BAB III DATA DAN PENGOLAHAN DATA
3.1
Data
3.1.1
Data Seismik Data yang dimiliki adalah data seismik hasil migrasi post stack 3-D pada skala waktu
/ time dari Lapangan “X” dengan polaritas normal, fasa nol, sampling interval 2 ms, in-line 24 – 686 dan cross-line 158 – 850 mencakup keseluruhan Formasi Bekasap pada lapangan penelitian. Selanjutnya pada penelitian ini diasumsikan bahwa data seismik yang digunakan telah melewati tahapan processing yang benar dan juga mempunyai preserved velocity yang baik untuk seluruh line, sehingga aplikasi atribut dan interpretasi dilakukan di dalam kawasan waktu. 3.1.2
Data Sumur Pada lapangan “X” ini hanya sumur-1, sumur-4, sumur-6 dan sumur-38 yang
memiliki data log sonik (DT), sehingga untuk well-to-seismic tie pada sumur yang tidak memiliki data log sonik (DT) digunakan data pada sumur yang terdekat. Tabel 3.1 Kelengkapan Data Log Sumur pada Lapangan “X” Well #
Sonic (DT)
Density (RHOB)
LLD
LLS
GR
CALIPER
SP
RT
1
v
v
v
v
v
v
v
v
4
v
v
v
v
v
v
v
v
13
v
v
v
v
v
v
v
v
21
x
v
v
v
v
v
v
v
24
x
v
v
v
v
v
v
v
28
v
v
v
v
v
v
v
v
29
x
v
v
v
v
v
v
v
30
x
v
v
v
v
v
v
v
32
x
v
v
v
v
v
v
v
36
v
v
v
v
v
v
v
v
6
v
v
v
v
v
v
v
v
15
Pemakaian data log dibatasi hanya untuk beberapa jenis log saja sesuai dengan tujuan yang akan dicapai yaitu untuk mendapatkan harga densitas dan kecepatan batuan reservoir. Log sonik akan menghasilkan kecepatan formasi batuan dan log densitas dipakai untuk mendapatkan densitas batuan dalam lubang sumur. Perkalian antara kecepatan dari log sonik (DT) dan densitas dari log densitas (RHOB) akan menghasilkan harga impedansi akustik batuan. Perbedaan impedansi akustik antara dua batuan akan menghasilkan harga koefisien refleksi (RC).
3.1.3 Basemap Peta dasar atau Basemap menunjukkan area dilakukannya penelitian dan nama sumur sumur yang digunakan. Huruf “L” berarti Line sedangkan huruf “T” berarti Trace atau Crossline.
Gambar 3.1. Basemap daerah penelitian
16
3.2 Pengolahan Data Dalam penelitian ini perangkat lunak yang digunakan adalah Openworks 2003 dengan aplikasi program SynTool dan SeisWorks dari Landmark dan SEA 3D PRO dari ffA untuk pekerjaan dekomposisi spektral. Aplikasi SynTool digunakan untuk proses well-toseismic tie sedangkan aplikasi SeisWorks digunakan untuk identifikasi sesar dan penarikan horizon. Tahapan pekerjaan dalam penelitian ini ditampilkan dengan diagram alir pada Gambar 4.2 di bawah ini. 3.2.1 Ekstraksi Wavelet Pada penelitian kali ini mulai dari proses ekstraksi wavelet hingga pembuatan sintetik seismogram dilakukan pada aplikasi Syntool dalam Openworks 2003. Dilakukan ekstraksi wavelet secara statistik dan penentuan wavelet Ricker. Wavelet Ricker dipilih karena memberikan nilai koefisien korelasi yang lebih baik daripada wavelet statistikal. Nilai rata rata koefisien korelasi antara seismogram sintetik dengan data seismik yang didapat apabila menggunakan wavelet statistikal adalah 0.48, sedangkan apabila menggunakan wavelet ricker didapat nilai rata – rata koefisien korelasi sebesar 0.765 (tabel 4.2). Adapun yang menyebabkan wavelet statistikal memiliki nilai koefisien korelasi yang kurang baik adalah kualitas dari data seismik yang tidak terlalu baik, dicirikan dengan banyaknya noise. Wavelet yang digunakan dalam penilitian ini merupakan wavelet Ricker zero phase dengan frekuensi dominan 34 Hz. Wavelet inilah yang digunakan dalam pengikatan data log sumur dengan data seismik (well-to-seismic tie). 3.2.2 Pembentukan Seismogram Sintetik Seismogram sintetik diperoleh dari hasil konvolusi antara koefisien refleksi (Reflection Coefficent atau RC) dengan wavelet yang digunakan. Seperti yang telah diuraikan pada BAB III koefisien refleksi dapat dihitung apabila diketahui nilai log Impedansi Akustik (Acoustic Impedance) pada sumur tertentu yang merupakan hasil perkalian dari nilai log densitas (RHOB) dan cepat rambat gelombang P yang diperoleh dari log sonik (DT). Pada tahapan ini data – data log sumur harus dimasukkan ke dalam aplikasi SynTool agar dapat ditampilkan dan dibuat seismogram sintetiknya. Seismogram sintetik yang baik ditentukan oleh penggunaan wavelet yang tepat, semakin baik seismogram sintetik yang dihasilkan maka korelasi terhadap trace seismik semakin tinggi, sehingga even-even utama dan even-even kecil dapat dikenali. 17
Gambar 3.2 Diagram alir penelitian. Tahapan pada kotak hijau dilakukan menggunakan OpenWorks dan tahapan pada kotak oranye dilakukan menggunakan SEA 3D PRO
18
Tabel 3.2 Tabel nilai koefisien korelasi No
WELL
1 4 2 24 3 28 4 29 5 30 6 13 7 15 8 21 9 22 10 26 11 27 12 32 Rata – rata
(a)
Koefisien Korelasi 0.75 0.82 0.82 0.65 0.63 0.67 0.72 0.78 0.73 0.63 0.81 0.78 0.765
(b)
Gambar 3.3 (a) Grafik parameter wavelet Ricker; bentuk, fasa dan spektrum amplitudo; (b) nilai frekuensi dominan 34 Hz, panjang filter 256 ms dan zero phase
19
3.2.3 Well-to-Seismic Tie Well-to-seismic tie merupakan suatu langkah pengikatan data log sumur dengan data seismik. Prinsipnya, informasi mengenai litologi secara detil diberikan oleh serangkaian data log sumur sedangkan informasi kemenerusan struktur diberikan oleh data seismik, di mana dalam penelitian ini digunakan data seismik 3D. Pada tahapan ini kita perlu menempatkan data log sumur di posisi vertikal yang cocok dengan data seismik. Tingkat kecocokan ini diwakili oleh nilai koefisien korelasi antara seismogram sintetik dengan trace seismik. Sebelum melakukan well-to-seismic tie, harus dilakukan koreksi checkshot untuk mengubah data log sumur yang berada dalam domain kedalaman menjadi ke dalam domain waktu, hal ini penting untuk menjadi pedoman posisi vertikal data log sumur terhadap data seismik. Pilihan untuk melakukan koreksi checkshot terdapat pada jendela start up SynTool seperti yang ditunjukkan pada gambar di bawah ini.
Gambar 3.4 Jendela start up aplikasi SynTool, GR
DT
RHOB
AI
RC
SYNTHETIC
Setelah mengetahui kisaran kedalaman dari marker geologi dilakukan proses stretch-squeeze dilakukan untuk mencocokkan trace seismik dengan trace seismogram sintetik. Stretchsqueeze memiliki batas toleransi pergeseran sekitar 10 ms. Batas pergeseran tersebut 20
Gambar 3.5 Well-to-seismic tie pada Sumur 28 dengan nilai koefisien korelasi 0.82
perlu diperhatikan karena jika melebihi 10 ms akan menyebabkan data sumur mengalami shifting. Hal ini akan berpengaruh pada saat penentuan nilai fasa dari data sumur tersebut, dimana nilai fasanya akan mengalami pergeseran dari nilai fasa sebenarnya. Nilai koefisien korelasi bergantung pada interval korelasi, yaitu rentang di mana korelasi dilakukan, interval korelasi biasanya diatur dalam satuan waktu. Interval korelasi yang baik sepatutnya tidak terlalu lebar dan tidak pula terlalu sempit, akan lebih baik jika digunakan rentang waktu yang di dalamnya terdapat posisi target dan setelah itu tercapai nilai koefisien korelasi maksimum. 3.2.4 Perhitungan Ketebalan Tuning Ketebalan tuning (tuning thickness) merupakan ketebalan minum yang dapat diresolusi oleh seismik. Perhitungan ini dilakukan untuk memberikan gambaran perbandingan antara ketebalan lapisan target dengan kemampuan seismik untuk mendeteksinya. Tabel 4.3 menampilkan informasi ketebalan batupasir yang dijadikan target dan dari hasil perhitungan didapat bahwa ketebalan lapisan target berada di bawah ketebalan tuning. Hal ini mengindikasikan bahwa dekomposisi spektral perlu dilakukan.
21
Tabel 3.3 Ketebalan lapisan batupasir 1440 sd Well# 4 15 21 24 28 29 30 32 36 Average
Thickness (feet) 13 4 0 11 9 9 8 8 0 11.1
Vint = 2915.734 feet/s
fd = 34 Hz
𝝀 = v/f =
𝝀/4 = 21.44 feet
= 171.51 feet
Keterangan : Vint = Cepat rambat gelombang seismik pada lapisan target fd = frekuensi dominan 𝝀 = panjang gelombang seismik Vint didapat menggunakan hubungan antar Vrms dengan Vint. Hubungan tersebut menurut persamaan Dix yang secara matematis dituliskan sebagai berikut :
(VRMS n ) 2 t n (VRMS ) 2 t n 1 n1 Vint t n t n 1
1/ 2
..............................(14)
3.2.5 Interpretasi Sesar dan Penarikan Horizon Interpretasi seismik diperlukan untuk mendapatkan informasi mengenai kondisi geologi suatu daerah baik secara struktural atau secara stratigrafi. Interpretasi ini bermanfaat dalam identifikasi jalur migrasi sampai dengan mekanisme pemerengkapan hidrokarbon. Interpretasi sesar pada tahapan sangatlah penting untuk menjadi pedoman kemenerusan lapisan target untuk tahap penarikan horizon. Pada penelitian ini tahap interpretasi sesar dan penarikan horizon dibantu dengan aplikasi Seisworks dari perangkat lunak OpenWorks.
22
Interpretasi sesar menggunakan bantuan perangkat lunak secara umum sama dengan interpretasi sesar manual yaitu dengan membuat garis ketidak menerusan dari lapisan di mana sesar itu berada. Adapun kelebihan dari penggunaan perangkat lunak adalah kemampuan untuk melihat penampang seismik dari segala arah, tidak terbatas pada inline dan crossline saja, namun dapat dibuat penampang dengan jalur yang ditentukan sendiri oleh pengguna pada peta dasar. Kelebihan lainnya yaitu dapat dibuat potongan waktu (time slice) dari seismik 3D yang dapat memudahkan pengguna untuk melihat trend patahan apabila terdapat sesar mayor pada lapangan penelitiannya, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4.5. Interpretasi sesar Penarikan horizon harus berhenti pada bidang sesar guna mendapatkan nilai heaves (dislokasi horizontal). Oleh sebab itu, penarikan sesar lebih baik dilakukan terlebih dahulu sebelum penarikan horizon. Sesar merupakan rekahan pada batuan yang telah mengalami pergeseran, sehingga sesar pada penampang seismik ditunjukkan oleh terpotongnya horizon seismik oleh bidang sesar. Penarikan sesar dilakukan mulai dari pergeseran horison yang nampak jelas dan diteruskan pada zona pergeseran itu secara vertikal. Picking sesar dengan pergeseran yang kurang jelas sangat bersifat interpretatif, sehingga setiap orang dapat melakukan dengan hasil yang berbeda – beda. Penentuan indikasi sesar atau patahan dicirikan oleh kriteria sebagai berikut :
Diskontinuitas horizon atau dislokasi kemenerusan refleksi horison secara tiba-tiba
Perubahan kemiringan horison secara mendadak
Terjadinya penebalan atau penipisan lapisan diantara dua horison
Fault shadow, yaitu rusaknya data di daerah (zona) tersesarkan
Kuat atau lemahnya refleksi karena perbedaan densitas pada blok patahan
Interpretasi horizon Penarikan horizon bermaksud untuk menentukan lapisan yang menjadi target penelitian. Dengan menggunakan data marker dari sumur yang telah diikat melalui proses well-to-seismic tie, lapisan batupasir 1440 sd dapat ditentukan. Karena data seismik yang digunakan adalah data seismik 3D, maka perlu dilakukan penarikan horizon dalam arah inline dan crossline. Pada penelitian ini dilakukan penarikan horizon setiap 10 inline dan 10 23
crossline. Kemudian horizon tersebut diinterpolasi untuk membuat suatu lapisan yang disebut lapisan 1440 sd. Horizon 1440 sd ini memuat informasi koordinat X, Y dan Z titik – titik pada lapisan 1440 sd sehingga dapat ditampilkan secara 3 dimensi seperti data kubus seismik dengan bantuan perangkat lunak seperti SEA 3D PRO. Hal ini memungkinkan bagian tinggian dan rendahan pada lapisan 1440 sd sangat terlihat jelas dari horizon ini.
Gambar 3.6 Potongan waktu (time slice) pada waktu 510 ms
Well-29
1440 sd
Gambar 3.7 Hasil penarikan sesar dan horizon pada line 328 yang melewati sumur 29 24
3.2.6 Analisis Struktur Bawah Permukaan Analisis struktur bawah permukaan dilakukan dengan pembuatan peta struktur waktu atau yang sering disebut dengan time structure map. Pembuatan peta struktur waktu ini dibantu dengan aplikasi Z-MAP Plus dari OpenWorks. Peta tersebut dibuat berdasarkan horizon 1440 sd yang telah dibuat sebelumnya dan seluruhnya berada pada formasi bekasap. Pemetaan struktur bawah permukaan ini menggunakan skala waktu (milidetik) agar dengan mudah menghubungkan informasi pada peta dengan data seismik. Peta struktur waktu dapat dilihat pada Gambar 4.7. Dalam keperluan pemboran sangat dibutuhkan informasi posisi kedalaman formasi reservoir, sehingga peta struktur waktu tersebut perlu dikonversi menjadi peta struktur kedalaman. Konversi waktu ke kedalaman dapat dilakukan dengan menggunakan data velocity model yang memberikan informasi kecepatan gelombang pada setiap kedalaman lapisan.
N
Gambar 3.8 Peta struktur waktu lapisan 1440 sd
3.2.7 Dekomposisi Spektral Pemetaan persebaran batupasir tipis minyak untuk penelitian ini dilakukan dengan metode atribut dekomposisi spektral. Lapisan batupasir tipis yang menjadi target penelitian telah dibuat ke dalam horizon 1440 sd dan siap untuk dipetakan. Tahapan untuk penelitian ini 25
dibantu dengan adanya perangkat lunak SEA 3D PRO dari ffA. Demi mencapai hasil yang baik, dilakukan pengurangan kadar noise pada data seismik 3D dengan modul – modul yang terdapat dalam SEA 3D PRO (Gambar 3.9). Modul – modul penghilangan noise pada perangkat lunak ini antara lain : TDifussion, SO Noise Filter dan SO FMH (Structurally Oriented : Finite Mean Hybrid).
(a)
(b)
Gambar 3.9 Penampang Seismik (a) sebelum pengurangan noise; dan (b) setelah pengurangan noise Modul terakhir yang digunakan pada penelitian ini adalah SO FMH filter yang berguna untuk menghilangkan random noise dan coherent noise pada data dan dalam waktu yang bersamaan menjaga detil penting seperti sudut dan dip curam pada struktur. Output dari filter ini kemudian dijadikan sebagai input untuk dekomposisi spektral. Gambar 3.10 menunjukkan jendela menu program “Frequency Decomposition” pada perangkat lunak SEA 3D PRO, di mana penulis memasukkan data dan parameter dekomposisi spektral yang hendak dilakukan. Pada jendela ini terdapat 6 (enam) buah tab yang masing – masing memiliki fungsi tersendiri dan digunakan secara berurutan. Tab pertama bernama “Set Source”, di sini pengguna dapat menentukan volume input berupa data seismik yang akan digunakan untuk proses dekomposisi spektral dan menentukan tipe tampilan yang diinginkan. Terdapat dua tipe tampilan yang dapat dipilih : potongan waktu dan horizon. Pada penelitian ini penulis memilih tipe tampilan horizon dengan memasukkan data horizon 1440 sd. Tab kedua bernama “Set Spectrum”, bagian ini berguna untuk mengatur pilihan dekomposisi dan spektrum frekuensi yang digunakan dalam
26
(a)
(b)
Gambar 3.10 (a) Pengaturan sumber yang akan dijadikan input volume dan jenis tampilan yang dikehendaki; (b) Pemilihan pilihan dekomposisi Constant Q dan spektrum frekuensi
dekomposisi spektral. Pada penelitian ini dipilih mode “Constant Q” karena memiliki kelebihan dalam melokalisasi waktu dan frekuensi, ditambah lagi dengan maksud menganalisis perubahan spektral yang berhubungan dengan even – even seismik individual (Henderson, 2007). Tab ketiga bernama “Choose Preview” di mana terdapat dua pilihan tampilan hasil dekomposisi spektral : Normal Preview Mode dan Colour Blend Preview Mode. Karena kemampuannya untuk menghasilkan RGB colour blend, maka dipilih Colour Blend Preview Mode. Tab keempat dan kelima masing – masing bernama “Data Preview” dan “Colour Blend Preview” yang memudahkan pengguna untuk melihat seperti apa tampilan hasil dekomposisi spektral setelah program “Frequency Decomposition” ini dijalankan. Setelah itu pengguna dapat menentukan nilai frekuensi yang diwakili oleh masing – masing channel warna merah, hijau dan biru (Red, Green dan Blue). Dalam penelitian ini penentuan nilai
Gambar 3.11 Parameter frekuensi RGB, masing – masing warna mewakili frekuensi tertentu 27
frekuensi yang digunakan ditempuh dengan cara trial and error, setelah itu ditemukan nilai nilai frekuensi yang memberikan hasil terbaik, yaitu 15 Hz, 20 Hz dan 22 Hz (Gambar 3.11). Hasil dekomposisi spektral dengan menampilkan frekuensi – frekuensi tinggi, yaitu frekuensi 28.57 Hz, 32.86 Hz dan 37.14 Hz, dari data seismik ditampilkan pada Gambar 3.14. Tampilan warna – warna pada horizon 1440 sd merupakan representasi dari frekuensi data seismik yang menjadi input dekomposisi spektral. Jika terdapat warna merah pada suatu daerah berarti pada daerah tersebut didominasi oleh frekuensi seismik 15 Hz, warna hijau berarti pada daerah tersebut didominasi oleh frekuensi seismik 20 Hz dan warna biru berarti pada daerah tersebut didominasi oleh frekuensi seismik 22 Hz. Apabila terdapat warna yang tidak sama dengan warna merah, hijau dan biru artinya pada daerah dengan warna yang berbeda itu terdapat lebih dari satu frekuensi seismik yang dominan, sehingga terjadi percampuran warna antara merah, hijau dan biru. Setelah RGB colour blend dipetakan pada horizon, posisi sumur dapat dimasukkan, sumur – sumur tersebut memiliki marker 1440 sd dan telah melewati proses well-to-seismic tie. Masing – masing sumur memiliki koordinat World X (Easting) dan World Y (Northing) yang dapat diambil dari data logging sumur. Koordinat ini digunakan untuk menempatkan posisi sumur terhadap horizon dan dimasukkan secara manual. Sumur – sumur yang telah ditempatkan pada hasil RGB colour blend diberi warna sesuai dengan keberadaan hidrokarbon pada leven 1440 sd. Warna kuning diberikan kepada sumur yang pada level 1440 sd terisi hodrokarbon, sedangkan warna abu – abu diberikan kepada sumur yang pada level 1440 sd tidak terisi hidrokarbon. Sehingga seperti yang ditunjukkan Gambar 3.13 di mana terdapat 6 (enam) buah sumur yang berisi minyak dan 3 (tiga) buah sumur yang tidak berisi minyak. 3.2.8 Korelasi Log Sumur Setelah melakukan pengolahan data di atas, dilakukan korelasi stratigrafi antar log sumur yang yang digunakan dalam penelitian ini. Korelasi ini dibantu dengan aplikasi StratWorks dari OpenWorks dan bertujuan untuk melihat kemenerusan hubungan waktu antar litologi, terutama lapisan target 1440 sd. Korelasi antar sumur dalam penelitian kali ini dilakukan untuk mengetahui pola penyebaran ketebalan Formasi Bekasap. Interpretasi setiap well dilakukan dengan melihat nilai Gamma Ray dimana ditentukan nilai cut-off yang di-
28
(a)
(b) Gambar 3.12 Tampilan pada perangkat lunak SEA 3D PRO dari (a) Horizon 1440 sd dan (b) RGB colour blend pada horizon 1440 sd 29
gunakan adalah 100 API (50%) yang ditentukan berdasarkan kecocokan data log sumur pada Formasi Bekasap dengan data cutting dan analisis core.
Gambar 3.13 RGB colour blend dengan sumur – sumur yang dimasukkan. Sumur berwarna kuning merupakan sumur yang berisi minyak sedangkan sumur yang berwarna abu - abu merupakan sumur yang tidak mengandung minyak
N
Gambar 3.14 Hasil Dekomposisi Spektral dengan frekuensi tinggi (Merah = 28.57 Hz, Hijau = 32.86 Hz dan Biru = 37.14 Hz)
30
Lintasan penampang korelasi pertama berada dalam arah Tenggara – Barat Laut. Lintasan ini melewati sumur 13, sumur 32, sumur 21 dan sumur 36 secara berurutan. Kedalaman yang digunakan dalam korelasi ini adalah True Depth Sub Sea (TVDSS) yang berada pada satuan feet dan intreval jarak 40 feet, untuk korelasi ini terdapat tiga buah marker yang dikorelasi untuk keempat sumur tersebut, yaitu : “M” marker, 1440 sd dan 1460 sd. Dari hasil korelasi didapat bahwa trend posisi batupasir lapisan tipis 1440 sd menaik ke arah Barat Daya dari sumur 13 sampai dengan sumur 21, dan kemudian kembali naik ke sumur 36. “M” marker juga memiliki trend menaik dari sumur 13 sampai dengan sumur 21, namun kemudian mendatar dari sumur 21 ke sumur 36.
Pada sumur 21, respon log Gamma Ray
mengindikasikan tidak adanya batupasir 1440 sd, sedangkan di tiga buah sumur lainnya tedapat batupasir 1440 sd. Lintasan penampang korelasi kedua berada dalam arah Barat – Timur. Lintasan ini melewati sumur 4, sumur 29 dan sumur 28 secara berurutan. Sumur 30 tidak disertakan karena tidak ditemukannya data log pada saat pembuatan daftar sumur (Well List). Kedalaman yang digunakan dalam korelasi ini juga berada pada satuan feet dan terdapat tiga buah marker yang dikorelasi untuk keempat sumur tersebut, yaitu : “M” marker, 1440 sd dan 1460 sd. Dari hasil korelasi didapat bahwa marker 1440 sd memiliki trend menaik dari sumur 4 ke sumur 29, kemudian mendatar dari sumur 29 ke sumur 28. Sedangkan “M” marker dan 1460 sd relatif memiliki trend yang sama, yaitu menaik antara sumur 4 dan sumur 29, kemudian turun dengan sudut kecil dari sumur 29 ke sumur 28.
3.2.9 Penampang Seismik sesuai dengan Lintasan Korelasi Data seismik 3D memberikan keleluasaan untuk melihat potongan seismik melalui berbagai arah lintasan. Setelah melakukan korelasi log sumur dan mendapatkan trend garis waktu dari 1440 sd, penampang seismik dari lintasan yang sama ditampilkan untuk melihat kondisi struktur yang terekam pada data seismik. Aplikasi Seisworks kembali digunakan untuk keperluan menampilkan penampang seismik, namun yang berbeda dengan saat penarikan horizon pada kesempatan ini digunakan pemilihan jalur potongan titik ke titik atau point to point, sehingga memungkinkan pengguna untuk melihat penampang seismik sesuai dengan jalur yang dikehendaki.
31
Gambar 3.18 menunjukkan perbandingan penampang seismik yang melalui lintasan pertama dan kedua. Dari gambar tersebut terlihat adanya garis hitam vertikal yang membatasi penampang seismik. Garis ini disebabkan oleh penggunaan fitur pemilihan jalur lintasan point to point sehingga pada window seismic view ditampilan multi panel display. Kekurangan dari tampilan ini adalah pengguna tidak dapat memperbesar gambar dengan cara zoom in, namun gambar dapat diperbesar dengan memilih perintah “magnify” walaupun hasil yang diberikan kurang baik. Dari tampilan penampang seismik terlihat bahwa pada lintasan pertama horizon 1440 sd memiliki trend menaik ketika melewati masing – masing sumur, sedangkan penampang seismik pada lintasan kedua horizon 1440 sd menaik antara sumur 4 dan sumur 28 dan kemudian mendatar antara sumur 28 dan sumur 29. Hal ini berarti terdapat kecocokan antara hasil korelasi dengan penaampang seismik yang menggunakan lintasan yang sama.
32
Gambar 3.15 Korelasi log sumur 13, 32, 21 dan 36 33
Gambar 3.16 Korelasi log sumur 4, 29 dan 28 34
N
Gambar 3.17 Lintasan korelasi daerah penelitian; garis hijau bawah merupakan lintasan pertama, dan garis hijau atas merupakan lintasan kedua
35
1440 sd
Well 32
Well 29
Well 21
Well 13
Well 30 Well 28
Well 36
Well 4
(a)
(b)
Gambar 3.18 Perbandingan penampang seismik antara dua lintasan korelasi : (a) Lintasan yang melewati sumur 13, 32, 21 dan 36; (b) Lintasan yang melewati sumur 4, 29 dan 28
36