70
BAB. V KESIMPULAN, SARAN DAN RINGKASAN A. Kesimpulan 1. Seroprevalensi antibodi IgG anti-T. gondii pada penderita skizofrenia tidak lebih tinggi dari kelompok non-skizofrenia, namun dapat dikatakan tinggi karena >40%. Seroprevalensi kelompok skizofrenia sebesar 69,14% dan kelompok nonskizofrenia sebesar 65,625%. Berdasarkan analisis bivariat dengan Chi-Suare diketahui bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan dari kedua kelompok tersebut. 2. Faktor risiko toksoplasmosis yang memiliki hubungan terhadap seroprevalensi toksoplasmosis pada kelompok skizofrenia antara lain konsumsi daging bakar/panggang, kontak dengan daging mentah/tanah, sumber air, konsumsi air mentah dan kebiasaan cuci tangan. Pada kelompok non-skizorenia, faktor risiko yang memiliki hubungan dengan seroprevalensi toksoplasmosis antara lain kepemilikan hewan ternak, konsumsi daging bakar/panggang, dan sumber air. Faktor risiko yang tidak memiliki hubungan pada kedua kelompok antara lain usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, lama penyakit skizofrenia, konsumsi sate (sapi, kambing, ayam, dan kelinci), konsumsi sayuran mentah, aktivitas keluar rumah, dan kebiasan mandi.
71
B. Saran 1. Perlu dilakukan survei langsung ke tempat tinggal penderita skizofrenia untuk mengetahui kondisi kebersihan diri mereka sehingga dapat dilakukan upaya untuk mengurangi risiko tertular toksoplasmosis. 2. Perlu dilakukan edukasi tentang pentingnya menjaga kebersihan diri yang berhubungan dengan faktor risiko toksoplasmosis pada keluarga atau orang terdekat yang secara langsung berhubungan dengan penderita skizofrenia.
C. Ringkasan
1. Latar Belakang Toksoplasmosis merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh infeksi parasit spesies Toxoplasma gondii. Menurut Soedarto (2011), T. gondii adalah parasit intraseluler yang hidup di dalam sel-sel manusia maupun hewan (mamalia dan unggas). Prevalensi toksoplasmosis berbeda di beberapa negara dan dihubungkan dengan berbagai faktor, seperti umur, kebiasaan makan dan keberadaan kucing domestik (Tenter et al.,2000). Prevalensi toksoplasmosis di Indonesia berbeda di berbagai daerah. Vander Veen menyatakan prevalensi di Surabaya, Jawa Timur sebesar 63% (Chahaya, 2003), Jakarta 75% (Terezawa et al., 2003), Daerah Istimewa Yogyakarta sebesar 61.5% (Sudjono, 2010),dan Jawa Tengah bagian selatan sebesar 62,54% (Retmanasari, 2015). Manusia dapat terinfeksi T. gondii dengan cara
72
kebiasaan konsumsi daging yang kurang matang, konsumsi makanan atau minuman yang terkontaminasi ookista T. gondii, penularan transplasenta dari ibu ke janin, tranfusi darah, transplantasi organ, dan lain-lain. Pada kasus toksoplasmosis sering tidak menimbulkan gejala, namun pada sebagian kasus akan menimbulkan gejala yang parah, seperti hidrosepalus, mikrosepalus, kalsifikasi intrakranial, kerusakan retina, abses otak, retardasi mental, limfadenopati, dan gejala lainnya (Torrey and Yolken, 2003). Seroprevalensi toksoplasmosis berhubungan dengan beberapa faktor risiko yang berkaitan dengan pola transmisi. Masyarakat di area urban maupun rural yang kurang memiliki informasi tentang pola transmisi toksoplasmosis memiliki risiko terinfeksi toksoplasmosis lebih besar dibandingkan masyarakat yang telah mengetahui informasi tersebut dan menerapkan pola hidup sehat. Sekelompok individu yang memiliki keterbatasan dalam mengolah informasi memiliki risiko yang besar pula, seperti pada sekelompok penderita gangguan jiwa termasuk skizofrenia. Skizofrenia menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia merupakan penyakit dominan dari seluruh gangguan jiwa, dimana 70% dari total gangguan jiwa di Indonesia adalah skizofrenia. Menurut data riset kesehatan dasar tahun 2013, prevalensi skizofrenia di Indonesia sebesar 0,17% dan provinsi dengan prevalensi tertinggi adalah Aceh dan Daerah Istimewa Yogyakarta yaitu sebesar 0,27%. Penelitian Alvarado-esuivel et al., (2006) tentang seroprevalensi toksoplasmosis pada
73
beberapa penderita gangguan jiwa di Meksiko menunjukkan hasil signifikan pada gangguan jiwa jenis skizofrenia dan alzeimer. Skizofrenia merupakan sekelompok reaksi psikotik yang mempengaruhi berbagai area fungsi individu, termasuk berfikir dan berkomunikasi, menerima dan menginterpretasikan realitas, merasakan dan menunjukan emosi serta berperilaku dengan sikap yang tidak dapat diterima secara sosial (Isaacs, 2005). Pada penderita skizofrenia kemampuan mengolah informasi mengalami kemunduran sehingga beberapa hal yang dapat menyebabkan penyakit kurang diketahui sehingga kemungkinan infeksi toksoplasmosis lebih tinggi. Para penderita skizofrenia memiliki kebiasaan sehari-hari yang mungkin dapat memicu infeksi seperti kebiasaan diri membersihkan diri yang sulit dilakukan atas kemauan sendiri, sehingga dibutuhkan peran keluarga atau orang dekat untuk selalu mengontrol kegiatan yang berhubungan kebersihan. Selain itu, kebiasaan keluar rumah tanpa pendamping sering dilakukan penderita skizofrenia sehingga penderita dapat mengkonsumsi apa saja yang ditemui tanpa mengetahui bahwa makanan tersebut bersih atau tidak.
Makanan yang
diperoleh penderita skizofrenia dari lingkungan yang tidak layak atau kotor dapat terkontaminasi ookista T. gondii. Pada beberapa kasus toksoplasmosis di populasi umum, faktor risiko pola konsumsi makanan memiliki hubungan dengan penularan toksoplasmosis. Beberapa jenis makanan yang dapat menyebabkan toksoplasmosis adalah makanan olahan daging yang kurang matang, konsumsi sayuran mentah dan buah yang tidak dicuci sempurna. Pengetahuan keluarga mengenai faktor risiko
74
toksoplasmosis berperan penting karena sebagian besar aktivitas konsumsi makanan dan aktivitas lainnya dilakukan di lingkungan tempat tinggal. Ketidaktahuan keluarga mengenai pola konsumsi yang sehat dapat menjadi penyebab infeksi T. gondii. Berdasarkan hasil penelitian Sudjono (2010) di populasi umum di wilayah Yogyakarta menunjukkan beberapa faktor risiko yang memiliki hubungan dengan toksoplasmosis, antara lain jenis kelamin, kontak dengan kucing, tinggi dataran (geografi), konsumsi daging kambing kurang matang, konsumsi sayuran mentah, pekerjaan yang ada kontak dengan daging ternak mentah dan tanah. Seroprevalensi toksoplasmosis yang tinggi berhubungan dengan prevalensi toksoplasmosis pada hewan ternak, seperti sapi, kambing, babi, ayam, itik, dan lainlain. Prevalensi toksoplasmosis pada kambing dan sapi di Yogyakarta adalah 78% dan 21% (Artama, 2008). Daging kambing dan sapi biasanya dikonsumsi dalam bentuk sate yang diperdagangkan, dapat diduga pada daging tersebut masih terdapat kista dan tidak semua kista mati akibat pengolahan. Penanganan daging ternak mentah juga berpotensi menyebabkan infeksi T. gondii pada tukang jagal, pedagang, dan juru masak melalui perlukaan atau kurangnya kebersihan (Sudjono, 2010). Beberapa studi epidemiologi yang dilakukan pada pekerja Rumah Pemotongan Hewan (RPH) dan penjual daging di Surabaya menunjukan toksoplasmosis yang tinggi sebesar 85% dan pada pemotong kambing diluar RPH sebesar 80%, dan pada penjual daging kambing sebesar 80% (Winarno, 2006). Infeksi T. gondii tidak hanya disebabkan konsumsi daging, namun dapat juga akibat konsumsi sayuran mentah
75
sebagai lalapan dan sumber air yang digunakan untuk keperluan sehari-hari yang dimungkinkan terkontaminasi ookista T. gondii. Sumber air
yang dapat
terkontaminasi adalah air yang tidak melalui pengolahan kimiawi atau proses filtrasi, sehingga ookista tetap bertahan hidup. Gangneux and Marie (2012) menyatakan bahwa ookista tidak dapat bertahan hidup pada air yang mengalami filtrasi, klorinasi, treatmen ozon, kondisi dingin dan kondisi panas. Di Brazil pernah dilaporkan bahwa penduduk yang menggunakan air minum yang tidak difiltrasi mempunyai risiko toksoplasmosis dengan odd ratio sebesar 3,0 (Bahia-oliviera et al.,2003). Pencemaran
ookista
di
lingkungan
berpotensi
menyebarkan
infeksi
toksoplasmosis pada kucing yang belum terinfeksi atau kepada mamalia termasuk manusia. Manusia juga dapat tercemar ookista di tanah misalnya bila menkonsumsi sayuran mentah yang tercemar tinja kucing. Bobic (1998) menyatakan bahwa kebiasaan kontak langsung dengan tanah seperti petani atau berkebun memiliki hubungan dengan toksoplasmosis, sedangkan kontak dengan kucing tidak ada hubungan dengan kejadian toksoplasmosis. Penelitian sudjono (2010) pada populasi umum menunjukkan adanya hubungan kontak dengan daging mentah dan tanah di Daerah Istimewa Yogyakarta. Kasus toksoplasmosis pada masyarakat terjadi pada berbagai umur, kalangan dan tingkat pendidikan. Prevalensi toksoplasmosis dinyatakan meningkat dengan meningkatnya umur, bahkan pada wanita usia subur peningkatan titer antibodinya sebesar 0.8% per tahum (Hokelek, 2006; Leblebicioglu, 2008). Jenis kelamin
76
perempuan memiliki kerentanan terinfeksi T. gondii berkisar 4-100% (Ishaku, 2009). Penelitian toksoplasmosis pada skizofrenia oleh Alvarado-esquivel et al., (2006) menunjukkan bahwa individu skizofrenia pada kelompok umur 25-34 tahun, 45-54 than, 55-64 tahun memiliki hubungan terhadap seroprevalensi toksoplasmosis. Penelitian Omar et al., (2015) dan Juannah et al., (2013) menunjukkan adanya hubungan
tingkat
pendidikan
penderita
skizofrenia
dengan
seroprevalensi
toksoplasmosis di Malaysia. Individu skizofrenia yang tidak menempuh pendidikan perguruan tinggi dinyatakan lebih berisiko untuk terinfeksi T. gondii dikarenakan informasi yang diperoleh pada saat menempuh pendidikan tidak mencakup informasi mengenai risiko toksoplasmosis, walaupun informasi mengenai pentingnya menjaga kebersihan sudah diberikan. Kondisi ini didukung dengan kemampuan individu skizofrenia yang mengalami kesulitan dalam menerima dan menginterpretasikan informasi yang diterimanya (Isaac, 2005). Emelia et al.,(2012) dalam penelitiannya memasukkan kategori lama penyakit skizofrenia menjadi kurang dari 10 tahun dan lebih dari 10 tahun yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh lama pengobatan terhadap seropositif toksoplasmosis. Respon manusia terhadap T. gondii berhubungan dengan status imunitas manusia yang terinfeksi, strain T. gondii dan lamanya infeksi (Suzuki, 2002). Respon imun yang berperan dalam infeksi T. gondii adalah sistem imun humoral dan sistem imun seluler. Respon imun humoral dengan diproduksi antibodi IgG dan IgM digunakan sebagai alat deteksi toksoplasmosis dengan menerapkan metode ELISA.
77
Keberadaan respon imun humoral sangat esensial dalam memberikan perlindungan pada hospes. Respon imun humoral berkaitan dengan bentuk takizoit yang aktif dan invasif dalam sistem sirkulasi. Immunoglobulin M dan G berperan utama dalam sirkulasi (Subekti et al, 2006). Immunoglobulin G dapat menembus plasenta masuk ke janin dan berperan pada imunitas bayi sampai umur 6-9 bulan. Tingginya prevalensi toksoplasmosis pada masyarakat dimungkinkan karena kurangnya pengetahuan masyarakat tentang faktor risiko toksoplasmosis, sehingga kecenderungan
individu
yang
mengalami
skizofrenia
lebih
besar
akibat
ketidakmampuan individu tersebut dalam menerima dan memproses informasi. Penelitian mengenai seroprevalensi toksoplasmosis pada skizofrenia sudah banyak dilakukan di berbagai negara dan beberapa penelitian tersebut menunjukan bahwa seroprevalensi pada penderita skizofrenia lebih tinggi dibandingkan pada populasi umum, seperti di Turki pada skizofrenia sebesar 61% dan kontrol 45% (Yuksel et al., 2010), di Iran sebesar 57% pada skizofrenia dan 29% pada kontrol (Hamidinejat et al.,2010), di Ethiopia sebesar 97% pada skizofrenia dan 87% pada kontrol (Tedla et al., 2011), di Meksiko sebesar 20% pada skizofrenia dan 5% pada kontrol (Alvaradoesquival et al., 2011), dan di Malaysia sebesar 51,5% pada skizofrenia dan 18,2% pada kontrol (Omar et al., 2015). Tingginya seroprevalensi toksoplasmosis pada penderita skizofrenia di beberapa Negara tersebut dan tingginya seroprevalensi toksoplasmosis di Daerah Istimewa Yogyakarta pada penelitian Sudjono (2010) yang
78
mendasari perlunya dilakukan penelitian tentang seroprevalensi dan faktor risiko toksoplasmosis pada penderita skizofrenia di Daerah Istimewa Yogyakarta. 2. Tinjauan Pustaka Toksoplasmosismerupakan penyakit akibat infeksi protozoa darah dan jaringan yaitu Toxoplasma gondiiyang dapat menginfeksi pada manusia dan hewan. Toxoplasma gondii adalah parasit intraseluler yang hidup di dalam sel-sel sistem retikulo-endotel dan sel parenkim manusia maupun hewan mamalia, terutama kucing dan unggas (Soedarto, 2011). T. gondii pertama kali ditemukan oleh Nicolle dan Manceaux pada tahun 1908 yang diisolasi dari sejenis tikus Afrika Utara yaitu Ctenodactylus gondii (Black and Boothroyd, 2000). Morfologi T. gondii dibedakan berdasarkan stadium perkembangannya yaitu stadium ookista dan trofozoit. Ookista terdapat dalam tinja kucing (hospes definitif) berukuran lebar 9-11πm dan panjang 11-14 πm, berisi dua sporokista yang masing-masing sporokista berisi 4 sporozoit. Ookista berbentuk lonjong, berukuran 11-14 x 9-11 mikron. Stadium trofozoit terbagi menjadi dua bentuk, yaitu Takizoit dan Bradizoit. Takizoit merupakan bentuk aktif yang mampu berproliferasi secara cepat, sedangan bradizoit merupakan bentuk inaktif yang berproliferasi lambat. Takizoit memperbanyak diri secara cepat di dalam berbagai macam sel tubuh hospes intermediet (manusia dan hewan) dan sel epithelial intestinal dari hospes definitif (kucing). Bentuk takizoit didalamnya terdapat berbagai organela dan inclusion bodies, yaitu pellicle (lapisan luar), apical ring, polar ring, conoid, rhoptries, microneme, micropore, mitochondria, sub pellicular microtubule,
79
Retikulum Endoplasma kasar dan halus, kompleks golgi, ribosom, inti, granula padat, granula amylopectin apicoplast (AJioka, 2011).Bradizoit adalah bentuk trofozoit dari T. gondii yang memperbanyak diri secara lambat di dalam jaringan. Bradizoit dapat ditemukan di berbagai organ visceral, misalnya paru-paru, hati, ginjal, namun lebih sering dijumpai pada jaringan saraf dan otot, misalnya otak, mata, otot skeletal, dan myocardium (Dubey et al., 1998). Daur hidup T. gondii melalui dua siklus yaitu siklus enteroepitel dan siklus ekstraintestinal. Siklus enteroepitelial di dalam tubuh hospes definitif berupai kucing. Di dalam tubuh host definitive (kucing), di usus akan terjadi perkembangan secara aseksual pada sel pertama dan terbentuk merozoit. Merozoit akan memasuki sel usu lain dan mengalami perkembangan aseksual sampai kurang lebih 5 kali siklus (Frenkel, 1973). Beberapa merozoit kemudian akan berkembang menjadi gametosit dan berada di usus halus pada 3 – 15 hari setelah infeksi (Dubey et al., 2004) Fertilisasi makrogametosit dan mikrogametosit terjadi di enterosit dan dihasilkan zigot. Zigot yang terbentuk kemudian akan berkembang berubah menjadi ookista dan keluar bersama dengan tinja kucing (Zaman, 1997). Siklus ekstraintestinal terjadi di dalam tubuh hospes perantara seperti manusia, kambing dan domba. Pada siklus ekstraintestinal, ookista yang keluar bersama tinja kucing belum bersifat infektif. Pada lingkungan yang sesuai akan mengalami sporulasi sehingga ookista akan berisi sporozoit dan menjadi bentuk yang infektif. Masing-masing ookista mengandung 2 sporokista dan setelah 48 jam akan
80
terbentuk 4 sporozoit 4 sporozoit pada setiap sporokista. Ookista dengan 8 sporozoit di dalamnya jika tertelan kucing akan mengulangi siklus hidup seksual dalam tubuh kucing (Kasper, 2008). Manusia dapat terinfeksi oleh T. gondii dengan berbagai cara. Pada toksoplasmosis kongenital, transmisi dapat terjadi pada janin melalui plasenta apabila ibu mendapat infeksi primer sewaktu hamil. Pada toksoplasmosis akuista (dapatan), infeksi dapat terjadi apabila seseorang mengkonsumsi daging mentah atau kurang matang dimana daging tersebut mengandung trofozoit T. gondii (Muslim HM., 2009). Tercemarnya alat-alat untuk masak dan tangan oleh bentuk infektif parasit ini pada waktu pengolahan makanan merupakan sumber lain untuk penyebaran T. gondii. Pada orang yang tidak makan daging memiliki kemungkinan yang sama terinfeksi T. gondii apabila ookista yang dikeluarkan dengan tinja kucing tertelan. Kontak yang sering terjadi dengan hewan terkontaminasi atau dagingnya, dapat dihubungkan dengan adanya prevalensi yang lebih tinggi di antara dokter hewan, mahasiswa kedokteran hewan, pekerja di rumah potong hewan dan orang yang menangani daging mentah seperti juru masak (Chahaya, 2003). Cara tranmisi lainnya melalui transplantasi organ tubuh dari donor penderita toksoplasmosis laten kepada resipien yang belum pernah terinfeksi T. gondii. Infeksi juga dapat terjadi di laboratorium pada orang yang bekerja dengan binatang percobaan yang diinfeksi dengan T. gondii yang hidup (Muslim HM., 2009).
81
Skizofrenia merupakan salah satu gangguan kejiwaan berat dan menunjukkan adanya disorganisasi (kemunduran) fungsi kepribadian, sehingga menyebabkan disability (ketidakmampuan) (Maramis, 1994 dalam Suryani, 2004). Gangguan jiwa jenis ini dapat terjadi mulai sekitar masa remaja dan kebanyakan pada laki-laki menjadi sakit pada usia antara 15-35 tahun, sedangkan pada perempuan kebanyakan penampakan gejala antara usia 25-35 tahun (Kaplan, et al., 1991). Gangguan kejiwaan skizofrenia ini sering menyebabkan kegagalan individu dalam mencapai berbagai keterampilan yang diperlukan untuk hidup yang menyebabkan penderita menjadi beban keluarga dan masyarakat (Chandra, 2004). Skizofrenia dikelompokkan menjadi dua tipe, tipe I ditandai dengan menonjolnya gejala-gejala positif seperti halusinasi, delusi atau asosiasi longgar, sedangkan tipe II ditemukan gejala negatif, seperti penarikan diri, apatis, dan perawatan diri yang buruk (Forum Sains Indonesia, 2008). Pada kondisi seperti ini penderita bisa terjadi disorientasi dan kebiasaankebiasaan yang memungkinkan terjadinya penurunan kesehatan seperti kebiasaan makan apa saja yang dia anggap sebagai makanan enak, bepergian keluar rumah dan mencari makan disekitar pembuangan sampah, dan lain-lain. Perilaku yang tidak sehat ini sangat mungkin akan meningkatkan kecenderungan terjadi infeksi berbagai penyakit termasuk infeksi T.gondii. 3. Landasan Teori
82
Toxoplasma gondii merupakan protozoa darah dan jaringan yang dapat menyebabkan penyakit toksoplasmosis pada manusia dan hewan. Toxoplasma gondii adalah parasit intraseluler yang hidup di dalam sel-sel sistem retikulo-endotel dan sel parenkim manusia maupun hewan mamalia, terutama kucing dan unggas. Manusia dapat terinfeksi oleh T. gondii dengan berbagai cara, secara kongenital dari ibu ke janin, konsumsi daging terinfeksi ookista T. gondii, kontaminasi air atau makanan oleh T. gondii, tranfusi darah, dan transplantasi organ. Skizofrenia merupakan salah satu gangguan kejiwaan berat dan menunjukkan adanya disorganisasi (kemunduran) fungsi kepribadian, sehingga menyebabkan disability. Gangguan jiwa jenis ini dapat terjadi mulai sekitar masa remaja dan kebanyakan pada laki-laki menjadi sakit pada usia antara 15-35 tahun, sedangkan pada perempuan kebanyakan penampakan gejala antara usia 25-35 tahun. Penderita skizofrenia sering terjadi disorientasi sehingga menunjukkan perilaku hidup yang tidak sehat, jarang mandi, mengembara, makan apa saja yang ditemukan sehingga kemungkinan terjadinya infeksi T. gondii lebih besar. Penderita skizofrenia dapat terinfeksi T. gondii karena beberapa sebab, seperti infeksi karena faktor kongenital dari ibu yang terinfeksi selama masa kehamilan sehingga dapat memicu perkembangan abnormalitas neurologisnya atau infeksi pada penderita skizofrenia akibat kebiasaan hidup yang cenderung berisiko terinfeksi T. gondii. Diagnosis toksoplasmosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan serologis dan menemukan parasit dalam jaringan tubuh penderita.
83
Gejala klinis sering kali meragukan dan menemukan parasit dalam jaringan tubuh penderita bukanlah suatu hal yang mudah. Pemeriksaan secara serologis terhadap antibodi penderita toksoplasmosis merupakan alat bantu yang mudah dan baik. Dasar pemeriksaan serologis adalah antigen toksoplasmosis bereaksi dengan antibodi spesifik yang terdapat dalam serum darah penderita, yaitu IgM, IgG, IgA, dan IgE karena T. gondii mempunyai antigen yang bersifat imunogenik. Limfosit B naïve memiliki reseptor IgM dan IgD pada permukaannya, adanya antigen imunogenik T. gondii, menyebabkan sel system imun mengalami isotype atau class switching menjadi IgG atau IgA atau IgE yang mempunyai fungsi efektor mengeliminasi antigen yang dilepaskan T. gondii saat menginvasi sel hospes. 4. Cara Penelitian Penelitian akan dilakukan dengan beberapa tahapan, antara lain Tahap persiapan yang meliputi penyusunan proposal, survei kasus toksoplasmosis dan skizofrenia, pengurusan ijin penelitian dan Ethical Clearance. Tahap pengambilan sampel darah vena dan pengisian kuisioner untuk data faktor risiko toksoplasmosis yang akan dilakukan di Rumah Sakit Jiwa Grhasia Yogyakarta untuk populasi skizofrenia, sedangkan data untuk populasi masyarakat umum diperoleh dari hasil penelitian Prof. drh. Wayan Tunas Artama PhD. Koleksi sampel darah subjek penelitian akan dilaksanakan selama satu bulan sampai jumlah minimal sampel terpenuhi dan dilakukan oleh petugas medis yang kompeten. Sampel darah diambil sebanyak 3 ml dan disentrifuge dan diambil serum. Selanjunya serum dipindahkan ke
84
dalam microtube dan disimpan dalam lemari pendingin dengan suhu -200 C sampai wa ktu akan dilakukan uji ELISA untuk deteksi Antibodi IgG anti-T. gondii. Tahap pengukuran antibodi IgG dengan metode
ELISA. Pengukuran antibodi IgG
dilakukan menggunakan ELISA kit (GenWay,) dengan prosedur yang sama sebagai berikut. a) Tahap persiapan meliputi pengenceran sampel yang akan diuji dengan Sample Diluent 1:40 serta pengenceran wash buffer1:20. Sebanyak 5 µl sample ditambah 195 µl sample diluent. b) Menambahkan 100 µl sampel, calibrator, kontroldan blank pada setiap well, dan selanjutnya di inkubasi pada suhu 370 C selama 30 menit. c) Setelah inkubasi, dilakukan pencucian sebanyak 5 kali menggunakan wash buffer. d) Menambahkan 100 µl enzyme conjugate pada setiap well dan campur selama 10 detik dan selanjutnya diinkubasi pada suhu 370C selama 30 menit. e) Melakukan pencucian kedua selama 5 kali dengan wash buffer. f) Menambahkan 100 µl TMB yang berfungsi sebagai substrat pada setiap well, dan inkubasi selama 15 menit. g) Menambahkan 100 µl 1N HCl sebagai stop solution untuk menghentikan reaksi. h) Melakukan pembacaan Optical Density menggunakan Elisa Reader pada panjang gelombang 450 nm.
85
i) Hasil dan Kesimpulan Pemeriksaan antibodi IgG T.gondii pada kelompok skizofrenia menunjukan bahwa prevalensi toksoplasmosis pada penderita skizofrenia di Daerah Istimewa Yogyakarta sebesar 69,14% (n=94), sedangkan pada kelompok non-skizofrenia menunjukan prevalensi sebesar 65,625% (n=64). Prevalensi pada kedua kelompok tergolong cukup tinggi, walaupun berdasarkan analisis Chi Square tidak menunjukan perbedaan yang signifikan karena p value sebesar 0,642 > 0,05. Seropositif antibodi IgG anti-T. gondii menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan dari kedua kelompok dengan p value< 0,05, yaitu sebesar 0,000. Konsentrasi < 32 IU/ml merupakan sampel serum yang dinyatakan negatif toksoplasmosis, sedangkan konsentrasi serum 32 IU/ml – 100 IU/ml merupakan positif toksoplasmosi dengan konsentrasi antibodi IgG rendah dan konsentrasi >100 IU/ml adalah positif toksoplasmosis dengan konsentrasi antibodi IgG tinggi. Faktor risiko yang dikumpulkan melalui kuisioner meliputi beberapa karakteristik, antara lain usia, jenis kelamin, jenis pekerjaan, tingkat pendidikan, lama penyakit skizofrenia, pola konsumsi makanan (konsumsi sate sapi, konsumsi sate kambing,
konsumsi
sate ayam,
konsumsi
sate kelinci,
konsumsi
daging
bakar/panggang, dan konsumsi sayuran mentah), kepemilikan ternak, kontak dengan daging mentah/tanah, aktivitas keluar rumah tanpa pendamping, kebiasan mandi, kebiasan cuci tangan, sumber air, dan konsumsi air mentah. Karakteristik tersebut selanjutnya akan dibedakan sebagai karakteristik sosio-demografi dan karakteristik
86
faktor lingkungan. Setiap karakteristik akan disajikan berdsarkan proporsi seropositif dan dianalisis stastistik sehingga diketahui faktor risiko yang memiliki pengaruh terhadap seropositif toksoplasmosis pada kelompok skizofrenia dan non skizofrenia. Hubungan faktor risiko dan toksoplasmosis pada penderita skizofrenia ditunjukan pada tabel di atas dimana karakteristik yang mempengaruhi memiliki p value≤0,05 antara lain konsumsi daging bakr/panggang (0,019), kontak dengan daging mentah/tanah (0,050), kebiasaan cuci tangan (0,002), konsumsi air mentah (0,019), dan sumber air (0,008). Karakteristik yang dianggap berpengaruh pada kelompok non-skizofrenia antara lain kepemilikan ternak (0,001), konsumsi daging bakar/panggang (0,036), dan sumber air (0,023). Karakteristik lamanya penyakit skizofrenia, aktivitas keluar rumah, dan kebiasaan mandi hanya di ujikan pada kelompok skizofrenia saja, sehingga tidak ada data mengenai 3 karakteristik tersebut pada
kelompok
non-skizofrenia.
Penambahan
karakteristik
pada
kelompok
skizofrenia bertujuan untuk menggali kemunginan adanya faktor risiko yang berhubungan dengn tingkah laku sehari-hari pada penderita skizofrenia yang umumnya berbeda dengan masyarakt umum. Karakteristik pada dua kelompok tersebut yang memiliki pengaruh yang signifikan pada prevalensi toksoplasmosis selanjutnya di analisi multivariat untuk mengetahui karakteristik yang paling berpengaruh dan sebagai faktor risiko terhadap prevalensi toksoplasmosis. Analisis multivariat yang digunakan adalah Logistic Binary Regression untuk menentukan faktor risiko dan besarnya risiko (OR).
87
Faktor risiko yang memiliki pengaruh dominan pada kelompok skizofrenia dengan OR terbesar adalah konsumsi air mentah yaitu 10,471, kemudian sumber air (3.209), kontak dengan daging mentah/tanah seperti kegiatan memasak, bertani, dan berkebun dengan OR sebesar 0.570 serta konsumsi daging bakar/panggang dengan OR 0.299 , dan kebiasaan cuci tangan dengan OR 0.142. Faktor risiko yang memiliki hubungan signifikan dengan prevalensi pada kelompok non-skizofrenia dengan nilai OR terbesar adalah kepemilikan ternak/peliharaan dengan OR 9.403, selanjutnya konsumsi daging bakar/panggang dengan OR 0.323 dan sumber air dengan OR 0.241.