35
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A.
Penetapan
Kawasan
Khusus
Merupakan
Pelaksanaan
Asas
Desentralisasi Asimetris Dalam Hubungan Pusat dan Daerah Menerapkan asas desentralisasi asimetris dalam kurun waktu lebih dari satu dekade dalam bentuk daerah istimewa, otonomi khusus dan daerah khusus menjadikan sebuah paradigma dan pagar yang membatasi mengenai pemahaman atas konsepsi dari asas desentraslisasi asimetris itu sendiri. Bahkan melihat kembali kesejarah tatanan pemerintahan daerah yang pernah berlaku di Indonesia asas ini sudah menjadi salah satu yang diterapkan untuk, mengakomodir keragaman daerah di nusantara. Mengingat bahwa tiap daerah di nusantara tidak dapat disamaratakan dari segi ekonomi, sosial, budaya, geografis bahkan politik. Asimetrisnya perlakuan antar daerah telah pula terjadi pada masa Kolonial Belanda yang pada waktu itu Pemerintahan Belanda menerapkan pemerintahan yang berbeda terhadap kerajaan di Jawa yaitu dengan sistem adanya perjanjian khusus. Misal terjadi perjanjian khusus dengan Mataram. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 dijelaskan bahwa Pemerintah Belanda membuat perjanjian dengan institusi tradisional dan adat yang jumlahnya tak kurang dari 250 buah kontrak dalam bentuk pengelolaan mandiri atau zelfbesturende lanschappen. Kontrak tersebut sebagai wujud dari penghargaan atas asimetrisme yang dimilki kerajaan-kerajaan tersebut (Bayu Dardias Kurniadi. 2012:5). Dewasa ini masih terdapat beberapa daerah yang diberikan status asimetris dalam menjalankan pemerintahan daerah melalui undang-undang. Penetapan dengan undang-undang dibeberapa daerah di Indonesia juga sebagai bentuk pengakuan dan penghormatan seperti yang diatur dalam Pasal 18B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, “Negara
mengakui
dan menghormati
satuan-satuan
pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-undang”. Esensi dari pasal tersebut pada dasarnya hanya sebagai pengakuan oleh Negara kepada daerah-daerah yang bersifat khusus atau istimewa yang sudah ada, bukan sebagai dasar untuk menetapkan daerah baru yang bersifat
35
36
khusus maupun istimewa. Hal ini berdasar pada pernyataan dari Jakob Tobing bahwa ayat tersebut tidak untuk menyikapi dorongan untuk terbentuknya daerahdaerah khusus atau istimewa yang lain selain dari Daerah Istimewa Yogyakarta, Papua, DKI Jakarta, dan NAD (Naskah Komprehensif Perubahan UUD NRI Tahun 1945 Buku 4 Jilid 2, 2010; 1418). Daerah-daerah
yang
dimaksud
mempunyai
kekhususan
dan/atau
keistimewaan sendiri yaitu antara lain: 1.
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Salah satu yang telah lama diterapkan adalah di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Secara hukum tata negara adanya DIY sangat menarik karena adanya pemerintahan monarki konstitusional dalam bingkai NKRI yang juga tidak lepas dari pro kontra terkait perihal tersebut. Daerah ini menjadi daerah istimewa dalam NKRI pertama kali ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta yang selanjutnya dirubah melalui Penetapan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1950 tentang Perubahan UndangUndang Nomor 3 Tahun 1950 Tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta yang kemudian dewasa ini dirubah menjadi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2001 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Menjadi
salah satu daerah
yang
menerapkan asas
desentralisasi asimetris dalam bentuk daerah istimewa yang diakui oleh NKRI sejak berdirinya negara ini yaitu berdasar pada Dekrit kerajaan yang dikenal dengan Amanat 5 September 1945 yang dikeluarkan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Paku Alam VIII. Dekrit kerajaan tersebut kemudian menjadi konsideran dalam penetapan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta yang selanjutnya dirubah melalui Penetapan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1950 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 Tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta. 2.
Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)
37
Selama revolusi fisik, Aceh merupakan satu-satunya wilayah yang tidak dapat diduduki oleh Belanda. Rakyat Aceh pun mempunyai penghayatan yaitu, “adat bak Poteumereuhom, hukom bak Syiah Kuala, Qanun bak Puto Phan, Reusam bak laksamana” yang dapat diartikan “hukum adat di tangan pemerintah dan hukum syariat ada di tangan ulama” (Penelitian Hukum Tentang Pembetukan Otonomi Khusus di Bali dan Pengaruhnya bagi Kebutuhan NKRI, 2011: 35-36). Sehingga ini menjadi dasar dari pemerintahan daerah Aceh menjadi pemerintahan daerah yang Islami yaitu patuh dan tunduk pada hukum Islam dengan tidak mengenyampingkan hukum Nasional. Bahkan dalam sistem yudisial atau peradilan yang diterapkan di daerah tersebut menerapkan sistem peradilan Islam dengan hadirnya Mahkamah Syariah yang tertuang dalam UndangUndang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. 3.
Daerah Khusus Ibukota Jakarta (DKI Jakarta) Sebagai Ibukota Negara jelas Jakarta mendapat kedudukan yang istimewa di tatanan pemerintahan di Indonesia. Hal ini terbukti dari nama Provinsi Jakarta menjadi Daerah Khusus Ibukota yang dalam tatanan pemerintahan lokalnya sedikit banyak bergantung langsung pada Pemerintahan Pusat, hal ini mengacu karena seluruh pusat pemerintahan negara ada di Jakarta. Berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Sebagai
Ibukota
Negara
Kesatuan
Republik
Indonesia,
tatanan
Pemerintahan Daerah yang berbeda pun terjadi disini, misal terjadi pada pemilihan walikota di kota adiministasi wilayah DKI Jakarta dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta, tidak berdasarkan pada hasil pemilihan umum seperti yang terjadi pada kota lain di Indonesia. 4.
Otonomi Khusus Papua Berbeda dengan yang terjadi di Papua, kondisi geografis maupun sosiologis Papua membuat daerah tersebut perlu untuk diperhatikan secara lebih khusus. Berdasar pula pada kekecewaan masyarakat Papua yang berkepanjangan yang telah menumbuhkan sikap apatis dan disentegratif
38
masyarakat Papua. Permasalahan-permasalahan mengenai keterbelakangan pendidikan, kemiskinan dan kesenjangan antara masyarakat lokal dan pendatang menjadi pemicu kondisi di Papua untuk diakomodir atau dijadikan alat bagi pihak-pihak luar yang bertujuan untuk mencari keuntungan dari bumi Papua. Oleh karena hal tersebut maka Pemerintah dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua berusaha untuk mengakomodir keresahan masyarakat Papua dengan menjadikan Papua sebagai daerah otonomi khusus. Kekhususan yang ada dalam pemerintahan daerah Papua adalah adanya Majelis Rakyat Papua (MRP). Menurut Pasal 1 huruf g Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua yang disebut dengan MRP adalah representasi kultural orang asli Papua, yang memiliki wewenang tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup beragama yang secara khusus menjadi majelis pertimbangan apabila Gubernur akan mengajukan Rancangan Perdasus, dan menetapkannya sebagai Perdasus. Dewasa ini muncul kembali gagasan akademis bahwa di NKRI penerapan terhadap kekhususan dan/atau keistimewaan tidak hanya terdapat pada Daerah Istimewa Yogyakarta, Papua, DKI Jakarta dan NAD saja. Namun, daerah kepulauan juga mendapat kekhususan, yang berbeda dari daerah lainnya (Kotan Y Stefanus, 2011: 104). Letak kekhususan daerah kepulauan adalah kewenangan yang lebih
luas
terhadap
wilayah
laut
yang
berada
dalam
wilayah
administratifnya. Hal ini telah diatur pada Pasal 27 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Pemberian kewenangan ini pada dasarnya bertujuan untuk memberikan peluang bagi daerah pelauan untuk dapat mengembangkan dan mengelola semua potensi wilayah laut secara maksimal untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Adanya perbedaan dalam pemberian kewenangan dengan berlandaskan sistem desentralisasi asimetris menjadikan Indonesia sebagai negara yang dianggap sebagai negara kesatuan namun semi federal. Konsep desentralisasi
39
asimetris ini sendiri pertama kali dikenalkan oleh Charles Tarton pada tahun 1964 dengan membawa konsep asymmetric federation (Tillin, 2016: 48). Namun, perlu dilhat lagi bahwa penerapan desentralisasi asimetris ini untuk menciptakan keefektifan dan efisiensi dari pemerintahan serta penguatan dari demokrasi lokal. Demokrasi lokal yang dimaksud dapat terbangun berdasar pada pengakuan dari perbedaan karakteristik, potensi, kebutuhan, dan sejarah dari masing-masing daerah yang dapat diakomodir oleh kebijakan nasional. Oleh karena hal itu maka, perlu diterapkannya desentralisasi asimetris pada beberapa daerah untuk menghindari gejolak lokal. Sehingga dapat dikatakan bahwa both federal and unitary state in the contemporary politics use decentralization as not only political strategy to transfer government powers, or economic strategy to balance fiscal structure, but also cultural strategy to realize the principles of “diversity in unity” or “unity in diversity” (Tri Widodo, 2009: 20). Hal ini juga diungkapkan oleh Ronald L. Watss dari Queen‟s University bahwa pertimbangan pengadopsian model asimetris tidak lagi dipengaruhi bentuk susunan negara, tetapi sejauh mana pilihan desentralisasi tersebut bisa efektif berfungsi atau sebaliknya disfungsional bagi upaya pengelolaan keragaman dan kekhususan lokal (Robert Endi Jaweng, 2011:164). Hal ini kembali ditegaskan bahwa meskipun penerapan desentralisasi di Indonesia tidak menjadikan Indonesia sebagai negara federal. Dapat dilihat pada beberapa daerah di Indonesia yang menerapkan asas desentralisasi asimetris ini dengan mempunyai kewenangan dan tata pemerintahan sendiri. Namun, melihat kembali semangat yang dibawa dari adanya desentralisasi dalam pemerintahan daerah adalah untuk menyelenggarakan pemerintahan daerah yang efektif dan efisien guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Sehingga dalam tata kelola pemerintahan daerah di Indonesia, tidak semua kewenangan Pemerintah Pusat menjadi tugas dan kewenangan Pemerintah Daerah pula. Sebagai negara kesatuan yang membagi wilayah dan pemerintahan daerahnya berdasarkan asas desentralisasi, maka Pemerintah Pusat juga memberikan batasan untuk Pemerintah Daerah mengelola daerahnya yakni sesuai dengan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
40
Pemerintahan Daerah mengatur bahwa urusan Pemerintah Pusat yang tidak dimiliki oleh Pemerintah Daerah antara lain politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan agama. Sedangkan bagi Pemerintah Daerah mempunyai wewenang diluar
daripada kewenangan
Pemerintah Pusat tersebut. Dalam Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah mengatur bahwa pembagian kewenangan ini didasarkan pada prinsip akuntabilitas, efisiensi, dan eksternalitas, serta kepentingan strategis nasional. Bahkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah mengatur bahwa masih adanya hubungan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah dalam beberapa hal tertentu. Melihat sekilas penjabaran mengenai penerapan asas desentralisasi asimeteris di Indonesia dalam bentuk special region, maka menarik pula jika melihat penerapan asas desentraliasasi asimetris di lain negara. Jika melihat pada beberapa negara lain maka seperti Spanyol yang menerapkan pada Basque Country, Inggris pada Skotlandia, Filipina pada Suku Moro, dan Jepang juga menerapkan asas desentralisasi asimetris yang sama hal nya dengan yang Indonesia terapkan. 1.
Spanyol : Basque Country Berlatarbelakang politik dan konflik yang cukup panjang maka menjadikan alasan pemerintah Spanyol menerapkan asas desentralisasi asimetris dalam tatanan pemerintahannya. Terdapatnya tuntutan daerah terdapat pengakuan identitas dari pemerintah nasional yang berlangsung sangat lama, membuat pemerintah nasional Spanyol membagi beberapa kawasan berdasarkan struktur politik quasi-federal guna mengakomodir tuntutan pembentukan pemerintahan yang lebih kecil. Hingga kini daerah yang mengalami perkembangan yang dinamis adalah Basque Country atau Basque Autonomous Community yang mendapatkan status otonomi khusus dengan memperoleh otonomi yang jauh lebih luas dalam aspek politik dan pemerintahan (Muhammad Zaenuddin, 2015: 364).
2.
Inggris : Skotlandia
41
Pada tahun 1707, Sktolandia diberikan otonomi melalui Act of Union (Muhammad Zaenuddin, 2015: 365) yang meliputi kewenangan untuk : a.
memiliki sistem hukum yang terpisah;
b.
membangun gereja sendiri;
c.
memiliki bank nasional;
d.
mengirimkan representasi ke parlemen Inggris;
e.
membuat peraturan dalam negeri;
f.
pendidikan;
g.
fungsi-fungsi sosial;dan
h.
bendera dan mata uang. Tuntutan masyarakat Skotlandia untuk mendapatkan kewenangan
yang seluas-luasnya masih terus dilakukan. Hingga pada tahun 1990 akhirnya parlemen Skotlandia memperoleh kewenangan kontrol esklusif untuk urusan bidang pertahanan, luar negeri, keamanan sosial, sebagian urusan moneter, fiskal dan pajak (Muhammad Zaenuddin, 2015: 365). Tidak berhenti pada pemberian kewenangan itu saja, desakan untuk memperoleh kewenangan bertambah. Sampai saat ini kewenangan Skotlandia sangat besar yang meliputi urusan-urusan dalam negeri seperti kesehatan, pendidikan, pemerintahan lokal, social work, pembangunan ekonomi, hukum dan urusan dalam negeri termasuk hukum kriminal, hukum sipil, lingkungan, agrikultur, olahraga dan statistik (Muhammad Zaenuddin, 2015: 365). Pemerintahan Inggris tidak mutlak lepas tangan atas pemerintahan Sktolandia. Hal ini dibuktikan dengan adanya kewenangan yang masih dipegang oleh Pemerintah Inggris, yaitu meliputi (Muhammad Zaenuddin, 2015: 365): a.
hubungan Luar Negeri;
b.
pertahanan keamanan;
c.
stabilitas ekonomi;
d.
ketenagakerjaan;
e.
keamanan sosial; dan
42
f. 3.
keamanan transportasi.
Filipina : Suku Moro Di benua Asia tidak hanya Indonesia yang multikultural, misal Filipina juga dapat dikatakan sebagai negara dengan ragamnya budaya. Salah satunya adalah adanya Suku Moro yang merupakan bangsa Filipina dengan mayoritas penduduknya memeluk agama Islam tersbesar di Filipina. Pemberontakan timbul di Suku Moro ini sebagai rekasi yang tidak dapat dihindari terhadap migrasi pemukim beragama Kristen kekawasan selatan Filipina yang menyebabkan penduduk asli yang beragama Islam terancam posisinya menjadi kelompok minoritas. Pada tahun 1996 Suku Moro dengan mengusung Moro National Liberation Front (MNLF) berhasil menandatangani perjanjian dengan pemerintah Filipina dan menghasilkan Autonomous Region in Muslim Mindanao (ARMM) yang terdiri dari MNLF (Muhammad Zaenuddin, 2015: 368369).
4.
Jepang Jepang merupakan salah satu negara yang cenderung lebih sebagai negara kesatuan dari pada negara federal. Jepang menganut pola multiple gradation of local autonomy yakni dibuktikan dengan adanya transfer kewenangan yang lebih besar dari pusat pada beberapa kota. Seperti yang diungkapkan oleh Tri Widodo (2012) sebagai expert panel on Asymmetrical Decentralization di PKP2A LAN Bandung, Daerah yang berstatus sebagai Chukaku-shi atau Kota Inti (core cities), memiliki derajat ekonomi yang paling tinggi. Selain Kota Inti ada pula Tokurei-shi atau Kota dengan status Kasus Istimewa (Special Case Cities). Jepang menerapkan otonomi daerah yang asimetris pula yang berdasarkan pada faktor penduduk dan perkembangan ekonomi yang diindikasikan oleh basis lapangan kerja yang tersedia dan/atau tenaga kerja yang terserap. Dewasa ini Jepang memberikan special authority pada 6 kota, yakni Tokyo, Osaka, Nagoya, Yojohama, Kyoto, dan Kobe (Jacobs, 2003: 603). Muramatsu (2001: 1) describes the situation as a combination between
43
perpendicular administrative control model and horizontal political competition model. Kondisi unik ini sebagai salah satu dari penerapan desentralisasi asimetris di tata kelola Pemerintahan Daerah di Jepang dengan fokus pada market decentralization. Latar belakang yang hampir sama yaitu politik, agama, dan perlindungan hak asasi yang diterapkan dibeberapa negara untuk menetapkan daerah-daerah khusus tertentu untuk merespon tuntutan pengakuan entitas lokal agar daerah bisa menentukan nasib daerahnya sendiri. Namun, dewasa ini latar belakang seperti itu mulai memudar dengan digantikan oleh motivasi lain. Banyak negara mengkaitkannya dengan kebutuhan pengembangan ekonomi, pengembangan kawasan khusus, jawaban atas tantangan globalisasi dengan kebutuhan untuk memperkuat
kapasitas pemerintahan daerah (governability)
yang setara
(Muhammad Zaenuddin, 2015: 366). Hal semacam ini terjadi di beberapa negara seperti berikut: 1.
California Seperti yang tercantum dalam Special District Fact Sheet yang dikeluarkan oleh Senate Local Government Committee August 2009 yaitu bahwa: California has nearly 3.400 special districts. There are about 50 major types of special districts (and many subcategories) ranging from airport to cemetery to water conservation district. All types of district operate under either a principal act or a special act. One way it understand special districts is to look at their activities, funding and governance. A district’s name does not always indicate which services it provides or is authorized to provide (www.csda.net, diakses pada 16 November 2015 pukul 20.30 WIB).
2.
Florida Florida menerapkan special district pada beberapa daerahnya, salah satunya adalah dalam bentuk Special Improvement Districts yaitu pada Seminole and Miccosukee Tribes. There is hereby created a special improvement district for each of the areas contained within the reservations set aside for the Seminole and Miccosukee Tribes, respectively
44
(http://www.leg.state.fl.us/statutes/index.cfm?mode=View%20Statutes&S ubMenu=1&App_mode=Display_Statute&Search_String=285.17&URL= 0200-0299/0285/Sections/0285.17.html, diakses pada tanggal 7 Februari 2016 pukul 02.00 WIB). 3.
Tiongkok Tiongkok juga menerapkan asas desentralisasi asimetris pada beberapa daerahnya dengan latar belakang guna memenuhi kebutuhan ekonomi.
Tiongkok
sangat
tergantung
sekaligus
mengedepankan
kemampuan setiap daerah terutama di kawasan pengembangan ekonomi untuk tumbuh.yaitu daerah Shen Zhen yang menerapkan Industrial Park Zone (Ayu Prima Yesuari, 2010: 1). Sedangkan di Indonesia sendiri telah menetapkan beberapa daerah atau kawasan khusus dengan pertimbangan pemenuhan kebutuhan ekonomi pula. Pemerintah Indonesia selama 40 tahun terakhir yaitu dimulai pada tahun 1970 telah merancang strategi untuk meningkatkan pertumbuhan dan daya melalui investasi domestik maupun asing dengan menetapkan wilayah-wilayah tertentu (Yose Rizal, dkk, 2015: 19). Berangkat dari hal tersebut maka terbentuklah konsepsi Desentralisasi Asimetris Berbasis Ekonomi (DABE), sebagai suatu bentuk pemberian skema kekhususan kepada daerah-daerah otonom untuk mengelola bidang-bidang tertentu terkait dengan pengelolaan potensi ekonomi di daerah (Muhammad Zaenuddin, 2015: 388). Potensi ekonomi daerah menjadi dasar dari penerapan desentralisasi asimteris ini dikarenakan dengan upaya optimalisasi potensi unggulan daerah yang merupakan pintu masuk (entry point) menuju perwujudan kemandirian dan daya saing daerah yang diharapkan akan berujung pada terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Dimulai dari tahun 1970 dibentuk Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas atau disebut juga dengan Free Trade Zone (FTZ). Pada tahun 1989 dibentuklah Kawasan Industri. Hingga pada tahun 2009 munculah pengaturan mengenai Kawasan Ekonomi Khusus. Kawasan khusus yang disebutkan masih berlaku hingga sekarang, mengingat pada urgensi dari kawasan khusus tersebut sebagai salah satu strategi Pemerintah untuk menjaga
45
keberlangsungan ekonomi Indonesia. Berikut adalah penjelasan yang lebih terperinci mengenai 3 kawasan khusus yang disebutkan: 1.
Kawasan Perdagangan Bebas dan/atau Pelabuhan Bebas Kawasan khusus jenis ini terdapat di Kepulauan Riau, yaitu pada daerah Batam yang berdasar pada Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam maka ditetapkanlah Batam sebagai daerah kawasan khusus dengan jenis Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas yang pada Pasal 1 ayat (2)
Peraturan
Pemerintah
tersebut
menjelaskan
bahwa
Kawasan
Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam meliputi Pulau Batam, Pulau Tonton, Pulau Setekok, Pulau Nipah, Pulau Rempang, Pulau Galang dan Pulau Galang Baru dengan jangka waktu berlaku selama 70 (tujuh puluh) tahun sesuai yang diatur dalam Pasal 1 ayat (1). Letak Batam yang berada di sisi jalur perdagangan internasional mulai dari investasi, barang dan jasa dari luar negeri serta sebagai salah satu pintu gerbang perdagangan di Indonesia menjadi pertimbangan pertama
dan utama
dalam
penetapan Batam
menjadi
Kawasan
Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas. Selain dari pada itu, mengingat pula bahwa Batam mempunyai lahan, infrastruktur dan industri pendukung yang memadai untuk menjadi kawasan khusus. Penetapan di Batam sendiri berawal dari Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1973 tentang Daerah Industri Pulau Batam, pembangunan Batam dipercayakan kepada lembaga pemerintah yang bernama Otorita Pengembangan Industri Pulau Batam atau sekarang dikenal dengan Badan Pengusahaan Batam (BP Batam) (http://www.bpbatam.go.id/ini/batamGuide/batam_history.jsp,
diakses
pada tanggal 7 Februari 2016 pukul 00.02 WIB). Hingga kini Batam berdasar pada Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2007 tentang Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, ditetapkan menjadi kawasan yang berdiri secara mandiri untuk untuk menjadi daerah yang lebih memaksimalkan pelaksanaan pengembangan serta menjamin kegiatan usaha di bidang perekonomian yang meliputi perdagangan,
46
maritim, industri, perhubungan, perbankan, pariwisata, dan bidang-bidang lainnya. Penetapan kawasan khusus ini tidak lepas dari rencana tata ruang wilayah daerah kota/kabupaten/provinsi setempat. Pada Pasal 2 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam mengatur bahwa pengembangan kegiatan di bidang ekonomi dalam kawasan ini dilakukan sesuai dengan rencana tata ruang wilayah kota Batam. Penerapan asas desentralisasi asimetris dalam kawasan ini dapat dilihat dari adanya desentralisasi kewenangan secara asimetris yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas jo. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2007 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2007 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2000 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 Tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Menjadi Undang-Undang yaitu dalam Pasal 1 ayat (1) yang menegaskan bahwa kawasan tersebut bebas dari daerah pabean, sehingga bebas dari; a.
pengenaan bea masuk,
b.
pajak pertambahan nilai,
c.
pajak penjualan atas barang mewah
d.
cukai. Sehingga dikawasan ini membuka peluang bagi industri atau sektor
ekonomi lain untuk tumbuh berkembang. Adanya Kawasan Perdagangan dan/atau Pelabuhan Bebas dengan dilengkapi fasilitas tersebut ditujukan untuk pengembangan sektor perdagangan, jasa, dan manufaktur. Hasil yang ingin dicapai dari itu adalah peningkatan dasar saing produk ekspor di Indonesia di pasar internasional. 2.
Kawasan Ekonomi Khusus
47
Bukan hanya menjadi kawasan perdagangan dan pelabuhan bebas, Batam juga menjadi salah satu daerah dengan status sebagai daerah KEK dengan berdasar pada penetepan melalui Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus yaitu dalam Pasal 48 menyebutkan beberapa daerah sebagai KEK yaitu Batam, Bintan, dan Karimun. Selain kawasan yang disebutkan, mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2012 tentang Kawasan Ekonomi Khusus Sei Mangkei, KEK ini berada di dalam wilayah Kecamatan Bosar Maligas, Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara terbagi menjadi 3 zona, yaitu Zona Industri, Zona Logistik, dan Zona Pariwisata.
Gambar 2. Peta Wilayah Kawasan Ekonomi Khusus Indonesia Sumber : kek.ekon.go.id (diakses pada tanggal 21 Maret 2016 pukul 21.57 WIB) Pengembangan KEK di Indonesia mempunyai tujuan yang antara lain (Yose Rizal Damuri, 2015: 43): a.
Peningkatan
penanaman
modal/investasi
melalui
penyiapan
kawasan yang memiliki keunggulan geoekonomi dan geostrategis; b.
Optimalisasi kegiatan industri, ekspor, impor, dan kegiatan ekonomi lainnya yang memiliki nilai ekonomi tinggi;
48
c.
Menunjang
percepatan
pembangunan
daerah,
melalui
pengembangan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru untuk mencapai keseimbangan pembangunan antar wilayah;dan d.
Mewujudkan
model
baru
pengembangan
kawasan
untuk
pertumbuhan ekonomi sehingga dapat menciptakan lapangan pekerjaan. Pada umumnya di Indonesia, kawasan khusus yang berangkat dari pengembangan potensi ekonomi disebut sebagai KEK. Namun, dalam KEK sendiri telah mengatur beberapa hal-hal khusus untuk wilayahnya. Sehingga kawasan khusus berbasis ekonomi di Indonesia tidak dapat atau tidak selalu dapat dikatakan sebagai KEK. Sebagai basis bagi kegiatan industri, ekspor, impor dan aktivitas lain dengan nilai ekonomi tinggi, maka didalam KEK sendiri dapat terdiri dari satu atau lebih dari zona. Hal ini berdasar pada Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus yang mengatur bahwa KEK terdiri atas satu atau atas beberapa zona: a.
pengolahan ekspor;
b.
logistik;
c.
industri;
d.
pengembangan teknologi;
e.
pariwisata;
f.
energi;dan
g.
ekonomi lainnya. Kekhususan lain yang dimiliki oleh KEK juag dapat dilihat dari
kewenangan KEK yang dapat membangun fasilitas pendukung dan perumahan bagi pekerja. Bahkan dalam KEK disediakan pula lokasi untuk usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi. Pada KEK terdapat sistem kelembagaan dalam pengelolaan kawasan yang berbeda dengan kawasan yang
lainnya.
Adanya
Dewan
Nasional,
Dewan
Kawasan
dan
Administrator sebagai pengelola KEK. Hal ini dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
49
Gambar 3. Skematik Lembaga Pengelola KEK Berdasarkan pada Pasal 16 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus, dijelakan bahwa Dewan Nasional adalah Menteri yang menangani urusan pemerintahan di bidang perekonomian
dan
beranggotaan
menteri
dan
kepala
lembaga
pemerintahan nonkementerian. Sedangkan Dewan Kawasan, berdasar pada Pasal 20 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus, yaitu terdiri dari Gubernur, Bupati/Walikota, unsur Pemerintahan di Provinsi dan unsur Pemerintahan Kabupaten/Kota. Sehingga disini peran Pemerintah Daerah tidak lepas dari pengelolaan KEK di wilayahnya. Bahkan, berdasar pada Pasal 21 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus, diatur mengenai tugas Dewan Kawasan, yaitu antara lain: a.
melaksanakan kebijakan umum yang telah ditetapkan oleh Dewan Nasional untuk mengelola dan mengembangkan KEK di wilayah kerjanya;
b.
membentuk Administrator KEK di setiap KEK;
50
c.
mengawasi, mengendalikan, mengevaluasi, dan mengoordinasikan pelaksanaan tugas Administrator KEK dalam penyelenggaraan sistem pelayanan terpadu satu pintu dan operasionalisasi KEK;
d.
menetapkan langkah strategis penyelesaian permasalahan dalam pelaksanaan kegiatan KEK di wilayah kerjanya;
e.
menyampaikan laporan pengelolaan KEK kepada Dewan Nasional setiap akhir tahun;dan
f.
menyampaikan laporan insidental dalam hal terdapat permasalahan strategis kepada Dewan Nasional.
Melihat pengaturan tersebut, dapat dikatakan KEK tidak dapat dilepaskan dari tanggung jawab Pemerintah Daerah. Sedikit banyak, peran Pemerintah Daerah dalam keberlangusngan KEK sangat diberpengaruh. Perbedaan lainnya selain terdapat pada beberapa zona dalam kawasan, tata kelola kawasan, dan insentif fiskal, di KEK sendiri diberikan fasilitas kemudahan ketenagakerjaan. Termasuk didalamnya adalah izin meperkerjakan tenaga kerja asing sebagai direksi/komisaris, serta dibentuknya Dewan Pengupahan, Forum Serikat Pekerja, dan Lembaga Kerjasama Tripartit (Yose Rizal Damuri, dkk, 2015: 47). Bahkan lebih dari itu, KEK sebagai kawasan khusus yang ditujukan untuk pembangunan ekonomi, dapat dikatakan sebagai kawasan khusus yang komprehensif. Hal ini melihat bahwa kekhususan juga terdapat pada kemudahan untuk memperoleh hak atas tanah dan pembebasan lahan. Hal ini termasuk dalam rencana untuk memberikan hak penggunaan lahan dan bangunan yang lebih panjang hingga mencapai 80 tahun dibandingkan 50 tahun diwilayah diluar KEK (Yose Rizal Damuri, dkk, 2015: 47). 3.
Kawasan Industri Upaya pemerintah dalam hal pembangunan daerah, terus dilakukan dengan salah satunya melalui penetapan Kawasan Industri. Kawasan Industri di Indonesia salah satunya adalah Teluk Bintuni di Papua Barat sebagai salah satu kawasan khusus yang fokus pada petrokimia karena daerah tersebut adalah daerah dengan penghasil gas yang cukup besar yang
51
pula
menjadi
minat
dunia
luar
(http://bisnis.tempo.co/read/news/2015/06/27/090678868/kawasan-telukbintuni-dijadikan-industri-petrokimia,
diakses pada tanggal 7 Februari
pukul 01.01 WIB). Daerah ini pula menjadi perhatian para investor karena potensinya yang luar biasa dan tidak semua daerah dapat miliki. Tidak hanya di Papua Barat, Kawasan Industri juga banyak terdapat di Pulau Jawa. Tabel 1. Daftar Jumlah Kawasan Industri di Indonesia No
Wilayah
Jumlah
Luas Area (HA)
1.
DKI Jakarta
5
2.475
2.
Banten
19
6.729
3.
Jawa Barat
30
17.845
4.
Jawa Tengah
8
2.291
5.
Jawa Timur
8
2.499
6.
Riau dan Kep. Riau
18
667
7.
Sumatera Utara
3
1.300
8.
Sumatera Barat
1
200
9.
Sumatera Selatan
2
3.124
10. Sulawesi Tengah
1
1.500
11. Kalimatan Timur
1
250
Sumber : Direktori Kawasan Industri Tahun 2012 Berdasarkan pada Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2009 tentang Kawasan Industri mengatur bahwa Kawasan Industri sendiri dikembangkan dan dikelola oleh Perusahaan Kawasan Industri yang telah memiliki Izin Usaha Kawasan Industri. Fokus pengembangan Kawasan Industri sendiri adalah untuk memicu pertumbuhan dan daya saing sektor manufaktur di daerah. Selain dari perbedaan mengenai izin tersebut, ketika Izin Usaha sudah didapat, maka Perusahaan Kawasan Industri tersebut untuk memperoleh izin lokasi maka harus mengajukan permohonan kepada Pemerintah Daerah atau Kepala Badan Pertanahan Nasional jika Kawasan Industri tersebut berlokasi lintas provinsi. Selain
52
dari pada itu semua, Kawasan Industri juga mendapat fasilitas berupa kepabeanan dan perpajakan. Tabel 2. Perbedaan Bentuk Kawasan Khusus Bentuk Kawasan
Definisi/Tujuan
FTZ atau Kawasan Perdagangan dan/atau Pelabuhan Bebas (4 lokasi) Kawasan Ekonomi Khusus (50 pengusul)
Kawasan dengan batas tertentu yang terpisah dari daerah pabean sehingga terbebas dari bea masuk, PPN, PPnBM dan cukai. Kawasan dengan batas tertentu dalam wilayah NKRI untuk menyelenggarakan fungsi perekonmian yang bersifat khusus dan memperoleh fasilitas tertentu. Kawasan Industri (86 Kawasan pemusatan kegiatan industri Lokasi) yang dikelola oleh perusahaan KI Sumber : Hasil Olahan Deputi Bidang Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, 2010. Melihat dari 3 (tiga) jenis kawasan khusus tersebut dengan keasimetrisan kewenangannya, maka dapat kembali dilihat bahwa hal tersebut telah sesuai dengan Pasal 1 angka 6 Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penetapan Kawasan Khusus, “Kawasan khusus adalah bagian wilayah dalam provinsi dan/atau kabupaten/kota yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk menyelenggarakan fungsi-fungsi pemerintahan yang bersifat khusus bagi kepentingan nasional.” Selanjutnya dalam Pasal 1 angka 6 diatur bahwa, “Fungsi pemerintahan tertentu adalah urusan pemerintahan yang bersifat khusus untuk kepentingan nasional yang dilaksanakan di kawasan khusus.” Lebih jelas lagi Pasal 2 ayat (1) disebutkan bahwa, “untuk menyelenggarakan fungsi pemerintahan tertentu yang bersifat khusus bagi kepentingan nasional, Pemerintah dapat
menetapkan
kawasan
khusus
dalam
wilayah
provinsi
dan/atau
kabupaten/kota”, jelas dalam ayat tersebut menyatakan bahwa adanya fungsi pemerintahan tertentu yang bersifat khusus. Dapat diartikan disini bahwa khusus yang dimaksud khusus disini yang secara nasional menyangkut hajat hidup orang banyak dari sudut politik, sosial, ekonomi, budaya, lingkungan, pertahanan dan keamanan. Sehingga jika mengacu dalam ketentuan tersebut maka kawasan
53
khusus mendapatkan perlakuan yang berbeda serta diberikan kewenangan yang berbeda pula dari Pemerintah Pusat guna mengelola kebutuhan dan potensi daerahnya. Namun, hal ini jelas berbeda dengan kondisi daerah provinsi yang mempunyai special treatment dari Pemerintah Pusat. Sehingga dapat dikatakan bahwa kawasan khusus ini menerapakan asas desentralisasi asimetris dalam pengelolaan daerahnya dengan lingkup wilayah yang lebih kecil pula. Meskipun daerah yang dimaksud tidak seluas daerah provinsi, karena kawasan khusus ini sendiri mengakomodir kekhususan sebuah daerah secara lebih fokus. Special districts are for form of local government created by a local community to meet a specific need. (www.csda.net, diakses pada tanggal pada 16 November 2015 pukul 20.30 WIB). Jika dilihat kembali dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penetapan Kawasan Khusus disebutkan bahwa, “Pemerintah menetapkan kawasan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan mengikutsertakan daerah yang bersangkutan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pemeliharaan, dan pemanfaatan.” Sehingga dapat diartikan disini bahwa Pemerintah Daerah juga mempunyai andil yang penting dalam kawasan khusus. Bahkan dalam Pasal 23 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penetapan Kawasan Khusus disebutkan bahwa, “Pemerintah bersama-sama dengan pemerintah daerah melakukan monitoring dan evaluasi atas penyelenggaraan kawasan khusus”. Sehingga disini, Pemerintahan Daerah yang didaerahnya ditetapkan sebagai kawasan khusus secara otomatis pula mempunyai tugas dan beban tanggung jawab yang berbeda dengan daerah lain yang tidak ditetapkan sebagai kawasan khusus. Lebih rigid lagi status kawasan khusus ini tidak dapat diberikan kepada setiap daerah dengan cuma-cuma. Mengacu pada Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2010 tentang Penetapan Kawasan Khusus bahwa, “Penetapan kawasan khusus harus memenuhi persyaratan administratif, teknis, dan fisik kewilayahan.” Berbeda dengan daerah lain yang menerapkan asas desentralisasi asimetris dalam lingkup provinsi tidak ada ketentuan yang pasti mengenai kriteria
54
atau persyaratan untuk menjadi sebuah daerah istimewa atau daerah otonomi khusus. Kembali pada pengertian bahwa asymmetric decentralization is not a digression from the basic idea of decentralization, but may even reinforce the purpose of decentralization in creating effectiveness and efficiency of the government affairs, as well as strengthening the democratic institutions at local level, sehingga kawasan khusus ini dapat dikatakan sebagai salah satu implementasi dari asas desentralisasi. Hal ini dikarenakan tujuan dari asas desentralisasi adalah untuk menciptakan keefektifan dan efisiensi dari pemerintahan untuk mencapai tujuan dan kepentingan nasional sesuai dengan Pasal 1 angka 42 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah memberikan pengertian bahwa yang dimaksud dengan kawasan khusus adalah bagian wilayah dalam daerah provinsi dan/atau daerah kabupaten/kota yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat untuk menyelenggarakan fungsi pemerintahan yang bersifat khusus bagi kepentingan nasional. Bahkan dalam hal ini kawasan khusus sebagai wujud implementasi dari asas desentralisasi asimetris sendiri tidak dapat lepas dari hubungan pusat dan daerah. Misal terjadi dalam hal pembentukan kawasan khusus yang juga harus mengingat pada tata ruang wilayah seperti yang diatur dalam Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penetapan Kawasan Khusus. Lebih lanjut lagi, meskipun tata kelola kawasan khusus masih berada dalam tata kelola Pemerintah Daerah namun disini Pemerintah Pusat juga mempunyai andil dalam pemberian kebijakan dalam kawasan khusus. Melihat pada Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penetapan Kawasan Khusus yang mengatur bahwa Menteri dan/atau pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian, gubernur, dan bupati/walikota yang mengusulkan penetapan kawasan khusus bertanggung jawab atas penyelenggaraan kawasan khusus yang telah ditetapkan. Sehingga dapat dikatakan tidak seluruhnya kawasan khusus hanya dapat diusulkan oleh daerah saja, melainkan oleh Menteri dan/atau pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian lainnya.
55
Tidak hanya sebatas itu saja, pada Pasal 22 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penetapan Kawasan Khusus mengatur bahwa Pemerintah melaksanakan pembinaan umum dan pembinaan teknis atas penyelenggaraan kawasan khusus. Terlihat bahwa adanya aturan seperti itu memberikan hubungan yang langsung dari Pemerintah ke Pemerintah Daerah terutama dalam hal penyelenggaraan kawasan khusus. Kelebihan inilah yang mencerminkan adanya perbedaan dalam hal perlakuan terhadap kawasan khusus dari Pemerintah Pusat melalui peran Pemerintah Daerah atau Menteri dan/atau pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian yang mengusulkan kawasan khusus. Kawasan Khusus dalam Pasal 11 dan Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penetapan Kawasan Khusus dijelaskan bahwa Kawasan Khusus dapat berupa kawasan yang berada dalam dua kabupaten/kota atau lebih dalam satu provinsi atau kawasan yang berada dalam dua kabupaten/kota atau lebih dalam provinsi yang berbeda. Kelonggaran mengenai pengusulan kawasan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2010 tentang Penetapan Kawasan Khusus tersebut memberikan penegasan kembali bahwa dalam hubungannya kebijakan yang diberikan oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah adalah asimetris. Dalam hal ini pula terjadi desentralisasi kewenangan secara asimetris yang terjadi dalam kawasan khusus yang sudah ditetapkan. Selanjutnya dalam penyelenggaraan kawasan khusus sendiri telah diatur dalam Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2010 tentang Penetapan Kawasan Khusus bahwa Pemerintah mempunyai tanggung jawab atau tugas dalam
melaksanakan
pembinaan
umum
dan
pembinaan
teknis
atas
penyelenggaraan kawasan khusus. Hal ini berbeda dengan pelaksanaan desentralisasi asimetris dalam bentuk daerah otonomi khusus, daerah khusus, ataupun daerah istimewa yang dalam proses penyelenggaraan daerahnya tidak membutuhkan adanya pembinaan secara umum maupun teknis. Berkaitan dengan pembinaan umum dan teknis yang dilakukan terhadap kawasan khusus, maka Pemerintah Pusat mengalokasikan dana pembinaan umum tersebut dibebankan
56
pada anggaran pendapatan dan belanja negara yang ditempatkan pada anggaran Kementerian Dalam Negeri dan dalam rangka pembinaan teknis kawasan khusus dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja negara yang ditempatkan pada anggaran masing-masing kementerian dan/atau lembaga pemerintahan non kemeneterian yang bersangkutan, hal ini telah diatur dalam Pasal 25 Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2010 tentang Penetapan Kawasan Khusus. Adanya pengembangan ragam zona spesifik seperti kawasan otoritas, berikut kota-kota mandiri, dan sebagainya yang berangkat dari logika asymmetrical decentralization (Cornelis Lay, 2010: 2). Hanya saja, praktekpraktek pengaturan daerah atau kawasan secara asimetris diatas belum terintegrasi sebagai bagian dari rezim desentralisasi yang dikembangkan di Indonesia. Masing-masingnya menjadi rezim yang berdiri sendiri-sendiri, tanpa kaitan antara satu dengan yang lainnya. Sebagai daerah yang bersifat strategis bagi kepentingan nasional, maka kawasan khusus ini juga merupakan salah satu dari penerapan asas desentralisasi asimetris di Indonesia selain dalam bentuk daerah khusus, daerah otonomi khusus maupun daerah istimewa hal ini berdasar pada kekhususan kebijakan yang diterapkan oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah yang berkewenangan atas kawasan khusus itu sendiri. Shiuh-Shen Chen (2006: 149) dalam disertasinya, juga mengatakan bahwa the concept of asymmetric decentralization offers a better framework to explain the consequeces of political economy of regional development, including the phenomenon of local policy innovations. Kawasan khusus merupakan salah satu inovasi kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah kepada Pemerintah Daerah guna melakukan pembangunan daerah berdasarkan potensi daerah itu sendiri. Sehingga dapat dikatakan bahwa dengan segala keterbatasan yang dimiliki, Indonesia telah mengadopsi konsep desentralisasi asimetris dalam wujud otonomi khusus, daerah khusus atau istimewa, kawasan khusus dan seterusnya (Anthon Raharusun, 2014: 9). Tujuan dari pengadopsian tersebut adalah menciptakan Pemerintahan Daerah yang efektif dan efisien guna memenuhi kesejahteraan masyarakat.
57
Desentralisasi asimetris, may be feasible to decentralize responbilities directly from central government to the private sector rather than going through local government (Litvack, dkk, 1999: 79). Hal seperti ini lah yang diterapkan di Indonesia,
yaitu
desentralisasi
asimetris
tidak
diterapkan
dalam
level
pemerintahan daerah yang menjadi special region namun juga diterapkan dalam hal private sector yaitu dalam wujud kawasan khusus. Bahkan model asimetris di Indonesia yang diterapkan pada kawasan-kawasan khusus ini mengacu pada model asimetris berbasis kategori kemajuan sosial ekonomi. Adanya justifikasi berbeda dengan mempertimbangakan beberapa kondisi daerah yang ditujukan untuk membangung daerah tersebut yang pada dasarnya mempunyai kebutuhan yang berbeda dengan daerah yang lainnya. Jika dilihat secara keseluruhan mengenai penetapan kawasan khusus sebagai salah satu bentuk penerapan asas desentralisasi asimetris dapat dilihat dari kewenangan khusus kawasan tersebut yang antara lain; 1.
adanya perbedaan dalam hal kepabeanan;
2.
adanya perbedaan dalam hal perpajakan;
3.
adanya kemudahan dalam hal perizinan tertentu;
4.
adanya pengelolan kawasan khusus yang tidak langsung dibawah pemerintah daerah maupun pemerintah pusat, melainkan berada dibawah pengelolaan dari badan swasta;dan
5.
fasilitas pendukung lain sesuai dengan fokus pembangunan dan tujuan penetapan kawasan khusus tersebut.
Beberapa poin yang menunjukan pembedaan yang ada di kawasan khusus dengan kawasan lain dapat membuktikan bahwa kawasan khusus tidak dapat dikatakan simetris dengan kawasan atau daerah lainnya. Selain untuk menguatkan kapasitas pemerintahan lokal, desain asimetrik dalam kerangka ekonomi juga menjadi kerangka pengembangan kawasankawasan ekonomi tertentu (Anthon Raharusun, 2014: 79). Pemberian kekhususan dapat dilakukan kepada berbagai level pemerintahan, mulai level provinsi sampai dengan tingkat pemerintahan yang paling rendah setingkat desa/kampung (Anthon Raharsun, 2014: 80). Sehingga disini masih terjalin hubungan koordinasi antara
58
pemerintah daerah sebagai pihak yang bertanggungjawab atas kawasan khusus didaerahnya dengan Pemerintah Pusat. Misal terjadi pada KEK, yang dalam KEK terdapat Dewan Kawasan yang berada di daerah. Dewan Kawasan dapat memberikan partisipasi pemerintahan daerah secara aktif. Pengelolaan KEK dilakukan oleh badan usaha komersial dengan diawasi oleh administrator yang merupakan perpanjangan tangan pemerintahan daerah (Yose Rizal Damuri, dkk, 2015: 71). Kawasan khusus dapat dikatakan sebagai salah satu wujud penerapan asas desentralisasi asimetris. Meskipun penetapan kawasan khusus ditujukan untuk kepentingan yang bersifat nasional, namun manfaatnya juga harus dirasakan oleh daerah yang bersangkutan. Dengan demikian, daerah juga akan merasakan dampak positif dari adanya kawasan khusus di wilayahnya, serta ikut bertanggung jawab terhadap keberlangsungan kawasan khusus tersebut. Terlebih lagi dalam pengelolaan kawasan khusus yang berpotensi menghasilkan penerimaan agar dilakukan upaya-upaya yang dapat mendukung pemberdayaan dan kesejahteraan masyarakat di daerah yang bersangkutan. B.
Kawasan Khusus Menjadi Langkah Dalam Pengembangan Potensi Daerah Pengembangan potensi daerah dalam rangka pembangunan daerah untuk
mencapai pembangunan nasional pada masa lalu telah menciptakan kesenjangan antarwilayah yang dapat menimbulkan kecemburuan sosial serta meningkatkan ancaman disintegrasi seperti yang telah dijelaskan pada latar belakang penulisan hukum ini. Berdasarkan pada potensi yang ada pada tiap-tiap daerah tidaklah sama, maka banyak tantangan serta hambatan bagi Pemerintah pada masa lampau sehingga dapat dikatakan kurang berhasilnya pembangunan didaerah yang berdasar pada potensi di tiap-tiap daerah. Hal ini jelas dapat dilihat, pembangunan daerah yang sangat signifikan berada di Jawa, sedangkan daerah-daerah lain masih belum begitu mendapat perhatian dari Pemerintah. Pengembangan wilayah yang dilaksanakan di Indonesia setidaknya meliputi tiga tingkatan, yakni pada tingkat mikro, meso, dan tingkat makro
59
(Saratri Wilonoyudho, 2009: 176). Tingkat mikro bertujuan untuk mengenali kebutuhan yang mendesak dan memenuhi kebutuhan dasar masyarakat, membantu daerah dalam rangka mencapai kemandirian ekonomi dan meningkatkan daya saing, serta mendorong pengembangan potensi daerah agar mampu mengekspor hasil industri atau pertaniannya untuk mendukung perekonomian nasional. Tingkat meso dilakukan pengembangan wilayah dengan jalan mengaitkan antarwilayah agar tercipta pusat-pusat pertumbuhan. Pengembangan tersebut kembali lagi diarahkan untuk mengenali potensi daerah yang bersangkutan. Hal inilah yang menjadi indikator sebuah daerah dewasa ini mampu atau tidak untuk terus berkembang dengan potensi-potensi yang ada didaerahnya untuk membantu mengembangkan daya saing nasional. Tujuan pengembangan potensi daerah guna mewujudkan pembangunan daerah adalah untuk kesejahteraan masyarakat di daerah itu sendiri. Namun, pembangunan serta kesejahteraan yang dimaksud tidak hanya berdasar pada pertumbuhan ekonomi yang menjadi satu-satunya sasaran pembangunan. Misal pembangunan daerah dapat dilihat dari bagaimana daerah tersebut mengatur potensi-potensi daerahnya guna mencukupi kebutuhan rumah tangganya yaitu dalam pengembangan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, investasi modal, sarana dan prasarana pembangunan, transportasi dan komunikasi, komposisi industri, teknologi, situasi ekonomi dan perdagangan antarwilayah, kemampuan pendanaan dan pembiayaan pembangunan daerah, kewirausahaan, kelembagaan daerah, serta lingkungan pembangunan secara luas. Seperti yang ditulis oleh Tulus Tambunan (2008: 10) dalam paper nya yang berjudul Kawasan Ekonomi Khusus dan Dampaknya Terhadap Industrialisasi di Batam yaitu suatu wilayah memiliki keunggulan secara alami (natural advantages) atau yang dikembangkan (acquired advanteges). Berbagai teori menyatakan bahwa sasaran pembangunan yang lain akan tercapai dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi melalui proses menetes kebawah (trickle down effect) (Doriani Lingga dan Wahyu Ario Pratomo, 2013:14). Maksudnya adalah bahwa pertumbuhan ekonomi mengindikasikan peningkatan taraf hidup masyarakat yang baru akan terjadi jika seluruh komponen
60
masyarakat terlibat dan produktif dalam aktifitas ekonomi. Keterlibatan masyarakat ini pula menjadi salah satu syarat dalam hal penyelenggaraan kawasan khusus yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2010 tentang Penetapan Kawasan Khusus, yaitu bahwa dalam hal pelaksanaan penyelenggaraan kawasan khusus wajib memperhatikan peran serta masyarakat. Mengacu pula pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 (http://pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/SUP7-1.pdf pse.litbang.pertanian.go.id, diakses pada 14 Maret 2016 pukul 11.25 WIB) terdapat beberapa misi Pembangunan Nasional 2005-2025 yang tiga diantaranya adalah untuk: 1.
Mewujudkan pemerataan pembanguan dan berkeadilan, yaitu mewujudkan bangsa yang berdaya saing, melalui mendepankan pembangunan SDM berkualitas
dan
berdaya
saing,
meningkatakan
penguasaan
dan
pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi melaui penelitian, pengembangan dan penerapan menuju inovasi secara berkelanjutan, membangun infrastruktur yang maju serta reformasi di bidang hukum dan aparatur negara dan memperkuat perekonomian domestik berbasis keunggulan setiap wilayah menuju keunggulan kompetitif dengan membangun keterkaitan sistem produksi, distribusi dan pelayanan termasuk pelayanan jasa dalam negeri. 2.
Meningkatkan pembangunan daerah, mengurangi kesenjangan sosial secara menyeluruh, keberpihakan kepada masyarakat, kelompok dan wilayah/daerah yang masih lemah, menanggulangi kemiskinan dan pengangguran secara drastis, menyediakan askses yang sama bagi masyarakat terhadap berbagai pelayanan sosial serta sarana dan prasarana ekonomi, serta menghilangkan diskriminasi data bebagai aspek termasuk gender.
3.
Mewujudkan Indonesia asri dan lestari, yaitu memperbaiki pengelolaan pelaksanaan pembangunan yang dapat menjaga keseimbangan antara pemanfaatan, keberlanjutan, keberadaan dan kegunaan sumber daya alam dan lingkugan hidup dengan tetap menjaga fungsi daya dukung dan
61
kenyamanan dalam kehidupan pada masa kini dan masa depan melalui pemanfaatan ruang yang serasi antara penggunaan untuk permukiman, kegiatan sosial ekonomi dan upaya konservasi, meningkatkan pemanfaatan ekonomi sumber daya alam dan lingkungan yang berkesinambungan, memperbaiki pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup untuk mendukung kenyamanan
kuliatas
kehidupan,
kehidupan,
serta
mencerminkan meningkatkan
keindahan
dan
pemeliharaan
dan
pemanfaatan keanekaragaman hayati sebagai modal dasar pembangunan. Pada pembahasan sebelumnya telah begitu jelas dijabarkan mengenai kawasan khusus yang fokus pada ekonomi daerah berdasar pada pembangunan potensi daerah dengan melihat karakteristik sumber daya di tiap daerah. Sehingga disini dapat dikatakan bahwa adanya kawasan khusus telah pula mendukung dari adanya misi RPJPN 2005-2025 yaitu pembangunan nasional berdasar pada pembangunan
potensi
daerah.
Berangkat
pada
penjelasan
pembahasan
sebelumnya bahwa desain asimetrik dalam kerangka ekonomi juga menjadi kerangka pengembangan kawasan-kawasan ekonomi tertentu, Pemerintah dalam hal ini bisa membentuk dan memberikan otoritas khusus untuk mengembangkan ekonomi bagi sejumlah kawasan yang memiliki potensi besar untuk berkembang, atau sebagai simpul ekonomi nasional (Anthon Raharusun, 2014: 79). Salah satu cara yang dilakukan oleh Pemerintah adalah dengan melalukan penetapan terhadap beberapa kawasan untuk menjadi kawasan khusus. Kawasan khusus yang ada di Indonesia tidak dapat dilepaskan dengan rencana tata ruang wilayah, mengingat bahwa dibentuknya kawasan khusus guna memenuhi kepentingan nasional seperti yang tertulis pada Pasal 1 angka 42 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yaitu bahwa, “Kawasan Khusus adalah bagian wilayah dalam Daerah provinsi dan/atau Daerah
kabupaten/kota
yang
ditetapkan
oleh
Pemerintah
Pusat
untuk
menyelenggarakan fungsi pemerintahan yang bersifat khusus bagi kepentingan nasional yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan”. Sehingga perlu juga untuk melihat pada Pasal 1 angka 17 Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah memberikan definisi bahwa
62
“Kawasan Strategis Nasional adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting secara nasional terhadap kedaulatan negara, pertahanan dan keamanan negara, ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan, termasuk wilayah yang ditetapkan sebagai warisan dunia.” Sehingga dapat dikatakan bahwa dalam pembagian 14 (empat belas) jenis kawasan khusus merupakan kawasan strategis nasional. Berkaitan dengan penetapan kawasan khusus yang berdasar pada penjelasan diatas bahwa kawasan khusus dapat ditetapkan karena adanya kebutuhan nasional, namun kawasan khusus juga harus memperhatikan kesiapan infrastuktur daerah tersebut. Tiap daerah di Indonesia memang semuanya belum mengusulkan daerahnya untuk menjadi kawasan khusus. Hal ini dapat dilihat hingga tahun 2015 Indonesia baru menetapkan 8 (delapan) KEK, yaitu KEK Sei Mangke di Sumatera Utara, KEK Tanjung Lesung di Banten, KEK Tanjung Api Api di Sumatera Selatan, KEK Palu di Sulawesi Tengah, KEK Bitung di Sulawesi Utara, KEK Muaratai di Maluku Utara, KEK Mandalika di Nusa Tenggara Barat, dan KEK Maloi Batuta Trans Kalimantan di Kalimantan Timur. Sementara itu dari 8 (delapan) KEK yang telah ditetapkan baru 3 (tiga) KEK yang siap beroperasi dan 5 (lima) lainnya masih dalam proses pembangunan. Bahkan ada beberapa usulan KEK yang ada di wilayh NKRI, berikut adalah gambar wilayah usulan KEK:
63
Gambar 4. Peta Wilayah Usulan KEK Menurut Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 terdapat 17 KEK baru yang ditargetkan untuk ditetapkan hingga tahun 2019. Sehingga total sebanyak 25 KEK sedang dalam tahapn pembangunan. Hal ini jelas membuktikan bahwa dengan adanya penetapan pada kawasan tertentu saja tidak serta merta kawasan tersebut siap untuk beroperasi (Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Dewan Nasional Kawasan Ekonomi Khusus, 2015: vi). Meskipun hingga kini hanya 3 (tiga) KEK yang siap beroperasi tapi tidak menutup usaha Pemerintah untuk terus mengembangkan KEK diberbagai daerah di Indonesia. dapat dilihat dalam Laporan Akhir Tahun 2015 Perkembangan Penyelenggaraan Kawasan Ekonomi Khusus di Indonesia tahun 2015 yang dibuat oleh Kementerian Koordinator bidang Perekonomian Dewan Nasional Kawasan Ekonomi Khusus (2015: xii), bahwa terdapat beberapa lokasi potensial yang siap untuk menjadi KEK, antara lain usulan KEK Merauke, usulan KEK Sorong, ususlan KEK Lhoksumawe, usulan KEK Tanjung Kelayang, dan usulan KEK Barru. Jelas bahwa KEK ini sangat memberikan dampak positif sehingga
64
Pemerintah masih memberikan peluang yang luas bagi daerah-daerah yang memang memiliki kawasan yang berpotensial agar daerahnya berkembang dengan mengandalkan pengelolaan potensi daerah secara optimal. Perkembangan daerah yang ditetapkan sebagai wilayah kawasan khusus dapat dilihat pada beberapa daerah, antara lain: 1.
KEK Sei Mangkei KEK Sei Mangkei ditetapkan dengan latar belakang bahwa Sumatera Utara memiliki kekayaan alam yang melimpah berupa hasil bumi, yang selama ini masih diekspor dalam bentuk barang mentah ke luar negeri. Potensi ini melahirkan ide untuk mengembangkan sektor industri sebagai mesin penggerak (engine of growth) dalam perekonomian Sumatera Utara (Doriani Lingga dan Wahyu Ario Pratomo, 2013: 13). Dikutip oleh Doriani dan Wahyu (2013: 13) bahwa menurut Wakil Menteri Perdagangan, KEK Sei Mangkei diproyeksikan akan menyerap 84.000 (delapan puluh empat ribu) tenaga kerja pada tahun 2025 dan sekitar 7 (tujuh) investor akan menanamkan modalnya di KEK Sei Mangkei. Hal ini membuktikan peluang tumbuhnya ekonomi dan meningkatnya kesejahteraan rakyat di daerah KEK Sei Mangkei yang juga berimplikasi pada meningkatnya laju pertumbuhan ekonomi nasional. Berdasarkan pada Laporan Akhir Tahun 2015 yang dibuat oleh Dewan Nasional Kawasan Ekonomi Khusus (2015: 20), KEK Sei Mangkei pada tahun 2015 telah mengalami kemajuan pembangunan infrastruktur kawasan, yaitu antara lain:
2.
a.
Instalasi Pengolahan Air Limbah kapasitas 250 m 3/Jam;
b.
Jalan rigid beton sepanjang 3,5 km;
c.
Jaringan listrik kawasan;
d.
Jaringan telepon kawasan;
e.
Truk sampah;
f.
Armada pemadam kebakaran; dan
g.
Drypot kapasitas 5.300 TEU.
KEK Morotai
65
Tidak jauh berbeda dengan KEK Sei Mangkei, pada KEK Morotai juga dilakukan pembangunan infrastruktur hingga tahun 2015, antara lain: a.
Tersedia pasokan listrik sebesar 1,5 MVA dari Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD);
b.
Telah selasi pembangunan jalan ruas Sofi-Wayabula sepanjang 19 km;
3.
c.
Perluasan terminal sipil;
d.
Penyediaan lampu di jalan masuk menuju bandara;dan
e.
Perpanjangan dermaga ferry Daruba.
Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan Bebas Batam Sejarah perkembangan Batam, terjadi peningkatan pesat pada jumlah tenaga kerja dalam waktu yang relatif singkat, dari 10.000 orang pada 1988, menjadi 125.000 orang pada 1996, dan menjadi 336.000 orang pada 2013. Hingga tahun 2014, total investasi yang masuk ke Batam secara kumulatif telah mencapai US$ 17,71 milyar (Yose Rizal, dkk, 2015: 31). Pada tahun 2013, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Batam telah mencapai Rp 65,55 triliun. Ekspor non-migas dari batam pada tahun 2010 – 2014 secara rata-rata mencapai US$ 9 miliyar, atau menyumbang sekitar 6% dari ekspor non-migas Indonesia (Yose Rizal, dkk, 2015: 32).
Gambar 5. Grafik Investasi di Batam Sumber BP Batam.
66
Gambar 6. Grafik Jumlah Tenaga Kerja Asing dan Domestik di Batam Sumber BP Batam Perhatian Pemerintah jelas tertuang bagi kawasan yang memang dapat membantu dalam hal pengembangan potensi Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan adanya Paket Kebijakan Ekonomi VI yang terdiri dari tiga paket kebijakan yang salah satu kebijakannya adalah upaya menggerakkan perekonomian di wilayah pinggiran dengan pengembangan KEK (Andi Rusli, 2015: 6). Dalam Paket Kebijakan Ekonomi VI juga menuangkan mengenai pokok-pokok fasilitas dan kemudahan yang diberikan di KEK yang mencerminkan adanya asimetris kebijakan
dengan
daerah
atau
kawasan
yang
lain
yaitu
meliputi
(http://ksp.go.id/ini-paket-kebijakan-ekonomi-jilid-6/ diakses pada tanggal 9 Maret 2016 pukul 21.57 WIB): 1.
Pajak Penghasilan (PPh) : a. Kegiatan Utama (Tax Holiday) meliputi pengurangan PPh sebesar 20-100% selama10-25 tahun dengan nilai investasi lebih dari Rp. 1 triliun; pengurangan PPh sebesar 20-100% selama 5-15 tahun dengan nilai investasi lebih dari Rp. 500 milyar. b. Kegiatan di luar Kegiatan Utama (Tax Allowance) meliputi pengurangan penghasilan netto sebesar 30% selama 6 tahun; penyusutan yang dipercepat. c. PPh atas deviden sebesar 10%.
67
d. Kompensasi kerugian 5-10 tahun. 2.
PPN dan PPnBM a. Impor: tidak dipungut. b. Pemasukan dari Tempat Lain Dalam Daerah Pabean (TLDDP) ke KEK tidak dipungut. c. Pengeluaran dari KEK ke TLDDP tidak dipungut. d. Transaksi antar pelaku di KEK: tidak dipungut. e. Transaksi dengan pelaku di KEK lain: tidak dipungut.
3.
Kepabeanan Dari KEK ke pasar domestik: tarif bea masuk memakai ketentuan Surat Keterangan Asal (SKA).
4.
Pemilikan Properti Bagi Orang Asing a. Orang asing/badan usaha asing dapat memiliki hunian/properti di KEK (Rumah Tapak atau Satuan Rumah Susun). b. Pemilik hunian/properti diberikan izin tinggal dengan Badan Usaha Pengelola KEK sebagai penjamin. c. Dapat diberikan pembebasan PPnBM dan PPn atas barang sangat mewah (luxury).
5.
Kegiatan Utama Pariwisata a. Dapat diberikan pengurangan Pajak Pembangunan I sebesar 50-100%. b. Dapat diberikan pengurangan Pajak Hiburan sebesar 50-100%.
6.
Ketenagakerjaan a. Di KEK dibentuk Dewan Pengupahan dan LKS Tripartit Khusus. b. Hanya 1 Forum SP/SB di setiap perusahaan. c. Pengesahan dan perpanjangan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) di KEK. d. Perpanjangan Ijin Menggunakan Tenaga kerja Asing (IMTA) di KEK.
7.
Keimigrasian a. Fasilitas Visa Kunjungan Saat Kedatangan selama 30 hari dan dapat diperpanjang 5 (lima) kali masing-masing 30 hari. b. Visa Kunjungan Beberapa Kali (multiple visa) yang berlaku 1 tahun.
68
c. Izin tinggal bagi orang asing yang memiliki properti di KEK. d. Izin tinggal bagi orang asing lanjut usia yang tinggal di KEK Pariwisata. 8.
Pertanahan a. Untuk KEK yang diusulkan Badan Usaha Swasta diberikan HGB dan perpanjangannya diberikan langsung bersamaan dengan proses pemberian haknya. b. Administrator KEK dapat memberikan pelayanan pertanahan.
9.
Perizinan a. Administrator berwenang menerbitkan izin prinsip dan izin usaha melalui pelayanan terpadu satu pintu di KEK. b. Percepatan penerbitan izin selambat-lambatnya 3 jam (dalam hal persyaratan terpenuhi). c. Penerapan perizinan dan nonperizinan daftar pemenuhan persyaratan (check list). d. Proses dan penyelesaian perizinan dan non perizinan keimigrasian, ketenagakerjaan, dan pertanahan di Administrator KEK. Seperti yang telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya bahwa Kawasan
Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas adalah wilayah yang menerapkan pengahapusan seperti tarif dan kuota dan mempermudah urusan birokrasi dengan tujuan dapat menarik bisnis baru dan investasi asing. Mengingat pula era ini telah memasuki era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang secara garis besar Indonesia mempunyai peluang untuk ambil bagian dalam roda ekonomi ASEAN ini. Indonesia merupakan negara tujuan investor ASEAN yang dapat dibuktikan dengan proporsi investasi Negara ASEAN di Indonesia mencapai 43% (empat puluh tiga persen) atau hampir tiga kali lebih
tinggi dari rata-rata proporsi
investasi negara-negara ASEAN di ASEAN yang hanya sebesar 15% (lima belas persen) (Masnur Tiurmaida Malau, 2014: 171). Secara sederhana dapat dikatakan bahwa keberhasilan pembentukan kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas di suatu wilayah di Indonesia adalah pesatnya perkembangan kegiatan investasi atau usaha yang selanjutnya
69
berimplikasi pada peningkatan pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja serta penurunan kemiskinan di wilayah tersebut. Secara teori dapat dilihat bahwa kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas dapat memberikan pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan diwilayah tersebut (Tulus Tambunan, 2008: 12). Misal dengan adanya pembangunan pabrik-pabrik baru yang berarti adanya penambahan output di sektor industri, ekspor dan kesempatan kerja. Adanya pabrik-pabrik baru berarti ada penambahan permintaan di dalam wilayah tersebut terhadap barang-barang modal, barang-barang setengah jadi, bahan baku dan input lainnya. Jika permintaan ini sepenuhnya dipenuhi oleh sektor-sektor lain di wilayah tersebut (tidak ada yang diimpor), maka dengan sendirinya efek positif dari keberadaan atau kegiatan produksi di pabrik-pabrik baru tersebut sepenuhnya dinikmati oleh sektor-sektor lokal lainnya. Dua jenis kawasan yang dijabarkan diatas, juga diimbangi dengan pembangunan pada kawasan industri. Dibandingkan
dengan negara-negara
industri baru lainnya seperti Korea Selatan dan Thailand, pengembangan kawasan industri di Indonesia memang masih tertinggal. Di Thailand misalnya, pengembangan industri diserahkan kepada suatu badan otoritas, sehingga semua masalah perizinan, pembebasan tanah dan prasana sudah disiapkan sejak awal dan investor tinggal langsung masuk ke kawasan industri. Pada tahun 1972 dibentuk suatu Badan Otorita yaitu Industrial Estate Authority of Thailand (IEAT) yang bertugas untuk mengembangkan kawasan Industri dan memberi pelayanan yang mudah dan cepat untuk semua kegiatan industri yaitu seperti semua
proses
perizinan,
pelayanan informasi-informasi seperti investasi,
pendirian perusahaan, sumber pendanaan, perancangan dan konstruksi pabrik, serta studi kelayakan. Di Indonesia, pada awalnya kawasan industri hanya dikembangkan oleh pemerintah melalui BUMN sebagai reaksi terhadap meningkatnya jumlah industri dengan
dampak
polusi
lingkungan
yang
infrastruktur, dan masalah perkembangan
diakibatkannya, kawasan
keterbatasan
permukiman
yang
berdekatan dengan lokasi industri. Pada tahun 1973 pemerintah memulai pembangunan Kawasan Industri yang pertama yaitu Jakarta Industrial Estate Pulo
70
Gadung (JIEP) dan kemudian disusul oleh Surabaya Industrial Estate Rungkut (SIER) pada tahun 1974. Kawasan Industri lainnya yang
dikembangkan oleh
pemerintah adalah Kawasan Industri Cilacap yaitu pada tahu 1974, Kawasan Industri Medan pada tahun 1975, Kawasan Industri Makasar pada tahun 1978, Kawasan Industri Cirebon tahun 1984 dan Kawasan Industri Lampung tahun 1986. Seiring dengan meningkatnya investasi baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri, maka pemerintah melalui Keputusasn Presiden (Keppres) Nomor 53 tanggal 27 Oktober tahun 1989 mengizinkan usaha Kawasan Industri dikembangkan oleh pihak swasta. Sebagai salah satu roda penggerak perekonomian daerah, maka kawasan industri ini juga tidak dapat dilepaskan begitu saja. Lain halnya dengan jenis kawasan khusus yang menopang laju ekonomi seperti yang telah disebutkan diatas, maka kawasan industri ini lebih banyak berkembang di Pulau Jawa. Hal ini terbukti hingga saat ini terdapat 232 Kawasan Industri yang 110 Kawasan Industri berlokasi di bagian barat Pulau Jawa, 19 di Jawa Tengah, 32 di Jawa Timur, dan sisanya
tersebar
di
luar
Jawa
(http://www.kemenperin.go.id/artikel/4702/Kawasan-Industri-Butuh-Lahan-10Ribu-Ha diakses pada tanggal 17 Maret 2016 pukul 17.15 WIB). Kawasan Industri yang berkembang di Pulau Jawa, misalnya adalah Kawasan Industri Pulogadung yang berlokasi di Jakarta Timur. Kawasan Industri Pulogadung dikelola oleh PT. Persero Jakarta Industrial Estate Pulogadung (PT. JIEP) sejak tahun 2009 yang sebelumnya dikelola sebagai Kawasan Industri Pulogadung (KIP) dan didirikan pada tahun 1973 (Laporan Tahunan PT. JIEP Tahun 2014: 4). Sebagai salah satu kawasan industri tertua di Indonesia, maka mulai tahun 2014 KIP mencoba melangkah ke tahap berikutnya yaitu menjadi kawasan industri yang ecogreen. Hal ini juga merupakan salah satu upaya dari KIP untuk tetap senantiasa menjaga tatanan lingkungan sekitar, misal sebagai pelaku industri penggunaan air dapat dikatakan sangat vital, sehingga KIP memastikan bahwa penggunaan air dilakukan secara tepat dan efisien. Tidak hanya itu saja, KIP juga senantiasa menjaga lahan basah yang dimiliki seperti danau dengan melakukan revitalisasi dan pembersihan danau tersebut.
71
Pengelolaan KIP telah memberikan bukti bahwa kawasan industri dapat menjadi salah satu upaya pemerintah untuk melakukan pengembangan potensi daerah yakni pengembangan potensi sumber daya manusia ataupun sumber daya alam. Tidak hanya KIP bahkan Pemerintah sedang dalam proses pembangunan 14 kawasan industri di luar Pulau Jawa dalam kurun waktu dari tahun 2015-2019, dengan kebutuhan tenanga kerja total 962.800 orang (Industry Facts & Figures 2015: 51-52). Misal, pada kawasan Industri Teluk Bintuni membutuhkan tenaga kerja sebanyak 51.500 orang dan Kawasan Industri Morowali sebanyak 80.000 orang. Berdasar dari data yang didapat membuktikan bahwa kawasan industri juga dapat mengembangakan yaitu potensi daerag yaitu potensi sumber daya manusia. Tidak hanya berkaca didalam negeri yang masih dikatakan muda dalam hal pengembangan perekonomian nasional berbasis potensi daerah, penulis mencoba untuk melihat salah satu negara yang telah disebutkan sebelumnya bahwa negara ini merupakan negara dengan sistem pembangunan nasional yang berbasis pembangunan daerah, yaitu Tiongkok.
Di Tiongkok banyak sekali
bentuk kawasan yang mendukung kegiatan perekonomiannya. Salah satu contoh yaitu kawasan Shenzen: melalui Shenzen Municipal Government telah mengembangkan kebijakan inovatif, misalnya dalam 5 (lima) tahun terakhir telah dikembangkan kebijakan pembangunan sistem „recycling economy‟ dengan tujuan untuk memperbaiki lingkungan kawasan dan menghemat sumber daya. Shenzen juga menyediakan infrastruktur dan kebijakan yang mendukung industri yang ramah lingkungan dan hemat energi (Kajian PKPN, 2013: 6). Kebijakan inovatif telah diterapkan oleh Pemerintah Tiongkok untuk mengembangkan potensi daerahnya.
Setiap kawasan di Tiongkok memiliki
strategi dalam pengembangan potensi daerahnya masing-masing yaitu dengan pengembangan sesuai dengan karakterisitik masing-masing kawasan. Sehingga dapat terwujud pembangunan nasional dengan optimpalisasi potensi lokal. Berikut ini adalah peta wilayah pengembangan ekonomi di Indonesia yang tersebar di beberapa daerah di Indonesia atau dapat pula dikatakan sebagai kawasan strategis nasional seperti yang sudah dijelaskan diatas.
72
Gambar 7. Peta Wilayah Kawasan Strategis Regional Sumatera
Gambar 8. Peta Wilayah Kawasan Strategis Regional Jawa-Bali
73
Gambar 9. Peta Wilayah Kawasan Strategis Regional Nusa Tenggara
Gambar 10. Peta Wilayah Kawasan Strategis Regional Sulawesi
74
Gambar 11. Peta Wilayah Kawasan Strategis Regional Maluku
Gambar 12. Peta Wilayah Kawasan Strategis Regional Papua Sumber : kek.ekon.go.id (diakses pada tanggal 21 Maret 2016 pukul 23.47 WIB)
75
Ulasan singkat mengenai kawasan khusus di Indonesia dengan melihat yang telah diterapkan di negara lain dapat memberikan pengetahuan bahwa adanya kawasan khusus sangat membantu terhadap pengembangan perekonomian nasional dengan basis potensi daerah. Potensi daerah inilah yang kemudian menjadi fokus dari perhatian pemerintah dengan melibatkan masyarakat sekitar kawasan. Mengingat bahwa dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2010 tentang Penetapan Kawasan Khusus, diatur bahwa dalam pelaksanaan penyelenggaraan kawasan khusus wajib memperhatikan peran serta masyarakat. Sehingga dampak positif dari penetapan kawasan khusus ini juga dapat dirasakan oleh masyarakat setempat secara langsung. Dengan demikian, daerah juga akan merasakan dampak positif dari adanya kawasan khussu di wilayahnya, serta ikut bertanggungjawab terhdapa keberlangsungan kawasan khusus tersebut (Ni‟matul Huda, 2014: 75). Mengingat semangat kawasan khusus ini juga menjadi salah satu cara yang dilakukan oleh Pemerintah untuk memajukan kesejahteraan masyarakat ditengah perjalanan sistem otonomi daerah. Sistem otonomi yang dinamis dan bertanggung jawab sebenarnya sangat memungkinkan untuk mengaktualisasikan sumber-sumber daya yang ada, baik sumber daya alam dan sumber daya manusianya dimasing-masing daerah (Den Yealta, 2015: 1856-1857). Dalam disertasinya, Shiuh- Shen Chen (2013: 140) berpendapat bahwa, at a local scale, certain local innovations for better economic development were encouraged so that the local leaders were able to get attention of the central government. Sehingga dengan sistem otonomi yang diterapkan di Indonesia, pemerintah daerah dengan inovasi kebijakan yang bertanggung jawab dapat menjadi cara untuk memajukan daerahnya. Sehingga potensi yang ada di daerah dapat dioptimalkan sebagai bentuk komitmen bersama bangsa Indonesia dalam mewujudkan Indonesia yang siap untuk berkompetisi dengan negara lain sebagai bagian dari Global Value Chains.