BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A.
Kekuatan Pembuktian Keterangan Saksi Anak Di bawah Umur Dalam penjelasan Pasal 183 KUHAP, dimana syarat pembuktian menurut cara dan alat bukti yang sah, lebih ditekankan pada perumusan yang tertera dalam undang-undang, seseorang untuk dapat dinyatakan bersalah dan dapat dijatuhkan pidana kepadanya, apabila: a) Kesalahannya terbukti dengan sekurang-kurangnya “dua alat bukti”. b) Dan dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah tersebut, hakim akan “memperoleh keyakinan” bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukan suatu tindak pidana. Hari Sasangka dan Lily Rosita memberikan definisi hukum pembuktian adalah sebagian dari hukum acara pidana yang mengatur macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum, sistem yang dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata cara mengajukan alat bukti tersebut serta kewenangan hakim untuk menerima, menolak dan menilai suatu pembuktian.1 Menurut William R. Bell, faktor-faktor yang berkaitan dengan teori pembuktian adalah sebagai beerikut:2 1. Bukti harus relevan atau berhubungan. Oleh karena itu, dalam konteks perkara pidana, ketikan menyidik suatu kasus biasanya polisi
1
Hari Sasangka dan Lily Rosita, Op Cit, Hal: 10
2
William R. Bell, Practical Criminal Investigations in Correctional Facilitis (Boca Raton- New York: CRC Press, 2002), Hal: 115.
26
27
mengajukan pertanyaan-pertanyaan mendasar, seperti apa unsur-unsur kejahatan yang disangkakan? Apa kesalahan tersangaka yang harus di buktikan? Fakta-fakta mana yang harus dibuktikan? 2. Bukti harus dapat dipercaya (reliable). Dengan kata lain, bukti tersebut dapat diandalkan sehingga untuk memperkuat suatu bukti harus didukung oleh bukti-bukti yang lainnya. 3. Bukti tidak boleh didasarkan pada persangkaan yang tidak semestinya. Artinya, bukti tersebut bersifat objektif dalam memberikan informasi mengenai suatu fakta. 4. Dasar pembuktian, yang maksudnya pembuktian haruslah berdasarkan alat bukti yang sah. 5. Berkaitan dengan mencari dan mengumpulkan alat bukti, harus dilakukan dengan cara-cara yang sesuai dengan hukum. Berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang pidana ada beberapa ketentuan yang mengatur mengenai anak yang di antaranya: 1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Merumuskan Anak adalah orang dalam perkara anak nakal yang telah mencapai umur 8 (delapan) tahun, tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah. 2) Anak menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. “anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak masih dalam kandungan.”
28
Sementara itu, Pasal 171 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP)
menyebutkan:
bahwa
yang
boleh
diperiksa
untuk
memberikan keterangan tanpa sumpah ialah: a. Anak yang umurnya belum cukup 15 (lima belas) tahun atau belum kawin b. Orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun ingatanya baik kembali. Menurut ketentuan KUHAP di atas bahwa seorang anak di dalam memberikan keterangan di persidangan apabila belum genap berusia 15 tahun maka saksi anak tersebut tidak perlu disumpah dan karena saksi anak tersebut tidak disumpah maka tidak ada kekuatan pembuktiannya serta keteranganya hanya dapat dijadikan alat bukti tambahan atau sebagai alat bukti petunjuk untuk dapat bisa memperoleh bukti yang sah yang dapat digunakan di dalam persidangan. Pengertian anak menurut hukum pidana lebih diutamakan pada pemahaman terahadap hak-hak anak yang harus dilindungi, karena secara kodrat memiliki subtansi yang lemah dan di dalam system hukum dipandang sebagai subjek hukum yang dicangkokan dari bentuk pertanggungjawaban sebagaimana layaknya seseorang subjek hukum yang normal. Pengertian anak dalam aspek hukum pidana menimbulkan aspek hukum positif terhadap proses normalisasi anak dari perilaku menyimpang untuk membentuk kepribadian dan tanggung jawab yang pada akhirnya menjadikan anak tersebut berhak atas kesejahteraan yang
29
layak dan masa depan yang baik. Pada hakekatnya, kedudukan status pengertian anak dalam hukum pidana meliputi dimensi-dimensi pengertian sebagai berikut:3 i. Ke tidak mampuan untuk pertanggung jawaban tindak pidana. ii. Pengembalian hak-hak anak dengan jalan mensubtitusikan hak-hak anak yang timbul dari lapangan hukum keperdataan, tatanegara dengan maksud untuk mensejahterakan anak. iii. Rehabilitasi, yaitu anak berhak untuk mendapat proses perbaikan mental spiritual akibat dari tindakan hukum pidana yang dilakukan anak itu sendiri. iv. Hak-hak untuk menerima pelayanan dan asuhan. v. Hak anak-anak dalam proses hukum acara pidana. Jika ditilik pada Pasal 45 KUHP maka anak didefinisikan sebagai anak yang belum dewasa apabila belum berumur 16 tahun. Oleh sebab itu jika anak tersebut tersangkut dalam perkara pidana hakim boleh memerintahkan supaya si anak itu dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharaanya dengan tidak dikenakan suatu hukuman, atau memerintahkan supaya diserahkan kepada pemerintah dengan tidak dikenakan sesuatu hukuman. Dengan demikian, di dalam ketentuan hukum pidana telah memberikan perlindungan terahadap anak-anak yang kehilangan kemerdekaan, karena anak dipandang sebagai subjek hukum yang berada pada usia yang belum dewasa sehingga harus tetap dilindungi 3
Maulana Hasan Wadong, 2000, Pengantar Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, Jakarta: Grasindo, Hal: 1.
30
segala kepentingan dan perlu mendapatkan hak-hak yang khusus yang diberikan oleh negara atau pemerintah. Jadi dari berbagi defenisi tentang anak di atas sebenarnya dapatlah diambil suatu benang merah yang menggambarkan apa atau siapa sebenarnya yang dimaksud dengan anak dan berbagai konsekwensi yang diperolehnya sebagi penyandang gelar anak tersebut. Anak dalam pemaknaan umum mendapat perhatian tidak saja dalam bidang ilmu pengetahuan, tetapi dapat ditelaah dari sisi pandang sentralistis kehidupan agama, hukum dan sosiologi yang menjadikan pengertian anak semakin rasional dan aktual dalam lingkungan sosial, sebab anak merupakan anugerah dari Tuhan yang berharga dan tidak dapat dinilai dengan nominal. Dalam praktiknya pada peradilan pidana, keterangan anak korban tindak pidana dapat diakui sebagai saksi korban. Dalam kasus ini, korbannya adalah anak, maka anak tersebut dapat menjadi saksi korban yang walaupun usianya belum 15 tahun dapat disumpah sebagai saksi. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis di Pengadilan Negeri Surakarta dan Pengadilan Negeri Klaten diketahui bahwa kekuatan pembuktian dari keterangan saksi yang masih di bawah umur dapat mengikat apabila di dukung dengan alat bukti yang lain serta keterangan dari saksi tersebut hanya dapat dijadikan alat bukti tambahan serta sebagai alat bukti petunjuk, dimana dalam proses
31
pengambilan keterangan dari saksi tersebut tanpa di sumpah terlebih dahulu seperti layaknya saksi yang telah dewasa.4 Berdasarkan 2 (dua) kasus yang menjadi objek kajian dalam penelitian ini, serta berdasarkan hasil wawancara yang sudah penulis lakukan,
Maka
disini
penulis
berkesimpulan
bahwa
kekuatan
pembuktian dari keterangan saksi seorang anak adalah sebagai berikut: a. Perkara Nomor Register : 61/ PID.SUS / 2012/ PN.Klt. Saksi merupakan anak dibawah umur yang baru berusia 14 tahun yang lahir 20 November 1996 dan masih sekolah di SMP Pangudiluhur Klaten kls 2 dan masih menjadi tanggung jawab orang tuanya serta berkedudukan sebagai korban. Dalam sidang yang digelar pada hari Rabu, tanggal 31 Oktober 2012, saksi Novi Puspita Sari telah memberian keterangan dimuka persidangan dengan didampingi oleh walinya atau orang tuanya. Di dalam proses pengambilan keterangan dari saksi anak tersebut saksi tersebut tanpa disumpah terlabih dahulu, dan keterangan dari saksi nak tersebut hanya dijadikan sebagai alat bukti tambahan atau sebagai alat bukti pendukung alat bukti yang lain yang sah yang digunakan di dalam persidangan. Sementara itu Suparna mengungkapkan bahwa: Seorang yang dihadirkan di dalam muka persidangan hendaknya yang telah dewasa dan/atau cukup umur untuk melakukan pebuatan hukum, namun pada kasus ini saksinya adalah anak-anak sehingga hakim harus mencari alat bukti lain atau saksi lain yang cakap hukum 4
Suparna, Hakim Pengadilan Negeri Klaten, Wawancara Pribadi, Klaten, Jum’at, 08 februari 2013, Pukul 08.30 WIB, dan Bintara, Hakim Pengadilan Negeri Surakarta, Wawancara Pribadi, Surakarta, Kamis, 20 Desember 2012, Pukul 09.00 WIB.
32
dan juga mengetahui perkara yang disidangkan sehingga hakim kemudian menggabungkan alat bukti yang didapat, kemudian digunakan sebagai salah satu pertimbangan hakim dalam mengambil keputusan. 5 Setelah majelis hakim mendengar keterangan para saksi, Penuntut Umum, pengakuan terdakwa, laporan hasil penelitian kemasyarakatan, juga mengingat, pasal 197 KUHAP, Pasal 81 ayat (2) UU RI No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak jo Pasal 64 ayat (1) KUHP, serta peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan perkara ini maka majelis hakim menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama: 3 (tiga) tahun dan denda sebesar Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah); menetapkan bilamana pidana denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama: 3 (tiga) bulan kurungan; menetapkan masa selama terdakwa berada dalam tahanan sebelum putusan ini mempunyai kekuatan hukum tetap, dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan; menetapkan agar terdakwa tetap berada di dalam tahanan; memerintahkan barang bukti berupa: 1(satu) unit sepeda motor honda supra
X
warna
hitam
Nopol
AD
5947
EA
Noka.
MH1KEVA114K701018 Nosin. KEVAE 1699802 berikut STNK atas nama E. Dwi Sulistyowati, dikembalikan kepada terdakwa. 1 (satu) potong celana pendek warna hitam, 1 (satu) potong kaos lengan pendek warna putih bergambar 2 boneka, dikembalikan kepada saksi Novi Puspitasari. (lihat lampiran I)
5
Suparna, Hakim Pengadilan Negeri Klaten, Wawancara Pribadi, Klaten, Jum’at, 08 Februari 2013, Pukul 08.30 WIB.
33
Dengan demikian, menurut penulis setelah melakukan analsisis data serta wawancara hakim, bahwa Kekuatan pembuktian dari keterangan saksi seorang anak di Pengadilan Negeri Klaten dapat mengikat apabila didukung 2(dua) alat bukti yang sah, serta keterangan dari saksi seorang anak tersebut dijadikan sebagai alat bukti tambahan maupun alat bukti petunjuk guna memperoleh alat bukti yang lain yang diperlukan di dalam persidangan. 6 b. Perkara Nomor Register : 06/ Pid.Sus/ 2012/ PN. Ska Saksi Braj Lung Ayu sekarang berumur 15 (lima belas) tahun dan masih sekolah di SMA N 7 Surakarta. Di dalam proses persidangan yang digelar di Pengadilan Negeri Klaten pada 09 Februari 2012, hakim tidak mengahadirkan saksi anak yang bersangkutan, dengan pertimbangan bahwa saksi anak tersebut ketakutan, serta orang tua atau wali saksi tidak berkenan untuk memberikan anaknya memberikan keterangan di muka persidangan, sehingga hakim cukup menggunakan keterangan saksi yang diambil dari BAP pada proses pemeriksaan di kepolisian, serta memintai keterangan dari orang-orang sekitar yang mengetahui tentang kronologi perkaranya. Sementara itu salah satu majelis hakim yaitu Bintara menjelaskan: Di dalam proses persidangan yang diselenggarakan pada tanggal 09 Februari 2012 di Pengadilan Negeri Klaten, saksi anak dalam perkara yang disidangkan pada saat itu tidak dihadirkan karena orang 6
Suparna, Hakim Pengadilan Negeri Klaten, Wawancara Pribadi, Klaten, Jum’at, 08 Februari 2013, Pukul 08.30 WIB.
34
tua atau wali saksi tidak mengijinkan saksi tersebut untuk hadir dimuka persidangan dengan alasan saksi tersebut masih terlalu kecil untuk menjalani proses persidangan, serta anak tersebut takut. Sehingga orang tua takut apabila anaknya nantinya menjadi malu berinteraksi dengan dunia luar, serta perkembangannya terhambat akibat dari perkara yang dijalaninya, sehingga hakim hanya mengambil keterangan saksi anak tersebut dari BAP yang kemudian dibacakan di muka persidangan dan menggabungkan dengan alat bukti yang lain yang berkaitan dengan pokok perkara tersebut yang kemudian digunakan untuk mengambil keputusan.7 Setelah majelis hakim mendengar keterangan para saksi, Penuntut Umum, pengakuan terdakwa, laporan hasil penelitian kemasyarakatan, juga mengingat, Pasal 81 ayat (2), Pasal 82 undangundang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak serta Pasal 287 ayat (1) KUHP, maka hakim menyatakan terdakwa Alfin Rahardian alias Pincuk bin Joko Catur Supriyadi telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana “bersetubuh dengan seorang wanita diluar perkawinan yang belum waktunya untuk kawin”; menjatuhkan pidana kepada terdakwa oleh karenanya dengan pidana penjara selama 4 (empat) bulan dan 7 (tujuh) hari; menetapkan masa tahanan yang telah dijalani terdakwa akan dikurangkan sepenuhnya dari pidana yang dijatuhkan; menetapkan agar supaya terdakwa tetap berada dalam tahanan; membebani terdakwa untuk mebayar biaya perkara sebesar Rp 1000,-(seribu rupiah). (lihat lampiran II) Dengan demikian, setelah penulis melakukan penelitian di Pengadilan Negeri Surakarta bahwa kekuatan pembuktian dari keterangan saksi seorang anak di Pengadilan Negeri Surakarta adalah
7
Bintara, Hakim Pengadilan Negeri Surakarta, Wawancara Pribadi, Surakarta, Kamis, 20 Desember 2012, Pukul 09.00 WIB
35
tidak mengikat, karena di dalam persidangan saksi anak tersebut tidak dihadirkan di muka persidangan dan hanya mengambil keterangan dari saksi anak tersebut melalui BAP pada saat proses pemeriksaan di kepolisian, serta alat bukti tersebut hanya dijadikan alat bukti tambahan atau alat bukti pendukung yang digunakan untuk pembuktian di muka persidangan.8
B.
Kendala-Kendala yang Dihadapi dalam Penggunaan Saksi Anak Di bawah Umur Hak anak untuk memberikan keterangan di pengadilan ini dilindungi oleh hukum. Sebagaimana diatur dalam Pasal 12 Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi oleh Indonesia dengan Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990 yang berbunyi:9 1) Negara-negara Pihak harus menjamin bagi anak yang mampu membentuk pendapatnya sendiri, hak untuk mengutarakan pendapatpendapat tersebut dengan bebas dalam semua masalah yang mempengaruhi anak itu, pendapat-pendapat anak itu diberi bobot yang semestinya sesuai dengan umur dan kematangan si anak. 2) Untuk tujuan ini, maka anak terutama harus diberi kesempatan untuk didengar pendapatnya dalam persidangan-persidangan pengadilan dan administratif yang mempengaruhi anak itu, baik secara langsung, atau melalui suatu perwakilan atau badan yang tepat, dalam suatu cara yang sesuai dengan peraturan-peraturan prosedur hukum nasional.
8
Bintara, Hakim Pengadilan Negeri Surakarta, Wawancara Pribadi, Surakarta, Kamis, 20 Desember 2012, Pukul 09.00 WIB 9 Konvensi Hak Anak, 20 November 1989 (diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990)
36
Terhadap anak-anak yang kebetulan berhadapan dengan hukum, ada beberapa hak-hak anak yang harus diperjuangkan pelaksanaannya secara bersama-sama, yaitu:10 1. Sebelum Persidangan a. Sebagai Pelaku: 1) Hak diperlakukan sebagai yang belum terbukti bersalah. 2) Hak untuk mendapatkan perlindungan terhadap tindakan-tindakan yang merugikan, menimbulkan penderitaan mental, fisik, sosial dari siapa saja (ancaman, penganiayaan, cara, dan tempat penahanan misalnya). 3) Hak untuk mendapatkan pendamping, penasihat dalam rangka mempersiapkan diri berpartisipasi dalam persidangan yang akan datang dengan prodeo. 4) Hak untuk mendapatkan fasilitas ikut serta memperlancar pemeriksaan terhadap dirinya (transport, penyuluhan dari yangn berwajib). b. Sebagai Korban: 1) Hak mendapatkan pelayanan karena penderitaan mental, fisik, dan sosialnya. 2) Hak diperhatikan laporan yang disampaikannya dengan suatu tindak lanjut yang tanggap dan peka tanpa imbalan (kooperatif).
10
Nashriana, 2011, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak Di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Hal: 20-23.
37
3) Hak untuk mendapatkan perlindungan terhadap tindakan-tindakan yang merugikan, menimbulkan penderitaan mental, fisik, sosial dari siapa saja (berbagai ancaman, penganiayaan, pemerasan). 4) Hak untuk mendapatkan pendamping, penasihat dalam rangka mempersiapkan diri berpartisipasi dalam persidangan yang akan datang dengan prodeo. 5) Hak untuk mendapatkan fasilitas ikut serta memperlancar pemeriksaan sebagai pelapor, saksi atau korban. c. Sebagai Saksi: 1) Hak diperhatikan laporan yang disampaikannya dengan suatu tindak lanjut yang tanggap dan peka, tanpa mempersulit para pelapor. 2) Hak untuk mendapatkan perlindungan terhadap tindakan-tindakan yang merugikan, menimbulkan penderitaan meltal, fisik, sosial dari siapa saja yang karena kesaksiannya (berbagai ancaman, penganiayaan). 3) Hak untuk mendapatkan fasilitas ikut serta memperlancar pemeriksaan (transport). 2. Selama Persidangan a. Sebagai Pelaku: 1) Hak
untuk
mendapatkan
penjelasan
mengenai
tata
cara
persidangan dan kasusnya. 2) Hak mendapatkan pendamping, penasihat selama persidangan.
38
3) Hak untuk mendapatkan fasilitas ikut serta memperlancar persidangan mengenai dirinya (transport, perawatan, kesehatan). 4) Hak untuk mendapatkan perlindungan terhadap tindakan-tindakan yang merugikan, yang menimbulkan penderitaan mental, fisik, sosial (berbagai macam ancaman, penganiayaan, cara, dan tempat-tempat penahanan misalnya). 5) Hak untuk menyatakan pendapat. 6) Hak untuk memohon ganti kerugian atas perlakuan yang menimbulkan penderitaan, karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdsarkan Undang-Undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam KUHAP (Pasal 1 ayat 22). 7) Hak untuk mendapatkan perlakuan pembinaan atau penghukuman yang positif, yang masih mengembangkan dirinya sebagai manusia seutuhnya. 8) Hak akan persidangan tertutup demi kepentingannya. b. Sebagai Korban: 1) Hak untuk mendapatkan fasilitas untuk menghadap sidang sebagai saksi atau korban (transport, penyuluhan). 2) Hak
untuk
mendapatkan
persidangan dan kasusnya.
penjelasan
mengenai
tata
cara
39
3) Hak untuk mendapatkan perlindungan terhadap tindakan-tindakan yang merugikan, yang menimbulkan penderitaan mental, fisik, sosial (berbagai macam ancaman, penganiayaan, pembunuhan). 4) Hak untuk menyatakan pendapat. 5) Hak untuk mengganti kerugian atas kerugian, penderitaannya. 6) Hak untuk memohon persidangan tertutup. c. Sebagai Saksi: 1) Hak untuk mendapatkan fasilitas untuk menghadap sidang sebagai saksi (transport, penyuluhan). 2) Hak
untuk
mendapatkan
penjelasan
mengenai
tata
cara
persidangan dan kasusnya. 3) Hak untuk mendapatkan perlindungan terhadap tindakan-tindakan yang merugikan, yang menimbulkan penderitaan mental, fisik, sosial (berbagai macam ancaman, penganiayaan, pembunuhan misalnya). 4) Hak untuk mendapatkan izin dari sekolah untuk menjadi saksi. 3. Setelah Persidangan a. Sebagai Pelaku: 1) Hak untuk mendapatkan pembinaan atau penghukuman yang manusiawi sesuai dengan Pancasila, UUD 1945, dan ide mengenai Pemasyarakatan. 2) Hak untuk mendapatkan perlindungan terhadap tindakan-tindakan yang merugikan, yang menimbulkan penderitaan mental, fisik, sosial (berbagai macam ancaman, penganiayaan, pembunuhan).
40
3) Hak untuk tetap dapat berhubungan dengan orang tuanya, keluargannya. b. Sebagai Korban: 1) Hak untuk mendapatkan perlindungan terhadap tindakan-tindakan yang merugikan, yang menimbulkan penderitaan mental, fisik, sosial (berbagai macam ancaman, penganiayaan, pembunuhan). 2) Hak untuk pelayanan di bidang meltal, fisik, dan sosial. c. Sebagai Saksi: Hak untuk mendapatkan perlindungan terhadap tindakan-tindakan yang merugikan, yang menimbulkan penderitaan mental, fisik, sosial dari siapa saja. Peranan saksi dalam sistem peradilan pidana sangatlah penting, oleh karena itu saksi perlu dilindungi dari aspek hukum acara pidananya. Hal ini pemting, karena hukum acara pidana anatara lain mengatur tentang bagaimana aparat penegak hukum (official criminal justice system) harus bertindak dalam menegakkan hukum pidana, termasuk memanggil dan memeriksan saksi. Keharusan-keharusan yang dipersyaratkan dalam hukum acara pidana dalam melakukan pemanggilan dan pemeriksaan terhadap saksi oleh penyelidik, penyidik, penuntut umum, maupun hakim, merupakan bentuk perlindungan hukum terhadap saksi.11 Dengan demikian, untuk mengetahui kendala-kendala yang dihadapi hakim dalam menerapkan saksi anak di bawah umur sebagai alat bukti di persidangan, dapat dilakukuan dengan menganalisis secara kualitatif perkara 11
Muchammad Iksan, 2012, Hukum Perlindungan Saksi Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Surakarta, Muhammadiyah University press, Hal: 107.
41
dengan saksi anak di bawah umur yang terjadi di wilayah Klaten dan Surakarta, serta menganalisis hasil wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Klaten dan Pengadilan Negeri Surakarta, dengan demikian diharapkan dapat menjawab rumusan masalah dan diharapkan tercapainya tujuan yang penulis harapkan. Berdasarkan hasil keterangan Suparna, bahwa hal yang menjadi pedoman yang dapat digunakan untuk menerapkan saksi anak di bawah umur yang di gunakan dalam sidang perkara pidana, yaitu: Bahwa pada umumnya di dalam persidangan menggunakan saksi yang masih berusia di bawah umur berdasarkan alat bukti yang kurang memadai dan saksi anak tersebut merupakan saksi kunci atau saksi utama yang benar-mengetahui kejadian atau kronologi perkara yang di sidangkan tersebut. Kemudian hal-hal yang juga harus dipertimbangkan dalam menerapkan saksi anak, yaitu juga harus melihat hal-hal yang dapat membuat persidangan itu menjadi lebih terungkap. Selain itu karena saksi juga masih anak di bawah umur, hakim juga harus mempertimbangkan kondisi psikis dan mental dari saksi anak tersebut, kepribadiannya, keluarga dan masyarakat.12 Sementara itu, menurut bintara, beliau mengemukakan hal-hal yang menjadi pedoman yang dapat digunakan untuk menggunakan saksi anak di bawah umur di dalam persidangan tersebut, antara lain: Hakim membutuhkan keterangan dari korban secara langsung, sehingga hakim menggunakan saksi korban sebagai salah satu pembuktian di dalam persidangan kasus tersebut, sehingga hakim dapat menentukan keputusan kasus yang di sidangkan di pengadilan, namun dalam kasus ini saksi tersebut tidak dihadirkan di muka persidangan karena masih kecil sehingga takut serta tidak adanya ijin dari orang tua atau wali dari saksi tesebut untuk menghadirkan saksi di muka persidangan. Maka majelis hakim cukup mengambil keterangan saksi anak tersebut yang tertera di dalam BAP pada saat proses pemeriksaan di kepolisian .13
12
Suparna, Hakim Pengadilan Negeri Klaten, Wawancara Pribadi, Klaten, Jum’at, 08 februari 2013, Pukul 08.30 WIB 13 Bintara, Hakim Pengadilan Negeri Surakarta, Wawancara Pribadi, Surakarta, Kamis, 20 Desember 2012, Pukul 09.00 WIB
42
1.
Kendala yang dihadapi dalam penggunaan saksi anak di Pengadilan Negeri Klaten:14 a. Dalam proses persidangan saksi anak tersebut mengalami ketakutan b. Karena saksi masih dibawah umur maka dalam kesaksiannya saksi anak tersebut sulit untuk mengutarakan sesuatu c. Saksi anak tersebut merasa terintimidasi d. Saksi anak tersebut mengalami trauma terhadap kasus yang dialaminya e. Susah menjawab pertanyaan yang diajukan oleh hakim f. Memberikan keterangan secara bertele-tele (terbata-bata)
2.
Kendala yang di hadapi dalam penggunaan saksi anak di Pengadilan Negeri Surakarta:15 Karena dalam proses pemeriksaan perkara di Pengadilan Negeri Surakarta pada tanggal 09 Februari 2012 tidak mengadirkan saksi yang bersangkutan dan hakim hanya mengambil keterangan saksi anak tersebut dari BAP sehingga majelis hakim tidak mengalami kendala di dalam persidangan tersebut, hanya saja dengan tidak dihadirkannya saksi anak tersebut di muka persidangan maka hakim tidak dapat mengambil keterangan dari saksi saksi anak tersebut secara langsung yang dimana hakim dapat menilai secara langsung keterangan yang di ungkapkan oleh saksi tersebut.
14
Suparna, Hakim Pengadilan Negeri Klaten, Wawancara Pribadi, Klaten, Jum’at, 08 februari 2013, Pukul 08.30 WIB. 15 Bintara, Hakim Pengadilan Negeri Surakarta, Wawancara Pribadi, Surakarta, Kamis, 20 Desember 2012, Pukul 09.00 WIB
43
C.
Kesesuaian Penggunaan Keteranagan Saksi Anak Dengan Ketentuan Hukum yang Ada. Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana dan perdata yang ia dengar, lihat dan ia alami sendiri ( Pasal 1 ayat (26) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana KUHAP). Hal yang sama juga diatur dalam Pasal 1 ayat (1) UndangUndang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana juga mengatur para pihak yang tidak dapat didengar keterangannya sebagai saksi dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi adalah (Pasal 168 KUHAP):16 a.
keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.
b.
saudara dan terdakwa atau yang bérsama-sama sebagal terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dari anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga
c.
suami atau isteri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa. Dari ketentuan tersebut dapat kita lihat bahwa anak-anak tidak
termasuk dalam kategori yang tidak dapat didengar keterangannya sebagai
16
http://m.hukumonline.com/klinik/detail/lt4d4ab984cb02d/keabsahan-saksi-anak.
44
saksi. Lebih lanjut dalam Pasal 171 KUHAP dinyatakan bahwa anak yang umurnya belum mencapai 15 (lima belas) tahun dan belum pernah kawin boleh diperiksa untuk memberi keterangan tanpa sumpah. Dengan demikian, memang saksi anak tidak dapat disumpah, namun tetap dapat memberikan keterangan tanpa sumpah. Berdasarkan Pasal 185 ayat (7) KUHAP, keterangan saksi yang tidak disumpah ini bukan merupakan alat bukti namun apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan dari saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain.17 Dalam tahap penyelidikan sampai pembuktian di muka sidang pengadilan, kedudukan saksi sangatlah penting, bahkan dalam praktek sering menjadi faktor penentu dan keberhasilan dalam pengungkapan suatu kasus, karena bisa memberikan keterangan saksi yang ditempatkan sebagai alat bukti pertama dari lima alat bukti yang sah sebagaimana dalam Pasal 184 KUHAP.18 1.
Perkara Nomor Register : 61/ PID.SUS / 2012/ PN.Klt. Dalam permusyawaratan majelis hakim pengadilan negeri klaten pada hari senin, tanggal 05 November 2012 serta putusan hakim yang diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum pada hari, kamis, tanggal 08 November 2012 oleh hakim ketua majelis, bahwa Suparna menyatakan penggunaan saksi di bawah umur telah sesuai dengan ketentuan hukum yang ada, hal ini telah sesuai dan tercantum di dalam ketentuan Pasal 171 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
17 18
Ibid Muchammad Iksan, Op Cit, Hal: 100.
45
bahwa penggunaan saksi anak dibenarkan di dalam Pasal 171 KUHAP tersebut, yang mana di dalam proses pengambil keterangan dari saksi anak tersebut tanpa harus disumpah terlebih dahulu. 19 2.
Perkara Nomor Register : 06/ Pid.Sus/ 2012/ PN. Ska Di dalam penggunaan saksi anak di bawah umur, Bintara menyatakn hal itu juga telah sesuai dengan ketentuan yang ada sehingga penggunaan saksi anak dibawah umur dapat dilakukan dalam proses pemeriksaan perkara pidana dipersidangan, selama mengikuti ketentuan hukum yang sudah telah ada, namun di dalam praktiknya, proses persidangan yang digelar di Pengadilan Negeri Surakarta tersebut tidak menghadirkan saksi yang bersangkutan.20
3.
Ketentuan hukum yang terkait dengan saksi anak dibawah umur adalah: 1.
Pengambilan keterangan tidak di bawah sumpah. Pasal 171 huruf a KUHAP yang berbunyi: “yang boleh diperiksa untuk memberikan keterangan tanpa sumpah ialah: a. Anak yang umurnya belum cukup 15 belas tahun dan belum pernah kawin. Menurut Suparna, proses peradilan di Pengadilan
Negeri
Klaten sudah mengikuti ketentuan hukum yang tertera di dalam Pasal 171 Huruf a tersebut, menurutnya karena saksi tersebut masih
19
Suparna, Hakim Pengadilan Negeri Klaten, Wawancara Pribadi, Klaten, Jum’at, 08 Februari 2013, Pukul 08.30 WIB. 20 Bintara, Hakim Pengadilan Negeri Surakarta, Wawancara Pribadi, Surakarta, Kamis, 20 Desember 2012, Pukul 09.00 WIB
46
di bawah umur maka dalam proses pengambilan keterangan dari anak tersebut tidak perlu disumpah terlebih dahulu.21 Sementara itu, menurut Bintara, proses peradilan di Pengadilan Negeri Surakarta juga sudah sesuai dengan ketentuan hukum di atas, menurutnya ketentuan Pasal 171 huruf a sudah menyebutkan anak yang belum genap berusia 15 (lima belas) tahun atau belum pernah kawin di dalam proses pengambilan keterangan dari saksi tersebut tidak perlu disumpah terlebih dahulu.22 Namun di dalam proses persidangan di Pengadilan Negeri Surakarta tersebut tidak menghadirkan saksi anak yang bersangkutan. 2. Persidangan dilakukan secara tertutup. Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang pengadilan anak yang berbunyi: “Hakim memeriksa perkara anak dalam sidang tertutup.” Menurut Suparna, bahwa sidang yang yang digelar di Pengadilan Negeri Klaten saat itu dilakukan secara tertutup dan hanya dihadiri oleh anak yang bersangkutan beserta orang tua, wali, atau orang tua asuh, Penasihat Hukum, dan Pembimbing Kemasyarakatan serta orang tertentu atas izin hakim atau majelis hakim23
21
Suparna, Hakim Pengadilan Negeri Klaten, Wawancara Pribadi, Klaten, Jum’at, 08 Februari 2013, Pukul 08.30 WIB. 22 Bintara, Hakim Pengadilan Negeri Surakarta, Wawancara Pribadi, Surakarta, Kamis, 20 Desember 2012, Pukul 09.00 WIB 23 Suparna, Hakim Pengadilan Negeri Klaten, Wawancara Pribadi, Klaten, Jum’at, 08 Februari 2013, Pukul 08.30 WIB.
47
Sementara itu, menurut Bintara, proses persidangan yang digelar di Pengadilan Negeri Surakarta proses pemeriksaan saat itu tidak menghadirkan saksi yang bersangkutan, sehingga persidangan tersebut dilaksanakan secara secara terbuka. Karena disini hakim tidak menghadirkan saksi anak yang bersangkutan karena berbagai faktor yang telah dijelaskan sebelumnya.24 3. Dalam hal tertentu apabila dipandang perlu maka sidang anak dapat dilakukan secara terbuka: Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang pengadilan anak yang berbunyi: “Dalam hal tertentu dan dipandang perlu pemeriksaan perkara anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)dapat dilakukan dalam sidang terbuka.” Menurut Suparna, dalam sidang yang digelar saat itu berjalan lancar dan tidak ada hal yang mengharuskan hakim untuk melakukan persidangan secara terbuka. Karena pada saat berlangsungnya persidangan semua pihak sudah memenuhi syarat yang ditentukan oleh majelis hakim, maka majelis hakim memutuskan melakukan sidang secara tertutup.25 Sementara itu, menurut Bintara, sidang perkara pada saat itu dilakukan secara terbuka, karena tidak dihadirkannya saksi anak
24
Bintara, Hakim Pengadilan Negeri Surakarta, Wawancara Pribadi, Surakarta, Kamis, 20 Desember 2012, Pukul 09.00 WIB. 25 Suparna, Hakim Pengadilan Negeri Klaten, Wawancara Pribadi, Klaten, Jum’at, 08 Februari 2013, Pukul 08.30 WIB.
48
sehingga hakim beranggapan bahwa sidang sebaiknya dilaksanakan secara terbuka.26 4. Persidangan dilakukan dengan cara kekeluargaan (hakim, panitera, JPU, penasehat hukum, serta petugas lainnya tidak mengenakan toga di dalam persidangan). Pasal 6 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang pengadilan anak yang bunyinya: “Hakim, Penuntut Umum, Penyidik, dan Penasihat Hukum, serta petugas lainnya dalam Sidang Anak tidak memakai toga atau pakaian dinas.” Menurut Suparna, sidang yang digelar saat itu juga sudah sesuai dengan ketentuan yang tercantum di dalam Pasal 6 UndangUndang
Nomor
3
tahun
1997,
sebagaimana
yang
telah
dikemukakan oleh hakim Suparna, bahwa dalam sidang saat itu, hakim serta beberapa pejabat terkait yang berkaitan dengan persidangan tersebut tidak mengenakan toga seperti sidang-sidang umum yang terdakwanya, korbannya serta saksi-saksi yang telah dewasa.27 Sementara itu, menurut Bintara, beliau menerangkan sidang yang selenggarakan saat itu tidak mengenakan toga, dan semua pejabat tarkait yang berada atau mengikuti jlannya persidangan juga tidak mengenakan toga.28
26
Bintara, Hakim Pengadilan Negeri Surakarta, Wawancara Pribadi, Surakarta, Kamis, 20 Desember 2012, Pukul 09.00 WIB. 27 Suparna, Hakim Pengadilan Negeri Klaten, Wawancara Pribadi, Klaten, Jum’at, 08 Februari 2013, Pukul 08.30 WIB. 28 Bintara, Hakim Pengadilan Negeri Surakarta, Wawancara Pribadi, Surakarta, Kamis, 20 Desember 2012, Pukul 09.00 WIB.
49
5. Persidangan menggunakan hakim tunggal. Pasal 11 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang pengadilan anak yang bunyinya: “Hakim memeriksa dan memutus perkara anak dalam tingkat pertama sebagai hakim tunggal.” Menurut Suparna, saat itu sidang dilakukan secara majelis jadi dalam sidang yang dilaksanakan pada saat itu menggunakan hakim anggota, karena ada beberapa hal atau pertimbangan hakim yang apabila diputuskan dengan hakim tunggal tidak dapat dilaksanakan. Hal ini tentunya tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang no 3 tahun 1997 tersebut, namun hal ini lebih merujuk kepada Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang pengadilan anak yang berbunyi: “Dalam hal tertentu dan dipandang perlu, Ketua Pengadilan Negeri dapat menetapkan pemeriksaan perkara anak dilakukan dengan hakim majelis.” Sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Suparna, dikarenakan ada sesuatu hal yang apabila diselesaikan hanya dengan satu hakim terlalu berat atau sukar, maka diputuskan untuk menggunakan hakim anggota dalam proses persidangan tersebut.29 Sementara itu, menurut Bintara, beliau mengungkapkan sidang yang dilaksanakan pada waktu itu juga menggunakan hakim anggota artinya hakimnya majelis, beliau mengungkapkan bahwa
29
Suparna, Hakim Pengadilan Negeri Klaten, Wawancara Pribadi, Klaten, Jum’at, 08 Februari 2013, Pukul 08.30 WIB.
50
sidang yang dipimpinnya waktu itu memerlukan pertimbanganpertimbangan dari hakim anggota dalam memberikan putusan.30 Dengan demikian, dalam praktik peradilan di Pengadilan Negeri Klaten, menurut Suparna ketentuan-ketentuan tersebut di atas sudah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, hanya saja ada beberapa hal yang menurut hakim perlu dibenahi lagi peraturan-peraturan hukum yang mengatur mengenai anak di indonesia karena anak adalah aset bangsa, generasi bangsa yang menentukan masa depan bangsa Indonesia kedepannya.31 Demikian juga dalam praktik peradilan di Pengadilan Negeri Surakarta, menurut Bintara ketentuan-ketentuan tersebut di atas sudah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, hanya saja ada beberapa hal di dalam proses pemeriksaan perkara yang perlu dibenahi kembali.32
30
Bintara, Hakim Pengadilan Negeri Surakarta, Wawancara Pribadi, Surakarta, Kamis, 20 Desember 2012, Pukul 09.00 WIB. 31 Suparna, Hakim Pengadilan Negeri Klaten, Wawancara Pribadi, Klaten, Jum’at, 08 Februari 2013, Pukul 08.30 WIB. 32 Bintara, Hakim Pengadilan Negeri Surakarta, Wawancara Pribadi, Surakarta, Kamis, 20 Desember 2012, Pukul 09.00 WIB.