GANTI RUGI DALAM PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN (Studi Kasus Pencemaran Sungai Belumai) DEDI HARIANTO Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Permasalahan Sebagai Negara Kepulauan (Archipelago State), Indonesia dikaruniai oleh Tuhan Yang Maha Esa suatu limpahan nikmat yang luar biasa banyaknya, yaitu limpahan kekayaan alam yang tersimpan di bumi Indonesia, baik berupa keanekaragaman flora dan fauna, aneka bahan tambang, yang merupakan modal potensial bagi terselengaranya pembangunan nasional. Dalam Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945, jelas dinyatakan keinginan negara untuk memanfaatkan sumber daya alam yang potensial tersebut bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat, yaitu : “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Dengan demikian, ketentuan tersebut memberikan “Hak Penguasaan” kepada negara atas seluruh sumber daya alam Indonesia dan memberikan kewajiban kepada negara untuk mempergunakan bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat.1 Dari ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa : Pertama : Sumber daya alam harus dimanfaatkan secara bijaksana agar dapat memberikan manfaat secara berkesinambungan dari generasi ke generasi. Kedua : Pemanfaatan sumber daya alam harus dilakukan dengan tetap melestarikan kemampuan lingkungan hidup sehingga generasi mendatang tetap mempunyai pilihan pengunaan bagi upaya peningkatan kesejahteraan dan mutu hidupnya. Ketiga : Generasi sekarang memikul kewajiban terhadap generasi mendatang , bahwa generasi mendatang akan tetap mempunyai sumber dan penunjang hidup yang sejahtera dengan mutu yang setinggi-tingginya.2 Menyadari tentang arti pentingnya pengelolaan/pemanfaatan sumber daya alam dengan tetap memperhatikan dampak yang timbul terhadap kelestarian lingkungan hidup bagi kepentingan generasi yang akan datang, serta sesuai dengan hasil kesepakatan yang dituangkan dalam “Deklarasi Stockholm 1972”, yang memberikan pengarahan secara jelas terhadap penanganan masalah lingkungan hidup, termasuk di dalamnya pengaturan melalui perundang-undangan, maka disusunlah arah, kebijaksanaan dan langkah-langkah dalam penyelengaraan pembangunan yang memuat pula arah dan kebijaksanaan pengelolaan lingkungan hidup, yang dimulai dari GBHN 1973-1978 dan Repelita II (1974-1979), GBHN 19781983 dan Repelita III (1979-1984), GBHN 1983-1988 dan Repelita IV (1984-1989), serta GBHN 1988-1993 dan Repelita V (1989-1994).
1
Syamsil Arifin, SH., MH., M. Hamdan, SH. MH., Sanksi Pidana Terhadap Badan Hukum Pencemar Lingkungan, USU Press, Medan, 1996, hal. 79. 2 Ibid. ©2003 Digitized by USU digital library
1
Tepat sepuluh tahun setelah berlangsungnya Konperensi Lingkungan Hidup Sedunia (UNCHE, United Nations Conference on The Human Enviroment ) 1972 di Stockholm. Indonesia telah berhasil merumuskan satu produk peraturan perundangundangan penting di bidang lingkungan hidup. Undang-undang tersebut adalah UU No. 4 tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang dapat dijadikan sebagai pedoman kebijakan yang memadukan antara derap laju pembangunan dengan lingkungan hidup, sekaligus sebagai sumber inspirasi ke arah penciptaan kehidupan manusia Indonesia yang harmonis dan langgeng.3 Sejalan dengan semakin meningkatnya kesadaran dan kehidupan masyarakat yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup, serta perkembangan lingkungan global dan perangkat Hukum Internasional yang berkaitan dengan lingkungan hidup. Maka UU No. 4 tahun 1982 tentang Undang-Undang Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) perlu disempurnakan lebih lanjut untuk mencapai pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup, maka di undangkanlah UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, dengan Lembaran Negara tahun 1997 No. 68 dan Tambahan Lembaran Negara No. 3699, sekaligus dengan menyatakan tidak berlaku lagi UU No. 4 tahun 1982 tersebut. Dengan memperhatikan berbagai produk peraturan perundang-undangan yang merupakan realisasi kebijakan pemerintah dalam menyelenggarakan pembangunan yang berwawasan lingkungan, maka diusahakan agar dapat diwujudkan keselarasan antara gerak laju pembangunan nasional dengan kepentingan menjaga kelestarian lingkungan hidup di Indonesia, serta memecahkan berbagai permasalahan yang berkaitan dengan lingkungan hidup. Sungguhpun banyak peraturan yang di keluarkan oleh pemerintah sehubungan dengan pengelolaan lingkungan hidup. Namun apabila peraturan tersebut diuji dengan peristiwa hukum yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, terutama dari praktek hukumnya seolah-olah peraturan hukum tersebut belum dapat dijadikan sebagai sarana untuk menyelesaikan berbagai permasalahan. Sehingga upaya penegakan hukum masih dirasakan kurang keefektifan dan fungsi hukum untuk perubahan-perubahan yang dikehendaki oleh pemerintah selaku pelopor pembangunan. Walaupun secara teori, undang-undang harus mencerminkan cita hukum yang mencakup tiga unsur yaitu, keadilan, kegunaan, dan kepastian hukum.4 Tetapi, sebagaimana umumnya negara-negara yang sedang berkembang, Indonesia juga tidak terlepas dari berbagai permasalahan yang berkaitan dengan pencemaran lingkungan. Apalagi bila dikaitkan dengan upaya pemerintah untuk memanfaatkan segala potensi sumber daya alam yang berkaitan bagi usaha pembiayaan pembangunan. Tidak jarang hal ini akan menimbulkan eksploitasi besarbesaran tanpa memperhatikan dampak yang ditimbulkan terhadap lingkungan. Keterbelakangan, kemiskinan, dana yang terbatas, serta ketertinggalan teknologi, merupakan masalah berat yang dihadapi negara-negara yang sedang berkembang yang dapat menyebabkan timbulnya pencemaran lingkungan. Malahan untuk Indonesia merupakan salah satu penyebab utama terjadinya pencemaran tersebut.5
3
N.H.T. Siahaan, SH., Ekologi Pembangunan Dan Hukum Tata Lingkungan, Penerbit Erlangga, Jakarta, 1986, hal. 69. 4 Syamsul Arifin, SH. MH., Pencemaran Sungai Belumai Antara Harapan Dan Kenyataan Yuridis, Makalah, Fakultas Hukum USU, Medan, Hal. 2. 5 Franz Umar, Industrialisasi dan Pencemaran Lingkungan, Bagian dari beberapa tulisan dari buku “Sebuah Permasalahan Didalam Lingkungan, Editor IR. Antariksa Sudikno, Penerbit Liberty, Yogyakarta, 1988, Hal. 21. ©2003 Digitized by USU digital library
2
Sebagai perumpamaan dapat kita lihat industrialisasi yang dikembangkan di Indonesia, yang sebenarnya diharapkan dapat memerangi keterbelakangan dan kemiskinan yang menyebabkan pencemaran lingkungan tersebut. Tetapi kenyataan yang terjadi sekarang justru sebaliknya, kegiatan industri yang dilakukan secara serampangan menyebabkan perusakan lingkungan dan dilain pihak industri-industri menghasilkan gas-gas, debu-debu, dan sampah buangan yang mencemari lingkungan. Keterbatasan dana dan ketergantungan teknologi serta krisis moneter yang masih terus mendera Indonesia, memaksa kegiatan industri melakukan efesiensi dalam produksi dengan meniadakan Unit Pengolahan Limbah (UPL) dan membuang limbah yang dihasilkan langsung ke lingkungan sehingga dapat mencemari lingkungan serta menganggu kesehatan penduduk yang ada disekitarnya. Memang, teknologi yang ramah lingkungan masih dirasakan sebagai suatu kemewahan bagi negara-negara yang sedang berkembang, dan akan semakin sulit untuk dijangkau dengan kondisi perekonomian dunia yang masih tidak menentu saat ini. Disisi lain, semakin ketatnya negara-negara maju dalam menetapkan berbagai persyaratan yang berkaitan dengan lingkungan, memaksa para investor asing yang di negaranya sendiri mengalami kesulitan-kesulitan karena adanya peraturan-peraturan yang ketat guna berpartisipasi dalam menjaga kelestarian lingkungan, untuk memindahkan/mengembangkan pabrik-pabrik mereka ke negaranegara yang sedang berkembang, karena disini mereka dapat menikmati berbagai fasilitas istimewa serta tidak perlu pusing-pusing, apakah teknologi yang mereka bawa tersebut akan menyebabkan pencemaran lingkungan . Kalau di negaranya sendiri mereka harus memasang alat penangkap debu yang mahal, agar debu yang keluar dari cerobong asapnya tidak melebihi batas yang ditetapkan, disini mereka dapat dengan aman membuang debu maupun sisa-sisa proses pabrik dengan biaya yang semurah-murahnya. Banyak contoh-contoh yang dapat dikemukakan untuk mengambarkan terjadinya pencemaran/perusakan lingkungan oleh berbagai aktifitas manusia, antara lain : - Asap tebal di Costa Rica Mexico pada awal abad ke 20 - Niigata atau Kumamoto atau penyakit Minimata di Jepang pada tahun 1973 - Pencemaran Kali Brantas oleh hasil buangan pabrik bumbu masak Miwon di Driyorejo, tanggal 2 Juli 1975 yang telah menyebabkan kerugian bagi kota Surabaya dan hampir saja mencemari fasilitas penyaringan air minum. - Pencemaran air sumur penduduk oleh air limbah PT. Henkei yang berlokasi di Cimangis (jalan Jakarta-Bogor) dan sebagainya.6 Berbagai peristiwa pencemaran/perusakan lingkungan tersebut telah mengugah kesadaran masyarakat akan pentingnya lingkungan hidup yang sehat dan bersih, yang diwujudkan dengan berbagai aksi protes dengan dukugan berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat pencinta lingkungan, agar para pengusaha yang bergerak di bidang industri, peternakan, pertanian, dan bidang-bidang lain yang rawan akan pencemaran/perusakan lingkungan, mau menyisihkan sebagian dananya untuk kepentingan penyelamatan lingkungan. Selain itu dapat kita temukan berbagai gugatan yang diajukan masyarakat ke Pengadilan untuk menuntut haknya atas ganti kerugian yang disebabkan pencemaran lingkungan, serta meminta para pengusaha yang bersangkutan agar menutup kegiatan usahanya yang telah menyebabkan pencemaran/perusakan
6
Drs. JPN. Saragih dan S. Sitorus, BA. Bsc., Bunga Rampai Ligkungan Hidup, Penerbit Usaha Nasional, Surabaya, Hal. 88.
©2003 Digitized by USU digital library
3
lingkungan. Tetapi dari realita yang terjadi dilapangan hanya sebagian kecil saja dari gugatan tersebut yang dapat dikabulkan, disebabkan oleh beberapa hal. Untuk Sumatera Utara, kita akan menemukan suatu kasus yang cukup menarik untuk dibahas berkaitan dengan kasus pencemaran Sungai Belumai pada tahun 1987 oleh berbagai pabrik yang berdiri ditepiannya serta membuang limbah yang dihasilkan ke Sungai Belumai, yang berakibat air sungai berubah menjadi kuning kehitam-hitaman, berlendir, dan berbau amis sehingga meresahkan masyarakat yang bermukim di sepanjang daerah aliran sungai tersebut.7 UU No. 4 tahun 1982 tentang UUPPLH dalam Pasal 20,21, maupun dalam UU No. 23 tahun 1997 tentang UUPLH dalam Pasal 34, 35 telah membuka kemungkinan bagi para korban pencemaran/perusakan lingkungan untuk menuntut pengantian kerugian sebagai akibat pencemaran/perusakan lingkungan yang terjadi. Namun dalam praktek masih ditemukan berbagai kendala dalam pengajuan tuntutan ganti kerugian tersebut, seperti halnya kontroversi Keputusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam yang menolak gugatan 263 orang petani dan buruh kecil terhadap PT Sari Morawa, yang telah dituduh sebagai pelaku pencemaran Sungai Belumai. Hal inilah yang mengugah penulis untuk membahas kasus pencemaran Sungai Belumai tersebut dalam kerangka penegakan hukum lingkungan. Karena kenyataan yang ada di lapangan masih saja ditemukan para pelaku pencemaran/perusakan lingkungan yang terlepas dari jeratan hukum atau dikenakan hukuman yang sangat ringan, walaupun tindakannya jelas-jelas telah menimbulkan pencemaran/perusakan lingkungan dan telah merugikan masyarakat. Tentunya, apabila hal ini dibiarkan berlarut-larut akan menimbulkan dampak yang sangat merugikan bagi kelestarian lingkungan dan tidak tertutup kemungkinan dapat menimbulkan jatuhnya korban di tengah-tengah masyarakat. 2. Permasalahan Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, bahwa pemerintah telah banyak mengeluarkan berbagai peraturan yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup, yang diharapkan dapat menyelesaikan berbagai permasalahan yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Tetapi, apabila diuji keefektifannya dengan peristiwa hukum dalam hal ini pencemaran lingkungan, ternyata peraturan tersebut belum dapat diandalkan untuk menyelesaikan masalah, terutama dari segi keadilan, kegunaan, dan kepastian hukumnya. Dengan bergulirnya masalah pencemaran Sungai Belumai ke pengadilan, yang diakhiri dengan keputusan pengadilan untuk menolak gugatan tersebut, hal ini menjadi semacam suatu bukti masih kurang efektifnya pengaturan dan penegakan Hukum Lingkungan oleh aparat penegak hukum. Walaupun kasus Pencemaran Sungai Belumai ini diselesaikan dalam lingkup UU No. 4 tahun 1982, tetapi masih menarik untuk dikaji dalam kaitannya dengan peraturan perundang-undangan yang ada, terutama dalam hal ketentuan yang berkaitan dengan tuntutan ganti kerugian oleh korban pencemaran/perusakan lingkungan yang masih menemukan hambatan dalam beberapa hal . Dengan berlakunya UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup mengenai hal tersebut telah mengalami beberapa penyempurnaan sesuai dengan perkembangan kesadaran hukum masyarakat terhadap lingkungan yang semakin tinggi dan perkembangan hukum lingkungan global. Untuk itulah dalam karya tulis ini akan dibahas beberapa permasalahan sebagai berikut :
7
Tanah Air, No.2/tahun XVII/1997, Majalah Terbitan WALHI, Jakarta, 1997, hal. 26-27.
©2003 Digitized by USU digital library
4
A. B. C.
Bagaimanakah pengaturan ketentuan ganti kerugian terhadap pencemaran/perusakan lingkungan di Indonesia. Bagaimanakah mekanisme yang dapat ditempuh dalam upaya penyelesaian sengketa lingkungan, yang dikaitkan dengan penyelesaian Kasus Pencemaran Sungai Belumai. Kendala-kendala apakah yang masih ditemukan dalam upaya pengajuan tuntutan ganti kerugian terhadap pencemaran lingkungan yang juga dikaitkan dengan penyelesaian Kasus Pencemaran Sungai Belumai.
BAB II DASAR HUKUM DAN MEKANISME GUGATAN PENCEMARAN DAN KERUSAKAN LINGKUNGAN 1. Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Untuk terjadinya sengketa lingkungan, dalam UU No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dilihat sebagai akibat in concreto dari keberadaan pencemaran dan perusakan lingkungan. Tanpa adanya pencemaran/perusakan lingkungan maka tidak terjadi sengketa lingkungan. Sengketa lingkungan lahir dari adanya pencemaran/perusakan lingkungan. 1.1. Pencemaran Lingkungan Menurut J. Barros dan J.M. Johnston, masalah pencemaran lingkungan timbul bilamana sesuatu zat atau energi dengan tingkat konsentrasi yang sedemikian rupa sehingga dapat mengubah kondisi lingkungan, baik langsung maupun tidak langsung dan pada akhirnya lingkungan tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya.8 Mengenai makna pencemaran lingkungan, Pasal 1 angka 12 UUPLH merumuskan : “Pencemaran Lingkungan Hidup adalah masuknya mahluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia, sehingga kualitasnya turun sampai ketingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya”. Pada umumnya timbulnya pencemaran lingkungan dapat terjadi oleh berbagai aktifitas manusia, misalnya : a. Kegiatan-kegiatan industri Dalam bentuk limbah, zat-zat buangan berbahaya seperti logam-logam berat, zat radio aktif, air buangan panas (thermal water waste ), juga dalam bentuk kepulan asap (smog) kebisingan (polusi suara) dan lain-lain. b. Kegiatan pertambangan Berupa terjadinya kerusakan instalasi, kebocoran, pencemaran buanganbuangan pertambangan, pencemaran udara, dan rusaknya lahan bekas pertambangan. c. Kegiatan Transportal Berupa kepulan asap, naiknya suhu udara kota, kebisingan dari kenderaan bermotor, tumpahan bahan bakar, terutama minyak bumi dari kapal tangker dan lain-lain. d. Kegiatan Pertanian Terutama dari akibat residu pemakaian zat-zat kimia dalam memberantas binatang-binatang, tumbuh-tumbuhan penganggu, misalnya insektisida,
8
Harun M. Husein, Lingkungan Hidup Masalah Pengelolaan dan Penegakan Hukumnya, Bumi Aksara, Jakarta, 1993, hal. 23.
©2003 Digitized by USU digital library
5
pestisida, herbisida, atau fungisida, demikian pula pemakaian pupuk anorganik, dan lain-lain.9 Dampak dari pencemaran lingkungan ini bukan hanya sebatas lingkungan hidup tidak berfungsi sesuai dengan peruntukannya, tetapi juga terlihat dari dampaknya terhadap kesehatan masyarakat, misalnya pencemaran udara oleh asap kenderaan bermotor dapat menyebabkan penurunan daya intelegensia bayi. 1.2. Perusakan Lingkungan Pasal 1 angka 14 UUPLH mendefenisikan perusakan lingkungan yaitu: “Perusakan lingkungan adalah tindakan yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan/atau hayatinya yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan.” Perusakan lingkungan ini di Indonesia cukup tinggi intensitasnya. Hal ini dapat dilihat dalam bentuk perusakan hutan yang ditimbulkan oleh tindakantindakan perambahan hutan, perladangan berpindah, pertambangan-pertambangan liar, pengeboman ikan, perburuan binatang liar yang dilindungi dan sebagainya. Dengan uraian tersebut di atas, maka terlihat bahwa pengertian pencemaran/perusakan lingkungan mengandung kepastian elementasi karakteristik tertentu untuk menentukan bahwa pencemaran/perusakan lingkungan itu sebagai pencemaran/perusakan lingkungan yang menyebabkan terjadinya sengketa lingkungan. Elemen-elemen pencemaran/perusakan lingkungan tersebut dapat dipaparkan sebagai berikut : 10 PENCEMARAN LINGKUNGAN PERUSAKAN LINGKUNGAN * Masuk atau dimasukkannya mahluk * Tindakan yang menimbulkan hidup, zat, energi, dan/atau perubahan terhadap sifat fisik komponen lain ke dalam dan/atau hayati lingkungan lingkungan * Oleh kegiatan manusia * Secara langsung atau tidak langsung * Kualitas lingkungan turun ke * Lingkungan tidak dapat berfungsi lagi tingkat tertentu dalam menunjang pembangunan berkelanjutan * Lingkungan tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya. 2. Dasar Hukum Gugatan Lingkungan Dalam penegakan hukum lingkungan, telah diatur segala bentuk pelanggaran maupun kejahatan bagi pelaku, baik yang dilakukan oleh perorangan maupun suatu badan dengan upaya pencegahan (preventif) maupun penindakan (represif). Untuk tindakan represif ini, ada beberapa jenis instrumen yang dapat diterapkan, dan penerapannya tergantung dari keperluanya, sebagai pertimbangan antara lain melihat dampak yang ditimbulkannya. Jenis-jenis instrumen yang dimaksud meliputi : 11 1. Tindakan Administratif 2. Tindakan Perdata (proses perdata) 9
NHT. Siahaan, SH., Op.cit., hal. 21. Suparto Wijoyo, SH. MH., Penyelesaian Sengketa Lingkungan, Airlangga University Press, Surabaya, 1999, hal. 6. 11 P. Joko Subagyo, SH., Hukum Lingkungan Masalah dan Penanggulangannya , Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, 1999, hal. 81. 10
©2003 Digitized by USU digital library
6
3. Tindakan Pidana (proses pidana) Dari ketiga bentuk instrumen tersebut tidak terdapat skala prioritas, atau merupakan urutan pertama dan terakhir, sehingga apabila ada asumsi tindakan pidana merupakan hukuman terakhir dalam penerapannya, apabila tindakan lain tidak menyelesaikan masalahnya, maka hal ini tidak seluruhnya benar, bahkan tindakan pidana ini hanya menyelesaikan secara sepihak belum menjangkau pada pihak penderitanya, yaitu sekelompok orang yang terkena dampak tersebut dalam bentuk pemulihan kepada keadaan semula. Dalam kaitannya dengan topik pembahasan dalam karya tulis ini, maka tentunya kita akan lebih condong untuk membahasnya dari segi tindakan keperdataan yaitu untuk memperoleh ganti kerugian sesuai dengan kerugian yang diderita korban. Sistem Hukum Perdata Indonesia banyak diwarnai oleh sistem Common Law .Di dalam sistem ini dikenal bahwa suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum, yang karena salahnya menimbulkan kerugan pada pihak lain, akan mewajibkan kepada si pembuat kesalahan bertanggung jawab untuk menganti kerugian atas kerugian yang ditimbulkannya. Sistem yang demikian tercermin dalam KUH Perdata, di mana Pasal 1365 KUH Perdata menyatakan : “Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain mewajibkan kepada orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian tersebut untuk menganti kerugian tersebut “. Asas pertanggungjawaban yang didasarkan pada kesalahan, didasarkan kepada adagium bahwa tidak ada pertanggungjawaban apabila tidak terdapat unsur kesalahan (no liability without fault). Pertanggungjawaban demikian menurut Ilmu Hukum disebut dengan “Tortious Liability” atau disebut pula dengan “Liability Based on Fault”. 12 Dengan ketentuan tersebut, sulit bagi korban/pengugat untuk berhasil dalam gugatan lingkungan dan kemungkinan kalah besar sekali. Kesulitan utama yang dihadapi adalah untuk membuktikan unsur-unsur perbuatan malawan hukum (onrechtsmatigedaad) menurut Pasal 1365 KUH Perdata, yaitu : a. Perbuatan tersebut harus bersifat melawan hukum b. Terdapat kesalahan pada pelaku c. Adanya kerugian d. Terdapatnya hubungan kausalitas antara perbuatan dengan kerugian. Menurut Suparto Wijaya SH., MH., terdapat dua kesulitan primer yang dihadapi korban pencemaran/perusakan lingkungan sebagai pengugat yaitu : 13 Pertama : Membuktikan unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 1365 KUH Perdata terutama unsur kesalahan (schuld) dan unsur hubungan kausal. Kesulitan membuktikan kesalahan tergugat (pencemar/perusak lingkungan) dirasakan semakin berat bagi pengugat mengingat mahalnya biaya-biaya berpekara dalam hubungannya dengan kasus lingkungan. Kemudian sangat sulit bagi pengugat (korban pencemaran/perusakan lingkungan) untuk membuktikan hubungan kausal antara perbuatan pencemaran/perusakan lingkungan dengan kerugian yang diderita pengugat. Karena pengugat diharuskan untuk menerangkan dan membuktikan pencemaran/perusakan lingkungan secara ilmiah.
12
Syamsul Arifin, SH., MH., Perkembangan Hukum Lingkungan di Indonesia, USU Press, Medan, 1993, hal. 231. 13 Suparto Wijaya, SH., MH., Op.cit., hal. 24 - 27 ©2003 Digitized by USU digital library
7
Kedua
: Masalah beban pembuktian yang di dalam sistem KUH Perdata, pembuktian dibebankan kepada pihak yang dirugikan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1865 KUH Perdata yang menentukan bahwa, “Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai suatu hak, atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain, menunjukkan suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut”.
Sedangkan alat-alat bukti menurut Pasal 1866 KUH Perdata adalah : - Bukti tulisan - Bukti dengan saksi-saksi - Persangkaan - Pengakuan - Sumpah Padahal diperkirakan dalam kasus pencemaran/perusakan lingkungan, korban pada umumnya awam soal hukum, dan sering kali berada dalam posisi ekonomi lemah. Sungguh berat dan terasa tidak adil mewajibkan penderita yang memerlukan ganti kerugian justru dibebani dengan pembuktian kebenaran gugatanya. Dalam hukum lingkugan terdapat pemikiran tentang kemungkinan penerapan beban pembuktian terbalik terhadap sengketa lingkungan. Dengan beban pembuktian terbalik tergugat wajib membuktikan bahwa dia tidak dapat dipersalahkan atas kerugian yang terjadi. Kesalahan dianggap ada kecuali tergugat membuktikan sebaliknya. Selanjutnya sebagai dasar hukum dalam penyelesaian ganti rugi adalah Pasal 20 dan Pasal 21 UU No. 4 tahun 1982, sedangkan dalam UU No. 23 tahun 1997 tentang PLH diatur dalam Pasal 34 dan Pasal 35. Kedua pasal ini menentukan masing-masing : A. Dasar pertanggungjawaban yang bersifat biasa B. Dasar pertanggunjawaban bersifat khusus. 14 Ad.A. Dasar pertanggungjawaban yang bersifat biasa Mengenai pertanggungjawaban yang bersifat biasa ini dimuat pengaturannya dalam Pasal 20 UU No. 4/1982 tentang KPPLH dan Pasal 34 UU No.23/1997 tentang PLH. Dimana prinsip yang terkandung kurang lebih sama dengan yang terdapat dalam Pasal 1365 KUH Perdata, yaitu adanya “unsur kesalahan melanggar hak”. Hal ini dapat kita lihat dalam redaksi Pasal 20 UU No. 4/1982 , yaitu : “Barang siapa merusak atau mencemarkan lingkungan hidup, memikul tanggungjawab dengan kewajiban membayar ganti rugi kepada penderita yang telah dilanggar haknya atas lingkungan hidup yang baik dan sehat”. Sedangkan Pasal 34 UU No. 23/1997 menyatakan : (1) Setiap perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran da/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup mewajibkan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu. (2) Selain pembebanan untuk melakukan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hakim dapat menetapkan pembayaran uang paksa atas setiap hari keterlambatan penyelesaian tindakan tertentu tersebut.
14
NHT. Siahaan, SH., Op.cit., hal. 173
©2003 Digitized by USU digital library
8
Apabila di perbandingkan kedua rumusan pasal-pasal dari undang-undang yang berbeda tersebut, tampak dengan jelas bahwa rumusan yang termuat dalam Pasal 34 UU No. 23/1997, jauh lebih luas daripada yang diatur dalam Pasal 20 UU No.4/1982, yang tidak hanya sebatas memformulasikan ganti rugi tetapi juga melingkupi masalah tindakan tertentu dan uang paksa. Dalam Pasal 20 ayat (2) UU No. 4/1982 menyatakan bahwa “tata cara pengaduan oleh penderita, tata cara penelitian oleh tim tentang bentuk, jenis, dan besarnya kerugian, serta proses penuntutan ganti kerugian, diatur dengan UU”. Tetapi dari hal tersebut di atas, dalam praktek hukumnya menimbulkan permasalahan : a. Bagaimana tim dapat terbentuk apabila peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari pembentukan tim tersebut belum ada. b. Jika ditempuh upaya gugatan melalui pengadilan negeri, apakah dapat dipergunakan ketentuan pasal 1365 KUH Perdata.15 Dalam Pasal 20 ayat (2) dan dikaitkan dengan penjelasannya, diatur bahwa penyelesaian ganti rugi harus ditempuh melalui mekanisme suatu Tim, dan barulah apabila tidak tercapai kata sepakat dalam batas waktu tertentu melalui tim tersebut maka penyelesaiannya kemudian dapat ditempuh melalui pengadilan negeri. Namun, sayangnya sebagaimana telah diutarakan di atas peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tata cara pengaduan, tata cara penelitian, dan tata cara penentuan ganti kerugian belum pernah di keluarkan. Hal inilah yang kemudian menjadi polemik dikalangan penegak hukum, apakah pihak korban pencemaran/perusakan lingkungan dapat secara langsung mengajukan gugatan ganti kerugian kepengadilan umum tanpa melalui terlebih dahulu penelitian tim. Dalam hubungan ini terdapat pendapat sarjana yang menyatakan, bahwa upaya gugatan melalui Pasal 1365 KUH Perdata dapat diajukan oleh para pihak yang dirugikan atau pihak-pihak yang berkepentingan langsung sebagai akibat adanya hubungan hukum yang perlu dilindungi kepada pengadilan umum, yang unsurnya adalah adanya kesalahan dari tergugat. Pengertian dari Schuld tersebut sudah semakin luas sehingga bukan saja yang terjadi karena perbuatan yang disengaja, tetapi juga sebagai akibat dari perbuatan (atau bahkan hal yang tidak dilakukan), yang disebabkan karena kelalaiannya. Jadi, kelalaian saja sudah cukup, baik itu bersifat Culpa Lata atau Culpa Levis. Selain itu dalam Ayat (3) Pasal 20 UU No. 4/1982 ditentukan pula tanggung jawab kepada negara. Di mana setiap pihak yang melakukan pencemaran/perusakan lingkungan diwajibkan memikul tanggung jawab membayar biaya-biaya pemulihan lingkungan hidup kepada negara, terutama apabila pencemaran/perusakan tersebut menyangkut pula aset-aset yang merupakan milik umum/pemerintah seperti hutan, perairan laut, waduk, sungai dan sebagainya. Tentang tata cara penetapan dan pembayaran biaya pemulihan tersebut, menurut pasal 20 ayat (4) UU No. 4/1982 diatur dengan peraturan perundangundangan. Ad B. Dasar pertanggungjawaban bersifat khusus Dasar pertanggungjawaban bersifat khusus ini diperkenalkan oleh UU No. 4/1982 sebagai perkembangan baru dalam penegakan dan pengaturan hukum lingkungan yaitu “Asas Tanggung Jawab Mutlak (Strict Liability)” yang termuat dalam Pasal 21 UU No. 4/1982 yang bunyi lengkapnya sebagai berikut : “Dalam beberapa kegiatan yang menyangkut sumber daya tertentu, tanggung jawab timbul secara mutlak pada perusak dan atau pencemar pada saat 15
Syamsul Arifin, SH. MH., Op.cit., hal. 236.
©2003 Digitized by USU digital library
9
terjadinya perusakan dan atau pengaturannya di atur dalam bersangkutan”.
pencemaran lingkungan hidup peraturan perundang-undangan
yang yang
Unsur-unsur Pasal 21 UU No. 4/1982 ini adalah sebagai berikut : 16 1. Adanya suatu perbuatan 2. Timbulnya pencemaran atau perusakan lingkungan 3. Menyangkut sumber-sumber daya tertentu 4. Tanggung jawab timbul secara mutlak 5. Pada saat timbulnya perusakan atau pencemaran lingkungan 6. Berdasarkan peraturan perundang-undangan. Sedangkan dalam UU No. 23/1997, asas tanggung jawab mutlak (strict liability) dituangkan dalam Pasal 35, yang menentukan : (1) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang usaha atau kegiatannya menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun, dan/atau menghasilkan bahan berbahaya dan beracun, bertanggung jawab secara mutlak atas kerugian yang ditimbulkan, dengan kewajiban untuk membayar ganti rugi secara langsung dan seketika pada saat terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. (2) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dapat dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi sebagai mana dimaksud dalam ayat (1), jika yang bersangkutan dapat membuktikan bahwa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup disebabkan salah satu alasan di bawah ini : a. Adanya bencana alam atau peperangan b. Adanya keadaan terpaksa di luar kemampuan manusia atau c. Adanya tindakan pihak ketiga yang menyebabkan terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. (3) Dalam hal terjadinya kerugian yang disebabkan oleh pihak ke tiga sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf c, pihak ke tiga bertanggung jawab membayar ganti rugi. Berkaitan dengan asas tanggung jawab mutlak ini, beban pembuktian beralih dari pihak pengugat kepada pihak tergugat. Sistem hukum itu berangkat dari tuntutan perkembangan teknologi dan modernisasi. Berdasarkan sistem ini, si pelaku atau Polluter telah cukup untuk dinyatakan bertanggung jawab dalam peristiwa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan meskipun pada dirinya belum dinyatakan bersalah. Dalam asas Strict Liability kesalahan tidaklah menjadi penting untuk menyatakan sipelaku bertanggung jawab. Di sinilah berlaku asas “Res Ipso Loquiter” yaitu fakta sudah berbicara sendiri. 17 Dengan berlakunya asas tangung jawab mutlak ini merupakan sistem hukum yang sangat menguntungkan pihak korban, dalam rangka mengklaim pertanggungjawaban si pelaku. Hal ini memang sangat tepat sekali, karena dalam abad teknologi sekarang ini banyak masyarakat yang menjadi korban dampak pencemaran/perusakan lingkungan . Dengan di akomodasinya asas Strict liability sebagai sistem hukum yang baru hambatan-hambatan yang dihadapi pihak penderita dapat diterobos. Berdasarkan sistem ini, pembuktian tidak lagi di bebankan pada pihak yang mengklaim (korban yang dirugikan) sebagaimana selama
16 17
NHT. Siahaan, Op.cit., hal. 180 Ibid, hal. 180-181.
©2003 Digitized by USU digital library
10
ini dianut. Melainkan, kini beban pembuktian dibebankan kepada pihak pelaku perbuatan melanggar hukum (berlaku asas pembuktian terbalik). 18 Asas Strict Liability juga terkandung dalam beberapa peraturan di Indonesia, maupun dalam beberapa konvensi internasional, yaitu : UU No. 5/1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif UU No. 10/1997 tentang Ketenaganukliran Konvensi tentang Pencemaran Minyak, yaitu Convention on Civil Liability for Oil Pollutin Damage (CLC) yang diratifikasi berdasarkan Kepres. No. 18/1978.19 3. Mekanisme Penyelesaian Gugatan Pencemaran/Perusakan Lingkungan Secara umum, baik UU No.4/1982 maupun UU No. 23/1997 memberikan dua jalan dalam penyelesaian sengketa lingkungan, yaitu : A. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan B. Penyelesaian sengketa melalui pengadilan Dalam UU No. 4/1982 tentang KPPLH, ditentukan bahwa upaya penyelesaian sengketa lingkungan dapat ditempuh melalui dua cara. Pertama : Untuk menentukan dan menyelesaikan besarnya ganti rugi (kerugian ) tersebut, terlebih dahulu melalui tim yang terdiri dari pihak penderita atau kuasanya, pihak pencemar atau kuasanya, dan unsur pemerintah. Di sini ditempuh cara penyelesaian melalui musyawarah yang apabila tidak tercapai kata sepakat dalam batas waktu tertentu maka penyelesaiannya dilakukan melalui pengadilan negeri. Kedua : Upaya gugatan melalui pengadilan secara perdata. 20 Oleh karena peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pembuktian tim yang disebut pertama tidak pernah di keluarkan, maka timbullah pendapat yang berbeda dalam praktek pengadilan. Sebagian besar pengadilan berpendapat bahwa gugatan demikian secara prosedural belum dapat diajukan ke pengadilan negeri, selama belum ditempuh terlebih dahulu penyelesaiannya melalui mekanisme suatu tim, sehingga gugatan ke pengadilan negeri selalu akan kandas dan diputus dengan menyatakan tidak dapat diterima (NO atau Niet Ontvankelijkverklaard). Tetapi sebagian pengadilan lainnya menyatakan bahwa gugatan demikian tetap dapat diproses di pengadilan negeri melalui Pasal 1365 KUH Perdata, walaupun undang-undang tentang pembentukan tim belum dikeluarkan. Argumentasi mereka adalah bahwa ketentuan Pasal 20 dan 21 UU No. 4/1982 merupakan Lex Specialis di bidang lingkungan, sedangkan ketentuan yang terdapat Pasal 1365 KUH Perdata merupakan Lex Generalis di bidang gugatan ganti rugi karena perbuatan melanggar hukum. Apabila dan selama Lex Specialis belum belum dapat diterapkan, maka ketentuan Lex Generalis selalu dapat diterapkan. 21 Dalam UU No. 23/1997, juga dimuat dua jalur penyelesaian sengketa lingkungan, yaitu : A. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan. Sebagaimana diatur dalam pasal 31, 32, dan 33 UU No. 23/1997. Dalam hal ini dapat dipergunakan jasa baik pihak ke tiga, baik yang tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan maupun yang berwenang mengambil keputusan, atau dibentuk lembaga penyedia jasa pelayanan
18
Syamsul Arifin, SH. MH., Op.cit., hal. 238. Paulus Effendie Lotulung, Pengaturan Hukum Lingkungan Dalam UU No. 23/1997 Ditinjau Dari Aspek Hukum Perdata, Makalah yang disampaikan pada Seminar Nasional Kesiapan dan Sosialisasi UU No. 23/ 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Fakultas Hukum UNDIP, Semarang, 1998, hal. 7 20 Ibid. hal. 235 21 Paulus Effendi Lotulung, hal. 4-5 19
©2003 Digitized by USU digital library
11
penyelesaian sengketa lingkungan hidup yang bersifat bebas dan tidak berpihak oleh pemerintah da/atau masyarakat. Timbulnya pemikiran untuk menyelesaikan sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dilatar belakangi oleh sangat lambannya penanganan perkara oleh pengadilan yang dapat memakan waktu yang cukup lama.22 Kemudian dengan berkembangnya ADR (Alternative Disputes Resolution) yang telah banyak dipergunakan di negara-negara maju untuk menyelesaikan sengketa lingkungan dengan cepat. Dalam kepustakaan Hukum Lingkungan ADR mendeskripsikan berbagai bentuk mekanisme penyelesaian sengketa lingkungan, yaitu meliputi proses Negosiasi, Ligitasi, Mediasi, Konsolidasi, Pencarian Fakta, dan Arbitrase.23 B. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui pengadilan Sebagaimana diatur dalam Pasal 34-39 UU No. 23/1997. Mengajukan gugatan lingkungan ke pengadilan adalah tindakan yang bertujuan untuk memperoleh perlindungan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Pengajuan gugatan lingkungan dimaksudkan untuk mendapatkan putusan pengadilan atas suatu sengketa lingkungan yang terjadi. Berdasarkan Pasal 30 ayat (1) UU No. 23/1997, pihak korban pencemaran/perusakan lingkungan dapat menyelesaikan sengketa lingkungan hidup dengan suatu pilihan, apakah melalui pengadilan atau di luar pengadilan. Hukum positif tidak menghalangi jalur penyelesaian sengketa lingkungan mana yang terlebih dahulu di tempuh para pihak yang bersengketa. Dengan demikian, tidak berarti bahwa penyelesaian sengketa lingkungan melalui pengadilan baru boleh ditempuh setelah penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan dilakukan. Tetapi, boleh saja para pihak yang bersengketa mengajukan penyelesaian sengketa lingkungan langsung ke pengadilan, berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata. Disamping itu apabila para pihak yang bersengketa yang telah memilih jalur penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan, namun tidak mencapai kata sepakat, maka masih terbuka kemungkinan untuk berpekara di pengadilan.
BAB III GANTI RUGI DALAM PENYELESAIAN KASUS SUNGAI BELUMAI 1. Deskripsi Ringkas Kasus Pencemaran Sungai Belumai 24 Pada mulanya Sungai Belumai adalah merupakan urat nadi bagi kehidupan masyarakat yang ada di sekitarnya, yang dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, yaitu untuk air minum, memasak, air mandi, mencuci, dan sumber mata pencarian berupa menangkap ikan, seperti ikan Jurung, Gurami, Dondong, Ikan Emas, Udang, dan sebagainya. Sekitar tahun 1987, berdiri beberapa industri di Kecamatan Tanjung Morawa Kabupaten Deli Serdang, di antaranya :
22
Suparto Wijaya, SH. MH., Op.cit., hal.88 Ibid, hal. 95 24 Deskripsi pencemaran Sungai Belumai diperoleh dari hasil penelitian Alvi Syahrin, SH., MS“Penyidikan Tindak Pidana Lingkungan (Kasus Pencemaran Daerah Aliran Sungai Belumai Kabupaten Deli Serdang), Fakultas Hukum Universitas Sumatera Medan, 1999. Makalah Prof. Syamsul Arifin, SH. MH., Pencemaran Sungai Belumai Antara Harapan Dan Kenyataan Yuridis, Program Pascasarjana Ilmu Hukum, Universitas Sumatera Utara, Medan. Serta Majalah Tanah Air, No.2/Th.XVII/1997, WALHI, 1997. 23
©2003 Digitized by USU digital library
12
-
PT Native Prima Cenned Food Industry yang berlokasi di Jalam Batang Kuis Pasar VII Gg. Sentosa No. 54; PT. Gelangang Ria yang berlokasi di Jalan Pamah Dusun II, Desa Kelambir; PT. Sari Morawa yang berlokasi di Jalan Batang Kuis KM 5,3; PT. Irama Dinamika Latex yang berlokasi di Tanjung Morawa; PT. Jangkar Mas Textil yang berlokasi di Tanjung Morawa. Pabrik-pabrik tersebut membuang limbahnya ke Sungai Belumai Akan tetapi, sejak tahun 1992 masyarakat disekitar daerah aliran Sungai Belumai mengalami gangguan untuk memanfaatkan dan mempergunakan air Sungai Belumai, sebab secara tiba-tiba air Sungai Belumai yang tadinya bersih mendadak berubah menjadi kotor, berbau, keruh, dan warnanya berubah menjadi antara coklat, hitam kekuning-kuningan, berminyak, dan berlendir, dapat menimbulkan penyakit kulit (gatal-gatal), dan ikan-ikan yang biasanya terdapat di sungai banyak yang mati. Sejak tahun 1992, mulai timbul reaksi masyarakat maupun penguasa terhadap kondisi Sungai Belumai tersebut, hal ini dapat dilihat dari kronologis sebagai berikut : TANGGAL HAL YANG TERJADI 1 2 17 - 08 - 1992 Rakyat sekitar Sungai Belumai mengirim surat protes kepada Bupati dan DPRD Tingkat II Kabupaten Deli Serdang, atas terjadinya pencemaran Sungai Belumai yang disebabkan oleh beberapa perusahaan yang berlokasi disekitar Sungai Belumai. Surat yang diajukan masyarakat kurang mendapat tanggapan baik dari Bupati maupun anggota DPRD. 08 - 09 - 1992 Masyarakat dari Desa X-B dan Tumpatan Nibung berdelegasi ke DPRD tingkat II Deli Serdang. DPRD berjanji akan melakukan pengusutan. 19 - 09 - 1992 Masyarakat kembali berdelegasi ke DPRD Tingkat II Deli Serdang. 22 - 09 - 1992 Komisi C DPRD Tingkat II turun ke lokasi pencemaran, terutama ke 4 pabrik yaitu PT Sari Morawa, PT Native Prima, PT Gelangang Ria, dan PT Irama Dinamika Latex, dan menemukan pabrik-pabrik tersebut tidak memiliki UPL 29 - 09 - 1992 Bupati Deli Serdang dan Gubernur memerintahkan untuk mengambil sample limbah 06 - 10 - 1992 Tim Prokasih Sumatera Utara yang beranggotakan BKLH, BPPI, TKS, Dinas Ketertiban, Dinas Perekonomian, melakukan penyelidikan. Hasil penyelidikan akan dibawa ke laboratorium untuk di analisa. Berjanji akan berusaha untuk menetralisasi pencemaran yang terjadi 19 - 10 - 1992 Masyarakat kembali berdelegasi ke DPRD Tingkat II Deli Serdang, meminta agar pencemaran Sungai Belumai diselesaikan. - 11 - 1992 Tim dari DPRD Tingkat II Deli Serdang meninjau lokasi Pabrik untuk kedua kalinya. Ternyata tim menemukan ketidak seriusan pabrik untuk membuat UPL, dan tim tersebut memberi waktu tiga bulan kepada pengusaha untuk menyelesaikan UPL-nya. Desember 1992 Masyarakat terus berupaya berjuang agar masalah
©2003 Digitized by USU digital library
13
sampai Juli 1993 tercemarnya air Sungai Belumai dapat diselesaikan 11 - 07 - 1993
25 - 07 - 1993 29 - 07 - 1993
30 - 07 - 1993 20 - 08 - 1993 27 - 08 - 1993
09 - 11 - 1993
20 - 04 - 1994
22 - 07 - 1994
27 - 07 - 1994 02 - 08 - 1994
08 - 08 - 1994 26 - 10 - 1994
Masyarakat dan Mahasiswa melakukan ekspedisi di Sungai Belumai dan melintasi cerobong limbah yang dibuat pabrik, ada aparat yang mencoba untuk mengagalkan ekspedisi ini. Masyarakat mengirim surat ke DPR RI Masyarakat berunjuk rasa ke DPRD Sumatera Utara. Dicapai kesepakatan antara masyarakat dan DPRD Sumut. DPRD SUMUT bersedia sebagai penengah antara masyarakat dan pengusaha. Tim DPRD Sumut mengujungi PT Gelangang Ria, dan tim menemukan PT tersebut masih belum memiliki UPL Masyarakat kembali menagih janji DPRD Tk. II Deli Serdang dan DPRD TK. I Sumut. Diadakan pertemuan antara masyarakat dan pengusaha di DPRD Tk I Sumut. Masyarakat menuntut agar : - Air sungai Belumai kembali bersih; - Masyarakat berhak meninjau pabrik untuk melihat UPL - Pengusaha memberikan ganti rugi kepada masyarakat; - Adanya ketegasan hukum Pengusaha berjanji untuk membuat UPL Nopember 1993. Komisi A DPRD Tk. II Sumut didampingi oleh Dinas Perindustrian dan BKPMD melakukan peninjauan lapangan. Hasilnya ditemukan beberapa industri belum memiliki UPL, antara lain : PT Sari Morawa, dan PT Native Prima. DPRD Tk. I Sumut beserta wakil dari masyarakat Desa Tumpatan Nibung dan Desa Dalu X-B sebanyak 12 orang, melakukan peninjauan ke PT Native Prima. PT Native Prima pernah mengirim surat kepada Gubernur Sumut yang menyatakan PT Tersebut telah memiliki UPL. Ternyata pada peninjuan tersebut UPL PT Native Prima tidak ditemukan. Dilakukan penelusuran Sungai Belumai oleh wakil masyarakat. Dari penelusuran tersebut ditemukan adanya pembuangan limbah ke sungai melalui cerobong pembuangan limbah yang dibuat oleh perusahaan. Rakyat kembali berdelegasi ke kantor Gubernur agar Gubernur dapat menyelesaikan masalah pencemaran Sungai Belumai. Masyarakat mendatangi PT Sari Morawa karena telah membuang limbah sehingga air Sungai Belumai menjadi berwarna hitam. Kemarahan masyarakat terhadap PT Sari Morawa reda setelah aparat Pemda dan ABRI membujuk masyarakat agar tidak emosional. Aparat Pemda dan pengusaha berjanji akan menyelesaikannya sampai 22 September 1994 Pihak Muspika melakukan penyuluhan di Balai Desa. Materi penyuluhan menjaga kebersihan, kesehatan, dan menyelesaikan masalah pencemaran. Lima orang dari wakil masyarakat berdelegasi ke Kantor Gubernur , namun kedatangan mereka tidak mendapat sambutan, akhirnya mereka pulang tanpa hasil.
©2003 Digitized by USU digital library
14
30 - 03 - 1995 27 - 04 - 1995
13-14 Juli 1995 29 - 11 - 1995
07 - 12 - 1995
22 - 12 - 1995
29 - 12 - 1995 04 - 01 - 1996 09 - 01 - 1996
15 - 01 - 1996 18 - 01 - 1996 25 - 01 - 1996 15 - 02 - 1996 29 - 02 - 1996
08 - 04 - 1996
Tiga orang wakil masyarakat berdelegasi ke kantor Gubernur . Masyarakat diharapkan agar untuk bersabar, dan menyampaikan aspirasinya kepada Bupati. Empat perusahaan pencemar Sungai Belumai , yaitu PT Native Prima, PT Sari Morawa, PT Gelangang Ria, dan PT Irama Dinamika Latex, membuat penyataan dihadapan Wakil Gubernur, Kejati Lubuk Pakam, Bupati Kdh. Tk. I Lubuk Pakam, Aparat Kodam I Bukit Barisan yang pada pokoknya perusahaan akan mengoperasikan UPL-nya paling lambat 1 Mei 1995. Air Sungai Belumai kembali hitam kecoklatan, masyarakat marah dan merencanakan akan melakukan aksi , namun rencana itu tidak jadi dilaksanakan. Empat wakil masyarakat berdelegasi ke DPRD Tk I Sumut, untuk mempertanyakan kelanjutan penyelesaian pencemaran Sungai Belumai. Wakil masyarakat kecewa, karena anggota DPRD bukan memberikan penjelasan namun hanya mengulang-ulang pertanyaan yang dahulu telah dipertanyakan anggota dewan. Lima puluh lima mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Medan melakukan aksi diam di Kantor DPRD Tk. I Sumut, untuk mendukung perjuangan masyarakata Sungai Belumai. Masyarakat dua desa di sekitar Sungai Belumai menyerahkan kuasa kepada Tim Pembela Rakyat Sungai Belumai untuk mendaftarkan permohonan pra peradilan terhadap Kapolres Deli Serdang dan Kasat Serse Polres Deli Serdang. Bapedal Pusat mengumumkan PT Sari Morawa masuk peringkat hitam penyebab pencemaran Sungai Belumai. Masyarakat menghadiri sidang Pra peradilan Diadakan dengar pendapat oleh DPRD Tk. I Medan, dengan masyarakat dan pengusaha. Masyarakat tidak hadir karena DPRD Tk. I hanya membenarkan lima orang saja yang mewakilinya, sedangkan permintaan masyarakat sebanyak 10 orang, selanjutnya masyarakat juga melihat perusahaan hanya dihadiri oleh staffnya bukan para pimpinan. Putusan Sidang Pra peradilan. Permohonan masyarakat di tolak Masyarakat mengajukan banding atas putusan pengadilan Pengusaha berjanji kepada DPRD Tk. I Sumut, mereka akan membuat UPL paling lambat 21 April 1996 Gubernur Sumut mengirimkan surat kepada Perindustrian dan BKPMD, agar ijin usaha PT Gelangang Ria dan PT Sari Morawa di cabut. Bupati Deli Serdang mengirim surat kepada Kapolres Deli Serdang yang intinya mohon penyidikan kasus Pencemaran Sungai Belumai yang dilakukan PT Gelangang Ria dan PT Sari Morawa. Bupati Deli Serdang mencabut izin HO PT Sari Morawa Komisi X DPR RI yang dipimpin oleh M. Muaz , didampingi oleh Bupati melakukan peninjauan ke PT Sari morawa, dan
©2003 Digitized by USU digital library
15
30 - 04 - 1996 - 05 - 1996 30 - 07 - 1996 14 - 10 - 1996 15 - 10 - 1996 16 - 10 - 1996
17 - 10 - 1996
22 - 10 - 1996 23 - 10 - 1996 24 - 10 - 1996 29 - 10 - 1996 09 - 11 - 1996
12 - 12 - 1996
24 - 12 - 1996 18 - 03 - 1997
menemukan dua lubang yang tersembunyi yang dipergunakan untuk membuang limbah ke Sungai Belumai. Masyarakat sekitar Sungai Belumai melalui kuasanya yaitu Tim Pembela Rakyat Sungai Belumai mengajukan gugatan secara perdata kepada PT Sari Morawa, Pemerintah RI. DPRD Tk. I Sumut kembali melakukan peninjauan ke perusahaan-perusahaan. Gubernur Sumut dan MH Naderlands BV, membuat kerjasama untuk menanggulangi pencemaran Sungai Belumai. Dua warga sei Belumai yaitu Sri Rahayu dan Ali Effendi, didampingi aktifis WALHI dan KPS menemui Bapedal Pusat untuk mengadukan pencemaran air Sungai Belumai. Wakil masyarakat Sungai Belumai mengunjungi DEPDAGRI untuk mengadukan pencemaran Sungai Belumai yang dilakukan beberapa perusahaan Kedua wakil masyarakat Sungai Belumai di atas, dengan tidak putus asa kembali mengadukan nasib buruk mereka kepada Komisi X DPR RI akibat dari tercemarnya Sungai Belumai. Kedua wakil tersebut berkunjung ke Komnas HAM, mengadukan tentang penderitaan masyarakat sekitar Sungai Belumai akibat terjadinya pencemaran Sungai Belumai oleh beberapa perusahaan. Komnas HAM berjanji akan mengkoordinasi dengan instansi terkait. Staff Bapedal beserta dengan dua orang wakil masyarakat mengambil sampel air dan mengukur Ph air limbah dari perusahaan pencemar. Staff Bapedal ke PT Native Prima untuk mengambil sampel air dan memeriksa UPL-nya, namun hal ini dicegah/tidak diizinkan oleh Satpam perusahaan tersebut. Peninjauan ke PT Gelanggang Ria dan PT Irama Dinamika Latex Polda, Polres, Polsek, Depperindag, mengambil sampel air Sungai Belumai. Penyidikan pencemaran Sungai Belumai ditangani oleh Polda Sumut Masyarakat Sungai Belumai berdelegasi ke Ke Kantor Bupati Deli Serdang, mempertanyakan kelanjutan penyelesaian pencemaran Sungai Belumai, namun tidak bertemu dengan Bupati. Masyarakat hanya bertemu dengan Staff Biro Humas Enam orang yang mewakili dua desa, datang ke kantor Bupati untuk menemui Staff Humas Kantor Bupati Deli Serdang, guna audiensi antara pemerintah dan masyarakat, namun Staff Humas tersebut tidak hadir, dan akhirnya mereka bertemu dengan Biro Lingkungan Hidup Deli Serdang. Sidang lapangan perkara Perdata kasus Pencemaran Sungai Belumai, Ketua DPRD Sumut ikut hadir. Pengadilan Negeri Lubuk Pakam menolak gugatan Perdata pencemaran Sungai Belumai. Pertimbangan majelis hakim pada intinya : - Perusahaan telah memiliki UPL; - Alat bukti yang diajukan, penelitiannya tidak dilakukan
©2003 Digitized by USU digital library
16
Sampai saat ini
secara seksama, teliti, dan tidak dilakukan oleh yang berwenang; - Air belum tercemar,masih dapat dipergunakan sesuai dengan peruntukannya. Polda masih melakukan penyidikan terhadap pencemaran air Sungai Belumai.
Dari urutan peristiwa tersebut diatas, telah tampak usaha masyarakat untuk menyelesaikan kasus pencemaran Sungai Belumai dengan jalan musyawarah, dengan pihak penengah dari Gubernur Sumatera Utara, aparat Kantor Bupati Deli Serdang, Anggota DPRD Tk. I Sumatera Utara, Anggota DPRD Kabupaten Deli Serdang, serta Aparat Kepolisian Sumatera Utara, tetapi hasil kesepakatan yang telah diperoleh tidak ditindak lanjuti secara serius oleh kalangan pengusaha. Oleh sebab itu, 263 penduduk dari Dusun Kecamatan Batangkuis , Tanjung Morawa Kabupaten Deli Serdang melalui Kuasa Hukumnya mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Lubuk Pakam, pada tanggal 01 Mei 1996 dengan register perkara No. 24/Pdt.G/1996PN-LP, terhadap : 1. PT. Sari Morawa, yang beralamat di Jalan Tanjung Morawa Batang Kuis, Gang Jaya, Dusun V, Desa Dalu X-A, Kecamatan Tanjung Morawa Kab. Deli Serdang diwakili kuasanya (Tergugat I). 2. Negara RI. C/q Pemerintah RI C/q Menteri Dalam Negeri di Jakarta C/q Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Propinsi Sumatera Utara di Medan, beralamat Jalan Diponegoro No.30 dalam hal ini diwakili oleh kuasanya (Tergugat II). 3. Negara RI C/q Pemerintah RI C/q Menteri Dalam Negeri RI, di Jakarta C/q Gubernur Kepala Daerah Tk. I Propinsi Sumatera Utara di Medan C/q Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kabupaten Deli Serdang di Lubuk Pakam, beralamat Jalan Negara Medan - Lubuk Pakam, diwakili oleh Kuasanya (Tergugat III). 4. Negara RI C/q Pemerintah RI C/q Menteri Perindustrian dan Perdagangan (Dh. Menteri Perindustrian) RI di Jakarta C/q Kepala Kantor Wilayah Departemen Perindustrian Propinsi Dati I Sumatera Utara di Medan, beralamat Jalan Sutan Iskandar Muda No. 272, dalam hal ini diwaakili oleh Kuasanya (Tergugat IV). 5. Negara RI C/q Pemerintah RI C/q Badan Koordinasi Penanaman Modal Pusat (BKPM Pusat) di Jakarta C/q Badaan Koordinasi Penanaman Modal Daerah (BKPM Daerah) Propinsi Dati I Sumatera Utara di Medan, beralamat di Jalan Diponegoro No.11 A dalam hal ini diwakili oleh kuasanya (Tergugat V). Dasar gugatan pengugat adalah Pasal 5, Pasal 6, Pasal 20 ayat (1) UU No. 4/1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup Yo. Pasal 29 ayat (1) PP No. 20 tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air Yo Point 9 Surat Edaran Menteri KLH No.03/SE/MENKLH/6/1987 tanggal 15 Juni 1987 tentang Prosedur Penanggulangan Kasus Pencemaran Air dan Perusakan Lingkungan Hidup. Bahwa pengugat juga mendasakan gugatannya pada Pasal 1365 KUH Perdata, yaitu mengenai ganti rugi sebagai akibat perbuatan hukum, yang mana dalam hal ini untuk menyatakan suatu perbuatan melawan hukum harus dilihat terlebih dahulu unsur kesalahannya. Dalam proses persidangan baik Pihak Pengugat menuntut ganti kerugian sebesar Rp 3.392.462.500 (Tiga milyar tiga ratus sembilan puluh dua juta empat ratus enam puluh dua ribu lima ratus rupiah). Pengugat mengajukan bukti berupa surat-surat bukti sebanyak 32, dan 5 orang saksi, dan 1 orang saksi ahli, sedangkan pihak tergugat mengajukan bukti surat-surat sebanyak 18 yang dikeluarkan instansi yang terkait. Di antara bukti-bukti yang diajukan Pengugat adalah laporan Tri Wulan I Tim Prokasih Sumatera Utara bulan Juni 1995, yang memperoleh hasil bahwa di dalam limbah yang dibuang PT Sari Morawa terkandung BOD sebesar 1336 mg/l, COD ©2003 Digitized by USU digital library
17
sebesar 2170,56 mg/l, dan Ph sebesar 11 Ppm, sedangkan standard baku mutu yang ditetapkan yaitu BOD sebesar 125 mg/l, COD 250 mg/l, dan Ph adalah 6 - 9 Ppm. Selanjutnya, hasil penelitian yang dilakukan PT Sucofindo selaku badan yang berwenang memeriksa dan mengeluarkan hasil pemeriksaan laboratorium atas pencemaran sesuai dengan SK Gubernur No. 660.3/1776/K/1993, tanggal 30 Juni 1993. Limbah yang dibuang PT Sari Morawa tanpa diproses terlebih dahulu melalui UPL mengandung BOD sebesar 1.045,46 mg/l, COD 1.712,18 mg/l, dan Ph mencapai 10,77 Ppm serta padatan tersuspensi yang mencapai 1.568 ppm. Limbah seperti ini jelas melampaui nilai ambang batas, dan dapat menyebabkaan Sungai Belumai tercemar. Kemudian, hasil PROPER (Proyek Penelitian Kinerja Perusahaan) yang dikeluarkan oleh Bapedal telah mengolongkan PT. Sari Morawa dalam klasifikasi “Peringkat Hitam” karena belum berusaha untuk mengendalikan limbah perusahaan dan telah menimbulkan dampak pencemaran. Tetapi sayangnya, seluruh bukti-bukti yang diajukan pengugat ditolak oleh majelis hakim, dan pada akhir keputusanya menyatakan menolak gugatan perdata pencemaran Sungai Belumai. Pertimbangan majelis hakim pada intinya : - Perusahan telah memiliki UPL - Alat bukti yang diajukan, penelitiannya tidak dilakukan secara seksama, teliti, dan tidak dilakukan oleh yang berwenang; - Air Sungai Belumai belum tercemar, masih dapat dipergunakan sesuai dengan peruntukannya. 2. Beberapa Kendala Dalam Penyelesaian Tuntutan Ganti Rugi Kasus Sungai Belumai Walaupun pemerintah telah mengeluarkan berbagai produk peraturan perundang-undangan untuk mengatur berbagai bidang yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan, tetapi di dala praktek penegakan Hukum Lingkungan tersebut masih juga ditemukan berbagai penyimpangan-penyimpangan yang bertentangan dengan jiwa dan tujuan Hukum Lingkungan. Apalagi bila dikaitkan dengan penyelesaian sengketa lingkungan yang akhirakhir ini semakin bertambah banyak jumlahnya. Jarang sekali diakhiri dengan dengan keputusan yang dapat memuaskan korban pencemaran/perusakan lingkungan serta memperhatikan kepentingan kelestarian lingkungan hidup. Hal ini dapat terjadi disebabkan pemahaman aparat penegak hukum yang kurang baik terhadap peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan lingkungan. Kontroversi yang berkaitan dengan kasus pencemaran Sungai Belumai merupakan salah satu contoh betapa kelamnya penegakan Hukum Lingkungan di Indonesia yang perlu dibenahi secara lebih serius, karena begitu banyak hambatanhambatan yang harus dilalui oleh korban pencemaran/perusakan lingkungan untuk memperoleh haknya. Jika dikaji secara lebih mendalam, kasus pencemaran Sungai Belumai adalah kasus gugatan Perdata yang berkaitan dengan pencemaran/perusakan lingkungan yang dimohonkan penyelesaiannya melalui pengadilan, dengan berdasarkan ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata. Hal ini merupakan suatu terobosan dalam penegakan hukum lingkungan, disebabkan masih ditemukannya perbedaan pendapat dalam praktek pengadilan tentang dapat atau tidaknya korban pencemaran/perusakan lingkungan mengajukan kasus yang dihadapinya secara langsung ke pengadilan tanpa melalui mekanisme suatu tim terlebih dahulu. Sebagian besar pengadilan berpendapat bahwa gugatan demikian secara prosedural belum dapat diajukan ke pengadilan negeri, selama belum ditempuh terlebih dahulu penyelesaiannya melalui mekanisme suatu tim. Sehingga gugatan ©2003 Digitized by USU digital library
18
ke pengadilan negeri selalu akan kandas dan diputus dengan menyatakan tidak dapat diterima (NO, Niet Onvankelijkverklaard). Tetapi sebagian pengadilan lainnya menyatakan bahwa gugatan demikian tetap dapat diproses di pengadilan negeri melalui Pasal 1365 KUH Perdata, walaupun peraturan perundang-undangan tentang pembentukan tim belum dikeluarkan. Argumentasi mereka adalah bahwa ketentuan Pasal 20 dan 21 UU No. 4/1982 merupakan lex specialis di bidang lingkungan sedangkan ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata merupakan lex generalis di bidang gugatan ganti rugi karena perbuatan melanggar hukum. Apabila dan selama lex specialis belum dapat ditetapkan, maka ketentuan lex generalis selalu dapat diterapkan. 25 Dengan memperhatikan hal tersebut di atas, Pengadilan Negeri Lubuk Pakam dapat dikategorikan sebagai penganut pendapat yang kedua yang lebih bersifat fleksibel, bukankah sudah merupakan kewajiban bagi hakim untuk menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya walaupun ketentuan hukumnya belum diatur maupun tidak jelas. Dalam mengajukan gugatannya, pengugat (korban pencemaran/perusakan lingkungan) mendasarkan kepada ketentuan Pasal 5,6,dan 20 ayat (1) UU No. 4/1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta Pasal 29 ayat (1) PP No. 20/1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air, yo Point 9 Surat Edaran MENKLH No. 03/SE/MENKLH/6/1987 tanggal 15 Juni 1987 tentang Prosedur Penanggulangan Kasus Pencemaran Air dan Perusakan Lingkungan Hidup, Pasal 7 ayat (1) UU No.4/1982 Yo Pasal 2 Perda No. 2 tahun 1985 tentang Pemeliharaan Lingkungan Hidup di Propinsi Sumatera Utara. Pasal 5,6, dab 20 ayat (1) UU No. 4/1982, memberikan hak kepada setiap orang atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta berkewajiban untuk berperan serta memelihara lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta berkewajiban untuk berperan serta memelihara lingkungan hidup. Selain itu juga memberikan landasan terhadap barang siapa yang merusak dan mencemarkan lingkungan hidup untuk bertanggung jawab dengan kewajiban membayar ganti rugi kepada penderita yang telah dilanggar haknya atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Berpekara melalui ketentuan tersebut diperlukan pembuktian sebagaimana dikehendaki oleh Pasal 1865 KUH Perdata akibat adanya ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata yang mengandung konsep tanggung jawab berdasarkan kesalahan (liability based on fault). Berdasarkan hal ini, tentunya akan timbul berbagai kendala karena pengugat untuk berhasil dalam gugatan ligkungan diharuskan untuk membuktikan unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 1365 KUH Perdata tersebut, terutama adanya unsur kesalahan (schuld) dari tergugat sebagai pencemar/perusak lingkungan, dan adanya hubungan sebab akibat (causaliteit) antara perbuatan dan kerugian. Padahal diperkirakan bahwa pengugat pada umumnya adalah orang yang awam tentang hukum dan tidak mempunyai kemampuan untuk melakukan pembuktian secara ilmiah.26 Oleh karena itulah di dalam UU NO. 4/1982 pada Pasal 21, dan UU No. 23/1997 tentang PLH, dimuat suatu asas baru dalam hukum lingkungan, yaitu “Asas Strict Liability” atau “Asas Tanggung Jawab Mutlak”, dimana kepada sipelaku pencemar/perusak lingkungan telah dinyatakan bertanggung jawab seketika pada saat pencemaran/perusakan lingkungan tersebut terjadi tanpa perlu dibuktikan apakah terdapat unsur kesalahan pada diri pelaku. 27
25
Paulus Effendi Lotulung, Op.cit, hal.4-5 Suparto Wijoyo SH. MH., Op.cit., hal. 25-27 27 NHT. Siahaan, Op.cit., hal. 179-181 26
©2003 Digitized by USU digital library
19
Selain itu dalam hukum lingkungan terdapat pemikiran tentang kemungkinan penerapan “beban pembuktian terbalik” terhadap sengketa lingkungan. Dengan beban pembuktian terbalik tergugatlah yang diwajibkan untuk membuktikan bahwa ia tidak dapat dipersalahkan atas kerugian yang terjadi, kesalahan dianggap ada kecuali tergugat dapat membuktikan sebaliknya.28 Dalam kasus pencemaran Sungai Belumai, dapat kita lihat pendirian pengadilan negeri yang beranggapan bahwa kasus pencemaran Sungai Belumai dapat digolongkan dalam “Tortious Liability System” , dimana tanggung jawab ganti rugi baru akan terbit apabila sipelaku telah terbukti bersalah. Oleh karena itu beban pembuktian di dalam kasus ini dibebankan kepada pengugat guna kepentingan penuntutan ganti kerugian. Menurut NHT Siahaan, SH., pada hekekatnya kasus Pencemaran Sungai Belumai ini dapat dikategorikan sebagai “strict liability” dengan pertanggungjawaban mutlak dengan asas pembuktian terbalik, karena menurut beliau jenis-jenis sumber daya dan kegiatan yang dapat dikaitkan dengan pertanggungjawaban berdasarkan strict liability adalah sebagai berikut : 29 A. Jenis-jenis sumber daya yang memiliki potensi besar pada ekonomi dan tata ekologi, seperti laut/pantai, hutan, persawahan, perkebunan, peternakan, taman/cagar alam, dan lain-lain; B. Sumber daya yang menyangkut kepentingan/kesejahteraan masyarakat luas, seperti danau, sungai, udara, daerah-daerah parwisata dan sebagainya. C. Sumber-sumber daya yang sangat peka dan memiliki daya transfrontier yang tinggi seperti sungai, irigasi, perairan laut, udara dan sebagainya. D. Sedangkan kegiatan-kegiatan yang perlu mendapat pengaturan pertanggungjawaban supaya diprioritaskan pada kegiatan-kegiatan teknologis/industri yang banyak memproduk pencemaran/perusakan lingkungan seperti perindustrian, transportasi (khususnya transportasi laut dalam bentuk kapal-kapal tangker). Dengan meletakkan beban pembuktian kepada pihak pengugat yang sebagian besar berprofesi sebagai petani, maka hal ini tentu akan menyulitkan dan membebani pengugat, karena pembuktian dalam pencemaran/perusakan lingkungan harus dilakukan secara ilmiah dan membutuhkan biaya yang sangat besar. Apalagi dalam kasus Pencemaran Sungai Belumai ini Majelis Hakim meminta pembuktian yang dilakukan dengan suatu tim peneliti khusus yang telah ditunjuk, dengan mengesampingkan bukti-bukti yang yang diajukan pengugat, berupa hasil-hasil penelitian terhadap pencemaran Sungai Belumai yang pernah dilakukan sebelumnya. Hal lain yang perlu dikaji lebih lanjut adalah sikap Majelis Hakim yang mengolongkan kasus pencemaran Sungai Belumai ke dalam Tortious Liability, yang tentunya dengan berdasarkan pendapat NHT Siahaan tersebut serta hasil penelitian yang dilakukan oleh PT Sucofindo yang menyatakan bahwa limbah yang dihasilkan dapat digolongkan ke dalam limbah bahan berbahaya dan beracun, maka gugatan tersebut lebih pantas di masukkan kedalam strict liability. Tampak dari sini bahwa pemahaman majelis hakim terhadap ketentuan Hukum Lingkungan masih minim sekali. Kemudian, dalam point menimbang dari majelis hakim dikemukakan bahwa terhadap air Sungai Belumai belum pernah sama sekali diadakan penelitian secara langsung dengan mengambil sampel air sungai tersebut, baik oleh tim ahli yang ditunjuk maupun organisasi lingkungan hidup untuk diteliti di laboratorium rujukan, maka mejelis hakim dalam perkara ini berkesimpulan bahwa air Sungai Belumai tidak dapat dikatakan telah tercemar.
28 29
Suparto Wijoyo, SH. MH., Op.cit., hal. 27. NHT. Siahaan, SH., Op.cit., hal.189
©2003 Digitized by USU digital library
20
Dalam hal ini, majelis hakim tidak mempertimbangkan bukti-bukti yang diajukan oleh pengugat berupa Laporan Tim PROKASIH Sumatera Utara yang memberikan laporan secara triwulan. Untuk triwulan pertama bulan Juni 1995, diperoleh hasil dalam limbah yang dibuang PT Sari Morawa, terkandung BOD sebesar 1336 mg/l, COD sebesar 2170,56 mg/l, dan Ph sebesar 11 ppm. Sedangkan standard baku mutu yang telah ditetapkan yaitu BOD sebesar 125 mg/l, COD 250 mg/l, dan Ph sebesar 6-9 ppm. Selanjutnya, hasil penelitian yang dilakukan PT Sucofindo selaku badan yang berwenang memeriksa dan mengeluarkan hasil pemeriksaaan laboratorium atas pencemaran sungai dengan SK Gubernur No. 660.3/1776/K/1993, tanggal 30 Juni 1993, limbah yang dibuang oleh PT Sari Morawa tanpa diproses terlebih dahulu melalui Unit Pengolahan Limbah (UPL) mengandung BOD mencapai 1045,46 mg/l, COD 1712,18 mg/l, dan Ph mencapai 10,77 ppm, serta padatan tersuspensi yang mencapai 1.568 ppm. Limbah seperti ini jelas melampaui nilai ambang batas dan dapat menyebabkan Sungai Belumai tercemar. Selanjutnya, BAPEDAL melalui hasil PROPER (Proyek Penelitian Kinerja Perusahaan), telah mengolongkan PT Sari Morawa dalam klasifikasi “peringkat hitam” karena belum berusaha untuk mengendalikan limbahnya dan telah menimbulkan pencemaran. Dari bukti-bukti dan hasil penelitian yang telah dilakukan tersebut, sudah sepantasnya majelis hakim dalam hal ini telah memperoleh keyakinan yang kuat bahwa telah terjadi pencemaran lingkungan di Sungai Belumai, dan menghukum tergugat untuk untuk membayar ganti rugi kepada pengugat serta melakukan perbaikan terhadap pencemaran Sungai Belumai. Pembuktian terhadap unsur-unsur ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata, yang salah satu unsurnya adalah adanya perbuatan melawan hukum, hal ini juga telah jelas dari bukti-bukti yang diajukan tergugat PT Sari Morawa, yaitu tidak melaksanakan persyaratan yang telah ditetapkan oleh peraturan perundangundangan, yaitu dalam hal pengadaan Unit Pengolahan Limbah. Sejak perusahaan tersebut mendapat persetujuan PEL, RKL,dan RPL tanggal 24 September 1994, pembangunan UPL baru dilakukan tanggal 1 April 1996, sedangkan gugatan diajukan oleh pihak pengugat pada tanggal 1 Mei 1996, yang berarti sejak saat mulai beroperasinya PT Sari Morawa hingga saat diajukannya gugatan (1994-1996) PT Sari Morawa belum mempunyai UPL, dan hal ini juga telah dibuktikan dari hasil beberapa penelitian tersebut diatas. Sehingga sudah dapat dipastkan bahwa limbah yang dihasilkan oleh PT Sari Morawa telah mencemari air Sungai Belumai. Besarnya tuntutan ganti kerugian yang diajukan oleh pengugat, ditentukan berdasarkan akibat yang ditimbulkan yang menyebabkan kerugian. Secara mendetail telah ditetapkan jumlah kerugian yang diderita oleh korban yang dapat berupa biaya yang dikeluarkan untuk membeli air, kehilangan mata pencarian akan ikan-ikan, dan kerugian materil dan moril. Selain itu juga harus diperhitungkan biaya-biaya yang diperlukan untuk melakukan perbaikan terhadap kondisi air Sungai Belumai yang tercemar dan lingkungan disekitarnya yang turut terpengaruh dampak pencemaran. Pada akhir persidangan, majelis hakim yang mengadili dan memeriksa gugatan ganti rugi tersebut sampai kepada keputusan “untuk menolak gugatan perdata yang diajukan pengugat” dengan pertimbangan : Bahwa PT Sari Morawa telah memiliki UPL; Alat bukti yang diajukan, penelitiannya tidak dilakukan secara seksama, teliti, dan tidak dilakukan oleh yang berwenang; Air Sungai Belumai belum tercemar, dan masih dapat dipergunakan sesuai dengan peruntukannya. Tentunya, bagi para akademisi, praktisi hukum, dan pengamat masalah lingkungan keputusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam ini menimbulkan tanda tanya, karena banyak sekali penyimpangan-penyimpangan yang telah dilakukan Majelis ©2003 Digitized by USU digital library
21
Hakim dalam memeriksa, dan mengadili kasus pencemaran Sungai Belumai ini, terutama yang menyangkut penegakan Hukum Lingkungan. Apakah ini merupakan salah satu contoh dari kurangnya pemahaman aparat penegak hukum (hakim dalam kasus ini) terhadap ketentuan Hukum Lingkungan. BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan Pada akhir penulisan karya tulis, dapat diutarakan beberapa kesimpulan yang merupakan inti sari dari seluruh pembahasan, serta merupakan jawaban atas beberapa permasalahan yang dikemukakan, yaitu : 1. Pengaturan ketentuan ganti rugi dalam permasalahan yang berkaitan dengan pencemaran/perusakan lingkungan dituangkan dalam beberapa peraturan perundang-undangan yaitu Pasal 20 dan Pasal 21 UU No.4/1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan, yang kemudian diganti dengan Pasal 34 dan Pasal 35 UU No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan. Selanjutnya, pengaturan ganti rugi juga dimuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata, yang mengatur pertanggungjawaban sebagai akibat “perbuatan melawan hukum” yang mengakibatkan kerugian kepada pihak lain. Selain itu, pengugat dibebankan suatu kewajiban untuk membuktikan adanya unsur “kesalahan” pada diri tergugat dengan alat-alat bukti yang diatur dalam Pasal 1866 KUH Perdata. 2. UU No. 4/1982 , dan UU 23/1997 memberikan dua jalan yang dapat ditempuh dalam upaya penyelesaian Sengketa lingkungan, yaitu : A. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan, yang termuat ketentuannya dalam Pasal 20 UU No. 4/1982, yang kemudian digantikan dengan Pasal 31, 32, dan 33 UU NO. 23/1997. Dalam Pasal 20 UU No. 4/1982, penyelesaian sengketa lingkungan dapat dilakukan melalui mekanisme suatu Tim yang terdiri dari pihak penderita atau kuasanya, pihak pencemar (polluter) atau kuasanya, dan unsur pemerintah, sedangkan dalam Pasal 31,32, dan 33 UU No.23/1997 dipergunakan jasa pihak ketiga yang tidak memiliki kewenangan dalam mengambil keputusan, maupun yang memiliki kewenangan dalam mengambil keputusan, atau dibentuk lembaga penyedia jasa pelayanan penyelesaian sengketa lingkungan hidup yang bersifat bebas dan tidak memihak, baik oleh pemerintah dan/atau masyarakat. Salah satu contoh media yang berkembang dalam penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan adalah melalui media Alternative Disputes Resolution yang meliputi proses Ligitasi, Negosiasi, Mediasi, Konsolidasi, Pencarian Fakta, dan Arbitrase. B. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui Pengadilan, yang termuat ketentuannya dalam Pasal 20 UU No.4/1982 dan Pasal 34 - 39 UU No. 23/1997. Gugatan melalui pengadilan adalah gugatan perdata berdasarkan ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata, yaitu dalam hal tuntutan ganti kerugian terhadap perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian kepada pihak lain ( manusia maupun lingkungan). 3. Sebagai perkembangan hukum lingkungan dipergunakan “Asas Stric Liability” dan “Asas Pembuktian Terbalik” dalam penegakan hukum lingkungan, dimana pelaku pencemaran/perusakan lingkungan bertanggung jawab terhadap perbuatannya seketika pada saat terjadinya pencemaran/perusakan lingkungan tanpa harus dibuktikan terlebih dahulu adanya unsur “kesalahan”. Selain itu beban pembuktian diletakkan pada pelaku pencemaran/perusakan lingkungan ©2003 Digitized by USU digital library
22
4.
(tergugat), ia wajib membuktikan bahwa dia tidak dapat dipersalahkan atas kerugian yang terjadi. Kesalahan dianggap ada kecuali tergugat dapat membuktikan sebaliknya. Dalam penegakan hukum lingkungan, terutama dalam upaya mengajukan ganti kerugian terhadap pencemaran lingkungan, masih ditemukan beberapa kendala yang cukup menghambat, antara lain : A. Walaupun telah banyak peraturan yang dikeluarkan pemerintah di bidang pengelolaan lingkungan, tetapi dalam pelaksanaanya peraturan hukum tersebut belum dapat diandalkan dalam menyelesaikan berbagai permasalahan, misalnya dalam hal apakah pengugat dapat secara langsung mengajukan gugatan ke pengadilan tanpa melalui mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan, yang dalam hal ini masih terdapat perbedaan pendapat di dalam peraktek pengadilan negeri. Dalam kasus pencemaran Sungai Belumai pengadilan negeri membenarkan pihak korban pencemaran/perusakan lingkungan (pengugat) untuk secara langsung mengajukan gugatan ke pengadilan mempergunakan ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata. B. Kurangnya pemahaman para penegak hukum terhadap ketentuan hukum lingkungan, yang dalam hal ini dapat kita lihat dari sikap majelis hakim dalam kasus pencemaran Sungai Belumai yang mengolongkan Kasus pencemaran Sungai Belumai ke dalam golongan “Tortious Liability” dan tidak mengolongkannya dalam “Strict Liability”, pada hal jelas Sungai Belumai adalah sumber daya yang menyangkut kepentingan/kesejahteraan masyarakat luas, memiliki potensi yang besar terhadap ekonomi dan tata ekologi, dan limbah yang ditimbulkan dapat di kategorikan sebagai limbah B3, yang seharusnya diperlakukan Asas tanggung jawab mutlak “strict liability” bagi pelaku pencemaran/perusakan lingkungan. C. Sulitnya melakukan pembuktian terhadap pencemaran/perusakan lingkungan terutama dalam hal untuk membuktikan “adanya hubungan causalitas antara perbuatan pelaku pencemaran/perusakan lingkungan dengan kerugian /akibat yang ditimbulkan”, serta unsur “lingkungan tetap dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya”. Dalam hal ini harus dilakukan penelitian secara ilmiah yang membutuhkan biaya yang sangat besar. D. Kurangnya perhatian para aparat, instansi yang terkait terhadap masalah lingkungan, yang dapat dibuktikan dari berlarut-larutnya penyelesaian kasus pencemaran Sungai Belumai yang dapat menimbulkan keresahan dalam masyarakat serta berbagai gejolak sosial yang berkepanjangan.
2. Saran Berkaitan dengan kasus pencemaran Sungai Belumai dapat diajukan beberapa saran sebagai berikut : A. Perlu kiranya ditingkatkan pemahaman para penegak hukum terhadap ketentuan hukum lingkungan, sehingga akan diperoleh kemanfaatan, kepastian hukum, dan keadilan dalam penegakan hukum lingkungan. Serta dibarengi pula dengan sosialisasi hukum lingkungan kepada masyarakat luas, sehingga mereka dapat mengetahui dengan jelas hak dan kewajibannya terhadap lingkungan. B. Diperlukan ketegasan sikap aparat penegakan hukum, instasi yang terkait terhadap para pelaku pencemaran/perusakan lingkungan, dengan memberikan sanksi yang seberat-beratnya terhadap pelaku pencemaran/perusakan lingkungan serta ditingkatkannya pengawasan
©2003 Digitized by USU digital library
23
terhadap para pelaku usaha yang memiliki potensi yang besar terhadap pencemaran/perusakan lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA 1. Arifin, Syamsul, Prof., SH., MH., Hamdan, M. SH.,MH., Sanksi Pidana Terhadap Badan Hukum Pencemar Lingkungan, USU Press, Medan, 1996. 2. Arifin, Syamsul, Prof. SH. MH., Perkembangan Hukum Lingkungan di Indonesia, USU Press, Medan, 1993. 3. Arifin, Syamsul, Prof., SH., MH., Pencemaran Sungai Belumai Antara Harapan Dan Kenyataan Yuridis, Karya Ilmiah, Pasca Sarjana Program Pengelolaan Sumber Daya Alam Dan Lingkungan, USU, Medan 4. Husein, Harun, M., Lingkungan Hidup Masalah, Pengelolaan, dan Penegakan 5. Lotulung, Paulus Effendie, Pengaturan Hukum Lingkungan Dalam UU No. 23/1997 Ditinjau Dari Aspek Hukum Perdata, Makalah Yang Disampaikan pada Seminar Nasional Kesiapan dan Sosialisasi UU No.23/1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 1998. Hukumnya, Bumi Aksara, Jakarta, 1993. 6. Siahaan, N.H.T., SH., Ekologi Pembangunan Dan Hukum Tata Lingkungan, Penerbit Erlangga, Jakarta, 1986. 7. Saragih, JPN., Drs., dan Sitorus, S. BA., BSC., “Bunga Rampai Lingkungan Hidup, Penerbit Usaha Mas, Surabaya. 8. Syahrin, Alvi, SH., MS., Penyidikan Tindak Pidana Lingkungan (Kasus Pencemaran Daerah Aliran Sungai Belumai, Kabupaten Deli Serdang), Laporan Penelitian, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan. 9. Subagyo, P. Joko, SH., Hukum Lingkungan Masalah dan Penanggulangannya, Penerbit Rineka Cipta, 1999. 10. Tanah Air, No.2/Th.XVII/1997, Majalah Terbitan WALHI, Jakarta, 1997. 11. Umar, Faraz, Industrialisasi dan Pencemaran Lingkungan, Bagian Dari Beberapa Kumpulan Tulisan Dari Buku “ Sebuah Permasalahan Dalam Lingkungan”, Editor IR. Antariksa Sudikno, Penerbit Liberty, Yogyakarta, 1988. 12. Wijoyo, Suparto, SH. MH., Penyelesaian Sengketa Lingkungan, Air Langga University Press, Surabaya, 1999.
©2003 Digitized by USU digital library
24