BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Pelaksanaan Eksekusi Terhadap Benda Jaminan Fidusia Yang Tidak Didaftarkan 1. Pelaksanaan Perjanjian Antara Etik Sri Sulanjari dan PT Sinarmas Multifinance Pada tanggal 14 April 2011 Etik Sri Sulanjari mendatangi kantor PT. Sinarmas Multifinance cabang Surakarta di Jl. RM Said No. 142 Surakarta untuk mengajukan permohonan pinjaman sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah) dengan jaminan fidusia berupa sepeda motor Suzuki Skydrive No Polisi AD 2291 TU, Warna kuning metalic, atas nama Etik Sri Sulanjari. Sebelum PT Sinarmas Multifinance menerima permohonan pinjaman tersebut, PT Sinarmas Multifinance terlebih dahulu menyuruh surveyor dari PT tersebut untuk melakukan survey. Surveyor melaksanakan survey atau meneliti keadaan lingkungan Etik, dimana informasi tersebut dia dapatkan dari tetangga Etik, yang meliputi karakter, kondisi lingkungan, dan lain-lain. Setelah hal tersebut, Surveyor bertemu dengan Etik untuk menjelaskan tentang perjanjian Etik dengan PT Sinarmas Multifinance. Yang dijelaskan oleh surveyor adalah : a. Menjelaskan tentang asuransi kehilangan, yaitu sebesar 6% (enam persen) dari nilai barang untuk selama 2 (dua) tahun. b. Menjelaskan biaya adminsitrasi sebesar Rp. 300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah) untuk selama 2 (dua) tahun. c. Menjelaskan asuransi jiwa untuk nasabah. Yang nilainya sebesar 2% (dua persen) dari nilai pinjaman. d. Menjelaskan mengenai masa jatuh tempo, yaitu tergantung pencairan tanggal berapa, karena masa tenggang jatuh tempo berbeda-beda, tergantung berapa lama diambil, namun maksimal adalah 24 (dua puluh empat) bulan. e. Menjelaskan mengenai bunga sebesar 19% (sembilan belas persen) per tahun dengan bunga flat. f. Menjelaskan mengenai keterlambatan-keterlambatan, yaitu keterlambatan 3 (tiga) hari diberi SP-1 (Surat Peringatan 1), lalu keterlambatan 1 (satu) minggu diberi SP-2 (Surat Peringatan 2), keterlambatan 11 (sebelas) hari Sepeda Motor yang menjadi jaminan akan ditarik ke kantor.
Setelah menjelaskan hal-hal tersebut di atas, Etik Sri Sulanjari dan suaminya sudah sepakat (deal), dan kemudian Etik Sri Sulanjari tanda tangan di perjanjian. Selain tanda tangan dalam perjanjian, Etik Sri Sulanjari juga tanda tangan Kuasa untuk menitipkan unit apabila terlambat membayar 11 (sebelas) hari. Setelah sepeda motor ditarik oleh PT. Sinarmas Multifinance, masih ada jangka waktu 1 (satu) minggu untuk memberi kesempatan kepada Etik guna membayar keterlambatan, dan jika keterlambatan tersebut telah dibayar, maka sepeda motor akan dikembalikan kepada Etik, namun apabila keterlambatan tersebut tidak dibayar, maka sepeda motor Etik akan dilelang.Setelah surveyor ada kesepakatan (deal) dengan Etik, maka ada banyak dokumen-dokumen yang saksi buat untuk kelengkapannya, diantaranya adalah formulir pekerjaan. Surveyor, tidak memberitahu bahwa nasabah akan diikatkan di hadapan notaris, karena surveyor hanya memberitahu Etik mengenai hak-hak dan kewajibannya. Bahwa hak-hak dari nasabah, antara lain : a. Setelah pembayaran lunas, maka BPKB bisa diambil lagi. Jika pembayaran lancar, maka jika akan ambil pinjaman lagi akan dipermudah. b. Jika mengalami keterlambatan pembayaran, maka nasabah akan dikenakan denda 0,5% (setengah persen) dari angsuran berjalan;Unit sepeda motor yang ditarik oleh PT Sinarmas Multifinance dari Etik Sri Sulanjari tersebut saat ini belum dilelang. Setelah adanya kesepakatan tersebut, PT Sinarmas Multifinance memenuhi permohonan Etik Sri Sulanjari dengan memberi pinjaman sebesar Rp. 4.500.000,(empat juta lima ratus ribu rupiah) yang dibuat dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen dan Pemberian Jaminan secara Kepercayaan (Fidusia) Nomor : 911041101941, tanggal 15 April 2011. Dengan ketentuan bunga 33,1713% per tahun, dan jaminan, dalam jangka waktu 24 bulan dan mewajibkan Etik Sri Sulanjari untuk membayar angsuran utang pokok dan bunganya sebesar Rp. 297.000,- (dua ratus sembilan puluh tujuh ribu rupiah) pada selambat-lambatnya tanggal 15 setiap bulannya. Perjanjian Pembiayaan Konsumen dan Pemberian Jaminan secara Kepercayaan (Fidusia) Nomor : 911041101941 dilaksanakan dengan jaminan fidusia berupa sepeda motor Suzuki Skydrive No Polisi AD 2291 TU, Warna kuning metalic, atas nama Etik Sri Sulanjari. Perjanjian Pembiayaan Konsumen dan Pemberian Jaminan secara Kepercayaan (Fidusia) Nomor: 911041101941 dibuat dan ditanda tangani oleh PT Sinarmas Multifinance dan Etik Sri Sulanjari secara sadar dan untuk mengikatkan diri pada
perjanjian tersebut. Untuk mengetahui keabsahan dari suatu perjanjian, maka haruslah terlebih dahulu menguraikan seluruh unsur syarat sahnya perjanjian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disingkat KUH Perdata), yaitu: "Untuk sahnya suatu perjanjian dipertukan empat syarat: sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu hal tertentu, suatu sebab yang halal”. a. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya. Bahwa Perjanjian Pembiayaan Konsumen dan Pemberian Jaminan secara Kepercayaan (Fidusia) Nomor: 911041101941 antara PT Sinarmas Multifinance dan Etik Sri Sulanjari dilaksanakan atas permohonan (inisiatif) dari Etik Sri Sulanjari, kemudian PT Sinarmas Multifinance menyetujui permohonan tersebut. PT Sinarmas Multifinance dan Etik Sri Sulanjari (dengan persetujuan dari suaminya) sepakat dan menyetujui seluruh isi dan syarat dalam perjanjian, sehingga syarat "sepakat mereka yang mengikatkan dirinya" telah terpenuhi. b. kecakapan untuk membuat suatu perikatan. PT Sinarmas Multifinance merupakan Badan Hukum yang didirikan berdasarkan Hukum Indonesia, oleh karenanya harus dipandang sebagai Subjek Hukum yang mandiri dan cakap melakukan perbuatan hukum. Bahwa Etik Sri Sulanjari merupakan orang perorangan yang telah dewasa, telah menikah dan tidak berada dalam keadaan pailit atau dibawah pengampuan, oleh karenanya Etik Sri Sulanjari harus dipandang cakap hukum. Sehingga syarat "kecakapan untuk membuat perjanjian" telah terpenuhi. c. suatu hal tertentu. Suatu perjanjian harus mengatur tentang "suatu hal tertentu". Pasal 1234 KUH Perdata mengatur bahwa tujuan dari suatu perikatan/perjanjian adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu. Bahwa tujuan Etik Sri Sulanjari mengajukan pemohonan pembiayaan kepada Pemohonan Keberatan adalah agar Etik Sri Sulanjari memperoleh dana yang akan dipergunakan untuk kebutuhannya. Sebagai pelaksanaan (prestasi) perjanjian tersebut, PT Sinarmas Multifinance memberikan uang sejumlah Rp4.500.000,00 (empat juta lima ratus ribu rupiah) kepada Etik Sri Sulanjari. Sedangkan Etik Sri Sulanjari berkewajiban untuk membayar angsuran uang pokok dan bunga. Dengan demikian syarat ke-3, "suatu hal tertentu" telah terpenuhi. d. suatu sebab yang halal.”
Untuk menentukan apakah objek perjanjian memenuhi unsur "suatu sebab yang halal”, maka harus mempertimbangkan batasan yang diatur dalam Pasal 1337 KUH Perdata, yang berbunyi "Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum". Tidak ada satu peraturan perundang-undangan maupun norma sosial pun yang mengatur tentang dilarangnya melakukan Perjanjian Pembiayaan Konsumen dan Pemberian Jaminan secara Kepercayaan (Fidusia), maupun Perjanjian Refinancing. Berdasarkan Pasal 2 Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan, Perusahaan yang bergerak di bidang Lembaga Pembiayaan terdiri dari 3 jenis, yaitu : Perusahaan Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, danPerusahaan Pembiayaan Infrastruktur. PT Sinarmas Multifinance merupakan Perusahaan yang bergerak dibidang Pembiayaan dengan kegiatan usaha berupa : Sewa Guna Usaha (leasing), AnjakPiutang, Usaha Kartu Kredit dan/atau Pembiayaan Konsumen. Bahwa dengan demikianPT Sinarmas Multifinance
bukan
Perusahaan
Pembiayaan
Infrastruktur,
dan
tidak
terikatdengan larangan dalam Pasal 5 Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 tentangLembaga
Pembiayaan;Bahwa
Surat
Penawaran
Kredit
Nomor:
OL.040/2011/CM/CR-AO/HT., tanggal19 Februari 2011, terjadi hubungan antara PT Sinarmas Multifinance dengan PT. BANKSINARMAS, TBK. PT Sinarmas Multifinance merupakan agen dari PT. BANK SINARMAS,TBK. untuk memberikan kredit kepada masyarakat, sehingga Perbuatan hukumPT Sinarmas Multifinance
memberikan
Pembiayaan
kepada
Etik
Sri
Sulanjari
sah
menuruthukum dan memenuhi syarat "suatu sebab yang halal". Berdasarkan uraian tersebut di atas, Perjanjian Pembiayaan Konsumendan Pemberian Jaminan secara
Kepercayaan (Fidusia)
Nomor:
911041101941
telahmemenuhi seluruh syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata dan oleh karenanya mempunyai kekuatan mengikat PT Sinarmas Multifinance danEtik Sri Sulanjari. Pelaksanaan perjanjian antara kedua belah pihak tersebut selanjutnya akan ditinjau dengan asas-asas umum dalam hukum perjanjian untuk mengetahui terpenuhi atau tidaknya asas-asas dalam perjanjian tersebut. AsasAsas tersebut sebagai berikut: a. Asas Personalia Asas ini diatur dan dapat kita temukan dalam ketentuan Pasal 1315 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang berbunyi “Pada umumnya tak seorangpun
dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkan suatu janji selain untuk dirinya sendiri”. Dari rumusan tersebut dapat kita ketahui bahwa pada dasarnya suatu perjanjian yang dibuat oleh seorang dalam kapasitasnya sebagai individu, subyek hukum pribadi, hanya akan berlaku dan mengikat untuk dirinya sendiri (Kartini Mulyadi dan Gunawan Widjaja, 2003 : 14-15). Secara spesifik ketentuan Pasal 1315 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ini menunjukan pada kewenangan bertindak sebagai individu pribadi sebagai subyek hukum pribadi yang mandiri, yang memiliki kewenangan bertindak untuk dan atas nama dirinya sendiri. Perjanjian yang dibuat antara PT. Sinar Mas Multifinance dengan Etik Sri Sulanjari tidak bertentangan dengan asas personalia ini, dimana PT. Sinar Mas Multifinace (kreditur) merupakan Badan Hukum yang didirikan berdasarkan Hukum Indonesia, maka bisa dipandang sebagai Subjek Hukum yang mandiri dan cakap melakukan perbuatan hukum. Sedangkan, Etik Sri Sulanjari (debitur) merupakan orang perorangan yang telah dewasa, telah menikah dan tidak berada dalam keadaan pailit atau dibawah pengampuan, sehingga dapat dipandang cakap hukum. b. Asas Konsesualitas Perjanjian lahir atau terjadi dengan adanya kata sepakat (Pasal 1320, Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata), kesepakatan atau konsensus berarti kesesuaian, kecocokan, pertemuan kehendak dari yang mengadakan perjanjian atau pernyataan kehendak yang disetujui antara pihak-pihak (Handri Raharjo, 2009: 47). Kesepakatan itu penting diketahui karena merupakan awal terjadinya perjanjian. Ketentuan yang mengatur mengenai konsensualitas ini dapat kita temui dalam rumusan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang berbunyi : “Untuk sahnya perjanjian-perjanjian, diperlukan empat syarat : 1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri; 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. Suatu pokok persoalan tertentu; 4. Suatu sebab yang tidak terlarang.” (Kartini Mulyadi dan Gunawan Widjaja, 2003 : 35). Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak memberikan rumusan lebih jauh mengenai formalitas kesepakatan yang harus dipenuhi, kecuali dalam berbagai ketentuan khusus, seperti misalnya mengenai hibah yang diatur dalam Pasal 1683 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam perjanjian Pembiayaan Konsumen
dan Pemberian Jaminan secara kepercayaan (Fidusia) antara PT. Sinar Mas Multifinance dengan Etik Sri Sulanjari diketahui bahwa perjanjian dilaksanakan atas permohonan (inisiatif) dari debitur, kemudian kerditur menyetujui permohonan tersebut. PT. Sinar Mas Multifinance (kreditur) dan Etik Sri Sulanjari (debitur) (dengan persetujuan dari suaminya yang bernama Yulias Pribadi sepakat dan menyetujui seluruh isi dan syarat dalam perjanjian, sehingga syarat “kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya” atau “konsensualitas” telah terpenuhi. c. Asas Kebebasan Berkontrak Latar belakang lahirnya asas kebebasan berkontrak berkaitan erat dengan lahirnya paham individualisme. Paham individualisme secara embrional lahir pada zaman Yunani yang kemudian diteruskan oleh kaum epicuristen dan berkembang pesat pada zaman Renaissance melalui ajaran-ajaran Hugo de Groot, Thomas Hobbes, John Locke dan Rousseau (Salim H.S, 2003:9). Asas Kebebasan berkontrak terdapat dalam Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Kebebasan dalam membuat perjanjian dimana para pihak dapat dengan bebas mengatur hak dan kewajiban dalam perjanjian yang disepakati. Menurut Subekti (2005: 13) dalam Bukunya Hukum Perjanjian, asas Kebebasan Berkontrak adalah suatu asas yang menyatakan bahwa setiap orang pada dasarnya boleh membuat kontrak (perjanjian) yang berisi dan macam apapun asal tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Sjahdeini (1993:41), menyebutkan adanya batas-batas kebebasan berkontrak, yaitu bila suatu kontrak melanggar peraturan perundang-undangan atau suatu public policy, maka kontrak tersebut menjadi illegal. Apa yang dimaksud dengan
public policy amat
tergantung kepada nilai-nilai yang ada dalam suatu masyarakat. Kebebasan berkontrak bukan berarti para pihak dapat membuat kontrak (perjanjian) secara bebas, akan tetapi tetap mengindahkan syarat-syarat sahnya pernjanjian, baik syarat umum sebagaimana yang ditentukan oleh Pasal 1320 Kitab UndangUndang Hukum Perdata, maupun syarat khusus untuk perjanjian-perjanjian tertentu. d. Asas Perjanjian Berlaku Sebagai Undang-Undang (Pacta Sun Servanda) Asas perjanjian berlaku sebagai undang-undang atau disebut juga asas Pacta Sun Servanda, bahwa perjanjian mengikat pihak-pihak yang mengadakannya atau setiap perjanjian harus ditaati dan ditepati. Asas ini tercantum dalam Pasal yang
sama dengan Pasal yang berisi Asas Kebebasan berkontrak yakni Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ini, menyatakan bahwa : “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Pemuatan dua asas hukum, yaitu asas kebebasan berkontrak dan asas mengikat sebagai undang-undang
di dalam satu Pasal yang sama,
menurut logika hukum berarti: 1) Kedua asas hukum tersebut tidak boleh bertentangan satu dengan yang lainnya; 2) Kontrak baru akan mengikat sebagai undang-undang bagi para pihak dalam kontrak tersebut, apabila di dalam pembuatannya terpenuhi asas kebebasan berkontrak yang terdiri atas lima macam kebebasan. Asas bahwa para pihak harus memenuhi apa yang mereka terima sebagai kewajiban masing-masing karena persetujuan merupakan undang-undang bagi pihak-pihak yang mengadakannya dan kekuatan mengikatnya dianggap sama dengan kekuatan undang-undang, sehigga istilah Pacta Sun Servanda berarti “janji itu mengikat”. Terikatnya para pihak pada perjanjian itu tidak semata-mata terbatas pada apa yang diperjanjikan, akan tetapi juga terhadap beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan secara moral. Berdasarkan asas Kebebasan Berkontrak dan asas Pacta Sunt Servanda sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, maka PT. Sinar Mas Multifinance dan Etik Sri Sulanjari bebas untuk membuat perjanjian dengan bentuk dan isi yang disepakati. Dengan telah disepakatinya perjanjian Pembiayaan Konsumen dan Pemberian Jaminan secara Kepercayaan (fidusia) Nomor : 911041101941 memiliki kekuatan mengikat seperti mengikatnya Undang-Undang kepada PT. Sinar Mas Multifinance dan Etik Sri Sulanjari. Dalam perjanjian Pembiayaan tersebut diketahui bahwa tujuan debitur mengajukan permohonan pembiayaan kepada kreditur adalah agar debitur memperoleh dana yang akan dipergunakan untuk kebutuhannya. Sebagai pelaksanaan (prestasi) perjanjian tersebut, kreditur memberikan uang sejumlah Rp. 4.500.000,- (empat juta lima ratus ribu rupiah) kepada debitur. Sedangkan debitur berkewajiban untuk membayar angsuran pokok dan bunganya. e. Asas Etikad Baik Pasal 1338 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa: “Perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Rumusan tersebut
memberikan arti pada kita semua bahwa sebagai sesuatu yang disepakati dan disetujui oleh para pihak, pelaksanaan prestasi dalam tiap-tiap perjanjian harus dihormati sepenuhnya, sesuai dengan kehendak para pihak pada saat perjanjian ditutup (Kartini Mulyadi dan Gunawan Widjaja, 2003 : 79). Itikad baik ada dua, yakni : 1) Bersifat objektif, artinya mengindahkan kepatutan dan kesusilaan. 2) Bersifat subjektif, artinya ditentukan sikap batin seseorang.
2. Dasar Hukum Kreditur Melaksanaan Eksekusi Menurut Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia tersirat bahwa ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata menganut asas kebebasan berkontrak yang menyatakan bahwa semua kontrak (perjanjian) yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya (Mariam Darus Badrulzaman, 2001:84). Adapun yag menjadi sumber dari kebebasan berkontrak adalah kebebasan individu sehingga yang merupakan titik tolaknya adalah kepentingan individu. Berdasarkan uraian tersebut dapat dipahami bahwa kebebasan individu memberikan kepadanya kebebasan untuk berkontrak namun kontrak yang dibuatnya tersebut juga tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, norma kesopanan dan ketertiban umum. Berlakunya asas konsensualisme menurut hukum perjanjian Indonesia memantapkan adanya asas kebebasan berkontrak. Tanpa adanya kata sepakat dari salah satu pihak yang membuat perjanjian, maka perjanjian yang dibuat dapat dibatalkan. Orang tidak dapat dipaksakan kehendaknya untuk sepakat atas suatu perjanjian (R.Subekti, 2005:3). Sepakat yang diberikan dengan paksa adalah Contradictio interminis. Apabila dalam suatu perjanjian kemudian terjadi paksaan, menunjukkan tidak adanya sepakat. Maka yang mungkin dilakukan oleh pihak lain adalah untuk memberikan pilihan kepadanya, yaitu untuk setuju mengikatkan diri pada perjanjian yang dimaksud, atau menolak mengikatkan diri pada perjanjian dengan akibat transaksi yang diinginkan tidak terlaksana (take it or leave it). Mengenai pembatasan terhadap asas kebebasan berkontrak dapat disimak dalam ketentuan yang tercantum Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yang menyatakan bahwa suatu perjanjian hanya dilaksanakan dengan itikad baik. Oleh karena itu para pihak tidak dapat menentukan sekehendak hatinya klausul-klausul yang terdapat dalam perjanjiian tetapi harus didasarkan dan dilaksanakan dengan itikad baik. Perjanjian
yang didasarkan pada itikad buruk misalnya penipuan mempunyai akibat hukum perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Mengenai isi perjanjian pada dasarnya adalah ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat yang telah diperjanjikan oleh pihak-pihak. Menurut Pasal 1347 KUHPerdata, elemen-elemen dari suatu perjanjian meliputi : a. Isi perjanjian itu sendiri b. Kepatutan c. Kebiasaan d. Undang-udang Berdasarkan Pasal 1243 KUHPerdata jo. Pasal 1763 KUHperdata, adapun faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya cidera janji atau juga dikenal dengan istilah wanprestasi oleh seorang debitur adalah sebagai berikut: a. Telah lalai dalam memenuhi suatu perjanjian; b. Tidak menyerahkan atau membayar dalam jangka waktu yang ditentukan; c. Tidak berbuat sesuai yang telah diperjanjikan dalam tenggat waktu yang ditentukan; d. Tidak mengembalikan pinjaman sesuai dengan jumlah pinjaman dalam waktu yang ditentukan. Eksekusi atas barang jaminan dalam hal terjadinya wanprestasi tehadap pembayaran angsuran oleh konsumen dilakukan oleh lembaga pembiayaan sebagai pemberi fasilitas. Lembaga pembiayaan mengambil kembali barang jaminan pada dasarnya sesuai dengan klausul perjanjian yang sudah disepakati tentang Hak dan Kewajiban atas Barang Jaminan. Bahkan dalam klausula perjanjian disebutkan bahwa apabila terjadi sesuatu pada barang kendaraan bermotor baik seluruh ataupun sebagian yang menyebabkan musnahnya barang karena sebab apapun, termasuk pada keadaan memaksa (overmacht) sekalipun, pembeli wajib membayar kerugian kepada penjual sejumlah harga yang disesuaikan dengan nilai barang kendaraan bermotor tersebut. Akta perjanjian pembiayaan konsumen dalam praktek berbentuk perjanjian baku (standard contract), dengan judul Surat Perjanjian Pembiayaan konsumen. Lembaga Pembiayaan Konsumen tersebut menyodorkan bentuk perjanjian yang berbentuk formulir dengan klausul-klausul yang sudah ada. Akta perjanjian itu dapat langsung mengikat para pihak apabila konsumen setuju mengenai klausul-klausul dari akta perjanjian melalui pembubuhan tanda tangani kedua belah pihak. Dalam suatu akta perjanjian diterangkan hubungan yang dikehendaki para pihak antara lembaga pembiayaan sebagai pihak pertama atau pelaku usaha atau penjual, dengan konsumen atau disebut pembeli atau pihak kedua selanjutnya disebut pembeli. Kemudian dalam
akta tersebut dinyatakan bahwa penjual telah menyerahkan kepada pembeli, sebagaimana pembeli telah menerima dari penjual atas dasar perjanjian pembiayaan konsumen.Berdasakan klausul-klausul tersebut di atas, PT Sinarmas Multifinance selaku pihak kreditur merasa Etik Sri Sulanjari selaku debiturnya telah cidera janji atau bisa dikatakan wanprestasi. Bisa dikatakan cidera janji karena : a.
PT Sinarmas Multifinance memenuhi permohonan Etik Sri Sulanjari dengan memberi pinjaman sebesar Rp. 4.500.000,- (empat juta lima ratus ribu rupiah) yang dibuat dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen dan Pemberian Jaminan secara Kepercayaan (Fidusia) Nomor : 911041101941, tanggal 15 April 2011. Dengan ketentuan bunga 33,1713% per tahun, dan jaminan, dalam jangka waktu 24 bulan dan mewajibkan Etik Sri Sulanjari untuk membayar angsuran utang pokok dan bunganya sebesar Rp. 297.000,- (dua ratus sembilan puluh tujuh ribu rupiah) pada selambatlambatnya tanggal 15 setiap bulannya 3.
b.
Perjanjian Pembiayaan Konsumen dan Pemberian Jaminan secara Kepercayaan (Fidusia) Nomor : 911041101941 dilaksanakan dengan jaminan fidusia berupa sepeda motor Suzuki Skydrive No Polisi AD 2291 TU, Warna kuning metalic, atas nama Etik Sri Sulanjari.
c.
Pada angsuran ke-9 yang jatoh tempo pada tanggal 15 Januari 2012,Termohon Keberatan mengalami keterlambatan pembayaran. Termohon Keberatan baru membayar angsuran pada tanggal 8 Pebruari 2012. Bahwa pada angsuran ke-10 (jatoh tempo tanggal 15 Pebruari 2012) dan angsuran ke-11 (jatoh tempo tanggal 15 Maret 2012), Etik Sri Sulanjari tidak melaksanakan kewajibannya membayar angsuran utang pokok dan bunganya kepada PT Sinarmas Multifinance
d.
Pada tanggal 15 Maret 2012, PT Sinarmas Multifinance telah melakukan penagihan angsuran ke-10 dan ke-11 kepada Etik Sri Sulanjari, tetapi Termohon Keberatan tetap tidak dapat melaksanakan kewajibannya. Karena berdasarkan hal-hal tersebut, PT Sinarmas Multifinance melakukan
eksekusi terhadap barang jaminan tersebut secara langsung. Karena Etik Sri Sulanjari dianggap telah cidera janji terhadap perjanjian yang telah disetujui sebelumnya. Maka dalam hal dapat diketahui bahwa kreditur melakukan eksekusi secara langsung dengan kekuasaannya sendiri tanpa putusan pengadilan sebagaimana yang selama ini dilakukan terhadap debitur yang cidera janji. Sementara itu, menurut Undang-Undang Jaminan Fidusia bahwa yang dapat melakukan eksekusi secara langsung hanyalah bentuk perjanjian yang mempunyai kekuatan eksekutorial. Kekuatan eksekutorial ini
didapatkan dari Sertifikat Jaminan Fidusia. Dapat diketahui dalam hal klausula sebagaimana tersebut di atas menjelaskan risiko yang terjadi dalam perjanjian ini dibebankan pada Pembeli sepenuhnya. Hal ini diasumsikan sesuai dengan ketentuan Pasal 1460 KUH Perdata, bahwa risiko terhadap penjualan barang yang sudah ditentukanditanggung pembeli, meskipun penyerahannya belum dilakukan dan penjual berhak menuntut harganya. Sehubungan dengan itu bahwa ada kecenderungan pihak kreditur melakukan tindakan sepihak kepada debitur yang cidera janji khususnya dalam melaksanakan eksekusi. Hal ini tentunya merugikan pihak konsumen karena posisinya berada di pihak yang lemah. Berdasarkan asas kebebasan berkontrak, kedua belah pihak dapat menetapkan kehendaknya masing-masing sehingga tercapai persesuaian kehendak atau kesepakatan antara kedua belah pihak. Kesepakatan kedua belah pihak tersebut mencerminkan asas konsesualisme perjanjian (R.Subekti 2005:14). Dengan demikian isi dari perjanjian pembiayaan konsumen tidak hanya ditetapkan oleh para pihak berdasarkan kesepakatan atau asas konsensualisme, tetapi juga berdasarkan asas keadilan, kepatutan dan itikad baik.
3. Pelaksanaan Eksekusi Jaminan Fidusia Yang Tidak di Daftarkan Salah satu ciri dari jaminan hutang kebendaan adalah manakala hak tanggungan tersebut dapat dieksekusi secara cepat dengan proses yang sederhana, efisien dan mengandung kepastian hukum. Barang tersebut boleh dijual dimuka umum, atau dijual dibawah tangan, asalkan dilakukan dengan beritikad baik dengan cara yang commercially reasonable (Munir Fuady, 2003:57). Sehubungan dengan penerapan asas perjanjian pacta sun servanda yang menyatakan bahwa perjanjian yang dibuat oleh pihak-pihak yang bersepakat akan menjadi undang-undang bagi keduanya, tetap berlaku dan menjadi asas utama dalam hukum perjanjian. Tetapi terhadap perjanjian yang memberikan penjaminan Fidusia dibawah tangan tidak dapat dilakukan eksekusi. Proses eksekusi harus dilakukan dengan cara mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri melalui proses hukum acara yang normal hingga turunnya putusan pengadilan. Inilah pilihan yang prosedural hukum formil agar dapat menjaga keadilan dan penegakan terhadap hukum materiil yang dikandungnya. Selama ini sebelum keluarnya Undang-undang Jaminan Fidusia, tidak ada kejelasan mengenai bagaimana caranya mengeksekusi objek Jaminan Fidusia. Oleh karena tidak ada ketentuan yang mengaturnya, banyak yang menafsirkan eksekusi
objek Jaminan Fidusia dengan memakai prosedur gugatan biasa (lewat pengadilan dengan prosedur biasa) yang panjang, mahal dan melelahkan (Rachmadi Usman, 2008:229). Selanjutnya dengan lahirnya Undang-undang Jaminan Fidusia, hal ini semakin mempermudah dan memberi kepastian bagi kreditur dalam pelaksanakan eksekusi. Salah satu ciri Jaminan Fidusia yang kuat itu mudah dan pasti dalam pelaksanaan eksekusinya, jika debitur (konsumen) cedera janji. Eksekusi Jaminan Fidusia sering sekali terjadi di dalam praktek dan memberikan dampak negatif berupa bantahan, ataupun perlawanan. Pelaksanaan eksekusi jaminan Fidusia dengan tujuan untuk
menyelenggarakan
eksekusi
secara
aman,
tertib,
lancar,
dan
dapat
dipertanggungjawabkan untuk melindungi keselamatan penerima Jaminan Fidusia, pemberi Jaminan Fidusia, dan/atau masyarakat dari perbuatan yang dapat menimbulkan kerugian harta benda dan/atau keselamatan jiwa. Pelaksanaan eksekusi Jaminan Fidusia kemudian diatur dalam UUJF. Salah satu cara eksekusi terhadap benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia yang di daftarkan dapat dilakukan dengan cara pelaksanaan titel eksekutorial. Sertifikat Jaminan Fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, sehingga ketika debitur cidera janji, kreditur dengan menggunakan sertifikat Jaminan Fidusia tersebut langsung dapat melaksanakan eksekusi tanpa melalui pengadilan dan bersifat final serta mengikat, para pihak untuk melaksanakan putusan tersebut. Untuk melaksanakan eksekusi atas Jaminan Fidusia dimaksud harus memenuhi persyaratan tertentu, yaitu: ada permintaan dari pemohon, objek tersebut memiliki akta Jaminan Fidusia, objek Jaminan Fidusia terdaftar pada kantor pendaftaran fidusia, objek Jaminan Fidusia memiliki setifikat Jaminan Fidusia, dan jaminan Fidusia berada di wilayah negara Indonesia. Meskipun UUJF tidak menyebutkan eksekusi lewat gugatan ke pengadilan, tetapi tentunya pihak kreditur dapat menempuh prosedur eksekusi lewat gugatan ke pengadilan. Sebab, keberadaan UUJF dengan model-model eksekusi khusus tidak untuk meniadakan hukum acara yang umum. Tidak ada indikasi sedikit pun dalam UUJF yang bertujuan meniadakan ketentuan hukum acara umum tentang eksekusi umum lewat gugatan ke pengadilan negeri yang berwenang. Lembaga Pembiayaan Konsumen tersebut
dalam
melakukan perjanjian
penjaminan benda bergerak telah memenuhi prinsip dari Jaminan Fidusia. Namun demikian, tidak semuanya memenuhi standar yuridis untuk disebut sebagai Jaminan Fidusia, karena di dalam ketantuan Pasal 37 ayat (3) Undang-undang Jaminan Fidusia
mengatur “jika dalam waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) pasal ini tidak dilakukan penyesuaian, maka perjanjian Jaminan Fidusia tersebut bukan merupakan hak agunan atas kebendaan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini. ” Berdasarkan ketentuan dalam pasal ini berarti dapat diketahui bahwa apabila bentuk perjanjian tidak sesuai dengan UUJF, maka perjanjian jaminan tersebut bukan merupakan jaminan atas benda bergerak. Berdasarkan ketentuan pasal 29 ayat (1) Undang-undang Nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, eksekusi jaminan fidusia dapat dilakukan dengan cara: a) Secara fiat eksekusi (dengan memakai titel eksekutorial), yang lewat suatu penetapan pengadilan. Eksekusi ini dibenarkan oleh Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jarninan Fidusia karena menurut pasal 15 ayat (2) Undangundang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia, sertifikat Jaminan Fidusia menggunakan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” yang berarti kekuatannya sama dengan kekuatan putusan pengadilan yang bersifat tetap. Irah-irah ini memberikan titel eksekutorial dan berarti akta tersebut tinggal dieksekusi tanpa harus melalui suatu putusan pengadilan. Karena itu, yang dimaksud dengan fiat eksekusi adalah eksekusi atas sebuah akta seperti mengeksekusi suatu putusan pengadilan yang telah berkekuatan pasti, yakni dengan cara meminta fiat dari ketua pengadilan dengan cara memohon penetapan dari ketua pengadilan untuk melakukan eksekusi. Ketua pengadilan akan memimpin eksekusi sebagaimana dimaksud dalam HIR. Eksekusinya didasarkan atas Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-undang Jaminan Fidusia, yaitu berdasarkan kekuatan eksekutorial dari Sertifikat Jaminan Fidusia sesuai Pasal 15 ayat (1) Undang-undang Jaminan Fidusia yang berarti mempunyai kekuatan sebagai keputusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap maka pelaksanaannya juga harus mengikuti prosedur pelaksanaan suatu keputusan pengadilan sebagaimana yang diatur dalam Bagian Kelima Bab IX HIR tentang menjalankan putusan Hakim (J. Satrio, 2002: 320) b) Secara parate eksekusi, yaitu dengan menjual (tanpa perlu penetapan pengadilan) di depan pelelangan umum. Adapun pengertian parate eksekusi kurang lebih adalah merupakan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang atau oleh putusan pengadilan kepada salah satu pihak untuk melaksanakan sendiri secara paksa isi perjanjian atau putusan hakim manakala pihak lainnya cidera janji atau wanprestasi (Sibarani Bachtiar,2001:21).
PT Sinarmas Multifinance dalam hal ini melakukan pelaksanakan esksekusi terhadap barang Jaminan fidusia secara langsung dengan memberikan perintah kepada 5 orang staff pegawainya untuk mengeksekusi barang Jaminan Fidusia tersebut secara langsung. Mereka mendatangi kantor tempat kerja dimana Etik Sri Sulanjari bekerja dan memnta agar Etik memberikan barang jaminan fidusia tersebut beserta STNKnya. Meskipun Etik tidak mau karena saaat itu pelaksanaan eksekusi hanya menggunakan surat perintah dari PT Sinarmas Multifinance saja dan tidak ada dokumen lain yang menguatkan pelaksanaan eksekusi tersebut. Pasal 30 Undang-undang Jaminan Fidusia menentukan bahwa : “Pemberi Fidusia wajib menyerahkan benda yang menjadi objek jaminan fidusia dalam rangka pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia”. Dalam hal pemberi fidusia tidak menyerahkan benda yang menjadi objek jaminan fidusia pada waktu eksekusi dilaksanakan, maka penerima fidusia berhak mengambil benda yang menjadi objek jaminan fidusia, dan apabila perlu dapat meminta bantuan pihak yang berwenang (Bachtiar Sibarani, 2001:22). Tetapi lain halnya jika jaminan fidusia itu sendiri belum didaftarkan, pelaksanaan eksekusi tersebut akan batal secara hukum. Karena tidak adanya kekuatan hukum yang mendasari pelaksanaan eksekusi tersebut. Tetapi, pihak PT Sinarmas Multifinance tetap memaksa agar Etik dapat menyerahkan barang jaminan tersebut. Perjanjian Jaminan Fidusia merupakan perjanjian yang bersifat accessoir atau perjanjian tambahan/perjanjian ikutan, untuk itu perjanjian pokoknya tetap sah meskipun perjanjian jaminannya pembebanan bendanya tidak menggunakan akta otentik dan tidak didaftarkan, tetapi untuk tindakan eksekutorialnya tidak dapat dilaksanakan dengan lembaga parate executie (eksekusi langsung), karena seperti yang dicantumkan dalam Pasal 15 ayat (2) UUJF, yang menyatakan bahwa “Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”. Lebih lanjut Pasal 15 ayat (3) UUJF menyatakan bahwa “Apabila debitur cidera janji, lembaga pembiayaan mempunyai hak menjual Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaannya sendiri”. Berdasarkan uraian pasal di atas dapat dilihat bahwa hanya yang memiliki Sertifikat Jaminan Fidusia yang dibuat dengan akta otentik dan didaftarkan saja mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Oleh karena itu, bagi perjanjian dengan jaminan fidusia yang tidak didaftarkan ketika debitur wanprestasi atau cidera janji tidak dapat menggunakan lembaga parate executie (eksekusi langsung), tetapi proses eksekusinya
tetap harus dilakukan dengan cara mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri melalui proses Hukum Acara Perdata hingga turunnya putusan hakim. Menurut Sudikno Mertokusumo bahwa putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap adalah putusan yang menurut ketentuan undang-undang tidak ada kesempatan lagi untuk menggunakan upaya hukum biasa untuk melawan putusan tersebut (Sudikno Mertokusumo, 1993:2). Sebaliknya, putusan yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap adalah putusan yang menurut ketentuan undang-undang masih terbuka kesempatan untuk menggunakan upaya hukum untuk melawan putusan tersebut misalnya verzet, banding dan kasasi. Pada dasarnya suatu putusan hakim yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap yang dapat dijalankan. Pengecualiannya yaitu apabila suatu putusan dijatuhkan dengan ketentuan dapat dilaksanakan terlebih dahulu sesuai dengan Pasal 180 HIR perlu juga dikemukakan, bahwa tidak semua putusan yang sudah mempunyai kekuatan tetap harus dijalankan. Dalam hal ini yang perlu dilaksanakan hanyalah putusan-putusan yang bersifat condemnatoir, yaitu putusan yang mengandung perintah kepada suatu pihak untuk melaksanakan suatu perbuatan. Penulis berpendapat bahwa tindakan pihak lembaga pembiayaan
yang tidak
mendaftarkan jaminan fidusianya di Kantor Pendaftaran Fidusia tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 11 ayat (1) Undang-undang Jaminan Fidusia yang mewajibkan pendaftaran untuk semua benda yang dibebani dengan jaminan fidusia. Dengan tidak didaftarkannya jaminan fidusia tersebut, maka sama artinya bahwa jaminan fidusia tidak pernah lahir, karena menurut Pasal 14 ayat (3) Undang-undang Jaminan Fidusia lahir pada tanggal yang sama dengan tanggal dicatatnya jaminan fidusia dalam buku daftar fidusia. Dengan tidak lahirnya jaminan fidusia, maka apabila debitor wanprestasi dan tidak dapat melunasi hutangnya, eksekusi terhadap benda jaminan tidak dapat dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Pasal 29 Undangundang Jaminan Fidusia. Menurut ketentuan Pasal 29 Undang-undang Jaminan Fidusia, pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia dapat dilaksanakan dengan beberapa alternatif pilihan, yaitu : a. Pelaksanaan titel eksekutorial oleh penerima fidusia b. Penjualan benda yang menjadi obyek jaminan fidusia atas kekuasaan penerima fidusia sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan; dan c. Penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan pemberi dan penerima fidusia jika dengan cara demikian dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan para pihak.
Pelaksanaan penjualan dibawah tangan dilakukan setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak dibeitahukan secara tertulis oleh pemberi dan atau penerima fidusia kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan diumumkan sedikitnya 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan. Dengan tidak dapat dilaksanakannya eksekusi terhadap benda jaminan sesuai dengan Pasal 29 Undang-undang Jaminan Fidusia, apabila debitor wanprestasi dan agar kreditor tetap mendapatkan pelunasan atas piutangnya, maka kreditor harus mengajukan gugatan terhadap debitor ke pengadilan atas dasar wanprestasi. Langkah terakhir yang dilakukan oleh kreditur terhadap debitor kredit macet adalah eksekusi terhadap benda jaminan, namun sebelum benda tersebut dijual untuk keperluan pelunasan utang debitor terlebih dahulu dilakukan pengambilan benda jaminan. Pengambilan benda jaminan secara paksa yang dilakukan oleh Kreditur tersebut menimbulkan pertanyaan apakah sah tindakan tersebut sedangkan akta jaminan fidusianya tidak didaftarkan di Kantor Pendaftaran Fidusia. Menurut pendapat penulis, pengambilan benda jaminan yang dilakukan oleh Kreditur tidak sah karena seperti telah penulis jelaskan di atas bahwa dengan tidak didaftarkan jaminan fidusia di Kantor Pendaftaran Fidusia maka jaminan fidusia tersebut tidak lahir sehingga Kreditur tidak memperoleh kedudukan sebagai kreditor preferent dan ketentuan dalam Pasal 29 Undang-undang Jaminan Fidusia tidak dapat diterapkan. Kreditur tidak dapat melakukan pengambilan benda secara paksa meskipun dalam akta jaminan fidusia terdapat klausula bahwa Kreditur dapat melakukan pengambilan benda jaminan secara paksa. Meskipun terdapat asas pacta sunt servanda dalam perjanjian yang menyatakan bahwa perjanjian yang dibuat oleh pihak-pihak yang bersepakat, akan menjadi undangundang bagi keduanya, tetap berlaku dan menjadi asas utama dalam hukum perjanjian tetapi terhadap perjanjian yang memberikan penjaminan fidusia yang tidak didaftar di Kantor Pendaftaran Fidusia tidak dapat dilakukan eksekusi sendiri. Untuk mendapatkan pelunasan dari debitor kredit macet, Kreditur harus mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri. Setelah mendapat putusan pengadilan barulah dapat dilakukan penyitaan terhadap benda jaminan tersebut dan yang melakukan penyitaan adalah panitera pengadilan hal ini diatur dalam Pasal 197 ayat (2) HIR, apabila panitera pengadilan berhalangan karena dinas atau hal lain, maka ia akan diganti oleh seorang yang pantas dan dapat dipercaya, yang ditunjuk oleh ketua, atau atas permintaan ketua pengadilan negeri oleh kepala daerah, jika menurut ketua pengadilan tersebut untuk menghemat
biaya, mengingat jarak barang yang disita hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 197 ayat (3) HIR. Tahap-tahap dalam penyitaan yang akan dilakukan dilakukan oleh panitera pengadilan negeri adalah sebagai berikut (Koosmargono dan Mochammad Dja’is, 2004:152): a. Ketua pengadilan negeri membuat surat penetapan penyitaan; b. Panitera dengan dua orang saksi datang pada rumah si tersita dan memberitahukan kepadanya akan maksud kedatangannya; c. Dari penyitaan ini, ia (panitera atau orang yang ditunjuk) membuat Berita Acara Penyitaan, dalam mana tercantum barang-barang (daftar) yang disita; d. Ia memberitahukan kepada si tersita bahwa barang-barang yang disita itu supaya dijaga baik-baik, tidak boleh dipindah tempatkan atau dipindah tangankan. Dalam hal hasil eksekusi melebihi nilai penjaminan, penerima fidusia wajib mengembalikan kelebihan tersebut kepada pemberi fidusia. Hal ini tercantum pada ketentuan pasal 34 ayat (1) Undang-undang Nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia: “Dalam hal hasil eksekusi melebihi nilai penjaminan, Penerima Fidusia wajib mengembalikan kelebihan tersebut kepada Pemberi Fidusia” Kendatipun demikian, kelemahan eksekusi jaminan fidusia yang telah banyak dibutikan oleh pengalaman tidak dapat ditutupi seperti misalnya keadaan debitor yang sulit sehingga terjadi kredit macet dan barang bergerak berada dalam penguasaan debitor adalah dua kondisi yang sangat potensial bagi Pemberi Fidusia untuk menggelapkan atau mengalihkan sebagian atau seluruh objek jaminan fidusia (Sutarno, 2004:15).
B. Akibat Hukum Jaminan Fidusia Yang Tidak Di Daftarkan 1. Akibat Hukum Obyek Jaminan Fidusia Yang Tidak Didaftarkan Berdasarkan Putusan perkara antara Eti Sri Sulanjari dan PT Sinarmas Multifinance No. 105/pdt/G/BPSK/2012/PN.ska akibat dari eksekusi Jaminan Fidusia yang tidak didaftarkan Hakim memutuskan dapat dibenarkan bila PT Sinarmas Multifinance berdasarkan sertifikat fidusia yang dimilikinya dapat melakukan penarikan terhadap benda jaminan dari tangan pemegang benda jaminan bila debitur melakukan wanprestasi, namun tindakan tersebut haruslah diserta dengan pengamanan dari pihak Kepolisian sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Kepala Kepolisian Nomor 8 tahun 2011 tentang Pengamanan Eksekusi Jaminan Fidusia, sedangkan penarikan kendaraan bermotor yang menjadi objek perjanjian fidusia antara PT Sinarmas Multifinance (dahulu Teradu/Pelaku Usaha) dan Etik Sri Sulanjari (dahulu Pengadu/Konsumen) tidak memenuhi ketentuan yang terdapat dalam Peraturan Kepala Kepolisian Nomor 8 tahun 2011 tentang Pengamanan Eksekusi Jaminan Fidusia. Berdasarkan ketentuan Pasal 4 Undang-Undang No. 42tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, Jaminan Fidusia merupakan perjanjian ikutan dari suatu perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi. Berdasarkan ketentuan Pasal 4 Undang-Undang No. 42 tahun 1999 tersebut, dapat diketahui jika
Jaminan Fidusia merupakan perjanjian ikutan (accessoir) dari suatu perjanjian pokok, yang dalam hal ini Jaminan Fidusia antara PT Sinarmas Multifinance dan Etik Sri Sulanjari dibuat dalam 1 (satu) perjanjian yang menyatu dengan perjanjian pokok, yaitu Perjanjian Pembiayaan Konsumen dan Pemberian Jaminan secara Kepercayaan (Fidusia) Nomor : 911041101941 tanggal 15 April 2011. Sebagai konsekwensi dari suatu perjanjian ikutan (accessoir) adalah apabila perjanjian pokoknya dibatalkan atau batal demi hukum, maka perjanjian ikutan (accessoir) tersebut secara otomatis juga ikut dibatalkan atau batal demi hukum. Oleh karena dalam pertimbangan hukum pokok keberatan point A yang diajukan oleh PT Sinarmas Multifinance telah dinyatakan Perjanjian Pembiayaan Konsumen dan Pemberian Jaminan secara Kepercayaan (Fidusia) Nomor 911041101941 tanggal 15 April 2011 adalah batal demi hukum, maka sebagai konsekwensinya Jaminan Fidusia yang diikat dengan adanya perjanjian tersebut juga secara otomatis adalah batal demi hukum atau dengan kata lain PT Sinarmas Multifinance sebagai peneriman fidusia tidak mempunyai hak jaminan atas sepeda motor merk Suzuki type UK 125 SC A/T warna kuning metalik tahun 2009 dengan nomor Polisi AD 2291 TU atas nama Etik Sri Sulanjari. Ketentuan Pasal 13 ayat (3) Undang-Undang No. 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, dinyatakan Kantor Pendaftaran Fidusiamencatat Jaminan Fidusia dalam Buku Daftar Fidusia pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan pendaftaran, sedangkan dalam Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Jaminan Fidusia, dinyatakan Sertifikat Jaminan Fidusia merupakan salinan dari Buku Daftar Fidusia. Selain itu, berdasarkan ketentuan Pasal 14 ayat (3) Undang- Undang Jaminan Fidusia, dinyatakan Jaminan Fidusia lahir pada tanggal yang sama dengan tanggal dicatatnya Jaminan Fidusia dalam Buku Daftar Fidusia. Berdasarkan bukti, diketahui jika Jaminan Fidusia atas sepeda motor merk Suzuki type UK 125 SC A/T warna kuning metalik tahun 2009 dengan nomor Polisi AD 2291 TU atas nama Etik Sri Sulanjari didaftarkan dan dicatat dalam Buku Daftar Fidusia pada tanggal 28 Maret 2012, sehingga sesuai dengan Pasal 14 ayat (3) Undang-Undang Jaminan Fidusia, maka Jaminan Fidusia atas sepeda motor tersebut baru lahir pada tanggal 28 Maret 2012, oleh karena Jaminan Fidusia atas sepeda motor merk Suzuki type UK 125 SC A/T warna kuning metalik tahun 2009 dengan nomor Polisi AD 2291 TU atas nama Etik Sri Sulanjari baru lahir pada tanggal 28 Maret 2012, maka tindakan PT Sinarmas Multifinance yang menarik sepeda motor berikut STNK (Surat Tanda Nomor Kendaraan) sepeda motor tersebut dari Etik Sri Sulanjari pada tanggal 16 Maret 2012 adalah tidak berdasar hukum dan tidak dapat
dibenarkan, dengan demikian keberatan yang diajukan oleh PT Sinarmas Multifinance adalah tidak beralasan dan harus ditolak. Karena tindakan PT Sinarmas Multifinance yang menarik sepeda motor merk Suzuki type UK 125 SC A/T warna kuning metalik tahun 2009 dengan nomor Polisi AD 2291 TU atas nama Etik Sri Sulanjari berikut STNK dari Etik Sri Sulanjari pada tanggal 16 Maret 2012 adalah tidak berdasar hukum dan tidak dapat dibenarkan, maka perlu diperintahkan kepada PT Sinarmas Multifinance untuk mengembalikan sepeda motor berikut STNK sepeda motor tersebut yang telah ditariknya kepada Etik Sri Sulanjari. Selanjutnya Majelis Hakim akan mempertimbangkan pokok keberatan dari PT Sinarmas Multifinance mengenai kewajiban dari Etik Sri Sulanjari sebagai berikut : Etik Sri Sulanjari masih mempunyai kewajiban untuk membayar 15 (lima belas) kali angsuran yang masing-masing sebesar Rp. 297.000,00 (dua ratus sembilan puluh tujuh ribu rupiah), sehingga total kewajiban Etik Sri Sulanjari yang harus dibayar kepada PT Sinarmas Multifinance adalah sejumlah Rp. 4.455.000,00 (empat juta empat ratus lima puluh lima ribu rupiah), dan berdasarkan Pasal 15 ayat (3) Jo. Pasal 29 ayat (1) UU Jaminan Fidusia, PT Sinarmas Multifinance sebagai penerima fidusia berhak menjual sendiri objek jaminan fidusia. Karena dalam pertimbangan hukum pokok keberatan oleh PT Sinarmas Multifinance telah dinyatakan tindakan PT Sinarmas Multifinance yang menarik sepeda motor merk Suzuki type UK 125 SC A/T warna kuning metalik tahun 2009 dengan nomor Polisi AD 2291 TU atas nama Etik Sri Sulanjari dari Etik Sri Sulanjari pada tanggal 16 Maret 2012 adalah tidak berdasar hukum dan tidak dapat dibenarkan, maka PT Sinarmas Multifinance sebagai penerima fidusia tidak berhak menjual sendiri objek jaminan fidusia. Oleh karena dalam pertimbangan hukum pokok keberatan yang diajukan oleh PT Sinarmas Multifinance telah dinyatakan Perjanjian Pembiayaan Konsumen dan Pemberian Jaminan secara Kepercayaan (Fidusia) Nomor 911041101941 tanggal 15 April 2011 adalah batal demi hukum, maka para pihak, yaitu PT Sinarmas Multifinance dan Etik Sri Sulanjari haruslah kembali kepada keadaan semula sebagaimana sebelum dibuatnya perjanjian tersebut Menimbang, bahwa bahwa dalam Putusan BPSK Kota Surakarta Nomor : 02-06/LS/IV/2012/BPSK. Ska, Majelis BPSK Kota Surakarta telah menentukan jika Etik Sri Sulanjari masih mempunyai kewajiban untuk mengembalikan uang tunai yang telah diterimanya dari PT Sinarmas Multifinance sebesar Rp. 2.322.000,00 (dua juta tiga ratus dua puluh dua ribu rupiah), pada kenyataannya, sebagaimana tercantum dalam bukti secara riil Etik Sri Sulanjari telah menerima uang pinjaman dari PT Sinarmas Multifinance sebesar Rp.
4.500.000,00 (empat juta lima ratus ribu rupiah), kemudian berdasarkan bukti P-6, terhadap pinjaman tersebut, Etik Sri Sulanjari secara riil telah melakukan pembayaran secara mengangsur sebanyak 9 (sembilan) kali, dengan nominal setiap kali mengangsur adalah sebesar Rp. 297.000,00 (dua ratus sembilan puluh tujuh ribu rupiah), sehingga total yang telah dibayarkan oleh Etik Sri Sulanjari kepada PT Sinarmas Multifinance adalah sebesar Rp. 2.673.000,00 (dua juta enam ratus tujuh puluh tiga ribu rupiah). Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, maka secara riil Etik Sri Sulanjari masih mempunyai kewajiban untuk mengembalikan uang kepada PT Sinarmas Multifinance sejumlah besar pinjaman dikurangi dengan sejumlah yang telah dikembalikan, sehingga Etik Sri Sulanjari masih mempunyai kewajiban untuk mengembalikan kepada PT Sinarmas Multifinance uang sejumlah Rp. 1.827.000,00 (satu juta delapan ratus dua puluh tujuh ribu rupiah). Meskipun terdapat perbedaan pendapat antara Majelis Hakim dengan Majelis BPSK mengenai jumlah kewajiban yang harus dibayarkan oleh Etik Sri Sulanjari kepada PT Sinarmas Multifinance, namun oleh karena perbedaan tersebut hanya mengenai jumlah, maka hal tersebut tidak dapat menjadi dasar bagi Majelis Hakim untuk membatalkan Putusan Majelis BPSK Kota Surakarta dan kemudian mengadili sendiri sengketa konsumen yang bersangkutan, karena inti pertimbangan hukum dari pokok keberatan ini adalah Etik Sri Sulanjari masih mempunyai kewajiban untuk mengembalikan uang kepada Etik Sri Sulanjari, dan jumlah kewajiban dari Etik Sri Sulanjari tersebut bukanlah sebesar Rp. 4.455.000,00 (empat juta empat ratus lima puluh lima ribu rupiah) sebagaimana dalil keberatan dalam permohonan keberatan yang diajukan oleh PT Sinarmas Multifinance. Berdasarkan ketentuan Pasal 6 ayat (6) PERMA No. 1 tahun 2006, Majelis Hakim wajib untuk memperhatikan ganti rugi sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang
Perlindungan
Konsumen,
maka
Majelis
Hakim
akan
merpertimbangkan sebagai berikut, setelah Majelis Hakim mempelajari Berkas Sengketa Konsumen Nomor Register 02-06/LS/IV/2012/BPSK. Ska, dalam formulir pengaduannya, Etik Sri Sulanjari menyatakan merasa dirugikan karena dengan ditariknya sepeda motor miliknya tersebut oleh PT Sinarmas Multifinance, maka Etik Sri Sulanjari harus mengeluarkan biaya transport per hari Rp. 20.000,00 (dua puluh ribu rupiah), namun oleh Majelis BPSK tuntutan tersebut hanya dikabulkan dengan jumlah ganti rugi sebesar Rp. 15.000,00 (lima belas ribu rupiah) per harinya, dengan ketentuan maksimal 26 (dua puluh enam) hari kerja. Majelis Hakim sependapat dengan penetapan Majelis BPSK mengenai jumlah ganti rugi yang dibebankan kepada PT Sinarmas
Multifinance (dahulu Teradu/Pelaku Usaha) karena biaya transportasi sebesar Rp. 15.000,00 (lima belas ribu rupiah) per hari adalah jumlah yang patut dan umum bagi masyarakat Kota Surakarta dalam menggunakan jasa transportasi umum, sedangkan ketentuan maksimal ganti rugi adalah selama 26 (dua puluh enam) hari kerja adalah tenggang waktu yang telah layak/ patut, karena 26 (dua puluh enam) hari merupakan jumlah hari 1 (satu) bulan dikurangi 4 (empat) kali hari minggu, selain itu apabila ganti rugi ditentukan sampai dengan perkara ini memperoleh kekuatan hukum yang tetap, maka jumlah ganti rugi yang harus dibayarkan oleh PT Sinarmas Multifinance, jumlahnya dapat lebih besar daripada jumlah kewajiban kekurangan uang pinjaman yang harus dibayarkan Etik Sri Sulanjari kepada PT Sinarmas Multifinance, sehingga menyebabkan timbul ketidak seimbangan serta ketidak adilan. Setiap perjanjian Jaminan Fidusia yang diadakan oleh Lembaga Jaminan Fidusia (termasuk juga Lembaga Jaminan Fidusia Non Bank), tunduk pada ketentuan yang diatur dalam UUJF. Perjanjian fidusia merupakan perjanjian accessoir yang berarti bahwa lahir dan hapusnya perjanjian Jaminan Fidusia bergantung pada perjanjian pokoknya (perjanjian utang piutang atau perjanjian pembiayaan). Pasal 4 UUJF menyatakan bahwa: “Jaminan Fidusia merupakan perjanjian ikutan dari suatu perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi”. Kemudian pada Pasal 11 ayat (1) UUJF menyatakan bahwa “Jaminan Fidusia wajib didaftaran”. Pendaftaran Jaminan Fidusia Bagi lembaga pembiayaan yang Melakukan Pembiayaan Konsumen Untuk Kendaraan Bermotor Dengan Pembebanan Jaminan Fidusia, bahwa lembaga pembiayaan wajib mendaftarkan Jaminan Fidusia pada Kantor Pendaftaran Fidusia paling lama 30 (tiga puluh) hari kalender terhitung sejak tanggal perjanjian pembiayaan konsumen (Yuli Prasetyo Adi, 2014 : 57). Pembebanan jaminan Fidusia dilakukan dengan menggunakan instrument yang disebutdengan akta Jaminan Fidusia, adapun akta ini harus memenuhi syarat-syarat berupa Akta Notaris dan didaftarkan pada Pejabat yang berwenang. Dengan pendaftaran ini, diharapkan agar pihak debitur, terutama debitur yang tidak memiliki itikad baik tidak dapatlagi membohongi kreditur atau calon kreditur dengan memfidusiakan lagi atau bahkan menjual barang Obyek Jaminan Fidusia tanpa sepengetahuan kreditur. Dalam konsideran UUJF merumuskan bahwa keberadaan undang-undang ini diharapkan memberikan kepastian hukum dan memberikan perlindungan hukum bagi yang berkepentingan dan jaminan tersebut perlu didaftarkan
di Kantor Pendaftaran Jaminan Fidusia. Adapun pengaturan mengenai terjadinya eksekusi dalam UUJF dapat dijumpai pada Pasal 29 ayat (1) UUJF. Ketentuan tersebut menyatakan bahwa dalam hal debitur atau Konsumen cidera janji, maka dapat dilakukan eksekusi terhadap Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia. Mengenai cara-cara yang dapat diterapkan dalam melakukan eksekusi menurut Pasal 29 ayat (1) UUJF adalah melalui : a. pelaksanaan titel eksekutorial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) oleh Lembaga pembiayaan. b. penjualan Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaan lembaga pembiayaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan; c. penjualan dibawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan Pemberi dan lembaga pembiayaan jika dengan cara demikian dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan para pihak. Ketiga cara eksekusi Jaminan Fidusia tersebut di atas masing-masing memiliki perbedaan dalam prosedur pelaksanaannya. Berbeda dengan penjualan dibawah tangan pelaksanaanya harus memenuhi beberapa persyaratan antara lain adanya kesepakatan antara konsumen (debitur) dan lembaga pembiayaan (kreditur). Alasanya untuk memperoleh nilai penjualan yang lebih baik untuk memperoleh harga tertinggi (Netty SR Naiborhu, 2006 : 164) Fakta yang terjadi dilapangan dalam hal eksekusi dilakukan oleh lembaga pembiayaan terhadap barang jaminan, dilakukan malalui bantuan pihak debt collector dengan berdasarkan pada surat kuasa resmi dari kantor lembaga pembiayaan untuk mengeksekusi suatu barang jaminan. Secara normatif, hal ini adalah tindakan yang tidak sah menurut UUJF. Dalam hal ini kreditur dapat dilaporkan juga karena sebagian dari barang tersebut menjadi milik berdua, baik kreditur dan debitur. Oleh karena itu, dibutuhkan putusan hakim melalui proses Pengadilan Negeri setempat untuk mengadilinya sesuai porsi masing-masing pemilik barang. Jika hal ini ditempuh maka akan terjadi proses hukum yang panjang, melelahkan dan menghabiskan biaya yang tidak sedikit. Akibatnya, margin yang hendak dicapai perusahaan tidak terealisir bahkan mungkin merugi, termasuk rugi waktu dan pemikiran. Dalam konsepsi Hukum Pidana, eksekusi objek fidusia di bawah tangan termasuk dalam tindak pidana Pasal
368 KUHPidana terkait melakukan tindakan pemaksaan dan ancaman perampasan. Adapun ketentuan Pasal 368 KUHPidana menyebutkan: Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan. Ketentuan tersebut menunjukkan dalam menyelesaikan sesuatu permasalahan dilarang menggunakan cara-cara kekerasan atau ancaman kekerasan yang berkualifiaksi pemerasan. Lebih lanjut dalam Pasal 3 Peraturan Menteri Keuangan No. 130/2012 dikatakan bahwa lembaga pembiayaan dilarang melakukan penarikan benda Jaminan Fidusia berupa kendaraan bermotor apabila Kantor Pendaftaran Fidusia belum menerbitkan sertifikat Jaminan Fidusia dan menyerahkannya kepada lembaga pembiayaan. Jika lembaga pembiayaan tersebut tidak mendaftarkan perjanjian Jaminan Fidusia, maka lembaga pembiayaan tersebut tidak dilindungi hak-haknya oleh UUJF. Hal ini menunjukkan lembaga pembiayaan tersebut tidak memiliki hak untuk didahulukan daripada kreditur lain untuk mendapatkan pelunasan utang debitur dari benda yang dijadikan Jaminan Fidusia tersebut. Pada dasarnya, sesuai ketentuan Pasal 14 ayat (3) UU Jaminan Fidusia, jaminan fidusia baru lahir pada tanggal yang sama dengan tanggal dicatatnya jaminan Fidusia dalam Buku Daftar Fidusia dan kreditur akan memperoleh sertifikat jaminan fidusia berirah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, dengan mendapat sertifikat jaminan fidusia maka kreditur/penerima fidusia serta merta mempunyai hak eksekusi langsung (parateexecutie), seperti terjadi dalam pinjam meminjam dalam lembaga pembiayaan. Kekuatan hukum sertifikat tersebut sama dengan putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Pembebanan jaminan fidusia, berdasarkan Pasal 5 ayat (1) UU Jaminan Fidusia mengamanatkan pembebanan benda dengan jaminan fidusia dibuat dengan akta notaris dalam bahasa Indonesia dan merupakan akta Jaminan Fidusia. Saat ini, banyak lembaga pembiayaan (finance) dan bank (bank umum maupun perkreditan) menyelenggarakan pembiayaan bagi konsumen (consumer finance), sewa guna usaha (leasing), anjak piutang (factoring), mereka umumnya menggunakan tata cara perjanjian yang mengikutkan adanya jaminan fidusia bagi objek benda jaminan fidusia, namun saat ini banyak yang tidak dibuat dalam bentuk akta notaris dan tidak didaftarkan di Kantor
Pendaftaran Fidusia untuk mendapat sertifikat. Akta semacam itu dapat disebut akta jaminan
fidusia
di
bawah
tangan(http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl4588/akibathukumjaminanfidusiayang-belum-didaftarkan diakses pada hari sabtu tanggal 23 April 2016). Jaminan fidusia yang tidak didaftarkan atau dibuatkan sertifikat jaminan fidusia mempunyai akibat hukum yang kompleks dan berisiko sehingga perjanjian jaminan fidusia yang tidak didaftarkan di Kantor PendaftaranFidusia tidak mempunyai kekuatan eksekutorial. Tidak didaftarkannya jaminan fidusia adalah pelanggaran yang sering dilakukan kreditur, meskipun kreditur mengetahui adanya aturan tentang kewajiban pendaftaran jaminan fidusia dalam Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Jaminan Fidusia. Berlakunya sistem pendaftaran jaminan fidusia secara elektronik mengakibatkan pendaftaran jaminan fidusia dilakukan secara elektronik sesuai dengan Peraturan Menteri Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pemberlakuan Pendaftaran Jaminan Fidusia Secara Elektronik. Terhadap benda jaminan fidusia yang telah didaftarkan pada sistem pendaftaran jaminan fidusia manual tetap sah berlaku selama tidak lewat waktu dari 60 (enam puluh) hari setelah peraturan menteri tersebut ditetapkan. Akibat hukum terhadap jaminan fidusia yang tidakterdaftar dalam sistem online mempunyai akibat hukum yang sama dengan jaminan fidusia yang tidak didaftarkan dengan sistem manual. Dalam konsideran Undang-Undang Jaminan Fidusia menyatakan tujuan dibentuknya pengaturan mengenai jaminan fidusia adalah memberikan perlindungan yang lebih baik bagi yang berkepentingan, untuk mewujudkan hal tersebut benda yang telah dibebani jaminan fidusia harus didaftarkan pada kantor pendaftaran fidusia. Pendaftaran jaminan fidusia telah diatur di dalam Pasal 11 sampai dengan Pasal 18 UU Jaminan Fidusia dan Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 2015 tentang tata cara pendaftaran jaminan fidusia dan biaya pembuatan akta jainan fidusia. Di dalam pasal tersebut menjelaskan mengenai benda yang dibebani jaminan fidusia wajib didaftarkan, tempat pendaftaran jaminan fidusia, cara pendaftaran hingga lahirnya sertifikat jaminan fidusia. Pendaftaran jaminan fidusia merupakan perwujudan dari asas publisitas dan kepastian hukum. Maksud dan tujuan dari adanya sistem pendaftaran jaminan fidusia antara lain sebagai berikut: a. Memberikan kepastian hukum kepada para pihak yang berkepentingan, terutama terhadap kreditor lain mengenai benda yang telah dibebani dengan jaminan fidusia. b. Melahirkan ikatan jaminan fidusia bagi kreditor (penerima fidusia).
c. Memberikan hak yang didahulukan (preference) kepada kreditor (penerima fidusia) terhadap kreditor lain, berhubung pemberi fidusia tetap menguasai benda yang menjadi objek jaminan fidusia berdasarkan kepercayaan. d. Memenuhi asas publisitas (Rachmadi Usman, 2001:200). UU Jaminan Fidusia mensyaratkan bahwa benda yang dibebani jaminan fidusia wajib didaftarkan, manfaat yang didapat dengan adanya pendaftaran antara lain: a. Mempunyai hak mendahului (preference) kedudukan preference berkaitan dengan hasil eksekusi, hal ini nampak jelas bila dihubungkan dengan Pasal 1132 BW yang pada asasnya para kreditor berbagi atas hasil eksekusi harta benda milik debitor, dengan adanya pembebanan jaminan fidusia maka kreditor menjadi preference atas hasil penjualan benda tertentu milik debitor, dan ia berhak mengambil lebih dahulu uang hasil eksekusi benda jaminan fidusia. Jaminan yang memiliki hak mendahului artinya kreditor sebagai penerima fidusia memiliki hak yang didahulukan (preference) terhadap kreditor lainnya untuk menjual atau mengeksekusi benda jaminan dan hak didahulukan untuk mendapatkan pelunasan hutang dari hasil eksekusi benda jaminan fidusia tersebut dalam hal debitur wanprestasi sebagaimana diatur dalam Pasal 27 dan Pasal 28 UU Jaminan Fidusia. Pasal 27 UU Jaminan Fidusia menyatakan bahwa: (4) Penerima fidusia memiliki hak yang didahulukan terhadap kreditor lainnya. (5) Hak yang didahulukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah hakpenerima fidusia untuk mengambil pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi benda yang menjadi objek jaminan fidusia. (6) Hak yang didahulukan dari penerima fidusia tidak hapus karena adanya kepailitan dan atau likuidasi pemberi fidusia. Dari ketentuan Pasal 27 UU Jaminan Fidusia di atas, dapat diketahui bahwa penerima fidusia memiliki hak yang didahulukan atau diutamakan terhadap kreditor lainnya, yaitu hak penerima fidusia untuk mengambil pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi (penjualan) dari benda yang menjadi objek jaminan fidusia. Hak untuk mengambil pelunasan piutang ini mendahului dari kreditur lainnya yang tidak dijamin dengan fidusia, walaupun penerima fidusia termasuk orang yang pailit atau dilikuidasi. Hak utama fidusia tidak hapus karena adanya kepailitan dan/atau likuidasi dari pemberi fidusia, berhubung benda yang menjadi objek jaminan fidusia tidak termasuk dalam budel kepailitan pemberi fidusia. Ketentuan ini berhubungan dengan ketentuan bahwa jaminan fidusia merupakan hak agunan atas kebendaan bagi pelunasan hutang (Ibid hal 172). Pasal 28 UU Jaminan Fidusia menyatakan bahwa:
apabila atas benda yang sama menjadi objek jaminan fidusia lebih dari satu (1) perjanjian jaminan fidusia, maka hak yang didahulukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27, diberikan kepada pihak yang lebih dahulu mendaftarkannya pada kantor pendaftaran fidusia. Sehingga berdasarkan Pasal 28 tersebut terhadap benda yang sama dibebani pada lebih dari satu jaminan fidusia, hak yang didahulukan tersebut diberikan kepada pihak yang lebih dahulu mendaftarkan jaminan fidusianya. Ini berarti penerima fidusia (kreditor) peringkat pertama mempunyai hak lebih dahulu mengambil pelunasan daripada penerima fidusia peringkat kedua. Peringkat hak yang didahulukan dari penerima fidusia didasarkan pada tanggal pendaftarannya. Penjelasan atas Pasal 27 ayat (1) UU Jaminan Fidusia antara lain menyatakan, bahwa hak yang didahulukan dihitung sejak tanggal pendaftaran benda yang menjadi objek jaminan fidusia (Rachmadi Usman, 2008:174). b. Mempunyai kekuatan eksekutorial Salah satu ciri jaminan fidusia yang kuat itu mudah dan pasti dalam pelaksanaan eksekusinya, jika debitur (pemberi fidusia) cedera janji atau wanprestasi. Wanprestasi artinya tidak memenuhi kewajiban yang telah disepakati dalam suatu perikatan (Abdulkadir Muhammad, 2010:241).
Seseorang dapat dikatakan
melakukan wanprestasi jika Tidak memenuhi janjinya atau tidak memenuhi sebagaimana mestinya dan kesemuanya itu dapat dipersalahkan kepadanya, maka dikatakan bahwa debitur wanprestasi. Wujud wanprestasi bisa: 1) Debitur sama sekali tidak berprestasi 2) Debitur keliru berprestasi 3) Debitur terlambat berprestasi (Satrio, 1999:22.) Ketentuan dalam Pasal 29 ayat (1) UU Jaminan Fidusia telah mengatur pelaksanaan eksekusi atas benda yang menjadi objek jaminan fidusia, yang menyatakan sebagai berikut: Apabila debitur atau pemberi fidusia cedera janji, eksekusi terhadap benda yang menjadi objek jaminan fidusia dapat dilakukan dengan cara: a. Pelaksanaan title eksekutorial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) oleh penerima fidusia. b. Penjualan benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaan penerima fidusia sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasaan piutangnya dari hasil penjualan.
c. Penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan pemberi dan penerima fidusia jika dengan cara demikian dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan para pihak. Dengan demikian UU Jaminan Fidusia telah mengatur cara atau menciptakan bebrapa model eksekusi atas benda yang menjadi objek jaminan fidusia. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 29 ayat (1) UU Jaminan Fidusia, dapat diketahui bahwa apabila debitur atau pemberi fidusia cedera janji eksekusi terhadap benda yang menjadi objek jaminan fidusia dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut: a. Eksekusi berdasarkan grosse sertifikat jaminan fidusia atau title eksekutorial (secara fiat eksekusi) yang terdapat dalam sertifikat jaminanfidusia, yang dilakukan oleh penerima fidusia, berarti eksekusi langsungdapat dilaksanakan tanpa melalui pengadilan dan bersifat final sertamengikat para pihak untuk melaksanakan putusan tersebut. b. Eksekusi berdasarkan pelaksanaan parate eksekusi melalui pelelangan umum oleh penerima fidusia. c. Eksekusi secara penjualan di bawah tangan oleh kreditor pemberi fidusia sendiri. Pelaksanaan penjualan di bawah tangan dilakukan setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh para pihak kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan diumumkan sedikitnya dalam 2 (dua) surat kabar di daerah yang bersangkutan (Henny Tanuwidjaja, 2012:71).Eksekusi terhadap objek jaminan fidusia dapat dilakukan berdasarkan grosse sertifikat jaminan fidusia sesuai dengan ketentuan Pasal 29 ayat (1) sub a UU Jaminan Fidusia atau dengan title eksekutorial sertifikat jaminan fidusia yang diberikan Pasal 15 ayat (2) UU Jaminan Fidusiatersebut. Sertifikat jaminan fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial sama seperti putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka pelaksanaan eksekusi objek jaminanfidusia berdasarkan grosse sertifikat jaminan fidusia atau dengan title eksekutorial sertifikat jaminan fidusia mengikuti pelaksanaan suatu putusan pengadilan. Atas dasar ini, penerima fidusia dengan sendirinya dapat mengeksekusi benda yang dijadikan sebagai objek jaminan fidusia jika debitur atau pemberi fidusia cedera janji, tanpa harus menunggu adanya surat perintah (putusan) dari pengadilan (Rachmadi Usman, 2009:232). Pelaksanaan
eksekusi
objek
jaminan
fidusia
berdasarkan
grosse
atau
titleeksekutorial sertifikat jaminan fidusia, sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 196 HIR/207RBg, diawali dengan pengajuan permohonan pelaksanaan eksekusi oleh
kreditor (penerima Fidusia) kepada ketua pengadilan negeri yang bersangkutan untuk menjalankan eksekusi objek jaminan fidusia, selanjutnya ketua pengadilan negeri akan memanggil debitur (pemberi fidusia) dan memerintahkan segera mungkin dalam tempo 8 (delapan) hari debitur supaya memenuhi kewajibannya, maka sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 197/HIR/209 RBg, ketua pengadilan negeri yang bersangkutan akan memerintahkan kepada juru sita dengan surat perintah untuk menyita sejumlah benda yang menjadi objek jaminan fidusia. Menurut ketentuan dalam Pasal 200HIR/215 RBg, pelaksanaan eksekusi objek jaminan fidusia, dilakukan penjualan secara umum (pelelangan) dengan bantuan kantor lelang atau dengan cara yang dianggap menguntungkan oleh ketua pengadilan negeri yang bersangkutan (Rachmadi Usman, 2001:234).Pengeksekusian benda yang menjadi objek jaminan fidusia dengan cara diatas, ternyata bersifat mengikat dan tidak dapat dikesampingkan oleh para pihak pemberi dan penerima fidusia, dikarenakan diancam dengan kebatalan secara hukum. Oleh karena itu pemberi fidusia dan penerima fidusia tidak dapat menempuh atau memperjanjikan cara lain untuk mengeksekusi benda yang menjadi objek jaminan, selain daripada cara-cara sebagaimana telah disebutkan dalam ketentuan Pasal 29 dan Pasal 31 UU Jaminan Fidusia. Ketentuan Pasal 32 UU Jaminan Fidusia yaitu “setiap janji untuk melaksanakan eksekusi terhadap benda yang menjadi objek jaminan fidusia dengan cara yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dan Pasal 31, batal demi hukum”. Artinya dapat ditafsirkan, antara pemberi fidusia dan penerima fidusia dapat saja memeprjanjiakan cara pengeksekusian benda yang menjadi objek jaminan fidusia secara tersendiri, namun sepanjang cara pengeksekusian benda yang menjadi objek jaminan fidusia sebagaimana telah diatur dalam ketentuan Pasal 29 dan Pasal 31 UU Jaminan Fidusia (Rahmadi Usman, 2009:242). Fungsi pendaftaran jaminan fidusia bagi masyarakat khususnya untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum dalam hal pelunasan hutang bagi kepentingan kreditur, sedangkan penerima fidusia yang mendaftarakan jaminan fidusia di kantor pendaftraan fidusia mendapatkan hak yang sudah diberikan undang-undnag yakni memiliki kekuatan eksekutorial yang legal apabila terjadiwanprestasi. Oleh sebab itu kreditur harus cermat dan sunggung-sungguh dalam memanfaatkan lembaga pendaftaran yang telah disediakan dan diatur di dalam UU Jaminan Fidusia. Adanya kewajiban untuk pendaftaran diatur pada Pasal 11 ayat (1) UU Jaminan Fidusia, tetapi di masyarakat banyak jaminan fidusia yang tidak didaftarkan.
1. Perlindungan Hukum Debitur Atas Jaminan Fidusia Yang Tidak Didaftarkan
Pada dasarnya, teori perlindungan hukum merupakan teori yang berkaitan pemberian pelayanan kepada masyarakat. Rouscou Pound (dalam Salim H.S dan Erlies S.N., 2014:266) mengemukakan bahwa hukum merupakan alat rekayasa sosial (law as a tool of social engginering). Kepentingan manusia adalah suatu tuntutan yang dilindungi dan dipenuhi manusia dalam bidang hukum. Perlindungan hukum dapat dimaknai sebagai suatu bentuk perlindungan yang diberikan oleh hukum terkait pula dengan adanya hak dan kewajiban dalam hal ini yang dimiliki oleh manusia sebagai subyek hukum dalam interaksinya dengan sesama manusia serta lingkungannya. Sebagai
subyek
hukum dalam
interaksinya
dengan
sesama
manusia
serta
lingkungannya. Sebagai subyek hukum, manusia memiliki hak dan kewajiban untuk melakukan sesuatu tindakan hukum. Pada dasarnya perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan terhadap subyek hukum dalam bentuk perangkat hukum baik yang bersifat preventif maupun yang bersifat represif baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Perlindungan hukum dapat dibagi menjadi dua yaitu: a. Perlindungan hukum Preventif Perlindungan hukum preventif adalah perlindungan yang diberikan oleh pemerintah dengan tujuan untuk mencegah sebelum terjadinya pelanggaran. Hal ini biasanya terletak dalam peraturan perundang-undangan dengan maksud untuk mencegah suatu pelanggaran serta memberikan batasan dalam melakukan kewajiban. Perlindungan yang diberikan oleh pemerintah dalam hal perlindungan preventif ini terletak dalam KUH Perdata dan peraturan perundang-undangan lainnya mengatur tentang pelaksanaan pembiayaan konsumen di Indonesia. KUH Perdata telah memberikan perlindungan hukum yang mana diatur dalam Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUH Perdata. Pada Pasal 1131 KUH Perdata menyatakan bahwa “segala kebendaan si berhutang, baik yang bergerak maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perorangan”. Pengertian diatas, menunjukkan seseorang mengikatkan diri pada suatu perjanjian maka sejak itu pula harta kekayaannya baik yang sudah ada maupun yang akan ada secara otomatis menjadi tanggungan untuk segala perikatan meskipun kekayaan tersebut tidak diserahkan atau dinyatakan dengan tegas sebagai jaminan. Selanjutnya Pasal 1132 KUH Perdata menyatakan bahwa “kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan
padanya, pendapatan penjualan benda-benda itu di bagi-bagi menurut keseimbangan yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila diantara berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan”. Peraturan perundang-undangan menurut teori perlindungan hukum preventif merupakan bentuk perlindungan hukum yang diberikan oleh negara melalui pemerintah untuk memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat. Oleh karena itu dalam hal pelaksanaan pembiayaan konsumen pada dasarnya pemerintah telah membentuk peraturan perundang-undangan secara khusus untuk memberikan perlindungan hukum terhadap pelaksanaan pembiayaan konsumen, adapun beberapa perundang-undangan tersebut adalah: 1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia 2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen 3) Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan 4) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 tentang Pengamanan Eksekusi Jaminan Fidusia 5) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.010/2012 tentang Pendaftaran Jaminan Fidusia bagi Perusahaan Pembiayaan yang Melakukan Pembiayaan Konsumen untuk Kendaraan Bermotor. b. Perlindungan Hukum Represif Perlindungan hukum represif merupakan perlindungan akhir berupa sanksi, denda, penjara dan hukuman tambahan yang diberikan apabila sudah terjadi sengketa atau telah dilakukan suatu pelanggaran. Dalam perjanjian pembiayaan justru obyek perjanjian itu sendiri yang menjadi jaminan hutang yang paling efektif, dikarenakan menggunakan jaminan hutang yang paling efektif, dikarenakan menggunakan jaminan fidusia. Dari peraturan perundang-undangan yang mengatur pelaksanaan pembiayaan konsumen tersebut juga memuat sanksi bsebagai bentuk perlindungan hukum represif adapun sanksi tersebut antara lain: 1) Pasal 36 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia telah mengatur ancaman pidana bagi debitor yang menggadaikan atau mengalihkan obyek jaminan fidusia tanpa ijin kreditor yaitu di ancam pidana penjara paling lama 2(dua) tahun dan denda penjara paling banyak Rp 50.000.000,00. 2) Pasal 62 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyatakan sanksi pidana bagi pelaku usaha yang melanggar adanya penggunaan
klausula bagi sebagaimana termuat dalam Pasal 18 yaitu dengan sanksi pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda sebanyak Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah). 3) Pasal 5 PMK Nomor 130/PMK.010/2012 tentang Pendaftaran Jaminan Fidusia Bagi Perusahaan Pembiayaan yang Melakukan Pembiayaan Konsumen untuk Kendaraan Bermotor dengan Pembebanan Jaminan Fidusia yang memberikan sanksi administratif bagi perusahaan pembiayaan yang melanggar ketentuan penarikan jaminan fidusia yang belum menerbitkan setifikat jaminan fidusia yang telah memenuhi persyaratan yang melanggar ketentuan penarikan jaminan fidusia yang belum menerbitkan setifikat jaminan fidusia yang telah memenuhi persyaratan dan kesepakatan para pihak dalam perjanjian pembiayaan konsumen yaitu dengan cara: a) Peringatan b) Pembekuan kegiatan usaha c) Pencabutan izin usaha Penjelasan diatas menunjukkan bahwa negara melalui pemerintah telah memberikan perlindungan hukum bagi debitor dalam pelaksanaan perjanjian pembiayaan konsumen dengan adanya perlindungan hukum secara represif maupun preventif. Selanjutnya akan dijelaskan mengenai bentuk perlindungan hukum yang diberikan oleh pihak kreditor atau lembaga pembiayaan konsumen telah memberikan perlindungan hukum atau tidak kepada debitor. Dikarenakan dalam prakteknya sering kali di jumpai bahwa hak dan kewajiban para pihak selalu berada di posisi yang tidak seimbang. Oleh karenanya untuk menyeimbangkan hak dan kewajiban tersebut maka diperlukannya suatu hukum yang dapat mengatur dan melindungi setiap kepentingan para pihak tersebut. Setiap produk hukum diharapkan selalu memberikan perlindungan hukum bagi para pihak agar terciptanya keseimangan hak dan kewajiban. Setiap produk hukum wajib memberikan perlindungan hukum, maka dalam perjanjian pembiayaan konsumen tidak terkecuali pula untuk memberikan perlindungan hukum bagi para pihak. Namun, seperti yang kita ketahui bahwa bentuk perjanjian pembiayaan konsumen kebanyakan sudah berbentuk kontrak baku. Sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa dalam perjanjian ini menempatkan salah satu pihak khususnya
pihak debitor dalam posisi yang lemah yang nantinya pasti dihadapkan pada situasi take it or leave it. Penggunaan klausul baku ini dalam perjanjian pembiayaan konsumen memang secara Hukum Perdata diakui sah karena tidak adanya unsur pemaksaan kehendak didalamnya yakni jika konsumen menyetujui perjanjian maka ia sudah tahu mengenai segala sesuatu risiko yang ditanggungnya, namun jika debitor menolak klausul baku maka para pengusaha tidak akan memaksanya. Dalam prakteknya seorang debitor demi memenuhi kebutuhan hidupnya tidak jarang juga menyetujui klausul baku yang telah ditetapkan oleh pengusaha. Melihat kondisi demikian, acap kali pengusaha membuat isi klusula baku itu cenderung lebih menguntungkan dirinya sendiri sehingga timbullah ketidakseimbangan hak dan kewajiban antara debitor dan kreditor (Ice Trisnawati, www.repository.usu.ac.id diakses pada tanggal 16 Juni 2016 pukul 19.03 WIB). Pada dasarnya memang hukum secara formal di Indonesia belumlah mengatur secara pasti mengenai perjanjian baku. Sehingga seringkali terjadi perbedaan pendapat mengenai sah tidaknya pengikatan para pihak dalam kontrak baku. Mengenai adanya ketidakseimbangan posisi antara para pihak dalam perjanjian baku. Mariam Badrulzaman memberikan pendapat bahwa perbedaan posisi para pihak ketika perjanjian baku diadakan tidak memberikan kesempatan pada debitor mengadakan tawar menawar (real narganing) dengan pengusaha (kreditor). Debitor tidak mempunyai kekuatan untuk mengutarakan kehendak dan kebebasannya dalam menentukan isi perjanjian. Oleh karenan itu perjanjian baku tidak memenuhi elemen yang dikehendaki pasal 1320 KUH Perdata jo Pasal 1338 KUH Perdata (Salim H.S., 2005:121). Tidak memenuhinya hal dikehendaki dalam pasal 1320 KUH Perdata, namun terdapat pendapat yang masih memperbolehkan menggunakan kontrak standar dengan alasan sebagai bukti ketika terjadi suatu tuntutan dalam persidangan. Hal tersebut dilansir dalam jurnal yang berbunyi sebagai berikut: “at least with consumer contracts, many term or simultaneously unlikely to be read, are not brought to thr attention of the parties and the substantively one sided may justify goverment imposed term (or at least default terms that can only be overcome with clear evidence of knowing waiver) (Brian H. Bix, 2008. Contract Law Theory, Legal Studies Research Paper Series Ressearch paper No. 06-12: University of Minnesota Law School) Maksudnya paling tidak dengan kontrak pada konsumen, banyak syarat sekaligus yang tidak mungkin dibaca, tidak dipahami bagian-bagian dan substansinya, di satu
sisi pemerintah telah memaksakan syarat ( paling tidak syarat yang tidak sanggup diatasi dengan bukti yang jelas untuk surat pembebasan tuntutan). Banyaknya pro kontra tersebut, selanjutnya Mariam Darus Badrulzaman memberikan pandangannya yang juga mengkaji dari aspek kebebasan para pihak. Disini pihak debitor tidak mempunyai kekuatan tawar menawar dalam menentukan isi kontrak dengan pihak kreditor. Pihak kreditor tinggal menyodorkan isi kontrak tersebut kepada debitor dan debitor tinggal menyetujui atau tidak. Apabila debitor menyetujui substansinya maka ia menandatangani kontrak tersebut, tetapi apabila subtansi itu tidak disetujui, maka ia tidak menandatangani kontrak tersebut. Dengan demikian kebebasan berkontrak yang tercantum dalam Pasal 1338 KUH Perdata tidak mempunyai arti bagi debitor, karena hak-hak debitor dibatasi oleh kreditor (Salim H.S., 2005:122). Dari uraian diatas penulis berpendapat bahwa Etik Sri Sulanjari (debitor) dalam hal ini termasuk dalam perlindungan hukum represif. Karena dalam hal ini kreditor telah melakukan eksekusi secara sepihak dengan menggunakan debtcollector terhadap barang jaminan debitor yang seharusnya tidak dibenarkan karena jaminan fidusianya tidak didaftarkan. Oleh karena eksekusi terhadap barang jaminan tersebut yang berupa kendaraan bermotor Suzuki Sky Drive debitor merasa dirugikan karena debitor harus mengeluarkan biaya transport untuk naik kendaraan umum agar bisa mencapai tempar kerjanya dari rumah debitor. Dalam hal ini Majelis hakim dengan memperhatikan Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang Perlindungan Konsumen Majelis Hakim memberikan sanksi kepada pihak kreditor untuk menganti rugi semua kerugian yang telah ditanggung oleh debitor akibat esekusi obyek jaminan fidusia tersebut. Majelis Hakim membebankan ganti rugi terhadap kreditor untuk mengganti uang transport debitor yang seharinya dihitung Rp 15.000,00 selama 30 hari – 4 hari libur kerja yaitu sebanyak 26 hari kerja. Sehingga total yang harus diganti oleh kreditor terhadap debitor sebanyak Rp 390.000,00. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa debitor disini memang perlu perlindungan hukum agar tidak dirugkan akibat dari eksekusi obyek jaminan fidusi yang secara sepihak tidak sesuai dengan peraturan yang ada dan juga jaminan fidusia yang tidak didaftarkan itu sendiri.