Suara KPU Jawa Timur
KPU JAWA TIMUR
Jurnal IDe
Inspirasi Demokrasi
Mengawal Demokrasi Membangun Negeri
PERAN STRATEGIS
STAKEHOLDERS DALAM PEMILU
Oktober 2016
edisi
12
Dari Redaksi
P
uji Syukur senantiasa terus kita panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya, sehingga Komisi Pemilihan Umum Jawa Timur (KPU Jatim) setiap bulan secara rutin dapat menerbitkan Jurnal Inspirasi Demokrasi (Ide). Terbitnya Jurnal Ide edisi bulan Oktober (edisi ke-12) tentu tak dapat dipungkiri karena peran serta dan kerja keras dari seluruh keluarga besar KPU di Jawa Timur. Untuk itu, ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Komisioner KPU Jatim, Sekretaris dan semua staf KPU Jatim yang terlibat di dalam penyusunan Jurnal Ide. Ucapan terima kasih dan apresiasi kami sampaikan pula kepada KPU kabupaten/kota di Jawa Timur yang secara “istiqomah” menyumbangkan ide dan gagasan tertulisnya, setiap bulannya. Kali ini, jurnal Ide mengangkat tema “Peran Strategis Stakeholders dalam Pemilu”. Pemilu/pemilihan umum adalah wujud dari kedaulatan rakyat dalam negara demokrasi termasuk Indonesia. Di dalam proses penyelenggaraan pemilu melibatkan para pemangku kepentingan yang disebut dengan stakeholders. International IDEA membagi stakeholders penyelenggara pemilu menjadi dua (2) kelompok, yakni kelompok primer dan sekunder. Kelompok Stakeholders Primer terdiri dari, 1) partai politik dan kandidat; 2) staf badan penyelenggara pemilu; 3) lembaga pemerintah; 4) lembaga legislatif; 5) pengamat pemilu internasional; 6) media massa; 7) pemilih dan calon pemilih; 8) organisasi masyarakat sipil; 9) komunitas donor dan lembaga bantuan pemilu. Kemudian yang termasuk di dalam Stakeholders Sekunder ialah 1) penyedia/rekanan; 2) masyarakat umum; dan jaringan internasional. Stakeholders Sekunder merupakan pemangku kepentingan yang memiliki hubungan yang tidak cukup dalam dengan sistem pemilu, namun diperlukan dalam prosesnya. Stakeholders ini tidak dapat berjalan sendiri-sendiri dalam penyelenggaraan pemilu. Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai lembaga yang menyelenggarakan pemilu di Indonesia, tidak akan dapat menyelenggarakan pemilu tanpa dukungan peran dan fungsi stakeholders yang lain. Dibutuhkan suatu kerja sama dari seluruh stakeholders untuk mendapatkan hasil yang maksimal dengan peran dan fungsi yang berbeda-beda dari stakeholder, yang kemudian ini disebut dengan sinergitas. Didalam pembahasan Jurnal Ide edisi ke-12, akan dikaji peran dan fungsi dari beberapa stakeholders dan sinergitasnya di dalam penyelenggaraan pemilu. Para penulis dalam jurnal, berupaya menyampaikan pengalamannya di lapangan, dan menuangkannya ke dalam tulisan ini. Harapannya, dengan ini akan dapat memberikan tambahan literasi kepada pembaca serta menjadi bahan masukan kepada pembuat kebijakan ke depannya. Sebagai penutup, kami menyadari bahwa Jurnal Ide ini masih memiliki banyak kelemahan. Maka dari itu, kritik dan saran yang membangun dari pembaca selalu kami harapkan. Akhirnya, semoga dengan adanya Jurnal Ide ini dapat memberikan manfaat kepada berbagai pihak dan perkembangan demokrasi di Indonesia. Salam. r Suara KPU Jawa Timur
Oktober 2016
1
Daftar Isi Hal
3 Hal
Sinergisitas Stakeholder, Menciptakan Pemilu Berkualitas
Hal
Peran Strategis Stakeholder Dalam Pemilu dan Pilkada
9
Kapital Sosial Tokoh Masyarakat Dalam Pusaran Pemilu
Hal
Hal
Hal
20
Media Massa dan Peningkatan Partisipasi Pemilu
24
Kyai, Klebun, Blater; Konfigurasi Pemilu Berintegritas di Sampang
Hal
12
Staf Penyelenggara Pemilu; Stakeholder Yang Tak Terlihat
15
Peran Strategis Pemangku Kebijakan Dalam Kesuksesan Pemilu di Daerah
Hal
6
Hal
28
Akurasi DPT Bergantung Pada Stakeholder
31
Peran Strategis Pemantau Pemilu Sebagai Stakeholder
Hal
34
Gunanya Ada Partai Politik “Refleksi Atas Stakeholder Utama Pemilu”
Pengarah: Eko Sasmito, Gogot Cahyo Baskoro, Choirul Anam, Dewita Hayu Shinta, Muhammad Arbayanto. Penanggungjawab: HM. E. Kawima. Pemimpin Redaksi: Slamet Setijoadji. Redaktur: Azis Basuki. Sekretaris Redaksi: Dina Lestari. Kontributor: Keluarga Besar KPU se-Jawa Timur. Alamat Redaksi: Badan Hukum, Teknis, Hupmas Sekretariat KPU Provinsi Jawa Timur Jl. Raya Tenggilis No. 1-3 Surabaya.
2
Jurnal IDe
SOFI RAHMA DEWI, SH. MH. Divisi Perencanaan dan Data KPU Kabupaten Malang
Sinergitas Stakeholder,
Menciptakan Pemilu Berkuallitas
Pemilu sebagai pilar demokrasi merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat dalam menghasilkan pemerintahan yang sah. Upaya menciptakan pemilu berkualitas bukan hanya agenda KPU sebagai penyelenggara, tetapi harus menjadi agenda bersama seluruh komponen bangsa, karena itu diperlukan sinergitas yang kuat dan berkesinambungan dari seluruh stakeholder pemilu.
P
emilu sebagai satu-satunya meka nisme pergantian kekuasaan yang sah bagi negara hukum yang menganut paham demokrasi maka landasan konstitusio nal pemilu tercantum dalam Pasal 22E Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebagaimana dalam pasal 22E ayat (1) UUD 1945 tersebut, pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Pemilu memiliki dua makna bagi masyarakat Indonesia. Pertama, sebuah aktivitas politik lima tahunan yang rutin, yang telah berlangsung sejak pemilu pertama tahun 1955 hingga 2014. Pengalaman regularitas pemilu di Indonesia menyebabkan interaksi masyarakat dengan prosedural pemilu relatif intens. Kedua, melihat perkembangan pemilu era reformasi (sejak 1999), selain makna regularitas, pemilu juga dipahami sebagai arena persaingan terbuka antar peserta untuk memobilisasi dukungan suara pemillih dalam meraih kemenangan. Pada tataran ini, terjadilah interaksi yang relatif intens antara warga/pemilih dengan berbagai pihak yaitu peserta pemilu (partai politik be-
serta kandidatnya), pemerintah (pusat-dae rah), penyelenggara pemilu, lembaga pengawas pemilu, dan juga para pemantau. Maka menjadi tugas dan tanggungjawab bersama semua stakeholder dalam membangun interaksi tersebut agar tercipta iklim kompetisi yang bebas dan sehat, termasuk pelaksa naannya yang bisa menjamin ketertiban dan keamanan dalam menciptakan pemilu yang berkualitas. Seluruh komponen tersebut harus saling bahu-membahu membangun sinergitas dalam melaksanakan peran ma sing-masing guna mendukung pelaksanaan pemilu dengan didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Peran Penyelenggara Pemilu Pemilu diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri sebagaimana ketentuan Pasal 22 E Ayat (5) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam hal ini maka KPU dan Bawaslu merupakan satu kesatuan fungsi penyelenggara yang harus professional, mempunyai integritas, kapabilitas dan akun Suara KPU Jawa Timur
Oktober 2016
3
tabilitas. Dalam mewujudkan pemilu yang berkualitas dan berintegritas peran KPU sangat penting dalam hal tata kelola Pemilu, setidaknya harus mampu menyasar tiga aspek utama, yakni: (1) menata akses informasi publik; (2) menjamin hak konstitusional warga negara; (3) menjaga otentisitas suara rakyat. Momentum pemilu memberikan ruang artikulasi kepentingan masyarakat yang sangat luas. Pemilu menjadi ruang dialektika antara masyarakat dengan calon pemimpinnya. Bagaimana proses dialektika tersebut dibangun menjadi tugas dan tanggung jawab KPU untuk memfasilitasinya. Menyederhanakan proses dialektika ini menjadi hal penting. Tidak hanya sekedar menjamin akses informasi masyarakat akan kebutuhan informasi pemilu, tetapi juga pada aspek penguatan kapasitas masyarakat untuk mampu “mengunyah” visi dan misi para calon pemimpinnya sehingga masyarakat tergerak berpartisipasi untuk menyampaikan harapan dan keluhan kepada para calon pemimpinnya pada proses pemilu. Tugas, wewenang dan kewajiban KPU dan Bawaslu di atur secara khusus dalam UU Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu. KPU dan jajarannya dituntut mampu melaksanakan semua tahapan secara tepat waktu, dan bawaslu beserta jajarannya dituntut mampu mengawasi semua pelaksa4
Jurnal IDe
naan tahapan penyelenggaraan berjalan sesuai peraturan-perundang-undangan. Untuk menjaga agar penyelenggara pemilu tidak melanggar kode etik maka dalam UU Nomor 15 Tahun 2015 dibentuk Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang merupakan satu kesatuan fungsi penyelenggara pemilu. Peran Pemerintah Pada prinsipnya pemilu terselenggara jika ada anggaran, maka pemerintah dan peme rintah berkewajiban menyediakan anggaran sesuai yang diajukan oleh KPU dalam jumlah dan waktu yang tepat sebagaimana diatur dalam UU Pemilu. Pemerintah bersama jajarannya harus mampu menjaga netralitas birokrasi, agar pemilu terlaksana secara jujur dan fair. Penugasan pada aparatur sipil negara (ASN) sebagai kesekretariatan di tingkat PPK, PPS, panwas kabupaten/kota dan PPL untuk memfasilitasi tugas badan ad hoc di tingkat kecamatan dan desa. Penyediaan sarana dan prasarana bagi penyelenggara dan jajarannya, serta dukungan dalam kelancaran pendistribusian logistik hingga tingkat TPS. Bersama-sama dengan aparat TNI/Polri, kejaksaan dan Pengadilan Negeri sebagai jajaran forum pimpinan daerah (Forpimda) memantapkan koordinasi dalam mewujudkan kondisi keamanan dan ketertiban, serta
suasana yang kondusif di masyarakat di semua proses tahapan pemilu. Penyediaan daftar Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4) yang berkualitas dalam proses pemutakhiran data pemilih juga menjadi kewajiban pemerintah yang sangat urgen dalam pemilu. Tak kalah pentingnya tugas pemerintah dan jajarannya dalam melakukan sosialisasi dan pendidikan politik kepada semua elemen masyarakat guna mendorong dan meningkatkan partisipasi masyarakat secara aktif. Peran Masyarakat Penyelenggaraan pemilu tidak bisa dilepaskan dari peran publik, yaitu pemilih dan warga negara (masyarakat). Masyarakat sebagai pemilih adalah subyek pemilu yang merupakan bagian terpenting dari proses penyelenggaraan pemilu untuk memastikan penyelenggaraan pemilu dilakukan secara jujur, adil dan dermokratis yang diwujudkan dalam bentuk partisipasi, tidak hanya sekedar menggunakan hak pilihnya pada hari pemungutan suara, tetapi peran serta aktif masyarakat dalam seluruh proses tahapan pemilu sa ngat dibutuhkan. Masyarakat harus mampu mengambil bagian dalam proses pemilu, antara lain aktif mencermati data pemilih dalam proses pemutakhiran sehingga data pemilih benar-benar mutakhir dan berkualitas, ikut mengawasi seluruh proses pemilu termasuk memantau kinerja penyelenggara, melaporkan kecurangan-kecurangan dan pelanggaran yang terjadi kepada panwaslu, menjadi agen-agen sosialisasi di lingkungannya agar terwujud pemilih yang cerdas dan cermat dalam rangka memilih pemimpin yang berkualitas. Dalam bertisipasi harus disertai dengan kewajiban menghormati hak orang lain, bertanggung jawab atas pendapat dan tindakannya, menjaga etika serta sopan santun berdasarkan budaya masyarakat, sehingga mendorong terciptanya situasi yang kondusif bagi penyelenggaraan pemilu yang aman, damai, tertib dan lancar. Peran Partai Politik Partai politik sebagai peserta pemilu merupakan pilar demokrasi yang harus mampu memberikan kontribusi yang signifikan bagi sistem perpolitikan nasional. Partai politik harus memainkan peran dan fungsi
positif konstruktif dalam mengembangkan kualitas demokrasi sehingga mampu berperan aktif dalam upaya menciptakan pemilu berkualitas. Untuk itu maka parpol harus benar-benar melaksanakan fungsinya sebagaimana diatur dalam Pasal 11 Ayat (1) UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang partai politik, yaitu: (a) Pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi warga negara yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara; (b) penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia untuk kesejahteraan masyarakat; (c) penyerap, penghimpun dan penyalur aspirasi masyarakat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara; (d) partisipasi politik warga negara; (e) rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender. Peran Pemantau Proses pemilu yang transparan merupakan standar internasional yang diperlukan untuk memastikan pemilu yang demokratis. Kehadiran pemantau pemilu dari dalam dan luar negeri di negara-negara yang demokrasinya sedang berkembang cenderung menambah kredibilitas dan legitimasi terhadap proses pemilu yang dipantau. Untuk menjaga agar pemilu dilaksanakan secara jujur dan fair maka peranan pemantau sangat penting dalam meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap proses pemilu, mendukung upaya penyelesaian konflik secara damai dan memberikan keabsahan terhadap proses pemilu. Oleh karena itu lembaga pemantau harus benar-benar memenuhi ketentuan dalam UU Pemilu dan mendaftar untuk memperoleh akreditasi dari KPU. Akhirnya penyelenggaraan Pemilu yang demokratis, langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil harus menjadi agenda bersama yang menuntut peran serta aktif seluruh stakeholder, penyelenggara, peme rintah, masyarakat, partai politik serta pemantau yang terbangun secara sinergis dan berkesinambungan. Sebagai sebuah pesta demokrasi pemilu menjadi tanggung jawab bersama semua komponen untuk menyukseskannya. r Suara KPU Jawa Timur
Oktober 2016
5
ABDUL HADI Divisi SDM dan Parmas KPU Kabupaten Sumenep
Peran Strategis Stakeholder Dalam
Pemilu dan Pilkada
Penyelenggaraan pemilu menjadi prasyarat sistem politik yang demokratis, karena pemilu merupakan salah satu sarana kedaulatan rakyat dimana rakyat dapat memilih pemimpin mereka, untuk menjalankan pemerintahan. Dalam negara demokratis, rakyat merupakan aktor utama.
D
emokratisasi substansial bisa terwujud dalam pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, mensyaratkan pemilihan kepala daerah dilaksanakan secara demokratis sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Makna kedaulatan rakyat serta demokrasi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat wajib dihormati sebagai syarat utama pelaksanaan pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Kedaulatan rakyat perlu ditegaskan de ngan pelaksanaan pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota secara langsung oleh rakyat, dengan tetap melakukan beberapa perbaikan mendasar atas berbagai permasalahan, kekurangan dan kelemahan dalam pemilihan langsung yang selama ini telah dijalankan. Demokrasi substansial, proses dan meka nismenya mensyaratkan; Partispasi, pemilih yang kritis, tidak ada diskriminasi bagi pemilih, tidak ada partisipasi semu karena mobilisasi dan vote buying. Kompetisi, kualitas kompetisi jurdil, peluang yang sama bagi semua warga yang dipilih. Civil liberties, tidak ada pembajakan hak-hak politik warga oleh elit. 6
Jurnal IDe
Demokrasi substansial, adanya pelembagaan demokrasi. Proses politik dimaknai sebagai proses pendidikan politik bagi masyarakat secara utuh. Memiliki relevansi nyata sebagai media artikulasi kepentingan masyarakat untuk mewujudkan harapan, keinginan dan kebutuhan-kebutuhan masyarakat. Demokrasi substansial ditandai oleh prosesproses politik yang riil dan tdk semu, hakiki dan mampu mewujudkan aspirasi rakyat. Hasil akhir pemilu dan pilkada, peningkatan kualitas responsiveness dan pertanggungjawaban (accountability) kepala negara/ kepala daerah kepada warga, mendekatkan pemerintah ke rakyat, meningkatkan pelayanan publik dan kesejahteraan rakyat. Pemilu dan pilkada diperlukan bukan hanya sekadar pembeda antara rezim otoritarian dan demokrasi, tapi pemilu dan pilkada sebagai sarana bagi suksesi kepemimpinan yang memiliki integritas, kapasitas, kredibilitas, akuntabilitas dan mampu menyelesaikan masalah yang dihadapi bangsa saat ini dan menjanjikan perubahan. (R. Siti Zuhro, PhD) Perubahan politik sejak 1998 hanya berdampak pada pergeseran konteksnya saja.
Proses dominasi elit orde baru dan kelompok oligarki tak hanya mencakup politik dan ekonomi , tapi juga merambah ke civil society. Untuk menjaga pola tersebut digunakan intrumen partai politik, pemilu dan parlemen. Terjadi metamorfosa, dari penggunaan intrumen otoritas sentral negara ke parpol, pemilu dan parlemen. Proses transisi ditandai oleh minimnya perilaku demokratis, baik di tataran penyelenggara negara maupun masyararkat. Kamuflase yang mengatasnamakan demokrasi dan good governance. Kamuflase tersebut dapat ditemui dalam fenomena oligarki yang tak terkendali dan pemerintahan yang konspiratif. Oligarki yang tak terkendali tersebut merujuk pada elitelit yang makin liar dalam menapakkan jejak kekuasaannya. Kombinasi antara demokrasi populer dan desentralisasi yang masih terbaca sebagai sebuah proses administrasi yang menyebabkan terjadinya kompetisi yang bebas antarpara elit lokal dalam mengendalikan negara. Pluralitas kepentingan dalam masyarakat (ideologis, kultural, ekonomipolitik) teraktualisasi secara bersamaan dalam ranah publik. Karena itu kualitas demokrasi harus dibangun melalui mekanisme konsensus kolektif di mana rakyat harus dilibatkan dalam setiap proses politik tanpa diskriminasi. Masalahnya, bagaimana menata demokrasi massa menuju tertib politik? Pemilu/pilkada dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (luber dan jurdil). Untuk menjamin pilkada dapat terlaksana dengan luber dan jurdil, maka semua stakeholder tidak boleh tidak harus menjalankan tugas wewenang dan kewajibannya sesuai dengan bidang tugas masingmasing dengan mengacu pada peraturan dan perundangan yang berlaku. Pilkada sebagai sarana perwujudan kedaulatan rakyat serta demokrasi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat sebagai syarat utama pelaksanaan pemilu dan pilkada, rakyat akan dapat mengartikulasikan kedaulatannya, jika semua stakeholder dapat menjalankan tugas wewenang dan kewajibannya sesuai peraturan perundangan yang berlaku. Menurut R. Siti Zuhro, PhD, sebagai penyelenggara pemilu/pilkada, KPU Daerah harus independen, netral dan tidak boleh
partisan. Independensi KPU Daerah sangat diperlukan untuk menyukseskan dan menciptakan pemilu/pilkada yang berkualitas. Karena sukses tidaknya pemilu/pilkada akan sangat tergantung pada profesional tidaknya KPU/KPU Daerah. Mempertimbangkan peliknya peraturan dalam pemilu dan partai politik serta minimnya tanggungjawab bersama yang seharusnya dipikul partai, mensyaratkan penguatan peran dan profesionalitas KPU/KPU Daerah. KPU Daerah tak hanya dituntut memahami materi paket UU Politik (Pemilu, Peraturan pilkada, Parpol) tapi juga memahami secara komprehensif masalah yang berkaitan dengan teknis pelaksanaan dan administrasi kepemiluan. Sebagai penyelenggara pemilu dan pilkada, KPU Daerah menjadi garda depan yang karena tupoksinya harus berhadapan langsung dengan pemerintah, partai politik dan masyarakat. Tupoksi tersebut merupakan tugas dan kewajiban yang mesti dilaksanakan secara profesional dan sangat memadai supaya hasilnya memuaskan. Dengan tugas dan fungsi KPU Daerah sebagaimana tersebut di atas, mensyaratkan SDM dan institusi KPU Daerah siap melaksanakan pemilu. Kesiapan tersebut sangat dibutuhkan agar Indonesia tidak senantiasa melakukan kesalahan yang sama setiap pemilu dan pilkada. Sedangkan tugas, wewenang, dan kewajiban Pengawas Pemilu berdasarkan amanat Undang-Undang Nomor 15/2011; Mengawasi penyelenggaraan pemilu dalam rangka pencegahan dan penindakan pelanggaran untuk terwujudnya pemilu yang demokratis. Tugas tersebut diuraikan sebagai berikut; Mengawasi persiapan penyelenggaraan Pemilu, mengawasi tahapan penyelenggaraan Pemilu, mengawasi pelaksanaan Putusan Pengadilan, mengelola, memelihara, dan marawat arsip/dokumen. Memantau atas pelaksanaan tindak lanjut penanganan pelanggaran pidana Pemilu. Mengawasi atas pelaksanaan putusan pelanggaran Pemilu. Evaluasi pengawasan Pemilu. Menyusun laporan hasil pengawasan penyelenggaraan Pemilu. Melaksanakan tugas lain yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Selanjutnya wewenang pengawas pemilu sebagai berikut; Menerima laporan dugaan pelanggaran terhadap pelaksanaan ketenSuara KPU Jawa Timur
Oktober 2016
7
tuan peraturan perundang-undangan me ngenai pemilu. Menerima laporan adanya dugaan pelanggaran administrasi pemilu dan mengkaji laporan dan temuan, serta me rekomendasikannya kepada yang berwenang. Menyelesaikan sengketa pemilu. Membentuk, mengangkat dan memberhentikan Pengawas Pemilu di tingkat bawah. Melaksanakan wewenang lain yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Kewajiban pengawas pemilu sebagai berikut; Bersikap tidak diskriminatif dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas pengawas pemilu pada semua tingkatan. Menerima dan menindaklanjuti laporan yang berkaitan dengan dugaan ada nya pelanggaran terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan mengenai pemilu. Menyampaikan laporan hasil pengawasan sesuai dengan tahapan pemilu secara periodik dan/atau berdasarkan kebutuhan. Dan melaksanakan kewajiban lain yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan. Selain KPU dan Bawaslu penyelenggara pemilu sebagai aktor utama penyelenggaraan pemilu dan pilkada, tugas, wewenang dan kewajiban stakeholder yang lain, dalam hal ini pemerintah daerah -Kesbangpol, Disdukcapil, Satuan Polisi Pamong Praja, DPRD-, mereka harus profesional dan berintegritas juga, Kejaksaan dan TNI/Polri sebagai pihak yang terkait langsung dalam pelaksanaan pemilu dan pilkada. Netralitas aparatur sipil negara (ASN) dalam momentum pemilu dan pilkada selalu mewarnai. Isu kemungkinan keberpihakan ASN kepada calon dalam pilkada, hal itu dipicu karena keterkaitan antara kepala daerah yang akan terpilih dengan jabatan di birokrasi sangat berpengaruh. Apabila ini terjadi, maka Bawaslu/Panwaskab akan disibukkan dengan laporan dugaan pelanggaran. Pengamanan persiapan dan pelaksanaan pemilu/pilkada sangat diperlukan. Tindakan tegas dari TNI/Polri sangat diperlukan untuk mengamankan persiapan dan pelaksanaan pemilu/pilkada, menetralisir kampanye hitam. Serta meredam isu yang dimainkan oleh calon/tim kampanye untuk mempe roleh simpati publik. Isu agama, etnis, minoritas-mayoritas, penguasaan ekonomi, 8
Jurnal IDe
banjir, kemacetan, kesenjangan keadilan dan penggusuran, isu politik uang dan korupsi bisa menjadi penyulut kerusuhan antar pendukung. Di sinilah peranan TNI/Polri sangat dibutuhkan, agar tercipta suasana yang damai, tertib dan aman. Tidak kalah penting peranan DKPP yang dibentuk sesuai dengan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum berwenang untuk meme riksa, mengadili, dan memutuskan penga duan atau laporan dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan anggota KPU, anggota Bawaslu, dan jajaran dibawahnya. Dalam catatan DKPP telah memecat 360 penyelenggara pemilu dan memberikan lebih dari 1.000 surat peringatan kepada penyelenggara pemilu yang melakukan pelanggaran. Menurut Jimly, penyelenggara Pemilu telah terikat dengan rule of law dan rule of ethic “Sehingga secara hukum dan etika, Mereka terikat dan harus lurus” terang Guru Besar Hukum Tata Negara FHUI. Peserta pemilupun memerlukan kode etik. Sehingga tidak perlu melakukan kampanye negatif terhadap pasangan calon yang lain melainkan harus merebut simpati pemilih. Jadi, pelibatan bersama antar stakeholder untuk mengawal, memantau proses-proses politik dan pembangunan daerah demi pe ningkatan kualitas demokrasi. Tergalinya pola gerakan peningkatan peran serta masyarakat yang bermutu di semua tingkatan di lihat dari sudut pandang masing-masing stakeholder. Maka, peran strategis stakeholder dalam menyukseskan pemilu dan pilkada, ketika semua stakeholder dapat menjalan tugas, wewenang dan kewajibannya secara profesional dan berintegritas. Peningkatkan pelayanan penyelenggaraan, kepada partai politik, pemilih, paslon. Netralitas KPU, Bawaslu, ASN, TNI/Polri, DKPP dan MK dapat ditunjukkan dengan peningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Dengan demikian, perwujudan kedaulatan rakyat melalui demokrasi dapat direalisasikan melalui terselenggaranya pemilu dan pilkada yang berkualitas. Yang dalam jangka panjang dapat menciptakan peningkatan partisipasi masyarakat yang bermutu dan bertanggung jawab dalam kehidupan politik. r
NUR SYAMSI, S.Pd. Divisi SDM dan Parmas KPU Kota Surabaya
Kapital Sosial Tokoh Masyarakat
Dalam Pusaran Pemilu
Kesamaan kebutuhan akan pelayanan publik dari para pimpinan yang lahir dari proses pemilu inilah yang didorong bersama-sama oleh KPU bersama tokoh masyarakat dengan sosial capital yang dimiliki, untuk mampu memunculkan partisipasi, Resiprocity, Trust, norma sosial, dan nilai-nilai, akan memunculkan tindakan proaktif masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya.
S
osial kapital adalah sumber daya yang dapat dipandang sebagai investasi untuk mendapatkan sumber daya baru. Laurence Prusak dan Don Cohen (2001) dalam buku How To Invest In Social Capital memberikan pengertian bahwa “Modal sosial adalah stok dan hubungan yang aktif antar masyarakat. Setiap pola hubungan yang terjadi diikat oleh kepercayaan, saling pengertian, dan nilai-nilai bersama yang mengikat anggota kelompok masyarakat untuk membuat kemungkinan aksi bersama yang dapat dilakukan secara efesien dan efektif”. Sedangkan menurut Francis Fuku yama (1995), “Modal sosial menunjuk pada kapabilitas yang muncul dari kepercayaan umum di dalam sebuah masyarakat atau bagian-bagian tertentu darinya...” James Colemen, memberikan catatan bahwa modal sosial akan menimbulkan dampak yang memungkinan sebuah tindakan bersama berlangsung efektif-efesien
apabila di dalam kelompok tersebut terdapat pola. Pertama partisipasi: salah satu kunci keberhasilan membangun modal sosial terletak pada kemampuan sekelompok orang dalam melibatkan diri yang dilakukan atas prinsip kesukarelaan. Kedua, Resiprocity: adanya kecenderungan saling tukar kebaikan antar anggota kelompok atau masyarakat. Ketiga Trust: adanya untuk mengambil resiko dalam hubungan sosialnya yang didasari oleh perasaan bahwa yang lain akan senantiasa bertindak dalam pola hubungan yang saling mendukung. Keempat norma sosial, norma sosial berperan untuk mengotrol bentuk perilaku yang tumbuh dimasyarakat. Kelima nilai-nilai: adanya suatu ide atau gagasan yang telah turun temurun dan dianggap benar di tengah masyarakat. Keenam tindakan proaktif: adanya keinginan untuk mencari jalan atas keterlibatan mereka dalam suatu kegiatan masyarakat. Sehingga modal sosial bisa dimaknai seSuara KPU Jawa Timur
Oktober 2016
9
bagai interaksi sosial seseorang yang bersifat parsipatif mutualisme, saling melibatkan diri dan memiliki terhadap suatu kegiatan ditengah masyarakat, yang berakibat pada munculnya kepercayaan masyarakat terhadap kapabilitas seseorang tentang nilai-nilai yang disandarkan pada norma-norma yang berlaku. Sebagian besar orang menganggap bahwa modal sosial tidak bisa muncul de ngan tiba-tiba apalagi ditukar dengan kapital ekonomi, tetapi harus dengan proses yang panjang dan dijaga dari waktu ke waktu. Sandaran berbagai gagasan dan nilai terhadap norma-norma menjadi sangat penting, ka rena masyarakat akan melihat nilai-nilai yang kita tawarkan, perilaku yang kita kerjakan berdasarkan norma yang disepakati dan berkembang di tengah masyarakat. Kapita lisasi nilai-nilai dari waktu ke waktu ini di kemudian hari akan mampu menggerakkan kesukarelaan masyarakat untuk mendukung gagasan yang ditawarkan. Sementara itu, tokoh masyarakat Menurut UU Nomor 8 Tahun 1987 pasal 1 ayat 6 Tentang Protokol bahwa tokoh masyarakat adalah seseorang yang karena kedudukan sosialnya menerima kehormatan dari masyarakat dan/atau Pemerintah. Sedang pengertian tokoh masyarakat menurut UU Nomor 2 Tahun 2002 pasal 39 ayat 2 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia) bahwa bahwa tokoh masyarakat ialah pimpinan informal masyarakat yang telah terbukti menaruh perhatian terhadap kepolisian. Menurut Musni Umar dalam artikel Tanggungjawab Pemimpin dan Tokoh Masyarakat terhadap Rakyat dan Pembangunan, memberikan ciri-ciri seseorang disebut biasanya ditokohkan di masyarakat. Pertama, Kiprahnya di masyarakat sehingga yang bersangkutan ditokohkan oleh masyarakat yang berada dilingkungannya secara non formal. Tokoh seperti ini biasanya lahir dari kegiatan kemasyarakatan baik yang bergerak sosial-keagamaan maupun sosial-kemasyarakat. Kedua, memiliki kedudukan formal di pemerintahan seperti Lurah/Wakil Lurah, Camat/Wakil Camat, Walikota/Wakil Walikota, Gubernur/ Wakil Gubernur dan lain-lain. Karena memiliki kedudukan, maka sering blusukan dan bersama masyarakat yang dipimpinnya. Ketiga, mempunyai ilmu yang tinggi dalam bidang 10
Jurnal IDe
tertentu atau dalam berbagai bidang, Ka rena kepakarannya, maka yang bersangkutan diberi kedudukan dan penghormatan yang tinggi. Keempat, ketua partai politik yang dekat masyarakat dan menyediakan waktu untuk berinteraksi dengan masyarakat, suka menolong masyarakat diminta atau tidak. Kelima, usahawan/pengusaha yang rendah hati, dan peduli kepada masyarakat. Pola Hubungan Modal Sosial, Tokoh Masyarakat, dan Pemilu Pemilu merupakan panggung perta rungan politik peserta pemilu untuk meraih kekuasaan. Sebagai sebuah arena pertaru ngan, tentu segala sumber daya politik yang dimiliki oleh peserta pemilu akan dikerahkan untuk mengkapitalisasi suara masyarakat. Dalam konsepsi politik, optimalisasi sumber daya politik untuk memenangkan, menda patkan, mempertahankan, atau memperluas kekuasaan menjadi kunci sebuah keberhasilan kerja-kerja politik. Kerja-kerja politik yang memakan waktu dan energi tidak sedikit, akhirnya menjadi tidak bermakna, ketika mereka mengetahui hasil pemilu yang tidak sesuai dengan kalkulasi politiknya. Teori modal Piere Felix Bourdieu , membagi modal/sumber daya politik menjadi empat yaitu modal ekonomi, modal sosial/modal sosial, modal kultural, dan modal simbolik. Berawal dari teori ini, penulis hendak mencari pola hubungan modal sosial, tokoh masyarakat dan kesuksesan penyelenggaraan pemilu dilihat dari perspektif partisipasi masyarakat. Sekalipun senyatanya modal sosial bukan satu-satunya modal yang mampu mengerakkan pemilih untuk berpartisipasi dalam memilih calon yang diinginkan. Tetapi di tengah masyarakat transisional antara paternalis-rasionalis, modal sosial memegang peranan yang tidak kecil dalam memobilisasi massa. Modal sosial merupakan jaringan hubungan sebagai sumber daya untuk penentuan kedudukan sosial. Modal sosial ini biasanya dimiliki oleh para tokoh masyarakat masyarakat. Dengan rekam jejak yang selama ini mereka jalani, masyarakat akan dengan mudah menaruh kepercayaan terhadap ajakan para tokoh untuk mengikuti secara suka rela atas pilihan politik para tokoh tersebut. Terbangunnya unsur-unsur modal sosial berupa
partisipasi, resiprocity, trust, norma sosial, dan nilai-nilai, akan memunculkan tindakan proaktif dalam lingkaran sosial kelompok masyarakat tertentu untuk mencari jalan atas keterlibatan mereka dalam suatu kegiatan kelompok. Keberadaan partai politik dengan basis ideologis baik yang ideologis religius maupun idelogis kebangsaan adalah sebuah realita bahwa modal sosial para tokoh adalah magnet yang tidak bisa dipisahkan dalam proses mobilisasi massa untuk mengikuti ide dan gagasan para tokoh. Keberadaan tokoh masyarakat dengan berbagai kategorinya di hampir setiap kampanye partai atau kampanye calon menunjukkan bahwa modal sosial yang mereka miliki dirasa mampu menjadi pintu masuk untuk menyampaikan gagasan dan ajakan menyamakan visi-misi dan pilihan politik masyarakat. Kesadaran akan pentingnya modal sosial dalam perspektif kekuasaan yang semakin tinggi, tidak jarang modal sosial tokoh masyarakat kemudian dimanfaatkan secara instan. Partai politik sebagai tempat lahirnya calon-calon penguasa, banyak menjadikan tokoh masyarakat sebagai calon yang diusung dengan menegasikan kerja-kerja politik para kader. Karena berdasarkan kalkulasi politik, modal sosial yang dimiliki kader tidak akan mampu meraih tujuan politik partai. Dinamika politik kekinian baik lokal maupun nasional menunjukkan, semakin tinggi modal sosial para tokoh yang diusung oleh partai politik akan memudahkan partai politik dalam mengkonstruksi ber-kelindan-nya berbagai sumber daya politik yang telah dimiliki sebelumnya. Dengan demikian kekuatan 11
mobilisasi massa untuk menggunakan hak politiknya akan semakin kuat yang akan berdampak pada raihan suara yang diharapkan. Kekinian, kesadaran akan pentingnya optimalisasi modal sosial para tokoh masyarakat juga berkembang dalam konteks penyelenggaraan pemilu. Sekalipun dalam perspektif yang berbeda, lembaga penyelenggara pemilu dalam hal ini KPU dengan azas netralitasnya telah memandang bahwa dengan modal sosial yang para tokoh masyarakat di semua lini dan tingkatan juga bisa dioptimalisasi dalam rangka mengajak dan mendorong pemilih untuk menggunakan hak pilihnya. Para tokoh terlibat memberikan kesadaran kepada masyarakat bahwa segala tatanan kehidupan (mulai dari pembangunan fisik, kehidupan beragama, peningkatan sumber SDM sampai dengan harga dasar kebutuhan pokok rumah tangga), akan bersinggungan dengan kebijakan-kebijakan yang akan dihasilkan dari para pimpinan yang lahir dari proses pemilu. Kesamaan kebutuhan akan pelayanan publik dari para pimpinan yang lahir dari proses pemilu inilah yang didorong bersama-sama oleh KPU bersama tokoh masyarakat dengan modal sosial yang dimiliki, untuk mampu memunculkan partisipasi, resiprocity, trust, norma sosial, dan nilai-nilai, akan memunculkan tindakan proaktif masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya. Betapa kemudian optimalisasi modal sosial yang dimiliki oleh para tokoh masyarakat manyumbang peran yang sangat besar dalam menggerakkan partisipasi masyarakat baik untuk suksesnya pemilu baik dalam perspektif kekuasaan maupun penyelenggaraan.11 r Suara KPU Jawa Timur
Oktober 2016
11
WEDARINI KARTIKASARI, S.Kom Staf Subbag Program dan Data KPU Kabupaten Lumajang
Staf Penyelenggara Pemilu; Stakeholder Yang Tak Terlihat Pemilihan umum sesuai yang diamanatkan dalam Universal Declaration of Human Right, adalah salah satu cara Individu yang berdaulat untuk turut serta dalam pemerintahannya, baik secara langsung (Direct Democracy) atau melalui perwakilan (Representative Democracy).
K
ehendak dan kedaulatan individu tersebut diekspresikan dalam suatu pemilihan umum secara periodik (Free and Fair) menjadi dasar dari sebuah peme rintahan yang demokratis. Tentu saja tidak akan ada pemilihan umum apabila tidak ada pemilihnya, orang-orang yang memiliki hak suara. Bagi badan penyelenggara pemilihan umum, pemilih adalah stakeholder (pemangku kepentingan) utama. Banyak penyelenggara pemilihan umum di seluruh dunia termasuk komisi pemilihan umum (KPU) di Indonesia yang menggunakan slogan tidak jauh dari kata-kata “melayani pemilih menggunakan hak pilihnya”. KPU sebagai penyelenggara pemilihan umum terbesar di dunia yang dilaksanakan dalam satu hari, melayani 190.123.794 pemilih di seluruh wilayah Indonesia termasuk didalamnya pemilih di kedutaan RI di negara-negara asing. Dalam suatu pemilihan tentu saja selain ada pemilih, tentu ada pula sesuatu untuk dipilih. Bagi KPU, stakeholder penting lainnya adalah peserta pemilu, baik partai politik peserta pemilu (P4) ataupun para calon anggota legistlatif dan pasangan calon penye12
Jurnal IDe
lenggara eksekutif. Pelayanan kepada peserta pemilu sama pentingnya dengan melayani pemilih menggunakan hak pilihnya, karena peserta pemilu nantinya akan terpilih untuk menjalankan pemerintahan dengan membawa kedaulatan yang dipercayakan oleh konstituennya. Secara garis besar, pemilih dan peserta pemilu adalah stakeholder utama KPU. Namun dalam sistem demokrasi yang kompleks, dapat dikatakan bahwa stakeholder KPU sebenarnya adalah seluruh entitas yang berada dalam sebuah pemerintahan demokratis. International IDEA membagi stakeholder penyelenggara pemilu dalam dua kelompok besar, yakni primer dan sekunder. Adapun kelompok stakeholder primer yakni antara lain: a) partai politik dan kandidat; b) staf badan penyelenggara pemilu; c) lembaga pemerintah; d) lembaga legislatif; e) badan penyelesaian sengketa pemilu; f) badan peradilan; g) pemantau pemilu, warga dan pengamat pemilu internasional; h) media massa; i) pemilih: pemilih dan calon pemilih; j) organisasi masyarakat sipil; dan k) komunitas donor dan lembaga bantuan pemilu.
Sedangkan stakeholder sekunder adalah pemangku kepentingan yang memiliki hubungan yang tidak cukup dalam dengan sistem pemilu namun diperlukan dalam prosesnya. Stakeholder tersebut antara lain: penyedia/rekanan, masyarakat umum, dan jaringan internasional. Pelayan dari Pelayan Stakeholder KPU bekerja seperti komponen-komponen kecil dalam sebuah alat elektronik. Masing-masing memiliki peran dan fungsi masing-masing. Ada kalanya, satu komponen bermasalah akan membawa dampak yang luas bagi komponen-komponen lainnya dalam sistem tersebut. Seperti yang dialami KPU pada masa verifikasi peserta pemilu tahun 2014 dimana terdapat konflik internal yang melibatkan komisioner dengan sekretariat jenderal. Kasus tersebut mulai terkuak ketika salah satu komisioner KPU RI mengeluhkan “pembangkangan” dari staf sekretariat jenderal, bahwa mereka yang seharusnya melayani dan membantu pekerjaan komisioner, berlaku tidak profesional sehingga pekerjaan penetapan hasil verifikasi P4 menjadi tertunda. Tidak perlu menuding siapa yang benar siapa yang salah dalam kasus ini, pekerjaan dalam pemilihan umum penuh dengan tekanan sehingga mudah bagi siapapun yang berada di dalamnya untuk bertindak irasional ketika dihadapkan dalam sebuah konflik. Terlepas dari benar-salahnya, satu hal yang patut diperhatikan adalah bahwa kon flik tersebut apabila dibiarkan, dapat mengganggu jalannya pelaksanaan pemilihan umum anggota DPR, DPD dan DPRD tahun 2014. Seperti yang disebutkan dalam International IDEA, Staf Penyelenggara Pemilu juga merupakan salah satu stakeholder primer. Staf penyelenggara pemilu dituntut untuk melaksanakan pekerjaan secara profesional, berintegritas dan penuh loyalitas, dengan kata lain, SDM yang kuat. Pada dasarnya staf adalah roda yang menggerakkan semua pekerjaan penyelenggara pemilu. Di Indonesia, KPU dibantu oleh sekretariat jenderal yang merupakan aparatur sipil negara, baik yang diperbantukan dari instansi asal, ataupun hasil perekrutan sendiri (organik). Tugas sekretariat (jenderal) tertulis secara gamblang dalam Undang-Undang no 15 tahun 2011 Tentang Penyelenggara Pemilu yakni untuk
melayani KPU dan struktur dibawahnya dalam menyelenggarakan pemilu . Jadi dapat dikatakan, apabila KPU adalah pelayan pemilih untuk menggunakan hak pilihnya, maka staf sekretariat adalah “pelayan dari pelayan”. Memperkuat SDM Tidak ada salahnya menjadi pelayan, yang salah adalah ketika pelayan tersebut tidak menjalankan tugas dengan semestinya. Staf sekretariat harus memiliki mindset pelayanan prima, bahwa “tuan” yang sebenarnya adalah rakyat yang berdaulat, dan dengan peran sertanya, kedaulatan itu dapat diwujudkan menjadi sebuah pemerintahan yang stabil dan demokratis. Sayangnya, berbagai permasalahan terkait staf sekretariat KPU umumnya mengenai profesionalitas dan loyalitas. SDM yang kurang mumpuni dan memiliki produktivitas rendah, masih menjadi hambatan bagi KPU dan jajaran dibawahnya (KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota) untuk melaksanakan suatu pekerjaan dalam pemilu. Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mencapai Staf Penyelenggara Pemilu yang profesional, independen, berintegritas dan loyal adalah antara lain: memperlakukan semua staf dengan jujur dan adil; memberikan tunjangan dan gaji berdasarkan kinerja; membuka peluang kesempatan berkarir bagi staf; mengakui pencapaian/prestasi staf; menyediakan lingkungan kerja yang kondusif; memastikan kesempatan yang setara; membangun budaya kerja kerjasama tim dan saling percaya; memberikan pelatihan dan pendidikan untuk memperkuat skill; dan melibatkan staf dalam organisasi dan merencanakan pekerjaan mereka. Beberapa tahun terakhir ini, KPU telah memberikan perhatian yang luar biasa kepada jajaran stafnya di tingkat pusat hingga ke kabupaten/kota. KPU telah dapat memberikan tunjangan tambahan berbasis kinerja untuk meningkatkan kesejahteraan stafnya, memberikan pendidikan pelatihan dan bahkan beasiswa kepemiluan. Proses ini tentunya tidak instan dan hasilnya tidak langsung terlihat mata, namun dapat dipastikan dampaknya pada pemilu-pemilu yang akan datang. Loyalitas Seperti yang disebutkan dalam UU nomor Suara KPU Jawa Timur
Oktober 2016
13
15 tahun 2011, organisasi KPU adalah orga nisasi dua kamar, yang terdiri dari komisio ner dan sekretariat. Pada awal pembentukan KPU, kebutuhan staf pegawai KPU dipenuhi dari kementerian dalam negeri dan PNS pemerintah Daerah hingga saat ini. Adanya dua unsur pimpinan (instansi asal dan KPU) membuat loyalitas staf tersebut diragukan, terlebih Indonesia masih mengalami masa transisi yang dibayangi oleh ingatan keberpihakan aparatur sipil negara kepada rezim penguasa sehingga belum ada kepercayaan dari masyarakat. Di tingkat kabupaten/kota, terdapat suatu kelaziman bahwa pegawai yang diperbantukan untuk KPU adalah pegawai yang kurang berkontribusi kepada pemerintah daerah, sehingga kepindahannya bukan merupakan suatu kehilangan aset SDM yang besar. Dari hal tersebut, KPU menghadapi masalah dalam penguatan SDM. Misalnya, setelah memberikan pendidikan dan pelatihan kepada staf, tiba-tiba staf tersebut ditarik kembali oleh instansi asal. Hal ini merupakan suatu kegiatan sia-sia yang menggunakan uang negara untuk sesuatu yang tujuannya tidak tercapai. Oleh karena itu, KPU memutuskan merekrut sendiri stafnya dengan standar dan spesifikasi yang menjamin profesionalitas staf yang kelak bekerja di KPU. Mengenai kasus konflik internal yang terjadi pada tahun 2014, apakah hal tersebut terjadi karena kurangnya loyalitas staf sekretariat kepada komisioner KPU? Tidak ada yang mampu memastikan loyalitas se seorang, namun dapat dipastikan bahwa staf-staf sekretariat jenderal adalah staf-staf senior yang memiliki pengalaman menjalan kan pemilu bertahun-tahun. Beberapa kala ngan berpendapat, konflik tersebut muncul karena kurangnya komunikasi antara komisioner dengan sekretariat jenderal. Seha rusnya sebelum masalah “pembangkangan” itu dikeluhkan ke publik, komisioner dapat melakukan dialog kepada stafnya. Agen Profesional Berorientasi Pelayanan Prima Apa dampaknya ketika KPU melakukan penguatan SDM kepada stafnya? Apabila telah dibentuk jajaran staf yang profesional, berintegritas dan loyal, KPU akan memiliki seperangkat agen yang dapat berjalan secara 14
Jurnal IDe
otomatis karena telah memiliki kesatuan visi dan misi pada KPU. Staf yang telah diperkuat tersebut dapat melakukan inovasi-inovasi dan inisiatif dalam melaksanakan pekerjaannya, bukan staf yang “menunggu pe rintah” atau yang bekerja asal-asalan untuk “menggugurkan kewajiban”. Dengan adanya staf yang berintegritas, atau dalam bahasa awamnya bekerja sesuai dengan peraturan baik dilihat maupun tidak, komisioner tidak perlu harus menangani semua lini pekerjaan pemilu secara langsung, dan dapat fokus pada pembuatan kebijakan-kebijakan karena stafnya telah mengerti pada apa yang dikerjakannya. Mindset pelayanan prima dan pengetahuan mengenai pemilu berintegritas menjadikan staf mengetahui dengan pasti apa yang menjadi tujuan dalam sebuah kegiatan, atau tahapan pemilu. Staf yang diperkuat tersebut, diharapkan mampu mengatasi masalah-masalah pada pelayanan prima sebagaimana hasil kajian Lembaga Administrasi Negara yakni, antara lain: kurang responsif, kurang informatif, tidak mudah dijangkau, kurang koordinasi, birokratis (tidak mampu mengambil inisiatif-inovatif memangkas jalur birokrasi), tidak mau mendengar keluhan masyarakat yang dilayani, dan tidak efisien. Meskipun demikian, usaha-usaha KPU untuk memperkuat SDM demi mewujudkan staf profesional, berintegritas dan loyal tidak lepas dari berbagai permasalahan. Misalnya, perbedaan usia yang terlalu mencolok antara komisioner dan staf, bahkan antar staf sendiri, membuat komunikasi terhambat pada rasa yang orang jawa sebut “ewuh-pakewuh”. Selain itu, banyak juga staf yang masih muda dan memiliki banyak hal yang menyita perhatian daripada untuk meningkatkan kualitas dan profesionalismenya. Staf KPU merupakan salah satu komponen stakeholder yang tidak terlihat oleh publik, namun keberadaannya merupakan sesuatu yang vital. Kepercayaan masyarakat terhadap hasil pemilu tergantung dari kinerja KPU dan jajaran staf sekretariat jenderalnya, sehingga penguatan SDM menjadi salah satu fokus KPU dalam untuk mencapai pemilu yang berlandaskan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil serta berintegritas. r
MH. FATHUR ROHMAN, SH.I Divisi SDM dan Parmas KPU Kabupaten Lamongan
Peran Strategis Pemangku Kebijakan Dalam Kesuksesan Pemilu di Daerah
Ajang pemilihan umum adalah merupakan momentum yang ditunggu-tunggu oleh banyak pihak yang berkepentingan. Pemilu adalah bagian terpenting untuk membangun proses demokrasi didaerah untuk memilih kepala daerah, Anggota DPR, DPRD dan DPD.
P
emilu merupakan jalan panjang dalam catatan sejarah yang tentunya menuai ceritanya tersendiri. Pemilu dianggap sebagai pesta demokrasi, pemilu juga sebagai media transformasi pendidikan politik bagi masyarakat. Pemilu juga sebagai pola strategi untuk memenangkan salah satu calon atau pasangan calon dalam bingkai tahapan pemilu. Pemilu dirancang sedemikian rupa dalam proses jadwal, program dan tahapan penyelenggaraan pemilu agar seluruh kegiatan pemilu berjalan sesuai dengan Undangundang dan Peraturan KPU guna optimalisasi penyelenggaraan pemilu berjalan secara Luber dan Jurdil (langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil). Pemilu juga menjadi serangkaian tahapan, proses, jadual untuk menjadikan momentum kedaerahan sebagai sarana menentukan hak pilihnya. Pesta demokrasi kedaerahan merupakan kepentingan daerah yang menjadi sangat penting karena untuk memajukan daerahnya dalam kurun waktu lima tahun yang akan
datang. Tentunya, pemilu ini menjadi kepentingan bersama-sama antara pemerintah daerah yang termaktub dalam garis koordinasi antar pemangku kebijakan di daerah, penyelenggara pemilu serta khalayak publik yaitu masyarakat. Pada UU nomor 10 tahun 2016 pasal 133A berbunyi, Pemerintah daerah bertanggung jawab mengembangkan kehidupan demokrasi di daerah khususnya meningkatkan partisispasi masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya. Pada poin ini jelas bahwa tanggungjawab tentang sosialisasi peningkatan partisipasi masyarakat, penyelenggara pemilu dan pemerintah memiliki peran yang sama untuk peningkatan pemilih. Stakeholder di daerah tentunya memiliki peranan sama untuk melakukan sosialisasi, transformasi kepada masyarakat dalam hal peningkatan partisipasi pemilihan. Stakeholder disini tentunya adalah pemangku kebijakan yang memiliki peran dan fungsi dalam menyukseskan penyelanggaraan pemilu di daerah tentunya sesuai wewenangnya masing-masing Suara KPU Jawa Timur
Oktober 2016
15
dan bukan untuk kepentingan politik praktis. Stakeholders di Daerah dalam Proses Suksesnya Penyelenggaraan Pemilu Pemerintah daerah, penyelenggara pemilu adalah bagian yang tidak bisa dipisahkan dalam suksesnya penyelenggaraan pemilu di daerah, namun pemaknaannya tentunya sesuai peran dan fungsinya masing-masing. Pemangku kebijakan di daerah merupakan elemen pemangku kebijakan di daerah yaitu; Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif. Penyelenggaraan pemilu di daerah tentunya akan berbeda nuansanya dengan pemilu di tingkat nasional, pemilihan kepala daerah di tingkat kabupaten dan kota juga tentunya akan berbeda dengan pemilihan kepala dae rah di tingkat provinsi. Pun dengan pemilu anggota legislatif dan pilpres tentunya juga nuansanya akan berbeda. Nuansa itu adalah tentang proses regulasi serta dinamika politik lokal kedaerahan, walaupun politik kedaerahan bukan tolak ukur dari suksesnya penyelenggaraan pemilu di daerah. Pemangku kebijakan di daerah yang sangat bersinggungan dengan proses pelaksanaan pemilu adalah: a) Disdukcapil Yang Kaitannya Tentang Data Kependudukan Daerah. KPU Kabupaten dan Kota memiliki kewajiban untuk melakukan proses pemutakhiran data pemilih yang tentunya harus melakukan 16
Jurnal IDe
koordinasi dengan instansi ini karena kaitannya dengan data kependudukan daerah agar data pemilih benar-benar valid untuk nantinya dilakukan proses validasi pemutakhiran data pemilih; b) Kesbangpol Kaitannya Tentang Pembinaan Kepada Masyarakat, Ormas Dan Partai Politik. Lembaga ini juga menjadi mitra kerja KPU dalam proses pembinaan kepada masyarakat tentang pendidikan pemilih, pendidikan politik dan demokrasi. Pembinaan kepada masyarakat, organisasi masyarakat dan partai politik; c) Badan Lingkungan Hidup. Proses kampanye tentunya memperhatikan kaidah-kaidah lingkungan, keindahan, keasrian lingkungan serta tetap memegang aturan undang-undang dan peraturan pemerintah serta peraturan daerah (Perbup atau Perwali); d) Satpol PP. Kaitannya tentang penegakan perda, kaitannya tentang penyelenggaraan pemilu berupa pemasangan alat peraga kampanye harus sesuai aturan main; e) Dinas Perijinan. Sosialisasi transformasi kepada publik tentunya bagian yang sangat penting, pada masa kampanye juga tentunya harus memperhatikan zona-zona yang diperbolehkan untuk tempat iklan atau reklame informasi; f) Dinas Perhubungan kaitannya tentang pengaturan lalu lintas untuk kepentingan masa kampanye agar tidak menggangu ketertiban umum; g) Pemerintah daerah bidang hukum, keuangan yang tentu-
nya ini juga tentang kepentingan kesuksesan pemilu kaitannya tentang dana hibah dari pemerintah daerah kepada KPU; h) TNI dan POLRI merupakan elemen penting dalam proses pengamanan dalam penyenggaraan pemilu; i) DPRD merupakan lembaga legislatif yang melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan penyelenggaraan pemilu agar berjalan dengan baik serta sesuai aturan perundang-undangan. Lembaga ini juga memiliki garis koordinasi dalam pengawasan penggunaan dana keuangan daerah yang digunakan oleh KPU. Jalan Panjang Pelaksanaan Pemilu Penyelenggaraan pemilu adalah tahapan yang menjadi tolak ukur sukses atau tidaknya proses penyelenggaraan pemilu di daerah. Lembaga pengawas pemilu juga bagian terpenting dalam proses pengawasan untuk proses demokrasi di daerah bisa berjalan dan dapat diterima oleh semua pihak yang berkepentingan. Pemerintah daerah adalah media pemangku kebijakan yang bisa membantu KPU dalam melakukan transformasi infornasi kepada masayarakat tentang informasi kepemiluan dan pelaksanaan. Jalan panjang pelaksanaan pemilu tentunya harus tetap memegang teguh asas pemilu yaitu; langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Pemaknaan asas pemilu ini harus dijadikan media standarisasi dalam setiap momentum pemilu agar pesta demokrasi daerah tidak terciderai oleh kepentingan politik keterpihakan. Berpihak adalah sikap manusiawi yang dimiliki oleh setiap pemilih atau individu seseorang apapaun jabatannya, apapun peran dan fungsinya sebagai pemilih atau pelaku politik. Publik akan menyalurkan hak politiknya untuk memilih pemimpin yang sesuai de ngan keinginnnya, pendidikan politik bagi masyarakat tentunya tidak hanya cukup pada formalitas transformasi informasi semata saja namun lebih daripada itu yaitu bahwa penyelenggara pemilu mampu memunculkan trust (kepercayaan) kepada seluruh elemen dan menunjukkan sikap demokrasi yang tidak berpihak kepada kepentingan apapun. Sikap penyelenggara pemilu tersebut harus disadari dan dijalankan pada aktifitas kepemiluan dan setiap proses pelaksanaan pemilu. Standarisasi asas pemilu dalam kepenti
ngan transformasi kepada publik dapat di ukur dengan: Pertama, nilai profesionalitas penyelenggara pemilu dengan tanpa berpihak kepada kepentingan apapun. Kedua, Sikap integritas penyelenggara pemilu ditunjukkan dalam optimalisasinya sebagai penyelenggara pemilu dengan sikap keterbukaan informasi kepada publik dan masyarakat. Ketiga, Independen adalah sikap yang sangat harus dijunjung tinggi guna kepercayaan masyarakat yang menggantungkan sikap pilihannya pada momentum pelaksanaan pemilu. Keempat, jujur adalah sikap penyelenggara pemilu sebagai media kontrol secara individu dan kelembagaan. Kelima, adil adalah sikap untuk memunculkan kesetaraan dan kesamaan hak antar peserta pemilu. Inilah bagian terpenting dalam proses pelaksanaan pemilu agar berjalan secara optimal dan dapat diterima oleh semua pihak. KPU dan penyelenggara pemilu lainnya tentunya bukan lembaga pemuas demokrasi, namun tentunya kepercayaan publik pada lembaga ini akan selalu dijaga untuk kepentingan kelembagaan KPU, untuk menjaga institusi serta menjunjung tinggi marwah organisasi sebagai wakil rakyat dalam menyalurkan hak pilihnya. Kepercayaan masyarakat kepada KPU adalah media jalinan yang harus tetap dijaga utuh guna proses pelaksanaan pemilu sesuai dengan jadual dan tahapannya. Kepercayaan masyarakat kepada penyelenggara pemilu adalah keharusan yang harus dijaga, karena tentunya sebagai pejuang demokrasi akan menunjukkan sikap integritasnya sebagai penyelenggara pemilu. Nilai kepercayaan masyarakat itu akan menjadi support bahwa perjalanan panjang proses demokrasi berjalan dengan baik dan dapat diterima oleh semua pihak. Penyelenggara pemilu, stakeholder, peserta pemilu daan pemilih adalah garis kesinambungan untuk menjadikan demokrasi sebagai media kepentingan bersama untuk sama-sama memajukan daerahnya agar le bih baik lagi. Semoga masyarakat akan tetap percaya bahwa penyelenggara pemilu adalah lembaga satu-satunya yang menjadi penyalur untuk menyalurkan hak pilihnya. Penyelenggara pemilu akan tetap menjunjung tinggi asas pemilu sebagai ruh individu dan kelembagaan, agar proses demokrasi berjalan se suai untuk kepentingan masyarakat. r Suara KPU Jawa Timur
Oktober 2016
17
KPU Jawa Timur
Press Release Hasil Riset Parmas Pilkada Serentak Tahun 2015 dengan Calon Tunggal di Kabupaten Blitar, Media Centre KPU Jatim, 2 September 2016.
Rakor Anggaran Pilkada Serentak 2018, KPU Jatim, 26 September 2016.
Pelantikan Pejabat Struktural Eselon III dan IV, KPU Jatim, 19 September 2016.
18 18
JurnalIDe IDe Jurnal
r Dalam Bingkai
Seminar Hasil Riset Parmas Pilkada Serentak 2015 dengan Calon Tunggal di Kabupaten Blitar, KPU Jatim, 2 September 2016.
Rakornas Pengelolaan Logistik Pemilu 2017, Hotel Santika Premiere Surabaya, 14-16 September 2016.
Kursus Kepemiluan dan Fasilitasi Pendidikan Pemilih, KPU Jatim, 28-29 September 2016.
Suara KPU Jawa Timur 2016 Suara KPU Jawa Timur Oktober Oktober 2016
1919
AYYUHANNAFIQ Ketua KPU Kabupaten Mojokerto
Media Massa dan Peningkatan
Partisipasi Pemilu
Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan sarana bagi warga negara untuk menyalurkan aspirasinya. Kedaulatan rakyat yang menjadi sendi utama sistem demokrasi dikonversikan menjadi sebuah dukungan pada salah satu kekuatan politik atau person yang akan bertindak sebagai penentu kebijakan publik. Oleh karena itu massifitas warga negara dalam menyalurkan aspirasinya selalu menjadi ukuran sukses atau tidak nya sebuah kegiatan Pemilu dari waktu ke waktu.
P
artisipasi pemilih adalah tingkat kehadiran warga yang memiliki hak pilih untuk datang ke tempat pemungutan suara (TPS). Jumlah kehadiran itu kemudian diperbandingkan dengan jumlah orang yang tercatat dalam daftar pemilih tetap (DPT) pemilu yang dikeluarkan oleh komisi pemilihan umum (KPU). Angka perbandingan itulah yang diasumsiikan sebagai ukuran keberhasilan pelaksanaan pemilu. Karena asumsi tersebut maka KPU selalu memasang target angka partisipasi sebagai ukuran keberhasilan kinerja. Kehadiran pemilih untuk menggunakan hak suaranya tentu tidak berdiri sendiri. Kemauan mereka kegiatan tersebut. Banyak pihak yang berperan menggiring konstituen menuju bilik suara. Para pemangku kepen tingan atau stakeholder itu bekerja susuai dengan proporsinya masing-masing. Selain penyelenggara, KPU dan Bawsalu beserta jajarannya, terdapat pula pemerintah, partai politik, organisasi sosial kemasyarakatan, media massa dan sebagainya. Pemangku ke20
Jurnal IDe
pentingan tersebut memberikan opini yang bisa mempengaruhi pemilih dalam menentukan pilihannya. Dalam paradigma politik modern, media massa semakin kuat peranannya dalam kegiatan pemilu. Sebuah media memiiliki kemampuan untuk menyebarkan opini secara serempak pada khalayak pemilih. Opini sebagai pesan informasi dengan menggunakan saluran media massa akan sampai pada penerima. Pada gilirannya penerima (receiver) akan mencerna informasi tersebut dan menjadikan acuan dalam memilih partai atau orang yang dianggap mampu mewjudkan aspirasinya. Maka tidak berlebihan jika mereka yang berkontestasi dalam pemilu selalu berusaha mendekati media massa. Tujuan akhirnya jelas mewujudkan keinginan untuk memenangkan kontestasi yang sedang berlangsung. Kekuatan Media Massa Kekuatan media massa sebaga media penyebar opini dalam kegiatan politik se perti yang terjadi dalam pemilihan presiden
Amerika Serikat pada tahun 1968. Richard Nixon yang diusung Partai Republik berhasilmengalahkan Rubert Humprey dari partai Demokrat. Para ahli komunikasi massa menilai kemenang Nixon itu disebabkan kemampuanya tampil elegan di media massa. Keramahan dan senyumannya dalam menyapa awak media membuat Nixon mendapatkan simpati dan tampil di halaman depan koran-koran di Amerika. Media televisi tidak luput ikut menayangkan sosoknya. Dan sejak saat itu peran media sangat diperhitungkan dalam pelaksanaan even politik. Pakar ilmu komunikasi, Dennis McQuail dalam buku Teori Komunikasi Massa menyebutkan, setidaknya ada lima hubungan yang terjadi antara media massa dan masyarakat. Pertama, media massa sebagai window on events and experience. Masyarakat selalu membutuhkan jendela untuk melihat ke lingkungannya. Melalui media massa khalayak bisa melihat dan menilai apa yang terjadi pada lingkungannya. Berdasarkan informasi yang dikonsumsi lantas terjadilah proses
reaksi atas peristiwa tersebut. Kedua, media dianggap sebagai a mirror of events in society and the world, implying a faithful reflection. Media massa adalah cermin dari realitas faktual yang dapat ditangkap oleh indera. Realitas tersebut dipantulkan media massa untuk mendapat perhatian dari masyarakat. Seseorang juga dapat melihat kondisi suatu masyarakat dari media. Dari pantulan informasi itu mereka belajar tentang kondisi sosial di luar lingkungannya. Ketiga, media massa adalah filter atau gatekeeper tentang berbagai hal yang butuh perhatian intensif atau tidak. Media senantiasa memilih isu, informasi, atau konten yang dianggap pa ling menarik dan representatif. Setiap media massa tentu tidak lepas dari misi yang diembannya. Mereka memiliki mekanisme sendiri dalam menentukan peristiwa memiliki bobot berita atau tidaknya. Di sini, khalayak “dipilihkan” oleh media tentang apa-apa yang layak diketahui dan mendapat atensi. Dalam titik ini, subjektifitas pengelola media dalam menentukan news value yang disajikannya. Suara KPU Jawa Timur
Oktober 2016
21
Kempat, media massa adalah guide atau petunjuk jalan. Melalui media massa, wawasan masyarakat bertambah sehingga lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan. Bisa juga menjadi panduan apa yang mesti dilakukan. Kelima, media massa adalah forum untuk menyampaikan pendapat atau gagasan. Melalui media masaa terjadi perang ide dan gagasan. Perang ide dan gagasan dalam media massa itu dikenal sebagai polemik media, dimana dua atau lebih poros opini saling melemparkan pernyataan. Ada banyak teori komunikasi yang berkembang, salah satunya adalah teori jarum suntik atau Hypodermic Nedle Theori. Dalam teori ini asumsikan bahwa dapat membuat manusia atau khalayak terpenga ruh perilakunya dengan beritanya maupun iklan, sehingga dapat terpengaruh secara langsung. Berita atau iklan merupakan obat yang diinjeksikan pada tubuh seseorang dan berpengaruh terhadap kondisinya tanpa dia berbuat apa-apa. Teori inilah yang paling banyak dianut dalam komunikasi politik. Relasi Penyelenggara Pemilu dengan Media Massa Berangkat dari asumsi di atas, maka sebagai penyelenggara tentu juga berpendapat sama tentang kekuatan media massa dalam memberikan opini positif terhadap pemilu yang diselenggarakannya. Sebagai lembaga yang melayani kepentingan publik maka KPU tidak boleh menutup diri dari masyakarakat pemilih yang dilayannya. Media massa bisa mengakses setiap kegiatan dan tahapan yang sedang berlangsung dan menebarkan informasi pada khayak. Pada titik inilah terjadi sebuah relasi saling membutuhkan diantara KPU dengan media massa. Kemampuan KPU tentu terbatas untuk bisa menjangkau semua kalangan. Sebesar apapun kegiatan sosialisasi yang dilakukan tentu masih lebih banyak orang yang belum bisa disentuh sosialisai tesebut. Pada sisi lain, media massa juka membutuhkan pasokan informasi terkini yang sedang berlangsung. Mereka berlomba mendapatkan informasi terkini agar tidak menjadi informasi basi. Keterkaitan kepintangan itu yang harus diselaraskan agar tidak berubah menjadi sebuah persoalan di kemudian hari. 22
Jurnal IDe
Secara kelembagaan KPU sudah memerintahkan agar semua jajarannya membina hubungan baik dengan media massa di daerahnya masing-masing. Masing-masing penyelenggara di daerah sudah memiliki ruang media centre. Pada ruangan itulah komunikasi kepentingan diantara keduanya dapat dilakukan. Media centre merupakan ruang publik yang difasilitasi oleh penelenggara pemilu. Pada ruang itu para awak media dapat bekerja dengan sarana yang telah disiapkan, termasuk juga data publik yang dibutuhkannya. Para awak media lokal Mojokerto sudah terbiasa menjadikan media centre KPU kabupaten Mojokerto sebagai tempat me ngirim berita. Media Centre itu bukan hanya berfungsi saat ada kegiatan kepemiluan saja. Hampir setiap hari awak media hadir ditempat tersebut. Bahkan tidak jarang rapat internal para awak media juga dilakukan di media centre tersebut. Karena aktifitas kewartawanan yang dilakukan pada tempat itu banyak orang yang mengira media centre KPU sama dengan kantor Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Mojokerto. Partisipasi Pemilu di Kabupaten Mojokerto Kehadiran pemilih dalam pemilu di kabupaten Mojokerto masih dalam kategori tinggi. Perjalanan pemilu dari waktu ke waktu tidak pernah turun dari kisaran angka 65 persen. Angka partasipasi tersebut tentu bukan semata-mata hasil kerja KPU sebagai penyelenggara dan penanggung awab pemilu di daerah. Banyak pihak yang berkelindan dalam mencapai angka partisipasi yang lumayan tinggi tersebut dan tidak ada satu stakeholder-pun yang bisa mengklaim bekerja lebih dari yang lainnya, termasuk KPU sendiri. Pera media massa juga harus diapresiasi. Sebagai daerah yang keberadaannya tidak jauh dari wilayah metropolitan Surabaya, tentu akses terhadap media bukan hal yang susah. Pada setiap rumah dapat dipastikan ada media komunikasi televisi yang me nyiarkan berita lokal kegiatan pemilu. Belum lagi media massa online yang sekarang menjadi trend yang dapat diakses langgsung dari genggaman. Selain itu tiras media cetak juga lumayan tinggi di wilayah Mojokerto. Menu-
rut informasi awak media, nilai berita Mojokerto juga relatif tinggi. Penilaian itu yang menyebabkan peritiwa yang terjadi di Mojokerto mudah masuk dalam halaman media cetak, laman media online dan tayang pada media elektronik. Besarnya pemberitaan itu pada gilirannya dapat mendorong pemiih dalam me nyalurkan aspirasinya pada pemilu di dae rahnya. Mereka yang terbiasa mengkonsumsi berita di media massa dapat dikategorikan sebagai pemilih cerdas, pemilih yang memiliki kesadaran dalam menggunakan hak politiknya. Pada posisi inilah media massa melalu opini yang dibentuk mampu memberikan pembelajaran politik yang baik pada pemilih. Masyarakat yang cerdas akan mencerna informasi dan menjadikannya sebagai referensi untuk hadir atau tidak hadir ke TPS. Walaupun dalam beberapa kegiatan pemilu di Mojokerto terjadi dinamika yang berskala tinggi, khususnya dalam dua kali Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah terakhir, secara empiris menunjukkan bahwa angka partisipasi tidak banyak bergeser. Pemilihan Bupati tahun 2010 yang diwarnai dengan kericuhan menghasilakn angka partisipasi 76,72 persen. Angka tersebut mengalami penurunan sekitar 5,5 persen menjadi 69,11 persen. Dalam pemilu 2015 kemarin terjadi opini boikot pemilu dari pendukung pasangan calon yang dicoret keikut sertaannya berdasarkan keputusan Mahkamah Agung (MA). Gerakan boikot pemilu itu sempat menjadi kekawatiran angka partisipasi pemilih akan menurun drastis. Diper-
kirakan oleh banyak pihak bahwa partisipasi akan ada dibawah angka 50 persen. Angka itu kemudian akan dijadikan ukuran bahwa calon yang terpilih tidak ligitimate karena dipilih kurang dari separuh dari pemilih terdaftar. Situasi tersebut kemudian direspon oleh stakeholder untuk lebih gencar turun ke lapangan. Demikian pula dengan media massa yang telah melakukan kerja sama dengan KPU dalam penyebaran sosialisi. Penyelenggara lebih aktif lagi untuk melakukan press release yang dimuat pada media massa. Dan pada akhirnya, patut disyukuri ternyata se telah dilakukan rekapitulasi suara didapatkan angka yang turun tetapi tidak seperti yang dikawatirkan. Akhirnya, Sebagai sebuah ukuran formal, angka partisipasi selalu dijaga oleh penyelenggara agar tidak terjadi penurunan, bahkan jika mungkin terus ditingkatkan. Secara teknis, angka partisipasi dijadikan sebagai parameter keberhasilan kegiatan pemilu. Seccara politis, angka partisipasi menjadi ukuran legitimasi bagi calon yang terpilih. Kerja sama semua pemangku kepentingan sangat berperan dalam menjaga angka partisipasi tersebut. Media massa merupakan salah satu pilar demokrasi. Keberadaannya semakin hari semakin dihitung karena mampu membentuk opini publik. Opini itu juga turut serta mempengaruhi pemilih untuk ikut menggunakan hak politknya. Karenanya penting untuk menjalin relasi antara penyelenggara dengan media massa. r Suara KPU Jawa Timur
Oktober 2016
23
ADDY IMANSYAH Komisioner KPU Kabupaten Sampang
Persoalan klasik yang selalu menjadi sandungan dalam penyelenggaraan pemilu berintegritas di Sampang, Madura adalah maraknya praktek manipulasi suara.
Kyai, Klebun, Blater; Konfigurasi Pemilu Berintegritas di Sampang
P
ileg tahun 2009 misalnya, calon anggota DPD menggugat hasil pemilu ke MK karena dugaan jual beli suara. Lalu pileg 2014, sebanyak 19 TPS harus dipungut ulang karena terbukti fiktif. Selain itu, 136 TPS yang tersebar di 9 Desa juga harus dihitung ulang oleh KPU. Belum selesai hiruk pikuk pileg, pilpres 2014 Bawaslu merekomendasikan hitung ulang di 8 TPS karena salah satu perolehan suara paslon 0%. Praktek-praktek manipulasi suara-yang disinyalir melibatkan oknum klebun dan blater-- tersebut anomali jika mengacu pada perbaikan regulasi dan sistem pemilu. Bahkan pada pemilu 2014 silam untuk pertama kalinya KPU sudah menggunakan kata “Pemilu Berintegritas” menggantikan pemilu damai. Salah satu aspek dalam terma pemilu berintegritas itu adalah menjamin hak konstitusional warga negara dan menjaga autentisitas suara rakyat. Elit Lokal: Kyai, Klebun, Blater Dalam kehidupan orang Madura, khusus24
Jurnal IDe
nya di Sampang, figur kyai menempati posisi sentral, bukan saja dalam aspek keagamaan, melainkan hampir seluruh aspek kehidupan. Ungkapan orang Madura yang berbunyi buppa’-babu’- guruh-ratoh bisa menjelaskan peran sentral kyai tersebut. Ungkapan tersebut mencerminkan hirarki penghormatan di kalangan masyarakat Madura. Ayah-ibu (buppa’-babu’) merupakan elemen utama dalam keluarga yang harus dihormati sebagai orang yang telah melahirkan dan mengasuh hingga dewasa. Sedangkan elemen utama dalam masyarakat yang harus dihormati adalah guruh (lebih terfokus pada kyai), baru kemudian ratoh (pemerintah).1 Ratoh (pemerintah) dalam konteks tatanan geografis yang lebih kecil yaitu desa disebut dengan klebun atau kepala desa. Klebun merupakan orang yang sangat kuat dan 1 Mohammad Kosim, “Kyai dan Blater (Elite Lokal dalam Masyarakat Madura)” Jurnal Karsa, Volume XII Nomor 2 Oktober 2007, h.162
berpengaruh bagi masyarakat di Madura.2 Ia terlibat dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat desa. Selain klebun, terdapat satu kelompok elite lain yang pengaruhnya tidak bisa diremehkan dalam kehidupan sosial politik masyarakat Madura, yakni blater. Istilah blater3 terutama lebih dikenal di kalangan masyarakat Madura Barat (Sampang dan Bangkalan) merujuk pada sosok orang kuat di desa yang bisa memberikan “perlindungan” keselamatan secara fisik terhadap masyarakat. Istilah lain dari blater 2 Mahrus Ali, “Menggugat Dominasi Hukum Negara: Penyelesaian Perkara Carok Berdasarkan Nilai-Nilai Masyarakat Madura”, Yogyakarta: Rangkang Indonesia, 2009, h. 44 3 Sosok orèng blater yang sampai saat ini menjadi legenda di kalangan masyarakat Madura adalah Pak Sakèra yang telah dengan gagah berani membela orèng kènè’ dari kekezaman penjajah. Katakata Pak Sakèra yang masih terkenal, ketika ia akan dihukum gantung oleh Belanda adalah: “Gupermen keparat, je’ angabunga, bender sengko’ matè, tapè ènga’, sittung Sakèra matè, saèbu Sakèra tombu polè”.
adalah bajingan. Namun, menurut komunitas blater, status sosial bajingan dipandang lebih rendah. Bajingan dikenal sebagi sosok yang angkuh, kasar, sombong dan suka membuat keonaran. Dalam realitas, karakter dan aktivitas di atas bisa saja melekat pada kaum blater, sehingga sulit membedakan keduanya. Media sosial blater yang paling terkenal adalah rèmoh. Melalui forum hiburan tradi sional ini, mereka membangun relasi dengan sesama dan saling menunjukkan kelebihan masing-masing. Selain rèmoh, terdapat media lain seperti keraben sapèh, sabung ajem, ando’an dereh, dan sejenis arena perjudian lainnya.4 Elit lokal dan Pemilu Dari kajian fenomena pemilu di Sampang yang diteliti oleh Sufyanto dikemuka4 Abdur Rozaki, Menabur Kharisma Menuai Kuasa; Kiprah Kyai dan Blater Sebagai Rezim Kembar di Madura”. Yogyakarta; Pustaka Marwa, 2004, h. 9. Dalam Mohammad Kosim, “Kyai dan Blater (Elite Lokal dalam Masyarakat Madura)” Jurnal Karsa, Volume XII Nomor 2 Oktober 2007, h.164-165 Suara KPU Jawa Timur
Oktober 2016
25
kan bahwa sangat jelas pemilu sebagai hajat suci, kehormatan dan martabat rakyat, dapat ternodai oleh aktor-aktor lokal dengan kepentingannya, suara rakyat menjadi tidak bernilai, pemilu tidak dilaksanakan bukan hanya membohongi rakyat, namun dengan menghilangkan hak rakyat hal ini menjadi dosa besar dalam demokrasi bila pemilu dimengerti sebagai rohnya.5 Keterlibatan aktor atau elit lokal seperti klebun misalnya ternyata cenderung pada agitasi yang mengarah pada pelanggaran pemilu. Hegemoni klebun dalam berbagai aspek membuat relasi antara masyarakat dan klebun terbangun kuat, sehingga pengarahan untuk memilih pada salah satu paslon atau parpol tidak dimaknai sebagai bentuk intervensi hak politik warga melainkan balas budi. Dalam konteks demikian, pemilih-meminjam istilah Scott-- diistilahkan sebagai locked in electorates, yang tidak mempunyai pilihan politik selain mengikuti pengarahan patronnya .6 Demikian halnya dengan blater. Ia adalah aktor yang dalam menyelesaikan perkara sosial selalu dengan kekerasan dan kekejaman. 5 Sufyanto, “Kekuatan Kapital, Elit Lokal, dan Kultur Yang Menghambat Pemilu Berintegritas (Kajian Fenomenologi Pemilu di Jawa Timur)” Jurnal Etika dan Pemilu Volume 2, Nomor 1, Maret 2016 h.95 6 Dalam Luky Djani. “Peranan Uang dalam Demokrasi elektoral Indonesia” : Merancang arah baru demokrasi indonesia pasca demokrasi, Jakarta, (KPG)Kepustakaan Populer Gramedia, 2014 h.191
26
Jurnal IDe
Maraknya intimidasi dan perlakuan diskriminatif dan mengarah pada kekerasan melekat pada seorang blater. Kebanyakan blater memiliki afiliasi langsung dengan klebun. Relasi ini terbangun sejak –bahkan sebelum terpilih menjadi klebun-- menjadi tim sukses dan sampai terpilih menjadi klebun. Intimidasi kultural yang dilakukan oleh blater dan klebun pada masyarakat lokal dalam proses pemilu tentu tidak sehat. Sekalipun PPL dan Panwascam7 menemukan pelanggaran, tapi ia kesulitan jika langsung berhadap-hadapan dengan klebun dan bla ter. Sebab tidak menutup kemungkinan me reka akan menjadi korban intimidasi. Sampai disini kita bisa memahami mengapa PPL dan Panwascam tidak tegas menindak para oknum pelanggar pemilu. Konfigurasi elit lokal: belajar dari Sierra Leone Peran strategis kyai, klebun dan blater dalam sosial politik masyarakat sejatinya menjadi potensi strategis pula bagi KPU untuk mengampanyekan pemilu yang berintegritas. Kendati secara historis, klebun dan 7 PPL merupakan petugas yang dibentuk oleh Panwaslu Kecamatan yang bertugas mengawasipenyelenggaraan Pemilu di desa atau nama lain/ kelurahan. Panwaslu Kecamatan adalah panitia yang dibentuk olehPanwaslu Kabupaten/Kota yang bertugas mengawasipenyelenggaraan Pemilu di wilayah kecamatan atau nama lain. Lihat pasal 19 dan 20 UU No 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum
blater cenderung berprilaku agitatif yang mengarah pada pelanggaran pemilu. Akan tetapi menjadikannya sebagai mitra KPU bersama kyai bukanlah tanpa pertimbangan yang matang. Konfigurasi ketiganya bisa menjadi kekuatan massif dalam mendistribusikan nilai-nilai integritas pemilu kepada masyarakat. Selain itu ia menjadi kekuatan sosial untuk bernegosiasi dengan sub-kultur atau pilihan politik yang berbeda dalam ruang publik. Pengalaman di Sierra Leone bisa menjadi gambaran, pemuka agama dan ketua-ketua distrik se tempat terlibat aktif dalam pemilu parlemen dan presiden sejak tahun 1999. Hasilnya cukup mencengankan, negara miskin di negara Afrika Barat tersebut menjadi salah satu ne gara di Afrika yang demokratis. Mengacu pada riset Turay, keterlibatan aktif pemuka agama dan ketua-ketua distrik di Sierra Leone terdiri dari 3 tahap. Pertama, mempromosikan pemilu damai, bebas dan adil di seluruh negara serta mendorong rakyat untuk menggunakan hak pilihnya. Bahkan mereka juga meminta agar doa dan puasa didedikasikan untuk pemilu damai, bebas dan adil. Kedua, melakukan pemantauan dan mengamati proses pemilu pada hari pemungutan suara di seluruh TPS secara sukarela. Ketiga, merekonsiliasi perselisihan di tingkat horizontal akibat perbedaan pilihan politik serta mengajak semua masyarakat dan stakeholders (termasuk anggota kongres setempat) untuk berdoa bersama dan menerima hasil pemilu.
Di Sampang, KPU bisa memulainya de ngan membangun silaturahmi terhadap simpul-simpul kyai, klebun dan blater. Simpul kyai bisa melalui organisasi keagamaan yang memiliki basis anggota sampai ke desa-desa seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah atau organ keagamaan lainnya. Simpul klebun melalui Asosiasi Kepala Desa (AKD). Sedangkan simpul blater melalui blater yang paling berpengaruh di Desa. Adapun media untuk menjaga intensitas silaturahmi bisa melalui forum rembug desa atau kegiatan yang berdimensi religius seperti Istighosah Demokrasi. Pada tahapan sosialisasi, KPU bisa melibatkan mereka untuk mensosialisasikan kegiatan kepemiluan. Bahkan bila perlu spanduk atau alat peraga sosialisasi lainnya bisa dipasang foto mereka. Tentunya konten dalam spanduk tersebut sesuai dengan porsinya sebagai agen pemilu berintegritas. Selain itu juga mempertimbangan status yang bersangkutan, tidak sedang menjalani proses hukum atau menjadi peserta pemilu. Dengan dukungan penuh stakeholders pemilu lainnya seperti pemda, panwaslu, parpol, media, pemantau pemilu, organisasi sipil dan citizen independen lambat laun kesadaran masyarakat tentang aspek-aspek pemilu berintegritas akan tercapai. Manipulasi suara sebagai sandungan pemilu berintegritas di Sampang yang bersifat klasikal sejak pemilu tahun 2004-2014-pun berangsur-angsur hilang. Tidak mudah memang, tapi bukan berarti tidak mungkin. r Suara KPU Jawa Timur
Oktober 2016
27
SASTHAPUTRA PRAMUDYA Divisi Perencanaan dan Data KPU Kabupaten Ngawi
Akurasi DPT Bergantung
Pada Stakeholder
Proses pemutakhiran daftar pemilih tetap (DPT) dalam setiap pemilu adalah salah satu tahapan penting dalam proses penyelenggaraan pemilu/pemilihan.
S
eringkali kita temui dalam penyelenggaraan pemilu/pemilihan, banyak protes ataupun gugatan yang disampaikan oleh panwas, masyarakat, partai politik peserta pemilu maupun tim kampanye pasangan calon yang berpendapat bahwa DPT kurang akurat, menyeluruh, dan mutakhir. Untuk mewujudkan DPT yang akurat, menyeluruh, dan mutakhir tidak bisa hanya diupayakan sepihak oleh penyelenggara pemilu/ pemilihan saja, melainkan juga dibutuhkan keterlibatan aktif dari semua stakeholder pemilu/ pemilihan mulai awal tahapan pemutakhiran data dan daftar pemilih sampai dengan ditetapkannya DPT oleh KPU/KIP Kabupaten/Kota. Mendasar pada Peraturan KPU nomor 4 tahun 2015 tentang pemutakhiran data dan daftar pemilih dalam pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, dan atau walikota dan wakil walikota, proses pemutakhiran data pemilih diawali dengan penyediaan data pemilih yang diterangkan pada pasal 6 ayat (1): Pemerintah menyampaikan DP4 yang telah dikonsolidasi, div28
Jurnal IDe
erifikasi, dan divalidasi kepada KPU paling lambat 6 (enam) bulan sebelum hari pemungutan suara. Kemudian pada ayat (2) dijelaskan bahwa: DP4 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berisi data potensial pemilih yang pada hari pemungutan suara genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih, atau sudah/pernah kawin secara terinci untuk setiap desa/kelurahan atau sebutan lain. Sebagai bagian dari stakeholder pemilu/ pemilihan, pemerintah pada saat sekarang ini sedang giat-giatnya menggalakkan program perekaman KTP elektronik, dimana bagi semua penduduk yang sudah memenuhi syarat diwajibkan untuk memiliki KTP elektronik. Dengan program yang intensif dan menyeluruh dari pemerintah terkait perekaman KTP elektronik tersebut, diharapkan diperoloeh data kependudukan yang akurat, menyeluruh, dan mutakhir. Sehingga diharapkan basis data hasil perekaman KTP elektronik ini bisa digunakan pemerintah dalam menyusun DP4, dimana DP4 paling kurang memuat informasi yang meliputi: nomor urut, Nomor
Induk Kependudukan, Nomor Kartu Keluarga, nama lengkap, tempat lahir, tanggal lahir, umur, jenis kelamin, status perkawinan, alamat jalan/dukuh, Rukun Tetangga (RT), Rukun warga (RW), dan jenis disabilitas. Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pemilihan (DP4) yang akurat, menyeluruh, dan mutakhir, merupakan bagian dari tahapan awal yang sangat penting untuk dijadikan pertimbangan dalam menyusun data pemilih. Disinilah peran penting Pemerintah Kabupaten/Kota khususnya Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten/Kota sebagai bagian daristakeholder yang turut mempersiapkan DP4. Di dalam Peraturan KPU nomor 8 tahun 2016 tentang perubahan atas peraturan Komisi Pemilihan Umum tentang pemutakhiran data dan daftar pemilih dalam pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, dan atau walikota dan wakil walikota diterangkan bahwa setelah menerima DP4 dari pemerintah KPU menganalisis DP4, kemudian KPU melakukan sinkronisasi data pemilih pada Pemilu atau Pemilihan terakhir dengan
DP4 hasil analisis. Selanjutnya KPU menyampaikan hasil analisis DP4 dan hasil sinkronisasi DP4 kepada KPU Propinsi/KIP Aceh dan KPU/ KIP Kabupaten/Kota sebagai pertimbangan dalam melakukan pemutakhiran. Setelah itu KPU/KIP Kabupaten /Kota menyusun data pemilih berdasarkan daftar pemilih Pemilu atau Pemilihan terakhir dengan mempertimbangkan DP4. KPU/ KIP Kabupaten/ Kota dalam melakukan pemutakhiran data pemilih dibantu oleh Petugas Pemuta khiran Data Pemilih (PPDP). Data pemilih yang tersusun seperti proses tersebut di atas digunakan oleh PPDP untuk melakukan proses coklit (pencocokan dan penelitian) dengan cara mendatangi pemilih secara langsung dan dapat menindaklanjuti usulan Rukun Tetangga (RT) atau Rukun warga (RW) atau sebutan lain. Dalam proses coklit ini PPDP dan masyarakat memegang peran yang sangat penting dalam proses pemutakhiran data pemilih tersebut. PPDP yang kompeten dan berkomitmen terhadap tugasnya serta Suara KPU Jawa Timur
Oktober 2016
29
masyarakat yang turut aktif menyampaikan data kependudukannya ketika didatangi petugas, merupakan bagian penting dalam kesuksesan proses pemutakhiran data pemilih. Tidak kalah pentingnya dalam proses pemutakhiran data pemilih ini adalah adanya pengawasan, baik yang dilakukan oleh Panwaslu/Panwaslih beserta jajarannya maupun pihak-pihak lain yang berkepentingan dalam mewujudkan proses pemutakhiran data pemilih yang akurat, menyeluruh dan mutakhir. Setelah proses coklit selanjutnya dilakukan rekapitulasi daftar pemilih hasil pemutakhiran di tingkat kecamatan oleh PPK melalui rapat pleno terbuka. Setelah itu dilakukan rekapitulasi daftar pemilih hasil pemutakhiran di tingkat kabupaten/kota dan penetapan DPS oleh KPU/KIP Kabupaten/ Kota melalui rapat pleno terbuka. Selanjutnya seperti diterangkan dalam PKPU nomor 8 tahun 2016 pasal 13A ayat (1):KPU/KIP Kabupaten/Kota melakukan koordinasi dengan dinas yang menyelenggarakan urusan kependudukan dan catatan sipil setempat berdasarkan penyusunan daftar pemilih sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat (1a). Kemudian pada ayat (2): Dalam hal dinas yang menyelenggarakan urusan kependudukan dan catatan sipil setempat tidak memberikan keterangan bahwa Pemilih yang bersangkutan telah berdomisili di wilayah administratif yang sedang menyelenggarakan Pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), KPU/KIP Kabupaten/Kota menemui dinas yang menyelenggarakan urusan kependudukan dan catatan sipil setempat untuk meminta menerbitkan keterangan tersebut. Dilanjutkan pada ayat (3): Dalam hal sampai dengan masa perbaikan DPS berakhir, dinas yang menyelenggarakan urusan kependudukan dan catatan sipil di kabupaten/kota setempat tidak memberikan keterangan bahwa pemilih yang bersangkutan telah berdomisili di wilayah administratif yang sedang menyelenggarakan pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), KPU/ KIP Kabupaten/Kota mencoret pemilih yang bersangkutan, dan menuangkan ke dalam berita acara yang ditandatangani oleh KPU/ KIP Kabupaten/Kota dan dinas yang menyelenggarakan urusan kependudukan dan catatan sipil di kabupaten/kota setempat 30
Jurnal IDe
dan disaksikan oleh panwas. Selanjutnya pemilih atau anggota keluarga atau pihak yangberkepentingan dapat mengajukan usul perbaikan mengenai penulisan nama dan/atau identitaslainnya yang tercantum dalam DPS kepada PPS. PPS melakukan verifikasi terhadap usulan perbaikan tersebut, dan jika hasil verifikasi usulan perbaikan dapat diterima PPS mengisi formulir tanggapan dan masukan masyarakat terhadap DPS serta memberikan tanda bukti telah diterima usulan perbaikan identitas dan/ atau telah terdaftar sebagai Pemilih. Tahapan berikutnya adalah PPS melakukan rekapitulasi DPS hasil perbaikan tingkat desa/kelurahan, kemudian dilanjutkan dengan rekapitulasi DPS hasil perbaikan di tingkat kecamatan oleh PPK melalui rapat pleno terbuka. Setelah itu KPU/KIP Kabupaten/Kota melakukan rekapitulasi DPS hasil perbaikan di tingkat kabupaten/kota dan menetapkannya menjadi Daftar Pemilih Tetap (DPT) melalui rapat pleno terbuka. Selanjutnya KPU/KIP Kabupaten/Kota menyampaikan salinan DPT kepada PPS untuk mengumumkan salinan DPT tersebut di kantor desa/kelurahan dan di sekretariat/balai Rukun Tetangga (RT)/ Rukun Warga (RW) atau tempat strategis lainnya.Begitulah alur ringkas dari tahapan pemutakhiran data dan daftar pemilih sampai ditetapkan menjadi Daftar Pemilih Tetap (DPT) oleh KPU/KIP Kabupaten/Kota. Dari uraian di atas tampak begitu panjang alur tahapan dan banyak pihak yang terlibat dalam proses pemutakhiran data dan daftar pemilih sampai dengan ditetapkannnya menjadi Daftar Pemilih Tetap (DPT). Mulai dari penyelenggara pemilu/pemilihan (KPU dan Bawaslu beserta seluruh jajarannya), pemerintah beserta jajarannya, partai politik peserta pemilu, tim kampanye, masyarakat, LSM, ormas, atau lembaga/organisasi lainnya yang berkepentingan dengan jalannya proses pemutakhiran data dan daftar pemilih adalah stakeholder yang memegang peranan penting dalam terwujutnya Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang akurat, menyeluruh, dan mutakhir. Adanya Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang akurat, menyeluruh, dan mutakhir merupakan salah satu andil yang sangat penting dalam mewujudkan pemilu/pemilihan yang lancar, aman, kondusif, dan sukses. r
UMMU CHAIRU WARDANI Divisi SDM dan Parmas KPU Kota Blitar
Peran Strategis Pemantau Pemilu
Sebagai Stakeholder
“Kebebasan publik merupakan jantung demokrasi. Pemerintahan berdasarkan hukum adalah kerangka ototnya. Sedang kan suatu pemerintahan yang dipilih secara demokratis akan membentuk suatu pusat dinamis untuk memajukan hukum yang dengannya manusia dapat hidup dalam alam yang bebas.” (Michael Polanyi dalam Karim:1991)
A
pa yang disampaikan Polanyi tersebut, mengingatkan kita, betapa besarnya makna peran partisipasi seluruh elemen masyarakat dalam proses demokrasi. Partisipasi tidak bisa dimaknai sempit “ikut memberikan suaranya dalam pemilu, tetapi lebih dari pada itu, partisipasi merupakan sebuah bentuk kepedulian masyarakat dalam setiap tahapan proses pemilu. Masyarakat sebagai elemen dari pemilu dan merupakan bagian dari stakeholder pemilu, sangat diperlukan perannya dalam ikut menyukseskan pemilu, baik pemilu legislatif, pemilu presiden dan wakil presiden maupun pemilu kepala daerah baik itu Gubernur dan Wakil Gubernur maupun Bupati danWakil Bupati ataupun Walikota dan Wakil Walikota. Stakeholder pemilu atau semua pihak yang berkepentingan terhadap penyelenggaraan pemilu yang terdiri dari penyelenggara pemilu, pengawas pemilu, pemantau pemilu, pemerintah, partai politik, peserta
pemilu, organisasi masyarakat dan pemilih, memberikan wadah bagi masyarakat untuk menentukan perannya dalam pemilu sesuai kedudukan, kemampuan , kemauannya serta kesempatan yang dimilikinya. Salah satu peran yang dapat diambil masyarakat adalah sebagai pemantau pemilu, dimana saat ini kehadiran pemantau sangat dibutuhkan oleh seluruh lapisan masyarakat yang peduli terhadap pelaksanaan pemilu, sebagai bagian dari proses pengawalan terciptanya pemilu yang jujur adil dan berintegritas. Pemantau pemilu di era reformasi sekarang ini, mendapat ruang dan tempat untuk berkiprah secara lebih luas dan keberadaannya dilindungi oleh Undangundang, berbeda dengan era orde lama dan era orde baru, yang mana saat itu demokrasi hanyalah sebatas orasi, yang puncaknya terjadi pada era orde baru, dimana penguasa sangat berkepentingan “membendung” kebebasan berdemokrasi warganya, dengan Suara KPU Jawa Timur
Oktober 2016
31
dalih “menjaga stabilitas bangsa dan negara. Sejarah singkat pemantauan pemilu Pemantauan pemilu pertama di dunia dilaksanakan pada plebisit atau referendum mengenai wilayah konflik di Moldavia dan Wallachia tahun 1857. Saat itu, sejumlah negara-negara kuat di Eropa seperti Austria, Inggris, Perancis, Prusia, Turki membentuk sebuah komisi Eropa untuk memantau jalannya plebisit tersebut. Moldavia dan Wallachia terletak di Eropa Timur dekat Ukraina sekarang. Pemantauan pemilu kemudian tidak dijalankan kembali kecuali setelah Perang Dunia II dan semakin berkembang secara signifikan dengan berakhirnya Perang Dingin. Perkembangan tersebut juga diikuti dengan perkembangan dan perbaikan sandar internasional dalam penyelenggaraan pemilu demokratis dan proses pemantauan pemilu, baik oleh organisasi pemantauan domestik (nasional) dan internasional. Tahun 1990, pemantauan pemilu internasional difokuskan kepada negara-negara yang tingkat demokrasinya masih lemah atau dalam keadaan transisi demokrasi. Namun, di tahun-tahun belakangan ini sejumlah misi pemantauan semakin meningkat bahkan di negara-negara yang memiliki sejarah demokrasi yang sudah mapan seperi AS, Pe rancis, Inggris dan Swiss. Pemantauan pemilu di Asia, khususnya di ASEAN, dimulai oleh NAMFREL (National Citizens Movement for Free Elections) di Pilipina. NAMFREL didirikan tahun 1983 sebagai respon atas manipulasi pemilu oleh presiden Marcos. Pemantauan pemilu oleh organisasi pemantau pemilu domestik di Asia kemudian diikuti oleh Indonesia dengan berdirinya KIPP Indonesia (Komite Independen Pemantau Pemilu) tahun 1996. Beberapa pengurus KIPP Indonesia pergi ke Pilipina untuk mempelajari pemantauan pemilu dari NAMFREL. Indonesia berada di bawah kekuasaan presiden Soeharto yang represif selama 32 tahun. Sejarah terus bergulir, banyak negara di Asia kemudian membuat dan mendirikan orga nisasi pemantauan di negara masing-masing. Tahun 1997, ANFREL (Asian Network for Free and fair Elections) yang merupakan jari ngan organisasi pemantauan pemilu se-Asia 32
Jurnal IDe
didirikan. KIPP yang merupakan cikal bakal lembaga pemantauan di Indonesia, akhirnya menumbuhkan keberanian lahirnya orga nisasi-organisasi pemantau pemilu khususnya yang lahir pasca era orde baru dan menjelang pemilu pertama di era reformasi yaitu pemilu tahun 1999. Kiprah Pemantau Pemilihan dalam Pemilu Era Reformasi di Indonesia Mengutip tulisan Haramain (2004:135) dalam buku berjudul “Gus Dur, Politik dan Militer” menulis bahwa tahun 1999, dimana partai yang bertarung dalam pemilu legislatif sebanyak 48 partai dari sejumlah141 partai yang terdaftar dalam Departemen Kehakiman dan HAM, jumlah lembaga pemantau dalam negeri sebanyak 66 lembaga, pemantau asing yang berupa lembaga LSM asing sebanyak 37 lembaga, perorangan LSM asing sebanyak 555 orang, perorangan asing sebanyak 523 orang, perwakilan diplomatik sebanyak 17 orang sementara staf lembaga diplomatik yang mendaftarkan diri sebagai pemantau sebanyak 45 orang. Keberadaan pemantau asing tersebut, karena adanya sokongan dana dari United Nation Development Program (UNDP). Jumlah itu menurun drastis pada pemilu 2004. Mengutip Pelita online, jumlah pemilu yang terdaftar di KPU hanya sebanyak 43 lembaga pemantau pemilu, dimana 35 merupakan lembaga pemantau local sementara 8 lainnya merupakan pemantau asing. Sementara untuk peninjau yang terdaftar sebanyak 15 kedutaan besar negara-negara asing di Jakarta. Sementara untuk pemilu 2009 Lembaga pemantau yang lulus sertifikasi terdiri atas 24 pemantau dalam negeri, 7 pemantau luar negeri, dan 7 pemantau diplomatik. Selain lembaga pemantau, Komisi Pemilihan Umum juga meregistrasi 16 lembaga survei di tanah air. Nantinya lembaga inilah yang berhak melakukan pemantauan dan berkoordinasi dengan KPU. Sedangkan pada pemilu tahun 2014, sesuai data yang di-launchig KPU, Lembaga Pemantau yang Terakreditasi serta Lembaga Survei dan Lembaga Hitung Cepat yang Terdaftar untuk Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD sebanyak 19 lembaga, sedangkan Lembaga Survei dan Hitung Cepat yang Terdaftar
berjumlah 56 lembaga. Adanya trend penurunan minat masyarakat untuk berkecimpung dalam pemantauan pemilu ini juga diakui Deputi Internal Jaringan Pendidikan Pemilih Untuk Rakyat (JPPR), Masyukurudin Hafidz. Mengutip beritasatu.com Masyukurudin Hafidz mengatakan, dalam kurun waktu 15 tahun, jumlah organisasi dan relawan pemantau pemilu menurun. Menurut data internal JPPR, jumlah pemantau pada 1999 mencapai 220.000, 140.000 pada 2004, 13.500 pada 2009 dan 600 di tahun 2013. Jadi memang pemantau pemilu secara jumlah lama-lama juga terus menurun, di JPPR sendiri tahun 1999 ratusan ribu, 2009 hanya puluhan ribu. Peran Strategis Pemantau Pemilihan Sebagai Salah Satu Stakeholder dalam Pemilu Pemantauan pemilu yang dilakukan oleh lembaga yang dibentuk masyarakat merupakan salah satu cara membuktikan bahwa pemilu yang dilakukan benar-benar demokratis. Pemilu yang tidak demokratis atau hanya rekayasa rezim biasanya tidak mengizinkan adanya pemantauan pemilu dari lembaga independen yang dibentuk masyarakat. Gould dalam Karim (1991:65) menyatakan enam ciri kepribadian demokratis (1) inisiatif. Seseorang akan memiliki inisiatif, manakala dia dimungkinkan bertindak bebas dalam berorganisasi sebagai sarana inisiatif; (2) Disposisi Restoris yakni kemampuan memahami perpektif orang lain sebagai eqipalent dengan yang dimilikinya sendiri, kesiapan menghargai oranglain dengan cara-cara yang sama dan juga memiliki harapan bahwa orang lain akan memahami dan akan berbuat yang sama; (3) Toleransi sebagai bawaan ciri demokrasi yang tradisional; (4) Kelenturan dan Kecintaan akan keterbukaan; (5) Komitmen dan tanggungjawab (6) Kesiapan mendukung, berbagi rasa (kerjasama) dan keterhubungan. Namun demikian, keberadaan lembaga pemantau pemilu dari yang dibentuk oleh masyarakat seharusnya bukan hanya menjadi pelengkap. Keberadaan pemantau pemilu seharusnya dapat diperkuat dari sisi tindak lanjut laporan hasil pemantauan pemilu. Regulasi pemilu baik Pemilu Legislatif, Presiden maupun Wakil Presiden serta Pemilihan
Kepala Daerah, telah memberikan ruang untuk pemantau pemilu. Namun demikian, dengan berbagai alasan, peran pemantau pemilu dalam kegiatan kepemiluan dirasakan sangat minim, khususnya untuk kegiatan kepemiluan di daerah. Dalam pemilu kepala daerah dimana akreditasi pemantau pemilu dikeluarkan oleh KPU setempat dimana KPU Propinsi untuk Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur dan KPU Kabupaten/Kota untuk pemilihan Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota, jumlah pemantau di daerah relatif sedikit, kecuali di kota-kota besar se perti Surabaya maupun beberapa daerah yang rawan konflik seperti beberapa daerah di Ibu Kota. Disamping sedikit, kualitas SDM yang ada di dalam lembaga tersebut, beberapa diantaranya kurang maksimal terkait dengan minimnya pengalaman mereka dalam pemantauan, meskipun secara admi nistrasi mereka telah memenuhi syarat untuk mendapatkan akreditasi dari KPU Kabupaten Kota, sesuai yang tercantum dalam UU No 8/2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang kemudian diatur kembali dalam peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 5/2015 tentang Sosialisasi dan Partisipasi Masyarakat dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota. Adanya Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 4/2015 menyusul putusan MK yang memperbolehkan Pilkada dengan paslon tunggal, memberi ruang baru bagi pemantau pemilu di daerah yang melaksakan pemilihan dengan paslon Tunggal, yaitu lembaga pemantau mempunyai legal standing mengajukan sengketa hasil Pilkada dengan satu pasangan calon ke MK. Kran berpartisipasi sebagai pemantau pemilihan telah dibuka lebar. Sudah selayaknya, masyarakat khususnya pemuda dan kaum intelektual di negeri ini, kembali memanfaatkan peran ini, dan tetap menjaga netralitasnya sehingga dapat ikut serta mengawal terciptanya pemerintahan yang mendapat legitimasi dari sebagian besar masyarakatnya, yang salah satunya tercermin dari tingginya peran masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya dengan tepat, baik dan benar. r Suara KPU Jawa Timur
Oktober 2016
33
SAIFUFIN ZUHRI Divisi SDM dan Parmas KPU Kota Batu
Gunanya Ada Partai Politik
“Refleksi Atas Stakeholder Utama Pemilu”
Indonesia adalah negara demokrasi yang berlandaskan pada idiologi Pancasila, secara normatif tekstual demokrasi sebagai system difahami sebagai pemerintahan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat.
D
imana kedaulatan tertinggi berada ditangan rakyat. Untuk menjalankan kedaulatan rakyat tersebut dibutuhkan perangkat operasional yang pada perkembanganya lahirlah bentuk-bentuk lemabga perwakilan sebagai lembaga yang akan menyalurkan dan memperjuangkan aspirasi rakyat yang dipilih dari partai politik. Jadi secara ekplisit dapat diketahui bahwa partai politik adalah pilar demokrasi. Dan dalam pengimlementasian demokrasi maka dilaksanakanlah pemilu untuk memilih wakil rakyat, kepala daerah dan presiden. Pemilu sebagai pelaksanaan kedaulatan rakyat tentu harus dilaksanakan secara Luber dan Jurdil (langsung; berarti pemilih harus memberikan suaranya secara langsung, umum; pemilihan umum dapat di ikuti seluruh warga negara yang sudah memiliki hak menggunakan suara, Bebas; pemilih menggunakan hak suaranya tanpa ada paksaan dari pihak manapun, Rahasia; pemilih bersifat rahasia dan hanya diketahui oleh pemilih itu sendiri, jujur; pemilihan dilaksanakan sesuai dengan aturan dan adil; perlakuan yang sama terhadap peserta pemilu dan pemilih).
34
Jurnal IDe
Dalam pelaksanaannya diharapkan seluruh stakeholder saling berperan sesuai de ngan fungsinya, sebagaimana kita ketahui bahwa arti dari stakeholder adalah segenap pihak yang terkait dengan isu dan permasalahan yang sedang diangkat, jadi stakeholder pemilu adalah segenap pihak yang terkait dengan pelaksanaan pemilu bisa jadi Pelaksana Pemilu, Partai Politik, Pemilih, Pemantau dan lain sebagainya. Dari sini sangat jelas antara peserta pemilu (Partai Politik/ persorangan) dan pemilih merupakan stakeholder utama dalam pemilu. Partai Politik (Politik Aliran) Tiga bulan setelah kemerdekaan diproklamasikan oleh Soekarno-Hatta pada 17 Agustus 1945, pemerintah waktu itu sudah menyatakan keinginan untuk bisa menye lenggarakan pemilu Indonesia pada awal tahun 1946. Hal itu dicantumkan dalam Maklumat X, atau Maklumat Wakil Presiden Mohammad Hatta tanggal 3 Nopember 1945, yang berisi anjuran tentang pembentukan partai-partai politik. Maklumat tersebut menyebutkan, pemilu Indonesia untuk memilih
anggota DPR & MPR akan diselenggarakan bulan Januari 1946. Kalau kemudian ternyata pemilu Indonesia pertama tersebut baru terselenggara hampir sepuluh tahun setelah kemudian tentu bukan tanpa sebab. Ada kendala yang bersumber dari dalam negeri dan ada pula yang berasal dari faktor luar negeri. Sumber penyebabnya dari dalam negeri antara lain ketidaksiapan pemerintah menyelenggarakan pemilu, baik karena belum tersedia perangkat perundang-undangan untuk mengatur penyelenggaraan pemilu Indonesia maupun akibat rendahnya stabilitas keamanan negara. Dan yang tidak kalah penting, penyebab dari dalam negeri itu ialah sikap pemerintah yang enggan menyelenggarakan perkisaran (sirkulasi) kekuasaan secara teratur dan kompetitif. Penyebab dari luar negeri antara lain serbuan kekuatan asing yang mengharuskan negara ini terlibat peperangan. Tak terlaksananya pemilu Indonesia pertama pada bulan Januari 1946 seperti yang diamanatkan oleh Maklumat 3 Nopember 1945, paling tidak disebabkan oleh 2 (dua) hal: 1) Belum siapnya pemerintah baru, ter-
masuk dalam penyusunan perangkat UU Pemilu; 2) Belum stabilnya kondisi keamanan negara akibat konflik internal antar kekuatan politik yang ada pada waktu itu, apalagi pada saat yang sama gangguan dari luar negeri juga masih mengancam. Dengan kata lain para pemimpin lebih disibukkan oleh urusan konsolidasi. Akhirnya pemilu era orde lama baru dapat dilaksanakan pada tahun 1955 dengan di ikuti oleh 39 Partai Politik, dari sini sa ngat jelas dengan banyaknya partai politik juga menunjukan banyaknya aliran politik, walau pada masa orde baru beberapa partai yang dianggap mempunyai aliran yang sama akhirnya digabungkan (fusi) dan pada era reformasi 48 partai politik ikut dalam pemilu 1999, dari sini menunjukan bahwa pemilu 1999 jumlah partai politik lebih banyak dari pemilu 1955, dan politik aliran juga masih terasa hingga saat ini sehingga ego golongan masih sangat dominan dibanding dengan kepentingan rakyat. Partai Politik dan Amanat Pemilih Di wilayah partai politiki, penerjemaSuara KPU Jawa Timur
Oktober 2016
35
han demokrasi hanya dimaknai dengan ri tual pemilihan umum yang sarat huru-hara demokrasi. Hak demokrasi adalah bentuk penyerahan dukungan rakyat terhadap partai politik. Keberpihakan secara emosional masyarakat terhadap partai politik belum beranjak kepada keberpihakan yang rasional sifatnya. Hasilnya adalah hiruk pikuk demokrasi tak pelak berujung pada huru hara demokrasi yang ditandai oleh banyaknya konflik internal partai yang muncul, dan konflik simpatisan partai. Kondisi demikian ini, merupakan suatu indikasi bahwa demokrasi belum mendapatkan tempat dan pemahamanya secara benar di masyarakat. Disamping itu tingginya biaya politik membuat partai politik harus sering bersentuhan dengan pemodal, sehingga partai politik dekat dengan rakyat ketika pemilu mau dilaksanakan, begitu pemilu selesai, selesai pula hubungan partai politik dengan rakyatnya. Gunanya Ada Partai Politik Partai politik mempunyai tujuan yang sangat mulia “Ingin Melepaskan Diri Dari Penjajahan Belanda.” Tujuan ini tersurat dalam sejarah pertama kali beridirinya partai politik sebelum kemerdekaan Indonesia, pada tanggal 25 desember 1912 Oleh Douwes Dekker, Kihajar Dewantara dan Tjipto Mangunkoesoemo. Pada zaman penjajahan Belanda, partai-partai politik tidak dapat hidup tenteram. Partai itu hanya berusia 8 bulan karena ketiga pemimpin masing- masing dibuang ke Kupang, Banda, dan Bangka, kemudian diasingkan ke Belanda. Kehadiran partai politik pada masa permulaan merupakan menifestasi kesadaran nasional untuk mencapai kemerdekaan bagi bangsa Indonesia. Soekarno dalam buku Di Dawah Bendera Revolusi, juga memberikan kutipan tentang gunanya partai politik: Kita bergerak karena kesengsaraan kita, kita bergerak karena ingin hidup yang Iebih layak dan sempurna. Kita bergerak tidak ka rena “ideal” saja, kita bergerak karena ingin cukup makanan, ingin cukup pakaian, ingin cukup tanah, ingin cukup perumahan, ingin cukup tempo pendidikan, ingin cukup meminum seni dan kultur, pendek kata kita berge rak karena ingin perbaikan nasib di dalam segala bagian-bagian dan cabang-cabangnya. 36
Jurnal IDe
Perbaikan nasib ini hanyalah bisa datang seratus persen, bilamana masyarakat sudah tidak ada kapitalisme dan imperialisme. Sebab stelsel inilah yang sebagai kemladean tumbuh di atas tubuh kita, hidup dan subur daripada tenaga kita, rezeki kita, zat-zatnya masyarakat kita. Welnu, bagaimanakah kita bisa menjelmakan pergerakan yang onbewust dan raguragu dan raba-raba menjadi pergerakan yang bewust dan radikal? Dengan suatu partai! Dengan suatu partai yang mendidik rakyat jelata itu ke dalam ke-bewust-an dan keradikalan. Dangan suatu partai, yang menuntun rakyat jelata itu di dalam perjalanannya ke arah kemenangan, mengolah tenaga rakyat jelata itu di dalam perjuangannya seharihari, menjadi pelopor daripada rakyat jelata itu di dalam menujunya kepada maksud dan cita-cita. Partailah yang memegang obor, partailah yang berjalan di muka, partailah yang menyuluhi jalan yang gelap dan penuh dengan ranjau-ranjau itu sehingga menjadi jalan yang terang. Partailah yang memimpin massa itu di dalam perjuangannya merebahkan musuh, partailah yang memegang komando daripada barisan massa. Partailah yang ha rus mengasih ke-bewust-an pada pergerakan massa, mengasih kesadaran, mengasih keradikalan.” Kutipan tulisan di atas sangat jelas, bahwa Keadilan dan kemakmuran menjadi sebuah harapan bagi masyarakat Indonesia, masyarakat juga berharap partai politik mampu mengembalikan fungsi partai menjadi pilar demokrasi yang dapat memperjuangkan dan membela kepentingan masyarakat, bangsa dan Negara. Hal ini juga tertuang dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik, sebagaimana berbunyi: “Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. r