PENDIDIKAN UNTUK DEMOKRASI1 Nurcholish Madjid
genda utama reformasi itu sampai sekarang masih belum terwujud secara memadai. Justru yang sekarang mulai terasa berkembang adalah maraknya sinisme sosial berkenaan dengan lambannya pelaksanaan agenda utama reformasi itu. Warga masyarakat dan negara yang beritikad baik sungguh menguatirkan bahwa agenda itu akan hilang ditelan waktu. Kita semua menghadapi bahaya kehilangan kesadaran akan pentingnya pelaksanaan pemberantasan KKN. Jika hal itu terjadi, maka kita akan memasuki siklus baru kehidupan berbangsa dan bernegara yang akan berakhir dengan krisis dahsyat dalam kurun waktu sekitar satu generasi mendatang. Korban yang bakal jatuh, juga tentang siapa dan golongan mana yang bakal jadi korban, tidak bisa dipastikan dari sekarang. Kehancuran negara yang diakibatkannya juga tidak dapat diduga. Tetapi dikuatirkan sekali bahwa korban dan kerusakan itu akan sangat besar dan meluas. Begitu jauh kita telah mengalami dua siklus kehidupan berbangsa dan bernegara yang berakhir dengan krisis dahsyat. Siklus pertama adalah siklus pancaroba, selama dua dasawarsa sejak proklamasi, suatu siklus kehidupan kebangsaan dan kenegaraan kita yang penuh intrik politik dan pertentangan ideologi. Intrik dan pertentangan itu pada hakikatnya tidak lebih daripada perbenturan egoisme pribadi dan golongan dalam suasana gejolak percobaan pertama mewujudkan pikiran tentang negara merdeka. Kita, generasi yang datang berikutnya, tentu tidak berhak sepenuhnya menyesalkan, apalagi menyalahkan, para pelaku siklus pertama itu. Sebab, siklus itu merupakan periode formatif tingkat awal kehidupan kebangsaan dan kenegaraan kita. Walaupun begitu, dan sekalipun mungkin memang 1
Jurnal Universitas Paramadina Vol.1 No. 3, Mei 2002: 280-289
Nurcholish Madjid “Pendidikan Untuk Demokrasi”
tidak terhindarkan, kita sungguh sedih dan prihatin bahwa pada tahun 1965, sebagai akhir siklus itu, telah terjadi krisis dahsyat. Krisis itu hampir-hampir memusnahkan seluruh perolehan perjuangan para pahlawan kemerdekaan bagi tegaknya sebuah negara kebangsaan modern Indonesia. Siklus kedua adalah siklus yang baru saja kita tinggalkan. Siklus itu punya ciri utama tekanan yang amat berat kepada satu sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, yaitu hampir-hampir hanya sisi pembangunan ekonomi semata. Berkenaan dengan hal ini pun mungkin kita tidak berhak sepenuhnya menyesalkan para pelakunya. Sebab semuanya itu beranjak dari keadaan ketika negara kita hampir bangkrut, dengan bahaya kelaparan rakyat umum yang merajalela, dan sulitnya diperoleh sandang dan papan yang pantas. Tetapi kita tetap merasa sedih dan prihatin, bahwa siklus kedua itu telah mengakibatkan pembangunan bangsa yang tertunda (delayed nation building). Perlahan-lahan kita mulai meninggalkan cita-cita negara kebangsaan modern (modern nation state), suatu negara yang didirikan demi kemaslahatan umum, kesejahteraan seluruh rakyat. Prasyarat utamanya yang mutlak harus dipenuhi, namun tidak dikembangkan dengan cukup kesungguhan, ialah ketegaran etis dan moral, baik pada tingkat pribadi maupun pada tingkat sosial. Akibat kelalaian itu terjadilah krisis dahsyat, dengan
korban-korban
yang
urusannya
sampai
sekarang
belum
terselesaikan. Tetapi krisis dahsyat itu menelorkan hikmah refomasi, yang agenda utamanya adalah pemberantasan tuntas kolusi, korupsi dan nepotisme. Telah dikemukakan di depan bahwa dalam masyarakat kita sekarang ini sedang tumbuh dan berkembang gejala sinisme sosial akibat harapan pemberantasan
tuntas
kolusi,
korupsi,
dan
nepotisme
yang
belum
sepenuhnya terwujudkan. Namun kita patut bersyukur bahwa semangat reformasi telah membuahkan berkah yang amat besar maknanya, yaitu kebebasan-kebebasan sipil, khususnya kebebasan menyatakan pendapat,
Disampaikan pada acara kuliah perdana tahun akademik 2001/2002 Universitas Paramadina, 10 September 2001
281
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 1 No. 3, Mei 2002: 280-289
kebebasan berkumpul dan kebebasan berserikat. Kekebasan-kebebasan sipil itu berlaku sebagai modal utama pelaksanaan cita-cita reformasi. Dinamika kebebasan itu, di antara sekian banyak hikmahnya, adalah pertumbuhan alamiah mekanisme pengimbangan dan pengawasan dalam masyarakat. Sungguh hanya dalam suasana bebas tanpa tekanan dalam bentuk apapun itulah kebenaran akan berkesempatan lebih besar untuk muncul ke permukaan dan menjadi unggul, berkat kekuatan kebenaran itu sendiri. Sebaliknya, pengekangan kebebasan akan dengan sendirinya menimbulkan kerugian dan kerusakan bagi semua. Sebab yang muncul ke permukaan dan menjadi unggul adalah yang didukung atau dipaksakan pihak yang kuat, yang umumnya terjadi karena pertimbangan kepentingan sepihak semata, bukan pertimbangan kebenaran. Menumbuhkan kebebasan demi kebenaran adalah suatu usaha jangka panjang yang memerlukan konsistensi dan ketaatan kepada prinsipprinsip moral dan etika. Usaha itu tergolong jenis investasi modal manusia (human capital investment), yang biasanya baru terlihat buahnya setelah lewat satu generasi, sekitar duapuluh tahun. Oleh karena itu semakin dini investasi modal manusia itu dimulai, semakin cepat pula masyarakat akan memetik buahnya. Maka saat yang terbaik untuk memulai investasi modal manusia itu adalah duapuluh tahun yang lalu! Tetapi jika kita gagal memulainya duapuluh tahun yang lalu, maka saat yang terbaik memulai investasi modal manusia itu adalah sekarang ini, hari ini! Memenuhi petunjuk Nabi s.a.w tentang pelaksanaan suatu kebaikan, semuanya itu harus dimulai dari diri kita sendiri. Ibda’ bi-nafs-i-ka, “Mulailah dari dirimu sendiri!” Karena itu, kita harus memulai pembangunan kembali bangsa dan negara sekarang juga! Oleh diri sendiri kita semua! Sebab, jika tidak sekarang, lalu kapan?! Jika bukan kita lalu siapa?! Menunda itu semua sampai besok dan menanti agar orang lain memulainya adalah sikap tidak bertanggung jawab, ciri pribadi dan generasi yang tidak berkomitmen, tidak bercita
282
Nurcholish Madjid “Pendidikan Untuk Demokrasi”
orang lain dalam kebaikan adalah sikap egois, pertanda tidak adanya kesadaran sosial. Dalam lingkungan pendidikan tingkat universitas, semuanya itu kita bangun di atas asas kebebasan akademik. Yaitu hak seorang pengajar untuk mengajar dan seorang pelajar atau mahasiswa untuk belajar, tanpa campur tangan atau kekangan yang tidak beralasan. Kebebasan akademik, bersama dengan kebebasan berbicara, kebebasan pers dan kebebasan beribadat, adalah sifat asasi masyarakat demokratis (academic freedom ranks with freedom of speech, freedom of the press, and freedom of worship as an essential characteristic of democratic society). Kebebasan akademik adalah nilai kehidupan masyarakat yang bercirikan kemanusiaan bebas dan terpelihara harkat dan martabat kemanusiaan. Untuk pengajar, kebebasan akademik mempunyai tiga sisi. Pertama adalah, sisi kebebasan untuk menempuh penelitian kesarjanaan menuju kepada kesimpulan yang jujur. Kemudian kebebasan untuk menyajikan kepada mahasiswanya temuan dan penilaiannya tentang bidang spesialisasinya. Pada akhirnya kebebasan menerbitkan hasil penelitian dan perenungannya sehingga rekan-rekannya dan masyarakat luas dapat memperoleh manfaat dari semuanya itu, dan supaya mereka juga dapat mengkritiknya. Untuk pelajar atau mahasiswa, kebebasan akademik meliputi hak untuk memperoleh pengajaran yang jujur, hak untuk membuat kesimpulan sendiri
berdasarkan
penelitiannya,
hak
untuk
mendengar
dan
mengemukakan pendapat, dan hak untuk secara wajar menyuarakan pilihannya tentang bidang studi yang ia minati. Kebebasan akademik yang didukung oleh segenap pengajar dan pelajar, dosen dan mahasiswa sebagai anggota masyarakat ilmiah (civitas academia) dalam lingkungan perguruan tinggi, melahirkan kemestian adanya suasana perguruan tinggi atau universitas yang juga bebas dan otonom, dengan hak sepenuhnya untuk mengurus dan mengatur dirinya sendiri. -cita, penuh tidak memiliki tujuan luhur. Menunda dan menunggu Otonomi perguruan tinggihidup mutlak diperlukan, sebagai
283
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 1 No. 3, Mei 2002: 280-289
qua non untuk dukungan institusional bagi kebebasan akademik yang diperlukan itu. Pembatasan yang bernilai positif bagi kebebasan akademik dan otonomi perguruan tinggi harus diserahkan sebagai semata-mata hasil dinamika interaksi positif dan jujur wacana bebas dalam masyarakat luas, atas dasar kebebasan-kebebasan sipil yang sepenuhnya dijunjung tinggi bersama. Pembatasan positif terhadap kebebasan akademik itu ada kalanya diperlukan demi kebaikan yang lebih umum dan lebih luas. Seorang anggota staf pengajar maupun seorang mahasiswa tidak dibenarkan mengharapkan suatu kebebasan tanpa batas. Hak untuk menggunakan kebebasan dengan sendirinya mengandung arti kewajiban untuk menggunakan kebebasan itu dengan rasa tanggung jawab. Terkenal sekali kalimat bijak Jaksa Oliver Wendell Holmes dari Kejaksaan Agung Amerika Serikat, bahwa kebebasan berbicara tidak mengandung arti hak membunyikan tanda bahaya kebakaran palsu dalam sebuah gedung pertunjukkan (freedom of speech does not imply the right to raise a false alarm of fire in a theater). Karena itu seorang anggota staf pengajar tidak dibenarkan merasa berhak menyampaikan pandangannya begitu rupa sehingga menyesatkan mahasiswanya atau koleganya. Kebebasan yang digunakan tanpa tanggung jawab akan menjadi lisensi untuk mengganggu kebebasan orang lain (freedom used without responsibility becomes license to interfere with the freedom of other). Walaupun begitu, masih dimungkinkan mengenali perbedaan gradual dan nisbi kebebasan akademik atau ilmiah pada jenjang-jenjang tingkat pendidikan yang berbeda-beda. Disebabkan oleh usianya yang masih formatif dalam tahun-tahun umur lunak (tender age), para murid sekolah dasar, misalnya, memerlukan bimbingan seorang guru yang lebih terarah dengan jelas, acapkali harus tegas, sehingga mengimplikasikan suatu bentuk pembatasan terhadap kebebasan si murid. Sebalikya, disebabkan oleh usianya yang lebih matang dan pengalaman pengembangan dirinya yang lebih maju, mahasiswa berhak memperoleh otonomi dan kebebasan akademik yang lebih besar dan luas.
284
conditio sine
Nurcholish Madjid “Pendidikan Untuk Demokrasi”
Kebebasan akademik dalam pengertian modern sekarang ini harus benar-benar dipelihara dan dilindungi dengan penuh kesungguhan, sebagai warisan berharga pengalaman umat manusia yang telah melewati masa panjang sejarah. Merupakan unsur asasi kehidupan masyarakat demokratis, kebebasan akademik telah dibuktikan di negara-negara maju sebagai batu sudut (corner stone) masyarakat yang sehat secara etis dan moral, dan kreatif dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan peradaban. Hambatan kebebasan akademik untuk mengembangkan kesadaran tanggung jawab moral dan mendukung daya cipta dalam peradaban kemanusiaan itu justru secara ironis dan acapkali tanpa disadari datang dari dalam lingkungan masyarakat akademik sendiri. Yaitu akibat negatif tak tersengaja dari adanya pembidangan dan spesialisasi yang sempit, kaku dan parokial, masing-masing bidang merasa paling benar dan paling penting. Sebagai kemestian menjawab tuntutan praktis kehidupan modern yang menghendaki keahlian di suatu bidang khusus, perguruan tinggi harus menyelenggarakan agenda pendidikan, pelatihan dan penelitian yang mendukung tumbuhnya keahlian khusus itu setinggi-tingginya, disertai pengaitannya dengan kesempatan kerja profesional lulusannya. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya tentang konsep pendidikan tinggi modern akhirnya disadari akibat buruk spesialisasi yang berlebihan (over
specialization),
yaitu
menyempitnya
wawasan
kemanusiaan,
mengerdilnya kepribadian, dan merosotnya daya kreatifitas. Dalam rangka itu
orang
pun
ingat
kembali
Thomas
Jefferson, penulis Deklarasi
Kemerdekaan Amerika, pejuang gigih hak-hak manusia, Tokoh The Bill of Rights dari Amerika itu terkenal dengan pikirannya tentang kebebasan akademik ketika tahun 1819 Universitas Virginia didirikan. Ia bersumpah bahwa perguruan tinggi itu akan dibangun atas dasar “kebebasan akal-budi manusia yang tak mungkin terbatasi” (the illimitable freedom of the human mind). Dengan istilah Inggris “mind”, yang di sini kita terjemahkan sebagai “akal-budi”, dimaksudkan sesuatu yang lebih tinggi daripada
285
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 1 No. 3, Mei 2002: 280-289
atau “rasio”, “reason”. Akal-budi itu (yang sesunguhnya dalam bahasa Arab cukup dengan kata-kata “aql”saja) mengacu kepada kapasitas kemanusiaan yang membuat manusia jauh mengungguli binatang, yaitu inteleknya. Dengan akal budi atau intelek itu manusia memiliki dalam dirinya kemampuan naluriah untuk meraih sejauh-jauhnya hikmah-kearifan yang lebih tinggi daripada sekedar ilmu pengetahuan. Akal-budi itulah yang dahulu dianugerahkan Tuhan kepada Adam, manusia sempurna dalam alam primordial, sehingga mampu menerima pengajaran dari Tuhan tentang “nama-nama
seluruhnya” (al-asmâ’ kullahâ), dan
dengan
begitu
ia
menyandang tugas suci sebagai Khalifah Tuhan di bumi. Dengan akal-budi anugerah Ilahi itu Adam meraih hikmah-kearifan yang lebih tinggi daripada sekedar kemampuan mengumpulkan data dan informasi melalui mata kepala (bashar) yang berhenti hanya pada rasio semata. Dengan akal-budi itu Adam menembus gejala-gejala lahiri keadaan sekelilingnya, dan melalui mata hati (bashîrah) ia mencapai hikmah-kearifan. Bersama isterinya, Adam diizinkan tinggal di Surga dengan anugerah kebebasan menikmati segala yang tersedia di sana menurut kehendak mereka. Walaupun begitu, Tuhan tetap mengikat Adam dan isterinya dengan suatu janji, demi keutuhan kebahagiaan mereka sendiri, bahwa mereka berdua tidak akan mendekati sebuah pohon terlarang, sebagai batas kebebasan mereka. Namun Adam sempat lupa akan janjinya dengan Tuhan itu, dan kelemahannya telah mendorongnya untuk mendekati dan memakan buah pohon terlarang. Akibat pelanggarannya terhadap batas kebebasan itu, Adam terusir dari Surga, dan kehilangan kesucian kemanusiaan primordialnya yang penuh bahagia. Ia dan isterinya baru terbebaskan dari hidup nestapa terlunta-lunta di dunia, ketika ia bertobat dengan menjalankan Kalimât (ajaran-ajaran) Allah yang disampaikan kepadanya dan kemudian ditaatinya. Kalimât itulah bentuk mula-mula susunan ajaran Tuhan yang disebut agama, religi (dari rélégaré, mengikat erat) atau dîn (ajaran kepatuhan, dari dâna-yadînu, tunduk patuh). Kalimât
286
“akal” semata
Nurcholish Madjid “Pendidikan Untuk Demokrasi”
adalah pengulangan dan penegasan kembali nuktah perjanjian primordial manusia dengan Tuhan, bahwa manusia akan tunduk-patuh kepada-Nya dengan mengakui dan bersaksi bahwa Dia adalah Rabb, Pangeran, the Lord, yang sebenarnya. Karena itu, dalam peristilahan Islam, kecenderungan suci manusia dalam hati nuraninya yang merupakan tempat tersimpannya keinsafan perjanjian primordial dengan Tuhan itu disebut al-fithrah aljabalîyah (fitrah alamiah), dan agama adalah al-fithrah al-munazzalah (fitrah yang diturunkan, yakni, ajaran yang diwahyukan kepada umat manusia lewat para nabi dan rasul Tuhan). Umat manusia adalah anak turun Adam (Bani Adam). Karena itu setiap orang menghadapi tantangan menemukan keutuhan primordialnya kembali dengan sedapat-dapatnya menerima dan menaati Kalimât dari Allah yang mewujud nyata dalam agama, satuan ajaran menempuh jalan hidup kebenaran. Setiap orang punya potensi sama untuk menemukan jalan hidup kebenaran itu, asalkan ia memiliki kesediaan keimanan, sebagai wujud kesetiaannya kepada perjanjian ruhani yang dibuatnya dengan Tuhan di zaman primordial. Kalimat yang membentuk satuan ajaran menempuh jalan hidup kebenaran itu bagi kebanyakan pikiran modern yang terkotak-kotak tampak seperti tidak bersangkutan dengan kebutuhan kehidupan praktis dan nyata sehari-hari. Tetapi sesungguhnya justru Kalimât itulah yang berkaitan dengan masalah kebahagiaan sebagai state of mind (sebutlah, pengalaman akal-budi), sejenis kebahagiaan surgawi yang tak terlukiskan, ineffable. Oleh karena itu, demi kebebasan yang akan tetap memelihara integritas kemanusiaan seperti keadaan primordialnya yang bahagia, dunia pendidikan modern mulai menyadari kembali pentingnya satuan-satuan ajaran kemanusiaan atau humaniora. Diantaranya adalah studi peradaban dan kebudayaan, khususnya studi falsafah dan keagamaan. Pendidikan klasik, seperti yang diselenggarakan oleh lembaga-lembaga pendidikan Islam Salaf, sebelum mengenal pembidangan khusus mengikuti jalur spesialisasi yang terlalu jauh sekarang ini, dilaksanakan dalam semangat itu, dan dengan begitu juga agama,
287
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 1 No. 3, Mei 2002: 280-289
Pendidikan klasik atau Salaf tidak diselenggarakan semata-mata atas pertimbangan sekedar melengkapi diri peserta. Belajar-mengajar dengan kecakapan itu merupakan tuntutan zaman yang tidak mungkin dihindari. Tetapi kini semakin disadari adanya keharusan untuk merajut kembali semuanya itu menjadi bagian dari kesatuan kemanusiaan yang utuh, dengan memperkenalkan kembali liberal arts dalam agenda pendidikan. Kecuali
jika
seorang
mahasiswa
atau
penuntut
ilmu
dapat
mengenyam bentuk pendidikan kemanusiaan Salaf itu, ia potensial akan kehilangan keinsafan tentang makna hidup yang lebih tinggi dan ia akan tergiring untuk mengisi agenda hidupnya hanya untuk memenuhi keperluan dan kepuasan fisik-materialnya semata, tak bedanya dengan hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Seperti diingatkan dalam Al-Qur’an, Allah menyediakan lingkungan hidup sengsara abadi untuk “jin dan manusia yang punya kalbu namun tidak digunakan untuk memahami, punya mata namun tidak digunakan untuk melihat, dan punya telinga namun tidak digunakan untuk mendengar. Mereka itu seperti hewan ternak (al-an’âm) bahkan lebih sesat lagi. Mereka adalah orang-orang yang lalai”(Q.S. al-Ar’âf/7:179). Sebaliknya, mereka yang sempat merasakan dan meresapi bentuk pendidikan kemanusiaan Salaf atau klasik, kemudian mau dan mampu mengamalkannya dalam kegiatan mereka sebagai anggota masyarakat yang membawa manfaat, mereka akan merasakan kebebasan dalam diri mereka dan dalam lingkungan sesama mereka, sekalipun dalam bentuk kebebasan nisbi. Dikarenakan adanya “kedaulatan kuantita” (the reign of quantity) segi kehidupan lahiri yang menjadi pertanda kebangkrutan zaman serba benda, menurut Réné Guénon (Abd-u-Wâhid Yahyâ) - seorang pemikir Sufi dari Perancis - orang yang tidak sempat mengenali kembali kemanusiaannya tidak akan dapat merasakan kebebasan dalam dirinya, dan ia akan mengalami pertumbuhan kepribadian yang terfragmentasi, tidak utuh, tidak integral. Keadaan seperti itu tidak memungkinkan bagi yang bersangkutan mengalami kebahagiaan sejati yang merupakan pengalaman akal-budi (state of mind). Hidupnya golem “menuntut ilmu” sebagai terkuasai kewajiban oleh setiap pribadi, lelaki maupun perempuan.
288
Nurcholish Madjid “Pendidikan Untuk Demokrasi”
kerja tangannya sendiri. Maka batas terjauh yang dapat diperolehnya adalah kepuasan lahiri. Sebagaimana digambarkan dalam firman Tuhan terkutip di atas, ia akan hidup seperti hewan ternak (al-an’âm) bahkan lebih sesat lagi. Sebab, kepuasan lahiri itu akan selamanya disertai perasaan salah dan beban dosa yang menyiksa batin, dengan adanya gangguan bisikan suci hati nuraninya
yang
sebenarnya
tidak
mau
terima
dan
menghendaki
kebahagiaan yang lebih tinggi. Orang yang telah kehilangan integralitas dirinya itu akan kekurangan kemantapan diri, menjadi agresif, bertingkah laku anti sosial dan anti demokrasi. Maka pendidikan untuk demokrasi mencakup keseluruhan agenda pendidikan
dalam
semangat
kebebasan
demi
peradaban,
sebagai
pemenuhan perjanjian primordial manusia dengan Tuhan. Yaitu dengan menjalani hidup penuh pasrah secara sukarela dan damai (islâm) kepadaNya, sehingga tercapailah kedamaian sempurna (salâm) dan keutuhan kalbu, jiwa dan akal-budi (qalb’un salîm).
atau berhala benda hasil
289