Jurnal Wacana Pendidikan
ISSN: 1978-2802
____________________________________________________________ Edisi 7 th. V, April 2011 1
Jurnal Wacana Pendidikan
ISSN: 1978-2802
_______________________________________________________________________________
____________________________________________________________ Edisi 7 th. V, April 2011
2
Jurnal Wacana Pendidikan
ISSN: 1978-2802
_______________________________________________________________________________
____________________________________________________________ Edisi 7 th. V, April 2011
3
Jurnal Wacana Pendidikan
ISSN: 1978-2802
UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERMATEMTIKA SISWA MELALUI PEMBELAJARAN KONTEKSTUALMETAKOGNITIF Oleh:
Dr. Nanang Pendidikan Matematika STKIP Garut,
[email protected]
ABSTRAK Permasalahan dalam penelitian ini adalah rendahnya kemampuan bermatemtika matematik siswa. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peningkatan dan perbedaan kemampuan bermatemtika matematik antara siswa yang mendapatkan pendekatan kontekstual dengan strategi metakognitif (PKM), pendekatan kontekstual (PKT), dan pendekatan konvensional (PKV). Penelitian ini berupa eksperimen. Subjek populasi dalam penelitian ini adalah siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP). Secara acak, terpilih enam kelas VIII sebagai sampel dari dua SMP yang dibagi ke dalam tiga kelompok. Kelompok eksperimen-1 diberi PKM, kelompok eksperimen-2 diberi PKT, dan kelompok kontrol diberi PKV. Instrumen yang digunakan berupa alat tes kemampuan kemampuan bermatemtika matematik. Analisis data dilakukan dengan uji anova. Hasil utama dari penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) siswa yang mendapatkan PKM mengalami peningkatan kemampuan bermatemtika matematik dengan kriteria sedang dan (2) siswa yang mendapatkan PKM dan PKT secara signifikan kemampuan bermatemtikanya lebih baik dibandingkan siswa yang pembelajarannya dengan PKV. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, peneliti mengusulkan: (1) pendekatan PKM dan PKT hendaknya terus dikembangkan dan dijadikan sebagai alternatif pilihan guru dalam pembelajaran matematika sehari-hari dan (2) penerapan pendekatan PKM dan PKT menjadi bahan masukkan bagi pengambil kebijakan dalam mengembangkan potensi kemampuan bermatemtika siswa. Kata kunci: matematika, kemampuan bermatemtika, kontekstual, metakognitif. PENDAHULUAN Pembelajaran di sekolah diharapkan dapat mengembangkan semua potensi kecerdasan yang dimiliki siswa guna menunjang tercapainya tujuan pendidikan nasional. Salah satu tujuan pendidikan nasional adalah meningkatkan daya saing bangsa dengan menghasilkan lulusan yang bermutu, terampil, profesional, mampu belajar sepanjang hayat, serta memiliki kecakapan hidup yang dapat membantu dirinya dalam menghadapi berbagai tantangan dan perubahan (Depdiknas, 2005). Pembelajaran di sekolah yang berpotensi untuk mencapai tujuan pendidikan nasional tersebut salah satunya adalah pembelajaran matematika. Hal ini didasarkan kepada pendapat Ruseffendi (1991) bahwa hasil dari pendidikan matematika, siswa diharapkan memiliki kepribadian yang kreatif, kritis, berpikir ilmiah, jujur, hemat, disiplin, tekun, berperikemanusiaan, mempunyai perasaan keadilan sosial, dan bertanggung jawab terhadap kesejahteraan bangsa dan negara. ____________________________________________________________ Edisi 7 th. V, April 2011 14
Jurnal Wacana Pendidikan
ISSN: 1978-2802
_______________________________________________________________________________
Namun kenyataannya, hasil pembelajaran matematika saat ini masih belum menggembirakan. Menurut laporan Asosiasi Guru Matematika Indonesia (AGMI, 2008), meskipun jumlah jam pelajaran matematika di Indonesia lebih banyak dibandingkan Malaysia dan Singapura, namun rata-rata prestasi matematika siswa Indonesia berada di bawah kedua negara tersebut. Untuk hal itu, Depdiknas (2006) menyarankan agar pembelajaran matematika dimulai dengan pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi (contextual problem). Sabandar (2003) mengemukakan bahwa pembelajaran matematika yang dimulai dengan pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi dinamakan pembelajaran contextual teaching and learning (CTL). Menurut Johnson (2002), CTL adalah salah satu sistem pengajaran yang didasarkan pada alasan bahwa pengertian atau makna muncul dari hubungan antara konten dan konteks. Konteks memberi makna pada konten. Berpikir yang lebih terhadap suatu konten dapat dicapai jika diberikan konteks yang lebih luas di mana di dalamnya siswa dapat membuat hubungan-hubungan. Jadi bagian penting dari pekerjaan guru adalah menyediakan konteks. Hal lain yang perlu diperhatikan dalam penerapan pembelajaran kontekstual dengan strategi metakognitif adalah masalah kemampuan bermatemtika. Menurut Nugroho (2008), siswa yang memiliki kemampuan bermatemtika yang kuat dan positif mampu menentukan sendiri tujuan belajarnya, mampu menentukan target yang hendak dicapai, mendapatkan sendiri social support agar dapat sukses, melakuan evaluasi diri, dan memonitor kegiatan belajarnya. Memperhatikan uraian di atas, penulis terdorong untuk menerapkan pembelajaran kontekstual dengan strategi metakognitif (PKM) dan menelaah pengaruhnya terhadap kemampuan bermatemtika ditinjau dari kategori sekolah dan pengetahuan awal matematika siswa. Untuk mengetahui pengaruh PKM terhadap kemampuan bermatemtika siswa, penulis merumuskan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut. 1. Apakah terdapat perbedaan kemampuan bermatemtika siswa dalam pembelajaran matematika antara siswa yang mendapatkan PKM, PKT, dan PKV? 2. Apakah terdapat interaksi antara PKM, PKT, dan PKV dengan kategori sekolah dalam kemampuan bermatemtika? 3. Apakah terdapat interaksi antara PKM, PKT, dan PKV dengan PAM siswa dalam kemampuan bermatemtika? Sesuai dengan rumusan masalah yang dikemukakan di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: 1. Perbedaan kemampuan bermatemtika siswa dalam pembelajaran matematika antara siswa yang mendapatkan PKM, PKT, dan PKV. 2. Interaksi antara PKM, PKT, dan PKV dengan kategori sekolah dalam kemampuan bermatemtika. 3. Interaksi antara PKM, PKT, dan PKV dengan PAM siswa dalam kemampuan bermatemtika.
____________________________________________________________ Edisi 7 th. V, April 2011
15
Jurnal Wacana Pendidikan
ISSN: 1978-2802
_______________________________________________________________________________
Kemampuan bermatematika menurut Sumarmo dan Hendriana (2014:19) dapat diklasifikasikan dalam lima kompetensi utama yaitu: pemahaman matematik, pemecahan masalah, komunikasi matematik, koneksi matematik, dan penalaran matematik, kemampuan yang lebih tinggi diantaranya adalah kemampuan berfikir kritis matematik dan kemampuan berfikir kretif matematik. Di Indonesia bersamaan dengan diberlakukannya Kurikulum 2004, konsep pembelajaran kontekstual mulai diperkenalkan dan diimplementasikan dalam pembelajaran matematika. Konsep pembelajaran kontekstual yang dianjurkan dalam Kurikulum 2004 (Sabandar, 2003) melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran. Adapun uraian dari ketujuh komponen tersebut adalah sebagai berikut. 1. Konstruktivisme (constructivism). Kontruktivisme merupakan landasan filosofis dari pembelajaran kontekstual bahwa ilmu pengetahuan itu pada hakekatnya dibangun sendiri oleh siswa tahap demi tahap, sedikit demi sedikit, melalui proses yang tidak selalu mulus (coba-coba). 2. Menemukan (inquiry). Proses inkuiri membentuk suatu siklus seperti dikemukakan oleh Nurhadi (2002:12) bahwa inkuiri mempunyai siklus observasi, mengajukan pertanyaan, mengajukan dugaan, pengumpulan data, dan penyimpulan. 3. Bertanya (questioning). Pada saat siswa dihadapkan pada pemecahan masalah non-rutin, guru harus memandu siswa dengan mengajukan pertanyaanpertanyaan arahan sehingga solusi dapat tercapai. Setelah solusi di dapat, guru atau siswa (diarahkan guru) hendaknya memunculkan pertanyaan tantangan seperti: coba selesaikan dengan cara lain!, apa yang salah dalam penyelasaian?, apa yang diperlukan?, bagaimana jika ....?, dan seterusnya. 4. Komunitas belajar (learning community). Konsep komunitas belajar menyarankan agar hasil belajar diperoleh dari hasil kerja sama dengan orang lain, berarti hasil belajar diperoleh dari sharing ide antar teman, antar kelompok, dan antar yang tahu ke yang belum tahu. 5. Pemodelan (modeling). Pemodelan adalah suatu proses dimana kita memberikan contoh tentang bagaimana kita ingin agar orang lain melakukannya, misalnya guru melakukan apa yang ingin dilakukan siswa (Sabandar, 2003). 6. Refleksi (reflection). Refleksi adalah cara berpikir ke belakang tentang apa yang sudah kita lakukan di masa lalu. Pada akhir pembelajaran kontekstual, siswa melakukan refleksi baik berupa pernyataan langsung (lisan) atau tertulis tentang apa yang diperoleh hari itu; kesan dan saran siswa mengenai pelajaran hari itu, diskusi, dan hasil karya. 7. Penilaian sebenarnya (authentic assessment). Penilaian sebenarnya adalah penilaian yang dilakukan secara komprehensif berkenaan dengan seluruh aktivitas pembelajaran, meliputi proses dan produk belajar sehingga seluruh usaha siswa yang telah dilakukannya mendapat penghargaan. Dalam rangka mengembangkan pembelajaran agar lebih bermakna, diperlukan kreativitas guru di dalam membawakan materi yang disampaikan. Pembelajaran bermakna ditunjang oleh metode dan pendekatan yang dipilih guru ____________________________________________________________ Edisi 7 th. V, April 2011
16
Jurnal Wacana Pendidikan
ISSN: 1978-2802
_______________________________________________________________________________
dalam menyampaikan materinya. Dalam pembelajaran yang mengembangkan kemampuan bermatemtika, banyak hal yang dapat dilakukan diantaranya adalah dengan pemilihan pendekatan pembelajaran yang akan digunakan sehingga mampu mengaktifkan siswa dalam proses berpikirnya. Menurut Schoenfeld (1992), salah satu pendekatan pembelajaran yang dilandasi oleh konstruktivisme dalam upaya meningkatkan kemampuan bermatemtika siswa, sehingga menjadikan siswa yang lebih aktif dan kreatif dalam belajar adalah pendekatan metakognitif. Pandangan mengenai pendekatan metakognitif dalam pembelajaran ini telah dinyatakan oleh Meyer (Muin, 2005) bahwa pembelajaran melalui upaya penyadaran kognisi siswa merupakan pembelajaran dengan pendekatan metakognitif. Beberapa strategi untuk mengembangkan prilaku metakognitif dinyatakan oleh Blakey dan Spence (1990), yaitu: a) Mengidentifikasi apa yang diketahui dan apa yang tidak diketahui, b) Menceritakan pemikirannya, c) Menjaga catatan pemikiran, d) Melakukan pengaturan diri, e) Menanyakan proses berpikir, dan f) Evaluasi diri. Berlandaskan pada uraian di atas, penulis mencoba mengembangkan model pembelajaran kontekstual dengan strategi metakognitif sebagai berikut. 1. Pendahuluan. Kegiatan pembelajaran utama pada tahap ini adalah sebagai berikut: (a) Guru dan siswa melakukan pembentukan kelompok (komunitas belajar), (b) Guru menginformasikan tugas dan cara mengerjakannya, dan (c) Pelatihan cara belajar dalam kelompok. 2. Diskusi. Guru menyajikan masalah kontekstual. Pada tahap pemecahan masalah kontekstual diciptakan suasana belajar sebagai berikut: (a) Guru memotivasi rasa ingin tahu tentang topik yang akan dipelajari, (b) Menyajikan masalah kontekstual, (c) Memahami masalah kontekstual, (d) Menyelesaikan masalah kontekstual, (e) Membandingkan dan mendiskusikan jawaban, dan (f) Menyimpulkan. 3. Kemandirian. Setelah siswa diperkirakan memahami konsep, kegiatan belajar dilanjutkan dengan menyelasaikan soal-soal latihan yang telah dipersiapkan. Siswa bekerja secara mandiri untuk menyelesaikan soal-soal latihan yang diberikan. 4. Refleksi dan Merangkum. Melalui tanya jawab (debriefing) guru melakukan refleksi dengan memberikan pertanyaan langsung kepada siswa secara random tentang hal-hal menarik apa saja yang diperoleh pada saat pembelajaran. Guru bersama-sama dengan siswa melakukan refleksi. Apabila proses pemecahan masalah sudah benar, kemudian guru mengajukan pertanyaan pada siswa, misalnya: bagaimana jika…?, apakah ada cara lain? Coba kerjakan dengan cara lain! Selanjutnya guru merefleksikan apa yang telah siswa pelajari. Guru mengulas kembali konsep yang baru dipelajari, kemudian mengarahkan siswa merangkum materi pelajaran yang dianggap penting. Berdasarkan permasalahan dan kajian teori, maka dalam penelitian ini penulis mengajukan hipotesis sebagai berikut. 1. Terdapat perbedaan kemampuan bermatemtika siswa dalam pembelajaran matematika antara siswa yang mendapatkan PKM, PKT, dan PKV. ____________________________________________________________ Edisi 7 th. V, April 2011
17
Jurnal Wacana Pendidikan
ISSN: 1978-2802
_______________________________________________________________________________
2. 3.
Terdapat interaksi antara PKM, PKT, dan PKV dengan kategori sekolah dalam kemampuan bermatemtika siswa pada pembelajaran matematika. Terdapat interaksi antara PKM, PKT, dan PKV dengan PAM siswa dalam strategi siswa dalam kemampuan bermatemtika pada pembelajaran matematika.
METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan desain penelitian: A A A Keterangan:
X1 X2
O O O
X1: Penerapan PKM; X2: Penerapan PKT; O : Pengukuran skala kemampuan bermatemtika; A : Pengelompokan subjek secara acak
Pengelompokan siswa didasarkan pada hasil tes pengetahuan awal matematika (PAM) siswa. Banyaknya siswa yang berada pada kelompok atas, tengah, dan bawah pada kategori sekolah baik dan cukup disajikan pada Tabel 1 berikut. Tabel 1. Banyaknya Siswa Kelompok PAM berdasarkan Kategori Sekolah Kelompok Siswa (berdasarkan PAM) Atas Tengah Bawah Total
Baik 20 62 46 128
Kategori Sekolah Cukup 12 43 72 127
Total 32 105 118 255
Prosedur pengambilan subjek sampelnya dapat dilihat pada Gambar 1 berikut. Subjek Populasi Siswa SMP Secara acak dipilih 2 SMP kategori:
Baik
Kelas E-1
Kelas E-2
Subjek sampel dipilih secara acak tiga kelas VIII paralel
Kls. Kontrol
Kelas E-1
Cukup
Kelas E-2
Kls. Kontrol
Gambar 1. Prosedur Pengambilan Subjek Sampel
Analisis statistik terhadap data skala kemampuan menggunakan uji Anova, Scheffe, dan Kruskal-Wallis.
bermatemtika
____________________________________________________________ Edisi 7 th. V, April 2011
18
Jurnal Wacana Pendidikan
ISSN: 1978-2802
_______________________________________________________________________________
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengungkap secara komprehensif kualitas kemampuan bermatemtika siswa antara siswa yang memperoleh PKV, PKT, dan PKM dalam pembelajaran matematika. Berdasarkan hasil analisis data penelitian, diperoleh hasil sebagai berikut. Pengujian Hipotesis 1: Data penelitian yang berkenaan dengan kemampuan bermatemtika siswa diperoleh melalui pengingisian lembar skala kemampuan bermatemtika oleh siswa setelah seluruh pembelajaran selesai. Hasil rangkuman kemampuan bermatemtika dalam data gabungan atau keseluruhan disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Rerata dan Simpangan Baku dari Data Gabungan Skor Skor Kelompok N Rerata Simpangan Baku Minimum Maksimum 83 82,3614 14,90587 54,00 117,00 PKV 86 99,7326 18,75817 64,00 148,00 PKT 86 102,6628 17,60522 66,00 151,00 PKM Catatan: Skor ideal tes Kemampuan bermatemtika adalah 167
Tabel 2 memberikan gambaran bahwa skor rerata kemampuan bermatemtika siswa kelompok PKM lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok PKT dan PKV. Sedangkan skor rerata kemampuan bermatemtika siswa kelompok PKT lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok PKV. Sementara simpangan baku untuk masing-masing kelompok relatif sama. Untuk mengetahui ada atau tidak adanya perbedaan yang signifikan, selanjutnya digunakan analisis statistik Kruskal-Wallis. Rangkuman hasil perhitungan Kruskal-Wallis disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Perbedaan Kemampuan bermatemtika berdasarkan Pendekatan Pembelajaran
Skala Chi-Square Df Asymp. Sig.
59,206 2 0,000
Hipotesis 1 diuji dengan Kruskal-Wallis. Hipotesis yang diuji adalah: Ho: Tidak terdapat perbedaan kemampuan bermatemtika antara siswa yang mendapatkan PKM, PKT, dan PKV Ha: Terdapat perbedaan kemampuan bermatemtika antara siswa yang mendapatkan PKM, PKT, dan PKV
2 kritis
Dari Tabel 3, diperoleh nilai Hhitung = 59,206 lebih besar dari nilai (22)(0,05) 5,991. Hal ini berarti Ho ditolak, dengan kata lain terdapat
____________________________________________________________ Edisi 7 th. V, April 2011
19
Jurnal Wacana Pendidikan
ISSN: 1978-2802
_______________________________________________________________________________
perbedaan secara signifikan skor kemampuan bermatemtika antara siswa yang belajar dengan pendekatan PKV, PKT, dan PKM pada data gabungan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kemampuan bermatemtika siswa kelompok PKM lebih baik dibandingkan dengan kelompok PKT dan PKV. Sedangkan skor rerata kemampuan bermatemtika siswa kelompok PKT lebih baik dibandingkan dengan kelompok PKV. Untuk mengetahui pembelajaran mana yang berbeda secara signifikan dalam kemampuan bermatemtika siswa, dilanjutkan dengan uji Scheffe, hasil perhitungannya disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Uji Scheffe Skor Rerata Kemampuan bermatemtika berdasarkan Pendekatan Pembelajaran Pendekatan (I)
Pendekatan (J)
PKV
PKT PKM PKV
PKT
Perbedaan Rerata (I-J) -17,37111 -20,30134 17,37111
Std. Error 2,64518 2,64518 2,64518
Sig. 0,000 0,000 0,000
Ho Tolak Tolak Tolak
Pada Tabel 4 terlihat bahwa nilai probabilitas (sig.) untuk setiap pasangan pendekatan pembelajaran lebih kecil dari = 0,05, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kemampuan bermatemtika siswa yang memperoleh PKM secara signifikan berbeda dengan siswa yang memperoleh PKT dan PKV. Demikian pula kemampuan bermatemtika siswa yang memperoleh PKT secara signifikan berbeda dengan siswa yang memperoleh PKV. Secara grafik, perbandingan rerata skor kemampuan bermatemtika siswa berdasarkan pendekatan pembelajaran tampak pada Gambar 2. Rerata 120 100 80 60 40 20 0
Rerata
PKV
PKT
PKKM
Pendekatan
Gambar 2. Perbandingan Rerata Kemampuan bermatemtika berdasarkan Pendekatan Pembelajaran
Pada Gambar 2 terlihat bahwa kemampuan bermatemtika yang memperoleh PKM lebih tinggi dari pada siswa yang memperoleh PKT dan PKV. Demikian pula, kemampuan bermatemtika siswa yang memperoleh PKT lebih tinggi dari pada siswa yang memperoleh PKV. ____________________________________________________________ Edisi 7 th. V, April 2011
20
Jurnal Wacana Pendidikan
ISSN: 1978-2802
_______________________________________________________________________________
Pengujian Hipotesis 2: Hasil rangkuman kemampuan bermatemtika berdasarkan pendekatan pembelajaran dan kategori sekolah disajikan pada Tabel 5 berikut. Tabel 5. Rerata Kemampuan bermatemtika berdasarkan Pendekatan Pembelajaran dan Kategori Sekolah Pendekatan – Simpangan N Rerata Minimum Maksimum Kategori Sekolah Baku PKV-Baik PKT-Baik PKM-Baik PKV-Cukup PKT-Cukup PKM-Cukup
43 43 42 40 43 44
84,5581 100,6977 103,0238 80,0000 98,7674 102,3182
16,17656 17,71136 15,96870 13,20256 19,91271 19,21697
54,00 71,00 77,00 61,00 64,00 66,00
117,00 148,00 151,00 109,00 146,00 147,00
Tabel 5 memberikan gambaran bahwa skor rerata kemampuan bermatemtika siswa kelompok PKM lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok PKT dan PKV baik dari kategori sekolah baik maupun cukup. Sedangkan skor rerata kemampuan bermatemtika siswa kelompok PKT lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok PKV, baik dari kategori sekolah baik maupun cukup. Sementara simpangan baku untuk masing-masing kelompok relatif sama. Selanjutnya, untuk mengetahui ada atau tidak adanya perbedaan rerata keenam kelompok data berdasarkan pendekatan pembelajaran dan kategori sekolah digunakan uji Anova dua jalur. Rangkuman hasil uji Anova dua jalur disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Uji Perbedaan Kemampuan bermatemtika berdasarkan Pendekatan Pembelajaran dan Kategori Sekolah
Sumber
Jumlah Kuadrat
Kategori Sekolah Pendekatan Interaksi Total
366,257 20397,143 162,904 45329,000
df 1 2 2 255
Rerata Kuadrat 366,257 10198,571 81,452
F
Sig.
Ho
1,233 34,339 0,274
0,268 0,000 0,760
Terima Tolak Terima
Berdasarkan Tabel 6, dapat disimpulkan bahwa faktor pendekatan pembelajaran memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kemampuan bermatemtika. Hal ini ditunjukkan dengan nilai probabilitas (sig.) = 0,000 lebih kecil dari = 0,05. Sedangkan faktor kategori sekolah, tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kemampuan bermatemtika. Hal ini ditunjukkan dengan nilai probabilitas (sig.) = 0,268 lebih besar dari = 0,05. Ini berarti terdapat perbedaan yang signifikan kemampuan bermatemtika berdasarkan kelompok pendekatan pembelajaran, namun tidak terdapat perbedaan yang signifikan kemampuan bermatemtika berdasarkan kategori sekolah. Untuk menguji hipotesis 2 digunakan uji anova dua jalur. Hipotesis yang diuji adalah: ____________________________________________________________ Edisi 7 th. V, April 2011
21
Jurnal Wacana Pendidikan
ISSN: 1978-2802
_______________________________________________________________________________
Ho
: Tidak terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dengan kategori sekolah pada kemampuan bermatemtika.
Ha
: Terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dengan kategori sekolah pada kemampuan bermatemtika.
Kriteria pengujian adalah jika nilai probabilitas (sig.) lebih besar dari = 0,05, maka Ho diterima. Dari hasil uji Anova pada Tabel 6, diperoleh nilai probabilitas (sig.) = 0,760 lebih besar dari = 0,05, maka hipotesis nol (Ho) diterima. Hal ini berarti tidak terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran (PKM, PKT, dan PKV) dengan kategori sekolah terhadap kemampuan bermatemtika. Pengujian Hipotesis 3: Hasil rangkuman kemampuan bermatemtika berdasarkan pendekatan pembelajaran dan PAM disajikan pada Tabel 7 berikut. Tabel 7. Rerata Kemampuan bermatemtika Berdasarkan Pendekatan Pembelajaran dan PAM Siswa Pendekatan – Simpangan N Rerata Minimum Maksimum PAM Baku PKV-Atas 13 106,6923 7,65272 95,00 117,00 PKT-Atas 18 128,8333 12,67814 109,00 148,00 PKM-Atas 9 137,7778 10,54488 124,00 151,00 PKV-Tengah 47 82,4681 9,53905 63,00 100,00 PKT-Tengah 59 94,7458 8,46615 77,00 115,00 PKM-Tengah 55 104,3636 10,05975 87,00 139,00 PKV-Bawah 23 68,3913 7,21576 54,00 80,00 PKT-Bawah 9 74,2222 7,51295 64,00 87,00 PKM-Bawah 22 84,0455 7,26687 66,00 94,00
Tabel 7 memberikan gambaran bahwa skor rerata kemampuan bermatemtika dari kelompok PKM lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok PKT dan PKV baik dari PAM atas, tengah, maupun bawah. Sedangkan skor rerata kemampuan bermatemtika kelompok PKT lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok PKV baik dari PAM atas, tengah, maupun bawah. Sementara simpangan baku untuk masing-masing kelompok relatif sama, kecuali simpangan baku kelompok PKT-Tinggi lebih besar dari yang lainnya. Selanjutnya, untuk mengetahui ada atau tidak adanya perbedaan rerata kesembilan kelompok data berdasarkan pendekatan pembelajaran dan PAM digunakan uji Anova dua jalur. Rangkuman hasil uji Anova dua jalur disajikan pada Tabel 8.
____________________________________________________________ Edisi 7 th. V, April 2011
22
Jurnal Wacana Pendidikan
ISSN: 1978-2802
_______________________________________________________________________________
Tabel 8. Uji Perbedaan Kemampuan bermatemtika berdasarkan Pendekatan Pembelajaran dan PAM
Sumber Pendekatan PAM Interaksi Total
Jumlah Kuadrat 15233,511 49229,188 1314,237 45329,000
df 2 2 4 255
Rerata F Sig. Ho Kuadrat 7616,756 89,917 0,000 Tolak 24614,594 290,578 0,000 Tolak 328,559 3,879 0,004 Tolak
Berdasarkan Tabel 8, dapat disimpulkan bahwa faktor pendekatan pembelajaran memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kemampuan bermatemtika. Hal ini ditunjukkan dengan nilai probabilitas (sig.) = 0,000 lebih kecil dari = 0,05. Demikian juga faktor PAM, memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kemampuan bermatemtika. Hal ini ditunjukkan dengan nilai probabilitas (sig.) = 0,000 lebih kecil dari = 0,05. Berarti terdapat perbedaan yang signifikan kemampuan bermatemtika berdasarkan kelompok pendekatan pembelajaran dan PAM siswa. Secara bersamaan kedua faktor tersebut memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kemampuan bermatemtika. Untuk menguji hipotesis 3, digunakan uji anova dua jalur. Hipotesis yang diuji adalah: Ho
Ha
: Tidak terdapat interaksi antara pendekatan (PKM, PKT, dan PKV) dengan PAM (atas, tengah, dan bawah) dalam kemampuan bermatemtika. : Terdapat interaksi antara pendekatan (PKM, PKT, dan PKV) dengan PAM (atas, tengah, an bawah) dalam kemampuan bermatemtika.
Dari hasil uji Anova pada Tabel 17, diperoleh nilai probabilitas (sig.) = 0,004 lebih kecil dari = 0,05, maka hipotesis nol (Ho) ditolak. Hal ini berarti terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dengan PAM terhadap kemampuan bermatemtika. Pembahasan Penelitian ini menghasilkan beberapa temuan tentang kemampuan bermatemtika siswa dalam pembelajaran matematika yang dianalisis berdasarkan kelompok pendekatan pembelajaran, kategori sekolah, dan pengetahuan awal matematika. Secara lengkap hasil temuan tersebut dibahas pada bagian berikut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan kelompok pendekatan pembelajaran, kemampuan bermatemtika siswa pada pendekatan PKM secara signifikan lebih tinggi dari siswa yang memperoleh pendekatan PKT dan PKV. Demikian pula, kemampuan bermatemtika siswa yang memperoleh pendekatan PKT secara signifikan lebih tinggi dari pada siswa yang memperoleh PKV. Temuan ini didukung oleh perolehan skor rerata skala kemampuan bermatemtika pada pembelajaran PKM sebesar 102,66 (61,5%) dari skor ideal 167), pendekatan PKT sebesar 99,73 (59,7%), dan pendekatan PKV sebesar 82,36 (49,3%). ____________________________________________________________ Edisi 7 th. V, April 2011
23
Jurnal Wacana Pendidikan
ISSN: 1978-2802
_______________________________________________________________________________
kemampuan bermatemtika siswa dalam pembelajaran matematika dikelompokan ke dalam klasifikasi tinggi, sedang, dan rendah berdasarkan pada prosentase skor rerata dari skor ideal (S), dengan ketentuan: 60% ≤
S S S
80% : < 80% : < 60% :
Siswa memiliki strategi tinggi Siswa memiliki strategi sedang Siswa memiliki strategi rendah
Berdasarkan pengelompokan di atas, maka kemampuan bermatemtika siswa yang mendapatkan pendekatan PKM berada pada klasifikasi sedang, sedangkan kemampuan bermatemtika siswa yang mendapatkan pendekatan PKT dan PKV berada pada klasifikasi rendah. Semua itu memberikan gambaran bahwa pendekatan PKM lebih berpengaruh terhadap kemampuan bermatemtika dibandingkan dengan pendekatan PKT dan PKV. Hal ini disebabkan pada pendekatan PKM lebih memberi kesempatan kepada siswa untuk mengevaluasi suatu situasi atau masalah dengan mengidentifikasi hal-hal yang diperlukan, melakukan investigasi, eksplorasi, memecahkan masalah, refleksi, dan guru aktif mengajukan pertanyaanpertanyaan apabila ada siswa atau kelompok belajar yang mengalami kebuntuan dalam memecahkan masalah agar sampai pada solusi akhir yang benar. Semuanya itu melatih siswa untuk memiliki keterampilan kemampuan bermatemtika. PENUTUP Simpulan Berdasarkan hasil analisis, temuan, dan pembahasan yang telah dikemukakan pada bagian sebelumnya, diperoleh kesimpulan sebagai berikut. 1. Terdapat perbedaan kemampuan bermatemtika siswa dalam pembelajaran matematika antara siswa yang mendapatkan PKM, PKT, dan PKV. kemampuan bermatemtika siswa dalam matematika yang memperoleh pendekatan PKM lebih baik daripada pendekatan PKT dan PKV. kemampuan bermatemtika siswa dalam belajar matematika yang memperoleh pendekatan PKT lebih baik daripada PKV. kemampuan bermatemtika siswa yang mendapatkan pendekatan PKM berada pada klasifikasi sedang, sedangkan kemampuan bermatemtika siswa yang mendapatkan pendekatan PKT dan PKV berada pada klasifikasi rendah. 2. Tidak terdapat interaksi antara PKM, PKT, dan PKV dengan kategori sekolah dalam kemampuan bermatemtika siswa pada pembelajaran matematika. Secara umum kategori sekolah tidak berkaitan dengan pendekatan pembelajaran dalam hal kemampuan bermatemtika. 3. Terdapat interaksi antara PKM, PKT, dan PKV dengan PAM siswa dalam hal kemampuan bermatemtika pada pembelajaran matematika. Hal ini berarti klasifikasi PAM berkaitan dengan pendekatan pembelajaran dalam hal kemampuan bermatemtika. ____________________________________________________________ Edisi 7 th. V, April 2011
24
Jurnal Wacana Pendidikan
ISSN: 1978-2802
_______________________________________________________________________________
Saran Berdasarkan kesimpulan di atas, peneliti mengusulkan beberapa rekomendasi atau saran bagi pemegang kebijakan, dinas terkait, guru, dan peneliti sebagai berikut. 1. Pendekatan PKM dan PKT hendaknya terus dikembangkan dan dijadikan sebagai alternatif pilihan guru dalam pembelajaran matematika sehari-hari. 2. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mengimplementasikan pendekatan PKM dan pendekatan PKT yaitu: dalam menyusun bahan ajar agar berbasis masalah, sehingga dapat dapat melatih siswa dalam berpikir secara optimal. 3. Dengan memperhatikan temuan bahwa pendekatan PKM dan pendekatan PKT berpengaruh positif terhadap kemampuan bermatemtika siswa, maka diharapkan penerapan pendekatan PKM dan PKT menjadi bahan masukkan bagi pengambil kebijakan dalam mengembangkan strategi siswa mengatur diri dalam belajar. 4. Bagi peneliti selanjutnya, perlu diteliti bagaimana pengaruh pendekatan PKM dan PKT terhadap kemampuan daya matematik lainnya (komunikasi, koneksi, dan representasi). DAFTAR PUSTAKA AGMI (2008). Rendah, Prestasi Matematika Indonesia. Bandung: MGB ITB. Blakey, E dan Spence, S. (1990). Developing Metacognitive. Dalam Eric Degests on Information Resource [Online]. Tersedia: [- November 2008]. Depdiknas (2004). Kurikulum Matematika SLTP 2004. Jakarta: Dikdasmen Direktorat PLP. Depdiknas (2005). Paparan Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional Tahun 2005-2009. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Depdiknas (2006). Kurikulum Matematika SMP/M.Ts. Jakarta: Dirjend Manajemen Dikdasmen. Handoz. (2008). Meneliti Pengaruh Self-Regulated Learning Pada Prestasi Siswa. [Online]. Tersedia: email :
[email protected]. [24 Juni 2008]. Johnson, EB. (2002). Contextual Teaching and Learning. California: Corwin Press, Inc. Muin, A. (2005). Pendekatan Metakognitif untuk Meningkatkan Kemampuan Matematika Siswa SMA. Tesis pada SPS UPI: Tidak diterbitkan. NCTM (2000). Principles and Standard for School Mathematics. Reston, VA: NCTM. Nugroho. (2008). Self-Regulated Learning Anak Berbakat. [Online]. Tersedia: WebsiteDirektorat/Pembinaan/Sekolah/Luar/Biasa/.htm. [4 Mei 2008].
____________________________________________________________ Edisi 7 th. V, April 2011
25
Jurnal Wacana Pendidikan
ISSN: 1978-2802
_______________________________________________________________________________
Nurhadi (2002). Pendekatan Kontekstual. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Ratnaningsih, N. (2007). Pengaruh Pembelajaran Kontekstual terhadap Kritis dan Kreatif Matematik serta Kemandirian Belajar Siswa Sekolah Menengah Atas. Disertasi pada SPs UPI: Tidak diterbitkan. Ruseffendi, E.T. (1991). Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung : Tarsito. Sabandar, J. (2003). Pendekatan Kontekstual dalam Pembelajaran Matematika. UPI Bandung: Makalah: tidak diterbitkan. Schoenfeld, AH. (1992). „Learning to Think Mathematically: Problem Solving, Metacognition, and Sense Making in Mathematics”. Handbook of Research on Mathematics Teaching and Learning. New York: Macmillan Publishing Company. Soemarmo, U. (2003). “Pembelaran Keterampilan Membaca Matematika pada Siswa Sekolah Menengah“. Makalah pada Seminar Pendidikan Matematika UPI, Bandung.
Soemarmo, U. & Hendriana, H. (2014). Penilaian Pembelajaran Matematika. Bandung: Refika Aditama. RIWAYAT PENULIS Dr. Nanang, lahir di Bandung 1 Juli 1964. Menyelesaikan Pendidikan Matematika: S-1 IKIP Bandung 1989, S-2 IKIP Surabaya 1999, dan S-3 UPI Bandung 2009. Bekerja sebagai dosen Kopertis Wilayah IV dpk. pada Jurusan Pendidikan Matematika STKIP Garut dengan jabatan Lektor Kepala.
____________________________________________________________ Edisi 7 th. V, April 2011
26
Jurnal Wacana Pendidikan
ISSN: 1978-2802
_______________________________________________________________________________
____________________________________________________________ Edisi 7 th. V, April 2011
27