BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Taraf Sinkronisasi Pengaturan Bentuk Badan Hukum dalam UndangUndang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Pemerintah terus berupaya untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah. Efisiensi dan efektivitas dalam penyelenggaraan pemerintahan tentunya menjadi sangat penting untuk ditingkatkan dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Hal tersebutlah yang melatarbelakangi adanya asas desentralisasi dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan. Desentralisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang selanjutnya disingkat UU Pemerintahan Daerah, adalah penyerahan Urusan Pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada daerah otonom berdasarkan asas otonomi. Sementara konsep daripada otonomi daerah dapat diketahui dengan menilik ketentuan Pasal 1 angka 6 UU Pemerintahan Daerah yang menyatakan, “Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Untuk terciptanya efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan urusan pemerintahan guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat, sebagian kewenangan pemerintah pusat dilimpahkan kepada pemerintah daerah untuk dilaksanakan berdasarkan asas desentralisasi (Pipin Syarifin dan Dedah Subaedah, 2005: 10). Urusan pemerintahan diselenggarakan untuk terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Pasal 1 angka 5 UU Pemerintahan Daerah menyatakan, “Urusan Pemerintahan adalah kekuasaan pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden yang pelaksanaannya dilakukan oleh kementerian negara dan penyelenggara Pemerintahan Daerah untuk melindungi, melayani, memberdayakan, dan 1
2
menyejahterakan masyarakat”. Sementara yang dimaksud dengan Pemerintahan Daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 2 UU Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Penyelenggaraan pemerintahan daerah merupakan penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah yang diarahkan untuk mendorong terciptanya daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan
daerah
dalam
menyejahterakan
masyarakat,
baik
melalui
peningkatan pelayanan publik maupun melalui peningkatan daya saing daerah. Salah satu instrumen yang digunakan pemerintah daerah dalam meningkatkan pelayanan kepada masyarakat guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat adalah dengan mendirikan badan usaha yang modalnya dimiliki oleh pemerintah daerah. Badan usaha tersebut dikenal dengan istilah Badan Usaha Milik Daerah, yang selanjutnya disingkat BUMD. Pasal 1 angka 40 UU Pemerintahan Daerah menjelaskan, “Badan Usaha Milik Daerah yang selanjutnya disingkat BUMD adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Daerah”. Pendirian BUMD merupakan pengejawantahan campur tangan pemerintah daerah sebagai personifikasi negara yang turut melakukan bisnis, akan tetapi tujuan utamanya bukan kepada usaha memupuk keuntungan melainkan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat atau dalam rangka melakukan fasilitasi dalam kehidupan bermasyarakat melalui pelayanan umum. Posisi pemerintah daerah dalam hal tersebut bukanlah menjelma menjadi entitas privat, melainkan sebagai entitas publik yang memberikan pelayanan publik karena privat tidak mampu melakukan bisnis tersebut (Peter Mahmud Marzuki, 2014: 65-66). Sebagaimana dinyatakan dalam ketentuan Pasal 331 ayat (4) UU Pemerintahan Daerah bahwa tujuan pendirian BUMD adalah untuk: 1) memberikan manfaat bagi perkembangan perekonomian Daerah pada umumnya; 2) menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu bagi pemenuhan hajat hidup masyarakat sesuai kondisi, karakteristik, dan potensi
3
Daerah yang bersangkutan berdasarkan tata kelola perusahaan yang baik; dan 3) memperoleh
laba
dan/atau
keuntungan.
Pendirian
BUMD
merupakan
pengejawantahan atas ketentuan Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 yang menyatakan, “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”. Dalam rangka menyelenggarakan urusan pemerintahan, pemerintah daerah dapat mendirikan BUMD karena tujuan akhirnya adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat di samping untuk memupuk laba dan/atau keuntungan. Urusan pemerintahan diatur dalam ketentuan Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemerintahan Daerah yang membagi urusan pemerintahan sebagai berikut: (1) Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) meliputi: a. pendidikan; b. kesehatan; c. pekerjaan umum dan penataan ruang; d. perumahan rakyat dan kawasan pemukiman; e. ketenteraman, ketertiban umum, dan perlindungan masyarakat; dan f. sosial. (2) Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) meliputi: a. tenaga kerja; b. pemberdayaan perempuan dan perlindungan kerja; c. pangan; d. pertanahan; e. lingkungan hidup; f. administrasi kependudukan dan pencatatan sipil; g. pemberdayaan masyarakat dan desa; h. pengendalian penduduk dan keluarga berencana; i. perhubungan; j. komunikasi dan informatika; k. koperasi, usaha kecil, dan menengah; l. penanaman modal; m. kepemudaan dan olah raga n. statistik o. persandian p. kebudayaan; q. perpustakaan; dan r. kearsipan.
4
Mencermati ketentuan tersebut, dapat diketahui bahwa urusan pemerintahan bersifat sangat kompleks karena menyangkut seluruh aspek pembangunan pada berbagai bidang. Dalam rangka menjalankan sebagian urusan pemerintahan tersebut, pemerintah daerah mendirikan BUMD yang bergerak di berbagai macam domain usaha sebagaimana disajikan dalam tabel berikut ini: Tabel 3. Presentase Penguasaan dan Laba Bersih BUMD berdasarkan Kategori Usaha Tahun 2014
No.
1.
Kategori Usaha
Pertanian, Kehutanan, dan
Milik
Milik
Laba Bersih
Propinsi
Kabupaten/
(Juta
(%)
Kota (%)
Rupiah)
25
75
12.252
25
75
336.573
35
65
-1.683
10
90
723
2
98
626.525
14
86
17.871
12
88
34.684
28
72
16.988
Perikanan 2.
Pertambangan
dan
Penggalian 3.
Industri Pengolahan
4.
Pengadaan
Listrik,
Gas,
Uap/Air Panas, dan Udara Dingin 5.
Pengadaan Air, Pengolahan Sampah dan Daur Ulang, Pembuangan
dan
Pemberisihan Limbah dan Sampah 6.
Konstruksi
7.
Perdagangan Eceran,
Besar
dan
Reparasi
dan
Mobil
dan
Perawatan Sepeda Motor 8.
Transportasi Pergudangan
dan
5
9.
Penyediaan Akomodasi dan
44
56
33.074
30
70
7.990.361
Penyediaan Makan Minum 10.
Jasa Keuangan dan Asuransi
11.
Real Estat
32
68
474.221
12.
Jasa Profesional, Ilmiah,
33
67
1.182
0
100
-573
dan
33
67
45.342
dan
22
78
239.799
dan Teknis 13.
Jasa Persewaan dan Sewa Guna Usaha Tanpa Hak Opsi, Agen
Ketenagakerjaan, Perjalanan,
dan
Penunjang Usaha lainnya 14.
Jasa
Kesehatan
Kegiatan Sosial 15.
Kesenian,
Hiburan,
Rekreasi Jumlah
9.827.339
(Sumber: Laporan Penelitian Badan Pusat Statistik mengenai Statistik Keuangan Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah Tahun 2014). Berdasarkan data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik, dapat diketahui bahwa dominasi tertinggi berada pada kategori jasa keuangan (Bank Pembangunan Daerah dan Bank Perkreditan Rakyat) dan asuransi dengan laba bersih mencapai 7,9 triliun Rupiah. BUMD sektor jasa keuangan perbankan sudah barang tentu menjadi andalan bagi pemerintah daerah terutama pemerintah daerah tingkat II kabupaten/kota untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat di samping untuk memupuk profit. Keberadaan daripada lembaga-lembaga perbankan mikro milik pemerintah daerah merupakan sarana untuk menghimpun dan menyalurkan dana bagi masyarakat, dengan sasaran yaitu kalangan masyarakat yang belum dapat terjangkau oleh Bank Umum. BUMD di bidang perbankan merupakan upaya daripada pemerintah daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pemerataan layanan perbankan, pemerataan kesempatan berusaha, pemerataan
6
pendapatan, dan penyaluran dana atau fasilitas kredit yang diarahkan untuk kegiatan yang bersifat produktif seperti: pengusaha kecil, petani, peternak, nelayan, industri kerajinan, dan jenis kegiatan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah lainnya. Otonomi daerah memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan rumah tangga daerahnya namun tetap dalam prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh wilayah Republik Indonesia yang sangat luas, karakteristik daerah yang berbeda satu sama lain, dan tingkat kemajemukan masyarakat yang sangat tinggi, sehingga pemerintah pusat mendelegasikan kewenangannya secara vertikal kepada pemerintah daerah yang dianggap lebih mengetahui segala potensi yang ada di daerahnya. Pemberian hak, wewenang, dan kewajiban yang seluas-luasnya kepada daerah otonom diharapkan dapat meningkatkan kemandirian daerah otonom dalam memanfaatkan kerarifan, potensi, inovasi, daya saing, dan kreativitas daerah untuk mencapai tujuan nasional di tingkat lokal. Otonomi daerah mengharuskan adanya otonomi di sektor ekonomi, tidak hanya di sektor politik. Salah satu upaya untuk meningkatkan kemandirian daerah dalam hal keuangan adalah dengan mendirikan BUMD di bidang lembaga keuangan baik bank maupun non-bank dengan tujuan untuk membantu dan mendorong pertumbuhan perekonomian dan pembangunan daerah serta meningkatkan taraf hidup rakyat di samping dalam rangka menggali sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) (Ambar Budhisulistyawati, dkk, 2015: 59). Hal tersebut sudah barang tentu akan meningkatkan penerimaan bukan pajak bagi daerah, yang secara tidak langsung juga akan mengurangi ketergantungan daerah kepada pusat. Tujuan sesunggunya daripada otonomi daerah ialah
menguasakan
kepada
pemerintah
daerah
untuk
mengembangkan
keanekaragaman potensi daerah karena keterbatasan pemerintah pusat akan hal tersebut. Terdapat beberapa BUMD di bidang perbankan di antaranya adalah Bank Pembangunan Daerah, Bank Perkreditan Rakyat, dan lembaga keuangan bank mikro lainnya yang pada umumnya tersebar di wilayah pedesaan. Tidak dapat dimungkiri bahwa banyak kegiatan usaha yang tergolong ke dalam Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah kurang dapat berkembang karena memiliki permasalahan
7
dalam aspek permodalan. Keadaan yang demikian disebabkan oleh sulitnya untuk mengakses pelayanan fasilitas kredit untuk modal usaha. Sedikit banyak masyarakat yang notabene berada di pedesaan tidak terjangkau oleh Bank Umum baik karena letak geografis yang tidak mendukung maupun rendahnya kredibilitas dalam memenuhi persyaratan kompleks yang ditetapkan oleh lembaga keuangan formal (bankable) (Iin Indarti dan Dwiyadi Surya Wardana, 2013: 80). Hal tersebut tentunya membuat kegiatan perekonomian daerah tidak akan berjalan dengan baik yang sudah barang tentu tidak akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pemerintah daerah mendirikan beberapa lembaga perbankan seperti Bank Perkreditan Rakyat, yang selanjutnya disingkat BPR, dan beberapa lembaga perbankan mikro lainnya di wilayah pedesaan untuk dapat menjangkau golongan ekonomi lemah dan pengusaha kecil. Penulis menilai bahwa hal tersebut merupakan akselerasi pemerintah daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakatnya melalui pemberian modal atau fasilitas kredit untuk pengembangan kegiatan usaha, yang sudah barang tentu akan meningkatkan perekonomian daerah dan bermuara pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. BUMD di bidang perbankan merupakan badan hukum semi publik dan badan hukum semi privat. Penulis berpendapat bahwa pemerintah daerah yang menjalankan urusan pemerintahan berada dalam dua posisi, yaitu sebagai entitas publik dan sebagai entitas privat. Dikatakan sebagai entitas publik dikarenakan keikutsertaannya sebagai pelaku bisnis namun dengan tujuan memberikan pelayanan publik dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat. Sementara penjelmaan sebagai entitas privat tidak dapat dinafikkan mengingat pendirian BUMD, terlebih di bidang keuangan perbankan bertujuan untuk mencari keuntungan dan/atau laba. Sebagai badan hukum publik, tentunya tunduk pada pengaturan hukum publik, yaitu hukum yang mengatur kepentingan-kepentingan umum atau kepentingan-kepentingan publik. Di sisi lain, sebagai badan hukum privat sudah semestinya tunduk kepada pengaturan hukum privat, yaitu hukum yang mengatur kepentingan-kepentingan khusus atau kepentingan-kepentingan privat atau perdata (Chainur Arrasjid, 2004: 97). Hal tersebut dapat dibenarkan karena dalam hukum publik salah satu pihaknya adalah penguasa, sedangkan dalam
8
hukum perdata kedua belah pihak adalah perorangan tanpa menutup kemungkinan bahwa dalam hukum perdata pun penguasa dapat turut menjadi pihak (Sudikno Mertokusumo, 1999: 123). Kendati pemerintah daerah sebagai personifikasi negara ikut serta ke dalam ranah bisnis, namun gagasan di balik hal tersebut adalah untuk memberikan pelayanan publik (public service), sehingga terhadap yang demikian berlaku hukum publik. Sementara apabila didirikan suatu entitas badan usaha untuk mencari keuntungan, badan usaha yang sahamnya dikuasai oleh negara pun harus tunduk kepada ketentuan hukum privat (Peter Mahmud Marzuki, 2013: 208). Pemerintah daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan untuk melaksanakan kehendak rakyat, meningkatkan kesejahteraan, dan memberdayakan masyarakat sudah barang tentu memerlukan aturan hukum. Hal tersebut merupakan dasar ontologis eksistensi hukum publik (Peter Mahmud Marzuki, 2013: 182. Penulis berpendapat bahwa hal tersebutlah dasar filosofis mengapa pendirian BUMD berdasarkan peraturan daerah, karena dalam pengelolaan keuangan daerah harus berdasarkan persetujuan masyarakat melalui lembaga representatif yaitu dewan perwakilan rakyat daerah. Peraturan daerah harus disetujui bersama oleh kepala daerah dan dewan perwakilan, sehingga prioritas pembangunan yang menyangkut hajat hidup rakyat banyak harus berdasarkan persetujuan dewan sebagai representasi rakyat. Di sisi lain, BUMD juga merupakan badan hukum privat. Hal tersebut tercermin dalam ketentuan Pasal 339 ayat (2) UU Pemerintahan Daerah yang menyatakan, “Perusahaan Perseroan Daerah setelah ditetapkan dengan Perda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 331 ayat (2), pembentukan badan hukumnya dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai perseroan terbatas”. Sebagaimana diketahui bersama bahwa UndangUndang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas berada pada rezim hukum privat, sehingga BUMD berbentuk hukum Perusahaan Perseroan Daerah merupakan badan hukum privat. Pemerintah daerah bertindak dalam dua kausalitas, yaitu sebagai entitas publik dan entitas privat. Agar memiliki kepastian dan landasan gerak yang kokoh dalam upaya memenuhi fungsinya, maka BUMD harus memiliki payung hukum. BUMD di bidang perbankan selain berada dalam ranah hukum publik juga berada dalam
9
domain hukum privat. BUMD tunduk kepada ketentuan sebagaimana diatur dalam UU Pemerintahan Daerah yang berkedudukan sebagai hukum publik karena erat kaitannya dengan penyelenggaraan urusan pemerintahan untuk memberikan pelayanan publik guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Di sisi lain, BUMD di bidang lembaga keuangan perbankan juga tunduk kepada UndangUndang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang selanjutnya disingkat UU Perbankan, yang dalam hal ini berada pada rezim hukum privat. Penulis merangkum beberapa ketentuan yang termuat dalam kedua peraturan tersebut yang berada dalam rezim hukum yang berbeda sebagaimana disajikan pada tabel berikut ini: Tabel 4. Pengaturan BUMD dalam UU Perbankan dan UU Pemerintahan Daerah UU Perbankan Pasal/
UU Pemerintahan Daerah
Uraian Pasal
Ayat/Angka Pasal 22
Pasal/
Uraian Pasal
Ayat/Angka Bank
Umum
hanya
dapat didirikan oleh: a. warga
negara
Pasal 1/
Badan
Usaha
angka 40
Daerah
Milik yang
selanjutnya
disingkat
Indonesia dan/atau
BUMD adalah badan
Badan
usaha
hukum
Indonesia; atau b. warga
negara
Indonesia dan/atau badan
hukum
Indonesia
dengan
warga negara asing dan/atau
badan
asing
secara
kemitraan.
atau
yang sebagian
seluruh besar
modalnya dimiliki oleh Daerah.
10
Pasal 23
Bank Rakyat didirikan oleh
Perkreditan hanya
dapat
Pasal 331/ Ayat (1)
Daerah
dapat
mendirikan BUMD.
dan dimiliki warga negara
Indonesia, badan hukum Indonesia seluruh
yang pemiliknya
warga negara Indonesia, Pemerintah Daerah, atau dapat dimiliki bersama diantara ketiganya. Mencermati ketentuan tersebut, dapat diketahui bahwa terdapat koherensi antara UU Perbankan dengan UU Pemerintahan Daerah terkait dengan kepemilikan BUMD di bidang perbankan. UU Perbankan sebagai hukum privat mengatur bahwa pemerintah daerah dapat memiliki BUMD di bidang perbankan berupa Bank Umum dan BPR. Hal tersebut tentunya selaras dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam UU Pemerintahan Daerah yang merupakan ranah hukum publik. Penulis menilai bahwa adanya suatu konsistensi antara UU Perbankan dengan UU Pemerintahan Daerah terkait kepemilikan BUMD kendati kedua regulasi tersebut berada dalam ranah hukum yang berbeda. UU Perbankan yang merupakan rezim hukum privat memberikan peluang kepada pemerintah daerah sebagai entitas publik untuk ikut serta dalam menjalankan kegiatan usaha pada bidang perbankan, dengan tujuan utamanya adalah untuk memberikan pelayanan umum dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat, di samping untuk memupuk keuntungan. Setiap badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh pemerintah daerah merupakan BUMD. BUMD di bidang perbankan merupakan badan hukum semi publik dan badan hukum semi privat yang tunduk kepada hukum publik dan hukum privat. Sehingga, terdapat koherensi antara UU Perbankan sebagai hukum privat dengan UU Pemerintahan Daerah sebagai hukum publik dalam hal kepemilikan BUMD.
11
Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian tinjauan pustaka, bahwasanya badan usaha dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu badan usaha yang berbadan hukum dan badan usaha yang tidak berbadan hukum. Urgensi penetapan sebagai badan hukum adalah adanya pertanggungjawaban yang terbatas dari para pendiri atau pengurusnya karena adanya harta kekayaan yang dipisahkan antara harta pribadi pemilik perusahaan dengan harta perusahaan sehingga tanggung jawab hukum pemilik perusahaan hanya sebatas nilai nominal harta yang ditempatkan pada perusahaan tersebut, serta diakui kapasitasnya oleh hukum sebagai subjek hukum dalam memegang hak dan kewajiban (Zaeni Asyhadie dan Budi Sutrisno, 2012: 71). Sebagai pendukung adanya hak dan kewajiban, badan hukum dapat melakukan perbuatan hukum. R. Soeroso sebagaimana dikutip oleh Ishaq menyatakan bahwa perbuatan hukum merupakan setiap perbuatan subjek hukum yang akibatnya diatur oleh hukum, karena akibat itu dapat dianggap sebagai kehendak yang melakukan hukum (Ishaq, 2008:123). Badan hukum bertindak sebagai satu kesatuan dalam lalu lintas hukum seperti orang (persoon), yang mana hukum menciptakan badan hukum oleh karena pengakuan organisasi atau kelompok manusia sebagai subjek hukum itu sangat diperlukan karena bermanfaat bagi lalu lintas hukum (Sudikno Mertokusumo, 1999: 68). Mencermari rumusan pengertian tersebut, dapat diketahui bahwa secara an sich hanya subjek hukum sajalah yang dapat melakukan perbuatan hukum, yang mana dari perbuatan hukum tersebut sudah barang tentu memiliki akibat hukum (Achmad Ichsan, 1986: 169). Agar dapat memiliki harta kekayaan yang terpisah, adanya organisasi yang teratur, serta tujuan maupun kepentingan tertentu dalam melakukan perbuatan hukum yang dilindungi oleh undang-undang, maka BUMD haruslah merupakan suatu badan usaha yang berbadan hukum. Badan usaha yang berbadan hukum memiliki berbagai macam bentuk hukum. UU Perbankan dalam rezim hukum privat mengatur bahwa setiap badan usaha yang bergerak di bidang perbankan haruslah berbentuk badan hukum dengan memilih bentuk hukum yang ditetapkan oleh undang-undang tersebut. Sama hal nya dengan UU Pemerintahan Daerah sebagai hukum publik yang juga mengatur bahwa BUMD haruslah berbentuk badan hukum dengan memilih alternatif bentuk
12
hukum yang diatur dalam undang-undang tersebut. Berikut penulis sajikan tabel mengenai ketentuan bentuk badan hukum yang diatur dalam UU Perbankan dan UU Pemerintahan Daerah. Tabel 5. Ketentuan mengenai Bentuk Badan Hukum dalam UU Perbankan dan UU Pemerintahan Daerah UU Perbankan Pasal/
UU Pemerintahan Daerah
Uraian Pasal
Pasal/
Ayat/Angka
Uraian Pasal
Ayat/Angka
Pasal 21/
Bentuk hukum
suatu
Pasal 331/
Ayat (1)
Bank
dapat
Ayat (3)
Umum
BUMD
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1)
berupa:
terdiri atas Perusahaan
a. Perseroan Terbatas;
umum
b. Koperasi; atau
Perusahaan Perseroan
c. Perusahaan Daerah.
Daerah.
Pasal 21/
Bentuk hukum
Ayat (2)
Bank Rakyat
Daerah
dan
suatu
Perkreditan dapat
berupa
salah satu dari: a. Perusahaan Daerah; b. Koperasi; c. Perseroan Terbatas; atau d. Bentuk lain yang ditetapkan
dengan
Peraturan Pemerintah. Mencermati ketentuan tersebut, dapat diidentifikasi mengenai beberapa hal. Pertama, ketentuan mengenai bentuk hukum berupa Perseroan Terbatas dan Koperasi bukanlah merupakan suatu permasalahan, mengingat UU Perbankan merupakan hukum privat dan baik Perseroan Terbatas maupun Koperasi merupakan
13
badan hukum privat yang bertujuan mencari keuntungan, sehingga terdapat kesesuaian pengaturan (Peter Mahmud Marzuki, 2013: 207-208). Kedua, dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan pengaturan mengenai bentuk badan hukum terhadap BUMD antara UU Perbankan dengan UU Pemerintahan Daerah. Sebagaimana telah disebutkan dalam Pasal 22 dan Pasal 23 UU Perbankan bahwa pemerintah daerah dapat memiliki badan usaha di bidang perbankan berupa Bank Umum dan BPR. Ketentuan mengenai bentuk badan hukum dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) UU Perbankan juga telah menyiratkan bahwa pemerintah daerah yang memiliki badan usaha di bidang lembaga keuangan bank dapat memilih bentuk badan hukum berupa Perusahaan Daerah. Ketentuan tersebut terlihat kontradiksi dengan ketentuan mengenai bentuk badan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 331 ayat (3) UU Pemerintahan Daerah yang mengatur secara limitatif bahwa bentuk badan hukum BUMD hanya terdiri atas 2 (dua) bentuk, yaitu Perusahaan umum Daerah atau Perusahaan Perseroan Daerah. Penulis berasumsi bahwa terdapat ketidaksesuaian pengaturan mengenai bentuk badan hukum bagi lembaga keuangan bank milik pemerintah daerah antara UU Perbankan dengan UU Pemerintahan Daerah. UU Perbankan mendelegasikan kepada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah, yang selanjutnya disingkat UU Perusahaan Daerah, sebagai pijakan yuridis bagi lembaga keuangan bank yang berbentuk badan hukum Perusahaan Daerah. Oleh karena terdapat regulasi tersendiri yang mengatur mengenai bentuk badan hukum Perusahaan Daerah, perlulah kiranya untuk mengetahui terlebih dahulu mengenai perbandingan konsep bentuk badan hukum BUMD yang diatur dalam UU Perusahaan Daerah dan UU Pemerintahan Daerah sebagaimana penulis uraikan dalam tabel di bawah ini:
14
Tabel 6. Ketentuan mengenai Bentuk Badan Hukum dalam UU Perusahaan Daerah dan UU Pemerintahan Daerah UU Perusahaan Daerah Pasal/
UU Pemerintahan Daerah
Uraian Pasal
Pasal/
Ayat/Angka Pasal 2
Uraian Pasal
Ayat/Angka Dalam Undang-undang
Pasal 331/
ini yang dimaksudkan
Ayat (2)
dengan Daerah
Perusahaan ialah
perusahaan didirikan
Pendirian
BUMD
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
semua
dengan Perda.
yang berdasarkan
Undang-undang
ini
yang modalnya untuk seluruhnya atau untuk sebagian
merupakan
kekayaan Daerah yang dipisahkan, kecuali jika ditentukan lain dengan atau
berdasarkan
Undang-undang. Pasal 3
Dengan
tidak
mengurangi ketentuan
Pasal 331/ Ayat (4)
Pendirian
BUMD
sebagaimana dimaksud
dalam Undang-undang
pada ayat (1) bertujuan
ini
untuk:
serta
peraturan
pelaksanaannya, maka
a. memberikan
terhadap badan hukum
manfaat
yang
dimaksudkan
perkembangan
dalam Undang-undang
perekonomian
ini
segala
Daerah
hukum
umumnya;
berlaku
macam
bagi
pada
15
Indonesia yang tidak bertentangan
b. menyelenggarakan
dengan
kemanfaatan umum
Sosialisme Indonesia.
berupa penyediaan barang
dan/atau
jasa yang bermutu bagi
pemenuhan
hajat
hidup
masyarakat
sesuai
kondisi, karakteristik potensi
dan Daerah
yang bersangkutan berdasarkan kelola
tata
perusahaan
yang baik; dan c. memperoleh
laba
dan/atau keuntungan. Pasal 4/
Perusahaan
Daerah
Ayat (2)
termaksud pada ayat (1)
Pasal 332/ Ayat (1)
adalah badan hukum yang
Sumber Modal BUMD terdiri atas: a. penyertaan
kedudukannya
Daerah;
sebagai badan hukum
b. pinjaman;
diperoleh
c. hibah; dan
berlakunya
modal
dengan Peraturan
d. sumber
Daerah tersebut.
modal
lainnya.
Pasal 5/
Perusahaan
Daerah
Ayat (1)
adalah suatu kesatuan
Pasal 332/
Sumber modal lainnya
Ayat (2)
sebagaimana dimaksud
produksi yang bersifat:
pada ayat (1) huruf d
a. memberi jasa;
adalah:
16
b. menyelenggarakan
a. kapitalisasi
kemanfaatan
cadangan;
umum; dan
b. keuntungan
c. memupuk
revaluasi aset; dan
pendapatan.
c. agio saham.
Pasal 5/
Tujuan
Ayat (2)
Daerah ialah untuk turut serta
Perusahaan
Pasal 334/ Ayat (1)
melaksanakan
pembangunan
Daerah adalah BUMD
dimiliki
dan
oleh
satu
daerah dan tidak terbagi
pembangunan ekonomi nasional
umum
yang seluruh modalnya
Daerah
khususnya
Perusahaan
atas saham.
umumnya
dalam rangka ekonomi terpimpin memenuhi
untuk kebutuhan
rakyat
dengan
mengutamakan industrialisasi
dan
ketenteraman
serta
kesenangan kerja dalam perusahaan,
menuju
masyarakat yang adil dan makmur. Pasal 5/
Perusahaan
Ayat (3)
bergerak
Daerah
Pasal 339/
dalam
Ayat (1)
Perusahaan
Perseroan
Daerah adalah BUMD
lapangan yang sesuai
yang
dengan urusan rumah
perseroan terbatas yang
tangganya
modalnya
menurut
berbentuk
saham
terbagi
peraturan-peraturan
dalam
yang
yang mengatur pokok-
seluruhnya atau paling
17
pokok
Pemerintahan
Daerah.
sedikit 51% (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki Daerah.
Pasal 5/
Cabang-cabang
Ayat (4)
produksi yang penting bagi Daerah dan yang menguasai hajat hidup orang banyak di Daerah yang
bersangkutan
diusahakan
oleh
Perusahaan
Daerah
yang modalnya untuk seluruhnya merupakan kekayaan daerah yang dipisahkan. Pasal 7/
Modal
Perusahaan
Ayat (1)
Daerah terdiri untuk seluruhnya atau untuk sebagian dari kekayaan daerah yang dipisahkan.
Pasal 7/
a. Modal Perusahaan
Ayat (1)
Daerah yang untuk seluruhnya
terdiri
dari kekayaan satu Daerah
yang
dipisahkan
tidak
terdiri atas sahamsaham.
oleh
satu
18
b. Apabila
modal
Perusahaan Daerah termaksud
sub
a
diatas terdiri atas beberapa kekayaan Daerah
yang
dipisahkan
modal
perusahaan
itu
terdiri atas sahamsaham. Pasal 7/
Modal
Ayat (3)
Daerah sebagian
Perusahaan yang terdiri
untuk dari
kekayaan Daerah yang dipisahkan terdiri atas saham-saham. Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat diamati bahwa UU Perusahaan Daerah tidak menyebutkan secara eksplisit apakah bentuk badan hukum Perusahaan Daerah merupakan BUMD. Selama ini istilah Perusahaan Daerah senantiasa dibaurkan dengan istilah BUMD (Made Gde Subha Karma Resen dan Yudho Taruno Muryanto, 2014: 128). Apabila ditinjau secara historis, UU Perusahaan Daerah merupakan satu-satunya landasan yuridis bagi BUMD sebelum berlakunya UU Pemerintahan Daerah (Munawar Kholil, 2009: 26). UU Pemerintahan Daerah yang berkedudukan sebagai lex posterior yang belum dilengkapi dengan peraturan pelaksanaan, sehingga UU Perusahaan Daerah masih digunakan sebagai landasan yuridis dan masih menghiasi peraturan daerah di beberapa daerah yang mengatur mengenai BUMD (Made Gde Subha Karma Resen dan Yudho Taruno Muryanto, 2014: 127). Jika ditinjau berdasarkan konteks permodalan, dapat diketahui bahwa UU Perusahaan Daerah dan UU Pemerintahan Daerah mengatur mengenai hal yang sama, bahwa BUMD merupakan badan usaha yang modalnya baik sebagian atau
19
seluruhnya dimiliki oleh pemerintah daerah. Kendati UU Perusahaan Daerah tidak menyebutkan secara eksplisit apakah bentuk badan hukum Perusahaan Daerah merupakan BUMD, namun jika diamati berdasarkan komposisi permodalan maka dapat dikatakan bahwa Perusahaan Daerah adalah BUMD, karena modalnya untuk seluruhnya atau untuk sebagian berasal dari kekayaan daerah yang dipisahkan. Jika ditinjau dari cara pendirian badan hukumnya, maka terdapat kesamaan pengaturan antara UU Perusahaan Daerah dan UU Pemerintahan Daerah, yang mana kedua peraturan tersebut mengatur bahwa pendirian badan hukum berdasarkan peraturan daerah. Secara prinsip, Perusahaan Daerah dan BUMD merupakan alat produksi bagi pemerintah daerah, yang modalnya baik sebagian atau seluruhnya dimiliki oleh daerah, untuk menguasai cabang-cabang produksi yang menyangkut hajat hidup orang banyak, dengan tujuan untuk memberikan kemanfaatan umum dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, di samping untuk memupuk keuntungan (profit oriented). Kendati terdapat perbedaan istilah antara Perusahaan Daerah dan BUMD, namun kedua jenis badan usaha tersebut adalah milik pemerintah daerah, sehingga dapat dipahami bahwa bentuk badan hukum Perusahaan Daerah juga merupakan BUMD. Terdapat beberapa hal yang patut untuk dicermati. Pertama, UU Pemerintahan Daerah mengatur lebih lanjut secara limitatif mengenai bentuk badan hukum daripada BUMD, yaitu terbatas pada bentuk hukum Perusahaan umum Daerah dan Perusahaan Perseroan Daerah. Terhadap kedua bentuk badan hukum tersebut memiliki definisi dan konsep pengelolaan terutama dalam hal struktur permodalan yang berbeda satu sama lain. Sementara UU Perusahaan Daerah menyatakan bahwa Perusahaan Daerah merupakan suatu bentuk badan hukum, namun jika dicermati lebih lanjut terlihat bahwa definisi daripada Perusahaan Daerah masih bersifat luas, yaitu menyerupai definisi BUMD sebagaimana diatur dalam UU Pemerintahan Daerah. Kedua, ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf a UU Perusahaan Daerah menyatakan, “Modal Perusahaan Daerah yang untuk seluruhnya terdiri dari kekayaan satu Daerah yang dipisahkan tidak terdiri atas saham-saham”. Pasal 7 ayat (2) huruf b UU Perusahaan Daerah menyatakan, “Apabila modal Perusahaan Daerah termaksud sub a diatas terdiri atas kekayaan
20
beberapa Daerah yang dipisahkan modal perusahaan itu terdiri atas saham-saham”. Sebagaimana diketahui bersama bahwa perusahaan yang merupakan persekutuan modal atau modalnya terbagi atas saham merupakan perusahaan berbentuk hukum perseroan terbatas (Zainal Asikin, 2013: 58). Artinya bahwa tidak adanya perbedaan konsep antara bentuk badan hukum Perusahaan Daerah dan bentuk badan hukum perseroan terbatas, karena ketentuan dalam Pasal 7 ayat (2) huruf a dan huruf b UU Perusahaan Daerah memberikan opsi bahwa modal Perusahaan Daerah juga dapat tidak terbagi atas saham atau terbagi atas saham. Sementara jika menilik ketentuan Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) UU Perbankan yang mengatur bahwa bentuk badan hukum antara perseroan terbatas dan perusahaan daerah merupakan bentuk badan hukum yang terpisah, maka dalam hal ini terdapat tumpang tindih pengaturan. Ketiga, UU Pemerintahan Daerah secara eksplisit telah memisahkan antara bentuk badan hukum BUMD yang modalnya tidak terbagi atas saham (Perusahaan umum Daerah) dan BUMD yang modalnya terdiri atas sahamsaham (Perusahaan Perseroan Daerah). Kedua bentuk badan hukum tersebut sudah barang tentu memiliki tujuan yang berbeda, yang mana Perusahaan umum Daerah memiliki tujuan untuk melayani publik (public service) selain memperoleh keuntungan, sedangkan Perusahaan Perseroan Daerah orientasi sepenuhnya adalah profit motive (Adrian Sutedi, 2009: 219). Sementara jika mencermati konsep Perusahaan Daerah, maka tujuannya menjadi sangat luas yaitu apakah diutamakan untuk melayani publik atau mencari keuntungan, karena tidak ada pemisahan di dalamnya. Keempat, terdapat perbedaan mengenai sumber modal daripada BUMD, dimana Pasal 332 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemerintahan Daerah mengatur lebih kompleks yaitu sumber modal BUMD dapat berasal dari: penyertaan modal Daerah, pinjaman, hibah, kapitalisasi cadangan, keuntungan revaluasi aset, dan agio saham. Sementara Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) UU Perusahaan Daerah hanya mengatur bahwa modal Perusahaan Daerah untuk seluruhnya terdiri dari kekayaan satu Daerah yang dipisahkan atau terdiri atas kekayaan beberapa Daerah yang dipisahkan. UU Pemerintahan Daerah mengatur komposisi modal bagi bentuk badan hukum BUMD, yang mana Perusahaan umum Daerah modalnya untuk seluruhnya berasal dari daerah yang tidak terbagi atas saham, sementara modal
21
Perusahaan Perseroan Daerah terdiri atas saham-saham dimana paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) sahamnya dikuasai oleh daerah. Terdapat sebuah perbedaan konsepsi yang elementer antara bentuk badan hukum Perusahaan Daerah yang diatur dalam UU Perusahaan Daerah dan Bentuk badan hukum BUMD sebagaimana diatur dalam UU Pemerintahan Daerah. UU Perusahaan Daerah sudah tidak merefleksikan perkembangan dan dinamika daripada BUMD. Perkembangan saat ini menunjukkan bahwa penyelenggaraan BUMD telah melebihi apa yang dikonsepkan oleh UU Perusahaan Daerah, bahkan UU Perusahaan Daerah berpotensi sebagai celah penyalahgunaan BUMD, sehingga perusahaan menjadi tidak untung atau merugi (Munawar Kholil, 2009: 27). Penulis dapat mengidentifikasi bahwa terdapat beberapa hal yang mengindikasikan bahwa UU Perusahaan Daerah tidaklah relevan untuk penyelenggaraan BUMD saat ini. Pertama, dilihat dari pandangan filosofis UU Perusahaan Daerah yang dirasa tidak sesuai dengan cita-cita hukum masyarakat Indonesia. Sebagaimana tercantum dalam konsiderannya yang dinyatakan sebagai berikut: a. bahwa perlu diusahakan terlaksananya program umum Pemerintah di bidang ekonomi sebagaimana digariskan dalam Manifesto Politik Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1959 yang selanjutnya telah diperkuat dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia Nomor 1/MPRS/1960 mengenai keharusan diadakannya reorganisasi dalam alat-alat produksi dan distribusi yang ditujukan ke arah pelaksanaan Pasal 33 Undang-Undang Dasar. Menilik pada penjelasan umum UU Perusahaan Daerah dapat diketahui bahwa titik berat daripada semua kegiatan Perusahaan Daerah harus ditujukan ke arah pembangunan daerah khususnya dan pembangunan ekonomi nasional umumnya dalam rangka ekonomi terpimpin untuk memenuhi kebutuhan rakyat dengan mengutamakan industrialisasi dan ketenteraman serta kesenangan kerja dalam perusahaan menuju masyarakat adil dan makmur. Selanjutnya juga dijelaskan bahwa dengan meninjau dan menelaah status dan organisasi Perusahaan Daerah pada dewasa ini perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut: a. dasar daya guna dalam perusahaan;
22
b. dasar price and accounting system dengan memperhatikan modal yang berdasarkan sosialisme Indonesia; c. ketenteraman dan kesenangan kerja dalam perusahaan supaya dapat terpelihara sebaik-baiknya; d. perkumpulan koperasi dan pihak swasta dapat diikutsertakan dalam pembinaan dan penyelenggaraan Perusahaan Daerah; dan e. sistem ekonomi terpimpin dapat dilaksanakan supaya segala kegiatan ekonomi dapat diselenggarakan dalam rangka politik negara. Penulis berasumsi bahwa UU Perusahaan Daerah sangatlah berbau sosialis komunisme. Melalui UU Perusahaan Daerah, pemerintah diharapkan dapat mengkomando kondisi ekonomi di daerah, tujuan pendirian yang dimaksudkan dalam UU Perusahaan Daerah berbau paham sosialis (Munawar Kholil, 2009: 32). Pada waktu pembentukannya ketika itu partai komunis sedang berkuasa, sehingga arah kebijakannya pun untuk memenuhi kepentingan politik daripada pandangan ideologi komunis yang sudah barang tentu bertentangan dengan cita-cita hukum masyarakat Indonesia. Perundang-undangan merupakan produk pertimbangan politik, yang mana prosedur atau mekanisme pengambilan keputusannya berdasarkan pada sistem politik tertentu yang berkembang (Solly Lubis, 2009: 33). Tidak dapat dimungkiri bahwa politik hukum merupakan pedoman dasar dalam penentuan nilai-nilai, penetapan, pembentukan, dan pengembangan hukum (Aziz Syamsuddin, 2013: 31). Seyogianya, undang-undang selalu mengandung normanorma hukum yang diidealkan (ideal norms) oleh suatu masyarakat ke arah mana cita-cita luhur kehidupan bermasyarakat dan bernegara hendak diarahkan, karena undang-undang merupakan cerminan dan cita-cita kolektif suatu masyarakat tentang nilai-nilai luhur dan filosofis yang hendak diwujudkan (Jimly Asshiddiqie, 2010: 117). Soediman Kartohadiprojo sebagaimana dikutip oleh Alwi Wahyudi (2013: 39-40) berpendapat bahwa pokok pangkal daripada manifesto komunis adalah paham individualisme yang sudah barang tentu bertentangan dengan cara pandang bangsa Indonesia yaitu filsafat Pancasila yang mengutamakan asas religius dan kekeluargaan untuk menjaga keseimbangan antara kepentingan individu dan kepentingan umum. Hal tersebut tercermin dalam ketentuan Pasal 33 ayat (1) UUD
23
NRI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar pada asas kekeluargaan. Kemudian dipertegas kembali dalam Pasal 33 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip keadilan, kebersamaan,
efisiensi,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan,
kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Demokrasi ekonomi Indonesia sebagai demokrasi ekonomi Pancasila memiliki ciri bahwa terdapat hubungan antara perekonomian Pancasila dengan Tuhan Yang Maha Esa, sehingga dalam Pancasila terdapat solidaritas sosial (Hermansyah, 2014: 18-19). Tujuan filosofis sebagaimana dikandung dalam UU Perusahaan Daerah tidaklah relevan dengan cita-cita hukum bangsa Indonesia saat ini yang mengedepankan prinsip kebersamaan dan kekeluargaan yaitu adanya keseimbangan antara kepentingan individu dan kepentingan umum dalam bingkai demokrasi ekonomi. Kedua, sebagaimana diatur dalam Pasal 332 ayat (1) UU Pemerintahan Daerah bahwa pemerintah daerah dapat melakukan penyertaan modal untuk pendirian BUMD. Kemudian, Pasal 333 ayat (3) UU Pemerintahan Daerah mengatur bahwa penyertaan modal daerah dapat dilakukan untuk pembentukan BUMD dan/atau penambahan modal BUMD. Selaras dengan hal tersebut, Pasal 331 ayat (5) UU Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa pendirian BUMD harus didasarkan pada kebutuhan daerah kelayakan bidang usaha BUMD yang akan dibentuk. Ketentuan tersebut menghendaki bahwa pemerintah daerah harus menyediakan dokumen studi kelayakan atas penyertaan modal tersebut (advisability study) dan (bussiness plan), artinya bahwa pemerintah daerah tidak dapat serta-merta mendirikan BUMD, melainkan harus benar-benar didasarkan pada kebutuhan daerah dan studi kelayakan daripada usaha BUMD yang bersangkutan agar pendiriannya memberikan kemanfaatan bagi masyarakat dan daerah yang bersangkutan. Bidang usaha yang dijalankan oleh BUMD selama ini masih berdasarkan kemauan dan aspek politik dalam pembentukannya, belum didasarkan pada studi kelayakan dan karakter serta potensi keunggulan daerah yang bersangkutan, sehingga BUMD yang secara aspek manajemen bisnis tidak
24
produktif namun tetap dipertahankan (Ambar Budhisulistyawati, dkk, 2015: 62). Pasal 333 ayat (1) UU Pemerintahan Daerah juga mengatur bahwa penyertaan modal yang dilakukan harus dituangkan ke dalam peraturan daerah. Hal ini tentunya akan mencegah penyalahgunaan atau kesewenangan pemerintah daerah dalam mendirikan BUMD, karena pasalnya BUMD diindikasi kerap menjadi sapi perahan bagi penguasa birokrasi maupun politik daerah (Munawar Kholil, 2009: 27). Penulis mengamati bahwa UU Perusahaan Daerah belumlah mengatur sejauh hal yang demikian, sehingga UU Perusahaan Daerah masih mengandung celah untuk penyalahgunaan pendirian BUMD. Ketiga, Pasal 331 ayat (4) dan 343 ayat (1) UU Pemerintahan Daerah telah mengatur bahwa pengelolaan BUMD harus dilaksanakan berdasarkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik. Prinsip tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance) merupakan kumpulan hukum, peraturan, dan kaidah-kaidah yang wajib dipenuhi, yang dapat mendorong kinerja sumber-sumber perusahaan untuk berfungsi secara efisien guna menghasilkan nilai ekonomi dalam jangka panjang yang berkesinambungan bagi para pemegang saham maupun masyarakat sekitar secara keseluruhan (Muh. Arief Effendi, 2009: 1). Good corporate governance merupakan sistem hukum dan praktik untuk menjalankan kewenangan dan kontrol dalam kegiatan bisnis perusahaan, meliputi hubungan khusus antara pemegang saham, komisaris dan komite-komitenya, direksi, pejabat eksekutif, dan konsituen lainnya (Ridwan Khairandy dan Camelia Malik, 2007: 63). Perusahaan yang sahamnya telah tercatat di bursa efek, perusahaan negara, perusahaan daerah, perusahaan yang menghimpun dan mengelola dana dari masyarakat, dan perusahaan yang produk atau jasanya digunakan oleh masyarakat luas, serta perusahaan yang mempunyai dampak luas terhadap kelestarian lingkungan merupakan pelopor dalam penerapan pedoman good corporate governance (Komite Nasional Governance, 2006: 2). Mencermati konsep tersebut, dapat dipahami bahwa prinsip tata kelola perusahaan yang baik perlu dan wajib untuk dilaksanakan oleh pelaksana organ BUMD. Apabila mencermati materi muatan dalam UU Perusahaan Daerah, tidak ada satu pun ketentuan yang mengatur mengenai prinsip tata kelola perusahaan yang baik. UU Perusahaan Daerah belum
25
mengadopsi prinsip tata kelola perusahaan yang baik, yang mana sudah semestinya prinsip ini wajib untuk dilaksanakan oleh setiap perusahaan agar dapat meningkatkan nilai dan daya saing perusahaan berdasarkan asas transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi, serta kewajaran dan kesetaraan (Komite Nasional Governance, 2006: 2). BUMD bidang perbankan, yang dalam hal penulisan hukum (skripsi) ini penulis fokuskan pada BPR, kerap dirundung permasalahan akibat pemilik dan pengelolanya belum sepenuhnya menerapkan prinsip good corporate governance (Suharno, 2014: 8). Sejak era reformasi, pemerintah memiliki spirit kebijakan yang mendorong penegakan prinsip good corporate governance agar industri perbankan dapat dikelola secara profesional (Pujiyono, 2011: 10). Prinsip tata kelola perusahaan yang baik merupakan keharusan yang tidak dapat ditawar lagi untuk digalakkan kepada setiap perusahaan, terlebih perusahaan yang modalnya berasal dari keuangan negara atau daerah. Berdasarkan pada beberapa argumentasi yang telah diuraikan sebelumnya, dapat dipahami bahwa UU Perusahaan Daerah tidaklah relevan dengan dinamika perkembangan BUMD saat ini, sehingga bentuk hukum Perusahaan Daerah sudah semestinya tidak lagi diaplikasikan kepada BUMD. Secara yuridis, UU Pemerintahan Daerah telah menyatakan bahwa bentuk badan hukum Perusahaan Daerah tidak dapat menjawab tuntutan pengembangan dan pengelolaan BUMD. Hal tersebut dapat kita cermati dalam ketentuan Pasal 409 huruf a UU Pemerintahan Daerah yang menyatakan sebagai berikut: Pasal 409 Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku: a. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1962 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2387); dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Mencermati rumusan ketentuan tersebut nampaknya telah sesuai dengan prinsipnya, bahwa apabila terdapat suatu undang-undang yang tidak diperlukan lagi dan harus diganti dengan undang-undang yang baru, maka undang-undang yang baru harus secara tegas mencabut undang-undang yang lama (Jimly Asshiddiqie, 2010: 154). Pencabutan peraturan perundang-undangan hanya dapat dilakukan
26
dengan peraturan yang setingkat atau tingkatannya lebih tinggi (Aziz Syamsuddin, 2013: 124). UU Pemerintahan Daerah telah secara tegas menyatakan bahwa UU Perusahaan Daerah telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Setiap BUMD wajib menyesuaikan dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam UU Pemerintahan Daerah. Hal tersebut diatur dalam BAB Ketentuan Peralihan Pasal 402 ayat (2) UU Pemerintahan Daerah yang dinyatakan sebagai berikut: Pasal 402 (2) BUMD yang telah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku, wajib menyesuaikan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun terhitung sejak UndangUndang ini diundangkan. Penyimpangan untuk sementara atau penundaan waktu untuk berlakunya norma hukum yang secara umum diatur dalam peraturan perundang-undangan dapat dibatasi untuk jangka waktu tertentu terhadap subjek-subjek hukum tertentu yang menyandang hak dan kewajiban tertentu atau tugas dan wewenang tertentu (Jimly Asshiddiqie, 2010: 131). Kendati demikian, pada saat peraturan perundangundangan dinyatakan mulai berlaku, maka semua hubungan-hubungan hukum yang ada atau tindakan-tindakan hukum yang terjadi baik sebelum, pada saat, maupun sesudah peraturan perundang-undangan yang baru itu dinyatakan mulai berlaku, tunduk pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang baru. Kemudian, apabila dicermati lebih lanjut ketentuan Pasal 402 ayat (2) UU Pemerintahan Daerah merupakan norma hukum yang memaksa. Kata “memaksa” dalam hal ini dimaksudkan bahwa pembuat undang-undang tidak memberikan keleluasaan kepada para pihak untuk menerapkan atau tidak menerapkan aturan tersebut (Waluyadi, 2001: 54). Semua ketentuan dalam hukum publik adalah bersifat memaksa, dengan ciri utamanya ialah digunakan kata “wajib” dan biasanya terdapat juga ketentuan mengenai sanksi jika kewajiban itu dilanggar (Peter Mahmud Marzuki, 2013: 204-205). Adakalanya hukum tidak disertai dengan sanksi, sehingga pencantuman pasal-pasal dalam undang-undang tidak diikuti dengan sanksi bagi yang melanggarnya (Waluyadi, 2001: 21-22). Pasal 402 ayat (2) UU Pemerintahan Daerah tidak disertai dengan sanksi. Penulis berpendapat bahwa ketentuan di dalamnya memiliki akibat hukum. Sebagaimana diketahui bersama
27
bahwa pendirian badan hukum harus disertai dengan anggaran dasar yang dimuat pada akta pendirian yang dibuat di muka notaris dan mendapat pengesahan resmi dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Badan hukum yang dimaksud meliputi Perseroan Terbatas, Koperasi, Yayasan, Dana Pensiun, dan Perusahaan Perseroan (Persero) (Abdulkadir Muhammad, 2010: 102). Pengesahan status badan hukum oleh pemerintah merupakan pembenaran bahwa anggaran dasar badan hukum yang bersangkutan tidak dilarang atau bertentangan dengan undang-undang (Abdulkadir Muhammad, 2010: 102). Salah satu bagian yang dimuat dalam anggaran dasar adalah penetapan mengenai bentuk badan hukum. Apabila bentuk badan hukum BUMD tidak berdasarkan pada ketentuan yang berlaku, maka anggaran dasar daripada BUMD yang bersangkutan sudah barang tentu tidak akan mendapat pengesahan. Hal tersebutlah kiranya akibat hukum daripada ketentuan Pasal 402 ayat (2) UU Pemerintahan Daerah. Setiap BUMD wajib menyesuaikan dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam UU Pemerintahan Daerah, terutama terkait dengan bentuk badan hukum agar senantiasa memperoleh legalitas dalam menjalankan kegiatan usahanya. Pasca diberlakukannya UU Pemerintahan Daerah, BUMD kini memiliki konsep yang berbeda dibandingkan dengan bentuk badan hukum Perusahaan Daerah. Perubahan pengaturan mengenai konsep BUMD dalam UU Pemerintahan Daerah tidak diikuti dengan penyesuaian terhadap regulasi lain, yang dalam hal ini adalah UU Perbankan. Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) UU Perbankan masih memuat istilah mengenai Perusahaan Daerah bagi BUMD di bidang perbankan. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa UU Perusahaan Daerah secara yuridis telah dicabut keberlakuannya oleh UU Pemerintahan Daerah. Hal tersebut berimplikasi bahwa setiap BUMD di bidang perbankan juga harus menyesuaikan bentuk badan hukumnya sebagaimana diatur dalam UU Pemerintahan. Terdapat ketidaksesuaian pengaturan mengenai bentuk badan hukum BUMD di bidang perbankan dalam UU Perbankan dengan UU Pemerintahan Daerah. Penulis menilai bahwa pengaturan bentuk badan hukum BUMD dalam UU Pemerintahan Daerah belum dapat sepenuhnya dikatakan berlaku secara efektif.
28
Berlakunya suatu peraturan perundang-undangan dapat ditelaah dalam sudut pandang filosofis, sosiologis, dan yuridis sebagaimana dijelaskan berikut ini: 1. Keberlakuan secara Filosofis Hukum mempunyai kekuatan berlaku filosofis apabila kaedah hukum tersebut sesuai dengan cita-cita hukum (rechtsidee) sebagai nilai positif yang tertinggi (Sudikno Mertokusumo, 1999: 88). Berlakunya hukum secara filosofis dapat diartikan bahwa hukum tersebut telah dipandang berlaku karena memenuhi persyaratan moralitas dan hak asasi manusia (Donald Albert Rumokoy dan Frans Maramis, 2014: 140). Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya terkait dengan pandangan oleh Hans Kelsen mengenai “gerundnorm”
atau
dalam
pandangan
Hans
Nawiasky
tentang
“staatsfundamentalnorm”, bahwasanya pada setiap negara selalu ditentukan adanya nilai-nilai filosofis tertinggi yang diyakini sebagai sumber dari segala sumber nilai luhur dalam kehidupan kenegaraan yang bersangkutan (Jimly Asshiddiqie, 2010: 166). Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan “staatsfundamentalnorm” daripada bangsa Indonesia, dengan kata lain telah diakui sebagai dasar negara dan sudah semestinya menjadi sumber rujukan dan landasan utama dalam penyelenggaraan negara, yang tercermin dalam bentuk antara lain visi, misi, kebijakan, program, dan peraturan (Alwi Wahyudi, 2013: 53). Penilaian terhadap keberlakuan secara filosofis terhadap UU Pemerintahan Daerah dapat diamati pada landasan filosofis dibentuknya undang-undang tersebut. Landasan filosofis pembentukan UU Pemerintahan Daerah dapat diketahui dengan menelaah Naskah Akademik maupun dalam konsiderannya. Penulis dapat mengidentifikasi landasan filosofis adanya UU Pemerintahan Daerah bahwa penyelenggaraan pemerintahan daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat yang dilakukan melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan/atau kekhasan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Diperlukan upaya peningkatan
29
terhadap efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan tetap memperhatikan aspek-aspek hubungan antara pemerintah pusat dengan daerah dan antar daerah, potensi dan keanekaragaman daerah, serta peluang dan tantangan persaingan global dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara. Berdasarkan pada pertimbangan landasan filosofis tersebut, dapat dicermati bahwasanya tujuan filosofis pembentukan UU Pemerintahan Daerah ialah untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dengan pelayanan dan pemberdayaan serta partisipasi masyarakat yang menyangkut upaya pemenuhan hak-hak dasar atau hak hak-konstitusional yang melekat
padanya. Penyelenggaraan pemerintahan daerah juga harus
memperhatikan
aspek-aspek
keadilan,
keanekaragaman,
pemerataan,
kekhususan, dan yang terpenting adalah tetap dalam prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang artinya bahwa kedaulatan tetap pada negara dan tidak pada daerah. Hal tersebut tentunya selaras dengan tujuan Negara Republik Indonesia sebagaimana termaktub dalam alinea keempat Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 yaitu untuk melindungi seluruh bangsa dan tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa serta memelihara ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Perlindungan terhadap seluruh tumpah darah Indonesia didasarkan atas persatuan yang meliputi segenap bangsa Indonesia seluruhnya, sementara itu Pancasila sebagai dasar negara berpangkal pada pemikiran kekeluargaan atau gotong royong yang hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang sudah barang tentu mempunyai hak dan kewajiban untuk menerima dan menciptakan keadilan sosial dalam kehidupan masyarakat (Alwi Wahyudi, 2013: 96-100). Dasar filosofis daripada UU Pemerintahan Daerah telah sesuai dengan cita-cita hukum yang luhur daripada bangsa Indonesia, sehingga dapat dikatakan bahwa UU Pemerintahan Daerah telah memenuhi syarat keberlakuan secara filosofis. 2. Keberlakuan secara Sosiologis Keberlakuan secara sosiologis didasarkan kepada penerimaan subjek hukum terhadap suatu kaedah hukum, sehingga hukum tersebut adalah hukum
30
yang hidup, diterapkan oleh subjek hukum karena dipandang baik oleh subjek hukum tersebut (Donald Albert Rumokoy dan Frans Maramis, 2014: 140). Pandangan
sosiologis
mengenai
keberlakuan
ini
cenderung
lebih
mengutamakan pendekatan yang empiris dengan mengutamakan beberapa kriteria antara lain: a. Teori pengakuan, yang pada prinsipnya beranggapan bahwa keberlakuan kaedah hukum didasarkan kepada adanya pengakuan dan penerimaan oleh masyarakat (Ishaq, 2008: 45). Teori pengakuan (recognition theory) menyangkut sejauh mana subjek hukum yang diatur memang mengakui keberadaan dan daya ikat serta kewajibannya untuk menundukkan diri terhadap norma hukum yang bersangkutan (Jimly Asshiddiqie, 2010: 168). b. Teori paksaan, yang menekankan kepada adanya unsur paksaan dari penguasa atau pejabat hukum agar kaedah hukum dipatuhi oleh masyarakat (Ishaq, 2008: 45). Berdasarkan pada teori tersebut, maka dapat diidentifikasi mengenai beberapa hal. Pertama, masih terdapat BUMD, yang dalam hal ini penulis memfokuskan pembahasan pada BUMD di bidang perbankan kelembagaan BPR milik pemerintah daerah, sedikit banyak eksistensinya belum sesuai dengan ketentuan mengenai BUMD sebagaimana diatur dalam UU Pemerintahan Daerah. Berikut ini penulis sajikan data mengenai eksistensi kelembagaan BPR milik pemerintah daerah: Tabel 7. Jumlah BPR Berdasarkan Badan Hukum Skala Nasional Tahun 2015 Propinsi
PT
PD Koperasi Jumlah BPR
1
Propinsi Jawa Barat
235
64
2
301
2
Propinsi Banten
60
6
0
66
3
Propinsi DKI Jakarta
25
0
0
25
4
Propinsi D.I. Yogyakarta
49
5
0
54
5
Propinsi Jawa Tengah
188
60
3
251
6
Propinsi Jawa Timur
288
14
23
325
7
Propinsi Bengkulu
4
0
0
4
8
Propinsi Jambi
17
1
0
18
No
31
9
Propinsi NAD
3
1
1
5
10 Propinsi Sumatera Utara
54
0
0
54
11 Propinsi Sumatera Barat
75
18
2
95
12 Propinsi Riau
27
6
0
33
13 Propinsi Sumatera Selatan
19
0
0
19
14 Propinsi Kep. Bangka Belitung
2
0
0
2
15 Propinsi Kep. Riau
37
3
0
40
16 Propinsi Lampung
25
1
0
26
17 Propinsi Kalimantan Selatan
4
21
0
25
18 Propinsi Kalimantan Barat
19
1
0
20
19 Propinsi Kalimantan Timur
12
2
0
14
20 Propinsi Kalimantan Tengah
2
2
0
4
21 Propinsi Sulawesi Tengah
9
0
0
9
22 Propinsi Sulawesi Selatan
20
2
1
23
23 Propinsi Sulawesi Utara
17
0
0
17
24 Propinsi Gorontalo
4
0
0
4
25 Propinsi Sulawesi Barat
1
0
0
1
26 Propinsi Sulawesi Tenggara
5
7
0
12
27 Propinsi Nusa Tenggara Barat
21
8
0
29
28 Propinsi Bali
134
3
0
137
29 Propinsi Nusa Tenggara Timur
11
0
0
11
30 Propinsi Maluku
2
0
0
2
31 Propinsi Papua
6
0
0
6
32 Propinsi Maluku Utara
2
0
0
2
33 Propinsi Papua Barat
1
0
0
1
1635 JUMLAH (Otoritas Jasa Keuangan, http://www.ojk.go.id/id/kanal/perbankan/data-danstatistik/Statistik-BPR-Konvensional/Default.aspx diakses pada tanggal 2 Februari 2016 pukul 16.40 WIB.) Mencermati data yang telah penulis sajikan dapat diketahui bahwa sebanyak 14% BPR dari jumlah BPR dalam skala nasional masih berbentuk badan hukum Perusahaan Daerah. Bentuk badan hukum berupa Perseroan Terbatas dan Koperasi bukanlah merupakan suatu persoalan, karena Pasal 21 ayat (2) UU Perbankan mengatur bahwa Bank Umum dan BPR dapat berbentuk
32
hukum Perseroan Terbatas atau Koperasi. Permasalahan terletak pada UU Perbankan yang masih mengatur bahwa Bank Umum dan BPR milik pemerintah daerah dapat memilih alternatif bentuk badan hukum Perusahaan Daerah, sementara UU Pemerintahan Daerah tidak mengatur demikian. Terdapat ketidaksesuaian pengaturan mengenai bentuk badan hukum bagi BUMD di bidang perbankan, yakni antara UU Perbankan dengan UU Pemerintahan Daerah. Hal tersebutlah yang menyebabkan sedikit banyak BPR milik pemerintah daerah di berbagai daerah yang masih mengadopsi bentuk badan hukum Perusahaan Daerah karena regulasi atau landasan yuridis bagi industri perbankan yaitu UU Perbankan yang masih memungkinkan hal tersebut. BUMD di bidang perbankan harus segera menyesuaikan bentuk badan hukumnya, termasuk mekanisme kepemilikan saham dan pengelolaan lainnya sesuai dengan bentuk badan hukum yang diatur oleh UU Pemerintahan Daerah. Kedua, terpenuhinya unsur paksaan dari pemerintah yang memberikan pengaturan secara tegas sebagaimana diatur dalam UU Pemerintahan Daerah bahwa bentuk hukum BUMD hanya terdiri atas 2 (dua) bentuk, yaitu Perusahaan umum Daerah dan Perusahaan Perseroan Daerah. Sebagaimana telah dijelaskan di muka bahwa konsekuensi sebagai hukum publik, maka UU Pemerintahan Daerah memiliki pengaturan yang bersifat memaksa (Peter Mahmud Marzuki, 2013: 2014). Hukum yang memaksa dalam keadaan konkret tidak dapat dikesampingkan dan bagi subjek hukum yang berkepentingan harus mentaatinya karena hukum tersebut mempunyai paksaan yang mutlak (Chainur Arrasjid, 2004: 109). BPR milik pemerintah daerah sebagai subjek hukum yang diatur baik yang telah ada maupun yang akan ada wajib untuk segera menyesuaikan bentuk badan hukumnya sebagaimana diatur dalam UU Pemerintahan Daerah. Bank Umum dan BPR milik pemerintah daerah belum sepenuhnya menundukkan diri terhadap aturan yang bersifat memaksa dari UU Pemerintahan Daerah mengenai bentuk badan hukum BUMD. Artinya bahwa kendati teori paksaan telah terpenuhi, akan tetapi UU Pemerintahan Daerah belum dapat dikatakan berlaku seutuhnya apabila ditinjau berdasarkan teori pengakuan dalam berlakunya norma hukum secara sosiologis.
33
3. Keberlakuan secara Yuridis Keberlakuan yuridis adalah keberlakuan suatu norma hukum dengan daya ikatnya untuk umum sebagai suatu dogma yang dilihat dari pertimbangan yang bersifat teknis yuridis (Jimly Asshiddiqie, 2010: 167). Landasan yuridis yang menjadikan suatu kaedah hukum itu sah karena (Ishaq, 2008: 44): a. proses penentuannya yang memadai, baik karena sesuai prosedur yang berlaku atau menurut cara yang telah ditetapkan sebagaimana pandangan W. Zevenbergen); b. ditetapkan sebagai norma hukum berdasarkan norma hukum yang lebih superior atau kaedah hukum yang lebih tinggi seperti dalam pandangannya Hans Kelsen mengenai stuffentheorie atau pandangan Hans Nawiasky mengenai die theorie vom stufenordnung der rechtsnormen; c. didasarkan kepada adanya ikatan yang memaksa untuk bersikap atau bertindak atau berperilaku pantas berdasarkan hubungan kondisi dan akibatnya sebagaimana pandangan J.H.A. Logemann; dan d. didasarkan kepada sistem atau tertib hukum secara keseluruhan sebagaimana pandangan Gustav Radbruch. Berdasarkan parameter-parameter tersebut, penulis mengidentifikasi bahwa terhadap poin a, poin b, dan poin c tidak terdapat permasalahan, karena UU Pemerintahan Daerah telah memenuhi ketiga kriteria tersebut. Perlu untuk dicermati pada poin huruf d yang menghendaki bahwa suatu norma hukum dikatakan berlaku secara yuridis jika terciptanya suatu tertib hukum secara keseluruhan. Penulis mengamati bahwa masih terdapat tumpang tindih pengaturan mengenai bentuk badan hukum bagi BUMD terutama BUMD di bidang perbankan. Penulis dapat menginventarisasi berbagai regulasi yang mengatur bentuk badan hukum bagi BUMD sebagaimana disajikan dalam tabel berikut ini:
34
Tabel 8. Peraturan Perundang-Undangan yang Memuat Pengaturan mengenai Bentuk Badan Hukum bagi BUMD Jenis Peraturan
BAB/Bagian/
Perundang-
Paragraf/
Undangan
Pasal/Ayat
Instruksi Menteri
Instruksi
Agar
Dalam Negeri
Pertama
pengalihan bentuk usaha terhadap
Uraian Pasal
melaksanakan
persiapan
Nomor 5 Tahun
semua Badan Usaha Milik Daerah
1990 tentang
(BUMD) yang modalnya sebagian
Perubahan Badan
atau
Usaha Milik
seluruhnya
merupakan
kekayaan daerah yang dipisahkan
Daerah Kedalam
seperti
Dua Bentuk
Perusahaan
Daerah,
Perseroan Terbatas dan/atau usaha-
Perusahaan Umum
usaha
lainnya
Daerah dan
kenyataannya
Perusahaan
berdasarkan
Perseroan Daerah
perusahaan
yang
pada
telah
dikelola
prinsip
ekonomi
dan
dapat
dikelola
sebagai perusahaan, seperti Badan Pengelola, Otorita, Yayasan, Proyek Pengembangan Lingkungan (PPL), Dinas-dinas, Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD), dan sejenisnya kecuali Bank Pembangunan Daerah (BPD) kedalam 2 (dua) bentuk Badan Usaha yaitu Perusahaan Umum
Daerah
(PERUMDA)
dan/atau
Perusahaan
Perseroan
Daerah (PERSERODA). Keputusan Menteri
BAB I/ Pasal
Dalam Negeri
1/ huruf c
Badan
Usaha
Milik
Daerah
selanjutnya disingkat BUMD adalah
35
Nomor 50 Tahun
Perusahaan Daerah dan bentuk
1999 tentang
hukum lainnya dari usaha milik
Kepengurusan
daerah selain Perusahaan Daerah
Badan Usaha Milik
Air Minum, Bank Pembangunan
Daerah
Daerah,
dan
Bank
Perkreditan
Rakyat. Peraturan Menteri
BAB II/ Pasal
Bentuk hukum Badan Usaha Milik
Dalam Negeri
2
Daerah dapat berupa Perusahaan
Nomor 3 Tahun
Daerah
1998 tentang
(PD)
atau
Perseroan
Terbatas (PT).
Bentuk Hukum Badan Usaha Milik Daerah Sementara peraturan yang mengatur mengenai bentuk badan hukum bagi BUMD di bidang perbankan antara lain sebagai berikut: Tabel 9. Peraturan Perundang-Undangan yang Memuat Pengaturan mengenai Bentuk Badan Hukum bagi Perbankan Jenis Peraturan
BAB/Bagian/
Perundang-
Paragraf/
Undangan
Pasal/Ayat
Undang-Undang Nomor 21 Tahun
Uraian Pasal
BAB I/ Pasal 1 Bank Syariah adalah Bank yang angka 7
menjalankan
kegiatan
usahanya
2008 tentang
berdasarkan Prinsip Syariah dan
Perbankan Syariah
menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum
Syariah
dan
Bank
Pembiayaan Rakyat Syariah. Bagian Kedua/
Bentuk badan hukum Bank Syariah
Pasal 7
adalah Perseroan Terbatas.
Bagian
Bank Umum Syariah hanya dapat
Keempat/
didirikan dan/atau dimiliki oleh:
36
Pasal 9/ Ayat (1)
a. warga
negara
dan/atau
Indonesia
badan
hukum
Indonesia; b. warga
negara
dan/atau
Indonesia
badan
hukum
Indonesia dengan warga negara asing dan/atau badan hukum asing secara kemitraan; atau c. pemerintah daerah. Pasal 9/ Ayat
Bank Pembiayaan Rakyat Syariah
(2)
hanya dapat didirikan dan/atau dimiliki oleh: a. warga
negara
Indonesia
dan/atau
badan
hukum
Indonesia
yang
seluruh
pemiliknya
warga
negara
Indonesia; b. pemerintah daerah; atau c. dua
pihak
atau
lebih
sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b. Peraturan Otoritas
BAB I/ Pasal
Direksi:
Jasa Keuangan
1/ angka 10
a. bagi BPR berbadan hukum
Nomor 20/POJK.03/2014 tentang Bank Perkreditan Rakyat
Perseroan
Terbatas
adalah
direksi sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang
mengenai Perseroan Terbatas; b. bagi BPR berbadan hukum Perusahaan
Daerah
adalah
direksi sebagaimana dimaksud
37
dalam
Undang-Undang
mengenai Perusahaan Daerah; c. bagi BPR berbadan hukum koperasi
adalah
pengurus
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
mengenai
Perkoperasian. BAB I/ Pasal
Dewan Komisaris:
1/ angka 11
a. bagi BPR berbadan hukum Perseroan
Terbatas
komisaris dimaksud
adalah
sebagaimana dalam
Undang-
Undang mengenai Perseroan Terbatas; b. bagi BPR berbadan hukum Perusahaan
Daerah
pengawas dimaksud
adalah
sebagaimana dalam
Undang-
Undang mengenai Perusahaan Daerah; c. bagi BPR berbadan hukum Koperasi adalah pengawas d. sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
mengenai
Perkoperasian. BAB I/ Pasal
Pemegang Saham Pengendali yang
1/ angka 13
selanjutnya disingkat dengan PSP yaitu orang perseorangan, badan hukum, dan/atau kelompok usaha yang:
38
a. memiliki saham perusahaan atau BPR sebesar 25% (dua puluh lima perseratus) atau lebih dari jumlah saham yang dikeluarkan dan mempunyai hak suara; atau b. memiliki saham perusahaan atau BPR sebesar kurang dari 25% (dua puluh lima perseratus) dari jumlah saham yang dikeluarkan dan
mempunyai
hak
suara
namun yang bersangkutan dapat dibuktikan
telah
melakukan
pengendalian perusahaan atau BPR, baik secara langsung maupun tidak langsung. BAB I/ Pasal 2 Bentuk hukum BPR dapat berupa: a. Perseroan Terbatas; b. Koperasi; atau c. Perusahaan Daerah. Peraturan Otoritas
BAB I/ Pasal
Jasa Keuangan
1/ Angka 3
Nomor 4/POJK.03/2015
Direksi: a. bagi BPR berbadan hukum Perseroan
Terbatas
adalah
direksi sebagaimana dimaksud
tentang Penerapan
dalam
Tata Kelola Bagi
mengenai Perseroan Terbatas;
Bank Perkreditan Rakyat
Undang-Undang
b. bagi BPR berbadan hukum Perusahaan
Daerah
adalah
direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang
39
mengatur mengenai badan usaha milik daerah; c. bagi BPR berbadan hukum koperasi
adalah
pengurus
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
mengenai
perkoperasian. BAB I/ Pasal 1/ angka 4
Dewan Komisaris: a. bagi BPR berbadan hukum Perseroan
Terbatas
komisaris dimaksud
adalah
sebagaimana dalam
Undang-
Undang mengenai
perseroan
terbatas; b. bagi BPR berbadan hukum Perusahaan
Daerah
pengawas
adalah
sebagaimana
dimaksud
dalam
Undang-
Undang
yang
mengatur
mengenai Badan Usaha Milik Daerah; c. bagi BPR berbadan hukum koperasi
adalah
pengawas
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
mengenai
Perkoperasian. Peraturan Otoritas
BAB I/ Pasal
Pemegang Saham Pengendali yang
Jasa Keuangan
1/ angka 15
selanjutnya disingkat PSP adalah
Nomor 3/POKJ.03/2016
badan hukum, orang perseorangan, dan/atau kelompok usaha yang:
40
tentang Bank
a. memiliki saham BPRS sebesar
Pembiayaan
25% (dua puluh lima persen)
Rakyat Syariah
atau lebih dari jumlah saham yang
dikeluarkan
dan
memperoleh hak suara; atau b. memiliki saham BPRS kurang dari 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah saham yang dikeluarkan dan mempunyai hak suara, tetapi yang bersangkutan dapat
dibuktikan
telah
melakukan pengendalian BPRS baik secara langsung maupun tidak langsung. BAB I/ Pasal 2 BPRS
harus
berbadan
hukum
Perseroan Terbatas. BAB II/ Pasal 5/ Ayat (1)
BPRS
hanya
dapat
didirikan
dan/atau dimiliki oleh: a. warga
negara
Indonesia
dan/atau
badan
hukum
Indonesia
yang
seluruh
pemiliknya
warga
negara
Indonesia; b. pemerintah daerah; atau c. dua
pihak
atau
lebih
sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b. Peraturan Otoritas
BAB II/ Pasal
Jasa Keuangan
2/ Ayat (2)/
Nomor
huruf a
Ketentuan
kelembagaan
BPR
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi antara lain:
41
10/POJK.03/2016
a. bentuk
tentang Pemenuhan
berupa
Ketentuan Bank
badan
hukum
Perseroan
BPR
Terbatas,
Koperasi, Perusahaan Umum
Perkreditan Rakyat
Daerah
dan Transformasi
atau
Perusahaan
Perseroan Daerah;
Badan Kredit Desa Yang Diberikan Status Sebagai Bank Perkreditan Rakyat Peraturan Menteri
BAB III/ Pasal
Bentuk badan hukum BPR Daerah
Dalam Negeri
3
berupa Perusahaan Daerah atau
Nomor 22 Tahun
Perseroan Terbatas.
2006 tentang Pengelolaan Bank Perkreditan Rakyat Milik Pemerintah Daerah Berdasarkan hasil inventarisasi mengenai pengaturan-pengaturan BUMD terutama BUMD di bidang perbankan maka dapat diketahui bahwa terdapat tumpang tindih pengaturan mengenai bentuk badan hukum. Hal tersebut merupakan permasalahan klasik yang dihadapi BUMD yakni tumpang tindih pengaturan sektoral tentang BUMD antara satu peraturan dengan peraturan yang lainnya (Ambar Budhisulistyawati, dkk, 2015: 59). Penulis berpendapat bahwa antara satu peraturan dengan peraturan yang lain telah mencerminkan hubungan yang tidak fungsional dan tidak konsisten. Pertama, penulis menilai bahwa terdapat tumpang tindih dan inkonsistensi pada regulasi yang mengatur mengenai bentuk badan hukum bagi BUMD. Hal tersebut dapat dicermati pada Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1990 tentang Perubahan Badan Usaha Milik Daerah Kedalam Dua Bentuk Perusahaan Umum
42
Daerah Dan Perusahaan Perseroan Daerah, yang mana Menteri Dalam Negeri menginstruksikan kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I seluruh Indonesia dan Para Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Seluruh Indonesia untuk mempersiapkan pengalihan bentuk usaha terhadap BUMD yang modalnya sebagian atau seluruhnya merupakan kekayaan daerah yang dipisahkan seperti Perusahaan Daerah, Badan Pengelola, Otorita, dan lain sebagainya akan disesuaikan bentuk badan hukumnya ke dalam 2 (dua) bentuk, yaitu Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan Perseroan Daerah. Selang beberapa waktu kemudian Menteri Dalam Negeri kembali merilis peraturan yang kontradiksi dengan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1990, yakni Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 50 Tahun 1999 tentang Kepengurusan Badan Usaha Milik Daerah dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1998 tentang Bentuk Hukum Badan Usaha Milik Daerah, yang mana kedua regulasi tersebut kembali mengatur bahwa bentuk badan hukum bagi BUMD adalah Perusahaan Daerah atau Perseroan Terbatas. Meskipun merupakan keputusan menteri, namun keputusan tersebut bukanlah suatu keputusan tata usaha negara dalam arti beschikking/decree yang ciri utamanya konkrit, individual, dan final. Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1990 dan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 50 Tahun 1999 merupakan keputusan badan atau pejabat tata usaha negara yang memuat pengaturan yang bersifat umum (besluit van algemene strekking) tidak termasuk dalam keputusan tata usaha negara yang dapat digugat di pengadilan tata usaha negara, sehingga kedudukannya sejajar dengan peraturan perundang-undangan atau regulasi (Philipus M. Hadjon, dkk, 2011: 151). Terdapat inkonsistensi mengenai pengaturan bentuk badan hukum bagi BUMD kendati peraturan tersebut dikeluarkan oleh pejabat atau lembaga yang sama yang dalam hal ini adalah Kementerian Dalam Negeri. Kedua, inkonsistensi juga terjadi dalam hal pengaturan mengenai bentuk badan hukum bagi BUMD di bidang perbankan. Beberapa peraturan baik peraturan pemerintah, peraturan yang dikeluarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan, maupun peraturan yang dirilis oleh Kementerian Dalam Negeri
43
terkait dengan bentuk badan hukum BUMD di bidang perbankan saling tumpang tindih. Dapat dicermati bahwa sebagian besar peraturan yang telah penulis inventarisasi masih mengadopsi bentuk badan hukum Perusahaan Daerah, misalkan Pasal 10 angka 1 dan angka 11 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 20/POJK.03/2014 tentang Bank Perkreditan Rakyat yang menyatakan bahwa direksi dan dewan komisaris bagi BPR yang berbadan hukum Perusahaan Daerah mengacu kepada undang-undang mengenai Perusahaan Daerah. Padahal secara yuridis UU Perusahaan Daerah telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku oleh UU Pemerintahan Daerah, sehingga dalam hal ini tidak terdapat hubungan yang fungsional. Penulis juga mencermati bahwa terdapat pengaturan yang berbeda terkait dengan bank yang berdasarkan pada prinsip syariah, yang mengatur secara limitatif bentuk badan hukumnya hanya berupa Perseroan Terbatas. Apabila dicermati dalam ketentuan Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dan Pasal 5 ayat (1) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 3/POJK.03/2016 tentang Bank Pembiayaan Rakyat Syariah mengatur mengenai hal yang sama bahwa bank yang berdasarkan prinsip syariah hanya dapat didirikan dan/atau dimiliki oleh warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia yang seluruh pemiliknya warga negara Indonesia, selain itu juga dapat dimiliki oleh pemerintah daerah. Kedua peraturan tersebut tidak menjelaskan siapa saja yang termasuk dalam pengertian badan hukum Indonesia. Agar memperoleh penjelasan terkait hal tersebut, penulis menggunakan interpretasi otentik yaitu interpretasi sebagaimana tertuang di dalam penjelasan suatu undang-undang yang dimaksudkan untuk mengetahui kehendak pembentuk undang-undang (Peter Mahmud Marzuki, 2014: 147). Penjelasan atas ketentuan Pasal 22 ayat (1) huruf a UU Perbankan menyatakan bahwa yang termasuk dalam pengertian badan hukum Indonesia antara lain adalah Negara Republik Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, koperasi, dan Badan Usaha Milik Swasta. Berdasarkan pada penjelasan tersebut maka dapat dianalisa bahwa BUMD juga dapat bergerak di bidang perbankan yang berlandaskan prinsip syariah. Hal tersebut dipertegas kembali dalam ketentuan Pasal 9 ayat
44
(1) huruf c Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dan Pasal 5 ayat (1) huruf b Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 3/POJK.03/2016 tentang Bank Pembiayaan Rakyat Syariah bahwa pemerintah daerah dapat mendirikan dan/atau memiliki BPRS. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang BPR maupun BPRS juga mengatur bahwa Pemegang Saham Pengendali (PSP) dalam BPR atau BPRS memiliki saham paling sedikit 25% (dua puluh lima perseratus) dari jumlah saham yang dikeluarkan. Hal tersebut terlihat kontradiksi dengan ketentuan Pasal 339 ayat (1) UU Pemerintahan Daerah yang mengatur bahwa BUMD dengan bentuk hukum Perusahaan Perseroan Daerah paling sedikit 51% (lima puluh satu perseratus) sahamnya dimiliki oleh satu daerah. Sementara peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai BPR maupun BPRS tidak mengadopsi bentuk badan hukum BUMD sebagaimana diatur dalam UU Pemerintahan Daerah dan hanya mengatur bahwa PSP memiliki saham paling sedikit 25% (dua puluh lima perseratus) atas saham yang dikeluarkan. Artinya bahwa juga terdapat inkoherensi pengaturan dalam hal penentuan batas minimal kepemilikan saham ketika pemerintah daerah akan mendirikan BPR atau BPRS. Penulis berpendapat bahwa bentuk badan hukum sebagaimana diatur dalam regulasi terkait bank yang berbasis konvensional maupun berdasarkan prinsip syariah juga harus mengadopsi dan disesuaikan dengan bentuk badan hukum BUMD sebagaimana diatur dalam UU Pemerintahan Daerah. Pengaturan secara tegas dan limitatif terkait dengan bentuk badan hukum bagi Bank Syariah yang hanya dapat berupa Perseroan Terbatas hemat penulis tidaklah tepat. Beberapa penjelasan tersebut menjelaskan bahwa tumpang tindih dan inkonsistensi pengaturan mengenai bentuk badan hukum BUMD terutama di bidang perbankan juga terjadi pada berbagai regulasi yang terkait dengan perbankan. Sistem atau tertib hukum secara keseluruhan sebagaimana dikemukakan oleh Gustav Radbruch belumlah terpenuhi. Oleh karena adanya tumpang tindih pengaturan terkait bentuk badan hukum BUMD tidak mencerminkan suatu sistem atau tertib hukum dengan sebagaimana mestinya. Pengaturan bentuk badan hukum dalam UU Pemerintahan Daerah belum memenuhi syarat keberlakuan secara yuridis
45
karena norma hukum dapat dikatakan berlaku secara yuridis jika beberapa kriteria sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya telah terpenuhi dengan sebagaimana mestinya (Jimly Asshiddiqie, 2010: 167). Suatu undang-undang agar dapat dikatakan baik, sudah barang tentu harus memenuhi ketiga syarat sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya yaitu keberlakuan secara filosofis, sosiologis, maupun secara yuridis terpenuhi secara sekaligus (Jimly Asshiddiqie, 2010: 166). Bentuk hukum BUMD di bidang perbankan sedikit banyak tidak sesuai dengan pengaturan sebagaimana diatur dalam UU Pemerintahan Daerah. Hal tersebut ditengarai oleh ketidaksinkronan pengaturan mengenai bentuk badan hukum bagi BUMD di bidang perbankan antara UU Perbankan dengan UU Pemerintahan Daerah. Berdasarkan pada argumentasi yang telah diutarakan sebelumnya terlihat bahwa banyak regulasi mengenai bentuk badan hukum bagi BUMD terutama di bidang perbankan yang masih mengadopsi bentuk badan hukum Perusahaan Daerah. Sebagai contoh adalah ketentuan Pasal 1 angka 3 huruf b Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 4/POJK.03/2015 tentang Penerapan Tata Kelola Bagi Bank Perkreditan Rakyat yang mengatur bahwa Direksi bagi BPR berbadan hukum Perusahaan Daerah adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai badan usaha milik daerah. Sebagaimana diketahui bersama bahwa regulasi yang mengatur mengenai BUMD saat ini adalah UU Pemerintahan Daerah. Pasal 331 ayat (3) UU Pemerintahan Daerah telah mengatur secara limitatif bahwa bentuk hukum BUMD ialah Perusahaan umum Daerah atau Perusahaan Perseroan Daerah. UU Pemerintahan Daerah tidak lagi mengadopsi bentuk badan hukum Perusahaan Daerah, dan UU Perusahaan Daerah secara tegas telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku oleh UU Pemerintahan Daerah. Sementara jika menilik ketentuan Pasal 1 angka 3 huruf b Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 4/POJK.O3/2015 mengatur bahwa direksi BPR berbadan hukum Perusahaan Daerah tunduk pada undang-undang yang mengatur badan usaha milik daerah. Dalam hal tersebut tentunya menimbulkan sebuah ketidakjelasan, yakni direksi sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan tersebut apakah direksi pada bentuk badan hukum Perusahaan umum Daerah atau direksi pada bentuk badan hukum Perusahaan
46
Perseroan Daerah. Artinya bahwa terdapat hubungan yang tidak fungsional dan tidak konsisten. Hal tersebut dikarenakan adanya ketidaksesuaian pengaturan mengenai bentuk badan hukum bagi BUMD di bidang perbankan antara UU Perbankan dengan UU Pemerintahan Daerah. Permasalahan tersebut dapat diatasi dengan berpegang pada asas atau dasar pembentuk hukum, oleh karena asas hukum adalah prinsip yang dianggap dasar atau fundamen hukum, yang mana asas-asas itu dapat juga dianggap sebagai titik tolak dalam pembentukan undang-undang dan interpretasi undang-undang tersebut, sehingga semua peraturan hukum harus dapat dikembalikan pada asas hukumnya (Ishaq, 2008: 75). Asas hukum merupakan dasar-dasar umum yang terkandung dalam peraturan hukum yang mengandung nilai-nilai etis sehingga dapat dijadikan sebagai petunjuk arah bagi pembentukan hukum dan pengambil keputusan (Agus Sudaryanto, 2015: 105). Penyelesaian permasalahan terkait ketidaksesuaian pengaturan mengenai bentuk badan hukum bagi BUMD di bidang Perbankan antara UU Perbankan dengan UU Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, perlulah untuk menelaah asas-asas yang terkandung dalam doktrin hukum umum yang notabene tidak dituangkan dalam bentuk peraturan yang konkrit atau pasal-pasal (Sudikno Mertokusumo, 1999: 35). Asas hukum merupakan dasar atau prinsip atau petunjuk arah dalam pembentukan hukum positif dan bukan merupakan norma hukum yang konkrit. Ketika terdapat dua atau lebih peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai obyek yang sama, berada pada hierarki yang sama, akan tetapi bertentangan satu sama lain, maka akan berlaku asas terhadap eksistensi undangundang atau doktrin hukum umum yaitu asas lex posterior derogat legi priori (Agus Sudaryanto, 2015: 105). Asas lex posterior derogat legi priori menghendaki bahwa peraturan
perundang-undangan
yang terkemudian
menyisihkan
peraturan
perundang-undangan yang terdahulu. Asas tersebut dapat diklasifikasikan ke dalam asas dalam ilmu hukum karena sifatnya yang hanya mengatur dan eksplikatif (menjelaskan) dengan tujuan untuk memberi ikhtisar, tidak normatif sifatnya, dan tidak termasuk ke dalam hukum positif (Sudikno Mertokusumo, 1999: 36). Untuk mengetahui apakah pengaplikasian asas tersebut ke dalam permasalahan yang
47
penulis angkat dapat dilakukan, perlulah kiranya untuk mengetahui ketentuanketentuan lebih lanjut mengenai asas tersebut. Adapun dua regulasi yang penulis angkat dalam penelitian ini adalah UU Perbankan dan UU Pemerintahan Daerah. Pertama, dapat dicermati bahwa asas lex posterior derogat legi priori memberikan ruang lingkup dan implikasi kepada peraturan yang terkemudian terhadap peraturan yang terdahulu. Artinya bahwa regulasi yang bersangkutan harus berada atau dikeluarkan dalam kurun waktu yang berbeda. UU Perbankan diberlakukan pada tahun 1998 yang dalam hal ini berkedudukan sebagai peraturan yang terdahulu, sementara UU Pemerintahan Daerah diberlakukan pada tahun 2014 yang dalam hal ini berkedudukan sebagai peraturan yang terkemudian. Kedua, menurut asas ini bahwa aturan hukum yang baru berada dalam hierarki yang sama dengan aturan hukum yang lama. Hierarki aturan hukum dapat diketahui dengan menelaah teori jenjang norma suatu negara (die Theory vom Stufenordnung der Rechtsnormen) sebagaimana disampaikan oleh Hans Nawiasky. Berdasarkan teori tersebut, dapat diidentifikasi bahwa UU Perbankan dan UU Pemerintahan Daerah berada dalam hierarki atau jenjang yang sama, yaitu pada Kelompok III (Formell Gesetz atau Undang-Undang) yaitu norma hukum yang konkret dan terinci dan telah memuat sanksi-sanksi. Hierarki norma hukum dalam konteks peraturan perundangundangan di Indonesia juga dapat diketahui dengan menilik ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang mana berdasarkan ketentuan tersebut maka UU Perbankan dan UU Pemerintahan Daerah dalam berada dalam hierarki yang sederajat, menempati urutan ketiga di bawah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Ketiga, aturan hukum yang baru dan aturan hukum yang lama mengatur mengenai aspek hukum yang sama. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah dualisme yang dapat menimbulkan ketidak pastian hukum. Kendati UU Perbankan dan UU Pemerintahan Daerah berada pada rezim hukum yang berbeda, namun terdapat salah satu ketentuannya yang saling terkait atau memiliki hubungan fungsional. Ketentuan tersebut yakni terkait pengaturan mengenai bentuk badan hukum. Pasal 331 ayat (3) UU Pemerintahan Daerah mengatur bahwa bentuk badan hukum bagi BUMD adalah Perusahaan umum Daerah atau Perusahaan Perseroan Daerah.
48
Kemudian Pasal 22 dan Pasal 23 UU Perbankan mengatur bahwa Bank Umum dan BPR dapat didirikan dan/atau dimiliki oleh badan hukum Indonesia dan/atau pemerintah daerah. Berdasarkan penjelasannya dapat diketahui bahwa yang termasuk badan hukum Indonesia adalah Negara Republik Indonesia, BUMN, BUMD, Koperasi, dan BUMS. Mencermati penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa BUMD dapat menjalankan usaha pada domain perbankan. Artinya bahwa terdapat hubungan fungsional atau keterkaitan antara UU Perbankan dengan UU Pemerintahan Daerah. Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) masih mengatur bahwa bentuk hukum bagi Bank Umum dan BPR dapat berupa Perusahaan Daerah, sementara UU Pemerintahan
Daerah
tidak
mengatur
demikian.
Sehingga
terdapat
ketidaksinkronan mengenai pengaturan bentuk badan hukum antara UU Perbankan dengan UU Pemerintahan Daerah. Keadaan yang demikian sudah barang tentu akan menyebabkan ketidakpastian hukum, hal tersebut terbukti dengan adanya tumpang tindih pengaturan pada peraturan derivat atau pelaksanaan atas UU Perbankan sebagaimana telah penulis uraikan sebelumnya. Berdasarkan pada beberapa pertimbangan tersebut, maka penerapan asas lex posterior derogat legi priori untuk pemecahan masalah yang dihadapi sudahlah tepat. Berdasarkan pada asas lex posterior derogat legi priori tersebut dapat dikemukakan bahwa terkait dengan pengaturan mengenai bentuk badan hukum maka UU Pemerintahan Daerah sebagai aturan hukum yang terkemudian dapat mengesampingkan UU Perbankan sebagai aturan hukum yang terdahulu. Hal yang demikian dapatlah dipahami karena peraturan perundang-undangan yang baru lebih mencerminkan kebutuhan dan situasi yang sedang berlangsung (Peter Mahmud Marzuki, 2014: 141). Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa bentuk badan hukum berupa Perusahaan Daerah tidaklah relevan dengan perkembangan BUMD saat ini, sementara bentuk badan hukum sebagaimana diatur dalam UU Pemerintahan Daerah dirasa lebih mengakomodir kompleksitas dan dinamika perkembangan BUMD saat ini. Peter Mahmud Marzuki lebih lanjut mengatakan bahwa untuk menelaah suatu perundang-undangan tidak hanya dilakukan dengan melihat bentuk peraturan perundang-undangan, melainkan juga harus menelaah ratio legis yaitu alasan daripada adanya suatu ketentuan dalam undang-undang
49
tersebut (Peter Mahmud Marzuki, 2014: 145). Perlulah kiranya untuk mengetahui ratio legis ketentuan Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) UU Perbankan yang masih mengadopsi bentuk badan hukum Perusahaan Daerah. Penulis mengira bahwa ketentuan dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) bukanlah ketentuan yang berdiri sendiri melainkan memiliki keterkaitan dengan ketentuan yang lainnya, hal yang demikian dikarenakan ketentuan dalam suatu undang-undang saling bergantung dan tidak satupun ketentuan di dalam undang-undang merupakan aturan yang berdiri sendiri (Peter Mahmud Marzuki, 2014: 151). Perlu juga untuk ditelaah ketentuan Pasal 22 dan Pasal 23 UU Perbankan yang menyatakan bahwa Bank Umum dan BPR dapat didirikan dan/atau dimiliki oleh badan hukum Indonesia dan/atau pemerintah daerah. Berdasarkan penjelasannya dapat diketahui bahwa yang termasuk badan hukum Indonesia adalah Negara Republik Indonesia, BUMN, BUMD, Koperasi, dan BUMS. Ketentuan tersebut memberikan kesempatan kepada pemerintah daerah untuk mendirikan badan usaha di bidang perbankan untuk dapat meningkatkan PAD dan menyejahterakan berbagai lapisan masyarakat di daerahnya melalui pelayanan jasa perbankan. Sehingga dalam hal ini tidak terjadi benturan filosofis antara UU Perbankan dengan UU Pemerintahan Daerah. Adapun yang menjadi landasan yuridis bagi BUMD pada masa pembentukkan UU Perbankan ialah UU Perusahaan Daerah. Hal tersebut dapat diamati pada konsideran “Mengingat” karena dalam konsideran inilah dimuatnya berbagai peraturan
perundang-undangan
yang
mengamanatkan
pembentukan
UU
Perbankan. Sehingga dapat dipahami bahwa pengadopsian bentuk badan hukum Perusahaan Daerah dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) UU Perbankan dikarenakan hanya terdapat satu regulasi yang mengatur mengenai BUMD ketika pembentukannya, yaitu UU Perusahaan Daerah. Ketentuan Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) UU Perbankan merupakan akses bagi pemerintah daerah yang akan mendirikan atau memiliki BUMD di bidang Perbankan yang dapat memilih opsi bentuk hukum Perusahaan Daerah. Seiring perkembangannya UU Perusahaan Daerah dirasa tidak lagi dapat memenuhi tuntutan dinamika BUMD. Melalui Pasal 409 UU Pemerintahan Daerah secara tegas menyatakan bahwa UU Perusahaan Daerah telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Undang-undang dinyatakan
50
tidak berlaku apabila undang-undang itu dicabut oleh pembentuknya atau oleh instansi yang lebih tinggi (Agus Sudaryanto, 2015: 93). Pencabutan UU Perusahaan Daerah tidak diikuti dengan penyesuaian pengaturan mengenai bentuk badan hukum dalam UU Perbankan. Penulis berpendapat bahwa dalam hal ini berlakulah asas lex posterior derogat legi priori, bahwa terkait pengaturan mengenai bentuk badan hukum BUMD di bidang perbankan, UU Pemerintahan Daerah sebagai aturan hukum yang terkemudian dapat mengesampingkan UU Perbankan sebagai aturan hukum yang terdahulu. Salah satu tujuan hukum adalah mewujudkan kepastian hukum. Kepastian hukum akan memberikan kesan bahwa perlu adanya aturan yang memberikan kepastian tentang segala sesuatunya (Waluyadi, 2001: 58). Kepastian hukum dalam hukum menuntut agar dalam undang-undang tidak terdapat ketentuan-ketentuan yang bertentangan satu sama lain (Chainur Arrasjid, 2004: 45). Kepastian hukum ditandai dengan adanya konsistensi dalam ketentuan setiap peraturan perundangundangan, sehingga tidak boleh menerbitkan peraturan yang bertentangan satu sama lain (Peter Mahmud Marzuki, 2013: 138). Adanya tumpang tindih terkait pengaturan mengenai bentuk badan hukum bagi BUMD di bidang perbankan mencerminkan sebuah ketidakpastian hukum. Akibatnya lembaga-lembaga atau instansi yang akan membuat peraturan turunan akan kesulitan dalam merujuk dasar hukum pembentukannya. BUMD terutama pada ranah perbankan sebagai subjek hukum yang diatur sedikit banyak masih berbadan hukum Perusahaan Daerah, sehingga perlu untuk dilakukannya sinkronisasi mengenai pengaturan bentuk badan hukum antara UU Perbankan dengan UU Pemerintahan Daerah agar mewujudkan suatu kepastian hukum. Sebagaimana telah diuraikan dalam bab mengenai tinjauan pustaka bahwa sinkronisasi merupakan upaya untuk menyelaraskan dan menyerasikan berbagai peraturan perundang-undangan agar substansi yang diatur tidak tumpang tindih, saling melengkapi (suplementer), dan saling terkait atau memiliki hubungan yang fungsional dan konsisten satu sama lain. Sinkronisasi dapat dibedakan menjadi 2 (dua) jenis, yaitu sinkronisasi secara vertikal dan sinkronisasi secara horizontal. Penulis melakukan sinkronisasi secara horizontal antara UU Perbankan terhadap
51
UU Pemerintahan Daerah karena kedua undang-undang tersebut berada pada hierarki yang sejajar. Adapun ketentuan yang akan disinkronisasikan adalah ketentuan mengenai bentuk badan hukum antara UU Perbankan dengan UU Pemerintahan Daerah sebagaimana disajikan dalam tabel berikut ini: Tabel 10. Sinkronisasi Horizontal mengenai Pengaturan Bentuk Badan Hukum dalam UU Perbankan dan UU Pemerintahan Daerah UU Perbankan Pasal/
UU Pemerintahan Daerah
Uraian Pasal
Pasal/
Ayat/Angka
Uraian Pasal
Ayat/Angka
Pasal 21/
Bentuk hukum
suatu
Pasal 331/
Ayat (1)
Bank
dapat
Ayat (3)
Umum
BUMD
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1)
berupa:
terdiri atas Perusahaan
a. Perseroan Terbatas;
umum
b. Koperasi; atau
Perusahaan Perseroan
c. Perusahaan Daerah.
Daerah.
Pasal 21/
Bentuk hukum
Ayat (2)
Bank Rakyat
Daerah
dan
suatu
Perkreditan dapat
berupa
salah satu dari: a. Perusahaan Daerah; b. Koperasi; c. Perseroan Terbatas; atau d. Bentuk lain yang ditetapkan
dengan
Peraturan Pemerintah. Berdasarkan pada tabel tersebut, terdapat ketidaksesuaian pengaturan mengenai bentuk badan hukum bagi BUMD di bidang perbankan. UU Perbankan masih mengadopsi bahwa bentuk hukum bagi BUMD di bidang perbankan dapat
52
berupa Perusahaan Daerah. Sementara UU Pemerintahan Daerah telah mengatur secara limitatif bahwa bentuk hukum bagi BUMD adalah Perusahaan umum Daerah atau Perusahaan Perseroan Daerah. Berdasarkan pada analisa substansi yang telah diuraikan sebelumnya bahwa bentuk badan hukum antara Perusahaan Daerah telah berbeda konsep secara elementer dengan bentuk badan hukum sebagaimana diatur dalam UU Pemerintahan Daerah. Perlu dilakukan sinkronisasi secara horizontal mengenai bentuk badan hukum antara UU Perbankan dengan UU Pemerintahan Daerah. Bentuk badan hukum yang diatur oleh UU Perbankan perlu disesuaikan dengan bentuk badan hukum sebagaimana diatur dalam UU Pemerintahan Daerah. Sehingga alternatif pengaturan yang dapat diberikan adalah sebagai berikut: Bentuk hukum suatu Bank Umum dapat berupa: a. Perseroan Terbatas; b. Koperasi; c. Perusahaan umum Daerah; atau d. Perusahaan Perseroan Daerah. Bentuk hukum suatu BPR dapat berupa: a. Perseroan Terbatas; b. Koperasi; c. Perusahaan umum Daerah; atau d. Perusahaan Perseroan Daerah. Penjelasan daripada Pasal 21 ayat (2) huruf d UU Perbankan menyatakan bahwa
ketentuan
tersebut
dimaksudkan
untuk
memberi
wadah
bagi
penyelenggaraan lembaga perbankan yang lebih kecil dari Bank Perkreditan Rakyat, seperti Bank Desa, Lumbung Desa, Badan Kredit Desa, dan lembagalembaga lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58. Penulis berpendapat bahwa
ketentuan
ini
sudah
semestinya
ditiadakan.
UU
Perbankan
menyempurnakan tata perbankan nasional melalui penyederhanaan jenis bank yaitu menjadi Bank Umum dan BPR. Tujuannya adalah untuk menjamin kesatuan dan keseragaman dalam pembinaan, pengawasan, penguatan kelembagaan, serta struktur permodalan. Lembaga perbankan yang lebih kecil dari BPR seperti Badan Kredit Desa, BKK, dan lain sebagainya melalui Pasal 58 UU Perbankan diberikan kejelasan status sebagai BPR dengan persyaratan dan tata cara yang ditentukan dalam peraturan pemerintah. Hal ini dimaksudkan agar lembaga perbankan mikro tersebut dapat memperkuat struktur kelembagaan dan permodalannya. Sehingga
53
implikasi yuridisnya adalah jika lembaga perbankan mikro tidak dapat memenuhi persyaratan untuk ditetapkan sebagai BPR maka Otoritas Jasa Keuangan sebagai otoritas tertinggi di bidang jasa keuangan akan mencabut izin usaha dari lembaga perbankan mikro yang bersangkutan atau memberikan opsi untuk mengubah kegiatan usahanya di luar BPR, dapat bertransformasi menjadi Lembaga Keuangan Mikro (LKM), Badan Usaha Milik Desa, dan lain sebagainya. Ketentuan Pasal 21 ayat (2) huruf d UU Perbankan dirasa masih memberikan peluang bagi lembaga perbankan mikro di luar BPR untuk memiliki bentuk badan hukumnya tersendiri yang akan diatur dengan peraturan pemerintah. Seharusnya, lembaga perbankan yang lebih kecil dari BPR harus memenuhi ketentuan untuk dapat dilakukan pengukuhan sebagai BPR sehingga bentuk badan hukumnya pun merujuk pada pengaturan bentuk badan hukum bagi BPR. Ketentuan Pasal 21 ayat (2) huruf d UU Perbankan haruslah dihapuskan. Salah satu peraturan derivat atas UU Perbankan yang patut untuk dicermati adalah Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 10/POJK.03/2016 tentang Pemenuhan Ketentuan Bank Perkreditan Rakyat dan Transformasi Badan Kredit Desa Yang Diberikan Status Sebagai Bank Perkreditan Rakyat. Materi muatan daripada peraturan tersebut telah mengadopsi bentuk badan hukum sebagaimana diatur oleh UU Pemerintahan Daerah. Hal tersebut dapat dicermati dalam ketentuan Pasal 2 ayat (2) huruf a yang menyatakan bahwa bentuk badan hukum BPR berupa Perseroan Terbatas Koperasi, Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan Perseroan Daerah. Sejauh ini hanya terdapat satu peraturan pelaksanaan tersebut saja yang melaksanakan ketentuan bentuk badan hukum sebagaimana diatur dalam UU Pemerintahan Daerah. Kendati demikian, penyesuaian bentuk badan hukum dalam UU Perbankan dengan UU Pemerintahan Daerah melalui sinkronisasi secara horizontal tetaplah harus dilakukan karena menjadi hal yang tidak patut apabila Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 10/POJK.03/2016 sebagai peraturan derivat yang justru telah menyesuaikan pengaturannya dengan regulasi yang terkemudian yang dalam hal ini adalah UU Pemerintahan Daerah, sementara UU Perbankan sebagai peraturan yang secara hierarki lebih tinggi dan yang
54
mengamanatkan
adanya
peraturan
derivat
tersebut
belum
disesuaikan
pengaturannya. Sinkronisasi pengaturan mengenai bentuk badan hukum penting untuk segera dilaksanakan demi terwujudnya tujuan hukum yaitu suatu kepastian hukum. Hukum bukanlah sekadar kumpulan atau penjumlahan peraturan-peraturan yang masing-masing berdiri sendiri, melainkan mempunyai hubungan yang sistematis satu sama lain (Sudikno Mertokusumo, 1999: 115). Dalam sistem hukum, bukanlah sekadar kumpulan peraturan hukum, tetapi masing-masing peraturan itu satu sama lain saling berkaitan dan tidak boleh terjadi konflik atau kontradiksi di dalamnya (Agus Sudaryanto, 2015: 94). Lon. L. Fuller berpendapat bahwa suatu sistem hukum dikatakan baik dapat diukur melalui asas yang dikenal dengan principles of legality, yang salah satu asas tersebut adalah suatu sistem tidak boleh mengandung peraturan-peraturan yang bertentangan satu sama lain dan harus ada kecocokan antara peraturan
yang diundangkan dengan
pelaksanaannya sehari-hari.
Mencermati asas tersebut maka jelaslah bahwa telah terjadi kegagalan untuk menciptakan suatu sistem hukum yang baik, karena adanya ketidaksesuaian atau inkonsistensi pengaturan mengenai bentuk badan hukum dalam UU Perbankan dan UU Pemerintahan Daerah yang menyebabkan tumpang tindihnya pengaturan pada berbagai peraturan derivat atas UU Perbankan maupun UU Pemerintahan Daerah. Sampai saat ini eksistensi BUMD terutama di bidang Perbankan sedikit banyak masih mengadopsi bentuk badan hukum Perusahaan Daerah. Kondisi yang demikian dapat dikatakan merupakan cermin atas suatu sistem hukum yang tidak baik (Satjipto Rahardjo, 2006: 52). Sinkronisasi terhadap peraturan-peraturan menjadi sangat penting untuk dilaksanakan mengingat suatu sistem hukum yang baik haruslah didasarkan pada adanya suatu peraturan yang tidak berbenturan atau tumpang tindih satu sama lain. Penulis juga berpandangan bahwa sinkronisasi merupakan manifestasi atas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf d Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menyatakan bahwa salah satu asas pembetukan perundang-undangan yang baik adalah “dapat dilaksanakan”. Maksud
55
daripada asas dapat dilaksanakan adalah bahwa setiap peraturan perundangundangan harus memperhitungkan efektivitas Peraturan Perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis, maupun sosiologis. Sebagaimana telah penulis uraikan sebelumnya bahwasanya ketentuan mengenai pengaturan bentuk badan hukum BUMD pada UU Pemerintahan Daerah belum seutuhnya berlaku jika ditinjau berdasarkan keberlakuan secara sosiologis maupun keberlakuan secara yuridis. Sedikit banyak BUMD di bidang perbankan masih mengadopsi bentuk badan hukum Perusahaan Daerah dan masih terdapat juga regulasi terkait pengaturan BUMD terutama di bidang perbankan yang berbenturan. Hal ini dikarenakan belum terciptanya keserasian atau keselarasan dalam hal pengaturan mengenai bentuk badan hukum antara UU Perbankan dengan UU Pemerintahan Daerah. Pasal 6 ayat (1) huruf i Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan juga mengatur bahwa materi muatan Peraturan Perundang-undangan yang baik haruslah mencerminkan asas ketertiban dan kepastian hukum. Maksud daripada asas ketertiban dan kepastian hukum adalah bahwa setiap materi muatan Peraturan PerundangUndangan harus dapat mewujudkan ketertiban dalam masyarakat melalui adanya jaminan kepastian hukum (Aziz Syamsuddin, 2013: 37). Sebagaimana telah penulis kemukakan perihal tujuan hukum ialah untuk mencapai adanya kepastian hukum, bahwa kepastian hukum dalam hukum juga menuntut agar suatu peraturan tidak bertentangan satu sama lain. Saat ini pemerintah sedang berupaya untuk meningkatkan daya saing perbankan agar menumbuhkan industri perbankan yang solidaritas dan kompetitif, salah satunya ialah melalui penciptaan regulasi yang harmonis antar sektor agar tidak terjadi arbitrage ketentuan (Otoritas Jasa Keuangan, 2015: 14). Berdasarkan pada beberapa hal tersebut, maka jelaslah sinkronisasi peraturan perundang-undangan pada setiap hierarkinya, termasuk sinkronisasi mengenai pengaturan bentuk badan hukum antara UU Perbankan dan UU Pemerintahan Daerah menjadi sangat penting untuk dilaksanakan.
56
B. Bentuk Badan Hukum Ideal bagi Perusahaan Daerah Bank Perkreditan Rakyat Badan Kredit Kecamatan (PD. BPR-BKK) Sedikit banyak masyarakat golongan ekonomi lemah yang notabene berada di wilayah pedesaan mengalami kesulitan untuk mengembangkan kegiatan usahanya lantaran tidak memiliki kredibilitas untuk mengakses fasilitas kredit modal usaha pada lembaga keuangan formal (Iin Indarti dan Dwiyadi Surya Wardana, 2013: 80). Bank Umum acapkali memiliki keterbatasan yakni tidak dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat terutama masyarakat di daerah terpencil atau pedesaan. Hal tersebut dikarenakan pengusaha yang digolongkan sebagai pengusaha kecil yang dalam hal ini berkedudukan sebagai debitor tidak mampu memenuhi klasifikasi “dapat dipercaya” (reliable) dan “dapat diandalkan” (bankable). Klasifikasi tersebut dianalisis dan diteliti berdasarkan prinsip 5 (lima) C, yaitu: 1. character (sifat-sifat calon debitor); 2. capital (struktur permodalan dan kinerja atas modal tersebut); 3. capacity (kemampuan); 4. collateral (agunan); dan 5. condition of economy (kondisi perekonomian) (Muhammad Djumhana, 2000: 394-395). Berdasarkan pada kelima prinsip tersebut, prinsip capital, capacity, dan collateral kerap menjadi problematika klasik bagi pengusaha kecil dalam mengajukan fasilitas kredit. Pengusaha kecil pada umumnya membutuhkan plat fond kredit yang tidak terlalu besar, sehingga pendapatan yang diharapkan juga tidaklah terlalu signifikan, terlebih untuk menutupi pengembalian utang pokok beserta bunganya. Kebutuhan modal yang kecil-kecil akan tetapi unit usahanya besar menyebabkan lembaga perbankan formal besar kurang tertarik untuk mendanai usaha mikro/kecil karena memiliki transaction cost yang sangat tinggi (Ihwan Susila, 2007: 225). Faktor rendahnya kualitas sumber daya manusia untuk mengelola kegiatan usaha serta agunan yang kurang memadai juga merupakan permasalahan lain yang dihadapi pengusaha kecil. Bank Umum dalam memberikan kredit juga didasarkan atas prinsip kehati-hatian, sehingga perlu untuk menghindari penyediaan dana yang berisiko menimbulkan potensi kerugian yang akan mengganggu kelangsungan usaha dan tingkat kesehatan Bank Umum yang bersangkutan (Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman, 2012: 301). Keadaan demikian menyebabkan Bank Umum sulit untuk memberikan fasilitas kredit
57
kepada pengusaha kecil, karena penyaluran kredit juga didasarkan atas prospek usaha (potensi pertumbuhan usaha) dan performance (perolehan laba dan struktur permodalan) (Zainal Asikin, 2015: 198). Tata letak perkantoran, struktur organisasi, program pendidikan, falsafah perusahaan, manajemen dan sistem administrasi, serta cara dan prosedur pelayanannya tidak ditujukan untuk melayani masyarakat kecil, melainkan ditujukan untuk melayani orang-orang yang mapan dan berada (Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman, 2012: 51). Terdapat 4 (empat) Bank Umum milik pemerintah, yaitu: PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk, PT. Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk, PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk, dan PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. Keempat Bank Umum tersebut memiliki pangsa pasar yang berbeda, yang mana BTN terfokus pada pemberian kredit rumah pada kalangan masyarakat dengan tingkat ekonomi bawah, Bank Mandiri terkonsentrasi pada korporasi, BRI terfokus pada usaha kecil dan menengah serta masyarakat pedesaan, sedangkan BNI lebih terfokus kepada masyarakat luas (Pujiyono, 2011: 10). Hanya terdapat 1 (satu) Bank Umum milik pemerintah yang dapat melayani pengusaha kecil dan menengah serta golongan ekonomi lemah di pedesaan yaitu BRI. Termasuk Bank Umum milik pemerintah daerah yaitu BPD. Sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 62 Tahun 1999 tentang Pedoman Organisasi Dan Tata Kerja Bank Pembangunan Daerah bahwa Bank mempunyai tugas pokok mengembangkan perekonomian dan menggerakkan Pembangunan Daerah melalui kegiatannya sebagai Bank. Adanya BPD dapat dipahami dengan menilik ketentuan Pasal 3 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan yang menyatakan bahwa Bank Pembangunan ialah bank yang pengumpulan dananya terutama menerima simpanan dalam bentuk deposito dan/atau mengeluarkan kertas berharga jangka menengah dan panjang dan dalam usahanya terutama memberikan kredit jangka menengah dan panjang di bidang pembangunan. Mencermati ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa BPD merupakan Bank Umum yang memegang kas daerah di samping mendorong terciptanya pertumbuhan perekonomian dan pembangunan daerah dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak (Widjanarto, 1994: 47). Sedianya sebagai Bank Umum, pelayanan fasilitas kredit BPD pun hanya
58
terbatas pada fasilitas kredit jangka menengah dan jangka panjang yang sudah barang tentu sasarannya ialah masyarakat dengan tingkat ekonomi menengah ke atas. BPR dan lembaga perbankan mikro hadir sebagai lembaga penghimpun dan penyalur dana bagi masyarakat, memiliki sasaran yaitu kalangan masyarakat yang belum terjangkau oleh Bank Umum namun sangat membutuhkan bantuan dana di pasar-pasar dan di desa-desa. Tujuannya adalah untuk meningkatkan produktivitas geliat ekonomi rakyat dalam rangka mewujudkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat melalui pemerataan layanan perbankan, pemerataan kesempatan berusaha, dan pemerataan pendapatan, seperti: pengusaha kecil, petani, peternak, nelayan, dan kegiatan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) lainnya (Jamal Wiwoho, 2011: 60). Saat ini Bank Umum sedang giat menggencarkan Kredit Usaha Rakyat (KUR), hanya saja untuk mempercepat serapan KUR mikro ditempuh melalui program linkage dengan menggandeng BPR dan Koperasi sebab lembaga keuangan tersebut sangat berpengaruh di daerah dan lebih dekat dengan UMKM (Suara Merdeka, 2016: 6). Lembaga perbankan mikro merupakan lembaga intermediasi keuangan yang memberikan fasilitas microcredit tanpa prosedur yang rumit dan collateral free kepada nasabah yang mempunyai skala usaha menengah ke bawah serta masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah yang tidak memiliki akses perbankan terkait tingginya biaya transaksi yang dikenakan oleh institusi perbankan (I Gde Kajeng Baskara, 2013: 115). Salah satu lembaga perbankan mikro yang berada di pedesaan adalah Badan Kredit Kecamatan, yang selanjutnya disingkat BKK. Ketika industri perbankan memiliki pijakan yuridis yaitu Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan, dalam Pasal 41 ayat (1) dinyatakan bahwa Bank Desa, Lumbung Desa, Bank Pasar, Bank Pegawai, dan bank-bank lainnya yang dapat dipersamakan dengan itu yang pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini telah ada, tetap menjalankan tugasnya dalam sistem perbankan berdasarkan Undangundang ini. Undang-undang tersebut diberlakukan untuk mengatur kembali tata perbankan agar dapat lebih dimanfaatkan untuk kepentingan perkembangan ekonomi dan moneter, sehingga kebijakan pemerintah pada saat itu tidak memberikan izin untuk pendirian bank. Pada awal pendiriannya, BKK bukanlah
59
merupakan suatu badan hukum, melainkan lembaga keuangan bukan bank (others financial intermediaries) yang hanya memberikan kredit tetapi tidak diperbolehkan untuk menghimpun dana dari masyarakat (Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman, 2012: 52). Selain tidak diizinkan untuk memobilisasi dana dalam bentuk simpanan, BKK juga tidak terikat pada aturan suku bunga dari Bank Indonesia, sehingga dapat menentukan sendiri suku bunganya (I Gde Kajeng Baskara, 2013: 117). Seiring perkembangannya, BKK mulai menawarkan produk pinjaman dan simpanan yang awalnya hanya berupa simpanan wajib yang diambil dari presentase pinjaman, dikembangkan menjadi simpanan sukarela (tabungan) dari pihak ketiga yang diberi nama Tabungan Masyarakat Desa (Tamades), serta dana dari pemerintah propinsi melalui BPD (I Gde Kajeng Baskara, 2013: 120). Oleh karena BKK dan lembaga perbankan mikro lainnya memiliki peranan yang sangat penting bagi perekonomian masyarakat desa, maka perlu untuk terus diakui keberadaannya (Muhammad Djumhana, 2000: 218). Sektor perbankan merupakan sektor yang sangat vital bagi urat nadi ekonomi bangsa (Pujiyono, 2011: 11). Sama hal nya dengan BKK sebagai lembaga perbankan mikro yang memiliki peran yang sangat penting dalam membantu perekonomian masyarakat desa. Dalam rangka menciptakan sistem keuangan inklusif yang kuat dan tangguh, diperlukan lembaga keuangan yang mampu melayani masyarakat hingga lapisan masyarakat di pedesaan. BKK merupakan badan usaha yang dimiliki oleh pemerintah daerah sebagai otonomi mandiri yang di dalamnya mengandung 3 (tiga) hal utama yaitu: 1. pemberian tugas dan kewenangan untuk menyelesaikan suatu urusan yang telah diserahkan kepada pemerintah daerah; 2. pemberian kepercayaan dan wewenang untuk memikirkan, mengambil inisiatif, dan menetapkan cara-cara penyelesaian tugas tersebut; dan 3. dalam upaya memikirkan, mengambil inisiatif, dan mengambil keputusan tersebut, diikutsertakan peran aktif masyarakat melalui proses demokrasi, sehingga dalam kerangka otonomi daerah merupakan hak daerah dan masyarakat untuk memperoleh keleluasaan bergerak dan kesempatan untuk mempergunakan prakarsa sendiri atas segala macam nilai dan potensi yang dikuasai untuk mengurus kepentingan publik (Moch. Husnan, 1999: 159-160). BKK merupakan akselerasi
60
pemerintah daerah dalam rangka menunjang program modernisasi desa juga sebagai instrumen untuk meningkatkan perekonomian desa pada khususnya dan penggalian pundi-pundi PAD pada umumnya. Peran penting daripada BKK perlu untuk diperkuat melalui penataan kelembagaan, pembinaan, dan pengawasannya. Pasal 58 UU Perbankan menyatakan bahwa Bank Desa, Lumbung Desa, Bank Pasar, Bank Pegawai, Lumbung Pitih Nagari (LPN), Lembaga Perkreditan Desa (LPD), Badan Kredit Desa (BKD), Badan Kredit Kecamatan (BKK), Kredit Usaha Rakyat Kecil (KURK), Lembaga Perkreditan Kecamatan (LPK), Bank Karya Produksi Desa (BKPD), dan/atau lembaga-lembaga lainnya yang dipersamakan dengan itu diberikan status sebagai BPR dengan memenuhi persyaratan tata cara yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Selanjutnya, Pasal 19 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 1992 tentang Bank Perkreditan Rakyat menyatakan sebagai berikut: (1) Bank Desa, Lumbung Desa, Bank Pasar, Bank Pegawai, Lumbung Pitih Nagari, Lembaga Perkreditan Desa, Badan Kredit Desa, Badan Kredit Kecamatan, Kredit Usaha Rakyat Kecil, Lembaga Perkreditan Kecamatan, Bank Karya Produksi Desa, dan/atau lembaga-lembaga lainnya yang dipersamakan dengan itu, yang telah memperoleh izin usaha dari menteri keuangan, dinyatakan menjadi Bank Perkreditan Rakyat. (2) Lembaga atau badan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang telah berdiri sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan belum mendapatkan izin usaha sebagai Bank Perkreditan Rakyat wajib mengajukan permohonan izin usaha sebagai Bank Perkreditan Rakyat kepada Menteri Keuangan selambatlambatnya 5 (lima) tahun sejak berlakunya Peraturan Pemerintah ini. (3) Untuk dapat memperoleh izin usaha sebagai Bank Perkreditan Rakyat, lembaga atau badan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat memilih salah satu bentuk hukum sebagai berikut: a. Perusahaan Daerah; b. Koperasi; atau c. Perseroan Terbatas. Mencermati ketentuan tersebut, dapat diketahui bahwa agar dapat memperoleh izin usaha sebagai BPR maka BKK dan lembaga perbankan mikro lainnya yang dipersamakan dengan itu harus memenuhi persyaratan pemenuhan modal inti minimum maupun penyesuaian bentuk badan hukumnya. Upaya
61
pemenuhan persyaratan terkait dengan profesionalitas manajemen pengelolaan termasuk pemenuhan modal inti minimum BPR dapat disiasati dengan melakukan tindakan atau aksi korporasi yaitu melalui akuisisi, merger, ataupun konsolidasi antar BKK, BKK dengan BPR, atau dengan Bank Umum agar dapat ditingkatkan statusnya sebagai Bank Umum. Aksi ataupun tindakan korporasi tersebut bertujuan untuk memperbesar jumlah modal, menyelamatkan kelangsungan produksi atau kegiatan usaha, mengamankan jalur distribusi, memperbesar sinergi perusahaan, dan mengurangi persaingan serta menuju kepada monopolistik (Abulkadir Muhammad, 1999: 145). Oleh karena BKK merupakan salah satu kelengkapan otonomi daerah yang berkontribusi sebagai sumber pendapatan berupa pemberian deviden kepada Pemerintah Daerah Tingkat I maupun Pemerintah Daerah Tingkat II, maka bentuk hukum yang relevan untuk dipilih ialah Perusahaan Daerah. Bentuk hukum Perusahaan Daerah dirasa akan lebih berdaya guna dan berhasil guna mengingat tujuan didirikannya Perusahaan Daerah di samping sebagai sumber pendapatan daerah juga untuk menunjang pembangunan daerah yang tidak berbeda dengan BPR yang membantu dan mengembangkan usaha pengusaha kecil dan golongan ekonomi lemah (Arky Dhewi Wulandari, 2010: 39). BKK dan lembaga perbankan mikro lainnya yang dipersamakan dengan itu bertransformasi menjadi BPR sehingga melahirkan perusahaan baru dengan nomenklatur PD. BPR-BKK dan lain sebagainya yang dipersamakan dengan itu, sebagai contoh adalah merger 11 (sebelas unit) BKK di Kabupaten Karanganyar (BKK Jaten, BKK Ngargoyoso, BKK Jumantono, BKK Tasikmadu, BKK Jatiyoso, BKK Karangpandan, BKK Colomadu, BKK Tawangmangu, BKK Jenawi, BKK Matesih, dan BKK Jumapolo) menjadi PD. BPR-BKK Tasikmadu Karanganyar, yang berimplikasi pada meningkatnya pangsa pasar, efisiensi dalam kinerja dan sumber daya manusia (pegawai), dan meningkatkan asset perusahaan serta struktur permodalannya (Arky Dhewi Wulandari, 2010: 130-132). Saat ini banyak tersebar berbagai lembaga perbankan mikro yang berbasiskan desa atau kecamatan, seperti BKK di Jawa Tengah, Lembaga Perkreditan Kecamatan (LPK) di Jawa Barat, Lumbung Pitih Nagari (LPN) di Sumatera Barat, Kredit Usaha Rakyat Kecil (KURK) di Jawa Timur, Lembaga
62
Perkreditan Desa (LPD) di Bali, dan lain sebagainya (I Gde Kajeng Baskara, 2013: 117). Untuk menjamin keseragaman dalam hal pembinaan dan pengawasannya, serta untuk memperkuat struktur kelembagaannya, UU Perbankan mendorong agar berbagai lembaga perbankan mikro tersebut bertransformasi menjadi BPR. PD. BPR-BKK merupakan salah satu lembaga perbankan mikro telah bertransformasi menjadi BPR. Nomenklatur PD. BPR-BKK merupakan upaya untuk menguatkan kepercayaan terhadap masyarakat di desa atau kecamatan karena sebagian masyarakat masih mengenal bahwa PD. BPR-BKK adalah sama seperti BKK sebelum bertransformasi, yang pada kenyataannya kegiatan operasional dan sistem pembayarannya kini telah disesuaikan dengan BPR (Aninditia Purnama Ningtyas, http://hukum.studentjournal.ub.ac.id/index.php/hukum/article/viewFile/1414/1268 diakses pada tanggal 1 April 2016 pukul 22.30 WIB). Oleh karena operasional perbankan mikro memiliki keunikan dan tidak sama dengan BPR pada umumnya, pengaturannya dikecualikan dari peraturan yang berlaku bagi BPR. Pasca berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 10/POJK.03/2016 tentang Pemenuhan Ketentuan Bank Perkreditan Rakyat Dan Transformasi Badan Kredit Desa Yang Diberikan Status Sebagai Bank Perkreditan Rakyat, kini lembaga perbankan mikro seperti Bank Desa, Bank Pegawai, Bank Pasar, LPN, LPD, BKD, BKK, KURK, LPK, BKPD, dan lembaga lainnya yang dipersamakan dengan itu tidak akan dikecualikan dari setiap ketentuan yang berlaku bagi BPR pada umumnya. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tersebut mengharuskan berbagai lembaga perbankan mikro untuk memenuhi ketentuan BPR antara lain terkait dengan kelembagaan, prinsip kehati-hatian, pelaporan dan transparansi keuangan, serta penerapan standar akuntansi sebagaimana dinyatakan berikut ini: Pasal 2 (1) BKD wajib memenuhi ketentuan BPR mencakup antara lain kelembagaan, prinsip kehati-hatian, pelaporan dan transparansi keuangan, serta penerapan standar akuntansi bagi BPR paling lambat tanggal 31 Desember 2019. (2) Ketentuan kelembagaan BPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi antara lain: a. bentuk badan hukum BPR berupa Perseroan Terbatas, Koperasi, Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan Perseroan Daerah; dan
63
b. kewajiban BPR untuk memiliki anggota Direksi dan Anggota Dewan Komisaris sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. (3) Ketentuan prinsip kehati-hatian BPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi antara lain: a. penerapan tata kelola; b. penerapan manajemen resiko; c. pemenuhan kewajiban penyediaan modal minimum dan pemenuhan modal inti; d. kualitas aset produktif; dan e. penerapan batas maksimum pemberian kredit. (4) Ketentuan pelaporan dan transparansi keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi antara lain penyusunan dan penyampaian: a. laporan bulanan; b. laporan rencana kerja dan realisasi rencana kerja; c. laporan pelaksanaan pengawasan oleh Dewan Komisaris; d. laporan keuangan publikasi; dan e. laporan keuangan tahunan. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tersebut memberikan jalan keluar bagi lembaga perbankan mikro yang tidak mampu memenuhi seluruh ketentuan bagi BPR dengan mengubah kegiatan usaha atau badan usahanya menjadi kegiatan usaha atau badan usaha lain selain BPR, yaitu dengan bertransformasi menjadi Lembaga Keuangan Mikro (LKM), Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa), atau unit usaha dari BUMDesa yang sudah ada di desa dimana lembaga perbankan mikro berkedudukan dan menjalankan kegiatan operasionalnya sebagaimana dinyatakan berikut ini: Pasal 9 Dalam hal BKD tidak dapat memenuhi ketentuan BPR setelah batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), OJK mencabut izin usaha BKD. Pasal 10 (1) BKD yang berdasarkan pertimbangannya tidak dapat memenuhi ketentuan BPR dapat memilih untuk mengubah: a. Kegiatan usaha menjadi LKM; atau b. Badan usaha menjadi BUMDesa atau unit usaha BUMDesa. Penulis berpandangan bahwa sudah semestinya seluruh lembaga perbankan mikro yang ada haruslah dapat bertransformasi menjadi BPR dengan memenuhi segala ketentuan yang ada. LKM pada umumnya mengalami kesulitan untuk bersaing apabila dihadapkan dengan lembaga modern seperti Bank Umum dan BPR
64
karena kualitas sumber daya manusia yang kurang mumpuni serta modal yang tidak memadai (Ihwan Susila, 2007: 237-239). Dengan bertransformasi menjadi BPR setidaknya lembaga perbankan mikro akan memiliki struktur kelembagaan dan manajemen pengelolaan yang lebih sehat dan profesional, sehingga dapat memenuhi fungsinya dengan sebagaimana mestinya. Lembaga perbankan memiliki keunggulan dalam memberikan pelayanan keuangan yang paling lengkap dibandingkan dengan LKM, sehingga selain dapat memajukan pengusaha kecil dan golongan ekonomi lemah, sudah barang tentu dapat mengakselerasi upaya modernisasi desa (M. Muhtarom, 2013: 34). Untuk bertransformasi menjadi BPR tentunya tidaklah mudah, karena harus didahului dengan peningkatan kapasitas kelembagaan, termasuk managerial dan permodalannya (Dwi Budi Santosa, 2011: 286). Perlu untuk dilakukan upaya restrukturisasi terhadap PD. BPR-BKK dan lembaga perbankan mikro lainnya. Restrukturisasi merupakan salah satu strategi meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan agar perusahaan mampu menjaga eksistensinya dalam bersaing dengan perusahaan lain, serta dalam upaya untuk melakukan perluasan terhadap kegiatan usahanya, yaitu melalui peningkatan intensitas persaingan usaha, penerapan prinsip tata kelola perusahaan yang baik, dan perampingan serta penyempurnaan terhadap kelembagaannya (penataan bentuk badan usaha, keuangan, manajemen, operasional, sistem, dan prosedur) (Ambar Budhisulistyawati, dkk, 2015: 57). Besarnya kapasitas dalam memenuhi modal inti minimum BPR akan menentukan wilayah usaha dan jenis kegiatan BPR, artinya semakin besar modal yang dimiliki, maka semakin besar kesempatan untuk melakukan ekspansi terhadap kegiatan usaha. Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 13, Pasal 14, dan Pasal 15 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 12/POJK.03/2016 tentang Kegiatan Usaha Dan Wilayah Jaringan Kantor Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Modal Inti yang telah penulis rangkum berikut ini:
65
Tabel 11. Jaringan Kantor BPR berdasarkan Modal Inti BPRKU
Pembukaan Jaringan Kantor
Jaringan Kantor berupa Kantor Cabang
1
Hanya dapat dilakukan dalam 1 Memiliki Jaringan Kantor BPR (satu) wilayah kabupaten atau kota berupa kantor cabang paling yang sama dengan kabupaten atau banyak 20 (dua puluh) kantor. kota lokasi kantor pusat BPR. BPRKU 1 yang telah memenuhi Modal Inti paling sedikit Rp 6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah)
dapat
melakukan
Pembukaan Jaringan Kantor BPR di kabupaten atau kota yang sama dengan lokasi kantor pusat BPR, dalam 1 (satu) wilayah propinsi yang sama paling banyak 30 (tiga puluh) kantor. 2
Dapat dilakukan di kabupaten atau Dapat memiliki paling banyak 40 kota yang sama dengan lokasi (empat puluh) kantor. kantor
pusat
BPR
kabupaten
atau
berbatasan
langsung
dan/atau
kota
yang dengan
kabupaten atau kota lokasi kantor pusat BPR, dalam 1 (satu) wilayah propinsi yang sama. 3
Dapat dilakukan di propinsi lokasi Dapat memiliki paling banyak 70 kantor
pusat
BPR
dan
di (tujuh puluh) kantor dan dapat
kabupaten atau kota pada propinsi dibuka di propinsi lain paling lain yang berbatasan langsung banyak 20% (dua puluh persen)
66
dengan propinsi lokasi kantor dari jumlah kantor cabang yang pusat BPR.
dimiliki oleh BPRKU 3.
Salah satu manifestasi restrukturisasi kelembagaan PD. BPR-BKK ialah dengan mengubah dan menyesuaikan bentuk badan hukumnya. Sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 10/POJK.03/2016 tentang Pemenuhan Ketentuan Bank Perkreditan Rakyat Dan Transformasi Badan Kredit Desa Yang Diberikan Status Sebagai Bank Perkreditan Rakyat yang menyatakan, “Dalam rangka melaksanakan rencana tindak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a, BKD harus membentuk badan hukum sesuai ketentuan yang mengatur kelembagaan BPR dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya”. Ketentuan tersebut mengharuskan setiap lembaga perbankan mikro untuk berbentuk badan hukum sesuai dengan peraturan yang mengatur mengenai BPR. Pembahasan sebelumnya telah mengupas bagaimana sinkronisasi pengaturan bentuk badan hukum BUMD di bidang perbankan antara UU Pebankan dengan UU Pemerintahan Daerah. Berdasarkan hasil sinkronisasi tersebut, maka bentuk badan hukum yang dapat diaplikasikan kepada PD. BPR-BKK dan lembaga perbankan mikro lainnya yang dipersamakan dengan itu ialah mutlak hanya terbatas pada Perseroan Terbatas, Koperasi, Perusahaan umum Daerah atau Perusahaan Perseroan Daerah, tidak ada bentuk badan hukum selain apa yang telah penulis sebutkan. Hal yang harus diidentifikasi selanjutnya ialah menentukan bentuk badan hukum yang ideal untuk diterapkan pada lembaga perbankan mikro, terutama PD. BPR-BKK. Dalam menentukan bentuk badan hukum yang ideal tentunya didasarkan atas parameter yang dapat menunjang terpenuhinya persyaratan agar dapat bertransformasi menjadi BPR yakni bentuk badan hukum yang dapat menyokong struktur kelembagaan yang kuat dari aspek pemenuhan permodalan dan manajemen pengelolaan yang profesional, namun dengan tidak mengesampingkan semangat dan tujuan pendirian perusahaan. Sebelum memformulasikan bentuk badan hukum yang ideal, perlulah kiranya untuk mengetahui terlebih dahulu ciri dan karakteristik PD. BPR-BKK dan lembaga perbankan mikro lainnya yang dipersamakan dengan itu. Oleh karena PD. BPR-BKK dan lembaga perbankan
67
mikro lainnya merupakan salah satu badan usaha milik pemerintah daerah, maka pendiriannya ditetapkan dengan peraturan daerah. Penulis menginventarisasi beberapa peraturan daerah terkait dengan pendirian PD. BPR-BKK dan lembaga perbankan mikro lainnya sebagai berikut:
68
Tabel 12. Inventarisasi Peraturan Daerah tentang Pendirian Perbankan Mikro di Indonesia No. Peraturan Daerah 1.
Peraturan Daerah Propinsi Jawa Tengah Nomor 3 Tahun 2012 tentang Perubahan
Maksud dan Tujuan
Kepemilikan Modal
PD. BPR-BKK dibentuk dengan Pasal 12: Modal PD. BPR Berdasarkan maksud
dan
membantu
tujuan
dan
untuk BKK
terdiri
pertumbuhan perekonomian dan Pasal
10
meningkatkan taraf hidup rakyat dimaksud
Perusahaan Daerah Bank Perkreditan Rakyat Badan
serta
dalam
rangka BPR
(4): Petunjuk
2012
tentang
Pelaksanaan
BKK
sebagaimana Tengah Nomor 3 Tahun 2012
pada
ayat
(1) tentang
Perubahan
Atas
dan sebagai salah satu sumber dengan perbandingan sebagai Peraturan Daerah Propinsi Jawa pendapatan daerah.
berikut: a. Daerah sekurang- Tengah Nomor 11 Tahun 2008
PD. BPR-BKK merupakan salah kurangnya sebesar 51% (lima tentang satu lembaga penggerak ekonomi puluh kerakyatan tugas
yang untuk
membantu banyaknya
menyediakan modal usaha bagi (empat
Di Propinsi Jawa
usaha
mikro,
persen);
kecil,
dan persen).
Daerah
b. Bank Perkreditan Rakyat Badan
sebanyak- Kredit Kecamatan Di Propinsi
sebesar puluh
Perusahaan
49% Jawa Tengah, Pengurus PD.
sembilan BPR BKK di Propinsi Jawa Tengah terdiri dari Dewan Pengawas dan Direksi.
143
menengah.
satu
mengemban Kabupaten/Kota
Kredit Kecamatan
Tengah
ayat
Tahun
Pembangunan Daerah di segala Kepemilikan modal dasar PD. Peraturan Daerah Propinsi Jawa
Daerah Propinsi
2008 tentang
Peraturan
saham- Gubernur Jawa Tengah Nomor 35
bidang
Nomor 11 Tahun
dari
mendorong saham.
Atas Peraturan
Jawa Tengah
Organ/Pengurus
69
2.
Peraturan Gubernur PD. Jawa Tengah Nomor 13 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengelolaan Perusahaan Daerah
BKK
maksud
didirikan
dan
membantu
dengan Pasal 7: Modal PD. BKK Pengurus PD. BKK di Jawa
tujuan
dan
untuk terdiri dari saham-saham.
mendorong Pasal 3 ayat (3): Kepemilikan Pengawas dan Direksi dan
pertumbuhan perekonomian dan Modal
Dasar
PD.
BKK RUPS.
Pembangunan Daerah di segala sebagaimana dimaksud pada bidang
serta
dalam
rangka ayat (1) dengan perbandingan
meningkatkan taraf hidup rakyat sebagai berikut: a. Daerah
Badan Kredit
sebagai
Kecamatan Di
pendapatan Daerah.
Propinsi Jawa
PD. BKK berfungsi sebagai salah persen);
Tengah
Tengah terdiri dari Dewan
salah
satu
sumber sekurang-kurangnya sebesar 51%
(Lima
puluh dan
satu lembaga intermediasi di Kabupaten/Kota bidang keuangan dengan tugas banyaknya menjalankan
usaha
sebagai (Empat
b. sebanyak-
sebesar puluh
satu
49%
sembilan
Lembaga Kredit Mikro sesuai persen). dengan
ketentuan
Perundang-undangan
yang
144
berlaku.
Peraturan
70
3.
Peraturan Daerah Kabupaten Sukoharjo Nomor 22 Tahun 2007 tentang Perusahaan
PD.
BKD
maksud
dibentuk
dan
membantu
tujuan
dan
pertumbuhan
dengan Modal PD. BKD merupakan Pengurus PD. BKD terdiri atas: untuk kekayaan
Daerah
yang a. Badan Pengawas; dan b.
mendorong dipisahkan.
Direksi.
perekonomian, Pemerintah
Daerah
Pembangunan Daerah dan Desa menambah
modal
yang
Daerah Badan
dalam rangka meningkatkan taraf disetor secara bertahap sampai
Kredit Desa
hidup rakyat serta sebagai salah dengan Tahun 2016 yang satu sumber pendapatan Daerah dianggarkan dalam Anggaran dan Desa.
Pendapatan Daerah
dan
Belanja
sesuai
dengan
kemampuan
keuangan
Daerah. 4.
Peraturan Daerah
Maksud didirikannya PD. BPR Pasal 9 ayat (2): Bupati Organ PD. BPR Bank Pasar
Kabupaten Kudus
Bank Pasar adalah memberikan mewakili
Nomor 5 Tahun 2014 tentang Perusahaan Daerah Bank Perkreditan
Daerah
selaku terdiri dari Bupati, Dewan
pelayanan kepada masyarakat di pemegang saham PD. BPR Pengawas, dan Direksi. bidang jasa keuangan. Sementara Bank Pasar dalam RUPS. tujuan didirikannya PD. BPR Pasal 9 ayat (3): Dalam hal Bank
Pasar
adalah:
a. seluruh saham PD. BPR Bank dimiliki
oleh
satu
145
mengembangkan perekonomian, Pasar
71
Rakyat Bank Pasar
usaha
mikro,
Kabupaten Kudus
menengah;
kecil,
b.
Bupati
bertindak
menggerakkan selaku RUPS.
pembangunan membantu
dan Daerah,
daerah; dan
c.
mendorong
pertumbuhan perekonomian dan pembangunan
daerah;
d.
pelayanan kepada masyarakat di bidang perbankan; dan e. sumber Pendapatan Asli Daerah. 5.
Peraturan Daerah
PD. BPR Bank Solo bertujuan Modal PD. BPR Bank Solo Organ PD. BPR Bank Solo
Kota Surakarta
untuk menunjang pelaksanaan merupakan kekayaan daerah terdiri dari Walikota, Dewan
Nomor 4 Tahun
pembangunan
2015 tentang
dalam yang dipisahkan.
Pengawas, dan Direksi.
meningkatkan
Walikota memegang kekuasaan
pertumbuhan
tertinggi dan segala wewenang
ekonomi, dan stabilitas Daerah
yang tidak diserahkan kepada
Kota Surakarta
ke
Direksi atau Dewan Pengawas.
Nomor 3 Tahun
kesejahteraan rakyat banyak.
Perubahan Atas Peraturan Daerah
rangka
Daerah
pemerataan,
arah
peningkatan
2011 tentang
146
Perusahaan Daerah
72
Bank Perkreditan Rakyat Bank Solo 6.
Peraturan Daerah
Pasal 5: PD. BPR Bank Jogja Pasal 8 ayat (2): Modal dasar Pasal 10: Organ PD. BPR Bank
Kota Yogyakarta
didirikan dengan maksud dan PD.
Nomor 5 Tahun
tujuan untuk membantu dan merupakan kekayaan Daerah daerah yang dimiliki oleh 1
2015 tentang Perubahan
mendorong
BPR
Bank
Jogja Jogja
pertumbuhan yang dipisahkan.
(satu)
Daerah serta merupakan salah Daerah
Kota Yogyakarta
satu sumber pendapatan Daerah berkewajiban
Nomor 4 Tahun
dalam rangka meningkatkan taraf modal disetor yang besarnya
Perusahaan Daerah
hidup dan kesejahteraan rakyat.
setiap
terdiri
dari
tahun dan Direksi. menambah
ditetapkan dengan Keputusan
Pasal 6A: PD. BPR Bank Jogja Walikota,
setelah
terlebih
Bank Perkreditan
wajib menyalurkan kredit kepada dahulu dianggarkan dalam
Rakyat Bank Jogja
usaha
Kota Yogyakarta
daerah
perusahaan
perekonomian dan pembangunan Pasal 8 ayat (1): Pemerintah Walikota, Dewan Pengawas,
Peraturan Daerah
2008 tentang
berbentuk
mikro,
menengah
serta
kecil, koperasi
dan Anggaran
Pendapatan
dan
di Belanja Daerah (APBD).
wilayah Daerah paling sedikit sebesar 40% (empat puluh per seratus) dari total kredit yang
147
disalurkan.
73
7.
Peraturan Daerah
PD. BPR, PD. BPR-BKPD, PD. Pasal 5a ayat (1), ayat (2), Organ PD. BPR, PD. BPR-
Propinsi Jawa
BPR-PK, dan PD. PK yang telah dan ayat (3): Kepemilikan BKPD, dan PD. BPR-PK, dan
Barat Nomor 6
memperoleh izin usaha dari saham pada masing-masing PD. PK terdiri dari RUPS,
Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah
menteri
keuangan PD. BPR hasil merger di Direksi, dan Dewan Pengawas.
menyelenggarakan usaha sebagai Daerah lembaga
sebagai
intermediasi berikut: a. Pemerintah Daerah
(perbankan) yakni BPR yang Propinsi sebanyak 51% (lima
Propinsi Jawa
tugas
utamanya
Barat Nomor 14
kredit
dan
Tahun 2006
Provinsi
memberikan puluh
satu
memberikan Pemerintah
persen);
b.
Daerah
pembinaan khususnya terhadap Kabupaten di Daerah Propinsi
tentang Perusahaan
golongan
Daerah Bank
Sementara
ekonomi jika
lemah. sebanyak 29% (dua puluh tidak sembilan persen); dan c. PT.
Perkreditan Rakyat
ditingkatkan statusnya sebagai Bank Pembangunan Daerah
dan Perusahaan
BPR maka diubah statusnya Jawa Barat dan Banten, Tbk
Daerah Perkreditan Kecamatan
sebagai
Perseroan
Terbatas sebanyak 20% (dua puluh
Lembaga Keuangan Mikro yang persen). menghimpun dana masyarakat Kepemilikan saham PD. BPRdalam bentuk simpanan dan BKPD Cirebon dan Karawang
148
deposito serta memberi pinjaman hasil merger, sebagai berikut:
74
dan/atau
pembiayaan
dengan a. Pemerintah Daerah Propinsi
memprioritaskan petani, nelayan, paling banyak 45% (empat dan pelaku usaha skala mikro, puluh kecil,
dan
menengah
potensi/karakteristik terkait
(Pasal
11
lima
persen);
sesuai Pemerintah
b.
Daerah
daerah Kabupaten di Daerah Propinsi Peraturan paling sedikit 55% (lima
Daerah Propinsi Jawa Barat puluh lima persen). Nomor 7 Tahun 2015 tentang Kepemilikan saham pada PD. Perubahan
Bentuk
Hukum PK hasil konsolidasi atau
Perusahaan Daerah Perkreditan merger di Daerah Propinsi, Kecamatan Hasil Konsolidasi sebagai berikut: a. Pemerintah Atau Merger Menjadi Perseroan Daerah Terbatas Mikro).
Lembaga
Propinsi
paling
Keuangan banyak 40% (empat puluh persen); b. Pemerintah Daerah Kabupaten di Daerah Propinsi paling sedikit 60% (enam puluh
persen);
dan
c.
kepemilikan saham lainnya berdasarkan
149
ditentukan
75
RUPS,
sesuai
peraturan
ketentuan perundang-
undangan. 8.
Peraturan Daerah Kabupaten
Perusahaan Umum Daerah Bank Perusahaan Umum Daerah Organ Perkreditan
Majalengka Nomor dengan 4 Tahun 2014
maksud
sebagai
salah
didirikan Bank
dan satu
Perkreditan
alat Daerah
berupa
kelengkapan otonomi daerah di Perkreditan
Nama Perusahaan
bidang keuangan/perbankan dan seluruh
Perkreditan Rakyat
bergerak
sebagai
Perusahaan Umum
sekaligus
Majalengka
Perkreditan
Bank Direksi, dan Dewan Pengawas.
Rakyat
modalnya
yang dimiliki
Perkreditan Rakyat dengan tugas tidak terbagi atas saham. utama memberikan kredit dan
Perkreditan Rakyat
Bank
Bank oleh Pemerintah Daerah dan
Sukahaji Menjadi
Daerah Bank
Rakyat Daerah
Umum
tujuan adalah Badan Usaha Milik Rakyat terdiri dari Bupati,
tentang Perubahan
Daerah Bank
9.
Rakyat
Perusahaan
melaksanakan
pembinaan terhadap pengusaha mikro,
usaha
kecil,
dan
menengah.
Peraturan Daerah
PD. BPR-KURK Jatim didirikan Modal dasar perseroan terdiri Organ PT. BPR Jatim terdiri
Propinsi Jawa
dengan maksud dan tujuan untuk atas seluruh nilai nominal dari RUPS, Direksi, dan Dewan membantu
dan
mendorong saham.
Komisaris.
150
Timur Nomor 2
76
Tahun 2015
pertumbuhan perekonomian dan Modal dasar PT. BPR Jatim
tentang Perubahan
pembangunan di segala bidang terdiri dari: a. Pemerintah
Atas Peraturan
serta sebagai salah satu sumber Propinsi paling sedikit sebesar
Daerah Propinsi
Pendapatan
Daerah
dengan 51% (lima puluh satu persen);
Jawa Timur Nomor tujuan untuk meningkatkan taraf Pemerintah Kabupaten/Kota 10 Tahun 2000 tentang
hidup rakyat melalui peningkatan se-Jawa Timur; dan c. Dana pendapatan
dan
melindungi Pensiun Pegawai PT. Bank
Penggabungan Dan masyarakat dari pelepas uang. Perubahan Bentuk Badan Hukum Perusahaan Daerah
Pembangunan Daerah Jawa
PT. BPR Jatim melakukan usaha Timur. di bidang perbankan dalam arti yang
seluas-luasnya
guna
Bank Perkreditan
mewujudkan kesejahteraan para
Rakyat Kredit
Usaha Mikro, Kecil, Menengah,
Usaha Rakyat
dan Koperasi (UMKMK) dan
Kecil Jawa Timur
para petani untuk menunjang
Menjadi Perseroan
kegiatan usahanya.
Terbatas Bank Perkreditan Rakyat
151
Jawa Timur
77
10.
Peraturan Daerah
PUD. BPR Bank Pasar Kota Walikota
mewakili
daerah Organ PUD. BPR Bank Pasar
Kota Pontianak
Pontianak
Nomor 4 Tahun
mengembangkan usaha mikro, PUD. BPR Bank Pasar Kota Walikota, Dewan Pengawas,
2015 tentang Perusahaan Umum
kecil
bertugas selaku pemilik modal pada Kota Pontianak terdiri dari
serta
membantu Pontianak.
dan Direksi.
pembangunan daerah.
Daerah Bank Perkreditan Rakyat Bank Pasar Kota Pontianak 11.
Peraturan Daerah Propinsi Bali
LPD sebagai salah satu wadah Modal LPD terdiri dari: a. Organisasi LPD terdiri dari kekayaan
Desa,
menjalankan swadaya masyarakat dan atau pengurus
Nomor 4 Tahun
fungsinya dalam bentuk usaha- urunan
2012 tentang
usaha ke arah peningkatan taraf bantuan
Perubahan Kedua
hidup Krama Desa dan dalam sumber
Atas Peraturan
kegiatannya
Daerah Propinsi
pembangunan
Bali Nomor 8 Tahun 2002
Desa;
pemerintah lain
yang
pengawas.
b. Pengurus dipilih oleh Krama atau Desa. Ketua Pengawas dijabat
tidak oleh Bendesa dan anggotanya
menunjang mengikat; dan c. laba yang juga dipilih oleh Krama Desa. Desa.
Usaha- ditahan.
Usaha LPD dilakukan dengan tujuan:
Krama
dan
a.
eksternal
dilakukan oleh Gubernur.
mendorong ekonomi
152
pembangunan
Pengawasan
78
tentang Lembaga
masyarakat
Desa
melalui
Perkreditan Desa
kegiatan menghimpun tabungan dan deposito dari Krama Desa; b. memberantas ijon, gadai gelap, dan
lain-lain
yang
dapat
dipersamakan dengan itu; c. menciptakan kesempatan
pemerataan berusaha
dan
perluasan kesempatan kerja bagi Krama
Desa;
dan
d.
meningkatkan daya beli dan melancarkan
lalu
lintas
pembayaran dan peredaran uang di Desa.
153
Berdasarkan pada tabel tersebut dapat diidentifikasi beberapa hal. Pertama, lembaga perbankan mikro merupakan salah satu wahana yang digunakan pemerintah daerah untuk menyejahterakan masyarakat utamanya pengusaha kecil dan golongan ekonomi lemah melalui pemerataan layanan perbankan, di samping sebagai instrumen penerimaan daerah. Misalnya dapat dicermati pada PD. BPR Bank Jogja yang merupakan transformasi Bank Pasar, yang mana Pemerintah Kota Yogyakarta mewajibkannya untuk menyalurkan kredit kepada UMKM dan koperasi secara rigid yaitu paling sedikit sebesar 40% (empat puluh persen) atas total penyaluran kredit yang dilakukan. Banyak UMKM dan masyarakat kelas bawah yang tidak dapat mengakses layanan lembaga perbankan formal, sehingga keadaan yang demikian membuka celah dan peluang bagi rentenir, ijon, gadai ilegal, dan pemburu rente lainnya yang memberikan pinjaman modal usaha namun dengan bunga yang sangat tinggi (Solikhah, dkk, 2015: 74). Lembaga perbankan mikro didirikan dengan maksud dan tujuan sebagai wadah bagi UMKM dan sektor informal lainnya untuk mendapatkan pelayanan keuangan dan terhindar dari pelepas uang, sehingga kegiatan operasionalnya merupakan instrumen public responsibility untuk menghimpun dan menyalurkan dana di samping profit oriented (Rima Rachmawati, 2011: 50). UMKM merupakan driving force perekonomian, tercatat pada tahun 2010 kontribusi UMKM terhadap PDB sebesar 56,22% lebih tinggi dibandingkan dengan kontribusi usaha besar terhadap PDB sebesar 43,78%, dan ditinjau dari penyerapan tenaga kerja sektor UMKM menyerap hampir seluruh tenaga kerja di Indonesia 97,27% yang sebesar 90,83% merupakan daya serap usaha mikro, sehingga senantiasa perlu untuk didorong pertumbuhan dan perkembangannya, dan di sini lah peran perbankan mikro terlihat nyata (Wijiyono Santoso, dkk, 2014: 222). Kedua, terkait dengan kepemilikan modal. Terdapat beberapa lembaga perbankan mikro yang modalnya untuk seluruhnya dimiliki oleh daerah dan terdapat juga yang modalnya terbagi atas saham, yang mana keduanya tergantung pada bentuk badan hukum yang digunakan. Sebagaimana telah penulis kemukakan sebelumnya bahwa hasil sinkronisasi bentuk badan hukum bagi BUMD di bidang perbankan antara lain menghasilkan alternatif formulasi bentuk badan hukum
76
77
berupa Perseroan Terbatas, Koperasi, Perusahaan umum Daerah atau Perusahaan Perseroan Daerah. Mencermati tabel inventarisasi peraturan daerah mengenai pendirian lembaga perbankan mikro, dapat diketahui bahwa sedikit banyak lembaga perbankan mikro telah berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas, Perusahaan umum Daerah, namun juga masih didapati yang berbadan hukum Perusahaan Daerah. Hal ini tentunya menjadi problematika tersendiri mengingat antara satu daerah dengan daerah yang lain memiliki kapasitas keuangan yang berbeda, sementara Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 20/POJK.03/2014 tentang Bank Perkreditan Rakyat mengatur secara rigid mengenai modal disetor bagi BPR di masing-masing daerah sebagaimana dinyatakan berikut ini: Pasal 5 (1) Modal disetor untuk mendirikan BPR ditetapkan paling sedikit: a. Rp 14.000.000.000,00 (empat belas miliar rupiah), bagi BPR yang didirikan di zona 1; b. Rp 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah), bagi BPR yang didirikan di zona 2; c. Rp. 6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah), bagi BPR yang didirikan di zona 3; dan d. Rp 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah), bagi BPR yang didirikan di zona 4. Berdasarkan penjelasan Pasal 5 ayat (3) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tersebut, dapat diketahui bahwa Zona 1 menunjukan zona dengan potensi ekonomi yang lebih tinggi dan persaingan lembaga keuangan lebih ketat, sedangkan zona 4 menunjukan zona dengan potensi ekonomi lebih rendah dan persaingan lembaga keuangan yang lebih longgar. Sementara Pasal 5 ayat (2) menyatakan bahwa dengan pertimbangan tertentu, Otoritas Jasa Keuangan berwenang menetapkan jumlah modal disetor di atas jumlah sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Ketentuan tersebut dimaksudkan untuk menjaga kelangsungan pengembangan kegiatan usaha BPR ke depan, sehingga dapat beroperasi secara berkesinambungan. Pemerintah daerah pada daerah yang diklasifikasikan ke dalam zona paling rendah tentunya akan mengalami kesulitan apabila dalam mendirikan BPR menggunakan bentuk badan hukum yang mengharuskan seluruh modalnya hanya dapat dimiliki dan disetor oleh pemerintah daerah yang bersangkutan. Hal ini tentunya akan menjadi beban bagi keuangan daerah. Besarnya kemampuan untuk memenuhi
78
modal minimum akan berpengaruh pada jenis kegiatan usaha yang dijalankan serta perluasan jaringan usahanya sebagaimana klasifikasi dalam BPRKU 1, BPRKU 2 atau BPRKU 3. Artinya bahwa semakin besar modal yang dimiliki, maka keuntungan yang akan didapat akan semakin besar, begitupun sebaliknya. Perlulah untuk diidentifikasi bentuk badan hukum yang ideal bagi lembaga perbankan mikro yang ada, termasuk PD. BPR-BKK agar dapat memenuhi ketentuan BPR terkait aspek kelembagaan, prinsip kehati-hatian (di dalamnya mencakup prinsip penerapan tata kelola yang baik dan pemenuhan modal minimum), dan lain-lainnya sebagaimana
diatur
dalam
Peraturan
Otoritas
Jasa
Keuangan
Nomor
10/POJK.03/2016 tentang Pemenuhan Ketentuan Bank Perkreditan Rakyat Dan Transformasi Badan Kredit Desa Yang Diberikan Status Sebagai Bank Perkreditan Rakyat, namun dengan tetap memperhatikan maksud dan tujuan pendirian serta karakteristik kegiatan usaha lembaga perbankan mikro terkait. Setelah sinkronisasi horizontal antara UU Perbankan dengan UU Pemerintahan Daerah mengenai pengaturan bentuk badan hukum dilakukan, langkah selanjutnya adalah menganalisis bentuk badan hukum yang ideal untuk PD. BPR-BKK, yaitu apakah berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas, Koperasi, Perusahaan umum Daerah atau Perusahaan Perseroan Daerah. 1. Bentuk Badan Hukum Koperasi Secara teoritis, koperasi berasal dari Bahasa Inggris cooperation atau Bahasa Belanda cooperatie yang artinya kerjasama yang terjadi antara beberapa orang untuk mencapai tujuan yang sulit dicapai secara perseorangan (Abdulkadir Muhammad, 2010: 152). H.E Erdman dalam bukunya yang berjudul Passing Monopoly as an Aim of Cooperative sebagaimana dikutip oleh Zaeni Asyhadie dan Budi Sutrisno mengemukakan definisi koperasi sebagai berikut: a. Koperasi melayani anggota, yang macam pelayanannya sesuai dengan macam koperasi. b. Rapat anggota memutuskan kebijakan dasar serta mengangkat dan memberhentikan pengurus.
79
c. Pengurus bertanggung jawab dalam menjalankan usaha dan dapat mengangkat karyawan untuk melaksanakan kebijaksanaan yang diterima dari rapat anggota. d. Tiap anggota mempunyai hak satu suara dalam rapat anggota tahunan. Partisipasi anggota lebih diutamakan daripada modal yang dimasukkan. e. Anggota membayar simpanan pokok, wajib, dan sukarela. Koperasi juga dimungkinkan meminjam modal dari luar. f. Koperasi membayar bunga pinjaman sesuai dengan batas yang berlaku, yaitu sesuai dengan tingginya yang berlaku di masyarakat. g. SHU (Sisa Hasil Usaha) dibayarkan kepada anggota yang besarnya sesuai dengan jasa anggota (Zaeni Asyhadie dan Budi Sutrisno, 2012: 129). Secara normatif, koperasi diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, yang selanjutnya disingkat UU Perkoperasian. Pengertian koperasi menurut ketentuan Pasal 1 angka 1 UU Perkoperasian adalah badan usaha yang beranggotakan orang-seorang dan badan hukum Koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip Koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan. Berpangkal pada definisi tersebut, dapat dikemukakan bahwa koperasi memiliki ciri-ciri sebagai berikut: a. Koperasi merupakan perkumpulan orang-orang termasuk badan hukum yang mempunyai kepentingan dan tujuan yang sama. b. Anggota-anggotanya menggabungkan diri secara sukarela menjadi anggota yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama sebagai pencerminan demokrasi dalam ekonomi. c. Kerugian dan keuntungan ditanggung dan dinikmati bersama secara adil dan berimbang. d. Pengawasan dilakukan oleh anggota dalam suatu rapat anggota tahunan. e. Koperasi mempunyai sifat saling tolong menolong, khususnya dalam kredit simpan pinjam.
80
h. Koperasi membayar sejumlah uang sebagai simpanan pokok dan simpanan wajib sebagai syarat menjadi anggota. (Zaeni Asyhadie dan Budi Sutrisno, 2012: 131). Pendirian koperasi sudah barang tentu memiliki maksud dan tujuan. Sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UU Perkoperasian, koperasi bertujuan untuk memajukan kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya serta ikut membangun tatanan perekonomian nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat yang maju, adil, dan makmur berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Sementara terkait dengan fungsi dan peran koperasi diatur dalam Pasal 4 UU Perkoperasian sebagaimana dinyatakan berikut ini: Fungsi dan peran koperasi adalah: a. membangun dan mengembangkan potensi dan kemampuan ekonomi anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosialnya; b. berperan serta secara aktif dalam upaya mempertinggi kualitas kehidupan manusia dan masyarakat; c. memperkokoh perekonomian rakyat sebagai dasar kekuatan dan ketahanan perekonomian nasional dengan koperasi sebagai sokogurunya; d. berusaha untuk mewujudkan dan mengembangkan perekonomian nasional yang merupakan usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan dan demokrasi ekonomi. Merujuk pada fungsi dan peran sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 4 UU Perkoperasian, pendirian dan pengelolaan koperasi senantiasa dilaksanakan berdasarkan prinsip koperasi. Berdasarkan Penjelasan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) UU Perkoperasian, prinsip koperasi merupakan satu kesatuan dan tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan berkoperasi. Dengan melaksanakan keseluruhan prinsip tersebut koperasi mewujudkan dirinya sebagai badan usaha sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berwatak sosial. Prinsip koperasi ini merupakan esensi dari dasar kerja koperasi sebagai badan usaha dan merupakan ciri khas dan jatidiri koperasi yang membedakannya dari badan usaha lainnya. Prinsip koperasi tersebut antara lain mencakup: Ayat (1) a. Keanggotaan bersifat sukarela dan terbuka.
81
Sifat kesukarelaan dan terbuka mengandung makna bahwa menjadi anggota koperasi tidak boleh dipaksakan siapapun. Sifat kesukarelaan juga mengandung makna bahwa seorang anggota dapat mengundurkan diri dari koperasinya sesuai dengan syarat yang ditentukan dalam anggaran dasar koperasi. Sementara itu, sifat terbuka memiliki arti bahwa dalam keanggotaan tidak dilakukan pembatasan atau diskriminasi dalam bentuk apapun. b. Pengelolaan dilakukan secara demokratis. Prinsip demokrasi menunjukkan bahwa pengelolaan koperasi dilakukan atas kehendak dan keputusan para anggota. Para anggota itulah yang memegang dan melaksanakan tertinggi dalam koperasi. c. Pembagian sisa hasil usaha dilakukan secara adil sebanding dengan besarnya jasa usaha masing-masing anggota. Pembagian sisa hasil usaha kepada anggota dilakukan tidak sematamata berdasarkan modal yang dimiliki seseorang dalam koperasi, tetapi juga berdasarkan perimbangan jasa usaha anggota terhadap koperasi. Ketentuan yang demikian ini merupakan perwujudan nilai kekeluargaan dan keadilan. d. Pemberian balas jasa yang terbatas terhadap modal. Modal dalam koperasi pada dasarnya dipergunakan untuk kemanfaatan anggota dan bukan sekadar mencari keuntungan. Oleh karena itu, balas jasa terhadap modal yang diberikan kepada para anggota juga terbatas dan tidak didasarkan semata-mata atas besarnya modal yang diberikan. Hal yang dimaksud dengan terbatas adalah wajar, dalam arti tidak melebihi suku bunga yang berlaku di pasar. e. Kemandirian. Kemandirian mengandung pengertian dapat berdiri sendiri, tanpa bergantung pada pihak lain yang dilandasi oleh kepercayaan kepada pertimbangan, keputusan, kemampuan, dan usaha sendiri. Dalam kemandirian terkandung pula pengertian kebebasan yang bertanggung jawab, otonomi, swadaya, berani mempertanggungjawabkan perbuatan sendiri, dan kehendak untuk mengelola diri sendiri. Ayat (2) Di samping kelima prinsip sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), untuk pengembangan dirinya koperasi juga melaksanakan dua prinsip koperasi yang lain yaitu pendidikan perkoperasian dan kerjasama antar koperasi merupakan prinsip koperasi yang penting dalam meningkatkan kemampuan, memperluas wawasan anggota, dan memperkuat solidaritas dalam mewujudkan tujuan koperasi. Kerjasama dimaksud dapat dilakukan antar koperasi di tingkat lokal, regional, nasional, dan internasional. Terkait dengan bentuk dan jenis koperasi, Pasal 15 UU Perkoperasian mengatur bahwa koperasi dapat berbentuk Koperasi Primer atau Koperasi
82
Sekunder. Koperasi Primer berdasarkan Pasal 1 angka 3 UU Perkoperasian adalah koperasi yang didirikan oleh dan beranggotakan orang-seorang. Sementara yang dimaksud dengan Koperasi Sekunder sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 4 UU Perkoperasian adalah koperasi yang didirikan oleh dan beranggotakan koperasi. Terkait dengan syarat pembentukannya, Pasal 6 ayat (1) UU Perkoperasian mengatur yakni Koperasi Primer dibentuk oleh sekurang-kurangnya 20 (dua puluh) orang, sementara Pasal 6 ayat (2) mengatur syarat pendirian Koperasi Sekunder yakni dibentuk sekurang-kurangnya oleh 3 (tiga) koperasi. Selain syarat tersebut diatas, Pasal 16 UU Perkoperasian mengatur bahwa jenis koperasi didasarkan pada kesamaan kegiatan dan kepentingan ekonomi anggotanya. Seiring dengan perkembangannya, dalam tataran praktis kini dapat ditemui jenis-jenis koperasi di antaranya: a. Ditinjau dari sejarah timbulnya gerakan koperasi, dikenal adanya jenis Koperasi Konsumsi, Koperasi Kredit, Koperasi Produksi, Koperasi Jasa, dan Koperasi Distribusi, dan lain sebagainya. b. Berdasarkan golongan fungsional, dikenal adanya Koperasi Pegawai Negeri (KPN), Koperasi Angkatan Darat (Kopad), Koperasi Angkatan Laut (Kopal), Koperasi Angkatan Udara (Kopau), Koperasi Angkatan Kepolisian (Koppol), Koperasi Pensiunan Angkatan Darat, Koperasi Pensiunan (Koppen), Koperasi Karyawan (Kopkar), Koperasi Mahasiswa (Kopma), Koperasi Sekolah, dan lain sebagainya. c. Berdasarkan lapangan usaha, terdapat Koperasi Unit Desa (KUD), Koperasi Konsumsi, Koperasi Pertanian, Koperasi Peternakan, Koperasi Perikanan, Koperasi Kerajinan/Industri, Koperasi Simpan Pinjam/Kredit, Koperasi Asuransi, dan lain sebagainya (Muhammad Firdaus dan Agus Edhi S., 2002: 62-69). Sebagaimana diatur dalam Pasal 16 ayat (1) UU Perbankan bahwa setiap pihak yang melakukan kegiatan yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan wajib terlebih dahulu memperoleh izin usaha sebagai Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat dari Pimpinan Bank Indonesia, kecuali apabila kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dimaksud diatur dalam
83
Undang-undang tersendiri. Ketentuan tersebut mengharuskan kepada setiap pihak yang melakukan kegiatan usaha berupa menghimpun dana dari masyarakat harus mendapat izin usaha sebagai Bank Umum atau BPR dari Bank Indonesia, yang mana saat ini kewenangannya telah beralih ke Otoritas Jasa Keuangan. Artinya bahwa setiap badan usaha yang melakukan kegiatan berupa menghimpun dana dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat wajib memperoleh izin usaha dan menamakan dirinya sebagai bank. Ketentuan Pasal 16 ayat (1) UU Perbankan juga memberikan peluang kepada badan usaha selain bank untuk melakukan kegiatan usaha sebagaimana yang dijalankan oleh bank, sepanjang diatur oleh undang-undang tersendiri. Ketentuan tersebutlah yang melegitimasi Koperasi Simpan Pinjam untuk melakukan usaha menghimpun dan menyalurkan dana kepada masyarakat. Undang-undang tersendiri yang mengatur ialah UU Perkoperasian. Sehingga, bagi bank yang berbentuk badan hukum koperasi, maka selain berpijak pada pengaturan UU Perbankan, juga harus mematuhi payung hukum badan hukum koperasi yaitu UU Perkoperasian. Sementara badan usaha selain bank yang menjalankan kegiatan usaha sebagaimana dijalankan oleh bank, seperti Koperasi Simpan Pinjam, hanya tunduk pada UU Perkoperasian. Landasan yuridis bagi koperasi yang kegiatan usahanya terkonsentrasi pada lapangan usaha simpan pinjam adalah Pasal 44 ayat (1) dan ayat (2) UU Perkoperasian yang dinyatakan sebagai berikut: (1) Koperasi dapat menghimpun dana dan menyalurkan melalui kegiatan usaha simpan pinjam dari dan untuk: a. anggota Koperasi yang bersangkutan; b. Koperasi lain dan/atau anggotanya. (2) Kegiatan usaha simpan pinjam dapat dilaksanakan sebagai salah satu atau satu-satunya kegiatan usaha Koperasi. Mencermati ketentuan tersebut, dapat diketahui bahwa Koperasi Jasa Keuangan baik yang berbentuk Koperasi Simpan Pinjam maupun Koperasi Jasa Keuangan Syariah hanya diperbolehkan untuk menghimpun dan menyalurkan dana dari dan untuk anggota koperasi yang bersangkutan (M. Muhtarom, 2013: 40). Secara mutatis mutandis, ketentuan tersebut tentunya juga berlaku terhadap bank yang berbentuk badan hukum koperasi. Kendati koperasi tersebut telah
84
mendapatkan izin untuk menjalankan kegiatan usaha sebagai bank, namun tetap harus mengedepankan fungsi dan peranan koperasi yang sesungguhnya yaitu membantu dan mengembangkan potensi anggotanya berdasarkan asas kekeluargaan. Penulis berpandangan bahwa PD. BPR-BKK dan lembaga perbankan mikro lainnya yang telah bertransformasi menjadi BPR, tidaklah tepat apabila menggunakan bentuk badan hukum berupa koperasi. Penulis mengira bahwa BPR dan koperasi merupakan badan usaha dengan karakteristik konsepsi pengelolaan yang berbeda secara elementer satu sama lain, sehingga bukanlah merupakan langkah yang tepat apabila BPR mengadopsi bentuk badan hukum koperasi, terlebih BPR tersebut adalah milik pemerintah daerah. Beberapa perbedaan tersebut antara lain dijelaskan dalam tabel berikut ini: Tabel 13. Perbedaan BPR dengan Koperasi Aspek Kelembagaan
BPR
Koperasi
Instrumen Penghimpun
Tingkat suku bunga.
Dana
Kebersamaan
kemampuan anggota.
Kepemilikan
WNI,
badan
hukum
Anggota.
Indonesia yang seluruh pemiliknya
WNI,
pemerintah daerah, atau dimiliki
bersama
ketiganya. Proses Keputusan
dan
Pengambilan Pada
badan
hukum
tertentu, untuk PT dan Perusahaan Daerah
Perseroan
berada
RUPS,
sementara
Perusahaan Daerah
pada
berada
umum pada
direksi
dengan
persetujuan
kepala
Rapat Anggota.
85
daerah
selaku
wakil
daerah sebagai pemilik modal. Orientasi Usaha
Profit (Commercial
Kesejahteraan ekonomi
Bussiness).
dan sosial anggota (Social Bussiness).
Lapangan Usaha
Tidak berkaitan dengan Berkaitan kepentingan nasabah.
langsung
dengan
kesamaan
kepentingan anggota. Hubungan
dengan Berdasarkan
Nasabah
formal
aturan Asas
yang
kekeluargaan,
telah kebersamaan,
disepakati
dan
dalam gotong royong.
kontrak/ perjanjian.
Hanya
menghimpun
dan menyalurkan dana dari dan untuk anggota. Pembagian Keuntungan
Impersonal Financial
Personal and
Basis.
Participatory Basis.
atau SHU Pengawasan Pembinaan
dan Pengawas adalah
eksternal Pengawas
Otoritas
Jasa dipilih dari dan oleh
Keuangan. Pada
internal
anggota koperasi dan
badan
hukum Rapat Anggota.
tertentu, untuk PT dan Pengawasan Perusahaan
Perseroan dilaksanakan
Daerah
dilakukan pemerintah
pengawasan oleh
internal menteri
komisaris,
pengawasan usaha
dilaksanakan
(Sumber: UU Perbankan dan UU Perkoperasian)
melalui
khusus
perkoperasian, kecil,
oleh menengah.
dewan pengawas.
oleh
yang
dan membidangi
bagi Perusahaan umum urusan Daerah
eksternal
dan
86
Mencermati tabel tersebut, maka bentuk badan hukum koperasi menjadi tidak tepat apabila diaplikasikan kepada BPR. Hal tersebut dilandasi pada beberapa argumentasi. Pertama, adanya perbedaan substansi pada nomenklatur “anggota” dalam koperasi dengan “nasabah” dalam dunia perbankan. Pasal 17 UU Perkoperasian menyatakan bahwa anggota koperasi adalah pemilik sekaligus pengguna jasa koperasi. Sementara Pasal 1 angka 6 UU Perbankan mengatur bahwa nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa bank. Nasabah dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu nasabah penyimpan dan nasabah debitor. Pasal 1 angka 7 UU Perbankan menjelaskan bahwa nasabah penyimpan adalah nasabah yang menempatkan dananya di bank dalam bentuk simpanan berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan. Sementara yang dimaksud dengan nasabah debitor menurut ketentuan Pasal 1 angka 8 UU Perbankan adalah nasabah yang memperoleh fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah atau yang dipersamakan dengan itu berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan. Mencermati ketentuan tersebut, dapat diidentifikasi bahwa dalam konsep koperasi, pengguna jasa koperasi disebut sebagai anggota, dan anggota juga merupakan pemilik koperasi. Sementara dalam konsep perbankan, pengguna jasa layanan perbankan dikenal dengan nomenklatur nasabah, yang mana nasabah yang menghimpun dananya dinamakan nasabah penyimpan, sementara nasabah yang menerima fasilitas kredit dinamakan nasabah debitor, namun kedua nasabah tersebut bukanlah merupakan pemilik bank yang bersangkutan. Perbedaan nomenklatur tersebut akan berimbas pada kerancuan bagi BPR yang berbadan hukum koperasi. Penggunaan badan hukum koperasi dalam usaha BPR akan bertentangan dengan prinsip pendirian yang merupakan jatidiri koperasi. Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 44 ayat (1) UU Perkoperasian bahwa koperasi hanya dapat menghimpun dan menyalurkan dana melalui usaha simpan pinjam dari dan untuk anggota koperasi atau koperasi lain dan/atau anggotanya. Konsekuensinya adalah BPR berbadan hukum koperasi harus menjadikan para nasabahnya sebagai anggota dan secara sekaligus sebagai
87
pemilik. Ketentuan lain terkait dengan keanggotaan ialah Pasal 19 ayat (1) UU Perkoperasian yang mengatur bahwa keanggotaan koperasi didasarkan pada kesamaan kepentingan ekonomi dalam lingkup usaha koperasi. Tentunya tidak semua nasabah BPR memiliki kepentingan dan tujuan yang sama. Oleh karena bentuk badan hukum yang digunakan adalah koperasi, maka semua nasabah bank yang bersangkutan diubah statusnya menjadi anggota. Nasabah yang telah berstatus sebagai anggota koperasi memikul kewajiban sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat (1) huruf b UU Perkoperasian yaitu berpartisipasi dalam kegiatan usaha yang diselenggarakan oleh koperasi. Permasalahannya terletak pada status nasabah penyimpan, yang mana dengan berdasarkan asas kepercayaan hanya bermaksud untuk menitipkan atau menginvestasikan dananya dan tidak berkeinginan untuk turut aktif dalam kegiatan usaha. Jika nasabah penyimpan tersebut menyimpan dananya pada BPR berbadan hukum koperasi, setelah diubah statusnya menjadi anggota maka melekat kepadanya kewajiban untuk berpartisipasi dalam kegiatan BPR yang bersangkutan. Penulis menilai bahwa beberapa hal tersebut bertolak belakang dengan prinsip pendirian koperasi yaitu sifat kesukarelaan dan terbuka yang mengandung makna bahwa menjadi anggota koperasi tidak boleh dipaksakan oleh sebab apapun dan siapapun, dan karena terdapat kesamaan kepentingan dan tujuan maka dengan penuh kesadaran bertekad untuk saling tolong menolong pada sesama anggota maupun menolong diri sendiri. Jatidiri koperasi merupakan parameter untuk mengukur suatu koperasi apakah telah berada di jalur yang benar atau tidak, sehingga akan menyadarkan koperasi bahwa falsafah pendiriannya adalah dari, oleh, dan untuk anggota (Djabaruddin Djohan, 2008: 2). Penerapan bentuk badan hukum koperasi bagi BPR akan melunturkan jatidiri koperasi, yang mana esensi daripada koperasi tidak seperti yang dinilai atau yang dimengerti oleh anggota. Kedua, perbedaan dalam sifat kepemilikan. Salah satu prinsip pendirian koperasi sebagaimana diatur dalam UU Perkoperasian adalah prinsip pembagian Sisa Hasil Usaha (SHU) dan pemberian balas jasa yang terbatas terhadap modal. Prinsip tersebut menghendaki bahwa pemberian SHU tidak
88
semata-mata berdasarkan modal yang dimiliki anggota dalam koperasi, melainkan juga didasarkan atas perimbangan jasa usaha anggota terhadap koperasi. Modal dalam koperasi pada dasarnya dipergunakan untuk kemanfaatan anggota dan bukan untuk sekadar mencari keuntungan. Balas jasa terhadap modal yang diberikan kepada para anggota juga terbatas, dalam artian tidak didasarkan semata-mata atas besarnya modal yang diberikan. Hal tersebut merupakan manifestasi atas perwujudan nilai kekeluargaan dan keadilan. Ketentuan tersebutlah yang merupakan keunikan dalam sifat kepemilikan koperasi, yaitu personal and participatory basis, artinya bahwa kepemilikan dan suara anggota bersifat perseorangan, one member one vote, faktor jasa dan keaktifan anggota akan menentukan peran sertanya dan pembagian SHU. Sebagaimana dikatakan oleh Mohammad Hatta bahwa koperasi memiliki disiplin dan dinamik sendiri, yang sandarannya adalah orang, bukan uang, sehingga koperasi merupakan kumpulan daripada manusia, sedangkan uang faktor kedua (Mohammad Hatta, 2002: 183). Lain halnya dengan sifat kepemilikan BPR yaitu impersonal financial basis, artinya kepemilikan terbesar ditentukan oleh seberapa besar modal yang ditanamkan. Semakin besar modal yang ditanam akan semakin besar kepemilikannya pada BPR tersebut. BPR tidak memperhitungkan faktor jasa atau partisipasi nasabah dalam BPR yang bersangkutan. Pembagian hasil keuntungan didasarkan atas seberapa besar dana yang disimpan atau diinvestasikan pada BPR tersebut, semakin besar jumlah dana yang ditanamkan, maka keuntungan yang akan didapatkan juga akan semakin besar. Keuntungan tersebut diberikan melalui instrumen pengumpulan dana pada BPR, yaitu berdasarkan tingkat suku bunga. Hal tersebutlah yang membedakan dengan koperasi, yang mana instrumen pengumpulan dananya adalah didasarkan atas kebersamaan dan kemampuan anggota. Ketiga, terdapat perbedaan orientasi usaha antara BPR dengan koperasi. Pada prinsipnya, setiap badan usaha sudah barang tentu memiliki orientasi yang bersifat ekonomis, yaitu mengejar keuntungan. Jika merujuk pada jatidiri koperasi, maka manajemen pada kegiatan usaha koperasi sarat akan nilai-nilai
89
sosial dan etika. Koperasi merupakan badan usaha yang berwatak sosial, berorientasi pada pelayanan anggota, dan tidak didasarkan atas keuntungan semata (social bussiness). Frank Robotka dalam bukunya yang berjudul A Theory of Cooperative sebagaimana dikutip oleh Zaeni Asyhadie dan Budi Sutrisno (2012: 128-129) menyatakan bahwa koperasi adalah suatu kebalikan persaingan, yaitu anggota lebih bersifat kerjasama daripada persaingan di antara mereka, bukan merupakan perkumpulan modal dan tidak mengejar keuntungan, berbeda dengan badan usaha bukan koperasi yang mengutamakan modal dan berusaha mendapat keuntungan. Hal tersebutlah yang selaras dengan nilai menolong diri sendiri, persamaan, keadilan, solidaritas, tanggung jawab sosial yang menjadi keunggulan kompetitif daripada koperasi (Djabaruddin Djohan, 2008: 3). Bahkan, jika menilik kembali Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 28/PUU-XI/2013 dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang dalam amar putusannya menyatakan bahwa Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Berdasarkan pertimbangan hukumnya, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian tidak mengandung pengertian substantif sebagaimana dimaksud Pasal 33 ayat (1) UUD NRI 1945, sehingga konsep koperasi dalam undang-undang tersebut merupakan bangun perusahaan yang khas dan mengandung individualisme. Mencermati hal tersebut, Mahkamah Konstitusi membatalkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1012 tentang Perkoperasian karena undang-undang tersebut berjiwa korporasi dan individualisme, hal ini tentunya telah menciderai roh konstitusional koperasi sebagai entitas pelaku ekonomi bangsa yang berfilosofi kekeluargaan, kebersamaan, dan gotong royong. Pertimbangan hukum lainnya yang diberikan oleh Mahkamah Konstitusi ialah terdapat aturan yang mewajibkan anggota untuk membeli Sertifikat Modal Koperasi (SMK) dan adanya upaya korporatisasi yang membuka peluang bagi non-anggota untuk menyertakan atau menginvestasikan modal pada koperasi merupakan bentuk pengrusakan
90
terhadap prinsip kesukarelaan dan keterbukaan serta prinsip kemandirian. Jochen Ropke berpendapat bahwa semakin koperasi bertambah terlibat dalam usaha non-anggota, maka semakin mungkin ia akan melepaskan sifat-sifat koperasinya dan kemudian secara bertahap akan berubah menjadi organisasi yang didominasi oleh para pemegang saham/modal (Jochen Ropke, 2003: 20). Mencermati hal tersebut, tentunya menjadi sebuah dilematika apabila BPR berbadan hukum koperasi. Di satu sisi BPR membutuhkan modal yang tidak sedikit untuk berekspansi dalam kegiatan usahanya, termasuk dengan merangkul banyak nasabah agar menginvestasikan dananya, akan tetapi di sisi lain sebagai badan hukum koperasi terkekang pada jatidiri yaitu entitas pelaku ekonomi yang berprinsipkan kesukarelaan dan kemandirian, sehingga usahanya terbatas pada pelayanan anggota. Menjadi tidak tepat apabila BPR, utamanya milik pemerintah daerah termasuk PD. BPR-BKK, mengadopsi bentuk badan hukum koperasi mengingat sifat-sifat badan usahanya yang berbeda dengan badan hukum koperasi. Keempat, jika BPR berbadan hukum koperasi, maka akan terjadi benturan dalam pengawasan dan pembinaannya. Sebagai lembaga perbankan, BPR berada di bawah pengawasan dan pembinaan dari otoritas tertinggi di bidang keuangan, yaitu Otoritas Jasa Keuangan. Sementara pengawasan operasional dan pembinaan koperasi dilakukan oleh pemerintah melalui menteri yang membidangi khusus urusan perkoperasian, usaha kecil, dan menengah. Apabila BPR berbadan hukum koperasi, tentunya akan terjadi tumpang tindih dalam
hal
pengawasan
dan
pembinaannya,
yaitu
apakah
kegiatan
operasionalnya diawasi dan dibina oleh Otoritas Jasa Keuangan selaku otoritas tertinggi di bidang jasa keuangan, atau harus diawasi dan dibina oleh menteri di tingkat pusat yang membidangi urusan perkoperasian, usaha kecil, dan menengah dan pejabat yang diberi wewenang menjalankan tugas pembantuan di daerah dengan tujuan agar pengelolaan koperasi dilakukan secara baik dan terkendali sehingga menimbulkan kepercayaan dari pihak yang terkait. Berdasarkan pada beberapa argumentasi tersebut, maka sudah semestinya lembaga perbankan mikro, baik yang sudah bertransformasi
91
menjadi BPR seperti PD. BPR-BKK dan lain sebagainya yang dipersamakan dengan itu, maupun yang baru akan bertransformasi menjadi BPR, tidaklah tepat apabila memilih bentuk badan hukum koperasi. Selain atas beberapa pertimbangan sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, koperasi nyatanya masih memiliki beberapa kelemahan, di antaranya: a. Umumnya terdapat keterbatasan sumber daya manusia, baik pengurus maupun anggota terhadap pengetahuan tentang perkoperasian. b. Koperasi identik dengan usaha kecil, sehingga sulit untuk bersaing dengan badan usaha lain. c. Modal koperasi relatif terbatas atau kecil bila dibandingkan dengan badan usaha lain. Para pihak dalam koperasi umumnya ialah orang-orang yang tidak bermodal, sehingga untuk mendapatkan modal yang besar harus banyak anggotanya (Zaeni Asyhadie dan Budi Sutrisno, 2012: 147-148). Berdasarkan hal tersebut, apabila BPR berbentuk badan hukum koperasi tentunya akan mengalami kesulitan untuk memenuhi ketentuan sebagai BPR sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 10/POJK.03/2016 tentang Pemenuhan Ketentuan Bank Perkreditan Rakyat Dan Transformasi Badan Kredit Desa Yang Diberikan Status Sebagai Bank Perkreditan
Rakyat.
Implikasinya
adalah
BPR
tidak
akan
dapat
mengoptimalkan kegiatan usahanya, sehingga tujuannya untuk meningkatkan taraf hidup rakyat banyak dan menggali keuntungan tidak akan dapat terpenuhi. Berdasarkan pada inventarisasi peraturan daerah, bahwa lembaga perbankan mikro yang telah bertransformasi menjadi BPR didirikan dengan maksud dan tujuan untuk menjangkau golongan ekonomi lemah dan pengusaha kecil atau UMKM dan koperasi. Koperasi senantiasa disejajarkan dengan UMKM, karena pada dasarnya sedikit banyak koperasi memiliki kendala yang sama dengan UMKM yaitu minimnya permodalan dan kualitas sumber daya manusia yang kurang memadai. Besar atau kecilnya operasional bank juga tergantung sepenuhnya kepada kemampuannya untuk menarik dana masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kembali dalam bentuk kredit (Try Widiyono, 2005: 87). Sementara manajemen yang profesional diperlukan untuk
92
memberikan
kepercayaan
kepada
masyarakat
agar
menyimpan
atau
menginvestasikan dananya kepada bank. Mencermati hal tersebut, maka BPR berbadan hukum koperasi akan mengalami kesulitan untuk berekspansi dalam kegiatan usaha karena pada kenyataannya koperasi memiliki keterbatasan dalam struktur permodalan dan manajemen pengelolaan. Di sinilah fungsi bank utamanya BPR terlihat nyata, yaitu turut mengembangkan dan mendorong koperasi dan UMKM dengan memberikan suntikan modal dan pembinaan. Tujuan lain yang hendak dicapai BPR utamanya milik pemerintah daerah adalah mencari keuntungan agar dapat berkontribusi pada penerimaan daerah. Untuk mencapai tujuan tersebut, sudah barang tentu harus disokong dengan permodalan yang kuat dan profesionalisme dalam pengelolaannya. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 10/POJK.03/2016 tentang Pemenuhan Ketentuan Bank Perkreditan Rakyat Dan Transformasi Badan Kredit Desa Yang Diberikan Status Sebagai Bank Perkreditan Rakyat dibentuk dengan maksud agar lembaga perbankan mikro yang secara sosiologis dibutuhkan oleh masyarakat dan telah banyak membantu masyarakat, memiliki permodalan kuat dan manajemen pengelolaan yang lebih profesional, salah satu langkahnya ialah dengan bertransformasi menjadi BPR, akan tetapi bukanlah hal yang tepat jika memilih bentuk badan hukum koperasi. Tidak dapat dimungkiri bahwa tidak semua lembaga perbankan mikro dapat bertransformasi menjadi BPR, mengingat lembaga perbankan mikro di setiap daerah memiliki ciri dan karakteristik yang berbeda. Sebagai contoh adalah LPD di Propinsi Bali. Pasal 2 ayat (1) Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 8 Tahun 2002 tentang Lembaga Perkreditan Desa menyatakan bahwa LPD merupakan badan usaha keuangan milik desa yang melaksanakan kegiatan usaha di lingkungan desa dan untuk Krama Desa. Kegiatan usaha LPD diatur dalam Pasal 7 ayat (1) yaitu lapangan usahanya mencakup menerima/menghimpun dana dari Krama Desa dalam bentuk tabungan dan deposito dan memberikan pinjaman hanya kepada Krama Desa. Sementara yang dimaksud Krama Desa menurut Pasal 9 adalah mereka yang menempati
93
karang Desa Pakraman/ karang Banjar Pakraman dan/atau bertempat tinggal di wilayah Desa/ Banjar Pakraman atau di tempat lain yang menjadi warga Desa/ banjar pakraman. Penulis berpandangan bahwa LPD merupakan lembaga intermediasi keuangan yang berbasiskan anggota, karena falsafah kegiatannya adalah dari dan untuk anggota, yang dalam hal ini adalah Krama Desa. Mencermati ketentuan Pasal 2 ayat (2) dapat diketahui bahwa LPD juga merupakan badan usaha milik desa di bidang keuangan, sehingga kegiatan usahanya berbasiskan desa dan untuk kesejahteraan masyarakat desa pakraman. Hemat penulis untuk LPD tidaklah tepat jika bertransformasi menjadi BPR, akan menjadi lebih tepat jika bertransformasi menjadi koperasi atau Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa). Namun, tidak menutup kemungkinan untuk bertransformasi menjadi BPR. Jika ingin bertransformasi menjadi BPR, maka harus memenuhi ketentuan pengukuhan menjadi BPR, serta mengubah dan menyesuaikan prinsip kegiatan usahanya sesuai dengan prinsip kegiatan usaha yang dijalankan oleh BPR sebagaimana telah penulis uraikan sebelumnya. 2. Bentuk Badan Hukum BUMD Aminuddin Ilmar menyatakan bahwa pengusahaan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak tidak harus selalu diselenggarakan atau diusahakan oleh negara secara penuh melalui perusahaan negara, melainkan negara dapat memainkan fungsi pengurusan (besturdaad), yaitu memberikan izin kepada perorangan atau swasta untuk mengusahakannya (Aminuddin Ilmar, 2012: 64). Hal tersebut selaras dengan pendapat Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 002/PUU-I/2003 atas pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi terhadap UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai berikut: Mahkamah berpendapat, ketentuan Pasal 33 UUD 1945 tidaklah menolak privatisasi, asalkan privatisasi itu tidak meniadakan penguasaan Negara, c.q. Pemerintah, untuk menjadi penentu utama kebijakan usaha dalam cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak. Pasal 33 UUD 1945 juga tidak menolak kompetisi di antara para pelaku usaha, asalkan kompetisi itu tidak meniadakan penguasaan oleh negara yang mencakup
94
kekuasaan untuk mengatur (regelendaad), mengurus (bestuurdsdaad), mengelola (beheersdaad), dan mengawasi (toezichthoudensdaad) cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Hak menguasai negara terhadap cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak serta terhadap sumber daya alam tidak menafikan kemungkinan perorangan atau swasta berperan, asalkan tidak meniadakan lima peranan negara/pemerintah terkait dengan pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdad), kebijakan (beleid), pengurusan (bestuurdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad). Jika dikaitkan dengan sektor perbankan, maka sektor perbankan merupakan salah satu sektor yang dapat diprivatisasi, karena UU Perbankan telah mengatur bahwa bank dapat didirikan dan/atau dimiliki oleh negara maupun swasta atau orangperseorangan. Hal tersebut selaras dengan asas UU Perbankan yaitu asas demokrasi ekonomi. Asas demokrasi ekonomi yang tertuang dalam UUD NRI tahun 1945 menghendaki untuk dihindarinya hal-hal sistem etatisme (dominasi ekonomi oleh negara beserta aparaturnya yang menekan dan mematikan potensi unit-unit ekonomi masyarakat di luar sektor negara) dan sistem monopoli (pemusatan kekuatan ekonomi di tangan kelompok tertentu yang menimbulkan persaingan yang tidak sehat yang bertentangan dengan cita-cita keadilan sosial) (M. Muhtarom, 2013: 36). Pasal 76 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, yang selanjutnya disingkat UU BUMN, mengatur bahwa sektor yang dapat diprivatisasi adalah sektor/industri usahanya yang kompetitif dan unsur teknologinya cepat berubah. Penulis berpandangan bahwa sektor perbankan telah memenuhi kedua kriteria tersebut dan kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 UU BUMN, dengan catatan privatisasi terhadap sektor perbankan tidak meniadakan lima peranan negara/pemerintah sebagaimana telah penulis uraikan sebelumnya. Kendati sektor perbankan merupakan salah satu sektor yang dapat diprivatisasi, namun sektor perbankan tetaplah harus diarahkan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Hal tersebut sesuai dengan tujuan Perbankan
95
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 UU Perbankan bahwa Perbankan Indonesia bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak. Pada kenyataannya dalam hal ekspansi untuk memberikan kredit kepada UMKM dan golongan ekonomi lemah lebih banyak dan efektif dilaksanakan oleh bank milik pemerintah dibandingkan dengan bank swasta baik swasta nasional maupun swasta asing (Siti Rahmi Utami, 2015: 49). Adanya PD. BPR-BKK dan lembaga perbankan mikro lainnya milik pemerintah daerah merupakan pengejawantahan
negara
dalam
melaksanakan
fungsi
pengelolaan
(beheersdaad) yaitu melalui mekanisme pemilikan saham (share holding) dan/atau keterlibatan langsung dalam manajemen Badan Usaha Milik Negara atau Badan Hukum Milik Negara sebagai instrumen kelembagaan melalui mana negara c.q. Pemerintah mendayagunakan penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan itu untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, fungsi ini dilakukan oleh perusahaan daerah (Yance Arizona, 2008: 7). PD. BPR-BKK sebagai salah satu BUMD di bidang perbankan perlu untuk diberikan penguatan terhadap kelembagaannya, agar dapat menjalankan fungsinya sebagai salah satu kelengkapan otonomi daerah. Melalui instrumen di tingkat daerah, bentuk badan hukum BUMD berusaha untuk disejajarkan dengan bentuk badan hukum BUMN (Munawar Kholil, 2009: 26-27). Sejak diberlakukannya UU Pemerintahan Daerah hingga saat ini belum terdapat peraturan pelaksanaan terbaru yang mengatur mengenai BUMD. Penulis berpandangan bahwa pengaturan BUMD untuk sementara ini dapat mengadopsi konsep pengaturan BUMN sebagaimana diatur dalam UU BUMN. UU BUMN memang tidak menyatakan secara tegas bahwa ketentuan di dalamnya berlaku mutatis mutandis terhadap BUMD. Ketentuan Pasal 2 huruf g Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara menyatakan bahwa Keuangan Negara meliputi kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau pihak lain berupa uang, surat berharga,
96
piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah. Hal yang demikian juga diatur dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 39
Tahun
2007
tentang
Pengelolaan
Uang
Negara/Deerah
bahwa
Perbendaharaan Negara adalah pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara, termasuk investasi dan kekayaan yang dipisahkan, yang ditetapkan dalam APBN dan APBD. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 48 dan 62/PUU-XI/2013 atas pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara masih menganggap penyertaan modal yang ada pada BUMN maupun BUMD masih menjadi domain keuangan negara, sehingga keuangan negara juga merupakan keuangan daerah (Ambar Budhisulistyawati, dkk, 2015: 59-60). Penyelenggaraan pemerintahan daerah pada dasarnya merupakan penyelenggaraan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 5 UU Pemerintahan Daerah, yaitu untuk melindungi, melayani, memberdayakan, dan menyejahterakan masyarakat. Pengelolaan BUMD untuk sementara waktu dapat mengadopsi konsep pengelolaan BUMD sebagaimana diatur dalam UU BUMN, akan tetapi BUMD memiliki peran yang berbeda dengan BUMN, yang mana BUMD hanya sebatas pada lingkup daerah yang tidak memiliki akses langsung ke perekonomian nasional atau langsung menjalankan peranan negara dalam kedudukannya sebagai badan hukum publik sebagaimana yang dapat dijalankan oleh BUMN (Made Gde Subha Karma Resen dan Yudho Taruno Muryanto, 2014: 130). Berikut penulis sajikan tabel perbandingan BUMN dan BUMD: Tabel 14. Perbandingan BUMN dan BUMD Aspek Pijakan Yuridis
BUMN
BUMD
Undang-Undang Nomor 19 Undang-Undang
tentang
Tahun 2003 tentang Badan Pemerintahan Daerah. Usaha Milik Negara. Deskripsi
Badan usaha yang seluruh Badan usaha yang seluruh atau
sebagian
besar atau
sebagian
besar
97
modalnya
dimiliki
oleh modalnya
dimiliki
oleh
negara melalui penyertaan Daerah. secara
langsung
berasal
dari
yang
kekayaan
negara yang dipisahkan. Tujuan
a. memberikan
a. memberikan
sumbangan
bagi
bagi
manfaat
perkembangan
perkembangan
perekonomian
perekonomian nasional
pada umumnya;
Daerah
pada umumnya, dan b. menyelenggarakan penerimaan
negara
pada khususnya;
kemanfaatan berupa
b. mengejar keuntungan;
barang
c. menyelenggarakan
yang
kemanfaatan berupa
umum
penyediaan
dan/atau
jasa bagi
pemenuhan hajat hidup masyarakat kondisi,
yang bermutu tinggi
dan
dan
yang
bagi
penyediaan
bermutu
barang dan/atau jasa
memadai
umum
sesuai
karakteristik,
potensi
Daerah
bersangkutan
pemenuhan hajat hidup
berdasarkan tata kelola
orang banyak;
perusahaan yang baik;
d. menjadi
perintis
kegiatan-kegiatan
c. memperoleh
usaha yang belum dapat dilaksanakan
oleh
sektor
dan
swasta
koperasi; dan e. turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada golongan
dan
pengusaha ekonomi
laba
dan/atau keuntungan.
98
lemah, koperasi, dan masyarakat. Penyertaan Modal
Bersumber
dari
APBN, Terdiri
atas
penyertaan
kapitalisasi cadangan, dan modal Daerah, pinjaman, sumber lainnya. Penyertaan hibah, dan sumber modal modal yang berasal dari lainnya
(kapitalisasi
APBN ditetapkan dengan cadangan,
keuntungan
Peraturan Pemerintah.
revaluasi aset, dan agio saham). Penyertaan modal Daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Bentuk Hukum
Perusahaan
Umum
dan Perusahaan umum Daerah
Perusahaan Perseroan.
dan Perusahaan Perseroan Daerah.
Pendirian
Diusulkan
oleh
Menteri Didasarkan pada kebutuhan
kepada Presiden disertai Daerah
dan
kelayakan
dengan dasar pertimbangan bidang usaha BUMD yang setelah
dikaji
bersama akan
dibentuk,
dengan Menteri Teknis dan ditetapkan Menteri ditetapkan
Keuangan,
dan dengan
dan Peraturan Daerah.
dengan
Peraturan Pemerintah. a. Perusahaan umum Daerah Pasal 334 ayat (1) UU Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa Perusahaan umum Daerah adalah BUMD yang seluruh modalnya dimiliki oleh satu Daerah dan tidak terbagi atas saham. UU Pemerintahan Daerah belum mengatur secara spesifik mengenai pengelolaan dan konsentrasi kegiatan usaha Perusahaan umum Daerah, sehingga perlulah terlebih dahulu diketahui konsep pengelolaan Perusahaan Umum dalam UU BUMN sebagai bahan rujukannya berikut ini:
99
Tabel 15. Perbandingan Perusahaan Umum dan Perusahaan Umum Daerah Aspek
Perusahaan Umum
Perusahaan umum Daerah
Deskripsi
BUMN
yang
seluruh BUMD
yang
seluruh
modalnya dimiliki negara modalnya dimiliki oleh dan tidak terbagi atas saham. satu Daerah dan tidak terbagi atas saham. Pendirian
Diusulkan kepada
oleh
Presiden
Menteri Didasarkan
pada
disertai Kebutuhan Daerah dan
dengan pertimbangan setelah kelayakan bidang usaha, dikaji
bersama
dengan dan ditetapkan dengan
Menteri Teknis dan Menteri Perda. Keuangan, dan ditetapkan dengan PP. Maksud dan Tujuan
Menyelenggarakan
usaha
Tidak dinyatakan secara
yang
untuk
eksplisit.
bertujuan
kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang berkualitas dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat
berdasarkan
prinsip
pengelolaan
perusahaan yang sehat. Organ
Menteri, Direksi, dan Dewan Kepala daerah, direksi, Pengawas.
dan dewan pengawas.
Pemilik
Menteri
yang
ditunjuk Kepala daerah mewakili
Modal
dan/atau diberi kuasa untuk daerah. mewakili pemerintah.
100
Mencermati tabel tersebut, dapat dipahami bahwa Perusahaan Umum didirikan dengan maksud dan tujuan untuk menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa barang dan/atau jasa yang berkualitas dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat. Oleh karena UU Pemerintahan Daerah tidak mengatur secara eksplisit maksud dan tujuan pendirian Perusahaan umum Daerah, dengan mengacu pada tujuan pendirian Perusahaan Umum sebagaimana diatur dalam UU BUMN maka dapat diidentifikasi bahwa maksud dan tujuan pendirian Perusahaan umum Daerah adalah sebagaimana tercantum dalam Pasal 331 ayat (4) huruf b yaitu menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu bagi pemenuhan hajat hidup masyarakat sesuai kondisi, karakteristik, dan potensi Daerah yang bersangkutan berdasarkan tata kelola perusahaan yang baik. C.S.T. Kansil berpendapat bahwa perusahaan umum (public corporation) makna usahanya adalah melayani kepentingan umum (kepentingan produksi, distribusi, dan konsumsi secara keseluruhan) dan sekaligus untuk memupuk keuntungan, pada umumnya bergerak di sektor vital (public utilities) (C.S.T. Kansil, 1995: 136). Kemudian jika dikaitkan dengan upaya menentukan badan hukum yang ideal bagi PD. BPR-BKK, maka haruslah terlebih dahulu diidentifikasi yakni apakah sektor perbankan dapat diklasifikasikan ke dalam sektor vital (public utilities) yang menguasai hajat hidup masyarakat dan berkaitan dengan fungsi pelayanan atau kemanfaatan umum (public service). Abdulkadir Muhammad (2010: 68) berpendapat bahwa sektor tertentu dikatakan vital karena sektor tersebut dibutuhkan orang secara terus-menerus. Penulis juga melakukan penelusuran terhadap beberapa penafsiran Mahkamah Konstitusi terkait dengan cabang produksi yang vital dan menguasai hajat hidup orang banyak, di antaranya melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 tentang pengujian
Undang-Undang
Nomor
20
Tahun
2002
tentang
Ketenagalistrikan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor
101
002/PUU-I/2003 atas pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013 atas pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sejauh ini, hanya ketiga putusan Mahkamah Konstitusi tersebut saja yang menafsirkan secara jelas mengenai komoditas vital yang menguasai hajat hidup orang banyak. Melalui ketiga putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa baik air, listrik, maupun migas adalah cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak yang dipergunakan untuk memberikan kemakmuran bagi rakyat (Abdul Qadir Jaelani, 2015: 52-53). Atas dasar hal tersebut, maka sektor perbankan tidak dapat diklasifikasikan ke dalam sektor yang vital dan menguasai hajat hidup orang banyak. Selain sektor vital, Perusahaan Umum usahanya juga mencakup pelayanan atau kepentingan umum, sehingga dalam hal ini perlu juga untuk dianalisis apakah sektor perbankan merupakan usaha yang berkaitan dengan fungsi pelayanan umum untuk kemanfaatan umum (public service). Tujuan pendirian BUMD adalah menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak, sehingga setiap hasil usaha daripada BUMD baik barang maupun jasa harus dapat memenuhi kebutuhan masyarakat (Abdulkadir Muhammad, 2010: 171). Dalam tataran normatif, penulis mendapati beberapa peraturan daerah mengenai pendirian BPR yang mengadopsi bentuk badan hukum Perusahaan umum Daerah, di antaranya Peraturan Daerah Kota Pontianak Nomor 4 Tahun 2015 tentang Perusahaan Umum Daerah Bank Perkreditan Rakyat Bank Pasar Kota Pontianak dan Peraturan Daerah Kabupaten Majalengka Nomor 4 Tahun 2014 tentang Perubahan Nama Perusahaan Daerah Bank Perkreditan Rakyat Sukahaji Menjadi Perusahaan Umum Daerah Bank Perkreditan Rakyat Majalengka. Dalam konsideran menimbang Peraturan Daerah Kota
102
Pontianak Nomor 4 Tahun 2015 tentang Perusahaan Umum Daerah Bank Perkreditan Rakyat Bank Pasar Kota Pontianak dinyatakan bahwa pemerataan pelayanan perbankan perlu dilakukan untuk mendorong perekonomian daerah dan meningkatkan pelayanan terhadap kebutuhan masyarakat serta sebagai salah satu sumber pendapatan asli daerah. Mencermati konsideran tersebut, pengadopsian bentuk badan hukum Perusahaan umum Daerah bagi perbankan dapat dibenarkan karena dalam rangka upaya pemerintah daerah untuk memberikan jasa pelayanan perbankan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Pada prinsipnya, penyelenggaraan pemerintahan daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat. Sektor perbankan erat kaitannya dengan fungsi pelayanan umum untuk kemanfaatan umum (public service). Untuk mengetahui bidang usaha BUMN dan BUMD yang mengadopsi bentuk badan hukum Perusahaan Umum dan Perusahaan umum Daerah, penulis menginventarisasi beberapa Peraturan Pemerintah dan Peraturan Daerah terkait dengan pendiriannya sebagaimana disajikan pada tabel berikut ini: Tabel 16. Bidang Usaha Perusahaan Umum pada BUMN dan BUMD Peraturan Pemerintah
Bidang Usaha
PP No. 31 Tahun 2002
Menyelenggarakan usaha untuk kemanfaatan
tentang Perusahaan
umum berupa pelayanan jasa angkutan umum,
Umum Damri
penumpang dan barang di atas jalan dengan kendaraan bermotor yang bermutu tinggi.
PP No. 32 Tahun 2006 tentang Perusahaan
Melaksanakan pemerintah
Umum Percetakan Uang pembangunan Republik Indonesia
dengan
dan di
menunjang
bidang nasional
mengadakan
program
ekonomi pada
usaha
dan
umumnya di
bidang
103
percetakan uang, barang dan/atau jasa yang mempunyai sekuriti tinggi demi keamanan dan kepentingan negara. PP No. 40 Tahun 2007
Menyelenggarakan usaha yang bertujuan
tentang Perusahaan
untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan
Umum Lembaga Kantor barang dan/atau jasa di bidang pers yang Berita Nasional Antara
berkualitas dengan harga yang terjangkau masyarakat.
PP No. 46 Tahun 2010
Menyelenggarakan kemanfaatan umum atas
tentang Perusahaan
Sumber Daya Air yang bermutu dan memadai
Umum Jasa Tirta I
bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak untuk pelayanan sosial, kesejahteraan, dan keselamatan
umum
di
wilayah
kerja
perusahaan. PP No. 72 Tahun 2010
Menyelenggarakan usaha yang bertujuan
tentang Perusahaan
untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan
Umum Kehutanan
barang dan/atau jasa yang berhubungan
Negara
dengan pengelolaan hutan dan hasil hutan yang berkualitas dan dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat.
PP No. 72 Tahun 2012
Melaksanakan
penugasan
percetakan
dan
Pemerintah
di
tentang Perusahaan
bidang
penyebarluasan
Umum Percetakan
dokumen negara, serta menyelenggarakan
Negara
usaha di bidang percetakan umum dan sekuriti, penerbitan, multimedia, jasa grafika, dan optimalisasi pemanfaatan potensi sumber daya yang dimiliki perusahaan.
PP No. 9 Tahun 2013
Melaksanakan dan menunjang kebijakan dan
tentang Perusahaan
program pemerintah di bidang ekonomi dan
Umum Perikanan
pembangunan
nasional
pada
umumnya
104
terutama di bidang pelayanan barang, jasa, dan pengembangan sistem bisnis perikanan serta optimalisasi pemanfaatan perusahaan. PP No. 83 Tahun 2015
Melaksanakan penugasan Pemerintah untuk
tentang Perusahaan
menyelenggarakan fungsi kemanfaatan umum
Umum Pembangunan
di
bidang
Perumahan Nasional
permukiman,
perumahan
dan
termasuk
kawasan melakukan
perencanaan dan pengembangan lingkungan hunian baru, serta peningkatan kualitas perumahan kumuh dan permukiman kumuh. Peraturan Daerah Peraturan Daerah Kota
Bidang Usaha Mendorong
pertumbuhan
perekonomian
Pontianak Nomor 4
daerah dan meningkatkan pelayanan terhadap
Tahun 2015 tentang
kebutuhan masyarakat serta sebagai salah satu
Perusahaan Umum
sumber pendapatan asli daerah melalui
Daerah Bank
pemerataan pelayanan perbankan.
Perkreditan Rakyat Bank Pasar Kota Pontianak Peraturan Daerah Kota
Menyelenggarakan
kemanfaatan
umum
Cirebon Nomor 14
berupa penyediaan fasilitas kesehatan bagi
Tahun 2015 tentang
masyarakat,
Perusahaan Umum
pemerintah kota dalam menyelenggarakan
serta
mendukung
program
Daerah Farmasi Ciremai pelayanan kesehatan khususnya pengelolaan Kota Cirebon
dan penyediaan obat-obatan, alat kesehatan, serta sediaan farmasi bagi masyarakat.
Peraturan Daerah Kota
Menyelenggarakan
kemanfaatan
umum
Cirebon Nomor 15
berupa penyediaan pasar agar memudahkan
Tahun 2015 tentang
tersedianya komoditas kebutuhan masyarakat
Perusahaan Umum
105
Daerah Pasar Berintan Kota Cirebon
dan
mewujudkan
tertatanya
kegiatan
perdagangan di lokasi pasar.
Mencermati tabel tersebut, dapat dipahami bahwa baik Perusahaan Umum maupun Perusahaan umum Daerah terkonsentrasi pada sektor vital yang menyangkut hajat hidup masyarakat banyak dan berkaitan dengan fungsi pelayanan serta kemanfaatan umum. Jika dikaitkan dengan upaya untuk menentukan bentuk badan hukum ideal bagi PD. BPR-BKK, maka penulis berpendapat bahwa bentuk badan hukum Perusahaan umum Daerah tidaklah tepat untuk diadopsi. Sebagaimana telah penulis uraikan sebelumnya, bahwa PD. BPR-BKK merupakan lembaga perbankan mikro yang didirikan dengan maksud dan tujuan untuk memberikan pelayanan kepada UMKM dan golongan ekonomi lemah lainnya, namun juga memegang peranan sebagai instrumen pendapatan atau penerimaan daerah. Rustian Kamaludin sebagaimana dikutip oleh Ambar Budhisulistyawati, dkk (2015: 58-59) menyatakan bahwa salah satu tujuan didirikannya BUMD oleh pemerintah daerah adalah sebagai pusat laba, artinya BUMD merupakan unit organisasi dalam tubuh pemerintah daerah yang didirikan untuk menghasilkan pendapatan bagi pemerintah daerah yang mendirikan, dan prestasi BUMD tersebut diukur berdasarkan perbandingan antara laba yang sudah dilakukan oleh pemerintah daerah sebagai investor. Terlebih BUMD di bidang perbankan termasuk PD. BPR-BKK, sudah barang tentu bertujuan untuk memberikan manfaat ekonomi yaitu keuntungan secara finansial bagi peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) dan peningkatan secara luas bagi masyarakat dimana BUMD tersebut berada. Hal tersebut tentunya bertolak belakang dengan semangat pendirian Perusahaan umum Daerah yang lebih menekankan pada fungsi pelayanan publik karena bidang usaha atau kegiatannya berkaitan kemanfaatan umum dan kepentingan orang banyak serta didirikan tidak mengutamakan pada aspek keuntungan semata (cost effectiveness/cost recovery) (Abdulkadir Muhammad, 2010: 189). Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa besar kecilnya
106
jumlah modal yang dimiliki oleh suatu bank akan berpengaruh pada perluasan ekspansi jenis kegiatan usaha yang dapat dilaksanakan serta jaringan usahanya. PD. BPR-BKK tentunya membutuhkan modal yang besar agar dapat memenuhi fungsinya di samping untuk melayani UMKM dan golongan ekonomi lemah, juga berkontribusi secara signifikan terhadap PAD. Sementara jika menilik pengertian Perusahaan umum Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 334 ayat (1) UU Pemerintahan Daerah adalah BUMD yang seluruh modalnya dimiliki oleh satu daerah dan tidak terbagi atas saham. Mencermati ketentuan tersebut, jika PD. BPR-BKK mengadopsi bentuk badan hukum Perusahaan umum Daerah tentunya akan mengalami keterbatasan dalam hal menghimpun banyak modal, karena modal Perusahaan umum Daerah sepenuhnya dimiliki oleh daerah dan tidak terbagi atas saham, artinya bahwa tidak membuka akses bagi publik untuk berinvestasi. Terlebih kemampuan keuangan masing-masing daerah yang berbeda satu sama lain, jika modal BUMD sepenuhnya hanya dimiliki oleh pemerintah daerah, maka sudah barang tentu hal tersebut akan menjadi beban bagi keuangan daerah. Permasalahan tersebutlah yang selama ini menimpa BUMD yakni belum mampu memberikan kontribusi signifikan terhadap PAD justru lebih banyak suntikan dana dari pemerintah daerah karena kegiatan usahanya masih didasarkan atas pertimbangan pelayanan publik dan masih berasumsi how to spend money, bukan pola pikir bisnis yang berasumsi how to get money (Ambar Budhisulistyawati, dkk, 2015: 57). Bentuk badan hukum Perusahaan umum Daerah tidaklah tepat untuk diaplikasikan kepada PD. BPR-BKK. Perusahaan umum Daerah lebih tepat jika kegiatan usahanya dikonsentrasikan pada bidang yang menyangkut kepentingan masyarakat banyak dan atas dasar pelayanan atau kemanfaatan umum. Kegiatan usaha Perusahaan umum Daerah tidak ditekankan pada aspek untuk mencari keuntungan (profit oriented), melainkan lebih mengutamakan aspek pelayanan publik yang menyangkut hajat hidup (public utilities dan public service). Penjelasan Pasal 331 ayat (5) huruf a UU Pemerintahan Daerah
107
yang menyatakan bahwa Kebutuhan Daerah dikaji melalui studi yang mencakup aspek pelayanan umum dan kebutuhan masyarakat di antaranya air minum, pasar, dan transportasi. Merujuk pada penjelasan tersebut, maka sudah semestinya Perusahaan umum Daerah bergerak pada domain usaha yang mencakup pelayanan umum yaitu air minum, pasar, dan transportasi. UU Pemerintahan Daerah telah menjelaskan bahwa sektor yang berkaitan dengan pelayanan dan kemanfaatan umum yang menyangkut hajat hidup masyarakat dalam lingkup daerah terdiri dari air minum, pasar, dan transportasi, sehingga Perusahaan umum Daerah dapat mengusahakan bidang tersebut. Hal tersebut juga disebutkan dalam Pasal 1 angka 9 Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia Nomor 18/PRT/M/2015 tentang Iuran Eksploitasi Dan Pemeliharaan Bangunan Pengairan yang menyatakan bahwa Badan Hukum yang ditunjuk oleh pemerintah yang selanjutnya disebut BUMN/BUMD adalah Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah yang berupa Perusahaan Umum atau Perusahaan umum Daerah yang diberi penugasan oleh pemerintah atau pemerintah daerah untuk melakukan pengusahaan sumber daya air dan sebagian tugas pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai yang menjadi wilayah kerjanya. Ketentuan tersebut secara tegas menyatakan bahwa penguasaan terhadap sumber daya air hanya dapat dilakukan oleh BUMN atau BUMD yang berbentuk Perusahaan Umum atau Perusahaan umum Daerah. Sehingga, yang menyangkut hajat hidup orang banyak, baik air, pasar, transportasi, listrik, dan lain sebagainya diusahakan oleh BUMN atau BUMD yang berbentuk badan hukum Perusahaan Umum atau Perusahaan umum Daerah. b. Perusahaan Perseroan Daerah Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 339 ayat (1) UU Pemerintahan Daerah bahwa Perusahaan Perseroan Daerah adalah BUMD yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruhnya atau paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh satu Daerah. Kemudian ditegaskan lagi dalam Pasal 339 ayat (2) UU
108
Pemerintahan Daerah yakni Perusahaan Perseroan Daerah setelah ditetapkan dengan Perda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 331 ayat (2), pembentukan badan hukumnya dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Perseroan Terbatas. Pengaturan mengenai Perusahaan Perseroan Daerah yang termuat dalam UU Pemerintahan Daerah mencakup organ, pembentukan anak perusahaan, dan pembubaran Perusahaan Perseroan Daerah. Sampai saat ini, belum terdapat peraturan derivat yang mengatur secara lebih terperinci mengenai mekanisme pengelolaan Perusahaan Perseroan Daerah. Oleh karena Pasal 331 ayat (2) UU Pemerintahan Daerah mengatur bahwa pembentukan badan hukum Perusahaan Perseroan Daerah mengacu pada peraturan perundangundangan di bidang Perseroan Terbatas, maka dalam menganalisis bentuk badan hukum Perusahaan Perseroan Daerah penulis mengacu pada UndangUndang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (yang selanjutnya disingkat UU Perseroan Terbatas), UU BUMN, beserta segala peraturan derivat atas kedua undang-undang tersebut. Berdasarkan Pasal 339 ayat (1) UU Pemerintahan Daerah, dapat diketahui bahwa Perusahaan Perseroan Daerah juga merupakan Perseroan Terbatas. Perlulah kiranya untuk dicermati terlebih dahulu konsep Perseroan Terbatas dalam UU Perseroan Terbatas, UU BUMN, dan UU Pemerintahan Daerah sebagaimana disajikan dalam tabel berikut ini: Tabel 17. Perbandingan Perseroan dalam UU Perseroan Terbatas, UU BUMN, dan UU Pemerintahan Daerah Aspek
UU Perseroan
UU BUMN
Terbatas
UU Pemerintahan Daerah
Deskripsi
Badan hukum yang BUMN
Perseroan
merupakan
yang BUMD
berbentuk
berbentuk
persekutuan modal, perseroan
perseroan
didirikan
terbatas
yang terbatas
berdasarkan
modalnya terbagi modalnya
yang
yang
109
perjanjian,
dalam
melakukan kegiatan yang usaha
saham terbagi
dalam
seluruh saham
yang
dengan atau
paling seluruhnya atau
modal dasar yang sedikit
51% paling
sedikit
seluruhnya terbagi (lima puluh satu 51% dalam saham dan persen)
puluh
memenuhi
persen)
sahamnya
persyaratan
yang dimiliki
ditetapkan
satu
oleh sahamnya
dalam Negara Republik dimiliki
undang-undang ini Indonesia serta
(lima
yang satu
oleh Daerah.
peraturan tujuan utamanya (Pasal 339 ayat
pelaksanaannya.
mengejar
(1))
(Pasal 1 angka 1)
keuntungan. (Pasal 1 angka 2)
Tujuan
Memperoleh
Menyediakan
keuntungan
barang dan/atau laba
dan/atau
laba. jasa
dan
dan/atau
yang keuntungan.
(Tidak disebutkan bermutu secara eksplisit)
Memperoleh
tinggi (Pasal 331 ayat berdaya (4))
saing kuat, serta mengejar keuntungan guna meningkatkan nilai perusahaan. (Pasal 12) Cara
Diririkan
oleh
2 Diusulkan
Pendirian
(dua)
orang Menteri kepada kebutuahan
dan/atau
lebih Presiden disertai Daerah
dengan akta notaris dengan
oleh Disasarkan pada
dan
dasar kelayakan
pertimbangan
bidang
usaha
110
yang dibuat dalam setelah Bahasa Indonesia.
dikaji yang
akan
bersama dengan dibentuk,
Memperoleh status Menteri badan hukum pada dan
dan
Teknis ditetapkan Menteri dengan
tanggal
Keuangan
diterbitkannya
ditetapkan
dan Peraturan Daerah. (Pasal
keputusan menteri dengan Peraturan 331 ayat (2) dan mengenai
Pemerintah.
ayat (5))
pengesahan badan (Pasal 10 ayat hukum
perseroan. (1))
(Pasal 7 ayat (1) dan ayat (5)) Akta
pendirian
memuat
anggaran
dasar
dan
keterangan
lain
berkaitan
dengan
pendirian perseroan. (Pasal 8 ayat (1)) Organ
RUPS, Direksi, dan RUPS, Direksi, RUPS, Direksi, Dewan Komisaris. dan komisaris.
dan Komisaris.
(Pasal 1 angka 2)
Dalam
Menteri
hal
bertindak selaku pemegang RUPS dalam hal saham seluruh
saham atas
terdiri beberapa
Persero dimiliki Daerah oleh
dan
negara. bukan Daerah,
(Pasal 13)
salah Daerah merupakan
satu
111
pemegang saham mayoritas. (Pasal 340 ayat (1)) Permodalan
Terdiri atas seluruh Berasal nilai
dari Berasal
dari
nominal kekayaan negara kekayaan
saham, namun juga yang dipisahkan. Daerah
yang
dapat terdiri atas (Pasal 4 ayat (1)) dipisahkan. saham tanpa nilai
(Pasal 1 angka
nominal
40)
jika
peraturan perundangundangan di bidang pasar
modal
mengatur demikian. (Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2)) Modal dasar paling sedikit
Rp
50.000.000.
(lima
puluh juta rupiah). (Pasal 32 ayat (1)) Penyertaan/
Dapat
dilakukan Bersumber dari Bersumber dari
Penyetoran
dalam bentuk uang APBN,
penyertaan
Modal
dan/atau
modal Daerah,
dalam kapitalisasi
bentuk lainnya.
cadangan,
dan pinjaman,
Penyetoran saham sumber lainnya. hibah, dalam bentuk benda Penyertaan tidak
bergerak modal
sumber yang lainnya
dan modal
112
harus
diumumkan berasal
dari (kapitalisasi
dalam (1) satu surat APBN
cadangan,
kabar dalam jangka ditetapkan
keuntungan
waktu 14 (empat dengan Peraturan revaluasi
aset,
belas hari) setelah Pemerintah.
agio
akta
dan
pendirian (Pasal 4 ayat (2) saham). (Pasal
ditandatangani atau dan ayat (3))
331 ayat (1) dan
setelah
ayat (2))
RUPS
memutuskan penyetoran
saham
itu. (Pasal 34 ayat (1) dan ayat (3)) Penambahan modal dilakukan
dengan
persetujuan RUPS (Pasal 41 ayat (1)) Pemegang
Orang
Menteri
yang Kepala
daerah
Saham
perseorangan, baik ditunjuk dan/atau selaku
wakil
Mayoritas
WNI maupun asing, diberi
kuasa daerah.
atau badan hukum untuk mewakili Indonesia asing
atau pemerintah.
(Penjelasan
Pasal 7 ayat (1)). Pengauditan Dilakukan
oleh Dilakukan
Laporan
akuntan
Keuangan
(Pasal 68 ayat (1))
oleh Tidak
terdapat
publik auditor eksternal pengaturan. yang ditetapkan dalam
RUPS
(Pasal 71 ayat (1))
113
Badan Pemeriksa Keuangan berwenang melakukan pemeriksaan. (Pasal 71 ayat (2)) Berdasarkan tabel tersebut, dapat dipahami bahwa Perusahaan Perseroan Daerah dalam konsep BUMD pada prinsipnya sama dengan Perseroan Terbatas sebagaimana diatur dalam UU Perseroan Terbatas maupun Perusahaan Perseroan sebagaimana diatur dalam UU BUMN, hanya saja dalam beberapa hal tertentu terdapat perbedaan yang mendasar, yakni pengaturan yang lebih khusus terhadap Perusahaan Perseroan Daerah bahwa modalnya terbagi dalam saham yang untuk seluruhnya atau paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) dikuasai oleh satu daerah. UU Perseroan Terbatas mengatur secara rigid bahwa Perseroan Terbatas didirikan oleh minimal 2 (dua) orang dengan suatu perjanjian, sedangkan dalam Perusahaan Perseroan ataupun Perusahaan Perseroan Daerah hal ini tidak dipersyaratkan karena sahamnya dapat dimiliki seluruhnya oleh negara atau satu daerah. Ketentuan Pasal 7 huruf a UU Perseroan Terbatas memang mengecualikan mekanisme pendirian dan pemilikan saham Perseroan Terbatas terhadap Persero yang seluruh sahamnya dimiliki oleh negara. Hal lain yang dapat dipahami adalah bahwa Perseroan Terbatas dalam UU Perseroan Terbatas merupakan konsep Perseroan Terbatas dalam arti umum, yakni didirikan oleh orang-perseorangan dalam hal ini adalah pihak swasta berdasarkan perjanjian dengan objek yaitu modal dari perseroan yang dipergunakan untuk mencapai tujuan yaitu melakukan kegiatan usaha guna memperoleh keuntungan atau laba (Zaeni Asyhadie dan Budi Sutrisno, 2012: 75). Sementara Perusahaan Perseroan Daerah pada prinsipnya juga merupakan Perseroan Terbatas, hanya saja Perusahaan
114
Perseroan Daerah adalah Peseroan Terbatas dalam konsep yang lebih khusus karena didirikan dan dimiliki oleh pemerintah daerah. Kendati demikian, Perusahaan Perseroan Daerah sebagai badan hukum berbentuk Perseroan Terbatas selain tunduk pada pengaturan UU Pemerintahan Daerah juga tunduk pada pengaturan UU Perseroan Terbatas. Jika dikaitkan dengan upaya untuk memformulasikan bentuk badan hukum yang ideal bagi PD. BPR-BKK, penulis berpandangan bahwa Perusahaan Perseroan Daerah adalah bentuk badan hukum yang tepat untuk diaplikasikan kepada PD. BPR-BKK. Hal tersebut didasarkan atas beberapa argumentasi. Pertama, sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa Perseroan Terbatas adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal yang terbagi atas saham-saham, artinya bahwa melalui Perseroan Terbatas akan lebih mudah untuk mengumpulkan modal. Modal Perseroan Terbatas terbagi atas saham-saham baik yang dibuat dalam bentuk atas pembawa (aan tonder) maupun atas nama (op naam), dan dapat dialihkan kepada orang lain, maka dengan terbaginya modal atas saham-saham tersebut, berarti saham tersebut dapat dijual kepada banyak orang, sehingga pada Perseroan Terbatas dengan cepat dapat terkumpul atau terkonsentrasi modal dalam jumlah yang besar (R. Ali Rido, 1986: 335). Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa untuk berekspansi dalam kegiatan usahanya PD. BPR-BKK memerlukan modal yang sangat besar, maka dengan mengubah bentuk badan hukumnya menjadi Perusahaan Perseroan Daerah akan dapat terakumulasi modal dengan jumlah yang besar, karena bentuk badan hukum Perseroan Terbatas membuka kran bagi publik untuk berinvestasi atau menanamkan modalnya, dan dalam hal ini tentunya tidak membebani keuangan daerah. Kedua, untuk memperbesar modal Perseroan Terbatas dapat dilakukan dengan cara mengumpulkan dana melalui pasar modal. Pasar modal adalah tempat bertemunya dua kelompok yang saling berhadapan, akan tetapi memiliki kepentingan yang berbeda, yaitu masyarakat sebagai investor dan Perseroan Terbatas sebagai perusahaan yang memerlukan dana
115
guna perluasan usahanya (R. Ali Rido, 1986: 353). Potensi masyarakat sebagai penyedia dana yang murah sangat berarti bagi pihak yang sangat membutuhkan. Setiap perusahaan yang akan mengembangkan usahanya pada dasarnya sangat berkepentingan atas keberadaan pasar modal pada umumnya karena merupakan salah satu sumber dana/sumber pembiayaan yang dapat dihandalkan, akan tetapi hanya pihak-pihak tertentu yang dapat melakukan kegiatan di dalam pasar modal (Sri Redjeki Hartono, 2000: 53). Menurut ketentuan Pasal 1 angka 22 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal dinyatakan bahwa Perseroan Publik adalah Perseroan Terbatas yang sahamnya telah dimiliki sekurang-kurangnya oleh 300 (tiga ratus) pemegang saham dan memiliki modal disetor sekurang-kurangnya Rp 3.000.000.000,00 (tiga milyar rupiah) atau suatu jumlah pemegang saham dan modal disetor yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Mencermati rumusan ketentuan tersebut, dapat diketahui bahwa hanya perusahaan yang berbetuk Perseroan Terbatas sajalah yang dapat melakukan kegiatan di pasar modal, yang dalam hal ini adalah Perseroan Terbuka. Perseroan Terbuka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 7 UU Perseroan Terbatas adalah Perseroan Publik atau Perseroan yang melakukan penawaran umum saham, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal. Pada Perseroan Terbuka biasanya sahamnya berbentuk atas pembawa (aan tonder) dengan maksud agar saham-saham tersebut mudah dialihkan, yaitu dengan pengalihan di bawah tangan (R. Ali Rido, 1986: 358-359). Setidaknya, terdapat beberapa keuntungan bagi PD. BPR-BKK jika mengeluarkan saham di pasar modal, di antaranya: 1) Masuknya dana segar (fresh money) yang melimpah dan murah tanpa harus mempunyai kewajiban mengembalikan dan membayar bunga kepada pemegang saham baru. 2) Memiliki jaringan yang lebih baik sehingga alternatif perolehan dana selanjutnya akan lebih banyak.
116
3) Meningkatkan/menambah
penampilan/prestise
perusahaan
secara
keseluruhan sebagai perusahaan publik yang mempunyai nilai ekonomi yang tinggi, sehingga operasi bisnisnya akan lebih baik dan pasarnya akan lebih meluas. 4) Keuntungan psikologis dan sosiologis karena secara umum memperoleh kepercayaan dan support/dukungan masyarakat (Zaeni Asyhadie dan Budisutrisno, 2012: 105). Ketiga, hanya perusahaan yang berbadan hukum Perusahaan Perseroan yang dapat diprivatisasi. Pasal 343 ayat (1) huruf k UU Pemerintahan Daerah mengatur bahwa pengelolaan BUMD paling sedikit harus memenuhi unsur penilaian tingkat kesehatan, restrukturisasi, dan privatisasi. Sampai saat ini belum terdapat peraturan derivat yang mengatur mengenai petunjuk teknis dalam pelaksanaan privatisasi BUMD. Penulis merujuk pada pengaturan privatisasi sebagaimana termuat dalam UU BUMN. Maksud dan tujuan privatisasi sebagaimana diatur dalam Pasal 74 ayat (1) dan ayat (2) UU BUMN adalah sebagai berikut: (1) Privatisasi dilakukan dengan maksud untuk: a. memperkuat kepemilikan masyarakat atas Persero; b. meningkatkan efisiensi dan produktivitas perusahaan; c. menciptakan struktur keuangan dan manajemen keuangan yang baik/kuat; d. menciptakan struktur industri yang sehat dan kompetitif; e. menciptakan Persero yang berdaya saing dan berorientasi global; f. menumbuhkan iklim usaha, ekonomi makro, dan kapasitas pasar. (2) Privatisasi dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan kinerja dan nilai tambah perusahaan dan meningkatkan peran serta masyarakat dalam pemilikan saham Persero. Mencermati ketentuan tersebut, melalui privatisasi diharapkan akan terjadi perubahan atas budaya perusahaan, sebagai akibat dari masuknya pemegang saham baru, baik melalui penawaran umum (go public) maupun penyertaan
langsung
(direct
placement),
yang dapat
mendorong
peningkatan kinerja perusahaan yang selanjutnya akan dapat mempertinggi daya saing perusahaan dalam berkompetisi dengan pesaing-pesaing dan
117
dapat memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perekonomian daerah dalam bentuk barang dan/atau jasa yang berkualitas dan terjangkau (Abdulkadir Muhammad, 2010: 206). Privatisasi bukan semata-mata dimaknai sebagai penjualan perusahaan, melainkan menjadi alat dan cara pembenahan BUMD untuk mencapai beberapa sasaran sekaligus, termasuk di dalamnya adalah peningkatan kinerja dan nilai tambah perusahaan, perbaikan struktur keuangan dan manajemen, industri yang sehat dan kompetitif, pemberdayaan BUMD agar mampu bersaing secara global, penyebaran kepemilikan oleh publik, dan pengembangan pasar domestik (Zaeni Asyhadie dan Budi Sutrisno, 2012: 151). Dengan melakukan perubahan bentuk badan hukum menjadi Perusahaan Perseroan Daerah, maka PD. BPR-BKK akan dapat mencapai beberapa sasaran privatisasi sebagaimana telah penulis uraikan. Keempat, dalam konsep Perusahaan Perseroan Daerah pemerintah daerah berposisi sebagai pemegang saham mayoritas. Saham Perseroan Terbatas pada dasarnya terdiri dari kekuatan dan kepentingan (power dan interest) pada Perseroan Terbatas yang bersangkutan, yang mana kekuatan atau power tersebut pada dasarnya berada pada RUPS, sehingga semakin besar menguasai saham maka semakin besar pula kemampuannya untuk menentukan sikap dan pendapat pada RUPS, dan mempunyai kesempatan yang besar pula untuk menentukan policy perusahaan (Sri Redjeki Hartono, 2002: 68). Kendati PD. BPR-BKK akan mengubah bentuk badan hukumnya menjadi Perseroan Terbatas yang notabene profit motive, namun jangan sampai mengesampingkan maksud dan tujuan pendiriannya yaitu melayani kepentingan umum melalui pemerataan layanan perbankan dengan sasaran masyarakat golongan ekonomi lemah dan UMKM di samping untuk menggali sumber pendapatan daerah. Menurut penulis, di sinilah letak keunggulan Perusahaan Perseroan Daerah, yang mana pemerintah daerah sebagai pemegang saham mayoritas yang sudah barang tentu memiliki power dan interest pada RUPS. Sebagai pemegang saham mayoritas pemerintah daerah dapat mengarahkan kebijakan perusahaan untuk
118
menjaga keseimbangan berbagai intervensi kepentingan yang berada dalam perusahaan, untuk menitikberatkan perhatian pada kemanfaatan bersama, kepentingan umum/publik, dan kepentingan ekonomi daerah (Sri Redjeki Hartono, 2000: 59). Hal ini selaras dengan pendapat yang dikemukakan oleh R. Ali Rido (1986: 339) bahwa Perseroan Terbatas tidak dilarang untuk melaksanakan fungsi kemanfaatan umum/pelayanan publik di samping untuk mencari keuntungan, dengan catatan bahwa penyelenggara kepentingan umum yang dalam hal ini adalah pemerintah memiliki saham melebihi 50% (lima puluh persen) sehingga mempunyai peranan yang besar di dalam menentukan kebijaksanaan dari Perseroan Terbatas yang bersangkutan. Meskipun tujuan pendirian Perusahaan Persero adalah untuk mengejar keuntungan, namun dalam hal tertentu dapat diberikan tugas khusus untuk melakukan pelayanan umum dengan memperhatikan prinsipprinsip pengelolaan perusahaan yang sehat (Abdulkadir Muhammad, 2010: 171). Kelima, bentuk badan hukum pengaturan Perseroan Terbatas dalam berbagai peraturan perundang-undangan seperti UU Perseroan Terbatas, UU BUMN dan UU Pemerintahan Daerah telah mengadopsi prinsip tata kelola perusahaan yang baik, sementara bentuk badan hukum Perusahaan Daerah dirasa tidak lagi sesuai dengan perkembangan dan dinamika BUMD, terlebih terkait dengan prinsip tata kelola perusahaan yang baik. Penerapan prinsip-prinsip tersebut sangat penting dalam pengelolaan BUMD, yang mana pengalaman telah membuktikan bahwa keterpurukan ekonomi di berbagai negara termasuk Indonesia disebabkan banyak perusahaan yang tidak menerapkan prinsip good corporate governance secara konsisten (Zaeni Asyhadie dan Budi Sutrisno, 2012: 153). Kendati dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 4/POJK.03/2015 tentang Penerapan Tata Kelola Bagi Bank Perkreditan Rakyat telah diatur lebih khusus mengenai prinsip tata kelola bagi bagi badan usaha BPR, namun perlulah kiranya untuk mengetahui pengaturan prinsip good corporate
119
governance pada badan hukum Perseroan Terbatas. Adapun mengenai prinsip tata kelola perusahaan yang baik antara lain mencakup: 1) Transparansi,
yaitu
keterbukaan
dalam
melaksanakan
proses
pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam mengemukakan informasi materiil dan relevan mengenai perusahaan. 2) Akuntabilitas,
yaitu
pertanggungjawaban
kejelasan organ,
fungsi
sehingga
pelaksanaan
pengelolaan
dan
perusahaan
terlaksana secara efektif. 3) Responsibilitas, yaitu perusahaan harus mematuhi peraturan perundangundangan serta melaksanakan tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan sehingga terpelihara kesinambungan usaha dalam jangka panjang dan mendapat pengakuan sebagai good corporate citizen. 4) Independensi/Kemandirian,
yaitu
perusahaan
dikelola
secara
profesional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh/tekanan dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat. 5) Kewajaran, yaitu keadilan dan kesetaraan di dalam memenuhi hak-hak stakeholder yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Komite Nasional Kebijakan Governance, 2006: 5-7). Berdasarkan
pada
beberapa
prinsip
tersebut,
maka
dapat
diidentifikasi penerapannya dalam bentuk badan hukum Perusahaan Daerah yang pengaturannya terdapat di UU Perusahaan Daerah dan Perseroan Terbatas yang diatur dalam UU Perseroan Terbatas, UU BUMN maupun UU Pemerintahan Daerah sebagaimana disajikan pada tabel berikut ini: Tabel 18. Penerapan Prinsip Tata Kelola Perusahaan yang Baik dalam Pengaturan Bentuk Badan Hukum Prinsip Transparansi
Perusahaan Daerah Pasal
23
Perseroan Terbatas
UU Pasal
66
UU
Perseroan
Perusahaan
Daerah Terbatas
mengatur
bahwa
mengatur
bahwa Direksi wajib menyampaikan
120
laporan perhitungan laporan tahunan kepada RUPS hasil usaha berkala setelah ditelaah oleh Dewan dan
kegiatan Komisaris.
Perusahaan
Pasal 67 mengatur bahwa
dikirimkan
oleh laporan
Direksi
tahunan
kepada ditandatangani
setelah
oleh
semua
kepala
anggota Direksi dan anggota
daerah/pemegang
Dewan Komisaris, disediakan
saham/pemegang
di kantor Perseroan untuk
saham menurut
prioritet dapat cara
waktu
oleh
dan pemegang saham. yang Kemudian
ditentukan peraturan
diperiksa
Pasal
68
dalam menegaskan bahwa laporan pendirian tahunan wajib untuk diaudit
Perusahaan Daerah. oleh akuntan publik. Tidak ada kewajiban Untuk menyampaikan laporan
Perseoran
Terbuka,
maka wajib menyampaikan ke informasi dan fakta material
masyarakat
secara yang perlu dan layak diketahui
langsung
melalui oleh investor, seperti kegiatan
lembaga
legislatif dan prosepek usaha, ikhtisar
daerah,
sehingga keuangan,
risiko
sebagai representatif perpajakan, masyarakat tidak mengontrol
DPRD sebagainya
usaha,
dan
lain
yang
dapat
dapat mempengaruhi investor untuk kondisi membeli saham.
BUMD
Pasal 73 UU BUMN juga
bersangkutan.
menetapkan bahwa dengan berdasarkan RUPS menunjuk auditor
eksternal
pemeriksaan
untuk laporan
121
keuangan, dan dalam hal ini Badan Pemeriksa Keuangan juga dapat memeriksa laporan keuangan. Akuntabilitas
Pasal 14 dan Pasal 15 Pasal UU
99
Perusahaan Terbatas
UU
Perseroan
yang
memuat
Daerah
larangan bagi Direksi untuk
mencerminkan
mewakili Perseroan apabila
kewenangan Direksi terdapat
penyalahgunaan
yang
atau
sangat
luas, wewenang
benturan
sehingga
kepentingan
memungkinkan
Perseroan.
Direksi
UU
menyalahgunakan
memberikan kejelasan fungsi
kewenangan
kerugian
Perseroan
yang dan
mengakibatkan
masing-masing organ (RUPS, bagi Direksi,
sanksi.
dan
Dewan sebagaimana
diatur dalam Pasal 75 sampai
Dalam
UU dengan Pasal 121.
Perusahaan
Daerah
kepala
daerah
mempunyai kewenangan mutlak menentukan
arah dan masa depan BUMD, namun tidak ada
Terbatas
pertanggungjawaban
perusahaan tanpa ada Komisaris)
untuk
dengan
mekanisme
kontrol kepemilikan pengambilan
dalam dan
122
keputusan, sehingga berpotensi menimbulkan penyalahgunaan wewenang. Responsibilitas Materi Muatan UU Adanya pengaturan khusus Perusahaan belum konsep
Daerah dalam Pasal 74 UU Perseroan
mengadopsi Terbatas mengenai Tanggung Corporate Jawab
Social Responsibility yaitu (CSR).
Sosial
Lingkungan,
komitmen
Perseroan
untuk berperan serta dalam pembangunan
ekonomi
berkelanjutan
guna
meningkatkan
kualitas
kehidupan yang
dan
lingkungan
bermanfaat,
bagi
Perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya. Independensi
UU
Perusahaan UU BUMN mengatur bahwa
Daerah
tidak Pendirian BUMN diusulkan
mengatur
studi oleh Menteri kepada Presiden
kelayakan (feasibility atas
dasar
pertimbangan
study) dan rencana setelah dikaji bersama Menteri bisnis
(bussiness Teknis dan Menteri Keuangan
plan)
dalam (Pasal 10).
Pendirian Perusahaan Sementara UU Pemerintahan Daerah, memberikan untuk
sehingga Daerah juga mengatur bahwa celah pendirian BUMD atas dasar adanya kebutuhan
Daerah
dan
123
kepentingan
politik kelayakan
bidang
usaha
dalam pendiriannya.
BUMD yang akan dibentuk
Pengangkatan
(Pasal 331 ayat (5)).
Direksi tidak melalui Pasal 16 UU BUMN mengatur mekanisme fit and bahwa pengangkatan Direksi proper
test
kepatutan
(uji BUMN
berdasarkan
dan pertimbangan
kelayakan), sehingga melalui memberikan
keahlian
mekanisme
uji
ruang kelayakan dan kepatutan.
adanya kepentingan Begitu
juga
dengan
UU
birokrasi dan politik BUMN yang mengatur dengan bagi kepala daerah jelas untuk
masing-masing
menunjuk kewenangan
organnya
Direksi yang tidak sebagaimana memiliki dan
diatur
dalam
kapasitas Pasal 14 sampai dengan Pasal kapabilitas 33.
namun terdapat suatu Pasal 89 memuat larangan kepentingan
bagi organ BUMN untuk
dengannya.
memberikan atau menerima atau
menawarkan
baik
langsung
ataupun
tidak
langsung
sesuatu
yang
berharga dari pelanggan atau pejabat
pemerintah
untuk
mempengaruhi. Pasal 91 juga mengatur secara tegas bahwa selain organ BUMN pihak lain manapun dilarang campur tangan dalam pengurusan BUMN.
124
Kewajaran
Tidak
adanya UU Perseroan Terbatas 126
perlindungan terhadap
memberikan kesetaraan dan hak-hak keadilan
dalam
memenuhi
stakeholder
hak-hak stakeholeder.
(Pemegang
saham Pasal 51 sampai dengan Pasal
minoritas, karyawan, 62 UU mengatur perihal hakdan lain sebagainya). Dalam
daripada
pemegang
hal saham, misalkan hak untuk
pengangkatan pegawai Pasal
hak
menghadiri RUPS, menerima
misalnya, pembayaran 26
Perusahaan
deviden,
UU mengajukan gugatan terhadap Daerah Perseroan
memperlihatkan
ke
Pengadilan
Negeri apabila dirugikan oleh
bahwa otoritas kepala tindakan Perseroan yang tidak daerah
dalam adil, hak agar sahamnya dibeli
pengaturan
dengan harga yang wajar, dan
kepegawaian sangat lain sebagainya. kuat, Direksi hanya Dalam
hal
sebatas mengusulkan, peleburan, sementara persetujuan
atau
penggabungan, pengambilalihan,
pemisahan
misalnya,
berada berdasarkan Pasal 126 harus
pada kepala daerah. memperhatikan
kepentingan
Kepala daerah dapat Perseroan, pemegang saham menggunakan “veto” minoritas, nya
karyawan
untuk Perseroan, kreditor dan mitra
memberhentikan
usaha lainnya dari Perseroan,
pegawai.
masyarakat, dan persaingan sehat dalam melakukan usaha. Pasal 65 UU BUMN juga memberikan
perlindungan
terhadap stakeholder, dalam
125
penggabungan, atau
peleburan,
pengambilalihan
misalnya,
kepentingan
BUMN,
pemegang
saham/pemilik modal, pihak ketiga, dan karyawan BUMN harus
tetap
mendapat
perhatian. (Sumber: Munawar Kholil, 2009: 31-36) Berdasarkan pada beberapa pertimbangan yang telah penulis sajikan sebelumnya, maka sudah semestinya PD. BPR-BKK dan lembaga perbankan mikro milik pemerintah daerah lainnya yang dipersamakan dengan itu untuk melakukan perubahan bentuk badan hukumnya menjadi Perseroan Terbatas dalam konsep Perusahaan Perseroan Daerah. Badan usaha yang bergerak dalam bidang perbankan yang paling tepat adalah dalam bentuk Perseroan Terbatas, karena Perseroan Terbatas dapat menghimpun modal dari masyarakat dalam jumlah besar, yang mana tanggung jawab pemegang saham dalam Perseroan Terbatas itu hanya sebatas pada modal yang dimasukkan, yang menjalankan Perseroan Terbatas itu adalah pengurusnya, namun yang menentukan arah dan tujuan perusahaan ialah para pemegang saham yang ditetapkan dalam RUPS (Sunyoto, 2002: 155). Melalui bentuk badan hukum Perusahaan Perseroan Daerah, PD. BPR-BKK dapat menghimpun banyak modal dari para investor, akan tetapi arah dan tujuan perusahaannya berada pada kendali pemerintah daerah selaku pemegang saham mayoritas, sehingga selain untuk mendapatkan laba atau penerimaan daerah, perusahaannya juga dapat diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat kecil, golongan ekonomi lemah, UMKM, Koperasi, dan lain sebagainya. Badan Kerjasama BUMD seluruh Indonesia mendorong BUMD yang masih berstatus Perusahaan Daerah untuk berubah menjadi Perseroan Terbatas dengan harapan akan mempunyai performa bisnis yang baik tanpa menggantungkan
126
diri pada APBD, serta lebih akuntabel dan profesional dalam pengelolaannya (Ambar Budhisulistyawati, dkk, 2015: 57). Selama ini, budaya organisasi BUMD cenderung berbudaya birokrasi daripada korporasi, karena BUMD dinilai masih sebagai kepanjangan birokrasi daerah (Munawar Kholil, 2009: 30). Dengan mengubah bentuk badan hukum menjadi Perseroan Terbatas akan menguatkan dan menjaga budaya korporasi, yaitu profesionalisasi pengelolaan BUMD berdasarkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik. Dengan mengubah bentuk badan hukum menjadi Perusahaan Perseroan
Daerah,
secara
tidak
langsung
PD.
BPR-BKK
akan
melaksanakan Arsitektur Perbankan Indonesia (API). API adalah kerangka menyeluruh meliputi arah, bentuk, dan tatanan industri perbankan Indonesia dalam jangka lima sampai sepuluh tahun ke depan, yang berlandaskan pada visi mencapai suatu sistem perbankan yang sehat, kuat, dan efisien guna menciptakan kestabilan sistem keuangan dalam rangka membantu mendorong pertumbuhan ekonomi nasional (Hermansyah, 2014: 188). Untuk mencapai visi dan tujuan API, Bank Indonesia memformulasikan 6 (enam) pilar utama sebagai sasaran yang ingin dicapai, di antaranya: 1) Menciptakan struktur perbankan domestik yang sehat yang mampu memenuhi kebutuhan masyarakat dan mendorong pembangunan ekonomi nasional yang berkesinambungan. 2) Menciptakan sistem pengaturan dan pengawasan bank yang efektif dan mengacu pada standar internasional. 3) Menciptakan industri perbankan yang kuat dan memiliki daya saing yang tinggi serta memiliki ketahanan dalam menghadapi risiko. 4) Menciptakan good corporate governance dalam rangka memperkuat kondisi internal perbankan nasional. 5) Mewujudkan infrastruktur yang lengkap untuk mendukung terciptanya industri perbankan yang sehat. 6) Mewujudkan
pemberdayaan
dan
perlindungan
perbankan (Hermansyah, 2014: 192-193).
konsumen
jasa
127
PD. BPR-BKK juga akan menyokong pilar API khususnya pada pilar pertama dan pilar keempat. Pilar pertama dapat dilakukan dengan memperkuat permodalan bank, sementara pilar keempat dilakukan dengan meningkatkan good corporate governance dalam manajemen bank sehingga praktik perbankan yang tidak sehat (improper behaviour) dapat diminimalisasi (Hermansyah, 2014:195-199). Dengan modal yang relatif kecil, tentunya akan mempersulit bagi bank yang bersangkutan untuk meningkatkan skala usaha maupun skill level yang dimiliki serta mengcover risiko-risiko yang dihadapi, karena pada dasarnya modal bank merupakan engine daripada kegiatan bank, kalau kapasitas mesinnya terbatas maka sulit bagi bank tersebut untuk meningkatkan kapasitas kegiatan usahanya khususnya dalam penyaluran kredit (Hermansyah, 2014: 196). Di samping dengan memperkuat permodalan, struktur perbankan yang kuat juga dibangun dengan meningkatkan peran serta BPR dalam peta perbankan nasional, dimana diharapkan BPR memiliki struktur yang kuat dan kukuh sehingga mampu melayani masyarakat di daerah pedesaan atau terpencil khususnya yang tidak terjamah oleh pelayanan bank-bank umum (Hermansyah, 2014: 196). Melalui perubahan bentuk badan hukum dari Perusahaan Daerah ke dalam bentuk badan hukum Perseroan Terbatas dalam konsep Perusahaan Perseroan Daerah akan menjadikan PD. BPRBKK memiliki struktur kelembagaan yang sehat, kuat, dan efektif sehingga dapat mendorong pelaksanaan pembangunan ekonomi dan memenuhi fungsinya dengan sebagaimana mestinya. Terkait dengan pemakaian nama, maka juga terdapat perubahan di dalamnya. Berdasarkan ketentuan Pasal 8 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pengajuan Pemakaian Nama Perseroan Terbatas dinyatakan sebagai berikut: (1) Pemakaian Nama Perseroan harus didahului dengan frasa “Perseroan Terbatas” atau disingkat “PT”. (2) Bagi Perseroan Terbuka berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pada akhir nama Perseroan ditambah singkatan “Tbk”.
128
(3) Bagi Perseroan Persero selain berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah penulisan kata “Persero”. Jika PD. BPR-BKK, misalkan PD. BPR. BKK Grogol akan mengubah bentuk badan hukumnya menjadi Perusahaan Perseroan Daerah, maka namanya akan berubah menjadi PT. BPR-BKK Grogol (Persero Daerah). Penambahan kata “Persero Daerah” menunjukkan bahwa PT yang bersangkutan adalah PT yang untuk seluruhnya atau paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) sahamnya dikuasai oleh pemerintah daerah yang bersangkutan. Kemudian, jika PD. BPR-BKK tersebut melakukan penawaran umum di pasar modal, maka ditambahkan kata “Tbk” pada akhir namanya, yakni PT. BPR-BKK Grogol (Persero Daerah), Tbk.