perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Pengaturan Kedudukan Hukum Anak Luar Kawin di Indonesia Perkawinan adalah perilaku makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa agar kehidupan di alam dunia berkembang biak. Perkawinan merupakan salah satu budaya yang beraturan yang mengikuti perkembangan budaya manusia dalam
kehidupan
masyarakat.
Dalam
masyarakat
sederhana budaya
perkawinannya sederhana, sempit dan tertutup, dalam masyarakat yang maju (modern) budaya perkawinannya maju, luas dan terbuka. Keluarnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, keanekaragaman hukum perkawinan selama ini yang menjadi pegangan dan berlaku bagi berbagai golongan warga negara dalam masyarakat dan berbagai daerah dapat diakhiri. Namun demikian, ketentuan hukum perkawinan sebelumnya, ternyata masih tetap dinyatakan berlaku, selama belum diatur sendiri oleh Undang-undang Perkawinan ini, dan hal tersebut tidak bertentangan dengan Undang-undang (Rachmadi Usman, 2006:230).
1. Pengaturan Kedudukan Hukum Anak Luar Kawin di Indonesia menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Perkawinan yang sah menurut hukum perkawinan nasional tersebut adalah perkawinan yang dilaksanakan menurut tata tertib dan aturan hukum agama yang yang diakui oleh pemerintah. Sahnya perkawinan berbeda dengan syarat-syarat perkawinan, karena syarat sahnya perkawinan merupakan cara atau prosedur yang harus ditempuh agar perkawinan itu sah menurut hukum yang dapat berakibatkan agar masyarakat mengetahui bahwa telah terjadi upacara pernikahan. Sedangkan syarat-syarat perkawinan yang sebagaimana disebutkan dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974
tentang
Perkawinan
merupakan
commit to user 55
syarat-syarat
untuk
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
melangsungkan perkawinan guna lebih menjamin tercapainya tujuan perkawinan. Mengenai
ketentuan
sahnya
suatu
perkawinan
diatur
dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu dalam Pasal
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya Penjelasan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat dari perkawinan yang sah. Undang-undang Perkawinan menyatakan bahwa anak yang lahir diluar kawin hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya saja. Artinya, si anak tidak mempunyai hubungan hukum terhadap ayahnya, baik yang berkenaan dengan biaya kehidupan dan pendidikannya maupun warisan. Bagi mereka yang tunduk kepada hukum perdata, atas persetujuan ibu, seorang bapak dapat melakukan Pengakuan Anak. Pengakuan Anak merupakan pengakuan yang dilakukan oleh bapak atas anak yang lahir di luar perkawinan yang sah menurut hukum. Pada dasarnya, pengakuan anak bisa dilakukan baik oleh ibu maupun bapak, tetapi karena berdasarkan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang pada intinya menyatakan bahwa anak yang lahir di luar perkawinan tidak mempunyai hubungan perdata dengan ayahnya, maka untuk mendapatkan hubungan perdata yang baru, seorang ayah dapat melakukan Pengakuan Anak. Meski ada ketentuan yang memungkinkan seorang laki-laki atau bapak melakukan pengakuan anak, namun pengakuan itu hanya bisa dilakukan dengan persetujuan ibu. Anak sah adalah anak yang dilahirkan ketika kedua orang tuanya terikat dalam suatu perkawinan yang sah. Anak sah sama dengan anak kandung mendapat posisi yang istimewa dan kuat terhadap kedua orang tuanya bila dibandingkan dengan anak luar kawin atau anak tidak sah. Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang memberikan pengertian tentang anak sah yang bunyinya sebagai berikut :
commit to user 56
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Ketentuan ini menjelaskan bahwa anak yang sah adalah : a. Anak yang dilahirkan dalam dan selama perkawinan b. Kelahirannya harus dari perhubungan perkawinan yang sah c. Dengan demikian bapak dan ibunya yang telah resmi secara terikat dalam suatu perkawinan yang sah. Masalah anak sah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada Pasal 42, Pasal 43 ,dan Pasal 44. Pasal 42 Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Pasal 43 (1) Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya (2) Kedudukan anak tersebut ayat (1) di atas selanjutnya akan diatur dalam peraturan pemerintah. Pasal 44 (1) Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh istrinya bilamana ia dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan anak itu akibat daripada perzinaan tersebut. (2) Pengadilan memberikan keputusan tentang sah atau tidaknya anak atas permintaan pihak yang bersangkutan.
Ketentuan tentang asal-usul anak diatur dalam Pasal 55 UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Disebutkan dalam ketentuan itu, bahwa asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akte kelahiran yang otentik yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang. Apabila akta kelahiran tersebut tidak ada, maka pengadilan dapat mengeluarkan penetapan asal-usul anak setelah diadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat-syarat. Dan berdasarkan
commit to user 57
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ketentuan pengadilan tersebut di atas, maka pegawai pencatat kelahiran yang ada di daerah hukum pengadilan tersebut menerbitkan akta kelahiran anak. Anak luar kawin adalah anak yang dilahirkan di luar pernikahan dan hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya saja.
2. Pengaturan Kedudukan Hukum Anak Luar Kawin di Indonesia menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pasal 284 KUHPerdata menyatakan bahwa suatu pengakuan terhadap anak luar kawin, selama hidup ibunya, tidak akan diterima jika si ibu tidak menyetujui. Sejumlah ketentuan hukum dalam hukum positif di Indonesia menentukan dan mengatur kedudukan hukum anak berdasarkan pada status hukum perkawinan dari kedua orangtuanya. Jika perkawinan tersebut dilakukan dan diakui sah, maka anak yang dilahirkan dari perkawinan itu juga adalah anak yang sah. Anak pada umumnya (baik anak sah maupun anak diluar kawin yang sah menurut hukum memiliki hak-hak keperdataan yang melekat dengan dirinya, oleh karena ia adalah seorang anak (orang). Di dalam KUHPerdata ditentukan dalam Pasal 1 bahwa, menikmati hak perdata tidaklah tergantung pada hak kenegaraan. Berdasarkan pada Pasal 1 KUHPerdata tersebut, hak-hak keperdataan berbeda dari hak-hak kenegaraan, walaupun pada dasarnya hak-hak kenegaraan itu juga mengatur hak-hak keperdataan. Hak-hak keperdataan berada dalam ruang lingkup Hukum Perdata. Hukum Perdata ialah hukum yang mengatur kepentingan antara warga negara yang satu dengan warga negara yang lain. Hak senantiasa berpasangan dengan kewajiban, dan merupakan hubungan hukum. Hak itu memberi kenikmatan dan keleluasaan kepada individu dalam melaksanakannya, sedangkan kewajiban merupakan pembatasan dan beban (Isyana, 2013:48). Hak juga dapat dibedakan atas tidak mutlak dan hak relatif. Salim HS menjelaskan, yang termasuk hak mutlak ialah segala hak publik, yaitu (Isyana, 2013:48) : a. hak menyatakan pikiran dan perasaan, dengan perantaraaa pers; b. hak-hak untuk mengajukan permohonan secara tertulis kepada yang berhak/berwenang;
commit to user 58
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
c. hak untuk memeluk dan menganut agama dan kepercayaannya masingmasing secara bebas. Sedangkan sebagian dari hak-hak keperdataan, yaitu hak-hak yang bersandar pada Hukum Perdata dalam arti objektif, misalnya ialah (Isyana, 2013:48-49) : a. hak-hak
kepribadian
(persoonlijkheidsrechten),
adalah
hak-hak
manusia atas dirinya sendiri, seperti hak-hak manusia atas jiwanya, raganya, kehormatan, nama kecil, dan nama keluarganya; b. hak-hak keluarga (familierechten), adalah hak-hak yang timbul dari hubungan keluarga. Yang termasuk hak-hak keluarga adalah hak marital, yakni kekuasaan suami terhadap istrinya, kekuasaan orang tua terhadap anaknya, dan kekuasaan wali terhadap anaknya, hak pengampu terhadap yang diampunya; c. hak-hak harta benda (vermogensrechten), adalah hak-hak yang mempunyai nilai uang; d. hak-hak kebendaan (zakelijkerechten), adalah hak-hak harta benda yang memberikan kekuasaan langsung atas suatu benda. Kekuasaan langsung berarti, bahwa terdapat sesuatu hubungan langsung antara orang-orang yang berhak atas benda tersebut; e. hak-hak atas barang-barang tak berwujud (rechten opimmateriele gorderen), adalah hak-hak mengenai hasil pemikiran manusia seperti
Hak-hak keluarga (familierechten) sebagai bagian penting yang akan menjelaskan kedudukan dan status hukum anak di luar perkawinan yang sah, karena berpangkal tolak dari perlindungan hukum terhadap orang-perorangan yang tidak dimulai dari status hukumnya apakah sebagai anak sah atau anak tidak sah. Hukum memberikan perlindungan terhadap orang-perseorangan tanpa terkecuali. Perlindungan diberikan oleh hukum ditemukan dalam konsepsi ketentuan peraturan Perundang-undangan orang bertolak dari ketentuan konstitusional berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik
commit to user 59
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak
1)).
Berdasarkan Pasal 280 KUHPerdata, seorang anak luar kawin akan memiliki hubungan keperdataan dengan orang tuanya apabila telah diakui secara sah. Dengan demikian, apabila seorang anak luar kawin tidak diakui oleh orang tuanya, maka ia tidak akan memiliki hubungan keperdataan baik dengan bapak maupun ibu biologisnya. Namun, menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan kedudukan anak luar kawin demi hukum memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya dan keluarga ibunya, sebagaimana diatur dalam Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Hanya saja, dalam ayat (2) disebutkan bahwa Kedudukan anak luar kawin tersebut akan diatur lebih lanjut dalam suatu peraturan pemerintah yang sampai sekarang belum diundangkan oleh pemerintah. Dengan demikian, berdasarkan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka berlakulah ketentuan yang lama dalam hal ini KUHPerdata. Sehingga kedudukan anak luar kawin secara hukum setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tetap diperlukan suatu pengakuan untuk menciptakan hubungan keperdataan antara seorang anak luar kawin dengan orang tuanya. Ketentuan mengenai pengakuan anak luar kawin diatur dalam KUHPerdata, Pasal 280 menyatakan bahwa dengan pengakuan yang dilakukan terhadap anak luar kawin, timbullah hubungan perdata antara si anak dan bapak atau ibunya. KUHPerdata juga memungkinkan seorang bapak melakukan pengakuan anak pada saat atau setelah perkawinan dilangsungkan. Seperti yang ditetapkan dalam Pasal 273, yang menyatakan bahwa anak yang dilahirkan di luar kawin, selain karena perzinahan atau dosa darah, dianggap sebagai anak sah, apabila bapak dan ibunya itu kemudian menikah, dan sebelum perkawinan diselenggarakan, anak tersebut diakui oleh bapak ibunya. Ketentuan lain mengenai pengakuan anak luar kawin diatur dalam Pasal 281 sampai dengan 286.
commit to user 60
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pengakuan Anak dapat dituangkan antara lain dalam Akta Notaris atau pada Akta Kelahiran atau Akta yang dibuat oleh Pejabat Catatan Sipil (di luar pengadilan). Atau dimungkinkan pula dengan Akta Perkawinan sendiri. Pengakuan Anak tidak dapat dilakukan tanpa adanya persetujuan dari ibu yang bersangkutan. Syarat-Syarat pembuatan akte pengakuan adalah : a. Fotokopi KTP kedua orang tua b. Kartu keluarga c. Akte Kelahiran anak luar kawin d. Surat pernyataan dari yang bersangkutan bahwa tidak terikat perkawinan dan anak yang diakui adalah anak mereka.
3. Pengaturan Kedudukan Hukum Anak Luar Kawin di Indonesia menurut Hukum Islam Mengetahui status hukum seorang anak dapat dilihat dari Pasal 103 Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi : (1) Asal usul seorang anak yang dapat dibuktikan dengan kelahirannya. (2) Bila akta kelahiran atau alat bukti lainnya tersebut dalam ayat (1) tidak ada, maka Pengadilan Agama dapat mengeluarkan penetapan tentang asalusul seorang anak setelah mengadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti yang sah. (3) Atas dasar ketetapan Pengadilan Agama tersebut ayat (2), maka instansi Pencatatan Kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan Agama tersebut mengeluarkan akta kelahiran bagi anak yang bersangkutan. Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam mengemukakan bahwa : Anak yang sah adalah: a. Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah. b. Hasil pembuahan suami isteri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut. Anak yang lahir diluar perkawinan yang sah, seperti yang tercantum
commit to user 61
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga Disamping itu dijelaskan juga tentang status anak dari perkawinan seorang laki-laki dengan perempuan yang dihamilinya sebelum pernikahan. Sebagaimana yang tercantum pada Pasal 53 ayat (3) Kompilasi Hukum Islam : Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan setelah anak yang dikandung lahir Begitu juga dalam Pasal 75 huruf (b) Kompilasi Hukum Islam dijelaskan tentang status anak dari perkawinan yang dibatalkan, yang berbunyi -anak yang d
. Sedangkan dalam Pasal 162
Kompilasi Hukum Islam dijelaskan tentang satus anak
(sebagai akibat
pengingkaran suami terhadap janin dan/atau anak yang dilahirkan isterinya). Dengan
demikian,
jelas
bahwa
Kompilasi
Hukum
Islam
tidak
mengelompokkan pembagian anak secara sistematis yang disusun dalam satu bab tertentu, sebagaimana pengklasifikasian yang tercantum dalam UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Penjelasan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut dijelaskan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dan atau sebagai akibat perkawinan yang sah . Yang termasuk dalam kategori Pasal ini adalah : 1. Anak yang dilahirkan oleh wanita akibat suatu perkawinan yang sah. 2. Anak yang dilahirkan oleh wanita didalam ikatan perkawinan dengan tenggang waktu minimal 6 (enam) bulan antara peristiwa pernikahan dengan melahirkan bayi. 3. Anak yang dilahirkan oleh wanita didalam ikatan perkawinan yang waktunya kurang dari kebiasaan kehamilan tetapi tidak di ingkari kelahirannya oleh suami. Karena itu untuk mendekatkan pengertian
kawin
diuraikan pendekatan berdasarkan terminology yang tertera didalam kitab fiqih, yang dipadukan dengan ketentuan yang mengatur tentang status anak yang tertera dalam Pasal-Pasal Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Hasanayn Muhammad Makluf
commit to user 62
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
membuat terminology anak zina sebagai anak yang dilahirkan sebagai akibat hubungan suami isteri yang tidak sah. Hubungan suami isteri yang tidak sah
orang yang tidak terikat tali pernikahan yang memenuhi unsur rukun dan syarat nikah yang telah ditentukan. Selain itu, hubungan suami isteri yang tidak sah tersebut dapat terjadi atas dasar suka sama suka ataupun karena perkosaan, baik yang dilakukan oleh orang yang sudah menikah ataupun belum menikah. Meskipun istilah
masyarakat, namun Kompilasi Hukum Islam tidak mengadopsi istilah tersebut untuk dijadikan sebagai istilah khusus didalamnya. Hal tersebut bertujuan agar
celaan masyarakat dan lain sebagainya, dengan menyandangkan dosa besar (berzina) ibu kandungnya dan ayah alami (genetik) anak tersebut kepada dirinya, sekaligus untuk menunjukan identitas islam tidak mengenal adanya dosa warisan. Untuk lebih mendekatkan makna yang demikian , Pasal 44 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan hanya bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzina dan kelahiran anak itu akibat dari perbuatan zina tersebut. Dalam Kompilasi Hukum Islam kalimat yang mempunyai makna nisi yang dikemukakan oleh Hasanayn diatas,
terdapat pada Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam, yang menyebutkan bahwa
Semakna dengan ketentuan tersebut, Pasal 186 Kompilasi Hukum Islam menyatakan
Berdasarkan defenis
commit to user 63
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
yang janin/pembuahannya merupakan akibat dari perbuatan zina, ataupun anak yang dilahirkan diluar perkawinan, sebagai akibat dari perbuatan zina. Menurut penulis anak yang lahir dilahirkan dari hasil perkawinan siri dapat mempunyai hubungan nasab dengan ibu dan ayahnya karena
miitsaqon gholiidhon untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya
calonn isteri, wali nikah, dua orang saksi dan ijab serta qabul apabila syarat tersebut diatas sudah terpenuhi maka perkawinan dianggap sah menurut hukum Islam dan anak yang dilahirkan dapat memiliki hubungan nasab hal ini dikarenakan didalam hukum Islam tidak ada ketentuan bahwa suatu perkawinan harus tercatat di suatu lembaga/badan tertentu. Namun hal ini berbeda dengan anak hasil zina karena tidak melalui perkawinan sah menurut hukum Islam maka sesuai ketentuan hukum Islam anak yang lahir di luar perkawinan atau anak zina hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya.
4. Pengaturan Kedudukan Hukum Anak Luar Kawin di Indonesia menurut Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor. 46/PUUVIII/2010. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor. 46/PUU-VIII/2010 atas perkara permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, memutuskan dalam Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan perkawinan hanya mempunyai h
Anak yang
dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan kelua
commit to user 64
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pasca putusan MK ini, anak luar kawin merasa berhak atas warisan ayahnya. Di ke depannya tentu akan timbul banyak gugatan ke pengadilan agama (Islam) dan pengadilan negeri (non-Islam) dari anak luar kawin. Menanggapi Putusan MK terhadap Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, H.M. Akil Mochtar berpendapat Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun tentang Perkawinan mengatur tentang anak luar kawin .Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
tidak
menyangkal
ketentuan-ketentuan
hukum
agama
sebagaimana ditegaskan dalam penjelasan umum angka 3, sehingga bagi yang beragama Islam, implementasinya tidak boleh ada yang bertentangan dengan prinsip1974
Apabila Pasal 43 Undang-Undang Nomor 1 Tahun tentang
Perkawinan
dihubungkan
Pasal
42
Undang-Undang
tersebut, maka dapat ditarik pengertian bahwa anak luar kawin bukan merupakan anak yang sah. Disamping itu, anak luar kawin hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan ibunya dan keluarga ibunya. Konsep ini sejalan dengan konsep Hukum Islam dan hukum adat pada umumnya. Agama Islam menganut prinsip bahwa setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah sehingga tidak ada alasan untuk membeda-bedakan setiap anak yang lahir, termasuk anak luar kawin sekalipun. Putusan MK tersebut, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Pasal 10 ayat (1) huruf a menegaskan bahwa salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah Konstitusi adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar. Sekalipun Pasal 1917 Burgerlijk Wetboek juncto. Pasal 21 AB menegaskan bahwa putusan pengadilan hanya mengikat pihak-pihak yang bersangkutan dan tidak mengikat hakim lain yang akan memutus perkara yang serupa, namun ketentuan ini tidak dapat diberlakukan bagi putusan Mahkamah Konstitusi sebab substansi putusan MK tersebut bersifat umum yakni berupa pengujian suatu ndang-undang terhadap UUD 1945, karena itu putusan MK tentang
commit to user 65
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
anak luar kawin (Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010) tersebut pada dasarnya mengikat semua warga negara. Namun karena Negara juga menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 29 ayat (2) UUD 1945, maka putusan MK dimaksud harus dibaca spiritnya sebagai Payung Hukum Untuk Perlindungan Terhadap Anak Dan Tidak Menyangkal Lembaga Perkawinan Yang Sah
sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 juncto. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo. INPRES Nomor. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Karena itu perlindungan terhadap anak diluar perkawinan harus dilaksanakan secara proporsional yakni dikembalikan kepada peraturan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan adat istiadat setempat dengan tidak menepikan hukum agama yang bersangkutan. Menurut H.M. Akil Mochtar , putusan MK tersebut hendaknya tidak dibaca sebagai pembenaran terhadap hubungan diluar kawin dan tidak bertentangan dengan Pasal 1 dan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Adapun yang berkaitan dengan kewarisan misalnya, maka hak keperdataannya tidak bisa diwujudkan dalam bentuk konsep waris Islam tapi dalam bentuk lain misalnya dengan konsep wasiyat wajibah. Demikian pula yang berkaitan dengan nafkah/ biaya penghidupan anak, tidak diwujudkan dalam nafkah anak sebagaimana konsep hukum Islam, melainkan dengan bentuk kewajiban lain berupa penghukuman terhadap ayah biologisnya untuk membayar sejumlah uang/ harta guna keperluan biaya hidup anak yang bersangkutan sampai dewasa. Sebab ketentuan tentang nafkah anak dan waris itu berkaitan dengan nasab, padahal anak luar kawin tidak bisa dinasabkan pada ayah biologisnya.
Inilah yang memicu timbulnya protes
terhadap putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 sebab putusan tersebut mengesankan adanya pertalian nasab antara anak luar kawin dengan ayah biologisnya. Andai kata dalam putusan tersebut ada penegasan bahwa nasab
commit to user 66
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
anak dikembalikan pada hukum agamanya, niscaya tidak menimbulkan kontroversi. Menurut pendapat Akil Mochtar, dalam pengujian Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, MK berpendapat bahwa pencatatan perkawinan bukanlah merupakan faktor yang menentukan sahnya perkawinan. Sahnya perkawinan adalah bila telah dilakukan sesuai dengan syarat-syarat yang ditentukan oleh agama dari masing-masing pasangan calon mempelai; dan pencatatan merupakan kewajiban administratif yang diwajibkan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain, MK berpendapat bahwa perkawinan sirri juga merupakan perkawinan yang sah. Tidak dicatatkannya suatu perkawinan dalam catatan administratif negara, tidak lantas menjadikan perkawinan tersebut tidak sah. Terdapat permasalahan sebagai akibat dari tidak dicatatnya perkawinan dalam catatan administratif negara. Salah satu akibatnya adalah terhadap hubungan hukum antara si Bapak dan anak yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak dicatat. Anak tersebut tidak serta merta bisa mencantumkan nama lelaki sebagai Bapaknya dalam akta kelahirannya. Dengan kata lain, dalam praktek anak yang lahir dalam perkawinan sirri digolongkan pada anak luar kawin. Dengan diakuinya perkawinan yang sesuai dengan ajaran agama masing-masing mempelai namun tidak dicatatkan sebagai suatu perkawinan yang sah maka seharusnya anak yang lahir dari perkawinan tersebut termasuk sebagai anak sah. Namun kenyataannya, anak itu digolongkan sebagai anak luar kawin. Berkaitan dengan kondisi diatas, MK dalam melakukan penafsiran atas Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
hukum yang adil terhadap status seorang anak yang dilahirkan dan hak-hak yang ada padanya, termasuk terhadap anak yang dilahirkan meskipun
Pendapat ini sejalan dengan Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on didaftar segera setelah
commit to user 67
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
lahir dan akan mempunyai hak sejak lahir atas nama, hak untuk memperoleh suatu kebangsaan dan sejauh mungkin, hak untuk mengetahui dan diasuh oleh Kemudian, Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak juga mengatur bahwa
a orang tuanya akan memperjelas status serta hubungan antara anak dengan orang tuanya. Penulis berpendapat bahwa dengan adanya putusan MK tersebut maka setiap anak yang lahir dari perkawinan yang tidak sah mempunyai kesempatan yang sama dengan anak-anak yang lahir dari perkawinan yang sah untuk memperoleh hak serta status hukum yang sama. Hal ini sejalan dengan apa yang tercantum dalam Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 yang anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak .
5. Pengaturan Kedudukan Hukum Anak Luar Kawin di Indonesia menurut Undang-undang Terkait di Indonesia. Pasal 4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi Seorang anak (orok/bayi) yang masih dalam kandungan dianggap oleh hukum telah dilahirkan (ada) jika dilahirkan dalam keadaan hidup. Pengakuan hukum seperti ini berkaitan dengan kepentingan hukum di anak itu sendiri, misalnya dalam kaitannya dengan kewarisan. Perlindungan hukum terhadap anak dalam kandungan tersebut di atas, semakin mendapat tempat dalam perumusan hukum di Indonesia, misalnya ditemukan dalam sejumlah
commit to user 68
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
peraturan Perundang-undangan antara lainnya dalam Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tent manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalahdemi kepentingannya (Pasal 1 Angka 5). Rumusan yang serupa ditemukan pula dalam Pasal 4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Undang-Undang Nomor
yang belum berusia 13 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandu
Pasal 1 Angka 1). Status hukum anak dalam kandungan:
yang diberikan hak oleh hukum sebagaimana diuraikan di atas, lebih menegaskan adanya hak anak dari pada kewajiban anak, oleh karena kedudukan dan segala keterbatasannya, karena ia anak (dalam kandungan). Anak
dalam
kandungan
tersebut
dalam
situasi
dan
kondisi
serta
keterbatasannya mulai dilekatkan hak padanya oleh hukum sekaligus menjadi bagian dari perlindungan hukum. Sementara itu, kewajiban belum melekat pada anak dalam kandungan, mengingat persoalan dan prioritas utamanya ialah bagaimana ia dapat hidup dan melanjutkan kehidupannya kelak, baik sebagai anak dalam kandungan (orok), anak, remaja, dewasa dan seterusnya. Permasalahan yang mengemuka dalam status hukum dan perlindungan hukum terhadap anak, lebih menonjol dan menjadi penting berkaitan dengan statusnya sebagai anak di luar perkawinan yang sah, karena secara administratif dan secara hukum, tidak ada suatu perkawinan berdasarkan pranata perkawinan yang sah yang menjadi dasar hukum keabsahan perkawinan kedua orang tuanya. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013, Perubahan atas UndangUndang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, mengatur perihal: pencatatan pengakuan anak dan pencatatan pengesahan anak. Kedua aspek ini merupakan bentuk prosedural yang bersifat administratif yang bertolak dari arti pentingnya pencatatan, baik pencatatan pengakuan anakmaupun pencatatan pengesahan anak.
commit to user 69
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013, Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, ditentukan bahwa pencatatan pengakuan anak (Pasal 49) bersambungan dengan pencatatan pengesahan anak (Pasal 50). Penjelasan atas Pasal 49 ayat
pengakuan seorang ayah terhadap anaknya yang lahir di luar ikatan perkawinan sah atas persetujuan ibu kandung anak tersebut. Berdasarkan pada penjelasan Pasal 49 ayat (1) tersebut, maka pengakuan anak merupakan pengakuan terhadap anak di luar kawin menjadi anak sah sepanjang disetujui bersama kedua orang tuanya. Menurut penjelasan Pasal 49 ayat (2) yang berisi Pengakuan anak hanya berlaku bagi anak yang orang tuanya telah melaksanakan perkawinan sah menurut hukum agama, tetapi belum sah menurut hukum Menurut pendapat penulis, dengan adanya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013, Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan , dapat dipahami bahwa anak yang lahir diluar perkawinan yang sah dapat memperoleh status hukum dari ayahnya dengan adanya pengakuan namun hal ini hanya berlaku untuk anak yang lahir dari perkawinan yang sudah sah menurut agama walaupun belum sah menurut Negara sehingga hal ini tidak berlaku terhadap anak hasil zina.
B. Akibat Hukum Terhadap Status Anak luar kawin Menurut Hukum di Indonesia Setiap anak yang dilahirkan ke dunia memiliki fitrah yang sama sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Pasal 28 B ayat (2) Undang-Undang
tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan
disandang oleh setiap anak, tidak terkecuali apakah dia sebagai anak yang sah dungan dari
commit to user 70
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
prinsipnya melarang adanya pengelompokan status terhadap seorang anak, karena dengan adanya status dan kedudukan anak yang berbeda dimata hukum sesungguhnya negara telah melakukan diskriminasi terhadap anak yang menjadi warganya (Witanto, 2012:235-236). Berdasarkan Pasal 28 B ayat (2) dan Pasal 28 D ayat (1) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa tidak ada yang menyatakan bahwa ketentuan tersebut hanya berlaku bagi anak yang sah atau anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah, atau setidaknya mengandung pengertian bahwa anak di luar kawin tidak termasuk anak yang dilindungi oleh aturan-aturan di atas (Witanto, 2012:236). Dimana bunyi Pasal 28 D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
tersebut
Jika dilihat dari bunyi Pasal tersebut tidak ada yang menyatakan bahwa ketentuan tersebut hanya berlaku bagi anak yang sah atau anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah, atau setidaknya mengandung pengertian bahwa anak diluar perkawinan yang tidak sah tidak termasuk anak yang di lindungi oleh aturan-aturan di atas. Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap anak yang lahir dari perkawinan yang tidak sah yaitu bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta ayah biologisnya selama dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi misalnya tes DNA, yang menurut hukum mempunyai hubungan darah dengan ayahnya termasuk juga hubungan perdata dengan keluarga ayah biologisnya tersebut. Hubungan perdata tersebut meliputi alimentasi, hak waris dan nasab. alimentasi penghidupan. Pengertian alimentasi sama dengan pengertian hadhanah dalam hukum Islam, sehingga dapat diartikan sebagai suatu hak dan kewajiban secara timbal balik antara anak dan orang tua untuk melakukan pemeliharaan dan pemberian penghidupan yang layak dan wajar sesuai dengan kemampuan
commit to user 71
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
yang dimilikinya. Hak dan kewajiban alimentasi sebagai bagian dari kekuasaan orang tua terhadap anaknya (Witanto, 2012:263-264). Sejak keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut seorang anak melalui putusan pengadilan berhak untuk mendapatkan biaya pemeliharaan dan pendidikan dari ayah biologisnya seperti halnya ia juga memiliki kewajiban itu terhadap anak sahnya. Seorang anak berhak dan terbuka peluang untuk membuktikan seorang laki-laki yang mereka tunjuk adalah ayah yang telah membenihkannya. Jika berdasarkan putusan pengadilan seorang laki-laki dinyatakan terbukti sebagai ayah biologis si anak, maka secara hukum si lakilaki tersebut sejak saat keluarnya putusan pengadilan itu akan memiliki kewajiban untuk memberikan alimentasi kepada anak biologisnya dalam bentuk biaya pemeliharaan dan biaya pendidikan (Witanto, 2012:270-271). Pengakuan anak yang telah dilakukan oleh orang tua biologis tidak hanya berakibat pada munculnya hak waris bagi si anak terhadap ayah atau ibunya, namun juga dapat menimbulkan hak waris bagi si ayah atau ibunya terhadap anak tersebut jika si anak lebih dulu meninggal daripada ayah dan ibunya. Misalnya setelah terjadi pengakuan lalu si anak meninggal dan meninggalkan harta sedang ia tidak meninggalkan suami/isteri serta keturunan yang sah, maka harta peninggalannya itu akan jatuh ke tangan si ayah atau ibu yang telah mengakuinya, dan jika ayah dan ibu si anak keduanya telah melakukan pengakuan, maka harta peninggalan itu akan menjadi bagian masing-masing setengahnya. Pada suatu kasus di Bandung pria dan wanita bernama Alex Gunardi dan Sandra Halim telah melakukan hubungan layaknya suami isteri sejak tahun 1978. Dari hubungan tersebut telah dihasilkan 2 orang anak. Namun anak tersebut tidak memiliki status hukum yang kuat karena kedua orangtuanya tidak melakukan perkawinan yang sah menurut ketentuan hukum. Pasangan tersebut akhirnya melakukan perkawinan secara agama Kristen di Singapura pada tanggal 6 Juni 2014 yang dikuatkan dengan Akta Nikah Nomor : 069/GBI-MTH-AN/2014. selanjutnya pernikahan secara agama tersebut ditindaklanjuti dengan segala legalitas formil sebagaimana dibuktikan
commit to user 72
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
oleh Surat Bukti Pelaporan Perkawinan Diluar Negeri Nomor : 474.2/05/BPP/ 2014 tertanggal 18 Juli 2014 yang diterbitkan oleh Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Bandung jo Certuficate of Mariage dari Registry of Mariage Singapore Nomor : 946725 tanggal 10 Juli 2014 jo Petikan dari Buku Daftar Perkawinan dari Kedutaan Besar Republik Indonesia di Singapura Nomor : 0168/KONS-SPP/VII/14 tanggal 10 Juli 2014. Setelah memperoleh status perkawinan yang sah pasangan tersebut mengajukan permohonan kepada Pengadilan Negeri Bandung untuk menetapkan kedua anak hasil hubungan pasangan tersebut sebagai anak yang sah dari hasil perkawinan tersebut. Setelah dibuktikan dengan pengakuan suami dan diperkuat oleh hasil tes DNA yang akurat maka maka dengan mengingat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 46/PUU-VIII/2010 tanggal 13 Februari 2012 yang menguji Pasal 43 ayat (1) Undang-undang Perkawinan, Pengadilan berpendapat bahwa permohonan para pemohon telah cukup alasan untuk dikabulkan sehingga Hakim membuat Penetapan Nomor
:
519/Pdt.P/2015/PN.Bdg yang menyatakan bahwa anak tersebut merupakan anak yang sah dari pasangan Alex Gunardi dan Sandra Halim. Kasus yang terjadi di Pengadilan Negeri Jakarta Timur dimana Yuan Purnama Singal Warga Negara Indonesia telah melakukan hubungan layaknya suami isteri dengan Michael Robert Crosetti Warga Negara Amerika dan dari hubungan tersebut telah dilahirkan seorang anak. Setelah dilakukan tes DNA yang menyatakan bahwa anak tersebut merupakan anak biologis dari Michael Robert Crosetti dan dikuatkan dengan pengakuan yang telah dilegalisasi oleh Notaris . Setelah melakukan pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur menetapkan melalui Penetapan No.175/Pdt.P/2015/PN.JKT.TIM bahwa anak tersebut merupakan anak luar kawin dari pasangan tersebut, kemudian Hakim juga menetapkan bahwa anak tersebut merupakan anak biologis dari Michael Robert Crosetti atas dasar pengakuan. Kasus di Cilacap para pemohon adalah Siti Nurhayati dan Govinda Raju Warga Negara Malaysia yang telah melakukan perkawinan secara sah pada tahun 2010. Namun sebelum melakukan perkawinan pasangan tersebut
commit to user 73
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
telah menghasilkan seorang anak luar kawin yang lahir pada tahun 2006 sehingga status anak tersebut masih sebagai anak seorang perempuan. Karena kurang tahunya para pemohon pada saat melakukan perkawinan para pemohon tidak mengakui dan mengesahkan secara langsung anak luar kawin para pemohon tersebut sebagai anak sah para pemohon. Maka dari itu para pemohon bermaksud untuk mengakui dan mengesahkan anak luar kawin tersebut sebagai anak sah para pemohon. Kemudian Hakim Pengadilan Negeri Cilacap melalui Penetapan Nomor : 29/ PDT. P/ 2011 / PN. CLP menyatakan bahwa anak luar kawin tersebut adalah anak yang sah dari para pemohon dengan pertimbangan surat pengakuan dari Govinda Raju selaku bapak dari anak tersebut. Jika seorang anak telah dihukumkan sebagai anak yang lahir di luar perkawinan yang sah sebagaimana disebutkan diatas, maka terdapat beberapa akibat hukum menyangkut hak dan kewajiban antara anak, ibu yang melahirkannya dan ayah/bapak alaminya (genetiknya), yaitu : a. Hubungan Nasab Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam sebagaimana yang telah dikemukakan, dinyatakan bahwa anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya saja. Hal demikian secara hukum anak tersebut sama sekali tidak dapat dinisbahkan kepada ayah/bapak alaminya, meskipun secara nyata ayah/bapak alami (genetik) tersebut merupakan laki-laki yang menghamili wanita yang melahirkannya itu. Meskipun secara sekilas terlihat tidak manusiawi dan tidak berimbang antara beban yang diletakkan di pundak pihak ibu saja, tanpa menghubungkannya dengan laki-laki yang menjadi ayah genetik anak tersebut, namun ketentuan demikian dinilai menjunjung tinggi keluhuran lembaga perkawinan, sekaligus menghindari pencemaran terhadap lembaga perkawinan. b. Nafkah Oleh karena status anak tersebut menurut hukum hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya semata,
commit to user 74
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
maka yang wajib memberikan nafkah anak tersebut adalah ibunya dan keluarga ibunya saja. Sedangkan bagi ayah/bapak alami (genetik), meskipun anak tersebut secara biologis merupakan anak yang berasal dari spermanya, namun secara yuridis formal sebagaimana maksud Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam diatas, tidak mempunyai kewajiban hukum memberikan nafkah kepada anak tersebut. Hal tersebut berbeda dengan anak sah. Terhadap anak sah, ayah wajib memberikan nafkah dan penghidupan yang layak seperti nafkah kesehatan, pendidikan dan lain sebagainya kepada anak-anaknya, sesuai dengan penghasilannya, sebagaimana ketentuan Pasal 80 ayat (4) Kompilasi Hukum Islam, dalam hal ayah dan ibunya masih terikat tali perkawinan. Apabila ayah dan ibu anak tersebut telah bercerai, maka ayah tetap dibebankan memberi nafkah kepada anak-anaknya sesuai dengan kemampuannya, sebagaimana maksud Pasal 105 huruf (c) dan Pasal 156 huruf (d) Kompilasi Hukum Islam. Meskipun
dalam
kehidupan
masyarakat
ada
juga
ayah
alami/genetik yang memberikan nafkah kepada anak yang demikian,maka hal tersebut pada dasarnya hanyalah bersifat manusiawi, bukan kewajiban yang dibebankan hukum sebagaimana kewajiban ayah terhadap anak sah. Oleh karena itu secara hukum anak tersebut tidak berhak menuntut nafkah dari ayah/bapak alami (genetiknya). c. Hak
Hak Waris Sebagai akibat lanjut dari hubungan nasab seperti yang
dikemukakan, maka anak tersebut hanya mempunyai hubungan warismewarisi dengan ibunya dan keluarga ibunya saja, sebagaimana yang ditegaskan pada Pasal diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewarisi dengan
tersebut secara hukum tidak mempunyai hubungan hukum saling mewarisi dengan ayah/bapak alami (genetiknya). d. Hak Perwalian
commit to user 75
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Apabila dalam satu kasus bahwa anak yang lahir akibat darti perbuatan zina (diluar perkawinan)tersebut ternyata wanita, dan setelah dewasa anak tersebut akan menikah, maka ayah/bapak alami (genetiknya) tidak berhak atau tidak sah menjadi wali niksahnya, sebagaimana ketentuan wali nikah dalam Pasal 19 Kompilasi Hukum Islam : 1) Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya. 2) Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni Muslim, aqil dan baligh. 3) Ketentuan hukum yang sama sebagaimana ketentuan hukum terhadap anak luar kawin tersebut, sama halnya dengan status hukum semua anak yang lahir diluar pernikahan yang sah sebagaimana disebutkan diatas.
Anak luar kawin yang diakui secara sah adalah salah satu ahli waris menurut Undang-undang yang diatur dalam KUHPerdata berdasarkan Pasal 280 juncto Pasal 863 KUHPerdata. Anak luar kawin yang berhak mewaris tersebut merupakan anak luar kawin dalam arti Sempit, mengingat doktrin mengelompokkan anak tidak sah dalam 3 (tiga) kelompok, yaitu anak luar kawin, anak zina, dan anak sumbang, sesuai dengan penyebutan yang diberikan oleh pembuat Undang-undang dalam Pasal 272 jo 283 KUHPerdata (tentang anak zina dan sumbang). Anak luar kawin yang berhak mewaris adalah sesuai dengan pengaturannya dalam Pasal 280 KUHPerdata. Pembagian seperti tersebut dilakukan, karena undang-undang itu sendiri, berdasarkan ketentuan-ketentuan yang ada, memang memberikan akibat hukum lain-lain (sendiri-sendiri) atas status anak-anak seperti tersebut di atas. Sekalipun anak zina dan anak sumbang sebenarnya juga merupakan anak luar kawin dalam arti bukan anak sah, tetapi kalau dibandingkan dengan Pasal 280 dengan Pasal 283 KUHPerdata, dapat diketahui anak luar kawin menurut Pasal 280 dengan anak zina dan anak sumbang yang dimaksud dalam Pasal 283 adalah berbeda.
commit to user 76
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Berdasarkan ketentuan Pasal 283, dihubungkan dengan Pasal 273 KUHPerdata, bahwa anak zina berbeda dengan anak sumbang dalam akibat hukumnya. Terhadap anak sumbang, Undang-undang dalarn keadaan tertentu memberikan perkecualian, dalam arti, kepada mereka yang dengan dispensasi diberikan kesempatan untuk saling menikahi (Pasal 30 ayat (2) KUHPerdata) dapat mengakui dan mengesahkan anak sumbang mereka menjadi anak sah (Pasal 273 KUHPerdata). Perkecualian seperti ini tidak diberikan untuk anak zina. Perbedaan antara anak luar kawin dan anak zina terletak pada saat pembuahan atau hubungan badan yang menimbulkan kehamilan, yaitu apakah pada saat itu salah satu atau kedua-duanya (maksudnya laki-laki dan perempuan yang mengadakan hubungan badan di luar kawin) ada dalam ikatan perkawinan dengan orang lain atau tidak, sedangkan mengenai kapan anak itu lahir tidak relevan. Anak zina adalah anak-anak yang dilahirkan dari hubungan luar kawin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan di mana salah satu atau kedua-duanya, terikat perkawinan dengan orang lain. Adapun anak sumbang adalah anak-anak yang dilahirkan dari hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, yang antara keduanya berdasarkan ketentuan Undang-undang ada larangan untuk saling menikahi (Pasal 31 KUHPerdata). Dengan demikian anak luar kawin dalam arti sempit adalah anak yang dilahirkan dari hasil hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, yang kedua-duanya tidak terikat perkawinan dengan orang lain dan tidak ada larangan untuk saling menikahi, anak-anak yang demikianlah yang bisa diakui secara sah oleh ayahnya (Pasal 280 KUHPerdata). Hubungan antara ibu dan anak terjadi dengan sendirinya karena kelahiran, kecuali apabila anak itu "overspelig atau bloedsrhenning (anak zinah). Antara ayah dan anak hanya terjadi hubungan perdata karena pengakuan (Pasal 280 KUHPerdata). Pasal 280 KUHPerdata, yang mengatakan; bahwa dengan pengakuan yang dilakukan terhadap seorang anak luar kawin, timbullah hubungan perdata antara anak dan bapak atau ibunya. Hal ini berarti, bahwa antara anak luar kawin dan "ayah" (biologisnya)
commit to user 77
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
maupun "ibunya" pada asasnya tidak ada hubungan hukum. Hubungan hukum itu baru ada kalau "ayah" dan atau "ibunya" memberikan pengakuan, bahwa anak itu adalah anaknya. Dengan demikian, tanpa pengakuan dari ayah dan atau ibunya, pada asasnya anak itu bukan anak siapa-siapa. Ia tidak mempunyai hubungan hukum dengan siapa pun. Melihat prinsip seperti tersebut di atas, dapat disimpulkan, bahwa hubungan hukum antara orang-tua dan anaknya yang sah didasarkan atas adanya hubungan darah antara keduanya. akan tetapi, kalau kita hubungkan dengan anak luar kawin, hubungan hukum antara anak luar kawin dan ayah yang mengakuinya, didasarkan atas hubungan darah melalui suatu pengakuan dengan demikian, hubungan darah dalam hal ini adalah hubungan darah dalam arti yuridis, bukan dalam arti biologis. Kedudukan anak luar kawin di dalam hukum secara realitas adalah lebih rendah dibanding dengan anak sah, dengan pengertian bagian waris yang diterima oleh anak luar kawin lebih kecil dibandingkan dengan anak sah. Selain hal tersebut, anak sah berada di bawah kekuasaan orang tua sebagaimana diatur dalam Pasal 299 KUHPerdata, sedangkan anak luar kawin yang telah diakui secara sah berada di bawah perwalian sebagaimana diatur dalam Pasal 306 KUHPerdata. Untuk dapat menjadi seorang ahli waris KUHPerdata telah menetapkan syarat-syarat sebagai berikut : a. Berdasarkan Pasal 832 KUHPerdata untuk dapat menjadi ahli waris harus memiliki hubungan darah baik sah atau luar kawin. Dimungkinkan menjadi ahli waris melalui pemberian melalui surat wasiat sebagaimana diatur dalam Pasal 874 KUHPerdata. b. Berdasarkan Pasal 836 KUHPerdata Ahli waris, harus sudah ada pada saat pewaris meninggal dunia. Namun, ketentuan ini disimpangi oleh Pasal 2 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan dianggap sebagai telah
dilahirkan, bilamana
kepentingan si anak menghendakinya. Ketentuan Pasal 832 KUHPerdata memperjelas kedudukan masingmasing ahli waris harus didasari oleh suatu hubungan darah baik sah maupun
commit to user 78
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
luar kawin. Dalam hal ini, perlu diidentifikasi lebih lanjut tentang kedudukan anak-anak pewaris sebagai ahli waris. Mengingat dalam suatu pewarisan menurut KUHPerdata dikenal anak luar kawin baik yang diakui secara sah maupun tidak. KUHPerdata tidak menjelaskan lebih lanjut pengertian yang jelas tentang anak luar kawin. KUHPerdata hanya memberikan penjelasan tentang pengertian anak sah sebagaimana diatur dalam Pasal 250 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa anak sah adalah setiap anak yang dilahirkan dan atau dibuahkan dari suatu perkawinan yang sah. Berdasarkan batasan yang diberikan oleh Pasal 250 KUHPerdata dapat ditarik kesimpulan bahwa yang disebut dengan anak luar kawin adalah setiap anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah. Perkawinan siri memang dianggap sah secara agama Islam, karena adanya ijab dan Kabul serta wali nikah dan pengantin sudah cukup umur, namun perkawinan juga harus sah secara hukum Negara. Tanpa adanya pencatatan secara hukum Negara, maka anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut tidak dapat dibuktikan secara hukum merupakan anak sah dari ayahnya. Akibatnya, si anak hanya memiliki hubungan hukum dengan ibu yang melahirkannya. Pengakuan terhadap anak luar kawin, dapat dilakukan dengan : a. Pengakuan sukarela Pengakuan sukarela yaitu : suatu pengakuan yang dilakukan oleh seseorang dengan cara yang ditentukan Undang-undang, bahwa ia adalah bapaknya (ibunya) seorang anak yang telah dilahirkan di luar perkawinan). Dengan adanya pengakuan, maka timbulah hubungan Perdata antara si anak dan si bapak (ibu) yang telah mengakuinya sebagaimana diatur dalam Pasal 280 KUHPerdata. Pengakuan sukarela dapat dilakukan dengan cara-cara yang ditentukan dalam Pasal 281 KUHPerdata, yaitu : (1) Dalam akta kelahiran si anak Menurut Pasal 281 ayat (1) KUHPerdata, untuk dapat mengakui seorang anak luar kawin bapak atau ibunya dan atau kuasanya berdasarkan kuasa otentik harus menghadap di hadapan
commit to user 79
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pegawai catatan sipil untuk melakukan pengakuan terhadap anak luar kawin tersebut. (2) Pengakuan terhadap anak luar kawin dapat pula dilakukan pada saat perkawinan orang tuanya berlangsung yang dimuat dalam akta perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 281 ayat (2). Jo Pasal 272 KUHPerdata. Pengakuan ini akan berakibat si anak luar kawin akan menjadi seorang anak sah. (3) Pengakuan terhadap anak luar kawin dapat dilakukan dalam akta otentik seperti akta notaris sebagaimana diatur dalam Pasal 281 ayat (1) KUHPerdata. (4) Dengan akta yang dibuat oleh pegawai catatan sipil, yang dibutuhkan dalam register kelahiran catatan sipil menurut hari Penanggalannya sebagaimana diatur dalam Pasal 281 ayat (2) KUHPerdata. b. Pengakuan Paksaan Pengakuan anak luar kawin dapat pula terjadi secara paksaan, yakni dapat dilakukan oleh si anak yang lahir di luar perkawinan itu, dengan cara mengajukan gugatan terhadap bapak atau ibunya kepada Pengadilan Negeri, agar supaya anak luar kawin dalam arti sempit itu diakui sebagai anak bapak atau ibunya, ketentuan ini diatur dalam Pasal 287 sampai Pasal289 KUHPerdata. Anak luar kawin yang dapat diakui adalah anak luar kawin dalam arti sempit, yaitu anak yang terlahir dari ibu dan bapak yang tidak terikat perkawinan yang sah baik di antara mereka maupun dengan orang lain (tidak tergolong anak zina atau anak sumbang). Penjelasan KUHPerdata ahli waris yang berhak mewaris dibagi menjadi 4 (empat) golongan, yaitu : 1) Golongan I : Anak, atau keturunannya dan janda/duda, yang jumlah bagiannya ditetapkan di dalam Pasal 852, Pasal 852a, Pasal 852b, dan Pasal 515 KUHPerdata. 2) Golongan
II :
Orang tua
(bapak/ibu), saudara-saudara atau
keturunannya, yang jumlah bagiannya ditetapkan di dalam Pasal 854, Pasal 855, Pasal 856, dan Pasal 857 KUHPerdata.
commit to user 80
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3) Golongan III : Kakek dan nenek, atau leluhur dalam garis lurus terus ke atas, yang jumlah bagiannya ditetapkan di dalam Pasal 853,Pasal 858 ayat (1) KUHPerdata. 4) Golongan IV : Sanak keluarga di dalam garis menyamping sampai tingkat ke-6 yang jumlah bagiannya ditetapkan di dalam Pasal 858 ayat (2), Pasal 861, Pasal 832 ayat (2), Pasal 862, Pasal 863, Pasal 864, Pasal 856 dan Pasal 866 KUHPerdata. Anak luar kawin, secara sederhana, diartikan sebagai anak yang dilahirkan seorang perempuan, sedangkan perempuan itu tidak berada dalam ikatan perkawinan yang sah menurut hukum dan agama dengan pria yang membuahinya. Dalam konsep hukum perdata, anak luar kawin itu bisa lahir dari orang tua yang salah satu atau keduanya terikat dengan perkawinan lain. Artinya, secara hukum, anak tersebut lahir dari hubungan zina. Pasal 44 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memberi wewenang kepada pengadilan untuk memutuskan sah tidaknya seorang anak yang dilahirkan isteri berdasarkan permintaan salah satu atau kedua belah pihak. Kompilasi Hukum Islam menyebutkan seorang perempuan hamil di luar kawin hanya dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya. Jika si pria menikahinya, maka anak yang lahir menjadi anak sah. Pasal 272 KUHPerdata juga menyebutkan demikian. Pengakuan si ayah terhadap anak biologisnya membawa konsekuensi adanya hubungan perdata (Pasal 280 KUHPerdata). Ibu dan/atau ayah dapat meminta ke pengadilan untuk mengesahkan status anak tersebut. Norma hukum anak luar kawin yang sah hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya, membawa konsekuensi antara lain akta kelahiran. Pada kata kelahiran biasanya hanya tertulis nama ibu yang melahirkan. Sekalipun ayah biologis berusaha merebut si anak lewat jalur pengadilan, umumnya pengadilan tetap mengukuhkan hubungan perdata anak dengan ibunya. Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan asal usul anak hanya dapat
commit to user 81
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dibuktikan dengan akta kelahiran yang otentik yang dikeluarkan oleh pejabat berwenang. Hakim Agung Abdul Manan dalam bukunya, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia 2006, menyebutkan hubungan perdata anak luar kawin dengan ayah biologisnya menimbulkan kewajiban timbal balik dalam hal pemberian nafkah, perwalian, hak memakai nama, dan mewaris. Putusan MK menegaskan anak luar kawin mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan bapaknya sekaligusnya. Menurut Mahfud, ketentuan ini berlaku bukan hanya bagi mereka yang kawin siri, melainkan gi mereka yang berzina. Paham hitorical juris prudance disebutkan bahwa hukum bukanlah suatu norma yang dibuat, tapi dia harus tumbuh dan berkembang bersama masyarakat. Dengan demikian maka fungsi sebagai penertib kehidupan sosial masyarakat menjadi hidup seperti dalam paham living law. Perkembangan hukum bukan terletak pada suatu aturan Perundangundangan, putusan pengadilan atau teori hukum, tapi terletak pada masyarakat itu sendiri. Hukum harus dirumuskan dari suatu potret masyarakat sosial, karena hukum harus dapat memecahkan dan menemukan solusi dari suatu permasalahan yang timbul ditengah-tengah masyarakat agar hukum dapat melindungi hak-hak subjek hukum itu sendiri, sehingga hukum tidak lagi hanya merupakan konsep dari suatu keadilan yang asbtrak. Perlindungan hak anak diluar perkawinan yang sah yang lahir dari putusan MK ini sejalan dengan Pasal 7 ayat (1) UndangUndang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak bahwa setiap anak berhak untuk mengetahui orangtuanya, dibesarkan dan diasuh oleh orangtuanya sendiri. Norma baru ini MK membantu negara dan pemerintah dalam pemenuhan Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Anak yang diwajibkan negara dan pemerintah untuk menjamin perlindungan,
commit to user 82
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pemeliharaan dan kesejahteraan anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban orangtua yang sebelumnya telah direduksi oleh Pasal 43 ayat (1) Undang-undang Perkawinan. Seorang ayah tidak dapat lepas lagi dari tanggung jawab keperdataannya dari sang anak meskipun anak tersebut lahir tanpa adanya perkawinan yang sah antara ayah dan ibunya. Hak anak dalam kondisi apapun tidak dapat dikurangi karena hak anak adalah sebagian dari hak asasi manusia atau HAM yang wajib dijamin, dilindungi dan dipenuhi sebagaimana didefinisikan dalam Pasal 1 ayat (12) Undangundang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Berdasarkan sejumlah ketentuan hukum yang mengatur hak untuk hidup setiap orang di atas, merupakan bagian dari jaminan, hukum dan perlindungan hukum terhadap subjek hukum. Perihal subjek hukum ini ialah pendukung hak dan kewajiban menurut hukum, yang mempunyai sejumlah hak yang melekat dan tidak dapat dihilangkan begitu saja. Subjek hukum inilah yang pada hakikatnya tanpa memandang apakah jenis kelaminnya, apakah ia berasal dari suku dan agama mana melainkan karena ia adalah orang. Seorang anak (orok/bayi) yang masih dalam kandungan dianggap oleh hukum telah dilahirkan (ada) jika dilahirkan dalam keadaan hidup. Pengakuan hukum seperti ini berkaitan dengan kepentingan hukum di anak itu sendiri, misalnya dalam kaitannya dengan kewarisan. Perlindungan hukum terhadap anak dalam kandungan tersebut di atas, semakin mendapat tempat dalam perumusan hukum di Indonesia, misalnya ditemukan dalam sejumlah peraturan Perundang-undangan antara lainnya dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak nak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya (Pasal 1 Angka 5). Anak dalam kandungan tersebut dalam situasi dan kondisi serta keterbatasannya mulai dilekatkan hak padanya oleh hukum sekaligus
commit to user 83
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
menjadi bagian dari perlindungan hukum. Sementara itu, kewajiban belum melekat pada anak dalam kandungan,, mengingat persoalan dan prioritas utamanya ialah bagaimana ia dapat hidup dan melanjutkan kehidupannya kelak, baik sebagai anak dalam kandungan (orok), anak, remaja, dewasa dan seterusnya. Permasalahan yang mengemuka dalam status hukum dan perlindungan hukum terhadap anak, lebih menonjol dan menjadi penting berkaitan dengan statusnya sebagai anak di luar kawin, karena secara administratif dan secara hukum, tidak ada suatu perkawinan berdasarkan pranata perkawinan yang sah yang menjadi dasar hukum keabsahan perkawinan kedua orang tuanya. Menurut penulis anak di luar kawin seharusnya berhak untuk mendapat hubungan hukum dengan ayahnya, karena anak dilahirkan dalam keadaan suci, tidak berdosa dan tidak ada anak yang ingin dilahirkan dalam kondisi tersebut. Seharusnya kedua orang tua yang harus menanggung kebutuhan anaknya bukan hanya salah satu saja. Ketika Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dikaitkan pada sejumlah ketentuan konstitusional, jelaslah bertentangan dengan Pasal 28B ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 28D ayat (2) menyatakan etiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang
jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan Pasal 28 D ayat (1)).
commit to user 84