i
KEKUATAN PEMBUKTIAN KETERANGAN SAKSI YANG TIDAK HADIR DI PERSIDANGAN DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA (Tinjauan Yuridis Putusan Nomor 154/Pid.B/2011/PN.Purbalingga)
SKRIPSI Oleh : TRI AJI SUHARTO E1A008276
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2013
ii
KEKUATAN PEMBUKTIAN KETERANGAN SAKSI YANG TIDAK HADIR DI PERSIDANGAN DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA (Tinjauan Yuridis Putusan Nomor 154/Pid.B/2011/PN.Purbalingga)
SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Oleh : TRI AJI SUHARTO E1A008276
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2013
iii
LEMBAR PENGESAHAN
KEKUATAN PEMBUKTIAN KETERANGAN SAKSI YANG TIDAK HADIR DI PERSIDANGAN DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA (Tinjauan Yuridis Putusan Nomor 154/Pid.B/2011/PN.Purbalingga)
Oleh : TRI AJI SUHARTO E1A008276
Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Diterima dan disahkan Pada tanggal ……………………...
Para Penguji/Pembimbing
Pembimbing Sriksi I/
Pembimbing Skripsi II/
Penguji I
Penguji II
Handri Wirastuti S, S.H.,S.H NIP. 19581019 198702 2 001
Pranoto, S.H,.M.H NIP. 19540305 198601 1 001 Mengetahui Dekan,
Dr. Angkasa, S.H.,M.Hum NIP. 19640923 198901 1 001
Penguji III
Sanyoto, S.H.,M.Hum NIP. 19610123 198601 1 001
iv
SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul : KEKUATAN PEMBUKTIAN KETERANGAN SAKSI YANG TIDAK HADIR DI PERSIDANGAN DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA (Tinjauan Yuridis Putusan Nomor 154/Pid.B/2011/PN.Purbalingga) Adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan semua sumber data serta informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenaranya. Apabila pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi termasuk pencabutan gelar kesarjanaan yang telah saya peroleh.
Purwokerto, 27 Agustus 2013
Tri Aji Suharto NIM. E1A008276
v
ABSTRAK Penyusunan skripsi dengan judul “KEKUATAN PEMBUKTIAN KETERANGAN SAKSI YANG TIDAK HADIR DI PERSIDANGAN DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA (Tinjauan Yuridis Putusan Nomor 154/Pid.B/2011/PN.Purbalingga)” yang bertujuan untuk mengetahui kekuatan pembuktian keterangan saksi yang tidak hadir di persidangan dalam tindak pidana pembunuhan berencana pada Putusan Nomor: 154/Pid.B/2011/PN. Pbg, dan untuk mengetahui dasar pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan putusan tindak pidana pidana pembunuhan berencana pada Putusan Nomor: 154/Pid.B/2011/PN. Pbg. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan Yuridis Normatif yaitu dengan menelaah bahan pustaka (data sekunder) yang ada. Metode analisis yang digunakan adalah normative kualitatif yaitu dengan mengolah dan menafsirkan berdasarkan pada putusan maupun perundang-undangan yang berkaitan dengan penelitian. Dalam Putusan Nomor 154/Pid.B/2011/PN.Purbalingga, jika bertitik tolak pada ketentuan Pasal 162 ayat (2) KUHAP dihubungkan dengan Pasal 185 ayat (7) KUHAP, keterangan saksi yang tidak hadir di persidangan sifatnya tetap tidak merupakan alat bukti, tetapi nilai kekuatan pembuktiannya yang melekat padanya ialah dapat menguatkan keyakinan hakim, dan dapat dijadikan sebagai tambahan alat bukti yang sah lainnya, sepanjang keterangan saksi yang dibacakan ada kesesuaian dengan alat bukti yang sah dan alat bukti yang telah ada telah memenuhi batas minimum pembuktian. Hakim dalam menjatuhkan putusan dalam Perkara Nomor. 154/Pid.B/2011/PN/Purbalingga tersebut telah mendasarkan pada fakta-fakta yuridis dan non yuridis yang ada dalam pertimbangan, dan mendasarkan pada alat-alat bukti yang sah yang diajukan dalam persidangan. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan hakim tersebut, perbuatan terdakwa telah memenuhi rumusan Pasal 340 KUHP, sehingga terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana pembunuhan berencana dan dijatuhi hukuman 3 (tiga) tahun penjara.
Kata Kunci : Pembuktian, Keterangan Saksi, Tidak Hadir Di Persidangan
vi
Abstract
vi
ABSTRAK
The thesis entitled “THE POWER OF PROVING THE ABSENCE TESTIMONY INFORMATION IN THE COURT IN SLAUGHTER OF CRIMINAL ACT (Juridical Observation Verdict No. 154/Pid.B/2011/PN.Purbalingga)” aims to know the power of proving the absence testimony information in slaughter of criminal act on the verdict no. 154/Pid.B/2011/PN. Pbg and to know the basic judgment from the judge in making decision of criminal crime of slaughter in the verdict No: 154/Pid.B/2011/PN. Pbg. In this research, the researcher uses the method of juridical normative approach that looking into the material books (Data secondary). Analysis method which is used is normative qualitative. It aims to process and interpret based on the verdict and law related to this research. In the Verdict no. 154/Pid.B/2011/PN.Purbalingga, if the result of the research has as a starting point on the decision of Section 162 verse (2) KUHP related into the Section 185 verse (7) KUHP, the absence testimony information in the court which is not categorized as the evidence instrument, but the value of its power which is embed on it is able to strengthen the conviction of the judge, and can be the legal additional evidence instrument, as long as the testimony information which is read is suitable with the legal evidence instrument which is meet with minimum limit of the evidence. The judge in making decision in the case no. 154/Pid.B/2011/PN.Purbalingga has decided based on the juridical facts and non-juridical in the consideration and has decided on the legal evidence instruments which is presented in the court. Based on the judge’ considerations, the defendant actions has meet with the Section formula 340 KUHP, then the defendant legally is proved and convinced as the doer of the criminal crime of slaughter and sentenced with 3 (three) years in the prison.
Keywords : verification, the absence testimony information in the court.
vii
KATA PENGANTAR Bismillahirrohmanirrohim Alhamdulillahirobil’alamin. Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kesabaran, rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Kekuatan Pembuktian Keterangan Saksi Yang Tidak Hadir Di Persidangan Dalam Tindak Pidana
Pembunuhan
Berencana
(Tinjauan
Yuridis
Putusan
Nomor
:
154/Pid.B/2011/PN.Purbalingga)” Skripsi ini diajukan guna memenuhi persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini mengalami kesulitan dan hambatan. Namun berkat bimbingan, petunjuk dan bantuan dari berbagai pihak sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima kasih, penghargaan, serta rasa hormat kepada: 1. Dr. Angkasa, S.H.,M.Hum
selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Jenderal Soedirman. 2. Ibu Handri Wirastuti Sawitri, S.H., M.H., selaku Pembimbing Skripsi I, dengan kesabarannya telah membimbing, memberi saran dan arahan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 3. Bapak Pranoto, S.H.,M.H., selaku Pembimbing Skripsi II, yang telah memberikan bimbingan, saran, pengarahan, dan perhatian yang sangat berguna bagi penulis dalam penyusunan skripsi ini.
viii
4. Bapak Sanyoto, S.H.,M.Hum., selaku penguji skripsi yang telah memberikan masukan dan saran yang sangat berarti dalam penyusunan skripsi ini. 5. Bapak Bambang Heryanto, S.H.,M.H., selaku Pembimbing Akademik. 6. Seluruh Dosen Pengajar dan segenap staf serta civitas akademika Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. 7. Orang tua penulis (Bapak Wachoed, S.H. dan Ibu Darwati, S.Pd.) yang selalu memberikan doa, perhatian, semangat, dukungan, serta nasihat kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, maaf y pak, bu, anakmu lulus tidak tepat waktu. 8. Ibu Hj. Tisem (Eyang Putri) yang selalu memberikan doa dan perhatiannya serta nasihat kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 9. Kakak Penulis (Margianto Efendi, S.Pd. dan Unggul Wicaksono, S.Si) yang selalu memberikan doa dan motivasi kepada penulis. 10. Uji Mustika Asri, S.IKom yang memberi semangat dalam penulisan skripsi ini dan memberikan perhatian, bantuan, doa dan kepada penulis. 11. Semua teman-teman angkatan 2008 Fakultas Hukum Unsoed khususnya Kelas D, teman-teman UKM GRADASI, teman-teman Kimculer’s, teman-teman Kost
Keratonan,
teman-teman
CAPOEIRA
SENZALA
INDONESIA
Purwokerto, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. 12. Untuk para pejuang ujian seminar dan pejuang ujian pendadaran, Gendon, Ido, Johan, Nanang, akhirnya tidak sia-sia kita nunggu di detik-detik terakhir. Juga untuk Hapsari ndang nyusul biar cepet jadi Camat, dan untuk Mas Pipit (Fitria
ix
Hudaningrum) semangat ya ngerjain skripsinya, semoga cepet selesai skripsinya. 13. Semua pihak yang telah membantu saya dalam menyelesaikan skripsi ini sampai selesai yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan dan jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca agar menjadi lebih baik. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Purwokerto,
Agustus 2013
Penulis
TRI AJI SUHARTO NIM. E1A008276
x
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL DEPAN………………………………………………… i HALAMAN JUDUL ...................................................................................... ….. ii HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................ …. iii SURAT PERNYATAAN ................................................................................ …. iv ABSTRAK……………………………………………………………………… v ABSTRACT ..................................................................................................... … vi KATA PENGANTAR ……………………………………………………........vii DAFTAR ISI ………………………………………………………………....... x BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ...................................................................... ….. 1 B. Perumusan Masalah ............................................................................. ….. 7 C. Tujuan Penelitian ................................................................................. ….. 7 D. Kegunaan Penelitian............................................................................. ….. 7 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Tujuan Hukum Acara Pidana………………………… 9 1. Pengertian Hukum Acara Pidana………………………………..… 9 2. Tujuan Hukum Acara Pidana………………………………………. 10 B. Asas-Asas Dalam Hukum Acara Pidan…………………………….… 12 C. Pembuktian Dalam Hukum Acara Pidana……………………………… 22 1. Pengertian Pembuktian................................................................... … 22 2. Teori Sistem Pembuktian ............................................................... … 23
xi
D. Alat Bukti Keterangan Saksi…………………………………….…… 28 1. Pengertian Alat Bukti Keterangan Saksi…….………………….… 28 2. Syarat-syarat Alat Bukti Keterangan Saksi……………………..…. 30 3. Cara Menilai Alat Bukti Keterangan Saksi………....………………. 33 4. Nilai Kekuatan Pembuktian Alat Bukti Keterangan Saksi………. 34 E. Tindak Pidana Pembunuhan Berencana ………………. ……………......37 1. Tindak Pidana………. ……………………………………………… 37 2. Tindak Pidana Pembunuhan ………………………………….…….. 39 3. Pembunuhan Berencana…………………………….………..………42 BAB. III. METODE PENELITIAN ................................................................ .... 43 BAB. IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian .................................................................................... … 46 B. Pembahasan .......................................................................................... … 64 BAB. V. PENUTUP A. Simpulan .............................................................................................. … 87 B. Saran ..................................................................................................... .... 88 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan, dan melalui pembuktian ditentukan nasib terdakwa. Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang “tidak cukup” membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, maka terdakwa “dibebaskan” dari hukuman. Sebaliknya, apabila kesalahan terdakwa dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti yang disebut dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, terdakwa dinyatakan “bersalah”, kepadanya akan dijatuhkan hukuman. Oleh karena itu, hukum harus hati-hati, cermat, menilai dan mempertimbangkan nilai pembuktian.1 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana sebagai produk bangsa Indonesia telah menetapkan beberapa alat bukti yang sah dan dapat dipergunakan untuk membuktikan salah tidaknya terdakwa. Adapun alat bukti yang sah menurut undang-undang sesuai dengan apa yang disebut dalam Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana adalah : a. b. c. d. e. 1
Keterangan saksi Keterangan ahli Surat Petunjuk Keterangan terdakwa
M. Taufik Makaro dan Suharsil, Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004, hal, 102-103
2
Alat-alat bukti yang sah antara lain keterangan saksi, dan pada umumnya keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana, karena hampir semua pembuktian perkara pidana selalu bersandar pada pemeriksaan keterangan saksi2. Keterangan saksi menurut Pasal 1 butir 27 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana merumuskan sebagai berikut : “Salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebutkan alasan dari pengetahuannya itu.” Tampak ada tiga tolak ukur tanggungjawab keterangan saksi, yakni (a) melihat, (b) mendengar, dan (c) mengalami. Instrument alat ukur itu adalah mata, telinga, dan perasaan yang semuanya bersifat indrawi alami normal. Opini sebagai hasil rumusan olah pikir yang menjadi pendapat, asumsi, pernyataan, analisis atau kesimpulan dari saksi bukanlah bernilai alat bukti sehingga karena itu harus segera ditolak oleh penyidik pada saat penyidikan, dan hakim yang memimpin sidang atau oleh penuntut umum dan atau advokat.3 Penjelasan Pasal 185 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dikatakan “Dalam keterangan saksi tidak termasuk keterangan yang diperoleh dari orang lain atau testimonium de auditu”, dengan demikian bahwa keterangan saksi yang yang
2
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, Dan Peninjauan Kembali), Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hal., 286 3 Nikolas Simanjuntak, Acara Pidana Indonesia Dalam Sirkus Hukum, Bogor: Ghalia Indonesia, 2009, hal. 263.
3
diperoleh dari orang lain bukanlah alat bukti yang sah.4 Sesuai dengan penjelasan KUHAP yang mengatakan kesaksian de auditu tidak diperkenankan sebagai alat bukti, dan selaras pula dengan tujuan hukum acara pidana yaitu mencari kebenaran materiil, dan pula untuk perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, dimana keterangan saksi yang hanya mendengar dari orang lain, tidak terjamin kebenaranya, maka kesaksian de auditu atau hearsay evidence, patut tidak dipakai di Indonesia pula.5 Bertitik tolak dari pemikiran di atas, menjadi landasan bagi pembuat undang-undang untuk menetapkan kesaksian sebagai “kewajiban” bagi setiap orang. Penegasan tersebut dapat dilihat dalam penjelasan Pasal 159 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang merumuskan sebagai berikut : a) Menjadi saksi adalah “kewajiban hukum”, b) Orang yang menolak memberi keterangan sebagai saksi dalam suatu sidang pengadilan, dapat dianggap sebagai penolakan terhadap kewajiban hukum yang dibebankan undang-undang kepadanya, c) Orang yang menolak kewajiban memberi keterangan sebagai saksi dalam sidang pengadilan, dapat dikenakan pidana berdasarkan ketentuan undang-undang yang berlaku6. Berdasarkan ketentuan dan penjelasan Pasal 159 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tersebut, dapat dikatakan bahwa memberikan keterangan sebagai saksi dalam pemeriksaan perkara pidana di sidang pengadilan adalah kewajiban bagi setiap orang. Pemeriksaan saksi yang hadir dalam persidangan bertujuan untuk mendengar keterangan saksi tentang apa yang diketahui, dilihat, didengar, dan 4
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hal. 264 Ibid, hlm. 264-265 6 M. Yahya Harahap, Op. Cit, hal. 169 5
4
dialaminya sehubungan dengan peristiwa pidana yang sedang diperiksa. Tata cara pemeriksaan saksi menurut Yahya Harahap7 adalah sebagai berikut : 1. Saksi dipanggil dan diperiksa seorang demi seorang; 2. Memeriksa identitas saksi; 3. Saksi “wajib” mengucapkan sumpah. Permasalahan muncul ketika saksi tidak dapat hadir di persidangan untuk memberikan keterangan tentang apa yang ia dengar sendiri, lihat sendiri, dan ia alami sendiri. Ada berbagai alasan yang dikemukakan oleh saksi untuk tidak hadir dalam proses pemeriksaan saksi di sidang pengadilan. Karena saksi tidak hadir dalam persidangan, maka keterangan dari saksi yang telah diberikan kepada penyidik dalam BAP penyidikan dibacakan di depan sidang pengadilan. Dalam
Putusan
Nomor
154/Pid.B/2011/PN.Purbalingga
mengenai
perkara pidana dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain yang dilakukan oleh Terdakwa JMW alias J Bin. DH, terdapat 6 saksi yang diajukan oleh Penuntut Umum, namun 2 diantaranya tidak dapat hadir ke muka sidang, sehingga keterangan saksi yang ada di tingkat penyidikan, di bacakan di persidangan. Dari alat bukti dan barang bukti serta fakta-fakta hukum yang muncul di persidangan, mengingat Pasal 340 KUHP, ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan ketentuan hukum lain yang bersangkutan, Hakim Pengadilan Negeri Cilacap mengadili Terdakwa JMW alias J Bin. D yaitu: 1. Menyatakan Terdakwa JKW Bin. DH, telah terbukti secara sah dan
7
Ibid, hlm. 172-174
5
meyakinkan
bersalah
melakukan
tindak
pidana
“Pembunuhan
Berencana”; 2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 3 (tiga) tahun ; 3. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa, dikurangi seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan; 4. Menetapkan agar terdakwa tetap dalam tahanan; 5. Menetapkan barang bukti berupa : a. 1 (satu) buah botol minuman terbuat dari plastik warna putih dengan tutup warna hijau masih sedikit berisi air, 3 (tiga) buah jajanan merk sea world (sebungkus masih utuh, sebungkus sudah dibuka dan sebungkus telah habis), 2 (dua) buah plastik bening ukuran 6cmx10cm, 2 (dua) buah gelas bening kombinasi kotakkotak merah, bulat-bulat merah muda bertuliskan wings, 1 (satu) buah sendok stainless, 1 (satu) buah botol plastik kosong insektisida merk Matador warna biru tutup putih isi 50 ml dan 4 (empat) batang potongan pohon kelapa panjang 35 cm, dirampas untuk dimusnahkan; b. 1 (satu) kaos tanpa kerah warna kuning bergambar tokoh kartun, 1 (satu) celana panjang warna krem, 1 (satu) lembar tikar terbuat dari daun pandan, 1 (satu) buah bantal warna merah motif bunga, 2 (dua) buah kunci diikat kawat bertuliskan DIOR dan TEXAS, 1 (satu) buah pisau dapur panjang 10 cm bergagang kayu,
6
dikembalikan kepada saksi IU (ibu korban); c. 1 (satu) buah kaos oblong warna putih bertuliskan Cukup satu Wings Biru dan 1 (satu) buah celana panjang warna hitam, dikembalikan kepada Terdakwa. 6. Membebankan Terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 1.000,- (seribu rupiah). Kewajiban hukum bagi setiap orang untuk menjadi saksi dalam perkara pidana yang dibarengi pula dengan kewajiban mengucapkan sumpah menurut agama yang dianutnya bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya tentang apa yang diketahui, dilihat, didengar, dan dialaminya sehubungan dengan perkara yang bersangkutan. Pengucapan sumpah atau janji merupakan kewajiban, tidak ada jalan lain bagi seorang saksi untuk menolak mengucapkannya, kecuali penolakan itu mempunyai alasan yang sah. Pihak yang boleh diperiksa memberi keterangan tanpa sumpah, antara lain mereka yang disebut pada Pasal 171 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yaitu anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin serta orang sakit ingatan atau sakit jiwa. Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan penulisan hukum dengan judul : “KEKUATAN PEMBUKTIAN KETERANGAN SAKSI YANG TIDAK HADIR DI PERSIDANGAN DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA” (Tinjauan Yuridis Putusan Nomor 154/Pid.B/2011/PN.Pbg)
7
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana kekuatan pembuktian terhadap keterangan saksi yang tidak hadir di persidangan dalam tindak pidana pembunuhan berencana pada Putusan Nomor: 154/Pid.B/2012/PN. Pbg? 2. Bagaimana dasar pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan putusan tindak pidana pembunuhan berencana pada Putusan Nomor: 154/Pid.B/2011/PN. Pbg? C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui kekuatan pembuktian keterangan saksi yang tidak hadir di persidangan dalam tindak pidana pembunuhan berencana pada Putusan Nomor: 154/Pid.B/2011/PN. Pbg? 2. Untuk
mengetahui
dasar
pertimbangan
hukum
hakim
dalam
menjatuhkan putusan tindak pidana pidana pembunuhan berencana pada Putusan Nomor: 154/Pid.B/2011/PN. Pbg? 1. Kegunaan Penelitian Adapun manfaat yang dapat diambil penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis a. Memberikan sumbangan pemikiran dalam perkembangan ilmu hukum, khususnya yang berkaitan dengan masalah hukum pembuktian kepustakaan.
pidana
serta
dapat
menambah
bahan-bahan
8
b. Untuk mendalami dan mempraktekkan teori-teori yang telah diperoleh penulis selama kuliah di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto. 2. Manfaat Praktis a. Mencari kesesuaian antara teori yang telah didapatkan di bangku kuliah dengan kenyataan di lapangan. b. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pihakpihak yang terkait dengan masalah penelitian ini.
9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Tujuan Hukum Acara Pidana 1. Pengertian Hukum Acara Pidana Hukum Acara Pidana disebut juga hukum pidana formil untuk mebedakannya dengan hukum pidana materiil. Hukum pidana materiil atau hukum pidana itu berisi petunjuk dan uraian tentang delik peraturan tentang syarat-syarat dapat dipidananya suatu perbuatan, petunjuk tentang orang yang dapat dipidana dan aturan tentang pemidanaan yaitu mengatur kepada siapa dan bagaimana pidana itu dapat dijatuhkan, sedangkan Hukum Acara Formill mengatur bagaimana negara melalui alat-alatnya melaksanakan haknya untuk memidanakan dan menjatuhkan pidana.8 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tidak memberikan devinisi tentang hukum acara pidana, tetapi bagian-bagiannya seperti penyidikan, penuntutan, mengadili, praperadilan, putusan pengadilan, upaya hukum, penyitaan, penggeledahan, penangkapan, penahanan, dan lain-lain. Untuk mengetahui definisi Hukum Acara Pidana, maka di bawah ini diberikan beberapa definisi menurut pandangan para sarjana baik sarjana baik sarjana barat maupun sarjana timur yang dikutip oleh Suryono Sutarto9 antara lain : a.
b.
8
J. de Bosch Kemper Hukum Acara Pidana adalah sejumlah asas-asas dan peraturanperaturan undang-undang yang mengatur hak Negara untuk menghukum bilamana undang-undang pidana dilanggar. D. Simons
Andi Hamzah, Op, Cit. hlm 15 Suryono Sutarto, Sari Hukum Acara Pidana I, Semarang : Yayasan Cendekia Purna Dharma, 1987. hal. 5 9
10
c.
d.
Hukum Acara Pidana bertugas mengatur cara-cara negara dengan alat perlengkapannya mempergunakan haknya untuk memidana dan menjatuhi pidana. Wirjono Prodjodikoro Hukum Acara Pidana adalah suatu peraturan yang mengatur cara bagaimana hak badan pemerintah berhak menuntut jika terjadi suatu tindak pidana, cara bagaimana akan didapat suatu putusan pengadilan, cara bagaimana dan oleh siapa suatu putusan pengadilan yang menjatuhkan suatu hukuman dapat dilaksanakan. Sudarto Hukum Acara Pidana adalah aturan-aturan yang membrikan petunjuk apa yang harus dilakukan oleh aparat penegak hukum dan pihak-pihak atau orang lain yang terlibat di dalamnya, apabila ada persangkaan bahwa Hukum Pidana dilanggar.
Secara singkat bahwa dapat diartikan bahwa, Hukum Acara Pidana dapat dirumuskan sebagai aturan-aturan tentang tata cara penyelenggaraan peradilan pidana dimana adresat Hukum Acara Pidana adalah masyarakat dalam arti luas (termasuk para penegak hukum di dalamnya). Tepatlah kiranya bahwa aturan dalam Hukum Acara Pidana itu tidak hanya ditujukan kepada para penegak hukumnya saja tetapi juga ditujukan pula kepada pihak-pihak atau orang lain yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung di dalamnya. Dapat diutarakan juga bahwa Hukum Acara Pidana dapat dirumuskan sebagai aturanaturan tentang tata cara penyelenggaraan peradilan pidana. 2. Tujuan Hukum Acara Pidana Suatu peraturan hukum pastinya dibuat dengan memiliki suatu tujuan yang nantinya hendak untuk dicapai. Peraturan hukum apabila dibuat tanpa suatu tujuan maka tidak akan memiliki nilai guna atau manfaat, begitupun sebaliknya jika sebuah peraturan hukum itu dibuat berdasarkan suatu tujuan maka akan memiliki
11
suatu nilai guna yang nantinya akan berguna dalam pelaksanaannya. Semakin baik tujuan yang akan dicapai maka semakin bernilai dan semakin diataatinya peraturan itu oleh masyarakat dalam hal untuk mencari sebuah keadilan. Tujuan Hukum Acara Pidana menurut Suryono Sutarto10 adalah : “Untuk mencari dan menemukan kebenaran material ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan-ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk mencari siapa pelaku yang dapat didakwakan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya minta pemeriksaan dan putusan pengadilan guna menentukan apakah terbukti bahwa suatu tindakantindakan pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan.” Van Bemmelen mengemukakan tiga fungsi hukum acara pidana seperti yang dikutip oleh Andi Hamzah11 yaitu sebagai berikut : 1. Mencari dan menemukan kebenaran. 2. Pemberian keputusan oleh hakim. 3. Pelaksana keputusan. Van Bemmelen dikutip oleh DR. Bambang Poernomo, S.H, menjelaskan fungsi hukum acara pidana pada pada hakekatnya berawal pada tugas mencari dan menemukan kebenaran menurut hukum. Hakekat mencari dan menemukan kebenaran hukum sebagai tugas awal hukum acara pidana ini, menjadi landasan dari tugas berikutnya dalam memberikan suatu putusan hakim dan tugas melaksanakan (eksekusi) putusan hakim. Ketiga tugas pokok hukum acara pidana
10 11
Ibid., hal.10. Andi Hamzah, Op. Cit. hlm 8
12
tersebut sudah disimpulkan oleh Van Bemmelen dalam rangka memperjelas fungsi hukum acara pidana.12 Tujuan Hukum Acara Pidana memang pada hakekatnya mencari kebenaran. Para penegak hukum mulai dari Polisi, Jaksa, sampai pada Hakim dalam menyidik, menuntut dan mengadili perkara senantiasa harus berdasar kebenaran dan harus berdasarkan hal-hal yang sungguh-sungguh terjadi. Sebenarnya tujuan Hukum Acara Pidana dikategorikan menjadi dua yaitu : 1. Tujuan awal berupa mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil dan, 2. Tujuan akhir untuk mencapai suatu keadilan, kemanfaatan, ketertiban, dan suatu kepastian hukum. Pelaksanaannya para penegak hukum tidak hanya mengejar tujuan awalnya saja untuk mencari dan mendapatkan kebenaran materiil tetapi juga harus terpenuhinya tujuan akhirnya yaitu untuk mencapi suatu keadilan, kemanfaatan, ketertiban dan kepastian hukum. B. Asas-Asas Hukum Acara Pidana Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur perlindungan terhadap keluhuran harkat serta martabat manusia yang telah diletakkan di dalam undang-undang, baik pada waktu pemeriksaan permulaan maupun pada waktu persidangan pengadilan. Terdapat asas-asas atau prinsipprinsip dalam hukum acara pidana yang menjadi patokan hukum sekaligus merupakan tonggak pedoman bagi instansi jajaran aparat penegak hukum dalam 12
DR. Bamabng Poernomo, Orientasi Hukum Acara Pidana Indonesia, Yogyakarta:Amarta Buku Yogyakarta, 1988. Hlm. 17
13
menerapkan pasal-pasal KUHAP. Asas-asas penting yang terdapat dalam Hukum Acara Pidana, yaitu : 1. Asas Oportunitas Asas ini terdapat dalam hukum acara pidana, bahwa setiap perkara pidana harus diajukan ke depan hakim. Kitab Undang-Undang Hukum Aacara Pidana dalam Konsideran huruf a merumuskan sebagai berikut : “Bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta yang menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Asas oportunitas berarti sekalipun seorang tersangka telah terang cukup bersalah menurut pemeriksaan penyidikan, dan kemungkinan besar akan dapat dijatuhi hukuman, namun hasil pemeriksaan tersebut tidak dilimpahkan ke sidang pengadilan oleh penuntut umum.13 Maka perkara itu di “deponer” (dikesampingkan) oleh pihak kejaksaan atas dasar pertimbangan “demi kepentingan umum”. Kejaksaan berpendapat, akan lebih bermanfaat bagi kepentingan umum jika perkara itu tidak diperiksa di muka sidang pengadilan. Pasal 8 Undang-Undang Pokok Kejaksaan Nomor 15 Tahun 1961, yang memberi wewenang kepada Kejaksaan Agung untuk mendeponer atau menyampingkan suatu perkara berdasar alasan “demi kepentingan umum”. Hal ini diperjelas lagi oleh penjelasan Pasal 77 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yaitu yang dimaksud
13
M. Taufik Makarao dan Suhasril, Op, Cit. hlm. 3.
14
penghentian penuntutan tidak termasuk penyampingan perkara untuk kepentingan umum yang menjadi wewenang Jaksa Agung. 2. Asas Semua Orang Diperlakukan Sama di Depan Hukum (Equality Before the Law) Asas ini diatur dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan penjelasan umum butir 3 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mrumuskan sebagai berikut : “Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang”. Sedangkan penjelasan umum butir 3 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana merumuskan sebagai berikut: “Perlakuan yang sama atas diri setiap orang dimuka hukum dengan tidak mengadakan perbedaan perlakuan”. Melihat kedua pasal di atas, dapat dilihat bahwa dalam pelaksanaan pemeriksaan dalam pengadilan itu sangat tidak dianjurkan adanya pembedabedaan antara terdakwa, saksi, jaksa, polisi, pejabat sekelas bupati, gubernur, bahkan sekalipun itu presiden. Semuanya dianggap sama di depan hakim, semuanya melalui proses yang sama dalam pemeriksaan dan mereka sama-sama memiliki kewajiban dan hak yang sama pula pada pemeriksaan pengadilan.
15
Romli Atmasasmita14 dalam bukunya mengatakan bahwa : “Asas persamaan di muka hakim tidak secara eksplisit tertuang dalam KUHAP, akan tetapi asas ini merupakan bagian yang tak terpisahkan dari KUHAP. Ditempatkannya asas ini sebagai satu kesatuan menunjukan bahwa betapa pentingnya asas ini dalam tata kehidupan Hukum Acara Pidana di Indonesia.” 3. Asas Praduga Tak Bersalah Asas ini kita jumpai pada Penjelasan Umum butir 3 huruf c UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Asas ini juga telah dirumuskan dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang merumuskan sebagai berikut : “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.” Asas praduga tak bersalah ditinjau dari segi teknis yuridis ataupun dari segi teknis penyidikan dinamakan “prinsip akusator”. M. Yahya Harahap15 menjelaskan : “Bahwa prinsip akusator menempatkan kedudukan tersangka/terdakwa dalam setiap tingkat pemeriksaan: a) Adalah subjek: bukan menjadi objek pemeriksaan, karena itu tersangka atau terdakwa harus didudukkan dan diperlakukan dalam kedudukan manusia yang mempunyai harkat martabat harga diri, b) Yang menjadi objek pemeriksaan dalam prinsip akusator adalah “kesalahan” (tindak pidana), yang dilakukan tersangka/terdakwa. Kearah itulah pemeriksaan ditujukan.” Asas praduga tak bersalah yang dimiliki Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dengan sendirinya memberi pedoman kepada aparat penegak hukum untuk menggunakan prinsip akusator dalam setiap tingkat pemeriksaan.
14
Romli Atmasasmita. 1983. Bunga Rampai Hukum Acara Pidana : Bina Cipta, hal.30. M. Yahya, Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Penyidikan dan Penuntutan), Jakarta: Sinar Garfika, 2000, hlm. 40. 15
16
4. Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan Asas ini terdapat dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman Nomor 48 Tahun 2009 yang merumuskan sebagai berikut : “Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.” Beberapa ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dapat dilihat sebagai penjabaran asas peradilan cepat, salah satunya Pasal 50 UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang merumuskan sebagai berikut: “Tersangka berhak segera mendapat pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya dapat diajukan kepada penuntut umum. Tersangka berhak perkaranya dimajukan ke pengadilan oleh penuntut umum. Terdakwa berhak segera diadili oleh pengadilan.” Peradilan tidak bertele-tele dan berbelit-belit, apalagi jika kelambatan penyelesaian kasus peristiwa pidana itu disengaja, sudah barang tentu kesengajaan yang seperti itu merupakan perkosaan terhadap hukum dan martabat manusia. Betapa susahnya seorang tersangka atau terdakwa diombang-ambing oleh rasa ketidakpastian yang berlarut-larut disebabkan sangkaan atau dakwaan yang dituduhkan kepadanya berkelamaan menghantui dirinya tanpa suatu penyelesaian akhir. Menurut M. Yahya Harahap16 : “Idealisme penegakkan hukum yang dimiliki aparat penegak hukum yang paling menentukan, karena dengan dukungan idealism yang kuat, aparat penegak hukum memahami kedudukan mereka bukan semata-mata “alat kekuasaan”, tetapi kelompok “manusia pelayan” atau agency of service. Kesadaran agency of service yang dapat menggugah mereka melaksanakan pelayanan hukum yang cepat, tepat, dan sederhana.” 16
Ibid, hlm. 53.
17
Pasal-pasal lain yang berkaitan dengan hal ini adalah Pasal 102 ayat (2), Pasal 106, Pasal 107 ayat (3), dan Pasal 140 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. 5. Asas Akusator dan Inkisitor (accusatoir dan inqisitoir) Asas akusator adalah asas atau prinsip akusator yang menempatkan kedudukan tersangka atau terdakwa dalam setiap tingkat pemeriksaan: 1. Adalah subjek: bukan menjadi objek pemeriksaan, karena itu tersangka atau terdakwa harus didudukkan dan diperlakukan dalam kedudukan manusia yang mempunyai harkat martabat harga diri, 2. Yang menjadi objek pemeriksaan dalam prinsip akusator adalah “kesalahan” (tindak pidana), yang dilakukan tersangka/terdakwa. Kearah itulah pemeriksaan ditujukan.17 Asas akusator, tersangka maupun terdakwa dipandang sebagai subjek pemeriksaan. Ini berarti perbedaan antara pemeriksaan pendahuluan dan pemeriksaan sidang pengadilan pada dasarnya telah dihilangkan. Asas akusator ini telah ditunjukkan dalam Pasal 54 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yang berisi ketentuan untuk memberikan kebebasan kepada tersangka maupun terdakwa untuk mendapatkan penasehat hukumnya. Pemeriksaan asas inkisitor adalah tersangka dipandang sebagai objek pemeriksaan. Asas inkisitor ini sesuai dengan pandangan bahwa
17
Loc. Cit.
18
pengakuan tersangka merupakan alat bukti terpenting. Pemeriksa selalu berusaha mendapatkan pengakuan dari tersangka, dan untuk mencapai maksud tersebut pemeriksa terkadang melakukan tindakan kekerasan atau penganiayaan. Menurut Andi Hamzah18, bahwa : “Sesuai dengan hak-hak asasi manusia yang sudah menjadi ketentuan universal, maka asas inkisitor telah ditinggalkan oleh banyak negara beradab. Selaras dengan itu, berubah pula sistem pembuktian yang alatalat bukti berupa pengakuan diganti dengan keterangan terdakwa, begitu pula penambahan alat bukti berupa keterangan ahli.” Asas inkisitor inilah yang dulu dijadikan landasan pemeriksaan dalam periode HIR. HIR sama sekali tidak memberi hak dan kesempatan yang wajar bagi tersangka atau terdakwa untuk membela diri dan mempertahankan hak dan kebenarannya. 6. Tersangka atau Terdakwa Berhak Mendapat Bantuan Hukum Pasal 69 sampai dengan Pasal 74 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana diatur mengenai Bantuan Hukum, dimana tersangka atau terdakwa mendapat kebebasan yang sangat luas, antara lain menurut M. Yahya Harahap19 : a. Bantuan hukum dapat diberikan sejak saat tersangka/terdakwa ditangkap atau ditahan. b. Bantuan hukum dapat diberikan pada semua tingkat pemeriksaan. c. Penasehat hukum dapat menghubungi tersangka/terdakwa pada semua tingkar pemeriksaan dan pada setiap waktu. d. Penyidik dan penuntut umum tidak mendengarkan pembicaraan antara penasehat hukum dan tersangka kecuali pada perkara/kejahatan terhadap keamanan negara. e. Tersangka atau penasehat hukum berhak mendapat turunan berita guna kepentingan pembelaan.
18 19
Andi Hamzah, Loc.,Cit. M. Yahya Harahap, Op.Cit., hlm. 21.
19
f. Penasehat hukum berhak mengirim dan menerima surat dari tersangka/terdakwa. Asas bantuan hukum bagi tersangka atau terdakwa ini telah menjadi ketentuan universal di negara-negara demokrasi dan beradab. International Covenant on Civil and Political Rights article 14 sub 3d menyebutkan bahwa kepada tersangka atau terdakwa diberikan jaminan diadili dengan kehadiran terdakwa, membela diri sendiri secara pribadi atau dengan bantuan penasihat hukum menurut pilihannya sendiri, diberitahu tentang hak-haknya ini jika ia tidak mempunyai penasihat hukum untuk dia, jika untuk kepentingan peradilan perlu untuk itu, dan jika ia tidak mampu mebayar penasihat hukum, ia dibebaskan dari pembayaran.20 7. Asas Peradilan Terbuka untuk Umum Pasal yang mengatur tentang asas ini adalah Pasal 153 ayat (3) dan (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, merumuskan sebgai berikut : “Untuk keperluan pemeriksaan hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak.” Pasal 153 ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana merumuskan sebagai berikut: “Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (2) dan ayat (3) mengakibatkan batalnya putusan demi hukum.” Ketentuan ini ada pengecualiannya sepanjang mengenai perkara yang menyangkut “kesusilaan” atau yang duduk sebagai terdakwa terdiri dari “anak-anak”, dalam
20
Andi Hamzah, Op.Cit., hlm. 23.
20
hal ini persidangan dapat dilakukan dengan “pintu tertutup”. Menurut Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril21 “Pengecualian terhadap kesusilaan dan anak-anak alasannya karena kesusilaan dianggap masalahnya sangat pribadi sekali. Tidak patut untuk mengungkapkan dan memaparkan secara terbuka di muka umum. Begitu juga dengan anak-anak, melakukan kejahatan karena kenakalan”. Asas terbuka untuk umum dapat lebih menjamin obyektifitas peradilan dan tujuannya memberikan perlindungan terhadap hak-hak asasi terdakwa. 8. Asas Ganti Kerugian dan Rehabilitasi Asas ini terdapat dalam penjelasan umum butir 3 huruf d Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Pasal 9 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman juga mengatur ketentuan ganti rugi. Secara rinci, pasal yang mengatur ganti kerugian dan rehabilitasi adalah Pasal 95 sampai dengan Pasal 101 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Didalam Kitab undang-Undang Hukum Acara Pidana tererdapat penggabungan pidana dengan ganti rugi yaitu diatur dalam Pasal 98 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, menyebutkan : “Jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu pemeriksaan perkara pidana oleh pengadilan negeri menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka hakim ketua sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kepada perkara pidana itu.” Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana memberikan prosedur hukum bagi seorang “korban” tindak pidana, untuk menggugat ganti rugi yang bercorak
21
Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril, Op.Cit., hlm. 9.
21
perdata terhadap terdakwa bersamaan dengan pemeriksaan perkara pidana yang sedang berlangsung. Penggabungan masalah ini dapat diajukan selambatlambatnya sebelum penuntut umum mengajukan tuntutan pidana (requisitur).22 9. Pemeriksaan Hakim Yang Langsung dan Lisan Ketentuan mengenai pemeriksaan hakim yang langsung dan lisan diatur dalam Pasal 154 dan Pasal 155 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Pemeriksaan di sidang pengadilan dilakukan oleh hakim secara langsung, artinya langsung kepada terdakwa dan para saksi. Berbeda dengan acara perdata, dimana tergugat dapat diwakili oleh kuasanya. Pemeriksaan juga dilakukan secara lisan artinya bukan tertulis antara hakim dan terdakwa. Pengecualian yang dipandang dari asas langsung ialah kemungkinan putusan dijatuhkan tanpa hadirnya terdakwa, yaitu putusan verstek atau in absentia. Tetapi, ini hanya merupakan pengecualian, yaitu dalam acara pemeriksaan perkara pelanggaran lalu lintas jalan yaitu Pasal 213 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang berbunyi: “Terdakwa dapat menunjuk seseorang dengan surat untuk mewakili di sidang”.23 M. Yahya Harahap24 berpendapat: “Pasal 153 ayat (2) huruf a KUHAP menegaskan ketua sidang dalam memimpin sidang pengadilan, dilakukan secara langsung dan lisan. Tidak boleh pemeriksaan dengan perantaraan tulisan baik terhadap terdakwa 22
Ibid. hlm. 7 Ibid. hlm. 25. 24 M. Yahya Harahap, Op.Cit., hlm.113. 23
22
maupun saksi-saksi. Kecuali bagi mereka yang bisu atau tuli, pertanyaan dan jawaban dapat dilakukan secara tertulis. Prinsip pemeriksaan dalam persidangan dilakukan secara langsung berhadap-hadapan dalam ruang sidang. Semua pertanyaan diajukan dengan lisan dan jawaban atau keteranganpun disampaikan dengan lisan, tiada lain untuk memenuhi tujuan agar persidangan benar-benar menemukan kebenaran yang hakiki. Sebab dari pemeriksaan secara langsung dan lisan, tidak hanya keterangan terdakwa atau saksi saja yang dapat didengar dan diteliti, tetapi sikap dan cara mereka memberikan keterangan dapat menentukan isi dan nilai keterangan.”
C. Pembuktian Dalam Hukum Acara Pidana 1. Pengertian Pembuktian Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting dalam proses sidang pengadilan. Melalui pembuktian ditentukan nasib dari terdakwa. Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan oleh undangundang tidak cukup untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa maka terdakwa dapat dibebaskan dari hukuman, sedangkan apabila terdakwa memang terbukti secara sah dan menyakinkan terbukti melakukan kesalahan maka terdakwa dapat dijatuhi hukuman. Hartono25 memberikan pengertian umum mengenai pembuktian seperti berikut ini : “Pembuktian adalah menunjukan ke hadapan tentang suatu keadaan yang bersesuaian dengan induk persoalan, atau dengan kata lain adalah mencari kesesuaian antara peristiwa induk dengan akar-akar peristiwanya.” Kesesuain tersebut tentu saja tidak harus diartikan sebagai suatu kesamaan, tetapi dapat juga atau harus diartikan adanya korelasi, atau adanya hubungan saling mendukung terhadap penguatan atau pembenaran karena hukum. 25
Hartono. 2010. Penyidikan & Penegakan Hukum Pidana melai Pendekatan Hukum Progresif :Semarang : Sinar Grafika, hal. 59.
23
Sehubungan dengan pembahasan sistem pembuktian, terdapat suatu prinsip yang sangat berkaitan dengan pembuktian yaitu adalah “batas minimum pembuktian”. Prinsip tersebut yang mengatur batas yang harus dipenuhi untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Atau dengan kata lain prinsip batas minimum pembuktian ini adalah merupakan suatu prinsip yang harus dipedomani dalam menilai cukup atau tidaknya alat bukti yang dipergunakan untuk membuktikan salah atau tidaknya terdakwa. Seperti yang terdapat pada Pasal 183 UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang merumuskan sebagai berikut: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang melakukannya” Melihat pasal tersebut dapat diartikan bahwa, untuk menjatuhkan pidana kepada seseorang baru boleh dilakukan hakim apabila kesalahan terdakwa telah dapat dibuktikan dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah tersebut. Sehinggga minimum pembuktian yang dianggap cukup membuktikan kesalahan terdakwa agar kepadanya dapat dijatuhi pidana. Satu alat bukti saja undangundang menganggapnya tidak atau belum cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa. 2. Teori Sistem Pembuktian Teori atau sistem pembuktian dapat digunakan untuk menilai kekuatan pembuktian alat-alat bukti yang ada dan yang tercantum dalam Kitab undang-
24
Undang Hukum Acara Pidana. Adapun beberapa teori atau sistem pembuktian adalah sebagai berikut : 1. Sistem Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Semata (Conviction In Time) Sistem pembuktian ini menentukan salah tidaknya seorang terdakwa semata-mata ditentukan oleh penilaian “keyakinan hakim”. Keyakinan tersebut diambil dan disimpulkan hakim dari alat-alat bukti yang diperiksanya dalam sidang pengadilan. Dapat juga bukti-bukti tersebut diabaikan dan langsung menarik keyakinan dari keterangan yang terdakwa berikan dalam persidangan. Sistem pembuktian Conviction-in Time dalam pelaksanaannya dianggap memiliki kelemahan, karena hakim menjatuhkan pidana hanya menggunakan keyakinannya saja tanpa melihat dan memperhatikan bukti-bukti lainnya. Hakim dapat dengan leluasa membebaskan terdakwa dari tindak pidana yang dilakukan walaupun kesalahan terdakwa telah cukup terbukti dengan bukti yang lengkap, selama hakim tidak yakin atas perbuatan terdakwa. Begitu pula dengan sebaliknya, apabila kesalahan terdakwa tidak terbukti dengan bukti yang sah, terdakwa dapat tetap dinyatakan bersalah semata-mata atas keyakinan dari hakim.26 M.Yahya Harahap27 dalam bukunya berpendapat bahwa : “Keyakinan hakim disini sangatlah dominan dalam menentukan bersalah atau tidaknya terdakwa dengan mengesampingkan alat-alat bukti yang sah. Nasib dari terdakwa dalam hal ini sangat bergantung pada keyakinan 26 27
M. Yahya Harahap.2000.,Op.Cit. hal. 277. Loc.Cit.
25
hakim semata, keyakinan hakimlah yang menentukan wujud kebenaran sejati dalam sistem pembuktian ini.” 2. Sistem Pembuktian Berdasar Keyakinan Hakim Atas Alasan yang Logis (Conviction In Raisone) Sebagai jalan tengah, muncul sistem yang disebut pembuktian yang berdasar keyakinan hakim sampai batas tertentu (la conviction raisonnee). Menurut teori ini hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasar keyakinannya, keyakinan yang didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusive) yang berlandaskan kepada peraturanperaturan pembuktian tertentu. Hakim wajib menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan apa yang menjadi dasar keyakinannya atas kesalahan terdakwa.28 M. Yahya Harahap29 berpendapat bahwa : “Keyakinan hakim dalam sistem pembuktian convition in raisone harus dilandasi oleh “reasoning” atau alasan-alasan dan alasan itu sendiri harus “reasonable” yakni berdasarkan alasan-alasan yang dapat diterima oleh akal dan nalar, tidak semata-mata berdasarkan keyakinan yang tanpa batas. Sistem pembuktian ini sering disebut dengan sistem pembuktian bebas.” Sistem ini membebaskan hakim dari keterikatan alat-alat bukti. Hakim menjatuhkan putusan berdasarkan “keyakinan” atas dasar alasan-alasan yang logis yang dianut dalam putusan. Jadi keyakinan hakim tersebut disertatai dengan alasan-alasan yang berdasarkan logika.30 3. Sistem Pembuktian Menurut Undang-Undang secara Positif (Positief Weetelijk Bewijstheori) 28
Andi Hamzah, Op.Cit., hlm. 253. Yahya Harahap, Op.Cit., hlm. 277. 30 Dr. Laden Marpaung. 2009. Proses Penanganan Perkara Pidana (Penyelidikan dan Penyidikan). Jakarta: Sinar Grafika. hal 28 29
26
Sistem pembuktian ini bertolak belakang dengan sistem pembuktian conviction in time, karena sistem ini menganut ajaran bahwa bersalah tidaknya terdakwa didasarkan kepada ada tiadanya alat-alat bukti sah menurut undangundang yang dapat dipakai membuktikan kesalahan terdakwa. Teori ini mengesampingkan keyakinan hakim, sekalipun hakim yakin akan kesalahan yang dilakukan terdakwa, akan tetapi apabila dalam pemeriksaan di persidangan pengadilan, perbuatan terdakwa tidak didukung alat bukti yang sah menurut undang-undang maka terdakwa harus dibebaskan.31 Sistem ini berpedoman pada prinsip pembuktian menggunakan alat-alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang. Untuk membuktikan bersalah atau tidaknya terdakwa semata-mata hanya digantungkan pada alat bukti yang sah saja. Asalkan sudah dipenuhi syarat-syarat dan ketentuan pembuktian menurut undangundang,
sudah
cukup
untuk
menentukan
kesalahan
terdakwa
tanpa
mempersoalkan keyakinan hakim. Sistem ini benar-benar menuntut hakim untuk mencari dan menemukan kebenaran salah atau tidaknya terdakwa sesuai dengan tata cara pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan dalam undangundang. 4. Sistem Atau Teori Pembuktian Menurut Undang-Undang secara Negatif (Negatief Weetelijk Stelsel) Sistem pembuktian di Indonesia adalah Negatief Wettelijk, yakni keyakinan yang disertai dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Membuktikan kesalahan terdakwa dalam melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, hakim tidak sepenuhnya mengandalkan alat-alat serta dengan cara-cara yang ditentukan undang-undang. Harus disertai pula keyakinan
31
M. Yahya Harahap, Loc. Cit. hlm. 278
27
bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana. Keyakinan yang dibentuk ini haruslah didasarkan atas fakta-fakta yang diperoleh dari alat bukti yang ditemukan dalam undang-undang. Kesimpulan yang dapat ditarik dari kegiatan pembuktian didasarkan pada dua hal, yaitu alat-alat bukti dan keyakinan yang merupakan kesatuan tidak dipisahkan, dan tidak berdiri sendiri-sendiri. Menurut M. Yahya Harahap32, untuk menentukan bersalah atau tidaknya seorang terdakwa berdasarkan sistem pembuktian undang-undang secara negative terdapat 2 komponen, yaitu : 1. Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat bukti yang sah menurut undang-undang, 2. Dan keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas dan dengan cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Kalimat tersebut menunjukkan bahwa pembuktian harus didasarkan kepada undang-undang (KUHAP), yaitu alat bukti yang sah tersebut dalam Pasal 184 KUHAP, disertai dengan keyakinan hakim yang diperoleh dari alat-alat bukti tersebut. Apabila salah satu unsur diantara dua unsur itu tidak ada, maka tidak cukup mendukung keterbuktian kesalahan terdakwa. Hakim baru diwajibkan menghukum orang, apabila hakim berkeyakinan bahwa peristiwa pidana yang bersangkutan adalah terbukti. Terlihat juga dalam Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang merumuskan : “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
32
M. Yahya Harahap. Op, Cit. hal. 279.
28
Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana tersebut secara jelas dikatakan bahwa sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif, tidak memperkenankan hakim untuk memutuskan seseorang itu bersalah atau tidak tanpa melihat dan mempertimbangkan alat bukti yang sah menurut undang-undang dan disertai pula dengan keyakinannya yang menguatkan bahwa terdakwa yang benar-benar melakukan kesalahan. Sistem pembuktian inilah yang diterapkan di Indonesia sampai saat ini karena sistem ini dianggap sistem yang terbaik dari sistem lainnya, dimana sistem ini memberikan keseimbangan antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan sistem pembuktian berdasarkan keyakinan. Hal tersebut juga berkaitan dengan tujuan dari Hukum Acara Pidana yaitu tujuan awalnya mencari dan mendapatkan setidak-tidaknya medekati kebenaran materiil dan tujuan akhirnya berupa mencapai suatu keadilan, kemanfaatan, ketertiban, dan kepastian hukum yang semuanya dapat diwujudkan dengan menggunakan sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif ini.
D. Alat Bukti Keterangan Saksi 1. Pengertian Alat Bukti Keterangan Saksi Alat bukti keterangan saksi terdapat dalam urutan pertama dari beberapa alat bukti yang diatur dalam Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Mengenai Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Adapun pengertian
29
yuridis diatur dalam Pasal 1 Butir 27 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Mengenai Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana adalah : “Keterangan Saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebutkan alasan dari pengetahuannya itu.” Berdasarkan perumusan di atas, maka dalam keterangan saksi, hal yang harus diungkapkan didepan sidang pengadilan adalah,33 1. Yang ia dengar sendiri, bukan hasil cerita atau hasil pendengaran dari orang lain. Saksi secara pribadi harus mendengar langsung peristiwa pidana atau yang kejadian yang terkait dengan peristiwa pidana tersebut. 2. Yang ia lihat sendiri, kejadian tersebut benar-benar disaksikan langsung dengan mata kepala sendiri oleh saksi baik secara keseluruhan ataupun rentetan, fragmentasi peristiwa pidana yang diperiksa. 3. Yang ia alami sendiri sehubungan dengan perkara yang sedang diperiksa, biasanya merupakan korban dan menjadi saksi utama dari peristiwa pidana yang bersangkutan. Pasal 160 Ayat (1) huruf b menyatakan bahwa yang pertama kali didengar adalah saksi korban. 4. Didukung oleh sumber dan alasan dari pengetahuannya itu, sehubungan dengan peristiwa, keadaan, kejadian yang didengar, dilihat, dan atau dialaminya. Setiap unsur keterangan harus diuji kebenarannya. Antara keterangan saksi dan sumbernya harus benarbenar konsisten satu dengan yang lainya. Saksi merupakan orang yang memberi keterangan di muka hakim untuk kepentingan terdakwa maupun korban dalam proses persidangan. Kemudian saksi yang pertama didengar keteranganya oleh hakim adalah korban yang menjadi saksi ( Pasal 160 ayat 1 huruf b KUHAP ) .34
33 34
Andi Hamzah, Op, Cit, hal 268. Dr. Leden Marpaung, Op. Cit., hlm 107
30
Saksi korban adalah orang yang dirugikan akibat terjadi kejahatan atau pelanggaran akibat suatu tindak pidana. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan saksi lain didengar keterangannya terlebih dahulu. Saksi ini diharapkan dalam proses acara pidana adalah saksi yang ia mendengar, ia mengalami, dan ia melihat dengan mata kepala sendiri dan bukan saksi yang ia mendengar atau memperoleh keterangan dari orang lain. Selain itu juga saksi harus mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agama atau kepercayaannya masing-masing, bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya. Menurut M. Yahya Harahap35 yang menerangkan bahwa: “Hampir semua pembuktian perkara pidana selalu bersandar kepada pemerikasaan keterangan saksi. Sekurang-kurangnya, disamping pembuktian dengan alat bukti yang lain, masih selalu diperlukan pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi”. 2. Syarat-Syarat Alat Bukti Keterangan Saksi Ditinjau dari segi nilai dan kekuatan pembuktian (the degree of evidence) selain hal hal yang harus dibuktikan seorang saksi dalam persidangan, saksi juga harus memenuhi syarat-syarat agar saksi itu sah yaitu, Syarat yang harus dipenuhi agar keterangan saksi dapat dikatakan sah adalah: a. Seorang saksi harus mengucapkan sumpah dan janji ; Ketentuan ini diatur dalam Pasal 160 ayat (3) KUHP, yang menyatakan bahwa sebelum saksi memberikan keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah/janji: 35
M. Yahya Harahap, Op, Cit..hal 286
31
1. Dilakukan menurut agamanya masing-masing; 2. Lafal sumpah atau janji berisi bahwa saksi akan memberikan keterangan yang sebenar-benarnya dan tidak lain dari pada yang sebenarnya; 3. Sumpah pada prinsipnya wajib diucapkan “sebelum” saksi meberikan keterangan; 4. Tapi dalam hal dianggap perlu oleh pengadilan, sumpah atau janji dapat diucapkan “sesudah” saksi meberi keterangan. b. Keterangan saksi yang bernilai sebagai alat bukti Keterangan saksi yang dianggap bernilai sebagai alat bukti dalam perkara pidana adalah keterangan saksi mengenai suatu peristiwa pidana antara lain : 1. 2. 3. 4.
Yang saksi lihat sendiri; Saksi mendengar sendiri; Saksi alami sendiri; dan Saksi menyebutkan alasan dari pengetahuannya itu.
c. Keterangan saksi harus ddiberikan di sidang pengadilan Seorang saksi agar keterangannya tersebut dapat dijadikan sebagai alat bukti keterangan saksi, maka saksi dalam memberikan keterangan harus diberikan di sidang pengadilan. d. Keterangan seorang saksi saja tidak cukup. Supaya keterangan saksi dapat dianggap cukup membuktikan kesalahan terdakwa harus membuktikan paling sedikit atau sekurang-kurangnya dengan dua alat bukti. Dengan demikian keterangan seseorang saksi saja baru bernilai sebagai satu alat bukti lain. Jadi bertitik tolak dari ketentuan Pasal 185 ayat (2) KUHAP, keterangan seorang saksi saja belum dapat dianggap sebagai alat bukti yang cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Ini berarti jika alat bukti yang dikemukakan penuntut umum hanya terdiri dari seorang saksi saja tanpa ditambah dengan keteragan saksi yang lain atau alat bukti yang lain. Kesaksian tunggal
32
yang semacam ini tidak dapat dinilai sebagai alat bukti yang cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa sehubungan dengan tindak pidana yang didakwakannya. Asas ini terkenal dengan sebutan asas unus testis nulus testis (Pasal 185 ayat 2 KUHAP).36 Salah satu syarat sah keterangan saksi dapat dijadikan sebagai alat bukti adalah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan ( Pasal 185 ayat (1) KUHAP). Apabila seseorang yang menolak untuk memberikan keterangan kesaksian di depan persidangan walaupun telah dipanggil secara sah, kepadanya dapat dikenakan tuntutan pidana berdasarkan undang-undang yang berlaku. Dari penjelasan bunyi Pasal 1 angka 27 KUHAP yang dihubungkan dengan penjelasan Pasal 185 ayat (1) KUHAP dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Setiap keterangan saksi diluar apa yang didengar sendiri dalam peristiwa pidana yang terjadi atau diluar yang dilihat atau yang dialaminya dalam peristiwa pidana yang terjadi, keterangan yang diberikan di luar pendengaran, pengelihatan, atau pengalaman sendiri mengenai suatu peristiwa pidana yang terjadi tidak dapat dijadikan dan dinilai sebagai alat. Keterangan semacam ini tidak mempunyai kekuatan nilai pembuktian. 2. Testimonium de Auditu atau keterangan saksi yang ia peroleh sebagai hasil pendengaran dari orang lain, tidak mempunyai nilai sebagai alat butki. Keterangan saksi di sidang pengadilan berupa keterangan ulangan dari apa yang didengarnya dari orang lain. Keterangan saksi seperti ini tidak dapat dianggap alat bukti. 3. Pendapat atau rekaan yang saksi peroleh dari hasil pemikiran, bukan merupakan keterangan sasksi. Penegasan ini sesuai dengan ketentuan Pasal 185 ayat (5). Oleh karena itu keterangan sasksi yang bersifat pendapat atau hasil pemikiran saksi, harus dikesampingkan dari pembuktian dalam pembuktian kesalahan terdakwa. Keterangan yang bersifat dan berwarna pendapat dan pemikiran pribadi saksi tidak dapat dinilai sebagai alat bukti.37
36 37
Yahya Harahap, Loc Cit. hlm. 288 Loc Cit
33
Dalam KUHAP melarang kesaksian yang diperoleh dari orang lain. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 185 ayat (5) KUHAP yaitu: “Baik pendapat maupun rekaan yang diperoleh dari hasil pemikiran saja bukan merupakan keterangan saksi”. e. Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri Pasal 185 ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana : “Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan digunakan sebagai alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa. Sehingga dapat memberikan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu”. Dari ketentuan Pasal 185 ayat (4) KUHAP, maka keterangan beberapa orang saksi baru dapat dinilai sebagai alat bukti serta mempunyai kekuasaan pembuktian, apabila keterangan para saksi tersebut terdapat persesuaian serta saling menguatkan tentang kebenaran suatu keadaan atau kejadian tertentu. Keterangan beberapa orang saksi yang berdiri sendiri antara saksi yang satu dengan saksi yang lain tidak mempunyai nilai sebagai alat bukti, atau palingpaling saksi yang banyak tapi berdiri sendiri, masing-masing mereka akan dikategorikan saksi tunggal yang tidak memiliki nilai kekuatan pembuktian, karena keterangan saksi tunggal harus dinyatakan tidak cukup memadai membuktikan kesalahan terdakwa. 3. Cara Menilai Alat Bukti Keterangan Saksi Menilai keterangan beberapa saksi sebagai alat bukti yang sah, harus terdapat saling berhubungan antara keterangan-keterangan tersebut, sehingga dapat membentuk keterangan yang membenarkan adanya suatu kejadian atau
34
keadaan tertentu. Namun dalam menilai dan mengkonstruksi kebenaran keterangan para saksi, Pasal 185 ayat (6) KUHAP menuntut kewaspadaan hakim, untuk sungguh-sungguh memperhatikan: 1. 2. 3. 4.
Persesuaian antara keteranagn saksi; Persesuaian keterangan saksi dengan alat bukti lain; Alasan saksi memberikan keterangan tertentu; Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi tidaknya keterangan itu dipercaya.38
4. Nilai Kekuatan Pembuktian Alat Bukti Keterangan Saksi Menurut M. Yahya Harahap39 kekuatan pembuktian keterangan saksi sebagai alat bukti yang sah adalah: 1. Mempunyai kekuatan pembuktian bebas, Pada alat bukti kesaksian “tidak melekat sifat pembuktian yang sempurna” (volledig bewijskracht), dan juga tidak melekat didalamnya sifat kekuatan pembuktian yang mengikat dan menentukan (beslissende bewijskracht). Tegasnya, alat bukti kesaksian sebagai alat bukti yang sah mempunyai nilai kekuatan pembuktian “bebas”. Oleh karena itu, alat bukti kesaksian sebagai alat bukti yang sah, tidak mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dan juga tidak memiliki kekuatan pembuktian yang menentukan. 2. Nilai kekuatan pembuktiannya tergantung pada penilaian hakim, Alat bukti keterangan saksi sebagai alat bukti yang bebas yang tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang sempurna dan tidak menentukan, sama sekali tidak mengikat hakim. Hakim bebas untuk menilai kesempurnaan dan kebenarannya tergantung apabila penilaian hakim untuk mengungkapnya sempurna atau tidak. Tidak ada keharusan bagi hakim untuk menerima kebenaran setiap keterangan saksi. Hakim bebas menilai kekuatan atau kebenaran yang melekat pada keterangan itu. Hakim dapat menerima atau menyingkirkannya. Dalam masalah yangnberhubungan dengan keterangan saksi ditinjau dari sah tidaknya keterangan saksi sebagai alat bukti. Ditinjau dari segi ini keterangan saksi diberikan dalam siding pengadilan dapat dikelompokkan menjadi 2 yaitu : 38
Loc Cit
39
Loc Cit
35
a. Keterangan yang diberika tanpa sumpah Dalam ketentuan Pasal 161 ayat (1) KUHAP, saksi yang telah memberikan keterangan dalam memberikan keterangan dalam pemeriksaan penyidik dengan tidak disumpah ternyata tidak dapat dihadirkan dalam pemeriksaan disidang pengadilan. Keterangan saksi yang terdapat dalam berita acara tersebut dibacakan disidang pengadilan. Akan tetapi dalam hal ini undang-undang tidak menyebutkan secara tegas nilai pembuktian yang dapat ditarik dari keterangan kesaksian yang dibacakan di sidang pengadilan. Namun demikian kalau bertitik tolak dari ketentuan Pasal 185 ayat (7) KUHAP, paling tidak nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada keterangan saksi yang dibacakan di sidang pengadilan sekurang-kurangnya dapat dipersamakan dengan keterangan saksi yang diberikan di persidangan tanpa sumpah. Jadi sifatnya tetap tidak merupakan alat bukti. Tetapi nilai kekuatan pembuktian yang melekat padanya : 1) Dapat digunakan untuk menguatkan keyakinan hakim; dan 2) Dapat bernilai dan dipergunakan sebagai tambahan alat bukti yang sah lainnya sepanjang keterangan saksi yang dibacakan tadi mempunyai memiliki persesuaian dengan alat bukti yang sah dan telah memenuhi batas minimum pembuktian. Sehubungan dengan keterangan sasksi yang dibacakan di sidang pengadilan apabila dalam pemeriksaan penyidikan saksi tersebut mengucapkan sumpah, maka keterangan saksi yang dibacakan di sidang pengadilan tetap dinilai sebagai alat bukti yang sah.
36
b. Nilai kekuatan pembuktian keterangan saksi yang disumpah Sebenarnya bukan hanya sumpah yang harus melekat pada suatu keterangan saksi agar supaya keterangan itu bersifat alat bukti yang sah. Bahwa untuk sahnya keterangan saksi sebagai alat bukti harus dipenuhi beberapa persyaratan yang ditentukan oleh undang-undang, yakni : 1) Saksi harus mengucapkan sumpah atau janji bahwa ia akan menerangkan apa yang sebenarnya terjadi dan tidak lain dari pada yang sebenarnya; 2) Keterangan yang diberikan harus mengenai peristiwa pidana yang saksi lihat sendiri, dengar sendiri, dan yang dialami sendiri dengan menyebutkan secara jelas sumber pengetahuannya. 3) Keterangan saksi harus dinyatakan di sidang pengadilan. Pernyataan keterangan diluar sidang pengadilan tidak mempunyai nilai sebagai alat bukti yang sah. 4) Keterangan seorang saksi saja bukan merupakan alat bukti yang sah karena itu harus dipenuhi batas minimum pembuktian yang diatur dalam Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.40 Penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa pengucapan sumpah saja yang menentukan bahwa suatu keterangan saksi dapat dinilai mempunyai kekuatan pembuktian, akan tetapi ada syarat lain yang harus terpenuhi. Mengenai sejauh mana kekuatan pembuktian keterangan saksi dapat dijadikan alat bukti yang sah adalah sebagia berikut : 1. Apabila suatu saksi tidak mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat, maka hakim mempunyai kebebasan untuk menilainya; 2. Apabila keterangan saksi mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang bebas artinya dapat dilumpuhkan dengan alat bukti yang lainnya berupa saksi a decharge maupun keterangan ahli atau alibi.
40
Loc Cit
37
E. Tindak Pidana Pembunuhan Berencana 1. Tindak Pidana Istilah tindak pidana merpakan terjemah dari strafbaarfeit, di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak terdapat penjelasan menegenai strafbaarfeit. Biasanya tindak pidana disinonimkan dengan delik, yang berasal dari bahasa Latin yaitu kata delictum. Dalam kamus hukum pembatasan delik tercantum sebagai berikut: “Delik adalah perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang (tindak pidana).41 Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dikenal dengan istilah strafbaarfeit dan dalam kepustakaan tentang hukum pidana sering mempergunakan delik, sedangkan pembuat undang-undang merumuskan suatu undang-undang mempergunakan istilah peristiwa pidana atau pebuatan pidana atau tindakan pidana.42 Pengertian strafbaarfeit menurut beberapa pakar antara lain: Strafbaarfeit dirumuskan oleh Pompe sebagaimana dikutip dari buku karya Lamintang, sebagai: “Suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tata tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak Sengaja telah dilakukan oleh seorang
41
Sudarsono, Kamus Hukum, Cetakan Kelima, Jakarta, P.T.Rineka Cipta, 2007, hlm 92. Amir Ilyas, Asas-Asas Hukum Pidana, Yogyakarta, Rengkang Education Yogyakarta dan Pukap Indonesia, 2012 Hlm 20. 42
38
pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum.”43 Simons mengartikan sebagaimana dikutip dalam buku Leden Marpaung strafbaarfeit sebagai berikut. “strafbaarfeit adalah suatu tindakan yang melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang tindakannya tersebut dapat dipertanggungjawabkan dan oleh undangundang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.”44 Sementara Jonkers merumuskan bahwa “Strafbaarfeit sebagai peristiwa pidana yang diartikannya sebagai suatu perbuatan yang melawan hukum (wederrechttelijk) yang berhubungan dengan kesengajaan atau kesalahan yang dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan.”45 Van Hamel merumuskan delik (strafbaarfeit) itu sebagai berikut: “Kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan.”46 S.R. Sianturi merumuskan tindak pidana sebagai berikut: “Tindak pidana adalah sebagai suatu tindakan pada, tempat, waktu, dan keadaan tertentu yang dilarang (atau diharuskan) dan diancam dengan pidana oleh undang-undang bersifat melawan hukum, serta dengan kesalahan dilakukan oleh seseorang (yang bertanggungjawab).”47 Moeljatno menyebut tindak pidana sebagai perbuatan pidana yang diartikan sebagai berikut:
43
P.A.F., Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Cetakan Keempat, Bandung, P.T.Citra Aditya Bakti, 2011, hlm 182. 44 Leden Marpaung, Asas Teori Praktik Hukum Pidana, Cetakan ketujuh, Jakarta, Sinar Grafika, 2012, hlm 8. 45 Amir Ilyas, Op.Cit, hlm 20. 46 Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana,Cetakan keempat, Jakarta, P.T.Rienka Cipta, 2010, hlm 96. 47 Amir Ilyas, Op.Cit., hlm 25.
39
“Perbuatan yang melanggar yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana yang disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi siapa saja yang melanggar larangan tersebut.”48 Andi Zainal Abidin mengemukakan istilah yang paling tepat ialah delik, dikarenakan alasan sebagai berikut: a) Bersifat universal dan dikenal dimana-mana; b) Lebih singkat, efesien, dan netral. Dapat mencakup delik-delik khusus yang subjeknya merupakan badan hukum, badan, orang mati; c) Orang memakai istilah strafbaarfeit, tindak pidana, dan perbuatan pidana juga menggunakan delik; d) Luas pengertiannya sehingga meliputi juga delik-delik yang diwujudkan oleh koorporasi orang tidak kenal menurut hukum pidana ekonomi Indonesia; e) Tidak menimbulkan kejanggalan seperti “peristiwa Pidana” (bukan peristiwa perbuatan yang dapat dipidana melainkan pembuatnya). 2. Tindak Pidana Pembunuhan Pembunuhan adalah kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain, untuk menghilangkan nyawa orang lain itu, seseorang pelaku harus melakukan sesuatu atau suatu rangkaian tindakan yang berakibat dengan meninggalnya orang lain dengan catatan bahwa opzet dari pelakunya harus ditujukan pada akibat berupa meninggalnya orang lain tersebut.49 Mengenai pembunuhan diatur dalam Pasal 338 KUHP, yang merumuskan sebagai berikut: “Barang siapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang dihukum karena bersalah melakukan pembunuhan dengan hukuman penjara selamalamanya lima belas tahun.
48
Loc.Cit P.A.F, Lamintang, Theo Lamintang, Kejahatan Terhadap Nyawa, Tubuh, dan Kesehatan, Cetakan Kedua, Jakarta, Sinar Grafika, 2012, hlm 1 49
40
Dengan melihat rumusan pasal diatas kita dapat melihat unsur-unsur tindak pidana pembunuhan yang terdapat di dalamnya, sebagai berikut: a) Unsur subyektif dengan sengaja. Pengertian dengan sengaja tidak terdapat dalam KUHP jadi harus dicari dalam karangan-karangan ahli hukum pidana, mengetahui unsur-unsur sengaja dalam tindak pidana pembunuhan sangat penting karena bisa saja terjadi kematian orang lain, sedangkan kematian itu tidak sengaja atau tidak dikehendaki oleh si pelaku. Secara umum Zainal Abidin Farid50 menjelaskan bahwa secara umum sarjana hukum telah menerima tiga bentuk sengaja, yakni: 1) Sengaja sebagai niat; 2) Sengaja insaf akan kepastian; 3) Sengaja insaf akan kemungkinan. Menurut Anwar51 mengenai unsur sengaja sebagai niat, yaitu: Hilangnya nyawa seseorang harus dikehendaki, harus menjadi tujuan. Suatu perbuatan dilakukan dengan maksud atau tujuan atau niat untuk menghilangkan jiwa seseorang, timbulnya akibat hilangnya nyawa seseorang tanpa dengan sengaja atau bukan tujuan atau maksud, tidak dapat dinyatakan sebagai pembunuhan, jadi dengan sengaja berarti mempunyai maksud atau niat atau tujuan untuk menghilangkan jiwa seseorang. Sedangkan Prdjodikoro52 berpendapat sengaja insaf akan kepastian, sebagai berikut:
50
Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, Cetakan Kedua, Jakarta, Sinar Grafika, 2007,
hlm 262 51
Anwar, Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II), Bandung, Cipta Adya Bakti, 1994, hlm 89.
41
Kesengajaan semacam ini ada apabila sipelaku, dengan perbuatannya itu bertujuan untuk mencapai akibat yang akan menjadi dasar dari tindak pidana, kecuali ia tahu benar, bahwa akibat itu mengikuti perbuatan itu. Selanjutnya Lamintang53 mengemukakan sengaja insaf akan kemungkinan, sebagai berikut: Pelaku yang bersangkuatan pada waktu melakukan perbuatan itu untuk menimbulkan suatu akibat, yang dilarang oleh undang-undang telah menyadari kemungkinan akan timbul suatu akibat lain dari pada akibat yang memang ia kehendaki. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa unsur kesengajaan meliputi tindakannya dan obyeknya yang artinya pelaku mengetahui dan menghendaki hilangnya nyawa seseorang dari perbuatannya. b) Unsur Obyektif: (menghilangkan nyawa) Menghilangkan nyawa orang lain hal ini menunjukan bahwa kejahatan pembunuhan itu telah menunjukan akibat yang terlarang atau tidak, apabila karena (misalnya: membacok) belum menimbulkan akibat hilangnya nyawa orang lain, kejadian ini baru merupakan percobaan pembunuhan (Pasal 338 jo Pasal 53), dan belum atau bukan merupakan pembunuhan secara sempurna sebagaimana dimaksudkan Pasal 338. Dalam perbuatan menghilangkan nyawa (orang lain) terdapat 3 syarat yang harus dipenuhi, yaitu: 1) Adanya wujud perbuatan; 2) Adanya suatu kematian (orang lain); 3) Adanya hubungan sebab dan akibat (causal Verband) antara perbuatan dan akibat kematian (orang lain).54 52
Wirjono Prodjodikoro, Tindak-tindak Pidana Tertentu Di Indonesia, Bandung, Aditama, 2003, hlm 63 53 Laden Marpaung, Op.Cit, hlm 18. 54 Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Nyawa dan Tubuh, Jakarta, P.T.Raja Grafindo, 2010, hlm 57.
42
3. Pembunuhan Berencana Pembunuhan dengan rencana dulu atau disingkat dengan pembunuhan berencana adalah pembunhan yang paling berat ancaman pidananya dari segala bentuk kejahatan terhadap nyawa manusia, diatur dalam Pasal 340 yang rumusannya adalah: ”Barangsiapa sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu menghilangkan nyawa orang lain, dipidana karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama 20 tahun” Rumusan Pasal 340 KUHP terdiri dari unsur-unsur: a. Unsur Subyektif 1) Dengan sengaja; 2) Dan dengan rencana terlebih dahulu; b. Unsur Objektif; 1) Perbuatan : Menghilangkan nyawa; 2) Objeknya : Nyawa Orang Lain.
43
BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah yuridis normatif yaitu pendekatan yang menggunakan konsep legistis positivis. Konsep ini memandang hukum identik dengan norma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga atau pejabat yang berwenang. Selain itu, konsep ini juga memandang hukum sebagai sistem normatif yang bersifat otonom tertutup dan terlepas dari kehidupan masyarakat.55 B. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif yaitu semua penelitian yang bertujuan menggambarkan objek yang diteliti, yaitu objek tentang keterangan saksi yang tidak hadir pada pemeriksaan di persidangan yang digali
secara
mendalam
aturan-aturannya
(norma-normanya)
kemudian
dideskripsikan tanpa maksud untuk mengambil suatu kesimpulan yang berlaku secara umum. C. Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di Pengadilan Negeri Purbalingga D. Sumber Data Data Sekunder Data yang bersumber dari bahan hukum, meliputi : b. Bahan Hukum Primer 55
Haryono dalam Johnny Ibrahim, , Teori dan MetodologiPenelitian Hukum Normatif , Jawa Timur, Bayumedia Publishing, 2006, hal. 302.
44
Bahan-bahan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan, catatan-catatan resmi dan Putusan Pengadilan Negeri Cilacap Nomor : 154/Pid.B/2011/PN.Purbalingga. c. Bahan Hukum Sekunder Bahan-bahan yang bersumber dari buku-buku literatur, artikel, makalah seminar, dan hasil penelitian yang ada hubungannya dengan permasalahan yang diteliti guna mendukung penelitian. E. Metode Pengumpulan Data Data sekunder, diperoleh melalui studi pustaka dengan cara mempelajari buku-buku, literatur-literatur maupun dokumen-dokumen yang terkait dengan materi penelitian. F. Metode Penyajian Data Data yang berupa bahan-bahan hukum yang telah diperoleh kemudian disajikan dalam bentuk teks naratif, uraian-uraian yang disusun secara sistematis, logis, dan rasional. Dalam arti keseluruhan data yang diperoleh akan dihubungkan satu dengan yang lainnya disesuaikan dengan pokok permasalahan yang diteliti sehingga merupakan satu kesatuan yang utuh. G. Metode Analisi Data Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah secara kualitatif, yaitu pembahasan yang disusun secara logis dan sistematis berdasarkan data-data yang diperoleh di lapangan, kemudian dihubungkan dengan teori-teori hukum yang ada.
45
H. Spesifikasi Penelitian Terdahulu Skripsi saya yang berjudul “Kekuatan Pembuktian Keterangan Saksi yang Tidak Hadir Di Persidangan Dalam Tindak Pidana Pembunuhan Berencana (Tinjauan Yuridis Putusan
Nomor 154/Pid.B/2011/PN.Purbalingga)” tidak
memiliki kesamaan dengan penelitian sebelumnya yang ada di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman.
46
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Berdasarkan hasil penelitian yang didasarkan pada data sekunder terhadap Putusan
Pengadilan
Negeri
Cilacap
Perkara
Nomor
154/Pid.B/2011/PN.Purbalingga diperoleh data sebagai berikut : 1. Duduk Perkara Terdakwa JMW alias J Bin. D yang bertempat tinggal di Desa Cipaku RT 04 RW 04, Kecamatan Mrebet, Kabupaten Purbalingga, pada hari minggu tanggal 01 Mei 2011 sekira jam 10.00 WIB, bertempat di Desa Cipaku RT 5 RW 4, Kecamatan Mrebet, Kabupaten Purbalingga terjadi pembunuhan dengan korban MKU alias A. Awalnya pada hari Jum’at tanggal 29 April 2011 Terdakwa JKW alias J Bin D yang tengah bingung dengan masalah ekonomi keluarganya berniat untuk bunuh diri, selanjutnya Terdakwa membeli racun tikus, lalu disimpan dirumah milik Terdakwa yang jarang di tinggali. Selang sehari tepatnya pada tanggal 30 April 2011 oleh karena istri terdakwa mendesak agar terdakwa mencari pekerjaan, sehingga Terdakwa bertambah bingung dan semakin tinggi niat Terdakwa untuk melakukan bunuh diri. Keesokan harinya pada tanggal 1 Mei 2011 terdakwa berniat untuk mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri bersama anaknya MKU alias A, selanjutnya terdakwa mengajak korban bermain di rumah terdakwa kemudian mengajak korban masuk kerumah dan mengunci pintu dan membiarkan korban
47
bermain sendirian di dalam rumah. Selang beberapa saat kemudian terdakwa mengambil dua gelas lalu membuat susu dengan mencampurkan racun tikus masing-masing satu bungkus kedalam gelas yang berisi susu tersebut, selanjutnya terdakwa memberikan segelas susu yang sudah diberi racun tikus tersebut kepada korban lalu diminum sampai habis, dan terdakwa juga ikut meminum satu gelas susu yang juga sudah dicampur dengan racun tikus tersebut. Setelah Terdakwa dan korban meminum susu yang sudah dicampur racun, namun sudah beberapa lama ternyata racun tersebut tidak bereaksi terhadap korban dan terdakwa sehingga pada saat itu juga terdakwa mencekik leher korban dengan menggunakan kedua tangannya sekeras mungkin sehingga korban tidak bergerak lagi. Untuk memastikan korban sudah mati atau belum, Terdakwa kemudian membungkam mulut dan hidung korban hingga korban benar-benar meninggal. Selang beberapa lama korban meninggalkan rumah lalu membeli sebotol insektisida merk Matador, selanjutnya kembali lagi kerumah tersebut lalu meminum satu botol insektisida tersebut hingga habis, kemudian terdakwa tidur di samping korban yang sudah meninggal dunia hingga sore harinya saksi IUA istri Terdakwa datang dan masuk kedalam rumah dengan menggunakan kunci cadangan lalu membangunkan terdakwa dan mendapatkan korban sudah meninggal
dunia,
sebagaimana
474.S/15863/IKF/09.05.2011
Surat
tanggal
09
Visum Mei
Et 2011
Repertum yang
Nomor
dibuat
dan
ditandatangani oleh Dr. Zaenuri Syamsu Hidayat, SpLF, MsiMed, Dokter pada Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Prof. Margono Soekarjo, Purwokerto
48
dengan hasil pemeriksaan sebagai berikut: Kesimpulan hasil pemeriksaan adalah dari fakta-fakta yang kami temukan sendiri dari pemeriksaan atas jenazah tersebut, maka disimpulkan bahwa telah diperiksa jenazah seoraang laki-laki umur kurang lebih lima tahun. Kematian diperkirakan terjadi lebih dari empat jam dari pemeriksaan. Pada pemeriksaan ditemukan: 1. Tanda-tanda pembekapan; 2. Tand-tanda mati lemas; 3. Tidak ditemukan tanda-tanda keracunan. Kematian diperkirakan karena mati lemas akibat pembekapan. 3. Dakwaan Penuntut Umum Bahwa terdakwa didakwa oleh Penuntut Umum dengan dakwaan yang disusun secara Alternatif Subsidaritas, yaitu : KESATU : PRIMAIR
: Pasal 340 KUHP atau
SUBSIDAIR
: Pasal 338 KUHP atau
LEBIH SUBSIDAIR
: Pasal 355 ayat (2) KUHP
LEBIH SUBSIDAIR LAGI
: Pasal 351 ayat (3) KUHP ATAU,
KEDUA : Pasal 44 ayat (3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
49
4. Pembuktian Hakim dalam perkara ini memeriksa beberapa alat bukti dan barang bukti dalam persidangan, yaitu : a. Alat Bukti Saksi 1. Saksi IUA alias NY. JKW Binti AS, dibawah sumpah menerangkan sebagai berikut: Saksi menjadi istrinya terdakwa sudah 7 tahun, dalam perkawinan dengan terdakwa dikaruniai anak bernama MKU Alias A, panggilannya A. A sekarang sudah meninggal dunia karena dibunuh oleh bapak kandungnya (terdakwa), A sudah sekolah di TK. Di rumah tersebut selain terdakwa ada A, saksi tinggal di rumah bapak saksi, disitu ada adik, terdakwa, dan A. Rumah bapak saksi dengan dirumah ditemukannya A meninggal dunia sangat jauh, saat saksi melihat A meninggal dunia, saksi melihat dimulutnya mengeluarkan busa, setelah mengetahui A meninggal dunia, saksi kemudian berteriak, meninggalnya A karena minum racun, saksi tidak tahu siapa yang meminumkan racun kepada A. Terdakwa sudah tidak bekerja selama 6 bulan, karena sudah lama tidak bekerja, saksi sering mengolok-olok Terdakwa namun selalu diam saja. Tempat meninggalnya korban dengan rumah yang ditempati saksi dapat terlihat, waktu itu korban sedang libur sekolah dan saksi melihat korban sedang bermain bersama bapaknya dirumah tersebut. Pada saat saksi menemukan korban, Terdakwa keadaanya sedang tidur, pada saat pertama menemukan korban, terdakwa dapat berbicara dan saksi melihat disekitar tempat tidur tidak ditemukan bekas racun.
50
Terdakwa sayang dengan A, sebelum kejadian terdakwa tidak mengatakan sesuatu, terdakwa dengan saksi tidak pernah membicarakan sesuatu, biasanya kayu dan pisau dipergunakan oleh A untuk mainan, botol dipergunakan untuk tempat air minum A dan terdakwa sedangkan.
Saksi pernah menulis surat
pernyataan yang intinya saksi sudah memaafkan kesalahan terdakwa, saksi membuat surat pernyataan tersebut 3 bulan setelah kejadian. Saksi membuat surat pernyataan atas kemauan sendiri, dan tidak ada yang menyuruh, saksi tidak tahu, apakah akan kembali kepada terdakwa ataukah tidak. Terdakwa dalam kesehariannya tidak banyak bertingkah, ketika jenazah A dimandikan, saksi tidak melihat luka-luka ditubuhnya. Terhadap barang bukti yang diajukan dipersidangan sebuah pakaian adalah milik korban. 2. Saksi W Bin. M, dibawah sumpah menerangkan sebagai berikut: Saksi merupakan tetangga Terdakwa yang saksi ketahui tentang perkara ini, pada hari Minggu tanggal 1 Mei 2011 pukul 17.00 Wib ada suara gaduh kemudian saksi lari keluar mendekati dan bertanya kepada terdakwa sedang omong-omongan bersama istrinya yang katanya terdakwa membunuh anaknya dirumah kosong, rumah terdakwa sendiri. Pada saat itu saksi membuktikan sendiri kalau pembunuhan itu terjadi di rumah kosong dan masuk kedalam kamarnya, setelah saksi masuk kedalam rumah kosong tersebut kemudian mendapati korban sudah terbujur kaku, kemudian saksi memegang tangannya dan sudah dingin. Saksi melihat mulut korban berbusa tapi tidak melihat ada bercak darah dan menghirup bau obat. Saksi juga tidak melihat bekas kekerasan pada badan korban. Bau yang tercium dari mulut korban adalah bau obat hama, pada saat itu
51
wajah korban pucat dan mata korban terpejam. Hubungan Terdakwa dengan korban baik dan dekat sekali, antara Terdakwa dan korban tinggal bersama dirumah neneknya dan rumah yang digunakan pembunuhan adalah rumah Terdakwa. Rumah tersebut jarang ditempati, yang sering kerumah tersebut adalah korban. 3. Saksi S Bin. RM, dibawah sumpah menerangkan sebagai berikut: Saksi menjabat sebagai Kades di Cipaku, yang saksi ketahui tentang perkara ini karena saksi mendapat laporan dari warga bahwa terjadi pembunuhan, setelah saksi sampai di TKP, saksi melihat korban sudah terbujur kaku, berbusa dan sedikit merah. Pada saat di TKP saksi mencium bau obat matador semacam pestisida yaitu obat semprot hama, saksi melihat botol putih diatas meja katanya biasa untuk minum. Keseharian Terdakwa setahu saksi baik dan tidak pernah aneh-aneh, terdakwa sayang sekali dengan korban. Saksi selaku Kades tidak mengetahui apa yang melatar belakangi pembunuhan tersebut, pada saat saksi datang pertama kali tidak melihat botol bekas pestisida, namun pada saat datang bersama pihak Kepolisian ditemukan botol bekas pestisida tersebut. Kehidupan ekonomi terdakwa cukup, karena Terdakwa sering pergi ke Jakarta. Saksi tidak pernah melihat terdakwa cekcok dengan istrinya. Pada saat rekonstruksi juga Terdakwa mengikuti dengan baik. 4. Saksi R alias M Bin. S, dibawah sumpah menerangkan sebagai berikut:
52
Saksi mengetahui perkara tersebut karena saksi tahu Terdakwa membeli obat Pestisida merk Matador, kata terdakwa obat tersebut untuk mngusir hama di sawah.
Terdakwa membeli obat pertanian merk matador pada hari Minggu
tanggal 1 Mei 2011 sekitar pikiul 09.00 WIB di tokonya sendiri, di Desa Cipaku RT 04 RW 07 Kecamatan Mrebet Kabupaten Purbalingga. Saksi melihat langsung ketika terdakwa sedang membeli obat pertanian merk Matador karena pada saat itu saksi sedang membeli minyak tanah ditoko tersebut. Obat pertanian merk matdor harganya Rp. 11.000,- saksi tidak tahu cara Terdakwa memakai obat pertanian tersebut dan saksi juga tidak melihat korban meninggal karena waktu itu sudah malam. 5. Saksi A alias A Binti AS, (BAP dibacakan di persidangan) sebagai berikut: Saksi telah memukan keponakannya yang bernama MKU als A, umur 5,5 tahun, laki-laki, pelajar TK Pertiwi Desa Cipaku Kec.Mrebet Kab.Purbalingga dalam keadaan sudah meninggal dunia. Benar MKU alias A adalah anak kakak saksi yang bernama IUA hasil perkawinan dengan JMW. Bahwa benar MKU Alias A ditemukan dalam keadaan sudah meninggal dunia yang waktu ditemukan orang tuanya yang bernama IUA bersama bapaknya JMW tidur disamping MKU Alias A di dalam rumah JMW yang beralamat di Rt.05 Rw.04 Desa Cipaku Kec.Mrebet Kab.Purbalingga sekira jam 17.30 Wib, rumah tersebut adalah dibuat sewaktu JMU kawin dengan kakak saksi yang bernama N karena meninggal dunia tahun 2002 sehingga JMW kawin dengan kakak saksi IUA tahun 2004 sehingga mempunyai anak MKU Alias A dan tinggal bersama saksi di rumah orang tua
53
saksi dan rumah tersebut hanya ditengok atau dibersihkan tetapi tidak tiap hari. Sekira jam 08.00 WIB bahwa kondisinya dalam keadaan sehat sebab masih bersama-sama saksi untuk main bersama-sama yang kemudian diajak oleh orang tuanya JMU untuk main. Rumah tangga kakak saksi IUA dengan Terdakwa rukun dan harmonis, serta tidak ada permasalahan yang besar. 6. Saksi SA alias S Binti. AS, (dibacakan di persidangan) sebagai berikut: Telah ditemukannya keponakan saksi yang bernama MKU alias A, umur 5,5
tahun,
laki-laki,
pelajar
TK
Pertiwi
Desa
Cipaku
Kec.
Mrebet
Kab.Purbalingga dalam keadaan sudah meninggal dunia. MUK alias A adalah anak kakak saksi yang bernama IUA hasil perkawinan dengan JKU. Korban ditemukan dalam keadaan sudah meninggal dunia yang waktu ditemukan orang tuanya yang bernama IUA bersama bapaknya JKW tidur disamping MKU Alias A di dalam rumah Terdakwa
yang beralamat di Rt.05 Rw.04 Desa Cipaku
Kec.Mrebet Kab.Purbalingga sekitar jam 17.30 wib. Rumah tersebut dibuat sewaktu Terdakwa kawin dengan kakak saksi yang bernama N karena meninggal dunia tahun 2002 sehingga Terdakwa kawin dengan kakak saksi IUA tahun 2004 sehingga mempunyai anak dan tinggal bersama saksi dirumah orang tua saksi dan rumah tersebut hanya ditengok atau dibersihkan tetapi tidak tiap hari. Bahwa benar Korban sekira jam 08.00 wib kondisinya dalam keadaan sehat sebab masih bersamasama saksi untuk main bersamasama yang kemudian diajak oleh orang tuanya Terdakawa untuk main.
54
b. Alat Bukti Surat Dalam perkara ini terdapat bukti surat berupa Visum Et Reprtum atas nama MKU alias A, Nomor: 474.3/15863/IKF/09.05.2011 tanggal 09 Mei 2011, yang dibuat dan ditanda tangani oleh dr. M. Zaenuri Syamsu Hidayat, SpKF, MsiMed, dokter pemeriksa pada Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Prof. Dr. Margono Soekarjo, Purwokerto dengan hasil pemeriksaan sebagai berikut: Kesimpulan hasil pemeriksaan adalah dari fakta-fakta yang ditemukan dari pemeriksaan atas jenazah tersebut, maka disimpulkan bahwa telah diperiksa jenazah seoraang laki-laki umur kurang lebih lima tahun. Kematian diperkirakan terjadi lebih dari empat jam dari pemeriksaan. Pada pemeriksaan ditemukan: 1) Tanda-tanda pembekapan; 2) Tand-tanda mati lemas; 3) Tidak ditemukan tanda-tanda keracunan. Kematian perkirakan karena mati lemas akibat pembekapan. c. Alat Bukti Keterangan Terdakwa Korban merupakan anak dari hasil perkawinan Terdakwa dengan saksi IUA. Terdakwa ingin mengakhiri hidupnya dengan korban karena sering dimarahi oleh istri karena tidak bisa mencukupi ekonimi keluarga. Terdakwa melakukan pembunuhan terhadap korban pada hari Minggu tanggal 1 Mei 2011 sekitar pukul 10.00 WIB didalam kamar tidur rumah terdakwa di desa Cipaku RT 06 RW 04 Kec. Mrebet, Kab. Purbalingga. Rumah tersebut dulu ditempati waktu dengan istri yang ke 1, Alul kalau libur diajak ke rumah tersebut, saat itu terdakwa bilang ke Alul “bapak mau kerumah itu kamu mau ikut apa tidak? Dan dijawabnya ikut.
55
Sesampainya di rumah tersebut terdakwa bersih-bersih dan Alul bermainmain, kemudian terdakwa membuatkan korban susu yang dicampur dengan racun tikus. Tterdakwa membeli racu tikus merk matador pada hari Jumat tanggal 29 April 2011, juga membeli susu coklat, racun tikus tersebut terdakwa minum bersama-sama dengan korban. Setelah terdakwa dan Alul minum racun tikus tersebut tidak ada reaksinya, setelah melihat Alul masih hidup, kemudian terdakwa mencekik leher korban sampai lemas. Setelah terdakwa mencekik korban kemudian pergi untuk beli racun tikus matador di warung Mbak Sri, setelah terdakwa minum racun tikus merk matador badan terdakwa terasa panas dan terdakwa tertidur, kemudian sisa racun tikus tersebut diminum kembali, namun tidak ada reaksi apaapa sehingga terdakwa menjadi bingung. Terdakwa sudah berusaha mencari pekerjaan kesana-kesini, namun belum ada. Pada waktu korban dicekik, ia berusaha untuk melawan tapi tidak mampu, sikap terdakwa setelah melakukan pembunuhan terhadap korban, sangat menyesal sekali. Kesehariannya korban
dekat dengan terdakwa, terdakwa sebelumnya
sudah pernah bekerja di perusahaan mebel di Jogja dan istri serta korban sering ke Jogja, terdakwa lulus SMA. Terdakwa melakukan pembunuhan terhadap korban karena istri mengomel setiap harinya kalau ada kebutuhan, terdakwa tidak menjawab kalau ditanya masalah pekerjaan, karena kalau menjawab istri ngomelnya tambah keras makanya terdakwa diam. Pintu rumah tersebut sengaja terdakwa kunci, pintu rumah selalu dikunci bila korban berada ditempat tersebut, dengan tujuan biar korban tidak pergi-pergi. Posisi terdakwa pada saat mencekik korban saling berhadapan, yang ada dalam pikiran terdakwa setelah minum racun
56
tikus merk matador bersama dengan korban, mesti akan mati bersamasama dan masalah akan selesai. Istri terdakwa punya kunci sendiri rumah tersebut karena dikasih oleh Bapaknya, istri sering menengok terdakwa di Rutan. Kalau terdakwa ingin mati sendiri pada hari Jumat dan mati bersama Alul pada hari minggunya, karena istri terdakwa sering bilang terdakwa dan korban mati bersamasama juga tidak papa. Terdakwa ingin kembali kepada istrinya, terdakwa tidak takut diomeli lagi, dan akan berusaha untuk memperbaiki diri, terdakwa tidak memandikan jenazahnya korban. Terdakwa membenarkan barang bukti yang diajukan dipersidangan berupa 1 (satu) botol minum dari plastik warna hijau, 1 (satu) potong kaos tanpa krah warna kuning, 1 (satu) potong celana panjang warna krem, 3 (tiga) bungkus jajanan anak, 1 (satu) lembar tikar dari daun pandan, 1 (satu) buah bantal warna merah, 2 (dua) plastik bening bekas bungkus racun tikus/celeng, 2 (dua) buah gelas, 1 (satu) buah sendok, 1 (satu) buah botol plastik insektisida merk Matador, 2 (dua) buah kunci, 4 (empat) potong pohon ketela pohon, 1 (satu) buah pisau dapur, 1 (satu) potong kaos oblong, 1 (satu) celana panjang d. Barang Bukti 1) 1 (satu) buah botol minuman terbuat dari plastik warna putih dengan tutup warna hijau masih sedikit berisi air, 3 (tiga) buah jajanan merk sea world (sebungkus masih utuh, sebungkus sudah dibuka dan sebungkus telah habis), 2 (dua) buah plastik bening ukuran 6cmx10cm, 2 (dua) buah gelas bening kombinasi kotakkotak merah, bulat-bulat merah muda bertuliskan wings, 1 (satu)
57
buah sendok stainless, 1 (satu) buah botol plastik kosong insektisida merk Matador warna biru tutup putih isi 50 ml dan 4 (empat) batang potongan pohon kelapa panjang 35 cm; 2) 1 (satu) kaos tanpa kerah warna kuning bergambar tokoh kartun, 1 (satu) celana panjang warna krem, 1 (satu) lembar tikar terbuat dari daun pandan, 1 (satu) buah bantal warna merah motif bunga, 2 (dua) buah kunci diikat kawat bertuliskan DIOR dan TEXAS, 1 (satu) buah pisau dapur panjang 10 cm bergagang kayu); 3) 1 (satu) buah kaos oblong warna putih bertuliskan Cukup satu Wings Biru dan 1 (satu) buah celana panjang warna hitam. 5. Tuntutan Penuntut Umum Penuntut umum telah mengajukan tuntutan pidana kepada terdakwa yang pada amarnya menyatakan supaya Majelis Hakim Pengadilan Negeri Purbalingga yang memeriksa dan mengadili perkara ini memutuskan : 1) Menyatakan JMW Bin. D terbukti bersalah dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain yaitu korban MKU, sebagaimana dakwaan primair Pasal 340 KUHP; 2) Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa JMW Bin. D dengan pidana penjara selama 9 (Sembilan) Tahun dikurangi selama Terdakwa menjalani tahanan sementara dengan perintah agar Terdakwa tetap ditahan; 3) Menyatakan barang bukti berupa : a. 1 (satu) buah botol minuman terbuat dari plastic warna putih dengan tutup warna hijau masih sedikit berisi air, 3 (tiga) buah jajanan merk sea world
58
(sebungkus masih utuh, sebungkus sudah dibuka dan sebungkus telah habis), 2 (dua) buah plastik bening ukuran 6cmx10cm, 2 (dua) buah gelas bening kombinasi kotak-kotak merah, bulat-bulat merah muda bertuliskan wings, 1 (satu) buah sendok stainless, 1 (satu) buah botol plastik kosong insektisida merk Matador warna biru tutup putih isi 50 ml dan 4 (empat) batang potongan pohon kelapa panjang 35 cm, dirampas untuk dimusnahkan; b. 1 (satu) kaos tanpa kerah warna kuning bergambar tokoh kartun, 1 (satu) celana panjang warna krem, 1 (satu) lembar tikar terbuat dari daun pandan, 1 (satu) buah bantal warna merah motif bunga, 2 (dua) buah kunci diikat kawat bertuliskan DIOR dan TEXAS, 1 (satu) buah pisau dapur panjang 10 cm bergagang kayu), dikembalikan kepasa Saksi IUA (ibu korban); c. 1 (satu) buah kaos oblong warna putih bertuliskan Cukup satu Wings Biru dan 1 (satu) buah celana panjang warna hitam, dikembalikan kepada Terdakwa. 4) Menetapkan agar Terdakwa dibebani membayar biaya perkara masing-masing sebesar Rp. 1000, (seribu rupiah). 6. Putusan Pengadilan Negeri 1. Dasar Pertimbangan Hakim Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan maka sampailah pada pembuktian mengenai unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan pada terdakwa, sehingga terdakwa oleh Penuntut Umum didakwa
59
dengan dakwaan yang berbentuk alternative subsidaritas, maka dari itu Majelis Hakim akan mempertimbangkan satu persatu dari dakwaan tersebut yaitu KESATU : PRIMAIR
: Pasal 340 KUHP atau
SUBSIDAIR
: Pasal 338 KUHP atau
LEBIH SUBSIDAIR
: Pasal 355 ayat (2) KUHP
LEBIH SUBSIDAIR LAGI
: Pasal 351 ayat (3) KUHP ATAU,
KEDUA : Pasal 44 ayat (3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Terlebih
dahulu
Majelias
Hakim
mempertimbangkan
akan
mempertimbangkan dakwaan kesatu primair yaitu melanggar Pasal 340 KUHP, dengan unsur-unsur sebagai berikut : 1. Unsur “Barang siapa”; 2. Unsur “Dengan Sengaja dan Dengan Rencana Terlebih Dahulu”; 3. Unsur “Merampas Nyawa Orang Lain”; a) Unsur Barang siapa Bahwa yang dimaksud dengan unsur “Barangsiapa”, yaitu siapa saja sebagai pendukung hak dan kewajiban (subyek hukum) yang dapat di pertanggungjawabkan atas perbuatan pidana yang telah dilakukannya, yang dalam perkara ini telah diperhadapkan di persidangan terdakwa JMW alias J Bin D, yang identitasnya sesuai dengan identitas terdakwa dalam dakwaan Penuntut Umum
60
dan dibenarkan oleh terdakwa dipersidangan, berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, maka unsur “barang siapa” telah terpenuhi. b) Unsur Dengan Sengaja dan Dengan Rencana Terlebih Dahulu Pembentuk undang-undang sendiri dalam KUHP tidak memberi penjelasan tentang apa yang dinaksud dengan sengaja atau opzet, dimana aspek ini berbeda dengan undang-undang yang pernah berlaku di Negeri Belanda. Menurut Memorie Van Toelichting (MVT) yang dimaksud dengan sengaja atau opzet adalah Willen En Wetten dalam arti pembuat harus menghendaki (willen) melakukan perbuatan tersebut dan juga harus mengerti (wetten) akan akibat yang diperbuatnya itu. Dengan rencana terlebih dahulu dapat dipandang ada jika pelaku dalam suatu waktu yang cukup telah memikirkan serta menimbang dan kemudian menentukan waktu, tempat, cara atau alat yang akan digunakan untuk melakukan pembunuhan tersebut. Dalam hal ini dapat juga telah dipikirkan olehnya akibat dari pembunuhan itu ataupun cara-cara lain sehingga orang lain tidak dengan mudah mengetahui bahwa terdakwalah pelakunya. Apakah terdakwa dengan secara tenang atau emosional pada waktu yang cukup itu untuk memikirkannya, tidaklah terlalu penting, yang penting adalah waktu yang cukup saja tidak dapat dipandang lagi sebagai suatu reaksi yang segera menyebabkan terdakwa berkehendak melakukan pembunuhan tersebut Berdasarkan keterangan saksi I, saksi AA, saksi SA, saksi W, saksi S dan terdakwa dipersidangan diketahui :
61
a) Bahwa terdakwa melakukan perbuatan menghabisi nyawa korban karena dengan alasan pikiran yang bingung akibat desakan dan sering diomeli oleh istrinya ; b) Bahwa niat terdakwa muncul ketika hari Jumat 29 April 2011 sewaktu istrinya memarahi terdakwa dan anaknya yaitu korban A karena korban minta untuk dibelikan sesuatu kemudian terdakwa pada hari itu membeli racun tikus dan bermaksud untuk bunuh diri bersama-sama dengan anaknya; c) Bahwa terdakwa setelah membuat susu yang sudah dicampur dengan racun tikus lalu meminum susu tersebut dengan korban tetapi tidak menimbulkan reaksi apa-apa ; d) Bahwa terdakwa kemudian mencekik leher korban dengan kedua tangannya sekuat tenaga sehingga korban tidak bergerak lagi, selanjutnya untuk memastikan korban sudah meninggal dunia, terdakwa membekap mulut dan menutup hidung korban sehingga korban benar-benar meninggal dunia. Kemudian setelah beberapa waktu terdakwa meninggalkan rumah tersebut lalu membeli sebotol insektisida merk Matador kewarung milik Sutingah, selanjutnya kembali lagi kerumah tersebut, sesampainya didalam rumah terdakwa lalu meminum satu botol insektisida tersebut hingga habis dan tidur disamping korban yang sudah meninggal dunia ; Seharusnya masih dapat mempertimbangkan untung dan ruginya jika tetap melakukan perbuatannya terhadap korban, hal ini terlihat pada fakta-fakta bahwa saat terdakwa dan korban di rumah, selanjutnya terdakwa masih sempat membiarkan korban untuk bermain-main di rumah tersebut, sambil terdakwa mempersiapkan rencananya dengan membuatkan dua gelas susu yang dicampur racun tikus yang dibeli dan disimpan terdakwa dua hari sebelumnya; Berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, maka unsur “Dengan Sengaja Dan Dengan Rencana Terlebih Dahulu”, telah terpenuhi ; c) Unsur Merampas Nyawa Orang Lain Dengan perbuatan terdakwa melakukan perbuatan meminumkan segelas susu yang sudah dicampur dengan racun tikus kepada korban korban, karena tidak menimbulkan reaksi, kemudian terdakwa memcekik leher korban sekuat tenaga
62
dengan kedua tangannya sehingga korban tidak bergerak lagi dan untuk memastikan kematian korban, terdakwa membekap mulut dan menutup hidung korban sehingga korban benarbenar meninggal dunia. Hal ini sesuai dengan Visum Et Repertum Nomor: 474.3/15863/ IKF/ 09.05.2011 tanggal 09 Mei 2011 yang dibuat dan ditandatangani oleh Dr. M. Zaenuri Syamsu Hidayat, SpKF, MsiMed, Dokter pada Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Prof. Dr. Margono Soekarjo, Purwokerto; Menimbang, bahwa oleh karena semua unsur Pasal 340 KUHP telah terpenuhi, maka Pengadilan Negeri berpendapat bahwa Terdakwa telah terbukti secara sah menurut hukum dan timbullah keyakinan bagi majelis Hakim bahwa suatu tindak pidana telah terjadi sedangkan terdakwa JMW Bin D adalah sebagai pelakunya sebagaimana dakwaan kesatu primair Jaksa Penuntut Umum; Menimbang, bahwa sebelum menjatuhkan pidana, maka Majelis Hakim perlu mempertimbangkan hal-hal yang dapat mempengaruhi berat ringannya dalam menjatuhkan pidana kepada Terdakwa sebagai berikut : Hal yang memberatkan : Perbuatan dilakukan terhadap anak kandungnya sendiri yang seharusnya di jaga dan dilindungi; Hal yang meringankan : 1. Terdakwa mengakui terus terang perbuatannya ; 2. Terdakwa belum pernah dihukum ; 3. Motif dari perbuatan terdakwa melakukan pembunuhan berencana terhadap anak kandungnya disebabkan himpitan ekonomi yang tiap kali
63
diomeli istrinya sampai tidak tahan lagi sehingga terdakwa bermaksud mengakhiri hidup bersama dengan anaknya ; 4. Istri dan masyarakat setempat telah membuat surat pernyataan yang pada pokoknya memaafkan perbuatan terdakwa dan bersedia menerima terdakwa kembali, serta mohon agar dihukum yang seringanringannya ; 5. Dari keterangan para saksi perilaku terdakwa sehariharinya baik dan sangat menyayangi anak maupun istrinya ; 2. Amar Putusan Pengadilan Negeri 1. Menyatakan Terdakwa JKW Bin. D, telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Pembunuhan Berencana”; 2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 3 (tiga) tahun ; 3. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa, dikurangi seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan; 4. Menetapkan agar terdakwa tetap dalam tahanan; 5. Menetapkan barang bukti berupa : 1. 1 (satu) buah botol minuman terbuat dari plastik warna putih dengan tutup warna hijau masih sedikit berisi air, 3 (tiga) buah jajanan merk sea world (sebungkus masih utuh, sebungkus sudah dibuka dan sebungkus telah habis), 2 (dua) buah plastik bening ukuran 6cmx10cm, 2 (dua) buah gelas bening kombinasi kotak-kotak merah, bulat-bulat merah muda
64
bertuliskan wings, 1 (satu) buah sendok stainless, 1 (satu) buah botol plastik kosong insektisida merk Matador warna biru tutup putih isi 50 ml dan 4 (empat) batang potongan pohon kelapa panjang 35 cm, dirampas untuk dimusnahkan; 2. 1 (satu) kaos tanpa kerah warna kuning bergambar tokoh kartun, 1 (satu) celana panjang warna krem, 1 (satu) lembar tikar terbuat dari daun pandan, 1 (satu) buah bantal warna merah motif bunga, 2 (dua) buah kunci diikat kawat bertuliskan DIOR dan TEXAS, 1 (satu) buah pisau dapur panjang 10 cm bergagang kayu, dikembalikan kepada saksi IU (ibu korban); 3. 1 (satu) buah kaos oblong warna putih bertuliskan Cukup satu Wings Biru dan 1 (satu) buah celana panjang warna hitam, dikembalikan kepada Terdakwa. 6. Membebankan Terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 1.000,- (seribu rupiah). B. Pembahasan 1. Kekuatan Pembuktian Terhadap Keterangan Saksi yang Tidak Hadir di Persidangan dalam Tindak Pidana Pembunuhan Berencana pada Putusan 154/Pid.B/2011/PN.Purbalingga. Salah satu proses dalam pembuktian di persidangan yaitu pemeriksaan saksi yang berkaitan dengan tindak pidana tersebut. Pengertian saksi sendiri menurut Pasal 1 butir 26 KUHAP, merumuskan sebagai berikut:
65
“Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri.” Namun tidak semua keterangan saksi memiliki nilai kekuatan sebagai alat bukti, sehingga KUHAP memberikan pengaturan bahwa keterangan saksi yang mempunyai nilai pembuktian ialah keterangan yang sesuai dengan apa yang ditentukan dalam Pasal 1 butir 27 KUHAP, yang merumuskan sebagai berikut: “Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti yang dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.” Ditinjau dari segi nilai dan kekuatan pembuktian atau “the degree of evidence”, agar keterangan saksi atau kesaksian mempunyai nilai serta kekuatan pembuktian, harus dipenuhi aturan atau ketentuan sebagai berikut : 1) Saksi harus mengucapkan sumpah atau janji. Pasal 160 ayat (3) KUHAP menyatakan bahwa sebelum memberikan keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agamanya masing-masing, bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain dari pada yang sebenarnya. Pengucapan sumpah atau janji merupakan syarat mutlak. Menurut rumusan Pasal 160 ayat (3) KUHAP, pada prinsipnya sumpah atau janji wajib diucapkan sebelum saksi memberikan keterangan. Akan tetapi pada Pasal 160 ayat (4) KUHAP memberi kemungkinan untuk mengucapkan sumpah atau janji setelah saksi memberikan keterangan. Dengan demikian saat mengucapkan sumpah atau janji pada prinsipnya wajib diucapkan “sebelum” saksi
66
memberikan keterangan, tetapi dalam hal yang dianggap perlu oleh pengadilan sumpah atau janji dapat diucapkan “sesudah” saksi memberikan keterangan.56 Mengenai saksi yang menolak untuk memberikan sumpah atau janji, sudah ditentukan dalam Pasal 161 KUHAP, yang merumuskan sebagai berikut: a) Dalam hal saksi atau ahli tanpa alasan yang sah menolak untuk bersumpah atau berjanji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 160 ayat (3) dan ayat (4) KUHAP, maka pemeriksaan terhadapnya tetap dilakukan, sedang ia dengan surat penetapan hakim ketua sidang dapat dikenakan sandera di tempat rumah tahana Negara paling lama empat belas hari; b) Dalam hal tenggang waktu penyanderaan tersebut telah lampau dan saksi atau ahli tetap tidak mau disumpah atau mengucapkan janji, maka keterangan yang telah diberikan merupakan keterangan yang dapat menguatkan keyakinan hakim. 2) Keterangan saksi yang bernilai sebagai alat bukti. Tidak semua keterangan saksi mempunyai nilai sebagai alat bukti. Keterangan saksi yang mempunyai nilai sebagai alat bukti adalah keterangan yang sesuai dengan apa yang dijelaskan dalam Pasal 1 angka 27 KUHAP. Rumusan dalam Pasal 1 butir 27 KUHAP jika dihubungkan degan penjelasan Pasal 185 ayat (1) KUHAP maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : a. Setiap keterangan saksi di luar apa yang didengarnya sendiri dalam peristiwa pidana yang terjadi atau diluar yang dilihat atau dialaminya dalam peristiwa pidana yang terjadi, keterangan yang diberikan di luar pendengaran, pengelihatan, atau pengalaman sendiri mengenai suatu peristiwa pidana yang 56
Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahn dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali) Edisi Kedua, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, hal. 286
67
terjadi, “tidak dapat dijadikan dan dinilai sebagai alat bukti”. Keterangan semacam itu tidak mempunyai kekuatan nilai pembuktian. b. Testimonium de auditu atau keterangan saksi yang ia peroleh sebagai hasil pendengaran dari orang lain, “tidak mempunyai nilai sebagai alat bukti”. Keterangan saksi di sidang pegadilan berupa keterangan ulangan dari apa yang didengarnya dari orang lain, tidak dapat dianggap sebagai alat bukti. c. Pendapat atau rekaan yang saksi peroleh hasil pemikiran, bukan merupakan keterangan saksi. Penegasan ini sesuai dengan ketentuan Pasal 185 ayat (5) KUHAP. Oleh karena itu setiap keterangan saksi yang bersifat pendapat atau hasil pemikiran saksi, harus dikesampingkan dari pembuktian dalam membuktikan kesalahan terdakwa. 3) Keterangan saksi harus diberikan di sidang pengadilan. Keterangan saksi agar dapat dinilai sebagai alat bukti, keterangan tersebut harus “dinyatakan” di persidangan. Hal ini sesuai dengan rumusan Pasal 185 ayat (1) KUHAP, yang merumuskan sebagai berikut: “Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan.” Dengan demikian keterangan saksi yang bersisi tentang apa yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri mengenai suatu peristiwa pidana baru bernilai sebagai alat bukti apabila keterangan tersebut disampaikan di muka persidangan. Keterangan yang dinyatakan d luar sidang pengadilan (outside the court) bukan merupakan alat bukti, sehingga tidak dapat dipergunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa.
68
4) Keterangan seorang saksi saja dianggap tidak cukup. Keterangan saksi yang dapat dianggap cukup membuktikan kesalahan terdakwa harus dipenuhi paling sedikit atau sekurang-kurangnya dengan dua alat bukti. Dengan demikian keterangan seorang saksi saja barulah bernilai sebagai satu alat bukti saja dan harus dicukupi dengan alat bukti yang lainnya. Bertitik tolak pada Pasal 185 ayat (2) merumuskan sebagai berikut: “Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya.” Mengenai hal tersebut, keterangan saksi saja belum dapat dianggap sebagai alat bukti yang cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa, atau “unus testis nullus testis”.57 Jika alat bukti yang dikemukakan penuntut umum adalah kesaksian tunggal, maka keterangan yang demikian tidak dapat dinilai sebagai alat bukti yang cukup untuk mebuktikan kesalahan terdakwa sehubungan dengan tindak pidana yang didakwakan kepadanya. 5) Keterangan beberapa saksi yang berdiri sndiri. Adanya anggapan bahwa dengan mendatangkan banyak saksi di persidangan maka dengan demikian telah cukup membuktikan kesalahan terdakwa. Pendapat yang demikian sangat keliru, walaupun saksi yang dihadirkan di sidang pengadilan secara “kuantitatif” telah melampaui batas minimum pembuktian, belum tentu keterangan mereka secara “kualitatif” memadai sebagai alat bukti yang sah membuktikan kesalahan terdakwa. Tidak ada gunanya menghadirkan saksi yang banyak, jika keterangan para saksi berdiri sediri tanpa adanya hubungan atara satu dengan yang lainnya yang 57
Ibid, hal. 288
69
dapat mewujudkan suatu kebenaran akan adanya kejadian atau keadaan tertentu. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 185 ayat (4) KUHAP, yang merumuskan sebagai berikut: “Ketentuan beberapa saksi yang berdiri sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah, dengan syarat apabila keterangan saksi itu ada hubungannya atu dengan yang lainnya sedemikian rupa. Sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu.” Jika keterangan saksi yang banyak saling bertentangan satu dengan yang lainnya, maka keterangan tersebut harus disingkirkan menjadi alat bukti, sebab ditinjau dari segi, hukum keterangan seperti itu tidak mempunyai nilai pembuktian maupun kekuatan pembuktian.58 Ketika saksi yang bersangkutan tidak dapat hadir dalam persidangan dengan memberikan alasan yang sah dan dapat diterima, maka keterangan saksi dalam berita acara penyidikan kemudian dibacakan dalam persidangan. Keterangan yang dibacakan di persidangan dalam perkara tersebut yaitu keterangan dari A alias A Binti AS dan S alias S Binti AS. Dalam putusan Pengadilan Negeri Purbalingga kedua saksi yang tidak dapat hadir di persidangan tersebut tidak mencantumkan apakah saksi-saksi yang tidak hadir tersebut sebelumnya dalam proses penyidikan sudah disumpah atau belum. Ketentuan mengenai hal tersebut di atas sesuai dengan ketentuan Pasal 162 ayat (1) KUHAP, yang merumuskan sebagai berikut : “Jika saksi sudah memberikan keterangan dalam penyidikan meninggal dunia atau karena halangan yang sah tidak dapat hadir di sidang pengadilan atau tidak dipanggil karena jauh tempat kediaman atau tempat
58
Ibid., hlm. 290
70
tinggalnya atau karena sebab lain yang berhubungan dengan kepentingan Negara, maka keteranganyang telah diberikannya itu dibacakan”. Namun dalam ketentuan Pasal 185 ayat (1) KUHAP merumuskan bahwa sebagai beikut: “Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan”. Menurut pasal tersebut maka keterangan saksi dalam berita acara penyidikan yang dibacakan di sidang pengadilan bukan merupakan alat bukti menurut KUHAP. Tetapi ada pengecualian apabila keterangan saksi yang dibacakan tersebut pada saat memberikan keterangan ditingkat penyidikan disumpah terlebih dahulu, maka keterangan saksi tersebut dapat dipersamakan nilainya dengan keterangan saksi yang disampaikan di sidang pengadilan. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 162 ayat (2) KUHAP, yang merumuskan sebagai berikut: “Jika keterangan itu sebelumnya telah diberikan di bawah sumpah, maka keterangan itu disamakan nilainya dengan keterangan saksi di bawah sumpah yang diucapkan di sidang.” Dalam Putusan Nomor: 154/Pid.B/2011/PN.Purbalingga, bahwa keterangan saksi yang tidak hadir dipersidangan dalam memberikan keterangan
pada tingkat
penyidikan, tidak menyebutkan apakah keterangan tersebut dawali dengan sumpah. Jika keterangan saksi dalam tingkat penyidikan tidak diawali dengan sumpah, maka berdasarkan Pasal 162 ayat (2) KUHAP, keterangan saksi tersebut tidak dapat dipersamakan nilainya dengan keterangan saksi yang diucapkan di muka sidang pengadilan di bawah sumpah. Dengan demikian ketentuanan kekuatan pembuktian keterangan saksi yang tidak hadir di persidangan tidak sama dengan kekuatan pembuktian keterangan
71
saksi yang disampaikan dimuka sidang dibawah sumpah. Kedudukan keterangan saksi yang tidak hadir tersebut juga tidak memiliki kekuatan sebagai alat bukti. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 185 ayat (1) KUHAP. Keterangan saksi yang tidak di sumpah memang bukan merupakan alat butki yang sah, tetapi apabila keterangan tersebut memiliki persesuaian dengan keterangan dari saksi yang disumpah maka dapat digunakan sebagai tambahan alat bukti yang sah lainnya. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 185 ayat (7) KUHAP, yang merumuskan sebagai berikut: “Keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan yang lain, tidak marupakan alat bukti, namun apabila keterangan itu sesuai keterangan saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai alat bukti tambahan alat bukti sah lainnya.” Pasal tersebut apabila dikaitkan dengan keterangan saksi yang tidak hadir di persidangan
pada Perkara Nomor 154/Pid.B/2011/PN.Purbalingga, maka
keterangan yang dibacakan tersebut dapat sebagai tambahan alat bukti yang sah lainnya dalam pemeriksaan di sidang pengadilan tersebut, dengan syarat bahwa keterangan saksi yang tidak hadir tersebut memiliki kesesuaian dengan keterangan saksi lainnya yang memberikan keterangan di bawah sumpah. Hal tersebut menunjukkan bahwa keterangan saksi yang tidak hadir dapat menjadi salah satu tambahan alat bukti yang dapat menguatkan keyakinan hakim dalam suatu pembuktian tindak pidana, dalam perkara tindak pidana pembunuhan berencana. Tambahan alat bukti tersebut tentunya hanya sebagai pelengkap dalam pemeriksaan di pengadilan, maksudnya adalah harus sudah memenuhi minimal alat bukti pembuktian dalam hukum acara pidana, yang juga sudah ditentukan dalam Pasal 183 KUHAP.
72
Berkaitan
dengan
Putusan
Nomor
154/Pid.B/2011/PN.Purbalingga,
keterangan saksi yang dibacakan tersebut adalah keterangan dari A alias A Binti AS dan S alias S Binti AS. Jika bertitik tolak pada ketentuan Pasal 162 ayat (2) KUHAP dihubungkan dengan Pasal 185 ayat (7) KUHAP, nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada keterangan saksi yang tidak hadir di persidangan, sekurang-kurangnya dapat dipersamakan dengan keterangan saksi yang diberikan di persidangan pengadilan tanpa sumpah. Jadi, sifatnya tetap tidak merupakan alat bukti, tetapi nilai kekuatan pembuktian yang melekat padanya adalah : a) Keterangan saksi dalam berita acara penyidikan yang dibacakan karena saksi tidak dapat dihadirkan di persidangan tersebut dapat dipergunakan untuk menguatkan keyakinan hakim; b) Keterangan saksi yang tidak hadir tersebut dapat bernilai dan dipergunakan sebagai tambahan alat bukti yang sah lainnya, sepanjang keterangan saksi yang tidak hadir tersebut memiliki kesesuaian dengan alat bukti yang sah tersebut dan alat bukti yang telah ada telah memenuhi batas minimum pembuktian. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 185 ayat (7) KUHAP Pembenaran hukum bagi hakim dalam mengambil keputusan terhadap keterangan saksi di tingkat penyidikan yang disumpah terlebih dahulu dan dibacakan dalam pemeriksaan di pengadilan tanpa kehadiran saksi bila dibandingkan dengan keterangan saksi yang diberikan tidak dibawah sumpah di sidang pengadilan, berdasarkan Pasal 162 ayat (1) dan ayat (2), keterangan saksi yang dibacakan di tingkat penyidikan tanpa kehadiran saksi dapat dibenarkan oleh
73
hukum dan dapat dipersamakan dengan keterangan saksi yang diberikan di bawah sumpah dalam proses persidangan jika keterangan saksi yang dibacakan dalam proses persidangan tersebut dilakukan dibawah sumpah pada tingkat penyidikan, sehingga apabila tidak di sumpah pada saat pemeriksaan di tingkat penyidikan, maka keterangan tersebut fungsinya hanya menguatkan keyakinan hakim atau dapat bernilai dan dipergunakan sebagai tambahan alat bukti yang sah lainnya, sepanjang keterangan saksi yang dibacakan bersesuaian dengan alat bukti yang sah tersebut dan alat bukti yang telah ada telah memenuhi batasan minimum pembuktian (dua alat bukti), hakim menganggap bahwa kesaksian sebagai alat bukti yang sah, tidak mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dan juga tidak memiliki kekuatan pembuktian yang menentukan bila tidak disertai alat bukti lainnya. Hal ini didasarkan pada Pasal 185 ayat (6) dan ayat (7) KUHAP, dalam hal ini hakim bebas untuk menilai kesempurnaan dan kebenarannya, sehingga tergantung pada penilaian hakim untuk menganggapnya sempurna atau tidak, karena tidak ada keharusan bagi hakim untuk menerima kebenaran setiap keterangan saksi, hakim dalam kasus ini mendasarkan diri bahwa dengan ataupun tidak dibawah sumpah, suatu kesaksian nilai pembuktiannya sebanding baik yang disumpah maupun tidak disumpah, selama hakim menganggap terhadap kesaksian yang tidak disumpah tersebut ada kesesuaian dengan kesaksian yang lainnya. 2. Pertimbangan Hukum Hakim dalam Menjatuhkan Putusan Tindak Pidana
Pembunuhan
Berencana
154/Pid.B/2011/PN.Purbalingga.
pada
Putusan
Nomor
74
Pembuktian merupakan proses yang sangat penting dalam pemeriksaan perkara pidana di sidang pengadilan. Kegiatan pembuktian diharapkan memperoleh kebenaran secara hukum, karena kebenaran yang mutlak sukar ditemukan. Pembuktian menurut M. Yahya Harahap59 sebagai berikut : “Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan oleh undang-undang dalam menbuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang boleh dipergunakan hakim dalam membuktikan kesalahan yang didakwakan.” Hakim dalam menjatuhkan putusan harus didasari atas fakta-fakta yang muncul di sidang pengadilan khususnya dalam proses pembuktian. Untuk membuktikan salah atau tidaknya terdakwa harus berpedoman pada batas minimum pembuktian. Seperti halnya yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP yang merumuskan : “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya.” Berkaitan dengan alat bukti yang sah, hal tersebut sudah ditentukan secara limitatif yaitu sesuai dengan rumusan Pasal 184 ayat (1) KUHAP, alat bukti yang sah adalah : a. b. c. d. e.
Keterangan Saksi; Keterangan Ahli; Surat; Petunjuk; Keterangan Terdakwa.
Berkaitan dengan alat bukti keterangan saksi maka dalam Pasal 185 ayat (1) KUHAP, yang dimaksud dengan keterangan saksi sebagai alat bukti yang sah,
59
Ibid, hal. 273
75
yaitu keterangan yang saksi nyatakan di persidangan, dan tentunya dawali dengan sumpah. Dalam Putusan Nomor 154/Pid.B/20121PN.Purbalingga, terdapat beberapa orang saksi yang melihat, mendengar, dan mengalami sendiri peristiwa yang sedang diperkarakan, dalam hal ini tidak termasuk saksi de auditu. Putusan Nomor 154/Pid.B/2011/PN. Purbalingga, terdapat 2(dua) saksi yang tidak dapat hadir dipersidangan untuk didengar keterangannya yaitu saksi A alias A Binti AS dan S alias S Binti AS. .Akibat dari ketidakhadiran saksi-saksi tersebut maka atas persetujuan Majelis Hakim dan Penuntut Umum keterangan saksi yang tidak hadir tersebut dibacakan di muka sidang. Terjadinya pembacaan BAP Saksi di depan persidangan kerap terjadi dalam praktik pembuktian di persidangan. Pada prinsipnya, KUHAP menganut prinsip bahwa keterangan saksi harus diberikan di depan persidangan, sebagaimana ditentukan di dalam Pasal 185 ayat (1) KUHAP. Akan tetapi, bagi ketentuan ini, ada pengecualiannya, yaitu ketentuan dalam Pasal 162 KUHAP. Berdasarkan Pasal 162 KUHAP, maka KUHAP memberikan sebuah pengecualian bagi ketentuan bahwa keterangan saksi harus diberikan di depan persidangan. Pasal 162 ayat (1) KUHAP memungkinkan untuk membacakan keterangan saksi dalam tahap penyidikan, yakni BAP Saksi, bilamana saksi yang bersangkutan dalam alasan: 1. Meninggal dunia; atau 2. Berhalangan hadir karena alasan yang sah; atau 3. Tidak dipanggil karena jauh tempat kediaman atau tempat tinggalnya; atau
76
4. Bilamana ada kepentingan Negara. Keempat alasan ini bersifat limitatif, dalam arti, bahwa BAP Saksi boleh saja dibacakan di depan persidangan, hanya bila ada alasan tersebut yang dialami oleh seorang saksi yang seharusnya hadir di depan sebuah persidangan.60 Di luar keempat alasan ini, maka BAP Saksi idealnya tidak diperbolehkan untuk dibacakan di depan persidangan, karena Pasal 185 ayat (1) KUHAP telah menentukan dengan tegas, bahwa keterangan saksi yang bernilai sebagai alat bukti yang sah menurut undang-undang ialah keterangan saksi yang diberikan di depan persidangan. Kaitannya dengan keterangan saksi yang dibacakan di muka persidangan, Djoko Prakoso61 menyatakan bahwa : “…satu hal yang tidak boleh dilupakan dalam hal ini ialah bahwa keterangan saksi yang dibacakan di muka sidang adalah keterangan yang sebelumnya diberikan di atas sumpah yang dibacakan dari saksi-saksi yang karena meninggal dunia atau karena alasan-alasan yang sah berhalangan untuk menghadiri sidang pengadilan, atau karena jauh tempat kediamannya atau tempat tinggalnya, disamakan dengan keterangan lisan yang diberikan diatas sumpah.” Dilihat dari pendapat Djoko Prakoso di atas, maka dapat di simpulkan bahwa syarat sah keterangan saksi yang dibacakan di muka sidang harus memenuhi kriteria antara lain yaitu bahwa keterangan tersebut diberikan didasari atas sumpah dan alasan-alasan lain yaitu ketidak hadiran tersebut dikarenakan saksi tersebut meninggal dunia, dan tempat kediamannya jauh, sehingga saksi tidak dapat hadir di persidangan. 60
Flora Dianti, S.H.,M.H, “Kekuatan Pembuktian BAP di Persidangan”, 2011. Tersedia :http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4e8bc9adcfa87/kekuatan-pembuktian-bap-saksi-dipersidangan. Diakses 16 Juli 2013. Pukul 11.35 WIB 61 Djoko Prakoso, Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian dalam Poses Pidana,Yogyakarta: Liberty,1988, hlm 68
77
Sedangkan Yahya Harahap62 menyatakan bahwa : “…sehubungan dengan keterangan saksi yang dibcakan di muka sidang tetapi keterangan tersebut pada saat pemeriksaan dihadapan penyidik saksi sebelumnya mengucapkan sumpah, terhadap keterangan seperti ini tetap dinilai sebagai alat bukti yang sah.” Jika dilihat dari kedua pendapat diatas, maka keterangan saksi yang dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah ialah apabila keterangan tersebut dalam pemeriksaan penyidikan, saksi tersebut mengucapkan sumpah terlebih dahulu sebelum memberikan keterangan. Dalam
Putusan
Nomor:
154/Pid.B/2011/PN.Purbalingga,
bahwa
keterangan saksi yang tidak hadir dipersidangan dalam memberikan keterangan pada tingkat penyidikan, tidak menyebutkan apakah keterangan tersebut dawali dengan sumpah. Karena saksi sudah dipanggil namun tidak kunjung datang, maka Majelis Hakim dan Jaksa Penuntut Umum sepakat untuk membacakan keterangan saksi di muka sidang. Berkaitan dengan Putusan Nomor 154/Pid.B/2011/PN.Purbalingga, bahwa pertimbangan-pertimbangan hukum hakim didasarkan atas beberapa alat bukti sebagai berikut : 1. Keterangan saksi Saksi
yang
hadir
dalam
persidangan
Putusan
Nomor
154/Pid.B/2011/PN.Purbalingga sebanyak 6 orang saksi. Dari keenam saksi yang diajukan sebagai alat bukti keterangan saksi, terdapat 2 saksi yang tidak dapat hadir di muka persidangan, sehingga keterangan saksi yang ada dalam berita acara penyidikan dibacakan di persidangan. Walaupun keterangan saksi dibacakan 62
Yahya Harahap, Op.Cit, hlm.
78
dipersidangan, akan tetapi keterangan tersebut memiliki kesesuaian dengan keterangan saksi lainnya. Keterangan saksi yang tidak hadir tersebut dalam putusan tidak menyebutkan apakah saksi dalam pemeriksaan tingkat penyidikan dibawah sumpah atau tidak. Walaupun keterangan saksi tersebut hanya dibacakan di persidangan, akan tetapi keterangan tersebut memiliki kesesuaian dan mendukung dengan keterangan saksi yang di ucapkan di persidangan. Sehingga keterangan saksi tersebut dapat dijadikan sebagai pertimbangan hakim, walaupun sifatnya tidak mengikat. Keterangan saksi yang disampaikan di persidangan juga memiliki kesesuaian antara saksi satu dengan saksi lainnya, sehingga keterangan para saksi dapat dijadikan pertimbangan hukum dalam menjatuhkan putusan pidana terhadap terdakwa. 2. Surat Alat bukti surat dalam perkara ini adalah berupa Surat Visum Et Repertum Nomor 474.S/15863/IKF/09.05.2011 tanggal 09 Mei 2011yang dibuat dan ditandatangani oleh Dr. Zaenuri Syamsu Hidayat, SpLF, MsiMed, Dokter pada Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Prof. Margono Soekarjo, Purwokerto dengan hasil pemeriksaan sebagai berikut: Kesimpulan hasil pemeriksaan adalah dari fakta-fakta yang ditemukan dari pemeriksaan atas jenazah tersebut, maka disimpulkan bahwa telah diperiksa jenazah seoraang laki-laki umur kurang lebih lima tahun. Kematian diperkirakan terjadi lebih dari empat jam dari pemeriksaan. Pada pemeriksaan ditemukan: a. Tanda-tanda pembekapan; b. Tanda-tanda mati lemas;
79
c. Tidak ditemukan tanda-tanda keracunan. Kematian diperkirakan karena mati lemas akibat pembekapan. 3. Keterangan Terdakwa Terdakwa
JMW alias Bin. D dalam persidangan juga memberikan
keterangan berkaitan dengan
tindak pidana yang didakwakan kepadanya.
Terdakwa dalam perkara ini mengakui bahwa telah melakukan salah satu tindak pidana yang didakwakan oleh penuntut umum kepadanya. Keterangan terdakwa juga memiliki kesesuaian dengan keterangan para saksi. Hal tersebut dapat digunakan oleh hakim sebagai salah satu pertimbangan dalam menjatuhkan pidana terhadap terdakwa. Selain alat bukti tersebut di atas Majelis Hakim juga memiliki pertimbangan-pertimbangan non yuridis yaitu hal-hal yang meringankan dan halhal yang memberatkan. Sebelum menjatuhkan pidana pada diri terdakwa tersebut, majelis hakim akan memperlihatkan sifat yang baik dan sifat yang jahat dari terdakwa sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat (2) Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, serta hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan bagi diri terdakwa sesuai dengan Pasal 197 ayat (1) KUHAP: Hal yang memberatkan : Perbuatan dilakukan terhadap anak kandungnya sendiri yang seharusnya di jaga dan dilindungi; Hal yang meringankan : 1. Terdakwa mengakui terus terang perbuatannya ; 2. Terdakwa belum pernah dihukum ;
80
3. Motif dari perbuatan terdakwa melakukan pembunuhan berencana terhadap anak kandungnya disebabkan himpitan ekonomi yang tiap kali diomeli istrinya sampai tidak tahan lagi sehingga terdakwa bermaksud mengakhiri hidup bersama dengan anaknya ; 4. Istri dan masyarakat setempat telah membuat surat pernyataan yang pada pokoknya memaafkan perbuatan terdakwa dan bersedia menerima terdakwa kembali, serta mohon agar dihukum yang seringanringannya ; 5. Dari keterangan para saksi perilaku terdakwa sehariharinya baik dan sangat menyayangi anak maupun istrinya ; Oleh karena pidana yang akan dijatuhkan kepada Terdakwa telah setimpal dengan perbuatan dan berat serta sifat kejahatan yang dilakukan oleh terdakwa, serta telah sesuai dengan rasa keadilan, baik keadilan hukum (legal justice) maupun keadilan masyarakat (so cial justice), sehingga dengan pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa diharapkan akan menimbulkan efek jera (deterrent effect) khususnya bagi terdakwa. Terdakwa dalam perkara ini dituntut dengan tuntutan dengan Pasal 340 KUHP. Pasal tersebut mengandung tiga unsur yang harus terpenuhi agar sesorang dapat dipidana berdasarkan pasal tersebut. Jika dilihat dari unsur-unsur Pasal 340 KUHP tersebut, maka berdasarkan fakta-fakta yang muncul dipersidangan, hakim memiliki pertimbangan hukum terhadap unsur-unsur pasal tersebut sebagai berikut: 1. Unsur “Barang siapa”;
81
2. Unsur “Dengan Sengaja dan Dengan Rencana Terlebih Dahulu”; 3. Unsur “Merampas Nyawa Orang Lain”; a) Unsur Barang siapa Bahwa yang dimaksud dengan unsur “Barangsiapa”, yaitu siapa saja sebagai pendukung hak dan kewajiban (subyek hukum) yang dapat di pertanggungjawabkan atas perbuatan pidana yang telah dilakukannya, yang dalam perkara ini telah diperhadapkan di persidangan terdakwa JMW alias J Bin D, yang identitasnya sesuai dengan identitas terdakwa dalam dakwaan Penuntut Umum dan dibenarkan oleh terdakwa dipersidangan, berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, maka unsur “barang siapa” telah terpenuhi. b) Unsur Dengan Sengaja dan Dengan Rencana Terlebih Dahulu Pembentuk undang-undang sendiri dalam KUHP tidak memberi penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan sengaja atau opzet, dimana aspek ini berbeda dengan undang-undang yang pernah berlaku di Negeri Belanda. Menurut Memorie Van Toelichting (MVT) yang dimaksud dengan sengaja atau opzet adalah Willen En Wetten dalam arti pembuat harus menghendaki (willen) melakukan perbuatan tersebut dan juga harus mengerti (wetten) akan akibat yang diperbuatnya itu. Dengan rencana terlebih dahulu dapat dipandang ada jika pelaku dalam suatu waktu yang cukup telah memikirkan serta menimbang dan kemudian menentukan waktu, tempat, cara atau alat yang akan digunakan untuk melakukan pembunuhan tersebut. Dalam hal ini dapat juga telah dipikirkan olehnya akibat dari pembunuhan itu ataupun caracara lain sehingga orang lain tidak dengan
82
mudah mengetahui bahwa terdakwalah pelakunya. Apakah terdakwa dengan secara tenang atau emosional pada waktu yang cukup itu untuk memikirkannya, tidaklah terlalu penting, yang penting adalah waktu yang cukup saja tidak dapat dipandang lagi sebagai suatu reaksi yang segera menyebabkan terdakwa berkehendak melakukan pembunuhan tersebut. Berdasarkan keterangan saksi I, saksi AA, saksi SA, saksi W, saksi S dan terdakwa dipersidangan diketahui : a. Bahwa terdakwa melakukan perbuatan menghabisi nyawa korban karena dengan alasan pikiran yang bingung akibat desakan dan sering diomeli oleh istrinya ; b. Bahwa niat terdakwa muncul ketika hari Jumat 29 April 2011 sewaktu istrinya memarahi terdakwa dan anaknya yaitu korban A karena korban minta untuk dibelikan sesuatu kemudian terdakwa pada hari itu membeli racun tikus dan bermaksud untuk bunuh diri bersama-sama dengan anaknya; c. Bahwa terdakwa setelah membuat susu yang sudah dicampur dengan racun tikus lalu meminum susu tersebut dengan korban tetapi tidak menimbulkan reaksi apa-apa ; d. Bahwa terdakwa kemudian mencekik leher korban dengan kedua tangannya sekuat tenaga sehingga korban tidak bergerak lagi, selanjutnya untuk memastikan korban sudah meninggal dunia, terdakwa membekap mulut dan menutup hidung korban sehingga korban benar-benar meninggal dunia. Kemudian setelah beberapa waktu terdakwa meninggalkan rumah tersebut lalu membeli sebotol insektisida merk Matador kewarung milik Sutingah, selanjutnya kembali lagi kerumah tersebut, sesampainya didalam rumah terdakwa lalu meminum satu botol insektisida tersebut hingga habis dan tidur disamping korban yang sudah meninggal dunia ; Seharusnya masih dapat mempertimbangkan untung dan ruginya jika tetap melakukan perbuatannya terhadap korban, hal ini terlihat pada fakta-fakta bahwa saat terdakwa dan korban dirumah terdakwa, selanjutnya terdakwa masih sempat membiarkan korban untuk bermain-main di rumah tersebut, sambil terdakwa
83
mempersiapkan rencananya dengan membuatkan dua gelas susu yang dicampur racun tikus yang dibeli dan disimpan terdakwa dua hari sebelumnya; Berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, maka unsur “Dengan Sengaja Dan Dengan Rencana Terlebih Dahulu”, telah terpenuhi ; c) Unsur Merampas Nyawa Orang Lain Dengan perbuatan terdakwa melakukan perbuatan meminumkan segelas susu yang sudah dicampur dengan racun tikus kepada korban, karena tidak menimbulkan reaksi, kemudian terdakwa memcekik leher korban sekuat tenaga dengan kedua tangannya sehingga korban tidak bergerak lagi dan untuk memastikan kematian korban, terdakwa membekap mulut dan menutup hidung korban sehingga korban benarbenar meninggal dunia. Hal ini sesuai dengan Visum Et Repertum Nomor: 474.3/15863/ IKF/ 09.05.2011 tanggal 09 Mei 2011 yang dibuat dan ditandatangani oleh Dr. M. Zaenuri Syamsu Hidayat, SpKF, MsiMed, Dokter pada Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Prof. Dr. Margono Soekarjo, Purwokerto; Selain pertimbangan-pertimbangan Majelis Hakim diatas, masih ada pertimbangan yang lainnya yaitu Majelis Hakim akan mempertimbangkan berkaitan dengan pribadi dan perbuatan terdakwa ada alasan penghapus atau peniadaan pidana, baik alasan pemaaf atau alasan pembenar, yaitu akan berakibat terhadap dapat atau tidaknya terdakwa mepertangungjwabkannya. Pertimbangan hukum hakim berkaitan dengan alasan pemaaf. Alasan pemaaf (schuld uitsluitings gronden) adalah bersifat subjektif dan melekat pada diri terdakwa, khusus mengenai sikap batin sebelum atau pada saat akan berbuat,
84
dan telah diatur dalam Pasal 44 ayat (1), 48, 49 ayat (2), dan 51 ayat (2) KUHP. Selama proses persidangan, majelis hakim tidak menemukan keadaan-keadaaan sebagaimana ketentuan dalam pasal-pasal diatas, sehingga para terdakwa dikategorikan dapat mempertanggungjawabkannya. Pertimbangan alasan pembenar (rechvaardingungs ground) adalah bersifat objektif dan melekat pada perbuatan atau hal-hal lain diluar batin pembuat, sebagaimana diatur dalam Pasal 49 ayat (1), 50, dan Pasal 51 ayat (1) KUHP. Selama proses persidangan, Majelis Hakim tidak menemukan fakta-fakta yang membuktikan adanya keadaan-keadaan yang dirumuskan dalam pasal-pasal diatas, sehingga tidak menghilangkan sifat melawan hukum dari perbuatan para terdakwa. Berdasarkan semua pertimbangan-pertimbangan majelis hakim di atas, maka Majelis Hakim menjatuhkan putusan kepada para terdakwa sebagai berikut: 1. Menyatakan Terdakwa JKW Bin. D, telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Pembunuhan Berencana”; 2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 3 (tiga) tahun ; 3. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa, dikurangi seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan; 4. Menetapkan agar terdakwa tetap dalam tahanan; 5. Menetapkan barang bukti berupa : a. 1 (satu) buah botol minuman terbuat dari plastik warna putih dengan tutup warna hijau masih sedikit berisi air, 3 (tiga) buah jajanan merk
85
sea world (sebungkus masih utuh, sebungkus sudah dibuka dan sebungkus telah habis), 2 (dua) buah plastik bening ukuran 6cmx10cm, 2 (dua) buah gelas bening kombinasi kotak-kotak merah, bulat-bulat merah muda bertuliskan wings, 1 (satu) buah sendok stainless, 1 (satu) buah botol plastik kosong insektisida merk Matador warna biru tutup putih isi 50 ml dan 4 (empat) batang potongan pohon kelapa panjang 35 cm, dirampas untuk dimusnahkan; b. 1 (satu) kaos tanpa kerah warna kuning bergambar tokoh kartun, 1 (satu) celana panjang warna krem, 1 (satu) lembar tikar terbuat dari daun pandan, 1 (satu) buah bantal warna merah motif bunga, 2 (dua) buah kunci diikat kawat bertuliskan DIOR dan TEXAS, 1 (satu) buah pisau dapur panjang 10 cm bergagang kayu, dikembalikan kepada saksi IU (ibu korban); c. 1 (satu) buah kaos oblong warna putih bertuliskan Cukup satu Wings Biru dan 1 (satu) buah celana panjang warna hitam, dikembalikan kepada Terdakwa. 6. Membebankan Terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 1.000,- (seribu rupiah). Hakim
dalam
menjatuhkan
putusan
dalam
Perkara
Nomor.
154/Pid.B/2011/PN/Purbalingga tersebut telah mendasarkan pada fakta-fakta yuridis dan non yuridis yang ada dalam pertimbangan, dan mendasarkan pada alat-alat bukti yang sah yang diajukan dalam persidangan. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan hakim tersebut, perbuatan para terdakwa telah
86
memenuhi rumusan Pasal 340 KUHP, sehingga terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana pembunuhan berencana.
87
BAB V PENUTUP
A. Simpulan Dari hasil penelitian dan analisis data, dapat simpulkan sebagai berikut: 1. Kekuatan pembuktian terhadap keterangan saksi yang tidak hadir di persidangan dengan didasari alasan yang sah dan dapat diterima dalam Putusan Nomor 154/Pid.B/2011/PN.Purbalingga kemudian berita acara pemeriksaan dalam proses penyidikan dibacakan di persidangan. Nilai kekuatan pembuktian keterangan saksi yang tidak hadir tersebut sekurangkurangnya dapat dipersamakan dengan keterangan saksi yang diberikan di persidangan tanpa sumpah. Sifatnya tetap tidak merupakan alat bukti, tetapi nilai kekuatan pembuktiannya yang melekat padanya ialah dapat menguatkan keyainan hakim, juga dapat dijadikan sebagai tambahan alat bukti yang sah lainnya, sepanjang keterangan saksi yang dibacakan ada kesesuaian dengan alat bukti yang sah dan alat bukti yang telah ada telah memenuhi batas minimum pembuktian, hal tersebut sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 185 ayat (7) KUHAP. 2. Bahwa pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan Putusan Nomor 154/Pid.B/2011/PN.Purbalingga didasarkan alat bukti yang sah menurut KUHAP
dan
didasarkan
atas
fakta-fakta
hukum
yang
muncul
dipersidangan. Asas minimum pembuktian yang digunakan hakim dalam memutus
perkara
dalam
tindak
pidana
pembunuhan
berencana
menerangkan bahwa untuk menentukan bahwa para terdakwa bersalah
88
cukup dengan 2 alat bukti yang sah terdapat dalam Pasal 183 KUHAP serta alat-alat bukti yang diajukan oleh majelis hakim yang terdapat pada Pasal 184 KUHAP sudah memenuhi asas pembuktian tersebut disertai pertimbangan-pertimbangan yuridis maupun non yuridis sehingga menimbulkan keyakinan hakim telah terjadi tindak pidana pembunuhan berencana. B. Saran 1. Penuntut Umum diharapkan lebih teliti kembali pada saat menerima berkas penyidikan berkaitan dengan pemeriksaan saksi pada saat penyidikan. Terutama berkaitan dengan dapat diduganya saksi tidak dapat hadir dalam persidangan, sehingga apabila hal tersebut terjadi, penyidik dapat memerintahkan agar saksi tersebut untuk memberikan keterangan di hadapan penyidik di bawah sumpah. Juga dalam hal ketidak hadiran saksi harus di dasarkan alasan yang sah, sehingga Majelis Hakim dapat mempersilahkan kepada Penuntun Umum untuk membacakan berita acara pemeriksaan di muka persidangan.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku Literatur : Atmasasmita, Romli. 1983. Bunga Rampai Hukum Acara Pidana. Bina Cipta. Anwar, H.A.K. Moch.1986. Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II) Jilid I. Bandung. PT. Citra Aditya Bakti, Anwar. 1994. Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II). Bandung: Cipta Adya Bakti. Chazawi, Adami. Kejahatan Terhadap Nyawa dan Tubuh, Jakarta: P.T.Raja Grafindo. Farid, Zainal Abidin. Hukum Pidana I. Cetakan Kedua, Jakarta: Sinar Grafika. Harahap, M. Yahya. 2000. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Penyidikan dan Penuntutan). Jakarta: Sinar Garfika. ________________. 2008. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, Dan Peninjauan Kembali). Jakarta: Sinar Grafika. Hamzah, Andi. 2008. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. ____________. 2010. Asas-Asas Hukum Pidana,Cetakan keempat. Jakarta: P.T.Rienka Cipta. Hartono. 2010. Penyidikan & Penegakan Hukum Pidana melai Pendekatan Hukum Progresif. Semarang : Sinar Grafika. Ibrahim, Johnny. 2006. Teori dan MetodologiPenelitian Hukum Normatif . Jawa Timur: Bayumedia Publishing. Ilyas, Amir. 2012. Asas-Asas Hukum Pidana. Yogyakarta: Rengkang Education Yogyakarta dan Pukap Indonesia. Lamintang, P .A.F.,. 2011. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Cetakan Keempat. Bandung: P.T.Citra Aditya Bakti. Makaro, Muhammad Taufik dan Suharsil. 2004. Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Marpaung, Leden. 2010. Proses Penanganan Perkara Pidana Edisi Kedua. Jakarta: Sinar Grafika. ______________. 2012. Asas Teori Praktik Hukum Pidana, Cetakan ketujuh, Jakarta: Sinar Grafika, P.A.F, Lamintang & Theo Lamintang. 2012. Kejahatan Terhadap Nyawa, Tubuh, dan Kesehatan. Cetakan Kedua. Jakarta: Sinar Grafika.
Prakoso, Djoko. 1988 Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian dalam Poses Pidana,Yogyakarta: Liberty. Prodjodikoro, Wirjono. 2003. Tindak-tindak Pidana Tertentu Di Indonesia. Bandung: Aditama. R.Soesilo, 1996. KUHP Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politea. Simanjuntak, Nikolas. 2009. Acara Pidana Indonesia Dalam Sirkus Hukum. Bogor: Ghalia Indonesia. Sudarsono,2007. Kamus Hukum, Cetakan Kelima. Jakarta. P.T.Rineka Cipta. Sutarto, Suryono. 1987. Sari Hukum Acara Pidana I. Semarang : Yayasan Cendekia Purna Dharma.
B. Peraturan Perundang-Undangan : Indonesia Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP). , Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
C. Sumber Lain : Fernandes Raja saor, 21 maret 2012 “tinjauan umum pembuktian pidana terhadap alat bukti surat”, http://raja1987.blogspot.com/2012/03/tinjauan-umumpembuktian-terhadap-alat-bukti-surat.
Flora Dianti, S.H.,M.H, “Kekuatan Pembuktian BAP di Persidangan”, 2011. Tersedia :http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4e8bc9adcfa87/kekuatan-pembuktian-bap-saksi-dipersidangan. Diakses 16 Juli 2013. Pukul 11.35 WIB
Putusan
Pengadilan
154/Pid.B/2011/PN.Purbalingga.
Negeri
Cilacap
Nomor