BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Urgensi Pengoptimalan Pemilihan Penyedia Pekerjaan Konstruksi Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Melalui Prosedur Pembatasan Peserta E-Tendering Indonesia sebagai negara berkembang, pembangunan sarana, prasarana, maupun infrastruktur untuk menunjang kehidupan perekonomian dan pelayanan masyarakat di Indonesia merupakan kebutuhan penting yang tidak dapat dihindarkan
pemenuhannya
(Eman
Suparman,
2014:
3).
Pembangunan
infrastruktur dalam bentuk fisik menjadi sangat kompleks tatkala arus globalisasi semakin berkembang. Globalisasi dapat dipahami sebagai perubahan-perubahan dalam bidang ekonomi, sosial, serta revolusi di bidang komunikasi dan teknologi informasi yang semakin memperluas jangkauannya (Budi Winarno, 2007: 12). Seiring dengan hal tersebut pemerintah telah melakukan langkah cepat dengan menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan E-Government (Inpres e-gov). Arus globalisasi yang pesat dalam bidang ekonomi, teknologi dan informasi membawa konsekuensi bahwa tata laksana pemerintahan perlu dijalankan sesuai dengan perkembangan teknologi dan informasi Bidang PBJP selaku salah satu penyelenggaran pemerintahan dalam bidang pengadaan juga mulai melaksanakan suatu metode e-procurement yang berbasis internet dengan memanfaatkan pesatnya perkembangan teknologi dan informasi. Hal ini ditandai dengan digantinya regulasi terkait bidang PBJP dari ketentuan Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang PBJP menjadi Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 (Perpres PBJP). Berdasar pada ketentuan dalam Bab XIII Perpres PBJP ini dicantumkan metode pengadaan terbaru yaitu secara elektronik (Saifoe El Unas, 2012: i) namun, ketentuan yang tercantum dalam Perpres PBJP terkait dengan e-procurement tersebut sifatnya masih merupakan pilihan, dimana dapat dilihat dalam bunyi Pasal 106 ayat (1) Perpres PBJP “Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dapat dilakukan secara 59
60
elektronik”. Mengacu pada ketentuan tersebut dapat dinyatakan bahwa sejak tahun 2010 PBJP dapat dilaksanakan melalui dua metode yaitu e-procurement berbasis web ataupun dilakukan secara manual. Penjelasan Perpres PBJP menyatakan bahwa dalam penyelenggaraannya ketentuan PBJP tersebut tunduk pada aturan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Merujuk pada ketentuan UU ITE, dinyatakan bahwa dalam penyelenggaraan yang memanfaatkan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik dilaksanakan berdasarkan asas kepastian hukum, manfaat, kehati-hatian, iktikad baik, dan kebebasan memilih teknologi atau netral teknologi. Selain itu, UU ITE juga mengamanatkan bahwa terkait penyelenggara sistem elektronik untuk menyelenggarakan sistem elektronik secara andal dan aman serta bertanggung jawab terhadap beroperasinya sistem elektronik sebagaimana mestinya. Maka dari itu, penyelenggaraan e-procurement yang dilaksanakan melalui SPSE haruslah diselenggarakan dengan andal, aman, dan bertanggung jawab. Regulasi dalam bidang PBJP tersebut tidak semata-mata dapat mengakomodir
kegiatan
PBJP
secara
keseluruhan
serta
perkembangan
masyarakat. Hal ini ditandai dengan singkatnya masa berlaku Perpres PBJP. Pada tahun 2011, 2012, 2014, dan 2015 Perpres PBJP tersebut terus mengalami perubahan, yang diubah terakhir kali dengan Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2015 tentang Perubahan Keempat Perpres PBJP (Perubahan Keempat Perpres PBJP). Selama kurun waktu 5 (lima) tahun pelaksanaan PBJP telah terdapat upaya penyesuaian dan penyempurnaan yang menyeluruh terhadap regulasi dalam bidang PBJP. Merujuk pada penjelasan Perubahan Keempat Perpres PBJP dinyatakan bahwa dalam rangka percepatan pembangunan nasional yang berkelanjutan yang menjadi tanggung jawab Pemerintah perlu didukung dengan percepatan pelaksanaan belanja negara, melalui pemanfaatan teknologi informasi dalam proses pelaksanaannya yang bertujuan untuk memperingan beban Pengelola PBJP dan untuk menjaga sisi akuntabilitas dalam PBJP. Perubahan yang cukup signifikan terkait dengan pelaksanan PBJP terletak pada bunyi Pasal 106 ayat (1) Perubahan Keempat Perpres PBJP bahwa “Pengadaan Barang/Jasa
61
Pemerintah dilakukan secara elektronik”. Berdasar pada perubahan pasal tersebut membawa konsekuensi bahwa dalam penyelenggaraan PBJP dengan berlakunya Perubahan Keempat Perpres PBJP dilaksanakan dengan sistem e-procurement yang dipraktekkan secara penuh bukan sekedar pilihan lagi baik yang dilaksanakan melaui pengadaan oleh penyedia barang/jasa maupun secara swakelola. Ketentuan Perubahan Keempat Perpres PBJP menyatakan bahwa eprocurement
adalah
pengadaan
barang/jasa
yang
dilaksanakan
dengan
menggunakan teknologi informasi dan transaksi elektronik sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang dilaksanakan dengan cara e-tendering atau e-purcashing dan diselenggarakan oleh LPSE atas ketentuan LKPP selaku lembaga yang berwenang untuk menetapkan kebijakan dalam bidang PBJP. Pekerjaan konstruksi merupakan salah satu bagian yang masuk dalam kategori bagian dalam penyelenggaraan e-procurement yang berdasar pada Perubahan Keempat Perpres PBJP ditentukan bahwa ruang lingkup pekerjaan konstruksi adalah keseluruhan pekerjaan yang berhubungan dengan pelaksanaan konstruksi bangunan atau pembuatan wujud fisik lainnya serta dalam penyelenggaraan PBJP harus tunduk akan persyaratan yang berlaku. Keberadaan Pekerjaan Konstruksi tidak lepas dari adanya perkembangan pembangunan, melalui berbagai regulasi mulai dari UUJK hingga Perpres PBJP telah disusun oleh Pemerintah Indonesia demi terpenuhinya kepastian hukum dalam bidang konstruksi yang bukan hanya berdasar pada pemenuhan bangunan fisik semata namun juga sebagai sebuah sistem pengadaan yang diselenggarakan berdasar perkembangan teknologi. Metode e-procurement ini merupakan sebuah upaya dalam sistem pengadaan termasuk didalamnya pekerjaan konstruksi agar dalam proses pengadaan maupun pengawasan pekerjaan konstruksi akan lebih terarah sebagaimana dimaksud dalam Perpres PBJP mupun dalam Perubahan Perpres PBJP. Merujuk pada penjelasan Perubahan Keempat Perpres PBJP diyatakan bahwa pemanfaatan teknologi informasi selain bertujuan untuk memperingan beban Pengelola PBJP juga bertujuan untuk tetap menjaga sisi akuntabilitas dalam pelaksanaan PBJP. Namun, dengan adanya berbagai macam
62
penyempurnaan regulasi dalam bidang PBJP bukan berarti pula tidak ada celah masalah dalam pelaksanaannya. Hal tersebut menarik untuk di teliti terkait dengan eksistensi dan pelaksanaan perubahan penyelenggaraan yang semula secara manual menjadi sistem e-procurement dalam bidang PBJP di Indonesia. Penelitian hukum dalam penulisan hukum (skripsi) ini merupakan penelitian lanjutan dalam rangka mengoptimalkan penyelenggaraan e-procurement untuk mereduksi permasalahan PBJP dari penelitian sebelumnya oleh Maria Avilla Cahya Arfanti dalam artikel ilmiah penulisan hukumnya (skripsi) pada Universitas Brawijaya Malang 2014 tentang Pelaksanaan Sistem E-procurement dalam Pengadaan Barang Jasa Pemerintah
Untuk
Mencegah
Persekongkolan
Tender.
Penelitan
yang
dilaksanakan oleh Maria Avilla Cahya Arfanti (2014: 3) dilaksanakan dengan metode yuridis sosiologis dengan mengambil lokasi penelitian di Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan, dan Pengawasan Bangunan Kota Malang (Dinas PUPP Kota Malang). Berdasar pada penelitian tersebut, dinyatakan bahwa meskipun sektor PBJP telah diatur dalam ketentuan yang jelas dan mengikat namun pada kenyataannya penyelenggaraan PBJP pada Dinas PUPP Kota Malang masih terdapat beberapa penyimpangan, yang mana salah satunya terkait dengan persekongkolan tender. Maria Avilla Cahya Arfanti (2014: 4) berpendapat bahwa maraknya persekongkolan tender ini di pengaruhi adanya hubungan kerjasama tidak sehat antara pengguna dan penyedia barang/jasa. Maka dari itu, pada tahun 2010 dengan berlakunya Perpres PBJP dijadikan suatu kesempatan bagi Pemerintah Kota Malang untuk menerapkan e-procurement dalam bidang PBJP. Pada tahun 2012 Perpres PBJP ini diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Perpres PBJP (Perubahan Kedua Perpres PBJP). Terkait penyelenggaraan e-procurement pada Dinas PUPP Kota Malang, Pemerintah Kota Malang menetapkan Peraturan Walikota Malang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pengadaan Barang/Jasa Elektronik. Penyelenggaraan e-procurement di Kota Malang sebenarnya sejak tahun 2011 telah diselenggarakan namun masih terbatas pada pilihan untuk menggunakan metode pengadaan elektronik atau
63
konvensional sebagaimana diatur dalam Perpres PBJP. Berdasar hasil penelitian yang dilaksanakan oleh Maria Avilla Cahya Arfanti (2014: 7) pada tahun 2013 Dinas Pemerintah Kota Malang memutuskan untuk melaksanakan e-procurement secara penuh (full e-procurement) sebagai pilihan metode pengadaan yang dilakukan, meskipun sifat dari e-procurement berdasar pada Perubahan Kedua Perpres PBJP masih bersifat optional. Lebih lanjut Maria Avilla Cahya Arfanti (2014: 14) menyatakan bahwa dengan berlakunya Peraturan Walikota Malang tentang full e-procurement tersebut diharapkan akan mengurangi panjangnya prosedur pengadaan mulai dari penentuan harga pembelian barang, waktu proses pembelian, penagihan, hingga pengurangan biaya administrasi maupun waktu dari proses pengadaan barang. Selain itu, melalui e-procurement, proses pelaksanaan PBJP diharapkan lebih transparan, terbuka, sehingga akan tercipta persaingan yang sehat serta meminimalisir terjadinya penyimpangan maupun persekongkolan tender yang sering terjadi. Pelaksanaan e-procurement pada Dinas PUPP Kota Malang berdasar Peraturan Walikota Malang sebenarnya telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Perpres PBJP, namun dalam teknis pengadaan hal tersebut ternyata belum mampu menekan angka persekongkolan tender. Hal ini dikarenakan masih terdapat banyak hambatan dalam penyelenggaraannya yang didasarkan pada hasil wawancara dengan Ibu Theresia Teryl dan Bapak Yani Prasetyo selaku panitia pengadaan di Dinas PUPP Kota Malang, yaitu: 1. Faktor Internal a. Keterbatasan Sumber Daya Manusia (SDM) selaku panitia pengadaan, pada dasarnya penyelengaran e-procurement yang berbasis teknologi dan informatika ini harus ditunjang dengan SDM yang berkualitas sehingga pelaksanaannya akan optimal, namun penyelenggaraan e-procurement Dinas PUPP Kota Malang masih terkendala dengan terbatasnya SDM dalam bidang pengadaan. Keterbatasan SDM tersebut ditengarai dengan berubah-ubahnya aplikasi yang digunakan dalam e-procurement. Mulai dari SPSE Versi 3.1 yang di gunakan pada tahun 2010 yang diubah dengan SPSE Versi 3.5 pada tahun 2012, dikarenakan kurangnya persiapan dan sosialisasi menjadikan SDM di Dinas PUPP Kota Malang tidak menguasai
64
aplikasi dalam pelaksanaan e-procurement meskipun persyaratan Pasal 17 Perubahan Kedua Perpres PBJP tentang sertifikasi keahlian telah terpenuhi.
Kelemahan
SDM
ini
sering
menimbulkan
berbagai
permasalahan, salah satunya adalah bila terjadi gangguan sistem pengadaan panitia pengadaan tidak mampu menangani masalah tersebut dikarenakan tidak menguasai aplikasi. Hal itu mengakibatkan penundaan dan pengunduran proses pengumuman pemenang tender, berdasar pada hal tersebut dalam kurun kuartal pertama tahun 2012 Dinas PUPP Kota Malang diindikasi telah melaksanakan persekongkolan vertikal. Berdasar ketentuan Peraturan KPPU Nomor 2 Tahun 2010 tentang Pedoman Pasal 22 UU Anti Monopoli tentang Larangan Persekongkolan dalam Tender angka 11 huruf b tentang indikasi persekongkolan pada saat pengumuman calon pemenang yang meliputi tanggal pengumuman tender ditunda dengan alasan yang tidak jelas namun tidak dijelaskan secara pasti berapa jumlah indikasinya. b. Ketidaklancaran
Sistem,
faktor
penghambat
ini
berkait
dengan
network/infrastruktur jaringan komputer yang mendukung terjadinya proses e-procurement yaitu jaringan internet yang masih sering mengalami gangguan. Hal ini dikarenakan bandwidth tidak stabil yang mengakibatkan e-procurement tidak dapat dilaksanakan dengan lancar sehingga efisiensi tidak tercapai. 2. Fakor Eksternal a. Faktor Teknis, hambatan dalam bidang teknis lebih kepada server yang drop dikarenakan mati lampu atau rusaknya instalasi listrik. b. Faktor Non Teknis, terkait dengan penipuan yang mengatasnamakan Dinas PUPP Kota Malang yang dilaksanakan oleh oknum yang tidak bertanggungjawab guna mendapat keuntungan pribadi. c. Keterbatasan SDM selaku penyedia barang/jasa, selain panitia yang belum menguasai aplikasi penyedia barang/jasa juga nampaknya masih memiliki keterbatasan terkait pemahaman dan kemampuan penggunaan sistem yang selalu diperbaharui (update). Terkait dengan dokumen penawaran yang
65
harus dimasukkan oleh penyedia barang/jasa perlu dilengkapi dengan kode yang digunakan untuk memudahkan penyortiran dalam penawaran, namun penyedia barang/jasa nampaknya masih belum memahami kode-kode yang perlu dimasukkan dalam proses upload penawaran. Dikarenakan hal tersebut,
Dinas
PUPP
Kota
Malang
diindikasikan
melakukan
persekongkolan tender yang tercantum dalam Peraturan KPPU Nomor 2 Tahun 2010 tentang Pedoman Pasal 22 UU Anti Monopoli tentang Larangan Persekongkolan dalam Tender angka 3 huruf c yaitu indikasi persekongkolan pada saat prakualifikasi perusahaan/pra lelang dimana panitia memberikan perlakuan khusus/istimewa kepada pelaku usaha dan indikasi angka 10 huruf a, yaitu jumlah peserta lebih sedikit dari jumlah peserta tender sebelumnya, serta indikasi persekongkolan tender angka 11 huruf c dan d, yaitu indikasi persekongkolan pada saat pengumuman pemenang tender cenderung berdasarkan giliran yang tetap atau terusmenerus. Kegagalan upload yang dialami oleh mayoritas penyedia barang/jasa mengakibatkan hanya beberapa penyedia barang/jasa yang lolos kualifikasi sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa pemenang tender adalah pihak-pihak yang sama. berdasar pada penelitian hukum yang dilaksanakan oleh Maria Avilla Cahya Arfanti meskipun dalam penyelenggaraan e-procurement telah didasarkan pada Perubahan Kedua Perpres PBJP yang diharapkan dapat mereduksi persekongkolan tender namun aplikasi di lapangan terkait penyelenggaraan PBJP masih terdapat kekurangan baik internal maupun eksternal yang justru menambah indikasi terjadinya persekongkolan tender. Maka dari itu, penulis tertarik untuk mengkaji eksistensi e-procurement tersebut dalam penelitian lanjutan mengenai tema yang sama yaitu upaya pengoptimalan eksistensi e-procurement untuk mereduksi permasalahan di bidang PBJP. Penyelenggaran PBJP dapat dinyatakan masih kurang maksimal dan masih menimbulkan berbagai macam masalah mulai dari tahap persiapan pengadaan, pra contractual, post contractual, bahkan hingga pasca kontrak. Hal ini ditandai dengan ketidakoptimalan penyelenggaraan mulai dari tahap pemilihan penyedia
66
barang/jasa
melalui
e-tendering,
pelaksanaan
penyelenggaraan
pekerjaan
konstruksi, hingga penyerahan pekerjaan dan evaluasi yang berpotensi menimbulkan kerugian bagi negara selaku pengguna barang/jasa. Terkait dengan pelaksanaan tender Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyatakan bahwa dalam kurun waktu 2015 dari laporan yang diterima terdapat 5 (lima) kasus yang berhasil diinvestigasi dan diputus sebagai persekongkolan tender dalam pengadaan pekerjaan konstruksi PBJP, yang diuraikan sebagai berikut: 1. Kasus dugaan pelanggaran Pasal 22 UU Anti Monopoli terkait dengan persekongkolan tender 5 (lima) paket tender dalam bidang pekerjaan konstruksi pada Dinas Pekerjaan Umum, Kabupaten Asahan, Sumatera Utara Tahun Anggara 2013 yang dilakukan oleh Panitia Pengadaan Barang/Jasa pada Dinas PU Kabupaten Asahan beserta 16 (enam belas) penyedia pekerjaan konstruksi. Berdasar pada Putusan Perkara Nomor 01/KPPU-L/2015 telah terjadi persekongkolan pada 5 (lima) Paket Pengadaan yang meliputi: a. Paket I tentang Peningkatan Ruas Jalan Silau Jawa menuju Sei Nadoras Kecamatan Bandar Pasir Mandoge. b. Paket 2 tentang Pekerjaan Lanjutan Peningkatan dengan Hotmix Ruas Jalan Pasar XI Menuju Silau Laut. c. Paket 3 terkait Peningkatan dengan Hotmix Jalan dari Simpang Sei Dua Dusun I menuju Simpang Jalan Lintas Kisaran-Tanjung Balai Dusun V dan Dusun VI Desa Sipaku Kecamatan Simpang Empat. d. Paket 4 terkait Pekerjaan Lanjutan Hotmix Jalan Lingkar Dalam dari Jembatan Sukaraja Menuju Pulau Maria. e. Paket 5 tentang Pembangunan Base Course Ruas Jalan Aek Sopang Kecamatan Tinggi Raja Menuju Simpang PR Sionggang Kecamatan Bandar Pasir Mandoge. dalam pelaksanaan tender, telah terjadi Persekongkolan Horizontal pada Paket II dan Paket III yang dilakukan oleh para penyedia pekerjaan konstruksi dengan cara bekerjasama dalam mempersiapkan penyusunan dokumen penawaran yang ditandai dengan adanya persesuaian penyusunan dokumen penawaran oleh orang yang sama atau dilakukan secara bersama-sama.
67
Persekongkolan Horizontal penyedia pekerjaan konstruksi pada paket I, Paket IV dan Paket V terkait dengan penyusunan dokumen penawaran yang sama yang menunjukkan adanya perusahaan pendamping yang ditandai dengan kesamaan alamat, adanya kesamaan dokumen penawaran bahkan terdapat kesamaan dalam Surat Jaminan Penawaran. Selain itu, juga terjadi Persekongkolan Vertikal yang dilakukan oleh Panitia Pengadaan Barang/Jasa Dinas PU dengan tujuan mengatur pemenang lelang di semua paket lelang. Berdasar pada hal tersebut, maka dapat dikategorikan sebagai Persekongkolan Campuran Vertikal dan Horizontal yang melibatkan baik dari penyedia pekerjaan konstruksi maupun panitian pengadaan. 2. Kasus Persekongkolan Tender terkait dengan Pelelangan 4 (empat) Paket Pekerjaan di Lingkungan Konstruksi SNVT Pelaksanaan Jalan Nasional Provinsi Kepulauan Riau, ULP Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional II Kementerian Pekerjaan Umum dengan sistem full-procurement Tahun Anggaran 2014. Berdasar Putusan Perkara Nomor 02/KPPU-L/2015, dimana telah terjadi Persekongkolan Horizontal pada Paket I, Paket II dan Paket III yang melibatkan penyedia pekerjaan konstruksi dimana penyedia pekerjaan konstruksi yang turut serta dalam tender merupakan perusahaan yang saling terafiliasi dan terbukti melakukan kerjasama dalam tender. Selain itu, dalam pelaksanaan tender tersebut para penyedia pekerjaan konstruksi telah membagi dan menentukan pemenang tender pada Paket I, Paket II, dan Paket III. Terkait dengan Pelelangan Paket IV juga telah terbukti dilakukannya persekongkolan Tender Horizontal diantara para penyedia pekerjaan konstruksi dimana para penyedia pekerjaan konstruksi merupakan perusahaan yang saling terafiliasi, selain itu juga terdapat hubungan keluarga antara para penyedia pekerjaan konstruksi. Selain itu, dokumen penawaran yang diajukan oleh para penyedia pekerjaan konstruksi juga memiliki banyak kesamaan baik dalam penyusunan maupun kesalahannya yang menunjukkan bahwa dokumen penawaran dibuat oleh orang yang sama. Berdasar pada uraian diatas, dapat dinyatakan bahwa telah terjadi persekongkolan horizontal dalam pelaksanaan pemilihan penyedia pekerjan konstruksi Riau.
68
3. Persekongkolan Tender Campuran Vertikal dan Horizontal terkait Tender Rehab/Pemeliharaan Jalan Lingkar Timur Kota Prabumulih Provinsi Sumatera Selatan Tahun Anggaran 2013 yang berdasar pada Putusan Perkara Nomor 05/KPPU-L/2015 telah melibatkan Jasa Pengadaan Konstruksi dan Konsultasi Bidang Bina Marga Unit Layanan Pengadaan Pemerintah Kota Prabumulih, Sumatera Selatan dan penyedia pekerjaan konstruksi. hal tersebut ditandai dengan dokumen penawaran yang serupa, serta terdapat kesamaan dalam garansi
penawan.
Terkait
dengan
persekongkolan
Vertikal
dimana
persekongkolan yang terjadi antara salah satu atau beberapa pelaku usaha atau penyedia barang dan jasa dengan panitia tender atau panitia lelang atau pengguna barang dan jasa atau pemilik atau pemberi pekerjaan yang ditandai dengan ULP Bina Marga yang lalai dalam melaksanakan evaluasi administrasi dan evaluasi kualifikasi. ULP Bina Marga selaku panitia pengadaan dengan sengaja tidak melakukan evaluasi dokumen penawaran sehingga banyak ditemukan kesamaan dokumen penawaran. 4. Berdasar pada Putusan Perkara Nomor 11/KPPU-L/2014 telah terjadi Persekongkolan Tender campuran Vertikal dan Horizontal terkait Dua Paket Lelang
pada Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga Kegiatan Jalan dan
Jembatan Pemerintah Kabupaten Ogan Ilir Propinsi Sumatera Selatan Tahun Anggaran 2013 yang melibatkan Panitia Pelelangan Pekerjaan Peningkatan Jalan Menuju Pusat Perkantoran dan Komplek Perkantoran: Ruas KoramilPerkantoran dan Ruas Sakatiga-Perkantoran-Peningkatan Jalan Kompleks Perkantoran dan Pelelangan Pekerjaan Peningkatan Jalan Ruas Dalam Kota Indralaya Pemerintah Kabupaten Ogan Ilir Sub Agency Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga Kegiatan Jalan dan Jembatan dan penyedia pekerjaan konstruksi. Berdasar pada investigasi dinyatakan bahwa telah terjadi Persekongkolan Horizontal Paket I yaitu Paket Pelelangan Pekerjaan Peningkatan Jalan Menuju Pusat Perkantoran dan Komplek Perkantoran: Ruas Koramil-Perkantoran dan Ruas Sakatiga-Perkantoran-Peningkatan Jalan Kompleks Perkantoran oleh para penyedia pekerjaan konstruksi yang ditandai dengan adanya bukti bahwa para penyedia pekerjaan konstrukai bekerjasama
69
dalam mempersiapkan penyusunan dokumen penawaran berupa adanya kesamaan alamat, nomor telepon perusahaan, serta dokumen kualifikasi yang menunjukkan bahwa terdapat perusahaan fiktif yang dibuat agar berkontribusi dalam pelelangan. Selain itu, juga terdapat Persekongkolan Vertikal Paket II Pelelangan Pekerjaan Peningkatan Jalan Ruas Dalam Kota Indralaya Pemerintah Kabupaten Ogan Ilir yang mana panitia telah mengabaikan adanya fakta hubungan kakak beradik diantara Direktur Utama Terlapor II, Direktur Utama Terlapor III, dan Direktur Utama Terlapor IV sebagaimana dikuatkan dengan adanya kesamaan alamat dan nomor telepon perusahaan diantara ketiganya dengan tidak melakukan proses klarifikasi dalam proses evaluasi tender. Selain itu panitia pengadaan juga tidak melakukan klarifikasi terhadap Terlapor III terkait banyaknya lembar-lembar di dalam dokumen kualifikasi dan dokumen penawaran yang tidak ditandatangani oleh Direktur Utamanya, bahkan tetap meloloskan Terlapor III menjadi calon pemenang cadangan. 5. Putusan Perkara Nomor 17/KPPU-L/2014 memutuskan bahwa telah terjadi Dugaan Pelanggaran Pasal 22 UU Anti Monopoli pada Tender Pembangunan Gedung (Paruga) Samakai Kabupaten Dompu Propinsi Nusa Tenggara Barat Tahun Anggaran 2014 yang melibatkan Unit Pelayanan Pengadaan (ULP) Kabupaten Dompu Tahun Anggaran 2013 yang dengan sengaja telah memenangkan PT. Mina Fajar Abadi. Berdasar pada investigasi telah terbukti adanya Persekongkolan Vertikal antara panitia pengadaan dan peserta tender dimana ULP Kabupaten Dompu telah dengan sengaja mengabaikan adanya kesamaan narasi/uraian dan kesamaan format penulisan pada metode pelaksanaan pekerjaan serta kesamaan jumlah harga (Rp) pada beberapa item uraian pekerjaan dalam Rencana Anggaran Biaya (RAB) pada Dokumen Penawaran Terlapor II, Terlapor III, dan Terlapor IV dengan tidak dilakukannya klarifikasi pada tahap evaluasi teknis kepada pihak terkait, sehingga PT Mina Fajar Abadi dapat ditetapkan sebagai pemenang tender. Selain itu, ULP Kabupaten Dompu bahkan membocorkan rincian Harga Perkiraan Sendiri (HPS) pada pemenang tender.
70
selain itu, terkait dengan pelaksanaan e-tendering berdasar pada data yang telah dihimpun oleh LKPP RI dinyatakan bahwa dalam kurun waktu 2008 hingga 30 November 2015 transaksi e-tendering LPSE menunjukkan masih terdapat jumlah total 41.794 (empat puluh satu ribu tujuh ratus sembilan puluh empat) hasil lelang belum selesai setara dengan prosentase sebesar 9,91 % dana tidak terserap. Dikarenakan hal tersebut dapat dinyatakan telah terjadi tindakan pengadaan yang tidak beretika karena dengan tidak terserapnya anggaran dengan baik berarti telah terjadi pemborosan dan kebocoran keuangan negara dalam Pengadaan Barang/Jasa sebagaimana termaktub dalam ketentuan Pasal 6 huruf f Perpres PBJP. (LPSE LKPP RI, 2015, http://report-lpse.lkpp.go.id/v2/lelang/beranda#, diakses pada 14 Desember 2015 pukul 14.00 WIB). Hal tersebut menunjukkan bahwasanya
pelaksanaan
e-procurement
yang
tujuannya
untuk
meminimalisir/terhindarnya peluang tatap muka antara penyedia barang/jasa dengan panitia pengadaan maupun pengelola sistem e-procurement agar menghindari persekongkolan tender atau penyimpangan lainnya ternyata belum mampu dilaksanakan dengan optimal, karena meskipun tidak terjadi tatap muka dalam proses pengadaan belum tentu sesama penyedia barang/jasa atau antara penyedia barang/jasa dengan panitia pengadaan tidak melakukan penyimpangan (Vini Angeline, 2013: 7). Tahap pelaksanaan pekerjaan konstruksi, bisa dikatakan juga merupakan tempat potensial untuk terjadinya pelanggaran. Permasalahan dalam pelaksanaan pekerjaan konstruksi pada dasarnya berakar pada kurang optimalnya peran LKPP RI dalam mengawal e-procurement, kurangnya pemahaman akan regulasi PBJP yang selalu saja mengalami perubahan, serta masih terdapat kekosongan hukum dalam
penyelesaian
sengketa
PBJP
(LKPP
RI,
2015,
http://www.lkpp.go.id/v3/#/publikasi/ read/3876, diakses pada 14 Desember 2015 pukul 12.27 WIB). Salah satu kasus terjadi di Madiun Jawa Timur. Dinas Pekerjaan Umum Pemerintah Kota Madiun (DPU Pemkot Madiun) pada tanggal 25 Januari 2013 mengumumkan adanya pelelangan atas Kegiatan Penataan Kawasan GOR dan Stadion Wilis Kota Madiun Tahun Anggaran 2013, dimana dalam pelelangan tersebut PT. Surya Kencana Sakti (PT. SKS) mengirimkan
71
penawaran akan tender pada tanggal 5 Pebruari 2013 dan dinyatakan sebagai pemenang tender dan pelaksana proyek yang sah menurut hukum pada tanggal 18 Februari 2013. PT. SKS melaksanakan pekerjaan berdasarkan Surat Perjanjian Pemborongan
Pekerjaan
atau
Surat
Perintah
Kerja
Nomor
050/PA/1020/401.109/2013 tanggal 8 Maret 2013, namun pada tanggal 22 Juni 2013 kontrak kerja diputus secara sepihak oleh DPU Pemkot Madiun ketika PT. SKS sedang mengerjakan beberapa item proyek di Gedung Olahraga (GOR) dan Stadion Wilis senilai kurang lebih Rp9.000.000.000 (sembilan miliar rupiah) atau setara dengan 65 % dari nilai kontrak sebelum massa kontrak habis. Pemutusan kontrak secara sepihak ini dikarenakan PT. SKS masuk dalam daftar hitam (blacklist) oleh Dinas Pekerjaan Umum, Bina Marga dan Pengairan Kabupaten Trenggalek, yang secara sah dapat dijatuhkan sebagaimana termaktub dalam ketentuan Pasal 118 ayat (4) Perpres PBJP dimana pemberian sanksi berupa blacklist diberikan oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Penguna Anggaran setelah mendapat
masukan
dari
Pejabat
Pembuat
Komitmen/Unit
Layanan
Pengadaan/Pejabat Pengadaan sesuai dengan ketentuan. Blacklist yang ditetapkan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) berdasar keputusan Kepala Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga dan Pengairan Kabupaten Trenggalek Nomor: 050/437/406.033/2013 berlaku selama 2 tahun dari 6 Pebruari 2013 hingga 6 Pebruari 2015, dengan ketentuan bahwa selama masa 2 tahun tersebut pelaksana atau penyedia barang/jasa (dalam hal ini PT. SKS) dilarang untuk ikut berperan dalam tender PBJP yang diadakan di daerah Jawa Timur. Merujuk pada Pasal 13 ayat (1) Peraturan Kepala LKPP Nomor 18 Tahun 2014 tentang Daftar Hitam Dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah mengatur bahwa penyedia barang/jasa yang dikenakan sanksi pencantuman dalam daftar hitam berdasar penetapan PA/KPA tidak dapat mengikuti pengadaan barang/jasa di seluruh K/L/D/I dalam jangka waktu 2 (dua) tahun
sejak
tangal
ditetapkannya Surat Keputusan
Penetapatan sanksi
pencantuman dalam Daftar Hitam. Yohanes Sogar Simamora dalam artikel ilmiah (skripsi) Candra Setyo Perdana Putra (2015: 7) menyatakan bahwa pada dasarnya kedudukan dari ada
72
atau tidaknya sanksi blacklist tersebut adalah sebagai parameter untuk menilai tingkat kemampuan (kapabilitas) penyedia barang/jasa dalam melaksanakan pekerjaan dalam lingkup PBJP. Berdasar pada sanksi blacklist tersebut PT. SKS dapat dinyatakan kehilangan haknya untuk mengajukan penawaran akan lelang suatu pekerjaan di wilayah Jawa Timur termasuk di dalamnya Pemkot Madiun maupun pekerjaan di seluruh K/L/D/I karena telah dinyatakan tidak mampu melaksanakan beban pekerjaannya. LKPP selaku lembaga yang mengawal penyelenggaraan e-procurement justru baru menayangkan blacklist atas PT. SKS pada Daftar Hitam Nasional dalam website Portal Pengadaan Nasional pada tanggal 5 April 2013, sehingga pengguna barang/jasa terlambat mengetahuinya. Berdasar pada tindakan pemutusan kontrak secara sepihak oleh Pemkot Madiun, PT. SKS mengajukan gugatan pada Pengadilan Negeri Madiun yang diputus dengan putusan Nomor 35/Pdt.G/2013/PN.Kd.Mn, yang pada amarnya dinyatakan bahwa gugatan PT. SKS diterima sebagian, dan Pemerintah Kota Madiun harus membayar ganti kerugian senilai Rp5.926.980.000,00 (lima miliar sembilan ratus dua puluh enam juta sembilan ratus delapan puluh ribu rupiah) yang merugikan keuangan daerah karena menyalahi ketentuan kontrak kerja dan Perpres PBJP. Bila dikaji tindakan pemutusan kontrak secara sepihak yang dilaksanakan oleh Pemkot Madiun dapat dinyatakan sebagai tindakan yang tepat karena telah jelas bahwa PT. SKS telah dengan sengaja turut mengajukan penawaran dalam lelang sedangkan kedudukannya berada dalam blacklist, namun secara yuridis hal tersebut justru merugikan kedudukan Pemkot Madiun dikarenakan adanya berkali-kali perubahan dalam ketentuan Perpres PBJP yang mengakibatkan keraguan dan kerancuan bila terjadi kasus terkait dengan overlapping kontrak berjalan dengan pemberlakuan sanksi blacklist. Ketentuan Pasal 93 ayat (1) Perpres PBJP menyatakan bahwa Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dapat membatalkan kontrak secara sepihak bila dalam penyelenggaraannya penyedia barang/jasa melakukan kesalahan yang dapat dibuktikan oleh pejabat yang berwenang yang mana salah satu sanksi yang termasuk di dalamnya adalah pengenaan blacklist, namun sebagaimana penjelasan Pasal 124 Perubahan Kedua Perpres PBJP dinyatakan bahwasanya pengenaan sanksi daftar hitam tidak
73
berlaku surut (non retroaktif), yang artinya penyedia yang terkena sanksi daftar hitam dapat menyelesaikan pekerjaan lain jika kontrak pekerjaan tersebut ditandatangani sebelum pengenaan sanksi, serta bila ketidaktahuan keberaaan sanksi blacklist akibat kesalahan dari pihak ketiga tidak diakomodir dalam Perpres PBJP. Permasalahan lain yang tak kalah penting dalam bidang penyelenggaraan Pekerjaan Konstruksi PBJP adalah terkait dengan penyelesaian sengketa dalam pelaksanaan kontrak. Hal tersebut menjadi rumit bila dikaitkan dengan kedudukan negara sebagai badan publik namun berada dalam kapasitas menjalankan perbuatan hukum dalam lingkup keperdataan atau privat (hibrida) (IPW, 2014: 13). Hasil observasi LKPP RI menunjukkan pada tahun 2014 hingga Mei 2015, LKPP RI telah mencatat lebih kurang ada 1.620 kasus sanggahan, 1.510 pengaduan, dan 777 sengketa pelaksanaan kontrak. Akibatnya, kepercayaan publik dan gairah pelaku pengadaan menjadi rendah. Permasalahan tersebut diantaranya adalah gugatan penyedia yang tidak dapat berkompetisi karena ketidaktahuan atas Rencana Umum Pengadaan, ketidakpuasan putusan sanggah, pengaduan perkara atas ketidaksetujuan perubahan spesifikasi teknis pada kontrak, serta ketidakmampuan penyedia dalam memenuhi kontrak” (LKPP RI, 2015, http://www.lkpp.go.id/v3/#/publikasi/ read/3876, diakses pada 14 Desember 2015 pukul 12.27 WIB). Berdasar pada jumlah kasus diatas, LKPP RI mencatat bahwa
hanya
10%
sengketa
yang
diperkarakan
(LKPP
RI,
2015,
http://www.lkpp.go.id/v3/#/publikasi/ read/3876, diakses pada 14 Desember 2015 pukul 12.27 WIB). Keterkaitan pelaksanaan PBJP dengan sifat hibrida dari PBJP tersebut membawa pengaruh bagi para pihak dalam kontrak, dimana mereka masih sering bingung akan diarahkan kemana kasus yang terjadi dalam pelaksanaan kontrak yang melibatkan negara sebagai salah satu subjek hukumnya. Hal ini ditandai dengan masih banyaknya kasus penyelenggaraan PBJP pada umumnya dan peyelenggaraan bidang konstruksi PBJP pada khususnya yang dibawa ke ranah Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
74
Tabel 3. Putusan PTUN dalam pelaksanaan pekerjaan konstruksi.
No.
1.
Nomor Putusan
Para Pihak Yang Bersengketa
Putusan
PT. KIRANA
Nomor:
KARYA
12/G/2012/P TUN-BNA
Perkara
Dikeluarkannya Surat Penetapan Lelang Nomor:
10/Pokja
UL/eProc/PU-Kab.
melawan Pokja
Pidie Jaya/2012 tidak tepat karena telah
Pengadaan
terjadi kesalahan dalam hal dokumen
Kontruksi ULP
penawaran
(Garansi
Bank
sebagai
Kementerian
Jaminan Penawaran) yang tidak sesuai
Agama
dengan dokumen pengadaan. Gugatan
Kabupaten
tidak diterima karena secara kompetensi
Pidie Jaya dan
absolut
PTUN
tidak
berwenang
PT. PRIMA
mengadili sebagaimana ketentuan Pasal
JASA
77 ayat (1) Undang-Undang PTUN
LESTARINDO
karena keputusan dikeluarkan dalam rangka
menjalankan
perbuatan
keperdataan. 2.
Putusan
PT. GALIH
Diterbitkannya Surat KPPU Nomor:
Nomor:
MEDAN
1710/SJ/X/2013 tanggal 16 Oktober 2013
PERSADA
perihal Tanggapan atas Surat Klarifikasi
07/G/2014/P TUN-JKT
melawan KPPU Larangan Mengikuti Tender PT. GALIH dan Pejabat
MEDAN PERKASA dan Surat PPK
Pembuat
Pembangunan Kampus STAIS Nomor:
Komitmen Kegiatan Pembangunan Kampus STAIS
600/494/DPU-CK/STAIS/IX/2013 tanggal 25 November 2013 tentang Pemutusan
Kontrak.
Dengan
dikeluarkannya objek sengketa tersebut
Dinas Pekerjaan PT.
GALIH
MEDAN
PERSADA
75
Umum Kutai Timur
mengalami
kerugian
dengan
adanya
sanksi blacklist serta pemutusan kontrak sepihak.
Menolak
kompetensi
absout
gugatan PTUN
karena tidak
berwenang. 3.
Putusan
PT. LINCE
Dikeluarkannya Surat Keputusan Bupati
Nomor:
ROMAULI
Lebak Nomor: 606/Kep.133/Adm.pemb/
RAYA
2014 tentang Penetapan Hasil Kinerja
39/G/2014/P TUN.SRG.
melawan Bupati Penyedia Jasa
Konstruksi Pelaksana
Lebak Serang
Pekerjaan Fisik Konstruksi pada kegiatan
Banten
yang bersumber dari dana APBD Tahun 2013 mengakibatkan ruginya PT. Lince Romauli
Raya
(PT.
Lince)
selaku
penyedia pekerjaan konstruksi. Berdasar pada dikeluarkannya Surat Keputusan Bupati Lebak tersebut, mengakibatkan PT. Lince masuk ke dalam daftar perusahaan yang mendapatkan sanksi blacklist dan ditayangkan secara online pada website LPSE Lebak Banten, yang mengakibatkan PT. Lince mengalami pembatalan penunjukan pemenang lelang serta tidak dapat mengikuti pelelangan pekerjaan
di
lingkungan
pemerintah
sampai dengan tanggal 31 Desember 2015. Amarnya menolak gugatan PT. Lince seluruhnya karena PTUN tidak berwenang mengadili keputusan yang dibuat dalam ranah perdata. Secara harfiah, Surat Keputusan sebagaimana tercantum diatas memang dapat dikategorikan sebagai Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan objek
76
dalam perkara PTUN, namun secara yuridis Surat Keputusan tersebut diterbitkan dalam lingkup pejabat yang mewakili negara sedang melaksanakan perbuatan keperdataan dimana pejabat tersebut bukan berada dalam kapasitasnya selaku Pejabat Tata Usaha Negara melainkan melaksanakan tugas dan perannya dalam bidang keperdataan yang mengakibatkan kompetensi absolut PTUN tidak mampu menjangkaunya. Tim Evaluasi dan Pengawasan Realisasi Anggaran (TEPRA) LKPP RI dalam publikasinya juga merilis bahwa dalam pelaksanaan e-procurement berdasar pada monitoring dan evaluasi masih terdapat banyak kendala. Tabel 4. Monitoring dan Evaluasi Profil Pengadaan Selisih No.
Uraian
2013
2014
Prosentase (%)
1.
Tren Belanja Nasional (dalam triliun)
742.88
828.30
11.5
2.
Belanja
340.68
395.06
15.9
366.77
396.79
8.1
249
281
12.8
Pengadaan
Pemerintah
(triliun) 3.
Belanja Pemerintah Modal (triliun)
4.
Pengumuman
e-tendering
PBJP
(triliun) 5.
Efisiensi e-tendering PBJP (%)
10.17
8.41
1.76
6.
Kasus Sanggah Pekerjaan Konstruksi
3.620
717
80
284
607
53
(jumlah) 7.
Daftar Hitam (Blacklist) (jumlah)
Sumber: TEPRA LKPP RI. Berdasar monev LKPP RI sebagaimana data di atas dinyatakan pada tahun 2014 terjadi peningkatan belanja nasional sebesar 11,5 %, dengan rincian sebanyak Rp.828.030.000.000.000 (delapan ratus dua puluh delapan triliun tiga puluh milyar rupiah) paket dibelanjakan dengan total anggaran belanja PBJP senilai Rp395.006.000.000.000 (tiga ratus sembilan puluh enam triliun enam miliar rupiah). Belanja PBJP tersebut dilaksanaan melalui e-tendering yang
77
menunjukkan peningkatan sebesar 12.8 %, namun terkait dengan pelaksanaannya justru e-tendering tidak efisien dengan mengalami penurunan nilai efisiensi sebesar 1.76 % dibanding dengan tahun lalu. Selain itu, dalam pelaksanaan PBJP Tahun 2014 telah terjadi peningkatan blacklist bagi penyedia barang/jasa sebesar 53 %, dimana Perusahaan Kecil mendominasi jenis Badan Usaha yang masuk dalam blacklist sebanyak 426 perusahaan, yang mana sebesar 91.27 % penyedia masuk dalam blacklist pada tahap pelaksanaan kontrak karena lalai atau cidera janji, sedangkan 8.7 % lainnya pada saat proses lelang (TEPRA LKPP RI, 2014, http://monev.lkpp.go.id/profilPengadaan2014/profilPengadaan, diakses pada 27 Maret 2016, pada pukul 14.08 WIB). Berdasar pada press release yang diterbitkan oleh LKPP RI melalui http://www.lkpp.go.id/, untuk menanggulangi permasalahan dalam bidang PBJP tersebut LKPP akan melakukan inisiasi pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa PBJP (BPS PBJP). Keberadaan badan penyelesaian sengketa dalam ranah khusus PBJP diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan hukum dalam pengadaan tidak hanya mencakup sengketa persekongkolan atau persaingan usaha tidak sehat, melainkan mencakup seluruh kasus perdata dalam ranah pengadaan barang/jasa (LKPP RI, 2015, http://www.lkpp.go.id/v3/#/publikasi/read/3876. diakses pada 14 Desember 2015 pukul 12.27 WIB). Hal ini menunjukkan bahwa selama ini, para pihak dalam kontrak bahkan institusi negara selalu terbatas pada tindakan represif penyelesaian sengketa atau dalam tahap post contractual saja, bahkan LKPP RI selaku pihak yang bertanggungjawab akan PBJP juga fokus pada tindakan represif saja dalam menanggapi masalah PBJP yang terbilang cukup pelik. Maka dari itu, diperlukanlah sebuah upaya yang mana bukan hanya berfokus saja pada tindakan represif penyelesaian sengketa saja namun perlu diadakan perubahan paradigma bahwa pengoptimalan tahap pra contractual perlu dilaksanakan agar menjadi suatu solusi tindakan pencegahan guna mereduksi permasalahan PBJP. Hal ini menjadi krusial untuk dikaji dan diterapkan terutama bila dikaitkan dengan pernyataan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan
78
Rakyat Basuki Hadimuljono yang dirilis dalam publikasi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kementerian PUPR) dalam kurun waktu triwulan pertama tahun 2016 total paket yang ditandatangani dan akan segera dilaksanakan sebanyak 644 (enam ratus empat puluh empat) paket dengan nilai kontrak sebesar Rp8.081.000.000.000 (delapan triliun delapan puluh satu miliar rupiah). Dari seluruh paket tersebut sebanyak 597 (lima ratus sembilan puluh tujuh) paket merupakan paket kecil dibawah Rp50.000.000.000 (lima puluh miliar) yang diharapkan menjadi penggerak ekonomi di daerah, sementara sisanya sebanyak 47 (empat puluh tujuh) paket merupakan paket besar diatas Rp50.000.000.000 (lima puluh miliar) (Kementerian PUPR, 2016, http://www.pu.go.id/main/view/9975 , diakses pada 24 Maret 2016 pukul 10.55 WIB). lebih lanjut, Kementerian PUPR menyatakan bahwa dalam rangka upaya percepatan pembangunan infrastruktur tahun 2016 Kementerian PUPR memiliki total 10.752 (sepuluh ribu tujuh ratus lima puluh dua) paket kontrak dengan nilai Rp73.041.000.000.000 (tujuh puluh tiga triliun empat puluh satu miliar rupiah). Pelelangan dini terhadap kontrak tersebut telah dilaksanakan sejak bulan Agustus hingga Desember 2015 sebanyak 5.344 (lima ribu tiga ratus empat puluh empat) paket dengan nilai Rp42.074.000.000.000 (empat puluh dua triliun tujuh puluh empat miliar). Berdasar pada uraian diatas, menunjukkan bahwa eksistensi pekerjaan konstruksi dalam kurun tahun 2016 semakin tinggi. Hal tersebut membawa konsekuensi dan tanggung jawab yang besar bagi Indonesia terkait dengan penyerapan anggaran APBN. Data diatas menunjukkan bahwa kontrak pada Kementerian PUPR yang belum dilelangkan dalam kurun waktu 2016 kurang lebih sebanyak 5.408 (lima ribu empat ratus delapan), bila dalam pelaksanaan pelelangan tidak diselenggarakan secara optimal Indonesia akan menderita kerugian kurang lebih sebesar Rp30.967.000.000.000 (tiga puluh triliun sembilan ratus enam puluh tujuh miliar rupiah) sehingga langkah pengoptimalan yang perlu dilaksanakan haruslah dimulai dari tahap pra contractual melalui pembatasan peserta e-tendering dengan cara melakukan evaluasi yang menyuruh mulai dari pengumuman lelang hingga penetapan pemenang lelang melalui SPSE untuk menilai Sisa Kemampuan Paket (SKP) penyedia pekerjaan konstruksi guna
79
menyeleksi penyedia pekerjaan konstruksi yang benar-benar memiliki kapabilitas dan kualifikasi yang tepat untuk melaksanakan pengadaan yang dimaksud dengan tetap memperhatikan prinsip dan asas dalam hukum kontrak. Permasalahan dalam bidang PBJP bukan hanya terletak pada ada atau tidaknya sengketa selama kontrak berjalan saja, sehingga langkah yang diperlukan bukan hanya langkah penanggulangan (represif) setelah terjadi sengketa saja namun perlu diupayakan pula langkah pencegahan (preventif) guna mereduksi permasalahan dalam bidang pekerjaan konstruksi di masa sekarang dan masa yang akan datang dan pengawalan dalam bidang PBJP akan lebih terarah dari kedua sisi. B. Mekanisme Pengoptimalan Pemilihan Penyedia Pekerjaan Konstruksi Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Melalui Prosedur Pembatasan Peserta E-Tendering Sistem Pengadaan Secara Elektronik Dikaitkan dengan Perspektif Hukum Kontrak Indonesia E-Procurement dalam pengertian umum diterapkan pada sistem database yang terintegrasi dan area luas yang berbasis internet dengan jaringan sistem komunikasi dalam sebagian atau seluruh proses pembelian barang dan jasa (Kodar Udoyono, 2012: 146). Merujuk pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 207/PRT/M/2005 tentang Pedoman Pengadaan Jasa Konstruksi Pemerintah Secara Elektronik menyatakan bahwa pengadaan Pekerjaan Konstruksi secara elektronik masih termasuk dalam kategori pengadaan yang dilakukan sebagian secara elektonik yang mana meskipun dilaksanakan secara elektronik namun sifatnya masih parsial, antara peserta lelang dan panitia pengadaan masih tetap harus melakukan proses tatap muka secara langsung. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, Perpres PBJP mengamanatkan bahwa dalam penyelenggaraan e-procurement tunduk pula pada berlakunya ketentuan UU ITE. Keberadaan undang-undang ini semakin menguatkan peran teknologi dalam pelayanan publik. Pasal 4 UU ITE menyebutkan bahwa teknologi informasi juga ditujukan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan publik. Pada dasarnya dalam Pasal 5 UU ITE menegaskan bahwa Informasi Elektronik maupun Dokumen Elektronik serta hasil cetaknya merupakan alat
80
bukti hukum yang sah. Ketentuan Pasal 11 UU ITE menyebutkan bahwa tanda tangan elektronik yang biasanya digunakan dalam transaksi elektronik juga memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum yang sah. Hal tersebut memberikan rasa aman dan kepastian hukum dalam pemanfaatan TIK untuk menunjang penyelenggaraan pelayanan publik (Prista Vitali Saktinegara, 2013: 70). Penyelenggaraan e-procurement juga termasuk dalam ruang lingkup pengaturan UU ITE, yang diantaranya terkait dengan kontrak elektronik serta tanda tangan elektronik. Pasal 1 angka 17 UU ITE menyebutkan bahwa Kontrak Elektronik adalah perjanjian para pihak yang dibuat melalui Sistem Elektronik, sedangkan ketentuan berkait dengan tanda tangan elektronik terdapat dalam Pasal 1 ayat (12) UU ITE yang menyebutkan bahwa tanda tangan elektronik adalah tanda tangan yang terdiri atas informasi elektronik yang dilekatkan, terasosiasi, atau terkait dengan Informasi Elektronik lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi dan autentifikasi. Terkait dengan eksistensi tanda tangan elektronik ini haruslah dilakukan pembuatan yang difasilitasi oleh Penyelenggara Tanda Tangan Elektronik. Prista Vitali (2013: 71) menyatakan bahwa tanda tangan elektronik tersebut juga tunduk pada ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggara Sistem dan Transaksi Elektronik, yang mana di dalamnya ditentukan bahwa demi keamanan dan keabsahan serta keaslian tanda tangan terdapat data untuk membuat tanda tangan elektronik yaitu kode pribadi, kode biometrik, kode kriptografi, dan/atau kode yang dihasilkan dari perkembangan teknologi dan informasi, namun di Indonesia pemerintah belum membentuk penyelenggara tanda tangan elektronik. Maka dari itu, sistem e-procurement di Indonesia belum dilaksanakan secara elektronik seluruhnya. Metode konvensional masih menjadi pilihan dalam proses penyerahan dokumen kualifikasi e-tendering PBJP. Hal tersebut dikarenakan belum terakomodirnya landasan hukum terkait dengan keabsahan materi elektronik, tanda tangan elektronik hingga tingkat otentifikasi dokumen elektronik. Berdasar dengan hal tersebut Perpres PBJP beserta perubahannya mengakomodir akan sifat parsial dari penyelenggaraan eprocurement kontrak pekerjaan konstruksi tersebut.
81
1. Tata Cara Pemilihan Penyedia Pekerjaan Konstruksi Merujuk pada ketentuan Pasal 1 angka 12 Perubahan Keempat Perpres PBJP disebutkan bahwa penyedia barang/jasa adalah badan usaha atau
orang
perseorangan
yang
menyediakan
barang/pekerjaan
konstruksi/jasa konsultasi/jasa lainnya. Berdasar pada ketentuan tersebut dapat dinyatakan bahwa penyedia pekerjaan konstruksi masuk dalam klasifikasi penyedia barang/jasa, dimana ketentuan terkait penyedia barang/jasa dapat dinyatakan berlaku pula bagi penyedia pekerjaan konstruksi. Pasal 3 Perpres PBJP mengatur bahwa pelaksanaan pengadaan barang/jasa dapat dilakukan melalui swakelola dan/atau pemilihan penyedia barang/jasa, dalam penelitian hukum ini berfokus pada pelaksanaan
pengadaan
melalui
pemilihan
penyedia
barang/jasa.
Ketentuan Perpres PBJP mengatur mengenai tata cara pengadaan melalui pemilihan penyedia pekerjaan konstruksi yang dilaksanakan oleh penyedia barang/jasa yang dilaksanakan dalam beberapa tahapan, yaitu: Tabel 5. Tata Cara Pengadaan Barang/Jasa melalui Penyedia Barang/Jasa dalam Perpres PBJP dan perubahannya No. 1.
Tahap Pengadaan
Pasal
Persiapan Pengadaan a. Perencanaan
Pemilihan
Penyedia Pasal 33 dan Pasal 34
Barang/Jasa
Perpres PBJP
b. Pemilihan Sistem Pengadaan 1) Pemilihan Penyedia
Sistem
Pengadaan Paragraf I Pasal 35 ayat (2)
Barang/Pekerjaan Penyesuaian
Konstruksi/ Jasa Lainnya
Perpres
Nomor 70 Tahun 2012 (Perubahan Kedua Perpres PBJP)
2) Penetapan
Metode
Penyampaian Pasal 47 Perpres PBJP
82
Dokumen 3) Penetapan
Metode
Pengadaan
Evaluasi Pasal 48 Perpres PBJP
Barang/Pekerjaan
Konstruksi/Jasa Lainnya 4) Penetapan Jenis Kontrak
Pasal
50
Penyesuaian
Perubahan Kedua Perpres PBJP 5) Pembuatan Tanda Bukti Perjanjian
Pasal
55
Penyesuaian
Perubahan Kedua Perpres PBJP c. Penetapan Metode Penilaian Kualifikasi
Pasal 56 Perpres PBJP
d. Penyusunan Jadwal Pemilihan Penyedia Pasal 59 Perpres PBJP Barang/Jasa
dan Pasal 60 Penyesuaian Perubahan Kedua Perpres PBJP
e. Penyusunan
Dokumen
Pengadaan Pasal 64 Perubahan Kedua
Barang/Jasa
Perpres PBJP
f. Penetapan Harga Perkiraan Sendiri
Pasal
66
Penyesuaian
Perubahan Kedua Perpres PBJP g. Jaminan Pengadaan Barang/Jasa 2.
Pelaksanaan
Pemilihan
Pasal 67 Perpres PBJP
Penyedia
Barang/Jasa a. Pengumuman
Pemilihan
Penyedia Pasal
Barang/Jasa
73
Penyesuaian
Perubahan Kedua Perpres PBJP
b. Penilaian Kualifikasi
Pasal 75 Perubahan Kedua Perpres PBJP
c. Pendaftaran dan Pengambilan Dokumen
Pasal 76 Perubahan Kedua Perpres PBJP
83
d. Pemberian Penjelasan
Pasal 77 Perubahan Kedua Perpres PBJP
e. Pemasukan Dokumen Penawaran
Pasal 78 Perubahan Kedua Perpres PBJP
f. Evaluasi Penawaran
Pasal 79 Perubahan Kedua Perpres PBJP
g. Penetapan dan Pengumuman Pemenang
Pasal 80 Perubahan Kedua Perpres PBJP
h. Sanggahan
Pasal
81
Penyesuaian
Perubahan Kedua Perpres PBJP i. Penunjukan Penyedia Barang/Jasa
Pasal
85
Penyesuaian
Perubahan Kedua Perpres PBJP j. Penandatanganan
Kontrak
Penyedia Pasal
Barang/Jasa
86
Penyesuaian
Perubahan Kedua Perpres PBJP
3.
Pelaksanaan Kontrak a. Perubahan Kontrak
Pasal 87 Perubahan Kedua Perpres PBJP
b. Uang Muka dan Pembayaran Prestasi Pasal 88 dan Pasal 89 Kerja
Penyesuaian
Perubahan
Kedua Perpres PBJP c. Pelaksanaan Kontrak untuk Pengadaan Pasal 90 Perubahan Kedua Barang/Jasa dalam Keadaan Tertentu
Perpres PBJP
d. Keadaan Kahar
Pasal 91 Perpres PBJP
e. Penyesuaian Harga
Pasal
92
Penyesuaian
Perubahan Kedua Perpres PBJP f. Pemutusan Kontrak
Pasal
93
Penyesuaian
84
Perubahan Kedua Perpres PBJP g. Penyelesaian Perselisihan
Pasal 94 Perpres PBJP
h. Serah Terima Pekerjaan
Pasal 95 Perpres PBJP
yang dapat diuraikan lebih lanjut berdasar tabel diatas, sebagai berikut: 1. Persiapan Pengadaan, dimana persiapan pemilihan penyedia barang/jasa terdiri atas kegiatan: a. Perencanaan Pemilihan Penyedia Barang/Jasa, yang terdiri atas kegiatan: 1) Pengkajian ulang paket pekerjaan; dan 2) Pengkajian ulang jadwal kegiatan pengadaan. Perencanaan pemilihan penyedia barang/jasa dilakukan dengan: 1) Menyesuaikan kondisi nyata di lokasi/lapangan pada saat akan melaksanakan pemilihan penyedia barang/jasa; 2) Mempertimbangkan kepentingan masyarakat; 3) Mempertimbangkan jenis, sifat dan nilai barang/jasa serta jumlah penyedia barang/jasa yang ada; dan 4) Memperhatikan
ketentuan
tentang
pemaketan
sebagaimana
tercantum dalam Pasal 24 ayat (3), yaitu: a) Menyatukan atau memusatkan beberapa kegiatan yang tersebar di beberapa lokasi/daerah yang menurut sifat pekerjaan dan tingkat
efisiensinya
seharusnya
dilakukan
di
beberapa
lokas/daerah masing-masing; b) Menyatukan beberapa paket pengadaan yang menurut sifat dan jenis pekerjaannya bisa dipisahkan dan/atau besaran nilainya seharusnya dilakukan oleh Usaha Mikro dan Usaha Kecil serta Koperasi Kecil; c) Memecah pengadaan barang/jasa menjadi beberapa paket dengan maksud menghindari pelelangan; dan/atau
85
d) Menentukan kriteria, persyaratan atau prosedur pengadaan yang diskriminatif dan/atau dengan pertimbangan yang objektif. b. Pemilihan Sistem Pengadaan, yaitu: 1) Penetapan
metode
pemilihan
penyedia
barang/pekerjaan
konstruksi/jasa lainnya, dilakukan secara alternatif dimana pemilihan penyedia barang/jasa PBJP dilakukan dengan memilih salah satu cara, diantaranya: a) Pelelangan Umum yang terbuka bagi semua pekerjaan dan dapat diikuti oleh setiap penyedia barang/jasa yang memenuhi syarat. b) Pelelangan Terbatas yang dikhususkan untuk pekerjaan konstruksi dengan jumlah penyedia yang diyakini mampu melaksanakan pekerjaan kompleks terbatas. c) Pemilihan Langsung yang ditujukan bagi penyedia pekerjaan konstruksi untuk pekerjaan yang bernilai paling tinggi Rp200.000.000 (dua ratus juta rupiah). d) Penunjukan Langsung yang dilakukan dengan cara menunjuk langsung 1 (satu) penyedia barang/jasa. e) Pengadaan Langsung yang ditujukan langsung pada penyedia barang/jasa terpilih tanpa melalui proses pelelangan ataupun penunjukan langsung. 2) Penetapan metode penyampaian dokumen, yang dapat dilakukan dengan beberapa metode: a) Metode Satu Sampul, digunakan untuk pengadaan barang/jasa yang sederhana, dimana evaluasi teknis tidak dipengaruhi oleh harga untuk pekerjaan yang sifatnya sederhana dengan standar harga yang telah ditetapkan pemerintah, pengadaan pekerjaan konstruksi ysng spesifikasi teknis atau volumenya dapat dinyatakan jelas dalam dokumen pengadaan, selain itu metode
86
ini juga digunakan dalam dalam penunjukan langsung/ pengadaan langsung/ kontes/ sayembara; b) Metode Dua Sampul, digunakan untuk pengadaan barang/jasa dimana evaluasi teknis yang dipengaruhi oleh penawaran harga yang digunakan untuk pengadaan pekerjaan konstruksi yang menggunakan evaluasi sistem nilai atau sistem biaya selama umur ekonomis; atau c) Metode Dua Tahap, digunakan untuk pengadaan pekerjaan konstruksi untuk pekerjaan bersifat kompleks, memenuhi kriteria kinerja tertentu dari keseluruhan sistem termasuk pertimbangan kemudahan atau efisiensi pengoperasian dan pemeliharaan peralatannya, mempunyai beberapa alternatif penggunaan sistem dan desain penerapan teknologi yang berbeda, membutuhkan waktu evaluasi teknis yang lama, dan/atau membutuhkan penyetaraan teknis. 3) Penetapan
metode
evaluasi
pengadaan
barang/pekerjaan
konstruksi/jasa lainnya a) Sistem Gugur, metode evaluasi penawaran ini yang pada prinsipnya digunakan untuk pengadaan barang/pekerjaan konstruksi/jasa lainnya; b) Sistem Nilai, digunakan untuk pekerjaan konstruksi yang memperhitungkan keunggulan teknis sepadan dengan harga mengingat penawaran harga sangat dipengaruhi oleh kualitas teknis; dan c) Sistem Penilaian Biaya Selama Umur Ekonomis, digunakan untuk pengadaan pekerjaan konstruksi yang memperhatikan umur ekonomis, harga, biaya operasional, biaya pemeliharaan, dan jangka waktu operasi tertentu. 4) Penetapan jenis kontrak, yang ditetapkan oleh PPK dalam rancangan kontrak berdasar pada ketentuan Paragraf Keenam tentang Penetapan Jenis Kontrak Pasal 50 ayat (1) sampai dengan
87
ayat (6) perpres menetapkan jenis kontrak pengadaan dalam 4 (empat) klasifikasi, yaitu: a) Kontrak Pengadaan Barang/Jasa berdasarkan cara pembayaran terdiri atas: (1) Kontrak Lump Sum; (2) Kontrak Harga Satuan; (3) Kontrak gabungan Lump Sum dan Harga Satuan; (4) Kontrak Persentase; dan (5) Kontrak Terima Jadi (Turnkey) b) Kontrak Pengadaan Barang/Jasa berdasarkan pembebanan Tahun Anggaran terdiri atas: (1) Kontrak Tahun Tunggal; dan (2) Kontrak Tahun Jamak c) Kontrak
Pengadaan
Barang/Jasa
berdasarkan
sumber
pendanaan terdiri atas: (1) Kontrak Pengadaan Tunggal; (2) Kontrak Pengadaan Bersama; dan (3) Kontrak Payung (Framework Contract) d) Kontrak Pengadaan Barang/Jasa berdasarkan jenis pekerjaan terdiri atas: (1) Kontrak Pengadaan Pekerjaan Tunggal; dan (2) Kontrak Pengadaan Pekerjaan Terintegrasi. 5) Pembuatan tanda bukti perjanjian a) Bukti Pembelian; b) Kuitansi; c) Surat Perintah Kerja (SPK); dan d) Surat Perjanjian. c. Penetapan Metode Penilaian Kualifikasi, yang merupakan proses penilaian kompetensi dan kemampuan usaha serta pemenuhan persyaratan tertentu lainnya dari penyedia barang/jasa, yang dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara yaitu proses penilaian kualifikasi yang
88
dilakukan sebelum penawaran (prakualifikasi) yang dilaksanakan untuk pengadaan pemilihan pekerjaan konstruksi yang bersifat kompleks melalui pelelangan umum, pemilihan penyedia pekerjaan konstruksi yang menggunakan metode penunjukan langsung kecuali untuk keadaan darurat yang dimasukkan bersamaan dengan dokumen penawaran, dan pemilihan penyedia melalui pengadaan langsung atau proses penilaian kualifikasi yang dilakukan setelah pemasukan penawaran (pascakualifikasi) yang digunakan untuk pengadaan dengan pelelangan umum kecuali pelelangan umum untuk pekerjaan kompleks, pelelangan sederhana/pemilihan langsung, dan pemilihan penyedia jasa konsultasi perorangan . d. Penyusunan Jadwal Pemilihan Penyedia Barang/Jasa, yang disusun dan ditetapkan oleh kelompok kerja ULP/pejabat pengadaan serta harus mempertimbangkan alokasi waktu yang cukup untuk semua tahapan proses pengadaan, termasuk waktu untuk: 1) pengumuman pelelangan/seleksi; 2) pendaftaran dan pengambilan dokumen kualifikasi atau dokumen pengadaan; 3) pemberian penjelasan; 4) pemasukan dokumen penawaran; 5) evaluasi penawaran; 6) penetapan pemenang; dan 7) sanggahan dan sanggahan banding. Pemilihan penyedia pekerjaan konstruksi dengan metode pelelangan umum meliputi: 1) Pelelangan umum atau pelelangan terbatas pemilihan penyedia pekerjaan konstruksi dengan prakualifikasi metode dua sampul, meliputi kegiatan: a) pengumuman dan/atau undangan prakualifikasi; b) pendaftaran dan pengambilan dokumen kualifikasi; c) pemasukan dan evaluasi dokumen kualifikasi;
89
d) pembuktian kualifikasi; e) penetapan hasil kualifikasi; f) pengumuman hasil kualifikasi; g) sanggahan kualifikasi; h) undangan; i) pengambilan dokumen pemilihan; j) pemberian penjelasan; k) pemasukan dokumen penawaran; l) pembukaan dokumen penawaran sampul I; m) evaluasi dokumen penawaran sampul I; n) pemberitahuan dan pengumuman peserta yang lulus evaluasi sampul I; o) pembukaan dokumen penawaran sampul II; p) evaluasi dokumen penawaran sampul II; q) pembuatan berita acara hasil pelelangan; r) penetapan pemenang; s) pengumuman pemenang; t) sanggahan; dan u) sanggahan banding (apabila diperlukan). 2) Pelelangan umum atau pelelangan terbatas pemilihan penyedia pekerjaan konstruksi dengan prakualifikasi metode dua tahap, meliputi kegiatan: a) pengumuman prakualifikasi dan/atau undangan prakualifikasi; b) pendaftaran dan pengambilan dokumen kualifikasi; c) pemasukan dan evaluasi dokumen kualifikasi; d) pembuktian kualifikasi; e) penetapan hasil kualifikasi; f) pengumuman hasil kualifikasi; g) sanggahan kualifikasi; h) undangan; i) pengambilan dokumen pemilihan;
90
j) pemberian penjelasan; k) pemasukan dokumen penawaran tahap I; l) pembukaan dokumen penawaran tahap I; m) evaluasi Dokumen Penawaran tahap I; n) melakukan penyetaraan teknis apabila diperlukan, kecuali untuk metode evaluasi sistem nilai; o) penetapan peserta yang lulus evaluasi tahap I; p) pemberitahuan dan pengumuman peserta yang lulus evaluasi tahap I; q) pemasukan dokumen penawaran tahap II; r) pembukaan dokumen penawaran tahap II; s) evaluasi dokumen penawaran tahap II; t) pembuatan berita acara hasil pelelangan; u) penetapan pemenang; v) pengumuman pemenang; w) sanggahan; dan x) sanggahan banding (apabila diperlukan). 3) Pelelangan umum atau pelelangan terbatas pemilihan penyedia pekerjaan konstruksi dengan prakualifikasi metode satu sampul, meliputi kegiatan: a) pengumuman dan/atau undangan prakualifikasi; b) pendaftaran dan pengambilan dokumen kualifikasi; c) pemasukan dan evaluasi dokumen kualifikasi; d) pembuktian kualifikasi; e) penetapan hasil kualifikasi; f) pengumuman hasil kualifikasi; g) sanggahan kualifikasi; h) undangan; i) pengambilan dokumen pemilihan; j) pemberian penjelasan; k) pemasukan dokumen penawaran;
91
l) pembukaan dokumen penawaran; m) evaluasi dokumen penawaran; n) pembuatan berita acara hasil pelelangan; o) penetapan pemenang; p) pengumuman pemenang; q) sanggahan; dan r) sanggahan banding (apabila diperlukan). 4) Pelelangan umum untuk pemilihan penyedia pekerjaan konstruksi pascakualifikasi dengan metode satu sampul meliputi kegiatan: a) pengumuman; b) pendaftaran dan pengambilan dokumen pengadaan; c) pemberian penjelasan; d) pemasukan dokumen penawaran; e) pembukaan dokumen penawaran; f) evaluasi penawaran; g) evaluasi kualifikasi; h) pembuktian kualifikasi; i) pembuatan berita acara hasil pelelangan; j) penetapan pemenang; k) pengumuman pemenang; l) sanggahan; dan m) sanggahan banding (apabila diperlukan). 5) Pelelangan umum untuk pemilihan penyedia pekerjaan konstruksi pascakualifikasi dengan metode dua sampul meliputi kegiatan: a) pengumuman; b) pendaftaran dan pengambilan dokumen pengadaan; c) pemberian penjelasan; d) pemasukan dokumen penawaran; e) pembukaan dokumen penawaran sampul I; f) evaluasi dokumen penawaran sampul I;
92
g) pemberitahuan dan pengumuman peserta yang lulus evaluasi sampul I; h) pembukaan dokumen penawaran sampul II; i) evaluasi dokumen penawaran sampul II; j) pembuktian kualifikasi; k) pembuatan berita acara hasil pelelangan; l) penetapan pemenang; m) pengumuman pemenang; n) sanggahan; dan o) sanggahan banding (apabila diperlukan). 6) Pemilihan dengan metode pelelangan sederhana untuk penyedia barang/jasa lainnya atau pemilihan langsung untuk penyedia pekerjaan konstruksi, meliputi tahapan sebagai berikut: a) pengumuman; b) pendaftaran dan pengambilan dokumen pengadaan; c) pemberian penjelasan; d) pemasukan dokumen penawaran; e) pembukaan dokumen penawaran; f) evaluasi penawaran; g) evaluasi kualifikasi; h) pembuktian kualifikasi; i) pembuatan berita acara hasil pelelangan; j) penetapan pemenang; k) pengumuman pemenang; l) sanggahan; dan m) sanggahan banding (apabila diperlukan). e. Penyusunan Dokumen Pengadaan Barang/Jasa, yaitu kelompok kerja
ULP/pejabat
pengadaan
barang/jasa yang terdiri atas: 1) Dokumen Kualifikasi; dan 2) Dokumen Pemilihan.
menyusun
dokumen
pengadaan
93
f. Penetapan Harga Perkiraan Sendiri, dimana PPK menetapkan Harga
Perkiraan
Sendiri
(HPS)
Barang/Jasa,
kecuali
untuk
Kontes/Sayembara dan Pengadaan Langsung yang menggunakan bukti pembelian, yang harus ditentukan paling lama 28 (dua puluh delapan) hari kerja sebelum batas akhir pemasukan penawaran untuk pemilihan dengan pascakualifikasi; atau paling lama 28 (dua puluh delapan) hari kerja sebelum batas akhir pemasukan penawaran ditambah dengan waktu lamanya proses prakualifikasi untuk pemilihan dengan prakualifikasi. g. Jaminan
Pengadaan
Barang/Jasa,
penyedia
barang/jasa
menyerahkan jaminan kepada pengguna barang/jasa untuk memenuhi kewajiban
sebagaimana
dipersyaratkan
dalam
dokumen
pengadaan/kontrak pengadaan barang/jasa. jaminan atas pengadaan barang/jasa terdiri atas: 1) Jaminan Penawaran; 2) Jaminan Pelaksanaan; 3) Jaminan Uang Muka; 4) Jaminan Pemeliharaan; dan 5) Jaminan Sanggahan Banding. 2. Pelaksanaan
Pemilihan
Penyedia
Barang/Jasa,
dalam
rangka
percepatan pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa, Kelompok Kerja ULP dapat
mengumumkan pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa secara luas
kepada masyarakat. a. Pengumunan Pemilihan Penyedia Barang/Jasa, yaitu pelaksanaan pelelangan/seleksi diumumkan secara terbuka dengan mengumumkan secara luas sekurang-kurangnya melalui: 1) website Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah/Institusi; 2) papan pengumuman resmi untuk masyarakat; dan 3) Portal Pengadaan Nasional melalui LPSE. b. Penilaian Kualifikasi, dalam proses prakualifikasi/pascakualifikasi, Kelompok Kerja ULP/Pejabat Pengadaan tidak boleh melarang,
94
menghambat dan membatasi keikutsertaan calon penyedia barang/jasa dari luar Propinsi/Kabupaten/Kota. c. Pendaftaran dan Pengambilan Dokumen, penyedia barang/jasa yang berminat mengikuti pemilihan penyedia barang/jasa, mendaftar untuk mengikuti Pelelangan/Seleksi/Pemilihan Langsung kepada Kelompok Kerja ULP, dan pengambilan dokumen pengadaan dapat dilakukan dari
Kelompok
Kerja
ULP/Pejabat Pengadaan atau
mengunduh dari website yang digunakan oleh ULP. d. Pemberian Penjelasan, guna memperjelas dokumen pengadaan barang/jasa oleh Kelompok Kerja/ULP/Pejabat Pengadaan. e. Pemasukan
Dokumen
Penawaran,
penyedia
barang/jasa
memasukkan dokumen penawaran dalam jangka waktu dan sesuai persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam dokumen pemilihan, yang dapat
diubah, ditambah dan/atau diganti sebelum batas akhir
pemasukan penawaran. f. Evaluasi Penawaran, dilakukan oleh Kelompok Kerja ULP/Pejabat Pengadaan yang berpedoman pada tata cara/kriteria yang ditetapkan dalam dokumen pengadaan. g. Penetapan dan Pengumuman Pemenang, Kelompok Kerja ULP / Pejabat Pengadaan mengumumkan hasil pemilihan penyedia barang / jasa setelah ditetapkan melalui website Kementerian / Lembaga / Pemerintah Daerah / Institusi dan papan pengumuman resmi. Pengumuman penetapan penyedia barang/jasa sekurang-kurangnya terdiri dari: 1) Nama paket pekerjaan dan nilai total HPS; 2) Nama, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), dan alamat pemenang; dan 3) Hasil evaluasi penawaran administrasi, teknis, dan harga. Pengumuman atas penetapan penyedia barang / jasa yang dilakukan melalui pelelangan / pemilihan langsung / seleksi, diumumkan secara terbuka pada:
95
1) Website Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah/Institusi; 2) Papan pengumuman resmi untuk masyarakat; dan 3) Portal Pengadaan Nasional melalui LPSE. h. Sanggahan, Peserta pemilihan yang memasukan dokumen kualifikasi atau penawaran yang merasa dirugikan, baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan peserta lainnya dapat mengajukan sanggahan secara tertulis. i. Penunjukan Penyedia Barang/Jasa, PPK menerbitkan SPPBJ dengan ketentuan: 1) Tidak ada sanggahan dari peserta; 2) Sanggahan dan/atau sanggahan banding terbukti tidak benar; atau 3) Masa sanggahan dan/atau masa sanggahan banding berakhir. j. Penandatanganan
Kontrak
Pengadaan
Barang/Jasa,
PPK
menyempurnakan rancangan Kontrak Pengadaan Barang/Jasa untuk ditandatangani. Penandatanganan Kontrak Pengadaan Barang/Jasa tersebut dilakukan setelah DIPA/DPA ditetapkan. Para pihak menandatangani Kontrak setelah penyedia barang/jasa menyerahkan Jaminan Pelaksanaan paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak diterbitkannya SPPBJ. 3. Pelaksanaan Kontrak a. Perubahan Kontrak, dalam hal terdapat perbedaan antara kondisi lapangan pada saat pelaksanaan, dengan gambar dan/atau spesifikasi teknis yang ditentukan dalam dokumen
kontrak, PPK bersama
penyedia barang/jasa dapat melakukan perubahan kontrak yang meliputi: 1) Menambah atau mengurangi volume pekerjaan yang tercantum dalam Kontrak; 2) Menambah dan/atau mengurangi jenis pekerjaan; 3) Mengubah spesifikasi teknis pekerjaan sesuai dengan kebutuhan lapangan; atau
96
4) Mengubah jadwal pelaksanaan. Perubahan Kontrak tersebut hanya berlaku untuk pekerjaan yang menggunakan Kontrak Harga Satuan atau bagian pekerjaan yang menggunakan harga satuan dari Kontrak Gabungan Lump Sum dan Harga Satuan. b. Uang Muka dan Pembayaran Prestasi Kerja, uang muka dapat diberikan kepada penyedia barang/jasa untuk: 1) Mobilisasi alat dan tenaga kerja; 2) Pembayaran
uang
tanda
jadi
kepada
pemasok
barang/material;dan/atau 3) Persiapan teknis lain yang diperlukan bagi pelaksanaan pengadaan barang/jasa. Pembayaran prestasi pekerjaan dapat diberikan dalam bentuk: 1) Pembayaran bulanan; 2) Pembayaran berdasarkan tahapan penyelesaian pekerjaan (termin); atau 3) Pembayaran secara sekaligus setelah penyelesaian pekerjaan. c. Pelaksanaan Kontrak untuk Pengadaan Barang/Jasa dalam Keadaan Tertentu, dalam keadaan tertentu penunjukan langsung untuk pekerjaan penanggulangan bencana alam dilaksanakan sebagai berikut: 1) PPK menerbitkan SPMK setelah mendapat persetujuan dari PA/KPA dan salinan pernyataan bencana alam dari pihak/instansi yang
berwenang
sesuai
ketentuan peraturan perundang-
undangan; 2) Opname pekerjaan di lapangan dilakukan bersama antara PPK dan penyedia
barang/jasa,
sementara
proses
dan
administrasi
pengadaan dapat dilakukan secara simultan; 3) Penanganan
darurat
yang
dananya
berasal
dari
dana
penanggulangan bencana alam adalah: a) Penanganan darurat yang harus segera dilaksanakan dan diselesaikan dalam waktu yang paling singkat untuk keamanan
97
dan keselamatan masyarakat dan/atau untuk menghindari kerugian negara atau masyarakat yang lebih besar; b) Konstruksi darurat yang harus segera dilaksanakan dan diselesaikan dalam waktu yang paling singkat, untuk keamanan dan keselamatan masyarakat dan/atau menghindari kerugian negara/masyarakat yang lebih besar; c) Bagi kejadian bencana alam yang masuk dalam cakupan wilayah suatu kontrak, pekerjaan penanganan darurat dapat dimasukkan dalam Contract Change Order (CCO) dan dapat melebihi 10% (sepuluh persen) dari nilai awal Kontrak; d) Penggunaan konstruksi permanen, jika penyerahan pekerjaan permanen masih dalam kurun waktu tanggap darurat atau penanganan darurat hanya dapat diatasi dengan konstruksi permanen untuk menghindari kerugian negara/masyarakat yang lebih besar. d. Keadaan Kahar, adalah suatu keadaan yang terjadi diluar kehendak para pihak dan tidak dapat diperkirakan sebelumnya, sehingga kewajiban yang
ditentukan dalam kontrak menjadi tidak dapat
dipenuhi. Penggolongan keadaan kahar dalam Kontrak Pengadaan Barang/Jasa meliputi: 1) Bencana alam; 2) Bencana non alam; 3) Bencana sosial; 4) Pemogokan; 5) Kebakaran; dan/atau 6) Gangguan industri lainnya sebagaimana dinyatakan melalui keputusan bersama Menteri Keuangan dan menteri teknis terkait. e. Penyesuaian Harga, dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: 1) Penyesuaian harga diberlakukan terhadap Kontrak Tahun Jamak berbentuk Kontrak;
98
2) Harga Satuan berdasarkan ketentuan dan persyaratan yang telah tercantum dalam Dokumen Pengadaan dan/atau perubahan Dokumen Pengadaan; 3) Tata cara perhitungan penyesuaian harga harus dicantumkan dengan jelas dalam Dokumen Pengadaan; 4) Penyesuaian harga tidak diberlakukan terhadap Kontrak Tahun Tunggal dan Kontrak Lump Sum serta pekerjaan dengan Harga Satuan timpang. f. Pemutusan Kontrak, PPK dapat memutuskan Kontrak secara sepihak apabila: 1) Kebutuhan barang/jasa tidak dapat ditunda melebihi batas berakhirnya kontrak; 2) Berdasarkan penelitian PPK, penyedia barang/jasa tidak akan mampu menyelesaikan keseluruhan pekerjaan walaupun diberikan kesempatan sampai dengan 50 (lima puluh) hari kalender sejak masa berakhirnya
pelaksanaan pekerjaan untuk menyelesaikan
pekerjaan; 3) Setelah diberikan kesempatan menyelesaikan pekerjaan sampai dengan 50 (lima puluh) hari kalender sejak masa berakhirnya pelaksanaan
pekerjaan,
penyedia
barang/jasa
tidak
dapat
menyelesaikan pekerjaan; 4) Penyedia barang/jasa lalai/cidera janji dalam melaksanakan kewajibannya dan tidak memperbaiki kelalaiannya dalam jangka waktu yang telah ditetapkan; 5) Penyedia barang/jasa terbukti melakukan KKN, kecurangan dan/atau pemalsuan dalam proses pengadaan yang diputuskan oleh instansi yang berwenang; dan/atau 6) Pengaduan tentang penyimpangan prosedur, dugaan dan/atau pengadaan berwenang.
KKN
pelanggaran persaingan sehat dalam pelaksanaan barang/jasa dinyatakan benar oleh instansi yang
99
g. Penyelesaian Perselisihan, bila hal terjadi perselisihan antara para pihak dalam penyediaan Barang/Jasa Pemerintah, para pihak terlebih dahulu
menyelesaikan perselisihan tersebut melalui musyawarah
untuk mufakat. Apabila penyelesaian perselisihan melalui musyawarah tidak tercapai, penyelesaian perselisihan tersebut dapat dilakukan melalui arbitrase, alternatif penyelesaian sengketa atau pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. h. Serah Terima Pekerjaan, setelah pekerjaan selesai 100% (seratus persen) sesuai dengan ketentuan yang tertuang dalam kontrak, penyedia barang/jasa mengajukan permintaan secara tertulis kepada PA/KPA melalui PPK untuk penyerahan pekerjaan. PA/KPA menunjuk Panitia/Pejabat penerima hasil pekerjaan untuk melakukan penilaian terhadap hasil pekerjaan yang telah diselesaikan. Khusus Pekerjaan Konstruksi/Jasa lainnya: 1) Penyedia
Pekerjaan
Konstruksi/Jasa
Lainnya
melakukan
pemeliharaan atas hasil pekerjaan selama masa yang ditetapkan dalam kontrak, sehingga kondisinya tetap seperti pada saat penyerahan pekerjaan; 2) masa pemeliharaan paling singkat untuk pekerjaan permanen selama 6 (enam) bulan, sedangkan untuk pekerjaan semi permanen selama 3 (tiga) bulan; dan 3) masa pemeliharaan dapat melampaui Tahun Anggaran. 2. Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Ditinjau dari Perspektif Hukum Kontrak Pengadaan dilakukan atas dasar pemikiran yang logis dan sistematis, mengikuti norma dan etika yang berlaku, berdasarkan metode dan proses pengadaan yang baku, selanjutnya kegiatan pengadaan barang/jasa tersebut dituangkan dalam suatu perjanjian atau kontrak pengadaan barang/jasa (IPW, 2014: 11). Kegiatan PBJP memiliki dimensi yang sedikit berbeda dan lebih rumit bila dibandingkan dengan sektor swasta, karena adanya dimensi publik dan privat dalam kegiatan kontraktualisasi yang dilakukan pemerintah (IPW,
100
2014:
12).
Pemanfaatan
kontrak
atau
perjanjian
oleh
pemerintah
(kontraktualisasi pemerintah) merupakan praktek yang lazim dilakukan baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Kontraktualisasi dilakukan untuk menciptakan hubungan kontraktual, baik yang bertujuan untuk membelanjakan atau memperoleh penerimaan bagi keuangan negara, dalam rangka penyelenggaraan kehidupan bernegara dan pemenuhan kesejahteraan umum, atau dengan kata lain untuk menjalankan fungsi pemerintahan itu sendiri (IPW, 2014: 12). Jenis kontrak di mana pemerintah terlibat sebagai pihak (kontraktan) disebut dengan kontrak pemerintah (government contract). Philipus M. Hadjon dalam Laporan Kajian IPW (2014: 13) menyatakan bahwa tindakan pemerintahan oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara dapat dilakukan dalam peranan sebagai pelaku hukum publik (public actor) dan pelaku hukum keperdataan (civil actor). Kontrak yang dibuat oleh pemerintah sebagai pelaku hukum keperdataan merupakan kontrak dengan karakter hibrida. Meskipun hubungan hukum yang tercipta diantara para pihak berada dalam lingkup kontraktual, namun kontrak tersebut mengandung unsur hukum publik, karena salah satu pihak (pemerintah) berkedudukan sebagai penguasa (IPW, 2014: 13). Berdasar tata hukum kontrak Indonesia, pengadaan barang/jasa secara umum masuk dalam ruang lingkup Buku III KUH Perdata. Ada pandangan yang mengelompokkan perjanjian barang/jasa sebagai perjanjian nominat berupa perjanjian jual beli sebagaimana diatur dalam Buku III Bab V KUH Perdata. Pendapat lain mengatakan bahwa perjanjian pengadaan barang/jasa yang dikenal selama ini adalah perjanjian nominat yang dijumpai dalam Bab VII a Buku III KUH Perdata yang mengatur tentang perjanjian untuk melakukan pekerjaan, yang mana disebut dengan perjanjian pemborongan dan perjanjian menunaikan jasa (IPW, 2014: 14). IPW dalam Laporan Kajiannya (2014: 14) menyatakan bahwa perjanjian pemborongan dan perjanjian menunaikan jasa merupakan terminasi yang digunakan dalam KUH Perdata untuk kontrak atau perjanjian pengadaan barang/jasa yang dikenal sekarang ini. Sedangkan pendapat lain menempatkan perjanjian pengadaan barang/jasa sebagai perjanjian innominaat (tidak bernama) yang
101
timbul dan berkembang dalam praktek sehari-hari kehidupan bermasyarakat, namun terlepas dari berbagai pendapat tersebut, perjanjian atau kontrak barang/jasa merupakan perjanjian yang diterima sesuai dengan asas konsensualisme dan asas kebebasan berkontrak (freedom of contract/party autonomy) (IPW, 2014: 15). Sebagai kontraktan dalam suatu kontrak atau perjanjian, pemerintah merupakan pelaku hukum keperdataan, dan hubungan kontraktual yang tercipta dengan mitra dalam perjanjian masuk dalam ranah keperdataan atau privat. Hal tersebut membawa konsekuensi terciptanya suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan atau harta benda antara dua pihak atau lebih yang memberikan kenikmatan hak pada satu pihak dan untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan suatu prestasi begitupun sebaliknya. Pelanggaran terhadap pihak-pihak yang berkontrak murni menjadi urusan pihak-pihak yang berkontrak. Keberlakuan suatu kontrak sebagai undang-undang yang mengikat para pihak yang berkontrak akan berlaku bagi suatu kontrak yang dibuat secara sah. Berdasarkan hukum Indonesia, keabsahan atau validitas perjanjian atau kontrak yang dibuat oleh pemerintah adalah didasarkan pada ketentuan Buku III KUH Perdata, yaitu Pasal 1320 KUH Perdata yang memuat syarat-syarat materiil perjanjian (IPW, 2014; 15). 3. Tata Cara Pemilihan Penyedia Pekerjaan Konstruksi Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Ditinjau dari Perspektif Hukum Kontrak Merujuk pada tahapan penyelenggaraan PBJP melalui penyedia barang/jasa sebagaimana telah diuraikan dalam tabel di atas, penyelenggaraan pekerjaan konstruksi sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya masuk dalam klasifikasi e-procurement parsial dimana selain dilaksanakan melalui elektronik juga dilaksanakan secara manual (tatap muka) terutama berkait dengan belum adanya suatu regulasi tentang materai elektronik, tanda tangan elektronik, hingga otentifikasi dokumen asli. Pada dasarnya e-procurement adalah sebuah sistem yang mana merubah dari manual menjadi paperless, yang mana dalam pelaksanaan e-procurement harus dilaksanakan dengan
102
memperhatikan standar, tata cara maupun persyaratannya yang ditentukan secara seksama dan penuh kehati-hatian oleh panitia pengadaan terkait persyaratan yang akan ditetapkan longgar ataukah rigid. Rivondy Refky Nitaka dalam penelitian hukumnya (skripsi) (2015: 3) menyatakan bahwa e-procurement merupakan bentuk perubahan sistem pengadaan nasional yang pada awalnya menggunakan sistem konvensional atau manual dengan cara tatap muka langsung antara panitia pengadaan dengan
penyedia
barang/jasa.
Seiring
dengan
perkembangan
ilmu
pengetahuan dan teknologi yang pesat pemerintah menyusun sistem pengadaan baru berbasis elektronik yang dinilai lebih efektif dan efisien. Departemen Pekerjaaan Umum (sekarang menjadi Ditjen Bina Konstruksi yang berada dalam lingkungan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat) menyatakan bahwa secara lengkap kedudukan e-procurement dalam bidang pembangunan/pekerjaan konstruksi dinyatakan sebagai berikut: Perencanaan (Planning) Pemrograman (Programming) Penganggaran (Budgetting) Pengadaan Elektronik (e-procurement) MONEV
Pelaksanaan Kontrak dan Pembayaran (Contract Implementation and Payment) Penyerahan Pekerjaan Selesai (Handover) Pemanfaatan dan Pemeliharaan (Operation and maintenance)
Sumber: DPU, Pusat Pendidikan dan Pelatihan, 2005. Gambar 2. Kedudukan E-Procurement dalam Pekerjaan Konstruksi.
103
berdasar pada gambar di atas, dapat dinyatakan bahwa lingkup e-procurement merupakan kegiatan yang berada di antara persiapan dan pelaksanaan kontrak hingga pasca kontrak yang mana hal tersebut sejalan dengan Peraturan Perpres PBJP beserta perubahannya. Merujuk pada ketentuan Pasal 106 ayat (2) Perubahan Keempat Perpres PBJP dinyatakan bahwa pengadaan barang/jasa secara elektronik (e-procurement) dilakukan dengan cara e-tendering atau epurchasing, yang mana dalam penelitian ini difokuskan pada e-procurement melalui e-tendering yang ruang lingkupnya meliputi pengumuman pengadaan hingga pada pengumuman pemenang. Hal ini menunjukkan bahwa konsep eprocurement berdasar Perpres PBJP maupun Pedoman DPU selaras. Berdasar pada tata cara sebagaimana telah diuraikan dalam tabel 5 tentang tata cara pemilihan penyedia pekerjaan konstruksi yang terbagi dalam 3 (tiga) tahapan, bila dikaitkan dengan perspektif Hukum Kontrak sebagai berikut: a. Tahap Persiapan Pengadaan, dalam tahapan hukum kontrak sebenarnya bila dilihat secara harfiah tahap ini dapat dimasukkan dalam tahap pra contractual, namun bila dikaji dari segi pengadaan tahap ini bukanlah merupakan tahap pra contractual. Tahap pra contractual dalam kontrak ditandai dengan adanya penawaran (offer) dan penerimaan (acceptance) yang mana kedua hal tersebut tidak masuk dalam tahap ini. Tahap ini dapat dikatakan justru lebih kepada tahap administrasi yang mana berdasar Pedoman DPU masuk dalam tahap Perencanaan, Pemrograman, dan Penganggaran. Tahap persiapan pengadaan ini pada dasarnya merupakan tahap yang sangat menentukan bagaimana pengadaan ke depan akan berjalan. Penyelenggaraan pengadaan pada dasarnya diserahkan pada panitia pengadaan akankah membuat suatu standar atau kualifikasi yang longgar apakah rigid. Tahap ini ditandai dengan diaturnya spesifikasi teknis dari panitia pengadaan yang harus dipenuhi oleh penyedia pekerjaan konstruksi. b. Tahap Pelaksanaan Pemilihan Penyedia Barang/Jasa, dalam tahapan hukum kontrak ini masuk dalam tahap pra contractual dan contractual.
104
1) Pra Contractual Tahap ini berada dalam tahapan e-procurement berdasar Pedoman DPU yang berdasar pada ketentuan Perubahan Keempat Perpres PBJP dilaksanakan melalui e-tendering yang ruang lingkupnya dibatasi
pada
pengumuman
pengadaan
hingga
pengumuman
pemenang, dimana bila dikaitkan dengan tahapan penyelenggaraan PBJP yang telah diuraikan diatas tahap tersebut masuk ke dalam Tahap Pemilihan Penyedia PBJP poin a hingga g (Lihat Tabel 5). Tahap pra contractual ditandai dengan adanya penawaran (offer) dan penerimaan (acceptance). Sebagaimana diuraikan sebelumnya, sebelum masuk pada tahap ini dalam rangka penyelenggaraan PBJP sudah harus dipastikan terlebih dahulu spesifikasi dan standard persiapan pengadaannya. Penawaran
dilaksanakan
secara
elektronik
dengan
memasukkan dokumen penawaran melalui portal pengadaan nasional. Dokumen penawaran dapat disampaikan melalui metode satu sampul, dua sampul ataupun dua tahap, yang mana bila tidak ditentukan lain dalam Perpres PBJP metode yang digunakan adalah metode satu sampul, dengan adanya penawaran dari penyedia pekerjaan konstruksi ini membawa konsekuensi bahwa penyedia pekerjaan konstruksi (offeror) berkehendak untuk terikat pada suatu kewajiban dengan syarat tertentu. Begitu dokumen penawaran di upload, maka langkah selanjutnya adalah dilaksanakan evaluasi penawaran yang mana haruslah sudah ditentukan sebelumnya pada saat persiapan pengadaan. Apabila tidak ditentukan lain, biasanya metode yang digunakan adalah metode gugur. Dwi Sukarmei dalam penelitian hukumnya (tesis) (2011: 9) menyatakan bahwa sistem gugur adalah evaluasi penawaran terhadap pemenuhan persyaratan yang telah ditetapkan dalam dokumen pemilihan penyedia barang/jasa dengan urutan proses evaluasi dimulai dari penilaian persyaratan administrasi, persyaratan teknis dan kewajaran harga. Penyedia barang/jasa yang tidak lulus
105
penilaian pada setiap tahapan dinyatakan gugur, selain evaluasi penawaran hal lain yang harus turut diperhatikan dengan seksama adalah terkait dengan metode penilaian kualifikasi yang mana dapat dilaksanakan sebelum penawaran (prakualifikasi) maupun setelah dokumen penawaran dimasukkan (pascakualifikasi). Kaitannya dengan PBJP, acceptance terjadi pada saat diterbitkannya Surat Penunjukan Penyedia Barang/Jasa (SPPBJ), baik dalam pengadaan melalui lelang atau tender, maupun penunjukan langsung. Hal tersebut berarti penawaran yang diajukan berdasarkan evaluasi yang dilakukan oleh pejabat berwenang sesuai dengan ketentuan yang berlaku dianggap sebagai penawaran yang paling baik dan menguntungkan bagi negara. Oleh karena itu, penawaran diterima sehingga terjadilah meeting of minds dan terjadilah penerimaan. SPPBJ mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dan tidak dapat ditarik kembali. Hubungan hukum yang tercipta antara para pihak memang belum
pada
tahapan
penyediaan
barang/jasa
karena
belum
ditandatanganinya kontrak, namun secara hukum dikeluarkannya SPPBJ harus ditindaklanjuti dengan penandatanganan kontrak oleh para pihak (IPW, 2014: 36). 2) Contractual Tahap ini ditandai dengan adanya kesepakatan. Persetujuan atau kesepakatan adalah apabila suatu penawaran (offer) diikuti oleh suatu penerimaan (acceptance). Kesepakatan merupakan hasil pertemuan antara penawaran dengan penerimaan (the meeting of minds). Apa yang diterima, haruslah sesuai dengan apa yang ditawarkan, tidak boleh berbeda (the mirror image rule). Apabila penawaran yang diajukan tidak langsung diterima, tetapi didahului dengan pengajuan untuk mengubah isi tawaran, maka hal tersebut bukanlah merupakan acceptance dan tidak terjadi kesepakatan tetapi hal tersebut merupakan counter offer, dan dengan demikian hubungan kontraktual tidak terbentuk (IPW, 2014: 35).
106
Tahap ini ditandai dengan dilaksanakannya penandatangan SPPBJ dan Kontrak Penyedia Barang/Jasa, yang mana bila telah terdapat kesepakatan yang ditandai dengan pembubuhan tanda tangan merupakan tahap pengikatan atau kontraktual. Yohanes Sogar Simamora (2013: 92) menyatakan hal yang harus diperhatikan dalam penandatanganan SPPBJ maupun Kontrak PBJP terletak pada: a) Setelah dikeluarkannya SPPBJ, sebelum tanda tangan kontrak apabila terjadi sengketa (seperti pembatalan penetapan atau pencabutan
surat)
maka
sengketa
tersebut
akan
menjadi
kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara, karena status dari SPPBJ tersebut masih dalam tataran Keputusan Tata Usaha Negara. b) Sengketa yang timbul terkait dengan pembentukan, pelaksanaan, perubahan atau pemutusan kontrak pasca ditandatanganinya kontrak menjadi kompetensi peradilan umum (perdata). Apabila
pasca
penandatangan
kontrak
terbukti
terjadi
pelanggaran atau penyimpangan dalam tahap pra contractual, yaitu proses pengadaan dimulai dari pengumuman sampai dengan penetapan penyedia barang/jasa, maka pada prinsipnya akan mengakibatkan kontrak batal demi hukum. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata yang mensyaratkan “sebab yang halal” untuk keabsahan suatu kontrak atau perjanjian, namun perlu menjadi catatan bahwa hal ini berbeda dengan ketentuan Pasal 93 Perpres PBJP. Pasal 93 Perpres PBJP menyatakan bahwa alasan bahwa PPK dapat memutuskan kontrak pengadaan barang/jasa di antaranya apabila penyedia barang/jasa terbukti melakukan KKN, kecurangan dan/atau pemalsuan dalam proses pengadaan yang diputuskan oleh instansi yang berwenang, atau adanya pengaduan tentang penyimpangan prosedur, dugaan KKN dan/atau pelanggaran persaingan sehat dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa dinyatakan benar oleh instansi yang berwenang (IPW, 2014: 38). Kata “dapat” dalam Pasal 93 ayat (1)
menunjukkan
bahwa
dengan
terbuktinya
penyimpangan-
107
penyimpangan dalam pengadaan yang merupakan pelanggaran undang-undang tidak menyebabkan kontrak serta merta batal demi hukum, tapi dapat dibatalkan oleh PPK. Sebagaimana telah dinyatakan sebelumnya, hal ini kiranya
menjadi salah satu
karakteristik dari kontrak pemerintah, dimana prinsip-prinsip hukum privat tidak bisa berlaku sepenuhnya, mengingat dimensi hibrida dari kontrak tersebut. 3) Post Contractual Tahap ini merupakan tahap pelaksanaan kontrak yang meliputi pelaksanaan kontrak dan pembayaran, penyerahan pekerjaan selesai, hingga pemanfaatan dan pemeliharaan yang secara rinci meliputi perubahan kontrak bila terdapat perbedaan antara kondisi lapangan pada saat pelaksanaan, dengan gambar dan/atau spesifikasi teknis yang ditentukan
dalam
dokumen
kontrak;
pembayaran
uang
atau
pembayaran uang tanda jadi; pembayaran prestasi kerja; pelaksanaan kontrak dalam keadaan tertentu; ketentuan terkait kemungkinan keadaan kahar; penyesuaian harga bila terdapat perubahan kontrak; pemutusan kontrak bila telah ditemukan suatu keadaan yang mengakibatkan tidak terpenuhinya prestasi; pilihan penyelesaian sengketa bila kemungkinan terjadi sengketa; hingga serah terima pekerjaan konstruksi bila telah selesai 100 % dan pemeliharaan pekerjaan konstruksi. 4. Mekanisme Pengoptimalan Penyedia Pemilihan Penyedia Pekerjaan Konstruksi Melalui Pembatasan Peserta e-tendering dikaitkan dengan Hukum Kontrak Indonesia Pengertian pengoptimalan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah berasal dari kata optimal yang berarti terbaik, tertinggi. Jadi pengoptimalan adalah suatu proses meninggikan atau meningkatkan. Berdasar pada definisi tersebut, dalam pembahasan ini yang menjadi titik fokus terletak dalam konteks pembangunan yang tujuannya adalah untuk mengoptimalkan suatu proyek agar dapat memperoleh keuntungan yang lebih baik tanpa
108
mengurangi kualitas (mutu) suatu konstruksi. Sebagaimana telah diuraikan pada pembahasan diatas bahwasanya penelitian ini pada dasarnya ingin mengangkat konsep pengoptimalan tindakan preventif dalam penyelenggaraan e-procurement melalui fase pra contractual dalam bidang pekerjaan konstruksi yang dapat dijabarkan dalam proses e-tendering yang ruang lingkupnya mulai dari pengumuman lelang hingga penetapan pemenang. PBJP
Persiapan Pengadaan
Pelaksanaan Pemilihan Penyedia Barang/Jasa
Ditentukan berdasar prinsip PBJP
E-tendering
Pelaksanaan Kontrak
Pemanfaatan dan Pemeliharaan
Pengoptimalan melalui Pembatasan
Government Electronic Procurement Integrated System (GEPIS)
Fitur Working Checker SPSE
Gambar 3. Mekanisme Pengoptimalan Melalui Pembatasan Peserta E-tendering. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, dalam bidang PBJP bukan hanya semata-mata berfokus pada penyelesaian masalah bila terjadi sengketa namun harus dipandang dari berbagai aspek mulai dari keterkaitan PBJP dengan sifat hibridanya, tahap persiapan pengadaan, pelaksanaan pemilihan penyedia barang/jasa, hingga pelaksanaan kontrak. Langkah pengoptimalan untuk mewujudkan PBJP yang lebih akuntabel bukan hanya berfokus pada tataran penanggulangan (represif) saja, namun perlu pula dibuat sebuah langkah pencegahan (preventif) agar mampu mereduksi permasalahan PBJP di
109
masa mendatang. Berdasar gambar 3 di atas, suatu solusi yang penelitian hukum ini tawarkan berada dalam lingkup penyelenggaraan e-tendering yang dibatasi mulai dari pengumuman pengadaan barang.jasa hingga pada pengumuman pemenang lelang yang mana hal tersebut diselenggarakan secara elektronik (e-procurement). a. Government Electronic Procurement Integrated System (GEPIS) Pembatasan ini dilaksanakan dengan melakukan perombakan dalam penyelengaraan e-procurement. Sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Perpres PBJP bahwa pelaksanaan pengadaan barang/jasa dilakukan melalui swakelola maupun melalui pemilihan penyedia barang/jasa. Pengadaan barang/jasa yang sering di pakai di Indonesia adalah metode pemilihan melaui penyedia barang/jasa yang dilaksanakan dengan memasukkan penawaran pada setiap lelang paket pekerjaan yang dibuka. Pelaksanaan e-procurement dilaksanakan melalui ULP dengan LPSE yang dapat berdiri sendiri atau berada dalam satuan K/L/D/I yang kebijakannya ditentukan oleh LKPP melalui SPSE, dengan adanya berbagai macam lembaga yang berwenang tersebut menunjukkan bahwa masih terdapat berbagai overlapping antar lembaga yang justru mengakibatkan tidak optimalnya PBJP. Maka dari itu, penulis rasa perlu untuk dilaksanakan pengintegrasian sistem PBJP (government e-procurement integrated system) dalam satu pintu melalui sistem Indonesia Procurement (inaproc) yang dikelola LKPP, sehingga fungsi dari aplikasi inaproc ini bukan hanya terletak pada pemberian laporan statistik pengadaan saja namun juga sebagai server utama dalam e-procurement. Merujuk pada sistem pengadaan yang diberlakukan di Korea Selatan dalam “Kredibel” Majalah Pengadaan Indonesia dalam salah satu rubriknya yang berjudul Berkaca Dari Korea Selatan KONEPS, Sistem EProcurement Nomor 1 Dunia dinyatakan bahwa Proses pengadaan konvensional yang berbasis kertas membutuhkan sangat banyak pertukaran dokumen dan menghabiskan banyak waktu, sehingga proses pengadaan melalui sistem teknologi informasi saat ini
110
menjadi sebuah pilihan. Berkaca pada penyelenggaraan public e-procurement, Korea Selatan telah menjadi negara nomor 1 dalam bidang kesuksesan pengadaan. Public Procurement Service (PPS) Korea Selatan mendirikan Korea On-line E-Procurement System (KONEPS), yang beralamat di www.koneps.go.kr. KONEPS dilaksanakan berdasar pada single window, di mana semua organisasi publik, termasuk pemerintah pusat, daerah, dan organisasi publik memperoleh akses yang sama. Seluruh permintaan prosedur pengadaan, penawaran, kontrak, hingga pembayaran secara otomatis dilayani melalui KONEPS. PPS juga menawarkan one stop services bagi penawaran dan kontrak, yang langsung terhubung dengan 80 sistem eksternal seperti departemen dan lembaga keuangan. Setelah terdaftar di KONEPS, perusahaan diperbolehkan membuat penawaran untuk semua tender yang terbuka, serta untuk melihat berbagai informasi penawaran terkait. Saat ini, ada sekitar 36 ribu organisasi publik dan 170.000 perusahaan yang telah menggunakan KONEPS. Hal ini telah menjadikan KONEPS sebagai salah satu pasar terbesar di dunia maya dengan volume total transaksi mencapai US$ 44 miliar. Dari angka itu, sebanyak US$ 27 miliar diantaranya adalah untuk kontrak barang dan konstruksi (Kredibel, 2011: 43). selain itu, hal yang serupa juga diterapkan di Negara Singapura yang berhasil mendulang kesuksesan dalam bidang e-procurement. Sejak Tahun 2000 Negara Singapura telah membuat layanan publik online satu atap, termasuk di dalamnya program pengadaan barang dan jasa secara online bernama GeBIZ (Government Electronic Business). Hal tersebut membawa prestasi yang luar biasa dimana berdasar pada survei terakhir yang dirilis oleh Departemen Urusan Ekonomi dan Sosial PBB dalam United Nation e-Government Survey 2010 disebutkan bahwa Singapura merupakan salah satu negara dengan pengembangan e-government tertinggi di dunia dan terbaik di Asia Tenggara. Selain itu, adanya portal eprocurement GeBIZ juga meningkatkan nilai Corruption Perception Index (CPI) Singapura. Singapura menjadi lima besar negara dengan praktek korupsi terendah di dunia dan peringkat pertama di Asia Tenggara. Departemen Keuangan sebagai pemegang otoritas GeBIZ memiliki hak
111
untuk menetapkan peraturan mengenai aspek dan lingkup pengadaan seperti prakualifikasi, prosedur pembelian, atau spesifikasi teknis untuk pengadaan. Meskipun demikian, secara umum kegiatan pengadaan pemerintah di Singapura tetap didesentralisasikan ke masing-masing kementerian, departemen, dan lembaga lainnya. Setiap tahunnya, lebih dari 67 ribu proyek ditenderkan dengan nilai sekitar US$15,5 miliar lewat portal ini (Kredibel, 2012: 43). Berdasar uraian diatas, maka pembatasan peserta e-tendering dengan melibatkan Pemerintah terbukti sangat efektif dalam menekan angka kerugian negara, dengan menelaah 2 (dua) pelaksanaan eprocurement dari 2 (dua) negara yang berbeda diatas, diharapkan akan tercapai suatu Government Electronic Procurement Integrated System (GEPIS) yang melibatkan peran aktif dari LKPP selaku lembaga yang berwenang dalam penentuan kebijakan pengadaan, penyedia barang/jasa serta ULP terkait. Tindakan pengoptimalan penyedia pekerjaan konstruksi melalui
pembatasan
peserta
e-tendering
dilakukan
dengan
cara
mengintegrasikan pelayanan pengadaan dalam satu portal pengadaan yaitu inaproc dengan konsep single window, di mana semua organisasi publik, termasuk pemerintah pusat, daerah, dan organisasi publik memperoleh akses yang sama. Seluruh permintaan prosedur pengadaan, penawaran, kontrak, hingga pembayaran secara otomatis dilayani melalui inaproc dengan metode one stop services bagi penawaran dan kontrak, yang langsung terhubung dengan seluruh sistem eksternal seperti departemen/ kementerian dan lembaga keuangan, bukan terpisah-pisah ke dalam masing-masing LPSE lagi karena potensi persekongkolan vertikal yang sangat besar. Meskipun demikian, secara umum kegiatan pengadaan pemerintah
Indonesia tetap
didesentralisasikan
ke
masing-masing
kementerian, departemen, dan lembaga lainnya namun perbedaannya adalah melalui satu portal saja yaitu inaproc sehingga akan lebih terpusat dan
terarah.
Selain
itu,
dengan
adanya
pengintegrasian
sistem
persekongkolan tender juga dapat direduksi. Hal tersebut berkait dengan
112
melalui single web inaproc seluruh informasi terkait dengan lelang dapat dumumkan secara luas dan penawaran akan terbuka sehingga para penyedia pekerjaan konstruksi yang memiliki kapabilitas terbaik dapat mengajukan penawaran akan lelang yang dibuka, selain itu dengan terbukanya informasi lelang membawa dampak para penyedia pekerjaan konstruksi tidak akan melakukan arisan tender karena penawaran dapat dimasukkan oleh semua penyedia pekerjaan konstruksi di seluruh Indonesia. Selain itu, LKPP selaku pemegang otoritas inaproc diharapkan juga akan memiliki hak untuk menetapkan peraturan mengenai aspek dan lingkup pengadaan seperti prakualifikasi, prosedur pembelian, dan spesifikasi teknis untuk pengadaan, bukan hanya menerbitkan administrasi berupa regulasi saja yang pelaksanaannya diserahkan langsung pada ULP tanpa adanya pengawalan pasti atau setidak-tidaknya ULP di setiap daerah dan LKPP harus bekerjasama secara sinergi dalam menyusun kerangka teknis pengadaan sehingga akan tercipta mekanisme check and balances antara keduanya. Hal tersebut menjadi krusial untuk dikaji, bila dikaitkan dengan kontrak tujuan dari adanya GEPIS ini bertumpu pada transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan e-procurement dimana negara (penguasa) selaku kontraktan dalam kontrak pemerintah yang harus berhadapan dengan berbagai jenis penyedia pekerjaan konstruksi memiliki hak untuk mengembangkan sebuah sistem dimana setiap penyedia barang/jasa dapat dipantau secara keseluruhan telah melaksanakan hubungan kontraktual dimana saja di seluruh Indonesia, guna meninjau dan mengetahui kapabilias penyedia pekerjaan konstruksi melalui Sisa Kemampuan Paket yang dimiliki. Sistem yang terintegrasi pada dasarnya merupakan pilihan yang sangat efektif dalam penyelengaraan maupun pengawasan. Sebagaimana disampaikan oleh Asian Development Bank (2013: 38) A single system approach provides the most effective option for a government, state, or departmental organization whose primary objective is to establish an open,
113
transparent system to support its procurement program. With a single system, the jurisdiction is better positioned to implement standard practices and monitor all activities while the supplier community only has to register in one system to access and participate in multiple opportunities. (pendekatan sistem tunggal menghasilkan pilihan paling efektif bagi pemerintah, negara, atau organisasi departemen yang tujuan utamanya terkait keterbukaan publik, transparasi sistem untuk mendukung program pengadaan elektronik. Dengan sistem tunggal, yurisdiksi diposisikan lebih baik untuk mengimplementasikan standar praktek dan memonitoring seluruh aktifitas ketika penyedia barang/jasa hanya perlu melakukan sekali akses dalam satu sistem dan berperan dalam berbagai penawaran). Prista Vitali Saktinegara (2013: 70) menyatakan bahwa berdasar pada ketentuan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (UU PP) ditentukan bahwa pelaksanaan pelayanan publik yang mana PBJP masuk dalam salah satu klasifikasinya dilaksanakan berdasar kepentingan umum, kepastian hukum, kesamaan hak, keseimbangan hak dan kewajiban, profesionalitas, partisipasif, tidak diskriminatif, terbuka, akuntabel, tepat waktu, cepat, mudah, dan terjangkau. Ketentuan dalam UU PP tersebut menyatakan bahwa masyarakat berhak mengetahui kebenaran isi, mengawasi pelaksanaan, mendapatkan tanggapan atas pengaduan, mendapatkan pemenuhan pelayanan, mendapatkan pelayanan yang berkualitas, dan bahkan mengadukan penyimpangan pada instansi berwenang. Masyarakat selaku whistle blower diharapkan pro aktif dalam mengawal PBJP dimana transparansi pengadaan seharusnya dapat dipantau oleh seluruh masyarakat di Indonesia, yang mana hal tersebut akan lebih mudah dan terarah dalam satu portal integrasi sistem inaproc sehingga
masyarakat
luas
dapat
mengetahui
berbagai
macam
pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah demi kebutuhan dan mobilitas mereka sehingga e-procurement tidak hanya dilihat sebagai layanan elektronik yang diselenggarakan oleh pemerintah saja namun pula dilihat sebagai kesatuan sistem. Hal tersebut selaras dengan pernyataan
114
The Department of Economic and Social Affairs of the United Nations Secretariat (2011: 24) yang menyatakan bahwa “e-procurement is not just about the delivery of an “e-“service offering by governments. Eprocurement entails a strategic shift in the delivery and management of a key business service supported by governance, policies, and legal frameworks” yang berdasar pada terjemahan lepas (pengadaan secara elektronik bukan hanya sekedar penyampaian penawaran melalui layanan elektronik oelh pemerintah. Pengadaan secara eletronik merupakan bagian dari strategi dalam penyampaian dan manajemen kunci layanan bisnis yang berkait dengan pemerintah, kebijakan dan kerangka hukum). b. Fitur Working Checker SPSE Langkah pengoptimalan ini berfokus pada pengoptimalan peran dan fungsi SPSE sebagai sistem elektronik yang digunakan dalam eprocurement. Langkah pengoptimalan yang penulis maksud adalah suatu langkah dengan memanfaatkan aplikasi SPSE yang dikelola oleh LPSE, dimana dalam aplikasi SPSE tersebut akan dilakukan pembatasan guna menyeleksi penyedia pekerjaan konstruksi yang memiliki spesifikasi terbaik. KBBI menyatakan bahwa yang dimaksud dengan pembatasan adalah proses, cara, perbuatan membatasi. Suatu mekanisme yang penulis tawarkan ialah pembatasan guna mencapai pengoptimalan yang dilakukan dengan
memanfaatkan
sinergi
antara LKPP dan
LPSE dengan
memperbaharui SPSE dengan menambahkan fitur working checker bagi para penyedia pekerjaan konstruksi yang memasukkan penawaran pada paket pekerjaan lelang yang diumumkan dalam Sistem Pengadaan Nasional. Telah diuraikan sebelumnya bahwa e-procurement pekerjaan konstruksi dilaksanakan secara parsial, yang mana dalam hal untuk mengetahui
kapabilitas
penyedia
pekerjaan
konstruksi
haruslah
dilaksanakan melalui dokumen kualifikasi yang dilakukan secara manual baik dalam rangka penyusunan dokumen ataupun evaluasinya. Untuk menilai suatu kapabilitas/kemampuan dari penyedia pekerjaan konstruksi
115
dapat dilihat melalui metode evaluasi kualifikasi yang dilaksanakan sehingga dalam pemilihan penyedia pekerjaan konstruksi akan mampu mendapatkan penyedia yang diyakini mempunyai kompetensi dan kemampuan usaha untuk melaksanakan pekerjaan dengan baik. Berdasar pada Lampiran Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 07/PRT/M/2011 tentang Pedoman Evaluasi Kualifikasi (Pedoman Evaluasi Kualifikasi) dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan kualifikasi merupakan proses penilaian kompetensi dan kemampuan usaha serta pemenuhan persyaratan tertentu lainnya dari penyedia barang/jasa, yang mana dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara yaitu prakualifikasi dan pascakualifikasi yang dilaksanakan secara manual, dan penyerahan dokumen kualifikasi harus diserahkan setiap penyedia pekerjaan konstruksi hendak turut serta dalam pelelangan dikecualikan pada pengadaan langsung, yang mana dalam rangka evaluasi kualifikasi hal yang harus dilengkapi sebagai berikut: 1) Persiapan Kualifikasi, yang disusun dan ditetapkan oleh Pokja ULP berisi: a) petunjuk pengisian formulir isian kualifikasi; b) formulir isian kualifikasi; c) instruksi kepada peserta, termasuk tata cara penyampaian dokumen kualifikasi; d) lembar data kualifikasi; e) pakta integritas; dan f) tata cara evaluasi kualifikasi. 2) Dokumen kualifikasi harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a) formulir isian kualifikasi ditandatangani oleh: (1) direktur utama/pimpinan perusahaan; (2) penerima kuasa dari direktur utama/pimpinan perusahaan yang nama penerima kuasanya tercantum dalam akta pendirian atau perubahannya;
116
(3) kepala cabang perusahaan yang diangkat oleh kantor pusat yang dibuktikan dengan dokumen otentik; (4) pejabat
yang
menurut
perjanjian
kerja
sama
berhak
mewakili perusahaan yang bekerja sama; atau b) memiliki izin usaha jasa konstruksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan; c) menyampaikan pernyataan/pengakuan tertulis bahwa perusahaan yang bersangkutan dan manajemennya tidak dalam pengawasan pengadilan, tidak pailit, kegiatan usahanya tidak
sedang
dihentikan dan/atau direksi yang bertindak untuk dan atas nama perusahaan tidak sedang dalam menjalani sanksi pidana; d) salah satu dan/atau semua pengurus dan badan usahanya tidak masuk dalam Daftar Hitam; e) memiliki NPWP dan telah memenuhi kewajiban perpajakan tahun pajak terakhir (SPT Tahunan) serta memiliki laporan bulanan PPh Pasal 21, PPh Pasal 23 (bila ada transaksi), PPh Pasal 25/Pasal 29 dan PPN (bagi Pengusaha Kena Pajak) paling kurang 3 (tiga) bulan terakhir dalam tahun berjalan. Peserta dapat mengganti persyaratan
ini
dengan menyampaikan Surat
Keterangan Fiskal (SKF); f) memperoleh paling sedikit 1 (satu) pekerjaan sebagai penyedia dalam kurun waktu
4 (empat) tahun terakhir, baik di
lingkungan pemerintah maupun swasta termasuk pengalaman subkontrak: memiliki kemampuan pada sub bidang pekerjaan yang sejenis untuk usaha
non
kecil
untuk
prakualifikasi
dan
kemampuan pada bidang pekerjaan yang sejenis untuk usaha kecil untuk pascakualifikasi; g) memiliki kemampuan menyediakan fasilitas dan peralatan serta personil yang diperlukan untuk pelaksanaan pekerjaan; h) menyampaikan daftar perolehan pekerjaan yang sedang dikerjakan;
117
i) memiliki surat keterangan dukungan keuangan dari bank pemerintah/swasta
untuk
mengikuti
pengadaan
pekerjaan
konstruksi paling kurang 10% (sepuluh perseratus) dari nilai total HPS; j) dalam hal peserta akan melakukan kemitraan/KSO: (1) peserta
wajib
mempunyai
perjanjian
Kerja
Sama
Operasi/kemitraan yang memuat persentase kemitraan/KSO dan perusahaan yang mewakili kemitraan/KSO tersebut; (2) evaluasi persyaratan pada huruf a) sampai dengan huruf g) dan i) dilakukan untuk setiap perusahaan yang melakukan kemitraan/KSO. Khusus untuk huruf h) dan j) evaluasi persyaratan digabungkan sebagai evaluasi kemitraan/KSO; k) untuk usaha non-kecil, memiliki Kemampuan Dasar (KD) pada pekerjaan yang sejenis dan kompleksitas yang setara, dengan ketentuan: (1) KD = 3 NPt NPt
=
Nilai pengalaman tertinggi pada sub bidang
pekerjaan yang sesuai dalam 10 (sepuluh) tahun terakhir; (2) dalam hal kemitraan/KSO yang diperhitungkan adalah KD dari perusahaan yang mewakili kemitraan/KSO; (3) KD sekurang-kurangnya sama dengan nilai total HPS; (4) pengalaman perusahaan dinilai dari sub bidang pekerjaan, nilai kontrak dan status peserta pada saat menyelesaikan kontrak sebelumnya; (5) nilai pengalaman pekerjaan dapat dikonversi menjadi nilai pekerjaan
sekarang
(present
perhitungan sebagai berikut:
NPs = Nilai pekerjaan sekarang
value)
menggunakan
118
Npo = Nilai
pekerjaan
keseluruhan
termasuk
eskalasi
(apabila ada) saat serah terima pertama Io = Indeks dari Biro Pusat Statistik (BPS) pada bulan serah terima pertama Is = Indeks dari BPS pada bulan penilaian prakualifikasi (apabila belum ada, dapat dihitung dengan regresi linier
berdasarkan indeks bulan-bulan sebelumnya)
Indeks
BPS
yang
dipakai
adalah
indeks
yang
merupakan komponen terbesar dari pekerjaan; l) mempunyai Sisa Kemampuan Paket (SKP), dengan ketentuan: (1) SKP = KP – P P = jumlah paket yang sedang dikerjakan KP = Kemampuan menangani paket pekerjaan untuk usaha non kecil KP = 6 atau KP = 1,2 N N = Jumlah paket pekerjaan terbanyak yang dapat ditangani pada saat bersamaan selama kurun waktu 5 (lima) tahun terakhir; (2) dalam hal kemitraan/KSO, yang diperhitungkan adalah SKP dari setiap perusahaan yang bermitra/KSO; m) memiliki Sertifikat Manajemen Mutu perusahaan (SNI/ISO 9001), apabila dipersyaratkan; n) memiliki Sertifikat Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Perusahaan dan/atau ahli K3/petugas K3, apabila dipersyaratkan. Pokja ULP memeriksa dan membandingkan persyaratan dan data isian peserta dalam Dokumen Isian Kualifikasi dalam hal: 1) kelengkapan Dokumen Isian Kualifikasi; dan 2) pemenuhan persyaratan kualifikasi. a) Formulir Isian Kualifikasi yang tidak dibubuhi materai tidak digugurkan, peserta diminta untuk membubuhi materai senilai Rp.12.000,00 (dua belas ribu rupiah).
119
b) Apabila ditemukan hal-hal dan/atau data yang kurang jelas maka Pokja ULP dapat meminta peserta untuk menyampaikan klarifikasi secara tertulis namun tidak boleh mengubah substansi formulir isian kualifikasi. Merujuk pada ketentuan dokumen kualifikasi yang harus disusun oleh penyedia pekerjaan konstruksi untuk mengetahui kemampuan penyedia pekerjaan konstruksi sebagaimana diuraikan diatas haruslah selalu disertakan untuk setiap pelelangan tender. Hal ini justru menambah beban panitia pengadaan untuk melakukan evaluasi atas dokumen evaluasi yang disusun, dan menunjukkan bahwa e-procurement yang merupakan upaya perombakan dari konvensional menjadi paperless belum dapat diterapkan secara maksimal. Permasalahan yang muncul berikutnya adalah apakah dokumen kualifikasi yang begitu banyaknya tersebut benar-benar dibuat oleh setiap penyedia pekerjaan konstruksi, bukan sekedar salin tempel dari dokumen kualifikasi yang lain. Merujuk pada pelaksanaan tender saja masih terdapat persekongkolan tender dikarenakan berbasis kertas hingga akhirnya diberlakukan e-procurement, bagaimana kalau persekongkolan itu terjadi justru saat penyusunan dokumen kualifikasi yang hakikatnya adalah untuk mengetahui kemampuan penyedia pekerjaan konstruksi. bila hal tersebut terjadi, maka tidak heran bila jumlah penyedia pekerjaan konstruksi yang masuk dalam blacklist terus bertambah setiap tahunnya dikarenakan kurang sistematisnya sistem evaluasi kualifikasi. Sistem e-procurement yang telah ada dan dimanfaatkan ini seharusnya dapat lebih di optimalkan sehingga kedudukannya bukan hanya sebagai wadah saja namun juga merupakan suatu sistem yang mampu mengakomodir pelaksanaan kontrak dalam rangka PBJP. Hal tersebut dapat dilaksanakan dengan cara penyerahan dokumen kualifikasi sebagaimana dimaksud diatas cukup 1 (satu) kali saja secara manual dan selain itu juga harus di upload di inaproc selaku single web PBJP. Apabila dokumen kualifikasi tersebut sudah masuk dalam sistem maka langkah selanjutnya bagi penyedia pekerjaan konstruksi tidak perlu lagi untuk
120
menyerahkan dokumen kualifikasi secara manual dengan jumlah yang banyak lagi namun hanya tinggal memperbaharui data yang terdapat dalam single web, sehingga kegiatan paperless dapat terwujud dengan baik atau setidaknya data yang dikumpulkan secara manual hanya terbatas pada dokumen yang tercantum tanda tangan dan materai saja. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa terkait dengan tanda tangan elektronik dan materai elektronik belum diakomodir oleh perundang-undangan Indonesia terkait keabsahannya, hal tersebut setidaknya akan mengurangi jumlah dokumen yang harus diserahkan secara manual. Terkait dengan penyerahan dokumen kualifikasi secara elektronik dalam single web tersebut perlu diikuti juga dengan konsistensi penyedia pekerjaan konstruksi untuk melakukan kegiatan upload laporan apabila pekerjaan telah diserahkan selain laporan manual. Hal tersebut bertujuan agar sistem mampu membaca dan mengidentifikasi apakah dokumen kualifikasi yang di upload penyedia pekerjaan konstruksi telah sinkron dengan hasil pekerjaan yang telah dilaksanakan sebelumnya untuk mengetahui sisa kemampuan paket. Fitur working checker pada SPSE ini maksudnya adalah berkaitan dengan pengumuman diadakannya lelang oleh Pemerintah maka para peserta lelang yang telah terdaftar dalam sistem single web procurement akan secara otomatis diidentifikasi apakah penyedia pekerjaan konstruksi yang bersangkutan mempunyai kapabilitas untuk melaksanakan pekerjaan dan juga apakah penyedia pekerjaan konstruksi yang dimaksud masih memiliki Sisa Kemampuan Paket dalam tahun berjalan, sehingga tidak akan terjadi lelang ganda yang dilakukan penyedia pekerjaan konstruksi saat SKP telah habis. Selain itu, working checker tersebut juga akan mengidentifikasi dan melakukan blocked pada penyedia
pekerjaan
konstruksi
yang
terindikasi
melakukan
penyimpangaan, KKN, kecurangan yang mengakibatkan kerugian keuangan negara. Hal ini merupakan tahapan lanjutan dari GEPIS dimana dengan ditambahnya satu fitur ini, pada saat penawaran dimasukkan oleh penyedia
121
pekerjaan konstruksi akan diperoleh data yang akurat mengenai Sisa Kemampuan Paket yang dimiliki penyedia pekerjaan konstruksi tersebut. Sebagaimana telah diuraikan dalam pembahasan sebelumnya bahwa, LPSE dalam mengawal kegiatan e-procurement belumlah maksimal, dimana data blacklist penyedia barang/jasa seharusnya selalu di perbaharui setiap saat belum dapat diakomodir dengan baik. Merujuk pada contoh kasus di Madiun menunjukan bahwa sanksi blacklist selama ini hanyalah suatu sanksi administratif yang terbatas dalam pernyataan diatas kertas tanpa ada tindakan pasti terkait dengan hilangnya kewenangan pengajuan penawaran lelang. Maka dari itu, agar kasus Madiun tidak terulang lagi maka penambahan fitur working checker ini diperlukan untuk memantau apakah penyedia pekerjaan konstruksi yang memasukkan penawaran masih memliki kemampuan paket serta spesifikasi yang terpercaya dan profesional sehingga tidak akan terjadi lagi lelang ganda yang tidak bertanggungjawab yang justru merugikan keuangan negara. Berdasar pada ketentuan The UNCITRAL Model Law on Public Procurement yang telah diperbaharui pada tahun 2011 mengatur juga mengenai pengadaan elektronik, yang mana dalam persyaratan Election Reverse Auction (ERA) UNCITRAL dalam Pasal 53 ayat (1) huruf j “The minimum number of suppliers or contractors required to register for the auction in order for the auction to be held, which shall be sufficient to ensure effective competition” yang secara tegas mengatur bahwa (minimum jumlah vendor yang mengikuti pelelangan harus ditentukan (dibatasi), demi terciptanya keefektifan pemilihan). Meskipun Pedoman dalam perjanjian internasional bukan merupakan hukum yang wajib dipatuhi namun Indonesia selaku negara yang pada tanggal 15 November 2012 telah diresmikan menjadi bagian dari United Nations Commission on International Trade Law (UNCITRAL) dapat menjadikan Model Law tersebut sebagai pedoman untuk menyempurnakan penyusunan peraturan terkait PBJP, karena Model Law meskipun bukan hukum apabila telah
122
diakui oleh masyarakat internasional akan menyamakan kedudukannya dengan kebiasaan internasional. Pembatasan peserta e-tendering demi pengoptimalan pemilihan penyedia pekerjaan konstruksi ini juga terletak pada penetapan aturan dan persyaratan yang harus dipenuhi oleh penyedia pekerjaan konstruksi. Secara umum persyaratan yang harus dipenuhi oleh penyedia pekerjaan konstruksi dalam pemasukan dokumen penawaran berkait dengan adanya iktikad baik. Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Hukum Kontrak (NA Hukum Kontrak) yang disusun oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia dalam Kajian Teoretik dan Praktik Empirik juga membahas mengenai pengenaan syarat pra contractual yang harus dipenuhi dalam hukum kontrak. Sebagaimana tercantum dalam NA Hukum Kontrak (2013: 2425) menyatakan bahwa dalam pembentukan kontrak di masa datang haruslah sudah terpenuhi semua persyaratan mulai dari tahan pra contractual, yaitu: 1) Adanya penegasan bahwa iktikad baik harus sudah ada pada masa pra contractual (penawaran dan penerimaan) sehingga janji-janji pra contractual diakui dan sudah mempunyai akibat hukum bila kemungkinan terjadinya pelanggaran di kemudian hari. 2) Dalam konteks pra contractual perlu diperhatikan pula adanya persyaratan atas asas umum dalam penetapan besarnya ganti rugi (kuantitatif) dan ukuran kualitatif untuk itu. Penggunaan asas reasonableness (asas kewajaran) yang banyak digunakan dalam perjanjian perdata internasional digunakan juga dalam hukum perjanjian nasional, yang mana pemaknaan asas kewajaran tersebut harus dapat ditarik dari falsafah dasar yang mewarnai asas-asas hukum nasional (Pancasila). 3) Penggantian kerugian dalam tahap pra contractual juga harus diperhitungkan dengan menggunakan prinsip yang sejalan dengan Penggantian kerugian diartikan sebagai restitution dan bukan damages,
123
dengan demikian preferensi lebih banyak diarahkan pada penggantian kerugian nyata sementara itu kemungkinan bagi penggantian kerugian terhadap keuntungan yang diharapkan atau sejenisnya merupakan pengecualian. 4) Pengaturan lain yang perlu dipertahankan dan disempurnakan dalam mengantisipasi
persoalan
pada
tahap
pra
contractual
adalah
menyangkut “syarat tangguh” dan “syarat batal” yang sebenarnya telah diatur secara khusus juga di dalam KUHPerdata (Buku III, Bagian 5, Pasal 1253-1267). Dalam praktek, tahap pra contractual secara potensial dapat menimbulkan persoalan-persoalan yang menyangkut penggunaan dan efektivitas “syarat tangguh” (condition precedent), khususnya dengan semakin maraknya penggunaan Memorandum of Understanding atau Memorandum Kesepakatan atau Letter of Intent. Sedangkan persoalan-persoalan “syarat batal” (condition subsequent) umumnya tidak timbul pada tahap pra contractual, tetapi penting artinya bila dikaitkan dengan kontrak-kontrak yang rentan terhadap perubahan-perubahan dalam ranah publik dan kepentingan publik. Merujuk pada diaturnya syarat pra contractual dalam NA Hukum Kontrak tersebut menunjukkan bahwa negara sama seperti penulis sudah mulai serius dalam memandang eksistensi pra contractual sebagai langkah preventif dalam mereduksi permasalahan dalam bidang hukum kontrak. Disamping syarat umum sebagaimana telah diuraikan di atas, penyedia pekerjaan konstruksi untuk dapat memasukkan dokumen penawaran haruslah memenuhi persyaratan berdasar pada ketentuan Pasal 19 ayat (1) Perubahan Keempat Perpres PBJP sebagai berikut: 1) Memenuhi
ketentuan
peraturan
perundang-undangan
untuk
menjalankan kegiatan/usaha; 2) Memiliki keahlian, pengalaman, kemampuan teknis dan manajerial untuk menyediakan pekerjaan konstruksi; 3) Memperoleh paling kurang 1 (satu) pekerjaan sebagai penyedia barang/jasa dalam kurun waktu 4 (empat) tahun terakhir, baik di
124
lingkungan pemerintah
maupun swasta, termasuk pengalaman
subkontrak; 4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 3, dikecualikan bagi penyedia barang/jasa yang baru berdiri kurang dari 3 (tiga) tahun; 5) Memiliki sumber daya manusia, modal, peralatan dan fasilitas lain yang diperlukan dalam Pengadaan Pekerjaan Konstruksi; 6) Dalam hal penyedia pekerjaan konstruksi akan melakukan kemitraan, harus mempunyai perjanjian kerja sama operasi/kemitraan yang memuat persentase kemitraan dan perusahaan yang mewakili kemitraan tersebut; 7) Pengadaan Pekerjaan Konstruksi yang khusus dilaksanakan melalui Pelelangan dan Pemilihan Langsung memiliki dukungan keuangan dari bank; 8) Harus memperhitungkan Sisa Kemampuan Paket (SKP) sebagai berikut: SKP = KP – P P = jumlah paket yang sedang dikerjakan. KP = nilai Kemampuan Paket, dengan ketentuan: a) Untuk Usaha Kecil, nilai Kemampuan Paket (KP) ditentukan sebanyak 5 (lima) paket pekerjaan; dan b) Untuk usaha non kecil, nilai Kemampuan Paket (KP) ditentukan sebanyak 6 (enam) atau 1,2 (satu koma dua) N. N = jumlah paket pekerjaan terbanyak yang dapat ditangani pada saat bersamaan selama kurun waktu 5 (lima) tahun terakhir. sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya penilaian SKP melalui dokumen
kualifikasi
yang
selanjutnya
diselenggarakan
secara
elektronik melalui single web pengadaan. 9) Tidak dalam pengawasan pengadilan, tidak pailit, kegiatan usahanya tidak sedang dihentikan dan/atau direksi yang bertindak untuk dan atas nama perusahaan tidak sedang dalam menjalani sanksi pidana,
125
yang dibuktikan
dengan surat pernyataan yang ditandatangani
penyedia pekerjaan konstruksi; 10) Sebagai wajib pajak sudah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan telah memenuhi kewajiban perpajakan tahun terakhir (SPT Tahunan) serta memiliki laporan bulanan pph Pasal 21, pph Pasal 23 (bila ada transaksi), pph Pasal 25/Pasal 29 dan PPN (bagi Pengusaha Kena Pajak) paling kurang 3 (tiga) bulan terakhir dalam tahun berjalan. 11) Secara hukum mempunyai kapasitas untuk mengikatkan diri pada Kontrak; 12) Tidak masuk dalam Daftar Hitam; 13) Memiliki alamat tetap dan jelas serta dapat dijangkau dengan jasa pengiriman; dan 14) Menandatangani Pakta Integritas. Namun perlu diingat pula bahwa pelaksanaan pengoptimalan hal tersebut juga haruslah dikaji secara akademis sesuai dengan ketentuan Hukum Kontrak Indonesia. Maka dari itu, pemberlakuan pembatasan peserta etendering ini haruslah dilaksanakan berdasar pada prinsip PBJP dan asas proporsionalitas hukum kontrak yang diuraikan sebagai berikut: a. Efisien Bahwa usaha pengadaan barang/jasa harus menggunakan dana dan daya yang terbatas untuk mencapai sasaran yang ditetapkan dalam waktu singkat dan dapat dipertanggungjawabkan. Istilah efisiensi dalam pelaksanaannya tidak selalu diwujudkan dengan memperoleh harga barang/jasa yang termurah, karena di samping harga murah, perlu dipertimbangkan ketersediaan suku cadang, panjang umur dari barang yang dibeli serta besarnya biaya operasional dan biaya pemeliharaan yang harus disediakan di kemudian hari. Pelaksanaan GEPIS sebagaimana telah diuraikan diatas akan menekan waktu menjadi lebih singkat/efisien.
126
b. Efektif Dimaksud dengan efektif adalah memperoleh manfaat setinggi-tingginya dengan sumber daya yang tersedia. Manfaat setinggi-tingginya dalam uraian di atas dapat berupa: 1) Kualitas terbaik; 2) Penyerahan tepat waktu; 3) Kuantitas terpenuhi; 4) Mampu bersinergi dengan barang/jasa lainnya; dan 5) Terwujudnya dampak optimal terhadap keseluruhan pencapaian kebijakan atau program. Pelaksanaan GEPIS sebagaimana telah diuraikan diatas akan diperoleh 2 (dua) efektifitas sekaligus yaitu perolehan manfaat yang setinggi-tingginya dari adanya teknologi melalui pengoptimlaan SPSE, serta mafaaat yang setinggi-tingginya dari Sumber Daya Manusia yang concern di LKPP. c. Terbuka dan Bersaing Terbuka dan bersaing, artinya pengadaan barang/jasa harus terbuka bagi penyedia barang/jasa yang memenuhi persyaratan, kompeten yang dilakukan melalui persaingan yang sehat di antara penyedia barang/jasa yang
setara
dan
memenuhi
syarat-syarat/kriteria-kriteria
tertentu
berdasarkan prosedur yang jelas dan transparan. Persaingan sehat dan terbuka akan dapat diwujudkan apabila pengadaan barang/jasa yang dilakukan terbuka bagi seluruh calon Penyedia barang/jasa yang mempunyai potensi untuk ikut dalam persaingan. Pelaksanaan GEPIS sebagaimana telah diuraikan diatas akan mewujudkan persaingan yang terbuka dan sehat karena semua orang dapat melakukan pemantauan di seluruh Indonesia terkait dengan penyelenggaraan e-procurement yang terpusat pada inaproc bukan justru menimbulkan sparatis kedaerahan yang mana pengawasan hanya dilaksanakan di daerahnya saja melalui LPSE ULP daerah.
127
d. Transparan Pemberian informasi yang lengkap kepada seluruh calon peserta yang disampaikan melalui media informasi yang dapat menjangkau seluasluasnya dunia usaha yang diperkirakan akan ikut dalam proses pengadaan barang/jasa merupakan hak yang harus direspon dengan baik. Setelah informasi didapat, maka seluruh calon peserta harus diberikan waktu yang cukup untuk mempersiapkan respon pengumuman tersebut. Pelaksanaan GEPIS sebagaimana telah diuraikan diatas jelas akan lebih transparan dalam pelaksanaannya. e. Adil/Tidak Diskriminatif Adil/tidak diskriminatif maksudnya adalah pemberian perlakuan yang sama terhadap semua calon yang berminat sehingga terwujud adanya persaingan yang sehat dan tidak mengarah untuk memberikan keuntungan kepada pihak tertentu dengan dan atau alasan apapun. Pelaksanaan GEPIS sebagaimana telah diuraikan diatas sangat adil karena berlaku bagi siapapun yang tertarik pada pengadaan, bukan ditentukan pemenangnya karena parsialnya sistem pengadaan di daerah. f. Akuntabel Akuntabel berarti harus mencapai sasaran baik fisik, keuangan maupun manfaat bagi kelancaran pelaksanaan tugas umum pemerintahan dan pelayanan masyarakat sesuai prinsip-prinsip serta ketentuan yang berlaku dalam pengadaan barang/jasa. Akuntabel merupakan pertanggung jawaban pelaksanaan pengadaan barang/jasa kepada para pihak yang terkait dan masyarakat berdasarkan etika, norma dan ketentuan peraturan yang berlaku (Eman Suparman, 2014: 12-15). Pelaksanaan GEPIS sebagaimana telah diuraikan diatas akan menunjukkan bahwa keberadaan eprocurement Indonesia bukan hanya sebagai tindakan latah bangsa lainnya namun juga merupakan wujud komitmen dalam penyelenggaraan pengadaan sesuai teknologi sebagaimana amanat pembangunan nasional. Penyelenggaraan
pembatasan
peserta
e-tendering
haruslah
ditopangkan pada ketentuan asas proporsionalitas yang muara akhirnya adalah
128
pada keadilan dalam pemilihan penyedia pekerjaan konstruksi. Makna asas proporsionalitas dalam suatu perjanjian harus dicari dengan beranjak dari makna filosofis keadilan. Hal ini dapat ditelusuri dalam berbagai pendapat serta pemikiran para filosof dan sarjana. Aristoteles misalnya menyatakan bahwa Justice consist in treating equals equally and unequally, in proportion to their inequality (prinsip bahwa yang sama diperlakukan secara sama dan yang tidak sama diperlakukan tidak sama secara proporsional) (Agus Yudha Hernoko, 2010: 84). Agus Yudha Henoko (2010: 87) menyatakan pada dasarnya asas proporsionalitas merupakan perwujudan dokrin “keadilan berkontrak” yang mengoreksi dominasi asas kebebasan berkontrak yang dalam beberapa hal justru menimbulkan ketidakadilan. Perwujudan keadilan berkontrak ditentukan melalui dua pendekatan. Pertama pendekatan prosedural, pendekatan ini menitikberatkan pada persoalan kebebasan kehendak dalam suatu kontrak. Pendekatan kedua, yaitu pendekatan substantif yang menekan kandungan atau substansi serta pelaksanaan kontrak. Dalam pendekatan substantif perlu diperhatikan adanya kepentingan yang berbeda para pihak yang mana harus diakomodir kedua belah pihak bukan hanya memenangkan yang kuat justru merugikan yang lemah. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka asas proporsionalitas bermakna sebagai “asas yang melandasi atau mendasari pertukaran hak dan kewajiban para pihak sesuai proporsi atau bagiannya dalam seluruh proses kontraktual”. Asas proporsionalitas mengandaikan pembagian hak dan kewajiban diwujudkan dalam seluruh proses hubungan kontraktual, baik pada fase prakontraktual, pembentukan kontrak maupun pelaksanaan kontrak (pra contractual, contractual, hingga post contractual) dan asas proporsional sangat berorientasi pada konteks hubungan dan kepentingan para pihak (Agus Yudha Hernoko, 2010: 88). Mekanisme pembatasan sebagaimana telah diuraikan diatas bila dikaitkan dengan asas kebebasan berkontrak tentu sangat berseberangan namun demikian, hal tersebut haruslah dikaji lebih mendalam terkait dengan asas kebebasan berkontrak dan kedudukan PBJP dalam hukum kontrak Indonesia.
129
Di negara-negara yang menganut sistem common law, kebebasan berkontrak dibatasi oleh peraturan perundang-undangan dan public policy. Bila suatu kontrak melanggar peraturan perundang-undangan atau suatu public policy, maka kontrak tersebut menjadi illegal. Kebebasan berkontrak (freedom of contract) merupakan konsekuensi dari berlakunya asas kontrak sebagai hukum yang mengatur dan merupakan bagian dari salah satu asasasas yang terdapat pada kontrak (Irdanuraprida Idris, 2007: 78). Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang mengajarkan bahwa para pihak dalam suatu kontrak pada prinsipnya bebas untuk membuat atau tidak membuat kontrak, demikian juga kebebasannya untuk mengatur sendiri isi kontrak tersebut. Di Indonesia asas kebebasan berkontrak ini dibatasi oleh rambu-rambu hukum sebagai berikut (Irdanuraprida Idris, 2007: 79): a. Tidak dilarang oleh undang-undang; b. Tidak bertentangan dengan kesusilaan; c. Tidak melanggar ketertiban umum. limitasi terhadap kebebasan berkontrak dalam ketentuan hukum Indonesia dapat dijumpai dalam Pasal 1337 KUH Perdata, yang menentukan bahwa “suatu sebab adalah terlarang apabila bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum”. Pelanggaran terhadap limitasi ini mengakibatkan suatu kontrak batal demi hukum dengan tidak terpenuhinya syarat objektif keabsahan kontrak sesuai Pasal 1320, yang mensyaratkan adanya sebab yang halal (IPW, 2014: 42). Limitasi terhadap kebebasan berkontrak pada konteks kontrak pemerintah adalah undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Yang dimaksud sebagai undang-undang adalah
semua
mengikat pemerintah dalam menjalankan
fungsi
aturan hukum yang pemerintahan.
Kata
“undang-undang” dalam konteks ini dipahami dalam pengertian materiil, yakni semua aturan yang dibuat oleh organ penguasa yang berwenang membuatnya. Kaitannya dengan kontrak pemerintah, temasuk kontrak
130
pengadaan barang/jasa, pelanggaran terhadap limitasi ini dapat membawa 2 (dua) bentuk implikasi, yaitu: a. Dari segi perspektif
hukum
privat
atau
perdata,
mengakibatkan
kontrak menjadi batal demi hukum (nietig van rechtswege).
Hal ini
sejalan dengan apa yang telah dikemukakan di atas, bahwa apabila terjadi penyimpangan atau pelanggaran ketentuan pada masa pra contractual, maka kontrak akan batal demi hukum. b. Dari segi hukum publik dapat mengakibatkan tindakan pelanggaran tersebut sebagai
diklasifikasikan
namun apabila pelanggaran kerugian
negara,
sebagai
tersebut
pelanggaran administratif,
mengakibatkan
mengakibatkan
maka akan diklasifikasikan sebagai tindak pidana
korupsi (IPW, 2014: 43). Limitasi berikutnya adalah berkaitan dengan Ketertiban Umum dan Kesusilaan. IPW dalam Laporan Kajiannya (2014: 15) menyatakan bahwa lingkup pengaturan hukum perdata dalam bidang kontraktual PBJP terletak pada pengaturan hubungan hukum antara penyedia dan pengguna barang/jasa sejak penandatangan kontrak sampai dengan berakhirnya kontrak pengadaan barang/jasa, namun perlu digarisbawahi bahwa meskipun prinsip dan norma hukum kontrak berlaku bagi kontrak yang diadakan oleh atau dengan pemerintah, keterlibatan keuangan negara dan kepentingan umum dalam kontrak pemerintah membawa konsekuensi prinsip, norma hukum privat dan asas kebebasan berkontrak tidak sepenuhnya berlaku. Terdapat 2 (dua) faktor yang membatasi prinsip-prinsip hukum privat sehubungan dengan kontrak antara seseorang atau badan hukum perdata dengan pemerintah (badan atau pejabat tata usaha negara). Pertama, peraturan perundang-undangan yang dapat menentukan pengaturan-pengaturan khusus, terutama mengenai kewenangan badan atau pejabat tata usaha yang bersangkutan untuk mengadakan perjanjian semacam itu, dan berlakunya lembaga-lembaga pengawasan administratif baik secara preventif maupun represif. Kontrak pemerintah dapat tunduk pada batasan-batasan yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kedua,
131
kepentingan umum yang dapat membatasi atau bahkan menghalangi keberlangsunan berlakunya kontrak (IPW, 2014: 16). Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, hal ini kiranya menjadi salah satu karakteristik dari kontrak pemerintah, dimana prinsip-prinsip hukum privat tidak bisa berlaku sepenuhnya, mengingat dimensi hibrida dari kontrak tersebut (IPW, 2014: 17). Kaitannya dengan kesusilaan, agar hakikat atau esensi pengadaan barang/jasa tersebut dapat dilaksanakan sebaik-baiknya, maka kedua belah pihak yaitu pihak pengguna dan penyedia haruslah selalu berpatokan pada filosofi pengadaan barang/jasa, tunduk kepada etika dan norma pengadaan barang/jasa yang berlaku, mengikuti prinsip-prinsip, metode, dan proses pengadaan barang/jasa terarah. Filosofi pengadaan barang/jasa adalah upaya untuk mendapatkan barang/jasa yang diinginkan dan dilakukan atas dasar pemikiran yang logis dan sistematis (The system of thought), mengikuti norma dan etika yang berlaku, berdasarkan metode dan proses pengadaan yang terarah (Denny Sanjaya, dkk, 2013: 1).