BAB 4
HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN Mikroemulsi merupakan emulsi jernih yang terbentuk dari fasa lipofilik, surfaktan, kosurfaktan dan air. Dispersi mikroemulsi ke dalam air bersuhu rendah akan menyebabkan presipitasi dari fasa lipofilik yang membentuk partikel halus yaitu SLN (Muller et al., 2000). Dalam proses presipitasi, obat atau zat aktif yang digunakan sebagai fasa lipofilik atau terlarut dalam fasa lipofilik dapat terjerat dalam SLN. Pada penelitian ini dilakukan pembuatan SLN dengan metode mikroemulsi mengggunakan setil alkohol yang befungsi sebagai lipid padat yang akan menjerat vitamin E asetat cair. Surfaktan yang digunakan adalah Tween 80 dan sebagai ko-surfaktan digunakan propilenglikol. Bahan aktif yang digunakan dalam penelitian adalah vitamin E asetat. Vitamin E asetat sering dijumpai dalam sediaan tabir surya karena kemampuannya sebagai fotoprotektan yang memiliki aktivitas antioksidan dan kemampuan menghambat respon inflamasi. (Shaath, 1990). Vitamin E asetat yang digunakan dalam penelitian adalah vitamin E asetat dalam bentuk cair. Vitamin E asetat bentuk padat sebagai fasa lipid tunggal tidak digunakan dalam penelitian ini, karena vitamin E asetat padat baru akan meleleh pada suhu di atas 300 °C. Pembuatan SLN dengan metode mikroemulsi membutuhkan lipid yang dapat meleleh pada saat proses pembuatan mikroemulsi dan dapat memadat kembali ketika didispersikan di dalam air dingin. Oleh karena itu dalam pembuatan SLN dengan metode mikroemulsi menggunakan lipid tambahan yang sesuai, vitamin E asetat cair akan terjerat dalam SLN yang terbentuk. Setil alkohol adalah lipid yang dipilih sebagai fasa lipofilik karena sifatnya yang mudah meleleh pada pemanasan (60 °C) dan dapat segera memadat kembali pada suhu kamar.
20
21 Tween 80 merupakan surfaktan nonionik larut air yang umum digunakan dalam sediaan topikal karena sifatnya yang tidak toksik dan tidak mengiritasi kulit. Propilenglikol bertindak sebagai ko-surfaktan karena sifatnya yaitu merupakan surfaktan nonionik pula 1 . Optimasi setiap tahapan dalam formulasi perlu dilakukan untuk memperoleh formula yang terbaik. Tahap awal dilakukan optimasi untuk menentukan perbandingan jumlah vitamin E asetat dan setil alkohol yang diperlukan sehingga diperoleh jumlah setil alkohol yang minimal diperlukan yang dapat menjerat vitamin E asetat sebesar mungkin tanpa mengubah konsistensi setil alkohol. Setelah penambahan vitamin E asetat, setil alkohol yang telah meleleh harus dapat memadat kembali. Tabel 4.1. Optimasi Perbandingan Vitamin E Asetat dan Setil Alkohol Vit. E Asetat : Setil alkohol
Konsistensi
0:1
Keras
1:1 1:3 1:4 1:5
Lunak Lunak Agak keras Keras
Perbandingan vitamin E asetat dan setil alcohol yang diperlukan untuk mendapatkan konsistensi yang sama dengan konsistensi setil alkohol murni adalah 1:5. Dibutuhkan konsistensi yang demikian agar SLN yang terbentuk tidak lunak sehingga tidak mudah hancur. Perbandingan ini yang dipilih untuk digunakan dalam pengembangan formula berikutnya. Optimasi berikutnya adalah menentukan rasio jumlah surfaktan (Tween 80) dan kosurfaktan (propilen glikol) yang diperlukan untuk dapat membentuk sistem mikroemulsi. Hasil yang diperoleh menunjukkan 2 formula dapat membentuk mikroemulsi yang jernih, yaitu F III, dan F IV (Tabel 2).
1
http://www.drugdeliverytech.com/cgi-bin/articles.cgi?idArticle=260 (15 Oktober 2006)
22 Tabel 4.2. Optimasi Jumlah Tween 80 dan Propilenglikol dalam Mikroemulsi Komponen
FI
F II
F III
F IV
Vit. E Asetat Setil alkohol Tween 80 Propilenglikol Aquadest
1% 5% 8% 20 % 66 %
1% 5% 15 % 20 % 59 %
1% 5% 25 % 40% 29 %
1% 5% 40 % 30 % 24 %
Hasil
Keruh
Keruh
Jernih
Jernih
Dari kedua formula tersebut dilakukan optimasi lanjutan untuk menurunkan jumlah surfaktan dan ko-surfaktan sampai batas minimal. Penurunan jumlah surfaktan dan kosurfaktan ini dilakukan untuk menimimalisasi bahan tambahan pada formula yang dapat mengiritasi kulit. Tabel 4.3. Optimasi Jumlah Surfaktan dan Ko-surfaktan dalam Mikroemulsi Komponen
F III1
F III2
F III3
F III4
F IV1
F IV2
Vit. E Asetat
1%
1%
1%
1%
1%
1%
Setil alkohol Tween 80 Propilenglikol Aquadest
5% 25 % 30 % 39 %
5% 25 % 35 % 34 %
5% 15% 40 % 39 %
5% 20% 40 % 34 %
5% 30 % 30 % 34 %
5% 35 % 30% 29 %
Hasil
Keruh
Keruh
Keruh
Keruh
Jernih
Jernih
Hasil optimasi surfaktan dan ko-surfaktan diperoleh formula lain yang menghasilkan sediaan mikroemulsi yang jernih dengan jumlah surfaktan yang paling sedikit yaitu F III dengan jumlah Tween 80 sebanyak 25% dan propilenglikol sebanyak 40%, dan F IV1 dengan kandungan Tween 80 sebanyak 30% dan propilenglikol sebanyak 30%. Data optimasi yang diperoleh dipetakan dalam grafik diagram tiga fasa. Daerah mikroemulsi dengan jumlah vitamin E asetat dan setil alkohol sebanyak 6% dengan berbagai komposisi surfaktan terlihat pada tanda hitam pada diagram tiga fasa (Gambar 4.1).
23
Gambar 4.1.
Diagram 3 fasa daerah mikroemulsi. Daerah mikroemulsi ditunjukkan oleh tanda hitam; tanda putih menunjukkan daerah 2 fasa.
Formula mikroemulsi yang dipilih untuk dilanjutkan dalam pembuatan SLN adalah F III karena F III memiliki jumlah Tween 80 yang paling sedikit. Selain itu, F III tidak terbentuk banyak busa dan gelembung udara seperti pada F IV1. Busa disebabkan oleh Tween 80 yang merupakan senyawa yang akan mengalami proses saponifikasi ketika dicampur dengan basa atau asam (Rowe, 2003). Bahan yang digunakan dalam formula bersifat asam karena itu jumlah Tween 80 yang paling sedikit sangat penting untuk mencegah banyaknya busa yang terbentuk. Selain itu penampilan F III lebih baik daripada F IV1, yaitu lebih encer, jernih dan tidak terlalu kuning. Proses sonikasi dilakukan untuk memecah globul yang terbentuk sehingga berukuran lebih kecil. Sonikasi merupakan proses pemberian energi suara ultra yang menggangu partikel dalam sample untuk berbagai kegunaan. Sonikasi dapat digunakan untuk mempercepat pelarutan karena sonikasi akan memecah ikatan antar molekul 2 sehingga
diharapkan
proses sonikasi akan menghasilkan ukuran globul yang lebih kecil. Optimasi waktu sonikasi dilakukan dari evaluasi organoleptik, yaitu melihat kejernihan mikroemulsi setelah proses sonikasi. Setelah sonikasi selama 20 menit, ditemukan mikroemulsi menjadi lebih jernih lagi.
2
http://en.wikipedia.org/wiki/Sonication (19 Juli 2007)
24 Evaluasi SLN yang umum dilakukan adalah evaluasi ukuran partikel, morfologi serta efisiensi penjeratan. Evaluasi morfologi dilakukan dengan menggunakan alat Scanning Electron Microscope (SEM).
Gambar 4.2.
Hasil foto SEM dari suspensi SLN. Titik-titik kecil menunjukkan partikel SLN yang berhasil terbentuk.
Dari hasil foto SEM diperoleh bahwa partikel SLN yang terbentuk berbentuk sferis atau bulat. Selain itu dapat juga dilihat bahwa ukuran partikel tersebut adalah dibawah 1μm. Partikel-partikel besar yang terlihat dalam foto SEM kemungkinan adalah bekas gelembung udara atau setil alkohol padat yang tidak menjadi SLN. Gelembung udara mungkin terbentuk karena metode pembuatan lapisan film yang digunakan dalam evaluasi SEM adalah dengan mencelupkan kaca penutup objek dalam suspensi SLN yang dibiarkan mengering dalam suhu kamar. Sedangkan setil alkohol padat yang tidak menjadi SLN masih ada karena tidak dilakukan proses pemisahan antara setil alkohol yang menjadi SLN dengan setil alkohol bebas. Evaluasi dengan SEM ini tidak dapat menentukan ukuran partikel dengan baik. Penentuan ukuran partikel yang lebih baik dilakukan menggunakan alat Zetasizer Nano. Dalam penelitian ini telah dilakukan usaha pengeringan SLN menggunakan alat freeze dry namun tidak berhasil dengan maksimal. Suspensi SLN hanya dapat dipekatkan saja sampai semua air berhasil dipisahkan dari suspensi SLN. Ketidakberhasilan ini disebabkan oleh adanya Tween 80 dan propilenglikol dalam formula yang tidak dapat menyublim. Alat yang seharusnya dapat digunakan untuk mengeringkan SLN adalah desikator termostatik, hanya saja alat ini tidak tersedia.
25 Evaluasi ukuran partikel SLN dilakukan dengan menggunakan alat Zetasizer Nano. Prinsip alat ini adalah mengukur perubahan dari intensitas penghamburan cahaya yang disebabkan oleh pergerakan partikel. Perubahan intensitas penghamburan cahaya ini kemudian diterjemahkan oleh alat sebagai diameter partikel penyebab penghamburan cahaya (Muller et al., 2000). Evaluasi ukuran SLN vitamin E asetat dilakukan terhadap SLN yang dibentuk tanpa proses sonikasi dan SLN yang dibentuk dengan menambahkan proses sonikasi dalam proses pembuatannya. Hasil yang diperoleh menunjukkan ukuran SLN yang dibuat tanpa sonikasi adalah 38950 nm (38,95 μm) dan ukuran SLN dengan proses sonikasi adalah 49,23 nm. Ini menunjukkan bahwa proses sonikasi sangat berperan dalam memperkecil ukuran partikel sehingga SLN yang diperoleh memenuhi syarat dari segi ukurannya.
Gambar 4.3. Rata-rata ukuran diameter partikel SLN Ukuran SLN yang kecil ini dapat menimbulkan masalah yaitu adanya kemungkinan SLN terpenetrasi menembus kulit dan masuk ke dalam sistem sirkulasi darah. Namun kemungkinan SLN yang terbentuk untuk terpenetrasi sampai ke dalam darah sangat kecil. Barier paling utama dalam penetrasi perkutan adalah stratum corneum. Agar bahan aktif dapat terpenetrasi sampai ke dalam darah, bahan harus dapat melewati lapisan epidermis dan dermis. Untuk itu perlu digunakan bahan peningkat penetrasi dalam formulasi sediaan topikal (Troy, 2006). Jika dalam formula sediaan tidak digunakan peningkat penetrasi
26 maka kemungkinan SLN dapat terpentrasi melewati stratum corneum sampai ke dalam sistem sirkulasi darah sangatlah kecil. Jalur yang paling baik agar bahan aktif dapat terpenetrasi sampai ke dalam darah adalah dengan jalur penetrasi melalui pori kulit. Ukuran rata-rata pori kulit adalah 50μm dan cukup untuk partikel dengan ukuran di bawah 1 kDa dapat terpenetrasi secara transdermal. Sedangkan partikel berukuran di atas 1 kDa tidak dapat terpenetrasi dengan baik melalui pori-pori kulit 3 . Dalam penelitian yang dilakukan oleh Surresh, partikel SLN yang terbentuk berada dalam antara 80-110 nm dan ketika disaring dengan membran berpori 20 kDa partikel tetap tertahan tidak melewati membran (Surresh et al., 2007). Dengan demikian SLN yang diperoleh dalam penelitian ini, yang berukuran 49 nm, besar kemungkinan berukuran di atas 1 kDa sehingga sangat kecil kemungkinan SLN akan terpentrasi melalui pori-pori sampai ke dalam darah. Kemungkinan yang lebih besar untuk terjadi adalah bahwa SLN akan tetap tinggal dan membentuk lapisan pelindung pada kulit. Evaluasi efisiensi penjeratan vitamin E asetat dilakukan dengan memisahkan vitamin E asetat bebas dari fasa air suspensi SLN. Pemisahan ini dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu menggunakan metode dialisis, menggunakan alat ultrasentrifugasi dengan membran filter atau dengan menggunakan pelarut organik yang dapat melarutkan bahan aktif bebas namun tidak melarutkan lipid penjerat serta tidak merusak sistem SLN. Pada penelitian ini pemisahan vitamin E asetat bebas dari fasa air suspensi dilakukan dengan proses sentrifugasi di mana vitamin E asetat bebas akan memisah dari fasa air pada suspensi SLN karena vitamin E asetat bebas berupa fasa minyak dan akan berada pada lapisan atas. Sedangkan vitamin E asetat yang terjerat akan tetap terdispersi dalam fasa air karena ukuran SLN yang sangat halus sehingga tidak akan mengendap dengan proses sentifugasi. Pengukuran kadar vitamin E asetat pada fasa air akan mewakili jumlah vitamin E asetat yang terjerat menjadi SLN.
3
http://www.encsys.com/articles/HumanSkinPoreEnlargementPaper.pdf (9 September 2007)
27 Proses pemisahan dilakukan dengan metode yang telah disebutkan di atas karena tidak berhasilnya metode pemisahan dengan dialisis, tidak tersedianya alat ultrasentrifugasi yang dibutuhkan. Selain itu tidak ditemukan pelarut organik yang dapat melarutkan vitamin E asetat tapi tidak melarutkan setil alkohol atau merusak sistem suspensi SLN (Rowe, 2003). Efisiensi penjeratan vitamin E asetat dihitung dengan membandingkan absorbansi vitamin E asetat yang terjerat menjadi SLN dengan absorbansi vitamin E asetat dalam suspensi SLN keseluruhan. Tabel 4.4. Absorbansi Vitamin E Asetat yang Terjerat Menjadi SLN Batch
A awal
A akhir
% Efisiensi Penjeratan
Satu Dua
0,6795 0,6776
0,5696 0,5734
83,83 84,48
Rata-rata
0.6786
0,5715
84,16
Nilai efisiensi penjeratan yang diperoleh cukup tinggi. Ini disebabkan oleh tingginya jumlah setil alkohol yang digunakan sebagai penjerat. Hal ini sesuai dengan teori meningkatnya nilai efisiensi penjeratan akan setara dengan meningkatnya rasio antara obat dan fasa lipofilik yang digunakan dalam formula (Muller et al., 2000). Akan tetapi dengan meningkatnya rasio fasa lipofilik terhadap obat akan mengakibatkan jumlah obat dalam SLN yang terbentuk menjadi lebih sedikit, karena jumlah obat yang terjerat dalam fasa lipofilik turun. Hal ini dapat menjadi masalah ketika SLN ini akan diformulasikan dan dibutuhkan jumlah obat yang cukup tinggi. Suspensi SLN yang diperoleh dicoba dibuat menjadi sediaan topikal untuk melihat kemungkinan penggunaan sistem SLN dalam aplikasi praktis. Pembuatan sediaan topikal ini dilakukan dengan membuat sediaan bentuk gel. Basis gel yang digunakan adalah carbomer 940 yang dinetralisasi dengan TEA. SLN yang digunakan dalam pembuatan gel ini adalah suspensi SLN yang telah dipekatkan dengan proses freeze dry sampai semua air berhasil dipisahkan. Diperoleh hasil sediaan gel berwarna putih dengan SLN yang terdistribusi homogen dalam basis. Menurut Farmakope Indonesia IV, gel merupakan sistem semipadat terdiri dari suspensi yang dibuat dari partikel anorganik yang kecil atau molekul organik yang
besar,
terpenetrasi oleh suatu cairan. Gel kadang-kadang disebut jeli. Dalam penelitian ini gel
28 yeng terbentuk berwarna putih dan tidak transparan. Hal ini disebabkan oleh partikel bahan aktif tidak terlarut dalam basis melainkan terdispersi secara merata. Dari penelitian ini ditemukan bahwa pembuatan suspensi SLN menjadi sediaan gel mempunyai suatu kelemahan. Jumlah SLN yang dapat digunakan dalam formula sangatlah sedikit yang akhirnya mengakibatkan dosis bahan aktif yang dapat dimasukkan ke dalam sediaan juga menjadi sedikit. Hal ini disebabkan oleh bentuk SLN yang digunakan dalam formulasi gel adalah bentuk suspensi yang masih mengandung berbagai bahan tambahan dengan bobot molekul yang cukup besar dan bahan tambahan ini tidak dapat dipisahkan dari suspensi sehingga tidak dapat diperoleh SLN kering yang murni. Hal ini menyebabkan bentuk SLN yang digunakan adalah bentuk suspensi dan walaupun volum suspensi yang ditambahkan dalam gel kecil namun suspensi tersebut memiliki bobot yang besar yang pada akhirnya mengurangi bobot air yang dapat digunakan untuk mengembangkan basis gel.