Putusan Pengadilan Pajak Nomor : Put- 62914/PP/M.XVA/13/2015 Jenis Pajak
: Pajak Penghasilan Pasal 23/26 Final
Tahun Pajak
: 2002
Pokok Sengketa
: bahwa nilai sengketa terbukti dalam sengketa banding ini adalah koreksi Dasar Pengenaan Pajak PPh 23/26 Final Masa Pajak Januari s.d Desember 2002 sebesar USD 2,399,167.93 yang tidak disetujui oleh Pemohon Banding;
Menurut Terbanding : bahwa terdapat kekurangan pembayaran PBDR dari Partner XXX d/h MMM yang menghitung tarif PBDR sebesar 10 % dari tarif yang seharusnya 20% sehingga PBDR yang kurang disetor sebesar USD 239.916,78; Menurut Pemohon
Menurut Majelis
: bukanlah merupakan dasar bahwa kewajiban perpajakan Paladin Resources diambilalih oleh Terbanding. Sebuah PSC adalah suatu kontrak perdata yang didalamnya hanya mengatur hubungan perdata antara para pihak, dan tidak memuat kewajiban perpajakan yang memaksa sebagaimana Undang-undang perpajakan, karena memang tidak boleh dan bukan pada tempatnya; : bahwa berdasarkan penelitian Majelis masalah yang menjadi pokok sengketa adalah sebagai berikut: 1. bahwa Pemohon Banding bukan subjek dari Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) Pajak Penghasilan Pasal 23/26 Final Masa Pajak Januari s.d Desember 2002 Nomor: 00002/245/02/081/12 tanggal 29 November 2012; 2. bahwa prosedur penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) Pajak Penghasilan Pasal 23/26 Final Masa Pajak Januari s.d Desember 2002 Nomor: 00002/245/02/081/12 tanggal 29 November 2012 tidak sesuai dengan ketentuan karena berdasarkan hasil verifikasi bukan berdasarkan pemeriksaan; 3. bahwa materi dalam SKPKB tidak memiliki dasar hukum karena kontrak bagi hasil tidak memuat ketentuan perpajakan sehingga tidak terdapat kekurangan bayar atas bagi hasil 71,1538% : 28,85%;
bahwa adapun sengketa mengenai azas-azas umum pemerintahan yang baik dan Undang-Undang tentang Pelayanan Publik adalah bukan kewenangan Pengadilan Pajak sehingga tidak dibahas lebih lanjut; bahwa dalam persidangan Pemohon Banding memberikan penjelasan tertulis sebagai berikut: 1. Penjelasan tertulis tanpa nomor tanggal 30 Januari 2015, adalah sebagai berikut: bahwa PSC Pemohon Banding, maupun PSC-PSC lainnya baik yang pernah ataupun masih beroperasi tidak menyatakan tarif pajak apapun; bahwa menurut Terbanding, bahwa kewajiban perpajakan dari pemilik interest lama, termasuk kewajiban yang belum ditunaikan beralih kepada pemilik interest baru. Bahwa sebagaimana diuraikan pada matriks sengketa Pemohon Banding pada bagian II. b., dasar-dasar hukum yang dikutip Terbanding hanyalah menyatakan bahwa pemilik interest baru akan memiliki hak dan kewajiban yang sama, dimulai dari masuknya pemilik interest baru sebagai pihak di dalam PSC; bahwa PSC Pemohon Banding hanya memuat ketentuan bagi hasil. Tidak ada di dalamnya ketentuan mengenai tarif pajak penghasilan ataupun branch profit tax (PPh 26); bahwa PP 79 tahun 2010, sesuai dangan Pasal 40 PP tersebut, baru berlaku saat diundangkan, yaitu 20 Desember 2010, sehingga tidak berlaku terhadap kejadian-kejadian sebelum itu, termasuk pengalihan interest dari AAA kepada BBB serta peralihan dari BBB kepada CCC; bahwa proses judicial review dari PP 74 Tahun 2011 sudah terindikasi di website Mahkamah Agung telah dikabulkan. Sebagaimanapula telah diuraikan pada matriks sengketa dari Pemohon Banding pada bagian Ill, hal itu sudah sepantasnya mengingat keberlakuan surut dari PP 74 Tahun 2011 tidak sesuai dengan Undang-undang nomor 12 Tahun 2011 mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan; Hubungan Paladin dan Talisman: bahwa AAA adalah pihak yang berkontrak di dalam PSC Pemohon Banding (Sebelumnya Warrior Oil). Kemudian posisi AAA di dalam PSC pada tahun 2004 digantikan oleh BBB, suatu subyek hukum yang berbeda dengan AAA. AAA tidak "berubah" menjadi BBB. Bahwa kemudian BBB oleh karena kemudian menjadi dimiliki oleh Talisman, berubah menjadi CCC;
BBB Tahun 2004
Pemohon Banding (NWJ)
AAA bahwa sehingga terlihat kewajiban perpajakan, serta penerima penghasilan pada Tahun 2002 adalah AAA, suatu badan hukum yang tentu memiliki BUT yang berbeda dengan CCC; bahwa sebagaimana telah diuraikan pada matriks sengketa Pemohon banding pada bagian II b, status Pemohon Banding adalah terkait pada badan hukumnya dan/atau BUT-nya, terutama kapan suatu badan hukum atau BUT mulai menerima penghasilan. Dalam hal SKPKB yang menjadi dasar sengketa ini, CCC oleh Pemohon Banding dianggap bertanggungjawab terhadap hutang pajak (jika ada) dari AAA, suatu badan hukum/BUT/subjek pajak yang berbeda; bahwa PSC tidak memuat ketentuan bahwa peraturan perundang-undangan pajak yang berlaku adalah peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat PSC ditandatangani; bahwa tidak ada pelekatan wewenang kepada DDD/EEE/FFF untuk mengikatkan kedaulatan perpajakan Negara kepada pihak manapun, termasuk kontraktor Migas. Bahwa DDD/EEE/FFF hanya berwenang khusus untuk permasalahan lifting migas. Hal ini telah pula diuraikan pada matriks sengketa Pemohon Banding pada bagian II b; bahwa aturan perpajakan yang berlaku pada PSC ternyata berdasarkan pada peraturan perundangundangan yang bersifat publik sebagaimana diuraikan pada matriks sengketa Pemohon Banding bagian IV c, yaitu Keputusan Menteri Keuangan Nomor KMK 267/KMK012/1978 (yang kemudian diperbarui dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 458/KMK.012/1984 dan beberapa keputusan Menteri Keuangan berikutnya). Keputusan Menteri Keuangan ini ternyata tunduk pada undang-undang mengenal pajak penghasilan. Dibandingkan dengan tax treaty, maka semua peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan ini adalah lex generalis, sedangkan tax treaty adalah lex specialis;
PSC: bagi hasil
Pajak: UU PPh beserta KMK turunannya, adalah lex generalis.
bahwa tidak ada hubungan antara ketentuan bagi hasil dan pajak. Sedangkan ketentuan lex generalis peraturan perundang-undangan perpajakan dikalahkan oleh ketentuan lex speciolis dari tax treaty; bahwa Terbanding memiliki wewenang hanya untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan perpajakan (bagian IV.f. pada matriks sengketa dari Pemohon Banding). Sehingga seharusnya bertindak berdasarkan hanya peraturan perundang-undangan perpajakan. Sehingga Terbanding tidak bisa mendasarkan tindakannya pada hal lain, apalagi hanya pada kelaziman; bahwa Branch Profit Tax (PPh 26) adalah pajak atas penghasilan dari suatu badan hukum yang berada di luar Indonesia (Penanggung pajak). Hanya saja yang berkewajiban menanggung pajaknya adalah BUT dari badan hukum tersebut yang berada di Indonesia (Pembayar Pajak); 2. Pendapat Akhir tanpa nomor dan tanggal, adalah sebagai berikut: I.
Pengantar
bahwa pendapat akhir ini dibuat untuk mendukung pendapat dari Pemohon Banding dalam Bandingnya terhadap Keputusan Terbanding dalam sengketa pajak nomor 13-080025-2002. Bahwa inti dari sengketa tersebut adalah adanya koreksi terhadap SPT Pemohon Banding, akibat digunakannya tarif PPh 26 (“Branch Profit Tax”/”BPT”) yang berbeda oleh Terbanding, bahwa Pemohon Banding menggunakan tarif 10%, sementara Terbanding menggunakan tarif 20%; bahwa pokok permasalahan dalam Sengketa Pajak ini adalah murni sengketa hukum, dan berdasarkan Pasal 9A UU PTUN Nomor 9 Tahun 2004 jo UU Nomor 51 Tahun 2009 Pengadilan Pajak adalah bagian dari Pengadilan Tata Usaha Negara yang bersifat Khusus (Bukti P-1), oleh karena itu Pemohon berharap permasalahan hukum dalam Sengketa Pajak ini mendapat perhatian yang utama; bahwa dalam pendapat akhir ini, Pemohon Banding akan menguraikan dengan mengenakan tarif 20%, Terbanding telah melakukan sesuatu hal tanpa dasar wewenang yang sah, sehingga tindakan Terbanding tersebut tidak memenuhi syarat terbitnya suatu Keputusan Tata Usaha Negara (“KTUN”) yaitu Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (“SKPKB”), dan oleh karenanya SKPKB tersebut batal demi hukum (Nietig van rechtswege), dianggap tidak pernah ada dari awalnya (Bukti P-2);
bahwa Pemohon Banding juga akan menguraikan, bahwa Pemohon Banding dalam mendasarkan tarif yang digunakannya tersebut (10%) pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu peraturan perundangundangan pajak yang termasuk di dalamnya ketentuan lex specialis dari Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda antara Indonesia dan Inggris Raya serta Irlandia Utara (“P3B”). Sementara Terbanding mendasarkan tarif yang digunakannya (20%) pada suatu hal yang tidak ada, dibuat-buat seakan-akan ada oleh Terbanding. Usaha Terbanding dalam membuat seakan-akan ada dasar hukum untuk penggunaan tarif 20% dapat terlihat dari Surat Uraian Banding, Penjelasan Tertulis Terbanding dalam persidangan, tertanggal 30 Januari 2015 dan keterangan lainnya dari Terbanding baik lisan maupun tulisan dalam persidangan, bahwa Terbanding sama sekali tidak dapat menunjukkan satu pun dasar hukum bahwa tarif 10% berdasarkan P3B tidak dapat digunakan. Penjelasan Terbanding cenderung berputar-putar, mengeluarkan tabel, chart, dan lain sebagainya, yang pada akhirnya menghindari mengulas dan/atau menjawab inti permasalahan, yaitu dasar hukum bahwa Pemohon Banding tidak berhak menggunakan tarif 10% P3B sebagai lex specialis; bahwa sehubungan dengan itu Pemohon Banding akan menguraikan bahwa PSC adalah sebuah perjanjian perdata yang ruang lingkupnya terbatas pada eksplorasi dan produksi migas. PSC tidak memuat tarif pajak, khususnya tarif BPT. Sehubungan dengan itu akan diuraikan pula bahwa tarif pajak terkait PSC sepenuhnya tunduk pada peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku, sehingga sebagaimana halnya pengenaan pajak pada umumnya, ketentuan mengenai tarif yang lebih rendah di dalam P3B (10%) dapat digunakan oleh Pemohon Banding. Dan bahwa Pemohon Banding tidak mempermasalahkan mengenai tarif PPh badan, dikarenakan tarif PPh badan tidak diatur oleh P3B dalam hal ini P3B Indonesia-UK, sehingga memang tidak ada yang bisa dituntut perihal tarif PPh badan ini; bahwa mengingat karakter hukum perdata dan ruang lingkup dari PSC, status Pemohon Banding di dalam PSC, dan lain sebagainya terkait keperdataan PSC tidak relevan untuk dibahas dalam menentukan tarif BPT karena PSC bukan dan tidak boleh menjadi sumber hukum pajak. Tarif BPT tidak ada sangkut pautnya dengan PSC, dan sepenuhnya tunduk pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku, yang di dalamnya termasuk ketentuan P3B. Pendapat akhir ini akan menguraikan bahwa bahwa situasi yang demikian sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta telah pula tertib hukum serta menjamin kepastian hukum, suatu hal yang penting dalam dunia investasi; bahwa mengenai tidak diaturnya tarif di dalam PSC, Pemohon Banding akan awali dengan menguraikan bahwa kewenangan limitatif dari DDD/EEE/FFF terbatas pada melakukan kontrak mengenai eksplorasi dan ekstraksi (“lifting”) minyak dan gas bumi dari perut bumi, dan tidak mencakup kewenangan untuk memperjanjikan tarif pajak. Sehingga akan jelas terlihat bahwa secara hukum, terkait nilai minyak dan gas bumi, Negara mendapatkan pemasukan dari dua sumber yang berbeda dan tidak berhubungan satu sama lain, yaitu bagi hasil dari PSC (Bukan Pajak, berasal dari kontrak perdata), dan Pajak penghasilan serta BPT (Pajak, berdasarkan peraturan perundang-undangan). Hal ini sudah berlangsung dari PSC generasi pertama; bahwa uraian Pemohon Banding dalam pendapat akhir ini akan mengarah kepada kesimpulan bahwa perhitungan total dari dua sumber yang berbeda tersebut, yaitu bagi hasil dan pajak menurut Terbanding, yaitu 85% dari total nilai migas yang diangkat/diproduksi untuk Negara hanya dapat diterapkan jika dasar hukumnya mengizinkan. Bahwa dalam hal dasar hukumnya tidak mengizinkan, sebagaimana terjadi dalam sengketa pajak ini, maka tidak ada pilihan lain bahwa dasar hukum tersebut harus dipatuhi demi kepastian hukum, kestabilan situasi investasi Indonesia, kedaulatan Negara dalam mengenakan pajak, serta kehormatan diplomatik Negara dalam menepati perjanjian internasional (P3B). Dengan kata lain, untuk mendapatkan 85%, dasar hukumnya harus ada dan mengikat, apabila dasar hukumnya tidak ada, maka menurut hukum yang berlaku, pendapatan Negara memang tidak 85%. Oleh karena hukumnya mengatur demikian, tidak ada kerugian Negara apabila akhirnya pendapatan Negara tidak 85%; bahwa Pemohon Banding menyadari bahwa terhadap pokok permasalahan yang sama, yaitu mengenai koreksi atas penerapan Tarif BPT atas bidang usaha Migas yang mungkin disidangkan juga oleh Mejelis ini atau Majelis lain, namun penyusunan jawaban Pemohon atas alasan koreksi Terbanding dan pembuktian yang dilakukan dalam persidangan ini, satu sama lain dapat berbeda, sehingga penilaian pembuktiannya mungkin juga berbeda, dengan demikian, Putusan Pengadilan atas pokok sengketa juga mungkin berbeda pula. (vide Pasal 76 UU Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak); II.
Pokok Sengketa
bahwa inti permasalahan dari sengketa ini adalah: 1. Formil: a. bahwa Pemohon Banding Bukanlah Wajib Pajak yang Bertanggungjawab atas Kewajiban Pajak di Tahun 2002; b. bahwa kewenangan Terbanding: SKPKB nomor No: 00002 /245/02/081/12 Tanggal 29 November 2012 (“SKPKB”) yang diterbitkan Terbanding, yang menjadi pangkal dari sengketa ini telah diterbitkan tanpa dasar wewenang yang sah. Bahwa Terbanding tidak memiliki wewenang untuk: i. Menerbitkan SKPKB berdasarkan verifikasi. Bahwa dasar hukum dari verifikasi, yaitu Peraturan Pemerintah nomor 74 tahun 2011 bertentangan dengan Undang-Undang nomor 6/1983 sebagaimana terakhir diubah dengan UU nomor 16 tahun 2009 mengenai Ketentuan Umum Perpajakan (“UU KUP”) dan Undang-undang nomor 12 Tahun 2011 mengenai pembentukan
peraturan perundang-undangan; ii. Menjaga pendapatan Negara sebesar 85%, sehingga Terbanding tidak boleh melanggar ketentuan P3B dan menetapkan tarif 20%. Wewenang Terbanding adalah terbatas pada melaksanakan peraturan perundang-undangan perpajakan. Ketentuan P3B adalah bagian Peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku di atas keberlakuan peraturan perundang-undangan perpajakan lainnya, yang harus dipatuhi Terbanding; 2. Materiil: bahwa PSC bukan dasar hukum pajak. bahwa PSC tidak relevan dalam menentukan tarif PPh 26 (tarif BPT). Bahwa tarif BPT sepenuhnya tunduk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang termasuk di dalamnya adalah ketentuan dari P3B; bahwa hal-hal tersebut akan diuraikan lebih lanjut di bawah ini; bahwa Pemohon Banding mohon kepada Majelis Hakim Pengadilan Pajak yang mulia, untuk mempertimbangkan kedua pokok sengketa tersebut di atas, mengingat bahwa salah satu saja dari dua pokok sengketa tersebut tidak dipenuhi, maka SKPKB yang menjadi dasar dari sengketa ini adalah batal demi hukum; bahwa dalam Hukum Tata Usaha Negara, sebagai induk dari Hukum Pajak, selama tidak diatur berbeda oleh hukum pajak, maka berlaku pula dalam penyelesaian sengketa perpajakan. Salah satu aturan ini adalah mengenai status dari SKPKB sebagai Keputusan Tata Usaha Negara (“KTUN”), serta syarat sahnya suatu (“KTUN”); bahwa menurut Pasal 1 angka 9 UU No. 5 /1986 Sebagaimana diubah UU No. 51/2009 tentang peradilan Tata Usaha Negara, SKPKB adalah suatu KTUN. Pasal 52 UU No. 30/2014 mengenai Administrasi Negara menyatakan bahwa Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) sah bila memenuhi syarat formil dan materiil. Syarat formil adalah mengenai tata cara penerbitannya, termasuk (namun tidak terbatas kepada) apakah KTUN (dalam hal ini SKPKB) diterbitkan berdasarkan wewenang yang sah. Sedangkan syarat materiil adalah bahwa isi dari KTUN tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Salah satu saja dari dua macam syarat tersebut tidak terpenuhi, maka KTUN tersebut cacat hukum, dianggap tidak pernah ada/batal demi hukum (Pasal 70 UU No. 30/2014) (Bukti P-3). Hal ini sudah lama menjadi azas hukum Tata Usaha Negara (Bukti P-2); 3. Uraian Mengenai Pokok Sengketa A. Pemohon Banding bukan Wajib Pajak yang Seharusnya Menanggung Beban Pajak Tahun 2002 sebagaimana SKPKB nomor No: 00002 /245/02/081/12 Tanggal 29 November 2012 i.
Pemohon Banding belum berdiri pada Tahun 2002
bahwa pada angka 4 huruf d SPUH Direktur Jenderal Pajak telah mengakui sendiri bahwa selama Tahun 2002 kepemilikan berada pada BBB, kemudian Tahun 2004 kepemilikan dialihkan kepada kepada Talisman Energy Resources (NWJ) Ltd d/h BBB Ltd. Bahwa dengan demikian nyata lah pada Tahun 2002 tersebut kepemilikan atas Blok Offshore North West Java (ONWJ) berada pada BBB , sehingga obyek pajak dimaksud tidak berada di bawah Pemohon Banding, dan lagi pula Pemohon Banding baru berdiri di Tahun 2005; bahwa dalam hal terjadi pengalihan interest seperti yang terjadi pada Paladin Resources kepada Pemohon Banding, maka kewajiban perpajakan untuk Tahun Pajak 2002 seharusnya atas nama Paladin Resources tidak diatasnamakan kepada Pemohon Banding, karena pada tahun 2002 tersebut XXX belum berdiri. Sehingga dapat disimpulkan bahwa SKPKB tersebut salah alamat; ii.
Pemohon Banding tidak “mewarisi” kewajiban Pajak “pendahulu”nya di dalam PSC bahwa kutipan dari assignment agreement tanggal 28 April 2004 mengenai pengalihan interest dari Paladin Resources Sunda, yang dikutip Terbanding dalam Pemberitahuan Daftar Hasil Penelitian Keberatannya, yang berbunyi: “Sunda hereby assigns, transfers and conveys to NW Java effective from the date thereof, the interest, and NW Java hereby accepts assignement of the interest and covenants and agrees with Sunda and the Continuing Parties that NW Java shall assume, be bound by, observe and perform the covenants, duties and obligations contained in the PSC insofar as the same relate to the interest as if NW Java had been an original signatory to PSC in respect of the interest.” bahwa bukanlah merupakan dasar bahwa kewajiban perpajakan Paladin Resources diambilalih oleh Termohon Banding. Sebuah PSC adalah suatu kontrak perdata yang didalamnya hanya mengatur hubungan perdata antara para pihak, dan tidak memuat kewajiban perpajakan yang memaksa sebagaimana Undang-undang perpajakan, karena memang tidak boleh dan bukan pada tempatnya; bahwa pada 1978, ketentuan mengenai pajak dipisahkan dari ketentuan mengenai bagi hasil. Ketentuan mengenai pajak diperjelas keberadaannya pada domein hukum publik yaitu pada
peraturan perundang-undangan perpajakan, sedangkan Kontrak Bagi Hasil berada di dalam domein hukum perdata (penegasan ini ini juga diakui Direktur Jenderal Pajak dalam suratnya Nomor: S4344/WPJ.07/2013 tanggal 2 Agustus 2013, khususnya pada angka 4 huruf g, 5 Halaman 14); bahwa sehingga dari uraian diatas dapat dilihat, bahwa PSC ataupun assignment agreement-nya mengatur mengenai peralihan kewajiban yang beralih pada pemilik interest yang baru, hal tersebut hanya mengatur mengenai persetujuan-persetujuan terkait terlaksananya suatu kontrak Migas, misalnya antara lain, siapa penanggung permodalan, kapan kepemilikan minyak dan gas beralih kepada kontraktor, alat-alat apa yang diperlukan, dll. Sementara masalah perpajakan, tunduk penuh kepada peraturan perundang-undangan mengenai pajak. Dalam peraturan perundang-undangan mengenai pajak pemilik interest yang baru, dalam hal ini Pemohon Banding, tidak bertanggungjawab atas kewajiban perpajakan pemilik interest yang lama, apalagi pada saat kewajiban perpajakan tersebut timbul, Pemohon Banding masih belum didirikan; bahwa sehingga dapat dengan jelas terlihat, Pemohon Banding adalah subyek pajak baru yang berdiri sendiri, yang kebetulan, menggantikan posisi Paladin Resources dalam suatu kontrak perdata (PSC). Sedangkan, dari sudut hukum pajak (hukum public), oleh karena Pemohon Banding adalah subyek pajak yang berbeda dari Paladin Resources Sunda, maka kewajiban perpajakan Paladin Resources Sunda tetap berada pada Paladin Resources Sunda, dan tidak dialihkan kepada Pemohon Banding; bahwa apabila Pemohon Banding dinyatakan “mewarisi” kewajiban pajak pendahulunya, maka Terbanding menyalahi ketentuan yang paling mendasar UU PPh, yang tercantum pada pasal 1 UU PPh beserta Penjelasannya. Bahwa menurut pasal ini, Pajak Penghasilan dikenakan terhadap Subjek Pajak atas Penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Pemohon Banding adalah Subjek Pajak yang berbeda dengan Subjek pajak yang seharusnya menanggung beban pajak pada tahun 2002, yaitu Paladin Resources (Sunda). Pemohon Banding baru berdiri pada tahun 2003 sehingga tidak mungkin telah menerima penghasilan pada tahun 2002. Sehingga jelas, Pemohon Banding bukanlah subjek pajak yang menerima penghasilan pada tahun 2002, sehingga berdasarkan pasal 1 UU PPh, tidak dapat dikenakan pajak atas penghasilannya.; bahwa jika Terbanding dibiarkan untuk melanggar aturan yang amat mendasar sehingga ditempatkan pada Pasal 1 UU PPh, maka ini akan dijadikan preseden bagi Terbanding untuk dapat mengesampingkan peraturan perundang-undangan dalam mengenakan pajak. Hal ini bertentangan dengan Konstitusi RI, pasal 23A UUD 1945, bahwa pajak harus diatur berdasarkan Undang-undang; iii. Status Subyek Pajak Pemohon Banding adalah Permasalahan Substansial. bahwa menurut Pemohon Banding “pembicaraan mengenai kepemilikan Blok dan saat pengukuhan NPWP” merupakan bagian substansial yang mendasari awal dari penghitungan pajak. Sebelum pajak dihitung dan dibebankan, salah satu hal yang pertama kali harus ditentukan adalah subyek pajak mana yang bertanggungjawab membayar pajak tersebut. Jika hal ini tidak ditentukan, atau ditentukan tetapi tidak benar, maka tidak akan diketahui penyandang kewajiban pajaknya, dan oleh karenanya pajaknya tidak dapat ditagih. Atas alasan bahwa Pemohon Banding bukanlah wajib pajak yang seharusnya dikenakan kewajiban pembayaran pajak tahun 2002, Pemohon Banding meminta kepada Majelis Hakim Pengadilan Pajak yang Mulia, agar pajaknya dinyatakan Nihil. Hal ini jelas menyangkut materi yang substantif. Oleh karena itu Pemohon Banding menolak jawaban Terbanding yang menyatakan bahwa Wajib Pajak mengajukan alasan yang tidak menyangkut substansi atau materi penghitungan pajak; B. Kewenangan Terbanding: SKPKB nomor 00002 /245/02/081/12 Tanggal 29 November 2012 telah diterbitkan tanpa dasar kewenangan yang sah 1. Pelekatan Wewenang bahwa dalam Hukum Hukum Administrasi/Tata Usaha Negara (“HAN”/”HTUN”), suatu tindakan dari pemerintah hanya sah apabila Pemerintah atau bagian dari Pemerintah memiliki wewenang untuk melakukan tindakan tersebut (bukti P-4). Wewenang yang dimiliki Pemerintah secara umum, berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 berada pada Presiden. Selain itu, bagian dari Pemerintah, misalnya MenteriMenteri dan/atau Direktur Jenderal dapat pula langsung diberikan wewenang oleh Undang-undang (Atribusi wewenang, bukti P-4 dan bagian ke empat UU no. 30/2014 mengenai wewenang, (bukti P-3) Presiden, Menteri, dan pejabat Negara lainnya yang mendapatkan atribusi wewenang, dapat mendelegasikan atau memandatkan wewenangnya kepada pejabat di bawahnya; bahwa salah satu contoh yang dapat langsung dilihat dalam ruangan sidang di Pengadilan Pajak adalah wewenang dari pegawai Direktorat Jenderal Pajak hanya berwenang mewakili Direktur Jenderal Pajak dalam persidangan apabila mendapatkan wewenang untuk itu, dalam bentuk surat tugas; bahwa tentu wewenang tidak dapat didelegasikan atau dimandatkan apabila pejabat pendelegasi atau pemandat memang tidak memiliki wewenang. Misalnya Menteri Kehakiman tidak dapat mendelegasikan wewenang kepada Direktur Jenderal Imigrasi untuk memungut pajak, karena Menteri Kehakiman tidak
memiliki wewenang, baik secara atribusi dari undang-undang ataupun delegasi/mandat untuk memungut pajak; bahwa sehingga dasar adanya wewenang adalah hal yang amat penting bagi sahnya suatu tindakan dari pemerintah. Suatu tindakan pejabat Negara, dalam hal ini Terbanding, tidak sah dan batal demi hukum jika dilakukan tanpa dasar wewenang (bukti P-2 dan bukti P-3, Pasal 70); 2. Kewenangan Negara untuk Memungut Pajak bahwa kewenangan Negara untuk memungut pajak adalah salah satu aplikasi dari kedaulatan Negara. Namun demikian, untuk menghindari pajak dipungut secara sewenang-wenang dan tanpa kepastian (seperti pada masa raja memiliki kekuasaan absolut), muncul adagium yang sudah terkenal di dunia perpajakan, yaitu “no taxation without representation”, yang maksudnya adalah bahwa kewenangan memungut pajak dari Negara dibatasi oleh Undang-undang; bahwa di Indonesia hal ini diatur dalam Pasal 23A UUD 1945, bahwa pajak dan pungutan memaksa lainnya diatur oleh undang-undang. Hal ini sudah berlangsung sejak Indonesia merdeka, mengingat bunyi Pasal 23 UUD 1945 sebelum amandemen adalah serupa. Mengingat Pasal 23 (dahulu) dan 23A berada pada bagian yang mengatur Keuangan Negara, yaitu pada bagian yang sama dengan pasal-pasal yang mengatur mengenai RAPBN, mata uang, dan bank Sentral, dan juga pajak adalah pungutan yang memaksa, maka jelas Pasal 23A UUD 1945 menyatakan bahwa pajak harus diatur oleh Undang-undang yang bersifat hukum publik. Sehingga Pasal 23A UUD 1945 ini bersifat membatasi dan imperatif, bahwa hanya undang-undang hukum publik yang dapat menjadi dasar kewenangan mengenakan pajak, tidak ada dasar lain. Sehingga dengan demikian pajak tidak dapat diatur oleh perjanjian perdata, apalagi suatu perjanjian tidak tertulis/gentleman agreement; 3. Kewenangan Terbanding untuk Memungut Pajak bahwa sebagaimana amanat UUD 1945, Negara telah mengatur pajak dalam undang-undang, yang pada saat ini adalah antara lain, Undang-undang Pajak Penghasilan (“UU PPh”), Pajak pertambahan nilai (“UU PPN”), dan lain-lain. Adapun untuk pelaksanaan serangkaian UU tersebut, diatur dalam Undang-undang mengenai Ketentuan Umum perpajakan (“UU KUP”); bahwa kewenangan Terbanding diatur oleh UU KUP Pasal 12 ayat (3) jo Pasal 13 dan Pasal 29 UU KUP menyatakan bahwa Direktur Jenderal Pajak (Terbanding) berwenang menerbitkan ketetapan pajak untuk menagih hutang Pajak. UU KUP dalam hal ini bersifat limitatif, bahwa Direktur Jenderal Pajak hanya boleh menagih hutang pajak, dan tidak boleh menagih hutang lainnya, atau menagih apapun yang bukan pajak. Hutang pajak, dalam sistem hukum Indonesia, hanya dapat muncul dari undang-undang perpajakan seperti UU PPh, UU PPN dan lain-lain; bahwa lebih lanjut Keputusan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.01/ 2010 tentang susunan Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Bukti P-5) di dalam Pasal 365 dan Pasal 366 Direktur Jenderal Pajak selaku penerbit ketetapan/beschikking atau SKPKB, hanya memiliki kewenangan dalam bidang perpajakan. Selain itu, Pasal 37 dan Pasal 38 Peraturan Presiden Nomor No. 9 Tahun 2005 Tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, susunan Organisasi Dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia juga menyatakan bahwa kewenangan Kementerian (Departeman) Keuangan a.l berkaitan dengan bidang penerimaan pajak (Bukti P-6); bahwa sehingga dari uraian dasar-dasar hukum di atas, jelas bahwa kewenangan Terbanding adalah terbatas kepada dan khusus untuk memungut pajak saja. Sedangkan pajak adalah pungutan memaksa yang diatur oleh undang-undang, dalam hal sengketa ini, undang-undangnya adalah UU PPh. Bahwa dari uraian di atas, nyata bahwa Terbanding tidak berwenang untuk memungut suatu hal yang bukan pajak, ataupun pajak yang tidak diatur oleh Undang-undang; 4. Kewenangan Terbanding untuk Memungut Pajak dibatasi oleh Undang-undang 4.1.
Keterangan Lain, Data Konkret serta Pejabat yang Berwenang
bahwa dalam sengketa ini, Terbanding telah menggunakan LHA dari BPKP sebagai data konkret. Hal ini menurut Pemohon Banding tidak dapat dilaksanakan, karena dua hal berikut ini: bahwa dari LHA BPKP yang ada ternyata terlihat bahwa yang memeriksa adalah pejabat BPKP (bukan oleh pejabat yang berwenang yaitu Direktur Jenderal Pajak atau Pejabat yang ditunjuk) dan Terbanding tidak dapat membuktikan bahwa pejabat BPKP tersebut telah dialihkan tugasnya sebagai pejabat pajak, yang ditugasi oleh Direktur Jenderal Pajak sesuai dengan Pasal 29 UU KUP. Malahan dari nomen klatur LHA dengan jelas tercantum BPKP, bukan Direktur Jenderal Pajak. Oleh karenanya pejabat BPKP tersebut termasuk dalam pejabat yang tidak berwenang melakukan pemeriksaan menurut Pasal 29 UU KUP. Sebagai perbandingan dapat dilihat pada kasus Pembentukan Tim Gabungan Direktorat Jenderal Pajak-BPKP (Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: 133/PJ/1998 tentang Penunjukan Pegawai BPKP Sebagai Tenaga Ahli Pada Direktur Jenderal Pajak Dan Pembentukan Tim Gabungan) dan kasus pembentukan Tim Teknis Optimalisasi Penerimaan Negara (Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-303/PJ/2001 tentang Penunjukan Pegawai BPKP sebagai Tenaga
4.2.
Ahli). Dalam kedua kasus tersebut Surat Perintah Pemeriksaan ditandatangani Direktur Jenderal Pajak atau Pejabat yang ditunjuk; bahwa “Data Konkret” tersebut hanya dicantumkan dalam Penjelasan Pasal 13 ayat (1) UU KUP. Berdasarkan UU Nomor 12 Tahun 2011 Pasal 64 Lampiran II tentang Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan angka 176, 177 dan 178 ( bukti P-7) “data konkret” tersebut (terdapat dalam penjelasan) tidak dapat dinyatakan sebagai norma hukum, dan tidak dapat dijadikan acuan untuk digunakan secara langsung dalam menerbitkan SKPKB; Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011
Bertentangan dengan UU KUP bahwa kewenangan Terbanding untuk memungut pajak diberikan dan sekaligus dibatasi oleh UU KUP. Bahwa menurut Pasal 13 ayat (1) UU KUP Koreksi SPT dapat dilakukan melalui data untuk menentukan ada tidaknya pajak yang kurang dibayar. Pemeriksaan berusaha menemukan keterkaitan antara transaksi bisnis dengan pembukuan dan SPT. Data yang diperiksa dengan Standar Pemeriksaan Pajak sebagaimana dimaksud Pasal 29 UU KUP, menjadikan data tersebut sebagai data yang obyektif dan dapat digunakan sebagai alat untuk menyatakan bahwa wajib pajak telah melanggar kepercayaan Pemerintah dan dengan demikian memberikan hak kepada Pemungut Pajak (Pemerintah cq Terbanding) untuk melakukan koreksi fiskal dan menerbitkan SKPKB; bahwa dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa menurut UU KUP, untuk dapat mengoreksi SPT dan menerbitkan SKPKB, Terbanding tidak punya pilihan lain untuk sebelumnya melaksanakan pemeriksaan; bahwa Pemohon Banding tidak dapat menerima penerbitan SKPKB tersebut dilaksanakan dasar penelitian terhadap verifikasi atas pelaksanaan kewajiban PPh 26, karena mengenai penerbitan SKPKB dengan penelitian tersebut tidak dikenal dalam UU KUP. Oleh karena itu maka penerbitan SKPKB PPh 26 nomor SKPKB nomor 00002/245/02/081/12 Tanggal 29 November 2012, yang dilakukan dengan penelitian terhadap verifikasi atas pelaksanaan kewajiban PPh 26 tersebut jelas tidak didasarkan pada ketentuan dalam UU KUP sebagai satu-satunya acuan dalam menerbitkan SKPKB; bahwa dalam kaitan dengan pemeriksaan pajak perlu Pemohon tambahkan bahwa: Penjelasan Pasal 29 ayat (2) UU KUP tentang pemeriksaan pajak menyatakan bahwa: ”Pendapat dan kesimpulan petugas Pemeriksa harus didasarkan pada bukti-bukti yang kuat dan berkaitan serta berlandaskan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.” Selanjutnya, Pasal 31 UU KUP menyatakan bahwa prosedur pemeriksaan diatur oleh Keputusan Menteri Keuangan. Sebagai pelaksanaan dari Pasal 31 UU KUP tersebut telah diterbitkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 545/KMK.04/2000 yang kemudian diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 123/PMK.03/2006; Pasal 10 Peraturan Menteri Keuangan No. 123/PMK.03/2006 menyatakan bahwa pendapat dan kesimpulan Pemeriksa Pajak harus didasarkan pada temuan yang kuat dan berlandaskan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan; Kemudian Pasal 11 Peraturan Menteri Keuangan No. 123/PMK.03/2006 menyatakan bahwa Laporan Pemeriksaan Pajak disusun secara ringkas dan jelas, memuat ruang lingkup sesuai dengan tujuan pemeriksaan, memuat kesimpulan Pemeriksa Pajak yang didukung temuan yang kuat tentang atau tidak adanya penyimpangan terhadap peraturan perundangundangan perpajakan, dan memuat pula pengungkapan informasi lain yang terkait; bahwa dengan demikian jelas bahwa verifikasi tidak termasuk dalam pengertian pemeriksaan dan penggunaan bukti yang kuat, yan keduanya merupakan syarat mutlak untuk dapat melakukan koreksi fiskal menurut UU KUP; Uji Materi di Mahkamah Agung bahwa Pemohon Banding menyadari, bahwa menurut Terbanding verifikasi berdasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 (“PP 74/2011”). Peraturan ini telah dimohonkan agar diuji oleh Mahkamah Agung apakah selaras dengan undang-undang yang mendasarinya. Dari website Mahkamah Agung (bukti P-7a) diketahui bahwa permohonan uji materi telah dikabulkan, namun salinan putusannya belum dapat diperoleh; bahwa jika berita dalam website tersebut benar adanya, maka PP 74/2011 tersebut tidak memenuhi syarat materiil, yaitu bertentangan dengan UU KUP sehingga otomatis statusnya adalah batal demi hukum (van rechtswege nietig). Akibatnya adalah bahwa PP 74/2011 selain tidak berkekuatan hukum, dianggap tidak pernah ada/lahir. Sehingga semua tindakan yang dilakukan berdasarkan pada PP 74/2011 tersebut dan/atau peraturan lain yang didasarkan pada PP 74/2011 tersebut, termasuk penerbitan SKPKB melalui verifikasi, juga batal demi hukum, dan dianggap tidak pernah ada; bahwa PP 74/2011 tidak dapat berlaku surut sedemikian rupa hingga menjadi salah satu dasar sengketa ini;
bahwa Pemohon Banding merasa perlu untuk menyinggung bahwa sesuai dengan angka 132 dari lampiran II Undang-undang nomor 12 tahun 2011 mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan, bahwa penentuan daya laku surut tidak dimuat dalam peraturan perundang-undangan yang memuat ketentuan yang memberikan beban konkret kepada masyarakat, misalnya penarikan pajak atau retribusi. Bahwa mengingat PP 74/2011 adalah dimaksudkan sebagai peraturan pelaksanaan dari UU KUP, yang merupakan dasar hukum untuk melaksanakan UU PPh, PPN, dan lain sebagainya yang membebankan pajak kepada masyarakat, maka menurut UU nomor 12 Tahun 2011, PP 74/2011 tidak boleh memuat ketentuan bahwa PP tersebut berlaku surut. Jika berlaku surut maka sudah selayaknya dicabut dalam judicial review di Mahkamah Agung; bahwa kemudian pada angka 156 c dari lampiran II UU nomor 12 tahun 2011 (bukti P-6) disebutkan pula bahwa “saat mulai berlaku peraturan perundang-undangan ditetapkan tidak lebih dahulu daripada saat rancangan peraturan perundang-undangan tersebut mulai diketahui masyarakat, misalnya rancangan peraturan perundang-undangan, …” Sedangkan PP 74 tahun 2011 ternyata memuat ketentuan yang jika dibaca bersamaan dengan UU KUP sebelum perubahan terakhir pada tahun 2007, dapat berlaku sampai jauh sebelum berlakunya perubahan terakhir UU KUP tersebut pada Tahun 2007 (dalam sengketa ini, sampai Tahun 2002. Sehingga dengan kata lain PP 74 Tahun 2011 berlaku surut lebih awal daripada saat mulai berlaku peraturan perundang-undangan yang mendasarinya (larangan pada angka 157 lampiran III dari UU nomor 12 Tahun 2011). Sehingga oleh karenanya adalah pantas bila PP 74 Tahun 2011 dicabut dalam judicial review oleh Mahkamah Agung; 4.3. Terbanding tidak berwenang untuk menjaga persentase total penerimaan pemerintah sebesar 85%. bahwa menimbang bahwa permasalahan ini terkait erat dengan status PSC sehubungan dengan peraturan perundang-undangan perpajakan, maka mengenai tidak adanya wewenang Terbanding untuk menjaga persentase total penerimaan pemerintah adalah 85% akan diuraikan dengan lebih detil pada bagian IV.2. di bawah; bahwa pada bagian ini Pemohon kembali menggarisbawahi bahwa Terbanding hanya berwenang untuk melaksanakan dan menegakkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku, dan tidak ada wewenang lain. “menjaga” persentase total penerimaan pemerintah jelas sudah di luar penegakan peraturan perundang-undangan perpajakan; C. Production Sharing Contract/Kontrak Bagi Hasil (“PSC”) Bukan Sumber Hukum Pajak 1. Penandatangan PSC hanya berwenang untuk berkontrak dalam hal ekstraksi (“lifting”) migas, dan tidak untuk menentukan tarif pajak bahwa mengingat bahwa penandatangan PSC yang ditandatangani dengan kontraktor telah tiga kali berganti, serta bahwa wewenang para penandatangan tersebut, walaupun dilaksanakan oleh tiga entitas yang berbeda, adalah sama, maka uraian ini akan diawali dengan wewenang yang dimiliki oleh penandatangan yang pertama, yaitu DDD, dilanjutkan dengan EEE dan kemudian FFF; bahwa kepada DDD, sesuai dengan Pasal 6 jo pasal 11 dan 12 UU nomor 8 Tahun 1971 (“UU DDD”) (bukti P-8) yang juga dikutip oleh Terbanding dalam penjelasan tertulisnya nomor S607/PJ/07/2015, negara hanya memberikan wewenang kepada DDD terbatas mengenai kuasa pertambangan yaitu kuasa untuk mengangkat minyak dari perut bumi ke permukaan, melalui proses explorasi dan eksploitasi. Oleh karena DDD kekurangan modal dan teknologi, UU DDD memperkenankan DDD bekerja sama dengan kontraktor (asing), dalam melaksanakan fungsinya tersebut (pertambangan minyak) dalam bentuk PSC. Kepada DDD tidak diberikan kewenangan hukum publik yang lain, sehingga DDD tidak punya wewenang untuk memperjanjikan pajak; bahwa oleh karena itulah PSC hanya mengatur hal-hal yang berkaitan dengan fungsi DDD sebagaimana tersebut diatas, yaitu perihal ekstraksi/lifting migas. Tidak pernah ada tarif pajak diatur di dalam PSC, karena memang penandatangan PSC tidak memiliki kewenangan untuk itu. Hal ini jelas teraplikasikan dari PSC yang pertama, bahwa pajaknya dibayarkan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku (Pasal VI 1.7. DDD IIAPCO PSC, Bukti P-9) Kewenangan DDD tersebut (kuasa Pertambangan) tetap tidak berubah walaupun fungsi DDD dilanjutkan oleh BP/FFF. Hal ini dapat dilihat pada pasal 1 angka 23, jo pasal 45 UU nomor 22 Tahun 2011 sebelum diamandemen, bahwa EEE berfungsi untuk melaksanakan usaha hulu migas. Bahwa baik DDD yang merupakan perseroan dan EEE yang merupakan badan hukum milik Negara (Pasal 44 ayat (3) huruf g UU nomor 22/2001) (bukti P-10) adalah subyek hukum perdata; bahwa sedangkan setelah UU nomor 22/2001 diamandemen, Presiden menetapkan bahwa sementara belum ditentukan entitas apa yang akan menggantikan peran EEE, maka dibentuk FFF (dengan Peraturan Presiden nomor 95 Tahun 2012, bukti P-11) yang mengambil alih tugas dan fungsi EEE. Sehingga dari Penandatangan PSC dengan kontraktor, dari DDD sampai FFF memiliki fungsi dan kewenangan yang sama, yaitu berkontrak hanya untuk ekstraksi migas, dan tidak memiliki wewenang untuk memperjanjikan tarif pajak. Demikian pula, dari DDD, EEE sampai dengan FFF tidak memiliki wewenang mengubah ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersifat publik, ataupun mengeluarkan peraturan atau pelaksanaan yang bersifat lex specialis terhadap peraturan
perundang-undangan yang bukan berada di bawah wewenangnya. UU Migas juga tidak mengatribusikan wewenang apapun kepada FFF secara umum untuk dapat mengeluarkan peraturan yang bersifat specialis, apalagi specialis terhadap peraturan perundang-undangan pajak; bahwa dengan demikian maka wajar jika dalam PSC tidak diatur hal-hal mengenai tarif pajak, Sehingga bukan merupakan dasar hukum untuk mengenakan pajak, apalagi pajak yang melawan ketentuan P3B. Namun hal ini berusaha dikaburkan oleh Terbanding;
2. PSC adalah kontrak perdata 2.1. Kontrak Perdata bahwa negara bukanlah pihak yang berkontrak di dalam PSC. Yang berkontrak selama ini adalah DDD, EEE, dan untuk sementara ini, FFF. Isi dari PSC adalah mengenai perjanjian antara 2 pihak mengenai hubungan bisnis dalam rangka lifting migas. Yang terikat dan menjadi pihak dalam PSC bukanlah pemerintah, melainkan entitas-entitas yang ditugaskan oleh Undang-undang hanya dan khusus untuk melakukan usaha hulu/lifting migas. Oleh karena kontrak PSC murni mengatur urusan bisnis/usaha hulu migas, dan tidak memuat aturan baik dalam bentuk beschikking atau regeling, maka kontrak PSC adalah kontrak perdata; bahwa pendapat ini juga sama dengan pendapat Prof. Hikmahanto Juwana, Guru Besar Hukum Internasional Publik Universitas Indonesia yang menyatakan bahwa PSC adalah murni perdata. (bukti P-12); bahwa hal ini juga diakui Terbanding sebagaimana terlihat dalam Surat Uraian Banding dan Penjelasan Tertulisnya, bahwa berkali-kali Terbanding mengangkat azas-azas hukum perdata yang menurut Terbanding berlaku atas PSC. Akan tetapi Terbanding salah dalam menginterpretasikan hukum yang berlaku dengan mendasarkan pengenaan tarif 20% pada PSC. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya dan akan diuraikan lebih lanjut di bawah ini, PSC bukanlah dasar hukum pajak, sehingga tarif 20% tidak dapat disandarkan pada PSC; 2.2. PSC Di mana Pemohon Banding menjadi kontraktor (“PSC Pemohon Banding”) adalah suatu adalah kontrak perdata bahwa PSC Pemohon Banding pada pasal (bukti P-13) menyatakan bahwa dalam hal terjadi sengketa, maka yang menangani adalah arbitrase, dan apabila arbitrase tidak dapat mengambil keputusan, maka yang berwenang adalah pengadilan Republik Indonesia. Kemudian juga dinyatakan bahwa perjanjian PSC tersebut tunduk pada hukum Indonesia. Dengan demikian tidak ada keraguan bahwa PSC tersebut diatur dan tunduk pada hukum dan pengadilan Indonesia. Oleh karena permasalahan perikatan berada di dalam ranah perdata, maka hukum perdata Indonesia berlaku atasnya; bahwa oleh karenanya, sengketa mengenai ketentuan apapun dalam PSC, misalnya mengenai lifting minyak, luas lokasi penambangan, kapan masa eksplorasi berakhir, dan terutama dalam hal ini adalah bagi hasil, kompetensinya ada pada arbitrase atau Pengadilan Negeri, dan bukan pengadilan Pajak; bahwa sedangkan sengketa terkait pengenaan pajak tunduk pada ketentuan ketentuan perundangundangan perpajakan, sehingga sudah tentu yang berkompetensi untuk mengadili sengketa pajak adalah Pengadilan Pajak. Dengan kata lain, apabila sengketa didasarkan pada ketentuan PSC (yang tidak memuat ketentuan mengenai PPh maupun BPT), maka Pengadilan Pajak tidak kompeten. Namun demikan, Pengadilan Pajak memiliki kompetensi penuh apabila permasalahannya adalah mengenai sengketa tentang peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Sengketa yang diajukan oleh Pemohon Banding, sebagaimana uraian di atas, berawal dari terbitnya SKPKB yang menurut Pemohon Banding tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Proses yang dilalui adalah keberatan dan kemudian banding ke Pengadilan Pajak. Sehingga sengketa ini adalah murni berakar pada peraturan perundang-undangan publik di bidang perpajakan, dan bukan perdata; 3. PSC tidak dapat menjadi dasar hukum pengenaan atau penentuan tarif pajak bahwa dari uraian diatas jelas terlihat bahwa penandatangan PSC tidak berwenang untuk memperjanjikan tarif pajak. Sehingga sudah benar bahwa PSC tidak mengandung/memperjanjikan tarif pajak. Selain itu, PSC adalah kontrak perdata, yang berdasarkan pasal 23A UUD 1945 tidak dapat melahirkan kewajiban perpajakan, karena bukan merupakan Undang-undang publik; bahwa jikapun PSC mengandung klausul janji dari kontraktor untuk membayar pajak, perlu diperhatikan bahwa kalimat lengkap janji kontraktor tersebut menyebutkan “sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Sehingga dalam hal ini PSC jelas “menyerahkan”
urusan perpajakan kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal V.1.2. dari PSC Pemohon Banding, bukti P-13) dan tidak memuat aturan mengenai pajak di dalam PSC tersebut; bahwa kata “Severally” (secara terpisah/berdiri sendiri) jika dilihat dari sisi hukum kontrak, menunjukkan bahwa ketentuan pasal V.1.2. yang juga dikutip Terbanding pada surat uraian banding dan penjelasan tertulisnya, adalah suatu klausul yang biasa dikenal sebagai klausul indemnitas. Bahwa klausul indemnitas membebaskan satu atau beberapa pihak yang berkontrak dari suatu kewajiban. Pasal V.1.2. sebenarnya adalah suatu indemnitas di mana DDD/EEE/FFF dijamin “bebas” oleh kontraktor dari melaksanakan kewajiban perpajakan kontraktor. Sehingga pasal ini menghindari DDD/EEE/FFF dari ikut “terseret” ke perihal kewajiban perpajakan kontraktor; bahwa sehingga pasal ini bukanlah suatu “janji” kepada Pemerintah RI untuk membayar pajak secara “Nailed Down”. Pasal ini adalah janji kontraktor kepada pihak lain dalam kontrak untuk tidak melibatkan pihak lain tersebut dalam hal pembayaran pajak kontraktor. Sebenarnya hal ini sudah jelas terlihat dari kata-kata yang tercantum dalam pasal tersebut, hanya saja Terbanding menambahnambahi dan mencoba mengkait-kaitkannya dengan pengenaan tarif pajak. Namun demikian, Terbanding tidak pernah bisa menunjukkan dengan konkret, di mana kaitannya tersebut. Karena sudah jelas, bahwa DDD/EEE/FFF tidak memiliki wewenang perpajakan; bahwa dari uraian di atas, jelas Pasal V.1.2. adalah klausul perjanjian perdata biasa, dan sama sekali tidak bisa ditafsirkan sebagai janji yang berakibat pada kewajiban perpajakan; bahwa jika janji ini diciderai, maka yang muncul berdasarkan keberlakuan PSC adalah hak gugat dari DDD/EEE/FFF kepada kontraktor (dalam hal ini Pemohon Banding), ke arbitrase atau pengadilan Negeri untuk wan prestasi; D. Pajak terkait PSC (Pajak Penghasilan dan Branch Profit Tax (“BPT”) tidak diatur di dalam PSC, melainkan diatur oleh Peraturan Perundang-undangan Publik 1. Perhitungan Pajak terkait penghasilan dari PSC diatur oleh Keputusan Menteri Keuangan bahwa dari uraian di atas, terlihat bahwa PSC tidak sedikitpun memuat aturan teknis perhitungan pajak, terutama terkait sengketa ini, tidak memuat tarif BPT, sehingga muncul pertanyaan, apa dasar hukum perhitungan pajak selama ini? bahwa ternyata Keputusan Menteri Keuangan nomor 267/1978 dan kemudian dilengkapi oleh KMK nomor 458/KMK.012/1984 dan Peraturan yang lainnya yang dikeluarkan Menteri Keuangan-lah yang menjadi dasar hukum perhitungan pajak; bahwa adapun apabila perhitungan pajaknya mengacu pada klausul-klausul yang terdapat pada PSC terkait ketentuan untuk mendapatkan pendapatan bersih untuk kepentingan perhitungan bagi hasil, itu bukan dikarenakan PSC dianggap merupakan sumber peraturan perpajakan karena keberlakuannya sendiri. Surat Menkeu S-443a/MK.012/1982 tentang interpretasi dari Kepmen 267/KMK.012/1978 lah yang menjadi dasar dari digunakannya perhitungan untuk mendapatkan perhitungan pendapatan bersih untuk kepentingan bagi hasil, sebagai dasar pengenaan pajak (“DPP”). Surat tersebut menyatakan bahwa biaya yang dihitung untuk menghitung penghasilan netto untuk keperluan pengenaan pajak adalah sama dengan biaya yang dihitung untuk keperluan bagi hasil PSC. Sehingga jelas nyata bahwa dasar keberlakuannya adalah pada hukum publik (KMK), dan bukan pada PSC. Jika KMK 267 dicabut dan tidak diganti, maka ketentuan mengenai perhitungan pendapatan bersih di dalam PSC tidak lagi dapat dijadikan DPP; bahwa dengan kata lain, aturan perhitungan pajak penghasilan dan BPT dari PSC yang mengikuti aturan di PSC itu berlaku karena diberlakukan oleh Keputusan Menteri Keuangan, suatu instrumen hukum publik, dan bukan karena keberlakuan PSC itu sendiri. Pasal 33A ayat (4) UU PPh, adalah juga salah satu bentuk instrument hukum publik yang “mengarahkan” perhitungan penghasilan untuk keperluan perpajakan kepada ketentuan yang berada di dalam PSC. Bahwa dilihat dari bunyi Pasal 33A ayat (4) UU PPh, “Wajib Pajak yang menjalankan usaha di bidang penambangan minyak … yang masih berlaku pada saat berlakunya undang-undang ini, pajaknya dihitung berdasarkan ketentuan dalam kontrak bagi hasil … “, jelas pasal ini memayungi ketentuan KMK 267, KMK 458 dan seterusnya, bahwa ketentuan yang digunakan untuk mendapatkan pendapatan bersih untuk kepentingan bagi hasil, digunakan pula sebagai dasar pengenaan pajak. Mengingat PSC tidak memuat tarif, maka tidak ada kesimpulan lain yang dapat diambil, kecuali bahwa tarif, terutama dalam hal ini tarif BPT diatur oleh peraturan perundang-undangan; bahwa hal ini mempertegas bahwa hukum perdata tidak dapat serta merta menjadi ketentuan hukum publik. Sebagian ketentuan dalam PSC, yaitu perhitungan penghasilan netto untuk perhitungan bagi hasil, “dipinjam” ke ranah hukum publik, untuk digunakan sebagai dasar perhitungan pajak harus oleh suatu instrument hukum publik pula; bahwa dengan demikian hal ini konsisten dengan pernyataan Pemohon banding di atas, PSC bukanlah merupakan sumber peraturan perpajakan. Dan bahwa peraturan perpajakan tersebut bersumber pada peraturan perundang-undangan publik. Jika peraturan perundang-undangan publik ini tidak ada (tidak ada KMK 267, 458 dst), maka perhitungan di dalam PSC yang digunakan untuk
menentukan penghasilan untuk tujuan bagi hasil, tidak dapat digunakan sebagai dasar pengenaan pajak, karena tidak ada dasar hukumnya; 2. Terbanding tidak berwenang “menjaga” konsep 85:15 bahwa Terbanding selalu mendasarkan tindakannya mengeluarkan SKPKB yang tanpa dasar hukum sebagaimana dasar dari sengketa ini, kepada suatu konsep 85:15. Pemohon mengetahui bahwa Terbanding memiliki suatu daftar (halaman dari Penjelasan Tertulis Terbanding), di mana jika tarif pajak menurut Undang-undang berubah, maka PSC pada masa itu juga memuat bagi hasil yang berbeda, sedemikian rupa sehingga tercapai bahwa pajak (PPh dan BPT) + bagi hasil yang diterima pemerintah adalah 85%. Atas dasar ini Terbanding merasa berwenang untuk menaikkan persentase pajak jika ternyata P3B menurunkan tarif BPT sehingga pajak (PPh dan BPT) + bagi hasil yang diterima pemerintah tidak mencapai 85%; bahwa yang tidak diungkapkan oleh Terbanding adalah, bahwa dalam daftar tersebut, bagi hasil didasarkan pada PSC, dan tarif pajak (PPh dan BPT) didasarkan pada peraturan perundangundangan. Tidak terlihat dari daftar tersebut, bahwa tidak ada hubungan hukum antara bagi hasil dan tarif pajak, bahwa bagi hasil akan otomatis berubah menyesuaikan dengan tarif pajak. Bahwa tidak jelas dinyatakan Terbanding bahwa tarif yang berlaku tersebut adalah tarif yang berlaku umum kepada semua wajib pajak Indonesia sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan dalam usaha untuk mendapatkan total penerimaan Negara dari bagi hasil dan pajak sebesar 85% dari nilai bersih migas yang diproduksi, yang disesuaikan adalah bagi hasil di dalam PSC, bukan tarif pajaknya. Bahwa tidak pula dinyatakan Terbanding, bahwa jikapun bagi hasil dalam PSC disesuaikan, hal itu didahului dengan negosiasi atau penandatanganan kontrak baru, dan tidak otomatis berubah. Juga tidak diungkapkan, bahwa dalam hal lex specialis (P3B), maka peraturan perundang-undangan yang generalis tunduk pada lex specialis. Sehingga tidak ada konsep “total penerimaan Negara otomatis harus 85%”; bahwa dari uraian pada paragraf di atas ini, jelas terlihat bahwa tarif BPT sepenuhnya tunduk pada peraturan perundang-undangan dan tidak terkait sama sekali dengan PSC; bahwa sebagaimana telah diuraikan pada bagian I.B.2 dan I.B.3 di atas, Terbanding hanya berwenang menjalankan wewenang yang diberikan Undang-undang kepadanya, yaitu memungut pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan. Hal ini sangat bertolak belakang dengan apa yang dilakukan Terbanding dalam sengketa ini. Bahwa pada saat peraturan perundangundangan mengatur tarif 10% akibat keberlakuan lex specialis dari P3B, Terbanding mengacuhkan ketentuan tersebut, dengan beralasan menjaga pajak (PPh dan BPT) + bagi hasil yang diterima pemerintah adalah 85%. Hal ini jelas berada di luar kewenangan Terbanding. Terbanding hanya berwenang untuk menerapkan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, dan tidak memiliki wewenang untuk menjaga “keseimbangan” 85%:15%. Menurut Pasal 12 ayat (3) jo Pasal 13 UU KUP, SKPKB hanya dapat digunakan menagih hutang pajak. Sedangkan hutang pajak hanya bisa muncul apabila didasarkan pada undang-undang, sesuai amanat Pasal 23A UUD 1945. Hanya UU yang berdasarkan Pasal 23A UUD 45 yang dapat mengubah ketentuan dalam UU perpajakan; bahwa jikapun “keseimbangan” tersebut ingin dijaga, maka terdapat dua alternatif. Yang pertama adalah untuk merubah ketentuan dalam P3B, sehingga pajak untuk BPT dari PSC tidak terpengaruh oleh ketentuan tarif P3B yang 10%, sehingga tetap 20%. Alternatif kedua adalah melakukan renegosiasi PSC, sehingga bagi hasilnya berubah sedemikian rupa sehingga total yang diterima Negara dari bagi hasil dan pajak adalah 85%. Dalam sengketa ini, baik tarif P3B maupun bagi hasil tidak ada yang diubah; bahwa oleh karenanya perlu Pemohon Banding nyatakan bahwa mengenai uraian di atas, yang perlu digarisbawahi dan diperhatikan adalah bahwa harus ada dasar hukum untuk menjaga keseimbangan tersebut. Tindakan Terbanding yang mendasari sengketa ini, yang mengabaikan ketentuan lex specialis dari P3B tidak memiliki dasar hukum sama sekali; 3. P3B adalah bagian dari peraturan perundang-undangan Indonesia, dan berlaku sebagai Lex Specialis terhadap peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku umum. bahwa P3B adalah lex specialis yang harus didahulukan dari peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku umum sebenarnya sudah jelas keberlakuannya. Dalam sengketa ini, keberlakuan P3B tersebut “dikaburkan” keberlakuannya oleh Terbanding dengan berusaha menyatakan, tanpa dasar hukum, bahwa PSC dapat merubah peraturan perundang-undangan publik, dan mengada-adakan suatu wewenang bagi dirinya untuk “menjaga” keseimbangan 85:15. bahwa pernyataan dan klaim Terbanding tersebut sebagaimana telah diuraikan di atas tidak berdasar, bahwa PSC hanya mengatur bagi hasil perdata, dan pajak diatur oleh peraturan perundang-undangan publik. Sehingga sudah jelas bahwa P3B berlaku sebagaimana yang biasa dimengerti sebagai “lex specialis” terhadap UU PPh. Lebih lanjut bahwa Terbanding tidak memiliki wewenang untuk “menjaga keseimbangan” 85:15. bahwa keberlakuan P3B tidak tergantung dari aktivitas wajib pajaknya, termasuk pula tidak tergantung kepada statusnya di dalam PSC, dan juga apakah si wajib pajak, dalam hal ini Pemohon Banding, tidak tercantum dalam versi awal PSC tersebut, dan baru muncul setelah beberapa kali
berganti kontraktor; bahwa perlu kembali Pemohon Banding kemukakan, bahwa mengenai status Pemohon Banding yang secara administratif terdaftar pada Kantor Pajak UK, Terbanding sama sekali tidak memberikan tanggapan, sehingga Pemohon Banding berpendapat bahwa berkaitan dengan status Pemohon Banding tersebut, karena Terbanding telah setuju sehingga BUT Talisman Resources (North West Java)/Pemohon Banding tetap berhak atas tarif P3B sebesar 10%, karena memenuhi semua persyaratan untuk mendapatkan tarif tersebut berdasarkan P3B yang karena sudah diratifikasi, menjadi hukum Nasional Indonesia; bahwa untuk dapat menggunakan ketentuan di dalam treaty, sebagaimana pula dinyatakan Prof. Haula dari FISIP UI dalam persidangan serupa dari British Petroleum, yang diperlukan adalah hanya tempat kedudukan dari wajib pajak. Tidak ada peraturan perundang-undangan manapun yang mensyaratkan bahwa seorang kontraktor PSC harus tercantum dalam versi PSC yang pertama, ataupun syarat-syarat lainnya terkait PSC; bahwa dengan demikian, alasan Terbanding bahwa Pemohon Banding tidak dapat menggunakan tarif P3B ialah dikarenakan adanya PSC dan/atau persetujuan perdata. Tidak ada alasan lain selain itu dari Terbanding; bahwa alasan bahwa Pemohon Banding tidak berhak menggunakan tarif P3B diatas, secara yuridis di dalam Hukum Pajak Internasional Pemohon Banding belum pernah mendengar bahwa ruang lingkup P3B tunduk pada Kontrak Perdata (PSC). Menurut pendapat Pemohon Banding lingkup P3B antara Indonesia dengan UK adalah sebagaimana dimaksud Pasal 2 P3B Indonesia-UK (Bukti P-14) Didalam Pasal 2 tersebut, Pemohon Banding tidak melihat adanya kemungkinan PSC masuk dalam Tax Covered (karena memang bagi hasil bukan pajak/tax) -Article 2 yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut: Article 2 Taxes Covered. (1) The Taxes which are subject of this agreement are: a. In The United Kingdom. (i) ............. (ii) ............. b. In Indonesia. The Income Tax (UU Pajak Penghasilan 1984) and to the extent provided in such income tax, the company tax (Pajak Perseroan 1925)and The Tax on intersest, deviden and Royalties (Pajak atas Bunga Deviden dan Rayalti 1970) in after related to Indonesiaan Income tax. (2) This agreement shall also apply to any identical or subtiantially similar taxes which are imposed by either contracting state after the date of signature of this agreement in addition to, or in place of the taxes reffered to in paragraph 1 of this article. This Competent authorities of the contracting state shall notify each other if any substantial changes which are made in this respective taxation law. bahwa namun yang jelas dari Pasal 2 P3B Indonesia-UK di atas, bahwa pajak yang ketentuannya diubah oleh P3B adalah adalah UU PPh, PPs 1925, PBDR 1970 dan lain-lainnya mengenai pajak penghasilan; bahwa P3B Indonesia-UK di atas, sesuai dengan sistem hukum di Indonesia yang menganut dualisme hukum Internasional (bukan monoisme), setelah proses ratifikasi menjadi hukum nasional, sama nasionalnya dengan, misalnya, UU PPh. Statusnya, menurut Penjelasan Pasal 32A UU PPh jo Pasal 24 PP Nomor 94 Tahun 2010 adalah lex specialis, yang harus didahulukan dari ketentuan UU PPh dan UU mengenai pajak penghasilan lainnya yang serupa sebagaimana ditentukan dalam article 1.b. dari P3B Indonesia-UK di atas; bahwa sebagaimana telah beberapa kali diuraikan dan disinggung sebelumnya, PSC tidak dapat dijadikan dasar pengenaan pajak. Bahwa hanya peraturan perundang-undangan yang dapat dijadikan dasar pengenaan pajak. P3B yang telah diratifikasi menjadi peraturan perundang-undangan nasional Indonesia, berlaku sebagai lex specialis bagi Pemohon Banding, sehingga mengalahkan peraturan perundang-undangan perpajakan lainnya, termasuk di dalamnya, Pasal 33A UU PPh. Sehingga tarif 10% dari tax treaty berlaku bagi Pemohon Banding; bahwa Terbanding tidak menanggapi pendapat Pemohon Banding dalam surat bandingnya bahwa P3B/Tax treaty Indonesia-UK waktu keberlakuannya mencakup sengketa pajak ini. Sehingga Pemohon Banding mohon agar Majelis Hakim yang Mulia menyatakan bahwa Terbanding telah setuju dengan pendapat Pemohon Banding tersebut; bahwa juga tidak ditanggapi oleh Terbanding, mengenai status Pemohon Banding sebagai pihak yang berhak untuk dapat menggunakan ketentuan yang terdapat di dalam Tax Treaty Indonesia-UK, sebagaimana diungkapkan Pemohon Banding dalam surat bandingnya. Sehingga Pemohon Banding mohon agar Majelis Hakim yang Mulia menyatakan bahwa Terbanding telah setuju dengan pendapat Pemohon Banding tersebut;
bahwa perlu Pemohon Banding sampaikan, bahwa tarif 10% tersebut, berdasarkan P3B/tax treaty yang telah diratifikasi sehingga menjadi hukum nasional Indonesia, adalah hak Pemohon Banding yang diberikan sendiri oleh Negara Indonesia. Sehingga koreksi tarif menjadi 20% adalah perampasan terhadap hak Pemohon Banding yang diberikan oleh Negara Indonesia. Selain itu, koreksi tersebut juga telah melanggar perjanjian internasional, suatu treaty violation; bahwa hal ini memberi contoh kepada dunia luar, khususnya investor migas, bahwa di Indonesia perjanjian internasional bisa saja dilanggar, tidak ada kepastian hukum atasnya. Kemudian, fakta bahwa perjanjian nasional itu telah diserap terlebih dahulu menjadi hukum nasional juga memberi contoh, bahwa selain perjanjian internasional, hukum nasional pun dapat dilanggar tanpa dasar yang sah. Sehingga menimbulkan kesan bahwa kepastian hukum di Indonesia adalah lemah;
E. Akibat Hukum yang Terjadi dari Berbedanya Dasar Hukum Bagi Hasil dan Pajak (BPT) 1. Kedaulatan Negara dan Pajak bahwa konstruksi hukum bahwa dasar hukum bagi hasil adalah kontraktual perdata dan pajak didasari pada peraturan perundang-undangan sangat mencerminkan kedaulatan Negara terhadap sumber daya migasnya. Bahwa Negara tidak menundukkan kedaulatan dirinya pada suatu perjanjian Perdata yang memerlukan persetujuan (konsensual) pihak (asing) lain. Bahwa tarif yang diberikan oleh Negara adalah atas kemauan Negara sendiri (unilateral); bahwa sebaliknya, konstruksi hukum Terbanding yang menundukkan Negara pada suatu kontrak perdata berpotensi merugikan Negara sendiri (memangkas kedaulatan Negara), dan melangkahi konsep kedaulatan Negara terhadap sumber daya migasnya. Dalam hal Negara ingin merubah tarif pajak (misalnya lebih tinggi), Negara harus mohon izin persetujuan dari rekanan berkontraknya di PSC; bahwa hal ini berbeda dengan persetujuan yang muncul dari P3B. P3B adalah perjanjian antara sesama Negara yang berdaulat. Keberlakuannya di Indonesia pun harus menunggu proses ratifikasi selesai, yang menjadikan P3B sebagai hukum Negara Indonesia. Tanpa proses ratifikasi, P3B tidak dapat diaplikasikan. Sehingga tarif 10% yang lebih rendah daripada tarif generalis 20% itu diberikan sendiri oleh Negara Republik Indonesia sebagai Negara yang berdaulat, bukan Negara yang menundukkan kedaulatan pajaknya kepada suatu kontrak perdata; bahwa sehingga keadaan bahwa Kontraktor PSC tunduk pada suatu sistem pengenaan pajak yang sedikit berbeda dengan wajib pajak lainnya, adalah akibat tindakan dan kemauan Negara itu sendiri, melalui peraturan perundang-undangan, bukan akibat kesepakatan perdata; 2. Bagi hasil dan Pajak adalah hal yang berbeda dan terpisah di mata hukum bahwa dari uraian di atas, terlihat bahwa bagi hasil dan pajak adalah hal yang berbeda di mata hukum dan tidak dapat dicampuradukkan; bahwa pada awalnya dalam kontrak migas, bagi hasil, PPh dan BPT semuanya diserahkan oleh Kontraktor kepada DDD, sehingga total yang diterima DDD adalah 85% dari produksi migas; bahwa konstruksi hukum demikianlah yang membuat otoritas pajak Amerika Serikat (“IRS”) berpendapat bahwa secara hukum tidak ada pajak yang dibayar oleh kontraktor asal Amerika Serikat, semua pembayaran yang dilakukan masuk ke dalam kategori bagi hasil dan/atau royalty. Oleh karenanya, tidak ada pajak yang dapat dikreditkan (karena secara hukum tidak ada pembayaran pajak) terhadap kewajiban pajaknya di Amerika Serikat. Hal ini kemudian ditetapkan dalam Revenue Ruling 76-215. Hal ini berakibat pada pembayaran pajak kontraktor PSC, di mana secara ekonomi mereka membayar pajak di Indonesia, dan kembali membayar pajak untuk penghasilan yang sama di Amerika (Pajak berganda); bahwa untuk mengurangi beban fiskal kontraktor PSC, pada Tahun 1976 tersebut dilakukan perubahan. Komponen pajak dikeluarkan dari kontrak PSC, dan ditempatkan sebagaimana mestinya di bawah peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, supaya secara hukum pungutan tersebut memenuhi ketentuan untuk dapat disebut sebagai pajak. Di lain pihak, ketentuan bagi hasil PSC-PSC yang ada pada saat itu (PERLU) disesuaikan, akibat “pengeluaran” komponen pajak tersebut, sehingga sebagaimana terlihat dalam PSC-PSC yang masih berlaku sekarang, tidak ada yang memuat ketentuan 85% untuk DDD (FFF) dan 15% untuk kontraktor. Sebagaimana dinyatakan dalam PSC-PSC tersebut, bagi hasil adalah 71,1538% untuk DDD (FFF) dan 28,8462% untuk kontraktor (PSC Jabung pasal 6.1.3., iii(b) dan iv). Tidak ada satu pun yang mengatur mengenai pembagian total after tax 85%;15%, sebagaimana diklaim oleh Terbanding. Pembagian total after tax ini juga tidak diatur oleh UU nomor 8/1971 mengenai DDD, sebagaimana diklaim oleh Terbanding dalam presentasi powerpointnya yang disajikan dalam persidangan;
bahwa sehingga konstruksi hukumnya adalah, bagi hasil berada dalam ranah perdata (PSC), dan pembayaran pajak berada di dalam ranah publik (peraturan perundang-undangan perpajakan), dan masing-masing kewajiban tersebut, sudah tidak terikat satu dengan lainnya, dan tidak bisa lagi dicampuraduk. Konstruksi yang demikian membuktikan bahwa pembayaran yang dilakukan, secara hukum adalah benar-benar pajak, dan oleh karenanya setelah dilakukan perubahan di atas, IRS menyatakan bahwa pajak yang dibayar kontraktor dapat dikreditkan terhadap pajak di Amerika Serikat; bahwa perlu Pemohon Banding ungkapkan, bahwa keterlepasan hubungan antara kewajibankewajiban perdata (bagi hasil PSC) dan publik (pajak) sudah diketahui pula sejak lama oleh Pemerintah. Terbukti dari surat Menteri Keuangan kepada Direktur Jenderal Pajak nomor 1115 Tahun 1990 (bukti P-15) agar dalam mengadakan tax treaty dengan Negara lain, agar ketentuan perpajakan di bidang migas dapat dikecualikan, mengingat tarif P3B (0%-15%) lebih rendah dari tarif yang berlaku secara generalis (20%). Hal ini tidak dilakukan Direktur Jenderal Pajak dalam tax treaty/P3B Indonesia-UK yang digunakan oleh Pemohon Banding, sehingga dalam P3B IndonesiaUK, tarif BPT 10% berlaku untuk semua tanpa kecuali; bahwa kemudian hal serupa juga dinyatakan dalam surat Menteri Keuangan kepada Menteri Pertambangan dan Energi S-395/MK.17/1999 tanggal 13 Oktober 1999 (bukti P-16) bahwa Menteri Keuangan sudah melihat potensi berkurangnya penerimaan Negara dari pajak atas industri minyak dan gas hulu akibat berlakunya tarif khusus P3B, dan telah menyarankan kepada Menteri Pertambangan dan Energi untuk melakukan renegosiasi kontrak migas (PSC) untuk mengkompensasikan turunnya tarif PPh Pasal 26 (4) dari 20% menjadi 10% (sesuai dengan P3B masing-masing); bahwa disamping itu kesadaran Pemerintah tersebut tercermin pula dalam kontrak minyak dan gas yang ditandatangani setelah terbitnya UU Nomor 22 Tahun 2001 (KKS), didalamnya telah memasukkan klausul stabilitas fiskal (Stabilization clause). Menurut klausula tersebut bagi hasil akan otomatis menyesuaikan dengan turunnya tarif pajak, sehingga total bagian yang diterima Negara baik dari perikatan privat maupun peraturan publik tidak berubah. Yang perlu digarisbawahi mengenai stabilization clause ini adalah: bahwa stabilization clause adalah merupakan bukti bahwa pemerintah menyadari bahwa tarif P3B harus berlaku; bahwa dalam stabilization clause yang menyesuaikan adalah bagi hasilnya di dalam PSC, dan bukan tarif pajak; bahwa PSC yang memuat stabilization clause adalah yang ditandatangani setelah berlakunya UU Nomor 22 Tahun 2001. PSC Jabung di mana Pemohon adalah kontraktor, tidak memiliki klausula stabilization ini; bahwa Terbanding sepertinya memilih untuk menutup mata terhadap hal-hal tersebut, dan berusaha mengada-adakan konstruksi hukum di mana pembagian 85:15 diklaim diatur oleh peraturan perundang-undangan, dan Terbanding memiliki tugas untuk menjaga angka tersebut. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, tidak ada dasar dari 85:15, terutama mengenai keberlakuan P3B, dan Terbanding tidak memiliki tugas dan/atau wewenang untuk menjaga perbandingan 85:15 tersebut; 3. Penyelesaian Sengketa bahwa sebagaimana telah diuraikan pada bagian C 2.1. di atas, bahwa sengketa terkait PSC, dalam hal ini PSC Pemohon Banding pada Pasal 11.2. dan 11.4.) diselesaikan melalui Arbitrase. Sedangkan penyelesaian sengketa melalui arbitrase hanya bisa dilaksanakan untuk sengketa perdata; bahwa sengketa di Pengadilan Pajak dengan demikian jelas tidak bisa didasarkan pada suatu sengketa mengenai ketentuan PSC. Sebagaimana dapat dilihat dari dokumentasi yang ada, sengketa di Pengadilan Pajak ini diawali dari terbitnya SKPKB, suatu KTUN yang bersumber pada hukum publik (peraturan perundang-undangan), yang penyelesaiannya adalah melalui proses keberatan dan banding di Pengadilan Pajak. Sehingga jelas sengketa ini dasarnya adalah peraturan perundang-undangan perpajakan, dan bukan PSC. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, P3B yang telah diratifikasi adalah termasuk peraturan perundang-undangan Republik Indonesia yang harus didahulukan dari peraturan perundang-undangan yang umum, sehingga tarif 10% jelas berlaku bagi Pemohon Banding; 4. Keberlakuan tarif 10% P3B untuk Pemohon Banding tidak terkait PSC. bahwa sebagaimana telah diuraikan di atas, maka keberlakuan P3B murni tunduk pada peraturan perundang-undangan. Tidak pernah ada syarat bahwa keberlakuan P3B Indonesia-Inggris raya tergantung pada situasi seputar PSC; bahwa dengan demikian, alasan Terbanding bahwa Pemohon Banding tidak dapat menggunakan tarif P3B ialah dikarenakan adanya PSC yang merupakan persetujuan perdata (tidak ada alasan lain selain itu dari Terbanding) tidak memiliki dasar hukum. Bagi hasil di dalam PSC Jabung dan pajak dalam peraturan perundang-undangan adalah dua hal yang berbeda dan tidak berkaitan, baik
karakter maupun dasar hukumnya; bahwa sehingga tidak ada alasan bagi Terbanding yang mencoba menyatakan bahwa P3B tidak berlaku pada Pemohon Banding karena Pemohon Banding adalah kontraktor PSC. Bahwa yang terbukti adalah sebaliknya, di mana P3B, sebagaimana layaknya undang-undang berlaku pada siapapun di dalam wilayah kedaulatan RI, kecuali diatur lain oleh UU atau P3B itu sendiri. Pengaturan lain ini tidak dapat diletakkan di dalam PSC, karena PSC adalah perjanjian perdata yang tidak mengatur mengenai pajak dan P3B, yang keduanya adalah bagian dari hukum public; F. Konsekuensi Hukum jika Terbanding dibenarkan untuk Mengenakan Tarif 20% dan menyalahi P3B. 1. Terjadi preseden buruk karena dasar hukum pengenaan pajak menjadi tidak jelas; bahwa dari hal-hal yang diuraikan sebelumnya, jelas terlihat bahwa kontrak perdata dan peraturan perundang-undangan memiliki tempat dan porsinya masing-masing, dan tidak dapat dicampuraduk. Undang-undang dapat menjadi sumber pada peraturan perundang-undangan lain yang lebih rendah yang tidak dapat menghasilkan norma hukum baru selain yang telah ada pada undang-undang. Sedangkan norma hukum baru pada undang-undang hanya dapat muncul dengan persetujuan pemerintah dan DPR. Norma hukum pada undang-undang berlaku secara umum/publik, dalam hal perundang-undangan perpajakan, berlaku ke seluruh wajib pajak. Sebaliknya, kontrak perdata hanya berlaku antara para pihak, sehingga tidak dapat dan tidak boleh memuat ketentuan yang bersifat publik. Oleh karenanya, hukum pajak, yang merupakan hukum publik berbentuk undang-undang (sebagaimana amanat Pasal 23A UUD 1945) tidak dapat didasarkan pada suatu kontrak perdata. Dengan kata lain, jelas bahwa sumber hukum pajak hanya bisa didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang bersifat publik. Kontrak perdata, ataupun percampuradukan antara kontrak perdata dan peraturan perundang-undangan tidak dapat menjadi dasar hukum pajak; 2. Pelanggaran P3B (Treaty Violation) bahwa dengan melanggar keberlakuan P3B, suatu perjanjian terhormat antara Negara yang berdaulat, Indonesia akan dikenal sebagai Negara yang dengan mudah melanggar suatu perjanjian publik internasional. Hal ini akan berakibat buruk pada reputasi diplomatik Indonesia di mata dunia internasional; 3. Memudarnya Kepastian Hukum di Indonesia bahwa apabila Terbanding dibenarkan untuk mengenakan tarif pajak yang tidak ada dasar hukumnya, atau paling tidak dasar hukum yang “dikarang” oleh Terbanding, maka hal ini menciderai kepastian hukum di Indonesia. Hukum dasar Indonesia sendiri, Konstitusi UUD 1945, terutama Pasal 23A dibiarkan dilanggar oleh Terbanding, dengan memungut pajak tanpa ada dasar aturannya di undang-undang. Kepastian Hukum, sebagaimana diketahui, adalah salah satu faktor penting yang diperhatikan investor dalam memilih tempat untuk menanamkan modalnya. Sudah terbukti bahwa pada penawaran wilayah kerja PSC baru pada Tahun 2014, tidak ada investor yang berminat untuk mengikuti penawaran tersebut; bahwa Pemohon Banding merasa perlu untuk kembali menyatakan, bahwa SKPKB sebagai suatu KTUN, adalah batal demi hukum, Nietig van rechtswege, dianggap tidak pernah ada apabila dasar hukum penerbitannya tidak ada, dan/atau diterbitkan tanpa wewenang yang sah; G. Lain-lain menanggapi Terbanding bahwa Pemohon Banding merasa perlu untuk kembali melengkapi pendapat akhir ini dengan hal-hal yang telah Pemohon Banding nyatakan dalam bagian F surat bantahan Pemohon Banding. Kesemua permasalahan ini sebenarnya sudah dapat dijelaskan tempat kedudukannya di dalam hukum oleh uraian yang telah Pemohon Banding nyatakan di atas. Namun demikian, mengingat ada beberapa permasalahan yang selalu diulang oleh Terbanding baik dalam sengketa ini ataupun sengketa serupa dari Pemohon Banding untuk tahun pajak yang berbeda, permasalahan tersebut akan kembali ditanggapi Pemohon Banding sebagaimana berikut: 1. Mengenai sumbangan USD 1 Milyar dari Caltex bahwa di dalam SUBnya, Terbanding mengutip mengenai Caltex yang berniat menyumbangkan USD 1 Milyar untuk membuka persawahan. Niat ini kemudian diubah menjadi perubahan rumusan 85/15 dari 65/35. Bahwa perubahan bagi hasil ini harus melalui negosiasi sehingga menghasilkan (sebagaimana dikutip dari SUB Terbanding pada halaman 16): - Dihapuskannya ketentuan pembatasan pengembalian biaya-biaya; - Dibaginya penerimaan pemerintah dalam dua komponen, penerimaan bukan pajak dan pajak; - Diberikan insentif tambahan kepada upaya eksplorasi untuk menaga agar kegiatan migas di Indonesia tetap tinggi; bahwa perlu Pemohon Banding luruskan, bahwa dalam PSC dari awal pajak adalah berbeda dengan
bagi hasil. Kontraktor membayarkan semuanya ke DDD, dan DDD yang membayarkan pajaknya tersebut ke Negara. Sehingga dari awal tidak ada dikotomi pajak dan bagi hasil; bahwa selain itu, Pemohon Banding ingin menyatakan bahwa kalaupun cerita dari Terbanding di atas benar adanya, itu hanyalah, dan tidak lebih dari latar belakang proses terbentuknya tatanan aturan perundang-undangan pengenaan pajak terhadap penghasilan dan/atau BPT yang muncul dari PSC, menjadi bentuknya seperti yang sekarang ini. Semua peraturan perundang-undangan di Indonesia memiliki latar belakang proses pembentukannya masing-masing; bahwa latar belakang proses pembentukan ini tidak relevan dibahas dalam penerapan peraturan perundang-undangan tersebut, kecuali jika masih ada ketentuan yang belum jelas dalam peraturan perundang-undangan tersebut. Sebagai contoh, Pasal 18 Undang-undang Pajak Penghasilan (“UU PPh”) yang mengatur bahwa jika ada penyertaan modal sebesar 25%, maka dianggap ada hubungan istimewa. Dalam penerapan pasal tersebut, tidak pernah lagi dilihat, latar belakangnya dan/atau proses pembentukannya mengapa penyertaan kepemilikan 25% (dan bukan, misalnya 30% atau 40%), dianggap sebagai “batas” dari hubungan istimewa tersebut, karena sudah dinyatakan dengan jelas dalam Undang-undang;
2. Itikad Baik bahwa Pemohon Banding berpendapat bahwa penjelasan Terbanding mengenai itikad baik dalam perjanjian sesuai dengan Pasal 1338 KUH Perdata dipenuhi dengan kerancuan. Mengenai hal ini dapat dijelaskan berikut: - bahwa Pasal 1338 KUHPerdata adalah suatu pasal yang mengatur perikatan perdata. Sehingga jika Terbanding mendasarkan sengketa ini pada suatu perikatan perdata, sebagaimana Pemohon Banding uraikan di atas, adalah jika obyek sengketanya adalah mengenai perikatan perdata, maka Pengadilan Pajak tidak berwenang untuk mengadilinya. Kewenangan tersebut ada pada arbitrase dan/atau Pengadilan Negeri, yang mengadili sengketa tentang ketentuan PSC; - bahwa jikapun sengketa ini hendak didasarkan pada suatu ketentuan perdata, itikad baik di sini adalah terkait pelaksanaan suatu perjanjian perdata, dan hal-hal yang lazimnya diatur dalam perjanjian tersebut, jika tidak ada peraturan lain yang jelas mengaturnya. Sedangkan dalam sengketa ini, terlihat jelas, bahwa PSC tidak mengatur mengenai PPh dan BPT, sementara sesuai dengan uraian di atas, PPh dan BPT jelas tunduk para peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Tidak ada hal yang aturannya tidak jelas. Bahkan dalam Pasal 1338 KUHPer sendiri disebutkan bahwa Undang-undang juga mengikat suatu perjanjian. Pemohon Banding dalam hal ini hanya menjalankan Undang-undang, dan sebaliknya Terbanding melakukan tindakan yang tidak diberikan wewenangnya oleh undang-undang; 3. “Notoire Feiten” bahwa dalam SUBnya, Terbanding kurang lebih menyatakan bahwa porsi penerimaan Negara dari bagi hasil dan pajak (PPh dan BPT) adalah 85% dan tidak dapat diganggu gugat. Namun demikian, Terbanding tidak dapat menunjukkan dasar undang-undang sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 23A UUD 1945. Terbanding hanya mendasarkan asumsinya pada suatu kejadian sebelum Tahun 1976, yang dasar hukumnya sudah tidak berlaku lagi. Bahwa total penerimaan Negara yang terdiri dari bagi hasil, PPh dan BPT yang 85% tersebut, saat diubah pada 1976, sebagaimana diuraikan oleh Terbanding sendiri, telah secara cermat dibuat oleh para pendahulu Terbanding pada masa itu, agar ditopang oleh dasar hukum yang kuat dan sesuai dengan peraturan perpajakan. Bahwa untuk memberikan perlakuan pajak yang khusus (specialis) kepada kontraktor PSC, ketentuannya harus diletakkan dalam koridor peraturan perundang-undangan. PSC tidak dapat serta merta dijadikan dasar hukum pengenaan pajak; bahwa hal yang sama juga sudah disadari pemerintah, yang memasukkan klausula stabilisasi fiskal di dalam kontrak-kontrak migas yang baru (KKS) sehingga apabila terjadi penurunan tarif pajak, bagian bagi hasil pemerintah yang didapat dari kontrak perdata (KKS) otomatis naik; bahwa Surat Menteri Keuangan nomor S-395/MK.17/1999 tanggal 13 Oktober 1999 (vide bukti P-16) sebagaimana tersebut di atas, juga dikeluarkan berdasarkan suatu pengetahuan bahwa bagi hasil dan pajak (PPh dan BPT) adalah hal yang berbeda, sehingga untuk mengamankan penerimaan Negara, Menteri Keuangan (atasan Terbanding) menyarankan agar menteri Pertambangan dan Energi melakukan renegosiasi PSC untuk menaikkan bagian bagi hasil sesuai dengan penurunan tariff pajak dalam P3B/tax treaty. Hal ini karena di dalam PSC tidak terkandung klausula stabilisasi fiskal sebagaimana terdapat dalam KKS; bahwa dari uraian ini terlihat, bahwa yang lazim diketahui, adalah bahwa bagi hasil dan pajak (PPh dan BPT) didasarkan pada sumber hukum yang berbeda, dan untuk mempertahankan penerimaan total Negara sebesar 85% dari bagi hasil dan pajak (PPh dan BPT), perangkat hukum yang ada harus disesuaikan. Oleh karenanya Pemohon Banding mempertanyakan atas dasar apa Terbanding menyatakan bahwa kemutlakan hasil 85%:15% adalah fakta notoir, sementara terbukti dari jabaran di atas, ternyata pengetahuan yang diketahui secara umum bertolak belakang dengan klaim Terbanding yang tanpa bukti tersebut;
4. Prinsip Pembagian 85%:15% adalah hasil dinamika proses politik, ekonomi, sosial dan hukum; bahwa semua konsep yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan, ataupun perjanjianperjanjian pemerintah, seperti traktat internasional dan lain-lain juga merupakan hasil dinamika proses politik, ekonomi, sosial dan hukum. Salah satu contohnya sudah Pemohon Banding jabarkan dalam angka 1 di atas, mengenai konsep kontrol 25% dalam hubungan istimewa di UU PPh. Contoh lain adalah undang-undang keormasan yang terus diwarnai perdebatan politik, ekonomi, sosial dan hukum. Bahkan RUU KUHPidana yang baru tidak kunjung menjadi Undang-undang karena dinamika prosesnya belum selesai. Singkatnya, dinamika proses politik, ekonomi, sosial dan hukum dialami semua peraturan perundang-undangan; bahwa kesemua dinamika tersebut, setelah dibakukan dalam undang-undang, tidak lagi dipermasalahkan. Sebagai contoh, tidak lagi dibahas, misalnya, prinsip yang berada di belakang ketentuan hubungan istimewa muncul dari penyertaan kepemilikan sebesar 25%; bahwa sedangkan sebagaimana diuraikan di atas, baik PSC dan peraturan perundang-undangan perpajakan sudah memuat aturan yang jelas. Sehingga tidak perlu dinamika proses pembentukannya dibahas lagi;
5. Proporsi bagi hasil yang mengalami perubahan bahwa proposi bagi ahsil telah mengalami beberapa kali perubahan, namun perubahan tersebut tidak mengubah komposisi bagi hasil antara pemerintah dan kontraktor sebesar 85%:15%. Tabel yang diberikan oleh Terbanding dalam SUB-nya melupakan 1 hal penting, yaitu bahwa P3B berlaku lex specialis terhadap UU PPh; bahwa selain itu, PSC, termasuk PSC Pemohon Banding memuat banyak proporsi bagi hasil, tergantung situasi di lapangan. Apakah primary recovery, secondary, atau EOR, atau lainnya. Pada dasarnya, makin sulit proses pengangkatan migas, maka bagian pemerintah makin kecil. Hal ini adalah insentif agar seluruh kekayaan migas Indonesia dapat digunakan, dan tidak dibiarkan berada di dalam tanah. Apakah dalam hal keadaan tersulit, sehingga bagian pemerintah makin kecil, Terbanding akan mengada-adakan tariff PPh dan BPT yang lebih tinggi dari tariff yang ditentukan undang-undang hanya supaya bagian pemerintah menjadi 85%? 6. Kebiasaan Menjadi Perjanjian diam-diam bahwa perlu Pemohon Banding tegaskan, bahwa suatu kebiasaan yang dianggap menjadi suatu perjanjian/persetujuan diam-diam hanya dapat diterapkan dalam suatu hubungan perdata. Dalam konteks perdata ini, Prof. Mochtar Kusumaatmadja,menyatakan bahwa kebiasaan adalah untuk suatu keadaan apabila suatu kebiasaan tersebut, tidak ada aturannya dalam undang-undang. Adalah suatu hal yang berbeda, apabila undang-undangnya sudah mengatur lain, sehingga kebiasaannya tersebut adalah salah; bahwa di lain pihak, di sisi hukum publik, dalam hal ini, hukum pajak, dasar pengenaannya, menurut Pasal 23A UUD 1945 adalah Undang-undang. Tidak ada dasar lain yang boleh menjadi dasar pengenaan pajak. Sehingga persetujuan, baik yang terang-terangan ataupun diam-diam tidak dapat dijadikan dasar hukum pengenaan pajak. Kesalahan yang terjadi bertahun-tahun tidak menjadikan kesalahan itu benar; bahwa dalam hal ini, sebagaimana diuraikan Pemohon Banding di atas, peraturan perundangundangan mengamanatkan bahwa Pemohon Banding diberikan tarif 10%. Kalaupun ada kebiasaan mengenakan tarif 20%, hal tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Perlu kembali Pemohon Banding nyatakan, bahwa karena sengketa ini adalah mengenai peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, sebagaimana amanat Pasal 23A UUD 1945, tidak dapat dikatakan bahwa kebiasaan pengenaan tarif 20% adalah persetujuan diam-diam, karena pelaksanaan peraturan perundang-undangan adalah unilateral dan memaksa, tidak perlu konsensual/persetujuan dari pihak manapun; 7. Amandemen dan Modifikasi kontrak adalah konsensual; bahwa menurut Terbanding, berdasarkan ketentuan di dalam PSC, kontrak tidak dapat dibatalkan, diamandemen, atau dimodifikasi, yang berkaitan dengan hal-hal tertentu, tanpa adanya persetujuan bersama secara tertulis oleh para pihak. Hal ini disetujui Pemohon Banding. Karena memang tidak ada pembatalan, amandemen, atau modifikasi PSC. Yang ada hanyalah Terbanding yang menggunakan tarif 20%, padahal hak Pemohon banding yang dijamin hukum nasional RI adalah 10%. Kesepakatan yang ada di dalam kontrak adalah mengenai bagi hasil, bukan penggunaan tarif 20%; bahwa pada saat PSC ditandatangani bagian pemerintah dari bagi hasil dan pajak adalah 85%, adalah gabungan dari dua sumber penghasilan yang berbeda. Yang pertama adalah bagi hasil dari PSC, yang kedua adalah pajak, yang dasarnya adalah peraturan perundang-undangan;
8. Menurut Terbanding, tidak tertulisnya konsep 85:15 tidak menjadi alasan untuk pengenaan BPT sesuai tarif P3B bahwa hal ini Pemohon banding bantah dengan alasan-alasan sebagai berikut: a. bahwa konsep 85:15 memang tidak tertulis dalam PSC dan PSC memuat bagi hasil lainnya yang tidak menggunakan konsep 85:15 sebagaimana telah Pemohon banding jelaskan pada angka 5 di atas; b. bahwa pengenaan Pajak berdasarkan pada undang-undang, bukan kesepakatan, apalagi kesepakatan perdata; c. bahwa sehingga jelas Pemohon Banding hanya menerapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan menerapkan tarif 10% sesuai hak yang diberikan peraturan perundangundangan Republik Indonesia. Bahwa Negara Republik Indonesia sendiri yang memberikan hak ini kepada Pemohon Banding. Tidak ada penerapan tarif sepihak dalam perpajakan, karena pajak bukanlah kesepakatan, namun bersumber dari ketentuan peraturan perundang-undangan; d. bahwa alasan Terbanding ini jelas memperlihatkan alur pikir Terbanding yang mencampuradukkan kesepakatan/kontrak perdata yang tidak boleh memuat tarif, dengan peraturan perundang-undangan; e. bahwa Terbanding sendiri telah mengakui dalam persidangan bahwa tidak ada ketentuan 85:15 di dalam PSC; f. bahwa Terbanding dalam persidangan, dan secara tertulis telah berusaha menjustifikasi 85:15 dengan segala table dan perhitungan, namun tidak satupun justifikasi Terbanding tersebut yang menyatakan dasar hukumnya. Bahwa kalau memang 85:15 dapat tercapai, hal tersebut karena untuk sebagian kontraktor, tariff pajaknya adalah sesuai dengan peraturan perundang-undangan umum yang bersifat generalis. Baik PSC dan peraturan perundang-undangannya, ada dasar hukumnya. Bahwa ketika peraturan perundang-undangan umum dikalahkan peraturan perundang-undangan khusus (P3B), maka dasar hukumnya adalah yang khusus, bukan lagi yang umum. Sehingga yang berlaku adalah bagi hasil sesuai PSC, dan tariff khusus P3B; 9. Menurut Terbanding, Pengenaan tarif BPT 20% sesuai dengan ketentuan di dalam PSC bahwa menurut Terbanding, penerapan tarif BPT 20% sesuai dengan Pasal XV PSC yang mengatur bahwa perundang-undangan RI berlaku untuk PSC dan tidak ada ketentuan atau syarat-syarat dalam PSC terkait yang akan menghalangi atau membatasi Pemerintah RI dalam menggunakan hakhaknya yang bersifat mutlak; bahwa pasal tersebut sebenarnya lazim dikenal dengan “klausul pilihan hukum” dalam hukum kontrak. Gunanya adalah, dalam hal terjadi sengketa, para pihak yang merupakan subjek hukum negara yang berbeda, memilih 1 hukum negara saja untuk kepraktisan. Hak Pemerintah RI yang bersifat mutlak, misalnya, melakukan nasionalisasi (sesuai hukum internasional, harus diberi ganti rugi kepada kontraktor), atau juga pengenaan pajak. Kemutlakan kedaulatan pengenaan pajak ini dibatasi, sesuai Pasal 23A UUD 1945 dengan undang-undang. Sehingga jika ingin mengubah ketentuan perpajakan, undang-undangnya perlu diubah terlebih dahulu. Sementara Terbanding, mengenakan tarif 20% sementara undang-undangnya mengenakan tarif 10%; 10. Ketentuan Pasal 33A ayat (4) UU PPh bahwa kembali Pemohon Banding nyatakan, bahwa tidak ada ketentuan pajak dalam kontrak bagi hasil, dalam hal ini, PSC Pemohon Banding. Yang ada adalah, sebagaimana telah Pemohon Banding uraikan sebelumnya, serangkaian keputusan menteri keuangan (KMK, bukan PSC), suatu instrument hukum publik, yang menyatakan bahwa ketentuan perhitungan pendapatan bersih untuk tujuan bagi hasil di dalam PSC digunakan pula sebagai dasar pengenaan pajak. Baik UU PPh dan serangkaian KMK tersebut adalah peraturan perundang-undangan yang keberlakuannya diderogat oleh ketentuan lex specialis dari P3B (P3B harus didahulukan); 11. Ketentuan section V.1.2. PSC Pemohon Banding bahwa section tersebut berbunyi “severally pay to the Government of Indonesia the income tax including the final tax after profits after tax deduction imposed on it pursuant to the Indonesian Income Tax Law and its implementing Regulations. Contractor shall comply with the requirements of the tax law in particular with respect to filling returns, assessment of tax and showing of books and records”. bahwa menurut Terbanding maka kewajiban Pemohon Banding atas pajak final atas laba setelah pajak atau BPT mengacu pada ketentuan perpajakan yang diatur dalam PSC sampai dengan berakhirnya PSC. Kemudian menurut Terbanding, Section V.1.2. PSC tersebut di atas tidak menyatakan bahwa kontraktor wajib membayar ke pemerintah Indonesia menurut ketentuan tax treaty; bahwa bantahan Pemohon banding adalah, sebagaimana tanggapan Pemohon Banding pada nomor 10 di atas, tidak ada ketentuan perpajakan yang diatur di dalam PSC. PSC hanya mengatur
mengenai bagi hasil. Instrumen hukum publik yang mengatur mengenai perpajakan kesemuanya diderogat oleh ketentuan P3B. Bahwa ketidakadaan kewajiban pembayaran pajak menurut ketentuan tax treaty memang tidak perlu ada di dalam suatu kontrak perdata, karena suatu wajib pajak membayar pajak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dalam hal ini termasuk lex specialis P3B yang telah diratifikasi menjadi hukum nasional perpajakan Indonesia, dan bukan janji pada suatu kontrak perdata; bahwa section V.1.2. ini, dan seluruh PSC Pemohon Banding adalah ketentuan perdata, yang memuat janji perdata. Sehingga jikapun dilanggar, yang terjadi adalah wanprestasi perdata, yang sengketanya adalah sengketa perdata, yang mungkin menghasilkan sanksi perdata. Tidak ada hubungannya dengan pajak yang berada pada tatanan hukum publik. Hal ini telah pula diuraikan Pemohon Banding di atas, bahwa pasal ini adalah pasal yang membebaskan DDD/EEE/FFF dari ikut menanggung kewajiban perpajakan kontraktor (Pemohon Banding); 12. Pengamanan Kepentingan Nasional Penerimaan Negara bahwa Penerimaan Negara yang bersifat memaksa, menurut Pasal 23A UUD 1945 harus didasarkan pada Undang-undang. Pasal ini amat jelas, bahwa suatu pungutan memaksa, seperti pajak, yang dilakukan tanpa dasar undang-undang, adalah bertentangan dengan Konstitusi. Telah Pemohon Banding uraikan di atas, bahwa P3B yang sudah diratifikasi sudah menjadi hukum nasional Indonesia, keberlakuannya tidak didasarkan pada hukum Internasional, melainkan pada hukum nasional Indonesia sendiri; bahwa menaikkan tarif BPT tanpa dasar dan/atau bertentangan dengan peraturan perundangundang adalah sama, misalnya dengan menaikkan tarif pajak penghasilan di luar batas yang dibolehkan undang-undang, misalnya 60%. Walaupun hal tersebut dilakukan untuk meningkatkan penerimaan Negara, namun tidak legal dilakukan karena bertentangan dengan Konstitusi; bahwa sebagaimana pula telah Pemohon Banding uraikan di atas terutama pada bagian II.3. dan II.4, bahwa tugas Terbanding adalah menjalankan Undang-undang Perpajakan, dan bukan menjaga perbandingan 85:15; 13. Saksi Ahli yang dikutip Terbanding bahwa saksi ahli yang dikutip oleh Pemohon Banding yang dikutip dalam keterangan tertulis Terbanding yang disampaikan dalam persidangan, semua tidak ada yang menyatakan dasar hukumnya. Semua berdasarkan perhitungan-perhitungan saja sebagaimana “diketahui” sang saksi. Namun demikian Pemohon Banding ulangi, tidak satupun yang menyatakan dasar hukumnya. Sehingga pernyataan saksi ahli dari Terbanding tidak ada yang dapat memenuhi azas legalitas dari perpajakan sebagaimana diatur dalam Pasal 23A UUD 1945, dan tidak patut untuk dipertimbangkan. Pasal 23A UUD 1945 jelas mengatur bahwa pajak diatur berdasarkan Undang-undang, dan bukan kelaziman; 14. Berbagai surat-surat Menteri Keuangan, Menteri Pertambangan dan Energi, dan DDD dalam penjelasan tertulis Terbanding nomor S607/PJ.07/2015 pada halaman 30 dan 31. bahwa dalam penjelasan tertulis Terbanding tersebut, dinyatakan surat-surat tersebut terlampir. Namun demikian, Pemohon Banding tidak pernah menerima lampiran-lampiran tersebut. Sehingga Pemohon Banding tidak dapat menelaah isinya, apakah sesuai dengan deskripsi Terbanding. Pemohon Banding sudah berusaha mencari surat-surat tersebut ke institusi yang terkait, namun karena dikeluarkan Tahun1980-an, butuh waktu untuk mencarinya di arsip, dan sampai Pendapat Akhir ini diserahkan, Pemohon Banding belum dapat menemukan surat-surat tersebut; bahwa namun demikian, Pemohon Banding masih dapat menanggapi surat-surat tersebut sebagai berikut: a. Secara umum surat-surat tersebut adalah surat, penambahan keterangan, dan komunikasi antar institusi. Sehingga bukan merupakan beschikking ataupun regeling, sehingga bukan merupakan sumber hokum; b. Kalaupun dianggap sumber hukum, maka surat-surat tersebut adalah bagian dari hukum domestic yang bersifat generalis, sehingga dikalahkan oleh sumber hukum yang bersifat spesialis (P3B). Konsep apapun yang ada dalam surat-surat tersebut gugur oleh keberlakuan P3B. Selain itu surat menteri juga merupakan lex inferior dibandingkan dengan P3B yang setingkat Undang-undang; c. Beberapa surat tersebut, misalnya pada angka 5 halaman 30, angka 8 dan 9 pada halaman 31 adalah mengenai PSC lain dan kontraktor lain yang tidak ada sangkut pautnya dengan Pemohon Banding; d. Sehingga Terbanding masih belum dapat menunjukkan dasar hukum 85:15, sehingga P3B tidak berlaku; 15. Kesimpulan
bahwa sebenarnya, Pemohon Banding hanya menerapkan ketentuan hukum yang berlaku, sesuai ketentuan P3B antara Indonesia dengan UK, sebagai ketentuan hukum publik. Menurut P3B tersebut, Pemohon Banding, sesuai dengan certificate of domicile yang diterbitkan Kantor Pajak UK, dan sebagai Wajib Pajak Indonesia, berhak mendapatkan tarif P3B tersebut sebesar 10%. Dalam penerapan tarif P3B tersebut Pemohon Banding tidak melanggar ketentuan manapun; bahwa PSC mengatur mengenai perikatan perdata antara DDD (pada awalnya) dan kontraktor untuk melakukan suatu. Kontraktor dikontrak DDD untuk melakukan suatu pekerjaan (mencari dan mengangkat minyak dan/atau gas bumi) dari wilayah tambang Indonesia. Atas jasanya tersebut, kontraktor dibayar, hanya apabila nilai minyak dan/atau gas bumi yang diangkat melebihi biaya-biaya, dengan perhitungan bagi hasil. Di dalam PSC tersebut diatur mengenai kewajiban dan hak perdata yang berlaku hanya antara para pihak sebagaimana halnya kontrak swasta, dalam hal operasi perminyakan seperti pengeboran, kepemilikan asset, dan bagi hasil sebagai pembayaran bagi kontraktor; bahwa oleh karena PSC adalah kontrak perdata, tidak boleh didalamnya dimuat suatu aturan mengenai pajak. Oleh karenanya, PSC tidak memuat ketentuan perpajakan. Kontraktor hanya berjanji untuk membayar pajak sesuai hukum pajak Indonesia kepada DDD. Kalau kewajiban ini dilanggar, terdapat dua akibat. dari segi hukum pajak, yang berlaku adalah sanksi yang tercantum dalam undang-undang mengenai pajak dan peraturan lain yang bersumber darinya. Sedangkan dari segi perjanjian perdata PSC, terjadi suatu wanprestasi, yang penyelesaiannya adalah melalui negosiasi atau pengadilan perdata; bahwa sesuai dengan Pasal 23A UUD 1945, pajak hanya dapat dikenakan jika didasarkan pada undang-undang. Sehingga sudah sesuai, bahwa undang-undang mengenai pajak penghasilan mengenakan pajak, kemudian diatur oleh peraturan yang bersumber pada dan tidak boleh bertentangan dengan undang-undang tersebut. Peraturan ini adalah antara lain, sebagaimana dikutip Terbanding dalam SUB-nya, adalah KMK 267/KMK.012/1978, KMK 458/KMK.012/1984, S443a/KMK.012/1978; bahwa sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa semua peraturan perundang-undangan mengenai penghasilan, termasuk peraturan yang bersumber pada undang-undang tersebut, tunduk pada ketentuan lex specialis dari tax treaty/P3B, yang setelah diratifikasi, telah pula menjadi hukum nasional Indonesia. Sehingga pada saat P3B mengatur bahwa tarif pajak adalah 10%, maka undangundang mengenai pajak penghasilan dan segala aturan yang bersumber padanya, yang memiliki tarif berbeda (dalam hal ini 20%) harus dikesampingkan agar tarif yang 10% diberlakukan. Pengenaan pajak tidak ada hubungan apapun dengan kontrak perdata manapun, termasuk kontrak bagi hasil/PSC; bahwa apapun kebijakan pemerintah, selama pemerintah memiliki wewenang untuk itu hanya dapat diterapkan dan berlaku umum apabila kebijakan tersebut dituangkan ke dalam suatu dasar hukum, dalam perpajakan, dasar hukum tersebut adalah undang-undang. Mengenai bagi hasil dan pajak, dari PSC pertama pun (dengan IIAPCO) prinsip ini selalu dipegang. Sebagaimana telah diuraikan Pemohon Banding, perubahan-perubahan tariff pajak mengenai PSC selalu ada dasarnya dalam peraturan perundang-undangan dari tahun 1970an. Baru mengenai tarif BPT ini saja yang tidak memiliki dasar hukum. Terbanding dapat saja mengulas konsep 85:15 secara terus menerus, memberikan table perhitungan dan lain sebagainya, namun selama tidak ada dasarnya dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, atau sudah dikalahkan oleh peraturan perundangundangan lainnya (P3B), hal tersebut hanyalah konsep, dan bukan hukum yang berlaku. Jika konsep tersebut berjalan pada sebagian kontraktor PSC, hal tersebut karena ada kecocokan dengan dasar hukumnya. Saat dasar hukumnya berubah menggunakan P3B, maka 85:15 tidak tercapai, dan tidak tercapainya ini adalah karena memang diberikan oleh Negara Indonesia Sendiri. Peraturan perundang-undangan di Indonesia jelas, bahwa bagi hasil terdapat di dalam PSC, pajak terdapat di dalam peraturan perundang-undangan, termasuk di dalamnya P3B/tax treaty Indonesia-UK; bahwa namun demikian, sebagaimana telah diuraikan di atas, Terbanding dengan segala alasannya memberikan tugas, tanpa alas wewenang yang sah, bahwa Terbanding ber”tugas” untuk memastikan bahwa negara menerima bagian setelah pajak sebesar 85% dari PSC. Sementara seharusnya Terbanding tugasnya adalah menjalankan hukum mengenai perpajakan, tidak lebih tidak kurang. Dalam hal ini Terbanding telah bertindak di luar wewenangnya, menambahi tugasnya sendiri, dan merampas hak Terbanding yang diberikan oleh perundang-undangan nasional Indonesia (P3B yang telah diratifikasi); bahwa dalam melakukan perampasan hak Terbanding tersebut, Terbanding juga telah melakukan pelanggaran perjanjian internasional, treaty violation, yang memberi contoh kepada dunia luar, bahwa di Indonesia perjanjian nasional bisa saja dilanggar, tidak ada kepastian hukum atasnya. Kemudian, fakta bahwa perjanjian nasional itu telah diserap terlebih dahulu menjadi hukum nasional juga memberi contoh, bawa selain perjanjian internasional, hukum nasional pun dapat dilanggar tanpa dasar yang sah. Sehingga menimbulkan kesan bahwa kepastian hukum di Indonesia adalah lemah; bahwa dengan demikian, dalam sengketa ini sudah jelas bahwa SKPKB Terbanding tidak memenuhi syarat formil dan materiilnya, sehingga batal demi hukum, dianggap tidak pernah ada;
bahwa terbukti dari uraian di atas, mengenai permasalahan formil: 1. Pemohon Banding bukanlah Wajib Pajak yang seharusnya bertanggungjawab atas pembayaran pajak SKPKB nomor No: 00002 /245/02/081/12 tanggal 29 November 2012 (error in persona) 2. Terbanding tidak berwenang untuk menerbitkan SKPKB nomor No: 00002 /245/02/081/12 tanggal 29 November 2012 bahwa sedangkan mengenai permasalahan materiil, konstruksi hukum yang mendasari permasalahan PSC, bagi hasil dan BPT ini dapat diringkas sebagaimana berikut: 1) Menurut UUD 1945, pajak hanya dapat dikenakan berdasarkan pada undang-undang. Pasal ini bersifat membatasi, bahwa dasar lain selain undang-undang, termasuk di dalamnya kontrak perdata, tidak dapat dijadikan dasar yang menimbulkan kewenangan pada pemerintah (c.q. Terbanding) untuk mengenakan pajak; 2) Menurut undang-undang pajak, tarif BPT adalah 20%; 3) P3B, setelah melalui proses ratifikasi, statusnya adalah hukum nasional Republik Indonesia, dalam hal ini, hukum perpajakan Indonesia. Keberlakuannya adalah khusus untuk subjek-subjek pajak tertentu yang diatur oleh P3B tersebut, dan berlaku sebagai lex specialis terhadap Hukum pajak Indonesia selain P3B. Sehingga dengan mengikuti ketentuan P3B, Wajib Pajak, dalam hal ini Pemohon Banding, menerapkan hukum Indonesia terkait pajak penghasilan dan/atau branch profit tax (Indonesian Income Tax Laws). Tarif P3B adalah 10%; 4) Pemohon Banding memenuhi persyaratan untuk dapat mengenakan tarif P3B yang telah diratifikasi menjadi hukum nasional Indonesia; 5) P3B yang sudah menjadi hukum nasional adalah lex specialis dari hukum pajak Nasional Indonesia secara umum, sehingga walau secara umum tarif BPT adalah 20%, akibat P3B Indonesia-UK, tarif specialis yang berlaku untuk Pemohon Banding adalah 10%; 6) PSC tidak relevan dalam pencarian sumber perhitungan hutang pajak, karena selain menurut UUD 1945 bahwa hutang pajak tidak mungkin muncul dari suatu perikatan perdata. Sedangkan perikatan perdata itu sendiri, yaitu PSC Pemohon Banding hanya memuat perhitungan bagi hasil, dan sama sekali tidak mengatur mengenai pengenaan pajak dari penghasilan dan/atau BPT yang timbul dari PSC tersebut; 7) Terbanding tidak memiliki wewenang untuk menaikkan tarif pajak tanpa dasar hukum dengan alasan untuk menjaga perbandingan 85:15; bahwa dalam persidangan, Terbanding memberikan penjelasan tertulis nomor: S-607/PJ.07/2015 tanggal 30 Januari 2015, yaitu sebagai berikut: I.
Pokok Sengketa bahwa perbedaan pengenaan tarif PPh Pasal 26 ayat (4) UU PPh antara Pemohon Banding dengan Terbanding dimana Pemohon Banding menggunakan tarif 10% berdasarkan persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara Indonesia dengan Inggris sedangkan Terbanding menggunakan tarif 20% sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia sehingga menyebabkan koreksi PPh terutang sebesar USD239,916.78;
II.
Pertanyaan Majelis Hakim bahwa Majelis Hakim pada sidang tanggal 12 Januari 2015 meminta Terbanding menjelaskan hal-hal sebagai berikut: A. Mengenai Subjek Pajak dan Penanggung Pajak karena menurut Pemohon Banding Tahun 2002 Pemohon Banding belum ada sehingga bukan merupakan subjek pajak. B. Mengenai prosedur penerbitan SKPKB melalui verifikasi yang menurut Pemohon Banding bertentangan dengan Pasal 31 UU KUP karena Tahun 2002 belum dikenal mengenai verifikasi. C. Mengenai pendapat Terbanding bahwa Production Sharing Contract (PSC) menganut prinsip naildown sehingga tarif yang berlaku untuk Branch Profit Tax (BPT) menurut Terbanding adalah 20% sesuai undang-undang yang berlaku saat PSC dibuat. D. Mengenai pendapat Terbanding yang menyatakan bahwa porsi penerimaan negara (pajak dan bagi hasil) dan penerimaan kontraktor secara neto dari waktu ke waktu selalu 85% dan 15%.
III.
Uraian Terbanding A. Mengenai Subjek Pajak dan Penanggung Pajak karena menurut Pemohon Banding Tahun 2002 Pemohon Banding belum ada sehingga bukan merupakan subjek pajak
1. Dasar Hukum a. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (UU PP); Pasal 31 ayat (2)
Pengadilan Pajak dalam hal Banding hanya memeriksa dan memutus sengketa atas keputusan keberatan, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku; b. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 (UU No. 16/2000);
c.
Pasal 1 Angka 1 Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan, termasuk pemungut pajak atau pemotong pajak tertentu; Angka 2 Badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik Negara atau Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap, dan bentuk badan lainnya; Angka 5 Nomor Pokok Wajib Pajak adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya; Angka 25 Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan; Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (UU No. 16/2009); Pasal 25 ayat (1) huruf a Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak atas suatu Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar; Penjelasan Pasal 25 ayat (1) huruf a Apabila Wajib Pajak berpendapat bahwa jumlah rugi, jumlah pajak, dan pemotongan atau pemungutan pajak tidak sebagaimana mestinya, maka Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak; Keberatan yang diajukan adalah terhadap materi atau isi dari ketetapan pajak yaitu jumlah rugi berdasarkan ketentuan undang-undang perpajakan, jumlah besarnya pajak, pemotongan atau pemungutan pajak; Pasal 27 ayat (1) Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan pajak atas Surat Keputusan Keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1);
d. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 (UU PPh); Pasal 2 Yang menjadi Subjek Pajak adalah : a. 1) orang pribadi; 2) warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak; b. badan; c. bentuk usaha tetap; e. Surat Edaran Bersama Direktur Jenderal Moneter dan Direktur Jenderal Pajak nomor SE75/PJ/1990, SE-6918/M/1690 Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan Pedoman Penghitungan Biaya Dalam Rangka Pelaksanaan Perpajakan Kontrak Production Sharing Sebagaimana Dimaksud Dalam Keputusan Menteri Keuangan nomor 267/KMK.012/1978 (SE-75/1990); III. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 Keputusan Menteri Keuangan No. 267/KMK.012/1978 tanggal 19 Juli 1978, harus diartikan bahwa setiap Kontraktor Kontrak Production Sharing/Partner dalam eksplorasi dan produksi Minyak dan Gas Bumi pada Wilayah Kerja tertentu, berkewajiban untuk mendaftarkan diri kepada Direktorat Jenderal Pajak untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) tersendiri; Contoh :
a. ---------------------------------------------------------------------------------------Wilayah Kerja X Wilayah Kerja Y ---------------------------------------------------------------------------------------Partner Penyertaan Partner Penyertaan (interest) (interest) ---------------------------------------------------------------------------------------A 50% D 25% B 25% E 25% C 25% F 50% ---------------------------------------------------------------------------------------b. bahwa dalam hal A berdasarkan suatu perjanjian memperoleh seluruh atau sebahagian penyertaan D di Wilayah Kerja Y, maka A harus membentuk Badan tersendiri dan masing-masing Badan mempunyai NPWP tersendiri untuk penyertaan di Wilayah Kerja Y tersebut; c. bahwa dalam hal Badan lain yang belum mempunyai penyertaan di Indonesia (misalnya G) berdasarkan suatu perjanjian memperoleh seluruh atau sebahagian Penyertaan B dan atau E di Wilayah Kerja yang berbeda, maka G harus membentuk suatu Badan tersendiri untuk penyertaan di setiap Wilayah Kerja yang bersangkutan dan masing-masing Badan mempunyai NPWP tersendiri;
2. Kronologis perubahan pihak-pihak dalam Production Sharing Contract (PSC) Offshore North West Java; a. bahwa berdasarkan PSC tanggal 18 Agustus 1966 (PSC 1966) diketahui bahwa kontrak awal ditandatangani antara P.N. Pertambangan Minjak Nasional (PERMINA) dengan Independent Indonesian American Petroleum (IIAPCO); (terlampir) b. bahwa berdasarkan Section II – Term PSC 1966 diketahui bahwa kontrak berlaku selama 30 tahun; c. bahwa berdasarkan UU Migas diketahui bahwa kontrak dapat diperpanjang paling lama 20 tahun; d. bahwa berdasarkan hal tersebut maka PSC 1966 diperpanjang pada tanggal 23 April 1990; e. bahwa berdasarkan PSC tanggal 23 April 1990 (PSC 1990) diketahui bahwa kontrak ditandatangani antara Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (DDD) dengan GGG (ARII); HHH; III; JJJ; KKK; LLL; MMM; (terlampir) f. bahwa berdasarkan keterangan dalam Laporan Hasil Audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) halaman 7 diketahui bahwa Atlantic Ritchfield Company (ARCO) International dibeli oleh British Petroleum (BP) tanggal 15 September 1999 dan pada tanggal 18 April 2000 operasi ARCO secara resmi diserahkan kepada BP. Akibat perubahan tersebut pelaksana operasi (operator) PSC Offshore North West Java yang semula dilakukan oleh ARII diserahkan kepada BP West Java Ltd tapi tidak merubah PSC yang ada sehingga pihakpihak yang ada dalam PSC tidak berubah kecuali ARII digantikan oleh BP West Java Ltd; g. bahwa berdasarkan keterangan Pemohon Banding dalam surat keberatannya halaman 3 diketahui bahwa tahun 1999 MMM menjual seluruh sahamnya kepada Paladin Resources Plc. (Perusahaan Inggris) sehingga MMM kemudian dilanjutkan oleh BBB; h. bahwa berdasarkan PSC Amendement tanggal 5 Mei 2003 diketahui bahwa terjadi perubahan pihak-pihak yang terlibat dalam PSC menjadi antara Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (EEE) dengan BP West Java Ltd; CNOOC ONWJ Ltd; III; NNN; KKK; BBB; i. bahwa berdasarkan Assignment Agreement tanggal 28 April 2004 diketahui bahwa BBB selaku pemilik hak atas interest sebesar 2,45% mengalihkan interest-nya kepada XXX; j. bahwa berdasarkan data dari beberapa sumber terbuka diketahui bahwa Paladin Resources Plc telah dimiliki oleh XXX tahun 2005 yang kemudian menyebabkan perubahan pada XXX. menjadi XXX; k. bahwa berdasarkan surat keberatan halaman 3, Pemohon Banding menyatakan bahwa tahun 2005 Paladin Resources Plc. menjual sahamnya kepada Talisman Energy Resources Limited dan Paladin Resources (North West Java) Limited kemudian berganti nama menjadi XXX;
3. Assignment Agreement tanggal 28 April 2004 (terlampir) bahwa berdasarkan Assignment Agreement tanggal 28 April 2004 diketahui bahwa BBB (Sunda) mengalihkan interest-nya kepada XXX. (NW Java) dengan perjanjian sebagai berikut: Sunda hereby assigns, transfers and conveys to NW Java effevtive from the date hereof, the interest, and NW Java hereby accepts assignment of the interest and covenants and agrees with Sunda and the Continuing Parties that NW Java shall assume, be bound by, observe and perform the covenants, duties and obligations contained in the PSC insofar as the same relate to the interest as if NW Java had been an original signatory to PSC in respect of the interest;
4. bahwa berdasarkan data sistem informasi DJP bahwa NPWP yang saat ini menjadi identitas
Pemohon Banding (01.001.294.6-081.000) adalah merupakan NPWP milik Warrior Minyak Inc. yang merupakan pemegang hak sebelumnya atas interest sebesar 2,45% di blok Offshore North West Java; (terlampir)
5. Pendapat Terbanding a. bahwa XXX sebelumnya adalah XXX sesuai data sumber terbuka an keterangan Pemohon Banding dalam surat keberatan halaman 3; b. bahwa XXX telah mendapatkan pengalihan interest sebesar 2,45% dari BBB sekaligus juga terjadi pengalihan segala kewajiban yang diatur dalam PSC termasuk kewajiban perpajakannya sesuai Assignment Agreement tanggal 28 April 2004; c. bahwa BBB adalah pihak yang memiliki interest sebesar 2,45% yang sebelumnya dimiliki oleh MMM karena tahun 1999 MMM telah diakuisi oleh Paladin Resources Plc sesuai keterangan Pemohon Banding dalam surat keberatan halaman 3 dan sesuai PSC Amendement tanggal 5 Mei 2003; d. bahwa XXX (Pemohon Banding) merupakan pihak yang menguasai hak atas interest sebesar 2,45% pada saat SKPKB PPh Pasal 23/26 Final Nomor 00002/245/02/081/12 Masa Pajak Januari s.d. Desember 2002 diterbitkan tanggal 29 November 2012; e. bahwa Nomor Pokok Wajib Pajak adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya sesuai Pasal 1 angka 5 UU KUP; f. bahwa berdasarkan data sistem informasi DJP diketahui bahwa NPWP yang dimiliki oleh Pemohon Banding NPWP 01.001.294.6-081.000 telah ada pada tanggal 14 Nopember 1982 atas nama Warrior Minyak Inc; g. bahwa NPWP yang ada dalam SKPKB PPh Pasal 23/26 Final Nomor 00002/245/02/081/12 tanggal 29 November 2012 Masa Pajak Januari s.d. Desember 2002 adalah benar merupakan identitas milik Pemohon Banding dalam rangka melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya; h. bahwa SE-75/1990 menjelaskan bahwa apabila satu kontraktor yang sudah mendapat wilayah kerja tertentu dan mempunyai NPWP di wilayah kerja tersebut kemudian mendapatkan penyertaan di wilayah kerja yang lain maka kontraktor tersebut membuat NPWP tersendiri khusus untuk wilayah kerja yang baru tadi. Hal ini menunjukkan bahwa NPWP tersebut tidak melekat pada badan hukumnya melainkan melekat pada wilayah kerja tertentu (blok); i. bahwa Pemohon Banding adalah merupakan pihak yang mendapatkan hak atas interest sebesar 2,45% di wilayah kerja Offshore North West Java melalui peralihan interest dari pemegang hak sebelumnya. Dengan demikian maka antara Pemohon Banding dengan pihak sebelumnya yang memiliki hak atas interest pada tahun 2002 hakekatnya adalah sama yang ditunjukkan dengan NPWP yang sama sesuai SE-75/1990; j. bahwa sesuai kronologis peralihan interest dan ketentuan mengenai NPWP kontraktor PSC maka Pemohon Banding merupakan pihak yang bertanggung jawab terhadap hak dan kewajiban perpajakan Tahun Pajak 2002; k. bahwa Pengadilan Pajak sesuai ketentuan Pasal 31 ayat (2) UU PP hanya memeriksa dan memutus sengketa atas keputusan keberatan yang sesuai penjelasan Pasal 25 ayat (1) huruf a UU KUP disebutkan bahwa keberatan yang diajukan adalah terhadap materi atau isi dari ketetapan pajak. Oleh karena itu Terbanding berpendapat bahwa yang dapat disengketakan dalam proses hukum banding tersebut hanya materi atau isi dari ketetapan pajak bukan formal bahwa Pemohon Banding bukan subjek pajak tahun 2002. Oleh karena itu, diusulkan kepada Majelis Hakim Yang Mulia untuk tidak mempertimbangkan alasan banding Pemohon Banding tersebut; B. Mengenai prosedur penerbitan SKPKB melalui verifikasi yang menurut Pemohon Banding bertentangan dengan Pasal 29 jo. Pasal 31 UU KUP karena tahun 2002 belum dikenal mengenai verifikasi
1. Dasar Hukum a. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (UU PP) Pasal 31 ayat (2) Pengadilan Pajak dalam hal Banding hanya memeriksa dan memutus sengketa atas keputusan keberatan, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku; b. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 (UU No. 16/2000); Pasal 13 ayat (1) huruf a
Dalam jangka waktu sepuluh tahun sesudah saat terutangnya pajak, atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang dalam hal-hal sebagai berikut : a. apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar; Penjelasan Pasal 13 ayat (1) huruf a Pemeriksaan dapat dilakukan di tempat tinggal, tempat kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha Wajib Pajak. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dapat juga diterbitkan dalam hal Direktur Jenderal Pajak memiliki data lain di luar data yang disampaikan oleh Wajib Pajak sendiri, dari data tersebut dapat dipastikan bahwa Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban pajak sebagaimana mestinya. Untuk memastikan kebenaran data itu, terhadap Wajib Pajak dapat dilakukan pemeriksaan; Pasal 48 Hal-hal yang belum cukup diatur dalam undang-undang ini, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah; Penjelasan Pasal 48 Untuk menampung hal-hal yang belum cukup diatur mengenai tata cara atau kelengkapan yang materinya sudah dicantumkan dalam Undang-undang ini, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Dengan demikian akan lebih mudah mengadakan penyesuaian pelaksanaan Undang-undang ini dan tata cara yang diperlukan; c. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (UU No. 16/2009); Pasal 13 ayat (1) huruf a Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dalam hal-hal sebagai berikut, apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar; Penjelasan Pasal 13 ayat (1) huruf a Ketentuan ayat ini memberi wewenang kepada Direktur Jenderal Pajak untuk dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, yang pada hakikatnya hanya terhadap kasus-kasus tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat ini. Dengan demikian, hanya terhadap Wajib Pajak yang berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain tidak memenuhi kewajiban formal dan/atau kewajiban material. Keterangan lain tersebut adalah data konkret yang diperoleh atau dimiliki oleh Direktur Jenderal Pajak, antara lain berupa hasil konfirmasi faktur pajak dan bukti pemotongan Pajak Penghasilan. Wewenang yang diberikan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk melakukan koreksi fiskal tersebut dibatasi sampai dengan kurun waktu 5 (lima) tahun; Pemeriksaan dapat dilakukan di tempat tinggal, tempat kedudukan, dan/atau tempat kegiatan usaha Wajib Pajak. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dapat juga diterbitkan dalam hal Direktur Jenderal Pajak memiliki data lain di luar data yang disampaikan oleh Wajib Pajak sendiri, dari data tersebut dapat dipastikan bahwa Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban pajak sebagaimana mestinya. Untuk memastikan kebenaran data itu, terhadap Wajib Pajak dapat dilakukan pemeriksaan; Pasal 25 ayat (1) huruf a Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak atas suatu Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar; Penjelasan Pasal 25 ayat (1) huruf a Apabila Wajib Pajak berpendapat bahwa jumlah rugi, jumlah pajak, dan pemotongan atau pemungutan pajak tidak sebagaimana mestinya, maka Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak; Keberatan yang diajukan adalah terhadap materi atau isi dari ketetapan pajak yaitu jumlah rugi berdasarkan ketentuan undang-undang perpajakan, jumlah besarnya pajak, pemotongan atau pemungutan pajak; Pasal 27 ayat (1) Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan pajak atas Surat Keputusan Keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1); Pasal 48 Hal-hal yang belum cukup diatur dalam undang-undang ini, diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah; Penjelasan Pasal 48 Untuk menampung hal-hal yang belum cukup diatur mengenai tata cara atau kelengkapan yang materinya sudah dicantumkan dalam Undang-undang ini, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Dengan demikian akan lebih mudah mengadakan penyesuaian pelaksanaan Undang-undang ini dan tata cara yang diperlukan; Pasal II 1. Terhadap semua hak dan kewajiban perpajakan Tahun Pajak 2001 sampai dengan Tahun Pajak 2007 yang belum diselesaikan, diberlakukan ketentuan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 tahun 2000; 2. Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 1, daluwarsa penetapan untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak 2007 dan sebelumnya, selain penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) atau Pasal 15 ayat (4), berakhir paling lama pada akhir Tahun Pajak 2013; d. Peraturan Pemerintah No 74 tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan (PP 74/2011); Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang; Angka 4
Verifikasi adalah serangkaian kegiatan pengujian pemenuhan kewajiban subjektif dan objektif atau penghitungan dan pembayaran pajak, berdasarkan permohonan Wajib Pajak atau berdasarkan data dan informasi perpajakan yang dimiliki atau diperoleh Direktur Jenderal Pajak, dalam rangka menerbitkan surat ketetapan pajak, menerbitkan/menghapus Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau mengukuhkan/mencabut pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;
Pasal 14 ayat (1) huruf a Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dalam hal terdapat pajak yang tidak atau kurang dibayar berdasarkan: a. hasil Verifikasi terhadap keterangan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang; Pasal 14 ayat (2) huruf d Keterangan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan data konkret yang diperoleh atau dimiliki oleh Direktur Jenderal Pajak yang berupa bukti transaksi atau data perpajakan yang dapat digunakan untuk menghitung kewajiban perpajakan Wajib Pajak; Pasal 21 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Verifikasi diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; e. Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-146/PMK.03/2012 tentang Tata Cara Verifikasi (PMK 146/2012); Pasal 1 angka 2 Verifikasi adalah serangkaian kegiatan pengujian pemenuhan kewajiban subjektif dan objektif atau penghitungan dan pembayaran pajak, berdasarkan permohonan Wajib Pajak atau berdasarkan data dan informasi perpajakan yang dimiliki atau diperoleh Direktur Jenderal Pajak, dalam rangka menerbitkan surat ketetapan pajak, menerbitkan/menghapus Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau mengukuhkan/mencabut pengukuhan Pengusaha Kena Pajak; Pasal 2 huruf f Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan Verifikasi dalam rangka menerbitkan surat ketetapan pajak; Pasal 13 ayat (1) dan (2) Verifikasi dalam rangka menerbitkan surat ketetapan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf f dapat dilakukan untuk 1 (satu) atau beberapa jenis pajak, baik untuk 1 (satu) atau beberapa Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak dalam tahun-tahun lalu
maupun tahun berjalan; Pasal 13 ayat (2) Verifikasi dalam rangka menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dilakukan dalam hal terdapat: a. keterangan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang KUP; atau b. Putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap terhadap Wajib Pajak yang dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan atau tindak pidana lainnya yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara yang di dalamnya memuat data konkret yang dapat dipergunakan untuk menghitung besarnya pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar; f.
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor 48/PJ/2012 tentang Kebijakan Pelaksanaan Verifikasi (SE-48/2012); Huruf E Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan yang antara lain mengatur mengenai Verifikasi maka ditegaskan bahwa Verifikasi merupakan salah satu prosedur yang dapat dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak sejak 1 Januari 2012 dalam hal-hal tertentu. Kegiatan Verifikasi tersebut dapat dilakukan baik untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak sebelum Tahun Pajak 2008 maupun Tahun Pajak 2008 dan sesudahnya;
2. Pendapat Terbanding a. bahwa Surat Ketetapan Pajak (SKP) dapat diterbitkan apabila berdasarkan keterangan lain pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar. Hal ini diatur baik dalam Pasal 13 ayat (1) huruf a UU No. 16/2000 maupun UU No. 16/2009; b. bahwa Pasal 48 UU No. 16/2000 maupun UU No. 16/2009 mengamanatkan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam undang-undang ini, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah; c. bahwa Pasal 13 ayat (1) huruf a UU No. 16/2000 terkait kalimat “keterangan lain” tidak dicabut dan tidak dirubah dengan Pasal 13 ayat (1) huruf a UU No. 16/2009; d. bahwa penjelasan Pasal 13 ayat (1) huruf a UU No. 16/2009 sebagai perubahan terakhir UU KUP substansinya adalah menambahkan menerangkan mengenai “keterangan lain” yaitu bahwa “keterangan lain” tersebut adalah data konkret yang diperoleh atau dimiliki oleh Direktur Jenderal Pajak, antara lain berupa hasil konfirmasi faktur pajak dan bukti pemotongan Pajak Penghasilan; e. bahwa makna antara lain tersebut di atas bermakna tidak terbatas hanya pada hasil konfirmasi faktur pajak dan bukti pemotongan Pajak Penghasilan. Hal ini berarti bahwa data atau keterangan konkret lainnya yang diperoleh atau dimiliki oleh Direktur Jenderal Pajak dapat digunakan dalam penerbitan SKP; f. bahwa dengan adanya Pasal 48 UU KUP maka hal-hal yang belum cukup diatur akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Dengan demikian pengertian “keterangan lain” dalam Pasal 13 ayat (1) huruf a UU No. 16/2000 sebagaimana diubah terakhir dengan UU No. 16/2009 mengacu atau merujuk kepada PP 74/2011; g. bahwa berdasarkan Pasal 14 ayat (2) huruf d PP 74/2011 tersebut diatur keterangan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan data konkret yang diperoleh atau dimiliki oleh Direktur Jenderal Pajak yang berupa bukti transaksi atau data perpajakan yang dapat digunakan untuk menghitung kewajiban perpajakan Wajib Pajak; h. bahwabahwa berdasarkan Huruf E SE-48/2012 ditegaskan dan diatur bahwa kegiatan Verifikasi tersebut dapat dilakukan baik untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak sebelum Tahun Pajak 2008 maupun Tahun Pajak 2008 dan sesudahnya; i. bahwa dari LHA BPKP tersebut Direktur Jenderal Pajak memperoleh data konkret berupa data perhitungan “Kewajiban Pembayaran PPS dan PBDR Tahun 2002 sesuai dengan interest-nya” yang dapat digunakan untuk menghitung kewajiban perpajakan Pemohon Banding; j. bahwa data dari LHA BPKP tersebut tidak harus dan tidak terbatas dari bagian “Temuan Hasil Audit Tahun Buku 2002 LHA BPKP”, semua data atau keterangan yang konkret dari LHA BPKP yang dapat digunakan untuk menghitung kewajiban perpajakan Pemohon Banding merupakan “keterangan lain” yang dapat digunakan Terbanding; k. bahwa berdasarkan uraian dan dasar hukum tersebut di atas Terbanding menyatakan bahwa SKP telah diterbitkan sesuai ketentuan yang berlaku; l. bahwa Pengadilan Pajak sesuai ketentuan Pasal 31 ayat (2) UU PP hanya memeriksa dan memutus sengketa atas keputusan keberatan yang sesuai penjelasan Pasal 25 ayat (1) huruf a UU KUP disebutkan bahwa keberatan yang diajukan adalah terhadap materi atau isi dari ketetapan pajak. Oleh karena itu Terbanding berpendapat bahwa yang dapat disengketakan dalam proses hukum banding tersebut hanya materi atau isi dari ketetapan pajak bukan formal bahwa SKPKB bertentangan dengan Pasal 29 jo. Pasal 31 UU KUP. Oleh karena itu,
diusulkan kepada Majelis Hakim Yang Mulia untuk tidak mempertimbangkan alasan banding Pemohon Banding tersebut; C. Mengenai pendapat Terbanding bahwa Production Sharing Contract (PSC) menganut prinsip naildown sehingga tarif yang berlaku untuk Branch Profit Tax (BPT) menurut Terbanding adalah 20% sesuai undang-undang yang berlaku saat PSC dibuat
1. Dasar Hukum a. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan Pasal 33 ayat (3) Penghasilan kena pajak yang diterima atau diperoleh dalam bidang penambangan minyak dan gas bumi serta dalam bidang penambangan lainnya sehubungan dengan Kontrak Karya dan Kontrak Bagi Hasil, yang masih berlaku pada saat berlakunya undang-undang ini, dikenakan pajak berdasarkan ketentuan-ketentuan Ordonansi Pajak Perseroan 1925 dan Undang-undang Pajak atas Bunga, Dividen dan Royalti 1970 beserta semua peraturan pelaksanaannya;
b. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan; Pasal 33A ayat (4) Wajib Pajak yang menjalankan usaha di bidang pertambangan minyak dan gas bumi, pertambangan umum, dan pertambangan lainnya berdasarkan kontrak bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian kerja sama pengusahaan pertambangan yang masih berlaku pada saat berlakunya Undang-undang ini, pajaknya dihitung berdasarkan ketentuan dalam kontrak bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan tersebut sampai dengan berakhirnya kontrak atau perjanjian kerjasama dimaksud; Penjelasan Pasal 33A ayat (4) Ketentuan pajak dalam kontrak bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian kerja sama pengusahaan pertambangan yang masih berlaku pada saat berlakunya Undang-undang ini, dinyatakan tetap berlaku sampai dengan berakhirnya kontrak bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian kerja sama pengusahaan pertambangan tersebut. Walaupun Undang-undang ini sudah mulai berlaku, namun kewajiban pajak bagi Wajib Pajak yang terikat dengan kontrak bagi hasil, kontrak karya atau perjanjian kerja sama pengusahaan pertambangan tetap dihitung berdasar kontrak atau perjanjian dimaksud; Dengan demikian, ketentuan Undang-undang ini baru diberlakukan untuk pengenaan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak di bidang pengusahaan pertambangan minyak dan gas bumi dan pengusahaan pertambangan umum lainnya yang dilakukan dalam bentuk kontrak karya, kontrak bagi hasil, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan, yang ditandatangani setelah berlakunya Undang-undang ini; Pasal 15 Penyetoran kepada Kas Negara sebagaimana tercantum pada ayat (1) sub a dan b pasal 14 Undang-undang ini, membebaskan Perusahaan dan Kontraktor, serta merupakan pembayaran dari: a. Pajak Perseroan termaksud dalam Ordonantie Pajak Perseroan (Staatsblad 1925 Nomor 319) sebagaimana telah diubah dan ditambah; b. Iuran pasti, iuran eksplorasi, iuran eksploitasi dan pembayaran-pembayaran lainnya yang berhubungan dengan pemberian Kuasa Pertambangan termaksud dalam Undangundang Nomor 44 Prp. Tahun 1960; c. Pungutan atas ekspor minyak dan gas bumi serta hasil-hasil pemurnian dan pengolahan; d. Bea masuk termaksud dalam Indische Tariefwet 1873 (Staatsblad 1873 Nomor 35) sebagaimana telah ditambah dan dirubah dan Pajak Penjualan atas impor termaksud dalam Undang-undang Nomor 19 Drt. Tahun 1951 (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Nomor 157) yo. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1968 (Lembaran Negara tahun 1968 Nomor 14, Tambahan Lemba ran Negara Nomor 2847) sebagaimana telah dirubah dan ditambah dari pada semua barang-barang yang dipergunakan dalam operasi Perusahaan, yang pelaksanaannya akan diatur dengan Peraturan Pemerintah; e. Iuran Pembangunan Daerah;
c.
Undang Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000; Pasal 26 ayat (4) Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu bentuk usaha tetap di Indonesia dikenakan pajak sebesar 20% (dua puluh persen), kecuali penghasilan tersebut ditanamkan
kembali di Indonesia, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri Keuangan; Pasal 33A ayat (4) Wajib Pajak yang menjalankan usaha di bidang pertambangan minyak dan gas bumi,pertambangan umum, dan pertambangan lainnya berdasarkan Kontrak Bagi Hasil, Kontrak Karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan yang masih berlaku pada saat berlakunya Undang-undang ini, pajaknya dihitung berdasarkan ketentuan dalam Kontrak Bagi Hasil, Kontrak Karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan tersebut sampai dengan berakhirnya kontrak atau perjanjian kerjasama dimaksud; Penjelasan Pasal 33A ayat (4) Ketentuan pajak dalam kontrak bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian kerja sama pengusahaan pertambangan yang masih berlaku pada saat berlakunya Undang-undang ini, dinyatakan tetap berlaku sampai dengan berakhirnya kontrak bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian kerja sama pengusahaan pertambangan tersebut. Walaupun Undang-undang ini sudah mulai berlaku, namun kewajiban pajak bagi Wajib Pajak yang terikat dengan kontrak bagi hasil, kontrak karya atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan tetap dihitung berdasar kontrak atau perjanjian dimaksud; Dengan demikian, ketentuan Undang-undang ini baru diberlakukan untuk pengenaan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak di bidang pengusahaan pertambangan minyak dan gas bumi dan pengusahaan pertambangan umum lainnya yang dilakukan dalam bentuk kontrak karya, kontrak bagi hasil, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan, yang ditanda tangani setelah berlakunya Undang-undang ini;
d. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor KMK-458/KMK.012/1984 tentang Tata Cara Perhitungan Dan Pembayaran Pajak Penghasilan Yang Terhutang Oleh Kontraktor Yang Mengadakan Kontrak Production Sharing Dalam Eksplorasi Dan Eksploitasi Minyak Dan Gas Bumi Dengan Perusahaan Pertambangan Minyak Dan Gas Bumi Negara (DDD) (KMK 458/1984); Pasal 3 Pajak Penghasilan yang terhutang oleh Kontraktor adalah sebesar 35% (tiga puluh lima perseratus) dari Penghasilan Kena Pajak; Pasal 4 Kontraktor wajib memotong Pajak Penghasilan sebesar 20% (dua puluh perseratus) dari keuntungan sesudah dikurangi Pajak Penghasilan termaksud dalam Pasal 3;
e.
Kontrak Kerja Sama atau Production Sharing Contract (PSC) yang ditandatangani tanggal 23 April 1990 antara GGG (ARII); HHH; III; JJJ; KKK; LLL; MMM; Section V 1.2. (s) Contractor shall Severally pay to the Government of the Republic of Indonesia the income tax including the final tax on profits after tax deduction imposed on it pursuant to the Indonesian Income Tax Law and its implementing Regulations. Contractor severally shall comply with the requirements of the tax law in particular with respect to filling of returns, assessments of tax and keeping and showing of books and records; Section VI 1.3. (ii) (b) For crude oil production from pre-tertiary reservoir rocks, the parties shall be entitled to take and receive each year as follows: DDD 71,1538% and Contractor 28,8462%.......
2. Pendapat Terbanding a.
bahwa berdasarkan Section V 1.2. (s) PSC, dinyatakan bahwa: Contractor shall Severally pay to the Government of the Republic of Indonesia the income tax including the final tax on profits after tax deduction imposed on it pursuant to the Indonesian Income Tax Law and its implementing Regulations. Contractor severally shall comply with the requirements of the tax law in particular with respect to filling of returns, assessments of tax and keeping and showing of books and records;
b.
bahwa berdasarkan Section VI 1.3. (ii) (b) PSC bagi hasil produksi bruto terkait dengan Minyak, yaitu DDD 71,1538% dan Kontraktor 28,8462%.
c.
bahwa ketentuan mengenai pajak yang dikenakan yang diatur dalam Section V 1.2. (s) PSC berkaitan erat dengan Section VI 1.3. (ii) (b) PSC yang mengatur mengenai bagi hasil produksi bruto terkait dengan minyak antara DDD dengan Kontraktor;
d.
bahwa tarif yang dikenakan atas Pajak Penghasilan (PPh Badan) dan pemotongan PPh dari
keuntungan sesudah dikurangi Pajak Penghasilan (Branch Profit Tax/BPT) yang diatur dalam PSC adalah tarif sesuai undang-undang yang berlaku saat PSC dibuat yaitu PPh Badan sebesar 35% dan BPT 20%. Hal ini dapat dibuktikan dengan tabel sebagai berikut: Tarif Pajak Sebelum 1984 PPs/PPh Badan 45% PBDR / PPh Pasal 26 (4) (20% X (100%-PPh) 11% Total Pajak Penghasilan 56% Persentasi Bagi Hasil Bagian Kontraktor Net Bagian Kontraktor sebelum pajak Dikurangi : Total Pajak Penghasilan Bagian kontraktor net (15%) Bagian kontraktor gross (X) Bagian kontraktor gross (X) Bagian Pemerintah Gross(100%- X) Ditambah : Total Pajak Penghasilan Perolehan dari Pajak Bagian Pemerintah Net (Gross + pajak)
1984 35% 13% 48%
1991 35% 13% 48%
1994 30% 14% 44%
2001 30% 14% 44%
Sebelum 1984 1984 1991 1994 2001 15,0000% 15,0000% 15,0000% 15,0000% 15,0000% X X X X X 56% x X 48% x X 48% x X 44% x X 44% x X 44% x X 52% x X 52% x X 56% x X 56% x X 15% / 44% 15% / 52% 15% / 52% 15% / 56% 15% / 56% 34,0909% 28,8462% 28,8462% 26,7857% 26,7857% 65,9091% 71,1538% 71,1538% 73,2143% 73,2143% 56% x X 48% x X 48% x X 44% x X 44% x X 19,0909% 13,8462% 13,8462% 11,7857% 11,7857% 85,0000% 85,0000% 85,0000% 85,0000% 85,0000%
e.
bahwa Keputusan Menteri Keuangan Nomor KMK-458/KMK.012/1984 tentang Tata Cara Perhitungan Dan Pembayaran Pajak Penghasilan Yang Terhutang Oleh Kontraktor Yang Mengadakan Kontrak Production Sharing Dalam Eksplorasi Dan Eksploitasi Minyak Dan Gas Bumi Dengan Perusahaan Pertambangan Minyak Dan Gas Bumi Negara (DDD) yang berlaku mulai tanggal 1 Januari 1984 mengatur mengenai tarif yang ada dalam PSC yaitu Pajak Penghasilan (PPh Badan) sebesar 35% dan BPT sebesar 20%;
f.
bahwa data Financial Quarterly Report (FQR) tahun 2002 yang merupakan dokumen yang wajib dilaporkan secara rutin oleh BP West Java sebagai operator untuk Blok Offshore North West Java menunjukkan besarnya hak pemerintah berupa pajak yang harus dibayar oleh kontraktor-kontraktor untuk blok tersebut. Dari pajak yang harus dibayar tersebut dapat diketahui bahwa tarif efektif pajak sebagai berikut (terlampir):
bahwa fakta tarif efektif yang dibayarkan oleh Kontraktor sebesar 48% tersebut membuktikan bahwa tarif BPT yang digunakan adalah 20% sesuai dengan rincian perhitungan dalam tabel poin d diatas; g. bahwa tarif yang berlaku dalam PSC terbukti adalah BPT sebesar 20% dan PPh Badan sebesar 35% yang menunjukkan bahwa tarif tersebut menghasilkan angka-angka bruto sebagaimana tertuang dalam PSC yaitu kontrak bagi hasil produksi minyak antara DDD sebesar 71,1538% dengan Kontraktor sebesar 28,8462%; h.
bahwa sebagai bukti tambahan, Terbanding mengutip pendapat ahli yang dihadirkan Terbanding dalam sidang tanggal 25 Februari 2014 pada sidang Majelis XVIA Pengadilan
Pajak yaitu Bapak A. Edy Hermantoro (Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral RI) sebagai Ahli PSC, menerangkan secara singkat penyebab Indonesia menerapkan adanya sistem PSC : 1)
bahwa alasan Pemerintah mengundang investor baik dalam maupun luar negeri: a) b)
c)
Pemerintah merasa percaya akan adanya sumber daya alam yang bisa dikelola untuk kemakmuran negara dan bangsa Indonesia; Terdapatnya keterbatasan teknologi dan finansial sehingga Pemerintah mengundang investor. Berdasarkan Pembukaan dan Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945, dalam hal ini Pemerintah berkewajiban untuk mengawal terhadap masalah kesejahteraan masyarakat, sehingga Pemerintah mencoba menggunakan sistem production sharing contract yang sebelumnya pada jaman dahulu, yaitu ketika pada jaman bung Soekarno (Presiden RI Pertama) dimulai dengan mengenal adanya istilah “Paron”. Paron sendiri artinya bagi-bagi atau separoh-separoh antara ownership dari tanah atau pemilik tanah dengan orang yang akan menanam tanaman setelah dipotong/ dikurangi biaya-biaya menanam termasuk benih dan lain-lain. Sistem ini (PSC) adalah system pertama kali di dunia yang diterapkan di Indonesia. Sistem awal di dunia seperti di Amerika maupun negara-negara Timur Tengah bukan menggunakan sistem PSC seperti ini, namun ada bermacam-macam seperti kontrak service fee atau rate of return contract. Di Indonesia sudah ada beberapa generasi.Pada waktu jaman Belanda dikenal dengan A5 atau konsesi kemudian “bonggol” atau kontrak karya kemudian terakhir PSC atau kontrak kerja sama. Inti PSC adalah membagi in kind dari minyaknya itu. Namun terkait dengan keterbatasan teknologi, pengetahuan dan biaya maka Pemerintah mengundang investor dengan tetap catatan memperhatikan Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945 Pemerintah menerapkan pola bahwa risiko, teknologi dan finansial ada di kontraktornya. Mengapa dikatakan kontraktor adalah ownership-nya dan kuasa pertambangannya ada di pemerintah? Karena pola ini adalah sistem terbaik, Kalau itu sudah terjadi kesepakatan atau titik temu dalam perhitungan kontrak kerja sama maka akan menjadi turunan sebagaimana dalam skema bagi hasil yang dituangkan dalam masing-masing PSC. Untuk itu, Pemerintah harus mengetahui resourcesnya dan perhitungannya kira-kira berapa? Dan dalam konteks PSC ini, Pemerintah berkomitmen adalah after tax-nya; Jadi seperti diketahui dan ditegaskan bahwa sistem PSC itu adalah after tax-nya, ini merupakan bagian dari pengejawantahan dari goodfaith atau itikad baik sehingga pada waktu awal pola pembagiannya dalam persentase tersebut adalah 85:15. Di dalam sistem investasi jika membahas mengenai rate of return dari investasi dengan risiko, investasi dan teknologi ada pada kontraktor tentunya terkait dengan investasinya dibandingkan dengan Negara lain seperti apabila modal tersebut disimpan di bank saja dan lain-lain. Kemudian dirumuskan di awal bahwa bagian Negara adalah 85 dan bagian kontraktor adalah 15 untuk minyak sedangkan gas, bagi hasil untuk Negara 70 dan kontraktor adalah 30. Kenapa ada dua perhitungan? Karena pada saat pengeboran yang dihasilkan adalah minyak dan gas, Ahli menggambarkan seperti ibu mengandung belum tahu anaknya lakilaki atau perempuan maka dalam perhitungannya harus dipersiapkan kalau hasilnya adalah minyak seperti apa pembagiannya dan kalau gas seperti apa pembagiannya, ini adalah konsep dasar yang harus dipatuhi. Berdasarkan angkaangka tersebut dan dikaitkan dengan rate of return maka kontraktor akan menghitung, kalau itu atas perhitungan itu dapat diterima maka kontraktor akan menerima dan melakukan kesepakatan dalam sistem PSC. Karena pembagian 85:15 atau 70:30 sudah disepakati di perusahaannya kemudian Pemerintah memberikan decision untuk masuk ke Indonesia dan dimulai melakukan kegiatan eksplorasi, survey seismic, drilling dan lain sebagainya, namun hal ini belum tentu dapat minyak atau gas. Kembali lagi yang Ahli katakan bahwa Risiko, teknologi dan finansial berada pada kontraktor sistem tersebut diberikan agar ada ruang gerak bagi company (perusahaan) lain apabila dalam waktu 10 tahun masa eksplorasi tidak ditemukan maka dikembalikan kepada Negara dan Negara menawarkan lagi kepada company lain. Sebagai gambaran, merupakan hal yang lumrah bahwa company A tidak menemukan minyak dan gas dan dikembalikan kepada Negara dan Negara memberikan kepada company B dan ketemu. Hal ini sudah biasa dan sudah diperhitungkan oleh investor untuk masuk karena ada jaminan bagihasil yaitu 85:15. Pada proses pembahasan, company biasanya ingin mendapatkan jaminan dalam jangka waktu 30 tahun agar terhindar dari fluktuasi hukum maupun politik maka dibuatkan Naildown termasuk juga pajaknya, seperti corporate income tax pertama kali adalah 35% maka sampai 30 tahun akan 35% terus sampai dengan akhir perjanjian walaupun di dalam perjalanan ada suatu government intervention yang inisiatif baru sehingga mengemukakan tarif pajak baru, bukan 35 dan bukan 30 namun investor yang bersangkutan tetap menggunakan 35% atau 30%, inilah yang dinamakan naildown. Kembali lagi disampaikan, yang pertama good faith pada awal saat masuk yaitu 85:15 untuk
d)
2)
i.
minyak 70:30 untuk gas kemudian masuk naildown atas kontrak dan perhitungan gross up setelah ada kesepakatan naildown dan terakhir adalah sanctity of contract untuk menjamin investasinya kembali dengan baik; Beberapa pengalaman di negara-negara lain terkait sistem PSC dari segi capital expenditure-nya atau operatingnya sering terjadi perubahan atau fluctuate agar terjadi jaminan pengembalian bagi investor tetap maka Pemerintah mengeluarkan beberapa insentif yang gunanya agar posisi afternya itu sama dengan 15%. Hal ini adalah upaya-upaya dari sifat kepublikannya dalam suatu sistem yang notabenenya banyak ditiru oleh beberapa Negara karena ada sifat khususnya yaitu seolah-olah dimiliki oleh Negara dan dari segi B to B nya seperti yang dapat dilihat adalah mineral right yang dimiliki dan dikuasai oleh Negara bentuknya adalah entitlement dari minyak dan gasnya tersebut. Sehingga walaupun minyak dan gas tersebut sudah dibawa mendekati tempat/ Negara pembeli yang dituju karena suatu keadaan geopolitik maka kapal tersebut dapat dibelokkan ke Negara lain atau Negara sumbernya, sedangkan petroleum operation adalah dari segi B to B nya. Selain ada mineral right dalam bentuk entitlement juga ada insentif untuk menjamin bagian 15% dari kontraktor terjaga.Biasanya beberapa Negara yang saling berkompetisi dalam mengundang investor terkait kekurangan teknologi dan financial namun sekarang investor tidak semudah itu karena ada perhitungan return of invesment-nya atau B to B nya;
bahwa pada intinya Ahli mengulangi bahwa PSC harus dilihat dengan good faith, nail down, gross up dan sanctity of contract dengan seluruh sistem mineral yang dikuasai oleh Negara;
bahwa mengutip pendapat ahli (M. Rofi Uddin) yang Terbanding hadirkan pada sidang Majelis VIII Pengadilan Pajak atas Pemohon Banding XXX mengemukakan: 1)
2)
3)
4)
bahwa Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) menegaskan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Demikian pula bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesarbesarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Mengingat Minyak dan Gas Bumi merupakan sumber daya alam strategis tak terbarukan yang dikuasai negara dan merupakan komoditas vital yang memegang peranan penting dalam penyediaan bahan baku industri, pemenuhan kebutuhan energi di dalam negeri, dan penghasil devisa negara yang penting, maka pengelolaannya perlu dilakukan seoptimal mungkin agar dapat dimanfaatkan bagi sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat; bahwa Sistem Kontrak Bagi Hasil yang pada awalnya merupakan sistem sederhana yang mengadopsi dari kebiasaan masyarakat lndonesia dalam mengelola lahan pertanian dengan sistem "paron" dimana pemilik lahan pertanian mempekerjakan orang lain dengan imbalan bagi hasil, maka untuk dibidang migas Negara sebagai pemilik sumber daya alam migas "mempekerjakan kontraktor" untuk mengelola wilayah kerja migas dengan sistem membagi hasil produksi (in kind) setelah dikurangi biaya operasi. Penetapan bagi hasilnya dilakukan sebelum kontrak ditandatangani yaitu pada saat dilakukan perundingan atau sebelum dilakukan tender yang dilakukan baik oleh DDD pada saat lalu atau Pemerintah pada saat kini; bahwa untuk memahami PSC tentunya tidak hanya memahami kontraknya saja, namun harus dengan melihat suasana kebatinan dan spirit yang hidup pada saat disetujui para pihak dan senantiasa mengiringi pelaksanaan/berlakunya PSC dimana para pihaknya memegang teguh sanctity of contract serta good faith yang senantiasa dijunjung tinggi untuk mencapai tujuan mendapatkan hasil yang sebesar-besarnya bagi para pihak. Pencapaian hasil tersebut menjadi suatu yang sangat penting karena harus dilaksanakan secara berimbang diantara para pihak dengan tetap menjaga perimbangan diantara kepentingan Negara yang diwakili melalui pihak yang ditunjuk mewakili Negara (Petamina atau BPMIGAS) dalam PSC dengan pihak kontraktor. Perimbangan yang dijaga tentunya dengan tetap melihat apa yang menjadi kesepakatan tertulis didalam PSC dan diluar PSC yang mendasari terms and conditions-nya (dokumen-dokumen pada saat/setelah perundingan, dan persyaratan tender atau kebijakan Pemerintah yang dikeluarkan terkait dengan pelaksanaan PSC); bahwa mengenai mulai diterapkannya besaran pembagian hasil PSC setelah pajak antara Pemerintah: Kontraktor untuk minyak 85% : 15% dan gas 70%: 30% baru dimulai pada saat PSC generasi tahun 1976 ke atas; bahwa untuk keperluan para kontraktor yang berasal dari Amerika agar dapat mengkreditkan pembayaran pajak yang telah dilakukan di lndonesia DDD melakukan perubahan PSC Terms yang melahirkan PSC Terms generasi kedua guna mengakomodasi perubahan perlakuan yang dikeluarkan Jawatan Pajak Amerika Serikat (Internal Revenue Service / IRS). Prinsipnya harus ada pembayaran pajak yang dilakukan sendiri oleh Kontraktor, untuk itu akan melahirkan angka besaran bagi hasil baik yang setelah pajak maupun sebelum pajak. Untuk keperluan perundingan dan pembuatan kebijakan, angka yang dipakai sebagai tolok ukur adalah besaran
penerimaan Pemerintah/DDD setelah pajak, sedangkan yang akan tercantum dalam klausul PSC adalah angka besaran bagi hasil sebelum pajak. Untuk menghasilkan angka besaran sebelum pajak adalah dengan melakukan “gross up” terhadap besaran setelah pajak yaitu dengan cara before tax = after tax / (1 – total tax); j.
bahwa pada PSC generasi pertama, bagian DDD telah mengandung pajak yang dibayarkan oleh kontraktor. Pada kontrak berikutnya, harus dilakukan gross up karena kontraktor ada kewajiban untuk membayar pajak sendiri. Adapun pencantuman angka before tax pada kontrak, sesuai juga dengan persyaratan yang diminta oleh IRS. Karena menurut IRS, kontrak lama mengakibatkan kontraktor harus membayar pajak dua kali yaitu di negara sumber dan di negara domisili. Adapun angka gross up tergantung dari berapa besar pajak yang berlaku pada saat kontrak ditandatangani. Jadi ditegaskan cara menghitungnya adalah dari bawah, dalam arti, after tax yang ditentukan lebih dahulu kemudian dicari angka before tax-nya. Angka pembagian sebesar 85 : 15 berlanjut sampai dengan sekarang yaitu apabila produksi normal, kemudian ada angka variannya seperti 80 : 20 , 90 : 10. Varian itu sendiri berkembang ketika kontraktor mulai mengembangkan diluar lapangan konvensional dan berada di kawasan Indonesia Timur. Varian tersebut juga tertuang dalam paket insentif yang dikeluarkan oleh pemerintah tahun 1989. Angka setelah pajak tidak pernah muncul dalam PSC karena kontraktor ada kewajiban membayar pajak sehingga yang tercantum adalah angka before tax-nya atau angka gross up. Sementara angka yang muncul dalam kebijakan pemerintah serta menjadi pegangan pelaksanaan PSCnya, seperti yang tercantum dalam paket insentif selalu merujuk pada angka setelah pajak.Pelaksanaan kontrak seharusnya tidak serta merta hanya menggunakan angka yang tertera dalam kontrak, tapi dokumen-dokumen pada waktu kontrak dibuat serta paket-paket insentif yang merupakan kebijakan pemerintah harus menjadi pegangan dan menjadi bagian pelaksanaan kontrak. Jadi kontrak jangan dilihat secara sepotong-potong. PSC sendiri merupakan kontrak yang unik karena merupakan kontrak untuk pengambilan kekayaan alam, dan terdapat jiwa untuk melindungi kepentingan negara dan melindungi kontraktor sampai dengan kontrak berakhir;
k.
bahwa dengan demikian, meskipun di dalam PSC hanya tertera bagi hasil bruto, berdasarkan penjelasan di atas telah dapat dibuktikan tarif BPT dapat diketahui dengan jelas;
l.
bahwa penggunaan tarif BPT lebih rendah dari 20% secara sepihak oleh Pemohon Banding akan mengakibatkan penerimaan negara menjadi lebih rendah dari yang seharusnya atau dapat dikatakan negara mengalami kerugian dengan perhitungan sebagai berikut: 1)
bahwa jika BPT tarifnya 20% maka jumlah total pajak yang diterima pemerintah adalah 48% BPT = 20% x (1 – Corporate Tax) Total Tax = Corporate Tax + BPT
Perhitungan tersebut jika mengacu pada bagi hasil bruto yang ada dalam PSC sebesar 71,1538% : 28,8462% maka bagian pemerintah neto adalah: 71,1538% + (48% x 28,8462%) = 85% 2)
bahwa jika BPT tarifnya 10% maka jumlah total pajak turun menjadi 41,5%
bahwa perhitungan tersebut jika mengacu pada bagi hasil bruto yang ada dalam PSC sebesar 71,1538% : 28,8462% maka bagian pemerintah neto adalah: 71,1538% + (41,5% x 28,8462%) = 83,1% 3)
bahwa dengan demikian total bagi hasil pemerintah turun dari 85% menjadi 83,1%.
D. Mengenai pendapat Terbanding yang menyatakan bahwa porsi penerimaan negara (pajak dan bagi hasil) dan penerimaan kontraktor secara neto dari waktu ke waktu suatu nilai tertentu (antara lain 85:15);
1. Dasar Hukum Ketentuan Umum: Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; Pasal 33 ayat (3) Bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat; Ketentuan Perpajakan:
a. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan Pasal 33 ayat (3) Penghasilan kena pajak yang diterima atau diperoleh dalam bidang penambangan minyak dan gas bumi serta dalam bidang penambangan lainnya sehubungan dengan Kontrak Karya dan Kontrak Bagi Hasil, yang masih berlaku pada saat berlakunya undang-undang ini, dikenakan pajak berdasarkan ketentuan-ketentuan Ordonansi Pajak Perseroan 1925 dan Undang-undang Pajak atas Bunga, Dividen dan Royalti 1970 beserta semua peraturan pelaksanaannya;
b. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan; Pasal 33A ayat (4) Wajib Pajak yang menjalankan usaha di bidang pertambangan minyak dan gas bumi, pertambangan umum, dan pertambangan lainnya berdasarkan kontrak bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian kerja sama pengusahaan pertambangan yang masih berlaku pada saat berlakunya Undang-undang ini, pajaknya dihitung berdasarkan ketentuan dalam kontrak bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan tersebut sampai dengan berakhirnya kontrak atau perjanjian kerjasama dimaksud; Penjelasan Pasal 33A ayat (4) Ketentuan pajak dalam kontrak bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian kerja sama pengusahaan pertambangan yang masih berlaku pada saat berlakunya Undang-undang ini, dinyatakan tetap berlaku sampai dengan berakhirnya kontrak bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian kerja sama pengusahaan pertambangan tersebut. Walaupun Undang-undang ini sudah mulai berlaku, namun kewajiban pajak bagi Wajib Pajak yang terikat dengan kontrak bagi hasil, kontrak karya atau perjanjian kerja sama pengusahaan pertambangan tetap dihitung berdasar kontrak atau perjanjian dimaksud; Dengan demikian, ketentuan Undang-undang ini baru diberlakukan untuk pengenaan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak di bidang pengusahaan pertambangan minyak dan gas bumi dan pengusahaan pertambangan umum lainnya yang dilakukan dalam bentuk kontrak karya, kontrak bagi hasil, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan, yang ditandatangani setelah berlakunya Undang-undang ini; Pasal 15 Penyetoran kepada Kas Negara sebagaimana tercantum pada ayat (1) sub a dan b Pasal 14 Undang-undang ini, membebaskan Perusahaan dan Kontraktor, serta merupakan pembayaran dari: a. Pajak Perseroan termaksud dalam Ordonantie Pajak Perseroan (Staatsblad 1925 Nomor 319) sebagaimana telah diubah dan ditambah;Iuran pasti, iuran eksplorasi, iuran eksploitasi dan pembayaran-pembayaran lainnya yang berhubungan dengan pemberian Kuasa Pertambangan termaksud dalam Undang-undang Nomor 44 Prp. Tahun 1960; b. Pungutan atas ekspor minyak dan gas bumi serta hasil-hasil pemurnian dan pengolahan;
c. Bea masuk termaksud dalam Indische Tariefwet 1873 (Staatsblad 1873 Nomor 35) sebagaimana telah ditambah dan dirubah dan Pajak Penjualan atas impor termaksud dalam Undang-undang Nomor 19 Drt. Tahun 1951 (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Nomor 157) yo. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1968 (Lembaran Negara tahun 1968 Nomor 14, Tambahan Lemba ran Negara Nomor 2847) sebagaimana telah dirubah dan ditambah dari pada semua barang-barang yang dipergunakan dalam operasi Perusahaan, yang pelaksanaannya akan diatur dengan Peraturan Pemerintah; d. Iuran Pembangunan Daerah; c. Undang Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000; Pasal 26 ayat (4) Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu bentuk usaha tetap di Indonesia dikenakan pajak sebesar 20% (dua puluh persen), kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri Keuangan; Pasal 33A ayat (4) Wajib Pajak yang menjalankan usaha di bidang pertambangan minyak dan gas bumi,pertambangan umum, dan pertambangan lainnya berdasarkan Kontrak Bagi Hasil, Kontrak Karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan yang masih berlaku pada saat berlakunya Undang-undang ini, pajaknya dihitung berdasarkan ketentuan dalam Kontrak Bagi Hasil, Kontrak Karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan tersebut sampai dengan berakhirnya kontrak atau perjanjian kerjasama dimaksud; Penjelasan Pasal 33A ayat (4) Ketentuan pajak dalam kontrak bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian kerja sama pengusahaan pertambangan yang masih berlaku pada saat berlakunya Undang-undang ini, dinyatakan tetap berlaku sampai dengan berakhirnya kontrak bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian kerja sama pengusahaan pertambangan tersebut. Walaupun Undang-undang ini sudah mulai berlaku, namun kewajiban pajak bagi Wajib Pajak yang terikat dengan kontrak bagi hasil, kontrak karya atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan tetap dihitung berdasar kontrak atau perjanjian dimaksud; Dengan demikian, ketentuan Undang-undang ini baru diberlakukan untuk pengenaan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak di bidang pengusahaan pertambangan minyak dan gas bumi dan pengusahaan pertambangan umum lainnya yang dilakukan dalam bentuk kontrak karya, kontrak bagi hasil, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan, yang ditanda tangani setelah berlakunya Undang-undang ini; d. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor KMK-458/KMK.012/1984 tentang Tata Cara Perhitungan Dan Pembayaran Pajak Penghasilan Yang Terhutang Oleh Kontraktor Yang Mengadakan Kontrak Production Sharing Dalam Eksplorasi Dan Eksploitasi Minyak Dan Gas Bumi Dengan Perusahaan Pertambangan Minyak Dan Gas Bumi Negara (DDD); Pasal 3 Pajak Penghasilan yang terhutang oleh Kontraktor adalah sebesar 35% (tiga puluh lima perseratus) dari Penghasilan Kena Pajak; Pasal 4 Kontraktor wajib memotong Pajak Penghasilan sebesar 20% (dua puluh perseratus) dari keuntungan sesudah dikurangi Pajak Penghasilan termaksud dalam Pasal 3; e. Kontrak Kerja Sama atau Production Sharing Contract (PSC) yang ditandatangani tanggal 23 April 1990 antara GGG (ARII); HHH; III; JJJ; KKK; LLL; MMM; Section V 1.2. (s) Contractor shall Severally pay to the Government of the Republic of Indonesia the income tax including the final tax on profits after tax deduction imposed on it pursuant to the Indonesian Income Tax Law and its implementing Regulations. Contractor severally shall comply with the requirements of the tax law in particular with respect to filling of returns, assessments of tax and keeping and showing of books and records; Section VI 1.3. (ii) (b) For crude oil production from pre-tertiary reservoir rocks, the parties shall be entitled to take and receive each year as follows: DDD 71,1538% and Contractor 28,8462%....... Ketentuan tentang Minyak dan Gas Bumi a.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 44 Tahun 1960 tentang
pertambangan minyak dan gas bumi yang membuat hak konsesi dan hak-hak lain atas wilayah pertambangan minyak dan gas bumi berdasarkan “Indische Mijnwet” Staatsblad 1899 yo 1906 Nomor 434 tidak sebagaimana diubah dan ditambah, sudah tidak berlaku lagi (Perpu 44/1960); Pasal 3 ayat (2) Usaha pertambangan minyak dan gas bumi dilaksanakan oleh Perusahaan Negara sematamata; b.
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (UU DDD); Pasal 12 DDD dapat mengadakan kerjasama dengan pihak lain dalam bentuk “Kontrak Production Sharing”.
c.
Undang – Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas); Pasal 1 angka 19 Dalam Undang – undang ini yang dimaksud dengan : Kontrak Kerja Sama adalah Kontrak Bagi Hasil atau bentuk kontrak kerja sama lain dalam kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi yang lebih menguntungkan Negara dan hasilnya dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat; Pasal 3 huruf e Penyelenggaraan kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi bertujuan : meningkatkan pendapatan negara untuk memberikan kontribusi yang sebesar-besarnya bagi perekonomian nasional dan mengembangkan serta memperkuat posisi industri dan perdagangan Indonesia; Pasal 63 Semua kontrak yang ditandatangani dengan DDD dinyatakan tetap berlaku sampai dengan berakhirnya kontrak yang bersangkutan;
d.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 tahun 1994 tentang Syarat-syarat dan Pedoman Kerjasama Kontrak Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi (PP 35/1994); Pasal 1 angka 1 Kontrak Bagi Hasil adalah bentuk kerjasama antara DDD dan kontraktor untuk melaksanakan usaha Eksplorasi dan Eksploitasi minyak dan gas bumi berdasarkan prinsip pembagian hasil produksi; Pasal 16 ayat (3) DDD dan kontraktor akan menerima minyak dan atau gas bumi sesuai bagian masingmasing pada pelabuhan ekspor atau tempat penyerahan lain yang disetujui DDD dan kontraktor; Pasal 17 ayat (2) Kontraktor wajib membayar pajak-pajak sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku atas perolehan bagiannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3);
Ketentuan Hukum Perdata Kitab Undang Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) mengatur : Pasal 1338 ayat (1) Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya; Pasal 1338 ayat (3) Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik; Pasal 1339 Persetujuan tidak hanya mengikat apa yang dengan tegas ditentukan di dalamnya, melainkan juga segala sesuatu yang menurut sifat persetujuan dituntun berdasarkan keadilan, kebiasaan, atau undang-undang; Pasal 1343 Jika kata-kata suatu persetujuan dapat diberi berbagai tafsiran, maka lebih baik diselidiki maksud kedua belah pihak yang membuat persetujuan itu, daripada dipegang teguh arti kata menurut huruf;
Pasal 1348 Semua janji yang diberikan dalam satu persetujuan harus diartikan dalam hubungannya satu sama lain; tiap-tiap janji harus ditafsirkan dalam hubungannya dengan seluruh persetujuan;
2. Pendapat Terbanding 1. 2.
3. 4.
5.
bahwa dalam pembagian hasil minyak dan atau gas bumi antara pemerintah dan kontraktor dikenal istilah bagi hasil neto dan bagi hasil bruto; bahwa berdasarkan UU DDD, prinsip pembagian hasil untuk kontraktor adalah neto dalam arti dalam bagi hasil yang diterima kontraktor telah memperhitungkan pajak-pajak yang menjadi kewajibannya atau dengan kata lain dalam bagian pemerintah telah diperhitungkan pajak-pajak menjadi kewajiban kontraktor; bahwa dalam prinsip bagi hasil neto, pemerintah diminta untuk menyediakan bukti penyetoran pajak-pajak yang dianggap telah dilunasi oleh kontraktor agar dapat dikreditkan di negara asal kontraktor; bahwa mengakomodir hal tersebut, kemudian dikenal prinsip bagi hasil bruto yaitu atas bagian kontraktor dihitung dengan formula menentukan bagi hasil neto nya terlebih dahulu kemudian menambahkan pajak-pajak yang menjadi kewajibannya kepada bagian neto tersebut sehingga diperoleh suatu angka bagi hasil bruto; bahwa dalam perkembangannya kemudian Kontrak Bagi Hasil (KBH) / PSC dapat di kategorikan sebagai berikut: a. KBH generasi pertama bagi hasil 65:35 (1966 – 1975): Cost Recovery dibatasi sebesar 40% dari total pendapatan per tahun. Selisih antara Pendapatan Kotor per tahun dengan Cost Recovery (60%) dibagi antara DDD dan Kontraktor sebesar 65% : 35% (dimana 65% bagian Pemerintah sudah termasuk pajak Kontraktor). Kontraktor diwajibkan memasok 25% dari bagian produksinya untuk keperluan DMO dengan harga USD 0.20/barrel. Pada PSC generasi pertama, aspek perpajakan belum jelas pengaturannya, bagian Pemerintah sebesar 65% dianggap sudah termasuk pajak yang dibayar oleh Kontraktor. Perubahan PSC term menjadi PSC generasi kedua ini dilakukan untuk mengakomodasi perubahan yang terjadi di negara asal Kontraktor. Perubahan tersebut adalah tidak diakuinya pajak penghasilan Kontraktor di Indonesia oleh kantor pajak negara asal, dengan demikian “tax credit” Kontraktor tidak diizinkan lagi. Oleh karena itu PSC term perlu dimodifikasi sehingga tidak merugikan Kontraktor dalam rangka memanfaatkan fasilitas “tax credit” di negara asalnya; b.
c.
6. 7.
KBH generasi kedua bagi hasil 85:15 (1976 – 1988): 1) Cost recovery tidak lagi dibatasi dan didasarkan pada Generally Accepted Acounting principle (GAAP); 2) Selisih antara Pendapatan Kotor per tahun dengan Cost Recovery, Kemudian dibagi antara Pemerintah dan Kontraktor masing masing sebesar 65.91% : 34.09% (minyak) 31.82% : 68.18% (gas); 3) Bagian Kontraktor akan dikenakan pajak total sebesar 56% (terdiri dari 45% pajak pendapatan dan 20% pajak dividen/Branch Profit Tax), dengan demikian pembagian bersih setelah pajak adalah : 85% : 15%; 4) Dengan adanya undang undang pajak tahun 1984 dimana total pajak turun dari 56% menjadi 48%, maka untuk mempertahankan pembagian (share) diatas, pembagian produksi sebelum kena pajak diubah menjadi : 71.15% : 28.85%; 5) Untuk lapangan baru, Kontraktor diberikan kredit investasi sebesar 20% dari pengeluaran kapital untuk fasilitas produksi; 6) Pengeluaran kapital dapat didepresiasi selama 7 tahun dengan metoda Double Declining Balance (DDB);
KBH generasi ketiga bagi hasil 85:15 (yang dimulai pada tahun 1988): Diperkenalkannya istilah First Tranche Petroleum (FTP) yang besarnya 20%. Ini berarti 20% dari produksi (sebelum dikurangi Cost Recovery) akan dibagi antara Pemerintah dan Kontraktor; (Sumber : Benny Lubiantara, Ekonomi Migas : Tinjauan Aspek Komersial Kontrak Migas / Jakarta : Gramedia Widiasarana Indonesia, 2012); bahwa konsep bagi hasil neto setelah pajak (antara lain 85:15 untuk minyak dan 70:30 untuk gas), juga dapat diketahui melalui pendekatan analisis filosofis, yuridis dan sosiologis; bahwa berdasarkan analisis dan pertimbangan berdasarkan pendekatan filosofis dilihat dari latar belakang dan konsepsi dasar pembagian hasil dalam PSC sebagai berikut: a. bahwa pada awalnya, kontrak-kontrak PSC berdasarkan Perpu 44/1960 dimana pemerintah menunjuk pihak lain sebagai kontraktor untuk Perusahaan Negara apabila diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang belum atau tidak dapat dilaksanakan sendiri oleh Perusahaan Negara yang bersangkutan selaku pemegang kuasa pertambangan (sejak tahun 1971 UU DDD dilaksanakan oleh DDD). Bagi hasil
b.
c.
d.
e.
f.
g.
dalam kontrak-kontrak awal tersebut adalah 65% untuk perusahaan negara dan kontraktor 35% dari penerimaan kontrak setelah biaya operasi. DDD membayar pajak perseroan kontraktor kepada pemerintah. Berdasarkan pasal 15 UU DDD tersebut, pembayaran bagi hasil penerimaan tersebut telah membebaskan seluruh kewajiban perpajakan kontraktor. Dengan rumusan bagi hasil adalah penerimaan negara satu kesatuan (pajak dan bagi hasil tidak dipisah); bahwa setelah terjadi krisis keuangan DDD tahun 1976, Pemerintah mengubah rumusan bagi hasil dalam PSC antara DDD (Pemerintah) dan Kontraktor dari 65%: 35% menjadi 85% : 15% dengan latar belakang sebagai berikut: “Pada pertengahan tahun 1970-an, Caltex seperti halnya perusahaan lain mendapatkan keuntungan yang makin besar. Hati nurani dan pikiran sehat mendorong mereka untuk menyalurkan keuntungan ini tidak saja kepada penduduk di sekitar wilayah operasi tetapi juga oleh seluruh masyarakat Indonesia. Bekerja sama dengan pemerintah, Caltex menyusun rencana menyisihkan dana US$ 1 milyar untuk mendanai pembukaan sawah di sekitar ladang minyak yang akan digarap secara mekanik dalam rangka membantu Indonesia berswasembada beras. Rencana ini akan didukung dengan program transmigrasi dimana penduduk setempat akan diberikan peralatan, fasilitas, bimbingan teknik menanam padi secara mekanik. Tanggapan pemerintah pusat dan daerah sangat positif, tetapi ketika Presiden Bank Dunia Robert McNamara mendengar rencana tersebut, dia menyarankan kepada dan diterima oleh pemerintah agar dana tersebut tidak digunakan untuk pembukaan sawah tetapi sebagai setoran tambahan kepada pemerintah. Cara yang diusulkan adalah mengenakan pajak keuntungan tambahan sebesar US$ 1 per barrel. Adanya pajak tambahan ini menyebabkan Caltex memutuskan untuk membatalkan investasi sosial senilai US$ 1 milyar yang direncanakan. Pengenaan pajak tambahan kemudian diubah menjadi perubahan rumusan bagi hasil 85/15. Seperti sudah diprediksi, dampak dari pengenaan pajak tambahan dan perubahan rumusan bagi hasil ini adalah menurunnya kegiatan eksplorasi, yang berdampak jangka panjang terhadap kapasitas produksi.” (Diambil dari Julius Tahija, Melintas Cakrawala, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1977, halaman 180); bahwa perundingan kembali untuk mengakomodasi keinginan pemerintah mengubah rumusan bagi hasil berjalan cukup lama dan alot dimana kesepakatan perubahan rumusan bagi hasil akhirnya hanya dapat tercapai melalui perbaikan persyaratan komersial yang lain, seperti: - Dihapuskannya ketentuan mengenai pembatasan pengembalian biaya-biaya; - Dibaginya penerimaan pemerintah dalam dua komponen, penerimaan bukan pajak dan pajak; - Diberikan insentif tambahan kepada upaya eksplorasi untuk menjaga agar kegiatan usaha migas di Indonesia tetap tinggi; (Diambil dari Madjedi Hasan, Kontrak Minyak dan Gas Bumi Berazas Keadilan dan Kepastian Hukum, PT Fikahati Aneska, Jakarta, 2009, halaman 294); bahwa pada saat yang hampir bersamaan, Pemerintah Amerika Serikat mengeluarkan kebijakan perpajakan melalui IRS Ruling yang menyatakan bahwa pada intinya bahwa penyetoran bagi hasil kepada DDD berdasarkan UU DDD dianggap sebagai royalty dan tidak dapat dipakai sebagai foreign tax credit bagi sistem perpajakan di Amerika Serikat; bahwa untuk menampung perubahan kebijakan tersebut, pemerintah menerbitkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 267/KMK.12/1978 tanggal 19 Juli 1978 Tentang Tata Cara Penghitungan Dan Pembayaran Pajak Perseroan Dan Pajak Atas Bunga, Dividen Dan Royalty Yang Terhutang Oleh Kontraktor Yang Melakukan Kontrak Production Sharing (Kontrak Bagi Hasil) Di Bidang Minyak Dan Gas Bumi, Dengan Perusahaan Pertambangan Minyak Dan Gas Bumi Negara (DDD). Pada intinya peraturan tersebut mengatur hal-hal utama sebagai berikut: a) Pajak Perseroan yang terhutang adalah sebesar 45% (empat puluh lima perseratus) dari Laba Kena Pajak; b) Pajak atas Bunga, Dividen dan Royalty yang terhutang adalah sebesar 20% (dua puluh persen) dari Laba Kena Pajak setelah dikurangi Pajak Perseroan; c) Biaya-biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara pendapatan yang dapat dikurangkan dari pendapatan kotor untuk memperoleh Laba Kena Pajak; bahwa dalam surat Menteri Keuangan nomor 443a/1982 yang merupakan interpretasi dari Keputusan Menteri Keuangan nomor 267/KMK.12/1978 tanggal 19 Juli 1978 menyatakan bahwa konsep dasar yang ada dalam rangka perjanjian bagi hasil antara DDD dengan Kontraktor Minyak Asing sebagaimana yang dimaksud dalam Perundangundangan nomor 8/1971 adalah mengatur pembagian produksi antara DDD dengan Kontraktor yang bersangkutan atas dasar pendapatan bersih setelah pajak (net after tax basis); bahwa berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa: a) Konsepsi dasar bagi hasil penerimaan migas adalah penerimaan neto (pajak dan bukan pajak) dengan proporsi bagi hasil antara DDD (Pemerintah) dan Kontraktor antara lain 85% dan 15% untuk minyak;
b)
8.
Penentuan rumusan bagi hasil antara lain 85% dan 15% berdasarkan penerimaan neto tersebut merupakan hasil dinamika dan proses politik, ekonomi, sosial dan hukum yang sudah menjadi pengetahuan umum (notoir dalam hukum) masyarakat migas di Indonesia pada masa-masa tersebut dan masih berlaku sampai sekarang; c) Oleh karena itu, tarif BPT 20% dan Pajak Penghasilan 35% merupakan angka yang seharusnya tidak dapat diperdebatkan lagi karena dipakai untuk menterjemahkan konsepsi rumusan bagi hasil neto 85% :15% ke dalam bagi hasil bruto dalam kontrak PSC sebesar 71,1538% untuk DDD dan 28,8462% untuk kontraktor; d) Tarif BPT berdasarkan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda tidak pernah menjadi komponen pembentuk proporsi bagi hasil produksi minyak dan gas alam dalam PSC antara DDD dengan Kontraktor secara filosofis; bahwa berdasarkan analisis dan pertimbangan-pertimbangan secara yuridis sebagai berikut: 1) bahwa berdasarkan pendapat sebelumnya yang menyatakan bahwa negara menundukkan diri dalam hukum kontrak maka peraturan yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan yang tertulis dalam kontrak. Apabila dalam kontrak tidak diatur secara jelas maka digunakan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku pada saat kontrak ditandantangani. Berdasarkan PSC, semua pihak yang berkontrak mengakui bahwa terkait dengan Kontrak Bagi Hasil Produksi (KBHP) di sektor minyak dan gas antara DDD dengan pihak pemodal asing menggunakan hukum perundangundangan No. 44/1960 dan No. 8/1971; 2) bahwa dalam surat Menteri Keuangan Nomor S-443a/1982 kepada Menteri Pertambangan dan Energi dijelaskan bahwa pada prinsipnya KBHP antara DDD dengan Kontraktor adalah pendapatan bersih setelah pajak (net aftar tax) sesuai dengan UU DDD; 3) bahwa demi kemudahan kontraktor mendapatkan tax credit, maka dikeluarkan KMK458/KMK.012/1984 yang merubah cara pembayaran Pajak Penghasilan dan BPT kontraktor sehingga langsung menjadi beban kontraktor dan harus dibayar dari bagiannya. Untuk mempertahankan berlakunya prinsip pembagian hasil dengan perbandingan tertentu (DDD 85% dan kontraktor minyak asing 15%) berdasarkan after tax basis, maka perlu dilakukan penyesuaian terhadap perbandingan pembagian hasil sebelum pajak sehingga setelah diperhitungkan pajak maka kontraktor tetap menerima 15%; 4) bahwa untuk mempertahankan konsepsi dasar pembagian penerimaan neto antara pemerintah dan kontraktor sebesar 85% dan 15% untuk minyak, maka pemerintah menerbitkan KMK-458/KMK.012/1984 yang menetapkan tarif pajak yang berlaku untuk kontraktor migas adalah Pajak Penghasilan sebesar 35% dan Pajak Penghasilan 26 ayat (4) atau BPT sebesar 20%; 5) bahwa berdasarkan azas iktikad baik dalam hukum kontrak menyatakan bahwa perjanjian dilaksanakan tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan dalam kontrak tetapi juga segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang selain daripada itu, semua janji yang diberikan dalam satu persetujuan harus diartikan dalam hubungannya satu sama lain artinya tiap-tiap janji harus ditafsirkan dalam hubungannya dengan seluruh persetujuan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1338 ayat (3) dan 1339 serta 1348 KUH Perdata yang menyatakan sebagai berikut: Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik; Pasal 1339 KUH Perdata Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang; Pasal 1348 Semua janji yang diberikan dalam satu persetujuan harus diartikan dalam hubungannya satu sama lain; tiap-tiap janji harus ditafsirkan dalam hubungannya dengan seluruh persetujuan DDD sebesar 71,1538% dengan Kontraktor sebesar 28,8462%. Para pihak pada dasarnya menyadari bahwa untuk mendapatkan angka bagi hasil bruto dalam Kontrak (misalnya : 71,1538% untuk DDD dan 28,8462% untuk Kontraktor terkait Minyak) diperoleh dengan cara menggross up porsi bagi hasil neto yang disepakati (antara lain 85% : 15% ) dengan menerapkan aturan perpajakan yang berlaku pada saat ditandatangani kontrak oleh para pihak pada kontrak, yaitu yang terdiri dari tarif corporate tax 35% dan tarif BPT 20%;
9. bahwa berdasarkan analisis dan pertimbangan-pertimbangan secara sosiologis dapat diuraikan sebagai berikut:
1)
2)
bahwa prinsip pembagian hasil dengan perbandingan DDD 85% dan kontraktor 15% berdasarkan penerimaan neto (after tax basis) merupakan hasil dinamika dan proses politik, ekonomi, sosial dan hukum dalam industri hulu perminyakan yang yang mulai berlaku mulai tahun 1970-an dan berlaku sampai sekarang dan telah diketahui secara umum oleh para praktisi, akademisi, teknokrat dan birokrat perminyakan. Dalam bidang ilmu hukum, peristiwa, keadaan atau kejadian tersebut sering disebut notoir; Sudikno Mertokusumo berpendapat bahwa: “Peristiwa notoir adalah kejadian atau keadaan yang dianggap harus diketahui oleh orang yang berpendidikan dan mengenal zamannya, tanpa mengadakan penelitian lebih lanjut atau persitiwa yang dapat diketahuinya dari sumber-sumber yang umum tanpa mengadakan penelitian yang berarti dan yang memberi kepastian yang cukup untuk digunakan sebagai alasan pembenar untuk suatu tindakan yang bersifat kemasyarakatan yang serius. Lazimnya persitiwa notoir ini diartikan sebagai peristiwa yang diketahui umum. Oleh karena itu, hakim yang berpendidikan tinggi dan sudah tentu dianggap berpengetahuan luas pula, harus tahu juga akan peristiwa notoir ini sehingga tidak perlu dibuktikan lebih lanjut.” (Sumber: Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Lyberty, Yogyakarta, 2006, hal: 133). bahwa berdasarkan penjelasan tersebut, kita dapat memahami alasan yang mendasari bahwa prinsip pembagian hasil pemerintah dan kontraktor 85% : 15% untuk minyak dan 70% : 30% untuk gas alam tidak pernah dimasukkan secara eksplisit dalam kontrak karena prinsip atau konsep dasar tersebut merupakan notoir dalam industri hulu perminyakan yang sudah diketahui secara umum oleh para profesional yang bergerak dalam bidang perminyakan dan tidak perlu lagi adanya pembuktian secara tertulis; bahwa hal tersebut dapat dibuktikan dengan proporsi bagi hasil minyak mentah sebelum pajak yang tercantum dalam kontrak bagi hasil dari tahun ke tahun yang berubah sesuai dengan Undang-undang Pajak Penghasilan yang berlaku pada saat kontrak ditandatangani. Berikut adalah perhitungan yang menunjukkan hal tersebut; Tarif Pajak Sebelum 1984 PPs/PPh Badan 45% PBDR / PPh Pasal 26 (4) (20% X(100%-PPh) 11% Total Pajak Penghasilan 56% Persentasi Bagi Hasil Bagian Kontraktor Net Bagian Kontraktor sebelum pajak Dikurangi : Total Pajak Penghasilan Bagian kontraktor net (15%) Bagian kontraktor gross (X) Bagian kontraktor gross (X) Bagian Pemerintah Gross(100%- X) Ditambah : Total Pajak Penghasilan Perolehan dari Pajak Bagian Pemerintah Net (Gross + pajak)
1984 35% 13% 48%
1991 35% 13% 48%
1994 30% 14% 44%
2001 30% 14% 44%
Sebelum 1984 1984 1991 1994 2001 15,0000% 15,0000% 15,0000% 15,0000% 15,0000% X X X X X 56% x X 48% x X 48% x X 44% x X 44% x X 44% x X 52% x X 52% x X 56% x X 56% x X 15% / 44% 15% / 52% 15% / 52% 15% / 56% 15% / 56% 34,0909% 28,8462% 28,8462% 26,7857% 26,7857% 65,9091% 71,1538% 71,1538% 73,2143% 73,2143% 56% x X 48% x X 48% x X 44% x X 44% x X 19,0909% 13,8462% 13,8462% 11,7857% 11,7857% 85,0000% 85,0000% 85,0000% 85,0000% 85,0000%
10. bahwa meskipun proporsi bagi hasil penerimaan neto setelah pajak (antara lain 85% : 15% untuk Minyak dan 70% : 30% untuk Gas Alam) jika dikaji secara sosiologis merupakan notoir, namun Terbanding dapat memberikan bukti dokumen yang merupakan fakta dan telah menjadi dasar pertimbangan dalam menyusun Kontrak antara DDD dengan Kontraktor. Proporsi bagi hasil tersebut antara lain terdapat dalam dokumen berupa : 1) bahwa skema PSC Scheme dengan tarif BPT adalah 20% adalah sebagai berikut:
2) Paket insentif yang dikeluarkan oleh Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 3985A/39/M.DJM/88 tanggal 23 September 1988 (surat terlampir); Tertera tarif efektif pajak sebesar 48 % 48% diperoleh dari tarif PPh Badan 35% + tarif BPT 13% ((20% x (100% - 35%)) serta bagi hasil neto oil 85:15 dan gas 70:30. Hal ini sesuai dengan PSC Scheme; 3) bahwa paket insentif yang dikeluarkan oleh Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 0857/39/M.DJM/89 tanggal 7 Maret 1989 (surat terlampir); Bagi hasil neto oil 85% : 15% tertera dalam lampiran Surat Menteri Pertambangan dan Energi ini. Hal ini sesuai PSC Scheme; 4) bahwa Surat Menteri Keuangan Republik Indonesia kepada Menteri Pertambangan dan Energi Nomor S-858/MK.012/1984 tanggal 18 Agustus 1984 (surat terlampir); bahwa dengan berlakunya UU PPh tahun 1984, maka tarif pajak yang dipergunakan dalam menghitung pajak yang harus dibayar kontraktor berubah dari 56% menjadi 48% (terdiri dari tarif PPh Badan 35% dan BPT 20%); bahwa bagian Kontraktor dari 34,09% berubah menjadi 28,85% untuk mempertahankan bagian bersih kontraktor sebesar 15%. Bahwa angka bagi hasil bruto diperoleh dari gross up angka bagi hasil neto. Hal ini sesuai dengan PSC Scheme; 5) bahwa Surat Menteri Pertambangan dan Energi Republik Indonesia kepada Presiden Republik Indonesia Nomor 1578/M.197/1978 tanggal 5 Juni 1978 perihal Permohonan persetujuan perubahan Kontrak Production Sharing antara DDD dan North Sumatera Oil Inc. (ex. Refican) tanggal 10 Maret 1964 (surat terlampir); bahwa dalam surat ini tertera informasi bahwa kontraktor setuju menerima penerapan ketentuan-ketentuan baru dari pemerintah untuk PSC (85%:15%); bahwa hal ini sesuai dengan PSC Scheme; bahwa dengan demikian dapat dibuktikan bahwa dalam Contractor Take Bruto untuk minyak sebesar 28,8462% dan 57,6923% untuk gas yang tertera dalam PSC, terkandung tarif BPT sebesar 20%; bahwa oleh karena itu sudah seharusnyalah para pihak menepati apa yang diperjanjian dalam kontrak (sanctity of contract) dengan itikad baik (good faith); 6) bahwa Surat Menteri Keuangan Republik Indonesia kepada Menteri Pertambangan dan Energi Nomor S-394/MK.012/1984 tanggal 30 Maret 1984 (surat terlampir); 7) bahwa Surat Menteri Keuangan Republik Indonesia kepada Direktur Utama DDD Nomor S-19/MK.012/1984 tanggal 10 Januari 1984 (surat terlampir); 8) bahwa Surat dari DDD kepada Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 779/C0000/82 tanggal 3 Juni 1982 perihal Kontrak Bagi Hasil di daerah daratan dan lepas pantai Selat Madura (surat terlampir); 9) bahwa Surat dari DDD kepada Dewan Komisaris Pemerintah DDD Nomor 1026/C0000/82 tanggal 27 Juli 1982 perihal Kontrak Bagi Hasil dengan SCEPTRE RESOURCES Ltd. Di Lepas Pantai L. Jawa Block “B” (surat terlampir); 10) bahwa sebagai tambahan informasi, bahwa konsep Bagi Hasil Neto setelah pajak (antara lain 85 : 15), masih tetap digunakan dalam penyusunan PSC generasi berikutnya, seperti yang tercantum dalam Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 2876 K/23/MEM/2006 tanggal 11 Desember 2006 (terlampir); 11) bahwa dalam surat-surat sebagaimana tersebut di atas disebutkan antara lain mengenai proporsi bagi hasil antara DDD/Pemerintah dan Kontraktor sesuai ketentuan PSC yang menerapkan tariff BPT sebesar 20% (85/15 untuk minyak mentah dan 70/30
untuk gas bumi, sesudah pemotongan biaya, ditambah insentif yang berlaku untuk minyak);
12) bahwa dalam hal Pemohon Banding membayar tarif BPT sebesar 10% maka proporsi bagi hasil antara DDD/Pemerintah dan Kontraktor menjadi berkurang berikut:
11.
bahwa stabilization clause yang terdapat pada PSC baru akhir-akhir ini Section XV point 15.5 menyebutkan bahwa EEE dan Kontraktor sepakat bahwa semua persentase yang dinyatakan dalam ayat 6.2.3 Bab VI kontrak ini bahwa Kontraktor tunduk kepada pajak final atas penghasilan setelah dikurangi pengurang pajak sesuai Pasal 26 (4) UU PPh Indonesia dan tidak dilindungi oleh P3B dimana Pemerintah RI telah menjadi pihak. Dalam hal Kontraktor ingin menerapkan P3B, maka bagian EEE dan Kontraktor yang terkena dampak wajib disesuaikan agar menjaga penerimaan setelah pajak yang sama (Net after tax basis) bagi Minyak dan Gas Bumi. Adanya Stabilization clause menunjukkan bahwa tarif BPT memiliki pengaruh dengan besaran bagi hasil produksi yang tercantum dalam PSC. Dalam hal Kontraktor memilih menerapkan tarif BPT sesuai tax treaty maka besaran porsi bagi hasil produksi tersebut harus dihitung kembali untuk menjaga agar bagi hasil Negara tidak berkurang. Stabilization clause khusus mengatur mengenai perhitungan gross split apabila Kontraktor memilih menggunakan tarif BPT sesuai tax treaty. Pasal ini diberlakukan untuk tetap menjaga pembagian Net Split After Tax 85:15; 12. bahwa Angka Bagi Hasil sebelum pajak (bruto) yang tercantum dalam PSC didapat dengan metode perhitungan gross up dengan menggunakan angka-angka bagi hasil setelah pajak (neto) dan tarif pajak yang berlaku pada saat PSC ditandatangani (Tarif PPh Badan 35% dan BPT 20%). Hal ini sampaikan oleh Ahli pada persidangan sebagai berikut: 1) Menurut Ahli yang dihadirkan Terbanding pada sidang banding Majelis XVIA Pengadilan Pajak hari Selasa tanggal 25 Februari 2014 atas Pemohon Banding XXX yaitu Bapak A. Edy Hermantoro (pada saat itu menjabat sebagai Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia) sebagai Ahli PSC dari Pemerintah, Terbanding mengutip pernyataan Ahli
2)
sebagai berikut: “Kembali lagi disampaikan, yang pertama goodfaith pada awal saat masuk yaitu 85:15 untuk minyak 70:30 untuk gas kemudian masuk naildown atas kontrak dan perhitungan gross up setelah ada kesepakatan naildown dan terakhir adalah sanctity of contract untuk menjamin investasinya kembali dengan baik”. Menurut Ahli yang dihadirkan Terbanding dalam sidang banding Majelis VIII Pengadilan Pajak atas Pemohon Banding XXX yaitu M. Rofi Uddin, Terbanding mengutip pernyataan Ahli sebagai berikut: “Adapun angka gross up tergantung dari berapa besar pajak yang berlaku pada saat kontrak ditandatangani. Jadi ditegaskan cara menghitungnya adalah dari bawah, dalam arti, after tax yang ditentukan lebih dahulu kemudian dicari angka before tax-nya. Angka pembagian sebesar 85 : 15 berlanjut sampai dengan sekarang yaitu apabila produksi normal, kemudian ada angka variannya seperti 80 : 20, 90 : 10. Varian itu sendiri berkembang ketika kontraktor mulai mengembangkan diluar lapangan konvensional dan berada di kawasan Indonesia Timur. Varian tersebut juga tertuang dalam paket insentif yang dikeluarkan oleh pemerintah tahun 1989”.
bahwa Terbanding dalam penjelasan tertulis nomor: S-607/PJ.07/2015 tanggal 30 Januari 2015 melampirkan dokumen berupa: - Fotocopy Production Sharing Contract Between P.N Pertambangan Minyak Nasional And Independent Indonesian American Petroleum Company; - Fotocopy Assignment Agreement; - Fotocopy Fourth Quarter Financial Report for the Year 2002 Offshore North West Java Operation (ONJW); 2. Penjelasan Akhir Nomor: S-1573/PJ.07/2015 tanggal 10 Maret 2015, adalah sebagai berikut: I.
Pokok Sengketa bahwa perbedaan pengenaan tarif PPh Pasal 26 ayat (4) UU PPh antara Pemohon Banding dengan Terbanding dimana Pemohon Banding menggunakan tarif 10% berdasarkan persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara Indonesia dengan Inggris sedangkan Terbanding menggunakan tarif 20% sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia sehingga menyebabkan koreksi PPh terutang sebesar USD239,916.78;
II.
Uraian Terbanding A. Dasar Hukum
1. Ketentuan Umum: Undang-undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Pasal 33 ayat (3) Bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
2. Ketentuan Perpajakan: a. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan Pasal 33 ayat (3) Penghasilan kena pajak yang diterima atau diperoleh dalam bidang penambangan minyak dan gas bumi serta dalam bidang penambangan lainnya sehubungan dengan Kontrak Karya dan Kontrak Bagi Hasil, yang masih berlaku pada saat berlakunya undang-undang ini, dikenakan pajak berdasarkan ketentuan-ketentuan Ordonansi Pajak Perseroan 1925 dan Undang-undang Pajak atas Bunga, Dividen dan Royalti 1970 beserta semua peraturan pelaksanaannya; Penjelasan Pasal 33 ayat (3) : Ordonansi Pajak Perseroan 1925, dan Undang-undang Pajak atas Bunga, Dividen dan Royalty 1970 beserta semua peraturan pelaksanaannya tetap berlaku terhadap penghasilan kena pajak yang diterima atau diperoleh dalam bidang penambangan minyak dan gas bumi dan dalam bidang penambangan lainnya yang dilakukan dalam rangka perjanjian Kontrak Karya dan kontrak Bagi Hasil, sepanjang perjanjian Kontrak Karya dan Kontrak Bagi Hasil tersebut masih berlaku pada saat berlakunya undang-undang ini;
Ketentuan Undang-undang ini baru berlaku terhadap penghasilan kena pajak yang diterima atau diperoleh dalam bidang penambangan minyak dan gas bumi yang dilakukan dalam bentuk perjanjian Kontrak Karya dan Kontrak Bagi Hasil, apabila perjanjian Kontrak Karya dan Kontrak Bagi Hasil tersebut dibuat setelah berlakunya undang-undang ini; Pasal 26 huruf e (Final) Atas penghasilan tersebut di bawah ini, dengan nama dan dalam bentuk apapun, yang dibayarkan atau yang terhutang oleh badan Pemerintah, Badan Usaha Milik Negara dan Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun atau oleh Wajib Pajak dalam negeri lainnya kepada Wajib Pajak luar negeri, dipotong pajak yang bersifat final sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan: keuntungan sesudah dikurangi pajak dari suatu bentuk usaha tetap di Indonesia;
b. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan Pasal 33A ayat (4) Wajib Pajak yang menjalankan usaha di bidang pertambangan minyak dan gas bumi, pertambangan umum, dan pertambangan lainnya berdasarkan kontrak bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian kerja sama pengusahaan pertambangan yang masih berlaku pada saat berlakunya Undang-undang ini, pajaknya dihitung berdasarkan ketentuan dalam kontrak bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan tersebut sampai dengan berakhirnya kontrak atau perjanjian kerjasama dimaksud; Penjelasan Pasal 33A ayat (4) Ketentuan pajak dalam kontrak bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian kerja sama pengusahaan pertambangan yang masih berlaku pada saat berlakunya Undang-undang ini, dinyatakan tetap berlaku sampai dengan berakhirnya kontrak bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian kerja sama pengusahaan pertambangan tersebut. Walaupun Undang-undang ini sudah mulai berlaku, namun kewajiban pajak bagi Wajib Pajak yang terikat dengan kontrak bagi hasil, kontrak karya atau perjanjian kerja sama pengusahaan pertambangan tetap dihitung berdasar kontrak atau perjanjian dimaksud; bahwa dengan demikian, ketentuan Undang-undang ini baru diberlakukan untuk pengenaan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak di bidang pengusahaan pertambangan minyak dan gas bumi dan pengusahaan pertambangan umum lainnya yang dilakukan dalam bentuk kontrak karya, kontrak bagi hasil, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan, yang ditandatangani setelah berlakunya Undang-undang ini;
c. Undang-Undang No. 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara Pasal 15 Penyetoran kepada Kas Negara sebagaimana tercantum pada ayat (1) sub a dan b Pasal 14 Undang-undang ini, membebaskan Perusahaan dan Kontraktor, serta merupakan pembayaran dari: a. Pajak Perseroan termaksud dalam Ordonantie Pajak Perseroan (Staatsblad 1925 Nomor 319) sebagaimana telah diubah dan ditambah; b. Iuran pasti, iuran eksplorasi, iuran eksploitasi dan pembayaran-pembayaran lainnya yang berhubungan dengan pemberian Kuasa Pertambangan termaksud dalam Undang-undang Nomor 44 Prp. Tahun 1960; c. Pungutan atas ekspor minyak dan gas bumi serta hasil-hasil pemurnian dan pengolahan; d. Bea masuk termaksud dalam Indische Tariefwet 1873 (Staatsblad 1873 Nomor 35) sebagaimana telah ditambah dan dirubah dan Pajak Penjualan atas impor termaksud dalam Undang-undang Nomor 19 Drt. Tahun 1951 (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Nomor 157) yo. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1968 (Lembaran Negara tahun 1968 Nomor 14, Tambahan Lemba ran Negara Nomor 2847) sebagaimana telah dirubah dan ditambah dari pada semua barangbarang yang dipergunakan dalam operasi Perusahaan, yang pelaksanaannya akan diatur dengan Peraturan Pemerintah; e. Iuran Pembangunan Daerah;
d. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 267/KMK.012/1978 tanggal 19 Juli 1978 tentang Tata Cara Penghitungan dan Pembayaran Pajak Perseroan dan Pajak atas Bunga, Dividen dan Royalty yang terhutang oleh Kontraktor yang melakukan Kontrak Production Sharing (Kontrak Bagi Hasil) dibidang Minyak dan Gas Bumi dengan DDD, diatur bahwa : Pasal 3 (1) Pajak Perseroan yang terhutang adalah sebesar 45% (empat puluh lima perseratus) dari Laba Kena Pajak; (2) Pajak atas Bunga, Dividen dan Royalty yang terhutang adalah sebesar 20% (dua puluh
persen) dari Laba Kena Pajak setelah dikurangi Pajak Perseroan;
e. Surat Menteri Keuangan Nomor: S-443a/MK.012/1982 tanggal 6 Mei 1982 tentang Interprestasi dari Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 267/KMK.012/1978 yang berisikan hal - hal sebagai berikut: bahwa seperti diketahui, konsep yang ada dalam rangka perjanjian bagi hasil antara DDD dengan kontraktor minyak asing sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 8/1971 adalah mengatur pembagian produksi antara DDD dengan kontraktor yang bersangkutan atas dasar pendapatan bersih setelah pajak (net after tax basis); bahwa sebelum tahun 1978, pelaksanaan pembagian hasil tersebut dilaksanakan sedemikian rupa sehingga kontraktor diberikan hak untuk mendapatkan dan menjual bagian minyaknya yang diperhitungkan sebagai telah kena pajak perseroan dan PBDR dan DDD dianggap berkewajiban untuk membayar pajak-pajak kontraktor yang bersangkutan dari bagian yang diperoleh DDD; bahwa guna membantu kontraktor untuk mendapatkan kemudahan dalam rangka penggunaan tax credit berdasarkan undang-undang pajak Amerika Serikat, maka pada 01 Januari 1978 berlaku S.K. Menteri Keuangan No. 267/MK.012/1978 yang merubah cara pembayaran PPs dan PBDR Kontraktor, sehingga langsung menjadi beban kontraktor dan harus dibayar dari bagiannya; bahwa untuk mempertahankan berlakunya prinsip pembagian hasil dengan perbandingan tertentu (DDD 85% dan kontraktor minyak asing 15%) berdasarkan after tax basis, maka perlu dilakukan penyesuaian terhadap perbandingan pembagian hasil sebelum pajak, sehingga setelah diperhitungkan pajak maka kontraktor tetap menerima 15%; bahwa dalam hal ini tidak dikandung maksud bahwa perubahan cara pembayaran pajak tersebut akan merubah pendapatan kontraktor setelah diperhitungkan pajak sebagaimana dikehendaki semula;
f. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor KMK-458/KMK.012/1984 tentang Tata Cara Perhitungan Dan Pembayaran Pajak Penghasilan Yang Terhutang Oleh Kontraktor Yang Mengadakan Kontrak Production Sharing Dalam Eksplorasi Dan Eksploitasi Minyak Dan Gas Bumi Dengan Perusahaan Pertambangan Minyak Dan Gas Bumi Negara (DDD) (KMK 458/1984) Pasal 3 Pajak Penghasilan yang terhutang oleh Kontraktor adalah sebesar 35% (tiga puluh lima perseratus) dari Penghasilan Kena Pajak Pasal 4 Kontraktor wajib memotong Pajak Penghasilan sebesar 20% (dua puluh perseratus) dari keuntungan sesudah dikurangi Pajak Penghasilan termaksud dalam Pasal 3.
g. Kontrak Kerja Sama atau Production Sharing Contract (PSC) yang ditandatangani tanggal 23 April 1990 antara GGG (ARII); HHH; III; JJJ; KKK; LLL; MMM Section V 1.2. (s) Contractor shall Severally pay to the Government of the Republic of Indonesia the income tax including the final tax on profits after tax deduction imposed on it pursuant to the Indonesian Income Tax Law and its implementing Regulations. Contractor severally shall comply with the requirements of the tax law in particular with respect to filling of returns, assessments of tax and keeping and showing of books and records. Section VI 1.3. (ii) (b) For crude oil production from pre-tertiary reservoir rocks, the parties shall be entitled to take and receive each year as follows: DDD 71,1538% and Contractor 28,8462%.......
3. Ketentuan tentang Minyak dan Gas Bumi a. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 44 Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas bumi Pasal 2 Hak atau kuasa pertambangan (mining right) dan hak atas minyak dan gas bumi (mineral right) tetap menjadi milik negara; Pasal 3 Usaha pertambangan minyak dan gas bumi dilaksanakan oleh Perusahaan negara sematamata; Pasal 6 ayat (2)
Dalam mengadakan perjanjian karya dengan kontraktor, Perusahaan Negara harus berpegang pada pedoman-pedoman, petunjuk-petunjuk dan syarat-syarat yang diberikan oleh Menteri. (Pasal 1 huruf i : Menteri yang lapangan tugasnya meliputi pertambangan minyak dan gas bumi); Penjelasan umum angka 6 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini tidak memuat ketentuan-ketentuan tentang isi perjanjian antara perusahaan negara dengan perusahaan asing sebagai kontraktor, oleh karena syarat-syarat yang diperlukan dalam hubungan ini pokoknya akan tergantung pada berbagai macam fakta yang ada pada ketika perjanjian itu masing-masing dibuat; b. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (selanjutnya disebut UU DDD) Pasal 12 DDD dapat mengadakan kerjasama dengan pihak lain dalam bentuk “Kontrak Production Sharing”. c. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 tahun 1994 tentang Syarat-syarat dan Pedoman Kerjasama Kontrak Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi (selanjutnya disebut PP35/1994) Pasal 1 angka 1 Kontrak Bagi Hasil adalah bentuk kerjasama antara DDD dan kontraktor untuk melaksanakan usaha Eksplorasi dan Eksploitasi minyak dan gas bumi berdasarkan prinsip pembagian hasil produksi; Pasal 16 1. Menteri menetapkan pembagian hasil produksi minyak dan atau gas bumi. 2. Pelaksanaan pembagian hasil produksi minyak dan atau gas bumi dilakukan pada titik penyerahan (point of lifting); 3. DDD dan Kontraktor akan menerima minyak dan atau gas bumi sesuai bagian masingmasing pada pelabuhan ekspor atau tempat penyerahan lain yang disetujui DDD dan Kontraktor; Pasal 17 ayat (2) Kontraktor wajib membayar pajak-pajak sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku atas perolehan bagiannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3); Pasal 25 1. Jangka waktu Kontrak Bagi Hasil sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah ini adalah selama-lamanya 30 (tiga puluh) tahun; 2. Sebelum berakhirnya jangka waktu Kontrak Bagi Hasil sebagaimana dimaksud pada ayat (1), DDD dapat menyampaikan permohonan perpanjangan Kontrak Bagi Hasil kepada Menteri untuk jangka waktu selama-lamanya 20 (dua puluh) tahun terhitung sejak berakhirnya jangka waktu 30 (tiga puluh) tahun pertama; d. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (selanjutnya disebut UU Migas) Pasal 1 angka 19 Dalam Undang – undang ini yang dimaksud dengan : Kontrak Kerja Sama adalah Kontrak Bagi Hasil atau bentuk kontrak kerja sama lain dalam kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi yang lebih menguntungkan Negara dan hasilnya dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat; Pasal 3 huruf e Penyelenggaraan kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi bertujuan meningkatkan pendapatan negara untuk memberikan kontribusi yang sebesar-besarnya bagi perekonomian nasional dan mengembangkan serta memperkuat posisi industri dan perdagangan Indonesia; Pasal 63 Semua kontrak yang ditandatangani dengan DDD dinyatakan tetap berlaku sampai dengan berakhirnya kontrak yang bersangkutan;
4. Ketentuan Hukum Perdata Kitab Undang Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) Pasal 1338
Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya; Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu; Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik; Pasal 1339 Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.. Pasal 1343 Jika kata-kata suatu persetujuan dapat diberi berbagai tafsiran, maka lebih baik diselidiki maksud kedua belah pihak yang membuat persetujuan itu, daripada dipegang teguh arti kata menurut huruf; Pasal 1348 Semua janji yang diberikan dalam satu persetujuan harus diartikan dalam hubungannya satu sama lain; tiap-tiap janji harus ditafsirkan dalam hubungannya dengan seluruh persetujuan;
5. Dasar Pertimbangan Lain 1) bahwa Kontrak Kerja Sama atau Production Sharing Contract (PSC) yang ditandatangani tanggal 23 April 1990 antara GGG (ARII); HHH; III; JJJ; KKK; LLL; MMM (lampiran 1); 2) bahwa Laporan Hasil Audit Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Atas Kontrak Bagi Hasil Pada BP Indonesia West Java Tahun Buku 2002 No. LHA21/PW.30/4/2005 tanggal 5 Januari 2005 (Lampiran 2); 3) bahwa Laporan Hasil Pemeriksaan Atas Sistem Pengendalian Intern Kementerian Keuangan Tahun 2011 oleh Badan Pemeriksa Keuangan Nomor 15b/LHP/XV/05/2012 tanggal 21 Mei 2012 (Lampiran 3); 4) bahwa Hukum Kebiasaan, yaitu praktik yang telah diterima secara umum dan berlangsung lama dalam masyarakat pertambangan migas bahwa porsi penerimaan negara (pajak dan bagi hasil) dan penerimaan kontraktor secara neto dari waktu ke waktu selalu 85% dan 15%; 5) bahwa Asas atau Prinsip Kontrak PSC a) good faith, yaitu bahwa pelaksanaan Kontrak haruslah berlandaskan itikad baik para pihak untuk menjalankan apa yang telah disepakati; Itikad Baik merupakan asas dimana para pihak dalam kontrak harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan teguh atau kemauan baik dari para pihak; b) nail down, dalam artian peraturan atau ketentuan terkait dengan pelaksanaan Kontrak adalah berdasarkan peraturan dan ketentuan pada saat Kontrak ditandatangani. Hal ini terkait dengan jangka waktu kontrak yg merupakan kontrak jangka panjang yaitu selama 30 tahun (kontrak awal) dan selama 20 tahun (perpanjangan). Dimaksudkan untuk melindungi ke-ekonomian dari kedua belah pihak akan perubahan peraturan yang terjadi setelah kontrak ditandatangani. Prinsip ini sejalan dengan Pasal 33A ayat (4) UU No. 10 Tahun 1994 tentang Pajak Penghasilan beserta Penjelasannya; c) sanctity of contract yaitu bahwa para pihak yang telah mengikatkan diri pada suatu kontrak harus menghormati kesepakatan mengenai kewajiban-kewajibannya dalam kontrak tersebut; d) metode gross up, yaitu metode yang digunakan oleh para pihak dalam menghitung besarnya porsi bagi hasil produksi bruto yang kemudian dicantumkan dalam PSC (sesuai dengan Surat Menteri Keuangan Nomor: S-443a/MK.012/1982 tanggal 6 Mei 1982); B. Pendapat Terbanding
a. Pendahuluan 1) bahwa Pasal 33 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945 menyatakan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; 2) bahwa selanjutnya Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 menyatakan bahwa bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat; 3) bahwa berdasarkan butir 1) dan 2) di atas, pemerintah mengatur secara khusus tentang pertambangan minyak dan gas bumi karena fungsinya yang amat penting untuk pembangunan masyarakat adil dan makmur, dibandingkan dengan bahan-bahan galian yang lain; 4) bahwa setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan ditetapkannya UUD 1945 sebagai landasan segala aturan hukum, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 44 tahun 1960 tentang pertambangan minyak dan gas
bumi yang membuat hak konsesi dan hak-hak lain atas wilayah pertambangan minyak dan gas bumi berdasarkan “Indische Mijnwet” Staatsblad 1899 jo. 1906 Nomor 434 sebagaimana diubah dan ditambah, tidak berlaku lagi; 5) bahwa berdasarkan Pasal 3 ayat (2) Undang-undang Nomor 44 tahun 1960 dinyatakan bahwa usaha pertambangan minyak dan gas bumi dilaksanakan oleh Perusahaan Negara semata-mata; 6) bahwa pada tahun 1971 pemerintah mendirikan suatu perusahaan pertambangan minyak dan gas bumi yang dimiliki Negara Republik Indonesia yang dikenal dengan DDD melalui Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 tahun 1971; 7) bahwa berdasarkan Pasal 12 UU Nomor 8 tahun 1971 tentang DDD dinyatakan bahwa DDD dapat mengadakan kerjasama dengan pihak lain dalam bentuk “Kontrak Production Sharing”; 8) bahwa berdasarkan Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 tahun 1994 tentang Syarat-syarat dan Pedoman Kerjasama Kontrak Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi dinyatakan bahwa Kontrak Bagi Hasil adalah bentuk kerjasama antara DDD dan kontraktor untuk melaksanakan usaha Eksplorasi dan Eksploitasi minyak dan gas bumi berdasarkan prinsip pembagian hasil produksi; 9) bahwa berdasarkan Pasal 16 ayat (3) PP 35 tahun 1994 dinyatakan bahwa DDD dan kontraktor akan menerima minyak dan atau gas bumi sesuai bagian masing-masing pada pelabuhan ekspor atau tempat penyerahan lain yang disetujui DDD dan kontraktor; 10) bahwa berdasarkan Pasal 17 ayat (2) PP 35 tahun 1994 dinyatakan bahwa kontraktor wajib membayar pajak-pajak sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku atas perolehan bagiannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3); 11) bahwa untuk menyesuaikan dengan perkembangan usaha pertambangan minyak dan gas bumi, pemerintah menerbitkan Undang-undang Nomor 22 tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi; 12) bahwa berdasarkan Pasal 1 angka 19 Undang-undang Nomor 22 tahun 2001 dinyatakan bahwa Kontrak Kerja Sama adalah Kontrak Bagi Hasil atau bentuk kontrak kerja sama lain dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang lebih menguntungkan Negara dan hasilnya dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat; 13) bahwa Pasal 9 Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 267/KMK.012/1978 mengatur bahwa Direktur Jenderal Pajak akan mengeluarkan Surat Keterangan Pelunasan Pajak Penghasilan, setelah kontraktor memenuhi kewajiban-kewajiban sesuai dengan peraturan perpajakan dan setelah selesai dilakukan pemeriksaan oleh Direktur Jenderal Pengawasan Keuangan Negara (Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP)); 14) bahwa berdasarkan LHA BPKP terungkap adanya kekurangan pembayaran BPT/PBDR yang merupakan kewajiban perpajakan dari Pemohon Banding; 15) bahwa berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia atas Sistem Pengendalian Intern Kementerian Keuangan Tahun 2011 nomor 15b/LHP/XV/05/2012 tanggal 21 Mei 2012 butir 1.1.3 tentang Temuan – Pengelolaan Pajak Penghasilan Minyak dan Gas Bumi (PPh Migas) Tidak Optimal sehingga Penerimaan PPh Migas dan Sanksi Administrasi Sebesar Rp747,08 Milyar Belum Dapat Direalisasikan serta Pemerintah Kehilangan Penerimaan Negara Minimal Sebesar Rp2,35 Triliun dari Inkonsistensi Penggunaan Tarif Pajak dalam Perhitungan Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi (Migas) dinyatakan bahwa BPK mengungkapkan hasil pemeriksaan BPKP terkait kurang bayar PPh Migas yang belum ditindaklanjuti Pemerintah yang berasal dari penggunaan tarif yang tidak konsisten; 16) bahwa berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia tersebut diatas, BPK juga merekomendasikan agar Menteri Keuangan memerintahkan DJP dan DJA agar berkoordinasi dengan BPMIGAS untuk melakukan verifikasi atas selisih antara pembayaran dengan kewajiban, keterlambatan pembayaran PPh Migas serta menagih kekurangan dan mengenakan sanksi administrasi sesuai ketentuan berlaku; 17) bahwa Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar yang menjadi sengketa dalam persidangan ini, merupakan tindak lanjut dari temuan BPKP dan rekomendasi BPK; 18) bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi turut memantau sengketa penggunaan tarif lebih rendah yang mengakibatkan bagi hasil untuk pemerintah ini berkurang;
b. Pengertian Kontrak Bagi Hasil Produksi 1)
2)
bahwa berdasarkan Pasal 1 angka 1 PP-35/1994 dinyatakan bahwa Kontrak Bagi Hasil adalah bentuk kerjasama antara DDD dan Kontraktor untuk melaksanakan usaha Eksplorasi dan Eksploitasi minyak dan gas bumi berdasarkan prinsip pembagian hasil produksi; bahwa selanjutnya berdasarkan Pasal 5 PP-35/1994 dinyatakan bahwa KBH dilaksanakan atas dasar prinsip-prinsip sebagai berikut: a) Manajemen ditangani DDD; b) Kontraktor menyediakan semua dana, teknologi dan keahlian; c) Kontraktor menanggung semua risiko finansial; d) Besarnya Bagi Hasil ditentukan atas dasar tingkat produksi minyak dan atau gas bumi;
3)
4)
bahwa selanjutnya berdasarkan Pasal 16 ayat (3) dinyatakan bahwa DDD dan kontraktor akan menerima minyak dan atau gas bumi sesuai bagian masing-masing pada pelabuhan ekspor atau tempat penyerahan lain yang disetujui DDD dan Kontraktor; bahwa selanjutnya berdasarkan Pasal 17 ayat (2) dinyatakan bahwa kontraktor wajib membayar pajak-pajak sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku atas perolehan bagiannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3);
c. Konsep Bagi Hasil Neto 1. bahwa dalam pembagian hasil minyak dan atau gas bumi antara pemerintah dan kontraktor dikenal istilah bagi hasil neto dan bagi hasil bruto;
2. bahwa berdasarkan Pasal 15 UU No. 8 Tahun 1971 tentang DDD, prinsip pembagian hasil untuk kontraktor adalah neto dalam arti dalam bagi hasil yang diterima kontraktor telah memperhitungkan pajak-pajak yang menjadi kewajibannya atau dengan kata lain dalam bagian DDD telah diperhitungkan pajak-pajak menjadi kewajiban kontraktor;
3. bahwa dalam prinsip bagi hasil neto, DDD membayar dan menyetorkan Pajak Kontraktor kepada Pemerintah dari bagian DDD dan diminta untuk menyediakan bukti penyetoran pajakpajak yang dianggap telah dilunasi oleh kontraktor agar dapat dikreditkan di negara asal kontraktor;
4. bahwa pada tahun 1976, Pemerintah Amerika Serikat mengeluarkan kebijakan perpajakan melalui IRS Ruling yang menganggap cara pembayaran pajak seperti yang berlaku di PSC lndonesia itu (pajak kontraktor dibayarkan oleh DDD dari bagian DDD) dianggap sebagai pembayaran royalty bukan pajak, sehingga masih harus membayar kewajiban pajaknya di Amerika. Kontraktor meminta usul perubahan tata cara pembayaran pajak yang selama ini dibayarkan oleh DDD (on behalf of Contractor), menjadi dibayar langsung oleh Kontractor, agar dapat dikreditkan di negara asalnya, Amerika Serikat;
5. bahwa untuk menampung perubahan kebijakan pada negara Kontraktor tersebut, Pemerintah menerbitkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 267/KMK.12/1978 tanggal 19 Juli 1978 Tentang Tata Cara Penghitungan Dan Pembayaran Pajak Perseroan Dan Pajak Atas Bunga, Dividen Dan Royalty Yang Terhutang Oleh Kontraktor Yang Melakukan Kontrak Production Sharing (Kontrak Bagi Hasil) Di Bidang Minyak Dan Gas Bumi, Dengan Perusahaan Pertambangan Minyak Dan Gas Bumi Negara (DDD). Pada intinya peraturan tersebut mengatur hal-hal utama sebagai berikut: a) Dasar pengenaan Pajak Perseroan dan Pajak atas Bunga, Dividen dan Royalti yang terhutang adalah Laba Kena Pajak (Contractor Taxable Share) b) Pajak Perseroan yang terhutang adalah sebesar 45% (empat puluh lima perseratus) dari Laba Kena Pajak; c) Pajak atas Bunga, Dividen dan Royalty yang terhutang adalah sebesar 20% (dua puluh persen) dari Laba Kena Pajak setelah dikurangi Pajak Perseroan; d) Kontraktor berkewajiban melunasi Pajak Perseroan dan Pajak atas Bunga, Dividen dan Royalti yang terhutang dengan menyetorkannya pada rekening Valuta Asing Departemen Keuangan pada Bank Indonesia. bahwa untuk memberikan pengertian yang sama dan interprestasi yang tepat dan seragam bagi Kontraktor dan DDD atas Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 267/KMK.012/1978 maka Menteri Keuangan mengeluarkan Surat Menteri Keuangan Nomor: S-443a/MK.012/1982 tanggal 6 Mei 1982 tentang Interprestasi dari Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 267/KMK.012/1978 yang berisikan hal-hal sebagai berikut: bahwa seperti diketahui, konsep yang ada dalam rangka perjanjian bagi hasil antara DDD dengan kontraktor minyak asing sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 8/1971 adalah mengatur pembagian produksi antara DDD dengan kontraktor yang bersangkutan atas dasar pendapatan bersih setelah pajak (net after tax basis); bahwa sebelum tahun 1978, pelaksanaan pembagian hasil tersebut dilaksanakan sedemikian rupa sehingga kontraktor diberikan hak untuk mendapatkan dan menjual bagian minyaknya yang diperhitungkan sebagai telah kena pajak perseroan dan PBDR dan DDD dianggap berkewajiban untuk membayar pajak-pajak kontraktor yang bersangkutan dari bagian yang diperoleh DDD.; bahwa guna membantu kontraktor untuk mendapatkan kemudahan dalam rangka penggunaan tax credit berdasarkan undang-undang pajak Amerika Serikat, maka pada 01 Januari 1978 berlaku S.K. Menteri Keuangan No. 267/MK.012/1978 yang merubah cara pembayaran P.Ps dan PBDR Kontraktor, sehingga langsung menjadi beban kontraktor dan harus dibayar dari bagiannya;
bahwa untuk mempertahankan berlakunya prinsip pembagian hasil dengan perbandingan tertentu (DDD 85% dan kontraktor minyak asing 15%) berdasarkan after tax basis, maka perlu dilakukan penyesuaian terhadap perbandingan pembagian hasil sebelum pajak, sehingga setelah diperhitungkan pajak maka kontraktor tetap menerima 15%; bahwa dalam hal ini tidak dikandung maksud bahwa perubahan cara pembayaran pajak tersebut akan merubah pendapatan kontraktor setelah diperhitungkan pajak sebagaimana dikehendaki semula;
6.
bahwa untuk mengakomodir hal tersebut, kemudian diperkenalkan prinsip bagi hasil bruto dalam kontrak PSC dengan formula: menentukan bagi hasil neto kontraktor (Net Split After Tax) terlebih dahulu, kemudian melakukan penyesuaian dengan menambahkan pajak-pajak yang menjadi kewajiban kontraktor kepada bagian neto kontraktor tersebut, sehingga diperoleh suatu angka bagi hasil bruto (Gross Split Before Tax);
7.
bahwa dalam perkembangannya kemudian KBH dapat di kategorikan sebagai berikut: a. KBH generasi pertama bagi hasil 65:35 (1966 – 1975): Cost Recovery dibatasi sebesar 40% dari total pendapatan per tahun; Selisih antara Pendapatan Kotor per tahun dengan Cost Recovery (60%) dibagi antara DDD dan Kontraktor sebesar 65% : 35% (dimana 65% bagian Pemerintah sudah termasuk pajak Kontraktor); Kontraktor diwajibkan memasok 25% dari bagian produksinya untuk keperluan DMO dengan harga USD 0.20/barrel; bahwa pada PSC generasi pertama, aspek perpajakan belum jelas pengaturannya, bagian Pemerintah sebesar 65% dianggap sudah termasuk pajak yang dibayar oleh Kontraktor. Perubahan PSC term menjadi PSC generasi kedua ini dilakukan untuk mengakomodasi perubahan yang terjadi di negara asal Kontraktor. Perubahan tersebut adalah tidak diakuinya pajak penghasilan Kontraktor di Indonesia oleh kantor pajak negara asal, dengan demikian “tax credit” Kontraktor tidak diizinkan lagi. Oleh karena itu PSC term perlu dimodifikasi sehingga tidak merugikan Kontraktor dalam rangka memanfaatkan fasilitas “tax credit” di negara asalnya; b.
KBH generasi kedua bagi hasil 85:15 (1976-1988): 1) Cost recovery tidak lagi dibatasi dan didasarkan pada Generally Accepted Acounting principle (GAAP); 2) Selisih antara Pendapatan Kotor per tahun dengan Cost Recovery, Kemudian dibagi antara Pemerintah dan Kontraktor masing masing sebesar 65.91% : 34.09% (minyak) 31.82% : 68.18% (gas); 3) Bagian Kontraktor akan dikenakan pajak total sebesar 56% (terdiri dari 45% pajak pendapatan dan 20% pajak dividen/Branch Profit Tax), dengan demikian pembagian bersih setelah pajak (net after tax split untuk minyak adalah : 85% : 15% dan untuk gas bumi 70% : 30%; 4) Dengan adanya Undang Undang Pajak Penghasilan tahun 1984 dimana total pajak turun dari 56% menjadi 48% (terdiri dari 35% Pajak Penghasilan dan 20% pajak dividen/Branch Profit Tax) maka untuk mempertahankan pembagian bersih (Net after tax split) diatas, pembagian produksi sebelum kena pajak diubah menjadi : 71.15% : 28.85%; 5) Untuk lapangan baru, Kontraktor diberikan kredit investasi sebesar 20% dari pengeluaran kapital untuk fasilitas produksi; 6) Pengeluaran kapital dapat didepresiasi selama 7 tahun dengan metoda Double Declining Balance (DDB); c. KBH generasi ketiga bagi hasil 85:15 (yang dimulai pada tahun 1988): Diperkenalkannya istilah First Tranche Petroleum (FTP) yang besarnya 20%. Ini berarti 20% dari produksi (sebelum dikurangi Cost Recovery) akan dibagi antara Pemerintah dan Kontraktor; (Sumber : Benny Lubiantara, Ekonomi Migas : Tinjauan Aspek Komersial Kontrak Migas / Jakarta : Gramedia Widiasarana Indonesia, 2012);
8.
bahwa konsep bagi hasil neto setelah pajak (antara lain 85:15 untuk minyak dan 70:30 untuk gas), juga dapat diketahui melalui pendekatan analisis filosofis, yuridis dan sosiologis;
9.
bahwa berdasarkan analisis dan pertimbangan berdasarkan pendekatan filosofis dilihat dari latar belakang dan konsepsi dasar pembagian hasil dalam PSC sebagai berikut: a. bahwa pada awalnya, kontrak-kontrak PSC berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 44/Prp/1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi UU dimana pemerintah menunjuk pihak lain sebagai kontraktor untuk Perusahaan Negara apabila diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang belum atau
tidak dapat dilaksanakan sendiri oleh Perusahaan Negara yang bersangkutan selaku pemegang kuasapertambangan (sejak tahun 1971 UU DDD dilaksanakan oleh DDD). Bagi hasil dalam kontrak-kontrak awal tersebut adalah 65% untuk perusahaan negara dan kontraktor 35% dari penerimaan kontrak setelah biaya operasi. DDD membayar pajak perseroan kontraktor kepada pemerintah. Berdasarkan pasal 15 UU Nomor 8 Tahun 1971 tersebut, pembayaran bagi hasil penerimaan tersebut telah membebaskan seluruh kewajiban perpajakan kontraktor. Dengan rumusan bagi hasil adalah penerimaan negara satu kesatuan (pajak dan bagi hasil tidak dipisah); b.
bahwa setelah terjadi krisis keuangan DDD tahun 1976, Pemerintah mengubah rumusan bagi hasil dalam PSC antara DDD (Pemerintah) dan Kontraktor dari 65%: 35% menjadi 85% : 15% dengan latar belakang sebagai berikut: “Pada pertengahan tahun 1970-an, Caltex seperti halnya perusahaan lain mendapatkan keuntungan yang makin besar. Hati nurani dan pikiran sehat mendorong mereka untuk menyalurkan keuntungan ini tidak saja kepada penduduk di sekitar wilayah operasi tetapi juga oleh seluruh masyarakat Indonesia. Bekerja sama dengan pemerintah, Caltex menyusun rencana menyisihkan dana US$ 1 milyar untuk mendanai pembukaan sawah di sekitar ladang minyak yang akan digarap secara mekanik dalam rangka membantu Indonesia berswasembada beras. Rencana ini akan didukung dengan program transmigrasi dimana penduduk setempat akan diberikan peralatan, fasilitas, bimbingan teknik menanam padi secara mekanik. Tanggapan pemerintah pusat dan daerah sangat positif, tetapi ketika Presiden Bank Dunia Robert McNamara mendengar rencana tersebut, dia menyarankan kepada dan diterima oleh pemerintah agar dana tersebut tidak digunakan untuk pembukaan sawah tetapi sebagai setoran tambahan kepada pemerintah. Cara yang diusulkan adalah mengenakan pajak keuntungan tambahan sebesar US$ 1 per barrel. Adanya pajak tambahan ini menyebabkan Caltex memutuskan untuk membatalkan investasi sosial senilai US$ 1 milyar yang direncanakan. Pengenaan pajak tambahan kemudian diubah menjadi perubahan rumusan bagi hasil 85/15. Seperti sudah diprediksi, dampak dari pengenaan pajak tambahan dan perubahan rumusan bagi hasil ini adalah menurunnya kegiatan eksplorasi, yang berdampak jangka panjang terhadap kapasitas produksi.” (Diambil dari Julius Tahija, Melintas Cakrawala, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1977, halaman 180).
c.
bahwa perundingan kembali untuk mengakomodasi keinginan pemerintah mengubah rumusan bagi hasil berjalan cukup lama dan alot dimana kesepakatan perubahan rumusan bagi hasil akhirnya hanya dapat tercapai melalui perbaikan persyaratan komersial yang lain, seperti: - Dihapuskannya ketentuan mengenai pembatasan pengembalian biaya-biaya; - Dibaginya penerimaan pemerintah dalam dua komponen, penerimaan bukan pajak dan pajak; - Diberikan insentif tambahan kepada upaya eksplorasi untuk menjaga agar kegiatan usaha migas di Indonesia tetap tinggi. (Diambil dari Madjedi Hasan, Kontrak Minyak dan Gas Bumi Berazas Keadilan dan Kepastian Hukum , PT Fikahati Aneska, Jakarta, 2009, halaman 294).
d.
bahwa pada saat yang hampir bersamaan, Pemerintah Amerika Serikat mengeluarkan kebijakan perpajakan melalui IRS Ruling yang menyatakan bahwa pada intinya bahwa penyetoran bagi hasil kepada DDD berdasarkan UU Nomor 8 Tahun 1971 dianggap sebagai royalty dan tidak dapat dipakai sebagai foreign tax credit bagi sistem perpajakan di Amerika Serikat;
e.
bahwa untuk menampung perubahan kebijakan tersebut, pemerintah menerbitkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 267/KMK.12/1978 tanggal 19 Juli 1978 Tentang Tata Cara Penghitungan Dan Pembayaran Pajak Perseroan Dan Pajak Atas Bunga, Dividen Dan Royalty Yang Terhutang Oleh Kontraktor Yang Melakukan Kontrak Production Sharing (Kontrak Bagi Hasil) Di Bidang Minyak Dan Gas Bumi, Dengan Perusahaan Pertambangan Minyak Dan Gas Bumi Negara (DDD). Pada intinya peraturan tersebut mengatur hal-hal utama sebagai berikut: - Pajak Perseroan yang terhutang adalah sebesar 45% (empat puluh lima perseratus) dari Laba Kena Pajak; - Pajak atas Bunga, Dividen dan Royalty yang terhutang adalah sebesar 20% (dua puluh persen) dari Laba Kena Pajak setelah dikurangi Pajak Perseroan; - Biaya-biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara pendapatan yang dapat dikurangkan dari pendapatan kotor untuk memperoleh Laba Kena Pajak.
f.
bahwa dalam Surat Menteri Keuangan nomor 443a/1982 yang merupakan interpretasi dari Menteri Keuangan nomor 267/KMK.12/1978 tanggal 19 Juli 1978 menyatakan bahwa konsep dasar yang ada dalam rangka perjanjian bagi hasil antara DDD dengan Kontraktor Minyak Asing sebagaimana yang dimaksud dalam Perundang-undangan
nomor 8/1971 adalah mengatur pembagian produksi antara DDD dengan Kontraktor yang bersangkutan atas dasar pendapatan bersih setelah pajak (net after tax basis); g.
bahwa karena adanya pergantian sistem perpajakan di Indonesia dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan dan tidak berlakunya Ordonansi Pajak Perseroan 1925 dan UU PBDR tahun 1970 maka Pemerintah menerbitkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 458/KMK.12/1984 tentang Tata Cara Penghitungan Dan Pembayaran Pajak Perseroan Dan Pajak Atas Bunga, Dividen Dan Royalty Yang Terhutang Oleh Kontraktor Yang Melakukan Kontrak Production Sharing (Kontrak Bagi Hasil) Di Bidang Minyak Dan Gas Bumi, Dengan Perusahaan Pertambangan Minyak Dan Gas Bumi Negara (DDD) yang antara lain mengatur: - Keputusan ini berlaku untuk Kontraktor yang menanda-tangani PSC pada tanggal 01 Januari 1984 dan sesudahnya. - Pajak Penghasilan yang terhutang adalah sebesar 35% (tiga puluh lima perseratus) dari Laba Kena Pajak; - Kontraktor wajib memotong Pajak Penghasilan sebesar 20% dari keuntungan sesudah dikurangi Pajak Penghasilan; - Biaya-biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan berlaku ketentuan-ketentuan dalam UU Pajak Penghasilan 1984.
h.
bahwa berdasarkan penjelasan latar belakang di atas dapat disimpulkan bahwa: a) Konsepsi dasar bagi hasil penerimaan migas adalah penerimaan neto (pajak dan bukan pajak) dengan proporsi bagi hasil antara DDD (Pemerintah) dan Kontraktor 85% dan 15% untuk minyak. b) Penentuan rumusan bagi hasil 85% dan 15% berdasarkan penerimaan neto tersebut merupakan hasil dinamika dan proses politik, ekonomi, sosial dan hukum yang sudah menjadi pengetahuan umum (notoir dalam hukum) masyarakat migas di Indonesia pada masa-masa tersebut dan masih berlaku sampai sekarang. c) Oleh karena itu, tarif BPT 20% dan Pajak Penghasilan 35% merupakan angka yang seharusnya tidak dapat diperdebatkan lagi karena dipakai untuk menterjemahkan konsepsi rumusan bagi hasil neto 85% :15% ke dalam bagi hasil bruto dalam kontrak PSC sebesar 71,1538% untuk DDD dan 28,8462% untuk kontraktor. d) Tarif BPT/ PBDR berdasarkan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda tidak pernah menjadi komponen pembentuk proporsi bagi hasil produksi minyak dan gas alam dalam KBHP antara DDD dengan Kontraktor secara filosofis;
10. bahwa berdasarkan analisis dan pertimbangan-pertimbangan secara yuridis sebagai berikut: 1) bahwa berdasarkan pendapat sebelumnya yang menyatakan bahwa negara menundukkan diri dalam hukum kontrak maka peraturan yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan yang tertulis dalam kontrak. Apabila dalam kontrak tidak diatur secara jelas maka digunakan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku pada saat kontrak ditandantangani. Berdasarkan KBHP, semua pihak yang berkontrak mengakui bahwa terkait dengan Kontrak Bagi Hasil Produksi di sektor minyak dan gas antara DDD dengan pihak pemodal asing menggunakan hukum perundang-undangan No. 44/1960 dan No. 8/1971; 2)
bahwa dalam Surat Menteri Keuangan Nomor S-443a/1982 kepada Menteri Pertambangan dan Energi dijelaskan bahwa pada prinsipnya KBHP antara DDD dengan Kontraktor adalah pendapatan bersih setelah pajak (net after tax) sesuai dengan UU DDD. Demi kemudahan kontraktor mendapatkan tax credit, maka dikeluarkan KMK-267/1978 yang merubah cara pembayaran PPs dan PBDR kontraktor sehingga langsung menjadi beban kontraktor dan harus dibayar dari bagiannya. Untuk mempertahankan berlakunya prinsip pembagian hasil dengan perbandingan tertentu (DDD 85% dan kontraktor minyak asing 15%) berdasarkan after tax basis, maka perlu dilakukan penyesuaian terhadap perbandingan pembagian hasil sebelum pajak sehingga setelah diperhitungkan pajak maka kontraktor tetap menerima 15%;
3)
bahwa untuk mempertahankan konsepsi dasar pembagian penerimaan neto antara pemerintah dan kontraktor sebesar 85% dan 15% untuk minyak dan 70% dan 30% untuk gas bumi, maka pemerintah menerbitkan KMK-267/1978 yang menetapkan tarif pajak yang berlaku untuk kontraktor migas adalah Pajak Penghasilan sebesar 45% dan Pajak Penghasilan 26 (4) atau BPT sebesar 20%;
4)
bahwa berdasarkan azas iktikad baik dalam hukum kontrak menyatakan bahwa perjanjian dilaksanakan tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan dalam kontrak tetapi juga segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang selain daripada itu, semua
janji yang diberikan dalam satu persetujuan harus diartikan dalam hubungannya satu sama lain artinya tiap-tiap janji harus ditafsirkan dalam hubungannya dengan seluruh persetujuan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1338 ayat (3) dan 1339 serta 1348 KUH Perdata yang menyatakan sebagai berikut: Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata: “Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik” Pasal 1339 KUH Perdata “Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang”. Pasal 1348 “Semua janji yang diberikan dalam satu persetujuan harus diartikan dalam hubungannya satu sama lain; tiap-tiap janji harus ditafsirkan dalam hubungannya dengan seluruh persetujuan” Para pihak pada dasarnya menyadari bahwa untuk mendapatkan angka bagi hasil bruto dalam Kontrak (misalnya : 71,1538%% untuk DDD dan 28,8462% untuk Kontraktor terkait Minyak) diperoleh dengan cara menggross up porsi bagi hasil neto yang disepakati (misalnya 85% : 15% untuk Minyak) dengan menerapkan aturan perpajakan yang berlaku pada saat ditandatangani kontrak oleh para pihak pada kontrak, yaitu yang terdiri dari tarif corporate tax 35% dan tarif BPT 20%. 11. bahwa berdasarkan analisis dan pertimbangan-pertimbangan secara sosiologis dapat diuraikan sebagai berikut:
1) bahwa prinsip pembagian hasil dengan perbandingan DDD 85% dan kontraktor 15% berdasarkan penerimaan neto (after tax basis) merupakan hasil dinamika dan proses politik, ekonomi, sosial dan hukum dalam industri hulu perminyakan yang yang mulai berlaku mulai tahun 1970-an dan berlaku sampai sekarang dan telah diketahui secara umum oleh para praktisi, akademisi, teknokrat dan birokrat perminyakan. Dalam bidang ilmu hukum, peristiwa, keadaan atau kejadian tersebut sering disebut notoir; Sudikno Mertokusumo berpendapat bahwa: “Peristiwa notoir adalah kejadian atau keadaan yang dianggap harus diketahui oleh orang yang berpendidikan dan mengenal zamannya, tanpa mengadakan penelitian lebih lanjut atau persitiwa yang dapat diketahuinya dari sumber-sumber yang umum tanpa mengadakan penelitian yang berarti dan yang memberi kepastian yang cukup untuk digunakan sebagai alasan pembenar untuk suatu tindakan yang bersifat kemasyarakatan yang serius. Lazimnya persitiwa notoir ini diartikan sebagai peristiwa yang diketahui umum. Oleh karena itu, hakim yang berpendidikan tinggi dan sudah tentu dianggap berpengetahuan luas pula, harus tahu juga akan peristiwa notoir ini sehingga tidak perlu dibuktikan lebih lanjut.” (Sumber: Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Lyberty, Yogyakarta, 2006, hal: 133). bahwa berdasarkan penjelasan tersebut, kita dapat memahami alasan yang mendasari bahwa prinsip pembagian hasil pemerintah dan kontraktor 85% : 15% untuk minyak dan 70% : 30% untuk gas alam tidak pernah dimasukkan secara eksplisit dalam kontrak karena prinsip atau konsep dasar tersebut merupakan notoir dalam industri hulu perminyakan yang sudah diketahui secara umum oleh para profesional yang bergerak dalam bidang perminyakan dan tidak perlu lagi adanya pembuktian secara tertulis;
2)
bahwa hal tersebut dapat dibuktikan dengan proporsi bagi hasil minyak mentah sebelum pajak yang tercantum dalam kontrak bagi hasil dari tahun ke tahun yang berubah sesuai dengan Undang-undang Pajak Penghasilan yang berlaku pada saat kontrak ditandatangani. Berikut adalah perhitungan yang menunjukkan hal tersebut:
Tarif Pajak Sebelum1984 PPs/PPhBadan 45% PBDR/ PPhPasal 26(4) (20%X(100%-PPh) 11% Total PajakPenghasilan 56% Persentasi Bagi Hasil BagianKontraktor Net BagianKontraktor sebelumpajak Dikurangi : Total PajakPenghasilan Bagiankontraktor net (15%) Bagiankontraktor gross (X) Bagiankontraktor gross(X)
Sebelum1984 1984 1991 1994 2001 15,0000% 15,0000% 15,0000% 15,0000% 15,0000% X X X X X 56%xX 48%xX 48%xX 44%xX 44%xX 44%xX 52%xX 52%xX 56%xX 56%xX 15%/ 44% 15%/ 52% 15%/ 52% 15%/ 56% 15%/ 56% 34,0909% 28,8462% 28,8462% 26,7857% 26,7857%
BagianPemerintahGross(100%- X) Ditambah: Total PajakPenghasilan Perolehandari Pajak BagianPemerintahNet (Gross+pajak)
3)
1984 1991 1994 2001 35% 35% 30% 30% 13% 13% 14% 14% 48% 48% 44% 44%
65,9091% 71,1538% 71,1538% 73,2143% 73,2143% 56%xX 48%xX 48%xX 44%xX 44%xX 19,0909% 13,8462% 13,8462% 11,7857% 11,7857% 85,0000% 85,0000% 85,0000% 85,0000% 85,0000%
bahwa sedangkan untuk proporsi bagi hasil gas alam antara pemerintah dan kontraktor adalah 70% untuk pemerintah dan 30% untuk Kontraktor. Dengan demikian perhitungan bagi hasil sebelum pajak yang tercantum di dalam kontrak adalah sebesar 42,3077% bagi pemerintah RI dan 57,6923% bagi Kontraktor (section VI article 6.2.2). Penghitungannya bagi hasil tersebut dapat dilihat di bawah ini: Tarif Pajak PPs/PPh Badan PBDR / PPh Pasal 26 (4) (20% X (100%-PPh) Total Pajak Penghasilan
sebelum 1984 1984 - <1994 45% 35% 11% 13% 56% 48%
Persentasi Bagi Hasil Bagian Kontraktor Net Bagian Kontraktor sebelum pajak Dikurangi : Total Pajak Penghasilan Bagian kontraktor net (15%) Bagian kontraktor gross (X) Bagian kontraktor gross (X)
30,0000% X 56% * X 44% * X 30% / 44% 68,1818%
30,0000% X 48% 52% 30%/52% 57,6923%
Bagian Pemerintah Gross(100% - X) Ditambah : Total Pajak Penghasilan Perolehan dari Pajak Bagian Pemerintah Net (Gross + pajak)
31,8182% 56% * X 38,1818% 70,0000%
42,3077% 48% * X 27,6923% 70,0000%
12. bahwa meskipun proporsi bagi hasil penerimaan neto setelah pajak (antara lain 85% : 15% untuk Minyak dan 70% : 30% untuk Gas Alam) jika dikaji secara sosiologis merupakan notoir, namun Terbanding dapat memberikan bukti dokumen yang merupakan fakta dan telah menjadi dasar pertimbangan dalam menyusun Kontrak antara DDD dengan Kontraktor. Proporsi bagi hasil tersebut antara lain terdapat dalam dokumen berupa : a)
bahwa skema PSC Scheme dengan tarif PPh 35% dan PBDR atau BPT 20% (Untuk Minyak Mentah) adalah sebagai berikut:
Flow Oil Gross Split – Taxes – Net Split (Gov/Cont Take)
Contractor Share 28,8462%
Government Take : 71.1538%+13.8462% = 85%
b)
Net Split di Gross Up dengan ETR 48% untuk dapat angka Gross Split dalam Section VI PSC Contract
bahwa paket insentif yang dikeluarkan oleh Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 3985A/39/M.DJM/88 tanggal 23 September 1988 yang berisikan syarat-syarat baru bagi Kontraktor KPS baru dan Kontraktor KPS yang akan diperpanjang (lampiran 4); Tertera tarif efektif pajak sebesar 48 % 48% diperoleh dari tarif PPh Badan 35% + tarif BPT 13% ((20% x (100% - 35%)), serta bagi hasil neto oil 85:15 dan gas 70:30. Hal ini sesuai dengan PSC Scheme;
Paket insentif 88 Nomor: 3985A/39/M.DJM/88 tanggal 23-9-1988 Sekarang Persyaratan/ Kondisi
Pembagian: - Minyak Gas
85 % / 15 % 65%/35% 70%/30%
Yang Akan Datang
Kontrak Lama dan Kontrak Baru Yang Diperpanjang Lahan Conventional
85 % / 15 % 70 % / 30%
85 % / 15 % 70 % / 30%
Lahan Frontier
(Incremental) 70 % /30 %
Catatan: Conventional adalah daerah yang sudah diketahui, sedangkan frontier adalah daerah yang belum diketahui sama sekali. 2. Incremental adalah cara pembagian hasil yang dikaitkan dengan tingkat produksi yaitu: s/d 50.000 BOPD 80% / 20% s/d 150.000 BOPD 85% / 15% > 50.000 BOPD 90% / 10%
c)
bahwa paket insentif yang dikeluarkan oleh Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 0857/39/M.DJM/89 tanggal 7 Maret 1989 yang berisikan syarat-syarat baru bagi Kontraktor KPS baru dan Kontraktor KPS yang akan diperpanjang (lampiran 5);
bahwa bagi hasil neto oil 85% : 15% tertera dalam lampiran Surat Menteri Pertambangan dan Energi ini. Hal ini sesuai PSC Scheme; d)
bahwa Surat Menteri Keuangan Republik Indonesia kepada Menteri Pertambangan dan Energi Nomor S-858/MK.012/1984 tanggal 18 Agustus 1984 (lampiran 6): bahwa dengan berlakunya UU PPh tahun 1984, maka tarif pajak yang dipergunakan dalam menghitung pajak yang harus dibayar kontraktor berubah dari 56% menjadi 48% (terdiri dari tarif PPh Badan 35% dan BPT 20%); bahwa bagian Kontraktor dari 34,0909% berubah menjadi 28,8462% untuk mempertahankan bagian bersih kontraktor sebesar 15%. Bahwa angka bagi hasil bruto diperoleh dari gross up angka bagi hasil neto. Hal ini sesuai dengan PSC Scheme;
e)
bahwa Surat Menteri Pertambangan dan Energi Republik Indonesia kepada Presiden Republik Indonesia Nomor 1578/M.197/1978 tanggal 5 Juni 1978 perihal Permohonan persetujuan perubahan Kontrak Production Sharing antara DDD dan North Sumatera Oil Inc. (ex. Refican) tanggal 10 Maret 1964 (lampiran 7); bahwa dalam surat ini tertera informasi bahwa kontraktor setuju menerima penerapan ketentuan-ketentuan baru dari pemerintah untuk PSC (85%:15%). Hal ini sesuai dengan PSC Scheme; bahwa dengan demikian dapat dibuktikan bahwa dalam Contractor Take Bruto untuk minyak sebesar 28,8462% dan untuk gas 57,6923% yang tertera dalam PSC, terkandung tarif BPT sebesar 20%; bahwa oleh karena itu sudah seharusnyalah para pihak menepati apa yang diperjanjian dalam kontrak (sanctity of contract) dengan itikad baik (good faith);
f)
bahwa Surat Menteri Keuangan Republik Indonesia kepada Menteri Pertambangan dan Energi Nomor S-394/MK.012/1984 tgl 30 Maret 1984 (lampiran 8);
g)
bahwa Surat Menteri Keuangan Republik Indonesia kepada Direktur Utama DDD Nomor S-19/MK.012/1984 tgl 10 Januari 1984 (lampiran 9);
h)
bahwa Surat dari DDD kepada Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 779/C0000/82 tanggal 3 Juni 1982 perihal Kontrak Bagi Hasil di daerah daratan dan lepas pantai Selat Madura (lampiran 10);
i)
bahwa Surat dari DDD kepada Dewan Komisaris Pemerintah DDD Nomor 1026/C0000/82 tanggal 27 Juli 1982 perihal Kontrak Bagi Hasil dengan SCEPTRE RESOURCES Ltd. Di Lepas Pantai L. Jawa Block “B” (lampiran 11);
13. bahwa dalam surat-surat sebagaimana tersebut di atas disebutkan antara lain mengenai proporsi bagi hasil antara DDD/Pemerintah dan Kontraktor sesuai ketentuan PSC (85/15 untuk minyak mentah dan 70/30 untuk gas bumi, sesudah pemotongan biaya, ditambah insentif yang berlaku untuk minyak); PSC Taxation Profit Sharing According to PSC (BPT 20%) N Description o 1 Gross Contractor Share 2 Corp Tax = 35% (35% x 28.8462%) 3 Contractor's Income After Tax (1 - 2) 4 Branch Profit Tax 20%(BPT) (20% x 18,7500%) 5 Net Contractor Share (3 - 4) 6 Total Tax (2 + 4) 7 Government revenue share 8 Total government revenue share (6 + 7)
Oil
Gas
28.8462% 10.0962% 18,7500% 3,7500% 15% 13.8462% 71.1538% 85%
57.6923% 20.1923% 37.5000% 7,5000% 30% 27.6923% 42.3077% 70%
14. Metode Perhitungan Gross Up bahwa angka Bagi Hasil sebelum pajak (bruto) yang tercantum dalam PSC didapat dengan metode perhitungan gross up dengan menggunakan angka-angka bagi hasil setelah pajak
(neto) dan tarif pajak yang berlaku pada saat PSC ditandatangani (Tarif PPh Badan 35% dan BPT 20%); bahwa angka bagi hasil neto merupakan angka yang ditetapkan diawal yang tercantum di berbagai dokumen sebagaimana telah disebutkan pada uraian diatas. Hal ini disampaikan oleh Ahli yang dihadirkan oleh Terbanding pada persidangan atas sengketa tahun pajak 2008 sebagai berikut: 1) Menurut Ahli yang dihadirkan Terbanding pada sidang banding Majelis XVIA Pengadilan Pajak hari Selasa tanggal 25 Februari 2014 atas Pemohon Banding BP East Kalimantan Ltd. yaitu Bapak A. Edy Hermantoro (pada saat itu menjabat sebagai Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia) sebagai Ahli PSC dari Pemerintah, Terbanding mengutip pernyataan Ahli sebagai berikut: “Kembali lagi disampaikan, yang pertama goodfaith pada awal saat masuk yaitu 85:15 untuk minyak 70:30 untuk gas kemudian masuk naildown atas kontrak dan perhitungan gross up setelah ada kesepakatan naildown dan terakhir adalah sanctity of contract untuk menjamin investasinya kembali dengan baik”. 2)
Menurut Ahli yang dihadirkan Terbanding dalam sidang banding Majelis VIII Pengadilan Pajak yaitu M. Rofi Uddin (Lampiran 12; Affidavit), Terbanding mengutip pernyataan Ahli sebagai berikut: “Adapun angka gross up tergantung dari berapa besar pajak yang berlaku pada saat kontrak ditandatangani. Jadi ditegaskan cara menghitungnya adalah dari bawah, dalam arti, after tax yang ditentukan lebih dahulu kemudian dicari angka before tax-nya. Angka pembagian sebesar 85 : 15 berlanjut sampai dengan sekarang yaitu apabila produksi normal, kemudian ada angka variannya seperti 80 : 20, 90 : 10. Varian itu sendiri berkembang ketika kontraktor mulai mengembangkan diluar lapangan konvensional dan berada di kawasan Indonesia Timur. Varian tersebut juga tertuang dalam paket insentif yang dikeluarkan oleh pemerintah tahun 1989”. bahwa untuk kontrak lama dan yang diperpanjang bagi hasil net yang digunakan adalah 85%:15% dan dalam perkembangannya yang disesuaikan dengan kondisi lahan dan tingkat produksi minyak seperti 80%:20% atau 90%:10%; bahwa berapapun nilai bagi hasil neto tersebut perhitungan gross up untuk mendapatkan bagi hasil bruto selalu tetap menggunakan tariff efektif sebesar 48% ( PPh Badan 35% dan tarif BPT 20%); bahwa sebagai bukti dari pernyataan di atas, Terbanding akan menyajikan perhitungan sebagai berikut: Tarif PPh Badan sebesar 35% dan tarif BPT sebesar 20% akan menghasilkan tarif efektif pajak sebesar 48%, yang penerapannya dalam KBH akan menghasilkan perhitungan yang dituangkan dalam Pasal VI, yaitu: Effective Tax Rate (ETR) = PPh Tax Rate + PBDR (1 – PPh Tax Rate) ETR = 35% + 20 (1 – 35%) = 35% + 13% = 48% Equation (Persamaan): Contr. After Tax Basis(Net Split) = Contr. Before Tax Basis (Gross Split) * (1 – ETR) sehingga Contr. Before Tax Basis(Gross Split) = Contr. After Tax Basis (Net Split) / (1 – ETR) dan, DDD Before Tax Basis(Gross Split) = 1 - Contr. Before Tax Basis (Gross Split) Dengan demikian: Bagi hasil minyak Jika bagi hasil neto = 85% (Pemerintah) : 15% (kontraktor), maka: Bagi hasil bruto untuk kontraktor = 15% : (1-48%) = 28,8642% Bagi hasil bruto untuk Pemerintah = 85% - (48% x 28,8642%) = 71.1538% atau Bagi hasil bruto untuk Pemerintah = 1 - 28,8642% = 71.1538% Kedua angka tersebut tercantum dalam KBHP 1990 Pasal VI angka 6.1.3. Bagi hasil gas Jika bagi hasil neto = 70% (Pemerintah) : 30% (kontraktor), maka: Bagi hasil bruto untuk kontraktor = 30% : (1 – 48%) = 48,0769% Bagi hasil bruto untuk Pemerintah = 70% - (48% x 48,0769%) = 51,9231% Kedua angka tersebut tercantum dalam KBHP 1990 Pasal VI angka 6.2.2.
15. bahwa sebagai tambahan informasi, bahwa konsep Bagi Hasil Neto setelah pajak (antara lain 85 : 15), masih tetap digunakan dalam penyusunan PSC generasi berikutnya, seperti yang tercantum dalam Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 2876
K/23/MEM/2006 tanggal 11 Desember 2006 (lampiran 13);
d. Kesepakatan Dalam Kontrak i.
Bahwa kontrak yang ditandatangani DDD dan Kontraktor (Operator) mengacu pada dasar hukum yang dinyatakan dalam kontrak yaitu Undang-Undang Nomor 44 Prp Tahun 1960 dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971. ii. Bahwa wilayah yang diekplorasi dan dieksploitasi pada kontrak adalah Blok offshore North West Java. iii. Bahwa kewajiban perpajakan pada kontrak mengacu kepada UU PPh Indonesia serta peraturan pelaksanaannya yang berlaku pada saat kontrak ditandatangani. iv. Bahwa pada kontrak dinyatakan membatasi bahwa kontrak tidak dapat dibatalkan, diamandemen atau dimodifikasi tanpa persetujuan tertulis para pihak.
e. Tarif Branch Profit Tax (BPT) dalam KBHP 1)
bahwa berdasarkan Pasal V pasal 5.1.2 (s), dinyatakan bahwa: “Kontraktor Wajib membayar kepada Pemerintah Republik Indonesia Pajak Penghasilan Badan dan pajak atas Bunga, Dividen dan Royalti yang dikenakan kepadanya berdasarkan Undang-Undang perpajakan di Indonesia. Kontraktor wajib mematuhi persyaratan perundang-undangan terutama menyangkut penyampaian surat pemberitahuan pajak, pengenaan pajak dan pembuatan dan penyajian buku-buku dan catatan-catatan.
2)
bahwa adapun besaran tarif Pajak yang diterapkan merujuk pada ketentuan dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 458/KMK.12/1984 tentang Tata Cara Penghitungan Dan Pembayaran Pajak Perseroan Dan Pajak Atas Bunga, Dividen Dan Royalty Yang Terhutang Oleh Kontraktor Yang Melakukan Kontrak Production Sharing (Kontrak Bagi Hasil) Di Bidang Minyak Dan Gas Bumi, Dengan Perusahaan Pertambangan Minyak Dan Gas Bumi Negara (DDD) yang antara lain mengatur: Keputusan ini berlaku untuk Kontraktor yang menanda-tangani PSC pada tanggal 01 Januari 1984 dan sesudahnya (Pasal 1). Pajak Penghasilan yang terhutang adalah sebesar 35% (tiga puluh lima perseratus) dari Laba Kena Pajak (Pasal 3); Kontraktor wajib memotong Pajak Penghasilan sebesar 20% dari keuntungan sesudah dikurangi Pajak Penghasilan (Pasal 4);
3)
bahwa berdasarkan pasal VI butir 6.1.3. KBHP lapisan tarif bagi hasil produksi bruto terkait dengan Minyak, yaitu DDD 71,1538% dan Kontraktor 28,8642%;
4)
bahwa berdasarkan Pasal VI butir 6.2.2. PCS lapisan tarif bagi hasil produksi bruto terkait dengan Gas Bumi, yaitu DDD 42,3077% dan Kontraktor 57,6923%;
5)
bahwa untuk membuktikan bahwa tarif BPT yang disepakati dalam KBHP adalah 20%, telah Terbanding uraikan di atas;
6)
bahwa berdasarkan uraian tentang gross up sebagaimana dimaksud di atas, tarif PPh Badan sebesar 35% dan tarif BPT sebesar 20% (yang menghasilkan tarif efektif pajak sebesar 48%) yang akan menghasilkan perhitungan sebagaimana bagi hasil bruto yang tertera pada KBHP;
7)
bahwa bagi hasil netto antara Pemerintah dan kontraktor secara umum dalam sektor migas disepakati yaitu : Untuk Minyak: 85:15 yaitu bagian pemerintah 85% sedangkan bagian kontraktor 15%; 80:20 yaitu bagian pemerintah 80% sedangkan bagian kontraktor 20%; 90:10 yaitu bagian pemerintah 90% sedangkan bagian kontraktor 10%. Untuk Gas Bumi: 70:30 yaitu bagian pemerintah 70% sedangkan bagian kontraktor 30%; bahwa berdasarkan butir 6) dan 7), jumlah pajak yang harus dibayar kontraktor adalah sebesar : Untuk Minyak: 13.8462% ((48% : 52%) x 15%)) jika bagian neto kontraktor 15% 18.4615% ((48% : 52%) x 20%)) jika bagian neto kontraktor 20% 9.2308% ((48% : 52%) x 10%)) jika bagian neto kontraktor 10% Untuk Gas Bumi:
27.6923% 8)
((48% : 52%) x 10%)) jika bagian neto kontraktor 30%
bahwa dengan demikian didapat Bagian Bruto yang dicantumkan dalam PSC untuk setiap Bagian Neto yang disepakati (Net after tax split) yaitu : Untuk Minyak: bagian bruto kontraktor adalah 28.8462% (15% + 13.8462%) sedangkan bagian bruto pemerintah adalah 71.1538% (85% - 13.8462%); bagian bruto kontraktor adalah 38.4615% (20% + 18.4615%) sedangkan bagian bruto pemerintah adalah 61.5385% (80% - 18.4615%); bagian bruto kontraktor adalah 19.2308% (10% + 9.2308%) sedangkan bagian bruto pemerintah adalah 80.7692% (90% - 9.2308%); Untuk Gas Bumi: bagian bruto kontraktor adalah 57.6923% (30% + 27.6923%)sedangkan bagian bruto pemerintah adalah 42.3077% (70% - 27.6923%);
9)
bahwa perhitungan bagi hasil bruto yang terdapat dalam Section VI PSC didasarkan pada tarif pajak sebagai berikut:
Section VI point 6.1.3: Of The Crude Oil remaining after Net Split deducting Operating Costs: DDD Take
Contractor Take
Effective Tax Rate Gross Split (Before Tax Basis) (PPh + PBDR =48%) As stated in Section VI PSC DDD Contractor Take Take PPh : 35% PBDR : 20%
For Crude Oil production as result of 80 tertiary recovery EOR Projects
20
PPh : 35% PBDR: 20%
61.5385
38.4615
For Crude Oil segment 0 – 80 production from pre- 50.000 barrel Tertiary reservoir daily rocks, the Parties 85 shall be entitled to Segment take and receive each 50.001150.000 barrel Year as follow daily
20
PPh : 35% PBDR: 20%
61.5835
38.4615
15
PPh : 35% PBDR: 20%
71.1538
28.8462
90 Segment > 150.001 barrel daily
10
PPh : 35% PBDR: 20%
80.7692
19.2308
For Crude Oil Production of the 85 Contract Area other than those above
15
PPh : 35% PBDR: 20%
71.1538
28.8462
Section VI point 6.2.2 For Natural Gas
30
PPh : 35% PBDR: 20%
42.3077%
57.6923%
70
10)
bahwa katan bagi hasil dalam Production Sharing Contract (PSC) mendasarkan pada perhitungan dengan menggunakan tarif PBDR atau Branch Profit Tax (BPT) sebesar 20%;
11)
bahwa sampai dengan persidangan berakhir, Pemohon Banding tidak dapat menjelaskan perhitungan bagaimana angka bagi hasil bruto terbentuk sebagaimana tertera dalam KBH (PSC Contract);
12)
bahwa jika mengikuti tarif PPh 35 % dan PBDR (BPT) sebesar 10% sebagaimana yang disampaikan Pemohon maka Bagian Bruto DDD (Gross Split) dan Bagian Bruto Kontraktor (Contractor Gross Split) akan menjadi sebagai berikut:
Section VI point 6.1.3: Of The Crude Oil remaining after Net Split deducting Operating Costs: DDD Take
Effective Tax Rate (PPh + =41,5%) Contractor Take
For Crude Oil production as result of 80 tertiary recovery EOR Projects
20
For
20
Crude
Oilsegment
0
–80
PPh : 35% PBDR : 10% PPh : 35% PBDR: 10% PPh : 35%
Gross Split (Before Tax Basis)
PBDR Must stated in Section VI PSC DDD Contractor Take Take 65.8120
34.1880
65.8120
34.1880
barrel production from 50.000 pre-Tertiary reservoir daily rocks, the Parties shall be entitled to Segment 85 take and receive each 50.001Year as follow 150.000 barrel daily
PBDR: 10%
15
PPh : 35% PBDR: 10%
74.3590
25.6410
90 Segment > 150.001 barrel daily
10
PPh : 35% PBDR: 10%
82.9060
17.0940
For Crude Oil Production of the 85 Contract Area other than those above
15
PPh : 35% PBDR: 10%
74.3590
25.6410
Section VI point 6.2.2 For Natural Gas
30
PPh : 35% PBDR: 10%
48.7179
51.2821
70
13) bahwa dengan demikian, walaupun tidak tertulis dalam PSC tarif PBDR(BPT) sebesar 20%, namun terbukti bahwa hanya dengan tarif PBDR (BPT) sebesar 20% dan tarif PPh Badan sebesar 35% tersebut maka akan menghasilkan angka-angka bruto sebagaimana tertuang dalam point 6.1.3 dan point 6.2.2 Section VI Handling of Production PSC; 14) bahwa sebagai bukti tambahan, Terbanding mengutip pendapat ahli yang dihadirkan Terbanding dalam sidang untuk sengketa tahun pajak 2008 tanggal 25 Februari 2014 pada sidang Majelis XVIA Pengadilan Pajak yaitu Bapak A. Edy Hermantoro ((pada saat itu menjabat sebagai Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia) sebagai Ahli PSC, menerangkan secara singkat penyebab Indonesia menerapkan adanya sistem PSC : 1) Alasan Pemerintah mengundang investor baik dalam maupun luar negeri: a)
Pemerintah merasa percaya akan adanya sumber daya alam yang bisa dikelola untuk kemakmuran negara dan bangsa Indonesia;
b)
Terdapatnya keterbatasan teknologi dan finansial sehingga Pemerintah mengundang investor. Berdasarkan Pembukaan dan Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945, dalam hal ini Pemerintah berkewajiban untuk mengawal terhadap masalah kesejahteraan masyarakat, sehingga Pemerintah mencoba menggunakan sistem production sharing contract yang sebelumnya pada jaman dahulu, yaitu ketika pada jaman bung Soekarno (Presiden RI Pertama) dimulai dengan mengenal adanya istilah “Paron”. Paron sendiri artinya bagi-bagi atau separoh-separoh antara ownership dari tanah atau pemilik tanah dengan orang yang akan menanam tanaman setelah dipotong/ dikurangi biaya-biaya menanam termasuk benih dan lain-lain. Sistem ini (PSC) adalah system pertama kali di dunia yang diterapkan di Indonesia. Sistem awal di dunia seperti di Amerika maupun negara-negara Timur Tengah bukan menggunakan sistem PSC seperti ini, namun ada bermacam-macam seperti kontrak service fee atau rate of return contract. Di Indonesia sudah ada beberapa generasi.Pada waktu jaman Belanda dikenal dengan A5 atau konsesi kemudian “bonggol” atau kontrak karya kemudian terakhir PSC atau kontrak kerja sama. Inti PSC adalah membagi in kind dari minyaknya itu. Namun terkait dengan keterbatasan teknologi, pengetahuan dan biaya maka Pemerintah mengundang investor dengan tetap catatan memperhatikan Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945 Pemerintah menerapkan pola bahwa risiko, teknologi dan finansial ada di kontraktornya. Mengapa dikatakan kontraktor adalah ownership-nya dan kuasa pertambangannya ada di pemerintah? Karena pola ini adalah sistem terbaik, Kalau itu sudah terjadi kesepakatan atau titik temu dalam perhitungan kontrak kerja sama maka akan menjadi turunan sebagaimana dalam skema bagi hasil yang dituangkan dalam masing-masing PSC. Untuk itu, Pemerintah harus mengetahui resourcesnya dan perhitungannya kira-kira berapa? Dan dalam konteks PSC ini, Pemerintah berkomitmen adalah after tax-nya;
c)
bahwa jadi seperti diketahui dan ditegaskan bahwa sistem PSC itu adalah after tax-nya, ini merupakan bagian dari pengejawantahan dari goodfaith atau itikad baik sehingga pada waktu awal pola pembagiannya dalam persentase tersebut adalah 85:15. Di dalam sistem investasi jika membahas mengenai rate of return dari investasi dengan risiko, investasi dan teknologi ada pada kontraktor tentunya terkait dengan investasinya dibandingkan dengan Negara lain seperti apabila modal tersebut disimpan di bank saja dan lain-lain. Kemudian dirumuskan di awal bahwa bagian Negara adalah 85 dan bagian kontraktor adalah 15 untuk minyak sedangkan gas, bagi hasil untuk Negara 70 dan kontraktor adalah 30. Kenapa ada
dua perhitungan? Karena pada saat pengeboran yang dihasilkan adalah minyak dan gas, Ahli menggambarkan seperti ibu mengandung belum tahu anaknya lakilaki atau perempuan maka dalam perhitungannya harus dipersiapkan kalau hasilnya adalah minyak seperti apa pembagiannya dan kalau gas seperti apa pembagiannya, ini adalah konsep dasar yang harus dipatuhi. Berdasarkan angkaangka tersebut dan dikaitkan dengan rate of return maka kontraktor akan menghitung, kalau itu atas perhitungan itu dapat diterima maka kontraktor akan menerima dan melakukan kesepakatan dalam sistem PSC. Karena pembagian 85:15 atau 70:30 sudah disepakati di perusahaannya kemudian Pemerintah memberikan decision untuk masuk ke Indonesia dan dimulai melakukan kegiatan eksplorasi, survey seismic, drilling dan lain sebagainya, namun hal ini belum tentu dapat minyak atau gas. Kembali lagi yang Ahli katakan bahwa Risiko, teknologi dan finansial berada pada kontraktor sistem tersebut diberikan agar ada ruang gerak bagi company (perusahaan) lain apabila dalam waktu 10 tahun masa eksplorasi tidak ditemukan maka dikembalikan kepada Negara dan Negara menawarkan lagi kepada company lain. Sebagai gambaran, merupakan hal yang lumrah bahwa company A tidak menemukan minyak dan gas dan dikembalikan kepada Negara dan Negara memberikan kepada company B dan ketemu. Hal ini sudah biasa dan sudah diperhitungkan oleh investor untuk masuk karena ada jaminan bagihasil yaitu 85:15. Pada proses pembahasan, company biasanya ingin mendapatkan jaminan dalam jangka waktu 30 tahun agar terhindar dari fluktuasi hukum maupun politik maka dibuatkan Naildown termasuk juga pajaknya, seperti corporate income tax pertama kali adalah 35% maka sampai 30 tahun akan 35% terus sampai dengan akhir perjanjian walaupun di dalam perjalanan ada suatu government intervention yang inisiatif baru sehingga mengemukakan tarif pajak baru, bukan 35 dan bukan 30 namun investor yang bersangkutan tetap menggunakan 35% atau 30%, inilah yang dinamakan naildown. Kembali lagi disampaikan, yang pertama good faith pada awal saat masuk yaitu 85:15 untuk minyak 70:30 untuk gas kemudian masuk naildown atas kontrak dan perhitungan gross up setelah ada kesepakatan naildown dan terakhir adalah sanctity of contract untuk menjamin investasinya kembali dengan baik; d)
bahwa beberapa pengalaman di Negara-negara lain terkait sistem PSC dari segi capital expenditure-nya atau operatingnya sering terjadi perubahan atau fluctuate agar terjadi jaminan pengembalian bagi investor tetap maka Pemerintah mengeluarkan beberapa insentif yang gunanya agar posisi afternya itu sama dengan 15%. Hal ini adalah upaya-upaya dari sifat kepublikannya dalam suatu sistem yang notabenenya banyak ditiru oleh beberapa Negara karena ada sifat khususnya yaitu seolah-olah dimiliki oleh Negara dan dari segi B to B nya seperti yang dapat dilihat adalah mineral right yang dimiliki dan dikuasai oleh Negara bentuknya adalah entitlement dari minyak dan gasnya tersebut. Sehingga walaupun minyak dan gas tersebut sudah dibawa mendekati tempat/ Negara pembeli yang dituju karena suatu keadaan geopolitik maka kapal tersebut dapat dibelokkan ke Negara lain atau Negara sumbernya, sedangkan petroleum operation adalah dari segi B to B nya. Selain ada mineral right dalam bentuk entitlement juga ada insentif untuk menjamin bagian 15% dari kontraktor terjaga.Biasanya beberapa Negara yang saling berkompetisi dalam mengundang investor terkait kekurangan teknologi dan financial namun sekarang investor tidak semudah itu karena ada perhitungan return of invesment-nya atau B to B nya;
2) Pada intinya Ahli mengulangi bahwa KBHP harus dilihat dengan good faith, nail down, gross up dan sanctity of contract dengan seluruh sistem mineral yang dikuasai oleh Negara; 15) bahwa mengutip pendapat ahli yang dihadirkan Pemohon Banding dalam sidang untuk sengketa tahun pajak 2008 tanggal 21 Januari 2014 pada sidang Majelis XVIA Pengadilan Pajak yaitu Ibu Mariam Darus sebagai Ahli Hukum Perdata, dikemukakan dalam persidangan bahwa pada saat Terbanding (Bapak Max Darmawan) menanyakan pendapat ahli tentang hubungan antara ketentuan Kewajiban Perpajakan Kontraktor dengan ketentuan Bagi Hasil Produksi dalam KBHP, intinya Ahli menjawab adalah semua janji dalam perjanjian harus diartikan dalam hubungannya satu sama lainnya. Tiap janji harus ditafsirkan perjanjian seluruhnya. Masing-masing komponen harus mempunyai hubungan yang harmonis sesuai Pasal 1348 KUH Perdata; 16) bahwa mengutip pendapat ahli (M. Rofi Uddin) yang Terbanding hadirkan pada sidang Majelis VIII Pengadilan Pajak yang mengemukakan: 1) bahwa Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) menegaskan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Demikian pula bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesarbesarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Mengingat Minyak dan Gas Bumi
merupakan sumber daya alam strategis tak terbarukan yang dikuasai negara dan merupakan komoditas vital yang memegang peranan penting dalam penyediaan bahan baku industri, pemenuhan kebutuhan energi di dalam negeri, dan penghasil devisa negara yang penting, maka pengelolaannya perlu dilakukan seoptimal mungkin agar dapat dimanfaatkan bagi sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat; 2) bahwa sistem Kontrak Bagi Hasil yang pada awalnya merupakan sistem sederhana yang mengadopsi dari kebiasaan masyarakat lndonesia dalam mengelola lahan pertanian dengan sistem "paron" dimana pemilik lahan pertanian mempekerjakan orang lain dengan imbalan bagi hasil, maka untuk dibidang migas Negara sebagai pemilik sumber daya alam migas "mempekerjakan kontraktor" untuk mengelola wilayah kerja migas dengan sistem membagi hasil produksi (in kind) setelah dikurangi biaya operasi. Penetapan bagi hasilnya dilakukan sebelum kontrak ditandatangani yaitu pada saat dilakukan perundingan atau sebelum dilakukan tender yang dilakukan baik oleh DDD pada saat lalu atau Pemerintah saat kini; 3) bahwa untuk memahami PSC tentunya tidak hanya memahami kontraknya saja, namun harus dengan melihat suasana kebatinan dan spirit yang hidup pada saat disetujui para pihak dan senantiasa mengiringi pelaksanaan/berlakunya PSC dimana para pihaknya memegang teguh sanctity of contract serta good faith yang senantiasa dijunjung tinggi untuk mencapai tujuan mendapatkan hasil yang sebesar-besarnya bagi para pihak. Pencapaian hasil tersebut menjadi suatu yang sangat penting karena harus dilaksanakan secara berimbang diantara para pihak dengan tetap menjaga perimbangan diantara kepentingan Negara yang diwakili melalui pihak yang ditunjuk mewakili Negara (Petamina atau BPMIGAS) dalam PSC dengan pihak kontraktor. Perimbangan yang dijaga tentunya dengan tetap melihat apa yang menjadi kesepakatan tertulis didalam PSC dan diluar PSC yang mendasari terms and conditions-nya (dokumen-dokumen pada saat/setelah perundingan, dan persyaratan tender atau kebijakan Pemerintah yang dikeluarkan terkait dengan pelaksanaan PSC); 4) bahwa mengenai mulai diterapkannya besaran pembagian hasil PSC setelah pajak antara Pemerintah: Kontraktor untuk minyak 85% : 15% dan gas 70% : 30% baru dimulai pada saat PSC generasi tahun 1976 ke atas; bahwa untuk keperluan para kontraktor yang berasal dari Amerika agar dapat mengkreditkan pembayaran pajak yang telah dilakukan di lndonesia DDD melakukan perubahan PSC Terms yang melahirkan PSC Terms generasi kedua guna mengakomodasi perubahan perlakuan yang dikeluarkan Jawatan Pajak Amerika Serikat (Internal Revenue Service / IRS). Prinsipnya harus ada pembayaran pajak yang dilakukan sendiri oleh Kontraktor, untuk itu akan melahirkan angka besaran bagi hasil baik yang setelah pajak maupun sebelum pajak. Untuk keperluan perundingan dan pembuatan kebijakan, angka yang dipakai sebagai tolok ukur adalah besaran penerimaan Pemerintah/DDD setelah pajak, sedangkan yang akan tercantum dalam klausul PSC adalah angka besaran bagi hasil sebelum pajak. Untuk menghasilkan angka besaran sebelum pajak adalah dengan melakukan “gross up” terhadap besaran setelah pajak yaitu dengan cara Before tax = After tax / (1 – total tax); 18) bahwa pada PSC generasi pertama, bagian DDD telah mengandung pajak yang dibayarkan oleh kontraktor. Pada kontrak berikutnya, harus dilakukan gross up karena kontraktor ada kewajiban untuk membayar pajak sendiri. Adapun pencantuman angka before tax pada kontrak, sesuai juga dengan persyaratan yang diminta oleh IRS. Karena menurut IRS, kontrak lama mengakibatkan kontraktor harus membayar pajak dua kali yaitu di negara sumber dan di negara domisili. Adapun angka gross up tergantung dari berapa besar pajak yang berlaku pada saat kontrak ditandatangani. Jadi ditegaskan cara menghitungnya adalah dari bawah, dalam arti, after tax yang ditentukan lebih dahulu kemudian dicari angka before tax-nya. Angka pembagian sebesar 85 : 15 berlanjut sampai dengan sekarang yaitu apabila produksi normal, kemudian ada angka variannya seperti 80 : 20 , 90 : 10. Varian itu sendiri berkembang ketika kontraktor mulai mengembangkan diluar lapangan konvensional dan berada di kawasan Indonesia Timur. Varian tersebut juga tertuang dalam paket insentif yang dikeluarkan oleh pemerintah tahun 1989. Angka setelah pajak tidak pernah muncul dalam PSC karena kontraktor ada kewajiban membayar pajak sehingga yang tercantum adalah angka before tax-nya atau angka gross up. Sementara angka yang muncul dalam kebijakan pemerintah serta menjadi pegangan pelaksanaan PSCnya, seperti yang tercantum dalam paket insentif selalu merujuk pada angka setelah pajak.Pelaksanaan kontrak seharusnya tidak serta merta hanya menggunakan angka yang tertera dalam kontrak, tapi dokumen-dokumen pada waktu kontrak dibuat serta paket-paket insentif yang merupakan kebijakan pemerintah harus menjadi pegangan dan menjadi bagian pelaksanaan kontrak. Jadi kontrak jangan dilihat secara sepotong-potong. PSC sendiri merupakan kontrak yang unik karena merupakan kontrak untuk pengambilan kekayaan alam, dan terdapat jiwa untuk melindungi kepentingan negara dan melindungi kontraktor sampai dengan kontrak berakhir;
19) bahwa dalam persidangan pada tanggal 14 April 2014 ahli yang dihadirkan pihak Pemohon Banding dalam sidang Majelis Hakim XVI A yaitu Profesor Dr. Yusril Ihza Mahendra sepakat bahwa memang terdapat konsep bagi hasil bersih 85:15 yang didasarkan pada pemikiran bahwa negara sebagai pemilik sumber daya alam harus mendapatkan hasil yang lebih besar; 20) bahwa dengan demikian, meskipun di dalam KBHP hanya tertera bagi hasil bruto, berdasarkan penjelasan di atas telah dapat dibuktikan tarif BPT/ PBDR dapat diketahui dengan jelas;
f.
bahwa para Pihak Tidak Dapat Menggunakan Tarif BPT Menyimpang Dari Kesepakatan KBHP Secara Sepihak 1)
bahwa pada uraian diatas telah dijelaskan bahwa tarif PPh Badan dan Branch Profit Tax dalam KBHP adalah 35% dan 20%;
2)
bahwa tarif PPh Badan 35% dan BPT 20% merupakan kesepakatan para pihak yang menandatangani KBHP dengan berlandaskan asas itikad baik dan saling menghormati;
3)
bahwa pada section XVI effectiveness pasal 1.3 dinyatakan bahwa this contract shall not be annulled, amanded or modified in any respect expect by the mutual consent in writing of the parties;
4)
bahwa pengambilalihan interest oleh Pemohon Banding dari salah satu pihak dari para pihak yang menandatangani KBHP tidak akan mengubah kesepakatan-kesepakatan dalam KBHP tanpa adanya kesepakatan antara Pemohon Banding dengan para pihak lainnya yang dituangkan dalam kesepakatan tertulis bersama;
5)
bahwa kenyataannya sampai dengan sidang terakhir sebelum closing statement ini disampaikan, Pemohon Banding tidak pernah menunjukan adanya kesepakatan tertulis bersama antara para pihak per tanggal Pemohon Banding menerapkan tarif BPT lebih rendah dari 20% tentang diubahnya tarif BPT 20% yang disepakati pada saat penandatanganan KBHP menjadi tarif tertentu lainnya;
6)
bahwa stabilization clause yang terdapat pada PSC baru akhir-akhir ini Section XV point 15.5 yang menyebutkan bahwa “EEE dan Kontraktor sepakat bahwa semua persentase yang dinyatakan dalam ayat 6.2.3 Bab VI kontrak ini bahwa Kontraktor tunduk kepada pajak final atas penghasilan setelah dikurangi pengurang pajak sesuai Pasal 26 (4) UU PPh Indonesia dan tidak dilindungi oleh P3B dimana Pemerintah RI telah menjadi pihak. Dalam hal Kontraktor ingin menerapkan P3B, maka bagian EEE dan Kontraktor yang terkena dampak wajib disesuaikan agar menjaga penerimaan setelah pajak yang sama (Net after tax basis) bagi Minyak dan Gas Bumi”. Hal ini menguatkan argumen Terbanding bahwa penggunaan treaty harus disepakati terlebih dahulu oleh para pihak;
7)
bahwa dengan demikian, terbukti bahwa Pemohon Banding tidak berhak menerapkan tarif BPT lebih rendah dari 20% secara sepihak, tanpa persetujuan para pihak lainnya;
8)
bahwa penggunaan tarif BPT lebih rendah dari 20% secara sepihak oleh Pemohon Banding akan mengakibatkan penerimaan negara menjadi lebih rendah dari yang seharusnya atau dapat dikatakan negara mengalami kerugian dengan perhitungan sebagai berikut: Jika bagi hasil neto minyak adalah 85:15, tarif BPT yang diterapkan adalah 10%, maka bagi hasil neto Pemerintah akan berkurang sebesar 1,875% dari 85% menjadi 83,125%.
Persentasi Bagi Hasil
1 a. Bagian Pemerintah Gross b. Bagian Kontraktor Gross Ditambah : Total Pajak Penghasilan c. Perolehan dari Pajak Bagian Pemerintah Net ( Gross (a) + Pajak (c) ) Bagian Kontraktor Net ( Gross (b) -Pajak (c) )
9)
Menurut Kontrak Bagi Hasil (Tarif BPT:20%) 2 71.1538%
Menurut Kontraktor KKS (Tarif BPT:10%)
Selisih
3 71.1538%
4
Keuntungan Kontraktor KKS (Kerugian Negara) Akibat Penerapan tarif P3B oleh Kontraktor KKS 3-2
28.8462%
28.8462%
48% x28.8462 = 13.8462%
41.5%x 28.8462% =11.9711%
1,8750%
Selisih dari inkonsistensi tarif BPT
85,0000%
83,1250%
(1,8750%)
Kerugian Negara
15,0000%
16,8750%
1,8750%
Keuntungan Kontraktor KKS
bahwa dengan demikian, pengenaan tarif BPT sebesar 20% oleh Terbanding telah sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Section V PSC yang dapat dibuktikan bahwa hanya dengan menggunakan PPh Badan 35% dan BPT 20% maka perhitungan pembagian hasil produksi bruto (gross split) yang diatur dalam point 6.1.3 dan point 6.2.2 Section VI
Handling of Production dapat dengan benar dan tepat diperoleh untuk menghasilkan nilai Net Split dengan proporsi tertentu sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Justru Pemohon Banding-lah yang melanggar ketentuan yang telah disepakati oleh para pihak saat PSC ditanda-tangani dan secara sepihak menggunakan tarif BPT 10% tanpa melakukan usulan perubahan atau amandemen kontrak terlebih dahulu sebagaimana dinyatakan dalam point 16.1.3 Pasal 16 Masa Berlaku yang menyebutkan bahwa Kontrak ini tidak akan dibatalkan, diubah atau dimodifikasi dalam segala hal, terkecuali dengan persetujuan bersama yang tertulis dari para Pihak; 10) bahwa Ahli yang dihadirkan di Majelis VIII pada persidangan tanggal 14 April 2014 yaitu Profesor dr. Cornelis Van Raad tidak dapat mendeskripsikan kerugian yang akan ditanggung Belanda jika residennya memilih untuk tidak memanfaatkan tarif yang terdapat pada treaty melainkan memilih untuk menggunakan tarif BPT 20%; 11) bahwa Terbanding berpendapat bahwa kerelaan kontraktor menggunakan tarif 20% yang dituangkan dalam penandatangan PSC (dalam hal ini melalui pengambilalihan interest pihak terdahulu yang menandatangani PSC) merupakan perwujudan sikap memilih untuk tidak memanfaatkan fasilitas yang ditawarkan negaranya, agar dapat turut serta mengolah Sumber Daya Alam Indonesia; 12) bahwa dalam Financial Quarterly Report (FQR), yang merupakan dokumen yang dilaporkan secara rutin oleh BP West Java sebagai operator untuk Blok Offshore North West Java kepada EEE, terdapat informasi mengenai besarnya tarif efektif pajak yang harus dibayarkan oleh Kontraktor kepada Pemerintah RI (Effective Tax Rate = Government Tax Entitlement / Contractor Taxable Share), sebagai berikut (lampiran 14):
13) bahwa mengacu pada fakta tersebut di atas, Terbanding berpendapat bahwa pada prinsipnya Pemohon Banding telah mengetahui secara pasti berapa besarnya tarif pajak efektif yang diberlakukan dalam PSC yang menjadi kewajibannya, yang dari awal telah disepakati para pihak, sehingga alasan Pemohon Banding yang tidak mengetahui besaran tarif pajak dalam PSC tidak relevan dalam kasus ini; bahwa Terbanding dalam Penjelasan Akhir Nomor: S-1573/PJ.07/2015 tanggal 10 Maret 2015 melampirkan fotocopy dokumen berupa: -
Kontrak kerja sama atau Production Sharing Contract; Laporan hasil Audit Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) atas Kontrak Bagi Hasil pada BP Indonesia West Java Tahun Buku 2002; Laporan Hasil Pemeriksaan Atas Sistem Pengendalian Intern Kementrian Keuangan Tahun 2011 oleh Badan Pemeriksa Keuangan Nomor: 15b/LHP/XV/05/2012 tanggal 21 Mei 2012; Paket Intensif yang dikeluarkan oleh Menteri Pertambangan dan Energi Nomor: 3985A/39/M.DJM/88 tanggal 23 September 1988; Paket Intensif yang dikeluarkan oleh Menteri Pertambangan dan Energi Nomor: 0857/39/M.DJM/89 tanggal 7 Maret 1989;
Surat Menteri Keuangan Republik Indonesia kepada Menteri Pertambangan dan Energi Nomor: S-858/MK.012/1984 tanggal 18 Agustus 1984; - Surat Menteri Pertambangan dan Energi Republik Indonesia kepada Presiden Republik Indonesia Nomor 1578/M.197/1978 tanggal 5 Juni 1978; - Surat Menteri Keuangan Republik Indonesia kepada Menteri Pertambangan dan Energi Nomor: S394/MK.012/1984 tanggal 30 Maret 1984; - Surat Menteri Keuangan Republik Indonesia kepada Direktur Utama DDD Nomor S-19/MK.012/1984 tanggal 10 Januari 1984; - Surat dari DDD kepada Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 779/C0000/82 tanggal 3 Juni 1982; - Surat dari DDD kepada Dewan Komisaris Pemerintah DDD Nomor: 1026/C0000/82 tanggal 27 Juli 1982; - Pendapat Ahli M Rofi Uddin (Affidavit); - Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 2876K/23/MEM/2006 tanggal 11 Desember 2006; - Financial Quarterly Report (FQR) Tahun 2002; bahwa Majelis memberikan pendapat untuk masing-masing sengketa sebagai berikut: 1. Sengketa bahwa Pemohon Banding bukan subjek dari Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) Pajak Penghasilan Pasal 23/26 Final Masa Pajak Januari s.d Desember 2002 Nomor: 00002/245/02/081/12 tanggal 29 November 2012; bahwa Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 menyatakan: -
Yang menjadi Subjek Pajak adalah : a. 1) orang pribadi; 2) warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak; b. badan; c. bentuk usaha tetap; bahwa Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 menyatakan: Yang dimaksud dengan Subjek Pajak Luar Negeri adalah : a. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia; b. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia; bahwa Pasal 2A ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 menyatakan: Kewajiban pajak subyektif orang pribadi atau badan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (4) huruf a dimulai pada saat orang pribadi atau badan tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) dan berakhir pada saat tidak lagi menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap; bahwa Majelis berpendapat bahwa pendapat Pemohon Banding yang menyatakan Pemohon Banding bukan subjek dari Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) Pajak Penghasilan Pasal 23/26 Final Masa Pajak Januari s.d Desember 2002 Nomor: 00002/245/02/081/12 tanggal 29 November 2012 adalah sesuai dengan Pasal 2A ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000; bahwa Pemohon Banding adalah merupakan pihak yang mendapatkan hak atas interest sebesar 2,45% di wilayah kerja Offshore North West Java melalui peralihan interest dari pemegang hak sebelumnya; bahwa kewajiban pajak Pemohon Banding timbul berdasarkan Assignment Agreement tanggal 28 April 2004 antara BP WEST JAVA, CNOOC ONWJ, IPEX JAWA, MC OIL&GAS JAVA, ITOCHU OIL EXP, PALADIN RESOURCES (SUNDA) dan BBB bersama dengan EEE, diketahui bahwa terjadi pengalihan interest dari Paladin Resources Sunda (disebut Sunda) kepada Paladin Resources NWJ (disebut NW Java) yang di dalamnya dinyatakan: Sunda hereby assigns, transfers and conveys to NW Java effevtive from the date hereof, the interest, and NW Java hereby accepts assignment of the interest and covenants and agrees with Sunda and the Continuing Parties that NW Java shall assume, be bound by, observe and perform the covenants, duties and obligations contained in the PSC insofar as the same relate to the interest as if NW Java had been an original signatory to PSC in respect of the interest; bahwa Pemohon Banding berpendapat Kontrak Bagi Hasil adalah suatu kontrak perdata yang didalamnya hanya mengatur hubungan perdata antara para pihak, dan tidak memuat kewajiban perpajakan yang memaksa sebagaimana Undang-undang perpajakan;
bahwa Pasal 33A ayat (4) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 menyatakan: Wajib Pajak yang menjalankan usaha di bidang pertambangan minyak dan gas bumi, pertambangan umum, dan pertambangan lainnya berdasarkan Kontrak Bagi Hasil, Kontrak Karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan yang masih berlaku pada saat berlakunya Undang-undang ini, pajaknya dihitung berdasarkan ketentuan dalam Kontrak Bagi Hasil, Kontrak Karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan tersebut sampai dengan berakhirnya kontrak atau perjanjian kerjasama dimaksud; bahwa Penjelasan Pasal 33A ayat (4) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 menyatakan: Ketentuan pajak dalam kontrak bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian kerja sama pengusahaan pertambangan yang masih berlaku pada saat berlakunya Undang-undang ini, dinyatakan tetap berlaku sampai dengan berakhirnya kontrak bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian kerja sama pengusahaan pertambangan tersebut. Walaupun Undang-undang ini sudah mulai berlaku, namun kewajiban pajak bagi Wajib Pajak yang terikat dengan kontrak bagi hasil, kontrak karya atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan tetap dihitung berdasar kontrak atau perjanjian dimaksud; bahwa dengan demikian, ketentuan Undang-undang ini baru diberlakukan untuk pengenaan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak di bidang pengusahaan pertambangan minyak dan gas bumi dan pengusahaan pertambangan umum lainnya yang dilakukan dalam bentuk kontrak karya, kontrak bagi hasil, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan, yang ditanda tangani setelah berlakunya Undang-undang ini; bahwa Majelis berpendapat sesuai Pasal 33A ayat (4) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000, kontrak bagi hasil adalah suatu kontrak perdata yang didalamnya tidak hanya mengatur hubungan perdata antara para pihak tetapi juga memuat kewajiban perpajakan; bahwa sesuai Assignment Agreement tanggal 28 April 2004 antara BP WEST JAVA, CNOOC ONWJ, IPEX JAWA, MC OIL&GAS JAVA, ITOCHU OIL EXP, PALADIN RESOURCES (SUNDA) dan BBB bersama dengan EEE, diketahui bahwa terjadi pengalihan interest dari Paladin Resources Sunda (disebut Sunda) kepada Paladin Resources NWJ (disebut NW Java) bahwa berdasarkan penelitian Majelis diketahui bahwa Paladin Resources Plc telah dimiliki oleh XXX pada tahun 2005 sehingga XXX. menjadi Pemohon Banding sehingga Majelis berpendapat dengan pengalihan ini telah terjadi pengalihan kewajiban dari Paladin Resources Plc kepada Pemohon Banding dengan Pemohon Banding seolah-olah adalah penandatangan pertama dari kontrak Bagi Hasil; bahwa dengan demikian, Majelis berpendapat meskipun Pemohon Banding melakukan pengambilalihan XXX pada tahun 2005, Pemohon Banding memiliki kewajiban subyektif terhadap Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) Pajak Penghasilan Pasal 23/26 Final Masa Pajak Januari s.d Desember 2002 Nomor: 00002/245/02/081/12 tanggal 29 November 2012; 2. Sengketa bahwa prosedur penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) Pajak Penghasilan Pasal 23/26 Final Masa Pajak Januari s.d Desember 2002 Nomor: 00002/245/02/081/12 tanggal 29 November 2012 tidak sesuai dengan ketentuan karena berdasarkan hasil verifikasi bukan berdasarkan pemeriksaan; bahwa Pasal 13 ayat (1) Undang-undang Nomor 6 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 menyatakan: Dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar; bahwa Pasal 1 angka 4 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan menyatakan: Verifikasi adalah serangkaian kegiatan pengujian pemenuhan kewajiban subjektif dan objektif atau penghitungan dan pembayaran pajak, berdasarkan permohonan Wajib Pajak atau berdasarkan data dan informasi perpajakan yang dimiliki atau diperoleh Direktur Jenderal Pajak, dalam rangka menerbitkan surat ketetapan pajak, menerbitkan/menghapus Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau mengukuhkan/mencabut pengukuhan Pengusaha Kena Pajak; bahwa Majelis berpendapat verifikasi adalah prosedur penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar apabila berdasarkan keterangan lain pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar; bahwa berdasarkan penelitian Majelis, penerbitan SKPKB aquo dilakukan berdasarkan verifikasi terhadap data dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan berupa Laporan Hasil Audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan nomor LHA-21/PW 30/4/2005 tanggal 5 Januari 2005; bahwa dengan demikian, Majelis berpendapat bahwa penerbitan SKPKB aquo berdasarkan hasil verifikasi
telah sesuai ketentuan; 3. Sengketa bahwa materi dalam SKPKB tidak memiliki dasar hukum karena kontrak bagi hasil tidak memuat ketentuan perpajakan sehingga tidak dapat kekurangan bayar atas bagi hasil 71,1538% : 28,85% Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 menyatakan: Yang menjadi Objek Pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun; Pasal 26 ayat (4) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 menyatakan: Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu bentuk usaha tetap di Indonesia dikenakan pajak sebesar 20% (dua puluh persen), kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri Keuangan; bahwa sebagaimana pendapat Majelis di atas bahwa sesuai Assignment Agreement tanggal 28 April 2004 antara BP WEST JAVA, CNOOC ONWJ, IPEX JAWA, MC OIL&GAS JAVA, ITOCHU OIL EXP, PALADIN RESOURCES (SUNDA) dan BBB bersama dengan EEE, diketahui bahwa terjadi pengalihan interest dari Paladin Resources Sunda (disebut Sunda) kepada Paladin Resources NWJ (disebut NW Java) telah terjadi pengalihan kewajiban kepada Pemohon Banding dengan Pemohon Banding seolah-olah adalah penandatangan pertama dari kontrak Bagi Hasil; bahwa berdasarkan PSC tanggal 23 April 1990 (PSC 1990) diketahui bahwa kontrak ditandatangani antara Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (DDD) dengan GGG (ARII); HHH; III; JJJ; KKK; LLL; MMM; bahwa kontrak bagi hasil yang ditandatangani tahun 1990 adalah kontrak bagi hasil generasi ke tiga dengan prinsip bagi hasil adalah 85:15 (85% bagian pemerintah, 15% bagian kontraktor); bahwa prinsip pembagian hasil dengan perbandingan 85:15 adalah penerimaan bersih yang diterima oleh masing-masing pihak; bahwa penerimaan bersih dengan perbandingan 85:15 adalah berdasarkan setelah pajak (after tax basis) sehingga perlu dilakukan penyesuaian terhadap perbandingan pembagian hasil sebelum pajak dengan memperhitungkan pajak yang harus ditanggung kontraktor; bahwa tarif pajak yang berlaku pada saat kontrak ditandatangani di tahun 1990 terdiri dari tarif PPh Badan 35% dan tarif Pajak Bentuk Usaha Tetap 20%; bahwa dengan demikian, perhitungan bagian bagi pemerintah dan kontraktor sebelum pajak adalah sebagai berikut: Tarif Pajak PPs/PPh Badan 35% PBDR / PPh Pasal 26 (4) (20% X (100%-PPh) 13% Total Pajak Penghasilan 48% bahwa perhitungan penghasilan bersih setelah pajak (after tax basis) dengan asumsi bahwa pemerintah dan kontraktor adalah satu kesatuan adalah sebagai berikut: Penerimaan hasil produksi (Gross Income) Biaya produksi (Cost Recovery) Penghasilan bersih (Net Income) (GI – CR) Total Pajak Penghasilan (Total Taxes) (48%) Penghasilan setelahpajak (Income After Taxes)
GI CR “Y” NI “0,48Y” NI “0,52Y” NI
bahwa bahwa penerimaan bersih dengan perbandingan 85:15 adalah berdasarkan setelah pajak (after tax basis) dalam arti jika kontraktor adalah entitas yang berdiri sendiri, penghasilan setelah pajak (Income After Taxes) yang diperoleh kontraktor sebesar 0,56 Y NI adalah sama dengan 15%; bahwa perhitungan penghasilan bersih setelah pajak (after tax basis) bagi kontraktor dengan kontraktor sebagai entitas yang berdiri sendiri adalah sebagai berikut: Bagian kontraktor dari Penghasilan sebelum pajak (Income BeforeTaxes) 0,15 X 100/52 Y Dikurang: Pajak yang harus dibayar (0,48 X 0,289 Y) Bagian kontraktor dari Penghasilan setelah pajak (Income After Taxes)
0,289 Y 0,139 Y 0,15 Y
bahwa berdasarkan penghitungan di atas diketahui penghasilan bersih setelah pajak (after tax basis) bagi
kontraktor adalah sebesar 0,15 Y adalah sama dengan proporsi yang diterima oleh kontraktor berdasarkan prinsip bagi hasil dengan penghasilan sebelum pajak (Income BeforeTaxes) adalah sebesar 0,289 Y; bahwa perhitungan penghasilan bersih setelah pajak (after tax basis) bagi pemerintah adalah sebagai berikut: Bagian Pemerintah dari Penghasilan sebelum pajak (Income BeforeTaxes) (Y – 0,289Y) Ditambah: Pajak yang diterima dari kontraktor (0,48 X 0,289 Y) Bagian Pemerintah dari Penghasilan termasuk pajak
0,711 Y 0,289 Y 0,85 Y
bahwa berdasarkan penghitungan di atas diketahui penghasilan bersih setelah pajak (after tax basis) bagi pemerintah adalah sebesar 0,85 Y adalah sama dengan proporsi yang diterima oleh kontraktor berdasarkan prinsip bagi hasil dengan penghasilan sebelum pajak (Income BeforeTaxes) adalah sebesar 0,711 Y; bahwa Majelis berpendapat karena Pemohon Banding adalah pewaris penandatangan pertama dari kontrak Bagi Hasil sedangkan dalam kontrak bagi hasil tanggal 23 April 1990 telah terdapat pembagian hasil sebagaimana perhitungan di atas, Pemohon Banding menerima pembagian hasil sebelum pajak dengan perbandingan 71,1% bagian pemerintah dan 28,9% bagian kontraktor; bahwa berdasarkan penelitian Majelis, perhitungan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) Pajak Penghasilan Pasal 23/26 Final Masa Pajak Januari s.d Desember 2002 Nomor: 00002/245/02/081/12 tanggal 29 November 2012 adalah berdasarkan perhitungan pembagian hasil sebelum pajak dengan perbandingan 71,1538% bagian pemerintah dan 28,8462% bagian kontraktor; bahwa dengan demikian Majelis berpendapat bahwa pendapat Pemohon Banding yang menyatakan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) Pajak Penghasilan Pasal 23/26 Final Masa Pajak Januari s.d Desember 2002 Nomor: 00002/245/02/081/12 tanggal 29 November 2012 tidak memiliki dasar hukum karena kontrak bagi hasil tidak memuat ketentuan perpajakan sehingga tidak dapat kekurangan bayar atas bagi hasil 71,1538% : 28,85% tidak memiliki dasar hukum yang kuat sehingga penghitungan yang terdapat dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) Pajak Penghasilan Pasal 23/26 Final Masa Pajak Januari s.d Desember 2002 tetap dipertahankan; Menimbang
: bahwa dalam sengketa banding ini tidak terdapat sengketa mengenai Kompensasi Kerugian;
Menimbang
: bahwa dalam sengketa banding ini terdapat sengketa mengenai tarif pajak;
Menurut Terbanding : bahwa pengenaan tarif berdasarkan tarif 20 persen sesuai prinsip “nail down”; Menurut Pemohon
: bahwa pengenaan tarif berdasarkan tarif “tax treaty” sebesar 10 persen;
Menurut Majelis
: bahwa Pasal 33A ayat (4) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 menyatakan: Wajib Pajak yang menjalankan usaha di bidang pertambangan minyak dan gas bumi, pertambangan umum, dan pertambangan lainnya berdasarkan Kontrak Bagi Hasil, Kontrak Karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan yang masih berlaku pada saat berlakunya Undang-undang ini, pajaknya dihitung berdasarkan ketentuan dalam Kontrak Bagi Hasil, Kontrak Karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan tersebut sampai dengan berakhirnya kontrak atau perjanjian kerjasama dimaksud; bahwa Penjelasan Pasal 33A ayat (4) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 menyatakan: Ketentuan pajak dalam kontrak bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian kerja sama pengusahaan pertambangan yang masih berlaku pada saat berlakunya Undangundang ini, dinyatakan tetap berlaku sampai dengan berakhirnya kontrak bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian kerja sama pengusahaan pertambangan tersebut. Walaupun Undang-undang ini sudah mulai berlaku, namun kewajiban pajak bagi Wajib Pajak yang terikat dengan kontrak bagi hasil, kontrak karya atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan tetap dihitung berdasar kontrak atau perjanjian dimaksud; bahwa Majelis berpendapat bahwa kontrak bagi hasil yang ditandatangani tahun 1990 adalah kontrak bagi hasil generasi ke tiga dengan prinsip bagi hasil adalah 85:15 (85% bagian pemerintah, 15% bagian kontraktor); bahwa berdasarkan penelitian Majelis terhadap kontrak bagi hasil yang ditandatangani tahun 1990 diketahui pada bagian 1.3. bahwa bagi hasil adalah
sebesar 71,1538 persen untuk pemerintah dan 28,8462% untuk kontraktor; bahwa dengan menggunakan prinsip bagi hasil 85:15, berdasarkan perhitungan dalam pembahasan sengketa mengenai Dasar Pengenaan Pajak diketahui perhitungan pembagian hasil sebelum pajak dengan perbandingan 71,1538% bagian pemerintah dan 28,8462% bagian kontraktor; bahwa perhitungan tersebut dilakukan dengan tarif sebesar 20% sehingga Majelis berpendapat penerapan tarif oleh Terbanding telah sesuai dengan kontrak bagi hasil yang ditandatangani tahun 1990, sehingga tarif tax treaty memang tidak berlaku; Menimbang
: bahwa dalam sengketa banding ini tidak terdapat sengketa mengenai Kredit Pajak;
Menimbang
: bahwa dalam sengketa banding ini tidak terdapat sengketa mengenai Sanksi Administrasi kecuali bahwa besarnya sanksi administrasi tergantung pada penyelesaian sengketa lainnya;
Menimbang
: bahwa atas hasil pemeriksaan dalam persidangan, Majelis berketetapan untuk menggunakan kuasa Pasal 80 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, untuk menolak permohonan banding Pemohon Banding;
Mengingat
: Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak dan ketentuan perundang-undangan lainnya serta peraturan hukum yang berlaku dan yang berkaitan dengan sengketa ini;
Memutuskan
: Menolak banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Terbanding Nomor : KEP401/WPJ.07/2014 tanggal 26 Februari 2014 tentang keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Penghasilan Pasal 23/26 Final Masa Pajak Januari s.d Desember 2002 Nomor: 00002/245/02/081/12 tanggal 29 November 2012. Demikian diputus di Jakarta pada hari Senin, tanggal 16 Maret 2015, berdasarkan musyawarah Majelis XV Pengadilan Pajak, berdasarkan Penetapan Ketua Pengadilan Pajak Nomor : Pen.1085/PP/PM/X/2014 tanggal 20 Oktober 2014, dengan susunan Majelis dan Panitera Pengganti sebagai berikut : Drs. Didi Hardiman, Ak. Drs. Tonggo Aritonang, Ak. M.Sc. Djangkung Sudjarwadi, SH., LL.M Andre Irwanda
sebagai Hakim Ketua, sebagai Hakim Anggota, sebagai Hakim Anggota, sebagai Panitera Pengganti,
Putusan Nomor Put-62914/PP/M.XVA/13/2015 diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari Jum’at tanggal 31 Juli 2015 oleh Hakim Ketua berdasarkan Penetapan Ketua Pengadilan Pajak Nomor : Pen.093A/PP/PM/VII/Ucp/2015 tanggal 31 Juli 2015, dengan susunan Majelis dan Panitera Pengganti sebagai berikut : Drs. Didi Hardiman, Ak. Drs. Tonggo Aritonang, Ak. M.Sc. DR. Triyono Martanto, Ak, M.M, M. Hum Andre Irwanda
sebagai Hakim Ketua, sebagai Hakim Anggota, sebagai Hakim Anggota, sebagai Panitera Pengganti,
dengan dihadiri oleh para Hakim Anggota, Panitera Pengganti, tidak dihadiri oleh Terbanding maupun Pemohon Banding.