22
BAB IV HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Produksi Furfural Bonggol jagung (corn cobs) yang digunakan dikeringkan terlebih dahulu dengan cara dijemur 4-5 hari untuk menurunkan kandungan airnya, kemudian jagung kering diblender agar lebih mudah dimasukkan ke labu destilasi dan dapat memperbesar permukaan sehingga reaksi dapat lebih cepat. Produksi furfural dari bonggol jagung pada peneltian ini diperlukan beberapa langkah antara lain : 4.1.1 Destilasi Furfural dibentuk dari reaksi hidrolisis pentosan (polimer utama yang terdapat pada bonggol jagung) dengan bantuan katalis asam sulfat menjadi monomer gula lima karbon), terutama xilosa. Pentosan
+
H2O
C5H10O5 Gula lima karbon
Gambar 4.1 Hidrolisis pentosan menjadi gula lima karbon
Bentuk xilosa dan gula lima karbon lainnya dalam larutan bukanlah rantai terbuka. Umumnya dalam larutan air, xilosa dan gula lima karbon lainnya dapat bereaksi intra molekul untuk menghasilkan hemiasetal siklik.
23
Adanya asam, dapat mempercepat pembentukan hemiasetal siklik dengan melakukan protonasi dan dilanjutkan dengan deprotonasi (mekanisme reaksi terlampir). Pada kondisi panas dan asam, xilosa dan gula lima karbon lainya mengalami dehidrasi, melepas tiga molekul air untuk membentuk ikatan rangkap menghasilkan furfural seperti yang ditunjukkan pada persamaan reaksi (4.2) berikut :
O O H
C5H10O5 Gula lima karbon
+
3H2O
C5H4O2
Gambar 4.2 Dehidrasi gula lima karbon menjadi Furfural Penggunaan larutan Na2CO3 5 % yang ditambahkan pada labu penerima sebelum destilasi dimulai, dimaksudkan menjaga kestabilan furfural pada destilat ke-1 sehingga furfural yang diperoleh tidak mengalami polimerisasi. Pada destilasi sampel no. 1 dilakukan hingga tidak ada destilat yang menetes pada labu penerima, suhu yang dicapai hingga 350˚C tetapi pemanas minyak (silikon oil) tidak dapat digunakan lagi karena membentuk gel karena itu untuk destilasi sampel lain, seperti sampel no. 6, 7, 8, 9, 11, 12 dan 13 (tabel 4.1) digunakan suhu pemanas minyak 320˚C (suhu dimana silikon oil mulai menguap). Pada sampel no. 4, 15 s/d 22 (tabel 4.1), destilasi dilakukan hingga suhu pemanas minyak 200˚C. Penggunaan suhu tersebut didasarkan pada titik didih furfural yang cukup tinggi sekitar 161-162˚C, adanya selisih suhu pemanas dengan suhu dalam labu destilasi sekitar 15-25˚C, adanya garam NaCl yang dapat meningkatkan titik didih larutan (sifat koligatif) dan kondensor vertikal tanpa air yang cukup tinggi yang dipasang di antara labu destilasi dan konektor kondensor. Sehinga pada saat furfural
24
mencapai titik didih tepat berada pada konektor sebelum kondensor, suhu pada labu destilasi akan lebih besar daripada titik didih furfural. 4.1.2 Destilasi Vakum Penggunaan destilasi vakum merupakan salah satu langkah penting dalam memperoleh furfural, karena pompa harus mampu berada pada daerah tekanan yang diinginkan dan tekanan tidak mengalami fluktuasi selama destilasi. Pada beberapa penelitian ini (no. 11 s/d 15, 17 dan 18 pada tabel 4.1) dilakukan destilasi vakum dengan tekanan 11 cm Hg. Pada alat destilasi vakum sebaiknya menggunakan tabung kondensor vertikal tanpa air pada labu destilasi sebelum tabung konektor, dengan harapan untuk mengurangi bumping, terutama pada tekanan rendah biasanya diawali dengan bumping yang cukup hebat yang mengakibatkan sebagian kecil zat yang akan didestilasi dapat berpindah langsung ke labu penerima. Suhu pemanas mencapai 130˚C didasarkan kepada titik didih furfural sekitar 98˚C pada tekanan 11 cmHg (perhitungan terlampir), selisih suhu pemanas dengan suhu dalam labu destilasi sekitar 15-25˚C, adanya garam NaCl yang dapat meningkatkan titik didih larutan (sifat koligatif) dan kondensor vertikal yang dipasang di antara labu destilasi dan konektor kondensor.
Gambar 4.3 Alat destilasi vakum
25
Pada sampel no. 4, 5, 16, 19 s/d 22, destilasi ke-2 menggunakan aspirator air (tekanan sistem sekitar 68 cmHg) dan suhu pemanas yang digunakan mencapai 190˚C yang didasarkan adanya aspirator air menyebabkan titik didih furfural akan lebih kecil dibandingkan dengan destilasi pertama. Selain itu, ketika suhu dinaikkan dengan rentang 10˚C menjadi 200˚C (sampel no. 22 bagian 2), massa sampel yang bertambah sebesar 0,02 gr sedangkan pada suhu 200210˚C (sampel no 22 bagian 3) tidak ada massa sampel yang bertambah, sebagaimana ditunjukkan dalam tabel 4.1. Pada tabel 4.1 juga menunjukkan bahwa rendemen furfural dari bonggol jagung manis sebesar 2,49 % (sampel no. 4), dengan pola kerja yang sama rendemen furfural dari bonggol jagung tawar lebih besar yaitu 4,57 % (sampel no.16). Hal ini dikarenakan pada massa bonggol jagung manis dan massa bonggol jagung tawar yang sama, jumlah gula enam karbon (seperti glukosa dan fruktosa, monomermonomer utama penyusun sukrosa) pada bonggol jagung manis lebih besar daripada jumlah gula enam karbon pada bonggol jagung tawar sehingga jumlah gula lima karbon pada bonggol jagung tawar sebagai bahan baku furfural lebih besar daripada jumlah gula lima karbon dalam bonggol jagung manis.
26
Tabel 4.1 Produksi furfural dari bonggol jagung No
1
Massa
Volume
Massa
Bonggol
H2SO4
Garam
Jagung
(ml)
NaCl
Suhu Waktu Jml Suhu Waktu
Jml
suhu
waktu
(gr)
10% 20%
(gr)
(˚C) (menit) (mL) (˚C) (menit) (cmHg) (˚C) (menit) (mL)
(˚C)
(menit) (mL)
350
≈137 ≈153 ≈162
37,54(m)
50,08
125
Jenis Pemisahan Destilasi
253
Refluks
98
Destilasi Vakum P 68
suhu waktu 180
196
21
2 3 4
9,38(m)
31,25
12,50
200
61
19
68 185
150
Keterangan Ekstraksi
Destilasi Sederhana
190
46
8,6
Jml
38
6,4
21
13,6
15
1,0
massa
massa
massa
vial
vial+smpl
(gr)
24,40
24,97
0,57
GC
Rend (%)
69,26
1,09 m = bonggol jagung manis selain itu bonggol jagung
0,02 14,38
14,63
0,25
tawar 93,8
2,49 GC-MS menguap, t evprtr>30˚C
5
10,00(m)
50
68
180
69
10,2
6
10,02
50
20,01
320
68
39
66
130
87
5,9
6s/d10, alat destilasi va-
7
10,02(m)
50
10,03
320
77
46
66
130
109
9
kum belum dapat di set
8
10,02(m)
50
20,01
320
60
48
66
130
49
6,2
ke tekanan ≈ 10 cmHg
9
20,02
50
20,02(dpr) 320
65
44
66
130
67
5,2
GC = kromatografi gas
10
10,00(m)
50
11
10,00
12
10,00
50
13
10,00
50
14
10,00
15
10,00
33,3
13,3
200
61
16
10,00
33,3
13,3
200
17
10,00(m)
36,6
13,3
200
18
10,00(m)
40
13,3
19
10,00(m)
40
20
10,00(m)
35
21
10,00(m)
22
10,00(m)
20,03
>360
98
49
66
180
89
15,2
12,5
320
68
43,5
11
130
68
36
20,17
20,25
0,08
84,25
0,67 GC-MS
320
79
47
11
130
77
36
14,26
14,36
0,10
84,25
0,84 sampel 11&12 digabung
320
66
38
11
130
72
41
13,22
13,36
0,12
11
130
91
29
13,67
13,80
0,13
23,5
11
130
55
7,0
12,96
13,25
0,29
83,98
2,44 Jml = jumlah
62
23,5
68
190
50
19,0
12,65
13,14
0,49
93,26
4,57 smpl= sampel
56
24,0
11
130
66
19,6
12,86
12,95
0,09
200
56
31,4
11
130
59
25,2
13,72
13,77
0,05
13,3
200
54
30,0
68
190
58
10,8
12,97
13,14
0,17
13,3
200
82
25,4
68
190
54
9,4
14,41
14,58
0,17
30
13,3
200
43
68
200
14,57
14,69
0,12
30
13,3
200
62
68
190
14,24
14,41
0,17
200
14,00
14,02
0,02
210
14,17
14,17
0,00
50
20 50
185
150
Rend= rendemen
GC-MS=kromatografi gas spektro massa
27
4.1.3 Ekstraksi Ekstraksi dilakukan agar furfural yang masih terdapat dalam sistem air dapat larut ke dalam pelarut organik yang tidak bercampur dengan air dan memiliki massa jenis yang lebih besar daripada air, diantaranya diklorometana selain kloroform. Setelah sampel hasil destilasi vakum di ekstraksi oleh diklorometana di dalam corong pisah. Lapisan cair bagian bawah dimasukkan ke dalam botol vial yang sudah diketahui massanya. Setelah itu dilakukan rotary evaporator dengan suhu pemanas 30˚C (pada evaporator digunakan pompa vakum yang mengakibatkan suhu pelarut akan menurun ditambah lagi dengan putaran yang dapat mempermudah penguapan dan membantu zat yang diisolasi terkumpul di tengah (sentrifugal)). Kemudian massa sampel + botol vial ditimbang.
Gambar 4.4 Hasil Ekstraksi Untuk meningkatkan efisiensi ekstraksi (memperbesar %E (persen ekstraksi)) dapat dilakukan dengan melakukan ekstraksi berulang dengan menggunakan volume pelarut diklorometana yang sama. Pada penelitian ini, ekstraksi berulang hingga 5x menunjukkan kemurnian sampel furfural (no. 4 pada tabel 4.1)
hingga 93,8%.
28
Selanjutnya, untuk menentukan apakah zat yang diinginkan mengandung furfural dilakukan karakterisasi 4.2 Karakterisasi Furfural Furfural hasil sintesis selanjutnya dikarakterisasi untuk mempelajari sifat fisik dan kimianya. Pada penelitian ini telah dilakukan karakterisasi furfural dengan indeks bias, uji Tollens untuk mengetahui adanya gugus aldehid, UV untuk menganalisis adanya ikatan rangkap terkonyugasi, GC untuk menganalisis waktu retensi dan kemurniannya, FTIR untuk menganalisis struktur molekulnya, dan GC-MS untuk mengetahui massa molekulnya. 4.2.1
Indeks Bias
Hasil pengukuran indeks bias furfural standar bernilai 1,581-1,582 sedangkan hasil pengukuran indeks bias sampel sebesar 1,582-1,583 yang menunjukkan hampir identik, karena indeks bias merupakan salah satu sifat fisik yang dapat diukur. Rapat optik adalah sifat yang dimiliki oleh suatu zat cair atau medium tembus cahaya dalam melewatkan cahaya dimana pada saat cahaya yang datang (tidak tegak lurus) pada bidang batas udara-zat cair akan mengalami pembelokan. Pembelokan ini terjadi karena arah dan kecepatan cahaya pada medium yang berbeda akan berbeda pula. 4.2.2
Uji Tollens .
Furfural merupakan salah satu senyawa aldehid sehingga mudah mengalami oksidasi, bahkan oleh pengoksidasi yang lemah sekalipun, seperti Ag+. Pereaksi Tollens (suatu larutan basa (dari) ion kompleks perak ammonia) digunakan sebagai pereaksi uji untuk senyawa aldehid.
29
Furfural dioksidasi menjadi anion furoik ; ion Ag+ dalam pereaksi Tollens direduksi menjadi logam Ag. Uji positif ditandai oleh terbentuknya cermin perak pada dinding dalam tabung reaksi Sampel no. 4 yang diuji membentuk cermin perak pada dinding bagian dalam tabungnya tanpa dilakukan pemanasan sedangkan sampel no.1 harus dipanaskan terlebih dahulu tabungnya pada suhu pemanas air 60oC selama ± 5 menit. Karena itu dipastikan kedua sampel tersebut mengandung gugus fungsi aldehid.
Sampel 4 Sampel 1
Tanpa dipanaskan
Dipanaskan
Gambar 4.5 Uji Tollens pada 2 sampel
4.2.3
UV
Untuk mengetahui apakah senyawa yang diperoleh mengandung ikatan rangkap terkonyugasi, senyawa itu harus mempunyai panjang gelombang maksimum pada daerah UV dekat, yaitu 200-380 nm atau mempunyai besaran ε yang dikenal sebagai -1
-1
absorptivitas molar diantara 1000-10.000 mol .L.cm .
30
Furfural yang diproduksi mempunyai λmax (panjang gelombang maksimum) pada 272 nm dengan menggunakan pelarut etanol yang identik dengan λmax furfural standar, sebagaimana pada gambar 4.6. Adapun absorbans pada λmax untuk furfural lebih besar daripada sampel. Hal ini didasarkan pada kemurnian furfural (98,65%) lebih besar daripada kemurnian sampel (93,80%).
Gambar 4.6 Spektrum UV furfural dan sampel dengan pelarut etanol
31
Pola yang sama diperoleh pada spektrum UV sampel dan furfural dengan pelarut n-heksana sebagaimana pada gambar 4.7 yang mempunyai λmax pada 268 nm.
Gambar 4.7 Spektrum UV furfural dan sampel dengan pelarut n-heksana
4.2.4
Kromatografi Gas (GC)
Pengukuran ini awalnya dilakukan untuk mengetahui apakah dari destilat ke-2 (hasil destilasi vakum) telah mampu mengisolasi furfural dengan kemurnian yang cukup tinggi. Jika dibandingkan dengan waktu retensi furfural standar sekitar 3,47, destilat ke-2 belum memperlihatkan waktu retensi yang identik dengan furfural karena furfural yang diperoleh terdapat dalam larutan encer sehingga bisa dikatakan furfural yang diperoleh belum murni. Untuk mengetahui adanya furfural pada destilat ke-2
32
dapat dilakukan dengan menambahkan furfural standar ke dalam sampel destilat ke-2 no.11 dengan perbandingan volume yang sama.
Kemudian kromatogram sampel
no.11 (50 % volum) tersebut dibandingkan dengan kromatogram furfural 50% volum. Pada kromatogram furfural 50 % (1 mL furfural + 1 mL etanol) terlihat adanya perubahan prosentase furfural dari semula 98,65% (untuk furfural murni) menjadi 53,94 %.
Sementara untuk kromatogram sampel destilat ke-2 no.11 setelah
ditambahkan 1 mL furfural (konsentrasi sampel no.11 menjadi 50 % volum), terlihat waktu retensi furfural 3,32 dengan prosentase menjadi 54,35. Jika waktu retensi 3,32 pada sampel 50 % dibandingkan dengan waktu retensi 3,29 pada furfural 50 %, terlihat adanya kenaikan prosentasi pada waktu retensi yang identik yang semula 53,94 % menjadi 54,35 % yang mengidentifikasikan adanya furfural dalam sampel tersebut walaupun dengan jumlah yang sedikit atau belum murni. Tabel 4. 2 Penentuan waktu retensi furfural hasil destilasi vakum No Zat tr % 1
Etanol pa
2,36
100
2
furfural
3,47
98,65
3,72
0,15
furfural 50 % volum
2,35
43,65
(1mL furfural + 1 mL
3,29
53,94
etanol)
3,63
0,07
Sampel
2,36
98,15
3,11
2,31
Sampel 50 % volum
2,36
30,75
(1 mL sampel + 1 mL
3,13
13,91
furfural)
3,32
54,35
3
4 5
33
Data kromatogram destilat ke-2 menunjukkan pula bahwa furfural yang diperoleh belum murni sehingga diperlukan langkah pemurnian berikutnya, yaitu ekstraksi. Ketika sampel hasil ekstraksi dilakukan GC, diperoleh waktu retensi furfural yang identik dengan waktu retensi furfural sebagaimana dalam tabel 4.3 berikut ini. Tabel 4. 3 Waktu retensi furfural hasil ekstraksi dengan GC No
Zat
tr
%
1
Furfural
3,47
98,65
2
Sampel no 1
3,40
69,26
3
Sampel no 18
3,44
83,98
4
Sampel no 19
3,47
93,26
Sedangkan pada GC-MS, instrumen alat yang digunakan berbeda dengan instrumen alat GC sehingga waktu retensinya berbeda pula walaupun tidak terlalu besar. Tabel 4. 4 Waktu retensi furfural hasil ekstraksi dengan GC-MS No
4.2.5
Zat
tr
%
1
Sampel no 4
3,82
93,8
2
Sampel no 11
3,82
84,25
3
Sampel no 12
3,82
84,25
FTIR
Karakterisasi terhadap sampel no. 4 hasil sintesis dengan teknik spektroskopi FTIR sebagaimana pada gambar 4.8 menunjukkan pita serapan khas furfural, yaitu pada 1676 cm-1 dan 2715 cm-1 yang merupakan daerah ulur gugus fungsi karbonil terkonyugasi dan ulur H-C karbonil. Jika dilihat intensitas serapannya, pita ini
34
merupakan puncak serapan yang kuat dan didukung dengan hasil GC-MS yang menunjukan kemurnian hingga 93,8 %.
Selain itu, ada serapan pita ulur C-O
asimetris pada daerah 1155 cm-1, dan serapan ulur aromatik pada daerah 3000-3100 cm-1 serta serapan ulur cincin aromatik pada daerah 1500-an cm-1.
8 4 2 .8 9 9 2 9 .6 9
1 1 5 5 .3 6
7 5 6 .1 0
6 7 6 .1 4
15
401 19
1 0 2 0 .3 4
1 4 6 9 .7 6
30
1 2 7 6 .8 8
1 3 9 2 .6 1
1 5 6 8 .1 3
45
5 9 4 .0 8
8 8 3 .4 0
1 3 6 7 .5 3
3 1 3 2 .4 0
60
1 0 7 8 .2 1
1 2 4 6 .0 2
1 7 7 6 .4 4 1 7 4 5 .5 8
1 5 1 7 .9 8
2 7 1 5 .7 7 2 8 5 0 .7 9 2 8 1 2 .2 1
75
3 3 4 2 .6 4
%T
3 5 7 0 .2 4
90
0 4500 4000 Ekstrak 4
3500
3000
2500
2000
1750
1500
1250
Gambar 4.8 Spektrum infra merah sampel
1000
750
500 1/cm
35
Ketika FTIR sampel 4 dan FTIR furfural standar digabung sebagaimana pada gambar 4.9, terlihat memiliki pola serapan yang identik, tidak hanya serapan pada daerah gugus fungsinya tetapi untuk daerah sidik jari (1400 cm-1 ke kanan) yang mempunyai serapan yang unik dan khas untuk suatu senyawa.
furfural
sampel
Gambar 4.9 Spektrum infra merah furfural dan sampel Dari 5 sampel lain (terlampir) yang dilakukan ukur FTIR, kelima furfural hasil sintesis menunjukkan pita serapan yang sama terutama pada daerah pita serapan yang karakteristik untuk furfural. Perbedaannya, intensitas serapan furfural dari o
destilasi hingga suhu 200 C (sampel no. 16, G5(0,36 %massa NaCl) dan G6 (0,41 % o
massa NaCl) lebih kuat daripada furfural dari destilasi hingga suhu 320 C (no. o
11+12 dan no.13) atau hingga 350 C.
Hal ini menunjukkan bahwa variasi
perbandingan antara jumlah bonggol jagung, asam sulfat dan massa NaCl yang digunakan pada produksi furfural tidak mempengaruhi spektrum serapan gugus furfural pada analisis FTIR.
36
4.2.6 GC-MS GC-MS dilakukan selain untuk menganalisa kemurnian sampel, juga untuk mengetahui massa molekul furfural yang diperoleh.
Dari hasil GC-MS yang
diterima pada gambar 4.10, sampel yang dianalisa mempunyai massa 96, kemurnian mencapai 93,8% dan merupakan senyawa furfural dengan tingkat kepercayaan 9698%.
Gambar 4.10 GC-MS furfural
37
4.3 Evaluasi Penggunaan NaCl pada produksi Furfural Setelah hasil karakterisasi di analisis dan yakin produk yang diperoleh adalah furfural maka dengan mengambil satu langkah percobaan pada produk furfural dengan rendemen optimum, dilakukan variasi penggunaan NaCl dengan konsentrasi (% massa) dari 0; 0,12; 0,22; 0,29; 0,36 dan 0,41. Tabel 4. 5 Variasi konsentrasi NaCl dalam produk furfural dari bonggol jagung No massa H2SO4 Massa Konsen
Jenis Pemisahan D
Ket
bonggol (mL) Garam
trasi
jagung 10%
NaCl
Garam
(manis)
(gr) (% massa) (menit) (menit) (ml) pial pial+smpl (gram) 93,26% 93,8% (%) (%)
DV
Ekstraksi
Waktu waktu Jml massa massa massa
GC
Rendemen
1
10
33,3
0
0
30
26
21,8 12.72
12.73
0.01 0.00933 0.0094 0.093 0.094 D = destilasi
2
10
33,3
5
0.12
61
34
15,9 13.09
13.12
0.03 0.02798 0.0281 0.28 0.281 DV= destilasi
3
10
33,3
10
0.22
62
30
25,7 13.69
13.87
0.18 0.16787 0.1688 1.679 1.688
4
10
33,3
15
0.29
61
40
18,5 11.24
11.52
0.27 0.2518 0.2533 2.518 2.533 GC= kromato-
5
10
33,3
20
0.36
81
40
27,2 12.85
13.17
0.32 0.29843 0.3002 2.984 3.002
6
5
16,6
12.5
0.41
58
38
10.86
0.16 0.14922 0.1501 2.984 3.002
6
10.7
vakum grafi gas
Dari tabel tersebut terlihat bahwa penambahan NaCl dapat memperbesar produksi furfural hingga rendemen sebesar 2,98-3,00% dimana pada saat itu penambahan NaCl tidak lagi mempengaruhi produksi furfural. Penambahan NaCl yang termasuk garam yang sukar menguap (titik leleh 800oC) dimaksudkan untuk meningkatkan titik didih larutan yang relatif lebih besar daripada senyawa-senyawa non elektrolit pada konsentrasi yang sama Karena itu, energi yang diperlukan untuk mencapai titik didih akan lebih tinggi dibandingkan titik didih tanpa NaCl. Energi yang cukup besar ini memungkinkan untuk mengkonversi pentosan menjadi furfural sebanyak mungkin.
38
Pada penelitian ini, produksi furfural optimum diperoleh pada konsentrasi NaCl 0,36 (% massa).
Jika menggunakan perbandingan massa, maka perbandingan massa
bonggol jagung dan massa NaCl pada rendemen furfural optimum adalah 1 : 2. 3.2 2.8 2.4 2 Rendemen Furfural 1.6 (%) 1.2 0.8 0.4 0 0
0.1
0.2
0.3
0.4
Konsentrasi NaCl (% massa)
Gambar 4. 11 Grafik pengaruh konsentrasi NaCl dalam produk furfural
0.5