Volume 5 Nomor 1 Tahun 2013
PEDAGOGIA
Jurnal Ilmiah Pendidikan Pelindung: Ketua Yayasan Pakuan Siliwangi Pengarah: Rektor Universitas Pakuan Pimpinan Umum : Drs. Deddy Sofyan, M.Pd. Penyunting Ahli : Prof. Dr. H. Yus Rusyana Dra. Lestari Sukartiningsih, M.Pd. Dra. Eri Sarimanah, M.Pd. Drs. Aam Nurjaman, M.Pd. Dr. Entis Sutisna, M.Pd. Dr. Surti Kurniasih, M.Si. Drs. Dadang Kurnia, M.Pd. Suhendra, S.Pd., M.Pd. Dra. Atti Herawati, M.Pd. Mursidah Rahmah, S.Pd., M.Pd. Dra. Susi Sutjihati, M.Si. Elly Sukmanasa, M.Pd. Pemimpin Redaks: Rais Hidayat, M.Pd. Sekretaris Redaksi: Istiqlaliah N.H., M.Pd. Redaktur Pelaksana: Sandi Budiana, S.Pd. Siti Chodijah, S.Pd. Asih Wahyuni, M.Pd. Iyan Irdiyansyah, M.Pd. Rita Istiana, S.Si. Aip M. Irfan, M.Si. Lina Novita, S.Sn., M.Pd. Ani Yanti Ginanjar, M.Pd. Suci Siti Lathifah, S.Pd. Dendy Saeful Zen, M.Pd. Irfan Fauzi, M.Pd. Tata Usaha/Sirkulasi: Istiqlaliah N.H., M.Pd. Alamat Redaksi : Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Pakuan Jalan Pakuan Kotak Pos 452 Tlp. 0251 8375608 Fax 0251 8375608 Terbit Pertama Tahun 2004 Frekwensi Terbit 4 bulanan STRUKTUR ORGANISASI JURNAL PEDAGOGIA BERDASARKAN SURAT KEPUTUSAN DEKAN FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS PAKUAN NOMOR : 4951/SK/D/FKIP/VII/2012
ISSN No.1693-5799
Pengantar Redaksi Tantangan di masa depan yang berupa globalisasi membutuhkan antisipasi secara cepat, cermat dan tepat. Apalagi bagi dunia pendidikan, gelombang globalisasi jika tidak diantipasi secara benar akan menimbulkan bahaya bagi dunia pendidikan itu sendiri, seperti kegagalan institusi pendidikan menghasilkan manusia yang kurang adaptif dan tidak kreatif dalam menghadapi perubahan. Oleh karena itu, institusi pendidikan harus menjadi pelopor dalam menangani dan mencari solusi kehidupan yang dilanda globalisasi ini. Bentuk antisipasi dunia pendidikan atas globalisasi antara lain dengan terus berupaya melakukan pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat. Upaya pendidikan dilakukan dengan terus meningkatkan proses pendidikan dan pengajaran. Upaya penelitian dilakukan dengan terus menerus meningkatkan cara berpikir logis dan sistematis dan menggunakan metode ilmiah yang canggih dalam berbagai penelitian. Sedangkan pengabdian masyarakat dilakukan dengan terus menerus bersama masyarakat ikut serta membangun bangsa dan negara. Jurnal PEDAGOGIA yang sedang Bapak/Ibu/ Sdr/i baca ini merupakan salah satu bentuk sumbangsih Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Pakuan dalam mengantisipasi globalisasi dan ikut serta dalam membangun bangsa. Jurnal PEDAGOGIA ini sudah hadir dan ikut mencerdaskan bangsa sejak tahun 2004. Berkat dukungan, motivasi, kerja keras dan komitmen dari segenap civitas akademika Universitas Pakuan, maka Jurnal PEDAGOGIA akan terus hadir menyampaikan hasil-hasil penelitian, khususnya penelitian dalam bidang pendidikan. Jurnal PEDAGOGIA edisi ini akan menampilkan 8 (delapan) artikel penelitian yang berasal dari penelitian dosen (internal dan eksternal Unpak) dan beberapa artikel penelitian dari mahasiswa yang dibimbing oleh dosen. Selain dalam bentuk Jurnal PEDAGOGIA cetak, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Pakuan juga hadir dalam bentuk e-journal yang dapat diakses melalui http://unpak.ac.id/ejournal/. Segenap jajaran redaksi Jurnal PEDAGOGIA berharap semoga jurnal ini berguna dalam peningkatan kualitas kehidupan pendidikan Indonesia, khususnya di Universitas Pakuan. Selamat membaca ! Wassalam Redaksi
Volume 5 Nomor 1 Tahun 2013
ISSN No.1693-5799
PEDAGOGIA
Jurnal Ilmiah Pendidikan DAFTAR ISI
Nomor ISSN..............................................................................................................................................i Susunan Redaksi .......................................................................................................................................i Pengantar Redaksi.....................................................................................................................................i Daftar Isi .................................................................................................................................................iii 1. Pendidikan Abad 21 dan Kurikulum 2013: Survei terhadap Guru-Guru Sekolah Dasar Mengenai Wacana Perubahan Kurikulum 2013.......................................................................1 Rais Hidayat dan Yuyun Elizabeth Patras 2. Pengembangan Paragraf dalam Artikel Kompas-Anak ....................................................................9 Rina Rosdiana dan Suhendra 3. Pembelajaran Konsep Pengelolaan Lingkungan dengan Pendekatan SETS untuk Meningkatkan Kemampuan Kognitif dan Keterampilan Generik Mahasiswa PGSD .....................17 Suci Siti Lathifah, Taufik Rahman, Adi Rahmat 4. Improving Students’ Vocabulary Enrichment through Picture and Picture......................................27 Eli Nurlaeli, Entis Sutisna, Mursidah Rahmah 5. Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Make A Match pada Mata Pelajaran Matematika untuk Meningkatkan Hasil Belajar .....................................................33 Fuzy Dwiyani Lestari , Sumardi, Saur Tampubolon 6. Analisis Citraan pada Kumpulan Puisi Mata Ketiga Cinta karya Helvy Tiana Rosa serta Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra Indonesia di SMA.......................................................39 Badriah Evih Hindrawati, Aam Nurjaman, Suhendra 7. Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Numbered Heads Together untuk Meningkatkan Hasil Belajar Mata Pelajaran Matematika .....................................................47 Selviani Ayu Purwanti, Saur Tampubolon, Achmad Dasuki 8. Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Biologi dengan Penugasan Mind Mapping dan Model Pembelajaran RRB (Round Robin Brainstorming) ...............................................................53 Anne Aulia Rachmawaty, Susi Sutjihati, Nandang Hidayat
PENDIDIKAN ABAD 21 DAN KURIKULUM 2013
1
PENDIDIKAN ABAD 21 DAN KURIKULUM 2013: SURVEY TERHADAP GURU-GURU SEKOLAH DASAR MENGENAI WACANA PERUBAHAN KURIKULUM 2013 Rais Hidayat dan Yuyun Elizabeth Patras Abstrak Kurikulum 2013 belum memberikan respon secara memadai terhadap kebutuhan pendidikan abad 21, misalnya dalam merespon terhadap kerusakan lingkungan, kebebasan individu, bangga sebagai bangsa, kepedulian sosial, dan menjadikan siswa yang mandiri, kreatif dan bertanggung jawab. Apalagi SDM dan sarana prasarana yang menunjang dalam pelaksanaan kurikulum itu masih sangat kurang memadai. Namun demikian wacana perubahan kurikulum 2013 gaungnya sudah sampai ke guru-guru. Tetapi guru-guru masih ragu apakah kurikulum 2013 bisa merubah mutu pendidikan sesuai tuntutan abad ke 21. Beberapa wacana yang muncul dalam kurikulum 2013 ternyata tidak sesuai dengan persepsi guru, misalnya kasus pengintegrasian pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) kedalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris sebagai ekstra kulikuler. Kata kunci: Pendidikan Abad 21, Kurikulum 2013, Persepsi guru
Pendahuluan Tahun 2013, Indonesia akan merubah atau memperbaiki kurikulum. Ini berarti ada sejumlah hal yang berbeda dari kurikulum 2004/2006. Ada beberapa wacana yang muncul dalam perubahan kurikulum antara lain: penyederhanaan pelajaran, tematik-integratif, penambahan jam pelajaran, pergeseran paradigma belajar abad 21; pembelajaran siswa aktif berbasis kompetensi; buku pegangan atau buku babon; dan peranan guru sebagai ujung tombak pelaksana pendidikan. Penulis ditunjuk oleh Panitia Seminar Pendidikan Program Doktor Program Studi Manajemen Pendidikan Universitas Negeri Jakarta 2013, untuk kepentingan seminar tersebut penulis dibantu oleh tim dari mahasiswa S3 Pascasarjana Prodi Manajemen Pendidikan melakukan suvey. Hasil survey menunjukan bahwa 60% guru belum mendapatkan sosialisasi perubahan kurikulum, 60% guru tidak yakin perubahan kurikulum akan berimplikasi pada mutu pendidikan. Berdasarkan hasil survey tersebut, maka penulis bermaksud untuk membahas lebih jauh mengenai pendidikan abad 21 dan wacana perubahan kurikulum 2013. Penulisan makalah ini
Pedagogia, Volume 5 Nomor 1 Tahun 2013
diharapkan membantu pembaca untuk memahami kaitan antara pendidikan abad 21 dan wacana perubahan kurikulum 2013. Berdasarkan hal tersebut penulisan ini difokuskan pada pertanyaan sebagai berikut: Bagaimana gambaran masyarakat abad 21? Pendidikan seperti apakah yang dibutuhkan oleh masyarakat pada abad 21? Apakah wacana perubahan kurikulum 2013 sudah merepresentasikan kebutuhan abad 21? Bagaimana guru-guru harus bersikap pada kurikulum 2013? Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan mengkaji teori-teori fenomena pendidikan abad 21, kemudian fenomena tersebut dikomparasikan dengan keadaan pendidikan Indonesia, khususnya dengan wacana perubahan kurikulum 2013. Selanjutnya gambaran fenomena pendidikan abad 21 dan wacana kurikulum 2013 dikomparasikan dengan hasil survei terhadap guru-guru di Jakarta, Bogor, Tanggerang, Banten dan Bekasi. Survey mengenai wacana perubahan kurikulum 2013 dilakukan terhadap 200 guru Sekolah Dasar di Jakarta, Bogor, Bekasi dan Banten, dari tanggal 1 –s.d. 5 Februari 2013. Survey berisi
2
PENDIDIKAN ABAD 21 DAN KURIKULUM 2013
pernyataan-pernyataan mengenai wacana kurikulum 2013, kemudian responden menjawabnya dengan jawaban ya atau tidak. Jawaban responden kemudian diolah dengan program SPSS versi 19, dengan jawaban ya bernilai 2 dan tidak bernilai 1. Jawaban responden kemudian ditabulasi dan dinterpretasi sebagai respon guru terhadap wacana perubahan kurikulum 2013. Temuan Penelitian 1. Masyarakat abad 21 Keadaan abad 21 disebut globalisasi yang ditandai oleh banyaknya perubahan-perubahan pada semua aspek kehidupan, bukan hanya dalam ilmu pengetahuan dan tekhnologi, tetapi juga dalam bidang ekonomi, sosial, dan politik. Pada era globalisasi yang disebut juga era informasi akan terjadi proses perubahan antar negara, antar bangsa, antar budaya tanpa mengenal batas. Selo Sumardjan (1993) mengartikan globalisasi sebagai proses penyebaran rasa, cipta, dan karsa suatu kebudayaan sehingga diterima dan diadopsi oleh negara lain di seluruh dunia. Pada saat ini dan dimasa mendatang pengaruh era globalisasi akan semakin terasa terutama dengan semakin banyaknya saluran informasi yang tersedia seperti surat kabar, majalah, radio, televisi, telepon, faksimail, komputer, internet, satelit komunikasi, sekolah bahkan informasi langsung yang dibawa oleh pengunjung (travelers). Semua itu dimungkinkan dengan adanya perkembangan pesat di bidang teknologi terutama teknologi komunikasi, informasi, dan transformasi. Hernawan (2006) mengidentifikasi beberapa ciri abad 21 atau era globalisasi antara lain: meningkatnya interaksi antar warga dunia baik secara langsung maupun tidak langsung, semakin banyaknya informasi yang tersedia dan dapat diperoleh, meluasnya cakrawala intelektual, munculnya arus keterbukaan dan demokratisasi baik dalam politik maupun ekonomi, memanjangnya jarak budaya antara generasi tua dan generasi muda, meningkatnya kepedulian akan perlunya dijaga keseimbangan dunia, meningkatnya kesadaran akan saling ketergantungan ekonomis, dan mengaburnya batas kedaulatan budaya tertentu karena tidak terbendungnya informasi. Dampak globalisasi pada kehidupan sangat banyak sehingga menuntut manusia untuk dapat
mempertahankan hidupnya (human survival), artinya manusia dituntut untuk dapat mengendalikan dan memanfaatkan efek-efek dari globalisasi dalam kehidupannya. Manusia adalah pencipta globalisasi, dan manusia itu pula yang harus dapat mengendalikan, menguasai, memanfaatkan, dan mengembangkan globalisasi untuk kepentingan hidupnya. Bagi masyarakat dan bangsa yang sedang berkembang seperti Indonesia, globalisasi ini membawa dampak yang sangat berpengaruh dalam semua aspek kehidupan misalnya: dalam aspek kebudayaan, proses globalisasi ini menjadikan budaya yang kuat dan agresif akan mempengaruhi budaya yang lemah dan pasif. Selo Sumardjan (1993) menyebutkan bahwa budaya yang kuat dan agresif adalah budaya yang bersifat progresif dengan ciri-ciri sebagai berikut: cara berpikir yang rasional dan realistik, kebiasaan membaca yang tinggi, kemampuan mengembangkan dan menyerap ilmu pengetahuan yang banyak dan cepat, terbuka untuk inovasi bahkan selalu mencari hal-hal baru, pandangan hidup yang berdimensi lokal, nasional, dan universal, mampu memprediksi dan merencanakan masa depan, dan teknologi yang senantiasa berkembang dan digunakan. Adanya dampak globaliasi pada perubahan masyarakat mendorong para ahli pendidikan untuk menganjurkan agar pendidikan melakukan upayaupaya adaptasi dengan perubahan global. Mario.D Fantine (1986) menyebutkan berbagai implikasi globalisasi terhadap dunia pendidikan yang meliputi aspek kurikulum, manajemen pendidikan, tenaga kependidikan, strategi dan metode pendidikan. Dalam kaitan ini pendidikan dituntut harus mampu menyiapkan SDM yang mampu menghadapi tantangan globalisas tanpa kehilangan nilai-nilai kepribadian dan budaya bangsa. 2.
Kebutuhan Pendidikan Abad 21 Pendidikan pada abad ke-21menurut Patrick Slattery dalam bukunya “Curriculum Development In The Postmodern” harus berdasarkan pada lima konsep, yaitu : Pertama, konsep yang berasal dari Dorothy yang mengatakan bahwa pendidikan harus diarahkan untuk perubahan sosial, pemberdayaan komunitas dan membebaskan pikiran, tubuh dan spirit manusia (that teaching must be directed towards
Pedagogia, Volume 5 Nomor 1 Tahun 2013
PENDIDIKAN ABAD 21 DAN KURIKULUM 2013
social change, community empowerment, and the liberation of the mind, body, and spirit of individual human beings). Kedua, konsep yang berasal dari Thich Nhat Hanh yang mengemukakan tujuh hal yang harus menginspirasi pendidikann yaitu : (1) Jangan mengidolakan atau terikat dengan teori, ideologi atau agama karena tidak ada kebenaran yang mutlak (Do not idolatrous about or bound any doctrin, theory, or ideology), (2) Jangan berpikir ilmu pengetahuan yang anda miliki sekarang merupakan yang paling benar, hindari berpikir sempit (Avoid being narrow-minded and bound to present view); (3) Jangan memaksakan orang lain, termasuk pada anak-anak dengan cara apapun, baik dengan kekuasaan, ancaman, uang, propaganda bahkan dengan pendidikan (Do not force others), (4) Jangan pernah menghindari kontak dengan orang yang menderita atau harus care dengan sesama (Do not avoid contact with suffering or close your eyes before suffering), (5) Jangan memelihara kebencian dan amarah (Do not maintain anger or hatred), (6) Jangan kehilangan jatidiri dalam keadaan apapun (Do not lose yourself in dispersion and in your surroundings), (7) Jangan bekerja ditempat yang menghancurkan manusia dan alam (Do not live with a vocation that is harmful to human and nature). Ketiga, konsep yang berasal dari David Ort bahwa dalam konteks pembelajaran, pengembangan kurikulum, dan penelitian, maka seorang tenaga pendidik atau guru harus menggunakan berbagai kesempatan untuk menghubungkan siswa dengan alam semesta, khususnya agar tercipta keberlangsungan hidup bersama (must use every opportunity to connect students to the universe, especially the life-sustaining dimension of the global community on our beautiful yet fragile planet) Keempat, konsep dari Dietrich Bonhoeffer yang melarang guru melakukan kegiatan pembelajaran dalam keadaan kondisi tertekan. Lebih lanjut dia mengatakan bahwa tak seorangpun dapat berpikir kebebasan secara substansial. Secara sederhana, kebebasan adalah sesuatu yang terjadi kepada setiap orang melalui orang lain. Menajdi bebas berarti membebaskan orang lain (No one can think of freedom as a substance or as something individualistic. Freedom is simply something that happen to me
Pedagogia, Volume 5 Nomor 1 Tahun 2013
3
through the other. Being free means being free for the other). Berdasarkan pendapat di atas, maka pendidikan di abad 21 harus menjadi fondasi utama dan tempat bersemainya kebaikan untuk mentransformasi individu dan meperbaharui masyarakat. Oleh sebab itu, guru dan murid harus melakukan kolaborasi sebagai pasangan demi keadilan dan kelangsungan kehidupan. Adapun UNESCO membuat empat Pilar Pendidikan (Hermawan: 2006) untuk menyongsong abad 21, yaitu: (1) Learning to know (belajar untuk mengetahui), (2) Learning to do (belajar untuk melakukan), (3) Learning to be (belajar untuk mengaktualisasikan diri sebagai individu mandiri dengan kepribadian) (4) Learning to live together (belajar untuk hidup bersama). Adapun format Pendidikan pada abad 21 menurut Asep Herry Hermawan sebagai berikut : (1) Cyber (E-Learning) Cyber atau electronic learning adalah pembelajaran melalui teknologi computer atau internet. Teknologi belajar ini bisa juga disebut pembelajaran berbasis WEB (Web-Based Instruction). (2) Pembelajaran jarak jauh (Open and Distance Learning) merupakan model belajar dimana guru dan siswa tidak belajar di dalam suatu tempat dan waktu yang samaserta tidak bertatap muka secara langsung, namun demikian mereka berkomunikasi secara 2 arah yang dilakukan dengan berbagai cara dan bantuan dari teknologi komunikasi dan informasi. (3) Quantum Learning merupakan metode belajar yang disesuaikan dengan cara kerja otak manusia. (4) Cooperative Learning merupakan pembelajaran yang menggunakan kelompok kecil yang dapat menumbuhkan kerjasama secara maksimal dan masing-masing siswa belajar satu dengan yang lain. Pembelajar ini mengarahkan siswa agar mempunyai tanggung jawab yaitu belajar konten yang telah dirancang dan semua anggota kelompok bekerja sama. (5) Society Technology Science (STS). Pendekatan ini termasuk pembelajaran IPA dan IPS di SD. Dalam pembelajaran IPA. Konsep ini merupakan gerakan interdisipliner yang relatif baru dikembangkan untuk mengintegrasikan permasalahan dalam ilmu pengetahuan, teknologi dan masyaraka. (6) Accelerated Learning merupakann suatu kemampuan
4
PENDIDIKAN ABAD 21 DAN KURIKULUM 2013
menyerap dan memahami informasi baru secara cepat serta mempertahankan informasi tersebut. Penguasaan metode belajar akselerasi dapat meningkatkan kemampuan belajar secara lebih efektif. 3.
Wacana Kurikulum 2013 Ada tiga faktor yang menjadi alasan perubahan Kurikulum 2013 yaitu pertama, tantangan masa depan diantaranya meliputi arus globalisasi, masalah lingkungan hidup, kemajuan teknologi informasi, konvergensi ilmu dan teknologi, dan ekonomi berbasis pengetahuan. Kedua, kompetensi masa depan yang antaranya meliputi kemampuan berkomunikasi, kemampuan berpikir jernih dan kritis, kemampuan mempertimbangkan segi moral suatu permasalahan, kemampuan menjadi warga negara yang efektif, dan kemampuan mencoba untuk mengerti dan toleran terhadap pandangan yang berbeda. Ketiga, fenomena sosial yang mengemuka seperti perkelahian pelajar, narkoba, korupsi, plagiatisme, kecurangan dalam berbagai jenis ujian, dan gejolak sosial (social unrest). Yang keempat adalah persepsi publik yang menilai pendidikan selama ini terlalu menitikberatkan pada aspek kognitif, beban siswa yang terlalu berat, dan kurang bermuatan karakter. Berdasarkan alasan di atas, dilakukan perubahan kurikulum 2013 dengan beberapa wacana sebagai berikut: Penyederhanaan dan TematikIntegratif yang didasari adanya permasalahan dalam kurikulum 2006 sebagai berikut: konten kurikulum yang masih terlalu padat,; belum sepenuhnya berbasis kompetensi sesuai dengan tuntutan fungsi dan tujuan pendidikan nasional; kompetensi belum menggambarkan secara holistik domain sikap; keterampilan, dan pengetahuan; belum peka dan tanggap terhadap perubahan sosial yang terjadi pada tingkat lokal, nasional, maupun global; standar proses pembelajaran belum menggambarkan urutan pembelajaran yang rinci sehingga membuka peluang penafsiran yang beraneka ragam dan berujung pada pembelajaran yang berpusat pada guru; standar penilaian belum mengarahkan pada penilaian berbasis kompetensi (proses dan hasil) dan belum secara tegas menuntut adanya remediasi secara berkala; dan
Dengan KTSP memerlukan dokumen kurikulum yang lebih rinci agar tidak menimbulkan multi tafsir. Menambah Jam Pelajaran. Rasionalitas penambahan jam pelajaran dapat dijelaskan bahwa perubahan proses pembelajaran (dari siswa diberi tahu menjadi siswa mencari tahu) dan proses penilaian (dari berbasis output menjadi berbasis proses dan output) memerlukan penambahan jam pelajaran. Di banyak negara, seperti AS dan Korea Selatan, akhirakhir ini ada kecenderungan dilakukan menambah jam pelajaran. Paradigma Belajar Abad 21. Perlu disadari bahwa dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi seperti saat ini, maka guru kini bukan satu-satunya sumber pengetahuan di kelas. Melalui perubahan struktur masyarakat, perkembangan metode pengajaran, dan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi, peserta didik bisa mendapatkan pengetahuan dari berbagai sumber. Tema Perubahan Kurikulum 2013 adalah dapat menghasilkan manusia Indonesia yang produktif, kreatif, inovatif, dan afektif melalui penguatan sikap (tahu mengapa), keterampilan (tahu bagaimana), dan pengetahuan (tahu apa) yang terintegrasi. Pengembangan kurikulum 2013 untuk mendorong peserta didik atau siswa, mampu lebih baik dalam melakukan observasi, bertanya, bernalar, dan mengkomunikasikan (mempresentasikan), apa yang diperoleh atau diketahui setelah siswa menerima materi pembelajaran. Mengintegrasikan Mata Pelajaran. Tidak ada penghapusan mata pelajaran, yang ada hanya pengintegrasian mata pelajaran. Mata pelajaran IPA dan IPS di sekolah dasar (SD) diintegrasikan ke dalam semua mata pelajaran. Pengintegrasian ini dilakukan untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman yang terus mengalami perkembangan pesat. Ada empat standar dalam kurikulum yang mengalami perubahan, meliputi standar kompetensi lulusan, proses, isi, dan standar penilaian. Kompetensi Guru. Pendidikan sebagai bagian dari sistem rekayasa sosial terbaik untuk meningkatkan kesejahteraan, keharkatan dan kemartabatan suatu bangsa, membutuhkan kehadiran guru. Guru dan kurikulum ibarat dua sisi mata uang, yang tidak bisa dipisahkan. Satu saja tidak ada, maka tidak memiliki nilai apa-apa. Ada empat standar dalam
Pedagogia, Volume 5 Nomor 1 Tahun 2013
PENDIDIKAN ABAD 21 DAN KURIKULUM 2013
kurikulum yang mengalami perubahan, meliputi standar kompetensi lulusan, proses, isi, dan standar penilaian. Kesemuanya ini membutuhkan guru yang profesional. Perubahan pada standar proses misalnya, maka akan berubah pula strategi pembelajarannya. Guru wajib merancang dan mengelola proses pembelajaran aktif yang menyenangkan untuk mendorong peserta didik, melakukan observasi, bertanya, bernalar, dan mengkomunikasikan (mempresentasikan). Buku Induk Kurikulum 2013. Pemerintah akan menyiapkan buku Induk Kurikulum. Ketersediaan buku sebagai bahan ajar dan sumber belajar yang mengintegrasikan keempat standar pembentuk kurikulum; yang sesuai dengan model interaksi pembelajaran; yang sesuai dengan model pembelajaran berbasis pengalaman individu dan berbasis deduktif; dan yang mendukung efektivitas sistem pendidikan, menjadi bagian tidak terpisahkan dalam pengembangan kurikulum 2013. Ada beberapa buku yang disiapkan. Pertama, buku panduan guru, mencakup buku panduan pelaksanaan proses pembelajaran dan dan panduan pengukuran dan penilaian hasil belajar siswa. Kedua, buku siswa, yang berisi kegiatan pembelajaran untuk mencapai kompetensi dasar. Buku ini didesain agar siswa mampu melakukan kegiatan observasi, bertanya, asosiasi, dan komunikasi. Dalam pengembangan kurikulum 2013, pemerintah berharap guru, orang tua dan siswa tidak terbebani dengan buku yang dipastikan akan mengalami perubahan. 4.
Sikap Guru pada Kurikulum 2013 Hasil Survei mengenai wacana perubahan kurikulum 2013 terhadap 200 guru Sekolah Dasar di Jakarta, Bogor, Bekasi dan Banten, dari tanggal 1 –s.d. 5 Februari 2013 menunjukan bahwa 93% guru sudah tahu akan adanya perubahan kurikulum 2013. Fakta ini menunjukkan bahwa media berhasil membawa informasi mengenai wacana perubahan kurikulum 2013. Namun demikian, apakah guru-guru di pelosok pedesaan dan pulau-pulau terpencil sudah tahu akan adanya perubahan kurikulum? Perlu survei lebih lanjut untuk menjawab pertanyaan tersebut. Sebanyak 85% guru sudah tahu alasan perubahan kurikulum 2013. Fakta ini menunjukan bahwa guru-guru sudah responsif terhadap hal-hal
Pedagogia, Volume 5 Nomor 1 Tahun 2013
5
yang menjadi bagian dari profesinya. Memahami kurikulum merupakan kewajiban bagi guru-guru. Jika guru mengajar tanpa memahami kurikulumnya, maka pendidikan tidak akan maju. Sebanyak 75% guru menganggap perlu ada perubahan kurikulum 2013. Fakta ini menunjukan bahwa perubahan atau inovasi kurikulum dianggap positif oleh para guru. Namun demikian, 25% guru menganggap kurikulum tidak diubah. Hal ini menjadi kewajiban pemerintah untuk meyakinkan para guru bahwa perubahan kurikulum merupakan hal yang biasa saja. Tetapi menjadi hal yang sangat penting agar setiap perubahan kurikulum hendaknya melibatkan guru karena guru yang paling tahu pendidikan di lapangan. Sebanyak 60% guru belum mendapatkan sosialisasi perubahan kurikulum 2013. Fakta ini menunjukkan bahwa guru mendapat informasi perubahan kurikulum bukan dari lembaga tempatnya bernaung. Fakta ini juga menunjukan bahwa guru selama ini hanya menerima perubahan kurikulum tanpa dilibatkan sebelumnya. Sebanyak 60% guru tidak yakin perubahan kurikulum akan berimplikasi pada mutu pendidikan. Fakta ini nampaknya berkorelasi dengan persepsi bahwa seringnya berganti kurikulum selalu tidak berkolasi dengan peningkatan mutu pendidikan. Fakta ini menunjukan bahwa guru apatis dengan kurikulum. Sebanyak 75% guru tidak setuju integrasi IPA, IPS dengan bahasa Indonesia. Fakta ini menunjukkan bahwa guru tidak siap atau tidak yakin dengan tematikintegratif, walaupun sebanyak 75% guru-guru sudah paham mengenai tematik integratif sebab selama ini tematik-integratif sudah dilaksanakan di kelas rendah (kelas 1-3). Ketidaksetujuan itu mungkin karena apa yang sudah dilakukan sekarang sudah cocok atau karena tidak tersedia SDM atau buku-buku yang menunjang. Sebanyak 72% guru tidak setuju bahasa Inggris jadi ekstrakulikuler. Fakta ini menunjukan bahwa guru-guru menganggap penting bahasa Inggris untuk menunjang kemajuan siswa di masa depan. Sebanyak 60% guru tidak setuju penambahan jam agama. Fakta ini menunjukkan bahwa guru-guru meyakini tidak ada hubungan bahwa semakin banyak
6
PENDIDIKAN ABAD 21 DAN KURIKULUM 2013
pengetahuan agama seseorang maka semakin baik atau soleh seorang tersebut. Sebanyak 52% guru setuju pendidikan karakter dan sebanyak 76 memahami pendidikan karakter. Fakta ini menunjukan bahwa guru-guru acuh dengan pendidikan karakter karena persentase yang setuju dengan yang kurang setuju cukup berimbang. Jika pemerintah melalui kurikulum 2013 ini bertujuan untuk meningkatkan karakter, maka harus ada sosialisasi mengenai pendidikan karakter. Sebanyak 53% guru yakin bisa melaksanakan perubahan kurikulum 2013. Fakta ini menunjukan
guru-guru masih ragu dapat melaksanakan kurikulum 2013. Berdasarkan fakta ini, maka pemerintah harus bekerja keras dalam meyakinkan guru-guru untuk dapat melaksanakan kurikulum 2013. 5.
Analisis Kurikulum 2013
Berdasarkan uraian di atas, terdapat beberapa hal yang bisa menjadi catatan dalam pengembangan kurikulum di abad 21 atau abad globalisasi. Tabel 1 berikut menjelaskan pendidikan abad 21 dan kurikulum.
Tabel. 1 Pendidikan abad 21 dan Kurikulum Pendidikan abad ke-21 - Community empowerment - Liberation of mind, body, spirit of human beings - Human nature - Life sustaining
Kurikulum Tujuan
Materi
Proses
Evaluasi
- Learning to know, to do, to be, to live Together - Mandiri - Kreatif - Entrepreneurship - Kecakapan Hidup - Pride - Berkarakter
- Agama - PPKn - Sejarah - TIK - IPA - IPS - Lingkungan hidup - Bahasa Inggris - Seni - Matematika - Tradisi (mulok)
- Electronik learning - Open & distance learning - Quantum learning - Cooperative learning - Society Technology Science - Accelarated learning - Down to earth - Hands on learning - Discovery Learning
Masteri learning Berkesinambungan Integratif
Memperhatikan kebutuhan pendidikan abad 21 dan kurikulum, maka ada beberapa hal yang dapat dicatat dari Perubahan Kurikulum 2013 sebagai berikut: 1. Kurikulum 2013 sudah menyadari tantangan abad 21, namun respon yang diberikan dalam kurikulum 2013 belum memadai. Contoh:
Profil Guru Energik -Full of love -Pembelajar -Tidak pantang menyerah -Inovatif -Tanggungjawab -Integritas
Politik, Ekonomi -Sejahtera -Bebas -Demokrasi -Aman -HAM -Harmoni -Desentralisasi
pengintegrasian mata pelajaran IPA dan IPS ke dalam Bahasa Indonesia, pendidikan PLH dihilangkan, mata pelajaran Bahasa Inggris dijadikan ekstra kurikuler. 2. Kurikulum 2013 bertujuan untuk mendorong peserta didik atau siswa, mampu lebih baik dalam melakukan observasi, bertanya, bernalar, dan mengkomunikasikan (mempresentasikan), apa
Pedagogia, Volume 5 Nomor 1 Tahun 2013
PENDIDIKAN ABAD 21 DAN KURIKULUM 2013
yang mereka peroleh atau mereka ketahui setelah menerima materi pembelajaran, namun SDM dan sarana prasana tidak maksimal. 3. Implementasi kurikulum 2013 mensyaratkan SDM harus profesional dan adanya master teacher hal ini dapat dilaksanakan dengan pelatihanpelatihan guru yang akan menjadi terjadinya sumber KKN. 4. Pengadaan buku-buku yang dibutuhkan untuk pelaksanaan kurikulum 2013 ditangani pusat, hal ini dapat berdampak tersendatnya pendistribusian ke daerah, bertentangan dengan otonomi daerah, dan menjadi sumber korupsi baru di pusat. SIMPULAN Wacana perubahan kurikulum 2013 gaungnya sudah sampai ke guru-guru. Tetapi guru-guru masih ragu apakah kurikulum 2013 bisa merubah mutu pendidikan sesuai tuntutan abad ke 21. Beberapa wacana yang muncul dalam kurikulum 2013 ternyata tidak sesuai dengan persepsi guru, misalnya kasus pengintegrasian pelajaran IPA dan IPS kedalam bahasa Indonesia dan perubahan bahasa Inggris menjadi ekstra kulikuler. Dalam konteks globalisasi, kurikulum 2013 belum memberikan respon secara memadai, misalnya dalam respon terhadap kerusakan lingkungan, kebebasan individu, bangga sebagai bangsa, kepedulian sosial, dan menjadikan siswa yang mandiri, kreatif dan bertanggung jawab. Apalagi secara SDM dan sarana prasarana masih sangat kurang. Ada kekhawatiran, perubahan kurikulum 2013 ini hanya merupakan proyek yang berimplikasi pada Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), karena perubahan ini harus diiringi dengan pelatihan guruguru, tenaga kependidikan dan percetakan buku-buku pelajaran yang menyerap APBN tidak sedikit dan tidak terkontrol.
Pedagogia, Volume 5 Nomor 1 Tahun 2013
7
Referensi Asep Herry Hernawan, dkk, 2006. Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran. UT Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta Oemar Hamalik, 2011. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta, Bumi Aksara Tedjo Narsoyo Reksoatmodjo, 2010. Pengembangan Kurikulum Pendidikan. Bandung: Reflika Aditama. Pisel, K. P. (2001). The validation of a detailed strategic planning process model for the implementation of distance education in higher education. Norfolk, VA: Old Dominion University. Online Journal of Distance Learning Administration, Volume XI, Number II, Summer 2008 University of West Georgia, Distance Education Center Petrick Slattery. 2006. Curruculum Development in The Postmodern Era. New York : Informa Taylor and Francis Group. Toto Rohimat, 2010, Kurikulum dan Pembelajaran,. Bandung : PT. Raja Grafindo Persada Tedjo Narsoyo, 2010. Pengembangan Kurikulum Pendidikan. Jakarta : Refika Aditama Nasution. 2011. Asas-Asas Kurikulum. Jakarksta : Bumi Aksara. Penulis Rais Hidayat. Lahir di Kuningan Jawa Barat, 26 Juni 1972. Menyelesaikan S1 di IKIP Jakarta (1997) dan S2 di Prodi Manajemen Pendidikan Universitas Pakuan Bogor (2011). Menjadi Wartawan Duta Masyarakat (1998-2001). Pernah bekerja sebagai Deputy Manager Riset pada Penerbit The Jakarta Post (2001-2013). Kini sebagai Dosen Tetap di Universitas Pakuan Bogor dan Sedang menyelesaikan S3 di Prodi Manajemen Pendidikan Universitas Negeri Jakarta. Yuyun Elizabeth Patras. Lahir di Ternate, 27 Juli 1977. Menyelesaikan S1 di IKIP Bandung (2001) dan S2 di Prodi Manajemen Pendidikan Universitas Pakuan (2011). Pernah mengajar di beberapa SD, SMP di Bandung dan Kota Bogor. Kini sebagai Dosen Tetap di Universitas Pakuan Bogor dan Sedang menyelesaikan S3 di Prodi Manajemen Pendidikan Universitas Negeri Jakarta.
8
PENDIDIKAN ABAD 21 DAN KURIKULUM 2013
Pedagogia, Volume 5 Nomor 1 Tahun 2013
PENGEMBANGAN PARAGRAF DALAM ARTIKEL KOMPAS-ANAK
9
PENGEMBANGAN PARAGRAF DALAM ARTIKEL KOMPAS-ANAK Rina Rosdiana dan Suhendra Abstrak Sebuah gagasan dapat diungkapkan melalui paragraf. Menulis paragraf memerlukan persyaratan dalam pengembangannya, yaitu syarat kesatuan dan kepaduan. Namun, dalam suatu karangan kerap kali ditemukan pengembangan paragraf yang tidak memenuhi persyaratan. Bentuk karangan yang diteliti adalah artikel Kompas Anak. Ada sembilan artikel yang dianalisis dalam penelitian ini. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian dapat diungkapkan bahwa persentasi ketepatan pengembangan paragraf adalah 72,27 %. Hal tersebut memperlihatkan masih terdapat paragraf yang tidak tepat karena ditemukan paragraf yang dibuat hanya dengan satu kalimat (27,73%) dalam artikel Kompas Anak tersebut. Padahal, paragraf yang satu kalimat ini bila dicermati merupakan kalimat utama atau gagasan utama untuk paragraf berikutnya atau malah sebagai kalimat penjelas pada paragraf sebelumnya. Sebagai sebuah bentuk naskah, secara keseluruhan, naskah tersebut dapat digunakan dalam pembelajaran. Hanya perlu disikapi untuk paragraf yang satu kalimat. Hasil temuan lain bahwa artikel Kompas Anak menggunakan pola pengembangan deduktif. Pengembangan karangan yang digunakan adalah karangan eksposisi. Kata kunci: koherensi, kohesi, deduktif, eksposisi
PENDAHULUAN Bahasa sebagai sarana berkomunikasi dalam penyampaian ide, gagasan, perasaan dapat dieksplorasi ke dalam berbagai produk tulisan, seperti catatan harian, puisi, cerpen, novel, naskah drama, makalah ilmiah, resensi, atau bentuk tulisan reproduksi lainnya. Pengembangan gagasan yang kemudian diolah menjadi suatu karya atau tulisan tentu saja menuntut tingkat kemahiran tertentu bagi penutur atau penggunanya. Semakin mahir seseorang berbahasa, semakin mudah baginya mengomunikasikan gagasan dan perasaannya itu kepada orang lain. Kegiatan menulis atau mengarang merupakan kegiatan produktif. Kegiatan tersebut memerlukan penuangan pikiran, gagasan, dan perasaan untuk mewujudkannya dalam sebuah tulisan. Gagasan yang dikembangkan akan tampak tentu saja dalam untaian-untaian kalimat yang tersusun secara logis dan sistematis. Alat pengembang gagasan tersebut dikenal dengan nama paragraf atau alinea. Menyusun sebuah paragraf diperlukan persyaratan-persyaratan. Persyaratan kesatuan,
Pedagogia, Volume 5 Nomor 1 Tahun 2013
persyaraan pengembangan, persyaratan kepaduan, dan persyaratan kekompakan. Banyak juga persyaratan lain yang diungkapkan para ahli mengenai syaratsyarat pengembangan paragraf ini. Ada indikator dalam pengembangan paragraf. Hal tersebut berarti ketika menyusun sebuah paragraf harus memerhatikan syarat-syarat pengembangan paragraf. Bila tidak mengindahkan persyaratan tersebut, besar kemungkinan paragraf yang dikembangkan menjadi paragraf yang kurang baik. Pengembangan paragraf terdapat dalam banyak tulisan. Pengembangan paragraf ini pun dapat dibaca dalam banyak tulisan yang dipublikasikan. Salah satunya adalah tulisan berupa artikel. Artikel umumnya terdapat dalam bentuk media massa berupa surat kabar atau majalah. Keberadaan media massa memiliki fungsi yang strategis. Salah satunya adalah bahwa media massa memiliki fungsi mencerdaskan masyarakat dengan bebagai ilmu pengetahuan yang kompeten di bidangnya. Bentuk tulisan di media massa kadang disebut artikel atau opini. Kompas, salah satu media massa terkenal secara nasional ini menyediakan kolom
10
PENGEMBANGAN PARAGRAF DALAM ARTIKEL KOMPAS-ANAK
khusus untuk pengembangan gagasan para kontributor tulisannya. Salah satu kolom atau bahkan lembar surat kabar yang menyiapkan kolom opini adalah lembaran Kompas-anak yang terbit setiap Minggu. Pengembangan paragraf dalam artikel Kompas-anak Minggu inilah yang akan dianalisis dalam penelitian ini. Alasan pemilihan artikel dalam Kompas anak tersebut karena pengembangan gagasan yang sederhana, sehingga memudahkan penganalisisan terhadap persyaratan paragraf. Masalah yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah: 1) Bagaimana penerapan syarat-syarat pengembangan paragraf dalam artikel Kompasanak?, 2) Bagaimana kecenderungan bentuk karangan yang dikembangkan dalam artikel Kompas-anak?, 3) Bagaimana penggunaan pola pengembangan paragraf dalam artikel Kompas-anak. Paragraf. Mulyati, dkk (2009:7.17) Mengemukakan pengertian paragraf. Paragraf merupakan inti penuangan buah pikiran dalam sebuah karangan. Pendapat senada diungkapkan Oshima (1997:6) dalam buku Introduction to Academic Writing, “paragraph is a group of related statemen that a writer develops about a subject. The first sentence states the specific point, or idea, of the topic”. Pendapat lain, Ramlan (1993:1) mendefinisikan paragraf adalah kesatuan kalimat yang menghadirkan ide pokok sebagai pengendalinya. Sama halnya dengan Ramlan yang menekankan kehadiran ide pokok atau gagasan utama, Keraf pun mengungkapkan paragraf merupakan himpunan kalimat dalam satu rangkaian untuk membentuk sebuah gagasan. Lebih lanjut Tarigan (1991:11) mengemukakan paragraf adalah seperangkat kalimat yang berkaitan erat satu sama lainnya. Kalimat-kalimat tersebut disusun menurut aturan tertentu sehingga makna yang dikandungnya dapat dibatasi, dikembangkan, dan diperjelas. Ramlan (1993:1) mengungkapkan pula mengenai paragraf. Paragraf dapat diurai dari segi bentuk dan makna. Dari segi bentuk, paragraf terdiri dai sejumlah kalimat, atau dengan kata lain merupakan kumpulan dari sejumlah kalimat meskipun ada juga yang hanya terdiri dari satu kalimat atau satu kata, misalnya kalimat penutup pada surat yang sering hanya berupa
kata terima kasih. Sejumlah kalimat itu kait-mengait sehingga membentuk satu satuan. Di bidang makna paragraf itu merupakan satuan informasi yang memiliki ide pokok sebagai pengendalinya. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa paragraf adalah kumpulan kalimat yang disusun secara logis dan kronologis untuk membentuk kesatuan gagasan. Paragraf-paragraf yang disusun dalam sebuah karangan harus memenuhi tiga bagian, yaitu adanya paragraf pembuka, paragraf penghubung, dan dan paragraf penutup. Mulyati, dkk (2009:7.22) mengungkapkan keberadaan tiga bagian paragraf tersebut bila dikembangkan berdasarkan tujuan. Oshima mengungkapkan bahwa dalam pengembangan karangan yang lebih dari satu paragraf terbagi ke dalam tiga bagian, yaitu bagian awal yaitu pendahuluan (introduction), bagian tengah disebut isi (body), dan bagian akhir disebut kesimpulan (conclusion). Djago Tarigan mengungkap unsur-unsur paragraf yaitu transisi (kalau ada), kalimat utama, kalimat penjelas/kalimat pengembang, dan kalimat penegas. Transisi adalah sebuah pengantar dalam paragraf sebelum sampai pada kalimat topik. Transisi dapat berupa kata, frase, dan kalimat. Kalimat topik atau kalimat utama adalah kalimat yang dijelaskan oleh kalimat-kalimat yang lain (kalimat penjelas. Kalimat penjelas/kalimat pengembang adalah kalimat yang menjelaskan kalimat utama atau kalimat topik. Kalimat penegas adalah kalimat yang berfungsi menegaskan kembali informasi atau gagasan yang telah dikemukakan oleh kalimat utama. Paragraf merupakan bagian dari suatu karangan. Untuk itu paragraf memiliki persyaratan. Dua persyaratan yang dimilikinya adalah kesatuan paragraf dan kepaduan paragraf (Akhadiah, dkk:148152). Syarat kesatuan bahwa dalam tiap paragraf hanya mengandung satu gagasan pokok atau satu topik. Syarat kepaduan atau koherensi dititikberatkan pada hubungan antara kalimat dengan kalimat. Dasar pengembangan paragraf dapat mengacu pada keberadaan kalimat utama yang dikembangkan dengan tiga pola umum pengembangan, yaitu pola pengembangan deduktif, induktif, dan deduktifinduktif (campuran), dan ada juga juga yang
Pedagogia, Volume 5 Nomor 1 Tahun 2013
PENGEMBANGAN PARAGRAF DALAM ARTIKEL KOMPAS-ANAK
berpendapat tentang pola pengembangan inneratif. Namun, pola ini tidak populer dan realitanya pun jarang dipilih para penulis dalam pengembangan gagasannya. Paragraf yang dikembangkan dengan pola deduktif adalah paragraf yang dikembangkan dengan menyimpan atau meletakkan kalimat utama di awal paragraf, sedangkan kalimat-kalimat lain yang mengikutinya adalah paragraf-paragraf penjelas atau pengembang. Pengembangan seperti ini disebut juga pengembangan umum ke khusus. Paragraf deduktif dikembangkan dengan meletakkan kalimat utama pada awal paragraf, paragraf induktif kebalikannya. Letak kalimat utama paragraf ini di akhir paragraf. Jadi, paragraf ini mulai dari kalimat-kalimat penjelas atau kalimat pengembang menuju kalimat umum yang memiliki gagasan utama. Paragraf jenis ini sering disebut juga dengan pengembangan khusus menuju ke umum. Paragraf yang ketiga adalah pengembangan paragraf dengan menggabungkan pola pengembangan umum khusus dan khusus umum. Paragraf jenis ini disebut paragraf campuran. Pengembangan paragrafnya diawali dengan meletakkan kalimat utama pada awal paragraf, kemudian dikembangkan dengan kalimat-kalimat penjelas. Terakhirnya ditutup dengan kalimat utama lagi, namun dengan menggunakan redaksi yang berbeda dengan redaksi pertama pada awal paragraf. Kalimat utama yang diletakkan di akhir ini biasanya disebut kalimat penegas. Di samping tiga pola pengembangan paragraf yang umum tadi terdapat pola pengembangan lain, yaitu paragraf yang meletakkan kalimat utama di tengah paragraf, namun pengembangan ini jarang sekali digunakan dalam mengembangkan gagasan. Paragraf ini disebut paragraf inneratif. Berdasarkan keberadaan letak kalimat utama, paragraf pun kemudian dapat dikembangkan dalam bentuk pengembangan lainnya, seperti paragraf dengan pola deduktif tapi dikembangkannya dengan cara perbandingan. Paragraf dapat dikembangkan puladeengan pengembangan induktif, tapi dengan teknik pengembangan contoh, misalnya, dan sebagainya. Mengenai teknik-teknik pengembanan paragraf ini dapat diungkapkan teknik-teknik pengembangan paragrafnya, yaitu contoh, definisi,
Pedagogia, Volume 5 Nomor 1 Tahun 2013
11
klimaks, analogi, sebab-akibat, ilustrasi, perbandingan atau pertentangan, klasifikasi, dll. Paragraf yang terakhir adalah paragraf deskriptif. Paragraf jenis ini tidak memiliki kalimat utama. Gagasan dalam paragraf tersebut implisit dalam keseluruhan kalimat dalam paragraf tersebut. Biasanya paragfraf ini dimanfaatkan dalam pelukisan keadaan. Dengan demikian bila dilihat dari keberadaan letak kalimat utama pola paragraf itu adalah paragraf deduktif, paragraf induktif, paragraf campuran, dan paragraf inneratif. Dan, ada pula pengembangan tanpa menghadirkan secara eksplisit kalimat utama, yaitu paragraf deskriptif. Artikel. Artikel dapat diartikan sebagai tulisan lengkap yang dimuat dalam surat kabar atau majalah. Yang dimaksudkan lengkap di sini adalah mengandung judul, pendahuluan, penyajian masalah, pembahasan, dan penutup (kesimpulan). Dalam arti itu, artikel hampir sama bentuknya dengan makalah atau kertas kerja yang sering disampaikan dalam suatu pertemuan. Jika makalah ditulis lalu disajikan di media massa cetak, maka makalah itu bisa dinamakan artikel. Berikut ini contoh artikel yang merupakan karangan eksposisi dan dimuat dalam surat kabar Kompas-Anak. Namun, contoh ini hanya dikutif beberapa paragrafnya saja (berupa nukilan karangan berdasarkan artikel yang pernah dimuat dalam surat kabar Kompas-anak). METODOLOGI PENELITIAN Penelitian pemaragrafan ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan teknik analisis isi. Dengan metode ini penulis dapat memperoleh data karangan apa adanya. Hal ini selaras dengan pandangan Sudaryanto yang mengatakan bahwa metode deskriptif melandasi suatu penelitian berdasarkan fakta yang ada atau fenomena yang secara empiris hidup pada penutur-penuturnya. Dengan demikian, hasil yang diperoleh atau yang dicatat berupa perian bahasa yang bisa dikatakan sebagai paparan apa adanya (Sudaryanto 1986:62). Penganalisisan dalam penelitian ini lebih bersifat deskriptif analitik, yang berarti interpretasi terhadap isi dibuat dan disusun secara sistemik dan
PENGEMBANGAN PARAGRAF DALAM ARTIKEL KOMPAS-ANAK
12
sistematis dengan teknik analisis isi. Teknik analisis isi digunakan untuk mencari fakta dengan interpretasi data. Analisis isi merupakan suatu teknik penelitian untuk membuat inferensi yang dapat ditiru dan data yang sahih dengan memperhatikan konteksnya. Fakta data berupa karangan atikel koran anak terbitan Kompas diklasifikasi berdasarkan kriteria paragraf yang baik, seperti kesatuan, kepaduan, dan kelengkapan. Data yang sudah diklasifikasi itu kemudian diiterpretasi dengan menggunakan acuan teori yang relevan dengan masalah itu. Data penelitian ini berupa kalimat-kalimat yang tersusun dalam paragraf-paragraf. Data yang dikumpulkan berupa kesatuan, kepaduan, kelengkapan, dan pola pengembangan paragraf pada artikel yang terdapat pada koran Kompas-anak yang tebit setiap Minggu. Data yang dipilih sebanyak sembilan artikel (artikel terbitan delapan minggu atau dua bulan). Artikel tersebut dipilih secara purposif. Artikel yang dipilih adalah artikel yang berciri wacana eksposisi. Prosedur pengumpulan data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. Tahap permulaan dalam metode ini adalah menemukan gejala-gejala secara lengkap di dalam aspek yang diselidiki agar jelas keadaan atau kondisnya. Pada tahap ini, penelitian sebatas menemukan fakta-fakta seadanya, termasuk menunjukkan distribusinya dan usaha mengemukakan hubungan antara gejala yang satu dan gejala lainnya dalam aspek yang diteliti.
Pengumpulan data dilakukan dengan cara memilih naskah artikel Kompas-Anak yang terbit setiap Minggu selama dua bulan-- konsep dua bulan tidak terlalu menjadi patokan urutan waktu. Namun, yang dijadikan patokaan adalah jumlah artikel yaitu sembilan artikel. Analisis Data. Tahap berikutnya adalah memberikan penafsiran yang adekuat atau memadai terhadap fakta-fakta yang ditemukan. Pada tahap ini penelitian sudah sampai pada tahap analisis dan interpretasi tentang arti data itu. Suatu penelitian dapat diwujudkan juga sebagai usaha pemecahan masalah dengan membandingkan persamaan dan perbedaan gejala yang ditemukan, mengukur dimensi suatu gejala, mengadakan klasifikasi gejala, menilai gejala, menetapkan stadar, menetapkan hubungan antargejala yang ditemukan. HASIL PENELITIAN Berikut ini disajikan data pengembangan paragraf dalam artikel Kompas Anak. Data disajikan dengan cara memilah kalimat-kalimat dalam setiap paragraf, kemudian ditentukan ketepatannya dengan melihat jumlah kalimat pengembangannya. Dalam menentukan ketepatan ini kriteria yang digunakan adalah bila paragraf dalam artikel itu hanya satu kalimat, maka dianggap tidak tepat. Bila paragraf tersebut dikembangkan dengan dua kalimat atau lebih, maka paragraf tersebut dinyatakan tepat. Berikut ini disajikan contoh analisis dari satu artikel.
Data Artikel 1 “Dongeng Putri Berambut Panjang”, Nika/Disney, Kompas, Minggu 28 November 2010. Paragraf Jml keKalimat 1 1 2
2
3
3
4
2
Data Paragraf
Ketepa-tan Unsur Paragraf Rapunzel adalah sebuah dongeng klasik dari Jerman karya Grimm × Bersaudara. Dongeng ini berkisah tentang seorang putri berambut panjang yang √ ditawan di sebuah menara. Kini kisah itu bisa kita nikmati melalui film Disney berjudul Rapunzel: “A Tangled Tale” Film animasi ke-50 Disney ini awalnya berjudul Rapuzel. Namun, √ judul Rapunzel memiliki kesan film ini berisi tentang kisah putri semata. Padahal, di dalam film ada kisah tentang seorang pemuda heroik. Kisahnya dimulai ketika seorang bayi perempuan diculik dan √ dikurung dalam menara. Bayi perempuan itu adalah seorang putri yang bernama Rapunzel.
Pola paragraf
deduktif
deduktif
deduktif
Pedagogia, Volume 5 Nomor 1 Tahun 2013
PENGEMBANGAN PARAGRAF DALAM ARTIKEL KOMPAS-ANAK
5
3
6
2
7
1
8
3
9
2
10
1
11
1
12
1
13 14
1 2
15
1
16
2
17
2
Keterangan:
Delapan belas tahun kemudian, Rapunzel tumbuh menjadi gadis cantik dengan rambut berwarna emas. Rambutnya sangat panjang, hampir 21 meter! Rambut itu juga memiliki kekuatan magis, seperti untuk menyembuhkan. Selama 18 tahun, Rapunzel dirawat oleh Mother Gothel yang tak lain adalah orang yang menculiknya. Ia selalu mengatakan dunia luar sangat jahat dan menakutkan. Mother Gothel menggunakan rambut emas Rapunzel untuk membuatnya tetap cantik dan awet muda. Pada saat yang bersamaan, seorang pemuda tampan menjadi orang yang paling dicari oleh kerajaan karena melakukan pencurian. Pemuda itu bernama Flynn. Dia bersembunyi di menara tempat Rapunzel. Kehadiran Flynn menjadi jalan bagi Rapunzel untuk melihat dunia luar yang selama ini membuatnya penasaran. Mereka bertualang bersama bunglon teman rapunzel dan kuda teman Flynn. Film animasi ini dibintangi oleh Mandy Moore sebagai pengisi suara Rapunzel, Zachary Levi sebagai pengisi suara Flynn Ryder, dan Donna Murphy sebagai pengisi suara Mother Gothel. Ini dia tokoh-tokohnya: Rapunzel Gadis cantik berambut berwarna emas ini walaupun seumur hidup terkurung di dalam menara, tidak merasa tertekan. Ketika bertemu dengan seorang pencuri yang bersembunyi di dalam menara, rapunzel memutuskan untuk keluar menara dan bertualang. Rapunzel tidak sadar kalau dia adalah seorang putri. Flynn Rider Pemuda berwajah tampan ini memiliki rasa percaya diri yang sangat tinggi. Flynn adalah seorang pencuri yang mencari kehidupan seperti yang diimpikannya. Setelah bertemu dengan Rapunzel, gadis cantik berambut panjang, Flynn mendapat sebuah petualangan yang tak akan pernah dilupakan seumur hidupnya. Pascal Satu-satunya teman Rapunzel adalah seekor bunglon pendiam bernama Pascal. Dia memiliki peran penting dalam kehidupan Rapunzel karena dialah yang membuat Rapunzel menjadi percaya diri. Maximus Dia adalah kuda penjaga yang ingin menangkap Flynn, sang pencuri yang paling dicari. Namun, setelah bertemu dengan Rapunzel, hatinya melunak.
√
: tepat
×
13
√
deduktif
√
deduktif
× √
deduktif
√
deduktif
×
×
×
× √
deduktif
×
√
deduktif
√
deduktif
: tidak tepat
Rekapitulasi Ketepatan Penulisan Paragraf Berdasarkan data paragraf dari sembilan artikel yang sudah dianalisis dalam penelitian ini. Berikut ini akan diungkap presentasi ketepatan penulisan paragraf.
Pedagogia, Volume 5 Nomor 1 Tahun 2013
14
PENGEMBANGAN PARAGRAF DALAM ARTIKEL KOMPAS-ANAK
Rekapitulasi Jumlah Kalimat dalam Paragraf Jumlah kalimat dalam paragraf
Data Artikel 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Jumlah %
7 1 1 O,5
6 1 1 0,5
5 1 1 0,5
4 3 2 4 4 1 1 2 17 7,7
3 3 6 3 6 5 7 7 3 10 50 22,7
Berdasarkan data di atas dapat diungkapkan bahwa pada artikel pertama, terlihat bahwa pesentase ketepatannya 65 %, pada artikel 2, persentase ketepatannya 52 %, pada artikel 3, persentase ketepatannya 75 %, pada artikel 4, persentase ketepatannya 77,3 %, pada artikel 5, persentase ketepatannya 66,7 %, pada artikel 6, persentase ketepatannya 80,7 %, pada artikel 7, persentase ketepatannya 68,9 %, pada artikel 8, persentase ketepatannya 88,2 %, pada artikel 9, persentase ketepatannya 70 %. Bila dijumlahkan ketepatan penulisan paragraf secara keseluruhan adalah 72,27 %. Berdasarkan data tersebut berarti masih terdapat paragraf yang tidak tepat karena ditemukan paragraf yang dibuat hanya dengan satu kalimat untuk seluruh artikel Kompas Anak tersebut (27,73%). Padahal paragraf yang satu kalimat ini bila dicermati merupakan kalimat utama atau gagasan utama untuk paragraf berikutnya. Selain itu, konsep paragraf merupakan seperangkat kalimat yang mengandung ide pokok/gagasan utama sebagai pengendalinya. Hal tersebut sebaiknya dipenuhi dalam pengembangan paragraf. Contohnya pada kutipan data artikel 1 berikut. Rapunzel adalah sebuah dongeng klasik dari Jerman karya Grimm Bersaudara. (paragraf 1) Dongeng ini berkisah tentang seorang putri berambut panjang yang ditawan di sebuah menara. Kini kisah itu bisa kita nikmati melalui film Disney berjudul
2 7 8 8 9 7 9 12 11 7 79 35,9
1 7 13 5 5 7 5 8 2 9 61 27,7
Jml
Persentase Kesalahan
Persentase ketepatan
18 27 19 22 23 26 28 17 30 220
35 48 25 22,7 33,3 19,3 32,1 11,8 30 27, 73
65 52 75 77,3 66,7 80,7 68,9 88,2 70 72,27
Rapunzel: “A Tangled Tale” (paragraf 2) Kutipan di atas bila digabungkan dapat menjadi paragraf yang memenuhi persyaratan paragraf dan memenuhi unsur pembentuk paragraf. Jadi bila digabungkan akan menjadi Rapunzel adalah sebuah dongeng klasik dari Jerman karya Grimm Bersaudara. (paragraf 1)Dongeng ini berkisah tentang seorang putri berambut panjang yang ditawan di sebuah menara. Kini kisah itu bisa kita nikmati melalui film Disney berjudul Rapunzel: “A Tangled Tale” (paragraf 2) Bila paragraf ini digabung maka paragraf ini memenuhi syarat pengembangan paragraf, syarat kesatuan dan kepaduan. Menjadi paragraf yang baik. Menghadirkan dua kalimat dalam paragraf sudah sesuai dengan kecukupan pengembangan, seperti yang dicontohkan Ramlan dalam kajian teori di atas. 1)Setiap hari komputer mencatat ribuan nama, alamat, nomor telepon, dan kisah pembelanjaan uangnya. 2) nama-nama itu dimasukkan ke komputer lain yang segera bekerja meneleponi mereka. Kasus lain yang ditemukan adalah paragraf satu kalimat yang sebenarnya merupakan lanjutan kalimat penjelas pada paragraf sebelumnya. Contoh: Selama 18 tahun, Rapunzel dirawat oleh Mother Gothel yang tak lain adalah orang yang menculiknya. Ia selalu mengatakan dunia luar sangat jahat dan menakutkan. (paragraf 6)
Pedagogia, Volume 5 Nomor 1 Tahun 2013
PENGEMBANGAN PARAGRAF DALAM ARTIKEL KOMPAS-ANAK
Mother Gothel menggunakan rambut emas Rapunzel untuk membuatnya tetap cantik dan awet muda.(paragraf 7) Bila dicermati paragraf 6 mengandung 2 paragraf. Paragraf tersebut benar. Paragraf berikutnya hanya terdiri dari satu kalimat. Dan itu salah. Paragraf 7 bila dilihat dari gagasannya merupakan lanjutan dari paragraf 6. Jadi, paragraf 7 itu merupakan kalimat penjelas paragraf 6. Sebaiknya, Penulisannya digabung dengan paragraf 6.Dengan demikian penulisannya menjadi Selama 18 tahun, Rapunzel dirawat oleh Mother Gothel yang tak lain adalah orang yang menculiknya. Ia selalu mengatakan dunia luar sangat jahat dan menakutkan. Mother Gothel menggunakan rambut emas Rapunzel untuk membuatnya tetap cantik dan awet muda. Kasus-kasus serupa dijumpai dalam kedelapan artikel Kompas Anak lainnya. Paragraf ditulis hanya satu kalimat, padahal ia bisa menjadi kalimat utama pada paragraf berikutnya atau justru sebagai kalimat penjelas pada paragraf yang mendahuluinya. Ditemukan pula paragraf yang dapat dikembangkan dengan memenggalnya menjadi beberapa kalimat. Pengembangan paragraf dalam Kompas Anak ini persentasenya kecil, tetap masih ditemukan pengembangan-pengembangan yang sudah baik. Paragraf tidak dikemas hanya satu kalimat tetapi sudah memenuhi aspek kohesi dan koherensinya. Hal lain yang ingin diungkap selain data ketepatan paragraf, permasalahan berikutnya mengenai penerapan syarat paragraf. Ada dua syarat paragraf yaitu syarat kesatuan dan syarat kepaduan. Syarat kesatuan dalam tiap paragraf hanya mengandung satu gagasan pokok atau satu topik. Semua kalimat dalam paragraf harus membicarakan gagasan pokok tersebut. Paragraf dianggap mempunyai kesatuan, jika kalimatkalimat dalam paragraf itu selalu relevan dengan topik. Syarat kepaduan atau koherensi dititikberatkan pada hubungan antara kalimat dengan kalimat. Bila dilihat dari syarat kesatuan dan kepaduan, syarat tersebut dipenuhi oleh paragraf-paragraf yang masuk kategori tepat yang ada dalam artikel Kompas Anak ini. Salah satu contoh tampak pada kutipan berikut.
Pedagogia, Volume 5 Nomor 1 Tahun 2013
15
Pascal Satu-satunya teman Rapunzel adalah seekor bunglon pendiam bernama Pascal. Dia memiliki peran penting dalam kehidupan Rapunzel karena dialah yang membuat Rapunzel menjadi percaya diri. Paragraf di atas sudah memenuhi persyaratan paragraf, baik syarat kesatuan (kohesi) maupun kepaduan (koherensi). Syarat kesatuan dipenuhi karena mengandung satu gagasan atau topik. Kedua kalimat tersebut mendukung satu gagasan pokok yaitu tentang Pascal, teman Rafunsel. Syarat kepaduan pun dipenuhi. Pada kalimat utama diungkap gagasan tentang teman Rafunsel bernama Pascal. Kalimat keduanya diawali dengan kata Dia, yang merujuk pada Pascal. Kata ganti Dia menjadi ciri adanya koherensi dalam paragraf tersebut. Jumlah dua kalimat dalam satu paragraf ini pun sudah memadai, karena menurut Ramlan, paragraf dapat dibangun oleh setidaknya dua kalimat. Pada artikel Kompas Anak ini banyak paragraf yang disusun dengan dua kalimat. Pola pengembangan paragraf yang digunakan dalam artikel-artikel Kompas Anak menggunakan pola pengembangan deduktif. Pola ini disusun dengan mengembangkan gagasan utama yang diletakan pada awal paragraf. I.
Simpulan Dalam membuat paragraf, syarat kesatuan dan kepaduan mestilah dipenuhi dalam mengembangkan sebuah paragraf. Di samping itu, unsur-unsur paragraf yang meliputi kalimat utama, kalimat penjelas, dan kalimat penegas harus pula terpenuhi. Namun, untuk pola pengembangan paragraf deduktif, tentu saja hanya dua unsur yang dipenuhi, yaitu kehadiran kalimat utama dan kalimat penjelas. Umumnya pola yang digunakan adalah deduktif. Penelitian ini mengungkap pengembangan paragraf pada artikel Kompas Anak yang terbit setiap hari Minggu. Ada Sembilan artikel yang dipilih sebagai sampel dalam penelitian ini. Temuan hasil penelitian ini adalah 1) Ketepatan penulisan paragraf mencapai 72,27 %. Hal ini dilihat dari pengembangan dari sembilan artikel yang memuat lebih dari 2 kalimat, sedangkan paragraf yang ditulis hanya dengan satu kalimat ada 27,73%. Hal tersebut
16
PENGEMBANGAN PARAGRAF DALAM ARTIKEL KOMPAS-ANAK
memperlihatkan masih terdapat paragraf yang tidak tepat karena ditemukan paragraf yang dibuat hanya dengan satu kalimat.. Padahal, paragraf yang satu kalimat ini bila dicermati merupakan kalimat utama atau gagasan utama untuk paragraf berikutnya. Sebagai sebuah bentuk naskah, secara keseluruhan, naskah tersebut dapat digunakan dalam pembelajaran. Hanya perlu disikapi untuk paragraf yang satu kalimat. Dan, untuk penulis atau editor Kompas Anak perlu kecermatan lagi dalam menyusun gagasan yang tersaji dalam paragraf-paragraf. Hasil temuan lain adalah 1) artikel Kompas Anak menggunakan pola pengembangan deduktif, 2) Jika dicermati dari jenis karangan, dapat diungkap pula pengembangan karangan yang digunakan adalah karangan eksposisi. Jenis karangan ini dapat dijadikan model pula dalam pengembangan jenis karangan eksposisi. Bila dilihat pemanfaatan naskah artikel dari Kompas Anak ini bahwa naskah ini dapat digunakan sebagai bahan atau materi ajar dalam pembelajaran Bahasa Indonesia pada Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar.
DAFTAR PUSTAKA Akhadiah, Sabarti dkk. 1999. Pembinaan Keterampilan Menulis. Jakarta: Erlangga. Mulyati. Yeti, dkk. 2009. Bahasa Indonesia. Jakarta Universitas Terbuka.. Oshima, Alice dan Ann Hogue. Introduction to Academic writing (Second Edition). New York: Longman. Ramlan. Paragraf: Pikiran, alur, dan kepaduannya. Jakarta: Erlangga. Roberrt C. Bogdan dan Sari Knopp Biklen. 1982. Qualitative Researech for Education: An introduction to Theori and Methods. Boston: Allyn and Bacon) Sudaryanto. 1986. Metode Linguistik I: Ke Arah Memahami Metode Linguistik. Yogyakarta: Gajah Mada University Press) Tabroni, Roni. 2007. Proses Kreatif Menulis di Media Massa: Dari Memburu Ide Hingga Menjaring Media. Bandung:Nuansa. Tarigan. Djago. 1988. Keterampilan Menulis Paragraf. Bandung: Angkasa. Sutiyono. 2006. “Membuat Kliping .... Tidak Harus Menunggu Tugas dari Sekolah”. Dalam Kompas, 21 Mei 2006. Jakarta. “Dongeng Putri Berambut Panjang”, Nika/Disney, Kompas, Minggu 28 November 2010. Penulis 1 Rina Rosdiana, Dosen PBS Indonesia FKIP Universitas Pakuan, Bogor, Pendidikan S-1, Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, IKIP Bandung; S-2 Program Studi Pendidikan Bahasa, Universitas Negeri Jakarta; lahir di Bogor, 17 Januari 1970. 2 Suhendra, Dosen PBS Indonesia FKIPUniversitas Pakuan, Bogor. Pendidikan S-1 Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Pakuan, Pendidikan S-2 Program Studi Manajemen Pendidikan Universitas Pakuan. Lahir di Bogor, 28 April 1974.
Pedagogia, Volume 5 Nomor 1 Tahun 2013
PEMBELAJARAN KONSEP PENGELOLAAN LINGKUNGAN
17
PEMBELAJARAN KONSEP PENGELOLAAN LINGKUNGAN DENGAN PENDEKATAN SETS UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOGNITIF DAN KETERAMPILAN GENERIK MAHASISWA PGSD Suci Siti Lathifah, Taufik Rahman, Adi Rahmat Abstrak Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis peningkatan kemampuan kognitif dan keterampilan generik mahasiswa PGSD pada konsep pengelolaan dengan pendekatan SETS dan pendekatan konvensional. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuasi eksperimen dengan desain penelitian “The Randomized Control Group Pretest-Posttest Design”. Sampel dalam penelitian ini adalah mahasiswa semester IV pada program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar di FKIP Universitas Pakuan yang berjumlah untuk masing-masing kelas 35 mahasiswa. Instrumen yang digunakan berupa tes untuk mengukur kemampuan kognitif dan keterampilan generik mahasiswa, lembar penilaian kinerja mahasiswa, dan lembar angket tanggapan mahasiswa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bahwa terdapat perbedaan kemampuan kognitif dan keterampilan generik yang signifikan antara kelas eksperimen dan kelas kontrol. Hal ini ditunjukkan dengan perolehan N-gain kemampuan kognitif pada kelas eksperimen lebih tinggi (0,59) dibandingkan dengan kelas kontrol (0,57). Berdasarkan perhitungan uji hipotesis menggunakan uji Z, diperoleh nilai Z hitung adalah 2,00 terletak di luar daerah penerimaan H0 atau H0 ditolak, dan H1 diterima. Begitu pula dengan keterampilan generik pada kelas eksperimen memiliki nilai N-gain lebih tinggi (0,60) dibandingkan kelas kontrol (0,49) dan berdasarkan perhitungan uji hipotesis menggunakan uji Z, diperoleh nilai Z hitung adalah 3,11 terletak di luar daerah penerimaan H0 atau H0 ditolak, dan H1 diterima. Jadi pendekatan SETS lebih baik dalam meningkatkan/melatih kemampuan kognitif dan keterampilan generik daripada pembelajaran konvensional Kata Kunci:
SETS, Kemampuan Kognitif, Keterampilan Generik
Pendahuluan Pendidikan sains pada hakekatnya adalah membelajarkan peserta didik untuk memahami hakekat sains, mengembangkan sikap ingin tahu, sadar akan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat, serta terjadi pengembangan sikap ke arah yang positif (Sukri, 2000). Agar tujuan pendidikan sains tersebut tercapai diharapkan di dalam pembelajaran sains di sekolah, maka para pengajar dituntut untuk menggunakan pendekatan dan metode yang paling sesuai dalam setiap pembelajaran. Para pengajar merancang situasi belajar yang menarik agar dapat memotivasi peserta didik untuk mempersiapkan diri belajar secara utuh, terlatih berpikir kritis, kreatif, analitik, menumbuhkan keinginan peserta didik untuk mengamati dengan cermat, ingin bertanya, dan berdiskusi. Sehingga akhirnya peserta didik dapat menemukan konsep sendiri dan mengambil makna dari konsep yang telah dipelajari.
Pedagogia, Volume 5 Nomor 1 Tahun 2013
Salah satu pendekatan mengajar yang berpusat pada peserta didik dan berkembang saat ini di Indonesia adalah SETS (Science, Environment, Technology and Society). Pembelajaran SETS merupakan salah satu strategi pembelajaran yang dapat menjadi alternatif untuk memecahkan masalah yang ada di masyarakat yang berhubungan dengan sains dan teknologi. Pembelajaran dengan SETS telah banyak diteliti, baik itu sebagai pendekatan ataupun model dalam proses pembelajaran Sains. Amirshokoohi (2010) dalam jurnalnya menyatakan bahwa rendahnya sikap calon guru terhadap isu-isu lingkungan dan sains, teknologi dan masyarakat, literasi lingkungan (environmental literacy) tentang pengetahuan tentang sains, teknologi dan masyarakat serta rendahnya keyakinan calon guru untuk mengajar dengan isu-isu lingkungan. Akcay, et all (2010) dalam jurnalnya lebih menekankan pada efek pendekatan pembelajaran Sains, Lingkungan, Teknologi dan Masyarakat dapat
18
PEMBELAJARAN KONSEP PENGELOLAAN LINGKUNGAN
meningkatkan penguasaan konsep-konsep ilmu dasar, pemahaman proses sains, keterampilan kreativitas, peningkatan sikap siswa terhadap ilmu pengetahuan, dan kemampuan untuk menerapkan ilmu, konsep dan proses dalam situasi baru pada siswa. Yörük, et all (2009) menurutnya pendidikan dengan Sains, Teknologi, Masyarakat dan Lingkungan memiliki kontribusi dalam pemikiran akademis siswa untuk perencanaan karir siswa selanjutnya. Sedangkan Leea, et all (2007) mereka mengungkapkan bahwa pembelajaran dengan pendekatan Sains, Lingkungan, Teknologi, dan Masyarakat meningkatkan sikap posistif siswa terhadap sains dan keterampilan kreativitas siswa. Berdasarkan hal-hal tersebut menunjukkan pentingnya pembelajaran dengan Sains, Lingkungan, Teknologi, dan Masyarakat karena telah meningkatkan berbagai aspek yang menjadi tujuan dari proses pembelajaran yang telah dilakukan. Pendekatan SETS diharapkan dapat membuka wawasan peserta didik untuk memahami hakekat pendidikan sains, lingkungan, teknologi dan masyarakat secara utuh. Maksudnya ialah bahwa pendekatan SETS ditujukan untuk membantu peserta didik mengetahui sains, perkembangannya dan bagaimana perkembangan sains dapat mempengaruhi lingkungan, teknologi dan masyarakat secara timbal balik (Binadja, 1999). Konsep pengelolaan lingkungan merupakan salah satu konsep dalam biologi yang memiliki keterkaitan dalam kehidupan manusia, sehingga disarankan agar dalam pembelajaran ini digunakan pendekatan yang menghendaki peserta didik menemukan kembali atau merekontruksi kebenaran yang harus dipelajari. Pendidikan sains diarahkan untuk mencari tahu dan berbuat sehingga dapat membantu peserta didik untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang alam sekitar (Winataputra, 1992). Pemahaman konsep dan proses bermanfaat bagi peserta didik agar dapat menanggapi isu lokal, menilai secara kritis perkembangan sains dalam bidang sains dan teknologi (Depdiknas, 2003). Berdasarkan uraian di atas penulis berkeinginan untuk meneliti lebih jauh tentang pembelajaran konsep pengelolaan lingkungan dengan pendekatan SETS untuk meningkatkan kemampuan kognitif dan keterampilan generik mahasiswa PGSD.
Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan penelitian kuantitatif. Pendekatan kuantitif yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan metode quasi eksperiment dengan desain penelitian The Randomized Control Group Pretest-Posttest Design. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh mahasiswa PGSD semester IV Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Pakuan Bogor. Sampel dalam penelitian ini terdiri atas dua kelas yaitu kelas IV E sebagai kelas kontrol dan kelas IV A sebagai kelas eksperimen. Instrumen yang digunakan adalah soal tes kemampuan kognitif, soal tes keterampilan generik, lembar observasi keterampilan generik dan angket tanggapan mahasiswa. Data yang diperoleh terdiri atas : (1) skor pretest dan posttest kemampuan kognitif mahasiswa, (2) skor pretest dan posttest keterampilan generik mahasiswa, (3) skor kinerja mahasiswa, dan (4) tanggapan mahasiswa terhadap pembelajaran dengan pendekatan SETS. Analisis dilakukan terhadap data yang telah terkumpul dan berpedoman pada pertanyaanpertanyaan yang telah dibuat dalam penelitian. Data yang bersifat kualitatif dianalisis secara deskriptif untuk menemukan kecenderungan-kecenderungan yang muncul dalam penelitian. Sedangkan data kuantitatif dianalisis dengan uji statistik. Pengolahan data statistik dilakukan dengan menggunakan program SPSS 17.0 Windows dan Microsoft Excel 2007. Pengujian normalitas menggunakan uji Kolmogorov Smirnov, uji homogenitas menggunakan uji Levene Statistic dan uji hipotesis menggunakan uji-z, sedangkan untuk menganalisis korelasi antara kemampuan kognitif dan keterampilan generik dilakukan dengan uji korelasi Spearman. Hasil dan Pembahasan Kemampuan Kognitif Mahasiswa pada Konsep Pengelolaan Lingkungan Berdasarkan analisis data diketahui skor Pretest kemampuan kognitif kelas eksperimen memiliki rata-rata lebih tinggi dibandingkan dengan kelas kontrol. Rata-rata N-gain kemampuan kognitif untuk kelas eksperimen termasuk kategori sedang (0,59) sedangkan N-gain kemampuan kognitif untuk kelas kontrol termasuk kategori sedang (0,54).
Pedagogia, Volume 5 Nomor 1 Tahun 2013
PEMBELAJARAN KONSEP PENGELOLAAN LINGKUNGAN
Hasil uji normalitas dan homogenitas pretest, posttest, dan N-gain kemampuan kognitif mahasiswa kelas eksperimen dan kontrol didapatkan nilai signifikansi (Sig.) pretest kelas eksperimen dan kontrol masing-masing 0,226 dan 0,143. Nilai signifikasi kedua kelas tersebut > (0,05). Hasil tersebut menunjukkan bahwa data pretest kemampuan kognitif yang diperoleh dari kelas eksperimen dan kelas kontrol berdistribusi normal. Nilai signifikansi posttest kelas eksperimen 0,504 > (0,05) dan kelas kontrol 0,433 (0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa data posttest kemampuan kognitif yang diperoleh dari kelas eksperimen dan kelas kontrol berdistribusi normal. Nilai signifikasi untuk data N-gain kelas eksperimen adalah 0,961 dan nilai signifikansi kelas kontrol adalah 0,373. Nilai signifikansi kedua kelas tersebut (0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa data N-gain kemampuan kognitif yang diperoleh dari kelas eksperimen dan kelas kontrol berdistribusi normal. Nilai signifikansi uji homogenitas N-gain = 0,126. Oleh karena nilai signifikansi (0,05), maka data N-gain kelas eksperimen maupun kelas kontrol bersifat homogen atau memiliki varians yang sama. Untuk mengetahui perbedaan peningkatan kemampuan kognitif kelas eksperimen dan kontrol dilakukan pengolahan terhadap nilai N-gain kedua kelas tersebut. Uji hipotesis dilakukan dengan statistik parametrik uji Z didapatkan nilai Z hitung nilai Z hitung >-1,96 atau > 1,96 atau terletak di luar daerah penerimaan H0 atau H0 ditolak. Hasil ini menunjukan bahwa nilai posttest mahasiswa kelas eksperimen berbeda signifikan dengan mahasiswa kelas kontrol, sehingga dapat disimpulkan bahwa mahasiswa kelas eksperimen memiliki kemampuan kognitif lebih tinggi tentang konsep pengelolaan lingkungan daripada kelas kontrol. Hal ini terjadi dikarenakan pada pembelajaran kelas eksperimen melalui metode diskusi. Hanya saja pada kelas kontrol interaksi antara dosen dan mahasiswa lebih intens terjadi di dalam kelas. Menurut Munandar (1992) melalui metode diskusi, anak mendapat pengalaman dan latihan mengungkapkan diri dan berkomunikasi dengan orang lain dalam menghadapi suatu masalah. Diskusi memungkinkan pengembangan penalaran, pemikiran kritis, dan kreatif, serta kemampuan memberikan pertimbangan dan
Pedagogia, Volume 5 Nomor 1 Tahun 2013
19
penilaian. Disamping itu pembelajaran yang dilakukan itu merupakan aktivitas dalam kelompok kecil yang memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk berdiskusi dan saling bertukar informasi sehingga dapat mengembangkan kemampuan dan pengetahuan mahasiswa. Hal ini sesuai dengan pendapat Vygotsky (Ibrahim, 2004) yang mengemukakan bahwa interaksi sosial dengan teman lain membantu terbentuknya ide baru dan memperkaya perkembangan intelektual seseorang. Selanjutnya Vygotsky percaya bahwa anak akan lebih berkembang jika berinteraksi dengan orang lain. Selain itu (Munandar (1999:80) mengemukakan bahwa lingkungan belajar yang kreatif dapat tercipta dengan melakukan pengaturan di dalam kelas. Mahasiswa dalam kelompok dengan pengalaman yang beragam, berkolaborasi untuk memecahkan masalah yang sedang dihadapinya. Aktivitas ini memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk berdiskusi dan saling bertukar informasi sehingga dapat mengembangkan kemmapuan dan pengetahuan mahasiswa. Menurut Bereiter (Chin & Chia, 2004b:3) belajar dalam kelompok yang berkolaborasi akan menjadikan siswa merasa terlibat untuk mengkontruk konsep (pengetahuan). Kemampuan kognitif merupakan salah satu bentuk hasil belajar yang menunjukkan kemampuan siswa dalam menguasai suatu bahan ajar. Menurut Djamarah (2002) belajar konsep merupakan salah satu cara belajar dengan pemahaman artinya siswa mempunyai suatu skema konseptual yang mencakup sejumlah obyek yang dipelajarinya. Sesuai pula dengan yang diungkapakan Koffka dan Kohler dalam bentuk teori belajar Gestalt (Djamarah, 2002), bahwa yang terpenting dalam belajar bukan mengulangi hal-hal yang harus dipelajari tetapi mengerti atau memperoleh insight (pengertian) dari konsep yang dipelajarinya. Dalam pembelajaran SETS dosen sebagai pemberi informasi dikurangi, tetapi dosen lebih banyak berperan sebagai fasilitator, mahasiswa disini berperan aktif dalam mengkontruk pengetahuan melalui permasalahan yang harus dipecahkan, sehingga mahasiswa didorong untuk berfikir agar dapat membuat solusi terhadap permasalahannya. Munandar (1999: 81) guru sebagai fasilitator harus bersifat terbuka dan menerima gagasan-gagasan dari semua siswa. Sebagai fasilitator guru harus berusaha
20
PEMBELAJARAN KONSEP PENGELOLAAN LINGKUNGAN
menghilangkan ketakutan dan kecemasan siswa yang menghampat pemikiran dan pemecahan masalah secara kreatif. Peran pendidik sebagai fasilitator membantu menciptakan suasana kelas yang aman dimana peserta didik merasa dirinya diterima dan dihargai. Hal ini salah satu pendorong berkembangnya berbagai keterampilan. Rata-rata posttest dan Ngain kelas eksperimen lebih tinggi dibandingkan kelas kontrol. Peningkatan kemampuan kognitif yang terjadi dalam penelitian ini dimungkinkan karena pembelajaran dengan pendekatan SETS merupakan pembelajaran aktif yang berpusat pada mahasiswa. Dengan pembelajaran aktif memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk dapat mengkontruk pengetahuannya sendiri. Hal ini sesuai dengan pendapat Bruner yang menyatakan bahwa berusaha sendiri untuk mencari pemecahan masalah serta pengetahuan yang menyertainya, menghasilkan pengetahuan yang benar-benar bermakna (Dahar, 1996: 103). Hal ini pun sejalan dengan penelitian yang dilakukan Lestari et al, bahwa pembelajaran dengan pendekatan SETS dapat memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang materi yang sedang dipelajari. Indikator kemampuan kognitif yang dikaji terdiri dari mengerti (C2), menerapkan (C3), menguraikan (C4), menilai (C5) dan mencipta (C6). Penguasaan mahasiswa untuk masing-masing indikator kemampuan kognitif ini dapat dilihat dalam diagram pada Gambar 1.
Pada indikator-indikator kemampuan kognitif di atas terdapat perbedaan yang signifikan hal ini disebabkan pada kelas eksperimen menggunakan metode diskusi yang lenbih intens antar teman sebaya di luar dan dalam kelas. Metode diskusi oleh sebagian besar mahasiswa (63%) adalah metode yang sering digunakan selama proses pembelajaran konsep lingkungan selama ini. Selama berdiskusi mahasiswa selain dapat berdiskusi langsung dengan dosen, mahasiswa dapat bertanya dengan rekan sebanyanya dalam kelompok yang heterogen di luar jam perkuliahan. Hal ini didukung oleh hasil angket yang menyatakan sebagian besar mahasiswa (71,4%) menyukai kegiatan pembelajaran dengan melakukan kerja kelompok karena dengan berdiskusi cukup dapat mengungkapkan ide-ide mahasiswa (40%). Menurut Munandar (1999), lingkungan belajar yang kreatif dapat tercipta salah satunya dengan kesibukan yang produktif, misalnya kesibukan mahasiswa dalam berdiskusi dan penyelidikan bahan ajar yang diperlukan untuk dapat memecahkan suatu masalah atau memahami konsep. Lebih lanjut Munandar (1999) mengungkapkan bahwa diskusi memungkinkan kepada mahasiswa untuk mengembangkan penalaran, pemikiran kritis dan kreatif, serta kemampuan memberikan pertimbangan dan penilai. Pada indikator mencipta Mean N gain kelas eksperimen lebih tinggi dibandingkan pada kelas kontrol hal ini disebabkan karena pada pembelajaran dengan pendekatan SETS mahasiswa diminta untuk membuat sebuah produk. Produk yang mahasiswa kerjakan dikaitkan dengan materi dan kehidupan nyata sehingga siswa secara tidak langsung dapat menerapkan pengetahuan yang didapatnya untuk menyelesaikan masalah yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Adanya peningkatan ini sejalan dengan ahli psikologi Jerome Bruner (Prayitno, 1989) bahwa jika dalam belajar siswa diberikan pengalaman langsung maka situasi pengajarannya akan meningkatkan kegairahan dan minat dalam belajar. Sehingga jika mahasiswa sudah berada dalam kondisi seperti itu maka mahasiswa akan tergugah untuk melakukan kegiatan belajar yang pada akhirnya akan mempengaruhi hasil belajar. Hal ini pun didukung oleh hasil angket yang menyatakan pembelajaran SETS menuntut sebagian besar mahasiswa (59%) untuk banyak berfikir dan terampil. Pedagogia, Volume 5 Nomor 1 Tahun 2013
PEMBELAJARAN KONSEP PENGELOLAAN LINGKUNGAN
Keterampilan Generik Mahasiswa pada Konsep Pengelolaan Lingkungan Skor keterampilan generik kelas eksperimen memiliki nilai rata-rata lebih tinggi dibandingkan nilai rata-rata pada kelas kontrol. Rata-rata N-gain keterampilan generik untuk kelas eksperimen termasuk kategori sedang (0,60) dan rata-rata N-gain keterampilan generik untuk kelas kontrol juga termasuk kategori sedang (0,49). Hasil uji normalitas dan homogenitas pretest, posttest, dan n-gain keterampilan generik didapatkan nilai signifikansi (Sig.) kelas eksperimen 0,384 (0,05) dan kelas kontrol 0,196 > (0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa data pretest keterampilan generik yang diperoleh dari kelas eksperimen dan kelas kontrol berdistribusi normal. Nilai signifikansi (Sig.) kelas eksperimen dan kelas kontrol masingmasing 0,090 dan 0,540. Nilai signifikasi kedua kelas tersebut > (0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa data posttest ketarampilan generik yang diperoleh dari kelas eksperimen dan kelas kontrol berdistribusi normal. Nilai signifikasi (Sig.) untuk data N-gain kelas eksperimen 0,586 dan nilai signifikansi kelas kontrol 0,257. Nilai signifikansi kedua kelas tersebut (0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa data N-gain keterampilan generik yang diperoleh dari kelas eksperimen dan kelas kontrol berdistribusi normal. Setelah diketahui bahwa N-gain kelas eksperimen dan kelas kontrol berdistribusi normal, maka langkah selanjutnya adalah melakukan uji homogenitas varians data N-gain, diperoleh angka signifikansi = 0,616. Oleh karena angka signifikansi (0,05), maka data N-gain kelas eksperimen maupun kelas kontrol bersifat homogen atau memiliki varians yang sama. Untuk menguji apakah keterampilan generik pada kelas eksperimen dan kelas kontrol berbeda secara signifikan, maka digunakan uji Uji hipotesis dilakukan dengan statistik parametrik uji-Z didapatkan nilai Z hitung nilai Z hitung >-1,96 atau > 1,96 atau terletak di luar daerah penerimaan H0 atau H0 ditolak. Hasil ini menunjukan bahwa nilai pretest mahasiswa kelas eksperimen berbeda signifikan dengan mahasiswa kelas kontrol, sehingga dapat disimpulkan bahwa mahasiswa kelas eksperimen memiliki keterampilan generik lebih tinggi tentang konsep pengelolaan lingkungan daripada kelas kontrol.
Pedagogia, Volume 5 Nomor 1 Tahun 2013
21
Peningkatan keterampilan generik yang terjadi pada setiap indikator pada kelas eksperimen lebih tinggi jika dibandingkan dengan kelas kontrol. Keterampilan generik pada kelas eksperimen yang meningkat lebih tinggi dibandingkan dengan kelas kontrol dapat terjadi karena pada kelas eksperimen mahasiswa mempunyai kesempatan untuk belajar secara mandiri sehingga menuntut kemampuan berfikirnya selama pembelajaran berlangsung. Pembelajaran yang mengkondisikan mahasiswa untuk aktif berfikir tersebut merupakan pembelajaran yang dapat mengembangkan keterampilan generik dikemukakan oleh Hartono (2006). Berfikirnya mahasiswa karena dengan pendekatan ini mahasiswa dikondisikan agar mampu menerapkan prinsip sains untuk menghasilkan karya teknologi (sederhana atau yang rumit tergantung jenjang pendidikan) disertai dengan pemikiran untuk mengurangi atau mencegah kemungkinan dampak negatif yang timbul dari munculnya produk teknologi ini terhadap lingkungan dan masyarakat (Sutarno, 2004). Lebih lanjut Suyanti (2004) mengemukakan, untuk memperoleh pengetahuan logis diperlukan suatu aktivitas eksplorasi yang dilakukan mulai dari awal hingga akhir pembelajaran. Dan tujuan dari keterampilan generik adalah agar pengetahuan dan kecakapan yang diperoleh dari hasil belajar dapat diaplikasikan pada bidang kehidupan sosial, teknologi atau pada setiap perubahan konteks, namun yang lebih utama adalah menghasilkan efisiensi yang lebih besar melalui pengetahuan yang lebih efektif dan penggunaan kecakapan (Down, 2000; Hills, 2004). Hal ini pun didukung oleh angket tanggapan mahasiswa pada tabel 4.25 yang menyatakan bahwa dosen sering melemparkan isu-isu terkini di masyarakat (54,2%) dan ini menjadikan pembelajaran menjadi menyenangkan dan mudah dipahami (51,4%). Untuk kelas kontrol yang menggunakan model kooperatif konvensional memiliki capaian yang kecil hal untuk semua jenis keterampilan yang diujikan. Hal ini merupakan suatu efek dari perkuliahan konvensional (ceramah dengan menggunakan presentasi powerpoint) yang tidak memberikan keleluasaan mahasiswa untuk mengasah proses metode ilmiah dalam pembelajarannya. Kemampuan mengendalikan proses metode ilmiah sendiri menurut
22
PEMBELAJARAN KONSEP PENGELOLAAN LINGKUNGAN
Brotosiswoyo (2000), merupakan langkah permulaan untuk membangun ilmu. Bila dilihat dari skor yang terjadi, terungkap bahwa perkulihan konvensional tidak berkontribusi positif terhadap keterampilan generik mahasiswa pada kelompok kontrol. Indikator keterampilan generik yang dikaji terdiri dari pengamatan tidak langsung, kerangka logika, sebab akibat, pemodelan, inferensi dan abtraksi. Penguasaan mahasiswa untuk masingmasing indikator keterampilan generik ini dapat dilihat dalam diagram pada Gambar 2.
Berdasarkan Gambar 2 Mean N-gain keterampilan generik kelas eksperimen pada indikator pengamatan tidak langsung menunjukkan kemampuan yang lebih tinggi dari pada indikator lainnya yang berkategori tinggi. Pada kelas eksperimen, diperoleh skor N-gain terendah mahasiswa pada indikator inferensi yang berkategori sedang. Pada kelas kontrol skor N-gain terendah terdapat pada indikator inferensi yang termasuk kategori sedang. Berdasarkan penjelasan di atas bahwa terdapat perbedaan peningkatan pada setiap indikator, hal ini dipengaruhi oleh perbedaan kecerdasan intelektual/ intelegensia mahasiswa. Hamalik (2008: 181) mengatakan bahwa individu yang mempunyai tingkat intelegensi yang tinggi mempunyai tingkat perhatian yang lebih baik dan mampu menyelesaikan tugas
dengan waktu singkat, mampu menarik kesimpulan, dan melakukan abstraksi. Siswa yang cerdas mempunyai curiosity yang lebih besar, sikap sosial yang lebih baik, aktif, lebih cepat dan lebih teliti dalam menghayati hubungan-hubungan yang terjadi, suka menyelidiki yang baru dan lebih luas, serta percaya akan kemampuannya sendiri. Hasil Observasi Kegiatan Mahasiswa dalam Pembelajaran dengan Pendekatan SETS Hasil yang didapatkan bahwa pada ragam pengamatan langsung hanya 2,8% mahasiswa yang tidak mengamati kerusakan yang terjadi di lingkungan sekitar secara langsung oleh indera tetapi kurang tepat dalam menyebutkan karakteristik kerusakan lingkungan dengan lisan berdasarkan pengamatan langsung. Sebanyak 25,7% mahasiswa mengamati kerusakan yang terjadi di lingkungan sekitar secara langsung oleh indera tetapi kurang tepat dalam menyebutkan karakteristik kerusakan lingkungan dengan lisan berdasarkan pengamatan langsung. Mayoritas mahasiswa sebanyak 71,4% dapat mengamati kerusakan yang terjadi di lingkungan sekitar secara langsung oleh indera dan dengan tepat dalam menyebutkan karakteristik kerusakan lingkungan dengan lisan berdasarkan pengamatan langsung. Pada ragam kerangka logika seluruh mahasiswa (100%) dapat mengelompokkan kerusakan lingkungan yang terjadi di lingkungannya ke dalam salah satu jenis pencemaran. Pada ragam sebab akibat sebanyak 22,9% mahasiswa kurang tepat dalam menjelaskan akibat dari pencemaran lingkungan dan upaya pengelolaannya, dan mayoritas mahasiswa yaitu 77,1% dapat menjelaskan akibat dari pencemaran lingkungan dan upaya pengelolaannya. Pada ragam pemodelan sebanyak 22,9% mahasiswa membuat obyek yang digunakan menyerupai aslinya dan agak sulit digunakan, sedangkan 77,1% mahasiswa membuat obyek yang dibuat menyerupai aslinya dan mudah untuk digunakan siapa saja. Disamping itu pada ragam ini seluruh mahasiswa dapat memperagakan obyek sebagai contoh. Pada ragam inferensi sebanyak 15% mahasiswa menjelaskan kegunaan obyek yang dibuat kurang relevan dengan buku rujukan, dan 57,1% menjelaskan kegunaan obyek yang dibuat relevan dengan buku rujukan. Masih juga pada ragam
Pedagogia, Volume 5 Nomor 1 Tahun 2013
PEMBELAJARAN KONSEP PENGELOLAAN LINGKUNGAN
ini 54,3% mahasiswa Kurang dapat menyimpulkan upaya pengelolaan lingkungan dari obyek yang dibuat berdasarkan rujukan, dan 45,5% mahasiswa dapat menyimpulkan upaya pengelolaan lingkungan dari obyek yang dibuat berdasarkan rujukan. Korelasi Kemampuan Kognitif dan Keterampilan Generik Mahasiswa Berdasarkan uji yang dilakukan di dapatkan koefesien korelasi sebesar 0,218. Jadi terdapat hubungan antara kemampuan kognitif dan keterampilan generik mahasiswa yang tergolong dalam kategori yang rendah. Dan korelasi kemampuan kognitif terhadap keterampilan generik adalah r2 = 0,218 (r = 46,7), hal ini menunjukan bahwa 46,7% kemampuan kognitif yang dimiliki mahasiswa memberi andil terhadap kemampuan generik. Dengan kata lain kemampuan kognitif dan keterampilan generik dapat saling terkait dalam hal tujuan yang hendak dicapai. Down dan Hill menyatakan bahwa tujuan generic skill adalah agar pengetahuan dan kecakapan yang diperoleh dari hasil belajadapat diaplikasikan pada bidang kehidupan sosial, teknologi atau pada setiap perubahan konteks, namun yang lebih utama adalah menghasilkan efisiensi yang lebih besar melalui pengetahuan yang lebih efektif dan penggunaan kecakapan (Down, 2000; Hills 2004). Di samping itu terdapat faktor internal dan eksternal lainnya yang mempengaruhi korelasi kemampuan kognitif dengan keterampilan generik. Hasil Angket Mahasiswa tentang Pembelajaran dengan Pendekatan SETS pada Konsep Pengelolaan Lingkungan Berdasarkan hasil angket pada umumnya (84,25%) mahasiswa menyukai mata kuliah yang berhubungan dengan lingkungan dan juga menyatakan bahwa pembelajaran yang telah dilakukan membangkitkan minat belajar mereka. Mahasiswa pun sebagian besar (55%) tidak merasa kesulitan dalam memahami materi mengenai lingkungan. Metode diskusi dinyatakan sebagian besar mahasiswa (63%) sebagai metode yang sering digunakan selama proses pembelajaran konsep lingkungan selama ini, kemudian metode ceramah hampir setengahnya mahasiswa menyatakan sering digunakan dalam
Pedagogia, Volume 5 Nomor 1 Tahun 2013
23
pembelajaran (28,6%). Sebagian besar (68,9%) mahasiswa mengakui bahwa pembelajaran dengan pendekatan SETS memudahkan untuk memahami konsep, dan kegiatan yang sebagian besar (71,4) mahasiswa sukai pada saat kegiatan pembelajaran adalah melakukan kerja kelompok karena hampir setengahnya mahasiswa (40%) menyatakan bahwa dengan berdiskusi mahasiswa cukup dapat mengungkapkan ide-ide mereka. Sebagian besar (54,2%) mahasiswa juga tidak merasa kesulitan dalam memahami wacana, karena sebagian besar dari mereka (51,7%) mengaku sering membaca artikel atau informasi dalam bentuk wacana. Walaupun sebagian besar mahasiswa menyukai kegiatan kerja kelompok tetapi sebagian besar mahasiswa (60%) mengakui merasa kesulitan saat melakukan kerja kelompok dengan alasan bahwa kerja kelompok pada proses pembelajaran mewajibkan untuk membuat produk dan tidak semua mahasiswa mempunyai keterampilan yang sama, sehingga terjadi saling mengandalkan ketika bekerja dalam kelompok. Sebagian besar mahasiswa (54,2%) menyatakan bahwa dosen sering melemparkan isuisu terkini di masyarakat dalam proses pembelajaran dan hal ini diakui sebagian besar mahasiswa (51,4%) menjadikan pembelajaran lebih menyenangkan dan mudah dipahami. Pembelajaran yang dilakukan menjadikan sebagian besar mahasiswa (74,3%) merasa peduli dengan lingkungan sekitarnya. Untuk lembar kerja yang telah dibuat sebagian besar mahasiswa (58%) menyatakan mengerti dengan lembar kerja yang telah dibuat, dan hampir setangahnya mahasiswa (60%) tidak merasa kesulitan memahami inti dari wacana dalam lembar kerja yang dibuat. Sebagian besar mahasiswa (62%) tidak merasa kesulitan melakukan pengamatan langsung/ tidak langsung saat kerja kelompok. Sebagian besar mahasiswa (68,6%) dapat mengelompokkan jenisjenis pencemaran yang terdapat di lingkungan sekitar, sebagian besar mahasiswa (54,3%) menyatakan pembelajaran SETS dapat melatih mahasiswa dalam merancang dan membuat solusi sederhana yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan. Pembelajaran dengan SETS menuntut sebagian besar mahasiswa untuk banyak berfikir dan terampil (59%) dan pembelajaran dengan pendekatan SETS
24
PEMBELAJARAN KONSEP PENGELOLAAN LINGKUNGAN
menurut sebagian besar mahasiswa menghabiskan banyak waktu khususnya di luar perkuliahan (71%). Walaupun demikian mahasiswa pada umumnya (85,7%) menyatakan metode pembelajaran yang telah dilakukan cocok untuk diterapkan dalam mata kuliah mengenai konsep pengelolaan lingkungan. Berdasarkan hasil angket diperoleh bahwa hampir seluruh mahasiswa menyukai mata kuliah yang berhubungan dengan lingkungan. Sebagian kecil mahasiswa menyatakan bahwa mata kuliah yang berhubungan dengan lingkungan sulit dikarenakan terdapat kewajiban untuk membuat suatu produk. Slameto (2003) mengatakan bahwa ketertarikan peserta didik terhadap suatu pembelajaran merupakan salah satu faktor dalam keberhasilan pembelajaran. Mahasiswa telah terbiasa berdiskusi ketika proses pembelajaran sebelumnya dan mereka merasa bahwa hal tersebut dapat meningkatkan minat mereka untuk mempelajari mata kuliah yang berkaiatan dengan lingkungan. Lembar kerja yang diberikan pada saat pembelajaran berlangsung dapat dimengerti, dan wacana yang terdapat pada lembar kerja sebagian besar mahasiswa menyatakan mudah untuk menyimpulkan intinya. Pengaitan konsep dengan unsur sains dengan lingkungan, teknologi dan masyarakat secara timbal balik dalam pembelajaran SETS dirasakan mahasiswa menjadi lebih menyenangkan dan mudah dipahami. Pengalaman belajar siswa dalam proses pembelajaran sangat penting, makin aktif siswa secara intelektual, manual, dan sosial, tampaknya makin bermakna pengalaman belajar siswa (Rustaman, 2003:87). Kesimpulan Berdasarkan data-data sebelumnya dapat disimpulkan bahwa peningkatan kemampuan kognitif dan keterampilan generik mahasiswa PGSD berbeda signifikan antara pembelajaran konsep pengelolalan lingkungan dengan pendekatan SETS dan konvensional. Respon mahasiswa yang dijaring melalui angket menunjukkan bahwa mahasiswa memberikan respon positif terhadap pembelajaran dengan pendekatan SETS Daftar Pustaka Akcay, Hakan and Robert E. Yager. (2010). The Impact of a Science/Technology/Society
Teaching Approach on Student Learning in Five Domains. J Sci Educ Technol (2010) 19:602-611). Amirshokoohi, Aidin. (2010). Elementary Pre-service Teachers’ Environmental Literacy and Views Toward Science, Technology, and Society (STS) Issues. SPRING 2010 VOL. 19, NO. 1 Chin, C & Chia L. (2004a). Implementing Project Work in Biology through Problem Based Learning. Journal of Biological Education. 38 (2), 6975. http://www.lob.org/download/277.pdf (10 Januari 2008) Binadja, A. 1999. Hakekat dan Tujuan Pendidikan SETS dalam Konteks Kehidupan dan Pendidikan yang Ada. Makalah Semiloka Pendidikan SETS. RECSAM UNNES. Semarang 14 – 15 Desember 1999. Brotosiswoyo, B.S. (2000). Halikat Pembelajaran MIPA (Fisika) di Perguruan TInggi, Jakarta: Proyek Pengembangan Universitas Terbuka Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional Dahar, R, W. (1996). Teori-teori Belajar. Jakarta: Erlangga Depdiknas. (2003). Pedoman Khusus Pengembangan Silabus dan Penilaian Mata Pelajaran Biologi. Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional. Djamarah. (2002) Psikologi Belajar. Jakarta : Rineka Cipta Down, C. (2000). Key Competitions in Training Packages, in Conference Proceeedings, 8th Annual International Conference on Post Compulsory Education of Training, v 2, 132139. Brisbane: Griffith University Hamalik, O (2008). Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara Hartono. (2006). Pembelajaran Fisika Modern bagi Mahasiswa Calon Guru. Disertasi Doktor pada SPs UPI: tidak diterbitkan Hills, G. (2004). In from the Cold- The Rise of Vocational Education, RSA jurnal 22-25 Leea, Mee-Kyeong dan Ibrahim Erdogan. (2007). The Effect of Science–Technology–Society Teaching on Students’ Attitudes toward Science and Certain Aspects of Creativity.
Pedagogia, Volume 5 Nomor 1 Tahun 2013
PEMBELAJARAN KONSEP PENGELOLAAN LINGKUNGAN
International Journal of Science Education. Vol. 29, No. 11, 3 September 2007, pp. 1315– 1327 Munandar, U.C.S. (1999). Mengembangkan Bakat dan Kreatifitas Anak Sekolah. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Prayitno, E. (1989). Motivasi dalam Belajar. Jakarta. Depdikbud Rustaman, N. Dirjosoemarto, S., Ahmad Y., Yudianto, S.A., Rochintaniawati, D., Nurjhani, M., dan SUbekti, R., (2003). Strategi Belajar Mengajar Biologi. Bandung. Jurusan Biologi FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia. Slameto. 2003. Belajar dan Faktor-faktor Yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta Sutarno, N. (2004). Materi dan Pembelajaran IPA SD. Jakarta: Pusat Pembelajaran Universitas
25
Terbuka. Sukri. (2000). Pendekatan Sains Dalam Pembelajaran Biologi. Tesis Pasca Sarjana UPI: Tidak Diterbitkan Suyanti, R.D. (2006) Pembekalan Kemampuan Generik Bagi Calon Guru melalui Pembelajaran Kimia Organik Berbasis Multimedia Komputer. Disertasi DOktor pada Pendidikan IPA SPs UPI. Bandung: tidak diterbitkan Winataputra, (1992). Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: UT Jakarta Yörük, Nuray. İnci Morgil, Nilgün Seçken. (2009). The effects of science, technology, society and environment (STSE) education on students’ career planning. (Department of Chemistry Education, Hacettepe University, Ankara 06800, Turkey). 1 Program study PGSD FKIP Universitas Pakuan (Unpak).
[email protected] 2 Program Study Magister Pedidikan IPA SPs Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) 3 Program Study Magister Pedidikan IPA SPs Universitas Pendidikan Indonesia (UPI)
Pedagogia, Volume 5 Nomor 1 Tahun 2013
26
PEMBELAJARAN KONSEP PENGELOLAAN LINGKUNGAN
Pedagogia, Volume 5 Nomor 1 Tahun 2013
IMPROVING STUDENTS’ VOCABULARY ENRICHMENT THROUGH PICTURE AND PICTURE
27
IMPROVING STUDENTS’ VOCABULARY ENRICHMENT THROUGH PICTURE AND PICTURE Eli Nurlaeli, Entis Sutisna, Mursidah Rahmah Abstrak Judul penelitian ini adalah “Improving Students’ Vocabulary Enrichment through Picture and Picture”. Tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan kosa kata Bahasa Inggris siswa melalui tehnik Picture and Picture. Penelitian ini dilakukan di MI Sirojul Aulad dengan jumlah siswa sebanyak 170 orang. Penulis meneliti siswa kelas 6 yang berjumlah 30 orang. Dalam penelitiannya penulis menggunakan metode PTK (penelitian tindakan kelas) dengan dua siklus. Untuk pengumpulan data, penulis mengadakan pre-test dan post-test untuk mengetahui peningkatan kosa kata siswa, kuesioner untuk mengetahui perasaan siswa mengenai tehnik yang diterapkan, dan observasi selama proses pembelajaran berlangsung. Hasil dari post-test siklus pertama menunjukkan bahwa 19 orang siswa atau 63.3% sudah mencapai nilai standar yaitu 70 dan pada post-test siklus kedua, jumlah tersebut meningkat menjadi 26 siswa atau 86.7%. Hal tersebut menunjukkan bahwa 75% dari jumlah siswa telah mencapai nilai standar. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa penelitian tindakan kelas dalam meningkatkan kosa kata Bahasa Inggris siswa melalui tehnik Picture and Picture berhasil. Tehnik ini diakui sebagai salah satu cara yang dapat diterapkan secara efektif di dalam kelas, sehingga disarankan bagi para guru yang ingin meningkatkan kosa kata Bahasa Inggris siswa untuk menggunakan tehnik ini dalam proses pembelajaran di kelas. Kata kunci: vocabulary, cooperative learning, Picture and Picture Introduction Vocabulary plays a very important role as a starting point in mastering English as Nunan (2001:117) states that the acquisition of an adequate vocabulary is essential for second language use because without an extensive vocabulary, we will unable to use the structures and functions we may learn for comprehensible communication. It means without knowing the appropriate vocabulary, it is impossible for people to communicate well in the target language. In learning English vocabulary, especially in the research site, students usually feel bored with the way of conventional method, for example the teacher reads vocabularies and then they repeat them. Based on the above consideration, the writer tries to find a solution for the problem. There are some interesting methods that can be applied in the teaching and learning process, and one of them is cooperative learning. Larsen (2000:164) states, “Cooperative learning essentially involves students learning from each other in groups”. It means that each member of a
Pedagogia, Volume 5 Nomor 1 Tahun 2013
group is responsible to learn what is taught and to help his teammates’ learning, thus creating an atmosphere of achievement. The writer has an assumption that cooperative learning can help the students to master vocabulary. There are many techniques in cooperative learning, they are: jigsaw, think pair share, two stay two stray, make a match, picture and picture, etc. The writer only focuses on one of the techniques, it is Picture and Picture. According to Hamdani, M.A. (2011:89), Picture and Picture is the technique that uses pictures to be arranged become the logical order. The writer herself has a perception that the technique will be good to be applied in teaching vocabulary. There is a question on this research, it is: How does Picture and Picture improve students’ vocabulary enrichment? Research Methodology The site of the research is MI Sirojul Aulad and the researcher takes the 6th grade that consists of 30 students as the participant. The reason for choosing
28
IMPROVING STUDENTS’ VOCABULARY ENRICHMENT THROUGH PICTURE AND PICTURE
the class is because it is the class with the lowest motivation in learning English, and their lack in mastering vocabulary makes them get the low score on the examination. The limitedness of media is one of the problems in learning vocabulary. The methodology that is used on this research is Classroom Action Research. It is conducted to see and investigate the improvement by applying Picture and Picture in the class to enrich students’ English vocabulary. Classroom action research is a research that limited to a population or subject, place and condition. It is conducted to identify a problem and decide the right treatment or action to solve it. The research is usually done in circular stages and every stage should identify the progress of the subject. Based on the definition of Classroom Action Research quoted by Herawati (2005:13), action research is a flexible spiral process, which allows action (change and improvement) and research (understanding/knowing) to be achieved at the same time. She also quoted that the understanding allows more informed change at the same time is informed by that change. It means while the researcher does the action to make change and improvement, she/he also makes the students gain the understanding all at once in a process. The classroom action research is chosen as a method because it is believed that it will give positive result and advantage to both the respondents and the writer. Picture and Picture will become an effective teaching technique that would improve students’ vocabulary enrichment. The objective of conducting the research is to improve students’ vocabulary enrichment. By conducting the research through applying Picture and Picture, it is expected that it will change the students’ perception that memorizing English vocabulary is hard to do. The subject who conducts and plays the main role in this research is the researcher herself. So, how to lead and treat the class is completely known because she herself is the one who understands how to conduct it. Herawati (2005:13) cited that action achieves the action outcomes mostly by involving people in the planning, acting, and reflecting, and by being flexible and responsive to situation and people. In this case, the writer involves herself in the situation
and the process of the research in exceeding students’ vocabulary enrichment problem. In this research, there are two cycles of the action. Lewin in Arikunto (2002:83) brought up that there are four steps that have to be pursued: planning, acting, observing and reflecting. These four steps have to be carried out in each cycle of the research process. The four cycle steps introduced by Lewin are then developed by Kemmis and Mc Taggart which combined the two cycle steps that is acting and observing because both of them happened in the same time. This following figure is the design used in the research: Figure 4.1 The Cycle of Classroom Action Research Planning
Cycle 1 Acting/Observing
Reflecting
Planning
Cycle 2 Acting/Observing
Reflecting
The first cycle comprised the four parts of planning, acting, observing, and reflecting. The planning part which is also the first stage of the cycle is the preparation part. The second stage consists of the acting part and the observing part. These two parts of the cycle are conducted simultaneously. The acting
Pedagogia, Volume 5 Nomor 1 Tahun 2013
IMPROVING STUDENTS’ VOCABULARY ENRICHMENT THROUGH PICTURE AND PICTURE
part is the teaching-learning process in the classroom based on a prepared lesson plan. The observing part is the result part. In this part, the observer notes the result of her observation concerning on the improvement of students’ vocabulary during the teaching vocabulary process on the classroom. The reflecting part is the evaluation part. It is the third and last stage of the first cycle. It is where the significance of the research outcomes are analyzed, and measured. Here is the explanation of the procedure of the classroom action research which is applied to find the result of the research: a. Cycle 1 1) Planning The first cycle is going to be done from 12-17 October, 2012 and there are six meetings in that range of time. The preparations for the facilities of the research are: (a) Designing the lesson plan, pictures, choosing the material and vocabulary. (b) Designing the instruments (tests, observation notes, and questionnaire). At this stage, the writer has discussed about all the processes that have to be done during the treatments with the observer, so they know their responsibilities and their parts in the research. 2) Acting The procedures for the treatments are: (a) The students are asked to do the pre-test individually. The pre-test is done to test their current ability. (b) Students are given a topic and asked to give some examples of vocabulary related to it. This is important to get them familiar to the topic. After that, they get the material and start to learn as they usually do in the class. (c) They learn the new vocabulary (the meaning, the written and spoken form) that will also be played in the activity. (d) To start the activity, students are divided into groups which consisted of five students. Then, tell them about the activity and the advantages they will get by doing it – bring up the excitement.
Pedagogia, Volume 5 Nomor 1 Tahun 2013
29
(f)
After they understand how to do the activity, every group gets one set of pictures. The pictures are shared to all members of the group and they work together to arrange the pictures into the correct order. The representative of each group will be called to show the pictures arrangement and explain it with the logical reason. (g) After all of the groups perform and explain their pictures, teacher gives the explanation about the material according to the reason of the students. (h) The group with the best explanation will be the winner and given a reward. (i) At the last meeting, they are having a posttest with the same questions to know how they improve their vocabulary. 3) Observing The observer has to present in every meeting and to observe both students and the teacher from the beginning until the end of the class. There are two forms of observation notes; one for the students and another one for the teacher. In the students’ observation note, she has to observe the students’ behavior during the teaching and learning activity. She scales the motivation, attention, participation and presentation into good, fair or poor. While in the teacher’s observation note, she checks if all activities that should be done on the lesson plan are carried out. She also needs to note some points she thinks need to notice during the process for the consideration of the better presentation and performance in the next meeting. 4) Reflecting The research is considered successful in the first cycle in conditions 75% of the students have good motivation, attention and participation to involve in all activities during the teaching and learning process and 75% of the students achieve score more than 70 in post-test. The result of the reflection is used to decide whether the research should be continued to the next cycle.
30
IMPROVING STUDENTS’ VOCABULARY ENRICHMENT THROUGH PICTURE AND PICTURE
3. Research Finding a. The result of pre-test Table 5.1 The Result of Pre-Test Criteria
Number of students
Percentage
Very good
4
13.3%
Good
6
20%
Fair
6
20%
Poor
14
46.7%
The result of pre-test score shows that it is only four students (13.33%) get very good criteria, six students (20%) get good criteria, six students (20%) get fair criteria, and 14 students (46.67%) get poor criteria. It means that most of the students had a limited vocabulary related to the topic given. The data from pre-test score is acquired to show the students’ vocabulary before the treatment is given. The pre-test score shows that there are 10 students (33.33%) who have reached the standard score (70) and the rests are twenty students (66.67%) who get the low score or below the standard. It means that most of the students have difficulties in remembering the vocabulary, so they are lack of mastering vocabulary. b. The result of first cycle Table 5.2 The Result of First Cycle Post-Test Criteria Excellent Very good Good Fair Poor
Number of students 4 14 1 5 6
Percentage 13.3% 46.7% 3.3% 16.7% 20%
Based on the first post-test result, four students (13.33%) get excellent criteria, 14 students (46.67%) get very good criteria, one student (3.33%) gets good criteria, five students (16.67%) get fair criteria, and six students (20%) get poor criteria. The result of first cycle post-test shows that there is an improvement of the students’ vocabulary after the treatment. There are 19 students (63.33%) who
have reached the standard score (70), and the rests are 11 students (36.67%) who have not reached it. It means that the learning target has not been reached as the numbers of the students who have reached the standard score are below 75%. It indicates that the treatment should be continued to the second cycle. c. The result of second cycle Table 5.3 The result of First Cycle Post-Test Criteria Excellent Very good Good Fair Poor
Number of students 13 8 5 1 3
Percentage 43.3% 26.7% 16.7% 3.3% 10%
The second post-test results are thirteen students (43.33%) get excellent criteria, eight students (26.67%) get very good criteria, five students (16.67%) get good criteria, one student (3.33%) gets fair criteria, and three students (10%) get poor criteria. The result of second cycle post-test shows that there is an improvement of the students’ vocabulary score. There are twenty-six students (86.67%) who have reached the standard score (70), and the rests are four students (13.33%) who have not reached it. It means that the learning target has been reached as more than 75% of the students have reached the standard score. Thus, the cycle of this research is stopped. Research Discussion Based on the data that has been got from the first cycle, the researcher can draw a conclusion that there is a significant result as the improvement of students’ vocabulary. There are 19 students (63.3%) who have reached the standard score (70). The writer found that in the beginning of the first cycle, the students had difficulties in using Picture and Picture and understanding the instructions. The main problem faced by the students in using Picture and Picture is because they did not bring the dictionary and they still had a difficulty to look up the word in
Pedagogia, Volume 5 Nomor 1 Tahun 2013
IMPROVING STUDENTS’ VOCABULARY ENRICHMENT THROUGH PICTURE AND PICTURE
dictionary. Thus, they often asked to the teacher about the vocabulary that they did not know. At the end of the treatment, their ability had improved and began to use the vocabulary effectively. Meanwhile, in the second cycle there are 26 students (86.7%) who have reached the standard score. It indicates that almost all students could improve their vocabulary because they had understood and obeyed the rules pretty well. There was a competition that made them participate more seriously and pay more attention. This created a nice atmosphere in the classroom when they could balance between learning and fun. After the two cycle processes, it can be concluded that Picture and Picture can improve students’ vocabulary. Therefore, the cycle process is stopped. Conclusion In conclusion, Picture and Picture is one of the ways to improve students’ vocabulary and it can be a good technique to be applied in teaching and learning vocabulary.
Pedagogia, Volume 5 Nomor 1 Tahun 2013
31
Bibliography Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Kencana Prenada Group. Herawati, Atti. 2010. Research on ELT (A Handbook for EESP students). English Education and Study Program. Faculty of Teachers Training and Educational Sciences. Bogor. Pakuan University. Unpublished. Larsen, Diane. 2000. Techniques and Principles in Language Teaching (Second Edition). New York: Oxford University Press. M, A, Hamdani. 2011. Strategi Belajar Mengajar. Bandung: CV. Pusaka Setia. Nunan, D., & Carter, R. 2001. The Cambridge Guide to Teaching English to Speakers of Other Languages. London: Cambridge University Press. Autobiography Eli Nurlaeli was born in Sukabumi, 14 September 1989. She went to SDN Cirohani, Nagrak and graduated on 2001. She continued her study to SMPN 1 Cibadak and graduated on 2004. Her Senior High School was in SMAN 1 Cibadak and she graduated on 2007. Her study was continued on 2008 by registering for English Education Study Program, Faculty of Teachers Training and Educational Sciences, Pakuan University in Bogor. She graduated on 2012 as a Bachelor of Education
32
IMPROVING STUDENTS’ VOCABULARY ENRICHMENT THROUGH PICTURE AND PICTURE
Pedagogia, Volume 5 Nomor 1 Tahun 2013
PENERAPKAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE MAKE A MATCH
33
PENERAPKAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE MAKE A MATCH PADA MATA PELAJARAN MATEMATIKA UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR Fuzy Dwiyani Lestari , Sumardi, Saur Tampubolon Abstrak Penelitian ini merupakan Penelitian Tindakan Kelas. Dilaksanakan secara kolaboratif dan tiga siklus. Tujuan utama dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui peningkatan hasil belajar mata pelajaran Matematika pada siswa kelas II melalui Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif tipe Make a Match. Subyek penelitian ini adalah siswa kelas II Sekolah Dasar Negeri Harjasari I Bogor yang terdiri dari 40 siswa, dengan komposisi perempuan 21 siswa dan laki-laki 19 siswa. Pelaksanaan penelitian ini dilakukan pada semester ganjil tahun pelajaran 2012/2013. Hasil penelitian menunjukan bahwa nilai rata-rata hasil belajar pada siklus pertama memperoleh nilai 76 atau sama dengan 78% sedangkan siklus kedua memperoleh nilai 89 atau 95% Begitu pula dengan hasil observasi siswa menunjukan adanya peningkatan pada kedisiplinan, penyelesain dan keaktifan siswa dengan memperoleh nilai pada siklus pertama yaitu 82 sedangkan siklus kedua memperoleh nilai 90. Penelitian ini berkesimpulan bahwa penerapan model Pembelajaran kooperatif tipe Make a match dapat meningkatkan hasil belajar mata pelajaran Matematika pada siswa kelas II di Sekolah Dasar Negeri Harjasari I Kecamatan Bogor Selatan Kota Bogor. Selain itu, model pembelajaran ini dapat meningkatkan pkedisiplinan dan keaktifan siswa dalam proses pembelajaran. Kata Kunci: Hasil belajar, Make A Match, Matematika PENDAHULUAN Mata pelajaran Matematika merupakan salah satu pelajaran kurang diminati siswa di Sekolah Dasar. Banyak sekali yang mengganggap bahwa pelajaran matematika sangat sulit, terlebih bagi siswa kelas II yang sistem pembelajarannya adalah tematik. Diantara beberapa pelajaran yang tergabung dalam jaringan tematik matematika adalah salah satu mata pelajaran yang nilainya masih kurang, hal ini dapat disebabkan karena kreatifitas guru dalam menyajikan materi pembelajaran masih kurang sehingga siswa kurang tertarik dan termotivasi dalam kegiatan belajar. Selain itu sekolah masih kurang dalam memfasilitasi media pembelajaran. masalah-masalah tersebut saling berhubungan sehingga dapat mengakibatkan siswa menjadi kurang aktif dan dalam proses pembelajaran yang berdampak pada hasil belajar yang rendah. Hal ini didukung dengan adanya bukti dari hasil evaluasi pembelajaran Matematika tiap semester maupun ujian akhir semester sering di bawah standar mata pelajaran lain. Hasil tes awal dari jumlah sebanyak 40 siswa, yang mencapai KKM diatas 65 yaitu 40% sementara di bawah KKM yaitu 60%.
Pedagogia, Volume 5 Nomor 1 Tahun 2013
Hal yang menjadi tantangan guru dalam mengatasi masalah tersebut adalah bagaimana agar siswa dapat belajar dengan efektif sehingga mampu berperan secara aktif dalam mengembangkan kemampuan yang dimilikinya untuk bisa memahami, mengerti, merencanakan, mengamati, melaksanakan,mengkomunikasikan, hasil dan lain sebagaianya. Hal itu perlu adanya strategi guru dalam proses belajar mengajar yaitu melalui penerapan model yang digunakan dalam proses pembelajaran. Salah satu model pembelajaran yang dapat digunakan yaitu model pembelajaran kooperatif tipe make a match. Model ini merupakan model belajar mencari pasangan dari soal dan jawaban yang diberikan kepada setiap siswa. Kelebihan dari model ini yaitu suasana kegembiraan akan tumbuh dalam proses pembelajaran, kerjasama sesama siswa terwujud dengan dinamis, siswa mencari pasangan (soal jawaban) sambil belajar, munculnya dinamika gotong royong yang merata di seluruh anak didik. Model pembelajaran yang digunakan guru dalam menyampaikan materi pembelajaran bertujuan untuk menjembatani pembelajaran matematika atau
34
PENERAPKAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE MAKE A MATCH
berhitung yang masih terkesan teori dan hapalan membosankan agar menjadi pembelajaran yang menyenangkan yang juga nyata dapat ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti judul Penerapkan Model Pembelajaraan Kooperatif tipe Make A Match pada Mata Pelajaran Matematika untuk meningkatkan hasil belajar. Penulis mengidentifikasi faktor-faktor penyebab terjadinya masalah rendahnya hasil belajar siswa pada mata pelajaran Matematika siswa kelas II A semester I Sekolah Dasar Negeri Harjasari I Kecamatan Bogor Selatan, antara lain: 1. Apakah guru telah menggguna kan metode pembelajaran yang membosankan? 2. Apakah materi yang di sampaikan tidak sesuai dengan tujuan pembelajaran? 3. Apakah model pembelajaran yang digunakan kurang variatif sehingga hasil belajar siswa rendah? 4. Apakah siswa sulit memahami pembelajaran matematika? 5. Apakah sekolah belum menyediakan fasilitas belajar yang efektif untuk pembelajaran matematika? Beberapa ahli mengungkapkan teori mengenai hasil belajar, di antaranya yaitu Sudjana (2006: 22) menjelaskan bahwa hasil belajar adalah kemampuankemampuan yang dimiliki peserta didik setelah ia menerima pengalaman belajarnya. Kemudian Thobroni (2011: 22) hasil belajar adalah pola-pola perbuatan, nilai-nilai, pengertian-pengertian, sikapsikap, apresiasi, dan keterampilan. Pendapat serupa disampaikan oleh Dimyati dan Mudjiono (2006:22-25) keberhasilan belajar siswa berarti tercapainya tujuan belajar siswa, hal ini berarti siswa telah melakukan emansipasi diri dalam rangka mewujudkan kemandirian. Dengan kata lain, siswa secara perlahan lahan perlu dididik agar memiliki rasa tanggung jawab dalam belajar dan membuat program belajar dengan tujuan belajar sendiri. Untuk mencapai hasil belajar yang efektif maka diperlukan penerapan model pembelajaran kooperatif. Menurut Eggen dan Kauchak dalam Trianto (2007: 42) model pembelajaran kooperatif merupakan sebuah kelompok strategi pembelajaran yang melibatkan siswa bekerja secara berkolaborasi untuk mencapai tujuan bersama. Kemudian Suyatno
(2009: 51) menjelaskan bahwa model pembelajaran kooperatif adalah kegiatan pembelajaran dengan cara berkelompok untuk bekerja sama saling membantu mengkonstruksi konsep, menyelesaikan persoalan, atau inkuiri. Lie (2008: 55) menjelaskan bahwa model pembelajaran kooperatif make a match atau mencari pasangan dikembangkan oleh Curran pada tahun 1994. Salah satu keunggulan teknik ini adalah siswa mencari pasangan sambil belajar mengenai suatu konsep atau topik dalam suasana yang menyenangkan. Model pembelajaran ini bisa digunakan dalam semua mata pelajaran dan untuk semua tingkatan usia anak didik. Dari uraian di atas maka dapat disintesiskan bahwa model pembelajaran kooperatif make a match adalah mencari pasangan antara kelompok soal dengan kelompok jawaban sambil belajar mengenai suatu konsep atau topik dalam suasana belajar yang menyenangkan. Mata pelajaran yang diteliti dalam skripsi ini adalah Matematika. Kliptrick dan Findell dalam Nuraeni, W. (2005:12) pembelajaran matematika pada hakikatnya merupakan interaksi dari tiga komponen utama yaitu: guru, siswa dan matematika. Pembelajaran matematika merupakan suatu usaha yang dilakukan untuk mencipatakan suatu kondisi agar terjadi kegiatan belajar mengajar yang didalamnya terdapat tiga komponen utama dalam pembelajaran yaitu guru, siswa dan matematika. Menurut Gatot Muhsetyo, dkk (2007:26) pembelajaran matematika adalah proses pemberian pengalaman belajar kepada peserta didik melalui serangkaian kegiatan yang terencana sehingga peserta didik memperoleh kompetensi tentang bahan matematika yang dipelajari. Matematika berfungsi sebagai alat, pola fikir, dan ilmu pengetahuan yang dijadikan acuan dalam pembelajaran matematika sekolah. Pendapat lain Trimulya (TIM MKPBM) (2004:16) pelajaran matematika memiliki fungsi sebagai berikut: 1. Matematika sebagai alat untuk memahami suatu informasi. 2. Matematika merupakan pembentukan pla pikir dalam memahami sesuatu pengertian. 3. Matematika sebagai ilmu pengetahuan yang selalu mencari kebenaran dan bersedia meralat
Pedagogia, Volume 5 Nomor 1 Tahun 2013
PENERAPKAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE MAKE A MATCH
kebenaran yang telah diterima bila ditemukan kebenaran yang terbaru sepanjang ke benaran tersebut mengikuti pola pikir yang sah. Pembelajaran matematika yang diterapkan dikelas II adalah bangun datar dimana materi pelajaran ini akan terus di temui siswa dalam kehidupan sehari-hari. Suatu pembelajaran dengan topik pelajaran matematika tertentu dan selalu diberikan langkah-langkah praktis sehingga siswa dapat memahami pembelajaran matematika dengan mudah dan penuh makna. Bangun datar adalah materi yang dapat dilihat nyata bendanya disekitar lingkungan siswa. Bangun datar adalah bagian dari bidang datar yang dibatasi oleh garis-garis lurus atau lengkung (Dyah Sriwilujeng, 2004) METODE PENELITIAN Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui penerapan model pembelajaran kooperatif tipe make a match dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada mata pelajaran matematika tentang bangun datar sederhana. pengembangan pembelajaran matematika Sekolah Dasar Negeri Harjasari I Kecamatan Bogor Selatan kelas II A semester I tahun pelajaran 2012/2013. Penelitian dilaksanakan di Sekolah Dasar Negeri Harjasari I Kecamatan Bogor Selatan Kota Bogor pada semester I tahun pelajaran 2012/2013, yaitu pada tanggal 15-22 Oktober 2012. Subjek penelitian adalah siswa kelas II A Sekolah Dasar Negeri Harjasari I dengan jumlah siswa 40 orang terdiri dari 15 siswa laki-laki dan 25 siswa perempuan. Adapun desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Refleksi Awal adalah kegiatan mengulang atau memberikan tes untuk mengetahui dan mendapatkan data awal sebelum penelitian. Perencanaan Tindakan dimulai dari proses identifikasi masalah yang akan diteliti. Setelah diuji kelayakan masalah yang akan diteliti, kemudian direncanakan tindakan selanjutnya. Pelaksanaan tindakan yaitu kegiatan melaksanakan apa yang sudah direncakanan dibantu oleh tim kolaborator sebagai observer dan penilai proses pembelajaran di kelas. Kemudian observasi adalah pengamatan selama ber langsungnyakegiatan pembelajaran. Evaluasi/refleksi adalah kegiatan mengulas/ mengulang materi yang baru saja dipelajari. Berdasarkan hasil refleksi, kolaborator dan guru menyimpulkan apakah tindakan yang dilakukan sudah dapat mencapai keberhasilan dari seluruh indikator yang ditentukan atau belum. TEMUAN PENELITIAN Temuan penelitian dimulai pada prasiklus, kemudian dilanjutkan ke siklus I dan siklus II hingga mencapai nilai ketuntasan hasil belajar. 1. Deskripsi Hasil Penelitian Tes Awal (Pra Siklus) Tabel 1 Hasil Belajar Tes Awal (Pra Siklus) No 1. 2.
Keterangan Tuntas Belum Tuntas Jumlah
Frekuensi 16 24 40
Persentase 40% 60% 100%
Tabel 1 menunjukkan bahwa yang mencapai ketuntasan belajar ada 14 orang atau 40%, sedangkan siswa yang belum tuntas berjumlah 24 orang atau 60%. 2. Deskripsi Data Siklus I Tabel 2 Ketuntasan Hasil Belajar siklus I Pertemuan Kedua
Gambar 1 Bagan Siklus PTK modifikasi Depdiknas (2010) dari Model Kemmis dan Taggart (1988)
Pedagogia, Volume 5 Nomor 1 Tahun 2013
35
No 1. 2.
Keterangan Tuntas Belum Tuntas Jumlah
Frekuensi 30 10 40
Persentase 75% 25% 100%
36
PENERAPKAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE MAKE A MATCH
Dari tabel 2 dapat diketahui dari 40 siswa terdapat 30 siswa atau 75% yang sudah mencapai ketuntasan dalam belajar atau mencapai nilai KKM sebesar 65. Sedangkan siswa yang memperoleh nilai di bawah KKM ada 10 siswa atau sebanyak 25%. 3.
rata-rata tes hasil belajar 80,25 dan telah mencapai ketuntasan. Akan tetapi, hasil belajar siklusI secara klasikal belum tuntas karena baru mencapai 75% indikator penelitian. Sedangkan indikator penelitian minimalnya 75% jadi masih terlalu minim dari jumlah p ketuntasan hasil belajar. j siswa mencapai
Deskripsi Data Siklus II Tabel 3 Ketuntasan Hasil Belajar Siswa Siklus II
No
Keterangan
Frekuensi
Persentase
1.
Tuntas
38
95%
2.
Belum Tuntas Jumlah
2 40
5% 100%
Tabel 3 menjelaskan bahwa dari 40 siswa terdapat 38 siswa atau 95% yang sudah mencapai ketuntasan dalam belajar atau mencapai nilai KKM sebesar 65. Sedangkan siswa yang memperoleh nilai di bawah KKM sebanyak 2 siswa atau 5%. PEMBAHASAN Hasil Penelitian dibahas pada setiap siklus, agar lebih jelas maka disajikan dalam tabel di bawah ini. Tabel 4 Perbandingan Hasil Penelitian Siklus I dan II Aspek yang diteliti Penilaian Pelaksanaan Pembelajaran Observasi perubahan perilaku siswa Tes Hasil Belajar
Siklus I II
Kategori
Makna
Ket
76
89
A
Sangat Baik
Meningkat
82
90
A
Sangat Baik
Meningkat
75
95
A
Sangat Baik
Meningkat
Berdasarkan tabel 4, maka dapat dijelaskan sebagai berikut: 1.
Pembahasan Hasil Penelitian Siklus I Hasil dari pelaksanaan penelitian pada siklus I yaitu penilaian pelaksanaan pembelajaran mendapatkan nilai 76 dengan kategori baik, observasi perilaku siswa mencapai nilai rata-rata 82 dengan kategori baik, nilai
Gambar 2 Grafik Data Hasil Belajar Siswa Siklus I Dari gambar 2 dapat dijelaskan bahwa hasil belajar siswa pada 40 siswa sudah mendekati ketuntasan belajar siswa, akan tetapi hasil belajar secara klasikal masih terlalu pas dengan ketentuan ketuntasan 75%. Sehingga harus dilakukan perbaikan-perbaikan dalam pembelajaran selanjutnya, agar hasil belajarnya semakin meningkat dan menjadi sangat baik. Setelah dilakukan analisis dan diskusi dengan tim kolaborator, peneliti mendapatkan masukan bahwa pada pelaksanaan pembelajaran perlu ditingkatkan terutama pada penguasaan kelas, dan pada saat pembagian kelompok agar lebih tegas. Selain itu, harus lebih banyak melibatkan siswa dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk menjelaskan materi pembelajarn melalui media gambar yang disediakan oleh peneliti ketika pembelajaran sehingga perhatian akan terpusat pada pembelajaran. Setelah mendapatkan masukan ketika diskusi maka peneliti membuat rencana perbaikan pada siklus II. 2.
Pembahasan Hasil Penelitian Siklus II Setelah dilakukan perbaikan-perbaikan seperti yang direncakan pada siklus sebelumnya, maka terjadi peningkatan. Pada pelaksanaan siklus II mengalami peningkatan, antara lain; peningkatan kualitas pelaksanaan pembelajaran yaitu pada siklus
Pedagogia, Volume 5 Nomor 1 Tahun 2013
PENERAPKAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE MAKE A MATCH
I mendapat nilai 76 dengan kategori baik meningkat menjadi 89 dengan kategori sangat baik pada siklus II. Nilai rata-rata observasi perilaku siswa (keaktifan, penyelesaian , dan kedisiplinan) pada siklus I yaitu 82 meningkat menjadi 90 dengan kategori sangat baik. Kemudian nilai rata-rata hasil belajar siklus I yaitu 80,25 menjadi 89,75. Dari persentase ketuntasan belajar siswa 75% meningkat menjadi 95% dan telah tuntas mencapai indikator ppenelitian secara klasikal 75%.
Gambar 3 Grafik Data Hasil Belajar Siswa Siklus II Gambar 3 menunjukkan bahwa pada siklus II terjadi peningkatan hasil belajar siswa. Rata-rata nilai siswa pada siklus II adalah 89,75 dengan persentase 95% dan memenuhi kriteria ketuntasan secara individual maupun secara klasikal. SIMPULAN Berdasarkan pembahasan hasil penelitian, dapat ditarik simpulan bahwa penerapan model pembelajaran kooperatif tipe make a match dapat meningkatkan hasil belajar pada mata pelajaran matematika kelas II Sekolah Dasar Negeri Harjasari I Kota Bogor pada semester ganjil Tahun Pelajaran 2012/2013. Hal ini ditunjukan dari hasil penelitian tentang hasil belajar prasiklus sebesar 40%, siklus
Pedagogia, Volume 5 Nomor 1 Tahun 2013
37
I sebesar 75% kemudian mengalami peningkatan pada siklus II sebesar 95% dan telah mencapai indikator ketuntasan penelitian yaitu minimal 65. Selain itu kualitas pelaksanaan pembelajaran di kelas mengalami peningkatan, hal ini ditunjukan dari hasil penelitian siklus I sebesar 76, dan berhasil mengalami peningkatan pada siklus II sebesar 89 atau sangat baik, dan terjadi peningkatan pada perubahan perilaku siswa pada keaktifan, penyelesaian, dan kedisiplinan dalam pembelajaran matematika yaitu pada siklus I nilai rata-rata sebesar 82 mengalami peningkatan pada siklus II sebesar 90 dengan kategori sangat baik. ini menunjukan bahwa hasil penelitian berhasil dilakukan pada mata pelajaran Matematika tentang Bangun Datar Sederhana di kelas II A Sekolah Dasar Negeri Harjasari I Kota Bogor pada semester I Tahun Pelajaran 2012/2013. DAFTAR PUSTAKA Abdurrahman, Mulyono. 2003. Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar. Jakarta: Rineka Cipta Dimyati dan Mudjiono. 2006. Belajar dan Pembelajaran . Jakarta : PT. Rineka Cipta. Dyah Sriwilujeng, dkk KTSP standar isi 2006. Pendekatan Tematik. Malang 2004: Erlangga Lie, Anita. 2008. Cooperative Learning. Jakarta: Gramedia Soyomukti, Nuraeni. 2010. Teori-teori Pendidikan. Yogyakarta : Ar Ruzz Media. Sudjana, Nana. 2006. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: Remaja Rosdakarya. Suyatno. 2009. Menjelajah Pembelajaran Inovatif. Sidoarjo: Masmedia Buana Pustaka Thobroni, Muhammad. 2011. Belajar dan Pembelajaran. Yogyakarta: Ar Ruzz Media. Trianto. 2007. Model-Model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik. Jakarta: Prestasi Pustaka.
Fuzy Dwiyani Lestari adalah Mahasiswa Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar FKIP UNPAK Sumardi adalah Dosen FKIP Universitas Pakuan Prodi PGSD Saur Tampubolon adalah Dosen FKIP Universitas Pakuan Prodi PGSD
38
PENERAPKAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE MAKE A MATCH
Pedagogia, Volume 5 Nomor 1 Tahun 2013
ANALISIS CITRAAN PADA KUMPULAN PUISI MATA KETIGA CINTA
39
ANALISIS CITRAAN PADA KUMPULAN PUISI MATA KETIGA CINTA KARYA HELVY TIANA ROSA SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN SASTRA INDONESIA DI SMA Badriah Evih Hindrawati, Aam Nurjaman, Suhendra Abstrak Citraan merupakan sebuah unsur yang penting dalam sebuah puisi. Melalui citraan sebuah ide yang semula abstrak dapat dibayangkan dan diekspresikan. Citraan merupakan gambaran yang dibangkitkan lewat sebuah kata sehingga pembaca dengan mudah dapat mengimajinasikannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis citraan apa saja yang terdapat pada kumpulan puisi Mata Ketiga Cinta karya Helvy Tiana Rosa dan implikasinya terhadap pembelajaran sastra di SMA. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukan bahwa dari 19 puisi yang dianalisis terdapat 60 data penggalan puisi yang mengandung citraan. 29 penggalan puisi yang mengandung citraan penglihatan, 7 penggalan puisi yang mengandung citraan pendengaran, 12 penggalan puisi yang mengandung citraan perabaan, 1 penggalan puisi yang mengandung citraan penciuman, 1 penggalan puisi yang mengandung citraan pengecapan, dan 10 penggalan puisi yang mengandung citraan gerak. Berdasarkan analisis citraan puisi Mata Ketiga Cinta bahwa yang paling banyak muncul pada kumpulan puisi tersebut adalah citraan penglihatan. Hal ini disebabkan oleh penyair yang senang dan mengajak pembaca untuk melihat keindahan dan fenomena alam, kehidupan sehari-hari, serta konflik sosial sebagai bangunan citra dalam puisi-puisinya. Dilihat dari segi kecocokan bahan pembelajaran sastra berdasarkan KTSP, citraan pada kumpulan puisi Mata Ketiga Cinta layak dijadikan bahan pembelajaran sastra di SMA. Kata Kunci : Citraan, Puisi.
1. Pendahuluan Sebuah karya sastra akan lebih bermakna jika pembaca atau penikmat sastra dapat terhanyut oleh makna yang terkandung di dalamnya. Memahami suatu karya sastra bukan hanya sekadar membaca dan menikmatinya, melainkan juga harus mampu menghayati makna yang terkandung dalam karya sastra itu. Sebuah karya sastra dapat mengembangkan cipta, kepekaan rasa dan emosi serta memberikan penghayatan yang mendalam terhadap apa yang kita ketahui. Melalui sebuah karya sastra, kita dapat menemukan manfaat yang berharga, salah satunya dengan memahami makna sebuah puisi. Dalam memahami makna puisi diperlukan kejelian dan kecermatan dalam membacanya. Puisi tidak terlepas dari struktur fisik dan struktur batin yang sangat berkaitan dalam membangun sebuah puisi. Persoalan citraan pada struktur fisik puisi merupakan hal menarik dalam mengungkapkan perasaan dan suasana penyair.
Pedagogia, Volume 5 Nomor 1 Tahun 2013
Salah satu langkah yang harus dilakukan untuk memahami karya sastra adalah melalui analisis atau penguraian. Melalui analisis, sebuah karya sastra yang kompleks dan rumit dapat dimengerti sehingga tidak mengurangi unsur estetis yang terkandung di dalamnya. Hal tersebutlah yang menjadi acuan khusus bagi penulis untuk melakukan penilaian terhadap sebuah karya sastra yaitu dengan menganalisis puisi. Puisi banyak memanfaatkan kekuatan citraan untuk melukiskan sesuatu agar mudah diimajinasikan, dengan adanya citraan pembaca seolah-olah dapat tergugah tanggapan inderanya. Dalam citraan akan menimbulkan suatu kesan dan pikiran yang dimunculkan dari kata, kelompok kata, atau kalimat di dalam puisi. Berdasarkan uraian tersebut, penulis mencoba meneliti citraan yang mempunyai ragam seperti penglihatan, pendengaran, perabaan, penciuman, pengecapan, dan gerak pada kumpulan puisi yang berjudul “Mata Ketiga Cinta” karya Helvy
40
ANALISIS CITRAAN PADA KUMPULAN PUISI MATA KETIGA CINTA
Tiana Rosa. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan sebagai bahan pembelajaran sastra di SMA, khususnya tentang citraan. Fokus Masalah: (1) Citraan apa sajakah yang terdapat dalam kumpulan puisi “Mata Ketiga Cinta” karya Helvy Tiana Rosa? (2) Bagaimanakah implikasi penggunaan citraan yang terdapat dalam kumpulan puisi “Mata Ketiga Cinta” karya Helvy Tiana Rosa terhadap pembelajaran Sastra di SMA? Puisi menurut Waluyo (1987:25) memberikan pengertian bahwa puisi adalah bentuk karya sastra yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif dan disusun dengan mengonsentrasikan struktur fisik dan struktur batinnya. Dari pengertian tersebut tampak bahwa puisi sangat terikat berdasarkan susunan pembentuknya dan didukung dengan pemikiran dan perasaan untuk dapat menciptakan sesuatu yang indah. Adapun pendapat lain yang dikemukakan oleh Luxemburg (dalam Siswantoro, 2008:108) berpendapat bahwa puisi sebagai teks-teks monolog yang isinya pertama-tama bukan merupakan sebuah alur. Atau dengan kata lain, isinya bukan sematamata sebuah cerita, tetapi lebih merupakan ungkapan perasaan. Pendapat tersebut menegaskan bahwa puisi merupakan kata-kata yang diciptakan berdasarkan buah pemikiran dan didukung dengan segenap perasaan yang melibatkan daya imajinasi. Jadi sebuah puisi menghasilkan kata-kata yang sangat indah dan menarik serta dapat memberikan sentuhan bagi pembaca. Berdasarkan pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa puisi merupakan sebuah karya sastra yang melibatkan daya imajinasi dan buah pemikiran yang terpadu sehingga menghasilkan kata-kata yang sangat indah dan menarik serta dapat memberikan sentuhan bagi pembacanya. Kegiatan atau langkah yang harus dilakukan untuk memahami karya sastra diperlukan analisis terhadap bagian-bagian struktur tersebut. Analisis adalah penguraian karya sastra atau norma-normanya Pradopo (dalam Sayuti, 1996:4). Dengan analisis, karya sastra yang rumit tersebut dapat dimengerti dan memnungkinkan pembaca untuk memberikan penilaian kepada karya sastra secara tepat sesuai dengan hakikatnya.
Citraan (Imagery) menurut Sayuti, (2002:170) menyatakan bahwa citraan adalah kesan yang terbentuk dalam rongga imajinasi melalui sebuah kata atau rangkaian kata, yang seringkali merupakan gambaran dalam angan-angan. Lebih lanjut Sayuti (2002:170) menjelaskan bahwa istilah citraan dalam puisi dapat dipahami dalam dua cara, yaitu: (1) Dipahami secara reseptif (dari sisi pembaca). Dalam hal ini citraan merupakan pengalaman indera yang terbentuk dalam rongga imajinasi pembaca, yang ditimbulkan oleh sebuah kata atau rangkaian kata. (2) Dipahami secara ekspresif (dari sisi penyair). Yakni ketika citraan merupakan bentuk bahasa (kata atau rangkaian kata) yang dipergunakan penyair untuk membangun komunikasi estetik atau untuk menyampaikan pengalaman inderanya. Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa citraan dapat dipahami melalui dua segi yaitu secara reseptif dan ekspresif. Kedua segi tersebut sangat berkaitan dengan proses pemahaman, dalam sifatnya yang reseptif, citraan dalam puisi merupakan unsur yang sangat penting, dengan hal tersebut pembaca dipertemukan dengan sesuatu yang tampak nyata dan dapat membantu penafsiran dan penghayatan puisi secara menyeluruh. Sedangkan dalam sifatnya yang ekspresif, citraan dalam puisi merupakan proses kreatif yang berfungsi untuk membangun keutuhan puisi karena melalui pengalaman keindraan penyair mengkomunikasikan hal tersebut kepada pembaca. Melalui citraan kita sebagai pembaca dapat memperoleh gambaran yang jelas mengenai pikiran dan perasaan yang diungkapkan oleh sang penyair. Pradopo, (2008:81) menyebutkan jenis citraan yang menjadi dasar dalam analisis ini terdiri atas: 1. Citraan penglihatan (visual Imagery) adalah citraan yang memberi rangsangan kepada indera penglihatan, hingga sering hal-hal yang tak terlihat jadi seolah-olah terlihat. 2. Citraan pendengaran (Auditory Imagery) adalah citraan yang ditimbulkan oleh indera pendengaran (telinga) sehingga pembaca seolah-olah mendengarkan suara seperti yang digambarkan oleh penyair. 3. Citraan perabaan (Taktil Imagery) adalah citraan yang melibatkan indera peraba (kulit). Citraan ini
Pedagogia, Volume 5 Nomor 1 Tahun 2013
ANALISIS CITRAAN PADA KUMPULAN PUISI MATA KETIGA CINTA
menguraikan kata atau ungkapan yang terdapat dalam puisi dan seolah-olah dapat dirasakan, disentuh, atau diraba. 4. Citraan penciuman (Smell Imagery) adalah citraan yang melukiskan atau menggambarkan lewat rangsangan yang seolah-olah dapat ditangkap oleh indera penciuman. 5. Citraan pengecapan adalah citraan yang melibatkan indera pengecapan (lidah). Melalui citraan ini seolah-olah pembaca dapat merasakan sesuatu yang pahit, asam, asin, manis dan lainlain. 6. Citraan gerak (Kinaesthetic Imagery) adalah menggambarkan sesuatu yang sesungguhnya tidak bergerak, tetapi dilukiskan sebagai sesuatu yang dapat bergerak.
Metodelogi Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode deskriptif kualitatif. Menurut Arikunto (2010:3) metode deskriptif kualitatif merupakan metode penelitian yang dimaksudkan untuk menyelidiki keadaan, kondisi, atau hal lain yang sudah disebutkan, yang hasilnya dipaparkan dalam bentuk laporan penelitian. Data penelitian ini adalah penggalan atau serangkaian kata yang termasuk citraan yang terdapat pada kumpulan puisi Mata Ketiga Cinta. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah kumpulan puisi Mata Ketiga Cinta karya Helvy Tiana Rosa. Puisi yang dianalisis terdiri dari 19 puisi. Dari 19 judul puisi yang dianalisis, diperoleh 60 data penggalan puisi yang mengandung citraan. Rekapitulasi hasil analisis data dapat dilihat dalam tabel berikut:
Tabel 1 REKAPITULASI HASIL ANALISIS No.
Judul Puisi
1. Cintamu Padaku
Nomor Data 1
2
2. Thawaf
3 4
5 6 7
Penggalan Puisi yang Mengandung Citraan Cintamu padaku adalah kerinduan waktu memeluk bisu di batu-batu saat gerimis jatuh Cintamu padaku adalah keindahan purnama kala meneteskan cahaya pada lara Langkah-langkah airmata mengurai jejak cinta tanah liat Hidup yang tak pernah bisa kau terka dan kematian yang mengintip gigil dari selubung hari Ada yang berjejalan di dalam Dada. Cahaya. Embun Terik. Maha. Kau Dalam kerumunan fana yang terus berputar menyebut namaMu Waktu pun retak didetakku dan segalanya menjelma bening
Pedagogia, Volume 5 Nomor 1 Tahun 2013
41
Jenis Citraan Perabaan
Penglihatan
Gerak Penglihatan
Perabaan Pendengaran Penglihatan
42
ANALISIS CITRAAN PADA KUMPULAN PUISI MATA KETIGA CINTA
3. Sajak Februari
8 9 10
11 12 13 14 15 4. Mata Ketiga Cinta
16 17 18
5. Cinta
19
20 6. Salam Negeriku
21 22 23 24 25
Seperti aku yang tak pernah berhenti menari dalam mimpi tentangmu dan jatuh Maka kutanyakan pada mungkin ia memandangku dengan mata kaca Mengecup luka dan berkata pergi dan pakailah kerudung airmatamu sebab tak ada tempat untuk cinta di sini Tapi bagaimana agar tiap gerak berarti hingga malaikat pun sudi mengecup semua luka kita yang mawar Begitulah perempuanmu memintal lalu menguraikan kembali kenangan di sepanjang jalan kaca yang retak itu Kau mungkin lupa pernah menitipkan kilat asa di mataku yang menjelma beliung kadang lebih baik dibuang biar usang dalam tong sampah tak henti menyelami lautan huruf demi yang Maha Cinta lalu hari-hari pun terbenam dalam secangkir kopi tanpa gula dan sunyi menyanyikan lagi lagu gergaji dengan masih terpejam hanya dengan mata ketiga cinta kulihat sebuah wajah di jantungmu Setiap hari kucatat dan kupotret kau dalam batin Kau menempel di buku-buku, di televisi, di gedunggedung dan panggung pertunjukan, juga pada angin dan debu pada napasku Aku berjalan tersaruk mengendusi semua jejak yang kau tinggalkan seperti pemburu yang saru Mendengar desau suara darah yang sama, menyayatnyayat cakrawala abu. Menyaksikan jutaan jiwa mengigau dan mencabikcabik saudara sendiri, sementara jutaan jiwa lainnya jadi pengungsi jeri. Darah, airmata mereka tumpah, menjelma sungaisungai perih di sepanjang jalan sejarah. Bisakah mereka istirah dari perseteruan, karena waktu telah semakin debu. Kota-kota berteriak parau, merdeka! Dari hati yang khusyu dan mulut mereka akan keluar mutiara yang bercahaya.
Gerak Penglihatan Penglihatan
Perabaan Penglihatan Penglihatan Penglihatan Gerak Pengecapan Pendengaran Penglihatan Penglihatan
Penciuman Pendengaran Penglihatan Penglihatan Pendengaran Penglihatan
Pedagogia, Volume 5 Nomor 1 Tahun 2013
ANALISIS CITRAAN PADA KUMPULAN PUISI MATA KETIGA CINTA
26 27 28 29 7. Dan Kuakrabi Bayangmu
30 31 32 33 34
8. Duri
35 36
9. Interlude
37 38
10. Sebelum Mautmu
39 40
11. Fi Sabilillah
41 42
12. Di Balik Semak Kata
43 44
Mereka menangis, airmatanya menjelma curah hujan di pekarangan negeri. Lantas samar mata nyeriku melihat orang-orang kabut bergentayangan. Kebahagiaan seperti kupu-kupu yang kembara di tamantaman kasih. Jutaan tekad, daya dan doa akan membelai, mengusap wajah duka. dan kerudung putih itu menari di bawah mentari namun liuknya kuakrabi sebagai luka Kaulah yang memantikan api di dada dan pena kami Tsunami, maha gelombang itu datang Menerpa menyapu segala Membawamu pergi dari kami Dari Jakarta Aku merasa cuaca berdarah Mengiris-iris perih, Udara dipenuhi kalimat-kalimat Yang berhamburan dari sepuluh bukumu Tetapi hari itu kamu membanting kaca jendela kenangan kita hingga pecah berhamburan Serpihannya masuk ke mata dan batinku Menjadi duri-duri yang menancap abadi Di manakah semesta saat aku menatapmu? Hanya hujan yang menampar-nampar muka Tak ada tempat berpijak selain gemuruh Langit menjelma kaca kita yang retak lara cuaca dan kau, dengan tubuh gemeretak taring-taring yang menggigil tak lagi jarum, palu atau pisau Namun aku tak juga bisa beranjak dari pelataran sunyi itu menyeka nanahmu yang angin selalu Jangan dilarang Orang yang melayang pandang Ke sabilillah jangan ditahan orang yang ingin melemparkan diri ke sabilillah tapi udara karam di pucuk awang kabut tua menggerogoti hati dan semua warna kembali pada bisu Bunuh saja, katamu Setiap bulan, setiap matari yang mengendap-endap pucat di balik belukar kata
Pedagogia, Volume 5 Nomor 1 Tahun 2013
Penglihatan Penglihatan Penglihatan Perabaan Penglihataan Perabaan Penglihatan Perabaan Penglihatan Pendengaran Perabaan Perabaan Penglihatan Penglihatan Perabaan
Penglihatan Gerak Penglihatan Gerak
43
44
ANALISIS CITRAAN PADA KUMPULAN PUISI MATA KETIGA CINTA
13. Kalam
45
46
47
14. Kangen
48 49
15. Jatuh
50
51
16. Jelajah Diam
52 53
17. Konser Kesunyian
54 55
18. Segenggam Kata
56
57 19. Kamu Adalah Secarik Alamat
58 59 60
terkadang hanya jadi sajak kurus yang mengendap di kantong pilu atau menjelma merpati terbang telusuri angkasa hinggap di pokok-pokok kemudian samar, pupus jadi bunyi senyap atau abadi dalam lukisan semu gagap tapi dengannya pula tanah kita bisa retak meratap gunung-gunung berhamburan dan manusia menjelma anai-anai ketika pertama kali kita bertukar senyum pada jarak pandang yang begitu dekat Aku pun menjelma hujan yang enggan berhenti di berandamu bersama angin yang selalu kasmaran “Aku jatuh suka“, kata lelaki itu. Tiba-tiba kabut, matanya basah ada yang patah kesetiaan. denyut luka Mata perempuan itu kian kabut gerimis liris menyelusup di sela jemarinya Seperti seorang pemburu waktu mengendap-endap selalu dalam tubuhmu tubuhku detiknya mengiris-iris nadi dan kita pun hanya bisa kembali menjelajahi diam Hujan yang semalam menyayat-nyayat mataku meninggalkan genangan di hati tapi bahkan tak ada satu ketuk pun di jendela muram itu Segenggam kata, telanjang pergi tergesa tanpa pamit dari bait sajakku menuju kedamaian dirimukah? meski berkali tergelincir di huruf-huruf jantung lukamu… Sambil menahan belati nyeri dalam diri Aku berlari-lari di hatimu Kau berlari-lari di pikiranku Kamu secarik alamat Yang hanya mampu kugenggam
Penglihatan
Pendengaran
Penglihatan
Penglihatan Penglihatan Penglihatan
Penglihatan
Gerak Perabaan
Perabaan Pendengaran Gerak
Gerak Perabaan Gerak Gerak
Pedagogia, Volume 5 Nomor 1 Tahun 2013
ANALISIS CITRAAN PADA KUMPULAN PUISI MATA KETIGA CINTA
2. Pembahasan Berdasarkan hasil analisis Citraan pada Kumpulan Puisi Mata Ketiga Cinta karya Helvy Tiana Rosa, dari 19 puisi yang dianalisis terdapat 60 data penggalan puisi yang mengandung citraan. Penggalan puisi yang mengandung citraan penglihatan sebanyak 29. Penggalan puisi yang mengandung citraan pendengaran sebanyak 7, Penggalan puisi yang mengandung citraan perabaan sebanyak 12, Penggalan puisi yang mengandung citraan penciuman terdiri dari 1, Penggalan puisi yang mengandung pengecapan terdiri dari 1, Penggalan puisi yang mengandung citraan gerak sebanyak 10. Simpulan Berdasarkan analisis yang telah penulis lakukan mengenai citraan yang terdapat pada kumpulan puisi karya Helvy Tiana Rosa, dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Kumpulan puisi Mata Ketiga Cinta karya Helvy Tiana Rosa mengandung jenis-jenis citraan yang terdiri atas citraan penglihatan (visual Imagery) sebanyak 29 data, citraan pendengaran (Auditory Imagery) sebanyak 7 data, citraan perabaan (Taktil Imagery) sebanyak 12 data, citraan penciuman (Smell Imagery) diperoleh 1 data, citraan pengecapan diperoleh 1 data, dan citraan gerak (Kinaesthetic Imagery) sebanyak 10 data. 2. Berdasarkan hasil dari penelitian ini, maka citraan yang sering muncul pada kumpulan puisi Mata Ketiga Cinta adalah citraan penglihatan, karena dilihat dari sisi penyair, ia senang mengajak pembaca untuk melihat keindahan dan fenomena alam, kehidupan sehari-hari serta konflik sosial sebagai sumber bangunan citra dalam puisipuisinya. 3. Kumpulan puisi Mata Ketiga Cinta karya Helvy Tiana Rosa layak dijadikan bahan ajar untuk pembelajaran sastra Indonesia di SMA kelas XII khususnya pembelajaran citraan dalam puisi.
Pedagogia, Volume 5 Nomor 1 Tahun 2013
45
Daftar Pustaka Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta : Rineka Cipta. Pradopo, Rachmat Djoko. 2000. Pengkajian Puisi Analisis Sastra Norma dan Analisis Struktural dan Semiotik. Yogyakarta: Gajah Mada University Pers. Sayuti, Suminto A. 1996. Apreiasi Prosa Fiksi. Jakarta: Depdikbud. ____________ 2002. Berkenalan dengan Puisi. Yogyakarta: Gama Media. Siswantoro, Wahyudi. 2008. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Grasindo. Waluyo, Herman J. 1987: Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga. Riwayat Hidup Penulis 1 Mahasiswa program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Pakuan 2 Staf pengajar program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Pakuan 3 Staf pengajar program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Pakuan
46
ANALISIS CITRAAN PADA KUMPULAN PUISI MATA KETIGA CINTA
Pedagogia, Volume 5 Nomor 1 Tahun 2013
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE NUMBERED HEADS TOGETHER
47
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE NUMBERED HEADS TOGETHER UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MATA PELAJARAN MATEMATIKA Selviani Ayu Purwanti, Saur Tampubolon, Achmad Dasuki Abstrak Tujuan utama dalam penelitian ini adalah untuk meningkatkan hasil belajar mata pelajaran Matematika pada siswa kelas IV melalui penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Heads Together. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai rata-rata hasil belajar pada siklus pertama memperoleh nilai 65,8 dengan presentase ketuntasan sebesar 64,5% dan pada siklus kedua memperoleh nilai 75,8 dengan presentase ketuntasan sebesar 89,6%. Begitu pula dengan hasil observasi aktivitas perilaku siswa menunjukkan adanya peningkatan pada keaktifan dan kerjasama siswa dengan memperoleh nilai pada siklus pertama yaitu 52,4 dan pada siklus kedua memperoleh nilai 72,4. Penelitian ini berkesimpulan bahwa penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Numbered Heads Together dapat meningkatkan hasil belajar pada mata pelajaran Matematika pada siswa kelas IV di Sekolah Dasar Negeri Lulut 02 Kecamatan Klapanunggal Kabupaten Bogor. Kata Kunci
: Numbered Heads Together, Hasil Belajar, Matematika
Pendahuluan Peran guru adalah sebagai fasilitator dan bukan sebagai sumber utama pembelajaran. Pada umumnya guru menggunakan metode pembelajaran konvensional yang artinya suatu metode pembelajaran yang telah lama atau biasa dipakai dalam menyampaikan materi pelajaran. Metode konvensional yang sering digunakan guru ini adalah metode ceramah, guru menerangkan kemudian siswa mencatat sehingga siswa cenderung pasif. Karena siswa pasif maka akan terasa membosankan dan hasil belajar siswa akan menurun. Pada dasarnya pembelajaran adalah suatu proses yang rumit karena tidak sekedar menyerap informasi dari guru, tetapi melibatkan berbagai kegiatan dan tindakan yang harus dilakukan untuk mendapat hasil belajar yang lebih baik. Salah satu kegiatan pembelajaran yang menekankan berbagai kegiatan dan tindakan yaitu menggunakan model pembelajaran dalam kegiatan belajar mengajar. Model pembelajaran merupakan suatu pola kegiatan pendidik dan peserta didik sebagai akibat proses pembelajaran. Seperti dalam undang-undang RI nomor 20 tahun 2003, bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan
Pedagogia, Volume 5 Nomor 1 Tahun 2013
proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spriritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Masalah ini juga didasarkan pada undang-undang RI nomor 14 tahun 2005, bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. KKM adalah Salah satu prinsip penilaian pada kurikulum tingkat satuan pendidikan yang menggunakan acuan kriteria, yakni menggunakan kriteria tertentu dalam menentukan kelulusan peserta didik. Kriteria paling rendah untuk menyatakan peserta didik mencapai ketuntasan dinamakan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Dari data nilai yang peneliti dapatkan di kelas empat Sekolah Dasar Negeri Lulut 06 yaitu nilai yang dicapai pada mata pelajaran Matematika masih jauh di bawah Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Kriteria Ketuntasan Minimal untuk mata pelajaran
48
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE NUMBERED HEADS TOGETHER
Matematika adalah 60. Data penelitian menunjukkan bahwa dari 48 jumlah peserta didik sebanyak 30 orang masih memiliki nilai di bawah KKM. Sedangkan peserta didik yang telah mendapatkan nilai di atas KKM berjumlah 18 orang. Jadi hanya 37,5% dari peserta didik yang mencapai tingkat penguasaan materi di atas KKM. Pada kenyataannya menunjukkan banyak peserta didik yang menganggap Matematika merupakan pelajaran yang sulit dan menakutkan. Hal ini menyebabkan siswa jadi takut terhadap Matematika. Seperti pada materi perkalian Matematika kelas empat, dengan standar kompetensi yaitu memahami dan menggunakan sifat-sifat operasi hitung bilangan dalam pemecahan masalah, Kompetensi dasarnya melakukan operasi perkalian dan pembagian, dan indikatornya mengalikan bilangan satu angka dengan bilangan dua angka dan tiga angka, mengalikan bilangan dua angka dengan bilangan dua angka dan mengalikan bilangan dua angka dengan bilangan tiga angka. Pembelajaran menerapkan metode ceramah nampaknya kurang tepat untuk perkembangan siswa sekolah dasar yang pada umumnya sangat aktif. Untuk mengatasi masalah itu perlu adanya peningkatan hasil belajar siswa, yaitu diantaranya dengan menggunakan model pembelajaran yang sesuai dengan materi pelajaran. Demi memenuhi tuntutan tersebut, salah satu alternatif yang digunakan oleh guru adalah dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif. Model pembelajaran kooperatif merupakan salah satu model pembelajaran dengan pendekatan kontekstual, yang artinya peserta didik pada kegiatan pembelajaran menggunakan sistem belajar kelompok. Sehingga peserta didik lebih aktif dan hasil belajar pada mata pelajaran Matematika kelas empat dapat meningkat. Dengan model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Heads Together siswa dapat belajar berbagi tugas dengan kelompoknya, lebih berani dan aktif untuk bertanya, dapat belajar untuk menghargai pendapat orang lain dan berani untuk menjelaskan ide atau pendapat. Sehingga pembelajaran tersebut jadi lebih menyenangkan. Berdasarkan uraian tersebut di atas, peneliti akan mengadakan perbaikan pembelajaran melalui
Penelitian Tindakan Kelas mengenai “Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Numbered Heads Together Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Mata Pelajaran Matematika”. Berdasarkan hasil pra penulis oleh penulis terhadap proses pembelajaran pada mata pelajaran Matematika serta dilengkapi data-data yang menunjang, maka ditemukan indikasi rendahnya tingkat penguasaan siswa terhadap materi pelajaran tersebut. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya sebagai berikut: 1. Apakah siswa beranggapan Matematika adalah pelajaran yang sulit? 2. Apakah guru tidak menggunakan media pembelajaran yang tepat? 3. Apakah guru tidak menerapkan model pembelajaran alternatif? Trianto (2007: 62), menyatakan bahwa “Numbered Heads Together adalah merupakan jenis pembelajaran kooperatif yang dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa dan sebagai alternatif terhadap struktur kelas tradisional”. Menurut Kagan dalam Anita Lie (2008:59), Teknik ini memberikan kesempatan pada siswa untuk saling membagikan ide-ide dan mempertimbangkan jawaban yang paling tepat. Sementara itu menurut Asep Mahfudz (2012:39) menyatakan bahwa, penerapan model pembelajaran Numbered Heads Together adalah mengajarkan kepada siswa untuk fokus pada satu pekerjaan itu pada saat siswa dipindah ke kelompok yang lain. Berdasarkan pendapat di atas, dapat disintesiskan bahwa model pembelajaran tipe Numbered Heads Together adalah suatu model pembelajaran yang lebih mengedepankan kepada aktivitas siswa dalam mencari, mengolah, dan melaporkan informasi dari berbagai sumber yang akhirnya dipresentasikan di depan kelas sehingga hasil belajar siswa dapat meningkat. Menurut Asep Herry Hernawan (2007: 2) menjelaskan bahwa, “belajar adalah proses perubahan perilaku, dimana perubahan perilaku tersebut dilakukan secara sadar dan bersifat menetap. Perubahan perilaku tersebut meliputi perubahan dalam hal kognitif, afektif, dan psikomotorik”. Menurut Suprijono dalam Muhamad Thobroni (2011: 22), “hasil belajar adalah pola-pola perbuatan,
Pedagogia, Volume 5 Nomor 1 Tahun 2013
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE NUMBERED HEADS TOGETHER
nilai-nilai, pengertian-pengertian, sikap-sikap, apresiasi, dan keterampilan. Pendapat lain yakni menurut Nana Syaodih (2005: 102) bahwa, “hasil belajar merupakan realisasi atau pemekaran dari kecakapan-kecakapan potensial atau kapasitas yang dimiliki seseorang”. Sedangkan menurut Sri Anitah (2011: 6) menyatakan bahwa, “hasil belajar ialah perubahan yang dihasilkan dari pengalaman (interaksi dengan lingkungan), tempat proses mental dan emosional terjadi”. Berdasarkan pendapat di atas dapat disintesiskan bahwa hasil belajar adalah hasil interaksi antara guru dan peserta didik sehingga peserta didik mendapatkan pengalaman berulang-ulang, karena hasil belajar turut serta dalam membentuk individu yang selalu ingin mencapai hasil yang lebih baik lagi sehingga menimbulkan perubahan perilaku kerja yang lebih baik. Menurut Gatot Muhsetyo (2007: 26) menyatakan bahwa, “Matematika adalah proses pemberian pengalaman belajar kepada peserta didik melalui serangkaian kegiatan yang terencana sehingga peserta didik memperoleh kompetensi tentang bahan matematika yang dipelajari”. Sedangkan menurut Johnson dan Myklebust dalam Mulyono Abdurrahman (2003: 252), “Matematika adalah bahasa simbolis yang fungsi praktisnya untuk mengekspresikan hubunganhubungan kuantitatif dan keruangan, sedangkan fungsi teoretisnya yakni untuk memudahkan berpikir”. Sementara menurut Raodatul Jannah (2011: 17) “Matematika adalah ilmu hitung atau ilmu tentang perhitungan angka-angka untuk menghitung berbagai benda ataupun yang lainnya”. Matematika adalah ilmu hitung yang sistematis dan memiliki tujuan untuk memberikan pengalaman belajar dan melatih cara berpikir melalui serangkaian kegiatan yang terencana. Metode Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Heads Together dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada mata pelajaran Matematika tentang perkalian sebagai pengembangan pembelajaran
Pedagogia, Volume 5 Nomor 1 Tahun 2013
49
Matematika Sekolah Dasar Negeri Lulut 02 Kecamatan Klapanunggal Kabupaten Bogor Kelas IV Semester 1 tahun pelajaran 2012/2013 . Penelitian dilaksanakan di Sekolah Dasar Negeri Lulut 02 Kecamatan Klapanunggal Kabupaten Bogor pada semester I tahun pelajaran 2012/2013, yaitu pada tanggal 1 Agustus-8 Agustus 2012. Subjek penelitian adalah siswa kelas IV Sekolah Dasar Negeri Lulut 02 dengan jumlah siswa 48 orang terdiri dari 25 siswa laki-laki dan 23 siswa perempuan. Desain Penelitian Refleksi awal
Perenca naan Tinda kan 1
Evalua si/refle ksi 2
Pelaksa naan Tinda kan 1
Obser vasi 2
Obser vasi 1
Pelaksanaan tindakan perbai kan 2
Evaluasi/ refleksi 1
Perencanaan tindakan perbaikan 2
Hasil Penelitian (pencapaian indicator penelitian)
Gambar 1 Bagan Siklus PTK modifikasi Depdiknas (2010) dari Model Kemmis dan Taggart (1988) Refleksi awal adalah Kegiatan mengulang atau memberikan tes untuk mengetahui dan mendapatkan data awal sebelum penelitian. Perencanaan tindakan dimulai dari proses identifikasi masalah yang akan diteliti. Setelah diuji kelayakan masalah yang akan diteliti, kemudian direncanakan tindakan selanjutnya. Pelaksanaan tindakan yaitu kegiatan melaksanakan apa yang sudah direncanakan dibantu oleh tim kolaborator sebagai observer dan penilai proses pembelajaran di
50
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE NUMBERED HEADS TOGETHER
kelas. Kemudian observasi adalah pengamatan selama berlangsungnya kegiatan pembelajaran. Evaluasi/ refleksi adalah upaya evaluasi yang dilakukan oleh para kolaborator atau partisipan yang terkait dengan kolaboratif, yaitu adanya diskusi terhadap berbagai masalah yang terjadi di kelas penelitian. Temuan Penelitian Temuan penelitian dimulai pada prasiklus, kemudian dilanjutkan ke siklus I dan siklus II hingga mencapai nilai ketuntasan hasil belajar. 1. Deskripsi Hasil Penelitian Tes Awal (Pra Siklus) Tabel 1 Ketuntasan Hasil Belajar Tes Awal (Pra Siklus) No 1 2
Keterangan Tuntas Belum Tuntas Jumlah
Frekuensi 18 30 48
Persentase 37,5% 62,5% 100%
Tabel 1 menunjukkan bahwa yang mencapai ketuntasan belajar ada 18 orang atau 37,5%, sedangkan siswa yang belum tuntas berjumlah 30 orang atau 62,5%. 2. Deskripsi Data Siklus I Tabel 2 Ketuntasan Hasil Belajar Siklus I Pertemuan Kedua No 1 2
Keterangan Tuntas Belum Tuntas Jumlah
Frekuensi 31 17 48
Persentase 64,5% 35,5% 100%
Dari tabel 2 dapat diketahui dari 48 siswa terdapat 31 orang siswa atau 64,5% yang sudah mencapai ketuntasan dalam belajar atau mencapai nilai KKM 60. Sedangkan siswa yang memperoleh nilai di bawah KKM adalah 17 orang siswa atau 35,5%.
Pembahasan Pembahasan siklus I dan siklus II akan disajikan pada tabel perbandingan hasil penelitian siklus I dan siklus II berikut ini. Tabel 3 Rangkuman Perbandingan Hasil Siklus I dan Siklus II Aspek yang diteliti Penilaian pelaksanaan pembelajaran Observasi perubahan perilaku siswa Tes hasil belajar
Hasil siklus
Kategori Siklus I
Makna Ket
Siklus II
Siklus I
Siklus II
A
Baik
Sangat Baik
Meningkat
I
II
69,3
90
52,4
72,4
C
B
Cukup
Baik
Meningkat
65,8
75,8
B
B
Baik
Baik
Meningkat
B
Pembahasan Hasil Siklus I Pada siklus I, peneliti melakukan 2 kali pertemuan pada pertemuan pertama dapat disimpulkan bahwa hasil belajar siswa rata-rata belum mencapai ketuntasan, dari 48 siswa ada sebanyak 20 siswa atau 41,7% yang mencapai KKM dan 28 siswa atau 58,3% yang belum mencapai KKM. Hasil ini masih belum mencapai indikator keberhasilan yang kemungkinan disebabkan oleh beberapa aktivitas yang belum optimal seperti siswa cenderung mengobrol dalam kegiatan diskusi dan kurangnya pengawasan oleh guru terhadap aktivitas siswa. Sedangkan pada pertemuan kedua hasil belajar siswa rata-rata sudah mencapai ketuntasan akan tetapi masih ada siswa yang belum mencapai nilai 60, yaitu 89,6% yang mencapai KKM dan 17 siswa atau 35,5% yang belum mencapai KKM. Dan hasil ini belum mencapai indikator keberhasilan yang kemungkinan disebabkan oleh tidak melakukan tindak lanjut berupa pekerjaan rumah, media yang digunakan oleh guru kurang jelas dan kurang aktifnya kelompok dalam kegiatan diskusi kelompok. Dari penyebab tersebut maka dari itu perlu dilaksanakan siklus II. Adapun foto-foto kegiatan pada siklus I dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Pedagogia, Volume 5 Nomor 1 Tahun 2013
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE NUMBERED HEADS TOGETHER
51
Nilai rata-rata hasil belajar pada siklus II mencapai 75,8. Hasil belajar ini sudah mencapai indikator keberhasilan. Hal ini kemungkinan disebabkan karena model pembelajaran kooperatif tipe numbered heads together berhasil diterapkan di kelas IV pada mata pelajaran Matematika.
Gambar 1 Kegiatan pembelajaran pada siklus I Proses kegiatan pembelajaran pada siklus I, tentang materi perkalian, terlihat pada gambar di atas, siswa dengan tertib melaksanakan kegiatan pembelajaran.
Gambar 2 Foto Kegiatan Pembelajaran Dengan MenggunakanModel Pembelajaran Kooperatif Tipe Numbered Heads Together Setelah peneliti selesai menjelaskan/ menyampaikan materi, peneliti mengajak siswa untuk melakukan pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Heads Together. Terlihat pada gambar di atas siswa sedang mengerjakan LKS secara berkelompok. Pembahasan Hasil Siklus II Setelah melihat kekurangan yang ada pada siklus I, maka peneliti melakukan perbaikan pada siklus II. Pada kenyataannya hasil belajar pada siklus II meningkat siswa yang mencapai ketuntasan belajar mencapai 89,6% atau 43 siswa dari 48 siswa yang ada, dan yang belum tuntas ada 5 siswa atau 10,4%.
Pedagogia, Volume 5 Nomor 1 Tahun 2013
Simpulan Berdasarkan pembahasan dari bab IV ditarik simpulan bahwa penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Heads Together dapat meningkatkan hasil belajar Matematika pada siswa kelas IV di Sekolah Dasar Negeri Lulut 06 Tahun Pelajaran 2012/2013. Daftar Pustaka Abdurrahman, Mulyono. 2003. Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar. Jakarta: Rineka Cipta Anitah, Sri. 2011. Strategi Pembelajaran di SD. Jakarta: Universitas Terbuka Hernawan, Asep Herry.2007. Belajar dan Pembelajaran SD. Bandung : UPI PRESS Lie, Anita.2008. Cooperative Learning. Jakarta: Grasindo. Mahfudz, Asep. 2012. Cara Cerdas Mendidik Anak Yang Menyenangkan. Bandung: Simbiosa Rekatama Media. Muhsetyo, Gatot. 2007. Pembelajaran Matematika SD. Jakarta : Universitas Terbuka. Sukmadinata, Nana Syaodih. 2005. Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Thobroni, Muhamad. 2011. Belajar dan Pembelajaran. Yogyakarta: Ar Ruz Media Trianto. 2007. Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik. Jakarta: Perpustakaan nasional Katalog dalam terbitan (KDT) Penulis 1
2 3
Lulusan FKIP Prodi PGSD Universitas Pakuan Bogor, tahun 2013. Dosen FKIP Universitas Pakuan Prodi PGSD Dosen FKIP Universitas Pakuan Prodi PGSD
52
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE NUMBERED HEADS TOGETHER
Pedagogia, Volume 5 Nomor 1 Tahun 2013
UPAYA MENINGKATKAN HASIL BELAJAR BIOLOGI
53
UPAYA MENINGKATKAN HASIL BELAJAR BIOLOGI DENGAN PENUGASAN MIND MAPPING DAN MODEL PEMBELAJARAN RRB (ROUND ROBIN BRAINSTORMING) Anne Aulia Rachmawaty, Susi Sutjihati, Nandang Hidayat Abstrak Penelitian ini merupakan Penelitian Tindakan Kelas. Tujuan utama penelitian ini adalah untuk meningkatkan hasil belajar biologi siswa kelas X-A di MAN 1 Cijeruk dan untuk mengetahui efektifitas dari penugasan mind mapping dan model pembelajaran RRB (Round Robin Brainstorming). Proses penelitian tindakan dilakukan dalam dua siklus, setiap siklus terdiri dari empat tahapan, yaitu: perencanaan, pelaksanaan, observasi, dan refleksi. Nilai hasil belajar biologi siswa sebelum diterapkan dengan penugasan mind mapping dan model pembelajaran RRB (Round Robin Brainstorming) tes hasil belajar siswa rata-rata adalah 64,31. Pada siklus I nilai rata-rata biologi mencapai 67,16 dan pada siklus II mencapai 74,22. Persentase hasil pengamatan langkah-langkah model pembelajaran pada siklus I pertemuan ke-1 50%, siklus I pertemuan ke-2 59,97% yang terlihat memuaskan hingga meningkat mencapai 70,31% di siklus II pertemuan ke-1, dan meningkat menjadi 81,25% pada siklus II pertemuan ke-2. Antusias siswa dalam kegiatan pembelajaran mengalami peningkatan yang sangat baik terhadap model pembelajaran yang digunakan, pada siklus I pertemuan ke- 1 mencapai 62,87 % dan siklus I pada pertemuan ke- 2 meningkat menjadi 65,66%. Pada siklus II, antusias siswa lebih meningkat, yaitu pada pertemuan ke-1 mencapai 71,21%, dan pada siklus II pertemuan ke-2 mencapai 72,94%. Penerapan dengan penugasan mind mapping dan model pembelajaran RRB dapat meningkatkan hasil belajar dalam pembelajaran biologi di kelas X-A MAN 1 Cijeruk Kabupaten Bogor. Kata kunci: RRB (Round Robin Brainstorming), Mind Mapping, Hasil belajar
Pendahuluan Perkembangan di dalam kelas umumnya ditentukan oleh peran guru dan siswa sebagai orang yang terlibat langsung di dalam proses tersebut. Pada saat ini kegiatan mengajar guru cenderung bersifat monoton. Guru masih menggunakan metode pembelajaran yang berpusat pada guru (teacher center), penggunaan metode didalam kelas lebih didominasi dengan metode konvensional yang sebagian besar ceramah, dan kegiatan siswa lebih banyak diam menyimak penjelasan guru, mencatat, dan mengerjakan tugas yang diberikan guru sehingga membuat siswa tidak aktif, tidak memiliki keberanian untuk mengajukan pendapat dan kondisi belajar menjadi membosankan, selain itu kenyataan yang terlihat saat ini pada proses pembelajaran di kelas masih diberikan tugas mencatat dan membaca tetapi tidak pernah diberikan tugas membuat rangkuman dalam bentuk peta konsep, bagan atau mind mapping.
Pedagogia, Volume 5 Nomor 1 Tahun 2013
Suasana belajar dan kualitas pengajaran pun merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi hasil belajar siswa. Suasana yang menyenangkan dapat memberikan hasil belajar yang optimal, dibandingkan dengan suasana belajar yang membosankan, menegangkan, tidak diberikan kebebasan dalam mengeluarakan pendapat sehingga dapat menimbulkan rasa cemas, takut dan tidak suka terhadap guru dan pelajaran biologi. Situasi kelas pada proses pengajaran seperti ini bersifat pasif, verbalistis dan mengakibatkan perhatian siswa menjadi tidak terpusat pada kegiatan pembelajaran di kelas, dan dikarenakan materi pembelajaran biologi yang lebih banyak tertuang dalam bentuk wacana dan banyak hafalan, mengakibatkan siswa kurang begitu berminat dengan pembelajaran biologi, sehingga masih banyak siswa yang mendapatkan nilai yang kurang memuaskan, hanya beberapa siswa saja yang mendapat prestasi yang cukup memuaskan. Sikap seperti ini berdampak buruk terhadap rendahnya hasil belajar biologi.
54
UPAYA MENINGKATKAN HASIL BELAJAR BIOLOGI
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan di kelas X-A MAN 1 Cijeruk Kabupaten Bogor adalah masih rendahnya pencapaian hasil belajar biologi yang hanya memiliki nilai rata-rata 64,31 dan 11 orang (32%) yang telah mencapai nilai KKM (kreiteria ketuntasan minimal) pada tahun ajaran 2011/2012, sedangkan nilai KKM yang ditentukan sekolah yaitu 70. Upaya yang dilakukan untuk meningkatkan hasil belajar siswa adalah dengan mencari strategi pembelajaran yang sesuai. Salah satu alternatif agar pembelajaran lebih efektif, bermakna dan menyenangkan dan diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar siswa adalah dengan penugasan mind mapping dan model pembelajaran RRB (Round Robin Brainstorming). Pada model pembelajaran RRB siswa belajar dengan materi yang sudah disiapkan oleh guru. Pembelajaran dengan cara penugasan mind mapping dan model pembelajaran RRB ini diharapkan dapat membangun pemahaman siswa dengan mendorong siswa lebih aktif berpikir cepat dan tersusun, mendorong siswa untuk selalu menyampaikan ide atau gagasan, mampu memecahkan masalah bersama dan berinteraksi secara berkelompok. Siswa diberikan penugasan berupa mind mapping yang dapat membuat siswa lebih aktif, kreatif dan dapat lebih memahami materi yang akan dipelajari. Pada saat pemberian topik permasalahan, siswa diharapkan menjawab atau mengungkapkan pendapatnya masing-masing dengan cepat dan jawaban akan ditampung semua oleh pencatat masingmasing kelompoknya. Saat menyimpulkan semua jawaban, siswa belajar untuk saling membantu, dan bekerja sama untuk kemenangan kelompoknya. Pada saat siswa aktif dalam proses belajar dan diskusinya, guru membimbing siswa yang berperan sebagai motivator serta fasilitator. Berdasarkan uraian di atas maka perlu diadakan penelitian mengenai pembelajaran dengan penugasan mind mapping dan model pembelajaran RRB dalam meningkatkan hasil belajar biologi, sehingga dapat dirumuskan bahwa masalah dalam penelitian ini adalah, apakah penugasan mind mapping dan model pembelajaran RRB (Round Robin Brainstroming) dapat meningkatkan hasil belajar biologi siswa
dan bagaimana penerapan pembelajaran dengan penugasan mind mapping dan model pembelajaran RRB (Round Robin Brainstroming). Hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman subjek belajar dengan dunia fisik dan lingkungannya. Hasil belajar sesorang tergantung pada apa yang telah diketahui, subjek belajar, tujuan, motivasi yang mempengaruhi proses interaksi dengan bahan yang akan dipelajarinya Menurut Winataputra (2004:2.6) hasil belajar merupakan perubahan perilaku atau tingkah laku. Seseorang akan berubah atau bertambah perilakunya, baik yang berupa pengetahuan, keterampilan motorik atau penguasaan nilai-nilai (sikap). Perubahan perilaku sebagai hasil belajar ialah perubahan yang dihasilkan dari pengalaman (interaksi dengan lingkungan), dimana proses mental dan emosional terjadi. Perubahan perilaku sebagai hasil belajar dikelompokan ke dalam tiga ranah (kawasan) yaitu pengetahuan (kognitif), keterampilan motorik (psikomotorik) dan penguasaan nilai-nilai atau sikap (afektif). Mind Mapping atau sering dikenal dengan peta pikiran, menurut Buzan (2010:4) peta pikiran (mind mapping) adalah cara termudah untuk menempatkan informasi ke dalam otak dan mengambil informasi ke luar otak. Mind Map adalah cara mencatat yang kreatif, efektif dan secara harfiah akan memetakan pikiran pikiran kita. Mind Map juga sangat sederhana. Berarti mind mapping merupakan cara yang efektif dan kreatif dalam pembelajaran. De Porter dan Hernacki (2011:225) mengemukakan bahwa peta pikiran (mind mapping) merupakan teknik pemanfaatan keseluruhan otak dengan menggunakan citra visual dan prasarana grafis untuk membuat kesan, selain itu peta pikiran (mind mapping) merupakan metode mencatat kreatif yang memudahkan kita dalam mengingat banyak informasi. Jadi, mind mapping dapat digunakan sebagai alternatif jawaban dari sebuah soal dan memudahkan kita dalam mengingat banyak informasi. Supomo dalam Nuryani (2003:22) reciproal teaching adalah model pembelajaran yang tujuan utama pembelajarannya tercapai melalui kegiatan belajar mandiri dan menjelaskan kembali hasil belajar tersebut kepada pihak lain, sehingga dengan
Pedagogia, Volume 5 Nomor 1 Tahun 2013
UPAYA MENINGKATKAN HASIL BELAJAR BIOLOGI
menggunakan model pembelajaran ini siswa dapat lebih aktif dan kreatif dalam menyelesaikan masalah yang nantinya dapat meningkatkan prestasi belajar. Menurut Brow dan Palinscar dalam Santrock (2003:597) reciprocal teaching adalah prosedur pengajaran yang mengembangkan pemantauan kognitif. Dalam proses ini pelajaran secara bergiliran memimpin kelompok dalam menggunakan strategi untuk memahami dan mengingat isi suatu bacaan. Siswa diberi kesempatan yang sama untuk berlatih menggunakan keempat strategi dan menerima umpan balik dari angota kelompok yang lain. Guru sebagai fasilitator berperan penting dalam membimbing dan membantu siswa agar lebih pandai dalam menggunakan strategi pembelajaran tersebut. Berdasarkan penjelasan diatas tentang mind mapping reciprocal atau penugasan mind mapping merupakan pembelajaran yang berupa penugasan terhadap siswa sebelum proses pembelajaran dengan berupa mind mapping sehingga dapat memudahkan siswa dalam mengembangkan pengetahuan melalui peta pikiran yang dapat membuat siswa lebih aktif, kreatif dan dengan cepat memahami materi yang akan diajarkan serta mengingat lebih baik. Menurut Roestiyah (2008:73) bahwa sumbang saran atau brainstorming merupakan cara mengajar yang dilaksanakan oleh guru di dalam kelas, yaitu dengan melontarkan suatu masalah ke kelas oleh guru. Selanjutnya siswa menjawab atau menyatakan pendapat atau komentar sehingga masalah tersebut berkembang menjadi masalah baru. Utomo (2011:79) mengemukakan bahwa curah gagasan atau brainstorming dirancang untuk mendorong kelompok untuk mengekspresikan berbagai macam ide yang dicatat, kemudian dikombinasikan dengan berbagai macam ide yang yang lain. Pada akhirnya kelompok tersebut setuju dengan hasil akhirnya. Metode Penelitian Tujuan penelitian ini adalah upaya untuk meningkatkan hasil belajar biologi dan untuk mengetahui efektifitas dengan penugasan mind mapping dan Model Pembelajaran RRB kelas X-A di MAN 1 Cijeruk Bogor. Penelitian dilakukan di kelas X-A MAN 1 Cijeruk Bogor, waktu penelitian mengacu pada kalender
Pedagogia, Volume 5 Nomor 1 Tahun 2013
55
akademik dan dilakasanakan pada semester II (dua) tahun ajaran 2011/2012, dengan melibatkan siswa kelas X-A berjumlah 32 orang, terdiri dari siswa perempuan berjumlah 18 dan siswa laki-laki berjumlah 14 serta karakteristik siswa heterogen dengan tingkat kecerdasan yang bervariasi. Materi yang disampaikan pada penelitian siklus pertama adalah ekosistem dan siklus kedua adalah permasalahan lingkungan. Penelitian dilaksanakan dari bulan Maret - Mei 2012. Peningkatan hasil belajar siswa dalam pembelajaran biologi ditandai dengan ketercapaian indikator yang telah ditetapkan. Kriteria keberhasilan individu yaitu mencapai kriteria ketuntasan minimum (KKM) yang telah ditetapkan dalam mata pelajaran biologi yaitu 70 dan peresentase kriteria pencapaian nilai KKM yaitu 70%. Penelitian ini termasuk ke dalam penelitian tindakan kelas. Dalam penelitian ini melibatkan peneliti, pengamat (observer), guru yang bertindak sebagai pelaksana strategi pembelajaran dan siswa sebagai subjek serta objek yang diteliti. Proses kegiatan pembelajaran dilakukan dengan menggunakan penugasan mind mapping dan model pembelajaran RRB. Ada empat prosedur pelaksanaan Penelitian Tindakan Kelas (PTK), yaitu : 1.Perencanaan (Planning), 2.Pelaksanaan (Action), 3.Observasi (Observation), 4.Refleksi (Reflection). Selanjutnya untuk memperoleh gambaran mengenai proses PTK dapat dijabarkan sebagai berikut: Perencanaan Tindakan, Observasi dan Refleksi. Perencanaan yang dilakukan pada prosedur pertama adalah siswa yang sudah diberi tugas mind mapping pada pertemuan sebelumnya mengumpulkan tugas individunya dan pengaturan kelompok siswa dibagi menjadi 4-5 orang setiap kelompoknya. Masingmasing siswa duduk berdasarkan kelompok masingmasing dengan menghadap ke arah tengah sehingga setiap siswa dapat memperhatikan penjelasan guru. Alokasi waktu yang digunakan disesuaikan dengan alokasi waktu yang telah ditetapkan sekolah yaitu 2 x 45 menit, dengan pembagian waktu: apersepsi 10 menit, kegiatan inti 60 menit dan kegiatan penutup 20 menit. Penggunaan media yang digunakan sesuaikan
56
UPAYA MENINGKATKAN HASIL BELAJAR BIOLOGI
dengan materi pembelajaran yang dipelajari serta sarana dan prasarana yang tersedia di sekolah. Persiapan lain yang dilakukan adalah membuat perencanaan pembelajaran, meyiapkan alat bantu pembelajaran yang diperlukan, menyiapkan instrumen tes untuk mengetahui peningkatan hasil belajar, menetapkan waktu yang tepat untuk melaksanakan tindakan dan yang melaksanakan adalah guru Biologi, membuat lembar observasi, membuat format wawancara guru dan siswa.
Temuan Penelitian Selama berlangsungnya tindakan, observer dan peneliti melakukan pengamatan terhadap proses pelaksnaan tindakan. Pengamatan dibatasi pada langkah-langkah model pembelajaran dan aktivitas siswa. Kegiatan pembelajaran pada siklus 1 pertemuan pertama dan kedua di peroleh rekapitulasi nilai hasil belajar, langkah-langkah model pembelajaran dan antusias siswa, seperti tampak pada gambar 1.
Gambar 1. Grafik Nilai Siswa dalam Proses Pembelajaran Hasil belajar siswa sebelum dilakukan penelitian (refleksi) adalah sebesar 64,31. Pada siklus kesatu, nilai rata-rata siswa adalah 67,16. Pada siklus kedua hasil belajar siswa mencapai rata-rata 74,22. pertemuan 1 100
Persentase %
Pelaksanaan Tindakan Kegiatan yang dilaksanakan pada tahap ini adalah guru Biologi kelas X melaksanakan rencana pembelajaran yang telah direncanakan kemudian diakhiri dengan kegiatan evaluasi pembelajaran. Observasi dilakukan pada tahap ini dilakasankan observasi terhadap pelaksanaan tindakan, efek, dan hasil tindakan dengan menggunakan lembar observasi yang dibuat dalam setiap tindakan. Hasil observasi serta hasil belajar kemudian dievaluasi dan dijadikan landasan untuk melakukan refleksi. Refleksi adalah proses berfikir untuk melihat kembali aktivitas yang sudah dilakukan dan mencari jalan keluarnya berdasarkan hasil observasi. Hasil yang didapat dalam tahap ini akan dipergunakan sebagai acuan untuk melaksankan siklus berikutnya. Jumlah siklus tergantung terselesaikan masalah yang diteliti dan tujuan penelitian.
81,25 70,31
80 60
pertemuan 2
50
59,37
40 20 0 Siklus 1
Siklus 2
Gambar 2. Grafik Hasil Pengamatan Langkah-langkah Penugasan Mind Mapping dan Model Pembelajaran RRB Peningkatan aktivitas guru di siklus I, yang terlihat cukup memuaskan bertambah dari 50% menjadi 59,37% yaitu pertemuan 1 ke 2. Hingga siklus II aktivitas guru sangat memuaskan dari sebelumnya 70,31 % meningkat menjadi 81,25%.
Pedagogia, Volume 5 Nomor 1 Tahun 2013
UPAYA MENINGKATKAN HASIL BELAJAR BIOLOGI
Gambar 3. Grafik Persentase Kenaikan Aktivitas Siswa Dalam Setiap Siklus Presentase aktivitas siswa pada siklus 1 pertemuan ke-1 on task 62,87% dan off task 37,13%, pertemuan ke-2 on task 65,66% dan of task 34,34%. Presentase aktivitas siswa pada siklus 2 pertemuan ke-1 on task 71,21% dan off task 28,79%, pertemuan ke-2 on task 72,94% dan of task 27,05%. Berdasarkan gambar 1 grafik hasil belajar diatas terlihat jelas bahwa hasil belajar siswa terus mengalami peningkatan dari siklus pertama dan kedua, bahkan pada siklus kedua rata-rata nilai siswa sudah melewati batas KKM yang telah ditentukan yaitu 70. Hasil belajar siswa sebelum dilakukan penelitian (refleksi) adalah sebesar 64,31. Pada siklus kesatu, nilai rata-rata siswa adalah 67,16. Pada siklus kedua hasil belajar siswa mencapai rata-rata 74,22 , nilai rata-rata siswa ini sudah mencapai nilai KKM yang telah ditentukan yaitu 70. Siswa yang mengalami kenaikan yaitu dicapai 24 orang siswa dan 8 orang siswa mendapat nilai kurang dari 70 . Adanya respon siswa yang lebih baik dalam proses pembelajaran dengan menggunakan penugasan mind mapping dan model pembelajaran RRB menimbulkan peran aktif siswa dalam kegiatan diskusi kelompok dan peningkatan hasil belajar yang sesuai dengan kriteria keberhasilan. Keberhasilan ini juga tidak lepas dari peran guru yang lebih memotivasi siswa, membimbing siswa, dan mengarahkan siswa sehingga siswa mampu mengemukakan pendapat, ide, dan gagasannya dalam pembelajaran. Dari hasil
Pedagogia, Volume 5 Nomor 1 Tahun 2013
57
yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa secara umum kegiatan pembelajaran pada siklus 2 telah sesuai dengan kriteria keberhasilan yang ditetapkan. Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Winataputra (2004:2.6) hasil belajar merupakan perubahan perilaku atau tingkah laku. Seseorang akan berubah atau bertambah perilakunya, baik yang berupa pengetahuan, keterampilan motorik atau penguasaan nilai-nilai (sikap). Perubahan perilaku sebagai hasil belajar ialah perubahan yang dihasilkan dari pengalaman (interaksi dengan lingkungan), dimana proses mental dan emosional terjadi. Perubahan perilaku sebagai hasil belajar dikelompokan ke dalam tiga ranah (kawasan) yaitu pengetahuan (kognitif), keterampilan motorik (psikomotorik) dan penguasaan nilai-nilai atau sikap (afektif). Keunggulan penugasaan mind mapping dan model pembelajaran RRB merupakan model pembelajaran yang dapat mengembangkan kemampuan siswa dalam mengemukakan pendapat, ide dan gagasannya tanpa perlu di nilai bahwa itu benar atau salah dan melatih siswa menjadi lebih mandiri serta dengan bantuan penugasan berupa mind mapping siswa dapat pengetahuan awal sebelum materi diberikan dengan lebih aktif, kreatif dan mengingat lebih cepat sehingga memberikan kemudahan dalam pembelajaran yang akan di pelajari dengan penuh motivasi dan tercipta suasana belajar yang baik antar sesama siswa ataupun antar siswa dan guru. Langkah-langkah model pembelajaran pada gambar 2 yang pengamatannya berdasarkan lembar observasi (pada lampiran) setiap pertemuan di siklus I sampai siklus II terdapat peningkatan yang cukup memuaskan. Peningkatan aktivitas guru di siklus I, yang terlihat cukup memuaskan bertambah dari 50% menjadi 59,37% yaitu pertemuan 1 ke 2. Hingga siklus II aktivitas guru sangat memuaskan dari sebelumnya 70,31% meningkat menjadi 81,25%. Dapat diketahui bahwa terjadi peningkatan hasil belajar siswa dari siklus 1 ke siklus 2 dengan penugasan mind mapping dan model pembelajaran RRB. Hal ini sesuai dengan Sanjaya (2008:196) bahwa pembelajaran adalah kegiatan yang bertujuan, yaitu membelajarkan siswa. Proses pembelajaran itu merupakan rangkaian kegiatan yang melibatkan berbagai komponen. Jadi, pembelajaran adalah suatu
58
UPAYA MENINGKATKAN HASIL BELAJAR BIOLOGI
proses belajar yang dirancang untuk memungkinkan terjadinya proses belajar pada siswa sehingga siswa dapat melakukan dengan baik Gambar 3 grafik di atas dapat dilihat bahwa aktivitas siswa dalam setiap pertemuan pada setiap siklus kegiatan di luar pembelajaran (Off task) mengalami penurunan, dan aktivitas siswa yang dilakukan selama pembelajaran (On task) mengalami peningkatan. Pada siklus 1 pertemuan ke-1 On task siswa meningkat 62,87% dan Off task menurun 37,13%, pada pertemuan ke-2 On task siswa meningkat 65,66% dan Off task menurun 34,34%. Sedangkan pada siklus 2 pertemuan ke-1 mengalami peningkatan aktivitas On task mencapai 71,21% dan Off task menurun 28,79%, kemudian On task meningkat lagi pada pertemuan ke-2 72,94% dan penurunan Off task 27,05%. Adanya peningkatan On task dan penurunan Off task dapat menciptkan kondisi kelas yang memungkinkan proses belajar mengajar berjalan dengan baik dan berdampak juga pada tingkat keberhasilan siswa dalam belajar. Berdasarkan hal tersebut, dapat diketahui bahwa terjadi peningkatan aktifitas siswa dengan penugasan mind mapping dan model pembelajaran RRB. Hal tersebut sesuai dengan Vigotsky dalam Winataputra (2007:6-9), yang berpendapat bahwa pengetahuan dibangun secara sosial, dalam pengertian bahwa peserta yang terlibat dalam suatu interaksi sosial akan memberikan kontribusi dan membangun bersama makna suatu pengetahuan. Kesimpulannya, teori belajar konstruktivisme memaknai belajar sebagai proses mengkonstruksi pengetahuan melalui proses internal seseorang dan interaksi dengan orang lain. Belajar merupakan proses mengasimilasikan dan menghubungkan pengalaman atau bahan yang dipelajarinya. Kesimpulan Berdasarkan hasil yang dilakukan melalui dua siklus terhadap penerapan penugasan mind mapping dan model pembelajaran RRB (Round Robin Brainstorming) didapatkan hasil sebagai berikut: Pertama, penugasan mind mapping dan model pembelajaran RRB dapat meningkatkan hasil belajar siswa, dilihat dari meningkatnya nilai rata-rata siswa pada setiap proses pembelajaran. Dimulai dari nilai
rata-rata awal (refleksi) sebelum dilakukan tindakan yaitu 64,31, pada siklus I nilai rata-rata siswa mulai meningkat yaitu 67,16, dilanjutkan dengan siklus II semakin meningkat yaitu 74,22 dan 24 siswa (75%) telah mencapai KKM. Kedua, penerapan dengan penugasan mind mapping dan menggunakan model pembelajaran RRB secara efektif dapat meningkatkan hasil belajar biologi melalui pembelajaran awal siswa diberikan penugasan mind mapping, selanjutnya dalam proses pembelajaran RRB, mind mapping dijadikan sebagai media dan sumber awal dari pembelajaran RRB sehingga diakhir kegiatan siswa dapat membuat mind mapping yang lebih baik dan kreatif. Daftar Pustaka Deporter, Bobbi dan Hernacki, Mike. 2011. Quantum Learning. Kaifa , PT Mizan Pustaka: Bandung Buzan, Tony. 2010. Buku Pintar Mind Mapping. PT. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta Dananjaya, Utomo. 2011. Media Pembelajaran Aktif. Penerbit Nuansa: Bandung. Nuryani, Putri. 2008. Pengaruh Penerapan Model Pembelajaran CUPs (Conceptual Understanding Prosedures) Terhadap Hasil Belajar Siswa pada Konsep Ekosistem (Eksperimen di MTS Pembangunan UIN. Ciputat): Jakarta. (Skrip) Roestiyah. 2008. Strategi Belajar Mengajar. Penebit Rineka Cipta: Jakarta. Sanjaya, Wina. 2008. Pembelajaran Dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi. Prenada Media Group: Jakarta. Santrock, Jhon W. 2003. Adolescense Perkembangan Remaja. Erlangga: Jakarta. Winataputra, Udin S. 2004. Strategi Belajar Mengajar. Pusat Penerbitan Universitas Terbuka: Jakarta. Winataputra, Udin S. 2007. Teori Belajar dan Pembelajaran. Penerbit Universitas Terbuka: Jakarta. Penulis 1 Anne Aulia Rachmawaty. Lahir di Bogor, 24 Maret 1991. Lulusan Pendidikan Biologi Universitas Pakuan Bogor Tahun 2012. 2 Dosen FKIP Universitas Pakuan 3 Dosen FKIP Universitas Pakuan
Pedagogia, Volume 5 Nomor 1 Tahun 2013