BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A.
Hasil Penelitian
PT. Pembangunan Perumahan dan PT. Padjajaran Indah Prima telah sepakat mengadakan Perjanjian Pemborongan Pekerjaan Pembangunan Gedung Plaza Padjajaran, yang beralamat di Jalan Raya Jatinangor, No. 4-6 Jatinangor, Kabupaten Sumedang dengan ketentuan dan syarat-syarat telah dituangkan
pada
Surat
Perjanjian
Borongan
Nomor:
02/SPP/DU-
PIP/VI/2006 tanggal 21 Juni 2006, dengan nilai borongan sudah termasuk PPN 10% dan resiko Pemborong yaitu sebesar Rp 24.557.500.000,00 (dua puluh empat miliar lima ratus lima puluh tujuh juta lima ratus ribu rupiah), dengan jangka waktu pelaksanaan dimulai pada saat di tandatanganinya SPK (tanggal 23 Mei 2006) dan selesai pada tanggal 15 Oktober 2006. Sampai dengan pada tanggal 19 Agustus 2006, Progress fisik yang dicapai oleh PT. Pembangunan Perumahan dalam melaksanakan pembangunan Proyek Gedung PLAZA PADJAJARAN dan telah disetujui secara tertulis oleh PT. Padjajaran Indah Prima adalah sebesar 67,846% atau senilai Rp.16.661.860.000,- sedangkan realisasi pembayaran dari PT. Padjajaran Indah Prima baru sebesar Rp. 7.394.250.000,- sehingga sisa yang belum dibayar oleh PT. Padjajaran Indah Prima pada saat progress 67,846% adalah sebesar Rp. 9.267.610.000,-. Pada tanggal 27 Agustus 2006, PT. Padjajaran Indah Prima telah mengadakan acara soft opening Gedung PLAZA PADJAJARAN sebagai awal dimulainya operasional dan dibukanya Gedung PLAZA PADJAJARAN untuk umum hingga sampai saat ini. Kemudian sampai dengan tanggal 18 September 2006, PT. Pembangunan Perumahan
selaku
kontraktor
telah
menyelesaikan
Progress
Fisik
pembangunan proyek Gedung Plaza Padjadjaran sebesar 95,109% (sembilan puluh lima koma satu nol sembilan persen) dan juga telah disetujui secara tertulis oleh PT. Padjajaran Indah Prima atau senilai Rp. 23.356.356.000,(dua puluh tiga miliar tiga ratus lima ( included PPN 10%) sedangkan
31
32
realisasi pembayaran dari PT. Padjajaran Indah Prima baru sebesar Rp.11.445.750.000,- hasilnya sama dengan sisa yang belum dibayar PT. Padjajaran Indah Prima sebesar Rp. 11.910.606.000,-. Akan tetapi sehari setelah PT. Padjajaran Indah Prima menyetujui laporan prestasi pekerjaan dimaksud, pada tanggal 19 September 2006 PT. Padjajaran Indah Prima melalui Surat No.081/DU PIP/IX/2006 telah melakukan pemutusan perjanjian pemborongan secara sepihak, yang kemudian dipertegas kembali melalui surat Nomor : 082/DU PIP/ IX/2006 tangga l 21 September 2006. PT. Pembangunan Perumahan telah menyampaikan Klarifikasi melalui Surat No.217/Ext/KCB. IV/2006 tanggal 14 Oktober 2006, selaras dengan hal tersebut maka sebagian Material On Site (MOS) untuk sementara ditarik oleh PT. Pembangunan Perumahan keluar areal Proyek. Selain daripada itu, PT. Pembangunan Perumahan mengajukan Pekerjaan Tambah yang sudah dikerjakan sehubungan tidak termasuk kedalam scope pekerjaan pada kontrak yaitu sebesar Rp. 708.391.909,-. Sehingga total kewajiban PT. Padjajaran Indah Prima yang belum dibayarkan kepada PT. Pembangunan Perumahan adalah sebesar Rp.10.981.265.909,- sesuai dengan invoice yang telah
dikirim
oleh
PT.
Pembangunan
Perumahan
Nomor:
220/Ext/KCB.N/2006 tangga l 01 November 2006. PT. Pembangunan Perumahan dan PT. Padjajaran Indah Prima sendiri juga telah berulangkali mengadakan pertemuan untuk musyawarah, PT. Padjajaran Indah Prima telah menunjuk EstimatorIndependent untuk menghitung ulang secara bersama-sama atas Progress Phisik Gedung PADJAJARAN PLAZA yang sudah dicapai oleh PT. Pembangunan Perumahan. Namun, ketika perhitungan bersama tersebut selesai (perhitungan bersama dilakukan pada tangga l 6 Februari 2007 s/d 8 Februari 2007) dengan kesimpulan bahwa ada kewajiban PT. Padjajaran Indah Prima untuk membayar kepada PT. Pembangunan Perumahan yaitu sebesar Rp. 10.111.917.743,- tetapi PT. Padjajaran Indah Prima tidak menerima hasil perhitungan tersebut. Persoalan lain adalah selama perselisihan antara PT. Pembangunan Perumahan dan PT. Padjajaran Indah Prima berlangsung, PT. Padjajaran
33
Indah Prima telah menunjuk pihak Kontraktor lain untuk melakukan perubahan-perubahan atas bagian Gedung Plaza Padjajaran secara sepihak. Setelah proses pengajuan permohonan, pada tanggal 17 Maret 2008, BANI Perwakilan Bandung telah memberikan Putusan Reg. No. 03/2007/BANI BANDUNG yang amar putusannya berbunyi sebagai berikut: DALAM KONVENSI 1.
Mengabulkan gugatan Pemohon Konvensi untuk sebagian;
2.
Menyatakan Perjanjian Pemborongan Pembangunan Gedung Plaza Padjajaran, Nomor : 02/SPP/DUPIP/VI/2006 tanggal 21 Juni 2006 adalah sah menurut hukum;
3.
Menyatakan Termohon Konvensi telah ingkar janji (wanprestasi) kepada Pemohon Konvensi;
DALAM REKONVENSI 1.
Mengabulkan permohonan Pemohon Rekonvensi untuk sebagian;
2.
Menyatakan Termohon Rekonvensi telah menerima kelebihan pembayaran dari Termohon Rekonvensi;
DALAM KONVENSI DAN REKONVENSI 1.
Menyatakan Termohon Konvensi/Pemohon Rekonvensi memiliki kewajiban yang harus dibayar kepada Pemohon Konvensi/Termohon Rekonvensi sebesar Rp. 1.750.000.000,- (terbilang: satu miliar tujuh ratus lima puluh juta rupiah);
2.
Menghukum Termohon Konvensi /Pemohon Rekonvensi untuk membayar kewajibannya kepada Pemohon Konvensi/Termohon Rekonvensi sebesar Rp. 1.750.000.000,- (terbilang: satu miliar tujuh ratus lima puluh juta rupiah), yang harus dibayar oleh Termohon Konvensi/Pemohon Rekonvensi selambat-lambatnya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak Putusan Arbitrase didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Kelas IA Bandung;
34
3.
Membebankan biaya-biaya yang timbul sebagai akibat permohonan arbitrase ini kepada para pihak secara tanggung renteng dalam jumlah yang sama masing-masing seperdua bagian;
4.
Menyatakan putusan arbitrase ini adalah putusan dalam tingkat pertama dan terakhir serta mengikat kedua belah pihak;
5.
Memerintahkan kepada Sekretaris Majelis BANI untuk mendaftarkan turunan resmi Putusan Arbitrase ini di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Kelas IA Bandungatas biaya Pemohon dan Termohon dalam tenggang waktu sebagaimana ditetapkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999.
Selanjutnya, PT. Pembangunan Perumahan mengajukan pembatalan putusan BANI melalui Pengadilan Negeri Sumedang dengan mengemukakan alasanalasan sebagai berikut: 1.
Adanya tipu muslihat dari PT. Padjajaran Indah Prima. a.
Bahwa telah terbukti dalam persidangan berdasarkan fakta-fakta yang tidak terbantahkan bahwa 1 (satu) hari setelah PT. Padjajaran Indah Prima menyetujui Laporan Prestasi Pekerjaan tertanggal 18 September 2006, PT. Padjajaran Indah Prima tibatiba melalui suratnya No. 081/DU-PIP/IX/2008 tanggal 12 September 2006 menyatakan secara sepihak mengakhiri Perjanjian Pemborongan dengan alasan yang mengada-ngada;
b.
Bahwa cara yang demikian jelas-jelas merupakan tipu muslihat yang dilakukan oleh PT. Padjajaran Indah Prima untuk tidak membayar hutangnya yang sudah jatuh tempo kepada PT. Pembangunan Perumahan dalam jumlah yang telah di setujui PT. Padjajaran Indah Prima sendiri berdasarkan Laporan Prestasi Pekerjaan;
c.
Bahwa bukti lain adanya tipu muslihat yang dilakukan oleh PT. Padjajaran
Indah
Prima
adalah
ketika
telah
dilakukan
perhitungan bersama oleh pihak Estimator (Penilai) Independen
35
yang notabene ditunjuk oleh PT. Padjajaran Indah Prima sendiri dan
PT.
Padjajaran
Indah
Prima
sudah
memberikan
persetujuannya secara tertulis pada setiap halaman laporan perhitungan oleh Estimator Independen tersebut, akan tetapi kemudian PT. Padjajaran Indah Prima mengingkarinya tanpa alasan yang jelas dan PT. Padjajaran Indah Prima tidak mau membayar hutangnya yang telah jatuh tempo kepada PT. Pembangunan
Perumahan
walaupun
telah
ditagih
PT.
Pembangunan Perumahan; d.
Bahwa upaya licik lain yang dilakukan PT. Padjajaran Indah Prima adalah ketika perkaraini berlangsung PT. Padjajaran Indah Prima telah membuka/memanfaatkan Gedung Plaza Padjadjaran di mana seharusnya PT. Padjajaran Indah Prima tidak membuka untuk umum Gedung Plaza Padjadjaran sampai terdapat
kejelasan
perihal
permasalahan
antara
PT.
Pembangunan Perumahan dan PT. Padjajaran Indah Prima; 2.
Putusan BANI diambil tidak berdasarkan hukum. a.
Putusan BANI mendasarkan pada bukti-bukti yang dibuat sepihak oleh PT. Padjajaran Indah Prima dan mengesampingkan perjanjian/kesepakatan tertulis para pihak.
b.
Putusan BANI mengesampingkan fakta yang tidak terbantahkan bahwa PT. Padjajaran Indah Prima secara diam-diam telah mengakui dan menyetujui hasil pekerjaan PT. Pembangunan Perumahan berdasarkan bukti telah dibukanya untuk umum (Soft Opening) gedung PLAZA PADJADJARAN dan penunjukan kontraktor lain untuk melakukan perubahan pada bangunan gedung PLAZA PADJADJARAN tanpa persetujuan dari PT. Pembangunan Perumahan.
c.
Putusan BANI sama sekali tidak memiliki dasar/formula perhitungan
dalam
memutuskan
klaim
sebesar
Rp.
36
1.750.000.000,- yang harus dibayar PT. Padjajaran Indah Prima kepada PT. Pembangunan Perumahan. d.
Putusan BANI tidak didaftarkan pada Pengadilan Negeri yang berwenang dalam waktu yang telah ditentukan oleh UndangUndang dan karenanya melanggar Pasal 59 jo Pasal 1 butir 4 UU No. 30/1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dan Pasal 33 Peraturan Prosedur BANI.
e.
Putusan BANI melanggar Pasal 37 Peraturan Prosedur BANI dengan tidak mencerminkan dalam putusan pihak mana yang harus mengembalikan kelebihan pembayaran biaya perkara.
Maka, berdasarkan hal-hal tersebut di atas, PT. Pembangunan Perumahan dengan ini mohon agar Pengadilan Negeri Sumedang memutus perkara sebagai berikut: a.
Menerima
dan
mengabulkan
permohonan
PT.
Pembangunan
Perumahan untuk seluruhnya; b.
Membatalkan Putusan BANI Reg. No. 03/2007/BANI/BANDUNG tertanggal 17 Maret 2008;
c.
Menyatakan Putusan BANI Reg. No. 03/2007/BANI/BANDUNG tertanggal 17 Maret 2008 tidak berkekuatan hukum;
d.
Menyatakan sengketa antara PT. Pembangunan Perumahan dan PT. Padjajaran Indah Prima tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase;
e.
Menghukum PT. Padjajaran Indah Prima untuk membayar biaya perkara;
Dalam Putusan Pengadilan Negeri Sumedang menimbang: 1.
Bahwa Putusan BANI terbukti diucapkan/diputuskan pada tanggal 17 Maret 2008;
2.
Bahwa PT. Padjajaran Indah Prima dalam putusan BANI jelas-jelas terbukti berdomisili di Kabupaten Sumedang, tepatnya beralamat di Jalan Raya Jatinangor, Nomor 4-6, Desa Cibeusi, Kecamatan Jatinangor, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat;
37
3.
Bahwa pada kenyataannya Putusan BANI didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Bandung pada tanggal 14 April 2008, dan kemudian baru mendaftarkannya di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Sumedang pada tanggal 30 April 2008;
4.
Bahwa Diktum/Amar Putusan BANI juga terbukti salah dan melanggar keten tuan Pasal 59 ayat (1) jo Pasal 1 butir 4 UndangUndang Arbitrase karena secara tegas dan jelas Majelis Arbitrase memerintahkan pendaftaran Putusan BANI pada Kepaniteraan Pengadilan Negeri Bandung;
5.
Bahwa oleh karena itu , Diktum/Amar Putusan BANI dan pendaftaran Putusan BANI di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Bandung nyatanyata melanggar ketentuan Pasal 59 ayat (1) jo Pasal 1 butir 4 Undang-Undang Arbitrase jo Pasal 33 Peraturan Prosedur BANI di mana seharusnya putusan BANI didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Sumedang sesuai dengan domisili PT. Padjajaran Indah Prima seperti telah disebutkan di atas;
6.
Di samping itu, walaupun kemudian Putusan BANI didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Sumedang pada tangga l 30 April 2008, pendaftaran tersebut sudah kadaluarsa karena telah melebihi harus waktu yang telah ditentukan oleh Pasal 59 ayat (1) UndangUndang Arbitrase, yaitu 30 hari sejak tanggal Putusan BANI diucapkan (17 Maret 2008) di mana seharusnya pendaftaran Putusan BANI di lakukan paling lambat tanggal 17 April 2008 di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Sumedang;
7.
Bahwa dengan tidak didaftarkannya Putusan BANI di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Sumedang dalam waktu yang ditentukan oleh undang-undang, maka
putusan BANI terbukti
diambil
tidak
berdasarkan hukum acara yang ber laku sebagaimana diatur dalam dalam Undang-Undang Arbitrase maupun Peratu ran Prosedur BANI sendiri, dan sebagai akibat hukumnya Putusan BANI menjadi tidak
38
dapat dieksekusi (dilaksanakan) oleh PT. Pembangunan Perumahan menurut ketentuan Pasal 59 ayat (4) Undang- Undang Arbitrase; Pada tanggal 12 Juni 2008 Pengadilan Negeri Sumedang mengeluarkan putusan No.10/Pdt .G/2008 /PN.Smd tanggal 12 Juni 2008 yang menyatakan bahwa: 1)
Menerima dan mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian ;
2)
Menyatakan
Putusan
BANI
Nomor
:
03/2007/BANI
BANDUNG tanggal 17 Maret 2008 t idak berkekuatan hukum ; 3)
Membatalkan
Putusan
BANI
Nomor
:
03/2007/BANI
BANDUNG tanggal 17 Maret 2008 ; 4)
Menolak permohonan Pemohon untuk selebihnya ;
5)
Menghukum Termohon untuk membayar biaya perkara yang timbul dalam perkara ini sebesar Rp.169.000,-.
B. 1.
Kewenangan
Pembahasan
Pengadilan
Negeri
untuk
Membatalkan
dan
Mengadili Putusan Arbitrase Penyelesaian sengketa melalui forum arbitrase menghasilkan suatu putusan arbitrase yang bersifat final and binding, yaitu merupakan putusan akhir dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak.Dengan demikian, terhadap putusan arbitrase tidak dapat diajukan upaya hukum banding, kasasi atau peninjauan kembali.Hal ini merupakan salah satu kelebihan yang dimiliki arbitrase karena dapat memberikan kepastian hukum secara efektif bagi para pihak yang bersengketa dan menghindarkan sengketa tersebut menjadi semakin berkepanjangan. Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa pada kenyataannya tidak semua putusan yang dihasilkan melalui forum arbitrase ini akan memberikan kepuasan kepada para pihak.
Namun, masih ada upaya hukum yang dapat
dilakukan oleh para pihak yang berselisih, yaitu upaya permohonan
39
pembatalan terhadap putusan arbitrase tersebut (Joni Emirzon, 2001: 115).Dalam hal ini, pengadilan memiliki peran yang besar dalam mengembangkan arbitrase (Erman Rajagukguk, 2000: 4).Undangundang sendiri juga memperbolehkan campur tangan pengadilan dalam penyelesaian sengketa melalui arbitrase, salah satunya dalam bentuk permohonan pembatalan putusan arbitrase yang diajukan kepada Pengadilan Negeri.Tidak jarang para pihak yang tidak puas terhadap suatu putusan arbitrase mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase. Di samping itu, ada dua instrumen internasional mengenai arbitrase yang penting dan dianggap sebagai sumber hukum arbitrase utama di dunia, yang seharusnya dipahami dan dijadikan dasar pertimbangan
pula
oleh
pengadilan
dalam
memeriksa
suatu
permohonan pembatalan putusan arbitrase. Yang pertama adalah United Nations Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards (Konvensi New York), yang telah diratifikasi oleh Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 1981; dan yang kedua adalah United Nations Commission on International Trade Law (UNCITRAL) Model Law on International Commercial Arbitration (UNCITRAL Model Law).Istilah pembatalan itu sendiri apabila diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris menjadi “annulment”. Konvensi ICSID menggunakan istilah “annulment” ini sebagaimana disebutkan dalam Pasal 52 Konvensi (annulment of the award). Namun demikian, UNCITRAL Model Law menggunakan istilah “setting aside” sebagai upaya yang eksklusif untuk melawan putusan arbitrase (setting aside as exclusive recourse against arbitral award) sebagaimana diatur Pasal 34 UNCITRAL Model Law. Istilah “setting aside” dalam Bahasa Indonesia berarti “pengesampingan”, namun apabila dicermati dalam UNCITRAL Secretariat Explanation of Model Law, yang merupakan penjelasan atas ketentuan dalam UNCITRAL Model Law, khususnya pada huruf G butir 41 tentang
40
Application for setting aside as exclusive recourse, disebutkan bahwa “it should be noted that ‘resource’ means actively ‘attacking’ the award”. Selanjutnya pada butir 44 tentang Grounds for setting aside, disebutkan bahwa “The setting aside of an award at the place of origin prevent enforcement of that award in all other countries…”. Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa “setting aside” yang dimaksud dalam UNCITRAL Model Law merupakan upaya untuk melawan ‘putusan’ arbitrase sebagaimana diatur dalam undangundang di Indonesia. Berbeda pula di Amerika Serikat yang menggunakan istilah “vacatingthe arbitration award” (Federal Arbitration Act, Section 10), namun tetap memiliki makna yang sama dengan pembatalan putusan arbitrase. Adapun alasan permohonan pembatalan putusan menurut International Centre forSettlement of Investment Disputes(ICSID) yakni: a.
Syarat Formal Penahanan Pembatalan 1)
Permohonan pembatalan menurut ICSID Rule hanya bisa dilakukan secara tertulis. Jika permohonan pembatalan dilakukan secara lisan, permohonan tersebut dianggap tidak memenuhi syarat formal dan di anggap tidak sah dan tidak akan mendapat tanggapan.
2)
Permohonan
pembatalan
dialamatkan
ke
Sekretaris
Jenderal ICSID. Jika putusan yang diajukan permohonan pendaftarannya itu dikeluarkan berdasarkan ICSID Rule, permohonan pembatalan harus diajukan ke sekretaris Jenderal ICSID, mekipun putusan itu di keluarkan di Indonesia.
Dengan demikian, setiap putusan yang di
jatuhkan di Indonesia yang didalam pemeriksaannya menggunakan
ICSID
Rule,
maka
ketentuan
yang
tercantum dalam Pasal 71 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 yang mengharuskan permohonan pembatalan putusan arbitrse harus diajukan secara tertulis ke
41
Pengadilan Negeri (Pengadilan Negeri Jakarta Pusat) tidak berlaku.
Hanya putusan yang tunduk pada ketentuan
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 dan/ketentuan prosedur BANI saja yang bisa dimintakan permohonan pembatalan ke Pengdilan Negeri. (Munir Fuady, 2003: 183). 3)
Permohonan pembatalan hanya dapat diajukan paling lambat 120 hari setelah putusan di jatuhkan atau 120 setelah putusan diterima para pihak. Dengan demikian, dikepermintaan permohonan pembatalan tersebut di ajukan dengan alasan kecurangan atau korupsinya arbiter dan/atau arbiter, batas waktu 120 hari itu dihitung sejak ditemukannya bukti kecurangan atau korupsinya arbiter atau para arbiter tersebut.
b.
Alasan permohonan pembatalan Ada lima alasan yang ditentukan oleh ICSID Rule sebagai dasar untuk dapat mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase sebagai berikut: 1)
Pembentukan majelis arbitrase tidak
tetap
yang
dimaksudkan dengan pembentukan majelis arbitrase tidak tepat
adalah
pembentukannya
dilakukan
dengan
ketentuan-ketentuan yang ada atau tidak sesuai dengan klausul atau perjanjian para pihak akan tetapi, jika para pihak yang berselisih tidak mengajukan keberatan dan tidak mengajukan
permohonan pembatalan
putusan
dengan alasan pembentukan dewan arbitrase yang tidak tepat ini, putusan arbitrase tersebut tetap sah, final, binding. 2)
Majelis arbitrase melampaui batas kewenangan. Dengan alasan majelis arbitrase melampaui kewenangan, para pihak yang berkepentingan dapat pula mengajukan
42
permohonan
pembatalan
putusan
arbitrase
majelis
dikatakan melampaui kewenangan, apabila: a)
Sesuatu yang diputus atau yang di kabulkan sama sekali tidak dituntun oleh para pihak;
b)
Putusan telah mengabulkan melebihi apa yang ditutup para pihak;
c)
Salah seorang arbiter atau para arbiter melakukan korupsi. Jika salah seorang arbiter atau para arbiter melakukan korupsi dapat juga dijadikan alasan untuk mengajukan permohonan pembatalan, karena dengan alasan yang demikian putusan arbitrase tersebut adalah tidak sah atau batal demi hukum. Seperti yang telah dikemukakan, khusus dengan alasan salah seorang arbiter atau para arbiter melakukan korupsi, permohonan pembatalan hanya dapat diajukan dalam jangka waktu 120 hari sejak di ketahui kesalahan arbiter atau para arbiter,
dan
jangka waktu 120 hari ini berlaku selama 3 Tahun sejak putusan tersebut dijatuhkan dan/ diterima para pihak. ( H. Sudiarto dan Zaeni Asyhadie, 2004: 191); d)
Terjadinya penyimpangan yang serius terhadap tata cara pemeriksaan suatu penyimpangan terhadap tata cara pemeriksaan di
katakana serius apabila
penyimpangan dilakukan terhadap hal-hal yang pundamental dan melanggar hukum ataupun Rule yang dipergunakan dalam memutus perselisihan tidak sesuai dengan yang di sepakati para pihak; e)
Demikian juga suatu penyimpangan tata cara pemeriksaan di anggap serius apabila tata cara
43
pemeriksaan tersebut menyampingkan atau tidak memedulikan hak dan kepentingan para pihak, serta tidak memperhatikan tata cara pemeriksaan yang di kehendaki para pihak dalam klausul atau perjanjian arbitrase yang disepakati.
Dalam hal demikian,
putusan arbitrase yang di hasilkan dapat terancam batal jika dimohonkan oleh para pihak tidak cukup alasan atau dasar pertimbangan dalam mengambil putusan.
Tidak
cukupnya
alasan
atau
dasar
pertimbangan dalam mengambil putusan dapat saja digunakan
sebagai
alasan
untuk
mengajukan
permohonan pembatalan putusan, sepanjang alasan atau
dasar
pertimbangan
dalam
mengambil
keputusan tersebut diharuskan oleh para pihak dalam klausul atau perjanjian arbitrasenya.
Dengan kata
lain, jika para pihak dalam klausul atau perjanjia arbitasenya
berkehendak
untuk
menyelesaikan
perselisihannya kepada ICSID, tanpa menginginkan alasan atau dasar pertimbangan mengambil putusan, putusan yang dihasilka adalah sah, dan para pihak tidak dapat mengajukan permohonan pembatalan dengan alasan tidak cukup dasar pertimbangan dalam mengambil putusan. Dengan alasan-alasan yang dikemukakan diatas, para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan Kesekretarian Jendral ICSID, dan untuk selanjutnya Ketua ICSID akan membentuk komisi ad hoc untuk menyelesaikan permohonan pembatalan ini. Anggota komisi ad hoc ini terdiri dari tiga orang yang ditunjuk dan diangkat oleh Ketua ICSID dari kalangan anggota arbitrase yang ada di ICSID, dengan catatan bahwa yang ditunjuk sebagai anggota komisi adhoc tidak termasuk
44
bekas
anggota
arbitrase
yang
putusannya
dimohonkan
pembatalan. Tugas dan kewenangan komisi ad hoc yang dibentuk, selain menyelesaikan permohonan pembatalan juga berwenang menetapkan penundaan sementara pelaksasaan atau eksekusi putusan arbitrase. Kewenangan penundaan pelaksanaan atau eksekusi putusan ini mutlak dilakukan oleh komisi ad hoc apabila
diajukan/dimohonkan
oleh
para
pihak
dalam
permohonan pembatalannya. Dalam pemeriksaan permohonan pembatalan bisa saja terjadi penolakan permohonan oleh komisi ad hoc. Hal ini bisa terjadi disebabkan : 1)
Permohonan pembatalan tidak memenuhi syarat formal; atau
2)
Tidak ditemukannya fakta yang bersangkutan dengan alasan para pihak mengajukan permohonan pembatalan. Dalam hal yang demikian, penundaan eksekusi bersifat
sementara, karena komisi ad hoc akan segera memberitahukan perihal penolakan permohonan pembatalan putusan arbitrase. Sebaliknya, apabila komisi ad hoc membatalkan putusan arbitrase atau menerima permohonan pembatalan para pihak, dengan sendirinya putusan dianggap tidak pernah ada dan sengketa kembali dalam keadaan semula. Demikian pula klausula atau perjanjian arbitrase yang telah mereka sepakati berlaku kembali yang akibatnya sengketa diajukan kembali ke ICSID. Dengan mengajukan kembali sengketa ini, ICSID akan membentuk majelis arbitrase baru yang anggotanya terdiri dari anggota arbitrase yang tidak duduk dalam Majelis yang putusannya dimohonkan pembatalan. Adapun permohonan pembatalan putusan menurut The United
NationsCommission
on
International
Trade
Law(UNCITRAL)Rule UNCITRAL tidak mengenal lembaga
45
upaya pembatalan putusan. Namun demikian UNCITRAL mengenal upaya lain dalam bentuk berikut ini : 1)
Penafsiran Putusan Makna penafsiran putusan adalah sebagai perbedaan pengertian, pemahaman, atau jangkauan pendapat para pihak terhadap putusan arbitrase.Timbulnya perbedaan pemahaman inilah yang menyebabkan para pihak dapat mengajukan permohonan penafsiran resmi yang berupa penjelasan yang terang sehingga tidak lagi menimbulkan keraguan.Permohonan harus diajukan secara tertulis kepada sekretaris jendral arbitrase dalam jangka waktu paling lama 30 hari sejak putusan diterima. Dalam surat permohonan harus dijelaskan mengenai hal mana atau kalimat mana dalam putusan arbitrase yang perlu diberikan penjelasan oleh majelis arbitrase yang memberi putusan. Penjelasan akan diberikan oleh majelis arbitrase yang mengeluarkan atau menjatuhkan putusan itu. Akan tetapi, jika ada seseorang atau dua orang diantara anggota dewan yang memutus perselisihan tersebut berhalagan tetap (sakit berkepanjangan, pergi cukup lama atau mungkin
meninggal
dunia).
UNICITRAL
akan
membentuk majelis arbitrase baru dengan mengikut sertakan anggota majelis arbitrase yang tidak berhalangan. Majelis Arbitrase ini harus sudah memberikan penjelasan secara tertulis dalam jangka waktu paling lama 45 hari sejak
diterimanya
permohonan.
Penjelasan
atau
interpretasi tertulis tersebut harus menerangkan : a)
Dasar-dasar
pertimbangan
dalam
memberikan
penafsiran atau penjelasan, kecuali para pihak yang mengajukan
permohonan
interpretasi
memerlukan dasar pertimbangan;
tidak
46
b)
Penafsiran harus ditandatangani oleh para anggota arbiter dan menyebut tempat dan tanggal penafsiran di ambil;
c)
Salinan penjelasan atau penafsiran yang telah ditandatangani harus diberitahukan kepada para pihak;
d)
Hasil penafsiran tidak boleh dipublikasikan tanpa persetujuan para pihak. Peninjauan atau interpretasi ini bersifat final dan
binding, serta tidak ada upaya lagi untuk banding, kasasi, atau peninjauan kembali. (Pipin Syarifin dan Dedah Zubaedah,
2012:
442).
Dengan
demikian,
setelah
penjelasan ini, putusan tersebut mempunyai kekuatan hukum tetap dan sudah bisa dilaksanakan atau di eksekusi. 2)
Perbaikan putusan Menurut Pasal 36 UNCITRAL arbitrase rule, perbaikan atau koreksi terhadap putusan arbitrase harus dimohonkan oleh salah satu pihak yang bersengketa. Permohonan koreksi atau perbaikan terhadap putusan arbitrase
dapat
di
ajukan
jika
putusan
tersebut
mengandung kesalahan mengenai : a)
Penulisan kata;
b)
Salah pengetikan;
c)
Kesalahan perhitungan jumlah ganti kerugian, dan lain-lain. Kesalahan tulisan, pengetikan atau penjumlahan
ganti kerugian ini sifatnya sangat penting karena dapat mempengaruhi isi putusan. 3)
Tambahan putusan
47
Permohonan penambahan putusan hanya dapat dilakukan jika terdapat alasan, bahwa dalam putusan arbitrase yang dijatuhkan dijumpai adanya klaim atau tuntutan para pihak tidak tercantum dalam putusan tersebut atau tidak di ikut sertakan menjadi bahan pertimbangan putusan.
dalam
Menurut
mengambil ketentuan
atau
Pasal
37
menjatuhkan Ayat
(1)
UNCITRAL arbitrase rule tenggang waktu untuk dapat mengajukan penambahan putusan adalah 30 hari sejak putusan tersebut diterima oleh para pihak. Lewat dari ketentuan atau ketetapan 30 hari ini permohonan penambahan tidak akan diterima. Permohonan pengajuan penambahan diajukan langsung kepada Majelis arbitrase yang mengeluarkan putusan. Misalnya kalau yang memutuskan perselisihan mereka atau yang mengeluarkan putusan yang dimintai penambahan adalah UNCITRAL, ICSID atau BANI permohonan penambahan putusan langsung
diajukan
bersangkutan.
kepada
Kemudian
majelis
arbitrase
yang
berhak
yang untuk
menyelesaikan permohonan penambahan adalah majelis arbitrase atau anggota-anggota arbiter yang menjatuhkan putusan tersebut, kecuali apabila anggota arbiter yang bersangkutan berhalangan dapat dibentuk majelis arbitrase dengan mengikutsertakan anggota arbitrase yang tidak berhalangan. Tata cara pemberian penambahan ini menurut Pasal 37 ayat (2) UNCITRAL Arbitrase Rule, adalah sebagai berikut: a)
Dapat
langsung
memberikan
perbaikan
atau
tambahan tanpa memerlukan proses persidangan. Dengan demikian, dalam hal ini tidak diperlukan lagi proses pemeriksaan ulangan dan juga tidak
48
diperlukan jika memang alas an permohonan penambahan yang diajukan menurut pertimbangan Majelis Arbitrase; b)
Tata cara yang kedua adalah pemberian tambahan harus
dilakukan
dengan
pemeriksaan
atau
persidangan ulangan karena menurut pertimbangan majelis arbitrase hal ini dianggap perlu sehubungan dengan alas an permohonan tambahan putusan sangat penting. Yang dikatakan penting dapat dicontohkan apabila dalam permohonan arbitrase salah
satu
memohon
pihak agar
(pihak diputuskan
pemohon/clainmant) pihak
termohon
(respondent) membayar ganti rugi sehubungan dengan wanprestasinya. (H. Sudiarto dan Zaeni Asyhadie, 2004: 198). Permohonan pembayaran ganti rugi ini tidak disinggung dalam putusan yang dijatuhkan sehingga pihak clainmant mengajukan permohonan tambahan. Permohonan ganti kerugian sifatnya perlu pembuktian apakah pihak respondent memang benar telah wanprestasi atau karena overmacht,cara atau proses permohonan tambahan dengan alasan yang demikian perlu diadakan pemeriksaan ulang untuk memanggil para pihak. Jangka waktu pemeriksaan permohonan tambahan putusan tersebut ditentukan paling lama 60 hari terhitung sejak tanggal majelis arbitrase menerima permohonan. Jika jangka waktu 60 hari itu terlewati atau dengan kata lain, pemeriksaan permohonan tambahan tidak bisa selesai dalam jangka waktu 60 hari, majelis arbitrase bisa dituntut telah melakukan perbuatan melawan hukum. Permohonan tambahan
49
putusan tersebut tidak selalu di kabulkan, tergantung dari penilaian majelis arbitrase dalam proses pemeriksaan ulang jika memang dasar hukum untuk mengabulkan permohonan tambahan putusan cukup, maka majelis arbitrase akan menuangkannya dalam bentuk rectification atau ralat. Sebaliknya, apabila tidak
mempunyai
dasar
hukum,
permohonan
tambahan akan di tolak dengan suatu penetapan. Ralat atau penetapan tersebut harus dibuat atau di putuskan secara tertulis, dengan ketentuan sebagai berikut : (1)
Menyebut tempat dan tanggal pembuatan;
(2)
Ditandatangani oleh para anggota arbiter. Apabila salah seorang anggota tidak ikut menandatangani,
harus
dijelaskan
alsan-
alasannya; (3)
Memuat
dasar-dasar
pengabulan
alasan
tentang
atau penolakan, permohonan,
penambahan, kecuali para pihak sepakat untuk tidak memerlukan atau memuat dasar alasan tersebut. Jika ralat atau penetapan sebagai hasil permohonan penambahan tersebut sudah dijatuhkan, ralat atau penetapan tersebut merupakan satu kesatuan yang terpisahkan dengan putusan arbitrase semula (putusan yang dimohonkan) penambahan. Dengan demikian, putusan arbitrase tersebut sudah mengandung dapat
sifat final dan binding dan segera
dilaksanakan.
Asyhadie, 2004: 199).
(H.
Sudiarto
dan
Zaeni
50
Pada sengketa yang terjadi antara PT. Padjajaran Indah Prima dengan PT. Pembangunan Perumahan terkait kerjasama dalam pembangunan Gedung Plaza Padjajaran, dengan ketentuan dan syaratsyarat telah dituangkan pada Surat Perjanjian Borongan Nomor: 02/SPP/DU-PIP/VI/2006 tertanggal 21 Juni 2006. Karena wanprestasi mengenai hutang atas kelebihan pembayaran yang dilakukan PT. Padjajaran Indah Prima maka kedua belah pihak mengajukan permohonan kepada Badan Arbitrase Nasional Indonesia (yang selanjutnya
disebut
BANI)
perwakilan
Bandung.
Selanjutnya
permohonan tersebut diputus dengan Putusan Reg. No. 03/2007/BANI BANDUNG yang menyatakan bahwa PT. Padjajaran Indah Prima terbukti melakukan wanprestasi sehingga harus mengembalikan kelebihan pembayaran kepada PT. Pembangunan Perumahan. Selanjutnya, PT. Pembangunan Perumahan mengajukan pembatalan putusan BANI pada Pengadilan Negeri Sumedang yang selanjutnya dikabulkan melalui putusan No. 10/Pdt. G/2008 yang membatalkan Putusan Reg. No. 03/2007/BANI BANDUNG. Namun, yang digunakan untuk mengajukan permohonan pembatalan putusan BANI yakni putusan BANI tidak didaftarkan pada Pengadilan Negeri yang berwenang dalam waktu yang telah ditentukan oleh undang-undang dan karenanya melanggar Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang Arbitrase.Yang kemudian oleh Pengadilan Negeri Sumedang melalui putusan No.10/Pdt . G/2008/PN.Smd tanggal 12 Juni 2008 memutus sebagai berikut: a.
Menerima dan mengabulkan permohonan PT. Pembangunan Perumahan untuk seluruhnya;
b.
Membatalkan
Putusan
BANI
Reg.
No.
03/2007/BANI/BANDUNG tertanggal 17 Maret 2008; c.
Menyatakan
Putusan
BANI
Reg.
No.
03/2007/BANI/BANDUNG tertanggal 17 Maret 2008 tidak berkekuatan hukum;
51
d.
Menyatakan sengketa antara PT. Pembangunan Perumahan dan PT. Padjajaran Indah Prima tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase;
e.
Menghukum PT. Padjajaran Indah Prima untuk membayar biaya perkara; Pada dasarnya, upaya pembatalan terhadap putusan arbitrase itu
sendiri dimungkinkan dalam Undang-Undang Arbitrase, yaitu dalam Pasal 70 yang menyatakan terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut: a)
Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu;
b)
Setelah putusan diambil, ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan, atau;
c)
Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.
Dalam Pasal 71 Undang-Undang Arbitrase mengatur bahwa permohonan pembatalan putusan arbirase harus diajukan secara tertulis dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera Pengadilan Negeri. Selanjutnya, dalam Pasal 72 Undang-undang yang sama menjelaskan mengenai prosedur pembatalan sebagaimana berisi: a.
Permohonan pembatalan putusan arbitraseharus diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri;
b.
Apabila permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikabulkan, Ketua Pengadilan Negeri menentukan lebih lanjut akibat pembatalan seluruhnya atau sebagian putusan arbitrase;
c.
Putusan atas permohonan pembatalan ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari
52
sejak permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diterima; d.
Terhadap
putusan
Pengadilan
Negeri
dapat
diajukan
permohonan banding ke Mahkamah Agung yang memutus dalam tingkat pertama dan terakhir; e.
Mahkamah Agung mempertimbangkan serta memutuskan permohonan banding sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah permohonan banding tersebut diterima oleh Mahkamah Agung. Adapun permohonan pembatalan terhadap putusan arbitrase
diajukan kepada Pengadilan Negeri. Artinya, Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa apakah unsur-unsur dalam pasal 70 Undang-Undang Arbitrase terpenuhi atau tidak. Pemberian hak bagi pengadilan untuk mengintervensi kewenangan arbitrase dimungkinkan apabila dapat dibuktikan adanya tindakan-tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 Undang-Undang Arbitrase. Apabila suatu permohonan pembatalan putusan arbitrase diterima, maka pada prinsipnya kekuatan eksekutorial dari putusan arbitrase dengan sendirinya menjadi gugur dan kedudukan para pihak dalam persengketaan kembali surut pada keadaan semula. Hal ini menjadikan proses arbitrase yang telah dilalui para pihak menjadi siasia. Upaya hukukm yang dapat dilakukan dalam pembatalan putusan arbitrase adalah banding. Namun, tidak seperti proses peradilan pada umumnya yang pada tingkat banding diajukan ke pengadilan tinggi, dalam permohonan pembatalan putusan arbitrase banding diajukan ke Mahkamah Agung. Hal ini dikarenakan dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman pada pokoknya menyatakan bahwa putusan pengadilan tingkat pertama dapat dimintakan banding kepada pengadilan tinggi oleh
pihak-pihak
yang
bersangkutan,
kecuali
undang-undang
53
menentukan lain. Dalam hal ini Undang-Undang Arbitrase telah menentukan lain, dalam Pasal 70 bahwa upaya banding pada pembatalan putusan arbitrase diajukan ke Mahkamah Agung. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, pembatalan putusan arbitrase hanya dapat dilakukan berdasarkan alasan-alasan pada Pasal 70 Undang-Undang Arbitrase. Mahkamah Agung pun dalam Putusan No. 396 K/Pdt.Sus/2010 menegaskan bahwa pembatalan putusan arbitrase hanya dapat dilakukan dengan berdasarkan alasan-alasan dalam Pasal 70 Undang-Undang Arbitrase. Apabila ketua pengadilan menyatakan bahwa alasan-alasan tersebut tidak terbukti, hal ini dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan untuk menolak permohonan pembatalan. Sebaliknya, jika Pengadilan yang berwenang memeriksa permohonan
pembatalan
tersebut
mengabulkan
permohonan
pembatalan, Ketua Pengadilan dapat mengatur atau menentukan akibat dari pembatalan tersebut, baik seluruhnya atau sebagian dari putusan arbitrase yang dimohonkan pembatalanya. Ketua Pengadilan Negeri dapat pula memutuskan bahwa setelah diucapkan pembatalan, arbiter yang sama atau arbiter yang lain akan memeriksa kembali sengketa yang bersangkutan atau menentukan bahwa sengketa tersebut tidak mungkin lagi diselesaikan oleh arbitrase, sehingga Pengadilan Negeri harus menyelesaikannya. Putusan
Pengadilan
Negeri
Sumedang
No.10/Pdt
.
G/2008/PN.Smdyang hanya membatalkan putusan Arbitrase BANI Nomor: 03/2007/BANI
BANDUNG tentu saja mengakibatkan
putusan batal, maka kekuatan hukum yang mengikat antara kedua belah pihak telah gugur dan dianggap tidak pernah ada. Dengan adanya pembatalan putusan arbitrase tersebut tidak serta merta sengketa yang terjadi antara PT. Padjajaran Indah Prima dengan PT. Pembangunan Perumahan sudah selesai. Adapun prosedur yang dapat dilakukan kedua belah pihak berdasarkan Undang-Undang Arbitrase terdapat dalam Pasal 72 yang menyatakan bahwa: Apabila
54
permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikabulkan, Ketua Pengadilan Negeri menentukan lebih lanjut akibat pembatalan seluruhnya
atau
sebagian
putusan
arbitrase.
Penjelasannya
menyatakan: Ketua Pengadilan Negeri diberi wewenang untuk memeriksa tuntutan pembatalan jika diminta oleh para pihak, dan mengatur
akibat
dari pembatalan seluruhnya
atau sebagian
dari
putusan arbitrase bersangkutan. Ketua Pengadilan Negeri dapat memutuskan bahwa setelah diucapkan pembatalan, arbiter yang sama atau arbiter lain akan memeriksa kembali sengketa bersangkutan atau menentukan bahwa suatu sengketa tidak mungkin diselesaikan lagi melalui arbitrase. Ketentuan ini pun secara tersirat menunjukkan adanya kewenangan yang besar yang diberikan kepada pengadilan untuk memeriksa dan memutus suatu permohonan pembatalan putusan arbitrase. Maka seharusnya, dalam sengekta antara PT. Padjajaran Indah Prima dengan PT. Pembangunan Perumahan, Ketua Pengadilan Negeri Sumedang setelah mengeluarkan putusan pembatalan putusan BANI Nomor: 03/2007/BANI BANDUNG selanjutnya sesuai dengan Putusan Pengadilan Negeri Sumedang yang menyatakan bahwa sengketa tidak dapat diselesaikan lagi melalui Arbitrase maka hendaknya Pengadilan Negeri Sumedang menindaklanjuti dengan memeriksa dan mengadili sengketa tersebut.
2.
Akibat Hukum Keterlambatan Pendaftaran Putusan Arbitrase Penyelesaian
sengketa
melalui
Arbitrase
mengandung
konsekuensi yuridis, bahwa manakala putusan dari badan Arbitrase ini tidak ditaati secara suka rela oleh para pihak, maka pelaksanaan putusan tersebut dapat dimintakan eksekusinya ke Pengadilan Negeri. Dengan demikian pelaksanaan putusan badan Arbitrase tersebut dapat dipaksakan pelaksanaannya (execution force) melalui mekanisme eksekusi sebagaimana layaknya terhadap putusan Pengadilan Negeri
55
Pelaksanaan putusan Hakim (termasuk Hakim Arbitrase) atau eksekusi tersebut pada hakekatnya adalah realisasi daripada kewajiban pihak yang bersangkutan untuk memenuhi prestasi yang tercantum dalam putusan dimaksud (Soedikno Mertoksumo, 1981: 193). Dalam setiap putusan Arbitrase selalu diberi tenggang waktu untuk melaksanakan secara suka rela oleh pihak-pihak yang bersengketa, tenggang waktu tersebut tidak diatur secara limitatif diserahkan kepada kebijakan Arbiter. Manakala para pihak tidak mau melaksanakan putusan Arbitrase secara suka rela, maka para pihak dapat meminta pelaksanaan putusan Arbitrase tersebut secara paksa kepada Ketua Pengadilan Negeri (eksekusi). Pelaksanaan eksekusi putusan Arbitrase Nasional oleh Pengadilan Negeri ini digantungkan pada suatu syarat, bahwa putusan Arbitrase dalam tenggang waktu 30 hari sejak putusan diucapkan harus didaftarkan pada kepaniteraan Pengadilan Negeri. Undang-Undang
Arbitrase
mengatur
tentang
mekanisme
pendaftaran putusan arbitrase terkait dengan dapat atau tidak dapat dibatalkannya putusan tersebut dalam Pasal 70 hingga Pasal 72 yang pada pokoknya yaitu: Pertama, pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera Pengadilan Negeri. Pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera Pengadilan Negeri tujuannya adalah agar terhadap putusan dapat
dimintakan
eksekusi
apabila
para
pihak
tidak
mau
melaksaanakan putusan secara sukarela. Selama belum dilakukan pendaftaran putusan arbitrase, maka eksekusi tidak dapat diminta oleh pihak yang berkepentingan kepada Ketua Pengadilan Negeri (M. Yahya Harahap, 2006. Hal: 300). Arbiter atau kuasanya memiliki kewajiban untuk mendaftarkan putusan arbitrase di Kepaniteraan Pengadilan Negeri dalam waktu 30 hari terhitung sejak tanggal putusan diucapkan. Jadi dapat disimpulkan bahwa kewajiban dan tanggung jawab terhadap pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera Pengadilan Negeri, bukan dibebankan kepada para pihak (M.
56
Yahya Harahap, 2006. Hal: 301). Kedua, permohonan pembatalan putusan arbitrase diajukan secara tertulis kepada ketua pengadilan negeri. Apabila putusan arbitrase telah didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri sebagaimana diatur dalam pasal 59 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, maka pihak yang keberatan dapat mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase secara tertulis dalam waktu 30 hari terhitung sejak pendaftaran putusan arbitrase
di
Kepaniteraan Pengadilan
Negeri.
Ketiga, apabila
permohonan pembatalan dikabulkan, Ketua Pengadilan Negeri menentukan lebih lanjut akibat pembatalan seluruhnya atau sebagian putusan arbitrase. Kewajiban mendaftarkan putusan arbitrase juga diatur dalam Pasal 33 Prosedur Arbitrase BANI yang menyatakan bahwa
kerahasiaan
proses
arbitrase
tidak
berarti
mencegah
pendaftaran Putusan pada Pengadilan Negeri ataupun pengajuannya ke Pengadilan Negeri dimanapun dimana pihak yang menang dapat meminta
pelaksanaan
dan/atau
eksekusi
Putusan
tersebut
(http://www.baniarbitration.org/ina/procedures.php Diakses pada 31 Mei 2016 pukul 19.13 WIB). Sengketa antara PT. Padjajaran Indah Prima dengan PT. Pembangunan
Perumahan
dalam
mengajukan
permohonan
pembatalan putusan BANI menggunakan dasar-dasar sebagaimana pada pokoknya adalah: 1.
Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang Arbitrase disyaratkan bahwa asli Putusan Arbitrase haruslah didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal putusan diucapkan. Sedangkan yang dimaksud Pengadilan Negeri menurut Pasal 1 butir 4 Undang-Undang Arbitrase adalah Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal Termohon;
2.
Bahwa Termohon dalam Putusan BANI jelas-jelas diketahui berdomisili di Kabupaten Sumedang, tepatnya beralamat di Jalan
57
Raya Jatinangor Nomor 46, Desa Cibeusi, Kecamatan Jat inangor, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat; 3.
Bahwa pada kenyataannya Putusan BANI di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Bandung pada tanggal 14 April 2008 dan kemudian baru mendaftarkannya di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Sumedang pada tanggal 30 April 2008;
4.
Bahwa oleh karena itu pendaftaran Putusan BANI di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Bandung nyata-nyata melanggar ketentuan Pasal 59 ayat (1) jo Pasal 1 butir 4 Undang-Undang Arbitrase jo Pasal 33 Peraturan Prosedur BANI dimana seharusnya Putusan BANI didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Sumedang sesuai dengan domisili Termohon seperti telah disebutkan diatas;
5.
Di samping itu, walaupun kemudian putusan BANI didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Sumedang pada tanggal 30 April 2008, pendaftaran tersebut tidak sah dan sudah kadaluarsa karena telah melebihi batas waktu yang telah ditentukan oleh Pasal 59 ayat (1) Undang- Undang Arbitrase yaitu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal Putusan BANI diucapkan (17 Maret 2008) dimana seharusnya pendaftaran putusan BANI di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Sumedang dilakukan paling lambat tanggal 17April 2008; Terkait dengan pendaftaran putusan arbitrase di Pengadilan Negeri telah diatur dalam Pasal 59 Undang-Undang Arbitrase yang menyatakan bahwa:
1.
Dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal putusan diucapkan, lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri;
2.
Penyerahan dan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilakukan dengan pencatatan dan penandatanganan pada bagian akhir atau di pinggir putusan oleh Panitera Pengadilan Negeri dan arbiter
58
atau kuasanya yang menyerahkan, dan catatan tersebut merupakan akta pendaftaran; 3.
Arbiter atau kuasanya wajib menyerahkan putusan dan lembar asli pengangkatan sebagai arbiter atau salinan otentiknya kepada Panitera Pengadilan Negeri;
4.
Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), berakibat putusan arbitrase tidak dapat dilaksanakan. Penyerahan dan pendaftaran tersebut dilaksanakan dengan cara melakukan pencatatan dan penandatanganan pada bagian akhir atau di pinggir putusan oleh Panitera Pengadilan Negeri dan arbiter atau kuasanya yang menyerahkan, dan selanjutnya catatan tersebut menjadi dan merupakan akta pendaftaran. Pencatatan tersebut merupakan satusatunya dasar bagi pelaksanaan putusan arbitrase oleh pihak yang berkepentingan atas pelaksanaan putusan arbitrase tersebut, oleh karena Undang-Undang Arbitrase menentukan bahwa jika pencatatan tersebut tidak dilakukan sesuai atau dalam jangka waktu yang ditentukan, maka putusan arbitrase tersebut tidak dapat dilaksanakan. Selain itu Undang-Undang juga mewajibkan Arbiter atau kuasanya untuk menyerahkan putusan dan lembar asli pengangkatan sebagai Arbiter atau salinan otentiknya kepada Panitera Pengadilan Negeri. Perlu di sampaikan disini bahwa pendaftaran dan catatan tersebut akan menjadi sangat berguna bagi pihak yang berkepentingan atas pelaksanaan putusan arbitrase tersebut. Jika salah satu pihak dalam putusan arbitrase tidak melaksanakan putusan arbitrase tersebut secara sukarela. Dalam hal yang demikian maka atas permohonan dari pihak yang berkepentingan terhadap pelaksanaan putusan arbitrase tersebut, ketua Pengadilan Negeri dimana putusan tersebut didaftarkan dan dicatat, dapat menjatuhkan perintah pelaksanaan putusan arbitrase. Perintah pelaksanaan putusan arbitrase oleh ketua Pengadilan Negeri diberikan dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari
59
setelah permohonan eksekusi didaftarkan kepada Ketua Pengadilan Negeri. Permohonan ini harus diajukan kepada panitera pengadilan negeri, dan panitera yang menerima permohonan pendaftaran berkewajiban untuk membuat akta pendaftaran bersama-sama dengan arbiter atau kuasanya. Akta pendaftaran ini bukannya berbentuk akta tersendiri, namun hanya berupa pencatatan dan penandatanganan pada bagian akhir atau pinggir putusan. Dengan telah didaftarkannya putusan arbitrase, menjadi autentik, dan dapat dijalankan sebagaimana menjalankan
putusan
perdata
pengadilan
Negeri
yang
telah
mempunyai kekuatan hukum tetap. Apabila dalam waktu 30 hari tersebut
putusan
Arbitrase
tidak
didaftarkan
atau
terlambat
mendaftarkannya, maka sesuai dengan Pasal 59 ayat (4) UndangUndang Arbitrase, putusan Arbitrase tersebut tidak dapat dilaksanakan atau nonexecutable. Berbeda halnya dengan putusan Arbitrase Internasional tenggang waktu pendaftaran di Kepaniteraan Pengadilan Jakarta Pusat tidak dibatasi dengan waktu. Hanya saja dipersaratkan sebelum memohon eksekusi putusan Arbitrase Internasional tersebut putusan harus didaftarkan dulu. Pasal 71 Undang-Undang Arbitrase juga menentukan bahwa permohonan pembatalan putusan arbitrase harus dilakukan secara tertulisan dalam waktu paling lama tiga puluh hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan kepada Panitera Pengadilan Negeri. Ini berarti bahwa putusan arbitrase yang dapat dimohonkan untuk pembatalan adalah putusan arbitrase yang sudah didaftarkan pada Pengadilan Negeri. Dalam pelaksanaan suatu prosedur Arbitrase, Undang-Undang Arbitrase telah mengatur syarat-syarat maupun tata cara yang harus dilakukan dalam menjalankan pelaksanaan eksekusi atas putusan Arbitrase Nasional yang diatur dalam Pasal 59 sampai dengan 64 dari Undang-Undang Arbitrase. Sebelum eksekusi dilaksanakan UndangUndang memberi kewenangan kepada Ketua Pengadilan Negeri memeriksa terlebih dahulu putusan arbitrase. Demikian pula dalam
60
penjelasan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-Ketentuan
Pokok
Kekuasaan
Kehakiman,
disebutkan antara lain bahwa penyelesaian perkara di luar Pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui Arbitrase tetap diperbolehkan, akan tetapi putusan Arbitrase hanya mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah untuk eksekusi (executoir) dari Pengadilan. Bila Ketua Pengadilan Negeri menyatakan bahwa seluruh atau sebagian dari putusan badan Arbitrase tersebut tidak memenuhi persyaratan sehingga tidak dapat di eksekusi, tentunya memiliki dampak hukum yang serius terhadap suatu putusan Arbitrase akan tetapi tidak terbatas pada pembatalan terhadap putusan Arbitrase tersebut namun berdampak pada kandasnya segala atau sebagian dari proses penyelesaian sengketa Arbitrase dan pemeriksaan harus diulang seluruhnya atau sebagiannya (Imas Rosidawati Wiradirja, 2016: 14). Menurut penulis, dalam sengketa PT. Padjajaran Indah Prima dengan PT. Pembangunan Perumahan seharusnya Pengadilan Negeri Sumedang
tidak
G/2008/PN.Smd 03/2007/BANI
dapat yang
menjatuhkan
membatalkan
putusan putusan
No.10/Pdt
karena
.
putusan
BANDUNG tersebut terlambat di daftarkan di
Pengadilan Negeri Sumedang. Salah satu pihak tidak dapat mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase berdasarkan sebab-sebab lain karena syarat-syarat dalam Pasal70Undang-Undang Arbitrase adalah limitatif. Jika terdapat suatu putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang materinya mengenai terbuktinya alasan-alasan pembatalan putusan arbitrase sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 Undang-Undang Arbitrase yaitu putusan tersebut tentang terbuktinya dokumen palsu, dokumen yang disembunyikan, dan tipu muslihat; putusan pengadilan tersebut dapat dijadikan alasan untuk pembatalan putusan arbitrase dimaksud.Tetapi, apabila putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap itu materinya bertentangan
61
dengan putusan arbitrase dan bukan tentang terbuktinya alasan-alasan pembatalan putusan arbitrase sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 Undang-Undang Arbitrase, putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap itu tidak dapat menjadi alasan untuk mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase.Akibat dari keterlambatan pendaftaran tersebut seharusnya bukan menjadi alasan putusan arbitrase dapat dibatalkan karena hal tersebut melanggar Pasal 59 Undang-Undang Arbitrase bukan melanggar Pasal 70, namun putusan BANI tersebut sesuai dengan Pasal 59 ayat (4) Undang-Undang Arbitrase tidak dapat dilaksanakan atau di eksekusi.