Volume 5 Nomor 2 Tahun 2013
PEDAGOGIA
Jurnal Ilmiah Pendidikan Pelindung: Ketua Yayasan Pakuan Siliwangi Pengarah: Rektor Universitas Pakuan Pimpinan Umum : Drs. Deddy Sofyan, M.Pd. Penyunting Ahli : Prof. Dr. H. Yus Rusyana Dra. Lestari Sukartiningsih, M.Pd. Dra. Eri Sarimanah, M.Pd. Drs. Aam Nurjaman, M.Pd. Dr. Entis Sutisna, M.Pd. Dr. Surti Kurniasih, M.Si. Drs. Dadang Kurnia, M.Pd. Suhendra, S.Pd., M.Pd. Dra. Atti Herwati, M.Pd. Mursidah Rahmah, S.Pd., M.Pd. Dra. Susi Sutjihati, M.Si. Elly Sukmanasa, M.Pd. Pemimpin Redaks: Rais Hidayat, M.Pd. Sekretaris Redaksi: Istiqlaliah N.H., M.Pd. Redaktur Pelaksana: Sandi Budiana, S.Pd. Siti Chodijah, S.Pd. Asih Wahyuni, M.Pd. Iyan Irdiyansyah, M.Pd. Rita Istiana, S.Si. Aip M. Irfan, M.Si. Lina Novita, S.Sn., M.Pd. Ani Yanti Ginanjar, M.Pd. Suci Siti Lathifah, M.Pd. Dendy Saeful Zen, M.Pd. Irfan Fauzi, M.Pd. Tata Usaha/Sirkulasi: Yuyun Elizabeth Patras, M.Pd. Alamat Redaksi : Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Pakuan Jalan Pakuan Kotak Pos 452 Tlp. 0251 8375608 Fax 0251 8375608 Terbit Pertama Tahun 2004 Frekwensi Terbit 4 bulanan STRUKTUR ORGANISASI JURNAL PEDAGOGIA BERDASARKAN SURAT KEPUTUSAN DEKAN FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS PAKUAN NOMOR : 4951/SK/D/FKIP/VII/2012
ISSN No.1693-5799
Pengantar Redaksi Education is the most powerful weapon which you can use to change the world (Nelson Mandela).Pernyataan tersebut sejalan dengan pemikiran para founding father Republik Indonesia yang memasukkan pendidikan ke dalam pasal 31 UUD 1945. Para founding father memiliki paradigma berpikir bahwa build nation, build schools. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan berperan strategis dalam pembangunan bangsa dan negara. Sudah lebih 50 tahun Indonesia membangun sistem pendidikan nasional. Ada kemajuan yang dirasakan, namun kemajuan yang dirasakan masih jauh dari yang tertulis dalam konstitusi 1945. Adanya kenyataan tersebut mengindikasikan ada yang salah dalam pelaksanaan sistem pendidikan nasional Indonesia. Kesalahan tersebut dapat terlihat dari politik yang kurang mendukung, baik itu politik dalam perumusan tujuan pendidikan yakni tujuan pendidikan yang kurang menekankan pada pembangunan negara bangsa, politik anggaran yakni anggaran 20% APBN/APBD tidak murni untuk pendidikan, dan politik penyelenggaraan pendidikkan seperti penyiapan guru-guru profesional, penyiapan sarana, dan ketidakkonsistenan antara tujuan pendidikan dan praktek pendidikan. Dalam rangka meningkatkan mutu bangsa Indonesia, maka diperlukan langkah-langkah strategis dan sistematis dalam perencanaan, pelaksanaan, sistem evaluasi, dan perbaikan yang terus-menerus sistem pendidikan Indonesia. Saat ini, Indonesia membutuhkan ‘grand design sistem pendidikan nasional” yang pembuatannya harus melibatkan semua stake holder bangsa Indonesia. Dan, dalam pelaksanaanya nanti membutuhkan pemimpin visioner dan kuat sehingga Indonesia mampu bangkit dan berlari mengejar berbagai ketertinggalan dari bangsa-bangsa lain di dunia. PEDAGOGIA yang sedang Bapak/Ibu/Sdr/i baca ini hanya salah satu upaya dari anak bangsa untuk berpartisipasi dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Ada 8 artikel yang disajikan dalam PEDAGOGIA yang berasal dari penelitian para dosen dan mahasiswa, khususnya dosen dan mahasiswa di lingkungan Universitas Pakuan, Bogor. PEDAGOGIA juga dapat diakses melalui: http://unpak.ac.id/ejournal/. Kritik dan saran sangat diharapkan oleh redaksi untuk membuat PEDAGOGIA lebih baik dan sempurna. Selamat membaca ! Wassalam Sidang Redaksi
Volume 5 Nomor 2 Tahun 2013
ISSN No.1693-5799
PEDAGOGIA
Jurnal Ilmiah Pendidikan DAFTAR ISI
Nomor ISSN..............................................................................................................................................i Susunan Redaksi........................................................................................................................................i Pengantar Redaksi......................................................................................................................................i Daftar Isi..................................................................................................................................................iii 1.. Penerapan Model Pembelajaran Learning Cycle dengan Media Bahan Ajar CD Interaktif . untuk Meningkatkan Hasil Belajar Biologi . Teti Rostikawati, Oding Sunardi, Erlina Pratamawati Situmeang .................................................... 1 2.. Analisis Pengembangan Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran IPA . Fitri Siti Sundari ..............................................................................................................................11 3.. Pengaruh Metode Pembelajaran Inkuiri dan Kemandirian Belajar terhadap . Kemampuan Memecahkan Masalah Pencemaran . Indri Yani, Rita Retnowati, Eka Suhardi ..........................................................................................23 4.. Peningkatan Keterampilan Menulis Puisi melalui Pendekatan Kontekstual . Siti Chodijah......................................................................................................................................33 5.. Pengaruh Kecerdasan Emosional terhadap Motivasi Belajar Siswa . Chika Gianistika, Elly Sukmanasa, Lina Novita...............................................................................43 6.. Membina Nilai Budi Pekerti melalui Pendekatan Klarifikasi Nilai Ppada Pembelajaran PKn . Yuli Mulyawati, Sapriya, Disman .....................................................................................................49 7.. Pengaruh Metode Contextual Teaching And Learning (CTL) dan Metode Problem Posing (PP) terhadap Hasil Belajar Matematika . Nedin Badruzaman dan Asep Saepul Hamdi ...................................................................................59 8.. Pengaruh Metode Pembelajaran Dan Motivasi Belajar Terhadap Hasil Belajar Bahasa Inggris . Iyan Irdiyansyah................................................................................................................................69
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN LEARNING CYCLE
1
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN LEARNING CYCLE DENGAN MEDIA BAHAN AJAR CD INTERAKTIF UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR BIOLOGI Oleh: Teti Rostikawati , Oding Sunardi2, Erlina Pratamawati Situmeang3 1
Abstrak Penelitian ini merupakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK), dilakukan di kelas XI IPA 4 SMA Plus PGRI Cibinong yang berjumlah 35 siswa. Tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan hasil belajar Biologi siswa dengan menerapkan model pembelajaran Learning Cycle dengan media bahan ajar CD Interaktif. Proses penelitian dilakukan dalam dua siklus. Tiap siklus terdiri dari empat tahapan yaitu perencanaan, pelaksanaan, pengamatan, dan refleksi. Tiap akhir siklus dilaksanakan tes dengan instrumen yang telah dikalibrasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan model pembelajaran Learning Cycle dengan media bahan ajar CD Interaktif dapat meningkatkan hasil belajar Biologi siswa khususunya materi Sistem Regulasi. Hal tersebut terlihat dari perubahan rata-rata hasil belajar Biologi siswa pada pra-siklus yaitu 61.40 atau ketuntasan klasikal 25.71% dari 35 siswa. Pada siklus I menjadi 72.93 atau ketuntasan klasikal 51.43% dan pada siklus II mencapai 80.36 atau ketuntasan klasikal 82.96%. Berdasarkan hasil yang dicapai, penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa penerapan model pembelajaran Learning Cycle dengan media bahan ajar CD Interaktif dapat meningkatkan hasil belajar Biologi siswa dalam materi Sistem Regulasi di kelas XI IPA 4 SMA Plus PGRI Cibinong. Kata Kunci: Pembelajaran kooperatif, Learning Cycle, CD Interaktif, hasil belajar, sistem regulasi
Pendahuluan Pengembangan kualitas manusia seutuhnya adalah misi pendidikan yang menjadi tanggung jawab profesional setiap guru, maka peningkatan kemampuan guru dalam penyajian materi dan keterampilan model inovatif dalam pembelajaran sangat diperlukan. Guru tidak cukup lagi hanya menyampaikan atau mentransfer materi kepada siswa. Guru harus menguasai dan juga memahami berbagai model pembelajaran agar dapat merancangkan penyajian materi sesuai kondisi siswa. Saat ini banyak guru yang tidak ingin keluar dari comfort zone (zona nyaman) sehingga berdampak pada proses pembelajaran seadanya di kelas. Sebenarnya guru-guru sudah banyak mengikuti pelatihan tentang model pembelajaran,
Pedagogia, Volume 5 Nomor 2 Tahun 2013
namun tidak semua guru secara sadar dan tekun menerapkan apa yang telah diperoleh dari pelatihan karena keterbatasan pengetahuan guru dan kurangnya kreativitas guru. Proses pembelajaran yang seadanya ini berdampak pada kurang baiknya peningkatan kualitas hasil belajar siswa. Siswa menjadi tidak produktif dan tidak bersemangat untuk mengikuti proses pembelajaran. Diperoleh informasi dari guru mata pelajaran Biologi di SMA Plus PGRI Cibinong bahwa siswa mengalami kesulitan dalam belajar Biologi khususnya materi Sistem Regulasi. Hal tersebut dapat terlihat dari hasil nilai ulangan harian yang sebagian besar siswa memperoleh nilai di bawah Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yaitu 75, sehingga sering dilakukan ulangan perbaikan.
2
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN LEARNING CYCLE
Rata-rata nilai ulangan harian dari 35 siswa adalah sebesar 61.40 dengan rincian 74.29% atau 26 siswa yang nilainya dibawah 75. Rendahnya nilai hasil belajar Sistem Regulasi dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu penggunaan model pembelajaran yang kurang tepat dan kurangnya penggunaan media pembelajaran yang bervariasi. Faktorfaktor tersebut cenderung berdampak pada pembelajaran yang membosankan karena siswa hanya mendengarkan, membaca dan menghafal informasi yang diperoleh, sehingga konsep yang diterima dan dipelajari tidak memiliki retensi yang tinggi. Salah satu alternatif agar pembelajaran lebih efektif, bermakna, dan menyenangkan serta diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar adalah dengan model pembelajaran kooperatif Learning Cycle dengan media bahan ajar Compact Disc (CD) Interaktif. Learning Cycle dapat mempermudah siswa dalam pembelajaran biologi. Siswa dapat secara langsung berinteraksi dengan lingkungan untuk menganalisis fenomena-fenomena perilaku nyata sehingga dapat memahami konsep-konsep materi ajar. Learning Cycle dilakukan dengan tahap-tahap yaitu berusaha untuk membangkitkan minat siswa pada pelajaran biologi (engagement), memberikan kesempatan kepada siswa untuk memanfaatkan panca indera mereka semaksimal mungkin dalam berinteraksi dengan lingkungan melalui kegiatan praktikum dan telaah literatur (exploration), memberikan kesempatan yang luas kepada siswa untuk menyampaikan ide atau gagasan yang mereka miliki melalui kegiatan diskusi (explanation), mengajak siswa mengaplikasikan konsep-konsep yang mereka dapatkan dengan mengerjakan soal-soal pemecahan masalah (extention) dan terdapat suatu tes akhir untuk mengetahui sejauh mana tingkat pemahaman siswa terhadap konsep yang telah dipelajari (evaluation).
Media bahan ajar CD Interaktif merupakan bentuk pemanfaatan multimedia berbasis komputer. Penyajian materi ajar CD Interaktif dikemas dengan animasi, suara, dan video. Siswa akan diinstruksi oleh CD Interaktif selama proses pembelajaran. Diharapkan dengan penggunaan CD Interaktif dapat memberi dukungan terselenggaranya proses komunikasi yang interaktif dalam pembelajaran. Berdasarkan uraian tersebut, maka diadakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) mengenai penerapan model pembelajaran Learning Cycle dengan media bahan ajar CD Interaktif untuk meningkatkan hasil belajar biologi siswa dalam materi Sistem Regulasi. Rumusan masalah yang diajukan adalah sebagai berikut: (1) Apakah penerapan Model Pembelajaran Learning Cycle dengan Media Bahan Ajar CD Interaktif dalam pembelajaran biologi dapat meningkatkan hasil belajar siswa XI IPA 4 di SMA Plus PGRI Cibinong; (2) Bagaimana penerapan Model Pembelajaran Learning Cycle dengan Media Bahan Ajar CD Interaktif dalam pembelajaran biologi agar dapat meningkatkan hasil belajar siswa XI IPA 4 di SMA Plus PGRI Cibinong Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan hasil belajar siswa kelas XI IPA Unggulan 4 di SMA PLUS PGRI Cibinong pada pelajaran biologi khususnya materi sistem regulasi. Siswa diharapkanvmemperoleh nilai rata-rata kelas di atas KKM yang telah ditentukan yaitu 75 pada tahun ajaran 2012/2013 serta ketuntasan 75% siswa mencapai KKM sebagai efek pembelajaran yang diciptakan guru. Suryabrata (2007) mengemukakan belajar adalah perubahan. Lebih rinci dikemukakan oleh Jihad dan Haris (2008) yang mengemukakan bahwa belajar adalah suatu proses yang ditandai dengan adanya perubahan pada diri seseorang. Perubahan sebagai hasil proses belajar dapat ditunjukkan dalam berbagai bentuk seperti perubahan pengetahuan, pemahaman, sikap
Pedagogia, Volume 5 Nomor 2 Tahun 2013
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN LEARNING CYCLE
dan tingkah laku, keterampilan, kecakapan, kebiasaaan, serta perubahan aspek-aspek yang ada pada individu yang belajar. Proses pembelajaran yang semakin efektif diukur dari tingkat pencapaian siswa dan tergambar pada hasil belajar. Wena (2012) mengemukakan hasil belajar adalah semua efek yang dapat dijadikan sebagai indikator tentang nilai dari perencanaan pembelajaran. Hasil belajar yang nampak pada siswa sebagai hasil dari keefektifan pembelajaran diantaranya adalah kecermatan penguasaan perilaku yang dipelajari, kecepatan unjuk kerja, tingkat alih belajar, dan retensi. Setiap siswa tentu memiliki hasil belajar yang berbeda-beda, umumnya perbedaan itu disebabkan oleh faktor internal dan faktor eksternal. Munadi (2010) mengemukakan yang tergolong faktor internal antara lain: (1) faktor fisiologis; (2) faktor psikologis (intelegensi, minat dan bakat, motif dan motivasi, kognitif dan daya nalar). Faktor eksternal antara lain, (1) faktor lingkungan (lingkungan fisik, lingkungan alam, lingkungan sosial); (2) faktor instrumental (kurikulum, sarana dan fasilitas, dan guru). Pernyataan Munadi menunjukkan bahwa faktor-faktor tersebut saling berinteraksi secara langsung atau tidak langsung dalam mempengaruhi hasil belajar yang dicapai oleh seseorang karena adanya faktor-faktor tertentu yang mempengaruhi hasil belajar siswa. Biologi mempelajari tentang kehidupan yang kompleks dengan berbagai proses, interaksi, fakta, dan prinsip. Ferdinand dan Ariebowo (2009) mengemukakan bahwa biologi mengkaji objek dan ragam persoalan dari berbagai tingkat organisasi kehidupan serta interaksinya dengan faktor lingkungan. Biologi meliputi beberapa tema dasar, yaitu biologi sebagai proses penemuan, sejarah konsep biologi, evolusi, keanekaragaman dan keseragaman, genetika dan kelangsungan hidup, organisme dan lingkungan, biologi perilaku, struktur dan fungsi, serta
Pedagogia, Volume 5 Nomor 2 Tahun 2013
3
regulasi. Salah satu kajian Biologi adalah Sistem Regulasi atau Sistem Pengatur. Karmana (2007) mengemukakan untuk mengontrol dan mengatur kerja sistem organ, tubuh memiliki suatu sistem yang dikenal dengan sistem regulasi atau sistem pengatur. Johnson & Johnson dalam Lie (2002) mengemukakan sistem pengajaran cooperative learning bisa didefinisikan sebagai sistem kerja/ belajar kelompok yang terstruktur. Learning Cycle adalah suatu model pembelajaran kooperatif yang berpusat pada peserta belajar. Siklus belajar merupakan rangkaian tahap-tahap kegiatan yang diorganisir sedemikian rupa sehingga peserta belajar dapat menguasai sejumlah kompetensi yang harus dicapai dalam pembelajaran melalui peran aktivitas siswa (Dorlince, 2008). Menurut Wena (2012), tahap-tahap pembelajaran Learning Cycle terdiri atas: (1) pembangkitan minat (engagement); (2) eksplorasi (exploration); (3) penjelasan (explanation); (4) elaborasi (extention); dan (5) evaluasi (evaluation). Salah satu media penunjang pembelajaran adalah penggunaan teknologi komputer dengan media CD (compact disc) Interaktif. Sanjaya (2008) mengemukakan CD Interaktif dapat digunakan pada berbagai jenjang pendidikan dan berbagai bidang studi. Sifat media ini selain interaktif juga bersifat multimedia terdapat unsur-unsur media secara lengkap yang meliputi sound, animasi, video, teks, dan grafis. Penelitian tindakan kelas diharapkan dapat meningkatkan keberanian siswa untuk bertanya, belajar bermakna, mampu eksplorasi materi, aktif menjawab pertanyaan, dan mengemukakan pendapat serta dapat menghubungkan pengetahuan teoritis dengan konteks nyata di lingkungan sekitar; meningkatkan keterampilan dalam pengembangan strategi, pendekatan, metode, dan model pembelajaran; dapat meningkatkan
4
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN LEARNING CYCLE
kemampuan diri guru dalam penyajian materi dan pencapaian tujuan pembelajaran; serta sebagai rujukan untuk meningkatkan sistem pendidikan di sekolah terutama dalam pelajaran Biologi. Sekolah dapat menerapkan hasil penelitian ini untuk pengembangan mutu pendidikan sekolah semakin baik lagi.
pembelajaran berlangsung. Rencana tindakan pada kedua siklus yang dilakukan terdiri dari 4 tahap, yaitu: (1) perencanaan; (2) pelaksanaan; (3) obervasi dan evaluasi; dan (4) analisis dan refleksi.
Metode Penelitian Penelitian Tindakan Kelas dilaksanakan di SMA Plus PGRI Cibinong Jl. Golf Ciriung Cibinong No. 51, Kelurahan Cibinong, Kecamatan Cibinong, Kabupaten Bogor 16918, pada bulan Mei 2013. Objek penelitian yaitu siswa kelas XI IPA 4 yang berjumlah 35 orang pada tahun ajaran 2012/2013. Terdiri dari 15 siswa laki-laki dan 20 siswa perempuan dengan karakteristik yang berbeda baik dilihat dari segi kemampuan, prestasi, serta ekonominya. Materi yang disampaikan adalah Sistem Regulasi. Penelitian ini melibatkan peneliti, guru, dan observer (pengamat). Guru bertindak sebagai pelaksana strategi dan siswa sebagai subjek serta objek yang diteliti. Sarana dan prasarana sekolah menunjang penerapan media penelitian ini dengan ketersediaan proyektor, layar proyektor, dan komputer didalam kelas. Siswa membawa laptop untuk menggunakan CD Interaktif didalam kelompok diskusi selama proses pembelajaran. Penelitian ini berpusat pada penggunaan model pembelajaran sebagai solusi dalam menyelesaikan, merubah, meningkatkan proses belajar mengajar yang ada di kelas dalam pembelajaran biologi. Proses penelitian tindakan dilaksanakan dengan serangkaian siklus. Siklus tersebut berlangsung beberapa kali hingga tercapai tujuan yang diinginkan. Apabila dalam satu siklus belum dapat mencapai tujuan yang ditentukan maka diadakan siklus selanjutnya. Penelitian melibatkan seorang guru mata pelajaran sebagai pelaksana tindakan di kelas dan dua observer yang bertindak sebagai pengamat ketika proses
Siklus I Berikut adalah hasil penelitian tindakan siklus I.
Hasil Penelitian
Gambar 1 Hasil belajar siswa. Berdasarkan gambar 1, terlihat peningkatan hasil belajar siswa. Nilai rata-rata siswa sebelum dilakukan PTK hanya mencapai 61.40 meningkat menjadi 72.93. Nilai terendah sebelum PTK sebesar 40 dan meningkat menjadi 57.5. Nilai tertinggi sebelum PTK sebesar 82 dan meningkat menjadi 85. Tabel 1 Hasil belajar siswa berdasarkan KKM No.
KKM
1. 2. 3.
>75 =75 <75
Jumlah Siswa 18 0 17
Persentase 51.43% 0 48.57%
Pedagogia, Volume 5 Nomor 2 Tahun 2013
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN LEARNING CYCLE
5
Berdasarkan tabel 1, siswa yang mendapatkan nilai diatas KKM sebanyak 18 orang dengan persentase 51.43% dan siswa yang memiliki nilai dibawah KKM sebanyak 17 orang dengan persentase 48.57%. Nilai rata-rata pada siklus 1 belum berhasil mencapai KKM yang telah ditentukan yaitu sebesar 75 dan belum mencapai kriteria keberhasilan 75% jumlah siswa yang lulus di atas KKM, sehingga perlu diadakan kembali penelitian hingga mencapai nilai yang diharapkan.
tertinggi pada siklus I sebesar 85 meningkat menjadi 95 pada siklus II. Nilai rata-rata pada siklus I sebesar 72.93 meningkat menjadi 80.36 pada siklus II. Ketuntasan klasikal pada siklus I sebesar 51.43% meningkat menjadi 82.86% pada siklus II. Rata-rata siswa dan ketuntasan klasikal telah melewati kriteria keberhasilan yang ditetapkan yaitu KKM sebesar 75 dan ketuntasan klasikal 75% mencapai KKM dari jumlah keseluruhan jumlah siswa sehingga penelitian dihentikan pada siklus II.
Gambar 2 Persentase aktivitas siswa.
Gambar 3 Perbandingan hasil belajar siswa.
Berdasarkan gambar 2, terlihat bahwa antusias siswa yang mengikuti kegiatan pembelajaran (on task) pada pertemuan pertama mencapai 66.03% dan mengalami peningkatan pada pertemuan kedua yaitu mencapai rata-rata 78.41%. Sedangkan siswa yang melakukan kegiatan di luar pembelajaran (off task) pada pertemuan pertama mencapai rata-rata 33.97% dan mengalami penurunan pada pertemuan kedua dengan rata-rata 21.59%. Siklus II Berikut adalah hasil penelitian tindakan siklus II. Berdasarkan gambar 3, terlihat bahwa terjadi peningkatan hasil belajar siswa pada siklus I dan siklus II. Nilai terendah pada siklus I adalah 57.5 meningkat menjadi 65 pada siklus II. Nilai Pedagogia, Volume 5 Nomor 2 Tahun 2013
Tabel 2 Hasil belajar siswa berdasarkan KKM No.
KKM
1. 2. 3.
>75 =75 <75
Jumlah Siswa 29 0 6
Persentase 82.86% 0 17.14%
Berdasarkan tabel 2, siswa yang mendapatkan nilai diatas KKM sebanyak 29 orang dengan persentase 82.86% dan siswa yang memiliki nilai dibawah KKM sebanyak 6 orang dengan persentase 17.14%. Nilai rata-rata pada siklus II sudah mencapai KKM yang telah ditentukan yaitu sebesar 75 dengan ketercapaian kriteria keberhasilan 82.86% jumlah siswa yang lulus di atas KKM.
6
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN LEARNING CYCLE
Gambar 4 Persentase aktivitas siswa. Berdasarkan gambar4, terlihat bahwa antusias siswa yang mengikuti kegiatan pembelajaran (on task) pada pertemuan pertama mencapai 88.89% dan mengalami peningkatan pada pertemuan kedua yaitu mencapai rata-rata 92.38%. Sedangkan siswa yang melakukan kegiatan di luar pembelajaran (off task) pada pertemuan pertama mencapai rata-rata 11.11% dan mengalami penurunan pada pertemuan kedua dengan rata-rata 7.62%. Pembahasan Pembahasan temuan penelitian meliputi hasil belajar biologi, pengamatan terhadap aktivitas siswa, pengamatan aktivitas guru, dan penggunaan media bahan ajar CD Interaktif Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan selama dua siklus yaitu empat pertemuan, hasil belajar siswa mengalami peningkatan dari siklus I sampai siklus II. Hasil belajar siswa sebelum dilakukan penelitian adalah sebesar 25.71% yang mencapai KKM atau 9 siswa dari 35 jumlah keseluruhan siswa dengan rata-rata 61.40. Pada siklus I, sebesar 51.43% siswa mencapai KKM atau 18 orang dari 35 jumlah keseluruhan siswa dengan nilai rata-rata 72.93. Pada siklus II, banyaknya siswa yang telah mencapai KKM sebesar 82.86% atau 29 siswa dari 35 jumlah keseluruhan siswa dengan nilai rata-rata 80.36.
Terjadi peningkatan persentase ketuntasan klasikal pra-siklus 25.71% menjadi 51.43% pada siklus I. Persentase siswa yang mencapai KKM pada siklus I belum mencapai kriteria keberhasilan yaitu 75%, untuk itu dilakukan siklus II dengan adanya refleksi dan upaya perbaikan-perbaikan dari kekurangan siklus I baik dari aspek langkahlangkah guru mengajar, penggunaan media, dan aktivitas siswa selama pembelajaran. Nilai ratarata dan ketuntasan klasikal pada siklus II telah mencapai kriteria keberhasilan. Hal tersebut menunjukkan perbaikan proses pembelajaran yang dilakukan dengan menerapkan model pembelajaran Learning Cycle dengan media bahan ajar CD Interaktif yang memberikan dampak peningkatan hasil belajar siswa. Hasil penelitian tersebut sejalan dengan penelitian Firmansyah (2011) yang menyimpulkan bahwa model pembelajaran Learning Cycle dapat meningkatkan hasil belajar siswa, sehingga dapat disarankan penerapannya apabila siswa mengalami kesulitan belajar di kelas. Pramawati (2011) menyimpulkan dalam penelitiannya bahwa penerapan model pembelajaran siklus belajar (Learning Cycle) dapat meningkatkan keterampilan proses dan hasil belajar sains siswa kelas XI5 di SMA Kartika 1-5 Pekanbaru Tahun Ajaran 2011/2012. Learning Cycle meningkatkan kemandirian siswa dalam belajar, keberanian siswa untuk berkomunikasi dan berpendapat, kerja sama antar siswa dalam belajar, dan keaktifan untuk memperoleh pengetahuan. Siswa sangat termotivasi untuk melakukan pembelajaran dengan serius. Siswa secara aktif melakukan eksplorasi dari buku paket, internet, dan menggunakan CD Interaktif di dalam kelompok untuk mendukung pemahaman secara audiovisual yang terdapat pada media tersebut. Guru membimbing siswa dengan mempergunakan pertanyaan-pertanyaan yang tepat agar siswa bekerja secara sistematis menuju konstruksi
Pedagogia, Volume 5 Nomor 2 Tahun 2013
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN LEARNING CYCLE
pengetahuan tentang materi Sistem Regulasi. Pengetahuan siswa akan diperoleh melalui proses membaca, eksplorasi, dan latihan menyelesaikan masalah secara mandiri. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Dorlince (2008) yang mengemukakan bahwa tahap Learning Cycle merupakan kegiatan yang sangat penting dalam pengembangan konsep yang dipelajari. Learning Cycle dapat mengembangkan keterampilan proses siswa, memberi kesempatan kepada siswa untuk melakukan eksplorasi secara langsung dan menemukan konsep secara mandiri sehingga membuat pembelajaran menjadi lebih bermakna. Sebelum melangkah ke tahap berikutnya siswa terlebih dahulu harus sudah menjalani tahap sebelumnya dengan baik karena setiap tahap dalam Learning Cycle saling mempengaruhi. Learning Cycle memiliki kelebihan dan kekurangan dalam penerapannya. Kelebihan Learning Cycle antara lain: (1) meningkatkan motivasi belajar karena siswa dilibatkan secara aktif dalam proses pembelajaran, (2) membantu mengembangkan sikap ilmiah siswa, (3) pembelajaran menjadi lebih bermakna. Kelemahan model pembelajaran Learning Cycle antara lain: (1) efektifitas pembelajaran rendah jika guru kurang menguasai materi dan langkah-langkah pembelajaran; (2) menuntut kesungguhan dan kreativitas guru dalam merancang dan melaksanakan proses pembelajaran; (3) memerlukan pengelolaan kelas yang lebih terencana dan terorganisasi; dan (4) memerlukan waktu dan tenaga yang lebih banyak dalam perencanaan dan pelaksanaannya. Jumlah siswa yang belum tuntas pembelajaran siklus II sebanyak 6 orang dan akan dilakukan ulangan perbaikan oleh guru. Hal ini terjadi karena siswa kurang aktif atau pasif saat berdiskusi dengan temannya sehingga kurang menguasai materi pelajaran dan berpengaruh terhadap hasil belajarnya. Kepasifan siswa ini
Pedagogia, Volume 5 Nomor 2 Tahun 2013
7
mungkin dipengaruhi oleh faktor-faktor yang mempengaruhi selama proses pembelajaran. Hal tersebut sesuai pernyataan Munadi (2010) yang mengemukakan bahwa hasil belajar dipengaruhi oleh faktor internal (pengaruh dari dalam diri siswa) dan faktor eksternal (pengaruh dari luar diri siswa), yang tergolong faktor internal antara lain: (1) faktor fisiologis; (2) faktor psikologis (intelegensi, minat dan bakat, motif dan motivasi, kognitif dan daya nalar). Faktor eksternal antara lain, (1) faktor lingkungan (lingkungan fisik, lingkungan alam, lingkungan sosial); (2) faktor instrumental (kurikulum, sarana dan fasilitas, dan guru). Selain perolehan peningkatan hasil belajar, dilakukan pengamatan aktivitas siswa selama dua siklus yaitu empat pertemuan. Aktivitas siswa dalam setiap siklus mengalami peningkatan yang sangat baik. Aspek-aspek yang diamati berupa aktivitas-aktivitas yang sesuai dengan model pembelajaran. Pada gambar 14, terlihat aktvitas siswa pada siklus I, pertemuan kesatu nilai on task 66.03% dan nilai off task 33.97% sedangkan pada pertemuan kedua nilai on task 78.41% dan nilai off task 21.59%. Pada siklus II, pertemuan kesatu nilai on task 88.89% dan nilai off task 11.11%, sedangkan pada pertemuan kedua nilai on task 92.38% dan nilai off task 7.62%. Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui bahwa terjadi peningkatan antusias belajar siswa dengan menggunakan model pembelajaran Learning Cycle dan media bahan ajar CD interaktif yang diterapkan selama pembelajaran. Setiap kelompok yang heterogen terlihat antusias dan dapat saling bekerja sama untuk mengerjakan tugas kelompok, menghargai pendapat, berani mengemukakan pendapat, dan juga saling memotivasi hingga mendorong siswa yang pasif menjadi terlibat aktif dalam pembelajaran, ditunjukkan dengan adanya peningkatan nilai on task dan penurunan nilai off task pada setiap pertemuan.
8
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN LEARNING CYCLE
Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Kagan dalam Gora dan Sunarto (2008) yang mengemukakan bahwa pembelajaran kooperatif mempunyai banyak manfaat, yaitu: (1) dapat meningkatkan pencapaian dan kemahiran kognitif siswa; (2) dapat meningkatkan kemahiran sosial dan memperbaiki hubungan sosial; (3) dapat meningkatkan keterampilan kepemimpinan; (4) dapat meningkatkan kepercayaan diri; dan (5) dapat meningkatkan kemahiran teknologi. Pembelajaran yang tercipta dengan peningkatan hasil belajar dan peningkatan antusias siswa dalam belajar didukung juga dengan keterlibatan guru yang semakin membaik dari siklus I hingga siklus II. Guru masih beradaptasi dan mempelajari Learning Cycle di siklus I. Aktivitas guru semakin meningkat dalam tiap pertemuan karena guru semakin memahami, menguasai, dan memaksimalkan penerapan model pembelajaran dan media yang diterapkan. Setiap akhir pertemuan, guru melakukan evaluasi sehingga dapat memperbaiki kekurangan dalam setiap langkah-langkah model tindakan. Kemampuan guru untuk merancang dan mengatur skenario pembelajaran, mengawali kelas, menarik fokus siswa, memberikan motivasi, mengatur pembagian waktu antartahap, kecermatan guru dalam mengawal tahapan, dan mengawasi kedisiplinan siswa dengan punish and reward berupa kritik dan pujian, merupakan hal-hal yang mendukung efektivitas pembelajaran. Hal tersebut sesuai pernyataan Wena (2012) yang mengemukakan bahwa guru sebagai komponen penting dari tenaga kependidikan, memiliki tugas untuk melaksanakan proses pembelajaran. Guru berperan aktif untuk membelajarkan siswa seperti pernyataan Degeng dalam Wena (2012) yang mengemukakan bahwa pembelajaran berarti upaya membelajarkan siswa. Media bahan ajar CD Interaktif sangat efektif digunakan dengan model pembelajaran
Learning Cycle, terlihat dari hasil belajar siswa yang diperoleh dan pengamatan antusiasme siswa. Pada siklus 1, siswa masih beradaptasi menggunakan CD Interaktif. Siswa belum pernah menggunakan sebelumnya sehingga siswa memerlukan waktu untuk mempelajari CD Interaktif. Pembelajaran di siklus I, terdapat beberapa kelompok diskusi yang belum menyediakan laptop pada kelompoknya. Siswa belum termotivasi dan belum tertarik menggunakan CD Interaktif. Siswa antusias terhadap penggunaan media pada siklus II. Berdasarkan hasil wawancara, siswa sangat tertarik dengan CD Interaktif karena banyak terdapat gambar-gambar, video, serta materi dikemas secara ringkas dan mudah dipahami. Banyak siswa yang membawa laptop pribadi untuk menggunakan CD Interaktif selama pembelajaran siklus II. Saat diskusi kelompok, siswa sudah banyak menggunakan CD Interaktif untuk mengerjakan LDS serta saat pemaparan hasil diskusi di depan kelas. Beberapa hal yang menunjang kefektifan media tersebut antara lain, (1) kuis pada CD Interaktif, mendorong siswa untuk mengingat kembali materi yang telah dipelajari. Proses pembahasan pertanyaan bersama guru di akhir kuis, membuat siswa semakin memahami materi tersebut; (2) menciptakan interaksi siswa dengan guru maupun siswa dengan siswa. CD Interaktif membuat iklim pembelajaran lebih menarik dan hidup; (3) mempermudah siswa dalam memahami sesuatu yang sedang dipelajarinya dan dapat memperjelas hal-hal yang abstrak serta memberikan gambaran yang lebih realistik secara audiovisual, dan (4) materi pada CD Interaktif dikemas secara ringkas sehingga memudahkan siswa mempelajari materi Sistem Regulasi dengan lebih mudah. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Wena (2012) yang mengemukakan adanya interaksi positif antara media pembelajaran dan siswa
Pedagogia, Volume 5 Nomor 2 Tahun 2013
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN LEARNING CYCLE
pada akhirnya akan mampu mempercepat proses pemahaman siswa terhadap isi pembelajaran. Peran media khususnya CD Interaktif, sangat mendukung terciptanya pembelajaran yang efektif. Sanjaya (2008) mengemukakan CD Interaktif dapat digunakan pada berbagai jenjang pendidikan dan berbagai bidang studi. Sifat media ini selain interaktif juga bersifat multimedia terdapat unsur-unsur media secara lengkap yang meliputi audio, animasi, video, teks, dan grafis. Simpulan Berdasarkan hasil temuan penelitian, didapatkan hasil dari penerapan model pembelajaran Learning Cycle dengan media bahan ajar CD Interaktif, sebagai berikut: Pertama, dapat meningkatkan hasil belajar siswa, dilihat dari meningkatnya nilai rata-rata siswa pada setiap proses pembelajaran. Nilai rata-rata awal sebelum dilakukan penelitian yaitu sebesar 61.64 dengan ketuntasan klasikal 25.71%, rata-rata hasil belajar siswa meningkat pada siklus 1 menjadi 72.93 dengan ketuntasan klasikal mencapai 51.43% dan pada siklus 2 nilai rata-rata hasil belajar siswa mencapai 80,36 dengan ketuntasan klasikal mencapai 82.96%. Nilai hasil belajar yang diperoleh dari siklus 2 telah melewati batas KKM yaitu 75 dan kriteria keberhasilan 75% dari jumlah siswa. Kedua, meningkatkan antusias belajar siswa sehingga memperbaiki proses pembelajaran terbukti dengan semakin meningkatnya nilai on task siswa selama kegiatan pembelajaran berlangsung pada tiap siklus. Ketiga, mampu menciptakan iklim pembelajaran yang aktif dan tidak membosankan. Guru sebagai fasilitator yang mengelola berlangsungnya tahap-tahap belajar mulai dari perencanaan (terutama pengembangan perangkat pembelajaran), pelaksanaan (terutama pemberian pertanyaan-pertanyaan arahan dan proses pembimbingan) sampai evaluasi. Siswa
Pedagogia, Volume 5 Nomor 2 Tahun 2013
9
mendapatkan pengalaman belajar yang bermakna dan berkualitas. CD Interaktif membantu siswa memahami materi Sistem Regulasi, memperjelas hal-hal yang abstrak dengan memberikan gambaran yang lebih realistik secara audiovisual, dan menciptakan interaksi siswa dengan guru maupun siswa dengan siswa. Daftar Pustaka Dorlince, Simatupang. 2008. Pembelajaran Model Siklus Belajar (Learning Cycle). Jurnal Kewarganegaraan, Vol. 10, No.01, Juni 2008. Ferdinand dan Ariebowo. 2009. Biologi. Visindo Media Persada, Jakarta. Firmansyah. Srini M. Iskandar. 2011. Pengaruh Penerapan Model Daur Belajar 6 Fase (LC-6P) Pada Materi Termokimia untuk Meningkatkan Hasil Belajar Kimia Siswa Kelas XI IPA SMAI Almaarif Singosari. Jurnal Pendidikan Biologi. Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Malang, Malang. Gora, Winastwan, & Sunarto. 2008. Pakematik: Strategi Pembelajaran Inovatif Berbasis TIK. Elex Media Komputindo, Jakarta. Jihad, Asep., & Abdul Haris. 2008. Evaluasi Pembelajaran. Multi Pressindo, Yogyakarta. Karmana, Oman. 2007. Cerdas Belajar Biologi. Grafindo Media Pratama, Jakarta. Lie, Anita. 2002. Cooperative Learning. PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta Munadi, Yudhi. 2010. Media Pembelajaran. Gaung Persada Press, Jakarta Pramawati, Liza. 2011. Penerapan Model Pembelajaran Siklus Belajar (Learning Cycle) untuk meningkatkan keterampilan proses dan hasil belajar sains siswa kelas VII5 SMP Kartika 1-5 Pekanbaru Tahun ajaran 2011/2012. Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Universitas Riau.
10
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN LEARNING CYCLE
Suryabrata, Sumadi. 2007. Psikologi Pendidikan. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Wena, Made. 2012. Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer. PT. Bumi Aksara, Jakarta Penulis 1. Teti Rostikawati adalah Staf Pengajar Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Universitas Pakuan
2. Oding Sunardi adalah Staf Pengajar Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Universitas Pakuan 3. Erlina Pratamawati Situmeang adalah alumnus Prodi Pendidikan Biologi Universitas Pakuan. Erlina Pratamawati Situmeang, dilahirkan di Malang, 10 September 1911. Lulus Program Sarjana Jurusan Pendidikan Biologi Universitas Pakuan tahun 2013.
Pedagogia, Volume 5 Nomor 2 Tahun 2013
ANALISIS PENGEMBANGAN PENDIDIKAN KARAKTER
11
ANALISIS PENGEMBANGAN PENDIDIKAN KARAKTER DALAM PEMBELAJARAN IPA Oleh: Fitri Siti Sundari Abstrak Pendidikan karakter perlu dikembangkan di Indonesia karena ada sepuluh tanda-tanda yang harus diwaspadai karena jika tanda-tanda ini sudah ada, maka itu berarti bahwa sebuah bangsa sedang menuju jurang kehancuran. Jika dicermati, ternyata kesepuluh tanda tersebut sudah ada di Indonesia. Oleh karena itu pembentukan karakter harus dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan yang melibatkan aspek pengetahuan, perasaan, kasih sayang, dan perbuatan. Pendidikan karakter merupakan pendidikan budi pekerti plus, yaitu pendidikan yang melibatkan aspek pengetahuan, perasaan, dan tindakan. Tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif. Dasar pendidikan karakter sebaiknya diterapkan sejak usia kanak-kanak, karena usia ini akan menentukan kemampuan anak dalam mengembangkan potensinya di masa yang akan datang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pendidikan karakter dalam perencanaan pembelajaran IPA, pelaksanaan pembelajaran IPA, evaluasi, buku ajar, dan LKS yang digunakan di kelas 4 SD Laboratorium Percontohan UPI. Kata kunci : pendidikan karakter, pembelajaran, evaluasi,
Pendahuluan Pembentukan karakter merupakan kebutuhan utama bagi tumbuhnya perilaku beragama dan untuk menciptakan peradaban manusia. Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat. Pendidikan karakter akan memberikan bantuan sosial agar individu dapat tumbuh dalam menghayati kebebasannya dalam hidup bersama dengan orang lain di dunia. Pendidikan karakter bukan hanya sekedar memiliki dimensi integratif, dalam arti mengukuhkan moral intelektual anak didik sehingga menjadi pribadi yang kokoh dan tahan uji, melainkan juga bersifat kuratif secara
Pedagogia, Volume 5 Nomor 2 Tahun 2013
personal maupun sosial (Koesoema, 2007). Pendidikan karakter di sini diharapkan dapat menyembuhkan penyakit sosial yang selama ini sudah merajalela. Pendidikan karakter ini diharapkan dapat menjadi solusi bagi proses perbaikan akhlak masyarakat secara umum. Menurut Megawangi (2004) di negara Cina, kesuksesan dalam menerapkan pendidikan karakter sudah dimulai sejak awal tahun 1980an. Menurutnya, pendidikan karakter adalah untuk mengukir akhlak melalui proses knowing the good, loving the good, and acting the good. Yakni, suatu proses pendidikan yang melibatkan aspek kognitif, emosi, dan fisik, sehingga akhlak mulia bisa terukir menjadi habit of the mind, heart, and hands. Ilmu Pengetahuan Alam merupakan ilmu yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan manusia melalui
12
ANALISIS PENGEMBANGAN PENDIDIKAN KARAKTER
pemecahan masalah. Menurut Standar Isi IPA SD dinyatakan bahwa IPA merupakan ilmu alam yang secara sistematis berisi kumpulan pengetahuan berupa fakta, konsep, prinsip, dan proses penemuan. Sedangkan tujuan dari pelajaran IPA di SD agar siswa mempunyai kemampuan untuk yakin kepada Tuhan YME berdasarkan keberadaan, keindahan, dan keteraturan alam ciptaan-Nya; mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep IPA yang bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan hal tersebut dapat dilihat bahwa dalam pembelajaran IPA di SD terdapat beberapa komponen karakter (yakin kepada Tuhan YME, mengembangkan rasa ingin tahu, memecahkan masalah, dan membuat keputusan; meningkatkan kesadaran untuk berperan serta dalam memelihara, menjaga dan melestarikan lingkungan alam) yang harus dikembangkan dan harus dikuasai oleh siswa SD. Karakter merupakan sifat alami seseorang dalam merespon situasi secara bermoral, yang dimanifestasikan dalam tindakan nyata melalui tingkah laku yang baik, jujur, bertanggung jawab, menghormati orang lain dan karakter mulia lainnya (Thomas Lickona, 1991). Karakter yang baik diketahui melalui respon yang benar ketika mengalami tekanan, tantangan, dan kesulitan. Jadi secara umum karakter adalah cara berpikir dan berperilaku seseorang sehingga menjadi ciri khas individu tersebut untuk hidup dan bersosialisasi, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara yang sesuai dengan hukum agama, negara, dan adat istiadat. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan akibat dari keputusan yang dibuatnya. Pendidikan karakter adalah “pendidikan budi pekerti plus, yaitu pendidikan yang melibatkan aspek pengetahuan, perasaan, dan
tindakan (Thomas Lickona, 1991). Tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif.” Menurut Thomas Lickona ada 3 komponen karakter yang baik yaitu moral knowing, moral feeling, dan moral action. Di sini terlihat bahwa makin lengkap komponen moral dimiliki manusia, maka akan makin membentuk karakter yang baik atau unggul/tangguh. Terdapat sembilan perilaku pembentukan karakter dalam pendidikan yang berasal dari nilai-nilai luhur universal, yaitu: karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya; kemandirian dan tanggungjawab; kejujuran/amanah, diplomatis; hormat dan santun; dermawan, suka tolong-menolong dan gotong royong/kerjasama; percaya diri dan pekerja keras; kepemimpinan dan keadilan; baik dan rendah hati, dan; karakter toleransi, kedamaian, dan kesatuan (Megawangi, 2004). Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) adalah rencana yang menggambarkan prosedur dan manajemen pembelajaran untuk mencapai satu atau lebih kompetensi dasar yang ditetapkan dalam Standar Isi dan dijabarkan dalam silabus (Mulyasa, 2006: 212). RPP dapat memberi petunjuk pada guru dalam menciptakan pembelajaran yang berwawasan pada pengembangan karakter, RPP tersebut perlu diadaptasi. Adaptasi yang dimaksud antara lain meliputi penambahan kegiatan pembelajaran sehingga ada kegiatan pembelajaran yang mengembangkan karakter (Mulyasa, 2006). Kemendiknas membagi pelaksanaan pembelajaran menjadi tiga kegiatan yaitu kegiatan pendahuluan, kegiatan inti, dan kegiatan penutup. Berdasarkan Standar Proses, pada kegiatan pendahuluan, guru menyiapkan peserta didik secara psikis dan fisik untuk mengikuti proses pembelajaran; mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mengaitkan pengetahuan sebelumnya dengan materi yang akan dipelajari; menjelaskan tujuan pembelajaran atau kompetensi dasar yang akan dicapai; dan
Pedagogia, Volume 5 Nomor 2 Tahun 2013
ANALISIS PENGEMBANGAN PENDIDIKAN KARAKTER
menyampaikan cakupan materi dan penjelasan uraian kegiatan sesuai silabus. Penilaian umumnya merupakan suatu kegiatan untuk mengambil keputusan dalam rangka memberikan nilai terhadap sesuatu baik orang maupun benda yang dituangkan dalam batasan baik-buruk, berhasil-gagal, dan sebagainya (Wahyudin, 2006). Dalam penilaian hendaknya diperiksa sejauh mana perubahan tingkah laku siswa telah terjadi melalui proses belajarnya. Dengan cara demikian maka dapat diambil tindakan perbaikan pengajaran dan perbaikan siswa yang bersangkutan. Pengembangan pendidikan karakter dalam LKS yang digunakan harus mencerminkan adanya indikator karakter dalam proses pembelajaran yang dilakukan yang bertujuan untuk membiasakan siswa menerapkan karakter positif dalam setiap langkah pembelajaran, sehingga akan menjadi suatu pembiasaan pada siswa yang akhirnya akan menjadi kepribadian positif pada siswa tersebut. Metodologi Penelitian Metode penelitian yang digunakan ialah metode penelitian kualitatif deskriptif, hal ini dikarenakan penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran apa adanya tentang
Pedagogia, Volume 5 Nomor 2 Tahun 2013
13
pendidikan karakter pada pembelajaran IPA di kelas 4 SD Laboratorium Percontohan UPI. Data dalam penelitian ini diperoleh dengan cara peneliti menyusun dan membuat instrumen untuk menjawab pertanyaan penelitian yaitu dengan cara menganalisis RPP yang dibuat guru kelas 4, pelaksanaan pembelajaran IPA, evaluasi pembelajaran IPA, buku ajar, dan LKS yang digunakan di kelas 4 SD Laboratorium Percontohan UPI. Komponen Pendidikan IPA berkarakter diambil dari SKL SD, yaitu religius, logis, kritis, kreatif, inovatif, jujur, kerjasama, tanggung jawab, percaya diri, disiplin, mandiri, mampu memecahkan masalah, rasa ingin tahu, cinta ilmu pengetahuan, peduli lingkungan, menghargai perbedaan pendapat, mampu berkarya, dan gemar membaca. Hasil Penelitian Penelitian yang dilakukan meliputi perencanaan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran, evaluasi, buku ajar, dan LKS yang dibuat guru. Perencanaan Pembelajaran Perencanaan pembelajaran yang dianalisis meliputi kegiatan awal, kegiatan inti, dan kegiatan akhir. Data hasil analisis pada RPP komponen kegiatan awal ialah :
14
ANALISIS PENGEMBANGAN PENDIDIKAN KARAKTER
Hasil analisis pendidikan karakter pada rpp komponen kegiatan inti ialah :
Data hasil analisis pada RPP komponen kegiatan penutup ialah :
2.
Pelaksanaan Pembelajaran Proses pembelajaran yang dianalisis dalam penelitian ini adalah kegiatan awal, kegiatan inti, dan kegiatan penutup. Hasil analisis kegiatan awal pelaksanaan pembelajaran adalah sebagai berikut :
Pedagogia, Volume 5 Nomor 2 Tahun 2013
ANALISIS PENGEMBANGAN PENDIDIKAN KARAKTER
15
Hasil analisis pada kegiatan inti pelaksanaan pembelajaran ialah :
Hasil analisis pada kegiatan penutup pelaksanaan pembelajaran ialah :
3
Evaluasi Pembelajaran Hasil analisis evaluasi pembelajaran yang telah dilakukan oleh peneliti dengan bantuan guru yang mengajar adalah sebagai berikut :
Pedagogia, Volume 5 Nomor 2 Tahun 2013
16
ANALISIS PENGEMBANGAN PENDIDIKAN KARAKTER
4.
Lembar Kegiatan Siswa Berdasarkan data yang sudah diperoleh, dapat disimpulkan hasil analisis pada LKS yang dibuat oleh guru pada pembelajaran IPA ialah sebagai berikut :
5.
Buku Ajar Buku ajar yang digunakan dalam penelitian ini adalah buku pelajaran yang dikeluarkan oleh penerbit Quadra untuk kelas 4 SD yang dikarang oleh Yanti Herlanti, Tutut M. Lestari, dan donny H.F. tahun 2007. Materi yang diteliti dalam buku ini terdiri dari 2 bab yaitu bab 15 Perubahan Lingkungan Fisik (hal. 115 – 132) dan bab 16 Sumber Daya Alam (hal. 133 – 153). Hasil analisis buku ajar IPA kelas 4 SD Laboratorium Percontohan UPI dapat disimpulkan sebagai berikut :
Secara keseluruhan munculnya komponen karakter pada kegiatan pembelajaran di kelas 4 SD Laboratorium UPI yang terdiri dari RPP, pelaksanaan pembelajaran, evaluasi, LKS, dan buku ajar dapat disimpulkan sebagai berikut : NO.
Komponen Karakter
1
religius
2
logis
Komponen Pembelajaran RPP Kegiatan awal Kegiatan inti Kegiatan penutup
Pelaksanaan pembelajaran Evaluasi Kegiatan awal Kegiatan inti Kegiatan awal Kegiatan inti Kegiatan penutup
Ѵ Ѵ
LKS -
Ѵ
Buku ajar Ѵ Ѵ
SIMPULAN
Ѵ Ѵ
Pedagogia, Volume 5 Nomor 2 Tahun 2013
ANALISIS PENGEMBANGAN PENDIDIKAN KARAKTER
NO.
Komponen Karakter
Komponen Pembelajaran RPP
3
kritis
Kegiatan inti
4
kreatif
5
jujur
Kegiatan inti Kegiatan penutup Kegiatan inti
6 7
inovatif ingin tahu
Kegiatan inti
8
memecahkan masalah
9
peduli lingkungan cinta ilmu pengetahuan
Kegiatan inti Kegiatan penutup Kegiatan inti
10 11 12
kerjasama disiplin
13
percaya diri
14
mandiri
15
bertanggung jawab
16
mampu berkarya menghargai perbedaan pendapat gemar membaca
17 18
Kegiatan inti Kegiatan penutup Kegiatan inti Kegiatan penutup Kegiatan inti Kegiatan inti Kegiatan penutup
Kegiatan awal Kegiatan inti Kegiatan penutup Kegiatan awal Kegiatan inti Kegiatan penutup Kegiatan awal Kegiatan inti Kegiatan penutup Kegiatan awal Kegiatan inti Kegiatan penutup Kegiatan awal Kegiatan inti Kegiatan penutup Kegiatan inti Kegiatan penutup Kegiatan awal Kegiatan inti Kegiatan penutup Kegiatan awal Kegiatan inti Kegiatan penutup Kegiatan awal Kegiatan inti Kegiatan penutup Kegiatan inti Kegiatan penutup Kegiatan awal Kegiatan inti Kegiatan penutup Kegiatan inti Kegiatan penutup Kegiatan inti Kegiatan penutup
Ѵ
-
Buku ajar -
Ѵ
Ѵ
Ѵ
Ѵ
Ѵ
-
-
Ѵ
Ѵ
Ѵ
Ѵ
Ѵ
Ѵ
Ѵ
Ѵ
Ѵ
Ѵ
Ѵ
Ѵ
Ѵ
Ѵ
Ѵ
-
Ѵ
Ѵ
Ѵ
-
Ѵ
Ѵ
Ѵ
-
Ѵ
Ѵ
Ѵ
Ѵ
Ѵ
Kegiatan awal Kegiatan inti Kegiatan penutup
Ѵ
Ѵ
Ѵ
Ѵ
Pelaksanaan pembelajaran Evaluasi
Pedagogia, Volume 5 Nomor 2 Tahun 2013
Ѵ
Ѵ
Ѵ
LKS
Ѵ
Ѵ
-
Ѵ
-
-
SIMPULAN
Ѵ
Ѵ
Ѵ
Ѵ
17
18
ANALISIS PENGEMBANGAN PENDIDIKAN KARAKTER
Pembahasan Perencanaan Pembelajaran. Berdasarkan hasil analisis pada RPP yang dibuat oleh guru IPA kelas 4 SD Laboratorium Percontohan UPI menunjukkan munculnya beberapa komponen karakter yaitu logis, kritis, kreatif, jujur, ingin tahu, memecahkan masalah, peduli lingkungan, cinta ilmu pengetahuan, percaya diri, bertanggung jawab, menghargai perbedaan pendapat, dan gemar membaca. Karakter logis muncul saat guru memberikan kegiatan pada siswa yang memerlukan penalaran siswa yang baik sehingga siswa akan mampu menguasai materi yang akan disampaikan oleh guru pada kegiatan selanjutnya dengan cara berpikir rasional dan sistematis. Karakter kritis muncul saat siswa mampu bertanya tentang pelajaran dan berani mengungkapkan pendapat, siswa yang lain diberi
kesempatan untuk merespon jawaban yang sudah diberikan oleh temannya, jika ada pertentangan/ perbedaan pendapat, maka siswa diberi keleluasaan untuk berdiskusi secara umum. Kegiatan ini juga dapat memunculkan karakter kreatif dan percaya diri. Karakater memecahkan masalah terdapat
pada saat guru merangsang siswa untuk mengerjakan soal atau menjawab pertanyaan yang diajukan oleh guru, saat siswa dibimbing untuk menyebutkan kerusakan lingkungan dengan penyebabnya dan mendeskripsikan cara pencegahan kerusakan lingkungan, menjelaskan hubungan antara sumber daya alam dengan lingkungan, menyebutkan bahan alam yang diambil untuk keperluan manusia, menjelaskan guna bahan alam tersebut bagi manusia, menjelaskan cara mengambil bahan alam, menjelaskan ketersediaan bahan alam di alam, dan menjelaskan dampak pengambilan bahan alam terhadap pelestarian lingkungan. Karakter jujur muncul saat siswa diberi
kesempatan untuk menjawab sesuai dengan pengetahuannya. Karakter cinta ilmu pengetahuan
muncul saat siswa diminta untuk menyimpulkan materi lingkungan fisik dan sumber daya alam,
siswa membuat kesimpulan mengenai materi lingkungan fisik dan sumber daya alam. Karakter menghargai perbedaan pendapat muncul saat siswa melakukan diskusi umum. Pelaksanaan Pembelajaran. Hasil analisis menunjukkan bahwa dari kedelapan belas karakter yang diamati, ada 5 karakter yang tidak muncul yaitu inovatif, peduli lingkungan, kerjasama, mandiri, dan mampu berkarya. Karakter inovatif tidak muncul karena tidak ada kegiatan yang merangsang atau menimbulkan sikap inovatif pada siswa. Sedangkan kegiatan kerjasama juga tidak ditemukan dalam pembelajaran ini karena tidak ada kerja kelompok yang membutuhkan kerjasama antar siswa. Karakter peduli lingkungan tidak muncul dalam pembelajaran. Sikap mampu berkarya juga tidak muncul pada pelaksanaan pembelajaran kegiatan awal karena saat apersepsi siswa belum mengerjakan suatu kegiatan yang dapat menghasilkan suatu karya. Saat melakukan kegiatan tanya jawab, ternyata di antara siswa sudah muncul karakter saling menghargai pendapat orang lain. Sikap ini bisa muncul jika memang siswa sudah terbiasa berada dalam kondisi menyadari bahwa terdapat banyak alternatif dalam memecahkan suatu masalah di mana keputusan akhirnya dapat dibicarakan dengan cara musyawarah. Evaluasi Pembelajaran. Penilaian merupakan hasil pengamatan, catatan guru, tugas, laporan, tanya jawab, dan diskusi. Indikator dirumuskan dalam bentuk perilaku peserta didik di kelas melalui pengamatan guru ketika seorang peserta didik melakukan suatu tindakan di sekolah, tanya jawab dengan peserta didik, jawaban yang diberikan peserta didik terhadap tugas dan pertanyaan guru, serta tulisan peserta didik dalam laporan dan pekerjaan rumah. Indikator berfungsi sebagai kriteria untuk memberikan pertimbangan tentang perilaku untuk karakter tertentu telah menjadi perilaku yang dimiliki peserta didik. Pedagogia, Volume 5 Nomor 2 Tahun 2013
ANALISIS PENGEMBANGAN PENDIDIKAN KARAKTER
Lembar Kegiatan Siswa (LKS). LKS yang digunakan oleh guru IPA kelas 4 ialah LKS buatan guru. LKS ini tidak sesuai dengan kriteria LKS yang benar karena LKS ini hanya memuat pertanyaan-pertanyaan dari materi yang baru diberikan. LKS ini tidak ada kegiatan yang bersifat hands on, seperti merangkai alat, menggunakan alat, mengamati (mengukur, mengukur, menimbang, dan merasakan) serta melakukan percobaan. Karakter logis muncul pada perintah yang diberikan guru kepada siswa untuk mengerjakan aktivitas pembelajaran. Di sini siswa diajak untuk berpikir rasional dan sistematis dalam menjawab pertanyaan yang diberikan dalam LKS. Karakter kreatif muncul saat siswa harus menjelaskan tentang proses pengolahan sumber daya alam beserta contohnya. Pada kegiatan ini diharapkan siswa dapat menjelaskan proses pengolahan sumber daya alam berdasarkan kreativitas masing-masing sesuai dengan pendapatnya dalam memperhatikan tayangan video yang sudah diberikan. Karakter ingin tahu muncul ketika siswa diperintahkan untuk memperhatikan materi yang dijelaskan oleh guru. Karakter peduli lingkungan dapat muncul pada kegiatan siswa melihat tayangan video yang diberikan kepada siswa yang menggambarkan tentang berbagai bencana alam dan akibat yang ditimbulkan setelahnya bagi manusia. Hal ini dapat merangsang siswa untuk lebih memperhatikan dan peduli terhadap kondisi lingkungan di sekitarnya. Cinta ilmu pengetahuan muncul pada bentuk pertanyaan yang dapat merangsang siswa untuk mengutarakan pendapatnya mengenai sesatu yang sudah dipelajari bersama. Karakter disiplin juga muncul pada aturan yang diberikan oleh guru pada siswa saat pembelajaran berlangsung. Karakter bertanggung jawab muncul saat siswa diberikan tugas untuk mengerjakan soal dan memperhatikan penjelasan guru. Rasa tanggung jawab ini harus
Pedagogia, Volume 5 Nomor 2 Tahun 2013
19
dilakukan supaya siswa dapat mengerjakan tugas berikutnya. Karakter gemar membaca muncul saat siswa harus menjawab pertanyaan yang disediakan oleh guru dalam LKS dengan cara membaca materinya terlebih dahulu. Karakter kreatif muncul saat siswa harus menceritakan kembali tayangan video yang sudah disaksikan siswa tentang kebakaran hutan, longsor, dan tsunami. Buku Ajar. Karakter religius muncul pada pernyataan yang menerangkan bahwa alam ini dianugerahkan Tuhan untuk diolah dan digunakan oleh manusia. Hal ini dapat merangsang siswa untuk bersyukur atas kekayaan alam yang diberikan Tuhan untuk kehidupan manusia dan semua makhluk-Nya. Karakter logis muncul pada semua hal yang berhubungan dengan hal-hal yang mengajak siswa untuk berpikir rasional dan sistematis. Karakter peduli lingkungan dapat merangsang siswa untuk memperhatikan dan peduli terhadap lingkungan minimal lingkungan yang ada di sekitarnya. Karakter cinta ilmu pengetahuan muncul pada sebuah kesimpulan yang diberikan. Kegiatan percobaan ini juga dapat memunculkan karakter mampu berkarya karena siswa di rangsang untuk menyelesaikan semua langkah dalam percobaan sehingga akhirnya siswa dapat mengetahui hasil akhirnya. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut : Pada komponen RPP yang terdiri dari kegiatan awal, kegiatan inti, dan kegiatan penutup, karakter yang muncul ialah religius, logis, kritis, memecahkan masalah, peduli lingkungan, percaya diri, kreatif, jujur, rasa ingin tahu, cinta ilmu pengetahuan, bertanggung jawab, menghargai perbedaan pendapat, dan gemar membaca. Pelaksanaan pembelajaran yang dianalisis terdiri dari kegiatan awal, kegiatan inti, dan
20
ANALISIS PENGEMBANGAN PENDIDIKAN KARAKTER
kegiatan penutup. Pada Pelaksanaan pembelajaran komponen karakter yang muncul ialah rasa ingin tahu, cinta ilmu pengetahuan, logis, disiplin, kritis, kreatif, percaya diri, menghargai perbedaan pendapat, jujur, peduli lingkungan, bertanggung jawab, mandiri, religius, memecahkan masalah, mampu berkarya, dan gemar membaca. Pada evaluasi pembelajaran komponen karakter yang paling sering muncul pada siswa adalah jujur, religius, menghargai perbedaan pendapat, mampu berkarya, percaya diri, bertanggung jawab, disiplin, cinta ilmu pengetahuan, kreatif, memecahkan masalah, ingin tahu, dan logis, gemar membaca, mandiri, peduli lingkungan, dan kritis. Hasil analisis LKS yang dibuat oleh guru menunjukkan bahwa karakter yang paling sering muncul ialah logis, kreatif, ingin tahu, memecahkan masalah, peduli lingkungan, cinta ilmu pengetahuan, disiplin, percaya diri, mandiri, bertanggung jawab, dan mampu berkarya. Hasil analisis buku ajar pada materi “Perubahan Lingkungan Fisik” komponen karakter yang muncul ialah karakter logis, kreatif, ingin tahu, memecahkan masalah, peduli lingkungan, cinta ilmu pengetahuan, mampu berkarya, dan gemar membaca. Hasil analisis pada buku ajar pada materi “Sumber Daya Alam” komponen karakter yang muncul ialah karakter religius, logis, kreatif, ingin tahu, memecahkan masalah, peduli lingkungan, cinta ilmu pengetahuan, mampu berkarya, dan gemar membaca. Daftar Pustaka Aziz, Hamka Abdul. 2011. Pendidikan Karakter Berpusat pada Hati : Akhlak Mulia Pondasi Membangun Karakter Bangsa. Jakarta. AlMawardi. Budiningsih, Asri. 2008. Pembelajaran Moral : Berpijak pada Karakteristik Siswa dan Budayanya. Jakarta. Rineka Cipta.
Departemen Pendidikan Nasional. 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Sekolah Dasar Pelajaran IPA SD/MI. Jakarta: Depdiknas. Firman, Harry dan Ari Widodo. 2008. Panduan Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam SD/ MI. Jakarta. Pusat Perbukuan Depdiknas. Goleman, Daniel. 1996. Emotional Intelligence. New York. Bantam Dell Pub Group. Kemendiknas. 2010. Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa, Pedoman Sekolah. Jakarta. Balitbang Pusat Kurikulum. Kemendiknas. 2011. Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Karakter (Berdasarkan Pengalaman di Satuan Pendidikan Rintisan). Jakarta. Balitbang Pusat Kurikulum dan Perbukuan. Koesoema, Doni. 2007. Pendidikan Karakter, Strategi Mendidik Anak di Zaman Global. Edisi Revisi. Jakarta. PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Koesoema, Doni. 2009. Pendidik Karakter di Zaman Keblinger. Jakarta. PT Gramedia. Lickona, Thomas. 1991. Educating for Character. How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility. New York : Bantam Books. Megawangi, Ratna. 2004. Pendidikan Karakter. Jakarta. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Megawangi, Ratna. 2007. Semua Berakar pada Karakter. Isu-Isu Permasalahan Bangsa. Jakarta. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006. 2006. Standar Kompetensi Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Quadra, Tim Sains. 2007. Ilmu Pengetahuan Alam Kelas 4 B semester Kedua Sekolah Dasar. Jakarta. Quadra.
Pedagogia, Volume 5 Nomor 2 Tahun 2013
ANALISIS PENGEMBANGAN PENDIDIKAN KARAKTER
Samatowa, Usman. 2010. Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar. Jakarta. PT Indeks. Sulistyorini, Sri. 2007. Model Pembelajaran IPA Sekolah Dasar dan Penerapannya dalam KTSP. Yogyakarta. Unnes & Tiara Wacana. Wahyudin, dkk. 2006. Evaluasi Pembelajaran SD. Bandung. UPI Press.
Pedagogia, Volume 5 Nomor 2 Tahun 2013
21
Penulis Fitri Siti Sundari adalah Dosen pada Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Pakuan, Bogor Jawa Barat
22
ANALISIS PENGEMBANGAN PENDIDIKAN KARAKTER
Pedagogia, Volume 5 Nomor 2 Tahun 2013
PENGARUH METODE PEMBELAJARAN INKUIRI
23
PENGARUH METODE PEMBELAJARAN INKUIRI DAN KEMANDIRIAN BELAJAR TERHADAP KEMAMPUAN MEMECAHKAN MASALAH PENCEMARAN Indri Yani1, Rita Retnowati 2, Eka Suhardi3 Abstrak Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh metode pembelajaran inkuiri dan kemampuan memecahkan masalah pencemaran. Metode yang digunakan adalah metode inkuiri bebas, dibandingkan dengan metode inkuiri terbimbing, pada kelompok mahasiswa yang memiliki kemandirin belajar tinggi dan kelompok mahasiswa yang memiliki kemandirian belajar rendah. Penelitian dilakukan di Universitas Pakuan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Program Studi Pendidikan Biologi dengan sampel 64 orang mahasiswa atau dua kelas homogen yang dipilih secara random. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada interaksi antara metode pembelajaran dengan kemandirian belajar terhadap kemampuan memecahkan masalah pencemaran. Hal ini dibuktikan dengan hasil perhitungan Anava dua arah diperoleh Fhitung = 7,399 > Ftabel = 4,062 (α = 0,05). Hal ini menunjukan bahwa dalam pencapaian kemampuan memecahkan masalah pencemaran dapat dilakukan dengan metode pembelajaran yang sesuai dengan objektifitas pembelajarannya serta dengan mempertimbangkan tingkat kemandirian belajar mahasiswa. Kata kunci: Metode pembelajaran inkuiri, kemandirian belajar, kemampuan memecahkan masalah pencemaran. Pendahuluan Dewasa ini bersamaan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan yang semakin global, kondisi lingkungan hidup juga semakin berubah. Lingkungan hidup sebagai tempat melaksanakan segala aktifitas kehidupan, kini menunjukkan perkembangan menuju ke arah yang memprihatinkan. Akibat yang kemudian muncul, bukan hanya menjadi keprihatinan bersama yang cukup untuk direnungkan saja, namun juga menyangkut mentalitas masingmasing individu atau pribadi yang menunjukkan rendahnya kesadaran akan kepedulian terhadap lingkungan. Untuk itu perlu digerakkan upaya pemberdayaan lingkungan hidup dan perubahan mentalitas tiap individu secara mendasar. Pada hakikatnya program pembelajaran bertujuan tidak hanya memahami dan menguasai
Pedagogia, Volume 5 Nomor 2 Tahun 2013
apa dan bagaimana suatu terjadi, tetapi juga memberikan pemahaman dan penguasaan tentang mengapa hal itu terjadi. Pada dasarnya tujuan akhir pembelajaran adalah menghasilkan peserta didik yang memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam memecahkan masalah yang dihadapi kelak di masyarakat. Untuk menghasilkan peserta didik yang memiliki kompetensi yang andal dalam pemecahan masalah, maka diperlukan serangkaian strategi pembelajaran pemecahan masalah terutama pemecahan masalah terhadap lingkungan. Suatu realita yang dijumpai seharihari yang ditemui di lingkungan perguruan tinggi yang dapat merugikan lingkungan hidup, seperti: (1) masih banyaknya mahasiswa yang membuang sampah di sembarang tempat baik di kelas maupun di lingkungan kampus meskipun
24
PENGARUH METODE PEMBELAJARAN INKUIRI
sudah disediakan tempat sampah; (2) banyaknya mahasiswa yang merokok di sembarang tempat seperti pelataran ruangan, di kantin, bahkan disekitar kampus; (3) hampir lebih dari 25% mahasiswa membawa kendaraan bermotor yang menyebabkan polusi udara meningkat; (4) mengganti knalpot kendaraan bermotor dengan knalpot yang bersuara bising sehingga sangat mengganggu; (5) masih kurangnya rasa memiliki terhadap sarana dan prasarana yang tersedia, ini dapat dilihat dengan banyaknya bangku ataupun dinding yang penuh coretan; (6) kurang peduli terhadap penghijauan di lingkungan kampus meskipun ada taman tetapi tidak dipelihara dengan baik; (7) kurangnya rasa kebersamaan antar mahasiswa untuk menjaga kebersihan dan memeilihara kebersihan lingkungan. Kalau masalah ini dibiarkan dan berlanjut terus, mahasiswa sebagai generasi penerus bangsa akan sulit bersaing dengan negara lain. Kemampuan pemecahan masalah sangat penting artinya bagi mahasiswa dan masa depannya. Kemampuan pemecahan masalah dalam batas-batas tertentu, dapat dibentuk melalui bidang studi dan disiplin ilmu yang diajarkan. Persoalan tentang bagaimana mengajarkan pemecahan masalah tidak akan pernah terselesaikan tanpa memperhatikan jenis masalah yang ingin dipecahkan, saran dan bentuk program yang disiapkan untuk mengajarkannya serta variabel – variabel pembawaan mahasiswa. Secara alamiah, orang dewasa memiliki kemampuan menetapkan tujuan belajar, mengalokasi sumber belajar, merancang strategi belajar dan mengevaluasi kemajuan terhadap pencapain tujuan belajar secara mandiri. Dari perspektif waktu dan orientasi belajar, orang dewasa memandang belajar itu sebagai suatu proses pemahaman dan penemuan masalah serta pemecahan masalah (problem finding and problem solving), baik berhubungan dengan masalah kekinian maupun masalah kehidupan
di masa depan. Orang dewasa lebih mengacu pada tugas atau masalah kehidupan dan orang dewasa akan belajar mengorganisir pengalaman hidupnya sehingga mampu memecahkan masalah lingkungan pada masa yang akan datang. Berbagai metode pembelajaran dapat diterapkan dalam pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan memecahkan masalah pencemaran dan menuntut kemandirian belajar. Salah satu metode pembelajaran yang dapat diterapkan yaitu metode pembelajaran inkuiri di mana dalam proses inkuiri peserta didik diberi kesempatan untuk memilki pengalaman belajar yang nyata dan aktif, peserta didik dilatih bagaimana memecahkan masalah sekaligus membuat keputusan. Dalam penerapannya di perguruan tinggi mahasiswa dapat menemukan sendiri pemecahan masalah yang dihadapinya. Dalam metode pembelajaran ini mahasiswa yang memiliki tingkat kemandirian belajar tinggi dapat dengan mudah memecahkan masalah yang dihadapinya, karena dalam metode ini mahasiswa diberi keleluasaan untuk dapat mengeksplorasi dirinya sendiri dalam belajar dengan penuh tanggung jawab. Kemandirian belajar mahasiswa sebagai salah satu faktor yang turut berperan dalam proses pembelajaran yang bertujuan agar proses pembelajaran dapat berjalan efektif dan dapat meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam memecahkan masalah pencemaran. Oleh karena itu dirasakan perlu untuk meneliti pengaruh metode pembelajaran inkuiri dan kemandirian belajar terhadap kemampuan memecahkan masalah pencemaran. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah eksperimen. Ada tiga variabel yang diteliti, 1) kemampuan memecahkan masalah pencemaran, sebagai
Pedagogia, Volume 5 Nomor 2 Tahun 2013
PENGARUH METODE PEMBELAJARAN INKUIRI
variabel terikat; 2) metode pembelajaran inkuiri, sebagai variabel perlakuan; dan 3) kemandirian belajar, sebagai variabel atribut. Untuk disain penelitian dibuat dalam bentuk tabel, sebagai berikut:
Tabel. Desain Penelitian Kemandirian Metode Pembelajaran Inkuiri Belajar Bebas (A1) Terbimbing (A2) Tinggi (B1) A1B1 = 11 A2B1 = 11 Rendah (B2) A1B2 = 11 A2B2 = 11 Total 22 22
Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh mahasiswa semester IV Program Studi Pendidikan Biologi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Pakuan Bogor yang terdiri atas 4 kelas atau 127 orang mahasiswa dan sampel yang digunakan adalah dua kelas yang setara, memiliki kemampuan yang sama yaitu semester IV masing-masing berjumlah 34 orang mahasiswa, yang dipilih secara acak (random). Dua kelas tersebut adalah kelas B dan C, di mana kelas B menggunakan metode pembelajaran inkuiri bebas dan kelas C dengan menggunakan metode pembelajaran inkuiri terbimbing. Analisis data menggunakan statistik deskriptif dan statistik inferensial. Hasil dan Pembahasan Berdasarkan hasil perhitungan yang dilakukan maka diperoleh pengujian hipotesis sebagai berikut: Pertama: hipotesis nol (Ho), untuk: Metode pembelajaran inkuiri bebas dan metode pembelajaran inkuiri terbimbing tidak mempengaruhi kemampuan memecahkan masalah pencemaran, diterima. Dari hasil perhitungan ANAVA, setelah variansi antar-kolom (metode pembelajaran) dibagi variansi di dalam kolom didapat nilai F = 0,1930 dan bila dibandingkan dengan nilai Ftabel (0,05) sebesar 4,062 maka Fhitung < Ftabel dengan kata lain hipotesis nol diterima. Hal ini berarti
Pedagogia, Volume 5 Nomor 2 Tahun 2013
25
diterima hipotesis bahwa metode pembelajaran inkuiri bebas tidak berbeda nyata atau tidak lebih baik dibandingkan dengan metode pembelajaran inkuiri terbimbing terhadap kemampuan memecahkan masalah pencemaran. Kemampuan memecahkan masalah pencemaran dengan perlakuan metode pembelajaran inkuiri bebas dan inkuiri terbimbing tidak menunjukan adanya perbedaan. Hal ini lebih banyak disebabkan oleh (1) mahasiswa program studi pendidikan biologi secara umum memiliki pengetahuan dasar mengenai masalah pencemaran, (2) kelompok mahasiswa yang memiliki kemandirian belajar tinggi dengan kelompok mahasiswa yang memiliki kemandirian belajar rendah di dalam kelas, saling berpengaruh, (3) kelompok mahasiswa yang menggunakan metode pembelajaran inkuiri bebas maupun kelompok mahasiswa yang menggunakan metode pembelajaran inkuiri terbimbing memiliki ratarata kemampuan yang sama, sehingga perbedaan penggunaan metode pembelajaran tidak mempengaruhi kemampuan mahasiswa dalam memecahkan masalah pencemaran. Berdasarkan hasil analisis varians menunjukan bahwa terdapat interaksi antara faktor perlakuan metode pembelajaran (inkuiri bebas dan inkuiri terbimbing) dengan variabel atribut kemandirian belajar (kemandirian belajar tinggi dan kemandirian belajar rendah) dimana Fhitung > Ftabel = 7,399 > 4,062. Kelompok mahasiswa yang memiliki tingkat kemandirian belajar tinggi memiliki kemampuan memecahkan masalah pencemaran yang baik apabila digunakan metode pembelajaran inkuiri bebas, begitu juga pada kelompok mahasiswa yang memiliki tingkat kemandirian belajar rendah memiliki kemampuan memecahkan masalah pencemaran yang baik apabila digunakan metode pembelajaran inkuiri terbimbing. Secara umum prinsip pelaksanaan pada kedua metode pembelajaran ini sama,
26
PENGARUH METODE PEMBELAJARAN INKUIRI
hanya sedikit berbeda dalam penyajian dan keterlibatan siswa didalamnya. Menurut Syaiful Sagala pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh peserta didik diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi juga hasil dari menemukan sendiri. Pendapat tersebut diperkuat oleh Frank X. Sutman dalam Marsha L. Matyas yang membagi pembelajaran inkuiri dalam beberapa level dilihat dari keterlibatan mahasiswa dan guru/dosen, di mana inkuiri terbimbing melibatkan guru/dosen sedangkan inkuiri bebas mahasiswa diberikan kebebasan dalam pembelajaran. Oleh karena itu mahasiswa yang memiliki tingkat kemadirian belajar rendah terdorong dengan penggunaan metode pembelajaran inkuiri tersebut, sehingga mahasiswa merasa terbantu dengan adanya bimbingan dari guru/dosen. Sehingga apabila diberikan materi bahasan yang sama secara menyeluruh, maka hasil tes cenderung sama. Kedua: hipotesis nol (Ho), untuk: faktor tingkat kemandirian belajar tinggi tidak mempengaruhi kemampuan memecahkan masalah pencemaran dengan metode pembelajaran inkuiri bebas dibandingkan metode pembelajaran inkuiri terbimbing, ditolak. Dari hasil perhitungan ANAVA, setelah variansi antar-kolom (faktor tingkat kemandirian belajar) dibagi variansi di dalam kolom didapat nilai F = 7,399 dan bila dibandingkan dengan nilai Ftabel (0,05) sebesar 4,062 maka Fhitung > Ftabel dengan kata lain hipotesis nol ditolak. Hal ini berarti diterima hipotesis bahwa faktor tingkat kemandirian belajar tinggi lebih baik pada perlakuan metode pembelajaran inkuiri bebas dibandingkan dengan metode pembelajaran inkuiri terbimbing terhadap kemampuan memecahkan masalah pencemaran. Kemampuan memecahkan masalah pencemaran antara kelompok mahasiswa yang menggunakan metode pembelajaran inkuiri bebas dengan kelompok mahasiswa yang
menggunakan metode pembelajaran inkuiri terbimbing, terdapat perbedaan pada mahasiswa yang memiliki tingkat kemandirian belajar tinggi. Berdasarkan hasil analisis varians dan pengujian hipotesis menunjukan bahwa kemampuan memecahkan masalah pencemaran cenderung lebih baik bagi mahasiswa yang memiliki tingkat kemandirian belajar tinggi dengan menggunakan metode pembelajaran inkuiri bebas. Hal ini dimungkinkan karena mahasiswa yang memiliki kemandirian belajar tinggi lebih mandiri dalam belajar, bertanggungjawab dalam belajar, tidak tergantung oleh bantuan atau bimbingan teman sejawat atau dosen. Mahasiswa dikelompokkan ke dalam tingkatan orang dewasa (andragogi) yang secara alamiah orang dewasa memiliki kemampuan menetapkan tujuan belajar, mengalokasi sumber belajar, merancang strategi belajar dan mengevaluasi kemajuan terhadap pencapain tujuan belajar secara mandiri. Dari perspektif waktu dan orientasi belajar, orang dewasa memandang belajar itu sebagai suatu proses pemahaman dan penemuan masalah serta pemecahan masalah (problem finding and problem solving), baik berhubungan dengan masalah kekinian maupun masalah kehidupan di masa depan. Orang dewasa lebih mengacu pada tugas atau masalah kehidupan dan orang dewasa akan belajar mengorganisir pengalaman hidupnya sehingga mampu memecahkan masalah lingkungan pada masa yang akan datang. Pada konteks andragogi, kemandirian merupakan tolak ukur utama dalam setiap pengembangan model belajar. Oleh karena itu konsep pembelajaran dalam konteks andragogi, secara lebih khusus memiliki inti dasar yang mengacu pada menumbuhkan dan mengembangkan nilai-nilai kemandirian bagi setiap peserta didik. Menurut Sutrisno, inti dari kemandirian belajar adalah memberi kesempatan bagi siswa
Pedagogia, Volume 5 Nomor 2 Tahun 2013
PENGARUH METODE PEMBELAJARAN INKUIRI
untuk berkaloborasi, merangsang daya pikir kreatif, dan analitis dalam memecahkan masalah. Dalam memecahkan masalah, khususnya dalam identifikasi masalah dan pengembangan alternatif pemecahannya hal-hal yang dipelajari peserta didik hendaknya memiliki makna yang jelas dan logis dengan proses kehidupannya. Ketiga: hipotesis nol (Ho), untuk: faktor tingkat kemandirian belajar rendah tidak mempengaruhi kemampuan memecahkan masalah pencemaran dengan metode pembelajaran inkuiri terbimbing dibandingkan metode pembelajaran inkuiri bebas, ditolak. Dari hasil perhitungan ANAVA, setelah variansi antar-kolom (faktor tingkat kemandirian belajar) dibagi variansi di dalam kolom didapat nilai F = 7,399 dan bila dibandingkan dengan nilai Ftabel (0,05) sebesar 4,062 maka Fhitung > Ftabel dengan kata lain hipotesis nol ditolak. Hal ini berarti diterima hipotesis bahwa faktor tingkat kemandirian belajar rendah pada perlakuan metode pembelajaran inkuiri terbimbing lebih baik dibandingkan dengan metode pembelajaran inkuiri bebas terhadap kemampuan memecahkan masalah pencemaran. Kemampuan memecahkan masalah pencemaran antara kelompok mahaiswa yang menggunakan metode pembelajaran inkuiri bebas dengan kelompok mahasiswa yang menggunakan metode pembelajaran inkuiri terbimbing, terdapat perbedaan pada mahasiswa yang memiliki tingkat kemandirian belajar rendah. Berdasarkan hasil analisis varians dan pengujian hipotesis menunjukan bahwa kemampuan memecahkan masalah pencemaran cenderung lebih baik bagi mahasiswa yang memiliki tingkat kemandirian belajar rendah dengan menggunakan metode pembelajaran inkuiri terbimbing. Hal ini dimungkinkan karena mahasiswa yang memiliki kemandirian belajar rendah cenderung membutuhkan bantuan atau bimbingan teman sejawat atau dosen dalam proses belajarnya.
Pedagogia, Volume 5 Nomor 2 Tahun 2013
27
Mahasiswa yang memiliki tingkat kemandirian belajar rendah tidak memiliki inisiatif dalam belajar, tidak dapat membuat keputusan yang bertanggungjawab, tidak dapat menentukan aktivitas belajar sesuai keinginan sendiri, juga tidak dapat menyadari tentang kenapa dan bagaimana memperoleh pengetahuan baru sesuai dengan minat dan kebutuhannya, sehingga memungkinkan mahasiswa sebagai generasi penerus bangsa akan sulit manghadapi tantangan masa depan dalam mengahadpi berbagai permasalahan. Salah satu faktor yang mempengaruhi perkembangan kemandirian belajar adalah Pola asuh orang tua. Cara orang tua mengasuh atau mendidik anak akan mempengaruhi perkembangan kemandirian anak remajanya. Orang tua yang terlalu banyak melarang atau mengeluarkan kata ”jangan” kepada anak tanpa disertai dengan penjelasan yang rasional akan menghambat perkembangan kemandirian anak. Sebaliknya orang tua yang menciptakan suasana aman dalam interaksi keluarganya akan dapat mendorong kelancaran perkembangan anak. Demikian juga, orang tua yang cenderung sering membandingkan anak yang satu dengan lainnya juga akan berpengaruh kurang baik terhadap perkembangan kemandirian anak. Keempat: hipotesis nol (Ho), untuk: faktor metode pembelajaran dan faktor tingkat kemandirian belajar tidak mempengaruhi kemampuan memecahkan masalah pencemaran, ditolak. Dari hasil perhitungan ANAVA, setelah variansi interaksi antar-kolom (faktor metode pembelajaran dan faktor kemandirian belajar) dibagi variansi di dalam kolom didapat nilai F = 7,399 dan bila dibandingkan dengan nilai Ftabel (0,05) sebesar 4,062 maka Fhitung > Ftabel dengan kata lain hipotesis nol ditolak. Hal ini berarti hipotesis bahwa faktor metode pembelajaran dan faktor kemandirian belajar merupakan faktor
28
PENGARUH METODE PEMBELAJARAN INKUIRI
yang saling mempengaruhi terhadap kemampuan memecahkan masalah pencemaran diterima. Kemampuan memecahkan masalah pencemaran dipengaruhi oleh adanya interaksi antara metode pembelajaran yang digunakan dengan tingkat kemandirian belajar mahasiswa. Seperti telah dijelaskan di atas, bahwa kelompok mahasiswa yang memiliki tingkat kemandirian belajar tinggi lebih baik dalam memecahkan masalah pencemaran dengan menggunakan metode pembelajaran inkuiri bebas, dan sebaliknya kelompok siswa yang memiliki tingkat kemandirian belajar rendah lebih baik dalam memecahkan masalah pencemaran dengan menggunakan metode pembelajaran inkuiri terbimbing. Hal ini jelas menunjukan adanya interaksi antara metode yang digunakan dengan tingkat kemandirian belajar mahasiswa. Pemecahan masalah merupakan tingkatan tertinggi yang dipandang sebagai suatu proses untuk menemukan kombinasi dari sejumlah aturan yang dapat diterapkan dalam upaya
mengatasi situasi yang baru. Pemecahan masalah tidak sekedar sebagai bentuk kemampuan menerapkan aturan-aturan yang telah dikuasai melalui kegiatan-kegiatan terdahulu, melainkan lebih dari itu, merupakan proses untuk mendapatkan seperangkat aturan pada tingkat yang lebih tinggi. Dengan menggunakan metode pembelajaran inkuiri mahasiswa diberi kesempatan untuk memiliki pengalaman belajar yang nyata dan aktif, serta dilatih bagaimana memecahkan masalah sekaligus membuat keputusan. Pada konteks andragogi, menurut Mustofa Kamil kemandirian merupakan tolak ukur utama dalam setiap pengembangan model belajar. Oleh karena itu konsep pembelajaran dalam konteks andragogi, secara lebih khusus memiliki inti dasar yang mengacu pada menumbuhkan dan mengembangkan nilai-nilai kemandirian bagi setiap peserta didik.. Seluruh hasil perhitungan ANAVA dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel. Rangkuman hasil perhitungan ANAVA 2 x 2 Sumber
Dk
JK
RJK
Fhitung
Varians Antar kelompok Dalam Kelompok A B AB Total Reduksi
3 40 1 1 1 44
622,43 2374,00 114,57 68,75 439,11 2996,43
Dengan demikian hasil penelitiannya adalah terdapat interaksi yang nyata antara faktor metode pembelajaran dan faktor tingkat kemandirian belajar terhadap kemampuan memecahkan masalah pencemaran. Apabila dilanjutkan dengan tingkat kebermaknaan interaksi antar variabel melalui uji Tukey
207,48 59,35 114,57 68,75 439,11
F tabel 0,05
0,01
3,496
2,839
4,313
1,930 1,158 7,399*
4,062
7,248
diperoleh interaksi yang bermakna terjadi pada interaksi antara faktor metode pembelajaran inkuiri bebas dan inkuiri terbimbing dengan tingkat kemandirian belajar tinggi (A1B1 dan A2B1). Hasil uji Tukey tersebut adalah seperti pada tabel berikut.
Pedagogia, Volume 5 Nomor 2 Tahun 2013
PENGARUH METODE PEMBELAJARAN INKUIRI
29
Tabel. Hasil Uji Lanjut dengan Uji Tukey (I) Perlakuan
(J) Perlakuan
Mean Difference (I-J)
1
2 9.273* 3 9.545* 4 5.727 2 1 -9.273* 3 0.273 4 -3.545 3 1 -9.545* 2 -0.273 4 -3.818 4 1 -5.727 2 3.545 3 3.818 *. The mean difference is significant at the 0.05 level.
Std. Error
Sig.
3.369 3.369 3.369 3.369 3.369 3.369 3.369 3.369 3.369 3.369 3.369 3.369
0.042 0.035 0.337 0.042 1.000 0.720 0.035 1.000 0.671 0.337 0.720 0.671
Keterangan: 1 = Kelompok siswa yang menggunakan metode inkuiri bebas pada mahasiswa kemandirian belajar tinggi 2 = Kelompok siswa yang menggunakan metode inkuiri bebas pada mahasiswa kemandirian belajar rendah 3 = Kelompok siswa yang menggunakan metode inkuiri terbimbing pada mahasiswa kemandirian belajar tinggi 4 = Kelompok siswa yang menggunakan metode inkuiri terbimbing pada mahasiswa kemandirian belajar rendah Berdasarkan uji lanjut dengan menggunakan Uji Tukey diperoleh bahwa terdapat perbedaan yang signifikan dalam kemampuan memecahkan masalah pencemaran, antara kelompok mahasiswa yang menggunakan metode pembelajaran inkuiri bebas pada mahasiswa yang memiliki kemandirian belajar tinggi lebih baik dibandingkan dengan kelompok mahasiswa yang menggunakan metode pembelajaran inkuiri bebas pada kelompok mahasiswa yang memiliki kemandirian belajar rendah (p = 0,042) maupun pada kelompok mahasiswa yang menggunakan metode pembelajaran inkuiri terbimbing pada mahasiswa yang memilki kemandirian belajar tinggi (p = 0,035). Akan tetapi apabila dibandingkan dengan kelompok mahasiswa Pedagogia, Volume 5 Nomor 2 Tahun 2013
yang memiliki yang memiliki yang memiliki yang memiliki
yang menggunakan metode pembelajaran inkuiri terbimbing pada kelompok mahasiswa yang memilki kemandirian belajar rendah menunjukan tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p = 0,337). Pola yang berbeda ditunjukan ketika membandingkan antara perlakuan kelompok mahasiswa yang menggunakan metode pembelajaran inkuiri terbimbing pada mahasiswa yang memilki kemandirian belajar rendah dengan perlakuan lainnya. Tidak terdapat perbedaan kemampuan memecahkan masalah pencemaran yang nyata antara mahasiswa yang memilki kemandirian belajar rendah yang memperoleh pembelajaran dengan metode inkuiri terbimbing tidak lebih baik dibandingkan dengan mahasiswa
30
PENGARUH METODE PEMBELAJARAN INKUIRI
yang memiliki kemandirian belajar rendah yang memperoleh pembelajaran dengan menggunakan metode inkuiri bebas (p = 0,720), maupun dengan mahasiswa yang memilki kemandirian belajar tinggi yang meperoleh pembelajaran dengan metode inkuiri terbimbing (p = 1,000). Dan juga tidak terdapat perbedaan dalam kemampuan memecahkan masalah pencemaran antar mahasiswa yang memiliki kemandirian belajar rendah yang memperoleh pembelajaran inkuiri terbimbing dengan mahasiswa yang memilki
kemandirian belajar tinggi yang memperoleh pembelajaran inkuiri bebas (p = 0,671). Dengan demikian secara keseluruhan metode pembelajaran inkuiri bebas untuk mahasiswa yang memiliki kemandirian belajar tinggi lebih baik untuk menghasilkan kemampuan memecahkan masalah pencemaran. Adanya interaksi antara faktor metode pembelajaran dan tingkat kemandirian belajar terhadap kemampuan memecahkan masalah pencemaran, maka interaksi tersebut dapat digambarkan pada gambar berikut.
Gambar. Garis interaksi antara faktor metode pembelajaran dan faktor kemandirian belajar
Berdasarkan hasil analisis varians di mana ditemukan bahwa terdapat interaksi yang nyata antara kedua variabel (metode pembelajaran) dengan variabel atribut (kemandirian belajar), dan dilanjutkan dengan uji lanjut yaitu uji Tukey, maka kemampuan memecahkan masalah pencemaran pada mahasiswa yang memilki kemandirian belajar tinggi yang mengikuti metode pembelajaran inkuiri bebas lebih baik daripada mahasiswa yang kemandirian belajarnya tinggi pada metode pembelajaran inkuiri terbimbing
dan mahasiswa berkemandirian rendah yang mengikuti metode pembelajaran inkuiri bebas. Sebaliknya kemampuan memecahkan masalah pencemaran dari mahasiswa yang memiliki kemandirian belajar rendah yang mengikuti metode pembelajaran inkuiri terbimbing lebih baik daripada mahasiswa berkemandirian rendah yang mengikuti metode pembelajaran inkuiri bebas dan mahasiswa berkemandirian belajar tinggi yang mengikuti metode pembelajaran inkuiri terbimbing.
Pedagogia, Volume 5 Nomor 2 Tahun 2013
PENGARUH METODE PEMBELAJARAN INKUIRI
Simpulan Berdasarkan temuan-temuan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa terdapat interaksi positif antara faktor metode pembelajaran dan faktor kemandirian belajar terhadap kemampuan memecahkan masalah pencemaran. Hal ini menunjukan bahwa dalam pencapaian kemampuan memecahkan masalah pencemaran dapat dilakukan dengan metode pembelajaran yang sesuai dengan objektifitas pembelajarannya serta dengan mempertimbangkan tingkat kemandirian belajar mahasiswa.
Daftar Pustaka
Abdullah Aly & Eny Rahma. 2008. Ilmu Alamiah Dasar. Jakarta: Bumi Aksara. Agus Suprijono. 2010. Cooperative Learning Teori dan Aplikasi PAIKEM. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Anike Erliena Arindawati & Hasbullah Huda. 2004. Beberapa Alternatif Pembelajaran Di Sekolah Dasar. Malang: Bayumedia. Anisa Basleman & Syamsu M.. 2011. Teori Belajar Orang Dewasa. Bandung: Rosda Karya. Chiapetta Eugene L., and Thomas R. Koballa. 2010. Science Instruction in The Middle and Secondary Schools. Seven Edition, Pearson: Boston. F. Gunarwan Suratmo. 2007. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Gick, M.L. 1986. Problem-solving strategies. Educational Psychologist 21 Hamzah B. Uno. 2006. Model Pembelajaran Menciptakan Proses Belajar Mengajar yang Kreatif dan Efektif. Jakarta: Bumi Aksara. Johnson, Elaine B. 2010. Contextual Teaching and Learning. Bandung: Kaifa. Joyce, Bruce, Marsha Well, Emily Calhoun. 2009. Model of Teaching. Pearson: Boston.
Pedagogia, Volume 5 Nomor 2 Tahun 2013
31
Karden Eddy Sontang Manik. 2007. Pengelolaan Lingkungan Hidup. Jakarta: Djambatan. Krulik, S. and Rudnick J. A. 1996. The New Sourcebook For Teaching Reasoning and Problem Solving in Junior and Senior High Schoo., Boston: Allyn and Bacon. Made Wena. 2003. Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer. Jakarta: Bumi Aksar. Martin, Lisa. Defining Inquiry, Journal. University Aveneu, Des Moines. (Diakses 14 Januari 2012) Martinis Yamin & Bansu I. Ansari. 2008. Taktik Mengambangkan Kemampuan Individual Siswa. Jakarta: Gaung Persada Press. Matyas, M. Lakes. Teaching and Learning by Inquiry, Journal. The American Physiological Society. (Diakses 14 Januari 2012) Mohammad Jauhar. 2011. Implementasi PAIKEM. Jakarta: Prestasi Pustaka. Mohhamad Ali & Moh. Asrori. 2011. Psikologi Remaja. Jakarta: Bumi Aksara. Muhibbin Syah. 2003. Psikologi Belajar. Jakarta: Grafindo Persada. Mukhlis. 2009. Ekologi Energi. Jakarta: Graha Ilmu. Mulyasa E. 2008. Menjadi Guru Profesional Menciptakan Pembelajran Kreatif dan Menyenangkan. Bandung: Rosda Karya. Mustofa Kamil. 2001. Andragogi. Bandung: UPI Press. Pupuh F & Sobry S. 2007. Strategi Belajar Mengajar. Bandung: Refika Aditama. Ratna Wilis Dahar. 1991. Teori-Teori Belajar. Jakarta: Erlangga. Ricki M. Mulia. 2005. Kesehatan Lingkungan. Jakarta: Graha Ilmu. Roestiyah N. K. 2003. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta. Slameto. 2003. Belajar & Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta.
32
PENGARUH METODE PEMBELAJARAN INKUIRI
Sofan Amri & Iif K.A. 2010. Proses Pembelajaran Inovatif dan Kreatif dalam Kelas. Jakarta: Prestasi Pustaka. Sudjoko. 2010. Pendidikan Lingkungan Hidu., Jakarta: Universitas Terbuka. Suprijanto. 2008. Pendidikan Orang Dewasa dari Teori Hingga Aplikasi. Jakarta: Bumi aksara. Trianto. 2010. Mendesain Model-Model Pembelajaran Inovatif-Progresif. Jakarta: Kencana. W. Gulo Santrock. 2002. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Grasindo. Wina Sanjaya. 2006. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana.
Arya Wardhana. 2001. Dampak Pencemaran Lingkungan. Yogyakarta: Andi Press. Woolfolk Anita. 2008. Educational Psychology Active Learning Edition. Boston: Allyn and Bacon. Yusuf Subagja. 2001. Ekolog. Jakarta: Universitas Terbuka. Wisnu
Penulis: 1. Indri Yani, Dosen Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Universitas Pakuan 2. Rita Retnowati, Dosen Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Universitas Pakuan 3. Eka Suhardi, Dosen Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Universitas Pakuan
Pedagogia, Volume 5 Nomor 2 Tahun 2013
PENINGKATAN KETERAMPILAN MENULIS PUISI
33
PENINGKATAN KETERAMPILAN MENULIS PUISI MELALUI PENDEKATAN KONTEKSTUAL Oleh: Siti Chodijah Abstrak Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui peningkatan keterampilan menulis puisi melalui pendekatan kontekstual pada siswa kelas VIII di SMP Harapan Taruna Bogor. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian tindakan (action research). Responden penelitian adalah siswa kelas VIII SMP Harapan Taruna Bogor sebanyak 28 siswa. Teknik pengumpulan data menggunakan tes menulis. Tes tersebut ditujukan untuk mengetahui peningkatan siswa dalam menulis puisi. Hasil penelitian menemukan bahwa terjadi peningkatan keterampilan menulis puisi siswa kelas VIII SMP Harapan Taruna Bogor. Peningkatan terjadi sebesar 31,1% antara siklus pertama dan siklus kedua. Hasil pengamatan melalui format ceklis guru untuk kegiatan belajar mengajar menunjukkan bahwa pada kegiatan belajar mengajar siklus pertama sebesar 72,2%, sedangkan siklus kedua sebesar 84%. Kesimpulan penelitian ini menyatakan bahwa terjadi peningkatan keterampilan menulis puisi siswa kelas VIII SMP Harapan Taruna Bogor melalui pendekatan kontekstual. Dengan demikian terbukti bahwa pendekatan kontekstual dapat meningkatkan keterampilan menulis puisi siswa kelas VIII SMP Harapan Taruna Bogor. Kata kunci: Menulis, Puisi, Pendekatan kontekstual Pendahuluan Berdasarkan observasi awal, peneliti mendapatkan data bahwa pembelajaran menulis puisi kurang memberi perhatian dan kurang memotivasi siswa untuk berkreasi sesuai minat. Hal itu disebabkan oleh pembelajaran menulis puisi kurang menyeluruh, membosankan, pembelajaran monoton, serta kurangnya variasi pendekatan pembelajaran menulis puisi. Pendekatan yang digunakan selama ini masih pendekatan konvensional. Pendekatan ini lebih memperlihatkan siswa cenderung pasif karena guru ceramah. Kondisi tersebut mengakibatkan siswa kurang termotivasi untuk mengembangkan kreativitasnya dalam menulis puisi. Kondisi tersebut sangat mem-prihatinkan dan menjadi perhatian bersama, khususnya Pedagogia, Volume 5 Nomor 2 Tahun 2013
guru Bahasa dan Sastra Indonesia. Kita harus mencari solusi, termasuk pendekatan baru, agar pem-belajaran puisi dapat memberi hasil yang diharapkan. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan dalam pembelajaran menulis puisi, yaitu pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning/CTL). Pendekatan kontekstual merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan materi dengan situasi nyata siswa. Kegiatan menulis membutuhkan berbagai gagasan. Gagasan itu diorganisasikan sehingga menghasilkan tulisan yang baik. Hal itu senada dengan menulis berarti mengorganisasikan gagasan secara sistematis serta mengungkapkannya secara tersurat. Menulis tidak mudah diperoleh. Sebagaimana
34
PENINGKATAN KETERAMPILAN MENULIS PUISI
dikemukakan oleh Byrne (Donn, 1988:1) bahwa menulis bukan sesuatu yang diperoleh secara spontan, tetapi memerlukan usaha sadar ”menuliskan” kalimat dan mempertimbangkan cara mengomunikasikan dan mengatur. Dengan demikian, untuk mendapatkan tulisan yang baik harus melewati tahap karena menulis sebuah organisasi yang sistematis. Kesistematisan sebuah tulisan memudahkan komunikasi antara pembaca dan penulis. Kegiatan menulis merupakan sarana komunikasi secara tidak langsung kepada orang lain. Pesan komunikasi yang disampaikan dapat berupa informasi, gagasan, pemikiran, ajakan, dan sebagainya. Dengan demikian, menulis dapat diartikan sebagai proses pemindahan pesan. Menulis atau mengarang pada hakikatnya merupakan pemindahan pikiran atau perasaan ke lambang-lambang bahasa. Pendapat lain yang sejalan bahwa menulis merupakan penyampai pesan dikemukakan oleh Suparno dan Yunus (2011:1.3), menulis adalah suatu kegiatan penyampaian pesan (komunikasi) dengan menggunakan bahasa tulis sebagai alat atau medianya. Puisi (Herman, 1987:25) adalah bentuk karya sastra yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif dan disusun dengan mengonsentrasikan semua kekuatan bahasa dengan pengonsentrasian struktur fisik dan struktur batinnya. Pengertian tersebut menjelaskan bahwa puisi berasal dari pikiran. Hal itu sejalan dengan pendapat Watts Dunton (Kinayati, 2004:11) bahwa puisi adalah ekspresi yang konkret dan bersifat artistik dari pikiran manusia secara emosional dan berirama. Keterkaitan antara teori dan praktik diciptakan dalam pembelajaran dengan pendekatan kontekstual. Pendekatan ini memadukan gagasan dan tindakan, mengetahui dan melakukan, berpikir dan bertindak. Dengan demikian, aktivitas siswa tidak hanya duduk
rapi mendengarkan pelajaran, siswa diajak untuk melibatkan diri dalam pembelajaran. Hal itu sejalan dengan pernyataan Elaine B. Johnson (2007:34) bahwa CTL melibatkan para siswa pendekatan Contex-tual Teaching and Learning (CTL) melibat-kan para siswa dalam aktivitas penting yang membantu mereka mengaitkan pelajaran akademis dengan konteks kehidupan nyata yang mereka hadapi. Keaktifan siswa mengaitkan teori dan pengetahuan yang dimilikinya diperlukan dalam pembelajaran dengan pendekatan CTL. Pendekatan kontekstual (CTL) mempunyai tujuh komponen. Ketujuh komponen tersebut melandasi pelaksanaan proses pembelajaran. Setiap komponen utama pendekatan kontekstual (CTL) mempunyai prinsip-prinsip dasar yang harus diperhatikan ketika akan menerapkannya dalam pembelajaran. Banyak ahli yang mengungkapkan tujuh komponen tersebut. Tujuh komponen tersebut, yaitu 1) konstruktivisme; 2) inkuiri; 3) bertanya; 4) masyarakat belajar; 5) pemodelan; 6) refleksi; dan 7) penilaian autentik (Sanjaya, 2007:262—267; Sardiman, 2004:223—229; Muslich, 2007:44—47; Trianto, 2007:113) Metode Penelitian Penelitian tindakan ini dilaksanakan di Sekolah Menengah Pertama Harapan Taruna Bogor dengaan beberapa prosedur yang menggunakan disain Kemmis dan McTaggart yang mencakup empat langkah, yaitu perencanaan, tindakan, observasi, dan refleksi. Penelitian ini dimulai dengan penjajakan awal untuk mendapatkan informasi tentang kondisi awal kebiasaan menulis puisi dan apresiasi peserta dalam menulis puisi. Pelaksanaan tindakan dan pengamatan dilakukan secara bersamaan. Pengamatan tindakan difokuskan pada penerapan pembelajaran melalui pendekatan kontekstual dalam upaya meningkatkan keterampilan
Pedagogia, Volume 5 Nomor 2 Tahun 2013
PENINGKATAN KETERAMPILAN MENULIS PUISI
menulis puisi. Refleksi merupakan aktivitas perenungan kembali dalam rangka mengevaluasi pelaksanaan pembelajaran. Melalui kegiatan refleksi diharapkan dapat diidentifikasi pengaruh pendekatan kontekstual terhadap peningkatan keterampilan menulis puisi. Atas dasar refleksi yang dilakukan oleh peneliti dan kolaborator dengan memper-timbangkan berbagai hal dari peserta kemudian dilakukan perencanaan kembali untuk mengoptimalkan tindakan pada siklus berikutnya. Kriteria keberhasilan dapat dilihat dari aspek penggunaan struktur fisik atau struktur lahir puisi, yaitu pengimajian, pengiasan, pelambangan, ritma, dan rima. Hasil Penelitian
Tabel 1 Data Rekapitulasi Hasil Prates No.
1 2 3 4 5 Jumlah
Kriteria Tingkat Penguasaan Tidak Berhasil Kurang Berhasil Cukup Berhasil Berhasil Berhasil Sekali
berhasil, serta 10 siswa atau 35,7% siswa yang tidak berhasil menulis puisi. Pencapaian nilai rata-rata yang hanya 46% mendorong peneliti untuk meningkatkan keketerampilan menulis puisi pada siswa kelas VIII-B SMP Harapan Taruna Bogor. Oleh karena itu, peneliti melakukan tindakan pada siklus pertama. Untuk memberikan gambaran yang jelas mengenai data rekapitulasi hasil tes awal, berikut ini disajikan data berupa grafik. 40 20 0
Berdasarkan data tes awal, dapat diketahui bahwa nilai rata-rata kelas pada saat tes awal menulis puisi hanya sebesar 4,6 atau berada pada tingkat penguasaan 46% dengan interpretasi kurang berhasil. Hal ini dapat dilihat secara terperinci dalam tabel data rekapitulasi hasil tes awal di bawah ini.
Frekuensi Persentase 10 10 7 1 0 28
35,7% 35,7% 25% 3,6% 0% 100%
Data tabel di atas menggambarkan bahwa siswa yang mengikuti tes awal berjumlah 28 siswa. Dalam tes awal tersebut, hanya ada satu siswa yang berhasil dan tidak ada satu pun siswa yang berhasil sekali dalam menulis puisi. Terdapat 7 siswa atau 25% siswa yang cukup berhasil, 10 siswa atau 35,7% siswa kurang
Pedagogia, Volume 5 Nomor 2 Tahun 2013
35
Tidak Kurang Cukup Berhasil Berhasil berhasil berhasil berhasil sekali
Grafik 1: Rekapitulasi Hasil Prates Siklus 1 Hasil siswa dalam menulis puisi dengan struktur fisik puisi belum menunjukkan peningkatan pada siklus pertama ini. Peningkatan dalam setiap tindakan pada siklus pertama hanya sedikit. Ketuntasan pada tindakan kesatu hanya 7%, kedua 11%, dan ketiga 29%. Berikut peningkatan ketuntasan siswa dalam menulis puisi. 93%
100%
89% 71%
80% 60% 40% 20% 0%
29% 7%
11%
Tuntas2 Tindakan Belum tuntas Tindakan 1 Tindakan 3
Grafik 2: Ketuntasan Siswa Menulis Puisi Siklus 1
36
PENINGKATAN KETERAMPILAN MENULIS PUISI
Hasil yang diperoleh siswa memberikan gambaran bahwa nilai rata-rata kelas pada siklus pertama yakni sebesar 6,05 (dibulatkan menjadi 6,1) atau mencapai tingkat penguasaan 61%. Jadi, dapat dikatakan bahwa kelas tersebut cukup berhasil dalam menulis puisi, namun perolehan nilai rata-rata pada siklus pertama belum sepenuhnya mencapai KKM. Dengan demikian perlu dilakukan tindakan pada siklus kedua agar nilai rata-rata kelas dapat meningkat. Nilai rata-rata kelas pada siklus pertama yakni sebesar 6,05 (dibulatkan menjadi 6,1) atau berada pada tingkat penguasaan 61%. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa kelas VIII-B SMP Harapan Taruna Bogor cukup berhasil menulis puisi. Kriteria keberhasilan tersebut menunjukkan bahwa adanya peningkatan kemampuan menulis puisi setelah diberikan tindakan dengan menggunakan pendekatan kontekstual. Peningkatan tersebut yakni sebesar 33%. Untuk memberikan gambaran yang efektif mengenai hasil postes pada siklus pertama, maka peneliti menyajikan data rekapitulasi sebagai berikut. Tabel 2 Data Rekapitulasi Hasil Postes Siklus I No. 1 2 3 4 5
Kriteria Tingkat Penguasaan Tidak Berhasil Kurang Berhasil Cukup Berhasil Berhasil Berhasil sekali Jumlah
Frekuensi 0 13 10 5 0 28
Persentase 0% 46,4% 35,7% 17,9% 0% 100%
Tabel di atas menyatakan bahwa siswa yang mengikuti postes pada siklus pertama yaitu berjumlah 28 siswa. Data di atas menjelaskan bahwa terdapat 13 siswa atau 46,4% siswa yang kurang berhasil dalam menulis puisi, siswa yang
cukup berhasil 10 siswa atau 35,7% dan siswa yang berhasil berjumlah 5 siswa atau 17,9%. Dengan melihat perolehan nilai rata-rata kelas pada siklus pertama ini yakni 61%, membuat peneliti harus melanjutkan penelitian pada siklus berikutnya agar KKM dapat tercapai. Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas, maka peneliti menyajikan data tersebut ke dalam sebuah grafik. 60 40 20 0
Tidak Kurang Cukup Berhasil Berhasil sekali berhasil berhasil berhasil
Grafik 3: Rekapitulasi Hasil Postes Siklus I Hasil pengamatan kolaborator terhadap kegiatan belajar mengajar pada tindakan ke-1 sebesar 67,04; tindakan ke-2 sebesar 70,4; dan pada tindakan ke-3 sebesar 84,09. Jadi, hasil pengamatan kegiatan belajar mengajar pada siklus pertama adalah 72,2 atau 72% dengan interpretasi baik. Hasil pengamatan yang kedua yaitu berupa log atau jurnal riset. Berdasarkan hasil pengamatan kolaborator pada tindakan ke-1 bernilai 60; tindakan ke-2 bernilai 77,5; dan pada tindakan ke-3 sebesar 82,5. Jadi, hasil pengamatan log atau jurnal riset pada siklus pertama adalah 73,3 atau 73,3% dengan interpretasi baik. Berikut ini peneliti sajikan grafik sebagai gambaran atas pemaparan data di atas. Simpulan yang diperoleh berdasarkan hasil pengamatan kegiatan belajar mengajar pada siklus pertama antara lain pada kegiatan awal ketika guru memberikan motivasi, siswa terlihat antusias untuk mendengarkannya begitu pun saat guru menyampaikan apersepsi dengan memberi-
Pedagogia, Volume 5 Nomor 2 Tahun 2013
PENINGKATAN KETERAMPILAN MENULIS PUISI
kan sejumlah pertanyaan. Pada kegiatan tersebut siswa terlihat senang karena mereka berebut untuk menemukan jawaban yang tepat.
100
mengalami peningkatan dalam menulis puisi melalui pendekatan konteks-tual. Peningkatan tersebut yakni sebesar 33%. Tabel 3 Data Rekapitulasi Hasil Postes Siklus 2
84.09 77.582.5 70.4 67.04 60
50 0
No.
Tindakan Tindakan KBMke-1 Jurnal Riset ke-2
37
1 2 3 4 5
Tindakan ke-3
Grafik 4: Hasil Pengamatan Siklus I Siklus 2 Hasil siswa dalam menulis puisi dengan struktur fisik puisi sudah menunjukkan peningkatan pada siklus kedua ini. Peningkatan dalam setiap tindakan pada siklus kedua sangat terlihat. Ketuntasan pada tin-dakan kesatu mencapai 75%, kedua 79%, dan ketiga 100%. Berikut peningkatan ke-tuntasan siswa dalam menulis puisi.
Kriteria Tingkat Penguasaan Tidak Berhasil Kurang Berhasil Cukup Berhasil Berhasil Berhasil sekali Jumlah
Frekuensi 0 0 5 8 15 28
Persentase 0% 0% 18% 29% 54% 100%
Pencapaian nilai rata-rata kelas pada postes kedua yakni sebesar 81%. Nilai tersebut menyatakan bahwa siswa kelas VIII-B telah berhasil dalam menulis puisi sehingga KKM yang telah ditetapkan akhirnya tercapai dengan baik. 60
100% 50%
75% 79%
100%
25% 21%
50 40 30
0%
0%
20 10 0
Tuntas
Belum tuntas
Tidak berhasil Kurang berhasil Cukup berhasil
Berhasil
Berhasil sekal i
Grafik 6: Rekapitulasi Hasil Postes Siklus II Grafik 5: Ketuntasan Siswa Menulis Puisi Siklus 2 Hasil evaluasi siklus kedua memberikan gambaran bahwa nilai rata-rata kelas pada postes siklus pertama yakni sebesar 8,1 atau mencapai tingkat penguasaan 81%. Jadi, dapat dikatakan bahwa kelas tersebut berhasil dalam menulis puisi. Dengan demikian perolehan nilai rata-rata pada siklus kedua sudah tercapai. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa siswa Pedagogia, Volume 5 Nomor 2 Tahun 2013
Hasil pengamatan kolaborator terhadap kegiatan belajar mengajar pada tindakan ke-1 sebesar 78,4; tindakan ke-2 sebesar 80,6; dan pada tindakan ke-3 sebesar 97,7. Jadi, hasil pengamatan kegiatan belajar mengajar pada siklus pertama adalah 85,6 atau 85,6% dengan interpretasi sangat baik. Hasil pengamatan yang kedua yaitu berupa log atau jurnal riset. Berdasarkan hasil pengamatan kolaborator pada tindakan ke-1 bernilai 75; tindakan ke-2 bernilai
38
PENINGKATAN KETERAMPILAN MENULIS PUISI
95; dan pada tindakan ke-3 sebesar 98. Jadi, hasil pengamatan log atau jurnal riset pada siklus pertama adalah 89 atau 89% dengan interpretasi sangat baik. Berikut ini peneliti sajikan grafik sebagai gambaran atas pemaparan data di atas.
100
95.6 9598 78.9 75 76.7
50 0
KBM
Tindakan ke-1 Jurnal Tindakan ke-2 Riset Tindakan ke-3
Grafik 7: Hasil Pengamatan Siklus II Simpulan yang diperoleh berdasarkan hasil pengamatan kegiatan belajar mengajar pada siklus kedua antara lain pada kegiatan awal ketika guru memberikan motivasi, siswa semakin terlihat sangat antusias untuk mendengarkannya, begitu pun saat guru menyampaikan apersepsi dengan memberi-kan sejumlah pertanyaan. Pada kegiatan tersebut siswa terlihat senang karena mereka berebut untuk menemukan jawaban yang benar. Aspek Imajinasi. Penilaian aspek imajinasi dipusatkan pada penggunaan diksi atau pilihan kata dan kata konkret. Selain itu, pengimajian juga dapat dikatakan sebagai pengungkapan pengalaman sensoris, seperti penglihatan, pendengaran, dan perasaan. Berikut salah satu contoh puisi yang dibuat oleh siswa. Hasil penilaian pada aspek imajinasi menulis puisi dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Berdasarkan data tersebut maka dapat disimpulkan bahwa siswa telah memahami penggunaan aspek imajinasi dalam menulis puisi. Hal ini terbukti dengan terjadinya peningkatan jumlah skor, nilai rata-rata tiap siklus seperti yang digambarkan dalam tabel.
Tabel 4 Data Keseluruhan Jumlah Skor Aspek Imajinasi Dalam Menulis Puisi No.
Keterangan
Prates
1 2 3
Jumlah skor Nilai rata-rata Persentase kenaikan
58 2,1
Tindakan Siklus I Siklus II 90 107 3,2 3,8 52,4% 18,8%
Aspek Kiasan. Pada aspek kiasan sebuah puisi, penilaiannya dipusatkan pada penggunaan makna kias atau gaya bahasa (baik dikiaskan atau dibandingkan). Hasil penilaian pada aspek kiasan dalam puisi dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 5 Data Keseluruhan Jumlah Skor Aspek Kiasan Dalam Menulis Puisi No.
Keterangan
Prates
1 2 3
Jumlah skor Nilai rata-rata Persentase kenaikan
42 1,5
Tindakan Siklus Siklus I II 56 78 2,0 2,8 33,3% 40%
Berdasarkan analisis data di atas dapat disimpulkan bahwa siswa telah paham tentang peng-gunaan makna kiasan dalam menulis puisi. Hal ini terbukti dengan terjadinya peningkatan jumlah skor, nilai rata-rata, dan persentase kenaikan tiap siklus seperti yang digambarkan dalam tabel. Aspek Lambang. Aspek penilaian yang ketiga yaitu aspek lambang. Penilaian aspek ini dipusatkan pada penggunaan lambang auditif, lambang visual, lambang gerak, lambang warna, dan sebagainya. Hasil penilaian pada aspek lambang dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Pedagogia, Volume 5 Nomor 2 Tahun 2013
39
PENINGKATAN KETERAMPILAN MENULIS PUISI
Tabel 6 Data Keseluruhan Jumlah Skor Aspek Lambang No. 1 2 3
Tindakan Prates Siklus Siklus I II Jumlah skor 39 43 76 Nilai rata-rata 1,4 1,5 2,7 Persentase kenaikan 7,1% 80% Keterangan
Berdasarkan data di atas dapat disimpulkan bahwa siswa telah lebih memahami penggunaan lambang dalam menulis puisi. Hal ini terbukti dengan terjadinya peningkatan jumlah skor, nilai rata-rata, dan persentase kenaikan tiap siklus seperti yang digambarkan dalam tabel. Aspek Ritma.Penilaian aspek ritma dipusatkan pengulangan baris berupa kata atau frasa yang dapat memperindah puisi. Hasil penilaian pada aspek ritma dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 7 Data Keseluruhan Jumlah Skor Aspek Ritma No.
Keterangan
Prates
1 2 3
Jumlah skor Nilai rata-rata Persentase kenaikan
45 1,6
Tindakan SikSiklus lus I II 62 103 2,2 2,9 37,5% 31,8%
Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa siswa telah paham tentang penggunaan ritma dalam menulis puisi. Hal ini terbukti dengan terjadinya peningkatan jumlah skor, nilai ratarata, dan persentase kenaikan tiap siklus seperti yang digambarkan dalam tabel. Aspek Rima. Pada aspek rima, penilaiannya dipusatkan pada penggunaan pengulangan bunyi atau persajakan. Hasil penilaian pada aspek rima dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Pedagogia, Volume 5 Nomor 2 Tahun 2013
Tabel 7 Data Keseluruhan Jumlah Skor Aspek Rima No.
Keterangan
Prates
1 2 3
Jumlah skor Nilai rata-rata Persentase kenaikan
71 2,5
Tindakan Siklus I Siklus II 88 103 3,1 3,7 24% 19,4%
Berdasarkan data tersebut maka dapat disimpulkan bahwa siswa telah memahami penggunaan rima dalam menulis puisi. Hal ini terbukti dengan terjadinya peningkatan jumlah skor, nilai rata-rata, dan persentase kenaikan tiap siklus seperti yang digambarkan dalam tabel. Perbandingan data keseluruhan hasil belajar dalam menulis puisi dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 8 Data Keseluruhan Hasil Belajar No.
Keterangan
Prates
1
Jumlah seluruh nilai Nilai rata-rata kelas Rata-rata persentase Persentase kenaikan Interpretasi kelas
127,5
2 3 4 5
Tindakan Siklus Siklus I II 169,5 225
4,6
6,05
8,1
46%
61%
81%
32,6%
33%
Cukup Berhasil
Berhasil
Kurang Berhasil
Data yang terdapat dalam tabel dan grafik di atas menunjukkan bahwa jumlah nilai keseluruhan prates yang diperoleh siswa kelas VIII-B adalah 127,5. Jumlah nilai yang didapatkan kemudian dihitung untuk memperoleh nilai rata-rata prates. Berdasarkan perhitungan tersebut, maka diperoleh nilai rata-rata pates yakni sebesar 4,6 atau berada pada tingkat penguasaan 46% dengan
40
PENINGKATAN KETERAMPILAN MENULIS PUISI
interpretasi siswa kelas VIII-B kurang berhasil. Jumlah seluruh nilai postes siklus pertama berjumlah 169,5 dengan nilai rata-rata 6,1 atau 61% dengan interpretasi kelas cukup berhasil. Hasil pengamatan siklus pertama dan kedua menunjukkan terjadinya peningkatan. Peningkatan tersebut berpengaruh pada nilai rata-rata yang diperoleh tiap siklus. Dengan meningkatnya hasil pengamatan kegiatan belajar mengajar berarti menunjukkan kualitas pembelajaran semakin baik. Di bawah ini data keseluruhan hasil pengamatan selama penelitian berlangsung. Tabel 9 Data Keseluruhan Hasil Pengamatan Siklus ke-
I
II
Hasil Pengamatan Tindakan I Tindakan II Tindakan III Nilai Tindakan I Tindakan II Tindakan III Nilai
Jenis Pengamatan Ceklis Log atau Guru Jurnal Riset 65,6 60 68,9 77,5 82,2 82,5 72,2 73 76,7 75 78,9 95 95,6 98 84 89
Pada siklus pertama, hasil pengamatan kegiatan belajar mengajar yaitu 72,2% dengan interpretasi cukup baik. Hasil pengamatan yang kedua berupa log atau jurnal riset, memperoleh nilai 73% dengan interpretasi cukup baik. Adanya kegiatan refleksi di akhir siklus pertama, memberikan pengaruh positif pada kegiatan pembelajaran di siklus kedua sehingga hasil pengamatan mengalami peningkatan. Hasil pengamatan siklus kedua yang berkaitan dengan kegiatan belajar mengajar 84% dengan interpretasi baik, Hasil pengamatan log atau jurnal riset memperoleh nilai 89% dengan interpretasi sangat baik.
Simpulan Peningkatan keterampilan menulis dapat dilakukan melalui langkah menulis seperti mendata objek yang akan dijadikan bahan menulis puisi, merangkai kata demi kata agar terjalin kalimat yang bermakna, menyunting kata yang telah dirangkaikan, menuangkan dalam sebuah tulisan (khusus-nya puisi). Selain itu, konteks yang dijadikan objek menulis puisi diarahkan kepada lingkungan yang dekat dengan mereka, di antaranya lingkungan sekolah, lingkungan sekitar sekolah, lingkungan sekitar rumah, lingkungan keluarga, dan barang kesukaan. Melalui pendekatan tersebut, siswa lebih mudah menuangkan kata-kata karena konteksnya berkaitan dengan keseharian dan pengalaman mereka. Dengan demikian, terjadi peningkatan keterampilan menulis puisi siswa. Pendekatan kontekstual dengan tujuh komponen dalam pembelajarannya terbukti dapat meningkatkan keterampilan menulis puisi siswa, khususnya dengan penggunaan struktur fisik puisi. Daftar Pustaka Akhadiah, Sabarti; Arsjad, Maidar G.; dan Ridwan, Sakura H. 1999. Pembinaan Kemampuan Menulis Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga Byrne, Donn. 1988. Teaching Writting Skills. London and New York: Longman Djojosuroto, Kinayati; Sumaryati, M. L. A. 2004. Prinsip-prinsip Dasar dalam Penelitian Bahasa dan Sastra. Bandung: Nuansa. Johnson. Elaine B. 2007. Contextual Teaching and Learning: Menjadikan Kegiatan Belajar-Mengajar Meng-asyikkan dan Bermakna. Cet. 3. Bandung: Mizan Learning Center (MLC). Kemmis, Stephen dan Mc Taggart, Robin. 1982. The Action Reseacrh Planner. Geelong, Victoria: Deakin University Press Muslich, Mansur. 2007. KTSP: Pembelajaran
Pedagogia, Volume 5 Nomor 2 Tahun 2013
PENINGKATAN KETERAMPILAN MENULIS PUISI
Berbasis Kompetensi dan Kontekstual. Ed. 1. cet. 2. Jakarta: PT Bumi Aksara. Sanjaya, Wina. 2007. Strategi Pem-belajaran: Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana. Semi, M. Atar. 2003. Menulis Efektif. Padang: Angkasa Raya Suparno dan Yunus, Mohamad. 2011. Keterampilan Dasar Menulis. Jakarta: Universitas Terbuka Trianto. 2007. Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik: Konsep, Landasan Teoritis-Praktis dan Implementasinya. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher. Waluyo, Herman J. 1987. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga.
Pedagogia, Volume 5 Nomor 2 Tahun 2013
41
Penulis Siti Chodijah, lahir di Bogor pada tanggal 4 September 1984, merupakan putri keenam dari Bapak Jumli dan Ibu Cicih. Menyelesaikan pendidikan di Sekolah Dasar Negeri Batutulis 2 tahun 1998, SMP Negeri 10 tahun 2002, dan MA PUI Bogor tahun 2004. Menyelesaikan S-1 di Universitas Pakuan Bogor tahun 2008 dan S-2 di Universitas Negeri Jakarta tahun 2012. Sejak akhir tahun 2008, menjadi tenaga pengajar di FKIP, Universitas Pakuan Bogor sampai sekarang, tahun 2009 guru SMP Harapan Taruna Bogor, tahun 2009 sampai tahun 2010 guru MTs PUI Bogor, dan berkesempatan menjadi tutor di Universitas Terbuka Bogor.
42
PENINGKATAN KETERAMPILAN MENULIS PUISI
Pedagogia, Volume 5 Nomor 2 Tahun 2013
PENGARUH KECERDASAN EMOSIONAL
43
PENGARUH KECERDASAN EMOSIONAL TERHADAP MOTIVASI BELAJAR SISWA Oleh : Chika Gianistika1, Elly Sukmanasa2, Lina Novita3 Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki pengaruh Kecerdasan Emosional Terhadap Motivasi Belajar Siswa di SDN Polisi 4 kelas IV Kota Bogor. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan metode survey. Hasil penelitian menunjukan bahwa pengaruh kecerdasan emosional terhadap motivasi belajar siswa ditunjukkan dari analisis statistik yang menghasilkan harga koefisien jalur (pxy) sebesar 0,8341. Ini menunjukkan adanya pengaruh antara kecerdasan emosional terhadap motivasi belajar siswa, sedangkan koefisien determinasi (r2) sebesar 0, 6957 atau sebesar 69,57%. Hal ini berarti nilai rata-rata motivasi belajar sebesar 69,57% ditentukan oleh kecerdasan emosional yang diberikan, melalui persamaan regresi Y = 18+0,8x. Persamaan regresi tersebut dapat diinterpretasikan bahwa sebelum siswa memperhatikan kecerdasan emosional siswa telah memiliki motivasi belajar yang konstan sebesar 18,00. Artinya setiap kenaikan unit nilai kecerdasan emosional akan menyebabkan pertambahan motivasi belajar sebesar 0,8 unit Dari hasil penelitian dapat disimpulkan terdapat pengaruh yang positif antara kecerdasan emosional terhadap motivasi belajar siswa kelas IV SDN Polisi 4 Kota Bogor tahun pelajaran 2013/2014. Kata Kunci : Kecerdasan Emosional, Motivasi Belajar
Pendahuluan Motivasi sesungguhnya memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kecerdasan seseorang. Setiap siswa akan dikatakan pintar ketika mendapatkan nilai tinggi pada setiap mata pelajaran, nilai akademis itulah yang akan dilihat oleh guru dan menentukan bahwa siswa itu termasuk pintar. Syamsuddin (2002 : 40) memaparkan bahwa motivasi yang ada dalam diri siswa dapat ditumbuhkan karena dua faktor, yaitu faktor internal yaitu faktor yang tumbuh dari dalam diri siswa dan faktor eksternal yaitu motivasi yang muncul karena adanya dorongan dari lingkungan sekitar siswa, baik itu dari guru, teman bermain, maupun keluarga. Dengan adanya motivasi tersebut dapat berdampak bagi diri siswa. Dapat Pedagogia, Volume 5 Nomor 2 Tahun 2013
dilihat dari kedisiplinan siswa ketika datang ke sekolah, atau dilihat dari nilai setiap mata pelajaran. Di dalam kegiatan belajar mengajar peranan motivasi baik intrinsik maupun ekstrinsik sangat diperlukan. Sukmadinata (2007: 39) mengemukakan motivasi selain dapat mengembangkan aktivitas siswa juga dapat mengarahkan dan memelihara ketekunan dalam melakukan kegiatan belajar. Siswa yang memiliki motivasi yang kuat dalam belajar akan menunjukkan hasil belajar yang baik. Adanya usaha yang tekun dan terutama didasari dengan adanya motivasi, maka individu yang belajar itu akan melahirkan prestasi yang baik. Intensitas motivasi siswa akan sangat menentukan tingkat pencapaian prestasi belajarnya. Namun apabila
44
PENGARUH KECERDASAN EMOSIONAL
siswa tidak memiliki motivasi yang kuat maka hasil belajar yang dicapai juga tidak akan optimal, dalam hal ini siswa akan mengalami kegagalan belajar. Bertolak belakang dengan sistem pendidikan selama ini, yang terlalu menekankan pentingnya nilai akademik saja. Jarang sekali dijumpai pendidikan tentang kecerdasan emosi yang mengajarkan integritas; kejujuran; komitmen; visi; kreativitas; ketahanan mental; kebijaksanaan; keadilan; prinsip kepercayaan; dan penguasaan diri atau sinergi. Padahal, kecerdasan intelektual akan maksimal hasilnya ketika didukung oleh kecerdasan-kecerdasan yang dapat mengatasi suatu hal ketika tidak bisa mendapatkan apa yang diinginkan. Salah satu kecerdasan yang harus dimiliki adalah Kecerdasan Emosional. Kecerdasan inilah yang mampu mengontrol diri dan sekaligus dapat memaksimalkan potensi yang ada pada diri individu. Faktor yang paling dominan untuk menyeimbangkan kecerdasan intelektual ialah kecerdasan emosional. Goleman (2000 : 15) mengemukakan bahwa yang paling dominan untuk menyeimbangkan kecerdasan intelektual ialah kecerdasan emosional. Apabila diibaratkan kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional itu layaknya seperti seekor kuda dan pengendaranya, kecerdasan intelektual diibaratkan kuda, sedangkan kecerdasan emosional adalah pengendaranya, sehingga sebagus apapun kudanya apabila pengendaranya tidak mampu menjinakkan kuda maka tidak akan berjalan dengan sempurna begitupun sebaliknya, jadi apabila seseorang mempunyai IQ yang tinggi namun tidak diseimbangkan dengan EQ yang baik pula maka orang tersebut tidak akan mencapai tujuan hidupnya dengan baik. Dalam artian tertentu, manusia mempunyai dua otak, dua pikiran dan dua jenis kecerdasan yang berlainan, yaitu kecerdasan rasional dan kecerdasan emosional. Keberhasilan manusia
dalam kehidupan ditentukan oleh keduanya, tidak hanya oleh IQ tetapi kecerdasan emosionallah yang memegang peranan. Intelektualitas tidak dapat bekerja dengan sebaik-baiknya tanpa kecerdasan emosional. Apabila kedua kecerdasan ini berinteraksi dengan baik maka kecerdasan emosional akan bertambah demikian juga kemampuan intelektualnya. Maka, keseimbangan antara IQ dan EQ sangatlah penting untuk digali dalam diri siswa. Kemurungan emosional yang terus menerus dapat menciptakan kecacatan pada kemampuan intelektual siswa, sehingga dapat melumpuhkan kemampuan belajarnya. Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti judul “Pengaruh Kecerdasan Emosional Terhadap Motivasi Belajar Siswa”. Berdasarkan latar belakang masalah di atas, peneliti dapat mengidentifikasi beberapa masalah yang muncul, antara lain : 1. Apakah kecerdasan emosional dapat mempengaruhi motivasi belajar? 2. Apakah disiplin belajar dapat mempengaruhi motivasi belajar ? 3. Apakah ada pengaruh campur tangan orang tua terhadap motivasi belajar? Berdasarkan permasalahan diatas dapat dirumuskan masalah penelitian: “apakah terdapat pengaruh kecerdasan emosional terhadap motivasi belajar ?” Uno (2009 : 23) berpendapat motivasi belajar dapat timbul karena faktor intrinsik, berupa hasrat dan keinginan berhasil dan dorongan kebutuhan belajar, harapan akan cita-cita. Sedangkan faktor ekstrinsiknya adalah adanya penghargaan, lingkungan belajar yang kondusif, dan kegiatan belajar yang menarik. Tetapi harus diingat, kedua faktor tersebut disebabkan oleh rangsangan tertentu, sehingga seseorang berkeinginan untuk melakukan aktivitas belajar yang lebih giat dan semangat. Sementara itu, Burden dan Byrd (1995: 276)
Pedagogia, Volume 5 Nomor 2 Tahun 2013
PENGARUH KECERDASAN EMOSIONAL
menyebutkan dua kategori umum dari motivasi, yaitu (1) motivasi intrinsik dan (2) motivasi ekstrinsik. Dari definisi di atas maka dapat disintesiskan bahwa motivasi belajar adalah kesanggupan untuk melakukan kegiatan belajar karena didorong oleh keinginannya untuk memenuhi kebutuhan dari dalam dirinya ataupun yang datang dari luar. Dorongan tersebut pada hakekatnya terdiri dari dorongan internal yang mencakup keinginan berhasil, kebutuhan dalam belajar, dan cita-cita. Sedangkan faktor eksternal pada siswa antara lain karena adanya penghargaan dalam belajar dan lingkungan belajar yang kondusif. Untuk menumbuhkan motivasi siswa perlu diperhatikan kecerdasan emosional siswa tersebut. Goleman (2000 : 512) berpendapat bahwa kecerdasan emosional atau Emotional Intelligence merujuk kepada kemampuan mengenali perasaan diri sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain. Sedangkan Cooper (1999 : 19) mengemukakan bahwa kecerdasan emosi memungkinkan individu untuk dapat merasakan dan memahami dengan benar. Berdasarkan uraian tersebut, dapat disintesiskan bahwa kecerdasan emosional yaitu kemampuan diri seseorang untuk menerima, menilai, mengelola, serta mengontrol emosi dirinya, orang lain di sekitarnya maupun kelompok. Metode Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh kecerdasan emosional siswa terhadap motivasi belajar siswa di Sekolah Dasar Negeri Polisi 4 Bogor tahun pelajaran 2013/2014. Penelitian dilakukan di SDN Polisi 4 Bogor. Pada semester I tahun pelajaran 2013/2014,
Pedagogia, Volume 5 Nomor 2 Tahun 2013
45
yaitu pada tanggal 15 – 20 Agustus 2013. Subjek dari penelitian ini adalah siswa kelas 4 di SDN Polisi 4 Bogor dengan jumlah siswa 169 orang. Penelitian ini menggunakan metode survei dengan pengumpulan data dari siswa yang dipilih sebagai responden untuk mendapatkan informasi pengaruh kecerdasan emosional terhadap motivasi belajar di Sekolah Dasar Negeri Polisi 4 Bogor. Hasil Penelitian Pengaruh antara kecerdasan emosional dengan motivasi belajar siswa disajikan dalam persamaan regresi sebagai berikut : Ŷ = 18 + 0,8x. Secara grafik persamaan regresi tersebut dapat dilihat pada gambar di bawah ini : 25 20 15 10 5 0
YValues 0
5
Dari persamaan Ŷ = 18 + 0,8x dapat dimisalkan x = 0 maka, harga y = 18. Jika x = 1, maka y = 18,8 ; jika x = 2 maka y = 19,6. Maka semakin besar kecerdasan emosional (X), semakin tinggi nilai motivasi belajar (Y). Atau dapat dikatakan bahwa semakin besar kecerdasan emosional siswa maka tingkat motivasinya akan semakin tinggi. Untuk mengetahui pengaruh antar kedua variabel maka dapat dilihat dari tabel di bawah ini :
46
PENGARUH KECERDASAN EMOSIONAL
N
Koef. Jalur
Koef. Determinasi (r2)
64
0,8341
0,6957
Signifikansi t-hitung t-tabel α = 5% 11,894 1,671
Kesimpulan Signifikan
Dari tabel di atas dapat diketahui besarnya pengaruh kecerdasan emosional terhadap motivasi belajar siswa yaitu sebesar 0,834. Dapat digambarkan pengaruh antara kecerdasan emosional terhadap motivasi belajar sebagai berikut :
Derajat kekuatan pengaruh kecerdasan emosional terhadap motivasi belajar siswa bersifat fungsional sebagaimana ditunjukkan oleh koefisien jalur 0,8341 dengan persamaan regresi Y = 18+0,8x. Artinya dapat diinterpretasikan bahwa sebelum siswa memperhatikan kecerdasan emosional siswa telah memiliki motivasi belajar yang konstan sebesar 18,00. Setiap kenaikan unit e nilai kecerdasan emosional akan menyebabkan pertambahan motivasi belajar sebesar 0,8 unit. pxy Penelitian diatas mengkonfrmasi bahwa Y X kecerdasan emosional atau Emotional Intelligence berpengaruh pada motivasi belajar Gambar 4.4 Diagram Jalur siswa. Oleh karena itu untuk menumbuhkan motivasi siswa perlu diperhatikan kecerdasan Gambar di atas menjelaskan motivasi belajar emosional siswa tersebut. Goleman (2000 : (Y) dipengaruhi secara langsung oleh kecerdasan 512) berpendapat bahwa kecerdasan emosional emosional (X), tetapi di luar kecerdasan atau Emotional Intelligence merujuk kepada emosional (X) masih banyak penyebab lain kemampuan mengenali perasaan diri sendiri dan dalam penelitian tidak ukur. Penyebab lain itu perasaan orang lain, kemampuan memotivasi dinyatakan oleh variabel residu (e). diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain. Sedangkan Cooper (1999 : Pembahasan 19) mengemukakan bahwa kecerdasan emosi Pengaruh positif antara kecerdasan emosional memungkinkan individu untuk dapat merasakan terhadap motivasi belajar siswa berdasarkan dan memahami dengan benar. penelitian ini ditunjukkan dari analisis statistik Penelitian ini sejalan dengan Syamsuddin yang menghasilkan harga koefisien jalur (pxy) (2002 : 40) yang memaparkan bahwa motivasi sebesar 0,8341. Ini menunjukkan adanya pengaruh yang ada dalam diri siswa dapat ditumbuhkan antara kecerdasan emosional terhadap motivasi karena dua faktor, yaitu faktor internal yaitu belajar siswa, sedangkan koefisien determinasi faktor yang tumbuh dari dalam diri siswa dan (r2) sebesar 0, 6957 atau sebesar 69,57%. Hal faktor eksternal yaitu motivasi yang muncul ini berarti nilai rata-rata motivasi belajar sebesar karena adanya dorongan dari lingkungan sekitar 69,57% ditentukan oleh kecerdasan emosional siswa, baik itu dari guru, teman bermain, maupun yang diberikan, melalui persamaan regresi Y = keluarga. 18+0,8x. Sisanya sebanyak 30,43% ditentukan Penelitian ini sejalan dengan Uno (2009 : 23) oleh faktor lain. yang berpendapat bahwa motivasi belajar dapat
Pedagogia, Volume 5 Nomor 2 Tahun 2013
PENGARUH KECERDASAN EMOSIONAL
timbul karena faktor intrinsik, berupa hasrat dan keinginan berhasil dan dorongan kebutuhan belajar, harapan akan cita-cita. Sedangkan faktor ekstrinsiknya adalah adanya penghargaan, lingkungan belajar yang kondusif, dan kegiatan belajar yang menarik. Tetapi harus diingat, kedua faktor tersebut disebabkan oleh rangsangan tertentu, sehingga seseorang berkeinginan untuk melakukan aktivitas belajar yang lebih giat dan semangat. Burden dan Byrd (1995: 276) menyebutkan dua kategori umum dari motivasi, yaitu (1) motivasi intrinsik dan (2) motivasi ekstrinsik. Dari penjelasan di atas maka motivasi belajar adalah kesanggupan untuk melakukan kegiatan belajar karena didorong oleh keinginannya untuk memenuhi kebutuhan dari dalam dirinya ataupun yang datang dari luar. Dorongan tersebut pada hakekatnya terdiri dari dorongan internal yang mencakup keinginan berhasil, kebutuhan dalam belajar, dan cita-cita. Sedangkan faktor eksternal pada siswa antara lain karena adanya penghargaan dalam belajar dan lingkungan belajar yang kondusif. Simpulan Berdasarkan data hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat pengaruh yang positif antara kecerdasan emosional dan motivasi belajar pada siswa SDN Polisi 4 Bogor kelas IV tahun pelajaran 2013/2014. Atas dasar temuan ini maka agar siswa memiliki semangat belajar yang tinggi, maka keluarga, sekolah dan masyarakat perlu menciptakan upaya-upaya untuk meningkatkan kecerdasan emosional peserta didik. Daftar Pustaka A.M, Sardiman. 2001. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. Agustian, Ary Ginanjar. 2001. ESQ, Emotional
Pedagogia, Volume 5 Nomor 2 Tahun 2013
47
Spiritual Quotient Jilid 1. Jakarta:PT. Arga Tilanta. Al-Firdaus, Iqra. 2012. Kunci Kontrol Emosi dengan Otak Kanan dan Kiri. Yogyakarta : Diva Press. Burden and Byrd. 1984. Physical Maturing Among Boys As Related To Adult Social Behaviour. California Journal Of Educational Research. Armstrong, Thomas. 2013. Kecerdasan Multipel di Dalam Kelas. Jakarta : PT. Indeks. Cooper, Cary dan Peter. 1999. Psikologi untuk Manager. Jakarta : Arcan. Gardner, H. 1999. Intelligence Reframed : Multiple Intelligence For 21st Century. New York : Basic Book. Gunawan, Adi W. 2004. Genius Learning Strategy. Jakarta. PT.Gramedia Pustaka Utama. Goleman, Daniel. 2000. Emotional Intelligence (terjemahan). Jakata : PT Gramedia Pustaka Utama. ------------. 2000. Working With Emotional Intelligence (terjemahan). Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama. Sukmadinata, Nana, dan Syaodih. 2007. Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek. Bandung : Remaja Rosdakarya. Syamsudin, Abin. 2002. Psikologi Pembelajaran. Bandung : Rosda Karya. Uno. Hamzah B. 2006. Teori Motivasi & Pengukurannya Analisis Di Bidang Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Penulis 1. Chika Gianistika adalah lulusan Program Studi Guru Sekolah Dasar FKIP Pakuan. 2. Elly Sukmanasa adalah Staf Pengajar Program Studi Guru Sekolah Dasar FKIP Pakuan 3. Lina Novita adalah Staf Pengajar Program Studi Guru Sekolah Dasar FKIP Pakuan
48
PENGARUH KECERDASAN EMOSIONAL
Pedagogia, Volume 5 Nomor 2 Tahun 2013
MEMBINA NILAI BUDI PEKERTI
49
MEMBINA NILAI BUDI PEKERTI MELALUI PENDEKATAN KLARIFIKASI NILAI PADA PEMBELAJARAN PKN Oleh: Yuli Mulyawati1, Sapriya2, Disman3 Abstrak Penelitian ini merupakan Penelitian Tindakan Kelas, yang dilaksanakan secara kolaboratif dengan empat siklus. Subyek penelitian ini adalah 13 orang laki-laki dan 15 orang perempuan. Pelaksanaan penelitian dilaksanakan pada semester ganjil tahun pelajaran 2011/2012. Hasil penelitian siklus I menunjukan bahwa persentase aktivitas afektif siswa yaitu 50% dengan kategori cukup, hal ini disebabkan karena dalam proses perencanaan masih banyak kekurangannya, guru dalam perencanaan tidak memasukan potensi-potensi hakiki yang dimiliki siswa yang ada dan berkembang di sekitar lingkungan siswa. Pada siklus II perencanaan lebih dititik beratkan pada aspek-aspek nilai-nilai budi pekerti yang merupakan hidden curiculum dari tema/sub tema pokok pembelajaran PKn, Menambahkan potensi-potensi hakiki yang dimiliki siswa dan potensi-potensi yang ada dan berkembang di sekitar lingkungan siswa. Dalam pelaksanaan siswa dapat mengarahkan perhatiannya pada berbagai aspek kehidupan mereka, dapat mengidentifikasi hal-hal yang mereka nilai, menerima posisi orang lain tanpa pertimbangan, lebih banyak berbuat sebagai refleksi nilai, berfikir dan berbuat lebih lanjut dalam rangka pengembangan dirinya. Dalam refleksi terlihat dengan pendekatan klarifikasi nilai dapat terbina nilainilai Budi Pekerti dalam diri siswa, antara lain: sopan santun dalam berperilaku, tenggang rasa, saling menghargai, kebebasan mengeluarkan pendapat, saling menghormati, ketaatan, dan lain-lain. Kata Kunci : Pendekatan Klarifikasi Nilai, Nilai Budi Pekerti, Hasil Belajar, Pembelajaran Pkn Pendahuluan Fenomena globalisasi yang terjadi kini dalam segenap aspek kehidupan memang sudah tidak dapat lagi di cegah. Pada satu sisi, globalisasi memberikan kemudahan peluang untuk mengakses dan memperoleh informasi perkembangan IPTEK bagi peningkatan kualitas kehidupan, namun di sisi lain, globalisasi juga berdampak pada berubahnya tatanan nilai social budaya masyarakat. Dampak perubahan globalisasi tersebut berpengaruh terhadap sikap dan perilaku budi pekerti yang terjadi di sekolah, yaitu adanya gejala dekadensi moral dan sikap budi pekerti yang terjadi di kalangan siswa. Contoh : Nilai
Pedagogia, Volume 5 Nomor 2 Tahun 2013
kesopanan terhadap guru yang berkurang, sifatsifat ramah, tenggang rasa, rendah hati, suka menolong, solidaritas sosial terhadap teman dan sebagainya, yang merupakan jati diri bangsa Indonesia seolah-olah kurang begitu melekat secara kuat dalam diri siswa Upaya pencegahan gejala dekadensi moral dan sikap budi pekerti para siswa disekolah, telah banyak dilakukan oleh pihak sekolah dan seluruh aparat sekolah. Materi kurikulum pendidikan budi pekerti di sekolahsekolah yang selama ini diintegrasikan dalam Pendidikan Kewarganegaraan belum mampu memperdayakan hati nurani dan belum mampu menempa batin anak didik agar mempunyai
50
MEMBINA NILAI BUDI PEKERTI
keinginan untuk melakukan sesuatu berdasarkan pengetahuan yang ia miliki dan tekad untuk benar-benar mengerjakan apa yang diinginkan. Akibatnya, pendidikan budi pekerti yang dibingkai dalam Pendidikan Kewarganegaraan masih menunjukan ketidakberhasilan jika dilihat dari dekadensi moral yang tampak meningkat dari hari ke hari. Pada kenyataannya pendidikan budi pekerti yang dibingkai dalam Pendidikan Kewarganegaraan selama ini masih menuai banyak kritikan. Menurut Lubis (2009: xi) hal ini disebabkan : “Kandungan nilai-nilai budi pekerti belum sepenuhnya diakomodasikan oleh kurikulum Pendidikan Kewarganegaraan dan belum sepenuhnya diajarkan melalui Pendidikan Kewarganegaraan, sehingga hal ini menyebabkan dekadensi moral seperti yang terjadi pada saat ini”. Realitas yang peneliti temukan di Kelas V SDN Selajambe III Kab. Cianjur bahwa Pendidikan Kewarganegaraan adalah pendidikan yang dianggap pelajaran yang membosankan, hal ini di sebabkan pendekatan yang dipakai dalam Pendidikan Kewarganegaraan amat verbalistik, tidak menyentuh kesadaran emosional siswa. Seorang guru misalnya, mengajarkan kepada siswanya tentang sopan santun terhadap orang tua, yang terjadi di dalam kelas adalah siswa diberi tulisan atau disuruh menghapal seperangkat materi pengetahuan tentang sopan santun kepada orang tua. Pada konteks ini maka diharapkan kemampuan guru untuk dapat membuat sebuah inovasi dalam pembelajaran sehingga dengan demikian siswa menjadi tertarik untuk mengikuti pelajaran. Efektivitas proses pembinaan nilai budi pekerti sangat dipengaruhi oleh ketepatan pendekatan yang dipilih guru dalam mengajarkan materi PKn. Ada beberapa pendekatan yang sering dipergunakan dalam pendidikan yaitu : a. Pendekatan penanaman nilai ( inculcation approach)
b. Pendekatan perkembangan moral kognitif ( Cognitive moral development approach) c. Pendekatan analisis nilai ( value analysis approach ) d. Pendekatan klarifikasi nilai ( values clarification approach ), dan e. Pendekatan pembelajaran berbuat ( action learning approach). Kelima pendekatan pendidikan nilai tersebut dibangun atas dasar teori perkembangan nilai anak, sebagaimana dikemukakan oleh Norman J. Bull (1969: 235) yang menyatakan ada empat tahap perkembangan nilai yang dilalui seseorang, yaitu: Pertama, tahap anatomi yaitu tahap nilai baru merupakan potensi yang siap dikembangkan. Kedua, tahap heteronomy yaitu tahap nilai berpotensial yang dikembangkan melalui aturan dan pendisiplinan. Ketiga, tahap sosionomi yaitu tahap nilai berkembang di tengah-tengah teman sebaya dan masyarakat. Keempat, tahap otonomi yaitu tahap nilai mengisi dan mengendalikan kata hati dan kemauan tanpa mendapatkan tekanan lingkungannya. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam mengajarkan nilai harus memperhatikan beberapa tahapan antara lain: tahap nilai baru, tahap nilai potensial, tahap nilai berkembang di tengah-tengah teman sebaya dan masyarakat, dan tahap mengisi dan mengendalikan kata hati tanpa mendapat tekanan lingkungan. Dengan memperhatikan tahapantahapan tersebut diharapkan apa yang menjadi tujuan pendidikan nilai dapat tercapai dengan baik. Pendekatan yang pantas dipertimbangkan dan dapat digunakan dalam mengajarkan budi pekerti pada Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) adalah : Pendekatan Klarifikasi Nilai (Value Clarification Approach) atau ada juga yang menyebutnya Values Clarification Technique (VCT). Menurut Abdul Hakam (Zakaria, 2007: 19) bahwa : ‘Pendekatan klarifikasi nilai (Value Clarification Approach) memberi penekanan
Pedagogia, Volume 5 Nomor 2 Tahun 2013
MEMBINA NILAI BUDI PEKERTI
pada usaha membantu siswa dalam mengkaji perasaan dan perbuatannya sendiri, untuk meningkatkan kesadaran mereka tentang nilainilai sendiri’. Penggunaan pendekatan klarifikasi nilai dalam pembelajaran PKn dalam membina budi pekerti bertujuan untuk : a. Memberikan nilai atas sesuatu b. Membuat penilaian yang rasional dan dapat dipertanggungjawabkan. c. Memiliki kemampuan serta kecenderungan untuk mengambil keputusan yang menyangkut masalah nilai dengan jelas, rasional dan objektif d. Memahami dan mengamalkan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Pembelajaran PKn erat kaitannya dengan pendidikan budi pekerti, sebagaimana diungkapkan Sapriya (2001), yaitu: 1. Dapat mengangkat nilai-nilai local (local genius) yang ada di daerah setempat. 2. Memiliki landasan konsepsi secara ilmiah dengan menggunakan pendekatan holistic. 3. Terbebas dari pengaruh kepentingan politik sesaat. 4. Memiliki konsistensi antara tujuan idealnya dengan struktur Program kurikulernya yang mengacu pada misi dan fungsi pembentukan kepribadian warga Negara. 5. Seimbang antara pengembangan nilai dan moral (budi pekerti) dengan pemahaman struktur, proses dan institusi-institusi Negara dengan segala kelengkapannya. 6. Menerapkan pendekatan pedagogis dan metodologis yang tidak bernuansa dogmatis, sistematis, kreatif, dan inovatif, dan 7. Terintegrasi dengan konteks disiplin keilmuan dan lingkungan social budayanya. Fungsi penyelenggaraan pendidikan Budi Pekerti yang merupakan indicator dari komponen pokok “Civics education” yaitu : (1) pengetahuan kewarganegaraan (Civics Knowledge); (2)
Pedagogia, Volume 5 Nomor 2 Tahun 2013
51
kecakapan-kecakapan kewarganegaraan dalam intelektual dan partisipasi (Civics Skills: Intellectual and Paricipatory); Watak-watak kewarganegaraan baik sifat karakter privat maupun public (Civics Disposition: Essential Traits of Private and Public Character). “(a) beberapa sifat karakter antara lain : tanggung jawab moral, disiplin diri, dan penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia setiap individu, (b) sifat karakter public antara lain sebagai warga Negara, kesopanan, mengindahkan aturan main (Rule of Law), berfikir kritis, dan kemauan untuk mendengarkan bernegosiasi dan berkompromi”. (Sapriya, 2001) Tujuan pendidikan budi pekerti adalah untuk memfasilitasi siswa agar mampu menggunakan pengetahuan, mengkaji dan menginternalisasi serta mempersonalisasi nilai, mengembangkan keterampilan social yang memungkinkan tumbuh dan berkembangnya akhlak mulia dalam diri siswa serta mewujudkannya dalam perilaku seharihari, dalam berbagai konteks social budaya yang bhineka. Selanjutnya essensi tujuan tersebut perlu dijabarkan dalam pengembangan pembelajaran dan sumber belajar setiap mata pelajaran yang relevan (dalam hal ini mata pelajaran PKn) dengan tujuan agar siswa mampu menggunakan pengetahuan, nilai, keterampilan mata pelajaran sebagai wahana yang memungkinkan tumbuh dan berkembang serta terwujudnya sikap dan perilaku siswa yang mencerminkan akhlak mulia, yang dipersyaratkan bagi manusia Indonesia seutuhnya. Selain itu, tujuan tersebut secara operasional perlu dijabarkan dalam rangka membangun tatanan dan iklim sosial budaya dunia persekolahan yang berwawasan dan memancarkan akhlak mulia sehingga lingkungan dan budaya sekolah menjadi teladan atau model pendidikan budi pekerti secara utuh. Hasil belajar yang diharapkan dalam pembinaan budi pekerti di SD melalui pendekatan Value Clarification Approach,
52
MEMBINA NILAI BUDI PEKERTI
adalah mewujudkan budi pekerti luhur, bernilai, bermoral, beretika yang berfungsi menumbuh kembangkan kepribadian siswa sebagai warga Negara Indonesia yang berakhlak mulia dalam pemikiran, sikap dan perbuatan sehari-hari. Untuk mencapai sasaran tersebut dilakukan pendekatan yang terbaik (eklektif) dan saling mengaitkannya satu sama lain agar menimbulkan hasil yang optimal (sinergis). Metodologi Metode dalam penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas ancangan kualitatifnaturalistik. Penggunaan ancangan kualitatif naturalistik dalam konteks penelitian tindakan, dimaksudkan agar pengertian terhadap apa yang terjadi di dalam ‘situasi kontemporer kelas dan sekolah lebih diperoleh langsung dari tangan pertama, serta memulai pelibatan dan partisipasi diri bersama aktor dan konteks kelas (dalam dan luar kelas), dalam kealamiahan perilaku dan latar. Penelitian tindakan kelas ini dilakukan secara kolaboratif antara peneliti dengan guru mitra. Sedangkan yang menjadi subbyek dalam penelitian ini adalah siswa kelas V SDN Selajambe III Kecamatan Sukaluyu Kabupaten Cianjur dengan jumlah siswa seluruhnya adalah 38 orang, penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret-Mei 2011. Peneliti dalam melakukan pengamatan menggunakan lembar pengamatan untuk mengukur tingkat keberhasilan pelaksanaan pembelajaran. Lembar pengamatan tersebut mencakup materi pengamatan Afektif (aktivitas mental dan aktivitas emosional), pengamatan Psikomotor mencakup materi (aktivitas visual. aktivitas oral, aktivitas mendengarkan, aktivitas menulis, aktivitas motorik), sedangkan untuk mengukur tingkat pengetahuan (kognitif) siswa di gunakan bentuk tes uraian dan skala sikap.
Hasil Penelitian dan Pembahasan Orientasi pendidikan kewarganegaraan yang masih bias kognitif dan cenderung kurang memberi perhatian pada pengembangan aspek sikap dan keterampilan sudah tidak relevan dikembangkan mengingat kita sudah bertekad untuk memberlakukan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Sesuai tuntutan KTSP, pembelajaran di sekolah-sekolah sudah seharusnya dirancang untuk proses learning to know (belajar untuk tahu), learning to do (belajar untuk melakukan), learning to live together (belajar untuk hidup dalam kebersamaan) serta learning to be (belajar untuk menjadi diri sendiri). Berdasarkan hal tersebut maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tindakan kelas berkolaborasi dengan guru mitra. Adapun penelitian tindakan kelas ini dilakukan dalam beberapa siklus yaitu 4 siklus, hal ini disebabkan tingkat keberhasilan yang masih diangap kurang dalam setiap siklusnya sehingga terjadi 4 siklus. Siklus I. Perencanaan yang dilakukan oleh peneliti beserta guru mitra dimulai dengan menggali nilai-nilai budi pekerti yang tersembunyi (hidden curriculum) dari tema/sub tema pokok yang terdapat dalam pengintegrasian budi pekerti kedalam pembelajaran PKn, menambahkan potensi-potensi hakiki yang dimiliki siswa dan potensi-potensi yang ada dan berkembang di sekitar lingkungan siswa, sehingga akan menampakkan kesesuaian materi pembelajaran dengan keberadaan dimana siswa itu tinggal, kemudian disusun kedalam perencanaan pembelajaran. Dalam KBM mengacu kepada satuan pelajaran yang menggambarkan tujuan khusus pembelajaran, materi pertemuan, kegiatan belajar mengajar, alat/sarana, sumber pembelajaran sampai dengan penilaian. Pada pelaksanaan pembelajaran siklus I dapat dilihat bahwa usaha yang dilakukan oleh
Pedagogia, Volume 5 Nomor 2 Tahun 2013
MEMBINA NILAI BUDI PEKERTI
guru mitra dalam pengklarifikasian nilai kurang mendapatkan respon yang baik dari siswa, hal ini terlihat dari respon yang diberikan siswa terhadap pertanyaan dari guru yang hanya di respon oleh siswa yang kogntifnya lebih dibanding dengan siswa lainnya, sedangkan siswa yang kemampuan kognitifnya kurang mereka lebih terpaku kepada buku paket atau catatan yang diberikan oleh guru dibandingkan dengan pendapatnya sendiri. Dari hasil pengamatan dapat dilihat bahwa kemampuan percaya diri anak dalam mengeluarkan pendapatnya masih kurang hal ini dapat dilihat dari reaksi pada saat guru mengajukan pertanyaan, hampir semuanya bersuara memberikan pendapatnya, akan tetapi pada saat guru memberikan kesempatan kepada masing-masing siswa untuk mengutarakan jawaban atau pendapatnya mereka malu-malu untuk menjawabnya, jawaban yang diberikan tetap terpaku dengan catatan yang ada dibuku. Ketidak percayadirian mereka juga terlihat dari reaksi beberapa siswa yang hanya terdiam ketika ditanya. Berdasarkan hasil pengamatan dengan menggunakan lembar observasi bahwa masih banyak poin-poin dari keterlibatan siswa secara mental dan emosional (afektif) yang belum tercapai. Hal ini dapat terlihat dari hasil pengamatan untuk aspek keterlibatan (afektif) memperoleh skor 2. Skor 2 ini berada pada interval 1 – 2 dengan Kriteria keterlibatan sangat rendah. Sedangkan hasil observasi mengenai aspek aktivitas (psikomotor) siswa pada pembelajaran PKn dengan pendekatan klarifikasi nilai melalui metode ceramah, menunjukkan skor 6, skor 6 ini berada pada interval 6 - 10 dengan kriteria kurang aktif, sehingga perlu dilanjutkan pada siklus berikutnya. Repleksi pembelajarn siklus I bahwa kemampuan guru masih kurang. guru mitra masih menggunakan metode ceramah disertai banyak menulis materi dari buku paket sehingga
Pedagogia, Volume 5 Nomor 2 Tahun 2013
53
menimbulkan kejenuhan siswa dalam belajar. Hasil dari refleksi dan diskusi dengan guru mitra, maka kita bersepakat untuk memperbaikinya pada siklus II dengan merubah metode pembelajarannya yaitu dengan metode bermain peran. Siklus II. Perencanaan pada siklus II peneliti dan guru mitra sepakat untuk mengganti metode pembelajarannya dengan metode barmain peran. Metode bermain peran ini diharapkan memotivasi siswa untuk dapat lebih bergairah dan aktif lagi dalam belajar. Pelaksanaan pembelajaran PKn dengan metode bermain peran masih menimbulkan beberapa kekacuan, hal ini disebabkan siswa belum terbiasa untuk melakukan hal tersebut. Terlihat para pemain masih kaku dalam memainkan perannya, terpaku dengan dialog-dialog yang ada pada skenario permainan, penghayatan serta pendalaman karakter masih belum terlihat, siswa terlihat tidak seperti bermain peran akan tetapi seperti sedang membaca cerita. Siswa yang tidak bermain peran belum seluruhnya memperhatikan permainan sehingga menimbulkan keributankeributan kecil yang mengganggu proses kegiatan pembelajaran. Pada akhir pembelajaran guru mencoba mengklarifikasi nilai-nilai yang ada dalam bermain peran, akan tetapi tidak seluruh siswa paham akan nilai-nilai yang di tampilkan dalam bermain peran. Berdasarkan hal tersebut apa yang diharapkan dari pembelajaran PKn dengan pendekatan klarifikasi nilai belum dapat terlaksana dengan baik karena sswa belum paham tentang bagaimana menilai, menyadari dan mengidentifikasi nilai-nilai mereka sendiri serta nilai-nilai orang lain; berkomunikasi secara terbuka dan jujur dengan orang lain, berhubungan dengan nilai-nilainya sendiri; berpikir rasional dan kesadaran emosional untuk memahami perasaan, nilai-nilai, dan pola tingkah laku mereka sendiri, sehingga pelaksanaan pebelajaran pada siklus II ini belum berhasil.
54
MEMBINA NILAI BUDI PEKERTI
Berdasarkan hasil observasi/pengamatan dengan menggunakan lembar observasi bahwa masih ada beberapa poin-poin dari keterlibatan siswa secara mental dan emosional (afektif) yang belum tercapai. Hal ini dapat terlihat dari aspek keterlibatan (afektif0 yang menunjukan skor 3. Skor 3 ini berada pada interval 3-4 dengan Kriteria keterlibatan rendah. Sedangkan aktifitas psikomotor siswa sudah mulai terlihat, hal ini dapat terlihat dari siswa mulai tertarik untuk melakukan kegiatan pembelajaran, mulai merespon apa yang sedang diajarkan, keterampilan berbicara dalam mengutarakan pendapat mulai terbina akan tetapi masih kurang aktif. betrdasarkan hasil observasi mengenai aktivitas (psikomotor) siswa menunjukkan skor 8. Sskor 8 ini berada pada interval 6 - 10 dengan kriteria kurang aktif, berdasarkan hasil tersebut maka peneliti bersama guru mitra sepakat untuk melanjutkannya pada siklus berikutnya. Repleksi siklus II menemukan masih banyak hal-hal yang harus diperbaiki dalam proses pembelajaran antara lain kurang membuka wawasan siswa untuk melakuakan penilaian terhadap nilai-nilai yang mereka yaakini sehingga perlu dilakukan siklus berikutnya Siklus III. Perencanaan pembelajaran pada siklus III lebih menitik beratkan pada pendalaman karakter serta penjiwaan para pemain sehingga keterlibatan secara mental dan emosional dapat terlihat dalam permainan. Siswa yang tidak bermain peran diharapkan untuk dapat terlibat permainan dengan merespon setiap adegan yang dimainkan sehingga terlihat wajar dan alami mendekati realitas yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Pada siklus III ini diharapkan nilai-nilai budi pekerti yang dibinakan melalui pendekatan klarifikasi nilai ini sudah tampak dengan jelas dalam diri siswa sehingga hasil yang diharapkan dalam pembelajaran dapat memperoleh hasil yang baik. Dalam pelaksanaan pembelajaran pada
siklus III, peran guru sebagai teacher center sudah tidak mendominasi lagi, yang ada sekarang student center peranan guru hanya memotivator, fasilitator dan pendorong bagi siswa untuk belajar terutama belajar mengklarifikasi nilai budi pekerti yang ada dalam materi pembelajaran PKn. Guru mendorong siswa untuk mereksi seluruh adegan yang dimainkan agar pembelajaran dengan metode bermain peran ini lebih hidup dan mendekati pada realitas kehidupan sehari-hari. Dari hasil pengamatan pada saat pelaksanaan pembelajaran sedang berlangsung terutama pada para pemain bahwa keterlibatan mental dan emosional para pemain sudah mulai menghayati dan mendalami karakter masing-masing tokoh, hal ini dapat terlihat dari beberapa pemain ada yang sudah bisa mengeksperesikan karakter yang diperankan. sedangkan siswa yang tidak ikut bermain terlihat sudah semakin tertib, mereka sudah ikut larut dalam permainan, sehingga permainan terlihat lebih alami. Mereka mereaksi setiap adegan yang dimainkan sehingga permainan menjadi hidup. Metode bermain peran telah merangsang siswa untuk belajar, mereka mulai merasa nyaman dengan metode yang digunakan, pembelajaran tidak lagi monoton dan menjenuhkan, bahkan pembelajaran dengan bermain peran menurut beberapa siswa tidak seperti sedang belajar akan tetapi seperti sedang bermain sinetron, “pokoknya rame bu” itu ungkapan mereka. Kegiatan pengklarifikasian nilai yang dilakukan oleh guru dilaksanakan di akhir kegiatan pembelajaran. Guru menugaskan kepada siswa untuk mendiskusikan nilai-nilai budi pekerti apa saja yang terkandung dalam bermain peran tersebut, meminta siswa menilai karakter mana yang baik dan yang jahat, perilaku baik dan buruk, yang dapat di tiru dan tidak boleh ditiru, bagaimana perasaan mereka jika berada pada posisi seperti yang dimainkan dalam bermain peran, apakah bertentangan atau tidak
Pedagogia, Volume 5 Nomor 2 Tahun 2013
MEMBINA NILAI BUDI PEKERTI
dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Berdasarkan jawaban dan pendapat yang mereka sampaikan dapat terlihat bahwa mereka sudah mulai paham dengan tujuan pendekatan klarifikasi nilai ini dan nilai-nilai budi pekerti yang diharapkan sudah mulai terbina dengan baik. Hasil observasi/ pengamatan Pada siklus III ini mengenai keterlibatan siswa pada pembelajaran PKn menunjukan ketercapaian 6 berada dalam kelas interval 5-6 bila dikonfirmasi berada dalam keterlibatan sedang, ini menunjukan bahwa siswa mulai ikut terlibat dalam proses pembelajaran Sedangkan untuk aspek aktivitas (psikomotor) menunjukan 15 berada dalam kelas interval 11-15 dengan Kriteria aktif, ini menunjukan bahwa siswa tidak lagi pasif tapi sudah mulai merespon dan turut aktif dalam pembelajaran, akan tetapi meskipun begitu masih ada kekurangan-kekurangan yang harus diperbaiki sehingga perlu diadakan perbaikan di siklus berikutnya. Berdasarkan hasil refleksi bahwa keterlibatan siswa secara mental dan emosional sudah mulai terlihat, hal ini dapat terlihat pada saat guru menanyakan bagaimana seandainya mereka benar-benar berada pada posisi seperti yang mereka mainkan dan mereka bisa mengungkapkannya dengan baik misalnya mereka menyatakan marah, sedih, kesal ataupun simpati, sedangkan aspek aktifitas (psikomotor) siswa sudah mulai terbina dengan baik, siswa sudah berani mengungkapkan pendapatnya, dapat menilai perilaku yang baik dan buruk, menghargai pendapat orang lain, sopan santun dalam berbicara sehingga membina nilai budi pekeri melalui pendekatan klarifikasi nilai pada pembelajaran PKn sudah mendekati apa yang diharapkan, akan tetapi meskipun begitu masih perlu dilanjutkan pada siklus berikutnya karena masih ada poin-poin yang belum tercapai. Siklus IV. Perencanaan Siklus IV lebih
Pedagogia, Volume 5 Nomor 2 Tahun 2013
55
menitik beratkan pada pelibatan aspek mental emosional siswa dan juga aspek psikomotor siswa yang belum tercapai. Pelaksanaan Pembelajara pada siklus IV terlihat siswa lebih tertarik dengan pembelajaran, hampir semua siswa merespon dengan baik dan semua turut ambil bagian dalam permainan, siswa yang tidak bermain peran ikut mensukseskan permainan dengan merespon dan mereaksi permainan dengan baik. Para pemain tidak lagi bersikap kaku, menghayati dan dan menjiwai setiap adegan yang dimainkan. Guru terus memonitor kegiatan yang berlangsung dengan terus memotivasi siswa untuk merespon setiap permaianan sehingga terlihat wajar. Pengklarifikasian nilai dilaksanakan pada akhir pembelajaran dengan cara guru menugaskan kepada siswa untuk mendiskusikan nilai-nilai budi pekerti apa saja yang terkandung dalam bermain peran tersebut, meminta siswa menilai karakter mana yang baik dan yang jahat, perilaku mana yang baik dan buruk, yang dapat di tiru dan tidak boleh ditiru, bagaimana perasaan mereka jika berada pada posisi seperti yang dimainkan dalam bermain peran, apakah hal tersebut bertentangan atau tidak dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Berdasarkan jawaban, pendapat yang disampaikan dan juga reaksi siswa pada saat akhir pembelajaran ternyata siswa dapat mengungkapkannya dengan baik, hal ini menunjukan kepercayaan diri siswa telah muncul, kemandirian siswa dalam belajar pun juga telah ada, sehingga tujuan dari pengklarifikasian nilai ini sudah berhasil dengan baik dengan demikian hasil belajar yang diharapkan dari pembelajaran PKn telah tercapai. Berdasarkan hasil pengamatan pada siklus IV ini bahwa pembelajaran dengan metode barmain peran sudah cukup bagus lebih natural. Para pemain maupun siswa yang tidak bermain dapat terilbat secara mental, emotional serta aktivitasnya dalam permainan sehingga tujuan dari pendekatan klarifikasi nilai dapat tercapai.
56
MEMBINA NILAI BUDI PEKERTI
Hasil observasi mengenai keterlibatan (afektif) siswa pada pembelajaran PKn dengan pendekatan klarfikasi nilai ketercapaian 8 dari 8 aspek yang di nilai sehingga bila dikonfirmasi berada dalam keterlibatan tinggi. Sedangkan untuk aspek aktivitas (psikomotor) menunjukan 20 berada dalam kelas interval 16-20 dengan Kriteria sangat aktif. Hasil refleksi pada siklus IV Peneliti dan guru mitra bersepakat bahwa pendekatan klarifikasi nilai yang dilaksanakan dalam 4 (empat) siklus ini sudah cukup berhasil, hal ini dapat dilihat dari peningkatan minat dan motivasi belajar siswa belajar meningkat, hasil belajar yang diharapkan dalam pembelajaran PKn terutama dalam aspek afektif dan psikomotor mengalami peningkatan sehingga siswa lebih merasakan bahwa pembelajaran PKn itu tidak hanya bersifat teori tapi juga pengaplikasiannya di dalam kehidupan sehari-hari. Simpulan Dalam penerapan pendekatan klarifikasi nilai dalam pembelajaran PKn dari siklus I sampai siklus IV, siswa memperoleh beberapa hal, yaitu (1) Siswa memperoleh pengalaman baru tentang metode pembelajaran, (2) Siswa dilatih dan dibina untuk dapat menilai akan nilainilai budi pekerti yang hidup dalam masyarakat kita berdasarkan kayakinannya masing masing, (3) Siswa dapat berkomunikasi dengan jujur akan nilai-nili dirinya dan nilai orang lain yang berhubungan dengan nilai budi pekerti, (4) Siswa dapat terlatih dan terbina menggunakan secara bersama-sama kemampuan berfikir rasional dan kesadaran emosional untuk memahami perasaan, nilai-nila budi pekertii, dan pola tingkah laku mereka sendiri, (5) Siswa dapat mengaplikasikan pengklarifikasian nilai kedalam kehidupan seharihari, dan (6) Aspek afektif dan psikomotor dapat terbina dan terlatih dengan baik sehingga siswa tidak hanya menguasai pembelajaran PKn secara
kognitif saja akan tetapi dapat merefleksi dan mengaplikasikannya kedalam kehidupan siswa sehari-hari sehingga menjadi suatu kebiasaan yang baik. Daftar Pustaka Elmubarok, Z. (2009). Membumikan Pendidikan Nilai Mengumpulkan yang Terserak. Menyambung yang Terputus dan Menyatukan yang Tercerai. Bandung. Alfabeta Hakam, K.A. (2007). Bunga Rampai Pendidikan Nilai. Bandung. UPI. Hopkins, D. (1993). A Teacher’s Guide To Classroom Research. Philadelphia Open University Press. Milton Keyness. Joyce. Bruce and Weil, Marsha. (1980). Models of Teaching. 2-nd edition, New Jersey. Prentice Hall Inc. Lubis, M. (2009). Evaluasi Pendidikan Nilai. Yogyakarta. Pustaka Pelajar Mohamad, S. (2000). Pendekatan Holistik Dalam Pendidikan Budi pekerti. Bandung. Yayasan Istqomah. Sapriya. (2001). Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaran Bercirikan Budi Pekerti berbasis nilai lokal. Makalah. disampaikan dan diseminarkan dalam seminar Nasional dan Kongres Forum komunikasi Pimpinan FIPS/FIS?IKIP Universitas/IKIP Seindonesia serta HIPSI. Semarang 22-24 Ramli, Z, T. (2000). Pendekatan-pendekatan nilai dan Implementasi dalam Pendidikan Budi Pekerti. Jurnal pendidikan dan kebudayaan. Jakarta. Balitbang Depdiknas Raths, L.E. Harmin, Meerill. Simon, Sidney. B. (1976), Values Teaching: working with Values in The Classroom. Ohio. A. Charles E. Merrill professional
Pedagogia, Volume 5 Nomor 2 Tahun 2013
MEMBINA NILAI BUDI PEKERTI
Wiriaatmadja, R. (2009). Metode Penelitian Tindakan Kelas untuk Meningkatkan Kinerja Guru dan Dosen. Bandung. Rosdakarya.
Pedagogia, Volume 5 Nomor 2 Tahun 2013
57
Penulis 1. Yuli Muliawati adalah Dosen Program Studi Guru Sekolah Dasar FKIP Pakuan 2. Sapriya adalah Ketua Prodi PKn Pascasarjana UPI Bandung 3. Disman adalah staf Penngajar Program PascaSarjana PENDAS UPI
58
MEMBINA NILAI BUDI PEKERTI
Pedagogia, Volume 5 Nomor 2 Tahun 2013
PENGARUH METODE CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING
59
PENGARUH METODE CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING (CTL) DAN METODE PROBLEM POSING (PP) TERHADAP HASIL BELAJAR MATEMATIKA oleh : Nedin Badruzaman1, Asep Saepul Hamdi2 Abstrak Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh penggunaan metode Contextual Teaching And Learning (CTL) dan metode problem possing (PP) dalam pembelajaran matematika. Melalui penerapkan metode tersebut dengan baik dan benar secara langsung dapat meningkatkan hasil belajar siswa kearah lebih baik lagi, khususnya pada mata pelajaran matematika. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan beberapa hal antara lain: (1) terdapat perbedaan hasil belajar matematika siswa yang menggunakan metode CTL dengan yang menggunakan Problem Posing (PP), (2) terdapat perbedaan hasil belajar matematika antara siswa yang memiliki kecenderungan kreatifitas tinggi dengan kreatifitas rendah, dan (3) terdapat pengaruh interaksi antara metode pembelajaran dengan kreativitas terhadap hasil belajar matematika. Pendahuluan Selama ini dalam pembelajaran matematika, guru kurang melakukan inovasi dan kreativitas sehingga kegiatan pembelajaran berlangsung monoton dan membosankan. Salah satu pendekatan pembelajaran yang diduga mampu mewujudkan situasi pembelajaran yang kondusif; aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan adalah metode pembelajaran Contextual And Teaching Learning (CTL). Metode Pembelajaran CTL merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlansung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan mentransfer pengetahuan dari guru ke siswa. Strategi pembelajaran
Pedagogia, Volume 5 Nomor 2 Tahun 2013
lebih dipentingkan daripada hasil. Dalam kelas kontektual, tugas guru adalah membantu siswa mencapai tujuannya. Maksudnya, guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada memberi informasi. Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas (siswa). Dalam pembelajaran kontekstual, program pembelajaran lebih merupakan rencana kegiatan kelas yang dirancang guru, yang berisi skenario tahap demi tahap tentang apa yang akan dilakukan bersama siswanya sehubungan dengan topik yang akan dipelajarinya. Dalam program tercermin tujuan pembelajaran, media untuk mencapai tujuan tersebut, materi pembelajaran, langkah-langkah pembelajaran, dan authentic assessmennya. Secara umum tidak ada perbedaan mendasar format antara program pembelajaran konvensional dengan program pembelajaran kontekstual. Sekali lagi, yang membedakannya hanya pada penekanannya. Program
60
PENGARUH METODE CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING
pembelajaran konvensional lebih menekankan pada deskripsi tujuan yang akan dicapai (jelas dan operasional), sedangkan program untuk pembelajaran kontekstual lebih menekankan pada skenario pembelajarannya antara lain: kerjasama, saling menunjang, menyenangkan, tidak membosankan, belajar dengan bergairah, pembelajaran terintegrasi, menggunakan berbagai sumber, siswa aktif, sharing dengan teman, siswa kritis guru kreatif, dinding dan lorong-lorong penuh dengan hasil kerja siswa, peta-peta, gambar, artikel, humor dan lain-lain, Laporan kepada orang tua bukan hanya rapor tetapi hasil karya siswa, laporan hasil pratikum, karangan siswa dan lain-lain. Pendekatan kontekstual mendasarkan diri pada kecenderungan pemikiran tentang belajar sebagai berikut yaitu: Pertama, proses belajar antara lain bahwa belajar tidak hanya sekedar menghafal. Siswa harus mengkonstruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri. Anak belajar dari mengalami. Siswa perlu dibiasakan memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi didrinya, dan bergelut dengan ideide. Kedua, transfer Belajar antara lain bahwa siswa belajar dari mengalami sendiri, bukan dari pemberian orang lain. Penting bagi siswa tahu untuk apa dia belajar dan bagaimana ia menggunakan pengetahuan dan keterampilan itu. Ketiga, siswa sebagai Pembelajar antara lain bawa manusia mempunyai kecenderungan untuk belajar dalam bidang tertentu, dan seorang anak mempunyai kecenderungan untuk belajar dengan cepat hal-hal baru. Untuk hal-hal yang sulit, strategi belajar amat penting. Peran orang dewasa (guru) membantu menghubungkan antara yang baru dan yang sudah diketahui. Keempat, Pentingnya Lingkungan Belajar antara lain bahwa belajar efektif itu dimulai dari lingkungan belajar yang berpusat pada siswa. Dari guru akting di depan kelas, siswa menonton
ke siswa akting bekerja dan berkarya, guru mengarahkan. Pengajaran harus berpusat pada bagaimana cara siswa menggunakan pengetahuan baru mereka.Strategi belajar lebih dipentingkan dibandingkan hasilnya. Metode Pembelajaran Problem Posing (PP) menurut Sutiarso (1999:16) yaitu merumuskan masalah atau membuat masalah. Sedangkan As’ari (2000:5), mengartikan PP dengan pembentukan soal atau merumuskan soal atau menyusun soal. Lebih lanjut Suryanto (1998:8), menyatakan bahwa Problem Posing mempunyai beberapa arti, yaitu pertama perumusan soal dengan bahasa yang baku/standar atau perumusan kembali soal yang ada dengan beberapa perubahan agar sederhana dan dapat dikuasai, kedua, perumusan soal yang berkaitan dengan syarat-syarat pada soal yang dipecahkan dalam rangka mencari alternatif pemecahan atau alternatif soal yang masih relevan, dan ketiga, perumusan soal dari suatu situasi yang tersedia baik yang dilakukan sebelum, ketika, atau setelah mengerjakan soal. Problem Posing merupakan suatu model pembelajaran yang menekankan pada kegiatan merumuskan masalah untuk membina siswa sehingga dapat meningkatkan kemampuannya dalam menyelesaikan masalah, sesuai pendapat Cars dalam Sutiarso (1999:26), bahwa untuk meningkatkan kemampuan menyelesaikan masalah dapat dengan cara membiasakan siswa untuk merumuskan masalah (Problem Posing). Kegiatan merumuskan masalah juga memberikan kesempatan luas bagi siswa untuk merekonstruksi pikiran-pikiran dalam rangka memahami materi pembelajaran. Kegiatan tersebut menentukan pembelajaran yang dilakukan siswa lebih bermakna. Silver dalam Najoan (1999:16), memberikan istilah Problem Posing pada tiga bentuk aktivitas kognitif yang berbeda seabagai berikut: (1) Pengajuan presolusi (presolution
Pedagogia, Volume 5 Nomor 2 Tahun 2013
PENGARUH METODE CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING
posing), yaitu siswa membuat soal dari situasi yang diadakan.(2) Pengajuan di dalam solusi (within solution posing) yaitu siswa merumuskan ulang soal seperti yang telah diselesaikan.(3) Pengajuan setelah solusi (post solution posing), yaitu siswa memodifikasi dengan kondisi yang sudah diselesaikan untuk membuat soal baru. Belajar dengan Problem Posing mengandung arti bahwa siswa diajar untuk membuat masalah sendiri sesuai dengan situasi yang ada. Persoalan seperti ini tidak mudah bagi siswa karena dalam membentuk masalah siswa harus memikirkan, menceritakan ide-idenya dalam bentuk masalah sampai kepada taraf pengungkapan melalui kegiatan diskusi secara klasikal. Pengungkapan atau komentar siswa setiap proses pembelajaran terhadap masalah yang dirumuskan sendiri dapat meningkatkan hasil belajar dan semakin terlatih keterampilan berpikir untuk memahami konsep yang dipelajari. Brown dan Walter (1990:9), menyatakan bahwa dalam pengajuan masalah terdapat dua tahap kognitif , yaitu menerima dan menantang. Tahap menerima adalah suatu kegiatan di mana siswa dapat menerima situasi yang sudah ditentukan. Tahap menantang yaitu suatu kegiatan di mana siswa menantang situasi yang diberikan guru dalam rangka pembentukan atau perumusan masalah. Lebih lanjut Brown dan Walter (1993:15), menyatakan bahwa situasi dari Problem Posing berupa: 1. gambar, 2. benda manipulatif, 3. permainan, 4. teorema atau konsep, 5. alat peraga, 6. soal, 7. penyelesaian suatu masalah melalui kegiatan diskusi dalam proses pembelajaran akan membantu siswa untuk mengembangkan daftar pengajuan soal dan mengembangkan kebiasaan mereka untuk merumuskan masalah ( soal-soal baru). Guru menyadari bahwa siswa dalam pengajuan masalah membutuhkan lebih dari sekedar penarikan masalah/soal yang sudah ada
Pedagogia, Volume 5 Nomor 2 Tahun 2013
61
sebelumnya. Akan tetapi melalui pelatihan yang terstruktur, siswa akan mampu mengembangkan kemampuan yang lebih tinggi untuk menilai sejauh mana ketertarikan dan produktif masalah/ soal yang mereka buat. Problem Posing merupakan suatu model pembelajaran yang diadaptasikan dengan kemampuan siswa dan dalam proses pembelajarannya membangun struktur kognitif siswa serta dapat memotivasi siswa untuk berpikir kritis dan kreatif . Pada saat model pembelajaran Problem Posing siswa melakukan hal yang lebih banyak, membentuk asosiasi untuk merumuskan soal dan mengajukan masalah/ soal lebih kreatif dan melakukan pemecahan masalah (problem solving) yang lebih efektif. Merumuskan atau membentuk soal adalah suatu aktivitas dalam pembelajaran yang dapat mengembangkan motivasi dan kemampuan siswa untuk berpikir kritis dan kreatif karena dalam model pembelajaran Problem Posing siswa mendapat pengalaman langsung dalam merumuskan (membentuk soal sendiri). Kegiatan merumuskan soal juga akan memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk merekonstruksikan pikiranpikirannya, dan kegiatan ini memungkinkan pembelajaran yang dilakukan siswa lebih bermakna sesuai dengan skemata yang dimiliki siswa. Model pembelajaran Problem Posing berarti siswa diberi kesempatan untuk beraktivitas untuk merumuskan soal-soal dan mendorong siswa agar lebih bertanggung jawab dalam belajarnya. Pembelajaran demikian merupakan proses membangun pemahaman seseorang sesuai skemata yang dimilikinya. Kreativitas. Pada hakikatnya perkataan kreatif adalah penemuan sesuatu yang baru, dan bukan akumulasi dari keterampilan atau pengetahuan yang diperoleh dari buku pelajaran. Kreatif diartikan juga sebagai pola berpikir atau ide yang timbul secara spontan dan imajinatif,
62
PENGARUH METODE CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING
yang mencerminkan hasil-hasil ilmiah, penemuan ilmiah, dan penciptaan-penciptaan secaramekanik. Menurut Winkel dalam Ngalim Purwanto (2003:513-514), dalam kreativitas berpikir atau berpikir kreatif, kreativitas merupakan tindakan berpikir yang menghasilkan gagasan kreatif atau cara berpikir yang baru, asli, independen, dan imajinatif. Kreativitas dipandang sebuah proses mental. Daya kreativitas menunjuk padakemampuan berpikir yang lebih orisinal dibanding dengan kebanyakan orang lain. Menurut Elizabeth Hurlock (2002) kreativitas adalah kemampuan seseorang untuk menghasilkan komposisi, produk, atau gagasan apa saja yang pada dasarnya baru dan sebelumnya tidak dikenal pembuatnya. Ia dapat berupa kegiatan imajinatif atau sintesis pemikiran yang hasilnya bukan perangkuman. mencakup pembentukan pola baru dan gabungan informasi yang diperoleh dari pengalaman sebelumnya dan pencangcokkan hubungan lama ke situasi baru dan mungkin mencakup pembentukan korelasi baru. Ia harus mempunyai maksud atau tujuan, bukan fantasi semata, walaupun merupakanhasil yang sempurna lengkap. Ia mungkin dapat berbentuk produk seni,kesusasteraan, produk ilmiah, atau mungkin bersifat prosedural atau metodologis. Berdasarkan uraian di atas dapat dideskripsikan bahwa hasil belajar matematika
ditentukan oleh dua factor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Salah satu faktor eksternal adalah Metode Pembelajaran. Metode pembelajaran Contextual And Teaching Learning (CTL) cenderung lebih meningkatkan hasil belajar matematika dibandingkan dengan metode pembelajaran Problem Posing (PP). Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode eksperimen dengan disain factorial 2 x 2 seperti pada tabel di bawah ini. Populasi target dalam penelitian ini adalah seluruh siswa yang mempelajari matematika kelas V di MI Mathlaul Anwar Gunung Sodong yang berjumlah 40 orang siswa. Sampel dalam penelitian ini diambil dengan teknik multi stage random sampling berdasarkan factorial group design berjumlah 20 siswa pada masing-masing kelas penelitian, yang terdiri dari kelas eksperimen dan kontrol. Sebelum dilakukan pengujian hipotesis, terlebih dahulu dilakukan pengujian terhadap kelompokkelompok data berupa pengujian normalitas dan homogenitas. Setelah pelaksanaan eksperimen selesai dilakukan, maka data yang berasal dari kelompok percobaan dibandingkan dengan data dari kelompok pembanding. Langkah selanjutnya adalah melakukan analisis, penafsiran dan penyimpulan dibantu dengan statistik. Metode yang dilakukan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen dengan desain faktorial 2 x 2.
Pedagogia, Volume 5 Nomor 2 Tahun 2013
PENGARUH METODE CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING
63
Hasil Penelitian dan Pembahasan Tabel di bawah ini adalah deskrispi data hasil penelitian. Tabel di bawah ini adalah deskrispi data hasil penelitian. Metode CTL
PP
Kreatifitas
Tinggi
N
Rendah
N
= = = = = = = = = = = =
10 765 58831 76.5 10 587 34817 58.7 20 1352 93648 67.6
N
N
Berdasarkan tabel di atas dapat di deskripsikan bahwa pada kelompok siswa yang Tabel ANAVA diajar menggunakan metode pembelajaran CTL serta mempunyai kreatifitas tinggi, sebanyak 10 orang siswa,SUMBER dengan nilai rata-ratanya sebesar db JK VARIANS 76,5. Kelompok siswa yang diajar menggunakan metode pembelajaran CTL serta mempunyai Antar Kolom 1 656,10 kreatifitas rendah, sebanyak 10 orang siswa, Baris sebesar 158,7. 336,40 dengan nilai Antar rata-ratanya Interaksi 1 yang 940,90 Sedangkan kelompok siswa diajar menggunakan metode pembelajaran PP serta Antar Kelompok 3 1933,40 mempunyai kreatifitas tinggi, sebanyak 10 orang Dalam Kelompok 36 sebesar1823 siswa, dengan nilai rata-ratanya 61, dan kelompok yang diajar39menggunakan Totalsiswa Direduksi 3756,4 metode pembelajaran PP serta mempunyai Rerata (Koreksi) 1 167443,6 kreatifitas tinggi, sebanyak 10 orang siswa, dengan nilai rata-ratanya sebesar4061, sedangkan Total 171200
Pedagogia, Volume 5 Nomor 2 Tahun 2013
= = = = = = = = = = = =
10 610 37514 61 10 626 40038 62.6 20 1236 77552 61.8
= = = = = = = = = = = =
20 1375 96345 68.8 20 1213 74855 60.7 40 2588 171200 64.7
kelompok siswa yang diajar menggunakan metode pembelajaran CTL serta mempunyai kreatifitas tinggi, sebanyak 10 orang siswa, dengan nilai rata-ratanya sebesar 62. Dengan t perbedan rata-rata F hal tersebut = RJK = padaFh nilai menujkan bahwa metode CTL lebih unggul 0,01 0,05 dari metode PP hal tersebut bisa diliahat pada 4,11 7,39 656.10 12.96 perbedaan nilai rata-rata. 4,11 7,39 336.40 6.64 4,11 7,39 940.90 18.58 50,64
= = = 64
1352 93648 67.6
= = =
1236 77552 61.8
= = =
2588 171200 64.7
PENGARUH METODE CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING
Tabel ANAVA
Tabel ANAVA SUMBER VARIANS
JK 656,10 336,40 940,90 1933,40
656.10 336.40 940.90
Antar Kelompok
1 1 1 3
Dalam Kelompok
36
1823
50,64
Total Direduksi
39
3756,4
Rerata (Koreksi)
1
167443,6
Total
40
171200
Antar Kolom Antar Baris Interaksi
Berdasarkan tabel di atas dapat dijelaskan bahwa hipotesis yang menyatakan terdapat perbedaan metode CTL dan PP di terima dikarenakan nilai Fhitung sebesar 12,96 lebih besar dari F tabel 4,11. Hipotesis yang menyatakan terdapat perbedaan nilaih hasil belajar kreatifitas anak yang tinggi dengan yang rendah di terima Karena nilai Fhitung sebesar 12,96 ,lebih besar disbanding F tabel 4,11. Hipotesis yang menyatakan adanya interaksi singga penelitian ini boleh dilanjutkan menggunakan Uji Tukey. Hasil uji signifikansi menunjukan bahwa karena Fh (Ak) = 12,96 > Ft (0,05) = 4,11 maka H0 ditolak yang berarti bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antar kolom. Bahwa karena Fh (Ab) = 6,64 > Ft (0,05) = 4,11 maka H0 ditolak yang berarti bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antar baris. Bahwa karena Fh (I) = 18,58 > Ft = 4,11 maka H0 ditolak yang berarti bahwa (0,05) terdapat interaksi antara factor kolom dengan
Ft
Fh =
RJK =
db
12.96 6.64 18.58
0,05 4,11 4,11 4,11
0,01 7,39 7,39 7,39
factor baris. Bahwa karena terdapat interaksi maka akan dilanjutkan dengan Uji Tukey. Hasil uji Tukey menunjukan bahwa untuk mengetahui tingkat perbedaan secara signifikan antara , , dan maka akan diuji dengan Uji Tukey. a. Uji Tukey 1. Statistik a. Hipotesis Uji Tukey
1. Hipotesis Statistik 1. H0 : ≤ H1 :
>
2. H0 :
≥
H1 :
<
3. H0 :
≤
H1 :
>
4. H0 :
≥
H1 :
<
2. Rumus Pedagogia, Volume 5 Nomor 2 Tahun 2013
Qt = Q(α;k-1,n) Qt = Q(α;k-1,n) = Q(0,05;3,10) = 3,88 Qt = Q(α;k-1,n) = Q(0,01;3,10) = 5,27
3. H0 :
≤
H1 :
>
4. H0 :
≥
H1 :
<
PENGARUH METODE CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING
2. Rumus
Qt = Q(α;k-1,n) Qt = Q(α;k-1,n) = Q(0,05;3,10) = 3,88 Qt = Q(α;k-1,n) = Q(0,01;3,10) = 5,27 50,64 = 10 = 2,25 untuk kelompok dengan n= 10 3. Perhitungan 76,5 − 61 a) Qh1 = 2,25 58,7 − 62,6 b) Qh1 = 2,25 76,5 − 58,7 c) Qh1 = 2,25 61 − 62,6 d) Qh1 = 2,25
= 6,89** = 1,73** = 7,91** = 0,71**
b. Kesimpulan uji Tukey 1. Dari perhitungan diperoleh nilai = 6,89 > nilai = Q(0,05;3,10) = 3,88 dan Q(0,01;3,10) = 5,27. Karenanya Ho ditolak, ini berarti bahwa hasil belajar matematika siswa yang mendapat metode pembelajaran CTL dan memiliki Kreatifitas yang tinggi lebih unggul daripada yang mendapat metode pembelajaran Problem Posing (PP) dan memiliki kretifitas tinggi 2. Dari perhitungan diperoleh nilai = 1,73 < nilai = Q(0,05;3,10) = 3,88 dan Q(0,01;3,10) = 5,27. Karenanya Ho ditolak, ini berarti bahwa hasil belajar matematika siswa yang mendapat metode pembelajaran CTL dan
Pedagogia, Volume 5 Nomor 2 Tahun 2013
65
memiliki Kreativitas yang rendah lebih unggul daripada yang mendapat metode Problem Posing dan memiliki Kreativitas Rendah. 3. Dari perhitungan diperoleh nilai = 7,91 > nilai = Q(0,05;3,10) = 3,88 dan Q(0,01;3,10) = 5,27. Karenanya Ho ditolak, ini berarti bahwa hasil belajar matematika siswa yang mendapat metode pembelajaran CTL dan memiliki kreativitas tinggi lebih unggul daripada yang mendapat metode pembelajaran Problem Posing (PP) dan memiliki Kreativitas Rendah. 4. Dari perhitungan diperoleh nilai = 0,71 < nilai = Q(0,05;3,10) = 3,88 dan Q(0,01;3,10) = 5,27. Karenanya Ho ditolak, ini berarti bahwa hasil belajar matematika siswa yang mendapat metode pembelajaran CTL dan memiliki Kreativitas Rendah lebih unggul daripada yang mendapat metode pembelajaran Problem Posing (PP) dan memiliki Kreativitas Tinggi. Simpulan Terdapat perbedaan hasil belajar matematika siswa yang menggunakan metode Contextual And Teaching Learning (CTL) dengan yang menggunakan Problem Posing (PP). Terdapat perbedaan hasil belajar matematika antara siswa yang memiliki kecenderungan Kreatifitas tinggi dengan Kreatifitas rendah. Terdapat pengaruh interaksi antara metode pembelajaran dengan kreativitas terhadap hasil belajar matematika. Hasil belajar matematika siswa yang mendapat metode pembelajaran CTL dan memiliki Kreatifitas yang tinggi lebih unggul daripada yang mendapat metode pembelajaran Problem Posing (PP) dan memiliki kretifitas rendah. Hasil belajar matematika siswa yang mendapat metode pembelajaran CTL dan memiliki Kreativitas yang rendah lebih unggul
66
PENGARUH METODE CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING
daripada yang mendapat metode Problem Posing dan memiliki Kreativitas Rendah. Hasil belajar matematika siswa yang mendapat metode pembelajaran CTL dan memiliki kreativitas tinggi lebih unggul daripada yang mendapat metode pembelajaran Problem Posing (PP) dan memiliki Kreativitas Rendah. Hasil belajar matematika siswa yang mendapat metode pembelajaran CTL dan memiliki Kreativitas Rendah lebih unggul daripada yang mendapat metode pembelajaran Problem Posing (PP) dan memiliki Kreativitas Tinggi. Daftar Pustaka Abdul Gafur, Mencoba Pembelajaran Kontekstual, Buletin Pusat Perbukuan, Gerakan Masyarakat Mengembangkan Budaya Baca, Jakarta: Pusat Perbukuan Depdiknas, Bagian Proyek Pengembangan Sistem dan Standard Perbukuan Dasar, Vol. 09, 2003. As’ari. A. 2000. Problem Posing untuk Meningkatkan Profesionalisme Guru IPA. Jurnal Pelangi Pendidikan Matematika dan Sains.Jogjakarta. Tahun V. No. 1. Depdikbud. 1997. Pokok-pokok Pengajaran Biologi dan Kurikulum 1994. Jakarta: Depdikbud. Depdiknas. 2004. Penilaian Pembelajaran Pengetahuan Sosial. Depdiknas Dirjen Dikdasmen Dit PLP Materi Pelatihan Terintegrasi Buku 2. Jakarta: Depdiknas E. Mulyasa 2005 Menjadi Guru Profesional, Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan, Bandung: Remaja Rosdakarya Hamalik, Oemar. 2007. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara. Jalil, A,. 2005. Pembelajaran dengan Pendekatan Problem Posing untuk Meningkatkan Hasil Belajar pada Siswa SMP pada Konsep Sistem Hormon. Jurnal
Penelitian Kependidikan. 15. Nomor (2) Joseph ,2001. Mengajar Matematika di Sekolah Dasar. Malang: IKIP Malang. Proyek Operasi dan Perawatan Fasilitas Meier, Dave (2005). The Accelerated Learning Hand Book. (Terjemahan) Bandung: Kaifa. Moh. Uzer Usman, Drs., dan Lilis Setiawati, Dra. 2000. Upaya Optimalisasi Belajar Mengajar. Bandung: Remaja Rosdakarya: Nur, Muhammad & Wikandari, Retno Prima. 2000. Pengajaran Berpusat Pada Siswa dan Pendekatan Konstruktivis dalam Pengajaran. Universitas Negeri Surabaya. Surabaya: University Press Nurhadi, Yasin, B,. dan Senduk, A. G. 2004. Pembelajaran Kontekstual dan Penerapannya dalam KBK. Malang: Penerbit Universitas Negeri Malang Roestiyah N.K. 1998. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta. Roestiyah N.K. Strategi Belajar Mengaja, bina aksara, jakarta, cet III, 1991 Rukmana,Ade dan Suryana,Asep. 2006. Pengelolaan Kelas. Bandung: UPI Press. Sadirman, N. dkk. 1991 Ilmu Pendidikan. Bandung, Remaja Rosdakarya. Sadirman, N . dkk. 1992. Interaksi dan Motivasi Belajar. Jakarta Sanjaya, W. 2008. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana. Saud, Udin Saefudin dan Suherman, Ayi. 2006. Inovasi Pendidikan. Bandung: UPI Press. Silberman.,M.,L. Active Learning. 101 Cara Belajar Siswa Aktif.Diterjemahkan oleh Raisul Muttaqin. 2004. Bandung: Nusamedia Sunartyo, Strategi Belajar Mengajar Islam Pengetahuan Sosial,IKIP, Malang, Cet, II, 1989
Pedagogia, Volume 5 Nomor 2 Tahun 2013
PENGARUH METODE CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING
Syaiful B. Djamarah dan Aswan Zain, dkk, Strategi Belajar Mengajar, Renika Cipta, Jakarta, Cet IV, 2010 Uzer, Moh. Usman dan Setiawati, Lilis. (1993). Upaya Optimalisasi Kegiatan Belajar Mengajar (Bahan Kajian PKG, MGBS, MGMP). Bandung: Rosdakarya. W. James Popham. Eva L. Bakar, Bagaimana Mengajar Sebagai Sistematis, Yokyakarta, Cet. IV, 1992
Pedagogia, Volume 5 Nomor 2 Tahun 2013
67
Penulis 1. Nedin Badruzaman adalah Dosen PGSD Universitas Pakuan 2. Asep Saepul Hamdi adalah Dosen Universitas Ibnu Khaldun Bogor
68
PENGARUH METODE CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING
Pedagogia, Volume 5 Nomor 2 Tahun 2013
PENGARUH METODE PEMBELAJARAN DAN MOTIVASI BELAJAR
69
PENGARUH METODE PEMBELAJARAN DAN MOTIVASI BELAJAR TERHADAP HASIL BELAJAR BAHASA INGGRIS Oleh: Iyan Irdiyansyah Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari dan menganalisis pengaruh metode pembelajaran dan motivasi belajar terhadap hasil belajar Bahasa Inggris siswa. Untuk mendapatkan hasil penelitian yang objektif, 102 siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) Taruna Andigha dan YPH Plus diambil sebagai populasi. Rancangan penelitian ini menggunakan desain factorial 2x2 dengan tiga variabel yang terdiri dari dua variabel bebas yaitu metode pembelajaran dan motivasi siswa, serta satu variabel terikat yaitu hasil belajar terhadap mata pelajaran Bahasa Inggris. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa, (1) secara umum siswa yang diberikan pembelajaran kooperatif lebih tinggi hasil belajarnya dengan rata-rata 76,34 dari pada siswa yang diberi pembelajaran diskusi terhadap mata pelajaran Bahasa Inggris dengan ratarata 71,23. (2) Secara umum siswa yang memiliki motivasi tinggi diberi pembelajaran kooperatif lebih tinggi hasil belajarnya dengan rata-rata 78,57 daripada siswa yang diberi pembelajaran diskusi terhadap hasil mata pelajaran bahasa Inggris dengan rata-rata 71.75 (3) Siswa yang memiliki motivasi rendah diberi pembelajarn kooperatif lebih tinggi hasil belajarnya dengan rata-rata 74.11 daripada siswa yang diberi pembelajarn diskusi dengan rata-rata 70.71 lebih rendah (4) Terdapat interaksi antara metode pembelajaran dan motivasi belajar terhadap hasil belajar siswa pada mata pelajaran bahasa Inggris. Kata Kunci: Hasil belajar, Motivasi, Metode belajar Pendahuluan Pendidikan bahasa Inggris sebagai bagian dari pendidikan formal seharusnya ikut memberi kontribusi dalam membangun sumber daya manusia yang berkualitas tinggi. Karena pentingnya bahasa Inggris dalam kehidupan bermasyarakat maka perlu mempersiapkan sumber daya manusia untuk menghadapi dunia kerja khususnya di Kota Bogor yang disebut kota wisata. Kemampuan berbahasa Inggris tentu sangat dibutuhkan agar dapat memfasilitasi wisatawan mancanegara yang tentunya tidak dapat berkominikasi bahasa Indonesia. Maka dari itu, bahasa Inggris harus mutlak dipelajari di sekolah-sekolah formal maupun nonformal. Metode pembelajaran konvensional lebih menekankan pada ceramah dan diskusi yang
Pedagogia, Volume 5 Nomor 2 Tahun 2013
searah. Hampir tidak pernah terjadi komunikasi yang intensif antara siswa dengan siswa lainnya mengenai pokok bahasan yang sedang dibicarakan. Dengan kata lain, tidak pernah terjadi tukar informasi antara siswa yang satu dengan yang lainnya. Hal inilah merupakan salah satu pemicu rendahnya hasil belajar siswa dalam pelajaran bahasa Inggris. Merosotnya perolehan nilai ujian akhir siswa dapat dipengaruhi oleh banyak faktor. Terkait dengan faktor-faktor tersebut, pendekatan guru dalam mengajar selalu berorientasi pada soal, metode mengajar yang diterapkan bersifat konvensional, kurang mengadopsi metode belajar konstruktivis, guru tidak memakai literatur yang relevan dan berlaku secara umum (general), tidak melakukan pengkonkretan konsep
70
PENGARUH METODE PEMBELAJARAN DAN MOTIVASI BELAJAR
sebelum proses belajar-mengajar dimulai, media pembelajaran yang kurang memenuhi standar, dan siswa kurang dilatih berpikir kritis menurut aturan-aturan logika. Pemerintah melalui departemen dan instansi terkait berusaha menentukan ramburambu perumusan kurikulum kemudian guru menerapkan pada siswa sehingga mampu menciptakan pembelajaran yang bermakna yang pada akhirnya menumbuhkan motivasi pada siswa-siswa agar mampu menerapkan ilmu yang disajikan oleh gurunya. Metode pembelajaran yang digunakan oleh guru sangat mempengaruhi proses pembelajaran. Metode pembelajaran yang sesuai akan membantu siswa mempelajari materi dengan mudah. Oleh karena itu metode sangat berperan penting dalam pendidikan, karna metode merupakan pondasi awal untuk mencapai suatu tujuan pendidikan dan asas keberhasilan sebuah pembelajaran. Djamarah 1994:19) mengungkapkan bahwa “prestasi adalah hasil dari suatu kegiatan yang telah dikerjakan, diciptakan baik secara individu maupun secara kelompok”. Sedangkan menurut Mas’ud dalam Djamarah (1994:21) bahwa prestasi adalah apa yang telah dapat diciptakan, hasil pekerjaan, hasil yang menyenangkan hati yang diperoleh dengan jalan keuletan kerja. Dari pernyataan para ahli di atas mengungkap hubungan antara hasil dan prestasi. Jadi dapat dikatakan bahwa hasil menunjukkan pada prestasi belajar sedangkan prestasi merupakan indikator adanya derajat perubahan tingkah laku siswa. Hasil belajar menurut Slameto (2003:2) adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Secara sederhana dari pengertian belajar sebagaimana yang dikemukakan oleh pendapat di atas, dapat diambil suatu pemahaman tentang hakekat dari
aktivitas belajar adalah suatu perubahan yang terjadi dalam diri individu. Sedangkan menurut Nurkencana (2005:62) mengemukakan bahwa hasil belajar adalah hasil yang telah dicapai atau diperoleh anak berupa nilai mata pelajaran. Hasil juga akan mengakibatkan perubahan dalam diri individu sebagai prestasi dari aktivitas dalam belajar. Hasil belajar tidak luput dari penilaian, apakah itu penilaian siswa secara individu di luar maupun penilaian siswa di dalam kelas. Muhibbin Syah (2005:141) menyatakan bahwa “prestasi adalah taraf keberhasilan proses belajar mengajar”. Artinya segala aktivitas di dalam kelas menentukan keberhasilan siswa. Menurut Rasyid dan Mansyur (2009:7) penilaian didefinisikan sebagai proses pengumpulan informasi tentang kinerja siswa, untuk digunakan sebagai dasar dalam membuat keputusan. Penilaian juga dapat dikatakan sebagai semua aktivitas yang dilakukan oleh guru dan siswa untuk menilai prestasi diri mereka sendiri, Hamalik (2001:159) menyatakan “prestasi merupakan indikator adanya perubahan tingkah laku siswa”. Jadi hasil merupakan sebuah prestasi dari suatu kegiatan yang dilakukan oleh siswa, baik berupa belajar mapun bekerja. Menurut Dimyati dan Mudjiono (1999:250), “prestasi belajar merupakan hal yang dapat dipandang dari dua sisi yaitu sisi siswa dan dari sisi guru. Dari sisi siswa, prestasi belajar merupakan tingkat perkembangan mental yang lebih baik bila dibandingkan pada saat sebelum belajar. Tingkat perkembangan mental tersebut terwujud pada jenis-jenis ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Sedangkan dari sisi guru, prestasi belajar merupakan saat terselesikannya bahan pelajaran”. Uraian di atas menunjukan keterkaitan antara guru dan siswa dalam mencapai tujuan dalam belajar. Agar proses pembelajaran efektif dan hasil yang diperoleh memuaskan, maka perlu diberikan penekanan pada usaha yang dilakukan oleh guru Pedagogia, Volume 5 Nomor 2 Tahun 2013
PENGARUH METODE PEMBELAJARAN DAN MOTIVASI BELAJAR
dan siswa untuk memperoleh informasi yang berkaitan dengan pembelajaran yang mereka lakukan. Metode merupakan jalan yang harus kita tempuh dalam rangka memberikan sebuah pemahaman terhadap murid tentang pelajaran yang mereka pelajari. Metode sangat penting yang harus dimiliki oleh seorang guru sebelum memasuki ruang belajar, dan harus dipakai oleh seorang guru. Metode sangat berpengaruh besar dalam pengajaran dengan metode nilai bisa baik atau bisa buruk, dangan metode pula pembelajaran bisa sukses atau gagal, kebanyakan seorang guru yang menguasai materi akan tetapi bisa gagal dalam pembelajaran karna ia tidak mendapatkan metode yang tepat. Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini membahas Pengaruh Metode Pembelajaran Dan Motivasi Belajar Terhadap Hasil Belajar Bahasa Inggris. Metode Penelitian Rancangan penelitian ini menggunakan desain factorial 2x2 dengan tiga variabel yang terdiri dari dua variabel bebas yaitu metode pembelajaran dan motivasi siswa, serta satu variabel terikat yaitu hasil belajar terhadap mata pelajaran Bahasa Inggris. Adapun pengumpulan data dijaring melalui angket bersekala Likert dengan lima pilihan.Data yang telah diperoleh dianalisa menggunakan analisis varian (ANAVA) kemudian diuji menggunakan Uji Tuckey dengan α: 1% (0,01). Hasil Penelitian Dalam deskripsi data penelitian ini dikemukakan data hasil penelitian berupa skor terendah, skor tertinggi, rerata (mean), modus, median, simpangan baku, dan varians. Rangkuman data hasil penelitian di atas yang selanjutnya dapat digunakan untuk proses analisis dapat dilihat pada tabel berikut.
Pedagogia, Volume 5 Nomor 2 Tahun 2013
71
Rangkuman Data Hasil Penelitian Metode Belajar Motivasi Tinggi (B1) Rendah (B2) Jumlah
Kooperatif (A1)
Diskusi (A2)
Jumlah
nA1B1 = 28 μA1B1 = 78.57 S2A1B1 = 14.328 nA1B2 = 28 μA1B2 = 74.11 S2A1B2 = 13.729 nA1 = 56 μA1 = 76.34 S2A1 = 18.84
nA2B1 = 28 μA2B1 = 71.75 S2A2B1 = 9.676 nA2B2 = 28 μA2B2 = 70.71 S2A2B2 = 7.545 nA2 = 56 μA2 = 71.23 S2A2 = 8.7
nB1 = 56 μB1 = 75.16 S2B1 = 18.85 nB2 = 56 μB2 = 72.41 S2B2 = 8.73 nt = 112 μt = 73.785 S2t = 20.24
Sebelum diadakan pengujian hipotesis terlebih dahulu dilakukan pengujian persyaratan analisis yang meliputi pengujian normalitas dan homogenitas. Uji normalitas ini menggunakan uji Lilliefors. Berdasarkan hasil perhitungan pada uji normalitas, maka diketahui bahwa L-hitung kelompok siswa yang diberi metode kooperatif (A1) diperoleh harga L-hitung sebesar 0.0908. sementara itu L-tabel untuk n = 56 diperoleh harga 0.116. hipotesis nihil yang menyatakan bahwa sampel berasal dari populasi berdistribusi normal diterima jika L-hitung lebih kecil dari L-tabel. Berdasarkan hasil yang diperoleh terlihat bahwa L-hitung (0.091) lebih kecil dari L-tabel (0.116) sehingga hipotesis nihil yang menyatakan sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal diterima. Selain uji normalitas, salah satu syarat yang diperlukan dalam menganalisis data dengan menggunakan Anava adalah uji Homogenitas. Tujuan uji homogenitas adalah untuk mengetahui apakah varians populasi bersifat homogen. Pengujian homogenitas pada data hasil belajar kelompok sampel dilakukan dengan menggunakan uji Bartlett pada taraf signifikansi α = 0,01. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa χ2 hitung (4.68) lebih kecil dan χ2tabel (7.81).
72
PENGARUH METODE PEMBELAJARAN DAN MOTIVASI BELAJAR
Sesudah uji normalitas dan homogenitas dilakukan dan hasilnya menunjukkan bahwa sampel penelitian berasal dari populasi berdistribusi normal dan varians sampel homogen, maka pengujian hipotesis dengan menggunakan analisis varians dapat dilakukan. Analisis terhadap data hasil belajar siswa terhadap mata pelajaran bahasa inggris dilakukan dengan menggunakan analisis Varians (ANAVA) dua jalan (two way ANAVA) yang proses perhitungannya dibantu dengan program excel.
Hasil uji anava tersebut kemudian dilanjutkan dengan uji Tukey untuk mengetahui signifikansi perbedaan di antara masing-masing kelompok secara signifikan (simple effect). Uji Tukey digunakan dengan tujuan untuk melihat kelompok sampel mana yang lebih tinggi hasil belajarnya terhadap mata pelajaran bahasa inggris. ringkasan hasil analisis data dengan menggunakan analisis varians dapat dilihat pada tabel berikut :
Ringkasan Hasil ANAVA Mata Pelajaran Bahasa Inggris Sumber Varians Antar A Antar B AXB Dalam Total
JK
Db
RJK
F hit
82.29 211.75 730.32 1222.50 2246.86
1 1 1 110 112
82.29 211.75 730.32 11.11 20.06122449
7.40** 19.05** 65.71**
Hipotesis Pertama : Terdapat perbedaan hasil belajar Bahasa Inggris antara siswa yang diberi metode pembelajaran kooperatif dengan siswa yang diberi metode pembelajaran diskusi. Data yang diperoleh pada pengukuran hasil belajar terhadap mata pelajaran bahasa inggris menunjukkan bahwa rerata skor siswa yang diberi metode kooperatif adalah 76,34. Sementara rerata skor siswa yang diberi metode diskusi adalah 71,23. Jika dibandingkan kedua rerata tersebut terlihat bahwa hasil belajar siswa yang diberi metode kooperatif lebih tinggi daripada rerata hasil belajar siswa yang diberi metode diskusi. Perbedaan skor di atas juga ditunjang dengan hasil pengujian analisis varians untuk kedua metode belajar. Dari analisis varians diperoleh harga F hitung sebesar 7,40, sementara harga F tabel pada taraf signifikansi α= 0,01 adalah 6,87. Berdasarkan hasil penelitian ini maka hipotesias nol (H0) ditolak karena terbukti
F Tab α=0.05 α=0.01 3.93 6.87 3.93 6.87 3.93 6.87
kebenarannya, maka hipotesis alternative (H1) diterima. Hal ini menunjukkan perbedaan hasil belajar siswa terhadap mata pelajaran bahasa inggris antara siswa yang diberi metode kooperatif dan siswa yang diberi metode diskusi adalah perbedaan yang sangat signifikan. Hipotesis Kedua : Terdapat interaksi antara metode pembelajaran dan motivasi belajar terhadap hasil belajar bahasa inggris siswa pada mata pelajaran bahasa Inggris. Data yang diperoleh pada pengukuran hasil belajar terhadap mata pelajaran bahasa inggris yang memiliki motivasi tinggi diberi metode kooperatif (μA1B1 = 78,57) lebih tinggi daripada skor rerata siswa yang memiliki motivasi rendah(μA1B2= 74,11). Pada hasil belajar siswa yang memiliki motivasi tinggi diberi metode diskusi (μA2B1=71,75) lebih tinggi daripada siswa yang memiliki motivasi rendah diberi metode yang sama (μA2B2=70,71). Data tersebut Pedagogia, Volume 5 Nomor 2 Tahun 2013
PENGARUH METODE PEMBELAJARAN DAN MOTIVASI BELAJAR
menunjukkan bahwa siswa yang memiliki motivasi tinggi diberi metode kooperatif tebih tinggi dari siswa yang memiliki motivasi rendah. Sementara itu untuk siswa yang memiliki motivasi tinggi diberi metode diskusi lebih tinggi dari siswa yang memiliki motivasi rendah. Dengan demikian maka perbedaan hasil belajar terhadap mata pelajaran bahasa inggris merupakan pengaruh dari motivasi siswa Secara ringkas interaksi tersebut dapat dilihat pada tabel berikut ini. Interaksi antara Metode dan Motivasi terhadap Hasil Belajar Bahasa Inggris. Metode Belajar Kooperatif Diskusi (A1) (A2) Motivasi Tinggi (B1) Rendah (B2)
μA1B1 = 78.57 μA1B2 = 74.11
μA2B1 = 71.75 μA2B2 = 70.71
Perbedaan skor di atas juga ditunjang oleh hasil analisis varians untuk melihat interaksi antara metode belajar dengan motivasi. pada tabel 18 terlihat harga F hitung adalah 65,71, sedangkan F tabel pada taraf signifikasni α= 0,01 adalah 6,87. Bila bandingkan ternyata harga F hitung lebih besar daripada F tabel pada taraf signifikansi. Berdasarkan hasil penelitian hipotesis nol (H0) ditolak karena tidak teruji kebenarannya, maka hipotesis alternative (H1) diterima. Yaitu menunjukkan terdapat pengaruh interaksi antara metode pembelajaran dan motivasi belajar bahasa Inggris. Hipotesis ketiga : Terdapat perbedaan hasil belajar Bahasa Inggris antara siswa yang memiliki motivasi belajar tinggi diberi metode kooperatif dan siswa yang diberi metode pembelajaran diskusi. Hasil yang diperoleh pada uji Tukey’ menunjukkan harga t hitung (A1B1-A2B1) sebessar 15,5. Sedangkan harga t tabel adalah
Pedagogia, Volume 5 Nomor 2 Tahun 2013
73
1,98. Bila dibandingkan kedua harga t tersebut maka terlihat bahwa t hitung lebih besar daripada harga t tabel. lajaran diskusi. Secara empiric diperoleh bahwa hasil belajar siswa yang memiliki motivasi tinggi diberi metode kooperatif lebih tinggi (μA1B1 = 78,57) daripada siswa yang memiliki motivasi tinggi diberi metode diskusi ((μA2B₁ = 71,75). Berdasarkan hasil ini maka siswa yang memiliki motivasi belajar tinggi akan lebih tinggi hasilnya diberikan metode kooperatif daripada diberikan metode diskusi. Hipotesis keempat : Terdapat perbedaan hasil belajar bahasa Inggris antara siswa yang memiliki motivasi belajar yang rendah diberi metode kooperatif dan siswa yang diberi diberi metode pembelajaran diskusi. Hasil yang diperoleh pada uji tukey’ menunjukkan harga t hitung (A1B2-A2B2) sebessar 7,73. Sedangkan harga t tabel adalah 1,98. Bila dibandingkan kedua harga t tersebut maka terlihat bahwa t hitung lebih besar daripada harga t tabel. Berdasarkan penelitian ini maka hipotesis alternative (H1) diterima karena teruji kebenarannya yaitu terdapat perbedaan hasil belajar bahasa Inggris antara siswa yang memiliki motivasi belajar yang rendah diberi metode pembelajaran kooperatif dan siswa yang diberi metode pembelajaran diskusi. Secara empirik diperoleh bahwa siswa yang memiliki motivasi rendah diberi metode kooperatif hasilnya lebih tinggi (μA1B2 = 74,11) daripada siswa yang memiliki motivasi rendah diberi metode diskusi (μA2B2=70,71). Berdasarkan hasil ini maka siswa yang memiliki motivasi rendah diberi metode kooperatif lebih tinggri dari pada diberi metode diskusi. Hasil penelitian pada kelompok siswa dengan perlakuan metode yang berbeda di atas menunjukkan adanya perbedaan hasil belajar siswa yang diberi metode kooperatif terhadap mata pelajaran bahasa inggris (A1) dengan siswa
74
PENGARUH METODE PEMBELAJARAN DAN MOTIVASI BELAJAR
yang diberi metode diskusi (A2). Perbedaan ini dapat dilihat dari perbedaan rerata skor hasil belajar siswa yang diperoleh setiap anggota kelompok tersebut. Rerata hasil belajar siswa yang diberi metode kooperatif (μA1= 76,34 ) lebih tinggi daripada rerata hasil belajar siswa yang diberi metode diskusi (μA2 = 71,23). Selain perbedaan yang ditunjukkan oleh rerata skor hasil belajar, perbedaan kedua kelompok juga diperkuat dengan hasil analis varians yang memperlihatkan harga FhA lebih besar (7,40) dari Ftabel baik pada taraf signifikansi 5% maupun taraf signifikansi 1%. Hasil ini memperkuat asusmsi bahwa pemberian metode belajar yang berbeda akan memberikan perbedaan hasil belajar terhadap mata pelajaran bahasa inggris yang berbeda pula. Perbedaan rerata yang diperoleh secara empirik ini sesuai dengan dugaan awal yang menyatakan bahwa siswa yang diberi metode kooperatif lebih tinggi hasil belajarnya daripada siswa yang diberi metode diskusi. Pembahasan Pembelajaran kooperatif menggalakkan siswa berinteraksi secara aktif dan positif dalam kelompok. Hal ini akan memungkinkan terjadinya penggabungan dan pemeriksaan ide sendiri dalam suasana tidak tertekan. Pembelajaran ini memerlukan kerjasama antar individu, dan ketergantungan satu sama lain, pernyataan ini dikemukakan juga oleh Lukman (2009:54) aspek-aspek esensial yang terdapat dalam pembelajaran kooperatif adalah: Saling bergantung antara satu sama lain secara positif (Posotif Interdependence). Saling beri nteraksi langsung antar anggota dalam kelompok (Face to Face Interaction). Akunta bi litas individu atas pembelajaran diri sendiri (Individual Accountabulity). Keterampilan social (Cooperative Social Skills). Pemprosesan Kelompok (Group Processing).
Pembelajaran kooperatif (belajar kelom pok) merupakan suatu lingkungan belajar di kelas, di mana para siswa bekerja dalam kelompok-kelompok kecil yang mempunyai kemampuan yang berbeda-beda untuk mencapai suatu tujuan umum. Belajar kelompok merupakan pendekatan yang dilakukan agar siswa dapat bekerja sama dengan yang lain untuk memahami kebermaknaan isi pelajaran dan bekerja sama secara aktif dalam menyelesaikan tugas. Diskusi merupakan salah satu metode pembelajaran agar siswa dapat berbagi pengetahuan, pandangan, dan keterampilannya. diskusi berasal dari bahasa Inggris discussion artinya pembicaraan, diskusi, perundingan. Dalam Bahasa Indonesia, diskusi berarti “pertemuan ilmiah untuk bertukar pikiran mengenai suatu masalah. Dengan demikian dari segi bahasa metode diskusi dapat diartikan sebagai suatu cara untuk membahas dan mengatasi suatu masalah dengan jalan bertukar pikiran, berunding atau bermusyawarah. Abu Ahmadi (1986:114) mengemukakan “diskusi ialah suatu kegiatan kelompok dalam memecahkan masalah untuk mengambil kesimpulan. Diskusi tidak sama dengan ber debat. Diskusi selalu diarahkan kepada pemecahan masalah yang menimbulkan berbagai macam pendapat dan akhirnya timbul suatu kesimpulan yang dapat diterima oleh anggota dalam kelompoknya. Sedangkan Roestiyah (1991:5) menerangkan bahwa “Metode diskusi adalah salah satu metode belajar mengajar yang dilakukan oleh seorang guru di sekolah. Di dalam diskusi ini proses interaksi antar dua atau lebih individu yang terlibat saling tukar menukar pengalaman, informasi, memecahkan masalah dapat terjadi juga”. Metode diskusi dalam proses mengajar dan belajar berarti metode mengemukakan pendapat dalam musyawarah untuk mufakat. Dengan demikian inti dari pengertian diskusi
Pedagogia, Volume 5 Nomor 2 Tahun 2013
PENGARUH METODE PEMBELAJARAN DAN MOTIVASI BELAJAR
adalah meeting of minds. Di dalam memecahkan masalah diperlukan bermacam-macam jawaban. Diskusi bertujuan untuk mengeksplorasi pendapat atau pandangan yang berbeda dan untuk mengidentifikasi berbagai kemungkinan. Penggunaan metode diskusi dalam pembelajaran memungkinkan adanya keterlibatan siswa dalam proses interaksi yang lebih luas. Proses interaksi berjalan melalui komunikasi verbal. Harmer (2003:272) menyatakan One of the reasons that discussion fail (when they do) is that students are reluctant to give an opinion in front of the whole class, particularly if they cannot think of anything to say and are not,”. Pemanfaatan diskusi oleh guru mempunyai arti untuk memahami apa yang ada didalam pemikiran siswa dan bagaimana memproses gagasan dan informasi yang diajarkan melalui komunikasi yang terjadi selama pembelajaran yang berlangsung baik antar siswa. Sehingga diskusi menyediakan tatanan sosial dimana guru dapat membantu siswa menganalisis proses berpikir mereka. Motivasi berasal dari kata bahasa Inggris yaitu motivation yang berarti sebab, tujuan atau dorongan, jadi tujuan seseorang itulah pada hakikatnya menjadi penggerak utama bagi seseorang, berusaha keras mencapai atau mendapat sesuatu yang diinginkan. Motivasi belajar merupakan rangkaian suatu usaha yang diperuntukan dalam hal penyediaan suatu kondisi atau keadaan-keadaan tertentu yang dapat membuat seseorang ingin, mau, dan juga berniat untuk melakukan atau mengerjakan sesuatu hal. Lebih jelas lagi dalam pengertian motivasi belajar ini yaitu jika seseorang tidak menyukai terhadap sesuatu atau tidak menyukai belajar salah satu bidang ilmu hal maka dengan adanya motivasi belajar akan membuat rasa tidak suka menjadi suka dan orang tersebut akan berusaha untuk mengelak atau menghilangkan rasa tidak sukanya tersebut.
Pedagogia, Volume 5 Nomor 2 Tahun 2013
75
Motivasi dalam belajar adalah faktor yang penting karena hal tersebut merupakan keadaan yang mendorong keadaan siswa untuk melakukan belajar. Persoalan mengenai motivasi dalam belajar adalah bagaimana cara mengatur agar motivasi dapat ditingkatkan. Demikian pula dalam kegiatan belajar mengajar sorang anak didik akan berhasil jika mempunyai motivasi untuk belajar. Harmer (2001) menyatakan bahwa motivation is some kind of internal drive which pushes someone to do things in order to achieve something. Pernyataan di atas menerangkan bahwa motivasi merupakan sesuatu yang bersifat internal yang berasal dari dalam diri manusia yang menyebabkan munculnya prilaku. Dorongan itu pada umumnya diarahkan untuk mencapai sesuatu yang bertujuan. Itu sebabnya sering mendengar istilah motif dan dorongan, dikaitkan dengan prestasi dan hasil belajar siswa di sekolah khususnya dalam penelitian ini prestasi belajar Bahasa Inggris siwa, yang dikenal dengan motif berprestasi (achievement motive). Artinya keinginan untuk mencapai sesuatu keberhasilan merupakan pendorong untuk bertingkah laku melakukan kegiatan belajar. Bagi siswa yang mempunyai motivasi belajar rendah terhadap materi pelajaran bahasa Inggris tentu ia akan kurang aktif dalam proses belajar-mengajar, akibatnya akan sulit memperoleh basil belajar yang lebih tinggi. Siswa yang memliki mitivasi tinggi ten tunya akan sebaik mungkin berusaha mengikuti pembelajaran kerjasama dalam kelompok. Maka siswa yang memiliki motivasi tinggi akan merasa mudah karena tugasnya dilakukan dengan bersama. Motivasi sebagai dorongan yang timbul pada diri seseorang secara sadar atau tidak sadar, untuk melakukan suatu tindakan dengan tujuan tertentu. Sedangkan secara psikologi, berarti usaha yang dapat menyebabkan seseorang
76
PENGARUH METODE PEMBELAJARAN DAN MOTIVASI BELAJAR
atau kelompok orang tergerak melakukan sesuatu karena ingin mencapai tujuan yang dikehendakinya, atau mendapat kepuasan dengan perbuatannya. Berdasarkan penelitian ini maka pemberian motivasi sangat penting dalam mencapai hasil belajar yang tinggi. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pengujian hipotesis dalam pembahasan ini akan disajikan kesimpulan sebagai berikut: 1. Siswa yang diberi metode pembelajaran kooperatif lebih tinggi hasil belajarnya daripada siswa yang diberi metode pembelajaran diskusi. 2. Terdapat interaksi antara metode belajar dengan motivasi belajar terhadap mata pelajaran bahasa inggris. 3. Pada kelompok siswa yang memiliki motivasi belajar tinggi diberi metode kooperatif hasil belajarnya lebih tinggi daripada siswa yang diberi metode diskusi. 4. Pada kelompok siswa yang memiliki motivasi belajar rendah diberi metode diskusi hasilnya lebih tinggi dari pada siwa yang diberi metode diskusi terhadap mata pelajaran bahasa inggris. Daftar Pustaka Ahmadi, Abu. 1986. Metode Khusus Pendidikan Agama. Bandung: Armico. Asra, Sumiati. 2009. Metode Pembelajaran. Bandung: CV Wacana Prima.
Harmer, J. 2003. The Practice of English Language Teaching.Edindurgh Gate. England: Longman. Hakim, L. 2009. Perencanaan Pembelajaran. Bandung: CV Wacana Prima. Johnson, D. W. Johnson R. T. 1991. Learning Together and Alone, 3rd Edition. University of Minnesota: Prentice Hall Inc. Johnson, D. W. & Johnson R. T. 1994. Leading the Cooperative School. Edina, MN: Interactian Book Company. Johnson, LouAnne. 2009. Pengajaran yang Kreatif dan Menarik. Indeks: PT Macanan Jaya Cemerlang. Mansur, Harun Rasyid. 2009. Penilaian Hasil Belajar. CV Wacana Prima. Roestiyah N. K. 1991. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta. Penulis Iyan Irdiyansyah, was born in Lebak on September 17th 1986, he lives in JL. Cimahpar Nagrak Perum Cluster Ambar Bogor Regency B. 2 No. 9 Kab. Bogor. His formal educational background is in SDN Muncang 1 Lebak Banten, M.Ts and MA Pon-Pes Modern Al-Mizan Rangkasbitung Banten. Bachelor degree (S1) in English Education Study Program, Faculty of Teacher Training and Educational Sciences of University of Pakuan, and graduated in 2009. Magister ( S2) of Research and Educational Evaluation (PEP) UHAMKA Jakarta.
Pedagogia, Volume 5 Nomor 2 Tahun 2013