47
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 1.1
Hasil Penelitian
1.1.1 Gambaran Lokasi Penelitian SMA Negeri 1 Gorontalo adalah sekolah menengah atas yang pertama berdiri di Gorontalo. Terletak persis di tengah-tengah Kota Gorontalo atau tepatnya di jalan M.H Thamrin nomor 8, Kelurahan Ipilo, Kecamatan Kota Timur, Kota Gorontalo. Bermula dari sekolah setingkat SMP pada jaman Belanda (MULO) kemudian berubah menjadi sekolah menengah atas (AMS) dan pada tanggal 1 Agustus 1951 resmi menjadi Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Gorontalo. Dilihat dari usia dan perjalanan sejarah, sekolah ini adalah sekolah menengah atas tertua di Gorontalo. Dalam perjalanannya sejak berdiri pertama kalinya hingga sekarang sekolah ini telah mengalami pergantian kepemimpinan sebanyak 13 (tiga belas) kali. Sejak tahun 2010 sampai sekarang, SMA Negeri 1 Gorontalo dipimpim oleh Bapak Syaiful Kadir, S.Pd, M.Pd Jumlah siswa-siswi SMA Negeri 1 Gorontalo medan pada tahun ajaran 2012/2013 adalah 877 siswa. Kelas X terdiri dari 11 kelas dengan jumlah siswa 302 orang, kelas XI terdiri dari 10 kelas dengan jumlah siswa 265 orang dan kelas XII terdiri dari 10 kelas dengan jumlah siswa 310 orang.
48
1.1.2 Karakteristik Responden 1. Jenis Kelamin dan Umur Responden Karakteristik responden di lihat dari jenis kelamin dan umur dapat dilihat pada tabel 4.1 berikut ini : Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin dan Umur di SMAN 1 Gorontalo Karakteristik responden Jenis Kelamin Perempuan Laki-laki Umur (Tahun) 15 16 17 18 19 Sumber : Data Primer, 2013
n
Persentase (%)
66 94
41,3 58,8
2 103 46 8 1
1,3 64,4 28,8 5,0 0,6
Tabel 4.1 menunjukkan bahwa responden terbanyak adalah responden yang berjenis kelamin perempuan, yaitu sebanyak 66 responden (58,8%). Usia responden berkisar antara 15-19 tahun dengan jumlah terbanyak yaitu responden yang berusia 16 tahun, sebanyak 103 responden (64,4%).
49
2. Sumber Informasi Karakteristik responden berdasarkan sumber informasi mengenai HIV/AIDS, dapat dilihat pada tabel 4.2 sebagai berikut : Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi berdasarkan Sumber Informasi Tentang HIV/AIDS di SMAN 1 Gorontalo Sumber Informasi n Persentasi (%) Orang tua 8 5,0 Sekolah 89 55,6 Majalah 6 3,8 Televisi 20 12,5 Internet 30 18,8 Dan lain-lain 7 4,4 Jumlah 160 100% Sumber : Data Primer, 2013 Tabel 4.2 menunjukkan bahwa sumber informasi tentang HIV/AIDS diperoleh responden yang terbanyak menurut masing-masing responden dimana para responden hanya boleh memilih salah satu saja adalah melalui sekolah yaitu sebanyak 89 orang (55,6%). 4.1.3 Gambaran Pengetahuan tentang HIV/AIDS Gambaran pengetahuan responden tentang HIV/AIDS dapat dilihat pada tabel 4.3 berikut ini : Tabel 4.3 Distribusi Pengetahuan Responden tentang HIV/AIDS di SMA Negeri 1 Gorontalo Pengetahuan n Persentase (%) Baik 98 61,2 Cukup 62 38,8 Total 160 100,0 Sumber : Data Primer, 2013 Tabel 4.3 menunjukkan bahwa distribusi yang paling banyak adalah responden yang memiliki pengetahuan yang baik yaitu sebanyak 98 responden
50
(61,2%) dan responden yang berpengetahuan cukup sebanyak 62 responden (38,8%). 4.1.4 Gambaran Perilaku Seksual Responden Gambaran perilaku seksual responden dapat dilihat pada table 4.4 berikut ini: Tabel 4.4 Distribusi Perilaku Seksual Responden di SMA Negeri 1 Gorontalo Perilaku seksual n Persentase (%) Baik 121 75,6 Kurang 39 24,4 Total 160 100,0 Sumber : Data Primer, 2013 Berdasarkan tabel 4.4 dapat diketahui bahwa distribusi yang paling banyak yaitu responden dengan perilaku seksual kategori baik, sebanyak 121 responden (75,6%). 4.1.5 Analisis Hubungan Pengetahuan HIV/AIDS dengan Perilaku Seksual Analisis hubungan pengetahuan responden tentang HIV/AIDS dengan Perilaku seksual responden dapat dilihat pada tabel 4.5 berikut ini: Tabel 4.5 Hubungan Pengetahuan Responden dengan Perilaku Seksual Responden di SMA Negeri 1 Gorontalo
Baik n % Baik 82 51,2 Cukup 39 24,4 Jumlah 121 75,6 Sumber: Data Primer, 2013 Pengetahuan
Bedasarkan
tabel
4.5
Perilaku Kurang N % 16 10,0 23 14,4 39 24,4
terlihat
Jumlah N % 98 61,2 62 38,8 160 100
bahwa
dari
p-Value
X2 Hitung
0.003
8,887
98
responden
yang
berpengetahuan baik, terdapat 82 responden (51,2%) yang memiliki perilaku
51
yang baik dan sebanyak 16 responden (10,0%) yang memiliki perilaku yang kurang. Untuk 62 responden yang berpengetahuan cukup terdapat 39 (24,4%) yang memiliki perilaku yang baik dan 23 responden (14,4%) memiliki perilaku yang kurang. Berdasarkan hasil uji statistik dengan chi square diperoleh nilai (8,887) ≥dari
hitung
tabel (3,841) dengan nilai signifikan 0,003 (p<0,05) hal ini
menunjukkan bahwa H0 ditolak yang artinya ada hubungan antara pengetahuan tentang HIV/AIDS dengan perilaku seksual. 4.2
Pembahasan
1.2.1 Karakteristik Responden Responden dalam penelitian ini berjumlah 160 orang siswa kelas XI yang terdiri dari 66 siswa laki-laki (41,3%) dan 94 orang siswa perempuan (58,8%). Responden terdiri dari remaja yang berumur 15-19 tahun. Jumlah responden yang berumur 15 tahun sebanyak 2 responden (1,3%), berumur 16 tahun sebanyak 103 responden (64,4%), berumur 17 tahun sebanyak 46 responden (28,8%), berumur 18 tahun terdapat 8 responden (5,0%) dan yang berumur 19 tahun terdapat 1 responden (0,6%). Responden yang berada pada tahap remaja madya mengalami masa formal-operasional sesuai dengan teori kognitif Piaget (Yuliantini, 2012). Teori piaget mengatakan bahwa dalam tahap perkembangan ini remaja telah mampu membayangkan rangkaian kejadian yang akan terjadi misalnya konsekuensi dari tindakan yang dilakukan (Hockenberry, 2005). Selain itu, remaja pada tahap ini juga telah mampu membayangkan opini orang lain terhadap dirinya. Remaja
52
mulai menyadari bahwa masyarakat memiliki norma dan standar yang berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa pada tahap ini remaja telah mampu mengambil sikap sesuai norma dan standar masyarakat dilingkungannya jika dihadapkan pada suatu hal misalnya perilaku seksual yang terjadi dikalangannya (Yuliantini, 2012). Hasil penelitian ditinjau dari sumber informasi mengenai HIV/AIDS menunjukkan bahwa 89 responden (55,6%) memperoleh informasi mengenai HIV/AIDS dari sekolah. Berdasarkan wawancara dengan guru BK, SMA Negeri 1 Gorontalo sering diadakan penyuluhan-penyuluhan tentang HIV/AIDS. Siswa SMA Negeri 1 Gorontalo bahkan sering melakukan penyuluhan tentang HIV/AIDS di sekolah-sekolah lainnya. Hal ini juga ditunjang oleh adanya pemberian informasi mengenai PMS khususnya HIV/AIDS yang diberikan pada saat mata pelajaran Bimbingan Konseling (BK) meskipun tidak mendalam. SMA Negeri 1 Gorontalo juga memiliki Pusat Informasi dan Konseling (PIK) di mana siswa bisa memperoleh informasi dan bimbingan dari guru-guru BK. Responden yang memperoleh informasi mengenai HIV/AIDS melalui internet sebanyak 30 responden (18,8%), melalui televisi 20 responden (12,5), melalui orang tua sebanyak 8 responden (5,0%), melalui majalah sebanyak 6 responden (3,8) dan dari sumber lainnya seperti organisasi, petugas kesehatan dll sebanyak 7 responden (4,4%). Perkembangan Teknologi yang semakin canggih dan tersedianya media internet yang menyebabkan penyimpangan perilaku setelah menerima informasi dari internet, seperti yang dikemukakan oleh Kartono dalam Yuliantini (2012), bahwa penyimpangan terhadap seksual pada remaja dikarenakan terlalu
53
dominannya pengaruh media massa/internet dalam penyebaran informasi, sementara petugas dan pendidik kurang membekali pengetahuan tentang HIV/AIDS dan perilaku seksual bebas yang sebanding dengan apa yang diperoleh melalui internet. Media elektronik/cetak seperti TV dan majalah juga merupakan media yang berperan banyak dalam pemberian berbagai informasi, termasuk informasi tentang HIV/AIDS (Yuliantini, 2012). 1.2.2 Pengetahuan Responden Berdasarkan hasil penelitian didapatkan hasil bahwa secara umum pengetahuan responden tentang HIV/AIDS berada dalam kategori baik, yaitu sebanyak 61,2% dan sebanyak 38,8% berada pada kategori cukup, namun tidak dijumpai pengetahuan responden yang kurang. Pengetahuan yang secara umum berada dalam kategori baik tidak terlepas dari faktor-faktor yang mempengaruhinya, penyuluhan-penyuluhan tentang HIV/AIDS yang sering dilakukan dan juga adanya peranan guru BK yang menjalankan program peer education dimana siswa-siswi dilatih menjadi peer educator untuk teman-temannya. Salah satu program yang digunakan dalam program pencegahan AIDS di SMA Negeri 1 Gorontalo adalah peer education karena akan lebih efektif. Hal ini juga sejalan dengan penelitian Hastuti (dalam wahyuningtyas, 2009) yang menyatakan bahwa efektifitas peer education di sekolah mampu meningkatkan pengetahuan siswa terhadap kesehatan reproduksi salah satunya mengenai HIV/AIDS.
54
Menurut Notoatmodjo (2007) bahwa pengetahuan di pengaruhi oleh proses pembelajaran. Proses pembelajaran sendiri di pengaruhi oleh berbagai faktor antara lain subyek belajar, pengajar, metode yang digunakan, kurikulum, perpustakaan dan sebagainya, apabila faktor-faktor tersebut tersedia dengan baik maka proses belajar akan efektif dan hasil yang di capai akan optimal dan pengetahuan akan meningkat (Wahyuningtyas, 2009). Pengetahuan yang cukup dikarenakan responden jarang mendapat informasi atau jarang mengikuti penyuluhan tentang pendidikan kesehatan seksualitas khususnya HIV/AIDS sehingga pengetahuan responden hanya sebatas pengetahuan yang umum saja. Hal ini sejalan dengan Hasil penelitian Fuad, C pada remaja di kodya Yogyakarta tahun 2003 yang menunjukkan bahwa responden yang mendapatkan perlakuan pendidikan kesehatan seksual memiliki tingkat pengetahuan yang lebih tinggi dalam upaya pencegahan penularan HIV/AIDS dibandingkan dengan responden yang tidak mendapatkan perlakuan pendidikan kesehatan seksual. 1.2.3 Perilaku Seksual Responden Gambaran perilaku seksual responden pada tabel 4.5 menggambarkan bahwa meskipun masih terdapat responden yang memiliki perilaku seksual yang kurang yaitu terdapat 39 responden (24,4%) tetapi pada umumnya responden memiliki perilaku yang baik yaitu sebanyak 121 responden (75,6%). Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Wijayanti (2007) yang menunjukkan bahwa 72,8% responden memiliki perilaku seksual yang baik, 24,2% berperilaku cukup dan hanya 2,7% saja yang perilakunya kurang.
55
Perilaku seksual
responden yang kurang, dipengaruhi oleh faktor
pergaulan dan lingkungan. SMA Negeri 1 Gorontalo yang terletak dipusat kota dengan fasilitas-fasilitas yang tersedia di sekitar sekolah tersebut misalnya, pusat perbelanjaan, café-café, warnet dan fasilitas hiburan lainnya cenderung menunjang pergaulan siswa yang kurang baik. Perubahan pola pergaulan yang telah mengabaikan norma budaya dan agama disebabkan karena perkembangan globalisasi. Perkembangan globalisasi khususnya globalisasi media tidak hanya memberikan dampak positif tapi juga memberikan dampak yang negatif salah satunya yaitu begitu mudahnya mengakses situs-situs porno. Pengaruh media dan televisi sering kali diimitasi oleh remaja dalam perilakunya sehari-hari. Misalnya saja remaja yang menonton film remaja yang berkebudayaan barat, melalui observational learning, mereka melihat perilaku seks itu menyenangkan dan dapat diterima lingkungan. Hal inipun di imitasi oleh mereka, terkadang tanpa memikirkan adanya perbedaan kebudayaan, nilai serta norma-norma dalam lingkungan masyarakat yang berbeda (Wahyuningtyas, 2009). Seperti yang dikemukakan oleh Yuliantini (2012) bahwa perkembangan globalisasi mengakibatkan adanya perubahan sosial dan gaya hidup remaja saat ini terutama di daerah perkotaan. Kusuma (2010) menyebutkan bahwa remaja di daerah perkotaan cenderung melakukan perilaku beresiko seperti hubungan seksual
yang
berganti-ganti
penyalahgunaan narkoba.
pasangan,
hubungan
seks
pranikah,
serta
56
Tingginya remaja yang memiliki perilaku yang baik karena mereka memiliki pengetahuan yang memadai tentang seksualitas dan pengaruhnya, memiliki pemahaman agama yang baik dan kesadaran terhadap masa depan mereka. Sebagaimana yang dikatakan oleh Notoatmodjo (2007) bahwa perilaku yang oleh pengetahuan lebih langgeng daripada peripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Menurut Wijayanti (2012), tingginya angka remaja yang memiliki perilaku seksual yang baik dapat disebabkan oleh adanya kesadaran remaja akan masa depan mereka, karena perilaku seksual yang buruk dapat menimbulkan dampak negatif bagi remaja seperti kehamilan yang tidak diinginkan, tindakan aborsi atau terkena penyakit seksual yang dapat berujung pada HIV/AIDS. 1.2.4 Hubungan Pengetahuan tentang HIV/AIDS dengan Perilaku Seksual Berdasarkan hasil uji statistik dengan chi square diperoleh nilai (8,887) > dari
hitung
tabel (3,841) dengannilai signifikan 0,003 (p<0,05) hal ini
menunjukkan hipotesis nol (H0) di tolak, dengan demikian terdapat hubungan antara pengetahuan tentang HIV/AIDS dengan perilaku seksual siswa kelas XI di SMA Negeri 1 Gorontalo. Pada perbandingan pengetahuan tentang HIV/AIDS dengan perilaku seksual responden didapatkan hasil yang tertinggi yaitu responden yang pengetahuannya baik dan perilakunya baik didapatkan hasil 82 responden, dan data yang terkecil yaitu responden dengan pengetahuan baik namun perilaku mereka kurang terdapat 16 responden. Hubungan antara pengetahuan tentang HIV/AIDS dengan perilaku seksual menunjukkan arah kecenderungan remaja
57
dengan pengetahuan yang baik akan lebih kearah perilaku yang baik, sedangkan pada remaja dengan pengetahuan yang kurang akan kearah perilaku yang kurang. Hasil
ini
didukung
oleh
penelitian
yang
dilakukan
oleh
Dwi
Wahyuningtyas (2009) di salah satu SMA di Kabupaten Sregan Jawa Tengah yang menyatakan penelitian tentang hubungan tingkat pengetahuan remaja tentang HIV/AIDS dengan perilaku seksual remaja menunjukkan menunjukkan hasil bahwa terdapat hubungan antara pengetahuan remaja tentang HIV/AIDS dengan perilaku seksual remaja (p=0,000). Hasil ini juga didukung oleh survey yang dilakukan oleh WHO dibeberapa negara yang memperlihatkan adanya informasi yang baik dan benar dapat menurunkan permasalahan reproduksi pada remaja. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa semakin tinggi pengetahuan remaja maka akan semakin baik perilakunya, karena pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior) (Wijayanti, 2007). Sebagaimana yang dikatakan oleh Notoatmodjo (2007) bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari pengetahuan. Menurut Notoadmodjo(2007), ada beberapa faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang antara lain adalah pendidikan dan informasi. Dalam penelitian ini diperoleh bahwa dari 62 responden yang berpengetahuan cukup, terdapat 39 (24,4%) yang memiliki perilaku yang baik dan 23 responden (14,4%) memiliki perilaku yang kurang. Ini memperlihatkan bahwa perilaku dari responden yang berpengetahuan cukup dengan perilaku yang baik
58
maupun kurang tidak memperlihatkan perbedaan yang signifikan. Hal ini bisa terjadi karena pengetahuan bukanlah satu-satunya faktor yang berperan dalam pembentukan perilaku seseorang tetapi masih dipengaruhi oleh faktor-faktor lainnya. Beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku seksual remaja antara lain: 1. Tekanan yang datang dari teman pergaulannya. Lingkungan yang telah dimasuki oleh seorang remaja dapat juga berpengaruh untuk menekan temannya yang belum melakukan hubungan seksual.Keinginan untuk dapat diterima oleh lingkungan pergaulannya begitu besar, sehingga dapat mengalahkan semua nilai yang didapat, baik dari orang tua maupun dari sekolahnya (Asiyah, 2011). 2. Adanya tekanan dari pacarnya. Karena kebutuhan seseorang untuk mencintai dan dicintai, seseorang harus rela melakukan apa saja terhadap pasangannya, tanpa memikirkan resiko yang nanti dihadapinya (Asiyah, 2011). 3. Adanya kebutuhan badaniah Seks menurut beberapa ahli merupakan kebutuhan dasar yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan seseorang. Jadi, wajar saja jika semua orang, tidak terkecuali remaja menginginkan hubungan seks ini, sekalipun akibat dari perbuatannya tersebut tidak sepadan dibandingkan dengan resiko yang akan mereka dihadapi (Sarwono, 2011).
59
4. Rasa penasaran Pada usia remaja, rasa keingintahuannya begitu besar terhadap seks. Apalagi jika teman-temannya mengatakan bahwa seks terasa nikmat, ditambah lagi adanya segala informasi yang tidak terbatas masuknya, melalui internet dan situs-situs pornonya maka rasa penasaran tersebut semakin mendorong mereka untuk lebih jauh lagi melakukan berbagai macam percobaan (Asiyah, 2011) 5. Kurangnya informasi tentang seks Kecenderungan pelanggaran makin meningkat oleh karena adanya penyebaran informasi dan rangsangan seksual melalui media massa yang dengan adanya teknologi canggih (video cassette, fotokopi, satelit, VCD, telepon genggam, internet, dan lain-lain) menjadi tidak terbendung lagi. Remaja yang sedang dalam periode ingin tahu dan ingin mencoba, akan meniru apa yang dilihat atau didengarnya dari media massa, khususnya karena mereka pada umumnya belum pernah mengetahui masalah seksual secara lengkap dari orang tuanya (Sarwono, 2011). 6. Lingkungan keluarga Bagi seorang remaja, mungkin aturan yang diterapkan oleh kedua orangtuanya tidak berdasarkan kepentingan kedua belah pihak (orangtua dan anak).Akibatnya remaja tersebut merasa tertekan, sehingga ingin membebaskan diri dengan menunjukan sikap sebagai pemberontak, yang salah satunya dalam masalah seks (Fitriani, 2008).
60
1.3
Keterbatasan Penelitian Pada saat pelaksanaan penelitian sering bertabrakan dengan kegiatan yang
dilakukan pihak sekolah sehingga ada kelas yang seluruh siswanya dijadikan sampel karena hampir sebagian siswa dikelas tersebut mengikuti kegiatan diluar sekolah seperti olimpiade.