PENGGUNAAN TEKNIK AKROSTIK KOMPI 9 (K-9) UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN MENULIS CERITA PENDEK PADA SISWA KELAS X-9 SMA NEGERI 3 MALANG TAHUN PELAJARAN 2012/2013 Basuki Agus Priyana Putra Mahasiswa Magister Pendidikan Bahasa Indonesia Abstrak: Banyak kendala berkaitan dengan pembelajaran menulis cerita pendek (cerpen). Berdasarkan angket awal penelitian yang diisi siswa, kendala itu berkaitan dengan minat dan proses kreatif. Kedua permasalahan tersebut mendesak untuk diselesaikan karena perannya yang penting dalam membentuk pribadi siswa secara utuh. Selanjutnya, rumusan masalah penelitian ini (1) Bagaimanakah proses peningkatan menulis cerpen siswa kelas X-9 SMA Negeri 3 Malang Tahun Pelajaran 2012/2013 dengan menggunakan Teknik Akrostik Kompi 9 (K-9)? (2) Bagaimanakah hasil peningkatan menulis cerpen siswa kelas X-9 SMA Negeri 3 Malang Tahun Pelajaran 2012/2013 dengan menggunakan Teknik Akrostik Kompi 9 (K-9)? Penelitian tindakan kelas ini diawali prasiklus lalu diikuti siklus I dan siklus II. Pada siklus I dan siklus II terdapat 4 tahap kegiatan, yaitu perencanaan, tindakan, pengamatan, dan refleksi. Adapun subjek penelitian adalah siswa kelas X-9 SMA Negeri 3 Malang tahun pelajaran 2012/2013. Penelitian ini berlangsung pada bulan April-Mei 2013 dengan melibatkan seorang peneliti dan seorang pengamat. Instrumen yang digunakan untuk menjaring data meliputi instrumen proses belajar siswa, instrumen penilaian cerita pendek karya siswa, dan instrumen pengamatan aktivitas guru. Berdasarkan data dan kajian yang telah dilakukan, maka disimpulkan hal-hal sebagai berikut. (1) Teknik Akrostik Kompi 9 dapat meningkatkan proses pembelajaran menulis cerita pendek (meliputi keberanian menjawab, ketepatan jawaban, ketekunan bekerja, dan pemahaman perintah) siswa kelas X9 SMA Negeri 3 Malang Tahun Pelajaran 2012/2013 sebesar 12,32%. (2) Teknik Akrostik Kompi 9 dapat meningkatkan hasil belajar menulis cerita pendek (meliputi kemampuan menghadirkan konflik cerita, merangkai peristiwa menjadi alur, memunculkan tokoh cerita dan karakternya, menggambarkan latar, dan menata gaya bercerita dengan memadukan dialog dan narasi) siswa kelas X-9 SMA Negeri 3 Malang Tahun Pelajaran 2012/2013 sebesar 14,26%. Kata-kata kunci: akrostik, kompi 9, menulis, cerpen
Stanton (2012:7) mengemuka-kan ”pengalamanpengalaman yang paling kita ingat biasanya memiliki makna penting”. Pernyataan tersebut mengisyaratkan adanya hubungan antara pengalaman dan makna.
Setiap manusia pasti memiliki pengalaman, misalnya berkaitan dengan cinta, penderitaan, kebahagiaan, kesunyian, pendirian, dan sebagainya. Pengalaman-pengalaman tersebut
NOSI Volume 1, Nomor 2, Agustus 2013 ___________________________Halaman | 113
meskipun sama, tentu maknanya akan berbeda bagi setiap orang. Pengalaman seseorang dapat dijadikan sumber inspirasi, namun tidak sedikit pengalaman yang terkadang mahal ’harganya’ berlalu begitu saja. Di sinilah permasalahan utamanya, yaitu kreativitas. Sayang-nya menurut Tabrani (2006:xxiii) ”kreativitas ini telah ditempatkan di suatu pojok yang terpencil, hanya dipandang sebagai barang antik”. Karya sastra berupa cerpen memiliki banyak keunggulan diban-dingkan puisi, novel, maupun drama. Munsyi (2012:164) menyata-kan, ”cerpen merupakan karya sastra yang paling banyak digemari dalam kesusastraan Indonesia sesudah Perang Dunia II. Hal ini ditandai dengan terbitnya majalah Kisah pada tahun 1953 yang memuat karya sastra berupa cerpen. Bentuk ini tidak saja digemari oleh para pengarang tetapi juga oleh para pembaca”. Kita akui cerpen telah merambah ke semua sisi kehidupan. Sebagai bukti, semua media cetak berupa surat kabar, tabloid, maupun majalah memuat jenis karya sastra ini. Menurut Aksan (2011:23), ”setelah muncul Twitter, berkembang lagi ’fiksi mini’ yang lebih mini, maksimal sepanjang huruf yang bisa tertampung di Twitter, yakni 140 karakter termasuk spasi dan nama pengirimnya”. Melihat peluang yang sangat terbuka maka amat disayangkan bila pembelajaran bahasa Indonesia tidak memanfaatkan kesempatan ini. Keinginan membimbing siswa untuk dapat menulis cerpen yang
memiliki ’nilai jual’ kiranya dimiliki oleh semua guru bahasa Indonesia. Namun keinginan mulia itu sering terhambat oleh beberapa kendala. Kendalakendala itu ada yang berkaitan dengan diri siswa dan kendala di luar diri siswa. Kendala berkaitan dengan diri siswa misalnya bakat, minat, dan wawasan tentang cerpen. Bakat menulis cerpen memang tidak dimiliki oleh setiap siswa. Berdasarkan survei terhadap siswa kelas X SMA Negeri 3 Malang tahun pelajaran 2012/2013, dari setiap kelas berisi 30-35 orang, siswa yang merasa memiliki bakat menulis cerpen dan produktif, rata-rata hanya 3 orang. Padahal mereka telah diajari menulis cerpen lebih dari dua kali. Selanjutnya, ketika ditanya mengenai minat terhadap pembelajar-an menulis cerpen, mayoritas siswa mengatakan tidak berminat dan menyatakan pembelajaran menulis cerpen kurang menarik. Masih berdasarkan survei, pe-mahaman siswa terhadap teori penulisan cerpen ternyata telah cukup. Permasalahan justru muncul pada tujuan dan manfaat pembelajaran menulis cerpen, karena mayoritas siswa mengikuti pembelajaran sekedar untuk mendapatkan nilai. Selain itu sebagian besar siswa menginginkan adanya perubahan model dan teknik pembelajaran. Kendala berikutnya adalah kendala di luar diri siswa. Kendala ini misalnya kemampuan guru dan kebija-kan pendidikan secara makro. Kemampuan guru dalam membimbing pembelajaran menulis cerpen utamanya terletak
NOSI Volume 1, Nomor 2, Agustus 2013 ___________________________Halaman | 114
pada kemampuan memilih teknik pembelajaran dan sistem evaluasinya. Sedangkan kendala kebijakan pendidikan secara makro misalnya model soal dalam Ujian Akhir Nasional cenderung pada penilaian apresiasi sastra dan bukan pada kreasi sastra. Beragam kendala dalam pembelajaran menulis cerpen telah diantisipasi dan dicarikan solusinya oleh para guru melalui penelitian tindakan kelas. Beberapa penelitian pembelajaran menulis cerpen diuraikan sebagai berikut. Pertama, penelitian Tiara April Liza dari UPI Bandung dengan judul “Upaya Peningkatan Kemampuan Menulis Cerpen dengan Menggunakan Media Website (PTK pada Siswa Kelas X-2 SMA Kartika Siliwangi 1 Bandung Tahun Pelajaran 2012/2013)”. Kedua, penelitian Mutia Latifah dengan judul” Penggunaan Media Foto Dramatik untuk Meningkatkan Keterampilan Menulis Cerpen (PTK pada Siswa Kelas X-1 SMA Kartika Siliwangi 2 Tahun Pelajaran 2011/2012)”. Penelitian selanjutnya berkaitan dengan teknik akrostik. Pertama, penelitian Devi Sartika berjudul “Peningkatan Kemampuan Menulis Puisi dengan Teknik Akrostik pada Siswa Kelas X SMA Negeri 3 Cimahi Tahun Pelajaran 2009/2010. Kedua, penelitian Rifatun Nisa dengan judul “Peningkatan Kemampuan Menulis Puisi Siswa Kelas VII C SMP Negeri 1 Bojong Kabupaten Tegal Melalui Teknik Akrostik dengan Media Smart Card”. Teknik akrostik memang identik dengan keterampilan menulis puisi. Namun berdasarkan kajian teori yang telah dilakukan, teknik ini
tidak tertutup kemungkinan untuk diterapkan pada materi lainnya, misalnya menulis cerpen. Munsyi (2012:4) menyebutkan bahwa “menulis hakikatnya bagaimana memilih kata-kata dan merangkainya menjadi kalimat-kalimat. Dasarnya kuasai bahasa, miliki kata-kata”. Sebenarnya ada banyak cara yang dapat ditempuh untuk menggiatkan pembelajaran menulis cerpen. Salah satu cara yang dapat dilakukan dan berbiaya relatif murah adalah mengembangkan dan menguji coba teknik pembelajaran. Pernyataan ini mengisyaratkan bahwa guru sebagai motivator memerlukan modal keragaman teknik pembelajaran. Satu di antara beragam teknik pembelajaran menulis cerpen yang ditawarkan dalam karya tulis ini diberi nama Teknik Akrostik Kompi 9 (K-9). Permasalahan umum yang dibahas dalam penelitian ini adalah: Bagaimanakah peningkatan keteram-pilan menulis cerpen siswa kelas X-9 SMA Negeri 3 Malang Tahun Pelajaran 2012/2013 dengan menggu-nakan Teknik Akrostik Kompi 9 (K-9)? Selanjutnya, permasalahan khu-sus penelitian ini adalah (1) bagaimanakah proses peningkatan menulis cerpen siswa kelas X-9 SMA Negeri 3 Malang Tahun Pelajaran 2012/2013 dengan menggunakan Teknik Akrostik Kompi 9 (K-9)? (2) Bagaimanakah hasil peningkatan menulis cerpen siswa kelas X-9 SMA Negeri 3 Malang Tahun Pelajaran 2012/2013 dengan menggunakan Teknik Akrostik Kompi 9 (K-9)?
NOSI Volume 1, Nomor 2, Agustus 2013 ___________________________Halaman | 115
Tujuan penelitian ini adalah: (1) Memeroleh deskripsi objektif tentang proses peningkatan menulis cerpen siswa kelas X-9 SMA Negeri 3 Malang Tahun Pelajaran 2012/2013 dengan menggunakan Teknik Akrostik Kompi 9 (K-9). (2) Memeroleh deskripsi objektif tentang hasil peningkatan menulis cerpen siswa kelas X-9 SMA Negeri 3 Malang Tahun Pelajaran 2012/2013 dengan menggunakan Teknik Akrostik Kompi 9 (K-9). Teknik akrostik K-9 dalam penelitian ini dikembangkan berdasarkan pandangan strukturalisme. ”Goldmann menyebut teorinya sebagai strukturalisme-genetik. Artinya, ia percaya bahwa karya sastra merupakan sebuah struktur. Akan tetapi struktur itu bukanlah sesuatu yang statis, melainkan merupakan produk dari proses sejarah yang terus berlangsung, proses strukturasi dan destrukturasi yang hidup dan dihayati oleh masyarakat asal karya sastra yang bersangkutan” (dalam Faruk, 1999:12). Dengan sudut pandang yang lain, Hawkes (dalam Jabrohim, 2009:102) menyatakan ”strukturalisme adalah cara berpikir tentang dunia yang terutama berkaitan dengan persepsi dan deskripsi struktur”. Deskripsi struktur yang dimaksud disini adalah karya sastra berupa cerpen. Dengan kata lain, cerpen merupakan sebuah struktur utuh yang tersusun dari hubungan-hubungan unsur pendukung. ”Dalam kesatuan hubungan tersebut, unsur-unsur tidak memiliki makna sendiri-sendiri. Makna itu timbul dari hubungan antarunsur yang terlibat dalam situasi itu. Dengan demikian, makna penuh
sebuah kesatuan atau pengalaman (dalam hal ini berupa cerpen) hanya dapat dipahami sepenuhnya bila seluruh unsur pembentuknya terintegrasi ke dalam sebuah struktur” (Jabrohim, 2009:102). Selanjutnya teori belajar yang digunakan untuk mengembangkan teknik Akrostik Kompi 9 (K-9) adalah teori pembelajaran konstruktivis. Teori konstruktivis ini menyatakan bahwa siswa harus menemukan sendiri dan mentransformasikan informasi kompleks, mengecek informasi baru dengan aturan-aturan lama dan merevisinya apabila aturan-aturan itu tidak lagi sesuai (Trianto, 2011:28). Jadi kata kerja kunci dari teori ini adalah menemukan, mentransfornasikan, dan mengecek informasi baru dengan aturan-aturan lama. Akrostik Kompi 9 (K-9) dapat dijelaskan berdasarkan 2 bagian pembentuknya, yaitu kata akrostik dan kompi 9. Kata akrostik tidak dijelaskan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Namun dalam Kamus Inggris-Indonesia (Echols dkk, 2000: 9) acrostic (diserap menjadi akrostik) berarti sanjak atau susunan kata-kata yang seluruh huruf awal atau huruf akhir setiap barisnya merupakan sebuah kata atau namadiri. Berdasarkan penjelasan tersebut, mula-mula akrostik digunakan dalam penciptaan sanjak (puisi). Melihat kekhasan yang terdapat di dalamnya memungkinkan teknik ini dikembangkan dalam proses kreatif prosa, khususnya cerpen. Bentuk operasional akrostik dalam penulisan cerpen dimulai dengan tahap pencarian ide, misalnya disediakan sebuah kata ” ”LASKAR PELANGI”. Dari kata ini dicarilah
NOSI Volume 1, Nomor 2, Agustus 2013 ___________________________Halaman | 116
kata yang diawali huruf ”L”, misalnya langit, laut, lembah, lapangan, laju, lentera, laba, labalaba, ladang, dsb. Kedua, pengendapan/pengolahan ide diwujudkan dalam kegiatan membuat kalimat atau dialog dengan diawali kata-kata yang telah ditemukan pada langkah penggalian ide, misalnya ”Laju perahu berpenumpang tujuh orang itu mulai melambat”. Ketiga, penulisan. Kegiatan pada tahap ini lebih kompleks karena mulai menulis potongan-potongan cerpen dalam bentuk paragraf atau dialog sesuai unsur pembentuk cerpen yang diinginkan. Misalnya, Huruf ”L” diberi keterangan tambahan berupa permasalahan, sehingga menjadi ”L” permasalahan. Huruf ”L” berarti bagian cerpen berisi penjelasan permasalahan dimulai kata berhuruf awal ”L”, misalnya : ”Lingkungan tempat tinggal pemulung itu mendadak hidup pikuk. Penyebabnya bukan karena kebakaran atau adanya penertiban Satpol Pamong Praja. Penyebab hiruk pikuk itu ditemukannya beratus ikat uang lima puluh ribuan yang dilemparkan seseorang dari atas jembatan layang”.
Bila huruf pertama dirasa cukup, maka dilanjutkan dengan huruf kedua dengan unsur yang lain. Huruf kedua ”A” tokoh, maka proses kreatif siswa menulis cerpen dimulai dengan kata berhuruf awal ”A” berisi deskripsi tokoh. Huruf ketiga ”S” latar, huruf keempat ”K” gaya (dialog), huruf kelima ”A” peristiwa tahap pertentangan), demikian seterusnya hingga tercipta potonganpotongan cerpen. Langkah terakhir, editing/revisi diisi dengan kegiatan merangkai potongan-potongan cerpen menjadi sebuah cerpen secara utuh. Selain itu, kegitan yang bisa dilakukan adalah menyunting pilihan kata, ejaan, struktur kalimat, nama tokoh, penajaman konflik cerpen, dan sebagainya. Rangkaian kegiatan mulai penentuan huruf awal, lalu penentuan unsur cerpen yang akan ditulis, hingga proses penulisan inilah yang disebut sebagai teknik Akrostik Kompi 9 (K-9). Kompi berarti bagian dari batalion terdiri atas 150-200 orang, dipimpin oleh seorang berpangkat kapten. Untuk istilah Kompi 9 (K-9) dalam pembahasan ini meminjam nama batalion dalam kesatuan Brimob yang beranggotakan anjing pelacak.
METODE Penelitian tindakan ini dilaksanakan dalam proses pembelajaran sehingga metode penelitian yang digunakan adalah penelitian tindakan kelas. Menurut Ebbut dalam Hopkins (2011:88), ”penelitian tindakan merupakan studi sistematis yang dilaksanakan oleh sekelompok partisipan untuk meningkatkan praktik pendidikan dengan tindakan-tindakan praktis
mereka sendiri dan refleksi mereka terhadap pengaruh dari tindakan itu sendiri”. Berdasarkan batasan tersebut, dalam pelaksanaannya peneliti berkolaborasi dengan mitra guru sekaligus sebagai pengamat. Mitra guru tersebut adalah Ahmad Supriyadi, S.Pd., pengampu mata pelajaran Bahasa Indonesia kelas X. Selama penelitian berlangsung mitra guru selalu hadir untuk membuat
NOSI Volume 1, Nomor 2, Agustus 2013 ___________________________Halaman | 117
catatan pembelajaran, membantu penilaian proses, dan mengisi lembar pengamatan yang dibuat peneliti. Penelitian Tindakan Kelas ini dilaksanakan di SMA Negeri 3 Malang, tepatnya di Jalan Sultan Agung Utara 7 Kota Malang Provinsi Jawa Timur. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas X-9 SMA Negeri 3 Malang semester 2 tahun pelajaran 2012/2013 dengan jumlah 35 orang, terdiri atas 14 orang laki-laki dan 21 orang peremp3uan. Siswa di kelas ini mayoritas bertipe belajar kinestetik dengan aktivitas fisik yang relatif dominan. Selanjutnya berdasarkan survei awal penelitian, 77% siswa kelas ini menggemari karya sastra berbentuk novel, 65% siswa lebih dari 2 kali pernah diajari menulis cerpen, dan sayang sekali rata-rata keterampilan menulis cerpen paling rendah dibandingkan kelas lainnya. Penelitian ini direncanakan dalam dua siklus dengan rincian sebagai berikut. Siklus I penelitian ini terdiri atas empat tahap kegiatan, yaitu perencanaan, tindakan, pengamatan, dan refleksi. Perencanaan meliputi kegiatan (1) Mengadakan diskusi dengan kolaborator berkaitan dengan siklus I yang akan dilaksanakan. (2) Membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran untuk siklus I. (3) Membuat instrumen pengamatan aktivitas siswa dan guru. (4) Mempersiapkan media pembelajaran. (5) Menentukan indikator keberhasilan siklus I. Tindakan dibagi dalam dua pertemuan. Pertemuan ke-1 berupa kegiatan (1) Guru memeriksa jurnal dan kehadiran siswa. (2) Guru menulis hari, tanggal, dan judul materi di papan tulis. (3) Guru memberikan motivasi dan pengantar tentang materi belajar. (4) Guru
bertanya jawab dengan siswa tentang hambatan yang ditemui saat menulis cerpen. (5) Guru menunjukkan media pembelajaran berupa kartu kata berukuran A4. Di setiap lembar kartu kata terdapat huruf L, A, S, K, A, R. (6) Guru menunjuk siswa untuk menyebutkan kata yang diawali dengan huruf L, A, S, K, A, R. (7) Siswa berlatih menulis bagian cerpen diawali dengan huruf “L”, “A”, “S”, “K”, “A”, “R”. (8) Guru memberi kesempatan kepada siswa untuk membacakan hasil kerjanya. (9) Guru dan kolaborator mencatat identitas siswa dan tingkat keberhasilan siswa dalam berlatih. (10) Siswa mengomentari pekerjaan temannya. (11) Guru memberikan komentar terhadap hasil kerja siswa secara acak. (12) Guru memberikan penguatan terhadap pembelajaran hari itu. (13) Siswa diminta mengumpulkan hasil kerjanya. (14) Guru menginformasikan rencana pembelajaran pada pertemuan yang akan dating. (15) Guru menutup pelajaran dengan salam. Tindakan pada pertemuan ke2 meliputi kegiatan (1) Guru memeriksa jurnal dan kehadiran siswa. (2) Guru mengingatkan kembali tujuan pembelajaran dan materi pelajaran pertemuan sebelumnya. (3) Guru membagikan bagian-bagian cerpen karya siswa. (4) Guru menugasi siswa untuk merangkai bagian-bagian cerpen yang telah ditulis menjadi sebuah cerpen secara utuh. (5) Siswa saling menukarkan cerpen yang telah ditulis. (6) Guru menugasi siswa untuk membacakan hasil kerja temannya. (7) Siswa mengomentari pekerjaan temannya. (8) Siswa mengembalikan pekerjaan temannya. (9) Guru memberikan komentar terhadap hasil kerja siswa secara
NOSI Volume 1, Nomor 2, Agustus 2013 ___________________________Halaman | 118
acak. (10) Guru memberikan penguatan terhadap pembelajaran hari itu. (11) Siswa diminta mengumpulkan hasil kerjanya. (12) Guru menginformasikan rencana pembelajaran pada pertemuan yang akan dating. (13) Guru meminta siswa mengisi angket berisi tanggapan terhadap pembelajaran. (14) Guru menutup pelajaran dengan salam. Pengamatan diisi dengan kegiatan kolaborator melakukan pengamatan selama kegiatan pembelajaran berlangsung dengan menggunakan lembar pengamatan aktivitas siswa dan lembar pengamatan aktivitas guru yang telah dibuat. Hasil pengamatan ini akan dipakai sebagai dasar bagi refleksi. Refleksi diisi dengan kegiatan peneliti dan kolaborator mengadakan diskusi. Tujuannya untuk mengetahui kelemahankelemahan yang terjadi pada tahap tindakan. Selain itu, hasil refleksi akan digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk menyusun kegiatan siklus II. Indikator keberhasilan penelitian meliputi: (1) Daya serap klasikal terhadap Kompetensi Dasar menulis karangan berdasarkan kehidupan diri sendiri dan pengalaman orang lain dalam cerita pendek sebesar 80%. (2) Siswa memiliki skor minimal 16 atau setara dengan nilai 80 untuk penilaian proses pembelajaran. (3) Siswa memiliki skor minimal 38 atau setara dengan nilai 76 untuk penilaian hasil pembelajaran. Aspek penilaian proses belajar siswa meliputi keberanian menjawab, ketepatan jawaban, ketekunan bekerja, dan pemahaman terhadap perintah. Skor keberanian
menjawab 1-3. Aspek penilaian ketepatan jawaban memiliki skor 14. Aspek penilaian ketekunan bekerja 1-4. Aspek penilaian pemahaman terhadap perintah berskor 1-4. Sesuai dengan kajian pustaka, aspek penilaian hasil pembelajaran menulis puisi ini meliputi permasalahan (konflik), alur (rangkaian peristiwa), tokoh dan karakterisasi, latar (tempat, waktu, dan suasana/sosial), dan gaya (model dialog dan narasi). Masing-masing aspek penilaian tersebut memiliki skor maksimal 5. Pertama, aspek penilaian permasalahan didasarkan pada kompleksitas konflik dalam kaitannya dengan jumlah tokoh. Jika permasalahan melibatkan lebih dari 3 tokoh mendapat skor 5, melibatkan 3 tokoh berskor 4, melibatkan 2 tokoh berskor 3, melibatkan seorang tokoh berskor 2, dan tidak memunculkan permasalahan secara jelas berskor 1. Kedua, aspek penilaian alur didasarkan pada munculnya pergantian peristiwa dalam cerpen. Bila terdapat lebih dari 4 pergantian peristiwa berskor 5, terdapat 4 pergantian peristiwa berskor 4, terdapat 3 pergantian peristiwa berskor 3, terdapat 2 pergantian peristiwa berskor 2, dan terdapat 1 peristiwa berskor 1. Ketiga, aspek penilaian tokoh dan karakterisasi. Jika karakterisasi lebih dari 3 tokoh mendukung permasalahan utama diberi skor 5, karakterisasi 3 tokoh mendukung permasalahan utama berskor 4, karakterisasi 2 tokoh mendukung permasalahan utama berskor 3, karakterisasi tokoh kurang jelas namun berkaitan permasalahan utama berskor 2, dan karakterisasi tokoh kurang jelas dan tidak
NOSI Volume 1, Nomor 2, Agustus 2013 ___________________________Halaman | 119
berkaitan permasalahan utama berskor 1. Keempat, aspek penilaian latar. Latar cerpen karya siswa diberi skor 5 bila terdapat 3 deskripsi latar secara berimbang, berskor 4 bila terdapat 3 deskripsi latar namun kurang berimbang, berskor 3 bila terdapat 2 deskripsi latar secara berimbang, berskor 2 bila terdapat 2 deskripsi latar namun kurang berimbang, dan berskor 1 bila terdapat 1 deskripsi latar. Terakhir, aspek penilaian gaya. Sesuai kajian pustaka, gaya yang dimaksud adalah perpaduan dialog dan narasi. Cerpen bernarasi dan dialog berimbang dengan ungkapan-ungkapan baru berskor 5, pemakaian narasi dan dialog berimbang dengan ungkapanungkapan klise/umum berskor 4, pemakaian narasi dan dialog kurang berimbang namun terdapat ungkapan-ungkapan baru berskor 3, narasi dan dialog kurang berimbang dengan ungkapan-ungkapan klise berskor 2, dan hanya berisi dialog atau narasi berskor 1. Instrumen pengamatan aktivitas guru oleh siswa dan kolaborator disajikan dalam satu bentuk. Sasaran pengamatan meliputi 20 indikator dengan skor 1-4. Bila kurang diberi skor 1, cukup berskor 2, baik berskor 3, dan sangat baik berskor 4. Selanjutnya dari 20 indikator, dikelompokkan menjadi 3 bagian, meliputi pendahuluan pembelajaran, inti pembelajaran, dan penutup pembelajaran. Analisis data penelitian ini mengacu pada model alir Miles Huberman dalam Hopkins (2011:132) yang meliputi tiga komponen yaitu (1) mereduksi data; (2) penyajian data; (3) penarikan kesimpulan dan verifikasi. Ketiga
kegiatan ini dilakukan secara beruntun. Selanjutnya data dianalisis dengan langkah-langkah: (1) Mendokumentasikan data yang diperoleh dari setiap tindakan. (2) Menghitung rata-rata skor dan nilai setiap siklus. (3) Menghitung selisih data antartindakan dari setiap aspek. (4) Menghitung selisih data antartindakan dari setiap aspek dalam bentuk persen. (5) Membandingkan data antartindakan. (6) Menyata-kan hubungan antartindakan dalam pernyataan kuantitatif maupun kualitatif. HASIL DAN PEMBAHASAN Prasiklus penelitian tindakan menulis cerpen ini dilaksanakan dalam dua pertemuan. Setiap pertemuan memerlukan waktu 2 x 45 menit. Pertemuan pertama dilaksanakan pada hari Sabtu, 6 April 2013 pukul 11.00-12.30 WIB. Pertemuan kedua dilaksanakan pada hari Kamis, 11 April 2013 pukul 13.45-15.15 WIB. Pertemuan pertama pembelajaran dibagi menjadi tiga bagian, yaitu kegiatan pendahuluan, kegiatan inti, dan kegiatan penutup Pertemuan kedua berlangsung selama 90 menit. Sepuluh menit pertama diisi kegiatan pendahuluan, 70 menit berikutnya kegiatan inti, dan 10 menit terakhir kegiatan penutup Pembelajaran menulis cerpen selama dua kali pertemuan secara umum mampu menarik perhatian siswa. Hal ini terbukti dari komentar siswa secara lisan maupun tanggapan yang disampaikan secara tertulis dalam bentuk lembar pengamatan.
NOSI Volume 1, Nomor 2, Agustus 2013 ___________________________Halaman | 120
Namun demikian berdasarkan pengamatan guru dan kolaborator, pembelajaran menulis cerpen ini belumlah berhasil. Hal ini terlihat pada penilaian proses dan hasil pembelajaran. Berdasarkan rubrik penilaian proses, dari 35 siswa yang mengikuti pembelajaran, hanya 3 orang yang berani menyampaikan kesulitannya, yaitu Besty, Cyntia, dan Firena. Selain itu susana kelas kurang kondusif karena sebagian besar siswa menghabiskan waktunya untuk mengobrol atau beraktivitas lain yang tidak berkaitan dengan kegiatan menulis cerpen. Berdasarkan rubrik penilaian hasil pembelajaran menulis cerpen dengan 5 aspek penilaian (pemunculan konflik, rangkaian peristiwa pembentuk alur, penokohan, pelataran cerpen, dan gaya), terdapat 7 siswa tuntas KKM, 2 siswa tidak mengumpulkan hasil karya, dan 26 siswa belum tuntas KKM. Selain itu, ditemukan pula beberapa kelemahan. Pertama, kelemahan terlihat pada kemampuan siswa dalam menemukan ide. Kedua, kelemahan dalam mengembangkan ide menjadi konflik. Ketiga, menghubungkan konflik dengan tokoh. Terakhir, menghubung-kan konflik dengan latar cerita. Siklus I dirancang dalam dua kali pertemuan, masing-masing 2 x 45 menit. Pertemuan pertama, diisi kegiatan pendahuluan pembelajaran, kegiatan inti pembelajaran, dan kegiatan penutup pembelajaran. Pada 10 menit pertama diisi kegiatan (1) Siswa secara individu bertanya jawab dengan guru mengenai kompetensi
dasar, misalnya “Apakah tujuan pembelajaran menulis cerpen?”, “Bagaimana hubungan antara keterampilan menulis cerpen dengan uang saku Anda?”, “Apa judul cerpen yang terakhir Anda baca?”, dan sebagainya. (2) Siswa menyepakati tujuan pembelajaran yang ingin dicapai, misalnya “Mampu menulis sebuah cerpen dengan konflik, penokohan, dan latar yang menarik”. (3) Siswa bersama guru bertanya jawab tentang materi yang telah dibahas dalam hubungannya dengan materi yang akan dibahas, misalnya keterkaitan unsur intrinsik cerpen dengan proses kreatif menulis cerpen. Kegiatan inti pembelajaran selama 70 menit meliputi (1) Siswa mendengarkan penjelasan singkat mengenai urutan kegiatan menulis cerpen yang akan dilaksanakan berupa pencarian ide dengan menjawab pertanyaan “Apa masalah yang akan saya ceritakan?”, pengendapan ide dengan menjawab pertanyaan “Mengapa saya ceritakan?”, dan pengolahan ide dengan menjawab pertanyaan “Siapa tokohnya dan bagaimana latarnya?”. (2) Siswa secara individu berlatih menulis bagian cerpen diawali dengan huruf “L”, huruf “A”, huruf “S”, huruf “K”, huruf “A”, dan huruf “R”. (3) Siswa mengomunikasikan secara lisan bagian-bagian cerpen yang telah ditulisnya secara klasikal. (4) Siswa lainnya memberikan komentar mengenai isi, keunggulan, atau kekurangan. Kegiatan penutup selama 10 menit meliputi (1) Beberapa siswa berkomentar mengenai kegiatan menulis bagian-bagian cerpen yang telah dijalaninya. (2) Siswa menerima penguatan dan komentar mengenai proses kreatif menulis
NOSI Volume 1, Nomor 2, Agustus 2013 ___________________________Halaman | 121
cerpen dari guru. (3) Siswa mengumpulkan hasil karya berupa bagian-bagian cerpen secara individu kepada guru. Pertemuan ke-2 direncanakan selama 90 menit. Kegiatan pendahuluan selama 10 menit meliputi (1) Siswa bersama guru bertanya jawab mengenai kompetensi dasar, misalnya “Mengapa keterampilan menulis cerpen diajarkan secara berulang?”. (2) Siswa menerima bagian-bagian cerpen yang telah ditulisnya. (3) Siswa bersama guru bertanya jawab tentang materi yang telah dibahas dalam hubungannya dengan materi yang akan dibahas, misalnya “Bagaimanakah hubungan antara penokohan dengan latar cerpen?”. Kegiatan inti selama 70 menit meliputi (1) Siswa mendengarkan penjelasan singkat mengenai urutan kegiatan menulis cerpen secara individu yang akan dilaksanakan, misalnya cara menghubungkan bagian-bagian cerpen dengan cara menunjuk atau dengan cara mengulang. (2) Siswa membacakan beberapa bagian cerpen yang telah ditulis kemudian menjelaskan hubungan antarbagian cerpen secara lisan, misalnya siswa membacakan penggalan latar dan dialog, lalu menjelaskan hubungan di antara keduanya. (3) Siswa merangkai bagian-bagian cerpen yang telah ditulis menjadi sebuah cerpen yang utuh, sehingga terdapat bagian cerpen berfungsi sebagai pembuka, puncak konflik, dan penyelesaian. (4) Siswa saling menukarkan cerpen yang telah ditulis untuk disunting. (5) Siswa mengomunikasikan hasil kerja. Kegiatan penutup selama 10 menit meliputi (1) Siswa berkomentar mengenai kegiatan
pembelajaran yang telah dijalaninya, terutama berkaitan dengan teknik menulis bagian-bagian cerpen yang dimulai dari huruf tertentu menjadi kata, lalu kata dikembangkan menjadi kalimat, kalimat menjadi paragraf, hingga merangkainya menjadi sebuah cerpen. (2) Siswa menerima penguatan dan komentar dari guru mengenai teknik akrostik. (3) Siswa mengumpulkan hasil karyanya. (4) Siswa mengisi angket berkaitan dengan pembelajaran. Ketika kegiatan tanya jawab dirasa cukup, sampailah pada komentar siswa untuk guru dan pembelajaran secara umum. Ternyata sebagian besar siswa memberikan komentar mengenai keterbatasan waktu menulis cerpen. Komentar ini ditanggapi guru dengan memberi penjelasan bahwa berdasarkan survei awal pembelajaran, 45 persen siswa memerlukan waktu kurang dari 90 menit untuk menyelesaikan sebuah cerpen. Tanggapan ini relatif memuaskan siswa sehingga guru melanjutkan pada kegiatan inti. Pada kegiatan inti, permainan akrostik tidak menggunakan kata LASKAR seperti pada perencanaan, tetapi menampung usulan siswa dengan memilih kata CERITA. Keenam huruf tersebut dibuat kuis sebagai huruf pertama setiap kata. Guru menunjuk siswa yang duduk di deret paling kanan untuk menyebut kata yang diawali dengan huruf “C”, deret berikutnya huruf “E”, “R”, “I”, “T”, “A”. Guru menyeleksi kata usulan siswa sehingga ditemukan kata cermat, ekor, rintik, istana, tulisan, dan awan. Kata-kata tersebut diuraikan menjadi kalimat, selanjutnya dikembangkan menjadi bagian cerpen berupa narasi atau
NOSI Volume 1, Nomor 2, Agustus 2013 ___________________________Halaman | 122
dialog. Siswa diperbolehkan menggunakan huruf awal yang sama namun menjadi kata yang berbeda, misalnya ‘t’ bukan lagi kata temaram tetapi kata tendangan, tembakan, tuturan, dan sebagainya. Untuk memulihkan suasana pembelajaran agar lebih kondusif, guru mendatangi siswa pemicu kegaduhan dan memeriksa pekerjaannya. Langkah ini cukup efektif karena suasana menjadi tenang dan siswa kembali menekuni pekerjaan hingga mendekati menit ke-80. Pada sisa waktu 10 menit terakhir suasana menjadi gaduh kembali karena siswa bernama Aldian dan Besty mengumpulkan pekerjaannya. Guru membacakan pekerjaan Aldian dengan tujuan untuk menarik perhatian siswa dan mengurangi kegaduhan. Usaha guru mengurangi kegaduh-an belum juga berhasil namun waktu pembelajaran telah berakhir. Siswa mengumpulkan pekerjaan dan pembela-jaran ditutup tanpa penguatan dari guru. Pada pertemuan ke-2 terdapat penyimpangan dari rencana pembelajaran yang telah ditetapkan. Penyimpangan pertama terjadi pada kegiatan pendahuluan, yaitu Tanya jawab mengenai kompetensi dasar ditiadakan. Sebagai penggantinya, tanya jawab difokuskan pada penggalan cerpen karya siswa yang telah dikomentari guru secara tertulis. Kegiatan ini dibatasi hingga tidak melebihi 10 menit. Aldino ditunjuk membacakan bagian cerpen karena siswa ini cukup produktif. Namun bagian cerpen yang ditulis tidak berhubungan ditinjau dari ide pokok cerita maupun keterkaitan konflik tokoh. Kegiatan inti pertemuan ke-2 adalah merangkai bagian-bagian
cerpen menjadi sebuah cerpen secara utuh. Ada dua kegiatan yang telah direncanakan namun tidak dilaksanakan. Keduanya adalah menukarkan cerpen siswa untuk saling disunting dan mengomunikasikan hasil kerja siswa. Menyunting dan mengomunikasikan karya tidak dilakukan karena aktivitas merangkai bagian cerpen cukup menyita waktu dan konsentrasi siswa. Sebagai pengganti kegiatan menyunting dan mengomunikasikan karya, guru mendatangi beberapa siswa, baik yang sangat tekun berkarya maupun siswa yang kurang tekun berkarya. Siswa berkategori tekun berkarya seperti Adinda, Dezzalina, Dita, Naufal, dan Nur Afida didatangi untuk semakin memantapkan karya, terutama berkaitan dengan penokohan dan seni membentuk konflik cerita. Adapun siswa berkategori kurang tekun bekerja, seperti Ajeng, Farah, Fariz, M. Dawilah, M. Dimas, M. Nadhif, Novita, Nur Afida, Riza, Sabilurrahma, dan Selmina, didatangi untuk melacak kesulitannya atau memberikan perhatian agar kembali berkarya. Kegiatan penutup pertemuan kedua diisi aktivitas pengumpulan hasil karya siswa. Selain itu, guru juga memberikan penguatan meskipun siswa kurang memperhatikan. Akhirnya guru meminta siswa memberikan masukan terhadap pembelajaran yang telah dijalani dengan cara mengisi angket. Beberapa siswa tidak mengisi angket karena sedang menyelesaikan cerpennya. Berdasarkan indikator keberhasil-an, proses pembelajaran menulis cerita pendek dengan menggunakan Teknik Akrostik
NOSI Volume 1, Nomor 2, Agustus 2013 ___________________________Halaman | 123
Kompi 9 (K-9) belumlah berhasil. Hal ini terlihat dari empat aspek penilaian proses, ketuntasan hanya dicapai 10 siswa atau 38,24%. Selain
itu terlihat pula nilai rata-rata hanya 69, padahal yang ditargetkan sebesar 80.
Tabel 1 Pembelajaran pada Siklus I No 1. 2.
Uraian Proses pembelajaran menulis cerita pendek Hasil pembelajaran menulis cerita pendek
Jumlah Siswa 35 35
80 78 76 74 72 70 68 66 64 62 60
Tuntas Belum Rata-rata Tuntas Nilai 13 22 69 12
23
67,3
Target Hasil
Proses Pembelajaran
Hasil Pembelajaran
Diagram 1 Proses dan Hasil Pembelajaran Siklus I
Berdasarkan observasi kolabora-tor, guru belum bisa menciptakan pembelajaran yang ideal. Hal ini terlihat dari 20 aspek observasi, ternyata hanya 5 aspek yang memenuhi target. Selebihnya termasuk kriteria baik dan beberapa aspek cukup. Dengan kata lain, kemampuan guru baru mencapai 50%. Terdapat beberapa catatan setelah siklus I dilaksanakan. Intinya mengarah pada bentuk perbaikan siklus I dan masih diperlukannya siklus II.
Selanjutnya, pembahasan refleksi berkaitan dengan penilaian hasil. Peneliti dan kolaborator menyepakati beberapa hal berkaitan dengan kegiatan ini. Pertama, lebih dari setengah jumlah siswa mengalami kesulitan mengolah ide hingga membentuk konflik. Konflik dalam cerpen karya siswa cenderung konflik fisik dan terjadi antartokoh. Permasalahan ini pada siklus II diantisipasi dengan langkah permainan teka-teki, misal-nya ”Perwira menemukan ’D’ di laci
NOSI Volume 1, Nomor 2, Agustus 2013 ___________________________Halaman | 124
meja guru ketika akan mengambil jurnal kelas.”; ”Apakah ’D’ yang dimaksud?”; ”Bagaimana suasana hati Perwira setelah menemukan ’D’?; ”Apa yang dilakukan Perwira?”, ”Bagai-mana jika Perwira dituduh mencuri ’D’?”; dan seterusnya. Kedua, secara umum siswa mengalami kesulitan dalam merangkai peristiwa hingga menjadi sebuah alur cerita. Sebagai buktinya, hampir semua cerpen karya siswa menyajikan sebuah sebab terjadinya peristiwa sekaligus sebuah akibat dari peristiwa itu. Belum banyak yang mencoba menulis sebuah sebab peristiwa dengan beragam akibat yang melibatkan beberapa tokoh. Pada siklus II kendala ini akan diantisipasi dengan permainan akrostik, misalnya ”Perwira berencana menyerahkan ’D’ yang ditemukan kepada ’S’ sekolah.”; ”Siapakah ’S’ yangdimaksud?”;”Selain ’S’, siapakah yang akan dipilih Perwira untuk menerima ’D’? ”;- ”Bagaimanakah reaksi tokoh-tokoh itu terhadap Perwira?”, dan seterusnya. Ketiga, kemampuan siswa dalam menghadirkan tokoh dan karakter relatif bagus untuk sebagian kecil siswa seperti Naufal Faras. Naufal mam-pu menghadirkan lebih dari 3 tokoh dengan tetap mendukung permasalahan utama. Namun Ridlo, M. Hafiz, M. Dimas, M. Dawilah, Ghazian, dan Fariz mengalami permasalahan serius berkaitan dengan tokoh dan karakterisasi. Usaha mencari solusi terhadap permasalahan ini, pada siklus II akan ditem-puh langkah akrostik pula, misalnya dengan menyajikan pertanyaan
”Salah satu sifat Perwira adalah ’P’.”; ”Apakah ’P’ yang dimaksud?”; ”Mengapa sifat ’P’ itu sering muncul?”; ”Apa kebaikan sifat ’P’ itu?”; ”Apa kekurang-an sifat ’P’ itu?”; ”Apakah permasalahan yang pernah dialami Perwira dengan sifat ’P’ itu?”, dan seterusnya. Keempat, keterampilan siswa menggambarkan latar cerita. Cerpen karya siswa umumnya bermasalah pada upaya penggambaran detail latar, baik latar tempat, waktu, suasana, maupun latar sosial. Detail latar tampak kurang logis karena pengamatan hanya dilakukan secara sekilas. Pada siklus II, permasalahan latar diatasi dengan mengarahkan imaji siswa melalui jawaban pertanyaan ”Dimana tokoh Perwira menemukan dompet?”, ”Apa benda yang terdapat di sekitar tempat itu?”, ”Suara apa saja yang terdengar di tempat itu?”, ”Bagaimana aroma yang tercium di tempat itu?”, ”Bagaimana suasana di tempat itu?”, dan sebagainya. Kelima, keterampilan siswa dalam mengungkapkan gaya bercerita dengan memadukan dialog tokoh dan narasi pencerita. Permasalahan gaya ini tidak sekompleks alur, penokohan, dan latar. Secara umum siswa telah mampu membedakan narasi dengan dialog. Namun komposisi di antara keduanya menjadi bermasalah karena beberapa siswa terlalu asyik dengan dialog sehingga melupakan narasi, demikian sebaliknya. Permasalahan gaya ini pada siklus II diantisipasi dengan menerapkan cara melacak
NOSI Volume 1, Nomor 2, Agustus 2013 ___________________________Halaman | 125
pencerita dan interaksi antartokoh. Melacak pencerita berarti siswa menuliskan narasi cerpen, sedangkan interaksi antartokoh berarti siswa menulis percakapan tokoh. Siklus II dirancang berdasarkan kondisi pembelajaran pada siklus I, khususnya catatan refleksi. Catatan refleksi ini merupakan perpaduan pengamatan peneliti, komentar kolaborator, komentar siswa pada akhir pembelajaran, angket pengamatan yang diisi siswa, nilai proses pembelajaran, dan nilai hasil pembelajaran. Siklus II dilaksanakan pada hari Selasa, 30 April 2013 pukul 12.15-13.45 dan pada hari Rabu, 1 Mei 2013 pukul 06.45-08.15. Pertemuan pertama selama 2 x 45 menit diawali dengan kegiatan pendahuluan. Suasana kelas tidak begitu kondusif karena siswa tampak lelah sehingga kurang bergairah mengikuti pembelajaran. Guru membatalkan kegiatan tanya jawab untuk mengawali pembelajaran. Sebagai pengganti, guru menayangkan rubrik penilaian menulis cerpen. Sebelumnya guru telah membagikan cerpen kepada setiap siswa. Siswa bernama Ajeng, Nadhif, dan Ongko tidak menerima cerpen karena memang tidak mengumpulkan. Suasana kelas belum juga kondusif meskipun guru telah memberikan penjelasan berkaitan dengan rubrik penilaian cerpen. Guru berusaha menarik perhatian siswa dengan menayangkan penggalan cerpen tulisan guru. Tampaknya langkah ini masih belum mampu menarik perhatian siswa, sehingga guru menunjuk salah seorang siswa untuk membacakannya. Di akhir penggalan cerpen tulisan guru,
disajikan pertanyaan “Bagaimana kelanjutan dialognya?” atau “Bagaimana kelanjutan narasinya?”. Langkah tersebut ternyata berhasil mengondisikan siswa. Memang, beberapa siswa masih ada yang belum siap mengikuti pembelajaran. Guru mengantisipasi siswa yang belum siap mengikuti pembelajaran dengan mengajukan pertanyaan. Mengingat suasana kelas mulai kondusif, guru menantang siswa untuk menemukan ide cerpen berdasarkan pengalaman diri sendiri maupun pengalaman orang lain. Pada tahap penggalian ide, guru mengajukan pertanyaan “Apakah pengalamanmu berkaitan dengan ‘PELANGI’?”; “Apakah permasalahan yang muncul berkaitan dengan ‘PELANGI’?”; “Siapa tokoh yang akan diceritakan?”; “Bagaimanakah latar cerita yang melingkupi tokoh tersebut?”; “Apakah pesan yang ingin Anda sampaikan melalui cerita itu?”. Guru menayangkan kata ‘PELANGI’ dan meminta siswa untuk menyebut-kan kata yang diawali huruf P, E, L, A, N, G, dan I. Untuk menguji keaktifan siswa, guru dengan sengaja tidak menunjuk siswa. Langkah ini sedikit berbeda dengan siklus I saat siswa selalu ditunjuk guru. Guru menampung semua kata usulan siswa, sehingga terkumpul kata pagi, peluh, pemandangan, ekor, editor, efek, elang, langit, laba, laboratorium, ladang, laga, air, angin, api, ajaran, ahli, nisan, nada, nasihat, nasib, gaung, gerobak, gelas, gambar, gamelan, galian, ilmu, ilham, impian, induk, dan sebagainya. Kata-kata usulan siswa untuk sementara tidak dibatasi jenis maupun jumlahnya. Hal ini bertujuan
NOSI Volume 1, Nomor 2, Agustus 2013 ___________________________Halaman | 126
untuk membangkitkan keberanian siswa. Tahap berikutnya, guru menghubungkan ketujuh huruf tersebut dengan unsur intrinsik cerpen dan mengolahnya dalam bentuk kalimat perintah, seperti (1) Tulislah deskripsi tokoh cerpen diawali huruf “P”. (2) Tulislah bagian konflik cerpen diawali huruf “E”. (3) Tulislah narasi cerpen berupa latar tempat diawali huruf “L”. (4) Tulislah dialog antartokoh diawali huruf “A”. (5) Tulislah narasi cerpen berupa latar waktu diawali huruf “N”. (6) Tulislah konflik batin tokoh cerpen diawali huruf “G”. (7) Tulislah dialog atau narasi akhir cerpen diawali huruf “I”. Suasana kelas tidak terlalu gaduh, tetapi siswa tampak kurang berminat pada kegiatan menulis cerpen. Guru mengalihkan perhatian siswa dengan kuis ringan, “Lima siswa pertama yang berani membacakan hasil karyanya, mendapatkan tambahan nilai proses”. Kuis ini ternyata belum mampu menarik minat siswa sehingga guru menunjuk Besty dan Dita untuk membacakan karyanya. Langkah penunjukan ini mulai menampakkan hasil. Siswa yang kurang memperhatikan dan kurang berminat menulis cerpen seperti Ridho, Nadhif, M. Dimas, Faris, dan Evan tampak mulai berkarya. Guru dengan sengaja tidak memberi penjelasan secara klasikal karena siswa tampak asyik menulis bagian-bagian cerpen. Sebagai pengganti, guru mendatangi setiap meja siswa dan memantau kendala yang dihadapinya serta memberi alternatif solusi. Suasana pembelajaran pada pertemuan ke-2 siklus II sangat kondusif. Salah satu fakta pendukungnya, pembelajaran
berlangsung pagi hari. Melihat kondisi yang sangat bagus, guru melakukan beberapa perubahan. Perubahan mendasar yang dilakukan adalah mengurangi kegiatan pendahuluan pembelajaran. Langkah ini dilakukan setelah mendapat usulan dari siswa terkait waktu penulisan cerpen yang dianggap kurang. Akhirnya guru hanya membagikan bagian-bagian cerpen yang ditulis siswa dan memotivasi secara singkat dengan kalimat “Siapa yang ingin meraih popularitas dunia dan dicintai Allah, maka menulislah!” Memasuki kegiatan inti, guru tidak lagi menayangkan penggalan cerpen milik beberapa siswa seperti yang telah direncanakan. Sebagai pengganti, guru melatih siswa untuk mempertajam konflik cerita dengan teka-teki. Pelatihan mempertajam konflik secara lisan ini berlangsung hingga menit ke-15. Menit berikutnya guru melatih siswa merangkai peristiwa hingga menjadi alur cerita dengan permainan akrostik. Dengan adanya pelatihan mempertajam konflik dan membentuk alur, suasana kelas menjadi sangat kondusif. Indikatornya, sebagian besar siswa tampak asyik berkarya meskipun masih ada juga siswa yang kurang tekun, bahkan bermain telepon genggam. Setelah didatangi, ternyata siswa tersebut (Ridlo dan Evan) melacak cerpen dari internet. Guru tidak berani lagi memberi keterangan atau komentar secara klasikal karena siswa tampak asyik berkarya merangkai bagianbagian cerpen atau meneruskan cerpen yang belum selesai. Sebagai pengganti keterangan atau komentar secara klasikal, guru mendatangi
NOSI Volume 1, Nomor 2, Agustus 2013 ___________________________Halaman | 127
bangku siswa untuk memantau proses kreatif sehingga duplikasi atau plagiasi cerpen dapat dicegah. Selain itu, pemantauan bertujuan untuk menampung kesulitan siswa dan memberikan pilihan solusi. Memasuki menit ke-80, guru memaksakan diri memberi penguatan secara klasikal karena waktu pembelajaran hampir usai. Langkah ini ternyata tidak diperhatikan siswa.
Hingga akhir pembelajaran rencana menukarkan cerpen karya siswa untuk saling disunting juga tidak terlaksana. Hampir semua siswa mampu menyelesaikan cerpen, mengumpulkannya, sekaligus mengisi angket penulisan cerpen. Namun yang menjadi catatan penting, pembelajaran ditutup tanpa penguatan dan simpulan.
Tabel 2 Proses dan Hasil Pembelajaran pada Siklus II No
Uraian
Jumlah Siswa
Tuntas Belum Rata-rata Tuntas Nilai
1.
Proses pembelajaran menulis cerita pendek
35
21
14
77,5
2.
Hasil pembelajaran menulis cerita pendek
35
20
15
76,9
Berdasarkan indikator keberhasil-an, proses pembelajaran menulis cerita pendek dengan menggunakan Teknik Akrostik Kompi 9 (K-9) mulai menampakkan hasil. Hal ini terlihat dari empat aspek penilaian proses, ketuntasan dicapai oleh 21 siswa atau 60%. Selain itu terlihat pula nilai rata-rata
mencapai 77,56 dari target sebesar 80. Selanjutnya, hasil pembelajaran menulis cerita pendek dengan menggunakan Teknik Akrostik Kompi 9 (K-9) pun tampak meningkat. Jumlah siswa mencapai ketuntasan 20 orang atau 62,5%. Di samping itu, siswa memiliki nilai rata-rata 79,6 dari target 76.
80 79 78 77 76 75 74
Target Hasil
Proses Hasil Pembelajaran Pembelajaran
Diagram 2 Proses dan Hasil Pembelajaran Siklus II NOSI Volume 1, Nomor 2, Agustus 2013 ___________________________Halaman | 128
Berdasarkan observasi kolaborator pada siklus II, guru tampak bisa menciptakan pembelajaran mendekati ideal. Hal ini terlihat dari 20 aspek observasi, ternyata 10 aspek memenuhi target amat baik. Selebihnya termasuk kriteria baik dan tidak terdapat satu pun nilai cukup. Siklus II merupakan penyempur-naan dari siklus I. Berdasarkan perencanaan, pelaksanaan, dan observasi siklus II, ditemukan beberapa catatan sebagai bahan refleksi. Namun bertolak dari sisi kebutuhan penelitian, efektivitas, dan ketercapaian materi lain, maka penelitian tindakan kelas ini dibatasi sampai siklus II. Refleksi berkaitan dengan proses pembelajaran menulis cerpen dengan menggunakan teknik akrostik K-9 diuraikan sebagai berikut. Pertama, permasalahan keaktifan siswa dalam mengomunikasikan hasil kerja sudah mulai teratasi. Pada siklus II ini sebagian besar siswa tidak perlu ditunjuk lagi untuk mengomunikasikan hasil kerjanya. Menurut angket yang diisi siswa, perubahan ini salah satunya disebabkan oleh penerapan ’bonus’ nilai proses. Namun demikian keaktifan siswa ini perlu dibatasi agar alokasi waktu terbagi merata untuk semua aspek pembelajaran. Kedua, kecenderungan siswa menjawab dengan tepat dan lengkap namun hasil duplikasi mulai berkurang. Hal ini terjadi setelah guru secara intensif mengawal proses kreatif siswa secara individu dengan mendatangi bangku mereka.
Pemantauan ini berimbas pula pada suasana pembelajaran yang kondusif meskipun terkadang tidak tenang. Ketiga, siswa mulai tampak tekun bekerja dan cermat dalam meman-faatkan waktu. Memang dijumpai siswa (Ajeng, Evan, Firena, M. Dimas Irfano, Ongko, Ridlo) yang belum mengalami perubahan seperti yang diharapkan. Siswa-siswa tersebut telah diantisipasi dengan memberi tantangan berupa kuis atau justru hasil karyanya dijadikan model. Keempat, pemahaman siswa terhadap perintah dan langkah-langkah pembelajaran. Selama 2 kali pertemuan pada siklus II, secara umum siswa memahami langkah-langkah pembelajaran dengan bagus. Sebenarnya ditemukan juga siswa yang tidak utuh memahami langkah-langkah pembelajaran. Antisipasi terhadap kasus ini, guru memanfaatkan siswa terdekat untuk menjelaskan dan memberikan contohnya. Pada pertemuan pertama, Selasa, 30 April 2013 pukul 12.15-13.45, suasana awal pembelajaran kurang kondusif. Setelah membagikan cerpen karya siswa pada siklus I, guru mengubah kegiatan pembelajaran dengan menayangkan rubrik penilaian. Suasana kelas masih belum kondusif juga dan pembelajaran belum memungkinkan untuk memasuki kegiatan inti. Akhirnya guru menayangkan penggalan cerpen tulisan guru lalu meminta salah seorang siswa untuk membacakannya. Langkah ini ternyata mampu membentuk
NOSI Volume 1, Nomor 2, Agustus 2013 ___________________________Halaman | 129
konsentrasi siswa untuk memasuki kegiatan inti. Penulisan bagian-bagian cerpen diawali dengan kegiatan tantangan penggalian ide. Tantangan guru mengajukan pertanyaan ”Apakah pengalamanmu berkaitan dengan ’PELANGI’?” ternyata mampu menarik perhatian siswa. Lebihlebih ketika setiap huruf kata PELANGI diminta untuk menguraikannya menjadi sebuah kata. Tantangan yang diberikan guru kepada siswa tidak berhenti pada kegiatan menjawab pertanyaan penggali ide dan menulis kata yang diawali dengan huruf P, E, L, A, N, G, dan I. Selanjutnya siswa diarahkan menggunakan kata-kata berhururuf awal P, E, L, A, N, G, dan I menjadi sebuah dialog atau narasi cerpen. Rincian perintah itu sebagai berikut (1) Tulislah deskripsi tokoh cerpen diawali huruf “P”; (2) tulislah bagian konflik cerpen diawali huruf “E”. (3) Tulislah narasi cerpen berupa latar tempat diawali huruf “L”; (4) tulislah dialog antartokoh diawali huruf “A”. (5) Tulislah narasi cerpen berupa latar waktu diawali huruf “N”. (6) Tulislah konflik batin tokoh cerpen diawali huruf “G”. (7) Tulislah dialog atau narasi akhir cerpen diawali huruf “I”. Tahapan pembelajaran tersebut ternyata mampu meningkatkan perhatian siswa. Sebagai buktinya, suasana pembelajaran sangat kondusif dan hampir semua siswa mampu menulis 7 penggalan cerpen, meskipun kedalaman isi dan hubungan antarbagian cerpen belum memenuhi kriteria sangat bagus. Dengan
demikian tantangan pertemuan berikutnya adalah menambah bagianbagian cerpen dan merangkainya menjadi sebuah cerpen secara utuh. Pada pertemuan ke-2, kondisi awal pembelajaran sangat kondusif. Penyebabnya, waktu pembelajaran berlangsung pagi hari dan komentar yang disampaikan guru lebih pribadi karena dituliskan di lembar tugas siswa. Untuk itulah guru mengurangi alokasi waktu pendahuluan pembelajaran. Bimbingan guru pada kegiatan inti lebih bersifat pribadi. Langkah ini berdampak pada kecepatan siswa dalam merangkai bagian cerpen. Selain itu, proses kreatif merangkai bagian-bagian cerpen memang khas untuk setiap orang, sehingga keterangan klasikal cenderung tidak diperlukan. Permasalahan keaktifan siswa mengomunikasikan hasil karya dapat diatasi dengan memberikan ‘bonus’ nilai proses. Pemberian ‘bonus’ nilai ini wujud penghargaan yang perlu dilakukan berulang. Selanjutnya masalah duplikasi jawaban mulai berkurang intensitasnya ketika proses kreatif dipantau secara intensif oleh pengajar. Keterlibatan guru dalam mengawal proses kreatif siswa agar orisinalitas terjaga memang memerlukan kesabaran dan kecermatan. Bagian ketiga dari proses pembelajaran yang perlu dibahas adalah ketekunan siswa dalam bekerja dan kecermatan dalam memanfaatkan waktu. Permasalahan ini dapat diatasi dengan intensifikasi kuis dan pemodelan karya siswa, mulai dari model yang kurang bagus hingga model yang sangat bagus. Bagian terakhir dari proses pembelajaran yang perlu dikomentari
NOSI Volume 1, Nomor 2, Agustus 2013 ___________________________Halaman | 130
adalah pemahaman siswa terhadap perintah dan langkah-langkah pembelajaran. Keduanya dapat dioptimalkan ketika memanfaatkan keberadaan tutor sebaya. Artinya,
jika pemahaman perintah dan langkah pembelajaran bermasalah, bukan selalu guru yang menjelaskannya.
Tabel 3 Data Antarsiklus Pembelajaran Menulis Cerita Pendek Menggunakan Teknik Akrostik Kompi 9 (K-9) Uraian
Jumlah Siswa
Proses pembelajaran menulis cerita pendek Hasil pembelajaran menulis cerita pendek
35
No 1. 2.
35
Komentar selanjutnya berkaitan dengan hasil pembelajaran menulis cerpen menggunakan teknik akrostik K-9. Kesulitan siswa dalam menulis cerpen secara utuh salah satunya dapat diatasi dengan pelatihan menulis bagian-bagian cerpen. Mula-mula siswa ‘dipancing’ dengan sebuah huruf yang harus ditulis menjadi kata, kata menjadi kalimat, dan kalimat menjadi paragraf berisi dialog tokoh atau narasi. Kemudian bagian-bagian cerpen berisi gambaran tokoh, konflik tokoh, pelataran, dan dialog dirangkai dengan narasi atau dialog hingga menjadi sebuah cerpen. Teknik Akrotik Kompi 9 dikembangkan dari teori sastra stukturalisme dan dari teori belajar konstruktivis. Goldmann menyebut teorinya sebagai strukturalismegenetik. Artinya, ia percaya bahwa karya sastra merupakan sebuah struktur. Akan tetapi struktur itu bukanlah sesuatu yang statis, melainkan merupakan produk dari proses sejarah yang terus
Tuntas Siklus Siklus I II 13 21 12
20
Belum Tuntas Siklus Siklus I II 22 14 23
715
Rata-rata Nilai Siklus Siklus I I 69 77,5 67,3
berlangsung, proses strukturasi dan destrukturasi yang hidup dan dihayati oleh masyarakat asal karya sastra yang bersangkutan. Dengan kata lain, cerpen merupakan sebuah struktur utuh yang tersusun dari hubungan-hubungan unsur pendukung. ”Dalam kesatuan hubungan tersebut, unsur-unsur tidak memiliki makna sendiri-sendiri. Makna itu timbul dari hubungan antarunsur yang terlibat dalam situasi itu. Dengan demikian, makna penuh sebuah kesatuan atau pengalaman (dalam hal ini berupa cerpen) hanya dapat dipahami sepenuhnya bila seluruh unsur pembentuknya terintegrasi ke dalam sebuah struktur” (Jabrohim, 2009:102). Berdasarkan batasan tersebut, teknik Akrostik Kompi 9 sejalan dengan teori strukturalisme. Hal ini bisa dibuktikan bahwa terciptanya sebuah cerpen secara utuh tentu dimulai dari bagian-bagian cerpen, seperti gambaran konflik, dialog tokoh, penggambaran latar, dan penggambaran ciri-ciri tokoh.
NOSI Volume 1, Nomor 2, Agustus 2013 ___________________________Halaman | 131
76,9
Tabel 4 Data Antarsiklus Aspek-aspek Pembelajaran Menulis Cerita Pendek Menggunakan Teknik Akrostik Kompi 9 (K-9)
No
1. 2. 3. 4. 5.
Aspek Penilian
Permasalahan (konflik) Alur (rangkaian peristiwa) Tokoh dan karakterisasi Latar (tempat, waktu, suasana) Gaya (narasi dan dialog)
Siklus I Jumlah Ratarata 115 71,9
Siklus II Jumlah Ratarata 133 83,1
Peningkatan Jumlah Persen 11,2
15,8
106
66,3
119
74,4
8,1
12,2
106
66,3
116
70,3
4
6
100
62,5
120
75
12,5
20
111
69,4
119
74,4
5
7,2
Teori kedua untuk mengembangkan teknik Akrostik Kompi 9 (K-9) adalah teori pembelajaran konstruktivis. Teori konstruktivis ini menyatakan bahwa siswa harus menemukan sendiri dan mentransformasikan informasi kompleks, mengecek informasi baru dengan aturan-aturan lama dan merevisinya apabila aturan-aturan itu tidak lagi sesuai (Trianto, 2011:28). Jadi kata kunci teori ini adalah menemukan, mentransformasikan, dan mengecek informasi baru dengan aturan-aturan lama. Tahap menemukan dalam teknik Akrostik Kompi 9, dijalani siswa ketika guru menyebut sebuah kata, misalnya CERITA. Lalu setiap huruf yang terdapat pada kata itu dijabarkan menjadi kata tertentu, contohnya Cuma, Enak, Rasanya, Inem, Tiga, Apa. Kata-kata ini biasanya muncul secara spontan sebagai ekspresi pemahaman siswa. Mula-mula kata ini tidak perlu dibatasi karena belum sampai pada langkah mentransformasi.
Ketika akan memasuki tahap transformasi, dilakukanlah kegiatan seleksi terhadap kata-kata temuan siswa. Kemudian kata-kata terpilih dikembangkan menjadi kalimat. Hingga langkah inilah teknik Akrostik Kompi 9 yang mengadaptasi teori belajar konstruktivis diwujudkan. Tahap ketiga adalah mengecek informasi baru dengan aturan-aturan lama. Aturan-aturan lama yang dimaksud di sini misalnya teori tentang unsur intrinsik cerpen. Konsep unsur intrinsik cerpen berupa konflik, penokohan, latar, alur, dan amanat, dipadukan dengan informasi baru dari guru. Informasi baru tersebut bisa berupa kalimat perintah ”Tulislah gambaran munculnya konflik dalam sebuah cerpen diawali dengan huruf C!”. Berdasarkan konsep teori sastra Strukturalisme dan teori belajar Konstruktivis, teknik Akrostik Kompi 9 dalam pembelajaran menulis tidaklah bertentangan dengan kedua teori
NOSI Volume 1, Nomor 2, Agustus 2013 ___________________________Halaman | 132
tersebut. Kedua teori tersebut samasama mengakui bahwa sebuah bentuk (dalam hal ini cerpen) tersusun dari bagian-bagian yang berinteraksi secara dinamis. Untuk itulah pembelajaran menulis cerpen dapat dimulai dari bagian mana pun. Teknik Akrostik memang identik dengan puisi. Hal ini terbukti pada penelitian Devi Sartika dari SMA Negeri 3 Cimahi dan Rifatun Nisa dari SMP Negeri 1 Bojong Kabupaten Tegal, yang menerapkan Teknik Akrostik dalam pembelajaran menulis puisi. Devi Sartika menggunakan Teknik Akrostik tanpa media dalam menulis puisi, sedangkan Rifatun Nisa menggunakan Teknik Akrostik dengan bantuan media Smart Card dalam pembelajaran menulis puisi. Kedua peneliti tersebut menyatakan bahwa teknik akrostik mampu meningkatkan keterampilan siswa dalam menulis puisi. Teknik Akrostik juga digunakan dalam penelitian ini. Hanya saja terdapat perbedaan dalam penerapannya. Pertama, terletak pada karya yang dihasilkan yaitu cerpen. Kedua, terletak pada tambahan nama Kompi 9 di belakang kata akrostik karena secara filosofis mengadaptasi teori sastra Strukturalisme dan teori belajar Konstruktivis. Simpulan Berdasarkan data dan kajian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut. (1) Teknik Akrostik Kompi 9 (K-9) dapat meningkatkan proses pembelajaran menulis cerita pendek siswa kelas X-9 SMA Negeri 3 Malang Tahun Pelajaran 2012/2013 sebesar 12,32%. Peningkatan proses pembelajaran ini meliputi keberanian menjawab, ketepatan jawaban, ketekunan bekerja, dan pemahaman
terhadap perintah. (2) Teknik Akrostik Kompi 9 (K-9) dapat meningkatkan hasil belajar menulis cerita pendek siswa kelas X-9 SMA Negeri 3 Malang Tahun Pelajaran 2012/2013 sebesar 14,26%. Peningkatan hasil pembelajaran ini meliputi kemampuan menghadirkan permasalahan (konflik) cerita, kemampuan merangkai peristiwa menjadi alur cerita, kemampuan memunculkan tokoh cerita dan karakternya, kemampuan menggambarkan latar (tempat, waktu, suasana) cerita, dan kemampuan menata gaya bercerita dengan memadukan dialog tokoh dan narasi. Saran Saran yang dapat diberikan sebagai berikut (1) Guru bahasa Indonesia hendaknya berani mencoba Teknik Akrostik Kompi 9 (K-9) dalam pembelajaran menulis cerita pendek atau materi lain yang sesuai. (2) Guru bahasa Indonesia yang akan menerapkan Teknik Akrostik Kompi 9 (K-9), sebaiknya menyiapkan rubrik penilaian secara cermat agar penilaian tidak bias. (3) Guru bahasa Indonesia hendaknya tegas dan terampil mengelola waktu dalam menerapkan Teknik Akrostik Kompi 9 (K-9), agar pembelajaran terfokus pada pelatihan menulis cerpen. (4) Kepala sekolah hendaknya memfasilitasi guru yang hendak mencoba dan mengembangkan Teknik Akrostik Kompi 9 (K-9). (5) Kepala sekolah dan pengawas mata pelajaran sebaiknya memotivasi para guru untuk selalu berkreasi dan berinovasi dalam memilih teknik pembelajaran. (6) Jajaran dinas pendidikan sebaiknya merancang program dan melaksanakan kegiatan pelatihan berkaitan dengan teknik-teknik
NOSI Volume 1, Nomor 2, Agustus 2013 ___________________________Halaman | 133
pembelajaran, khususnya Akrostik Kompi 9 (K-9).
Teknik
Daftar Rujukan Aksan, Hermawan. 2011. Proses Kreatif Menulis Cerpen. Bandung: Nuansa. Alwi, Hasan. 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Aminuddin. 2011. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algensindo. Amirin, Tatang M. 1986. Menyusun Rencana Penelitian. Jakarta : CV Rajawali. Asrori, Mohammad. 2007. Psikologi Pembelajaran. Bandung: CV Wacana Prima. Darma, Budi.1984. Moral dalam Sastra. Dalam A. Zoeltom (Ed), Budaya Sastra (hlm. 112). Jakarta: Rajawali. Echols, John M. dan Hassan Shadily. 1985. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: Gramedia. Faruk. 1999. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hopkins, David. 2011. Panduan Guru Penelitian Tindakan Kelas a Teacher’s Guide to Classroom Research. Yogyakarta: Pustaka pelajar. Jabrohim dkk. 2009. Cara Menulis Kreatif. Yogyakarta: Pustaka pelajar. Kurniawan, Heru dan Sutardi. 2012. Penulisan Sastra Kreatif. Yogyakarta: Graha Ilmu. J.J. Hasibuan dan Moejiono. 2006. Proses Belajar Mengajar. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Manshur, Faiz. 2012. Genius Menulis: Penerang Batin Para Penulis. Bandung: Nuansa. Munsyi, Alif Danya. 2012. Jadi Penulis? Siapan Takut!: Arahan Mudah Menulis Berita, Puisi, Prosa, dan Drama dalam Bahasa Indonesia yang Pas. Bandung: Kaifa. Noor, Rohinah M. 2011. Pendidikan Karakter Berbasis Sastra Solusi Pendidikan Moral yang Efektif. Jogjakarta: ArRuzz Media. Stanton, Robert. 2012. An Introduction to Fiction (terjemahan Sugihastuti dan Rossi Abi Al Irsyad). Yogyakarta: Pustaka pelajar. Sudjiman, Panuti. 1988. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta : PT Dunia Pustaka Jaya. Sukidin, Basrowi, dan Suranto. 2008. Manajemen Penelitian Tindakan Kelas. Tanpa kota: Insan Cendekia. Tabrani, Primadi. 2006. Kreativitas dan Humanitas: Sebuah Studi tentang Peranan Kreativitas dalam Perikehidupan Manusia. Yogyakarta: Jalasutra. Tarigan, Henry Guntur. 1984. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung : Angkasa. Titik WS (Ed). 2012. Kreatif Menulis Cerita Anak. Bandung: Nuansa. Trianto. 2011. Mendesain Model Pembelajaran InovatifProgresif: Konsep, Landasan, dan Implementasinya pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
NOSI Volume 1, Nomor 2, Agustus 2013 ___________________________Halaman | 134