BAB V INDIKASI PERMASALAHAN DAN OPSI PENGEMBANGAN SANITASI Pembangunan sanitasi membutuhkan pendekatan yang cocok dan sesuai dengan kondisi daerah setempat, hal ini dimaksudkan agar dapat menetapkan isu-isu sanitasi yang memungkinkan untuk dilaksanakan dan type pembangunan sanitasi yang akan diprogramkan. Perencanaan sanitasi skala kota yang terkoordinasi bertujuan untuk membentuk kerangka kerja yang berkelanjutan bagi perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi yang terkoordinasi dan pro-poor melalui penyusunan kebijakan yang efektif dan terkoordinasi, penguatan kelembagaan, perencanaan strategis dan peningkatan kesadaran. Sebagai langkah awal perencanaan strategis sektor sanitasi, Pokja AMPL-BM Kabupaten Bima akan menyusun Buku Putih yang akan memetakan kondisi sanitasi saat ini. Dokumen ini mencakup tidak hanya profil sanitasi kabupaten, fasilitas yang ada, cakupan dan penyediaan layanan serta informasi mengenai kelembagaan dan keuangan tetapi juga analisis awal mengenai pemetaan area berisiko dan penetapan kawasan urban, peri-urban, dan rural. Penilaian area berisiko ini diperlukan untuk pemilihan dan pelaksanaan intervensiintervensi yang diperlukan oleh pemerintah kabupaten dalam menetapkan usulan prioritas program/kegiatan. Kesalahan untuk menciptakan sebuah proses penentuan area yang menjadi target kegiatan telah banyak menyebabkan pendanaan bagi pembangunan sektor sanitasi tidak dapat digunakan secara efektif bagi area-area yang memiliki tingkat risiko sanitasi tinggi. Sementara itu, penetapan area sebagai kawasan urban, peri-urban dan rural dilakukan untuk memberikan arahan zona pelayanan dan pemilihan teknologi saat penyusunan rencana strategi sanitasi kota/kabupaten (SSK) dan rencana tindak. 5.1 Area berisiko Tinggi dan Permasalahan Utamanya 5.1.1. Area beresiko berdasarkan data Ehra Study EHRA (Environmental Health Risk Assessment) atau Penilaian Resiko
Kesehatan Lingkungan dilaksanakan untuk mendapatkan data yang akurat dan valid tentang kondisi sanitasi saat ini baik ditingkat kota/ kabupaten, kecamatan maupun desa, atau merupakan sebuah studi yang bertujuan untuk memahami kondisi fasilitas sanitasi dan perilaku-perilaku yang mempunyai resiko pada kesehatan masyarakat. Perolehan data langsung ditingkat desa memiliki beberapa keuntungan antara lain : 1) Program
pembangunan
sanitasi
dapat
mengakomodasi
perbedaan-
perbedaan yang muncul antar desa, sehingga pendekatan yang diterapkan dapat disesuaikan, 2) Pembangunan sanitasi dapat memiliki tolok ukur yang dapat diuji oleh masyarakat atau pemangku kepentingan (stakeholder) di tingkat desa, yang dengan mudah mengobservasi pencapaian pembangunan. Hal ini dapat digunakan dalam proses advokasi, baik ke tingkat lebih tinggi (kabupaten atau kecamatan) ataupun secara horizontal pada sesama warga atau pemangku kepentingan di tingkat desa. Studi EHRA mendalami kondisi sanitasi dan perilaku yang berhubungan dengan sanitasi di tingkat rumah tangga. Hal yang ingin diketahui mencakup akses dan kondisi sarana sanitasi yang telah ada, antara lain air bersih, jamban, air buangan dan saluran pembuangan air, serta sampah/ limbah padat. Studi EHRA juga mengamati perilaku anggota rumah tangga dalam menggunakan fasilitas yang ada, dan mempelajari perilaku mereka dalam hubungannya dengan risiko kesehatan lingkungan. Apabila data kuantitatif yang terkumpul handal, maka data EHRA dapat membantu penentuan prioritas isu dalam penyusunan strategi sanitasi kota (SSK). Hal-hal yang diteliti dalam studi sanitasi ini mencakup : 1. Kondisi kesehatan meliputi : sistem penyediaan air, layanan pembuangan sampah, ketersediaan jamban dan saluran pembuangan limbah. 2. Perilaku dengan higienitas dan sanitasi meliputi : Cuci tangan pakai sabun, buang air besar, pembuangan kotoran anak dan pembuangan sampah. Penanggungjawab dalam pelaksanaan study EHRA adalah Pokja AMPL-BM Kabupaten Bima, sedangkan liding sektornya adalah Dinas Kesehatan kab. Bima
dan 20 Puskesmas. Hasil EHRA ini di harapkan dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan Buku Putih Sanitasi dan Perencanaan pembangunan sanitasi di tingkat kabupaten, serta mampu mengakomodasi variable-variabel yang muncul dari kondisi sanitasi kabupaten pada 18 kecamatan dan 38 desa Area beresiko sanitasi di Kab. Bima ditentukan dengan cara pemberian skoring pada 38 desa di 18 Kecamatan melalui proses random sampling. Dari 38 desa yang menjadi lokasi study ehra tersebut dianggap mewakili 168 desa yang ada di Kab. Bima Hasil studi EHRA yang dipilih dan disepakati anggota Pokja AMPL-BM Kab. Bima sebagai indikator penentu area risiko sanitasi, yaitu: a. Kualitas dan kuantitas sumber air minum. b. Cuci Tangan Pakai Sabun pada 5 waktu penting dari Ibu yang memiliki balita. c.
Pembuangan sampah dengan melihat penerimaan layanan sampah dan pemilahan sampah.
d. Kondisi jalan depan rumah yaitu lebar jalan 1 m atau < 1 m e. Jamban dan BAB dengan melihat keamanan septik tank, keberadaan air dan keberadaan sabun. f.
Saluran air dan kebanjiran dengan melihat keberadaan saluran air, kondisi saluran air dan warna air.
g. Kotoran anak dengan melihat kemampuan anak menggunakan jamban dan keamanan penanganan kotoran anak.
Tabel 5.1 Area Berisiko Sanitasi Kabupaten Bima berdasarkan Data EHRA
Sumber Data : Hasil Kajian Ehra Pokja AMPL-BM Bima
Dari data tabel tersebut di atas diperoleh gambaran bahwa: jumlah desa dengan tingkat resiko sangat tinggi (skor 4) sebanyak 3 desa, kemudian desa dengan tingkat resiko tinggi (skor 3) sebanyak 5 desa, desa dengan tingkat resiko sedang (skor 2) sebanyak 17 desa, desa dengan tingkat resiko rendah (skor 1) sebanyak 13 desa, sedangkan desa yang tidak beresiko (skor 0) tidak ada. Jadi jumlah desa secara keseluruhan yang menjadi lokasi pelaksanaan study Ehra sebanyak 38 desa. TABEL 5.2 HASIL STUDY EHRA TERHADAP RESIKO KESEHATAN LINGKUNGAN KAB. BIMA Skor Resiko Desa Hasil Study Ehra No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Kecamatan MONTA
Sangat Tinggi (Skor 4)
Tinggi (Skor 3)
1 1
BOLO
1
MADAPANGGA
1 1
2
PALIBELO
3 1
1
1 3
LAMBITU
2 1
LAMBU
1
1
1
1
1
WERA
1
AMBALAWI
2
DONGGO SOROMANDI
2
SANGGAR
1
TAMBORA
1
Jumlah
Ket.
1 3
SAPE
Tdk Beresiko (Skor 0)
1
BELO WAWO LANGGUDU
Rendah (Skor 1)
1
PARADO
WOHA
Sedang (Skor 2)
3
5
17
1 13
0
Sumber Data : Hasil Kajian Ehra Pokja AMPL-BM Bima, 2011
Berdasarkan hasil study Ehra bahwa desa dengan resiko sangat tinggi (skor 4) berada masing-masing di kecamatan Monta, Woha dan Sape, sedangkan desa dengan resiko tinggi (skor 3) masing-masing berada di kecamatan: Parado, Bolo, Madapangga, Wawo dan kecamatan lambu, sementara itu desa dengan resiko sedang (skor 2) tersebar di 17 kecamatan dan desa dengan resiko rendah (skor 1)
tersebar pada 13 kecamatan sebagaimana tertera pada tabel di atas, serta area yang tidak beresiko dengan (skor 0) tidak dijumpai di kab. Bima. Penyebab utama timbulnya risiko antar lain : 1. Kesadaran dan ketidak tahuan Masyarakat tentang kesehatan dan kebersihan lingkungan. 2. Ketersediaan Air Baku dan Kualitas air
untuk memenuhi kebutuhan hidup
akan air bersih masih rendah 3. Pengelolaan Limbah padat (sampah) yang masih belum memadai karena TPA di Kabupaten Bima belum ada 4. Masih banyak masyarakat yang BABS yaitu yang belum terlayani oleh sarana sanitasi (jamban) 5. Sarana Sanitasi dan Pembuangan Limbah cair (tinja) yang ada masih banyak yang belum memenuhi standar kesehatan 6. Pola Hidup Masyarakat yang kurang memperhatikan segi PHBS 7. Kondisi pemukiman yang kumuh dan tidak sehat
Peta 5.1 Area Berisiko berdasarkan Data EHRA
Sumber
Peta
:
Hasil
Kajian
Ehra
Pokja
AMPL-BM
Bima,
2011
5.1.2. Area beresiko berdasarkan data Sekunder Data sekunder yang digunakan untuk menilai area beresiko berasal dari berbagai instansi/SKPD anggota Pokja AMPL-BM Kab. Bima. Data Sekunder ini menjadi indikator suatu area/wilayah beresiko sanitasi atau tidak. Indikator penilaiannya adalah: a. Kepadatan penduduk sebagai indikasi banyaknya limbah domestik dan sampah yang dihasilkan, sempitnya lahan, biasanya dihuni oleh masyarakat menengah ke bawah. b. Cakupan dan akses sarana air bersih baik layanan oleh PDAM maupun non PDAM, dibandingkan dengan total jumlah penduduk merupakan faktor terpenting beresiko tidaknya sanitasi di suatu Desa. c. Kemiskinan dalam suatu wilayah desa menjadi hal yang penting dalam menentukan resiko sanitasi, karena masyarakat yang tidak mampu akan lebih berpotensi tidak mampu mengatasi masalah sanitasi d. Kepemilikan jamban pribadi di masing-masing rumah tangga. Warga yang tidak memiliki akses terhadap jamban pribadi beresiko lebih besar terkena penyakit spt penyakit diare.
Tabel 5.3 Area Berisiko Sanitasi Kabupaten Bima berdasarkan Data Sekunder
Sumber Data : Hasil Kajian Data Sekunder Pokja AMPL-BM Bima, 2011
Berdasarkan tabel skor data sekunder tersebut di atas didapatkan hasil sebagai berikut: 1. Sebanyak 1 desa yaitu Desa Nisa Kecamatan Woha teridentifikasi beresiko sangat tinggi (skor tertinggi = 4), yaitu ditunjukkan dengan warna merah. 2. Wilayah desa dengan resiko tinggi (nilai 3) sebanyak 22 desa yaitu ditunjukkan dengan warna kuning. 3. Daerah dengan resiko sedang (nilai 2) teridentifikasi 115 desa yaitu ditunjukkan dengan warna hijau. 4. Jumlah desa dengan tingkat resiko sanitasi rendah (skor 1) teridentifikasi 30 Desa yaitu ditunjukkan dengan warna biru 5. Jumlah desa yang tidak beresiko sanitasi (skor 0) tidak ada di kab. Bima Penjelasan lebih lanjut sebagaimana tertuang pada tabel di bawah ini
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
TABEL 5.4 SKOR DATA SEKUNDER TERHADAP RESIKO KESEHATAN LINGKUNGAN KAB. BIMA Skor Resiko Desa Hasil Study Ehra Kecamatan Sangat Tinggi Tinggi Sedang Rendah Tdk Beresiko (Skor 4)
(Skor 3)
(Skor 2)
(Skor 1)
(Skor 0)
MONTA
-
-
8
4
-
PARADO
-
-
3
2
-
BOLO
-
-
9
3
-
MADAPANGGA
-
-
10
-
-
WOHA
1
-
13
1
-
BELO
-
-
7
1
-
PALIBELO WAWO
-
7
8 2
1 -
-
LANGGUDU
-
-
7
5
-
LAMBITU
-
5
-
-
-
SAPE
-
-
11
6
-
LAMBU
-
-
11
1
-
WERA
-
-
7
4
-
AMBALAWI DONGGO
-
5 -
1 8
-
-
SOROMANDI
-
5
1
-
-
SANGGAR
-
-
6
-
-
TAMBORA
-
-
3
2
-
Jumlah 1 22 115 30 Sumber Data : Hasil Kajian Data Sekunder Pokja AMPL-BM Bima, 2011
0
Ket.
Peta 5.2 Area beresiko Sanitasi Kab. Bima berdasarkan Data Sekunder
Sumber Peta: Hasil Kajian Data Sekunder Pokja AMPL-BM Bima,2011
5.1.3. Area beresiko berdasarkan Persepsi SKPD Penilaian atau Persepsi stakeholders berasal dari penilaian secara subyektif masing-masing SKPD anggota Pokja AMPL-BM Kab. Bima terhadap kondisi sanitasi di setiap Desa. Penilaian dengan memberikan skoring mulai dari sanitasi tidak beresiko (nilai 1), sanitasi kurang beresiko (nilai 2), sanitasi resiko sedang (nilai 3), resiko sanitasi tinggi (nilai 4). Skoring terhadap setiap Desa itu berdasarkan pada prosentase data sekunder yang sebelumnya sudah dinilai indikatornya, yaitu a. Tingkat kepadatan penduduk dalam suatu wilayah berdasarkan penilaian kumulatif masing-masing SKPD b. Kemiskinan dalam suatu wilayah desa berdasarkan penilaian komulatif masing-masing SKPD c. Cakupan dan akses sarana air bersih baik layanan oleh PDAM maupun non PDAM, berdasarkan penilaian SKPD merupakan faktor terpenting beresiko tidaknya sanitasi di suatu Desa. Menurut SKPD, dari keseluruhan indikator, akses air bersih mendapatkan penilaian d. Cakupan dan akses jamban dan rumah tangga miskin atau kemiskinan sebagai faktor penting selanjutnya untuk menentukan sanitasi di suatu Desa beresiko atau tidak dengan memberikan penilaian SKPD di Kab. Bima yang memberikan penilaian terhadap resiko kesehatan lingkungan yaitu : 1. Kantor Bappeda 2. Badan lingkungan Hidup 3. Bagian Humas dan Protokol Setda Kab. Bima 4. Dinas Kesehatan 5. Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa 6. Dinas Kehutanan 7. Dinas Pekerjaan Umum 8. Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga
Tabel 5.5 Area beresiko sanitasi Kab. Bima berdasarkan persepsi SKPD:
Keterangan :
Resiko Sangat Tinggi (skor 4) Resiko Tinggi (skor 3) Resiko Sedang (skor 2) Resiko Rendah (skor 1) Tidak Beresiko (skor 0)
Dari hasil penilaian subyektif SKPD terhadap resiko kesehatan lingkungan yang diukur berdasarkan indikator tersebut di atas dapat dijabarkan dalam tabel di bawah ini
TABEL 5.6 HASIL PERSEPSI SKPD TERHADAP RESIKO KESEHATAN LINGKUNGAN KAB. BIMA No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Kecamatan
Skor Resiko Desa Hasil kesepakatan SKPD (jumlah) Sangat Tinggi
Tinggi
Sedang
Rendah
Tdk Beresiko
MONTA
1
11
-
-
-
PARADO
-
5
-
-
-
BOLO
-
12
-
-
-
MADAPANGGA WOHA
8
8 7
2 -
-
-
BELO
2
6
-
-
-
PALIBELO
-
8
1
-
-
WAWO
1
2
6
-
-
LANGGUDU
3
9
-
-
-
LAMBITU
-
5
-
-
-
SAPE LAMBU
6 2
9 10
2 -
-
-
WERA
-
10
1
-
-
AMBALAWI
-
6
-
-
-
DONGGO
-
7
1
-
-
SOROMANDI
5
1
-
-
-
SANGGAR
-
4
2
-
-
TAMBORA
-
5
-
-
Jumlah 28 125 15 0 Sumber Data : Hasil Kajian Persepsi SKPD Pokja AMPL-BM Bima, 2011
Ket.
0
Berdasarkan tabel tersebut di atas diketahui bahwa hasil kesepakatan SKPD : 1)
Jumlah desa dengan tingkat resiko sangat tinggi (skor 4) disepakati 28 desa
2)
Jumlah desa dengan tingkat resiko tinggi (skor 3) sebanyak 125 desa
3)
Jumlah desa dengan tingkat resiko sedang (skor 2) sebanyak 15 desa
4)
Jumlah desa dengan tingkat resiko rendah (skor 1) disepakati tidak ada
5)
Jumlah desa yang tidak beresiko (skor 0) disepakati tidak ada
Peta 5.3 Area beresiko sanitasi Kab. Bima berdasarkan persepsi SKPD
Sumber Peta : Hasil Kajian Persepsi SKPD Pokja AMPL-BM Bima, 2011
Area Beresiko Kabupaten Bima berdasarkan persepsi SKPD, study Ehra, dan Data Sekunder Area beresiko Kab. Bima muncul berdasarkan hasil skoring dengan mendasarkan pada gabungan indikator dari berbagai data yang meliputi: o Data sekunder: tingkat kepadatan penduduk, jumlah rumah tangga miskin, daerah aliran sungai, daerah banjir, akses air bersih dan akses jamban o Studi EHRA, o Persepsi SKPD. Hasil akhir penilaian terhadap area berisiko untuk Kabupaten Bima yang telah ditetapkan oleh Pokja AMPL-BM setelah dilakukan serangkaian observasi (kunjungan lapangan) terhadap desa-desa yang dinilai tidak berisiko, kurang beresiko, resiko sedang, resiko tinggi dan resiko sangat tinggi, kemudian dipadukan dengan data-data hasil Persepsi SKPD tentang tingkat resiko suatu desa terhadap masalah kesehatan lingkungan dan kesimpulan data-data sekunder dari berbagai SKPD, maka melahirkan kesimpulan ahir area beresiko Kab. Bima. Pemetaan Desa berisiko dilakukan untuk mendapatkan 5 klasifikasi Desa, berdasarkan risiko sanitasi yang didasarkan pada data sekunder, informasi dari studi EHRA dan persepsi SKPD menjadi bahan masukan untuk menentukan hasil final Desa berisiko. Kemungkinan terdapat perbedaan dengan draf yang diperoleh, perbedaan inilah yang dijadikan bahan diskusi Pokja. Area berisiko tinggi adalah Desa, yaitu berdasarkan informasi yang tersedia, di mana desa tersebut memiliki potensi resiko terhadap kesehatan. Dengan demikian desa tersebut perlu intervensi untuk memperkecil potensi terjadinya kasus kejadian penyakit. Membandingkan informasi tentang risiko dan dampak yang ada di suatu Desa, hasilnya bisa memberikan tambahan informasi berguna tentang penyebab timbulnya kasus penyakit di Desa tersebut. Kategori area Kecamatan dan Desa berisiko berdasarkan data sekunder, studi EHRA dan Persepsi SKPD dari data yang didapat adalah 1. Kecamatan yang beresiko sangat tinggi meliputi Kecamatan Lambitu, Ambalawi dan Kecamatan Soromandi 2. Kecamatan yang beresiko tinggi meliputi kecamatan Monta, Parado, Bolo, Madapangga, Woha, Palibelo, Wawo, Langgudu, Sape, Lambu, Wera, Donggo, Sanggar dan Tambora 3. Kecamatan dengan resiko sedang meliputi kecamatan Belo 4. Kecamatan dengan tingkat resiko rendah dan tidak beresiko tidak ada, selengkapnya sebagaimana tertera pada tabel di bawah ini :
Tabel 5.7 Area Beresiko Kabupaten Bima berdasarkan study Ehra, Data Sekunder dan persepsi SKPD
Sumber Data : Hasil Kajian Persepsi SKPD, Ehra,Data Sekunder Pokja AMPL-BM Bima, 2011
Grafik 5.1
Grafik Area Beresiko Sanitasi Per Desa Berdasarkan Data Ehra, Persepsi SKPD dan Data Sekunder
3% 17% 26%
54%
Sumber Grafik: Hasil Kajian Persepsi SKPD, Ehra,Data Sekunder Pokja AMPL-BM Bima, 2011
Berdasarkan data tersebut di atas dan hasil Study Ehra, Persepsi SKPD dan Data Sekunder diketahui bahwa desa-desa di Kab. Bima dapat digambarkan: 1. 17 % daerah Kab. Bima (desa) dinyatakan resiko sangat tinggi (skor 4) 2. 54 % daerah Kab. Bima (desa) dinyatakan resiko tinggi (skor 3) 3. 26 % daerah Kab. Bima (desa) dinyatakan resiko sedang (skor 2) 4. 3 % daerah Kab. Bima dinyatakan (desa) resiko rendah (skor 1) 5. 0 % daerah Kab. Bima (desa) dinyatakan tidak beresiko (skor 0)
Peta 5.4 Area Beresiko Kabupaten Bima berdasarkan study Ehra, Data Sekunder dan persepsi SKPD
Sumber Peta: Hasil Kajian Persepsi SKPD, Ehra,Data Sekunder Pokja AMPL-BM Bima, 2011
Tabel 5.8 Kecamatan dan Desa berisiko tinggi dan sangat tinggi berdasarkan Data sekunder, Persepsi SKPD Dan EHRA No 1 2
Nama Kecamatan Lambitu Soromandi
3
Ambalawi
Desa
Keterangan Kaboro,Teta, Kaowa Resiko sangat tinggi Wadukopa, Sai, sampungu Resiko sangat tinggi Rite, Talapiti, Tolowata, Resiko sangat tinggi
Mawu Tolotangga, Sie, Sakuru, Resiko tinggi Tolouwi, Wilamaci, Pela, 3 Monta tangga Baru Lere, parado rato, Kanca 4 Parado Resiko tinggi Sanolo, sondosia, Timu, Leu, Resiko tinggi 5 Bolo Kananga, nggembe, Tumpu Woro, Campa, Rade, Resiko tinggi Monggo, Ndano, bolo, Mada 6 Madapangga wau Tenga, Rabakodo, Samili, Resiko tinggi kalampa, Risa, Talabiu, 7 Woha waduwani, Penapali Roi, Dore, Nata, Ntonggu, Resiko tinggi 9 Palibelo Teke, Tonggondoa Tarlawi, Raba, Ntori, Resiko tinggi 10 Wawo Kambilo, Maria Utara Laju, doro O’o, Wawo Rada, Resiko tinggi 11 Langgudu Karumbu, Dumu Boke, Jia, Naru, Bugis, Resiko tinggi parangina, Sangia, Kowo, 12 Sape Tanah Putih Simpasai, sumi, Nggelu, Resiko tinggi Lambu, Hidirasa, Melayu, 13 Lambu Lanta Barat Ntoke, Pai, bala, Oi Tui, Resiko tinggi 14 Wera Wora, tadewa, Nanga Wera Rora, Palama, Mbawa, O’o, Resiko tinggi 15 Donggo Doridungga, Kala, Mpili Piong, Boro, Taloko 16 Sanggar Resiko tinggi Labuan Kananga, Oi Panihi, Resiko tinggi 17 Tambora Kawinda To’i Sumber Data : Hasil Kajian Persepsi SKPD, Ehra,Data Sekunder Pokja AMPL-BM Bima, 2011
Penyebab utama timbulnya risiko kesehatan pada kecamatan dan desa tersebut antar lain : 1. Tingkat pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang PHBS kurang 2. Kualitas dan kuantitas SAB belum mampu memberikan keamanan dan kenyamnan akan kebutuhan air bersih masyarakat 3. Pengelolaan Limbah padat (sampah) yang masih belum memadai karena TPA di Kabupaten Bima belum ada
4. Masih banyak masyarakat yang BABS yaitu yang belum terlayani oleh sarana sanitasi (jamban) 5. Sarana Sanitasi dan Pembuangan Limbah cair (tinja) yang ada masih banyak yang belum memenuhi standar kesehatan, dan 6. Dibeberapa tempat kondisi pemukiman yang kumuh dan tidak sehat
5.1.4.
Klasifikasi Desa
Dalam menentukan pilihan teknologi sanitasi yang akan diterapkan dalam suatu wilayah maka seluruh Desa akan diklasifikasi berdasarkan beberapa area, berdasarkan dokumen dari World Bank Policy Research Paper, dapat dijabarkan: o Urban, setiap Desa akan dikategorikan sebagai area urban bila kepadatan lebih dari 125 orang/Ha o Peri-urban, peri-urban bila kepadatan berkisar antara 25 – 125 orang/Ha o Rural, bila kepadatan kurang dari 25 orang/Ha. Hasil awal identifikasi area berdasarkan kepadatan populasi ini kemudian disesuaikan dengan pemanfaatan detail ruang Kabupaten Bima sebagaimana tercantum dalam RTRW Tahun 2011. Hasil akhir klasifikasi setiap desa sebagaimana disajikan dalam tabel di bawah ini:
Tabel 5.9 Hasil Klasifikasi Desa di Kabupaten Bima
Peta 5.5 Klasifikasi Desa di Kabupaten Bima
Sumber Peta : Hasil Kajian Klasifikasi Desa Pokja AMPL-BM Bima
5.2 Kajian dan Opsi Partisipasi Masyarakat dan Jender di Area Prioritas. Untuk mendapatkan sebuah penilaian yang kredibel dan obyektif tentang kajian PMJK dibutuhkan data dan informasi yang valid, untuk itu diperlukan serangkaian survey dan observasi langsung yang terencana dan komprehensif terhadap kondisi partisipasi masyarakat, jender dan kemiskinan, permasalahan dan solusinya dalam
upaya penanganan sistem sanitasi skala kota beserta
prospek pengembangannya di masa yang akan datang. Penilaian tentang kondisi sanitasi masyarakat lewat PMJK di kab. Bima dilakukan dengan menggunakan pendekatan partisipatif yang mengadopsi
Methodology for Participatory Assessment (MPA). MPA atau MPA-PHAST di Kab. Bima pertama kali diperkenalkan oleh Program WSLIC-2 Tahun 2002, merupakan metodologi yang menjaring informasi secara partisipasi kepada masyarakat tentang peran serta dalam berbagai kegiatan pembangunan selama ini baik yang dibiayai oleh Pemerintah daerah, Pemerintah Pusat maupun bantuan luar. 5.2.1
Study PMJK
Keterlibatan jender dan partisipasi masyarakat miskin sangat penting dalam mengelola sanitasi. oleh karena itu dalam setiap proses pembangunan yang terkait dengan sanitasi salah satu aspek yang perlu diberdayakan adalah aspek jender dan kemiskinan. Hasil studi Pemberdayaan Masyarakat, Aspek Jender dan Kemiskinan (PMJK) menunjukkan
bahwa
kerlibatan
semua
unsur
masyarakat
termasuk
keseimbangan jender, dan masyarakat miskin dalam sebuah program lebih mendorong hasil yang maksimal. Pendekatan ini juga dinilai merupakan pintu peningkatan kapasitas masyarakat. Beberapa kelompok masyarakat seperti Gapotan dan kelompok Perempuan Usaha Kecil, kelompok masyarakat program PNPM dan Access menilai bahwa kelompok mereka telah diberdayakan terutama dalam proses perencanaan program, pelaksana serta monitoring dan evaluasi. Pada kelompok PNPM telah
dilibatkan lebih jauh melalui kelompok pemakai dan pegguna sarana dan prasarana yang dibangun. Namun demikian hampir semua responden (30 responden) sepakat dari sisi kuantitas, khusus untuk program yang terkait dengan sanitasi yang telah ada dimasyarakat
masih
sangat
kurang,
ini
ditunjukkan
dengan
adanya
pembangunan MCK yang masih minim, sarana air bersih yang tidak memadai, saluran drainase yang tidak sampai pada daerah yang terpencil dan sistim pengolahan sampah yang belum memiliki manajemen persampahan mulai dari bak penampung sampah, hingga ke proses pengangkutan sampai ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA).
5.2.2
Analisa Study PMJK dengan Metodologi MPA
Tabel 5.10 Hasil Analisa Survei Partisipasi Masyarakat, Jender dan Kemiskinan (PMJK) dengan Metodologi MPA No
Tolls/ Alat Temuan dan Analisa Ladder 2 Perencanaan - Musyawarah Desa: dominan diikuti laki2, biasanya tdk dibayar dan tdk membutuhkan keahlian husus - Penyediaan bahan/ material: pada tahap ini, karena membutuhkan tenaga yg cukup maka biasa dilakukan oleh laki2 tp kadang dibantu perempuan kegiatan ini kadang dibayar & tdk membutuhkan keahlian husus Pelaksanaan - Pada tahap implementasi: pengerjaan MCK & SAB lainnya biasa dilakukan oleh tukang dibantu masyarakat sekitar sarana, dominan dilakukan laki2 karena pd tahap ini membutuhkan keahlian husus & Pemeliharaan - dibayar Pada tahap ini: biasa yang berperan dlm membersihkan sarana adalah perempuan dan tdk dibayar. Akan tetapi jk SAB nya perpipaan gravitasi
Skoring DIV 10 skor 3 Yg akan dtg: Kesamaan hak & kesempatan antara lk2 dan perempuan dlm bekerja
DIV 11 skor 4 yg akan dtg: Baik lk2 maupun perempuan sama2 diberi hak utk melakukan pekerjaan yg dibayar
mk yg biasa membersihkan & merawat sekitar sumber mata air adalah laki2 dan tdk dibayar 2
Kontribusi Tenaga - Pekerjaan yg berat biasa dilakukan lk2 karena diyakini tenaganya lebih kuat spt: menggali sumur, mengangkat kayu, pikul pipa,dll sedangkan perempuan biasanya membantu lk2 dlm mengangkat material yg ringan dan menyiapkan konsumsi
H3 skor 3, Yg akan dtg: masy diharuskan berkontribusi dlm jml yg sm agar tdk terjd kecemburuan Material Lokal - Material yg biasa disiapkan masy spt: sosial (in kind) batu, kerikil, pasir
3
Uang(in cash) - Kontribusi berupa uang tunai biasa dikeluarkan masy jk sarana yg dibangun itu milik pribadi tp dipakai umum spt SGL Hak Suara & Dalam hal pengambilan keputusan di Pengambilan desa dlm berbagai kegiatan Keputusan pembangunan: ide prakarsa, jenis tehnologi, sosialisasi, tingkat pelayanan, operasi dan pemeliharaan dominan dilakukan oleh Kades, Kadus, Tomas sedangkan masyarakat miskin & perempuan kurang diberi kesempatan
VC 6 skor 5, Yg akan dtg semua hrs dilibatkan secara penuh krn sm2 mempunyai hak dan kesempatan berdasarkan hasl musyawarah mufakat desa
Sumber : Dikes Kesehatan,2011
Dari hasil studi PMJK yang didasarkan pada 3 kategori diatas Yaitu (Ladder 2, Kontribusi, Hak Suara & Pengambilan Keputusan) data yang diperoleh bahwa partisipasi masyarakat telah nampak dengan komposisi keterlibatan laki-laki dan perempuan adalah 7 : 3 dalam setiap aktivitas sanitasi baik yang berbentuk kontribusi tenaga, material lokal, maupun biaya serta kegiatan pengambilan keputusan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar di bawah ini :
Gambar 5.1 Peran Serta Perempuan dalam pengambilan keputusan
Sumber : Dokumentasi Kegiatan sarana Pengembangan Air Minum Bappeda Tahun 2010
Peran Serta Masyarakat dalam Kegiatan AMPL Dalam setiap pengambilan keputusan kegiatan pembangunan dominan
dilakukan
laki2
dari
perempuan, demikian pula Keterlibatan Orang miskin dalam setiap kegiatan AMPL yang dilakukan oleh pemerintah menunjukan perbandingan antara orang kaya dan orang miskin yaitu 4 : 6, ini menunjukan bahwa terjadi ketimpangan peran serta antara masyarakat berpenghasilan rendah dengan masyarakat mampu.
Sumber : Dokumentasi Kegiatan sarana Pengembangan Air Minum Bappeda Tahun 2010
5.3 Komunikasi untuk Peningkatan Kepedulian Sanitasi Sebagai salah satu komponen penyebarluasan informasi tentang sanitasi dan kesehatan lingkungan media elektronik seperti televisi dan radio harusnya memiliki andil
besar untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang
sanitasi dan kesehatan lingkungan. Hasil studi komunikasi dan pemetaan media di Kabupaten Bima menunjukan umumnya media massa (Radio, Koran dan TV lokal) yang berperasi di kabupaten Bima rata-rata berformat hiburan dengan segmentasi audiens atau sasaran audiencenya segala umur, dengan jangkauan siaran mencakup kabupaten dan kota di Pulau Sumbawa yaitu Kota Bima, Kabupaten Bima, Dompu, dan beberapa wilayah di Kabupaten Sumbawa serta mampu menjangkau beberapa wilayah di Propinsi NTT yaitu di Sumba bagian barat Para pelaku media sepakat bahwa dengan target audiens dan jangkauan siaran yang luas menjadikan media massa sangat potensial untuk menyebarluaskan informasi
terkait
dengan
sanitasi
dan
penyehatan
lingkungan
kepada
masyarakat. Namun demikian, keberpihakan media massa dalam hal penyediaan ruang (space/spot) yang diperuntukan khusus untuk meyiarkan program sanitasi dan penyehatan lingkungan masih kurang, dimana isu ini hanya diangkat “by order” oleh pihak pemerintah. Hanya media televisi lokal, BimaTV telah menyediakan ruang (space) khusus berupa talk show Dokter kita. Beberapa media massa menyebutkan pada prinsipnya telah menyediakan space untuk iklan layanan masyarakat untuk penyebarluasan informasi ataupun kampanye
tentang
sanitasi
dan
kesehatan,
tetapi
sejauh
ini
belum
dimanfaatkan. Menurut pihak penyelenggara media radio, tidak dimanfaatkannya space iklan ataupun program lainnya yang secara khusus menyiarkan informasi sanitasi dan kesehatan dikarenakan kurang respon positif dari pemerintah daerah untuk memanfaatkan media seperti hanya radio dan televisi dalam menyiarkan atau mensoalisakan informasi tentang sanitasi dan kesehatan. Sebenarnya pihak penyelenggara media sangat mengharapkan kerja sama dari pemerintah
Selain itu, kurangnya kerja sama antara pemerintah daerah dengan beberapa media massa menyebabkan media tidak bisa memperoleh data yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Selama ini media massa biasanya mendapatkan data tentang sanitasi dan kesehatan dari literature yang tersedia di internet, serta hasil peliputan langsung di masyarakat 5.4 Keterlibatan Sektor Swasta dalam Layanan Sanitasi 5.4.1. Sektor Persampahan a. Pengepul Sampah Sampah-sampah yang ada saat ini biasanya berasal dari permukiman (rumah tangga) dan non permukiman (pasar, industri dan tempattempat/fasilitas umum lainnya). Akan tetapi sampah yang ada di Kab. Bima belum dapat diukur secara pasti volume sampah yang terkumpul pada TPS dan yang terangkut, karena TPA belum ada. Hasil studi keterlibatan swasta dalam
pengelolaan
mengindentifikasikan dibeberapa kecamatan
sanitasi terdapat
(sampah) 15
pengepul
di
Kabupaten
sampah
yang
Bima tersebar
di Kabupaten Bima, rata-rata mereka memulai
menjalankan usahanya sejak kurang lebih 20 tahun, memiliki jumlah personel 5-10 orang, peralatan yang dimiliki hanya berupa timbangan dengan kapasitas 500 kg, semua unit usaha ini tidak memiliki modal awal karena para pengusaha memulai usahanya dengan modal kepercayaan yang sudah terjalin lama dengan penyalur utama yang berada di Jawa Timur (Surabaya dan Banyuwangi). Dari hasil usaha ini rata-rata keuntungan yang diperoleh 5-10 juta tiap bulannya, dengan klasifikasi sampahnya sebagai berikut : •
Kategori I (besi Tua, Tembaga, Alumunium dan kuningan)
•
Kategori II (Plastik, Botol, Kaleng dan kertas)
Sampah yang dikumpulkan berasal dari 14 kecamatan (kecuali Sanggar dan Tambora), dan distribusinya langsung diantarkan pada pengepul, rata-rata pengepul sampah tidak memiliki usaha sampingan walaupun dalam sistim
produksinya tidak ada proses daur ulang sampah, sehingga sampah yang akan dikirim keluar kota tersebut masih dalam bentuk semula. Beberapa responden sepakat bahwa koordinasi dan kemitraan usaha ini masih memerlukan dukungan dari Pemerintah. Persoalan yang timbul akibat kurangnya koordinasi dan kemitraan ini antara lain menurut rsponden adalah luasan lokasi usaha, karena setiap terjadi penumpukan sampah, maka secara langsung akan mendapatkan teguran dari pemerintah melalui teguran ringan berupa surat peringatan sampai pengangkutan barang bekas oleh Pol PP (Polisi Pamong Praja) yang diperintahkan oleh pihak kecamatan. Saat ini aturan yang diberlakukan oleh pemerintah daerah adalah harus menjaga kebersihan dan keindahan jalan dan lingkungan, barang tidak boleh menumpuk melebihi kapasitas hingga berserakan dijalan dan mengganggu tempat umum. Responden mengharapkan tersedianya Lokasi tersendiri yang terpisah dari permukiman agar kegiatan produksi mereka tidak mengganggu lingkungan sekitar, tersedianya sarana pengangkut yang memadai dan terjangkau agar barang bekas dapat diangkut dengan mudah keluar kota untuk dijual, tersedianya alat pengepres barang bekas agar bisa meminimalisasi ruang yang dibutuhkan untuk menampung barang bekas. b. Hotel Kondisi alam yang dimiliki oleh Kabupaten Bima seperti daerah pantai dan pegunungan cukup menarik perhatian para wisatawan luar maupun dalam negeri, hal ini ditunjukan dengan banyaknya jumlah hotel yang terbangun di Kabupaten Bima adalah 6 unit. Salah satu yang telah dibangun adalah Hotel Kalaki Beach yang baru berdiri selama satu tahun terakhir dengan penghasilan perbulannya adalah sebesar 20 Juta rupiah. Dengan melihat jumlah kamar dan rata-rata jumlah wisatawan yang datang dapat digambarkan bahwa kondisi persampahan yang ada telah melalui proses yang benar, mulai dari pengumpulan sampai pembuangan
dengan sistim penampungan yang akan langsung di buang pada Bak sampah yang telah disiapkan oleh pemerintah. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar dibawah ini.
Gambar 5.2 Hotel Kalaki Beach
Sumber : Data Primer Bappeda 2011
Bak Sampah Berdasarkan data yang ada, kondisi sanitasi & air bersih dari dari hotel di Kab. Bima telah memenuhi syarat kesehatan, artinya ketersediaan bak sampah, SPAL , sarana jamban dinyatakan aman lingkungan
Sumber air bersih yang digunakan oleh pihak hotel adalah berasal dari PDAM dengan metode menggunakan bak penampungan dengan kapasitas penampungan rata-rata 500 Liter, yang mampu mencukupi kebutuhan air bersih selama 3 hari.
5.4.2 Sektor Limbah Cair
Peluang bisnis sanitasi terutama limbah cair (jamban) sebenarnya cukup menarik karena masih banyak masyarakat yang belum terlayani oleh sarana sanitasi hususnya jamban, berdasarkan data yang ada dari sarana jamban yang terbangun masih banyak yang belum memenuhi standar kesehatan. Jadi peluang bisnis yang mungkin di lakukan di Kab. Bima adalah Pemasaran Sanitasi (Sanitation Marketing Plan). Keberadaan usaha lain dalam hal penangan limbah cair (jamban) di Kab. Bima seperti usaha penyedot tinja, pengolahan limbah cair ke dalam Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja ( IPLT ) belum ada. Program pemasaran sanitasi di Kab. Bima pertama kali diperkenalkan oleh Program Sanitasi Total berbasis Masyarakat (STBM) Tahun 2010, yang meliputi seluruh desa-desa eks WCLIC-2 (Tahun 2002-2007). Program pemasaran sanitasi ini cukup mendapat perhatian dari masyarakat di Kab. Bima karena langsung dimotoring oleh Sanitarian pada 20 Puskesmas yang ada di kab. Bima dan dikoordinir oleh Tim Sanitasi Dinas Kesehatan Kab. Bima. Tim Pemicu Sanitasi Kabupaten bersama dengan Tim pemicu di tingkat kecamatan dalam kegiatan kampanye Pemasaran sanitasi selalu bekerja sama dalam upaya membebaskan desa dan Kecamatan dari buang air besar sembarangan. Hal ini merupakan sebuah upaya bersama dalam memutus mata rantai penularan pernyakit yang berbasis lingkungan. Gambar : 5.3
Sumber Gambar : Dinkes Kab. Bima 2011
Program Pemasaran sanitasi yang ditawarkan kepada masyarakat memiliki beberapa tipe, akan sangat tergantung dari masyarakat dalam memilih tipe jamban yang dikehendaki sesuai dengan kemampuan, yaitu :
Tipe ke- I yaitu WC Sehat Murah dengan harga Rp. 850.000,Tipe ke- II yaitu WC Ekonomis dengan harga Rp. 675.000,Tipe ke- III yaitu WC Tumbuh Sehat 1 dengan harga Rp. 497.000,Tipe ke- IV yaitu WC Tumbuh Sehat 2 dengan harga Rp. 375.000,Sumber dana saat ini terbatas pada dana pribadi Tim Sanitasi Kab. Bima (Dinkes) yang dikelola bersama-sama dengan Sanitarian Puskesmas setempat Mengenai model sanitasi (jamban ) yang ditawarkan pada masyarakat adalah sebagaimana tertera pada tabel berikut ini :
Tabel 5.11 Paket Jamban Kegiatan Pemasaran Sanitasi
Sumber Data : Subdin P2PL Dinkes Kab. Bima, 2011
.
Model pembangunan jamban dalam program Pemasaran sanitasi di Kab. Bima Gambar : 5.4, Sumber : Subdin PL Dinkes Kab. Bima, 2011
Agar tidak menimbulkan pencemaran bagi air tanah oleh tinja maka program pemasaran sanitasi menggunakan pasangan buis beton yang kedap air bg tempat penampung kotoran, dan dlm waktu tertentu akan dilakukan pengurasan oleh masyarakat pengguna. Harapannya : Adanya kepedulian pemerintah dan dunia usaha untuk bergerak dalam usaha layanan sanitasi (sedot tinja) karena saat ini di Kab. Bima belum ada usaha penyedotan tinja baik oleh swasta maupun Pemerintah umber : Subdin PL Dinkes Kab. Bima
Berdasarkan hasil survey EHRA
, sebagian besar masyarakat Kabupaten Bima
tidak memanfaatkan Tangki Septik (94 %) sehingga tingkat pencemaran tanah dan air tanah sangat besar resikonya, sedangkan yang menggunakan jamban septiktank sebesar 6 % dari total responden, selengkapnya sebagaimana pada grafik 5.2 berikut :
Sumber Data : Hasil Kajian Ehra Pokja AMPL-BM Bima 2011
Sebagian besar masyarakat Kab. Bima memanfaatkan jamban sederhana dan belum memenuhi standar kesehatan dalam BAB, sehingga rentan menimbulkan resiko lingkungan (pencemaran air permukaan, tanah dan udara). Penyebab utama dari keadaan tersebut adalah tingkat kesadaran masyarakat yang kurang dan ditambah dengan faktor ekonomi yang tidak mendukung.
Usaha atau langkah-langkah lain yang perlu untuk dipikirkan oleh Pemerintah Kabupaten Bima dalam pengelolaan limbah cair domestik yang menyeluruh dan terintegrasi adalah :
Kerja sama dengan Pemerintah Kota Bima dalam pengurasan tangki septik, karena akibatnya memungkinkan terjadinya pencemaran air tanah, apalagi diketahui fakta bahwa sebagian masyarakat memanfaatkan sumur bor, SGL dan SPT sebagai akses untuk mendapatkan air bersih, jadi perlu menerapkan suatu strategi kampanye terkait pentingnya mengelola limbah cair domestik secara baik dan benar, dengan cara pengurasan tangki septik secara rutin/berkala sesuai dengan kapasitas lubang penampung kotoran
Diketahui bahwa perusahaan yang bergerak dalam bidang jasa kuras tangki septik
belum ada di Kab. Bima maka perlu ada upaya Pemerintah dalam
menarik dunia usaha agar bergerak dan mulai merintis usaha penyedotan tinja.
Dukungan Pemerintah Kabupaten Bima dalam Strategi Pemasaran Sanitasi
(sanitation marketing plan) perlu lebih diprioritaskan karena lebih terjangkau oleh masyarakat yang tidak mampu baik dalam hal kebijakan maupun dalam penganggaran
Pembangunan Instalasi Pengolahan Limbah Terpadu (IPLT) di Kab. Bima sebagai bahan pencampur media tanam, atau dapat digunakan sebagai bahan campuran pupuk tanaman, dalam program penghijauan taman kota.
Membangun sinergi di antara semua pihak yang terkait dalam pengelolaan limbah cair, sehingga terbangun kepeduan yang sama dalam penanganan limbah cair di Kab. Bima