Jurnal Pendidikan MIPA, Vol. 4. No. 1, Januari-Juni 2014
ISSN: 2088-0294
JURNAL PENDIDIKAN MIPA SUSUNAN REDAKSI Pelindung dan Penasehat Drs. H. Sudirman Ismail, M.Si. Ketua STKIP Taman Siswa Bima Dr. Ibnu Khaldun, M.Si. Pelaksana Harian STKIP Taman Siswa Bima Penganggung Jawab Syarifuddin, S.Pd., M.Pd.
Ketua LPPM STKIP Taman Siswa Bima
Ketua Penyunting Mariamah, M.Pd. Sekretaris Penyunting Asriyadin, M.Pd. Penyunting Pelaksana Syarifuddin.S.Si, M.Pd. Yus’iran, M.Pd. Muliana, M.Pd. Muliansani, M.Kom Penyunting Ahli (Mitra Bestari) Prof. Dra. Herawati Susilo, M.Sc., Ph.D. Prof. Dr. Agil Alidrus, M.Pd. Dr. Amran Amir, M.Pd. Dr. Syahruddin, M.Si.
Universitas Negeri Malang Universitas Mataram STKIP Bima
Bendahara Nanang Diana, M.Pd.
Alamat Redaksi Redaksi Jurnal Pendidikan MIPA LPPM STKIP Taman Siswa Bima Jln. Lintas Bima – Tente Palibelo. Tlp (0374) 42891 Email:
[email protected]
Jurnal Pendidikan MIPA STKIP Taman Siswa Bima, terbit 2 kali setahun dengan edisi Januari – Juni dan Juli - Desember. Sebagai media informasi, pemikiran dan hasil penelitian yang berkaitan dengan pendidikan Matematika dan ilmu Pengetahuan Alam.
Jurnal Pendidikan MIPA, Vol. 4. No. 1, Januari-Juni 2014
ISSN: 2088-0294
JURNAL PENDIDIKAN MIPA Volume 4 No 1, Januari-Juni 2014 ISSN : 2088-0294 DAFTAR ISI PENGEMBANGAN MODEL INSTRUMEN PENILAIAN SIKAP SISWA TERHADAP PEMBELAJARAN MATEMATIKA SMP PADA K-13 BERBASIS IT Djuniadi (dosen UNNES) & Arif Hidayad
1 – 12
13 – 21 SOLUSI UMUM SISTEM PERSAMAAN LINEAR DENGAN MENGGUNAKAN METODE ELIMINASI GAUSS DAN DEKOMPOSISI Rosmila (Uin Alauddin Makassar) PENERAPAN METODE DRILL UNTUK MENINGKATKAN KEAKTIFAN DAN PRESTASI BELAJAR MAHASISWA PADA MATERI RUANG VEKTOR Syarifudin (STKIP Taman Siswa Bima)
22 – 32
KEEFEKTIFAN PENGGUNAAN ALAT PERAGA DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA DI SD Sudarsono (Dosen matematika STKIP Bima)
33 – 46
KESESUAIAN SARANA PRASARANA LABORATORIUM IPA DITINJAU DARI PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NO.32 TAHUN 2013 DI SMP SE-KECAMATAN BELO. SKRIPSI. PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA SRI MINARTI (Staf Prodi Pendidikan Fisika STKIP taman Siswa Bima)
47 – 58
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TEKNIK MAKE A MATCH UNTUK MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR IPA FISIKA SISWA KELAS VII-H SMP NEGERI 7 KOTA BIMA TAHUN PELAJARAN 2013/2014 SURYANI.
72 – 89
MISKONSEPSI SISWA TERHADAP PEMAHAMAN KONSEP MATEMATIKA PADA POKOK BAHASAN PERSAMAAN KUADRAT SISWA KELAS X5 SMA NEGERI 11 MAKASSAR SARLINA Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN ALauddin Makassar
90–102
PERBEDAAN
HASIL
BELAJAR
FISIKA
DENGAN
103 - 113
Jurnal Pendidikan MIPA, Vol. 4. No. 1, Januari-Juni 2014
MENGGUNAKAN KETERAMPILAN PROSES TERINTEGRASI MELALUI METODE EKSPERIMEN DAN DEMONSTRASI PADA SISWA KELAS VIII SMP NEGERI 5 WOHA TAHUN PELAJARAN 2013/2014 IKA RIZKI YUNIARTI PENERAPAN PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE NHT DALAM MENINGKATKAN HASIL BELAJAR IPA FISIKA SISWA KELAS VII.B SMP NEGERI 2 BOLO TAHUN PELAJARAN 2013/2014. RUSTAM
ISSN: 2088-0294
Jurnal Pendidikan MIPA, Vol. 4. No. 1, Januari-Juni 2014
ISSN: 2088-0294
PENGEMBANGAN MODEL INSTRUMEN PENILAIAN SIKAP SISWA TERHADAP PEMBELAJARAN MATEMATIKA SMP PADA K-13 BERBASIS IT Djuniadi Dosen Unnes
[email protected] Arif Hidayad Dosen STKIP Taman Siswa Bima
[email protected]
Abstrak. Artikel ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana model instrumen penilaian sikap siswa terhadap pembelajaran matematika SMP pada K-13 yang berbasiskan IT serta langkah-langkah pengembangannya. Metode pengembangan yang digunakan adalah modifikasi desain pengembangan instrumen afektif dari Djemari Mardapi yang dibatasi hanya sampai pada uji coba skala kecil. Analisis kualitatif berupa penilaian para ahli dengan angket, sedangkan analisis kuantitatif yakni melakukan uji validitas, reliabilitas dan uji kepraktisan instrumen. Bentuk instrumen yang dikembangkan berbentuk Skala Likert yang terdiri dari 4 pilihan jawaban yaitu Sangat Setuju (SS), setuju (S), kurang setuju (KS) dan tidak setuju (TS). Instrumen yang telah dikembangkan kemudian dikemas dalam bentuk soft-file pada GOOGLE DRIVE (Google Form) selanjutnya ditempelkan pada blog pribadi penulis dan bisa diakses secara online oleh responden melalui alamat blog yang diberikan. Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas VIII-B SMPN 1 Bolo yang berjumlah 10 orang. Hasil penelitian menunjukan bahwa angka validitas 3 orang ahli mengunakan validitas Aiken’V instrumen valid dan rata-rata penilaian berada di atas 0.30. Hasil uji coba skala kecil yang diambil 10 orang siswa menunjukkan bahwa butir valid sebanyak 20 butir dengan angka validitas di atas 0.632. Selanjutnya, uji reliabilitas menggunakan formula α Cronbach (2 belahan) diperoleh angka reliabilitas sebesar 0,82 dan berkategori sangat tinggi. Sedangkan uji kepraktisan instrumen dengan formula Glicman diperoleh nilai T skor sebesar 52,33 dengan kriteria praktis. Berdasarkan hasil tersebut, maka instrumen yang dikembangkan valid, reliabel dan praktis sehingga tujuan pengembangan instrumen tercapai. Kata Kunci : Penilaian Sikap, Skala Likert, SMP, IT
Jurnal Pendidikan MIPA, Vol. 4. No. 1, Januari-Juni 2014
PENDAHULUAN Banyak para ahli Banyak para ahli penelitian pendidikan yang melakukan riset dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan, seperti pengembangan perangkat pembelajaran, modifikasi model/metode belajar maupun analisis pengaruh dan hubungan variabel pembelajaran terhadap prestasi belajar, tetapi riset yang menyentuh bentuk-bentuk penilaian dan pengembangan instrumen penilaian masih minim dilakukan. Padahal, penilaian dalam pembelajaran sangat penting dilakukan karena mampu menggambarkan kemampuan peserta didik selama belajar, apalagi didukung oleh tersedianya instrumen yang valid dan mampu mengukur apa yang hendak diukur dan menggunakan cara-cara yang tepat. Hal ini sejalan dengan pendapat Azwar (2013: 87) bahwa asesmen atau penilaian merupakan salah satu aspek yang penting guna memahami serta mengungkapkan sikap dan perilaku manusia. Dalam mengungkap sikap dan perilaku manusia tentunya harus memiliki alat yang mampu mengukur secara tepat dan memberikan informasi yang dapat dipercaya oleh semua pihak. Pada lingkup yang lebih spesifik, penilaian dalam pembelajaran matematika sekolah merupakan hal yang penting untuk dilakukan agar memperoleh informasi tentang keberhasilan belajar siswa. Banyak faktor yang mendukung keberhasilan belajar siswa dalam matematika diantaranya yang bersumber dari diri siswa, lingkungan belajar dan materi belajar. Salah satu faktor yang
ISSN: 2088-0294
terpenting bersumber dari diri siswa atau biasa disebut dengan karakteristik siswa. Karakteristik biasanya diidentikkan dengan sikap siswa, karena dengan melihat sikap maka dapat dikatakan manusia atau siswa tersebut memiliki karakteristik tersendiri. Borasi dan Shoenfeld dalam Ponte, dkk, menyatakan bahwa konsepsi, sikap, dan harapan siswa tentang matematika dan mengajar matematika dianggap sebagai faktor yang mendasari pengalaman sekolah dan prestasi. Olehnya demikian, sudah sepatutnya dalam proses pembelajaran matematika perlu diperhatikan sikap siswa terhadap pembelajaran matematika. Hal ini penting mengingat sikap positif siswa terhadap pembelajaran matematika akan berkorelasi positif dengan prestasi belajarnya. Selain itu, Durgn dan Thurlow dalam Relich, dkk (1994) menyatakan bahwa sikap dapat meningkatkan prestasi matematika baik di tingkat dasar, menengah, maupun tingkat tinggi. Menurut Hart (Akinsola dan Olowojaiye, 2008: 62) sikap individu terhadap matematika merupakan cara yang kompleks tentang emosi yang berhubungan dengan matematika, keyakikan matematika, meliputi sikap positif dan negative, dan bagaimana siswa bertingkah laku terhadap matematika. Sikap dan minat peserta didik terhadap matematika merupakan faktor krusial (penting) yang menentukan hasil belajar matematikanya. Hal ini sejalan dengan pendapat Sutarto dan Syarifudin (2013:3) yang menyatakan bahwa ranah
Jurnal Pendidikan MIPA, Vol. 4. No. 1, Januari-Juni 2014
afektif menentukan keberhasilan peserta didik (kondisi afektif tersebut diantaranya sikap dan minat). Jadi sangatlah penting untuk melakukan penilaian terhadap ranah afektif sikap siswa agar guru bisa mengetahui status sikap siswa terhadap matematika sehingga guru akan mengantisipasi pembelajaran kedepannya. Selain itu, menurut Sax (1989:493) “an attitude was defined as a preference along a dimension of favorableness to unfavorableness to a particular group, institution, concept, or object”. Bahwa sikap adalah suatu kecenderungan pada sebuah dimensi dari yang disukai sampai yang tidak disukai pada suatu kelompok, institusi, konsep, dan objek tertentu. Lebih khusus pada pembelajaran matematika sikap berarti kecendrungan seorang siswa terhadap belajar matematika dalam menyukainya ataupun tidak. Sejalan dengan hal ini, Zan & Martino (2007: 2) menyatakan, “attitude toward mathematics is therefore seen as the pattern of beliefs and emotions associated with mathematics”. Sikap terhadap matematika dapat dilihat sebagai pola hubungan dari kepercayaan dan emosi dengan matematika. Berdasarkan pendapat di atas, maka sangat penting dilakukan penilaian sikap siswa terhadap pembelajaran matematika. Penilaian tersebut bertujuan untuk memahami kondisi awal siswa sehingga guru akan memikirkan strategi yang tepat dalam belajar. Hal ini sejalan dengan pendapat Arikunto (2009:178) menyatakan bahwa tujuan penilaian afektif adalah mendapatkan feedback, mengetahui
ISSN: 2088-0294
perubahan tingkah laku, menempatkan anak didik pada situasi belajar yang tepat dan mengenal latar belakang kegiatan belajar dan kelainan tingkah laku anak didik (Depdikbud, 1983:2). Selain itu, ditengah kemajuan tekonologi yang sangat pesat serta perkembangan manusia yang semakin menuntut percepatan dan kemudahan disegala bidang, mengharuskan kita sebagai pelaku-pelaku penelitian untuk mengembangkan penelitian sampai pada tingkatan keseimbangan dengan kemajuan teknologi sekarang. Perkembangan tersebut tidak terkecuali di bidang pendidikan terutama tuntutan akan perangkat maupun instrumen penilaian yang baik, praktis, konservasi dan dapat diakses kapanpun dan dimanapun. Oleh karena itu sangat perlu dilakukan oleh para peneliti dibidang pendidikan untuk menghasilkan instrumen seperti yang dimaksud, khususnya pada penilaian sikap siswa terhadap pembelajaran matematika. Akibatnya, muncul beberapa pertanyaan penting yaitu; 1) Bagaimanakah mengembangkan instrumen penilaian sikap siswa terhadap pembelajaran matematika SMP pada K-13 yang valid, reliabel dan praktis?, dan 2) setelah melalui tahapan analisis, bagaimanakah cara merubah instrumen tersebut kedalam bentuk soft yang bersifat online?. Dua hal itulah yang menjadi rumusan permasalahan dalam penulisan artikel ini dan akan dijawab pada pembahasan berikut.
Jurnal Pendidikan MIPA, Vol. 4. No. 1, Januari-Juni 2014
METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan dalam pengembangan instrumen penilaian sikap ini adalah mix method. Penelitian ini berjenis R & D yang dimodifikasi dari pengembangan instrumen afektif yang dikemukakan oleh Djemari Mardapi yang terdiri dari 10 langkah (2008:108). Dalam pembahasan artikel ini, langkah tersebut dibatasi hanya sampai pada uji coba skala kecil yaitu dengan melakukan uji validitas, reliabilitas dan langsung melakukan uji kepraktisan instrumen. Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas VIII B SMPN 1 Bolo yang berjumlah 10 orang. Produk yang dikembangkan adalah berupa instrumen penilaian sikap siswa terhadap pembelajaran matematika. Skala yang digunakan dalam instrumen ini adalah Skala Likert berskala 4 yang terdiri dari pilihan pernyataan Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Kurang Setuju (KS) dan Tidak Setuju (TS). Langkah-langkah pengembangan yaitu; (1) menentukan spesifikasi instrumen, (2) menulis instrumen, (3) menentukan skala instrumen, (4) menentukan sistim penskoran, (5) menelaah instrumen, (6) melakukan uji coba skala kecil dan (7) uji kepraktisan instrumen. Data pendukung pengembangan ada dua yaitu data kualitatif dan data kuantitatif. Data kualitatif diperoleh melalui kegiatan observasi, wawancara dengan guru matematika, studi dokumen dan validasi pakar. Sedangkan data kuantitatif diperoleh melalui kegiatan analisis dan validasi instrumen baik pada uji coba
ISSN: 2088-0294
skala kecil maupun uji kepraktisan instrumen. Teknik analisis data yang akan digunakan dalam pengembangan instrumen ini mencakup uji keabsahan data, uji validitas instrument, uji reliabilitas instrumen dan uji kepraktisan instrumen. Uji keabsahan data menggunakan teknik triangulasi. Mathison (Sugiyono, 2013:329) menyatakan bahwa nilai dari teknik pengumpulan data dengan triangulasi adalah untuk mengetahui data yang diperoleh convergen (meluas), tidak konsisten atau kontradiksi. Triangulasi data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan triangulasi teknik atau metode. Selanjutnya, uji validitas instrumen yang dikembangkan terdiri dari validitas konstruk dan validitas isi. Jamie DeCoster (2000) dan Altermatt (2007) dalam (Azwar, 2014:132) mengatakan bahwa validitas konstruk sendiri dapat diartikan sejauhmana definisi operasional (dalam bentuk indikator keprilakuan) memang mencerminkan konstruk yang hendak diukur. Sedangkan validitas isi didasarkan pada penilaian pakar/ahli sebanyak n orang terhadap suatu aitem yaitu dengan menggunakan formula Aiken’s V. Penilaian dilakukan dengan cara memberikan angka antara 1 sampai 4 (Azwar, 2014:134). Adapun formula Aiken V adalah: Bila lo = Angka penilaian validitas yang terendah (dalam hal ini = 1) c = angka penilaian validitas yang tertinggi (dalam hal ini = 4) r = angka yang diberikan oleh seorang penilai
Jurnal Pendidikan MIPA, Vol. 4. No. 1, Januari-Juni 2014
s = r – lo selanjutnya, harga V didapat dari: ∑𝑠
V = [𝑛 (𝑐−1)
……………. (1)
Apabila koofisien validitas kurang dari 0.30 berarti butir dapat dikatakan tidak memadai (tidak valid) sebaliknya, jika koefisien validitas ≥ 0.30 berarti item dapat dikatakan memadai (valid) (Azwar,2014:143). Sedangkan uji reliabilitas instrumen menggunakan estimasi reliabilitas konsistensi internal. Salah satu formula konsistensi internal yang popular adalah formula koofisien alpha (α). Pada formula α , hasil uji coba instrumen skala kecil dan skala luas dibagi menjadi dua belahan atau tiga belahan tergantung pada jumlah item. Apabila item dalam skala berjumlah ganjil, tentu skala tidak dapat dibagi dua bagian, maka pembelahan item dalam penggunaan koofisien alpha masih dimungkinkan membelah item menjadi tiga bagian item yang sama banyak. Formula α untuk menghitung koefisien reliabilitas adalah: α=2 (1-
𝑆𝑦12 + 𝑆𝑦22 𝑆𝑥 2
)
………………..(2)
( skor yang dibagi menjadi 2 belahan) dimana: 𝑆𝑦12 𝑑𝑎𝑛 𝑆𝑦22 = varians skor Y1 dan Y2 𝑆𝑥 2 = Varians Skor X Sedangkan formula untuk menghitung koefisien reliabilitas yang skornya dibagi menjadi 3 belahan sama banyak adalah:
ISSN: 2088-0294
α = 3/2 (1 -
𝑆𝑦12+ 𝑆𝑦22+ 𝑆𝑦 3 𝑆𝑥 2
……………….(3) dengan 𝑆𝑦12 , 𝑆𝑦22 , 𝑆𝑦 3 = varians skor masing-masing belahan 𝑆𝑥 2 = Varians Skor X Wells dan Wollack (2003) dalam (Azwar, 2014:126) mengatakan bahwa high-stakes standardized tests yang dirancang secara professional hendaknya memiliki koofisien konsistensi internall minimal 0.90; sedangkan untuk tes yang tidak begitu besar pertaruhannya harus memiliki koofisien konsistensi internal paling tidak setinggi 0.80 atau 0.85. Pengujian validitas tiap butir ialah menggunakan analisis item, yaitu mengkorelasikan skor tiap butir dengan skor total yang merupakan jumlah setiap skor butir. Masrun (1979) dalam Sugiyono (2012:133) menyatakan bahwa “Item yang mempunyai korelasi positif dengan kriterium (skor total) serta korelasi yang tinggi, menunjukkan bahwa item tersebut mempunyai validitas yang tinggi pula. Validitas butir ini dilakukan dengan menganalisis dan menghitung tingkat validitas tiap item/butir melalui data respon pada uji coba skala kecil. Formula yang digunakan adalah correlation product moment Pearson. Formulanya sebagai berikut:
rxy=
𝑛 ∑ 𝑋𝑌−(∑ 𝑋)(∑ 𝑌) √[(𝑛 ∑ 𝑋 2− (∑ 𝑋)2 )((𝑛 ∑ 𝑌 2 − (∑ 𝑌)2)]
keterangan: r = harga korelasi item n = jumlah responden/siswa
Jurnal Pendidikan MIPA, Vol. 4. No. 1, Januari-Juni 2014
X= Jumlah skor butir yang akan divalidasi Y = jumlah skor total. Selanjutnya, secara empirik data kepraktisan penggunaan instrumen diperoleh melalui pembagian lembar observasi penilaian kepada sejumlah guru matematika yang berada di SMPN 1 Bolo yang berisikan beberapa pernyataan dalam bentuk rubrik dengan rentang nilai 1- 5. Nilai 1 = Sangat Baik (SB), 2 = baik (B), 3 = Cukup (C), 4 = Kurang (K) dan 5 = Sangat Kurang (SK). Selanjutnya, data hasil jawaban responden dianalisis dengan uji skor baku T skor. Kriteria untuk menentukan kepraktisan instrumen menggunakan modifikasi dari formula Glicman yaitu: Skor T = 50 + 10 Z = 50 + 10 [
̅̅̅ (𝑋− ̅𝑋) 𝑆𝑑
]
Dimana; X = Skor yang diberikan responden ̅ = Mean skor kelompok X Sd = Standar Deviasi skor kelompok T = Skor yang didapat Sedangkan kriteria penilaiannya disajikan pada tabel kriteria berikut: Tabel 3.3 Kriteria penilaian kepraktisan instrumen Nilai T Skor T ≥ 65 50 ≤ T ≤ 64 35 ≤ T ≤ 49 20 ≤ T ≤ 34
Kriteria Sangat Praktis Praktis Cukup Praktis Tidak Praktis
(Karyana, 2013 : 224). Instrumen yang telah melalui uji validitas, reliabilitas dan uji kepraktisan, selanjutnya akan dikemas ke dalam bentuk soft-file pada google drive (google form) kemudian ditempel di blog pribadi penulis. Instrumen tersebut dapat diakses oleh responden secara
ISSN: 2088-0294
online ketika mengisinya yaitu melalui situs atau alamat blog penulis yang telah diberikan. Hasil dari pengisian instrumen oleh responden tersebut dapat dilihat kembali oleh penilai di google sheet pada google drive, selanjutnya untuk dianalisis guna pemberian keputusan terhadap hasil penilaian. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian dalam artikel ini ialah berupa instumen penilaian sikap siswa terhadap pembelajaran matematika SMP pada K-13 yang terdiri dari 20 butir pernyataan yang memuat indikator sikap yaitu sikap jujur, disiplin, tanggung jawab, toleransi, percaya diri, sopan santun, gotong royong, interaksi dengan lingkungan dan sikap spiritual. Selanjutnya, instrumen tersebut dikemas dalam bentuk soft-file dalam aplikasi google drive (google form) kemudian ditempelkan pada blog pribadi penulis sehingga semua responden dapat mengaksesnya secara online kapan dan dimanapun mereka berada melalui alamat blog yang diberikan. Langkah-langkah pengembangan instrumen 1. Menentukan spesifikasi instrumen Penentuan spesifikasi instrument tergantung pada tujuan instrumen. Tujuan pembuatan instrumen ini adalah untuk mengetahui sikap siswa terhadap pembelajaran matematika sehingga guru dapat menentukan strategi pembelajaran yang tepat untuk siswa. Sesuai dengan tujuannya, maka spesifikasi instrumen yang dipilih adalah instrumen penilaian sikap.
Jurnal Pendidikan MIPA, Vol. 4. No. 1, Januari-Juni 2014
2. Menulis instrumen Dalam menulis instrumen awal yang perlu diperhatikan adalah bagaimana definisi sikap itu digambarkan secara konseptual maupun operasional sehingga melahirkan indikatorindikator sikap yang dilanjutkan ke dalam kisi-kisi penyusunan instrument sampai pada pembuatan pernyataan atau pertanyaan. Definisi Konseptual Sikap Sikap adalah kesiapan-kesiapan antisipatif terhadap objek tertentu dalam rangka menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial melalui keteraturan-keteraturan tertentu dalam hal perasaan, pemikiran, dan tindakan dalam memberikan perilaku positif atau perilaku negatif terhadap suatu objek tertentu. Oleh karena itu, sikap siswa terhadap pembelajaran matematika memiliki indikatorindikator: jujur, tanggung jawab, percaya diri, sopan santun, toleransi, gotong royong, disiplin, interaksi dengan lingkungan, dan sikap spiritual. Definisi Operasional Sikap Secara operasional yang dimaksud dengan sikap dalam pembelajaran matematika ini adalah skor yang diperoleh dari hasil pengisian angket atau skala sikap oleh siswa SMP kelas VIII B SMPN 1 Bolo tentang kecendrungan dalam menerima atau menolak matematika, dengan indikator-indikator jujur, tanggung jawab, percaya diri, sopan santun, toleransi, gotong royong, disiplin, interaksi dengan lingkungan, dan sikap spiritual.
ISSN: 2088-0294
Selanjutnya, indikator-indikator tersebut dijabarkan kedalam bentuk kisi-kisi seperti tabel berikut: Tabel 3 : Kisi-kisi instrumen penilaian sikap Indikator 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Nomor Butir 1-6 7-12 13-18 19-24 25-30 31-35
Kejujuran Disiplin Percaya diri Sopan Santun Tanggung jawab Interaksi dengan lingkungan Toleransi 36- 38 Gotong royong 39- 41 Spritual 42-45 TOTAL BUTIR
Jumlah (butir) 6 6 6 6 6 5 3 3 4 45
3. Menentukan skala instrumen Sesuai dengan tujuan pembuatan instrumen yaitu untuk mengukur kecendrungan sikap siswa terhadap pembelajaran matematika maka skala yang tepat dipakai adalah skala Likert yang terdiri dari 4 pilihan respon yakni Sangat Setuju (SS), Kurang Setuju (KS), Setuju (S) dan Tidak Setuju (TS). 4. Menentukan sistim penskoran Apabila pernyataan positif maka Sangat Setuju bernilai 4, Setuju bernilai 3, Kurang Setuju bernilai 2, dan Tidak Setuju bernilai 1. Nilainilai tersebut akan terbalik jika dihadapkan dengan pernyataan negatif. Artinya Sangat Setuju bernilai 1, Setuju bernilai 2, Kurang Setuju bernilai 3 dan Tidak Setuju bernilai 4. Sehingga nilai maksimum yang diperoleh jumlah butir akan dikalikan 4 dan nilai minimum 5. Menelaah instrumen Telaah instrumen dilakukan oleh 3 orang ahli yakni masing-masing 1 orang ahli matematika, ahli evaluasi dan ahli bahasa. Hasil validasi ahli menunjukan bahwa rata-rata skor
Jurnal Pendidikan MIPA, Vol. 4. No. 1, Januari-Juni 2014
dari tiap aspek penilaian memperoleh skor 0.65 sampai dengan 1.00. Jadi instrumen yang dikembangkan dapat dikatakan valid dan dapat dilanjutkan pada tahap uji coba lapangan skala kecil. 6. Melakukan uji coba skala kecil Uji coba skala kecil dilakukan terhadap siswa kelas VIII B SMPN 1 Bolo yang berjumlah 10 orang. Hasil validitas butir dengan correlation product moment Pearson menunjukan bahwa dari 45 butir pernyataan diperoleh 20 butir pernyataan yang valid dan sisanya sebanyak 25 butir dinyatakan tidak valid. Perhitungan nilai r (korelasi) dikonsultasikan dengan tabel kritis r product moment dengan signifikansi 5%. Jika yang diperoleh nilai r hitung > r tabel, maka butir dikatakan valid dan sebaliknya. Diketahui bahwa nilai r tabel pada taraf signifikansi 5% serta n = 10 yaitu 0,632. Sehingga dapat dikatakan bahwa 20 butir yang valid memiliki nilai r hitung yang lebih besar dari 0.632. Sebaliknya untuk butir yang tidak valid memiliki nilai r hitung lebih kecil atau sama dengan 0.632. Butir-butir yang valid sebanyak 20 butir ialah butir nomor 1, 3, 7, 11, 13, 17, 19, 22, 25, 28, 30, 31, 35, 36, 38, 39, 40, 43, 44 dan 45. Sedangkan reliabilitas instrumen dianalisis dengan menggunakan rumus α Cronbach. Oleh karena jumlah butir yang valid sebanyak 20 butir dan berjumlah genap maka butir dibagi menjadi dua belahan. Selanjutnya butir dibelah dua antara nomor ganjil dan genap. Angka
ISSN: 2088-0294
reliabilitas instrumen adalah koofisien korelasi seluruh butir yang diperoleh dari angka koofisien antara dua belahan. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa angka reliabilitas sebesar 0.82. Jika diperhatikan angka tersebut telah memenuhi syarat minimal reliabilitas yang baik dan berkategori tinggi. Hal ini berarti instrumen penilaian sikap siswa terhadap pembelajaran matematika SMP yang berjumlah 20 butir dapat digunakan pada kondisi yang sebenarnya dalam mengukur sikap siswa. 7. Uji kepraktisan instrumen Hasil uji kepraktisan instrumen yang dilakukan terhadap 3 orang rater (penilai) masing-masing memberikan angka rater I sebesar 49, rater II sebesar 51 dan rater III sebesar 51. Setelah dianalisis dengan rumus T skor diperoleh angka 52,33 dan kriteria instrumen praktis. Langkah-langkah pembuatan instrumen ke dalam Google Form dan Blog Setelah instrumen telah melalui tahapan validasi, reliabel dan praktis. Selanjutnya instrumen tersebut dibawa ke dalam bentuk soft-file pada google form den ditempelkan ke blog pribadi. Adapun langkah-langkah pembuatannya adalah sebagai berikut: 1. Sebelum membuka google drive, terlebih dahulu pengguna harus memiliki alamat e-mail berupa @gmail.com. Jika telah memiliki, pengguna boleh langsung menggunakan layanan google drive dan google forms
Jurnal Pendidikan MIPA, Vol. 4. No. 1, Januari-Juni 2014
2. Langkah pertama, adalah membuka alamat google.drive. lalu akan muncul tampilan berikut. klik gambar yang telah ditandai.
3. Setelah di klik, akan muncul tampilan berikut. Lalu pilih New kemudian more lalu klik google forms.
4. Setelah di klik akan muncul tampilan yang sudah siap dimasukkan jenis instrument yang ingin dibuat. Pada gambar yang ditandai terdapat berbagai macam perintah yang dapat di klik. Masukkan sesuai tema yang ingin dibuat.
5. Question tittle: untuk menulis perintah apa yang harus diisi pertama
ISSN: 2088-0294
kali oleh responden (misalnya: Nama). Help text: untuk melengkapi question tittle. (Misalnya: Nama lengkap anda sesuai absen). Question type: untuk memilih jenis respon yang akan di isi, misalnya text. Required question di centang apabila pertanyaan itu wajib dijawab. Done di klik apabila telah selesai menulis instrumen. Add item adalah untuk menambah butir soal. Jika telah selesai, maka tampilan yang muncul adalah seperti berikut:
6. Selanjutnya, pada gambar diatas berikan tanda centang pada gambar yang ditandai, agar instrumen dapat dipublish ke blog. 7. Setelah mengklik add item, maka kita akan memulai menulis butir instrumen. dalam hal ini, instrument yang dibuat adalah pernyataan sikap siswa terhadap pembelajaran matematika dengan question typenya adalah multiple choice. Sehingga tampilannya seperti pada gambar berikut ini:
Jurnal Pendidikan MIPA, Vol. 4. No. 1, Januari-Juni 2014
8. Setelah selesai membuat instrumen sebanyak butir yang diinginkan, maka klik Done . lalu akan muncul tampilan berikut ini:
9. Setelah semuanya sudah selesai, maka klik send form untuk memposting instrumen pada blog. Jika hal itu sudah dilakukan maka tampilan selanjutnya adalah:
10. Klik embed , lalu akan muncul tampilan berikut ini:
ISSN: 2088-0294
11. Selanjutnya, tekan Control+ C pada keyboard tulisan yang ditandai di atas. 12. Setelah itu, buka blog sebagai tempat postingan untuk memasang instrumen yang telah kita buat. Tampilannya sebagai berikut:
13. Klik pada gambar yang ditandai di atas, lalu akan muncul tampilan selanjutnya berikut ini. Pada gambar dibawah ini, silahkan memasukan judul instrument yang dibuat, lalu klik HTML. Selanjutnya tekan CTRL + V pada gambar yang ditandai. Lalu klik simpan dan publikasikan.
Jurnal Pendidikan MIPA, Vol. 4. No. 1, Januari-Juni 2014
14. Maka akan muncul tampilan berikut ini:
15. Pada gambar di atas, akan terlihat instrument yang telah kita buat sesuai dengan judul yang kita tulis sebelumnya. Misalnya, seperti pada gambar yang ditandai di atas. Sorot instrument tersebut lalu klik lihat. Maka akan muncul tampilan pada blog berikut
ISSN: 2088-0294
lagi untuk mengisi, klik submit another response. Seperti berikut
17. Sebagai penilai, hasil jawaban responden dapat dilihat pada My drive yang telah dibuat sebelumnya. Seperti berikut ini:
18. Pada tampilan di atas, klik pada gambar yang ditandai, maka hasil jawaban responden akan ditampilkan dalam bentuk seperti ms.excel. seperti gambar berikut ini. Lalu penilai akan menganalisis respon tersebut untuk menentukan hasil dari penilaian. 16. Instrumen sudah bisa digunakan, atau di isi oleh responden. Setelah mengisinya selesai, responden diharapkan untuk mengklik submit agar jawabannya terekam ke dalam google drive yang sebelumnya telah dibuat. Sedangkan untuk memulai
Jurnal Pendidikan MIPA, Vol. 4. No. 1, Januari-Juni 2014
ISSN: 2088-0294
dengan hati terbuka akan menerima saran dan kritik yang membangun dari pembaca yang budiman guna penyempurnaan penulisan dan karyakarya ilmiah dimasa yang akan datang.
19. Hasil jawaban responden tetap tersimpan dengan baik, aman dan jelas pada drive yang telah kita buat. 20. Pada artikel ini, responden yang ingin mengisi kuesioner atau instrument dapat mengaksesnya secara online dengan membuka alamat http://arifhidayad.blogspot.co.id/ SIMPULAN DAN SARAN Instrumen penilaian sikap siswa terhadap pembelajaran matematika SMP pada K-13 berbasis IT berjumlah 20 butir dan telah memenuhi kriteria validitas, reliabilitas dan kepraktisan instrumen. Instrumen tersebut kemudian dikemas dalam bentuk soft-file pada google drive kemudian diposting pada blog pribadi penulis. Hasil instrumen yang telah dibuat dapat diakses secara online pada alamat http://arifhidayad.blogspot.co.id/. Oleh karena pengembangan instrument hanya dibatasi pada ujicoba skala kecil, maka diharapkan pada peneliti selanjutnya yang ingin mengembangkan penelitian sejenis untuk melanjutkannya sampai pada tahap ujicoba skala luas dengan jumlah responden yang lebih besar. selain itu, jika ditemukannya kekurangan dalam artikel ini, penulis
REFERENSI Akinsola, M. K., Olowojaiye, F. B., 2008. “Teacher Instructional Methods and Student Attitudes towards Mathematics”. Dalam International Electronic Journal Of Mathematics Education. Vol.3, Number 1. Arikunto, S. 2009. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta : Bumi Aksara Azwar, S. 2013. Sikap Manusia dan Pengukurannya. Yogyakarta : Pustaka Belajar. ______, S. 2014. Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta : Pustaka Belajar. Depdikbud, 1999. Garis-garis Besar Program Pengajaran. Depdikbud: Jakarta. http://sokratesfilsafatilmu.blogspot.co.id/2 011/01/sikapmatematika.html. di akses pada tanggal 22 November 2015. Karyana, I.,2013. Pengembangan Instrumen Penilaian Unjuk Kerja (Performance Assessment) Keterampilan Penerapan Metode Ilmiah dalam Penyusunan Skripsi Karya Seni Mahasiswa Program Studi Seni Rupa Murni Institut Seni Indonesia Denpasar, MUDRA ISSN, Vol 28, Nomor 2, pp. 216-229.
Jurnal Pendidikan MIPA, Vol. 4. No. 1, Januari-Juni 2014
Mardapi, D. 2008. Teknik Pentusunan Instrumen Tes dan Non tes. Yogyakarta: Mitra Cendekia Press Ponte, Joao Pedro, dkk. Students Views and Attitudes towards Mathematics Teaching and Learning : A Case Study of A Curriculum Experience. http://www.google.co.id/htt p://www.google.co.id/ #hl=id&source=hp&biw=14 40&bih=736&q=attitude+in +mathematics+teaching+an d+learning&aq=f&aqi=&aq l=&oq=&fp=1853621f5952 15f6. Diakses 28 September 2014. Relich, Joe, dkk. 1994. “Attitudes to Teaching Mathematics : Further Development of a Measurement Instrument. Journal of Mathematics Education. Vol. 6 : 235-250 Sax, G. 1989. Principles Of educational and Psychologycal Measurement and nd Evaluation, 2 Edition, Belmont : Wadsworth Publishing Company. Sugiyono, 2012. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung : Alfabeta. Sutarto dan Syarifudin. 2013. Desain Pembelajaran Matematika. Yogyakarta : Samudra Biru
ISSN: 2088-0294
SOLUSI UMUM SISTEM PERSAMAAN LINEAR DENGAN MENGGUNAKAN METODE ELIMINASI GAUSS DAN DEKOMPOSISI CROUT 1 Oleh : Rosmila 2 UIN ALAUDDIN MAKASSAR
[email protected] Abstrak Persamaan linear dalam beberapa variabel adalah persamaan dalam bentuk polinom yang variabelnya berderajat satu atau nol dan tidak terjadi perkalian antara variabelnya.Suatu sistem persamaan linear merupakan kumpulan beberapa persamaan linear. Suatu sistem persamaan linear dikatakan tak homogen jika memiliki konstanta (ruas kanan) bukan nol, yaitu jika mempunyai bentuk umum a1x1 + a2x2 + … + anxn = d. Suatu sistem persamaan linear disebut sistem persamaan linear tak homogen jika setiap persamaannya merupakan persamaan tak homogen. Metode yang digunakan untuk menyelesaikan sistem persamaan linear dalam penelitian ini adalah metode eliminasi Gauss dan dekomposisi Crout.Metode eliminasi Gauss merupakan metode penyelesaian sistem persamaan linear dengan memanipulasi persamaan-persamaan yang ada dengan menghilangkan salah satu variabel dari persamaan-persamaan tersebut sehingga pada akhirnya hanya tertinggal satu persamaan dengan satu variabel. Sedangkan metode dekomposisi Crout Merupakan suatu algoritma yang digunakan untuk memecah [A] menjadi [L] dan [U], sehingga dapat ditulis [L] [U] =[A]. Berdasarkan hasil analisis dari penelitian ini di peroleh bahwa, bentuk solusi umum sistem persamaan linear orde n x n dengan metode eliminasi Gauss dan dekomposisi Crout adalah seperti berikut: 1. Eliminasi Gauss: xj = 𝑏𝑗 − ∑𝑛𝑘=1 𝑎𝑗𝑗+𝑘 𝑥𝑗+𝑘 , untuk j,k= 1,2, …, n 2. Dekomposisi Crout:yn =
(𝑏𝑖 − ∑𝑛 𝑖=2 𝑙𝑖1 . 𝑥𝑖 )
untuk i = 2, 3,…,n. serta untuk nilai
𝑙𝑛𝑛
xi = 𝑦𝑛′ − ∑1𝑖=𝑛−1 𝑢𝑖𝑗 . 𝑥𝑗 , untuk i, j = n-1, n-2,…, 1. Kata Kunci: Persamaan linear, sistem persamaan linear, sistem persamaan linear tak homogen, eliminasi Gauss, dekomposisi Crout.
1
Diajukan dalam seminar hasil penelitian pada Jurusan Matematika Fakultas Sains dan Teknologi, merupakan bagian dari skripsi dengan judul yang sama. 2 Mahasiswa UIN Alauddin Makassar Jurusan Matematika Fakultas Sains dan Teknologi.
1
PENDAHULUAN Ilmu pengetahuan dan teknologi dari masa ke masa mangalami perkembangan yang semakin pesat, salah satunya adalah dalam matematika.Penggunaan matematika dalam kehidupan sangat berguna untuk meningkatkan pemahaman dan penalaran, serta untuk memecahkan suatu masalah dan menafsirkan solusi dari permasalahan yang ada.Saat ini beberapa masalah matematika yang dijumpai dalam aplikasi ilmiah maupun industri yang banyak melibatkan penyelesaian sistem persamaan linear hingga tahap tertentu, diantaranya masalah lalu lintas dan jaringan komunikasi.Dengan menggunakan metode-metode matematika modern, sering kali dapat mereduksi suatu masalah yang rumit menjadi suatu sistem persamaan linear. Penyelesaian persamaan linear untuk mencari nilai-nilai koefisien dari suatu fungsi linear yang sebelumnya biasanya diselesaikan dengan menggunakan eliminasi gauss, saat ini banyak metode-metode lain yang dapat memberikan solusi yang lebih baik lagi, diantaranya metode eliminasi Gauss Jordan yang merupakan pengembangan dari eliminasi gauss itu sendiri, Metode dekomposisi, Metode Jacobi, Metode Guss-Seidel dan masih banyak lagi metode lainnya untuk mendapatkan solusi dari suatu sistem persamaan linear. Dalam menyelesaikan sistem persamaan linear yang berukuran besar dapat diselesaikan dengan beberapa metode, diantaranya yaitu metode eliminasi Gauss dan dekomposisi Crout. Metode eliminasi Gauss termasuk metode yang efisien karena hanya membutuhkan proses triangularisasi dan subtitusi balik untuk mendapatkan solusi dari sistem persamaan linear tersebut. Metode lain yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode dekomposisi Crout, karena selain efisien dalam menyelesaikan sistem persamaan linear, waktu eksekusinya juga lebih pendek dibandingkan dengan metode
lain, seperti metode iterasi Jacobi dan iterasi Gauss-Seidel yang merupakan metode pendekatan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk sistem persamaan linear yang berukuran besar karena perlu dilakukan beberapa langkah iterasi untuk mendapatkan solusi sehingga untuk analisis itu cukup sulit untuk diselesaikan sehingga lebih memungkinkan diselesaikan dengan bantuan komputer. Penyelesaian sistem persamaan linear dengan n persamaan dan n variabel dapat menggunakan beberapa metode, antara lain Eliminasi Gauss, Metode Gauss-Jordan, metode Matriks Invers, Metode Cramer, Dekomposisi LU (Faktorisasi Segitiga atas-bawah) dan Dekomposisi Crout. Penggunaan metode eliminasi Gauss memberikan beberapa keuntungan dalam menyelesaikan sistem persamaan linear, diantaranya: menentukan apakah sistem tersebut konsisten atau mempunyai paling sedikit satu penyelesaian, menghilangkan kebutuhan untuk menulis ulang variabel pada setiap langkah dan cukup membentuknya menjadi segitiga atas kemudian dilakukan subtitusi balik sehingga nilai dari variabel-variabelnya mudah didapatkan. Akan tetapi, kekurangan dari metode eliminasi Gauss ini adalah memiliki masalah akurasi saat pembulatan desimal. Sedangkan dengan menggunakan metode dekomposisi Crout ruang penyimpanan bisa menjadi lebih ekonomis karena tidak perlu menjadikan nol baik pada L maupun U seperti proses eliminasi karena nol pada matriks L dan U telah didapatkan dengan proses dekomposisi, akan tetapi metode ini harus membagi matriks menjadi dua bagian dengan cara mendekomposisi matriks tersebut. 1.1 Tujuan Penulisan karya tulis ilmiah ini bertujuan untuk mengetahui solusi umum darisistem persamaan linear dengan menggunakan metode eliminasi Gauss dan dekomposisi Crout.
1.2 Batasan Masalah Dalam penulisan lebih lanjut. Penelitian ini akan dibatasi pada masalahsistem persamaan linear, diantaranya yaitu: 1. Sistem persamaan linear yang dibahas adalah sistem persamaan linear tak homogen. 2. Metode yang digunakan dalam menyelesaikan sistem persamaan linear yaitu metode eliminasi Gauss dan dekomposisi Crout. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengantar Matriks Matriks didefinisikan sebagai himpunan obyek (bilangan riil atau kompleks, variabel-variabel atau operatoroperator dan sebagainya) yang disusun secara persegi panjang (yang terdiri dari baris dan kolom) yang biasanya dibatasi dengan tanda kurung siku atau biasa. Banyaknya baris dan banyaknya kolom menentukan ukuran (ordo) sebuah matriks. (Kartono, Aljabar Linear, Vektor dan Eksplorasinya dengan Maple (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2005), h. 37.).Bentuk umum dari sebuah matriks sebagai berikut: 𝑥11 𝑥12 … 𝑥1𝑛 𝑥21 𝑥22 … 𝑥2𝑛 A=[ ⋮ ⋮ ⋮ ⋮ ] 𝑥𝑚1 𝑥𝑚2 … 𝑥𝑚𝑛 Susunan matriks di atas biasa disebut dengan matriks 𝑚 𝑥 𝑛 (dibaca m kali n) karena mempunyai m barisan dan n kolom.Bilangan-bilangan yang disusun tersebut sebagai entri, elemen, atau unsur.Sedangkan suatu ukuran matriks yang ditentukan oleh banyaknya baris dan kolom disebut ordo, misalnya matriks A berordo m x n. 2.2 Sistem Persamaan Linear 2.2.1 Pengertian Sistem Persamaan Linear Persamaan linear dalam beberapa variabel adalah persamaan dalam bentuk polinom yang variabelnya berderajat satu atau nol dan tidak terjadi perkalian antara variabelnya.Suatu sistem persamaan linear
merupakan kumpulan beberapa persamaan linear.Suatu persamaan linear dalam n peubah (variabel) adalah persamaan dengan bentuk: a1x1 + a2x2 + … + anxn = b dimanaa1 , a2, … , an dan b adalah bilangan-bilangan real dan x1, x2, … , xnadalah peubah. Dengan demikian maka suatu sistem linear dari m persamaan dalam n peubah adalah satu sistem berbentuk: a11x1 + a12x2 + … + a1nxn = b1 a21x1 + a22x2 + … + a2nxn = b2 ⋮ am1x1 + am2x2 + … + amnxn = bm dimanaaij dan bi semuanya adalah bilangan-bilangan real. Kita akan menyebut sistem-sistem diatas adalah sebagai sistem persamaan linear m x n. (Steven J. Leon, Aljabar Linear dan Aplikasinya, ed. Kelima, terj. (Jakarta: Erlangga, 2001), h.1.).
Bondan,
2.2.2 Sistem Persamaan Linear Tak Homogen Suatu persamaan linear dikatakan tak homogen jika memiliki konstanta (ruas kanan) bukan nol, yaitu jika mempunyai bentuk umum a1x1 + a2x2 + … + anxn = d. Suatu sistem persamaan linear disebut sistem persamaan linear tak homogen jika setiap persamaannya merupakan persamaan tak homogen. Jadi sistem persamaan linear tak homogen mempunyai bentuk umum sebagai berikut: a11x1 + a12x2 + … + a1nxn = d1 a21x1 + a22x2 + … + a2nxn = d2 ⋮ am1x1 + am2x2 + … + amnxn = dm Sistem ini mempunyai solusi jika r(A) = r = r(A,B). Dimana r(A) = rank baris (kolom) dari matriks A, r(A) adalah dimensi dari ruang baris (kolom) matriks A. dimensi ruang vektor baris (kolom) matriks A didefenisikan sebagai jumlah maksimum vektor-vektor baris (kolom) yang bebas linier. r(A,B) adalah dimensi ruang baris (kolom) matriks A dan matriks B. Sistem ini mempunyai solusi tunggal jika r = n. Dimana r adalah rank matriks, sedangkan n merupakan jumlah variabel
yang tidak diketahui. Sistem ini mempunyai solusi banyak jika r
dihentikan apabila matriks koefisien tersebut berbentuk matriks segitiga atas. Eliminasi Gauss diperkenalkan oleh Karl Friendrich Gauss (1777-1855) dilakukan dengan mengubah matriks yang diperbersar dari suatu sistem persamaan linear menjadi matriks eselon baris tereduksi.Bentuk akhir dari persamaan/matriks yaitu sebagai berikut: a11 x1 + a12 x2 + … + a1n xn = b1 a22 x2 + … + a2n xn = b2 ⋮ ann xn = bn aijdan bi, i, j, = 1, 2, n konstan yang diketahui. (Sangadji, Metode Numerik
(Lower) dan matriks Segitiga atas U (Upper).Pada metode ini menggunakan simbol matriks L dan U hanya untuk memudahkan dalam membedakan matriks hasil dekomposisi dan matriks yang sebenarnya (A).Agar matriks-matriks L dan U tunggal seharusnya elemen-elemen diagonalnya tidak boleh sembarang. Dekomposisi Crout Merupakan suatu algoritma yang digunakan untuk memecah [A] menjadi [L] dan [U], sehingga dapat ditulis [L] [U] =[A]. Ilustrasi metode Crout untuk dekomposisi LU, untuk ukuran matriks n x n dari persamaan [L] [U] = [A] : 𝑙11 0 0 0 1 𝑢12 … 𝑢1𝑛 𝑙21 𝑙22 0 0 0 1 … 𝑢2𝑛 [ ][ ] ⋮ ⋮ ⋱ ⋮ ⋮ ⋮ ⋱ ⋮ 𝑙𝑛1 𝑙𝑛2 … 𝑙𝑛𝑛 0 0 … 1 𝑎11 𝑎12 … 𝑎1𝑛 𝑎21 𝑎22 … 𝑎2𝑛 =[ ⋮ ⋮ ⋱ ⋮ ] 𝑎𝑛1 𝑎𝑛2 … 𝑎𝑛𝑛 Metode Crout diturunkan dengan menggunakan perkalian matriks untuk menghitung ruas kiri persamaan lalu menyamakan dengan ruas kanan. Dengan kata lain, barisan A dapat di transformasikan oleh persamaanpersamaan diatas dan menjadi: 𝑎11 𝑎12 … 𝑎1𝑛 𝑙11 𝑢12 … 𝑢1𝑛 𝑎21 𝑎22 … 𝑎2𝑛 𝑙21 𝑙22 … 𝑢2𝑛 [ ⋮ ] ⋮ ⋱ ⋮ ]→[ ⋮ ⋮ ⋱ ⋮ 𝑎𝑛1 𝑎𝑛2 … 𝑎𝑛𝑛 𝑙𝑛1 𝑙𝑛2 … 𝑙𝑛𝑛 dimanaelemen diagonal matriks U yang dihasilkan adalah 1 (uii = 1). Pemecahan susunan persamaan Ax = B bisa diperoleh dengan matriks L dan U. matriks L merupakan landasan operasi yang diperlukan untuk membuat matriks A masuk kedalam matriks segitiga atas U. METODE PENELITIAN
(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2008), h. 82.).
2.2.3.b Dekomposisi Crout Jika terdapat matriks A non singular (matriks yang tidak mempunyai determinan atau Det = 0) maka dapat difaktorkan/diuraikan/dikomposisikan menjadi matriks Segitiga Bawah L
Prosedur penelitian untuk memperoleh solusi umum dari sistem persamaan linear dengan menggunakan metode eliminasi Gauss dan dekomposisi Crout adalah sebagai berikut:
a. Membentuk beberapa alternatif sistem persamaan linear b. Menyelesaikan persamaan berdasarkan metode eliminasi Gauss dan dekomposisi Crout. 1. Penyelesaian dengan metode eliminasi Gauss adalah sebagai berikut: a) Membentuk persamaan ke dalam bentuk matriks b) Meletakkan kolom paling kiri (garis vertikal) yang seluruhnya tidak terdiri dari nol c) Mempertukarkan baris atas dengan baris lain jika elemen pertama pada kolom pertama itu bernilai nol d) Jika elemen tak nol pertama dari suatu baris (disebut elemen utama atau elemen pivot), maka dilakukan operasi baris elementer pada baris tersebut untuk memperoleh satu utama e) Menambahkan kelipatan yang sesuai dari baris atas pada baris-baris yang dibawah sehingga semua elemen di bawah satu utama bernilai nol f) Setelah berbentuk segitiga atas, maka dilakukan subtitusi balik untuk memperoleh penyelesaian dari sistem persamaan linear tersebut. 2. Penyelesaian dengan metode dekomposisi Crout adalah sebagai berikut: a) Membentuk persamaan ke dalam bentuk matriks b) Membentuk matriks menjadi matriks segitiga bawah (Lower) dan matriks segitiga atas (Upper) c) Menyelesaikan matriks L dari persamaan Ly = b, lalu menghitung y melalui proses subtitusi maju d) Menyelesaikan matriks U dari persamaan Ux = y’, lalu menghitung x melalui proses subtitusi balik (back-subtitution). e) Setelah matriks L dan U diselesaikan, maka akan diperoleh solusi dari sistem persamaan linear yaitu nilai dari variabel-variabel model persamaan tersebut.
c. Membentuk solusi dari masing-masing sistem persamaan linear yang diselesaikan dengan metode eliminasi Gauss dan dekomposisi Crout. d. Membentuk solusi umum dari sistem persamaan linear dengan menggunakan metode eliminasi Gauss dan dekomposisi Crout yang diperoleh berdasarkan beberapa persamaan yang diselesaikan apakah berlaku secara umum untuk suatu sistem persamaan linear. HASIL PENELITIAN Berdasarkan hasil penelitian, pada pengoperasian matriks ordo n x n, maka dapat diperoleh hasil berdasarkan uraian langkah pada prosedur penelitian tersebut di atas, yaitu untuk memperoleh bentuk solusi umum sistem persamaan linear dengan menggunakan metode eliminasi Gauss dan dekomposisi Crout, hasilnya adalah Sistem persamaan linear yang dianalisis adalah sistem persamaan linear ordo 6 x 6sampai dengan ordo n x n.Sistem persamaan linear tersebut diselesaikan dengan menggunakan metode eliminasi Gauss dan dekomposisi Crout, seperti berikut: Bentuk Ssistem persamaan linear ordo nxn a. Metode Eliminasi Gauss a11x1 + a12x2 + a13x3 + … + a1nxn = b1 a21x1 + a22x2 + a23x3 + … + a2nxn = b2 a31x1 + a32x2 + a33x3 + … + a3nxn = b3 a41x1 + a42x2 + a43x3 + … + a4nxn = b4 ⋮ an1x1 + an2x2 + an3x3 + … + annxn = bn penyelesaian: 𝑎11 𝑎21 𝑎31 𝑎41 ⋮ [𝑎𝑛1
𝑎12 𝑎22 𝑎32 𝑎42 ⋮ 𝑎𝑛2
𝑎13 𝑎23 𝑎33 𝑎43 ⋮ 𝑎𝑛3
… 𝑎1𝑛 … 𝑎2𝑛 … 𝑎3𝑛 … 𝑎4𝑛 x ⋱ ⋮ … 𝑎𝑛𝑛 ]
𝑥1 𝑏1 𝑥2 𝑏2 𝑥3 𝑏3 𝑥4 = 𝑏4 ⋮ ⋮ [𝑥𝑛 ] [𝑏𝑛 ]
berdasarkanproses operasi baris elementer maka diperoleh elemen-elemen matriks seperti berikut:
Baris pertama Untuk menghasilkan 1 utama, maka baris pertama dibagi dengan 𝑎11 , hasilnya adalah: 𝑎 m11 = 1 m13 = 𝑎13 … 11
𝑎
𝑎
B1 =
m1n = 𝑎1𝑛
11
𝑏1
pertama),Baris ketiga = baris ketiga – (𝑎31 x baris pertama),dan seterusnya sampai baris ke n.setelah mendapatkan 0 dibawah 1 utama baris pertama, selanjutnya menjadikan 1 utama pada baris kedua dengan operasi baris kedua dikalikan dengan
𝑎
m12 = 𝑎12 m14 = 𝑎14 11
Baris kedua = baris kedua – (𝑎21 x baris
11
𝑎11
Tujuan selanjutnya mengubah
𝑎11
𝑎22 . 𝑎11 − 𝑎21 . 𝑎12
entri-entri yang baru seperti berikut:
entri-entri dibawah 1 utama baris pertama menjadi 0, maka diberlakukan operasi seperti: Baris kedua 𝑎 . 𝑎 −𝑎 . 𝑎 m21 = 0 m23 = 𝑎23 . 𝑎11− 𝑎21 . 𝑎13 … 22
𝑎
. 𝑎
11
−𝑎
21
12
m34 =
𝑎2𝑛 . 𝑎11 − 𝑎21 . 𝑎1𝑛 𝑎22 . 𝑎11 − 𝑎21 . 𝑎12
. 𝑎
22
11
21
12
selanjutnya adalah mengubah entri-entri dibawah 1 utama baris kedua menjadi 0, maka diberlakukan operasi seperti: Baris ketiga sampai baris ke n dikurangkan dengan (baris kedua x baris ketiga sampai baris ke n), tujuan selanjutnya menjadikan Baris ketiga m31 = 0 m32 = 0 m33 = 1
𝑏2 . 𝑎11 − 𝑎21 . 𝑏1 22 . 𝑎11 − 𝑎21 . 𝑎12
B2 = 𝑎
m24 = 𝑎24 . 𝑎11− 𝑎21 . 𝑎14 m2n =
m22 = 1
, maka menghasilkan nilai
baris ketiga menjadi 1 utama, maka operasi yang berlaku adalah Baris ketiga x 1 , menghasilkan nilai 𝑏𝑎𝑟𝑖𝑠 𝑘𝑒𝑡𝑖𝑔𝑎 𝑘𝑜𝑙𝑜𝑚 𝑘𝑒𝑡𝑖𝑔𝑎 entri-entri yang baru seperti berikut:
𝑎34 . 𝑎11− 𝑎31 . 𝑎14 (𝑎32 . 𝑎11 − 𝑎31 . 𝑎12 )(𝑎24 . 𝑎11− 𝑎21 . 𝑎14 ) − 𝑎11 𝑎11 (𝑎22 .𝑎11− 𝑎21 .𝑎11) 𝑎33 . 𝑎11− 𝑎31 . 𝑎13 (𝑎32 . 𝑎11 − 𝑎31 . 𝑎12 )(𝑎23 . 𝑎11− 𝑎21 . 𝑎13 ) − 𝑎11 𝑎11 (𝑎22 .𝑎11− 𝑎21 .𝑎11)
… m3n =
B3 =
𝑎3𝑛 . 𝑎11− 𝑎31 . 𝑎1𝑛 (𝑎32 . 𝑎11 − 𝑎31 . 𝑎12)(𝑎2𝑛 . 𝑎11 − 𝑎21 . 𝑎1𝑛 ) − 𝑎11 𝑎11 (𝑎22 .𝑎11 − 𝑎21 .𝑎11 ) 𝑎33 . 𝑎11 − 𝑎31 . 𝑎13 (𝑎32 . 𝑎11 − 𝑎31 . 𝑎12)(𝑎23 . 𝑎11 − 𝑎21 . 𝑎13 ) − 𝑎11 𝑎11 (𝑎22 .𝑎11− 𝑎21 .𝑎11 )
𝑏3 . 𝑎11 − 𝑎31 . 𝑏1 (𝑎32 . 𝑎11 − 𝑎31 . 𝑎12 )(𝑏2 . 𝑎11 − 𝑎21 . 𝑏1) − 𝑎11 𝑎11 (𝑎22 .𝑎11 − 𝑎21 .𝑎11 ) 𝑎33 . 𝑎11 − 𝑎31 . 𝑎13 (𝑎32 . 𝑎11 − 𝑎31 . 𝑎12 )(𝑎23 . 𝑎11 − 𝑎21 . 𝑎13 ) − 𝑎11 𝑎11 (𝑎22 .𝑎11 − 𝑎21 .𝑎11 )
Untuk menjadikan 0 dibawah 1 utama akan diperoleh nilai entri-entri matriks entri-entri selanjutnya sampai ke n, yang baru, hasilnya seperti yang proses operasi baris elementer sama digambarkan berikut ini: dengan baris-baris sebelumnya, maka Baris keempat m41 = 0 m42 = 0 m43 = 0 m44 = 1 … )(𝑎2𝑛 . 𝑎11 − 𝑎21 . 𝑎1𝑛) (𝑎 . 𝑎 − 𝑎 . 𝑎12 )(𝑎23 . 𝑎11 − 𝑎21 . 𝑎13) 𝑎 . 𝑎 −𝑎 . 𝑎 m4n = (𝑎4𝑛 . 𝑎11𝑎− 𝑎41 . 𝑎1𝑛 − (𝑎42 . 𝑎11𝑎− 𝑎41(𝑎. 𝑎12 )-( 43 11𝑎 41 13 − 42 11𝑎 41 ) .𝑎 − 𝑎 .𝑎 ) (𝑎 .𝑎 − 𝑎 .𝑎 ) 11
x
11
22
11
21
11
𝑎3𝑛 . 𝑎11− 𝑎31 . 𝑎1𝑛 (𝑎32 . 𝑎11 − 𝑎31 . 𝑎12 )(𝑎2𝑛 . 𝑎11 − 𝑎21 . 𝑎1𝑛) − 𝑎11 𝑎11 (𝑎22 .𝑎11 − 𝑎21 .𝑎11 ) 𝑎33 . 𝑎11 − 𝑎31 . 𝑎13 (𝑎32 . 𝑎11 − 𝑎31 . 𝑎12 )(𝑎23 . 𝑎11− 𝑎21 . 𝑎13 ) − 𝑎11 𝑎11 (𝑎22 .𝑎11 − 𝑎21 .𝑎11 )
𝑎 . 𝑎 −𝑎 . 𝑎 -( 43 11𝑎 41 13 11
−
11
÷ ((
𝑎44 . 𝑎11 − 𝑎41 . 𝑎14 𝑎11
(𝑎42 . 𝑎11 − 𝑎41 . 𝑎12 )(𝑎23 . 𝑎11 − 𝑎21 . 𝑎13 ) ) 𝑎11 (𝑎22 .𝑎11 − 𝑎21 .𝑎11 )
x
11
−
22
11
21
11
(𝑎42 . 𝑎11 − 𝑎41 . 𝑎12 )(𝑎24 . 𝑎11 − 𝑎21 . 𝑎14 ) ) 𝑎11 (𝑎22 .𝑎11 − 𝑎21 .𝑎11 )
𝑎34 . 𝑎11 − 𝑎31 . 𝑎14 (𝑎32 . 𝑎11 − 𝑎31 . 𝑎12 )(𝑎24 . 𝑎11 − 𝑎21 . 𝑎14 ) − 𝑎11 𝑎11 (𝑎22 .𝑎11 − 𝑎21 .𝑎11 ) 𝑎33 . 𝑎11 − 𝑎31 . 𝑎13 (𝑎32 . 𝑎11 − 𝑎31 . 𝑎12 )(𝑎23 . 𝑎11 − 𝑎21 . 𝑎13 ) − 𝑎11 𝑎11 (𝑎22 .𝑎11 − 𝑎21 .𝑎11 )
)
B4 = (
𝑏4 . 𝑎11 − 𝑎41 . 𝑏1 𝑎11
−
(𝑎42 . 𝑎11− 𝑎41 . 𝑎12 )(𝑎26 . 𝑎11 − 𝑎21 . 𝑎16 ) )𝑎11 (𝑎22 .𝑎11 − 𝑎21 .𝑎11 )
𝑏3 . 𝑎11 − 𝑎31 . 𝑏1 (𝑎32 . 𝑎11 − 𝑎31 . 𝑎12 )(𝑏2 . 𝑎11 − 𝑎21 . 𝑏1 ) − 𝑎11 𝑎11 (𝑎22 .𝑎11 − 𝑎21 .𝑎11 ) 𝑎33 . 𝑎11 − 𝑎31 . 𝑎13 (𝑎32 . 𝑎11 − 𝑎31 . 𝑎12 )(𝑎23 . 𝑎11 − 𝑎21 . 𝑎13 ) − 𝑎11 𝑎11 (𝑎22 .𝑎11 − 𝑎21 .𝑎11 )
(
𝑎43 . 𝑎11− 𝑎41 . 𝑎13 𝑎11
−
𝑎11 (𝑎22 .𝑎11 − 𝑎21 .𝑎11 )
11
𝑎11
((
𝑎44 . 𝑎11 − 𝑎41 . 𝑎14 𝑎11
𝑎11 (𝑎22 .𝑎11 − 𝑎21 .𝑎11 )
−
(
𝑎𝑛3 . 𝑎11 − 𝑎𝑛1 . 𝑎13 𝑎11
(((
−
𝑎𝑛𝑛 . 𝑎11− 𝑎𝑛1 . 𝑎1𝑛 𝑎11
)) x ((
𝑎11 (𝑎22 .𝑎11 − 𝑎21 .𝑎11 )
𝑎11 (𝑎22 .𝑎11 − 𝑎21 .𝑎11 )
𝑎3𝑛 . 𝑎11− 𝑎31 . 𝑎1𝑛 (𝑎32 . 𝑎11 − 𝑎31 . 𝑎12 )(𝑎2𝑛 . 𝑎11 − 𝑎21 . 𝑎1𝑛) − 𝑎11 𝑎11 (𝑎22 .𝑎11 − 𝑎21 .𝑎11 ) 𝑎33 . 𝑎11 − 𝑎31 . 𝑎13 (𝑎32 . 𝑎11 − 𝑎31 . 𝑎12 )(𝑎23 . 𝑎11− 𝑎21 . 𝑎13 ) − 𝑎11 𝑎11 (𝑎22 .𝑎11 − 𝑎21 .𝑎11 )
(
𝑎43 . 𝑎11− 𝑎41 . 𝑎13 𝑎11
−
(𝑎42 . 𝑎11 − 𝑎41 . 𝑎12 )(𝑎23 . 𝑎11 − 𝑎21 . 𝑎13) 𝑎11 (𝑎22 .𝑎11 − 𝑎21 .𝑎11 )
𝑎3𝑛 . 𝑎11− 𝑎31 . 𝑎1𝑛 (𝑎32 . 𝑎11 − 𝑎31 . 𝑎12 )(𝑎2𝑛 . 𝑎11 − 𝑎21 . 𝑎1𝑛) − 𝑎11 𝑎11 (𝑎22 .𝑎11 − 𝑎21 .𝑎11 ) 𝑎33 . 𝑎11 − 𝑎31 . 𝑎13 (𝑎32 . 𝑎11 − 𝑎31 . 𝑎12 )(𝑎23 . 𝑎11− 𝑎21 . 𝑎13 ) − 𝑎11 𝑎11 (𝑎22 .𝑎11 − 𝑎21 .𝑎11 )
(
𝑎43 . 𝑎11− 𝑎41 . 𝑎13
(
𝑎𝑛4 . 𝑎11 − 𝑎𝑛1 . 𝑎14 𝑎11
𝑎11
− −
) −((
𝑎43 . 𝑎11 − 𝑎41 . 𝑎13
)x )-(
𝑎11 (𝑎22 .𝑎11 − 𝑎21 .𝑎11 )
−
)
(𝑎𝑛2 . 𝑎11 − 𝑎𝑛1 . 𝑎12)(𝑎23 . 𝑎11 − 𝑎21 . 𝑎13 ) ) 𝑎11 (𝑎22 .𝑎11 − 𝑎21 .𝑎11 )
÷
(𝑎42 . 𝑎11− 𝑎41 . 𝑎12 )(𝑎23 . 𝑎11 − 𝑎21 . 𝑎13 ) 𝑎11 (𝑎22 .𝑎11− 𝑎21 .𝑎11 )
(𝑎𝑛2 . 𝑎11 − 𝑎𝑛1 . 𝑎12)(𝑎24 . 𝑎11 − 𝑎21 . 𝑎14 ) 𝑎11 (𝑎22 .𝑎11− 𝑎21 .𝑎11 )
𝑎𝑛3 . 𝑎11− 𝑎𝑛1 . 𝑎13 𝑎11
𝑎4𝑛 . 𝑎11 − 𝑎41 . 𝑎1𝑛 𝑎11
−
−
)x
)-
)÷
(𝑎𝑛2 . 𝑎11 − 𝑎𝑛1 . 𝑎12 )(𝑎23 . 𝑎11 − 𝑎21 . 𝑎13 ) 𝑎11 (𝑎22 .𝑎11 − 𝑎21 .𝑎11 )
)x
(𝑎42 . 𝑎11 − 𝑎41 . 𝑎12)(𝑎2𝑛 . 𝑎11 − 𝑎21 . 𝑎1𝑛) )𝑎11 (𝑎22 .𝑎11 − 𝑎21 .𝑎11 )
)x (𝑎42 . 𝑎11 − 𝑎41 . 𝑎12 )(𝑎24 . 𝑎11 − 𝑎21 . 𝑎14 ) 𝑎11 (𝑎22 .𝑎11 − 𝑎21 .𝑎11 )
11
)x
)-
𝑎34 . 𝑎11 − 𝑎31 . 𝑎14 (𝑎32 . 𝑎11 − 𝑎31 . 𝑎12 )(𝑎24 . 𝑎11 − 𝑎21 . 𝑎14 ) − 𝑎11 𝑎11 (𝑎22 .𝑎11 − 𝑎21 .𝑎11 ) 𝑎33 . 𝑎11 − 𝑎31 . 𝑎13 (𝑎32 . 𝑎11 − 𝑎31 . 𝑎12 )(𝑎23 . 𝑎11 − 𝑎21 . 𝑎13 ) − 𝑎11 𝑎11 (𝑎22 .𝑎11 − 𝑎21 .𝑎11 )
−
)) x
(𝑎𝑛2 . 𝑎11 − 𝑎𝑛1 . 𝑎12 )(𝑎23 . 𝑎11− 𝑎21 . 𝑎13 ) ) 𝑎11 (𝑎22 .𝑎11 − 𝑎21 .𝑎11 )
)
Berdasarkan nilai pada entri matriks yang diuraikan di atas, maka diperoleh solusi umum untuk sistem persamaan linear seperti berikut:
)-
𝑎34 . 𝑎11 − 𝑎31 . 𝑎14 (𝑎32 . 𝑎11 − 𝑎31 . 𝑎12 )(𝑎24 . 𝑎11 − 𝑎21 . 𝑎14 ) − 𝑎11 𝑎11 (𝑎22 .𝑎11 − 𝑎21 .𝑎11 ) 𝑎33 . 𝑎11 − 𝑎31 . 𝑎13 (𝑎32 . 𝑎11 − 𝑎31 . 𝑎12 )(𝑎23 . 𝑎11 − 𝑎21 . 𝑎13 ) − 𝑎11 𝑎11 (𝑎22 .𝑎11 − 𝑎21 .𝑎11 )
(𝑎𝑛2 . 𝑎11 − 𝑎𝑛1 . 𝑎12 )(𝑎24 . 𝑎11− 𝑎21 . 𝑎14 ) 𝑎 . 𝑎 −𝑎 . 𝑎 )-( 𝑛3 11𝑎 𝑛1 13 𝑎11 (𝑎22 .𝑎11 − 𝑎21 .𝑎11 ) 11
𝑎34 . 𝑎11 − 𝑎31 . 𝑎14 (𝑎32 . 𝑎11 − 𝑎31 . 𝑎12 )(𝑎24 . 𝑎11 − 𝑎21 . 𝑎14 ) − 𝑎11 𝑎11 (𝑎22 .𝑎11 − 𝑎21 .𝑎11 ) 𝑎33 . 𝑎11 − 𝑎31 . 𝑎13 (𝑎32 . 𝑎11 − 𝑎31 . 𝑎12 )(𝑎23 . 𝑎11 − 𝑎21 . 𝑎13 ) − 𝑎11 𝑎11 (𝑎22 .𝑎11 − 𝑎21 .𝑎11 )
−
𝑎11
÷((𝑎44 . 𝑎11𝑎− 𝑎41 . 𝑎14 −
(𝑎42 . 𝑎11 − 𝑎41 . 𝑎12 )(𝑎23 . 𝑎11 − 𝑎21 . 𝑎13)
−
x
(𝑎42 . 𝑎11 − 𝑎41 . 𝑎12 )(𝑎26 . 𝑎11 − 𝑎21 . 𝑎16) )𝑎11 (𝑎22 .𝑎11 − 𝑎21 .𝑎11 )
−
𝑎11
(𝑎𝑛2 . 𝑎11 − 𝑎𝑛1 . 𝑎12 )(𝑛 . 𝑎11 − 𝑎21 . 𝑎1𝑛)
𝑎11 (𝑎22 .𝑎11 − 𝑎21 .𝑎11)
𝑎𝑛3 . 𝑎11 − 𝑎𝑛1 . 𝑎13 𝑎11
𝑎𝑛4 . 𝑎11 − 𝑎𝑛1 . 𝑎14
(𝑎𝑛2 . 𝑎11 − 𝑎𝑛1 . 𝑎12 )(𝑎23 . 𝑎11− 𝑎21 . 𝑎13 )
−
)-(
(𝑎42 . 𝑎11 − 𝑎41 . 𝑎12 )(𝑎24 . 𝑎11− 𝑎21 . 𝑎14 )
−
𝑏3 . 𝑎11 − 𝑎31 . 𝑏1 (𝑎32 . 𝑎11 − 𝑎31 . 𝑎12 )(𝑏2 . 𝑎11 − 𝑎21 . 𝑏1 ) − 𝑎11 𝑎11 (𝑎22 .𝑎11 − 𝑎21 .𝑎11 ) 𝑎33 . 𝑎11 − 𝑎31 . 𝑎13 (𝑎32 . 𝑎11 − 𝑎31 . 𝑎12 )(𝑎23 . 𝑎11 − 𝑎21 . 𝑎13 ) − 𝑎11 𝑎11 (𝑎22 .𝑎11 − 𝑎21 .𝑎11 )
)x
𝑎11 (𝑎22 .𝑎11 − 𝑎21 .𝑎11 )
𝑎34 . 𝑎11 − 𝑎31 . 𝑎14 (𝑎32 . 𝑎11 − 𝑎31 . 𝑎12 )(𝑎24 . 𝑎11 − 𝑎21 . 𝑎14 ) − 𝑎11 𝑎11 (𝑎22 .𝑎11 − 𝑎21 .𝑎11 ) 𝑎33 . 𝑎11 − 𝑎31 . 𝑎13 (𝑎32 . 𝑎11 − 𝑎31 . 𝑎12 )(𝑎23 . 𝑎11 − 𝑎21 . 𝑎13 ) − 𝑎11 𝑎11 (𝑎22 .𝑎11 − 𝑎21 .𝑎11 )
-(
𝑏4 . 𝑎11− 𝑎41 . 𝑏1 𝑎11
(𝑎42 . 𝑎11 − 𝑎41 . 𝑎12 )(𝑎24 . 𝑎11 − 𝑎21 . 𝑎14 )
(𝑎42 . 𝑎11− 𝑎41 . 𝑎12 )(𝑎23 . 𝑎11 − 𝑎21 . 𝑎13 ) ) 𝑎11 (𝑎22 .𝑎11 − 𝑎21 .𝑎11 )
−
𝑎34 . 𝑎11 − 𝑎31 . 𝑎14 (𝑎32 . 𝑎11 − 𝑎31 . 𝑎12 )(𝑎24 . 𝑎11 − 𝑎21 . 𝑎14 ) − 𝑎11 𝑎11 (𝑎22 .𝑎11 − 𝑎21 .𝑎11 ) 𝑎33 . 𝑎11 − 𝑎31 . 𝑎13 (𝑎32 . 𝑎11 − 𝑎31 . 𝑎12 )(𝑎23 . 𝑎11 − 𝑎21 . 𝑎13 ) − 𝑎11 𝑎11 (𝑎22 .𝑎11 − 𝑎21 .𝑎11 )
)x
) – (((
(𝑎42 . 𝑎11 − 𝑎41 . 𝑎12 )(𝑎23 . 𝑎11 − 𝑎21 . 𝑎13)
−
𝑎11
(𝑎𝑛2 . 𝑎11 − 𝑎𝑛1 . 𝑎12 )(𝑏2 . 𝑎11 − 𝑎21 . 𝑏1 ) ) 𝑎11 (𝑎22 .𝑎11 − 𝑎21 .𝑎11 )
𝑏3 . 𝑎11 − 𝑎31 . 𝑏1 (𝑎32 . 𝑎11 − 𝑎31 . 𝑎12 )(𝑏2 . 𝑎11 − 𝑎21 . 𝑏1 ) − 𝑎11 𝑎11 (𝑎22 .𝑎11 − 𝑎21 .𝑎11 ) 𝑎33 . 𝑎11 − 𝑎31 . 𝑎13 (𝑎32 . 𝑎11 − 𝑎31 . 𝑎12 )(𝑎23 . 𝑎11 − 𝑎21 . 𝑎13 ) − 𝑎11 𝑎11 (𝑎22 .𝑎11 − 𝑎21 .𝑎11 )
𝑎43 . 𝑎11− 𝑎41 . 𝑎13
𝑎43 . 𝑎11 − 𝑎41 . 𝑎13 𝑎11
𝑎44 . 𝑎11 − 𝑎41 . 𝑎14
(𝑎42 . 𝑎11 − 𝑎41 . 𝑎12 )(𝑎23 . 𝑎11 − 𝑎21 . 𝑎13)
⋮ Baris ke n mn1 = 0 mn2 = 0 mn3 = 0 mn4 = 0 … mnn = 1 Bn = ((𝑏𝑛 . 𝑎11𝑎− 𝑎𝑛1 . 𝑏1 −
(
÷ ((
(
x
x
𝑥𝑛 = ((𝑏𝑛 . 𝑎11𝑎− 𝑎𝑛1 . 𝑏1 − 11
(𝑎𝑛2 . 𝑎11 − 𝑎𝑛1 . 𝑎12 )(𝑏2 . 𝑎11 − 𝑎21 . 𝑏1 ) ) 𝑎11 (𝑎22 .𝑎11 − 𝑎21 .𝑎11 )
𝑏3 . 𝑎11 − 𝑎31 . 𝑏1 (𝑎32 . 𝑎11 − 𝑎31 . 𝑎12 )(𝑏2 . 𝑎11 − 𝑎21 . 𝑏1 ) − 𝑎11 𝑎11 (𝑎22 .𝑎11 − 𝑎21 .𝑎11 ) 𝑎33 . 𝑎11 − 𝑎31 . 𝑎13 (𝑎32 . 𝑎11 − 𝑎31 . 𝑎12 )(𝑎23 . 𝑎11 − 𝑎21 . 𝑎13 ) − 𝑎11 𝑎11 (𝑎22 .𝑎11 − 𝑎21 .𝑎11 )
𝑎 . 𝑎 −𝑎 . 𝑎 ( 43 11𝑎 41 13 11
((
−
𝑎11
𝑎11 (𝑎22 .𝑎11 − 𝑎21 .𝑎11 )
𝑎𝑛3 . 𝑎11 − 𝑎𝑛1 . 𝑎13
(((
𝑎𝑛𝑛 . 𝑎11− 𝑎𝑛1 . 𝑎1𝑛 𝑎11
𝑎 . 𝑎 −𝑎 . 𝑎 ( 43 11𝑎 41 13 11
((
−
𝑎44 . 𝑎11 − 𝑎41 . 𝑎14
−
𝑎11
𝑎𝑛3 . 𝑎11 − 𝑎𝑛1 . 𝑎13
−
𝑎11
) −((
(𝑎42 . 𝑎11 − 𝑎41 . 𝑎12 )(𝑎23 . 𝑎11 − 𝑎21 . 𝑎13) ) 𝑎11 (𝑎22 .𝑎11 − 𝑎21 .𝑎11 ) (𝑎42 . 𝑎11 − 𝑎41 . 𝑎12 )(𝑎24 . 𝑎11 − 𝑎21 . 𝑎14 ) 𝑎11 (𝑎22 .𝑎11 − 𝑎21 .𝑎11 )
𝑎34 . 𝑎11 − 𝑎31 . 𝑎14 (𝑎32 . 𝑎11 − 𝑎31 . 𝑎12 )(𝑎24 . 𝑎11 − 𝑎21 . 𝑎14 ) − 𝑎11 𝑎11 (𝑎22 .𝑎11 − 𝑎21 .𝑎11 ) 𝑎33 . 𝑎11 − 𝑎31 . 𝑎13 (𝑎32 . 𝑎11 − 𝑎31 . 𝑎12 )(𝑎23 . 𝑎11 − 𝑎21 . 𝑎13 ) − 𝑎11 𝑎11 (𝑎22 .𝑎11 − 𝑎21 .𝑎11 )
(
)x
𝑎43 . 𝑎11 − 𝑎41 . 𝑎13
)) x (
)-(
(𝑎𝑛2 . 𝑎11 − 𝑎𝑛1 . 𝑎12 )(𝑎24 . 𝑎11 − 𝑎21 . 𝑎14 )
−
𝑎11 (𝑎22 .𝑎11 − 𝑎21 .𝑎11 )
𝑎11 (𝑎22 .𝑎11 − 𝑎21 .𝑎11 )
−
)÷
(𝑎𝑛2 . 𝑎11 − 𝑎𝑛1 . 𝑎12 )(𝑎23 . 𝑎11 − 𝑎21 . 𝑎13 ) ) 𝑎11 (𝑎22 .𝑎11 − 𝑎21 .𝑎11 )
𝑎11 (𝑎22 .𝑎11 − 𝑎21 .𝑎11 )
𝑎3𝑛 . 𝑎11 − 𝑎31 . 𝑎1𝑛 (𝑎32 . 𝑎11 − 𝑎31 . 𝑎12 )(𝑎2𝑛 . 𝑎11 − 𝑎21 . 𝑎1𝑛) − 𝑎11 𝑎11 (𝑎22 .𝑎11 − 𝑎21 .𝑎11 ) 𝑎33 . 𝑎11 − 𝑎31 . 𝑎13 (𝑎32 . 𝑎11 − 𝑎31 . 𝑎12 )(𝑎23 . 𝑎11 − 𝑎21 . 𝑎13 ) − 𝑎11 𝑎11 (𝑎22 .𝑎11 − 𝑎21 .𝑎11 )
𝑎43 . 𝑎11 − 𝑎41 . 𝑎13 𝑎11
−
−
)x
)-
(𝑎42 . 𝑎11 − 𝑎41 . 𝑎12)(𝑎2𝑛 . 𝑎11 − 𝑎21 . 𝑎1𝑛)
−
𝑎11
𝑎11
)x
𝑎11 (𝑎22 .𝑎11− 𝑎21 .𝑎11 )
𝑎34 . 𝑎11 − 𝑎31 . 𝑎14 (𝑎32 . 𝑎11 − 𝑎31 . 𝑎12 )(𝑎24 . 𝑎11 − 𝑎21 . 𝑎14 ) − 𝑎11 𝑎11 (𝑎22 .𝑎11 − 𝑎21 .𝑎11 ) 𝑎33 . 𝑎11 − 𝑎31 . 𝑎13 (𝑎32 . 𝑎11 − 𝑎31 . 𝑎12 )(𝑎23 . 𝑎11 − 𝑎21 . 𝑎13 ) − 𝑎11 𝑎11 (𝑎22 .𝑎11 − 𝑎21 .𝑎11 )
𝑎𝑛4 . 𝑎11 − 𝑎𝑛1 . 𝑎14
(𝑎𝑛2 . 𝑎11 − 𝑎𝑛1 . 𝑎12 )(𝑎23 . 𝑎11− 𝑎21 . 𝑎13 )
÷
(𝑎42 . 𝑎11− 𝑎41 . 𝑎12 )(𝑎23 . 𝑎11 − 𝑎21 . 𝑎13 )
−
𝑎11
𝑎4𝑛 . 𝑎11 − 𝑎41 . 𝑎1𝑛
x
x
(𝑎42 . 𝑎11 − 𝑎41 . 𝑎12 )(𝑎26 . 𝑎11 − 𝑎21 . 𝑎16) )𝑎11 (𝑎22 .𝑎11 − 𝑎21 .𝑎11 )
(𝑎𝑛2 . 𝑎11 − 𝑎𝑛1 . 𝑎12 )(𝑛 . 𝑎11 − 𝑎21 . 𝑎1𝑛) 𝑎 . 𝑎 −𝑎 . 𝑎 )-( 𝑛3 11𝑎 𝑛1 13 𝑎11 (𝑎22 .𝑎11 − 𝑎21 .𝑎11 ) 11
𝑎3𝑛 . 𝑎11− 𝑎31 . 𝑎1𝑛 (𝑎32 . 𝑎11 − 𝑎31 . 𝑎12 )(𝑎2𝑛 . 𝑎11 − 𝑎21 . 𝑎1𝑛) − 𝑎11 𝑎11 (𝑎22 .𝑎11 − 𝑎21 .𝑎11 ) 𝑎33 . 𝑎11 − 𝑎31 . 𝑎13 (𝑎32 . 𝑎11 − 𝑎31 . 𝑎12 )(𝑎23 . 𝑎11− 𝑎21 . 𝑎13 ) − 𝑎11 𝑎11 (𝑎22 .𝑎11 − 𝑎21 .𝑎11 )
x
)-(
(𝑎𝑛2 . 𝑎11 − 𝑎𝑛1 . 𝑎12)(𝑎23 . 𝑎11 − 𝑎21 . 𝑎13 ) ) 𝑎11 (𝑎22 .𝑎11 − 𝑎21 .𝑎11 )
−
𝑏3 . 𝑎11 − 𝑎31 . 𝑏1 (𝑎32 . 𝑎11 − 𝑎31 . 𝑎12 )(𝑏2 . 𝑎11 − 𝑎21 . 𝑏1 ) − 𝑎11 𝑎11 (𝑎22 .𝑎11 − 𝑎21 .𝑎11 ) 𝑎33 . 𝑎11 − 𝑎31 . 𝑎13 (𝑎32 . 𝑎11 − 𝑎31 . 𝑎12 )(𝑎23 . 𝑎11 − 𝑎21 . 𝑎13 ) − 𝑎11 𝑎11 (𝑎22 .𝑎11 − 𝑎21 .𝑎11 )
𝑎11
𝑎11 (𝑎22 .𝑎11 − 𝑎21 .𝑎11 )
−
x
−
𝑎𝑛4 . 𝑎11− 𝑎𝑛1 . 𝑎14
(𝑎𝑛2 . 𝑎11 − 𝑎𝑛1 . 𝑎12 )(𝑎23 . 𝑎11− 𝑎21 . 𝑎13 )
−
𝑎11
)) x((
𝑎𝑛3 . 𝑎11 − 𝑎𝑛1 . 𝑎13 𝑎11
𝑏4 . 𝑎11− 𝑎41 . 𝑏1 𝑎11
(𝑎42 . 𝑎11 − 𝑎41 . 𝑎12 )(𝑎24 . 𝑎11 − 𝑎21 . 𝑎14 )
𝑎34 . 𝑎11 − 𝑎31 . 𝑎14 (𝑎32 . 𝑎11 − 𝑎31 . 𝑎12 )(𝑎24 . 𝑎11 − 𝑎21 . 𝑎14 ) − 𝑎11 𝑎11 (𝑎22 .𝑎11 − 𝑎21 .𝑎11 ) 𝑎33 . 𝑎11 − 𝑎31 . 𝑎13 (𝑎32 . 𝑎11 − 𝑎31 . 𝑎12 )(𝑎23 . 𝑎11 − 𝑎21 . 𝑎13 ) − 𝑎11 𝑎11 (𝑎22 .𝑎11 − 𝑎21 .𝑎11 )
(
) – (((
(𝑎42 . 𝑎11 − 𝑎41 . 𝑎12 )(𝑎23 . 𝑎11 − 𝑎21 . 𝑎13) ) 𝑎11 (𝑎22 .𝑎11 − 𝑎21 .𝑎11 )
−
𝑎44 . 𝑎11 − 𝑎41 . 𝑎14
-(
)-
÷
(𝑎42 . 𝑎11− 𝑎41 . 𝑎12 )(𝑎23 . 𝑎11 − 𝑎21 . 𝑎13 ) 𝑎11 (𝑎22 .𝑎11− 𝑎21 .𝑎11 )
)x
(𝑎𝑛2 . 𝑎11 − 𝑎𝑛1 . 𝑎12 )(𝑎24 . 𝑎11 − 𝑎21 . 𝑎14 )
)-
𝑎11 (𝑎22 .𝑎11 − 𝑎21 .𝑎11 )
𝑎34 . 𝑎11 − 𝑎31 . 𝑎14 (𝑎32 . 𝑎11 − 𝑎31 . 𝑎12 )(𝑎24 . 𝑎11 − 𝑎21 . 𝑎14 ) − 𝑎11 𝑎11 (𝑎22 .𝑎11 − 𝑎21 .𝑎11 ) 𝑎33 . 𝑎11 − 𝑎31 . 𝑎13 (𝑎32 . 𝑎11 − 𝑎31 . 𝑎12 )(𝑎23 . 𝑎11 − 𝑎21 . 𝑎13 ) − 𝑎11 𝑎11 (𝑎22 .𝑎11 − 𝑎21 .𝑎11 )
)
⋮ 𝑥4 = (𝑏4 . 𝑎11𝑎− 𝑎41 . 𝑏1 −
(𝑎42 . 𝑎11 − 𝑎41 . 𝑎12 )(𝑎26 . 𝑎11− 𝑎21 . 𝑎16 ) 𝑎11 (𝑎22 .𝑎11 − 𝑎21 .𝑎11 )
11
𝑏3 . 𝑎11 − 𝑎31 . 𝑏1 (𝑎32 . 𝑎11 − 𝑎31 . 𝑎12 )(𝑏2 . 𝑎11 − 𝑎21 . 𝑏1 ) − 𝑎11 𝑎11 (𝑎22 .𝑎11 − 𝑎21 .𝑎11 ) 𝑎33 . 𝑎11 − 𝑎31 . 𝑎13 (𝑎32 . 𝑎11 − 𝑎31 . 𝑎12 )(𝑎23 . 𝑎11 − 𝑎21 . 𝑎13 ) − 𝑎11 𝑎11 (𝑎22 .𝑎11 − 𝑎21 .𝑎11 )
(
𝑎43 . 𝑎11− 𝑎41 . 𝑎13
(
𝑎4𝑛 . 𝑎11 − 𝑎41 . 𝑎1𝑛 𝑎11
𝑎11
− −
÷ ((
𝑎43 . 𝑎11− 𝑎41 . 𝑎13
. 𝑥𝑛
𝑎11
−
𝑎43 . 𝑎11 − 𝑎41 . 𝑎13 𝑎11
𝑎44 . 𝑎11 − 𝑎41 . 𝑎14 𝑎11
(𝑎42 . 𝑎11 − 𝑎41 . 𝑎12 )(𝑎23 . 𝑎11 − 𝑎21 . 𝑎13) 𝑎11 (𝑎22 .𝑎11 − 𝑎21 .𝑎11 )
)x
−
−
÷ ((
𝑎11 (𝑎22 .𝑎11 − 𝑎21 .𝑎11 )
𝑎11
)x
𝑎11 (𝑎22 .𝑎11 − 𝑎21 .𝑎11)
𝑎11 (𝑎22 .𝑎11 − 𝑎21 .𝑎11)
−
−
)x
)-
𝑎34 . 𝑎11 − 𝑎31 . 𝑎14 (𝑎32 . 𝑎11 − 𝑎31 . 𝑎12 )(𝑎24 . 𝑎11 − 𝑎21 . 𝑎14 ) − 𝑎11 𝑎11 (𝑎22 .𝑎11 − 𝑎21 .𝑎11 ) 𝑎33 . 𝑎11 − 𝑎31 . 𝑎13 (𝑎32 . 𝑎11 − 𝑎31 . 𝑎12 )(𝑎23 . 𝑎11 − 𝑎21 . 𝑎13 ) − 𝑎11 𝑎11 (𝑎22 .𝑎11 − 𝑎21 .𝑎11 )
𝑎44 . 𝑎11 − 𝑎41 . 𝑎14
(𝑎42 . 𝑎11 − 𝑎41 . 𝑎12 )(𝑎23 . 𝑎11 − 𝑎21 . 𝑎13)
(𝑎42 . 𝑎11 − 𝑎41 . 𝑎12 )(𝑎23 . 𝑎11 − 𝑎21 . 𝑎13 )
(𝑎42 . 𝑎11 − 𝑎41 . 𝑎12 )(𝑎24 . 𝑎11− 𝑎21 . 𝑎14 )
(𝑎42 . 𝑎11 − 𝑎41 . 𝑎12)(𝑎2𝑛 . 𝑎11 − 𝑎21 . 𝑎1𝑛) 𝑎 . 𝑎 −𝑎 . 𝑎 )-( 43 11𝑎 41 13 𝑎11 (𝑎22 .𝑎11 − 𝑎21 .𝑎11 ) 11
𝑎3𝑛 . 𝑎11− 𝑎31 . 𝑎1𝑛 (𝑎32 . 𝑎11 − 𝑎31 . 𝑎12 )(𝑎2𝑛 . 𝑎11 − 𝑎21 . 𝑎1𝑛) − 𝑎11 𝑎11 (𝑎22 .𝑎11 − 𝑎21 .𝑎11 ) 𝑎33 . 𝑎11 − 𝑎31 . 𝑎13 (𝑎32 . 𝑎11 − 𝑎31 . 𝑎12 )(𝑎23 . 𝑎11− 𝑎21 . 𝑎13 ) − 𝑎11 𝑎11 (𝑎22 .𝑎11 − 𝑎21 .𝑎11 )
(
)- (
) −⋯−
(𝑎42 . 𝑎11 − 𝑎41 . 𝑎12 )(𝑎23 . 𝑎11 − 𝑎21 . 𝑎13 ) ) 𝑎11 (𝑎22 .𝑎11 − 𝑎21 .𝑎11 )
(𝑎42 . 𝑎11 − 𝑎41 . 𝑎12 )(𝑎24 . 𝑎11 − 𝑎21 . 𝑎14 ) 𝑎11 (𝑎22 .𝑎11 − 𝑎21 .𝑎11 )
x
)-
𝑎34 . 𝑎11 − 𝑎31 . 𝑎14 (𝑎32 . 𝑎11 − 𝑎31 . 𝑎12)(𝑎24 . 𝑎11 − 𝑎21 . 𝑎14 ) − 𝑎11 𝑎11 (𝑎22 .𝑎11 − 𝑎21 .𝑎11 ) 𝑎33 . 𝑎11 − 𝑎31 . 𝑎13 (𝑎32 . 𝑎11 − 𝑎31 . 𝑎12)(𝑎23 . 𝑎11 − 𝑎21 . 𝑎13 ) − 𝑎11 𝑎11 (𝑎22 .𝑎11 − 𝑎21 .𝑎11 )
)
x3 =
𝑏3 . 𝑎11 − 𝑎31 . 𝑏1 (𝑎32 . 𝑎11 − 𝑎31 . 𝑎12 )(𝑏2 . 𝑎11 − 𝑎21 . 𝑏1 ) − 𝑎11 𝑎11 (𝑎22 .𝑎11 − 𝑎21 .𝑎11 ) 𝑎33 . 𝑎11 − 𝑎31 . 𝑎13 (𝑎32 . 𝑎11 − 𝑎31 . 𝑎12 )(𝑎23 . 𝑎11 − 𝑎21 . 𝑎13 ) − 𝑎11 𝑎11 (𝑎22 .𝑎11 − 𝑎21 .𝑎11 )
𝑎34 . 𝑎11 − 𝑎31 . 𝑎14 (𝑎32 . 𝑎11 − 𝑎31 . 𝑎12 )(𝑎24 . 𝑎11 − 𝑎21 . 𝑎14 ) − 𝑎 𝑎11 (𝑎22 .𝑎11 − 𝑎21 .𝑎11 ) (𝑎 . 𝑎 − 𝑎 . 𝑎 )(𝑎 . 𝑎 − 𝑎 . 𝑎 ) − 32 11 31 12 23 11 21 13 𝑎11 𝑎11 (𝑎22 .𝑎11 − 𝑎21 .𝑎11 )
− 𝑎33 . 𝑎11−11𝑎31 . 𝑎13
𝑎36 . 𝑎11 − 𝑎31 . 𝑎16 (𝑎32 . 𝑎11 − 𝑎31 . 𝑎12 )(𝑎26 . 𝑎11 − 𝑎21 . 𝑎16 ) − 𝑎 𝑎11 (𝑎22 .𝑎11 − 𝑎21 .𝑎11 ) (𝑎 . 𝑎 − 𝑎 . 𝑎 )(𝑎 . 𝑎 − 𝑎 . 𝑎 ) − 32 11 31 12 23 11 21 13 𝑎11 𝑎11 (𝑎22 .𝑎11 − 𝑎21 .𝑎11 )
x4− ⋯ − 𝑎33 . 𝑎11−11𝑎31 . 𝑎13
𝑥2 +
𝑎23 . 𝑎11 − 𝑎21 . 𝑎13 𝑎22 . 𝑎11 − 𝑎21 . 𝑎12 𝑏2 . 𝑎11 − 𝑎21 . 𝑏1 𝑎22 . 𝑎11 − 𝑎21 . 𝑎12 𝑏2 . 𝑎11− 𝑎21 . 𝑏1
𝑥2 =(𝑎
22
. 𝑎11− 𝑎21 . 𝑎12
𝑥𝑛 )
𝑎 𝑥1 + 12 .𝑥2 + 𝑎11 𝑏 𝑥1 = ( 1 − 𝑎11
–
.𝑥3 +
𝑎24 . 𝑎11 − 𝑎21 . 𝑎14 𝑎22 . 𝑎11 − 𝑎21 . 𝑎12
𝑎23 . 𝑎11 − 𝑎21 . 𝑎13 𝑎22 . 𝑎11 − 𝑎21 . 𝑎12
.𝑥3 -
𝑎13 𝑎 𝑎 𝑏 .𝑥 + 14 . 𝑥4 +… + 16. 𝑥𝑛 = 1 𝑎11 3 𝑎11 𝑎11 𝑎11 𝑎12 𝑎 𝑎 . 𝑥 − 13 . 𝑥3 − 14 . 𝑥4 − ⋯ 𝑎11 2 𝑎11 𝑎11
−
b. Dekomposisi Crout 𝑙11 0 0 0 … 0 1 𝑢12 𝑙21 𝑙22 0 0 … 0 0 1 𝑙31 𝑙32 𝑙33 0 … 0 0 0 x 𝑙41 𝑙42 𝑙43 𝑙44 … 0 0 0 ⋮ ⋮ ⋮ ⋮ ⋱ ⋮ ⋮ ⋮ [ [𝑙𝑛1 𝑙𝑛2 𝑙𝑛3 𝑙𝑛4 … 𝑙𝑛𝑛 ] 0 0 𝑎11 𝑎12 𝑎13 𝑎14 … 𝑎1𝑛 𝑎21 𝑎22 𝑎23 𝑎24 … 𝑎2𝑛 𝑎31 𝑎32 𝑎33 𝑎34 … 𝑎3𝑛 𝑎41 𝑎42 𝑎43 𝑎44 … 𝑎4𝑛 ⋮ ⋮ ⋮ ⋮ ⋱ ⋮ [𝑎𝑛1 𝑎𝑛2 𝑎𝑛3 𝑎𝑛4 … 𝑎𝑛𝑛 ]
. xn
. 𝑥4 + … +
𝑎24 . 𝑎11 − 𝑎21 . 𝑎14 𝑎22 . 𝑎11 − 𝑎21 . 𝑎12
𝑎16 . 𝑎11
𝑢13 𝑢23 1 0 ⋮ 0
.
𝑎26 . 𝑎11 − 𝑎21 . 𝑎16 𝑎22 . 𝑎11 − 𝑎21 . 𝑎12
. 𝑥4 - … -
𝑥𝑛 )
𝑢14 𝑢24 𝑢34 1 ⋮ 0
… 𝑢1𝑛 … 𝑢2𝑛 … 𝑢3𝑛 = … 𝑢4𝑛 ⋱ ⋮ … 1 ]
. 𝑥6
=
𝑎26 . 𝑎11 − 𝑎21 . 𝑎16 𝑎22 . 𝑎11 − 𝑎21 . 𝑎12
.
1. Kolom pertama L l11 = a11 , l21 = a21 l31 = a31, l41= a41 ⋮ ln1= an1 2. Baris pertama U l11 .𝑢12 = a12, … 𝑎12 𝑢12 = 𝑙 , l11 .𝑢1𝑛 = a1n 11
l11 .𝑢13 = a13, 𝑢13 =
𝑎13 𝑙11
𝑢1𝑛 =
𝑎1𝑛 𝑙11
,
l11 .𝑢14 = a14 𝑢14 =
𝑎14 𝑙11
3. Kolom kedua L l21 . u12 + l22 . 1 = a22 l22 = a22– l21 . u12 l31. u12 + l32. 1 = a32 l32 = a32– l31 . u12 l41. u12 + l42. 1 = a42 l42 = a42– l41 . u12 ⋮ ln1 . u12+ ln2= an2 ln2 = an2– ln1 . u12 4. Baris kedua U l21 . u13 + l22 . u23 = a23 u23 =
𝑎23 − 𝑙21 𝑢13 𝑙22
l21 . u14 + l22 . u24 = a24 u24 =
𝑎24 − 𝑙21 𝑢14 𝑙22
… l21. u1n + l22 . u2n = a2n u2n =
𝑎2𝑛 − 𝑙21 𝑢1𝑛 𝑙22
5. Kolom ketiga L l31 . u13 + l32 . u23 + l33. 1 = a33 𝑙33 = 𝑎33 − 𝑙31 . 𝑢13 − 𝑙32 . 𝑢23 l41 . u13 + l42 . u23 + l43. 1 = a43 𝑙43 = 𝑎43 − 𝑙41 . 𝑢13 − 𝑙42 . 𝑢23 ⋮ ln1 . u13 + ln2 . u23 + ln3. 1 = an3 𝑙𝑛3 = 𝑎𝑛3 − 𝑙𝑛1 . 𝑢13 − 𝑙𝑛2 . 𝑢23 6. Baris ketiga U l31 . u14 + l32 . u24 + l33.u34= a34 , 𝑎34 − 𝑙31 . 𝑢14 – 𝑙32 . 𝑢24 𝑢34 = 𝑙33 … l31 . u1n + l32 . u2n + l33.u3n= a3n
𝑎3𝑛 − 𝑙31 . 𝑢1𝑛 − 𝑙32 . 𝑢2𝑛 𝑙33 7. Kolom keempat L l41 . u14 + l42 . u24 + l43.u34 + l44. 1 = a44 , l44 = a44 - l41 . u14 - l42 . u24 - l43.u34 ⋮ ln1 . u14 + ln2 . u24 + ln3.u34 + ln4. 1 = an4 ln4 = an4 – ln1 . u14 – ln2 . u24 – ln3.u34 8. Baris keempat U l41 . u1n + l42 . u2n + l43.u3n + l44.u4n= a4n 𝑎4𝑛 − 𝑙41 . 𝑢1𝑛 − 𝑙42 . 𝑢2𝑛 − 𝑙43 . 𝑢3𝑛 𝑢4𝑛 = 𝑙44 9. Kolom ke n L lnk .ukn + lnk . ukn+ lnk . ukn+ lnk . ukn + lnn.1= ann lnn= ann – lnk . ukn– lnk . ukn– lnk . ukn– lnk .uk 𝑢3𝑛 =
Mencari nilai y dengan persamaan ly = B 𝑦1 𝑙11 0 0 0 … 0 𝑏1 𝑦2 𝑙21 𝑙22 0 0 … 0 𝑏2 𝑦 𝑙31 𝑙32 𝑙33 0 … 0 𝑏 3 x 𝑦 = 3 𝑙41 𝑙42 𝑙43 𝑙44 … 0 𝑏4 4 ⋮ ⋮ ⋮ ⋮ ⋮ ⋱ ⋮ ⋮ [𝑙𝑛1 𝑙𝑛2 𝑙𝑛3 𝑙𝑛4 … 𝑙𝑛𝑛 ] [𝑦𝑛 ] [𝑏𝑛 ] 𝑙11 . 𝑦1 = 𝑏1 𝑦1 =
𝑏1
𝑙11
= 𝑦1′
𝑙21 . 𝑦1 + 𝑙22 . 𝑦2 = 𝑏2 𝑦2 =
(𝑏2 − 𝑙21 . 𝑦1 ) 𝑙22
= 𝑦2′
𝑙31 . 𝑦1+ 𝑙32 . 𝑦2 + 𝑙33 . 𝑦3 = 𝑏3 𝑦3 =
(𝑏2 − 𝑙31 . 𝑦1 − 𝑙32 . 𝑦2 ) 𝑙33
= 𝑦3′
𝑙41 . 𝑦1+ 𝑙42 . 𝑦2 + 𝑙43 . 𝑦3 + 𝑙44 . 𝑦4 = 𝑏4 𝑦4 =
(𝑏4 − 𝑙41 . 𝑦1 − 𝑙42 . 𝑦2 − 𝑙43 . 𝑦3 ) 𝑙44
= 𝑦4′
𝑙51 . 𝑦1+ 𝑙52 . 𝑦2 + 𝑙53 . 𝑦3 + 𝑙54 . 𝑦4 + 𝑙55 . 𝑦5 = 𝑏5 𝑦5 =
(𝑏5 − 𝑙51 . 𝑦1 − 𝑙52 . 𝑦2 − 𝑙53 . 𝑦3 − 𝑙54 . 𝑦4 ) 𝑙55
= 𝑦5′
⋮ 𝑙𝑛1 . 𝑦1+ 𝑙𝑛2 . 𝑦2 + 𝑙𝑛3 . 𝑦3 + 𝑙𝑛4 . 𝑦4 + … + 𝑙𝑛𝑛 . 𝑦𝑛 = 𝑏𝑛 𝑦𝑛 =
(𝑏𝑛 − 𝑙𝑛1 . 𝑦1 − 𝑙𝑛2 . 𝑦2 − 𝑙𝑛3 . 𝑦3 − 𝑙𝑛4 . 𝑦4 − … ) 𝑙𝑛𝑛
Mencari nilai x dengan persamaan Ux = y’
= 𝑦𝑛′
𝑦1′ 𝑥1 1 𝑢12 𝑢13 𝑢14 … 𝑢1𝑛 𝑥2 𝑦2′ 0 1 𝑢23 𝑢24 … 𝑢2𝑛 𝑥3 𝑦′ 0 0 1 𝑢34 … 𝑢3𝑛 x 𝑥 = 3′ 4 0 0 0 1 … 𝑢4𝑛 𝑦4 ⋮ ⋮ ⋮ ⋮ ⋮ ⋱ ⋮ ⋮ [0 0 0 0 … 1 ] [𝑥𝑛 ] [𝑦𝑛′ ] Maka, 𝑥𝑛 = 𝑦𝑛′ ⋮ 𝑥4 + … + 𝑢4𝑛 . 𝑥𝑛 = 𝑦4′ 𝑥4 = 𝑦4′ - … - 𝑢4𝑛 . 𝑥𝑛 𝑥3 + 𝑢34 . 𝑥4 + … + 𝑢3𝑛 . 𝑥𝑛 = 𝑦3′ 𝑥3 = 𝑦3′ - 𝑢34 . 𝑥4 - … - 𝑢3𝑛 . 𝑥𝑛 𝑥2 + 𝑢23 . 𝑥3 + 𝑢24 . 𝑥4 + … + 𝑢2𝑛 . 𝑥𝑛 = 𝑦2′ 𝑥2 = 𝑦2′ - 𝑢23 . 𝑥3 - 𝑢24 . 𝑥4 - … - 𝑢2𝑛 . 𝑥𝑛 𝑥1 + 𝑢12 . 𝑥2 + 𝑢13 . 𝑥3 + 𝑢14 . 𝑥4 + … + 𝑢1𝑛 . 𝑥𝑛 = 𝑦1′ 𝑥1 = 𝑦1′- 𝑢12 . 𝑥2 - 𝑢13 . 𝑥3 - 𝑢14 . 𝑥4 - … - 𝑢1𝑛 . 𝑥𝑛 Contoh 4.1 sistem persamaan linear ordo 6 x 6 2x1 + x2 + 2x4 + x5 = 2 x2 + 2x3 + x4 + x6 = 4 x1 + 2x2 + x3 + 2x5 + 2x6 = 2 x1 + 2x2 + 2x4 + 2x5 = -2 2x2 + x4 +x5 + x6 = 4 2x1 + x2 + 2x3 +x4 + x5 + 2x6 = -6 Penyelesaian: a. Metode eliminasi Gauss Mengubah kedalam bentuk matriks, 𝑥1 2 1 0 2 1 0 2 𝑥2 4 0 1 2 1 0 1 𝑥 1 2 1 0 2 2 3 2 x 𝑥 = 1 2 0 2 2 0 4 −2 𝑥5 4 0 1 0 1 1 1 [2 1 2 1 1 2] [𝑥6 ] [−6] Dengan menggunakan bentuk umum yang diperoleh, maka 1 1 1 1 2 0 1 0 𝑥1 2 4 0 1 2 1 0 1 𝑥2 5 5 3 1 2 𝑥 0 0 1 4 −4 −4 3 6 x 𝑥 = − 13 4 3 9 0 0 0 1 − 13 − 13 𝑥 5 80 0 0 0 0 1 16 [𝑥6 ] 70 [0 0 0 0 [ 11 ] 0 1 ] Dengan menggunakan rumus yang diperoleh, 70
𝑥6 = 11 x5 +16 x6 = 80 𝑥5 =
70 11
( 80) −( 16 . ) 1
=−
240 11
3
3
6
x4− 13 x5− 13 x6 = − 13 6
x4 =
(− 13 −(− 13) .(−
3
240 9 ) −(− 13) . 11
5
5
1
3
1
5 4
12 3 240 1 ) − (− )(− ) −(− ) . 11 4 11 4
x3+ 4x4− 4x5− 4x6 = 2 x3 =
5 2
70
(11) )
( −( ) .(−
=−
12 11
70 11
( ))
1
120
= − 11 x2 + 2x3+ x4 + x6 = 4 120
x2 = =
12
70
226
11 1
1
x1 + 2x2+ x4 + 2x5 = 1 1
x1 =
240
( 4 −(2)( − 11 ) − (1) .(−11) − 0 .(− 11 )− (1) . (11) ) 1
12
226
1
( 1 −(2)( 11 ) − (1) .(− 11) − (2) . (−
240 11
1
))
=−
210
11 210 226 120
12
240 70
atau himpunan penyelesaiannya: x = {( − 11 11 − 11 − 11 − 11 11)T } dibandingkan dengan yang ada pada lampiran yang menggunakan cara manual, maka 210 226 120 12 240 70 diperoleh hasil yang sama yaitux = {( − 11 11 − 11 − 11 − 11 11)T } b. Dekomposis Crout Mengubah sistem persamaan linear ke dalam bentuk matriks 2 1 0 2 1 0 2 4 0 1 2 1 0 1 1 2 1 0 2 2 2 Bentuk matriks A = , dan B = 1 2 0 2 2 0 −2 4 0 1 0 1 1 1 [2 1 2 1 1 2] [−6] Mendapatkan matriks L dan U 2 1 0 2 1 0 2 4 0 1 2 1 0 1 1 2 1 0 2 2 2 A= , B= 1 2 0 2 2 0 −2 4 0 1 0 1 1 1 [2 1 2 1 1 2 ] [−6] 1. Kolom pertama L 𝑙11 = 2 , 𝑙21 = 0, 𝑙31 = 1, 𝑙41 = 1 , 𝑙51 = 0, 𝑙61 = 2 2. Baris pertama U 𝑎 1 𝑎 2 𝑢12 = 𝑙 12 = 2 , 𝑢14 = 𝑙 14 = 2 = 1 11
𝑢13 =
𝑎13 𝑙11
=
0 2
11
= 0, 𝑢15 =
,𝑢16 =
𝑎16 𝑙11
=
0 2
3. Kolom ke dua L
= 0
𝑎15 1 = 𝑙11 2
𝑙52 = 𝑎52 − 𝑙51 . 𝑢12
1 𝑙22 = 𝑎22 − 𝑙21 . 𝑢12 = 1 − (0) ( ) = 1 2 1 3 𝑙32 = 𝑎32 − 𝑙31 . 𝑢12 = 2 − (1) ( ) = 2 2 1 3 𝑙42 = 𝑎42 − 𝑙41 . 𝑢12 = 2 − (1) ( ) = 2 2 1 = 1 − (0) (2) = 1 1 𝑙62 = 𝑎62 − 𝑙61 . 𝑢12 = 1 − (2) ( ) = 0 2
4. Baris ke dua U 𝑎23 − 𝑙21 . 𝑢13 2 − (0)(0) 𝑢23 = = =2 𝑙22 1 𝑎24 − 𝑙21 . 𝑢14 1 − (0)(1) 𝑢24 = = =1 𝑙22 1 1 0 − (0)(2) 𝑎25 − 𝑙21 . 𝑢15 𝑢25 = = =0 𝑙22 1 𝑎26 − 𝑙21 . 𝑢16 1 − (0)(0) 𝑢26 = = =1 𝑙22 1 5. Kolom ke tiga L 𝑙33 = 𝑎33 − 𝑙31 . 𝑢13 − 𝑙32 . 𝑢23 3 = 1 – (1)(0) – (2)(2) = -2 𝑙43 = 𝑎43 − 𝑙41 . 𝑢13 − 𝑙42 . 𝑢23 3 = 0 – (1)(0) – (2)(2) = -3 𝑙53 = 𝑎53 − 𝑙51 . 𝑢13 − 𝑙52 . 𝑢23 = 0 – (0)(0) –(1)(2) = -2 𝑙63 = 𝑎63 − 𝑙61 . 𝑢13 − 𝑙62 . 𝑢23 = 2 – (2)(0) – (0)( 2) = 2 6. Baris ke tiga U 𝑎34 − 𝑙31 . 𝑢14 − 𝑙32 . 𝑢24 𝑢34 = 𝑙33 3 0−(1)(1)−( )(1) 5 2
=
=
𝑢35
−2 4 𝑎35 − 𝑙31 . 𝑢15 − 𝑙32 . 𝑢25 = 𝑙33 1 3 2−(1)( )−( )(1) 3
= 𝑢36
2
2
=−
−2 4 𝑎36 − 𝑙31 . 𝑢16 − 𝑙32 . 𝑢26 = 𝑙33 3 2−(1)(0)−(2)(1) 1
=
=−
−2 4 7. Kolom ke empat L l44 = a44 – l41 .u14 – l42 .u24 – l43 .u34 3 5 13 = 2 –(1)(1) – ( )(1) – (-3)( ) = 2 4 4 l54 = a54 – l51 .u14 – l52 .u24 – l53 .u34 5 5 = 1 – (0)(1) – (1)(1) – (-2)( ) = 4
2
l64 = a64 – l61 .u14 – l62 .u24 – l63 .u34 5 7 = 1 – (2)(1) –(0)(1) – (2)(4) = − 2 8. Baris ke empat U
𝑎45 − 𝑙41 . 𝑢15 − 𝑙42 . 𝑢25 − 𝑙43 . 𝑢35 𝑙44 1 3 3 2 − (1)(2) − (2)(0) − (−3)(− 4) 3 = = − 13
𝑢45 =
𝑢46 =
𝑎46 − 𝑙41 . 𝑢16 − 𝑙42 . 𝑢26 − 𝑙43 . 𝑢36 𝑙44 3
=
13
4
1
0 − (1)(0) − (2)(1) − (−3)(− 4) 13
=−
4
9 13
9. Kolom ke lima L 1 3 l55 = a55 – l51 .u15 – l52 .u25 – l53 .u35 – l54 .u45 = 1 – (0)(2) – (1)(0) – (-2)(− 4) – 5
3
1
(− 2)(− 13) = 13 1
3
l65 = a65 – l61 .u15 – l62 .u25 – l63 .u35 – l64 .u45 = 1 – (2)(2) – (0)(0) – (2)(− 4) – 7
3
9
(− 2)(− 13) = 13 10. Baris ke lima U 𝑢56 =
=
𝑎56 − 𝑙51 . 𝑢16 − 𝑙52 . 𝑢26 − 𝑙53 . 𝑢36 − 𝑙54 . 𝑢46 𝑙55 1 4
5 2
9 13
1−(0)(0)−(1)(1)−(−2)(− )−(− )(− ) 1 13
=16
11. Kolom ke enam L 1 l66 = a66 – l61 .u16 – l62 .u26 – l63 .u36 – l64 .u46 – l65 .u56 = 2 – (2)(0) – (0)(1) – (2)(− 4) – 7
9
9
(− 2) (− 13) – (13) (16) = -11 Jadi, 2 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 3 1 2 −2 0 0 0 L= 1 0 [2 1 0 0 U= 0
3
−3
2
13
1 −2 0 1
2
0
4 5
1
2 7
−2
13 9 13 1
0 1 1 2 1 5 0 1 4
0 3 −4
0 0 1
− 13
2
0 0 0 0 [0 0 0 0
2
3
1 0
0 0 −11] 0 2 1 4 1 −4 2 ,B= −2 9 − 13 4 16 [−6] 1 ]
Kemudian untuk mencari nilai y diperoleh dari Ly = B 2 0 0 0 1 0 3 1 2 −2 1
3
0 0 0 13
−3
2
4 5
0 1 −2 [2 0
0 0 0
0
0
1
2
0
13 9
7
2
0 0 0
−2
−11]
13
𝑦1 2 𝑦2 4 𝑦3 2 𝑦4 = −2 𝑦5 4 [𝑦6 ] [−6]
Dengan subtitusi maju diperoleh, 2y1 = 2 2
y1 = = 1 2 y2 = 4 3 y1 + 2y2 -2y3 = 2 y3 = y3 =
−2
5 2
3
y1 +2y2 - 3y3 + y4 =
3
( 2 − 1 − 2 ( 4) )
13 4
y4 = -2 3
5
( −2 − 1 − 2(4)+ 3 (2))
y4 = −
13 4
6 13 5
1
y2 - 2y3 + 2y4 + 13y5 = 4 5
y5 =
5
6
( 4 −1 + 2 ( 2 ) − 2(− 13)) 1 13
y5= 80 7 9 2y1 + 2y3- 2y4 + 13y5 – 11 y6 = -6 5
y6 =
7
6
9
( −6 −2(1) − 2 (2) + 2(− 13) − 13(80)) 70
−11
y6 = 11 1 4 5
sehingga didapatkan y’ =
2 6
− 13 80 70
[ 11 ] kemudian untuk mencari nilai x digunakan rumus Ux = y’
1
1
1 2 0 0 1 2 0 0 1
1 1
0 0 0
1 − 13
1 𝑥1 4 𝑥2 5 2 𝑥3 6 = 𝑥 − 13 4 9 − 13 𝑥 5 80 16 [𝑥6 ] 70 [ 11 ] 1 ] 0 1 1 −4
2
0 3 −4
5 4
3
0 0 0 [0 0 0
0 0
1 0
Dengan subtitusi balik diperoleh, 70 x6= 11 x5 +16x6 = 80 70 x5 = 80 –16 (11) x5 = −
240 11 3
3
6
x4− 13 x5− 13 x6 = − 13 6
x4 = − 13 +
3
(− 13
240
12
x4= − 11 5
3
1
11 5
x3+ 4x4− 4x5− 4x6 = 2 5
5
12
3 70
)+ 13(11)
3
x3= 2 − 4(− 11)+ 4(− 120
240 11
1 70
)+ 4 (11)
x3 = − 11 x2 + 2x3+ x4 + x6 = 4 120 12 70 x2 = 4– 2 (− 11 ) – (− 11)– (11) x2 = 1
226 11
1
x1 + 2x2+ x4 + 2x5 = 1 1 226
12
1
x1 = 1 – 2( 11 )– (− 11) – 2(− x1 = −
210
240 11
)
11
atau himpunan penyelesaiannya:{( −
210 226 11
Persamaan linear Ax = B, A adalah matriks persegi empat ukuran n x n dan disebut matriks koefisien dari susunan persamaan linear, sedangkan x dan B adalah unsur-unsur kolom variabel dan konstanta. Matriks dengan n persamaan dan n variabel disebut matriks berordon atau disebut juga dengan matriks bujur sangkar.untuk setiap sistem persamaan linear n persamaan dan n variabel atau yang berordo n x n, karena nilai-nilai koefisien apapun yang ada dalam sistem persamaan linear tersebut dapat diselesaikan dengan menggunakan metode eliminasi Gauss
, 11 , −
120
12
, − 11,− 11
240 70 T 11 11
, ) }
dan dekomposisi Crout, karena syarat untuk kedua metode ini memenuhi setiap langkah atau prosedur tentang aturan dalam menyelesaikan sistem persamaan linear tersebut, salah satu syaratnya adalah ann pada dekomposisi crout dan annpada eliminasi Gauss. Dimana pada kedua metode ini mempunyai langkah penyelesaian yang akan menghasilkan matriks segitiga atas dan segitiga bawah, yang kemudian disubtitusikan untuk mendapatkan solusi penyelesaian dari suatu sistem persamaan linear. Berdasarkan hasil penelitian untuk beberapa sistem
persamaan linear diatas maka didapatkanlah bentuk solusi umum dari suatu sistem persamaan linear. Sehingga, dapat dikatakan bahwa untuk setiap matriks yang berordo-n atau bujur sangkar dapat diselesaikan atau berlaku secara umum untuk semua sistem persamaan linear dengan menggunakan metode eliminasi Gauss dan metode dekomposisi Crout sesuai dengan langkah atau prosedur umum pada penyelesaian untuk kedua metode tersebut. PENUTUP Berdasarkan hasil penelitian dalam penulisan ini, maka disimpulkan bahwa; solusi umum dari sistem persamaan linear n persamaan dan n variabel atau dikenal dengan ordo n x nyaitu seperti berikut: 1. Metode eliminasi Gauss xj = 𝑏𝑗 − ∑𝑛𝑘=1 𝑎𝑗𝑗+𝑘 𝑥𝑗+𝑘 , untukj,k = 1,2, …, n 2. Metode dekomposisi Crout
Heri dan Agus.Menguasai Matriks dan Vektor.Bandung: Rekayasa Sains, 2006. Hadley, G. Aljabar Linear. Jakarta: Erlangga, 1983. Irwan.Pengantar Aljabar Elementer. Makassar: Alauddin University Press, 2011. J. Leon, Steven. Aljabar Linear dan Aplikasinya, ed. Kelima, terj. Bondan; Jakarta: Erlangga, 2001. Kartono.Aljabar Linear, Vektor dan Eksplorasinya dengan Maple. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2005. Kusumawati, Ririen. Aljabar Linear & Matriks.Malang: UIN-Malang Press, 2009. Murray dan Kasir.Matematika Dasar. Jakarta: Erlangga, [t.th].
(𝑏𝑖 − ∑𝑛 𝑖=2 𝑙𝑖1 . 𝑥𝑖 )
yn =
Purwanto, Heri dkk.Aljabar Linear. Jakarta: PT. Ercontara Rajawali, [t.th] .
𝑙𝑛𝑛
untuki = 2, 3,…, n xi = 𝑦𝑛′ − ∑1𝑖=𝑛−1 𝑢𝑖𝑗 . 𝑥𝑗 untuki, j = n-1, n-2,…, 1
Sahid, DAFTAR PUSTAKA Anton
dan Rorres.Aljabar Linear Elementer Versi Aplikasi.ed. Kedelapan, jilid 1, terj. Refina; Jakarta: Erlangga, 2004.
BSW, Pudjiastuti .Matriks Teori dan Aplikasi.
Yogyakarta:
Graha
Ilmu,
2006. Departemen Agama RI. Mushaf AlQura’an dan Terjemah. Depok: Al Huda, 2002.
Drs. Pengantar Komputasi Numerik dengan Matlab.Yogyakarta: Andi, 2005.
Sangadji.Metode Numerik. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2008. Setiawan, Agus. Pengantar Metode Numerik. Yogyakarta: Andi, 2006. Shihab, M. Quraish. Tafsir Al- Misbah, Pesan, Kesan dan keserasian Al Qur’an Jakarta: Lentera Hati, 2002.
PENERAPAN METODE DRILL UNTUK MENINGKATKAN KEAKTIFAN DAN PRESTASI BELAJAR MAHASISWA PADA MATERI RUANG VEKTOR Syarifudin Dosen Program Studi Pendidikan Matematika STKIP Taman Siswa Bima
[email protected] Abstrak Tujuan penelitian ini pertama untuk mengetahui peningkatan keaktifan dan kedua untuk mengetahui peningkatan prestasi belajar mahasiswa program studi pendidikan matematika pada materi ruang vektor mata kuliah aljabar linier. Teknik pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini adalah pertama dari data tentang kegiatan belajar mengajar dikumpulkan dengan menggunakan lembar observasi dan kedua prestasi belajar mahasiswa dikumpulkan dengan menggunakan tes setiap akhir siklus. Ketuntasan belajar secara klasikal ≥ 85% dari seluruh mahasiswa yang mendapatkan nilai minimal 56 atau dengan huruf C serta aktifitas proses pembelajaran dari dosen dan mahasiswa minimal berkategori aktif dari indikator yang digunakan untuk mengetahui peningkatan yang terjadi. Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas yang direncanakan dalam beberapa siklus dan dilaksanakan dalam dua siklus. Subyek penelitian ini adalah mahasiswa semester VI program studi pendidikan matematika STKIP Taman Siswa Bima tahun akademik 2014/2015 dengan jumlah 35 orang yang terdiri dari 5 orang mahasiswa dan 30 orang mahasiswi. Proses satu siklus dalam penelitian ini terdiri dari perencanaan, pelaksanaan tindakan, observasi, evaluasi dan refleksi. Hasil penelitian yang diperoleh dapat dilihat pada Siklus I dengan nilai rata-rata hasil belajar mahasiswa 76,85 dengan presentase ketuntasan 82,85%, dan keaktifan mahasiswa pada pertemuan pertama dan kedua adalah sebesar 2,32 dan 2,42, jadi ratarata siklus I adalah sebesar 2,37 yang tergolong pada kategori cukup aktif. Sedangkan aktivitas dosen pada pertemuan I dan II adalah sebesar 3,00 dan 3,11 sehingga rata-rata siklus I menjadi 3,05 yang berkategori aktif. Pada Siklus II dengan nilai rata-rata hasil belajar mahasiswa 87 dan presentase ketuntasan 88,57%. Dari siklus I ke siklus II terjadi peningkatan sebesar 10,15 poin. Keaktifan mahasiswa pada pertemuan pertama dan kedua adalah 2,63 dan 2,93 dengan nilai rata-rata 2,78 yang berkategori aktif. Dari pertemuan pertama ke pertemuan kedua keaktifan mahasiswa meningkat 0,41. Sedangkan aktivitas dosen pada pertemuan pertama dan kedua adalah 3,11 dan 3,22 dengan nilai rata-rata 3,14 yang berkategori aktif. Dari siklus pertama ke siklus kedua terjadi meningkatan sebesar 0,09. Hasil tersebut menunjukan sudah tercapainya indikator penelitian yang ditetapkan, sehingga dapat di simpulkan bahwa penerapan metode drill pada materi ruang vektor dapat meningkatkan keaktifan dan prestasi belajar mahasiswa semester VI program studi pendidikan matematika STKIP Taman Siswa Bima tahun akademik 2014/2015. Kata Kunci: Drill, Keaktifan, dan Prestasi Belajar PENDAHULUAN
Pembelajaran mempunyai tujuan
matematika terbentuknya
kemampuan berfikir, kritis, logis, sistematis, disiplin dalam memecahkan suatu permasalahan, baik dalam bidang matematika maupun dalam kehidupan sehari-hari. Tidak lepas dari itu matematika juga memegang peranan penting dalam mengantarkan pemikiran-pemikiran manusia kepada suatu logika berpikir yang sekarang telah menjadi pendekatan yang ampuh dalam usaha pengembangan ilmu. Matematika tidak dipandang lagi hanya sebagai ilmu tetapi lebih dari itu, matematika dijadikan sebagai sarana untuk menjadi hakikat keilmuan. Mengingat pentingnya tujuan dan peranan matematika, maka pembelajaran matemetika perlu mendapatkan penanganan yang lebih khusus untuk menunjang keberhasilan belajar mulai dari pembuatan rencana pembelajaran sampai dengan kegiatankegiatan yang dilaksanakan dalam proses pembelajaran. Walaupun demikian, banyak mahasiswa yang merasa kesulitan dan kurang mampu untuk mempelajarinya sehingga kemampuan untuk belajar menjadi rendah. Problem terbesar dalam diri mahasiswa adalah tidak ada kemauan dan kesadaran untuk berusaha mempelajarinya, prinsip mengandalkan teman dalam menyelesaikan tugas dan latihan soal, tidak peduli dengan tugas rumah yang diberikan, tidak yakin dan konsisten terhadap diri sendiri, mahasiswa sibuk sendiri ketika dosen sedang menerangkan didepan kelas, keaktifan mahasiswa dalam proses pembelajaran masih sangat minim, tidak ada inisiatif mahasiswa untuk bertanya tentang materi yang belum dipahami. Mencermati hal tersebut, maka dalam proses belajar matematika harus ditata dan diatur dengan bijak, selain itu dosen harus mampu menarik perhatian mahasiswanya, memotivasi mahasiswanya, mengaktifkan mahasiswanya. Dalam proses
pembelajaran, dosen harus berupaya untuk memilih, menetapkan dan mengembangkan metode pembelajaran yang memungkinkan dapat membantu kemudahan, kecepatan, kebiasaan, dan kesenangan mahasiswa sehingga mahasiswa dapat belajar secara efektif dan efisien. Seorang dosen juga harus mendampingi, merangsang pemikiran, menciptakan persoalan, membiasakan mahasiswa mengungkapkan gagasan dan konsepnya serta membantu mahasiswa sehingga proses pendidikan semakin mengarah pada pengembangan diri yang utuh, dilain sisi keterlibatan mahasiswa secara aktif dalam proses belajarnya juga memiliki peranan yang sangat besar. Berdasarkan pengamatan peneliti dan melihat hasil ujian pada salah satu materi pada mata kuliah aljabar linier yaitu materi ruang vektor. Materi ini adalah salah satu materi yang didapat oleh mahasiswa dengan nilai banyak yang rendah. Dari jumlah mahasiswa 35 orang semester VI tahun akademik 2013/2014 yang hanya mendapatkan nilai interval 80-100 sebayak 5 orang, 60-79 sebanyak 12 orang, dan mendapatkan nilai dengan interval 3059 sebanyak 20 orang. Dengan melihat secara klasikal mahasiswa yang mendapatkan nilai 56 keatas atau dengan huruf C adalah 51%. Menurut Sumiati (Hasanudin, 2010:1) bahwa ukuran ketuntasan belajar matematika merupakan faktor penentu ketercapaian prestasi belajar mahasiswa dimana ketuntasan minimum ideal 85% secara klasikal. Keterangan lain yang diperoleh bahwa keaktifan belajar siswa masih kurang. Salah satu langkah untuk memperbaiki dan mengatasi masalah tersebut secara berkelanjutan maka perlu adanya suatu pendekatan pembelajaran yang tepat dan sesuai, yang mampu menetralisir, mengoptimalkan pencapaian tujuan pembelajaran yaitu pembelajaran yang
mampu melibatkan mahasiswa, punya kemauan dan daya gerak, percaya diri, fokus pada pelajaran yaitu melalui metode Drill. Metode Drill adalah suatu cara mengajar dimana mahasiswa melaksanakan kegiatan-kegiatan agar memiliki kemampuan yang lebih dari apa yang dipelajarinya. Pada intinya metode Drill merupakan rangkaian kegiatan mengulangi suatu perbuatan sampai perbuatan tersebut dapat dikuasai. Melalui metode ini mahasiswa akan merasa yakin akan diri sendiri, mampu mengembangkan dan menguasai kecakapan intelek, serta dapat menumbuhkan pemahaman untuk melengkapi penguasaan pembelajaran yang diterimanya. Dengan latihan yang praktis dan teratur pelaksanaannya dapat membina mahasiswa dalam meningkatkan penguasaan ketrampilan dan bahkan mahasiswa dapat memiliki kemampuan dengan sempurna. Untuk kesuksesan pelaksanaan metode Drill itu perlu memperhatikan prosedur-prosedur diantaranya: (1) gunakan latihan ini hanya untuk pelajaran atau tindakan yang dilakukan secara otomatis, ialah yang dilakukan mahasiswa tanpa menggunakan pemikiran dan petimbangan yang mendalam. Tetapi dapat dilakukan dengan gerak reflek saja, seperti: menghafal, menghitung dll, (2) Dosen harus memilih latihan yang berarti luas ialah yang dapat menanamkan pengertaian dan pemahaman akan makna dan tujuan latihan, (3) melaksanakan latihan pendahuluan instruktur harus lebih menekankan pada diagnose karena latihan permulaan itu kita belum bisa mengharapkan mahasiswa dapat menghasilkan ketrampilan yang sempurna, (4) perlu mengutamakan ketepatan, agar mahasiswa melakukan latihan secara tepat, agar mahasiswa dapat melakukan kecepatan atau ketrampilan menurut waktu yang telah ditentukan, juga perlu
diperhatikan pula apakah response mahasiswa telah dilakukan dengan tepat dan cepat, (5) dosen memperhatikan masa latihan nyang singkat saja agar tidak meletihkan dan membosankan, tetapi sering dilakukan pada kesempatan lain. Masa latihan itu harus menyenangkan dan menarik, bila perlu dengan mengubah situasi atau kondisi sehingga menimbulkan optimisme pada mahasiswa dan kemungkinan rasa gembira itu bisa menghasilkan keterampilan yang baik, dan (6) instruktur perlu memperhatikan perbedaan individual mahasiswa, sehingga kemampuan dan kebutuhan mahasiswa masing-masing tersalurkan (Roestiyah, 200: 126). Memperhatikan permasalahanpermasalahn yang telah diuraikan tersebut dan hasil kajian secara teoritis, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana penerapan metode Drill dapat meningkatkan keaktifan dan prestasi belajar mahasiswa program studi pendidikan matematika STKIP Taman Siswa Bima pada materi ruang vektor dalam mata kuliah aljabar linier semester genap tahun akademik 2014/2015. METODE PENELITIAN Rancangan penelitian merupakan suatu tindakan pembelajaran yang disusun secara sistematis, berorientasi kedepan dengan mempertimbangkan peristiwa-peristiwa tak terduga sehingga dapat mengurangi dan mengeliminasi resiko. Tindakan yang telah direncanakan harus disampaikan dengan dua pengertian. Pertama: Tindakan kelas mempertimbangkan risiko yang ada dalam perubahan pembelajaran dan mengakui adanya kendala nyata yang dihadapi di kelas. Kedua: Tindakan kelas dipilih karena memungkinkan peneliti mengembangkan tahapantahapan pembelajaran secara lebih efektif dan lebih profesional dalam
memperlakukan peserta didik (Mulyasa, 2009: 108). Jadi dalam merencanakan sebuah tindakan pada penelitian tindakan kelas peneliti tetap memperhatikan dua hal tersebut. Pelaksanaan tindakan dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai suatu proses yang dinamis meliputi aspek perencanaan, tindakan, observasi dan refleksi yang merupakan langkah berurutan dalam satu siklus yang berhubungan dengan siklus berikutnya. Akar pelaksanaan PTK digambarkan dalam bentuk spiral tindakan yang diadaptasi dari Hopkins (Arikunto, 2010: 58) sebagai berikut: Gambar. Akar Pelaksanaan PTK Identifikas i masalah Perenc anaan Reflek si Obser vasi
Tinda kan Perencan aan Ulang dst
Siklu s1
Siklu s2
Instrument penelitian adalah alat yang digunakan untuk mengumpulkan data, sedangkan pengumpulan data adalah prosedur yang sistematik dan standar untuk memperoleh data yang diperlukan (Nazir, 1988: 211). Jadi adapun instrument yang digunakan untuk mengumpulkan data pada penelitian ini berupa tes dan lembar observasi. Dengan menggunakan dua instrumen ini diharapkan mampu mengumpulkan data sesuai yang diharapkan. Adapun data-data yang dibutuhkan adalah data tes hasil belajar dan hasil observasi proses pembelajaran yang dilakukan oleh dosen dan kegiatan pembelajaran mahasiswa.
Tes digunakan untuk mengukur kemampuan dasar dan pencapaian atau prestasi yang dimilki oleh obyek dalam penelitian. Pada penelitian ini jenis soal tes yang digunakan adalah berbentuk esai dengan jumlah sebanyak 6 butir soal dengan tujuan untuk mengetahui sejauh mana penguasaan, pemahaman mahasiswa terhadap materi yang diberikan dan tes dilakukan pada setiap akhir siklus. Melalui tes dapat diperoleh data yang berupa data hasil evaluasi belajar mahasiswa. Pengamatan dilakukan penelitian yang telah direncanakan secara sistematik. Dengan pengamatan langsung, terdapat kemungkinan untuk mencatat hal-hal, perilaku, pertumbuhan dan sebagainya, sewaktu kejadian tersebut berlaku atau sewaktu perilaku tersebut terjadi dan data yang kita peroleh yang langsung mengenai perilaku yang tipikal dari objek dapat dicatat segera, dan tidak menggantungkan data-data dari ingatan orang lain. Jadi pada penelitian ini yang diobservasi sacara mendalam adalah aktivitas-aktivitas mahasiswa dan dosen yang nampak selama proses perkuliahan. Pengumpulan data melalui pengamatan dapat diperoleh melalui lembar observasi mahasiswa dan dosen yang telah disediakan. Data yang diperoleh melalui lembar observasi adalah berupa data kualitatif. Analisa data merupakan bagian yang amat penting dalam metode ilmiah, karena dengan analisislah, data tersebut dapat diberi arti dan makana yang berguna dalam memecahkan masalah penelitian. Berikut ini beberapa cara dalam menganalisa data hasil penelitian. 1. Data aktivitas belajar mahasiswa Skor Maksimum Ideal (SDI) merupakan skor tertinggi aktifitas mahasiswa yang didapat apabila semua deskriptor
yang diamati nampak yaitu skor 4. a. Menentukan Mean Ideal (MI) dan Standar Deviasi Ideal (SDI). 1 MI = 2 (Skor tertinggi + skor terendah) 1 SDI = 6 (Skor tertinggi – skor terendah) b. Menentukan keaktifan belajar mahasiswa Berdasarkan skor standar, maka kriteria untuk menentukan keaktifan belajar mahasiswa dapat dijabarkan pada tabel berikut: Tabel 3.1 Pedoman Konversi Penilaian Interval Kategori MI + 1,5 SDI ≤ A
Sangat Aktif
MI + 0,5 SDI ≤A< MI +1,5 SDI
Aktif
MI – 0,5 SDI ≤ A < MI + 0,5 SDI
Cukup Aktif
MI – 1,5 SDI ≤ A < MI – 0,5 SDI
Kurang Aktif
A < MI – 1,5 SDI
Sangat Kurang Aktif
Sumber: Nurkencana (Hasanudin, 2010: 27) Keterangan: MI : Mean Ideal SDI : Skor Maksimum Ideal 2. Data aktifitas dosen Penilaian terhadap aktifitas dosen dilakukan secara langsung selama proses belajar mengajar. Adapun indikator untuk setiap aktifitas Dosen dianalisa dengan kriteria penilaian sebagai berikut:
BS (baik sekali) yang nampak B (baik) yang nampak C (Cukup) yang nampak K (Kurang) yang nampak
: jika 4 deskriptor : jika 3 deskriptor : jika 2 deskriptor : jika 1 dekriptor
3. Data ketuntasan belajar mahasiswa Data ketuntasan belajar mahasiswa dapat dianalisis dengan rumus: 𝑃 KB = 𝑁 100% Keterangan: 𝐾𝐵 : Ketuntasan belajar P : Banyaknya mahasiswa yang mempeeroleh nilai minimal 56 atau minimal dengan huruf C N : Banyaknya mahasiswa Ketuntasan belajar mahasiswa tercapai jika ≥ 85% mahasiswa memperoleh skor minimal 56 atau dengan huruf C yang akan terlihat pada hasil evaluasi tiaptiap siklus. 4. Data prestasi belajar mahasiswa Untuk mengetahui prestasi belajar mahasiswa, hasil tes belajar dianalisis secara deskriptif, yaitu menentukan skor rata-rata hasil tes belajar mahasiswa dengan menggunakan rumus sebagai berikut: ∑𝑥 M = 𝑛𝑖 Keterangan: M : Mean (rata-rata) 𝑥𝑖 : Skor yang diperoleh masing-masing mahasiswa 𝑛 : Banyaknya mahasiswa HASIL PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan dua siklus dan data-data yang diperoleh dapat diuraikan sebagai berikut.
Data diperoleh Siklus I 1. Hasil observasi keaktifan belajar mahasiswa Data keaktifan belajar mahasiswa diperoleh melalui lembar observasi yang telah disediakan. Lembar observasi mahasiswa terdiri dari 3 aspek atau indikator yang diamati, dimana setiap indikator terdiri dari 4 deskriptor. Adapun indikator yang diamati adalah: (1) keaktifan, (2) perhatian, dan (3) tanggung jawab. Dari hasil observasi diperoleh nilai rata-rata sebesar 2,37 dengan kategori cukup aktif. Data tersebut secara rinci dapat dilahat pada tabel berikut. Tabel. Data hasil observasi keaktifan belajar mahasiswa siklus I Jumlah Indikat or 3
Jumlah skor PI P II 19 21 5 2
Rata-rata P I 2,3 2
P II 2,4 2
Ratarata siklu s II 2,37
Katego ri Cukup Aktif
Keterangan: PI : Pertemuan Pertama P II : Pertemuan kedua 2. Hasil observasi aktivitas dosen Data aktivitas dosen diperoleh melalui lembar evaluasi yang terdiri dari 9 indikator, dimana masingmasing indikator terdiri dari 4 dekriptor yang diamati. Adapun indikator-indikator yang diamati adalah sebagai berikut: (1) menyampaikan tujuan pembelajaran, (2) menentukan materi dan pentingnya materi, (3) membangkitkan pengetahuan awal mahasiswa, (4) mengaktifkan mahasiswa, (5) penyampaian materi kepada mahasiswa, (6) membantu mahasiswa dalam menyelesaikan latihan, (7) membantu kelancaran kegiatan latihan, (8) melakukan evaluasi untuk pendalaman materi, (9) melakukan aktifitas keseharian.
Dari 9 indikator yang diamati diperoleh nilai rata-rata sebesar 3,05 dengan kategori aktif. Data observasi kegiatan dosen selama proses pembelajaran pada siklus I dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel. Data hasil observasi kegiatan dosen pada siklus I Jumlah Indikat or 9
Jumlah skor PI P II 27 28
Rata-rata PI 3,00
P II 3,11
Rata-rata siklus II
Kate gori
3,05
Aktif
Keterangan: PI : Pertemuan Pertama P II : Pertemuan kedua 3. Hasil Evaluasi dan Refleksi Evaluasi dilakukan selama 2 x 50 menit dan dilakukan setiap akhir siklus dengan tujuan untuk mengetahui prestasi belajar mahasiswa. Hasil evaluasi belajar mahasiswa diperoleh melalui soal tes yang diberikan yang berjumlah 6 butir soal yang berbentuk essay. Data ketuntasan belajar mahasiswa dianalisis dengan rumus sebagai berikut: P KB 100 % N 29 𝐾𝐵 = 100% 35 = 82,85% Berdasarkan hasil perhitungan tersebut diperoleh ketuntasan belajar mahasiswa pada siklus I sebesar 82,85% dari 35 orang mahasiswa yang memperoleh nilai minimal 56. Data mengenai hasil evaluasi siklus I dapat digambarkan pada tabel berikut. Tabel. Data hasil evaluasi siklus I Nilai < 56
Banyaknya mahasiswa 6
≥ 56 Jumlah
29 35
Presentase 17,14 % 82,85 % 100 %
Keterang an Belum tuntas Tuntas -
Dari tebel tersebut bisa dikatakan bahwa proses perkuliahan pada materi ruang vektor belum memenuhi indikator ketuntas secara kalsikal. Ada 6 orang mahasiswa yang masih memilki nilai belum lulus. Dari kelima mahasiswa tersebut sesuai dengan absensi bahwa mereka memang jarang hadir dalam proses pembelajaran. Dengan mendapatkan data seperti ini, maka dilakukan penelitian pada siklus berikutnya. Selain dari hasil evaluasi yang masih kurang, jika kita lihat dari refkleksi masih ditemukan beberapa kekurangan. Hasil refleksi pada akhir siklus I ini dapat digunakan sebagai dasar untuk memperbaiki dan mengempurnakan pada siklus berikutnya. Adapun perbaikanperbaikan yang dilakukan adalah sebagai berikut: (1) dosen harus memberikan motifasi yang lebih terhadap mahasiswa, (2) dosen harus menanamkan nilai keberanian pada diri mahasiswa, (3) merangsang pemikiran mahasiswa perlu ditingkatkan lagi, (4) suasana pembelajaran harus dibuat semenarik mungkin, (5) mengontrol dan mendampingi mahasiswa harus ditingkatkan, (6) penggunaan waktu dalam latihan belum efisien. 4. Data prestasi belajar mahasiswa Data prestasi belajar mahasiswa dianalis untuk menentukan skor ratarata dengan menggunakan rumus sebagai berikut: ∑𝑥 M = 𝑛𝑖 2690
= 35 = 76,85 Dari hasil perhitungan diatas diperoleh nilai rata-rata sebesar 76,85. Hal ini menggambarkan bahwa rata-rata hasil evaluasi mahasiswa mendapatkan nilai 76,85. Nilai ini bila kita tuliskan dalam huruf berada pada B+. Data diperoleh Siklus II
1. Hasil observasi keaktifan belajar mahasiswa Data keaktifan belajar mahasiswa diperoleh melalui lembar observasi yang telah disediakan. Lembar observasi mahasiswa terdiri dari 3 aspek atau indikator yang diamati, dimana setiap indikator terdiri dari 4 deskriptor. Adapun indikator yang diamati adalah: (1) keaktifan, (2) perhatian, dan (3) tanggung jawab. Dari hasil observasi diperoleh nilai rata-rata sebesar 2,78 dengan kategori aktif. Data tersebut secara rinci dapat dilahat pada tabel berikut. Tabel. Data hasil observasi keaktifan belajar mahasiswa siklus I Jumlah Indikator 3
Jumlah skor PI P II 22 1
248
Rata-rata P I
P II
2,63
2,93
Ratarata siklus II 2,78
Keterangan: PI : Pertemuan Pertama P II : Pertemuan kedua 2. Hasil observasi aktivitas dosen Data aktivitas dosen diperoleh melalui lembar evaluasi yang terdiri dari 9 indikator, dimana masing-masing indikator terdiri dari 4 dekriptor yang diamati. Adapun indikator-indikator yang diamati adalah sebagai berikut: (1) menyampaikan tujuan pembelajaran, (2) menentukan materi dan pentingnya materi, (3) membangkitkan pengetahuan awal mahasiswa, (4) mengaktifkan mahasiswa, (5) penyampaian materi kepada mahasiswa, (6) membantu mahasiswa dalam menyelesaikan latihan, (7) membantu kelancaran kegiatan latihan, (8) melakukan evaluasi untuk pendalaman materi, (9) melakukan aktifitas keseharian. Dari 9 indikator yang diamati diperoleh nilai rata-rata sebesar 3,05 dengan kategori aktif. Data observasi kegiatan dosen selama proses pembelajaran pada siklus I dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Kate gori Aktif
Tabel. Data hasil observasi kegiatan dosen pada siklus I umlah Indika tor
J Jumlah skor
Ra tarat a P II
PI 9
2 8
9
Rata-rata siklus II
PI 2 ,11
K ategor i
P II 3 ,2 2
3 ,14
3 ktif
Keterangan: PI : Pertemuan Pertama P II : Pertemuan kedua 3. Hasil Evaluasi dan Refleksi Evaluasi dilakukan pada siklus II ini selama 2 x 50 menit. Hasil evaluasi belajar mahasiswa diperoleh melalui soal tes yang diberikan yang berjumlah 6 butir soal yang berbentuk essay. Data ketuntasan belajar mahasiswa dianalisis dengan rumus sebagai berikut: P KB 100 % N 31 𝐾𝐵 = 100% 35 = 88,57% Berdasarkan hasil perhitungan tersebut diperoleh ketuntasan belajar mahasiswa pada siklus I sebesar 88,57% dari 35 orang mahasiswa yang memperoleh nilai minimal 56. Data mengenai hasil evaluasi siklus II dapat digambarkan pada tabel berikut. Tabel. Data hasil evaluasi siklus II Nilai < 56
Banyaknya mahasiswa 4
≥ 56 Jumlah
31 35
Presentase
Keterangan
11,42 %
Belum tuntas Tuntas -
88,57 % 100%
Data hasil evaluasi ini menunjukkan ada perubahan nilai hasil evaluasi dari siklus I ke siklus II, namun tidak terlu banyak. Hal ini sisebabkan karena ditemukan bahwa mahasiswa pada siklus II juga adalah mahasiswa yang malas dan data tersebut sama pada siklus I. Dari 6 orang mahasiswa pada siklus I yang nilainya dibawah
A
indikator, hanya 2 orang saja yang berubah. Namun dari sisi banyaknya mahasiswa yang mendapatkan nilai yang lebih tinggi sangat banya. Jika dirata-ratakan, maka berada pada nilai A. 4. Data prestasi belajar mahasiswa Data prestasi belajar mahasiswa dianalis untuk menentukan skor ratarata dengan menggunakan rumus sebagai berikut: ∑𝑥 M = 𝑛𝑖 3045
= 35 = 87 Dari hasil perhitungan diatas diperoleh nilai rata-rata sebesar 87. Hal ini menggambarkan bahwa rata-rata hasil evaluasi mahasiswa mendapatkan nilai 87. Nilai ini bila kita tuliskan dalam huruf berada pada A. PEMBAHASAN Pembahasan lebih rinci dari hasil penelitian penerapan metode Drill pada materi ruang vektor siklus I dan II dapat dilihat pada penjelasan sebagai berikut. 1. Hasil belajar Hasil belajar dari siklus I dan siklus II dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel. Hasil belajar siklus I dan II Nila maksimum Nila minimum Total nilai Rata-rata Mahasiswa tuntas mahasiswa tidak tuntas Ketuntasan klasikal
Siklus I 90 40 2690 76,85 29
Siklus II 100 50 3045 87 31
6 82,85%
4 88,57 %
Berdasarkan tabel di atas dari 35 orang mahasiswa yang mengikuti tes evaluasi dapat ketahuai bahwa pada siklus I terlihat bahwa nilai maksimum dan minimum adalah sebesar 90 dan 40 dengan total nila sebesar 2690, dari hasil tersebut diperoleh nilai rata-rata sebesar 76,85. Nilai 76,85 ini bila
dikonversi kedalam huruf, maka berada pada B+. Dari 35 orang mahasiswa, yang tuntas sebanyak 29 orang dan yang tidak tuntas sebanyak 6 orang dengan ketuntasan klasikal sebesar 82,85%. Dengan hasil ini pada siklus I belum memenuhi kriteria yang ditentukan dalam indikator keberhasilan. Pada siklus II terlihat bahwa nila maksimum dan minimum berturut-turut yaitu sebesar 100 dan 50. Total nila yang diperoleh sebesar 3045 dengan nilai rata-rata sebesar 87. Dari hasil evaluasi diperoleh mahasiswa yang tuntas sebanyak 31 orang dan yang belum tuntas sebanyak 4 orang mahasiswa dengan ketuntasan klasikal sebesar 88,57%. Dari hasil ini bahwa ketuntasan klasikal sudah memenuhi indikator keberhasilan yaitu lebih dari 85%. Jadi dari hasil analisis data hasil evaluasi siklus I dan siklus II dapat kita ketahuai bahwa ada perubahan hasil nilai mahasiswa setalah menggunkan metode drill sebagai metode dalam proses pembelajaran. Hal ini sesuai dengan salah satu keunggulan metode drill adalah bahwa peserta didik akan dapat mempergunakan daya fikirnya dengan tambah baik, karena dengan pengajaran yang baik maka peserta didik akan lebih teratur, teliti dan mendorong daya ingatnya. Dengan sering dilakukan kegiatan proses pembelajaran dengan metode drill, maka mahasiswa akan terbiasa menyelesaikan permasalahpermasyalahan yang dihadapinya. Kita perhatikan perubahan rata-rata nilai mahasiswa dari siklus I sebesar 76,85 dengan dikonversikan ke huruf berada pada B+, namun jika pada siklus II sudah berubah naik menjadi 87 dengan huruf A. Berikut ini digambarkan peningkatan prestasi belajar mahasiswa setelah menggunakan metode drill dalam proses pembelajarannya.
Gambar. Diagram Peningkatan Nilai Rata-rata Prestasi Belajar Mahaiswa
90 80 70 Rata-rata Siklus I
Rata-rata Siklus II
Berdasarkan diagram di atas bahwa nilai rata-rata siklus I sebesar 76,85 serta rata-rata siklus II sebeasar 87. Jadi perubahan nilai dari siklus I ke siklus II naik sebesar 10,15 poin dengan prosentase peningkatan sebesar 5,72%. Hal ini bisa kita dapatkan bahwa terjadi peningkatan prestasi belajar mahasiswa setelah digunakan metode drill. 2. Data observasi aktivitas mahasiswa Data observasi aktivitas belajar mahasiswa dapat dilihat pada tabel berikut: Siklus I P I Jumlah Skor Rata-rata Kat egori
II 1
95 2,32
12 2,42 2,37 Cukup Aktif
Siklus II P P P I II 2 2 2 21 48 2,63 2,93 2,78 Aktif
Keterangan: PI : Pertemuan Pertama P II : Pertemuan kedua Berdasarkan tabel di atas pada siklus I diperoleh nilai rata-rata pada pertemuan I sebesar 2,32 dengan jumlah skor 195 dan nilai rata-rata pertemuan II sebesar 2,42 dengan jumlah skor 212. Dari kedua hasil rata-rata tersebut diperoleh rata-rata siklus I sebesar 2,37 dengan kategori cukup aktif. Pertemuan I ke pertemuan II terlihat adanya peningkatan sebesar 0,10 poin. Pada siklus II nilai rata-rata pada pertemuan I sebesar 2,63 dengan jumlah skor 221
dan pertemuan II sebesar 2,93 dengan jumlah skor 248 serta skor rata-rata siklus II sebesar 2,78 dengan kategori aktif. Dengan hasil tersebut maka kategori keaktifan belajar mahasiswa sudah memenuhi indikator keberhasilan.Dari siklus I ke siklus II terjadi peningkatan sebesar 0,42 poin. 3. Data obsevasi kegiatan dosen Data observasi kegiatan dosen dapat dilihat pada tabel berikut: Jumlah Skor Rata-rata
Siklus I PI P II 27 28 3,00
Kategori
3,11 3,05 Aktif
PI 28 3,11
Siklus II P II 29 3,22 3,14 Aktif
Keterangan: P I : Pertemuan Pertama P II : Pertemuan kedua Berdasarkan tabel di atas bahwa jumlah skor pada pertemuan I siklus I dan II adalah sebesar 27 dan 28 dengan rata-rata masing-masing sebesar 3,00 dan 3,11. Pada pertemuan II jumlah skor sebesar 28 dan 29 dengan rata-rata sebesar 3,11 dan 3,22. Dari nilai ratarata pertemuan tersebut diperoleh nilai rata-rata siklus I dan II sebesar 3,05 dan 3,14 dengan masing-masing berkategori aktif. Peningkatan dari siklus I ke siklus II sebesar 0,09. Dengan hasil yang diperoleh pada siklus II sudah memenuhi indikator keberhasilan maka peneliti berhenti melakukan penelitian pada siklus ini. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan bahwa penerapan metode Drill dapat meningkatakan keaktifan dan prestasi belajar mahasiswa matematika semester VI materi ruang vektor tahun akademik 2014/2015. Peningkatan tersebut dapat dilihat dari prestasi belajar mahasiswa dari nilai
rata-rata yang diperoleh dari siklus I sebesar 76,85 ke siklus II sebesar 87. Dengan hasil ini menunjukan terjadi peningkatan sebesar 10,15 poin. Meningkatnya keaktifan belajar mahasiswa menjadi 2,78 dari 2,37 sebesar 0,41. Serta meningkatnya aktivitas dosen dari 3,05 menjadi 3,14 sebesar 0,09. DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penenelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta. Arikunto, Suharsimi dan Safruddin, Cepi dkk. 2004. Evaluasi Program Pendidikan. Jakarta: PT Bumi Aksara. Hasanudin. 2010. Penerapan Metode Kulsponsi Untuk Meningkatkan Motivasi Dan Hasil Belajar Matematika. Skripsi. Majid, Abdul. 2008. Perencanaan Pembelajaran. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Mulyasa. 2009. Praktik Penelitian Tindakan Kelas. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Nazir, Moh. 1988. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia. Roestiyah. 2001. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta. Sudjana, Nana. 2009. Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung : Sinsr Baru Algesindo. Wiriaatmadja, Rochiati. 2009. Metode Penelitian Tindakan Kelas. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
KEEFEKTIFAN PENGGUNAAN ALAT PERAGA DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA DI SD Sudarsono Dosen matematika STKIP Bima Abstract This research was aimed to describe the effectiveness of the use of aids in mathematics instruction in elementary schools, with: 1) compare the mathematics learning achievement of students who were taught using real aids with that of students who were taught using half-real aids, both from high category school and low category school; 2) compare the mathematics learning mastery of the students from both schools categories. This research is a quasi-experiment with pretest-postest design with nonequivalent groups. This research used two experiment groups and two control groups. Population of this research was all fifth grade students of state elementary schools in Madapangga, Bima regency. Stratified random sampling technique was used to select the sample. From the population, the researcher took two schools and every school consisted of two classes as a sample. The total of the sample are 124 people. Data were collected using test. The test were tried out to two groups of students. To compare the mathematics learning achievement of students, data were analyzed by descriptive statistic and inferential statistic by analysis of covariant (α =0.05) and was continued with Tukey-Kramer test (α =0.05), while to compare the mathematics learning mastery of the students, data were analyzed by Chi-Square test. The result of this research showed that: 1) from both schools categories the mathematics learning achievement of students who were taught using real aids is higher than that of students taught using half-real aids; 2) the mathematics learning mastery of high category school students who were taught using real aids is higher than that of high category school students who were taught using half-real aids; 3) the mathematics learning mastery of low category school students who were taught using real aids is not higher than that of low category school students who were taught using half-real aids; 4) from both schools categories the students who were taught using real aids, reach the mathematics learning mastery level, while the students who were taught using half-real aids, do not reach the learning mastery level. Key words : aids, achievement, mastery, mathematics, elementary school.
PENDAHULUAN Matematika adalah salah satu mata pelajaran yang dianggap sulit. Muijs dan Reynolds (2005: 212) mencatat “mathematics is commonly seen as one of the most difficult subjects by pupils and adults alike”. Matematika dipandang sebagai pelajaran yang paling sulit oleh anak-anak maupun orang dewasa. Faux (2007: 2) juga menulis “mathematics has always been a difficult subject, both for the teacher and the taught”. Matematika selalu menjadi pelajaran yang sulit baik untuk guru maupun untuk mengajar. Menurut Pujiati (2004: 1) objek matematika adalah benda pikiran yang sifatnya abstrak dan tidak dapat diamati dengan pancaindra. Karena itu wajar apabila matematika tidak mudah dipahami oleh kebanyakan siswa. Apalagi bagi siswa usia sekolah dasar yang secara teoritis perkembangan intelektualnya masih berada pada tahap operasional konkret akan mengalami kesulitan untuk memahami ide-ide yang abstrak apabila ide-ide yang abstrak itu tidak dimanipulasi ke dalam bentuk konkret. Hal itu dimungkinkan karena pada usia sekolah dasar daya abstraksi anak masih sangat lemah. Dalam upaya mengkonkretkan hal-hal yang abstrak itu perlu adanya alat peraga dalam pembelajaran matematika. Menurut Pujiati (2004: 3) alat peraga dapat menurunkan keabstrakan konsep-konsep matematika sehingga lebih mudah dimaknai. Selain itu, menurut Ruseffendi (1992: 140) dengan alat peraga siswa dapat melihat, meraba, mengungkapkan dan memikirkan secara langsung obyek yang sedang dipelajari. Konsep abstrak yang disajikan dengan bantuan alat peraga akan dapat dipahami dan dimengerti serta dapat ditanamkan pada tingkat-tingkat yang lebih rendah. Menurut Bruner (Bell, 1981: 143) adalah baik bagi siswa untuk memulai dengan representasi konkret dari
konsep, prinsip atau aturan yang ingin diformulasikan. Hal ini dikarenakan pada tahap awal belajar konsep, pemahaman bergantung pada aktivitas konkret yang siswa lakukan ketika mereka menyusun representasi dari masing-masing konsep tersebut. Hal senada dikemukakan juga oleh Dienes (Bell, 1981: 142), bahwa setiap konsep atau prinsip matematika dapat dipahami lebih baik hanya jika pertama disajikan kepada siswa melalui beragam bentuk konkret yang merupakan representasi fisik dari konsep yang sedang dipelajari yang dalam hal ini adalah alat peraga. Lebih lanjut, menurut Ruseffendi (1992: 141) alat peraga untuk menerangkan konsep matematika itu dapat berupa benda nyata (konkret) dan dapat pula berupa gambar atau diagramnya (semi konkret). Menurut Prihandoko (-: 2) alat peraga yang berupa benda real adalah benda-benda yang dapat dipindah-pindahkan atau dimanipulasi dan tidak dapat disajikan dalam bentuk buku (tulisan). Alat peraga berupa gambar atau diagram adalah bentuk tulisan yang dibuat gambarnya atau diagramnya dan tidak dapat dimanipulasi. Ruseffendi (1992: 140) menegaskan bahwa penggunaan alat peraga secara efektif membuat pelajaran matematika menjadi lebih menarik dan menyenangkan. Sementara itu Setiawan (2004: 14) mengungkapkan bahwa salah satu hambatan dalam pembelajaran matematika adalah bahwa banyak siswa yang tidak tertarik pada matematika itu sendiri. Selain itu, Shumway (1980: 377) mengatakan bahwa “…a significant number of students have poor attitude toward mathematics”. Dengan alat peraga siswa dapat terlibat aktif dalam kegiatan pembelajaran, aktivitas mentalnya menjadi lebih hidup sehingga dapat membangkitkan gairah terhadap pembelajaran matematika. Penggunaan alat peraga membantu siswa mengkonstruksi pengetahuan
dalam ranah kognitifnya. Siswa tidak menerima begitu saja pengetahuan dari guru tetapi menemukannya sendiri. Dengan demikian pembelajaran menjadi lebih bermakna, menarik dan menyenangkan sehingga dapat menghindari terbentuknya sikap negatif siswa terhadap matematika. Jelas terlihat bahwa alat peraga mempunyai peranan yang sangat penting dalam pembelajaran matematika. Oleh karena itu guru harus dibekali dengan pengetahuan dan keterampilan yang memadai agar dapat menggunakan alat peraga secara efektif. Keefektifan penggunaan alat peraga dapat dilihat dari ketuntasan belajar siswa. Hasil penelitian Tim PPPG Matematika Yogyakarta (2006: 1) menunjukkan bahwa salah satu permasalahan yang berkaitan dengan pengelolaan proses belajar mengajar mata pelajaran matematika di sekolah dasar adalah kurangnya pengetahuan guru SD tentang bagaimana cara membuat dan menggunakan alat peraga dalam pembelajaran matematika serta terbatasnya dana dan sarana. Hal ini menyebabkan penggunaan alat peraga menjadi tidak efektif dan berdampak buruk pada persentase ketuntasan belajar siswa. Selain itu, Surapranata, (2007: 25) berhasil menunjukkan bahwa masih banyak guru matematika yang kurang terlatih. Hal ini dapat dilihat dari tiga indikator utama, yakni rendanya tingkat pendidikan dan kurangnya pengembangan professional. Hasil penelitian Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Matematika Yogyakarta (2007: i) juga menunjukkan bahwa hampir sebagian besar guru matematika SD masih menggunakan cara-cara tradisional pada proses pembelajarannya. Mereka masih menggunakan paradigma memindahkan pengetahuan dari otak guru ke otak siswa. Siswa menjadi subjek pasif yang
hanya menerima kucuran ceramah guru tentang pengetahuan. Rutinitas seperti ini membuat siswa bosan, tidak tertarik pada matematika dan berpotensi membentuk sikap negatif siswa terhadap matematika. Dengan alat peraga rutinitas seperti ini dapat diminimalisir sehingga proses pembelajaran berlangsung lebih efektif dan menyenangkan. Mengingat pentingnya alat peraga dalam pengajaran matematika, maka perlu diadakan penelitian terkait dengan penggunaan alat peraga, terutama pada pembelajaran matematika di SD. Hal ini penting untuk upaya mereduksi hal-hal negatif terkait penggunaan alat peraga dan agar dapat dimanipulasi untuk meningkatkan prestasi belajar matematika siswa yang secara umum masih tergolong rendah bila dibandingkan dengan prestasi belajar siswa pada mata pelajaran lain. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan dalam suatu desain eksperimen semu dengan menggunakan model the pretes postes non-equivalent control group desain. Penelitian ini melibatkan empat kelompok siswa. Dua kelompok dari sekolah kategori tinggi dan dua kelompok dari sekolah kategori rendah. Dari masing-masing kategori diambil secara acak satu kelompok menjadi kelompok eksperimen dan lainnya menjadi kelompok kontrol, sehingga diperoleh dua kelompok eksperimen dan dua kelompok kontrol. E1(eksperimen 1) adalah kelompok siswa sekolah kategori tinggi yang diajar menggunakan alat peraga konkret. E2 (eksperimen 2) adalah kelompok siswa sekolah kategori rendah yang diajar menggunakan alat peraga konkret. K1 (kontrol 1) adalah kelompok siswa sekolah kategori tinggi yang diajar menggunakan alat peraga semi konkret. K2 (kontrol 2) adalah kelompok siswa sekolah kategori
rendah yang diajar menggunakan alat peraga semi konkret. Pembelajaran dilakukan oleh masing-masing guru di sekolah. Tempat pelaksanaan penelitian ini adalah SD Negeri Bolo 1 dan SD Negeri Bolo. Penelitian dilaksanakan pada semester genap tahun pelajaran 2013/2014, tepatnya pada bulan Januari sampai Februari 2014. Populasi yang diambil adalah seluruh siswa kelas V SD Negeri di Kecamatan Madapangga, Kabupaten Bima, Provinsi Nusa Tenggara Barat sebanyak 30 sekolah. Dari populasi diambil dua sekolah yaitu SD Negeri Bolo 1 dan SD Negeri Bolo 2 sebagai sampel penelitian. Jumlah sampel seluruhnya adalah 124 orang. Variabel penelitian ini terdiri atas variabel bebas, variabel terikat, dan variabel kontrol. Variabel bebas meliputi metode pembelajaran dan kategori sekolah. Metode pembelajaran terdiri atas dua macam yaitu pembelajaran menggunakan alat peraga konkret dan pembelajaran menggunakan alat peraga semi konkret. Kategori sekolah terdiri atas dua macam yaitu sekolah kategori tinggi dan sekolah kategori rendah. Pengkategorian ini berdasarkan rata-rata nilai ujian sekolah daerah SD/MI Provinsi Nusa Tenggara Barat tahun pelajaran 20011/2012. Sedangkan variabel terikat mencakup prestasi dan ketuntasan belajar matematika siswa. Sedangkan yang bertindak sebagai variabel kontrol adalah nilai pretes. Teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah tes. Sedangkan instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data berbentuk tes berupa seperangkat soal pilihan ganda dengan empat alternatif jawaban. Materi tes ditentukan berdasarkan materi ajar bidang studi matematika kelas V SD sesuai standar isi pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jumlah soal 30 butir yang disusun berdasarkan spesifikasi soal.
Jumlah ini dinilai cukup memadai karena sudah mencakup seluruh materi dan alokasi waktu yang diberikan. Instrumen tes divalidasi dengan teknik expert judgment. Guna mengetahui daya beda butir dilakukan uji coba instrumen pada dua SD yaitu SDN Sila 9 dan SDN Inpres Tambe. Subjek uji coba adalah siswak kelas VI SD. Reliabilitas instrumen dihitung dengan rumus Alpha Cronbach. Teknik yang digunakan untuk mengetahui perbedaan prestasi belajar matematika adalah anakova dilanjutkan dengan uji Tukey Kramer. Sebelum data dianalisis dengan anakova, dilakukan uji asumsi analisis yang meliputi uji normalitas, homogenitas varians, linearitas, dan koefisien regresi pada tiap kelompok bersifat homogen. Sedangkan untuk mengetahui ketuntasan belajar matematika siswa digunakan uji chi-kuadrat. Siswa sekolah kategori tinggi dikatakan tuntas belajar matematika jika nilai tes akhir ≥ 65, sedangkan siswa sekolah kategori rendah dikatakan tuntas dalam belajar matematika jika nilai tes akhir ≥ 60. Pembelajaran masing-masing kelompok dikatakan tuntas jika minimal 75% siswa tuntas belajar. Kriteria ketuntasan belajar matematika ini selanjutnya dijadikan kriteria untuk menentukan keefektifan penggunaan alat peraga dalam pembelajaran matematika. HASIL-HASIL PEMBAHASAN Hasil analisis menggunakan anakova memberikan nilai Fhitung = 9,324, sedangkan nilai Ftabel yaitu F0.05;3,119 = 2,6813 yang memberikan implikasi bahwa ada perbedaan prestasi belajar matematika yang signifikan di antara keempat kelompok perlakuan. Hasil perhitungan anakova disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Tabel Anakova Sumber Variasi
Juml ah
df
Rerat a
Fhit
F0.05;3
ung
,119
Kuad rat
Antar group, Aadj (metode pembelajaran)
314, 712
k-1 = 3
Dalam group, Sadj
1338 ,83
Totaladj
1653 ,54
N-k1= 119 N-2 = 122
Juml ah Kuad rat 104, 904
9, 32 4
2,68 13
11,2 51
Selanjutnya untuk mengetahui pasangan mana yang memiliki perbedaan yang signifikan dilakukan uji Tukey-Kramer pada α = 0,05. Hasil uji Tukey-Kramer secara ringkas disajikan pada Tabel 2. Dari Tabel 2 terlihat bahwa pada taraf kepercayaan 95% terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok E1-K1, E2-K1, E2-K2, dan E1-K1. Sedangkan perbandingan rata-rata E1-E2, dan K1-K2 tidak berbeda secara signifikan. Tabel 2 Ringkasan Hasil Uji Tukey-Kramer
E1-K1
Selisis ratarata postes yang disesua ikan 3,437
E1-E2
1,016
1,6786
E1-K2
3,873
6,3988
E2-K1
2,421
E2-K2
2,857
3,9998 4 4,9666
K1-K2
0,436
Uji antar Kelom pok
qTKHitu
Q0,05;
ng
4,119
5,4421
3,68 1 3,68 1 3,68 1 3,68 1 3,68 1 3,68 1
0,7203 4
Kesimpulan
Signifikan Tidak signifikan Signifikan Signifikan Signifikan Tidak signifikan
Berdasarkan hasil analisis di atas dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar matematika siswa yang diajar menggunakan alat peraga konkret lebih tinggi dari pada prestasi belajar matematika siswa yang diajar menggunakan alat peraga semi konkret, baik untuk siswa sekolah kategori tinggi maupun untuk siswa sekolah kategori rendah.
Hasil uji Tukey-Kramer memperlihatkan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara kelompok E1K1, dan ada perbedaan yang signifikan antara kelompok E2-K2. Bahkan uji Tukey-Kramer membuktikan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara kelompok E2-K1, yaitu antara kelompok siswa sekolah kategori rendah yang diajar menggunakan alat peraga konkret dengan kelompok siswa sekolah katogori tinggi yang diajar menggunakan alat peraga semi konkret. Pada kasus ini dapat disimpulkan bahwa siswa sekolah kategori rendah yang diajar menggunakan alat peraga konkret akan mencapai prestasi yang lebih tinggi dari pada siswa sekolah kategori tinggi yang diajar menggunakan alat peraga semi konkret. Fakta ini meyakinkan kita bahwa ada perbedaan yang signifikan antara prestasi belajar matematika siswa yang diajar menggunakan alat peraga konkret dengan prestasi belajar matematika siswa yang diajar menggunakan alat peraga semi konkret. Dalam pembelajaran menggunakan alat peraga semi konkret siswa hanya sedikit terbantu untuk memahami konsep yang abstrak. Hal ini dikarenakan siswa hanya berhadapan dengan gambar-gambar atau diagramdiagram yang tidak dapat manipulasi. Daya tangkap siswa terhadap konsep yang dipelajari lamban dan kemampuan untuk menginternalisasikan materi yang dipelajari pun terhambat. Dalam kondisi seperti ini, pemahaman siswa sangat bergantung pada kemampuannya mercermati dan menganalis gambargambar atau diagram tersebut. Padahal secara teoritis anak-anak usia sekolah dasar masih berada pada tahap operasional konkret. Mereka masih membutuhkan benda-benda konkret, tidak hanya dalam wujud gambar atau diagram, sebagai jembatan untuk berpikir abstrak. Hasil uji TukeyKramer memberi informasi bahwa tidak
ada perbedaan prestasi siswa sekolah kategori tinggi dengan prestasi siswa sekolah kategori rendah yang diajar menggunakan alat peraga semi konkret. Hal ini disebabkan karena siswa kurang mampu menganalis gambar-gambar atau diagram-diagram yang merupakan representasi dari konsep-konsep yang sedang mereka pelajari. Baik siswa dari sekolah kategori tinggi maupun siswa dari sekolah kategori rendah akan mengalami kesulitan bila alat peraga yang digunakan hanya terbatas pada alat peraga semi konkret berupa gambargambar. Sementara itu pada pembelajaran menggunakan alat peraga konkret siswa lebih terbantu untuk memahami konsep-konsep yang abstrak. Dengan alat peraga konkret siswa dapat melihat, memegang, memutarbalik, mengutak-atik, atau semacamnya sehingga siswa meresa dekat dengan apa yang dipelajarinya. Dengan melihat, memegang, meraba dan mengutak-atik alat peraga siswa terbantu daya ingatannya. Pemanfaatan alat peraga membuat pembelajaran menjadi lebih bermakna dan mudah dimaknai, sebab siswa dihadapkan dengan peristiwa atau keadaan yang sebenarnya, keadaan yang alami, sehinggga lebih nyata, lebih faktual dan kebenarannya lebih dapat diterima oleh siswa. Dengan kata lain, siswa akan lebih cepat memahami konsep yang abstrak ketika mereka berhadapan langsung dengan reprentasi konkret dari apa yang sedang mereka pelajari. Hasil uji Tukey-Kramer memperlihatkan bahwa tidak ada perbedaan yang siginifikan antara prestasi belajar matematika siswa sekolah kategori tinggi dengan prestasi belajar matematika siswa sekolah kategori rendah yang diajar menggunakan alat peraga konkret. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa siswa sekolah kategori rendah akan mempunyai prestasi yang sama dengan siswa
sekolah kategori tinggi bila diajar menggunakan alat peraga konkret. Data postes memberikan gambaran frekuensi siswa tuntas belajar secara klasikal. Data ketuntasan belajar masing-masing kelompok disajikan pada Tabel 3. Data ketuntasan belajar memperlihatkan bahwa pada pretes semua kelompok tidak tuntas belajar, sedangkan pada postes kelompok E1 mencapai persentase ketuntasan paling tinggi yaitu 100 %, menyusul berturutturut kelompok E2 85,3 %, kelompok K1 71,43 % dan yang terakhir adalah kelompok K2 67,65 %. Berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan dapat disimpulkan bahwa pembelajaran menggunakan alat peraga konkret efektif baik pada sekolah kategori tinggi maupun pada sekolah kategori rendah. Sedangkan pembelajaran menggunakan alat peraga semi konkret tidak efektif baik pada sekolah kategori tinggi maupun pada sekolah kategori rendah. Tabel 3 Data Ketuntasan Belajar Pretes K el .
E 1 E 2 K 1 K 2
Postes
Persentase Ketuntasan Ju ml ah sis wa
Tu nta s
Bel um Tu nta s
Tun tas
6
22
28
Be lu m Tu nt as 0
8
26
29
5
34
3
25
20
8
28
4
30
23
11
34
28
Pret es
Poste s
21,4 3 23,5 3 10,7 1 11,7 6
100 % 85,3 % 71,43 % 67,65 %
Tabel 4 Ringkasan Hasil Uji Chi-kuadrat Ketuntasan Belajar Uji antar kelompok E1- K1
x2hitung
Kesimpulan
7,1458
E1- E2
2,714957
E1-K2
8,907409
E2-K1
1,042937
Berbeda signifikan Tidak berbeda signifikan Berbeda signifikan Tidak berbeda signifikan
E2-K2
2,043269
K1-K2
0,001993
Tidak berbeda signifikan Tidak berbeda signifikan
Uji chi-kuadrat (𝑥 2 ) digunakan untuk membandingkan ketuntasan belajar klasikal antara dua kelompok perlakuan. Ringkasan hasil uji Chikuadrat disajikan pada Tabel 4. Dari Tabel 4 terlihat bahwa pada taraf signifikansi 95% terdapat perbedaan yang signifikan antara ketuntasan belajar kelompok E1-K1 dan E1-K2. Sementara itu, uji perbandingan ketuntasan belajar kelompok E1-E2, E2-K1, E2-K2, dan K1-K2 tidak berbeda secara signifikan. Hasil uji Chi-kuadrat menunjukkan bahwa ketuntasan belajar siswa sekolah kategori tinggi yang diajar menggunakan alat peraga konkret secara signifikan lebih tinggi daripada ketuntasan belajar siswa sekolah kategori tinggi yang diajar menggunakan alat peraga semi konkret. Sementara itu ketuntasan belajar siswa sekolah kategori rendah yang diajar menggunakan alat peraga konkret tidak lebih tinggi daripada ketuntasan belajar siswa sekolah kategori rendah yang diajar menggunakan alat peraga semi konkret. Hal ini menurut penulis disebabkan oleh faktor-faktor yang tidak diperhitungkan dalam penelitian ini, yaitu sikap, minat, motivasi, dan kepercayaan diri atau kecemasan siswa dan juga faktor guru. Faktor-faktor ini secara teoritis turut berpengaruh terhadap prestasi belajar siswa. Siswa yang bersikap negatif terhadap matematika misalnya, tidak termotivasi dalam belajar matematika, mereka menjadi malas dan menganggap matematika sebagai pelajaran yang tidak berguna. Belajar matematika bagi mereka adalah hal yang membosankan. Kondisi seperti ini akan sangat mempengaruhi hasil belajar yang diperoleh siswa. Contoh lain, siswa yang kurang percaya diri atau cemas
terhadap matematika, akan menjadi pesimis, menganggap dirinya tidak mampu belajar matematika, dan dengan demikian menutup kemungkinan untuk belajar lebih banyak tentang matematika. Dalam kasus seperti ini guru harus mampu membangkitkan kembali semangat siswa dalam belajar matematika dan mengubah pandangan negatif siswa terhadap matematika. Namun, terlepas dari keterbatasan ini, hasil perhitungan persentase ketuntasan belajar menunjukkan bahwa pembelajaran matematika menggunakan alat peraga konkret pada siswa sekolah kategori rendah tuntas, sedangkan pembelajaran matematika menggunakan alat peraga semi konkret pada siswa sekolah kategori rendah tidak tuntas. Dengan demikian walaupun keduanya tidak berbeda secara signifikan, pembelajaran matematika menggunakan alat peraga konkret tetap lebih baik, karena ternyata siswa yang diajar menggunakan alat peraga konkret baik pada sekolah kategori tinggi maupun sekolah kategori rendah tuntas belajar sedangkan siswa yang diajar menggunakan alat peraga semikonkret baik pada sekolah kategori tinggi maupun sekolah kategori rendah tidak tuntas belajar Penggunaan alat paraga konkret dalam pembelajaran matematika dapat mempercepat proses internalisasi konsep yang sedang dipelajari sehingga proses pemahamannya menjadi lebih mudah dan ketuntasan belajar pun menjadi lebih tinggi. Penggunaan alat peraga berpengaruh positif terhadap daya ingatan siswa, sebab siswa berhadapan langsung dengan objek yang dipelajarinya. Selain itu pemanfaatan alat peraga membangkitkan semangat siswa dalam belajar, mengakomodasi perbedaan individual dan mempermudah penemuan berbagai konsep dalam matematika. Semuanya ini akan
berpengaruh pada ketuntasan belajar siswa. Sementara itu penggunaan alat peraga semi konkret kurang menolong siswa dalam belajar matematika, terutama pada siswa sekolah dasar yang secara teoritis masih berada pada tahap operasional konkret. Hal ini akan bermuara pada rendahnya pencapaian ketuntasan belajar siswa. Namun hal ini tidak berlaku untuk semua sekolah. Hasil analisis menggunakan uji Chikuadrat menunjukkan bahwa ketuntasan belajar siswa sekolah kategori rendah yang diajar menggunakan alat peraga konkret tidak lebih tinggi daripada ketuntasan belajar siswa sekolah kategori rendah yang diajar menggunakan alat peraga semi konkret. Hal ini tentu dipengaruhi oleh faktorfaktor lain yang tidak terkontrol, mengingat banyaknya faktor yang berpengaruh terhadap ketuntasan belajar siswa. Kesimpulan Berdasarkan hasil uji hipotesis dan pembahasan, diperoleh kesimpulan sebagai berikut. 1. Prestasi belajar matematika siswa sekolah kategori tinggi yang diajar menggunakan alat peraga konkret lebih tinggi dari pada prestasi belajar matematika siswa sekolah kategori tinggi yang diajar menggunakan alat peraga semi konkret. 2. Prestasi belajar matematika siswa sekolah kategori rendah yang diajar menggunakan alat peraga konkret lebih tinggi dari pada prestasi belajar matematika siswa sekolah kategori rendah yang diajar menggunakan alat peraga semi konkret. 3. Ketuntasan belajar matematika siswa sekolah kategori tinggi yang diajar menggunakan alat peraga konkret lebih tinggi dari
pada ketuntasan belajar matematika siswa sekolah kategori tinggi yang diajar menggunakan alat peraga semi konkret. 4. Ketuntasan belajar matematika siswa sekolah kategori rendah yang diajar menggunakan alat peraga konkret tidak lebih tinggi dari pada ketuntasan belajar matematika siswa sekolah kategori rendah yang diajar menggunakan alat peraga semi konkret. 5. Siswa yang diajar menggunakan alat peraga konkret baik pada sekolah kategori tinggi maupun sekolah kategori rendah tuntas dalam belajar matematika, sedangkan siswa yang diajar menggunakan alat peraga semi konkret baik pada sekolah kategori tinggi maupun sekolah kategori rendah tidak tuntas dalam belajar matematika. Daftar Pustaka. Bell, F. H. (1981). Teaching and learning mathematics (in secondary schools). Iowa: Wm. C. Brown Company. Faux, G. (2007). Reflection [Versi electronic]. ProQuest Educational Journals, 205, 2-3. Muijs, D. & Reynolds, D. (2005). Effective teaching evidence and practice. London: SAGE Publications. Prihandoko. (-) Bab I Pendahuluan. Diambil pada tanggal 15 Juli 2008, dari http://elearning.unej.ac.id/courses/ MPK004/document/Bab1.pdf?cid Req=MP K004 Pujiati. (Oktober 2004). Penggunaan alat peraga dalam pembelajaran
matematika SMP. Makalah disajikan pada Diklat Instruktur/Pengembangan Matematika SMP Jenjang Dasar, di PPPG Matematika Yogyakarta. Pusat
Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Matematika. (2007). Pengkajian identifikasi kesulitan guru SD dalam melaksanakan pembelajaran matematika yang mengacu standar isi pada permendiknas no. 22 tahun 2006. Yogyakarta: Depdikbud.
Ruseffendi, E.T. (1992). Materi pokok pendidikan matematika 3. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Pembinaan Tenaga Kependidikan Pendidikan Tinggi. Shumway, R. J. (Ed.). (1980). Research in mathematics education. Virginia: The National Council of Teacher of Mathematics, Inc. Sumarna Surapranata. (2007). Pengembangan kualitas pendidikan di masa datang. Makalah disampaikan dalam orientasi studi mahasiswa baru dalam mata kuliah perdana Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta Tahun Akademik 2007/2008. Tim PPPG Matematika. (2006). Alat peraga sebagai media dalam pembelajaran matematika: pendidikan dan pelatihan guru pemandu/pengembang SD di daerah jenjang dasar. Yogyakarta: Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jendral Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan.
KESESUAIAN SARANA PRASARANA LABORATORIUM IPA DITINJAU DARI PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NO.32 TAHUN 2013 DI SMP SE-KECAMATAN BELO. SKRIPSI. PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA SRI MINARTI Staf Prodi Pendidikan Fisika STKIP taman Siswa Bima
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap dan mengetahui kesesuaian antara kondisi sarana prasarana laboratorium IPA di SMP Negeri Se Kecamatan Belo dengan kondisi standar sarana prasarana laboratorium sesuai Peraturan Pemerintah RI Nomor 32 Tahun 2013. Penelitian ini menggunakan penelitian deskriptif kualitatif, dengan populasi berjumlah 3 SMP Negeri di Kecamatan Belo. sampel dalam penelitian ini berjumlah 3 responden. Instrumen kunci dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri dan didukung dengan menggunakan lembar observasi, pedoman wawancara dan dokumentasi yang berupa foto penelitian. Data penelitian ini dianalisis dengan rumus porsentase. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kesesuaian sarana prasarana laboratorium IPA SMP Negeri sekecamatan Belo di: (1) SMP Negeri 1 Belo masih kurang sesuai yang ditunjukkan oleh persentase pada: (a) prasarana laboratorium untuk indikator area kerja/praktikum, penyimpanan, dan persiapan 56%, indikator perabot 42.50%, indikator perlengkapan lainnya 36%; (b) sarana laboratorium untuk indikator peralatan pendidikan 58.04%.; (2) di SMP Negeri 2 Belo menunjukkan bahwa kesesuaian sarana prasana laboratorium IPA sangat sesuai dengan standar yang ditunjukkan oleh persentase pada: (a) prasarana laboratorium untuk indikator area kerja/praktikum, penyimpanan 100%, indikator perabot 97.50%, indikator perlengkapan lainnya 64%; (b) sub variable sarana laboratorium untuk indikator peralatan pendidikan 77.00%.; (3) Sedangkan di SMP Negeri 3 Belo menunjukkan bahwa kesesuaian sarana prasana laboratorium IPA tidak sesuai dengan standar yang ditunjukkan oleh persentase pada: (a) prasarana laboratorium untuk indikator area kerja/praktikum, penyimpanan 100%, indikator perabot 20.00%, indikator perlengkapan lainnya 20%; (b) sub variable sarana laboratorium untuk indikator peralatan pendidikan 20.00%. Berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa secara umum kondisi laboratorium IPA di seluruh SMP Negeri di Kecamatan Belo sebagian besar belum sesuai dengan Standar Sarana Prasarana Laboratorium sesuai Peraturan Pemerintah RI Nomor 32 Tahun 2013. Kata Kunci: Kesesuaian, Standar Sarana Prasarana laboratorium IPA, kondisi laboratorium IPA, SMP.
PENDAHULUAN Pendidikan merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam pembentukkan dan pengembangan sumber daya manusia dalam
menghadapi kemajuan zaman. Pendidikan memegang peranan penting dalam mempersiapkan sumber daya manusia pada masa yang akan datang. Pendidikan merupakan kegiatan komunikasi antar manusia, sehingga
dapat tumbuh dan berkembang sebagai manusia yang utuh (Sudjana, 2000:12).Kegiatan komunikasi antar manusia terjadi dalam suatu proses pembelajaran yang terjadi di lingkungan sekolah. Sekolah sebagai bentuk organisasi diartikan sebagai wadah dari kumpulan manusia yang bekerja sama untuk mencapai tujuan tertentu yakni tujuan pendidikan. Keberhasilan program pendidikan dalam proses belajar mengajar sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu siswa, kurikulum, tenaga kependidikan, dana, prasarana dan sarana, dan faktor lingkunganlainnya. Apabila faktor tersebut terpenuhi dengan baik dan bermutu serta proses belajar bermutu pada gilirannya akan menghasilkan meningkatkan mutu pendidikan di Negara kita ini. Salah satu faktor yang mendukung keberhasilan program pendidikan dalam proses pembelajaran yaitu sarana dan prasarana. Prasarana dan sarana pendidikan adalah salah satu sumber daya yang menjadi tolak ukur mutu sekolah dan perlu peningkatan terus menerus seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang cukup canggih.Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Kecamatan Belo dituntut untuk selalu melakukan pengembangan dan peningkatan pendidikan dengan tujuan untuk mengembangkan potensi akademik dan kepribadian siswa yang sesuai dengan kompetensinya. Berbagai upaya dilakukan salah satunya pada penunjang sarana prasaran laboratorium khususnya laboratorium IPA terus dikembangkan dan ditingkatkan.Apakah peningkatan yang dilakukan sesuai dengan standar Peraturan Pemerintah RI Nomor 32 Tahun 2013? Sarana prasarana adalah salah satu bagian input, sedangkan input merupakan salah satu subsistem. Sarana prasarana sangat perlu dilaksanakan
untuk menunjang keterampilan siswa agar siap bersaing terhadap pesatnya teknologi.Sarana prasarana merupakan bagian penting yang perlu disiapkan secara cermat dan berkesinambungan, sehingga dapat dijamin selalu terjadi KBM yang lancar.Dalam penyelenggaraan pendidikan, sarana prasarana sangat dibutuhkan untuk menghasilkan KBM yang efektif dan efisien berdasarkan standar Standar Nasional Pendidikan. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2013 tentang Standar Nasional Pendidikan yang menyangkut standar sarana dan prasarana pendidikan secara nasional pada Bab VII Pasal 42 dengan tegas disebutkan bahwa: (a) Setiap satuan pendidikan wajib memiliki sarana yang meliputi perabot, peralatan pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber belajar lainnya, bahan habis pakai, serta perlengkapan lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan. (b) Setiap satuan pendidikan wajib memiliki prasarana yang meliputi lahan, ruang kelas, ruang pimpinan satuan pendidikan, ruang pendidik, ruang tata usaha, ruang perpustakaan, ruang laboratorium, ruang bengkel kerja, ruang unit produksi, ruang kantin, instalasi daya dan jasa, tempat berolah raga, tempat beribadah, tempat bermain, tempat berkreasi, dan ruang/tempat lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan.(http://endah.blogspot.co m, diakses tanggal10/5/2013). Hal tersebut tentu sesuai bagi Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang berada di kota, kebutuhan akan sarana dan prasarana tentunya tercukupi dengan baik, namun sebagian SMP di pedesaan hal ini menjadi kebalikan dari sekolah di kota. Bagaimana mutu pendidikan di Indonesia ini akan meningkat sedangkan pemerintah masih kurang memperhatikan fasilitas baik
sarana maupun prasarana di sekolahsekolah terpencil yang jauh dari kota, terutama kebutuhan akan sarana dan prasarana penunjang pembelajaran IPA. Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berkaitan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja tetapi juga merupakan suatu prosespenemuan. Pembelajaran IPA diharapkan dapat menjadi wahana bagi peserta didik untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitar, serta prospek pengembangan lebih lanjut dalam menerapkannya di dalam kehidupan sehari-hari. Proses pembelajarannya menekankan pada pemberian pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi agar menjelajahi dan memahami alam sekitar secara ilmiah. Di tingkat SMP/MTs diharapkan ada penekanan pembelajaran Salingtemas (Sains, lingkungan, teknologi, dan masyarakat) secara terpadu yang diarahkan pada pengalaman belajar untuk merancang dan membuat suatu karya melalui penerapan konsep IPA dan kompetensi bekerja ilmiah misalnya dengan menggunakan metode eksperimen dan demonstrasi, sehingga pelaksanaan pembelajaran IPA sangat memerlukan laboratorium. Belajar IPA akan menghasilkan produk IPA itu sendiri, cara berpikir ilmiah, dan sikap ilmiah. Ketiga hal tersebut dipelajari melalui kerja ilmiah yang dilakukan melalui kegiatan eksperimen di laboratorium. Untuk keperluan ini harus tersedia sarana dan prasarana laboratorium serta sistem pengelolaannya. Masalahnya adalah saat ini banyak sekolah/madrasah belum memiliki laboratorium.Selainitu juga keterbatasan pengelola laboratorium pada masing-masing sekolah, karena biasanya pengelola Laboratorium
adalah guru IPA yang bersangkutan, sehingga guru IPA harus mengetahui seluk beluk tentang laboratorium IPA. Selain itu guru IPA dan pengelola laboratorium juga harus mengetahui tentang alat dan bahan yang akan digunakan dalam laboratorium IPA baik yang berkaitan dengan biologi, fisika maupun kimia. Pada kenyataannya informasi yang masih kurang bagi pengelola laboratorium dan guru IPA SMP/MTs adalah tentang alat dan bahan yang diperlukan dalam eksperimen fisika baik penggunaannya maupun penyimpanannya serta untuk keselamatan dalamalat dan bahan kimia tersebut. Berdasarkan permasalahan di lapangan diperlukan pengadaan kembali pelatihan tentang alat dan bahan laboratoriumIPA. Hal ini untuk memudahkan guru dalam mengelola laboratorium IPA dan membelajarkan IPA.(http://inducation.blogspot.com, diakses tanggal 5/12/2012). Standar nasional pendidikan adalah kriteria minimum tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.Acuan dasar tersebut merupakan standar nasional pendidikan yang dimaksudkan untuk memacu pengelola, penyelenggara, dan satuan pendidikan agar dapat meningkatkan kinerjanya dalam memberikan layanan pendidikan yang bermutu.Selain itu, standar nasional pendidikan juga dimaksudkan sebagai perangkat untuk mendorong terwujudnya transparasi dan akuntabilitas publik dalam penyelenggaraan sistem pendidikan nasional.Standar nasional pendidikan memuat kriteria minimal tentang komponen pendidikan yang memungkinkan setiap jenjang dan jalur pendidikan untuk mengembangkan pendidikan secara optimal sesuai dengan karakteristik dan kekhasan programnya. Standar nasional pendidikan terdiri dari 17 BAB dan 97 Pasal, yaitu:
Bab I tentang ketentuan umum, dimana dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah mengenai pengertian: standar nasional pendidikan,pendidikan formal,pendidikan non formal, standar kompetensi kelulusan, standar isi, standar proses, standar pendidikan dan kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, standar penilaian, biaya operasional, kurikulum, peserta didik, penilaian, evaluasi, ulangan, ujian, akreditasi, BSNP,departemen,BANS/M,BAN-PNF,BAN-PT,dan menteri. Bab II tentang Lingkup, Fungsi,dan Tujuan. Dalam Pasal 2 Ayat 1, mengenai lingkup standar nasional pendidikan, ayat 2, untuk penjaminan dan pengendalian mutu pendidikan sesuai dengan SNP dilakukan evaluasi,akreditasi, badan sertifikasi, dan pada ayat 3, dijelaskan SNP disempurnakan secara terencana, terarah dan berkelanjutan. Kemudian pada pasal 3 dijelaskan SNP berfungsi sebagai dasar dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pendidikan dalam rangka mewujudkan pendidikan yang bermutu, serta dalam pasal 4 dijelaskan SNP bertujuan menjamin mutu pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradapan bangsa yang martabat. Bab III tentang Standar Isi, yang mencakup materi dan tingkat kompetensi. Untuk mencapai kompetensi lulusan pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu serta menjelaskan mengenai kerangka dasar dan struktur kurikulum, beban belajar, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), kalender pendidikan/akademik. Dijelaskan pendidikan meliputi SMP/MTs atau bentuk lain yang sederajat dengan beban belajar pada jalur pendidikan formal dinyatakan dalam satuan kredit semester. Bab IV tentang Standar Proses, menjelaskan tentang proses
pembelajaran pada satuan pendidikan. Diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif,serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreatifitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat minat dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik, perencanaan pembelajaran dan meliputi silabus dan RPP, penilaian hasil pembelajaran, pengawasan proses pembelajaran, dan semua kegiatan dikembangkan oleh BSNP. Bab V tentang Standar Kompetensi Lulusan. Pada bab ini, dijelaskan standar kompetensi lulusan digunakan sebagai pedoman penilaian dalam penentuan kelulusan peserta didik, kemudian standar kompetensi lulusan pada satuan pendidikan menengah umum bertujuan untuk meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta ketrampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut. Dan untuk menjelaskan seluruh kegiatan dikembangkan oleh BNSP. Bab VI tentang Standar Pendidikan dan Tenaga Kependidikan. Disini diterangkan pendidik harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional, serta disebutkan kualifikasi pendidik SMP/MTs, atau bentuk lain yang sederajat memiliki ijazah minimum diploma empat(D-IV) atau sarjana (S1), latar belakang pendidikan tinggi dengan program pendidikan yang sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan, dan sertifikat profesi guru untuk SMP/MTs. Dilanjutkan untuk tenaga kependidikan menjelaskan SMP/MTs atau bentuk lain yang sederajat terdiri atas kepala sekolah, tenaga administrasi, tenaga perpustakaan, tenaga laboratorium, dan tenaga kebersihan sekolah.
Bab VII berisi Standar Sarana dan Prasarana. Dijelaskan pada pasal 42 ayat 1 setiap satuan pendidikan wajib memiliki sarana dan prasarana yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran, kemudian Pasal 47 dikatakan untuk pemeliharaan sarana dan prasarana pendidikan menjadi tanggung jawab satuan pendidikan yang bersangkutan dan Pasal 48 standar sarana dan prasarana dikembangkan oleh BSNP. Bab VIII berisi Standar pengelolaan, pada Pasal 49 ayar 1 menyatakan pengelolaan satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah menerapkan manajemen berbasis sekolah yang ditunjukkan dengan kemandirian, kemitraan, partisipasi, keterbukaan, dan akuntabilitas, kemudian pasal 50 ayat 2 pada satuan pendidikan SMP/MTs atau bentuk lain yang sederajat kepala satuan pendidikan dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh satu wakil kepala satuan pendidikan. Bab IX tentang Standar Pembiayaan, dimana pembiayaan pendidikan terdiri atas biaya investasi, biaya operasi, dan biaya perdonal. Bab X tentang Standar Penilaian Pendidikan.Pada Pasal 63 ayat 1, dijelaskan penilaian pendidkikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri atas; (1) penilaian hasil belajar oleh pendidik, (2) penilaian hasil bejar oleh satuan pendidikan, (3) penilaian hasil belajar oleh pemerintah. Selanjutnya pada pasal 64 ayat 1 menjelaskan penilaian hasil belajar oleh pendidik dilakukan secara berkesinambungan untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil dalam bentuk ulangan harian, ulangan tengah semester, ulangan akhir semester, dan ulangan kenaikan kelas. BabXI tentang Badan Standar Nasional Pendidikan/BSNP,menjelaskandalam langkah pengembangan, pemantauan,
dan pelaporan pencapaian standar nasional pendidikan, dengan Peraturan Pemerintah ini dibentuk Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) yang bertugas membantu menteri dalam mengembangkan, memantau, dan mengendalikan standar nasional pendidikan. Bab XII tentang evaluasi, dijelaskan evaluasi kinerja pendidikan dilakukan oleh satuan pendidikan sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan, dan evaluasi dilakukan oleh satuan pendidikan pada akhir semester. Bab XIII tentang Akreditasi. Pada Pasal 86 ayat 1, menjelaskan pemerintah melakukan akreditasi pada setiap jenjang dan satuan pendidikan untuk memerlukan kelayakan program dan/atau satuan pendidikan, kemudian pada ayat 2, menjelaskan kewenangan akreditasi dapat pula dilakukan oleh lembaga mandiri yang diberi kewenangan oleh pemerintah untuk melakukan akreditasi, dan ayat 3, akreditasi adalah bentuk akuntabilitas publik dilakukan secara obyektif, adil, transparan, dan komprehensif dengan menggunakaninstrumen dan kriteria yang mengacu kepada Stándar Nasional Pendidikan. Bab XIV tentang Sertifikasi.Dalam pasal 89 ayat 1 dijelaskan pencapaian kompetensin akhir peserta didik dinyatakan dalam dokumen ijazah dan/atau sertifikat kompetensi.Bab XV tentang Penjaminan Mutu. Selanjutnya pada pasal 91 ayat 1 menjelaskan setiap satuan pendidikan pada jalur formal dan nonformalwajib melakukan penjaminan mutu pendidikan, dan ayat 2 menjelaskan penjaminan mutu bertujuan untuk memenuhi atau melampaui standar nasional pendidikan.Selanjutnya pada ayat 3 menjelaskan penjaminan mutu pendidikan dilakukan secara bertahap,
sistematis, dan terencanadalam suatu program penjaminan mutu yang memiliki target dan kerangka waktu yang jelas. Bab XVI berisi ketentuan Peralihan, dijelaskan bahwa Badan Akreditasi Nasional Sekolah (BASNAS), Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BANPT), Panitia Nasioanal Penilaian Buku Pelajaran (BNPBP) masih tetap menjalankan tugas dan fungsinya sampai dibentuknya badan baru berdasarkan Peraturan Pemerintah. Kemudian pada Bab XVII Ketentuan Penutup yang isinya agar semua orang mengetahui, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan menempatkannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. 1. Standar Sarana dan Prasarana Kegiatan pembelajaran mempunyai tujuan untuk mengembangkan potensi akademik dan kepribadian siswa yang sesuai dengan kompetensinya.Untuk mencapai kompetensinya maka sekolah harus menyediakan suatu fasilitas atau media untuk mendukung kegiatan pembelajaran. Berdasarkan Peraturan Pemerintah RI Nomor 32 Tahun 2013 tentang Standar Nasional Pendidikan yang menyangkut standar sarana dan prasarana pendidikan secara nasional pada Bab VII Pasal 42 dengan tegas disebutkan bahwa: (a) Setiap satuan pendidikan wajib memiliki sarana yang meliputi perabot, peralatan pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber belajar lainnya, bahan habis pakai, serta perlengkapan lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan. (b) Setiap satuan pendidikan wajib memiliki prasarana yang meliputi lahan, ruang kelas, ruang pimpinan satuan pendidikan, ruang pendidik, ruang tata usaha, ruang perpustakaan, ruang laboratorium, ruang bengkel kerja, ruang unit produksi, ruang kantin,
instalasi daya dan jasa, tempat berolah raga, tempat beribadah, tempat bermain, tempat bekreasi, dan ruang/tempat lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan. (http://mustafatope.wordpress.com/,diak ses tanggal 5/6/2013). a) Pengertian Sarana dan Prasarana Dalam khazanah peristilahan pendidikan sering disebut-sebut istilah sarana dan prasarana pendidikan.Kerap kali istilah itu digabung begitu saja menjadi sarana-prasarana pendidikan.Dalam bahasa Inggris sarana dan prasarana itu disebut dengan facility (facilities). Jadi, sarana dan prasarana pendidikan akan disebut educational facilities. Sebutan itu jika diadopsi ke dalam bahasa Indonesia akan menjadi fasilitas pendidikan. Fasilitas pendidikan artinya segala sesuatu (alat dan barang) yang memfasilitasi (memberikan kemudahan) dalam menyelenggarakan kegiatan pendidikan.(http://tatangmanguny.word press.com, diakses tanggal 2/6/2013). Sarana pendidikan adalah segala macam alat yang digunakan secara langsung dalam proses pendidikan. Sementara prasarana pendidikan adalah segala macam alat yang tidak secara langsung digunakan dalam proses pendidikan. Erat terkait dengan sarana dan prasarana pendidikan itu, dalam daftar istilah pendidikan dikenal pula sebutan alat bantu pendidikan (teaching aids), yaitu segala macam peralatan yang dipakai guru untuk membantunya memudahkan melakukan kegiatan mengajar. Alat bantu pendidikan ini yang pas untuk disebut sebagai sarana pendidikan. Jadi, sarana pendidikan dapat juga diartikan segala macam peralatan yang digunakan guru untuk memudahkan penyampaian materi pelajaran.Jika dilihat dari sudut murid, sarana pendidikan adalah segala macam peralatan yang digunakan murid untuk
memudahkan mempelajari mata pelajaran.Lalu prasarana pendidikan dapat juga diartikan segala macam peralatan, kelengkapan, dan bendabenda yang digunakan guru dan murid untuk memudahkan penyelenggaraan pendidikan. Perbedaan sarana pendidikan dan prasarana pendidikan adalah pada fungsi masing-masing, yaitu sarana pendidikan untuk memudahkan penyampaian/mempelajari materi pelajaran, sedangkan prasarana pendidikan untuk memudahkan penyelenggaraan pendidikan. Dalam makna inilah sebutan “digunakan langsung” dan “digunakan tidak langsung” dalam proses pendidikan seperti telah disinggung di awal dimaksudkan. Jelasnya, disebut “langsung” itu terkait dengan penyampaian materi (mengajarkan materi pelajaran), atau mempelajari pelajaran.Papan tulis, misalnya, digunakan langsung ketika guru mengajar (di papan tulis itu guru menuliskan pelajaran).Meja murid tentu tidak digunakan murid untuk menulis pelajaran, melainkan untuk “alas” murid menuliskan pelajaran (yang dituliskan di buku tulis; buku tulis itulah yang digunakan langsung). b) Standar Sarana dan Prasarana Laboratorium IPA Untuk menstandarkan sarana dan prasarana praktikum yang harus dimiliki sekolah maka dikeluarkanlah Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 24 Tahun 2007 Tanggal 28 Juni 2007 tentang standar sarana dan prasarana ruang laboratorium IPA untuk Sekolah Menengah Pertama (SMP). Dijeslakan dalam peraturan tersebut bahwa SMP harus memenuhi standar sarana dan prasarana minimum yang telah ditetapkan sesuai dengan bidang mata pelajaran. Hal ini merupakan salah satu upaya pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan khususnya pada jenjang pendidikan SMP dan/atau
sederajat agar selalu terjadi KBM yang lancar. Dalam penyelenggaraan pendidikan, sarana prasarana sangat dibutuhkan untuk menghasilkan KBM yang efektif dan efisien. Standar sarana dan prasarana laboratorium IPA yang terdapat pada Permendiknas Nomor 24 tahun 2007, adalah: (a) Ruang laboratorium IPA berfungsi sebagai tempat berlangsungnya kegiatanpembelajaran IPA secara praktek yang memerlukan peralatan khusus, (b) Ruang laboratorium IPA dapat menampung minimum satu rombongan belajar, (c) Rasio minimum luas ruang laboratorium IPA 2,4 m2/peserta didik. Untukrombongan belajar dengan peserta didik kurang dari 20 orang, luas minimumruang laboratorium 48 2 m termasuk luas ruang penyimpanan dan persiapan 18m2. Lebar minimum ruang laboratorium IPA 5 m, (d) Ruang laboratorium IPA dilengkapi dengan fasilitas untuk memberipencahayaan yang memadai untuk membaca buku dan mengamati obyekpercobaan, (e) Tersedia air bersih, dan (f) Ruang laboratorium IPA dilengkapi sarana sebagaimana tercantum pada lampiran. METODE PENELITIAN Metode penelitian merupakan upaya sistematika untuk mendapatkan pengetahuan yang dapat diandalkan kebenarannya guna menjawab masalah penelitian. Furchan (Amrozi, 2010: 38). Metode penelitian adalah strategi umum yang dianut dalam pengumpulan dan analisis data yang diperlukan, guna menjawab persoalan yang dihadapi.Sedangkan masalah itu sendiri disebabkan karena terdapat kesulitan keberadaan lingkungan hidup yang dihadapi atau semata-mata karena ada motivasi dari manusia itu sendiri yang ingin memiliki rasa ingin tahu. Dari pernyataan di atas, bahwa untuk mendapatkan pengetahuan yang
dapat diandalkan keberadaan dalam suatu penelitian dengan suatu metode tertentu yang bersifat ilmiah, maka dalam bab ini disajikan beberapa metode penelitian antara lain: (1) jenis penelitian; (2) tempat penelitian; (3) populasi dan sampel penelitian; (4) instrument penelitian;(5) teknik pengumpulan data; dan (6) teknik analisis data. Penelitian ini termasuk penelitian deskriptif, yaitu penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan atau melukiskan keadaan atau status fenomena. Metode penelitian yang digunakan bersifat deskriptif kualitatif, yaitu penelitian yang memiliki karakteristik bahwa datanya dinyatakan dalam keadaan sewajarnya atau sebagai mana adanya (Natural setting) dengan tidak dirubah dalam bentuk simbolsimbol atau bilangan.Nawawi(Jubaidah, 2011: 30). Penelitian deskriptif adalah suatu bentuk penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan fenomena-fenomena yang ada, baik fenomena alamiah maupun fenomena buatan manusia. Fenomena itu bisa berupa bentuk, aktivitas, karakteristik, perubahan, hubungan, kesamaan, dan perbedaan antara fenomena yang satu dengan fenomena lainnya. Sukmadinata (http://Ardhana12.wordpress.com, diakses tanggal 2/6/2013). Penelitian deskriptif adalah penelitian yang dirancang untuk memperoleh informasi tentang status suatu gejala saat penelitian dilakukan. Lebih lanjut dijelaskan, dalam penelitian deskriptif tidak ada perlakuan yang diberikan atau dikendalikan serta tidak ada uji hipotesis sebagaimana yang terdapat pada penelitian eksperimen.Furchan (http://Ardhana12.wordpress.com,diaks es tanggal 2/6/2013).
Penelitian ini bertempat di SMP Negeri se-kecamatan Belo. Yaitu SMP Negeri 1 Belo di desa Ngali, SMP Negeri 2 Belo di desa Cenggu, dan SMP Negeri 3 Belo di desa Ncera. Menurut Arikunto (2006: 210), yang dimaksud dengan populasi adalah keseluruhan subjek penelitian. Sugiyono (2011: 61) menjelaskan populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek/subjek yang mempunyai kualitas atau karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari kemudian ditarik kesimpulan. Jadi populasi dalam penelitian ini adalah seluruh penanggung jawab laboratorium IPA yang berjumlah 1 orang responden di setiap SMP Negeri se-kecamatan Belo yang terdiri dari 3 sekolah. Sampel adalah sebagian dari jumlah karakteristik yang dimiliki oleh populasi (Sugiyono, 2011: 62), sedangkan sampel adalah bagian dari keseluruhan individu yang menjadi subjek yang menurutkan diteliti (Arikunto, 2006: 211). Penetapan sampel dalam penelitian ini yaitu dengan teknikpurposive.Teknik purposive yaitu teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu. Teknik ini bisa diartikan sebagai suatu proses pengambilan sampel dengan menentukan terlebih dahulu jumlah sampel yang hendak diambil, kemudian pemilihan sampel dilakukan dengan berdasarkan tujuan-tujuan tertentu, asalkan tidak menyimpang dari ciri-ciri sampel yang ditetapkan.(Sugiyono, 2008:85).Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 1 responden tiap sekolah sehingga jumlah keseluruhan sampel adalah 3responden. Intrumen utama dalam penelitian iniyaitu peneliti itu sendiri.Sugiyono(2011: 223) menjelaskan dalam penelitian kualitatif instrument utamanya adalah peneliti
sendiri, namun selanjutnya setelah fokus penelitian menjadi jelas, maka akan dikembangkan instrument penelitian sederhana, yang diharapkan akan melengkapi data dan membandingkan dengan data yang telah ditemukan melalui observasi dan wawancara. Instrumen penelitian adalah suatu alat atau fasilitas yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data agar pekerjaan lebih mudah diolah. Arikunto (2006: 256). Instrumen penunjang yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar observasi dan wawancara. Observasi adalah pengamatan atau pencatatan secara sistematis terhadap unsur-unsur yang tampak pada suatu gejala atau gejala pada objek penelitian. (Sugiyono, 2011:146). Observasi dalam penelitian ini adalah observasi terstruktur yaitu observasi yang telah dirancang secara sistematis, tentang apa yang akan diamati, kapan dan dimana tempatnya dengan menggunakan lembar observasi. Wawancara adalah suatu percakapan yang diarahkan pada suatu percakapan masalah tertentu, ini merupakan proses tanya jawab lisan, dimana dua orang atau lebih. Wiwik (Jubaidah, 2011: 31). Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis dalam penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data.Sugiyono (Amrozi, 2010: 50). Tanpa mengetahui teknikteknik pengumpulan data, maka peneliti tidak akan mendapatkan data yang memenuhi standar data yang ditetapkan. Teknik yang digunakan mengumpulan data dalam penelitian ini, melalui tiga tahap, yaitu: tahap persiapan, tahap pengambilan data dan tahap penyelesaian. 1. Tahap persiapan Persiapan yang matang dan sistematis akan menuju pada pengumpulan data yang
dilaksanakan. Adapun tahapan persiapan yang dilaksanakan dalam penelitian ini, adalah: a. Mengembangkan insrumen penelitian dan mengadakan konsultasi dengan dosen pembimbing. b. Mempersiapkan perlengkapan atau media penelitian. c. Mengadakan observasi pada responden yang dijadikan subjek penelitian sesungguhnya. d. Mengurus surat izin penelitian yang berhubungan dengan penelitian ini. 2. Tahap pengambilan data Melakukan observasi berpartisipasi (partisipant observation) dengan membawa lembar observasi dan pedoman wawancara, serta dokumentasi berupa foto penelitian. 3. Tahap penyusunan data Sebagai langkah awal pengolahan data maka peneliti mengecek kembali kelengkapan jumlah instrumen yang telah disiapkan, kemudian peneliti menganalisis dari jawaban lembar observasi tersebut, sehingga akan memperoleh presentase jawaban responden secara kolektif. Furchan (Amrozi, 2010: 52) menjelaskan analisis data yang dikumpulkan adalah melihat kembali usulan penelitian guna memeriksa rencana penyajian data dan pelaksanaan analisis statistik yang telah ditetapkan semula. Untuk analisis jawaban responden dari pertanyaan tertutup diberikan skor sebagai berikut (Amrozi. 2010: 52): SS (Sangat Sesuai) = 5 S (Sesuai) = 4 KS (Kurang Sesuai) = 3
TS (Tidak Sesuai) = 2 STS (Sangat Tidak Sesuai) = 1 Data dalam penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif, maka dianalisa dengan menghitung porsentase standar sarana dan prasarana laboratorium IPA sesuai dengan standar dari PP. No.23 Republik Indonesia Tahun 2013.Arikunto (Amrozi, 2010: 53) menjelaskan untuk menganalisis masing-masing soal pada instrumen dapat menggunakan formula persentase. Adapun formula persentase yang digunakan adalah sebagai berikut: 𝑃𝑒𝑟𝑠𝑒𝑛𝑡𝑎𝑠𝑒 (%) ∑ 𝑠𝑘𝑜𝑟𝑡𝑖𝑎𝑝𝑖𝑛𝑑𝑜𝑘𝑎𝑡𝑜𝑟 = 𝑥 100% 𝑠𝑘𝑜𝑟𝑖𝑑𝑒𝑎𝑙 Jumlah skor tiap indikator, didapat dari total penjumlahan masingmasing skor jawaban x frekuensi dalam indikator. Skor ideal diperoleh dari hasil perkalian skor jawaban tertinggi dengan jumlah item dalam indikator. Kemudian hasil perhitungan persentase skor perolehan tiap item, dikonsultasikan dengan pedoman interprestasi data sebagaimana pada tabel 3.1 Tabel 3.1 Kriteria dan Kategori Pedoman Interprestasi Data No
Persentase
Kriteria
Kategori
1
0 – 20
Sedikit sekali
Sangat tidak sesuai
2
20,01– 40
Sebagian kecil
Tidak sesuai
3
40,01– 60
Sedang/Ratarata
Kurang sesuai
4
60,01 – 80
Sebagian besar
Sesuai
5
80,01 -100
Pada umumnya
Sangat sesuai
(Sumber: Amrozi, 2010:53) HASIL PENELITIAN Berdasarkan observasi yang telah disusun, tahap berikutnya peneliti melakukan kunjungan langsung kepada responden. Untuk mengetahui apakah item-item pertanyaan dapat dipahami atau tidak oleh responden serta\untuk
memperoleh saran dan masukan terhadap hal-hal yang terkait. Sesuai dengan rencana awal maka pelaksanaan observasi dilakukan di SMP Negeri Sekecamatan Belo.Lembar observasi di isi untuk mengetahui respon laboran terhadap kesesuaian sarana prasarana laboratorium IPA.Begitu juga untuk pedoman wawancara dan dokumentasi untuk menambah dan mendukungdata penelitian. Deskriptif Hasil Penelitian Data yang diperoleh dalam penelitian ini yaitu data persepsi laboran Sekecamatan Belo tentang kesesuaian saran prasarana laboratorium IPA (lampiran). Seluruh data dalam penelitian ini dikumpulkan dengan lembar observasi terhadapa 3 responden, dengan rincian 1 responden SMP Negeri 1 Belo, 1 responden SMP Negeri 2 Belo, dan 1 responden SMP Negeri 3 Belo. Dari sejumlah data tersebut setelah dilakukan verifikasi diperoleh kepastian bahwa seluruh data sejumlah 3 eksemplar siap untuk dianalisis. Hasil observasi yang telah dilaksanakan di lapangan mendapatkan data sarana dan prasarana laboratorium IPA untuk SMP Negeri 1 Belo disajikan dalam tabel 4.1 dan Gambar 4.1 di bawah ini: Tabel
Indikator
4.1Hasil Observasi Penelitian Kesesuaian Prasarana dan Sarana Laboratorium IPA di SMP Negeri 1 Belo %
Kriteria
Kategori
56
Sedang/r ata-rata
Kurang sesuai
42.5 0
Sedang/r ata-rata
Kurang sesuai
36
Sebagian
Tidak sesuai
Prasarana laboratorium Area kerja/praktikum, penyimpan, dan persiapan Perabot Perlengkapan lain
kecil
Sarana laboratorium Peralatan pendidikan
58.0 4
Sedang/r ata-rata
Kurang sesuai
70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2013. Hasil observasi penelitian di SMP Negeri 2 Belo terdapat pada Tabel 4.2 dan Gambar 4.2 dibawah ini: Tabel 4.2 Hasil Observasi Penelitian Kesesuaian Sarana Prasarana Laboratorium IPA di SMP Negeri 2 Belo Indikator Prasarana laboratorium Area kerja/praktik um, penyimpan, dan persiapan Perabot
Gambar
4.1 Grafik Kesesuaian Prasarana dan Sarana Laboratorium IPA di SMP Negeri 1 Belo
Hasil observasi penelitian pada Tabel 4.1dan Gambar 4.1 mengenai prasarana dan sarana laboratorium IPA di SMP Negeri 1 Belo pada prasarana laboratorium untuk indikator area kerja/praktikum, penyimpanan, dan persiapan menunjukkan nilai persentase 56% dengan kriteria sedang/rata-rata dan masuk kategori kurang sesuai dengan standar Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2013. Pada indikator perabotmenunjukkan 42,50% dengan kriteria sedang/rata-rata dan masuk kategori kurang sesuai dengan standar Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2013. Dan pada indikator perlengkapan lainnya menunjukkan 36% dengan kriteria sebagian kecil dan masuk kategori tidak sesuai dengan standar Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2013.Sedangkan untuk sarana laboratorium untuk indikator peralatan pendidikan menunjukkan persentase sebesar 58.04% dengan kriteria sedang/rata-rata dan masuk kategori kurang sesuai dengan standar Peraturan
Perlengkapa n lain Sarana laboratorium Peralatan pendidikan
(%)
Kriteria
100
Kategori Sangat sesuai
Pada umumnya
97.50 64
Pada umumnya Sebagian besar
Sangat sesuai Sesuai
Sesuai 77.00
Sebagian besar
120% 100% 80% 60% 40% 20% 0%
Gambar 4.2 Grafik Kesesuaian Prasarana dan Sarana Laboratorium IPA di SMP Negeri 2 Belo Untuk SMP Negeri 2 Belo pada Tabel. 4.2 dan Gambar 4.2 persentase kesesuaian prasarana laboratorium IPA pada indikator area kerja/praktikum, penyimpanan, dan persiapan menunjukkan100% dengan kriteria pada umumnya dan masuk kategori sangat sesuai dengan standar Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
32 Tahun 2013. Untuk indikator perabotmenunjukkan 97.50% dengan kriteria pada umumnya dan masuk kategorisangat sesuai dengan standar Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2013.Pada indikator perlengkapan lainnya menunjukkan 64% dengan kriteria sebagian besar dan masuk kategori sesuai dengan standar Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2013. Sedangkan untuk kesesuaian sarana laboratorium IPA indikator peralatan pendidikan menunjukkan 77.00% dengan kriteria sebagian besar dan masuk kategori sesuai dengan standar Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2013. Hasil observasi penelitian di SMP Negeri 3 Belo terdapat pada Tabel 4.3 dan Gambar 4.3 di bawah ini: Tabel 4.3 Hasil Observasi Penelitian Kesesuaian Sarana Prasarana Laboratorium IPA di SMP Negeri 3 Belo Indikator Prasarana laboratorium Area kerja/praktikum , penyimpan, dan persiapan Perabot Perlengkapan lain Sarana laboratorium Peralatan pendidikan
Persentase (%)
Kriteria
Kategori
100
Pada umumnya
Sangat sesuai
20.00
Sedikit sekali
20
Sedikit sekali
Sangat tidak sesuai Sangat tidak sesuai
20.00
Sedikit sekali
Sangat tidak sesuai
120% 100% 80% 60% 40% 20% 0%
Gambar 4.3 Grafik Kesesuaian Prasarana dan Sarana Laboratorium IPA di SMP Negeri 3 Belo Untuk SMP Negeri 3 Belo pada Tabel 4.3, persentase kesesuaian prasarana laboratorium IPA pada indikator area kerja/praktikum, penyimpanan, dan persiapanmenunjukkan 100% dengan kriteria pada umumnya dan masuk kategori sangat sesuai dengan standar Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2013. Untuk indikator perabot menunjukkan 20% dengan kriteria sedikit sekali dan masuk kategori sangat tidak sesuai dengan standar Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2013.Pada indikator perlengkapan lainnya menunjukkan 20% dengan kriteria sedikit sekali dan masuk kategori sangat tidak sesuai dengan standar Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2013.Sedangkan untuk sarana laboratorium IPA pada indikator peralatan pendidikan menunjukkan 20.00% dengan kriteria sedikit sekali dan masuk kategori sangat tidak sesuai dengan standar Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2013. Dari deskriptif data penelitian di atas didukung dengan hasil wawancara dan dokumentasi (foto penelitian) terlampir. Hasil wawancara dengan
Kepala Sekolah dan kepala laboratorium IPA mengenai sarana prasarana laboratorium IPA terdapat 4 soal wawancara dan mendapatkan jawaban: (1) Untuk SMP Negeri 1 Belo tentang kondisi prasarana laboratorium IPA belum cukup memenuhi standar dikarenakan kondisi prasarana yang sudah rusak parah; (2) kondisi sarana praktikum masih belum cukup memenuhi standar dikarenakan alat-alat praktikum tidak dirawat karena kondisi prasarana gedung laboratoriumnya sudah rusak sehingga peralatan praktikum sementara disimpan di ruang guru; (3) Untuk jumlah peralatan praktikum sudah cukup memenuhi standar untuk digunakan praktikum siswa tetapi perlu ditingkatkan lagi pada pengadaan prasarana dan sarana praktikumnya; (4) masalah-masalah yang dihadapi di laboratorium adalah masih kurang lengkap prasarana dan sarana yang digunakan, perlunya perbaikan gedung laboratorium beserta prasarana pendukung lainnya. Sedangkan pada SMP Negeri 2 Belo tentang: (1) kondisi prasarana laboratorium IPA sudah cukup memenuhi standar karena untuk pembagian ruang praktikum, penyimpanan, perabot, dan perlengkapan lainnyadilakukan dalam satu gedung; (2) kondisi sarana praktikum juga sudah sangat sesuai fungsinya dari segi perawatannya; (3) jumlah peralatan praktikum sudah cukup sesuai untuk digunakan dengan jumlah siswanya; (4) masalah-masalah yang dihadapi di laboratorium adalah masih kurangnya petugas laboratorium sehingga perawatan dan tata letak pada peralatan praktikum belum tertata rapi. Sedangkan pada SMP Negeri 3 Belo karena SMP baru (SMP Satu Atap menjadi SMP Negeri 3 Belo) maka untuk sarana prasarananya masih menunggu program dari dinas pendidikan Kabupaten Bima. Jadi dari hasil wawancara dengan kepala sekolah
dan kepala laboratorium di SMP Negeri se kecamatan Belo mengenai sarana prasarana praktikum ada dua sekolah yang belum sesuai dengan standar Peraturan Pemerintah RI Nomor 32 Tahun 2013 dan satu sekolah sudah sesuai dengan standar Peraturan Pemerintah RI Nomor 32 Tahun 2013. PEMBAHASAN Pembahasan penelitian ini berdasarkan hasil-hasil penelitian (lampiran) di lapangan dengan dilandasi teori-teori pendukung yang relevan dengan objek penelitian. Hasil penelitian dapat dilihat pada tabel 4.4 Tabel 4.4 Persentase Standar Sarana Prasarana Laboratorium IPA SMP Negeri Sekecamatan Belo No
Sekolah SMP Negeri 1 Belo
1 2 3
SMP Negeri 2 Belo 1 2 3
SMP Negeri 3 Belo
4
56 42.50 36 58.04
Prasarana laboratorium Area kerja/praktikum Perabot Perlengkapan lain Sarana laboratorium Peralatan pendidikan
4
(%)
Prasarana laboratorium Area kerja/praktikum Perabot Perlengkapan lain Sarana laboratorium Peralatan pendidikan
4
1 2 3
Indikator
100 97.50 64 77.00
Prasarana laboratorium Area kerja/praktikum Perabot Perlengkapan lain Sarana laboratorium Peralatan pendidikan
100 20 20 20
120 100 80 60
SMP Negeri 1 Belo
40
SMP Negeri 2 Belo
20
SMP Negeri 3 Belo
0
Gambar 4.4 Grafik Kesesuaian Prasarana dan Sarana Laboratorium IPA di SMP Negeri se Kecamatan Belo Dari hasil penelitian di lapangan menunjukkan bahwa kesesuaian sarana prasarana laboratorium IPA ditinjau dari standar Peraturan Pemerintah RI Nomor 32 Tahun 2013 meliputi Prasarana laboratorium IPA yang terdiri dari area kerja/praktikum, penyimpan, dan persiapan, perabot, dan perlengkapan lainnya, serta sarana laboratorium IPA yang terdiri dari peralatan pendidikanseperti yang ditunjukkan pada Tabel 4.4 bahwa di SMP Negeri 1 Belo mendapakan predikat atau kategori kurang sesuai dengan standar yang telah ditetapkan oleh BSNP dikarenakan kondisi prasarana bangunan laboratorium yang sudah rusak dan tidak dapat digunakan lagi, perabot, dan prasarana lainnya salah satunya seperti meja dan kursi siswa maupun praktik sudah tidak ada karena rusak. Untuk kondisi sarana laboratorium IPA masih banyak peralatan praktik Fisika dan Biologi yang belum dimiliki atau sudah
dimiliki namun jumlahnya tidak sesuai dengan standar yang telah ditetapkan SMP Negeri 2 Belo mendapat predikat atau kategori sangat sesuai dengan standar yang telah ditetapkan oleh BSNP.Hal itu ditunjang oleh kondisis ruang laboratoriumnya yang baik dan peralatan laboratoriumnya lengkap baik untuk pelajaran Fisika maupun Biologi serta prasarana penunjang lainnya.Namun demikian SMP Negeri 2 Belo masih belum memiliki laboran di sekolahnya.Sedangkan di SMP Negeri 3 Belo menunjukkan bahwa kesesuaian sarana prasana laboratorium IPA tidak sesuai dengan standar yang telah ditetapkan dikarenakan mengingat sekolah ini masih baru. Namun demikian SMP Negeri 3 Belo sudah memiliki ruang laboratorium tersendiri dan kondisi laboratorium yang baik hanya saja untuk prasarana maupun sarana penunjang laboratorium lainnya masih menunggu program dari dinas pendidikan Kabupaten Bima.Dari penelitian dan diskripsi ini menjelaskan bahwa secara umum kondisi laboratorium IPA di seluruh SMP Negeri di Kecamatan Belo sebagian besar belum sesuai dengan standar Peraturan Pemerintah RI Nomor 32 Tahun 2013. Hal ini juga diperkuat dari hasil wawancara dan dokumentasi/foto (lampiran) dengan Para Kepala Sekolah dan Para Kepala Laboratoriumnya. PENUTUP Dari hasil penelitian mengenai kesesuaian sarana dan prasarana laboratorium IPA ditinjau dari standar pada Peraturan Pemerintah RI Nomor 32 Tahun 2013 di SMP Negeri se Kecamatan Belo, dapat ditarik kesimpulansecara umum kondisi laboratorium IPA di seluruh SMP Negeri di Kecamatan Belo sebagian besar belum sesuai dengan standar Peraturan Pemerintah RI Nomor 32
Tahun 2013 dengan perincian 1 sekolah dengan predikat atau kategori sangat sesuai, dan 2 sekolah dengan predikat atau kategori tidak sesuai.Laboratorium yang sesuai dengan standar Peraturan Pemerintah ditemukan dalam penelitian ini adalah laboratorium SMP N 2 Belo(prasarana laboratorium untuk indikator area kerja/praktikum, penyimpanan 100%, indikator perabot 97.50%, indikator perlengkapan lainnya 64% dan sarana laboratorium untuk indikator peralatan pendidikan 77.00%).Laboratorium yang mendapatkan predikat kurang sesuai dengan standar Peraturan Pemerintah ditemukan dalam penelitian ini adalah laboratorium SMP Negeri 2 Belo (prasarana laboratorium untuk indikator area kerja/praktikum, penyimpanan 56%, indikator perabot 42.50%, indikator perlengkapan lainnya 36%, dan sarana laboratorium untuk indikator peralatan pendidikan 58.04%). DAFTAR PUSTAKA Amrozi. 2010. Tesis “Kesesuaian Sarana Prasarana, Kompetensi Guru, Manajemen, dan Proses Praktikum Prodi Keahlian Teknik Otomotif Ditinjau dari Standar pada PP RI Nomor 19 Tahun 2005 di SMK seKota Bontang”. Malang. Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta -------------------------. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta -------------------------. 2008. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta
Badan Standar Nasional Pendidikan. 2006. Standar Sarana dan Prasarana Sekolah/Madrasah Pendidikan Umum. Jakarta http://endah.blogspot.com/2012/04/sara na-dan-prasarana-pendidikan.html http://inducation.blogspot.com/2008/10/ standar-sarana-prasarana-sekolah.html http://id.wikipedia.org/wiki/Sekolah http://www.kemdiknas.go.id/kemdikbud /peserta-didik-sekolah-menengahpertama http://bunglonblog.blogspot.com/2010/0 8/smp-sekolah-menengah-pertama.html http://mustafatope.wordpress.com/categ oryuu-pp-permen-dan-standarnasional-pendidikan http://www.azuarjuliandi.com/cronbach -alpha.html http://Ardhana12.wordpress.com/2008/0 2/27/penelitiandeskriptif/Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Jakarta Jubaidah. 2011. Skripsi “Kajian Konsep Struktur Lapisan Bumi dalam AlQur’an (Studi Kasus tentang Teori Big Beng)”. Bima. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Jakarta Sudjana, 2000. Pendekatan Pengajaran adalah Salah Satu Motivasi. Cahaya Media Suraya
Sugiyono. 2011. Metode Penlitian Kuantitatif, Kualitaif dan R&D. Bandung: Alfabeta
-----------. 2005. Metode Penlitian Kuantitatif, Kualitaif dan R&D. Bandung: Alfabeta
-----------. 2008. Metode Penlitian Kuantitatif, Kualitaif dan R&D. Bandung: Alfabeta
------------. 2006. Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TEKNIK MAKE A MATCH UNTUK MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR IPA FISIKA SISWA KELAS VII-H SMP NEGERI 7 KOTA BIMA TAHUN PELAJARAN 2013/2014 SURYANI. ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah penerapan pembelajaran kooperatif teknik make a match dapat meningkatkan prestasi belajar IPA Fisika siswa kelas VII-H SMP Negeri 7 Kota Bima Tahun Pelajaran 2013/2014. Jenis penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas dengan rancangan penelitian yang terdiri dari perencanaan, pelaksanaan, observasi dan refleksi. Subyek penelitian adalah siswa kelas VII-H SMP Negeri 7 Kota Bima dengan jumlah siswa 20 orang. Instrumen yang digunakan ada dua yaitu instrumen tes untuk mengukur prestasi belajar siswa dan lembar observasi aktivitas siswa dan guru. Adapun hasil penelitian ini bahwa prestasi IPA siswa pada siklus I dengan persentase ketuntasan klasikal sebesar 50 % dan pada siklus II dengan persentase ketuntasan klasikal sebesar 90 %. Aktivitas siswa dan guru dari hasil analisis observasi yang menunjukan peningkatan dari siklus I ke siklus II. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kooperatif teknik make a match dapat meningkatkan prestasi belajar IPA Fisika siswa kelas VII-H SMP Negeri 7 Kota Bima Tahun Pelajaran 2013/2014 Kata Kunci: Pembelajaran kooperatif teknik make a match, prestasi belajar PENDAHULUAN Upaya pemerintah untuk mewujudkan tujuan pendidikan di Indonesia dengan mengadakan pembaharuan sistem pendidikan nasional, diantaranya pembaharuan dan penghapusan desentralisasi pendidikan oleh pemerintah. Pembaharuan sistem pendidikan nasional dilakukan untuk memperbaharui visi, misi dan strategi pembangunan pendidikan nasional. Sedangkan kepedulian pemerintah terhadap pendidikan tercantum dalam Undang-undang sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 menyebutkan bahwa manusia membutuhkan pendidikan dalam kehidupanya, yang mana pendidikan merupakan usaha agar manusia dapat mengembangkan potensi dirinya melalui proses pembelajaran dan cara lain yang dikenal yang diakui oleh
masyarakat (UU RI No. 20 Tahun 2003 : 37). Dengan adanya pendidikan diharapkan agar masyarakat memeliki pengetahuan dan keterampilan sebagai bekal dalam menghadapi kemajuan jaman yang semakin berkembang. Sumber daya manusia yang berkualitas merupakan salah satu indikator keberhasilan proses pendidikan. Tidak dapat dipungkiri juga bahwa masih banyak masyarakat Indonesia yang belum mampu menghadapi era globalisasi saat ini. Permasalahan semakin banyak bermunculan, salah satunya permasalahan dalam dunia pendidikan. Berdasarkan hasil pengamatan penelitian selama mengajar/PPL di SMP Negeri 7 kota Bima menemukan beberapa masalah antara lain motivasi belajar siswa kurang, masih banyak siswa tidak memperhatikan penjelasan guru, pembelajaran yang disampaikan
guru belum bervariasi, siswa jarang mengerjakan tugas yang diberikan, dan prestasi belajar siswa masih kurang dari KKM (70). Adapun data tentang nilai rata-rata siswa kelas VII di SMP Negeri 7 kota Bima sebagai berikut: Tabel 01: Nilai rata-rata IPA Fisika siswa SMP Negeri 7 Kota Bima No Kelas Nilai KKM ratarata VII-A 82 70 VII-B 82 70 VII-C 82 70 VII-D 80 70 VII-E 80 VII-F 75 70 VII-G 80 70 VII-H 69 70 (Sumber: guru fisika kelas 1) Dari masalah di atas, peneliti memilih solusi dengan mengganti cara mengajar, sehingga melalui penelitian ini peneliti mencoba menerapkan pembelajaran model kooperatif tehnik make a match Menurut Zakaria & Iksan (2006: 35) berpendapat bahwa penggunaan pembelajaran kooperatif merupakan salah satu alternatif untuk metode tradisional. Pembelajaran kooperatif didasarkan pada keyakinan bahwa belajar adalah paling efektif ketika siswa secara aktif terlibat dalam berbagi ide dan bekerja sama dalam kelompok untuk menyelesaikan tugas-tugas akademik. Arends, R.I (2008: 80) berpendapat bahwa tujuan utama dari kooperatif adalah meningakatkan prestasi akademik siswa dimana kooperatif ini menguntungkan bagi semua siswa baik yang berprestasi rendah maupun tinggi yang mengerjakan tugas akademis secara bersama-sama dalam prosesnya, siswa yang berprestasi tinggi juga memperoleh hasil secara akademik
karena bertindak sebagai tutor bagi teman yang lain dalam kelompok Lorna Curran (1994), metode make a match atau mencari pasangan merupakan salah satu alternatif yang dapat diterapkan kepada siswa. Pembelajaran kooperatif teknik make a match juga memberikan manfaat bagi siswa, di antaranya sebagai berikut: Mampu menciptakan suasana belajar aktif dan menyenangkan, materi pembelajaran yang disampaikan lebih menarik perhatian siswa, mampu meningkatkan hasil belajar siswa mencapai taraf ketuntasan belajar secara klasikal 87,50%, suasana kegembiraan akan tumbuh dalam proses pembelajaran, kerjasama antar sesama siswa terwujud dengan dinamis, munculnya dinamika gotong royong yang merata diseluruh siswa. Woolkfolk, A (1996: 417), menyatakan bahwa pembelajaran kooperatif berfalsafah pada pembelajaran kontruktivisme. Kooperatif learning memiliki sejarah panjang dalam pendidikan Amerika. Pada awal 1900-an, John Dewey mengkritik penggunaan kompetisi dalam pendidikan dan mendorong para pendidik untuk menstruksikan sekolah sebagai komunitas pembelajaran yang demokratis. Pada tahun 1960-an terjadi pembelajaran yang individualized dan kooperatif. Dewasa ini, perspektifperspektif kontruktivis tentang belajar yang terus berkembang membangkitkan minat terhadap kaloborasi dan kooperative learning, dan ‘‘terjadi peningkatan minat pada situasi-situasi yang menempatkan elaborasi, interpretasi, penjelasan, dan belajar argumentasi menjadi bagian integral dari kegiatan kelompok dan pembelajaran yang dilakukan oleh indivudu-individu lannya. Pembelajaran kooperatif terjadi ketika murid bekerja sama dalam kelompok kecil (kelompok belajar) untuk saling membantu dalam belajar.
Pemabelajaran make a match atau mencari pasangan merupakan salah satu alternatif yang dapat di terapkan kepada siswa. Penerapan metode ini di mulai dari teknik yaitu siswa disuruh mencari pasangan kartu yang merupakan jawaban/soal sebelum batas waktunya, siswa yang dapat mencocokan kartunya di beri poin. Teknik model pembelajaran make a match atau mencari pasangan dikembangkan oleh Lorna Curran (1994) salah satu keunggulan teknik ini adalah siswa mencari pasangan sambil belajar mengenai suatu konsep atau topik dalam suasana yang menyenangkan. Langkah-lankah penerapan metode make a match sebagai berikut: 1. Guru menyiapkan beberapa kartu yang berisi beberapa konsep atau topik yang cocok untuk sesi review, satu bagian kartu soal dan bagian lainya kartu jawaban. 2. Setiap siswa mendapatkan sebuah kartu yang bertuliskan soal/jawaban.tiap siswa memikirkan jawaban/soal dari kartu yang dipegang. 3. Setiap siswa mencari kartu yang cocok dengan kartunya. 4. Setiap siswa yang dapat mencocokan kartunya sebelum batas waktu di beri poin. 5. Jika siswa tidak dapat mencocokkan kartunya dengan kartu temannya (tidak dapat menemukan kartu soal atau kartu jawaban) akan mendapatkan hukuman, yang telah disepakati. 6. Setelah satu babak, kartu dikocok lagi agar tiap siswa mendapat kartu yang berbeda dari sebelumnya Teknik pembelajaran make a match atau mencari pasangan dikembangkan oleh Lorna Curran (1994). Salah satu keunggulan tehnik ini adalah siswa mencari pasangan sambil belajar mengenai suatu konsep atau topik dalam suasana yang
menyenangkan. Langkah-langkah penerapan metode make a match sebagai berikut: 1. Guru menyiapkan beberapa kartu yang berisi beberapa konsep atau topik yang cocok untuk sesi review, satu bagian kartu soal dan bagian lainnya kartu jawaban. 2. Setiap siswa mendapatkan sebuah kartu yang bertuliskan soal/jawaban 3. Tiap siswa memikirkan jawaban/soal dari kartu yang dipegang. 4. Setiap siswa mencari pasangan kartu yang cocok dengan kartunya. Misalnya: pemegang kartu yang bertuliskan bela negara akan berpasangan dengan kartu yang bertuliskan soal “sikap dan perilaku warga negara yang dijiwai oleh kecintaannya kepada negara dalam menjamin kelangsungan hidup bangsa dan negara” . 5. Setiap siswa yang dapat mencocokkan kartunya sebelum batas waktu diberi poin. 6. Jika siswa tidak dapat mencocokkan kartunya dengan kartu temannya (tidak dapat menemukan kartu soal atau kartu jawaban) akan mendapatkan hukuman, yang telah disepakati bersama. 7. Setelah satu babak, kartu dikocok lagi agar tiap siswa mendapat kartu yang berbeda dari sebelumnya, demikian seterusnya. 8. Siswa juga bisa bergabung dengan 2 atau 3 siswa lainnya yang memegang kartu yang cocok. 9. Guru bersama-sama dengan siswa membuat kesimpulan terhadap materi yang baru dipelajari. Pada penerapan teknik make a match, diperoleh beberapa temuan bahwa teknik make a match dapat memupuk kerja sama siswa dalam menjawab pertanyaan dengan mencocokkan kartu yang yang ada di tangan mereka, proses pembelajaran lebih menarik dan nampak sebagian besar siswa lebih antusias mengikuti
proses pembelajaran, dan keaktivan siswa tampak sekali pada saat siswa mencari pasangan kartunya masingmasing. Hal ini merupakan suatu ciri dari pembelajaran kooperatif seperti yang dikemukan oleh Lie (2002:30) bahwa, “Pembelajaran kooperatif ialah pembelajaran yang menitikberatkan pada gotong royong dan kerja sama kelompok.” Pembelajaran kooperatif metode make a match memberikan manfaat bagi siswa, di antaranya sebagai berikut: 1. Mampu menciptakan suasana belajar aktif dan menyenangkan 2. Materi pembelajaran yang disampaikan lebih menarik perhatian siswa 3. Mampu meningkatkan hasil belajar siswa mencapai taraf ketuntasan belajar secara klasikal 87,50% . 4. Suasana kegembiraan akan tumbuh dalam proses pembelajaran (Let them move) 5. Kerjasama antar sesama siswa terwujud dengan dinamis 6. Munculnya dinamika gotong royong yang merata di seluruh siswa. Di samping manfaat yang dirasakan oleh siswa, pembelajaran kooperatif metode make a match berdasarkan temuan di lapangan mempunyai sedikit kelemahan yaitu: 1. Diperlukan bimbingan dari guru untuk melakukan kegiatan 2. Waktu yang tersedia perlu dibatasi jangan sampai siswa terlalu banyak bermain-main dalam proses pembelajaran. 3. Guru perlu persiapan bahan dan alat yang memadai. 4. Pada kelas yang gemuk (<30 siswa/kelas) jika kurang bijaksana maka yang muncul adalah suasana seperti pasar dengan keramaian yang tidak terkendali. Tentu saja kondisi ini akan mengganggu ketenangan belajar kelas di kiri kanannya. Apalagi jika gedung kelas tidak kedap suara. Tetapi hal ini bisa
diantisipasi dengan menyepakati beberapa komitmen ketertiban dengan siswa sebelum ‘pertunjukan’ dimulai. Pada dasarnya menendalikan kelas itu tergantung bagaimana kita memotivasinya pada langkah pembukaan. Menurut ahli lain bahwa tipe make a match dimana guru membagi komunitas kelas menjadi 3 kelompok. Kelompok pertama merupakan kelompok pembawa kartu-kartu berisi pertanyaan-pertanyaan. Kelompok kedua adalah kelompok pembawa kartukartu berisi jawaban-jawaban. Kelompok ketiga adalah kelompok penilai. Aturlah posisi kelompokkelompok tersebut berbentuk huruf U. Upayakan kelompok pertama dan kedua berjajar saling berhadapan. Jika masing-masing kelompok sudah berada di posisi yang telah di tentukan, maka guru membunyikan peluit sebagai tanda agar kelompok pertama maupun kelompok kedua saling bergerak mereka bertemu, mencari ppasangan pertanyaan-jawaban yang cocok. Berikan kesempatan kepada mereka untuk berdiskusi. Ketika mereka diskusi alangkah baiknya jika ada musik instrumentalia yang lembut mengiringi aktivitas belajar mereka. Hasil diskusi ditandai oleh pasangan –pasangan antara anggota kelompok pembawa kartu pertanyaan dan anggota kelompok pembawa kartu jawaban. Pasangan-pasangan yang sudah terbentuk wajib menunjukkan pertanyaan-jawaban kepada kelompok penilai. Kelompok ini kemudian membaca apakah pasangan pertanyaajawaban itu cocok. Setelah penilaian di lakukan, aturlah sedemikian rupa kelompok pertama dan kelompok kedua bersatu kemudian memosisikan dirinya menjadi kelompok penilai. Sementara, kelompok penilai pada sesi pertama tersebut di atas dipecah menjadi dua, sebagian anggota memegang kartu pertanyaan sebagian lainnya memegang
kartu jawaban. Posisikan mereka dalam bentuk huruf U. Guru kembali membunyikan peluitnya menandai pemegang kartu pertanyaan dan jawaban bergerak untuk mencari , mencocokkan, dan mendiskusikan pertanyaan- jawaban. Berikutnya adalah masing-masing pasangan pertanyaanjawaban menunjukkan hasil kerjanya kepada penilai. METODE PENELITIAN Adapun jenis penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Kelas (Clasroom Action Research). Secara singkat Penelitian Tindakan Kelas (PTK) adalah suatu pencermatan terhadap kegiatan belajar berupa sebuah tindakan, yang sengaja dimunculkan dan terjadi dalam sebuah kelas secara bersama (Suharsimi, 2007:45) Berdasarkan pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa Penelitian Tindakan Kelas (PTK) berfokus pada kelas atau pada proses belajar mengajar yang terjadi di kelas, sehingga dapat meningkatkan prestasi belajar siswa kelas VII SMP Negeri 7 kota Bima tahun pelajaran 2013/2014. Penelitian ini dilaksanakan di kelas VII-H SMP Negeri 7 kota Bima tahun pelajaran 2013/2014. Dengan jumlah siswa 20 orang. Yang terdiri dari 13 orang laki-laki dan 7 orang siswa perempuan. Rencana Tindakan Rancangan dalam penelitian ini mengacu pada model spiral atau siklus menurut Kemmis & Mc Taggart (Mc Taggar, 1991: 32). Tujuan menggunakan model ini adalah apabila pada awal pelaksanaan tindakan ditemukan adanya kekurangan, maka tindakan perbaikan dapat dilakukan pada tindakan selanjutnya sampai pada target yang diinginkan tercapai. Mengacu pada model Kemmis dan Mc. Taggart di atas, maka langkah-
langkah penelitian tindakan kelas (PTK) dengan empat tahap yaitu : a. Perencanaan Peneliti sebagai guru, merumuskan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) dan hal-hal lain yang diperlukan dalam rangka melaksanakan tindakan. Guru melaksanakan pembelajaran mengacu pada esensi tindakan dan rencana pelaksanaan pembelajaran yang telah disusun. b. Pelaksanaan Guru melaksanakan pembelajaran sesuai dengan perangkat pembelajaran yang telah sisusun dengan baik, dalam hal ini adalah rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) dengan menggunakan make a match c. Observasi Dalam penelitian ini yang menjadi sebagai observator yaitu dibantu oleh guru lain/teman sejawat untuk mengamati pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan. Obsever melakukan pengamatan terhadap aktivitas siswa dan guru/peneliti sesuai dengan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) menggunakan tehnik make a match. d. Refleksi Peneliti merefleksi hasil observasi setiap pertemuan pada masingmasing siklus. Peneliti mengadakan refleksi setelah dilakukan pembelajaran setiap akhir siklus. Refleksi ini bertujuan untuk menemukan kekurangan yang kemudian dijadikan sebagai dasar penyusunan tindakan pada siklus selanjutnya Instrumen penelitian adalah alat pada waktu peneliti menggunakan suatu metode (Suharsimi, 1998:47). Adapun instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah : a. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Rencana pelaksanaan pembelajaran biasanya lebih efektif dan efisien
dalam menyampaikan materi yang akan disampaikan di dalam kelas dimana rencana ini berisi gambaran global dari materi yang akan disampaikan b. Tes Evaluasi Tes merupakan serentetan pertanyaan atau latihan yang digunakan untuk mengukur keterampilan, pengetahuan, intelegensi, kemampuan yang dimiliki individu atau kelompok (Suharsimi Arikunto, 2002). Instrumen tes digunakan peneliti dalam skripsi ini adalah untuk mengukur pemahaman siswa yang terdiri dari soal esay yang berisikan soal-soal yang berkaitan dengan materi yang diajarkan. Dalam penelitian ini jenis tes yang digunakan adalah bentuk essay terdiri dari 5 nomor soal yang diambil dari berbagai buku paket. Instrumen ini disusun berpedoman pada kurikulum dan buku pelajaran IPA Fisika kelas VII SMP Negeri 7 kota Bima c. Lembar observasi Lembar observasi aktivitas guru berisi tentang keterlaksanaan proses pembelajaran yang dikembangkan dari Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang telah disusun oleh peneliti, yang berisi detail siklus (langkah-langkah proses pembelajaran), sedangkan lembar observasi aktivitas siswa berisi tentang aktivitas belajar siswa. Pengelolaan data merupakan satu langkah yang sangat penting dalam kegiatan penelitian bila kesimpulan yang akan diteliti dapat dipertanggung jawabkan data yang di analisis oleh peneliti adalah : Data prestasi belajar siswa dengan mencari Kriteria Ketuntasan Minimal 1) Ketuntasan individu Setiap siswa dalam proses belajar mengajar dikatakan tuntas apabila memperoleh nilai 70 karena nilai
ketuntasan minimal di kelas VII SMP Negeri 7 kota Bima pelajaran 2013/2014 yakni 70 2) Ketuntasan klasikal Ketuntasan klasikal dikatakan telah dicapai apabila target pencapaian ideal 85 % dari jumlah siswa dalam kelas.
KK
n1 x100% n
Keterangan : KK = Ketuntasan Klasikal n1 = Jumlah siswa yang memperoleh nilai 70 n = Jumlah siswa yang ikut tes (banyaknya siswa) (Nurkencana, 2003) Data Aktivitas belajar Data Aktivitas Siswa Setiap prilaku siswa pada penelitian ini, penilainnya berdasarkan kriteria berikut : 1. Skor 4 diberikan jika 3 deskriptor nampak 2. Skor 3 diberikan jika 2 deskriptor nampak 3. Skor 2 diberikan jika 1 deskriptor nampak 4. Skor 1 diberikan jika tidak ada deskriptor nampak Penentuan kategori aktivitas siswa dengan menggunakan pedoman dari Djemari Mardapi (2004: 117), dijelaskan pada Tabel pedoman aktivitas belajar siswa di bawah ini: Tabel 3.1.Pedoman Kategori Aktivitas Belajar Siswa Interval Kategori A > MI + 1,5 SDI Sangat aktif MI + 0,5 SDI < A < MI Aktif + 1,5 SDI MI – 1,5 SDI < A < MI Cukup + 0, 5 SDI aktif MI – 1,5 SDI < A < MI Kurang – 0,5 SDI aktif A < MI – 1,5 SDI Sangat
kurang aktif Keterangan : X = Aktivitas Belajar Siswa. Menentukan 𝗑̅ dan SBx 1 𝗑̅ = (skor maksimal + skor 2 minimum) 1 SBx = 3 (skor max-skor minimal) Keterangan : 𝗑̅ = Rerata skor SBx = Simpangan baku rerata skor 1. Data Aktivitas Guru a. Menentukan skor yang diperoleh Setiap indikator aktivitas guru penskorannya berdasarkan aturan sebagai berikut: 1. Skor 4 diberikan jika 3 deskriptor terlaksana. 2. Skor 3 diberikan jika 2 deskriptor terlaksana. 3. Skor 2 diberikan jika 1 deskriptor terlaksana. 4. Skor 1 diberikan jika tidak ada deskriptor terlaksana. b. Menentukan 𝗑̅ dan SBx 1 𝗑̅ = (skor maksimal 2 + skor minimum) 1 SBx = 3 (skor max-skor minimal) Keterangan : 𝗑̅ = Rerata skor SBx = Simpangan baku rerata skor Tabel 3.2.Pedoman Kategori Kegiatan Guru Interval Kategori A > MI + 1,5 SDI Sangat aktif MI + 0,5 SDI < A < MI Aktif + 1,5 SDI MI – 1,5 SDI < A < MI Cukup + 0, 5 SDI aktif MI – 1,5 SDI < A < MI Kurang – 0,5 SDI aktif
A < MI – 1,5 SDI
Sangat kurang aktif
Keterangan : X = kegiatan guru. HASIL PENELITIAN Siklus I Sebelum proses belajar dimulai pada siklus I, peneliti telah mempersiapkan perangkat pembelajaran yang terdiri dari rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), lembar observasi, soal evaluasi untuk mendukung kelancaran proses pembelajaran. Siklus I dilaksanakan tiga kali pertemuan selama 4 x40 menit dan diadakan evaluasi tertulis pada pertemuan ke tiga selama 4 x 40 menit. Adapun materi yang dibahas pada siklus ini adalah. Kalor dan perubahan wujud benda Proses observasi aktivitas peneliti dalam mengajara dilaksanakan oleh guru bidang studi IPA fisika selama berlangsung proses belajar mengajar dengan mengisi lembar observasi yang telah disiapkan. Sedangkan untuk observasi aktivitas siswa dilaksanakan oleh teman sejawat. Ringkasan data hasil observasi tersebut dapat dilihat berikut ini : a) Observasi untuk aktivitas siswa Tabel 06. Hasil Observasi aktivitas siswa siklus I pertemuan ke I Aspek yang skor Diobservasi A. Kesiapan siswa 2 dalam menerima pelajaran A. Antusias siswa 2 dalam mengikuti kegitan pembelajaran B. Respon dalam 3 pembelajaran 7 Jumlah
Kategori : cukup aktif Tabel 07. Hasil Observasi aktivitas siswa siklus I pertemuan ke II Sk Aspek yang Diobservasi or A. Kesiapan siswa dalam 3 menerima pelajaran C. Antusias siswa dalam 4 mengikuti kegitan pembelajaran D. Respon dalam 2 pembelajaran Jumlah 9 Kategori: aktif b) Observasi untuk aktivitas Guru Tabel 08. Hasil Observasi aktivitas Guru siklus I pertemuan ke I Skor Aspek yang diobservasi A. Pendahuluan 4 B. I. Kegiatan Inti 4 B II.Kegiatan Inti 4 C. Penutup 3 Jumlah 15 Kategori: aktif
Tabel 09. Hasil Observasi aktivitas Guru siklus I pertemuan ke II Sko Aspek yang r diobservasi A. Pendahuluan 4 B. I. Kegiatan Inti B II.Kegiatan Inti C. Penutup Jumlah Kategori: aktif
4 3 4 15
1) Hasil Evaluasi Adapun hasil evaluasi yang diperoleh pada siklus I untuk prestasi IPA siswa sebagai berikut: a. Jumlah siswa yang tuntas: 10 b. Jumlah siswa yang tidak tuntas : 10 c. Jumlah siswa yang ikut tes: 20 d. Ketuntasan klasikal: 50 % Berdasarkan indikator ketuntasan yang ditetapkan yaitu ≥ 85 %, maka pada hasil evaluasi siklus tersebut belum mencapai standar ketuntasan untuk prestasi IPA fisika siswa, hal ini diakibatkan karena masih ada siswa yang masih mendapat nilai 70 kebawah. Sehingga sebelum melanjutkan pembelajaran ke siklus berikutnya dilakukan upaya perbaikan dan penyempurnaan terlebih dahulu dengan melakukan diskusi dengan siswa yang mendapat nilai kurang dari 70 dengan memberikan saran-saran seperti: belajar lebih giat lagi dan mengerjakan PR serta tadak takut untuk bertanya tentang materi yang belum dipahami Adapun hasil yang tampak dari saran-saran yang telah diberikan seperti terlihat siswa lebih termotivasi dan antusiasnya siswa dalam bertanya baik kepada temannya maupun kepada guru. Dan juga dapat terlihat pada saat siswa mengerjakan soal-soal latihan serta, mengerjakan PR. Melihat hasil yang diperoleh dari proses belajar mengajar sampai hasil evaluasi pada siklus I, masih belum mencapai hasil yang diharapkan. Hal ini ditunjukan oleh data observasi aktivitas siswa. Diantaranya adalah, kesiapan siswa untuk menerima pelajaran masih sangat kurang. Berdasarkan hasil evaluasi menunjukan belum tercapainya hasil yang memuaskan. Dapat dilihat dari ketuntasan belajar siswa untuk prestasi IPA fisika siswa hanya mencapai 50 % dari standar ketuntasan ≥ 85%. Untuk merespon komentar Observer dalam hal ini adalah Guru
mata pelajaran IPA fisika, peneliti melakukan umpan balik kepada observer tentang apa yang perlu diperbaiki agar pada siklus selanjutnya dapat meningkat. Masukan dari Observer tersebut antara lain: Berusaha mengarahkan siswa untuk mengerjakan tugas rumah agar dikumpulkan pada pertemuan berikutnya, agar mereka ada persiapan dari rumah. Siklus II Siklus II dilaksanakan dua kali pertemuan selama 4 x 40 menit 2x40 menit untuk memberikan materi dan 2x40 menit untuk tes evaluasi. Adapun materi yang dibahas Proses observasi aktivitas siswa dilaksanakan oleh guru mata pelejara IPA fisika selama berlangsung proses belajar mengajar dengan mengisi lembar observasi yang telah disiapkan. Ringkasan data hasil observasi tersebut dapat dilihat berikut ini : a) Observasi untuk aktivitas siswa Tabel 10. Hasil Observasi aktivitas siswa siklus II pertemuan ke I Aspek yang sko Diobservasi r A. Kesiapan siswa 4 dalam menerima pelajaran B. Antusias siswa 4 dalam mengikuti kegitan pembelajaran C. Respon dalam 3 pembelajaran 11 Jumlah c) Observasi untuk aktivitas Guru Tabel 11. Hasil Observasi aktivitas Guru siklus II pertemuan ke I Sko Aspek yang r diobservasi A. Pendahuluan 4
B. I. Kegiatan Inti B II.Kegiatan Inti C. Penutup Jumlah
4 4 4 16
a. Hasil Evaluasi Adapun hasil evaluasi yang diperoleh pada siklus II dapat dilihat pada lampiran. Secara ringkas hasilnya sebagai berikut: a. Jumlah siswa yang tuntas : 18 siswa b. Jumlah siswa yang belum tuntas : 2 siswa c. Jumlah siswa yang ikut tes : 20 siswa d. Ketuntasan klasikal : 90 % Data tersebut diatas menunjukan bahwa pada siklus II sudah mencapai standar ketuntasan klasikal yaitu 90 %. Persentase ketuntasannya menunjukan peningkatan dari siklus sebelumnya. Karena pada siklus II ketuntasan klasikalnya telah mencapai ≥85%, maka tidak perlu untuk melanjutkan ke siklus berikutnya Pembahasan Penelitian tindakan kelas ini dilakukan dalam dua siklus dengan menggunakan pembelajaran kooperatif teknik make a match. Berdasarkan hasil analisis tindakan dan hasil evaluasi pada siklus I diketahui bahwa ketuntasan belajar belum mencapai seperti yang diharapkan. Hal ini ditunjukan oleh hasil evaluasinya yaitu persentase ketuntasannya siklus I adalah 50%, sehingga sebelum melanjutkan pembelajaran ke siklus berikutnya dilakukan upaya perbaikan dan penyempurnaan terlebih dahulu dengan melakukan diskusi dan membimbing siswa yang mendapat nilai kurang dari 70 dengan bimbingan secara khusus atau individual. Adapun hasilnya adalah dengan lebih termotivasi dan antusiasnya siswa dalam bertanya baik kepada temannya maupun kepada guru. Dan juga dapat terlihat pada saat siswa
mengerjakan soal-soal latihan setelah berdiskusi dan diberikan bimbingan. Tindakan yang akan dilakukan untuk memperbaiki kekurangan yang ada pada siklus I yaitu: sebelum memulai masuk kemateri, diberikan terlebih dahulu pertanyaan atau pengaitan materi yang akan dipelajari dengan materi sebelumnya dan kaitannya dalam kehidupan sehari-hari berusaha mengarahkan siswa untuk mengerjakan tugas rumah agar dikumpulkan pada pertemuan berikut, Setelah dilakukan tindakan pada siklus II yang mengacu pada perbaikan tindakan dari siklus I diperoleh hasil yang lebih baik. Ini ditunjukan dari hasil evaluasi akhir siklus dimana persentase ketuntasan klasikal adalah 90 %. Hal ini berarti tindakan pada siklus II sudah mencapai standar ketuntasan klasikal 85 %. Dengan demikian tidak perlu untuk melakukan siklus selanjutnya. Dari proses tindakan dan hasil yang diperoleh dari siklus I, maka untuk siklus II menunjukan hasil yang lebih baik dari siklus sebelumnya. Berarti penerapan pembelajaran kooperatif teknik make a match dapat meningkatkan prestasi IPA fisika siswa Setelah melakukan penelitian tersebut peneliti melihat suasana kelas lebih hidup karena partisipasi siswa dalam proses belajar mengajar sangat aktif. SIMPULAN Proses tindakan dan hasil evaluasi dari penelitian telah diperoleh, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1. Penerapan pembelajaran kooperatif teknik make a match dapat meningkatkan kemampuan prestasi IPA siswa kelas VII-H pada pokok bahasan kalor dan perpindahannya
2. Prestasi IPA siswa tersebut ditunjukan oleh aktivitas siswa dalam kelas dan hasil evaluasi tiap akhir siklus. Pada siklus I, persentase ketuntasan sebesar 50 % dan pada siklus II dengan persentase ketuntasan 90 %. 3. Aktivitas siswa dan guru yang ditunjukan oleh hasil analisis hasil observasi yang menunjukan peningkatan dari siklus I dengan kategori aktif menjadi sangat aktif pada siklus II. DAFTAR PUSTAKA Arends, R.I., & Kilcher, A. (2010). Teaching for student learning “becoming an accumplhised teacher”. New York: Published in the Taylor & Francis e-Library. Arends, R.I. (2008). Learning to teach. (terjemahan Herlly Prajitno S & Sri Mulyantini S). New York: McGraw Hill Companies. (buku asli diterbitkan tahun 2007). Depdiknas. (2006). Undang-Undang RI Nomor 20, tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Doston, J.M. (2001). Cooperative learning structures can increase student achievement: Kagan online magazine. 4, Artikel diambil pada tanggal 15 juli 2011. Dari http://www.kagan.online.magazin e/files/rcd/BE018766/PIG12.pdf Effendi Zakaria & Zananto Iksan. (2007). Promoting cooperative learning in science and mathematics educational: A Malaysian perspective. Eurasia journal of mathematics, science & technology education, 35, 35-39. http://id.shvoong.com/socialsciences/education/2073915model pembelajaran-kooperatif-
match/. diunggah pada tanggal 07 April 201 Marzano. (2001). A handbook for classroom itruction that work. American: ASCD. Orlich, D.C., Harder, R.J., Callahan, R.C., Trevisan, M.S., & Brown, A.H. (2007). Teaching strategies a guide to effective instruction. Boston New York: Houghton Mifflin company. Robert, L. & Chair, L. (2009). Student learning, student achievement: how do teachers measure up?. American: National board for professional teaching standars (NBPTS). Saiful Bahri Djamarah. (1994). Prestasi belajar dan kompetensi guru Surabaya: Usaha Nasional Slavin, R.E.. (2006). Education psychology “theory and practice”(8nd ed). Johns Hopkins University: Pearson Education International. Woolfolk, A. (1996). Educational psychology active learning. America: Pearson Education
MISKONSEPSI SISWA TERHADAP PEMAHAMAN KONSEP MATEMATIKA PADA POKOK BAHASAN PERSAMAAN KUADRAT SISWA KELAS X5 SMA NEGERI 11 MAKASSAR
SARLINA Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN ALauddin Makassar Kampus II: Jalan Sultan Allauddin Nomor 36 Samata-Gowa Abstrak Skripsi ini membahas tentang miskonsepsi siswa terhadap pemahaman konsep matematika pada pokok bahasan persamaan kuadrat siswa kelas X5 SMA Negeri 11 Makassar. Latar belakang masalah penelitian ini adalah berdasarkan wawancara dengan guru mata pelajaran matematika SMA Negeri 11 Makassar diperoleh informasi bahwa siswa kurang mampu dalam memahami materi persamaan kuadrat hal ini terlihat dalam menyelesaikan soal-soal.Tujuan dari penelitian ini adalah (1) Untuk mengetahui bagaimana miskonsepsi yang dialami siswa dalam menyelesaikan soal-soal pokok bahasan persamaan kuadrat, (2) Untuk mengetahui penyebab miskonsepsi yang dialami siswa dalam menyelesaikan soal-soal pokok bahasan persamaan kuadrat.Seluruh siswa di kelas X5 SMA Negeri 11 Makassar adalah subjek penelitian. Metode yang digunakan adalah observasi, tes tertulis dan wawancara. Pada tes tertulis, dilaksanakan oleh 38 siswa kelas X5 SMAN 11 Makassar. Dari hasil tes tertulis tersebut kemudian dipilih 3 siswa terpilih untuk diwawancari sesuai dengan hasil tes tertulis dan pertimbangan guru.Hasil observasi, tes tertulis dan wawancara tersebut dianalisis menggunakan trianggulasi teknik, yaitu membandingkan antara hasil observasi, tes tertulis dan wawancara. Jika tes tertulis dan wawancara mendapatkan hasil yang sama maka data tersebut dikatakan valid. Setelah data itu valid dan diketahui letak miskonsepsinya maka dilakukan penelitian lebih lanjut yaitu dengan wawancara hingga dapat diketahui penyebab miskonsepsi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 3 siswa terpilih terdapat miskonsepsi pada soal materi persamaan kuadrat dengan persentase miskonsepsi siswa yang berkemampuan tinggi (KT) 17% termasuk kategori rendah, miskonsepsi siswa yang berkemampuan sedang (KS) 27% termasuk kategori sedang, dan miskonsepsi siswa yang berkemampuan rendah (KR) 41% termasuk kategori tinggi miskonsepsinya. Letak miskonsepsi yang dialami siswa dalam menyatakan ulang konsep, mengklasifikasikan objek menurut sifat-sifat tertentu sesuai dengan konsepnya, memberi contoh pada suatu konsep, menggunakan dan memanfaatkan serta memilih prosedur atau operasi tertentu serta mengaplikasikan konsep atau algoritma pada pemecahan masalah. Setelah ditelusuri lebih dalam, yang menjadi penyebab miskonsepsi yaitu jarangnya konsep diajarkan dikelas, rendahnya keinginan siswa untuk
belajar konsepdan rumus, kurangnya pemanfatan alat peraga, media pembelajaran dan bukubuku, serta sering berpacu hanya dari satu sumber, yaitu LKS saja. Kata kunci: Miskonsepsi, Pemahaman Konsep, Persamaan Kuadrat
PENDAHULUAN Pendidikan bagi bangsa yang sedang membangun seperti bangsa Indonesia saat ini merupakan kebutuhan mutlak yang harus dikembangkan sejalan dengan tuntutan pembangunan secara tahap demi tahap. Pendidikan yang dikelolah dengan tertib, teratur, efektif dan efisien (berdaya guna dan berhasil guna) akan mampu mempercepat jalannya proses pembudayaan bangsa yang berdasarkan pokok pada penciptaan kesejahteraan umum dan pencerdasan kehidupan bangsa kita, sesuai denga tujuan nasional seperti yang tercantum dalam alenia IV, Pembukaan UUD 1945. Pendidikan merupakan salah satu aspek yang cukup berperan penting dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia. Perbaikan kegiatan belajar mengajar harus diupayakan secara optimal agar mutu pendidikan dapat meningkat. Ini mutlak dilakukan karena majunya pengetahuan dan teknologi berimplikasi pada meluasnya cakrawala berfikir manusia terdidik sesuai dengan tuntutan zaman. Pendidikan merupakan upaya terorganisir yang memiliki makna bahwa pendidikan harus dilakukan oleh usaha sadar manusia dengan dasar dan tujuan jelas,ada tahapannya dan ada komitmen bersama didalam proses pendidikan. Hal ini sebagai usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai
dengan nilai- nilai di dalam masyarakat dan kebudayaannya. Dalam ajaran agama islam sendiri sangat menganjurkan kepada manusia untuk selalu menuntut ilmu. Bahkan, islam mewajibkan kepada setiap orang yang diperintahkan Allah untuk dikerjakan, pasti dibaliknya terkandung hikmah atau sesuatu yang penting bagi manusia demikian juga halnya dengan perintah untuk menuntut ilmu. Dengan demikian, ilmu yang wajib dituntut adalah ilmu yang bermanfaat bukan hanya di dunia saja tapi juga di akhirat seperti ilmu syar’i. Hal ini sejalan dengan yang dijelaskan dalam QS. Al-Mujadilah/ 58:11 yang berbunyi : ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ َءا َمنُواْ ِمن ُك ۡم َوٱلَّذِينَ أُوتُواْ ۡٱل ِع ۡل َم دَ َر َٰ َج ٖۚت ١١ يرٞ َوٱللَّهُ ِب َما ت َعۡ َملُونَ َخ ِب Terjemahan: “.....Allah akan meninggikan orangorang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu lakukan.” Ayat di atas menerangkan bahwa manusia yang berilmu akan mendapatkan kedudukan yang lebih tinggi manusia yang berilmu dapat mewujudkan kemajuan bangsa. Begitu penting pendidikan sehingga harus dijadikan prioritas utama dalam pembangunan bangsa, dan itu berarti
diperlukan mutu pendidikan yang baik sehingga tercipta proses pendidikan yang cerdas, damai, terbuka, demokratik, dan kompetitif. Menurut UU no. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Demikian pentingnya peranan pendidikan, maka dalam UUD 1945 diamanatkan bahwa tiaptiap warga negara berhak untuk mendapat pendidikan, pengajaran dan pemerintah mengusahakan untuk menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional yang pelaksanaannya diatur dalam undangundang. Oleh karena itu, pendidikan sebagai usaha yang dijalankan oleh seseorang atau kelompok orang lain agar menjadi dewasa atau mencapai tingkat hidup atau penghidupan yang lebih tinggi dalam arti mental. Miskonsepsi atau salah konsep menunjuk pada salah satu konsep yang tidak sesuai dengan pengertian ilmiah yang di terima pakar di bidang itu.Bentuk miskonsepsi dapat berupa konsep awal, kesalahan, hubungan yang tidak benar diantara konsepkonsep, gagasan intuitif atau pandangan naif.Menurut Brow miskonsepsi sebagai suatu gagasan yang tidak sesuai dengan pengertian
ilmiah yang sekarang di terima. Sedangkan Fowler memandang miskonsepsi sebagai pengertian yang tidak akurat akan konsep, penggunaan konsep yang salah, klasifikasi contohcontoh yang salah, kekacauan konsepkonsep yang berbeda, dan hubungan hirarkhis konsep-konsep yang tidak benar. Dengan demikian seorang guru semestinya tidak keliru dalam menanamkan konsep-konsep matematika kepada siswanya, sebab sekali konsep matematika keliru diterima siswa, sangat sulit untuk mengubah pengertian yang keliru tersebut.Miskonsepsi tersebut berkaitan dengan tingkat pemahaman siswa dalam menangkap materi pelajaran yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut dapat terjadi karena sebelum mengikuti proses pembelajaran formal di sekolah/instansi, siswa sudah membawa pemahaman tertentu tentang sebuah konsep materi yang mereka kembangkan lewat pengalaman hidup mereka. Banyaknya kesalahan yang dilakukan siswa dalam mengerjakan soal dapat menjadi petunjuk sejauh mana penguasaan siswa terhadap materi.Dari kesalahan yang dilakukan siswa dapat diteliti lebih lanjut mengenai penyebab kesalahan siswa.Penyebab kesalahan yang dilakukan siswa harus segera mendapat pemecahan yang tuntas. Pemecahan ini ditempuh dengan cara menganalisis akar permasalahan yang menjadi penyebab kesalahan yang dilakukan siswa. Selanjutnya diupayakan alternatif pemecahannya,
sehingga kesalahan yang sama tidak akan terulang lagi di kemudian hari. Ayat Al-Qur’an yang menyinggung mengenai pemahaman konsep. Berikut ini terjemahan Q.S. Al-Zumar /39:9 “(Apakah kamu Hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktuwaktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” Ayat di atas menunjukkan keutamaan ilmu daripada harta, karena orang yang mempunyai ilmu mengetahui kemanfaatan harta dan orang yang tidak berilmu tidak mengetahui kemanfaatan ilmu. Tidak sama antara orang yang mempunyai ilmu pengetahuan dan mengEsakan Allah, mentaati semua perintah menjauhi larangan-Nya. Penelitian yang dilakukan Hebrew J Godden yang mengatakan bahwa “Hasil penelitian menunjukkan jika persentase dihitung berdasarkan jumlah kesalahan yang dianalisis, dimana kesalahan ceroboh 8 %, prosedural 26,3 %, aplikasi 17,3 %, konsep 48,4 %. Dari keempat jenis kesalahan tersebut kesalahan konsep pada materi persamaan kuadrat yang paling tinggi dengan persentase 48,4 %.”Ini berarti kesalahan konsep siswa sangat besar terhadap matematika dan mengkhusus pada materi persamaan
kuadrat, bisa saja kesalahan konsep yang dialami oleh siswa dimulai dari hal yang dasarnya. Penelitian yang dilakukan oleh Ratnah Kurniati didapatkan kesalahan siswa dalam membuat model matematika sebesar 35%, kesalahan konsep dalam operasi perhitungan sebesar 25%, dan kesalahan konsep dalam menyimpulkan jawaban akhir sebesar 40%. Hal ini menunjukkan bahwa kesalahan konsep siswa terhadap matematika sangat besar. Hasil penelitian mengenai layanan guru terkait pertidaksamaan matematika memiliki pemahaman yang lebih mendalam tentang layanan guru dalam hal kesenjangan, kesulitan dan kesalahpahaman persamaan linear dan kuadrat.Diselidiki persamaan linear dan persamaan kuadrat mengalami ketimpangan pengetahuan, US mencatat bahwa banyak konsep guru yang tidak benar tentang pertidaksamaan karena alasan yang siswa miliki, meskipun mereka diasumsikan sebaliknya.Jadi, salah satu penyebab terjadiya miskonsepsi pada siswa dikarenakan konsep yang guru ajarkan mengalami miskonsepsi. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Nara Wicaksonodidapatkan kesalahankesalahan yang dilakukan oleh siswa pada materi soal cerita pecahan menjumlahkan dan mengurangkan kesalahan membaca sebesar 10,26%, kesalahan memahami soal sebesar 2,77%, kesalahan transformasi sebesar 7,65%, kesalahan dalam keterampilan proses sebesar 22,31%, dan kesalahan kecerobohan atau kurang cermat sebesar 50,49%. Pada soal cerita
pecahan mengalikan dan membagi kesalahan membaca sebesar 2,11%, kesalahan memahami soal sebesar 3,16%, kesalahan transformasi sebesar 1,58%, kesalahan keterampilan proses berhitung sebesar 52,11%, kesalahan penggunaan notasi sebesar 7,37%, dan kesalahan kecerobohan atau kurang cermat sebesar 33,68%. Salah satu penyebab kesulitan yang mendasar dalam menyelesaikan masalah persamaan kuadrat adalah kesalahan konsep dalam penguasaan materi prasyarat (seperti persamaan linear, penjumlahn suku-suku dan operasi dasar aljabar) yang tidak maksimal sehingga banyak siswa yang melakukan kesalahankesalahan.Kesalahan-kesalahan ini akan terlihat setelah siswa menyelesaikan masalah persamaan kuadrat. Menurut penjelasan dari guru matematika SMA Negeri 11 Makassar yaitu ibu Drs. Hj. Habriah Ahmad, mengatakan bahwa permasalahan yang terjadi di kelas X5 SMA Negeri 11 Makassar bahwa persentase pemahaman siswa dalam materi persamaan kuadrat masih (45%) masih sangat rendah dan tingkat kesalahan konsep siswa (55%). Beliau mengungkapkan bahwa sebagian besar siswa belum memahami dengan baik dalam mengaplikasikan rumus-rumus persamaan kuadrat dalam soal.Selain itu, kemampuan siswa dalam menggunakan rumur-rumus persamaan kuadrat dan pemahaman mengenai bahasa ilmiah dari soal-soal yang diberikan pun dinyatakan masih kurang dikarenakan siswa kurang
memahami dasar-dasar dari persamaan kuadrat. Berdasarkan hasil observasi penulis sebelum melakukan penelitian, pemahaman konsep siswa kelas X5 SMA Negeri 11 Makassar dapat diperoleh kesimpulan bahwa pemahaman konsep matematika siswa masih sangat rendah dan tingkat miskonsepsinya sangat tinggi. Maka tingginya kesalahan yang dilakukan siswa dalam menyelesaikan soal-soal persamaan kuadrat, maka penulis berinisiatif melakukan suatu penelitian untuk melihat kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh siswa Kelas X5 MIA SMA Negeri 11 Makassar dalam menyelesaikan masalah persamaan kuadrat. Berkenaan dengan hal di atas, untuk mengetahui bagaimana miskonsepsi siswa terhadap pemahaman konsep matematika pada pokok bahasan persamaan kuadrat maka penulis tertarik melakukan penelitian dengan judul “miskonsepsi siswa terhadap pemahaman konsep matematika pada pokok bahasan persamaan kuadrat siswa kelas X5 MIA SMA Negeri 11 Makassar”. Matematika 1. Karakteristik Umum Matematika a. Memiliki Objek Kajian yang Abstrak Matematika mempunyai objek kajian yang bersifat abstrak, walaupun tidak setiap objek abstrak adalah matematika.Sementara beberapa matematikawan menganggap objek matematika itu “konkret” dalam pikiran mereka, maka kita dapat menyebut objek matematika secara lebih tepat sebagai objek mental atau
pikiran.Oleh karena itu, konsepkonsep matematika yang abstrak tidak dapat sekadar ditransfer begitu saja dalam bentuk kumpulan informasi kepada siswa. Ada tiga objek kajian matematika, yaitu fakta, konsep, dan prinsip: 1) Fakta Fakta adalah segala hal yang bewujud kenyataan dan kebenaran.Contoh fakta: persamaan kuadrat merupakan pengembangan dari persamaan linear dua variabel.Dengan demikian dalam memperkenalkan simbol atau fakta matematika kepada siswa, guru seharusnya melalui beberapa tahap yang memungkinkan siswa dapat menyerap makna dari simbol-simbol tersebut. 2) Konsep Konsep adalah segala yang berwujud pengertian-pengertian baru yang bisa timbul sebagai hasil pemikiran. Contoh konsep: persamaan kuadrat adalah persamaan dengan pangkat tertinggi variabelnya dua. Konsep dapat dipelajari lewat definisi atau observasi langsung. Siswa telah dianggap memahami konsep bila ia dapat memisahkan contoh konsep dari yang bukan contoh konsep. 3) Prinsip Prinsip adalah pernyataan yang mengandung kebenaran yang bersifat mendasar dan berlaku umum. Contoh: rumus umum persamaan kuadrat 𝑎𝑥 2 + 𝑏𝑥 + 𝑐 = 0, dengan 𝑎, 𝑏, 𝑐 ∈ ℝdan 𝑎 ≠ 0. Prinsip dapat terdiri atas beberapa fakta, beberapa konsep yang dikaitkan oleh suatu relasi ataupun
operasi. Prinsip dalam matematika dapat dipelajari melalui proses penemuan terbimbing dan pemecahan masalah. 2. Definisi Matematika Matematika berasal dari perkataan Latin mathematika yang mulanya diambil dari perkataan Yunani mathematike yang berarti mempelajari.Perkataan itu mempunyai asal katanya mathema yang berarti pengetahuan atau ilmu (knowledge, science). Kata mathematike berhubungan pula dengan kata lainnya yang hampir sama, yaitu mathein atau mathenein yang artinya belajar (berpikir). Jadi, berdasarkan definisi di atas maka etimologis perkataan matematika berarti ilmu pengetahuan yang didapat dengan berpikir (bernalar).Matematika lebih menekankan kegiatan dalam dunia rasio (penalaran), bukan menekankan dari hasil eksperimen atau hasil observasi matematika terbentuk karena pikiran-pikiran manusia, yang berhubungan dengan idea, proses, dan penalaran.Dengan matematika kita dapat berlatih berfikir secara logis dan dengan matematika ilmu pengetahuan lainnya bisa berkembang dengan cepat. Beberapa defenisi atau pengertian tentang matematika yaitu : (1)Russefendi Matematika terorganisasi dari unsure-unsur yang tidak didefinsiskan, definisi-definisi, aksioma-aksioma, dan dalil-dalil di mana dalil-dalil setelah dibuktikan kebenarananya berlaku secara umum, Karena itulah matematika sering disebut ilmu deduktif.
(2)James Dan James Matematika adalah ilmu tentang logika, mengenai bentuk, susunan, besaran, dan konsep-konsep yang berhubungan satu dengan lainnya. Matematika terbagi dalam tiga bagian besar yaitu aljabar,analisis, dan geometri. (3)Reys – dkk Matematika adalah telaahan tentang pola dan hubungan, suatu jalan atau pola berfikir, suatu seni,suatu bahasa dan suatu alat. (4) Kline Matematika itu bukan pengetahuan menyendiri yang dapat sempurna karena dirinya sendiri, tetapi adanya matematika itu terutama untuk membantu manusia dalam memahami dan menguasai permasalahan sosial, ekonomi, dan alam. Menurut Soedjadi, ada enam definisi atau pengertian matematika, yaitu: (1) matematika adalah cabang ilmu pengetahuan eksak dan teroganisir dengan baik, (2) matematika adalah pengetahuan tentang bilangan dan kalkulasi, (3) matematika adalah pengetahuan tentang penalaran logis dan berhubungan dengan bilangan, (4) matematika adalah pengetahuan tentang fakta-fakta kuantitatif dan masalah tentang ruang dan bentuk, (5) matematika adalah pengetahuan tentang struktur-struktur yang logis, dan (6) matematika adalah pengetahuan tentang aturan-aturan yang ketat. Jadi, dengan matematika kita dapat berlatih berfikir secara logis dan dengan matematika ilmu pengetahuan lainnya bisa berkembang dengan cepat.
3. Pemahaman Konsep Matematika a. Konsep Matematika Pemahaman adalah kemampuan siswa untuk mengerjakan sesuatu berdasarkan tahapannya, bahkan siswa menyadari proses yang dilakukan karena mereka mampu menganalisis keterkaitan terhadap sesuatu (konsep) tersebut. Pemahaman terhadap sesuatu (konsep) membuat siswa mampu memberikan argumen-argumen mengenai materi yang telah dipelajari, bukan hanya sekedar mengetahui dan mengingat apa yang telah dipelajari, untuk itu jika siswa benar-benar memahami suatu konsep tidak mustahil bagi siswa mampu melewati tahap-tahap kognitif selanjutnya. Pemahaman berasal dari kata “paham” dalam kamus besar Bahasa Indonesia diartikan “mengerti benar”.Jadi seseorang dikatakan paham terhadap sesuatu bila orang tersebut mampu menjelaskan hal tersebut.Pengertian dari pemahaman itu sendiri bisa beragam, pemahaman dapat diartikan sebagai kemampuan menerangkan sesuatu dengan kata-kata sendiri dan berbeda dengan yang terdapat dalam buku teks, pemahaman juga dapat diartikan sebagai kemampuan menginterpretasikan atau kemampuan menarik sebuah kesimpulan.Sedangkan Hamalik mengatakan, pemahaman terlihat ketika suatu bahan diterjemahkan dari suatu bentuk ke bentuk lainnya dan menafsirkannya.Misalnya, menafsirkan bagan, menerjemahkan bahan verbal ke rumus matematika.Jadi, pemahaman adalah kemampuan melihat hubungan-
hubungan antara berbagai faktor, atau unsur dalam situasi yang problematis. “Menurut Bloom pemahaman dibedakan menjadi tiga kategori yakni translasi, interpolasi, dan ekstrapolasi”. Translasi yaitu kemampuan untuk memahami suatu ide, kemudian dinyatakan dengan cara lain yang berbeda dengan pernyataan asli yang telah dikenal sebelumnya. Interpolasi yaitu kemampuan untuk memahami ide yang direkam, diubah, atau disusun dalam bentuk lain seperti grafik, tabel, diagram, dan sebagainya. Ekstrapolasi yaitu keterampilan untuk meramalkan kelanjutan ide yang ada menurut data tertentu, dengan mengemukakan akibat, implikasi, dan sebagainya sejalan dengan kondisi yang digambarkan dalam komunikasi yang asli. Konsep merupakan hal yang sangat penting dalam pembelajaran matematika, karena penguasaan terhadap konsep akan sangat membantu siswa dalam penguasaan matematika. Pengertian dari konsep itu sendiri beragam. Menurut Gagne, “konsep adalah ide abstrak yang memungkinkan kita mengelompokkan benda-benda (objek) ke dalam contoh dan non contoh”. Dimana konsep itu dapat terbentuk dengan belajar melihat (mengenal) sifat dari benda-benda kongkrit, atau peristiwa untuk dijadikan suatu kelompok. Jadi, bila seseorang dapat mengenali benda atau peristiwa sebagai suatu kelompok, golongan, kelas atau kategori, maka ia telah belajar konsep. b. Pemahaman Konsep Matematika Dalam proses mengajar, hal terpenting adalah pencapaian pada
tujuan yaitu agar siswa mampu memahami sesuatu berdasarkan pengalaman belajarnya. Kemampuan pemahaman ini merupakan hal yang sangat fundamental, karena dengan pemahaman akan dapat mencapai pengetahuan prosedur. Purwanto mengemukakan, pemahaman adalah tingkat kemampuan yang mengharapkan siswa mampu memahami arti atau konsep, situasi serta fakta yang diketahuinya.Sementara Mulyasa menyatakan bahwa pemahaman adalah kedalaman kognitif dan afektif yang dimiliki oleh individu. Berdasarkan pengertian pemahaman diatas, dapat disimpulkan pemahaman adalah suatu cara yang sistematis dalam memahami dan mengemukakan tentang sesuatu yang diperolehnya. Pemahaman konsep sangat penting, karena dengan penguasaan konsep akan memudahkan siswa dalam mempelajari matematika. Pada setiap pembelajaran diusahakan lebih ditekankan pada penguasaan konsep agar siswa memiliki bekal dasar yang baik untuk mencapai kemampuan dasar yang lain seperti penalaran, komunikasi, koneksi dan pemecahan masalah. Adapun indikator pemahaman konsep menurut Sanjaya, indikator yang termuat dalam pemahaman konsep diantaranya : 1. Mampu menerangka secara verbal mengenai apa yang telah dicapainya 2. Mampu menyajikan situasi matematika kedalam berbagai cara serta mengetahui perbedaan,
3.
Mampu mengklasifikasikan objekobjek berdasarkan dipenuhi atau tidaknya persyaratan yang membentuk konsep tersebut, 4. Mampu menerapkan hubungan antara konsep dan prosedur, 5. Mampu memberikan contoh dan contoh kontra dari konsep yang dipelajari, 6. Mampu menerapkan konsep secara algoritma, 7. Mampu mengembangkan konsep yang telah dipelajari. Pendapat diatas sejalan dengan Peraturan Dirjen Dikdasmen Nomor 506/C/Kep/PP/2004 tanggal 11 November 2001 tentang rapor pernah diuraikan bahwa indikator siswa memahami konsep matematika adalah mampu : 1. Menyatakan ulang sebuah konsep, 2. Mengklasifikasi objek menurut tertentu sesuai dengan konsepnya, 3. Memberikan contoh dan bukan contoh dari suatu konsep, 4. Menyajikan konsep dalam berbagai bentuk representasi matematis, 5. Mengembangkan syarat perlu atau syarat cukup dari suatu konsep, 6. Menggunakan dan memanfaatkan serta memilih prosedur atau operasi tertentu, 7. Mengaplikasikan konsep atau algoritma dalam pemecahan masalah. Dari definisi di atas terdapat perbedaan dari definisi matematika yang dikemukakan. Meskipun terdapat perbedaan matematika dari definisi yang dikemukakan, namun dapat dikatakan hakikat matematika merupakan kumpulan ide-ide bersifat abstrak, struktur-struktur dan
hubungannya diatur menurut aturan logis, seperti yang dikemukakan Soedjadi bahwa karakteristik matematika adalah sebagai berikut: (1) Objek kajian matematika adalah abstrak. (2) Matematika lebih bertumpu kepada aksioma formal. (3) Pola fikir matematika deduktif. (4) Sistem matematika konsisten. (5) Matematika memiliki simbolsimbol yang kosong dari arti (6) Memperjelas karakteristik dengan memperhatikan kesemestaan. Miskonsepsi 1. Pengertian Miskonsepsi Miskonsepsi berasal dari serapan bahasa inggris “misconception” yang artinya dalam bahasa Indonesia salah paham. Sedangkan dalam kamus besar bahasa Indonesia salah paham memilki arti salah dan keliru dalam memahami pembicaraan, pernyataan atau sikap orang lain.Jadi, Miskonsepsi atau salah konsep menunjuk pada suatu konsep yang tidak sesuai dengan pengertian ilmiah atau pengertian yang diterima para pakar dalam bidang itu.Bentuk miskonsepsi dapat berupa konsep awal, kesalahan hubungan yang tidak benar antara konsep-konsep, gagasan intuitif atau pandangan naïf. Miskonsepsi pada siswa sendiri dapat bertahan lama dan sulit dibetulkan sehingga sifatnya dapat menetap pada siswa.Beberapa pengertian miskonsepsi lainnya menurut para ahli sebagai berikut: b. Menurut Novak, miskonsepsi sebagai suatu interprestasi konsepkonsep, dalam suatu pernyataan yang tidak dapat diterima.
c. Menurut Brown miskonsepsi merupakan penjelasan yang salah dan suatu gagasan yang tidak sesuai dengan pengertian ilmiah yang diterima para ahli. d. Menurut Fowler, miskonsepsi sebagai pengertian yang tidak akurat akan konsep, e. penggunaan konsep yang salah, klasifikasi contoh-contoh yang salah, kekacauan konsep-konsep yang berbeda, dan hubungan hirakis konsep-konsep yang tidak benar. 2. Penyebab Miskonsepsi Secara garis besar, penyebab miskonsepsi dibagi menjadi lima sebab utama, yaitu berasal dari siswa, pengajar, buku teks, konteks, dan cara mengajar. Penyebab yang berasal dari siswa dapat terdiri dari berbagai hal, seperti praonsepsi awal, kemampuan, tahap perkembangan, minat, cara berpikir dan teman lain. Penyebab dari kesalahan guru dapat berupa ketidakmampuan atau sikap guru dalam berelasi dengan siswa yang kurang baik. B. Miskonsepsi Pada Pembelajaran Matematika Miskonsepsi yang berkelanjutan jika tidak ditangani secara tepat dan diatasi sedini mungkin, akan menimbulkan masalah pada pembelajaran selanjutnya. Sedangkan belajar matematika perlu sebagai bekal siswa di masa yang akan datang, sehingga pembelajaran matematika tidak hanya tentang bagaimana siswa terampil melakukan operasi hitung, namun lebih dari itu, penanaman konsep pun perlu agar siswa memahami makna dari apa yang
ia pelajari. Sayangnya, miskonsepsi ini sering dipandang sebagai ketidakmampuan kognitif siswa untuk menyerap materi yang ia pelajari. Adapun anggapan lain yaitu kesalahan jawaban siswa karena masalah prosedural pengerjaan soal tersebut. METODOLOGI PENELITIAN Jenis dan Metode Penelitian Berdasarkan rumusan masalah penelitian, maka penelitian ini dikategorikan ke dalam penelitian deskriptif kualitatif dengan jenis penilitian studi kasus. Dimana penelitian deskriptif kualitatif yaitu mendeskripsikan suatu gejala, peristiwa, kejadian yang terjadi saat sekarang Purposive sampling adalah teknik pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu. Pertimbangan tertentu ini, misalnya orang yang dianggap paling tahu tentang apa yang kita harapkan, atau mungkin dia sebagai penguasa sehingga akan memudahkan peneliti menjelajahi obyek/situasi sosial yang diteliti.Pada penelitian kualitatif tidak ada sampel acak, tetapi sampel bertujuan (purposive sample). Dari itu peneliti mengambil sampel menggunakan teknik purposive sampling dengan cara memilih beberapa siswa. Lokasi dan Subjek Penelitian 1. Lokasi Penelitian Penelitian ini akan dilaksanakan di SMA Negeri 11 Makassar. Ada beberapa alasan peneliti memilih lokasi tersebut.Pertama, berdasarkan studi
pendahuluan telah ditemukan masalah yang dihadapi siswa dalam pembelajaran matematika khususnya pada materi pokok bahasan garis singgung lingkaran.Dimana siswa mengalami miskonsepsi dalam memahami pada pokok bahasan tersebut.Kedua, lokasi penelitian yang terjangkau bagi peneliti sehingga dapat meminimalisir pembiayaan penelitian ini.Ketiga, baik guru maupun siswa sangat kooperatif.Hal ini terlihat ketika peneliti melakukan studi pendahuluan, siswa maupun guru sangat responsif dan antusias dalam memberikan informasi yang dibutuhkan dalam penelitian ini. 2. Subjek Penelitian Subjek penelitian ini adalah siswa-siswi kelas X5 SMA Negeri 11 Makassar. Pemilihan kelas pada sekolah tersebut, didasarkan pada kelas yang memilki kemampuan siswa beragam dan telah diajarkan materi persamaan kuadrat.Kelas tersebut juga merupakan kelas yang direkomendasikan oleh guru yang terkait pada saat observasi awal.Siswa dalam kelas tersebut kemudian diberikan tes tertulis yang berisikan materi-materi yang berkaitan dengan persamaan kuadrat sebagai pertimbangan peneliti dalam menentukan subjek yang tepat. Hasil tes tertulis akan menunjukkan siswa yang tergolong memiliki kemampuan tinggi, sedang dan rendah dalam hal pemahaman konsep yang berkaitan dengan konsep materi persamaan kuadrat. Berdasarkan hasil tes tersebut, pada setiap tingkat kemampuan siswa akan dipilh satu subjek dengan
pertimbangan tertentu. Adapun pertimbangannya menurut Menurut Arikunto, skala lima adalah suatu pembagian tingkatanyang terbagi atas lima kategori, yaitu: Tabel Pembagian Tingkat Kemampuan No.
Persentase
81% P 100% 61% P 80% 41% P 60% 21% P 40% 0% P 20%
Kategori 1. Sangat Tinggi (KT) 2. Tinggi 3. Sedang (KS) 4. Rendah (KR) 5. Sangah Rendah
Berdasarkan hasil tes tertulis, maka subjek penelitian ini terdiri dari 3 orang, perwakilan masing-masing tingkat kemampuan. Dalam bentuk skema dituliskan sebagai berikut: Siswa Kelas X MIA 5 Tes Tertulis (Kemampuan) Pengelompok kan K KT KS R Diambil satu subjek untuk setiap tingkatan Dilanjutkan pengumpulan data dan analisis data
Gambar 3.1. Pemilihan Penelitian Keterangan : KT : Kemampuan Siswa Tinggi KS : Kemampuan Siswa Sedang KR : Kemampuan Siswa Rendah Fokus Penelitian
Subjek
Tingkat Tingkat Tingkat
Untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang variabel dalam penelitian ini, maka akan dijelaskan deskripsi fokus penelitian sebagai berikut: 1. Miskonsepsi Miskonsepsi adalah kesalahan pemahaman konsep siswa tentang materi yang sebelumnya dipelajari.Miskonsepsi adalah kondisi yang perlu ditangani karena akan menghambat siswa dalam mempelajari matematika. Miskonsespsi muncul ketika gagal menghubungkan pengetahuan baru dengan pengetahuan dengan sebelumnya, kesalahan menerapkan strategi pengetahuan yang dipelajari sebelumnya untuk menyelesaikan permasalahan baru. 2. Pemahaman konsep Pemahaman konsep adalah kemampuan siswa untuk menyatakan ulang suatu konsep yang diperoleh dalam pembelajaran matematika dalam berbagai bentuk sehingga siswa tidak hanya mengerti untuk dirinya sendiri tetapi juga dapat menjelaskan kepada orang lain dan mampu mengklasifikasikan suatu objek apakah merupakan contoh atau non contoh konsep. Selain itu, siswa juga dapat menyatakan suatu konsep dalam berbagai bentuk representatif, dapat menyelesaikan soal-soal rutin dan non rutin dengan menggunakan prosedur tertentu,dan mengaplikasikan konsep yang dipelajari ke dalam masalah kehidupan sehari-hari. Teknik Pengumpulan Data Instrumen penelitian adalah alat atau media untuk mengukur berbagai pengaruh antara variabel yang satu
dengan yang lain. Instrument penelitian merupakan alat yang akan digunakan untuk mengumpulkan data dan informasi yang diinginkan. Instrument adalah suatu alat atau fasilitas yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data dengan tujuan agar dapat mempermudah dan hasilnya lebih baik, dalam arti lebih cermat, lengkap, dan sistematis sehingga lebih mudah diolah. Dari penjelasan di atas, maka instrumen yang berfungsi mengumpulkan data atau sarana perolehan data dan informasi kelengkapan pembahasan ini adalah: 1. Observasi Data observasi penelitian dilakukan dengan pemberian nilai berupa angka yang dikategorikan dengan kurang, cukup, baik, dan sangat baik.Observasi adalah cara menghimpun bahan-bahan keterangan atau data yang dilakukan dengan mengadakan pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap fenomena-fenomena yang sedang dijadikan sasaran pengamatan. Observasi ini digunakan untuk mengetahui kondisi objektif saat kegiatan belajar mengajar, serta faktorfaktor yang dapat mempengaruhi proses belajar mengajar matematika. 2. Tes tertulis Tes adalah suatu percobaan yang diadakan untuk mengetahui ada atau tidaknya hasil-hasil pelajaran tertentu pada siswa. Tes tertulis digunakan untuk mengetahui kemampuan siswa dalam mengorganisasi pengetahuannya ketika mengerjakan soal. Bentuk tes dalam penelitian ini adalah bentuk
uraian sebanyak 10 soal yang sebelumnya telah diuji validitasnya. Cara untuk melakukan validitas adalah dengan melakukan penelahaan terhadap setiap item tes. Untuk mengetahui persentase jenis kesalahan yang telah dilakukan oleh siswa digunakan rumus:
Dimana: P Persentase miskonsepsi siswa S Jumlah soal yang dijawab salah dari total semua soal B Jumlah soal yang dijawab benar dari total semua soal 3. Wawancara Wawancara digunakan untuk memverifikasi data hasil tes miskonsepsi dan mendapat informasi lebih jelas tentang indikator pengetahuan pemahaman konsep siswa yang tidak bisa diungkapkan dengan tulisan. Wawancara digunakan sebagai teknik pengumpulan data apabila peniliti ingin melakukan studi pendahuluan untuk menemukan permasalahan yang harus diteliti, tetapi juga apabila peniliti ingin mengetahui hal-hal dari response yang lebih mendalam. Siswa yang diwawancarai dalam penelitian ini adalah siswa yang melakukan kesalahan terbanyak pada masing-masing kelompok dan mewakili kesalahan siswa yang lain pada kelompok yang sama. Pada penelitian ini wawancara atau interview yang dilakukan merupakan
interview bebas. Wawancara dilakukan pada siswa yang melakukan kesalahan pemahaman konsep dalam pokok bahasan persamaan kuadrat. Teknik Analisis Data Metode analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode analisis data selama di lapanagan model Miles dan Huberman. Miles dan Huberman mengemukakan bahwa aktifitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas, sehingga datanya sudah jenuh. Aktivitas dalam analisis data, yaitu data reduction, data display, dan conclusion drawing/verification. Data yang dianalisis, yakni data yang dikumpulkan hasil tes hasil belajar dan wawanca dari siswa kelas X5 MIA SMA Negeri 11 Makassar. Tahap analisis data model Miles dan Huberman adalah sebagai berikut. 1. Data Reduction (Reduksi Data) Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya dan membuang yang tidak perlu. Dengan demikian data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas, dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya, dan mencarinya bila diperluhkan. Data dokumentasi mengenai cara mengajar guru dalam mengarahkan siswa memecahkan masalah akan digolongkan ke dalam kesesuaian tahap-tahap pemecahan
masalah sesuai dengan teori yang seharusnya. Ujikredibilitas data dalam penelitian ini yakni dengan menggunakan triangulasi metode (teknik) yaitu observasi, pemberian tes dan wawancara. 2. Data Display (penyajian data) Setelah data direduksi, maka langkah selanjutnya adalah mendisplaykan data.Dalam penelitian kualitatif, penyajian data bisa dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, flowchart dan sejenisnya.Penelitian ini menggunakan penyajian data dengan teks yang bersifat naratif.Data yang disajikan dalam penelitian ini berbentuk rangkuman secara deskriptif dan sistematis dari hasil yang diperoleh, sehingga tema sentral dapat diketahui dengan mudah. 3. Conclusion Drawing/verification Langkah ke tiga dalam analisis data kualitatif menurut Miles dan Huberman adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat sementara, dan akan berubah bila tidak ditemukan bukti-bukti yang kuat yang mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya. Kesimpulan mungkin dapat menjawab rumusan masalah yang dirumuskan sejak awal, tetapi mungkin tidak, karena seperti telah dikemukakan bahwa masalah dan rumusan masalah dalam penelitian kualitatif masih bersifat sementara dan akan berkembang setelah penelitian berada di lapangan.
Kesimpulan dalam penelitian kualitatif yang diharapkan adalah merupakan temuan baru yang sebelumnya belum pernah ada.Temuan dapat berupa deskripsi atau gambaran suatu obyek yang sebelumnya masih remang-remang atau gelap sehingga setelah diteliti menjadi jelas, dapat berupa hubungan kausal atau interaktif, hipotesis atau teori. Uji Keabsahan Data Dalam pengujian keabsahan data dalam penelitian kualitatif meliputi uji ,credibility (validitas internal), transferability (validitas eksternal), dependability (reliabilitas), dan confirmability (obyektivitas). Uji keabsahan data metode kualitatif dapat diuraikan sebagai berikut. 6. Uji Kredibilitas Uji kredibilitas data atau kepercayaan terhadap data dapat dilakukan dengan cara: a. Meningkatkan ketekunan Meningkatkan ketekunan berarti melakukan pengamatan secara lebih cermat dan berkesinambungan. Dengan cara tersebut maka kepastian data dan urutan peristiwa akan dapat direkam secara pasti dan sistematis. Meningkatkan ketekunan dalam penelitian ini dengan mengamati interaksi antara guru dan siswa dalam proses belajar mengajar. b. Menggunakan Bahan Referensi Yang dimaksud dengan bahan referensi di sini adalah adanya pendukung untuk membuktikan data yang telah ditemukan oleh peneliti.Data hasil wawancara perlu didukung dengan adanya rekaman wawancara.Dalam laporan penelitian, sebaiknya data-data yang ditemukan
perlu dilengkapi dengan foto-foto atau dokumen autentik, sehingga menjadi lebih dapat dipercaya. Bahan referensi dalam penelitian ini berupa dokumentasi proses pembelajaran serta nilai belajar siswa. 2. Pengujian Transferability Transferability merupakan validitas eksternal dalam penelitian kuantitatif.Validitas eksternal menunjukkan derajad ketepatan atau dapat diterapkannya hasil penelitian ke populasi di mana sampel tersebut diambil.Peneliti dalam membuat laporannya harus memberikan uraian yang rinci, jelas, sistematis, dan dapat dipercaya. Laporan hasil penelitian ini juga dibuat runtut mengacu sesuai focus penelitian mulai dari konsep pemecahan masalah serta langkahlangkah yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kemampuan siswa. 3. Pengujian Dependability Dalam penelitian kualitatif, uji dependability dilakukan dengan melakukan audit terhadap keseluruhan proses penelitian. Pengujian dependability dilakukan dengan cara melakukan audit terhadap keseluruhan proses penelitian. Caranya dilakukan oleh auditor yang independen, atau pembimbing untuk mengaudit keseluruhan aktivitas peneliti dalam melakukan penelitian.Bagaimana peneliti mulai menentukan masalah/focus, memasuki lapangan, menentukan sumber data, melakukan analisis data, melakukan uji keabsahan data, sampai membuat kesimpulan. Proses memasuki lapangan dapat dibuktikan dengan surat izin penelitian yang diberikan oleh pihak fakultas,
Balitbangda Provinsi, Balai kota dan SMAN 11 Makassar. Pengujian konfirmability dalam penelitian kuantitatif disebut dengan uji obyektivitas.Penelitian dikatakan obyektif bila hasil penelitian telah disepakati banyak orang.Dalam penelitian kualitatif, uji konformability mirip dengan uji dependability, sehingga pengujiannya dapat dilakukan secara bersamaan. Menguji konfirmability berarti menguji hasil penelitian, dikaitkan dengan proses yang dilakukan. Hasil penelitian ini telah dikaitkan dengan proses penelitian dan telah disepakati untuk dipertanggungjawabkan dalam siding penelitian. Hasil penelitian disepakati dari peneliti dan pembimbing dan telah dikaitkan dengan proses penelitian dianggap telah memenuhi standar konfirmabilitas.
HASIL PENELITIAN Untuk mendapatkan data yang valid mengenai miskonsepsi yang dialami oleh siswa dan penyebabnya, maka dilakukan tringulasi data.Tringulasi data yaitu dengan membandingkan data hasil analisis hasil tes tertulis dengan analisis hasil wawancara.Berikut hasil validasi data berdasarkan dari 3 orang siswa yang sudah analisis hasil tes dan wawancaranya. Siswa Dengan Nomor Subjek 2 Miskonsepsi yang dilakukan siswa dalam menyelesaikan soal-soal pokok bahasan persamaan kuadrat adalah:
a. Siswa mengalami miskonsepsi dalam menyatakan ulang rumus dari melengkapkan kuadrat. Penyebabnya siswa mengalami miskonsepsi dari rumus yang diajarkan oleh guru dan ternyata guru juga tersebut mengalami miskonsepsi dari rumus melengkapkan kuadrat. b. Siswa mengalami miskonsepsi dalam menyederhanakan bentuk akar. Penyebabnya karena siswa belum paham dalam operasi bentuk aljabar. Siswa Dengan Nomor Subjek 3 Miskonsepsi yang dilakukan siswa dalam menyelesaikan soal-soal pokok bahasan persamaan kuadrat adalah: a. Siswa mengalami miskonsepsi dalam menentukan akar-akar persamaan dalam bentuk pecahan. Penyebabnya karena siswa masih belum paham dalam menyederhanakan bentuk akar. Siswa Dengan Nomor Subjek 4 a. Siswa mengalami miskonsepsi dalam memahami maksud soal. Penyebabnya karena siswa tidak teliti dalam membaca soal . b. Siswa mengalami miskonsepsi dalam mengklasifikasikan objek menurut sifat–sifat tertentu sesuai dengan konsepnya. Penyebabnya siswa tidak bisa membedakan antara (2𝑥1 + 2𝑥2 ) = 2(𝑥1 + 𝑥1 ) yang merupakan sifat distributif dan (2𝑥1 2𝑥2 ) = 4𝑥1 𝑥2 yang merupakan sifat asosiatif. Siswa Dengan Nomor Subjek 5
a. Siswa mengalami miskonsepsi dalam mengaplikasikan konsep hukum- hukum aljabar atau algoritma pada pemecahan masalah dan dalam memahami maksud soal. Penyebabnya karena siswa belum terlalu mempelajari konep hukum aljabar dan tidak teliti dalam membaca soal . b. Siswa mengalami miskonsepsi dalam penerapan rumus diskriminan dan dalam menentukan akar real yang berbeda. Penyebabnya karena siswa mengalami miskonsepsi dalam hal menyatakan ulang sebuah konsep. c. Siswa mengalami miskonsepsi dalam menyatakan ulang rumus pertidaksamaan. Penyebabnya karena siswa belum terlalu memahami dan menyatakan ulang sebuah konsep pertidaksamaan. Subjek Wawancara 3 (Nomor Subjek 5) Miskonsepsi yang dilakukan siswa dalam menyelesaikan soal-soal pokok bahasan persamaan kuadrat adalah: a. Siswa mengalami miskonsepsi dalam konsep invers. Penyebabnya siswa mengalami miskonsepsi dalam hukum aljabar, dimana selama ini yang mereka pahami adalah pindah ruas. b. Menyatakan ulang sebuah konsep rumus melengkapkan kuadrat. Penyebabnya karena siswa miskonsepsi dalam konsep melengkapkan kuadrat, hal ini terlihat dalam menuliskan
rumus.Dan selain itu, ternyata guru juga salah satu penyebab miskonsepsi siswa.kesalahan konsep dalam penguasaan materi prasyarat (seperti persamaan linear, penjumlahn suku-suku dan operasi dasar aljabar) yang tidak maksimal sehingga banyak siswa banyak melakukan kesalahankesalahan. Kesalahan-kesalahan ini akan terlihat setelah siswa menyelesaikan masalah persamaan kuadrat. c. Mengklasifikasikan objek menurut sifat–sifat tertentu sesuai dengan konsepnya. Penyebabnya siswa tidak bisa membedakan antara (2𝑥1 + 2𝑥2 ) = 2(𝑥1 + 𝑥1 ) yang merupakan sifat distributif dan (2𝑥1 2𝑥2 ) = 4𝑥1 𝑥2 yang merupakan sifat asosiatif. d. Siswa mengalami miskonsepsi mengaplikasikan konsep atau algoritma pertidaksamaan pada pemecahan masalah. Penyebabnya karena siswa belum terlalu memahami konsep pertidaksamaan dan sifat-sifatnya. Hasil Analisis Data Berdasarkan hasil validasi di atas, maka dari hasil tes dan wawancara ternyata hasil keduanya menunjukkan data yang sama. Adapun miskonsepsi yang dilakukan oleh siswa dalam menyelesaikan soal-soal persamaan kuadrat adalah: a. Siswa mengalami miskonsepsi dalam menyatakan ulang konsep dalam persamaan kuadrat.
b. Siswa mengalami miskonsepsi dalam mengaplikasikan konsep atau algoritma pada pemecahan masalah yang berkaitan dengan persamaan kuadrat. c. Siswa mengalami miskonsepsi dalam mengklasifikasikan obejk menurut sifat-sifat tertentu sesuai dengan konsepnya. d. Siswa mengalami miskonsepsi dalam menyederhanakan bentuk akar. Hasil penelitian diatas sejalan dengan pendapat dari hasil penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa miskonsepsi yang dialami siswa terjadi pada beberapa materi yaitu pada materi menentukan akar persamaan kuadrat, jumlah dan hasil kali pakarakar persamaan kuadrat. Hal ini diperkuat tentang miskonsepsi,miskonsepsidi sisi laindapat digambarkan sebagaiide-ide yangmemberikan pemahamanyang salahdarigagasantersebut, objekatau kejadian yangdibangunberdasarkanpadapengala manorang.Sedangkan letak miskonsepsinya sesuai dengan peraturan Dirjen Dikdasmen Depdiknas nomor 506/C/Kep/PP/2001. Setelah data itu valid dan diketahui letak miskonsepsinya maka dilakukan penelitian lebih lanjut yaitu dengan wawancara hingga dapat diketahui penyebab miskonsepsi. Hasil penelitian diatas juga menunjukkan telah memecahkan masalah yang kedua dengan diperoleh penyebab miskonsepsi.Hasil penelitian ini sejalan dengan pendapat penelitian yang menyatakan menyatakan bahwa pemahaman yang diperoleh siswa
dalam pembelajaran sains ditingkat Madrasah Ibtidaiyah dimungkinkan karena pengaruh dari bahan ajar yang digunakan dalam pembelajaran. Jika bahan ajar yang digunakan tidak tepat maka akan mengakibatkan kesalah pahaman atau miskonsepsi pada siswa. Hal ini diperkuat yaitu penyebab miskonsepsi secara umum yaitu berasal dari siswa, guru / pengajar, buku teks, konteks, dan cara mengajar. Persentase Siswa yang Mengalami Miskonsepsi Berikut ini akan ditentukan persentase siswa yang mengalami miskonsepsi berdasarkan hasil tes yang dilakukan. Perhitungan persentase miskonsepsi dilakukan dengan cara membandingkan antara jumlah siswa yang menjawab salah pada tiap butir soal dengan jumlah seluruh siswa yang mengalami miskonsepsi dalam hal ini 3 subjek. Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut.
Dimana: P Persentase miskonsepsi siswa S Jumlah soal yang dijawab salah dari total semua soal B Jumlah soal yang dijawab benar dari total semua soal Berdasarkan data yang disajikan di atas, pengolahan datanya menggunakan rumus perhitungan persentase miskonsepsi. Berikut akan dihitung persentase miskonsepsi dari 3 subjek yang dipilih dengan mengacu pada Lampiran. a. Miskonsepsi untuk Subjek KT
Table 4.7. Miskonsepsi Siswa pada Tiap Item Soal untuk Subjek KT Miskon sepsi untuk Subjek
Jumlah Item
Kema mpuan Tinggi (KT)
Nomor Item Soal Tot al
1
2
3
4
5
∑𝐵
2 0
1 5
2 0
1 5
1 3
83
∑𝑆
-
5
-
5
7
22
17 x100 % 17 83
17%
Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh persentase miskonsepsi siswa untuk subjek KT (Kemampuan Tinggi) sebanyak 17% .Miskonsepsi ini tergolong rendah. b. Miskonsepsi untuk Subjek KS Table 4.8. Miskonsepsi Siswa pada Tiap Item Soal untuk Subjek KS Miskon sepsi untuk Subjek Kema mpuan Sedang (KS)
Jumla h Item
∑𝐵
∑𝑆
Nomor Item Soal Tot al 1 2 0
2 1 0
3 1 8
4 1 5
5 1 0
-
1 0
2
5
1 0
73
27
27 x100 % 27 73
27%
Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh persentase miskonsepsi siswa untuk subjek KS (Kemampuan
Sedang) sebanyak 32% .Miskonsepsi ini tergolong sedang. c. Miskonsepsi untuk Subjek KR Table 4.9. Miskonsepsi Siswa pada Tiap Item Soal untuk Subjek KR Miskonsep si untuk Subjek
Jumla h Item
Kemampu an Sedang (KS)
∑𝐵
1 2 0
2 8
3 1 8
4 3
5 1 0
∑𝑆
-
1 2
2
1 7
1 0
Nomor Item Soal Tota l 59
41
41 x100 % 41 59
41%
Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh persentase miskonsepsi siswa untuk subjek KR (Kemampuan Rendah) sebanyak 41%.Miskonsepsi ini tergolong tinggi. PEMBAHASAN Berdasarkan deskripsi hasil tes dan wawancara yang dilakukan pada siswa sehingga dapat diketahui miskonsepsi yang dialami siswa dalam menyelesaikan soal-soal pokok bahasan persamaan kuadrat. Adapun dari hasil analisa data dan perhitungan persentase siswa yang mengalami miskonsepsi terhadap 3 siswa kelas X5 yang mengikuti tes dan wawancara didapatkan: 1. Subjek Berkemampuan Tinggi (KT) Hasil tes yang dilakukan menunjukkan bahwa siswa atau subjek
KT meskipun nilainya paling tertinggi atau di atas rata-rata dalam mengerjakan soal-soal yang diberikan tetapi tetap juga mengalami miskonsepsi pada setiap soal. Hal ini terbukti saat subjek KT diwawancarai. Adapun miskonsepsi yang dialami subjek KT yang didapatkan dari hasil tes adalah siswa mengalami miskonsepsi dalam menyatakan ulang rumus dari melengkapkan kuadrat, siswa mengalami miskonsepsi dalam penerapan rumus diskriminan dan dalam menentukan akar real yang berbeda, miskonsepsi dalam hal pengaplikasian dari menyusun persamaan kuadrat baru, pengaplikasian dari materi pertidaksamaan dan siswa mengalami miskonsepsi dalam mengklasifikasikan obejk menurut sifat-sifat tertentu sesuai dengan konsepnya. Hal ini diperkuat berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan kepada siswa.Ketika diwawancara siswa ditanyakan kenapa jawaban hasil tesnya kurang tepat.Subjek KT saat diwawancarai mengalami miskonsepsi dalam pengaplikasian dalam konsep invers. Selain itu, subjek KT mengalami miskonsepsi dalam penerapan rumus diskriminan dan dalam menentukan akar real yang berbeda. Pada tipe ini, persentase subjek KT yang mengalami miskonsepsi sebanyak 17% dari jumlah seluruh siswa dalam satu kelas sebanyak 38 orang.Pada Persamaan Kuadrat kebanyakan siswa mengalami miskonsepsi dalam menentukan rumus yang digunakan untuk menyelesaikan soal karena siswa tidak menguasai dengan baik materi prasyarat
persamaan kuadrat, seperti persamaan linear, penjumlahn suku-suku dan operasi dasar aljabar) yang tidak maksimal sehingga banyak siswa banyak melakukan kesalahankesalahan serta siswa kurang terampil dalam mengoperasikan bentuk aljabar. 2. Subjek Berkemampuan Sedang (KS) Hasil tes yang dilakukan menunjukkan bahwa siswa atau subjek KS meskipun nilainya sedang dalam mengerjakan soal-soal yang diberikan dan ternyata hasil tes dengan wawancara itu sama. Adapun miskonsepsi yang dialami subjek KS yang didapatkan dari hasil tes adalah siswa mengalami miskonsepsi dalam menyatakan ulang rumus dari melengkapkan kuadrat, menyerderhanakan bentuk akar dan pecahan, siswa mengalami miskonsepsi dalam penerapan rumus diskriminan dan dalam menentukan akar real yang berbeda, miskonsepsi dalam hal pengaplikasian dan memahami tentang menyusun persamaan kuadrat baru, pengaplikasian dari materi pertidaksamaan dan siswa mengalami miskonsepsi dalam mengklasifikasikan objek menurut sifat-sifat tertentu sesuai dengan konsepnya. Hal ini diperkuat berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan kepada siswa.Ketika diwawancara siswa ditanyakan kenapa jawaban hasil tesnya kurang tepat.Subjek KS saat diwawancarai mengalami miskonsepsi dalam pengaplikasian dalam konsep invers. Selain itu, subjek KS mengalami miskonsepsi dalam penerapan rumus diskriminan dan
dalam menentukan akar real yang berbeda. Pada tipe ini, persentase subjek KS yang mengalami miskonsepsi sebanyak 27% dari jumlah seluruh siswa dalam satu kelas sebanyak 38 orang.Pada Persamaan Kuadrat kebanyakan siswa mengalami miskonsepsi dalam menentukan rumus yang digunakan untuk menyelesaikan soal karena siswa tidak menguasai dengan baik materi prasyarat persamaan kuadrat, seperti persamaan linear, penjumlahn suku-suku dan operasi dasar aljabar) yang tidak maksimal sehingga banyak siswa banyak melakukan kesalahankesalahan serta siswa kurang terampil dalam mengoperasikan bentuk aljabar.Selain itu, siswa tidak memahami maksud dari soal, tidak mengetahui langkah selanjutnya dalam sebuah pemecahan masalah dari persamaan kuadrat. 3. Subjek Berkemampuan Rendah (KR) Hasil tes yang dilakukan menunjukkan bahwa siswa atau subjek KR meskipun nilainya sedang dalam mengerjakan soal-soal yang diberikan dan ternyata hasil tes dengan wawancara itu sama. Adapun miskonsepsi yang dialami subjek KR yang didapatkan dari hasil tes adalah siswa mengalami miskonsepsi dalam memahami maksud soal, menyatakan ulang rumus dari rumus menetukan akar-akar persamaan kuadrat, menyerderhanakan bentuk akar dan pecahan, siswa mengalami miskonsepsi dalam penerapan rumus diskriminan dan dalam menentukan akar real yang berbeda, miskonsepsi dalam hal pengaplikasian dan
memahami tentang menyusun persamaan kuadrat baru, pengaplikasian dari materi pertidaksamaan dan siswa mengalami miskonsepsi dalam mengklasifikasikan objek menurut sifat-sifat tertentu sesuai dengan konsepnya. Hal ini diperkuat berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan kepada siswa.Ketika diwawancara siswa ditanyakan kenapa jawaban hasil tesnya kurang tepat.Subjek KR saat diwawancarai mengalami miskonsepsi dalam pengaplikasian dalam konsep invers. Selain itu, subjek KR mengalami miskonsepsi dalam penerapan rumus diskriminan dan dalam menentukan akar real yang berbeda. Pada tipe ini, persentase subjek KR yang mengalami miskonsepsi sebanyak 41% dari jumlah seluruh siswa dalam satu kelas sebanyak 38 orang.Pada Persamaan Kuadrat kebanyakan siswa mengalami miskonsepsi dalam menentukan rumus yang digunakan untuk menyelesaikan soal karena siswa tidak menguasai dengan baik materi prasyarat persamaan kuadrat, seperti persamaan linear, penjumlahn suku-suku dan operasi dasar aljabar) yang tidak maksimal sehingga banyak siswa banyak melakukan kesalahankesalahan serta siswa kurang terampil dalam mengoperasikan bentuk aljabar.Selain itu, siswa tidak memahami maksud dari soal, tidak mengetahui langkah selanjutnya dalam sebuah pemecahan masalah dari persamaan kuadrat. Siswa juga mengatakan bahwa dia mampu menghafal rumus dan paham akan
konsep pada saat dijelaskan, tapi setelah berselang beberapa hari lupa. Berdasarkan hasil penelitian ini, tingkat miskonsepsi (yaitu pemahaman konsep) untuk subjek KR dianggap tinggi dibandingkan dengan miskonsepsi lainnya. Dimana persentase miskonsepsi siswa dalam miskonsepsi tentang persamaan kuadrat adalah 41%.Siswa mengalami miskonsepsi dalam pemahaman konsep karena siswa tidak menguasai dengan baik materi prasyarat dan keterkaitan antara materi yang satu dengan lainnya. Hal ini menjadi bukti bahwa pemahaman konsep memiliki peranan penting dalam belajar matematika sehingga dalam proses pembelajaran pendidik diharapkan menanamkan pemahaman konsep baik-baik demi untuk mengatasi kesulitan siswa dalam menyelesaikan soal matematika terkhusus persamaan kuadrat. Teori Burner mengatakan bahwa belajar matematika adalah belajar tentang konsep-konsep dan struktur-struktur matematika yang terdapat di dalam materi yang dipelajari serta mencari hubungan antar konsep-konsep dan struktur matematika itu.Maksud dari teori Burner tersebut adalah betapa pentingnya penanaman konsep dalam belajar matematika. Berdasarkan teori yang dituliskan Piaget diperoleh pengertian bahwa keberhasilan dalam belajar matematika yaitu dengan meransang anak untuk aktif belajar dengan mencoba dan menguji indranya melalui berbagai interaksi social.Selain itu juga tergantung dari penguasaan anak terhadap materi pendukung atau
materi matematika yang dipelajari sebelum mempelajari materi pada topik berikutnya.Maksud dari teori Piaget tersebut betapa pentingnya juga materi prasyarat dalam pembelajaran matematika karena materi yang satu erat kaitannya dengan materi lainnya. PENUTUP Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan sebelumnya, maka diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Miskonsepsi yang dialami siswa kelas X5 SMA Negeri 11 Makassar dalam menyelesaikan soal pokok bahasan persamaan kuadrat tergolong tinggi. Miskonsepsi yang terjadi pada tiap–tiap subyek dapat terletak dalam hal: (a) Menyatakan ulang sebuah konsep. (b) Mengklasifikasikan objek menurut sifat–sifat tertentu sesuai dengan konsepnya. (c) Memberi contoh pada suatu konsep. (d) Menggunakan dan memanfaatkan serta memilih prosedur atau operasi tertentu. (e) Mengaplikasikan konsep atau algoritma pada pemecahan masalah. Adapun pesentase miskonsepsi siswa dalam menyelesaikan soal pokok bahasan persamaan kuadrat, yaitu siswa yang berkemampuan tinggi (KT) dengan miskonsepsi 17%, siswa yang berkemampuan sedang (KS) sebanyak 27%, dan siswa yang berkemampuan rendah (KR) dengan miskonsepsi sebanyak 41%. 2. Penyebab miskonsepsi secara umum yaitu berasal dari siswa, guru / pengajar, buku teks, konteks, dan cara mengajar. Penyebab yang
berasal dari siswa dapat terdiri dari berbagai hal, seperti prakonsepsi awal, kemampuan, tahap perkembangan, minatnya terhadap pelajaran matematika, cara berpikir dan teman lain. Penyebab dari kesalahan guru dapat berupa ketidakmampuan atau sikap guru dalam berelasi dengan siswa yang kurang baik.jarangnya konsep diajarkan di kelas. Rendahnya keinginan dan minat siswa untuk belajar konsep dan menggunakan rumus. DAFTAR PUSTAKA Angraini, Lilis MarinaPengaru Model Pencapaian Konsep Terhadap Pemahaman Konsep Matematika Siswa, (Jakarta:UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010) Bicer, Ali, dkk. Pre-service Teachers’ Linear and Quadratic Inequalities Understandings, Jurnal online: http://www.cimt.plymo uth.ac.uk/journal/bicer. pdf. (Diakses tanggal 03 Februari 2015) Desyi, Andin.Miskonsepsi Siswa Dalam Mata Pelajaran Matematika Di Sekolah Dasar, https://www.academia.ed u/9183952/Misconceptio n_of_Childrens_math, Godden, Hebrew J. An analysis of learners’ways of working in high stakes
mathematics,Magister Educationisin the Faculty of Education,University of the Western Cape, Jurnal online University of the Western Cape). Hardi, Tambunan, Implementasi Model Pencapaian Konsep dalam Pembelajaran Matematika, Vol.2. No.1, PEDAGOGIK: Jurnal Ilmu Kependidikan Kopertais Wilayah I NAD- Sumatera Utara. 2000. Hud Umar A, Sudirman, Analisis Kesalahan Dan Perbaikan Penyajian Pada Buku Teks Matematika Sekolah Menengah Kejuruan (Smk) Kelas X, Jurnal Online Universitas Negeri Malang, http://jurnalonline.um.ac. id/data/artikel/artikelBF9 7A4D7604238E891F434 FC07C81EAE.pdf (31 Januari 2013) Kanginan, Marthen. Matematika untuk Kelas X Sekolah Menengah Atas Kelompok Wajib, (Bandung: Grafindo Media Pratama, 2014) Kholif Hazin, Nur.Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (Surabaya: Terbit Terang). Kurniati, Ratnah. “Miskonsepsi Siswa SMP Terhadap Bilangan Bulat dan Operasi, dan sifat-sifat”, https://www.academia.ed
u/4492597/jurnal_Misko nsepsi_Siswa_SMP_terha dap_Bilangan_Bulat_Ope rasi_dan_Sifatsifatnya_Ratnahkurniati (Diakses 15 november 2014) Makgakga, Sello. Errors And Misconceptions In Solving Quadratic Equations By Completing A Square, http://www.amesa.org.za/ AMESA2014/Proceeding s/papers/Short%20Paper/ 4.%20Sello%20Makgakg a%20AMESAPAPER2014fina l.pdf. (Diakses 9 November 2014) Mulyadi, Evid .persamaan gelombang tegak dan gelombang berjalan http://muliadye.blogspot. com/2013/09/persamaangelombang-tegak-dangelombang.html(Di akses 19 Januari 2015) Nur Wahyuni, Baharuddin, Teori Belajar dan Pembelajaran, (Yogyakarta: PT Arruzz,2007). Nurul zuriah, Metodologi penelitian social dan pendidikan, (Cet II; Jakarta: Bumi Aksara, 2007) Prasetyorini, Nanda, “ Profil Miskonsepsi Siswa Pada Materi Pokok Pecahan ditinjau Dari Kemampuan Matematika Siswa”,Jurusan Matematika, FMIPA
Unesa : Jurnal Online Universitas Negeri Surabaya,https://id.scribd .com/doc/123115971/PR OFIL-MISKONSEPSISISWA-PADAMATERI-POKOKPECAHAN-DITINJAUDARI-KEMAMPUANMATEMATIKASISWA#download (31 Januari 2013) Rahmad Hidayat, Badi,”Jurnal Pendidikan Matematika Solusi “: Analisis Kesalahan Siswa Dalam Menyelesaikan Soal Pada Materi Ruang Dimensi Tiga Ditinjau Dari Gaya Kognitif Siswa ,Vol.1 No.1 (Maret 2013), http://jurnal.fkip.uns.ac.id /index.php/matematika/ar ticle/view/1460 (Diakses 09 November 2014). Sarlina, Peneliti di SMA Negeri 11 Makassar (Makassar: SMA Negeri 11 Makassar, 05 November 2014). Setyawan, Indra, 2012. “Analisis Kesalahan Siswa Dalam Menyelesaikan Soal Matematika Pokok Bahasan Operasi Hitung Bentuk Aljabar”,Skripsi(Surak arta: Universitas Muhammadiyah Makassar) Shidiq, Fadjar. Psikologi Pembelajran Matematika, Departemen Pendidikan Nasional
Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan, Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan,. 2009 Sitti Hamsiah Mustamin, Psikologi Pembelajaran Matematika, (cet. 1, Makassar: Alauddin University Press, 2014) Sofyan Dkk, Amri. Kontruksi pengembangan Pembelajaran (Jakarta:PT Prestasi Pustakaraya,2010). Sugiono, Metode Penelitian Pendidikan. (Bandung: Alfabeta, 2008). Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D (Cet. 13; Bandung: Alfabeta, 2011). Sumardyono, Karakteristik Matematika dalam Implikasinya dalam Pembelajaran Matematika, (Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan MenengahPusat Pengembangan Penataran Guru Matematika Yogyakarta: 2004) Suparno, Paul, Miskonsepsi dan Perubahan Konsep Dalam Pendidikan Fisika , (Jakarta: Grasindo, 2013).
Thompson, Fiona dan Logue, Sue.An Exploration of Common Student Misconception in Science.(International Education Journal 7(4): 2006), http://files.eric.ed.gov/ful ltext/EJ854310.pdf. Diakses pada 14 Desember 2013 Wardhani, Sri..Analisis SI dan SKL Mata Pelajaran Matematika SMP/MTs untuk Optimalisasi Pencapaian Tujuan. (Yogyakarta: 2008.) http://www.p4tkmatemati ka.com.
Wibowo, Agus Mukti. Peningkatan Pemahaman Konsep Sains di Madrasah Ibtidaiyah Melalui Perbaikan Bahan Ajar. Madrasah, 2012,http://download.por talgaruda.org/article.php? article=115758&val=527 8 Wardhani, Sri..Analisis SI dan SKL Mata Pelajaran Matematika SMP/MTs untuk Optimalisasi Pencapaian Tujuan. (Yogyakarta: 2008.) http://www.p4tkmatemati ka.com
PERBEDAAN HASIL BELAJAR FISIKA DENGAN MENGGUNAKAN KETERAMPILAN PROSES TERINTEGRASI MELALUI METODE EKSPERIMEN DAN DEMONSTRASI PADA SISWA KELAS VIII SMP NEGERI 5 WOHA TAHUN PELAJARAN 2013/2014 IKA RIZKI YUNIARTI ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaaan hasi belajar fisika dengan menggunakan keterampilan proses terintegrasi melalui metode eksperimen dan demonstrasi paada siswa kelas VIII SMP Negeri 5 Woha tahun ajaran 2013/2014. Penelitian ini merupakan jenis penelitian quasi eksperimen yang kemudian dalam penelitian ini, yang menjadi populasi adalah seluruh kelasVIII di SMP Negeri 5 Woha yang berjumlah 4 kelas. Sampel penelitian adalah dua kelas yang diambil dengan tehknik random sampling yaitu kelas VIII3 dijadikan kelas eksperimenI dan kelas VIII4 yang dijadikan kelas eksperimenII. Dengan instrumen yang digunakan berupa soal pilihan ganda sebanyak 30 nomor, untuk mengetahu instrumen bisa digunakan atau tidak, maka dilakukan uji coba instrumen yang meliputi uji validitas ,realibilitas, derajad kesukaran soal dan derajad beda soal. Sedangkan tehnik analisis data yang digunakan untuk memperoleh data hasil belajar siswa dengan menggunakan homogenitas sampel, normalitas data dan uji hipotesis. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa nilai rata- rata siswa yang diajarkan dengan keterampilan proses terintegrasi melalui metode eksperimen lebih baik dari pada siswa yang diajarkan dengan keterampilan proses terintegrasi melalui metode demonstrasi dilihat dari uji hipotesis diperoleh nilai t hitung lebih besar dari ttabel (4,52>1,996)yang berarti hipotesis nol (Ho) ditolak dan Hipotesis alternatif (Ha) diterima yang berbunyi “ Terdapat perbedaan keterampilan proses terintegrasi melalui metode eksperimen dan demonstrasi. Kesimpulan penelitian ini adalah “ ada perbedaan hasil belajar fisika dengan menggunakan keterampilan proses terintegrasi melalui metode eksperimen dan demonstrasi pada siswa kelas VIII SMP Negeri 5 Woha tahun pelajaran 2013/2014. Saran pada penelitian ini menggunakan keterampilan proses terintegrasi dengan metode eksperimendan demonstrasi sebagai salah satu alternatif pembelajaran karena sudah terbukti dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Katakunci: keterampilan proses terintegrasi, metode eksperimen, demonstrasi, hasil belajar.
PENDAHULUAN
Pendidikan kegiatan yang
merupakan suatu universal dalam
kehidupan manusia. Pendidikan bagi manusia adalah proses, menemukan, menjadi dan mengembangkan diri sendiri dalam keseluruhan dimensi kehidupan. Pokok dari proses pendidikan adalah peserta didik yang belajar. Adapun fungsi pendidikan adalah untuk membimbing peserta didik kearah suatu tujuan yang bernilai tinggi yaitu agar peserta didik tersebut bertambah pengetahuan dan keterampilannya serta memiliki sikap yang benar. Komisi tentang Pendidikan Abad 21 (Commission on Education for the “21” Century), merekomendasikan empat strategi dalam mensukseskan pendidikan: Pertama, learning to learn, yaitu memuat bagaimana pelajar mampu menggali informasi yang ada di sekitarnya dari ledakan informasi itu sendiri. Kedua, learning to be, yaitu pelajar diharapkan mampu untuk mengenali dirinya sendiri, serta mampu beradaptasi dengan lingkungannya. Ketiga, learning to do, yaitu berupa tindakan atau aksi untuk memunculkan ide yang berkaitan dengan sainstek dan Keempat, learning to be together, yaitu memuat bagaimana kita hidup dalam masyarakat yang saling bergantung antara yang satu dengan yang lain, sehingga mampu bersaing secara sehat dan bekerja sama serta mampu untuk menghargai orang lain (Trianto, 2008:2). Para ahli pendidikan memandang sains tidak hanya terdiri dari fakta, konsep dan teori yang dapat dihafalkan, tetapi juga terdiri atas kegiatan atau proses aktif menggunakan pikiran dan sikap ilmiah
dalam mempelajari gejala alam yang belum diterangkan. Secara garis besarsains dapat didefinisikan atas tiga komponen, yaitu (1) sikap ilmiah, (2) proses ilmiah, dan (3) produk ilmiah. Jadi proses atau keterampilan proses atau metode ilmiah merupakan bagian studi sains, termasuk materi bidang studi yang harus dipelajari siswa. Mengajarkan bidang studi sains (fisika) berupa produk atau fakta, konsep dan teori saja belum lengkap, karena baru mengajarkan salah satu komponennya (Agus Suyudi, 2003:25). Fisika bagian dari sains dan hakikat dari sains itu sendiri adalah pengetahuan yang telah diuji kebenarannya secara empiris dengan melalui metode ilmiah. Pendidikan fisika menekankan pada pemberian pengalaman secara langsung dalam arti bekerja ilmiah secara lingkup proses, peserta didik diajak serta dibantu untuk mengembangkan sejumlah keterampilan proses untuk memahami perilaku atau gejala alam. Pada pembelajaran Fisika, peserta didik merupakan pusat perhatian utama.Peranan guru dalam menentukan pola kegiatan belajar mengajar di kelas, bukan hanya ditentukan oleh metode yang digunakan, tetapi juga bagaimana mendesain pembelajaran agar peserta didik memiliki pengalaman belajar.Jadi pengalaman belajar itu diperoleh baik di dalam kelas maupun di luar kelas dengan memanfaatkan lingkungan melalui interaksi aktif.Fisika dipelajari oleh peserta didik bukan hanya sekedar menghafal untuk menjawab pada saat ujian, tetapi
untuk lebih dari itu peserta didik dapat memanfaatkan kemampuannya dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu perlu adanya keterlibatan dari suatu keterampilan proses yang dimiliki oleh peserta didik dalam kegiatan pembelajaran dengan menerapkan pendekatan ini yang sifatnya terintegrasi, karena keterampilan proses merupakan keterampilan yang sering digunakan ilmuan dalam memecahkan masalah yang mengusik rasa ingin tahunya melalui kegiatan laboratorium. Keterampilan proses ini antara lain meliputi, kemampuan mengamati, mengukur, menggolongkan, mengajukan pertanyaan, menyusun hipotesis, merencanakan percobaan termasuk mengidentifikasi variablevariabel yang telibat dalam percobaan, menentukan langkah kerja, melakukan percobaan, membuat dan menafsirkan informasi/grafik, menerapkan konsep, menyimpulkan, mengkomunikasikan percobaan baik secara verbal maupun non-verbal hingga diperoleh produk ilmiah (konsep, prinsip, teori dan hukum). Menurut Trianto (2008:10) masalah utama yang dihadapi pengajar dalam proses belajar mengajar adalah bagaimana mendapatkan perhatian siswa dalam mengikuti kegiatan proses mengajar serta melibatkan siswa secara aktif dan langsung dalam kegiatan pembelajaran. Desain pembelajaran yang monoton dari waktu ke waktu, tidak adanya penerapan keterampilan proses yang sifatnya terintegrasi di dalamnya menyebabkan tidak seimbangnya kemampuan kognitif siswa antara
tingkat pemahaman dengan tingkat penalarannya serta aspek psikomotorik dari siswa kurang berkembang dengan baik. Hal tersebut di atas terjadi di SMPNegeri 5 Woha, pada pembelajaran fisika siswa hanya memperoleh informasi dari guru mata pelajaran tanpa melatih keterampilan proses yang dimiliki oleh siswa. Kurangnya variasi dalam mendesain proses pembelajaran yang dilakukan guru membuat para siswa jenuh mengikuti kegiatan belajar mengajar. Serta rendahnnya hasil prestasi belajar yang dicapai siswa dalam pelajaran Fisika. Hal ini dapat dilihat berdasarkan tabel hasil belajar berikut ini: Tabel1.1 Hasil Nilai RataRata Hasil Belajar Siswa Kelas Jumlah Nilai RataSiswa rata VIII 1 30 70 VIII 2 30 70 VIII 3 30 65 VIII 4 30 65 ( Sumber : guru fisika SMP N 5 Woha Tahun Pelajaran 2012 Semester II) Oleh karena itu ada tuntutan untuk mengembangkan sebuah format kegiatan pembelajaran dengan menerapkan keterampilan proses yang terintegrasi yang melibatkan siswa secara aktif dan memberi kesempatan kepada siswa agar dapat melakukan sendiri, mengikuti suatu proses, mengamati suatu objek, menganalisis, membuktikan dan menarik kesimpulan tentang sesuatu. Keterampalan proses disusun secara terstruktur, yang dapat
menjangkau seluruh kegiatan pembelajaran fisika. Hal tersebut diharapkan dapat mengatasi masalah rendahnya hasil belajar fisika dan keterampilan proses peserta didik yang teritegrasi secara sistematik. Keterampilan proses dapat diartikan sebagai wawasan atau pengembangan keterampilanketerampilan intelektual, sosial dan fisik yang bersumber dari kemampuankemapuan mendasar yang prinsipnya telah ada dalam diri peserta didik (Moedjiono, 1993:14). Menurut Semiawan, dkk (dalam Nasution, 2007:9-10) menyatakan bahwa, keterampilan proses adalah keterampilan fisik dan mental terkait dengan kemampuan-kemampuan yang mendasar yang dimiliki, dikuasai dan diaplikasikan dalam suatu kegiatan ilmiah, sehingga para ilmuan berhasil menemukan sesuatu yang baru. Funk (dalam Dimyati dan Mudjiono, 2002:138) menyatakan bahwa, keterampilan proses dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan-kemampuan yang dimiliki oleh individu yang memuat pendekatan keterampilan proses sebagai berikut: (1) pendekatan keterampilan proses dapat mengembangkan hakikat ilmu pengetahuan peserta didik. Peserta didik terdorong untuk memperoleh ilmu pengetahuan dengan baik karena lebih memahami fakta dan konsep ilmu pengetahuan; (2) pembelajaran melalui keterampilan proses akan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk bekerja dengan ilmu pengetahuan, tidak hanya menceritakan, dan atau mendengarkan
sejarah ilmu pengetahuan; (3) keterampialn proses dapat digunakan oleh peserta didik untuk belajar proses dan sekaligus produk ilmu pengetahuan. Keterampilan proses sains memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk secara nyata bertindak sebagai seorang ilmuwan. Pendekatan keterampilan proses bukanlah tindakan instruksional yang berada di luar jangkauan kemampuan peserta didik. Pendekatan ini justru bermaksud mengembangkan kemampuan-kemampuan peserta didik (Sumantri, 1999:113). Dari uraian di atas dapat diutarakan bahwa pendekatan keterampilan proses menuntut adanya keterlibatan fisik dan mentalintelektual peserta didik. Hal ini dapat digunakan untuk melatih dan mengembangkan keterampilan intelektual atau kemampuan berpikir peserta didik.Selain itu juga mengembangkan sikap-sikap ilmiah dan kemampuan peserta didik untuk menemukan dan mengembangkan fakta, konsep dan prinsip ilmu atau pengetahuan. Keterampilan proses menekankan bagaimana siswa belajar, bagaimana mengelola perolehannya, sehingga mudah dipahami dan digunakan dalam kehidupan di masyarakat. Dalam proses pembelajaran diusahakan agar siswa memperoleh pengalaman dan pengetahuan sendiri, melakukan penyelidikan ilmiah, melatih kemampuan-kemampuan intelektualnya, dan merangsang keingintahuan serta dapat memotivasi
kemampuannya untuk meningkatkan pengetahuan yang baru diperolehnya. Konsekuensi yang harus diterima dengan penerapan keterampilan proses adalah guru tidak saja dituntut untuk mengembangkan keterampilanketerampilan memproses dan memperoleh ilmu pengetahuan. Lebih daripada itu, guru hendaknya juga menanamkan sikap dan nilai sebagai ilmuan kepada para peserta didik. Ada berbagai keterampilan dalam keterampilan proses, keterampilan-keterampilan tersebut terdiri dari keterampilan-keterampilan dasar (basic skills) dan keterampilanketerampilan terintegrasi (integrated skills). Keterampilan-keterampilan dasar terdiri dari enam keterampilan, yakni: mengobservasi, mengklasifikasi, memprediksi, mengukur, menyimpulkan, dan mengkomunikasikan. Sedangkan keterampilan-keterampilan terintegrasi terdiri dari: mengindentifikasi variabel, membuat tabulasi data, menyajikan data dalam bentuk grafik, menggambarkan keterhubungan antar variabel, mengumpulkan dan mengelolah data, menganalisa penelitian, menyusun hipotesa, mendinifisikan variabel secara operasional, merancang penelitian, dan melaksanakan percobaan (Niny Anggrainny. Keterampilan proses.2011) Keterampilan-keterampilan proses yang ada tidak dapat dikembangkan pada semua bidang studi. Hal ini menuntut adanya kemampuan guru mengenal karakteristik bidang studi dan
pemahaman terhadap masing-masing keterampilan proses. Penjelasan dari tiap-tiap keterampilan proses, akan terurai pada pembahasan berikut ini. Pembahasan menyangkut mengapa suatu keterampilan proses penting dikembangkan, pengertian keterampilan proses tersebut, dan kegiatan-kegiatan yang menunjukkan penampakan dari keterampilan proses tersebut. Keterampilan proses terintegrasi merupakan perpaduan dua kemampuan keterampilan proses dasar atau lebih. Keterampilan ini merupakan lanjutan dari proses dasar. Jika keterampilan proses dasar merupakan dasar intelektual untuk memecahkkan masalah sedangkan keterampilan proses terintegrasi merupakan alat yang siap pakai jika orang akan memecahkan masalah. Keterampilan terintegrasi terdiri atas: mengidentifikasi variabel, menyusun data dalam tabel, membuat grafik, mendiskripsikan hubungan antara variabel-variabel, memperolehan dan memproses data, menganalisis informasi, menyusun hipotesis, merumuskan variabel-variabel secara operasional, merancang investigasi dan melakukan percobaan.(Niny Anggrainny. Proses terintegrasi. 2011) Secara umum metode eksperimen adalah metode mengajar yang mengajak siswa untuk melakukan percobaan sebagai pembuktian, pengecekan, bahwa teori yang sudah dibicarakan itu memang benar. Jadi metode ini lebih untuk mengecek supaya siswa makin yakin dan jelas akan teorinya. Biasanya metode
eksperimen bukan untuk menemukan teori tetapi lebih untuk menguji teori atau hukum yang sudah ditemukan oleh para ahli. Namun dalam praktek guru dapat pula melakukan ekperimen untuk menemukan teori atau hukumnya. Dalam hal ini seakan-akan teori atau hukum belum ditemukan, dan siswa diminta untuk menemukan. Tetapi guru sudah tahu teori atau hukum sebelumnyadan bagi guru arah eksperimen jelas. Dengan metode ini siswa dapat merasa bangga dan yakin karena seakan-akan menemukan sendiri (Paul Suparno, 2006:77-78). Eksperimen yaitu percobaan tentang sesuatu. Dalam hal ini setiap siswa melakukan percobaan dan bekerja sendiri-sendiri. Pelaksanaan eksperimen lebih menjelaskan hasil belajar, karena setiap siswa mengalami melakukan kegiatan percobaan. Sebagaimana dikemukakan terdahulu, proses belajar semacam ini sesuai dengan pandangan teori modern learning by doing ( Sumiati dan Asra, 2008:101). Metode Eksperimen ialah suatu metode mengajar di mana guru bersama siswa mencoba mengerjakan sesuatu serta mengamati proses dari hasil percobaan itu. Misalnya, karena ingin memperoleh jawaban tentang kebenaran sesuatu, mencari cara-cara yang lebih baik, mengetahui elemen atau unsur / unsur apakah yang ada pada suatu benda, ingin mengetahui apakah yang akan terjadi dan sebagainya (Jumridahusni.metodedemonstrasi-dan-eksperimen.2013). Metode Eksperimen adalah dimana guru dan murid bersama-sama mengerjakan suatu latihan atau
percobaan untuk mengetahui pengaruh atau akibat dari suatu teori pada mata pelajaran tertentu (Udhiexz.metodedemonstrasi-dan-eksperimen.2008) METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian Quasi eksperiment. Pada saat pengimplementasian perangkat pembelajaran di kelas, penelitian ini menggunakan rancangan pretes- post tes cot young desain. Penelitian tersebut dapat digambarkan sebagai berikut: Tabel 3.1 desain penelitian: Kelompok
Pretest
Treatment
Postest
Demonstrasi Eksperimen
O1 O1
X1 X2
O2 O2
(Sugiono, 2012:113) Keterangan: O1 = Pemberian test awal pada kelompok Demonstrasi dan kelompok eksperimen O2 = Pemberian test akhir pada kelompok Demonstrasi dan kelompok eksperimen X1 = Pembelajaran pada kelas dengan menggunakan pendekatan keterampilan proses terintegrasi melalui metode eksperimen. X2 = Pembelajaran pada kelas dengan menggunakan pendekatan keterampilan proses terintegrasi melalui metode demonstrasi. Adapun hasil pre-test kelas eksperimen I dan kelas eksperimen II digunakan untuk mengetahui kemampuan awal dan homogenitas kedua kelas diatas. Hasil post-test dari
kelas eksperimen I dan kelas eksperimen II digunakan untuk mengetahui pengaruh perlakuan dalam hal ini hasil belajar siswa. Dalam penelitian ini yang menjadi populasi adalah seluruh siswa kelas VIII semester I SMP Negeri 5 Woha Tahun pelajaran 2013/2014. Dimana kelas VIII terbagi dalam empat kelas dengan jumlah siswa perkelas masing-masing 30 orang yang tersaji dalam tabel 4 berikut ini: Tabel 3.2 jumlah populasi tiap kelas No Kelas Jumlah populasi 1 VIII1 38 2 VIII2 37 3 VIII3 37 4 VIII4 37 Jumlah 148 (Sumber: guru SMP Negeri 5 Woha, tahun 2013) Karena jumlah populasi dalam penelitian ini adalah 148 orang siswa yang terbagi dalam 4 kelas, maka sampel diambil secara acak dan random sampling sebanyak 74 orang siswa dari dua siswa kelas yaitu kelas VIIIc yang diperlukan sebagai kelas eksperimen I dan kelas VIIID sebagai kelas eksperimen II. Tabel 3.3. Jumlah Sampel No
Kelas
Jumlah sampel
1
VIIIC
37
2
VIIID
37
Jumlah
74
Penelitian ini menggunakan sebuah instrumen penelitian yaitu tes hasil belajar siswa dengan jenis soal pilihan ganda sebanyak 30 soal. Baik buruknya suatu tes ditinjau dari beberapa kriteria yaitu: validitas, reliabilitas,tingkat kesukaran, dan daya beda soal, Arikunto (2007:72) 1. Validitas butir soal Untuk mencari validitas butir soal dapat dicari dengan menggunakan rumus korelasi biserial, sebagai berikut (Arikunto, 2008:79) 𝑟𝑝𝑏𝑖 =
𝑀𝑝− 𝑀𝑡 𝑆𝑡
𝑝
√𝑞
Keterangan: Rpbi = Koefisien korelasi biserial Mp = Mean skor dari subyeksubyek yang menjawab betul yang dicari korelasinya dengan tes. Mt = Mean skor total(sekor rata-rata dari seluruh pengikut tes) St = Standar deviasi skor total P = Proporsi subyek yang menjawab betul item tersebut. P= banyaknya siswa yang menjawab benar Jumlah keseluruhan siswa q = Proporsi siswa yang menjawab salah ( q=1 - p) Nilai rxy kemudian konsultasikan dengan tabel r biserial dengan taraf kepercayaan 95%. Jadi kemungkinan yang terjadi yaitu: a. Jika rpbi < rtabel, maka soal tersebut dikatakan tidak valid b. Jika rpbi> rtabel, maka soal tersebut dikatakan valid
Sebelum tes diberikan kepada siswa, terlebih dahulu dilakukan uji validitas terhadap soal yang akan diujikan untuk mengetahui apakah soal-soal tersebut layak untuk digunakan dalam penelitian. Dari hasil uji coba instrumen yang dilakukan pada kelas IX di SMPN 5 Woha dengan jumlah siswa 30 orang. Dari 30 soal (lihat lampiran) yang diuji cobakan diperoleh 25 soal valid dan 5 soal yang tidak valid (soal nomor 8,9,28,29 dan 30). Untuk N = 30 dengan taraf signifikan 5%, maka rtabel = 0,361. Sehingga dapat ditentukan valid tidaknya soal tersebut (untuk lebih jelas lihat lampiran 4) 2. Reliabilitas soal Untuk mencari reliabilitas instrumen digunakan rumus: 𝑛
𝑆 2 − ∑ 𝑝𝑞
𝑟11 = (𝑛−1) ( 𝑆 2 )( Arikunto, 2008: 100) Keterangan r11 = Reliabilitas butir soal secara keseluruhan p = Proporsi siswa yang menjawab soal dengan benar q = Proporsi siswa yang menjawab soal dengan salah (q=1p) ∑pq = Jumlah hasil perkalian antara p dan q n = Banyaknya soal S = Standar deviasi dari tes Soal dikatakan reliabel jika r11>rtabeldan tidak reliabel jika r11< rtabel. Uji coba reliabilitas dilakukan pada 25 soal yang valid dengan menggunkan rumus KR-20 diperolej r11 sebesar 0,935 dan nilai rtabel untuk taraf signifikan 5% dengan N = 0,361.
Oleh karena itu rhitung lebih besar daripada rtabel(0,935 > 0,361). Maka instrumen penelitian ini memiliki tingkat reliabilitas yang sangat tinggi/kuat ( lihat lampiran 5) Tabel: 4.2 Hasil Uji Reliabilitas rhitung rtabel Keterangan 0,935 0,361 Reliabilitas tinggi 3. Derajat kesukaran soal Untuk menganalisis tingkat kesukaran soal adalah dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Arikunto, 2002: 208): 𝐵 𝑃 = 𝐽𝑠 Keterangan: P = Indeks kesukaran soal B = Banyaknya siswa yang menjawab benar tiap butir soal Js = Jumlah seluruh siswa peserta tes. Kriteria yang digunakan adalah makin kecil indeks yang diperoleh maka makin sulit soal tersebut. Sebaliknya makin besar indeks yang diperoleh maka makin mudah soal tersebut. Kriteria indeks tersebut dapat diperoleh pada tabel 3.4 berikut: Tabel 3.4 kriteria indeks kesukaran soal No Nilai Kualifikasi 1 0,00 – 0,30 Sukar 2 0,31 – 0,70 Sedang 3 0,71 – 1,00 Mudah Untuk setiap pokok bahasan divariasikan antara soal yang mudah sedang dan sukar. Hasil uji tingkat kesukaran soal, diperoleh 12 soal yang
tingkat kesukarannnya rendah/mudah, yaitu yang berada pada rentang 0.711.00, soal yang tingkat kesukaranya sedang sebanyak 17 yang berada rentang 0.31-0.70, dan untuk soal yang tingkat kesukarannya sulit ada 1 soal yaitu antara rentang 0,00 - 0,30 (selengkapnya bisa di lihat lampiran 6). 4. Derajat beda soal Item yang baik adalah item yang mampu membedakan antara kemampuan siswa yang pandai dengan yang kurang pandai. Adapun rumus untuk mengetahui daya beda soal yaitu, ( Arikunto, 2002:213) 𝐵𝑎 𝐵𝑏 D = Ja - Jb Keterangan : = Daya pembeda = Banyaknya siswa kelompok atas yang menjawab benar Bb = Banyaknya siswa kelompok bawah yang menjawab bnar Ja = Jumlah siswa kelompok atas Jb = Jumlah siswa kelompok bawah Adapun kriteria daya beda yang dilihat pada tabel 3.5 berikut: Tabel 3.5 Kriteria Nilai Daya Beda D Ba
No
Nilai
Kualifikas
1 2 3 4
0,00 - 0,20 0,20 – 0,40 0,40- 0,70 0,70 – 1,00
Jelek (poor) Cukup (santisfactory) Baik (good) Baik Sekali (excellent)
Berdasarkan hasil uji daya beda soal, maka dapat disimpulkan bahwa soal yang memiliki daya beda sangat jelek yang bernilai negatif dan soal ini di anggap tidak layak dijadikan instrumen penelitian, soal yang
memiliki daya beda jelek sebanyak 12 soal karena berada pada rentang 0,00 0,20. Soal yang memiliki daya beda cukup berada sebanyak 14 karena berada pada rentang 0,21 – 0,40. Soal yang memilki daya beda baik sebanyak 4 soal karena berada pada rentang0,41 – 0,70. Tehnik yang diguanakan dalam pengambilan data penelitian adalah tehnik pemberian tes untuk memperoleh data hasil belajar fisika siswa, yaitu: a. Homogenitas Sampel Uji homogenitas dipergunakan untuk membuktikan apakah kedua sampel yang menjadi obyek penelitian homogen atau tidak. Uji homogen ini dilakukan sebelum pemberian perlakuan, sugiyono (2008 : 275) menyatakan bahwa uji homogenitas dilakukan dengan menggunakan uji F, yaitu: 𝐹ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 =
𝑣𝑎𝑟𝑖𝑎𝑛𝑠𝑖 𝑡𝑒𝑟𝑏𝑒𝑠𝑎𝑟 𝑣𝑎𝑟𝑖𝑎𝑛𝑠𝑖 𝑡𝑒𝑟𝑘𝑒𝑐𝑖𝑙
Kriteria pengujiannya adalah jika Fhiting< Ftabel maka data dikatakan homogen dan sebaliknya jika Fhitung > Ftabel maka data tidak dikatakan homogen. b. Normalitas Data Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah data tes akhir terdistribusi normal atau tidak. Uji normalitas dicari dengan menggunakan rumus chi kuadrat, (Ridwan, 2004: 237): Keterangan: Fo = Menyatakan frekuensi hasil pengamatan Fe = Menyatakan frekuensi harapan
berdasarkan distribusi frekuensi kurva normal teoritis. Suatu data akan terdistribusi normal jika χ2 hitung> χ2tabel dan tidak terdistribusi normal jika χ 2 2 hitung<χ tabel pada taraf signifikan 5% dengan derajat kebebasan, db = k -1 dimana k menyatakan jumlah kelas interval. c. Uji Hipotesis Untuk mengetahui pengaruh pemberian perlakuan dengan menggunakan metode pendekatan keterampilan proses terintegrasi terhadap hasil belajar siswa, maka data tes terakhir dianalisis uji t, Sugiyono (2008:273) 𝑡̅ =
𝑥̅1 − 𝑥̅2 𝑆 21
√
𝑛1
+
𝑆 22 𝑛2
Keterangan : ̅̅̅ 𝑋1 = Nilai rata-rata kelaseksperimen I ̅̅̅ 𝑋2 = Nilai rata-rata kelas eksperimen II S1 = Standar deviasi kelas eksperimen I S2 = Standar deviasi kelas eksperimen II n1 =Jumlah sampel kelas eksperimen I n2 =Jumlah sampel kelas eksperimen II Dengan kriteria pengujian adalah Ha diterima jika ttabel (1 – 1/2α)
Ho = Tidak terdapat perbedaan hasil belajar fisika dengan menggunakan pendekatan keterampilan proses melalui metode eksperimen dan demonstrasi pada siswa kelas VIII SMP Negeri 5 Woha tahun pelajaran 2013/2014. Ha = Terdapat perbedaan hasil belajar fisika dengan menggunakan pendekatan keterampilan proses melalui metode eksperimen dan demonstrasi pada siswa kelas VIII SMP Negeri 5 Woha tahun pelajaran 2013/2014. HASIL PENELITIAN Data dalam penelitian ini terdiri dari hasil belajar siswa yang Menggunakan Keterampilan Proses Terintegrasi Melalui Metode Eksperimen dan Demonstrasi Tabel: 4.1 Deskripsi hasil penelitian O1
O2
Statistik
prestes
postes
prestes
Postes
Rata-rata (mean) Nilai Maksimun Nilai Minimum Standar Deviasi
35.03
81.11
35.16
65.32
50
90
50
20
62
15
7.67
6.81
8,16
Nilai Maksimum Yang Diharapkan
100
71 52 5,73
100
Keterangan : O1 = Hasil Belajar IPA Fisika Kelas Eksperimen I O2 = Hasil Belajar IPA Fisika Kelas Eksperimen II 1. Hasil Uji Persyaratan Hipotesis Uji persyarat dilakukan sebelum melakukan uji hipotesis. Uji persyarat dalam
penelitian ini terdiri dari uji homogenitas dan uji normalitas. a. Hasil Uji homogenitas Uji homogenitas digunakan untuk mengetahui sama atau tidaknya kemampuan awal kedua kelompok sampel penelitian. Uji homogenitas dalam penelitian ini menggunakan uji F. Dari data hasil prestes yang didapatkan (lampiran) dan telah dianalisis menggunakan uji F (lampiran) maka diperoleh hasil Fhitung = 0,899 sedangkan Ftabel = 1,75 sehingga dari hasil yang didapatkan Fhitung
x2hitung 10,66
Tabel 4.4 Hasil Uji Normalitas Kelas Demonstrasi I 2 x tabel Keterangan 11,07 Terdistribusi Normal
2) Hasil Uji Normalitas Kelas Eksperimen Dari hasil perhitungan (lampiran) diperoleh x2hitung = 10.331 dan x2tabel = 11,07. Dengan demikian didapatkan x2hitung <x2tabel maka data hasil belajar siswa untuk kelas eksperimen II terdistribusi normal. Tabel:4.5 Hasil Uji Normalitas Kelas Eksperimen 2 2 x hitung x tabel Keterangan 10.331 11,07 Terdistribusi Normal 2. Hasil Uji Hipotesis. Dari hasil perhitungan statistik uji-t polled varians diperoleh thitung sebesar 4,52 dan harga ttabel untuk taraf signifikasi 5% dengan derajat kebebasan dk N1 + N2 – 2 = 37 + 37 – 2 = 72 sebesar 1,996. Oleh karena thitung lebih besar dari ttabel (4,52 > 1,996), maka dapat disimpulkan bahwa hasil belajar siswa pada pokok bahasan Gaya dengan menggunakan keterampilan proses terintegrasi melalui metode eksperimen dan demonstrasipada siswa kelas VIII SMP Negeri 5 Woha tahun ajaran 2013/2014 (lampiran). thitun g
Tabel: 4.6 Hasil Uji Hipotesis ttabel Tara d keteranga f k n
4,52
1,99 6
5%
7 2
Ada perbedaan
PEMBAHASAN Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan tehnik simple random sampling, yaitu tehnik pengambilan sampel dengan cara diundi secara acak, yang meliputi seluruh kelas VIII SMPN 5 Woha. Dengan uraian tehnik pengambilan sampelnya dapat dilihat pada tabel sebagai berikut : Tabel: 4.7 Tehnik Pengambilan Sampel No Kelas Jumlah Sampel/Kelas 1 VIII.3 37 2 VIII.4 37 Total Sampel 74 Dari total sampel yang menjadi dua kelas, dimana untuk VIII.3 dijadikan kelas eksperimen I dan VIII.4 dijadikan kelas eksperimen II (pembanding). Berdasarkan hasil analisis data yang telah dilakukan, diperoleh hasil uji normalitas ( x2) kelas eksperimen I sebesar 10,66 dan kelas eksperimen II sebesar 10.331 pada taraf signifikan 5% didapatkan x2tabel = 11,07. Dengan kriteria, jikax2hitung <x2tabel data terdistribusi normal (lampiran) jadi, dari hasil yang didapatkan pada kelas eksperimen I maupun pada kelas eksperimen II diperoleh hasil belajar IPA Fisika siswa pada pokok bahasan Gaya terdistribusi normal. Selain itu
juga untuk hasil uji hipotesis diperoleh nilai t = 4,52 (lampiran). Dari hasil perhitungan diperoleh nilai thitung lebih besar darittabel (4,52>1,996) yang berarti bahwa hipotesis nol (Ho) ditolak dan hipotesis alternatif (Ha) diterima yang berbunyi “Terdapat perbedaan hasil belajar siswa dengan menggunakan keterampilan proses terintegrasi melalui metode eksperimen dan demonstrasi siswa kelas VIII pada SMPN 5 Woha tahun pelajaran 2013/2014”. Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran dengan menggunakan pendekatan keterampilan proses terintegrasi melalui metode eksperimen dan demonstrasimempunyai pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan prestasi belajar siswa. Maka dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan yang berarti antara hasil belajar IPA yang menggunakan pembelajaran pendekatan keterampilan proses terintegrasi melalui metode eksperimen dibandingkan dengan yang menggunakan pendekatan keterampilan proses terintegrasi melalui metode demonstrasi . Dari hasil tes akhir didapatkan bahwa nilai rata-rata yang diperoleh oleh kelompok siswa yang diajarkan menggunakan pembelajaran pendekatan keterampilan proses terintegrasi melalui metode demonstrasi (kelas demonstrasi) yaitu 81,11 lebih tinggi daripada kelompok siswa yang diajarkan dengan yang tidak menggunakan pembelajaran pendekatan keterampilan proses terintegrasi melalui metode eksperimen (kelas eksperimen) yaitu
65,32. Hal ini berarti bahwa menggunakan pembelajaran pendekatan keterampilan proses terintegrasi melalui metode eksperimen dan demonstrasi terdapat perbedaan pada hasil belajar IPA Fisika siswa kelas VIII SMPN 5 Woha. Pembelajaran IPA Fisika bertujuan untuk meningkatkan ketrampilan berpikir siswa, mengantarkan siswa membangun sendiri konsepsi dan definisi yang benar, bukan menginformasikanya.Untuk mencapai tujuan ini diperlukan model pembelajaran dan metode yang benarbenar tepat. Pembelajaran pendekatan keterampilan proses terintegrasi melalui metode eksperimen dan demonstrasi adalah salah satu pendekatan keterampilan proses menuntut adanya keterlibatan fisik dan mental intelektual peserta didik. Dan hal ini juga dapat digunakan untuk melatih dan mengembangkan keterampilan intelektual dan kemampuan berpikir peserta didik. Metode eksperimen adalah metode yang melibatkan semua siswa dalam melakukan kegiatan percobaan, sedangkan metode demonstrasi adalah metode yang hanya melibatkan satu atau sekolompok siswa saja. KESIMPULAN Dari hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan sebagai berikut : “ada perbedaan hasil belajar fisika dengan menggunakan keterampilan proses terintegrasi
melalui metode eksperimen dan demonstrasi pada siswa kelas VIII SMP Negeri 5 woha tahun pelajaran 2013/2014, dilihat dari uji hipotesis diperoleh nilai thitung lebih besar dari ttabel (4,52>1,996). DAFTAR PUSTAKA Ali, Muhammad. 2008.Guru dalam Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT. Sinar Baru Algesindo. Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian( Revisi ) Jakarta: Rineka Cipta. Dimyanti dan mudijono,.2009. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Asdi Mahasatya. Ekawarna. 2009. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Gaung Persada Press. Jumridahusni.2011 http//.Blogspot.com demonstrasi-daneksperimen)diakses 2013
(metode03-06-
NinyAnggriani 2011. http//.Blogspot.com.(metodedemonstrasi-dan-eksperimen) diakses03-06-2013 Udhiexz.2008.http//wordspress.com.( metode-demontrasi-daneksperimen).diakses03-062013 J. Mouly, George, 1968. Psychology for Effective Teaching.Edition 2. Holt,Rinehart and Winston.
Khaeruddin dan Eko Hadi. 2005. Pemebelajaran Sains. Makassar: Badan Penerbit Universitas Negeri Makassar.
Fisikakonstuktivistik dan menyenangkan yogyakarta: penerbit universitas sanata darma yogyakarta.
Moedjiono. 1993. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Depdikbud. Bandung: Jamaica.
Sugiyono, 2008, metode penelitian pendidikan. Alfabeta: bandung
Nasution.2007. Didaktif Mengajar.
Asas-asas
Purwanto. 2009. Evaluasi Hasil Belajar. Yogyakarta: Pustaka belajar.
Sumantri.1999. Ilmu dalam Presfektif. Jakarta: Gramedia. Sumiati dan Asra, M.Ed. 2008. Metode pembelajaranpenerbit: Cv WacanaPrima Bandung Suyudi
Subagio Yusuf. 2006. Pembelajaran sains dengan pendekatan keterampilan Pembelajaran Sains dengan Pendekatan Keterampilan Proses untuk Meningkatkan Hasil Belajar Fisika Siswa SMP pada Pokok Bahasan Suhu dan Pemuaian. Skripsi: Universitas Negeri Semarang. Paul
Suparno. 2006. Pembelajaran
Metodologi
Agus. 2003. Dasar-dasar Sains. Malang: FMIPA Universitas Negeri Malang.
Tanley Gerson dan Theresi Lurens. 2003. Evaluasi Hasil Belajar. Surabaya: Unesa University Press. Trianto.
2008. Mendesain Pembelajaran Kontekstual (Kontextual Theacing and Learning). Jakarta: Cerdas Pustaka Publisher’s.
PENERAPAN PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE NHT DALAM MENINGKATKAN HASIL BELAJAR IPA FISIKA SISWA KELAS VII.B SMP NEGERI 2 BOLO TAHUN PELAJARAN 2013/2014. RUSTAM
ABSTRAK Penelitian ini, bertujuan untuk mengetahui peningkatan hasil belajar siswa dengan penerapan pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head Together kelas VII.B di SMPN 2 Bolo tahun pelajaran 2013/2014. Jenis penelitian yang digunakan ini adalah penelitian tindakan kelas yang dilaksanakan dalam dua siklus. dimana dalam tiap siklus dilakukan 3 kali pertemuan. Setiap pertemuan dilakukan observasi langsung dengan bantuan lembar observasi untuk mendapatkan data aktivitas yang kemudian dianalisis menggunakan rumus analisis aktivitas. Sedangkan pada akhir siklus dilakukan evaluasi dengan menggunakan instrumen tes berbentuk pilihan ganda untuk mendapatkan data hasil belajar siswa yang selanjutnya dianalisis menggunakan analisis ketuntasan. Dari hasil analisis data, didapatkan peningkatan aktivitas siswa selama pertemuan dari siklus I yang cukup aktif pada pertemuan ke-1 menjadi sangat aktif pada pertemuan ke-2 di siklus II. Begitupun untuk ketuntasan belajar mengalami peningkatan, yakni pada siklus I persentase ketuntasannya sebesar 72,86 % meningkat pada siklus II menjadi 91,43 %. Dengan melihat hasil yang diperoleh tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa “Dengan penerapan pembelajaran kooperatif tipe NHT di SMPN 2 Bolo tahun pelajaran 2013/2014 dapat meningkatkan hasil belajar siswa”. Kata Kunci: Kooperatif tipe NHT, Hasil Belajar. PENDAHULUAN Salah satu tujuan pelajaran fisika adalah agar siswa menguasai berbagai konsep dan prinsip fisika untuk mengembangkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap percaya diri sehingga dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Pengajaran fisika juga dimaksudkan untuk pembentukan sikap yang positif terhadap fisika, yaitu merasa tertarik untuk mempelajari fisika lebih lanjut karena merasakan keindahan dalam keteraturan perilaku alam serta
kemampuan fisika dalam menjelaskan berbagai peristiwa alam dan penerapan fisika dalam teknologi. Untuk mencapai suatu hasil belajar yang maksimal, banyak aspek yang mempengaruhinya, diantaranya aspek guru, siswa, metode pembelajaran dan lain-lain. Menurut Gagne (Sagala, 2003:17) Belajar merupakan kegiatan yang kompleks, dan hasil belajar berupa kapabilitas (kemampuan), timbulnya kapabilitas disebabkan: (i) stimulasi yang berasal dari lingkungan,
dan (ii) proses kognitif yang dilakukan oleh pelajar. Setelah belajar orang memiliki keterampilan, pengetahuan, sikap, dan nilai. Pelajaran fisika adalah pelajaran yang mengajarkan berbagai pengetahuan yang dapat mengembangkan daya nalar, analisa, sehingga hampir semua persoalan yang berkaitan dengan alam dapat dimengerti. Untuk dapat mengerti fisika secara luas, maka harus dimulai dengan kemampuan pemahaman konsep dasar yang ada pada pelajaran fisika. Berhasil atau tidaknya seorang siswa dalam memahami tentang pelajaran fisika sangat ditentukan oleh pemahaman konsep. Pembelajaran fisika yang baik tidak cukup hanya diajarkan melalui pembelajaran yang bersumber dari buku atau secara teori. Tetapi perlu pelaksanaan praktik dan pengalaman lapangan. Pembelajaran fisika tanpa dilengkapi dengan kegiatan demonstrasi, laboratorium atau pengalaman lapangan akan mengakibatkan kesalahan konsep fisika. Berdasarkan pengamatan (Senin, 19 Agustus 2013) dengan guru mata pelajaran fisika yaitu Bapak Mustafa, S.Pd. Bahwa hasil belajar siswa pada kelas VII-A masih tergolong rendah hal ini dilihat dari hasil tes ulangan semester tahun pelajaran 2012/2013 menunjukan bahwa nilai rata-rata siswa masih tergolong sangat rendah akibatnya karena siswa tidak antusias dalam belajar dan respon terhadap mata pelajaran fisika. Hal ini dapat di lihat dari tabel hasil ulangan semester tahun 2012/2013 di bawah ini:
Tabel 1.1 Nilai rata-rata ulangan semester siswa tahun 2012/2013. KKM No
Kelas 1 VII-A
65
Nilai Ratarata 64
2 VII-B
66
3 VII-C
70
4 VII-D
70
5 VII-E
68
6 VII-F
65
Sumber SMP Negeri I Bolo Tahun 2012/2013 Mencermati kompleksnya permasalahan yang dihadapi siswa kelas VII tersebut, maka diperlukan metode praktikum sebagai solusi alternatif dalam meningkatkan aktivitas dan prestasi belajar siswa dalam mata pelajaran fisika. Salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh guru adalah dengan mengadakan praktikum, baik dalam skala kompleks maupun sederhana. Kegiatan praktikum atau disebut juga kegiatan laboratorium yang dimaksudkan di sini adalah pengalaman belajar yang memungkinkan siswa berinteraksi dengan materi atau konsep pelajaran sekaligus mempraktekan konsep tersebut dalam pembelajaran. Pengalaman belajar yang dibuat memiliki tingkatan struktur yang berbeda dan ditentukan oleh guru atau buku kegiatan praktikum. Pengalaman belajar mencakup fase perencanaan dan perancangan, analisis dan interpretasi serta aplikasinya seperti halnya fase saat berlangsungnya kegiatan. Kegiatan laboratorium dapat dilakukan oleh siswa baik secara individual atau kelompok kecil. Kegiatan praktikum dalam pembelajaran fisika merupakan
langkah yang tepat dan efektif untuk meningkatkan aktivitas dan prestasi belajar siswa dalam pelajaran fisika. Menurut pendapatnya Yamin (2012: 75) mengemukakan bahwa metode praktikum merupakan metode yang dapat dilakukan kepada siswa setelah guru memberikan arahan, abaaba, petunjuk untuk melaksanakannya dengan mempergunakan alat-alat tertentu untuk melatih keterampilan siswa dalam pengguanaan alat-alat yang diberikan kepadanya. Sedangkan menurut Fensham (Adisendjaja, 2008: 10) berpendapat bahwa keterampilan praktikum dalam pendidikan fisika harus dipandang sebagai hal yang penting sebagaimana mestinya. Tujuan kegiatan praktikum bukan hanya berguna dan esensial untuk pengajaran fisika saja di sekolah yang bertujuan melatih siswa untuk menjadi ilmuwan atau ahli teknik. Kegiatan praktikum digunakan untuk memberikan kesempatan kepada siswa dengan pengalaman langsung objek-objek, konsep-konsep dan prosedur praktikum. Kegiatan praktikum ini berperan sebagai instrument untuk belajar inquiri dan kognitif. Para ahli lain banyak menekankan kegiatan praktikum tak terikat kaitannya dengan belajar pengetahuan ilmiah. Denny dan Chenell (Adisendjaja, 2008: 9) menyusun daftar empat tujuan prinsip antara lain sebagai berikut: 1. Menstimulasi minat (interest) dan kesenangan. 2. Mengajarkan keterampilan laboratorium.
3. Mengajarkan proses sains. 4. Membantu dalam belajar pengetahuan ilmiah. Fensham (Adisendjaja, 2008: 10) berpendapat bahwa keterampilan praktikum dalam pendidikan fisika harus dipandang sebagai hal yang penting sebagaimana mestinya. Tujuan kegiatan praktikum bukan hanya berguna dan esensial untuk pengajaran fisika saja di sekolah yang bertujuan melatih siswa untuk menjadi ilmuwan atau ahli teknik. Juga bukan hanya membantu siswa belajar konsep atau untuk mengembangkan sikap dan minat. Kegiatan praktikum harus dilihat dan diartikan bahwa keterampilan-keterampilan dalam praktikum berguna dalam dunia nyata sejalan dengan meningkatnya ilmu pengetahuan dan tehnologi. Berdasarkan konsep yang dikemukakan oleh para ahli di atas bahwa peranan kegiatan praktikum dalam meningkatkan aktivitas dan prestasi belajar adalah sebagai instrument atau sarana untuk belajar inkuiri dan kognitif serta memberikan pengalaman nyata bagi siswa yang berkaitan dengan fisika. Kegiatan laboratorium sebagai bagian yang tak terpisahkan dari pelajaran fisika di sekolah. Laboratorium dirancang untuk melakukan revolusi pendidikan. Menurut Luneta dan Hofstein (dalam Adisenjaja, 2008: 12) tujuan pengajaran laboratorium dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu kelompok ranah kognitif, praktis dan afektif. Rinciannya dapat dilihat pada table di bawah ini.
Tabel 2.1. Tujuan Pengajaran Laboratorium Ranah Kognitif
Praktis
Afektif
Tujuan Mendorong pengembangan intelektual Memperkuat belajar konsep ilmiah Mengembangkan keterampilan pemecahan masalah Mengembangkan berpikir kreatif Meningkatkan pemahan fisika dan metode ilmiah Mengembangkan keterampilan investigasi fisika Mengembangkan keterampilan menganalisis data investigasi Mengembangkan keterampilan komunikasi Mengembangkan keterampilan bekerja sama dengan orang lain Memperkuat sikap terhadap fisika Mendorong persepsi positif dari kemampuan seseorang untuk memahami dan mempengaruhi lingkungan orang lain.
Luneta dan Hofstein (dalam Adisendjaja, 2008: 12) Berdasarkan pendapat para ahli yang dikutip dari Adisendjaja bahwa tujuan dari kegiatan praktikum bermuara pada peningkatan tiga kompetensi, yaitu kelompok ranah kognitif, praktis dan afektif. Menurut pendapatnya Budiman. (2011). Macam-Macam Metode dalam Mengajar. Online: http://adybudiman.Blogdetik.com. Di Akses pada tanggal 09 Juni 2013. Kelebihan metode praktek: 1) Siswa lebih mudah mengerti dan memahami. 2) Siswa bisa langsung mempraktekan setelah mendapatkan teori. 3) Siswa lebih aktif berfikir dan membuktikan sendiri kebenaran suatu teori. 4) Dapat membangkitkan rasa ingin tahu siswa.
Dapat membangkitkan rasa ingin menguji sesuatu. Kekurangan dalam metode praktek: 1) Ketidaksediaan alat peraga atau prasana yang mendukung 2) Biasanya membutuhkan biaya laboratorium yang mahal 3) Seorang guru harus benar-benar menguasai materi yang diamati dan harus mampu memanage siswanya 4) Bila siswa kurang motivasi maka praktikum tidak akan sukses Aktivitas adalah kemampuan siswa untuk terlibat secara optimal dalam proses pembelajaran, sehingga siswa merasa termotivasi, bergairah dan berkonsentrasi dalam proses belajar mengajar. Sementara dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2002: 23) bahwa aktivitas adalah salah satu kegiatan kerja yang dilaksanakan dalam tiap bagian di dalam perusahaan. Siswa mempunyai keberanian untuk bertanya dan menjawab permasalahan dalam belajar. Dengan demikian aspek-aspek yang tercakup dalam aktivitas belajar antara lain meliputi: a) Perhatian dan konsentrsi siswa dalam belajar. b) Keaktifan siswa dalam berinteraksi dengan kelompoknya. c) Keberanian siswa dalam mengajukan pertanyaan. d) Keberanian siswa dalam menjawab pertanyaan. e) Pemanfaatan sumber belajar yang ada. f) Ketuntasan dalm mengerjakan tugas-tugas yang diberikan. g) Absensi siswa dalam pelajaran fisika. h) Ketetapan jawaban. 5)
Belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Kemampuan intelektual siswa sangat menentukan keberhasilan siswa dalam memperoleh prestasi. Untuk mengetahui berhasil tidaknya seseorang dalam belajar maka perlu dilakukan suatu evaluasi, tujuannya untuk mengetahui prestasi yang diperoleh siswa setelah proses belajar mengajar berlangsung Slameto (2003:2). Adapun prestasi dapat diartikan sebagai hasil yang diperoleh karena adanya aktivitas belajar yang telah dilakukan. Namun banyak orang beranggapan bahwa yang dimaksud dengan belajar adalah mencari ilmu dan menuntut ilmu. Prestasi belajar merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari kegiatan belajar, karena kegiatan belajar merupakan proses, sedangkan prestasi merupakan hasil dari proses belajar. Prestasi belajar siswa dapat diketahui setelah diadakan evaluasi. Hasil dari evaluasi dapat memperlihatkan tentang tinggi atau rendahnya prestasi belajar siswa. Untuk mencapai prestasi belajar siswa sebagaimana yang diharapkan, maka perlu diperhatikan beberapa faktor yang mempengaruhi prestasi belajar antara lain; faktor yang terdapat dalam diri siswa (faktor intern), dan faktor yang berasal dari luar diri siswa (faktor ekstern). Faktor-faktor yang berasal dari dalam diri anak bersifat biologis sedangkan faktor yang berasal dari luar diri anak antara lain adalah
faktor keluarga, sekolah, masyarakat dan sebagainya. METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (Classroom Action Research). Secara garis besar pelaksanaan tindakan ini dilakukan dengan dua siklus yang setiap siklus meliputi empat tahapan yaitu perencanaan, pelaksanaan tindakan, observasi, dan refleksi. Adapun peran peneliti dalam penelitian ini adalah sebagai guru yang mengajar di depan kelas sedangkan guru mata pelajaran (guru mitra) bertugas sebagai pengamat (observer). Alasan utama peneliti sebagai pengajar karena peneliti memahami tentang langkah-langkah penerapan metode praktikum. Adapun yang menjadi subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas VIIA SMP N I Bolo Kabupaten Bima Tahun Pelajaran 2013/2014, dengan jumlah siswa 24 siswa dimana untuk yang laki-lakinya 5 orang dan perempuannya adalah 19 orang. Penelitian ini berbentuk tindakan kelas yang difokuskan pada situasi kelas yang dikenal dengan sebutan Classroom Action Research. Prosedur tindakan kelas ini akan dikembangkan dalam bentuk siklus. Pada setiap siklus terdiri dari empat kegiatan pokok, yaitu: perencanaan, pelaksanaan, observasi, dan refleksi. Pada siklus kedua dan selanjutnya,kegiatan yang dilakukan pada dasarnya sama, hanya pada tahap perencanaan ada sedikit modifikasi, yaitu Perencanaan
Tahap perencanaan ini, meliputi: a. Menyusun skenario persiapan mengajar sesuai dengan pokok bahasan yang akan diajarkan pada tiap pertemuan. b. Mempersiapkan media pembelajaran atau alat-alat praktikum untuk melakukan kegiatan praktikum sesuai dengan materi yang diajarkan. c. Mempersiapkan instrument berupa tes untuk mengetahui atau mengukur prestasi siswa dalam menerima materi yang diberikan. Pelaksanaan Langkah yang ditempuh dalam pelaksanaan tindakan kelas sebagai berikut. a. Guru membuka pelajaran dengan mengabsensi kehadiran siswa, memberikan apersepsi terhadap materi yang akan disampaikan dalam memberikan tes awal b. Guru menyampaikan tujuan pembelajaran c. Guru menyampaikan materi sesuai dengan RPP yang dibuat d. Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan pendapat terkait dengan materi yang disampaikan. e. Siswa melakukan kegiatan praktikum sesuai dengan materi pelajaran yaitu suhu dan pengukurannya f. Guru memberikan lembar instrument praktikum yang diisi oleh siswa selama melakukan kegiatan praktikum. g. Guru menutup pelajaran dengan merangkum materi dan memberikan tes akhir.
h. Guru mengadakan refleksi terhadap tindakan yang telah diberikan. Observasi Observasi atau pengamatan sebagai alat penilaian banyak digunakan untuk mengukur tingkah laku individu atau pun proses terjadinya suatu kegiatan yang diamati. Melalui pengamatan dapat mengetahui bagaimana sikap dan prilaku siswa, Faktor- faktor yang diobservasi meliputi: (1) perhatian dan konsentrsi siswa dalam belajar; (2) Keaktifan siswa dalam berinteraksi dengan kelompoknya; (3) Keberanian siswa dalam mengajukan pertanyaan; (4) Keberanian siswa dalam menjawab pertanyaan; (5) Pemanfaatan sumber belajar yang ada; (6) Ketuntasan dalm mengerjakan tugas-tugas yang diberikan; (7) Absensi siswa dalam pelajaran fisika; (8) Ketetapan jawaban. Refleksi Setelah kegiatan observasi selesai, tahap selanjutnya adalah tahap refleksi, yaitu mengkaji pelaksanaan tindakan dengan melihat atau mencermati hambatan yang dialami pada siklus I, mencari faktor penyebab hambatan tersebut serta solusinya untuk perbaikan pada siklus selanjutnya. Teknik analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara: 1. Analisi pengamatan aktivitas siswa Setiap indikator siswa pada penelitian ini secara
penskorannya berdasarkan aturan berikut: Skor 5 : diberikan penilaian sangat aktif Skor 4 : diberikan penilaian aktif Skor 3 : diberikan penilaian cukup aktif Skor 2 : diberikan penilaian kurang aktif Skor 1 : diberikan penilaian sangat kurang aktif Untuk menilai kategori aktivitas siswa, ditentukan terlebih dahulu Mean ideal dan Standar Devisiasi Ideal (SDI). Cara menentukan MI dan SDI adalah sebagai berikut a. 𝑀𝐼 = 1 𝑥 (𝑆𝑘𝑜𝑟 𝑚𝑎𝑘𝑠𝑖𝑚𝑎𝑙 + 2 𝑆𝑘𝑜𝑟 𝑚𝑖𝑛𝑖𝑚𝑎𝑙 ) 1 𝑆𝐷𝐼 = 3 𝑥 𝑀𝐼 b. Menentuk an aktivitas belajar siswa Berdasarkan skor standar, maka kriteria untuk menentukan aktivitas belajar siswa dijabarkan pada tabel berikut ini. Table 3.1. Pedoman Penilaian Aktivitas Siswa Interval MI + 1,5 SDI ≤ As MI + 0,5 SDI ≤ As < MI + 1,5 SDI MI – 0,5 SDI ≤ As < MI + 0,5 SDI MI – 1,5 SDI ≤ As < MI – 0,5 SDI As < MI – 1,5 SDI
Kategori Sangat aktif Aktif Cukup Aktif Kurang Aktif Sangat Kurang Aktif
(Nurkencana, dalam Rahmi, 2012: 56) Untuk mengetahui aktivitas siswa dalam pembelajaran,
maka data hasil observasi yang berupa skor diolah dengan rumus: ∑𝑥 𝐴𝑠 = 𝑖 Keterangan: As : Aktivitas belajar Siswa ∑x : Jumlah skor masingmasing indikator i : Banyak indikator 2. Analisis peningkatan prestasi belajar siswa. Untuk mengukur peningkatan prestasi belajar siswa maka digunakan rusus sebagai berikut: ∑𝑥 𝑀= 𝑛 Dimana: M = Rata-rata (Mean) ∑x = Jumlah skor yang diperoleh masing-masing siswa n = Banyaknya siswa. (Sugiyono, dalam Syafruddin, 2011: 28) Prestasi belajar dikatakan meningkat apabila terdapat peningkatan rata-rata skor sebelumnya. Indikator keberhasilan tindakan kelas adalah tercapainya ketuntasan belajar dengan rumus: 𝑥 𝐾𝐵 = 𝑧 𝑥 100% Keterangan: KB = Ketuntasan Belajar X = Jumlah siswa yang memperoleh nilai 65 ke atas Z = Jumlah siswa yang mengikuti tes (Sugiyono, dalam Syafruddin, 2011: 28).
Yang menjadi indikator keberhasilan penelitian tindakan ini adalah pencapaian aktifitas pembelajaran dan prestasi belajar siswa dengan ketentuan sebagai berikut: 1. Aktivitas belajar siswa dikatakan mencapai indikator keberhasilan jika memenuhi kriterial kategori aktif dan sangat aktif. 2. Prestasi belajar siswa dikatakan berhasil apabila mencapai nilai ≥ 85%. HASIL PENELITIAN 1. Hasil Penelitian Tindakan Siklus I Penelitian tindakan kelas ini melibatkan siswa kelas VII A SMPN 1 Bolo yang berjumlah 24 orang sebagai subjek penelitian. Dalam tindakan awal dilakukan observasi dan tes awal dengan tujuan mengidentifikasi kembali permasalahan yang dihadapi siswa kelas VII A dalam mata pelajaran fisika khusunya pada materi suhu dan pengukuran. Observasi awal dan tes awal yang dilakukan menunjukan suasana belajar yang kondusif. Hal ini ditandai dengan aktivitas dan prestasi belajar siswa yang masih rendah. Berdasarkan kondisi tersebut, maka diberikan tindakan berupa kegiatan yang berbasis praktikum. Implementasi dari kegiatan ini diharapkan dapat meningkatkan aktivitas dan prestasi belajar siswa dalam mata pelajaran fisika. Pada siklus I penerapan metode ini, terlihat adanya peningkatan aktivitas dan prestasi belajar siswa kelas VII A
dalam mata pelajaran fisika meski belum cukup signifikan, namun sesuai dengan rancangan penelitian tindakan kelas yang dikemukakan, maka hasil penelitian ini dapat disajikan seperti berikut ini. a. Perencanaan Siklus I Pada tahap ini, disiapkan perangkat-perangkat pengajaran berupa rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang telah disusun. Pada siklus ini, materi yang diajarkan adalah “suhu dan pengukuran”. Selain menyiapkan perangkat-perangkat pengajaran, pada tahap ini guru dan peneliti menyiapkan alat-alat praktikum. Pada tahap ini juga disiapkan lembar observasi siswa untuk mengetahui tingkat aktivitas siswa dalam mengikuti pelajaran fisika serta menyusun instrument berupa tes untuk mengetahui prestasi belajar siswa dalam menerima pelajaran selama siklus I. b. Pelaksanaan Tindakan siklus I Dalam pelaksaan penelitian tindakan kelas ini, peneliti bekerja sama dengan guru mata pelajaran fisika yaitu bapak Mustafa S,Pd. Guru mata pelajaran fisika mengisi lembar observasi tentang aktivitas belajar sedangkan peneliti melaksanakan kegiatan praktikum, sementara peneliti siswa selama proses pembelajaran berlangsung. Adapun langkah yang dilakukan dalam penelitian pada siklus I ini adalah sebagai berikut 1. Guru membuka pelajaran dengan mengabsensi kehadiran siswa, memberikan apersepsi dan pre-tes terhadap materi yang disampaikan.
2. Guru menyampaikan materi sesuai dengan rencana pembelajaran yang dibuat. 3. Guru memberikan kesempatan kepada siswa mengemukakan pendapat terkait dengan materi yang telah disampaikan. 4. Guru mengenalkan alat-alat praktikum, serta mendemontrasikan kegiatan praktikum. 5. Guru menyuruh siswa melakukan kegiatan praktikum sesuai dengan proses dan prosedur yang dilakukan oleh guru. Pada saat ini aktivitas belajar siswa dipantau sekaligus diberikan skor 6. Guru menutup pelajaran dengan merangkum materi yang telah disampaikan, memberikan pos-tes untuk mengukur hasil belajar siswa. Pada saat itu juga aktivitas dan prestasi belajar siswa dapat diketahui. c. Observasi Siklus I 1) Hasil observsi aktivitas belajar siswa Data aktivitas belajar siswa yang diperoleh dari lembar observasi menunjukan bahwa aktivitas belajar siswa dalam mengikuti pelajaran fisika masih tergolong kurang. Data aktivitas siswa dapat dilihat pada lampiran 5. Aspek –aspek yang diamati dari aktivitas belajar siswa meliputi: (1) Perhatian dan konsentrasi siswa dalam belajar, (2) Keaktifan siswa berinteraksi dengan kelompok, (3) Keberanian siswa dalam mengajukan pertanyaan, (4) Keberanian siswa dalam menjawab pertanyaa, (5) Pemanfaatan sumber belajar yang ada, (6) Ketuntasan dalam mengerjakan tugas-tugas yang diberikan, (7)
Absensi atau kehadiran siswa, dan (8) Ketepatan jawaban siswa. Berdasarkan 8 aspek tersebut, diperoleh jumlah 1248 dengan rata-rata aktivitas siswa yaitu 3,26. Rata-rata aktivitas siswa tersebut dikategorikan cukup aktif dalam mengikuti pelajaran fisika dengan kegiatan praktikum. Hal ini mengacu pada kriteria penilaian observasi yang terdiri dari : (1) sangat aktif = 5, (2) aktif = 4, (3) cukup = 3, (4) kurang aktif = 2, (5) sangat kurang aktif = 1. Berdasarkan tabel aktivitas belajar siswa di atas, diketahui bahwa aspek yang mendapatkan nilai tertinggi adalah aspek kehadiran siswa, dengan nilai 116 dengan rata-rata 4,87. Aspek ini mendapat nilai tertinggi karena hampir semua siswa hadir mengikuti pelajaran fisika. Kehadiran ini menunjukan siswa merespon dengan baik kegiatan praktikum dalam pelajaran fisika. Kehadiran siswa ini harus dipertahankan dan ditingkatkan pada siklus selajutnya. Aspek yang mendapat nilai terendah adalah aspek ketiga yaitu keberanian siswa dalam mengajukan pertanyaan dengan nilai 66 dan rata-rata 2,78 aspek ini mendapat nilai terendah karena banyak siswa yang belum mempunyai keberanian dalam menjawab pertanyaan yang diberikan oleh guru maupun siswa lainnya. Untuk meningkatkan keberanian siswa dalam menjawab maupun mengajukan pertanyaan, peneliti memberikan beberapa pertanyaan ringan sehingga siswa mudah menjawab pertanyaan dan mampu mengajukan pertanyaan balik. Selain itu, peneliti juga mengutamakan aspek pemerataan
dalam memberikan kesempatan untuk menjawab maupun mengajukan pertanyaan. Penerapan langkah ini diharapkan dapat meningkatakan aktivitas siswa dalam menjawab maupun mengajukan pertanyaan. Untuk siswa yang aktivitasnya di bawah rata-rata harus diberikan perlakuan yang lebih seperti dengan memberikan kesempatan lebih banyak untuk mengajukan maupun menjawab pertanyaan. Secara umum, rata-rata aktivitas siswa dinilai cukup aktif dalam mengikuti pelajaran fisika dengan kegiatan praktikum, sehingga hasil tersebut perlu ditingkatkan pada siklus selanjutnya. 2) Hasil tes prestasi belajar siswa Prestasi belajar siswa pada siklus I menunjukan ketuntasan belajar siswa 83,34%. Siswa yang mendapat nilai di atas 65 sebanyak 20 orang siswa dan yang mendapat nilai di bawah 65 sebanyak 4 orang siswa. Hal ini menunjukan bahwa hasil belajar siswa pada siklus I belum memenuhi ketuntasan belajar. Ketuntasan belajar tercapai apabila 85 % dari jumlah siswa mendapatkan nilai di atas 65. Data hasil evaluasi dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan pada siklus I, perlu dilakukan beberapa perbaikan, sehingga diharapkan dalam pelaksanaan siklus II terdapat peningkatan aktivitas dan prestasi belajar siswa. Kendala-kendala yang dihadapi dalam siklus I antara lain: kurangnya keberanian siswa dalam mengajukan maupun menjawab pertanyaan dan adanya beberapa siswa
yang masih suka melakukan aktivitas lain, seperti mengganggu teman yang sedang belajar. Permasalahan tersebut pada siklus II harus ditangani dengan baik, untuk itu langkah-langkah perbaikan yang harus dilakukan adalah berikut ini. 1) Membangkitkan semangat siswa untuk menjawab dan mengemukakan pertanyaan dengan cara menyajikan materi lebih menarik, lebih banyak memberikan penguatan terhadap jawaban yang dikemukakan oleh siswa. 2) Memberikan pemerataan kepada siswa dalam melakukan kegiatan praktikum, sehingga siswa turut aktif dalam pembelajaran. 3) Memberikan sumber belajar kepada setiap kelompok, sehingga dengan mudah siswa mempelajari materi yang disampaikan. 4) Memberikan tugas yang dikerjakan secara berkelompok dan tugas individu agar siswa turut aktif dalam mengerjakan tugas-tugas yang diberikan 5) Lebih mengutamakan aspek pemerataan terhadap respon siswa baik berupa pertanyaan maupun jawaban agar tidak didominasi siswa yang pintar saja 6) Mengadakan pendekatan yang lebih baik terhadap siswa yang sering melakukan aktivitas lain di dalam kelas dengan cara lebih sering memberikan kesempatan untuk menjawab atau mengemukakan pertanyaan. Berdasarkan langkah-langkah tersebut diharapkan dalam siklus II aktivitas dan hasil belajar siswa
lebih meningkat dari siklus sebelumnya Hasil Penelitian Tindakan Siklus II a. Perencanaan Siklus II Pada umumnya, perencanaan siklus II hampir sama dengan perencanaan siklus I, yaitu menyiapkan perangkat-perangkat pengajaran seperti rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP). Menyiapkan instrument berupa tes, dan lembar observasi untuk mengetahui hasil dan akivitas belajar siswa pada siklus II. b. Pelaksanaan Tindakan Siklus II Secara umum, pelaksanaan tindakan siklus II hampir sama dengan pelaksanaan tindakan siklus I dengan modifikasi dari hasil refleksi pada siklus I. selain itu, diberikan penguatan terhadap prestasi belajar siswa pada siklus I. Hal ini dilakukan untuk merangsang siswa agar mencapai hasil belajar yang lebih baik pada siklus II. Pelaksanaan pembelajaran pada siklus II ini diawali dengan penanaman konsep-konsep yang berkaitan dengan materi yang sedang diajarkan. Pada pertemuan pertama dalam siklus ini hampir semua siswa terlibat aktif dalam mengikuti pelajaran yang disampaikan melalui kegiatan praktikum. Pada pertemuan selanjutnya setelah menyampaikan materi dan membahas tugas kelompok, diadakan diskusi antar kelompok dengan materi pengukuran. setiap kelompok diberikan kesempatan untuk mendemonstrasikan kegiatan praktikum. Masing-masing
kelompok kemudian menyajikan hasil pembahasan kelompoknya, sedangkan kelompok lain memberikan respon, baik berupa tanggapan maupun pertanyaan terkait dengan materi yang disampaikan. Dengan melakukan diskusi tersebut seluruh siswa terlihat aktif dalam membahas masalah dengan kelompoknya maupun memberikan tanggapan kepada kelompok lain. Setelah memberikan rangkuman, pada akhir siklus peneliti memberikan tes untuk mengukur prestasi belajar siswa terhadap materi pelajaran. c. Observasi tindakan siklus II Setelah peleksanaan tindakan siklus II berakhir, maka dilakukan tahap observasi. Hasil observasi menunjukan bahwa aktivitas belajar siswa dikategorikan aktif. Data aktivitas siswa yang diperoleh dari lembar observasi diperoleh jumlah 1474 dengan rata-rata aktivitas siswa yaitu 3,86. Hasil ini dapat dikategorikan siswa aktif dalam mengikuti pelajaran fisika. Berdasarkan data aktivitas siswa pada tabel tersebut, diketahui bahwa aspek yang mendapatkan nilai tertinggi adalah aspek kehadiran siswa, dengan nilai 119 dengan rata-rata 4,96. Aspek ini mendapat nilai tertinggi karena hampir semua siswa hadir mengikuti pelajaran fisika. Kehadiran ini menunjukan siswa merespon dengan baik kegiatan praktikum dalam pelajaran fisika. Sedangkan aspek yang mendapat nilai terendah adalah aspek keberanian siswa dalam
mengajukan pertanyaan dengan nilai 73 dengan rata-rata 3,09. Walaupun mendapatkan nilai terendah, namun aspek ini mengalami peningkatan dibandingkan hasil siklus I. Hal ini disebabkan karena peneliti lebih mengutamakan kecermatan dan keberanian dalam menjawab pertanyaan. Secara umum, rata-rata aktivitas siswa sudah mengalami peningkatan dan menunjukan bahwa siswa aktif dalam mengikuti pelajaran fisika dengan kegiatan praktikum. Hasil belajar siswa pada siklus II menunjukan adanya peningkatan yaitu ketuntasan belajar mencapai 91,67% yaitu 22 Siswa mendapatkan nilai di atas 65 dan 2 siswa mendapat nilai di bawah 65. Refleksi tindakan siklus II Berdasarkan data yang telah terkumpul pada saat akhir tindakan, terlihat peningkatan aktivitas belajar dan hasil belajar siswa antara siklus I dengan siklus II. Pada siklus II ketuntasan belajar sudah terpenuhi. Dengan adanya peningkatan tersebut, maka siklus selanjutnya tidak perlu dilaksanakan lagi. Namun demikian bagi siswa yang belum mencapai hasil yang memuaskan perlu mendapatkan perhatian yang lebih dan dilakukan pendekatan individu oleh guru. Melihat adanya peningkatan antara siklus I dan siklus II, maka tidak perlu lagi melanjutkan pada siklus III. Hal ini mengindikasikan bahwa tindakan
dapat dihentikan, karena target penelitian sudah tercapai. PEMBAHASAN 1. Aktivitas Belajar Siswa Pelaksanaan siklus I diperoleh ratarata aktivitas belajar siswa 3,26 aktivitas siswa dikategorikan aktif. Pada siklus II diperoleh rata-rata aktivitas siswa 3,86 akivitas siswa pada siklus II ini dikategorikan aktif. Rata-rata aktivitas siswa pada siklus II mengalami peningktan sebesar 0,6 dibandingkan dengan rata-rata aktivitas siklus I. Berdasarkan tabel perbandingan aktivitas belajar siswa siklus I dan siklus II tersebut dapat diketahui peningkatan aktivitas belajar siswa dalam setiap aspek yang diamati. Peningkatan tertinggi pada aspek keenam yaitu ketuntasan dalam mengerjakan tugas-tugas yang diberikan mengalami penigkatan sebesar 39 %. Sedangkan aspek yang peningkatannya terendah terdapat pada aspek ketujuh yaitu aspek kehadiran siswa yaitu sebesar 3%. Hal ini disebabkan karena kehadiran siswa dalam mengikuti pelajaran sudah maksimal. Berdasarkan peningkatan tersebut, maka hipotesis tindakan yaitu pembelajaran fisika dengan berbasis kegiatan praktikum dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa kelas VII A SMP Negeri 1 Bolo dalam mata pelajaran fisika telah teruji kebenarannya. 2. Prestasi Belajar Siswa Hasil penelitian menunjukan bahwa kegiatan pembelajaran yang
berbasis praktikum dapat meningkatkan prestasi belajar siswa pada pelajaran fisika. Sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Fensham bahwa kegiatan praktikum sederhana adalah salah satu bentuk kegiatan yang memberikan peluang kepada siswa untuk mendapatkan pengalaman belajar yang memungkinkan siswa berinteraksi dengan materi atau konsep sekaligus mempraktekkan konsep tersebut dalam pembelajaran. Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa pada siklus pertama, nilai rata-rata sebesar 73,33 dan ketuntasan belajar baru mencapai 83,34% pada siklus II, nilai ratarata yang dicapai siswa sebesar 79,58 dan kentutasan belajar sebesar 91,67% pada siklus kedua ketuntasan belajar sudah mencapai atau mengalami peningkatan sebesar 8,33% dari siklus I. Berdasarkan skor yang diperoleh tersebut menunjukkan bahwa kegiatan praktikum dapat meningkatkan prestasi belajar siswa dalam pembelajaran fisika. Dengan demikian hipotesis kedua, yaitu kegiatan praktikum dapat meningkatkan prestasi belajar siswa kelas VII A SMPN 1 Bolo pada pelajaran fisika telah teruji kebenarannya. PENUTUP Beberapa kesimpulan yang dapat ditarik dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Pelaksanaan pembelajaran fisika berbasis praktikum dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa kelas VII A SMPN 1 Bolo
tahun pelajaran 2013/2014 pada materi suhu dan pengukuran. Hal ini terbukti terbukti dari peningkatan skor aktivitas belajar siswa dari siklus kesiklus. Pada siklus pertama aktivitas siswa tergolong cukup aktif, sementara pada siklus dua tergolong berada dalam kategori aktif. 2. Pelaksanaan pembelajaran fisika berbasis praktikum dapat meningkatkan prestasi belajar siswa kelas VII A SMPN 1 Bolo tahun pelajaran 2013/2014 pada materi suhu dan pengukurannya. Hal ini terbukti dari peningkatan skor prestasi belajar siswa dari siklus ke siklus. Pada siklus pertama nilai rata-rata yang dicapai siswa sebesar 73,33, kemudian mengalami peningkatan sebesar 79,58 pada siklus dua. Begitu pula dengan ketuntasan belajar siswa sebesar 83,34 % pada siklus satu meningkat menjadi 91,67 % pada siklus dua. Perbandingan siklus pertama dan siklus dua menunjukan peningkatan ketuntasan belajar sebesar 8,33 %. DAFTAR PUSTAKA
Abubakar. 2008. Usaha Meningkatkan Kemampuan Guru Dalam Penggunaan Alat Peraga IPA Melalui Workshop Pada SDN Pela. (Tidak Diterbitkan ). Nusa Tenggara Barat Adiendjaja, Yusuf Hilmi. 2008. Kegiatan Praktikum Dalam Pendidikan Sains. (Jurnal).
Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia. Budiman. (2011). Macam-Macam Metode dalam Mengajar. Online: http://adybudiman.Blogdetik.co m. Di Akses pada tanggal 09 Juni 2013 Margono, S, 2009., Metodologi Penelitian Pendidikan, Jakarta, Rikena Cipta Nasution: 2000. Metode Research. Jakarta: Bumi Aksara. Nurmalasari. 2011. Peningkatan Aktivitas dan Prestasi Belajar Fisika Pada Materi Suhu dan Kalor Melalui Pelaksanaan Praktikum Sederhana Pada Siswa Kelas X SMAN I Monta Tahun Pelajaran 2010/2011. (Skripsi). Bima: STKIP Taman Siswa Bima Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi III. Jakarta: Balai Pustaka. Rahayu, Dwi Lusiana. 2011. Inovasi Guru Fisika SMP Kelas VII, VIII, IX. Yokyakarta: Kendi Mas Media. Rahmi. 2012. Peningkatan Kemampuan Komunikasi Matematika Siswa Melalui Model Pembelajaran Kooperatif Tipe NHT (Numbered Heads together) Pada Pokok Bahasan Bangun
Datar Siswa Kelas VII-4 SMPN I Parado tahun Pelajaran 2012/201 2(Skripsi).Bima: STKIP taman Siswa Bima. Sagala. 2003. Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: CV Alfabeta. Slameto. 2010. Belajar dan faktorfaktor yang mempengaruhi. Jakarta: Rineka Cipta. Sugiyarto, Teguh., Ismawati, Eny. 2008. Ilmu Pengetahuan Alam Untuk SMP/Mts Kelas VII. Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional. Sukidin, dkk. 2002. Manajemen Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Insan Cendekia Suryabrata, S. 1987. Psikologi Pendidikan. Jakarta: CV. Rajawali Syafrudin. 2007. Penerapan Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT (Time Games Tournament) Dalam Meningkatkan Prestasi Belajar Siswa Kelas VI SDN Pali Sila Kecamatan Bolo Kabupaten Bima Tahun Pelajaran 2010/2011. Bima: STKIP Taman Siswa Bima Takari, R Enjah. 2008. Penelitian Tindakan Kelas. Bandung: PT Genesindo.
Usman, Ahmad. 2008. Mari Belajar Meneliti. Yogyakarta: Lengge Printika Yamin, Martinis, 2012., Strategi Pembelajaran Berbasis Kompetensi, jakarta, Referen
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN STAD(STUDENT TEAMSACHIEVEMENT DIVISION)UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR FISIKA SISWAKELASVII DSMP NEGERI1 PALIBELO TAHUNPELAJARAN 2014/2015 Zainal Arifin, M.Pd & Ati Daniati Abstrak Kata Kunci; Model Pembelajaran STAD (Student Division), MeningkatanHasilBelajar.
Teams-Achievement
Model Pembelajaran STAD (Student Teams-Achievement Division),adalahsuatucaramengajar, dimanasiswamelakukansuatupercobaanuntukmembuktikankebenaransuatuteo ri, mengamatiprosesnyadanmelaporkanhasilpercobaannya. Model STADsesuaidenganpembelajaransainskarenamampumemberikankondisibelaj ar yang dapatmengembangkankemampuanberpkirdankreatifitassecara optimal.Tujuandaripenelitianiniadalahuntukmengetahuipeningkatanhasilbelaj arsiswapadamateriBesaran dan SatuanSiswakelas VII DSMPNegeri 1 PalibeloTahunPelajaran 2014/2015. Jenispenelitian yang digunakandalampenelitianiniadalahpenelitiantindakankelas (PTK). Penelitianinidilaksanakandalam 2 siklus, setiapsiklusterdiriatasempatkomponenyaitu: perencanaantindakan, pelaksanaantindakan, observasidanrefleksi. yangmenjadiSubjekdalampenelitianadalahsiswaKelas VII DSMP Negeri 1 PalibeloTahunPelajaran 2014/2015 semester ganjilsebanyak30 orang siswa. Teknikpengumpulan data yang digunakanadalah (1) data tentangaktivitas guru dansiswadikumpulkandenganlembarobservasi. (2) hasilbelajarsiswadikumpulkandenganmemberikanevaluasipadasetiapakhirsikl us. Dengan indikator keberhasilan apabila prestasi belajar siwa yang mnunujukan minimal 75% siswa mencapai nilai ≥ 75 dan berkategori aktif. Hasilpenelitian yang didapatadalahsebagaiberikut: siklus I : ratarataprestasibelajarsiswa66.33denganpresentaseketuntasanklasikal60.00% dan terjadipeningkatanpadasiklus II menjadi75,96denganpresentaseketuntasanklasikal87.09%. Dari hasilanalisistersebutdapatdisimpulkanbahwapenerapanmodelSTADdapatmenin gkatkanprestasibelajarfisikapadamateribesaran dan satuansiswakelas VII D SMPN 1 Palibelo. PENDAHULUAN
Mata pelajaran fisika merupakan mata pelajaran yang sangat diperlukan, fisika
berfungsi sebagai alat yang digunakan dalam berbagai ilmu dan kehidupan. Pada umunya mata pelajaran fisika dianggap sebagai matapelajaran yang sulit bagi siswa. Sebagian besar siswa tidak menyukai pelajaran fisika, karena banyak menggunakan rumus-rumus atau persamaan matematis yang sulit untuk dipahami. Padahal dalam fisika juga terdapat konsep yang tidak menggunakan persamaan matematis untuk menjelaskan. Alasan siswa kelas VII D SMPN 1 Palibelo tidak senang fisika adalah karena cara guru mengajar dan model pembelajaran yang digunakannya, kebanyakan menoton kurang mendorong siswa untuk aktif dalam mengikuti pembelajaran dan hamper tidak pernah melakukan eksperimen. Akan tetapi, pada prakteknya guru lebih sering menggunakan metode ceramah dalam menyampaikan informasi, karena materi dianggap lebih cepat tersampaikan. Model pembelajaran tersebut menyebabkan siswa cenderung bosan dalam mengikuti proses pembelajaran. Proses pembelajaran fisika dinyatakan bermakna jika seluruh siswa terlibat secara aktif, baik mental, fisik maupun sosial. Oleh karena itu, perlu ditumbuhkan komunitas belajar kerja kelompok untuk menumbuhkan kerja kelompok, maka perlu diterapkan pembelajaran kooperatif. Pembelajaran kooperatif adalah
strategi pembelajaran yang terpusat pada kegiatan siswa untuk belajar kelompok, saling menyumbangkan pikiran dan tanggung jawab terhadap pencapaian hasil belajar secara individu maupun kelompok (Slavin, dalamRahayu, 2005:156). Belajarkelompokbertujuan agar interaksi siswa menjadi maksimal dan efektif, baik interaksi antara siswa maupun interaksi dengan guru. Pembelajarankooperatifmempun yaibeberapa model yaitu STAD, Jigsaw, Model Pengendalian diri, Simulasi dan sebagainya. Salah satu model dalam pembelajaran kooperatif yang paling sederhana adalah STAD karena mudah dalam pelaksanaannya. Situasi kelas VII-D pada saat proses belajar mengajar (PMB) berlangsung cenderun gpasif, mereka jarang bahkan tidak pernah mengajukkan pertanyaan. Guru sering mengalami kendala dalam memotivasi siswa agar berani mengemukakan pendapatnya dalam PMB. Seringkali mereka meninggalkan kelas pada saat proses belajar mengajar berlangsung dalam jangka waktu yang lama dengan berbagai alasan. Siswa juga kurang memperhatikan penjelasan guru, mereka lebih tertarik untuk berbicara dengan teman sebangku atau melihat pemandangan diluar kelas. Hal ini tentu saja dapat mengganggu proses pembelajaran yang sedang berlangsung.
Berdasarkan hasil observasi siswa di SMP Negeri 1 Palibelo kelas VII-D mempunyai nilai ulangan harian dibawah KKM yaitu 60,0 padahal KKM yang ditentukan sekolah adalah 75. Berdasarkan nilai yang ada, maka nilai IPA khususnya Fisika masih dalam kategori rendah sehingga diusahakan agar hasil belajarnya dapat meningkat. Hal ini disebabkan beberapa faktor antara lain: siswa kurang aktif dalam melaksanakan pembelajaran, siswa kurang semangat karena guru tidak pernah menggunakan metode demonstrasi apalagi metode eksperimen hal ini disebabkan karena sarana dan prasarana sangat kurang sekali, dan fasilitas sekolah yang kurang memadai sehingga minimnya praktikum yang ada di sekolahtersebut. Sehubungan dengan itu, maka upaya prosedur model pembelajaran kooperatif Tipe STAD dilakukan dengan baik, akan tercipta suatu pembelajaran yang efektif sehingga pendidikan yang di cita-citakan tercapai, STAD (Student Teams – Achievement Devisions) adalah pembelajaran kooperatif yang terdiri dari 5 tahapan yaitu prestasi kelas, studi kelompok, pengetesan, penskoran, dan penghargaan. Dengan adanya pembauran siswa dengan komposisi yang seimbang pada masing-masing kelompok pada proses pembelajaran dapat memotivasi siswa untuk belajar dengan baik dan mampu
menjalin kekompakan dan kerja sama serta bersungguh-sungguh membantu teman satu kelompoknya. Sehingga melalui penerapan model pembelajaran tersebut diharapkan dapat meningkatkan proses dan hasil belajar siswa. Metode kooperatif model STAD belum pernah diberikan pada SMPN 1 Palibelo.Fakta ini merupakan salah satu alasan yang mendorong peneliti dengan cara belajar kooperatif model STAD yang bertujuan agar siswa lebih aktif dalam menguasai materi pelajaran. Karena dalam pembelajaran kooperatif model STAD, siswa belajar secara kelompok dan kerjasama anta ranggota kelompok lebih ditekankan. Sehingga siswa dapat terdorong untuk aktif, bukan hanya didominasi oleh beberapa orang saja, namun juga melibatkan semua anggota kelompok. Kajian Teori 1. Belajar Fisika Fisika adalah bagian dari sains (IPA), pada hakikatnya adalah kumpulan pengetahuan, cara berpikir, dan penyelidikan. IPA sebagai kumpulan pengetahuan dapat berupa fakta, konsep, prinsip, hukum, teori, dan model. IPA sebagai cara berpikir merupakan aktivitas yang berlangsung di dalam pikiran orang yang berkecimpung di dalamnya karena adanya rasa ingin tahu dan hasrat untuk
memahami fenomena alam. IPA sebagai cara penyelidikan merupakan cara bagaimana informasi ilmiah diperoleh, diuji, dan di validasikan. Fisika di pandang sebagai suatu proses dan sekaligus produkse hingga dalam pembelajarannya harus mempertimbangkan strategi atau metode pembelajaran yang efektif dan efesienya itu salah satunya melalui kegiatan praktik. Hal ini dikarenakan melalui kegiatan praktik, siswa melakukan olah piker dan juga ola htangan. Kegiatan praktik adalah percobaan yang ditampilkan guru dan atau siswa dalam bentuk demonstrasi maupun percobaan oleh siswa yang berlangsung di laboratorium atau tempat lain. Adapun jenis-jenis kegiatan praktik di kelompokkan menjadi 4, yaitu eksperimen standar, eksperimen penemuan, demonstrasi, dan proyek. Kegiatan praktik dalam pembelajaran fisika mempunyai peran motivasi dalam belajar, memberi kesempatan pada siswa untuk mengembangkan sejumlah keterampilan, dan meningkatkan kualitas belajar siswa. Menurut (Suparno, 2007:135 ) Ada beberapa hal yang perlu di perhatikan dalam belajar bersama supaya tujuannya tercapai yaitu :
2.
Perlu adanya saling ketergantungan antara siswa secara positif. Saling ketergantungan berarti masing-masing saling tergantung. Maka masing-masing juga ada kesanggupan untuk saling membantu, saling memberi dan menerima. Tidak boleh bahwa seseorang hanya menggantungkan pada yang lain;dan yang lain sama sekali digantungi. Perlunya dikembangkan interaksi interpersonal antara siswa dan keterampilan berkelompok. Interaksi, komunikasi antar anggota kelompok perlu dimajukan terus menerus dan dibina. Perlu masing-masing dibantu tetap bertanggung jawab pada penguasaan tugas belajar mereka. Perlu di kembangkan keterampilan sosial. Perlu di yakinkan bahwa kelompok dapat berhasil dan dikembangkan kerjasama yang efektif. Pembelajaran Kooperatif Pembelajaran kooperatif merupakan strategi belajar dengan membagi siswa dalam kelompok yang tingkat kemampuannya berbeda. Dalam menyelesaikan tugas kelompoknya setiap anggota harus memupuk kerja sama dan saling membantu untuk
memahami materi yang sedang diajarkan. Slavin (dalamRahayu, 1998:156) mendefinisikan pembelajaran kooperatif sebagai "Cooperative learning methods shore the ide that students work together to learn and responsible for one another's learning as well as their own". Pembelajaran kooperatif menimbulkan siswa belajar bersama, saling menyumbangkan pikiran dan bertanggung jawab terhadap pencapaian hasil belajar secara individu maupun kelompok. Cohen (dalamRahayu, 1998:157) berpendapat bahwa pembelajaran kooperatif meliputi belajar berkolaborasi (Collaborative Learning), belajar secara kelompok (Cooperatif Learning) dan kerja kelompok (Grup work), juga menunjukkan cirri sosiologis yaitu penekannya pada aspek tugas-tugas kolektif yang harus dikerjakan secara bersama dalam kelompok dan pendelegasian wewenang (authority) dari guru kepada siswa. Dalam pembelajaran kooperatif siswa belajar bersama-sama dalam kelompok-kelompok kecil dan saling membantu sama lain. Kelas dibagi menjadi kelompok yang terdiri dari 45 siswa dengan kompetensi dan kemampuan yang heterogen. Keheterogenan
dalam kelompok dihara kan dapat melatih siswa dalam menerima perbedaan pendapat dan bekerja sama dengan teman yang mempunyai latar belakang yang beragam.
Pembelajaran kooperatif mempunyai beberapa karakteristik sebagai berikut: 1. Penghargaan kelompok Penghargaan kelompok di peroleh jika kelompok mencapai skor di atas kriteria yang ditentukan. Keberhasilan kelompok di dasarkan pada aktivitas anggota kelompok dalam menciptakan hubungan yang harmonis, yaitu saling mendukung, saling membantu, dan saling pedulian antar anggota kelompok. 2. Pertanggung jawaban kelompok Keberhasilan kelompok tergantung dari sikap dan kreativitas anggota kelompok. Pertanggungjawaban tersebut menitik beratkan pada aktivitas anggota kelompok yang saling membantu dalam belajar. Adanya pertanggung jawaban individu menjadikan setiap anggota siap menghadapi tes dan tugastugas lainnya secara mandiri tanpa bantuan dari teman sekelompoknya. 3. Kesempatan yang sama untuk memperoleh keberhasilan Pembelajaran kooperatif menggunakan penskoran yang meliputi nilai perkembangan berdasarkan peningkatan nilai prestasi siswa dari yang terdahulu. Dengan menggunakan penskoran, setiap siswa dengan keheterogenan tingkat kemampuan akademisnya
memperoleh kesempatan untuk berhasil dan melakukan yang terbaik bagi kelompoknya. Pembelajaran kooperatif mengajarkan keterampilanketerampilan khusus agar dapat bekerjasama didalam kelompoknya, seperti menjadi pendengar yang baik, memberikan penjelasan (tanpa mengurui) kepada teman sekelompok tentang materi yang belum dimengerti, siswa diberi lembar kegiatan yang berisi pertanyaan atau tugas yang direncanakan untuk diajarkan. Keterbatasan belajar kelompok bergantung pada kekompakan dan kerjasama anggota dalam kerja kelompok. Dalam pembelajaran ini siswa dapat mengutarakan ide dan dapat memotivasi munculnya refleksi yang mengarah pada konsep-konsep secara aktif. Terdapat 6 fase atau tahapan pokok dalam pembelajaran kooperatif, yang dapat dilihat dalam tabel 2.1 Tabel 2.1 Tahapan Pembelajaran Kooperatif Tahapan Tahap 1 Menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa
Tahap 2 Menyajikan informasi
Tahap 3 Mengorganisasikan siswa kedalam kelompok-kelompok belajar Tahap 4 Membantu kerja kelompok dalam belajar Tahap 5 Mengetes materi
Kegiatan guru Guru menyampaikan semua tujuan pembelajaran yang ingin dicapai pada pembelajaran tersebut dan memotivasi siswa belajar Guru menyajikan informasi kepada siswa baik dengan penghargaan (demonstrasi) atau teks Guru menjelaskan siswa bagaimana cara membentuk kelompok belajar dan membantu setiap kelompok agar melakukan perubahan yang efisien Guru membimbing kelompok-kelompok belajar pada saat mereka mengerjakn tugas Guru mengetes materi pelajaran atau kelompok menyajikan hasil-hasil kerja mereka
Tahap 6 Memberikan penghargaan
Guru memberikan cara-cara untuk menghargai baik upaya maupun hasil belajar individu dan kelompok
Sumber: (Diadopsi dari Perdy Karuru, 2001) Pembelajaran dalam kooperatif dimulai dengan guru menginformasikan tujuan pembelajaran dan memberikan motivasi pada siswa untuk giat belajar. Fase ini diikuti dengan penyajian informasi, baik dalam bentuk peragaan (demonstrasi) atau teks. Kemudian dilanjutkan pada fase mengorganisasikan siswa dalam kelompok dan membimbing siswa, dimana siswa dibawah bimbingan guru bekerjasama dalam menyelesaian tugas mereka. Fase terakhir dari pembelajaran kooperatif meliputi penyajian produk akhir kelompok atau mengetes sejauh mana pemahaman siswa terhadap materi yang diajarkan. Unsur-unsur dasar pembelajaran kooperatif (Rahayu, 1998:157) adalah sebagai berikut: 1. Saling ketergantungan positif (Positive Inderpendence) Siswa harus merasa senang bahwa mereka saling tergantung positif dan saling terikat sesama anggota keompok. Mereka merasa tidak akan sukses bila siswa juga tidak sukses, dengan demikian materi tugas haruslah mencerminkan aspek saling ketergantungan, seperti: tujuan belajar, sumber belajar, peran
2.
3.
4.
5.
kelompok, dan penghargaan. Interaksi langsung (Faceto-face interaction) Belajar kooperatif membutuhkan siswa untuk bertatap muka dengan yang lainnya dan berinteraksi secara langsung. Siswa harus saling berhadapan dan saling membantu dalam pencapaian tujuan belajar dan memberikan sumbangan pikiran dalam pemecahan masalah, siswa juga harus mengembangkan keterampilan komunikasi secare fektif. Pertanggung jawaban individu (Individual accountability) Setiap anggota kelompok bertanggung jawab untuk mempelajari materi dan bertanggung jawab terhadap hasil belajar kelompok. Keterampilan interaksi antar individu dan kelompok Keterampilan sosial sangat penting dalam belajar kooperatif dan harus diajarkan pada siswa. Siswa harus dimotivasi untuk menggunakan keterampilan berinteraksi dalam kelompok yang benar sebagai bagian dari proses belajar. Keefektifan proses kelompok (Group processing)
3.
Siswa memproses keefektifan kelompok belajar mereka dengan cara menjelaskan tindakan mana yang tidak, dan membuat keputusan terhadap tindakan yang bias dilanjutkan atau yang perlu diubah. Fase-fase dalam proses kelompok meliputi umpan balik, refleksi dan peningkatan kualitas kerja. Kooperatif STAD (Student Teams-Achievement Divisions) Model kooperatif STAD merupakan salah satu model pembelajaran kooperatif yang paling sederhana danbanyak digunakan. Slavin dalam Moh.Nur (2005;6) menjelaskan : ide utama di balik STAD adalah untuk memotivasi siswa saling member semangat dan membantu dalam menuntas kan ketrampilan-ketrampilan yang di presentasikan guru, bila siswa menginginkan tim mereka mendapatkan penghargaan tim, mereka harus membantu teman satu tim dalam mempelajari bahan ajar tersebut. Model pembelajaran yang dikembangkan oleh Robert Slavin di John Hopkins University ini menekankan pada kerja sama dan tanggung jawab kelompok untuk mencapai ketuntasan belajar dengan melibatkan peran siswa sebagai tutor
sebaya dalam kelompok yang heterogen. Dalam STAD (Student Teams-Achievement Divisions) terdapat lima tahap pelaksanaan yaitu: 1) Presentasi kelas; 2) Studi kelompok; 3) Pengetesan; 4) Penskoran; 5) Penghargaan. Berikut penjelasan mengenai langkah-langkah pelaksanaan model pembelajaran STAD (Student Teams-Achievement Divisions): 1. Presentasi kelas Pada tahap ini guru menyajikan atau menyampaikan materi secara langsung kepada siswa. Materi dapat berupa konsep, keterampilan atau karya ilmiah. Tujuan pembelajaran khusus yang direncanakan dan tertulis harus dinyatakan dan digunakan sebagai rujukan untuk menentukan hakikat presentasi kelas. Penyajian materi atau konsep dapat berupa ceramah dan demostrasi, atau presentasi dengan menggunakan media audiovisual. 2. Studi kelompok Tahap kedua adalah studi kelompok. Tahap ini adalah yang terpenting dan merupakan cirri khas model pembelajaran kooperatif ini. Waktu yang dibutuhkan dalam tahap ini berkisar antara 1 sampai 2 jam bergantung banyaknya sub pokok bahasan.
Masing-masing kelompok harus menuntaskan bahan ajar yang diberikan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Dalam tahap ini siswa dituntut adalah bekerja sama dan saling membantu satu sama lain untuk menyelesaikan lembar kegiatan yang telah diberikan. Guru berperan sebagai fasilitator atau pendampingan. Guru berkeliling mengawasi kinerja siswa dalam kelompok sambil mengajukan pernyataan dan mendorong para siswa untuk menjelaskan jawaban mereka.
3. Pengetesan Setelah studi kelompok, tahap selanjutnya adalah tahap pengetesan, tes diselenggarakan untuk mengetahui/mengukur sejauh mana pengetahuan dan pemahaman terhadap materi yang diberikan. Siswa mengerjakan tes secara individu dan tidak diperkenankan saling membantu. 4. Penskoran Pada tahap ini setiap siswa harus memeperhatikan kemampuannya dan menunjukan apa yang diperoleh pada kegiatan kelompok dengan cara menjawab soal tes sesuai dengan kemampuannya. Siswa dalam tahap ini tidak diperkenankan bekerja sama. 5. Penghargaan Tahap terakhir dalah pemberian penghargaan. Pemberian penghargaan ditujukan untuk memotivasi agar lebih kompak dalam kelompok mereka. Penghargaan kerja masingmasing kelompok dapat dilaporkan melalui papan pengumuman dengan memaparkan peningkatan masing-masing kelompok dalam kelas. Berdasarkan skor peningkatan individual dihitung poin perkembangan dengan
menggunakan pedoman yang disusun oleh Slavin (1995:85) sebagai berikut. Lebih dari sepuluh poin dibawah skor dasar 5 poin 10 poin dibawah sampai satu poin dibawah skor dasar 10 poin Skor dasar sampai 10 poin diatas skor dasar 20 poin Lebih dari 10 poin skor dasar 30 poin Pekerjaan sempurna( tanpa memperhatikan skor dasar) 30 poin Penghargaan kepada kelompok yang memperoleh poin perkembangan kelompok tertinggi ditentukan dengan rumus sebagai berikut. N1 = Jumlah total perkembangan anggota Jumlah anggota kelompok yang ada Berdasarkan poin perkembangan yang diperoleh terdapat tiga tingkatan penghargaan yang diberikan yaitu: 1. Kelompok yang memperoleh poin rata-rata 15, sebagai kelompok baik 2. Kelompok yang memperoleh skor rata-rata 20, sebagai kelompok hebat
3. Kelompok yang memperoleh poin ratarata 25 sebagai kelompok super. Pembelajaran kooperatif model STAD juga dapat dikembangkan dengan cara lain. Cara ini mempunyai tahapan yang hampir sama dengan tahapan STAD yang telah dijelaskan sebelumnya, tetapi proses pelaksanaanya berbeda. Proses pembelajaran dengan STAD diawali dengan pemberian informasi oleh guru baik dalam bentuk informasi verbal maupun dalam bentuk teks. Langkah selanjutnya siswa dikelompokkan dalam 4-5 orang. Setiap anggota kelompok diberi lembar kerja (Worksheet) yang berbeda untuk didiskusikan, setiap jawaban yang diberikan masing-masing anggota kelompok akan dinilai oleh anggota yang lain berdasarkan kunci jawaban yag diberikan oleh guru kepada salah seorang siswa, sehingga masing-masing siswa saling memberikan angka (skor) kemajuan belajar temannya yang menjawab pertanyaan. Kemudian masing-masing kelompok mengumumkan skor kemajuan belajar temannya yang menjawab pertanyaan. Kemudian masing-masing kelompok mengumumkan skor kemajuan masing-masing temannya dan pengumuman
4.
tentang siswa yang memperoleh skor tertinggi. Hasil Belajar. Hasil belajar adalah kemampuan yang dimiliki oleh siswa mengikuti kegiatan belajar mengajar yang meliputi tiga aspek yaitu aspek kognitif, aspek afektif dan aspek psikomotorik. Perubahan tingkah laku sebagai hasil belajar, Menurut Bloom dkk (dalam Wartono, 2008:21) terbagi menjadi tiga ranah, yaitu ranah kognitif, ranah efektif dan ranah psikomotori. Ketiga ranah ini tidak dapat dipisahkan satu sama lain secara eksplisit. Apapun mata pelajarannya selalu mengandung tiga ranah itu, namun penekanannya berbeda. Mata pelajaran yang menuntut kemampuan praktik lebih menitik beratkan pada ranah psikomotor sedangkan mata pelajaran yang menuntut kemampuan teori lebih menitik beratkan pada ranah kognitif, dan keduanya selalu mengandung ranah afektif. a. Ranah kognitif. Ranah kognitif adalah ranah yang mencakup kegiatan mental (otak). Ranah kognitif berhubungan dengan kemampuan berpikir, termasuk di dalamnya kemampuan menghafal, memahami, menerapkan, menganalisis, mensintesis, dan mengevaluasi. Dalam
ranah kognitif terdapat enam jenajang proses berpikir, yaitu: 1) Pegetahuan (knowledge) adalah kemampuan seseorang untuk mengingat-ingat kembali atau mengenali kembali istilah, nama, ide, gejala, rumus-rumus dan sebagainya tanpa mengharapkan kemampuan untuk menggunakannya.Jenj ang ini merupakan proses berpikir yang paling rendah. 2) Pemahaman (comprehension) adalah kemampuan seseorang untuk memahami atau mengetahui sesuatu dan dapat melihatnya dari berbagai segi. 3) Penerapan atau aplikasi (application) adalah kesanggupan seseorang untuk menerapkan atau menggunakan ide-ide umum, tata cara ataupun metodemetode, prinsipprinsip, rumus-rumus, teori-teori, dan sebagainya.Jenjang ini merupakan proses berpikir yang setingkat lebih tinggi dari jenjang pemahaman. 4) Analisis (analysis) adalah kemampuan seseorang untuk
merinci atau menguraikan sesuatu bahan atau keadaan menurut bagianbagian yang lebih kecil dan mampu memahami hubungan diantara bagian-bagian atau faktor-faktor lainnya. 5) Sintesis (synthesis) adalah suatu proses yang memadukan bagian-bagian atau unsur-unsur secara logis, sehingga menjelma menjadi suatu pola yang berstruktur atau berbentuk pola baru. 6) Penilaian evaluasi (avaluation) adalah kemampuan seseorang untuk membuat pertimbangan terhadap suatu situasi, nilai atau ide. b. Ranah Psikomotorik Psikomotorik adalah kawasan yang berorientasi kepada keterampilan motorik yang berhubungan dengan anggota tubuh, atau tindakan (action) yang memerlukan koordinasi antara syaraf dan otot. Dengan demikian maka psikomotorik adalah kawasan yang berhubungan dengan seluk beluk yang terjadi karena adanya koordinasi otot-otot oleh fikiran sehingga diperoleh
tingkat keterampilan fisik tertentu. Misalnya merangkai alat, melakukan pengukuran, memasukkan data pada tabel, dan analisis/kesimpulan.untu k diketahui tujuan instruksional yang berhubungan dengan kawasan psikomotorik umumnya belum dapat diterima secara meluas seperti kognitif dan afektif. Menurut Mardapi (2003), keterampilan psikomotor ada enam tahap, yaitu: gerakan refleks, gerakan dasar, kemampuan perseptual, gerakan fisik, gerakan terampil, dan komunikasi nondiskursif. Gerakan refleks adalah respons motorik atau gerak tanpa sadar yang muncul ketika bayi lahir. Gerakan dasar adalah gerakan yang mengarah pada keterampilan komplek yang khusus. Kemampuan perseptual adalah kombinasi kemampuan kognitif dan motorik atau gerak. Kemampuan fisik adalah kemampuan untuk mengembangkan gerakan terampil. Gerakan terampil adalah gerakan yang memerlukan belajar, seperti keterampilan dalam merangkai alat. Komunikasi nondiskursif
adalah kemampuan berkomunikasi dengan menggunakan gerakan. METODE PENILITIAN Jenis penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas (PTK). Penelitian tindakan kelas (PTK) merupakan suatu penelitian yang mengangkat masalah-masalah aktual yang dihadapi oleh guru di lapangan (Usman, 2008: 217), Pada PTK ini penelitiannya dilakukan secara sistematis terhadap berbagai aksi atau tindakan yang dilakukan oleh guru atau peneliti, mulai perencanaan sampai dengan penilaian terhadap tindakan nyata di kelas yang berupa kegiatan belajar-mengajar untuk memperbaiki kondisi pembelajaran yang dilakukan. Kehadiran peneliti di sekolah SMPN I Palibelo adalah sebagai guru sekaligus berperan dalam keseluruhan proses penelitian. Peneliti disini selain bertindak sebagai pengajar dalam proses pembelajaran juga pengumpul data, penganalisis, dan pelapor hasil penelitian. Untuk pengumpulan data yang diperlukan, peneliti dibantu oleh guru fisika. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas VIII-D semester ganjil di SMPN 1 Palibelo Tahun Pelajaran 2014/2015 yang berjumlah 30 orang siswa, yang terdiri dari 13 orang siswa laki-laki dan 23 orang siswa perempuan Penellitian ini dilaksanakan dalam dua siklus, prosedur ini dilaksanakan dengan harapan dapat
memberikan gambaran analisis data akurat sesuai dengan perubahan yang ingin dicapai. Perolehan data dari setiap siklus dijadikan sebagai dasar untuk melakukan tindakan pada siklus berikutnya, pelaksanaan dari masing-masing siklus terdiri dari perencanaan, pelaksanaan tindakan, observasi/pengamatan dan refleksi Penelitian tindakan kelas (PTK) dilaksanakan dalam beberapa siklus dengan skenario pembelajaran yang terdiri dari empat (4) tahapan kegiatan yaitu: 1. Tahap Perencanaan. a) Membuat rencana pembelajaran (RPP). b) Menyiapkan lembar kerja siswa (LKS). c) Membuat lembaran evaluasi berupa tes tulis untuk mengetahui kemampuan siswa dalam memahami materi yang telah diajarkan. d) Membuat lembar observasi untuk mengamati aktifitas belajar siswa dan guru dalam proses belajarmengajar melalui model STAD. 2. Tahap Pelaksanaan tindakan. Adapun kegiatan yang dilakukan pada tahap ini adalah melaksanakan rencana pembelajaran yang telah direncanakan. 3. Tahap Observasi/Pengamatan Selama pelaksanaan tindakan diadakan observasi. Dalam observasi ini akan diamati aktivitas guru yang nampak selama proses
pembelajaran. Semua akivitas guru dicatat dalam lembar observasi yang telah disiapkan. 4. Refleksi Pada tahap ini peneliti mengumpulkan hasil yang didapatkan pada tahap observasi untuk dianalisis, kemudian peneliti menganalisis ketuntasan hasil belajar siswa pada siklus pertama. Jika terdapat masalah pada siklus pertama terdapat masalah seperti banyak yang tidak tuntas, dan peneliti sebagai pengajar masih terdapat kekurangankekurangan pada proses belajar mengajar, maka dari hasil refleksi ini sebagai bahan untuk melakukan refisi dan perbaikan pada perencanaan dan proses pada siklus berikutnya. Refleksi dilaksanakan setelah pelaksanaan tindakan dan pengamatan selesai. Kegiatan refleksi ini dilakukan untuk memperoleh umpan balik dan perbaikan serta penemuan unsur-unsur yang menguatkan pada tiap tindakan. Menurut Usman (2008: 298) instrumen penelitian adalah alat untuk memperoleh data. Agar data yang diperoleh sesuai yang diharapkan maka diperlukan instrumen pengumpulan data yang baik. Adapun instrumen yang dipakai dalam penelitian ini adalah: 1. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) digunakan sebagai panduan oleh guru agar keterlaksanaan proses pembelajaran sesuai yang direncanakan. 2. Lembar Observasi Aktifitas Belajar Siswa Lembar observasi aktifitas belajar siswa adalah suatu lembaran kegiatan siswa dalam proses pembelajaran yang sedang berlangsung. 3. Lembar Observasi Aktifitas Guru Lembar observasi aktifitas guru adalah suatu lembaran kegiatan guru saat mengajar di dalam kelas. 4. Lembar Kerja Siswa (LKS) Lembar kerja siswa adalah suatu lembaran yang bertujuan untuk menguji kemampuan berpikir siswa. 5. Tes Hasil Belajar Tes hasil belajar adalah salah satu cara yang dilakukan oleh guru untuk mengetahui kemampuan siswa selama proses pembelajaran. Teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini antara lain: 1. Sumber data Sumber data dalam penelitian ini berasal dari siswa yang berjumlah 30 orang dalam kelas VIII-D SMPN I Palibelo Tahun Pelajaran 2014/2015 dengan menggunakan model pembelajaran STAD pada proses pembelajaran.
2. Jenis Data Jenis data yang diambil berupa data kualitatif yang terdiri dari: (a) Data aktivitas guru, (b) Data aktivitas belajar siswa, (c) Data ketuntasan belajar siswa. 3. Cara pengambilan data Cara pengambilan data dalam penelitian ini adalah: (a) Data ketuntasan hasil belajar diperoleh dengan cara memberikan tes evaluasi pada siswa setiap akhir siklus, (b) Data aktivitas siswa dan guru diperoleh dari lembar observasi. Teknik Analisis Data 1. Tes Hasil Belajar Sesuai dengan permasalahan dan tujuan penelitian ini maka untuk menganalisa data yang diperoleh dari hasil tes siswa dipergunakan analisa hasil evaluasi dengan menghitung prosentase ketuntasan belajar sehingga dapat diketahui ketuntasan belajar siswa. Untuk mengetahui seberapa jauh ketuntasan belajar siswa digunakan kriteria sebagai berikut: a) Nilai rata-rata kelas, menggunakan rumus: X R (Depdiknas, N 2003: 30) Keterangan: R = nilai rata-rata kelas X = jumlah nilai yang diperoleh N = Jumlah siswa yang ikut tes
b) Ketuntasan Belajar Siswa Individu (KBSI), menggunakan rumus: KBSI = 𝑆𝑘𝑜𝑟 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑝𝑒𝑟𝑜𝑙𝑒ℎ 𝑠𝑖𝑠𝑤𝑎 x 100 % 𝑆𝑘𝑜𝑟 𝑚𝑎𝑘𝑠𝑖𝑚𝑎𝑙 (Depdiknas, 2003: 30) c) Ketuntasan Belajar Siswa Klasikal (KBSK), dihitung dengan menggunakan rumus: KBSK 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑖𝑠𝑤𝑎 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑢𝑛𝑡𝑎𝑠 = 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑖𝑠𝑤𝑎 𝑘𝑒𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ𝑎𝑛 x 100 % (Depdikbud, 1995) 2. Data Aktivitas Pembelajaran Kegiatan observasi dilakukan untuk aktivitas siswa dan guru, instrumen yang digunakan untu mengumpulkan data observasi yang berisikan deskriptif dari indikator aktivitas siswa dan guru yang sudah dimodifikasi dan diamati selama proses pembelajaran. Mengenai hasil observasi siswa akan dianalisa dengan rumus sebagai berikut: X As ( i Depdiknas, 2012: 30) Keterangan: As = skor rata-rata aktivitas siswa ƩX = skor masing-masing indikator i = banyaknya indikator Skor untuk setiap descriptor aktivitas siswa pada
penelitian ini mengikuti aturan sebagai berikut: a) Skor 4 diberikan jika 3 descriptor nampak. b) Skor 3 diberikan jika 2 descriptor nampak. c) Skor 2 diberikan jika 1 descriptor nampak. d) Skor 1 diberikan jika descriptornya tidak nampak.
Aktivitas Belajar Siswa Tabel 3.1 Pedoma Konversi Penilaian Aktifitas Belajar Siswa A ≥ MI + 1,5 SDI MI + 0,5 SDI ≤ A<MI + 1,5 SDI MI – 0,5 SDI ≤ A<MI + 0,5 SDI MI – 1,5 SDI ≤ A< - 0,5 SDI A <MI – 1,5 SDI
Interval skor A ≥ 3,25 2,75≤ A < 3,25
Kriteria siswa Sangat Aktif Aktif
2,25≤ A < 2,75
Cukup Aktif
1,75≤ A < 2,25 A<1,75
Kurang Aktif Sangat Kurang Aktif
Sumber: Arikunto dalam Lamp M. Hatta( 2012: 10) Aktivitas Guru Tabel 3.1 Pedoma Konversi Penilaian Aktifitas Belajar Siswa Interval A ≥ MI + 1,5 SDI MI + 0,5 SDI ≤ A<MI + 1,5 SDI MI – 0,5 SDI ≤ A<MI + 0,5 SDI MI – 1,5 SDI ≤ A< - 0,5 SDI A <MI – 1,5 SDI
Interval skor A ≥ 3,25 2,75≤ A < 3,25
Kriteria siswa Sangat Aktif Aktif
2,25≤ A < 2,75
Cukup Aktif
1,75≤ A < 2,25 A<1,75
Kurang Aktif Sangat Kurang Aktif
Sumber: Arikunto dalam Lamp M. Hatta( 2012: 10) Untuk menilai kategori aktivitas guru, ditentukan terlebih dahulu mean ideal dan standar deviasi ideal (SDI). Cara menentukan MI dan SDI adalah sebagai berikut: 1 MI = 2 x ( skor maksimal + skor minimal ) 1 SDI = 3 x MI
Hasil Belajar Tes prestasi belajar dapat dianalisis dengan menggunakan skala ketuntasan belajar. Nilai ketuntasan belajar minimum ditentukan oleh pihak sekolah yaitu nilai yang diperoleh ≥ 75. Ketuntasan belajar dapat dihitung dengan rumus sebagai berikiut: 𝑁𝑖 𝑁𝐾𝐵𝑀 = 𝑁 × 100% ( Depdiknas, 2012: 30) Keterangan : Ni = jumlah siswa yang tuntas belajar N = jumlah siswa NKBM =Nilai ketuntasan belajar minimum Hasil belajar siswa pada siklus I dibandingkan dengan tes Hasil awal sebelum dilakukan tindakan. Dari sinilah peneliti dapat melihat sejauh mana Hasil belajar fisika siswa pada siklus I, apakah ada penurunan dan peningkatan. Tindakan tiap siklusnya dapat dikatakan berhasil apabila ada peningkatan dari tiap siklusnya dan nilai ketuntasan belajar minimum siswa mencapai 85 %. Indikator keberhasilan penelitian tindakan kelas ini adalah adanya peningkatan keaktifan dan ketuntasan hasil belajar siswa dengan acuan sebagai berikut: 1. Apabila prestasi belajar siswa yang menunjukan minimal 75 % siswa mencapai nilai 75.
2. Minimal keaktifan berkategori aktif. HASIL PENELITIAN
siswa
Data observasi aktifitas siswa, guru serta refleksi dapat dilihat dari tabel berikut ini: Tabel data observasi akivasi siswa dan guru pada siklus 1 No
1.
2.
3.
4.
Siklus 1 Aktivitas siswa Siswa belum antusias dalam kegiatan pembelajaran
Aktivitas guru
Refleksi
Guru tidak detail dalam menyampaikan tujuan pembelajaran
Guru menekan lagi pada siswa untuk mempersiapkan diri dan aktif dalam pembelajaran serta lebih detail lagi dalam menyampaikan tujuan pembelajaran Guru memberikan pertanyaan dalam bentuk Tanya jawab untuk membangkitkan minat siswa dalam belajar
Siswa belum berani bertanya serta menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh guru. Siswa masih terkesan bekerja sendiri-sendiri dalam kelompok
Guru belum dapat mengajukan pertanyaan yang dapat membangkitkan motivasi siswa. Guru kurang mengontrol siswa dalam kelompok dan hanya terpaku dalam satu kelompok.
Guru lebih intensif dalam membimbing siswa belum dapat beradaptasi dan siswa yang kurang aktif dalam kelompoknya
Siswa belum dapat menyimpulkan materi yang telah dibahas secara
Guru kurang terampil dalam mengolah bahan pembelajaran
Guru lebih paham menguasai yang menjadi bahan pembelajaran.
(4) Data ketentuan belajar
hasil
evaluasi
Data hasil analisis evaluasi siklus 1 dapat dilihat pada tabel dibawah ini : Jumlah siswa 35
Jumlah siswa yang tuntas 25
Jumlah siswa yang tidak tuntas 10
Ketentusan kelasikal 71,42%
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa dari 35 siswa yang mengikuti tes evaluasi terdapat 25 orang siswa yang tuntas belajar dan 10 orang yang tidak tuntas belajar. Jadi pada siklus 1 belum mencapai ketuntasan belajar secara klasikal dengan demikian perlu diadakan perbaikan pada siklus selanjutnya yaitu siklus ke II Refleksi Dari hasil yang diperoleh dari siklus 1 masih belum mencapai hasil yang diharapkan karena masih terdapat kekurangan kekurangan. Adapun kekurangannya adalah : a. Belum mencapai indicator ketuntasan belajar siswa, siswa secara klasikal yaitu 75%. b. Kesiapan siswa dalam menerima materi masih kurang. c. Masih banyak siswa yang tidak aktif saat berdiskusi. d. Pembelajaran masih bersifat monoton. Adapun kekurangan yang terdapat pada siklus 1 akan diperbaiki
pada siklus II diantaranya : a. Pemberian persepsi pada siswa masih kurang. Hal ini masih disebabkan pada siklus I merupakan pertemuan pertama, jadi mengenai materi yang akan dibahas dengan materi sebelumnya dan menyimpulkan tidak terlalu detail. b. Guru menekankan pada siswa untuk lebih mempersiapkan diri dan lebih aktif dan antusias dalam berdiskusi dan mengikuti pembelajaran. c. Respon siswa dalam pembelajaran masih rendah. Hal ini Nampak pada kurangnya keberanian siswa untuk bertanya, mengajukan pendapat dan menjawab pertanyaan guru. Untuk mengatasi hal-hal maka sebelum siklus II dalam memulai pembelajaran guru memberikan pertanyaan dalam bentukTanya jawab supaya siswa lebih berani mengemukakan pendapat serta jawaban yang baik pada teman-teman kelompok maupun pada guru. d. Pada siklus II guru memberikan bimbingan pada tiap-tiap kelompok. Disini yang diutamakan adalalah siswa yang nilainya kurang dari 75
dengan cara menanyakan pada mereka tentang permasalahan yang dialami dalam menyelesaikan soal dan tugas dalam lembar evaluasi dan LKS. Guru mencoba lebih intensif dalam membimbing terutama kelompok yang kurang aktif berdiskusi dan dalam penguasaan waktu yang se,efisien mungkin sehingga alur pembelajaran sesuai dengan scenario yang sudah disediakan. data observasi aktifitas siswa dapat dilihat pada tabel data aktifitas siswa dan guru pada siklus II. Tabel data observasi akivasi siswa dan guru pada siklus II N o 1.
2.
Siklus II Aktivitas siswa Siswa antusias dalam kegiatan pembelajaran
Siswa kurang berani bertanya serta menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh guru.
Aktivitas guru Guru menyampaik an tujuan pembelajaran sesuai dengan scenario pembelajaran
Guru memberikan pertanyaan umpan balik sudah sepenuhnya berpusat pada satu, dua, dan tiga siswa
Refleksi Guru menekan lagi pada siswa untuk mempersiapk an diri dan aktif dalam pembelajaran serta lebih detail lagi dalam menyampaika n tujuan pembelajaran Guru memberikan pertanyaan dalam bentuk Tanya jawab untuk membangkitk an minat siswa dalam belajar
3.
Siswa kurang kompak dan antusias dalam berdiskusi
Guru kurang mengontrol siswa dalam kelompok dan hanya terpaku dalam satu kelompok.
Guru lebih intensif dalam membimbing siswa belum dapat beradaptasi dan siswa yang kurang aktif dalam kelompoknya
4.
Siswa masih kurang berani menyimpulk an materi yang telah dibahas
Guru belum sepenuhnya membimbing siswa dalam merangkum dan menyimpulka n materi
Guru lebih paham menguasai yang menjadi bahan pembelajaran.
(4) Data ketentuan belajar
hasil
evaluasi
Data hasil analisis evaluasi siklus II dapat dilihat pada tabel dibawah ini : Jumlah siswa 35
Jumlah siswa yang tuntas 29
Jumlah siswa yang tidak tuntas 6
Ketentusan kelasikal 82,85%
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa dari 35 siswa yang mengikuti tes evaluasi terdapat 29 orang siswa yang tuntas belajar dan 6 orang yang tidak tuntas belajar. Jadi pada siklus II sudah mencapai ketuntasan belajar secara klasikal. Refleksi Dari hasil yang diperoleh dari siklus II sudah mencapai hasil
yang diharapkan karena masih terdapat kekurangan kekurangan. Adapun kekurangannya adalah : a. Belum mencapai indicator ketuntasan belajar siswa, siswa secara klasikal yaitu 75%. b. Kesiapan siswa dalam menerima materi masih kurang. c. Masih banyak siswa yang tidak aktif saat berdiskusi. d. Pembelajaran masih bersifat monoton. Adapun kekurangan yang terdapat pada siklus II akan diperbaiki pada a. Pemberian persepsi pada siswa masih kurang. Hal ini masih disebabkan pada siklus I merupakan pertemuan pertama, jadi mengenai materi yang akan dibahas dengan materi sebelumnya dan menyimpulkan tidak terlalu detail. b. Guru menekankan pada siswa untuk lebih mempersiapkan diri dan lebih aktif dan antusias dalam berdiskusi dan mengikuti pembelajaran. c. Respon siswa dalam pembelajaran masih rendah. Hal ini Nampak pada kurangnya keberanian
siswa untuk bertanya, mengajukan pendapat dan menjawab pertanyaan guru. Untuk mengatasi halhal maka sebelum siklus II dalam memulai pembelajaran guru memberikan pertanyaan dalam bentukTanya jawab supaya siswa lebih berani mengemukakan pendapat serta jawaban yang baik pada teman-teman kelompok maupun pada guru. d. Pada siklus II guru memberikan bimbingan pada tiaptiap kelompok. Disini yang diutamakan adalalah siswa yang nilainya kurang dari 75 dengan cara menanyakan pada mereka tentang permasalahan yang dialami dalam menyelesaikan soal dan tugas dalam lembar evaluasi dan LKS. e. Guru mencoba lebih intensif dalam membimbing terutama kelompok yang kurang aktif berdiskusi dan dalam penguasaan waktu yang se,efisien mungkin sehingga alur pembelajaran sesuai dengan
scenario yang sudah disediakan. PEMBAHASAN Penelitian tindakan kelas ini dilakukan dalam II (dua) siklus yaitu dengan menerapkan metode pembelajaran kooperatif tipe STAD untuk menyampaikan materi besaran dan satuan. Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil kegiatan pembelajaran pada siklus I (satu), guru masih mendominasi pembelajaran tersebut, sehingga siswa hanya menerima yang disampaikan oleh guru. Hal ini mengakibatkan siswa bosan. Jadi semua yang disampaikan oleh guru tidak dapat semua dipahami oleh siswa. Di samping itu, juga siswa tidak aktif dalam bertanya, sebab apa yang mereka Tanyakan mereka tidak tahu, padahal mereka belum mengerti sepenuhnya materi yang disampaikan oleh guru ini diakibatkan oleh dua hal : (a) Persiapan materi yang akan disampaikan oleh guru belum dipelajari oleh siswa karena tidak ada motivasi untuk belajar di rumah. (b) Komunikasi antara siswa dengan siswa dan antara peneliti dengan siswa pasif, akibatnya permasalahan siswa tersebut sama sekali tidak tahu. Aktivitas pembelajaran adalah seluruh aktivitas siswa
belum pembelajaran, mulai dari kegiatan fisik sampai kegiatan psikis. Kegiatan fisik berupa keterampilanketerampilan dasar sedangkan kegiatan psikis berupa keterampilan terintegrasi. Keterampilan dasar yaitu mengobservasi, mengklasifikasi, memprediksi, mengukur, menyimpulkan dan mengkomunikasikan. Sedangkan keterampilan terintegrasi terdiri atas mengindentifikasi variable, membuat tabulasi data, menyajikan data, menggambarkan hubungan antara variable, mengumpulkan data dan mengelolah data, menganalisis penelitian, mendefinisikan variable secara operasional, merancang penelitian dan melaksanakan eksperimen. Pada prinsipnya pembelajaran adalah berbuat, tidak ada belajar jika tidak ada aktivitas. Itulah mengapa aktivitas merupakan prinsip yang sangat penting dalam interaksi pembelajaran. Dalam aktifitas belajar ada beberapa prinsip yang berorientasi pada pandangan ilmu jiwa, yaitu pandangan ilmu jiwa lama dan modern. Menurut pandangan ilmu jiwa lama, aktivitas didominasi oleh guru sedangkan menurut pandangan ilmu jiwa modern , aktivitas didominasi oleh siswa. 1) Ketuntasan Belajar
Salah satu orientasi penilaian kelas adalah ketuntasan belajar. Merupakan pencapaian hasil belajar yang ditetapkan dengan ukuran atau tingkat pencapaian kompetensi yang memadai dan dapat dipertanggung jawabkan sebagai prasyarat penguasaan kompetensi lebih lanjut. DAFTAR PUSTAKA Arikunto, S.2003. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara Moleong, J.Lexy. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT. Remaja Rosda Karya Perdy, Karuru.2001. Penerapan Pendekatan Keterampilan Proses Dalam Setting Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD Untuk Meningkatkan Kualitas Belajar IPA Siswa SLTP. Balitbang DIKNAS, http://www.depdiknas.go.iddi aksesOktober 2010 Rahayu, S.1998. PembelajaranKooperatifDala mPendidikan IPA. Majalah Chimera: JurnalBiologidanpengajaran FMIPA IKIP Malang, 27(2): 152-169. Suparno, Paul.2007. MetodologiPembelajaranFisi kaKontuktivistikdanMenyena ngkan. Yogyakarta: UniversitasSanata Dharma
Sudijono, Anas.1995. Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada Sugiyono.2005. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: ALFABETA Sugiyanto.2005. Pengantar Metodologi Penelitian Pendidikan Fisika. Malang: Universitas Negeri Malang Suparno, Paul.2007. Metodologi Penelitian Pendidikan Fisika.
Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma Terjemahan Mohamad Nur. Jawa Timur : Penerbit LPMP