BEBERAPA FAKTOR PENGHAMBAT PELAKSANAAN KEPUTUSAN ARBITRASE ASING DI INDONESIA DEDI HARIANTO Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Dengan semakin terbukanya dunia usaha di Indonesia bagi masuknya investasi dari kalangan investor dalam negeri maupun investor asing, memberikan dampak yang cukup besar terhadap perkembangan lembaga arbitrase di Indonesia. hal ini berkaitan dengan semakin dirasakannya hambatan-hambatan dalam penggunaan lembaga peradilan umum sebagai tempat untuk menyelesaikan sengketa baik yang bersifat nasional maupun internasional, yang telah memberikan motivasi yang kuat kepada para pihak yang bersengketa-dalam kesempatan yang pertama-memilih cara lain selain peradilan umum (pengadilan negeri), untuk menyelesaikan sengketa mereka.1 Salah satu cara adalah memilih lembaga arbitrase yang diyakini memiliki beberapa keunggulan tersendiri. Dewasa ini, berbagai perjanjian dalam bidang perdagangan internasional, dapat dijumpai pasal-pasal yaang memuat klausula arbitrase sebagai cara memilih penyelesaian sengketa yang mungkin terjadi di kemudian hari, sebagai salah satu syarat perjanjian dalam perdagangan internasional. Juga akta kommpromis segera setelah sengketa benar-benar terjadi, sebagai akibat dari pelaksanaan perjanjian tersebut.2 Sekedar memberikan gambaran, betapa waktu yang dibutuhkan dalam prosedur gugatan melalui lembaga peradilan umum,dari proses pengajuan gugatan di pengadilan negeri sampai kepada memperoleh keputusan pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung, membutuhkan waktu lebih kurang lima tahun.3 Bahkan di Indonesia sekarang ini, menurut Prof. MR. Dr. Sudargo Gautama, bisa rata-rata berlangsung tidak kurang dari 8 sampai 9 tahun. Dapat dibayangkan berapa banyak biaya yang harus di keluarkan sebelum dapat diperoleh suatu putusan dengan kekuatan pasti (enforceable), artinya dapat dijalankaan melalui eksekusi.4 Oleh sebab itu, adalah hal yang penting untuk menggembangkan suatu lembaga penyelesaian sengketa di luar pengadilan formal, terutama untuk memenuhi kebutuhan para pelaku bisnis yang menuntut adanya penyelesaian sengketa yang dihadapinya dalam jangka waktu yang relatif cepat, sederhana dalam prosedur dan dengan biaya yaang relatif murah, serta kemampuan untuk menjaga kerahasiaan identitas para pihak. Untuk menjawab hal tersebut, Undang-undang No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, membuka kemungkinan adanya lembaga arbitrase sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 22 ayat (2) dan 22 ayat (3) UU No. 1/1967 sebagai berikut :
1
George W. Combe, International Business Disputes Resolution Involving East Action Companies, San Fransisco, California USA, 1993, hal. 5. 2 Syahmin A.K.,Arbitrase Internasional(kajian Hukum Perjanjian Internasional), Majalah Universitas Sriwijaya Vol. 33 No.1/1997, Lembaga Penelitian Universitas Sriwijaya, 1997, hal.45. 3 Zulkifli, Penerapan Klausula Arbitrase , Majalah Hukum dan Ilmu-Ilmu Sosial “Mahadi”, Tahun II/No. 2, Kelompok Studi Hukum dan Masyarakat, Medan, Nopember 1993, hal. 25. 4 Prof.MR.Dr. Sudargo Gautama, Undang-Undang Arbitrase Baru 1999, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hal. 3. ©2003 Digitized by USU digital library
1
Pasal 22 ayat (2) UU No. 1/1967 : “Jikalau di antara kedua belah pihak tercapai persetujuan mengenai jumlah, macam, dan cara pembayaran kompensasi tersebut, maka akan diadakan arbitrase yang keputusannya mengikat kedua belah pihak”. Pasal 22 ayat (3) UU No. 1/1967 : “Badan arbitrase terdiri atas tiga orang yaang dipilih oleh pemerintah dan pemilik modal masing-masing satu orang , dan orang ketiga sebagai ketuanya dipilih bersama-sama oleh pemerintah dan pemilik modal. Mengenai hal tersebut juga didukung oleh penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 14 tahun 1970 tentang Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang menyebutkan bahwa “penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui wasit tetap diperbolehkan.” Patut disyukuri bersama, bahwa akhir-akhir ini pemerintah mulai memperhatikan eksistensi lembaga arbitrase ini, yaitu dengan membuat Rancangan Undang-Undang Arbitrase yang diprakarsai oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) berkerjasama dengan Panitia Interdep yang dipimpin oleh Departemen Kehakiman bagian Perundang-undangan dan para praktisi hukum yang telah mempersiapkan suatu naskah akademik mengenai arbitrase ini, yang hasilnya ditetapkan menjadi Undang-Undang No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Pada saat undang-undang ini mulai berlaku, maka beberapa ketentuan arbitrase yang tersebar dalam beberapa peraturan perundang-undangan yaitu Pasal 615 sampai Pasal 651 Reglemen Acara Perdata (Reglement Op de Rechtsvordering) Stb. 1847 : 52 dan Pasal 377 Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (Het Herziene Indonesisch Reglement) Stb. 1941 : 44 dan Pasal 705 Reglemen Acara Untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (Rechtsreglement Buitengewesten) Stb. 1927 : 227 tidak berlaku lagi. Di samping itu, Indonesia juga telah meratifikasi beberapa konvensi penting yang berkaitan dengan lembaga arbitrase, di antaranya pada tahun 1981 dengan Keputusan Presiden No. 34 tahun 1981, Indonesia telah meratifikasi “Convention On the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards” yang dikenal sebagai “The 1958 New York Convention”, yaitu sebuah konvensi mengenai Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan-putusan Arbitrase Asing. Kemudian, dengan Undang-undang No. 5 tahun 1958, Indonesia telah meratifikasi “Convention On the Settlement of Investment Disputes Between States and National of Other States” disingkat CSID yaitu sebuah konvensi tentang Penyelesaian Sengketa Investasi antara Warga Negara Asing dengan Negara yang disponsori oleh World Bank. Pada tanggal 3 Desember 1977, dibentuk Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) oleh Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN), maka telah tercipta lembaga yang secara khusus memberikan pemyelesaian secara adil dan cepat dalam sengketa perdagangan, industri, dan keuangan, baik yang bersifat nasional maupun internasional.5 Dengan telah tersedianya berbagai pengaturan mengenai lembaga arbitrase ini, menunjukkan bahwa lembaga arbitrase benar-benar hidup di kalangan pedagang
5
Gatot P. Soemartono, Pelaksanaan Putusan Arbitrase (Asing) di Indonesia serta Implikasinya, Buletin Ilmiah Universitas Tarumanegara , Tahun IX/No. 33, Jakarta, 1995, hal.. 71.
©2003 Digitized by USU digital library
2
maupun investor asing, terbukti pada berbagai perjanjian dalam bidang perdagangan internasional maupun perjanjian kerjasama (Joint Venture) yang melibatkan pihak asing dapat dijumpai pasal-pasal yang memuat klausula arbitrase , sebagai cara memilih penyelesaian sengketa yang mungkin akan terjadi di kemudian hari atau segera setelah sengketa benar-benar terjadi.6 Secara teoretis, lembaga arbitrase memang dapat memberikan banyak keuntungan, namun dalam prakteknya di lapangan masih banyak ditemukan kendala-kendala yang menimbulkan kesulitan bagi para pihak , yang menyebabkan lembaga ini kenyataannya kurang begitu populer di Indonesia, tetapi telah merupakan salah satu pilihan dalam menyelesaikan sengketa perdagangan internasional di negara-negara maju.7 Di dalam prakteknya, walaupun para pihak telah memuat klausula arbitrase dalam perjanjian/kontrak perdagangan internasional yang mereka buat, namun masih saja diketemukan para pihak yang mengajukan perkaranya di pengadilan formal, dan masih pula di temukan adanya pengadilan formal yang menerima gugatan dalam suatu perkara yang memuat klausula arbitrase.8 Hal yang menjadi permasalahan yang perlu mendapat perhatian dalam pengembangan lembaga arbitrase di Indonesia adalah berkaitan dengan pelaksanaan keputusan arbitrase luar negeri/asing , apakah putusan arbitrase asing tersebut dapat dilaksanakan di Indonesia ? Hal ini merupakan masalah yang sangat mendasar yang perlu mendapat perhatian dalam kaitannya dengan penyelesaian sengketa bisnis internasional dengan mempergunakan arbitrase asing. Karena berhasil tidaknya penyelesaian sengketa bisnis internasional dengan mempergunakan arbitrase asing berhubungan erat dengan dapat dilaksanakan atau tidaknya putusan arbitrase asing tersebut di negara pihak yang dikalahkan, karena pada umumnya di negara itulah terdapat harta atau asset dari pihak yang dikalahkan.9 Mengenai pelaksanaan putusan arbitrase asing ini di Indonesia, masih ditemukan berbagai kendala dalam praktek maupun pengaturannya. Bahkan dalam Undang-undang Arbitrase yang baru sekalipun. Suatu keputusan arbitrase dilaksanakan melalui mekanisme pengadilan, dalam hal pihak yang dikalahkan tidak mau melaksanakan putusan arbitrase tersebut secara sukarela, dan kewenangan bagi pengakuan pelaksanaan putusan arbitrase asing harus melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang akan melihat apakah keputusan arbitrase asing telah memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan serta tidak dilanggar kesusilaan dan ketertiban umum. Apabila salah satu pihak yang berpekara adalah menyangkut Negara Republik Indonesia, maka keputusan arbitrase asing hanya dapat dilaksanakan setelah mendapat eksekuatur dari Mahkamah Agung Republik Indonesia, yang selanjutnya dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dari ketentuan tersebut di atas, Prof. MR. Dr. Sudargo Gautama berpendapat bahwa fase pelaksanaan putusan arbitrase melalui pengadilan dapat menimbulkan kesulitan dalam praktek. Inilah yang akan ditakuti oleh para penanam modal dari luar negeri atau pihak-pihak kreditur luar negeri, karena disinilah tampak kelemahan sistem arbitrase di Indonesia.10
6
Syahmin AK., Penyelesaian Sengketa Internasional, Laporan dan Hasil Penelitian Pusat Penelitian Universitas Tarumanegara , 1995, hal. 3. 7 Syahmin AK., Arbitrase Internasional (Kajian Perjanjian Internasional), Op.Cit., hal. 46. 8 Prof.MR.Dr. Sudargo Gautama, Aneka Hukum Arbitrase (Kearah Hukum Arbitrase Indonesia Yang Baru), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal. 15. 9 Gatot P. Sumartono, Op.Cit. hal. 73. 10 Prof.Mr.Dr. Sudargo Gautama, Undang-Undang Arbitrase Baru 1999, Op.Cit., hal. 131 ©2003 Digitized by USU digital library
3
Pendapat Prof MR.Dr. Sudargo Gautama tersebut di atas kemungkinan disebabkan praktek pelaksanaan putusan pengadilan yang sangat mengecewakan, seringkali berbulan-bulan atau bertahun-tahun tidak ada pelaksanaannya atau konsepsi ketertiban umum sendiri yang masih belum jelas. Pendapat senada juga diungkapkan oleh Erman Rajagukguk , SH. LLM. Phd. dengan menyatakan bahwa tujuan arbitrase sebagai alternatif penyelesaian sengketa akan sia-sia jika pengadilan masih bersedia memeriksa sengketa yang sejak semula disepakati untuk diselesaikan melalui arbitrase. Namun pengadilan berperan besar dalam pengembangan arbitrase, manakala proses arbitrase perlu mendapat campur tangan pengadilan, demi memperlancar proses arbitrase itu sendiri.11 Dalam kaitan dengan hal tersebut, maka akan dibahas lebih lanjut berbagai faktor penghambat yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan arbitrase asing di Indonesia , serta sejauh mana keputusan lembaga arbitrase tersebut dapat dilaksanakan di Indonesia yang dikaitkan dengan penafsiran terhadap “lembaga Ketertiban Umum”. 2. Permasalahan Alternatif pemanfaatan lembaga arbitrase sebagai upaya penyelesaian sengketa perdagangan/kerjasama internasional di samping lembaga peradilan formal patut didukung, karena sudah menjadi hal yang umum bahwa seorang pelaku bisnis membutuhkan penyelesaian sengketa yang dihadapinya secara cepat, sederhana, dengan biaya yang relatif murah, dan dapat menjaga kerahasiaan identitas para pihak. Namun ada beberapa permasalahan yang perlu diperhatikan lebih lanjut mengenai lembaga arbitrase ini, terutama hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan arbitrase asing, yaitu : A. Bagaimanakah mekanisme pelaksanaan keputusan arbitrase asing di Indonesia, serta hambatan-hambatan yang dihadapi. B. Sejauhmanakah keputusan arbitrase tersebut dapat dilaksanakan di Indonesia. C. Bagaimanakah peranan pengadilan dalam pelaksanaan keputusan arbitrase tersebut BAB II PENGERTIAN DAN DASAR HUKUM ARBITRASE 1. Pengertian Arbitrase Istilah arbitrase berasal dari kata “Arbitrare” (bahasa Latin) yang berarti “kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu perkara menurut kebijaksanaan”. Dihubungkannya arbitrase dengan kebijaksanaan tersebut dapat menimbulkan kesan seolah-olah seorang arbiter atau majelis arbiter dalam menyelesaikan suatu sengketa tidak berdasarkan norma-norma hukum lagi dan menyandarkan pemutusan sengketa tersebut hanya kepada kebijaksanaan saja. Namun sebenarnya kesan tersebut keliru karena arbiter atau majelis arbiter tersebut juga menerapkan hukum seperti halnya yang dilakukan oleh hakim atau pengadilan. Arbitrase adalah penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang hakim atau para hakim yang bertujuan bahwa mereka akan tunduk kepada atau mentaati keputusan yang telah diberikan oleh hakim atau para hakim yang mereka pilih atau tunjuk tersebut.12 Selanjutnya Asikin Kusumah Atmaja, SH. menyatakan :
11
Erman Rajagukguk, SH. LLM. Phd., Arbitrase dan Putusan Pengadilan, Chandra Pratama, Jakarta, 2000, hal.14. 12 Prof. R. Subekti, SH.,Arbitrase Perdagangan, Bina Cipta, 1981, hal. 1. ©2003 Digitized by USU digital library
4
“Arbitrase merupakan suatu prosedur diluar pengadilan yang ditentukan berdasarkan suatu perjanjian , dimana para pihak dalam hal timbulnya sengketa mengenai pelaksanaan perjanjian tersebut menyetujui penyerahan penyelesaian sengketa tersebut pada wasit yang telah dipilih oleh para pihak itu sendiri.”13 Sedangkan Guru Besar Universitas Gajah Mada, Prof. Sudikno Merto Kusumo ,SH. mengatakan : “Arbitrase atau perwasitan adalah suatu prosedur penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang berdasarkan suatu persetujuan pihak-pihak yang bersangkutan diserahkan kepada seorang wasit atau lebih.14 Menurut Frank El Kaoury dan Edna El Kaoury dalam buku mereka “How Arbitration Works”, mengatakan : Arbitrase adalah “ suatu proses yang mudah atau simple yang dipilih oleh para pihak secara sukarela yang ingin perkaranya diputus oleh juru pisah yang netral sesuai dengan pilihan mereka, di mana keputusan mereka berdasarkan dalil-dalil dalam perkara tersebut.15 Prof. Sanwani Nasution, SH., Sulaiman Hamid, SH., dan Bachtiar Hamzah, SH., telah mengutip pendapat JL. Bierly yang menyatakan : “Arbitrase tersebut adalah satu proses hukum yang telah ditetapkan dan merupakan satu di antara cara penyelesaian sengketa secara damai.”16 2. Pengaturan Lembaga Arbitrase Berbicara mengenai pengaturan lembaga arbitrase di Indonesia, maka perlu untuk melihat Hukum Acara Perdata yang berlaku di Indonesia, dalam mana terdapat ketentuan-ketentuan prosedur arbitrase. Di beberapa negara lain masalah arbitrase tidak diatur dalam undang-undang hukum acara, melainkan dalam undang-undang arbitrase tersendiri. Misalnya di Inggris yang mempunyai Arbitration Act 1950 dan Swedia yang mempunyai Arbitration Act 1929. Pada saat ini peraturan Hukum Acara Perdata Indonesia masih berserakan di berbagai peraturan perundang-undangan, sebagian dimuat dalam Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) yang berlaku khusus untuk daerah Jawa dan Madura, dan sebagian lagi dimuat dalam Rechtreglement Buitengewesten (Rbg) yang berlaku untuk daerah selain Jawa dan Madura. Di Indonesia pengaturan masalah arbitrase termuat dalam Pasal 615 s/d 651 Reglement Op de Burgerlijk Rechtvordering (RV), Stb. 1847 No. 52 Jo. Stb. 1849 No. 63, yang berlaku untuk orang Eropah dan orang asing lainnya, dan yang kedua adalah HIR yang berlaku untuk penduduk Indonesia di Jawa dan Madura, serta RBG yang berlaku untuk penduduk Indonesia di daerah selain Jawa dan Madura. Sistem yang dualistis ini kemudian dihapuskan bersamaan dengan dihapuskannya Pengadilan Eropah pada masa Pemerintahan Jepang pada tahun 1942 . Sebagai akibatnya RV tidak berlaku lagi, sedangkan HIR masih efektif. HIR yang dirancang oleh Ketua Mahkamah Agung Militer pada tahun 1846 hanya dirancang untuk kasus-kasus hukum yang sifatnya masih sederhana dan tidak
13
Asikin Kusuma Atmaja, SH., Arbitrase Perdagangan Internasional, Prisma, 1973, hal. 55. Prof. DR. Sudikno Merto Kusumo, SH., Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yoyakarta, 1979, hal. 190. 15 M. Husseyn Umar, A. Supriyani Kardono, Hukum dan Lembaga Arbitrase di Indonesia, Proyek Pengembangan Hukum Ekonomi dan Penyempurnaan Sistem Pengadaan, 1995, hal. 2. 16 Prof. Sanwani Nasution, SH., Dkk., Arbitrase Dalam Hukum Internasional, Fakultas Hukum USU, Medan, hal 16. 14
©2003 Digitized by USU digital library
5
dirancang untuk mengatur transaksi-transaksi dagang yang rumit. Kasus-kasus hukum yang seperti pengabungan, penjaminan, rekes sipil, arbitrase seperti yang termuat dalam RV tidak terdapat dalam HIR. Apabila timbul sengketa-sengketa perdagangan , pengadilan di Indonesia dapat merujuk kepada ketentuan dalam RV sebagai pedoman, apabila HIR tidak mengatur mengenai suatu sengketa dagang tertentu, dan hal ini masih terus berlangsung sepanjang ketentuan-ketentuan dalam RV tidak bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Secara singkat sumber Hukum Arbitrase di Indonesia adalah sebagai berikut: A. Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 menentukan bahwa “semua peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini.” Demikian pula halnya dengan HIR yang diundang pada zaman Koloneal Hindia Belanda masih tetap berlaku, karena hingga saat ini belum diadakan pengantinya yang baru sesuai dengan Peraturan Peralihan UUD 1945 tersebut. B. Pasal 377 HIR Ketentuan mengenai arbitrase dalam HIR tercantum dalam Pasal 377 HIR atau Pasal 705 RBG yang menyatakan bahwa : “Jika orang Indonesia atau orang Timur Asing menghendaki perselisihan mereka diputus oleh juru pisah atau arbitrase maka mereka wajib memenuhi peraturan pengadilan yang berlaku bagi orang Eropah”.
C.
D.
E.
Sebagaimana dijelaskan di atas, peraturan pengadilan yang berlaku bagi Bangsa Eropah yang dimaksud Pasal 377 HIR ini adalah semua ketentuan tentang Acara Perdata yang diatur dalam RV. Pasal 615 s/d 651 RV Peraturan mengenai arbitrase dalam RV tercantum dalam Buku ke Tiga Bab Pertama Pasal 615 s/d 651 RV, yang meliputi : - Persetujuan arbitrase dan pengangkatan para arbiter (Pasal 615 s/d 623 RV) - Pemeriksaan di muka arbitrase (Pasal 631 s/d 674 RV) - Putusan Arbitrase (Pasal 631 s/d 674 RV) - Upaya-upaya terhadap putusan arbitrase (Pasal 641 s/d 674 RV) - Berakhirnya acara arbitrase (Pasal 648-651 RV) Penjelasan Pasal 3 ayat (1) UU No. 14 /1970 Setelah Indonesia merdeka, ketentuan yang tegas memuat pengaturan lembaga arbitrase dapat kita temukan dalam memori penjelasan Pasal 3 ayat (1) UU No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan “ Penyelesaian perkara diluar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui wasit atau arbitrase tetap diperbolehkan”. Pasal 80 UU NO. 14/1985 Satu-satunya undang-undang tentang Mahkamah Agung yang berlaku di Indonesia yaitu UU No. 14/1985, sama sekali tidak mengatur mengenai arbitrase. Ketentuan peralihan yang termuat dalam Pasal 80 UU No. 14/1985, menentukan bahwa semua peraturan pelaksana yang telah ada mengenai Mahkamah Agung, dinyatakan tetap berlaku sepanjang peraturan tersebut tidak bertentangan dengan Undang-Undang Mahkamah Agung ini. Dalam hal ini kita perlu merujuk kembali UU No. 1/1950 tentang Susunan Kekuasaan dan Jalan Pengadilan Mahkamah Agung Indonesia. UU No. 1/1950 menunjuk Mahkamah Agung sebagai pengadilan yang memutus dalam tingkat yang kedua atas putusan arbitrase mengenai sengketa yang melibatkan sejumlah uang lebih dari Rp. 25.000,- (Pasal 15 Jo. Pasal 108 UU No. 1/1950).
©2003 Digitized by USU digital library
6
F.
Pasal 22 ayat (2) dan (3) UU No. 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing Dalam hal ini Pasal 22 ayat (2) UU No. 1/1967 menyatakan: “Jikalau di antara kedua belah pihak tercapai persetujuan mengenai jumlah, macam,dan cara pembayaran kompensasi tersebut, maka akan diadakan arbitrase yang putusannya mengikat kedua belah pihak”. Pasal 22 ayat (3) UU No. 1/1967 : “Badan arbitrase terdiri atas tiga orang yang dipilih oleh pemerintah dan pemilik modal masing-masing satu orang, dan orang ketiga sebagai ketuanya dipilih bersama-sama oleh pemerintah dan pemilik modal”.
G. UU No. 5/1968 yaitu mengenai persetujuan atas “Konvensi Tentang Penyelesaian Perselisihan Antara Negara dan Warga Asing Mengenai Penanaman Modal” atau sebagai ratifikasi atas “International Convention On the Settlement of Investment Disputes Between States and Nationals of Other States”. Dengan undang-undang ini dinyatakan bahwa pemerintah mempunyai wewenang untuk memberikan persetujuan agar suatu perselisihan mengenai penanaman modal asing diputus oleh International Centre for the Settlement of Investment Disputes (ICSD) di Washington. H.
Kepres. No. 34/1981 Pemerintah Indonesia telah mengesahkan “Convention On the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards” disingkat New York Convention (1958), yaitu Konvensi Tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Luar Negeri, yang diadakan pada tanggal 10 Juni 1958 di Nww York, yang diprakarsai oleh PBB.
I.
Peraturan Mahkamah Agung No. 1/1990 Selanjutnya dengan disahkannya Konvensi New York dengan Kepres No. 34/1958 , oleh Mahkamah Agung di keluarkan PERMA No. 1/1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing, pada tanggal 1 maret 1990 yang berlaku sejak tanggal di keluarkan.
J.
UU No. 30/1999 Sebagai ketentuan yang terbaru yang mengatur lembaga arbitrase, maka pemerintah mengeluarkan UU No. 30/1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, pada tanggal 12 Agustus 1999 yang dimaksudkan untuk mengantikan peraturan mengenai lembaga arbitrase yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman dan kemajuan perdagangan internasional. Oleh karena itu ketentuan mengenai arbitrase sebagaimana dimaksud dalam Pasal 615 s/d 651 RV, Pasal 377 HIR, dan Pasal 705 RBG, dinyatakan tidak berlaku lagi. Dengan demikian ketentuan hukum acara dari lembaga arbitrase saat ini telah mempergunakan ketentuan yang terdapat dalam UU NO. 30/1999.
3. Macam-Macam Lembaga Arbitrase Memperhatikan lembaga arbitrase yang berkembang di dalam praktek, maka akan di temukan dua bentuk atau jenis lembaga arbitrase yang biasanya dipakai dalam penyelesaian sengketa, yaitu : 1. Lembaga Arbitrase Institusional Yaitu arbitrase yang terkoordinir oleh suatu lembaga, keberadaanya diprakarsai oleh suatu kamar dagang.
©2003 Digitized by USU digital library
pada
umumnya
7
Indonesia juga mengenal bentuk lembaga arbitrase institusional ini, yaitu dengan dibentuknya Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) pada tanggal 3 Desember 1977 yang diprakarsai oleh Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia, yang bertujuan untuk dapat menyelesaikan perselisihan dengan adil dan cepat atas persengketaan yang timbul di bidang Perdata mengenai soal-soal perdagangan, industri, dan keuangan, baik yang bersifat nasional maupun internasional.17 Selain itu, juga terdapat Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) yang didirikan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tanggal 21 Oktober 1993, bertujuan sebagai badan permanen yang berfungsi untuk menyelesaikan kemungkinan terjadinya sengketa muamalat yang timbul dalam hubungan perdagangan, industri, keuangan, jasa dan lain-lain di kalangan Umat Islam. BAMUI lebih erat kaitannya dengan Koperasi Muamalat, Bank Perkreditan Rakyat (BPR), serta asuransi yang berdasarkan Syariat Islam.18 Badan arbitrase institusional yang berskala internasional seperti The ICC International Court of Arbitration yang berkedudukan di Paris, Nederlands Instituut yang berkedudukan di Rotterdam, The Japan Commercial Arbitration yang berkedudukan di Tokyo, The London Court of InternationalArbitration yang berkedudukan di London, Regional Centre of Arbitration yang berkedudukan di Kuala Lumpur, ASEAN-African Legal Consultative Commitee (AALCC) yang berkedudukan di New Delhi.19 2. Lembaga Arbitrase Ad Hoc Yaitu lembaga arbitrase yang tidak permanen atau disebut juga Arbitrase Volunter. Badan arbitrase ad hoc ini bersifat temporer karena dibentuk khusus untuk menyelesaikan perselisihan tertentu, sesuai dengan kebutuhan pada saat itu, apabila telah menyelesaikan tugasnya maka badan arbitrase ini bubar dengan sendirinya.20 BAB III PELAKSANAAN KEPUTUSAN ARBITRASE ASING DI INDONESIA 1. Mekanisme Pelaksanaan Keputusan Arbitrase Asing Pada umumnya, suatu negara yang berdaulat tidak terikat untuk mengakui keputusan yang telah dijatuhkan oleh lembaga arbitrase/peradilan asing. Oleh karena suatu keputusan yang telah dijatuhkan lembaga arbitrase/peradilan asing mengandung perintah yang jika perlu dapat dijalankan secara paksa terhadap seseorang, yang juga merupakan penjelmaan dari kekuasaan tertinggi (kedaulatan) suatu negara. Oleh karena itu, jika perintah tersebut dijalankan di wilayah negara lain, hal ini merupakan pelanggaran terhadap kedaulatan negara tersebut.21 Prinsip tersebut pada mulanya juga diterapkan dalam sistem hukum nasional, dalam hal pengakuan dan pelaksanaan keputusan arbitrase asing. Seperti yang dapat terlihat pengaturannya dalam Pasal 456 RV yang secara garis besarnya
17
Prof. R. Subekti, SH., Op.Cit., hal. 32. Abstract Teaching Material Arbitrase, Program Pencangkokan Hukum Ekonomi, Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan ELIPS Project, 1995, hal. 13. 19 Cut Memi, Pilihan Arbitrase Dalam Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal Asing Di Indonesia., Buletin Ilmiah Tarumanegara Th. 10/No. 35/ 1996, Jakarta, hal.62-63. 20 Abstract Teaching Meterial Arbitrase, Loc.Cit. 21 Prof. R. Subekti, SH., Kumpulan karangan Hukum Perikatan Arbitrase dan Peradilan, Penerbit Alumni, Bandung, 1992, hal. 6) 18
©2003 Digitized by USU digital library
8
mengatur bahwa keputusan lembaga peradilan asing tidak mempunyai kekuatan eksekutorial, sehingga tidak dapat dilaksanakan dengan diberi perintah pelaksanaan oleh Hakim Indonesia seperti halnya keputusan pengadilan Indonesia sendiri. Keputusan lembaga peradilan/arbitrase asing dianggap hanya mempunyai kekuatan sebagaimana pembuktian akta otentik. Oleh karena itu perkara tersebut harus diulangi pemeriksaannya di muka pengadilan yang berwenang di Indonesia. Tentunya apabila sistem hukum di Indonesia sulit untuk menerima keputusan lembaga arbitrase/peradilan asing maka akan tercipta iklim yang tidak mendukung pengembangan penanaman modal asing di Indonesia karena para investor memperoleh persepsi bahwa sistem hukum di Indonesia terlalu bertele-tele dan akan banyak membuang waktu, dana, dan fikiran. Hal inilah yang kemudian diupayakan untuk diperbaiki oleh Pemerintah Indonesia, dengan meratifikasi “Convention On the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award” (Konvensi New York 1958) dalam Kepres No. 34/1981, serta pada tanggal 28 September 1968 Indonesia telah meratifikasi “Convention On the Settlement of Investment Disputes Between States and National of Other States” yang disponsori oleh Bank Dunia dalam UU No. 5/1968. Dengan diratifikasinya beberapa konvensi tersebut, maka keputusan yang diambil oleh lembaga peradilan/arbitrase asing dapat dilaksanakan di Indonesia tanpa diharuskan lagi untuk mengadakan pemeriksaan ulang atas perkara tersebut. Dalam lampiran Kepres. No. 34/1981 tentang pengesahan “ Konvensi New York 1958” dinyatakan beberapa hal sebagai berikut : A. Pemerintah Republik Indonesia akan melaksanakan konvensi atas dasar resiprositas (timbal balik). B. Pengakuan dan pelaksanaan keputusan arbitrase luar negeri hanya diberikan pada putusan-putusan arbitrase yang dibuat di wilayah negara peserta lain (yang ikut menjadi perserta konvensi). C. Konvensi hanya akan diterapkan atas sengketa-sengketa yang timbul dari hubungan-hubungan hukum yang lahir, baik secara kontraktual atau tidak yang dianggap sebagai komersial menurut Hukum Indonesia. Selanjutnya, dengan disahkannya konvensi New York dengan Kepres No. 34/1981 (LN. tahun 1981 No. 40), oleh Mahkamah Agung di keluarkan Peraturan Mahkamah Agung No. 1/1990 tentang Tata cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing, pada tanggal 1 Maret 1990 yang berlaku sejak tanggal ditetapkan. Dalam Perma. tersebut, yang dimaksudkan dengan keputusan Arbitrase asing adalah putusan yang dijatuhkan oleh suatu badan arbitrase ataupun arbitrartor perorangan di luar wilayah Republik Indonesia, atau putusan suatu badan arbitrase atau arbitrator perorangan yang menurut ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap sebagai keputusan arbitrase asing yang berkekuatan hukum tetap sesuai dengan Kepres 34/1981, sedangkan yang diberi wewenang untuk menangani masalah-masalah yang berhubungan pengakuan serta pelaksanaan putusan arbitrase asing adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.22 Demikian pula dalam UU Arbitrase yang berlaku sekarang ini (UU No. 30/1999), banyak ketentuan yang terdapat dalam Konvensi New York 1958 dimasukkan ke dalam UU Arbitrase tersebut, yang pada dasarnya memberikan pengakuan serta kemudahan pelaksanaan bagi setiap keputusan arbitrase asing.23 Pengakuan dan pelaksanaan keputusan arbitrase asing yang diatur dalam UU Arbitrase No. 30/1999, menganut asas Reciprocitas sebagai kelanjutan Kepres. No. 34/1981 (ratifikasi Konvensi New York 1958), dinyatakan bahwa :
22
Gatot P. Sumartono, Op.Cit., hal. 74. Prof.MR.Dr. Sudargo Gautama, Aneka Hukum Arbitrase (Ke arah Hukum Arbitrase Indonesia yang Baru), Op.Cit., hal.2.
23
©2003 Digitized by USU digital library
9
“untuk pengakuan dan pelaksanaan keputusan arbitrase dimaksud, maka negara di mana lembaga arbitrase tersebut telah menjatuhkan putusannya diharuskan pula untuk telah meratifikasi Konvensi New York 1958 dimaksud atau paling tidak jika negara yang bersangkutan dan Republik Indonesia telah membuat perjanjian secara bilateral”.24 Agar keputusan arbitrase asing mendapat pengakuan dan dapat dilaksanakan di wilayah Indonesia, maka harus terlebih dahulu putusan tersebut diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan menyampaikan putusan asli atau salinan sah dari perjanjian arbitrase. Jika putusan atau perjanjian arbitrase tidak tertuang dalam bahasa Indonesia, maka harus disediakan terjemahan yang sah dari perjanjian arbitrase. Selain itu diperlukan keterangan dari Perwakilan Diplomatik Republik Indonesia di negara tempat putusan arbitrase asing tersebut ditetapkan, yang menyatakan bahwa negara pemohon terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral dengan Negara Republik Indonesia perihal pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing. Dalam hal putusan arbitrase asing tersebut menyangkut negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihak dalam sengketa, hanya dapat dilaksanakan setelah memperoleh eksekuator dari Mahkamah Agung Republik Indonesia, yang selanjutnya dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Hal inilah yang membedakan UU Arbitrase No. 30/1999 dengan Perma. No.1/1990 yang menetapkan pengiriman berkas permohonan untuk memperoleh eksekuatur kepada Mahkamah Agung yang kemudian baru dilimpahkan kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Sedangkan dalam UU Arbitrase No. 30/1999, berkas permohonan utnuk memperoleh eksekuatur diperoleh dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat bukan dari Mahkamah Agung seperti Perma No. 1/1990, kecuali apabila salah satu pihak yang terlibat adalah Negara Republik Indonesia. Dalam hal ini pengadilan tidak dapat memeriksa kembali pokok perkara serta alasan-alasan yang dipergunakan bagi keputusan arbitrase tersebut. Keputusan arbitrase asing dapat ditolak pengakuan serta pelaksanaannya di Indonesia jika pihak yang menolak mengajukan bukti-bukti penolakan dan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berpendapat bahwa : a. Pokok sengketa tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase menurut undangundang ini b. Negara tempat putusan ini dibuat tidak terikat secara bilateral atau bersamasama bergabung dengan Indonesia dalam Konvensi Internasional c. Putusan tidak dalam ruang lingkup Hukum Dagang menurut undang-undang Republik Indonesia d. Pengakuan atau pelaksanaan putusan tersebut secara langsung akan bertentangan dengan ketertiban umum Negara Republik Indonesia. Upaya hukum terhadap keputusan arbitrase yang ditolak eksekusinya dapat dilakukan dengan mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung yang akan menangani dan memeriksa serta mempertimbangkan permohonan kasasi tersebut secepatnya dan tidak melampaui 90 hari sejak permohonan tersebut disampaikan kepada Mahkamah Agung, Perlu pula ditambahkan bahwa dalam hal pengadilan menerima permohonan eksekusi keputusan eksekusi arbitrase/peradilan asing maka tertutup kemungkinan para pihak untuk melakukan banding atau kasasi atas keputusan tersebut. Baik
24
Ibid., hal.87
©2003 Digitized by USU digital library
10
Mahkamah Agung maupun pengadilan banding yang lain tidak boleh menangani atau mempertimbangkan permohonan banding atas keputusan tersebut. Dalam hal eksekusi terhadap keputusan arbitrase asing tersebut berada diluar jangkauan yuridiksi Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, maka untuk memudahkan pelaksanaannya dapat dimintakan bantuan Pengadilan Negeri yang di dalam wilayah hukumnya/kewenangan yuridiksinya akan dilaksanakan keputusan lembaga arbitrase asing tersebut. Apabila melihat berbagai kemudahan yang diberikan pemerintah dalam melaksanakan keputusan arbitrase asing sebagai tindak lanjut dari pengakuan yang telah diberikan, maka tinggal bergantung kepada kemauan dan kesungguhan dari para pihak saja untuk memanfaatkan lembaga arbitrase ini, sehingga setiap perselisihan yang terjadi di antara para pihak dalam perdagangan internasional maupun perjanjian kerjasama penanaman modal asing dapat diselesaikan dengan cepat, adil, serta dengan biaya yang relatif murah. 2. Hambatan-Hambatan Dalam Pelaksanaan Keputusan Arbitrase Asing Apabila ditelusuri keseluruhan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam UU Arbitrase No. 30/1999 maupun PERMA. No. 1/1990, dan beberapa ketentuan yang memuat ratifikasi konvensi pengakuan dan pelaksanaan keputusan arbitrase asing, nampaknya pemerintah bersungguh-sungguh untuk memberikan kesempatan bagi para pihak yang bersengketa guna melaksanakan keputusan arbitrase asing yang eksekusinya akan dilaksanakan di Indonesia. Namun ketentuan yang baik tersebut belum tentu dapat direalisasikan secara sempurna dalam praktek, sehubungan dengan adanya beberapa permasalahan yang berkaitan dengan kondisi hukum di Indonesia maupun persyaratan-persyaratan tertentu yang harus dipenuhi oleh negara di mana keputusan tersebut ditetapkan. Salah satu hambatan dalam pelaksaan keputusan arbitrase asing yang pernah dikemukakan oleh Prof. MR. Dr. Sudargo Gautama dan juga dibenarkan oleh Erman Rajagukguk, SH. LLM. Phd., adalah adanya peranan lembaga peradilan formal yang masih sangat dominan, di mana eksekusi keputusan lembaga arbitrase asing harus melalui pengadilan negeri.25 Eksekusi keputusan lembaga arbitrase asing yang harus melalui pengadilan negeri sering kali menjadi suatu masalah yang menakutkan bagi pihak pemenang, karena di sini akan mulai ditemukan lagi kesulitan dari pengajuan perkara melalui saluran pengadilan negeri. Di mana untuk memulai eksekusi harus dimulai dengan dilakukanya peneguran, dan setelah 8 hari peneguran ini seharusnya ditindak lanjuti dengan sitaan dan kemudian lelang di hadapan kantor lelang setempat dari aset pihak yang dikalahkan. Tetapi, di sini timbul kemungkinan untuk masuknya berbagai pihak, baik pihak yang harus melaksanakan eksekusi maupun pihak ketiga yang mempunyai kepentingan dan dapat menyanggah segala sesuatu yang telah didasarkan atas putusan eksekusi ini. Misalnya, barang-barang yang telah disita dan hendak dilelang tersebut bukan barang-barang dari pihak yang dieksekusi, atau sitaan yang telah dilakukan dalam rangka eksekusi ini adalah keliru, dan diletakkan atas barang-barang yang tidak ada hubungannya dengan si pemilik. Jadi, ada bermacam-macam keberatan yang bisa diajukan dari berbagai pihak untuk memperlambat dilaksanakanya eksekusi terhadap pihak yang kalah ini.26 Kemudian, timbul kekhawatiran bahwa pengadilan negeri yang tersebar di seluruh Indonesia masih belum cakap untuk melaksanakan putusan arbitrase luar
25 26
Prof.MR. DR. Sudargo Gautama, Undang-Undang Arbitrase Baru 1999, Op.Cit., hal. 130. Ibid, hal.131.
©2003 Digitized by USU digital library
11
negeri ini, yang akan dapat menimbulkan kesulitan dalam pelaksanaan eksekusinya.27 Selain itu, suatu keputusan arbitrase asing dapat diakui dan dilaksanakan di wilayah Republik Indonesia apabila memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal 66 UU No. 30/1999, yaitu : A. Putusan arbitrase internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase di suatu negara yang dengan negara Indonesia terikat kepada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional. B. Putusan arbitrase internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a, terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup perdagangan. C. Putusan arbitrase internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a, hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum. D. Putusan arbitrase internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. E. Putusan arbitrase internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a, yang menyangkut Negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihak dalam sengketa hanya dapat dilaksanakan setelah memperoleh eksekuatur dari Mahkamah Agung Republik Indonesia yang selanjutnya dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dari beberapa persyaratan tersebut di atas, maka persyaratan yang terdapat dalam point a, mengharuskan negara tempat keputusan arbitrase asing tersebut ditetapkan telah menandatangani perjanjian bilateral dengan Negara Republik Indonesia tentang pengakuan dan pelaksanaan keputusan arbitrase asing, atau telah turut pula meratifikasi konvensi yang berkaitan dengan pengakuan dan pelaksanaan keputusan arbitrase asing, misalnya Konvensi New York 1958 di mana Indonesia telah meratifikasinya dengan Kepres 34/1981. Persyaratan point a ini sangat dipengaruhi oleh adanya “Asas Timbal balik” yang dikenal dalam Hukum Internasional, di mana tindakan-tindakan yang dilakukan suatu negara terhadap negara lain akan memperoleh balasan yang serupa dari negara lain secara bertimbal balik. Oleh karena itu, apabila Indonesia mengakui dan melaksanakan keputusan yang dijatuhkan oleh lembaga arbitrase asing di suatu negara, maka Indonesia juga mengharapkan keputusan yang dijatuhkan lembaga arbitrase Indonesia akan memperoleh pengakuan dan dapat dilaksanakan di negara asing yang bersangkutan. Sehingga bagi negara-negara yang belum membuat perjanjian bilateral dengan Indonesia atau belum meratifikasi konvensi-konvensi yang berkenaan dengan pelaksanaan dan pengakuan keputusan arbitrase asing, maka permohonan pelaksanaan keputusan arbitrase asing yang dijatuhkan di negara tersebut akan ditolak pelaksanaannya di Indonesia. Persyaratan yang tercantum dalam point c menetapkan keputusan lembaga arbitrase asing yang bersangkutan tidak boleh bertentangan dengan Ketertiban Umum, sedangkan penafsiran tentang hal-hal apa saja yang dapat dijadikan sebagai alasan perbuatan yang bertentangan dengan ketertiban umum mengalami perbedaan di setiap negara tergantung kepada falsafah bangsa, sistem politik, dan pemerintahan, serta kepribadian suatu bangsa. Prof.MR.Dr. Sudargo Gautama, mengartikan ketertiban umum ini sebagai halhal yang merupakan sendi-sendi asasi dari suatu masyarakat. dalam hal ini 27
Ibid., hal. 132.
©2003 Digitized by USU digital library
12
masyarakat Indonesia, yang demikian penting secara ekonomi dan sosial hingga tidak dapat digantikan dengan pemakaian hukum asing.28 Untuk melihat hal-hal apa saja yang dapat dianggap bertentangan dengan ketertiban umum dalam kaitannya dengan pengakuan dan pelaksanaan keputusan arbitrase asing, dapat kita simpulkan beberapa pemikiran dari Erman Rajagukguk SH. LLM. Phd., yaitu : A. Adalah bertentangan dengan ketertiban umum, jika salah satu pihak tidak diberikan kesempatan untuk didengar dengan cukup sebelum keputusan diambil. Namun apabila pihak yang bersangkutan sudah dipanggil, namun menolak untuk mengambil bagian atau tidak aktif dalam arbitrase, keadaan ini tidak dapat dianggap bertentangan dengan ketertiban umum.29 B. Karena keputusan arbitrase tidak memuat alasan-alasan , maka pelaksanaannya akan bertentangan dengan ketertiban umum. Di beberapa negara, misalnya Italia, undang-undang arbitrase setempat mengharuskan keputusan arbitrase memuat alasan-alasan yang menjadi dasar keputusan tersebut. Namun perlu diketahui, tidak semua negara mengharuskan dicantumkannya alasan-alasan yang menjadi dasar keputusan arbitrase, misalnya di beberapa negara “Common Law” 30 C. Alasan selanjutnya yang dipergunakan sebagai hal yang bertentangan dengan ketertiban umum ialah apabila pengambilan keputusan arbitrase tersebut melanggar prosedur dari arbitrase yang bersangkutan, misalnya apabila keputusan tersebut harus dikuatkan oleh pengadilan setempat.31 D. Ketertiban umum juga dikaitkan dengan apakah perjanjian dibuat dengan paksaan atau tidak.32 Begitu banyaknya penafsiran yang dapat diberikan oleh pengadilan terhadap lembaga ketertiban umum ini, sehingga dapat diibaratkan sebagai suatu kuda binal “unruly horse” yang bisa lari ke sana ke mari, terutama dalam kaitannya untuk menolak pemberlakuan keputusan lembaga ketertiban umum.33 3. Peranan Pengadilan Dalam Pelaksanaan Keputusan Arbitrase Asing UU No. 30/1999, telah mencantumkan peranan pengadilan di Indonesia untuk memperkuat proses arbitrase sejak awal sampai kepada pelaksanaan keputusan arbitrase tersebut. Namun, dalam beberapa hal tertentu campur tangan pengadilan tersebut terhadap proses arbitrase dibatasi, misalnya : A. Pengadilan negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam undang-undang (Pasal 11 ayat(2)). B. Dalam hal penunjukan arbiter oleh para pihak atau Ketua Pengadilan Negeri, maka Hakim, Jaksa, Panitra, dan Pejabat Pengadilan lainnya tidak dapat ditunjuk atau diangkat sebagai arbiter (Pasal 12 ayat (2)). C. Ketua Pengadilan Negeri tidak memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase (Pasal 62 ayat (4)), Masih terdapat lagi beberapa ketentuan dalam UU Arbitrase yang membatasi campur tangan pengadilan terhadap proses arbitrase. Dalam pelaksanaan keputusan arbitrase asing, maka instansi yang berwenang adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang dianggap memiliki kemampuan untuk
28
Ibid., hal. 134. Erman Rajagukguk, SH. LLM. Phd, Op.Cit., hal. 79. 30 Ibid., hal.85 31 Ibid., hal. 86. 32 Ibid., hal. 87. 33 Prof. MR.Dr. Sudargo Gautama, “Undang-Undang Arbitrase Baru 1999” Op.Cit., hal. 130. 29
©2003 Digitized by USU digital library
13
memeriksa dan membantu pelaksanaan keputusan arbitrase asing, serta Mahkamah Agung dalam hal salah satu pihak yang berperkara adalah Negara Republik Indonesia yang pelaksanaan selanjutnya diserahkan kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pasal 66d, menyebutkan lebih lanjut bahwa putusan arbitrase asing dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan bagi putusan arbitrase internasional yang menyangkut Negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihak dalam sengketa hanya dapat dilaksanakan setelah memperoleh eksekuatur dari Mahkamah Agung Republik Indonesia yang selanjutnya dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (Pasal 66e). Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat akan memeriksa permohonan pelaksanaan eksekusi keputusan arbitrase asing yang bersangkutan, apakah telah memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan dalam UU Arbitrase, terutama berkaitan dengan keikut sertaan negara tempat keputusan arbitrase asing tersebut ditetapkan dalam meratifikasi konvensi-konvensi yang berkaitan, dan adanya perjanjian bilateral yang dibuat negara yang bersangkutan dengan Republik Indonesia. Selain itu, juga diperhatikan apakah keputusan lembaga arbitrase asing yang bersangkutan tidak melanggar ketertiban umum di Indonesia, kepatutan, dan kesusilaan. Jadi, dapat dilihat peranan yang sangat besar yang dijalankan oleh pengadilan dalam menyaring agar keputusan lembaga arbitrase asing tersebut jangan sampai menganggu ketertiban umum, kepatutan, dan kesusilaan, apalagi sampai merugikan kepentingan pembangunan nasional. Guna memperlancar pelaksanaan keputusan lembaga arbitrase asing yang telah memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atau Mahkamah Agung, maka pengadilan juga akan membantu dalam hal pelaksanaannya di lapangan dengan perantaraan alat-alatnya, seperti juru sita, panitera dan sebagainya. Sehingga pelaksanaan keputusan arbitrase asing dimaksud dapat berlangsung dengan lancar dan cepat. Oleh karena itu, apabila pelaksanan keputusan arbitrase asing dimaksud berada di luar wilayah yuridiksi Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ( dilaksanakan di daerah), maka pelaksanaan selanjutnya dapat dilimpahkan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang secara relatif berwenang melaksanakannya .
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan Setelah membahas berbagai permasalahan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan arbitrase asing, maka sampailah kepada pengajuan kesimpulan yang merupakan intisari dari keseluruhan pembahasan karya tulis ini, yaitu : A. Pada saat ini, Indonesia telah membuka diri untuk memberikan pengakuan dan pelaksanaan terhadap keputusan arbitrase asing, yang ditandai dengan telah diratifikasinya beberapa konvensi internasional yang berkaitan dengan pengakuan dan pelaksanaan keputusan arbitrase asing. Dalam mekanisme pelaksanaan keputusan arbitrase asing tersebut di Indonesia, harus melalui institusi pengadilan negeri/Mahkamah Agung yang akan memberikan eksekuatur dan membantu pelaksanaan keputusan arbitrase asing tersebut. B. Masih dominannya keterlibatan pengadilan negeri dalam pelaksanaan keputusan arbitrase asing, dirasakan oleh para pihak yang terlibat (terutama pihak asing) ©2003 Digitized by USU digital library
14
sebagai faktor yang cukup memberatkan, karena dapat menimbulkan masalah pelaksanaan keputusan arbitrase asing tersebut dapat memakan waktu yang cukup lama. Selain itu, kekurang cakapan aparat pengadilan negeri di daerah, dapat menjadi penghambat pelaksanaan keputusan arbitrase asing tersebut di daerah. C. Konsep ketertiban umum yang tidak jelas penafsirannya, serta dapat dikaitkan dengan kepentingan politik dari negara yang bersangkutan, dapat menjadi penyebab keputusan arbitrase asing tersebut tidak dapat dilaksanakan. D. Peranan pengadilan negeri/Mahkamah Agung dalam pengakuan dan pelaksanaan keputusan arbitrase asing, berkaitan dengan upaya untuk menganalisa apakah keputusan lembaga arbitrase asing tersebut tidak melanggar ketertiban umum, kepatutan, dan kesusilaan di Indonesia. Selain itu pengadilan negeri juga berperan untuk membantu kelancaran pelaksanaan keputusan arbitrase asing di Indonesia, melalui perantaraan alat-alatnya. 2. Saran A. Dengan masih sangat dominannya campur tangan pengadilan negeri dalam pelaksanaan keputusan arbitrase asing, maka hendaknya pengadilan negeri dapat meningkatkan pelayanannya dalam pelaksanaan keputusan arbitrase asing dalam bentuk percepatan eksekusi keputusan dan meningkatkan sumber daya manusia di daerah. B. Walaupun lembaga ketertiban umum dapat dijadikan sebagai dasar untuk menolak pelaksanaan keputusan arbitrase asing, tetapi hendaknya di dalam praktek lembaga ketertiban umum jangan terlalu sering dipergunakan, karena hal ini dapat memberikan citra yang tidak baik terhadap penegakan hukum di Indonesia pada umumnya,dan pengaturan arbitrase pada khususnya.
DAFTAR PUSTAKA 1.
A.K.
Syahmin, Arbitrase Internasional (Kajian Hukum Perjanjian Internasional), Majalah Universitas Sriwijaya, Vol. 33/No. 1/1997, Lembaga Penelitian Universitas Sriwijaya, 1997. 2. A.K. Syahmin, Penyelesaian Sengketa Internasional, Laporan dan Hasil Penelitian Pusat Penelitian Universitas Tarumanegara, 1995. 3. Abstract Teaching Material Arbitrase, Program Pencangkokan Hukum Ekonomi, Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan ELIPS Project, 1995. 4. Atmaja, Asikin Kesuma, SH., Arbitrase Perdagangan Internasional, Prisma, 1973. 5. Combe, George W., International Business Disputes Resolution Involving East Action Companies, San Fransisco California, USA, 1993. 6. Gautama, Sudargo, Prof. MR. Dr., Undang-Undang Arbitrase Baru 1999, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999. 7. Gautama, Sudargo., Prof. MR. Dr., Aneka Hukum Arbitrase (Ke arah Hukum Arbitrase Indonesia Baru), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996. 8. Kusumo, Sudikno Merto, Prof. DR. SH., Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1979. 9. Memi, Cut., Pilihan Arbitrase Dalam Penyelesaian Sengketa penanaman Modal Asing di Indonesia, Buletin Ilmiah Tarumanegara Th. 10/No. 35/1996. 10. Nasution, Sanwani, SH., Dkk., Arbitrase Dalam Hukum Internasional, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan. ©2003 Digitized by USU digital library
15
11. Rajagukguk, Erman., SH., LLM., Phd., Arbitrase Dan Putusan Pengadilan, Chandra Pratama, Jakarta, 2000. 12. Soemartono, Gatot. P., Pelaksanaan Keputusan Arbitrase (Asing) di Indonesia Serta Implikasinya, Buletin Ilmiah Universitas Tarumanegara, Thn. IX/No. 33, Jakarta, 1995. 13. Subekti, R., Prof., SH., Arbitrase Perdagangan, Bina Cipta, Jakarta,1981. 14. Subekti, R., Prof. SH., Kumpulan Karangan Hukum Perikatan Arbitrase dan peradilan, Penerbit Alumni, Bandung, 1992. 15. Umar, M. Husseyn, Kardono, A. Supriyani, Hukum Dan Lembaga Arbitrase di Indonesia, Proyek Pengembangan Hukum Ekonomi dan Penyempurnaan Sistem Pengadaan, Jakarta, 1995. 16. Zulkifli, Penerapan Klausula Arbitrase, Majalah Hukum dan Ilmu-Ilmu Sosial “Mahadi“, Thn. II/No. 2, Kelompok Studi Hukum dan Masyarakat, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 1993.
©2003 Digitized by USU digital library
16