BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian 1. Identitas Terdakwa Nama terdakwa
: MARY JANE FIESTA VELOSO
Tempat lahir
: Baliung Bulacan, Philipina
Umur/tanggal lahir
: 25 Tahun/10 Januari 1985
Jenis kelamin
: Perempuan
Kebangsaan
: Philipina
Alamat
: Esguerra, Talaera Nueva Ecija, Bulacan, Philipina
Agama
: Khatolik
Pekerjaan
: Informal (Pembantu Rumah Tangga)
Pendidikan
: SMP
2. Kasus Posisi Pada hari Minggu tanggal 25 April 2010 sekitar pukul 08.30, atau setidak-tidaknya pada waktu lain yang masih termasuk dalam tahun 2010, bertempat di Terminal kedatangan internasional Bandar Udara Adisucipto jalan Solo Km. 9-10, Desa Maguwoharjo, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman atau setidak-tidaknya disuatu tempat lain yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Sleman, terdakwa yang tanpa hak atau melawan hukum, menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, menyerahkan, atau menerima Narkotika Golongan I dalam bentuk bukan tanaman yang lebih dikenal dengan sebutan Heroin, beratnya melebihi 5 (lima) gram.
48
49
Pada waktu dan tempat sebagaimana tersebut diatas, petugas dari Kantor Bea dan Cukai Bandara Adisucipto Yogyakarta melakukan pengecekan barang-barang bawaan milik para penumpang Pesawat Air Asia yang datang dari Kuala Lumpur Malaysia, ketika dilakukan pemeriksaan terhadap travel bag milik MARY JANE FIESTA VELOSO ditemukan barang bukti 1 (satu) bungkusan aluminium foil yang dibalut dengan menggunakan lakban warna hitam, kemudian bungkusan tersebut dibuka untuk diketahui isinya, ternyata didalam bungkusan aluminium foil yang dibalut dengan lak ban warna hitam tersebut berisi serbuk warna coklat kekuningan berat seluruhnya lebih kurang 2.611 (dua ribu enam ratus sebelas) gram termasuk pembungkusnya, dan setelah dilakukan pemeriksaan dengan menggunakan alat Narkotest, serbuk berwarna coklat kekuningan tersebut adalah Narkotika Golongan I (satu) yang dikenal dengan sebutan Heroin. 3. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum Jaksa Penuntut Umum menghadapkan terdakwa Mary Jane Fiesta Veloso ke persidangan dengan dakwaan yang disusun secara alternatif, yakni: a. Dakwaan Kesatu Bahwa ia terdakwa Mary Jane Fiesta Veloso, pada hari Minggu tanggal 25 April 2010 sekitar pukul 08.30 WIB, atau setidak-tidaknya pada waktu lain yang masih termasuk dalam tahun 2010, bertempat di terminal kedatangan internasional Bandar Udara Adisucipto jalan Solo Km. 9-10, Desa Maguwoharjo, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman atau setidak-tidaknya disuatu tempat lain yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Sleman, terdakwa yang tanpa hak atau melawan hukum, menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, menyerahkan, atau menerima
50
Narkotika Golongan I dalam bentuk bukan tanaman yang lebih dikenal dengan sebutan Heroin, beratnya melebihi 5 (lima) gram. Bahwa terdakwa pada saat menjadi perantara atau menerima Narkotika Golongan I (satu) jenis Heroin yang disimpan/ditaruh didalam tas koper/travel bag tersebut, tidak dilengkapi dengan surat ijin dari pihak berwajib. Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 114 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, atau b. Dakwaan Kedua Bahwa terdakwa Mary Jane Fiesta Veloso, pada waktu dan tempat sebagaimana telah diuraikan dalam dakwaan Kesatu diatas, terdakwa yang tanpa hak atau melawan hukum, memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I dalam bentuk bukan tanaman yang lebih dikenal dengan sebutan Heroin, beratnya melebihi 5 (lima) gram. Bahwa terdakwa pada saat menjadi perantara atau menerima Narkotika Golongan I jenis Heroin yang disimpan/ditaruh didalam sebuah tas koper/travel bag tersebut, tidak dilengkapi dengan surat ijin dari pihak yang berwajib. Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 113 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, atau c. Dakwaan Ketiga Bahwa terdakwa Mary Jane Fiesta Veloso, pada waktu dan tempat sebagaimana telah diuraikan dalam dakwaan Kesatu diatas, terdakwa yang tanpa hak atau melawan hukum, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk
51
bukan tanaman yang lebih dikenal dengan sebutan Heroin, beratnya melebihi 5 (lima) gram. Bahwa terdakwa pada saat menjadi perantara atau menerima Narkotika Golongan I jenis Heroin yang disimpan/ditaruh didalam sebuah tas koper/travel bag tersebut, tidak dilengkapi dengan surat ijin dari pihak yang berwajib. Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 112 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, atau d. Dakwaan Keempat Bahwa terdakwa Mary Jane Fiesta Veloso, pada waktu dan tempat sebagaimana telah diuraikan dalam dakwaan Kesatu diatas, terdakwa yang tanpa hak atau melawan hukum, membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan I (satu) dalam bentuk bukan tanaman yang lebih dikenal dengan sebutan Heroin, beratnya melebihi 5 (lima) gram. Bahwa terdakwa pada saat menjadi perantara atau menerima Narkotika Golongan I jenis Heroin yang disimpan/ditaruh didalam sebuah tas koper/travel bag tersebut, tidak dilengkapi dengan surat ijin dari pihak yang berwajib. Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 115 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. 4. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum Jaksa Penuntut Umum pada pokoknya menuntut supaya Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sleman memeriksa perkara ini memutuskan sebagai berikut: a. Menyatakan terdakwa Mary Jane Fiesta Veloso bersalah melakukan tindak pidana “tanpa hak atau melawan hukum menjadi perantara dalam
52
jual beli atau menyerahkan Narkotika Golongan I bukan tanaman” sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 114 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dalam dakwaan alternatif kesatu, b. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Mary Jane Fiesta Veloso dengan pidana penjara selama seumur hidup, c. Menyatakan barang bukti berupa 4 (empat) bungkus plastik putih berisi serbuk warna coklat/crem yang mengandung Heroin dengan berat lebih kurang 2.611 gram yang disimpan di dalam kertas warna coklat dilapisi aluminium doil dibalut dengan lak ban warna hitam dan 1 (satu) buah travel bag warna hitam merk Polo Paite Dirampas untuk dimusnahkan 1 (satu) buah Handphone warna biru silver merk Nokia seri 6230i, dan 1 (satu) buah Buku Passport XX0688704 An. MARY JANE FIESTA VELOSO Alamat Esguerra Talavera Ecija Bulacan Philipina Dikembalikan kepada Terdakwa d. Menetapkan supaya Terdakwa dibebani biaya perkara sebesar Rp 5.000,00 (lima ribu rupiah). 5. Putusan Pengadilan Negeri Sleman Nomor: 385/Pid.B/2010/PN.Slmn Setelah mendengar pembelaan terdakwa, keterangan saksi serta adanya barang bukti, maka Majelis Hakim memutus sebagai berikut: a. Menyatakan terdakwa Mary Jane Fiesta Veloso tersebut di atas telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “secara sah atau melawan hukum menjadi perantara dalam jual beli Narkotika Golongan I bukan tanaman yang beratnya melebihi 5 (lima) gram, b. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa tersebut oleh karena itu dengan “Pidana Mati”, c. Memerintahkan barang bukti berupa:
53
1) Serbuk Heroin seberat 2.611 gram (2,611 kg) yang telah dibagi menjadi 4 (empat) bagian dan dimasukkan ke dalam plastik putih dengan berat masing-masing plastik I seberat 559 gram, plastik II seberat 695 gram, plastik III seberat 581 gram, dan plastik IV seberat 776 gram serta 4 (empat) bungkus plastik klip berisi serbuk coklat/crem mengandung Heroin untuk keperluan pemeriksaan laboratoris kriminalistik dengan berat masing-masing Angka (I) 3, 108 gram, Angka (II) 3, 143 gram, Angka (III) 3, 124 gram, Angka (IV) 3, 134 gram hasil penyisihan dari 4 bungkus plastik putih berisi Heroin dengan total seberat 2.611 gram, 2) 1 (satu) buah Travel Bag warna hitam merk Polo Paite, 3) 1 (satu) buah Handphone warna biru silver merk Nokia seri 6230i, 4) 1 (satu) buah Buku Passport XX0688704 An. Mary Jane Fiesta Veloso Alamat Esguerra Talavera Ecija Bulacan Philipina. Seluruhnya dirampas untuk dimusnahkan.
d. Membebankan biaya perkara kepada Negara.
B. Pembahasan Tindak pidana narkotika di Indonesia saat ini semakin marak terjadi, tindak pidana narkotika dapat digolongkan sebagai kejahatan transnasional serta termasuk dalam kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Tindak pidana narkotika dikatakan sebagai kejahatan transnasional dikarenakan kejahatan ini melibatkan dua negara atau lebih, pelakunya atau korbannya adalah warga negara di negara berbeda (Warga Negara Asing), dan melampaui batas teritorial satu negara atau lebih. Tindak pidana narkotika termasuk kejahatan luar biasa (extraordinary crime) karena pengaruh dari narkotika dapat merusak karakter manusia, merusak fisik dan merusak kesehatan masyarakat. Angka kematian
54
yang disebabkan dari penyalahgunaan narkotika tergolong tinggi, di Indonesia rata-rata 50 orang setiap hari meninggal dunia akibat penyalahgunaan narkotika. Salah satu tindak pidana narkotika yang terjadi di Indonesia yaitu tindak pidana yang dilakukan oleh Mary Jane Fiesta Veloso. Dalam hal ini, majelis hakim pada Pengadilan Negeri Sleman telah memeriksa dan memutus perkara Mary Jane Fiesta Veloso dengan amar putusan yang tertuang pada Putusan Nomor: 385/Pid.B/2010/PN.Slmn yang menjatuhkan sanksi pidana mati. Sebelum menjatuhkan putusan terhadap tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh Mary Jane Fiesta Veloso, majelis hakim terlebih dahulu membuktikan unsur-unsur berkaitan dengan tindak pidana tersebut. Dalam kasus tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh Mary Jane Fiesta Veloso, majelis hakim memberikan putusan sesuai dengan dakwaan yang disusun secara alternatif oleh jaksa penuntut umum. Dikarenakan dakwaan jaksa penuntut umum diajukan secara alternatif, maka majelis hakim dapat memilih salah satu dakwaan untuk dibuktikan terlebih dahulu yang paling mendekati fakta-fakta hukum, jika tidak terbukti maka selanjutnya akan dibuktikan dakwaan alternatif selanjutnya, namun jika terbukti maka dakwaan alternatif selebihnya tidak perlu dibuktikan lagi. Dalam kasus ini majelis hakim berpendirian untuk membuktikan terlebih dahulu Dakwaan Kesatu yakni sebagaimana diatur dalam Pasal 114 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, dengan unsur-unsur sebagai berikut: 1. Setiap orang, 2. Secara tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar atau menyerahkan Narkotika Golongan I dalam bentuk bukan tanaman, 3. Beratnya melebihi 5 (lima) gram. Ad.1. Unsur: Setiap Orang Unsur “setiap orang” adalah setiap manusia yang merupakan subjek dari suatu perbuatan yang mana jika perbuatan tersebut merupakan suatu tindak
55
pidana terhadapnya dapat dimintakan pertanggungjawaban. Unsur setiap orang dalam hal ini adalah terdakwa Mary Jane Fiesta Veloso yang setelah dinyatakan identitasnya di muka persidangan ternyata sama dan sesuai dengan identitas terdakwa yang tercantum dalam surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum. Terdakwa tersebut adalah Mary Jane Fiesta Veloso, tempat/ tanggal lahir Baliung Bulacan Philipina 10 Januari 1985, jenis kelamin perempuan, kebangsaan Philipina, tempat tinggal di Esguerra, Talavera Nueva Ecija, Bulacan, Philipina, agama Khatolik, pendidikan SMP, pekerjaan Informal (Pembantu Rumah Tangga). Selama dalam pemeriksaan di persidangan terhadap diri terdakwa tersebut tidak ditemukan alasan pemaaf maupun pembenar sehingga terhadap dirinya dapat dimintakan pertanggungjawaban jika perbuatannya tersebut terbukti dan merupakan perbuatan pidana. Berdasarkan hal tersebut, maka unsur setiap orang telah terpenuhi. Ad.2. Unsur: Secara tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar atau menyerahkan Narkotika Golongan I dalam bentuk bukan tanaman Bahwa pada hari Minggu tanggal 25 April 2010 terdakwa Mary Jane Fiesta Veloso ditangkap oleh petugas Bea dan Cukai Yogyakarta di terminal kedatangan internasional Bandar Udara Adisucipto Jalan Solo Km. 9-10, Desa Maguwoharjo, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman dan pada saat petugas melakukan penggeledahan terhadap travel bag milik terdakwa ditemukan barang bukti berupa 1 (satu) bungkusan aluminium foil yang dibalut dengan lak ban warna hitam yang berisi serbuk warna coklat kekuningan berat seluruhnya 2.611 (dua ribu enam ratus sebelas) gram termasuk pembungkusnya, dan setelah dilakukan pemeriksaan dengan menggunakan Narkotest, serbuk berwarna coklat kekuningan tersebut adalah Narkotika Golongan I disebut dengan Heroina. Terdakwa tidak dapat menunjukkan ijin dari yang berwenang untuk menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar atau menyerahkan Narkotika Golongan I jenis heroina. Berdasarkan
56
pemeriksaan Laboratoris Kriminalistik Nomor LAB.: 442/KNF/IV/2010 tanggal 26 April 2010 yang kesimpulannya menerangkan bahwa setelah dilakukan pemeriksaan secara Laboratoris Kriminalistik Nomor BB-0919/2010 (I), (II), (III) dan (IV) berupa serbuk coklat tersebut diatas adalah mengandung Heroin terdaftar dalam Golongan I (satu) Nomor Urut 19 Lampiran Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Dengan demikian unsur telah menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar atau menyerahkan Narkotika Golongan I bukan dalam bentuk tanaman telah terpenuhi menurut hukum. Ad.3. Unsur: Beratnya melebihi 5 (lima) gram Berdasarkan fakta hukum setelah Petugas Bea dan Cukai Yogyakarta menimbang Heroin yang dibawa oleh terdakwa berat seluruhnya adalah 2.611 gram (2,611 kg) yang kemudian oleh Petugas Bea dan Cukai Yogyakarta dibagi menjadi 4 (empat) bagian dan dimasukkan ke dalam plastik putih dengan berat masing-masing plastik I seberat 559 gram, plastik II seberat 695, plastik II seberat 581 gram dan plastik IV seberat 776 gram. Oleh karenanya berat yang melebihi 5 (lima) gram telah terpenuhi sehingga unsur ketiga ini harus dinyatakan telah terbukti secara sah. Menurut penulis, berdasarkan uraian pertimbangan majelis hakim di atas, seluruh unsur-unsur dalam dakwaan kesatu telah terbukti dilakukan terdakwa. Maka, keputusan majelis hakim yang diberikan kepada terdakwa Mary Jane Fiesta Veloso telah sesuai dengan analisa perundang-undangan yang berlaku, yang dalam hal ketentuan Pasal 114 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika adalah tepat. Sebagai tujuan pemidanaan, putusan pengadilan yang menjatuhkan pidana mati terhadap Mary Jane Fiesta Veloso dianggap tepat yaitu dengan tujuan untuk memberi efek jera bagi masyarakat umum agar tidak melakukan perbuatan yang sama. Putusan pengadilan ini juga dapat memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat dikarenakan perbuatan yang
57
dilakukan terdakwa/terpidana memiliki dampak negatif pada generasi muda penerus bangsa. Terhadap putusan pengadilan tingkat pertama tersebut Mary Jane Fiesta Veloso mengajukan upaya hukum banding. Permohonan banding terdakwa diajukan ke Pengadilan Tinggi Yogyakarta dengan registrasi perkara nomor 131/Pid/2010/PTY, setelah dilakukan pemeriksaan tehadap putusan pengadilan tingkat pertama pada tanggal 23 Desember 2010 majelis hakim tingkat banding memberikan putusan sebagai berikut: 1. Menerima permintaan banding dari terdakwa/pembanding, 2. Menguatkan
putusan
Pengadilan
Negeri
Sleman
Nomor:
385/Pid.B/2010/PN.Slmn tanggal 11 Oktober 2010 yang dimohonkan banding tersebut, 3. Membebankan biaya perkara pada kedua tingkat peradilan kepada negara. Permohonan banding yang diajukan Mary Jane Fiesta Veloso diterima oleh Pengadilan Tinggi Yogyakarta. Dalam hal ini, majelis hakim memberikan putusan yang menyatakan menguatkan putusan pengadilan negeri secara murni. Jadi dalam putusan banding ini, majelis hakim tidak menambah pertimbangan atau
alasan
pertimbangan
lagi.
Setelah
adanya
Putusan
Nomor
131/Pid/2010/PTY, Mary Jane Fiesta Veloso mengajukan upaya hukum Kasasi. Upaya hukum ini diajukan terdakwa kepada Mahkamah Agung, dengan register perkara nomor 987 K/Pid.Sus/2011. Mahkamah Agung memeriksa perkara pidana dalam tingkat kasasi dan menjatuhkan putusan pada tanggal 31 Mei 2011 sebagai berikut: 1. Menolak permohonan Kasasi dari Pemohon Kasasi: Mary Jane Fiesta Veloso tersebut, 2. Membebankan biaya perkara kepada negara. Mahkamah Agung dalam perkara ini memberikan putusan menolak permohonan Kasasi yang diajukan oleh Mary Jane Fiesta Veloso. Dengan ditolaknya Kasasi yang telah diajukan, maka terhadap putusan tersebut dapat
58
dikatakan telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Dikarenakan Kasasi yang diajukan ditolak oleh Mahkamah Agung, Mary Jane Fiesta Veloso mengajukan permohonan Grasi kepada Presiden. Menurut Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Grasi, yang dimaksud dengan grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden. Mary Jane Fiesta Veloso mengajukan permohonan grasi dengan tujuan agar ia bisa terlepas/terbebas dari pidana mati yang telah dijatuhkan oleh pengadilan tingkat pertama (Pengadilan Negeri Sleman), pengadilan tingkat banding (Pengadilan Tinggi Yogyakarta), dan pengadilan tingkat kasasi (Mahkamah Agung). Pada kasus ini, putusan pengadilan berkaitan dengan tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh Mary Jane Fiesta Veloso dikatakan telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), maka status Mary Jane Fiesta Veloso berubah dari yang awalnya terdakwa menjadi terpidana. Menurut Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Grasi menyatakan bahwa “terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terpidana dapat mengajukan permohona grasi kepada Presiden”. Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Grasi menyatakan bahwa “putusan pemidanaan yang dapat dimohonkan grasi sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) adalah pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling rendah 2 (dua) tahun”. Berdasarkan pada pasal-pasal tersebut, Mary Jane Fiesta Veloso dapat mengajukan permohonan grasi, hal ini dikarenakan ia telah menyandang status sebagai terpidana yang mana putusan pengadilan berkaitan dengan kasusnya telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Selain itu, dalam putusan pengadilan tersebut Mary Jane Fiesta Veloso dijatuhi dengan sanksi pidana mati, sehingga ini dapat dijadikan sebagai salah satu dasar dalam mengajukan permohonan grasi. Permohonan grasi ini diajukan dengan harapan terpidana mendapatkan pengampunan atau pengurangan hukuman dari Presiden. Permohonan grasi yang
59
diajukan Mary Jane Fiesta Veloso ini dinyatakan dalam Keputusan Presiden Nomor 31/G Tahun 2014 tanggal 30 Desember 2014 sebagai berikut: 1. Menolak permohonan grasi terpidana Mary Jane Fiesta Veloso, lahir di Baliung Bulacan Philipina tanggal 10 Januari 1985, yang dimohonkan oleh Rudyantho, S.H., dkk., Advokat dan Konsultan Hukum dari Advocates & Legal Consultans Rudyantho & Partners, untuk dan atas nama pemberi kuasa,
yang
dengan
putusan
Pengadilan
Negeri
Sleman
Nomor:
385/Pid.B/2010/PN.Slmn tanggal 11 Oktober 2010 jo. Putusan Pengadilan Tinggi Yogyakarta Nomor: 131/Pid/2010/PTY tanggal 23 Desember 2010 jo. putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor: 987 K/Pid.Sus/2011 tanggal 31 Mei 2011, telah dijatuhi pidana mati, sebab dipersalahkan melakukan tindak pidana “secara tanpa hak atau melawan hukum menjadi perantara dalam jual beli Narkotika Golongan I bukan tanaman yang beratnya melebihi 5 (lima) gram”. 2. Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Menurut Pasal 11 Ayat (1) Undang-Undang Grasi menyatakan bahwa “presiden memberikan keputusan atas permohonan grasi setelah memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung”. Pasal 11 Ayat (2) Undang-Undang Grasi menyatakan bahwa “keputusan presiden dapat berupa pemberian atau penolakan grasi”. Berdasarkan pada pasal-pasal tersebut, Presiden memiliki hak untuk menerima maupun menolak permohonan grasi yang diajukan oleh terpidana. Dalam kasus Mary Jane Fiesta Veloso ini, Presiden menolak permohonan grasi yang diajukan. Presiden memberi keputusan atas permohonan grasi yang diajukan Mary Jane Fiesta Veloso setelah memperhatikan pertimbangan dari Mahkamah Agung. Dalam hal permohonan grasi, Mahkamah Agung memiliki tugas untuk memberikan masukan/pertimbangan kepada Presiden mengenai layak atau tidaknya terpidana mendapatkan peringanan atau perubahan jenis pidana, pengurangan jumlah pidana maupun penghapusan pelaksanaan pidana dari permohonan grasi yang diajukan oleh terpidana.
60
Menurut Pasal 2 Ayat (3) menyatakan bahwa “permohonan grasi sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) hanya dapat diajukan 1 (satu) kali”. Sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam undang-undang ini, permohonan grasi hanya dapat dilakukan sebanyak 1 (satu) kali setelah putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Berdasarkan pasal tersebut, Mary Jane Fiesta Veloso telah menggunakan kesempatan mengajukan permohonan grasi yang hanya dapat dilakukan satu kali yang hasilnya permohonan grasi yang diajukan ditolak Presiden. Kemudian, menurut Pasal 13 Undang-Undang Grasi menyatakan bahwa “bagi terpidana mati, kuasa hukum atau keluarga yang mengajukan permohonan grasi, pidana mati tidak dapat dilaksanakan sebelum keputusan presiden tentang penolakan permohonan grasi diterima oleh terpidana”. Berdasarkan pasal tersebut, eksekusi pidana mati baru bisa dilakukan setelah keputusan presiden tentang penolakan permohonan grasi diterima oleh terpidana. Dalam kasus ini, keputusan presiden tentang penolakan permohonan grasi telah diterima oleh terpidana, sehingga terhadap Mary Jane Fiesta Veloso dapat dilakukan eksekusi pdana mati. Dalam kasus ini, untuk menghindari pelaksanaan eksekusi pidana mati Mary Jane Fiesta Veloso mengajukan upaya hukum luar biasa, yaitu Peninjauan Kembali. Upaya hukum ini merupakan upaya hukum terakhir yang dapat ditempuh oleh terpidana. Permohonan Peninjauan kembali diajukan oleh terpidana kepada Mahkamah Agung dengan register perkara nomor: 51 PK/Pid.Sus/2015. Setelah memeriksa perkara pidana khusus tersebut, Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor 51 PK/Pid.Sus/2015 tanggal 25 Maret 2015 telah memutuskan sebagai berikut: 1. Menolak permohonan Peninjauan Kembali dari terpidana: Mary Jane Fiesta Veloso tersebut, 2. Menetapkan bahwa putusan yang dimohonkan Peninjauan Kembali tersebut tetap berlaku, 3. Membebankan biaya perkara kepada negara.
61
Menurut penulis, berdasarkan uraian tersebut di atas Mary Jane Fiesta Veloso telah menggunakan semua upaya hukum yang dapat ditempuh oleh terpidana dalam perkara pidana. Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, penulis berpendapat bahwa Mary Jane Fiesta Veloso sudah tidak memiliki upaya hukum lagi. Dikarenakan sudah tidak ada lagi upaya hukum yang dapat ditempuh, dapat dinyatakan putusan pengadilan dalam perkara ini telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) dapat dilakukan eksekusi oleh jaksa. Hal ini sesuai ketentuan Pasal 270 KUHAP yang menyatakan “eksekusi dalam putusan pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum dilaksanakan oleh Jaksa berdasarkan salinan surat putusan dari panitera pengadilan” Sesuai dengan tugas dan wewenangnya jaksa dapat melaksanakan eksekusi pidana mati terhadap Mary Jane Fiesta Veloso. Putusan Pengadilan dapat dilaksanakan apabila putusan tersebut telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap (inkracht van gewijsde). Suatu putusan pengadilan dikatakan telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap (telah berkekuatan hukum tetap/telah BHT) apabila : 1) Terdakwa maupun penuntut umum telah menerima putusan yang bersangkutan di tingkat pemeriksaan sidang Pengadilan Negeri atau di pemeriksaan tingkat banding di Pengadilan Tinggi atau di tingkat kasasi di Mahkamah Agung. 2) Tenggang waktu untuk mengajukan verzet (terhadap verstek), banding atau kasasi telah lewat tanpa dipergunakan oleh yang berhak. 3) Permohonan verzet (terhadap verstek) telah diajukan kemudian pemohon tidak hadir kembali pada saat hari sidang yang telah ditetapkan. 4) Permohonan banding atau kasasi telah diajukan kemudian pemohon mencabut kembali permohonannya. 5) Terdapat permohonan grasi yang diajukan tanpa disertai permohonan penangguhan eksekusi (Bambang Dwi Baskoro, 2011: 115). Setiap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) harus dilakukan ekskusi, tidak terkecuali eksekusi terhadap putusan pengadilan yang menjatuhkan sanksi pidana mati. Pelaksanaan
62
pidana mati di Indonesia dilakukan dengan cara ditembak sampai mati (sesuai dengan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 2/PNPS/1964 Tahun 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer). Pelaksanaan eksekusi pidana mati dilakukan apabila perkara tersebut telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Apabila upaya hukum seperti Banding, Kasasi, serta Peninjauan Kembali maupun Permohonan Grasi telah dipergunakan, dan hasil akhirnya terpidana tetap dijatuhi pidana mati maka pelaksanaan pidananya harus segera dilakukan. Dalam menyusun penulisan hukum ini penulis melakukan penelitian di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Wirogunan Yogyakarta untuk memperkuat data sekunder. Menurut penelitian, Heriyanto selaku Kepala Seksi Pembinaan Narapidana dan Anak Didik pada Lembaga Pemasyarakaratan Wirogunan, menerangkan bahwa: “Mary Jane Fiesta Veloso akan dieksekusi pada tanggal 29 April 2015 bersama dengan delapan terpidana mati lainnya. Tiga hari sebelum pelaksanaan eksekusi, Mary Jane Fiesta Veloso sudah dibawa ke ruangan khusus (isolasi)
di
Lembaga
Pemasyarakatan
Besi
yang
berada
di
Pulau
Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah. Pada hari pelaksanaan eksekusi Mary Jane Fiesta Veloso dibawa ke Lapangan Tembak Limus Buntu yang berjarak 1,5 kilometer dari Lembaga Pemasyarakatan Besi. Setelah sampai di lokasi eksekusi, terpidana telah mengenakan pakaian serba putih sesuai dengan ketentuan yang ada” (wawancara: Heriyanto, Bc.IP., S.H., M.H. pada 11 April 2016). Berdasarkan hal tersebut, maka pelaksanaan pidana mati terhadap Mary Jane Fiesta Veloso sesuai dengan beberapa ketentuan yang ada dalam UndangUndang Nomor 2/PNPS/1964 Tahun 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer, antara lain:
63
1. Pidana mati dilakukan di suatu tempat dalam daerah hukum Pengadilan Negeri yang menjatuhkan putusan dalam tingkat pertama, kecuali ditentukan lain oleh Departemen Kehakiman (Pasal 2 Ayat (1)). 2. Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) tempat kedudukan Pengadilan tersebut dalam Pasal 2, setelah mendengar nasehat Kepala Kejaksaan Tinggi atau Jaksa yang bertanggungjawab untuk pelaksanaannya, menentukan waktu dan tempat pelaksanaan pidana mati (Pasal 3 Ayat (1)). 3. Kapolda tersebut bertanggungjawab atas keamanan dan ketertiban sewaktu pelaksanaan pidana mati dan menyediakan tenaga dan alat yang diperlukan (Pasal 3 Ayat (3)). 4. Tiga kali dua puluh empat jam sebelum saat pelaksanaan pidana mati, Kepala Kejaksaan Tinggi atau Jaksa yang bertanggungjawab untuk pelaksanaanya
memberitahukan
kepada
terpidana
mengenai
akan
dilaksanakannya pidana mati tersebut (Pasal 6 Ayat (1)). 5. Pidana mati dilaksanakan tidak di tempat umum dengan cara sesederhana mungkin (Pasal 9). 6. Dalam pelaksanaan pidana mati, Kepala Kepolisian Daerah membentuk regu penembak yang terdiri dari seorang Bintara, dua belas Tamtama, di bawah pimpinan seorang perwira dan semuanya dari Brigade Mobil. Regu penembak tidak menggunakan senjata organik (Pasal 10 Ayat (1) dan (2)). 7. Regu penembak berada di bawah perintah Kepala Kejaksaan Tinggi atau Jaksa yang bertanggungjawab untuk pelaksanaannya, sampai selesainya pelaksanaan pidana mati (Pasal 10 Ayat (3)). 8. Terpidana dibawa ketempat pelaksanaan pidana dengan pengawalan polisi yang cukup. Jika diminta, terpidana dapat disertai seorang perawat rohani. Terpidana berpakaian rapi dan tertib (Pasal 11 Ayat (1), (2), dan (3)). Menurut penulis, pada awalnya pelaksanaan eksekusi pidana mati terhadap Mary Jane Fiesta Veloso telah sesuai dengan ketentuan yang ada dalam undang-undang. Pelaksanaan eksekusi pidana mati terhadap Mary Jane Fiesta
64
Veloso akan dilakukan di Pulau Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah. Meskipun lokasi pelaksanaan eksekusi pidana mati ini tidak berada di daerah hukum Pengadilan Negeri yang menjatuhkan putusan tingkat pertama, namun undang-undang memperbolehkan pelaksanaan eksekusi pidana mati dapat dilakukan di lokasi lain apabila telah ditentukan oleh Menteri Hukum dan HAM. Kejaksaan Tinggi/Jaksa yang bertanggungjawab untuk pelaksanaannya telah menetapkan waktu dan tempat pelaksanaan eksekusi pidana mati terhadap Mary Jane Fiesta Veloso, yaitu tanggal 29 April 2015 bertempat di Lapangan Tembak Limus Buntu, Pulau Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah. Dikarenakan lokasi pelaksanaan eksekusi pidana mati berada di Jawa Tengah, maka Kapolda Jawa Tengah betanggungjawab atas keamanan dan ketertiban, serta menyediakan tenaga dan alat yang akan digunakan. Dalam waktu 3 (tiga) hari sebelum pelaksanaan eksekusi pidana mati, Mary Jane Fiesta Veloso telah dibawa dan ditempatkan pada salah satu sel khusus (isolasi) yang ada di Lembaga Pemasyarakatan Besi, Pulau Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah. Mary Jane Fiesta Veloso dibawa ke lokasi pelaksanaan eksekusi pidana mati dengan penjagaan ketat dari kepolisian. Semua pihak yang terlibat dalam pelaksanaan eksekusi pidana mati ini sudah dalam keadaan siap, bahkan terpidana sendiri sudah siap dan pasrah akan dieksekusi mati. Mary Jane Fiesta Veloso sudah berada di lapangan tembak dimana eksekusi pidana mati akan dilaksanakan dengan mengenakan pakaian serba putih, hal ini sesuai dengan yang diperintahkan oleh undang-undang yaitu terpidana yang akan melaksanakan eksekusi pidana mati mengenakan pakaian yang rapi dan tertib. Lebih lanjut Heriyanto menerangkan bahwa: “Saat itu, terpidana mati Mary Jane Fiesta Veloso sudah dihadapkan pada regu tembak, yang sudah akan melaksanakan eksekusi terhadap dirinya. Akan tetapi, dalam waktu 5-10 menit eksekusi terhadap Mary Jane Fiesta Veloso ini tidak jadi dilaksanakan atau mengalami penundaan” (wawancara: Heriyanto, Bc.IP., S.H., M.H. pada 11 April 2016).
65
Dalam kasus ini, eksekusi pidana mati terhadap terpidana Mary Jane Fiesta Veloso mengalami penundaan pada menit-menit terakhir sebelum ia ditembak oleh regu tembak yang sudah dalam posisi siap di lokasi. Penundaan eksekusi terhadap terpidana ini berawal dari adanya pembicaraan antara Presiden Philipina dengan Presiden Indonesia yang menyatakan bahwa di negaranya sedang berjalan proses hukum perdagangan manusia (human trafficking) bahwa Mary Jane Fiesta Veloso sebagai korban. Perempuan bernama Maria Christine Sergio menyerahkan diri kepada pihak berwenang di negara tersebut sehari sebelum Mary Jane Fiesta Veloso menjalani eksekusi pidana mati. Sehingga, pihak
berwenang
Philipina
menganggap
penting
untuk
meminta
keterangan/kesaksian dari Mary Jane Fiesta Veloso untuk dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana yang dilakukan oleh Maria Christine Sergio. Berdasarkan hal tersebut, akhirnya pihak yang memiliki wewenang untuk melaksanakan eksekusi pidana mati memutuskan untuk menunda eksekusi terhadap Mary Jane Fiesta Veloso. Dalam kasus ini, pemerintah Philipina mengajukan permohonan secara resmi kepada pemerintah Indonesia agar Mary Jane Fiesta Veloso tidak dieksekusi mati, sebagaimana penulis kutip dari pernyataan Tony Spontana, berikut ini: Perkara di Philipina itu yang menunda pelaksanaan eksekusi mati untuk Mary Jane Fiesta Veloso. Upaya penyerahan diri yang dilakukan tersangka perekrut itu dijadikan argumen oleh otoritas Philipina untuk mengajukan permohonan penundaan eksekusi mati. Meski demikian Tony menyatakan Kejaksaan Agung menghormati upaya hukum yang tengah diupayakan oleh otoritas Philipina. Tony mengatakan rombongan delegasi Philipina mendatangi Kejaksaan Agung untuk mengajukan permohonan perjanjian timbal balik/mutual legal assistance (MLA). Ada lima poin kesepakatan dari perjanjian MLA tersebut. Dua di antaranya berkaitan dengan permintaan pihak pemerintah Philipina untuk bisa mendapatkan keterangan dari Mary Jane Fiesta Veloso dalam pembuktian perkara Maria Christine Sergio, serta permintaan akses untuk memeriksa barang bukti dan barang bukti terkait perkara yang menjerat Mary Jane Fiesta Veloso (Gilang Fauzi. 2015.
66
http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150729154422-12-68892/proseshukum-di-filipina-bukan-upaya-pembebasan-mary-jane/ diakses tanggal 3
Mei 2016). Berdasarkan hal tersebut, penundaan eksekusi pidana mati terhadap Mary Jane Fiesta Veloso dilakukan setelah adanya pembicaraan antara kedua kepala negara, yaitu antara Presiden Philipina dengan Presiden Indonesia. Setelah adanya pembicaraan antara kedua kepala negara, otoritas Philipina mengajukan permohonan perjanjian timbal balik/mutual legal assistance (MLA) melalui Departemen Kehakiman Philipina tertanggal 28 April 2015. Ada lima poin kesepakatan dari perjanjian MLA yang diajukan oleh otoritas Philipina. Dua di antaranya berkaitan dengan permintaan pihak pemerintah Philipina untuk bisa mendapatkan keterangan dari Mary Jane Fiesta Velosos dalam pembuktian perkara Maria Christine Sergio, serta permintaan akses untuk memeriksa barang bukti dan barang bukti terkait perkara yang menjerat Mary Jane Fiesta Veloso. Sehingga, dengan adanya permohonan perjanjian timbal balik/mutual legal assistance (MLA) yang diajukan otoritas Philipina ini mengakibatkan adanya penundaan eksekusi pidana mati terhadap Mary Jane Fiesta Veloso. Berdasarkan arahan dari Presiden Indonesia serta adanya permohonan penundaan eksekusi pidana mati dari otoritas Philipina, pada akhirnya Jaksa Agung menghubungi jaksa eksekutor untuk menunda eksekusi pidana mati terhadap Mary Jane Fiesta Veloso. Menurut hukum positif di Indonesia, penundaan eksekusi pidana mati dapat dilakukan dengan alasan sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 6 Ayat (2) dan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 2/PNPS/1964 Tahun 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer, yaitu: 1. Pasal 6 Ayat (2) Apabila terpidana hendak mengemukakan sesuatu, maka keterangan atau pesannya itu diterima oleh Jaksa Tinggi/Jaksa tersebut.
67
2. Pasal 7 Apabila terpidana hamil, maka pelaksanaan pidana mati baru dapat dilaksanakan empat puluh hari setelah anaknya dilahirkan. Berdasarkan peraturan perundang-undangan tersebut, pidana mati hanya dapat ditunda dengan alasan, yaitu: alasan pertama, apabila terpidana hendak mengemukakan sesuatu dan keterangannya tersebut disampaikan kepada Jaksa Tinggi/Jaksa. Pasal ini menyatakan bahwa eksekusi pidana mati dapat ditunda apabila terpidana akan mengungkapkan sesuatu, yang mana keterangannya disampaikan melalui Jaksa Tinggi/Jaksa. Yang dimaksud mengungkapkan sesuatu antara lain meminta bertemu keluarga, sementara keuarganya di luar sedang sakit sehingga minta waktu dan permintaan ini harus dipenuhi. Sedangkan alasan kedua, apabila terpidana hamil, maka pelaksanaan pidana mati baru dapat dilaksanakan empat puluh hari setelah anaknya dilahirkan. Pasal ini menyatakan bahwa eksekusi pidana mati dapat dilakukan penundaan dengan alasan terpidana tersebut hamil. Terhadap terpidana mati yang sedang hamil, eksekusi dapat dilakukan 40 (empat puluh) hari setelah ia melahirkan. Dalam kasus penundaan eksekusi pidana mati Mary Jane Fiesta Veloso ini tidak berdasarkan pada kedua pasal tersebut. Dapat dikatakan penundaan eksekusi ini terdapat ketidaksesuaian antara apa yang senyatanya terjadi (das sein) terhadap apa yang diperintahkan dalam undang-undang yang ada (das sollen). Ketentuan yang terdapat pada Undang-Undang Nomor 2/PNPS/1964 menyatakan yang dapat dijadikan alasan penundaan eksekusi pidana mati yaitu, terpidana yang akan menyampaikan sesuatu hal (disampaikan pada Jaksa Tinggi/Jaksa) dan wanita hamil dapat dilakukan eksekusi pidana mati 40 (empat puluh) hari setelah ia melahirkan. Sedangkan, pada kenyataan yang terjadi alasan penundaan eksekusi pidana mati terhadap Mary Jane Fiesta Veloso tidak sesuai dengan undang-undang yang ada. Dalam kasus ini, penundaan eksekusi pidana mati bukan berdasarkan permintaan pribadi terpidana, akan tetapi berdasarkan
68
otoritas Philipina. Kemudian, penundaan eksekusi pidana mati ini dilakukan pada saat terpidana tidak dalam kondisi hamil. Setelah adanya penundaan eksekusi pidana mati terhadap Mary Jane Fiesta
Veloso,
selanjutnya
terpidana
dibawa
kembali
ke
Lembaga
Pemasyarakatan Wirogunan. Dalam menunggu eksekusi pidana mati, Mary Jane Fiesta Veloso tetap mengikuti berbagai program pembinaan yang diadakan di Lembaga Pemasyarakatan Wirogunan. Program pembinaan terhadap narapidana yang diikuti Mary Jane Fiesta Veloso di Lembaga Pemasyarakatan Wirogunan, antara lain: 1. Pembinaan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, sikap dan perilaku Mary Jane Fiesta Veloso mengikuti pembinaan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, sikap dan perilaku ini dengan aktif dan turut serta dalam kegiatan yang diadakan di gereja. 2. Pembinaan intelektual, kecintaan dan kesetiaan kepada bangsa serta negara Mary Jane Fiesta Veloso mengikuti pembinaan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas intelektual, kecintaan dan kesetiaan kepada bangsa serta negara dengan aktif dan turut serta dalam kegiatan, seperti: pramuka, baris berbaris, dan upacara peringatan hari besar. 3. Pembinaan profesionalisme/ ketrampilan Mary Jane Fiesta Veloso mengikuti pembinaan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas profesionalisme/ ketrampilan dengan aktif dan turut serta dalam kegiatan, seperti: kerajinan tangan dan seni tari. 4. Pembinaan kesehatan jasmani dan rohani Mary Jane Fiesta Veloso mengikuti pembinaan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas kesehatan jasmani dan rohani dengan aktif dan turut serta dalam kegiatan, seperti: bola voli. Lebih lanjut Heriyanto menerangkan bahwa: “sejak adanya penundaan eksekusi pidana mati terhadap Mary Jane Fiesta Veloso, hingga saat ini terpidana
69
belum pernah dimintai keterangan/kesaksian untuk kasus perdagangan manusia (human trafficking) yang ada di Philipina, baik itu secara langsung maupun tidak langsung” (wawancara: Heriyanto, Bc.IP., S.H., M.H. pada 11 April 2016). Menurut penulis, penundaan eksekusi pidana mati terhadap Mary Jane Fiesta Veloso ini untuk menghormati proses hukum yang ada di Philipina. Akan tetapi alasan yang menjadikan penundaan eksekusi pidana mati terhadap Mary Jane Fiesta Veloso tidak berjalan sebagaimana mestinya. Dikarenakan sampai saat ini Mary Jane Fiesta Veloso belum pernah dimintai keterangan/kesaksian berkaitan dengan kasus perdagangan manusia (human trafficking) yang terjadi di Philipina. Dalam hal ini, Mary Jane Fiesta Veloso tidak pernah dimintai keterangan/kesaksian
secara
langsung
maupun
melalui
media
lainnya
(teleconference). Dalam kasus ini, penundaan eksekusi pidana mati terhadap Mary Jane Fiesta Veloso tidak diberikan batasan waktu. Sehingga, hal ini berdampak tidak adanya kepastian sampai kapan penundaan eksekusi akan berakhir. Penundaan eksekusi pidana mati ini sudah berjalan selama satu tahun, akan tetapi dalam jangka waktu tersebut Mary Jane Fiesta Veloso belum pernah dimintai keterangan/kesaksian untuk kasus perdagangan manusia (human trafficking). Penundaan eksekusi pidana mati terhadap Mary Jane Fiesta Veloso ini dapat memberikan preseden buruk bagi penegakan hukum di Indonesia. Penegakan hukum di Indonesia akan dipertanyakan karena penundaan eksekusi pidana mati tidak berdasarkan pada ketentuan undang-undang yang ada, akan tetapi penundaan eksekusi pidana mati ini berdasarkan adanya proses hukum yang terjadi di negara lain. Penundaan eksekusi ini berakibat terhambatnya proses hukum terhadap Mary Jane Fiesta Veloso yang mana putusan pengadilan dalam kasusnya telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Menurut penulis, meskipun proses hukum yang ada di Philipina menyebutkan bahwa Mary Jane Fiesta Veloso sebagai korban perdagangan manusia
(human
trafficking),
hal
ini
tidak
dapat
menghapuskan
70
pertanggungjawaban pidana Mary Jane Fiesta Veloso di Indonesia. Hal ini dikarenakan, Mary Jane Fiesta Veloso telah terbukti secara sah atau melawan hukum menjadi perantara dalam jual beli Narkotika Golongan I bukan tanaman dalam bentuk heroina dengan berat melebihi 5 (lima) gram di Indonesia. Mengenai putusan Mary Jane Fiesta Veloso yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) harus dilaksanakan eksekusi, karena sudah tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh lagi. Sehingga, untuk menjunjung tinggi kepastian hukum di Indonesia, maka Mary Jane Fiesta Veloso harus tetap dilakukan eksekusi pidana mati.