KPU JAWA TIMUR
Jurnal IDe
Inspirasi Demokrasi
Mengawal Demokrasi Membangun Negeri
MEWUJUDKAN HUBUNGAN HARMONIS
ANTAR PENYELENGGARA PEMILU
September 2016
Suara KPU Jawa Timur
edisi
11
hak pi ih
Anda memiliki satu hak pilih pada saat pemilu. Satu suara Anda berpengaruh pada kemajuan bangsa.
Dari Redaksi
S
yukur alhamdulillah Kita haturkan kepada Allah SWT., sehingga Komisi Pemilihan Umum Jawa Timur (KPU Jatim) dapat menerbitkan kembali Jurnal Inspirasi Demokrasi (Ide) di bulan September 2016. Ucapan terima kasih tak lupa Kami sampaikan kepada jajaran Komisioner, Sekretaris serta seluruh staf KPU Jatim yang telah membantu proses penyusunan Jurnal Ide. Terima kasih pula tentunya kepada seluruh KPU kabupaten/ kota di Jawa Timur yang terus berpartisipasi aktif dalam penulisan Jurnal Ide di setiap bulannya. “Mewujudkan Hubungan Harmonis Antar Penyelenggara Pemilu” adalah tema Jurnal Ide Edisi ke-11. Penyelenggara pemilu yang demokratis, berintegritas, efektif dan efisien menjadi cita-cita bersama yang ingin diwujudkan bangsa dan negara ini untuk menghasilkan pemimpin yang membawa kemajuan bagi bangsa dan negara. Penyelenggara pemilu, baik KPU dan jajarannya, Bawaslu dan jajarannya, memegang peranan penting dalam menyukseskan penyelenggaraan pemilu. Demikian juga Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) selaku lembaga penjaga etik penyelenggara pemilu. Dengan demikian, dibutuhkan hubungan harmonis diantara penyelenggara ini agar penyelenggaraan pemilu dapat berjalan secara efektif. Namun, fakta di lapangan masih sering ditemukan permasalahan-permasalahan antar penyelenggara pemilu ini, yang berdampak menghambat kinerja masing-masing. Entah itu permasalahan di dalam hubungan internal KPU, internal Bawaslu, KPU dengan Bawaslu, serta KPU-Bawaslu-DKPP. Oleh karena itu, hadirnya Jurnal Ide kali ini ingin berbagi pengalaman mengenai permasalahan-permasalahan di lapang yang dapat mengganggu efektivitas kinerja, dan berupaya mendiskusikan bersama solusi terkait permasalahan tersebut. Sehingga harapannya dapat memberikan masukan bagi penyelenggaraan pemilu selanjutnya. Mengakhiri pengantar redaksi Jurnal Ide Edisi ke-11 ini, tentunya tak ada gading yang tak retak. Kritik dan saran yang membangun selalu diharapkan dari pembaca. Salam. r
Suara KPU Jawa Timur
September 2016
1
Daftar Isi Hal 3 Apa Yang Harus Harmonis Antar Penyelenggara Pemilu?
Hal 6 Sistemisasi Pola Komunikasi Intensif Antar Penyelenggara di Luar Tahapan Pemilu
Hal 9 KPU-Bawaslu: Kesatuan Fungsi Penyelenggaraan Pemilu
Hal 12 Efektifitas Organisasi KPU Sebagai Wujud Harmonisasi Penyelenggara Pemilu
Hal 15 Mencari Solusi Hubungan Harmonis Antar Penyelenggara Pemilu
Hal 20 Konflik Kepentingan Rekrutmen Anggota KPU
Hal 24 Strukturalisasi Komunikasi Politik Penyelenggara Pemilu Sebagai Upaya Menciptakan Hubungan Harmonis
Hal 31 Azimat Ampuh Itu Bernama “Kekompakan dan Keharmonisan”
Hal 28 Melerai Konflik, Implikasi Hubungan Harmonis Antar Penyelenggara Pemilu
Hal 34 Mewujudkan Hubungan Harmonis Antar Penyelenggara Pemilu
Pengarah: Eko Sasmito, Gogot Cahyo Baskoro, Choirul Anam, Dewita Hayu Shinta, Muhammad Arbayanto. Penanggungjawab: HM. E. Kawima. Pemimpin Redaksi: Slamet Setijoadji. Redaktur: Azis Basuki. Sekretaris Redaksi: Dina Lestari. Kontributor: Keluarga Besar KPU se-Jawa Timur. Alamat Redaksi: Badan Hukum, Teknis, Hupmas Sekretariat KPU Provinsi Jawa Timur Jl. Raya Tenggilis No. 1-3 Surabaya.
2
Jurnal IDe
Apa Yang Harus Harmonis Antar Penyelenggara Pemilu?
Harmonis, sebuah kata yang me ngandung makna yang ‘dalam’ dan perlu perenungan detail dari kata tersebut. Pertanyaan di atas adalah wajar jika terlontar, karena frase tersebut sering kita jumpai dalam bahasa administrasi.
TITUS SAPTADI Sekretaris KPU Kota Madiun Suara KPU Jawa Timur
September 2016
3
J
ika kita mengucapkan kata ‘harmonis’ pasti terbayang sesuatu hal situasi yang sangat diinginkan menjadi sesuatu yang indah, menyenangkan untuk kita alami. Tetapi kita akan berpikir manakala ada kalimat “harmonisasi antar penyelenggara pemilu”. KPU sudah terbentuk mulai tahun 1999 sesuai dengan Keppres nomor 16 tahun 1999, dalam perjalanannya KPU membentuk KPU daerah mulai tahun 2003 dengan membentuk perwakilan sekretariat umum KPU dimana wilayahnya meliputi dari sabang sampai merauke. Sebagai penyelenggara pemilu yang jujur dan adil sesuai amanat UU nomor 22 tahun 2007 tentang penyelenggaraan pemilu. Dalam perjalanannya KPU baik pusat maupun daerah telah mengalami banyak pasang surut dalam menyelengggarkan pemilu, ditambah lagi adanya beban penyelenggaraan pemilihan kepala daerah yang harus dilaksanakan sesuai perintah UU nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dari waktu ke waktu penyelenggara pemilu demokrasi mengalami dinamika yang cukup menarik perhatian untuk diketahui, mengingat KPU selalu tidak bisa dilepaskan dari dunia politik yang selalu rentan terhadap perubahan dan fenomena berdemokrasi yang sarat dengan cuaca ‘panas dingin’. “Harmonisasi penyelenggara pemilu”, perlu sebuah studi dan anilisa untuk bisa mencapainya, untuk mengurai harmoni, terutama yang menjadi titik atensi adalah keselarasan internal penyelnggara pemilu, khususnya di tubuh Komisi Pemilihan Umum. Harmoni atau keselarasan bisa dilihat dari beberapa aspek : aspek internal, dan aspek eksternal. Aspek internal adalah suatu sistem yang dipengaruhi oleh faktor dari dalam penyelenggara pemilu sendiri khususnya KPU, baik pusat maupun daerah. Poin yang ingin ditekankan di sini adalah adanya dual fungsional antara komisioner dan sekretariat, dimana masing-masing mempunyai fungsi stratejik dan simultansi. Dimana komisoner mempunyai fungsi pemutus kebijakan dan sekretariat sebagai pelaksana kebijakan, jelas fungsi berbeda dan sangat bisa diterjemahkan dengan kalimat, tetapi kadang sulit untuk diaplikasikan. Ini adalah tantangan yang harus ditembus dengan suatu niat baik untuk
4
Jurnal IDe
menjalankan goal dari KPU, apa itu goal yang ingin dicapai, yaitu visi dan misi KPU sendiri. Jika dua fungsi ini harmonis, yakin goal tersebut bisa dicapai. Nah faktor apa saja yang bisa mempengaruhi harmoni sisi aspek internal? aspek ini meliputi : Sumber daya manusia, yaitu kompetensi dan profesionalitas dari komisioner dan sekretariat dalam memandang kapasitas sebagaimana fungsi masing-masing, agar proses menuju goal berjalan dengan baik dengan saling merealisasi rencana dan keputusan yang telah ditetapkan. Motivasi, adalah suatu prilaku kerja atau budaya kerja yang berlaku pada lembaga KPU, jika motivasi terhadap goalnya visi misi tinggi baik pengambil maupun pelaksana kebijakan, pasti keselarasan atau harmoni akan tercapai. Sebaliknya jika budaya atau prilaku kerja didasari pada kepentingan pribadi atau golongan seseorang, yakin disitu akan terjadi percikan. Taat peraturan, yang dimaksud adalah dalam menjalankan fungsi harus tunduk pada peraturan dari bebagai ketentuan yang mengikat pada proses pekerjaan yang dilaksanakan. Kesejahteraan, mungkin sebagian orang menganggap kesejahteraan sebagai faktor alasan klasik, akan tetapi kesejahteraan adalah faktor penting dalam menjalankan motivasi dari pribadi penyelenggara pemilu. Tidak ada diskriminasi, selalu menghadirkan proporsi dan keadilan. Empati, saling memahami, mengerti dan bisa merasakan apa yang menjadi karakter dan beban serta sikap saling menghargai antara komisioner dengan sekretariat. Untuk memupuk kualitas hubungan ini perlu sekali dilatih melalui kegiatan yang selalu melibatkan komisioner dan sekretariat dalam satu kegiatan bersama, baik formal dan informal, misalnya: olah raga bersama, makan siang bersama, touring bersama, dan lain kegiatan yang dapat mempererat tali persaudaraan. Kelima faktor tersebut adalah faktor dominan agar harmoni KPU dapat tercapai, meskipun indikator lain dapat pula mempengaruhi harmoni, namun itulah yang signifikan terjadi dalam praktis. Aspek eksternal adalah suatu sistem yang dipengaruhi oleh faktor dari luar KPU. Aspek
ini lebih banyak dipengaruhi prilaku manajerial penyelenggara pemilu khusunya KPU dalam menjalankan fungsi terhadap stake holder terkait dan sistem kerja yang berada di luar KPU. Aspek ini antara lain: Komunikasi, pemahaman kita terhadap ketentuan atau peraturan yang berlaku terhadap institusi atau stake holder lain, hal ini perlu kita ketahui agar kita bisa memahami eksistensi lembaga yang terkait dengan tugas dan fungsi KPU. Perlu sekali kita menambah wawasan dengan cara sinkronisasi fungsi KPU dengan stake holder dan menjalankan koordinasi. Dukungan Pemerintah, baik pusat maupun daerah. Hal ini diperlukan mengingat personil yang terlibat dalam penyelenggaraan pemilu, terutama di skretariat KPU madih ada dukungan tenaga yang berasal dari pegawai daerah yang perlu sekali diintegrasikan pada lembaga KPU yang bersifat vertikal, dimana secara herarki juga mempunyai tenaga pelaksana organik di dalamnya. Selain itu
dukungan pemerintah dalam bentuk sarana dan prasarana, netralitas pemerintah daerah terutama jajaran PNS. Jadi apa yang harus diharmonisasikan, berdasar uraian dia atas sangat perlu sekali mewujudkan harmoni dalam tubuh KPU baik di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/ kota, yaitu melalui: Hubungan intensif dan mendalam antara komisioner dan sekretaris berserta staf agar dapat mencapai visi dan misi KPU, bukan hubungan biasa. Pemahaman kapasitas fungsi komisioner dan sekretariat sesuai tugas dan fungsi yang telah ditetapkan dengan prinsip saling percaya. Peraturan yang menyangkut manajemen kepemiluan dengan sumber daya manusia penyelenggara pemilu dapat diterapkan dengan baik dan seirama, agar penyelenggara (komisioner dan sekretariat) betul-betul mengerti memahami dan menjalankan peraturan itu. r Suara KPU Jawa Timur
September 2016
5
AHMAD HANAFI Divisi SDM dan Parmas KPU Kabupaten Jember
Sistemisasi Pola Komunikasi Intensif Antar Penyelenggara di Luar Tahapan Pemilu
Dalam penyelenggaraan Pemilu, keberhasilan penyelenggaraan tidak bisa dilepaskan dari peran seluruh penyelenggara pemilu dari level paling atas, KPU hingga level paling bawah, KPPS. Mengacu pada pasal 8 undang-undang nomor 15 tahun 2011, ada sembilan belas (19) kewenangan yang dimiliki KPU.
D
ari sembilan belas kewenangan itu, ada beberapa kewenangan yang implementasi atau pelaksanaannya dilakukan KPU Propinsi dan KPU kab/kota. Misalnya, KPU merencanakan program, anggaran, jadwal, tata cara dan pedoman teknis pelaksanaan tahapan Pemilu. Kewenangan itu merupakan kewenangan KPU, tetapi pada pelaksanaannya juga dilaksanakan oleh KPU propinsi dan KPU kab/kota supaya pelaksanaan pemilu berjalan sesuai dengan perencanaannya. Begitu juga dengan kewenangan KPU propinsi. Menurut pasal 9 ayat 1, UU nomor 15 tahun 2011, KPU propinsi memangku se puluh (10) kewenangan dalam melaksanakan tahapan pemilu yang pada implementasinya juga dilaksanakan oleh KPU kab/kota. Hal ini menggambarkan bagaimana hubungan koordinasi antara KPU propinsi dengan KPU kab/ kota. Karena dalam penyelenggaraan pemilu, antara KPU, KPU propinsi dengan KPU kab/ kota, merupakan satu kesatuan penyelenggara Pemilu dibawah komando KPU. Pada tingkatan KPU k/kota di dalamnya melingkupi tanggungjawab mengkoordinasi 6
Jurnal IDe
penyelenggara pemilu seperti PPK, PPS hingga KPPS. PPK, PPS dan KPPS memiliki peran yang krusial dalam penyelenggaraan pemilu karena mereka mengemban amanat tugas teknis penyelenggaraan yang bersentuhan langsung dengan pemutakhiran data pemilih dan pemungutan dan penghitungan suara. Dalam penyelenggaraan pemilu, tahapan pemutakhiran data pemilih, dan pemungutan dan penghitungan suara adalah tahapan yang krusial, yang oleh banyak pihak dianggap kerap bermasalah. Berdasarkan pasal 40 ayat 3, UU nomor 15/2011, PPK dibentuk KPU kabupaten/kota paling lambat 6 (enam) bulan sebelum penyelengaraan pemilu dan dibubarkan paling lambat 2 (dua) bulan setelah pemungutan suara. Begitu juga PPS, atas dasar pasal 43 ayat 3 undang-undang yang sama menyebutkan masa jabatan PPS sama dengan PPK. Walaupun sebagai penyelenggara ad hoc namun tugas, wewenang dan kewajiban PPK dan PPS sangat signifikan dalam penyeleng garaan tahapan pemilu. Ada 14 (empat belas) tugas, wewenang dan kewajiban PPK,
dan 23 (dua puluh tiga) tugas, wewenang dan kewajiban yang dimiliki PPS dalam penyelenggaraan Pemilu. PPK dan PPS terlibat dalam semua tahapan penyelenggaraan pemilu, bahkan pada hal-hal yang dianggap paling krusial seperti penyusunan daftar pemilih, sosialisasi, pemungutan dan penghitungan suara. Dari 23 (dua puluh tiga) tugas, wewenang dan kewajiban PPS, diantaranya PPS membentuk KPPS, mengangkat petugas pemutakhiran data pemilih. Supaya rekrutmen KPPS dan PPDP menghasilkan petugas yang bisa menjalankan tugasnya dengan baik, PPS dituntut memiliki kemampuan teknis kepemiluan yang baik dan komunikasi dengan para pemangku kepentingan di tingkat desa yang baik juga. Begitu juga KPPS, meskipun tugas, wewenang dan kewajibannya hanya meliputi tingka TPS saja, namun banyak persoalan Pemilu justru lahir dari masalah di TPS-TPS yang tidak tuntas. Pendeknya masa jabatan penyelenggara ad hoc mulai PPK, PPS dan KPPS ini, menjadi beban KPU kabupaten/kota untuk memastikan penyelenggara dibawah koordinasinya
bisa menjalankan tugas, wewenang dan kewajibannya dengan baik. KPU kabupaten/ kota memiliki waktu yang terbatas menyiapkan SDM penyelenggara ad hoc, sementara di sisi yang lain, tugas dan tanggungjawab penyelenggara ad hoc itu sangat signifikan. Peran Penyelenggara Ad hoc Dalam Pemilu Asas pemilu sebagaimana ditegaskan dalam pasal 22E UUD’45 adalah; langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil dan dua asas lainnya sebagaimana termaktub dalam undang-undang pemilu, yaitu transparan dan akuntabel. Proses pemungutan dan penghitungan suara di TPS merupakan penerapan dari asas pemilu tersebut. Oleh karena itu, peran KPPS sebagai penyelenggara pemilu di TPS, tentu saja memiliki andil yang besar dalam menjalankan proses tersebut. Selanjutnya peran aktif KPPS tak bisa dilepaskan dari peran PPS yang berkewajiban membentuk dan mengkoordinasi para KPPS. Peran aktif PPS tak bisa dilepaskan begitu saja dari PPK dalam menjalankan tugas, wewenang dan kewajibannya dalam mengkoordinasi PPS Suara KPU Jawa Timur
September 2016
7
di tingkat desa. Para penyelenggara adhoc ini menjadi satu kesatuan tak terpisahkan. Kualitas hasil kerja KPPS, PPS dan PPK, merupakan hal yang paling penting dalam proses pemungutan dan penghitungan suara serta hasil Pemilu. Proses perencanaan dan pelaksanaan pemilu yang dirancang sedemikian rupa oleh KPU dan dijabarkan oleh KPU propinsi dan KPU kabupaten/kota, tidak berarti apa-apa jika PPK, PPS dan KPPS tidak melaksanakan tugasnya dengan baik, tidak independen dan melakukan kecurangan karena motif uang ataupun motif lainnya. Hasil kerja KPU kabupaten/kota, KPU propinsi dan KPU sepenuhnya bergantung pada kualitas kerja KPPS, PPS dan PPK. Pentingnya Membangun Komunikasi Sistematis Antar Penyelenggara Pemilu Karena pentingnya peran penyelenggara ad hoc seperti KPPS, PPS dan PPK dalam penyelenggaraan pemilu, sementara disisi lain, karena masa tugas yang diberikan kepada mereka hanya temporal yang relatif singkat, maka perlu ada rumusan pola komunikasi yang efektif dan sistematis antara penyelenggara ad hoc itu dengan KPU. Jika komunikasi itu terjalin hanya pada saat tahapan pemilu berjalan sesuai dengan tahapan pemilu yang ditetapkan KPU, keterbatasan waktu tentu saja menjadi kendala utama dalam upaya untuk meningkatkan pengetahuan teknis kepemiluan maupun dalam rangka membangun integritas penyelenggara pemilu pada semua tingkatan. Dalam hasil Studi Tentang Desain Kelembagaan Pemilu Yang Efektif, Partnersip 2015, disebutkan beberapa poin tentang desain kegiatan yang direkomendasikan untuk memperkuat kelembagaan penyelenggara pemilu maupun pola hubungan yang efektif antar penyelenggara pemilu. Pertama, pendidikan tinggi bekerjasama dengan Kementerian Dalam Negeri/Pemerintah Daerah menyelenggarakan pendidikan politik mengenai pemilu, demokrasi dan kebangsaan dengan sasaran warga di pedesaan-pedesaan/kelurahan. Sedikitnya 10% warga yang berdomisili di desa/kelurahan yang sudah mempunyai hak memilih, baik lakilaki maupun perempuan, dan minimal berpendidikan SLTP dipilih menjadi peserta pendidikan 8
Jurnal IDe
politik. Materi pendidikan politik diberikan dengan metode yang menarik dan bisa dipahami peserta. Peserta yang lulus dalam pendidikan kemudian diberi sertifikat kelulusan. Peserta yang lulus inilah yang nantinya diusulkan untuk mengikuti seleksi KPPS, PPS dan PPK. Kedua, kepala desa/lurah dan badan musyawarah desa/ dewan kelurahan me ngusulkan 14 (empat belas) nama untuk diusulkan menjadi calon anggota KPPS, 6 (enam) nama untuk diusulkan menjadi calon anggota PPS dari mereka yang telah lulus dan mengantongi sertifikat kelulusan pendidikan politik, ke KPU kab/kota melalui PPK. Sementara untuk PPK, KPU kab/kota membentuk tim untuk melakukan seleksi anggota PPK dari kecamatan, dan menetapkan 5 nama dari 10 nama yang diusulkan oleh tim. Ketiga, KPU kab/kota melatih 4 dari 7 anggota KPPS untuk setiap desa untuk Penyusunan Berita Acara, Sertifikat Hasil Perhitungan Suara dan Salinan Sertifikat Hasil Perhitungan Suara. Untuk selanjutnya pelaksanaan pemilu selesai, KPU kab/kota melakukan evaluasi secara menyeluruh dan berjenjang atas pro ses kerja dan hasil kerja KPPS, PPS dan PPK di wilayahnya. Dari hasil evaluasi tersebut akan diketahui siapa yang kinerjanya baik, sedang atau tidak baik. Bagi panitia pemilihan yang memiliki kinerja baik, akan dipanggil kembali untuk menjadi panitia pemilihan pemilu be rikutnya bagi yang masih memenuhi syarat dan bersedia kembali. Pada poin terakhir inilah yang akan menjadi dasar bagi KPU kab/kota untuk menjalin komunikasi yang intensif melalui berbagai cara komunikasi yang efektif dan masif kepada semua penyelenggara pemilu baik berupa komunikasi tatap muka maupun jalur komunikasi lainnya, seperti buletin, majalah atau grup media sosial. Komunikasi ini dimaksudkan untuk pemutakhiran informasi dan pengetahuan mengenai pemilu. Dengan pola ini hubungan antar penyelenggara pemilu bisa tersistematisasi dengan baik dan akan berjalan efektif, karena bisa menjembatani kendala keterbatasan waktu komunikasi dan interaksi antara KPU kab/ kota dengan PPK, PPS dan KPPS. Dengan pola ini juga komunikasi dan interaksi tidak hanya berjalan saat tahapan pemilu saja tetapi juga bisa terjalin di luar tahapan pemilu. r
FAJAR SANTOSA Divisi Hukum KPU Kota Malang
KPU-Bawaslu; Kesatuan Fungsi
Penyelenggaraan Pemilu Konstitusi UUD 1945 pasal 22E ayat (5) menyatakan bahwa pemilu diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Ketentuan tersebut tidak menyebut nama suatu lembaga penyelenggara pemilu secara khusus.
T
afsir konstitusional atas pengertian “komisi pemilihan umum” sebagai penyelenggara pemilu serta pengertian sifat mandiri bagi penyelenggara pemilu dapat dirujuk dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-VIII/2010 yang me nguji undang-undang Nomor 22 tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu yang telah dirubah dengan undang-undang nomor 15 tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu. Menurut putusan MK, frasa “suatu komisi pemilihan umum” dalam UUD 1945 dinyatakan tidak merujuk kepada nama institusi, melainkan menunjuk kepada fungsi penyelenggaraan pemilu yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Dalam kesatuan sistem, penyelenggaraan pemilu tidak hanya dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU)
yang di dalamnya terdapat KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota, melainkan juga termasuk pengawasan pemilu yang dijalankan oleh Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), yang di dalamnya terdapat Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) provinsi dan Panitia Pengawas Pemilu (panwaslu) kabupaten/kota. Keduanya merupakan satu ke satuan fungsi penyelenggaraan pemilu. Penyelenggara pemilu yang mandiri, netral-imparsial, dan yang memegang asasasas penyelenggaraan pemilu yang jujur, adil, dan demokratis akan menjamin terlaksananya pemilu yang memenuhi asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Di sisi yang lain penyelenggaraan pemilu tentu membutuhkan mekanisme pengawasan sehingga baik penyelenggara maupun Suara KPU Jawa Timur
September 2016
9
penyelenggaraan pemilu dapat selalu dijaga sehingga terpenuhi asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Tanpa adanya mekanisme pengawasan oleh lembaga yang mandiri, netral-imparsial, dan yang memegang asas-asas penyelenggaraan pemilu yang jujur, adil, dan demokratis, maka penyelenggaraan pemilu yang berintegritas akan sulit diwujudkan. Dalam peraturan perundang-undangan pemilu terdapat tiga lembaga negara yang diberikan mandat oleh undang-undang nomor 15 tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu untuk menyelenggarakan urusan kepemiluan sesuai tugas dan fungsinya ma sing-masing. Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) adalah tiga pilar dalam penyelenggaraan pemilihan umum. Undang-undang tidak menyebutkan diantara ketiga penyelenggara pemilu tersebut mana kedudukan hukumnya yang lebih tinggi, tapi memberikan penegasan atas fungsi dan kewenangan masing-masing sehingga memungkinkan mekanism checks and balances dalam penyelenggaraan pemilu dapat diwujudkan. Dalam perspektif yang lebih sempit penyelenggara pemilu adalah lembaga yang menyelenggarakan pemilu yang terdiri atas komisi pemilihan umum dan badan pe ngawas pemilu sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan pemilu. Dengan tegasan tersebut maka secara undang-undang yang disebut sebagai penyelenggara pemilu adalah KPU dan Bawaslu saja, sedangkan DKPP tidak secara eksplisit didudukkan sebagai penyelenggara pemilu. Namun secara fungsional berdasarkan peraturan perundang-undangan pemilu, selain KPU dan Bawaslu yang berkualifikasi sebagai penyelenggara pemilu adalah DKPP karena DKPP mempunyai mandat memeriksa, mengadili, dan memutuskan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu yang adalah merupakan pelanggaran terhadap etika penyelenggara pemilu yang berpedomankan sumpah dan/atau janji sebelum menjalankan tugas sebagai penyelenggara pemilu. Dalam konteks penyelenggaraan pemilu, undangundang penyelenggara pemilu memberikan 10
Jurnal IDe
batasan DKPP sebagai lembaga yang bertugas menangani pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu dan merupakan satu kesatuan fungsi penyelenggaraan pemilu. Dalam diskursus kepemiluan hampir tidak pernah dibicarakan relasi antara KPU dan/atau Bawaslu dengan DKPP dalam konteks relasi yang bernuansa ketegangan ataupun vis a vis berhadap-hadapan. Baik KPU dan/atau Bawaslu adalah pihak yang diadukan dalam konteks dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu oleh DKPP, sehingga setiap jajaran anggota KPU sampai ke bawah dan setiap jajaran Bawaslu sampai ke bawah akan menerima dan menjalankan putusan DKPP secara sami’na wa atho’na. Hubungan yang lebih dinamis akan lebih muncul jika optik pengamatan kita arahkan pada relasi antara KPU dengan Bawaslu. Oleh karena itu tulisan sederhana ini akan lebih memfokuskan pada issue bagaimana seha rusnya hubungan KPU dan Bawaslu dibangun sebagai sesame penyelenggara pemilu. Undang-undang memberikan batasan jelas bahwa KPU dan Bawaslu adalah satu kesatuan fungsi penyelenggaraan pemilu. Sebagai dua lembaga yang memiliki satu kesatuan fungsi maka KPU dan Bawaslu memiliki kepentingan yang sama ialah penyelenggaraan pemilu dilaksanakan sesuai dengan tahapan berdasarkan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebagai pengawas pemilu Bawaslu didirikan bukan untuk mencari-cari kesalahan KPU sebagai penyelenggara teknis. Pun sebagai pengawas Bawaslu bukan didirikan untuk melegitimasi setiap perbuatan hukum KPU. Kesetaraan hubungan ini diikat dalam Peraturan Bersama Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilihan Umum, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum Nomor 13 Tahun 2012-Nomor 11 Tahun 2012-Nomor 1 Tahun 2012 tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilu. Pasal 7 Pe raturan Bersama tersebut memiliki tegasan bahwa penyelenggara pemilu berkewajiban menghargai dan menghormati sesama lembaga penyelenggara pemilu dan pemangku kepentingan pemilu. Kewajiban menghargai dan menghormati itu tentu dalam pengertian menghargai dan menghormati mandat
yang diberikan oleh undang-undang kepada masing-masing lembaga. Beberapa model relasi antar penyelenggara pemilu Jika dilakukan identifikasi di lapangan maka menurut penulis setidaknya terdapat tiga model yang menggambarkan pola relasi antar penyelenggara pemilu, yaitu KPU beserta jajarannya dengan Bawaslu beserta jajarannya. Pola relasi antar Penyelenggara Pemilu ini dipengaruhi oleh kefahaman masingmasing personil pada lembaga penyelenggara pemilu dalam menjalankan tugas sesuai visi, misi, tujuan dan program lembaga penyelenggara pemilu. Berikut penulis uraikan beberapa pola relasi antar penyelenggara pemilu. Pertama, relasi yang penuh ketegangan antara Bawaslu dengan KPU. Relasi ini tidak sehat, memubadzirkan energi dan tidak konstruktif bagi penyelengaraan pemilu yang berkualitas. Dalam pola relasi ini Bawaslu beserta jajarannya dan KPU beserta jajarannya berada dalam situasi persaingan untuk meneguhkan eksistensi masing-masing lembaga, persis seperti hubungan Tom and Jerry. Ketika pengawas pemilu meletakkan prinsip bahwa keberhasilan pengawas dilihat secara kuantitas pada jumlah pelanggaran pemilu yang ditindak maka hal itu akan memunculkan dorongan bagi jajaran pengawas pemilu mencari-cari kesalahan penyelenggara teknis pemilu. Dalam situasi demikian maka penyelengara teknis juga akan cenderung defensif dan cenderung menutup akses informasi penyelenggaraan pemilu karena khawatir keterbukaan proses penyelenggaraan pemilu dipandang akan mengancam eksistensi kelembagaan penyelenggara teknis. Kedua, relasi yang harmonis tapi konspiratif. Sifat relasi ini negatif. Penyelenggara teknis dan pengelenggara pada aspek pengawasan hubungannya sangat erat dan dekat. Namun hubungan yang dekat itu cenderung disalahgunakan untuk mentolerir kekeliruan teknis penyelenggaraan hingga mentolerir kecurangan-kecurangan pemilu. Situasi demikian mendorong penyelenggara teknis dan penyelenggara aspek pengawasan untuk kompak mengabdi pada kepentingan pihak tertentu yang tak dapat dipertanggungjawab11
kan. Pada situasi demikian baik pelanggaran administrasi, pelanggaran pidana maupun pelanggaran kode etik pemilu menjadi ruang yang sarat dengan negosiasi. Akibatnya terjadi penyelesaian pelanggaran pemilu dengan pendekatan “adat” yang sering memunculkan aroma korupsi dan kolusi. Di lapangan dikenal dengan dengan istilah “tahu sama tahu”, dan berlaku adagium sebagaimana sesama bus kota tidak boleh saling mendahului, maka sesama penyelenggara pemilu juga tidak boleh saling “mendahului.” Ketiga, relasi yang harmonis konstruktif. Model relasi yang harmonis konstruktif ini relevan dengan tuntutan etik bagi penyelenggara pemilu untuk saling menghargai dan menghormati tugas dan fungsi lembaga penyelenggara pemilu yang lain. Untuk menciptakan relasi antar penyelenggara pemilu yang harmonis konstruktif maka masingmasing penyelenggara pemilu harus memegang komitmen bahwa hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta etika penyelenggaraan pemilu adalah referensi utama bagi setiap penyelenggara pemilu. Dengan kalimat lain penyelenggaraan pemilu akan bisa diselenggarakan sesuai dengan mekanisme yang ada apabila penyelenggara pemilu mau konsisten menjalankan aturan. Konsistensi penyelenggara pemilu memegang teguh aturan akan menjadi faktor signifikan dalam mewujudkan prmilu yang berintegritas (electoral integrity). Pola relasi yang ketiga itulah yang semestinya disuburkan dalam etos kerja seluruh penyelenggara pemilu. Tidak ada yang lebih hebat diantara KPU dengan Bawaslu. Kehebatan keduanya hanya jika keduanya bersamasama memegang teguh hukum, peraturan perundang-undangan dan etika penyelenggara pemilu. Jika salah satu merasa lebih hebat dan lebih penting dalam penyelenggaraan pemilu maka hal itu akan menciderai prinsip satu kesatuan fungsi penyelenggaraan pemilu. Satu-satunya perlombaan yang dilegalkan antara KPU dan Bawaslu adalah perlombaan untuk menyelamatkan hak konstitusional warga negara dalam pemiluhan umum, dan menjadi pelayan terbaik bagi warga negara dalam mewujudkan pemilihan umum yang berintegritas. Wallahua’lam. r 11 Suara KPU Jawa Timur
September 2016
11
LILIK ERNAWATI Divisi SDM dan Parmas KPU Kabupaten Bondowoso
Efektifitas Organisasi KPU Sebagai
Wujud Harmonisasi Penyelenggara Pemilu Untuk menjaga agar kedaulatan rakyat, UUD 1945 pasca perubahan memperkenalkan sebuah lembaga profesional khusus mena ngani penyelengaraan pemilu. Adapun nama lembaga profesio nalisme penyelenggara pemilu tersebut adalah komisi pemilihan umum (KPU) yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri
K
eberadaan lembaga penyelenggara pemilihan umum ini dipertegas sebagaimana ketentuan UUD 1945 Pasal 22 E ayat (5), “Pemilihan Umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.” Selanjutnya dapat juga dibaca dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 Pasal 1 angka (6) dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2012 Pasal 1 angka (6). Adapun untuk penyelenggaraan di tingkat provinsi diperkenalkan Komisi Pemilihan Umum Provinsi, selanjutnya disebut KPU Provinsi. Untuk level penyelenggaraan di tingkat kabupaten diperkenalkan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten, yang selanjutnya disingkat KPU Kabupaten. Manajemen pemilu yang membutuhkan penanganan secara profesional, akuntabel, dan integritas yang tinggi menjadi tanggung jawab KPU secara hirarki untuk mewujudkannya. Selama pelaksanaan pemilu berlangsung, ada sejumlah permasalahan, di antaranya adalah masalah sumber daya manusia (SDM). Perhatian terhadap manajemen sumber daya manusia (MSDM) penting 12
Jurnal IDe
dilakukan, sebagai antisipasi peningkatan pelayanan dan kesuksesan dalam penyelenggaraan Pemilu dilingkungan kerja KPU Kabupaten. Efektifitas Organisasi Efektivitas sesungguhnya merupakan suatu konsep yang luas, mencakup berbagai faktor di dalam maupun di luar organisasi (Lubis dan Huseini, 1987: 55). Karena itu terdapat berbagai pendekatan dalam me ngukur efektivitas organisasi ini. Berdasarkan pendekatan sasaran (goal approach), dalam penelitiannya G. W. England menyebut beberapa indikator efektivitas, yaitu efisiensi organisasi, produktivitas yang tinggi, memaksimalkan keuntungan, pertumbuhan organisasi, kepemimpinan organisasi pada sektornya, stabilitas organisasi, kesejahte raan karyawan dan kesejahteraan sosial di lingkungan organisasi (dalam Lubis dan Huseini, 1987: 58). Pembahasan tentang efektivitas organisasi (organizational effectiveness) sebagaimana dikemukakan para ahli teori organisasi pada umumnya berkaitan dengan
pelaksanaan tugas dan fungsinya. Narayanan dan Nath, misalnya mengemukakan bahwa efektivitas organisasi referse to human judgements about wheter anorganization is functioning satisfactorily (1993: 183). Lubis dan Huseini menjelaskan bahwa pengertian tentang tujuan atau sasaran organisasi merupakan langkah awal pembahasan efektivitas organisasi, dan sasaran itu sendiri merupakan keadaan atau kondisi yang ingin dicapai oleh suatu organisasi (1987: 54). Berkaitan dengan indikator, kriteria dan faktor-faktor efektivitas organisasi ini terda pat beragam pandangan dari para ahli. De ngan menyebutnya sebagai intervening variables, James L. Price mengemukakan ada lima aspek, yaitu productivity, conformity, morale, adaptiveness, dan institutionalization (dalam Gibson, Ivancevich,dan Donnely, 1973: 30). Dengan jumlah kriteria yang lebih banyak, Robbins (1991: 71) mengemukakan lebih jauh tentang kriteria efektivitas organisasi, yaitu: (a) Flexibility: Able to adjust well to shifts in external conditions and demands; (b) Acquisition of Resources: Able to increase
external support and expand size of work; (c) Planning: Goals are clear and well understood; (d) Productivity and Efficiency: Volume of output ashigh: ratio of output to input is high; (e) Availability of information: Channels of communication facilitate informing people about things that affect their work; (f) Stability: Sense of order, continuity, and smooth, functioning of operations; (g) Cohesive work force: Employees trust, respect, and work well with each other; (h) Skilled work force: Employees have the training, skills, and capacity to do their work properly. Aspek flexibility tampaknya masih marupakan sulit untuk terwujud. Kapasitas untuk segera menyesuaikan diri dan merespon tuntutan stakeholders, khususnya peserta Pemilukada masih lemah. Hal ini seringkali terkendala oleh karakteristik organisasinya sebagai bagian dari pemerintah daerah yang masih berorientasi sebagai “patron” yang dikelilingi oleh “klien”. Bagaimana misalnya hal-hal teknis administratif seringkali dikeluhkan oleh stakeholders pemilu dalam berhubungan dengan jajaran sekretariat. Aspek acquisition of resources yang Suara KPU Jawa Timur
September 2016
13
berkenaan dengan dukungan pihak eksternal organisasi untuk tercapainya tujuan dan program-program pemilu. Dalam hal ini kemampuan berkolaborasi dan memanfaatkan peluang dengan membangun sinergitas masih belum berjalan optimal. Misalnya masih banyak segmen masyarakat yang belum tersentuh sosialisasi pemilu/pemilukada sebagai salah satu titik lemah penyelenggaraan pemilu/pemilukada. Aspek planning banyak terkait dengan pemahaman yang belum utuh tentang tugas, wewenang, dan kewajiban, tujuan organisasi dan aspek-aspek teknis berbagai pedoman penyelenggaraan pemilu/pemilukada. Tampak jelas bahwa upaya peningkatan kapasitas dalam aspek ini, yang berakibat acapkali terganggunya berbagai tahapan pemilu/pemilukada. Hal ini pula yang memicu munculnya berbagai bentuk ketidakpuasan publik, mi salnya pada tahap pemutakhiran data pemilih dan verifikasi persyaratan bakal calon perseorangan. Aspek productivity dan efficiency yang ditampilkan juga masih jauh dari memadai. Beberapa tahapan pemilu yang menjadi catatan penting terkait hal ini adalah masih tingginya warga masyarakat yang tidak masuk daftar pemilih tetap, tidak maksimalnya distribusi logistik, serta pelayanan administrasi keuangan yang masih belum prima. Aspek availability of information dalam rangka membangun sinergitas dan soliditas internal organisasi juga masih timpang. Upaya membangun komunikasi dengan menggunakan berbagai perangkat yang tersedia juga masih lemah. Hal ini terutama terkait dengan informasi jadwal setiap tahapan pemilukada dan informasi hasil pemilukada. Aspek stability yang pada dasarnya sangat berkenan dengan keutuhan dan keberlangsungan tujuan-tujuan organisasi, memegang peran penting dalam kaitan dengan peran aparatur sekretariat. Sebagai pemegang berbagai jenis sumberdaya organisasi sekretariat, dituntut konsistensi sekaligus fleksibilitas untuk membuat terobosan apabila menemukan kendala teknis administratif. Tampak bahwa hal inipun masih ada hal-hal yang belum optimal sehingga timbul potensi konflik internal organisasi. Aspek cohesive work force secara sangat 14
Jurnal IDe
kentara berkaitan dengan soliditas internal organisasi sekretariat. Pelaksanaan tugastugas kesekretariatan dalam beberapa hal seringkali terganggu karena direcoki kompetisi tidak fair dan konflik internal aparatur sekretariat yang tidak segera mendapatkan resolusi. Aspek skilled work force merupakan segi sangat menentukan bagi efektivitas orga nisasi. Keterampilan dan kompetensi aparatur sekretariat menjadi pintu pembuka bagi kinerja organisasi penyelenggara pemilu secara keseluruhan. Tidak semua kesempatan yang diberikan kepada aparatur untuk me ningkatkan kapasitasnya dipergunakan dengan sebaik-baiknya. Berdasarkan pandangan para ahli, jelas bahwa konsep efektivitas organisasi itu sangat luas, dapat dipandang dari berbagai sudut, sehingga melahirkan berbagai pendekatan (approach) yang bervariasi. Secara esensial tampak bahwa efektivitas organisasi ini sangat berkaitan dengan tingkat pencapaian terhadap apa yang menjadi tujuan atau sasaran dari Sekretariat KPU Provinsi dan KPU kabupaten/kota sebagai organisasi supporting system penyelenggaraan pemilukada. Apabila hal ini mewujud, maka akan berkontribusi kepada mantapnya tugas, wewenang, dan kewajiban KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota sebagai penyelenggara pemilu/pemilukada. Dengan kata lain akan semakin mendekatkan pada tercapainya tujuan diselenggarakannya Pemilu. Hal ini selaras dengan yang dikemukakan Surbakti bahwa tujuan pemilu adalah sebagai mekanisme untuk menyeleksi para pemimpin pemerintahan dan alternatif kebijakan umum, mekanisme memindahkan konflik kepentingan dari masyarakat kepada badan-badan perwakilan rakyat, serta sebagai sarana memobilisasikan dan/atau menggalang dukungan rakyat terhadap negara dan pemerintahan (1992: 181-182). Dengan demikian, sangat jelas relevansi antara pemilu termasuk pemilukada sebagai proses politik dengan keberadaan suatu negara dan pemerintahan demokratis, yang akan terdukung oleh sekretariat KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota sebagai organisasi, penyelenggara pemilu yang efektif. r
NANANG HAROMIN Divisi Hukum KPU Kabupaten Sidoarjo
Mencari Solusi Hubungan Harmonis
Antar Penyelenggara Pemilu
Sudah bukan rahasia lagi, setiap ada hajatan pemilu baik itu Pileg, Pilpres maupun Pilkada, publik selalu ramai disuguhi berita seputar polemik (menjurus konflik) antara dua institusi penyelenggara pemilu: KPU dan Bawaslu.
K
omisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) baik yang di jajaran pusat sampai di level daerah. Ada pertanyaan mengelitik, Me ngapa kejadian ini terus berulang setiap ada hajatan Pemilu? Sebenarnya apa yang terjadi, mengapa begitu sulit untuk harmonis bekerja dalam satu nafas kesatuan fungsi penyelenggara pemilu? Dan apa yang bisa dilakukan agar konflik tersebut tak terus berulang? Sesunguhnya, UU No 15 Tahun 2011 tentang Penyelengga Pemilu secara ideal telah merumuskan keberadaan KPU dan Bawaslu dalam satu nafas harmonis sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan pemilu. Kedua lembaga ini telah diamanatkan UU untuk menyelenggarakan pemilu menurut fungsi, tugas, dan kewenangannya masing-masing. KPU sebagai pelaksana teknis setiap tahapan pemilu. Bawaslu pada fungsi pengawasan, penanganan pelanggaran, dan penyelesaian sengketa pemilu. Masing-masing lembaga tersebut memiliki tingkat jajaran yang bertugas menyelenggarakan pemilu mulai dari tingkat provinsi hingga kabupaten bahkan pada pelaksanaan pemilu juga dilakukan hingga di tingkat desa/kelurahan. KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota yang merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari KPU nasional se suai dengan undang-undang nomor 15 pasal 1 poin 8 bahwa komisi pemilihan umum kabupaten/kota, selanjutnya disingkat KPU kabupaten/Kota, adalah penyelenggara pemilu yang bertugas melaksanakan pemilu di kabupaten/kota. Demikian pula Bawaslu merupakan satu kesatuan lembaga negara yang bersama-sama dengan seluruh jajaran panwaslu di seluruh Indonesia merupakan satu institusi pengawas pemilihan umum, sesuai dengan undang-undang nomor 15 tahun 2011 pasal 1 poin 18 bahwa Panitia Pengawas Pemilu kabupaten/kota, selanjutnya disingkat Panwaslu Kabupaten/Kota, adalah panitia yang dibentuk oleh Bawaslu Provinsi yang bertugas mengawasi penyelenggaraan Pemilu di wilayah kabupaten/kota. Akan tetapi pada implementasinya masing-masing lembaga selalu debatable dalam menjalankan peran dan tugas, wewenang selama proses penyelenggaraan pemilu yang berdampak pada kualitas penyelenggaraan pemilu. KPU dan Bawaslu tak pernah bisa lepas dari polemik, konflik dan perdebatan (laten) satu sama lain. Sejak pemilu era reformasi, hubungan antara pengawas dan pelaksana pemilu selalu cenderung tak harmonis. Bedanya, ada Suara KPU Jawa Timur
September 2016
15
yang mampu meredam ketidakharmonisan itu dalam bingkai kerja peran kritis pengawasan pemilu demokratis. Untuk kasus di Sidoarjo sendiri, dalam pelaksanaan di lapangan ditemukan bebe rapa kendala pada masing-masing lembaga dalam menyelenggarakan pemilu terkait tugas dan wewenang Panwaslu dan KPU yang menjadi perdebatan yang berdampak pada proses penyelenggaraan pemilu yang kurang berkualitas, akutanbilitas dan integritas sesuai dengan asas-asas sebagai penyelenggara pemilu, misalnya dalam pelaksanaan pemilu legislatif 2014, konflik lima parpol yang menolak untuk diawasi panwaslu karena menganggap panwaslu tidak berwenang mendata ulang atau melakukan proses tahapan verifikasi Parpol. Menurut Parpol tidak selayaknya Panwaslu meminta data verifikasi, seharusnya meminta ke KPU karena data yang diminta sudah diserahkan kepada KPU kabupaten Sidoarjo. Panwaslu juga tidak seharusnya menginstruksikan kepada KPU kabupaten Sidoarjo untuk menunda pe ngumuman hasil verfikasi, karena dinilai tidak akomodatif terhadap pengawasan panwaslu sesuai kewenangan yang diberikan panwaslu yang diatur dalam Peraturan Bawaslu RI No 16 tahun 2013 tentang Pengawasan Atas Pendaftaran. Secara garis besar, Komisi 16
Jurnal IDe
Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Sidoarjo menilai bahwa kinerja Panwaslu hanya meminta data dan hanya mengawasi kinerja Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Sidoarjo saja selama penyelenggaraan pemilu legislatif 2014 di kabupaten Sidoarjo. Tidak ha nya itu, pada pelaksanaan Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Sidoarjo 2015, mulai dari proses tahapan verifikasi calon sampai pada tahapan-tahapan lain seperti penetapan daftar pemilih tetap, alat peraga kampanye bahkan pada tahapan proses logistik yang dilakukan oleh KPU kabupaten Sidoarjo yang menjadi ruang lingkup pe ngawasan oleh panwaslu kabupaten Sidoarjo juga di nilai terlalu berlebihan. Nampaknya desain ideal yang dirumuskan UU tidak mampu atau gagal diimplementasikan dalam pelaksanaan di lapangan. Ketimbang pencapaian kesepakatan pembagian tugas, fungsi, dan wewenang antar masingmasing lembaga, apa yang terjadi antara KPU Sidoarjo dan Panwaslu Kabupaten lebih banyak pada kesalahpahaman dan ketidaksepahaman tentang suatu hal. Berbahayanya kesalahpahaman dan ketidaksepahaman itu selalu terlontar ke ranah publik. Publik ikut dilibatkan pada perdebatan yang akhirnya menjauh dari upaya-upaya membangun kepercayaan terhadap penyelenggara dan pe-
nyelenggaraan pemilu yang luber, jurdil, dan demokratis. Dalam menjalankan tugas, dan wewenang masing-masing penyelenggara dalam menyelenggarkan pemilu menganut kepada kebijakan masing-masing lembaga sesuai dengan undang-undang nomor 15 tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu dan Peraturan KPU yang terdapat pada Bab Ke-VII pasal 119 mengenai Peraturan dan Keputusan Penyelenggara pemilu. KPU memiliki Peraturan KPU yang disebut dengan PKPU sementara Bawaslu memiliki aturan Peraturan Bawaslu yang disebut dengan PerBawaslu dalam menyelenggarakan pemilu. Akan tetapi hal tersebut yang menjadi perdebatan dalam menjalankan tugas dan wewenang masingmasing lembaga dalam menyelenggarakan pemilu, yang terjadi dilapangan antara panwaslu dan KPU berjalan sendiri-sendiri sesuai dengan aturan masing-masing dimana berdasarkan hasil persepsi dimasing-masing penyelenggara yang berakibat proses penyelenggara pemilu yang tidak berkualitas Persepsi terkait kurangnya pemahaman regulasi dalam penyelenggaraan pemilu berkaitan dengan peran, tugas dan wewenang mereka yang cukup rumit dalam pemilu legislatif 2014 dan pilkada 2015 di kabupaten Sidoarjo, sebenarnya masingmasing lembaga sudah menjalakan sesuai dengan aturan yang sudah ditetapkan tetapi belum cukup optimal. Panwaslu sebagai lembaga yang berperan sebagai pengawas pemilu menganggap lembaganya sudah sesuai de ngan aturan yang ada, sedangkan pihak KPU menganggap panwaslu sedikit berlebihan dalam menjalankan perannya karena menurut KPU, terlau diintervensi dalam menjalankan perannya sebagai penyelenggara pemilu oleh pihak panwaslu. Sedangkan dari pihak panwaslu merasa lembaganya sudah sesuai de ngan aturan yang ada, panwaslu tidak hanya mengawasi peserta pemilu akan tetapi juga mengawasi seluruh proses penyelenggaran Pemilu yang berlangsung mulai dari input, proses, dan uotput termasuk secara teknis penyelenggarannya dilakukan oleh KPU. Kalau di lihat dari hal di atas, intinya masing-masing lembaga sudah melakukan tanggung jawab dalam menjalankan peran, tugas dan wewenang penyelenggaran pemilu tetapi
belum cukup optimal dalam pelaksanaanya. Yang terlihat terjadi beberapa kendala me ngenai peran masing-masing lembaga ka rena terdapat perbedaan presepsi terhadap regulasi yang sudah ditetapkan yang me ngakibatkan lemahnya kualitas penyelenggaraan pemilu itu sendiri yang terpacu pada konflik peran masing-masing penyelenggara dan tanggungjawab masing-masing penyelenggara yang kurang maksimal tidak berfokus pada kualitas proses penyelenggaraan pemilu itu sendiri. Ancaman terhadap kualitas pemilu Indonesia yang disebabkan konflik berkepanja ngan KPU-Panwaslu tidak boleh dibiarkan. Berangkat dari pemikiran hal ini, KPU Sidoarjo dalam pelaksanaaan Pilkada 2015 kemarin, berinisiatif lebih mengedepankan pendekatan dialog, komunikasi, dan koordinasi secara terbuka satu sama sehingga dalam pelaksanaan Pilkada 2015, koordinasi dan komunikasi terjalin lebih erat. KPU sebelum mengambil kebijakan atau keputusan strategis terlebih dahulu mengajak diskusi panwaslu. Demikian juga panwaslu, terlebih dahulu mengingatkan secara persuasif tidak seperti sebelumnya, yang dengan senang hati mengancam men-DKKP-kan KPU apabila tidak sesuai dengan regulasi yang ada. Sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggara pemilu masing-masing penyelenggara menyadari untuk saling melengkapi keberadaan satu sama lain bukan saling kompetisi tunjukan eksistensi. Lebih jauh lagi, untuk kedepannya, mengingat personel penyelanggara pemilu yang terus berganti-ganti setiap pelaksanaan pemilu khususnya di panwaslu, pola yang sudah terjalin di kalangan penyelenggara pemilu di Sidoarjo harus dipertahankan, dialog harus selalu lebih dikedepankan, penyelenggara pemilu harus disiplin dalam menjalankan proses penyelenggaraan pemilu sesuai dengan aturan-aturan yang ada agar terwujud pemilu yang berkualitas, akutanbilitas dan integritas. Panwaslu dan KPU juga harus menganut regulasi yang sudah ditetapkan dalam menjalankan peran masing-ma sing agar tidak terjadi konflik lagi. Karna jika permasalahan ini tidak segera dipecahkan dan dibiarkan terus berlarut maka akan bisa berdampak pada ketidakpercayaan terhadap proses dan hasil pemilu mendatang. r Suara KPU Jawa Timur
September 2016
17
KPU Jawa Timur
Pemberian Penghargaan Pegawai Teladan, 8 Agustus 2016, di KPU Jawa Timur.
Jalan Sehat Keluarga Besar KPU Jawa Timur, 19 Agustus 2016.
Pelantikan Kasubbag Program dan Data KPU Kab. Bangkalan, 23 Agustus 2016, di KPU Jawa Timur.
18 18
JurnalIDe IDe Jurnal
r Dalam Bingkai
Bimtek Sistem Informasi Penyelenggara Pemilu, 10-12 Agustus 2016, Hotel Ibis Style Surabaya.
Bimtek dan Pelatihan Aplikasi Simonika E-Rekon KL, dan E-Billing, 4-5 Agustus 2016, Hotel Ibis Style Surabaya.
Studi Banding Pengelolaan Website KPU Papua Barat ke KPU Jawa Timur, 24 Agustus 2016.
Suara KPU Jawa Timur 2016 Suara KPU Jawa Timur September September 2016
1919
SAIFUL AMIN Ketua KPU Kota Mojokerto
Konflik Kepentingan
Rekrutmen Anggota KPU Studi Kasus Relasi KPU dan Panwaslu Kota Mojokerto dalam Pilpres 2014 Dari sisi periodesasi masa jabatan keanggotaan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Propinsi Jawa Timur berbeda dengan KPU di propinsi lain. Perbedaan ini terletak pada pergeseran akhir masa jabatan keanggotaan.
20
Jurnal IDe
P
ergeseran akhir masa jabatan bermula dari Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pemilukada) Propinsi Jawa Timur tahun 2008, yang berlangsung hingga dua putaran, dilanjutkan pemungutan suara ulang di Bangkalan dan Sampang pada 21 Januari 2009; serta penghitungan suara ulang di Pamekasan 28 Desember 2008 (Kompas,18 Desember 2008). Peristiwa politik itu berdampak pada
masa jabatan keanggotaan KPU di tingkat propinsi dan kabupaten/kota se-Jawa Timur untuk periode-periode setelah tahun 2008. Masa jabatan KPU propinsi dan kabupaten/ kota di Jawa Timur yang semestinyanya tahun 2003-2008, diperpanjang KPU RI dan baru berakhir secara resmi tahun 2009. Sehingga periodesasi bergeser setahun. Periodesasi masa jabatan keanggotaan komisioner yang semestinya tahun 2008-2013, berubah menjadi tahun 2009-2014 dan begitu sete rusnya. Di Jawa Timur, pergeseran periodesasi KPU itu berimplikasi pada pengangkatan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu); lembaga penyelenggara Pemilu yang bertugas me ngawasi penyelenggaraan Pemilu atau Pemilukada. Masa kerja komisioner Bawaslu di Jawa Timur diperpanjang mengikuti tahapan Pemilukada Propinsi Jawa Timur tahun 2008 yang berlangsung hingga 2009. Demikian pula masa kerja Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) di tingkat kabupaten/kota di Jawa Timur. Namun khusus Panwaslu, setelah Pemilukada Propinsi Jawa Timur usai, masa kerja Panwaslu berakhir dan baru dibentuk mengikuti tahapan Pemilu atau Pemilukada yang akan datang. Keikutsertaan anggota Panwaslu dalam seleksi KPU akan menimbulkan persoalan bila terjadi conflict of interest dari yang bersangkutan saat lolos atau gagal dalam seleksi KPU itu. Pengertian conflict of interest dalam hal ini saat yang bersangkutan berkepentingan dengan KPU di satu sisi, dan di sisi lain masih menjabat sebagai anggota Panwaslu. Sehingga conflict of interest itu bisa merusak motivasi yang bersangkutan saat bertindak sebagai anggota Panwaslu. Sehingga akan berimplikasi pada keternodaan azas penyelenggara, semisal kemandirian, jujur, adil, keterbukaan, proporsionalitas, dan profesionalitas. Studi Kasus di Kota Mojokerto Sebagai gambaran, di Kota Mojokerto pendaftaran keanggotaan KPU diikuti 40 pendaftar. Dari 40 pendaftar itu 33 orang dinyatakan lolos administratif sebagai calon anggota KPU. Dari 33 pendaftar yang lolos, lima di antara mereka berasal dari jajaran petahana Panwaslu: dua dari Panwaslu; dua
dari Panwascam; dan seorang dari Petugas Pengawas Lapangan. Dari 33 pendaftar itu pula, empat pendaftar berstatus petahana KPU; tujuh pendaftar dari PPK; dan seorang anggota PPS. Sedang yang lain berasal dari kalangan umum, ada jurnalis, akademisi yang menjadi pengurus organisasi kepemudaan, aktivis LSM, dan organisasi profesi lain (Data KPU Kota Mojokerto 2014). Pada masa itu, para pendaftar dari peta hana jajaran KPU maupun Panwaslu sedang memasuki tahapan penyusunan dan penetapan DPT Pilpres tahun 2014. Pada fase ini muncul apa yang saya sebut dengan conflict of interest tadi. Di jajaran KPU Kota Mojokerto, anggota PPK yang mendaftar sebagai calon anggota KPU, terlihat tidak sevisi dengan KPU yang sama-sama mendaftar. Ketidaksevisian itu terlihat saat beberapa PPS memilih mundur ketika sedang berlangsung tahapan Pilpres. Ironis lagi, anggota PPK yang tidak lolos ke fase seleksi lanjutan, memilih mundur de ngan alasan sibuk pekerjaan. Memang sungguh aneh dan sangat ironis. Garis komando dalam istilah kemiliteran, tidak berjalan di jajaran KPU. Puncak kekritisan Panwaslu, yang dianggap KPU sangat berlebihan dan bahkan dianggap ingin mendelegitimasi KPU saat itu, setelah tidak ada seorangpun dari mereka lolos ke fase fit and proper test yang akan dilakukan KPU Propinsi Jawa Timur. Mereka menolak DPT Pilpres Kota Mojokerto. Sikap penolakan itu juga disampaikan dalam Rapat Pleno Terbuka Rekapitulasi Daftar Pemilih Tetap Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden tahun 2014 di Propinsi Jawa Timur, yang digelar di Surabaya, Rabu, 11 Juni 2014. Dalam pleno itu Panwaslu Kota Mojokerto, yang dua di antaranya ikut mendaftar dalam seleksi KPU, menolak pemutakhiran DPT Pilpres Kota Mojokerto dengan alasan ada anggota PPK dan PPS yang mundur. “Kami menolak karena baru pukul 14.30 WIB tadi KPU Kota Mojokerto memberikan jawaban atas rekomendasi Panwaslu khususnya menyangkut mundurnya PPS Kelurahan Kranggan dan PPK Kecamatan Prajurit Kulon dan Magersari. Tapi penetapan DPT dilakukan pada 10 Juni lalu, jadi kami pertanyakan Suara KPU Jawa Timur
September 2016
21
siapa yang melakukan pemutakhiran datakarena petugasnya mundur,” demikian sikap Panwaslu Kota Mojokerto dalam sidang pleno itu (Surabaya Pagi, 12 Juni 2014). Saat rapat pleno digelar di Surabaya, KPU Kota Mojokerto periode 2014-2019 hasil seleksi belum dilantik. Keanggotaan mereka secara resmi baru dilantik Gubernur Jawa Timur pada 12 Juni 2014 di Gedung Negara Grahadi, Surabaya. Lima orang terpilih: dua orang mantan anggota PPK, dan tiga orang dari kalangan jurnalis, akademisi, dan aktivis LSM lokal (Data KPU Kota Mojokerto 2014). Tentu saja dengan tenggat waktu yang sangat singkat, mereka berlima harus segera memutakkhirkan DPT yang ditolak Panwaslu, serta melengkapi keanggotaan PPK dan PPS yang mundur. Sebab bila keanggotaan tidak lengkap, PPK tak bisa menggelar pleno DPT dan tentu saja DPT di tingkat kota juga tak bisa ditetapkan. Hanya dalam hitungan hari setelah dilantik, KPU sudah menetapkan pengganti PPK dan PPS yang mundur. Untuk jajaran PPK diambilkan dari hasil seleksi PPK nomor urut keenam hingga kesepuluh. Sedang PPS diambil atas rekomendasi lurah setempat. KPU yang baru mampu melewati persoalan pengunduran PPK dan PPS, serta penetapan DPT. Dalam Pilpres 2014, DPT Kota Mojokerto tercatat 94.528 dan berubah menjadi 96.257, dengan perincian penambahan DPT tambahan 228; DPK 187; dan DPK tambahan 1.314. Setelah fase ini terlalui, untuk sementara KPU Kota Mojokerto bisa bernafas lega. Sebab salah satu tahapan Pilpres telah terlewati. Pada hari pemungutan suara, salah seorang pemilih di TPS VIII Kelurahan Kranggan, Kecamatan Prajurit Kulon, mencoblos dua kali: sekali untuk dirinya dan sekali untuk isterinya yang sakit. Pencoblosan dua kali itu murni keteledoran dan ketidaktahuan tentang UU 42 tahun 2008 tentang Pilpres dan PKPU 19 tahun 2014 tentang setiap warga negara hanya diperbolehkan mencoblos satu kali. Saat itu petugas KPPS menolak pencoblosan kedua. Tapi melakukan pembiaran saat saksi pasangan capres-cawapres menyetujui pencoblosan kedua dan petugas PPL yang semestinya melarang, juga tidak melarang. Sedang pemilih tidak memahami aturan dan larangan pemilihan. 22
Jurnal IDe
Kurang dari satu jam setelah pencoblosan kedua, Panwaslu sudah mengetahui peristiwa yang melanggar aturan itu. Apa rekomendasi Panwaslu tentang hal ini? Lembaga pengawas ini merekomendasikan pemilihan ulang. Tentu saja memang demikian seharusnya. Hanya saja rekomendasi ini baru dikeluarkan tiga hari berselang, pada 12 Juli. Padahal peristiwa itu telah diketahui Panwaslu sejak hari pertama melalui laporan petugas PPL. Setelah KPU mendapat laporan dari Panwaslu terkait peristiwa itu, pada saat itu pula KPU meminta rekomendasi dari Panwaslu. Dalam rekomendasinya, Panwaslu menilai pencoblosan dua kali dilakukan karena ketidakpahaman pemilih, petugas KPPS dan saksi kedua pasangan capres-cawapres. Dan ini berarti kegagalan KPU. Pemungutan suara ulang dilakukan pada Senin, 14 Juli 2014. Dampak rekomendasi yang telat, tahapan penghitungan suara di tingkat PPS dan PPK juga terganggu. Rekapitulasi suara di PPK Prajurit Kulon masih menunggu pemungutan suara ulang (Detikcom, 13 Juli 2014). Beda Fungsi Beda Motif Dalam Undang-undang No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu, KPU bersama Bawaslu merupakan dua lembaga penyelenggara pemilu, yang menyelenggarakan Pemilu sebagai satu kesatuan penyelenggaraan. Ini memang agak aneh. Sebab dalam Pasal 22(e) ayat (5) UUD 1945, (5) ditegaskan bila Pemilu diselenggarakan oleh suatu Komisi Pemilihan Umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Karena pasal itu menyebut ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang-undang, maka keterlibatan Bawaslu atau Panwaslu sebagai penyelenggara Pemilu dalam UU 15/2011 tidak melanggar hukum. Hanya saja meski sama-sama penyelenggara, KPU dan Bawaslu (Panwaslu) memiliki tugas, wewenang, dan kewajiban yang berbeda. KPU merupakan lembaga penyelenggara yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri, yang bertugas melaksanakan Pemilu. Sedang Bawaslu merupakan lembaga yang bertugas mengawasi penyelenggaraan Pemilu. Kedua lembaga penyelenggara ini memiliki jaringan kelembagaan hingga ke bawah; ada di
propinsi, kabupaten/kota; dan tingkat desa/ kelurahan. Praktik penyelenggaraan yang dilakukan KPU dan Bawaslu (Panwaslu) itu akan dinilai Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Bila ditemukan pelanggaran yang dilakukan KPU atau Bawaslu (Panwaslu), DKPP bisa menjatuhkan sanksi etik, dari pemberhentian sementara hingga pemberhentian tetap. Sebagai penyelenggara, secara umum KPU harus merencanakan dan mempersiapkan, menyusun dan menetapkan program serta anggaran, menyiapkan daftar pemilih dan calon peserta Pemilu, serta menggelar kampanye, melangsungkan pemungutan suara dan menetapkan hasil Pemilu. Di sisi lain, Bawaslu dan juga Panwaslu, harus senantiasa mengawasi semua hal yang dilakukan KPU tadi. Bahkan Bawaslu dan Panwaslu berkewenangan memberi rekomendasi pada KPU atas temuan atau laporan yang mengandung unsur tindak pidana Pemilu. Dalam kasus penetapan DPT, Panwaslu Kota Mojokerto sangat konsisten menolak penetapan DPT, sejak di tingkat kecamatan, kota, hingga saat ditetapkan di tingkat propinsi. Dan dalam hal ini, penulis sependapat dengan sikap Panwaslu tadi. Sebab memang penetapan DPT di tingkat kecamatan harus melalui rapat pleno. Sedang rapat pleno PPK baru sah bila dihadiri sekurangkurangnya empat orang anggota PPK yang dibuktikan dengan daftar hadir. Keputusan rapat pleno PPK sah bila disetujui sekurangkurangnya tiga anggota yang hadir. Padahal saat itu empat orang anggota PPK telah mundur: dua dari PPK Kecamatan Prajurit Kulon, dan dua dari PPK Kecamatan Magersari. Tentu saja mereka tak bisa menggelar pleno. Dalam surat pengunduran, mereka beralasan sibuk pekerjaan. Tapi sulit dibantah bila kemunduran mereka karena ketidaklolosan mereka dalam perekrutan anggota KPU (Wawancara dengan Sekretaris KPU Kota Mojokerto, 26 Agustus 2016). Dalam konteks penyelenggaraan Pilpres di Kota Mojokerto tadi, Panwaslu terlihat sangat kritis dan bahkan terkesan ingin menyudutkan KPU sebagai penyelenggara Pilpres. Namun apakah konsistensi itu tetap terjadi saat mereka, salah satu atau bahkan
ketiganya, terpilih menjadi anggota KPU Kota Mojokerto? Bisa jadi Panwaslu tetap menolak, karena amanat aturan perundang-undangan memang demikian, yang mengharuskan rapat pleno saat penetapan DPT. Tapi apakah penolakan tadi sekeras itu, hingga menyatakan tahapan Pilpres di Kota Mojokerto cacat dan Pilpres terancam gagal, sebagaimana dilansir beberapa media massa lokal saat itu? Ini yang tidak terjawab dalam studi kasus ini. Pencoblosan dua kali itu menunjukkan ketidakmampuan KPPS, sebagai kepanjangan tangan KPU di tingkat TPS, memberi pemahaman tentang tata cara pemungutan suara pada calon pemilih. Padahal bisa saja saat itu PPL, kepanjangan tangan Panwaslu, memberi pemahaman pada saksi dan calon pemilih, bila pencoblosan dua kali itu terlarang. Namun itu tidak dilakukan dan mendiamkan praktik pelanggaran itu. Dalam konteks ini kami menilai ada conflict of interest antara orang-orang yang berada di Panwaslu dengan KPU Kota Mojokerto. Sehingga fungsi kepenyelenggaraan yang sudah berbeda, semakin berbeda saat motif kepengawasan berbeda. Secara tidak terasa, KPU menilai Panwaslu senantiasa berupaya mencari celah kesalahan atau kelemahan KPU dan peserta Pemilu. Sedang Panwaslu menilai pengawasan ini harus dilakukan agar Pemilu bisa berkualitas sesuai amanat undang-undang. Bila conflict of interest itu yang dominan, maka tentu saja kedua penyelenggara yang berbeda fungsi itu tidak akan pernah akur. Terlebih bila anggota Panwaslu ingin menjadi anggota KPU tapi gagal. Dan pada saat yang sama sedang berlangsung tahapan Pemilu. Apa saja yang dilakukan Panwasluakan dinilai publik sebagai upaya penyudutan pada KPU. Dan KPU akan dinilai tak mampu menyelenggarakan Pemilusebab bukan anggota Panwaslu yang menjadi KPU. Karena itu perlu aturan tegas, bahwa selama tahapan Pemilu, jajaran Panwaslu dilarang mendaftar sebagai anggota KPU guna menghindari conflict of interest tadi. Tapi larangan ini melanggar hak konstitusional warga negara. Karena itu jangan heran bila pada masa-masa mendatang, kasus di Kota Mojokerto tadi akan terjadi di daerah-daerah lain. r Suara KPU Jawa Timur
September 2016
23
FAISAL RAHMAN, SH. Divisi SDM dan Parmas KPU Kabupaten Bangkalan
Pola kehidupan politik di setiap negara merupakan cerminan bahwa negara telah mewujudkan sebuah struktur politik.
Strukturalisasi Komunikasi Politik Penyelenggara Pemilu
Sebagai Upaya Menciptakan Hubungan Harmonis
S
truktur politik merupakan perkembangan hubungan antara komponen-komponen yang membentuk bangunan di dalam organisasi.1 Struktur politik dapat diartikan sebagai pelembagaan hubungan antar berbagai komponen yang terbentuk dalam sebuah sistem politik. Alokasi nilai dan yang bersifat otoritarian yang dipengaruhi oleh sistem pendistribusian kekuasaan senantiasa tidak dapat lepas dari struktur politik. Munculnya berbagai komponen dalam struktur politik mampu mendeskripsikan bahwa dalam struktur politik tersebut terdapat pendistribusian kekuasaan yang mempunyai peran berbeda dalam penyelenggaraannya. Politik identik dengan kekuasaan, demikian yang sering masyarakat ungkapkan dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga politik dianggap sesuatu yang sangat buruk. pada hakikatnya politik tidak seburuk yang dibayangkan oleh masyarakat pada umumnya, karena politik adalah keadilan dan politik adalah kebijaksanaan, oleh sebab itu baik 1 Sastroatmodjo, sudijono, perilaku politik, hlm. 109
24
Jurnal IDe
buruknya politik terletak pada oknum yang memegang kekuasaan untuk menentukan keadilan dan kebijakan yang bijaksana. Indonesia sebagai negara demokrasi yang berideologikan pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tentu juga mempunyai azas-azas dalam menjalankan kehidupan berpolitik. Perebutan kekuasaan yang dijadikan alat untuk menyelenggarakan pemerintahan juga tidak terlepas dari fungsi struktur politik. Struktur politik dalam rangka memenuhi proses demokrasi “kerakyatan yang dipimpimpin oleh hikmat kebijakasanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan”,2 di Indonesia diselenggarakan oleh KPU dan Bawaslu. Dalam rangka mempermudah penyaluran aspirasi, Indonesia sebagai negara demokrasi dalam proses pemilihan Indonesia telah memebentuk lembaga yang menangani pe2 Pancasila poin nomor 4. Demokrasi yang dianut Indonesia adalah demokrasi berdasarkan kebijaksanaan melalui berbagai musyarawah perwakilan sehingga mendapatkan kemufakatan bersama, yang diperuntukkan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
nyelenggaraan pemilu. Banyaknya pemilih dan berbagai tahapan dalam proses pemilu dianggap dapat mempersulit dalam penyelenggaraan pemilu di Indonesia. Terbentuknya lembaga penyelenggara pemilu yang didasarkan pada UU nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum dalam Bab I ketentuan Umum Pasal satu (1) ayat lima (5) penyelenggara pemilu adalah lembaga yang menyelenggarakan pemilu yang terdiri atas Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan Pemilu untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat, serta untuk memilih gubernur, bupati, dan walikota secara demokratis.3 Penyelenggara pemilu yang terdiri dari KPU pusat, KPU Propinsi, KPU Kabupaten/ Kota PPK, PPS, KPPS, PPLN, KPPSLN, Bawaslu, Panwaslu, Panwaslu Kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan, Pengawas Pemilu Luar Negeri dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang mempunyai tugas menangani pelanggaran kode etik Penyelenggara Pemilu tidak hanya dituntut menyelenggarakan Pemilu Demokratis. Akan tetapi berbagai azas seperti mandiri, jujur, adil, kepastian hukum, tertib, Proporsionalitas, profesionalitas, akuntabilitas, efisiensi, dan efektivitas harus diutamakan. 3 Undang-Undang nomor 15 tahun 2011 tentang Penyelenggara pemilihan Umum.
Konflik Penyelenggara Pemilu Penyelenggaraaan Pemilihan umum merupakan momentum demokrasi yang menjadi hak rakyat di Indonesia. Akan tetapi meskipun rakyat sebagai sumber utama untuk mengantarkan seseorang menjadi pemimpin, baik di legislatif maupun di eksekutif namun tidak jarang konflik kepentingan terjadi dalam tubuh penyelenggara pemilu. Berbagai isueisue negatif yang berkembang di masyarakat seolah-oleh menambah beban penyelenggara pemilu sehingga menimbulkan disintegrasi antar sesama penyelenggara pemilu. Undang-undang telah mengamanahkan kepada penyelenggara pemilu untuk melaksanakan pemilu sesuai dengan azas pemilu demokratis. Akan tetapi fakta di lapangan sangat berbeda dengan yang diamanahkan oleh undang-undang. Kasus yang melibatkan para penyelenggara pemilu menyebabkan komisioner KPU dan Bawaslu berhubungan dengan aparat hukum, sehingga berimplikasi pada pemecatan jabatannya sebagai komisioner, hal ini membuktikan bahwa ada sesuatu yang salah dalam menerapkan aturan yang sudah ditetapkan oleh undang-undang. Fenomena pelanggaran kode etik KPU dan Bawaslu seringkali menyeret komisio ner KPU berurusan dengan DKKP. Tudingan atas berafiliasianya kebijakan yang dibuat oleh komisioner KPU pada salah satu parpol dan calon di eksekutif maupun legislatif menyebabkan konflik antar kedua lembaga penyelenggara pemilu tersebut tidak dapat dibendung. Konflik antar lembaga penyelenggara pemilu sering kita jumpai ketika Suara KPU Jawa Timur
September 2016
25
menjelang penyelenggaraan pemilu. Lasswell dalam buku yang berjudul Propaganda Technique in the World War me ngatakan kita harus memperhatikan opiniopini masyarakat selama peperangan (proses penyelenggaraan pemilu), karena hidup yang baik menurut Lasswel tidak terletak pada hembusan masyarakat. Oleh karena itu lebih baik kita segera menyelesaikan konflik di internal penyelenggara pemilihan umum sebelum berhembus dan menjadi opini masyrakat umum.4 Strukturalisasai Politik Penyelenggara Pemilu Melalui Sistem Konfllik antar penyelenggara pemilu tidak boleh menjadi rutinitas dalam proses pelaksanaan pemilihan, baik pemilihan legislatif maupun pemilihan eksekutif. Karena Indonesia sebagai negara demokrasi modern melalui konstitusinya telah memberikan kewenangan kepada penyelenggara pemilu sesuai dengan azas-azas yang berlaku.5 Penyelengara pemilu yang identik dengan kebijakan politik dalam proses pemilihan, harus mengembalikan tugas dan fungsi penyelenggara pemilu pada khittoh-nya (aturan yang berlaku), karena hanya dengan dikembalikannya pada sistem yang berlaku dalam penyelenggaraan pemilu akan berjalan sesuai dengan harapan rakyat. David Easton, mengatakan sistem politik seharusnya mampu mengakomodir berbagai unsur mekanisme yang digunakan dalam proses berjalannya organisasi dengan tujuan untuk bekerjasama dengan lingkungan yang sudah ditentukan melalui konstitusi yang bersifat fundamental. KPU dan Bawaslu merupakan lembaga yang dibentuk oleh konstitusi dan diberikan wewenang oleh undang-undang untuk menyelenggarakan pemilu. Sebagai lembaga yang diberikan wewenag oleh undang-undang, sejatinya penyelenggara pemilu harus sinergi dalam mengambil kebijakan. Konflik yang kerap terjadi sudah waktunya dihentikan oleh kedua lembaga tersebut. Konflik yang didasari oleh kepentingan yang terjadi dalam lembaga tersebut tidak bersifat instan. Perbedaan pendapat terkait pengambilan ke4 Lasswell, Propaganda Technique in the World War hlm.4-5. 5 Lihat UU nomor 15 tahun 2011 tentang penyelanggara pemilu pasal 2.
26
Jurnal IDe
bijakan sering kali menimbulkan benih-benih konflik di internal penyelenggara pemilu. Meskipun kebijakan tersebut diambil berdasarkan kepenting umum dan sesuai de ngan undang-undang, akan tetapi konflik di negara (Indonesa) demokratis sudah biasa. Oleh sebab itu penting bagi para pengambil kebijakan untuk merealisasikannya sesuai tugas dan fungsinya. Gabriel Almond mengatakan proses menjalankan tugas dan fungsi sistem terdapat tujuh variabel kategori fungsional dalam sebuah struktur menjalankan sistem.6 Yangpertama, sosialisasi politik dan rekrutmen politik. Konflik yang diawali dalam proses ini biasanya adalah terjadinya proses sosialisasi dan rekrutmen yang dianggap tidak transparan dan kurangnya komunikasi antar lembaga tersebut. Kurangnya komunikasi yang berakibat pada kecemburuan sosial politik dalam mengambil kebijakan menyebabkan konflik di dalam tubuh penyelenggara pemilu semakin memanas yang menyebabkan pelaporan para komisioner pada DKPP. Kedua, artikulasi kepentingan. Berbagai gagasan dalam upaya mensukseskan pemilu dalam penentuan kebijakan merupakan isu sentral yang terjadi dalam proses pelaksanaannya. Hal ini terjadi, karena kurangnya komunikasi antar peneyelenggara pemilihan umum. pentingnya sikap kedewasaan dan jiwa ke negarawanan merupakan sifat mutlak yang harus dimiliki oleh para penyelenggara pemilu. Dengan demikian apabila para penyelenggara pemilu mempunyai sikap kedewasaan dalam mengambil kebijakan dan mempunyai jiwa kenegarawanan, diharapkan mampu membendung isu-isu dan stigma dalam pemikiran masyarakat pada penyelenggara pemilu dalam pengambilan kebijakan politik yang dianggap mementingkan kelompok tertentu. Perbedaan dalam proses pengambilan kebijakan harus dihadapi dengan jiwa kenegarawanan, karena meskipun berbeda pendapat, penyelenggara pemilu tentu tetap berdasarkan azas-azas yang sudah ditetapkan dalam undang-undang yang berlaku. Azas tersebut terdapat di dalam undangundang nomor 15 tahun 2011 pasal 2, yang 6 Dalam Varma S.P dalam Analisa Politik Modern, gambriel almond menjelaskan dalam sebuah lembaga terdapat tujuh variabel kategori fungsional.
mengatur bahwa penyelenggara pemilu ha rus berpedoman pada asas: mandiri, jujur,. kepastian hukum, tertib, kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, akuntabilitas, efisiensi, dan efektivitas. Ketiga, agregasi kepentingan. Para komisioner KPU sebagai lumbung dalam proses penyelenggaraan pemilu harus mampu mempertanggungjawabkan amanah yang telah diberikan oleh rakyat, bukan seperti persepsi dan opini yang dibangun dikalangan masyarakat terkait terafiliasinya kebijakan yang diambil oleh kedua lembaga penyelenggara tersebut terhadap salah satu partai politik. Keempat, komunikasi politik dan ketiga fungsinya tersebut. Komunikasi adalah kunci baik buruknya manusia dalam menjalin hubungan. Begitu juga komunikasi antar penyelenggara pemilu, yaitu KPU dan Bawaslu serta turunannya. Proses pengambilan kebijakan harus dikomunikasikan, keduanya harus duduk bersama dan berdialog dalam upaya menjalankan fungsi yang sudah diatur oleh undang-undang. Kelima, pembuatan peraturan, kpu dan bawaslu sebagai penyelenggara dalam membuat peraturan tidak boleh ada transaksi kebijakan politik yang bersifat tendensius pada salah satu calon dan partai politik, karena dengan demikian diharapkan kedua penyelenggara pemilu tersebut terjaga integritasnya. Keenam, penerapan peraturan, kedua penyelenggara pemilu harus menerapkan peraturan sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Ketujuh, pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan yang sudah ditetapkan oleh penyelenggara pemilu. Dari ulasan diatas, dapat kita simpulkan bahwa sudah waktunya penyelenggara pemilihan umum menjalankan tugas sesuai dengan fungsi yang diatur dalam undangundang. Karena undang-undang adalah pedoman utama dalam menjalankan tugas dari penyelenggara pemilihan umum. Jika kita menjadikan dasar undang-undang nomor 15 tahun 2011 tentang penyelenggara pemilu. KPU sebagai pelaksana teknis setiap tahapan proses pemilu dan bawaslu sebagai lembaga yang ditugaskan mengawasi, menangani pelanggaran dan menyelesaikan berbagai sangketa pemilu, bukan berarti keduanya harus saling jegal menjegal, akan tetapi harus sinergi dalam menjalankan tugas dan fungsinya mas-
ing sesuai perundang-undangan yang berlaku. Pentingnya kesadaran dalam mengambil kebijakan diantara kedua penyelenggara pemilu dalam menjaga integritas dan melakukan komunikasi yang intens, keterbukaan dan transparan dalam mempertanggungjwabkan kebijakan harus dimiliki oleh para penyelenggra pemilu. Hal ini perlu dilakukan demi tercapainya hubungan yang harmonis dalam menjalankan tugas dan fungsi penyelenggara pemilu sesuai dengan undang-undang.Apabila azas-azas penyelenggaraan pemilu sesuai dengan yang diatur dalam undang-undang, maka besar kemungkinan konflik rutinan internal penyelenggara pemilu dapat dicegah. Sifat keterbukaan pada publik yang sudah diatur dalam undang-undang merupakan pengantar awal bagi penyelenggara pemilu supaya tidak terjadi miskomunikasi. Karena keterbukaan merupakan azas yang mengatur tentang keterbukaan para pembuat kebijakan dan pelaksana kebijakan menyangkut pengetahuan masyarakat secara umum. Pertanggungjawaban penyelenggara pemilu harus dipertanggungjawabkan kepada masyarakat secara terbuka dan transpa ran. Keterbukaan merupakan hak asasi setiap orang untuk melakukan kontroling terhadap kebijakan yang diambil oleh penyelenggara pemilu. Selain itu keterbukaan merupakan sarana untuk pengembangan potensi diri bagi masyarakat. Hal ini sesuai dengan undangundang Republik Indonesia Nomor 14/2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik pasal (2) ayat (1) yang menyatakan bahwa setiap informasi publik bersifat terbuka dan dapat diakses oleh setiap pengguna informasi publik, terkecuali sesuai dengan bunyi pasal (2), undang-undang tersebut menjelaskan bahwa informasi publik yang dikecualikan bersifat ketat dan terbatas. Begitu juga dengan penyelenggara pemilu harus terbuka terhadap antar sesama penyelenggara pemilu dan publik dalam proses penyelenggaraan pemilu, karena dengan demikian konflik yang terjadi antar sesama penyelenggara pemilu dan stigma negatif masyarakat dapat terhindarkan.7 r 7 Undang-undang republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik pasal (2) ayat (1). Suara KPU Jawa Timur
September 2016
27
AINOL Divisi Hukum KPU Kabupaten Probolinggo
Melerai Konflik,
Impikan Hubungan Harmonis Antar Penyelenggara Pemilu
Dalam sebuah organisasi, kinerja seseorang tidak bisa dilepaskan dari suasana konflik atau harmonis. Antara konflik dan harmonis selalu berjalan beda arah dan saling bertolak belakang. Bila nuansa konflik mendominasi, maka pudarlah hubungan harmonis. Sebaliknya, manakala jalinan kerja harmonis terbangun, pastilah suasana konflik akan teredam.
K
onflik dapat terjadi apabila dilatarbelakangi perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. Wujud perbeaan itu diantaranya menyangkut tujuan, kompetensi, pengetahuan, tafsir, keyakinan, kepentingan dan lainnya. Sementara hubungan harmonis akan terbangun apabila terjadi kesamaan-kesamaan pada aspek tujuan, paradigma, kompetensi, pemahaman, tafsir, keyakinan, kepentinan dan lainnya, Konflik Pemilu Dalam catatan Titi Anggrainin, Direktur Ekskutif Perludem, pada pemilu legislatif tahun 2014 pernah terjadi konflik antara Bawaslu dan KPU. Berawal dari keluhan Bawaslu kepada media massa atas sikap tertutup KPU dalam memberikan akses pengawasan verifikasi parpol. Tudingan Bawaslu tersebut lantas dibantah KPU sembari menegaskan sudah bersikap terbuka dan sama sekali tidak membatasi akses Bawaslu. 28
Jurnal IDe
Konflik makin meruncing dengan dilaporkannya KPU kepada Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) oleh Bawaslu. KPU dituding melanggar kode etik penyelenggara pemilu karena tiga alasan. Pertama, soal pengunduran jadwal hasil verifikasi parpol dari jadwal yang semula sudah ditetapkan sehingga bawaslu menganggap pengumuman tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Kedua, soal teknologi sistem informasi partai politik (Sipol) yang digunakan KPU dalam verifikasi parpol yang dalam pelaksanaannya melibatkan pihak “asing” International Foundation for Electoral System (IFES). Ketiga, KPU tidak punya itikad baik untuk memberikan informasi kepada Bawaslu karena dua kali diundang klarifikasi ke Bawaslu tidak hadir. Selain melapor ke DKPP, Bawaslu juga mengeluarkan rekomendasi berdasarkan temuan pelanggaran administrasi verifikasi parpol. Bawaslu dalam rekomendasinya me-
minta KPU melakukan verifikasi faktual terhadap 12 (dari 18) parpol yang dinyatakan tidak lolos verifikasi administrasi oleh KPU. Bahkan rekomendasi tersebut disertai ancaman untuk mempidanakan KPU jika KPU tidak melakukan apa yang direkomendasikan Bawaslu. Atas berbagai tuduhan tersebut, KPU secara tegas membantahnya. KPU menyatakan sejak awal sudah berusaha membangun profesionalisme penyelenggaraan pemilu. KPU juga mengatakan selalu terbuka dan memberikan rapor kepada Bawaslu, LSM, partai politik, dan publik terkait kinerja mereka. Terkait dengan rekomendasi Bawaslu untuk mengikutsertakan 12 parpol dalam verifikasi faktual, dalam rapat pleno KPU secara aklamasi diputuskan KPU tidak akan melaksanakan apa yang dimintakan Bawaslu. Berdasarkan pemeriksaan ulang, KPU memiliki bukti kuat bahwa ke-12 parpol tersebut memang tidak memenuhi persyaratan. Walau pada akhirnya melalui Putusan DKPP (yang juga fenomenal dan debatable) 28 November 2014, diputuskan bahwa ketujuh anggota KPU tidak terbukti mempunyai i’tikad buruk untuk melanggar kode etik penyelenggara Pemilu. Akan tetapi, DKPP juga membenarkan rekomendasi Bawaslu agar KPU mengikutsertakan partai politik yang tidak lolos verifikasi administrasi untuk diberi kesempatan mengikuti verifikasi faktual ses-
uai dengan jadwal yang telah ditetapkan KPU. Penyebab Konflik Deskripsi di atas menggambarkan adanya konflik di lingkungan penyelenggara Pemilu antara KPU dan Bawaslu. Meski pun gambaran di atas merupakan sebuah fenomena yang terjadi di tingkat pusat, tapi tidak menutup kemungkinan realitas kon flik semacam itu juga merembes pada tingkat provinsi maupun kabupaten. Rangkaian konflik di atas diakibatkan adanya sejumlah perbedaan antara dua penyelenggara pemilu. Pertama, perbedaan itu bersumber dari asumsi-asumsi. Bawaslu berasumsi KPU tidak transparan dan menutup akses informasi untuk melakukan pengawasan verifikasi parpol. Kedua, perbedaan berkaitan dengan tafsir dan pemahaman regulasi, dalam hal ini Bawaslu menuduh KPU melanggar kode etik karena melakukan pengunduran jadwal dan tahapan verifikasi parpol. Ketiga, perbedaan kepemilikan alat bukti terkait verifikasi ulang 12 parpol yang tidak lolos verifikasi. Perbedaan selama bergerak padah ranah dinamika wacana bukanlah suatu masalah. Akan tetapi ketika perbedaan berbuntut pada sebuah tuduhan pelanggaran kode etik, persoalan ini menjadi lain dan bisa menggerus harga diri serta integritas penyelenggara pemilu. Walaupun pada kasus di atas Suara KPU Jawa Timur
September 2016
29
fakta persidangan DKPP memvonis KPU tidak bersalah, namun sebaiknya nuansa perbedaan yang mengarah pada konflik semacam ini harus segera dihentikan dan digerus habis dengan cara membangun hubungan harmonis antar penyelenggara Pemilu. Membangun Hubungan Harmonis Hubungan harmonis antar penyelenggara pemilu akan terbangun apabila mampu meredam perbedaan dan menginjeksinya dengan kebersamaan, kesamaan dan kesepahaman. Langkah ini pada 19-22 April 2015 telah diujicobakan oleh KPU dan Bawaslu RI dengan melaksanakan bimtek bersama di Bukittinggi melibatkan 9 Provinsi dan 83 kabupaten/kota dengan peserta sebanyak 276 orang dari unsur KPU, sedangkan Badan Pengawas Pemilu mengundang 90 orang dari 9 Provinsi dan 26 kabupaten/kota. Kegiatan serupa dilanjutkan dengan bimtek terpadu KPU, Bawaslu dan DKPP di Palembang 19-21 Juli 2016 dilanjutkan gelombang kedua 25-28 Juli 2016 di Ambon Maluku. Diharapkan de ngan bimtek terpadu mampu mengejawantahkan kesamaan pemahaman dan penafsiran terhadap regulasi yang ada sehingga tidak menimbulkan tafsir yang berbeda antar penyelenggara pemilu, baik KPU, Bawaslu maupun DKPP. Patut digarisbawahi arahan yang disampaikan komisioner Bawaslu RI, Nasrullah, bahwa pada hakikatnya antara KPU dan Bawaslu berada dalam satu rahim penyelenggaraan pemilu, harus saling menjaga dan saling menguatkan, bukan sebaliknya. Sukses tidaknya penyelenggaraan pemilu merupakan tanggung jawab bersama antara keduanya. Tidak boleh lagi ada Bawaslu/panwas melaporkan KPU ke DKPP. Kalau antara keduanya acap berselisih paham, maka akan ada pihak-pihak tertentu yang merasa senang. Oleh karena itu, bimtek terpadu yang sudah dilaksanakan di tingkat pusat dapat direplikasi di tingkat provinsi dan kabupaten sehingga terbangun keharmonisan antar penyelenggara pemilu sampai pada tingkat paling bawah. Dalam rangka membangun hubungan harmonis, KPU berkomitmen untuk membuka akses informasi seluas-luasnya kepada Bawaslu, Panwaslu bahkan segenap lapisan masyarkat. Semua orang dapat mengakses 30
Jurnal IDe
informasi terkait Pemilu. Data dan informasi KPU bisa dilihat orang setiap saat melalui website resmi www.kpu,go.id. Karena salah satu penyebab munculnya konflik adalah faktor ketidaktahuan orang sebagai akibat dari ketertutupan informasi. Kalau semua proses dan hasil pemilu aksesnya sudah terbuka, niscaya konflik tidak perlu terjadi. Dari aspek tujuan, sebenarnya antara KPU dan Bawaslu memiliki paradigma yang sama, yakni membuat pemilihan kepala daerah berjalan sesuai dengan azas-azas dan aturan yang berlaku. Dengan demikian, pemilihan kepala daerah merupakan pekerjaan kolektif integratif antara keduanya; yang membedakan hanya tugas dan fungsi. KPU mengelola teknis, sementara Bawaslu melakukan pengawasan. Oleh karena itu, agar terbina hubungan harnonis maka kinerja panwaslu dalam menjalankan fungsi pe ngawasan sebaiknya mengedepankan proses pencegahan dari pada penindakan. Langkah pencegahan dirasa lebih bersahaja bila dimaksukan melakukan aksi preventif dalam proses penyelenggaraan pemilu. Selanjutnya, langkah penindakan hanya betul-betul akan diekskusi oleh Panwaslu apabila KPUD tidak mengindahkan rekomendasi yang telah dilayangkan sebelumnya. Ada harapan besar ke depan, jalinan kerjasama antar penyelenggara Pemilu di tingkat kabupaten/kota akan dibina serta ditumbuhkembangkan. Bimbingan teknik bersama antara KPU kabupaten/kota dan Panwaslu yang digelar di “Kampung Coklat” Blitar tahun 2015 merupakan starting point dalam membangun kesamaan dan kesepahaman mengartikulasikan peraturan perundang-undagan. Dapat dipastikan, bila kesamaan dan kesepahaman sudah tertanam dalam benak kognitif penyelenggara, baik KPU kabupaten/ kota maupun Panwaslu, tentulah hubungan harmonis yang didambakan akan terwujud. Mari mulai sekarang, rancang secara terencana untuk merealisasikan iklim kerja yang kondusif, harmonis dan sinergitas antar penyelenggara Pemilu melalui kerjasama yang solid, koordinatif, akseseble dan transparan. Harmonisasi, kebersamaan dan saling menghargai jauh lebih indah dibandingkan dengan conflict relation, kecurigaan dan saling me nyalahkan. r
SUYITNO ARMAN, S.Sos., M.Si. Divisi SDM dan Partisipasi Masyarakat KPU Kabupaten Tulungagung
Azimat Ampuh Itu Bernama “Kekompakan dan Keharmonisan” “Jaga Kekompakan Untuk Bekerja Lebih Baik”. Itulah judul berita yang dimuat di website resmi KPU RI (www.kpu.go.id) 19 Juli 2016. Diupload tepat Pukul 00.00 WIB, hanya beberapa saat setelah Juri Ardiantoro terpilih sebagai Ketua KPU RI yang baru menggantikan almarhum HKM yang wafat karena sakit 7 Juli lalu.
D
i berita itu disebutkan bahwa Juri Ardiantoro (JA) yang baru saja terpilih sebagai Ketua KPU RI, berharap bisa menjaga kekompakan dan keharmonisan yang telah berjalan selama empat tahun di bawah kepemimpinan Almarhum Husni Kamil Manik. Semangat kekompakan itu diperlukan untuk terus bekerja lebih baik selama masa bakti yang tinggal tujuh bulan tersisa. Juri Ardiantoro terpilih secara aklamasi dalam pemilihan yang dilakukan secara musyawarah dan mufakat itu. Dan apa statemen pertama yang Beliau sampaikanpasca dipilih menjadi Ketua KPU RI? Adalah seperti ini: “Pemilihan Ketua KPU RI harus dianggap sebagai situasi yang biasa, karena tidak ada kelebihan sebagai ketua dibanding komisioner lainnya, semua berjalan secara kolektif kolegial. Secara internal saya memohon kepada komisioner lainnya dan sekretariat jenderal untuk melanjutkan pekerjaan se perti sebelumnya di bawah Almarhum Husni
Kamil Manik.” Menurut penulis, sedikitnya ada 3 tantangan yang selalu hadir dalam periode masa jabatan komisioner KPU. Yakni: (1) hubungan diantara komisioner, (2) hubungan antara komisioner dengan sekretariat, dan (3) hubungan antara KPU dan stake holder penyelenggara pemilu. Dan tantangan itu harus dan hanya bisa dipecahkan dengan 2 kata kunci: kekompakan dan keharmonisan. Hubungan Antar Komisioner KPU Pertama, hubungan antar komisioner. Belajar dari pengalaman penulis selama lebih dari 7 tahun menjabat komisioner KPU Kabupaten, membina kekompakan dan keharmonisan di internal komisioner bukanlah pekerjaan mudah. Konstalasinya bahkan akan semakin meningkat tatkala KPU sudah memasuki tahapan pemilu/pemilihan. Mungkin saat tidak ada tahapan kondisinya tenang-tenang saja. Namun begitu memasuSuara KPU Jawa Timur
September 2016
31
ki tahapan pemilu dimana KPU dihadapkan pada beragam pengambilan keputusan yang penting dan kadang amat rumit, di situlah benih-benih ketidakkompakan dan perpecahan bisa muncul. Penyebabnya bisa macam-macam. Ada yang karena beda persepsi atau pemahaman atas sesuatu pesoalan yang ingin diputuskan. Bisa karena kualifikasi atau tingkat pengetahuan yang berbeda-beda, atau adanya “kepentingan” tertentu yang tidak sama. Bahkan ada juga benih-benih perpecahan yang sebenarnya lebih bersumber dari persoalan karakter pribadi masing-masing komisioner. Ada person tertentu yang kerap menyebabkan dirinya menjadi sulit untuk diajak kompak dengan person lainnya. Ungkapan jawa menyebutnya karena sudah watak-watek. Terhadap tantangan pertama ini, jika tidak mampu dipecahkan dengan kunci kekompakan dan keharmonisan, maka efek buruk yang ditimbulkan bisa sangat berbahaya bagi lembaga KPU. Bahkan tidak menutup kemungkinan KPU akan “gagal berkarya” hanya gara-gara antar komisioner terpecah, tidak kompak dan tidak harmonis. Penulis bisa menunjukkan contoh nyata. KPU Kabupaten Tulungagung periode 20032008 (saat itu seluruh KPU kabupaten/kota di Jawa Timur menerima anugerah perpanjangan masa jabatan hingga lebih dari 1 tahun. Hal itu akibat berlarutnya Pilgub 2008 hingga berlanjut ke putaran MK, sehingga tidak memungkinkan dilakukan seleksi komisioner KPU. Masa jabatan komisioner KPU periode pertama inipun baru berakhir pada Tahun 2009). Di akhir masa jabatan, atau tepatnya pada tahap pencalonan pileg 2009, KPU kabupaten saat itu tidak mampu menetapkan daftar calon tetap (DCT). Penyebabnya ka rena terjadi perpecahan antar komisioner. Empat orang personil anggota KPU (1 orang mengundurkan diri karena memilih menjadi ketua parpol) tidak pernah mencapai kata sepakat untuk menetapkan DCT. Berkalikali rapat pleno, berkali-kali pula tidak ada kata sepakat. Akhirnya mencapai jalan buntu (deadlock) sehingga dengan terpaksa tahapan diambil alih oleh KPU provinsi. DCT caleg DPRD kabupaten tidak ditetapkan oleh KPU kabupaten, namun ditandatangani KPU 32
Jurnal IDe
provinsi Jawa Timur. Jelas dalam kasus seperti ini lembaga KPU bisa dianggap “gagal berkarya” hanya gara-gara komisionernya tidak kompak dan tidak harmonis. Artinya, jika para komisioner KPU sudah tidak lagi kompak dan harmonis, bisa dilihat sebagai alarm bahaya yang bisa mengancam kinerja kelembagaan. Hubungan Komisioner dan Sekretariat Kedua, hubungan komisioner-sekretariat. Saya lebih suka mengibaratkannya mirip-mirip dengan hubungan suami-isteri. Keberadaannya jelas saling membutuhkan, harusnya saling mendukung satu sama lain, tetapi pada saat yang bersamaan hampir pasti tidak bisa menghindar dari persoalan. Masalah bisa datang sewaktu-waktu, tidak hanya dari hal-hal yang bersifat besar, tetapi juga dari hal yang sebenarnya sepele atau remeh-temeh. Tetapi bisa menjadi besar jika tidak segera diselesaikan atau tidak tepat cara meredamnya. Paling utama biasanya adalah masalah keterbukaan. Ingat bahwa komisioner memegang kebijakan, tetapi uang (anggaran) dan dukungan teknis administrasi berada di tangan sekretariat. Komisioner umumnya tidak tahu atau tidak punya pengalaman detail di bidang pengelolaan keuangan. Karena itu jika dihadapkan pada ketidakterbukaan sekretariat, maka yang timbul biasanya adalah kecurigaan, syak-wasangka. Kecurigaan itu bisa semakin menguat, jika misalnya banyak kebutuhan-kebutuhan standar lembaga KPU yang tidak tercukupi, atau banyak kebijakan-kebijakan komisioner yang tidak bisa tereksekusi. Selain keterbukaan, persoalan lain yang biasa terjadi dalam hubungan komisionersekretariat adalah kemampuan dan kemauan SDM pegawai untuk bekerja secara optimal dan profesional. Komisioner pasti pernah mengalami dimana ia memberikan perintah tetapi tidak mau atau tidak mampu dijalankan dengan baik oleh sekretariat. Atau sebaliknya, sekretariat pasti juga pernah mengalami dimana ia merasa terlalu ba nyak ‘diperintah’ komisioner. Belum lagi kalau mereka menganggap perintah itu dirasa ‘tidak masuk akal’.
Pun tidak lupa bahwa dalam tantangan kedua ini juga terdapat kemungkinan persoalan yang bersumber dari beda kepentingan antara komisioner dan sekretariat. Biasanya ini bersumber dari akal persoalan status kepegawaian sekretariat. Harus diakui selain pegawai organik, sebagian besar SDM sekretariat masih harus dipasok dari pemerintah daerah setempat. Maka tak jarang kemudian hal ini dikait-kaitkan dengan independensi, apalagi jika lembaga KPU tengah berada dalam masa tahapan pemilu/pilkada. Sedang pimpinan daerah tersebut juga tengah ikut lagi berkontestasi mencalonkan diri. Nah terhadap tantangan yang kedua ini, tidak bisa tidak penangkal yang paling jitu tetaplah semangat untuk menjaga kekompakan dan keharmonisan. Jika semangat itu tidak dibangun atau diupayakan, kinerja lembaga KPU bisa tidak kondusif. Hubungan KPU dengan Stakeholder Penyelenggara Pemilu Ketiga, adalah hubungan antara KPU dan stakeholder penyelenggara pemilu. Pada tulisan ini penulis fokus saja ke Panitia Pengawas Pemilu/Pemilihan (untuk selanjutnya saya sebut dengan Panwaslu). Sebelum bekerja di KPU, penulis sudah 2 kali berkesempatan menjadi Ketua Panwaslu Kabupaten. Jujur saja, jika mau beritikad tidak baik atau sekedar unjuk kebolehan (show of force), maka yang paling empuk dijadikan sasaran adalah lembaga KPU. Kenapa bukan partai politik, calon legislatif/kepala daerah, birokrasi, atau yang lainnya? Bukankah mereka juga sama-sama punya potensi melakukan pelanggaran pemilu? Bahkan lebih besar potensinya. Jawabannya mudah saja: Kita tidak punya “energi” berlebih untuk berhadapan dengan mereka. Maka jalan satu-satunya jika ingin tetap terlihat bisa menunjukkan kinerja, sasaran tembak yang paling mungkin adalah KPU selaku penyelenggara. Namun sekali lagi, itu kalau niat kita (Panwaslu waktu itu) buruk dan hanya sekedar unjuk kebolehan. Padahal yang dibutuhkan dalam bekerja bukan hanya unjuk kebolehan menemukan masalah, tapi justru unjuk kemampuan dalam menyelesaikan masalah. Maknanya apa? Tetap dibutuhkan ke-
mampuan berkompak-ria antara KPU dan Panwaslu sebagai sesama penyelenggara pemilu. Bukan hanya semata agar KPU aman dan terhindar dari sekedar menjadi sasaran tembak, melainkan juga agar masing-masing lembaga bisa menjaga “on the track” me reka dalam bekerja. Kita menyadari bahwa Panwaslu juga butuh unjuk kinerja, maka biarkan saja mereka bekerja secara optimal sesuai kewenangannya. Namun memba ngun komunikasi yang akrab penuh suasana kekompakan, setidaknya akan menghindarkan mereka dari sekedar unjuk kebolehan dalam bekerja. Pengalaman penulis waktu dulu menjadi panwaslu, saat menemukan sebuah penyimpangan/pelanggaran, terlebih yang dilakukan oleh penyelenggara, maka kesempatan pertama yang saya telepon adalah salah satu diantara angota KPU. Saya katakan bahwa kami menemukan penyimpangan. Kami tidak boleh menutup-nutupi dan Andapun jangan berupaya menghentikannya. “Tapi tenang dulu, kita selesaikan saja nanti dengan caracara begini, bla...bla..bla dan seterusnya”. Sudah sepakat, baru kemudian saya undang media untuk konferensi pers bahwa Panwaslu telah memiliki beberapa temuan pelanggaran. Dengan begitu maka Panwaslu telah benar-benar bekerja, dan KPU pun tidak masalah karena sudah memegang kunci jawabanya untuk menyelesaikan. Tentu yang demikian itu hanya contoh kecil saja, diantara sekian banyak beban persoalan lainnya yang memang harus di selesaikan baik oleh KPU maupun Panwaslu. Namun penulis berani bertaruh, tanpa semangat membina kekompakan dan keharmonisan, akan semakin banyak persoalan yang ditemukan, tetapi semakin sedikit yang mampu diselesaikan dengan baik. Lagi-lagi, semangat kekompakan dan keharmonisan menjadi kunci yang menentukan. Kalau kita masih ingin menjadikan lembaga KPU bekerja secara efektif, maka jadikan jiwa kekompakan dan keharmonisan inisebagai azimat paling ampuh. Dan jika sampai kehi langan azimat itu, Anda bukan hanya menjadi tidak kuat lagi, tetapi juga bisa membahayakan lembaga KPU di masa depan. r
Suara KPU Jawa Timur
September 2016
33
H. BASORI ALWI Divisi Teknis KPU Kota Pasuruan
Mewujudkan Huhungan Harmonis
Antar Penyelenggara Pemilu Menurut ketentuan undang-undang No 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
U
ntuk memastikan pelaksanaan pemilihan umum sebagai sebuah sarana kedaulatan rakyat, penyelenggara pemilu dan pemangku kepentingan yang lain, dituntut agar rakyat sebagai pemilik kedaulatan dapat melaksanakan dan menentukan pilihannyadengan datang ketempat pemungutan suara, dengan diliputi perasaan senang, aman dan tidak tertekan serta berlangsung sesuai ketentuan undang-undang. Agar hal tersebut bisa terlaksana sesuai harapan, dibutuhkan kepedulian dan upaya semua pihak untuk memerankan, tugas dan fungsi masing-masing secara maksimal. DPR dan pemerintah sebagai pembuat regulasi bisa melahirkan regulasi kepemiluan yang komprehensif dan jelas. Penyelenggara pemilu yang berintegritas, dalam melaksanakan tahapan pemilu sesuai aturan serta tidak partisan. Peserta pemilu taat terhadap regulasi, pengawas pemilu yang independen dan tegas.
34
Jurnal IDe
Pemilih dengan kesadarannya,menentukan pilihannya dengan cerdas. Karena penyelenggara pemilihan umum terdiri dari dua lembaga yaitu KPU dan Bawaslu yang masing-masing lembaga memiliki tugas dan fungsi yang berbeda. KPU adalah lembaga penyelenggara pemilu yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri yang bertugas melaksanakan pemilu. Bawaslu adalah lembaga penyelenggara pemilu yang bertugas mengawasi penyelenggaraan pemilu di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bagaimana kedua lembagaini bisa melaksanakan tugasnya secara maksimal dan memiliki hubungan yang harmonis, sebagai sesama penyelenggara pemilu? Tanpa mempengaruhi independensinya dalam menjalankan tugas dan fungsinya masingmasing. Kalau kita cermati tugas dan fungsi kedua
lembaga ini, saling bertolak belakang. Ra sanya sangat sulit untuk bisa duduk bersama membangun hubugan harmonis sebagai penyelenggara pemilu. Tetapi bukan sesuatu yang mustahil untuk diwujudkan, asalkan ada kemauan dari masing-masing kedua kedua lembaga tersebut untuk memulai membangun komunikasi dan koordinasi. Sudah kita ketahui bersama kedua lembaga ini, KPU dan Bawaslu adalah institusi /lembaga yang memiliki stuktur sampai di tingkat bawah RT/RW. KPU berkedudukan di Ibukota Negara, KPU Provinsi berkedudukan di Ibukota provinsi, KPU kab/kota berkedudukan di Ibukota kabupaten/kota, PPK berkedudukan di kecamatan, PPS berkedudukan di kelurahan, KPPS sebagai pelaksana pemungutan suara berkedudukan di RT/RW. PPK, PPS dan KPP Sadalah lembaga KPU yang bersifat Ad hoc. Bawaslu berkedudukan di ibukota negara, bawaslu provinsi berkedudukan di ibukota
provinsi, panwas kab/kota berkedudukan di ibukota kabupaten/kota, panwas kecamatan berkedudukan di kecamatan, PPL berkedudukan kelurahan, pengawas TPS bertugas me ngawasi pelaksanaan pemungutan di TPS. panwas kabupaten/kota, panwas kecamatan, PPL dan pengawas TPS, adalah lembaga bawaslu yang bersifat ad hoc. Setelah kita ketahui struktur kedua lembaga penyelenggara pemilu, KPU dan bawaslu, KPU krovinsi dan bawaslu provinsi. Untuk membangun koordinasi dan komunikasi tidaklah terlalu sulit asalkan ada kemauan bersama. Karena KPU, KPU provinsi dan bawaslu, bawaslu provinsi bersifat tetap. Karena sifatnya yang tetap akan lebih mudah membangun komunikasi. Komunikasi memang sangatlah penting, akan lebih bermanfaat apabila komunikasi yang telah terjalin ditindaklanjuti dengan rakor bersama antara KPU, KPU provinsi, bawaslu, dan baSuara KPU Jawa Timur
September 2016
35
waslu provinsi. Dalam forum rakor, KPU, KPU krovinsi sebagai pelaksana teknis tahapan pemilu akan menyampaikan tentang tahapan pemilu secara detail dihadapan bawaslu, bawaslu provinsi sebagai lembaga yang diberikan tugas pengawasan tahapan pemilu. Demikian halnya dalam kegiatan rakor bersama, bawaslu dan bawaslu provinsi dapat menyampaikan tahapan teknis pe ngawasan yang akan dilakukan didepan KPU. Dalam forum seperti ini kedua lembaga penyelenggara pemilu dapat mendiskusikan, saling memberikan masukan, menyamakan pandangan terhadap perbedaan-perbedaan yang sering kali terjadi pada saat pelaksa naan pemilu maupun pilkada. Hasil dari rumusan-rumusan rakor yang telah dibicarakan bersama antar kedua lembaga penyelenggara pemilu ini. Tinggal disosialisasikan kepada jajaran internal lembaga di bawahnya, KPU kabupaten/kota dan panwaslu kabupaten/kota. Persoalannya KPU kabupaten/kota bersifat tetap, sedangkan panwaslu kabupaten/ kota menurut ketentuan UU nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu, pasal 69 (3). Panwaslu kabupaten/kota, panwaslu kecamatan, pengawas pemilu lapangan, dan
36
Jurnal IDe
pengawas pemilu luar negeri bersifat ad hoc. Pembentukan paswaslu kabupaten/kota beserta jajaran di bawahnya. Berdasarkan UU nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu, pasal 70 panwaslu kabupaten/ kota, panwaslu kecamatan, pengawas pemilu lapangan, dan pengawas pemilu luar negeri dibentuk paling lambat 1 (satu) bulan sebelum tahapan pertama penyelenggaraan pemilu dimulai dan berakhir paling lambat 2 (dua) bulan setelah seluruh tahapan penyelenggaraan pemilu selesai. Kalau kita cermati pembentukannya, panwaslu kabupaten/kota dan jajarannya yang terbentuk satu bulan sebelum tahapan pertama pemilu dimulai. KPU kabupaten/ kota dan bawaslu kabupaten/kota, dituntut untuk bekerja keras. Agar segera menggelar rakor bersama dengan mengundang jajaran lembaga, satu tingkat diatasnya. Untuk menyampaikan hasil-hasil yang telah dirumuskan dan disepakati bersama dalam forumforum tingkat provinsi, maupun Nasional. Dengan rakor bersama secara berjenjang, pada kedua lembaga penyelenggara pemilu, akan dapat mempertemukan perbedaan dan mengurangi gesekan yang tidak perlu antar penyelenggara pemilu. r