OPINI
DEMOKRASI DARI RAKYAT, OLEH RAKYAT DAN UNTUK RAKYAT (Oleh: Yanto D.A) Kepala daerah adalah tokoh otonomi yang memegang fungsi pemerintahan di daerah masing-masing. Baik daerah tingkat I maupun tingkat II dipegaang oleh kepala pemerintahannya sendiri. Setiap kepala daerah menjalankan fungsinya dengan otonomi yag dimiliki sesuai dengan ketentuan daerahnya. Gubernur untuk daerah tingkat I (provinsi), bupati atau walikota untuk daerah tingkat II (kabupaten atau kota madya). Secara konstitusional setiap kepala daerah dipilih dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Indonesia menganut system demokrasi Pancasila dengan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya. Pemilihan kepala pemerintahan di Indonesia telah dilaksanakan dengan berbagai pergolakkan dan perubahan yang membaharui sistem demokrasi Indonesia. Kedaulatan ada di tangan rakyat dengan menjamin hak dan kebebasan masyarakat dalam menentukan pilihan sesuai dengan hati nurani. Pemilihan kepala pemerintahan saat ini baik di pusat maupun daerah-daerah telah dilaksanakan melalui sistem demokrasi. Kedaulatan ada di tangan rakyat yang menentukan arah kehidupan berbangsa menuju kesejahteraan. Ide dasar untuk melaksanakan pesta demokrasi rakyat adalah menghindari model pemerintahan oligarki, pemerintahan yang dipegang oleh sekelompok elit. Peraturan perundang-undangan yang ada telah menunjukkan bahwa demokrasi Indonesia ada di tangan rakyat, dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Para pemimpin sejatinya adalah warga negara. Demokrasi di Indonesia telah memberikan ruang bagi segenap warganya untuk mengambil bagian dalam menjalankan fungsi pemerintahan, baik sebagai kepala pemerintahan pusat maupun daerah. Berdasarkan prinsip demokrasi Pancasila maka semua warga negara memiliki kedudukan dan peran yang sama untuk memajukan kesejahteraan kehidupan bersama. Polemik yang dihadapi saat ini telah menunjukkan pudarnya nilai-nilai demokrasi Indonesia. Seorang kepala daerah akan dipilih dengan memperhatikan integritas dan kualitas yang dimilikinya. 1
Rakyat adalah pemegang kedaulatan tertinggi dalam sistem demokrasi. Hak dan kebebasan dalam perpolitikan rakyat harus mendapat tempat yang semestinya. Rakyat yan menentukan dan memilih sosok yang tepat sebagai figur pemimpin ideal. Hak dan kebebasan dalam demokrasi menunjukkan tingginya keberpihakan negara dalam menjamin hak-hak kodrati rakyat. Rakyat tentu telah diberi wewenang untuk menentukan sendiri seorang pemimpin sesuai dengan hati nuraninya. Sistem demokrasi parlemen yang pernah dijalankan di negara Indonesia telah diubah menjadi sistem demokrasi Pancasila dengan rakyat sebagai pemegang kedaulatan. Meskipun sistem demokrasi parlemen telah diubah namun sistem perpolitikan di Indonesia masih menunjukkan kekurangan dalam aspek kebebasan untuk memilih. Berbagai pelanggaran masih saja terjadi terkait PILKADA. Rakyat belum mendapat ruang yang memadai untuk menyalurkan aspirasi lewat pemilu secara labgsug. Kedaulatan berada di tangan rakyat menunjukkan bahwa rakyat yang memilih untuk kepentingan rakyat. Kesejahteraan umum adalah cita-cita bersama dan menjadi tanggung jawab bersama. Kedaulatan berada di tangan rakyat menunjukkan bahwa arah dan tujuan negara sepenuhnya berada di tangan rakyat. Pemimpin yang dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat menunjukkan bahwa demokrasi seutuhnya berada di tangan rkyat. Rakyat menjadi titik tolak dalam menntukan arah dan cita-cita bersama dalam mencapai kesejahteraan umum. Penyadaran akan pentingnya demokrasi menjadi tanggung jawab bersama. Demokrasi adalah pesta rakyat. Rakyat menjadi sentral dalam menentukan keberhasilan setiap model pemerintahan. Rakyatlah yang bertanggung jawab atas ketercapaian kesejahteraan bangsa dan negara.
2
PILKADA DAN KEAKTIFAN MASYARAKAT (Yohanes)
Atmosfer menyongsong pesta demokrasi telah terasa oleh berbagai aksi dan kegiatan para calon pemimpin. Tindakan yang diambil dalam persiapan menuju pemilihan umum adalah meyakinkan masyarakat, calon pemilih bahwa dirinya adalah sosok terbaik. Sosok yang siap untuk dipilih, diutus dan menjalankan amanah masyarakat. Dalam proses menaklukkan hati para calon pemilih, berbagai siasat dan cara jitu dipertontonkan dimuka umum. Ini tentunya terlepas dari caracara buruk dan tidak terpuji dalam melakukan sebuah black campaign. Secara in se kegiatankegiatan ini pada dasarnya baik, karena apa yang diperlihatkan adalah sebuah tuntutan dan keharusan. Bagaimana seseorang mau dipilih tetapi masyarakat tidak mengatahui dirinya, (siapakah dia, apa pekerjaannya, tekadnya dan program-programnya). Adalah hal yang lucu jika seseorang tidak melakukan kegiatan tersebut. Namun suatu masalah akan muncul kalau konsep untuk membangun dan memperlihatkan citra diri itu dipakai secara tidak bertanggungjawab. Orang terjebak dalam persaingan yang tidak sehat, menjatuhkan lawan dan merasa diri satusatunya yang paling baik. Berkampanye untuk merebut hati calon pemilih adalah konsekuensi dari sebuah persaingan. Definisi persaingan di sini bukan sesuatu yang negatif melainkan positif. Persaingan dalam dirinya dilihat sebagai suatu suasana yang menggambarkan kenyataan demokrasi. Di mana ada demokrasi, di situ hak-hak asasi setiap manusia, khususnya dalam hak politik diakui. Selanjutnya dengan persaingan antara para calon, masyarakatpun diajak untuk semakin kritis dalam menilai dan memilih. Ada satu fenomena yang selalu terjadi pada masa-masa kampanye berlangsung, yakni adanya beribu-ribu baliho dan spanduk yang tertanam di setiap pinggir jalan. Baliho dan spanduk itu berisikan track record, sepak terjang, program-program dan berbagai pengalaman lainnya merupakan salah satu cara memikat hati masyarakatnya. Subjek yang mencalonkan diri dan masyarakat yang akan memilih termasuk dalam ciri kehidupan demokratis. Adapun hal yang nampak bahwa pemahaman masyarakat untuk terlibat langsung di dalam demokrasi begitu hidup. 3
Ini menunjukkan keaktifan rakyat yang tergolong madani. Madani yang dimaksudkan di sini adalah suatu masyarakat yang punya kesadaran untuk berpolitik. Ada suatu kemauan yang besar untuk mengubah, mempengaruhi dan memperbaiki tatanan demokrasi yang ambruk oleh tangantangan jahil tidak bertanggungjawab. Genderang perang telah ditabuh dan setiap calon telah bersiap mencapai garis akhir sebagai sebuah tanda memenangkan pertandingan. Bermodalkan tekad untuk mensejahterakan rakyatnua, mereka bertarung dalam arena pemilihan kepala daerah. Setiap calon datang dari berbagai daerah dengan latar belakang yang berbeda-beda sambil membawa keinginan, amanah dan aspirasi rakyat. Mereka datang dengan satu tujuan mulia, yakni demi kesejaheraan dan kedamain hidup masyarakat. Tujuan yang mulia itu kemudian dikemas dalam komitmen-komitmen yang terpampang pada spanduk dan baliho. Berbicara tentang keaktifan rakyat untuk terlibat dan menggunakan hak politiknya maka tidaklah mengherankan kalau banyak orang mencalonkan dirinya sebagai kepala daerah. Satu fakta yang dapat diangkat yang terjadi di daerah NTT adalah ketika KPUD di masing-masing menetapkan menetapkan sembilan paket yang akan bertarung dalam pemilihan bupati dan wakil bupati. Misalnya kabupaten Sikka menetapkan sembilan paket calon pasangan guna bertarung dan berebut kursi Bupati dan Wakil Bupati Sikka dalam Pilkada Sikka yang akan berlangsung tanggal 18 Maret 20131, Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Manggarai, Selasa (11/5/2010) mengumumkan sembilan pasangan calon bupati dan wakil bupati Manggarai yang akan bertarung dalam Pemilu Kada 3 Juni 20102. Adapun sembilan paket Calon Bupati (Cabup) dan Calon Wakil Bupati (Cawabup) Alor akan bertarung di ajang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kabupaten Alor tahun 2013.3 Kenyatan-kenyataan di atas memperlihatkan bahwa masyarakat kini aktif terlibat dalam menggunakan hak politinya. Demokrasi berjalan ketika masyarakat justru terlibat langsung di dalamnya. Demokrasi itu seperti pemerintah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Adalah 1
http://kupang.tribunnews.com/2013/01/31/kpud-sikka-tetapkan-9-paket-cabub-sikka, diakses pada 6 Februari
2017. 2
http://kupang.tribunnews.com/2010/05/12/9-paket-siap-bertarung-di-manggarai, diakses pada 6 Februari
2017. 3
http://kupang.tribunnews.com/2013/07/02/ini-9-paket-cabub-wacabub-yang-bertarung-di-pilkada-alor, diakses pada 6 Februari 2017.
4
sebuah kesalahan besar ketika amanah dan kepercayaan uyang telah diberikan dimanfaatkan demi keuntungan pribadi. Orang menyalahgunakan jabatan yang ada untuk memperkaya diri dan golongan. Ini adalah jalan yang salah dan justru telah melenceng dari makna dan tujuan dasar sebuah nilai demokrasi.
SELEBRITIS DAN POLITIK Oleh: Aresno22
Fenomena artis maju ke Pemilihan Kepala Daerah memang sudah tidak terlalu mengejutkan lagi. Hal ini dikarenakan adanya bukti beberapa artis yang sudah terlebih dahulu maju dan akhirnya mereka menduduki kursi kepemerintahan tersebut. Reformasi dan demokratisasi politik zaman sekrang telah membuka peluang besar bagi para selebritis untuk menjadi politisi di Tanah Air, baik menjadi anggota parlemen pusat maupun daerah atau bahkan menjadi wakil kepala daerah, walau belum pada posisi puncak pemerintahan di tingkat pusat. Kini ada beberapa artis yang bertarung untuk menduduki posisi orang nomor satu atau nomor dua di pilkada kabupaten. Misalnya, Julia Perez alias JUPE yang ingin menjadi bakal calon Bupati Pacitan, Jawa Timur, kota kelahiran Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), peragawati senior Ratih Sanggarwati yang maju kembali untuk menjadi cabup di kota kelahirannya Ngawi, Jawa Timur, atau Ayu Azhari yang maju dalam pilkada di Sukabumi, Jawa Barat. Dari para artis yang maju tersebut, nama Julia Perez atau JUPE merupakan yang paling kontroversial.
5
Tidak sedikit organisasi pemuda, perempuan dan keagamaan di Pacitan yang tegas-tegas menentang Jupe (panggilan akrab Julia Perez) untuk menjadi bakal cabub di Pacitan. Bahkan, fotofoto Jupe yang “seronok” sempat beredar di dunia maya. Namun, Jupe tetap tenang-tenang saja menanggapi prokontra pencalonan dirinya. Memang bukan kepintaran atau kebodohan yang menentukan seseorang mampu menjadi pemimpin. Faktor kerja dan kapabilitas kepemimpinan seseorang dalam mengelola daerah juga patut diperhitungkan. Sayangnya, Jupe sendiri tidak tahu Pacitan letaknya di mana dan apa permasalahan yang dihadapi penduduk Pacitan saat ini karena dia sendiri belum pernah ke sana sebelumnya. Jupe baru berkunjung ke Pacitan ketika ribut-ribut soal pencalonannya mencuat di panggung politik lokal dan nasional. Fenomena yang sempat membuat heboh ini juga dikarenakan keraguan masyarakat terhadap kualifikasi para artis tersebut. Oleh karena itu, adanya kualifikasi seperti pengetahuan dalam berpolitik, pengetahuan dan kemampuan dalam memimpin, serta pengetahuan tentang daerah yang akan di pimpin jelas harus dimiliki oleh artis tersebut. karena itu, ada baiknya para artis tersebut menunjukan nilai serta kualifikasi mereka dalam kepempimpinan. Nilai, kemampuan, dan pengetahuan dalam memimpin. ketenaran tidak menjamin pasti bahwa seorang pemimpin dapat memimpin kekuasaannya tersebut. Mengandalkan keartisan atau popularitas seseorang yang diusung menjadi bakal calon pemimpin tanpa memberi bekal pengalaman politik yang baik sama saja merendahkan bakal calon tersebut dan para pemilihnya. Politik memang tidak mengenal diskriminasi gender atau jalur kehidupan seseorang. Namun, alangkah lebih baik jika artis itu adalah orang yang memiliki bekal pengetahuan yang cukup tentang daerah dan visi misi partai-partai yang mengusungnya, sebelum dia diterjunkan untuk bertarung dalam pilkada. Kini, para perempuan Indonesia, tak kecuali para artis, dapat terjun ke politik praktis di Indonesia, walau masih ada kendala internal di keluarga atau masyarakat. Fenomena artis terjun ke politik bukan soal keartisannya atau keperempuanannya, melainkan apakah partai-partai politik yang merekrutnya sudah melakukan pendidikan politik yang baik bagi para kadernya. Jika artis itu masuk ke partai politik terlebih dahulu, ditempa dan diasah untuk menjadi politisi yang piawai dan handal, tentunya keberatan masyarakat terhadap mereka akan berkurang. Berdasarkan kualifikasi tersebut para artis yang mencalonkan diri sebagai pemimpin daerah sebaiknya berkaca apakah kualifikasi tersebut sudah dipenuhi atau belum. Refleksi ini juga menjadi kritisi dari para pengamat 6
politik yang menjelaskan bahwa citra, reputasi, koneksi dan popularitas bukan modal untuk menjadi pemimpin daerah. Dengan penjelasan di atas, jelas pencalonan artis sebagai calon pemimpin daerah dalam Pilkada bukan merupakan hal yang salah. Akan tetapi, hal ini harus dikaitkan dengan unjuk kemampuan dari masing-masing calon pemimpin tersebut, bukan hanya menyebar citra melalui ketenaran mereka. Oleh karena itu, kualifikasi dalam memimpin daerah dan otoritas kekuasaan harus benar-benar terbukti mampu dilakukan bagi setiap calon pemimpin daerah tersebut, baik dari kalangan politik dan artis. Namun, percaya atau tidak, sejarah telah membuktikan bahwa seorang artis dapat terpilih menjadi kepala daerah atau bahkan kepala negara/kepala pemerintahan. Kebosanan pada tingkah laku politisi yang buruk, kadang membuat para pemilih mendukung calon dari kalangan artis. Jika artis di Negara lain bisa, Indonesia juga pasti bisa! ***
7
ORGASME POLITIK Oleh: Denis Deha
Tulisan ini dibuat sebagai catatan kecil dari keprihatinan dan kerisauan kita bersama atas fenomena “kotor” percaturan politik yang telah dan sedang bergolak di tanah air, yang biasanya tercermin dalam praktik pemilihan elektoral kepala daerah, bahkan Pilpres. Fakta selalu menunjukkan pelonjakan yang signifikan dari “kebusukan politik” yang dilakonkan oleh para elite politik di republic ini. Lantas, siapakah yang mesti dipersalahkan: rakyat atau pemimpin. Pada dasarnya kita tidak bias menyudutkan salah satu pihak karena kita tidak bias menafikan peran dan kedudukan rakyat yang semakin sentral, di satu sisi, dan semakin rentannya para politisi yang terlibat dalam pemerkosaan terhadap nilai luhur politik, di sisi yang lain. Gong reformasi (transisi) demokrasi yang sudah didengungkan senada dengan lengsernya Soeharto di tahun 1998, menjadi instrument sekaligus wacana yang masih terus dipertanyakan sejauh ini. Ideal demokrasi mengandaikan adanya keterpanggilan rakyat untuk memiliki hak dalam percaturan politik. Namun yang terjadi malah kultur demokrasi seringkali dinodai oleh praktik politik kepentingan dan masih banyak penyalahgunaan kekuasaan dan kepercayaan. Keempukkan kursikekuasaan seringkali menjadi factor penghambat keberpihakan para pemimpin dalam memperjuangkan kepentingan dan aspirasi rakyat. Mereka yang dulu memperjuangkan “kematian” rezim otoriter malah bergeming untuk menghembuskan angin perubahan. Di bulan Februari tahun ini kita akan mengadakan Pilkada serentak. Tidak seperti terjadi sebelumnya, di mana KPU daerah menetukan tanggal “mainnya”, Pilkada kali ini secara implisit mau mengembalikan sentralitas kekuasaan kepada pemerintah pusat. Atau dalam kamus Presiden Jokowi disebut “satu pintu”. Saya sendiri tidak banyak mengetahui pergolakan politik di daerahdaerah, bahkan NTT khususnya, terutama kabupaten/kota yang menyelenggarakan Pilkada tersebut. Salah satu alasan paling rasional adalah karena domain saya yang berada jauh dari hingarbingar fenomena klasik pesta demokrasi tersebut. Namun, ketika saya menonton “Debat Pilkada” DKI Jakarta dan berita seputar Pilkada serentak, benak saya tertarik untuk menyusup ke dalam wacana yang tak pernah selesai diperbincangkan ini. Dasar, prinsip, dan implementasinya pun sama yang terjadi di Jakarta. Hanya saja, orang Jakarta bisa membayar mediamainstream, sementara daerah-daerah lain tidak punya “kantong” untuk membeli media. Di sini saya membatasi diri pada pengamatan saya terhadap fenomena politik ibukota yang akhir-akhir ini menjadi santapan masyarakat seluruh Indonesia (khusus mereka yang punya TV). Seperti terjadi di banyak daerah lain, tiap hari selalu saja ada berita unik dan menegangkan. Iklim persaingan untuk mendapat suara mayoritas tetap menjadi agenda tersembunyi masing-masing 8
kandidat. Cara, strategi, dan sistem dikerahkan untuk meraih takhta empuk nan panas itu. Bahkan politik uang dan politik figur menjadi sokongan berarti untuk memperoleh simpati pemilih elektoral. Patut kita akui bahwa memang ada seorang/beberapa orang yang benar-benar “bersih” dalam permainan itu. Tapi realitas begitu gamblang menunjukkan bahwa “mereka yang tidak punya uang akan kalah”. Ahok, kandidat incumben Pilkada ibukota, punya niat dan moralitas untuk membasmi kebusukan kaum oligarkis. Tapi jalan ke sana amat sempit. Ia bahkan dihadang sebelum naik takhta (jika memang nanti ia menang). Secara politik, sebenarnya ia dicekik oleh pakta oligarkis Orde Baru yang tidak menginginkan perubahan.Seperti juga di daerah-daerah lain, persaingan untuk mengakses lebih banyak sumber daya politik merupakan “bayang-bayang” yang tidak bisa dinafikan. Sampai di sini, bagaimana dengan budaya politik kita di NTT. Sejak Pilkada langsung di tahun 2005, banyak daerah kita yang belum mengalami perubahan signifikan. Warisan budaya lama masih menggelantung di masing-masing kesadaran tiap elite politik dominan maupun alternatif. Para “kepala” kita masih memikirkan diri dan kepentingan, dan selalu saja mengabaikan hak politik masyarakat. Janji-janji mempermudah akses masyarakat tinggal bayangan. Pembangunan terlantar, pelayanan kesehatan dan pendidikan gratis hanya sekedar “opium”. Ketika menjamu “kepala” mereka di kampung atau di desa, karena para pemimpin sekarang mulai rajin “turun gunung”, banyak aspirasi yang disampaikan lalu diiyakan. Tapi ketika pulang, semuanya dikebas bersamaan dengan debu-debu. Di beberapa daerah di Nagekeo dan Ende, misalnya, hingga saat ini terus bertanya kapan waktunya pemimpin mereka melihat dan memperbaiki nasib mereka. Hampir puluhan tahun jalan raya di daerah seperti Nuaria, Wolowae, Nangapanda dan Maukaro sera masih banyak lagi, tidak pernah tersentuh perawatannya. Di sepanjang jalan kita temukan lubang-lubang menganga. Permukaan jalan pun tidak lagi rata, tetapi seperti gelombang. Padahal jalur jalan di wilayah ini termasuk salah satu alternatef jalan negara. Potensi dan asset daerah pun tidak kalah saing dengan daerah-daerah lain di NTT. Di sisi lain, daerah seperti Wolowae, yang berjarak sekitar 15 km dari kota Mbay pun hingga kini belum punya listrik. Jika dibandingkan dengan daerah lain yang berjarak ratusan kilometer darikota, tetapi mereka punya layanan listrik dan jalan yang baik. Kenyataan ini semakin mengafirmasikan bahwa para politisi/pemimpin kita adalah deretan orang-orang yang egois dan tidak punya hati. Prinsip demokrasi mesti dibaca dan dicerna secara benar dan tepat. Jika tidak, republik ini akan menjadi “lapangan hijau” bagi para elite politik. Mungkinkah penerapan sistem demokrasi kita sekedar ilusi kolektif untuk melanggengkan kepentingan segelintir orang. Politik seperti “pemerkosaan” Akhir-akhir ini semakin hangat diberitakan perihal kasus-kasus pemerkosaan. Ada kasus di mana bapak “makan” anak kandung (anak angkat) atau opa “makan” cucunya. Tukang ojek 9
memperkosa murid sekolah atau Om “makan” keponaannya. Ada yang guru “makan” kembali muridnya. Terasa dunia ini seperti sirkus kebobrokan yang mesti dipertontokan. Dorongan emosi seksual yang tidak bisa dialihkan dengan baik berimbas pada letupan yang menembus dindingdinding rasionalitas dan moralitas. Prometheus semestinya diundang segera membawa api dari langit untuk menyingkap kegelapan moral para bandit. Percaturan politik kita beberapa tahun terakhir ini pun bisa digambarkan secara sempurna dengan analogi ‘pemerkosaan‘.Deretan strategi jitu yang dilakukan oleh para (calon) politisi pada dasarnya mengafirmasikan bahwa politik sejatinya merupakan satu bentuk dorongan keegoisan dan nafsu keserakahan untuk mencapai orgasme politik para politisi (pemimpin). Betapa kuatnya desakan itu sehingga para politisi mau tidak mau menghalalkan segala cara untuk mengamankan tiket menuju tangga kekuasaan. Ada yang menghibur rakyat dengan membangun rumah ibadat, tidak menerima gaji dengan intensi diberikan kepada rakyat, bahkan ada yang melakukan praktik money politics. Di samping itu, tampil pula politisi yang rendah hati dan jujur dalam kampanye politiknya, sehingga rakyat termakan emosi untuk memilihnya. Ironisnya, kerendahan hati dan kejujuran itu merupakan “obat bius” untuk memenangkan kepercayaan rakyat dalam pemilihan elektoral. Belakangan ini masyarakat dipusingkan oleh kehadiran para politisi yang mengejar kariernya dengan menjadi pemimpin. Asas demokrasi dan kebebasan telah menciptakan ruang (sphere) bagi segelintir orang untuk berlomba-lomba menjadi pemimpin. Secara demokrasi hal ini baik. Namun tidak bisa dinafikan bahwa fakta inipun mengindikasikan bahwa dalam selimut pikiran banyak orang, politik itu seperti perlombaan, atraksi, atau arena untuk “main-main”. Padahal politik merupakan sesuatu yang terberi dalam kodrat manusia. Politik mengafirmasikan peran homo social manusia. Lantas yang terjadi politik kita layaknya orang yang sedang mencapai orgasme. Politik sekedar pemuasan emosi untuk menguasai orang lain. Seperti orang yang berhubungan seks (pemerkosaan), di mana setelah mencapai klimaks, yaitu kepercayaan yang diberikan rakyat untuk duduk di kursi “empuk”, mereka berbalik arah dari rakyat. Dan lebih sadis lagi, mereka akan membungkam dan mengancam rakyatnya agar tidak “berkotek” dengan cara apapun. Dengan itu masyarakat akan lupa diri dan menganggap kebejatan para elite politik itu sebagai kesempatan untuk merasakan kenikmatan bersama. Pelaku kejahatan politik dan masyarakat sama-sama merasakan kepuasan yang membingungkan. Seringkali terjadi, bahwa para pemimpin berkonspirasi dengan para kelompok kepentingan untuk membungkam aspirasi dan pengaduan masyarakat. Masyarakat dirugikan, ditelantarkan, dan dibuang untuk dijadikan sampah politik. Masyarakat selalu menjadi korban pelecehan politik. Peran politik rakyat Demokrasi representatif sejauh sejarah republik ini telah melengserkan peran rakyat dalam andil untuk menata kehidupan berbangsa dan bernegara. Ruang kehadiran dan partisipasi 10
masyarakat menjadi amat sempit karena bagaimanapun masyarakat tetaplah bertindak layaknya ‘pembantu‘. Corong penyambung lidah rakyat, pers dan media, misalnya, diplintir oleh rapinya jaringan birokrasi dan “amplop-amplop” yang disorong di bawah meja oleh para bandit negara. Masyarakat mati kutu seperti tikus yang basah kuyup. Para pemimpin yang sebenarnya merupakan orang-orang terpilih dari masyarakat akar rumput malah terjerumus dalam jaringan kepentingan. Sudah saatnya demokrasi kita beralih kepada penerapan demokrasi deliberatif. Oleh karena itu, masyarakat mesti dibekali atau paling tidak bisa membaca tanda-tanda dan “obat bius” yang didistribusikan para politisi. Kapasitas pengetahuan masyarakat akan politik dan jaringan informasi yang disebarkan media menjadi sangat sentral dan penting. Kemendesakkan itu juga mesti dibarengi dengan kecerdasan daya rasional dan kematangan emosional-politis, agar masyarakat tidak mudah dikibuli atau disetubuhi oleh para politisi. Sebab masyarakat yang awam dalam berpolitik akan mudah dipermainkan oleh para elite politik. Seperti halnya seorang anak korban yang seperti “kerbau dicocok hidung” mengikuti kemauan dan nafsu bejat dari para pelaku pelecehan moral seksual. Sudah saatnya masyarakat harus bisa memetakan politik, seperti juga para elite politik, sehingga kualitas kejelian dan kebijaksanaan dalam memilih para pemimpin benar-benar dapat diandalkan. Pencapaian titik tertinggi dari peran politik masyarakat menjadi amat sentral. Sebab jika para politisi tidak memenuhi keinginan masyarakat, artinya tidak bekerja sesuai harapan masyarakat, sekali-kali masyarakat bisa saja tidak boleh memilih untuk golput, jika hal itu memang harus dilakukan. Atau masyarakat bisa saja mengadu dan melengserkan mereka dari kursi panas melalui mosi tidak percaya. Masyarakat harus semakin pintar dan hati-hati dalam memilih para pemimpinnya. Kematangan cara berpikir dan cara pandang masyarakat harus diasah agar semakin tajam dalam “mencontreng” deretan pemimpin.Pada intinya, masyarakat juga tidak boleh kalah dalam permainan politik. Orgasme politik itu baik, tetapi sesuatu yang baik tidak selalu muncul dari orgamse politik. Bisa saja (lebih banyak) orgasme politik bermuatan nafsu serakah.
11
GOLPUT NGGAK, YA? (Sebuah Catatan Ringan Menyongsong Pilkada DKI Jakarta) Oleh: Noelfua, O.Carm
Yang Ngebuka Tulisan Ini Pilkada serentak di beberapa daerah nggak bakal lama lagi. Masing-masing calon wakil rakyat sedang seru-serunya berlomba ngerebut hati rakyat, yah… untung-untungan kalo bisa dapet banyak pendukung. Kita lihat tuh di Jakarta, yang katanya jadi barometer demokrasi nasional. Masing-masing calon pada sibuk nawarin program-programnya (ada juga yang mimpi-mimpinya ato istilah-istilah asingnya kali). Tim sukses nyari berbagai macam jalan buat ngegolin bos-nya. Cara licik pun jadilah, dari yang berupa fitnah, “aksi damai bermotif SARA”, ampe yang berupa perkara teknologi (rekaman video lah, nyadap telpon lah, transkrip chatting WA lah, pokoknya macem-macem). “Intinya bos gue menang, coy! Kan kalo menang, gue kan dapat jatah juga!”. Orang-orang kaya gini nih kalo misalnya ditanyai tentang gimana nasib rakyat, paling ngejawab: “Emang urusan gue. Gue kan cuma tim sukses. Tugas gue habis pas kampanye doang!”. Ngejengkelin banget, kan? Inget juga tuh fakta di beberapa daerah di tanah air pas waktu lagi pemilu legislatif. Cukup banyak lho calon wakil rakyat yang bagi-bagi duit, sembako, sampe kaos gratis bergambar si calon sendiri pas lagi kampanye. Tindakan kayak gini nih dapat pahala nggak ya? (pikir sendiri). Yang jelas, masyarakat kita nggak butuh sekedar duit, sembako, ato kaos gratis pas lagi rame-rame waktu kampanye. Bisa aja kan pilihan mereka berubah lagi kalo ada calon yang nawarin lebih. Di zaman ketika masyarakat udah sulit dibodohi kayak sekarang, mereka butuh sosok pemimpin yang jujur dan bisa diandalkan, bukannya yang karena kurang massa lalu menghalalkan segala cara. Kalo semua kayak gitu, mending kita golput—alias GOLongan PUTih, golongan anti nyoblos-aja kali, yah…!!! Kapan sih Golput Nongol ke Pentas Politik?
12
Tahu nggak, fenomena golput tuh secara politis menyembul ke permukaan ketika dilaksanakan Pemilu tahun 1971. Pemilu itu dianggap cuma sebagai sarana rezim Orde Baru buat ngelanggengin tampuk kekuasaannya aja. Kira-kira gitu pandangan masyarakat umum yang masih sadar prinsip berbangsa dan bernegara yang benar. Mereka yang sadar itu kemudian memilih untuk nggak menggunakan hak pilihnya dengan maksud agar tu pemimpin bakal pikir-pikir panjang soal perbaikan kinerja kepemimpinannya. Hanya saja sulit banget kita nemuin di berbagai macam rekaman sejarah yang nunjukin ke kita usaha rezim Orde Baru buat ngubah “kebijakankebijakannya”... korup lagi, nepotis lagi, penghilangan paksa lagi, sengsara lagi, duh... Orde Baru kayaknya ngadopsi gaya Korea Utara buat tata cara pemilunya, hanya pada level yang lebih sopan dikit. Bayangkan! Tiap kali pemilu tiba, orang-orang Korea Utara emang masih diberi kebebasan buat menggunakan hak pilihnya. Tapi anehnya nih, mereka hanya dikasih pilihan buat milih satu nama yang tercantum dalam surat suara, siapa lagi kalo bukan nama rezim yang sedang berkuasa. Di luar tempat nyoblos, tentara udah pada siap dengan senjata lengkap. Mungkin buat nge-dor siapa saja yang maen-maen dengan pilihannya. Untuk situasi ini, berani nggak kalian nyoba golput?
Pemilu Waktu Gue Kecil Kebanyakan kita mungkin pada masih kecil waktu rezim Orba berkuasa. Gue sih ngalaminnya di era 90-an. Seingat gue, waktu itu pernah ada tiga partai besar: Partai Persatuan Pembangunan (PPP) warna ijo, Partai Demokrasi Indonesia (PDI) warna merah, dan Partai Golongan Karya (Golkar) warna kuning. Katanya, semua pegawai negeri wajib masuk anggota partai kuning--partai yang didirikan eyang kakung rezim Orba, yah sebagai bukti pengabdian nan tulus pada negara. Tuh makanya, bokap gue yang adalah seorang pe-en-es selalu ikut-ikutan massa partai kuning kalo ada kesempatan kampanye dengan tim dari pusat (gue pernah sekali ngikut, sumpah... rame banget!). Tapi gue tahu kalo hati bokap gue tuh cuma tertuju pada partai merah , yang selain dipimpin sama bu Mega, juga karena di situ banyak politisi Katolik dan cendekiawan Flores (salah satunya Bpk. Frans Seda). Saking setianya pada partai “kepala banteng” itu, bokap gue suka nempel 13
gambar-gambar kepala banteng di setiap penjuru rumah. Sering nyokap ngomel, “Pak, lepas saja gambar-gambar pe-de-i itu. Nanti kalo ada supervisi tiba-tiba dari pusat, bapak bakal dipecat!”. “Mau dipecat kek, ditembak kek, disetrum kek, saya tetap pe-de-i!!!”(Biasanya kalo bokap udah gini kata-katanya, nyokap milih diam aja. Gue pernah diceritain sama nyokap tentang sikap politis bokap gue. Katanya waktu di kampung dulu, ketika orang-orang sekampung milih partai “beringin”, bokap mati-matian PDI. Keluarnya kami sekeluarga dari kampung gue yakin adalah bagian dari skenario politis bokap). Eyang kakung Orba sangat pandai menciptakan suasana. Kalau misalnya pemilu tiba, hari penting itu bakal jadi hari libur nasional. Semua orang bener-bener ngerasain suasana demokrasi di bumi pertiwi, walau semu doang. Mereka yang udah 17 tahun ke atas, ato yang udah nikah, dengan bangga berangkat rame-rame ke TPS buat make hak milih mereka. Kami anak sekolahan yang kebetulan diliburkan itu suka banget nonton orang-orang di TPS. Rata-rata kelihatan ngerasa bangga banget waktu keluar dari bilik suara dengan kertas suara yang udah dilipat yang kemudian dimasukin ke kotak suara, lalu nyelupin jari di botol tinta, dan kemudian ngangkat jarinya tinggitinggi biar dilihat orang (juga supaya tintanya cepat kering), sambil ngegumam dalam hati, “Lihat, kami sedang menggunakan hak konstitusional kami dalam menentukan nasib bangsa ini!”. Kalo ada yang nyoba macem-macem, misalnya nolak nyelupin jari di botol tinta, atau dengan sengaja melempari panitia pemilu make botol tinta itu, tim HANSIP alias pertahanan sipil, akan bertindak tegas. Makanya, pemilu kala itu nggak pernah rusuh. Terus, apakah waktu itu ada yang berani golput? Sejauh yang gue ingat: ADA (nggak termasuk kertas suara yang nggak sah karena salah contrengannya. Lho, kok contreng? Iya memang, kala itu masih make nyontreng, bukan nyoblos kayak sekarang... alasannye demi stabilitas nasional). Itu mungkin dilakuin mereka yang udah bosan ama si eyang yang makin nggak jelas pidato-pidato kenegaraannya. Tapi seberapapun banyaknya yang golput, pemilu nggak pernah dua putaran. Tahu nggak kenapa? Si eyang udah nge-ultimatum lewat kroni-kroninya agar “menunjukkan loyalitas kepada negara dan Bapak Pembangunan”. Kalo perhitungan suara kelar, mana yang bakal menang? Tentu saja partainya eyang kakung karena si eyang udah ciptain suasana sekian supaya perhitungan di setiap TPS berpihak ke pohon beringinnya! Kebayang nggak betapa jengkelnya bokap gue kalo justru ini yang terjadi (gue tambah yakin kalo bokap gue tuh pe-en-es
14
yang gemar golput, karena tiap kali gue ikut pemilu di tempat berbeda sama bokap, pasti selalu ada yang namanya golput). Pertanyaannya: Golput Cocok Nggak Buat Nyelesaiin Masalah? “Emang lain lubuk, lain ikannya!” kata pepatah. Nggak seperti di Korut, golput di Indonesia sejak masa orba memang BUKAN tindakan melawan hukum yang pantas diganjari hukuman berat. Ini bukti bahwa si eyang kakung masih lebih sopan ketimbang rezim diktator Korut. Negara, yaitu eyang dan penerus-penerusnya, masih menghargai hak pilih [dan hak tidak memilih] rakyat. Kan prinsip umum yang dipegang si eyang dan penerusnya dari zaman antah berantah berbunyi: “Mo milih ato nggak milih, gue tetep menang, kok!” Jauh sesudah si eyang lengser, muncul undang-undang yang lebih tegas dikit soal golput. Pasal 308 UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota Legislatif bilang ke kita kalo mereka yang maksain orang lain untuk golput bakalan dipidana. Artinya yang dijerat hukum cuma mereka yang suka nge-provokasi orang lain buat jangan milih siapa-siapa (silahkan nyobain terangterangan, mungkin kamu bakal dijerat pasal UU ini). Itu berarti kesempatan buat golput atas inisiatif pribadi masih terbuka lebar banget. Tapi, apa emang setelah golput, situasi bangsa dan negara kondusif sesuai keinginan kita? Ini dia nih persoalannya... Golput itu timbul dari “kegerahan politik” rakyat yang udah pada bosan dengan pemimpin atau juga situasi negerinya. Dilihat dari segi partisipasi warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, golput tuh bukti kalo warga negara nggak peduli lagi mo di bawa ke mana bangsa dan negaranya. Nah, sikap nggak peduli kayak gitu—kalo dipikir-pikir—agak sulit dianggap sebagai pilihan tepat dalam menentukan nasib terbaik buat kesejahteraan umum. Bahasanya orang pinter, golput itu kayak sebuah contradictio in terminis: kita emang kecewa ama pemimpin ato wakil rakyat yang nggak bener (bukti kalo kita peduli dengan nasib bangsa dan negara), tapi malah nggak menggunakan hak milih (yang amat menentukan nasib bangsa dan negara). Lucu, nggak?!! Kita bersyukur karena ini bukan lagi zamannya si eyang kakung. Menyongsong Pilkada Serentak di Tanah Air dan belajar dari Pilkada DKI Jakarta kali ini, sekarang banyak dari antara warga negara udah pada pinter buat milih mana pemimpin yang berjiwa pelayan, ketimbang yang “ngondo” (ngomong doang) atau “ngindo” (ngimpi doang). Mungkin elo semua pada bertanya, 15
“Kalo nggak ada pemimpin yang menurut gue cocok, gimana?”. Jawaban gue sih make aja prinsip minus malum alias milih “yang terburuk di antara yang terburuk” (dari antara yang kamu nggak suka, milih aja yang paling dikit kekurangannya... gampang kan?!). Siapa tahu si cemewew yang elo pilih justru yang menang. Kenapa gue bela-belain elo harus tetep milih; ya... karena kalo elo nggak milih, hidup elo di Tanah Air kan tetep ditentuin sama yang menang apapun yang terjadi (emang elo mo tinggal di bulan?). So, gunakan hak milih elo dengan sebaik-baiknya sebagai bukti bahwa elo mo peduli ama nasib bangsa dan negara elo tercinta ini. Jangan juga ampe salah nyoblos (sia-sia waktu lo, udah antre lama, salah lagi!!!).
16