Vol. 31 No. XXXV Agustus - September 2006
Aliansi diterbitkan oleh YAPPIKA bekerjasama dengan USC Canada sebagai media
Aliansi
komunikasi penguatan masyarakat sipil di antara Jaringan Ornop, Ornop, Para Aktivis dan Masyarakat Sipil untuk demokrasi. Redaksi menerima berbagai bentuk tulisan, foto dan laporan yang bertujuan untuk penguatan masyarakat sipil yang demokratis. Redaksi berhak untuk mengedit sejauh tidak mengubah substansinya.
Media Penguatan Masyarakat Sipil
Dari Redaksi
Kisah Nyata Negeri Seberang
U
ntuk membangun jembatan antara demokrasi elektoral, partisipasi rakyat dan peningkatan kesejahteraan, sejak tahun 1989 di Porto Alegre, ibukota negara bagia Rio Grand de Sul, Brasil, gerakan rakyat dengan dukungan politik Partai Buruh berhasil menjalankan strategi Anggaran Partisipatoris (AP). Tujuan Anggaran Partisipatoris adalah melakukan suatu transformasi sosial yang mengubah hubungan kekuasaan secara radikal. Caranya adalah dengan mengubah mekanisme pengambilan keputusan dari tangan para politisi dan prosedur politik perwakilan kepada dewan-dewan rakyat atau forum publik yang terbuka, partisipatoris dan transparan di level komunitas. Dengan cara ini kedaulatan rakyat menjadi faktor dalam menentukan pengambilan keputusan menggantikan kesapakatan elitis di ruang parlemen. Lain lagi cerita dari Kuba. Pada tanggal 1 Januari 1961 di Kuba telah dicanangkannya sebagai tahun dimulainya kampanye besar-besaran dalam memberantas buta huruf. Tahun itu juga ditetapkan sebagai tahun Pendidikan (The Year of Education). Dengan anggaran yang besar, pemerintah Kuba berhasil membebaskan seluruh biaya pendidikan, mulai dari level sekolah dasar hingga universitas. Bebas biaya pendidikan diberlakukan juga untuk sekolah yang menempa kemampuan profesional Cerita di Porto Alegre dan Kuba ini bukanlah sebuah dongeng, tapi hasil perjuangan dari masyarakat di berbagai komunitas untuk membuktikan bahwa ‘negara adalah aku, maka aku yang menentukan negara’. Di sini sebaliknya, negara menjadi kapling politik dan ekploitasi ekonomi dari berbagai kekuatan elit politik baik di birokrasi, militer maupun partai-
partai besar. Jadi jangan heran bila APBD disebuah daerah mengalokasikan dana untuk beli baju dan jalan-jalan diatas anggaran kesehatan ibu dan anak atau untuk subsidi pendidikan. Belum lagi praktek korupsi yang menjadi anggaran sebagai proyek untuk mendapatkan uang, untuk keuntungan pribadi atau kelompoknya. APBD kabupaten Bone menjadi contoh kasus ketimpangan anggaran, dimana penduduknya yang mayoritas masih buta aksara dan banyak didapati penderita kusta dan kasus gizi buruk, namun harga kursi bupatinya sampai Rp. 40 juta. Atau di Semarang, alokasi untuk pembuatan papan nama walikota mencapai Rp 200 juta, sementara alokasi untuk antisipasi kejadian luar biasa bidang kesehatan hanya Rp 44 juta. Hal ini membuktikan bahwa dalam menyusun anggaran ini para pejabat tidak dapat melihat prioritas kebutuhan rakyat. Saatnya rakyat terlibat dalam proses perencanaan dan penganggaran. Jangan biarkan proses perencanaan penganggaran ini diserahkan pada orang yang tidak memahami kebutuhan rakyat, seperti yang selama ini terjadi. Mereka hanya beriorientasi pada kepentingan penguasa dan birokrat yang dekat dengan mereka. Karena itulah jangan sampai kita “kecolongan” lagi untuk penyusunan anggaran ini. Perjuangan rakyat miskin dan masyarakat sipil untuk terlibat dalam proses penyusunan anggaran dan kontrol terhadap pengunaan anggara harus terus dilakukan agar pengalokasian anggaran untuk kesejahteraan rakyat benar- benar terwujud. Mengorganisir rakyat untuk membuat Anggaran Partisipatoris adalah sebuah pekerjaan yang mungkin untuk dilakukan. Dengan cara begitu, kisah Porto Alegre dan Kuba dapat menjadi kenyataan disini, bukan sekedar dongeng dari Redaksi negeri yang seberang.
Daftar Isi
2
Dari Redaksi Kisah Nyata Negeri Seberang
3
Wacana Anggaran Responsif Gender dan Perwujudan Hak Warga Negara
5
Kolom Imbalan yang Timpang: Analisis Gender Budget di Beberapa Daerah.
7
Potret Korupsi APBD
10 Prospek Maya Rostanty: Teror dan Intimidasi Tak Menyurutkan Langkah Kami Untuk Advokasi Anggaran
12 Dinamika 14 16
Pelatihan Manajemen Relawan: Relawan Sebagai Agen Perubahan Inspirasi Pendidikan di Kuba; A Nation Becomes a University Gerak Kita Gender Mainstreaming in Public policy
18 Ekspresi Belajar dan Bermain Bersama di Perpustakaan Yappika Sampul Depan: Dok. Yappika. Sampul Belakang: Dok.Yappika.
Penanggungjawab: Lili Hasanuddin dan Abdi Suryaningati. Dewan Redaksi: Nor Hiqmah, Ahmad Yani, Ajeng K. Ningrum, Cecep Ajid Bustomi, Wayan Yoke, Ferry Yuniver, Sugiarto, Sri Indiyastuti, Wahyudhi, Lutri, Qorihani, Odnil Aldi Editor Aditya Perdana , Francisca Fitri, Keuangan Doddy, Artistik: Moelanka Distribusi: Ardhian, Boy Runiza, Lidia Ariyanti Koresponden: Bojonegoro; Anam W/Idfos, Bulukumba; Abdul Kadir/YPR, Jayapura; Irianto J./Kipra, Jember; Elok M./YPSM, Himawan/SD Inpers, Kupang; Laurens R./Sanlima, Makasar; Karim/Lapar, Rusman M./YTMI, Malang; Lutfi K./MCW, Palopo; Zaenal/YBS, Palu; Dedy/YAMMI, Neng/KPPA, Syafri L/YPR, Sikka; P. Embu G/Sanres, Sorong; Ferdinandus R/YNWS, Roni D/Triton, Toli-Toli; Idham/ Dopalak Indonesia, Tual; Jon Bosco/Hivlak, Alamat Redaksi: Jl. Pedati Raya No. 20, Jakarta Timur 13350. Tel. 021-8191623 Fax. 021-8500670, 02185905262. E-mail:
[email protected] Website: www.yappika.or.id 2 Aliansi, Vol. 31 No. XXXV Agustus - September 2006
WACANA
Anggaran Responsif Gender dan Perwujudan Hak Warga Negara Sri Mastuti*
Anggaran pada hakekatnya merupakan amanah dari rakyat yang harus dikelola secara transparan dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (lihat pasal 23 UUD 1945). Hal ini senada dengan tujuan dan fungsi negara. Tujuan terakhir setiap negara ialah menciptakan kebahagiaan bagi rakyatnya (bonum publicum, common good, common weal). Kemudian, terlepas dari ideologinya, setiap negara menyelenggarakan beberapa fungsi minimum , yaitu: (i) Melaksanakan penertiban (law of order), dalam hal ini negara bertindak sebagai stabilisator; (ii) Mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat; (iii) Pertahanan, untuk menjaga kemungkinan datangnya serangan dari luar; (iv) Menegakkan keadilan.1 Dalam konteks tersebut, anggaran menjadi sebuah instrumen kunci bagi pegimplementasian fungsi negara dan pencapaian tujuan akhir dari sebuah negara.
D
alam khasanah ke Indonesiaan, fungsi dan tujuan negara tersebut hendaknya dilaksanakan untuk menjawab hak-hak warga negara. Dalam konstitusi Republik Indonesia, setidaknya telah mencantumkan hak untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak, hak untuk mendapatkan pendidikan, hak untuk mengeluarkan pendapat, hak untuk memeluk agama sesuai keyakinannya, hak untuk menempati kedudukan yang sama di mata hukum. Persoalannya apakah kebijakan anggaran yang ada telah ditujukan untuk mewujudkan hak-hak warga negara tersebut dalam rangka pencapaian tujuan terakhir dari negara (baca: mensejahterakan dan membahagiakan rakyat)?
Realitas Anggaran Hasil analisis berbagai pihak terkait dengan anggaran negara, baik pusat dan daerah menemukan bahwa anggaran belum digunakan sebagai instrumen untuk mewujudkan hak-hak warga negara. Hal ini terindikasi dari masih minimnya alokasi anggaran bagi pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat. Porporsi yang timpang antara alokasi untuk belanja aparatur dan publik mencapai 60-70 persen untuk belanja aparatur dan 40-30 persen untuk belanja publik merupakan potret realitas yang terjadi di banyak 1
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, 1989, hal. 45-46.
daerah. Kendati para penentu kebijakan anggaran sering berapologi dengan menyatakan bahwa tidak semua anggaran aparatur lainnya untuk aparatur, namun perlu juga diingat bahwa tidak semua anggaran publik langsung dinikmati publik. Tak jarang dalam anggaran publik alokasi anggaran banyak terserap untuk honor dan perjalanan dinas aparatur. Keadaan ini menjadi lebih miris tatkala menganalisis alokasi anggaran per sektor. Anggaran pendidikan tidak pernah mencapai angka ideal 20 % sesuai amanah amandemen konstitusi dan UU Sidiknas. DKI Jakarta saja yang kerap mengklaim dalam APBD 2006 telah mengalokasikan di atas angka plafon minimun yang ditetapkan, kenyataannya hanya 7,2 % saja yang benar-benar tertuju untuk alokasi langsung peningkatan kualitas pendidikan. Sisanya merupakan alokasi untuk gaji pegawai dan pendidikan aparatur di lingkungan Pemda. Potret kebijakan anggaran yang belum menjadikan kebutuhan dasar warga negara sebagai prioritas telah menjadi sebuah tren. Kondisinya akan lebih buruk jika penilaian tersebut dikaitkan dengan realitas kesenjangan akses, partisipasi, kontrol berbegai kelompok sosial dalam masyarakat terhadap sumber daya dan manfaat pembangunan. Masyarakat miskin merupakan kelompok yang sangat minim akses, partisipasi dan kontrolnya, sehingga tak heran mereka terjebak dalam lingkaran kemiskinan struktural. Keadaan ini akan lebih
Aliansi, Vol. 31 No. XXXV Agustus - September 2006
buruk terjadi pada kelompok perempuan karena dalam kelas yang sama pun tingkat kesenjangan relasi sosial antara laki-laki dan perempuan terasa masih amat kental. Karenanya kebijakan anggaran netral yang saat ini menjadi mainstream perlu dikaji ulang. Perlu juga dicatat Pro poor budget saja pun tidak cukup mampu untuk mewujudkan hak-hak dasar warga negara tanpa mengintegrasikan perdpektif gender di dalamnya. Oleh karena anggaran responsif gender dan perspektif lain dari anggaran, baik partisipatory budgeting maupun pro poor budgeting, hendaknya dapat disinergikan untuk mendorong agar anggaran negara benar-benar dijadikan instrumen untuk mencapai tujuan akhir dari negara.
Anggaran Responsif Gender Sebuah Instrumen Anggaran responsif gender merupakan sebuah instrumen atau alat bagi negara untuk keadilan dan mengusahakan kesejahteraan seluruh rakyat sebagai mana yang menjadi fungsinya. Anggaran responsif gender bukanlah merupakan anggaran yang terpisah bagi laki-laki dan perempuan. Tetapi anggaran responsif gender merupakan anggaran yang responsif terhadap kebutuhan perempuan dan laki-laki, memberikan manfaat kepada perempuan dan laki-laki, berkontribusi terhadap upaya mengatasi kesenjangan relasi sosial antara perempuan dan lakilaki, serta bertujuan untuk mewujudkan
3
WACANA kesetaraan dan keadilan gender. Dalam menganalisis alokasi anggaran belanja responsif gender, biasanya dapat dilihat dari 3 kategori belanja, seperti yang terligat dalam bagan berikut ini.
dialokasikan untuk pengarusutamaan gender. Kendati anggaran responsif gender tidak dapat disimplifikasikan hanya alokasi anggaran untuk PUG, namun hal ini dapat dijadikan sebagai
Kategori Responsif Gender Existing Model
Kategori II Alokasi anggaran Gender specific targeted Belanja yang diperuntukan bagi perempuan atau lakilaki dalam komunitas untuk memenuhi kebutuhan khususnya Contoh: Alokasi anggaran untuk kesehatan reproduksi perempuan, alokasi anggaran untuk penyediaan alat kontrasepsi bagi lakilaki, alokasi anggaran untuk pasmier, alokasi anggaran untuk penderita kanker prostas, alokasi anggaran untuk sunatan massal
Kategori II Alokasi anggaran untuk meningkatkan kesempatan setara dalam pekerjaan
Kategori III Alokasi anggaran umum yang mainstreaming Alokasi anggaran umum yang menjamin agar pelayanan publik dapat diperoleh dan dinikmati oleh semua anggota masyarakat (laki-laki dan perempuan)
Sebagai alternative action untuk mewujudkan kesempatan yang setara antara laki-laki dan perempuan terutama dalam lingkungan pemerintahan atau dunia kerja lainnya
Contoh: Alokasi anggaran untuk penyedian fasiltas WC umum yang proporsional terhadap jumlah pengguna (3 perempuan, 2 laki-laki) alokasi anggaran untuk penyediaan gerbong terpisah bagi laki-laki dan perempuan
Contoh: Alokasi anggaran untuk pelatihan tekhnologi pertanian bagi perempuan, alokasi anggaran untuk fasilitas penitipan anak di tempat kerja
Anggaran Responsif Gender Kehadirannya merupakan suatu kebutuhan untuk membantu peng– implementasian berbagai kesepakatan internasional maupun nasional seperti CEDAW, Beijing Plat Form For Action, Mellenium Development Goals, dan Pengarusutamaan Gender dalam pembangunan. Melalui anggaran responsif gender prasyarat-prasyarat dasar yang harus ada untuk dapat melaksanakan pengarusutamaan gender seperti data terpilah, penyediaan tools, peningkatan kapasitas SDM, dan melaksanakan program dan kegiatan yang sudah responsif gender dijamin teralokasikan dalam anggaran Negara (APBN dan APBD). Dalam pasal 7 Kepmendagri N0. 132/2003 mengamanahkan minimal 5 % dari total anggaran
4
salah satu indikator sejauh mana tingkat komitmen dan perhatian pemerintah terhadap upaya mewujudkan kesetaraan dan kesejahteraan semua warga negaranya Dalam pengimplementasiannya ternyata alokasi anggaran untuk ini pun masih jauh dari ambang batas alokasi minimal yang diamanahkan dalam Kepmendagri 132/2003, sebagai mana yang tercermin dari hasil temuan berikut ini.
Advokasi Anggaran Responsif Gender Anggaran responsif gender hendaknya perlu didorong tidak hanya sebagai suatu wacana yang diakui urgensinya namun tidak diimplemen– tasikan. Oleh karenanya kelompok masyrakat sipil perlu untuk mendorong terwujudnya anggaran responsif gender. Pintu masuknya bisa saja dengan mengangkat konteks hak warga negara. Warga negara berhak menangih kontrak sosial kepada pemimpin negara untuk memenuhi hak-hak mereka. Terkait dengan itu, ada beberapa langkah yang dapat dilakukan, seperti membangun kesadaran multi– stakeholder tentang pentingnya anggaran responsif gender, menyiapkan SDM untuk meng– advokasi anggaran responsif gender dan menyusun anggaran responsif gender, menyiapkan instrumen untuk menganalisis dan melacak anggaran responsif gender yang mudah digunakan, membangun komitmen multistakeholder untuk meng– implementasikan anggaran responsif gender dalam anggaran negara (APBN dan APBD) serta melakukan monitoring dan audit terhadap proses penganggaran dengan meng– integrasikan gender perspektif.
* Penulis merupakan manager program transparansi dan advokasi anggaran resposif gender di CiBa
Tabel Alokasi Anggaran untuk Pengimplementasian PUG di beberapa daerah: NO 1
Prop/Kab/Kota DKI Jakarta
APBD
Alokasi RP
Total APBD
%
2006
6.108.432.500
17.997.567.028.000
0,03
2
Kota Cimahi
2004
280.000.000
256.509.608.533
0.11
3
Kalimantan Barat
2005
935.700.000
737.025.368.214
0.12
4
Aceh Tengah
2005
300.510.000
192.455.315.440
0.16
Aliansi, Vol. 31 No. XXXV Agustus - September 2006
KOLOM Imbalan yang Timpang:
Analisis Gender Budget di Beberapa Daerah Dati Fatimah*
S
ebagai manifestasi dan wujud nyata kebijakan negara yang paling solid dan kongkret, kebijakan anggaran mencerminkan sejauh mana prioritas dan pilihan diambil oleh negara dalam pelaksanaan kewajiban-kewajibannya kepada masyarakat. Kenapa merupakan kebijakan yang paling solid dan kongkret? Jawabannya adalah karena dalam kebijakan anggaran, selain mencerminkan cara pandang terhadap kondisi dan kebutuhan masyarakat, anggaran juga mengatur hingga ke alokasi dan distribusi sumber daya. Karenanya, analisis anggaran juga menjadi pintu strategis dalam menguji keberpihakan negara terhadap rakyatnya. Bagaimana dengan keberpihakan negara terhadap penyelesaian persoalan dan ketimpangan gender? Selain beberapa produk kebijakan yang juga penting untuk diukur, kebijakan anggaran juga mepunyai korelasi yang sangat besar dengan upaya penyelesaian problem dan ketimpangan gender. Dalam hal ini, perspektif gender dalam kebijakan anggaran, akan melihat apakah kebijakan anggaran mempunyai pengaruh terhadap ketimpangan gender. Apakah menurunkan, tidak berimplikasi atau justru meningkatkan ketimpangan gender. Perempuan dan Aliran Dana Publik Bagian pertama yang perlu dilihat, adalah anggaran pada sisi pendapatan. Salah satu potretnya nampak dari konfigurasi pendapatan asli daerah (PAD) sebagaimana nampak dalam tabel berikut. Tabel Kontributor Utama Pendapatan Asli Daerah. Daerah Bantul, DIY Kota Yogyakarta Gunung Kidul Subang Kebumen
Tahun 2004 2004 2003 2004 2003
Pos PAD Terbesar Retribusi Kesehatan Pajak Hotel Retribusi Kesehatan Retribusi Kesehatan Pajak Penerangan Jalan Umum
Jumlah (Miliar) 10,3 15 5,43 15,71 4,5
Sumber: Fatimah (2004), h. 6
Ternyata, banyak daerah yang mengandalkan pendapatan dari retribusi kesehatan. Di Subang, Gunung Kidul, dan Bantul, retribusi kesehatan adalah penyumbang utama anggaran. Di Kebumen, data yang lebih baru yaitu tahun 2005, retribusi kesehatan menempati posisi pertama dan menggeser Pajak Penerangan Jalan Umum (PPJU) yang sebelumnya adalah penyumbang PAD nomer 1 di daerah ini (Fatimah, 2005 a). Pertanyaan lanjutannya, adalah siapakah sebetulnya yang membayar retribusi kesehatan? Pembagian peran dalam masyarakat patriarkhi, membuat peran pengasuhan menjadi urusan perempuan. Jadi, mengantar anak sakit atau imunisasi, menunggu anggota keluarga sakit, adalah urusan perempuan. Belum lagi, urusan kesehatan reproduksi
Aliansi, Vol. 31 No. XXXV Agustus - September 2006
perempuan, membuat banyak pertautan antara perempuan dengan retribusi kesehatan ini. Inilah alasan mengapa retribusi kesehatan sangat berwajah perempuan. Sayangnya, dalam otonomi daerah, target mengejar PAD seringkali membuat beban perempuan dan anak menjadi semakin berat. Hal ini terjadi karena banyak daerah yang kemudian menaikkan tarif retribusi ini, dengan target meningkatkan PAD. Kondisi ini muncul di semua daerah di DI Yogyakarta. Bantul telah menaikkan retribusi dari Rp 600,- menjadi Rp 3.000,-. Kota Yogyakarta telah menaikkan dari Rp 700,- menjadi maksimal Rp 5.000,Begitu juga Sleman dan Gunung Kidul. Sementara Kulon Progo yang masih Rp 500,- untuk retribusi Puskesmas, masih mengkaji kemungkinan Perda baru untuk kenaikan retribusi ini (Fatimah, 2006). Point penting dari kebijakan anggaran pendapatan, adalah kebijakan anggaran justru mengeksploitasi kelompok gender marjinal. Imbalan Yang Timpang Jikalau dalam anggaran pendapatan, perempuan dan anak adalah kelompok penyumbang utama anggaran daerah, bagaimana pada sisi belanja atau pengeluarannya? Dalam korelasi dengan upaya penyelesaian ketimpangan gender, apakah kebijakan anggaran mengidentifikasi dengan tepat kebijakan anggaran yang berkorelasi dengan upaya penyelesaian ketimpangan gender? Paling tidak, terdapat tiga kategori dalam menganalisis anggaran belanja dalam kaitannya dengan penyelesaian ketimpangan gender. Penjelasan singkat dari ketiga kategori belanja ini adalah perlunya kebijakan anggaran yang menyasar kelompok gender spesifik (misal, anggaran untuk kesehatan balita dan ibu hamil), anggaran sebagai dukungan bagi upaya affirmative action untuk mempersempit kesenjangan antar kelompok gender, dan bagaimana anggaran secara umum di semua sektor juga menggunakan pertimbangan gender sebagai dasar pijakan (Budlender, 1996, h. 32). Bila melihat bagaimana konsep yang dipakai oleh pemerintah, tampaknya ketiga point di atas tidak dianggap sebagai kesatuan yang integral. Hal ini nampak dengan jelas, bilamana melihat Kepemendagri No. 132 tahun 2003, tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam Pembangunan Daerah. Dalam bagian tentang ruang lingkup, di ayat (6) memang disebutkan bahwa PUG dalam perencanaan pembangunan disertai dengan perencanaan anggaran yang responsif gender. Namun, bilamana menilik bagian yang lebih akhir, yaitu di pasal 9, konsep anggaran berperspektif gender menjadi dipersempit cakupannya. Dalam bagian tentang pembiayaan
5
KOLOM ini, disebutkan dalam ayat (1): “Segala pembiayaan yang diperlukan bagi pelaksanaan PUG di daerah dibebankan kepada APBN dan APBD untuk masing-masing provinsi, kabupaten dan kota sekurang-kurangnya minimal sebesar 5% (lima persen) dari APBD Propvinsi, kabupaten dan kota”. Apa implikasi dari pagu minimal yang dipatok oleh Depdagri ini? Bisakah kita bayangkan, bilamana mengikuti aturan ini, maka alokasi sebesar 5% dari APBD suatu kabupaten untuk kepentingan PUG sudah dianggap responsif gender, bahkan walaupun sisa anggaran yang lain yaitu sebesar 95%, bisa jadi netral atau bias gender. Bukankah yang disebut PUG, karena merupakan pengarus-utamaan, dalam konteks anggaran, seharusnya mengacu kepada ketiga ranah yang disebut oleh Budlender di atas, dimana seharusnya kesemua anggaran alias 100% seharusnya merupakan bagian dari PUG dalam anggaran? Lantas, bagaimanakah implikasinya di tingkat daerah? Mari kita melihat satu persatu, yang salah satunya adalah potret untuk kelompok gender spesifik. Analisis IDEA untuk anggaran daerah tahun 2006 di beberapa daerah berikut ini menunjukkan minimnya anggaran untuk keperluan anak dan perempuan. Tabel Beberapa Kegiatan Women’s Budget di APBD DI Jogjakarta, tahun 2006
Wilayah Bantul Gunungkidul Sleman Kulon Progo Kota Jogjakarta
Program Pendampingan kekerasan terhadap perempuan dan anak Bantuan korban kekerasan terhadap perempuan dan anak Bantuan korban kekerasan terhadap perempuan dan anak Bantuan gerakan pekerja wanita sehat produktif Bantuan keuangan pemberdayaan perempuan
Jumlah 20 juta 5 juta 10 juta 1.5 juta 104 juta
Sumber : Analisis Anggaran Daerah Tahun 2006, IDEA, tidak diterbitkan.
Beberapa kegiatan penting sebagaimana terurai di atas, menunjukkan minimnya perhatian dan keseriusan negara dalam penyelesaian persoalan ketimpangan gender. Hitungan IDEA juga menunjukkan bahwa total women’s budget di kelima daerah tersebut juga sangat sedikit. Di Bantul dengan jumlah total women’s budget sebanyak 424 juta hanya mencapai 0.07% dari total anggaran, sementara di Kota Jogja hanya mencapai 0.01 % dari total anggaran. Ironi ini juga menjadi tampak nyata apabila disandingkan dengan pos-pos anggaran yang sebetulnya tidak terlalu urgen namun justru sangat besar dan boros. Bantuan kepada klub sepakbola misalnya, muncul di hampir semua daerah. Selain di Bantul sebesar Rp 6.5 M, Sleman juga mengalokasikan Rp 10 milyar sementara kota Jogja menyisihkan dana sebanyak Rp 8.867 milyar. Demikian juga dengan beberapa contoh lain seperti bantuan naik haji sebesar Rp 300 juta di Bantul, atau bantuan untuk partai politik. Kulon Progo dengan alokasi dana parpol sebesar Rp 350 juta adalah yang terendah, sementara Bantul merupakan daerah dengan alokasi dana parpol tertinggi , yaitu sebesar Rp 877 juta. Pertanyaan penguji kedua, adalah bagaimana alokasi anggaran untuk mendukung affirmative action guna mempersempit kesenjangan gender? Walaupun sudah ada UU Pemilu yang mendorong kuota keterwakilan perempuan
6
di lembaga legislatif, dorongan dalam bentuk kebijakan anggaran masih sangat minim. Alokasi anggaran untuk mendorong lebih banyak perempuan bisa menduduki posisi kunci dalam pengambil kebijakan juga hampir tidak terlihat. Mayoritas posisi penentu kebijakan masih dipegang oleh laki-laki, sedangkan upaya mengatasi hambatan-hambatan perempuan dalam meraih jabatan publik tidak juga nampak dalam kebijakan anggaran. Di kelima daerah di atas misalnya, jumlah keterwakilan perempuan di DPRD hasil pemilu 2004 masih sangat jauh dari memadai. Kota Jogja dengan jumlah keterwakilan 20% adalah yang tertinggi, sementara Gunungkidul hanya ada 1 anggota DPRD perempuan (Fatimah, 2004). Yang terakhir, adalah melihat apakah pertimbangan terhadap dampak gender juga menjadi dasar pijakan dalam anggaran di semua sektor. Contoh yang diambil adalah untuk anggaran pendidikan. Walaupun data-data tentang partisipasi sekolah menunjuk dengan jelas akan adanya perbedaan akses antara anak laki-laki dan perempuan, kondisi ini tidak ditangkap oleh pembuat kebijakan anggaran pendidikan. Akibatnya, dalam kebijakan anggaran pendidikan juga tidak ada upaya untuk menjamin agar anak perempuan memiliki akses yang sama dengan anak laki-laki dalam memperoleh pendidikan. Beasiswa yang mensyaratkan kuota anak perempuan untuk menyebut sebagai contoh, tidak muncul di kelima daerah tersebut. Temuan IDEA dalam anggaran tahun 2006 menunjukkan, tidak ada alokasi yang merupakan pengarusutamaan gender dalam pendidikan di kelima daerah tersebut. Jadi, tidak sepadan dengan kontribusi perempuan dan anak yang begitu dominannya Dok. Tempodalam PAD, imbalan yang timpang justru nampak dalam anggaran belanja. Minimnya perhatian negara bagi penyelesaian ketimpangan gender yang bisa dirunut dalam kebijakan anggaran belanja ini, akan menjadi masalah yang semakin serius bilamana tidak segera di tanggapi dan diperbaharui. Sumber : _______, (2006), “Analisis Anggaran Daerah Tahun 2006”, IDEA, tidak diterbitkan Budlender, Debbiee, ed. (1996), “The Women’s Budget”, IDASA, Cape Town, South Africa. Fatimah, Dati (2004), “Yang Terlupakan : Menyoal Perempuan dan Anggaran”, IDEA Press, Jogjakarta, Desember Fatimah, Dati (2006), “Si Miskin Bicara : Catatan Advokasi Pelayanan Kesehatan”, makalah disampaikan pada seminar “Menggagas Pembaharuan Bagi Penguatan Hak-hak dasar Warga dalam Pelayanan Publik”, Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM, 16 Februari 2006 * Penulis, bekerja sebagai Kepala Pengembangan Program I, Institute for Development and Economic Analysis (IDEA), Jogjakarta. Menulis beberapa buku tentang gender, anggaran dan korupsi. Aktif menjadi fasilitator pendidikan kritis untuk isu-isu tersebut.
Aliansi, Vol. 31 No. XXXV Agustus - September 2006
POTRET
Korupsi APBD Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) atau yang sering diistilahkan dengan anggaran publik, pada dasarnya didapat dan dikumpulkan dari pajak dan retribusi. Pengumpulan dari pajak adalah seperti pajak bumi bangunan, pajak pembelian barang-barang, mulai barang-barang dapur, pakaian, alat rumah tangga hingga TV, sepeda maupun mobil, makan di warung kini dikenai pajak, belum lagi pajak listrik, PDAM dan pajak-pajak lainnya. Sedangkan penarikan retribusi seperti retribusi parkir, peron di terminal, retribusi angkutan kota setiap masuk terminal harus bayar atau retribusi pedagang di pasar yang setiap hari ditarik karcis oleh petugas pasar, retribusi kebersihan baik. Dengan kata lain hampir disetiap aktifitas kehidupan manusia dikenai pajak oleh penguasa (pemerintah). Pembebanan pajak dan retribusi kepada rakyat merupakan konsekwensi logis dengan adanya kesepakatan mendirikan negara. Filosofinya adalah untuk membiayai kegiatan negara dan pemerintahan. Yang menjadi ironis adalah, ketika pajak dan retribusi yang disetor oleh rakyat kemudian disalahgunakan dan diselewengkan oleh para aparat pemerintahan maupun pejabat negara.
K
ini, coba kita bayangkan, mulai dari bangun tidur kita menggunakan air dari PDAM baik untuk keperluan mandi. Masak maupun keperluan rumah tangga lainnya sudah dikenai pajak atau yang memakai air sumur yang disedot pakai pompa dengan bantuan listrik juga dikenai pajak oleh PLN (perusahaan Listrik Negara). Kemudian kita naik mikrolet dengan ongkos Rp. 1.000, di terminal sopir mikrolet (angkutan) dikenai retribusi, atau mikroletnya mogok kemudian membeli onderdil/alat untuk diperbaiki juga dikenai pajak. Hingga mau tidur rakyat tetap dikenai pajak karena semalam suntuk listrik tentunya hidup untuk menerangi rumahnya. Jadi, dari bangun tidur sampai mau tidur lagi rakyat Indonesia setiap menitnya wajib bayar pajak dan retribusi. Kalau tidak bayar atau terlambat tentunya dikenai sanksi. Sedangkan kalau PDAM macet, Listrik sering mati, ke pasar macet, naik mikrolet susah tidak pernah ada kompensasi oleh pemerintah/negara kepada rakyat. Padahal sejatinya rakyat memba–yar pajak adalah untuk mendapatkan pelayanan dan fasilitas memadai yang disediakan oleh pemerin–tah. Bukan sebaliknya rakyat bayar pajak, kemudian pemerintah hanya bertugas mengum–pulkan yang kemudian “diincrit-incrit (dicicil)”
oleh pemerintah untuk membuat layanan publik yang baik, karena sisa uang pengumpulan pajak dan retribusi secara rutin dikorupsi, bahkan korupsinya nyaris terlembagakan. Selain pajak dan retribusi, sumber APBD juga didapat dari laba BUMD
seperti PDAM, PD Potong Hewan dan PT Bank Pasar atau yang lainnya. Selain itu, juga didapat dari hutang (dari pemerintah pusat maupun luar negeri) maupun dari dana hibah, baik hibah dari pemerintah pusat maupun luar negeri. APBD yang kini populer dengan istilah lain sebagai anggaran publik yang sumber pendapatannya di dapat dari rakyat maka sudah selayaknya dibicarakan dan didiskusikan dengan dan oleh publik. Karena pada dasarnya
Aliansi, Vol. 31 No. XXXV Agustus - September 2006
substansi APBD adalah merupakan wujud komitmen politik dari para penyelenggara negara di daerah untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Selain itu, APBD merupakan bentuk nyata dari hubungan sosial atau kontrak sosial antara kekuasaan (orang yang mempunyai kuasa dan wewenang) untuk membuat dan menentukan keputusan politik dan kebijakan politik dengan rakyat (orang yang tidak punya kuasa dan wewenang hanya dapat merasakan). Dalam konteks perencanaanpenyusunan, pelaksanaan hingga evaluasi dan pertanggungjawaban dari APBD yang terjadi saat ini, rakyat tidak pernah dilibatkan, rakyat hanya punya daulat tetapi tidak punya kuasa dan kewenangan untuk menjalankan. Karena rakyat hanyalah dijadikan obyek dari putusan politik yang dibuat oleh mereka (legislatif dan ekskutif). Sementara kekuasaan sebagai subyek yang mempunyai otoritas untuk membuat keputusan politik dibidang anggaran tidak pernah menghormati mekanisme partisipasi rakyat. Sehingga mereka (legislatif-ekskutif) dalam setiap merumuskan dan membuat kebijakan hanyalah menurut paradigma kekuasaan dan kepentingan kekuasaan, atau yang sekarang terjadi adalah melalui mekanisme partisipasi yang dipaksakan sebagai kata lain dari “partisipasi yang terpimpin”. Akibatnya rakyat tidak punya pilihan
7
POTRET lain untuk memilih, karena adanya situasi yang dibangun oleh penguasa agar seolah-olah rakyat sangat membutuhkan fasilitasi dari dana APBD. Kondisi ini sangat dipahami dengan baik oleh penguasa yaitu ketika rakyat dalam kondisi tidak tahu, terdesak, takut dan merasa butuh akan fasilitas maka penguasa datang memberikan “bantuannya” seolah-oleh seperti dermawan. Padahal perilaku penguasa ini tentu salah besar, karena “bantuan” yang diberikan adalah kewajiban pemerintah. Logikanya yang benar adalah rakyat berkewajiban membayar pajak dan retribusi sedangkan pemerintah berkewajiban memberikan pelayanan kepada rakyat dengan baik. Pemerintah bukanlah raja tetapi mereka adalah pelayan, mereka tidak layak disembah karena bantuannya, karena mereka adalah mitra rakyat. APBD yang mempunyai substansi sebagai power relation yang diartikan sebagai hubungan antara rakyat dan penguasa, ternyata dalam banyak kasus tidak dapat terjadi, karena yang terjadi malah sebaliknya yaitu hubungan antar kekuasaan legislatif dengan ekskutif dan elit ekskutif dengan bawahannya bisa dinas, badan, kantor atau bahkan orang perorang yang sedang menjabat. Realitas ini sangat paradok dengan esensi power relation antara penguasa dengan rakyat. Ironisnya dari apa yang terjadi diatas rakyat (publik) hanyalah
bahwa APBD merupakan bentuk nyata dari komitmen politik yang dibuat oleh para elit penyelenggara negara di daerah. Banyaknya pendistorsian yang terjadi tentang esensi-esensi dasar APBD telah membuka ruang yang cukup luas bagi berkembang biaknya korupsi dalam APBD. Terjadinya korupsi dalam APBD sesungguhnya telah dimulai dari proses perencanaannya yaitu misalnya ketika menentukan besaran Pendapatan Asli daerah (PAD), disini sangatlah mungkin terjadi “pengecilan (mark down)” angka target PAD, yang seharusnya atau kenyataannya PAD bisa mendapat 30 milyar, bisa saja ditetapkan menjadi 20 milyar oleh mereka yang mempunyai kuasa dan wewenang tadi. Ini bisa terjadi karena selama ini rakyat tidak pernah dilibatkan. Sedangkan, contoh dalam sisi pelaksanaannya seperti pengadaan barang-barang. Mulai dari barang alat tulis dan peralatan kantor, mobil dan prasarana lainnya hampir tiap saat selalu ada proyek pengadaan barang. Tetapi pada sisi lain nyaris tidak pernah diumumkan tentang aset kekayaan pemerintah, misalnya punya kursi-meja berapa, komputer berapa
Dalam banyak kasus APBD seringkali dijadikan alat untuk bargaining politik antara penguasa dan pengusaha untuk kepentingan politik dan ekonomi. Ironisnya dalam relasi perselingkuhan penguasa dan pengusaha banyak di bantu/difasilitasi melalui bagunan opini yang cenderung merugikan rakyat oleh media massa.
tetap menjadi penonton dan bahkan ikut menyetujui. Posisi rakyat ikut menyetujui karena memang didesain oleh penguasa (ekskutif-legislatif) untuk menyetujuinya dengan kata lain dukungan rakyat hanyalah sebagai alat untuk mendapatkan seolah-olah “ legitimasi”. Selain itu, tidak adanya keterlibatan rakyat juga disebabkan karena mereka tidak cukup banyak informasi yang didapat tentang APBD. Realitas inilah yang kemudian dapat mendistorsi makna yang terkandung dalam power relation,
8
buah, mobilnya berapa buah, nilainya berapa dan penyusutannya pertahun berapa, punya aset yang berbentuk tanah berapa banyak kalau dinominalkan menjadi uang berapa. Serta berapa banyak stelan baju walikota dan anggota DPRD serta harga belinya berapa dan berapa lama dipakai. Ini semuanya harus diumumkan kepada publik karena mereka memakai uang publik (APBD) yang ditarik dari pajak dan retribusi. Jadi bagi mereka yang menjadi pejabat publik mulai dari biaya makan, baju, transportasi dan segalanya yang berurusan dengan jabatannya adalah
berasal dari pajak dan retribusi. Kalau ini tidak diumumkan maka peluang terjadinya korupsi sangatlah besar, karena realitas APBD saat ini mulai dari perencanaannya, pelaksanaannya, evaluasinya dan bahkan pertanggung– jawabannya tidak pernah melibatkan rakyat. Padahal rakyat jelas punya daulat atas APBD. Munculnya kasus korupsi anggaran publik yang terjadi, disebabkan oleh tidak adanya ruangruang partisipasi bagi publik, baik dalam proses penyusunannya maupun proses melaksanakan akuntabilitasnya. Sebagai contoh kasus yaitu APBD yang terjadi di Malang, dimana performance APBD sangatlah menguntungkan pihak penyelenggara negarapemerintahan terutama pembiayaan untuk birokrasi sedangkan program yang benar-benar diserap masyarakat prosentasenya sangat kecil, jauh dari semangat untuk mensejahterakan masyarakat. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Malang Corruption Watch (MCW) sangat menggambarkan bahwa peran masyarakat sangat minim masih sangat di dominasi oleh peranperan penyelenggara negarapemerintahan. No 1
Keterangan Tahu tentang APBD
% 37
2
Tidak tahu tentang APBD Total
63
Dari tabel di atas yang tahu tentang APBD hanya (37%) dan yang menyebutkan tidak faham apa itu APBD sebanyak (63%). Ketidak– tahuan mereka karena tidak adanya upaya pemerintah untuk memberikan pemahaman kepada rakyat. Seharusnya pemerintah memberikan informasi yang cukup tentang kebijakan yang dikeluarkan. Kemudian dari yang menyatakan tahu tentang APBD yang terlibat dalam penyusunan APBD hanya (5%) sebagian besar dari mereka tidak
Aliansi, Vol. 31 No. XXXV Agustus - September 2006
100
POTRET terlibat dalam penyusunan APBD yaitu (95%). Performa politik anggaran di Malang, sangat sarat dengan kepentingan politik sehingga banyak menimbulkan distorsi-distorsi dalam penyusunan, pelaksanan maupun pengawasan dan pertanggung– jawabannya. Dalam penyusunan anggaran publik di Malang, keterlibatan aktor-aktor tertentu sangatlah dominan dan bahkan mampu melakukan intervensi untuk melakukan perubahan-perubahan sesuai dengan agenda dan kepentingannya masingmasing aktor. Sedangkan aktor yang paling berpengaruh selain pemerintah (ekskutif-legislatif) adalah para pemodal yang di dukung oleh pers dan tokoh masyarakat. Kepentingan pemodal dalam hal ini sangat jelas, yaitu, kebijakan anggaran publik “dipaksa” menyesuaikan dengan agenda bisnis atau proyek yang akan atau sedang dikerjakan oleh pemodal. Dan lebih parah lagi item-item proyek yang dianggarkan dalam anggaran publik “ disediakan” untuk dilaksanakan oleh para pemodal. Realitas ini seringkali terjadi, karena Keterangan Terlibat dalam penyusuanan APBD Tidak terlibat dalam penyusunan APBD Total
Model keterlibatan aktor dalam penentuan kebijakan Aktor Legislatif-ekskutif
Bentuk Distorsi - Menjual kebijakannya untuk kepentingan politik - Anggaran hanya sebagai respon politik - Anggaran dijadikan instrumen kepentingan politik tertentu - Mark up/mark down
Kepentingan - Meminta dukungan dan pengamanan dalam rangka menjaga kekuasaannya. - Mencari uang untuk menjaga kekuasaannya
Pasar (pemodal)
Mempengaruhi legislatif-ekskutif agar kebijakan anggaran menguntungkan bisnisnya
Partai Politik
- Mempengaruhi legislatif - Anggaran dijadikan instrumen kepentingan politik tertentu
Pers
Mempengaruhi opini publik
Masyarakat (tokoh)
Memberikan dukungan parsial dan sepihak
- Pengerjaan proyek pembangunan dimonopoli - Proyek-proyek yang dikerjakan tanpa tender - Kepentingan politik dan keuangan partai secara langsung - “Berselingkuh” dengan pemodal untuk mendapatkan keuntungan - Untuk kepentingan keberlangsungan usaha medianya. - “berselingkuh” dengan pemodal dan partai politik untuk saling menguntungkan ssimbiosys mutualisme. - Untuk kepentingan pribadi - Menjaga kepentingan orang-orang tertentu baik pemodal maupun tokoh politisi.
secara
Sumber : hasil laporan monitoring Malang Corruption Watch periode 2005-2006.
tolok ukur atas kebutuhan dirinya sendiri bukan berdasar pada kebutuhan rakyat yang akan dikenai kebijakan. Realitas di atas, dapat menyimpulkan bahwa dalam proses penyusunan anggaran publik di Malang, dapat dikatakan pertama,
tidak transparan. Kedua, tidak partisipatif (tidak banyak melibatkan komunitas). Ketiga, mekanismenya sangat formalistik tidak komunikatif dan cenderung satu arah. Keempat, sangat strukturalis-birokratis. Lutfi Kurniawan MCW Malang
% 5 95 100
para pemodal banyak membiayai money politic para penguasa untuk mendapatkan kekuasaannya. Selain itu, Keterlibatan para pejabat struktural dan tokoh masyarakat semakin menegaskan bahwa proses hegemoni sosial selalu terjadi dalam penyusunan kebijakan anggaran publik. Praktek hegemoni atas nasib rakyat adalah bentuk nyata dari pelaksanaan “partisipasi” yang sangat elitis, karena mereka (penguasapemerintah) yang mempunyai otoritas membuat kebijakan menggunakan
Aliansi, Vol. 31 No. XXXV Agustus - September 2006
9
PROSPEK Maya Rostanty:
Teror dan Intimidasi Tak Menyurutkan langkah Kami untuk Advokasi Anggaran Partisipasi penuh rakyat dalam penentuan kebijakan merupakan prinsip yang mendasar agar kebijakan yang dibuat benar-benar berpihak pada rakyat. Salah satu kebijakan yang harus dikontrol ketat oleh rakyat sebagai jaminan kesejahteraan rakyat adalah kebijakan dalam merancang Anggaran. Lewat anggaran inilah nasib rakyat ditentukan. Seberapa besar anggaran untuk rakyat menentukan seberapa besar tingkat keberpihakan negara atas kesejahteraan rakyatnya. Ironisnya kebijakan penyusunan anggaran ini seringkali tidak melibatkan rakyat secara penuh. Rakyat hanya terlibat saat Musrenbang (musyawarah perencanaan pembangunan). Namun ketika penyusunan APBN/D tidak ada pelibatan ataupun kontrol rakyat sehingga bisa jadi rumusan anggaran yang diajukan oleh rakyat dalam musrenbang tersebut tidak dipakai. Wajar apabila yang terjadi kemudian adalah munculnya ketimpangan anggaran seperti biaya perjalanan dinas ataupun kursi bupati lebih besar dari subsidi pendidikan dan kesehatan bagi rakyatnya. Berbasis pada kebutuhan pentingnya mengkontrol anggaran inilah PATTIRO (Pusat Telaah dan Informasi Regional) menfokuskan dirinya pada program advokasi penggaran. Advokasi anggaran ini telah dilakukan di 3 kota Semarang, Surakarta dan Tangerang. Dan baru-baru ini mereka telah meluncurkan modul pelatihan Advokasi Penganggaran Berbasis Kinerja Responsif Gender. Seberapa pentingnyakah isu anggaran responsif gender ini? Apa saja lingkup kerja anggaran responsif gender? Bagaimana mendorong keterlibatan rakyat dalam isu ini? Berikut wawancara Aliansi dengan Maya Rostanty Manager Program Anggaran Responsif Gender PATTIRO.
Aliansi: Apa sebenarnya yang melatarbelakangi PATTIRO melakukan advokasi penganggaran ini? Maya Rostanty (MR): Berawal dari keprihatinan dan kepedulian kami akan terjadinya ketimpangan anggaran yang luar biasa. Di satu sisi, banyak kasus korupsi APBD yang menimpa pihak pemerintah daerah maupun DPRD, sementara di sisi lain semakin banyak penduduk miskin, dengan salah satu puncaknya adalah maraknya kasus busung lapar dan gizi buruk. Seperti kasus di Bone misalnya yang penduduknya mayoritas masih buta aksara dan banyak di dapati penderita kusta dan kasus gizi buruk. Tahun 2005 saja, terdapat 219 kasus anak gizi buruk. Namun harga kursi bupatinya sampai Rp 40 juta. Di Surakarta, alokasi untuk ibu hamil hanya Rp 154 juta, sementara pada alokasi untuk klub sepakbola (PERSIS) mencapai RP 3 milyar. Di Semarang, alokasi untuk pembuatan papan nama walikota mencapai Rp 200 juta, sementara alokasi untuk antisipasi kejadian luar biasa bidang kesehatan hanya Rp 44 juta. Hal ini sangat ironis karena tahun 2005 Kota Semarang menyatalam KLB
10
(kejadian Luar Biasa) kasus Demam Berdarah. Kondisi ini memperlihatkan bahwa APBD belum dikelola dengan baik. Meskipun APBD sejatinya adalah uang rakyat, namun yang menikmati lebih banyak pejabat. Dari sinilah kita mulai melakukan advokasi anggaran. Aliansi: Di wilayah manasaja PATTIRO pernah melakukan andvokasi anggaran? Bisa diceritakan temuan dari advokasi anggaran ini? MR: Pada awalnya, sejak tahun 2002, PATTIRO melaksanakan advokasi anggaran di 4 kota, yaitu Semarnag, Surakarta, Tangerang dan Gresik. Dalam perkembangannya advokasi ini diperluas ke beberapa wilayah lainnya yaitu Pekalongan dan Bone (bekerja sama dengan LPP Bone). Salah satu temuan kami adalah adanya kasus korupsi APBD yang terjadi pada APBD Tahun 2003 Kota Surakarta dan APBD Tahun 2003 dan 2004 Kota Semarang. Menindaklanjuti temuan tersebut, kami melakukan proses hukum, yaitu melaporkan kepada aparat penegak hukum. Sampai saat ini, kasus yang di Surakarta dan Semarang sudah jatuh vonis hukumannya,
Aliansi, Vol. 31 No. XXXV Agustus - September 2006
PROSPEK meskipun tidak memuaskan bagi kami. Sisi lain dari advokasi yang kami lakukan, banyak teror baik teror yang tidak enak maupun teror yang enak. Teror tidak enak, misalnya dialami oleh pegiat PATTIRO Surakarta, Alief Basuki yang digugat balik oleh para terdakwa (pimpina DPRD Kota Surakarta periode 1999-2004) dengan tuduhan pencemaran nama baik.Teman kami di Semarang, Susana Dewi, diancam akan dibunuh. Sementara teman kami di Tangerang, Wawanudin, diancam akan disomasi Walikota yang tidak puas dengan tulisan di koran. Sementara teror enak, misalnya imingiming uang jika mau menghentikan upaya hukum sampai dengan tawaran jadi tim sukses dalam Pilkada. Namun semuanya Alhamdulillah bisa diatasi dengan mengembalikan kepada niatan awal, membantu masyarakat untuk mendapatkan haknya di APBD Aliansi: Beberapa minggu lalu PATTIRO meluncurkan modul pengganggaran berbasis kinerja responsif gender, bisa dijelaskan apa sebenarnya yang dimaksud dengan pengganggaran berbasis kinerja responsif gender ini? MR: Saat ini, sistem anggaran yang berlaku di Indonesia adalah anggaran berbasis kinerja (ABK). Kalau dulu yang penting dana habis, tidak peduli apakah target program/ kegiatan tercapai atau tidak. Namun, dalam anggaran kinerja akan diminta pertanggungjawaban tentang apa yang telah dihasilkan dari penggunaan dana APBD. Di sisi lain, pemerintah telah berkomitmen untuk melakukan strategi pengarusutamaan gender di setiap program/ kegiatan ini mulai dari perencanaan, penganggaran, pelaksanaan sampai dengan pertangungjawaban seperti yang terdapat dalam Kepmendagri No 132 tahun 2003. Salah satu point penting dari aturan ini, bahwa perencanaan yang responsif gender harus diikuti dengan penganggaran yang responsif gender pula. Di Modul ini, kita mengawinkan kedua hal tersebut. Bagaimana strategi pengarusutamaan gender bisa dijalankan melalui anggaran responsif gender, dalam bentuk implementasi anggaran berbasis kinerja yang mengintegrasikan perspektif gender dalam setiap program dan kegiatan yang didukung dengan alokasi anggaran yang memadai. Besaran alokasi perlu ditekankan disini karena seringkali program/kegiatan yang responsif gender mendapatkan alokasi yang kecil. Misalnya, program perlindungan pekerja anak, hanya mendapatkan alokasi Rp 10 juta, sementara alokasi pembuatan papan nama walikota Rp 200 juta. Ini kan tidak adil. Anggaran responsif gender menjadi alat untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender. Aliansi: Bisa dijelaskan faktor apa saja yang menyebabkan kesenjangan gender? Bagimana mengatasi hal tersebut? MR: Banyak faktor mengapa terjadi kesenjangan gender, bisa karena kebijakan, bisa karena budaya atau perpaduan antara keduanya. Namun, menurut Lisa Vaneklasen
Aliansi, Vol. 31 No. XXXV Agustus - September 2006
kesenjangan gender merupakan salah satu bentuk kesenjangan. Ada bentuk-bentuk kesenjangan lainnya, misalnya kesenjangan status ekonomi (miskin-kaya), kesenjangan umur (anak, dewasa, lansia), kesejangan karena lokasi geograsi (desa-kota) maupun kesenjangan karena perbedaan kemampuan (cacat-tidak cacat). Untuk mengatasi kesenjangan gender, kita perlu melihat bentuk-bentuk kesenjangan yang lain agar kita tidak terjebak pada dikotomi jenis kelamin yang pada prakteknya banyak menimbulkan resistensi dari para pengambil kebijakan ketika kita mempejuangkan kelompok perempuan. Misalnya, di isu kesenjangan gender bidang pendidikan. Kita bisa melihat kesenjangan antara tingkat pendidikan masyarakat kota dan desa, disampaing tingkat kesenjangan laki-laki dan perempuan. Dengan demikian, ketika menyusun program, pemerintah tahu kemana lokasi program harus diprioritaskan, desa ataukah kota. Bila ingin mengetahui siapa yang paling membutuhkan, maka bisa ditelusur lagi, antara perempuan dan laki-laki. Nah, sebenarnya Strategi pengarusutamaan gender diharapkan menjadi salah satu strategi yang bisa digunakan untuk mengatasi kesenjangan gender. Aliansi: Berdasarkan pengalaman PATTIRO, strategi apa yang digunakan untuk mendorong partisipasi perempuan dalam advokasi pengganggaran ini? MR: Kami melakukan ‘potong kompas’ terhadap proses formal penganggaran. Biasanya, masyarakat harus mengusulkan mulai dari musrenbandes, dan seterusnya sampai diakomodasi di APBD. Nah, saat ini tingkat keterlibatan perempuan sangat minim di forum formal ini. Maka kami langsung melakukan pemetaan masalah di kelompok perempuan miskin, dengan melakukan FGD apa yang menjadi masalah, apa prioritas masalah, dan apa usulan program untuk mengatasi masalah. Di akhir FGD, forum menyepakati usulan program apa yang akan diadvokasi untuk masuk APBD. Untuk itu, strategi yang dilakukan adalah realokasi anggaran. Yaitu mengurangi anggaran dengan penerima manfaat aparat, dan dialihkan kepada program dengan penerima manfaat masyarakat. Aliansi: Apa yang mesti dilakukan oleh masyarakat sipil agar anggaran yang dibuat oleh pemerintah benar-benar merupakan kebutuhan rakyat? Dan bagaimana memulai keterlibatan rakyat dalam penyusunan anggaran ini? MR: Mayarakat sipil harus terlibat aktif dalam setiap tahapan dalam siklus APBD, mulai dari perencanaan, penganggaran, penetapan, pelaksanaan dan pertanggungajwabana APBD. Hal ini perlu dilakukan karena pada dasarnya, APBD adalah uangnya rakyat yang harus dikembalikan lagi untuk kemakmuran rakyat, terutama kelompok miskin dan kelompok rentan lainnya (penyandang cacat, anak, lansia) baik laki-laki maupun perempuan.
11
D I NAM I KA
Pelatihan Manajemen Relawan:
Relawan Sebagai Agen Perubahan
Dok. Yappika
P
ada tanggal 22 – 27 Agustus 2006, Yappika bekerjasama dengan VSO (Voluntary Service Overseas) Bahaginan Filipina, mengadakan pelatihan manajemen relawan di Wisma Hijau Cimanggis – Depok. Pelatihan diikuti oleh 12 orang peserta dari kalangan LSM yang tersebar di beberapa kabupaten, yaitu Malang Corruption watch (MCW), National Democratic Institute (NDI), PKBI, Yayasan Bumi Sawerigading Palopo (Sulawesi Selatan), Yayasan Pendidikan Rakyat Bulukumba, Yayasan Pendidikan Rakyat Palu, KPPA Sulawesi Tengah, Jatam, KAPETA, Save Emergency for Aceh (SEFA) dan Yayasan Triton Papua. Pelatihan dibantu oleh dua orang trainer dari VSO Bahaginan Filipina dan Koordinator Regional VSO Asia Tenggara yang menyumbangkan keahliannya secara sukarela. Pelatihan manajemen relawan ini dilakukan sebagai tindak lanjut dari rencana pengembangan relawan yang telah dilakukan oleh Yappika sejak tahun 2003. “Pelatihan seperti ini sangat membantu kami dalam pengelolaan dan sosialisasi kesukarelawan ke segala lapisan masyarakat,” kata Diediet, peserta dari Kapeta yang tak lain
12
adalah seorang relawan yang mengurusi penderita HIV/AIDS. Sementara Hisma dari YBS Palopo mengungkapkan bahwa masih banyak orang yang salah pengertian tentang makna dan tujuan kesukarelawan. Padahal kesukarelawan menurutnya sesuatu yang sudah ada di masyarakat Indonesia sejak dulu, namun saat ini mengalami kemunduran karena orang cenderung mengukur sesuatu dengan hitungan ekonomi. Dalam pelatihan yang diseleng– garakan selama enam hari penuh, halhal utama yang dibahas antara lain tentang latar belakang kesukarelawan, prinsip-prinsip dasar kesukarelawan, manajemen kesukarelawan, dan studi kasus kesukarelawan di beberapa lembaga, termasuk di lembaga tempat para peserta beraktivitas.
Prinsip Dasar Kesukarelawanan Pilihan: Kesukarelawanan harus merupakan pilihan bebas masingmasing individu tanpa paksaan dari siapa pun. Dorongan, dalam bentuk apapun, untuk terlibat dalam kesukarelawanan harus tidak berakibat pada paksaan. Kebebasan untuk menjadi relawan sama halnya dengan kebebasan untuk tidak terlibat.
Keragaman: Kesukarelawanan harus terbuka bagi siapa pun, tanpa membedakan latar belakang, umur, ras, orientasi seksual, kepercayaan/ agama, dsb. Keterlibatan menjadi relawan dapat membangun keterikatan, membantu sekelompok orang yang beragam sehingga ia merasa berguna dengan keter– libatannya itu. Penghalang atau batasan-batasan sosial dapat diatasi oleh keterampilan, pengalaman, percaya diri dan kontak yang didapat ketika membantu yang lain. Prinsip kesempatan yang sama merupakan dasar untuk mendukung keragaman. Timbal balik: Relawan menawarkan untuk berkontribusi tanpa harus dibayar, tetapi sebagai gantinya mendapatkan manfaat dengan cara lain. Menyediakan waktu dan keterampilan secara sukarela harus diakui sebagai upaya untuk mendukung hubungan timbal balik dimana relawan menerima sesuatu yang bermanfaat buat dirinya. Manfaat yang diharapkan oleh relawan termasuk perasaan pencapaian yang berguna, keterampilan yang berguna, pengalaman dan bertambahnya kontak/relasi, pergaulan dan kesenangan, dan keterlibatannya dalam kehidupan berorganisasi. Pengakuan: Pengakuan secara eksplisit terhadap nilai sumbangan relawan terhadap organisasi, komunitas, maupun tujuan sosial yang lebih luas, merupakan dasar untuk membangun hubungan yang adil antara relawan dengan organisasi.
Manajemen Kesukarelawan Memulai program pengelolaan relawan membutuhkan berbagai sumber daya seperti waktu, usaha,
Aliansi, Vol. 31 No. XXXV Agustus - September 2006
D I NAM I KA keterampilan, peralatan, biaya, dan sebagainya. Oleh sebab itu program pengelolaan sebaiknya bersifat responsif terhadap kebutuhan organisasi dan komunitas. Sehingga program tersebut akan mendapatkan dukungan luas, dan akan menjadi berkelanjutan. Sebuah telaah kebutuhan akan sangat membantu dalam menentukan feasibilitas pengembangan sebuah program kesukarelawan, misalnya dengan melakukan penilaian kebutuhan (need assessment) dan analisis SWOC/SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, Challenge/ Treatment). Setelah itu, barulah membuat perencanaan dan pengorganisasian, staffing (rekrutmen, seleksi), mekanisme kepemiminan, supervisi, dan evaluasi. Memiliki seorang relawan yang merasa puas, sama dengan iklan berjalan. Dia akan memberikan kesaksian tentang kredibilitas organisasi dan program kesukarelawan yang dijalankan. Begitu pula sebaliknya. Jika seorang relawan merasa tidak puas, hampir sama dengan menyimpan bom waktu bagi performa kerja organisasi. Pengelolaan relawan harus diperkuat oleh adanya motivasi, baik sesama relawan ataupun dari staf. Walaupun motivasi adalah “pekerjaan hati”, manajer atau supervisor dapat melakukan stimulasi dengan berbagai kreativitas.
Kesukarelawanan di Indonesia Yappika meyakini bahwa kesukarelawan adalah potensi sumber daya yang besar untuk turut mendukung perubahan sosial ke arah yang lebih baik. Para relawan bukan hanya dapat digerakkan untuk penanganan bencana alam, namun juga menjadi masyarakat politik yang aktif menyuarakan hak, keadilan, kesetaraan, dan penyelamatan lingkungan melalui berbagai aksi nyata, maupun keterlibatan mereka
dalam berbagai kampanye penyadaran isu sosial dan lingkungan di negeri ini. Kerja kesukarelawanan sebe– narnya sudah menjadi bagian dari kultur budaya Indonesia sejak jaman dulu. Gotong royong bersih desa, membangun rumah, membangun surau, prosesi pemakaman orang meninggal, pesta adat di daerah pedesaan, persiapan musim tanam di daerah pertanian desa, adalah contoh karena kesukarelawanan. Istiah kerja kesukarelawanan pun dimiliki oleh berbagai suku. Misalnya: di Jawa dikenal istilah tarub, sambatan, rewang; di Papua – Pawibili, di Palu – Nosimporoa, di Bulukumba – Pera. Namun demikian, istilah relawan maupun tipe kerja yang dilakukannya baru muncul menjadi bahasan di media massa maupun perbincangan di masyarakat secara luas pada saat peristiwa berdarah Mei ’98. Para relawan bekerja untuk menolong para korban kekerasan, baik secara fisik maupun pendampingan pemulihan psikologis secara intensif. Banyaknya pemberitaan media massa, forumforum diskusi, maupun perbincangan sehari-hari mengenai kiprah relawan pada tragedi Mei’98, merupakan wujud pengakuan (recognition) publik atas kerja-kerja para individu yang bergerak bersama sebagai relawan. Kontribusi kerja-kerja relawan dan pengakuan publik atas hasil kerja mereka kembali menggema pada saat tanggap darurat bencana tsunami di Aceh akhir tahun 2004 lalu. Kiprah para relawan pun berturut-turut didedikasikan untuk kerja kemanusiaan pada saat bencana di Yogyakarta, Pangandaran maupun di daerah konflik kekerasan seperti Ambon dan Poso. Itu semua merupakan bukti bahwa gerakan masyarakat terorganisir sebagai relawan yang telah mengkontribusikan tenaga, pikiran maupun harta benda dapat membuat perubahan ke arah perbaikan lebih cepat, meringankan beban orang lain maupun dalam konteks politik yang lebih luas.
Aliansi, Vol. 31 No. XXXV Agustus - September 2006
Kesukarelawanan Dalam Organisasi Sosial Dalam lingkup organisasi masyarakat sipil (OMS) dengan berbagai bidang perhatian atau fokus isu yang digelutinya, kerja kesukarelawanan tidaklah asing, bahkan staf OMS sendiri pun kebanyakan bekerja melebihi waktu kerja pada umumnya. Kebanyakan dari mereka bekerja karena keyakinan atau idealisme tertentu, dan bukan karena kepentingan finansial semata. Namun demikian, semakin disadari bahwa kerja OMS untuk mendorong perubahan sosial ke arah yang lebih adil dan demokratis haruslah mampu merangkul dan melibatkan banyak orang. Beragam idealisme yang biasanya abstrak dan sulit dipahami oleh masyarakat awam, harus ditransformasi ke dalam bahasa yang sederhana sehingga idealisme itu tidak hanya elitis sehingga masyarakat dapat terlibat aktif di dalam gerakan perubahan itu. Salah satu cara yang menarik untuk dilakukan dan dikembangkan adalah melibatkan masyarakat sebagai relawan dalam gerakan OMS. Para relawan yang diorganisir ini bukan hanya memperkuat gerakan OMS, namun lebih jauh lagi mereka dapat menimbulkan efek bola salju dalam gerakan perubahan di masa depan. Untuk melibatkan relawan dalam berbagai kerja dan isu yang digelutinya, penting bagi OMS untuk mempersiapkan manajemen yang tepat dan sesuai dengan langgam atau keunikan organisasi masing-masing, agar mampu mengelola relawan dengan baik. Jika tidak, maka sangatlah sulit menarik perhatian masyarakat sebagai relawan di organisasi kita, atau sulit mempertahankan keberadaan relawan di dalam organisasi kita. Tidak ada standar baku dalam mengelola relawan, namun ada prinsip-prinsip yang penting dipelajari dan menantang untuk dicoba. Sri Indiyastuti & Cecep AB Humas Yappika)
13
I N S P I RAS I
Pendidikan di Kuba:
A Nation Becomes A University El Ingle, 14 Juni 1961Kepada yang terhormat, Perdana Menteri DR. Fidel Castro. Saya menulis sedikit catatan kepada Anda, untuk menyatakan bahwa saya tidak tahu bagaimana menulis atau membaca. Terima kasih kepada Anda, yang telah merealisasikan rencana melek huruf ke dalam praktek. Saya juga berterima kasih kepada para guru yang telah mengajari saya, sehingga membuat saya bisa membaca dan menulis. Saya adalah seorang miliciano dan saya bekerja di koperasi Rogelio Perea. Saya sangat senang jika Anda mau berkunjung ke koperasi ini. Viva la revolucion socialista Patria o Muerte Venceremos Salam, Felix D. Pereira Hernandez
S
urat yang ditulis Hernandez ini, adalah salah satu bentuk penghargaan rakyat Kuba terhadap Fidel Castro, atas kepemimpinannya dalam memajukan dunia pendidikan di Kuba. Sebagaimana ditulis Leo Huberman dan Paul Sweezy, dalam buku mereka yang telah menjadi klasik, “Socialism in Cuba,” pendidikan di Kuba adalah salah satu contoh tersukses rejim Sosialis. Kebijakan memajukan pendidikan di Kuba, sebenarnya telah dicanangkan sejak rejim Castro belum lagi berkuasa. Saat itu, bertempat di Fort Moncanda, pada 26 Juli 1953, Castro menyatakan ada enam problem yang “kita harus sesegera mungkin menyelesaikan secara bertahap” yakni, masalah tanah, industrialisasi, perumahan, pengangguran, pendidikan, dan kesehatan. Tapi, rencana itu baru mulai betul-betul dicanangkan, saat Fidel Castro di hadapan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Banga (PBB), pada September 1960, menyatakan bahwa 1 Januari 1961 telah dicanangkannya sebagai tahun dimulainya kampanye besar-besaran di negaranya dalam memberantas buta huruf. Tahun itu juga ditetapkan sebagai Tahun Pendidikan (The Year of Education). Sejak saat itu, dimulailah mobilisasi dan perencaan pembangunan sektor pendidikan di seluruh negeri. Para brigadistas (relawan) yang diterjunkan ke lapangan membawa buku petunjuk dan bendera Kuba satu tangan dan lampu paraffin (simbol kampanye) di tangan lainnya. Dalam memobilisasi massa terdidik untuk mengajari massa rakyat yang buta huruf, slogan yang dikumandangkan adalah “the people should teach the people.” Di kantor-kantor, di lahan-lahan pertanian dan perkebunan, dan pabrik-pabrik dikumandangkan slogan, “If you know, teach; if you don’t know, learn.” Sementara di radio dan televisi nasional, setiap saat diumumkan bahwa “Every Cuban a teacher; every house a school.” Di organisasi-organisasi massa, dipropagandakan kepada seluruh anggotanya bahwa penyair menulis puisi, artis melukis gambar dan mendesain poster, penulis lagu menulis lagu, pers memuat berita utama tentang kemajuan dan para fotografer berpartisipasi dalam kampanye melalui gambar. Pokoknya, seluruh bangsa turut berperanserta dalam gerakan revolusioner besar-besaran dalam bidang kebudayaan: penghapusan buta huruf. Pada 22 Desember 1961, program alphabetisasi ini berakhir. Hasilnya, angka buta huruf merosot drastis, dari 23,6 persen ketika program ini pertama kali dicanangkan menjadi tinggal 3,9 persen. Bandingkan misalnya, dengan negara-negara lain di kawasan Amerika Latin, dimana sekitar 33 persen penduduknya adalah buta huruf. Rata-rata angka buta huruf di kawasan itu bervariasi dari 8,6 persen di Argentina hingga 80 persen di Haiti. Melihat sukses ini, Huberman dan Sweezy menulis, “Never in the history of education anywhere in the world had there been so successful an achievement.”
14
Tapi, Anda mungkin bertanya, itu khan prestasi Kuba ketika perang dingin tengah berlangsung? Prestasi yang dicapai ketika negara-negara komunis, terutama Uni Sovyet, masih merupakan partner dagang terbesar Kuba? Bagaimana keadaannya kini, ketika komunisme sudah dinyatakan gagal? Universitas Untuk Semua Di negeri yang terkenal karena produk cerutunya itu, tingkat melek huruf penduduknya sangat tinggi. 97 persen dari penduduk yang berusia di atas 15 tahun bisa membaca dan menulis. Dari komposisi itu, jumlah laki-laki yang melek huruf mencapai 97, 2 persen, sedangkan perempuan mencapai 96,9 persen. Saat ini, Kuba juga merupakan negara dengan tenaga guru terbesar dan tersukses dalam bidang pendidikan. Sebelum revolusi pada 1959, angka buta huruf sebesar 30 persen. Kini penduduk yang buta huruf nol persen. Dari segi komposisi jumlah guru-murid, untuk tingkat sekolah dasar dari setiap 20 murid dilayani oleh satu orang pengajar. Untuk tingkat sekolah menengah, satu orang pengajar melayani 15 murid. Keadaan ini menyebabkan hubungan antara gurumurid berlangsung secara intensif. Setiap guru di Kuba adalah lulusan universitas dan memperoleh pelatihan yang sangat intensif dan berkualitas
Aliansi, Vol. 31 No. XXXV Agustus - September 2006
I N S P I RAS I selama masa karirnya. Yang unik dari sistem pendidikan Kuba, adalah hubungan guru-murid-orang tua yang tampak dikelola secara kolektif. Seluruh staf pendidikan (pengajar dan pegawai administrasi) tinggal di dekat sekolah, sehingga mereka saling mengenal satu sama lain. Bersama murid dan orang tuanya, para guru ini bekerja bersama dan menyelesaikan secara bersama masalah-masalah menyangkut bidang pendidikan, pertanian, dan kesehatan. Metode ini merupakan pengejawantahan dari nilai hidup yang diwariskan Che Guevara, tentang solidaritas kelas. Dengannya, pendidikan tidak hanya bermakna vertikal, dimana semakin terdidik orang peluangnya untuk berpindah kelas semakin terbuka. Tapi, juga bermakna horisontal, dimana pendidikan sekaligus bertujuan memupuk dan mengembangkan solidaritas antar sesama, penghargaan terhadap alamlingkungan dan kemandirian. Menurut Juan Casassus, anggota tim dari the Latin American Laboratory for Evaluation and Quality of Education at UNESCO Santiago, prestasi tinggi Kuba dalam pendidikan ini merupakan hasil dari komitmen kuat pemerintahan Kuba, yang menempatkan sektor pendidikan sebagai prioritas teratas selama 40 tahun sesudah revolusi. Pemerintah Kuba memang mengganggarkan sekitar 6,7 persen dari GNP untuk sektor ini, dua kali lebih besar dari anggaran pendidikan di seluruh negara Amerika Latin. Dengan anggaran sebesar itu, pemerintah Kuba berhasil membebas– kan seluruh biaya pendidikan, mulai dari level sekolah dasar hingga universitas. Bebas biaya pendidikan diberlakukan juga untuk sekolah yang menempa kemampuan profesional. “Everyone is educated there. Everyone has access to higher education. Most Cubans have a college degree,” ujar Rose Caraway, salah satu mahasiswa AS yang ikut progam studi banding di Kuba, pada 2005. Kebijakan ini menjadikan rakyat Kuba sebagai penduduk yang paling terdidik dan paling terlatih di seluruh negara Amerika Latin. Saat ini saja ada sekitar 700 ribu tenaga profesional yang bekerja di Kuba. Tetapi, kebijakan menggratiskan biaya pendidikan ini tampaknya kurang mencukupi. Sejak tahun 2000, pemerintah Kuba mencanangkan
program yang disebut “University for All.” Tujuan dari program ini adalah untuk mewujud–kan mimpi menjadikan Kuba sebagai “a nation becomes a university.” Melalui program ini seluruh rakyat Kuba (tua-muda, laki-perempuan, sudah berkeluarga atau bujangan) memperoleh kesempatan yang sama untuk menempuh jenjang pendidikan universitas. Caranya, pihak universitas bekerjasama dengan Cubavision and Tele Rebelde, menyelenggarakan program pendidikan melalui televisi. Perlu diketahui, saat ini media televisi Kuba menyediakan 394 jam untuk program pendidikan setiap minggunya. Jumlah ini sekitar 63 persen dari total jam tayang televisi Kuba. Dalam kerjasama ini, pihak universitas
Google.com menyediakan paket kurikulum pendidikan dan tenaga pengajar dan pemikir yang berkualitas. Sebagai contoh, salah satu mata acara yang disuguhkan adalah sejarah filsafat, yang diasuh oleh Miguel Limia, seorang profesor filsafat dari institut filsafat. Demikianlah, sejak program ini onair pada 2 Oktober 2000, ada sekitar 775 profesor yang datang dari universitasuniversitas besar di Kuba yang aktif terlibat dalam program ini. Hasil dari komitmen dan kerja keras pemerintah Kuba dalam membangun sektor pendidikan ini, nampak dari hasil kajian perbandingan yang dilakukan oleh UNESCO, terhadap siswa dari 13 negara Amerika Latin di bidang matematika dan bahasa. Dari studi itu diperoleh hasil, prestasi siswa Kuba jauh di atas prestasi siswa dari negara lainnya yakni, sekitar 350 point. Bandingkan dengan Argentina, Chile, dan Brazil yang nilainya mendekati 250 poin.
Aliansi, Vol. 31 No. XXXV Agustus - September 2006
Prestasi Bidang Kesehatan Salah satu prestasi tertinggi dari pembangunan pendidikan Kuba, tampak dalam bidang pendidikan kesehatan. Seperti dikemukakan Cliff DuRand, profesor emeritus filsafat di Morgan State University, Baltimore, AS, saat ini rata-rata tingkat kematian dini di Kuba hanya 5,8 kematian dalam satu tahun untuk 1.000 kelahiran. Angka ini adalah yang terendah di kawasan Amerika Latin, bahkan lebih rendah dari yang terjadi di Amerika Serikat. Jumlah tenaga dokter per kapita Kuba jauh lebih banyak dibandingkan negara manapun di dunia. Saat ini saja, ada sekitar 130.000 tenaga medis profesional. 25.845 tenaga dokter Kuba bekerja untuk misi kemanusiaan di 66 negara, 450 di antaranya bekerja di Haiti, negara termiskin di benua Amerika. Sebagian lainnya bekerja di kawasankawasan miskin di Venezuela. Ketika terjadi bencana topan Katrina di New Orleans, beberapa waktu lalu, Presiden Fidel Castro berinisiatif mengirimkan 1.500 tenaga dokter. Tapi, inisiatif ini ditolak oleh pemerintah AS dengan alasan yang sifatnya politis. Tidak hanya untuk rakyat Kuba, kini melalui Latin American School of Medicine, pemerintah Kuba memberikan beasiswa untuk pendidikan kesehatan kepada ratusan kaum muda miskin dari seluruh negara Amerika Latin, Afrika, bahkan Amerika Serikat. Yang menarik, di Kuba pengajaran kesehatan tidak hanya menyangkut soal ilmu pengetahuan dan seni pengobatan tapi, juga nilai-nilai pelayanan sosial terhadap kemanusiaan. Seperti dikemukakan Castro, ketika mewisuda 1610 mahasiswa pada musim panas Oktober 2005, “modal manusia (human capital) jauh lebih bernilai ketimbang modal kapital (financial capital). Modal manusia meliputi tidak hanya pengetahuan, tapi juga – dan ini yang sangat mendasar – kesadaran, etika, solidaritas, rasa kemanusiaan yang sejati, semangat rela berkorban, kepahlawanan, dan kemampuan menciptakan sesuatu dalam jangka panjang.” Coen Husein Pontoh
Editor ‘IndoPROGRESS’ http:// indoprogress.blogspot.com/ atau http://coenpontoh.wordpress.com
15
GERAK KITA
Gender Mainstreaming in Public Policy Meskipun pemerintah Indonesia melalui GBHN 1999 menyatakan bahwa Pengarusutamaan Gender merupakan kebijakan nasional yang harus diemban oleh lembaga, namun demikian kesetaraan gender masih banyak dikesampingkan. Untuk memperjuangkan kesetaraaan gender ini maka dibuatlah strategi yang akan digunakan di seluruh instansi pemerintah, swasta, dan masyarakat umum lainnya yang dikenal dengan istilan gender menstreiming (GMS) atau pengarusutamaaan gender. Strategi gender mainstreaming (GMS) ini kemudian dibuatkan dalam Inpres No. 9 tahun 2000 tentang Pengarusutaman Gender (PUG) dalam pembangunan nasional.
I
npres inipun belum terimplementasikan dalam berbagai kebijakan. Persoalan ketimpangan upah buruh misalnya bisa muncul karena pemahaman yang dibangun menempatkan cara pandang bahwa perempuan bekerja karena ia ingin membantu suami/keluarga dalam memenuhi nafkah keluarga. Perempuan tidak dilihat sebagai subyek otonom yang juga berhak untuk memilih dan melakukan aktivitas tertentu untuk kepentingan dirinya sendiri. Perempuan senantiasa dilekatkan dengan laki-laki dan posisinya selalu berada di bawah laki-laki. Pemahaman seperti ini dikembangkan terus-menerus dan oleh negara dijustifikasi dalam bentuk perundangan yang mengatur tentang buruh perempuan. Peraturan itu kemudian bekerja secara sistemik dan pada akhirnya melanggengkan perlakuan terhadap perempuan yang bias gender. Momentum untuk memperbaiki keadan agar lebih baik sangat terbuka, terutama ketika era reformasi ini tengah
16
Dok. Yappika
bergulir. Praktek berdemokrasi, meski kadarnya dinilai masih lebih kental pada aspek prosedural, namun secara substansial mulai memperlihatkan kemajuan. Kebanaran tidak lagi dimonopoli oleh negara dan ruang berpendapat kian hari semakin luas. Sebuah kebijakan tidak lagi disusun dan ditetapkan secara sembunyi-sembunyi, akan tetapi sudah dibuka luas dan publik diberi akses untuk ikut merumuskannya. Beberapa Jaringan Masyarakat Sipil di Sumba Barat, Lombok Tengah, Jeneponto, Bantaeng, Muna dan Buton, kini tengah mengupayakan proses-proses perumusan kebijakan daerah yang lebih terbuka, partisipatoris dan memberi pemihakan pada kepentingan perempuan dan masyarakat miskin. Melalui berbagai pendekatan kegiatan, proses itu akan didorong dan diharapkan mendapat dukungan yang positif dari sejumlah pihak. Aliansi, Vol. 31 No. XXXV Agustus - September 2006
GERAK KITA pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional yang berperspektif gender dalam rangka mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender.
Dok. Yappika
Untuk lebih memastikan bahwa kepentingan perempuan benar-benar terwadahi dalam setiap substansi kebijakan yang akan dirumuskan, diperlukan pengetahuan dan pemahaman yang cukup kuat, terutama berkaitan dengan pengarus utamaan gender. Atas dasar inilah pada tanggal 29 – 31 Agustus 2006, Yappika bekerjasama dengan Access melakukan training GMS dalam kebijakan public, bagi jaringan masyarakat sipil yang sudah terbentuk di 6 (enam) kabupaten yakni : Jaringmas Kabupaten Bantaeng, AMST Kabupaten Jeneponto, JMS kabupaten Buton, JMS Kabupaten Muna, KKMSK Kabupaten Lombok Tengah, FORMASI Kabupaten Sumba Barat, dengan jumlah peserta sebanyak 18 orang masing-masing kabupaten mengirim 3 orang utusan. Pelatihan ini dirancang agar apa yang saat ini sudah dimiliki oleh peserta mengenai gender dapat diperdalam dan diperluas terutama dalam pengintegrasian pengarusutamaan geneder dalam
pelaksanaan kegiatan Rencana Aksi masing-masing jaringan di kabupaten disesuaikan dengan isu yang mereka dorong. Mengagas Strategi Pegarusutamaan Gender Pelatihan yang diikuti oleh 18 orang ini menjadi ajang tukar informasi dan pengalaman peserta dalam soal pembangunan di masing-masing daerah. Dibantu oleh Fasilitator Ibu Sofia Kartika dan Fadiah Machmud dari UNDP, peserta juga diajak menemukan dan mengenali isu gender di berbagai sector dalam pembangunan. Pengarusutamaan gender (PUG) sebagai strategi pembangunan merupakan strategi yang dibangun untuk mengintegrasikan gender menjadi satu dimensi integral dari perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional. Tujuan dari strategi PUG ini adalah untuk memastikan terselenggaranya perencanaan, penyusunan, pelaksanaan,
Aliansi, Vol. 31 No. XXXV Agustus - September 2006
Dalam hal perencanaan, harus memasukkan perbedaanperbedaan pengalaman, aspirasi, dan permasalahan yang dihadapi perempuan dan laki-laki. Para perencana perlu melakukan analisis gender, pada semua kebijakan/program/kegiatan pembangunan. Analisis gender dilakukan dengan memperhatikan empat faktor: akses, kontrol, partisipasi, dan manfaat. Pengarusutamaan gender dalam hal perencanaan dalam kebijakan/ program/kegiatan akan terlihat dalam anggaran yang responsif gender. Lantas siapa yang melakukan perencanaan yang responsif gender ini? Maka jawabnya adalah seluruh perencana kebijakan (policy makers), seluruh perencana program, seluruh perencana kegiatan, dan seluruh tingkat administrasi pemerintahan; nasional, propinsi, kabupaten/kota, hingga kelurahan/ desa. Hal ini tentu tidak bisa berjalan dengan sendirinya tanpa didorong oleh masyarakat luas, karena itulah peserta pelatihan ini diharapkan dalam mendorong pengarusutamaan gender dalam proses-proses perumusan kebijakan di tingkat kabupaten, hingga kebijakan benar-benar berpihak pada kaum perempuan dan kaum laki-laki, dengan begitu kebijakan tersebut benar-benar berpihak pada rakyat. Lutri Huriyani Program CE Yappika
17
EKSPRESI
Belajar dan Bermain Bersama di
Perpustakaan YAPPIKA Belajar sama-sama Berkarya sama-sama Berkerja bersama-sama… ....semua orang itu guru.... ....alam raya sekolahku....
D
emikian sepengal lagu dari Perguruan Rakyat Merdeka, lagu ini mensyaratkan bahwa dimanapun dan dengan siapapun kita bisa belajar karena pada hakekatnya semua orang adalah guru dan semua tempat adalah sekolah. Prinsip inilah yang kemudian dibangun dalam pengelolaan perpustakaan Yappika. Perpustakaan ini mencoba menjadi sarana belajar bagi warga setempat sekitar kantor Yappika. Berbeda dengan pengetahuan dan keterampilan yang dipelajari secara klasikal di sekolah, di perpustakan Yappika inilah pengunjung (yang sekarang lebih didominasi oleh anak-anak) bisa belajar sesuai minat mereka. Perpustakaan ini menyediakan beraneka bahan pustaka yang memungkinkan tiap orang memilih apa yang sesuai dengan minatnya. Lewat buku-buku yang diminati inilah pengetahuan lebih cepat dapat diterima.
mana untuk pengunjung disediakan tempat ‘lesehan’ yang dilengkapi bantal untuk membaca. Desain perpustakaan disengaja berbentuk demikian agar menimbulkan suasana betah dan nyaman, mengingat pengunjung perpustakaan Yappika yang beragam, baik dari kalangan akademisi, LSM, anak-anak dan masyarakat umum. Kebanyakan anak-anak yang mengunjungi
Hasil penelitian pakar pendidikan jelas menunjukkan bahwa kegiatan membaca menduduki tempat teratas dalam membantu perkembangan pengetahuan. Membudayakan membaca perlu dimulai dari rumah dan masyarakat sekitar. Karena itulah Yappika sebagai organisasi masyarakat sipil berupaya untuk ikut andil dalam perkembangan pengetahuan lewat program perpustakaan. Pada awal pembentukannya perpustakaan hanya bertujuan untuk melayani kebutuhan informasi, literatur dan bahan bacaan dari seluruh staf dan relawan yappika. Namun kemudian seiring dengan berjalannya waktu dan banyaknya permintaan dari kalangan akademisi dan masyarakat umum, maka mulai tanggal 8 Juli 2006 bertepatan dengan ulang tahun YAPPIKA ke 15, perpustakaan mulai dibuka untuk umum. Berbeda dengan perpustakaan pada umumnya, perpustakaan Yappika didesain menyerupai taman bacaan yang bersifat informal, di
18
Dok. Yappika
Aliansi, Vol. 31 No. XXXV Agustus - September 2006
EKSPRESI perpustakaan Yappika berkomentar kalau perpustakaan Yappika ini tempatnya adem dan nyaman. “Bukubukunya bagus, banyak buku pelajaran, tempatnya juga nyaman”, demikian komentar Riska Fahreini kelas 6 Madrasah Ibtidahya Rulul Ulum yang datang bersama 15 temannya. Selain tempat yang nyaman di perpustakaan komentar lain tentang perpustakaan Yappika ini adalah keramahan penjaga perpustakaan dan para relawan Yappika. Maklum relawan perpustakaan Yappika ini memang suka terhadap anak-anak, makanya jika anak-anak pada berkunjung ke perpustakaan Yappika, para relawan dengan senang hati melayani mereka membantu mecarikan koleksi buku yang mereka minati ataupun bercerita/mendongeng dari buku yang ada di perpustakaan. Rosdianti kelas 5 MI RU sangat senang berkunjung di perpustakaan Yappika, “habisnya mbak dan masnya baik, disini bisa menambah ilmu pengetahuan, tempatnya nyaman dan bukunya enak dibaca” komentarnya sambil tersipu malu. Untuk menarik minat masyarakat berbagai acarapun digelar diperpustakaan Yappika seperti lomba menggambar, lomba mewarnai, gelar dongeng dan penyuluhan kesehatan seperti yang dilakukan saat Ultah Yappika. Rencananya memperingati hari G 30 September, perpustakaan Yappika akan mengadakan acara pemutaran film documenter peristiwa 65. Acaraacara tersebut dimaksudkan untuk memperkenalkan perpustakaan kepada masyarakat terutama anakanak agar lebih mendorong mereka mempunyai kebiasaan membaca juga sebagai bentuk sumbangsih Yappika terhadap lingkungan disekitarnya. Koleksi perpustakaan Yappika juga cukup beragam, tidak hanya koleksi
inti di bidang demokrasi saja namun juga koleksi untuk anak-anak dan masyarakat umum seperti koleksi bacaan anak, buku-buku memasak dan yang berkaitan dengan hobi (motor, binatang peliharaan, dan lainnya). Di sisi lain, animo warga cukup bagus, ditandai dengan banyaknya pengunjung yang di dominasi oleh anak-anak.
Dok. Yappika
Perpustakaan Yappika memiliki visi membangun masyarakat gemar membaca (Reading Society) dalam rangka mencapai masyarakat Indonesia yang terpelajar (Learned Society) dan misi memberikan bahan bacaan yang rekreatif, informatif dan edukatif kepada seluruh lapisan masyarakat. Perpustakaan YAPPIKA melayani para pengguna baik internal maupun eksternal YAPPIKA. Perpustakaan buka mulai pukul 09.30 – 17.00, hari Senin – Jumat. Bagi masyarakat umum yang berminat menjadi anggota, bisa mendaftar dengan melampirkan foto 3x4 sebanyak 2 lembar dan fotokopi
Aliansi, Vol. 31 No. XXXV Agustus - September 2006
identitas diri yang berlaku (bagi anakanak bisa membawa fotokopi identitas orang tua atau walinya). Koleksi perpustakaan disediakan untuk menunjang kegiatan penelitian, pengembangan, edukasi dan rekreasi bagi staf, relawan dan masyarakat umum. Perpustakaan memiliki koleksi inti di bidang sosial, politik, demokrasi dan lingkungan hidup. Selain itu perpustakaan juga menyediakan bahan bacaan untuk anak-anak, remaja dan masyarakat umum. Perpustakaan Yappika memiliki beberapa koleksi antara lain berupa buku dengan kesediaan koleksi saat ini lebih dari 2000 judul yang terdiri dari buku umum dan referensi, laporan penelitian, laporan seminar, buku anak-anak, dan koleksi khusus peraturan perundang-undangan. Selain buku-buku ada juga majalah dengan jumlah koleksi lebiih dari 120 judul majalah baik terbitan umum maupun terbitan dari LSM dalam dan luar negeri dan juga media audio visual dengan koleksi berbentuk CD-ROM dan DVD berupa film-film dokumenter dan juga beberapa dokumentasi kegiatan Yappika dan organisasi masyarakat sipil lainnya. Selain koleksi buku-buku dan majalah yang dipinjamkan di perpustakaan Yappika juga membagikan buku-buku terbitan Yappika secara gratis. Hal ini dilakukan untuk menyebaran informasi dan wacana tentang masyarakat sipil dan demokrasi secara luas pada masyarakat sekitar, sehingga dukungan masyarakat terhadap kerjakerja Yappika khususnya dan gerakan masyarakat sipil pada umumnya bisa semakin luas. Wayan Yoke Pustakawan Yappika
19