BAB III PENGOLAHAN DATA
3.1. Pengolahan Data LIDAR
3.1.1. Proses Pengolahan Data LIDAR Proses pengolahan data LIDAR secara umum dapat dilihat pada skema 3.1 di bawah ini.
Sistem LIDAR Jarak Laser Posisi kaca scan Kekuatan sinar
IMU Pitch Roll Yaw Heading
Kalibrasi jarak (dengan menggunakan data on the ground)
Data jarak
Pengolahan data secara post-processing
GPS di permukaan tanah Jalur pesawat
X,Y,Z
GPS di pesawat
Skema 3.1.Proses pengolahan data LIDAR [Lohani, 1996]
Dari skema di atas dapat disimpulkan bahwa setelah data mentah dari IMU, GPS, dan jarak laser diperoleh, maka tahap selanjutnya adalah melakukan pengolahan data secara post-processing. Ada dua kegiatan yang dilakukan selama post-processing, yaitu: 1. Langkah pertama yang dilakukan adalah dengan mendownload data carrier phase GPS yang dihasilkan oleh base station dan receiver yang ada pada
31
pesawat. Data ini kemudian diolah dengan menggunakan
software GPS
postprocessing yang akan menghitung solusi akurasi kinematik sepanjang lintasan pesawat (lihat gambar 3.1).
Gambar 3.1. Pengolahan GPS sepanjang lintasan pesawat [www.airbornelasermapping.com] Data carrier phase tersebut dijadikan sebagai inputan dalam pengolahan GPS secara post processing. Hasil dari pengolahan data tersebut adalah nilai dari akurasi kinematik sepanjang jalur penerbangan. Nilai akurasi kinematik sepanjang jalur penerbangan tersebut kemudian digabungkan dengan data IMU sehingga posisi dan solusi orientasi pesawat yang lengkap sepanjang jalur penerbangan dapat diperoleh. Pengolahan data selanjutnya adalah dengan menggabungkan hasil pengolahan data IMU dan GPS tersebut dengan data jarak dari masing-masing sinar laser yang dihasilkan. Dengan menggunakan algoritma tertentu, maka posisi dan orientasi dari masing-masing sinar laser dapat diperoleh. Hasil akhirnya adalah posisi X, Y, Z dari masing-masing objek yang dipantulkan oleh sinar laser. Secara teoristis, untuk mendapatkan koordinat titik objek di permukaan bumi bisa dilakuan proses perhitungannya sebagai berikut (diasumsikan orientasinya sempurna (tidak ada yaw, pitch, dan roll)): 1. Jika sudut pancar gelombang terhadap garis tegak lurus adalah αi, dan jarak antara laser dengan objek (i) adalah Di (lihat gambar 3.2), maka dengan
32
prinsip trigonometri dapat ditentukan jarak vertikal antara sensor dengan tanah Vi, yaitu: Vi = Di cos αi 2. Jika koordinat sensor (Xs, Ys, dan Hs) diketahui, maka dapat ditentukan elevasi dari objek (i), yaitu: Elevi = Hs - Vi 3. Tentukan jarak horizontal antara titik i dengan garis yang tegak lurus dengan tanah dengan menggunakan persamaan trigonometri. Hi = Di sin αi 4. Jika diasumsikan bahwa pesawat terbang bergerak sepanjang sumbu–Y dan sudut pancarnya bergerak ke arah kanan, maka koordinat Yi akan sama dengan koordinat sensor. Sehingga nilai X akan menjadi: Xi = Xsr + Hi 5. Koordinat dari objek (i) adalah: Xi, Yi , dan Elevi Koordinat yang dihasilkan telah bergeoreferensi. Secara matematis, proses perhitungannya dapat dilakukan dengan menggunakan software yang ada pada sistem pengolahan data.
i
Gambar 3.2. Posisi sinar laser [Burtch, 2002]
33
2. Bagian kedua dari post-processing adalah membuang data yang tidak relevan yang dikumpulkan selama pengambilan data. Data yang tidak relevan dibuang dengan cara menghitung anomali yang disebabkan oleh kesalahan: sistem waktu, kondisi atmosfer, bias GPS, dan kesalahan lainnya yang disebabkan kondisi topografi permukaan bumi. Proses pemisahan data yang tidak relevan bisa dilakukan secara otomatis dan bisa membuang 90 persen dari data yang tidak relevan tersebut. Tetapi, masih ada data lain yang tidak bisa dipisahkan secara otomatis sehingga harus dilakukan secara manual.
3.1.2. Proses Penentuan Kedalaman Dengan Data LIDAR Untuk menentukan kedalaman, sinar laser dipancarkan dari pesawat udara ke bawah dengan sudut θa (θudara) dari garis vertikal. Sudut θa merupakan sudut datang pada permukaan air dari udara. Pada permukaan air ini, sebagian kecil (2%) dari energi laser dipantulkan ke udara pada segala arah yang akan diterima kembali oleh receiver di pesawat udara. Sedangkan sebagian besar (98%) energi laser ditransmisikan ke dalam air dengan sudut θw (θair), lihat gambar 3.3.
θa
rudara
h (tinggi terbang)
Sair
θa
Sudara
nudara
rair
nair
θw d ( kedalaman) θw
Gambar 3.3. Ilustrasi Penentuan Kedalaman [Dwi, 2007]
34
Tahapan perhitungan untuk mendapatkan data kedalaman adalah sebagai berikut a. Parameter yang harus diketahui adalah ketinggian terbang pusat massa sensor terhadap permukaan air yang didapat dari proses berkas sinar infra merah (h) dan sudut pancar sinar hijau terhadap sumbu vertikal (θudara). Ketinggian sensor di pesawat udara secara teliti dapat diperoleh dengan menggunakan RADAR altimeter atau dengan mengukur interval waktu antara pulsa awal dan pantulan sepanjang sudut jejak θa. b. Dengan persamaan phytagoras didapatkan panjang lintasan sinar dari sensor terhadap permukaan air ( rudara ) rudara
h
=
cos θudara c. Dari indeks bias antara udara dan air didapatkan hubungan antara kecepatan cahaya di udara (Vudara) dan di air (Vair) nudara-air
=
Vudara
=
sin θudara
Vair
sin θair
d. Dari hubungan persamaan tersebut didapatkan sudut bias sinar pancar air (θair) θair = sin-1[ Vudara sin θudara ] Vair e. Saat gelombang ditransmisikan sampai diterima kembali oleh sensor, dihitung sebagai waktu total (∆t) oleh unit penganalis sinyal. Total panjang lintasan yang ditempuh sinar laser adalah r, dengan r = rudara + rair . Jika r = V∆t, dan ∆t= 2(∆t udara + ∆tair ) r = rudara + rair = (Vudara. ∆t udara + V air. ∆tair) f. Jika vudara, ∆t
udara,
dan ∆tair diketahui, maka dapat dihitung rair. Selanjutnya
kedalaman perairan dapat ditentukan dengan rumus: D= rair cos θair
35
Data kedalaman yang telah diperoleh adalah data kedalaman yang dihitung relatif terhadap tinggi permukaan air pada saat dilakukan pemancaran sinyal laser. Untuk dapat digambarkan pada peta batimetri, nilai kedalaman yang didapat harus terlebih dahulu dikoreksi dengan data pasang surut. KP = DL- SO+ZO D = DL - KP D = DL = KP = SO = ZO =
Kedalaman sebenarnya Kedalaman ukuran dari LIDAR Koreksi Pasut Tinggi antara MSL dengan Nol palem Beda tinggi antara MSL dengan Chart Datum
Ilustrasinya dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
MLS KP MSL SO
DL
ZO Chart Datum D
Nol Palem
Gambar 3.4. Ilustrasi Penentuan Kedalaman Sebenarnya
3.1.3. Proses Georeferensi data LIDAR Proses georeferensi adalah suatu proses atau tahapan untuk mendefenisikan koordinat pusat proyeksi sinar laser sehingga terdefenisi ke suatu sistem koordinat. Vektor dari jarak yang ditembakkan dengan sudut penyiaman η didefinisikan terhadap kerangka referensi dari instrumen laser. Jarak yang dihasilkan laser tersebut kemudian ditransformasikan ke pusat bumi yang direalisasikan melalui sistem WGS 84. Proses tersebut dihasilkan melalui berbagai macam tahapan rotasi dan transformasi. Tahapan yang dilakukan dalam proses georeferensi adalah (lihat gambar 2.22) : 1. Jarak yang dihasilkan oleh sistem scanning direpresentasikan pada vektor
36
[0, 0, Z] 2. Lakukan proses rotasi vektor jarak tersebut pada sistem referensi instrumen dengan menggunakan sudut scan (η) 3. Rotasikan vektor tesebut terhadap sistem referensi INS yang bersumber pada instrumen dengan menggunakan sudut bias INS (α0, β0, γ0). Selanjutnya vektor ini diterjemahkan oleh vektor GPS (dx, dy, dz) yang terdapat pada sistem INS. 4. Langkah selanjutnya adalah melakukan rotasi vektor tersebut ke sistem ET dengan menggunakan roll, pitch, dan yaw (α, β, γ). Pada tahap ini vektor berada pada sistem ET dengan asal sumber vektornya pada antena GPS. 5. Rotasikan vektor tersebut ke sistem kartesian WGS 84 dengan menggunakan lintang dan bujur (φ,λ) yang diukur oleh GPS. 6. Vektor tersebut kemudian diterjemahkan pada sistem WGS 84 dengan menggunakan koordinat kartesian dari antena GPS (ax, ay, az). 7. Koordinat titik-titik objek laser sekarang telah mengacu kepada koordinat kartesian dalam WGS 84 dan dapat dirubah ke sistem koordinat ellipsoid lainnya. Jika Rx(θ) adalah rotasi pada sumbu X dengan sudut θ, T(V) adalah vektor V, dan [X’] adalah vektor final pada sistem WGS 84. φ dan λ adalah lintang dan bujur dari antena GPS, maka tahapan georeferensinya adalah:
[x’, y’, z’] = [0, 0, Z ]
Rx(η)
Rx(α)Ry(β)Rz(γ)
Rx(α0)Ry(β0)Rz(γ0 ) Ry(Ф+ π/2)
Rz(-λ)
T(dx, dy,dz) T(ax, ay, az)
Hasil akhir dari data LIDAR adalah koordinat-koordinat X, Y, dan Z yang telah terdefenisi pada suatu sistem referensi. Data tersebut kemudian diolah lagi untuk membentuk suatu DEM atau bentuk-bentuk detail lainnya. Salah satu aplikasi dari DEM yang dihasilkan oleh data LIDAR tersebut adalah sebagai masukan dalam melakukan pemodelan dan simulasi banjir.
37
3.2. Proses Pemodelan dan Simulasi Banjir Dari Data LIDAR
3.2.1. Penentuan Referensi Ketinggian DEM dan Pembuatan DEM Ketinggian DEM dari data LIDAR yang diperoleh mengacu kepada North American Vertical Datum, 1988 (NAVD88). NAVD88 dijadikan sebgai datum vertikal yang berfungsi sebagai referensi ketinggian nol. Daerah yang berada di atas bidang NAVD88 akan bernilai positif dan sebaliknya akan bernilai negatif jika berada di bawah bidang NAVD88. Dengan menggunakan data dari stasiun pasut yang ada di suatu daerah, maka bisa ditentukan ketinggian dari MSL (EMSL) dan ketinggian dari Level Air Tertinggi (ELAT) terhadap datum vertikal (NAVD88). Contoh data yang dihasilkan oleh stasiun pasut dapat dilihat pada tabel 3.1.
Tabel 3.1. Cantoh data pasut [Guerin, 2007] Untuk menentukan ketinggian MSL terhadap datum vertikal (EMSL), digunakan rumus: EMSL = MSL dari data pasut – ketinggian NAVD88 dari data pasut Sedangkan untuk menentukan ketinggian Level Air Tertinggi (ELAT) terhadap datum vertikal digunakan rumus: ELAT= LAT dari data pasut – ketinggian NAVD88 dari data pasut Contoh pengolahan datanya adalah sebagai berikut: Dari data di tabel 3.1, diperoleh nilai: MSL = 1.78 5m
38
NAVD88 = 1.849 m MLAT = 2.543 m Dari data tersebut, dapat ditentukan nilai EMSL dan ELAT, yaitu: EMSL = 1.78 5m - 1.849 m = -0.064 m ELAT = 2.543 5m - 1.849 m = 0.694 m Visualisasinya dapat dilihat pada gambar di bawah ini. 0.694 -0.064
ELAT NSVD88 MSL
Gambar 3.5. Ketinggian MSl dan LAT di atas NAVD88 Setelah mengetahui referensi ketinggian dari DEM tersebut, tahapan selanjutnya adalah membuat DEM dengan menggunakan software ArcGIS. Data LIDAR yang diperoleh memiliki format DEM USGS. Untuk bisa diterjemahkan oleh ArcGIS, maka format data tersebut harus dikonversikan terlebih dahulu ke format raster. Setelah dilakukan konversi ke format raster, tahap selanjutnya adalah melakukan analisis terhadap DEM tersebut dengan menggunakan perintah-perintah yang ada di ArcGIS, seperti: Spatial Analysist dan 3D analysist. Tahap-tahap pembuatan DEM dengan menggunakan software ArcGIS dapat dilihat pada lembar lampiran. Hasil DEM tersebut dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Gambar 3.6. Gambaran DEM secara 3D di ArcGIS
39
Setelah DEM dibuat, tahapan selanjutnya adalah menentukan: kedalaman dari banjir, area perluasan banjir, overlay peta area perluasan banjir di Google Earth, dan pembuatan animasi banjir.
3.2.2. Penentuan Kedalaman Banjir Grid kedalaman banjir ditentukan secara matematis dari data ketinggian air banjir dan DEM. Ketinggian dari datum vertikal (NAVD88) dinyatakan sebagai level nol dan dinyatakan sebagai grid baru. Nilai dari kedalaman banjir dinyatakan sebagai tinggi antara datum vertikal dengan level ketinggian air banjir. Hasil akhir dari grid kedalaman banjir direpresentasikan oleh nilai kedalaman pada saat berada di area perluasan banjir.
Dengan menggunakan software Global Mapper, maka dapat
dilakukan penentuan daerah mana saja yang berada di atas dan di bawah datum vertikal tersebut. Ilustrasinya dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Gambar 3.7. Peta daerah di bawah dan di atas datum vertikal
3.2.3. Pembuatan Area Perluasan Banjir Tahapan penentuan area perluasan banjir dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai perangkat software yang mendukung seperti: ArcGIS, Global Mapper, dan software khusus pengolahan data banjir lainnya. Tahapan penentuan area perluasan banjir dengan menggunakan software Global Mapper dapat dilihat pada lembar lampiran. Penentuan area perluasan banjir dilakukan dengan menaikan level ketinggian air secara berurutan mulai dari -1, 0, 0.5,1 m dan seterusnya. Hasil akhir
40
dari layer ini akan
menvisualisasikan daerah mana yang tergenang dan tidak
tergenang banjir. Hasil akhir dari penentuan perluasan area banjir tersebut dapat dilihat pada tabel 3.2.
PETA PERLUASAN BANJIR (2D)
PETA PERLUASAN BANJIR (3D)
LEVEL BANJIR
0 Meter
0.5 Meter
1 Meter
Tabel 3.2. Gambaran perluasan Banjir
41
3.2.4. Pemodelan Banjir di Google Earth. Peta perluasan banjir yang telah dibuat pada langkah-langkah sebelumnya bisa di_ overlay_kan dengan menggunakan software Google Earth. Peta yang telah dibuat di simpan sebagai image Portable network Graphics (PNG). Image PNG tersebut kemudian di_ overlay_kan pada permukaan objek yang ada pada Google Earth. Hal yang paling penting pada tahap overlay adalah memasukan koordinat batas tepi dari image tersebut sehingga pas atau tepat pada daerah yang sebenarnya di Google Earth. Koordinat batas tepi dari image tersebut diperoleh dengan menggunkan nilai grid-grid yang ada pada software Global Mapper. Setelah image tersebut pas atau tepat dengan posisi yang sebenarnya, maka tahap selanjutnya adalah mengatur kecerahan warna dari image tersebut sehingga mencerminkan kejadian banjir yang sebenarnya. Google Earth akan menampilkan secara jelas pandangan secara 3D dari berbagai objek yang ada, seperti: bangunan, jalan, sungai, dan objek lainnya. Hasil akhir dari pemodelan ini akan memberikan gambaran secara lebih baik dan detail tentang daerah atau objek yang terkena banjir. Hasil akhir dari pemodelan banjir di Google Earth dapat dilihat pada Tabel 3.3 di bawah ini.
Gambaran Peta
Level Air
-1 Meter
0 Meter
42
1 Meter
Tabel 3.3. Gambaran kenaikan muka air laut di Google Earth
3.2.5. Pembuatan Animasi Banjir Proses animasi banjir dapat dilakukan dengan menggunakan software tertentu yang dapat membantu pembuatan image dan pergerakan banjir. Sudut pandang perspektif dibuat untuk menunjukan visualisasi 3D yang unik dari area banjir tersebut. Setiap level banjir dimodelkan mirip dengan proses perluasan banjir. Image banjir diberi warna biru untuk mewakili air dan dimodelkan bersama dengan image topografi (relief). Kegiatan animasi banjir akan melakukan skenario simulasi banjir dari tidak terjadi banjir sampai terjadi kenaikan banjir yang level ketinggiannya akan terus bertambah. Output dari
animasi secara jelas menunjukkan pengaruh dan arah
pergerakan dari banjir tersebut, seperti ketika banjir meningkat dari level permukaan air sampai ke level
banjir. Software yang digunakan dalam melakukan animasi
tersebut adalah 3DSMAX. Untuk bisa membentuk DEM, maka dibutuhkan citra hitam-putih yang nilai ketinggiannya akan bertambah besar jika semakin putih. Citra hitam putih tersebut diperoleh dari hasil pengolahan data DEM LIDAR di Global Mapper. Setelah DEM dari data LIDAR tersebut dibuat, maka tahap selanjutnya adalah membuat bidang berair dan melakukan proses animasi dengan mengatur ketinggian bidang berair tersebut. Animasi dilakukan dengan menaikan level ketinggian air secara berurutan mulai dari -1, 0, 0.5,1 dan seterusnya. Proses animasi tersebut sangat berguna untuk melakukan identifikasi secara jelas terhadap daerahdaerah yang memiliki resiko cukup tinggi untuk terkena banjir. Tahap-tahap pembuatan animasi banjir dengan menggunakan software 3DSMAX dapat dilihat pada lembar lampiran.
43
Hasil akhir dari proses animasi tersebut dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Gambar 3.8. Visualisasi animasi banjir
44