BAB 4
HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN Determinasi tanaman dilakukan di Herbarium Bandungense, Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati Institut Teknologi Bandung, menyatakan bahwa tanaman ini adalah Pogostemon cablin Benth. Dewasa ini terdapat beberapa sinonim tanaman nilam yaitu Pogostemon cablin Benth. (nilam Aceh), Pogostemon hortensis dan Pogostemon heyneanus (nilam Jawa). Pogostemon cablin mempunyai kadar minyak atsiri 2,5 – 5,0 % dan merupakan tanaman yang paling banyak disuling. Pogostemon heyneanus dan Pogostemon hortensis mempunyai kadar minyak 0,5 – 1,5 %. Pada penelitian ini daun nilam yang digunakan memiliki kadar air sebesar 11,00 % dan kadar minyak atsiri 2,65 %. Hasil pemeriksaan secara makroskopik menunjukkan helaian daun nilam berbentuk bulat telur sampai jorong memanjang, ujung meruncing, pangkal umumnya runcing, pinggir bergerigi ganda atau kadang-kadang beringgit, kedua permukaan berambut rapat, panjang helaian sampai 12 cm, panjang tangkai daun sampai 8 cm, lebar sampai 10 cm, dan penulangan menyirip. Hal ini ditunjukkan pada Gambar 4.1. Hasil pemeriksaan secara mikroskopik menunjukkan adanya rambut penutup, mesofil dengan trakea, epidermis atas dengan rambut penutup, rambut kelenjar, dan berkas pembuluh. Hasil pemeriksaan mikroskopik ditunjukkan pada Gambar 4.2.
Gambar 4.1. Daun Pogostemon cablin Benth.
15
16
a. Gambar 4.2
b.
c.
d.
e.
Pengamatan simplisia secara mikroskopik : a) rambut penutup, b) berkas pembuluh, c) epidermis atas dengan rambut penutup, d) mesofil dengan trakea, e) rambut kelenjar.
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses fermentasi adalah suhu, kelembaban, dan jumlah air atau suspensi mikroba yang ditambahkan. Suhu berpengaruh terhadap pertumbuhan mikroba yang ada dalam substrat. Pada penelitian ini, fermentasi dilakukan pada suhu ruangan dan tidak terkena sinar matahari secara langsung. Tujuan perlakuan tersebut adalah agar mikroorganisme dapat tumbuh optimal dan mencegah terjadinya penguapan minyak atsiri. Pada penelitian ini tidak dilakukan sterilisasi terhadap bahan yang digunakan. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya metode yang tepat yang dapat digunakan untuk mensterilkan daun nilam. Sterilisasi dengan menggunakan panas tidak dapat digunakan karena dapat mengakibatkan terjadinya penguapan minyak atsiri. Sterilisasi dengan menggunakan pelarut tidak dapat digunakan karena dapat menyebabkan pelarutan komponen minyak atsiri dan sulit untuk menghilangkan pelarut dari serbuk simplisia. Sterilisasi dengan menggunakan sinar tidak dilakukan karena diragukan efektivitasnya. Sterilisasi menggunakan formaldehid tidak dilakukan karena senyawa tersebut bersifat bakterisid sehingga dapat membunuh mikroba yang digunakan pada saat fermentasi. Pada awalnya, proses fermentasi dilakukan dengan merendam daun nilam pada media air dengan penambahan atau tanpa penambahan mikroba. Perendaman daun nilam dalam media air bertujuan agar mikroba dapat tumbuh dengan baik dan isolasi minyak atsiri akan lebih mudah karena minyak atsiri tidak larut dalam air. Pengamatan secara organoleptik terhadap sistem fermentasi tersebut dapat dilihat terjadinya pertumbuhan mikroorganisme
17 yang berwarna putih pada permukaan lapisan air. Namun, proses ini disertai dengan terbentuknya bau busuk. Pada proses tersebut minyak nilam tidak langsung dapat diperoleh dari hasil fermentasi tetapi tetap harus melalui proses destilasi. Minyak nilam yang dihasilkan memiliki bau yang berbeda jika dibandingkan dengan minyak nilam yang berasal dari daun yang tidak direndam. Minyak nilam yang berasal dari daun yang direndam cenderung berbau busuk. Bau busuk yang dihasilkan merupakan akibat dari metabolisme mikroorganisme yang terdapat pada sistem fermentasi. Oleh karena itu, metode ini tidak dilanjutkan pada tahapan berikutnya. Metode lainnya adalah dengan membasahi serbuk simplisia. Pada metode ini dapat diamati terjadinya pertumbuhan mikroba pada serbuk simplisia dan tidak terjadi pembusukan. Pengaruh fermentasi terhadap rendemen minyak nilam dapat dilihat pada Tabel 4.1. Hasil yang didapatkan diuji dengan menggunakan statistika. Uji statistika yang digunakan adalah uji t. Hasil pengujian statistika dengan uji t dapat dilihat pada Tabel 4.2 dan Tabel 4.3. Tabel 4.1 Pengaruh Perlakuan DaunTerhadap Rendemen Minyak Nilam Perlakuan
Kode
Rendemen (% v/b) Waktu (Jam) Batch 1 Batch 2 Batch 3 Rata-rata
Non Fermentasi
S
0
2,000
1,980
1,990
1,990
Standar Deviasi 0,010
6 12 24
2,000 2,000 2,000
1,990 2,000 2,000
2,000 1,830 2,000
1,990 1,940 2,000
0,006 0,098 0,000
6 12 24
2,000 2,000 1,500
1,970 2,000 1,500
2,000 2,000 1,500
1,990 2,000 1,500
0,017 0,000 0,000
A Fermentasi D
Keterangan : S adalah minyak nilam yang berasal dari daun yang tidak difermentasi, A adalah minyak nilam yang berasal dari daun nilam yang difermentasi selama waktu tertentu tanpa penambahan mikroba, D minyak nilam yang berasal dari daun nilam yang difermentasi selama waktu tertentu dengan penambahan mikroba.
18 Tabel 4.2 Hasil Pengujian Statistika dengan Uji t pada Fermentasi Tanpa Penambahan Mikroba Deskripsi
Perbandingan A0 – A6
A0 – A12
A0 – A24
A6 – A12
A6 – A24
A12 – A24
Hipotesa nol
µ0 = µ6
µ0 = µ12
µ0 = µ24
µ6 = µ12
µ6 = µ24
µ12 = µ24
t (0,05)
2,353
2,920
2,920
2,920
2,920
2,920
-1,000
0,819
-1,732
0,939
-1,000
-1,000
t
‚
Tabel 4.3 Hasil Pengujian Statistika dengan Uji t pada Fermentasi dengan Penambahan Mikroba Deskripsi
Perbandingan D0 – D6
D0 – D12
D0 – D24
D6 – D12
D6 – D24
D12 – D24
Hipotesa nol
µ0 = µ6
µ0 = µ12
µ0 = µ24
µ6 = µ12
µ6 = µ24
µ12 = µ24
t (0,05)
2,353
2,920
2,920
2,920
2,920
2,920
t‚
0,000
-1,732
84,870
-1,000
49,000
~
Salah satu pengujian statistika dengan uji t dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan rendemen minyak nilam yang berasal dari daun yang tidak difermentasi (A0), fermentasi selama 6 jam (A6), 12 jam (A12), dan 24 jam (A24) tanpa penambahan mikroba. Pada Tabel 4.2 dapat dilihat bahwa semua nilai t’ lebih kecil daripada t pada aras 0,05, jadi hipotesa nol diterima. Maksudnya adalah tidak terdapat perbedaan bermakna diantara sampel yang diuji pada aras 0,05. Dengan kata lain, tidak terdapat perbedaan rendemen minyak nilam yang dihasilkan antara daun yang difermentasi tanpa penambahan mikroba maupun yang tidak difermentasi. Pengujian statistika lainnya dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan rendemen minyak nilam yang berasal dari daun yang tidak difermentasi (D0), fermentasi selama 6 jam (D6), 12 jam (D12), dan 24 jam (D24) dengan penambahan mikroba. Pada Tabel 4.3 dapat dilihat bahwa nilat t’ pada D0 – D24, D6 – D24, dan D12 – D24 lebih besar jika dibandingkan dengan nilai t pada aras 0,05, jadi hipotesa nol ditolak. Nilai tersebut bermakna, fermentasi selama 24 jam dengan penambahan mikroba akan menghasilkan rendemen minyak nilam yang lebih rendah secara bermakna jika dibandingkan dengan daun yang tidak difermentasi maupun yang difermentasi selama 6 dan 12 jam. Sedangkan
19 nilai t’ pada D0 – D6, D0 – D12, dan D6 – D12 lebih kecil jika dibandingkan dengan nilai t pada aras 0,05. Nilai tersebut menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna diantara sampel yang diuji. Dengan kata lain, tidak terdapat perbedaan rendemen minyak nilam yang dihasilkan dari daun yang tidak difermentasi, difermentasi selama 6 jam maupun difermentasi selama 12 jam.
Rata-rata Rendemen (%)
2,5 2 1,5 1 0,5 0 0
6
12
24
Waktu Fermentasi (Jam)
Gambar 4.3. Kurva pengaruh waktu fermentasi terhadap rendemen minyak nilam. adalah rendemen minyak nilam pada daun nilam yang difermentasi dengan penambahan mikroba adalah rendemen minyak nilam pada daun nilam yang difermentasi tanpa penambahan mikroba Pada Gambar 4.3 dapat dilihat bahwa terjadi penurunan rendemen minyak nilam yang berasal dari daun nilam yang difermentasi selama 24 jam dengan penambahan mikroba. Menurut Guenther (1987), kehilangan minyak dapat disebabkan oleh penguapan, oksidasi, resinifikasi, dan reaksi kimia lainnya. Penguapan minyak atsiri melalui dinding jaringan tanaman tidak dapat berjalan secara langsung karena minyak tersebut terlebih dahulu harus diangkut ke permukaan bahan melalui proses hidrodifusi dengan bantuan air sebagai medium pembawa. Jadi, salah satu kemungkinan penyebab terjadinya penurunan rendemen minyak pada D 24 adalah adanya proses penguapan. Kemungkinan penyebab lainnya adalah terjadi metabolisme minyak atsiri oleh mikroorganisme. Hal ini dapat dilihat dari perbedaan kandungan kimia minyak atsiri yang berasal dari daun yang difermentasi dan yang tidak difermentasi. Salah satunya adalah senyawa α–geraniol
terdapat pada minyak nilam yang berasal dari daun yang tidak
difermentasi dan senyawa tersebut tidak terdapat pada minyak nilam yang berasal dari
20 daun nilam yang difermentasi. Senyawa α–cubebene terdapat pada minyak nilam yang berasal dari daun nilam yang difermentasi dan tidak terdapat pada minyak nilam yang berasal dari daun nilam yang tidak difermentasi. Pengujian karakteristik minyak nilam meliputi kadar patchouli alkohol, indeks bias, bobot jenis, bilangan asam, dan kelarutan dalam etanol 90 %. Kualitas minyak nilam ditunjukkan dengan karakteristik dari minyak nilam tersebut. Hasil pengujian karakteristik minyak nilam dibandingkan dengan Standar Nasional Indonesia (SNI). Hasil pengujian karakteristik minyak nilam ditunjukkan pada Tabel 4.4.
Tabel 4.4 Hasil Pengujian Karakteristik Minyak Nilam
Karakteristik
Syarat Mutu Minyak Nilam (SNI)
Non Fermentasi
Bobot Jenis 0,943 – 0,983 0,942 25/25 oC (g/mL) Indeks Bias 1,506 – 1,516 1,504 20 oC Putaran optik (-47o) - (-66o) Kelarutan dalam 1 : 10 1 : 16 Etanol 90 % Bilangan asam 5,00 2,20 Bilangan ester 10,00 Patchouli alkohol 31,00 34,87 (%) Keterangan : (-) tidak dilakukan pengujian.
6
Perlakuan Fermentasi A (Jam) 12 24 6
D (Jam) 12 24
0,948
0,956
0,976
0,944
0,969
0,974
1,505
1,505
1,505
1,505
1,505
1,505
-
-
-
-
-
-
1 : 10
1 : 10
1:9
1 : 12
1 : 12
1 : 12
5,52 -
5,50 -
4,41 -
4,82 -
4,32 -
3,84 -
-
-
52,70
-
-
58,40
Pada Tabel 4.4 dapat dilihat nilai bobot jenis minyak nilam yang berasal dari daun nilam yang tidak difermentasi berada di bawah rentang bobot jenis minyak nilam berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI), jadi tidak memenuhi standar berdasarkan SNI. Pada Tabel 4.4 dapat dilihat bahwa nilai indeks bias sampel lebih kecil jika dibandingkan dengan syarat mutu SNI. Nilai bobot jenis minyak nilam yang berasal dari daun yang tidak difermentasi lebih kecil jika dibandingkan dengan syarat mutu SNI. Sedangkan bobot jenis minyak hasil fermentasi berada pada rentang syarat mutu SNI. Kelarutan minyak nilam dalam etanol 90 % yang memenuhi standar mutu berdasarkan SNI adalah minyak nilam yang dihasilkan dari daun nilam yang difermentasi tanpa penambahan mikroba. Sedangkan, minyak nilam yang berasal dari daun nilam yang tidak difermentasi
21 dan difermentasi dengan penambahan mikroba, tidak memenuhi persyaratan SNI. Bilangan asam minyak nilam yang berasal dari daun nilam yang difermentasi selama 6 dan 12 jam tanpa penambahan mikroba, tidak memenuhi standar mutu SNI. Sedangkan minyak nilam lainnya memenuhi standar mutu SNI. Kadar patchouli alkohol dalam minyak nilam yang diuji memenuhi syarat mutu SNI dan kadar patchouli alkohol terbesar berasal dari daun nilam yang difermentasi menggunakan suspensi mikroba. Minyak nilam yang dihasilkan dianalisis menggunakan kromatografi lapis tipis. Tujuan analisis ini adalah untuk membandingkan pola kromatogram dari minyak atsiri yang dihasilkan. Pengembang yang telah digunakan adalah n-heksan-etil asetat (96 : 4), nheksan–etil asetat (9 : 1), n-heksan–etil asetat–kloroform (80 : 15 : 5), dan n-heksan–etil asetat–kloroform (85 : 10 : 5). Berdasarkan pola kromatogram, pengembang n-heksan–etil asetat (9:1) memberikan pemisahan yang paling baik. Pola kromatogram minyak nilam ditunjukkan pada Gambar 4.4.
Patchouli alkohol
Gambar 4.4 Kromatogram lapis tipis minyak nilam menggunakan pengembang nheksan-etil asetat (9:1) dengan penampak bercak vanilin-sulfat.
22 Pada Gambar 4.4 dapat dilihat bahwa setiap sampel memiliki enam bercak yang sama dengan intensitas yang berbeda. Menurut Yanyan (2004), bercak yang berwarna ungu-ros setelah disemprot dengan penampak bercak vanilin-sulfat merupakan bercak patchouli alkohol. Berdasarkan hasil analisis menggunakan kromatografi lapis tipis dengan sistem pengembang n-heksan–etil asetat (9 : 1) ditunjukkan tidak terdapat perbedaan komponen kimia dari minyak nilam yang dihasilkan, baik minyak nilam yang berasal dari daun yang difermentasi maupun yang tidak difermentasi. Namun demikian, analisis kandungan kimia minyak nilam dengan menggunakan kromatografi gas – spektrometri massa (KG – SM) menunjukkan adanya perbedaan kualitas maupun kuantitas komponen minyak nilam dari berbagai proses isolasi yang digunakan. Minyak nilam yang dianalisis menggunakan KG – SM adalah minyak nilam yang berasal dari daun yang tidak difermentasi (S), daun yang ditambahkan air dan difermentasi selama 24 jam (A24), dan daun yang ditambahkan suspensi mikroba dan difermentasi selama 24 jam (D24). Pemilihan minyak nilam tersebut berdasarkan pada hasil penetapan rendemen minyak nilam. Hasil penetapan rendemen minyak nilam ditunjukkan bahwa terdapat penurunan rendemen pada D24. Oleh karena itu perlu dilakukan analisis kandungan kimia terhadap minyak nilam dari daun nilam yang difermentasi (terutama pada A24 dan D24) dan dibandingkan dengan minyak nilam yang berasal dari daun yang tidak difermentasi. Kromatogram minyak nilam hasil analisis menggunakan KG – SM dapat dilihat pada Gambar 4.5. Hasil pemeriksaan ditunjukkan pada Tabel 4.5.
23
Gambar 4.5 Kromatogram hasil analisis menggunakan kromatografi gas – spektrometri massa, A) minyak nilam berasal dari daun tanpa fermentasi, B) minyak nilam berasal dari daun tanpa penambahan mikroba dan difermentasi selama 24 jam, C) minyak nilam berasal dari daun dengan penambahan mikroba dan difermentasi selama 24 jam.
24 Tabel 4.5 Kandungan Senyawa Kimia pada Minyak Nilam Kadar (%) S A 24 D 24 Borneol 0,08 0,06 Geraniol 0,24 0,05 Alfa Geraniol 0,05 Bornyl Asetat 0,04 Alfa Terpinen 0,04 Beta Pathoulene 1,23 0,79 0,89 Beta Elemen 0,65 0,42 Aromadendren 1,88 1,81 10,74 Beta Caryophylene 2,50 1,51 1,56 Alfa Guaiene 19,96 18,78 18,55 Germacrene D 1,15 0,40 0,36 Ar-Curcumene 3,27 1,58 0,96 Alfa Bargamoten 13,50 7,57 0,20 Germacrene B 8,24 8,28 4,43 Delta Cadiene 0,77 0,36 Beta Sesquiphellandren 3,91 1,89 0,91 Farnesene 0,41 Globulol 2,71 0,81 0,54 Caryophyllene Oxide 0,75 1,68 0,25 Spathulenol 0,90 0,23 0,37 Isospathulenol 0,71 Cyclopropa Naphtalen 0,75 0,17 Patchouli Alkohol 34,87 52,70 58,40 Aristolenepoxide 0,33 Illudol 0,35 0,19 Beta Bisabolene 0,22 Lepidozene 0,24 Alfa Myrcene 0,42 Benzenemethanol 0,24 Alfa Cubebene 0,28 Megastimediene 0,44 Viridiflorol 0,20 Keterangan : (-) tidak terdeteksi S adalah serbuk daun nilam tanpa difermentasi, A 24 adalah serbuk daun nilam yang difermentasi selama 24 jam tanpa penambahan mikroba, D 24 adalah serbuk daun nilam difermentasi selama 24 jam dengan penambahan mikroba.. Senyawa Kimia
Pada Gambar 4.5 terlihat bahwa semua sampel memiliki puncak pada waktu retensi antara 8 – 22 menit. Kelimpahan senyawa-senyawa kimia dari setiap sampel memiliki perbedaan. Proses fermentasi mengakibatkan kehilangan beberapa senyawa kimia, misalnya isospathulenol, farnesene, alfa geraniol. Selain itu, proses fermentasi mengakibatkan
25 munculnya senyawa-senyawa yang tidak terdeteksi pada minyak nilam yang berasal dari daun yang tidak difermentasi, miaslnya α – cubebene, lepidozene, α – myrcene. Berdasarkan pemeriksaan menggunakan KG–SM dapat dilihat bahwa kadar patchouli alkohol pada daun yang difermentasi lebih besar jika dibandingkan dengan daun yang tidak mengalami fermentasi. Hal ini didasarkan pada ukuran puncak dari kromatogram patchouli alkohol. Dengan membandingkan luas puncak patchouli alkohol dengan luas semua puncak kromatogram gas, kandungan patchouli alkohol pada minyak nilam yang berasal dari daun yang tidak difermentasi, diperkirakan 34,87 %, pada minyak nilam yang berasal dari daun nilam yang difermentasi selama 24 jam tanpa penambahan mikroba adalah 52,70 %, dan pada minyak nilam yang berasal dari daun nilam yang difermentasi selama 24 jam dengan penambahan mikroba adalah 58,40 %.