BAB 4
HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN
Sebelum melakukan PCR, terlebih dahulu dilakukan perancangan primer menggunakan program DNA Star. Pemilihan primer dilakukan dengan mempertimbangkan parameter spesifisitas, terbentuknya hairpin, terbentuknya self dimer atau pair dimer, dan perbedaan Tm antar primer. Primer hasil perancangan memiliki spesifisitas kurang baik karena mengenali 2 gen yang berbeda. Gen yang dikenali adalah chaperonin 60.1 dan gen MTGROEOP yang mengkode pembentukan protein β-Ketoacyl-Acyl Carrier Protein Synthase (KCS) dan protein berukuran 10 kDa. Hal ini sulit dihindari karena setelah dilakukan proses penyamaan homologi menggunakan program online LALIGN pada situs : www.ch.embnet.org didapat 99,9% homologi antara gen chaperonin 60.1 dan gen
MTGROEOP dengan perbedaan hanya 1 basa. Keberadaan dimer (penempelan antara primer) dan hairpin (pembentukan loop dari primer) tidak terlalu mempengaruhi kinerja primer, dan Tm dari kedua primer cukup jauh akan tetapi tidak mempengaruhi kinerja primer sehingga bisa digunakan pada kondisi yang sama (perbedaan Tm 4 0C).
Proses optimasi PCR dilakukan untuk memperoleh 1 produk PCR dengan menentukan kondisi dan komposisi reaksi yang optimum. Hasil elektroforesis produk PCR dengan suhu penempelan 55, 56, dan 60°C menunjukkan bahwa pada suhu ini belum terjadi proses amplifikasi karena diduga pada suhu ini belum terjadi penempelan primer. Untuk menentukan konsentrasi optimum ion Mg2+, primer, dNTP dan Taq polimerase yang digunakan dalam reaksi amplifikasi, variasi konsentrasi digunakan dan komponen lain PCR tidak divariasikan.
Pada suhu 57°C dengan variasi MgCl2 produk PCR yang mengandung 2 dan 3 mM MgCl2 memberikan produk PCR lebih dari satu, reaksi lainnya tidak memberikan amplifikasi sama sekali tapi hanya reaksi dengan 2 mM MgCl2 yang memberikan produk PCR hasil perhitungan berukuran 1643 pb. Produk amplifikasi lebih dari satu dapat disebabkan karena konsentrasi ion Mg2+ berlebih akan menyebabkan primer menempel di tempat yang tidak diharapkan sehingga akan dihasilkan produk yang tidak spesifik. Optimisasi konsentrasi ion Mg2+ sangat penting karena Taq DNA polimerase merupakan enzim yang 18
19 dipengaruhi oleh magnesium. Taq DNA polimerase membutuhkan ion magnesium bebas pada bagian atas enzim dimana cetakan DNA, primer dan dNTP terikat. Pada konsentrasi Mg2+ yang rendah akurasi Taq DNA polimerase tinggi tapi kecepatan polimerisasi DNA rendah dan sebaliknya. Selain itu Mg2+ berlebih akan menstabilisasi untai ganda DNA dan mencegah denaturasi DNA secara lengkap sehingga akan menyebabkan berkurangnya jumlah produk amplifikasi yang dihasilkan.
Pada suhu 57°C dengan variasi konsentrasi dNTP , reaksi PCR yang mengandung 1 dan 0,8 mM dNTP memberikan produk PCR lebih dari satu, reaksi lainnya tidak memberikan produk PCR sama sekali
tapi hanya reaksi yang mengandung 1 mM dNTP yang
memberikan produk PCR hasil perhitungan berukuran 1643 pb. Pada suhu 57°C dengan variasi konsentrasi Taq polimerase , reaksi PCR yang mengandung 0,5 U Taq polimerase memberikan satu produk PCR sedangkan pada reaksi dengan 1 dan 1,5 U Taq polimerase memberikan produk PCR lebih dari satu. Ketiga konsentrasi memberikan produk PCR hasil perhitungan berukuran 1643 pb. Produk PCR lebih dari satu dapat terjadi karena jumlah Taq polimerase yang terlalu tinggi dapat menyebabkan meningkatnya produk yang tidak spesifik dan apabila digunakan terlalu rendah maka jumlah produk yang diharapkan akan sedikit.
Pada suhu 57°C dengan variasi jumlah primer, reaksi PCR yang mengandung 30; 15 dan 7,5 pikomol memberikan 3 produk PCR dengan hasil perhitungan berukuran 1643 pb. Dari ketiga reaksi tidak ada perbedaan intensitas produk pada 1643 pb yang bermakna. Pada suhu 58°C dengan variasi jumlah primer, reaksi PCR yang mengandung 30; 15 dan 7,5 pikomol memberikan satu produk PCR berukuran 1643 pb. Pada suhu 59°C amplifikasi memberikan produk PCR lebih dari satu namun memberikan produk PCR berukuran hasil perhitungan 1643 pb. Jumlah primer yang meningkat dapat menyebabkan kesalahan penempelan primer di tempat selain target yang akan diamplifikasi sehingga akan terjadi peningkatan jumlah produk yang tidak spesifik.
20
5
4 3 2 1 M
4 3
2 1 M
5 kb 4 kb 3 kb 2 kb
5 kb 4 kb 3 kb 2 kb
1 kb
1643 pb
1643 pb
1 kb
M = Marka, 1 = kontrol negatif, 2 = 2 mM MgCl2, 3 = 3 mM MgCl2, 4 = 4 mM MgCl2, 5 = 5 mM MgCl2 .
M = Marka, 1 = kontrol negatif, 2 = 1 mM dNTP, 3 = 0,8 mM dNTP, 4 = 0,6 mM dNTP
(A)
(B)
4
3
2 1 M
M
1
2
3
4
5 kb 4 kb 3 kb 5 kb 2 kb 4 kb 3 kb 1 kb 2 kb
1643 pb
1 kb
M = Marka, 1 = kontrol negatif , 2 = 0.5 Unit Taq polimerase, 3 = 1 Unit Taq polimerase, 4 = 1,5 Unit Taq polimerase (C)
1643 pb
M = Marka, 1 = kontrol negatif, 2 = 30 pikomol primer, 3 = 15 pikomol primer, 4 = 7,5 pikomol primer (D)
21
M
1 2
3
4
M
5 kb 4 kb 3 kb
1
2
5 kb 4 kb 3 kb
2 kb
2 kb 1643 pb
1 kb
1 kb M = Marka, 1 = kontrol negatif, 2 = 30 pikomol primer, 3 = 15 pikomol primer, 4 = 7,5 pikomol primer. (E)
1643 pb M = Marka, 1 = kontrol negatif, 2 = Produk PCR. (F)
Gambar 4.1 Hasil Optimasi Komposisi PCR. A = Variasi Konsentrasi MgCl2, B = Variasi Konsentrasi dNTP, C = Variasi Jumlah Taq Polimerase, D = Variasi Jumlah Primer, Suhu 57°C, E = Variasi Jumlah Primer, Suhu 58°C, F = Suhu 59°C.. Berdasarkan data optimasi yang telah dilakukan maka proses PCR untuk selanjutnya dilakukan pada suhu 58°C dengan komposisi cetakan DNA 22,5 ng, primer M. tuberculosis forward dan M. tuberculosis reverse masing-masing 30 pikomol, MgCl2 2 mM, Taq polimerase 1 Unit, Taq Buffer 2,5 L dan aquabidest steril ditambahkan hingga volume reaksi mencapai 25 L.
Produk PCR yang dihasilkan mempunyai nukleotida A bebas pada ujung 3’. Produk PCR ini kemudian diligasikan ke vektor kloning pGEM-T yang memiliki nukleotida T bebas pada ujung 5’ sehingga bila diligasi akan saling komplemen. Ligasi dilakukan dengan enzim T4 DNA ligase. Perbandingan DNA sisipan dan vektor yang disarankan oleh produsen pGEM-T Kit adalah 1:8 hingga 8:1, walaupun secara prinsip semakin besar perbandingan jumlah DNA sisipan terhadap vektor maka semakin besar kemungkinan jumlah vektor yang tersisipi. Untuk mendapatkan hasil ligasi yang optimum maka reaksi ligasi dilakukan pada suhu 4°C selama 20 jam setelah sebelumnya diinkubasi 37°C 1 jam
22 pada suhu ruang. Perbandingan ligasi yang digunakan adalah 1:1, 3:1 , 6:1, 8:1 dan 16:1. Hasil reaksi ligasi kemudian ditransformasi ke dalam E. coli JM 109 menggunakan metode kejut panas. Proses transformasi berhasil apabila biakan dapat tumbuh pada media yang mengandung ampisilin. Dari hasil biakan diperoleh E. coli transforman yang dapat tumbuh pada media mengandung ampisilin dengan koloni berwarna putih dan koloni biru, koloni putih menunjukkan adanya plasmid rekombinan dan koloni biru memiliki plasmid tanpa DNA sisipan. Untuk menganalisis keberhasilan ligasi maka koloni putih yang dihasilkan dari hasil transformasi kemudian diisolasi plasmidnya, dan dilakukan analisis migrasi dibandingkan dengan pGEM-T tanpa DNA sisipan. Plasmid rekombinan bergerak lebih lambat dibandingkan dengan pGEM-T tanpa DNA sisipan, yang menunjukkan bahwa plasmid rekombinan yang membawa DNA sisipan ukurannya bertambah sehingga bergerak lebih lambat.
Tabel 4.1 Jumlah Koloni Hasil Transformasi dan Koloni Putih Yang Mengandung Plasmid Rekombinan Perbandingan jumlah DNA terhadap vektor 3:1
Jumlah koloni putih 56
Jumlah koloni putih mengandung plasmid rekombinan 17
6:1
2
-
8:1
26
5 koloni
16 : 1
6
-
5
4
3
2
1
Gambar 4. 2 Analisa Migrasi Plasmid Rekombinan. 1 = plasmid tanpa DNA sisipan ; 2, 3, 4, 5 = plasmid dengan DNA sisipan.
23 Hasil analisa migrasi menunjukkan bahwa hanya 22 koloni putih yang memiliki plasmid rekombinan. Sebagian besar koloni putih memiliki plasmid yang jarak migrasinya sama dengan plasmid tanpa DNA sisipan dan sebagian kecil koloni tidak memiliki plasmid. Menurut teori koloni putih seharusnya memiliki plasmid yang tersisipi DNA karena vektor kloning pGEM-T memiliki sisi kloning tempat DNA menyisip dalam gen lacZ. Koloni putih berarti mengandung DNA sisipan pada sisi kloning dalam gen lacZ yang menyebabkan tidak terjadinya katabolisme X-gal dan tidak terbentuk pigmen biru yang mewarnai koloni.
Dari hasil transformasi diperoleh 90 koloni putih tetapi hanya 22 koloni putih yang memiliki plasmid rekombinan. Banyaknya koloni putih yang tidak memiliki plasmid ataupun plasmid tanpa DNA sisipan dapat diakibatkan karena perbandingan ligasi antara vektor dengan DNA sisipan tidak optimal. Selain itu, waktu inkubasi yang tidak cukup lama, kegagalan proses ligasi karena adanya komponen inhibitor dalam produk PCR, produk PCR tidak terligasi karena tidak mempunyai nukleotida A bebas pada ujung 3’. Penyebab lain koloni putih yang tidak memiliki plasmid ataupun plasmid tanpa DNA sisipan adalah produk PCR tidak terligasi karena terbentuknya dimer, fragmen DNA menyisip pada plasmid tapi tidak merusak gen lacZ, dan adanya primer yang membentuk dimer yang mana akan terligasi ke dalam vektor dan terlihat sejajar dengan vektor tanpa DNA sisipan karena ukuran yang kecil.
Untuk meyakinkan keberadaan DNA pengkode chaperonin 60.1 pada plasmid rekombinan, dilakukan analisis pemotongan plasmid. Pada saat perancangan primer bagian sisi 5’ dari masing-masing primer ditambahkan urutan DNA yang dikenali oleh enzim restriksi BamHI dan EcoRI, sehingga produk PCR yang dihasilkan membawa situs restriksi tersebut pada ujung 5’ dan 3’. Pemotongan menggunakan enzim BamHI dan EcoRI akan memotong DNA sisipan tersebut dari plasmid. Hasil analisa pemotongan plasmid memberikan dua pola pemotongan. Pada Gambar 4.3, elektroforegram hasil restriksi tunggal plasmid rekombinan dengan BamHI ataupun EcoRI menunjukkan terdapat satu pita berukuran 3503 pb. Ukuran teoritis hasil restriksi tunggal adalah 4656 pb yaitu ukuran plasmid pGEM-T ditambah dengan gen sisipan. Plasmid ini menunjukkan plasmid tidak mengandung DNA sisipan pengkode chaperonin 60.1 karena jauh berbeda dengan ukuran teoritis, hal ini dapat
24 terjadi karena produk PCR yang digunakan untuk proses ligasi tidak hanya mengandung satu produk PCR berukuran teoritis 1656 pb
Pada Gambar 4.4, elektroforegram menunjukkan bahwa plasmid tidak terpotong oleh enzim restriksi dibuktikan dengan pita hasil restriksi yang sejajar dengan pita plasmid yang tidak dipotong dengan enzim restriksi. Plasmid yang tidak terpotong oleh enzim BamHI dan EcoRI mungkin besar adalah plasmid mengandung DNA sisipan chaperonin 60.1 yang telah kehilangan situs restriksi BamHI dan EcoRI. Penambahan situs restriksi bertujuan menyediakan ujung gen yang kompatibel dengan vektor ekspresi pET yang juga akan direstriksi dengan enzim yang sama.
M
1
2
3
4
M
1
2
3
4
3503 pb
5 kb 4 kb 3 kb 2 kb 1 kb
5 kb 4 kb 3 kb 2 kb 1 kb
Gambar 4.3 Hasil Analisis Karakterisasi Klon Gambar 4.4 Menggunakan Enzim Restriksi (1) M = Marka, 1 = Hasil restriksi menggunakan enzim EcoRI, 2 = Hasil restriksi menggunakan enzim BamHI, 3 = Plasmid pGEM-T Chaperonin 60.1 tidak dipotong dengan enzim restriksi EcoRI dan BamHI, 4 = pGEM-T tanpa DNA sisipan
Hasil Analisis Karakterisasi Klon Menggunakan Enzim Restriksi (2) M = Marka, 1 = Hasil restriksi menggunakan enzim EcoRI, 2 = Hasil restriksi menggunakan enzim BamHI, 3 = Plasmid pGEM-T Chaperonin 60.1 tidak dipotong dengan enzim restriksi EcoRI dan BamHI, 4 = pGEM-T tanpa DNA sisipan