DEMOKRASI (Dari, Oleh, Untuk) SIAPA?1 Oleh: CHANDRA DINATA, MPA.2 Pendahuluan Demokrasi yang senantiasa menjadi bahan perbincangan (trend topic) dikalangan para aktivis maupun para pegiat kegiatan social saat ini mulai hangat kembali. Demokrasi di Negara kita yang diagung-agungkan sebagai jalan menuju kemakmuran justru berbanding terbalik dengan Negara-negara demokratis lainnya. Negara kita merupakan Negara yang menganut system demokrasi yang baik dan disebutkan juga bahwa Negara Indonesia merupakan Negara demokratis terbesar se-Asia Tenggara. Ditambah dengan studi yang dilakukan oleh Larry Diamond (Puskapol, 2011; 5) dalam studinya terebut membandingkan kualitas demokrasi Indonesia dengan negara negara Asia Selatan, menunjukan kualitas dan kemajuan demokrasi di Indonesia berkembang jauh lebih pesat. Pemilihan umum secara langsung dari tahun 1999 – 2014 merupakan bentuk penegasan bahwa Indonesia merupakan Negara demokratis. Lembaga-lemabaga social semakin tumbuh, rakyat semakin cerdas dalam menentukan sikap politik, semakin mempertegas posisi demokrasi di Indonesia. Meskipun demikian, sebagian besar rakyat Indonesia masih jauh “terbelakang” dalam segala hal, tidak terjangkau oleh informasi, tidak terjangkaupula akses social lainnya dalam rangka pemenuhan kebutuhan dasar. Negara dengan karakteristik geografisnya dipisahkan oleh laut menjadikan pembangunan bertumpu pada satu objek dan aspek tertentu. Fenomena seperti inilah yang memunculkan riak-riak kecil didaerah untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan (disintegrasi). Didasari oleh semangat demokrasi, tulisan ini mendiskusikan tentang ruang public (public sphere) dalam menyampaikan gagasan-gagasasan. Seperti yang kita ketahui bahwa public memiliki ruang yang cukup terbuka dalam menyampaikan gagasan-gagasannya, terutama dalam proses pembangunan. Sejak reformasi Disampaiakan sebagai bahan renungan dalam Seminar Nasional yang bertajuk “Pilar Demokrasi Sebagai Ruang Publik Dalam Penyampaian Gagasan” dilaksanakan di Pacitan tanggal 3 November 2014. 1
Penulis merupakan Staf Pengajar di Jurusan Ilmu Administrasi Negara FISIP Universitas Merdeka Malang, dan sekaligus pegiat kegiatan-kegiatan social. 2
digulirkan, system pembangunan secara bottom up dilaksanakan sebagai bentuk menumbuhkan partisipasi warga dalam proses pembangunan tersebut. Berbagai rangsangan yang dilakukan oleh pemerintah maupun pemerintah daerah untuk menigkatkan peran serta warga Negara dalam proses pembangunan. Namun permasalahannya adalah seberapa besar gagasan-gagasan tersebut terakomodir oleh kebijakan pembangunan? Bagaiamana pula pengaruh modal sosial yang dimiliki warga dalam pengambilan keputusan dalam penayampaian gagasan sosialnya untuk pembangunan? Tentunya hal ini menjadi pokok persoalan kita hari ini yang menarik untuk didiskusikan. Demokrasi dan Keaktifan Warga yang Tersandra Indonesia, dengan kepadatan penduduk lebih dari 250 juta jiwa dengan tingkat populasi 1,49% (bps.go.id) dengan karakteristik multi etnik tentunya menjadikan Indonesia sebagai Negara berbudaya yang senantiasa menjadi tumpuan pariwisata. Kebebasan dalam segala hal yang diatur berdasarkan undang-undang menunjukkan bahwa Indonesia sebagai Negara penganut demokrasi ‘absolut’. Hakhak warga untuk berserikat, mengutarakan pendapat, dan lain sebagainya. Secara historis, Indonesia telah mengenal demokrasi jauh sebelum kemerdekaan. Hanya saja demokrasi yang dianut merupakan demokrasi local berbasis pada tradisi yang diwariskan oleh nenek moyang, menjadi adat istiadat setempat
yang
bersifat
lokalistik.
Kegotongroyongan,
kemufakatan
dalam
musyawarah, guyub dan rukun, saling menghargai, tidak memaksakan kehendak pribadi, dan lain sebagainya merupakan ciri khas yang diwariskan oleh para pendahulu terhadap bangsa ini. Jika ditilik secara konstitusional, demokrasi yang dikenal oleh bangsa ini antara lain demokrasi pancasila, demokrasi terpimpin, demokrasi kerakyatan, dan lain sebagainya. Hal ini menujukkan bahwa demokrasi memang telah dikenal oleh bangsa ini jauh sebelum istiah demokrasi itu lahir dari bangsa “barat”. Meskipun demikian, seiring dengan perjalanan waktu, bangsa Indonesia melewati beberapa fase-fase kritis terkait dengan kebebesan warga Negara dalam mengutarakan pendapatnya dimuka umum. Dari beberapa decade kepemimpinan, bangsa ini telah berkelana dalam menemukan bentuk yang pas untuk
mengakomodir seluruh kearifan local (local wisdom) diseantero negeri. Terlepas dari berbagai kepentingan “elite”, Indonesia pernah mengalami beberapa masa kritis terkait perjuangan rakyat dalam meraih kembali hak-hak yang terkebiri oleh Negara. Belasan tahun silam misalnya, pembangunan tersentral pada kebijakan pemerintah pusat. Meskipun demokrasi yang dianut adalah demokrasi terpimpin, segala hak-hak rakyat selalu terkontrol oleh Negara yang kala itu meletakkan “tangan besinya” hingga ke daerah-daerah. Namun, ketika rezim itu runtuh rakyat seakan ‘bersorak’ merayakan kemenangan dengan ditandai oleh kebebasannya sebagai warga Negara dalam menjalankan aktivitas sosialnya. Hak-hak dalam menyuarakan pendapat semakin terbuka lebar disediakan oleh Negara. Bergesernya paradigma pembangunan dari sentralistik ke desentralistik semakin menguatkan posisi tawar warga Negara, terutama warga desa. Keberadaan komunitas (community) di desa-desa semakin terangkat derajatnya. Hal ini tentunya disebabkan oleh pembangunan yang bersifat bottom up diberlakukan dalam system desentralisasi pembangunan. Secara konseptual, demokrasi yang diimplementasikan ditatanan lokal merupakan pertemuan antara modal social (social capital) dengan kepentingan elit politik yang saling berinteraksi. Meminjam deffinisi Puttnam (1993; 273) modal sosial sebagai bagian dari kehidupan sosial, jaringan, norma dan kepercayaan yang mendorong partisipan bertindak bersama secara lebih efektif untuk mencapai tujuan bersama. Argument yang disampaikan oleh Puttnam tersebut adalah jaringan sosial yang memiliki nilai, kontak sosial yang akan mempengaruhi produktivitas individu maupun kelompok (kolektif). Dengan demikian, peran serta warga Negara dalam memperbaiki kualitas demokrasi (tingkat nasional maupun local) tergantung dari kualitas interaksi antar warga Negara yang berbasis pada nilai-nilai luhur local. Persoalan yang kerap dihadapi saat ini untuk implementasi demokrasi di tingkatan local adalah demokrasi procedural tanpa melihat modal social yang dimiliki oleh masyarakat setempat. Artinya, demokrasi “dipaksakan” untuk diseragamkan dengan pelaksanaan demokrasi didaerah-daerah lainnya. Dalam proses pembangunan misalnya. Partisipasi warga didorong oleh pemerintah
melalui
musyarah
perencanaan
pembangunan.
Posedur
yang
ditetapkan oleh pemerintah sebelumnya harus ditaati oleh warga Negara. Berbagai
tahapan harus dilalui untuk menghasilkan sebuah usulan pembangunan. Disinilah letak penyeragaman demokrasi yang dilakukan oleh Negara terhadap warganya. Ini artinya terdapat kontrol yang kuat oleh Negara atas kebebasan yang dimiliki oleh rakyat selaku warga Negara. Oleh Hobbes (Gaskin ed, 1996) kondisi seperti ini disebut juga dengan leviathan. Gambaran yang disampaikan oleh Hobbes bahwa Negara merupakan ‘raksasa’ buas yang telah menguasai dan berhasil menjadi momok yang menakutkan bagi warganya. Negara hadir untuk mengeksploitasi segala sumber-sumber daya yang dimiliki dengan dalih untuk “mensejahterakan rakyat”. Demokrasi dan Dinamika Kepentingan “elite” Kakayaan sumberdaya social yang dimiliki oleh bangsa ini tentunya tidak dimiliki oleh bangsa-bangsa lain yang notabene menganut system demokrasi. Sumberdaya sosiallah yang menjadikan demokrasi di Indonesia semakin kuat dan berkarakter. Seharusnya hal ini yang paling krusial untuk dibanggakan oleh kita (baca: rakyat) selaku pemegang “mandat tertinggi” atas prestasi implementasi demokrasi, bukan demokrasi procedural sepertihalnya diterapkan oleh bangsabangsa barat. Fenomena seperti ini penulis sebutkan dengan istilah anomaly demokrasi. Anomaly demokrasi yang tertanam selama ini menghasilkan dinamika politik kaum ‘elit borjuis’. Dengan demokrasi pula, para elit melancarkan popularitas kepada pemegang mandate tertinggi disaat kontestasi lima tahunan. Kontestasi dipertontonkan secara “telanjang” didalangi oleh actor-aktor politik dengan menebar uang (money politik) disertai “gombal-gombal” politik. Hal seperti inilah yang menjadikan demokrasi itu keropos. Bebagai konflik horizontal yang ditimbulkan akibat dari kesalahan paham antar pendukung, dan tidak sedikit pulu kerugian yang ditimbulkan dari konflik tersebut. Dan bahkan konflik semakin berlarut-larut hingga mengancam integrasi. Persoalan lain yang ditimbulkan dari dinamika politik kaum elit selama masa reformasi adalah prilaku koruptif. Fakta menunjukkan bahwa hingga saat ini lebh dari 200 kepala daerah di Indonesia berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (www.kpk.go.id), dan tidak sedikit pula divonis bersalah dan terbukti
melakukan tindakan korupsi. Tindakan amoral seperti ini yang menjadikan bangsa ini semakin terdegradasi secara ekonomi, dan menurunkan kualitas hidup masyarakat, terutama masyarakat diperdesaan. Secara prinsipil, dinamika dalam isntitusi politik sangat dianjurkan untuk menumbuhkan kedewasaan berpolitik. Namun hal ini lagi-lagi tidak diperkuat dengan modal social yang ada. Nilai-nilai local yang menjadi tradisi tidak lagi diindahkan dalam berpolitik. Padahal modal social itulah yang akan membentuk kedewasaan dalam isntitusi poltik yang akan membawa kesejahteraan secara kolektif. Menurut hemat penulis, demokrasi dengan modal social yang kuat akan mengatarkan seorang mandataris rakyat yang visioner dan berpihak kepada rakyatnya, bukan kepada konstituen. Hal lain yang diakibatkan oleh anomaly demokrasi adalah ketidakmampuan elit membaca peluang-peluang strategis dalam pembangunan berkelanjutan. Yang ada hanya peluang-pluang bagi kelompok kepentingan tertentu untuk meraih keuntungan individu maupun konstituen. Ruang public (public sphere) bagi warga Negara dalam menyampaikan gagasannya secara konstitusional diatur dalam bentuk musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang). Mulai dari tingkat RT, RW, Dusun, Desa, Kecamatan, Kabupaten/Kota, Propinsi, hingga Nasional dilakukan secara seragam dengan mengikuti format yang telah disediakan oleh pemerintah pusat. Dari bebagai tahapan dan tingkatan, terdapat dinamika yang cukup berarti. Jika ditingkatan RT, RW, dan Dusun, gagasan yang dihasilkan dari ruang public tersebut merupaka kemurnian pikir berdasarkan kebutuhan mendesak. Namun melewati tingkatan berikutnya, kebutuhan mendesak tersebut akan menjelma menjadi
“kepentingan mendesak”.
Disininah
letak tawar-menawar antara
kebutuhan dan kepentingan yang mendesak tersebut. Pertarungan antara rakyat dengan elit yang akan menjadikan demokrasi transaksional. Tentunya hal seperti inilah yang menggerogoti demokrasi hingga bergeser dari khittahnya. Penutup Demokrasi
tentunya
mampu
mengantarkan
penganutnya
kepada
kesejahteraan social secara komunal. Namun dalam proses pembangunan yang
partisipatif justru mengkebiri gagasan-gagasan warga Negara dengan cara memotong matarantai gagasan tersebut secara sistemik-struktural, sehingga gagasan yang sebelumnya hadir dari aras local hilang tatkala kelompok elit berinteraksi pada tingkatan-tingakatan berikutnya. Dengan demikian gagasan yang dihasilakan berdasar pada asas kebutuhan berubah menjadi asas kepentingan kaum elit. Fenomena yang demikian itu tentunya bukanlah hal tabu bagi penyelenggara Negara. Mereka meyakini bahwa prosedurlah yang mengatur partisipasi warga Negaranya. Dengan demikian, demokrasi diterapkan atas dasar prosedur dan etika yang telah ditentukan sebelumnya berdasarkan standar-standar tertentu. Posisi modal social dimasyarakat dikesampingkan terlebih dahulu untuk memuluskan jalan dalam mencapai tujuan kelompok elit. Dengan demikian, demokrasi yang berkarakter Indonesianis sejatinya berbasis pada kearifan local, bukan mengacu pada kelaziman demokrasi yang diterapkan di bangsa barat. Dari apa yang telah penulis diskusikan, untuk menjaga kualitas demokrasi di bangsa ini, perlu kiranya gerakan-gerakan penyadaran sekaligus penguatan dalam lingkungan kelompok masyarakat agar modal social di kelompok tersebut dapat terus tumbuh dan berkembang sebagai upaya mempertegas jati diri demokrasi di bangsa ini. Tentunya tindakan social ini harus dimotori oleh kelompok-kelompok generasi cerdas, generasi visoner, dan generasi berkomitmen. -----ooooOoooo-----
Daftar Pustaka Gaskin, J.C.A. (editor), 1996, Thomas Hobbes; Leviathan, Oxford University Press, New York Pusat Kajian Politik (PUSKAPOL), Laporan Riset Indeks Demokrasi Asia 2011: Potret Indonesia, Departemen Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia dan Center for Democracy and Human Rights (DEMOS) Putnam, Robert D., 1993, Making Democracy work: Civic tradition in modern Italy, Princeton University Press, New Jersey – USA
Sumber Lain: 1. www.bps.go.id 2. www.kpk.go.id