BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Penerapan ASEAN Open Sky Policy di Indonesia pada Tahun 2015 dengan Prinsip Hak Menguasai Negara pada Ruang Udara Sebagaimana Diatur dalam Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945. Otoritas penguasaan negara atas wilayah udara, sangat berkaitan erat dengan kewenangan negara untuk mengatur, mengurus dan mengawasi penggunaan ruang udaranya. Berkaitan dengan itu, Mahkamah Konstitusi dalam putusannya telah berketetapan terkait pengertian hak menguasai negara yang mencakup lima pengertian. Negara merumuskan kebijakan (beleid), termasuk melakukan pengaturan (regelendaad), melakukan pengurusan (bestuurdaad), melakukan pengelolaan (beheerdaad) dan melakukan pengawasan
(toezicht
houdendaad)
untuk
tujuan
sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Demikianlah tafsir Mahkamah Konstitusi dalam pengertian penguasaan negara yang dimaksud dalam Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945. UUD NRI Tahun 1945 disamping memiliki ciri pokok sebagai konstitusi politik (political constitution), juga merupakan konstitusi sosial (social constitution), dan bahkan konstitusi ekonomi (economic constitution). Hal tersebut disebabkan karena UUD NRI Tahun 1945 mengatur tentang pokok-pokok sistem perekonomian negara yang bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia. Pengaturan sistem perekonomian dan kesejahteraan sosial dalam UUD NRI Tahun 1945 yaitu terdapat pada Pasal 33. Sistem perekonomian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945 mengatur tentang pengertian perekonomian, pemanfaatan sumber daya alam dan prinsip perekonomian nasional. Bunyi Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945 itu sendiri adalah sebagai berikut: (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan;
46
47
(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara; (3) Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. (4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi
dengan
prinsip
kebersamaan,
efisiensi
berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang. Demikianlah bunyi pasal 33 ayat (1), (2), (3), (4), dan (5) UUD NRI Tahun 1945, yang merupakan hukum dasar dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara yang mengatur berbagai hal, dari hal-hal sederhana hingga yang menyangkut hajat hidup orang banyak seperti halnya terkait dengan perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial. Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945 mencantumkan dasar demokrasi ekonomi Indonesia. Sebagaimana yang tercantumkan dalam Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945 telah mengamanatkan bahwa kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran perseorangan atau segelintir orang saja. Lebih lanjut dalam Pasal 1 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (TAP MPR RI) Nomor XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi Dalam Rangka Demokrasi Ekonomi menyebutkan bahwa, “Politik Ekonomi dalam Ketetapan ini mencakup kebijaksanaan, strategi dan pelaksanaan pembangunan ekonomi nasional sebagai perwujudan dari prinsip-prinsip dasar Demokrasi Ekonomi yang mengutamakan kepentingan rakyat banyak untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945”. Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945 juga menyebutkan bahwa, bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya termasuk udara adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat, oleh sebab itu harus dikuasai oleh negara yang dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat Indonesia.
48
Berdasarkan bahasan tersebut diatas maka dapat disimpulkan bahwa, secara tegas Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945 melarang adanya penguasaan sumber daya alam ditangan perorangan atau pihak-pihak tertentu, sehingga dengan kata lain terhadap praktek monopoli, oligopoli maupun kartel dalam bidang pengelolaan sumber daya alam dianggap bertentangan dengan prinsip penguasaan negara dalam Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945. Prinsip penguasaan negara sebagaimana tertuang dalam Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945 yang secara tegas melarang adanya pemilikan perorangan dan kalangan tertentu berimplikasi bahwa dalam hal monopoli pengaturan, penyelengaraan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan sumber daya alam serta pengaturan hubungan hukumnya pada prinsipnya harus berada pada negara. Jiwa dari Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945 yang berlandaskan semangat sosial, dimana dalam ketentuannya menempatkan penguasaan terhadap berbagai sumber daya alam Indonesia untuk kepentingan publik pada negara. Pengaturan ini berdasarkan anggapan bahwa pemerintah adalah pemegang mandat seluruh masyarakat Indonesia untuk melaksanakan kehidupan
kenegaraan,
sehingga
pemegang
mandat
rakyat
tersebut
seharusnya mempunyai legitimasi yang kuat untuk melakuakan kontrol terhadap pemanfaatan dan penyelenggaraan dalam penggunaan sumber daya alam agar tetap dalam koridor prinsip hak menguasai negara sebagaimana yang diatur dalam konstitusi negara yaitu UUD NRI Tahun 1945. Disamping posisi legitimasi pemerintah sebagai pemegang mandat rakyat tersebut, perlu dicermati pula bahwa pemberian mandat tersebut juga harus dilaksanakan dengan baik. Artinya bahwa, pemberian mandat tersebut pada pemerintah harus dijalankan secara jujur dan adil, dapat dipercaya (accountable), dan transparan (good governance). Dengan demikian kekuasaan pemerintah dalam penyelenggaraan kegiatan negara juga memerlukan kontrol rakyat agar kekuasaan yang telah diberikan kepadanya tidak merugikan rakyat serta menjauhkan pada tujuan negara dalam mensejahterakan rakyat Indonesia. Penafsiran kalimat “dikuasai oleh negara” sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD NRI Tahun 1945 tidak selalu dalam
49
bentuk kepemilikan tetapi utamanya dalam bentuk kemampuan untuk melakukan kontrol serta pengaturan terhadap perlindungan sumber daya alam Indonesia serta memberikan pengaruh agar tetap berpegang pada azas kepentingan mayoritas masyarakat, dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sehingga dengan demikian maka penggunaan sumber daya alam Indonesia akan tetap pada koridor penguasaan negara dengan tujuan akhir untuk kesejahteraan sosial masyarakat. Penguasaan negara terhadap sumber daya alam setidaknya telah dijabarkan lebih jauh dalam 11 (sebelas) undang-undang yang mengatur sektor-sektor khusus yang memberi kewenangan luas bagi negara untuk mengatur dan menyelenggarakan penggunaan, persediaan dan pemeliharaan sumber daya alam serta mengatur hubungan hukumnya. Prinsip ini tertuang dalam undang-undang sebagai berikut: 1.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria;
2.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok-Pokok Kehutanan;
3.
Undang-Undang Nomor
11 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok-
Pokok Pertambangan; 4.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia;
5.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan;
6.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1980 tentang Jalan;
7.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1989 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan;
8.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup;
9.
Undang-Undang Nomor 9 tahun 1985 tentang Ketentuan Pokok Perikanan;
10. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian; dan
50
11. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Hayati. Tafsir hak menguasai negara dalam UUD NRI Tahun 1945 kemudian dijabarkan lebih mendalam dalam putusan Mahkamah Konstitusi atas pengujian undang-undang ketenagalistrikan, undang-undang minyak dan gas bumi serta yang terbaru adalah undang-undang seumber daya air. tafsir Mahkamah Konstitusi tersebutlah yang sampai saat ini dipakai secara formal untuk memaknai penguasaan negara. Putusan Mahkamah Konsitusi atas perkara ketenagalistrikan terdapat pengujian undang-undang secara materiil terhadap Pasal 33 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Mahkamah memberikan pengertian atas makna “dikuasai oleh negara” sebagai tercantum dalam Pasal 33 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 tersebut yang mempunyai daya berlaku normatif sebagai berikut: 1.
Konstitusi memberikan kewenangan kepada negara untuk menguasai cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hidup orang banyak;
2.
Kewenangan tersebut ditujukan kepada mereka baik yang akan maupun yang telah mengusahakan produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup banyak orang. Pada cabang produksi yang jenis produksinya belum ada atau baru akan diusahakan, yang jenis produksi tersebut penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak negara
mempunyai
hak
diutamakan/didahulukan
yaitu
negara
mengusahakan sendiri dan menguasai cabang produksi tersebut serta pada saat yang bersamaan melarang perorangan atau swasta untuk mengusahakn cabang produksi tersebut; dan 3.
Pada cabang produksi yang telah diusahakan oleh perorangan atau swasta dan ternyata produksinya penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, atas kewenangan yang diberikan oleh Pasal 33 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, negara dapat mengambil alih cabang produksi tersebut dengan cara yang sesuai dengan aturan hukum yang adil.
51
Makna penguasaan negara terhadap sektor penting yang menguasai hajat hidup orang banyak dalam putusan Mahkamah Konstitusi tentang pengujian undang-undang ketenagalistrikan tersebut secara jelas telah menetapkan bahwa negara adalah sebagai pemegang kendali terhadap pengusaan atas sektor-sektor penting yang menguasai hajat hidup orang banyak. Hal tersebut terjadi karena berkaitan dengan pemenuhan hak dasar setiap manusia sehingga pelaksana teknis dan penguasaannya harus pada negara. Terkait pelarangan pihak perorangan maupun swasta untuk mengambil alih penguasaan tersebut disebabkan agar jaminan terhadap penyaluran akan hasil dari cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak tersebut dapat tersalurkan dengan baik kepada seluruh masyarakat, sehingga hak dasar masyarakat dapat dinikmati sebagaimana mestinya. Selanjutnya, pengertian hak menguasai negara dalam konstitusi juga dijabarkan lebih lanjut dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 002/PUU-I/2003 atas pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, Mahkamah berpendapat terkait dengan penguasaan negara, yaitu: “Mahkamah berpendapat, ketentuan Pasal 33 UUD 1945 tidaklah menolak privatisasi, asalkan privatisasi itu tidak meniadakan penguasaan Negara, c.q. Pemerintah, untuk menjadi penentu utama kebijakan usaha dalam cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau menguasai orang banyak. Pasal 33 UUD 1945 juga tidak menolak kompetisi di antara para pelaku usaha, asalkan kompetisi itu tidak meniadakan penguasaan oleh negara yang mencakup kekuasaan untuk mengatur (regelendaad), mengurus (bestuurdsdaad), mengelola (beheersdaad), dan mengawasi (toezichthoudensdaad) cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Pemaknaan hak menguasai negara dalam putusan Mahkamah Konstitusi tentang migas tersebut diatas dapat dicermati bahwa, nyatanya pemerintah tidaklah melarang pengelolaan cabang produksi yang penting bagi negara untuk dilakukan privatisasi, namun dalam pelaksanaan privatisasi tersebut tetap harus melibatkan negara sebagai pemegang hak dasar yang
52
memiliki kekuasaan baik itu dalam pengaturan, pengurusan, pengelolaan maupun pengawasan terhadap cabang penting yang menguasai hajat hidup orang banyak tersebut. Selanjutnya putusan Mahkamah Konstitusi terkait sumber daya air yang semakin mempertegas tafsir hak menguasai negara oleh Mahkamah Konstitusi. Hak penguasaan negara atas air itu dapat dikatakan ada bilamana negara, yang oleh UUD NRI Tahun 1945 diberi mandat untuk membuat kebijakan (beleid), masih memegang kendali dalam melaksanakan tindakan pengurusan (bestuurdaad), tindakan pengaturan (regelendaad), tindakan pengelolaan (beheersdaad), dan tindakan pengawasan (toezichthoudensdaad). Fungsi pengaturan oleh negara terhadap cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak adalah dengan cara melakukan pembuatan legislasi nasional. Peran negara dalam pengaturan sebuah pengelolaan cabang produksi sangatlah penting, hal tersebut disebabkan agar dalam pengelolaan cabang produksi tersebut tetap berpegang pada prinsip yang semestinya, sehingga diharapkan dalam pengelolaannya tidak hanya mengedepankan aspek ekonomis yang didapatkan tetapi juga terdapat perlindungan, pembaharuan dan kesejahteraan sosial masyarakat pada pokoknya. Fungsi pengelolaan dalam tafsir Mahakamah Konstitusi dapat dicontohkan dalam hal pemilikan saham melalui Badan Usaha Milik Negara. Pemilikan saham baik sebagian maupun seluruhnya dalam pengelolaan sumber daya alam yang penting bagi negara sangatlah penting karena hal ini berkaitan dengan upaya pemerintah untuk ikut serta secara langsung dalam penguasaan sumber daya alam tersebut. Pengelolaan dalam pelaksanaan produksi atas pemanfaatan sumber daya alam secara ekonomis juga sangatlah berpengaruh terhadap suplai anggaran pemasukan pemerintah untuk membiayai kebutuhan negara yang lain sehingga mampu meningkatkan perekonomian negara. Fungsi kebijakan pemerintah dalam mengelola cabang produksi yang penting bagi negara dilakukan dengan cara merumuskan dan mengadakan
53
kebijakan-kebijakan tertentu terkait dengan cabang produksi tersebut. Pemerintah dalam fungsi ini memiliki peran dalam hal menjalankan kontrol pelaksanaan produksi. Hal tersebut dimaksudkan agar, pengelolaan sumber daya alam tersebut sesuai dengan kebutuhan negara sekaligus memperhatikan situasi dan kondisi keadaan negara yang bersangkutan. Fungsi pengurusan oleh pemerintah dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas perizinan (vergunning), lisensi (licentie), dan konsensi (concessie). Pemerintah dalam pengurusan terhadap cabang produksi yang penting bagi negara tersebut yaitu memiliki posisi tawar yang sangat besar dalam hal pengendalian arah pengelolaan sumber daya alam. Fungsi pengawasan memiliki tujuan akhir adalah agar pelaksanaan pengelolaan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak tersebut dapat benar-benar tersalurkan kepada masyarakat sehingga tujuan dari adanya penguasaan negara benarbenar dapat menciptakan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Termasuk dalam fungsi ini yaitu kewenangan pemerintah pusat melakukan pengujian Peraturan daerah (executive review). Pengertian dari hak menguasai negara tersebut diatas, telah menegaskan bahwa tema kemakmuran rakyat merupakan tujuan dari setiap pengelolaan dan penggunaan sumber daya alam nasional. Tujuan itu dipandang sebagai kepentingan yang tidak dapat diabaikan. Sebab selain merupakan amanat konstitusi hal ini juga menjadi kehendak setiap warga negara dan tanggung jawab negara sebagai konsekuensi dari lahirnya penguasaan negara terhadap sektor-sektor yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak Indonesia. Selanjutnya yang menarik untuk diteliti adalah terkait dengan penguasaan negara di dalam konstitusi UUD NRI Tahun 1945 terhadap pelaksanaan kebijakan ASEAN open sky policy yang telah diberlakukan pada akhir tahun 2015 yang lalu. Pelaksanaan ASEAN open sky secara umum dapat dikatakan sebagai bentuk liberalisasi perekonomian, yang membuka
54
wilayah udara Indnesia untuk dilalui oleh pesawat-pesawat negara lain yang masuk dalam perjanjian. Negara-negara yang tergabung dalam perjanjian tersebut adalah negara yang masuk dalam kawasan ASEAN yang meliputi Indonesia, Singapura, Malaysia, Thailand, Brunei Darussalam, Filipina, Vietnam, Myanmar, Laos dan Kamboja. Dinamika perkembangan global telah mengantarakan seluruh negaranegara di dunia untuk ikut terlibat dalam mekanisme globalisasi. Globalisasi inilah yang menuntut negara-negara di dunia untuk saling bekerjasama dalam melaksanakan tuntutan global. Globalisasi ini pula yang telah mengantarkan Indonesia untuk terlibat dalam pembukaan pasar angkut udara tanpa batas dalam ASEAN open sky. Adanya globalisasi tersebut telah menempatkan negara untuk mampu meghadapkan kepentingan nasional dalam penguasaan sumber daya alam secara seutuhnya dalam suatu negara dengan liberalisasi dalam pasar bebas yang telah disepakati sebagai komitmen bersama antar negara-negara yang telah mengadakan perjanjian. Penguasaan negara terhadap sumber daya alam berupa ruang udara Indonesia sekarang ini merupakan isu krusial yang perlu dikaji. Tujuannya adalah untuk mengetahui sejauhmana hak negara dalam menguasai sektor penting dan strategis dalam mekanisme globalisasi ini akan bertahan. Pertanyaan besar tentu muncul terkait dengan sesuai atau tidaknya penyelenggaraan liberalisasi dalam suatu perjanjian antar negara-negara dengan hukum nasional masing-masing negara, hal tersebutlah yang sekarang dihadapi Indonesia. Apakah dalam pelaksanaan perjanjian ASEAN open sky ini yang memanfaatkan sumber daya alam berupa ruang udara Indonesia sesuai dengan prinsip dasar perekonomian nasional dalam Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945. Adanya dalil Hukum Romawi yang berbunyi, “Cuius est solom, eius usgue ad coelum et ad inferos” melandasi dibentuknya Konvensi Paris 1919. Dalil itu berarti: “Barangsiapa memiliki sebidang tanah dengan demikian juga memiliki segala sesuatu yang berada di atas permukaan tanah tersebut sampai ke langit dan segala apa yang berada di dalam tanah tersebut” (Hans Kelsen,
55
1949: 213-214). Ruang udara adalah ruang yang terletak diatas ruang daratan dan atau ruang lautan sekitar wilayah negara dan melekat pada bumi dimana suatu negara mempunyai hak yurisdiksi (Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, TT, dalam http://hubud.dephub.go.id/?id/page/detail/98, diakses tanggal 2 Mei 2016). Ruang udara adalah salah satu wujud dari sumber daya alam Indonesia yang patut dilindungi dan merupakan salah satu objek yang menguasai hajat hidup orang banyak. Dikatakan demikian, karena udara merupakan satu kesatuan dari bumi yang merupakan sumber daya alam Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa. Pasal 1 ayat (2) UndangUndang Nomor 5 Tahun 1960 tetang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) menyebutkan bahwa, "Seluruh bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, adalah bumi, air dan ruang angkasa Bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional". Kemudian disambung dalam Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi, "Hubungan hukum antara Bangsa Indonesia dan bumi, air dan ruang angkasa termasuk dalam ayat (2) pasal ini adalah hubungan yang bersifat abadi". Berdasarkan ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa dari sudut pandang agraria sudah menempatkan hak bangsa atas wilayah ruang udaranya sebagai hak penguasaan yang tertinggi terhadap kekayaan alam yang berasal dari perut bumi, udara serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Sejalan dengan hal tersebut, oleh pakar hukum tata negara Andi Irmanputra Sidin menyatakan bahwa penerbangan adalah termasuk bumi (ruang udara) di atasnya, dan cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak yang harus dikuasai negara (Berita satu, 2015, dalam
http://sp.beritasatu.com/home/negara-harus-jamin-keselamatan-
penerbangan/74103, diakses tanggal 7 Mei 2016). Hal itu mengacu ke Pasal 33 UUD 1945. Oleh karena itu, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang
Penerbangan
menyebutkan
yang
bertanggung
jawab
akan
keselamatan dan keamanan penerbangan adalah menteri cq (casu quo) Menteri Perhubungan. Padangan tersebut menjelaskan bahwa keberadaan
56
negara dalam hal pengelolaan udara yang dalam hal ini adalah penerbangan adalah pada posisi sentral. Keberadaan negara adalah sebagai pemegang hak penguasaan negara atas pengelolaan cabang produksi yang memanfaatkan sumber daya alam Indonesia, sehingga penerbangan adalah salah satu wujud dari objek penguasaan negara dalam Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945. Praktek ASEAN open sky nantinya akan membentuk liberalisasi dalam penggunaan sumber daya alam Indonesia berupa udara. Artinya bahwa, ruang udara Indonesia akan sama-sama dinikmati oleh negara lain sebagai aspek konkret perwujudan kerjasama internasional dalam bentuk liberalisasi ruang udara. Liberalisasi ruang udara adalah suatu keadaan dimana dua pihak melakukan
transaksi
dagang
secara
sukarela
dengan
menggunakan
pemanfaatan ruang udara suatu negara sebagai wadah untuk melakukan transaksi, dimana pihak penjual yakni penyedia maskapai penerbangan menyatakan kerelaannya untuk menjual jasa penerbangan dan pihak pembeli atau konsumen penerbangan menyatakan kerelaannya untuk membeli jasa tersebut dengan harga yang disepakati. Titik fokus dari bahasan ini adalah ruang udara yang menjadi wadah dilangsungkannya transaksi dagang tersebut yang tidak lagi memperhatikan batas-batas kedaulatan suatu negara, karena dalam mekanisme open sky dikenal adanya penghilangan hambatan-hambatan termasuk dalam hal hambatan untuk memasuki wilayah negara lain sepanjang tidak mengganggu lalu lintas penerbangan yang lain. Air Trafic Controller (ATC) memiliki peranan yang besar terhadap pelaksanaan ASEAN open sky nantinya. Pasar bebas penerbangan membutuhkan peranan besar ATC untuk dapat mengatur lalu lintas penerbangan dalam ASEAN open sky. Hal ini disebabkan karena dalam pasar bebas ini akan semakin ramai lalu lintas penerbangan untuk dilalui maskapai-maskapai penerbangan, sehingga fungsi ATC membawa peranan sentral dalam keberhasilan ASEAN open sky nantinya. Oleh sebab itu, dalam mekanisme open sky policy ini negara yang tidak mampu melaksanakan kontol dalam lalu lintas penerbangan di dalam yurisdiksi wilayah negaranya, maka kewenangan dalam menjalankan kontrol
57
tersebut akan diberikan kepada negara lain yang dinilai lebih mampu. Hal ini disebabkan karena faktor keamanan dan keselamatan penumpang dalam penerbangan. Dimana pembukaan pasar bebas penerbangan sudah merupakan keniscayaan akan adanya kepadatan lalu lintas penerbangan, sehingga aspek keamanan dan keselamatan harus diutamakan. Hal inilah yang menjadi perhatian serius pemerintah Indonesia untuk segera memperluas kapasitas kerja ATC agar siap dalam menghadapi kepadatan lalu lintas penerbangan. Berkaitan dengan standar keamanan dan keselamatan penerbangan, nyatanya saat ini standar Indonesia masih jauh dari standar Internasional yang ditetapkan ICAO. Hal tersebut patut untuk dikritisi bersama terkait dengan kecenderungan gagalnya Indonesia untuk mempertahankan kedaulatan udara yang diamanahkan kepada negara sebagaimana tercantum dalam Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945. Berdasarkan audit kepatuhan Universal Safety Oversight Audit Programme (USOAP) ICAO menemukan 121 butir ketidakpatuhan tentang keselamatan yang perlu dibenahi oleh Indonesia melalui rencana aksi perbaikan (corrective action plan), sedangkan dari USOAP ada 41 butir temuan ketidakpatuhan dalam aspek keamanan. Dengan hasil audit tersebut membuat posisi regulator Indonesia di FAA masih pada Category 2 sejak tahun 2007 (Devi Fajria, 2015:10). Temuan ketidakpatuhan Indonesia dalam standar ICAO mempunyai arti bahwa, banyak terjadi pelanggaran prosedur keselamatan dan keamanan penerbangan yang berulang oleh maskapai penerbangan Indonesia yang lolos dari pengawasan otoritas penerbangan Indonesia. Hal ini juga mempunyai arti regulator Indonesia tidak memiliki kompetensi yang memadai dalam menerapkan safety oversight sehingga tidak berani mencabut izin operasi maskapai yang melakukan pelanggaran mendasar. Regulator Indonesia juga dinilai terlalu mudah memberikan izin usaha dan operasi penerbangan kepada unsafe airlines yang mengakibatkan tingginya tingkat kecelakaan pesawat terbang di Indonesia (Devi Fajria, 2015:10).
58
Grafik 1. Efektivitas implementasi Kebijakan ICAO
Sumber: (International Civil Aviation Organization, 2016: http://www.icao.int/safety/Pages/USOAP-Results.aspx)
Sumber: (International Civil Aviation Organization, 2014, dalam http://www.icao.int/safety/Pages/USOAP-Results.aspx, diakses tanggal 17 Mei 2016).
Berdasarkan data statistik dari Safety Audit Information ICAO, dapat dilihat bahwa, standar penerbangan Indonesia masih dibawah garis rata-rata standar penerbangan dunia. Sehingga dalam hal pengendalian lalu lintas udara (ATC) yang dicantumkan dalam Federal Aviation Administration (FAA), Indonesia hanya masuk kedalam kategori 2 (dua) yang dapat dikatakan bahwa kondisi penerbangan Indonesia tidak layak dan tidak aman dan setara dengan negara-negara kecil seperti Zimbabwe, Kongo dan Serbia. Sehingga Indonesia belum mempunyai standar rata-rata yang sesuai dengan peraturan ICAO. Dari segi Bandar Udara dan maskapai masih tertinggal dengan ada beberapa bandara yang akses darat ke bandara masih kurang, selain itu juga ada perencanaam pemanfaatan lahan yang belum optimal. Dalam hal ini terdapat permasalah utama dalam pengendalian lalu lintas udara yaitu seperti:
59
1.
Manajemen udara yang terhambat dengan struktur rute yang rigid dan sektorisasi;
2.
Tidak ada prosedur, proses dan sistem untuk mengatur arus trafic udara dan manajemen kapasitas (ATFCM);
3.
Tidak ada jeda kapasitas dalam waktu puncak di bebereapa bandara, pusat kontrol dan rute;
4.
Kemampuan dari pesawat udara modern dalam menggunakan wilayah udara tidak dimanfaatkan;
5.
Kekurangan sumber daya manusia dibutuhkan dan diperlukan untuk manajemen lalu lintas udara;
6.
Fungsi komunikasi, navigasi dan surveillance (CNS)/ATM infrastruktur tidak cukup untuk dibutuhkan dimasa depan. Selain masih berada pada “kategori 2” penilaian FAA dalam hal
standar keselamatan, keamanan dan pertahanan penerbangan, pada beberapa bagian wilayah Indonesia juga masih memiliki masalah kedaulatan. Hal tersebut dikarenakan sampai saat ini beberapa bagian wilayah udara nasional berada dalam konfigurasi FIR (Flight Information Region) Singapura dan Kinabalu. Wilayah tersebut mencakup ruang udara di atas Riau daratan, Riau Kepulauan, dan gugusan Kepulauan Natuna serta Anambas yang masuk dalam FIR Singapura, serta ruang udara di atas Laut Cina Selatan yang terletak di ujung Kalimantan Barat yang masuk dalam FIR Kinabalu (Devi Fajria, 2015: 11). Ruang udara Kepulauan Riau jatuh ke tangan Singapura sejak 69 tahun lalu yaitu terjadi pada tahun 1946, satu tahun sejak Indonesia merdeka. Singapura menguasai sekitar 100 mil laut wilayah udara Indonesia. Satu mil laut ialah 1.825 kilometer. Kuasa Singapura atas langit Indonesia itu ditetapkan dalam pertemuan ICAO di Dublin, Irlandia, pada Maret 1946 (Anggi Kusumadewi, Prima Gumilang, Gilang Fauzi, Abraham Utama, Abi Sarwanto, 2015, http://www.cnnindonesia.com/nasional/2015100417113720-82698/luhut-singapura-malaysia-dukung-ri-kendalikan-ruang-udara/, diakses tanggal 4 Mei 2016).
60
Wilayah FIR Singapura merupakan area perbatasan strategis yang sangat rentan sebagai pemicu konflik. Hal tersebut disebabkan karena langsung berbatasan dengan Singapura dan Malaysia. Jika berkaca pada negara-negara lain di dunia seperti Korea, maka area perbatasan strategis seperti halnya wilayah udara kepulauan riau dijadikan sebagai critical boarder untuk latihan tempur tentara. Sementara yang terjadi di Indonesia selama ini bahwa untuk menghidupkan mesin jet tempur di wilayah Batam, Pemerintah Indonesia harus melakukan izin terlebih dahulu pada otoritas Singapura. Hal tersebut tentu telah menciderai kedaulatan wilayah Indonesia. Pasal 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan menyebutkan bahwa, “Negara Kesatuan Republik Indonesia berdaulat penuh dan eksklusif atas wilayah udara Republik Indonesia.” Oleh sebab itu dengan adanya catatan khusus kedaulatan udara tersebut telah menuntut pemerintah untuk segera melakukan pembenahan terhadap pengambilalihan wilayah udara Indonesia secara mutlak terhadap kasus FIR Singapura dan Kinabalu. Hal ini juga sekiranya sudah dipertegas dalam Pasal 458 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan yang menyatakan bahwa, “Wilayah
udara
Republik
Indonesia,
yang
pelayanan
navigasi
penerbangannya didelegasikan kepada negara lain berdasarkan perjanjian, sudah harus dievaluasi dan dilayani oleh lembaga penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan paling lambat 15 tahun sejak Undang-Undang ini berlaku.” Berdasarkan bunyi ketentuan undang-undang penerbangan tersebut, maka ruang udara Indonesia yang dikendalikan asing harus berada dalam kontrol Indonesia paling lambat tahun 2024. Syarat utama untuk dapat mengambil alih pelayanan lalu lintas penerbangan dari Singapura adalah adanya fasilitas navigasi penerbangan yang memadai sesuai dengan Standard and Recommendation Practices yang diatur dalam Konvensi Chicago dan Annex-Annexnya (Devi Fajria, 2015: 11). Dimana dalam ketentuanya mensyaratkan adanya jaminan kemanan dan keselamatan penerbangan. Sektor keselamatan dan keamanan penerbangan
61
juga termasuk didalamnya adalah ATC. ATC adalah pengaturan lalu lintas udara untuk menangani seluruh kegiatan lalu lintas di udara. Disamping kasus FIR Singapura dan Kinabalu, yang perlu dicermati adalah isu black flight. Black flight sendiri merupakan penerbangan yang dilakukan oleh pesawat asing yang melintasi sebuah negara tanpa seijin otoritas negara yang bersangktan. Kasus black flight di Indonesia dapat dikatakan cukup tinggi. Pada tahun 2006, stasiun radar mengirim laporan sasaran tak dikenal (Lasa X) sebanyak 18 kali. Setelah itu, pada 2007 Lasa X atas obyek penerbangan tidak dikenal meningkat menjadi 23 kali. Pada 2008 kasusnya menjadi 28 kali. Berikutnya pada 2009 menurun sedikit menjadi 15 kali dan pada 2010 turun lagi menjadi 8 kali. Tercatat pada tahun 2014 terjadi empat kali penyusupan pesawat asing yang dipaksa mendarat di sejumlah lapangan udara di Tanah Air, kasus tersebut antara lain (Sigiranus Marutho Bere,
2015,
http://www.kompasiana.com/abanggeutanyo/black-flight-
menggila-ada-celah-hitam-di-ruang-angkasakita_54f94671a33311f8478b4def, diakses tanggal 3 Mei 2016): 1.
Pada 14 April 2014, 2 F-16 TNI AU mencegat dan memaksa mendarat (force down) pesawat asing milik penerbang Swiss, Heins Pieier di Medan, Sumatera Utara. Setelah melengkapi dokumennya pesawat tersebut diizinkan kembali terbang.
2.
Kemudian, pada 22 Oktober 2014, pesawat Cessna Beecraft milik Australia yang dipiloti oleh Jacklin Graeme Paul dan kokpit Maclean Richard Wayne dipaksa mendarat di Bandara Sam Ratulangi, Manado. Penyergapan yang tergolong dramatis tersebut nyaris menimbulkan tragedi penerbangan akibat pilot Australia memperlihatkan keegoannya dengan menolak mendarat beberapa kali karena merasa telah mendapat persetujuan/izin melintasi wilayah kita dari Filipina menuju Darwin.
3.
Selanjutnya pada 28 Oktober 2014, giliran pesawat latih Cessna milik Singapura yang dijepit Sukhoi dan dipaksa mendarat di Bandara Supadio, Pontianak akibat melanggar wilayah udara Indonesia. Pilot Tan Chin Kian yang katanya sebagai pelatih sedang menuntun pilot muda masih
62
amatiran beralasan tidak menduga melewati batas Indonesia. Setelah ditahan, keesokan harinya dilepas kembali setelah dokumen izin dilengkapi. 4.
Selang berapa hari kemudian, pada 3 November 2014, TNI AU kembali melakukan intercept (penyergapan) terhadap pesawat komersial jenis Gulfstream IV bernomor HZ-103 milik Arab Saudi. Alasan klasik pada kasus black flight di Indonesia bagi pelaku adalah
telah memperoleh izin untuk melintas sebelumnya, walaupun hal tersebut hanyalah fiktif. Kemudian apabila black flight diketahui oleh otoritas penerbangan Indonesia maka kemudian para pelaku segera menyelesaikan dokumen izin terbang, maka setelah izin terbang didapatkan para pelaku akan segera dilepas kembali. Hal ini merupakan salah satu ironi dari pengurusan dan pengawasan pada pengelolaan penerbangan Indonesia. Diperlukan ketegasan dari pemerintah untuk menindak pelanggaran penerbangan dan sekaligus diperlukan peningkatan kapasitas ATC dalam melakukan kontrol terhadap kedaulatan wilayah udara Indonesia. Pentingnya peranan ATC menuntut pemerintah Indonesia harus totalitas dalam mendukung peningkatan kinerja ATC. Hal tersebut dapat diwujudkan dengan cara meremajaan perangkat pada Air Traffic Controllers tower. Peremajaan perangkat ATC bukan berarti tidak menuai hambatan, hal tersebut dikarenakan dalam melakukan peremajaan perangkat ATC sudah pasti membutuhkan dana yang sangat besar sehingga dapat membebani keuangan negara, namun meskipun demikian faktor keselamatan dan keamanan penerbangan menjadi keniscayaan yang wajib dikedepankan. Karena berangkat dari peningkatan keselamatan dan keamanan penerbangan, kedaulatan udara Indonesia dapat secara eksklusif kembali dimiliki. Diterapkannya kebijakan ASEAN open sky tentu menjadi salah satu faktor pendukung untuk segera melakukan pembenahan terhadap peningkatan kapasitas ATC. Hal tersebut sudah barang tentu disebabkan karena akan terdapat peningkatan jumlah lalu lintas penerbangan yang semakin menambah padat lalu lintas penerbangan yang pastinya akan menyulitkan
63
bagi para petugas ATC untuk mengontrol wilayah udara Indonesia terlebih jika semakin diperparah dengan tigginya kasus black flight di Indonesia. Maka dari pada itu guna mengantisipasi black flight peningkatan teknologi dalam menunjang pengawasan terhadap wilayah udara perlu di tingkatkan. Satu hal yang paling penting adalah dengan tetap mempertahankan kedaulatan atas ruang udara Indonesia sehingga kekhawatiran pelaksanaan kebijakan ASEAN open sky nantinya dapat diminimalisir dan sesuai dengan Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945. Kelayakan penerbangan Indonesia harus dibenahi sedemikian rupa agar pelaksanaan penguasaan negara terhadap sumber daya alam berupa udara yang membawa konsekuensi terhadap kedaulatan wilayah Indonesia dapat dijalankan dengan semestinya. Hal ini dapat jalankan melalui perbaikan baik dalam hal infrastruktur, sumber daya manusia maupun regulasi nasional. Dalam hal keamanan dan keselamatan misalnya, sebagai pemegang hak penguasaan negara akan wilayah udaranya pemerintah masih berada pada stelsel pasif untuk menangani permasalahan tersebut. Padahal kita ketahui bahwa penerbangan yang memanfaatkan ruang udara merupakan salah satu aspek dari sumber daya alam telah diamanahkan oleh UUD NRI Tahun 1945 sebagai aspek yang harus dikuasi negara. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan merupakan landasan yuridis penyelenggaraan penerbangan Indonesia. Undang-Undang ini pula yang menjadi dasar pemberlakuan liberalisasi penerbangan dalam ASEAN open sky policy di Indonesia. Kemunculan Undang-Undang ini antara lain dilatarbelakangi oleh perubahan yang signifikan terhadap sistem lalu lintas udara di dunia, khususnya berkaitan dengan liberalisasi dan faktor ekonomi, perpindahan manusia dari satu negara ke negara lain, pergerakan modal serta kebijakan transportasi dalam satu region dan perdagangan dunia khususnya perdagangan jasa penerbangan (Emmy Latifah, 2011: 10). Sebagaimana tafsir hak menguasai negara dalam putusan Mahkamah Konstitusi, maka dalam hal penerbanganpun negara layaknya harus membuat
64
kebijakan (beleid), masih memegang kendali dalam melaksanakan tindakan pengurusan (bestuurdaad), tindakan pengaturan (regelendaad), tindakan pengelolaan (beheersdaad), dan tindakan pengawasan (toezichthoudensdaad). Negara harus sebagai stelsel aktif khusunya menyangkut keselamatan dan keamanan penerbangan, guna menjamin keselamatan dan keamanan penerbangan. Hal tersebut juga sekaligus dapat meningkatkan standar Internasional penerbangan Indonesia. Selanjutnya adalah mekanisme pasar dalam penentuan harga tiket pesawat ditentukan oleh penawaran dan permintaan. Jika permintaan meningkat, maka harga akan naik, permintaan turun maka harga akan turun. Sebaliknya jika penawaran tinggi, maka harga turun. Penawaran rendah, maka harga akan naik. Ekonomi di dalam pasar bebas diatur oleh para pelaku atau kapitalis, sedangkan intervensi atau fungsi pemerintah sangatlah minimal. Terlebih dalam mekanisme pasar bebas dalam ASEAN open sky nantinya akan banyak muncul maskapai-maskapai baru yang tentunya masing-masing akan saling berebut pangsa pasar dengan menarik konsumen sebanyak mungkin, sehingga persaingan akan tarif tiket pesawat akan semakin tinggi sehingga tidak jarang nantinya akan ditemui harga tiket pesawat dalam kategori pure low cost. Pasar bebas penerbangan juga mengasumsikan bahwa setiap produsen maskapai berada dalam situasi persaingan sempurna. Artinya tidak ada subsidi atau monopoli dalam pasar. Harga sudah merupakan sesuatu yang mutlak ditentukan oleh pasar, sehingga produsen tidak bisa keuntungan sebesar-besarnya dengan menentukan harga yang tinggi. Oleh karena itu, perusahaan penerbangan akan menawarkan harga yang serendah-rendahnya agar dapat bersaing dalam pasar. Keuntungan perusahaan biasanya sangat sedikit, namun walaupun demikian akumulasi kekayaan bukan dari margin keuntungan yang tinggi melainkan dari banyaknya penjualan tiket yang diperoleh. Sehingga nantinya maskapai-maskapai penerbangan akan saling berlomba-lomba untuk menawarkan harga tiket maskapainnya dengan serendah-rendahnya. Kelemahan pasar bebas adalah bahwa karena persaingan
65
sempurna, maka yang kuat akan menang, yang lemah akan kalah. Negara yang lebih siap dalam penerbangannya baik dari segi infrastruktur, sumber daya manusia, maupun maskapainnya akan mengalahkan negara dengan kondisi maskapai yang sebaliknya. Negara yang memiliki kecakapan penerbangan yang sedemikian rupa sangat diperlukan didalam suatu sistem persaingan sempurna. Pasar persaingan sempurna dalam industri penerbangan juga dapat menimbulkan persaingan usaha yang tidak sehat. Salah satu faktor penyebab adanya persaingan usaha tidak sehat adalah dengan adanya beberapa regulasi yang mengatur atau menetapkan harga atau tarif. Dengan adanya penetapan batas bawah premi asuransi ini menjadi suatu penghalang (entry barrier) tersendiri bagi perusahaan yang dapat berproduksi dengan lebih efisien. Penetapan batas bawah ini dikhawatirkan juga menciptakan peluang kartel baru untuk beberapa permainan asuransi besar. Kartel regulasi dapat tercipta karena perusahaan-perusahaan asuransi yang dapat memberikan tarif yang lebih efisien (di bawah batas bawah premi) menaikan tarifnya pada batasan yang ditetapkan pemerintah. Salah satu regulasi di sektor transportasi juga menimbulkan konsekuensi negatif bagi persaingan usaha, yaitu melalui Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 11 Tahun 2016 tentang Mekanisme Formulasi Perhitungan dan Penetapan Tarif Batas Atas dan Batas Bawah Penumpang Pelayanan Kelas Ekonomi Angkutan Udara Berjadwal Dalam Negeri. Regulasi ini mewajibkan badan usaha angkutan udara untuk menetapkan tarif 100% dari tarif batas maksimum untuk badan usaha angkutan udara yang memberikan pelayanan maksimum (full services). Penerapan tarif juga dikenakan setinggi-tingginya 90% dan 85% dari tarif batas maksimum untuk badan usaha angkutan udara yang memberikan pelayanan standar menengah (medium services) dan pelayanan minimum (no frills services). Sementara untuk tarif batas bawah yang dikenakan serendah-rendahnya 30% dari tarif batas atas sesuai dengan kelompok pelayanan yang diberikan. Alasan yang
66
diberikan Kementerian Perhubungan adalah terkait faktor keselamatan dan perlindungan terhadap konsumen (Yose Rizal Damuri, dkk. 2016: 38-39). Regulasi yang dikeluarkan oleh Kementerian Perhubungan tersebut diatas tidak mencerminkan prinsip persaingan usaha yang sehat. Hal ini disebabkan adanya pembatasan ruang gerak bagi pelaku usaha untuk menetapkan harga yang paling sesuai dengan struktur biaya maskapai penerbangan. Regulasi semacam ini dapat menjadi disinsentif bagi maskapai untuk melakukan inovasi yang dapat membuat struktur biaya perusahaan lebih efisien, khususnya bagi low cost carriers. Regulasi batas bawah ini juga akan merugikan bagi maskapai low cost carriers domestik dengan diberlakuakannya ASEAN open sky policy Tahun 2015. Hal ini disebabkan karena maskapai low cost carriers asing tidak bisa diatur dibawah regulasi tersebut. Akibatnya, maskapai domestik dapat menjadi kalah bersaing dengan maskapai asing dengan adanya regulasi ini (Yose Rizal Damuri, dkk. 2016: 38-39). Untuk menjawab pemberlakuan ASEAN open sky policy agar tidak bertentangan dengan kepentingan nasional Indonesia pada prinsipnya harus dikembalikan lagi pada prinsip hak menguasai negara yang telah ditafsirkan oleh Mahkamah Konstitusi. Sebagaimana tafsir hak menguasai negara dalam putusan Mahkamah Konstitusi, maka dalam hal pelaksanaan kebijakan liberalisasi ruang udara dalam ASEAN open sky, negara selayaknya harus membuat kebijakan (beleid), masih memegang kendali dalam melaksanakan tindakan pengurusan (bestuurdaad), tindakan pengaturan (regelendaad), tindakan
pengelolaan
(beheersdaad),
dan
tindakan
pengawasan
(toezichthoudensdaad). Pada prinsipnya lima prinsip tersebut masih dapat dikendalikan oleh negara, sehingga pelaksanaan kebijakan ASEAN open sky ini sepanjang negara tetap melaksanakan kelima prinsip tersebut dengan baik maka kebijakan tersebut tidak bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Agar negara tetap memegang kendali atas ruang udara supaya tetap sejalan dengan prinsip hak menguasai negara dalam kebijakan ASEAN open sky, tentunya
negara
harus
dapat
meminimalisir
dan
menghilangkan
67
kecenderungan terhadap ancaman kedaulatan yang mungkin dilanggar. Ancaman kedaulatan yang dimungkinkan untuk timbul adalah terkait dengan kedaulatan terhadap pengendalian wilayah udara yang mengarah pada keselamatan dan keamanan penerbangan, kedaulatan terhadap penggunaan sumber daya manusia Indonesia agar tetap eksis sebagai tenaga kerja penerbangan Indonesia, dan kedaulatan perekonomian yang mengarah pada persaingan usaha yang semakin ketat antar maskapai yang dimiliki masingmasing negara ASEAN.
B. Alasan Penerapan ASEAN Open Sky Policy di Indonesia pada Tahun 2015. Keikutsertaan Indonesia dalam ASEAN open sky pada tahun 2015 yang merupakan kebijakan untuk membuka wilayah udara antar negara ASEAN atau dalam istlah lain dapat disebut sebagai bentuk liberalisasi angkutan udara. Secara yuridis formal hal tersebut merupakan wujud komitmen bersama kepala negara masing-masing negara anggota ASEAN dalam Bali Concord II yang dideklarasikan pada KTT ASEAN tahun 2003 di Bali Indonesia. Kelahiran ASEAN open sky pada tahun 2015 ini antara lain dilatar belakangi oleh adanya kesepakatan bersama antar negara anggota untuk mengintegrasikan perekonomian dalam kawasan ASEAN melalui implementasi dari ASEAN Econommic Community. ASEAN Econommic Community (AEC) atau dalam bahasan Indonesia disebut sebagai Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), merupakan sebuah bentuk kerjasama dalam bidang ekonomi antar negara-negara yang tergabung dalam ASEAN yang merupakan wujud dari integrasi ekonomi regional ASEAN untuk menciptakan situasi perdagangan bebas. Perdagangan bebas yang dimaksudkan adalah untuk menghilangkan hambatan tarif (bea cukai) bagi semua negara-negara anggota ASEAN. Sehingga diharapkan dengan adanya penghapusan hambatan-hambatan dalam kawasan, akan menciptakan sebuah basis ekonomi baru dalam kawasan ASEAN. Hal tersebut juga merupakan salah satu wujud dari keinginan bersama negara-negara anggota
68
ASEAN untuk dapat berkompetisi dengan kawasan dalam belahan dunia lain, sehingga kawasan ASEAN mampu bersaing dalam kawasan ekonomi yang lain. Komitmen
bersama
ini
kemudian
semakin
kuat
untuk
diimplementasikan setelah ditandatanganinya “Cebu declaration on the acceleration of the establishment of an ASEAN community by 2015” yang dilakukan oleh para pemimpin ASEAN pada KTT ke-duabelas ASEAN di Cebu Filipina pada tanggal 13 Januari tahun 2007. Perwujudan AEC mengacu pada blueprint AEC yang memuat 4 (empat) pilar berisi rencana kerja strategis dalam jangka pendek, menengah, dan panjang hingga 2015 menuju terbentuknya integrasi ekonomi ASEAN, yaitu (Direktorat Jenderal Kerjasama Asean, 2007: 51): 1.
ASEAN sebagai pasar tunggal dan berbasis produksi tunggal yang didukung dengan elemen aliran bebas barang, jasa, investasi, tenaga kerja terdidik dan aliran modal yang lebih luas;
2.
ASEAN sebagai kawasan dengan daya saing ekonomi yang tinggi dengan elemen peraturan kompetisi, perlindungan konsumen, hak atas kekayaan intelektual, pengembangan infrastruktur, perpajakan dan ecommerse;
3.
ASEAN sebagai kawasan pengembangan ekonomi yang merata dengan elemen pengembangan usaha kecil dan menengah, dan prakarsa integrasi ASEAN untuk Negara CMLV (Cambodia, Myanmar, Laos dan Vietnam);
4.
ASEAN sebagai kawasan yang terintegrasi secara penuh dengan perekonomian global dengan pendekatan yang koheren dalam hubungan ekonomi di luar kawasan dan meningkatkan peran serta dalam jejaring produksi global. Tujuan dari adanya integrasi di kawasan ASEAN tidak lain adalah
untuk meningkatkan daya saing ekonomi negara-negara ASEAN dengan menjadikan ASEAN sebagai basis produksi bukan hanya menjadi pasar dari negara-negara maju, menarik investasi dan meningkatkan perdagangan antar
69
anggota-anggotanya agar dapat bersaing dalam menghadapi tantangan global, serta mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan sosial antar negara anggota melalui sejumlah kerjasama ekonomi termasuk dalam pelaksanaan ASEAN open sky pada tahun 2015 ini. Dalam Bali Concord II disebutkan cita-cita terbentuknya AEC 2020 dengan angkutan udara menjadi salah satu dari 12 (duabelas) sektor yang diintegrasikan (Direktorat Jenderal Kerjasama Asean, 2007: 50). Selanjutnya, pada ASEAN Econnomic Ministers Meeting (AEM) ketiga puluh sembilan, disepakati mengenai naskah AEC blueprint beserta strategic schdule-nya yang mencakup inisiatif-inisiatif baru serta roadmap yang jelas untuk mencapai pembentukan AEC pada tahun 2015. AEC blueprint akhirnya disahkan pada KTT ke-tigabelas di Singapura, ASEAN telah menetapkan lima sektor prioritas dari 12 (duabelas) sektor prioritas yang akan diintegrasikan menjelang pembentukan komunitas ekonomi ASEAN, yaitu sektor jasa kesehatan, jasa pariwisata, jasa logistik, e-ASEAN, dan jasa transportasi udara (Tuti Nuraini, 2009: 6). Masuknya sektor transportasi udara sebagai salah satu sektor prioritas utama dalam memasuki era integrasi ekonomi ASEAN merupakan suatu hal yang penting, mengingat transportasi ini dinilai sangat efektif untuk menghubungkan antar wilayah. Implementasi dari kemudahan transportasi ini dapat dilihat dengan adanya kebijakan yang disepakati bersama dalam ASEAN open sky policy pada tahun 2015. Transportasi udara yang merupakan salah satu sektor prioritas AEC mulai diliberalisasikan pada tahun 2010, kemudian diikuti dengan penghapusan hambatan dalam perdagangan jasa perhubungan udara pada tahun 2013, sementara itu liberalisasi bidang jasa seluruhnya pada tahun 2015. Kebijakan penghapusan hambatan dalam perdagangan di bidang jasa ini dilengkapi dengan peta kebijakan (roadmaps) (Tuti Nuraini, 2009: 6). Yang mana pelaksanaan ASEAN open sky ini dilakukan secara bertahap agar pelaksanaan liberalisasi secara penuh pada tahun 2015 diharapkan seluruh negara-negara yang tergabung dalam ASEAN telah siap, baik dalam hal
70
regulasi nasional, infrastruktur, sumber daya masnusia, maupun kesiapan secara teknis. Indonesia sebagai salah satu negara yang bergabung dalam ASEAN telah sepakat untuk ikut serta dalam liberalisasi jasa penerbangan melalui penerapan ASEAN open sky pada tahun 2015. Hal tersebut dapat dilihat pada terbitnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, yang di dalam Pasal 90 mengatur mengenai open sky policy, yaitu disebutkan bahwa: “Pembukaan pasar angkutan udara menuju ruang udara terbuka tanpa batasan hak angkut udara (open sky) dari dan ke Indonesia untuk perusahaan angkutan udara niaga asing dilaksanakan secara bertahap berdasarkan perjanjian bilateral atau multilateral serta harus dibuat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan mempertimbangkan kepentingan nasional berdasarkan prinsip keadilan (fairness) dan timbal balik (resiprocity)”. Berdasarkan pasal diatas dapat dilihat bahwa dengan sepakatnya Indonesia dalam perundang-undangan, yaitu Undang-Undang tentang Penerbangan, maka Indonesia menganut pembukaan pasar angkut udara tanpa batasan hak angkut udara, namun hal ini dilaksanakan secara bertahap. Tahapan-tahapan yang telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk membuka liberalisasi jasa angkut penerbangannya melalui ASEAN open sky policy tahun 2015 ini yaitu diawali dengan lahirnya regulasi nasional berupa pembentukan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, kemudian pada tahun 2011-2012 Indonesia meratifikasi ASEAN MAAS (body agreement) serta Protokol 1, 2, 3 dan 4 MAAS, kemudian tahun 2013 meratifikasi ASEAN MAFLAFS beserta Protokol 1 dan 2 nya, tahun 2014 Indonesia meratifikasi Protokol 5 dan 6 ASEAN MAAS dan pada tahun 2015 Indonesia meratifikasi ASEAN MAFLPAS beserta Protokol 1 dan 2 nya. Secara filosofis, keikutsertaan Indonesia dalam ASEAN open sky dapat dipahami dari kondisi geografis Indonesia yang merupakan negara kepulauan yang terdiri dari 13.466 pulau dengan segala kekayaan alamnya. Banyaknya pulau yang dimiliki mempunyai konsekuensi akan lahirnya kebutuhan sebuah moda transportasi yang efektif dan efisien untuk
71
menjangkau semua daerah. Kecenderungan akan kebutuhan tersebut, menyebabkan transportasi udara mengalami perkembangan yang cukup signifikan dan menjadi transportasi yang paling banyak diminati dan digunakan oleh masyarakat. Hal ini didasarkan karena kelebihan-kelebihan yang ditawarkan yaitu efektifitas waktu, kenyamanan, keamanan hingga biaya yang lebih murah. Gejala sosial masyarakat yang menuntut adanya kemudahan akses transportasi dengan biaya yang terjangkau, merupakan sebuah contoh nyata alasan pemerintah untuk ikut serta dalam kerjasama liberaliasi penerbangan dalam ASEAN open sky. Hal ini terjadi karena dalam open sky nantinya akan semakin banyak terjadi low cost carrier yang ditawarkan oleh maskapaimaskapai penerbangan yang dimiliki oleh negara-negara di kawasan ASEAN. Sehingga masyarakat akan semakin mudah untuk memperoleh akses terhadap transportasi udara dengan harga yang bersaing antar maskapai. Meskipun demikian, muncul sebuah kekhawatiran baru bahwa pasar penerbangan domestik akan dikuasai asing setelah ASEAN open sky diberlakukan. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, seperti kesiapan dan kenyamanan bandara Indonesa yang tertinggal jika dibandingkan dengan pertumbuhan maskapai penerbangan dan jumlah pesawat terbang yang ada, banyak bandara yang sudah melebihi kapasitas, sehingga terlihat kumuh dan suram. Pada dasarnya kekhawatiran tersebut merupakan sebuah keniscayaan yang akan dialami oleh sebuah negara untuk meliberalisasikan sebuah sektor dalam nergaranya. Sehingga dalam perjanjian ASEAN open sky hal tersebut juga menjadi pembahasan dalam merumuskan perjanjian. Salah satu ketentuan dalam perjanjian open sky yang perlu dicermati adalah Pasal 12 perjanjian ASEAN open sky, dimana ketentuan tersebut menjelaskan terkait dengan timbulnya persaingan antar negara ASEAN dalam menggarap pasar penerbangan. Isi ketentuan Pasal 12 tersebut menyebutkan bahwa: “Each Contracting Party agrees: a. that each designated airline shall have a fair and equal opportunity to compete in providing the international air services governed by this Agreement; and
72
b. to take action to eliminate all forms of discrimination and/or anticompetitive practices by that Contracting Party and/or its designated airline(s) that it deems to adversely affect the competitive position of a designated airline of any other Contracting Party.” Ketentuan Pasal 12 perjanjian open sky tersebut diatas menjelaskan mengenai persaingan maskapai penerbangan setelah perjanjian open sky dilaksanakan. Jika dapat dikritisi terkait dengan ketentuan tersebut pada prinsipnya dunia bisnis membenarkan adanya pencapaian sebesar-besarnya untuk mendapatkan sebuah keuntungan dalam rangka melaksanakan kegiatan usaha. Meskipun demikian, perlu diperhatikan juga terkait penggunaan langkah-langkah untuk mencapai tujuan tersebut. Langkah-langkah yang harus diambil oleh seorang pebisnis harus tetap sesuai dengan koridor yang diperbolehkan oleh kepatutan dan kepastian hukum atau dapat dikatakan sesuai atau tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, agar meniadakan pelaksanaan bisnis yang tidak mencerminkan perilaku yang adil serta tidak kompetitif. Industri penerbangan adalah suatu usaha jasa angkutan penerbangan untuk membawa/memindahkan orang/barang dari suatu tempat ke tempat lainnya, dengan menggunakan pesawat udara dan melibatkan berbagai kegiatan pelaku usaha penunjang lainnya (Sugeng Priyadi, 2009: 17). Pelaksanaan open sky jika dilihat dari segi hukum persainagan usaha dapat dikatakan bahwa nantinya terdapat beberapa aspek yang mempengaruhi dengan keuntungan dan tantangan yang akan didapatkan atau dihadapkan. Pihak yang paling diuntungkan dengan adanya kebijakan open sky ini adalah konsumen. Hal tersebut disebabkan dengan adanya persaingan usaha antar maskapai dapat mempengaruhi patokan harga dari sebuah tiket pesawat. Harga tiket pesawat akan terus bersaing sehingga konsumen dapat lebih leluasa memilih maskapai mana yang akan digunakan, dengan adanya hal ini maka maskapai lokal akan berlomba-lomba untuk memberikan servis sebaik mungkin karena harus bersaing dengan maskapai penerbangan internasional lainnya. Oleh sebab itu, kebijakan untuk meliberalisasikan penerbangan
73
melalui ASEAN open sky ini akan semakin menambah tingginya tingkat kompetisi antar maskapai penerbangan. Hal tersebut dikarenakan akan muncul banyak maskapai penerbangan untuk rute internasional baru, peningkatan penumpang penerbangan internasional, bertambahnya rute-rute penerbangan internasional baru, meningkatnya frekuensi penerbangan di rute lama, peningkatan kualitas produk penerbangan serata harga tiket yang semakin murah (Indonesia infrastructure initiative, 2011: 18). Banyaknya maskapai penerbangan internasional dapat dilihat dari banyaknya maskapai baru yang muncul yang menawarkan rute penerbangan internasional dengan harga yang sangat bersaing. Saat ini maskapai penerbangan internasional yang ada di Indonesia terdiri dari Garuda Indonesia, Indonesia AirAsia, Mandala Tiger Airways, Batavia Air, dan Sriwijaya Air. Dari kelima maskapai penerbangan tersebut hanya satu yang memberikan full service, sedangkan empat lainnya memberikan medium service atau bahkan pure low cost. Selain itu dari kelima penerbangan tersebut, dua diantaranya sebagian sahamnya dimiliki oleh asing. Indonesia AirAsia Internasional, yang merupakan maskapai penerbangan berbiaya rendah di Malaysia. Sedangkan Mandala Airlines merupakan perusahaan yang 33% sahamnya dipegang oleh Tiger Airways yang merupakan perusahaan Singapura. Dampak terbesar dalam persaingan usaha antar maskapai ini apabila kalah bersaing dalam menggarap pangsa pasar penerbangan, maka akan mengakibatkan maskapai penerbangan dapat keluar dari pasar. Kebijakan meliberalisasikan penerbangan tidak hanya dapat dilihat dari satu sektor saja. Perlu dicermati bahwa, pemerintah dalam mengambil kebijakan terkait penerbangan ini juga wajib memperhitungkan dampak ataupun efek turunan dari sebuah kebijakan. Sehingga untuk membentuk sebuah kebijakan baru, maka pemerintah harus dapat menganalisa dengan seksama efek yang mungkin ditimbulkan yang pada akhirnya tujuan dari sebuah kebijakan dapat diselenggarakan dengan baik dan yang terpenting
74
adalah pemerintah siap untuk menghadapi dan meminimalkan resio dari efek turunan.
Gambar. 1. Lingkaran Kebajikan (Virtuous Circle) Transportasi Udara
Sumber: (Prakarsa Infrastruktur Indonesia, 2012: 6) Virtuous circle (efek domino) transportasi udara sebagaimana diilustrasikan pada gambar tersebut diatas, memberikan penjelasan terkait immpact adanya pengembangan dalam transportasi udara. Menurut Brillian Budi Nurani et al, efek domino dalam transportasi udara pada saat sektor ini mendapat pendapatan, yaitu: 1.
Seorang penumpang udara tidak hanya membayar harga tiketnya, tetapi juga akan mengeluarkan uang untuk hotel, taksi, dan sebagainya, serta berkontribusi pada perkembangan perniagaan;
2.
Maskapai penerbangan yang mengangkut lebih banyak penumpang akan mengeluarkan uang lebih banyak untuk jasa boga serta layanan pendukung lainnya;
75
3.
Dari dua hal tersebut diatas, pertumbuhan dalam industri/layanan pendukung tersebut mengakibatkan peningkatan kebutuhan untuk melakukan perjalanan. Berdasarkan virtuous circle tersebut, dapat dikatakan bahwa benar
sekali ketika pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk membuka wilayah ruang udaranya menuju open sky maka pemerintah tidak dapat menutup mata untuk dapat menutup peluang peningkatan industri lainnya. Jika hal tersebut dapat dimanfaatkan dengan baik, artinya harus ada peranan dari berbagai pihak untuk ikut serta dalam pembangunan industri atau layanan pendukung tersebut maka peluang open sky nantinya dapat menjadi tantangan baik yang cukup besar bagi Indonesia. Lebih lanjut dikemukakan oleh Brillian Budi Nurani et al, selain manfaat terkait dengan lapangan pekerjaan, terdapat sejumlah manfaat ekonomi makro dan mikro serta manfaat sosial yang terkait dengan jasa layanan udara. Manfaat tersebut meliputi: 1.
Peningkatan efisiensi usaha melalui ketersediaan sarana yang lebih mudah (tepat waktu, sering, lebih cepat) antara Indonesia dan wilayah perdagangan lain, yang pada gilirannya menjadikan negara tersebut sebagai lokasi yang lebih menarik bagi investasi asing langsung;
2.
Penurunan biaya perjalanan keseluruhan (biaya perjalanan keseluruhan tidak hanya memperhitungkan harga tiket, tetapi juga berapa lama waktu perjalanan yang diperlukan, dan biaya terkait seperti bermalam karena terpaksa);
3.
Manfaat bagi pariwisata sebuah negara (inbound tourism), termasuk masa tinggal yang lebih lama, pembelanjaan yang meningkat, serta jumlah wisatawan yang lebih besar;
4.
Kemudahan untuk pulang mengunjungi keluarga dan kerabat (sebuah manfaat penting bagi buruh migran dan perantau yang menetap secara lebih permanen). Diberlakukannya kebijakan ASEAN open sky policy secara utuh dapat
menimbulkan dampak positif bagi perekonomian Indonesia serta memperluas lapangan pekerjaan bagi masyarakat. Hal tersebut tentunya disebabkan karena
76
meningkat aktivitas ekonomi di bidang aviasi. Pembukaan pasar penerbangan tanpa batasan hak angkut nantinya akan semakin menambah banyaknya maskapai asing, yang tentunya dengan pertambahan maskapai tersebut akan semakin menambah jumlah lapangan pekerjaan di bidang tersebut. Kemungkinan peluang tersebut sangat besar untuk terjadi terlebih dengan adanya persaingan harga tiket pesawat yang membuat konsumen semakin tertarik untuk menggunakan moda transportasi udara untuk berpergian, sehingga pada gilirannya juga akan semakin meningkatkan aspirasi jumlah wisatawan untuk berkunjung pada suatu daerah tertentu dalam kawasan ASEAN. Dampak dari banyaknya wisatawan asing yang berkunjung maka secara tidak langsung dapat meningkatkan kemampuan ekonomi dari wilayah tersebut. Peluang besar adanya kebijakan open sky secara nyata telah membawa keikutsertaan Indonesia untuk turut serta meratifikasi kebijakan ini. Kemudahan
akses
transportasi,
peningkatan
pariwisata,
penurunan
pengangguran, dan pemerataan pembanguanan di semua daerah merupakan sasaran pemerintah untuk mencapai kesejahteraan rakyat. Disamping itu, kebijakan open sky bagi transportasi udara juga sangat penting untuk menunjang sejumlah besar industri tertentu. Misalnya, dalam hal suplai bahan bakar penerbangan. Open sky sendiri akan mendorong meningkatnya kebutuhan penerbangan, sehingga dalam hal ini Indonesia dapat memanfaatkan kebijakan open sky dari aspek penyediaan bahan bakar. Hal ini disebabkan karena dalam mencukupi kebutuhan pesawat di negara tempat pesawat tersebut mendarat, maka pesawat harus menggunakan mata uang tempat pesawat membeli bahan bakar. Sehingga jelas dengan adanya kewajiban tersebut dapat meningkatkan nilai mata uang rupiah, yang pada gilirannya akan meningkatkan stabilitas perekonomian Indonesia. Ketentuan tersebut dapat dilihat pada Pasal 9 perjanjian open sky, yang menyebutkan bahwa: “to pay for local expenses, including purchases of fuel, in the territories of the other Contracting Parties in local currency. At their discretion, the airlines of each Contracting Party may pay for such
77
expenses in the territory of the other Contracting Parties in freely convertible currencies according to local currency regulation.” Selain itu, dalam Pasal 9 juga menjelaskan bahwa suatu perusahaan yang didirikan di negara lain sesama anggota ASEAN, harus tunduk pada hukum dan kebijakan nasional negara tersebut, termasuk didalamnya dalam hal tarif perdagangan. Indonesia dapat memanfaatkan perusahaan asuransi dan pajak yang diterima dari masuknya maskapai asing ke Indonesia (Brillian Budi Nurani, dkk, 2012: 4). Mengenai kegiatan komersial pada Pasal 9 tersebut menyebutkan bahwa: ”In operating or holding out the authorised services on the agreed routes, the designated airline(s) may, subject to national laws and regulations and policies, enter into cooperative marketing arrangements which may include but are not limited to code-sharing or block-space with an airline or airlines of the same Contracting Party; and an airline or airlines of the other Contracting Parties. provided that all participants in such arrangements hold the underlying traffic rights and appropriate authorisation and meet the requirements applied to such arrangements.” Peluang lain yang dapat di tangkap dalam open sky policy ini menurut Brillian et all yaitu dalam hal investasi, dimana dalam artikel ilmiahnya ia berpendapat bahwa (Brillian Budi Nurani, dkk, 2012:5): Negara berkembang meyakini penanaman modal sebagai suatu keniscayaan karena penanaman modal merupakan salah satu motor penggerak roda ekonomi agar suatu negara dapat mendorong perkembangan ekonominya selaras dengan tuntutan perkembangan masyarakatnya. Setiap negara selalu berusaha meningkatkan pembangunan, kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya. Usaha tersebut dilakukan dengan berbagai cara yang berbeda antara satu negara dengan negara lainnya. Salah satu usaha yang selalu dilakukan oleh negara adalah menarik sebanyak mungkin investasi asing masuk ke negaranya. Alasan pertama suatu negara membuka diri terhadap penanaman modal asing, termasuk Indonesia, adalah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi (economic growth), guna memperluas lapangan kerja. Baru kemudian, dengan masuknya modal asing tujuan-tujuan lain ingin dicapai seperti mengembangkan industri substitusi import untuk menghemat devisa, mendorong ekspor nonmigas untuk meningkatkan devisa, alih teknologi, membangun prasarana, dan mengembangkan daerah tertinggal.
78
Secara politis harus diakui bahwa terdapat beberapa negara yang telah siap dan bahkan telah lama membuka ruang udaranya untuk diliberalisasikan. Alasan kesiapan inilah yang kemudian memicu akan lahirnya kebijakan open sky dikawasan Asia Tenggara. Negara-negara yang dianggap siap dalam menghadapi open sky dikawasan ASEAN adalah Singapura dan Malaysia. Hal tersebut dikarenakan beberapa faktor yang melatarbelakanginya terutama dalam hal sumber daya manusia, armada dan infrasutrukturnya. Oleh karena itu pada tahun 2007 Perdana Menteri Lee Hsien Loong dalam pembukaan pada 13th ASEAN Transport Ministers mendorong untuk adanya percepatan berlakunya ASEAN open sky. Dilihat dari track record perkembangan penerbangan Singapura kebelakang, sejak tahun 1960-an telah terbiasa menjalankan rezim open sky dengan maskapai dari negara-negara maju asal Eropa, Asia, dan Amerika. Kemudian dalam hal kesiapan infrastruktur bandara, Changi International Airport memiliki layanan Air Traffic Controller (ATC) yang mampu melayani lalu lintas udara di kawasan Asia Tenggara. Sehingga tidak mengherankan jika Bandara Changi dianggap sebagai bandara poros atau penghubung di Asia Pasifik. Kawasan Asia Pasifik ini merupakan kawasan yang memiliki pertumbuhan pasar penerbangan yang lebih baik dari wilayah-wilayah lain di dunia hingga akhir periode tahun 1990an (Rigas Doganis, 2002: 20). Dilihat dari tabel berikut Asia Pasifik mengalami pertumbuhan penerbangan yang cukup tinggi, yakni sebesar 12% pertahun sehingga pertumbuhan yang demikian ini dikatakan lebih tinggi dari pertumbuhan dalam kawasan Amerika Utara, Eropa, Timur Tengah, Amerika Latin dan Karibia, Afrika dan Dunia. Sehingga dengan keunggulan dalam hal kesiapan Singapura dalam menghadapi open sky ini sudah tidak dapat diragukan lagi. Berikut adalah tabel pertumbuhan ton-kilometer pertahun dari angkutan penumpang internasional berjadwal menurut kawasan, 1978-1997.
79
Tabel. 6. Rata-Rata Pertumbuhan Ton-Kilometer Pertahun dari Angkutan Penumpang Internasional Berjadwal Menurut Kawasan dari Tahun 19781997 Kawasan tempat
1978-1988
1988-1997
pendaftaran maskapai
% perubahan
% perubahan
pertahun
pertahun
Asia dan Pasifik
10,4
12,0
Amerika Utara
8,4
4,5
Timur Tengah
5,8
7,4
Amerika Latin dan
5,8
7,4
Eropa
4,8
3,9
Afrika
4,6
4,9
Dunia
7,0
5,9
Karibia
Sumber: (Rigas Doganis, 2002: 20) Kemudian lebih lanjut dari diagram berikut menunjukan data pasar penumpang internasional di Singapura berdasarkan origin dan destinasi tahun 2007. Berdasarkan data tersebut dapat dianalisa bahwa dalam hal penerbangan, Singapura merupakan salah satu negara yang memiliki industri penerbangan yang cukup besar. Meskipun hanya dengan memiliki satu bandara saja, Singapura terbukti telah mampu menangani layanan penumpang domestik maupun Internasional pada kawasan Asia dan Australia. Terlihat bahwa pada data statistik dibawah ini mengenai lalu lintas penerbangan yang merupakan pasar penerbangan Singapura.
80
Grafik 2. Pasar Penumpang Internasional di Singapura Berdasarkan Origin dan Destinasi Tahun 2007
17%
30% 2% 2% 4%
5%
5% 8%
Connecting traffic Indonesia Thailand China Hongkong Malaysia india Australia Japan Korea Selatan Filipina Penumpang O/D lainnya
6% 8%
5% 8%
Sumber: (Maria Nova Marannu M., 2010: 31) Besarnya kekuatan penerbangan Singapura merupakan sebuah gambaran bahwa pemerintah Singapura benar-benar serius untuk dapat bertahan sekaligus sebagai pesaing terdepan dalam menghadapi tantangan global yang lambat laun akan dirasakan. Berbagai cara telah dilakukan oleh Singapura dalam memajukan perekonomiannya, termasuk melakukan usul untuk meliberalisasikan sektor perekonomian dalam kawasan ASEAN melalui ASEAN Economic Community. Dimana salah satu dari bentuk liberalisasi ekonomi yang diprioritaskan adalah terbukanya wilayah langit untuk dilalui oleh maskapai-maskapai semua negara pada kawasan ASEAN. Politik hukum penerbangan Indonesia telah mengarahkan bangsa Indonesia untuk menerapkan kebijakan ASEAN open sky policy 2015 di Indonesia. Abdul Hakim Garuda Nusantara mengartikan politik hukum sebagai sebuah kebijakan hukum (legal policy) yang hendak diterapkan atau dilaksanakan secara nasional oleh suatu pemerintahan negara tertentu (Mahfud MD, 2010: 15). Garuda Nusantara menjelaskan pula wilayah kerja politik hukum dapat meliputi pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada
81
secara konsisten, proses pembaruan dan pembuatan hukum, yang mengarah pada sikap kritis terhadap hukum yang berdimensi ius contitutum dan menciptakan hukum yang berdimensi ius constituendum, serta pentingnya penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum (Mahfud MD, 2010: 15). Sehingga maksud dari adanya poitik hukum penerbangan Indonesia untuk menerapkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan yang mengakomodir dan mengakui adanya pemberlakuan ASEAN open sky policy 2015 di Indonesia, merupakan wujud dari ius contitutum untuk menciptakan tujuan negara atau ius constituendum yang dicita-citakan yaitu bertujuan akhir untuk menciptakan kesejahteraan rakyat Indonesia. Kebijakan pemerintah di atas berkaitan dengan adanya strategi yang sistematis, terperinci dan mendasar untuk merumuskan, menetapkan dan memberlakukan sebuah regulasi nasional. Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan misalnya, tidak dapat terlepas dari karakteristik bangsa yang khas yang memiliki bentuk negara kesatuan yang berciri khas nusantara yang disatukan oleh wilayah perairan dan udara dengan batas-batas, hak-hak dan kedaulatan. Hal tersebut tidak lain merupakan rencana luhur bangsa untuk mempersatukan wilayah Indonesia dalam memberikan kemudahan akses transportasi bagi masyarakat Indonesia. Lebih jauh dari hal tersebut, undang-undang penerbangan ini lahir juga merupakan sebagai wujud konsekuensi logis akan cita-cita bangsa untuk mewujudkan Wawasan
Nusantara
memerlukan
sebuah
serta
memantapkan
sistem
transportasi
ketahanan nasional
nasional
yang
yang
mendukung
pertumbuhan ekonomi, pengembangan wilayah, mempererat hubungan antarbangsa, dan memperkukuh kedaulatan negara. Perlu untuk dipahami juga bahwa, penerbangan merupakan bagian dari sistem transportasi nasional yang mempunyai karakteristik mampu bergerak dalam waktu cepat, menggunakan teknologi tinggi, padat modal, manajemen yang andal, serta memerlukan jaminan keselamatan dan keamanan yang optimal, perlu dikembangkan potensi dan peranannya yang
82
efektif dan efisien, serta membantu terciptanya pola distribusi nasional yang mantap dan dinamis. Sehinga dari pada itu pemerintah menetapkan UndangUndang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Politik hukum satu negara berbeda dengan politik hukum negara yang lain. Perbedaan ini disebabkan karena adanya perbedaan latar belakang kesejarahan, pandangan dunia (world-view), sosio-kultural, dan political will dari masing-masing pemerintah. Dengan kata lain, politik hukum bersifat lokal dan partikular (hanya berlaku dari dan untuk negara tertentu saja), bukan universal. Namun bukan berarti bahwa politik hukum suatu negara mengabaikan realitas dan politik hukum internasional. Lahirnya UndangUndang Penerbangan ini yang mengakomodir pengakuan akan open sky di Indonesia merupakan salah satu bentuk dari politik hukum internasional dalam lingkup kawasan ASEAN setelah disepakati oleh seluruh negaranegara di kawasan ASEAN dan diratifikasi kedalam regulasi nasional yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Alasan pemerintah Indonesia untuk ikut serta dalam pelaksanaan kebijakan ASEAN open sky pada prinsipnya tidak terlepas dari latar belakang yang mencakup pandangan filosofis, sosiologis, yuridis maupun politis yang mendasari kebijakan pemerintah. Kondisi geografis Indonesia yang membutuhakan suatu moda transportasi yang lebih efektif dan efisien untuk meningkatkan perekonomian dan pemerataan pembangunan, gejala sosial masyarakat yang menginginkan kemudahan akses perpindahan tempat secara lebih cepat dengan biaya yang relatif lebih terjangkau, politik hukum negara yang mengarahkan untuk terciptanya kesejahteraan sosial masyarakat, serta juga tidak dapat dipungkiri karena alasan keikutsertaan Indonesia dalam kawasan ASEAN yang kemudian memunculkan pandangan untuk terciptanya integrasi kawasan agar nantinya negara-negara yang tergabung dalam ASEAN dapat lebih maju dan mandiri dalam hal perekonomiannya menjadi beberapa alasan yang melatarbelakangi Indonesia untuk ikut serta dalam kebijakan ASEAN open sky pada tahun 2015 ini.
83
C. Penerapan ASEAN Open Sky Policy di Indonesia pada Tahun 2015 agar Tidak Bertentangan dengan Prinsip Hak Menguasai Negara pada Ruang Udara Sebagaimana Diatur di dalam Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945. Dalam Bali Concord II disebutkan cita-cita terbentuknya ASEAN Economic Comunity 2020 dengan angkutan udara menjadi salah satu dari 12 (duabelas) sektor yang akan diintegrasikan pada tahun 2010. Kekuatan dari negara-negara ASEAN ini dipersatukan seperti halnya Uni Eropa untuk menghadapi tantangan dan persaingan dari negara besar Asia lainnya, seperti Cina dan India. Untuk penerbangan sendiri, tahap-tahap menuju integrasi kawasan sudah dilakukan. Tahun 2008, telah dimulai dengan adanya penghapusan dalam pembatasan untuk penerbangan antar ibukota negara ASEAN. Menyusul kemudian hak angkut kargo pada tahun 2009 dan diikuti hak angkut penumpang tahun 2010 dengan puncaknya ASEAN Single Aviation Market tahun 2015 yang tertuang dalam The ASEAN Air Transport Working Group: “The Roadmap for the Integration of ASEAN: Competitive Air Services Policy”. Pada pembahasan sebelumnya telah disinggung mengenai kesesuaian penerapan kebijakan ASEAN open sky policy 2015 di Indonesia terhadap prinsip hak menguasai negara sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945. Kemudian lebih lanjut juga telah dijabarkan latar belakang dan alasan pemerintah Indonesia untuk ikut serta dalam kebijakan langit terbuka dalam kawasan ASEAN pada akhir tahun 2015 yang lalu walaupun ternyata terdapat beberapa tantangan dan ancaman yang harus dicermati secara lebih mendalam. Ketidaksesuaian kebijakan ASEAN open sky
yang
diterapkan
oleh
pemerintah
Indonesia
sedapat
mungkin
mengharuskan untuk diminimalisirkan agar tidak bertentangan dengan hukum dasar negara, yaitu UUD NRI Tahun 1945 yang secara lebih khusus mengarah pada hak negara untuk menguasai seluruh wilayah Indonesia termasuk ruang udara di dalamnya yang kemudian hal tersebut dikelola sedemikian rupa untuk peningkatan kesejahteraan sosial masyarakat Indonesia.
84
Setidaknya terdapat beberapa hal dari hasil analisa pada pembahasan sebelumnya yang patut dicermati. Pertama, adalah terkait dengan faktor keselamatan dan keamanan penerbangan yang mengarah pada kedaulatan pengendalian wilayah udara Indonesia. Kedua adalah berkaitan dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia, baik dalam hal prosedur operasional, menejemen kualitas lalu lintas udara, maupun kualitas jasa pelayanan yang perlu ditingkatkan. Kemudian yang ketiga adalah terkait kedaulatan perekonomian yang mengarah pada peraingan usaha yang menjadikan tantangan baru bagi dunia penerbangan Indonesia untuk dapat bersaing dengan negara-negara ASEAN yang lain dengan menyodorkan keuanggulan masing-masing maskapai. Namun lebih jauh dari hal itu, ada beberapa hal yang perlu dicermati kembali akan latar belakang dan tujuan yang ditawarkan dalam kebijakan ASEAN open sky policy ini terhadap prinsip dan tujuan bangsa Indonesia, agar politik hukum internasional dapat sesuai dengan cita-cita kehidupan bangsa yang ingin dibangun. Pertama,
terkait
dengan
faktor
keselamatan
dan
keamanan
penerbangan. Keselamatan dan keamanan dalam dunia penerbangan merupakan suatu keniscayaan untuk dikedepankan bagi pengelola maskapaimaskapai di seluruh negara. Transportasi udara adalah salah satu transportasi yang khusus, dikatakan khusus hal ini disebabkan akan kecepatan dan kecanggihan transportasi yang mampu berpindah dari suatu tempat ke tempat lainnya dengan waktu yang paling cepat dibandingkan dengan jenis transportasi lainnya. Sehingga dengan kelebihan yang sedemikian rupa, untuk menuju negara lain tidaklah memerlukan waktu yang lama sehingga moda transportasi ini dapat dikatakan paling efektif dan efisien. Kecepatan yang dimiliki oleh pesawat udara seringkali mendapat kekhawatiran sendiri bagi para penggunanya. Hal ini disebabkan apabila maskapai penerbangan mengabaikan keamanan dan keselamatan dalam mengoperasionalkan maskapainya maka akan sangat riskan sekali untuk terjadi kecelakaan. Kecelakaan pesawat udara yang menewaskan ratusan korban jiwa yang terjadi di antaranya adalah hilangnya pesawat milik maskapai penerbangan
85
Malaysia Airlines MH370, penembakan pesawat Malaysia Airlines di Ukraina, pesawat AirAsia QZ8501 yang hilang kontak di wilayah perairan Kalimantan, jatuhnya pesawat Hercules di Medan, Sumatera Barat, hingga yang terakhir adalah jatuhnya pesawat Trigana Air. Beberapa contoh kecelakan pesawat yang terjadi perlu diperhatikan agar keselamatan penumpang menjadi prioritas utama untuk selalu dikedepankan. Infrastruktur penerbangan perlu diperbaiki, mulai dari penataan bandara sampai dengan pengelolaan maskapai. Tujuan dari adanya perbaikan infrastruktur ini adalah untuk meningkatkan daya saing Indonesia dan meningkatkan standar dan kualitas pelayanan dari negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara. Dari segi keamanan dan pertahanan misalnya, penempatan pangkalan udara sebagai ujung tombak pertahanan Republik Indonesia perlu ditata agar sinkron dengan strategi pertahanan nasional, baik di kawasan tertentu maupun kawasan-kawasan lainnya (Mieke Komar Kantaatmadja, 1994: 121). Hal ini membutuhkan peran serta dari berbagai pihak terutama POLRI dan TNI-AU. Pertahanan dan keamanan negara merupakan salah satu fungsi pemerintahan untuk menghadapi dan meniadakan segala ancaman baik dari dalam maupun dari luar negeri, yang diselenggarakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta sebagai suatu cara pandang yang menempatkan pertahanan dan keamanan negara sebagai tanggung jawab bersama seluruh warga negara dengan hak dan kewajiban yang dijamin oleh UUD NRI Tahun 1945. Berikut adalah beberapa hal yang perlu dicermati dalam penyelenggaraan pertahanan dan keamanan penerbangan menurut Instruksi Dirjen Perhubungan Udara yang ditetapkan pada tanggal 24 november 2015 sampai dengan adanya instruksi lebih lanjut (Mieke Komar Kantaatmadja, 1994: 121): 1.
Meningkatkan kondisi keamanan penerbangan dari kondisi “hijau” menjadi kondisi “kuning”;
2.
kondisi “kuning” dimaksud wajib mengikuti Airport Security Programme yang berlaku pada masing-masing bandara;
86
3.
melaksanakan pemeriksaan keamanan terhadap kendaraan yang akan masuk ke bandara secara random;
4.
Pemda diminta untuk ikut bertanggung jawab terhadap keamanan gedung VIP, jika gedung VIP tidak memiliki fasilitas keamanan penerbangan, penumpangnya wajib melalui pemeriksaan di terminal keberangkatan bandara;
5.
Dirjen menginstruksikan peningkatan kegiatan patroli keamanan secara intensif;
6.
mengupayakan kerjasama dengan TNI dan/atau POLRI dalam kegiatan patroli pada sisi udara namun tetap berpegang teguh prinsip-prinsip dasar keamanan penerbangan;
7.
menambahkan pemeriksaan keamanan kargo atau bagasi dengan menggunakan anjing pelacak;
8.
melakukan pertemuan dengan komite keamanan bandara;
9.
Inspektur keamanan di Otoritas Bandara dalam tugasnya ke Bandara didampingi petugas intelijen;
10. Apabila adanya kelalaian yang dapat membahayakan keamanan dan keselamatan
penerbangan,
penyelenggara
yang
terkait
dengan
pemeriksaan keamanan penerbangan akan diberikan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ditinjau dari segi kelayakan bandara, perkiraan lalu lintas udara Indonesia untuk saat ini dari kurang lebih 100 juta akan naik menjadi lebih dari 300 juta pada tahun 2025 sehingga untuk mengimbangi perkembangan tersebut maka diperlukan pembenahan bandara di Indonesia (Prakarsa Infrastruktur Indonesia, 2012: 23). Hal ini diperlukan adanya peningkatan kapasitas terminal, penambahan posisi parkir pesawat udara, pembangunan infrastruktur serta perbaikan tata cara keseharian dan metode kerja. Hal tersebut memerlukan perhatian tinggi pemerintah karena dalam pelaksanaan pembangunan infrastruktur tersebut, tentu memerlukan bantuan dana yang cukup besar dari keuangan negara.
87
Kemudian lebih lanjut berdasarkan catatan tabloid Aviasi, dari sisi navigasi, hanya airport yang berada di bawah BUMN (Angkasa Pura I dan II) yang peralatan navigasinya cukup memadai. Sedangkan bandar udara yang dikelola Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kementerian Perhubungan masih minim, sehingga bisa membahayakan keselamatan penerbangan jika dioperasikan pada malam hari. Berkaitan dengan hal tersebut, maka untuk memenuhi tujuan negara dalam menciptkan kemakmuran rakyat seluruh Indonesia yang dikhususkan pada pemerataan pembangunan di seluruh daerah, maka pembangunan bandara dan peningkatan kualitas dalam segi peralatan navigasi bagi seluruh bandara-bandara di Indonesia perlu menjadi perhatian pemerintah Indonesia.
Grafik 3. Data Pengelola Bandar Udara Indonesia
13%
Kemenhub Angkasa Pura 87%
Sumber: (Angkasa Pura 1 dan 2, 2010, dalam http://www.angkasapura1.co.id dan http://www.angkasapura2.co.id, 2010, diakses tanggal 16 Mei 2016). Saat ini PT Angkasa Pura I mengelola 13 (tiga belas) bandar udara di Kawasan Tengah dan Kawasan Timur Indonesia serta mengelola 2 (dua) Cargo Warehousing serta 1 (satu) ATSC (Air traffic service center). Sejumlah 13 bandara yang dikelola Angkasa Pura I yaitu Bandara Ngurah Rai Bali, Bandara Juanda Surabaya, Bandara Hasanuddin Ujung Pandang, Bandara Sepinggan Balikpapan, Bandara Frans Kaisiepo Biak, Bandara Sam Ratulangi Manado, Bandara Syamsudin Noor Banjarmasin, Bandara Ahmad Yani Semarang, Bandara Adisutjipto Yogyakarta, Bandara Adisumarmo
88
Surakarta, Bandara Selaparang Mataram, Bandara Pattimura Ambon, Bandara El Tari Kupang. 2 cargo warehousing yang dikelola yaitu Warehousing Bandara Hasanuddin Makassar, dan Warehousing Bandara Sepinggan Balikpapan. ATSC yang dikelola oleh PT Angkasa Pura I berlokasi pada Bandara Sultan Hasanuddin Makassar (Angkasa Pura 1, 2010, dalam http://www.angkasapura1.co.id/detail/berita/angkasa-pura-1-menerima-13sertifikat-bandara, diakses tanggal 16 Mei 2016). PT Angkasa Pura II saat ini mengelola 13 (tiga belas) bandara utama di kawasan Barat
Indonesia, yaitu Soekarno-Hatta Jakarta, Halim
Perdanakusuma Jakarta, Polonia Medan, Supadio Pontianak, Minangkabau Ketaping yang dulunya Tabing, Sultan Mahmud Badaruddin II Palembang, Sultan Syarif Kasim II Pekanbaru, Husein Sastranegara Bandung, Sultan Iskandarmuda Banda Aceh, Raja Haji Fisabilillah Tanjung Pinang yang dulunya Kijang, Sultan Thaha Jambi dan Depati Amir Pangkal Pinang, Silangit Tapanuli Utara, serta melayani jasa penerbangan untuk wilayah udara (Flight Information Region/FIR) Jakarta (Angkasa Pura 2, 2010, dalam http://www.angkasapura2.co.id/id/tentang/sejarah, diakses tanggal 16 Mei 2016). Aspek keselamatan dan keamanan penerbangan memang sudah sepatutnya diperbaiki dalam menghadapi ASEAN open sky nantinya, karena jika Indonesia mengabaikan aspek tersebut maka bukan tidak mungkin kedaulatan dalam hal pengendalian lalu lintas penerbangan yang merupakan hal penting dalam dunia penerbangan akan diambil alih oleh negara lain yang lebih berkompeten. Tentu apabila hal tersebut terjadi, maka telah menciderai hakikat akan penguasaan negara Indonesia untuk tetap menjaga kedaulatan di seluruh wilayah Indonesia. ASEAN open sky yang berlaku merupakan suatu keniscayaan untuk semakin menambah ramai lalu lintas penerbangan, sehingga fungsi ATC membawa peranan sentral dalam keberhasilan ASEAN open sky nantinya. Oleh sebab itu, dalam mekanisme open sky policy ini negara yang tidak mampu melaksanakan kontol dalam lalu lintas penerbangan di
dalam
yurisdiksi
wilayah negaranya,
maka kewenangan dalam
89
menjalankan kontrol tersebut akan diberikan kepada negara lain yang dinilai lebih mampu. Hal ini disebabkan karena faktor keamanan dan keselamatan penumpang
dalam
penerbangan.
Dimana
pembukaan
pasar
bebas
penerbangan sudah merupakan keniscayaan akan adanya kepadatan lalu lintas penerbangan, sehingga aspek keamanan dan keselamatan harus diutamakan. Hal inilah yang menjadi perhatian serius pemerintah Indonesia untuk segera memperluas kapasitas kerja ATC agar siap dalam menghadapi kepadatan lalu lintas penerbangan. Berdasarkan pada bahasan pada aspek pertama terkait denagan keselamatan dan keamanan penerbangan, setidaknya terdapat 3 (tiga) unsur yang memberikan kontribusi pada keamanan dan keselamatan penerbangan. Ketiganya yaitu: Pertama, pesawat terbangnya sendiri, bagaimana pesawat itu didesain, dibuat, dan dirawat. Kedua, sistem penerbangan negara, airport, jalur lalu lintas udara, dan air traffic controls. Ketiga, airlines flight operations yang berkaitan dengan pengendalian dan pengoperasian pesawat (Sudiarto. 2012: 274). Tercatat berdasarkan data dari Plane Crash kecelakaan pesawat udara salah satu penyebab besarnya adalah kelalaian dari operator teknis penerbangan atau kesalahan pada pilot adalah sebagai berikut:
Tabel 7. Penyebab Kecelakaan Pesawat Udara Causes of Fatal Accidents by Decade (Percentage) Cause
1950s
1960s
1970s
1980s
1990s
2000s
All
Total Pilot Error
58
63
44
57
55
57
53
Pilot Error
43
33
25
29
29
34
32
9
18
14
16
21
18
16
7
4
5
2
5
5
5
2
8
9
5
8
6
6
Pilot Error (weather related) Pilot Error (mechanical related) Other Human Error
90
Weather
15
12
14
14
8
6
12
Mechanical Failure
10
19
20
21
18
22
20
Sabotage
5
4
11
12
10
9
8
Other Cause
0
2
2
1
1
0
1
Sumber: (Plane Crash, TT, dalam http://www.planecrashinfo.com/cause.htm, diakses tanggal 17 Mei 2016).
Berdasarkan beberapa alasan tersebut diatas, maka dapat dianalisa bahwa tanggung jawab regulator penerbangan suatu negara memiliki posisi sentral untuk memastikan keselamatan penerbangan pada tingkat yang tertinggi untuk menciptakan penerbangan Indonesia yang mengedepankan keselamatan dan keamanan. Itulah sebabnya ketika terjadi kecelakaan beruntun awal 2007 lalu, FAA menjatuhkan penilaiannya kepada regulator atau
otoritas
penerbangan
Indonesia,
bukan
kepada
maskapai
penerbangannya. Kategori dua Penilaian ini diberikan oleh FAA pada 16 April 2007, satu bulan setelah kecelakaan pesawat Boeing 737-400 Garuda Indonesia Airline di Yogyakarta. FAA menurunkan peringkat kompetensi regulator penerbangan sipil Indonesia ke kategori dua, yaitu a failure atau tidak lulus karena tidak memenuhi standar ICAO. Sehingga dapat dikatakan bahwa kondisi penerbangan di Indonesia tidak bisa menjamin keselamatan para penumpangnya. Kategori 2 (dua) tersebut telah memberikan implikasi global terhadap maskapai penerbangan Indonesia. Salah satunya adalah Amerika Serikat yang mengeluarkan travel warning bagi warganya untuk menghindari
menggunakan
maskapai
penerbangan
Indonesia
dalam
bepergian. Tentunya hal tersebut menuntut untuk segera dilakukan pembenahan, apalagi dengan adanya kebijakan ASEAN open sky ini Kecelakaan pesawat udara yang terjadi di Indonesia yang melibatkan pesawat Boeing 737-300/400 pada dasarnya bukanlah kesalahan dari pabrik pesawat Boeing. Dengan pengalaman 297 juta jam terbang dari 4.700 pesawat Boeing 737 yang telah menerbangkan 12 miliar penumpang hingga saat ini, sangatlah kecil kemungkinan masih adanya kesalahan pada desain
91
ataupun proses pembuatan pesawatnya. Akan tetapi dengan mempelajari dokumen pesawat-pesawat Boeing yang beroperasi di Indonesia pasca kecelakaan tersebut, FAA menemukan banyaknya pelanggaran prosedur keselamatan penerbangan yang berulang oleh maskapai penerbangan Indonesia (Sudiarto. 2012: 274). Hal tersebut nyatanya lolos dari pengawasan otoritas penerbangan Indonesia. FAA menilai regulator Indonesia tidak memiliki kompetensi yang memadai dalam menerapkan safety oversight sehingga tidak berani mencabut izin operasi maskapai yang melakukan pelanggaran mendasar. Regulator Indonesia juga dinilai terlalu mudah memberikan izin usaha dan operasi penerbangan kepada unsafe airlines yang mengakibatkan tingginya tingkat kecelakaan pesawat terbang di Indonesia (Sudiarto. 2012: 274). Pembenahan yang paling mendasar sudah barang tentu dari pangkalnya, yaitu otoritas penerbangan Indonesia. Disisi lain sudah dikemukakan dipembahasan sebelumnya bahwa, banyak hal perlu ditata dan dikelola agar dunia penerbangan Indonesia dapat bertumbuh dengan baik, salah satunya adalah dengan cara membenahi infrastruktur penerbangan. Hal ini juga tidak lain agar semakin meningkatkan daya saing penerbangan Indonesia, khususnya dalam rangka menghadapi kebijakan ASEAN open sky yang telah diberlakukan pada akhir tahun 2015 yang lalu. Permasalahan kedua yang perlu dibenahi adalah berkaitan dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia dalam meningkatkan pelayanan jasa penerbangan. Dari segi sumber daya manusia, dapat dilihat bahwa Indonesia masih kurang dalam segi sumber daya manusia khususnya Pilot. Hal ini menandakan bahwa kurang berminatnya pemuda-pemuda Indonesia dalam menggeluti bidang penerbangan. Terbukti dalam sepanjang tahun 2011-2015 kebutuhan Pilot di Indonesia mencapai 4000 orang, sementara produksi dari Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia (STPI) hanya mencapai 1600 personil yang mana berarti terjadi defisit pilot sampai 2400 personil dalam
tahun
2015
(MarkPlus
Institute,
2014,
dalam
92
http://www.markplusinstitute.com/who_we_are/detail_article/19,
diakses
tanggal 18 Mei 2016). Kecakapan pilot Indonesia juga perlu ditingkatkan, agar keselamatan penumpang lebih terjamin dan tentunya juga akan semakin meminimalisir kecelakaan pesawat udara yang pada akhirnya juga akan meningkatkan standar pelayanan udara Indonesia pada mata dunia. Artinya, adalah menjadi sebuah pekerjaan rumah yang besar bagi setiap penyelenggara negara yang berwenang untuk menangani persoalan seperti ini. Peningkatan jumlah pilot juga harus diimbangi dengan kecakapan dan kualitas sumber daya yang mumpuni. Peningkatan adanya jumlah pilot merupakan salah satu ladang pekerjaan
yang
dapat
dimanfaatkan
oleh
pemerintah
untuk
dapat
memperkecil angka pengangguran di Indonesia. Meminimalisir jumlah pengangguran juga dapat dilakukan oleh pemerintah untuk peningkatan kualitas layanan diseluruh bandar udara yang ada di Indonesia, baik itu domestik maupun Internasional. Meningkatnya jumlah pengguna jasa penerbangan juga menjadi salah satu langkah untuk dapat menambah lapangan pekerjaan dalam memberikan jasa penerbangan sebaik-baiknya kepada masyarakat. Tentu hal ini harus diimbangi dengan komitmen
serius
pemerintah
untuk
dapat
mengembangkan
industri
penerbangan dalam kawasan tertentu saja, melainkan harus merapa pada seluruh wilayah di Indonesia. Sehingga diharapkan, ketika diberlakukan ASEAN open sky yang notabene-nya memiliki tujuan dalam meningkatkan aspirasi turis untuk berkunjung, maka pelayanan jasa penerbangan yang baik dapat diterima oleh setiap penumpang pesawat bukan hanya di bandarabandara besar saja melainkan bandara-bandara kecilpun memiliki kualitas layanan yang cukup mumpuni. Peningkatan kualitas sumber daya manusia selanjutnya adalah pada Air Traffic Controllers, kita ketahui bersama bahwa peranan ATC pada keberhasilan keselamatan dan keamanan penerbangan menjadi hal pokok yang patut dikedepankan. ATC adalah pengendali lalu lintas penerbangan, sehingga ruang udara sebagai lintasan terbang bagi maskapai-maskapai dapat
93
dikendalikan dan dikontrol operator untuk menghindari kecelakaan pesawat udara. Masih tingginya kecelakaan pesawat udara di Indonesia merupakan salah satu penyebab peringkat Kateori 2 (dua) penerbangan Indonesia, sehingga ATC oleh tenaga kerja Indonesia perlu ditingkatkan lagi kualitasnya disamping itu juga memerlukan peningkatan kecanggihan dan peremajaan peralatan yang dibutuhkan para operator. Hal ini menjadi salah satu hal yang tentunya
akan
saling
kait
mengkait
agar
tujuan
bersama
dalam
mengedapankan keselamatan dan keamanan penerbangan semakin maju. Baru-baru ini juga telah terjadi kasus yang cukup menyita perhatian publik perihal dunia penerbangan, dimana maskapai AirAsia telah melakukan kesalahan pendaratan. Pendaratan pesawat yang seharusnya berada pada pemberhentian internasional, malah justru mendarat pada pemberhentian domestik. Kasus selanjutnya adalah terkait kesalahan terbang, dimana penumpang Internasional tujuan Changi International Airport Singapura oleh maskapai AirAsia justru mendarat pada bandara Ngurah Rai Bali. Contoh tersebut merupakan salah satu kelalaian dari sumber daya manusia yakni operator. Sehingga peningkatan kualitas operator harus ditingkatkan. Lebih lanjut, pendanaan pemerintah dalam peremajaan peralatan dalam prosedur penerbangan pesawat sangat diperlukan, mengingat hal tersebut sudah menjadi salah satu kebutuhan, bukan hanya menghadapai ASEAN open sky akan tetapi lebih jauh dari itu dapat menyelamatkan penumpang penerbangan dan kedaulatan Indonesia. Sudah beberapa kali dalam pembahasan sebelumnya disinggung bahwa, ATC adalah hal yang penting bagi dunia penerbangan. ATC juga dapat mempengaruhi kedaulatan ruang udara suatu udara karena disebabkan penyelamatan kemanusiaan, maka ketika suatu negara dinilai telah gagal dalam mengendalikan ruang udaranya maka pengendalian lalu lintas ruang udaranya akan diserahkan pada negara lain yang lebih mampu dan berkompeten. Salah satu contoh nyata telah terjadi di Indonesia yang telah berlangsung selama berpuluh-puluh tahun lamanya, dimana kedaulatan ruang udara Indonesia harus dikendalikan oleh Singapura karena peringkat bahaya dalam penerbangan Indonesia. Bahkan
94
yang lebih menjadi ironi ketika Indonesia akan menggunakan ruang udaranya harus melakukan izin terlebih dahulu kepada otoritas penerbangan negara lain, tentu hal tersebut telah menciderai kedaulatan Indonesia dan bertentangan dengan hukum Indonesia, salah satunya adalah Pasal 5 UndangUndang tentang Penerbangan yang menerangkan bahwa: “Negara Kesatuan Republik Indonesia berdaulat penuh dan eksklusif atas wilayah udara Republik Indonesia”. Untuk dapat kembali pada tujuan hakiki negara agar dapat mempertahanan kedaulatan dan keselamatan kemanusiaan, maka Indonesia wajib berbenah dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusianya dalam dunia penerbangan. Permasalahan ketiga adalah terkait dengan kedaulatan perekonomian yang mengarah pada praktek persaingan usaha yang ditimbulkan dengan adanya mekanisme pasar bebeas penerbangan. Hal ini tentu menjadikan tantangan baru bagi dunia penerbangan Indonesia untuk dapat bersaing dengan negara-negara ASEAN yang lain dengan menyodorkan keuanggulan masing-masing maskapai. Sementara dalam hal maskapai penerbangan, setidaknya Indonesia mempunyai tiga perusahaan penguasa pasar domestik, yakni Garuda Indonesia (Garuda dan Citilink) , Lion Air (Lion, Batik, Wings, Malindo, dan Thai Lion) dan Indonesia AirAsia. Garuda Indonesia adalah maskapai milik pemerintah Indonesia yang sebagian besar sahamnya dimiliki oleh pemerintah. Lion Air adalah maskapai swasta begitupun dengan Indonesia AirAsia yang memegang lisensi dari Malaysia. Kebijakan untuk melakukan privatisasi pada masa globalisasi seperti ini dilakukan oleh pemerintah Indonesia pada khususnya adalah untuk melakukan pemasukan dan mencapai efisiensi, sebab pemerintah seringkali menemui kesulitan untuk membiayai ekspansi atas maskapai nasionalnya (Peter Forsyth, 1997: 54). Meskipun sering kali dianggap bahwa kepemilikian swasta terhadap sektor penerbangan dianggap tidak konsisten atas maskapai nasional sebagai simbol identitas bangsa. Selain privatisasi, maskapai asing juga telah diijinkan beroperasi melalui joint venture dengan maskapai nasional suatu negara, misalnya saja Indonesia AirAsia yang merupakan
95
pemegang lisensi dari AirAsia International yang berkantor pusat di Malaysia. Kepemilikan asing dalam maskapai penerbangan domestik dalam negara-negara ASEAN tidaklah sama. Pemerintah Indonesia dan Thailand misalnya, mengijinkan masuknya maskapai asing dalam sektor penerbangan hingga sebesar 49% dari total saham maskapainya, hal yang sama terjadi di Malaysia meski prioritas diberikan kepada warga negara Malaysia (Mahani Zainal Abidin dkk, 2005: 15). Di Myanmar 49% saham Myanmar Airline International yang semula dipegang oleh investor Singapura kini digantikan oleh Region Air (HK) Ltd dari Hong Kong. Kemudian Kamboja dan Vietnam pernah melakukan joint ventre dengan komposisi presentase kepemilikan saham sebesar 51%;49% (The Souteast Asia Region Report, 2009, dalam http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:Ot9T8MnwBPoJ:w ww.cii.in/webcms/Upload/SEA%2520Region%2520report%2520November %25202009.pdf+&cd=1&hl=id&ct=clnk, diakses tanggal 22 Mei 2016.). Diberikannya kelonggaran oleh otoritas suatu negara dalam memiliki saham untuk dioperasikan dalam penerbangan domestik suatu negara dengan alasan efektivitas yang sedemikian rupa, berarti negara telah membuka persaingan usaha yang sempurna bagi maskapai-maskapai untuk bersaing. Sehingga tidak jarang banyak bermunculan maskapai-maskapai penerbangan baru dalam dunia penerbangan. Semua maskapai yang tergabung dalam pasar tentu harus menawarkan keunggulan tersendiri untuk dapat bertahan pada mekanisme pasar persaingan sempurna ini, terlebih lagi dengan diadakannya kebijakan langit terbuka pada wilayah ASEAN maka kedepannya akan semakin banyak bermunculan maskapai-maskapai baru dengan segudang tawaran menarik mulai dari penyediaan kelengkapan fasilitas, kenyamanan hingga harga tiket yang dipatok dengan serendah-rendahnya. Pasar persaingan sempurna dalam industri penerbangan juga dapat menimbulkan persaingan usaha yang tidak sehat. Pada pembahasan sebelumnya telah disebutkan bahwa di Indonesia itu sendiri terdapat regulasi penetapan batas bawah premi yang dapat menimbulkan adanya peluang kartel yang baru. Kartel regulasi dapat tercipta karena perusahaan-perusahaan
96
asuransi yang dapat memberikan tarif yang lebih efisien (di bawah batas bawah premi) menaikan tarifnya pada batasan yang ditetapkan pemerintah. Kemudian juga terdapat Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 11 Tahun 2016 tentang Mekanisme Formulasi Perhitungan dan Penetapan Tarif Batas Atas dan Batas Bawah Penumpang Pelayanan Kelas Ekonomi Angkutan Udara Berjadwal Dalam Negeri. Regulasi ini mewajibkan badan usaha angkutan udara untuk menetapkan tarif 100% dari tarif batas maksimum untuk badan usaha angkutan udara yang memberikan pelayanan maksimum (full services). Penerapan tarif juga dikenakan setinggi-tingginya 90% dan 85% dari tarif batas maksimum untuk badan usaha angkutan udara yang memberikan pelayanan standar menengah (medium services) dan pelayanan minimum (no frills services). Sementara untuk tarif batas bawah yang dikenakan serendah-rendahnya 30 % dari tarif batas atas sesuai dengan kelompok pelayanan yang diberikan. Alasan yang diberikan Kementerian Perhubungan adalah terkait faktor keselamatan dan perlindungan terhadap konsumen (Yose Rizal Damuri, dkk. 2016: 38-39). Regulasi yang dikeluarkan oleh Kementerian Perhubungan tersebut diatas tidak mencerminkan prinsip persaingan usaha yang sehat. Hal ini disebabkan adanya pembatasan ruang gerak bagi pelaku usaha untuk menetapkan harga yang paling sesuai dengan struktur biaya maskapai penerbangan. Regulasi semacam ini dapat menjadi disinsentif bagi maskapai untuk melakukan inovasi yang dapat membuat struktur biaya perusahaan lebih efisien, khususnya bagi low cost carriers. Regulasi batas bawah ini juga akan merugikan bagi maskapai low cost carriers domestik dengan diberlakuakannya ASEAN open sky policy Tahun 2015. Hal ini disebabkan karena maskapai low cost carriers asing tidak bisa diatur dibawah regulasi tersebut. Akibatnya, maskapai domestik dapat menjadi kalah bersaing dengan maskapai asing dengan adanya regulasi ini (Yose Rizal Damuri, dkk. 2016: 38-39). Maka dari permasalahan tersebut, seharusnya pemerintah jeli akan setiap regulasi yang dikeluarkannya, maka rekomendasi yang dapat ditawarkan adalah dengan penambahan pengaturan bagi maskapai asing
97
untuk turut terikat dalam peraturan menteri tersebut agar dalam mekanisme pasar bebas penerbangan ini tidak hanya maskapai penerbangan Indonesia yang mendapatkan batasan dan kalah dalam bersaing. Maskapai Indonesia harus tetap didukung penuh oleh pemerintah agar mampu bertahan dan mungkin menjadi penguasa pasar penerbangan Internasional jika kualitas layanan dan keamanannya terus dibenahi. Maka Garuda Indonesia sebagai satu-satunya maskapai milik pemerintah dan sebagai maskapai simbol bangsa Indonesia harus terus didukung dan dikembangkan agar dapat tetap eksis dalam dunia penerbangan khususnya dalam menghadapi era ASEAN open sky. Selanjutnya dalam undang-undang persahingan usaha yang mengatur mengenai larangan penetapan harga, monopoli dan penyalahgunaan posisi dominan dalam sektor penerbangan. Larangan yang dikeluarkan dalam undang-undang persaingan usaha tersebut telah menuntut Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dalam menangani masalah penerbangan, namun sangat disayangkan bahwa KPPU saat ini tidaklah memiliki pengalaman dalam sektor penerbangan. Oleh sebab itu, dalam rangka menghadapi tantangan
tersebut
maka
dibutuhkan
penyusunan
pedoman
sektor
penerbangan yang dikomparasikan dengan pengaturan KPPU di negaranegara lain yang memiliki isu penerbangan. Dalam hal ini KPPU akan menjadi lembaga monitor dan pengawas dari pelanggaran potensial yang dilakukan oleh maskapai penerbangan yang melakukan perbuatan curang. Jika dapat dicermati terkait kebijakan ekonomi pemerintah dapat dikritisi bahwa, kebijakan pemerintah lebih memprioritaskan peningkatan ekonomi secara umum dibandingkan dengan upaya meningkatkan daya saing maskapai nasional. Oleh sebab itu pemerintah dituntut untuk berbenah dalam menjadikan peningkatan penerbangan sebagai salah satu prioritas pokok perekonomian Indonesia. Kebijakan yang sudah dibuat oleh Pemerintah melalui Kementrian Perhubungan mengeluarkan Keputusan Mengeri Nomor 11 Tahun 2010 tentang Tatanan Kebandarudaraan Nasional. Keputusan itu menetapkan lima
98
bandara utama di Indonesia yaitu Bandara Kualanamu (Medan), Soekarno Hatta (Jakarta), Ngurah Rai (Bali), Juanda (Surabaya) dan Sultan Hassanudin (Makasar). Alasan pemilihan lima bandara tersebut, karena dinilai sebagai bandara yang berada di daerah yang tingkat pertumbuhan ekonomi relatif tinggi. Wilayah tersebut dianggap terbesar dalam kuantitas penumpang dan kargo, baik dalam angkutan udara domestik maupun luar negeri, lalu memiliki cakupan rute dalam dan luar negeri. Pemilihan lima bandara utama tersebut untuk dibuka secara umum dalam pelaksanaan open sky juga merupakan salah satu langkah pemerintah yang dianggap dapat melindungi maskapai nasional agar tetap eksis dalam dunia penerbangan dan agar maskapai negara lain tidak menguasai seluruh penerbangan Internasional di Indonesia. Selain itu pemerintah telah menerapkan kebijakan penggantian kerugian bagi penumpang pesawat udara yang dinyatakan keberangkatannya mengalami penundaan lebih dari empat jam. Aturan resmi tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 tentang Tanggungjawab Pengangkut Angkutan Udara. Di dalam Peraturan Menteri tersebut mengatur tentang bagasi yang hilang sehingga mewajibkan untuk penggantian maksimal Rp 4.000.000,00, atau Rp 200.000,00 per-kilogram. Bagasi dinyatakan hilang apabila dalam kurun waktu 14 (empat belas) hari tidak dapat ditemukan. Kehilangan sementara bagasi mendapat ganti rugi uang tunggu sebesar Rp 200.000,00 per-hari (maksimal tiga hari). Dengan adanya Peraturan Menteri ini menandakan pemerintah ingin meningkatkan pelayanan maskapai penerbangan yang beroperasi di Indonesia dan melindungi hak konsumen (Iga Tamara, 2012: 67-69). Adanya kebijakankebijakan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah, diharapkan Indonesia mampu bersaing dalam rezim liberalisasi ruang udara serta persaingan bebas industri penerbangan antar negara ASEAN. Kebijakan yang dibuat untuk melindungi kepentingan nasional tidak dihilangkan, sehingga Indonesia dapat menjadi pemain dalam perdangangan di sektor jasa Transportasi Udara tidak menjadi objek dari negara lain, itulah yang diharapkan oleh pemerintah.
99
Dalam hal pembuatan kebijakan, salah satu yang menjadi bahasan krusial adalah dimana dalam melindungi kepentingan nasional suatu negara maka ketika maskapai negara lain memasuki wilayah Indonesia sudah selayaknya hukum yang digunakan adalah hukum Indonesia. Salah satu contoh yang dapat diberikan adalah dengan ikut terikatnya maskapai asing dalam penetapan batas bawah dan mekanisme formulasi perhitungan dan penetapan tarif batas atas dan batas bawah penumpang pelayanan kelas ekonomi angkutan udara, yang tidak hanya diberlakukan untuk maskapai domestik akan tetapi juga untuk mengatur maskapai Internasional. Dalam tindakan pengurusan dan pengelolaan akan lebih difokuskan pada kinerja ATC oleh tenaga kerja Indonesia dengan tetap dipegang kendali oleh Indonesia bukan oleh negara asing. Sehingga peningkatan kualitas sumber daya manusia serta peremajaan peralatan operator sangat dibutuhkan agar keamanan dan keselamatan penerbangan melalui sumber daya ATC Indonesia dapat dipercaya dimata dunia. Dalam tindakan pengaturan terkait ASEAN open sky, Indonesia harus mengaturnya dalam regulasi nasional. Saat ini undang-undang penerbangan menjadi pengatur dalam penerbangan di wilayah Indonesia. Diharapkan regulasi nasional ini dapat menjadi standar bagi semua maskapai penerbangan baik nasional, swasta maupun asing. Peran negara dalam pengaturan sebuah pengelolaan penerbangan sangatlah penting, hal tersebut disebabkan agar dalam pengelolaan penerbangan di wilayah Indonesia tersebut tetap berpegang pada prinsip yang semestinya, sehingga diharapkan dalam pengelolaannya
tidak
hanya
mengedepankan
aspek
ekonomis
yang
didapatkan tetapi juga terdapat perlindungan, pembaharuan dan kesejahteraan sosial masyarakat pada pokoknya. Fungsi pengawasan dalam kebijakan ASEAN open sky polocy 2015 berarti pemerintah Indonesia tetap harus menjadi negara untuk mengawasi kebijakan tersebut yang diberlakukan di Negaranya, artinya bahwa pemerintah dapat melakukan review terhadap kebijakan ASEAN open sky. Fungsi pengawasan pada prinsipnya memiliki tujuan akhir adalah agar
100
pelaksanaan pengelolaan penerbangan dapat benar-benar tersalurkan kepada masyarakat sehingga tujuan dari adanya keikutsertaan negara dalam mengambil kebijakan tersebut oleh penguasaan negara benar-benar dapat menciptakan kesejahteraan sosial masyarakat Indonesia. Termasuk dalam fungsi ini berarti pemerintah Indonesia memiliki kewenangan untuk melakukan pengujian terhadap peraturan kebijakan ASEAN open sky policy 2015. Kebijakan internasional, seringkali menjadi sebuah pertanyaan besar bagi kepentingan nasional suatu negara. Negara dituntut ikut serta dalam sebuah kebijakan yang merupakan tantangan global, akan tetapi seringkali tidak sesuai dengan prinsip dasar negara. Hal yang dapat dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk tetap mempertahankan prinsip dasar negara tersebut sudah selayaknya memang harus berpegang teguh pada prinsip dasar tanpa menutup diri dari dunia Internasional. Maka upaya-upaya yang dapat dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk tetap sesuai dengan marwah penguasaan negara Indonesia yaitu dengan tetap mengoptimalkan kelima prinsip hak menguasai negara tersebut. Disamping itu juga memerlukan pembenahan melalui penataan infrastruktur, peningkatan kualitas sumber daya manusia dan perlindungan terhadap maskapai nasional, agar Indonesia tetap dapat mempertahankan kedaulatan ruang udaranya secara penuh dan eksklusif. Hal yang perlu dicermati lebih mendalam juga terkait kebijakan ASEAN open sky adalah latar belakang adanya kebijakan tersebut dengan kesesuaiannya terhadap tujuan yang hendak dicapai oleh Indonesia dimasa yang akan datang. Tawaran adanya kebijakan langit terbuka, sebagaimana yang telah dianalisa pada pembahasan dua yaitu, agar tercipta integrasi perekonomian di kawasan ASEAN yang mampu membentuk kawasan dengan perekonomian yang kuat sehingga dapat bersaing dengan negara-negara dalam belahan dunia yang lain. Kemudian disamping itu pula juga terdapat tawaran yang mengarah pada kepentingan nasional sebuah negara untuk mengizinkan
adanya
langit
terbuka
ini,
yaitu
adanya
pemerataan
101
pembangunan disemua daerah dengan adanya kemudahan akses transportasi, peningkatan pariwisata dan berbagai efek domino lainnya. Namun hal ini masih memerlukan analisa lebih lanjut untuk dapat menyikapinya. Kebijakan ASEAN open sky sesungguhnya tidak menjadi jaminan akan mendorong wisatawan ASEAN berkunjung ke Indonesia. Kemungkinan besar terjadi, justru semakin membuat banyak orang Indonesia untuk pergi berlibur ke luar negeri, yang berarti justru akan membuat destinasi-destinasi wisata dalam negeri ditinggalkan pengunjung domestiknya. Hal tersebut disebabkan masih minimnya infrastruktur, akses menuju destinasi wisata yang belum tertata sehingga menyebabkan mahalnya biaya transportasi yang harus ditanggung, serta masih banyak hal lagi seperti kebersihan dan kelestarian lingkungan yang belum terjaga. Padahal dengan luasnya wilayah Indonesia dengan keberagaman budaya dan adat-istiadatnya, Indonesia memiliki potensi pariwisata yang sangat besar untuk dikembangkan. Apabila hal tersebut terjadi, maskapai-maskapai Indonesia harus dapat bersaing dengan maskapai ASEAN lain dan mampu menangkap peluang ini, sehingga jika warga Indonesia berpergian keluar negeri, tetap menggunakan maskapai penerbangan nasional. Namun disamping itu, jika Indonesia menginginkan untuk tidak hanya dijadikan pasar negara lain, maka perbaikan dan pengembangan dalam sektor pariwisata harus dilakukan oleh pemerintah. Pemerataan pembangunan diseluruh wilayah negara merupakan salah satu materi yang ditawarkan dalam KTT ASEAN yang kemudian mencetuskan ASEAN open sky. Open sky tidak mendorong integrasi ekonomi secara langsung kepada kota-kota dalam negeri suatu negara, apalagi dalam menghubungkan kota-kota yang sudah maju ke kota-kota yang masih tertinggal. Hal tersebut disebabkan karena dalam ASEAN open sky policy yang menjadi target adalah bandara internasional dari negara-negara ASEAN. ASEAN memang tidak membuka cabotage atau rute-rute penerbangan dalam negeri, hal tersebut dimaksudkan agar melindungi industri penerbangan dalam negeri di masing-masing negara. Kemudian disamping itu juga adanya alasan bahwa dengan adanya eraingan antar maskapai penerbangan yang
102
semakin ketat, maka maskapai penerangan komersil pasti hanya akan membuka rute-rute yang menguntungkan perusahaan yaitu hanya akan membuka pada rute wilayah dengan perekonomian yang tinggi serta rute yang memrlukan biaya operasional yang rendah. Dengan demikian, maka sesungguhnya tujuan dari adanya kebijakan ASEAN open sky tidak menjawab adanya pemerataan pembangunan diseluruh daerah pada suatu negara, melainkan hanya pada wilayah-wilayah tertentu yang mampu meningkatkan keuntungan maskapai. Integrasi pasar transportasi udara domestik di ASEAN sesungguhnya terjadi bukan melalui open sky, tetapi melalui kebijakan deregulasi bisnis layanan transportasi udara oleh masing-masing negara (Maria Nova Marannu M. 2010: 109). Oleh sebab itu untuk negara-negara yang telah memiliki strategi bisnis yang matang seperti Singapura, Malaysia, Singapura dan Thailand, telah melakukan privatisasi atas maskapai nasionalnya. Karena hal tersebut didasarkan pemahaman bahwa, maskapai nasional akan beroperasi lebih efisien dengan adanya keterlibatan swasta dalam kepemilikan maskapai terutama ketika menghadapi pasar yang kompetitif yang dapat berubah dengan cepat. Penanaman modal adalah bagian dari penyelenggaraan perekonomian nasional dalam upaya untuk meningkatkan akumulasi modal, menyediakan lapangan kerja, menciptakan transfer teknologi, melahirkan tenaga-tenaga ahli baru, memperbaiki kualitas sumberdaya manusia dan menambah pengetahuan serta membuka akses kepada pasar global (Rebecca Trent, 2002: 236). Sehingga dalam mekanisme globalisasi seperti ini, banyak negara yang mempermudah penanaman modal dalam industrinya sebagai salah satu cara untuk meningkatkan perekonomian nasionalnya. Oleh sebab itu, negara-negara tersebut melakukan strategi yang sedemikian rupa untuk melaksanakan tujuan nasionalnya dalam melakukan pemerataan ekonomi dan pembangunan dalam negeri negaranya. Berikut adalah
srategi
negara-negara
ASEAN
memprivatisasikan maskapai nasionalnya.
dalam
langkah
untuk
103
Tabel 8. Inisiatif Privatisasi di ASEAN
Maskapai
Singapore
Negara
Saham
Saham
Tahun
Kepemilikan
Kepemilikan
dimulainnya
Pemerintah
Pemerintah
Privatisasi
pada tahun
pada Tahun
1996
2004
Singapura
1985
54%
56,76%
Malaysia
1985
10%
69,34%
Thailand
1992
92%
54,20%
Philipina
1992
34%
Tidak
Airlines Malaysia Airlines Thai Airways International Philippines Airlines
diketahui
Merpati
Indonesia
Nusantara
Tidak
100 %
30%
Tidak
Telah tutup
disebutkan
pada tahun
disebutkan
Cambodia
Kamboja
1995
Airlines
2000 Sumber: (Strategic Directions for ASEAN Airlines in a Globalizing World. 2005. Hlm 12. Website Pemerintah Kamboja; dan Challenge and Policy Reforms. Institute of Souteast Asian Studies: 1997. Hlm 132 (Dalam Maria Nova Marannu M. 2010. Singapura dan kerjasama open sky di ASEAN. Disertasi. Depok: Universitas Indonesia: Hlm 46))
Deregulasi nasional untuk mewujudkan tujuan negara dalam melaksanakan
pemerataan
pembangunan
untuk
kesejahteraan
siosal
masyarakat dalam sektor transportasi perlu dilakukan. Harapannya, pemerintah mampu memberi kesempatan pada pelaku bisnis transportasi udara untuk mendirikan maskapai-maskapai baru, baik oleh pihak swasta maupun anak perusahaan maskapai nasional milik pemerintah. Sehingga
104
diharapkan dengan adanya kemunculan maskapai-maskapai baru yang mampu menangani pelayanan transportasi domestik di seluruh wilayah Indonesia, maka harga tiket yang ditawarkan akan dapat bersaing dan dapat dijangkau oleh seluruh masyarakat Indonesia. Dengan semakin mudahnya mobilitas penduduk antar daerah, maka diharapkan pemerataan pembangunan akan dapat tercipta. Sementara manfaat yang demikian tersebut, tidaklah terjadi dalam ASEAN open sky policy 2015. Transportasi udara adalah transportasi harapan dimasa mendatang, disamping sebagai alat transportasi yang cepat dan kemampuan penetrasinya hingga ke pelosok wilayah yang terpencil di Indonesia, juga sebagai salah satu alat pemersatu bangsa. Oleh karena itu diperlukan kondisi dunia penerbangan yang solid, kuat dan terarah, sehingga mampu menghubungkan beribu-ribu pulau dan membangun setiap daerah yang ada di Indonesia secara adil dan merata. Peluang untuk mengembangkan alat transportasi udara di tingkat provinsi, antar kabupaten, bahkan kecamatan sebenarnya masih luas. Mungkin tidak banyak yang tahu bahwa di provinsi Papua saja terdapat 400an bandara, mulai dari katagori sedang, kecil sampai airstrip. Peran penerbangan perintis sangat diperlukan untuk membuka daerah-daerah terisolir, mengembangkan dan membangun daerah sehingga mampu mendorong pertumbuhan ekonomi dan peningkatan sosial budaya di daerah serta mampu memberikan kontribusi nyata pada pembangunan Nasional. Angkutan Udara Perintis sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan adalah kegiatan angkutan udara niaga dalam negeri yang melayani jaringan dan rute penerbangan untuk menghubungkan daerah terpencil dan tertinggal atau daerah yang belum terlayani oleh moda transportasi lain dan secara komersial belum menguntungkan. Angkutan udara perintis perlu dikembangkan, terlebih dengan tutupnya Merpati Airlines pada tahun 2014 dikarenakan hutang, padahal sebelumnya Merpati Airlines adalah satu-satunya maskapai nasional yang menawarkan penerbangan perintis untuk kebutuhan dalam negeri Indonesia. Alasan ditutupnya Merpati Airlines merupakan efek dari
105
besarnya biaya operasional yang dibutuhkan sehingga tarif tiket pesawat menjadi tinggi dan pada akhirnya masyarakat tidak mampu untuk menggunakan jasa tersebut. Pasal 104 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan menyebutkan: (1) Angkutan udara perintis wajib diselenggarakan oleh Pemerintah, dan pelaksanaannya dilakukan oleh badan usaha angkutan udara niaga nasional berdasarkan perjanjian dengan Pemerintah. (2) Dalam penyelenggaraan angkutan udara perintis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya lahan, prasarana angkutan udara, keselamatan dan keamanan penerbangan, serta kompensasi lainnya. (3) Angkutan udara perintis dilaksanakan secara terpadu dengan sektor lain berdasarkan pendekatan pembangunan wilayah. (4) Angkutan udara perintis dievaluasi oleh Pemerintah setiap tahun. (5) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat mengubah suatu rute angkutan udara perintis menjadi rute komersial. Pemberhentian operasi ditutupnya Merpati Airlines sesungguhnya menciptkan pekerjaan rumah kembali bagi pemerintah Indonesia untuk melaksanakan kewajiban negara dalam memberikan akses kemudahan transportasi bagi seluruh masyarakat Indonesia. Kosongnya BUMN yang menangani penerbangan perintis di Indonesia, maka amanah dari UndangUndang Penerbangan tidak dijalankan oleh pemerintah. Oleh sebab itu, kebijakan yang seharusnya menjadi prioritas utama bagi transportasi udara Indonesia adalah penerbangan perintis, karena ASEAN open sky yang semula diharapkan dapat melakukan tujuan negara tersebut, senyatanya tidaklah dapat terjadi di dalam negeri Indonesia. Penerbangan perintis harus tetap diwujudkan oleh pemerintah. Banyaknya wilayah Indonesia yang masih sulit untuk dilewati dengan jalur darat menjadi salah satu latar belakang adanya kemunculan kembali penerbangan perintis di Indonesia. Beberapa daerah dalam pedalaman
106
Kalimantan sangat jauh dan sulit ditempuh melalui jalan darat dan sungai. Bahkan, ada beberapa daerah yang hanya bisa dijangkau dengan pesawat. Sehingga penerbangan perintis merupakan suatu keniscayaan bagi pemerintah untuk memperioritaskan pembangunan penerbangannya melalui peningkatan penerbangan perintis di Indonesia. Sebelumnya telah disinggung, bagaimana cara-cara yang dapat dilakukan pemerintah dalam menciptakan penerbangan yang mampu memenuhi kebutuhan penerbangan domestik. Salah satunya adalah dengan keberanian pemerintah untuk terbuka dalam kemudahan untuk swasta maupun anak perusahaan dalam negeri untuk mengembangkan industri penerbangannya. Dimudahkannya akses untuk perizinan pembentukan maskapai domestik baru yang melayani rute-rute disemua daerah di Indonesia maka, persaingan antar maskapai akan terjadi sehingga akan menguntungkan masyarakat Indonesia sebagai konsmen penerbangan, karena tarif pesawat yang semakin mudah untuk dijangkau. Disamping itu, sebagaimana amanat dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, yang mewajibkan pemerintah Indonesia untuk melaksanakan angkutan udara perintis. Maka sudah sewajarnya, Merpati Airlines ataupun maskapai baru nantinya milik pemerintah ikut ambil bagian dalam usaha untuk mewujudkan hak masyarakat dalam kemudahan akses transportasi di semua daerah bahkan daerah yang terpencil sekalipun, tujuan akhirnya tidak lain adalah untuk pemerataan pembangunan dan peningkatan ekonomi di seluruh wilayah Indonesia sehingga kesejahteraan sosial masyarakat Indonesia dapat segera diwujudkan. Dalam rangka mewujudkan tujuan tersebut, pemerintah Indnesia telah mengeluarkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 9 Tahun 2016 tentang Kriteria dan Penyelenggaraan Kegiatan Angkutan Udara Perintis. Penetapan kriteria dan penyelenggaraan Angkutan Udara Perintis dilakukan guna mewujudkan angkutan perintis udara yang dapat menghubungkan daerah terpencil, daerah tertinggal, daerah yang belum terlayani oleh moda transportasi lain, serta mendorong pertumbuhan dan pengembangan wilayah
107
guna mewujudkan stabilitas, pertahanan dan keamanan negara. Hal ini tentu merupakan antisipasi yang baik oleh pemerintah Indonesia. Sebelum ditetapkan sebagai sebuah rute perintis, sekurang-kurangnya jalur
tersebut
memenuhi
kriteria
fungsi
keperintisan,
yaitu
untuk
menghubungkan daerah terpencil, tertinggal dan belum terlayani oleh moda transportasi lain, serta secara komersial belum menguntungkan. Kemudian, penetapan usulan kegiatan angkutan udara perintis harus memenuhi ketentuan dan tahapan, yaitu penetapan usulan membuka kegiatan angkutan udara perintis diawali usulan dari Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) yang telah berkoordinasi dengan kantor Otoritas Bandara, Unit Pelaksana Bandar Udara, dan pemerintah daerah setempat kepada Direktur Jenderal (Dirjen) Perhubungan Udara. Melampirkan data-data dukung seperti surat pernyataan dari KPA, usulan rute perintis dan data dukung lainnya terkait data aksesibilitas dan potensi daerah tersebut. Pelaksanaan angkutan udara perintis dilakukan oleh badan usaha angkutan udara niaga (maskapai) setelah melalui proses lelang yang dilakukan oleh pemerintah (Kemenhub). Dalam melaksanakan pelayanan jasa angkutan udara perintis, maskapai mendapatkan subsidi dari pemerintah berupa subsidi biaya operasi angkutan udara, subsidi bahan bakar minyak (BBM) di lokasi bandara yang tidak memiliki depo pengisian BBM, serta kompensasi berupa pemberian rute lain di luar rute perintis bagi maskapai tersebut. Dalam rangka melakukan kegiatan angkutan udara perintis, badan usaha tersebut harus memenuhi syarat-syarat, yaitu memiliki izin usaha angkutan udara niaga atau bukan niaga yang diterbitkan Dirjen Perhubungan Udara melalui Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 9 Tahun 2016 tentang Kriteria dan Penyelenggaraan Kegiatan Angkutan Udara Perintis, yaitu harus memiliki Air Operator’s Certificate (AOC) atau Operator Certificate (OC) yang masih berlaku, tidak dalam pengawasan pengadilan, tidak bangkrut, kegiatan usahanya tidak sedang dihentikan, dan tidak sedang mengalami sanksi pidana, memiliki pesawat udara paling sedikit satu unit dan pesawat cadangan yang laik udara untuk mendukung operasional penerbangan perintis
108
dengan spesifikasi yang telah ditentukan, serta wajib menunjukkan Surat Izin Angkutan Udara Niaga (SIUAN) dan surat Izin Angkutan Udara Bukan Niaga (SIKAUBN) yang masih berlaku. Maskapai plat merah yang saat ini memberikan pelayanan jasa penerbangan perintis adalah Garuda Indonesia dengan Exsplore Airlines. Namun sayangnya, Exsplore Airlines saat ini hanya melayani rute ke Bima, Lombok, Labuan Bajo, Luwuk, Mamuju, Ende, serta Jember. Dengan demikian diharapkan kedepannya angkutan penerbangan perintis milik pemerintah dapat menjangkau rute-rute lain yang lebih banyak dan mampu menghubungkan seluruh daerah di Indonesia. Disamping itu terdapat 3 (tiga) maskapai perintis swasta yang saat ini beropersasi, maskapai tersebut antara lain: 1.
Susi Air Namanya mulai terkenal usai menjadi maskapai pertama yang mendarat di Aceh pasca bencana tsunami. Awalnya fokus pada bisnis ekspedisi hasil laut, perusahaan milik Susi Pudjiastuti ini sekarang melayani rute perintis melalui lima penghubung utama yaitu: Jakarta, Medan, Balikpapan, Kendari, Bandung, Cilacap, dan Sentani. Susi Air juga melayani jasa carter memakai armada premium Piaggio Avanti.
2.
Nam Air Berawal dari sekolah penerbangan, Nam Air menjelma menjadi salah satu maskapai yang membuka rute ke titik-titik sekunder. Anak perusahaan Sriwijaya Air ini membuka jalur ke kawasan timur seperti Maumere, Kupang, dan Waingapu menggunakan Boeing 737-500.
3.
Wings Air Usai memesan 27 unit ATR 72-600 pada 2011, Wings Air menegaskan statusnya sebagai operator ATR terbesar mulai akhir 2015 dengan koleksi total 60 unit pesawat. Wings Air
membidik daerah pelosok
seperti Silangit, Solo, Luwuk, Berau, serta Selayar. Meskipun demikian, masih banyak daerah-daerah terpencil di Indonesia yang memerlukan kemudahan transportasi udara. Oleh sebab itu
109
perlu rencana-rencana strategis pemerintah Indonesia untuk menata Industri angkutan udara perintis guna mewujudkan kesejahteraan sosial seluruh masyarakat Indonesia. Hal-hal yang sekiranya dapat dilakukan oleh pemerintah Indonesia agar pelaksanaan kebijakan ASEAN open sky policy sejalan dengan prinsip hak menguasai negara pada ruang udara sebagaimana diatur dalam Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945 yaitu, diperlukannya perbaikan infrastruktur sebagai pendukung dalam keamanan dan keselamatan penerbangan, peningkatan kualitas sumberdaya manusia Indonesia dalam peningkatan layanan jasa penerbangan seperti pilot, operator, Air Traffic Controllers dan adanya perlindungan bagi maskapai nasional agar mampu bertahan dalam dinamika liberalisasi penerbangan dengan dilakukannya penambahan pengaturan bagi maskapai asing untuk ikut terikat dalam penerapan tarif.