51
BAB V TINJAUAN MENGENAI DATA AIRBORNE LIDAR
5.1
Data Airborne LIDAR
Data yang dihasilkan dari suatu survey airborne LIDAR dapat dibagi menjadi tiga karena terdapat tiga instrumen yang bekerja secara bersama-sama dalam sistem. 1. GPS yang menghasilkan data koordinat titik saat survey dilakukan (X,Y,Z) 2. INS, yang menghasilkan data tentang pergerakan rotasi wahana terbang terhadap sumbu-sumbu x, y, dan z sistem referensi terbang (pitch, roll, dan heading) 3. Laser Scanner, yang menghasilkan data jarak dari titik pengukuran (wahana terbang) ke permukaan tanah dan objek-objek lainnya
5.1.1
Data GPS
Pengamatan posisi yang dilakukan GPS adalah dengan metoda differensial kinematik menggunakan data fase. Data yang dihasilkan oleh GPS adalah berupa nilai-nilai koordinat titik ketika wahana udara melakukan scanning terhadap permukaan tanah.
5.1.2
Data INS
Di dalam instrumen INS terdapat Inertial Measurement Unit (IMU) yang dapat mendeteksi pergeseran rotasi wahana terbang (pitch, roll, dan heading) terhadap sumbusumbu sistem referensi terbang. Selain itu IMU mampu mendeteksi perubahan percepatan pada wahana udara. Data yang diperoleh dari INS adalah:
52 1. Besar sudut gerak rotasi sumbu-sumbu koordinat wahana udara terhadap sumbusumbu koordinat sistem referensi terbang. 2. Perubahan percepatan yang dialami oleh wahana udara.
5.1.3
Data Laser Scanner
Kepadatan dari suatu data LIDAR merupakan parameter penting dalam pengukuran airborne LIDAR. Kepadatan sebuah data sangat bergantung dari aplikasi data yang diinginkan dan dipengaruhi oleh: 1. Ketinggian pesawat 2. Kecepatan pesawat 3. Frekuensi scan 4. Pola scanning 5. Kekuatan pulsa 6. Geometri tanah dan reflektifitas dari objek yang dipantulkan
Jika ketinggian pesawat H, sudut scan, maka lebar swath S dapat dihitung dengan persamaan (Jumadi, 2008): S = 2 H tan
θ 2
(5.1)
53
Garis scan
Lebar swath
ji
ji
Gambar 5.1 Kepadatan data LIDAR
Jika banyaknya titik yang dihasilkan dalam satu kali scan adalah N, banyaknya garis yang diperoleh dalam waktu satu detik adalah K, lebar swath adalah S, dan kecepatan pesawat adalah V, maka dapat ditentukan: 1. Kepadatan data ( titik per panjang unit) dapat ditulis dengan rumus:
ds =
N S
(5.2)
2. Spasi antar titik diperoleh dengan rumus:
Si =
S N
(5.3)
3. Spasi antar garis scan diperoleh dengan rumus: Ji =
V K
(5.4)
Format data LIDAR pada umumnya adalah ASCII dan LAS. Dari format tersebut, dapat dilakukan konversi ke format data lain dengan menggunakan berbagai perangkat lunak seperti: ArcGIS, Global Mapper, dan lainnya. Data LIDAR umumnya berisi informasi mengenai:
54 1. Return number 2. Nilai X,Y,Z 3. Arah scan 4. Besar sudut scan 5. Ketinggian 6. Waktu GPS 7. Jarak sinar laser
5.2 Pengolahan Data LIDAR Dalam sistem airborne LIDAR, terdapat tiga komponen yang menghasilkan data, yaitu: GPS, INS, serta laser scanner. GPS menghasilkan data posisi tiga dimensi (x,y,z) wahana terbang terhadap ellipsoid referensi, INS menghasilkan data pergerakan rotasi wahana terbang terhadap sumbu-sumbu terbang, serta laser scanner menghasilkan data jarak antara wahana terbang dengan permukaan tanah.
Ketiga data tersebut diolah secara berurutan untuk mendapatkan produk akhir berupa data titik-titik ketinggian permukaan bumi atau DTM. Skema pengolahan data airborne LIDAR dapat dilihat pada bagan 5.2 di bawah ini.
55 Kaliberasi jarak (dengan menggunakan data on the ground)
Sistem Airborne LIDAR Jarak Laser Posisi kaca scan Kekuatan sinar
Pengolahan data secara post-processing
Data jarak dan orientasi 3 dimensi wahana udara
IMU Pitch Roll Heading
GPS pada pesawat (X,Y,Z) Jalur terbang pesawat
X,Y,Z
Transformasi
(φ λ h) Wahana udara
φλh
GPS pada titik kontrol di permukaan tanah
Undulasi geoid (N)
φλH Gambar 5.2 Bagan pengolahan data airborne LIDAR (Lohani, 1996)
Pengolahan data GPS dilakukan dengan menggunakan software postprocessing GPS untuk mendapatkan data posisi wahana terbang dengan ketelitian yang tinggi (orde cm). Informasi yang dihasilkan adalah berupa jalur terbang wahana terbang, seperti yang terlihat pada gamber 5.3. Selanjutnya data tersebut digabungkan dengan data pergerakan rotasi wahana terbang yang dihasilkan oleh INS untuk mendapatkan data mengenai orientasi kedudukan wahana terbang terhadap sumbu-sumbu terbang.
Terakhir, data dari laser scanner, berupa data jarak antara wahana terbang dan permukaan bumi digabungkan dengan data sebelumnya, sehingga menghasilkan raw LIDAR data yang berisi kumpulan titik-titik dengan atribut x, y, dan z (gambar 5.4).
56
Gambar 5.3 Plot jalur Terbang Wahana yang Dihasilkan dari Pengolahan Data GPS [www.airbornelasermapping.com]
Gambar 5.4 Raw LIDAR Data [www.airbornelasermapping.com]
5.3
Georeferensi Data Lidar
Pada pengolahan data airborne LIDAR, hal pertama yang harus dilakukan adalah, menentukan kerangka referensi dari data airborne LIDAR tersebut. Besaran-besaran
57 yang harus ditentukan atau diukur untuk menentukan georeferensi dari data airborne LIDAR adalah: − Pengukuran jarak laser dari wahana terbang ke objek/permukaan tanah, − Sudut scanning, − Pitch, roll, dan heading, − Penentuan koordinat antena GPS.
1.
Sistem Referensi Instrumen
Sistem ini berada pada pusat kaca dari instrumen. Di mana sumbu Z berada pada sepanjang jalur sinar laser yang berada pada pusat area swath. Sumbu X searah dengan hidung pesawat, dan sumbu Y adalah sumbu yang tegak lurus sumbu X dan Z sesuai dengan prinsip tangan kanan.
2.
Sistem Referensi INS
INS merupakan gambaran dari keadaan grevitasi lokal dan sumbu utara sebenarnya ketika pesawat mengalami pergerakan. INS bekerja dengan cara melakukan deteksi terhadap rotasi dari bumi dan gravitasi. Sistem referensi INS terdiri dari koordinat X,Y,dan Z yang didefinisikan oleh pitch, roll, dan heading.
3.
Sistem Referensi Earth Tangential (ET)
Sistem ini bersumber dari sistem koordinat antena GPS. Sumbu X dinyatakan sebagai arah dari sumbu utara yang sebenarnya, dan sumbu Z berada sepanjang arah pusat massa bumi. Sistem referensi ET berhubungan dengan INS yang direalisasikan dengan pitch,
58 roll, dan heading yang menghasilkan koordinat X,Y,dan Z berurutan sepanjang waktu pengambilan data. ET juga dihubungkan dengan sistem instrumen yang dinyatakan oleh vektor GPS. Sistem referensi ET juga bisa dihubungkan dengan WGS 84 yang dinyatakan oleh lokasi dari antena GPS pada setiap pengambilan data.
Proses georeferensi adalah suatu proses untuk mendefinisikan koordinat pusat proyeksi sinar laser sehingga terdefinisi ke suatu sistem koordinat. Vektor dari jarak yang ditembakkan dengan sudut penyiaman η didefinisikan terhadap kerangka referensi dari instrumen laser. Jarak yang dihasilkan laser tersebut kemudian ditransformasikan ke pusat bumi yang direalisasikan melalui sistem WGS 84. Proses tersebut dihasilkan melalui beberapa tahapan rotasi dan transformasi.
Tahapan yang dilakukan dalam proses georeferensi adalah: −
Jarak yang dihasilkan oleh sistem scanning direpresentasikan pada vektor [0,0,d]
−
Lakukan proses rotasi vektor jarak tersebut pada sistem referensi instrumen dengan menggunakan sudut scan (η)
−
Rotasikan vektor terrsebut terhadap sistem referensi INS yang bersumber pada instrumen dengan menggunakan sudut bias INS (α0, β0, γ0). Selanjutnya vektor ini diterjemahkan oleh vektor GPS (dx, dy, dz) yang terdapat pada sistem INS
−
Langkah selanjutnya adalah melakukan rotasi vektor tersebut ke sistem ET dengan menggunakan pitch, roll, dan heading (α, β, γ). Pada tahap ini
59 vektor berada pada sistem ET dengan asal sumber vektornya adalah antena GPS. −
Rotasikan vektor tersebut ke dalam sistem kartesian WGS 84 dengan menggunakan koordinat kartesian dari antena GPS (ax,, ay, az)
−
Koordinat titik-titik objek laser sekarang telah mengacu kepada koordinat kartesian dalam WGS 84 dan dapat diubah ke dalam sistem koordinat ellipsoid lainnya.
Jika Rx(θ) adalah rotasi pada sumbu X dengan sudut θ, T(V) adalah vektor V dan (X’) adalah vektor final pada sistem WGS 84, serta φ dan λ adalah lintang dan bujur dari antena GPS, maka tahapan georeferensinya adalah:
Data jarak dari sensor laser
[0,0,d]
Rotasi dengan sudut scan
Rx(η)
Rotasi dengan sudut pitch, roll, & heading dengan data INS
Rx(α0)Ry( β0)Rz(γ0)
Diikatkan ke ellipsoid referensi dengan data GPS
T(dx,dy,dz)
X, Y, Z
φ λ H
N
φ λ h
Data tinggi ortometrik
Data undulasi geoid
Koordinat Geodetik
Koordinat geosentrik
Ry(Φ + π/2), Rz(-λ), h
Transformasi sistem koordinat geosentrik ke sistem koordinat geodetik
Hasil akhir dari data airborne LIDAR adalah koordinat-koordinat φ, λ, dan H yang telah terdefinisi pada suatu sistem referensi. Data tersebut kemudian diolah lagi untuk membentuk suatu DTM atau bentuk-bentuk detail lainnya.
60 5.4
Digital Terrain Model
Digital Terrain Model atau DTM adalah representasi statistik permukaan tanah yang kontiyu dari titik-titik yang diketahui koordinat x, y, dan z-nya pada suatu sistem koordinat tertentu. (Petrie dan Kennie, 1991)
Selain definisi di atas, terdapat beberapa definisi DTM lainnya, yaitu : − DTM adalah suatu set pengukuran ketinggian dari titik-titik yang tersebar di permukaan tanah. Digunakan untuk analisis topografi daerah tersebut. (Aronoff, 1991) − Suatu DTM merupakan suatu sistem yang terdiri dari dua bagian, yaitu: 1. Sekumpulan titik-titik yang mewakili bentuk permukaan terrain yang disimpan pada memori komputer, dan 2. Algoritma untuk melakukan interpolasi titik-titik beru dari data titik yang diberikan atau menghitung data lain. (Linkwitz, 1970) − DTM adalah suatu teknik penyimpanan data tentang topografi suatu terrain. Suatu DTM merupakan penyajian koordinat (x, y, z) dari titik-titik secara digital, yang mewakili bentuk topografi suatu terrain. (Dipokusumo dkk, 1983) − DTM adalah suatu basis data dengan koordinat x, y, dan z, digunakan untuk merepresentasikan permukaan tanah secara digital (Kingston Centre for GIS, 2002) − DTM adalah informasi digital mengenai ketinggian (atau variasi relief) dari suatu area. (spatial Data System Consulting, 2002)
61 Dari berbagai referensi di atas dapat diperoleh beberapa definisi tentang DTM, tetapi umumnya merujuk pada pemodelan permukaan bumi ke dalam suatu model digital permukaan tanah tiga dimensi dari titik-titik yang mewakili permukaan tanah tersebut. Dapat disimpukan bahwa Digital Terrain Model merupakan model digital permukaan tanah berupa bidang yang terbentuk dari titik-titik yang diketahui koordinat tiga dimensinya.
Gambar 5.5 Digital Terrain Model [www.asprs.org]
Jenis DTM Digital Terrain Model dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu DTM grid dan DTM nongrid. DTM non-grid dapat berupa DTM Triangulated Irregular Network (TIN) maupun DTM kontur. Ketiga jenis DTM tersebut masing-masing dibedakan berdasarkan sebaran titik-titik DTMnya.
62 − DTM Grid mempunyai titik-titik DTM yang tersebar secara merata pada seluruh permukaan model dan teratur dalam interval tertentu. Titik DTM dapat berupa titik sampel maupun titik hasil interpolasi titik sampel. Permukaan model terbentuk oleh grid yang menghubungkan titik DTM. − DTM TIN menggunakan titik-titik yang tersebar secara tidak teratur pada permukaan model. Permukaan model TIN adalah jaring bidang segitiga yang terbentuk dari triangulasi titik-titik DTM. − DTM Kontur menyajikan topografi permukaan bumi dalam bentuk garis-garis kontur yang menghubungkan titik-titik yang memiliki nilai ketinggian yang sama. DTM kontur didapat dari tracing/plotting model stereo citra ataupun dari hasil interpolasi DTM Grid atau TIN.