag disempurakan, ternyata kurang bersinergi dengan pemakaian bahasa surat kabar, najalah dan tabloid. Dalam materi pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia dikelas, kurikulum menuntut penulisan karya ilmiah. Dari sudut bahasa, karya ilmiah wajib menggunakan bahasa baku, bahasa yang baik dan benar sesuai dengan standar ejaan terbaru. Penulisan dalam surat kabar, majalah dan tabloid tidak terikat dengan bahasa baku dan beberapa ejaan. Menurut responden, dalam surat kabar dan majalah banyak dijumpai bahasa atau itilah-istilah kiasan yang bersifat konotatif bukan denotatif. Demikian juga dalam penulisan struktur kalimat, sangat bervariasi. Perbe-
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (1): 1 - 12
daan itu sangat dimungkinkan karena surat kabar dan majalah mempunyai karakter khas yang berbeda dengan penulisan makalah atau sekripsi. Berdasarkan jawaban analisis data kuisener dengan 5 skala Likert (sangat setuju, setuju, netral, tidak setuju dan sangat tidak setuju) , maka tidak ada responden yang menjawab: netral, tidak setuju dan sangat tidak setuju. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa produk industri kreatif dengan program-programnya tersebut tidak sekadar sebagai media alternatif pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, akan tetapi industri kreatif sebagai basis pembelajaran. Hal ini didukung oleh tayangan atau tampilan program tersebut yang sangat menarik, bervariasi, dengan gambar-gambar hidup, ilustrasi musik serta penampilan para pengisi acaranya. Kesimpulan dan Saran Produk-produk industri kreatif merupakan representasi dari perkembangan zaman dan tantangan zaman itu sendiri yang dapat diterapkan pada pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia tingkat SMA se-Bali. Hasil penelitian menunjukkan keterkaitan yang sangat tnggi antara materi pelajaran bahasa dan sastra Indonesia dengan produk industry kreatif. Dalam penerapan materi sastra, sinergitas itu mencapai (27 %), menyimak (25 %), berbicara (23 %), membaca (12 %), menulis (8 %), pemakaian bahasa (5%). Secara kualitas, respoden baik di lingkunggan guru maupun siswa, mereka menjawab sangat setuju dan setuju sinergitas dua variable tersebut. Tidak ada yang menjawab, netral, tidak setuju dan
ISSN : 1829 – 894X
sangat tidak setuju. Walaupun menyatakan sangat setuju dan setuju, namun realitas di sekolah masih dijumpai beberapa kendala. Beberapa guru di perkotaan (Denpasar) banyak memanfaatkan industri kreatif sebagai media pembelajaran seperti siaran televisi, radio, film, sinetron, surat kabar, majalah dan kaset. Namun beberapa sekolah yang lokasinya di pedesaan (Tabanan) sangat terbatas memanfaatkan industri kreatif. Disarankan kepada guruguru agar memanfaatkan produk-produk industri kreatif untuk menciptakan suasana pembelajaran yang kreatif, inovatif dan menarik bagi siswa. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih ditujukan kepada Direktorat Penelitian dan Pe ngabdian Kepada Masyarakat Dirjen Pendidikan Tinggi, Kemendikbud karena atas biaya yang diberikan melalui bantuan hibah bersaing tahun 2013. Ucapan yang sama juga ditujukan kepada Kordinator Koperttis Wilayah VIII Denpasar dan Rektor IKIP Saraswati Tabanan yang telah memfasilitasi penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Cano, Guimar Alonso. Dkk. 2000. Culture, Trade and Globalization. Paris : Unesco. Direktorat Ketenagaan. 2008. Program Lesson Study untuk Penguatan LPTK (lesson Study Dessemination Program for Strengthening Theacher Education in Indonesia-LIDIPSTI). Buku 4. Jakarta : Ditnaga Ditjen Dikdi Depdiknas. 11
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (1): 1 - 12
Fernandez, C and M, Yoshida. 2004. Lesson Study : A Janese Approach to Improveing Mathematics Teaching and Learning. London : Lawience Erlbaum Associated, Inc. Fiske,
John. 2006. Cultural dan Communication Studies Sebuah Pengantar paling Komprehensif. Yogajakarta : Jalasutra.
Hendayana, S. 2006. Leasson Study : Suatu Strategi Meningkatkan Keprofesionalan Pendidik. Bandung : UPI Press. Kartikasari, dkk. 1995. Pesan-pesan Budaya Film Anak-anak dalam Tayangan Televisi Studi tentang Pengaruh Sistem Modern Terhadap Prilaku Sosial Remaja Kota Cianjur. Jakarta : Direktorat Sejarah dan Nilai Dirjen Kebudayaan. Kushedrawati, Selu Margaretha. 2011. Hiperrealitas dan Ruang Publik, Sebuah Analisis Cultural Studies. Jakarta : Penaku. Lewis, C.S. 2002. Lesson Study : A Handbook of Theatcher-Led Instrucsional Change. Philadelphia, P.A : Rechol, Inc. Research for Better Schools. Machan, Tibor R. 2006. Kebebasan dan Kebudayaan Gagasan Tentang Masyarakat Bebas . Jakarta :
12
ISSN : 1829 – 894X
Yayasan Obor Indonesia. Martodirdjo, dkk. 1997. Dampak Periklanan Terhadap Kehidupan Masyarakat. Jakarta: ProyekPengkajian dan Pembinaan Kebudyaan Masa Kini Depdikbud. Pawito. 2007. Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogjakarta : LKiS Suaka, I. N. 2012. Sastra Sinetron dalam Ideologi Budaya Populer. Denpasar : Udayana University Press. Santosa, Hedi Pudjo. 2010. Menelisik Likuliku Infotaimen di Media Televisi. Yogjakarta : Media Prima. Suhadi. 1985. Pengajaran Sastra Indonesia di Sekolah Dasar. Surabaya : Bina Ilmu. Surbakti. Er. 2008. Awas Tayangan Televisi. Jakarta : Media Kompetindo. Tilaar, H.A.R. 2000. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta : Rineka Cipta. Tilaar, H.A.R. 2002. Manifesto Pendidikan Nasional : Tinjauan dari Perspektif Postmodernisme dan Studi Kultural. Jakarta : Kompas. Wang-Iverson, P. 2002. Why Lesson Study. Diunduh dari http://www.rbs.org/ lesson_study.
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (1): 13 - 22
ISSN : 1829 – 894X
IMPLEMENTASI PENDIDIKAN KARAKTER BERBASIS TRADISI LISAN DALAM PEMBELAJARAN IPA DI SD I Made Maduriana1), Ni Putu Seniwati 2), Fakultas PMIPA IKIP Saraswati Tabanan 1 dan 2)
[email protected] 1)
[email protected] 2) Abstract Implementation Character Education Base on Oral Tradition in Study of Natural Science in Elementary School. Globalization result the happening of various problem in world, like declining cultural values and national integrity, so that have an effect on to national identity each state without aside from Indonesia. Reality which cannot be argued that in this time have happened friction of values from which orienting moral of spiritual to orientation of physical material. Long-range target of this research is: its form of content and character education model base on oral tradition integrated in natural science study in elementary school. Method to use in data collecting is with documents research, field study, in deep interview, focus group discussion and seminar and workshop. Product the expected is prototype of model education of character base on oral traditional in the form draft of syllabus, RPP (planning education activity) and of book natural science in elementary school. Result of research show document analysis oral tradition charge from various pregnant place of values education character content which is compatible to be integrated in science studying. The results of the analysis showed the material document oral traditions associated with character education Highest to lowest portion of the ritual (27.24%), folklore (21.32%), practice (18.68), spoken language (18.71%) and education (15.57%). Result of field study survey, input result survey of quiz, in deep interview, and focus group discussion) will growing circumstantially explore of education character from oral tradition. Conclusion whereas, oral tradition which expand in pregnant society content education values of character application able to in natural science study in elementary school. Suggested to teachers which teaching science to wear oral tradition as model in improving the understanding of natural science at student at the same time inculcate character values. Keyword: Character education, oral tradition, elementary school science study Pendahuluan Globalisasi mengakibatkan ter jadinya berbagai persoalan di dunia, seperti merosotnya nilai-nilai budaya dan moral kebangsaan, sehingga berpengaruh terhadap identitas kebangsaan setiap negara tanpa terkecuali Indonesia. Suatu fakta yang tidak bisa dibantah bahwa saat ini telah terjadi pergeseran nilai-nilai
dari yang berorientasi moral spiritual ke orientasi fisikal material. Gaya hidup religius dan bersahaja sebagaimana dianut oleh masyarakat Indonesia zaman dahulu telah bergeser menjadi gaya hidup materialistis, d a n hedonis (Barokah, W. 2013). Kalau dahulu sebelum tidur anak diceritakan suatu dongeng, mitos, legenda, makna ritual dan adat kebiasaan yang 13
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (1): 13 - 22
memeberikan contoh kebaikan, kini telah tergantikan oleh instrumen canggih internet, televisi, handphone dan playstation. Piranti ini sering menayangkan adegan yang tidak sesuai untuk anak-anak, dan menjauhkan anak dari interaksi sosialnya. Pendidikan karakter tidak monopoli pendidikan agama dan PPKn saja. Pemerintah berniat mengembalikan pendidikan karakter dengan mengintegrasikan pada mata pelajaran lain seperti IPA. Tujuan jangka panjang penelitian ini adalah: terwujudnya materi dan model pendidikan budaya dan karakter bangsa berbasis tradisi lisan terintegrasi dalam pembelajaran IPA di sekolah dasar. Materi pendidikan karakter dapat dikembangkan dengan menggali dari kearifan lokal (tradisi lisan) yang ada di masyarakat. Penelitian ini diharapkan bermanfaat memberikan acuan alternatif pada konsep pendidikan karakter bagi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Pemerintah Daerah/Kabupaten Kota, sekolah dasar, mahasiswa calon guru, dan dunia pendidikan. Metode Desain penelitian ini secara keseluruhan adalah penelitian tipe pengembangan “Prototipycal Studies” (Akker, 1999) dan Plomp (2001) dengan melalui fase analisis hulu-hilir (front-end analysis), fase pengembangan prototipe (prototyping phase), dan fase penilaian (assessment phase) atau evaluasi sumatif.
14
ISSN : 1829 – 894X
Sebagai fase awal penelitian dilakukan dengan menggali tradisi lisan yang berkembang di masyarakat. Penelusuran materi tradisi lisan yang relevan dengan pendidikan karakter dan materi pembelajaran IPA di sekolah dasar dilakukan dengan studi kepustakaan, studi lapangan, wawancara mendalam, diskusi kelompok terarah. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif kwalitatif. Data yang berhasil di input pada tahun pertama diolah memakai fase analisis hulu-hilir (front-end analysis). Materi pendidikan karakter yang diperoleh selanjutnya dimasukan dalam draft silabus, dan RPP. Untuk memverifikasi hasil penelitian yang diharapkan berupa draft materi pembelajaran (silabus, dan RPP) akan dilakukan melalui semiloka melibatkan guru, kepala sekolah, pakar kurikulum dan mahasiswa calon guru. Hasil Studi Kepustakaan Analisis dokumen dilakukan di delapan perpustakaan yang ada di Bali. Analisis dilakukan terhadap isi dokumen mengenai tradisi lisan. Tradisi lisan yang ditemukan dalam dokumen dikelompokan dalam ritual, folklore (lisan, sebagaian lisan maupun bukan lisan, bahasa lisan (nyanyian, pribahasa, pepatah dan teka-teki), praktik dan pendidikan. Hasil penelitian berupa analisis dokumen yang relevan dengan pendidikan karakter disajikan dalam tabel 1 di bawah ini.
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (1): 13 - 22
ISSN : 1829 – 894X
Tabel 1 Analisis Dokumen Pendidikan Karakter dalam Tradisi Lisan
Asal dokumen
Bahasa Lisan (nyanyian, pribahasa, pepatah dan teka-teki)
Praktik (arsitektur, kerajinan tangan, permaianan tradisional
Jumlah buku
Ritual
Folklor (dongeng. mitos, legenda, dan takhyul)
6
75
56
80
60
24
7
80
80
30
65
25
Pendidikan
1. Gedung Kirtya Singaraja 2. PUSDOK Disbud Bali 3. Perpustakaan Wilayah Daerah Bali 4. UNHI Denpasar
8
20
35
30
25
65
10
85
45
55
70
85
5. Museum Bali
2
20
35
40
25
15
6. Museum Subak
21
105
30
11
25
15
7. Perpustakaan Fakultas Sastra UNUD 8. Perpustakaan Art Centre Jumlah
22
55
70
36
20
21
4
15
5
5
22
10
80
455
356
287
312
260
Hasil analisis dokumen menun jukkan materi tradisi lisan yang terkait dengan pendidikan karakter porsi terbanyak sampai terkecil adalah ritual (27,24%), folklor (21,32%), praktik (18,68), bahasa lisan (18,71%) dan pendidikan (15,57%). Tradisi lisan yang relevan dengan pendidikan karakter adalah dongeng, folklor, ritual, kebiasaan yang berkembang di masyarakat. Beberapa tradisi lisan yang relevan dengan konten/tema kurikulum 2013 dalam mata pelajaran IPA antara lain: Sikap ilmiah, dalam tradisi masyarakat Bali yang diilhami oleh agama Hindu sudah dikenal istilah Tri Pramana terdiri atas pratyaksa pramana (pengamatan langsung), sabda pramana (membaca buku sumber atau apa kata pakar), dan anumana
pramana (penalaran) (Suja, 2011, Subagia, 2006). Terkadang Tripramana dipecah menjadi Catur Pramana dengan tambahan upamana pramana (pemodelan atau perbandingan) yang dalam Tripramana masuk dalam anumana pramana (Subagia, 2006). Peduli terhadap makhluk hidup, tradisi lisan yang relevan adalah mengenal tumbuh-tumbuhan sebagai bahan makanan misalnya umbinya yang bisa dimakan, ketela rambat, ketela pohon, kacang tanah dan suweg. Cara mengenalinya adalah jika umbi tersebut disukai binatang pengerat dan kera maka umbi tersebut aman untuk di makan. Batangnya yang bisa di makan seperti sagu, tebu dan rebung, mengenali batang tumbuhan yang bisa dimakan didapat dari orang tua secara lisan. Daun tanaman 15
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (1): 13 - 22
yang bisa dimakan biasanya tekstur lembut dan disukai ulat. Tumbuhan yang berkhasiat obat cara pengenalannya juga secara lisan, untuk menyetop darah mengucur saat luka memakai kerikan gedebong (kerokan batang pisang), don piduh (tapak kuda) dan sebagai antiseptik dipakai kunyit (kunir). Dalam memilih bahan bangunan dipilih bagian tumbuhan yang sesuai fungsi bangunan, misalnya untuk tempat suci memakai kayu cempaka, majagau, jati atau nangka, untuk rumah tinggal dapat memakai seseh (batang kelapa), jati, nangka dan masih banyak lagi. Pelestarian tanaman memakai konsep alas tenget (hutan angker), ada pohon yang dianggap keramat seperti kepuh, kepah, pule dan beringin. pantang untuk dijadikan bahan bangunan. Peduli terhadap binatang juga dapat dilakukan dengan mengenal binatang berdasarkan ciri-cirinya. Hewan untuk kepentingan upacara pecaruan dikenal dengan ayam biing (bulu merah), putih, selem (bulu hitam), buik kuning (burik kaki dan paruh kuning), putih siungan (hitam ada bulu putih) dan berumbun (aneka warna), asu bang bungkem (anak anjing bulu coklat mulut hitam), bebek belang kalung (itik kakinya belang leher berkalung putih). Masyarakat Bali terutama yang suka memelihara ayam aduan sangat mengenal ciri-ciri ayam miliknya dari warna, ciri fisik (jengger kaki dan bulunya), bahkan mereka mengenali ayam miliknya dari mendengar suara kokokannya saja. Masyarakat Bali juga mengenal ayam yang bisa berjaya di arena aduan berdasarkan cirri-ciri fisik dengan istilah tetempur (mampu
16
ISSN : 1829 – 894X
mengalahkan). Pelestarian binatang ada dengan konsep duwe niskala seperti kera di Pulaki dan Sangeh, dan sapi putih di Taro. Klasifikasi mahluk hidup tradisonal Bali kedalam kelompok sato (hewan kaki empat), mina (ikan), manuk (burung), taru (pohon) dan wong (manusia). Hemat energi di Bali dikenal dengan tradisi Nyepi, memakai bahan bakar arang, memanfaatkan tenaga hewan untuk membantu pekerjaan. Konsep Subak adalah pengaturan tataguna air, pertanian kerta masa untuk mengurangi penggunaan air. Jika musim dingin ada istilah ngidu (berdiang) menghangatkan badan. Mamatikan kompor jika sudah berhenti memasak, memutus aliran listrik jika sudah selesai menggunakan alat listrik. Bahan bakar tradisional memakai adeng (briket arang), jika kayu bakar berlebihan. Memupuk tanaman dengan pupuk kandang. Membantu pekerjaan berat dengan alat pengundil (pngungkit). Memanfaatkan tenaga angin untuk menghasilkan alat musik alam seperti pinekan (baling-baling), sunari, guwangan (pada layang-layang) dan alat-alat penghalau burung. Pemakaian alatalat dapur tradisional dari kayu, bambu dan tempurung kelapa seperti sepit, semprong, siduk, cedok, kuskusan dan sokasi, semua memperhitungkan baik-buruk daya hantar panasnya. Pemakaian alat-alat pertanian hemat energi seperti pemakaian bidang miring pada singkal, tambah dan lampit. Studi kepustakaan juga dilakukan terhadap kurikulum 2013. Penelusuran ini dilakukan untuk menemukan karakter apa saja yang diinginkan dalam materi
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (1): 13 - 22
pelajaran IPA di sekolah dasar. Hasil penelusuran kurikulum 2013 dan karakter yang dimuat di dalamnya adalah religius, jujur, disiplin, tanggung jawab, santun, peduli, percaya diri, rasa ingin tahu, cinta tanah air dan hidup sehat. Masing-masing karakter tercantum dalam kopetensi inti dan kopetensi dasar seperti dalam tabel 2. Tabel 2 Jumlah Karakter dalam Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar Kurikulum 2013 No. Karakter
K o m p e t e n s i Kompetensi Inti Dasar 6 6 1 Religius 6 5 2 Jujur 6 2 3 Disiplin 7 6 4 Tanggung jawab 6 5 Santun 6 10 6 Peduli 6 1 7 Percaya diri 9 3 8 Rasa ingin tahu 2 9 Cinta tanah air 6 10 Hidup sehat
Survei Karakteristik Siswa Hasil survei terhadap karakteristik siswa di masing masing lokasi sekolah, disajikan seperti gambar 1 berikut.
ISSN : 1829 – 894X
Wawancara mendalam Hasil wawancara mendalam terhadap kepala sekolah dan guru yang mengajar IPA diperoleh jawaban yang cendrung jenuh. Dari enam sekolah yang dijadikan subyek penelitian semua kepala sekolah memberikan jawaban relatif sama terhadap penerapan tradisi lisan dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa terintegrasi dalam pembelajaran IPA di sekolah dasar. Jawaban tersebut adalah. Saya setuju dengan itu, apalagi kita banyak punya tradisi-tradisi seperti mendongeng yang ternyata mampu membentuk karakter baik pada anak. Kegiatan ini sekarang sudah mulai luntur akibat pengaruh permainan elektronik. Kalau memanfaatkan tradisi lisan seperti nyanyian, permainan, teka-teki (cecimpedan) itu akan merangsang anak untuk bersosialisasi, sikap peduli dengan teman, jujur, bertanggung jawab, mendidik kesopanan, dan menimbulkan rasa syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa. Daripada sekarang dengan
Gambar 1. Nilai Karakter Siswa Hasil Penilaian Siswa dan Guru
17
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (1): 13 - 22
permaianan canggih seperti Play Station, game online, permainan di hand phone (Hp), cendrung membuat anak kurang peka sosial, individualistis, egois, malas belajar dan hanya berkomunikasi dengan alat itu saja. Beberapa contoh di masyarakat yang dapat dipakai untuk memupuk sikap peduli sosial dan lingkungan misalnya kebiasaan menjenguk jika ada temannya sakit. Melayat jika ada orang tua siswa meninggal dunia. Saya selalu memberikan wejangan ketika memberikan sambutan saat upacara bendera membangkitkan rasa percaya diri anak dengan mengutif istilah “ berani karena benar dan takut kalau salah” Penjelasan cara integrasi tradisi lisan itu sebagai wahana pendidikan karakter dalam pembelajaran IPA, jawaban yang diperoleh dari kepala sekolah adalah sebagai berikut. Tentu masih ada celah untuk menyelipkannya, untuk semua itu tentu guru yang lebih tahu. Guru akan tahu bagaimana caranya mengelola kelas agar suasana kelas itu menjadi hidup. Demikian juga sudah menjadi ketrampilan guru dalam membuat suasana kelas agar siswa antusias untuk belajar. Pokoknya urusan strategi mengajar, metode dan model pembelajaran yang dipilih diberikan hak kepada guru bersangkutan asal tidak keluar dari koridor kurikulum 2013. Pembelajaran IPA adalah materi yang terkait dengan fenomena alam, seperti tunbuhan dan hewan di sekitar kita bagaimana hemat energi ini adalah celah bagi guru untuk mengenali mahluk hidup di sekitar dirinya, bagaimana sifat
18
ISSN : 1829 – 894X
dan ciri unik dari setiap mahluk. Dengan mengetahui berbagai tumbuhan dan hewan baik yang rendah maupun yang tinggi akan menggiring siswa mengagumi kebesaran Tuhan. Siswa akan sadar bahwa di dunia ini bukan hanya dirinya saja. Semua mahluk ciptaan Tuhan tentu ada fungsinya, kalau salah satu saja rusak maka fungsi tidak berjalan menyebabkan gangguan terjadi di alam. Dari sini siswa mulai diajak peduli terhadap lingkungannya. Berhemat energi mengajarkan siswa untuk selalu menghargai energi apalagi yang tidak terbarukan. Siswa diajak memikirkan jenis energi alternatif, dengan contoh-contoh energi yang dipakai masyarakat dulu hingga sekarang. Hasil wawancara terhadap guru mata pelajaran IPA mengenai integrasi pendidikan karakter berbasis tradisi lisan diperoleh jawaban sebagai berikut. Saya setuju dengan pemanfaatan kearifan lokal atau yang disebut tradisi lisan itu menjadi contoh dalam pembelajara IPA untuk membentuk karakter siswa. Sikap religius selalu saya ajak mereka berdoa sebelum mulai pelajaran. Seperti saya (guru kelas 4 SDP Denpasar) dalam mengajar IPA selalu minta siswa untuk jujur dalam menyampaikan hasil pengamatannya. Seperti misalnya ketika saya ajak siswa mengamati warna bunga dan daun tanaman mereka harus jujur mengemukakan hasil pengamatannya, walaupun sedikit berbeda dengan dalam buku. Saya kadang memakai istilah Kharma Pahala jika berbohong
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (1): 13 - 22
ISSN : 1829 – 894X
akan memetik hasilnya. Santun dalam menjawab pertanyaan guru, disiplin dalam mengamati, mau memberitahu teman yang belum mengerti dan selalu ingin tahu terhadapa apa yang diselidiki.
oleh masayarakat. Siswa diajak mengenali cirri-ciri dan tingkah laku hewan di sekitarnya di sekitarnya dengan meniru cara masyarakat di sekitarnya yang telah berlaku turun temurun.
Pertanyaan mengenai cara integrasi materi tradisi lisan dalam pembelajaran IPA kepada guru pengajar IPA diperoleh jawaban seperti berikut. Saya kira agar pendidikan karakter dapat diselipkan dalam setiap materi pembelajaran ada baiknya dalam silabus ditambahkan kolom khusus mengenai karakter yang diinginkan oleh kompetensi inti dan kopetensi dasar. Dalam RPP dapat dimasukan dalam kompetensi dasar. Saya sering mangambil contoh kegiatan ritual masyarakat, cara mereka memperlakukan lingkungan dan cara mereka menghargai lingkungan. Misalnya untuk memanjatkan rasa syukur pada tumbuhan dan hewan, umat Hindu di Bali setiap enam bulan sekali memberikan selamatan kepada tumbuhan dengan upacara Tumpek Wariga dan Tumpek Uye pada hewan. Menjaga kelestarian hutan dengan ada istilah “alas tenget” atau tidak jarang kita temukan pohon yang dililit dengan kain ”poleng” (kotak-kotak putih dan hitam). Menghargai tanaman juga dilakukan dengan menebang pohon tertentu memperhitungkan hari baik dan menjauhi pantangannya. Pelestarian hewan dengan memelihara hewan tertentu yang dipandang memberikan keberuntungan. Pelestarian hewan yang akan dipakai dalam upakara yadnya, sudah dilakukan
Jawaban terhadap celah-celah untuk memasukan pendidikan karakter berbasis tradisi lisan diperoleh jawaban. Tidak perlu membuat pendidikan karakter itu menjadi mata pelajaran tersendiri sebab akan mengambil jam pelajaran lain. Sekarang saja tugas guru sangat padat sebab dengan tematik guru dibuat repot dalam memfasilitasi siswa belajar sambil memberikan nilai. Yang paling menggangu adalah tema cepat beganti, sehingga sebagai guru kelas kita mesti pintar berinovasi. Integrasi pendidikan karakter dapat dilakukan mulai menyusun silabus dengan menambah satu kolom berisi karakter siswa yang diinginkan, dalam RPP dapat dimasukan dalam kompetensi dasar, pada proses pembelajaran dan pada penilaian dituntut kejujuran. Pembahasan Dari hasil analsisis dokumen diperoleh tradisi lisan terbanyak yang mengandung pendidikan karakter adalah ritual, diikuti folklore dan praktik/kebiasaan setempat. Ritual mengajarkan karakter religius pada siswa. Berbagai aktivitas ritual hampir setiap hari berlangsung di Bali. Hal ini sesuai dengan Bali sebagai pulau seribu pura yang setiap hari masyarakat Bali melakukan ritual untuk memuja Ida Sang Hyang Widi Wasa (Tuhan Yang
19
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (1): 13 - 22
Maha Esa). Kegiatan ini dapat memberikan imbas religius kepada siswa dari sejak SD. Dokumentasi kegiatan ritual dalam bentuk buku, lontar atau catatan lainnya banyak dikoleksi di museum atau perpustakaan. Jumlah nomor dua adalah folklore, yaitu kebiasaan adat istiadat tradidional seperti cerita rakyat yang berkembang dan terpelihara dengan baik walau tidak dibukukan. Jaman dahulu dongeng sebelum tidur sering diceritakan oleh orang tua kita, dari cerita ini terjadi proses internalisasi nilai-nilai kebajikan secara perlahan, tidak instan seperti sekarang. Jumlah banyak ketiga adalah praktik dalam kehidupan sehari-hari. Dalam praktik orang tua kita telah secara tidak langsung mengajarkan kepada kita kearifan lokal. Banyak kearifan lokal yang tidak dibukukan masih ada seperti melakukan sesuatu akan mencari hari baik, dan manghindari pantangannya. membangun tempat tinggal mencari hari baik melakukan dengan pertimbangan astakosala kosali dan asta bumi. Tidur saja memperhitungkan kiblat dengan istilah luan-teben, sebagai penerapan sikap sopan. Praktik juga termasuk permaianan tradisional dan seni tari. Bahasa lisan menempati urutan keempat dari dalam dokumen, menandakan banyak tingkah polah berbahasa ditiru oleh anak-anak untuk diaplikasikan dalam pergaulan sehari-hari. Karakter yang dapat terbentuk adalah cara mengungkapkan pendapat denga bahasa yang baik dan benar, dan begaimana berbahasa dengan guru dan orang yang patut dihormati. Pada kompetensi inti pendidikan
20
ISSN : 1829 – 894X
karakter yang dominan adalah rasa ingin tahu, kenadaan ini sesuai dengan sifat pelajaran IPA adalah eksplorasi, dan selalu berkembang. Sedangkan pada kompetensi dasar karakter yang dominan dimuat adalah karakter peduli. Peduli terhadap alam sekitar dan peduli terhadap sesama adalah karakter yang mengajarkan siswa tanggap terhadap lingkungan dan sesama. Karakteristik siswa baik kuisioner yang diisi siswa maupun hasil penilaian guru menunjukkan bentuk grafik yang sama. Jumlah rata-rata nilai karakter siswa dari tiap lokasi sekolah menunjukkan perbedaan. Perbedaan ini karena siswa sekolah dasar subyek ada yang belum pintar membaca, ada yang sulit menginterpretasi pernyataan. Cara integrasi pendidikan karakter dalam pembelajaran IPA da[at dilakukan dari menyusun silabus dengan menambah satu kolom karakter yang diinginkan, penyusunan RPP dimasukkan dalam kompetensi dasar, saat pelaksanaan pembelajaran dan pada saat evaluasi dengan penekanan pada kejujuran dan kesopanan. Kesimpulan Dari hasil penelitian yang diperoleh dan pembahasan yang dilakukan maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Tradisi lisan, yang ada di masyarakat dapat dijadikan dasar pendidikan karakter di sekolah dasar. 2. Siswa sekolah dasar telah memiliki karakter yang baik, perlu dipupuk dengan integrasi dalam pelajaran IPA
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (1): 13 - 22
3. Nilai-nilai karakter dalam tradisi lisan dapat diintegrasikan dengan pelajaran IPA sekolah dasar melalui penambahan satu kolom karakter dalam silabus, memasukan dalam kompetensi dasar RPP, pada saat proses pembelajaran dan evaluasi. Saran-Saran Para pelaku pendidikan terutama yang di sekolah dasar, untuk dapat menjadikan hasil penelitian ini sebagai acuan dalam pendidikan karakter siswa. Kepada guru yang mengajar IPA, dapat menyelipkan pendidikan karakter dengan basis tradisi lisan dalam memberikan pembelajaran. Ucapan Terima kasih Ucapan terima kasih ditujukan kepada Direktorat Penelitian dan Pe ngabdian Kepada Masyarakat Dirjen Pendidikan Tinggi, Kemendikbud karena atas biaya yang diberikan melalui bantuan hibah bersaing tahun 2013. Ucapan yang sama juga ditujukan kepada Kordinator Koperttis Wilayah VIII Denpasar dan Rektor IKIP Saraswati Tabanan yang telah memfasilitasi penelitian ini.
REFERENSI Akker, J.V. (1999). Principles and Methods of Development Research. In J. vam den Akker,R Branch,K Gustafson, N Nieveen and Tj.Plomp (Eds). Design Approaches and Tools in
ISSN : 1829 – 894X
Education and Training (hlm. 1-14). Dodrecht : Kluwer Academic Publisher Afandi, R. 2011. Integrasi Pendidikan Karakter Dalam Pembelajaran IPS Di Sekolah Dasar Pedagogia Vol. 1 No.1 Desmber 2011 85-98 Antonov. Mikhail. (2002). The Russsian National Character and Western Idividualism. (Translate by Maria Gousseva), the original in Russian: http//prada.ru/main/2002/08/26 /46204. html. Berkowitz, Marvin W. dan Bier, Mellinda C. (2005). What Works in Character Education: A Research-driven Guide for Educators. Washington: Character Education Partnership Berkowitz, M.W., Battistich, V.A., Bier, M.C. 2008. “What Works in Character Education: What IsKnown and What Needs to Be Known”. Handbook of Moral and Character Education. Pages 414431. New York: Tailor andFrancis. Buchori, M. (2001). Pendidikan Antisipatoris. Yogyakarta: Kanisius. Barokah, W. 2013. Kearifan Lokal Dalam Sastra Lisan Sebagai Materi Pembelajaran Karakter Di Sekolah Dasar . Surabaya: UPBJJ-UT
21
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (1): 13 - 22
Kemdikbud. 2013. Kurikulum 2013: Kompetensi Dasar Sekolah Dasar (SD)/Madarasah Ibtidaiyah (MI). Jakarta: Kemdikbud. Simpen, W. AB. 2010. Basita Parihasa Bahasa Bali. Denpasar: Upada Sastra Subagia dan Wiratma, L.2006. PotensiPotensi Kearifan Lokal Masyarakat
22
ISSN : 1829 – 894X
Bali Dalam Bidang Pendidikan. Jurnal Pendidikan dan Pengajaran Nomor 3 Tahun ke XXXIX. IKIP Negeri Singaraja Suja, I Wayan. 2011. Analisis Kebutuhan Pengembangan Buku Ajar Sains SD Bermuatan Pedagogi Budaya Bali. Jurnal Pendidikan dan Pengajaran, Jilid 44, Nomor 1-3, April 2011, hlm.8492.
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (1): 23 - 32
ISSN : 1829 – 894X
IMPLEMENTASI AJARAN AGAMA HINDU DALAM TEKS GEGURITAN SIDHA YOGA KRAMA Ni Putu Parmini Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP Saraswati Tabanan ABSTRAK Objek penelitian ini adalah teks Geguritan Sidha Yoga Krama (selanjutnya disingkat GSYK). Teks GSYK mengandung narasi-narasi yang sangat menarik dan aktual untuk dibahas pada masyarakat kekinian. Analisis yang dilakukan dalam penelitian ini untuk menjawab pertanyaan tentang bagaimana struktur, fungsi, dan makna wacana ajaran kapanditan dalam teks GSYK. Jawaban atas permasalahan struktur, fungsi, dan makna wacana ajaran kapanditan dalam teks GSYK merupakan tujuan khusus penelitian ini. Teori yang digunakan adalah wacana naratif Genette (1982), teori fungsi Robson (1997), teori semiotika Berger (1992), dan teori resepsi Isser (1987). Sebagai penelitian kualitatif datanya dikumpulkan dengan metode observasi, wawancara, metode pustaka, dan teknik baca. Hasil kajian penelitian ini disajikan dengan metode formal dan informal yang berupa uraian verbal dengan kata-kata yang disusun secara sistematis sesuai dengan susunan permasalahan yang ada. Analisis wacana naratif teks GSYK yang berupa tema, alur, dan penokohan yang ditonjolkan. Analisis fungsi digunakan untuk mengetahui fungsi wacana. Analisis semiotika dan resepsi untuk mengetahui makna wacana dalam teks GSYK. Entitas pencerahan disimpulkan bahwa empat entitas dari teks GSYK dalam perubahan status walaka menjadi sadhaka, yakni (1) etika nabe sisya, (2) padiksan (3) implementasi ajaran agama Hindu, dan (4) kemanunggalan Siwa Buddha. Hasil analisis data menunjukkan bahwa GSYK merupakan wacana naratif yang dibangun oleh pupuhpupuh, didalamnya menarasikan tentang ajaran kapanditan. Fungsi wacana dalam teks GSYK ditemukan fungsi religius, fungsi didaktik, fungsi toleransi, dan fungsi keindahan. Makna wacana dalam teks yakni pandita mesti memiliki kemampuan untuk memahami Tri Jñana Sandhi. Lewat geguritan ajaran kapanditan dapat disimak dengan lebih komprehensif, bukan hanya pendidikan juga sambil menikmati hiburan. Kata kunci: wacana, ajaran kapanditan, dan geguritan. IMPLEMENTATION OF THE HINDU RELIGION TEXT IN THE GEGURITAN SIDHA YOGA KRAMA ABSTRACT The object of the present study is the text of Geguritan Sidha Yoga Krama (hereinafter abbreviated to GSYK). GSYK contains narrations which are interesting and actual to discuss within the current context of society. The text was analyzed to answer the questions of the form, function and meaning of the discourse in the text of GSYK, which are the specific objectives of the present study. The theories used were the theory of narrative discourse proposed by Piliang, the theory of function proposed by Robson, the 23
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (1): 23 - 32
ISSN : 1829 – 894X
theory of semiotics proposed by Berger, and the theory of reception proposed by Isser. As a qualitative study, the data were collected using the methods of observation, interview, library research, and reading technique. The result of the data analysis was informally presented, meaning that the result of the data analysis was verbally presented using words which were systematically organized in accordance with the problems of the study. The analysis of the narrative discourse of GSYK text focused on the theme, plot and characters. The semiotic and reception analysis was intended to identify the discursive meaning of GSYK text. It could be concluded that there were four entities in GSYK text from the status of walaka to the status of sadhaka. The four entities are (1) the ethics of Nabe (teacher) and Sisya (student); (2) padiksan (a religious ritual when someone is baptized as a Hindu priest);(3) the implementation of Hinduism; and (4) the unity of Ciwa and Buddha. The result of analysis showed that GSYK was a narrative discourse which was constructed from what is called pupuh (strophes) narrating the discourse of kapanditan (priesthood) teaching. It was found that the discourse functioned as didactic, tolerance, and beauty. The meaning of the discourse in the text was that a panditra (priest) should be able to understand the basic framework of Hinduism. The kapanditaan teaching could be enjoyed through geguritan and amusement. Keywords: discourse, kapanditan teaching, and geguritan PENDAHULUAN Sastra Bali tradisional Geguritan Sidha Yoga Krama (GSYK) mengandung kisah-kisah yang sangat menarik dan memiliki hubungan penting dengan implementasi ajaran Agama Hindu. Hal yang menarik tersebut yakni proses kelahiran pendeta atau proses perubahan status dari status walaka menjadi sadhaka. Kenyataannya belum semua pendeta mampu mengubah status yang sesuai dengan etika kependetaan. Geguritan Sidha Yoga Krama (GSYK) sebagai sastra Bali tradisional termasuk dalam genre sastra yang bersifat didaktis religius, karena didalamnya penuh dengan muatan makna ajaran Agama Hindu pada aspek acara. Acara yang merupakan unsur dari Tri Jnana Sandhi. Geguritan Sidha Yoga Krama (GSYK) dapat dijadikan sumber dalam mendidik calon pendeta untuk menjalankan tugastugas kependetaan. Melalui Geguritan 24
Sidha Yoga Krama (GSYK) dapat dipahami tentang etika kependetaan dan implementasi ajaran Agama Hindu. Pendeta memiliki peranan yang vital dalam menyelamatkan posisi Agama Hindu dalam era globalisasi. Dewasa ini umat Hindu masih banyak yang belum memahami filsafat agamanya sendiri. Lewat memahami Geguritan Sidha Yoga Krama (GSYK) akan dapat meningkatkan pemahaman umat terhadap filsafat Agama Hindu. Teks Geguritan Sidha Yoga Krama (GSYK) yang dijadikan dasar objek penelitian didekati dengan teori wacana naratif, teori fungsi, dan teori semiotika serta didukung oleh teori resepsi. Struktur fungsi dan makna wacana ajaran kependetaan adalah masalah pokok yang dikaji. Secara khusus penelitian ini berupaya untuk menganalisis/mengkaji struktur, fungsi, dan makna wacana ajaran kependetaan dalam Geguritan Sidha Yoga
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (1): 23 - 32
Krama (GSYK). Secara teoritis penelitian ini dapat memberikan kontribusi positif dalam memanfaatkan kualitas ilmu sastra dan memberikan sumbangan pemikiran untuk dapat dipakai pegangan bagi calon pendeta ataupun pendeta memahami konsep keagamaan. Secara praktis hasil penelitian ini memberikan kontribusi langsung untuk : (1) dijadikan rujukan bagi calon pendeta maupun pendeta dalam implementasi etika kependetaan maupun ajaran Agama Hindu; (2) dapat dimanfaatkan oleh masyarakat luas dalam upaya meningkatkan persepsi keagamaan dan mempertajam pemahaman tentang ajaran Agama Hindu. KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI Kajian Pustaka Kajian pustaka mencakup penelitian sejenis yang relevan sebagai berikut. Buku upacara mediksa Pasek Sanak Sapta Resi (2007) oleh Suarjaya mengkontekskan pendidikan kependetaan pada ruang lingkup madiksa, menitik beratkan pada aspek susila dan upacara mediksa. Buku Diksa Pintu Menapaki Jalan Rohani (2007) oleh Suhardana memaparkan tentang pelaksanaan diksa selanjutnya Suhardana (2008) bukunya berjudul DasarDasar Kesulinggihan mendeskripsikan tentang hal-hal yang perlu diperhatikan atau ditaati untuk dapat menjadi pendeta. Disertasi Geria (2012) yang berjudul wacana Siwa Buddha dalam kekawin Nila Candra : Analisis Resepsi. Penelitian tersebut sama-sama mengkaji tentang
ISSN : 1829 – 894X
sastra tradisional yang dapat dinyanyikan dan sama-sama juga mengkaji/ membahas kemanunggalan Siwa Buddha. Dari penelitian-penelitian sejenis tersebut di atas ternyata berbeda dengan penelitian ini yang mengkaji tentang ajaran kependetaan yang objeknya karya sastra tradisional yakni geguritan yang memuat tentang ajaran-ajaran kependetaan yang dapat dijadikan salah satu pedoman bagi calon pendeta dalam memahami ajaran kependetaan dan sekaligus ajaran Agama Hindu. Konsep Konsepsi penelitian wacana ajaran kependetaan dalam teks Geguritan Sidha Yoga Krama (GSYK) berpegang dari paradigma yang dijadikan landasan untuk mengkaji data ajaran kependetaan sekaligus ajaran Agama Hindu. Kerangka berpikir atau konsep berpikir tersebut adalah konsepsi mengenai ajaran kependetaan. Geguritan Sidha Yoga Krama (GSYK) Istilah SidhaYoga Krama jika ditinjau secara umum berarti suksesnya perjalanan bertapa. Kata Sidha dalam Kamus Bahasa Bali (Ananda Kusuma, 1986) berarti sukses atau berhasil. Yoga berarti pertapa dan Krama berarti perjalanan. Geguritan sebagai karya sastra tradisional Bali yang mengandung ajaran-ajaran nasehat-nasehat yang dapat dimanfaatkan dalam kehidupan atau menjalankan kehidupan. Geguritan dapat dijadikan cermin kehidupan dalam konteks penelitian ini implementasi ajaran kependetaan atau ajaran Agama Hindu.
25
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (1): 23 - 32
Konsep Pendeta Kata pendeta menurut Kamus Bahasa Bali (Ananda Kusuma, 1986) berarti orang yang sudah didiksa. Widiantara (2010 : 68) menyatakan pendeta adalah orang suci yang memiliki kedudukan mulia di masyarakat. Santika (2010 : 129) menyatakan pendeta adalah seorang yang memiliki kekuatan batin serta mempunyai kepekaan untuk menerima getaran-getaran gaib dari Tuhan dan telah didiksa. Tugas pendeta adalah menyelesaikan segala upacara/upakara, memimpin dan menentukan waktu baik untuk melakukan sesuatu. Disamping itu pendetai bertugas memberikan tuntunan bimbingan kepada umat dalam tata kehidupan beragama atau memberikan pencerahan kepada umat tentang ajaran serta implementasi ajaran Agama Hindu (Santika, 2010 : 136). Berdasarkan uraian diatas pendeta dapat diberikan makna sebagai orang suci Hindu yang telah didiksa, memiliki kedudukan mulia di masyarakat dan tugasnya adalah muput upacara/upakara serta mampu membantu memberi pencerahan kepada umat dalam tata kehidupan beragama atau ngloka phalasraya. Landasan Teori Dalam menganalisis data, penelitian ini digunakan teori wacana naratif, teori fungsi, teori semiotika, dan teori resepsi. Teori wacana naratif menurut Genette (1983 : 25-30) bahwa analisis wacana naratif dapat dilakukan dengan analisis pernyataan naratif dalam kaitannya dengan serial peristiwa baik lisan maupun tulisan, analisis isi naratif dalam kaitannya dengan 26
ISSN : 1829 – 894X
susunan peristiwa dan analisis naratif dalam kaitannya dengan peristiwa-peristiwa dalam cerita. Dalam penelitian ini analisis wacana naratif berdasarkan pandangan Genette itulah yang mendasari analisis. Teori fungsi menurut Pradotokusumo (2001 : 30) bahwa fungsi karya sastra adalah keseluruhan sifat yang bersama-sama menuju tujuan yang sama serta dampaknya. Fungsi dinyatakan dapat dibedakan atas fungsi intrinsik dan fungsi ekstrinsik dan dapat ditentukan fungsinya oleh pembaca. Teori Semiotika menurut Berger (2000 : 99) bahwa dalam pemahaman kehidupan sosial selalu dihubungkan jenis genre, denotasi dan interpretasi atau bagian, penanda dan petanda. Misalnya bagian/bidang lalu lintas, penandanya lampu berwarna merah maka petandanya harus berhenti. Teori resepsi menurut Isser (1987 : 27-30) bawa pembaca diberikan peluang untuk menggunakan imajinasinya dalam mengisi kesenjangan atau ruang kosong yang tersedia. Wacana harus dikaji melalui pemahaman dan tanggapan pembaca. Aktivitas pembacaan dalam upaya pengisian ruang tersebut dikontrol dan diarahkan oleh wacana dan masyarakat pembaca sebagai penyambutnya. Pembaca tidaklah membaca dengan latar pikiran kosong dalam konteks yang dibacanya melainkan harus berbekal pengetahuan terkait dengan konteks yang dibacanya sehingga dapat memberikan respon atau tanggapan dan makna sesuai dengan konteks materi yang dibacanya.
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (1): 23 - 32
METODE PENELITIAN Rancangan penelitian adalah penelitian kualitatif yang disajikan secara deskriptif kualitatif yang berupa deskripsi kata-kata. Jenis data adalah data kualitatif dengan sumber data pada Geguritan Sidha Yoga Krama (GSYK). Instrumen penelitian berupa pedoman wawancara sebagai instrumen penunjang, peneliti sendiri serta wacana Geguritan Sidha Yoga Krama (GSYK) sebagai instrumen utama. Ruang lingkup penelitian mencakup struktur formal, struktur naratif, fungsi dan makna wacana ajaran kependetaan dalam Geguritan Sidha Yoga Krama (GSYK). Pengumpulan data dilakukan dengan metode observasi untuk menjajaki lokasi penelitian, metode wawancara dilakukan untuk memperoleh data empiris terkait dengan wacana ajaran kependetaan dalam Geguritan Sidha Yoga Krama (GSYK) serta tanggungan kelompok pembaca terhadap wacana ajaran kependetaan dalam Geguritan Sidha Yoga Krama (GSYK). Teknik baca dilakukan dengan strategi membaca cepat. Membaca dalam konteks penelitian ini dilakukan dengan teknik membaca yang benar-benar terfokus pada objek. Studi kepustakaan dilakukan untuk menggali teori-teori dasar dan konsep yang telah dikemukakan oleh para ahli terdahulu, mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pada aspek yang dianalisis guna memperoleh wawasan dan membuka cakrawala dalam upaya menganalisis data sehingga diperoleh hasil analisis yang valid dan akurat (Ratna, 2004). Triangulasi dilakukan untuk memperoleh kesahihan data kajian. Untuk
ISSN : 1829 – 894X
memperoleh kesahihan data penelitian ini ditempuh cara yang dikemukakan oleh Janesick (2009 : 271) yakni (1) melakukan triangulasi metode pengumpulan data dan sumber data untuk memperoleh kesahihan data primer dan sekunder yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. (2) mengecek kembali kebenaran data yang diperoleh. Setelah mengakhiri wawancara atau observasi maupun setelah penyusunan draf laporan penelitian. (3) Penggalian data melalui observasi maupun wawancara dilakukan secara berulangulang untuk memupuk rasa saling percaya antara peneliti dengan informan sehingga diperoleh data yang mendekati kenyataan. (4) mengkonfirmasikan data yang dianggap meragukan dengan tokoh-tokoh agama atau tokoh masyarakat dan teman sejawat yang memahami serta mendalami masalah yang sedang diteliti. Analisis dan penyajian hasil analisis data. Analisis data dilakukan dengan langkah-langkah berpikir yang sejalan dengan metode yang dikemukakan oleh Ricoeur (1985 : 43) yang menyatakan bahwa pengoprasian pemahaman dalam hubungannya dengan interpretasi terhadap wacana. Tugas pokok hermeneutika yakni mencari dinamika internal yang mengatur struktur kerja sebuah teks dan mencari daya yang dimiliki kerja teks itu untuk memproyeksikan diri keluar dan memungkinkan halnya teks itu muncul ke permukaan. Langkah berpikir peneliti yang pertama pemahaman terhadap isi teks, kedua penjelasan terhadap isi teks yang ketiga interpretasi terhadap isi teks dan yang keempat melahirkan suatu persepsi 27
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (1): 23 - 32
dari teks. Dari langkah berpikir tersebut dapatlah ditempuh langkah analisis sebagai berikut. Penyajian hasil analisis data dilakukan dengan cara formal dan informal. Penyajian secara formal berupa gambar untuk menunjang penyajian secara informal. Penyajian secara informal berupa uraian verbal yang disusun sesuai dengan susunan permasalahan yang ada. PEMBAHASAN Proses kelahiran pendeta sebagai orang yang memberikan contoh dalam implementasi ajaran Agama Hindu. Pertama seorang mesti menjalani diksa dengan menempuh langkah yakni langkah pertama diksa pariksa dari pihak Parisada Hindu Dharma pada calon diksa untuk mengetahui layak tidaknya calon untuk diangkat menjadi pendeta. Langkah kedua madiksa yang diawali dengan amati raga yakni proses membunuh musuh-musuh yang ada dalam diri calon diksa. Selanjutnya upacara puncak diksa yang disajikan oleh masyarakat sebagai pengesahan perubahan status walaka menjadi sadhaka. Langkah ketiga seorang yang telah berubah statusnya menuju pendeta diwajibkan mampu maweda. Struktur Wacana Geguritan Sidha Yoga Krama (GSYK) Teks Geguritan Sidha Yoga Krama (GSYK) yang dijadikan objek dibentuk oleh enam pupuh yakni pupuh sinom sebanyak 20 bait mewacanakan tentang kelakuan Sidha Yoga menjadi Pendeta, pupuh dangdang gula sebanyak 39 baik 28
ISSN : 1829 – 894X
mewacanakan tentang perubahan status Sidha Yoga menjadi Pendeta, pupuh ginada sebanyak 35 bait mewacanakan tentang pertemuan Sidha Yoga dengan jodohnya, pupuh durma yang paling banyak yakni 43 bait mewacanakan tentang ajaran kependetaan kepada putra Sidha Yoga, pupuh pangkur sebanyak 18 bait mewacanakan kemanunggalan Siwa Buddha dan pupuh pucung hanya 5 bait sebagai penutup. Total jumlah 166 bait dan enam pupuh. Pupuh sinom berfungsi menunjukkan suasana muda, ramah tamah. Pupuh dangdang gula menunjukkan watak yang halus biasanya untuk menyampaikan nasehat dan ajaran. Pupuh ginada menunjukkan kesedihan. Pupuh durma menunjukkan watak yang sifatnya tegas dan keras. Pupuh pangkur untuk menunjukkan perasaan hati yang memundak dan menggelora. Pupuh pucung untuk menunjukkan watak yang tidak ambisius, tidak memuncak (Putra : 1994). Dari uraian fungsi pupuh di atas ternyata penggunaan pupuh dalam Geguritan Sidha Yoga Krama (GSYK) telah sesuai dengan fungsinya. Disamping satuan formal juga dibahas satuan naratifnya sebagaimana dipaparkan dibawah ini. Satuan naratif diawali dengan uraian sekilas tentang alur dan penokohan alur yang digunakan alur maju tokoh utama cerita adalah Empu Iswara, Sidha Yoga, Gagak Aking, Bubuk Sah dan Tapa Wangking. Latarnya di Pasraman. Berdasarkan tokoh dan penokohan yang dilukiskan dalam Geguritan Sidha Yoga Krama (GSYK) dapatlah dipaparkan
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (1): 23 - 32
satuan naratifnya yakni mencakup : (1) Siwa Buddha, (2) Sad Ripu, (3) Tri Hita Karana, (4) Pendeta sebagai penuntun umat, (5) Kamoksan, (6) Sikap nabe sisya, (7) Pengendalian diri, (8) Pentingnya sastra suci Agama Hindu, (9) Panca Srada, (10) Tri Jnana Sandhi. Fungsi dan Makna Wacana Ajaran Kependetaan dalam Geguritan Sidha Yoga Krama (GSYK) (1) Fungsi religius yakni berfungsi rujukan yang merupakan implementasi ajaran Agama Hindu yakni upaya pengendalian diri agar mampu mengalahkan Sad Ripu, mengendalikan Panca Indria, dan Panca Karmendria serta dapat mengimplementasi Yama Nyama Brata dalam kehidupan. (2) Fungsi didaktik yakni berfungsi sebagai pengembangan pendidikan Agama Hindu terutama pendidikan kedisiplinan dan mampu mengendalikan diri dari hal-hal yang bersifat keduniawian serta mampu menjalankan tugas-tugas sesuai etika kependetaan. Demikian juga seorang sulinggih mampu memimpin masyarakat dalam tata kehidupan beragama, mendidik masyarakat untuk bersikap sesuai dengan ajaran Agama Hindu. (3) Fungsi toleransi, yakni ketulus iklasan pendeta dalam mewujudkan kesejahteraan
ISSN : 1829 – 894X
dan kebahagiaan lahir bathin masyarakat, menyiratkan sikap toleransi dari pendeta. Disamping itu sikap toleransi beragama tercermin dari sikap tokoh cerita (Bubuk Sah dan Gagak Aking) yang menganut aliran Buddha dan Siwa agar dapat hidup rukun dan damai. (4) Fungsi hiburan, ditunjukkan dari suasana kehidupan yang dirasakan setelah mengikuti dengan benar prilaku seorang pendeta. Hiburan juga diperoleh dari nilai estetis yang dimunculkan dari Geguritan Sidha Yoga Krama (GSYK) ketika diaktualisasikan di depan penikmat yakni dibacakan atau ditembangkan dan ada pihak yang menyampaikan makna/ artinya. Ajaran Agama Hindu makna wacana ajaran Kependetaan mencakup sebagaimana dipaparkan di bawah ini. a. Sad Ripu, enam musuh yang pernah menyelimuti diri Teken Wuwung, selanjutnya muncul kemarahan Empu Iswara yang menyadarkan Teken Wuwung akan perbuatannya. Kesadaran Teken Wuwung yang selanjutnya mengubah sikapnya menuju darma menunjukkan upaya untuk mengalahkan enam musuh dari diri manusia menuju perbuatan suci sebagaimana dalam unsur ajaran Agama Hindu. b. Tri Hita Karana, bahwa 29
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (1): 23 - 32
manusia memahami dirinya sendiri menuju upaya mencapai keseimbangan manusia dengan manusia, dengan alam dan Tuhan. Hubungan manusia dengan manusia terlukis dari hubungan kerjasama antar tokoh cerita. Hubungan manusia dengan alam dan Tuhan ditunjukkan dari imbauan upakara/yadnya oleh tokoh cerita yakni yang ditujukan untuk menghormati alam, dan yadnya kepada Tuhan sebaga wujud terimakasih kepadaNya disamping itu juga dengan sesama. c. Kamoksan, bahwa dengan belajar ilmu kependetaan secara tulus dan disiplin akan etika-etika kependetaan akan membantu proses pencapaian moksa sesuai dengan tujuan ajaran Agama Hindu. d. Tri Kaya Parisudha, digambarkan dari ajaran yang diberikan oleh Empu Iswara kepada Sidha Yoga bahwa seorang calon pendeta sebagai contoh bagi masyarakat harus mampu berpikir, berkata, dan berbuat yang baik. Harus mampu menjadi contoh bagi umat dalam implementasi ajaran Agama Hindu. e. Catur Asrama, digambarkan melalui imbauan tokoh bahwa catur asrama harus dijalani sesuai dengan tahapannya sebagaimana dipaparkan dalam ajaran Agama Hindu. 30
ISSN : 1829 – 894X
f. Catur Purusa Artha, digambarkan melalui imbauan tokoh cerita bahwa untuk memenuhi keinginan, memenuhi artha/materi harus didasari oleh dharma. Dharma sebagai alat untuk mencapai moksa. g. Menghormati Nabe digambarkan melalui percakapan tokoh cerita yang hormat kepada Nabe karena beliau yang melahirkan yang kedua kalinya. Demi hormatnya kepada Nabe Sidha Yoga rela menikah dengan gadis buta. h. Dasa Indria digambarkan melalui imbauan Empu Iswara kepada Sidha Yoga dan Sidha Yoga bahwa Indria itu harus dikontrol dan tidak diperkenankan menggerakkan untuk memenuhi keinginan yang bertentangan dengan ajaran Agama Hindu. i. Yama Nyama Brata Pengendalian diri calon pendeta digambarkan melalui tokoh cerita bahwa calon pendeta sebagai contoh bagi masyarakat harus mampu mengendalikan semua perbuatan yang diakibatkan oleh dorongan nafsu (Yama Brata). Pengendalian tindakan juga ditujukan terhadap orang lain atau makhluk lain yang dalam Agama Hindu disebut dengan Nyama Brata. j. Panca Srada digambarkan melalui imbauan tokoh cerita yakni sebagai calon pendeta mesti berbuat baik, perbuatan baik menghasilkan pahala yang
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (1): 23 - 32
baik (karmaphala) baik dalam kehidupan ini maupun kelahiran kembali berikutnya. Jika selalu berbuat baik maka atman cepat menyatu dengan Brahman (Tuhan) yang disebut dengan moksa. k. Tri Jnana Sandhi digambarkan melalui perwujudan ajaran kependetaan dari Empu Iswara kepada Sidha Yoga dan ditransfer lagi dari Sidha Yoga kepada putranya selanjutnya kepada umat yang berwujud unsur filsafatnya, unsur susila digambarkan melalui sikap tokoh-tokoh cerita yang diarahkan pada perbuatan baik. Selanjutnya unsur acara digambarkan melalui rancangan upakara yang dipaparkan pada pupuh pangkur. l. Kemanunggalan Siwa Buddha digambarkan melalui kerjasama dan sikap rukun putra Sidha Yoga yakni Bubuk Sah beraliran Buddha dan Gagak Aking beraliran Siwa. SIMPULAN Wacana teks Geguritan Sidha Yoga Krama (GSYK) dapat dijadikan salah satu sumber ajaran kependetaan atau rujukan untuk memahami etika kependetaan sebagai unsur dari ajaran Agama Hindu. Geguritan Sidha Yoga Krama (GSYK) dapat memberikan pencerahan kepada masyarakat dalam memahami ajaran kependetaan sekaligus ajaran
ISSN : 1829 – 894X
Agama Hindu. Geguritan Sidha Yoga Krama (GSYK) dapat dijadikan sebagai alternatif dalam mempertajam pemahaman dan implementasi ajaran Agama Hindu. Disarankan kepada peneliti lanjutan untuk meneliti pada unsur upakara dalam ajaran kependetaan atau ajaran Agama Hindu. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih ditujukan kepada Direktorat Penelitian dan Pe ngabdian Kepada Masyarakat Dirjen Pendidikan Tinggi, Kemendikbud karena atas biaya yang diberikan melalui bantuan hibah bersaing tahun 2013. Ucapan yang sama juga ditujukan kepada Kordinator Koperttis Wilayah VIII Denpasar dan Rektor IKIP Saraswati Tabanan yang telah memfasilitasi penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Berger, Peter L and Thomas Luckman. 1982. The Social Contruction of Reality. London: Penguin Books. Geria, A. A. Gede Alit. 2012. “Wacana Siwa-Budha dalam Kakawin Nilacandra: Analisis Resepsi”. Desertasi. Denpasar. Program Pascasarjana Universitas Udayana. Genette, Gerand. 1983. Narrative Dicourse. United Kingdom: Okford. Iser, Wolgang. 1978. The Act of Reading: a Theory of Aesthetic Response. The Jonh Hopkins University Press:Boltimore dan London. Janesick, Valerie J. 2009. “Tarian Desain Penelitian Kulitatif: Metafora, 31
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (1): 23 - 32
Metodolatri, dan Makna” (dalam Hanbook of Qualitative Research, Normank, Denzim dan Young Lincoln, eds. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Pradopo, Rachmat Djoko, dkk. 2001. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita Graha Widya. Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ricoeur, Paul. 1985. Hemeneutika Ilmu Sosial. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
32
ISSN : 1829 – 894X
Santika, Gede Pertama. 2010. Agama Hindu. Denpasar: Pustaka Tarukan Agung. Suhardana, K.M. 2008. Dasar-Dasar Kesulinggihan. Surabaya: Paramita. Suhandana. 2007. Diksa Pintu Menapaki Jalan Rohani. Surabaya: Paramita. Widyantara, Wayan. Diksa. Denpasar: PT Offset. Saputra, Karsono. 1994. Pengantar Sekar Macepat. Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (1): 33 - 46
ISSN : 1829 – 894X
MENINGKATKAN KUALITAS PEMBELAJARAN SASTRA MELALUI REVITALISASI KOMPETENSI PEDAGOGIK I Wayan Nardi dan Ni Nyoman Karmini Jurusan Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia dan Daerah IKIP Saraswati Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan memformulasikan model kompetensi pedagogik untuk meningkatkan kualitas pembelajaran sastra di SMP. Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian dan pengembangan ala Akker dan Plomp dalam konstruk penelitian pendidikan. Sampel penelitian ditetapkan secara stratified area random sampling, dengan mempertimbangkan daerah urban, semi urban, dan pedesaan. Dengan demikian, daerah yang ditetapkan sebagai sampel adalah Kota Madya Denpasar (daerah urban), Kabupaten Badung (daerah semi urban), dan Kabupaten Tabanan (daerah pedesaan) dengan melibatkan siswa dan guru bidang studi Bahasa Indonesia SMP. Instrumen penelitian yang digunakan terdiri atas: lembar observasi, pedoman wawancara, kuisioner terbuka dan tertutup,. Produk penelitian ini berupa draft model kompetensi pedagogik untuk meningkatkan kualitas pembelajaran sastra bagi siswa SMP dan artikel ilmiah. Kata kunci: Kompetensi pedagogik, pembelajaran sastra
Improve the Quality of Literature Learning Through Pedagogic Competence Revitalization Abstract This research aims to describe and formulate competency models of pedagogy to improve the quality of learning in Junior High School. This research uses research and development approach to ala Akker and Plomp invalid constructs in educational research. Samples of research set by stratified random sampling area, taking into account the urban, semi urban, and rural areas. Thus, the sample is vice city Denpasar (urban areas), Badung Regency (semiurban areas), and Tabanan Regency (rural areas) and to involve students and teachers of Indonesion language in Junior High School. Research instrument used consists of sheets of observation, interview, questioner guidlines on open and closed. The products of this research in the form of draft model competency pedagogy to improve the quality of learning literature for students of Junior High School and scientific articles. Keywords: pedagogic competencies,learning literature
33
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (1): 33 - 46
PENDAHULUAN Pada abad ke-21 ini dalam dunia pendidikan sangat penting melaksanakan pembelajaran aktif (active learning). Proses pembelajaran merupakan faktor sangat penting untuk membangkitkan kompetensi siswa. Pembelajaran aktif mempunyai prinsip bahwa cara belajar terbaik adalah dengan melakukannya, menggunakan semua indera, meng eksplorasi lingkungannya, belajar dari pengalaman langsung dan konkret, serta berbagai bentuk pengalaman lainnya. Keterlibatan aktif mendorong untuk aktif berpikir, untuk mendapatkan pengetahuan baru dan memadukannya dengan pengetahuan yang sudah dimiliki. Namun, kenyataan yang telah terjadi selama ini adalah dorongan untuk mengembangkan kemampuan berpikir sangat kurang dalam proses pembelajaran. Lemahnya proses pembelajaran menjadi masalah bagi dunia pendidikan di negara ini. Oleh karena itu, sebuah model pembelajaran sangat penting karena merupakan pedoman bagi guru dan siswa dalam proses belajar mengajar. Proses pembelajaran tidak bisa lepas dari keberadaan kompetensi guru karena guru merupakan komponen yang sangat penting dalam dunia pendidikan. Kompetensi pedagogik guru perlu mendapat perhatian ekstra, perlu ditekankan dan dipentingkan kembali. Guru sebagai motivator, fasilitator dan sebagai model yang ditiru dan digugu dalam pembelajaran. Karena itu, strategi pembelajaran merupakan pedoman bagi guru dan siswa dalam proses belajar mengajar. Kemp (1977) mengartikan model pembelajaran merupakan suatu 34
ISSN : 1829 – 894X
perencanaan pembelajaran (design instructional), yang digunakan untuk menentukan maksud dan tujuan setiap topik/pokok bahasan (goals topics, and purposes), menganalisis karakteristik warga belajar (leaner Characteristics), menyusun tujuan instruksional khusus (learning objectives), memilih isi pembelajaran (subject content), melakukan pretes (pree assesment), mengadakan dukungan pelayanan (support services) melaksanakan evaluasi (evaluation) dan membuat revisi (revise) (dalam Rahman, 2012:63). Rahman (2012: 63-64) memaparkan rumpun model pembelajaran ada empat macam. 1. Model pemrosesan informasi (the information processing family) yaitu model pembelajaran yang menjelaskan cara individu memberikan respons rangsangan dari lingkungannya dengan cara mengorganisasikan data, memformulasikan masalah, membangun konsep dan merencanakan pemecahan masalah, serta menggunakan simbolsimbol verbal dan nonverbal. 2. Model pribadi (the personal family), yaitu model pembelajaran yang berorientasi pada perkembangan diri individu. 3. Model interaksi sosial (the social family), yaitu model pembelajaran yang mengutamakan hubungan individu dengan masyarakat atau orang lain, dan memusatkan perhatiannya pada proses realitas yang ada dan dipandang sebagai negosiasi sosial. 4. Model perilaku (the behavioral models), yaitu pembelajaran yang dibangun atas dasar teori yang umum, yakni teori
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (1): 33 - 46
perilaku. Pembelajaran aktif (active learning) mempunyai prinsip bahwa keterlibatan aktif mendorong untuk aktif berpikir, untuk mendapatkan pengetahuan baru dan memadukannya dengan pengetahuan yang sudah dimiliki. Pembelajaran aktif (active learning) serupa dengan pembelajaran Partisipasi, Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan (PAKEM), istilah yang digunakan di Indonesia. Untuk memfasilitasi pembelajaran aktif digunakan berbagai strategi yang aktif dan kontekstual, melibatkan pembelajaran bersama (cooperative learning) dan mengakomodasi perbedaan gender dan gaya belajar masing-masing orang. Pembelajaran aktif juga dapat mengangkat pembelajar dari keterampilan berpikir tingkat rendah (pengamatan, menghafal, mengingat informasi, pengetahuan akan gagasan umum, yakni tentang apa, dimana dan kapan) hingga keterampilan berpikir tingkat tinggi (memecahkan masalah, analisis, sintesis, evaluasi, yakni tentang bagaimana dan mengapa). Pembelajaran aktif merujuk pada cara belajar menemukan, memproses, dan menerapkan informasi. Pembelajaran aktif didasarkan atas dua asumsi: pertama, bahwa belajar itu secara alami merupakan upaya aktif, dan kedua, bahwa setiap orang itu belajar dengan caranya sendiri-sendiri yang berbeda dari yang lainnya (Hamied, 2012:11). Berkaitan dengan pembelajaran aktif ini, maka dalam penelitian ini digunakan model pembelajaran
ISSN : 1829 – 894X
pemrosesan informasi dengan menerapkan model pembelajaran CIRC (Cooperative Integrated Reading and Composition) tipe TTBCTDSP (Telusuri, Tanyakan, Baca, Ceritakan, Tinjau, Diskusikan, Simpulkan, Presentasikan) dalam pembelajaran sastra di SMP. METODE PENELITIAN Permasalahan pokok penelitian ini adalah meningkatkan kualitas pembelajaran sastra melalui revitalisasi kompetensi pedagogik. Berdasarkan rasional tersebut, maka penelitian ini menggunakan desain penelitian pengembangan tipe “Prototipycal Studies” (Akker, 1999) dan Plomp (2001). Hal penting yang perlu diperhatikan dalam penelitian pengembangan adalah kualitas perangkat pembelajaran (produk) yang dihasilkan. Plomp (2001), memberikan kriteria kualitas sebuah produk dikatakan baik, bilamana telah memenuhi unsur : valid (merefleksikan pengetahuan state-of-theart dan konsistensi internal), mempunyai nilai tambah (added value), praktis, dan efektif. Pada konteks penelitian pengem bangan, Plomp (2001), menyatakan bahwa pelaksanaan penelitian pengembangan meliputi tiga fase, yaitu fase analisis hulu-hilir (front-end analysis), fase pengembangan prototipe (prototyping phase), dan fase penilaian (assessment phase) atau evaluasi sumatif. Bertalian dengan fokus masalah penelitian ini, maka mekanisme atau tahapan dari penelitian ini dapat dijabarkan pada tabel berikut ini.
35
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (1): 33 - 46
ISSN : 1829 – 894X
Tabel Mekanisme Penelitian KEGIATAN
TUJUAN
F r o n t - e n d 1. Mengidentifikasi kompetensi Analysis: pedagogik pembelajaran Studi Pustaka sastra yang relevan dengan kurikulum 2006 2. Mengidentifikasi sumber belajar, model pembelajaran, model dan alat penilaian, dan tindak lanjut pembelajaran sastra 3. Menganalisis dan mendeskrifsikan standar isi (SI), standar kompetensi (SK), dan kompetensi dasar (KD) pembelajaran sastra berbasis nilai kearifan lokal . S t u d i Mengidentifikasi: Lapangan 1. Kompetensi pedagogik 2. Fenomena didaktik siswa 3. Karakteristik Guru 4. Kebutuhan belajar siswa
HASIL Berdasarkan hasil interview yang mendalam dan hasil diskusi secara intensif dengan 25 orang guru, telah dapat diidentifikasi dan diklarifikasi beberapa konsepgeneralisasi sastra yang esensial dan aplikatif yang semestinya terakomodir dalam pembelajaran sastra. Pemilihan terhadap konsep-generalisasi didasari oleh suatu pertimbangan bahwa tidak mungkin guru mampu membelajarkan semua konsepgeneralisasi sastra dalam limit waktu yang telah disediakan. Di samping itu, dengan perkembangan masyarakat yang demikian cepat, dimana problematika sosial-budaya semakin kompleks akan semakin menambah beban guru untuk dapat membelajarkan konsep-generalisasi secara keseluruhan. Dengan demikian, maka dipilihlah 36
METODE
HASIL/LUARAN
• S t u d i 1. Kompetensi pedagogik, Pustaka Standar Isi, Standar • S t u d i Kompetensi, dan Kompetensi Lapangan Dasar pembelajaran sastra berbasis nilai kearifan lokal. 2. Draft materi pokok dan model pembelajaran sastra berbasis nilai kearifan lokal 3. Prototyfe model pembelajaran sastra berbasis nilai kearifan lokal
1. Angket 2. Wawancara
1. Masalah kompetensi pedagogik 2. Karakteristik siswa 3. Karakteristik guru 4. Kebutuhan belajar siswa
beberapa konsep-generalisasi sastra utama, yang diasumsikan dapat menjadi representasi dari keseluruhan konsep-generalisasi sastra yang semestinya diakomodir dalam pembelajaran sastra pada jenjang sekolah menengah pertama. Pembelajaran sastra sebagai media strategis pembelajaran dan pelatihan peserta didik menjadi orang-orang yang berkualitas dan mampu bermasyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, senantiasa terkait dengan berbagai isu-masalah yang ada dan berkembang di masyarakat. Sejalan dengan rasional tersebut, maka melalui pembelajaran sastra, diharapkan guru mampu membelajarkan dan melatihkan seperangkat kemampuan dan keterampilan kepada peserta didik sebagai bekal untuk memahami lingkungan tempat tinggalnya. Untuk itu, maka guru harus
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (1): 33 - 46
mampu memilih dan menetapkan konsepgeneralisasi sastra yang esensial dan aplikatif yang semestinya dipahami dan dikuasai oleh peserta didik agar mampu memecahkan berbagai persoalan yang ada di lingkungan masyarakatnya. Di sisi lain, buku ajar sebagai salah satu sumber belajar dan informasi dalam konteks pembelajaran di dalam kelas, logikanya harus memuat dan mengakomodir konsep-generalisasi sastra yang esensial dan aplikatif, sehingga mampu membantu peserta didik dalam menjadikan dirinya sebagai warga masyarakat yang tanggap terhadap berbagai permasalahan yang terjadi di lingkungan tempat tinggalnya. Melalui akomodasi konsep generalisasi sastra yang esensial dan aplikatif dalam buku ajar sastra, maka diharapkan peserta didik bukan semata-mata berupaya memahami konsepgeneralisasi sastra tersebut, melainkan yang lebih utama adalah bagaimana mereka menjadikan konsep-generalisasi yang telah dipahaminya untuk digunakan dalam memecahkan berbagai isu-masalah nilainilai kehidupan dan budaya yang ada di masyarakat tempat tinggalnya. Kontekstualitas ini berkait dengan misi dan fungsi pembelajaran sastra sebagai wahana pendidikan dan pembentukan karakter seseorang untuk menuju terwujudnya seseorang yang berkualitas dalam hal moral. Para guru menyadari bahwa pembelajaran sastra sangat dekat dengan nilainilai dalam masyarakat, karena masyarakat merupakan sumber utama penciptaan sastra. Oleh sebab itu, para guru responden sangat responsif terhadap upaya identifikasi dan klarifikasi isu-isu nilai-nilai kehidu-
ISSN : 1829 – 894X
pan sosial dan budaya, baik yang bersifat lokal, dalam rangka penyusunan buku ajar sastra yang berwawasan sosial-budaya. Artinya, bahwa guru telah memiliki pemahaman yang memadai tentang esensi dan substansi isu-isu sosial dan budaya aktual dalam pembelajararn sastra. Berkaitan dengan sumber-sumber pembelajaran sastra, dapat diidentifikasi dan diklarifikasi bahwa dalam konteks pembelajaran sastra, guru belum banyak menggali manfaat karya sastra bagi pembentukan moral peserta didik. Sumber-sumber pembelajaran sastra hanya berdasarkan buku paket dan pengetahuan yang dimiliki guru. Padahal berdasarkan identifikasi dan klarifikasi yang telah dilakukan, ternyata cukup banyak sumber-sumber belajar sastra, seperti karya sastra tradisional Bali, yang dapat diperoleh dari perpustakaan pemerintah dan perpustakaan pribadi pencinta sastra, dan dapat pula diperoleh di dunia maya berkat kemajuan teknologi. Salah satu keunggulan kemajuan teknologi dalam konteks pembelajaran bahwa pembelajaran dapat melampaui dinding-dinding kelas dan lingkungan sekolah, khususnya dalam upaya akses informasi atau pengetahuan bagi peserta didik. Makna dari preposisi ini adalah bahwa peserta didik dapat belajar sastra bukan saja di dalam kelas dengan bimbingan langsung guru, melainkan juga dapat belajar sastra melalui berbagai sumber belajar yang ada di lingkungan masyarakat tempat tinggalnya. Berkaitan dengan sumber pembelajaran sastra, Guru lebih banyak menjadikan buku teks sebagai sumber satu-satunya dalam pembelajaran sastra dan dilengka37
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (1): 33 - 46
pai dengan pengetahuan pribadinya mengenai materi yang dibelajarkan. Untuk itu, tampaknya identifikasi dan klarifikasi sumber-sumber belajar sastra, baik yang ada di dalam lingkungan sekolah maupun yang ada di luar lingkungan sekolah yang nantinya dijadikan sebagai acuan dalam pengembangan materi sastra yang berbasis nilai-nilai kearifan lokal merupakan sesuatu yang esensial dan aplikatif. Melalui perluasan sumber belajar, maka peserta didik dapat mengakses informasi yang lebih leluasa dan optimal untuk meningkatkan dan memantapkan struktur kognitif mereka mengenai materi yang telah dibelajarkan maupun menyangkut pemahaman dan kesadaran mereka terhadap berbagai isu dan masalah nilai-nilai kehidupan aktual di masyarakat lokal, regional, dan nasional. Mengenai aktivitas pembelajaran riil guru dalam kelas, berdasarkan hasil observasi dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut. (1) Guru jarang sekali menyampaikan tujuan pembelajaran sebelum memulai pembelajaran, (2) Layanan belajar guru, baik secara individual maupun kelompok sangat jarang dilakukan, (3) Guru lebih menekankan pada upaya pencekokan konsep-konsep belaka kepada peserta didik lewat sajian belajarnya, (4) Metode yang dominan digunakan untuk membelajarkan materi sastra adalah metode ceramah bervariasi yang lebih banyak cera38
ISSN : 1829 – 894X
mahnya, (5) Buku teks (buku paket) yang diterbitkan oleh Depdikbud merupakan sumber pembelajaran utama, dimana secara kuantitatif tidak seimbang dengan rasio peserta didik, (6) Guru jarang (bahkan tidak sama sekali) mengangkat nilai kearifan selama berlangsungnya pembelajaran, (7) Sumber-sumber belajar yang ada di lingkungan sekolah dan di luar lingkungan sekolah belum dimanfaatkan secara optimal oleh guru, (8) Interaksi pembelajaran lebih memposisikan guru sebagai otoritas tunggal pembelajaran, sehingga peserta didik lebih banyak berposisi sebagai objek pembelajaran yang pasif, (9) Evaluasi proses jarang dilakukan oleh guru, dan kesempatan peserta didik untuk mengajukan pertanyaan ataupun gagasan sangat sempit, karena pembelajaran didominasi oleh guru.
PEMBAHASAN Kondisi pembelajaran yang demikian, tampaknya masih jauh dari harapan untuk menjadikan peserta didik berkembang dan memiliki makna. Untuk itu perlu dilakukan upaya yang terprogram dari ber-
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (1): 33 - 46
ISSN : 1829 – 894X
bagai kalangan, khususnya menyangkut model pembelajaran yang digunakan dalam pembelajaran sastra.
situasi-situasi dengan respon sosial dan moral secara etis serta tersosialisasikan.
Model pembelajaran sastra yang berpendekatan konstruktivistik dengan strategi CIRC tipe TTBCTDSP (Telusuri, Tanyakan, Baca, Ceritakan, Tinjau, Diskusikan, Simpulkan, Presentasikan) merupakan salah satu model pembelajaran yang berangkat dari asumsi sebagai berikut.
Dengan demikian, maka model pembelajaran CIRC tipe TTBCTDSP (Telusuri, Tanyakan, Baca, Ceritakan, Tinjau, Diskusikan, Simpulkan, Presentasikan) pada dasarnya memberikan keleluasaan yang optimal kepada peserta didik untuk mengakses informasi, termasuk dengan menggunakan berbagai sumber belajar yang ada di dalam dan di luar lingkungan sekolah (masyarakat).
(1) Paham dan sadar terhadap kebudayaan harus dimiliki oleh peserta didik agar mereka mampu mengantisipasi sedini mungkin dampak dinamika kultural (2) Revolusi teknologi mengakibatkan perubahan-perubahan yang dramatis dalam cara hidup manusia sehari-hari, cara kerja, cara berpikir, cara merasakan, sebagaimana halnya dengan sistem kepercayaan dan nilai-nilai kita yang mendasar, (3) Inovasi-inovasi teknologi yang tiada terbendung dapat meracuni nilainilai original kebudayaan, sehingga menimbulkan berbagai benturan sosial yang merusak tatanan berkehidupan yang telah tumbuh dan terbina di masyarakat, (4) Orang yang tidak mengenal kebudayaannya dapat dengan mudah dimanipulasi serta tersesat, sementara orang yang mengenal dan memahami kebudayaannya dengan sistem nilai-etika yang baik dapat mereaksi secara logis dan menilai
Berlandaskan pada temuan di atas, tampaknya upaya penyusunan dan pengembangan materi sastra berbasis nilai kearifan lokal dalam rangka pembentukan karakter siswa SMP sudah menjadi kebutuhan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Hal ini semakin diperkuat dengan perkembangan masyarakat yang demikian pesat, sehingga perlu adanya identifikasi dan klarifikasi konsep dan masalah, serta penyajian nilai-nilai kehidupan dan budaya dalam kemasan akademis yang mampu mendorong peningkatan kualitas moral peserta didik. Di sisi lain, pengembangan materi sastra berbasis nilai kearifan lokal ini tampaknya perlu mempertimbangkan ketersediaan sumber belajar baik yang ada di dalam maupun di luar lingkungan sekolah. Demikian juga halnya dengan pertimbangan kematangan psikologis peserta didik, yang umumnya berada pada taraf operasional kongkrit. Hal ini penting dilakukan, agar modul integeratif pembeljaran sastra yang berbasis nilai kearifan lokal sebagai produk penelitian 39
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (1): 33 - 46
ini benar-benar komprehensif dan aplikatif serta mampu menjawab sebagian dari kepentingan belajar peserta didik dalam pembelajaran sastra pada jenjang SMP. Berdasarkan temuan terkait dengan kompetensi, maka guru harus mampu menempatkan posisi dan peran dirinya (taking role atau caring role) di dalam paradigma siswa; mendorong siswa menjadi seorang pebelajar mandiri, questioner, problem solver, dan mampu mengembangkan harga dirinya. Peran guru bukan sebagai pengajuk otoriter terhadap perilaku siswa. Guru juga harus power for dan power with dengan siswa. Power with terjadi manakala guru mampu bekerja secara berdampingan dengan siswa (works alongside the student) atas dasar prinsip kesederajatan dalam belajar bersama (equals learning together). Sementara power for terjadi manakala guru bekerja untuk kepentingan siswanya (working for the student), memfasilitasi proses belajar siswa, memberikan bimbingan intensif, mengarahkan dan mendukung siswa bagi tercapainya tujuan belajar. Perbedaan antara peran power for dan power with terletak pada ‘aktivitas kontrol’. Artinya bila pada power for kontrol terletak pada tujuan yang hendak dicapai, sedangkan pada power with kontrol terletak pada kebersamaan guru dan siswa dalam beraktivitas. Kurangnya guru memperhatikan masalah siswa menjadi penyebab terjadinya kebosanan dan kesulitan, misinformasi, miskonsepsi, melemahnya estimasi-diri, serta munculnya pandangan negatif siswa terhadap Pendidikan. 40
ISSN : 1829 – 894X
Akhirnya ketercapaian misi dan tujuan pembelajaran sastra menjadi sesuatu yang dilematis; mengidentifikasi tentang berbagai paradigma belajar siswa, dan mengintegrasi-kannya di dalam pembelajaran yang diselenggarakan. Untuk melakukan peran tersebut, seorang guru harus memiliki pengetahuan mengenai diri anak, ekspektasi dan pengalaman anak sebelumnya dan mengembangkannya secara optimal selama pembelajaran. Baik bagi penciptaan kondisi dan kesiapan diri mereka untuk belajar, maupun agar bahan dan tugas-tugas belajar yang diberikan memiliki makna, dipandang penting, serta relevan dengan apa yang telah mereka ketahui atau alami sebelumnya. Kompetensi guru ini merupakan prasyarat kelayakan profesi. Setidak-tidaknya ada dua peran kritis (the critical role) yang harus ditunaikan oleh guru yang pada dasarnya merefleksikan hakikat sastra di SMP. Kedua peran kritis tersebut adalah: pertama, bagaimana membelajarkan sastra sebagai wahana penciptaan peserta didik yang demokratis yang memiliki pengetahuan, keterampilan, dan memiliki komitmen diri yang tinggi terhadap nilainilai demokrasi (peran sosiokulturalisasi), dan kedua, bagaimana membelajarkan sastra sebagai wahana penciptaan peserta didik yang mampu melakukan kritik-kritik sosiokultural yang bersifat konstruktif terhadap terjadinya erosi, distorsi, dan intrusi illegal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip yang berlaku di dalam tatanan masyarakat demokratis (peran kritisisme sosiokultural). Kedua peran
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (1): 33 - 46
kritis ini menuntut kinerja profesional guru yang mampu mengembangkan kesadaran dan kepekaan sosiokultural, berpikir kritis dan reflektif, mengembangkan kemampuan memecahkan persoalanpersoalan sosiokultural, dan mengambil keputusan-keputusan secara mandiri untuk kepentingan belajar siswa. Strategi pembelajaran yang dimaksudkan dalam studi ini, difokuskan pada strategi pengorganisasian aktivitas belajar (learning activities) yang menantang secara moderat. Aktivitasaktivitas belajar tersebut mencakup aktivitas fisikal, aktivitas psikologis, dan aktivitas sosial yeng dilakukan siswa selama pembelajaran di kelas. Ketiga bentuk aktivitas belajar ini berkaitan dengan pengembangan intelektual, kesadaran-diri, dan kesadaran-sosial siswa. Tujuan pengorganisasian aktivitas-aktivitas belajar siswa tadi adalah: (1) menciptakan kondisi-kondisi belajar yang dibutuhkan siswa untuk melakukan kaitan-kaitan intelektual yang bisa membantunya belajar dan maju sesuai dengan perbedaan tahapan perkembangannya, dan (2) menciptakan aktivitas-aktivitas belajar siswa yang asli yang sangat mendasar dalam upaya mendorong pembentukan pemahaman siswa. Aktivitas-aktivitas individu siswa sebagai an explanatory principle dalam artian sebagai berikut. (1) Penegas respon yang disadari (consciousness response) dari individu terhadap stimulasi baru. Maksudnya, bahwa aktivitas manusia selalu dalam rangka tindakan-tindakan
ISSN : 1829 – 894X
yang bertujuan dan bermakna kultural. Pandangan tersebut berbeda dengan aliran behaviorisme yang memandang bahwa aktivitas manusia hanyalah reflexes response atau adaptive biological reactions; dan aliran empirisme yang memandang aktivitas manusia sebagai passive receptivity terhadap stimulasi dari luar; (2) Penegas atas eksistensi kesan-kesan mental dan skema awal individu dan penegasan bahwa pengalaman manusia memiliki karakteristik ganda, yaitu the plane of actual occurences dan the plane of their internal cognitive schematizations; (3) Penegas kesadaran-diri, terutama dalam kaitannya dengan aktivitas sosial, yang terjadi ketika individu melakukan interaksi interpersonal. Bahwa individu hanya akan sadar atas dirinya dalam dan melalui interaksinya dengan orang lain. Arti penting penataan kelas pembelajaran dalam bentuk aktivitasaktivitas, juga tidak hanya pada tataran teoretis-filosofis, tetapi juga terungkap dari hasil kajian kontekstual dari hasil wawancara terhadap siswa, yang disimpulkan seperti berikut ini. Saya sangat senang mengikuti pembelajaran sastra dengan strategi CIRC tipe TTBCTDSP. Ketika ditanya alasannya, dia mengatakan sebab, saya dapat membaca cerita dengan cermat dan memahaminya dengan baik, bisa menyampaikan isi cerita secara lisan kepada teman dalam kelompok, 41
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (1): 33 - 46
mendiskusikan, menghargai pendapat teman, mengambil kesimpulan berdasarkan masukan-masukan kelompok, dan terakhir mempresentasikannya di depan kelas, menjawab dan menyanggah pertanyaan teman itu memerlukan keberanian luar biasa dan pemahaman yang baik. Dari aktivitas itulah saya menemukan sendiri pemahaman faktual terhadap materi yang sudah dipelajari. Pembelajaran sastra seperti ini sangat menarik dan memotivasi saya untuk menggali potensi saya. Guru tidak banyak bicara, kamilah yang aktif menemukan, sehingga lebih bermakna bagi kami. Kami bisa tukar pendapat, kami bisa menghargai pendapat teman, kami tidak malu berbicara. Dari uraian di atas, penting sekali memberikan penekanan pada arti penting aktivitas, dalam kaitannya dengan penciptaan kondisi belajar dan tujuan yang hendak dicapai. Artinya, aktivitas siswa dalam pembelajaran tergantung pada apa yang menjadi tujuan belajar, dan bagaimana pula pembelajaran harus dikondisikan untuk mewadahi aktivitas-aktivitas tersebut. Tujuan intinya adalah agar pada diri siswa terjadi peristiwa belajar (event of learning). Kesan siswa bahwa materi sastra dalam hal ini hasil karya sastra sarat dengan pesan moral. Guru harus pandai menggunakan strategi pembelajaran supaya hasil karya sastra dapat dengan cepat dipahami siswa. Dalam hal ini, bahan dan media belajar harus dikaitkan dan mendukung aktivitasaktivitas belajar siswa serta sesuai dengan tingkat kematangan berpikir siswa. Arti penting bahan dan media belajar dalam 42
ISSN : 1829 – 894X
keseluruhan aktivitas belajar siswa adalah aktivitas belajar tidak selalu bisa dilakukan sendiri oleh siswa (individual learning) atau bisa juga dialami langsung oleh siswa (direct learning experience) seperti dipahami oleh aliran konstruktivisme personal. Dalam perspektif konstruktivisme, bahan dan media belajar bagi siswa bukan sebagai alat untuk menyampaikan pesanpesan atau informasi-informasi kurikulum; melainkan: (1) sebagai psychological tools yang berfungsi untuk menjembatani, memediasi dan memfasilitasi adanya kesenjangan antara muatan kognitif siswa dan muatan belajarnya; (2) mengorganisasi dan menata aktivitas belajar siswa bagi terjadinya rekonstruksi-rekonstruksi terhadap muatan, operasi-operasi, dan fungsi-fungsi internalnya, terutama terhadap aktivitas belajar yang menuntut kaitan-kaitan intelektual pada tataran berpikir tingkat tinggi (a higher mental functions or processes). Faktor psikologis menguasai manusia dan membawanya kepada tingkat peradaban yang tinggi, karena melalui alatalat psikologis itu pula manusia mampu menciptakan pengetahuan produktif bukan pengetahuan reproduktif. Bahan dan media belajar dapat dikemas dalam bentuk sebagai berikut. (1) Buku kerja (workbook) atau buku panduan tugas/kerja (manual workbook) untuk berbagai bentuk aktivitas belajar siswa; (2) Artefak-artefak simbolik (simbolyc artefacts) seperti: tanda, simbol, rumus, alat-alat grafik-simbolis
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (1): 33 - 46
skema, peta, bagan atau dalam bentuk enactive, iconic, dan symbolic; (3) Bacaan (text), baik dalam bentuknya yang sederhana (simple text) sebagai psychological tools, maupun kompleks (complex text) seperti novel, literatur, atau semacamnya sebagai psychological supertools. Teks sebagai bahan dan media belajar akan memiliki makna sosiokultural bagi siswa apabila mengisahkan tentang pengalaman kehidupan manusia, persamaan dan perbedaan antara si penulis dan pahlawan, hubungan antara diri dan orang lain dalam kehidupan nyata, dan semacamnya; (4) Tugas-tugas belajar (learning tasks), atau dalam bentuk lain atau bahanbahan ajar yang diambil langsung dari lingkungan sekitar maupun dalam bentuk seperti bahan-bahan audio, visual yang dibuat oleh manusia.
ISSN : 1829 – 894X
(1)
(2)
(3)
(4) Prinsip utama yang perlu dipegang di dalam mengemas bahan dan media belajar, terutama yang berkaitan dengan materimateri yang memiliki tingkat abstraksi tinggi, adalah sebagai berikut. (1) Dapat dimengerti, dijelaskan, dan dimaknai secara personal (individually defined); menjadi alat-alat psikologis (psychological tools) sosiokultural yang dapat memediasi belajar siswa (a sociocultural mediated learning); (2) Memiliki relevansi dan singnifikansi tinggi secara sosial, kultural, dan historikal (a socially, culturally, and historically relevant excellence).
Untuk mencapai kedua prinsip tadi, bahan dan media belajar hendaknya: Must be built on a foundation of direct, empirical experiences. Prinsip ini mendasar terutama manakala siswa mendapatkan kesulitan dalam menemukan proposisi relasional abstrak yang tidak bergayut (unrelatable) pada struktur kognitif dan karena kehilangan makna; Menggunakan dan dikomunikasikan dalam bentuk bahasa (language) yang dipahami oleh siswa, dalam artian sesuai dengan tingkat kemampuan bahasa siswa; Memiliki hubungan substantif (derivatif, elaboratif, korelatif, supportif, kualifikatif atau represen tasional) dengan struktur internal siswa, sehingga mampu meretensi kemengenalan (identifiability) siswa terhadap muatan ajaran baru yang belum diakrabi (dissociability); Diekspresikan terutama oleh guru ke dalam bentuk spontaneous concepts, genuine concepts, atau indigenous science yang secara sosiokultural dibangun dari hasil refleksi spontan siswa tentang alam semesta dan digunakan di dalam pengalaman kesehariannya dalam hubunganhubungan interpersonal siswa dengan sejawat atau orang lain, dan dalam hubungan-hubungan dialektis individu dengan konteks lingkungan kehidupan sosial-kultural tertentu.
Tidak dapat dipungkiri bahwa konstruksi spontaneous concepts bersifat 43
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (1): 33 - 46
personal, unik, senantiasa berubah-ubah, sangat intuitif; naif dan kurang ilmiah; tidak tepat, kurang terdiferensiasi, sangat berbeda dari tuntutan pengetahuan ilmiah; blooming, buzzing confusion. Akan tetapi, karena berbasis pada pengalaman pribadi, dia merupakan dunia kehidupan yang benar-benar nyata (life world), bukan sebagai gagasan-gagasan yang terisolasi (isolated ideas), tetapi bagian integral dari struktur konseptual mereka, yang dapat memberikan sensibilitas, koherensi, dan kebermaknaan pengertian dirinya tentang dunia dan masyarakatnya. Bahkan sangat membantu bagi kesuksesan studinya. Karena itu, ditegaskan bahwa tidak ada cara yang lebih baik untuk memeriksa validitas konstruksi pengetahuan manusia, kecuali dilihat dari tingkat kecocokannya dengan pengalaman mereka, berguna atau tidaknya pengetahuan tadi dalam menafsirkan pengalaman, serta kesamaan bentuknya dengan realitas eksternal yang ada. Walaupun konsep alamiah siswa tidak komprehensip dan multidimensional seperti halnya konsep ilmiah, dia justru merupakan hal yang bagi siswa sangat bermakna dan menjadi tolok ukur yang sahih dalam menilai kompetensi dirinya, serta menjadi ajukan baginya dalam melakukan interaksi dengan konteks lingkungan yang berbeda. Oleh sebab itu, esensi kebermaknaan seharusnya diletakkan dan berpijak pada kinerja setiap pribadi siswa, karena siswa hanya dapat belajar terbaik manakala mereka dipandang sebagai subjek didik (people), dan memberinya kebebasan/ keleluasaan untuk membawa/menam-
44
ISSN : 1829 – 894X
pilkan diri dan pandangannya ke dalam dunia kelas. Setiap konsep alamiah siswa pada dasarnya memiliki dua dimensi, yaitu bentuk atau seperangkat komponenkomponen substantif, dan struktur atau pola hubungan-hubungan. Aspek bentuk atau seperangkat komponen-komponen substantif, berkenaan dengan atribut-atribut atau sifat-sifat yang memberikan kekhasan atau keunikan kepada setiap konstruk konsep siswa, dan adanya sejumlah generator yang berfungsi sebagai trigger terhadap konsep siswa yang ada. Aspek struktur atau pola hubungan-hubungan, berkenaan dengan pola-pola hubungan antara bagian komponen-komponen substantif satu dengan lainnya dan dengan komponen-komponen substantif secara keseluruhan, serta dalam hubungannya dengan konsep-konsep siswa lainnya. Studi mutakhir juga sampai pada kesimpulan yang sama, bahwa mengabaikan arti penting konsep alamiah siswa, dapat menghambat perkembangan tahapan progresif kognitif anak, mendistorsi atau merusak genuine concepts, indigenous science, atau spontaneous concept,; mencabut siswa dari situasi nyata yang menjadi basis pembentukan dan penggunaannya; kurang bermakna bagi siswa; dan menunjukkan adanya hegemoni atau imperialisme pendidikan atas diri siswa. Bahkan, lebih jauh lagi dapat mendistorsi atau merusak self-concept siswa yang merupakan faktor esensial bagi pembentukan identitas atau karakter siswa (Sumantri, 2002).
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (1): 33 - 46
SIMPULAN 1) Dalam perspektif konstruktivisme personal, siswa sebagai makhluk personal, sosial dan intelektual. Siswa perlu dibangun dan dikembangkan dalam berbagai latar kehidupan keseharian personal. Dalam diri siswa juga dibangun pengertian, nilai, sikap, dan tindakannya di dalam latar kehidupan personal dan sosiokulturalnya. 2) Pembelajaran sastra merupakan program pendidikan yang ber sifat pedagogis, sosiokultural, dan psikologis, yang bertujuan memfasilitasi siswa mengembangkan kompetensi-kompetensi dasar personal, sosial dan intelektualnya yang dibutuhkan untuk meng-konstruksi dan merekonstruksi sendiri secara berkesinambungan struktur pengetahuan, nilai, sikap, dan tin dakannya dalam berbagai latar ke hidupan pribadi, sosial dan kultural. 3) Guru sebagai motivator dan fasilitator berupaya untuk membangun dan mengembangkan kompetensi siswa, seorang guru harus memiliki kompetensi pedagogis, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Guru harus mampu mengembangkan halhal berikut. (1) Kompetensi personal siswa yang meliputi: konsep dan pengertian diri, sikap objektif terhadap diri sendiri, aktualisasi diri, kreativitas diri,
ISSN : 1829 – 894X
dan penghayatan terhadap nilai dan sikap keberagamaan dalam kehidupan pribadi dan sosial; (2) Kompetensi sosial: pemahaman dan kesadaran atas hakikat diri sebagai anggota atau bagian dari masyarakat, pemahaman dan kesadaran atas tatakrama/ sopan santun dalam kehidupan bermasyarakat, kemampuan berkomunikasi, kemampuan interaksi sosial, kemampuan bekerjasama dengan sesama, sikap prososial atau altruisme, kemampuan partisipasi sosial, dan kemampuan pemahaman dan kesadaran terhadap keberbedaan dan kesederajatan (gender, etnis, dan budaya); (3) Kompetensi intelektual: berpikir kritis reflektif, berpikir kontekstual, berpikir pragmatis, kemampuan keruangan/spasial (keterampilan geografis), pema haman dan kesadaran tentang waktu, kemampuan logikamatematika, dan pemahaman dan kesadaran kesejarahan. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih disampaikan kepada Dirjen Dikti, Koordinator Kopertis Wilayah VIII Denpasar atas bantuan dana yang diberikan. Ucapan yang sama juga ditujukan kepada Rektor IKIP Saraswati yang telah memfasilitasi penelitian ini, semua pihak yang memotivasi penulis dalam pelaksanaan penelitian dan dalam mewujudkan hasil penelitian ini. 45
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (1): 33 - 46
DAFTAR PUSTAKA Akker, J.V. (1999). Principles and Methods of Development Research. In J. van den Akker,R Branch,K Gustafson, N Nieveen and Tj.Plomp (Eds). Design Approaches and Tools in Education and Training (hlm. 1-14). Dodrecht : Kluwer Academic Publisher. Hamied, Fuad Abdul. 2012. “Inovasi dalam Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia Berbasis Pendidikan Karakter” Bahasa, Sastra dan Pengajarannya. Prosiding Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia. Denpasar: Pustaka Larasan bekerja sama dengan Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Pendidikan Ganesha.
46
ISSN : 1829 – 894X
Plomp. (2001). Development Research in/on Education Development. Makalah disajikan pada Seminar Nasional Pendidikan Matematika Realistik Indonesia. di USD. Yogyakarta: 14-15 November Rahman, H. 2012. Kearifan Lokal dan Pendidikan Karakter. Prosiding Konferensi Internasional Budaya Daerah Ke-2 (KIBD-II). Denpasar: Pustaka Larasan Sumantri, M. (2002). Pengembangan Potensi Siswa dengan Kurikulum Terpadu untuk menjadi Manusia Indonesia Seutuhnya. Pidato pengukuhan jabatan Guru Besar tetap dalam bidang Ilmu Perencanaan Kurikulum pada FIP-UPI. Bandung:UPI.
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (1): 47 - 54
ISSN : 1829 – 894X
PENGEMBANGAN ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI, DAN AKSIOLOGI PENDIDIKAN IPS DALAM KONSTRUKSI KURIKULUM SEKOLAH DASAR Dewa Nyoman Wija Astawa1), I Ketut Ardana2), I Wayan Gata3) 1) Jurusan PPKn, 2) dan 3) Jurusan Pendidikan Sejarah IKIP Saraswati Tabanan
ABSTRAK Penelitian ini pada dasarnya bertujuan untuk mengkaji secara mendasar (grounded analysis), merancang (construct), mengembangkan (development), mengevaluasi (assessment), dan menetapkan (judgement), kedirian pendidikan IPS dalam perspektif ontologi, epistemologi, dan aksiologi, sampai dihasilkannya sebuah spektrum baru pendidikan IPS yang lebih kuat, akomodatif, praktis, dan bermakna bagi pengembangan kompetensi siswa sebagai mahluk sosial yang otonom. Capaian tujuan (produk) penelitian untuk tahun I (2014) akan dilakukan studi analisis kebutuhan, analisis kurikulum, analisis sumber daya ideal, analisis prasarana ideal, dan perumusan konsep awal model kurikulum IPS alternatif yang berbasis teori rekonstruksi sosial ala Vygotsky. Untuk pengujian empiris terhadap model kurikulum IPS berspektif teori rekonstruksi sosial, maka penelitian ini akan dilaksanakan di Kabupaten Buleleng Provinsi Bali, dengan menjadikan sekolah dasar yang tersebar di 9 kecamatan sebagai latar alamiah pengembangan dan pengujiannya. Sampel penelitian untuk tahun I, ditetapkan dengan teknik acak (random sampling). Keseluruhan data penelitian dikumpulkan denganmenggunakan beberapa instrumen, yaitu: studi dokumentasi, ceklist, pedoman wawancara, lembar observasi, quisioner, lembar penilaian produk, uji pakar, focus group discussion, studi laboratorium, dan studi lapangan. Sementara data yang bertalian dengan kevalidan dan kepraktisan produk penelitian akan dikumpulkan dengan tes hasil belajar dan wawancara. Untuk analisis data, penelitian ini akan menggunakan beberapa teknik analisis, yaitu: data tentang phenomena didaktik-instruktional, aspek sosial-budaya siswa, dan kendala-kendala yang dihadapi oleh siswa dan guru akan dianalisis menggunakan pola judgement-expert melalui panel group discussion. Sementara data tentang kevalidan dan kepraktisan produk penelitian akan dianalisis secara deskriptif, dan data tentang keefektipan produk penelitian akan dianalisis dengan menggunakan rancangan analisis Jalur atau Path Analysis Kata kunci :ontologi, epistemologi, aksiologi, konstruksi kurikulum SD ABSTRACT This study basically aims to examine the fundamental (grounded analysis), design (construct), developing (development), evaluating (assessment), and set (judgment), selfhood IPS education in perspective of ontology, epistemology, and axiology, until it 47
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (1): 47 - 54
ISSN : 1829 – 894X
generates a the new spectrum is more robust educational IPS, accommodative, practical, and meaningful to the development of student competence as autonomous social beings. Achievement goals (products) for the first study (2014) conducted a study to needs analysis, curriculum analysis, resource analysis is ideal, the ideal infrastructure analysis, and the formulation of the initial concept model of curriculum-based IPS alternative style of Vygotsky’s theory of social reconstruction. For empirical testing of the model curriculum IPS berspektif social reconstruction theory, this research will be carried out in Buleleng Bali Province, by making primary schools spread over 9 districts as natural background development and testing. The research sample for the first year, determined by a random technique (random sampling). Overall the research data collected using several instruments, namely: documentation studies, checklist, interview guides, observation sheets, questionnaires, assessment sheet products, expert test, focus group discussions, laboratory studies, and field studies. While the data related to the validity and practicality of the research products will be collected by the achievement test and interview. For data analysis, this study will use several techniques of analysis, namely: data about phenomena-instruktional didactic, socio-cultural aspects of the students, and the constraints faced by the students and teachers will be analyzed using patternexpert judgment through focus group panels. While data on the validity and practicality of the products of research will be analyzed descriptively, and data on the effectiveness of research products will be analyzed using path analysis or design of Path Analysis. Keywords: ontology, epistemology, axiology, elementary curriculum construction
PENDAHULUAN Pendidikan yang ideal selalu bersifat “antisipatoris” dan “prepatoris”, yakni selalu mengacu ke masa depan, dan selalu mempersiapkan generasi muda untuk kehidupan masa depan yang jauh lebih baik, bermutu, dan bermakna (Buchori, 2001). Akan tetapi, dari hasil refleksi dan kajian kritis-reflektif Buchori (2001) dan Lasmawan (2007), terhadap pemikiran dan praktik pendidikan di Indonesia, pendidikan ideal seperti itu, telah kehilangan momentum, karena masih bermuara pada transfer ilmu dan belummembangun karakter siswa. Kurikulum yang diyakini sebagai komponen vital danstrategis dalam keseluruhan sistem pendidikan, juga belum menjadi instrumen efektif bagi terwujudnya pendidikan nasional 48
yang ideal, karena masih kental dengan “contentoriented” yang berbasis keilmuan. Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pun, masih sangat kental dengan paradigma “esensialisme”. Indikasinya dapat dilihat dari rumusan pengertian “pengetahuan sosial” di dalam konsep KBK 2004 dan KTSP (Depdiknas, 2006). Ditegaskan oleh Farisi (2006) bahwa definisi yang menyatakan IPS sebagai “simplifikasi ilmu-ilmu sosial atau ilmuilmu sosial yang dibelajarkan di sekolah, adalah definisi yang dikembangkan dari pandangan esensialisme”, yang lebih menekankan pada penguasaan “kompetensi dasar bidang keilmuan”, sehingga belum mengacu pada pengakuan kompetensi diri siswa secara integratif dan holistik.
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (1): 47 - 54
Dilihat dari perspektif siswa, kelemahan utama kurikulum esensialistik terletak pada pandangan bahwa siswa hanya diperankan sebagai passive recipient terhadap realitas dan kebenaran yang secara ontologis berada di luar dirinya (Winataputra, 2001). Implikasi langsung dari kondisi tersebut adalah pembelajaran IPS kurang diminati siswa. Sebagian besar pakar IPS meyakini bahwa keniscayaan kurikuler esensialistik semacam itu, dapat menghambat perkembangan modalitas akademik dan modalitas sosial siswa, serta mendistorsi “genuine concepts” atau “indigenous science” mereka tentang alam semesta yang dibangun dan dikembangkan dari keseharian pengalaman sosial dan kulturalnya (Ellis, 1998; Abidjani, 2006). Kondisi ini juga dapat mendistorsi atau merusak self-concept siswa yang merupakan faktor esensial bagi pembentukan identitas atau karakter siswa itu sendiri. Sejalan dengan perubahan paradigma pembelajaran IPS, yang dimulai pada era 1980-an, yaitu dari paradigma “mainstream academic knowledge” ke paradigm “transformative academic knowledge” (Banks, 1995), para pakar dan pengembangpembelajaran IPS sepakat untuk merekonstruksi dasar-dasar pemikiran kurikulum IPS sejalan dengan perkembangan paradigma pendidikan mutakhir, yakni teori rekonstruksi sosial ala Vygotsky (NCSS, 2001). Teori rekonstruksi sosial Vygotsky juga diprediksi akan menjadi salah satu pilar pembelajaran IPS abad 21, dan menggeser «kebiasaan» behaviorisme (Winataputra (2001). Namun
ISSN : 1829 – 894X
demikian, komitmen untuk menjadikan teori rekonstruksi sosial sebagai paradigma baru IPS di Indonesia, belum banyak didukung oleh hasil-hasil penelitian kontekstual. Beberapa penelitian yang telah dilakukan belummenjangkau dimensi-dimensi lain dari kurikulum IPS. Berangkat dari preposisi tersebut,tujuan, isi, dan pembelajaran IPS seperti apakah yang harus dikembangkan berdasarkan paradigma teori rekonstruksi sosial? Standar kompetensi IPS yang bagaimanakah yang harus dikembangkan? Pola pengorganisasian dan struktur isi kurikulum IPS yang seperti apa yang harus dikembangkan? dan lingkungan kelas yang bagaimana harus dikembangkan agar pembelajaran IPS mengacu pada aplikasi teori rekonstruksi sosial? Berpijak pada seperangkat per masalahan sebagaimana terdeskripsikan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk : “menemukan” dan “merekonstruksi” ide kurikulum atau “gagasan kurikulum” pembelajaran IPS pada jenjang sekolah dasar (SD) berdasarkan perspektif teori rekonstruksi sosial ala Vygotsky, sebagai dasar-dasar pemikiran tentang kurikulum ke-IPS-an yang memiliki “perspektif baru” atau “perspektif alternatif”; memiliki dasar filosofis dan teoretik yang ditegakkan secara mantap dan kuat. Rekonstruksi kompetensi IPS di dalam penelitian ini dikembangkan berdasarkan perspektif teori rekonstruksi sosial ala Vygotsky tentang “hakikat siswa secaraontologis”, bukan dari sebaran pokok-pokok bahasan di dalam kurikulum, seperti yangumum dilakukan. Karenanya, kompetensi IPS di dalam penelitian ini 49
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (1): 47 - 54
merupakan refleksi dari “karakter siswa” sebagai makhluk personal, sosiokultural, dan intelektual. Berdasarkan studi pendahuluan, kompetensi ke-IPS-an “dasar” atau “standar” yang berhasil diidentifikasi secara tipologis mencakup tiga dimensi pengembangan, yaitu: (1) kompetensi personal; (2) kompetensi sosial, dan (3) kompetensi intelektual. METODE Fokus utama dari penelitian ini adalah melakukan rekonstruksi terhadap pendidikan IPS, baik secara ontologis, aksiologis, dan epistemologis sehingga dilahirkan spektrum baru pendidikan IPS berdasarkan perspektif teori rekonstruksi sosial. Berdasarkan rasional tersebut, maka penelitian ini menggunakan desain penelitian pengembangan tipe “Prototipycal Studies” sebagaimana yang dikedepankan oleh Akker (1999) dan Plomp (2001). Hal penting yang perlu diperhatikan dalam penelitian pengembangan adalah kualitas perangkat pembelajaran (produk) yang dihasilkan. Plomp (2001) memberikan kriteria kualitas produk yaitu: valid (merefleksikan pengetahuan state-of-theart dan konsistensi internal), mempunyai nilai tambah (added value), praktis,dan efektif. HASIL Berdasarkan hasil kajian awal terhadap kurikulum IPS-SD sesuai dengan yang tercandra dalam KTSP, dapat disimpulkan bahwa kompetensikompetensi siswa dalam konteks ke-IPSan yang secara kontekstual, konseptual, dan filosofis meliputi: (1) kompetensi 50
ISSN : 1829 – 894X
personal: konsep dan pengertian diri, sikap obyektif terhadap diri-sendiri, aktualisasi diri, kreativitas diri, dan penghayatan terhadap nilai dan sikap keberagamaan dalam kehidupan pribadi dan sosial; (2) kompetensi sosial: pemahaman dan kesadaran atas hakikat diri sebagai anggota atau bagian dari masyarakat, pemahaman dan kesadaran atas tatakrama/sopan santun dalam kehidupan bermasyarakat, kemampuan berkomunikasi, kemampuan interaksi sosial, kemampuan bekerjasama dengan sesama, sikap prososial atau altruisme, kemampuan partisipasi sosial, dan kemampuan pemahaman dan kesadaran terhadap keberbedaan dan kesederajatan (gender, etnis, dan budaya); dan (3) kompetensi intelektual: berpikir kritisreflektif, berpikir kontekstual, berpikir pragmatis, kemampuan keruangan/spasial (keterampilan geografis), pemahaman dan kesadaran tentang waktu, kemampuan logika-matematika, dan pemahaman dan kesadaran kesejarahan (Lasmawan, 2007). Berdasarkan kajian konseptual dan empiris di atas, maka pembelajaran IPS dapat menjadi wahana pedagogis, sosiokultural, dan psikologis bagi siswa secara lebih bermakna, apabila: (a) siswa mampu mencipta makna-makna personal dan sosiokultural melalui interaksi, dialog, dan negosiasi makna-makna subyektif dan intersubyektif secara berkesinambungan; (b) membangkitkan motivasi dan kesadaran kritis-reflektif siswa untuk memelihara dan meningkatkan bakat, minat, dan hasrathasrat alamiah dan sosiokultural terbaiknya; (b) didasarkan pada sikap saling percaya, saling menghargai,dan kebermitraan yang
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (1): 47 - 54
kental antara siswa dan guru; (c) memberikan peluang dantantangan bagi siswa untuk mengekspresikan diri dan mengembangkan kemandiriannya secara alamiah atau otentik. Di sisi lain, aktivitas, bahan dan media pembelajaran IPS lebih bermakna bagi siswa, jika dimaknai sebagai “media belajar” dan “mediakomunikasi, interaksi, negosiasi, dan dialog interpersonal” yang menyediakan “kaitan-kaitan struktural dan fungsional” bagi siswa untuk melakukan rekonstruksi-rekonstruksiterhadap struktur alamiah dan sosiokulturalnya, lebih dari sekadar sebagai “instrumenpenyampai muatan kurikulum” bagi guru.Secara hipotetik, struktur kompetensi ke-IPS-an siswa yang akan dikembangkan dalam penelitian ini dapat dijabarkan sebagai berikut.
PEMBAHASAN Sejalan dengan konsep dan preposisi di atas, Abidjani (2006) dalam penelitiannya tentang struktur materi IPS (social studies) di Amerika menyimpulan bahwa: kompetensi
ISSN : 1829 – 894X
dasar IPS lebih relevan, bermakna, dan memiliki signifikansi sosio-kultural bagi siswa, jika diarahkan pada pembentukan dan pengembangan: pemahaman dan kesadaran atas hakikat diri sebagai anggota atau bagian dari masyarakat; pemahaman dan kesadaran atas tatakrama/sopan santun dalam kehidupan bermasyarakat; kemampuan berkomunikasi; interaksi sosial; bekerjasama dengan sesama; sikap prososial atau altruisme; partisipasi sosial; dan kemampuan pemahaman dan kesadaran terhadap keberbedaan dan kesederajatan (gender, etnis, dan budaya) siswa. Melalui rumusan yang berbeda, Farisi (2006) mempertegas temuan Abidjani dengan menyimpulkan bahwa: pembelajaran IPS dapat menjadi wahana pedagogis, sosiokultural, dan psikologis bagi siswa, apabila: (a) siswa mampu mencipta maknamakna personal dan sosiokultural melalui interaksi, dialog, dan negosiasi makna-makna subyektif dan intersubyektif secara berkesinambungan; (b) membangkitkan motivasi dan kesadaran kritisreflektif siswa untuk memelihara dan meningkatkan bakat, minat, danhasrat-hasrat alamiah dan sosiokultural terbaiknya; (b) didasarkan pada sikap salingpercaya, saling menghargai, dan kebermitraan yang kental antara siswa 51
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (1): 47 - 54
dan guru; (c) memberikan peluang dan tantangan bagi siswa untuk mengekspresikan diri dan mengembangkan kemandiriannya secara alamiah atau otentik. Di sisi lain, aktivitas, bahan dan media pembelajaran IPS lebih bermakna bagi siswa, jika dimaknai sebagai“media belajar” dan “media komunikasi, interaksi, negosiasi, dan dialog interpersonal” yang menyediakan “kaitan-kaitan struktural dan fungsional” bagi siswa untuk melakukan rekonstruksirekonstruksi terhadap struktur alamiah dan sosiokulturalnya, lebih dari sekadar sebagai “instrumen penyampai muatan kurikulum” bagi guru. Dengan demikian, kompetensi dasar IPS akan lebih relevan, bermakna, dan memiliki signifikansi intelektual bagi siswa, jika diarahkan pada pembentukan dan pengembangan:kemampuan berpikir kritis-reflektif; berpikir kontekstual; berpikir pragmatis; kemampuan keruangan/ spasial (keterampilan geografis); pemahaman dan kesadarantentang waktu; kemampuan logika-matematika; dan pemahaman dan kesadaran kesejarahan siswa; bukan sebagai kumpulan kemampuan dan keterampilan intelektualyang terpisah-pisah yang diturunkan dari kompetensi bidang kajian keilmuan yangterdapat di dalam pokok-pokok bahasan kurikulum. Dilihat dari perspektif akademis, kompetensi-kompetensi siswa yang dikembangkan di dalam IPS, secara ontologis merupakan perwujudan dari karakter dan kapasitas alamiah dan sosiokultural siswa sebagai makhluk personal, sosial dan intelektual; secara epistemologis, dibangun dan dikembangkan
52
ISSN : 1829 – 894X
di dalam berbagai latar kebidupan keseharian personal dan sosiokultural sebagai konteks pembentukannnya; dan secara aksiologis digunakan di dalam membangun kesadaran personal dan sosiokultural siswa, dan dalam membangun pengertian, nilai, sikap, dan tindakannya di dalam masyarakat, yang berlatar kehidupan personal dan sosiokulturalnya. Mengacu pada konsepsi tersebut, NCSS (2007) menyatakan bahwa: secara paradigmatik IPS merupakan program pendidikan yang bersifat pedagogis, sosiokultural, dan psikologis yang bertujuan memfasilitasi siswa mengembangkan kompetensikompetensi dasar personal, sosial dan intelektualnya yang dibutuhkan untuk meng-konstruksi dan me-rekonstruksi sendiri secara berkesinambungan struktur pengetahuan, nilai, sikap, dan tindakannya dalam berbagai latar kehidupan pribadi, sosial dan kultural. Secara umum, Plomp (2001), menyatakan bahwa pelaksanaan penelitian pengembangan meliputi tiga fase yaitu: fase analisis hulu-hilir (front-end analysis), fase pengembangan prototipe (prototyping phase), dan fase penilaian (assessment phase) atau evaluasi sumatif. Bertalian dengan fokus masalah penelitian ini yaitu melakukan rekonstruksi ontologi, epistemologi, dan aksiologi pendidikan IPS berdasarkan teori rekonstruksi sosial ala Vygotsky, sampai dihasilkannya spektrum baru pendidikan IPS dengan segala perangkatnya. Secara rinci mekanisme pelaksanaan penelitian ini dapat dijabarkan sebagai berikut.
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (1): 47 - 54 TAHUN I (2014)
KEGIATAN Front-end Analysis: Studi Pustaka
Studi Lapangan
Expert Judgment
Verifikasi
ISSN : 1829 – 894X
TUJUAN 1. Mengidentifikasi kompetensi IPS SD menurut kurikulum 2006 2. Mengidentifikasi sumber belajar, model pembelajaran, model dan alat penilaian, dan tindak lanjut pembelajaran IPS SD. 3. Menganalisis dan mendeskrifsikan ontologi, epistemologi, dan aksiologi pendidikan IPS Mengidentifikasi: 1. Karakteristik siswa 2. Fenomena didaktik 3. Karakteristik Guru 4. Kebutuhan belajar siswa 5. Lingkungan sosial siswa/sekolah Analisis data hasil studi pustaka dan studi lapangan
Melakukan verifikasi blueprint
SIMPULAN Pembelajaran IPS merupakan wahana pedagogis, sosiokultural, dan psikologis yang bertujuan untuk memfasilitasi dan memediasi setiap ikhtiar siswa untuk membentuk jatidirinya; memperkokoh, memperluas, dan merekonstruksi “konstruksialamiah” dan “sosio-kultural” yang dibangun dari pengalaman kesehariannya, dandigunakan di dalam relasi-relasi interpersonalnya dalam bermasyarakat. Bertalian dengan konsepn tersebut, kompetensi dasar IPS lebih relevan, bermakna, dan memiliki signifikansi personal bagi siswa, jika diarahkan pada pembentukan
METODE Studi Pustaka
HASIL/LUARAN 1. Kompetensi dasar, hasil belajar, dan indicator hasil belajar IPS SD yang akan dikembangkan 2. Rancangan kompetensi personal, kompetensi sosial, dan kompetensi intelektual siswa dalam pendidikan IPS. 3. Prototyfe spektrum pendidikan IPS berbasis teori rekonstruksi sosial
1. 2.
1. 2. 3. 4.
Angket Wawancara
Panel Group Discussion
Seminar (diperkirakan 175 orang)
Masalah sosial aktual Karakteristik siswa Karakteristik guru Kebutuhan dan lingkungan belajar siswa
Blueprint tentang spektrum pendidikan IPS, kompetensi personal, kompetensi sosial, dan kompetensi intelektual siswa dalam pembelajaran IPS berdasarkan teori rekonstruksi sosial Vygotsky. Draft model dan perangkat pendidikan IPS berbasis teori rekonstruksi sosial Vygotsky.
dan pengembangan: konsep dan pengertian diri; sikap obyektif terhadap diri-sendiri; aktualisasi diri; kreativitas diri; dan penghayatan terhadap nilai dan sikap keberagamaan dalam kehidupan pribadi dan sosial siswa. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih disampaikan kepada kepala sekolah dan guru-guru sekolah dasar yang ada di wilayah pemerintahan Kabupaten Buleleng atas bantuan dan kerja samanya dalam mengumpulkan data. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Direktur Penelitian dan Pengabdian 53
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (1): 47 - 54
kepada Masyarakat (Dirlitabmas) Dikti yang telah mendanai penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Abijhani, P.V. (2006). The Social Studies Breaking Concepts. tersedia di: www.spartan.ac.brocku. ca/~lward/ dewey/dewey1910.html[diakses tanggal10 Januari 2006]. Akker, J.V. (1999). Principles and Methods of Development Research. In J. vam den Akker,R Branch,K Gustafson, N Nieveen and Tj.Plomp (Eds). DesignApproaches and Tools in Education and Training (hlm. 1-14). Dodrecht : KluwerAcademic Publisher. Banks,
J.A. (1995). Transformative Challenges to the Social Sciences Disciplines:Implications for Social Studies Teaching and Learning.. Theory and Researchin Social Education, XXIII(1), 2-20.
Buchori, M. (2001). Pendidikan Antisipatoris. Yogyakarta: Kanisius. Depdiknas. (2003). Kurikulum Berbasis Kompetensi Matapelajaran Pengetahuan Sosial dan Kewarganegaraan Sekolah Dasar. Jakarta: Pusbangkurrandik. Ellis, A.K. (1998). Teaching and Learning Elementary Social Studies. (6th ed). Boston: Allyn & Bacon. Farisi, M.I. (2006). Rekonstruksi pendidikan IPS-SD Berdasarkan Perspektif Kepentingan Belajar Siswa (Laporan Penelitian). Universitas Terbuka. Lasmawan, Wayan (2007). Studi evaluative kesiapan guru IPS memberlakukan kurikulum tingkat satuan pendidikan di kota Singaraja (laporan penelitian). Singaraja: 54
ISSN : 1829 – 894X
Lembaga Penelitian Undiksha. Lasmawan, Wayan (2008). Pengembangan model buku ajar berwawasan sosialbudaya dalam pembelajaran IPS sekolah dasar (Laporan Penelitian). Singaraja: Lembaga Penelitian Undiksha. NCSS. (2004). Expectations of Excellence: Curriculum Standards for Social Studies. Washington: NCSS. NCSS. (2007). Science-Technology-Society (STS) in Social Studies: Position Paper. Washington DC: NCSS. Plomp. (2001). Development Research in/ on Education Development. Makalah disajikan pada Seminar Nasional Pendidikan Matematika Realistik Indonesia. di USD. Yogyakarta: 1415 November. Somantri, (2001). Menggagas Pemba haruan Pendidikan IPS. Dedi Supriadi & Rohmat Mulyana (ed). Bandung: PPS-FPIPS UPI dan PT. Remadja Rosda Karya. Winataputra, U.S. (2001). Jatidiri Pen didikan Kèwarganegaraan sebagai WahanaSistemik Pendidikan Demo krasi (Suatu kàjian kònseptual dalam kònteks Pendidikan IPS). Disertasi, Bandung: PPS-UPI. …………. Reorientasi Pendidikan Ilmu Pengetahuan SosialMengantisipasi Perubahan Sosial di Era Global. Makalah Seminar Nasionaldan Kongres Forum Komunikasi X Pimpinan FPIPS/FIS/FKIP Universitas/IKIP se Indonesia serta Kongres HISPIPSI, 22-24 Oktober. Wiriaatmadja, R. (2003). Pembelajaran IPS di Tingkat Sekolah Dasar. Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial. No.20 Tahun XI, Januari – Juni 2003. 22-27.
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (1): 55 - 64
ISSN : 1829 – 894X
ANALISIS MATERI SAINS IPA SD BERPENDEKATAN KEARIFAN LOKAL BERBASIS ERGONOMI I Made Sudiana1), Nyoman Suryawan2) 1) FPMIPA dan 2) FPIPS IKIP Saraswati Tabanan ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk menggali dan memformulasikan konsep-konsep dasar dan generalisasi pokok pengembangan materi ilmu pengetahuan alam yang dikaitkan dengan kearifan lokal bagi siswa sekolah dasar. Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan tipe rototypical studies. Data tentang kearifan lokal yang berhubungan dengan materi sains IPA SD dicari pada sembilan perpustakaan di Provinsi Bali. Sedangkan data untuk pembelajaran melibatkan siswa dan guru SD yang tersebar di 2 kabupaten dan 1 kota madya. Penetapan sampel secara stratified area random sampling. Keseluruhan data penelitian bertalian dengan dinamika proses instruksional dikumpulkan dengan lembar observasi, pedoman wawancara, dan angket terstruktur. Dari 5 perpustakaan yang dikunjungi ditemukan 30 judul buku kearifan lokal yang berkaitan dengan pendidikan. Judul buku terbanyak 10 judul terdapat di UNHI Denpasar, sedangkan paling sedikit hanya 2 judul di Museum Bali. Dari 30 judul buku tersebut, jumlah halaman keseluruhan adalah 1252 halaman, 285 halaman membahas tentang ritual keagamaan. Jumlah halaman yang membicarakan pendidikan karakter 225, lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah halaman yang membicarak tentang praktik. Berdasarkan hasil angket yang diisi oleh siswa menunjukkan bahawa kegiatan proses belajar mengajar yang dirasakan siswa belum berlangsung secara enase. Hal ini terungkap bahwa tingkat kebosanan dan kelelahan otot masih tinggi yaitu rata-rata di atas 50%. Motivasi, aktivitas, konsentrasi belajar siswa masih rendah. Sementara itu, dari hasil wawancara dengan kepala sekolah dan guru IPA terungkap bahwa (1) guru mengalami kesulitan dalam melaksanakan pendekatan saintifik dalam implementasi kurikulum 2013; (2) guru kurang mampu menyusun perangkat pembelajaran terintegrasi dengan kearifan lokal berbasis ergonomi. Kata kunci: Pembelajaran IPA, kearifan lokal, ergonomi ABSTRACT This study aims to explore and formulate the basic concepts and generalizations development subject matter of natural science which is associated with local knowledge for elementary school students.This research is the development of type rototypical studies. This research is the development of type prototypical studies. Data on local knowledge related to elementary science materials science sought in nine libraries in the province of Bali. While the data for learning involves students and elementary school teachers are distributed in 2 counties and 1 municipality. Determination of the sample is stratified random sampling area. Overall research data related to the dynamics of the instructional process is collected by the observation sheet, guidance interviews, and a structured questionnaire. Of 5 visited the library of titles found 30 local knowledge related to education. 55
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (1): 55 - 64
ISSN : 1829 – 894X
Most book titles are 10 titles in Unhi Denpasar, while at least only 2 titles in Bali Museum. Of the 30 title of the book, number of pages is 1252 pages, 285 pages discusses religious rituals. Number of pages 225 to talk about character education, fewer than the number of pages that membicarak about practice. Based on the results of a questionnaire completed by the students demonstrated that teaching and learning activities that students perceived enase not take place. It is revealed that the level of boredom and muscle fatigue is still high at an average of over 50%. Motivation, activity, low concentrations of student learning. Meanwhile, from the results of interviews with principals and science teachers revealed that (1) the teachers had difficulty in implementing the scientific approach in the implementation of the curriculum, 2013; (2) the teacher is not able to develop learning tools integrated with local knowledge-based ergonomics. Keywords: Science learning, local wisdom, ergonomics
PENDAHULUAN Inovasi pembelajaran ilmu pengetahuan alam (IPA) yang mengakomodasikan model pembelajaran yang berasal dari negara barat (luar negeri), telah menghadirkan seperangkat permasalahan dan sekaligus tantangan bagi dunia pendidikan, khususnya pendidikan sekolah dasar. Untuk dapat menjadikan siswa sebagai manusia yang berkompetensi global namun tetap berwawasan nilai-nilai budaya kebangsaan, diperlukan seperangkat upaya strategis untuk mewujudkannya. Pengembangan materi dan model pembelajaran IPA dengan pendekatan kearifan lokal merupakan salah satu tujuan pendidikan nasional. Tujuan pendidikan nasional dengan tegas menyatakan bahwa lembaga pendidikan harus mampu menghasilkan manusia-manusia yang berkompetensi global namun tetap berpijak pada keluhuran nilai-nilai budaya bangsanya (UU No. 20 Tahun 2003). Untuk kepentingan tersebut, materi dan metode pembelajaran IPA serta segala perangkat yang mendukung harus diarahkan pada upaya menjadikan peserta didik mampu berkompetensi global, cerdas dan terampil terhadap 56
IPA, serta tetap berpijak pada keluhuran nilai-nilai budaya kebangsaan. Pembelajaran IPA dengan pendekatan kearifan lokal akan menjadi pembelajaran ENASE (efektif, nyaman, aman, sehat dan efisien ) bila dikaitkan dengan kaidah-kaidah ergonomi. Penelusuran terhadap persepsi siswa sampel disemua area terhadap variable yang terkait dengan pembelajaran menunjukkan bahwa peminatan terhadap mata pelajaran IPA persentasenya masih sangat rendah dengan rentangan 20% untuk area urban, 25% semi urban dan lebih rendah lagi di area desa hanya 11%. Senada dengan matapelajaran, guru yang mengajar mata pelajaran IPA atau guru kelas pada saat menyampaikan materi IPA di kelas juga dipersepsi sangat rendah oleh siswa. Hal ini terlihat dari peminatan siswa terhadap guru IPA yang persentasenya 24% untuk area urban, 11% area semi urban dan 14% unruk area desa. Berdasarkan rasional di atas, tampaknya diperlukan inovasi secara terstruktur dalam pengembangan materi dan model pembelajaran IPA di sekolah dasar agar mampu merealisasikan tujuan pendidikan nasional secara optimal. Materi dan model pembe-
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (1): 55 - 64
lajaran IPA serta perangkat pendukungnya harus diselaraskan dengan tuntutan globalisasi dan pencapaian tujuan pendidikan pada jenjang sekolah dasar sebagaimana termaktub dalam kurikulum 2013. Salah satunya yang dipandang relevan dikembangkan untuk menjembatani kepentingan di atas adalah pengembangan materi dan model pembelajaran IPA dengan pendekatan kearifan lokal berbasis ergonomi. Melalui pembelajaran IPA ini, peserta didik sejak dini telah dikondisikan dan difasilitasi pengembangan nilai-nilai budaya lokalnya dan proses pembelajarannya berbasis ergonomi, sehingga berlangsung secara ENASE (efektif, nyaman, aman, sehat dan efisien). Hal ini akan semakin praktis dan efektif bilamana didukung oleh adanya perangkat pembelajaran IPA dengan pendekatan kearifan lokal yang memenuhi kriteria valid, praktis, efektif, dan sesuai dengan karakteristik kurikulum IPA SD 2013. METODE PENELITIAN Fokus utama dari penelitian ini adalah pengembangan materi dan model pendidikan budaya dan karakter bangsa berbasis tradisi lisan yang berorientasi spiritualisme bagi siswa sekolah dasar (SD).
ISSN : 1829 – 894X
Berdasarkan rasional tersebut, maka penelitian ini menggunakan desain penelitian pengembangan tipe “Prototipycal Studies” (Akker, 1999) dan Plomp (2001). Hal penting yang perlu diperhatikan dalam penelitian pengembangan adalah kualitas perangkat pembelajaran (produk) yang dihasilkan. Plomp (2001), memberikan kriteria kualitas sebuah produk dikatakan baik, bilamana telah memenuhi unsur: valid (merefleksikan pengetahuan state-of-the-art dan konsistensi internal), mempunyai nilai tambah (added value), praktis, dan efektif. Pada konteks penelitian pengembangan, Plomp (2001), menyatakan bahwa pelaksanaan penelitian pengembangan meliputi tiga fase yaitu: fase analisis huluhilir (front-end analysis), fase pengembangan prototipe (prototyping phase), dan fase penilaian (assessment phase) atau evaluasi sumatif. Bertalian dengan fokus masalah penelitian ini yakni : mengembangkan model (materi dan model pembelajaran) pembelajaran IPA dengan pendekatan kearifan lokal berbasis ergonomi yang relevan bagi siswa sekolah dasar (SD) HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Hasil Analisis Dokumen
Tabel 1 Hasil Analisis Dokumen di Lima Perpustakaan di Bali Jumlah buku
Pendidikan Karakter
Ritual
Praktik
Foklor
Bahasa Lisan
4
25
75
60
55
87
6
30
90
65
75
30
8
65
20
30
30
35
4. UNHI Denpasar
10
90
80
70
45
60
5. Museum Bali
2
15
20
25
35
40
Jumlah
30
225
285
250
240
252
Asal dokumen 1. Gedung Kertya Singaraja 2. PUSDOK Bali 3. Perpustakaan Wilayah Daerah Bali
57
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (1): 55 - 64
Dari sembilan perpustakaan yang akan dikunjungi, baru 5 perpustakaan yang telah dikunjungi. Dari 5 perpustakaan tersebut, jumlah buku terbanyak yang berhubungan dengan kearifan lokal bidang pendidikan ditemukan di Perpustakaan Unhi Denpasar dengan jumlah judul buku 10 judul (33,33%), sedangkan jumlah buku paling sedikit di Museum Bali (7,50%). Mayoritas buku membahas tentang ritual yaitu 285 halaman (22,23%) dan yang paling sedikit pendidikan karakter 225 halaman (17,55%). Hasil ini menunjukkan bahwa dari kearifan lokal yang tumbuh dan berkembang pada komunitas masyarakat Bali yang berhubungan dengan pendidikan masih banyak yang belum terdokumentasi. Hal
ISSN : 1829 – 894X
ini juga berarti bahwa bentuk pengimbasan kearifan lokal pendidikan dilakukan secara oral melalui cerita rakyat atau komunikasi langsung dalam kehidupan keseharian masyarakat Bali. Bentuk pengimbasan lain bisa melalui cerita rakyat yang pada jaman dulu dilakukan menjelang tidur sebelum era teknologi informasi komputer (TIK). 2. Hasil Analisis Kuisioner Kuisioner disebar kepada 240 orang siswa SD, masing-masing dua SD di Denpasar, dua SD di Kabupaten Badung, dan dua SD di Tabanan baik SD Negeri maupun swasta yang telah menerapkan kurikulum 2013. Hasil analisis kuisioner siswa sebagai berikut (Tabel 2).
Tabel 2 Analisis Kuesioner Siswa Variabel Kelelahan Keluhan muskuloskeletal
Kebosanan
Motivasi belajar Konsentrasi belajar Aktivitas belajar Proses Pembelajaran
58
Varian Tidak lelah Lelah Leher Bahu Pinggang Lengan Menyenangkan Bosan Sangat bosan Positif Negatif Tinggi Rendah Tinggi Rendah Positif Negatif
Persen (%) 21,52 78,48 60.50 78.00 65,60 72,00 4,10 27,50 58,40 15,40 84,60 22,16 77,84 18,76 81,24 25,13 74,87
Kualifikasi Lelah Agak Nyeri
Sangat bosan
Negatif
Rendah Negatif
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (1): 55 - 64
ISSN : 1829 – 894X
Hasil pengukuran terhadap anthropometri siswa dibandingkan dengan sarana belajarnya (bangku dan kursi duduk) menunjukkan data seperti Tabel 3.
ada keluhan musculoskeletal tubuh bagian bawah (tungkai dan kaki) Pada semua aspek yang ditanyakan ternyata siswa dalam kegiatan pembelajaran
Tabel 3 Perimbangan anthropometri dengan sarana belajar
Tinggi siku
Tinggi lutut
Anthro Urban Semi urban Desa Rerata Urban Semi urban Desa Rerata
56,96 60,58 59,99 59,18 45,91 46,45 46,64 46,33
Tinggi meja
Tinggi kursi
Tabel di atas menunjukkan bahwa selisih antara tinggi siku dengan tinggi meja belajar sangat tinggi di semua area dengan rerata 14, 16 cm. Kondisi itu menyebabkan siswa ketika belajar dengan sarana tersebut tanpa disadari akan mengkontraksikan otot-otot muskuloskeletalnya terutama di daerah punggung , leher dan pinggangnya untuk menyesuaikan dengan tinggi bangku. Akumulasi keadaan demikian dalam waktu dua jam pelajaran akan menyebabkan kelelahan dan keluhan musculoskeletal. Hal ini akan diperparah lagi dengan tidak adanya variasi dan inovasi guru saat mengajar. Walau siswa tidak secara verbal mengatakan lelah, tetapi dari pola tingkahlaku dan gegark-gerik selama mengikuti pelajaran bisa dibaca. Gambaran ini menunjukkan bahwa meja belajar yang digunakan siswa kurang ergonomis. Kondisi yang lebih baik dilihat dari kursi duduk siswa. Yang ukurannya sudah mendekati prinsip ergonomis sehingga hamper tidak
Sarpras Urban Semi urban Desa Rerata Urban Semi urban Desa Rerata
71,25 73,75 75,00 73,33 40,50 44,00 45,25 43,25
Selisih 14,29 13,17 15,01 14,16 5,41 2,45 1,39 3,08
sains IPA belum berlangsung secara PAKEM (pembelajaran aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan). Hal ini terindikasi dari tingkat kelehan siswa dalam melaksanakan KBM, dimana setengah lebih siswa kelelahan dalam belajar. Pada bagian lain, keluhuan otot (muskuloskeletal) masih tinggi yaitu rata-rata mencapai 69% siswa mengeluh terhadap ketegangan otot leher, bahu, pinggang, dan lengan (kiri-kanan). Mayoritas siswa merasa bosan dalam mengikuti KBM, motivasi belajar, konsentrasi belajar, serta aktivitas belajar rendah. Secara keseluruhan proses pmbelajaran berlangsung negatif (Tabel 5.1). Kondisi tersebut bermuara pada rendahnya minat siswa (18%) terhadap mata pelajaran IPA dan rendahnya persepsi siswa (16%) terhadap guru saat mengajar materi IPA. Data di atas memberikan gambaran bahwa suasana pembelajaran kurang mendukung siswa dalam mencapai tujuan 59
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (1): 55 - 64
belajarnya. Di samping factor guru, hal ini sangat mungkin disebabkan oleh sarana dan prasarana belajar yang kurang ergonomis dan materi pembelajaran belum diintegrasikan dengan kearifan lokal yang biasa siswa dapatkan dalam kehidupan kesehariannya. Oleh karena itu, siswa merasa bahwa kegiatan belajar merupakan kegiatan yang terpaksa harus dilakukan. Sesuatu yang dilakukan secara terpaksa terlebih lagi dalam KBM mengakibatkan munculnya berbagai keluhan dan kebosanan pada diri siswa. Dengan demikian, maka proses pembelajaran yang dilaksanakan tidak mencerminkan proses pembelajaran yang ENASE (efektif, nayaman, aman, dan sehat). Fakta di lapangan menggambarkan bahwa kegiatan belajar mengajar IPA sesuai dengan tuntutan kurikulum 2013 menggunakan pendekatan saintifik dan tematik belum berjalan secara efektif. Guru belum mampu merancang RPP berpendekatan saintifik dan belum mampu mengintegrasikan kearifan lokal sebagai suplemen materi dan berbasis ergonomi dalam proses pembelajaran sehingga siswa merasa cepat lelah, bosan, konsentrasi belajar rendah, aktivitas belajar rendah serta motivasinya juga rendah. Suasana belajar seperti ini tentu belum sesuai harapan dan belum bersifat ENASE. Ketidakmampuan guru dalam merancang perangkat pembelajaran (silabus dan RPP, termasuk buku bahan ajar) merupakan permasalahan yang harus dicarikan solusinya. Solusi yang disarankan yaitu perlu dilakukan workshop kepada guru-guru dalam merancang perangkat 60
ISSN : 1829 – 894X
pembelajaran. Pada bagian lain disampaikan oleh kepala sekolah, bahwa penerapan kurikulum 2013 masih menghadapi kendala terutama pada pola pikir (maindset) dan paradigma guru dalam memahami tujuan kurikulum 2013. Mindset guru sangat menjadi faktor penghambat pelaksanaan kurikulum 2013, dimana sikap dan perilaku guru yang sulit berubah. Padahal keniscayaan keberhasilan suatu program apalagi kurikulum harus dilandasi dengan maidnset mau berubah (change). Sebagai akibat sulit berubah, maka paradigma dalam kegiatan pembelajaran yang berpusat pada siswa (student centered), masih saja berlangsung pembelajaran yang berpusat pada guru (teacher centered). Namun demikian, kepala sekolah juga berharap semoga melalui pendidikan dan latihan kurikulum 2013 yang wajib diikuti oleh para guru terjadi perubahan pola pikir dan perubahan paradigma pembelajaran. Dengan demikian tujuan pendidikan nasional melalui implementasi kurikulum 2013 dapat diwujudkan sehingga daya saing dan harga diri bangsa meningkat di dunia internasional . Hampir senada dengan kepala sekolah, guru juga merasakan kurang mampu dalam merancang perangkat pembelajaran sesuai tuntutan kurikulum 2013, dimana proses pembelajaran menggunakan pendekatan saintifik dan tematik. Dikatakan bahwa pendekatan saintifik dalam pembelajaran, gampang diucapkan tetapi tidak mudah dilaksanakan. Kesulitan dalam menggunakan pendekatan saintifik dalam pembelajaran yang disampaikan
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (1): 55 - 64
guru yaitu bahwa ada beberapa materi yang menyulitkan kami untuk mengikuti skenario pendekatan saintifik (menanya, mengobservasi, mencoba, mengumpulkan data dan mengolah, menyimpulkan, dan mengkomunikasikan). Pada bagian lain disampaikan bahwa sarana dan prasarana belajar yang tersedia ada yang sudah mencukupi, tetapi beberapa sarana belum mencukupi. Guru kurang paham, apakah sarana prasarana tersebut sudah ergonimis atau belum, akan tetapi jika isian angket siswa menunjukkan bahwa siswa cepat lelah dan mengalami keluhan otot, berarti sarana belajar kemungkinan belum ergonomis. Konsentrasi siswa, motivasi, aktivitas belajar siswa masih rendah, kemungkinan materi ajar kurang menarik, selain proses pembelajaran belum berjalan secara PAKEM. Disampaikan bahwa materi ajar yang digunakan sebagai bahan referensi untuk diberikan kepada siswa hanya berasal dari kementrian. Materi itu memamng kurang dan bahkan banyak yang belum diintegrasikan dengan kearifan lokal yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan siswa. Hal ini terjadi karena guru belum mampu dan belum tahu banyak tentang kearifan lokal Bali yang dapat diintegrasikan dengan materi IPA SD. KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis do kumen, hasil wawancara dan kuisioner dapat disimpulkan bahwa (1) Jumlah buku tentang kearifan lokal berhubungan dengan pendidikan IPA SD hanya 30 judul. Dari judul tersebut mayoritas
ISSN : 1829 – 894X
membahas tentang ritual (33,33%). (2) Proses pembelajaran IPA di SD belum mengintegrasikan kearifan lokal dan belum bersifat ergonomis, sehingga pembelajaran belum berlangsung secara PAKEM dan ENASE. Hal ini tampak dari tingginya keluhan muskuloskeletal, tingkat kelelahan siswa, sedangkan motivasi, konsentrasi, dan aktivitas belajar siswa masih rendah. (3) Guru belum mampu merancang perangkat pembelajaran IPA yang sesuai dengan karakter siswa (ergonomis). Hal ini ditunjukkan dengan masih rendahnya minat siswa terhadap mata pelajaran IPA (18%) dan rendahnya persepsi siswa (16%) terhadap guru saat mengajar IPA. Rekomendasi yang dapat di sampaikan melalui hasil penelitian ini, yaitu (1) Hendaknya masyarakat Bali mulai mendokumentasikan kearifan lokal dalam naskah cetak sehingga dapat digunakan sebagai rujukan untuk pembelajaran formal. (2) Perlu diupayakan model pembelajaran sains IPA SD yang lebih ergonomi dengan mengintegrasikan nilai-nilai kearifan lokal sehingga terbangun karakter yang kuat sebagai identitas budaya lokal Bali. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih disampaikan kepada Dirjen Dikti, Koordinator Kopertis Wilayah VIII Denpasar atas bantuan dana yang diberikan. Ucapan yang sama juga ditujukan kepada Rektor IKIP Saraswati yang telah memfasilitasi penelitian ini, semua pihak yang memotivasi penulis dalam pelaksanaan penelitian dan dalam mewujudkan hasil penelitian ini.
61
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (1): 55 - 64
DAFTAR PUSTAKA Akker, J.V. (1999). Principles and Methods of Development Research. In J. vam den Akker,R Branch,K Gustafson, N Nieveen and Tj.Plomp (Eds). Design Approaches and Tools in Education and Training (hlm. 1-14). Dodrecht: Kluwer Academic Publisher Adiatmika, I P.G. 2007. Perbaikan Kondisi Kerja Dengan Pendekatan Ergonomi Total Menurunkan Keluhan Muskuloskeletal dan Kelelahan Serta Meningkatkan Produktivitas dan Penghasilan Perajin Pengecatan Logam di Kediri, Tabanan. (Disertasi). Denpasar: Program Pascasarjana Universitas Udayana. Adiputra, N.2008. Upaya Kesehatan Kerja Tenaga Kesehatan Kabupaten/ Kota dan Puskesmas Propinsi Bali. [cited 2010 November 14] Available from: http://www.balihesg.org – balihesg. Ariati, N. N. (2008). Pengaruh Perbedaan Komposisi Makronutrien Makan Pagi Terhadap Prestasi Belajar Mahasiswa Jurusan Gizi Poltekkes Denpasar. (Tesis). Denpasar: Program Pascasarjana Universitas Udayana. Direktorat Pembinaan TK&SD. 2009. Mengenal Metode Pembelajaran Pakem. [cited 2010 Februari 10] Available from: http://sekolahku. info/artikel/mengenal-metodepembelajaran-pakem/. Guyton, A.C dan Hall, J.E. 2000. Fisiologi Kedokteran. Irawati Setiawan (ed). Edisi 10. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran. 101-112.
62
ISSN : 1829 – 894X
Hasan, S. H. 2007. “Tujuan Kurikulum Pengetahuan Sosial”. Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial (JPIPS). (1). Halaman 100 Helander, M.G & Lo Shuan. 2005. Reducing Design Complexxity Will Improve Usability in Product Design. In Proceeding of Seaes IPS Conference, 23 – 25 May. Bali. Indonesia. p. 6-10. Husein, T. 2007. Analisa Perancangan Kerja. Jakarta: Pusat Pengembangan Bahan Ajar-UMB. hal. 8-13 Kroemer, K.H.E., Grandjean, E. 2000. Fitting the Task to the Human. A Textbook of Occupational Ergonomics. Fifth Edition. Piladelphie: Taylor & Francis. Lehto, M.R., Buck, J.R. 2005. Introduction to Human Factors and Ergonomics for Engineers. London: Taylor & Francis Group. p. 54-58. Manuaba, A. 2002. A Change of The Human Resource Behavior is A Must to Start Management of Change, Special Experience With The Integrated Ergonomics “SHIP” Approach Workshops. Dalam: Arlianto, J.E. Wibowo,E., Kwesal, W., Dely. editors. Proceedings National Industrial Engineering Conference. Surabaya: Departement of Induatrial Engineering Faculty of Engineering, University of Surabaya.p. A.30-A.33. Manuaba, A. 2003. Total Ergonomic Approach to Enhance and Harmonize The Development of Agriculture, Tourism and Small Scale Industry, with Special Reference to Bali. Dalam: Purwanto, W., Sugema, L.l.,
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (1): 55 - 64
dan Ushada, M. editors. Prosiding Seminar Nasional Ergonomi. Yogyakarta: Perhimpunan Ergonomi Indonesia dan Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada. p.16 - 21. Manuaba, A. 2004. Holistic Ergonomic Design as a Strategy To Integrate Occupational Health – Safety System Managemant into The Enterprise Management System. Presented at 2nd NIEC (National Industrial Conference). Surabaya Indonesia. Manuaba, A. 2005. Pendekatan Holistik dalam Aplikasi Ergonomi. Sosial& Humaniora. Okt. 01: 1-13. Manuaba,A. 2006. Improvement of Working Conditions and Environment through Total Ergonomics Approach to Obtain Humane, Competitive and Sustainable Works System and Products at PT Sumiati Denpasar. Denpasar: Bali Human Ecology Study Groups. Nala, N. 2001. Kebudayaan Kesehatan. Program Doktor Ilmu Kedokteran. Denpasar: Program Pascasarjana Universitas Udayana. Ndha, 2010. Kerja dan Kelelahan Kaitannya dengan Ergonomi, [cited 2010 Desember 2] Available from: http://ndha-psikologi.com/2010/03/ kerja-dan kel.html. Panero, J. dan Zelnik, M. 2003. Dimensi Manusia & Ruang Interior, Buku Panduan Untuk Standar Pedoman Perancangan. Jakarta: Penerbit Erlangga. Peacock, B. 2009. The Laws and Rules of Ergonomics in Design. New York:
ISSN : 1829 – 894X
EAZI Printing. Pig. 55-59 Pheasant, S. 1991. Ergonomics, Work and Health. London: Macmillan Academic Profesional Ltd. Plomp. (2001). Development Research in/ on Education Development. Makalah disajikan pada Seminar Nasional Pendidikan Matematika Realistik Indonesia. di USD Yogyakarta: 1415 November. Said, F.E. 2009.Analisis Sistem InformasiTeknik&Desain Presentasi. [cited 2010 Maret 24] Available from: http://fairuzelsaid.wordpress. com/2009/12/02/ analisis-sisteminformasi-teknik-presentasi/. Subagia dan Wiratma. 2006. PotensiPotensi Kearifan Lokal Masyarakat Bali Dalam Bidang Pendidikan. Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja No. 3 Th XXXIX Juli 2006. Hal. 552-568. Suprapta, O. 2010. Teaching Learning Science Technology Society Approach Ergonomic Based Reduces Musculoskeletal Disorder, Fatigue, Boredom, Learning outcomes, and Learning achievement Students IKIP Saraswati Tabanan. Proceedings International Join Conference APCHI-ERGOFUTURE 2-6 August 2010. Denpasar: Udayana University Press. Suprapta, O. 2011a. Kualitas Kesehatan, Luaran Proses dan Prstasi Belajar pada Pembelajaran Sains Siswa Sekolah Dasar Negeri 2 Kelating Tabanan. Suluh Pendidikan (Jurnal Ilmu-Ilmu Pendidikan), IKIP Saraswati Tabanan, Vol.9 No.1 Juni 2011. Hal. 1-10.
63
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (1): 55 - 64
Suprapta, O. 2011b. Musculoskeletal Disorders at Students of Institute Teacher Trainging and Education Saraswati Tabanan. Proceedings of The 2nd East Asian Ergonomics Federation Symposium.Oct 4-8,201. NTHU,Hsinchu, Taiwan. Sutapa, I K. dan Widana, I K. 2009. Penerapan Ergonomi Partisipatori Pada Proses Pembelajaran Mengurangi Gangguan Muskuloskeletal Dan Kelelahan Pebelajar Di Jurusan Teknik Sipil Politeknik Negeri Bali. Prosiding Seminar Nasional Ergonomi IX 17-18 November 2009. Semarang: TI-UNDIP Trianto. 2007. Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivis-
64
ISSN : 1829 – 894X
tik. Jakarta: Prestasi Pustaka 41-62. Wahab, A. 2007. Inovasi Pembelajaran yang Berorientasi Kompetensi. (makalah). Seminar Nasional HISPISI di IKIP Negeri Singaraja. Tanggal 17 – 19 September 2007. HISPISI Cabang Bali. Wijana, N. 2008. Pembelajaran Sains Melalui Pendekatan Inovatif Berbasis Ergonomi Mengurangi Keluhan Muskuloskeletal, Kebosanan dan Kelelahan serta Meningkatkan Motivasi dan Prestasi Belajar Siswa SD 1 Sangsit Kecamatan Sawan Kabupaten Buleleng. (Disertasi). Denpasar: Program Pascasarjana Universitas Udayana.
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (1): 65 - 78
ISSN : 1829 – 894X
KARAKTER KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT BALI TERHADAP PEMANFAATAN TUMBUHAN TINGGI DALAM KEHIDUPANNYA: ANILISIS ETNOBOTANI PADA ASPEK ETNORITUAL DAN ETNOFARMA I Ketut Surata1), Nyoman Suryawan2), dan I Wayan Gata3) Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam IKIP Saraswati Tabanan; 2) dan 3) Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial IKIP Saraswati Tabanan 1)
ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk mengungkap cara masyarakat Bali dalam mengenal dan memanfaatkan tumbuhan untuk sarana upakara dan pengobatan tradisional (usada) dengan menggunakan pengetahuan tradisional/kearifan lokal. Penelitian dilakukan di lima desa Pekraman yaitu Desa Pekraman Jatiluwih Tabanan, Sukawati Gianyar, Penglipuran Bangli, Tenganan Karangasem, dan Banyuning Singaraja. Metode penelitian yaitu dengan melakukan inventarisasi tentang etnobotani di delapan perpustakaan yang ada di Bali, wawancara mendalam terhadap pakar banten dan pakar usada, dan observasi keanekaragaman hayati tumbuhan tinggi di lima desa pekraman. Data yang dikoleksi dianalisis secara deskriptif. Hasil penelusuran dokumen dari delapan perpustakaan di Bali menunjukkan bahwa dokumen yang membahas tentang etnofarma mencapai 53,36% dan yang membahas tentang etnoritual 28,21%, serta tidak satupun dokumen yang membahas tentang etnotekstil. Hasil wawancara terhadap pakar sarana upakara Hindu dan pakar usada menyampaikan bahwa tumbuhan yang digunakan sebagai sarana mulai dari jenis rerumputan, herba, semak, perdu, pohon kecil, dan pohon. Bagian tumbuhan yang digunakan mulai dari batang, kulit batang, daun, bunga, buah, dan biji. Keanekaragaman hayati tumbuhan tinggi yang didokumentasikan meliputi semua habitus tumbuhan. Kekayaan dan kelimpahan jenis tumbuhan dari masing-masing desa pekraman jumlahnya berbeda-beda. Karena tumbuhan memiliki persyaratan hidup yang berbeda tergantung iklim. Kekayaan dan kelimpahan jenis tumbuhan paling banyak yaitu di wilayah desa pekraman Jatiluwih. Dapat disimpulkan bahwa dokumen tentang etnobotani tidak terlalu banyak, karena pengimbasan pengetahuan tentang cara pengenalan dan pemanfaatan tumbuhan tinggi oleh masyarakat Bali lebih banyak melalui praktik langsung. Tumbuhan tinggi banyak digunakan untuk kepentingan sarana ritual dan pengobatan tradisional, selain untuk bahan pangan, bangunan, dan tekstil. Kata kunci: Pengetahuan tradisional, KH tumbuhan, etnoritual, etnofarma ABSTRACT Was conducted research that aims to reveal how the Balinese people in recognizing and utilizing plants for traditional medicine (usada) and upakara by using knowledge of traditional/local knowledge. The study was conducted in five villages at Pekraman Jatiluwih Tabanan, Sukawati Gianyar, Penglipuran Bangli, Tenganan Karangasem, and 65
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (1): 65 - 78
ISSN : 1829 – 894X
Banyuning Buleleng. The research method is to conduct an inventory of ethnobotany in the eight libraries in Bali, depth interviews with experts usada and offerings, and the observation of high plant biodiversity in five villages pekraman. The data collected were analyzed descriptively. Document search results of eight libraries showed that the documents that discuss ethnofarma reached 53.36% and 28.21% ethnoritual discuss, and none of the documents that discuss ethnotexstil. Results of interviews with experts upakara and specialists usada Bali said that plant is used in types of grasses, herbs, bushes, shrubs, small trees, and trees. Part is used stem, bark, leaves, flowers, fruits, and seeds. High plant biodiversity includes all documented plant habitus. Plant species richness and abundance of each village pekraman different numbers. Because plants have different requirements depending on the climate of life. richness and abundance of plant species in the region that is most widely pekraman Jatiluwih. It can be concluded that the documents on ethnobotany not too much, because deployment knowledge about how the introduction and utilization of higher plants by Balinese people more through direct practice. Higher plants are widely used for the benefit of the ritual and traditional treatment facilities, in addition to foodstuffs, construction, and textiles. Keywords: Local knowledge, plants biodiversity, ethnoritual, ethnofarma
PENDAHULUAN Masyarakat Bali memanfaatkan tumbuhan tinggi untuk menunjang kehidupannya, baik untuk bahan pangan, papan, sandang, ritual, dan pengoabatan. Cara pengenalan, pengaklasifikasian, serta menjelaskan hubungan kompleks antara budaya dan penggunaan tumbuhan dengan fokus utama pada bagaimana tumbuhan digunakan, dikelola, dan dipersepsikan pada berbagai lingkungan masyarakat, misalnya sebagai makanan, obat, praktik keagamaan, kosmetik, pewarna makanan, tekstil, pakaian, konstruksi, alat, mata uang, sastra, ritual, serta kehidupan sosial dikenal dengan etnobotani (Acharya & Anshu, 2008). Masing-masing komunitas masyarakat memiliki caranya sendiri-sendiri untuk mampu mengenali, mengklasifikasi, dan memanfaatkan tumbuhan tinggi untuk kepentingan hidupnya termasuk masyarakat Bali. 66
Kebudayaan masyarakat Bali yang didasarkan atas Agama Hindu memiliki keunikan tersendiri yang berbeda dengan kebudayaan bangsa-bangsa lain di dunia dan suku-suku lain di Indonesia. Keunikan tersebut dicirikan atas kerumitan (kompleksitas) dan estetika yang menyertai dalam setiap kegiatan ritual Hindu yang sangat intens dilaksanakan masyarakat bali. Intensitas ini terjadi karena setiap aktivitas yang dilakukan masyarakat Hindu Bali selalu diawali dengan sarana upakara/banten sebagai persembahan suci kehadapan Ida Sanghyang Widi Wasa dan roh leluhur yang telah disucikan. Semua persembahan dalam sarana upakara tersebut menggunakan tumbuhan sebagai bahan pembuatannya (etnoritual). Selain sebagai sarana upakara, tumbuhan juga digunakan oleh masyarakat Bali untuk pengobatan tradisonal (etnofarma). Oleh karena itu, semua jenis tumbuhan mulai
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (1): 65 - 78
ISSN : 1829 – 894X
dari rerumputan (tanaman penutup tanah), herba, semak, perdu, pohon kecil, dan pohon sangat dikenal oleh masyarakat Bali terutama yang berhubungan dengan etnoritual dan etnofarma. Berdasarkan rasionalitas di atas, maka dipandang perlu melakukan kajian mendalam tentang pengetahuan tradisional/ kearifan lokal masyarakat Bali dalam mengenali dan memanfaatkan tumbuhan untuk ritual agama dan pengobatan tradisional (usada).
inventarisasi
tentang
etnobotani pada masyarakat Bali terhadap pendokumentasian,
pengklaasifikasian,
pemanfaatan dilakukan melalui analisis dokumen, wawancara mendalam,
dan
observasi. Dokumen yang dianalisis berupa informasi yang terdapat pada berbagai perpustakaan di Bali: Museum Subak di Tabanan, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bali di Denpasar, Pusat Dokumentasi
Kebudayaan
(Pusdok)
Bali di Denpasar, Perpustakaan Umum Provinsi Bali di Denpasar, Museum Bali di Denpasar, Fakultas Sastra Universitas Udayana
di
Denpasar,
Universitas
Dwijendra Denpasar, dan Gedong Kertya di Singaraja (Buleleng). Analisis dokumen dilakukan secara kualitatif terhadap teks, gambar dan simbul untuk menemukan, mengidentifikasi, mengolah, memahami makna, signifikansi serta relevansinya dalam
pengelolaan
tumbuhan (Ida, 2001).
dan
dengan teknik bola salju (snow ball sampling) dimulai dengan narasumber yang diperkirakan memiliki pengetahuan luas dan mendalam mengenai pemanfaatan tumbuhan
untuk
ritual,
pengobatan,
bangunan, dan kebudayaan lokal Bali. Aspek yang ditanyakan mencakup (1) pengenalan, pengklasifikasian, pemberian nama, pembudidayaan, dan pemanfatan tumbuhan dalam kehidupan sehari-hari; (2) bentuk pengimbasan etnobotani dari generasi tua ke generasi muda; (3) mitos,
METODE PENELITIAN Untuk
Wawancara mendalam dilakukan
pemanfatan
tabu, larangan dalam pemanfaatan tumbuhan tertentu; (4) pengelolaan habitat tumbuhan; (5) sangsi sosial terhadap masyarakat yang melakukan perusakan/penebangan pada tumbuhan yang dilindungi dan dianggap keramat. Observasi dilakukan terhadap lima Desa Pekraman di lima kabupaten berbeda, yaitu Desa Pekraman Jatiluwih (Tabanan), Desa Pekraman Sukawati (Gianyar) Desa Pekraman Penglipuran (Bangli); Desa Pekraman Tenganan (Karangasem); dan Desa Pekraman Banyuning (Buleleng). Pemilihan sampel desa pekraman didasarkan atas pertimbangan (a) masyarakat desa pekraman
masih
memegang
teguh
pemanfaatan tumbuhan untuk kegiatan adat dan budaya Bali; (b) praktek ritual keagamaan yang berhubungan dengan penggunaan tumbuhan sebagai sarana upakara masih lestari; (c) terletak pada lima kabupaten dengan tradisi dalam pemanfaatan tumbuhan tinggi yang relatif berbeda; (d) topografi kelima desa pekraman 67
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (1): 65 - 78
berbeda Desa Pekraman Jatiluwih di Pegunungan, Desa Pekraman Penglipuran di daerah pertengahan (pegunungan dan dataran rendah) dan Desa Pekraman Sukawati di pesisir pantai, desa pekraman Tenganan merupakan desa wisata dan termasuk desa kuno, dan desa pekraman Banyuning semi urban. Perbedaan lokasi ini diharapkan dapat mengungkapkan kekayaan dan keragaman kearifan lokal dalam pengelolaan tumbuhan tinggi, baik untuk
kepentingan
ritual
keagamaan,
tradisi, pengobatan, sumber pangan, papan, dan sandang. Semua data yang didapat baik dari analisis dokumen, wawancara mendalam, dan hasil observasi dianalisis secara deskriptif. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelusuran Dokumen Etnobotani Penelusuran dokumen etnobotani dari delapan perpustakaan yang ada di Bali ditemukan 20 dokumen terkait dengan tumbuhan tinggi. Mayoritas dokumen yang membicarakan tentang etnobotani berasal dari Pusat Dokumentasi (Pusdok) Kebudayaan Bali. Dari enam judul buku, 111 sebelas halaman memuat tentang etnoritual (47,84%), 60 halaman (25,86%) ditemukan di Gedung Kertya, dan 40 halaman di Museum, Subak (17,24%), sedangkan di perpustakaan lain tidak ditemukan. Dokumen yang membahas
68
ISSN : 1829 – 894X
tentang etnofarma paling banyak tersimpan di Perpustakaan Wilayah Provinsi Bali sebanyak 183 halaman (72,04%) berasal dari satu buku. Sementara itu, di PUSDOK Bali dan BPTP dari 6 judul buku dan 4 judul buku jumlah halaman tentang etnofarma sebesar 12,98% dan 23,86%. Di Museum Subak dan Museum Bali tidak ditemukan dokumen tentang etnofarma. Buku yang membahas tentang etnokosmetik hanya ditemukan di Pusdok Bali dan BPTP. Jumlah halaman membicarakan tentang etnoskosmetik masing-masing 25 (52,08%) halaman dan 23 halaman (47,92%), sedangkan di perpustakaan lain tidak ditemukan. Buku yang membahas tentang etnoekologi ditemukan di BPTP Bali dengan jumlah halaman 15 (41,67%). Jumlah ini lebih sedikit dibandingkan dengan yang ditemukan di museum Bali sebanyak 21 halaman (58,33%). Pembahasan tentang tumbuhan tinggi yang berhubungan dengan budaya (etnobudaya) paling banyak ditemukan di Pusdok Bali yaitu sebanyak 45 halaman (71,43%), paling sedikit ditemukan di Museum Subak yaitu hanya 8 halaman (12,69%). Di perpustakaan lain tidak ditemukan dokumen yang membahas tentang etnobudaya. Pembahasan tentang etnotekstil yaitu tumbuhan tinggi yang bisa digunakan sebagai bahan pewarna tekstil tidak ditemukan di semua perpustakaan yang dikunjungi (Tabel 1).
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (1): 65 - 78
ISSN : 1829 – 894X
Tabel 1. Hasil Analisis Dokumen di Delapan Perpustakaan di Bali Jumlah buku
Etno ritual
Etno farma
Etno kosmetik
Etno ekologi
Etno artsitektur
Etno tekstil
1. Gedung Kertya Singaraja
3
60
90
10
0
10
0
2. PUSDOK Bali
6
111
68
25
0
45
0
3. Perpustakaan Wilayah Daerah Bali
1
0
183
0
0
4. Museum Subak Tabanan
3
40
0
0
4
5. BPTP Bali
4
0
125
23
6. Perpustakaan Fakultas Sastra Unud Denpasar
1
0
58
7. Perpustakaan Universitas Dwijendra Denpasar
1
45
8. Museum Bali
1
Jumlah
20
Asal dokumen
0
0 8
0
15
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
21
0
0
21
0
0
277
524
58
40
63
0
Hasil Wawancara Mendalam
tanah (berbagi jenis rerumputan), semak,
Wawancara yang dilakukan terhadap
perdu, pohon kecil sampai pohon. Hampir
ahli sarana ritual upakara/banten Hindu
semua bagian tumbuhan digunakan sebagai
menyatakan bahwa banyak sekali jenis
upakara mulai dari batang, kulit batang,
tumbuhan yang digunakan sebagai sarana
daun, bunga, buah sampai bijinya.
upakara baik dalam ritual Manusa Yadnya (upacara persembahan suci yang tulus ikhlas kehadapan para dewa-dewa), Pitra Yadnya (upacara persembahan suci yang tulus ikhlas bagi manusia yang telah meninggal), Dewa Yadnya (upacara persembahan suci yang tulus ikhlas kehadapan para dewadewa), Rsi Yadnya (upacara persembahan suci yang tulus ikhlas kehadapan para orang suci umat Hindu), maupun Butha Yadnya (upacara persembahan suci yang tulus ikhlas kehadapan unsur-unsur alam). Jenis tumbuhan yang digunakan untuk sarana ritual mulai dari tanaman penutup
Ringkasan hasil wawancara secara garis besar sebagai berikut. ....bahwa pada semua jenis upacara yadnya selalu ada ritual persembahyangan. Dalam ritual persembahyangan menggunakan sarana pokok daun-daunan (pattram), bunga-bungaan (puspam), buah-buahan (phalam), dan air suci atau tirtha (toyam) (Bhagavadgita IX, 26). Selain sarana di atas, disebutkan pula adanya Api yang berwujud “dipa dan dhŭpa” juga merupakan sarana pokok dalam setiap upacara Agama Hindu. Arti bunga dalam Lontar Yadnya Prakerti disebutkan sebagai 69
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (1): 65 - 78
”… sekare pinako katulusan pikayunan suci”. Artinya, bunga itu sebagai lambang ketulusikhlasan pikiran yang suci, lambang restu dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa, dan lambang jiwa dan alam pikiran. Bunga sebagai unsur salah satu persembahyangan yang digunakan oleh Umat Hindu yang berdasarkan kitab suci. Disebutkan juga bahwa fungsi bunga yaitu berdungsi simbolis dan sarana persembahan untuk mengisi upakara atau sesajen yang akan dipersembahkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa ataupun roh suci leluhur. ....bunga, buah, dan daun dibuat suatu bentuk sarana sesajen dan persembahyangan seperti : canang, kewangen, bhasma dan bija. Canang ini merupakan upakara yang dipakai sarana persembahan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa atau Bhatara Bhatari leluhur. Selain canang, sarana persembahyangan lainnya adalah Kewangen yang artinya harum. Fungsi kewangen untuk mengharumkan nama Tuhan. Kewangen adalah lambang ”Omkara”. Kewangen disamping sebagai sarana pokok dalam persembahyangan, juga dipergunakan dalam berbagai upacara Pancayadnya dan sebagai salah satu sarana penting untuk melengkapi banten pedagingan untuk mendasari suatu bangunan. ....bija disebut juga gandaksata, berasal dari ganda dan aksata, artinya biji padi-padian yang utuh dan berbau wangi. Oleh karena itu hendaknya menggunkan beras yang masih utuh, dicuci bersih, dicampur dengan wangi-wangian. Misalnya dicampur dengan air cendana dan bunga yang harum. Bija dianggap sebgai simbol benih yang suci anugrah dari Tuhan dalam wujud Ardhanaresvari. Pemakaiannya 70
ISSN : 1829 – 894X
yaitu ditaburkan pada tempat bangunan yang dipergunakan dalam suatu upacara sebagai simbol penaburan benih yang suci yang akan memberikan kesucian. Hasil wawancara yang dilakukan terhadap
ahli
pengobatan
tradisional
(usada) Bali atau Balian Usada adalah sebagai berikut. .....untuk mengobati penyakit masayarakat yang datang berobat, kami mendasarkan cara pengobatan yang tertulis dalam Lontar Usada dan Lontar Usada Taru Pramana. Dalam Lontar Usada Taru Pramana dijelaskan bahan obat yang berasal dari tumbuh-tumbuan. ....secara umum masyarakat yang datang untuk berobat mengalami gejala penyakit panes (panas), nyem (dingin), dan sebaa (panas-dingin). Obat yang berkasihat juga demikian yaitu anget (hangat), tis (sejuk), dan dumelada (sedang) yang termasuk penyakit Sekala (penyakit alami). Selain penyakit sekala, juga mengobati penyakit Niskala yaitu jenis penyakit yang bersifat personal seperti terkena Leyak (penyakit disebabkan oleh manusia yang dilihat lain), terkena Desti (penyakit dengan mempergunakan media kepemilikan yang akan dituju), terkena Teluh (penyakit yang disebabkan oleh makhluk mirip manusia seperti bayangan, dsb), terkena Papasangan (penyakit disebabkan oleh benda yang berkekuatan magis ditanam di tempat orang yang dituju). Untuk penyakit yang bersifat sekala (alami) diobati dengan sarana dari taru (tumbuhan), juga sarana lain yaitu sato (binatang), toya (air), sarana pertiwi (garam, mineral), dan madu, arak (alkohol dari air kelapa/enau), tuak (minuman
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (1): 65 - 78
keras dari air kelapa/enau), serta berem (minuman tradisional Bali dari fermentasi ketan hitam) yang diramu menjadi obat. Bentuk ramuan obat yaitu padet (padat), enceh (cair), dan belek (setengah padatcair). Untuk mengobati penyakit dalam tetes (diteteskan), tutuh (dimasukkan melalui hidung), dan loloh (diminum). Sedangkan untuk obat luar cara penggunaan yaitu oles (dioleskan pada bagian tubuh yang sakit), boreh (dilulurkan), simbuh (disemburkan), uap (diurapkan), usug (dikompres), ses (pembersih luka), limpun (diurut), kacekel (dipijat), dan tempel (ditempel). Semua obat yang digunakan itu berkasiat anget (panas), tis (dingin), dan dumalada (panasdingin). Sementara utuk penyakit niskala, pengobatan dilakukan dengan mempergunakan prana (energi) melalui meditasi, menghidupkan chakra, menghidupkan aksara dalam diri, dengan dasa bayu, dan dengan kanda pat .....beberapa jenis tumbuhan yang dimanfaatkan dalam Usada Bali yaitu adas untuk mengobati Upas Hyang, mencret, panas biasa, demam, panas dan gelisah, sakit pjen, sakit perut disertai panas, daging
ISSN : 1829 – 894X
dan otot kaku, gila dan menyebut nama dewa, gila dengan tanda tertentu di tubuhnya, gila dengan tanda senang menangis setiap hari, gila menahun, mata rabun karena tuju rambat, pusing, tuju gumi, panas dalam, panas pusing, jampi wangke, hati nek, tidak bisa berak dan kencing. Obat bengkak, obat keringat tidak bias keluar, gila suka menyanyi, obat gila, obat pusing, tiwang tojos diobati dengan bawang merah. Daun cempaka kuning digunakan untuk mengobati sakit ngilu diseluruh tubuh. Pada orang yang terkena racun, badan kurus dan mengeluarkan darah, obat pjen, obat bengkak, sembelit, kerambit disertai tuju, mencret-mencret diobati dengan daun dadap. Hasil Observasi Keanekaragaman Hayati Tumbuhan Tinggi Berdasarkan hasil observasi dari lokasi penelitian, tumbuhan/tanaman yang sering dimanfaatkan oleh masyarakat untuk kepentingan ritual (etnoritual) dan pengobatan (etnofarma) sebagai berikut (Tabel 2 dan 3).
Tabel 2. Keanekaragaman Hayati Tumbuhan Tinggi untuk Sarana Upakara Ritual (Etnoritual)
Jenis Tumbuhan
Nama Ilmiah
Michelia camphaka Michelia alba Gomphrena globasaglobasa Calontrophis gigantea Nymphaea lotus 5. Tunjung (lotus) Nymphaea alba Ocimum basilicum BarL.eria cristata 6. Selasih Miyik Plumeria acumita 7. Landep-landep Tagetes erecta 8. Jepun Cosmos caudatus 9. Gemitir (Tahi Kotak) Kananga odorata 10. Kananga Clitorea ternatea 11. Telang 1. Cempaka kuning 2. Cempaka putih 3. Ratna (bunga kenop 4. Menori (biduri)
Bagian Tumbuhan yang DiguDewa Yadnya nakan bunga Pule kerti Pendeman Catur Isin dewa-dewi Pekawasan (bale paselang) Durmenggala Lampadan catur
Sarana Upakara Panca Yadnya Manusa Yadnya Siwa wista Penglukatan Suci Negtegan Lampadan suci
Rsi Yadnya Pitra Yadnya Panca dewi Siwa wista Penglukatan Suci Panjang Ilang Negtegan Lampadan suci
Isin Orti Panjang Ilang Tetukon Tandingan Suci, Bebangkit Pebersihan Penuntun Mapandes
Butha Yadnya Bebangkit Penglukatan Suci Neg-tegan Lampadan suci
71
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (1): 65 - 78 12. Delem Base 13. Sugih (suji) 14. Padi 15. Intaran (mimba) 16. Parijata 17. Andong 18. Nangka 19. Pisang 20. Pucuk 21. Kelapa 22. Puring 23. Keladi 24. Ubi jalar 25. Temu Gongseng 26. Temu Tis 27. Temu ireng (hitam) 28. Temu Agung 29. Temu Poh 30. Temu lawak 31. Temu kunci 32. Bingin 33. Pule 34. Teja 35. Ancak 36. Dadap 37. Sukasti 38. Cemara 39. Intaran (mimba) 40. Nagasari 41. Sisih 42. Gegirang 45. Tingkih (kemiri) 46. Pala 47. Kelor 48. Tulak Delima 49. Kapas 50. Cendana 51. Sandat (kananga) 53. Majegau
Piper betle Pleomele angustifolia Oryza sativa Azadirachta indica Medinella speciosa Coryiline fruticosa Artocarpus integra (Musa paradisiaca) Hibiscus rosa-sinensis Cocos nucifera Codiaeum variegatum
daun
Durmenggala agung, Tandingan Suci Pule kerti Neg-tegan Penuntun Bebangkit Dewadewi
Tubungan Mandi Sawa Neg-tegan Bebangkit Lampadan Penglukatan Bebayuan
Caladium bicolor Ipomoea batata
Umbi
Canangg Yasa Lampadan
Canang Yasa Suci Canang Yasa
Tetukon Pan- Canang jang Ilang Yasa
Pule kerti Rujak segara gunung
Ketopot
Ketopot
Tetukon Ke- Ketopot topot
Sekah Penegtegan Pancalayuan Alat potong gigi Mandikan sawa, Suci, Pebangkit Panglukatan Eteh-eteh gelar sanga
Pawintenan Penglukatan Pancalayuan Pemangkit Suci, Pawintenan, Pasucian Pererai, Panca Tebasan
Sekah, Tetukon Durmenggala agung, Anyakan Pemelaspan Bade Jenak wilet Peangkat-angkat Pebangkit Banten Proras Lis selepaan Pengurip-urip
Bambang Rsi Gana Tebasan Pancalayuan Pebangkit Lis Selepaan Penglukatan Pesucian Pasepan Panca
Penuntun Rakan banten Pule kerti Suci, Dangsil
Banten Colongan Rakan banten Banten Soroan
Pawintenan Rakan banten Sanggar tutuan,
Rakan banten Tetukon Sanggar tutuan
Bebangkit Rakan banten Sanggah tutuan
Segehan, pulakerti
Segehan
Segehan
Segehan
Segehan
Ketopot
Salaran, Pulekerti
Salaran, Pulekerti
Ketopot
Bebangkit, Pedamel
Bebangkit, Isin keben
Bebangkit, tetukon
Bebangkit, Craken
Curcuma aeruginosa
Curcuma xanthorrhizae Boesenbergia pandurata Batang dan TandinFicus benjamina atu kulit gan Catur Alstonia macrophylla batang Tebasan, Pule kerti,Tutuan, Pancalayuan Erythrina lithosperma Pendeman Pinus merkusii Panglukatan Azadirachta indica Guru Piduka Messua ferrea Neg-tegan Penuntun Nyegara Gunung Aleurites moluccana Myristica fragrans
Base Tampel Negtegan Bebangkit Lampadan Penglukatan
Porosan Panjang Ilang Tetukon Peangkat2 Neg-tegan Lampadan Penglukatan Wadah
Moringa oliefera Gossypium sp. Santalum album
Base Tampel Neg-tegan Bebangkit Lampadan Penglukatan
Kananga odorata Dysoxylum densiflorum
54. Pisang Kayu Musa sp. 55. Pisang gancan 56. Pisang payasan Heliconia colinsiana 57. Pisang sasih Musa sp. 58. Pisang mas 58. Pisang Bali 59. Bawang merah 60. Bawang putih 61. Cabai 62. Kunyit 63. Kencur 64. Isen 65. Bangle 66. Gamongan 67. Jahe
Alium sepa Alium sativum Capsicum anuum Curcuma oomestica Kaempferia galanga
68. Lada 69. Wijen 70. Ketumbar 71. Cengkeh
Piper nigruum Sesamum indicum
72
ISSN : 1829 – 894X
Zingiber purpureum
Duan Batang Bunga Buah
Umbi Buah
Umbi Salaran, dan Daun Pragembal, kedompot
Zingiber officinale
Eugenia aromatica
Daun Bung- Neg-tegan, aBuah Pebangkit
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (1): 65 - 78 72. Kacang panjang 73. Juleh 74. Kara 75. Undis 76. Kedele
Vigna sinensis
77. Mentimun 78. Pare 79. Bligo (labu) 80. Waluh (labu)
Cucumis sativus Momordica charantia Cucurbita spp Cucurbita pepo
ISSN : 1829 – 894X
Biji
Lampadan, Soda, suci Ulam Banten
Ayaban Ulam Perangkatan Dandanan Pecaruan Banten Tet- Ulam Banten Ulam Banten Ulam andingan Tetandingan Tetandingan Banten Tetandingan
Buah
Raka-raka, Durmenggala agung
Raka-raka, Raka-raka, Raka-raka, biakala agung banten pawin- tetukon tenan
Batang
Penuntun, rakan banten,
Rakan banten Banten Pawintenan
Tetukon, pedamel
Lepas puser
Peangkatangkat
Phaseolus lunatus Glycine max
81.Tebu Malem 82. Tebu 83. Tebu ratu Saccharum sp. 84. Tebu sale 85. Tebu ireng 86. Tebu rejuna 87. Rumput Kawat Lycopodium cernuum 88. Rumput lepas 89. Rumput jerman 90. Padang kasna Kyllinga monocephala
Daun Ba- Pule kerti tang
Tanda bilang bucu
Raka-raka
Dimodifikasi dari Sardiana, 2010 Tabel 3. Keanekaragaman Hayati Tumbuhan Tinggi untuk Pengobatan Tradisional dalam Usada Taru Pramana (Etnofarma) No
Nama dalam Usada Taru Pramana
Nama Ilmiah
Manfaat Penyembuhan Penyakit
Bentuk Ramuan dan Cara Penggunaan
1
Ancak
Ficus religiosa
Kenyel (kelelahan)
Odak/boreh kaki
2
Awar-awar
Ficus septica
Tuju brahma
Loloh (jamu) diminum
3
Sirih
Piper betle
Pingsan
Loloh (jamu) diminum
4
Buyung-buyung
Vernonia cineria less Ayan
5
Bawang-bawang Premna obtusifolia
6
Bila
7
Beringin
8
Belimbing manis Aoerhoa bilimbi
9
Belimbing besi
Aoerhoa carambola Dekah
Tutuh (dimasukkan ke hidung)
10
Cepaka kuning
Michelia champaka
Gadak
Sembur weteng (perut)
11
Dapdap
Erythrina sp
Bengke weteng (perut panas susah Peres sembarakena buang kentut)
12
Cereme
Phyllanthus acidus
Tatu jampi (sariawan)
Ulig, tempelakena (ditempelkan)
13
Delima
Punica granatum L
Basang (sakit perut)
Loloh (diminum)
14
Galing-galing
Cayratia trifolia
Sakit mejen
Uap
15
Pepaya
Carica papaya
Gugut lelipan (kaki seribu)
Dioleskan
16
Kaca piring
Gardenia sp.
Sakit mamegeng (bengong)
Disemburkan pada wajah
17
Jarak pagar
Jathropa curcas
Anyang-anyangan, tuli/gangguan pendengaran
Jamu, diurapkan, disembur
18
Kamboja
Plumeria acuminta
Sakit pinggang
Wedak, dioleskan
19
Keladi
Colocasia esculentum Uyang (gelisah, kaki terasa tidak nyaman)
Simbuh (semburkan pada badan)
Mejen
Uap (diurapkan)
Crescentia cujute
Beteg
Wedak (dioleskan)
Ficus benjamina
Pamalinan, rasa
Sembur
Dekah, beling
Loloh ,urapin
Wedak kaki dioleskan
73
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (1): 65 - 78
ISSN : 1829 – 894X
20
Kelor
Moringa oleifera
Sakit mata, penyakit kusta, gila Disaring dioleskan, loloh yang suka tersenyum-senyum, gila diminum yang suka tertawa, tiwang belabur, merintih-rintih (kriyak-kriyok) perutnya.
21
Daun intaran
(Azadirachta indica Adr. Juss)
Untuk sakit gila dengan gejala selalu mau melepaskan pakaian.
22
Adas
Foeniculum vulgare
Boreh dioleskan, loloh Upas Hyang, mencret, panas biasa, demam, panas dan gelisah, diminum, minyak diteteskan sakit pjen, sakit perut disertai panas, daging dan otot kaku, gila dan menyebut nama dewa, gila dengan tanda tertentu di tubuhnya, gila dengan tanda senang menangis setiap hari, gila menahun, mata rabun karena tuju rambat, pusing, tuju gumi, panas dalam, panas pusing, jampi wangke, hati nek, tidak bisa berak dan kencing.
23
Liligundi
Vitex trifolia L
Sakit gila dengan gejala senyumsenyum dan menari-nari, serta bengkak-bengkak di badan.
24
Mengkudu
Morinda citrifolia L. Luka digigit anjing, perut bengkak. Boreh/wedak dioleskan, Jamu diminum
25
Kembang sepatu Hibiscus rosasinensisL.
26
Lengkuas
Alpinia galanga (L.) Sw.v
27
Sembung
Blumea balsamiferaL. Panas karena luka bakar, dan perut Loloh/jamu diminum kaku.
28
Ketumbar
Coriandrum sativum L.
Boreh dioleskan, air rebusan Obat bengkak, bengkak dalam perut dan bernanah, tiwang ketket, diminum jampi agung, obat tubuh terasa panas, upas bengang, muntah mencret dan gelisah, penyakit linulinu.
29
Bawang merah
Allium cepa var. aggregatum L.
Obat bengkak, obat keringat tidak Boreh dioleskan, diurapkan bias keluar, gila suka menyanyi, obat gila, obat pusing, tiwang tojos.
30
Bawang putih
Allium sativum L.
Dioleskan Upas rambat, bengkak, mokan beseh mangrekurek, mokan kakipi,obat tidak mengeluarkan keringat,upas kebo ingel, Cetik tiwang saliwah putih, upas rambat, obat bengkak.
Sumber:
74
Loloh diminumkan
Boreh dioleskan
Obat tuju raja bengang, obat bengkak di dalam perut dan bernanah, obat pjen, tuju gumi, racun warangan, merapatkan vagina, obat kuat saat bersengggama.
Boreh dioleskan, loloh/jamu diminum
Penyakit linu, penyakit ayan dan sering pingsan karena epilepsi, untuk badan sakit gudig disertai kurap dan untuk badan gatal.
Boreh dioleskan
http://www.herbaltarupramana.com/artikel-12-Jenis%20%20jenis%20tanaman%20Herbal.html dan http : / / smart - fresh . blogspot . com / 2 0 1 1 / 0 9 / tanaman usada - dalem . html
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (1): 65 - 78
PEMBAHASAN Hasil penelusuran dokumen dari delapan perpustakaan yang adan di Bali menunjukkan bahwa dokumen tentang etnobotani yang terkait dengan pemanfataan tumbuhan untuk kehidupan masyarakat Bali dapat dikatakan masih relatif sedikit yaitu hanya berjumlah 20 judul. Dari 20 dokumen tersebut 30% (enam judul buku) ditemukan di Pusdok Bali. Dokumen yang membicarakan tentang etnofarma berjumlah etnoritual berjumlah 254 halaman (54,47%), disusul dengan dokumen tentang etnoritual sebanyak 277 halaman (28,79%) (Tabel 1). Dokumen yang membahas tentang etnotekstil tidak ditemukan satupun (0%). Ini berarti bahwa pengenalan dan pemanfatan tumbuhan tinggi pada masyarakat Bali untuk kebutuhan hidupnya baik untuk sarana upakara maupun untuk pengobatan dan pemanfaatan lainnya lebih banyak diimbaskan secara oral dan praktik langsung. Patut diakui bahwa budaya membaca dan menulis pada masyarakat Bali masih tergolong rendah. Hanya sebagian kecil masyarakat yang menjadikan membaca dan menulis untuk memperoleh maupun mendokumentasikan pengetahuan yang tumbuh dan berkembang di masyarakat. Sebagian kecil masyarakat tersebut hanya terbatas di kalangan akademisi dan sedikit pendidik dan masyarakat umum. Berdasarkan data pada Tabel 1 dapat dijelaskan kenapa dokumen yang tersimpan di perpustakaan lebih banyak membicarakan tentang etnofarma? Hal ini tidak terlepas dari bagian yang sangat penting dalam kehidupan manusia agar
ISSN : 1829 – 894X
mencapai kebahagian hidup adalah kesehatan. Manusia tadak dapat menjalankan kehidupan secara normal apalagi bahagia jika mengalami sakit. Untuk itu, kesehatan merupakan bagian pertama dan utama dalam kehidupan manusia termasuk masyarakat Bali. Setelah manusia sehat barulah dapat melakukan semua aktivitas untuk pemenuhan kebutuhan hidup. Salah satu aktivitas yang menonjol dan berkait dengan kesehatan masyarakat Bali adalah melaksanakan ritual keagamaan sesuai dengan agama Hindu yang dianut dan diyakininya. Oleh karena itu, tidaklan mengherankan, dokumen yang ditemukan banyak membahas tentang tanaman sarana upakara dan tata cara pelaksanaan ritual. Tidak ditemukannya dokumen yang membahas tentang etnotekstil yaitu jenis tumbuhan yang digunakan untuk pewarna pakaian dapat dijelaskan sebagai berikut. Pewarnaan tekstil merupakan salah satu pengetahuan yeng berkaitan dengan ilmu kimia. Hal inilah yang kemungkinan menjadi penyebab, kenapa tidak ada dokumen yang membahas tentang pewarnaan tekstil secara tradisional. Pewarnaan pada bahan tekstil berhubungan dengan jenis pekerjaan yang digeluti oleh masyarakat Bali. Mayoritas masyarakat Bali bekerja di sektor pertanian sehingga pengetahuan tentang pewarnaan bahan tekstil tidak menjadi kebutuhan. Hanya sebagian kecil masyarakat Bali yang berprofesi sebagai pengerajin tenun yang memerlukan pengetahuan dan keterampilan tentang pewarnaan tekstil. Namun demikian, walaupun dokumen tentang etnotekstil tidak terdokumentasi, akan tetapi faktanya, pengerajin tradisional seperti pengerajin 75
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (1): 65 - 78
kain gringsing di Tenganan Karangasem menggunakan pewarna dari akar tumbuhan untuk mewarnai benang tetun nya. Ini artinya bahwa masyarakat Bali mengenal tentang etnotekstil dalam kehidupannya. Hasil waawancara yang dilakukan terhadap pakar sarana upakara ritual Hindu terungkap bahwa semua ritual agama Hindu mulai dari Manusa Yadnya sampai dengan Dewa Yadnya memerlukan sarana tumbuhan untuk pembuatan upakara. Bagian tumbuhan yang digunakan untuk sarana upakara muali dari batang, daun, bunga, buah, dan biji. Penggunaan tumbuhtumbuhan sebagai sarana upakara karena dalam ritual Hindu wujud bhakti kehadapan Tuhan yang disebut Apara Bhakti adalah bhakti. Apara Bhakti inilah yang banyak membutuhkan simbul-simbul dari bendabenda tertentu baik dari tumbuhan maupun hewan. Sarana-sarana tersebut merupakan visualisasi dari ajaran-ajaran agama yang tercantum dalam kitab suci. Menurut Bhagavadgita IX, 26 ada disebutkan : sarana pokok yang wajib dipakai dasar untuk membuat persembahan antara lain Pattram (daun-daunan) Puspam (bunga-bungaan), Phalam (buah-buahan), Toyam (air suci atau tirtha). Dalam kitab-kitab yang lainnya disebutkan pula Api yang berwujud “dipa dan dhŭpa” merupakan sarana pokok juga dalam setiap upacara Agama Hindu. Dari unsur-unsur tersebut dibentuklah upakara atau sarana upacara yang telah berwujud tertentu dengan fungsi tertentu pula. Meskipun unsur sarana yang dipergunakan dalam membuat upakara adalah sama, namun bentuk-bentuk upakaranya adalah berbeda-beda dalam fungsi yang berbeda76
ISSN : 1829 – 894X
beda pula namun mempunyai satu tujuan sebagai sarana untuk memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Wawancara yang dilakukan terhadap pakar Usada Bali terungkap bahwa dalam melakukan aktivitas pengobatan secara tradisional didasarkan atas Lontar Usada dan Lontar Usada Taru Pramana. Berdasarkan lontar tersebut seorang Balian Usada melakukan praktik pengobatan mulai dari mendiagnosis penyakit, melakukan prognosis, sampai pada obat yang cocok sesuai dengan hasil diagnosis penyakit pasien. Untuk bahan ramuan obat banyak menggunakan tumbuh-tumbuhan dan sarana lain seperti binatang, garam mineral dan air (Pastika, tt). Ada dua jenis penyakit yang mampu disembuhkan melalui Usada Bali yaitu penyakit sekala yaitu penyakit yang bersifat natural (alami): panas, dingin, dan panas dingin. Selain itu, ada penyakit yang bersifat niskala yaitu penyakit yang dirasakan secara personal seperti terkena leak, desti, teluh, pepasangan, bebainan yang disebabkan oleh orang lain. Untuk pengobatan penyakit sekala panas, dingin, dan panas dingin, maka obat untuk menyembuhkan juga bersifat demikian. Dalam Lontar Usada disebutkan bahwa untuk melaksanakan semua aktivitas ini adalah Brahma, Wisnu, dan Iswara. Disebut juga dengan Sang Hyang Tri Purusa atau Tri Murti atau Tri Sakti wujud Beliau adalah api, air dan udara. Penyakit panes dan obat yang berkasihat anget, menjadi wewenang Bhatara Brahma. Bhatara Wisnu bertugas untuk mengadakan penyakit nyem dan obat yang berkasiat tis (dingin). Bhatara Iswara mengadakan
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (1): 65 - 78
penyakit sebaa dan obat yang berkasihat dumelada (panas dingin). Untuk itulah, maka pengobatan yang dilakukan selalu ada srana ritual yang mengikutinya. Ritual ini dimaksudkan agar si penderita dapat memperoleh kesembuhan atas anugrah Tuhan (Ida Sanghyang Widi Wasa) (Pastika, tt). Hasil dari observasi terhadap ke anekaragaman hayati tumbuhan tinggi untuk saran upakara (etnoritual) dan pengobatan (etnofarma) yang dijumpai sangat bergam jenisnya. Kekayaan jenis dan kelimpahan jenis tumbuhan dari masing-masing lokasi penelitian berbeda-beda. Kekayaan dan kelimpahan jenis tumbuhan tinggi di Desa Pekraman Jatiluwih paling banyak. Hal ini dapat dipahami katrena daerah jatiluwih merupakan daerah pertanian dan perkebunan serta tegalan alami. Hampir semua jenis tumbuhan yang diperlukan unutk ritual dan pengobatan dapat ditemukan di daerah Jatiluwih. Sedangkan di desa Pekraman Sukawati yang mewakili daerah pantai, tanaman upakara dan obat yang hanya dapat tumbuh di daerah pengunungan tidak ditemukan seperti keladi. Untuk tanaman upakara, tanaman yaitu cengkeh juga tidak ditemukan. Namun demikian, walaupun tanaman tersebut tidak tumbuh di desanya, akan tetapi karena sering digunakan untuk sarana ritual dan pengobatan, maka masyarakat juga dapat mengenali dengan baik tumbuhan dan mampu membedakan dengan tumbuhan lainnya. Secara umum dapat dikatakan bahwa cara masyarakat Bali mengenali tumbuhan dan mampu membedakan dengan tumbuhan lainnya
ISSN : 1829 – 894X
yaitu berdasarkan persamaan dan perbedaan ciri-ciri morfologi pada tumbuhan tersebut. Pengenalan ini dilakukan dengan praktik langsung dalam mempersiapkan sarana upakara maupun sarana pengobatan. Hampir tidak ada pengimbasan melalui pembelajaran formal menggunakan buku-buku botani tumbuhan seperti yang dilakukan dalam pendidikan formal di persekolahan. Cara pengenalan dan pemanfaatan tumbuhan tinggi melalui pengetahuan tradisional tersebut dapat dijadikan sebagai jembatan untuk mempercepat dan efisiensi tenaga dan waktu dalam pengklasifikasian tumbuhan. Sebab cara perolehan pengetahuan tersebut memiliki landasan yang sama seperti cara perolehan pengetahuan dalam sains moderen yaitu berdasarkan hasil observasi, pengalaman, eksperimen dan interpretasi (Becker & Ghimire, 2003). KESIMPULAN 1. Dokumen yang membahas tentang etnobotani terbanyak ditemukan di Pusat Dokumentasi Kebudayaan Provinsi Bali. Dari dokumen yang ada, yang membicarakan tentang etnofarma jumlah halaman paling banyak 53,36% dan yang membahas tentang etnoritual 28,21%, serta tidak satupun dokumen yang membahas tentang etnotekstil. 2. Narasumber pakar sarana ritual dan sarana pengobatan tradisional menyampaikan bahwa masayarakat Bali mengenali, mengklasifikasi, memberikan 77
Suluh Pendidikan, 2014, 12 (1): 65 - 78
nama, membudidayakan, dan me manfaatkan tumbuhan dalam kehidupan kesehariannya me lalui praktik langsung dalam mempersiapkan sarana ritual dan sarana obat. Untuk sarana ritual, bagian tumbuhan yang digunakan adalah batang, kulit batang, daun, bunga, buah, dan biji termasuk untuk sarana pengobatan tradisional. 3. Keanekaragaman hayati tumbuhan tinggi yang berhasil didokumentasikan dari lokasi penelitian meliputi jenis tanaman penutup tanah (rerumputan), herba, semak, perdu, pohon kecil, dan pohon. Kekayaan dan kelimpahan jenis tumbuhan dari lokasi penelitian berbeda-beda jumlahnya. Semua tumbuhan yang didokumentasikan difokuskan pada jenis tumbuhan yang berfungsi untuk sarana ritual, pengobatan tradisional, ekologi, pewarna makanan, sandang, dan pangan. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis menyampaikan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah berkontribusi dalam penelitian ini yaitu Direktur Dilitabmas Dikti yang mendanai penelitian ini. Ucapan yang sama juga disampaikan kepada narasumber yang bersedia diwawancarai, serta staf perpustakaan yang memfasilitasi tim peneliti dalam mencari dokumen yang terkait dengan etnobotani.
78
ISSN : 1829 – 894X
DAFTAR PUSTAKA Acharya D.,Anshu, S. 2008. Indigenous Herbal Medicines: Tribal Formulations and Traditional Herbal Practices. [Online]. http://id.wikipedia.org/wiki, diakses 21 Maret 2012. Becker CD, Ghimire K. 2003. Synergy between traditional ecological knowledge and conservation science supports forest preservation in Ecuador. Conservation Ecology 8(1): 1. [Online]. http://www.consecol.org/vol8/iss1/ art1, diakses 26 November 2007. Google. ttp://www.herbaltarupramana. com/artikel-12 Jenis%20%20jenis%20 tanaman%20Herbal.html, diakses 5 Agustus 2014. Google. http://Smart-Fresh.Blogspot. com/2011/09/Tanaman-Usada-Dalem. html, diakses 5 Agustus 2014 Ida R. 2001. Ragam penelitian isi media kuantitatif dan kualitatif, hlm. 187196. Di dalam Bungin B (Penyunting). Metodelogi penelitian kualitatif. Aktualisasi metodelogis ke arah ragam varian kontemporer. PT RajaGrafindo Persada, Jakarta. Pastika, I N. Tt. Usada Pengobatan Tradisional Bali. Sardiana, I K. 2010. Gumi Banten: Unit Pembibitan Tanaman Ritual (Upakara) Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Udayana, 1 (1): 31-21.
PEDOMAN PENGIRIMAN NASKAH 1. 2. 3.
4. 5. 6. 7. 8.
9. 10. 11. 12. 13.
Naskah dapat berupa hasil penelitian atau kajian pustaka yang belum pernah dipublikasikan. Naskah dikirim ke LPPM IKIP Saraswati IKIP Saraswati Tabanan, Jalan Pahlawan No. 2 Tabanan 82113 Bali atau lewat emai: ninyomankarmini@yahoo. com. Naskah diketik satu setengah spasi, kecuali abstrak, tabel, keterangan gambar, histogram dan kepustakaan diketik dalam satu spasi dengan batas 3,5 cm dari kiri, 3 cm masing-masing dari atas, kanan dan bawah tepi kertas. Naskah maksimum 12 halaman A4, diketik dalam program Microsoft Word for Windows huruf Time New Roman ukuran 12. Sebanyak dua eksemplar naskah cetak dan soft copy (CD) yang memuat berkas naskah tersebut diserahkan kepada Redaksi Pelaksana. Ilustrasi yang berupa grafik, gambar atau foto yang tidak masuk dalam berkas CD harus ditempel pada tempatnya dalam naskah cetak. Naskah yang ditulis dalam bahasa Indonesia menggunakan abstrak yang ditulis dalam bahasa Inggris. Sebaliknya naskah yang ditulis dalam bahasa Inggris menggunakan abstrak dalam bahasa Indonesia. Abstrak tidak lebih dari 400 kata. Pada pojok kiri bawah dari abstrak ditulis kata kunci (key words) tidak lebih dari 5 kata. Judul singkat (tidak lebih dari 12 kata), jelas, informatif dan ditulis dengan huruf kapital kecuali nama ilmiah. Untuk kajian pustaka (review) dibelakang judul ditulis: Suatu Kajian Pustaka. Nama penulis tanpa gelar, alamat dan instansi penulis ditulis lengkap. Susunan naskah hasil penelitian terdiri dari judul (title), nama penulis (author), alamat penulis (address), abstrak (abstract), pendahuluan (introduction), metode penelitian (research methods), hasil (results), pembahasan (discussion), simpulan (conclusion), ucapan terima kasih (acknowledgements), dan kepustakaan (literate cited). Naskah kajian pustaka terdiri atas judul, nama penulis, alamat penulis, abstrak, pendahuluan, pembahasan, simpulan (conclusion), ucapan terima kasih, dan kepustakaan. Setiap alenia baru diketik mundur tiga ketukan. Setiap tabel, grafik, histogram, sketsa dan gambar (foto) diberi nomor urut, judul singkat dan jelas, dibuat pada satu halaman (tidak terpotong). Hasil yang ditulis dalam tabel tidak perlu diulang dalam bentuk lainnya (misalnya histogram atau grafik). Dalam tata nama (nomeklatur) dan tata istilah, penulis harus mengikuti cara penulisan yang baku. Untuk istilah asing ditulis miring kecuali abstrak. Dalam mengutip pendapat orang lain dipakai sistem Nama-Tahun. Contoh kutipan langsung, Lansing et al. (2002:3); kutipan tidak langsung: Lansing et al. (2003). Kepustakaan ditulis menurut sistem Nama-Tahun dan disusun berdasarkan abjad. Berikut ini beberapa contoh penulisan pustaka. a. Abstrak Darnaedi D. 1991. Rheofite di sepanjang sungai Mahakam, Kalimantan Timur, abstrak.244, hlm.122. Di dalam Seminar Ilmiah dan Kongres Nasional Biologi X. 1991. Perhimpunan Biologi Indonesia dan Pusat antar Universitas Hayati, IPB, Bogor. b. Buku Auderisk T. and G Auderisk. 1999. Biology, Life on Earth. Ke-5.Edition. Printice Hall, New Jersey. c. Buku Terjemahan Mackinnon M. 1991. Panduan Lapangan Pengenalan Burung-burung di Jawa dan Bali (terjemahan). Ed. Ke-2. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. d. Disertasi, Tesis, dan Skripsi Wiguna IWAA. 2002. Kontribusi system usahatani padi sawah terhadap pengkayaan hara nitrogen, fosfor, dan kalium aliran permukaan pada ekosistem subak di Bali. Kasus daerah aliran sungai Yeh Sungi di Tabanan Bali. Disertasi (S3) pada PPs-IPB, Bogor. e. Hasil penelitian yang dipublikasikan tetapi belum terbit Surata SPK. Persepsi guru sekolah dasar terhadap subak sebagai model pendidikan lingkungan di Bali, submitted (belum disetujui redaksi). Surata SPK. Haemotological indices studies in four subpopulation of Java Sparrow (Pada oryzivora L.). Biota, in press. (sudah disetujui redaksi). f. Penelitian yang sudah dipublikasikan Jacobson SK. 1991. Profile evaluation model for developing, implementing, and assessing conservation education programs; examples from Belize and Costa Rika. Environmental Management, 15 (2):143-150. g. Kamus Depdikbud. 1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Ed. Ke-2. Balai Pustaka, Jakarta. h. Prosiding Surata SPK. 2003. Budaya padi dalam subak sebagai model pendidikan lingkungan, hlm.81-97. Di dalam F. Kasryno, E. Pasandaran dan AM Fagi (Penyunting). Subak dan Kerta Masa. Kearifan lokal mendukung pertanian yang berkelanjutan. Yayasan Padi Indonesia, Jakarta. i. Publikasi perusahaan atau lembaga Minitab Inc. 1991. Minitab Reference Manual V.8. State College, USA. j. Surat Kabar Khosman, A. 16 Januari 2004. Perlu kebijakan mikro yang memihak petani. Kompas, 39(196): 46. Kolom 1-6. k. Nama penulis tidak dicantumkan, yang ditulis nama lembaganya (bukan anonim) WHO (World Health Organization). 1993. Guidenlines for drinking-water quality, Vol. 1. Recommendations. Ed. Ke-2. Geneva. l. Sumber dalam internet Ingeg Z. 1997. Analyzing Educational Resource for Environmental and Development Education. Griffith University and the Deparment of Environment, Sport & Territories. Australian Government, Department of Environment and Herrtiage. http//www.deh.gov.auleducationsitsWmodeule/modeule25,html.