perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian 1. Pengaturan Perkawinan Semarga dalam Adat Batak Toba di Surakarta a.
Bentuk dan Tata Cara Perkawinan Adat Batak Toba di Surakarta Perkawinan semarga dalam adat batak toba tidak diperkenankan sama sekali karena dulunya satu keturunan kakek dan nenek moyang. Perkawinan semarga tidak ada sama sekali diakui di adat batak toba. Menurut A.H Sitanggang Perkawinan semarga karena sama satu marga “dang boi marsibuatan” (tidak boleh saling mengambil, maksudnya tidak boleh kawin – pen ). Perkawinan semarga tidak harus sama marganya, namun satu keturunan. Dalam adat batak toba terdapat umpasa atau pepatah “jala sinukkun marga asa hiboto partuturan” yang artinya tanya terlebih dahulu marga nya agar tau bagaimana selanjutnya. Perkawinan adat Batak Toba yang dilaksanakan dengan tata cara yang sakral juga terdiri dari berbagai bentuk upacara adat sebagaimana hasil wawancara dengan A.E Manik upacara perkawinan adat Batak Toba terdiri dari beberapa bentuk sebagai berikut (A.E Manik hasil wawancara pada tanggal 10 Juni 2014 ): 1) Adat Na Gok Perkawinan Adat Na Gok adalah
upacara yang Gok.
Upacara perkawinan adat Na Gok, pelaksanaannya sesuai dengan prosedur adat yang melibatkan unsur dalihan Natolu. Dalam upacara perkawinan adat ini semua struktur terpenuhi. Struktur yang dimaksud dalam hal ini adalah: 1. Tulang yang disebut dengan hula-hula. (Tulang adalah saudara laki-laki dari pihak Ibu baik dari mempelai laki-laki maupun mempelai perempuan - pen). 2. Orang tua yang disebut dengan suhut. Suhut dibagi menjadi dua to user yaitu suhut takkascommit dan suhut sipaidua. Suhut takkas adalah orang 31
32 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tua kandung, sedangkan suhut sipaidua adalah orangtua yang semarga dengan orang tua laki-laki dari kedua belah mempelai. Contohnya Bapa Uda (adik laki-laki dari orang tua laki-laki). 3. Dongan tubu. Dongan tubu adalah yang semarga dengan mempelai. Terdapat pula struktur yang tidak komplit atau tidak terpenuhi semuanya yaitu tidak adanya Hula-hula atau tidak ada Namboru (saudara perempuan dari orang tua laki-laki) namun dalam perkawinan ini tetap merupakan perkawinan Na Gok 2) Mangalua atau kawin lari Perkawinan ini adalah perkawinan yang pada dasarnya tidak direstui oleh orang tua atau keluarga dari masing-masing pihak mempelai laki-laki maupun mempelai perempuan atau salah satu pihak dari keduanya. Perkawinan seperti ini biasanya terjadi karena kedua mempelai sudah melanggar atau membuat malu keluarganya misalnya hamil diluar nikah atau kawin dengan orang di luar suku batak. Terdapat dua jenis mangalua yaitu mangalua yang direstui dan mangalua yang tidak direstui. Dalam mangalua yang direstui, orang tua memperbolehkan perkawinan tersebut terjadi namun dilakukan dengan diam-diam. Pemberian restu tersebut ditandai dengan adanya penerimaan sinamot dari mempelai laki-laki kepada orang tua mempelai perempuan. Sedangkan mangalua yang tidak direstui yaitu mangalua yang benar-benar tidak direstui. Mempelai laki-laki dan perempuan melakukan perkawinan tidak dengan sepengetahuan dari kedua orang tua nya dan pergi jauh dari keluarganya. Perkawinan adat khususnya Batak Toba memiliki tata cara sebagaimana adat lainnya yang bersifat sakral. Adapun tata cara perkawinan adat Batak Toba adalah sebagai berikut: commit userhatta. 1) Marhori-hori dinding atau to patua
33 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Tahap ini yaitu adanya perkenalan antara orang tua dari kedua belah pihak dan mengutarakan adanya keinginan pihak laki-laki untuk meminang pihak perempuan. 2) Marhusip Marhusip adalah pertemuan antara keluarga dari kedua belah pihak lebih luas, yaitu melibatkan namboru dan amangboru masing-masing.
Dalam
tahap
ini
membahas
perencanaan
perkawinan, benarkah ada nya cinta dari kedua belah pihak, dan bagaimana kelangsungan dari upacara perkawinan tersebut. 3) Martumpol Martumpol adalah ikat janji di gereja. Martumpol dilakukan 12 minggu sebelum perkawinan tersebut dilaksanakan. Martumpol bertujuan untuk mengetahui apabila keduanya merasa dirugikan maka diberikan kesempatan untuk memberitahukan kepada keluarga agar tidak terjadi keterpaksaan dalam mengikat janji perkawinan. Dalam tahap ini perkawinan tersebut belum sah. 4) Marhata Sinamot Dalam acara marhata sinamot dihadiri oleh orang tua, tulang dan dongan sahuta. Jadi dalam marhata sinamot keluarga yang datang sudah lengkap. Dalam tahap ini para keluarga membahas perencanaan kelangsungan pesta perkawinan mulai dari biaya pesta perkawinan sampai tuhor ni boru atau sinamot, tempat dan siapa yang membuat pihak laki-laki
yang disebut taruhon jual atau
pihak perempuan yang disebut alap jual perkawinan dan mengenai ulos. Menurut A.H Sitanggang dalam tahap ini sudah muncul hak dan kewajiban antara kedua belah pihak. Hak dan kewajiban tersebut antara lain : 1. Kewajiban pihak laki-laki yang menjadi hak perempuan Kewajiban pihak laki-laki yang menjadi hak perempuan yaitu commit to berupa user sinamot atau uang jujur yang berapa tuhor ni boru yang
34 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
harus diberikan kepada perempuan dan hewan apa yang harus dipotong beserta jumlahnya. Penyerahan sinamot
sebagian
diserahkan pada saat marhata sinamot dan pemenuhan sinamot dilakukan pada hari pesta perkawinan 2. Kewajiban perempuan yang menjadi hak laki-laki Kewajiban perempuan yang menjadi hak laki-laki yaitu menyerahkan ulos kepada pihak laki-laki. Ulos tersebut terdiri dari : a) Ulos kepada orang tua yang disebut ulos pasamot. b) Ulos kepada mempelai yang disebut ulos mandar hela atau ulos penganten c) Ulos Bapa tua / opung yang disebut ulos si jalo bawa d) Ulos kepada Bapa Uda yang disebut ulos pamarai e) Ulos kepada namboru yang disebut ulos sihuti ampang f) Ulos holong Minimal harus ada 7 ulos yang harus diserahkan oleh pihak perempuan kepada pihak laki-laki. Ada 2 Alternatif antara marhata sinamot terlebih dahulu kemudian martumpol namun alternatif ini menurut responden biasanya gagal. Alternatif yang lain yaitu martumpol terlebih dahulu baru marhatta sinamot (hasil wawancara dengan A.H Sitanggang pada tanggal 14 Juni 2014). 5) Pembentukan Panitia Pembentukan panitia ini bertujuan untuk membentuk panitia yang menangani dokumentasi, terima tamu dan mengenai masakan. 6) Pelaksanaan perkawinan Pelaksanaan perkawinan yaitu dilaksanakan di gereja jika beragama Kristen, di masjid jika beragama islam dan lain-lainnya. Setelah itu menandatangani surat di catatan sipil 7) Pesta Unjuk commit to user
35 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Pesta unjuk merupakan kegiatan yang dilakukan pada hari melangsungkan perkawinan. Pada acara ini melakukan acara adat yang dinamakan marsibuah-buahi yaitu dengan penyematan bunga dari mempelai perempuan kepada mempelai laki. setelah itu, pemberian dengke ke mempelai perempuan yang disebut manguppa. Yang terakhir adalah berdoa bersama agar pesta perkawinan yang akan dilakukan berjalan lancar. 8) Prosesi Dalihan Natolu a) Masuk ke Gedung atau tempat berlangsungnya prosesi Dalihan Natolu. b) Penyambutan oleh kedua belah pihak, tergantung tuan rumah. Jika tuan rumah pihak laki-laki maka yang menyambut pihak laki-laki tergantung kesepakatan. Prosesi ini disebut dengan Panomunomuan. c) Keluarga kedua belah pihak duduk berhadap-hadapan. d) Paranak (keluarga mempelai laki-laki – pen) memberikan tubutubu sipanganon ke parboru (keluarga mempelai perempuan – pen). e) Parboru memberikan dengke ke paranak. f) Parboru memberikan ulos ke paranak kemudian paranak memberikan panandaon kepada parboru yang biasanya berupa uang yang ditaruh di dalam amplop 9) Maningkir tangga atau paulak une yaitu pihak paranak menjenguk menantu ke rumah menantu
b. Pengaturan Perkawinan Semarga dalam Adat Batak Toba di Surakarta Menurut A.H Sitanggang perkawinan semarga tidak diatur karena pada dasarnya perkawinan semarga tidak diakui. Meskipun ditemukan perkawinan tersebut, perkawinan tersebut tetaplah tidak sah (A.H commit to user Sitanggang hasil wawancara tanggal 14 Juni 2014). Hal tersebut juga
36 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dinyatakan oleh responden A.E Manik, yang menganggap perkawinan semarga tidak ada pengaturannya karena perkawinan semarga tidak diakui. Meskipun tidak ada pengaturan khusus mengenai perkawinan semarga, kedua responden tersebut sama-sama menyatakan bahwa perkawinan semarga bertentangan dengan Dalihan Natolu karena apabila perkawinan semarga terjadi maka terdapat tumpang tindih dan menimbulkan kerancuan dalam adat batak toba.
2. Dampak Negatif Perkawinan Semarga di Surakarta a.
Perkembangan Perkawinan Semarga di Surakarta Orang
Batak
walaupun
di
perantauan
mempunyai
ikatan
kekeluargaan yang kental karena menurut mereka meskipun tidak memiliki ikatan darah, orang batak yang dijumpai di perantauan adalah saudara. Guna menjaga kontak sosial sesama orang Batak, mereka membentuk
perkumpulan
yang
berfungsi
sebagai
wadah
untuk
mempersatukan orang-orang Batak yang ada di Surakarta sesuai dengan marga juga untuk menjalin komunikasi dan kekeluargaan antar sesama orang Batak di perantauan. Selain itu tujuan kelompok tersebut (termasuk boru dan bere) dapat saling membantu dalam upacara-upacara adat maupun dalam kehidupan sehari-hari, sedangkan untuk di tanah Batak atau lazim disebut Bona Ni Pasogit sendiri, perkumpulan marga itu tidak ada karena desa merupakan unit gotong royong untuk upacara-upacara adat. Kumpulan dalam bahasa batak disebut juga punguan. Salah satu aktivitas kumpulan itu dengan menyelenggarakan perayaan Natal setiap tahunnya. Berdasarkan wawancara dengan A.E Manik terdapat beberapa data Keluarga Punguan yang telah ada di Surakarta dan pasangan yang melakukan perkawinan semarga di Surakarta, yaitu sebagai berikut (A.E Manik hasil wawancara pada tanggal 10 Juni 2014 ) Data keluarga Punguan yang telah ada di Surakarta terdiri dari : 1) Op. Tuan Situmorang terdiri dari 21 kepala keluarga. commit to user 2) Silahisabungan Solo terdiri dari 11 kepala keluarga.
37 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
3) Sipartano Naiborngin Soloraya terdiri dari 5 kepala keluarga. 4) Siopat Pisoran Solo terdiri dari 7 kepala keluarga. 5) Tuan Sihubil terdiri dari 6 kepala keluarga. 6) Naimarata Solo terdiri dari 21 kepala keluarga. 7) Si Raja Sonang terdiri dari 3 kepala keluarga. 8) Toga Manurung terdiri dari 13 kepala keluarga. 9) Sonak Malela Solo terdiri dari 15 kepala keluarga. 10) Parna Solo terdiri dari 5 kepala keluarga. 11) PSBI Simbolon Solo terdiri dari 12 kepala keluarga. 12) Toga Simatupang terdiri dari 13 kepala keluarga. 13) Toga Nainggolan terdiri dari 10 kepala keluarga. 14) PATOGAR Solo terdiri dari 10 kepala keluarga. 15) Toga Simamora Solo terdiri dari 4 kepala keluarga. 16) Sitorus Pangulu PongGok terdiri dari 6 kepala keluarga. 17) Toga Sihombing Solo terdiri dari 9 kepala keluarga. 18) Tuandibangarna terdiri dari 12 kepala keluarga. 19) Punguan Simalungun terdiri dari 4 kepala keluarga 20) Toga Aritonang terdiri dari 10 kepala keluarga. 21) Si Raja Borbor Solo terdiri dari 9 kepala keluarga. 22) Puraja Laguboti terdiri dari 7 kepala keluarga. 23) PPTSB Toga Sinaga terdiri dari 7 kepala keluarga. 24) PSSI Simanjuntak terdiri dari 6 kepala keluarga. 25) Toga Sirait terdiri dari 4kepala keluarga Selain itu dari wawancara tersebut terdapat data beberapa pasangan yang melakukan perkawinan semarga di Surakarta, yaitu sebagai berikut : a.
B. Hutagalung dengan M. Br Tobing, mereka dikatakan melakukan perkawinan
semarga dikarenakan
satu
garis
keturunan
yang
membentuk punguan siopat Pisoran. b. S.H Hutabarat dengan Br Panggabean, mereka dikatakan melakukan perkawinan
semarga dikarenakan satu commitPisoran. to user membentuk punguan siopat
garis
keturunan
yang
38 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
c.
S. Siburian dengan Br Sianturi, pasangan ini dikatakan melakukan perkawinan
semarga dikarenakan
satu
garis
keturunan
yang
membentuk punguan Siburian Dalam masyarakat adat Batak Toba di Surakarta terjadi perkembangan mengenai perkawinan semarga. Terdapat perkawinan semarga yang di perbolehkan dan perkawinan semarga yang tidak diperbolehkan. 1) Perkawinan semarga yang diperbolehkan Seiring berkembangnya jaman, pola berpikir masyarakat Batak Toba mulai mengalami perubahan. Perkawinan semarga yang dilarang dalam adat batak mulai dilanggar dan dianggap hal yang biasa yang akhirnya menurut pendapat mereka hal tersebut bukan lagi sebuah pelanggaran. Misalnya adalah perkawinan yang dilakukan oleh marga dari keturunan Guru Mangaloksa yang terbentuk menjadi punguan si Opat Pisoran. Perkawinan semarga tersebut sudah banyak dilakukan di Tanah Batak dan dianggap sah oleh masyarakat adat Batak Toba. Kebiasaan tersebut pun akhirnya juga dibawa oleh masyarakat adat Batak Toba dimana pun mereka berada, termasuk juga komunitas perantau Batak Toba di Surakarta. Menurut L. Sinaga perkawinan antara marga-marga keturunan Guru Mangaloksa adalah sah dan tidak melanggar dari adat. Menurut L.Sinaga perkawinan tersebut sah karena sinamot atau pemberian uang jujur dari pihak lakilaki diterima oleh pihak perempuan dan perkawinan tersebut juga sudah dilaksanakan atau diberkati di gereja yang menandakan bahwa pihak gereja tidak melarang perkawinan tersebut dilangsung karena pihak gereja tidak akan melakukan pemberkatan apabila perkawinan tersebut dilarang oleh adat batak (L.Sinaga hasil wawancara 10 Juni 2014). 2) Perkawinan semarga yang tidak diperbolehkan Pada
dasarnya semua perkawinan semarga tidak commit tomanapun, user diperbolehkan oleh punguan meskipun terdapat punguan
39 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
atau kumpulan yang memperbolehkan perkawinan semarga dan menjadikan perkawinan tersebut sah. Terdapat punguan yang tetap memegang teguh adat istiadat batak toba dan tidak pernah melakukan perkawinan semarga sama sekali meskipun anggota dari punguan tersebut sudah merantau ke luar daerah asalnya. Punguan tersebut adalah punguan PARNA dan punguan Silahisabungan. Punguan adalah kelompok yang memiliki marga yang sama dari satu keturunan nenek moyang yang tidak boleh menikah satu sama lain. Keempat responden dalam waktu yang berbeda sama-sama menyatakan hal tersebut. Kumpulan persatuan rumpun keturunan Raja Naiambaton disebut dengan PARNA (Parsadaan Raja Nai Ambaton) adalah Keturunan Raja Naiambaton yang dikenal sebagai keturunan yang terdiri dari berpuluh-puluh marga yang tidak boleh saling kawin (ndang boi masiolian). Perkiraan terdapat 70-an marga yang disebut dengan PARNA (Parsadaan Nai Ambaton) "na boloni". Marga-marga keturunan Raja Naiambaton (Datu Sindar Mataniari) , antara lain: Raja Sitempang dan Bolon Tua. Dan cabang-cabangnya: Dari Istri Siboru Biding laut III Pomparan Raja Sitempang. Keturunan Raja Sitempang antara lain : Sitanggang Bau, Sitanggang Lipan, Sitanggang Upar, Sitanggang Silo, Sigalingging, Sitanggang Gusar dari Sitanggang Bau,Turnip, Sidauruk, Manihuruk dari Sitanggang Silo, Sigalingging Ke Dairi (Banuarea, Manik, Gaja, Tendang, Rampu, Kecupak, Kombi, Boang Manalu,
Barasa,
Turutan,
Siambataon, Simanihuruk (Ginting Manik ke Tanah Karo). Dari Istri Siboru Anting Anting Pomparan Raja Nabolon: a)
Simbolon Tua (Simbolon, Tinambunan, Tumanggor, Turutan, Pinayungan, Maharaja, Nahampun).
b) Tamba Tua: Tonggor Dolok, Lumbang Tongatonga, Lumban Toruan. Lumban Tongatonga beranak dua: Rumaganjang dan commit to user Lumbanuruk. Rumaganjang beranak 3: Guru Sateabulan, Guru
40 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Sinanti dan Datu Parngongo. Datu Parngongo beranak 7, satu di antaranya bernama Guru Sojoloan (Guru Sotindion). Dari Guru Sojoloan/Guru Sotindion inilah Sidabutar, Sijabat, Siadari, Sidabalok yang biasa disebut "pomparan ni si opat ama". c)
Munthe Tua (Munthe).
d) Saragi Tua (Saing, Simalango, Simarmata, Nadeak, Sidabungke, Rumahorbo, Sitio, napitu). tiga marga dintaranya, yang konon turunan dari satu leluhur, yaitu rumahorbo, napitu dan sitio, akronim (ronatio ). Selain PARNA juga terdapat punguan yang tidak pernah melakukan perkawinan semarga yaitu punguan Silahisabungan yaitu punguan dari Raja Silahisabungan. Delapan Anak Keturunan Silahisabungan dari 2 istri yakni : 1. Istri Pertama: Pingganmatio Padangbatanghari, anaknya : 1.Loho Raja (Sihaloho) 2.Tungkir Raja (Situngkir) 3.Sondi Raja (Rumasondi) 4.Butar Raja (Sidabutar) 5.Debang Raja (Sidebang) 6.Bariba Raja (Sidabariba) 7.Batu Raja (Pintubatu). 2. Istri Kedua: Sinailing Nairasaon, anaknya : 8. Tambun Raja Alias Raja Itano Alias Raja Tambun (Tambun,Tambunan, Daulay). Selain marga pokok di atas masih ada lagi marga marga cabang keturunan Silahisabungan, yakni : Sipangkar, Sembiring, Sipayung, Silalahi, Dolok Saribu, Sinurat, Nadadap, Naiborhu,Maha, Sigiro, Daulay. b. Penyebab Terjadinya Perkawinan Semarga Di Surakarta Setelah melakukan wawancara kepada semua responden, terdapat beberapa penyebab terjadinya perkawinan semarga di Surakarta yaitu sebagai berikut : 1) Ketidaktahuan Tentang Adat commit to user
41 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Ketidaktahuan antara laki-laki dan perempuan akan adat menyebabkan mereka melanggar aturan-aturan adat mereka. Mereka tidak mengerti status daripada keluarga besarnya. Sehingga orang batak harus tau siapa dirinya, apa marganya dan marga apa saja yang semarga dengan dirinya sehingga dapat mengantisipasi terjadinya perkawinan tersebut. Dalam adat batak terdapat pepatah “jala sinukkun marga asa hiboto partuturan” yang artinya disaat pertama kali kita bertemu dengan orang batak pertama kali yang harus kita lakukan adalah bertanya marga dari orang tersebut agar dapat diketahui posisi orang tersebut dengan marga dirinya. Sehingga apabila seorang laki-laki bertemu dengan seorang perempuan yang berkenalan dengan yang satu marga dapat menjaga jarak hubungan mereka agar tidak terjadi perkawinan semarga. 2) Rasa Cinta Tidak dapat dipungkiri apabila sepasang kekasih yang sudah saling mencintai sering tidak memperdulikan larangan-larangan yang dapat memisahkan mereka. Sama halnya dengan pasangan kekasih yang melakukan perkawinan semarga, meskipun secara adat perkawinan yang dilakukan oleh pasangan-pasangan tersebut dilarang namun mereka tetap berani melanggar larangan-larangan tersebut karena sudah terlanjur cinta dan tidak mau kehilangan satu sama lain. Sepasang kekasih tersebut bahkan rela meninggalkan keluarga dan tempat dimana mereka tinggal atau dapat disebut juga kawin lari
3) Lokasi Daerah Lokasi Daerah menjadi penyebab terjadinya perkawinan semarga karena apabila sudah berada diperantauan maka jumlah orang batak pun terbatas. Jumlah orang batak yang terbatas tersebut menyebabkan pilihan yang akan dijadikan pasangan pun juga semakin terbatas. Sehingga, kemungkinan timbulnya rasa cinta semakin besar commit to pihak user lain karena keterbatasan dalam antara pihak yang satu dengan
42 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
memilih tersebut. Selain itu karena tidak adanya pilihan orang batak yang lain diluar marga dari orang tersebut untuk dijadikan suami atau isteri c.
Dampak Negatif Perkawinan semarga Menurut ketiga responden, dampak negative dari perkawinan semarga yaitu sebagai berikut : 1. Dikucilkan dalam masyarakat adat di Surakarta. 2. Tidak mendapat restu dari orang tua yang mengakibatkan tidak diakui oleh orang tua dan keluarga. 3. Tidak bisa masuk dalam upacara adat atau bahkan dikeluarkan dalam punguan adat. 4. Diusir dari kampung. 5. Sulit untuk memperoleh keturunan atau anaknya yang cacat atau idiot.
commit to user
43 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
B. Pembahasan 1. Pengaturan dan Perkembangan Perkawinan Semarga di Surakarta Bab I Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan yang diundangkan tanggal 2 Januari 1974 mengatur pengertian perkawinan adalah “ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dalam Undang-Undang tersebut tujuan perkawinan secara jelas adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Tujuan tersebut hanya berpusat pada pembentukan
sebuah
keluarga sebagaimana mestinya.
Sedangkan dalam adat Batak Toba, tujuan perkawinan bersifat lebih luas yang sesuai dengan sistem perkawinannya yakni sistem adat patrilineal. Adapun tujuan perkawinan adat Batak Toba adalah untuk melanjutkan atau meneruskan keturunan generasi laki-laki atau marga karena hanya anak laki-laki yang dapat meneruskan marga. Perkawinan pada orang Batak pada umumnya merupakan pranata yang tidak hanya mengikat seorang laki-laki dengan seorang tetapi juga mengikat hubungan antara kerabat dari mempelai laki-laki maupun dengan kerabat mempelai perempuan termasuk arwah-arwah leluhur mereka. Oleh karena itu perkawinan adat meliputi berbagai tata cara yang sakral dalam beberapa bentuk dengan berbagai kekhasannya masing-masing. Djaren Saragih yang dikutip oleh Hilman Hadikusuma mengatakan bahwa perkawinan yang ideal bagi orang batak ialah anak laki-laki kawin dengan wanita anak saudara laki-laki ibu (Toba:Tulang) dan anak perempuan kawin dengan laki-laki anak saudara perempuan ayah. Dengan demikian tidak terjadi pekawinan semarga. Di Toba perkawinan satu marga disebut “kawin sumbang”, apabila perkawinan sumbang terjadi maka biasanya para pihak yang commit to user
44 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
melakukan akan dihukum (Djaren Saragih dalam Hilman Hadikusuma, 1986:97). Perkawinan adat Batak Toba pada dasarnya terjadi pada setiap masyarakat Batak Toba yang memiliki perbedaan marga. hal tersebut dikarenakan masyarakat adat Batak Toba memiliki prinsip perkawinan asymmetrisch connubium yang berciri-ciri: e. Eksogami artinya dalam sistem ini orang diharuskan kawin dengan orang di luar suku keluarganya, dengan kata lain bahwa perkawinan terjadi antara pria dan wanita yang berasal dari clan atau marga yang berlainan; f. Tidak boleh tukar menukar perempuan; g. Orang tidak akan mengambil istri dari kalangan kelompok sendiri; h. Perempuan
meninggalkan
kelompoknya dan
pindah
ke kelompok
suami(sulistyowati Irianto,2003:109). Menurut J. C. Vergouwen marga adalah kelompok orang-orang yang merupakan keturunan dari seorang kakek bersama, dan garis keturunan itu diperhitungkan melalui bapak atau bersifat patrilineal. Semua anggota dari satu marga memakai nama identitas yang dibubuhkan sesudah nama kecil (C. Vergouven,1986:9). Marga adalah identitas keturunan, kelompok, kekuasaan, nama baik, yang menjadi sebuah dinasti keturunan dalam suatu wilayah otonomi di Tanah Batak. Terbentuknya marga pada dasarnya adalah pembentukan pengelompokan komunitas yang membawakan kemuliaan marganya masing-masing, sehingga dengan sendirinya membuka sekat-sekat larangan hubungan perkawinan diantara marga-marga, kecuali karena ada perjanjian khusus yang disebut padan. Definisi marga menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ada 4 definisi, dua diantaranya adalah : b. kelompok kekerabatan yang eksogam dan unilinear, baik secara matrilineal maupun patrilineal; c.
bagian daerah (sekumpulan dusun) yang agak luas (di Sumatra Selatan dan Sumatera Utara). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
45 digilib.uns.ac.id
Bagi Bangsa Batak sangat diperlukan identitas marga karena kultur Bangsa Batak masih memegang erat falsafah budayanya yang disebut Dalihan Natolu & Tarombo (Toba) yang mengharuskan eksistensi marga ada dalam setiap kehidupan Bangsa Batak. Kegunaan marga bagi orang Batak adalah mengatur upacara adat, pergaulan dan hubungan dalam keluarga. Marga menjadi alat penghubung diantara susunan kekerabatan, oleh karena sifatnya adalah patrilineal, maka marga yang sama tidak boleh saling menikahi yang satu marga (Maridup Hutauruk, http://batakone.wordpress.com diakses pada tanggal 28 Maret 2014 pukul 17.00 WIB ). Perkawinan semarga dapat diartikan sebagai suatu perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang mempunyai marga yang sama. Marga merupakan hasil dari pengelompokan berdasarkan keturunan yang digunakan sebagai identitas diri yang dibawa oleh setiap keturunan yang dilahirkan dalam perkawinan masyarakat adat Batak. Oleh karena itu, marga tidak hanya berperan sebagai identitas tetapi juga sebagai tanda bahwa orangorang berasal dari kelompok marga yang sama merupakan satu keturunan. Pengelompokan marga ini dilakukan dengan tujuan untuk mengatur perkawinan masyarakatnya dan menghindari terjadinya perkawinan satu keturunan yang sama sehingga bisa memperoleh keturunan yang baik. Masyarakat Batak melarang perkawinan dalam satu kelompok marga karena memandang bahwa melakukan perkawinan dengan satu kelompok marga berarti melakukan perkawinan dengan satu keturunan (Hasibuan dalam Ervi Apriliyanti Sembiring1dan Rahma Fauziah,2012:4). Namun terdapat pendapat lain yaitu “Perkawinan semarga berarti suatu perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang mempunyai marga yang sama. Misalnya Marga Sinaga dengan Marga Sinaga, Marga Harahap dengan Marga Harahap, Marga Panjaitan dengan Marga Panjaitan, Marga Tarigan dengan Marga Tarigan, dan sebagainya” (fauziah Astuti Sembiring,2005: 21). Jadi menurut pendapat-pendapat diatas menurut penulis dapat commit to user disimpulkan bahwa perkawinan semarga dapat dibedakan menjadi perkawinan
perpustakaan.uns.ac.id
46 digilib.uns.ac.id
semarga secara sempit dan perkawinan semarga secara luas. Apabila perkawinan semarga dalam arti sempit yaitu perkawinan semarga yang hanya dalam marga yang sama saja, yaitu antara marga sinaga dengan marga sinaga atau Harahap dengan Harahap. Hal itu juga dipertegas oleh A.H Sitanggang yang mengatakan bahwa mereka hanya sama nama nya saja. Sedangkan perkawinan semarga dalam arti luas yaitu perkawinan yang sama dalam kelompok marga yang sama yang dipercayai dalam satu keturunan nenek moyang yang sama, misalnya marga Turnip dengan Sitanggang. Kedua marga tersebut termasuk satu kelompok marga yang sama yaitu dalam kelompok Punguan Parna. A.H sitanggang juga berpendapat bahwa perkawinan semarga adalah perkawinan yang sama marga dan satu keturunan nenek moyang (A.H sitanggang hasil wawancara tanggal 10 Juni 2014). Hal tersebut dipertegas oleh Hilman Hadikusuma dalam bukunya Antropologi Hukum yang mengatakan bahwa di daerah Tapanuli Utara terjadi perkawinan antara marga Hutabarat dengan boru Hutabarat, Sianipar dengan Boru Sianipar, Siahaan dengan Boru Siahaan dan setelah kemerdekaan antara Ancer Tambunan dengan Boru Tambunan. Di Tapanuli Tengah antara Sianturi dengan Togattorop dan setelah kemerdekaan antara Hutagalung dengan boru Hutagalung. Di Tapanuli Selatan antara sesama marga Nasution dan sesama marga Lubis. (Hilman Hadikusuma, 1986:98). Dari contoh Sianturi dengan Togattorop
membuktikan bahwa
perkawinan semarga tidak hanya yang sama dalam penyebutan saja namun sama satu keturunan, yaitu keturunan dari Raja Lontung khususnya simatupang. Dari hasil wawancara dari A.E Manik terdapat pasangan yang melakukan perkawinan semarga di Surakarta yaitu sebagai berikut: : 1.
B. Hutagalung dengan M. Br Tobing;
2.
S.H Hutabarat dengan Br Panggabean;
3.
S. Siburian dengan Br Sianturi;
4.
M. Manurung dengan Br Sitorus.
Meskipun tidak sama persis, perkawinan yang dilakukan B. userHutabarat dengan Br Panggabean, Hutagalung dengan M. Brcommit Tobingto,S.H
47 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
termasuk perkawinan semarga karena mereka termasuk dalam satu garis keturunan yang sama dari keturunan guru Mangaloksa yang terbentuk menjadi punguan Si Opat Pisoran. Adapun Marga-marga Si Opat Pisoran dari keturunan Guru Mangaloksa adalah: 1) Si Raja Na Barat yaitu marga Hutabarat, 2) Si Raja Panggabean yaitu marga Panggabean, yang terdiri: a)
Panggabean Lumban Ratus (tetap memakai marga Panggabean) Panggabean Simorangkir (memakai marga Simorangkir), Panggabean Lumban Siagian (tetap memakai marga Panggabean).
3) Si Raja Hutagalung yaitu Marga Hutagalung. 4) Si Raja Hutatoruan yaitu marga Hutapea dan Lumbantobing: Dalam perkembangannya perkawinan antara keturunan guru mangaloksa menjadi sah dan tidak dilarang lagi. L. Sinaga mengatakan bahwa bahkan Hutabarat dengan Hutabarat pun sudah sah dan diberkati di gereja HKBP di Surakarta (L. Sinaga hasil wawancara tanggal 9 Juni 2014). Namun menurut penulis perkawinan tersebut tetaplah merupakan perkawinan semarga yang dilarang dan tidak seharusnya dilakukan meskipun diperbolehkan karena pada dasarnya mereka adalah satu keturunan. Hal tersebut juga di uraikan oleh Hilman Hadikusuma dalam bukunya yang berjudul Antropologi Indonesia dimana dalam bukunya tersebut Hilman Hadikusuma menyebutkan beberapa contoh mengenai perkawinan semarga dan salah satu nya adalah perkawinan semarga yang dilakukan oleh Marga Hutabarat dengan boru Hutabarat. Oleh karena antara marga yang satu dengan marga yang lain dari punguan si Opat Pisoran adalah sama maka menurut penulis perkawinan antara margamarga dari keturunan Guru Mangaloksa seharusnya tidak diperbolehkan. Perkawinan semarga tersebut dapat mempengaruhi punguan lain untuk melakukan perkawinan semarga karena menganggap terdapat contoh yang juga melakukan perkawinan semarga, dan hal tersebut mengakibatkan tidak terjaganya adat istiadat Batak Toba dan bisa mengakibatkan commit punahnya adat istiadat batak toba. to user
48 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Sedangkan perkawinan yang dilakukan S. Siburian dengan Br Sianturi termasuk perkawinan semarga karena satu keturunan dari Raja Lontung lebih tepatnya dari cabang marga Simatupang. Raja Lontung mempunyai 7 (tujuh) orang putera, yaitu: a. Sinaga, menurunkan marga Sinaga dan cabang-cabangnya; b. Situmorang, menurunkan marga Situmorang dan cabang-cabangnya; c. Pandiangan, menurunkan Perhutala dan Raja Humirtap, Raja Sonang (Toga Gultom, Toga Samosir, Toga Pakpahan, Toga Sitinjak) dan cabang-cabangnya; d. Nainggolan, menurunkan marga Nainggolan dan cabang-cabangnya: Lumban Nahor, Batuara , Parhusip , Lumban raja; e. Simatupang, menurunkan marga Togatorop, Sianturi dan Siburian; f. Aritonang, menurunkan marga Ompu Sunggu, Rajagukguk, dan Simaremare; g. Siregar, menurunkan marga Siregar Silo (Sormin), Dongoran, Silali dan Sianggian. Perkawinan yang dilakukan M. Manurung dengan Br Sitorus, termasuk perkawinan semarga karenan Manurung dan Sitorus termasuk satu keturunan dari Nai Rasaon. Nai Rasaon adalah kelompok margamarga dari suku bangsa Batak Toba yang berasal dari daerah Sibisa. Marga-marga keturunan Nai Rasaon, adalah: Manurung, Sitorus (menurunkan
Pane, Dori,
Boltok), Sirait,
Butarbutar. Manurung
menurunkan Hutagurgur, Hutagaol dan Simanoroni. Keberadaan pasangan tersebut sekarang ada yang sudah pergi meninggalkan Surakarta dan ada yang masih berada di Surakarta, karena menurut mereka perkawinan yang mereka lakukan adalah sah dan tidak melanggar aturan adat. Gambaran dari suatu perkawinan yang tidak semarga salah satu contohnya yaitu antara marga Manullang dengan marga Marbun. Antara kedua marga tersebut memiliki kakek moyang yang berbeda. Marga commit to user Manullang memiliki nenek moyang yang bernama Raja Oloan yang
49 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
memiliki keturunan marga yang berjumlah 6 (enam) orang putera yaitu sebagai berikut : a. Naibaho, yang merupakan cikal-bakal marga Naibaho dan cabang cabangnya; b. Sigodang Ulu, yang merupakan cikal-bakal marga Sihotang dan cabang-cabangnya; c. Bakara, yang merupakan cikal-bakal marga Bakara; d. Sinambela, yang merupakan cikal-bakal marga Sinambela; e. Sihite, yang merupakan cikal-bakl marga Sihite; f. Manullang, yang merupakan cikal-bakal marga Manullang. Sedangkan Marga Marbun memiliki nenek moyang yang bernama Raja Naipospos yang memiliki keturunan marga yang berjumlah 5 (lima) orang putera yaitu sebagai berikut Raja Naipospos Raja Naipospos mempunyai 5 (lima) orang putera yang secara berurutan, yaitu: a.
Donda Hopol, yang merupakan cikal-bakal marga Sibagariang;
b. Donda Ujung, yang merupakan cikal-bakal marga Hutauruk; c.
Ujung Tinumpak, yang merupakan cikal-bakal marga Simanungkalit;
d. Jamita Mangaraja, yang merupakan cikal-bakal marga Situmeang; e.
Marbun, yang merupakan cikal-bakal marga Marbun Lumban Batu, Marbun Banjar Nahor, Marbun Lumban Gaol.
Jadi dari penjelasan diatas diketahui antara marga manullang dengan marga marbun tidak merupakan satu keturunan nenek moyang atau tidak semarga. a.
Pengaturan Perkawinan Semarga Non Yuridis Dalam perkawinan adat batak toba menganut konsep Dalihan Natolu. Dalihan Natolu artinya tungku yang berkaki tiga, bukan berkaki empat atau lima. Tungku yang berkaki tiga sangat membutuhkan keseimbangan yang mutlak. Jika satu dari ketiga kaki tersebut rusak, maka tungku tidak dapat digunakan. Kalau kaki lima, jika satu kaki rusak masih dapat digunakan dengan sedikit penyesuaian meletakkan beban, begitu commit to user juga dengan tungku berkaki empat. Tetapi untuk tungku berkaki tiga, itu
50 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tidak mungkin terjadi. Inilah yang dipilih leluhur suku batak sebagai falsafah hidup dalam tatanan kekerabatan antara sesama yang bersaudara, dengan hulahula dan boru. Perlu keseimbangan yang absolut dalam tatanan hidup antara tiga unsur. Untuk menjaga keseimbangan tersebut kita harus menyadari bahwa semua orang akan pernah menjadi hula-hula, pernah menjadi boru, dan pernah menjadi dongan tubu. Tiga peran penting dalam upacara adat perkawinan Batak Toba tersebut yaitu sebagai : 1) Somba Marhulahula: Hula-hula adalah kelompok marga istri, mulai dari istri kita, kelompok marga ibu (istri bapak), kelompok marga istri opung, dan beberapa generasi; kelompok marga istri anak, kelompok marga istri cucu, kelompok marga istri saudara dan seterusnya dari kelompok dongan tubu. Hula-hula ditengarai sebagai sumber berkat. Hula-hula sebagai sumber hagabeon/keturunan. Keturunan diperoleh dari seorang istri yang berasal dari hulahula. Tanpa hula-hula tidak ada istri, tanpa istri tidak ada keturunan. 2) Elek Marboru/lemah lembut tehadap boru/perempuan. Berarti rasa sayang yang tidak disertai maksud tersembunyi dan pamrih. Boru adalah anak perempuan kita, atau kelompok marga yang mengambil istri dari anak kita (anak perempuan kita). Sikap lemah lembut terhadap boru perlu, karena dulu borulah yang dapat diharapkan membantu mengerjakan sawah di ladang. Tanpa boru, mengadakan pesta suatu hal yang tidak mungkin dilakukan. 3) Manat mardongan tubu/sabutuha Suatu sikap berhati-hati terhadap sesama marga untuk mencegah salah paham dalam pelaksanaan acara adat. Hati–hati dengan teman semarga. Kata orang tua-tua “hau na jonok do na boi marsiogoson” yang berarti kayu yang dekatlah yang dapat bergesekan. Ini menggambarkan bahwa begitu dekat dan seringnya hubungan terjadi, commit to user
51 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
hingga
dimungkinkan
terjadi
konflik,
konflik
kepentingan,
kedudukan, dan lain-lain. Di Tapanuli telah diterbitkan Perda No. 10 tahun 1990 tentang Lembaga Adat Dalihan Natolu, yaitu suatu lembaga adat yang dibentuk Pemda Tingkat II, sebagai lembaga musyawarah yang mengikutsertakan para penatua adat yang benar-benar memahami, menguasai dan menghayati adat istiadat di lingkungannya. diterbitkan Perda No. 10 tahun 1990 tentang Lembaga Adat Dalihan Natolu. Pasal 6 menguraikan bahwa lembaga ini memiliki tugas untuk melaksanakan berbagai usaha/kegiatan dalam rangka menggali, memelihara, melestarikan dan mengembangkan kebudayaan daerah termasuk di dalamnya adat-istiadat dan kesenian untuk tujuan pembangunan dan sifatnya konsultatif terhadap pemerintah. Pasal 1 h juga menguraikan Dalihan Natolu adalah lembaga permusyawaratan /pemufakatan adat Batak yang dibentuk berdasarkan peranan adat istiadat, kebudayaan, kesenian
daerah, gotong royong dan
kekeluargaan.
Keanggotaan dan kepengurusan Lembaga Adat Dalihan Natolu adalah para Penatua Adat yang benar memahami, menguasai dan menghayati adat istiadat. Selain itu, jelas bahwa anggota dan pengurus harus setia dan taat kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. (http://id.wikipedia.org/wiki/Dalihan_Na_Tolu diakses pada tanggal 1 April 2014 pukul 15.00 WIB). Hukum
adat
Batak
Toba,
khususnya
perkawinan
sangat
memperhatikan prinsip dasar yaitu dalihan Natolu yang merupakan suatu ungkapan yang menyatakan kesatuan hubungan kekeluargaan pada suku Batak, serta perkawinan berpegang teguh pada prinsip ini. Sementara itu upacara agama serta catatan sipil dianggap hanya perlengkapan belaka. Hal ini dilatar belakangi oleh keberadaan dalihan Natolu itu sendiri yang diterima ditengah-tengah masyarakat Batak Toba sebagai suatu sistem sosial kemasyarakatan. Dalam suatu perkawinan yang sah, dalihan Natolu commit to user telah menggariskan dan menetapkan aturan dan ketentuan rinci mengenai
52 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
berbagai hubungan sosial baik antara suami dengan istri, antara orang tua dengan saudara-saudara kandung dari masing-masing pihak pengantin, maupun dengan boru (semua perempuan yang berasal dari satu marga tanpa membedakan struktur kedudukan patrilinealnya, namun demikian masih ada kelompok lain yang dianggap sebagai boru walaupun tidak satu marga) serta hula-hula (orang tua dari anak perempuan yang telah menikah, namun demikian masih ada pihak lain yang dianggap menjadi hula-hula yaitu kelompok Tulang) dari masing-masing pihak. Dalihan Natolu
juga merupakan
penentuan
kedudukan yang ditimbulkan
berdasarkan marga membuat seseorang dapat menempatkan dirinya dalam adat istiadat yang dianggap dalam kehidupan masyarakat bagi seluruh warga masyarakat Batak. Pada setiap acara adat istiadat masyarakat Batak toba memiliki peran masing-masing sesuai dengan posisinya dalam dalihan Natolu, sebagai hula-hula, dongan tubu dan boru. Di dalam struktur sosial dalihan Natolu mengatur tata cara dalam berperilaku masyarakat Batak Toba, hal tersebut dapat dilihat dari berbagai acaraacara adat seperti acara kematian, acara kelahiran, memasuki rumah baru, acara perkawinan, dan sebagainya. Inti ajaran Dalihan Natolu adalah kaidah moral berisi ajaran saling menghormati (masipasangapon) dengan dukungan kaidah moral: saling menghargai dan menolong. Dalihan Natolu melarang perkawinan semarga karena disetiap acara adat batak toba khususnya dalam acara perkawinan keberadaan tiap peran dalam dalihan Natolu akan menjadi tumpang tindih bila pihak perempuan dan pihak laki-laki bermarga sama sehingga tidak bisa menentukan mana pihak parboru dan pihak paranak. Apabila komponen dari
ketiga
unsur
tersebut
tidak
terpenuhi
maka
akan
terjadi
ketidakseimbangan dalam adat batak toba. Dalam perkawinan semarga jelas dalihan Natolu tidak terpenuhi karena didalam perkawinan semarga tidak ada pesta mangadati yang artinya pihak Hula-hula, pihak boru dan pihak dongan satubu tidak ada dalam perkawinan tersebut. Terjadinya commit to user perkawinan semarga pun mempersulit dalam martarombo.
53 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
b. Pengaturan Yuridis Perkawinan Semarga yang Mengukuhkan Larangan Perkawinan Semarga Pada dasarnya masyarakat adat Batak Toba hanya mengetahui perkawinan semarga dilarang karena menyimpang dari falsafah Dalihan Natolu yang diajarkan turun temurun dari nenek moyang mereka. Banyak masyarakat batak tidak mengetahui pengaturan perkawinan semarga secara yuridis, termasuk masyarakat adat Batak Toba di Surakarta. Responden berpendapat bahwa tidak ada pengaturan perkawinan semarga karena perkawinan semarga tersebut tidak diakui atau tidak sah. Namun dalam bukunya
yang
berjudul
Antropologi
Hukum
Indonesia,
Hilman
Hadikusuma menguraikan beberapa putusan di masa sebelum merdeka yang dikeluarkan oleh peradilan adat yang disebut Rapat Besar Negeri. Putusan-putusan tersebut yaitu sebagai berikut : 1)
Putusan Rapat Besar Gunung Tua tanggal 23 November 1934 (T.154217) yang dipimpin J. Drenth dan disahkan Residen Tapanuli, menyatakan : Marga-marga Siregar Pahu, Siregar Salak, Siregar Ritonga, masih merupakan satu marga Siregar. Oleh karenanya diantara para warga dari marga-marga itu berlaku larangan perkawinan. Pelanggaran atas larangan tersebut berarti melakukan tindak pidana adat yang disebut “sumbang”. Walaupun di onderafdeeling Padang Lawas mereka yang melakukan pelanggaran.
2) Putusan Rapat Adat Kuria Simapil-mapil onderafdeeling AngkolaSipirok tanggal 3 November 1937, menyatakan : Bahwa anak-anak yang lahir dari perkawinan semarga, dalam hal ini marga Harahap, tidak boleh menjadi ahli waris dari ayah mereka. 3) Putusan Dalam Kirapatan Na Bolon di Pematang Siantar (AB XVIII102) terjadi perkara perkawinan semarga diantara masyarakat Raja Raya, sesudah mereka terlebih dahulu masuk Islam. Raja Raya meminta agar perkawinan semarga itu dibatalkan tetapi Raja Siantar commit user dengan alasan bahwa dengan Tanah Jawa dan Pane tidaktosetuju
54 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
adanya percampuran antar suku bangsa sudah sulit mempertahankan adat setempat. Walaupun demikian dapat disetujui bahwa mereka yang kawin semarga dikenakan hukuman denda (Hilman hadikusuma dalam Fauziah Astuti Sembiring, 2005:22-23). 4) Keputusan Rapat Besar Siborong-borong tahun 1940 (T.154:221 dab seterusnya) diputuskannya antara lain, bahwa perkawinan antara Marga Debata dengan Boru Manalu atau sebaliknya di Parmonangan dan Dolok Sanggul Negeri Rambe sudah sering terjadi. Tergugat yang marsumbang dibebaskan dari kesalahan dan perkawinan satu marga yang telah dilakukan adalah sah. Tetapi Jani Marga Debata Raja selaku suami dalam perkawinan itu dihukum agar memenuhi adat parboaboaan dengan menyembelih kerbau bernilai f.25,- dengan lauk pauk lain-lain bernilai f.20,- dan harus mengadakan perjamuan yang harus
dihadiri
oleh
Parboru,
kepala
negeri,
raja-raja
huta,
panungganei, dari Marga Purba, manaluan Debata Raja dari negeri Rambe. Jika hukuman tersebut tidak dilaksanakan dalam waktu satu bulan, maka harta miliknya dijadikan jaminan untuk pelaksanaan perjamuan yang akan dilakukan oleh Kepala Negeri Rambe. (Hilman Hadikusuma, 1986 : 98-99) c.
Akibat Hukum Perkawinan Semarga Di Surakarta Dengan sistem jujur, suatu perkawinan menurut adat Batak juga mengakibatkan tiga akibat hukum, yaitu meliputi : 1)
Hubungan suami istri. Dengan pemberian sinamot (uang jujur) dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan yang bersifat religio magis maka menyebabkan keluarnya perempuan dari keluarganya dan masuk dalam keluarga suaminya. Pihak suami memiliki hak sepenuhnya atas istrinya karena adanya uang jujur tersebut. atau dengan kata lain pihak istri sudah dibeli oleh pihak suami.
2) Hubungan anak-anak yang lahir dari perkawinan dengan kedua orang commit to user tuanya dan kerabat ayah ibunya.
55 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Sistem perkawinan jujur menyebabkan semua anak yang dilahirkan dari perkawinan mengikuti marga ayahnya, sehingga apabila ayahnya tidak sanggup membesarkan anak-anaknya maka tanggung jawab itu beralih kepada saudara laki-laki ayahnya. Hubungan anak-anak dengan ibunya dan kerabat ibunya menurut hukum adat batak toba secara hukum tidak ada, tetapi secara moral menyatakan bahwa anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan mempunyai kewajiban untuk mengabdi dan bertanggung jawab penuh melaksanakan pekerjaan-pekerjaan dalam setiap acara-acara adat yang diselenggarakan oleh kerabat ibunya. 3) Mengenai harta benda yang diperoleh sebelum maupun selama perkawinan. Dalam rumah tangga keluarga batak tedapat tiga macam harta bersama, yaitu bawaan suami, bawaan istri dan hasil pencaharian mereka. Kedudukan harta itu tidak terpisah, ia merupakan suatu kesatuan harta, apalagi jika dari perkawinan itu terdapat keturunan yang akan mewarisinya kelak (Hilman Hadikusuma,1986:106). Namun semua harta tersebut adalah milik suami. Hal tersebut juga ditegaskan dalam Yurisprudensi Reg. No. 54 K/Sip/1958 tanggal 25 Oktober 1958. Dalam yurisprudensi tersebut menguraikan bahwa menurut Hukum Adat Batak yang bersifat patriachaal semua harta yang timbul dalam perkawinan adalah milik suami, namun isteri mempunyai “hak memakai” seumur hidup dari harta suaminya, selama harta itu diperlukan untuk penghidupannya. Perkawinan semarga adalah perkawinan yang tidak diakui yang apabila dilakukan mengakibatkan tidak sah nya perkawinan tersebut. sehingga apabila perkawinan semarga terjadi maka akibat hukum tersebut tidak dapat terjadi pada pasangan yang melakukan perkawinan semarga. Menurut L.Sinaga hanya akibat hukum terhadap anak-anak saja yang terjadi yaitu anak-anak memiliki marga sesuai dengan marga ayahnya. commitdari to user Mengenai keluarnya perempuan pihak keluarganya, hal tersebut tidak
perpustakaan.uns.ac.id
56 digilib.uns.ac.id
terjadi karena dalam perkawinan semarga tidak ada pemberian uang jujur sehingga perempuan tidak keluar dari pihak ayahnya, namun karena perkawinan tersebut tidak direstui oleh pihak keluarga, pasangan tersebut diusir dan tidak diakui dalam keluarga. Pengusiran tersebut bukan berarti pihak perempuan masuk ke keluarga suaminya. Mengenai harta kekayaan, perkawinan semarga merupakan perkawinan yang sangat dilarang oleh masyarakat adat Batak Toba sehingga pasangan yang melakukan perkawinan semarga tidak diakui oleh keluarganya dan terancam tidak mendapat warisan seperti pada Putusan Rapat Adat Kuria Simapil-mapil onderafdeeling Angkola-Sipirok tanggal 3 November 1937, menyatakan : Bahwa anak-anak yang lahir dari perkawinan semarga, dalam hal ini marga Harahap, tidak boleh menjadi ahli waris dari ayah mereka. Namun menurut A.E Manik, perkawinan semarga yang di Surakarta mempelai laki-laki tetap mendapat hak warisan karena walaupun melakukan perkawinan semarga sesuai dengan garis patrilineal yang lebih menekankan pada anak laki-laki walaupun ia sudah dikeluarkan dari keluarga terkecuali diatur dalam surat wasiat tetapi untuk mempelai wanita tidak mendapat harta warisan (hasil wawancara dengan A.E Manik pada tanggal 1 September 2014) 2. Dampak Negatif Perkawinan Semarga di Surakarta Perkawinan semarga merupakan perkawinan yang sangat dilarang keras oleh masyarakat adat batak toba karena melanggar pertalian darah, dalihan natolu yang apabila dilaksanakan akan menimbulkan dampak negatif bagi pasangan yang melakukan perkawinan tersebut. Dampak negatif tersebut dapat terjadi bagi pasangan yang melakukan perkawinan semarga di dalam lingkungan masyarakat adat batak yang lain, bagi keabsahan perkawinan mereka maupun bagi keturunan mereka. a.
Dampak Negatif Yang Timbul Di Lingkungan Masyarakat Adat Masyarakat adat Batak adalah masyarakat adat yang sangat menjunjung tinggi adat istiadat yang telah diturunkan oleh nenek moyang mereka. commit to user Apabila terdapat pelanggaran-pelanggaran adat yang dilakukan oleh
57 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
masyarakat adat Batak hal tersebut akan langsung mempengaruhi kehidupan si pelanggar di antara lingkungan masyarakat adat yang lainnya. Begitu juga apabila terdapat pasangan yang melakukan perkawinan semarga. Perkawinan semarga sangat ditentang keras oleh masyarakat adat Batak, sehingga apabila dilakukan akan menimbulkan dampak negatif dalam lingkungan masyarakat adat Batak. Dampak negatif tersebut yaitu sebagai berikut : 1) Dikucilkan dari pergaulan masyarakat Perkawinan semarga menurut masyarakat adat batak toba disurakarta adalah pelanggaran adat yang tidak dapat dimaafkan bagi mereka. Pasangan yang melakukan perkawinan semarga dikucilkan, tidak lagi diterima dalam kehidupan sehari-hari dan dianggap sebelah mata bagi masyarakat adat yang lain. Pasangan perkawinan semarga tidak akan diterima dalam punguan manapun, meskipun dalam punguan marganya sendiri. Selain itu pasangan yang menikah semarga tidak diperkenankan untuk dapat masuk kumpulan marga sebab pasangan yang menikah semarga tidak dinikahkan secara adat melainkan hanya secara agama saja 2) Tidak mendapat tempat dalam upacara adat Perkawinan
semarga
mengakibatkan
pasangan
yang
melakukan perkawinan semarga tersebut tidak dapat melakukan upacara adat. Dalam konsep Dalihan Natolu misalnya, pasangan perkawinan semarga sulit untuk digolongkan apakah mereka termasuk hula-hula, boru maupun dongan tubu karena adanya tumpang tindih dan kerancuan antara satu dengan yang lainnya.
b.
Dampak Negatif
Perkawinan Semarga Mengenai Keabsahan
Perkawinan dan Kedudukan sebagai Anak Perkawinan semarga merupakan perkawinan yang dilarang dan tidak diakui oleh masyarakat adat Batak Toba,sehingga apabila dilakukan commit to user perkawinan tersebut menimbulkan dampak negatif sebagai berikut:
58 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
1)
Bagi
pasangan
yang
melakukan
perkawinan
semarga
maka
perkawinannya tidak sah menurut adat meskipun dalam agama dan hukum nasional sah. 2)
Pasangan yang melakukan perkawinan semarga dapat tidak diakui sebagai anak oleh orang tuanya sehingga dapat kehilangan haknya sebagai ahli waris.
c.
Dampak Negatif Bagi Keturunan yang Melakukan Perkawinan Semarga 1) Perkawinan semarga tersebut juga akan mengakibatkan anak-anak yang dilahirkan dalam perkawinannya menjadi anak haram dimata hukum adat, karena tidak adanya pengakuan dari masyarakat adat setempat. Perkawinan semarga menurut hukum adat batak toba merupakan perkawinan yang tidak sah, walaupun menurut agama dan hukum nasional perkawinannya sah. 2) Perkawinan semarga ini dilarang karena adanya kepercayaan bahwa setiap orang yang mempunyai marga yang sama berarti masih mempunyai
hubungan
darah,
sehingga
adanya
kekhawatiran
keturunan yang dihasilkan dari orang yang melakukan perkawinan semarga pertumbuhannya tidak sempurna atau cacat. “Perkawinan semarga dilarang karena adanya kepercayaan bahwa setiap orang yang mempunyai marga yang sama berarti masih mempunyai hubungan darah sehingga adanya kekhawatiran bahwa keturunan yang dihasilkan
dari orang
yang melakukan
perkawinan
semarga
pertumbuhannya tidak sempurna, idiot bahkan mungkin lumpuh” (Fauziah Astuti Sembiring, 2005:4). Hal tersebut juga terjadi pada keturunan pasangan S.H Hutabarat dengan Br Panggabean yang memiliki keterbelakangan mental. Ketiga responden mengatakan meskipun adanya dampak negatif ini pada keturunan pasangan perkawinan semarga tersebut, namun mereka tidak telalu menyakini kepercayaan tersebut karena menurut mereka hal itu terjadi atas commit to user
59 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kehendak Tuhan yang Maha Esa, belum tentu dikarenakan perkawinan tersebut.
commit to user