BAB 3 PENGOLAHAN DATA 3.1 Diagram Alir Pengolahan Data Pengolahan data dimulai dari pengolahan data citra ALOS-PALSAR level 1.0 yaitu data mentah (RAW) hingga menjadi peta deformasi. Gambar 3.1 berikut ini adalah diagram yang menggambarkan keseluruhan dari proses pengolahan data. RAW Data 2
RAW Data 1 SAR Processing (MSP)
SLC 1
SLC 2 InSAR Processing (ISP) DEM SRTM Global
Interferogram DEM Generation DEM 1
DInSAR Processing
Differential Interferogram 1
Differential Interferogram 2
Peta Deformasi 1
Peta Deformasi 2
Gambar 3.1 Proses keseluruhan pengolahan data
3.2 Data Yang Digunakan 3.2.1 Data untuk pembuatan InSAR Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data SAR dari satelit ALOS PALSAR level 1.0. Data ini berupa data mentah dari Gunung Merapi yang terdiri dari data citra yaitu
38
IMG serta metadata yaitu LED. Tabel berikut adalah daftar dari data mentah serta waktu pengambilan dari citra Gunung Merapi yang digunakan. Tabel 3.1 Data-data SAR yang digunakan Data
Waktu Pengambilan
IMG
LED
IMG-HH-ALPSRP160247030-H1.0__A
LED-HH-ALPSRP160247030-H1.0__A
26 Januari 2009
IMG-HH-ALPSRP180377030-H1.0__A
LED-HH- ALPSRP180377030-H1.0__A
13 Juni 2009
IMG-HH- ALPSRP200507030-H1.0__A
LED-HH- ALPSRP200507030-H1.0__A
29 Oktober 2009
IMG-HH- ALPSRP207217030-H1.0__A
LED-HH- ALPSRP207217030-H1.0__A
14 Desember 2009
IMG-HH- ALPSRP213927030 -H1.0__A
LED-HH- ALPSRP213927030-H1.0__A
29 Januari 2010
IMG-HH- ALPSRP234057030-H1.0__A
LED-HH- ALPSRP234057030-H1.0__A
16 Juni 2010
IMG-HH- ALPSRP247477030-H1.0__A
LED-HH- ALPSRP247477030-H1.0__A
16 September 2010
IMG-HH- ALPSRP254187030-H1.0__A
LED-HH- ALPSRP254187030-H1.0__A
1 November 2010
IMG-HH- ALPSRP260897030-H1.0__A
LED-HH- ALPSRP260897030-H1.0__A
17 Desember 2010
IMG-HH- ALPSRP267607030-H1.0__A
LED-HH- ALPSRP267607030-H1.0__A
1 Februari 2011
3.2.2 Data DEM Global SRTM 3” Data DEM yang digunakan merupakan data DEM Global SRTM 3” dari Gunung Merapi. Data ini dibutuhkan utuk melakukan proses mereduksikan efek topografi dari interferogram sehingga efek deformasi dari interferogram dapat diamati. DEM Global SRTM 3” untuk kawasan Merapi ini didapatkan dengan menggabungkan DEM Global SRTM 3” pada beberapa daerah sekitar kawasan Merapi kemudian dilakukan pengambilan sebagian DEM pada kawasan Merapi. Gambar 3.2 berikut merupakan gambar DEM Global SRTM 3” dari Gunung Merapi yang dipakai dalam proses mereduksi efek topografi yang dilakukan dalam penelitian.
39
Gambar 3.2 DEM Global SRTM 3” 3.2.3 Data Titik Ketinggian DEM RBI Badan Informasi Geospasial Data DEM yang digunakan merupakan data titik ketinggian DEM RBI Badan Informasi Geospasial sebagai kontrol DEM yang diturunkan dari pasangan interferogram yang dibuat dari 2 SLC. Ketinggian berdasarkan beda fase DEM simulasi tersebut digeoreferensi dengan menggunakan dengan menggunakan titik ketinggian DEM RBI Badan Informasi Geospasial. DEM hasil simulasi ini akan digunakan sama seperti DEM SRTM 3” Global yang digunakan untuk mereduksi efek topografi pada interferogram. Dengan menggunakan DEM berasal dari interferogram ini akan didapatkan DEM dengan resolusi yang sama dengan interferogram yang ada sehingga didapatkan peta deformasi yang memiliki resolusi yang lebih baik dibandingan dengan menggunakan DEM Global SRTM 3”. Gambar 3.3 berikut merupakan gambar kumpulan titik ketinggian pada DEM RBI BIG yang digunakan pada penelitian.
40
Gambar 3.3 Titik Ketinggian DEM RBI BIG
3.3 Perangkat Lunak GAMMA Perangkat lunak GAMMA merupakan salah satu perangkat lunak yang dapat dipergunakan untuk melakukan pengolahan citra InSAR.Perangkat lunak GAMMA merupakan perangkat lunak yang diluncurkan perusahaan GAMMA Company yang bergerak di bidang penginderaan jauh oleh Charles Wegner dan Urs Wegmuller pada tahun 1995. Perangkat lunak ini digunakan pada UNIX operating system dan dibuat dari bahasa ANSI-C. Salah satu kemampuan dari GAMMA adalah dapat digunakan untuk pengamatan deformasi dari citra hasil pengolahannya. Perangkat lunak ini terbagi atas beberapa program yaitu sebagai berikut. 1. Modular SAR Processing Program ini memiliki fungsi untuk pengolahan data RAW untuk menjadi data SLC (Single Look Complex) dan MLI (Multi Look Intensity). Beberapa fungsi dapat dilakukan untuk pengolahan data RAW seperti range compression, penentuan Doppler centroid, autofocus, azimuth compression, pembentukan multilook dan lain sebagainya. 2. Interferometric SARProcessing Program ini menyediakan fungsi-fungsi untuk membentuk interferogram dari data SLC serta berbagai fitur lain seperti flattening, penentuan koherensi, filtering interferogram, phase unwrapping dan lain sebagainya. 41
3. Geocoding and Differential Program ini menyediakan fungsi geocoding yaitu seperti melakukan transformasi DEM dari sistem koordinat peta menjadi sistem koordinat RADAR (slant range) dan begitu pula sebaliknya. Selain itu program ini dapat digunakan untuk membentuk interferogram diferensial serta pembuatan peta deformasi (displacement map).
3.4 Pengolahan Data Pengolahan data dilakukan dengan jumlah data RAW sebanyak 10. Keseluruhan data RAW dapat dilihat pada tabel 3.1. Data-data ini diolah hingga menjadi peta deformasi.
3.4.1 Pengolahan Data DEM SRTM 3” Global Pada proses ini dilakukan pengolahan data DEM SRTM 3” yaitu proses geocoding agar DEM SRTM 3” Global tersebut dapat dilakukan pensimulasian menjadi interferogram yang memiliki sistem koordinat slant range. Hal ini dilakukan sebelum dapat menghilangkan efek topografi pada interferogram. 3.4.1.1 Proses Pembentukan Tabel Lookup dan Transformasi DEM SRTM 3” menjadi memiliki Sistem Koordinat Slant Range Pada proses ini dilakukan transformasi DEM global SRTM 3” menjadi sistem koordinat slant range serta pembentukan tabel lookup. Tabel lookup digunakan untuk melakukan geocoding kembali sehingga dari DEM dengan sistem koordinat slant range dapat ditransformasi kembali menjadi DEM. Namun pada proses ini tabel lookup yang dihasilkan masih memiliki ketelitian yang kurang baik sehingga pada proses selanjutnya tabel lookup tersebut akan diperbaiki. Hasil DEM dalam sistem koordinat slant range ini sesuai dengan masukan yang dilakukan. Apabila masukan berupa SLC maka hasil keluaran akan berupa SLC (Single Look Complex) dan apabila berupa MLI (Multi Look Intensity) maka hasil keluaran akan berupa MLI.
3.4.1.2 Proses Resampling dari Geometri DEM menjadi Geometri SAR Dengan menggunakan tabel lookup dilakukan resampling dari geometri DEM menjadi geometri slant range menjadi sistem koordinat peta. Pada proses ini dilakukan 42
transformasi agar ukuran DEM sesuai dengan ukuran citra. Selain itu hasil dari proses ini masih memiliki ketelitian yang kurang baik karena tabel lookup belum diperbaiki. 3.4.1.3 Proses Penghitungan Offset dan Regristrasi Polinomial Pada proses ini dilakukan penghitungan offset dan proses registrasi polinomial citra dengan DEM dalam geometri slant range. 3.4.1.4 Proses Perbaikan Tabel Lookup Dengan menggunakan parameter offset yang dihitung pada proses sebelumnya kemudian dapat dilakukan perbaikan tabel lookup sehingga akan dihasilkan tabel lookup yang memiliki ketelitian yang baik. 3.4.1.5 Proses Geocoding dari Geometri Peta menjadi Geometri SAR Pada proses ini dilakukan geocoding DEM dari geometri peta menjadi geometri SAR dengan menggunakan tabel lookup yang telah diperbaiki.
Gambar 3.4 DEM hasi proses geocoding dalam slant range dan telah menjadi interferogram simulasi (kiri : didapatkan dari DEM Global SRTM 3” , kanan : didapatkan dari DEM yang diturunkan dari data SAR)
3.4.2 Pengolahan Data RAW menjadi SLC Pada proses ini dilakukan pengolahan data mentah hingga menjadi data SLC (Single Look Complex) yang dilakukan melalui serangkaian proses sinyal digital yang terdapat pada data RAW. Gambar 3.3 berikut menggambarkan proses lengkapnya.
43
Data RAW Penentuan Ambiguitas Doppler Estimasi Pusat Doppler
Kompresi Range
Auto-fokus Kompresi Azimuth
Data SLC
Gambar 3.5 Proses pembuatan SLC 3.4.2.1 Proses Pembentukan File Parameter serta File RAW Pada proses ini dilakukan proses pembentukan file parameter yang berisikan informasi-informasi (berupa header atau metadata) dari data mentah serta file RAW yang merupakan data mentah citra satelit. File parameter ini dibuat dari data leader (LED) dan file RAW dibuat dari data citra (IMG). 3.4.2.2 Penentuan Ambiguitas Doppler Pada proses ini dilakukan penentuan kemiringan pencitraan terhadap arah tegak lurus gerak orbit satelit. Proses ini diperlukan untuk proses selanjutnya yaitu estimasi dari Doppler centroid. Terdapat 2 metode yang dapat digunakan untuk penentuan ambiguitas Doppler yaitu MLBF (Multi-Look Beat Frequency) dan MLCC (Multi-Look Cross Corelation). Pada penelitian ini saya melakukan metode MLCC karena salah satu keuntungan dari MLCC adalah lebih dapat menghemat penyimpanan data. 3.4.2.3 Estimasi Doppler Centroid Setelah ambiguitas Doppler maka proses selanjutnya dapat dilakukan yaitu proses estimasi Dopper centroid. Proses ini diperlukan untuk proses azimuth compression.
44
3.4.2.4 Range Compression Pada proses ini dilakukan pengkompresan pada arah range untuk memaksimumkan intensitas gelombang pantulan kembali. 3.4.2.5 Autofocus Pada proses ini dilakukan penghilangan pengkaburan pada data yang diakibatkan oleh pergerakan satelit yang tidak sempurna pada jalur. 3.4.2.6 Azimuth Compression Pada proses ini dilakukan pengkompresan pada arah azimut dengan menggunakan Doppler centroid yang telah ditentukan sebelumnya. Tujuan proses ini sama dengan proses range compression. Pada proses ini dilakukan dengan masukan umum pada data PALSAR yaitu jumlah blok pemrosesan 16384 dan konstanta kalibrasi 10,2 dB. Terdapat dua jenis format SLC yang dihasilkan pada proses ini yaitu FCOMPLEX dan SCOMPLEX. FCOMPLEX merupakan format data SLC dengan setiap pikselnya memiliki resolusi radiometrik 4 byte sedangkan SCOMPLEX memiliki resolusi radiometrik 2 byte. Hasil dari proses yang dilakukan ini adalah berupa SLC dengan format SCOMPLEX karena untuk penghematan memori penyimpanan serta pengamatan hasil tidak terlalu berpengaruh dari resolusi radiometrik. 3.4.3 Pengolahan Data SLC Hingga Menjadi Interferogram serta DEM Simulasi dari Interferogram Pada proses ini dilakukan pengolahan dari data SLC hingga menjadi data unwrapped interferogram. Gambar 3.6 dan 3.7 berikut menggambarkan proses lengkapnya serta salah satu SLC. SLC Master
SLC Slave
Penentuan Offset ResamplingSLC Slave
Multilook
Multilook Pembentukan Interferogram
Interferogram Penentuan Baseline Orbit
Gambar 3.6 Proses pembuatan interferogram serta data baseline orbit 45
Gambar 3.7 SLC dari data RAW 13 Juni 2009
3.4.3.1 Penghitungan Offset Kedua SLC Proses ini diawali dengan pembuatan file parameter offset. Pembuatan offset dilakukan dengan hasil file parameter offset yang masih kosong dan belum berisi offset dari kedua citra. Setelahfile parameter offset telah dibuat maka selanjutnya adalah penghitungan offset dari kedua citra. Penghitungan ini dilakukan dengan nilai pencarian pada tabel 3.2.. Pada proses tersebut dilakukan penghitungan offset pendekatan dari orbit kedua citra. Setelah itu dilakukan penghitungan ulang untuk memperbaiki penghitungan offset dengan penghitungan awal menggunakan multi look untuk meningkatkan keakuratan dari estimasi offset. Setelah dilakukan penghitungan dari offset pendekatan maka selanjutnya kembali dilakukan penghitungan offset dengan menggunakan korelasi intesitas kedua citra. Proses ini dilakukan dengan menggunakan batas korelasi sebesar 7.0 dan jendela pencarian korelasi pada tabel 3.2 berikut.
46
Tabel 3.2 Nilai pencarian korelasi Parameter pemrosesan ISP
Nilai
Range pencarian
128
Azimuth pencarian
128
Lebar jendela pencarian
256
Panjang jendela pencarian
256
Selanjutnya adalah menentukan parameter polinomial untuk melakukan resampling dari salah satu citra (slave) terhadap salah satu citra (master). 3.4.3.2 Proses Coregristration dan Resampling Kedua SLC Pada proses ini dilakukan coregistration dan resampling kedua citra dengan mengunakan parameter offset yang telah ditentukan. Sebelum proses ini dilakukan terlebih dahulu pada kedua citra dilakukan proses multi look untuk mengurangi noise yang ada dengan mengorbankan resolusi dari citra. Perbandingan untuk multi look pada data PALSAR adalah 1 : 3 untuk range dan azimut. Multi look dilakukan menggunakan faktor 2 pada range dan faktor 6 pada azimuth untuk menghemat penyimpanan data. 3.4.3.3 Proses Pembentukan Interferogram Pada proses ini dilakukan pembentukan interferogram dari kedua citra. Proses ini dilakukan dengan menggunakan salah satu SLC untuk menjadi master dan salah satu SLC untuk menjadi slave. SLC master digunakan untuk menjadi referensi pada pembentukan interferogram. SLC master yang digunakan merupakan SLC dengan waktu pengambilan yang lebih duluan dari SLC slave sehingga pengamatan deformasi dilakukan berdasarkan arah waktu yang tepat. Dengan menggunakan keseluruhan SLC maka didapatkan hasil 45 interferogram yang didapatkan dengan memasangkan 9 SLC yang ada. Gambar 3.8 berikut adalah salah satu interferogram hasil pengolahan data dari pasangan SLC yang diproses menjadi interferogram dalam penelitian ini.
47
Gambar 3.8 Gambar interferogram hasil pasangan SLC 20090613 dan 20091029 3.4.3.4 Proses Penentuan Baseline Orbit Pada proses ini dilakukan penentuan baseline dari orbit kedua citra. Proses ini dilakukan dengan menggunakan data orbit satelit yang terdapat pada data parameter kedua SLC (*.slc.par). Hasil yang didapatkan adalah baseline dari orbit kedua citra dalam sistem referensi koordinat lokal yaitu TCN (Track, Cross-track, andNormal). Track merupakan vektor ke arah orbit satelit master, cross-track merupakan vektor ke arah tegak lurus dari arah track dan normal, normalmerupakan vektor ke arah normal satelit master. Hasil penentuan baseline tegak lurus dapat dilihat pada tabel 3.3 berikut. Tabel 3.3 Pasangan SLC serta Baseline Tegak Lurusnya Interferogram
Baseline Tegak Lurus (m)
Master 20090126
-384.613
-384.613
20090126
-344.082
-344.082
20090126
20091214
-472.807
20090126
20100129
-274.955
48
Tabel 3.4 Pasangan SLC serta Baseline Tegak Lurusnya (lanjutan) Interferogram
Baseline Tegak Lurus (m)
Master 20090126
20100616
-773.168
20090126
20100916
-1079.12
20090126
20101101
2094.799
20090126
20101217
-1180.1
20090126
20110201
-1133.13
20090613
20091029
43.0105
20090613
20091214
-80.923
20090613
20100129
106.721
20090613
20100616
-388.796
20090613
20100916
-684.905
20090613
20101101
-761.037
20090613
20101217
-786.304
20090613
20110201
-744.301
20091029
20091214
-122.265
20091029
20100129
63.724
20091029
20100616
-430.966
20091029
20100916
-726.741
20091029
20101101
-802.612
20091029
20101217
-830.117
20091029
20110201
-788.139
49
Tabel 3.5 Pasangan SLC serta Baseline Tegak Lurusnya (lanjutan) Interferogram
Baseline Tegak Lurus (m)
Master 20091214
20100129
185.309
20091214
20100616
-308.142
20091214
20100916
-602.345
20091214
20101101
-679.728
20091214
20101217
-704.634
20091214
20110201
-663.535
20100129
20100616
-497.895
20100129
20100916
-790.617
20100129
20101101
-871.390
20100129
20101217
-894.837
20100129
20110201
-853.299
20100616
20100916
-293.074
20100616
20101101
-371.832
20100616
20101217
-396.566
20100616
20110201
-355.595
20100916
20101101
-75.336
20100916
20101217
-96.508
20100916
20110201
-60.340
20101101
20101217
-21.132
20101101
20110201
16.615
20101217
20110201
41.555
50
3.4.4 Pengolahan Interferogram Hingga Menjadi DEM SAR Sebelum dilakukannya proses eliminasi kelengungan Bumi pada interferogram terlebih dahulu dilakukan proses pemilihan interferogram yang cocok untuk dapat membentuk DEM yang memiliki kualitas baik. Pemilihan ini dilakukan dengan melakukan pengamatan korelasi antara interferogram dan DEM Global SRTM 3 “. Gambar 3.9 berikut menggambarkan proses lengkap pembuatan DEM yang diturunkan dari data SAR.Gambar 3.10 berikut merupakan contoh masking korelasi interferogram yang berkorelasi baik dan buruk. Interferogram
Pengamatan Korelasi dengan DEM SRTM Global 3” Penghilangan Efek Kelengkungan Bumi Pada Interferogram
DEM SRTM Global 3”
Informasi Baseline
Estimasi Tingkat Koherensi Filtering Interferogram Unwrapping Interferogram Estimasi Kuadrat Terkecil Baseline Inteferogram Pembentukan DEM InSAR DEM InSAR
Gambar 3.9 Proses pembuatan DEM yang diturunkan dari SAR 51
Gambar 3.10 Hasil masking corelation raster interferogram 3.4.4.1 Proses Penghilangan Kelengkungan Bumi Proses ini dilakukan sebelum proses unwrapping sehingga proses tersebut tidak dipengaruhi oleh kelengkungan Bumi. Proses ini dilakukan hanya untuk 4 interferogram yaitu interferogram
20090613_20091029,20091029_20091214,20090616_20090916
dan
20090916_20101101 yang dipilih melalui pencarian korelasi dengan DEM Global SRTM 3”
dengan batas korelasi 0,7 dan jumlah daerah yang berkorelasi baik hingga 70%. Proses ini dilakukan untuk pembentukan DEM simulasi dari interferogram. Gambar 3.11 berikut merupakan salah satu interferogram yang telah dihilangkan kelengkungan Bumi pada penelitian.
Gambar 3.11 Interferogram yang telah dihilangkan kelengkungan Bumi (20090613_20091029) 52
3.4.4.2 Proses Estimasi Derajat Koherensi Proses ini dilakukan untuk mencari nilai koherensi fase dari interferogram yang telah dihilangkan kelengkungan Buminya. Proses ini dilakukan dengan menggunakan jendela koherensi 5 baris dan 5 kolom yang merupakan pengaturan biasa digunakan dan fungsi bobot pembesaran triangular. Fungsi bobot pembesaran ini memiliki hasil yang relatif tidak jauh beda untuk semua metode. Gambar 3.12 berikut merupakan gambar koherensi interferogram yang telah dihilangkan kelengkungan bumi pada penelitian.
Gambar 3.12 Gambar koherensi interferogram yang telah dihilangkan kelengkungan Bumi (20100616_20100916) 3.4.4.3 Proses Filtering Interferogram Pada proses ini dilakukan pemfilteran interferogram terhadap noise atau gangguan fase yang ada pada interferogram. Proses ini dilakukan dengan . Proses ini dilakukan dengan menggunakan batas koherensi 0.25 agar batas koherensi yang digunakan tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah. Selain itu untuk parameter lainya digunakan masukan yang biasa digunakan (default). Gambar 3.13 berikut merupakan interferogram yang telah dihilangkan kelengkungan bumi dan telah difilter dari noise.
53
Gambar 3.13 Interferogram yang telah dihilangkan kelengkungan Bumi dan telah difilter dari noise (20090613_20091029) 3.4.4.4 Proses Unwrapping Interferogram Pada proses ini dilakukan pengubahan interferogram yang masih memiliki fase relatif menjadi fase absolut. Proses ini dilakukan dengan menggunakan metode Minimum Cost Flow (MCF) dan masukkan yang biasa digunakan. Sebelum dilakukan unwrapping terlebih dahulu dilakukan masking pada fase dengan korelasi rendah pada interferogram dengan menggunakan batas korelasi 0,25. Gambar 3.14 berikut merupakan gambar interferogram yang telah di-unwrapping
Gambar 3.14 Interferogram yang telah di-unwrapping (20100616_20100916)
54
3.4.4.5 Proses Estimasi Kuadrat Terkecil Baseline Interferogram Pada proses ini dilakukan dengan 3 proses yaitu : 1. Pemilihan titik kontrol tanah 2. Ekstraksi nilai fase yang sudah di-unwrap 3. Estimasi kuadrat terkecil dengan menggunakan titik kontrol tanah dan nilai fase yang sudah di-unwrap Proses pemilihan titik kontrol tanah dilakukan dengan menggunakan RBI Badan Informasi Geospasial. Pemilihan titik-titik kontrol tanah yang dipilih merupakan titik-titik yang dapat diamati dengan jelas. Pemilihan titik ini dilakukan secara manual dengan menggunakan interferogram yang sudah di-unwrap-kan yang kemudian dirasterkan. Selanjutnya dilakukan ekstraksi nilai fase absolut titik kontrol tanah yang kemudian dilanjutkan dengan estimasi kuadrat terkecil dengan menggunakan titik kontrol tanah dan nilai fase yang sudah di-unwrap. 3.4.3.9 Proses Pembentukan Peta Ketinggian Interferometrik Pada proses ini dilakukan pembentukan peta ketinggian interferometrik dengan mengestimasi ketinggian dan ground range dari interferogram. Ketinggian dan ground range ini masih dalam koordinat SAR (slant range atau azimuth) yang kemudian akan diubah menjadi koordinat ortonormal. Untuk melakukannya dilakukan proses resampling dari interferogram sehingga terbentuk peta ketinggian interferometrik dengan koordinat sepanjang jalur dan tegak lurus jallur (along track dan across track). Hasil pembuatan DEM tersebut dapat dilihat pada gambar 3.4. 3.4.5 Pengolahan Interferogram Hingga Menjadi Peta Deformasi Pada proses ini dilakukan proses penghilangan efek topografi pada interferogram dengan menggunakan DEM yaitu DEM Global SRTM 3” dan DEM yang diturunkan dari data SAR sehingga dihasilkan peta deformasi. Gambar 3.6 berikut menggambarkan proses pembuatan peta deformasi. 3.4.5.1 Pengolahan DEM Global SRTM 3” DEM SRTM Global 3” tidak dapat langsung digunakan dan diproses oleh perangkat lunak GAMMA karena memiliki format data yang berbeda yaitu big endian. Untuk itu perlu
55
dilakukan pengubahan format data little endian menjadi big endian. Selain itu pada piksel yang tidak memiliki data berisikan nilai -9999 sehingga perlu diubah menjadi nilai 0.
Interferogram
DEM
Penentuan Transformasi Geometrik Awal
Perbaikan Transformasi Geometrik
Resampling DEM Simulasi Fase Topografi
Penghilangan Fase Topografi Penghilangan Trend Linear Fase Unwrapping Pembentukan Peta Deformasi
Peta Deformasi
Gambar 3.15 Proses pembuatan peta deformasi 56
3.4.5.2 Pengolahan Diferensial Interferogram dengan Menggunakan DEM SRTM Global 3” Hingga menjadi Peta deformasi Pada proses ini dilakukan penghilangan efek topografi pada interferogram yang belum dilakukan
unwrapping
dengan
menggunakan
DEM
SRTM
Global
3”.
Dengan
dihilangkannya efek topografi sehingga interferogram sehingga pada interferogram tersisa fase akibat pergerakan dan atmosfer dan efek lain sebagainya yang dapat diabaikan. Setelah efek topografi dihilangkan kemudian sebelum diubah menjadi peta deformasi terlebih dahulu dilakukan proses unwrapping sehingga fase yang ada pada interferogram merupakan fase absolut. Sebelum dilakukan proses unwrapping terlebih dahulu dilakukan proses masking terhadap interferogram untuk daerah berkolerasi rendah dengan batas korelasi 0,25. Hal ini dilakukan agar daerah yang memiliki korelasi rendah tidak diikutkan dalam proses unwrapping sehingga proses lebih cepat. Setelah itu kemudian dilakukan proses interpolasi interferogram yang telah di-unwrapping untuk mendapatkan daerah yang kosong akibat korelasi rendah. Setelah proses tersebut kemudian dilakukan pembentukan peta deformasi pada interferogram dengan fase absolut sehingga pergerakan dapat diamati dengan baik. Peta deformasi yang dibuat merupakan peta deformasi vertikal sehingga mengabaikan deformasi horizontal yang ada.Hasil peta deformasi dapat dilihat pada gambar 3.15. 3.4.5.2 Pengolahan Diferensial Interferogram dengan Menggunakan DEM Simulasi Hingga menjadi Peta Deformasi Proses ini sama dengan proses pengolahan diferensial dengan menggunakan DEM SRTM Global 3” namun dengan menggunakan DEM simulasi yaitu peta ketinggian interferometrik. Proses ini dilakukan persis sama dengan menggunakan DEM SRTM Global 3” hingga terbentuk peta deformasi. Penghilangan efek topografik dengan menggunakan DEM sumulasidilakukan karena ketelitian pada DEM simulasi yang lebih baik dari DEM SRTM Global 3”. Selain itu DEM simulasi dibuat dari data yang digunakan sehingga korelasi waktu lebih baik. Contoh hasil peta deformasi dapat dilihat pada gambar 3.16.
57
Gambar 3.16 Peta deformasi hasil dengan menggunakan DEM yang diturunkan dari interferogram
58
Gambar 3.17 Peta deformasi hasil dengan menggunakan DEM Global SRTM 3”
59